MODUL PENDIDIKAN PEMILIH CERDASkisp-id.org/wp...KISP-DAN-METODE-PENYAMPAIAN-FIX.pdf · Tujuan modul...
Transcript of MODUL PENDIDIKAN PEMILIH CERDASkisp-id.org/wp...KISP-DAN-METODE-PENYAMPAIAN-FIX.pdf · Tujuan modul...
2
MODUL PENDIDIKAN PEMILIH CERDAS
Disusun Oleh:
1. Bambang Eka Cahya Widodo, S.IP., M.Si
2. Moch Edward Trias Pahlevi, S.IP
3. Azka Abdi Amrurobbi, S.IP
4. Eky Prasetya Aryudhi, S.IP
5. Preti Epira, S.IP
6. Fairuz Arta Abhipraya
7. Muhammad Iqbal Khatami
8. Nanang Pranata, S.IP
KOMUNITAS INDEPENDEN SADAR PEMILU
(KISP)
3
DAFTAR ISI
PENGANTAR PENYUSUN MODUL ......................................................................... 5
BAB I DEMOKRASI .................................................................................................... 6
Pengertian Demokrasi .................................................................................................. 9
Sejarah Demokrasi ....................................................................................................... 11
Demokrasi Sebagai Norma Hidup Bersama ................................................................ 14
Macam-Macam Demokrasi .......................................................................................... 15
Nilai Demokrasi ........................................................................................................... 17
Perilaku Budaya Demokrasi ........................................................................................ 18
Tinjauan Hukum Kehidupan Terhadap Kebebasan Warga Negara dan Demokrasi ..... 21
BAB II PEMILIHAN UMUM ....................................................................................... 24
Pengertian Pemilu ........................................................................................................ 28
Manfaat Pemilu ............................................................................................................ 28
Sistem Pemilu .............................................................................................................. 29
Prinsip Pemilu Bebas Adil ........................................................................................... 31
Sejarah Pemilu ............................................................................................................. 37
BAB III POLITIK UANG DAN PATRONASE ........................................................... 56
Politik Uang ................................................................................................................. 59
Patronase ...................................................................................................................... 62
Perbedaan Politik uang dan Dana Politik ..................................................................... 65
BAB IV CIVIL SOCIETY DALAM DEMOKRASI .................................................... 66
Posisi Civil Society (Masyarakat) ................................................................................ 71
Partisipasi Masyarakat ................................................................................................. 73
Civil Society dalam Pemilu ......................................................................................... 80
Hubungan Civil Society dan Partai Politik .................................................................. 82
Model Relasi Partai Politik dan Civil Society ............................................................. 84
Membangun Relasi yang Konstruktif .......................................................................... 86
4
BAB V PERAN BAWASLU DAN KPU TERHADAP POLITIK UANG .................. 89
Peran KPU dalam Menangani Politik Uang ................................................................ 91
Peran Bawaslu dalam Menangani Politik Uang ........................................................... 95
BAB VI PENDIDIKAN PEMILIH ............................................................................... 103
Pengertian Pendidikan Pemilih .................................................................................... 108
Tujuan Pendidikan Pemilih .......................................................................................... 109
Prinsip-Prinsip Pendidikan Pemilih ............................................................................. 110
Kelompok Sasaran ....................................................................................................... 112
Strategi Pendidikan Pemilih ......................................................................................... 113
Materi-Materi ............................................................................................................... 114
5
PENGANTAR PENYUSUN MODUL
Tujuan modul ini adalah sebagai panduan bagi pemilih untuk mengidentifikasi dan
memahami bagaimana proses Pemilu dilaksanakan serta bagaimana sejarah kepemiluan di
indonesia dari awal dilaksanakanya pemilu tahun 1955 hingga pemilu yang akan mendatang
pada tahun 2019. Modul ini berisi bahan informasi bagi pemilih (Voters Information) yang
sangat penting diketahui oleh masyarakat, seperti mengapa Pemilu dilaksanakan, manfaat
Pemilu, sasaran yang ingin dicapai serta hal hal apa saja yang menjadi penyakit dalam pemilu
ini.
Sebagai buku panduan, modul ini dapat digunakan oleh para pemilih pemula, fasilitator
pelatihan, serta anggota masyarakat pada umumnya. Modul ini merupakan satu kesatuan yang
diharapkan dapat menjadi bahan informasi kepada pemilih dalam rangka peningkatan
partisipasi pemilih dalam Pemilu, yang juga dapat dipergunakan untuk fasilitator pemula dan
masyarakat pada umumnya.
Modul ini disusun untuk keperluan masyarakat luas khususnya yang perlu diperhatikan
adalah pemilih pemula pada golongan Generasi Milenial, mengapa Generasi Milenial? Karena
sebanyak kurang lebih 40% masyarakat indonesia yang sudah memiliki hak pilih adalah dari
kalangan Generasi Milenial yang artinya hampir setengah dari masyarakat indonesia adalah
dari kalangan Generasi Milenial, maka suara mereka akan benar benar berpengaruh di ajang
pertarungan electoral ini.
Mereka perlu mendapatkan perhatian khusus melalui pemberian informasi yang akurat
dan pengetahuan yang memadai. Modul ini disusun dengan sederhana agar mudah dipahami
dan dibaca baik oleh pemilih pemula khususnya Generasi Milenial maupun anggota
masyarakat luas. Tema-tema yang terangkum dalam materi modul ini diharapkan dapat
meningkatkan partisipasi masyarakat pemilih dalam Pemilu, sehingga aspirasi masyarakat
dapat menjadi sarana untuk memilih pemimpin secara demokratis untuk terwujudnya sebuah
pemerintahan yang berdasarkan prinsip-prinsip good governance.
Yogyakarta, 19 Desember 2018
Tim Penyusun
6
BAB I
DEMOKRASI
(120 Menit)
Pengantar :
Demokrasi merupakan salah satu sistem pemerintahan di dunia dimana semua warga negara
memiliki hak yang setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka.
Kata kunci:
Demokrasi
Tujuan :
Memberikan pemahaman kepada peserta mengenai pengertian dan pentingnya demokrasi.
Tujuan Khusus :
Pada akhir sesi peserta diharapkan:
Memahami pengertian demokrasi.
Memahami sejarah demokrasi, demokrasi sebagai norma hidup bersama, macam-
macam demokrasi, nilai demokrasi, perilaku budaya demokrasi, tinjauan hukum
kehidupan terhadap kebebasan warga negara dan demokrasi di Indonesia
Dapat menerapkan prinsip-prinsip demokrasi.
Pokok Bahasan : Demokrasi
7
Metode Pembelajaran :
1. Fasilitator menanyakan kepada peserta pengertian dan pentingnya demokrasi yang mereka
pahami.
2. Fasilitator mencatatnya pada kertas flipchart/plano. Jawaban yang sama atau memiliki ide
yang sama dikelompokkan dalam satu bagian.
3. Bila tidak ada lagi jawaban baru atau ide baru fasilitator menutup dengan mengajak peserta
melihat kembali daftar jawaban.
Catatan :
Fasilitator diharapkan menggali pemahaman peserta terhadap pengertian demokrasi.
Jawaban yang dimunculkan peserta akan dibandingkan dengan pengertian menurut
beberapa ahli.
Alokasi waktu 5 menit
1. Fasilitator menayangkan power point presentation yang berisi tentang poin-poin penting
demokrasi.
2. Pada setiap penjelasan demokrasi merujuk pada pernyataan dari peserta yang sesuai yang
sudah dicatat di kertas plano.
3. Peserta mengidentifikasi jika ada penjelasan demokrasi yang belum dimunculkan dalam
diskusi awal lalu menambahkannya menjadi poin tambahan dalam kertas plano, sebagai
hasil belajar bersama.
4. Fasilitator bertanya ke peserta: berdasarkan pengalaman apa yang dimaksud dengan
demokrasi
5. Alokasi Waktu Maksimal 20 Menit
Catatan :
Sebagai bahan bacaan tambahan, fasilitator membagikan kepada peserta fotokopi
materi terkait dengan demokrasi.
8
1. Fasilitator membagi peserta ke dalam 4 kelompok. Pembagian kelompok berdasarkan
hitungan angka 1, 2, 3 dan 4 . Secara bergiliran peserta menyebut angka tersebut. Peserta
dengan angka yang sama berkelompok menjadi satu.
2. Fasilitator membagikan materi tentang demokrasi.
3. Masing-masing kelompok membahas materi sebagai berikut : Kelompok 1: membahas
pengertian demokrasi dan sejarah demokrasi, kelompok 2: demokrasi sebagai norma hidup
bersama dan macam-macam demokrasi; Kelompok 3 : Nilai demokrasi dan prilaku budaya
demokrasi; Kelompok 4 : tinjauan hukum kehidupan terhadap kebebasan warga negara dan
demokrasi di indonesia.
4. Tugas dalam diskusi kelompok adalah:
Mengidentifikasi dan membahas setiap tema yang telah dibagikan.
5. Peserta diberikan waktu berdiskusi selama 15 menit. Kemudian, setiap kelompok
presentasi selama 5 menit.
6. Menutup sesi ini, fasilitator perlu menarik kesimpulan terkait dengan demokrasi.
7. Alokasi waktu maksimal 40 menit.
Materi dan Alat Pembelajaran yang dibutuhkan:
1. Spidol warna-warni.
2. Kertas plano (20 lembar)
3. Fotokopi materi tentang demokrasi
4. Power Point Presentation tentang demokrasi
9
MATERI BAB 1.
DEMOKRASI
A. Pengertian Demokrasi
Istilah demokrasi sering digunakan dalam sistem pemerintahan. Negara yang menganut
sistem demokrasi merupakan negara yang meletakan kekuasaan tertinggi di tangan rakyatnya.
Rakyat dilibatkan dalam menentukan setiap kebijakan dalam pemerintahan. Dalam arti
harfiahnya, demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos yang artinya rakyat, dan kratia
yang artinya kekuasaan. (Ghofur, 2002)
Menurut Sidney Hook, Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-
keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada
kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa. (Ghofur, 2002)
Terdapat pengertian mengenai demokrasi yang dianggap paling populer, yaitu
pengertian demokrasi menurut Abraham Lincoln (Ghofur, 2002) yang menyatakan bahwa
demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (government of the
people, by the people, and for the people). Oleh sebab itu, Demokrasi juga sering dikatakan
sebagai “rule by the people” yang berarti sistem pemerintahan atau kekuasaan oleh rakyat, baik
demokrasi yang bersifat langsung (direct democracy) atau demokrasi dengan sistem
keterwakilan (representative democracy).
Pengertian pemerintahan dari rakyat, suatu pemerintahan yang sah adalah pemerintahan
yang mendapatkan pengakuan dan dukungan mayoritas rakyat melalui demokrasi, yaitu
melalui pemilihan umum. Pengertian pemerintahan oleh rakyat yaitu pemerintahan
menjalankan kekuasaannya atas nama rakyat, bukan berdasarkan pribadi. Roda pemerintahan
berada pada pengawasan rakyat baik secara langsung maupun perwakilan. Pengertian
pemerintahan untuk rakyat adalah kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah
harus dijalankan seluas-luasnya untuk kepentingan rakyat.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Demokrasi adalah suatu sistem
pemerintahan yang menjamin hak untuk membuat keputusan politik diselenggarakan oleh
rakyat melalui wakil yang terpilih dan bertanggungjawab kepada rakyat melalui sebuah
mekanisme yaitu Pemilihan Umum.
10
Rumusan Demokrasi sebagaiamana disebutkan sebelumnya, kemudian oleh sejumlah
ilmuwan politik dirumuskan parameter atau indikator-indikator terlaksananya Demokrasi oleh
sebuah negara, jika memenuhi unsur-unsur atarara lain sebagai berikut (Wardani, 2007)
1. Akuntabilitas
Dalam sebuah pemerintahan demokrasi, setiap pemegang jabatan yang
dipimpin oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang
hendak dan telah ditempuhnya. Selain itu ia juga harus dapat mempertanggung
jawabkan ucapan atau kata-katanya. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah
perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang dan akan dijalaninya.
Pertanggungjawaban tersebut tidak hanya menyangkut dirinya sendiri tetapi juga
menyangkut keluarganya dalam arti luas. Yaitu perilaku anak dan istrinya, juga
sanak keluarganya, terutama yang berkaitan dengan jabatannya. Dalam konteks ini
si pemegang jabatan harus bersedia menghadapi apa yang disebut “Public Scrutiny”,
terutama yang dialkukan oleh media masa yang ada.
2. Rotasi Kekuasaan
Dalam Demokrasi, peluang akan terjadi rotasi kekuasaan harus ada dan
dilakukan secara teratur dan damai. Jadi tidak hanya satu orang yang selalu
memegang jabatan, sementara peluang orang lain tertutup sama sekali. Biasanya
partai-partai politik yang menang pada suatu pemilihan umum akan diberikan
kesempatan untuk membentuk eksekutif yang akan mengendalikan pemerintahan
sampai pada pemilihan berikutnya. Dalam suatu negara yang tingkat Demokrasinya
masih rendah, rotasi kekuasaan biasanya rendah pula. Bahkan peluang untuk
terjadinya rotasi tersebut cenderung terbatas. Kalaupun ada hal itu hanya akan
dilakukan dalam lingkungan yang terbatas dikalangan elit politik saja.
3. Rekruitmen Politik yang terbuka
Untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan, diperlukan suatu system
rekruitmen politik yang terbuka. Artinya, setiap orang yang memenuhi syarat untuk
mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang
sama dalam melakukan kompetensi untuk mengisi jabatan tersebut. Dalam negara
yang tidak Demokratis rekruitmen politik biasanya dilakukan secara tertutup.
Artintya, peluang untuk mengisi jabatan politik hanya dimiliki oleh beberapa gelintir
orang saja.
11
4. Pemilihan Umum
Dalam suatu negara Demokrasi pemilihan umum biasanya dilaksanakan secara
teratur dan berkesinambungan. Setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai
hak untuk memilih dan dipilih serta mempunyai kebebasan untuk menggunakan
haknya tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Dalam hal ini mereka
mempunyai kebebasan untuk menentukan partai dan atau calon mana yang akan
didukungnya tanpa ada rasa takut atau paksaan dari orang lain. Para pemilih juga
bebas mengikuti segala macam aktivitas pemilihan umum, seperti kegiatan
kampanye dan menyaksikan penghitungan suara.
5. Menikmati Hak-hak Dasar
Dalam suatu negara Demokrasi setiap individu mendapatkan jaminan terhadap
hak-hak dasar. Hak-hak tersebut antara lain adalah hak untuk menyatakan pendapat,
hak untuk berserikatdan berkumpul, dan hak 19 untuk menikmati persyang bebas.
Dalam hal ini contoh implementasinya adalah, hak untuk menyampaikan
pendapatnya, juga yang menyangkut suatu permasalahan suatu permasalahan yang
menyangkut dirinya dan masyarakat sekitarnya. Sedangkan hak berkumpul dan
berserikat ditandai dengan kebebasan untuk menentukan lembaga atau oraganisasi
mana yang ingin dibentuk atau dipilih.
B. Sejarah Demokrasi
Pada tahun 508 SM Chleisthenes mengadakan beberapa pembaruan dalam sistem
pemerintahan di Athena. Bentuk pemerintahan baru tersebut kemudian dinamakan demokratia
yang berarti pemerintahan oleh rakyat Asal-usul demokrasi sebagai sesuatu sistem politik dapat
ditelusuri sampai pada sekitar lima abad sebelum masehi, ketiaka orang-orang Yunani yang
membentuk polis (negara-kota) mencoba menjawab pertanyaan bagaimana suatu sistem politik
dapat diorganisasikan agar dapat memenuhi kepentingan dan kesejahteraan bersama
masyarakat. Demokrasi Yunani kuno di Athena merupakan demokrasi langsung yang
dipraktekan dalam satu negara-kota kecil. Para warga negara-kota walaupun tidak seluruhnya,
membuat keputusan-keputusan politik secara langsung. Menurut Amien Rais, demokrasi yang
dipraktekan di Athena tersebut dapat dianggap sebagai suatu working model demokrasi murni.
Namun Amien menambahkan bahwa model demokrasi yang diterapkan di Athena
mengandung berbagai kelemahan-kelemahan. (Rais, 1986)
12
Selain Chleisthenes yang dikenal sebagai bapak demokrasi Athena, tokoh-tokoh
demokrasi Yunani Kuno lain yaitu Solon (638-558 SM) tokoh pembuat Hukum, Pericles (440-
429 SM) Jenderal negarawan, dan Demosthenes (385-322 SM) negarawan-orator. Masing-
masing dengan kemampuannya membela demokrasi sebagai suatu sustem yang terbaik.
Sedangkan pada masa itu, kritik-kritik keras terhadap demokrasi dilontarkan oleh tokoh-tokoh
pemikir seperti Plato dan Aristoteles.
Plato dan Aristoteles menganggap bahwa sistem demokrasi merupakan sistem
pemerintahan yang buruk dan tidak praktis. Plato sendiri menginginkan suatu aristokrasi yang
dipimpin oleh raja-filosof yakni penguasanya arif dan mempertahankan nasib rakyat. Serta
mempercayai bahwa pemerintahan berdasarkan pilihan rakyat (demokrasi) dapat dipengaruhi
oleh para damagog (perusak) yang akhirnya menjadi kediktatoran. Sedangkan Aristoteles
menerimanya dengan format negara politea, yakni demokrasi dengan Undang-Undang Dasar
atau demokrasi yang bersifat moderat. (Zada & Muzayyad, 1999)
Dua puluh tiga abad setelah eksperimen demokrasi di Athena, dunia merasakan
perubahan sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan yang mendominasi adalah monarchi,
kesultanan, dan negara-negara teokratik. Sementara demokrasi dapat dikatakan sudah
tenggelam dalam sejarah atau dianggap sudah banyak yang tidak menggunakan sistem
demokrasi.
Pada pertengahan (600-1400 M) gagasan demokrasi Yunani dapat dikatakan hilang dari
dunia barat saat bangsa Romawi yang sedikit banyak masih mengenal kebudayaan Yunani,
dikalahkan oleh suku bangsa Eropa Barat. Dimana masyarakat abad pertengahan dirikan oleh
struktur sosial yang feodal, yang kehidupan sosial spiritualnya dikuasai oleh Paus dan pejabat-
pejabat agama. Serta kehidupan politiknya ditandai oleh perebutan kekuasaan antara para
bangsawan satu dengan lainnya. Akan tetapi dilihat dari sudut perkembangan demokrasi abad
pertengahan menghasilkan sebuah dokumen penting yaitu Magna Charta (Piagam Agung) pada
tahun 1215 M.
Pada akhir abad ke 15 dan abad ke 16, sebagai awal dari zaman Renaissance, di Eropa
muncul teori yang mulai memperatanyakan segi-segi manusia dalam hubungannya antara
penguasa dan rakyat, serta kedudukan agama dalam masalah-masalah publik. Tokoh-tokoh
pemikir seperti Nicollo Machiavelli (1469-1527) dari Italy dengan ide sekularismenya, Jean
Bodin dari Perancis dan Thomas Hobbes (1588-1679) dari Inggris dengan ide negara
kontraknya, mulai menguak dimensi-dimensi moralitas sekuler dan hakekat hukum politik.
13
Dan barulah pada zaman pencerahan (enlightment) di abad ke 17 dan ke 18 yang dikenal
sebagai zaman “Aufklarung” (1650-1800) pemikiran-pemikiran demokratik mulai
bermunculan lagi. John Locke (1632) dengan idenya tentang konstitusi negara dan liberalisme,
serta pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga federal. Ide ini selanjutnya
disempurnakan oleh Baron de Montequieu (1689-1755) dengan idenya tentang pemisahan
kekuasaan menjadi lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ditambah dengan ide-ide
tentang kedulatan rakyat dan kontrol sosial yang diperkenalkan oleh Jean Jacques Rousseau
(1712-1778).
Pada akhir abad ke-19 gagasan mengenai demokrasi mendapat wujud yang konkret
sebagai program dan sistem politik. Demokrasi pada tahap ini semata-mata bersifat politis dan
mendasarkan dirinya atas asas-asas kemerdekaan individu, kesamaan hak (the equal of right)
serta hak pilih untuk semua warga negara.
Praktek demokrasi dapat diidentifikasi telah terjadi kedalam beberapa tahapan
transformasi. Robert A. Dahl membagi perjalanan sejarah praktik demokrasi kedalam tiga
tahap transformasi. Transformasi demokrasi pertama adalah demokrasi yang kecil ruang
lingkupnya, berbentuk demokrasi langsung. Tahap ini terjadi dalam praktik politik Yunani dan
Athena. Transformasi demokrasi kedua diwujudkan dengan diperkenalkannya praktik
republikanisme, perwakilan dan logika persamaan. (Zainuddin, 1992)
Tranformasi demokrasi ketiga dialami oleh kehidupan politik modern saat ini. Tahap
ini dicirikan dengan belum adanya kepastian apakah kita akan kembali ke masyarakat kecil
seperti di Yunani kuno dan Athena. Tahap-tahap ini bagaimanapun membaha Dahl pada
penegasan bahwa yang akan dicapai di masa depan adalah bentuk demokrasi yang lebih maju.
(Fatah, 1994)
Sementara itu, P. Huntington memaparkan sejarah demokrasi yang berbeda.
Huntington membagi sejarah demokrasi kedalam tiga gelombang (Huntington, 1997).
Gelombang pertama berakar pada Revolusi Amerika dan Perancis dan ditandai dengan
munculnya institusi-institusi nasional yang demokratis sebagai sebuah fenomena abad ke-19.
Gelombang kedua dimulai pada perang Dunia II, yang ditandai dengan perimbangan
barudalam konstelasi antar bangsa akibat perang serta bermunculannya negara-negara
pascakolonial. Gelombang ketiga dimulai pada tahun 1974 ditandai oleh berakhirnya
kediktatoran Portugal dan terus berlanjut dengan gelombang besar demokratisasi di seluruh
bagian dunia secara spektakuler hingga tahun 1990.
14
C. Demokrasi Sebagai Norma Hidup Bersama
Demokrasi merupakan proses panjang melalui pembiasaan, pembelajaran, dan
penghayatan. Demokrasi merupakan bentuk pembiasaan sosial yang berkaitan dengan
hubungan manusia untuk membentuk demokrasi yang ideal seperti pendapat John Dewey
terdapat dua elemen dalam demokrasi yang ideal, (1) tidak hanya berkaitan dengan kepentingan
umum tetapi mengandalkan pada pengakuan kepentingan bersama, (2) tidak hanya interaksi
kelompok- kelompok sosial tetapi perubahan dan pembiasaan sosial. (Dewey, 1964)
Untuk mencapai kehidupan demokrasi yang ideal dukungan sosial dan lingkungan
adalah mutlak dibutuhkan. Menurut Azra ada enam (6) norma atau unsur pokok yang
dibutuhkan oleh tatanan masyarakat yang demokratis. Keenam norma itu adalah sebagai
berikut. (Azra, 2008)
Pertama, kesadaran akan pluralisme. Pengakuan akan kenyataan perbedaan harus
diwujudkan dalam sikap dan perilaku menghargai dan mengakomodasi beragam pandangan
dan sikap orang dan kelompok lain, sebagai bagian dari kewajiban warga negara dan negara
untuk menjaga dan melindungi hak orang lain untuk diakui keberadaannya.
Kedua, musyawarah. Makna dan semangat musyawarah adalah mengharuskan adanya
keinsyafan dan kedewasaan warga negara untuk secara tulus menerima kemungkinan untuk
melakukan negosiasi dan kompromi-kompromi sosial dan politik secara damai dan bebas
dalam setiap keputusan bersama.
Ketiga, cara haruslah sejalan dengan tujuan. Demokrasi pada hakikatnya tidak hanya
sebatas pelaksanaan prosedur-prosedur demokrasi (pemilu, suksesi, kepemimpinan, dan aturan
mainnya) tetapi harus dilakukan secara santun dan beradab.
Keempat, norma kejujuran dalam pemufakatan. Suasana masyarakat demokratis
dituntut untuk menguasai dan menjalankan seni pemusyawaratan yang jujur dan sehat untuk
mencapai kesepakatan yang memberi keuntungan semua pihak.
Kelima, demokrasi sebagai kebajikan bersama menuntut setiap warga negara untuk
mengabdikan diri sepenuhnya untuk negara, menempatkan kepentingan republik dan
kepentingan bersama diatas kepentingan diri dan keluarga
Keenam, kebebasan nurani, persamaan hak dan kewajiban bagi semua (freedom of
conscience), persamaan hak dan kewajiban bagi semua (egalitarianisme) merupakan norma
15
demokrasi yang harus diintegrasikan dengan sikap percaya pada iktikad baik orang dan
kelompok lain.
Keenam, trial and error (percobaan dan salah) dalam demokrasi. Demokrasi bukanlah
sesuatu yang telah selesai dan siap saji, tetapi merupakan sebuah proses tanpa henti. Dalam
kerangka ini demokrasi membutuhkan percobaan-percobaan dan kesediaan semua pihak untuk
menerima kemungkinan ketidaktepatan atau kesalahan dalam praktik berdemokrasi.
D. Macam-Macam Demokrasi
Banyak negara yang menerapkan sistem demokrasi. Masing-masing negara
menerapkan demokrasi dengan pemahaman tersendiri. Keanekaragaman tersebut dapat
dirangkum menjadi 3 tipe yaitu ideologi, cara penyaluran kehendak rakyat, dan titik perhatian.
(Sulisworo, Wahyuningsih, & Arif, 2012)
a. Berdasarkan Ideologi
Berdasarkan sudut pandang ideologi, sistem demokrasi dapat dibedakan
menjadi dua tipe, yaitu:
1) Demokrasi Konstitusional (Demokrasi Liberal)
Ciri khas pemerintahan ini adalah kekuasaan pemerintahannya
terbatas dan tidak diperkenankan banyak campur tangan dan bertindak
sewenang-wenang terhadap warganya. Kekuasaan pemerintah dibatasi
oleh konstitusi.
2) Demokrasi Rakyat
Demokrasi rakyat memiliki cita-cita yaitu kehidupan tanpa kelas
sosial dan tanpa kepemilikan pribadi. Pada masa Perang Dingin, sistem
demokrasi rakyat berkembang di negara-negara Eropa Timur, seperti
Cekoslovakia, Polandia, Hungaria, Rumania, Bulgaria, Yugoslavia, dan
Tiongkok. Sistem politik demokrasi rakyat disebut juga “demokrasi
proletar” yang berhaluan Marxisme-komunisme.
b. Berdasarkan Cara Penyaluran Kehendak Rakyat
Berdasarkan cara penyaluran kehendak rakyat, sistem politik demokrasi
dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
1) Demokrasi Langsung
Dalam sistem demokrasi langsung, rakyat secara langsung
mengemukakan kehendak dan pendapatnya didalam rapat yang dihadiri
16
oleh seluruh rakyat. Demokrasi ini dapat dijalankan apabila negara
berpenduduk sedikit dan berwilayah kecil. Sistem ini pernah berlaku di
Negara Athena pada zaman Yunani Kuno (abad IV SM).
2) Demokrasi Perwakilan (Demokrasi Representatif)
Pada saat ini, Demokrasi Perwakilan banyak digunakan dengan
alasan jumlah penduduk terus bertambah dan wilayahnya luas sehingga
tidak mungkin menerapkan sistem demokrasi langsung. Dalam
demokrasi perwakilan, rakyat menyalurkan kehendak dengan memilih
wakil-wakilnya untuk duduk dalam lembaga perwakilan (parlemen).
3) Demokrasi Perwakilan Sistem Referendum
Demokrasi perwakilan dengan sistem referendum merupakan
gabungan antara demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Rakyat
memilih wakil mereka untuk duduk dalam lembaga perwakilan, tetapi
lembaga perwakilan tersebut dikontrol oleh pengaruh rakyat dengan
sistem referendum dan inisiatif rakyat.
c. Berdasarkan Titik Perhatian
Berdasarkan Titik Perhatian, Demokrasi dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu:
1) Demokrasi Formal
Demokrasi formal adalah suatu sistem politik demokrasi yang
menjunjung tinggi persamaan dalam bidang politik, tanpa disertai upaya
untuk mengurangi atau menghilangkan kesenjangan dalam bidang
ekonomi. Dalam demokrasi ini, semua masyarakat dianggap memiliki
kedudukan dan hak yang sama.
2) Demokrasi Material
Sistem politik demokrasi yang menitikberatkan pada upaya-
upaya menghilangkan perbedaan dalam bidang ekonomi, sedangkan
persamaan bidang politik kurang diperhatikan bahkan kadang-kadang
dihilangkan.
3) Demokrasi Gabungan
Dalam Demokrasi Gabungan, persamaan derajat dan hak setiap
orang diakui, tetapi demi kesejahteraan seluruh aktivitas rakyat dibatasi.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk kesejahteraan rakyat,
jangan sampai mengabaikan apalagi menghilangkan persamaan derajat
dan hak asasi manusia
17
E. Nilai Demokrasi
Saiful Arif mengatakan bahwa demokrasi tidak sebatas sistem politik maupun aturan-
aturan formal yang terdapat dalam konstitusi saja. Keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan
demokrasi ditentukan oleh sejauh mana nilai-nilai lokal yang sejalan demokrasi itu diterapkan
dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai demokrasi seperti, penghormatan terhadap
sesama, toleransi, penghargaan atas pendapat orang lain dan kesamaan sebagai warga dan
menolak adanya diskriminasi. (Arif, 2007)
Robert. A. Dahl menjelaskan bahwa Demokrasi sebagai suatu gagasan politik di
dalamnya terkandung 5 (lima) kriteria/nilai, yaitu: (Muntoha, 2009)
1. Persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat;
2. Partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses
pembuatan keputusan secara kolektif;
3. Pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk
memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan secara logis;
4. Kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya keputusan eksklusif bagi masyarakat
untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses
pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang lain atau lembaga
yang mewakili masyarakat;
Menurut Zamroni, nilai-nilai yang terkandung dalam sistem demokrasi, yaitu sebagai
berikut: (Munir, 2009)
1. Toleransi,
2. Kebebasan mengemukakan pendapat,
3. Menghormati perbedaan pendapat,
4. Memahami keanekaragaman dalam masyarakat,
5. Terbuka dan komunikasi,
6. Menjunjung nilai dan martabat kemanusiaan,
7. Percaya diri,
8. Tidak menggantungkan pada orang lain,
9. Saling menghargai,
10. Mampu mengekang diri
11. Kebersamaan dan,
18
12. Keseimbangan,
Sementara itu, menurut Henry B. Mayo menyebutkan nilai-nilai yang terkandung
dalam sistem demokrasi, yaitu: (Ghofur, 2002)
1. Menyelesaikan perkara dengan damai dan sukarela;
2. Menjamin terjadinya perubahan secara damai dalam masyarakat yang selalu berubah;
3. Penggantian penguasa dengan teratur;
4. Penggunaan paksaan sedikit mungkin;
5. Pengakuan dan penghormatan terhadap nilai-nilai keanekaragaman;
6. Menegakan keadilan;
7. Memajukan ilmu pengetahuan;
8. Pengakuan dan penghormatan terhadap kebebasan.
F. Perilaku Budaya Demokrasi
Menurut Rusli Karim dikatakan bahwa perilaku dan ciri-ciri orang yang memiliki
kepribadian demokratis adalah inisiatif, disposisi, toleransi, cinta akan keterbukaan, komitmen
dan tanggung jawab serta memiliki kerjasama dalam keterhubungan. (Karim, 1991)
Gabriel A. Almond mengajukan pengklasifikasian budaya politik sebagai berikut:
1. Budaya politik parokial, yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang
disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah). Ciri-
ciri lain budaya politik parokial sebagai berikut
a. Frekuensi orientasi masyarakat terhadap dimensi penentu budaya
politik mendekati nol atau tidak memiliki perhatian sama sekali.
b. Tidak ada peran-peran politik yang bersifat khusus.
c. Peran-peran pemimpin masyarakatnya sangat berperan baik dalam
bidang politik, ekonomi dan keagamaan.
d. Partisipasi masyarakat sangat bergantung pada pemimpinnya.
2. Budaya politik kaula atau subyektif, yaitu masyarakat bersangkutan sudah
relatif maju tetapi masih bersifat pasif. Ciri-ciri lain budaya politik kaula atau
subyektif sebagai berikut
a. Frekuensi orientasi yang tinggi terhadap pengetahuan sistem politik
secara umum dan objek output atau pemahaman mengenai penguatan
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
19
b. Pembuatan kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak terlalu
diperhatikan.
c. Masyarakat sudah memiliki pengetahuan yang cukup tentang sistem
politik.
3. Budaya politik partisipan, yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran
politik sangat tinggi. Ciri-ciri lain budaya politik partisipan sebagai berikut
a. Masyarakat sudah memiliki pemahaman yang baik mengenai penentu
budaya politik.
b. Masyarakat memiliki pengetahuan yang memadai mengenai sistem
politik secara umum tentang peran pemerintah dalam membuat
kebijakan beserta penguatan.
c. Berpartisipasi aktif dalam proses politik yang berlangsung.
Budaya demokrasi dapat diterapkan dalam lingkungan keluarga, sekolah serta
masyarakat dan negara. Menurut Rochmadi contoh perilaku yang merupakan perwujudan
budaya demokratis, sebagai berikut. (Rochmadi, 2012)
1. Budaya Demokrasi di Lingkungan Rumah
a. Bersikap terbuka terhadap orang tua dan anggota keluarga yang lain.
b. Menyampaikan pendapat dengan baik dan sopan serta tidak memaksakan
kehendak.
c. Mencoba memahami keadaan kesulitan yang dialami keluarga dengan baik.
d. Menyelesaikan masalah dalam keluarga dengan musyawarah dan secara
kekeluargaan.
2. Budaya Demokrasi di Lingkungan Sekolah
a. Bersikap saling menghormati dan menghargai dengan sesama warga
disekolah (kepala sekolah, guru, teman dan warga sekolah yang lain).
b. Menyelesaikan setiap persoalan yang ada dilingkungan kelas ataupun
sekolah dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat (misalnya, saat
pemilihan ketua kelas, ketua OSIS, dan penyusunan kelompok piket).
c. Dapat melaksanakan keputusan yang diambil sebagai kesepakatan bersama
dengan penuh tanggung jawab.
d. Melibatkan semua pihak dalam memecahkan setiap persoalan yang ada di
sekolah.
3. Budaya Demokrasi di Lingkungan Masyarakat dan Negara
20
Bermasyarakat adalah bagian dari berbangsa dan bernegara. Apa yang
diterapkan pada kegiatan bermasyarakat dengan sendirinya mengikuti ketentuan
dalam kegiatan berbangsa dan bernegara. Jika bangsa dan negara sudah
memutuskan demokrasi sebagai sistem yang dianut, maka kegiatan
bermasyarakat harus mengikutinya.
Sebelum masa reformasi, masyarakat Indonesia benarbenar hidup dalam
tekanan yang berat akibat tiadanya demokrasi. Pemerintahan Negara berjalan
secara otoriter. Kebebasan dan hak asasi manusia kurang diakui dan dijamin.
Begitulah yang terjadi jika kehidupan masyarakat jauh dari demokrasi.
Masyarakat atau warga negara yang sesungguhnya pemegang kedaulatan negara
seperti tidak hidup di negeri sendiri. Oleh sebab itu, sangat penting bahwa
demokrasi harus dihadirkan dalam kehidupan bermasyarakat. Jika hal ini dapat
diwujudkan, kehidupan masyarakat akan menjadi demokratis. Adapun kehidupan
masyarakat yang demokratis akan membawa beberapa keuntungan sebagai
berikut:
a. Masyarakat dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabatnya
sebagai manusia.
b. Masyarakat akan saling bertoleransi, menghargai, dan menghormati
berbagai perbedaan atau asal-usul hidup.
c. Masyarakat dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara lebih
seimbang.
d. Masyarakat akan lebih kritis, aktif, dinamis, dan kreatif karena diberi
kebebasan beraktivitas dan menyampaikan pendapat.
e. Masyarakat lebih dapat menyalurkan aspirasinya kepada pemerintah
baik secara langsung maupun tidak langsung.
f. Masyarakat dapat menentukan pilihannya baik dalam politik (lewat
pemilu) maupun dalam bidang-bidang lain.
g. Masyarakat dapat turut serta dalam pembangunan lewat berbagai
aktivitas dan kreativias.
Berikut bentuk-bentuk demokrasi dilingkungan masyarakat dan negara:
a. Saling menghormati dan menghargai dengan sesama orang lain di
lingkungan masyarakat dan negara.
b. Memecahkan setiap persoalan yang terjadi di lingkungan masyarakat
dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat.
21
c. Ikut melaksanakan hasil keputusan bersama dengan penuh tanggung
jawab.
d. Bagi pelajar yang telah berusia 17 tahun dapat berperan serta dalam
pemilihan umum yang berlangsung sejak orde lama hingga masa
reformasi. Keikutsertaan dalam pemilu ini harus dilakukan dengan
asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
G. Tinjauan Hukum Kehidupan Terhadap Kebebasan Warga Negara dan Demokrasi di
Indonesia
Sebuah negara dikatakan demokratis apabila negara tersebut terus berproses menuju ke
masyarakat demokratis. Salah satu indikasi kuat kreteria negara demokratis adalah adanya
pemilihan umum yang jujur dan adil. Seperti diakui oleh pengamat Internasional bahwa sejak
tahun 1999 Indonesia sudah melaksanakan pemilu secara relatif adil dan jujur. Bahkan pada
pemilu tahun 1955 pun diakui sebagai pemilu yang adil.
Masalahnya sekarang kenapa dari pelaksanaan pemilu ataupun pilkada di banyak
daerah selalu diwarnai oleh keributan yang tidak jarang menjadi kerusuhan? Padahal jika kita
menilik nilai-nilai demokrasi sejatinya hal tesebut justru bertentangan dengan demokrasi.
Dalam pengamatan selanjutnya ternyata Indonesia masih dalam tataran melakasanakan
demokrasi pada tingkatan prosedural yaitu sesuai dengan prosedur demokratis seperti adanya
pemilu, adanya lembaga-lembaga perwakilan dan seterusnya.
Sistem demokrasi agaknya masih dinilai lebih baik dari sistem lainnya termasuk di
dalamnya sistem kerajaan, atau system militer yang cenderung fasis atau totaliter. System Islam
yang menunjuk pemipin sebagai raja juga dinilai cenderung oligarki (kekuasaan tidak
berpindah dari kerabatnya) sehngga dinilai merugikan kelompok lain.
Indonesia termasuk memilih system demokrasi. Namun demokrasi yang dimaksud,
agar para pemimpin partai/kelompok dalam mencari uang atau menyumbang ke dalam partai
harus dilakukan secara transparan dan akuntabilitas sehingga uang tersebut bukan dari hasil
keculasan atau korupsi. Itulah sebabnya, ketika UU politik disetujui banyak pihak berkomentar
agar factor modal tidak menjadi factor utama dalam mengembangkan system demokrasi
Indonesia. (Yusuf, 2011)
Mendapat kebebasan dalam mengeluarkan pendapat, semua bebas berunjuk rasa
mengeluarkan segala aspirasinya. Namun sayang, aksi ini kadang-kadang dilakukan dengan
22
cara-cara yang tidak terpuji bahkan cenderung anarkis. Sejatinya unjuk rasa dilakukan untuk
membela kepentingan rakyat, tetapi yang terjadi justru merugikan rakyat yang lain, karna
banyaknya fasilitas publik yang menjadi rusak atau terganggu.
Di kalangan elit pejabat/politikus, kebebasan dalam dalam mengeluarkan pendapat juga
sangat bebas, sehingga tidak jarang memikirkan tentang etika politik dan bertutur kata yang
baik di muka publik. Hal tersebut tentu saja memberikan dampak yang negative, berupa tingkat
kepercayaan masyarakat menjadi menurun.
Mencermati fenomena yang terjadi sebagaimana tersebut di atas, kedepannya perlu ada
kebijakan atau regulasi dari pemerintah untuk menjamin semua kepentingan banyak
orang(masyarakat pada umumnya).
Kebebasan berpendapat merupakan hak asasi manusia. karena pada kodratnya setiap
individu memiliki perbedaan, termasuk didalamnya adalah tingkat pengetahuan/pendidikan,
pola pikir, cara pandang dari suatu permasalahan pun berbeda.
Untuk dapat menjamin setiap warga negara dalam menjalankan haknya tersebut maka
komunitas/negara membuat aturan aturan agar dalam menjalankan haknya tersebut tidak
berbenturan dengan hak orang lain. sebagaimana tercantum dalam UUD 45 Amandemennya :
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan,
dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
23
References Arif, S. (2007). Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Program Sekolah Demokrasi.
Azra, A. (2008). Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani. Jakarta: Kencana.
Dewey, J. (1964). Democracy and Education. New York: The Macmillan Company.
Fatah, R. E. (1994). Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Ghofur, A. (2002). Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Huntington, S. P. (1997). Gelombang Demokrasi Ketiga. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
Karim, R. (1991). Pemilu Demokratis Kompetitif. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Munir, F. (2009). Konsep Negara Demokrasi. Jakarta: Retika Aditama.
Muntoha. (2009). Demokrasi dan Negara Hukum. Jurnal Hukum.
Rais, A. (1986). Demokrasi dan Proses Politik. Jakarta: LP3ES.
Rochmadi. (2012). Menjadikan Budaya Gotong-Royong Sebagai Common Identity dalam Kehidupan
Bertetangga Negara-Negara ASEAN. Malang: Universitas Negeri Malang.
Sulisworo, D., Wahyuningsih, T., & Arif, D. B. (2012). Demokrasi. Yogyakarta: Universitas Ahmad
Dahlan.
Wardani, K. D. (2007). Impeachtment Dalam Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta: UII Press.
Yusuf, T. (2011). Mengembangkan Demokrasi. Warta PUU. Retrieved from Warta.
Zada, K., & Muzayyad, I. (1999). Wacana Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia. Jakarta: Pustaka
Pelajar.
Zainuddin, R. (1992). Demokrasi dan Para Pengkritiknya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
24
BAB 2.
PEMILU DAN PRINSIP PEMILU
Pengantar :
Pemilu atau biasa yang disebut pemilu adalah proses memilih kandidat pemimpi disebuah
negara. Dalam suatu negara Demokrasi setiap individu mendapatkan jaminan terhadap hak-
hak dasar. Hak-hak tersebut antara lain adalah hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk
berserikat dan berkumpul, dan hak untuk menikmati persyang bebas. Dalam hal ini contoh
implementasinya adalah, hak untuk menyampaikan pendapatnya, juga yang menyangkut suatu
permasalahan suatu permasalahan yang menyangkut dirinya dan masyarakat sekitarnya.
Sedangkan hak berkumpul dan berserikat ditandai dengan kebebasan untuk menentukan
lembaga atau oraganisasi mana yang ingin dibentuk atau dipilih dan Prinsip-prinsip universal
tentang penyelenggaraan pemilu yang bebas dan jurdil merupakan tantangan bagi setiap
penyelenggara pemilu. Pemilu bisa dilaksanakan dalam kondisi tidak ada kebebasan dan tidak
jujur serta tidak adil. Tapi legitimasi proses dan hasilnya menjadi persoalan yang berpotensi
menimbulkan kekacauan politik yang tidak mudah diselesaikan. Pemilu sebagai mekanisme
demokratis untuk perebutan kekuasaan bisa dengan mudah tergelincir menjadi konflik,
kerusuhan dan bahkan disintegrasi sosial yang melanda suatu bangsa, manakala
penyelenggaraan pemilu dianggap tidak memenuhi asas-asas universal pemilu yang bebas dan
jurdil (free and fair election). Setiap penyelenggara pemilu sudah seharusnya memahami nilai-
nilai universal yang diterima sebagai standar internasional mengenai pemilu yang bebas dan
jurdil.
Kata kunci:
Pengertian pemilu, Prinsip-prinsip Pemilu, pemilu bebas dan adil
Tujuan : Memberikan pemahaman kepada peserta mengenai pengertian pemilu, sejarah pemilu
dan prinsip-prinsip pemilu bebas dan adil.
25
Tujuan Khusus :
Pada akhir sesi peserta diharapkan:
Memahami pengertian Pemilu
Memahami Sejarah Pemilu di Indonesia
Memahami pengertian pemilu bebas dan adil
Memahami prinsip-prinsip pemilihan umum bebas dan adil dalam sistem perundang-
undangan tentang pemilihan umum
Dapat menerapkan prinsip-prinsip pemilu bebas dan adil dalam penyelenggaraan
pemilihan umum.
Pokok Bahasan : Pengertian Pemilu, Prinsip-prinsip pemilu bebas dan adil
Metode Pembelajaran :
1. Fasilitator menanyakan kepada peserta pengertian pemilu, sejarah pemilu, pemilu bebas
dan adil (free and fair election ) yang mereka pahami.
2. Fasilitator mencatatnya pada kertas flipchart/plano. Jawaban yang sama atau memiliki ide
yang sama dikelompokkan dalam satu bagian.
3. Bila tidak ada lagi jawaban baru atau ide baru fasilitator menutup dengan mengajak peserta
melihat kembali daftar jawaban.
Catatan :
Fasilitator diharapkan menggali pemahaman peserta terhadap pengertian pemilu,
sejarah pemilu bebas dan adil.
Jawaban yang dimunculkan peserta akan dibandingkan dengan Pengertian pemilu dan
Prinsip-prinsip pemilu bebas dan jurdil menurut DECLARATION ON CRITERIA
FOR FREE AND FAIR ELECTIONS the Inter-Parliamentary Council at its 154th
Session (Paris, 26 March 1994)
Alokasi waktu 5 menit
26
1. Fasilitator menayangkan power point presentation yang berisi tentang poin-poin penting
pengertian pemilu, sejarah pemilu dan prinsip penyelenggaraan pemilu yang bebas dan
adil.
2. Pada setiap pembahasan pengertian pemilu, sejarah pemilu, dan prinsip penyelenggaraan
pemilu bebas dan jurdil fasilitator merujuk pada pernyataan dari peserta yang sesuai yang
sudah dicatat di kertas plano.
3. Peserta mengidentifikasi jika ada pembahasan mengenai pengertian pemilu, sejarah
pemilu dan prinsip-prinsip yang belum dimunculkan dalam diskusi awal lalu
menambahkannya menjadi poin tambahan dalam kertas plano, sebagai hasil belajar
bersama.
4. Fasilitator bertanya ke peserta: berdasarkan pengalaman kepemiluan mereka sebelumnya
prinsip-prinsip apa paling sering dilanggar dan kenapa sering dilanggar, dan siapa paling
sering melanggar
5. Menutup presentasi fasilitator mengajukan pertanyaan langkah-langkah apa yang akan
mereka lakukan untuk memastikan prinsip-prinsip pemilu bebas dan adil tidak dilanggar
oleh penyelenggara, peserta pemilu maupun masyarakat pemilih.
6. Alokasi Waktu Maksimal 20 Menit
Catatan :
Sebagai bahan bacaan tambahan, fasilitator membagikan kepada peserta fotokopi
deklarasi universal hak asasi manusia, dan kovenan internasional hak-hak sipil dan
politik yang menjadi sumber penting pengaturan prinsip-prinsip pemilu bebas dan adil.
1. Fasilitator membagi peserta ke dalam 5 kelompok. Pembagian kelompok berdasarkan
hitungan angka 1, 2, 3, 4 dan 5 . Secara bergiliran peserta menyebut angka tersebut. Peserta
dengan angka yang sama berkelompok menjadi satu.
2. Fasilitator membagikan naskah UUD 1945, UU No. 7 tahun 2017, atau Buku Pedoman
Rumah pintar pemilu
3. Masing-masing kelompok membahas materi sebagai berikut : Kelompok 1: membahas
UUD 1945, kelompok 2: UU Nomor 7 tahun 2017 Bagian pengertian pemilu dan
27
Penyelenggara Pemilu; Kelompok 3 : UU Nomor 7 Tahun 2017 Bagian Pemilihan
Presiden; Kelompok 4 : UU Nomor 7 tahun 2017 bagian pemilihan legislatif, kelompok 5
: Buku pedoman pemilu tentang sejarah pemilu
4. Tugas dalam diskusi kelompok adalah:
Mengidentifikasi pasal-pasal yang mengatur dan menjamin penyelenggaraan
pemilihan umum yang bebas dan adil.
Menjelaskan pengertian pemilu dalam bernegara
Mendiskusikan bagaimana praktik Pemilu yang terjadi selama ini terutama
menyangkut prinsip-prinsip pemilu bebas dan adil.
Mendiskusikan sejarah pemilu di Negara Indonesia
Mengidentifikasi apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kondisi selama ini
agar prinsip-prinsip pemilu bebas dan adil dapat dilaksanakan pada Pemilu
mendatang?
5. Peserta diberikan waktu berdiskusi selama 15 menit. Kemudian, setiap kelompok
presentasi selama 5 menit.
6. Menutup sesi ini, fasilitator perlu menarik kesimpulan tentang pemahaman pengertian
pemilu dan sejarah pemilu serta apakah prinsip-prinsip pemilu bebas dan adil sudah
terakomodasi dalam kerangka hukum pemilu 2014 dan langkah-langkah strategis apa yang
perlu dilakukan peserta untuk memastikan prinsip-prinsip tersebut dihormati dan dijaga.
7. Alokasi waktu maksimal 40 menit.
Materi dan Alat Pembelajaran yang dibutuhkan:
1. Spidol warna-warni.
2. Kertas plano (20 lembar)
3. Fotokopi, UUD 1945, UU Nomor 7 tahun 2017, buku pedoman Rumah Pintar Pemilu
4. Power Point Presentation tentang Prinsip-prinsip Pemilu Bebas dan Adil
5. Deklarasi Universal HAM , dan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik sebagai bahan
bacaan tambahan sebanyak peserta
28
MATERI BAB II
PEMILIHAN UMUM DAN PRINSIP PEMILU
A. Pengertian Pemilu
Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dimana rakyat dapat memilih
pemimpin politik secara langsung. Yang dimaksud dengan pemimpin politik disini adalah
wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat (parlemen) baik ditingkat pusat
maupun daerah dan pemimpin lembaga eksekutif atau kepala pemerintahan seperti presiden,
gubernur, atau bupati/walikota.
Menurut Undang-Undang No. 7 tahun 2017 Pemilihan Umum atau Pemilu adalah
sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur
dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam konsep UU No 7 tahun 2017
mengamanatkan pemilihan umum 2019 secara serentak memili5 5 surat suara meliputi
Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinisi, DPRD Kab/kota.
B. Tujuan pemilu (UU NO 7 tahun 2017)
1. memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis;
2. mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas;
3. menjamin konsistensi pengaturan sistem pemilu;
4. memberikan kepastian hukum dan mencegah duplikasi dalam pengahrran pemilu; dan
5. meurujudkan pemilu yang efektif dan efisien
C. Asas dan prinsip (UU NO 7 Tahun 2017)
Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Prinsip pemilu adalah mandiri, jujur, adil,berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional,
profesional, akuntabel, efektif dan efisien
D. Manfaat Pemilu
Penyelenggaraan Pemilu sangatlah penting bagi suatu negara, hal ini disebabkan
karena:
29
1. Pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat.
2. Pemilu merupakan sarana untuk melakukan penggantian pemimpin secara
kontitusional.
3. Pemilu merupakan sarana bagi pemimpin politik untuk memperoleh legitimasi.
4. Pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam proses politik.
E. Sistem Pemilu
Dalam ilmu politik dikenal beberapa sistem pemilu, akan tetapi umumnya berkisar pada
prinsip pokok, antara lain:
1. Sistem Distrik
Sistem distrik biasa disebut juga single-member constituency (tetapi ada juga
yang memakai istilah single-member-district untuk menyebut sistem ini). Pada
intinya, sistem distrik merupakan sistem pemilihan dimana suatu negara dibagi
menjadi beberapa daerah pemilihan (distrik) yang jumlahnya sama dengan jumlah
wakil rakyat yang akan dipilih dalam sebuah lembaga perwakilan. Dengan
demikian, satu distrik akan menghasilkan satu wakil rakyat. Kandidat yang
memperoleh suara terbanyak di suatu distrik akan menjadi wakil rakyat terpilih,
sedangkan kandidat yang memperoleh suara lebih sedikit, suaranya tidak akan
diperhitungkan atau dianggap hilang sekecil apapun selisih perolehan suara yang
ada sehingga dikenal istilah the winner-takes-all. Kelebihan sistem distrik antara
lain:
a. Karena kecil atau tidak terlalu besarnya distrik maka biasanya ada
hubungan atau kedekatan antara kandidat dengan masyarakat di distrik
tersebut. Kandidat mengenal masyarakat serta kepentingan yang mereka
butuhkan.
b. Sistem ini akan mendorong partai politik untuk melakukan penyeleksian
yang lebih ketat dan kompetitif terhadap calon yang akan diajukan untuk
menjadi kandidat dalam pemilihan.
c. Karena perolehan suara partai-partai kecil tidak diperhitungkan, maka
secara tidak langsung akan terjadi penyederhanaan partai politik. Sistem
dwipartai akan lebih berkembang dan pemerintahan dapat berjalan dengan
lebih stabil.
Kekurangan Sistem Distrik Antara Lain:
30
a. Sistem ini kurang representatif karena perolehan suara kandidat yang kalah
tidak diperhitungkan sama sekali atau suara tersebut dianggap hilang.
b. Partai-partai kecil atau golongan/kelompok minoritas/termarjinalkan yang
memperoleh suara yang lebih sedikit tidak akan terwakili (tidak memiliki
wakil) karena suara mereka tidak diperhitungkan. Dalam hal ini, kaum
perempuan memiliki peluang yang kecil untuk bersaing mengingat
terbatasnya kursi yang diperebutkan.
c. Wakil rakyat terpilih akan cenderung lebih memperhatikan kepentingan
rakyat di distriknya dibandingkan dengan distrik-distrik yang lain.
2. Sistem Proporsional
Sistem proporsional lahir untuk menjawab kelemahan dari sistem distrik.
Sistem proporsional merupakan sistem pemilihan yang memperhatikan proporsi
atau perimbangan antara jumlah penduduk dengan jumlah kursi di suatu daerah
pemilihan. Dengan sistem ini, maka dalam lembaga perwakilan, daerah yang
memiliki penduduk lebih besar akan memperoleh kursi yang lebih banyak di suatu
daerah pemilihan, begitupun sebaliknya. Sistem proporsional juga mengatur
tentang proporsi antara jumlah suara yang diperoleh suatu partai politik untuk
kemudian dikonversikan menjadi kursi yang diperoleh partai politik tersebut.
Karena adanya perimbangan antara jumlah suara dengan kursi, maka di Indonesia
dikenal Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). BPP merefleksikan jumlah suara yang
menjadi batas diperolehnya kursi di suatu daerah pemilihan. Partai politik
dimungkinkan mencalonkan lebih dari satu kandidat karena kursi yang
diperebutkan di daerah pemilihan lebih dari satu. Kelebihan sistem proporsional
antara lain:
a. Menyelamatkan suara masyarakat pemilih dimana suara kandidat yang
lebih kecil dari kandidat yang lain tetap akan diperhitungkan sehingga
sedikit suara yang hilang.
b. Memungkinkan partai-partai yang memperoleh suara atau dukungan yang
lebih sedikit tetap memiliki wakil di parlemen karena suara mereka tidak
otomatis hilang atau tetap diperhitungkan.
c. Memungkinkan terpilihnya perempuan karena kursi yang diperebutkan
dalam satu daerah pemilihan lebih dari satu.
Kekurangan sistem proporsional antara lain:
31
a. Sistem ini cenderung menyuburkan sistem multipartai yang dapat
mempersulit terwujudnya pemerintahan yang stabil.
b. Biasanya antara pemilih dengan kandidat tidak ada kedekatan secara
emosional. Pemilih tidak atau kurang mengenal kandidat, dan kandidat juga
tidak mengenal karakteristik daerah pemilihannya, masyarakat pemilih dan
aspirasi serta kepentingan mereka. Kandidat lebih memiliki keterikatan
dengan partai politik sebagai saluran yang mengusulkan mereka. Pada
akhirnya nanti, kandidat yang terpilih mungkin tidak akan memperjuangkan
dengan gigih kepentingan pemilih karena tidak adanya kedekatan
emosional tadi.
3. Sistem Campuran (Distrik dan Proporsional).
a. Menggabungkan 2 (dua) sistem sekaligus (distrik dan proporsional)
b. Setengah dari anggota Parlemen dipilih melalui sistem distrik dan
setengahnya lagi dipilih melalui proporsional.
c. Ada keterwakilan sekaligus ada kesatuan geografis.
F. Prinsip-prinsip Pemilu Bebas dan Adil
Sumber-sumber utama dari standar internasional yang diterapkan dalam
penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas dan adil adalah ;
Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia tahun 1948;
Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik tahun 1960;
Konvensi Eropa tahun 1950 (bersama protokolnya) untuk Perlindungan Hak
Asasi Manusia dan Kebebasan Asasi;
Dokumen Pertemuan Copenhagen tahun 1990 dari Konferensi Dimensi
Manusia pada Konferensi untuk Keamanan dan Kerja sama Eropa (CSCE);
Deklarasi Amerika tahun 1948 tentang Hak dan kewajiban Manusia;
Konvensi Amerika tahun 1969 tentang Hak Asasi Manusia dan
Piagam Afrika tahun 1981 tentang Hak Manusia dan Masyarakat.
Sementara itu prinsip-prinsip pemilu yang bebas dan adil dapat ditemukan
dalam dokumen Declaration On Criteria For Free and Fair Elections, yang merupakan
hasil pertemuan The Inter-Parliamentary Council pada pertemuan ke 154 di Paris
tanggal 26 Maret 1994.
32
Prinsip-prinsip pemilu yang bebas dan adil dimaksudkan sebagai standar
internasional yang dijadikan pedoman semua negara anggota Majelis Parlemen
Internasional dalam menyelenggarakan pemilihan umum, karena itu negara anggota
wajib mengadopsi dalam ketentuan perundang-undangan nasional mereka, berikut
adalah inti dari deklarasi tersebut;
1. Pemilihan yang Bebas dan Adil
Berdasarkan deklarasi tersebut pengertian pemilu yang bebas dan adil
setidaknya harus memenuhi syarat bahwa pemilu tersebut mencerminkan
kehendak rakyat yang genuine, yang asli dan bonafid, yang bebas dari
intimidasi, dan diselenggarakan secara adil. Keteraturan pelaksanaan pemilu
juga menjadi prinsip yang penting, sama pentingnya dengan hak politik
universal yaitu hak untuk memilih dan dipilih, serta kerahasiaan pilihan untuk
menjamin pemilih bebas dari intimidasi politik karena pilihan-pilihan
politiknya.
Pemilu yang mencerminkan kehendak rakyat yang genuine, yang asli dan
bonafid adalah pemilu yang mensyaratkan adanya proses pemilihan umum yang
menjamin tidak adanya distorsi terhadap kehendak rakyat. Distorsi terhadap
kehendak rakyat dapat terjadi karena adanya intimidasi, pemaksaan kepada
rakyat berupa ancaman sehingga rakyat tidak lagi punya kehendak bebas untuk
menentukan pilihannya dalam pemilihan umum. Tapi distorsi terhadap
kehendak rakyat ini juga dapat terjadi melalui kecurangan dalam
penyelenggaraan pemilihan umum, sehingga pilihan rakyat dapat dialihkan
melalui berbagai macam cara kepada pihak-pihak tertentu, sehingga
menimbulkan ketidakpuasan pada rakyat. Memindahkan suara dari satu partai
kepada partai lain atau dari satu kandidat kepada kandidat yang lain merupakan
bentuk pelanggaran serius terhadap prinsip kehendak rakyat yang asli atau yang
genuine ini. Negara dan Penyelenggara Pemilu serta Peserta Pemilu harus
memastikan distorsi baik berupa intimidasi maupun kecurangan dapat dicegah
dan diberi sanksi yang tegas. Dalam beberapa hal distorsi terhadap kehendak
rakyat yang genuine ini dapat terjadi karena bujuk rayu termasuk dengan
menggunakan suap politik (money politic).
2. Hak Memilih
Hak warga negara untuk memberikan suara dan berkampanye demi
kedudukan publik adalah hal umum bagi negara-negara demokratis. Umumnya
33
hak- hak ini tunduk pada syarat-syarat tertentu seperti kewarganegaraan, usia,
dan kediaman. Pengakuan konstitusional terhadap hak untuk memilih dan
dipilih ini merupakan hak asasi yang penting dalam pemilihan umum.
Dimasa yang lalu pembatasan terhadap hak memilih dan dipilih ini pernah
dilakukan atas dasar pertimbangan politik. Warga negara yang pernah dihukum
secara politik (dianggap terlibat G 30 S/PKI) kehilangan hak memberikan suara.
Begitu juga terhadap para pemimpin oposisi yang dihukum oleh pengadilan
bermuatan politik, berakibat hilangnya hak-hak politik mereka. Pembatasan
politik seperti ini menjadi perlu dipertanyakan, karena menghilangkan hak suara
secara universal.
Para penyelenggara pemilu dituntut memahami pentingnya hak memilih
dan dipilih ini, dan dituntut menghargai hasil perjuangan penting era reformasi
yang menghilangkan hambatan-hambatan politik untuk berpartisipasi dalam
pemilihan umum. Sebagai hasil perjuangan penting dalam reformasi politik, hak
politik warga negara saat ini praktis tidak ada hambatan yang berarti. Undang-
undang hanya mengatur bahwa sepanjang warga negara sudah mencapai usia 17
tahun atau sudah pernah kawin, dan terdaftar dalam daftar pemilih, seorang
warga negara dapat menggunakan haknya untuk memilih. Bahkan Mahkamah
Konstitusi meringankan syarat tersebut, dengan cukup memiliki kartu tanda
penduduk atau identitas lainnya, seorang warga negara dapat menggunakan hak
pilihnya jika yang bersangkutan tidak terdaftar dalam daftar pemilih.
3. Badan Penyelenggara Pemilu yang Independen dan tidak berpihak
Negara demokrasi baru mempunyai kecenderungan membentuk badan
penyelenggara pemilu independen. Hal ini antara lain disebabkan oleh lemahnya
tradisi ketidakberpihakan yang lazim ditemukan di negara demokrasi baru.
Salah satu sebab yang patut diperhitungkan adalah kuatnya kesan
ketidaknetralan badan penyelenggara dimasa lalu yang didominasi aparat
pemerintah. Karena itu, lembaga penyelenggara independen merupakan cikal
bakal penting untuk membangun tradisi ketidakberpihakan dalam pemilihan
umum.
Pemilu yang demokratis mengharuskan penyelenggara pemilu tidak
berpihak dan independen dari pemerintah atau pengaruh lainnya. Hal ini penting
karena penyelenggara pemilu membuat dan melaksanakan keputusan yang
dapat mempengaruhi hasil pemilihan umum.
34
Tugas dan fungsi badan penyelenggara pemilu paling tidak meliputi :
Memastikan bahwa para pejabat pemilu dan staf yang bertanggung jawab
atas penyelenggaraan pemilu dilatih dengan baik dan bertindak adil dan
independen dari setiap kepentingan politik;
Memastikan bahwa prosedur pemberian suara yang jelas telah dibuat dan
disosialisasikan kepada masyarakat pemilih;
Memastikan bahwa para pemilih diberitahu dan dididik tentang proses
pemilihan, partai politik yang bertarung, dan calon-calonnya;
Memastikan pendaftaran para pemilih dan memperbarui daftar pemilih;
Memastikan kerahasiaan pemilih;
Memastikan integritas kertas suara melalui langkah-langkah yang sesuai
untuk mencegah pemberian suara secara tidak sah dan curang;
Memastikan integritas proses penghitungan yang transparan, membuat
tabulasi, dan menjumlahkan suara.
Mengesahkan hasil akhir pemilu;
Menetapkan batasan-batasan pemilu;
Memantau dan mengawasi pembiayaan dan pengeluaran kampanye pemilu;
Meneliti, memberikan saran kepada pemerintah dan/atau DPR, serta badan
penghubung internasional.
Unsur-unsur penting dari pemilu yang bebas dan adil pada badan
penyelenggara pemilu mencakup yaitu independen dan ketidakberpihakan.
Maksudnya adalah badan penyelenggara pemilu tidak boleh tunduk pada arahan
pihak mana pun, pihak berwenang ataupun partai politik.
4. KAMPANYE PEMILU YANG BEBAS DAN DEMOKRATIS
Kampanye adalah cara parpol dan kandidat mendekati pemilih dengan
menawarkan program dan pemecahan masalah yang mereka tawarkan secara
bebas kepada para pemilih. Karena itu kampanye yang bebas dan demokratis
adalah prasyarat penting bagi pemilu yang bebas dan adil.
Dalam kampanye yang bebas dan demokratis harus ada jaminan sebagai
berikut:
Jaminan atas kebebasan berbicara dan kebebasan mengeluarkan
pendapat, dan batasan apa pun yang terkait hak ini harus masuk akal dan
ditetapkan dalam Undang-undang;
35
Adanya akses yang adil terhadap media, terutama media elektronik,
yang diberikan kepada semua peserta pemilu dan kandidat;
Adanya akses yang adil terhadap sumber daya untuk melakukan
kampanye pemilu yang dipercaya, termasuk dana negara dan swasta jika
diizinkan dalam Undang-undang;
Tidak ada partai dan kandidat (terutama dari partai yang sedang
berkuasa) yang diutamakan dalam hal keuangan atau sebaliknya,
terutama melalui pemanfaatan terhadap sumber daya negara dibanding
partai-partai yang lain, sehingga semua pihak terkait dengan pemilu
mempunyai peluang keberhasilan yang sama.
Jaminan tidak digunakannya ancaman kekerasan terhadap partai atau
kandidat, atau hasutan untuk menggunakan kekerasan untuk
menghambat kandidat lain dalam melakukan kampanye;
Adanya jeda waktu satu atau dua hari sebelum pemungutan suara untuk
memberikan kesempatan para pemilih mempertimbangkan opsi dan
melaksanakan hak memberikan suara dengan bebas tanpa tekanan yang
tidak wajar.
Pengaturan kampanye dalam pemilu harus bisa menjamin tidak terjadinya
tindak kekerasan dan ancaman penggunaan kekerasan yang dapat mencederai
kebebasan pemilih.
Kampanye yang bebas dan demokratis juga harus menjamin tidak adanya
kegiatan yang mengganggu, merusak, atau menghalang-halangi upaya
kampanye dari setiap partai lainnya. Bentuk-bentuk kegiatan yang dapat
dikategorikan mengganggu, merusak dan menghalangi upaya kampanye partai
lain adalah sebagai berikut :
Menghambat pendistribusian pamflet, brosur, maupun poster dari partai
dan kandidat lainnya;
Merusak atau menghancurkan poster dari partai dan kandidat lainnya;
Merusak harta pribadi atau milik pemerintah atau gedung-gedung
publik dengan menulis slogan, menempelkan poster dll.;
Menghambat partai lain mana pun untuk melakukan rapat umum,
pertemuan, baris-berbaris, atau demonstrasi;
36
Berupaya mencegah setiap orang untuk menghadiri rapat umum partai
politik dari partai lainnya;
Memperkenankan para pendukungnya untuk melakukan sesuatu yang
dilarang oleh kode etik
5. Surat Suara Yang Rahasia
Standar pemilu demokratis mengharuskan adanya jaminan tempat
pemungutan suara dapat diakses, terdapat pencatatan yang akurat terhadap
kertas suara, dan yang paling penting jaminan kerahasiaan surat suara. Pemilu
dapat menggunakan surat suara yang rahasia atau prosedur lain yang setara,
bebas, dan rahasia. Prinsip kebebasan dan dan kerahasiaan pilihan harus
dikedepankan, meskipun prosedur pemberian suara dapat saja diganti dengan
menggunakan e-voting.
Kerahasiaan surat suara adalah metode yang efektif untuk melawan
pembelian suara (vote buying), intimidasi terhadap pemilih, dan pengaruh-
pengaruh lain yang tidak seharusnya. Anggota panitia pemungutan suara dan
pihak lain mana pun dilarang melihat surat suara yang sudah ditandai oleh
pemilih, kecuali pada saat penghitungan suara. Pengecualian dapat diberikan
kepada pihak yang diberikan wewenang membantu pemilih yang tunanetra, atau
pemilih yang mempunyai kelemahan fisik atau buta huruf. Namun petugas yang
berwenang tidak boleh menguasai surat suara yang sudah ditandai oleh pemilih
sampai dimasukkan ke dalam kotak suara.
6. Kehadiran Pemantau Pemilu
Pemantau pemilihan umum baik nasional maupun internasional sangat
membantu meningkatkan kredibilitas proses dan hasil pemilihan umum. Proses
pemilu yang transparan merupakan bagian dari prinsip penyelenggaraan pemilu
yang bebas dan adil. Pemantauan juga berguna untuk menekan kecurangan di
hari pemungutan suara.
Saat ini ada kecenderungan meningkat jumlah pemantau pemilu dari
organisasi-organisasi civil society. Keterlibatan pemantau merupakan bagian
penting dari partisipasi masyarakat sipil dalam pemilihan umum, karena itu
peraturan perundang-undangan harus mengatur hak dan kewajiban mereka
sebagai pemantau pemilu.
37
Penyelenggara pemilu harus mengatur hal-hal yang harus dipenuhi untuk
mendapatkan status akreditasi sebagai pemantau dan keadaan-keadaan di mana
status pemantau dapat dicabut. Penyelenggara juga harus menjamin hak-hak
pemantau seperti memeriksa dokumen, menghadiri rapat, memantau kegiatan-
kegiatan pemilu pada semua tingkatan dan setiap saat, serta mendapatkan
salinan resmi hasil penghitungan, tabulasi dan dokumen-dokumen pada semua
tingkatan. Di samping itu penyelenggara juga harus menetapkan apa yang tidak
boleh dilakukan pemantau.
G. Sejarah Pemilihan Umum
1. Pemilu 1955 (Masa Parlementer).
a. Sistem Pemilu
Pemilu 1955 adalah pemilu pertama yang diselenggarakan dalam sejarah
kemerdekaan bangsa Indonesia yang baru berusia 10 (sepuluh) tahun. Pemilu 1955
dilaksanakan pada masa Demokrasi Parlementer pada kabinet Burhanuddin
Harahap. Pemungutan suara dilakukan 2 (dua) kali, yaitu untuk memilih anggota
DPR pada 29 September 1955 dan untuk memilih anggota Dewan Konstituante pada
15 Desember 1955.
b. Dasar Hukum Penyelenggaraan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang pemilihan Anggota Konstituante
dan Anggota DPR sebagaimana diubah dengan UU Nomor 18 Tahun 1953.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1954 tentang Menyelenggarakan
Undang-Undang Pemilu.
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1954 tentang Cara Pencalonan
Keanggotaan DPR/Konstituante oleh Anggota Angkatan Perang dan
Pernyataan Non Aktif/Pemberhentian berdasarkan penerimaan keanggotaan
pencalonan keanggotaan tersebut, maupun larangan mengadakan Kampanye
Pemilu terhadap Anggota Angkatan Perang.
c. Badan Penyelenggara Pemilu
Untuk menyelenggarakan Pemilu dibentuk badan penyelenggara pemilihan,
dengan berpedoman pada Surat Edaran Menteri Kehakiman Nomor JB.2/9/4
Und.Tanggal 23 April 1953 dan 5/11/37/KDN tanggal 30 Juli 1953, yaitu:
Panitia Pemilihan Indonesia (PPI): mempersiapkan dan menyelenggarakan
pemilihan anggota Konstituante dan anggota DPR. Keanggotaan PPI
38
sekurang-kurangnya 5 (lima) orang dan sebanyak-banyaknya 9 (sembilan)
orang, dengan masa kerja 4 (empat) tahun.
Panitia Pemilihan (PP) : dibentuk di setiap daerah pemilihan untuk membantu
persiapan dan menyelenggarakan pemilihan anggota konstituante dan anggota
DPR. Susunan keanggotaan sekurang-kurangnya 5 (lima) orang anggota dan
sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang anggota, dengan masa kerja 4 (empat)
tahun.
Panitia Pemilihan Kabupaten (PPK) dibentuk pada tiap kabupaten oleh
Menteri Dalam Negeri yang bertugas membantu panitia pemilihan
mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan anggota Konstituante dan
anggota DPR.
Panitia Pemungutan Suara (PPS) dibentuk di setiap kecamatan oleh Menteri
Dalam Negeri dengan tugas mensahkan daftar pemilih, membantu persiapan
pemilihan anggota Konstituante dan anggota DPR serta menyelenggarakan
pemungutan suara. Keanggotaan PPS sekurang-kurangnya 5 (lima) orang
anggota dan Camat karena jabatannya menjadi ketua PPS merangkap anggota.
Wakil ketua dan anggota diangkat dan diberhentikan oleh PPK atas nama
Menteri Dalam Negeri.
d. Peserta Pemilu 1955
Pemilu anggota DPR diikuti 118 peserta yang terdiri dari 36 partai politik, 34
organisasi kemasyarakatan, dan 48 perorangan, sedangkan untuk Pemilu anggota
Konstituante diikuti 91 peserta yang terdiri dari 39 partai politik, 23 organisasi
kemasyarakatan, dan 29 perorangan. Partai politik tersebut antara lain :
Partai Komunis Indonesia (PKI), berdiri 7 Nopember 1945, diketuai oleh
Moh.Yusuf Sarjono
Partai Islam Masjumi, berdiri 7 Nopember 1945, diketuai oleh dr. Sukirman
Wirjosardjono
Partai Buruh Indonesia, berdiri 8 Nopember 1945, diketuai oleh Nyono
Partai Rakyat Djelata, berdiri 8 Nopember 1945, diketuai oleh Sutan Dewanis
Partai Kristen Indonesia, berdiri 10 Nopember 1945 diketuai oleh DS.
Probowinoto
Partai Sosialis Indonesia, berdiri 10 Nopember 1945 diketuai oleh Mr. Amir
Syarifudin.
39
Partai Rakyat Sosialis, berdiri 20 Nopember 1945 diketuai oleh Sutan Syahrir
Partai Katholik Republik Indonesia (PKRI), berdiri 8 Desember 1945, diketuai
oleh J. Kasimo
Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) diketuai oleh JB. Assa
Gabungan Partai Sosialis Indonesia dan Partai Rakyat Sosialis, menjadi Partai
Sosialis pada 17 Desember 1945, diketuai oleh Sutan Syahrir, Amir
Syarifudin dan Oei Hwee Goat
Partai Republik Indonesia, Gerakan Republik Indonesia dan Serikat Rakyat
Indonesia menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI) 29 Januari 1946, diketuai
oleh Sidik Joyosuharto.
2. Pemilu 1971-1997 (Masa Orde Baru)
i. Pemilu 1971
a. Sistem Pemilu
Pemilu 1971 merupakan pemilu kedua yang diselenggarakan bangsa Indonesia.
Pemilu 1971 dilaksanakan pada pemerintahan Orde Baru, tepatnya 5 tahun setelah
pemerintahan ini berkuasa. Pemilu yang dilaksanakan pada 5 Juli 1971 ini
diselenggarakan untuk memilih Anggota DPR.
Sistem Pemilu 1971 menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional)
dengan sistem stelsel daftar, artinya besarnya kekuatan perwakilan organisasi dalam
DPR dan DPRD, berimbang dengan besarnya dukungan pemilih karena pemilih
memberikan suaranya kepada Organisasi Peserta Pemilu.
b. Asas Pemilu
Pemilu 1971 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia
(LUBER).
Langsung, artinya bahwa pemilih langsung memberikan suaranya menurut
hati nuraninya, tanpa perantara, dan tanpa tingkatan.
Umum, artinya semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan
minimal dalam usia, mempunyai hak memilih dan dipilih.
Bebas, artinya bahwa setiap pemilih bebas menentukan pilihannya
menurut hati nuraninya, tanpa ada pengaruh, tekanan, paksaan dari
siapapun dan dengan cara apapun.
40
Rahasia, artinya bahwa pemilih dalam memberikan suara dijamin tidak
akan diketahui oleh siapapun dan dengan cara apapun mengenai siapa
yang dipilihnya.
c. Dasar Hukum
TAP MPRS No. XI/MPRS/1966
TAP MPRS No. XLII/MPRS/1966
UU Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan
Permusyawaratan / Perwakilan Rakyat 4) UU Nomor 16 Tahun 1969 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
UU Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan
DPRD.
d. Badan Penyelenggara Pemilu
Lembaga Pemilihan Umum (LPU) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor
3 Tahun 1970. LPU diketuai oleh Menteri Dalam Negeri yang keanggotaannya
terdiri atas Dewan Pimpinan, Dewan Pertimbangan, Sekretariat Umum LPU dan
Badan Perbekalan dan Perhubungan.
Struktur organisasi penyelenggara di pusat, disebut Panitia Pemilihan Indonesia
(PPI), di provinsi disebut Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I (PPD I), di
kabupaten/kotamadya disebut Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II, di kecamatan
disebut Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan di desa/kelurahan disebut Panitia
Pendaftaran Pemilih (Pantarlih). Untuk melaksanakan pemungutan dan
penghitungan suara dibentuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Bagi warga negara RI di luar negeri dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN),
Panitia Pemungutan Suara Luar Negeri (PPSLN), dan Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN) yang bersifat sementara (adhoc).
e. Peserta Pemilu 1971
Partai Nahdlatul Ulama
Partai Muslim Indonesia
Partai Serikat Islam Indonesia
Persatuan Tarbiyah Islamiiah
Partai Nasionalis Indonesia
Partai Kristen Indonesia
41
Partai Katholik
Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
Partai Murba
Sekber Golongan Karya
ii. Pemilu 1977
a. Sistem Pemilu
Pemilu kedua pada pemerintahan orde baru ini diselenggarakan pada tanggal 2
Mei 1977. Sama halnya dengan Pemilu 1971, pada Pemilu 1977 juga menggunakan
sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.
b. Asas Pemilu
Pemilu 1977 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia.
c. Dasar Hukum
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
Bidang Politik, Aparatur Pemerintah, Hukum dan Hubungan Luar Negeri.
Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1973 tentang Pemilihan Umum.
Undang-undang Nomor 3/1975 Tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
Undang-undang Nomor 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah.
Undang-undang Nomor 8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
Undang-undang Nomor 5/1979 tentang Pemerintahan Desa.
d. Badan Penyelenggara Pemilu
Pemilu 1977 diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Pemilu yang memiliki
struktur yang sama dengan penyelenggaraan pada tahun 1971, yaitu PPI ditingkat
pusat, PPD I di provinsi, PPD II di kabupaten/kotamadya, PPS di kecamatan,
Pantarlih di desa/kelurahan, dan KPPS. Bagi warga negara Indonesia di luar negeri
dibentuk PPLN, PPSLN, dan KPPSLN yang bersifat sementara (adhoc).
e. Peserta Pemilu
Pada Pemilu 1977, ada fusi atau peleburan partai politik peserta Pemilu 1971
sehingga Pemilu 1977 diikuti 3 (tiga) peserta Pemilu, yaitu : 1) Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi/penggabungan dari: NU, Parmusi, Perti,
dan PSII. 2) Golongan Karya (GOLKAR). 3) Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
merupakan fusi/penggabungan dari: PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai IPKI, dan
Partai Murba.
42
iii. Pemilu 1982
a. Sistem Pemilu
Pemilu 1982 merupakan pemilu ketiga yang diselenggarakan pada
pemerintahan Orde Baru. Pemilu ini diselenggarakan pada tanggal 4 Mei 1982.
Sistem Pemilu 1982 tidak berbeda dengan sistem yang digunakan dalam Pemilu
1971 dan Pemilu 1977, yaitu masih menggunakan sistem perwakilan berimbang
(proporsional).
b. Asas Pemilu
Pemilu 1982 dilaksanakan dengan asas Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia.
c. Dasar Hukum
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan
Negara dan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1978 Tentang Pemilu.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1980 tentang Pemilihan Umum.
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1980 sebagai pengganti Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 1976.
d. Badan Penyelenggara Pemilu
Struktur organisasi penyelenggara Pemilu1982 sama dengan struktur
organisasi penyelenggara Pemilu 1977, yaitu terdiri dari PPI, PPD I, PPD II, PPS,
Pantarlih, dan KPPS serta PPLN, PPSLN, dan KPPSLN.
e. Peserta Pemilu 1982
Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Golongan Karya (Golkar).
Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
iv. Pemilu 1987
a. Sistem Pemilu
Pemilu keempat pada pemerintahan Orde Baru dilaksanakan pada tanggal 23
April 1987. Sistem Pemilu yang digunakan pada tahun 1987 masih sama dengan
sistem yang digunakan dalam Pemilu 1982, yaitu menganut sistem perwakilan
berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.
b. Asas Pemilu
Pemilu 1987 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia.
43
c. Dasar Hukum
Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 tentang GBHN dan Ketetapan MPR
Nomor III/ MPR/1983 tentang Pemilihan Umum.
UU Nomor 1 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 1969
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 4 Tahun 1975 dan UU Nomor 2
Tahun 1980.
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1980 sebagai pengganti Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 1976.
d. Badan Penyelenggara Pemilu.
Struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1987 sama dengan struktur organisasi
penyelenggara Pemilu 1982, yaitu terdiri dari PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih dan
KPPS, serta PPLN, PPSLN, dan KPPSLN.
e. Peserta Pemilu 1987
Partai Persatuan Pembangunan.
Golongan Karya
Partai Demokrasi Indonesia.
v. Pemilu1992
a. Sistem Pemilu
Pemilu kelima pada pemerintahan Orde Baru dilaksanakan pada tanggal 9 Juni
1992. Sistem Pemilu yang digunakan pada tahun 1992 masih sama dengan sistim
yang digunakan dalam Pemilu 1987, yaitu menganut sistem perwakilan berimbang
(proporsional) dengan stelsel daftar.
b. Asas Pemilu Pemilu 1992
Dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia.
c. Dasar Hukum.
Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1988 tentang GBHN dan Ketetapan MPR
Nomor III/ MPR/1988 tentang Pemilu.
UU Nomor 1 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 1969
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 4 Tahun 1975 dan UU Nomor 2
Tahun 1980.
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1985.
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1985
44
Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1990 d. Badan Penyelenggara Pemilu.
Struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1992 sama dengan struktur organisasi
penyelenggara Pemilu 1987, yaitu terdiri dari PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih
dan KPPS, serta PPLN, PPSLN, dan KPPSLN.
d. Peserta Pemilu 1992.
Partai Persatuan Pembangunan.
Golongan Karya.
Partai Demokrasi Indonesia.
vi. Pemilu 1997
a. Sistem Pemilu
Pemilu keenam pada pemerintahan Orde Baru ini dilaksanakan pada tanggal 29
Mei 1997. Sistem Pemilu yang digunakan pada tahun 1997 masih sama dengan
sistem yang digunakan dalam Pemilu 1992, yaitu menganut sistem perwakilan
berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.
b. Asas Pemilu
Pemilu 1997 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia.
c. Dasar Hukum.
Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1993 tentang GBHN dan Ketetapan MPR
Nomor III/ MPR/1993 tentang Pemilu.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pemilihan Umum.
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1985 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1975 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985
d. Badan Penyelenggara Pemilu
Struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1997 sama dengan struktur organisasi
penyelenggara Pemilu 1992, yaitu terdiri dari PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih
dan KPPS, serta PPLN, PPSLN, dan KPPSLN.
e. Peserta Pemilu 1997.
Partai Persatuan Pembangunan.
Golongan Karya.
45
Partai Demokrasi Indonesia.
3. Pemilu 1999-2009 (Masa Reformasi)
i. Pemilu 1999
a. Sistem Pemilu.
Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama pada masa reformasi. Pemungutan
suara dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999 secara serentak di seluruh wilayah
Indonesia. Sistem Pemilu 1999 sama dengan Pemilu 1997 yaitu sistem perwakilan
berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.
b. Asas Pemilu.
Pemilu 1999 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil.
c. Dasar Hukum.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR dan DPRD.
d. Badan Penyelenggara Pemilu.
Pemilu tahun 1999 dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang
dibentuk oleh Presiden. KPU beranggotakan 48 orang dari unsur partai politik dan
5 orang wakil pemerintah. Dalam menyelenggarakan Pemilu, KPU juga dibantu
oleh Sekretariat Umum KPU. Penyelenggara pemilu tingkat pusat dilaksanakan
oleh Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) yang jumlah dan unsur anggotanya sama
dengan KPU. Untuk penyelenggaraan di tingkat daerah dilaksanakan oleh PPD I,
PPD II, PPK, PPS, dan KPPS. Untuk penyelenggaraan di luar negeri dilaksanakan
oleh PPLN, PPSLN, dan KPPSLN yang keanggotaannya terdiri atas wakil-wakil
parpol peserta Pemilu ditambah beberapa orang wakil dari pemerintah dan tokoh-
tokoh masyarakat.
46
e. Peserta Pemilu 1999.
Peserta Pemilu tahun 1999 diikuti oleh 48 Partai Politik, yaitu :
ii. Pemilu 2004
Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama yang memungkinkan rakyat memilih
langsung wakil mereka untuk duduk di DPR, DPD, dan DPRD serta memilih langsung
presiden dan wakil presiden. Pemilu 2004 diselenggarakan secara serentak pada
tanggal 5 April 2004 untuk memilih 550 Anggota DPR, 128 Anggota DPD, serta
Anggota DPRD (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia
periode 2004-2009. Sedangkan untuk memilih presiden dan wakil presiden untuk
1. Partai Indonesia Baru.
2. Partai Kristen Nasional Indonesia.
3. Partai Nasional Indonesia.
4. Partai Aliansi Demokrat Indonesia.
5. Partai Kebangkitan Muslim Indonesia.
6. Partai Ummat Islam.
7. Partai Kebangkitan Umat.
8. Partai Masyumi Baru.
9. Partai Persatuan Pembangunan.
10. Partai Syarikat Islam Indonesia.
11. Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan.
12. Partai Abul Yatama.
13. Partai Kebangsaan Merdeka.
14. Partai Demokrasi Kasih Bangsa.
15. Partai Amanat Nasional.
16. Partai Rakyat Demokratik.
17. Partai Syarikat Islam Indonesia 1905.
18. Partai Katholik Demokrat
19. Partai Pilihan Rakyat.
20. Partai Rakyat Indoneia.
21. Partai Politik Islam Indonesia
Masyumi.
22. Partai Bulan Bintang.
23. Partai Solidaritas Pekerja.
24. Partai Keadilan.
25. Partai Nahdlatul Umat
26. PNI-Front Marhaenis.
27. Partai Ikatan Pend.Kmd. Indonesia
28. Partai Republik.
29. Partai Islam Demokrat.
30. PNI-Massa Marhaen.
31. Partai Musyawarah Rakyat Banyak.
32. Partai Demokrasi Indonesia.
33. Partai Golongan Karya.
34. Partai Persatuan.
35. Partai Kebangkitan Bangsa.
36. Partai Uni Demokrasi Indonesia.
37. Partai Buruh Nasional.
38. Partai Musyawarah Kekeluargaan
Gotong Royong (MKGR).
39. Partai Daulat Rakyat.
40. Partai Cinta Damai.
41. Partai Keadilan dan Persatuan.
42. Partai Solidaritas Pekerja Seluruh
Indonesia.
43. Partai Nasional Bangsa Indonesia.
44. Partai Bhinneka Tunggal Ika.
45. Partai Solidaritas Uni Nasional
Indonesia.
46. Partai Nasional Demokrat.
47. Partai Umat Muslimin Indonesia.
48. Partai Perkerja Indonesia.
47
masa bakti 2004-2009 diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004 (putaran I) dan 20
September 2004 (putaran II).
a. Sistem Pemilu.
Pemilu 2004 dilaksanakan dengan sistem yang berbeda dari pemilu-pemilu
sebelumnya. Pemilu untuk memilih Anggota DPR dan DPRD (termasuk
didalamnya DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota) dilaksanakan dengan
sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan sistem daftar calon terbuka.
Partai politik akan mendapatkan kursi sejumlah suara sah yang diperolehnya.
Perolehan kursi ini akan diberikan kepada calon yang memenuhi atau melebihi nilai
BPP. Apabila tidak ada, maka kursi akan diberikan kepada calon berdasarkan
nomor urut. Pemilu untuk memilih Anggota DPD dilaksanakan dengan sistem
distrik berwakil banyak.
b. Asas Pemilu.
Pemilu 2004 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil.
c. Dasar Hukum.
Undang-undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.
Undang-undang No. 12 Thn 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD dan DPRD.
Undang Undang Nomor 23 tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan
Wakil Presiden.
d. Badan Penyelenggara Pemilu
Penyelenggaraan Pemilu 2004 dilakukan oleh KPU. Penyelenggaraan
ditingkat provinsi dilakukan KPU Provinsi, sedangkan ditingkat kabupaten/kota
oleh KPU Kabupaten/Kota. Selain badan penyelenggara pemilu diatas, terdapat
juga penyelenggara pemilu yang bersifat sementara (adhoc) yaitu Panitia
Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) untuk tingkat
desa/kelurahan, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) untuk di
TPS. Untuk penyelenggaraan di luar negeri, dibentuk Panitia Pemungutan Luar
Negeri (PPLN) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri
(KPPSLN).
48
e. Peserta Pemilu 2004.
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2004 diikuti oleh 24 partai,
yaitu :
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004
Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004 putaran I (pertama)
sebanyak 5 (lima) pasangan, adalah sebagai berikut:
NO Nama Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Putaran I
1 H. Wiranto, SH. dan Ir. H.Salahuddin Wahid
2 Hj. Megawati Soekarnoputri dan K. H. Ahmad Hasyim Muzadi
3 Prof. Dr. H. M. Amien Rais dan Dr. Ir. H. Siswono Yudo Husodo
4 H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla
5 Dr. H. Hamzah Haz dan H. Agum Gumelar, M.Sc.
Karena kelima pasangan calon presiden dan wakil presiden peserta Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden putaran I (pertama) belum ada yang memperoleh
1. Partai Nasional Indonesia
Marhaenisme (PNI Marhaenisme).
2. Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD).
3. Partai Bulan Bintang (PBB).
4. Partai Merdeka.
5. Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
6. Partai Persatuan Demokrasi
Kebangsaan (PDK).
7. Partai Perhimpunan Indonesia Baru
(PIB).
8. Partai Nasional Banteng Kemerdekaan
(PNBK).
9. Partai Demokrat.
10. Partai Keadilan dan Persatuan
Indonesia (PKP Indonesia).
11. Partai Penegak Demokrasi Indonesia
(PPDI).
12. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah
Indonesia (PPNUI).
13. Partai Amanat Nasional (PAN).
14. Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB).
15. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
16. Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
17. Partai Bintang Reformasi (PBR).
18. Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP).
19. Partai Damai Sejahtera.
20. Partai Golongan Karya (Partai
Golkar).
21. Partai Patriot Pancasila.
22. Partai Sarikat Indonesia.
23. Partai Persatuan Daerah (PPD).
24. Partai Pelopor.
49
suara lebih dari 50%, maka dilakukan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
putaran II (kedua), dengan peserta dua pasangan calon presiden dan wakil
presiden yang memperoleh suara terbanyak pertama dan terbanyak kedua,
yaitu :
NO Nama Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Putaran II
1 Hj. Megawati Soekarnoputri dan K. H. Ahmad Hasyim Muzadi
2 H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla
iii. Pemilu 2009
Pemilu 2009 merupakan pemilu ketiga pada masa reformasi yang diselenggarakan
secara serentak pada tanggal 9 April 2009 untuk memilih 560 Anggota DPR, 132
Anggota DPD, serta Anggota DPRD (DPRD Provinsi maupun DPRD
Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2009-2014. Sedangkan untuk memilih
presiden dan wakil presiden untuk masa bakti 2009-2014 diselenggarakan pada
tanggal 8 Juli 2009 (satu putaran).
a. Sistem Pemilu
Pemilu 2009 untuk memilih Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD
Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem perwakilan berimbang (proporsional)
dengan sistem daftar calon terbuka. Kursi yang dimenangkan setiap partai politik
mencerminkan proporsi total suara yang didapat setiap parpol. Mekanisme sistem
ini memberikan peran besar kepada pemilih untuk menentukan sendiri wakilnya
yang akan duduk di lembaga perwakilan. Calon terpilih adalah mereka yang
memperoleh suara terbanyak. Untuk memilih Anggota DPD dilaksanakan dengan
sistem distrik berwakil banyak. Distrik disini adalah provinsi, dimana setiap
provinsi memiliki 4 (empat) perwakilan.
b. Asas Pemilu
Pemilu 2009 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil.
c. Dasar Hukum
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum;
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik;
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD,
dan DPRD;
50
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden.
d. Badan Penyelenggara Pemilu
UUD 1945 menyebutkan bahwa Pemilihan Umum dilaksanakan oleh suatu
Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Penyelenggara
pemilu ditingkat nasional dilaksanakan oleh KPU, ditingkat provinsi dilaksanakan
oleh KPU Provinsi, ditingkat kabupaten/kota dilaksanakan oleh KPU
Kabupaten/Kota.
Selain badan penyelenggara pemilu diatas, terdapat juga penyelenggara pemilu
yang bersifat sementara (adhoc) yaitu Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia
Pemungutan Suara (PPS) untuk tingkat desa/kelurahan, dan Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) untuk di TPS. Untuk penyelenggaraan
di luar negeri, dibentuk Panitia Pemungutan Luar Negeri (PPLN) dan Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN).
e. Peserta Pemilu
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2009 diikuti oleh 44 partai, 38
partai merupakan partai nasional dan 6 partai merupakan partai lokal Aceh.
Partai-partai tersebut adalah
1. Partai Hati Nurani Rakyat
2. Partai Karya Peduli Bangsa
3. Partai Pengusaha dan Pekerja
Indonesia
4. Partai Peduli Rakyat Nasional
5. Partai Gerakan Indonesia Raya
6. Partai Barisan Nasional
7. Partai Keadilan dan Persatuan
Indonesia
8. Partai Keadilan Sejahtera
9. Partai Amanat Nasional
10. Partai Perjuangan Indonesia Baru
11. Partai Kedaulatan
12. Partai Persatuan Daerah
13. Partai Kebangkitan Bangsa
14. Partai Pemuda Indonesia
15. Partai Nasional Indonesia
Marhaenisme
16. Partai Demokrasi Pembaruan
17. Partai Karya Perjuangan
18. Partai Matahari Bangsa
51
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 diikuti oleh 3 (tiga) pasangan calon,
yaitu :
1) Hj. Megawati Soekarnoputri dan H. Prabowo Subianto (didukung oleh
PDIP, Partai Gerindra, PNI Marhaenisme, Partai Buruh, Pakar Pangan,
Partai Merdeka, Partai Kedaulatan, PSI, PPNUI)
2) Dr. Susilo Bambang Yudhoyono dan Prof. Dr. Boediono (didukung oleh
Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, PKB, PBB, PDS, PKPB, PBR,
PPRN, PKPI, PDP, PPPI, Partai RepublikaN, Partai Patriot, PNBKI,
PMB, PPI, Partai Pelopor, PKDI, PIS, Partai PIB, Partai PDI)
3) Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla dan H. Wiranto, S.IP (didukung oleh
Partai Golkar, dan Partai Hanura)
iv. Pemilu 2014
Pemilu 2014 merupakan pemilu ke-empat pada masa reformasi yang
diselenggarakan secara serentak pada tanggal 9 April 2014 untuk memilih 560
Anggota DPR, 132 Anggota DPD, serta Anggota DPRD (DPRD Provinsi maupun
DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2014-2019. Sedangkan untuk memilih
presiden dan wakil presiden untuk masa bakti 20014-2019 diselenggarakan pada
tanggal 9 Juli 2014 (satu putaran).
19. Partai Penegak Demokrasi Indonesia
20. Partai Demokrasi Kebangsaan
21. Partai Republika Nusantara
22. Partai Pelopor
23. Partai Golongan Karya
24. Partai Persatuan Pembangunan
25. Partai Damai Sejahtera
26. Partai Nasional Benteng Kerakyatan
Indonesia.
27. Partai Bulan Bintang
28. Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan.
29. Partai Bintang Reformasi
30. Partai Patriot
31. Partai Demokrat
32. Partai Kasih Demokrasi Indonesia
33. Partai Indonesia Sejahtera.
34. Partai Kebangkitan Nasional Ulama
35. Partai Aceh Aman Seujahtra (Partai
Lokal)
36. Partai Daulat Aceh (Partai Lokal)
37. Partai Suara Independen Rakyat Aceh
(Partai Lokal)
38. Partai Rakyat Aceh (Partai Lokal)
39. Partai Aceh (Partai Lokal)
40. Partai Bersatu Aceh (Partai Lokal)
41. Partai Merdeka
42. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah
Indonesia
43. Partai Sarikat Indonesia
44. Partai Buruh
52
a. Sistem Pemilu
Pemilu 2014 untuk memilih Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD
Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem perwakilan berimbang (proporsional)
dengan sistem daftar calon terbuka. Kursi yang dimenangkan setiap partai politik
mencerminkan proporsi total suara yang didapat setiap parpol. Mekanisme sistem
ini memberikan peran besar kepada pemilih untuk menentukan sendiri wakilnya
yang akan duduk di lembaga perwakilan. Calon terpilih adalah mereka yang
memperoleh suara terbanyak. Untuk memilih Anggota DPD dilaksanakan dengan
sistem distrik berwakil banyak. Distrik disini adalah provinsi, dimana setiap
provinsi memiliki 4 (empat) perwakilan.
b. Asas Pemilu.
Pemilu 2009 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil.
c. Dasar Hukum.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum;
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik;
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD,
dan DPRD;
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden.
d. Badan Penyelenggara Pemilu
UUD 1945 menyebutkan bahwa Pemilihan Umum dilaksanakan oleh suatu
Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Penyelenggara
pemilu ditingkat nasional dilaksanakan oleh KPU, ditingkat provinsi dilaksanakan
oleh KPU Provinsi, ditingkat kabupaten/kota dilaksanakan oleh KPU
Kabupaten/Kota.
Selain badan penyelenggara pemilu diatas, terdapat juga penyelenggara pemilu
yang bersifat sementara (adhoc) yaitu Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia
Pemungutan Suara (PPS) untuk tingkat desa/kelurahan, dan Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) untuk di TPS. Untuk penyelenggaraan
di luar negeri, dibentuk Panitia Pemungutan Luar Negeri (PPLN) dan Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN).
53
e. Peserta Pemilu
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2014 diikuti oleh 15 partai, 12
partai merupakan partai nasional dan 3 partai merupakan partai lokal Aceh.
Partai-partai tersebut adalah :
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 diikuti oleh 2 (dua) pasangan calon,
yaitu :
1) Ir. H. Joko Widodo dan Dr.(H.C.) Drs. H. Jusuf Kalla yang diusung oleh
PDIP, Nasdem, PKB, Hanura
2) Letnan Jenderal (Purn.) H. Prabowo Subianto Djojohadikusumo dan Ir.
M. Hatta Rajasa yang diusung oleh Gerindra, PKS, PAN, PPP, PBB dan
Partai Golkar
v. Pemilu 2019
Pemilu 2014 merupakan pemilu ke-empat pada masa reformasi yang
diselenggarakan secara serentak pada tanggal 17 April 2019 untuk memilih 575
Anggota DPR, 136 Anggota DPD, serta Anggota DPRD (DPRD Provinsi maupun
DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2019-2024. Sedangkan untuk memilih
presiden dan wakil presiden untuk masa bakti 20019-2024 diselenggarakan pada
tanggal 17 April 2019 (satu putaran). Ini adalah kali pertama indonesia melaksanakan
pemilu secara serentak pada 17 april 2019, aka nada 5 jenis surat suara yang diterima
saat pemilih datang kke TPS, antara lain : Kelimanya adalah surat suara DPR RI,
DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, DPD RI, dan surat suara pilpres.
1. Partai NasDem
2. Partai Kebangkitan Bangsa
3. Partai Keadilan Sejahtera
4. Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan
5. Partai Golongan Karya
6. Partai Gerakan Indonesia Raya
7. Partai Demokrat
8. Partai Amanat Nasional
9. Partai Persatuan Pembangunan
10. Partai Hati Nurani Rakyat
11. Partai Bulan Bintang
12. Partai Keadilan dan Persatuan
Indonesia
13. Partai Damai Aceh
14. Partai Nasional Aceh
15. Partai Aceh
54
a. Sistem Pemilu.
Pemilu 2019 untuk memilih Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD
Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem perwakilan berimbang (proporsional)
dengan sistem daftar calon terbuka. Kursi yang dimenangkan setiap partai politik
mencerminkan proporsi total suara yang didapat setiap parpol. Mekanisme sistem
ini memberikan peran besar kepada pemilih untuk menentukan sendiri wakilnya
yang akan duduk di lembaga perwakilan. Calon terpilih adalah mereka yang
memperoleh suara terbanyak. Untuk memilih Anggota DPD dilaksanakan dengan
sistem distrik berwakil banyak. Distrik disini adalah provinsi, dimana setiap
provinsi memiliki 4 (empat) perwakilan.
b. Asas Pemilu.
Pemilu 2009 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil.
c. Dasar Hukum.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Meliputi Penyelenggara hingga peserta
pemilu
d. Badan Penyelenggara Pemilu
UUD 1945 menyebutkan bahwa Pemilihan Umum dilaksanakan oleh suatu
Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Penyelenggara
pemilu ditingkat nasional dilaksanakan oleh KPU, ditingkat provinsi dilaksanakan
oleh KPU Provinsi, ditingkat kabupaten/kota dilaksanakan oleh KPU
Kabupaten/Kota.
Selain badan penyelenggara pemilu diatas, terdapat juga penyelenggara pemilu
yang bersifat sementara (adhoc) yaitu Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia
Pemungutan Suara (PPS) untuk tingkat desa/kelurahan, dan Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) untuk di TPS. Untuk penyelenggaraan
di luar negeri, dibentuk Panitia Pemungutan Luar Negeri (PPLN) dan Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN).
55
e. Peserta Pemilu
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2019 diikuti oleh 20 partai, 16
partai merupakan partai nasional dan 4 partai merupakan partai lokal Aceh.
Partai-partai tersebut adalah :
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 diikuti oleh 2 (dua) pasangan calon,
yaitu :
1) Ir. H. Joko Widodo dan Prof. Dr. K. H. Ma'ruf Amin yang diusung oleh
PDIP, Nasdem, PKB, Hanura, PPP, PKPI, Golkar,
2) Letnan Jenderal (Purn.) H. Prabowo Subianto Djojohadikusumo dan H.
Sandiaga Salahuddin Uno, B.B.A., M.B.A yang diusung oleh Gerindra,
PAN, Demokrat dan PKS
1. Partai Kebangkitan Bangsa
2. Partai Gerakan Indonesia Raya
3. Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan
4. Partai Golongan Karya
5. Partai Nasdem
6. Partai Gerakan Perubahan Indonesia
7. Partai Berkarya
8. Partai Keadilan Sejahtera
9. Partai Persatuan Indonesia
10. Partai Persatuan Pembangunan
11. Partai Solidaritas Indonesia
12. Partai Amanat Nasional
13. Partai Hati Nurani Rakyat
14. Partai Demokrat
15. Partai Bulan Bintang
16. Partai Keadilan dan Persatuan
Indonesia
17. Partai Aceh
18. Partai Suara Independen Rakyat Aceh
19. Partai Daerah Aceh
20. Partai Nanggroe Aceh
56
BAB III
POLITIK UANG (Money Politic) dan PATRONASE
Pengantar :
Money politic atau yang sering disebut dengan politik uang merupakan pertukaran uang
dengan sebuah kebijakan atau keputusan politik yang mengatasnamakan kepenting rakyat
tetapi sesungguhnya membawa kepentingan partai/ kelompok/ pribadi. bahwa politik uang
menggambarkan praktik yang lebih merujuk pada distribusi uang dalam bentuk tunai
maupun barang dari kandidat di saat pemilu . Hal tersebut ia artikan dengan melihat
fenomena perkembangan zaman yang mulai mengartikan politik uang ke dalam konteks
yang lebih sempit. Patronase sebagai sebuah pembagian keuntungan di antara politisi
untuk mendistribusikan sesuatu secara individual kepada pemilih, para pekerja atau
pengiat kampanye, dalam rangka mendapatkan keuntungan politik dari mereka. Patronase
merupakan pemberian uang tunai, barang, jasa, dan keuntungan ekonomi lainnya (seperti
pekerjaan atau kontrak proyek) yang didistribusikan oleh politisi, termasuk keuntungan
yang ditujukan untuk individu ( misalnya, amplop berisi uang tunai) dan kepada
kelompok/ komunitas( misalnya, amplop berisi uang tunai) dan kepada kelompok/
komunitas ( misalnya,lapangan sepak bola baru untuk para pemuda di sebuah kampung).
Patronase juga bisa berupa uang tunai atau barang yang didistribusikan kepada pemilih
yang berasal dari dana pribadi. Cost Politik’ atau dana politik adalah dana wajib yang harus
dianggarkan PelakuPolitik yang digunakan untuk membeli spanduk, poster, baju
kampanya, bendera kampanye dan bahkan untuk mebuat iklan di media massa atau TV
sekalipun serta biaya akomodasi,transportasi
Kata kunci:
Politik uang (Money politic) dan Patronase
Tujuan :
Memberikan pemahaman kepada peserta mengenai Politik uang dan Patronase
Memberikan pemahaman kepada peserta perbedaan politik uang dan dana politik
57
Tujuan Khusus :
Pada akhir sesi peserta diharapkan:
Memahami pengertian politik uang dan patronase
Memahami Tipe-tipe politik uang dan patronase
Memahami Dampak Buruk Politik uang dan Patronase
Memahami Perbedaan Politik uand dan dana politik
Pokok Bahasan : Politik uang, Patronase, dan Dana politik
Metode Pembelajaran :
CARA PERTAMA
1. Fasilitator menanyakan kepada peserta pengertian Politik uang , Patronase dan dana politik
2. Fasilitator mencatatnya pada kertas flipchart/plano. Jawaban yang sama atau memiliki ide
yang sama dikelompokkan dalam satu bagian.
3. Bila tidak ada lagi jawaban baru atau ide baru fasilitator menutup dengan mengajak peserta
melihat kembali daftar jawaban
Catatan :
Fasilitator diharapkan menggali pemahaman peserta terhadap pengertian Politik uang ,
Patronase dan Dana Politik
Jawaban yang dimunculkan peserta akan dibandingkan dengan Salah satu referensi Buku
Politik Uang DI Indonesia Karya Edward Aspinall dan Mada Sukamajati
Alokasi waktu 5 menit
CARA KEDUA
1. Fasilitator membagi peserta ke dalam 4 kelompok. Pembagian kelompok berdasarkan hitungan
angka 1,2,3,dan 4. Secara bergiliran peserta menyebut angka tersebut. Perserta dengan angka
yang sama berkelompok menjadi satu
2. Fasilitator membagikan materi mengenai politik uang,patronase dan dana politik
3. Masing-masing Kelompok membahas materi sebagai berikut Kelompok 1 : membahas
Pengertian Politik uang dan dampak politik uang, Kelompok 2 : Membahas kasus-kasus atau
praktik yang terjadi mengenai politik uang disekitar lingkungan anda, Kelompok 3 :
menjelaskan pengertian Patronase dan varian patronase
4. Tugas dalam diskusi kelompok adalah:
Mengidentifikasi dampak politik uang dan pengertiannya
Mendiskusikan bagaimana praktik politik uang terjadi
5. Mengidentifikasi apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kondisi selama ini agar peserta
tidak melakukan praktik politik uang
6. Peserta diberikan waktu berdiskusi selama 15 menit. Kemudian, setiap kelompok presentasi
selama 5 menit.
58
7. Menutup sesi ini, fasilitator perlu menarik kesimpulan Bahaya Politik uang dan patronase dan
menyusun langkah-langkah strategis apa yang perlu dilakukan peserta untuk memastikan
peserta tidak melakukan kegiatan praktik politik uang dan patronase Alokasi waktu maksimal
40 menit.
Materi dan Alat Pembelajaran yang dibutuhkan:
1. Spidol warna-warni.
2. Kertas plano (20 lembar)
3. Fotokopi materi
4. Power Point Presentation tentang politik uang,patronase, dan dana politik
59
MATERI
BAB III
POLITIK UANG, PATRONASE DAN DANA POLITIK ( COST POLITIC)
1. POLITIK UANG
A. Pengertian Politik Uang(Money Politic)
Dalam Bahasa Indonesia money politic merujuk kepada kata suap. Menurut
Herbert E Alexander dalam Erwin (2017) Money politic atau yang sering disebut
dengan politik uang merupakan pertukaran uang dengan sebuah kebijakan atau
keputusan politik yang mengatasnamakan kepenting rakyat tetapi sesungguhnya
membawa kepentingan partai/ kelompok/ pribadi.
Aspinall (2015) juga mengartikan bahwa politik uang menggambarkan praktik
yang lebih merujuk pada distribusi uang dalam bentuk tunai maupun barang dari
kandidat di saat pemilu . Hal tersebut ia artikan dengan melihat fenomena
perkembangan zaman yang mulai mengartikan politik uang ke dalam konteks yang
lebih sempit.
Money politic juga diartikan sebagai bentuk pemberian atau janji
menyuap/sogok seseorang agar orang tersebut tidak menjalankan hak pilihnya untuk
memilih calon lain. Pemberian tersebut dilakukan untuk menarik simpati pemilih agar
memilih dirinya saat pemilihan umum.
Money politic termasuk kepada tindak pidana, ada 5 pasal KUHP tentang tindak
pidana “Kejahatan Terhadap Pelaksanaan Kewajiban dan Hak Kenegaraan” yang jelas
terdapat hubunganya dengan pemilihan umum. Undang – Undang Pemilu Nomor 7
Tahun 2017 Pasal 523 tentang Pemilihan Umum ayat 1 sampai 3 menjelaskan larangan
adanya politik uang, yang isinya sebagai berikut :
60
1) Setiap pelaksanaan, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja
menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada
peserta kampanye pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagai
dimaksud dalam pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000.00 (dua puluh empat
juta rupiah)
2) Setiap pelaksanaan, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja
pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya
kepada pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud
dalam pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun dan denda paling banyak Rp 48.000.000.00 (empat puluh delapan juta)
3) Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan
hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara
paling lam 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000.00 (tiga puluh
enam juta rupiah).
B. Bentuk-Bentuk Politik Uang
Menurut Ahmad Khoirul Umam (2006) Money politic memiliki beberapa
bentuk, bentuk-bentuk dari money politic tersebut adalah sebagai berikut :
1) Berbentuk Uang (Cash Money)
Dalam kehidupan bermasyarakat, uang diakui sebagai senjata yang strategis dan
paling ampuh untuk mendapatkan kekuasaan. Karena, pada dasarnya saudara
kembar kekuasaan adalah uang. Uang mejadi faktor penting untuk meningkatkan
personal seseorang, sekaligus mengendalikan strategi untuk kepentingan politik dan
kekuasan. Seseorang akan secara leluasa untuk memperngaruhi dan memaksa
kepentingan pribadi serta kelompok kepada pihak yang memberikan sarana-
prasarana tersebut termasuk uang (Nugroho, 2001).
Dalam sebuah pemilihan umum, uang memiliki peran yang sangat penting.
Terdapat beberapa cara money politic yang sering dilakukan antara lain sebagai
berikut:
a) Sarana Kampanye. Adapaun cara yang digunakan adalah meminta dukungan
dari masyarakat melalui penyebaran brosur, stiker dan pembagian kaos.
61
Setelah selesai, para pendukung pun diberi uang transport dengan harga yang
berbeda-beda.
b) Beberapa tindakan money politic yang dilakukan seperti memberi sumbangan,
baik dalam bentuk barang atau uang kepada tim pemenang yang berasal dari
partai, pengembira atau kelompok tertentu (Sumartini, 2004). Cara lain juga
dilakukan dengan pemberian bantuan kepada kelompok ataupun komunitas,
seperti mengirimkan proposal yang sifatnya hanya formalitas dengan
menyebutkan jenis bantuan yang diminta, jika proposal yang dikirimkan
dikabulkan oleh kandidat makan calon pemilih harus siap memberikan
suaranya.
Bantuan nyata dalam bentuk sembako yang sering dikirim oleh para kandidat
bersifat kebutuhan sehari-hari, seperti : beras, minyak, gula, mie atau bahan-
bahan sembako lainnya. Bantuan nyata yang sifatnya kebutuhan sehari-hari
biasanya sangat efektif, karena tepat sasaran yaitu masyarakat yang ekonominya
menengah kebawah.
2) Berbentuk Fasilitas Umum
Dalam menarik simpati masyarakat setiap para calon memiliki strategi
tersendiri, seperti hal nya politik pencitraan dan tebar pesona. Hal ini tidak hanya
memberikan keuntungan kepada masyarakat, tetapi juga membantu sarana umum.
Politik pencitraan dan tebar pesona ini tidak hanya dilakukan oleh calon-calo baru,
tetapi juga calon yang berniat untuk maju kembali di daerah pemilihannya. Strategi
ini dijadikan bahan untuk menarik simpati masyarakat dengan menyediakan
berbagai kebutuhan untuk fasilitas umum seperti semen, batu, pasir, besi dan
sebagainya. Adapun fasilitas umum yang dijadikan sasaran para kandidat biasanya
adalah pembangunan Masjid, Mushallah, Madrasah, jalan/gang, dan sebagainya.
C. MODUS/CONTOH PRAKTEK POLITIK UANG
Bentuk money politic yang dilakukan oleh para pelaku berdasarkan penanganan
pelanggaran politik uang oleh BAWASLU RI tahun 2015 dan tahun 2017 :
1. Pembagian uang tunai kepada pemilih
2. Pembagian kain sarung/semen/gula dan kopi/jilbab/peci
3. Menjanjikan uang kepada pemilih
4. Pemberian uang melalui tim pasangan calon
5. Pemberian uang dengan cara mengumpulkan orang pada suatu tempat/rumah
62
6. Pembagian sembako berupa beras
7. Melakukan pengobatan gratis
8. Pembagian voucher bensin
9. Pemberian hadiah dengan mengadakan pertandingan olahraga
10. Menjanjikan uang pada proposal posyandu yang disampaikan masyarakat
11. Pembagian uang kepada pemilih yang berstatus narapidana
12. Pemberian bantuan untuk pembangunan lapangan
13. Mahar politik
14. Pembagian uang melalui penukaran/mengumpulkan C6 (undangan memilih)
15. Pembagian kupon yang kemudian ditukarkan dengan uang
D. Dampak Dari Politik Uang
1. Tidak ada kontrol dari masyarakat
2. Penyalahgunaan jabatan
3. Munculnya korupsi
4. Ketidak percayaan masyarakat terhadap pemimpin serta wakil – wakil rakyat
E. Pencegahan Politik Uang
1. Pentingnya Pendidikan politik
2. Mengubah pola pikir bahwasanya uang bukanlah dari segalanya
3. Kesepakatan untuk membuat langkah hukum dan non-hukum tentang money
politic dari setiap tingkatan pemerintahan (Desa, Kecamatan, Kabupaten, dan
Provinsi)
4. Satu rumah satu spanduk menolak politik uang dalam bentuk apapun
5. Mengkriminalisasikan politik uang sebagai tindak kejahatan dengan ancaman
hukuman yang berat
6. Membentuk kelompok pengawas di tingkat dukuh untuk ikut terlibat mengawasi
kampanye dll.
2. PATRONASE
Patronase sebagai sebuah pembagian keuntungan di antara politisi untuk
mendistribusikan sesuatu secara individual kepada pemilih, para pekerja atau pengiat
kampanye, dalam rangka mendapatkan keuntungan politik dari mereka. Patronase
63
merupakan pemberian uang tunai, barang, jasa, dan keuntungan ekonomi lainnya (seperti
pekerjaan atau kontrak proyek) yang didistribusikan oleh politisi, termasuk keuntungan
yang ditujukan untuk individu ( misalnya, amplop berisi uang tunai) dan kepada
kelompok/ komunitas( misalnya, amplop berisi uang tunai) dan kepada kelompok/
komunitas ( misalnya,lapangan sepak bola baru untuk para pemuda di sebuah kampung).
Patronase juga bisa berupa uang tunai atau barang yang didistribusikan kepada pemilih
yang berasal dari dana pribadi.
Sebagaimana telah disinggung diatas patronase sebagai pertukaran keuntungan demi
memperoleh dukungan politik. Perlu ditekankan di sini bahwa unsur pertukaran dalam
patronase terkadng problematik. Ketika kandidat mendistribusikan hadiah atau membayar
pemilih, sebenernya mereka tidak yakin dengan bentuk respons balik yang akan diberikan
oleh pemilih. Pada pemilu bebas rahasia para calon pembeli suara biasanya tidak punya
jaminan bahwa pemilih yang menerima pemberian itu akan patuh dengan memberikan
suaranya dihari pemilihan.
A. Variasi Bentuk Patronase
1. Pemberian Suara (vote buying) berbeda dengan beberapa kajian lain, kami
mengidentifikasi prilaku yang termasuk sebagai pembelian suara kami maknai sebagai
distribusi pembayaran uang tunai/barang dari kandidat kepada pemilih secara sistematis
beberapa hari menjelang pemilu yang disertai dengan harapan yang implisit bahwa para
penerima akan membalasnya dengan memberikan suaranya bagi si pemberi.
2. Pemberian-pemberian pribadi (individual gift). Untuk mendukung upaya pembelian
suara yang lebih sistematis, para kandidat seringkali memberikan berbagai bentuk
pemberian pribadi kepada pemilih. Biasanya, mereka melakukan praktik ini ketika
bertemu dengan pemilih, baik ketika melakukan kunjungan ke rumah-rumah atau pada
saat kampanye. Pemberian ini seringkali dibahasakan sebagai perekat hubungan sosial
(social lubricant), misalnya, anggapan bahwa barang pemberian tersebut
didistribusikan oleh tim kampanye. Dalam kasus semacam ini, praktik tersebut tidak
mudah dibedakan dengan pembelian suara secara sistematis. Pemberian yang paling
umum bisa dibedakan dalam beberapa kategori. Sebagai contoh, pemberian dalam
bentuk benda-benda kecil ( misalnya, kalender dan gantungan kunci) yang disertai
dengan nama kandidat dan imej yang dibentik untuk sang kandidat. Contoh pemberian
lain bahan makanan atau sembako, seperti beras , gula , minyak goreng , dan mie instan.
Juga, benda-benda kecil lainnya, seperti kain atau peralatan rumah tangga, terutama
64
yang memiliki makna religius ( misalnya jilbab, mukena, sajadah) atau peralatan rumah
tangga minor seperti barang-barang pecah belah atau terbuat dari plastik.
3. Pelayanan dan Aktivitas
Seperti pemberian uang tunai dan materi lainnya, kandidat seringkali menyediakan atau
membiayai beragam aktivitas dan pelayanan pemilih. Bentuk aktivitasnya sangat umum
adalah kampanye pada acara perayaan oleh komunitas tertentu. Di forum ini, para
kandidat biasanya mempromosikan dirinya. Contoh lain adalah penyelenggaraan
pertandingan olahraga, turnamen catur atau domino, forum forum pengajian, demo
memasak, menyanyi bersama, pesta-pesta yang diselenggarakan oleh komunitas, dan
masih banyak lagi.
4. Barang-Barang Kelompok (Club goods)
Kami mendefinisikan istilah Club goods sebagai praktik patronase yang diberikan lebih
untuk keuntungan bersama bagi kelompok sosial tertentu ketimbang bagi keuntungan
individual. Sebagaian besar club goods di Indonesia bisa dibedakan dalam dua kategori,
yaitu donasi untuk asosiasi-asosiasi komunitas dan donasi untuk komunitas yang
tinggal di lingkungan perkotaa,pedesaan, atau lingkungan lain. Di Indonesia terdapat
banyak variasi institusi formal dan informal pada tingkatan akar rumput, seperti
kelompok keagamaan, klub olahraga, asosiasi pemuda, kelompok wanita, koperasi-
koperasi petani. Karena, itu biasanya kunjungan kandidat ke komunitas-komunitas
seperti ini yang disertai dengan pemberian barang atau keuntungan lainnya merupakan
fenomena yang amat umum. Jenis barang yang biasa dibagikan adalah sound system,
peralatan dapur , tenda , peralatan pertanian, dan sejenisnya. Kandidat kerap
memberikan sumbangan pembangunan atau renovasi infrastruktur yang dibutuhkan
oleh masyrakat di wilayah tertentu, misalnya rumah ibadah, jalan, jembatan, atau kanal-
kanal drainase, penyediaan penerangan jalan, sumur air untuk desa-desa, dan lain-lain.
5. Proyek-proyek gentong babi ( pork barrel project)
Pork barel project didefinisikan sebagai proyek-proyek pemerintah yang ditujukan
untuk wilayah geografis tertentu. Karakter utama dari prok barel project adalah
kegiatan ini ditujukan kepada publik dan didanai dengan dana publik dengan harapan
publik memberikan dukungan politik kepada kandidat tertentu. Sebagaimana yang kita
lihat,banyak kandidat menjanjikan akan memberikan ‘program-program’ dan proyek –
proyek’ yang didanai dengan dana publik untuk konstituen mereka yang biasanya
berupa proyek-proyek infrastruktur berskala kecil atau keuntungan untuk kelompok
65
komunitas tertenti, terutama aktivitas-aktivitas yang bisa menghasilkan pendapatan.
Karena itu banyak kandidat petahana pada saat kampanye berusaha menunjukan rekam
jejak (track record) mereka untuk meyakinkan pemilih akan keberhasilan mereka
dalam menghadirkan’ program-program’ tersebut. Di banyak daerah, setiap anggota
DPRD Kabupaten/kota maupun provinsi memperoleh dana khusus untuk tujuan-tujuan
semacam ini. Biasanya dana tersebut diberi nama sebagai dana aspirasi ( gagasan dari
dana aspirasi adalah bahwa rangka mendukun para legislator dalam aktivitas
penyerapan dan memberikan respons terhadap aspirasi konstituen, mereka diberikan
jatah beberapa proyek pemerintah).
PERBEDAAN POLITIK UANG (MONEY POLITIC) DAN DANA POLITIK (COST
POLITIC
No POLITIK UANG
(MONEY POLITIC)
DANA POLITIK
(COST POLITIC)
1. Secara sederhana, ‘Money Politic’(politik
uang) yaitu sebuah proses di dalam
politik yang membeli suara rakyat atau
pemilih dengan cara memberikan
sejumlah uang.
Money politic juga diartikan sebagai
bentuk pemberian atau janji
menyuap/sogok seseorang agar orang
tersebut tidak menjalankan hak pilihnya
untuk memilih calon lain.
‘Cost Politik’ atau dana politik adalah
dana wajib yang harus dianggarkan
Pelaku Politik yang digunakan untuk
membeli spanduk, poster, baju
kampanya, bendera kampanye dan
bahkan untuk mebuat iklan di media
massa atau TV sekalipun serta biaya
akomodasi, hingga transportasi .
2. Tujuan pemberian tersebut dilakukan
untuk menarik simpati pemilih agar
memilih dirinya saat pemilihan umum.
Tujuannya untuk mendekatkan
informasi mengenai misi dan visi caleg
kepada raryat dengan harapan rakyat
dapat memilih mereka. Juga Para
Caleg, membutuhkan Dana Politik
untuk membuat terobosan dan memberi
manfaat kepada masyarakat, misalnya,
menyediakan ambulance gratis,
memfasilitasi pendidikan singkat untuk
masyarakat berupa kegiatan pelatihan,
juga bisa berupa subsidi pendidikan.
66
BAB IV
CIVIL SOCIETY DALAM DEMOKRASI
Pengantar :
civil society sudah dibicarakan sejak abad ke-18. Terdapat juga catatan Cicero yang telah
menggunakan kata ini pada tahun 106-43 SM. Masyarakat sipil mencakup beragam organisasi, formal
dan informal yang meliputi asosiasi ekonomi, budaya, informasi dan pendidikan, kelompok
kepentingan, organisasi pembangunan, dan dapat pula kelompok yang berorientasi isu, dan
kewarganegaraan. Dalam materi pembahasan akan mengupas bagaimana peran civil society
(masyarakat) dalam memposisikan diri sebagai negara Demokrasi. Dan bagaimana peran masyarakat
sipil dalam mengkontrol pemerintahan di sebuah negara demokrasi
Kata kunci:
Civil society, demokrasi, partisipasi
Tujuan :
Memberikan pemahaman kepada peserta bagaimana posisi civil society ( masyarakat) dalam
negara demokrasi dan juga membeikan pemahaman terkait bagaimana peran partisipasi
masyarakat dalam mengkontrol negara dalam sebuah negara demokrasi
Tujuan Khusus :
Pada akhir sesi peserta diharapkan:
Memahami pengertian civil society (masyarakat)
Memahami bagaimana posisi masyarakat dalam berdemokrasi
Memahami
Memahami bagaimana peran partisispasi masyarakat
Dapat memahami bagaimana fungsi masyarakat dalam pemilihan umum dan hubungan
masyarakat dengan partai politik
67
Pokok Bahasan : Pengertian civil society, posisi civil society dalam negara demokrasi, peran
partisipasi civil society, civil society dalam pemilihan umum dan hubungan civil society terhadap
partai politik
Metode Pembelajaran :
Cara Pertama
1. Fasilitator menanyakan kepada peserta pengertian civil society (masyarakat), peran masyarakat
dalam negara demokrasi, pemilihan umum, serta hubungan masyarakat dengan partai politik
2. Fasilitator mencatatnya pada kertas flipchart/plano. Jawaban yang sama atau memiliki ide yang
sama dikelompokkan dalam satu bagian.
3. Bila tidak ada lagi jawaban baru atau ide baru fasilitator menutup dengan mengajak peserta
melihat kembali daftar jawaban.
Catatan :
Fasilitator diharapkan menggali pemahaman peserta terhadap peran civil society (masyarakat)
dalam memposisikan sebagai negara demokrasi.
Jawaban yang dimunculkan peserta akan dibandingkan dengan materi modul yang disusun
Alokasi waktu 5 menit
Cara kedua
1. Fasilitator menayangkan power point presentation yang berisi tentang poin-poin penting
pengertian civil society(masyarakt), peran partisipasi masyarakat, peran masyarakat dalam
pemilihan umum dan hubungan masyarkat dengan partai politik.
2. Pada setiap pembahasan pengertian civil society, partisipasi masyarakat, peran masyarakat
dalam pemilihan umum dan hubungan masyarakat dengan partai politik di catat pada kertas
plano
3. Peserta mengidentifikasi jika ada pembahasan mengenai posisi masyarakat dalam negara
demokrasi yang belum dimunculkan dalam diskusi awal lalu menambahkannya menjadi poin
tambahan dalam kertas plano, sebagai hasil belajar bersama.
4. Fasilitator bertanya ke peserta: berdasarkan pengalaman terjadi
5. Menutup presentasi fasilitator mengajukan pertanyaan langkah-langkah apa yang akan
mereka lakukan untuk memastikan peran civil society (masyarakat) ambil andil dalam
sebuah negara demokrasi
6. Alokasi Waktu Maksimal 20 Menit
Catatan :
Sebagai bahan bacaan tambahan, fasilitator membagikan kepada peserta mengenai materi-
materi yang berkaitan dengan civil society
Cara ketiga
1. Fasilitator membagi peserta ke dalam 5 kelompok. Pembagian kelompok berdasarkan hitungan
angka 1, 2, 3, 4 dan 5 . Secara bergiliran peserta menyebut angka tersebut. Peserta dengan angka
yang sama berkelompok menjadi satu.
2. Fasilitator membagikan naskah UUD 1945, UU No. 7 tahun 2017, atau Buku Pedoman Rumah
pintar pemilu untuk menjadikan referensi kecil bagi setiap kelompok
68
3. Masing-masing kelompok membahas materi sebagai berikut : Kelompok 1: membahas terkait
pengertian civil society ( masyarakat) , kelompok 2: membahas pentingya partisipasi
masyarakat dalam sebuah negara demokrasi ; Kelompok 3 : membahas bagaimana posisi
masyarakat dalam sebuah negara demokrasi ; Kelompok 4 : bagaimana peran masyarakat dalam
pemilihan umum, kelompok 5 : membahas bagaimana hubungan masyarakat dengan partai
politik
4. Tugas dalam diskusi kelompok adalah:
5. Mengidentifikasi setiap judul pembahasan yang diberikan setiap kelompok dengan cara
mengambil point-point penting serta dibenturkan dengan realita yang dialami.
6. Menjelaskan konsep besar posisi masyarakat dalam negara demokrasi
7. Mendiskusikan bagaimana praktik masyarakat dalam melakukan partisipasi dalam pemilihan
umum
8. Mengidentifikasi apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kondisi selama ini agar
masyarkat menjadi kontrol dalam menjalankan nilai-nilai demokrasi
9. Peserta diberikan waktu berdiskusi selama 15 menit. Kemudian, setiap kelompok presentasi
selama 5 menit.
10. Menutup sesi ini, fasilitator perlu menarik kesimpulan tentang pemahaman pengertian civil
society, posisi masyarakat dalam negara demokrasi, peran masyarakat dalam berpartisipasi, dan
bagaiamana peran masyarakat dalam pemilihan umum serta hubungan masyarakat terhadap
partai politik dan langkah-langkah strategis apa yang perlu dilakukan peserta untuk memastikan
masyarakat menjadi control dalam setiap nilai demokrasi.
11. Alokasi waktu maksimal 40 menit.
Materi dan Alat Pembelajaran yang dibutuhkan:
1. Spidol warna-warni.
2. Kertas plano (20 lembar)
3. Fotokopi, UUD 1945, UU Nomor 7 tahun 2017, buku pedoman Rumah Pintar Pemilu
4. Power Point Presentation tentang civil society dalam negara demokrasi
69
MATERI
BAB IV
CIVIL SOCIETY DALAM DEMOKRASI
Tema masyarakat sipil atau civil society sudah dibicarakan sejak abad ke-18. Terdapat
juga catatan Cicero yang telah menggunakan kata ini pada tahun 106-43 SM. Masyarakat sipil
mencakup beragam organisasi, formal dan informal yang meliputi asosiasi ekonomi, budaya,
informasi dan pendidikan, kelompok kepentingan, organisasi pembangunan, dan dapat pula
kelompok yang berorientasi isu, dan kewarganegaraan Ada pun karakter civil society ini,
menurut Barata, antara lain adalah terkait kepengaturan formal kelompok, tujuan dan metode,
pelembagaan organisasi, dan pluralism. Karakter ini sangat dekat sebagaimana hasil
penelusuran Pabottinggi mengenai sistem demokrasi. Sistem pemerintahan ini berpatokan pada
kolektifitas, prinsip kebebasan, prosedural, menghargai hak, saling kontrol, pluralisme, dan
konstitusionalisme. (Barata, 2018)
Demokrasi atau demokratisasi telah menjadi salah satu tema sentral dalam hasanah
politik kontemporer, termasuk di Indonesia. Ada yang menekankan pada pendekatan atau
masalah nilai dan budaya model dan bentuk baru demokrasi masalah-masalah civil society),
masalah civilian supremacy upon military tingkatan modernisasi demokrasi, pilihan
strategistrategi demokrasi, lembaga-lembaga demokratis (dan lain sebagainya. Kontribusi dari
semua ini adalah penampakan hubungan pasang surut antara negara dan masyarakat. Suatu
kesmepatan negara menjadi paling dominan, kadang di masyarakat sipil dan kadang tidak
menentu sebagai arena yang dinegosiasikan. Setelah sekian lama pergulatan ideologi politik
global, demokrasi liberal berhasil memenangkannya. Namun, bukan berarti demokrasi liberal
tanpa persoalan di perjalanannya
Krisis demokrasi liberal, disinyalir sangat kuat, bersumber dari obsesi berlebihan
demokrasi liberal terhadap metode, prosedur dan institusi dalam memaknai dan menjelaskan
arti penting pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Akibatnya model demokrasi liberal tidak
peka pada isu-isu seperti partisipasi, keadilan atau budaya demokrasi. Tampaknya model ini
percaya inklusi
politik, kesejahteraan dan civility akan datang dan terbentuk dengan sendirinya jika
lembagalembaga sudah berhasil dibangun. Terbukti kemudian lembagalembaga selalu perlu
diketuk agar benar-benar membunyikan demokrasi. Jika tidak, lembaga baru sekaliber pemilu
70
yang jujur dan adil sekalipun akan terjebak konservatisme. Contohnya, pemilu sebagai metode
seleksi pemimpin justru memperkuat posisi kekuatan-kekuatan anti-demokrasi. Keterpurukan
ini disebabkan kegagalan mempraktikkan simbiosis antara demokrasi dan nasion dimana hal
itu hanya memungkinkan dilakukan dengan ‘konsolidasi kebangsaan (Cohen, J. L., & Arato,
A. , 2007)
Menurut mansoer fakih “Salah satu pendekatan untuk menciptakan suatu masyarakat yang adil
dan demokratis adalah dengan memberikan peluang dan ruang kepada setiap golongan untuk
memperjuangkan cita-cita mereka secara demokratis” (Fakih, 2008)
Interaksi sosial-politik-ekonomi secara umum dapat dipahami sebagai interaksi antara
wilayah state society, business society, dan civil society. Ketiga wilayah ini memiliki interest
masing-masing. Kadang ada yang dapat diperjuangkan bersama-sama ada yang tidak, bahkan
ada yang saling bertabrakan satu dengan lainnya. Situasi konfliktual ini juga kerapkali terjadi
di negara-negara demokrasi baru dimana ruang kebebasan di salahpahami. Sebagai akibatnya,
pertikaian politik gampang redah dan gampang kambuh tergantung cuaca politik dan keadaan
ekonomi yang melingkupinya
Partisipasi politik di era demokrasi hari ini tidak dapat sepenuhnya terlepas dari
kontribusi masyarakat sipil baik dalam kehidupan sehari-hari tata kelola pemerintahan atau
pembangunan, juga sangat terasa pada saat kegiatan suksesi kekuasaan atau kepemimpinan
baik di level lokal maupun nasional. Hubungan antara masyarakat sipil dan demokrasi itu sama
seperti hubungan antara keberadaan borjuasi dan demokrasi itu sendiri sebagaimana adagium
Barringtone Moore, ‘no bourgeoisie no democracy’. Sehingga, dapat dikatakan juga,
kehadiran demokrasi tanpa partisipasi aktif masyarakat sipil hanya menjadi demokrasi yang
dangkal—demokrasi yang lebih berat di prosedur ketimbang subtansi demokrasi itu sendiri:
kesetaraan, kebebasan, keadilan, kesejahteraan, dan perlindungan. Transisi politik yang
diarahkan kepada tahap konsolidasi demokrasi dapat dilakukan oleh rezim penguasa atau oleh
masyarakat sipil dan atau kolaborasi keduanya. Dalam hal keberhasilan mengelola transisi
kepada konsolidasi ditentukan oleh kemunculan ‘elit yang bersatu secara konsensual’ dengan
satu komitmen bersama terhadap aturan main demokrasi, yaitu seperangkat norma tentang
aturan tingkah laku politik, dan struktur interaksi yang memupuk keakraban dan kepercayaan
antar individu.
Tidak bisa dipungkiri, demokrasi yang bermakna musti membutuhkan kondisi-kondisi
awal yang memadai guna terwujudnya demokratisasi itu sendiri, yaitu: (1) adanya pemilihan
71
umum yang bebas, adil, dan berkala; (2) kebebasan berpendapat; (3) adanya akses ke sumber-
sumber informasi yang luas dan alternatif; (4) adanya otonomi asosiasional; (5) adanya
lembaga perwakilan; dan (6) hak warganegara yang inklusif , Lain dari itu, sistem politik yang
demokratis pada hakikatnya memerlukan tiga prinsip dasar sebagai institusionalisasi
demokrasi itu sendiri, seperti: pertama, tegaknya etika dan moralitas politik sebagai landasan
kerja sistem politik, ekonomi, dan sosial dalam horison bernegara dan berbangsa. Kedua,
tegaknya prinsip konstitusionalisme secara tegas, melalui pelaksanaan (dan kepatuhan)
terhadap supremasi hukum di masyarakat. Dan terakhir, ketiga, diberlakukan dan
dilaksanakannya mekanisme akuntabilitas publik, yakni mekanisme yang memosisikan semua
pemegang jabatan publik sebagai pemegang amanat dari warga masyarakat sehingga dapat
dimintai pertanggunggugatannya
Menurut (Fukuyama, 2001)masyarakat sosial berkaitan dengan wacana kritik rasional atau
irrasional masyarakat yang secara ekspisit mensyaratkan tumbuhnya infrastruktur demokrasi
yang menggaransi kebebasan sipil. dalam kerangka ini hanya negara demokratis yang mampu
menjamin keberadaan masyarakat madani. Demokratisasi dirasa dapat terwujud melalui
penegakkan pilar-pilar demokrasi yang meliputi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGO),
Pers yang bebas, supremasi hukum, kebebasan akademik di Perguruan Tinggi, maraknya Partai
politik dan kehidupan toleransi. Sebagai ilutrasi, salah satu kasus yang dipotret di Malaysia
adalah bahwa keberadaan kelompok civil society telah memberikan warna sangat kental bagi
keberhasilan kelompok oposisi untuk melakukan bargaining politics yaitu dengan penyediaan
informasi, kandidat politisi, kolaborasi dengan berbagai kekuatan, dan memberikan pilihan
kepada masyarakat . Keadaan yang mirip juga terjadi di Indonesia tahun 1997-1998, di Filipine
dan Thailand secara bersamaan.
A. Posisi Civil Society (Masyarakat)
Kebaradaan aktor non-negara dalam rentang sejarah negara-negara tidak semua
mengandung konotasi positif. Banyak catatan sejarah yang memberikan stereotype negative
terhadapnya, misalnya, sebagai kelompok anarkis atau oposisi. Keterlibatan gerakan kritis
masyarakat sipil sangat beragam yang mengakibatkan mereka harus vis a vis negara yang
cukup beresiko. Masyarakat sipil di dalam negara militeristik seringkali terlibat pada berbagai
upaya advokasi menyuarakan keadilan, pembangunan yang manusiawi dan berkelanjutan, anti
korupsi, anti perang, dan pembelaan terhadap hak asasi manusia. Mereka dapat berada dalam
72
kelompok partai, kelompok agama, sosial, budaya, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan
karakter keterbukaan dan juga pekerjaan beresiko bagi aktor-aktor di dalamnya. Optimisme
yang dibangun adalah bahwa kontribusi sektor civil society adalah dalam rangkah untuk
memastikan dan mengawal proses tranformasi sosial. Jadi jelas, gerakan masyarakat sipil
adalah gerakan yang memiliki watak pro-perubahan
Sementara definisi yang positif atau netral semakin meluas hari ini. Organisasi
masyarakat sipil (disebut juga NGO, atau Civil Society Organization/CSO) didefinisikan
sebagai kelompok-kelompok asosiasi yang berfungsi mengerem kekuasaan negara, menjadi
perantara aspirasi masyarakat kepada negara, dan merupakan kelembagaan sosial yang saling
berinteraksi internal dan eksternal yang dapat menjadi pendukung dan penghambat kerja-kerja
negara (Ehrenberg, 2017)Pemahaman lain mengarahkan pada kekuatan masyarakat sipil justru
merepresentasikan kelas ekonomi dan politik tertentu sebagaimana teori Marxist pada
umumnya yang membela masyarakat hanya menjadi dua kelas saja
Civil society sendiri secara luas dimengerti sebagai prasyarat bekerjasanya sistem
demokrasi (Klinke, A., Renn, O., & Lehners, J. P. , 2018)Hal ini sesuai dengan temuan Demos
bahwa aktor-aktor pro-demokrasi cenderung aktif dalam berbagai organisasi masyarakat sipil
(Tornquist, 2005). Schimiter mempunyai pendapat sebaliknya yaitu akibat segmentasi dan
eklusivisme kelompok civil society dapat menghambat konsolidasi demokrasi itu sendiri. Olle
Tornquist sendiri tidak melihat otomasi kelompok masyarakat sipil mendukung ‘proyek’
demokratisasi padahal untuk mewujudkan demokrasi bermakna tidak cukup aktivisme
kelompok masyarakat sipil saja. Demokrasi bermakna mensyaratkan beberapa hal antara lain:
kesetaraan, kapasitas negara dan kelompok masyarakat sipil/individu dalam tata kelola alokasi
sumber daya kehidupan. Dengan demikian, entitas masyarakat sipil, pasar, dan negara dapat
hidup berdampingan secara damai—dengan menempatkan posisi secara proporsional dan
saling ada penghargaan untuk memastikan demokrasi itu sendiri tidak menegasikan keberadaan
entitas lain
Di zaman demokrasi, kekuatan civil society yang mandiri dapat bekerja lintas kelas dan
mampu menjadi ‘pengerem’ tendensi intervensionis yang dilakukan negara (Cohen dalam
Hikam, 1996). Negara mempunyai watak ‘memaksakan kehendak’ ini merupakan keadaan
obyektif yang tidak terhindarkan—negara sebagai satu-satunya lembaga yang secara sah dapat
menggunakan kekerasan dalam rangkah menegakkan ‘ketertiban’ menurut rasionalitasnya
(Tester, 2014)Tidak dapat dipungkiri bahwa kapitalisme menumbuhkan civil society berbasis
73
kelas dan dapat mempromosikan demokrasi (Lipset, 1959). Tentu saja, bukan tanpa
konsekuensi. Lipset memberikan gambaran kompleksitas bagaimana bekerjanya pranata sosial
dan hubungannya dengan demokrasi sebagaimana bagan di bawah ini
Tabel. Hubungan Demokrasi dan civil society
Kondisi Sistem Kelas Terbuka
Sistem Kelas Terbuka Sistem Nilai Kesataraan
Kekayaan Ekonomi Apatis Politik
Sistem Nilai Kesetaraan Demokrasi Birokrasi
Ekonomi Kapitalis Masyarakat
Literasi Literacy
Partisipasi Tinggi Organisasi Kesukarelaan
Dalam lajur kondisi di atas memperlihatkan elemen-elemen masyarakat sipil yang
mempunyai potensi besar mendorong bekerjanya demokrasi (tengah). Namun hal ini harus
didukung oleh bekerjanya konsekuensi terhadap perubahanperubahan keadaan yang
bertentangan dengan demokrasi seperti sistem sosial tertutup, birokrasi yang kaku untuk
mengarah pada sistem yang lebih membuka ruang bekerjanya elemen non-negara. Jika gayung
tidak bersambut, maka demokrasi akan mengalami involusi dan dalam jangka panjangnya akan
mengakibatkan apa yang disebut ‘democracy deficit’ atau keadaan terburuknya, mengarah
pada, ‘political decay’ (Yúdice, 2018). Situasi aktual hari ini menunjukkan masi lebarnya
kesenjangan antara elite dan masyarakat walaupun ruang politik sudah terbuka lebar. Dengan
kata lain, berbagai lembaga pemeringkat menempatkan DIY sebagai juara namun dirasakan
secara subtansial, masih jauh panggang dari api misalnya jika ditengok dari kesenjangan
ekonomi.
B. Partisipasi Masyarakat
Demokrasi mendasarkan pada prinsip persamaan, yaitu setiap warga negara
memiliki kesamaan hak dan kedudukan di dalam pemerintahan. Karena pada dasarnya
kedaulatan negara berada ditangan rakyat. Setiap warga negara sejatinya memiliki
74
kekuasaan yang sama untuk memerintah melalui kesepakatan dan aturan demi
kepentingan yang seluas-luasnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Kekuasaan
rakyat inilah yang menjadi sumber legitimasi dan legalitas kekuasaan negara.
Demokrasi berdiri berdasarkan prinsip persamaan, yaitu bahwa setiap warga negara
memiliki kesamaan hak dan kedudukan dalam pemerintahan. Karena itu, setiap warga
negara sejatinya memiliki kekuasaan yang sama untuk memerintah. Kekuasaan rakyat
inilah yang menjadi sumber legitimasi dan legalitas kekuasaan negara (Coryanata, 2016)
Demokrasi di Indonesia sebagai sebuah pengalaman akan sejajar dengan Indonesia
yang terbentuk sebagai sebuah negara, dari persiapan awal masa pra kemerdekaan sampai
paska kemerdekaan. Sistem demokrasi Indonesia adalah demokrasi Pancasila. Demokrasi
Pancasila adalah demokrasi yang berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong yang
ditujukan kepada kesejahteraan rakyat, yang mengandung unsur-unsur berkesadaran
religius, berdasarkan kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur, berkepribadian Indonesia
dan berkesinambungan.
Prinsip-prinsip demokrasi Pancasila menurut (asshidiqqie, 2006) meliputi:
1. Kebebasan atau persamaan (Freedom/Equality)
Kebebasan/persamaan adalah dasar demokrasi. Kebebasan dianggap sebagai sarana
mencapai kemajuan dan memberikan hasil maksimal dari usaha orang tanpa pembatasan dari
penguasa. Dengan prinsip persamaan semua orang dianggap sama, tanpa dibeda-bedakan
dan memperoleh akses dan kesempatan bersama untuk mengembangkan diri sesuai dengan
potensinya. Kebebasan yang dikandung dalam demokrasi Pancasila ini tidak berarti Free
Fight Liberalism yang tumbuh di Barat, tapi kebebasan yang tidak mengganggu hak dan
kebebasan orang lain.
2. Kedaulatan Rakyat (people’s Sovereignty)
Dengan konsep kedaulatan rakyat, hakikat kebijakan yang dibuat adalah kehendak
rakyat dan untuk kepentingan rakyat. Mekanisme semacam ini akan mencapai dua hal :
a. Kecil kemungkinan terjadinya penyalah gunaan kekuasaan.
b. Terjaminnya kepentingan rakyat dalam tugas-tugas pemerintahan.
Perwujudan lain konsep kedaulatan adalah pengawas oleh rakyat. Pengawasan
dilakukan karena demokrasi tidak mempercayai kebaikan hati penguasa.
75
3. Pemerintahan yang terbuka dan bertanggung jawab
a. Dewan Perwakilan Rakyat yang representatip;
b. Badan kehakiman / peradilan yang bebas dan merdeka;
c. Pers yang bebas; d.Prinsip Negara hukum;
d. Sistem dwi partai atau multi partai;
e. Pemilihan umum yang demokratis;
f. Prinsip mayoritas;
g. Jaminan akan hak-hak dasar dan hak-hak minoritas
Di Indonesia prinsip-prinsip demokrasi telah disusun sesuai dengan nilai-nilai yang
tumbuh dalam masyarakat, meski harus dikatakan baru sebatas demokrasi prosedural,
dalam proses pengambilan keputusan lebih mengedepan voting ketimbang musyawarah
untuk mufakat, yang sejatinya merupakan azas asli demokrasi Indonesia. Praktek demokrasi
ini tanpa dilandasi mental state yang berakar dari nilai-nilai luhur bangsa merupakan gerakan
omong kosong belaka.
Beberapa Unsur demokrasi yang dikemukakan oleh para Ahli adalah sebagai
berikut (Jimly Asshiddiqie, 2011: 243-244)
a. Menurut Sargen, Lyman Tower(1987), yaitu keterlibatan rakyat dalam
mengambil keputusan politik, tingkat persamaan hak antar manusia, tingkat
Kebebasan dan kemerdekaan yang dimiliki oleh warga negara, sistem
perwakilan dan sistem pemilihan ketentuan mayoritas
b. Munurut Afan Gaffar (1999), yaitu akuntabilitas, rotasi kekuasaan, rekruitmen politik
yang terbuka, pemilihan umum, dan hak-hak dasar
c. Menurut Merriam Budiardjo(1977), perlunya dibentuk lembaga-lembaga
demoktasi untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi, yaitu pemerintahan yang
bertanggung jawab, Dewan Perwakilan Rakyat, organisasi politik, pers dan media
massa, serta peradilan yang bebas
d. Menurut Frans Magnis Suseno(1997), menyebutkan ada lima gugus ciri hakiki
Negara demokrasi. Kelima gugus demokrasi tersebut adalah Negara hukum,
pemerintahan dibawah control nyata masyarakat, pemilihan umum yang bebas,
prinsip manyoritas dan adanya jaminan terhadap hak-hak demokrasi.
76
Demokrasi mensyaratkan adanya pengakuaan kedaulatan rakyat yang diwujudkan
dalam bentuk pengakuan civil society sebagai gerakan penekan dan penyeimbang vis a vis
negara. Rakyat sebagai elemen utama civil society secara mutlak mendapatkan kedudukan
yang strategis yang dijamin konstitusi untuk menjalankan peran-perannya sebagi bentuk
partisipasi aktif. Civil society yang kuat mendorong state untuk memperkuat dirinya agar
terjadi balance of powersehingga terjadi keseimbanga kekuasaan yang bermuara pada
terjadinya check and balances dalam proses penyelenggaraan negara (Drainville, 2017)
Teori pembentukan suatu negara dari beberapa pendapat para ahli dimana masyarakat
yang bersepakat untuk bersama-sama untuk menjadi suatu kesatuan untuk menjadikan
suatu negara. Dalam hal ini masyarakat mempunyai andil yang besar dalam sebuah negara,
dimana kesepakatan masyarakat dalam membentuk suatu negara ini agar tercipta suatu
keharmonisan masyarakat demi mencapai keadilan dan kemakmuran bagi masyarakat.
Pembangunan yang dilakukan untuk mewujudkan tujuan nasional yang diatur dalam
konstitusi dasar negara kita mengakibatkan hukum semakin berperan sehingga secara
sadar dan aktif hukum berperan sebagai sarana menyusun tata kehidupan. Hasim Purba
mengatakan pembangunan Hukum di Indonesia diharapkan dapat memantapkan dan
mengamankan pelaksanaan pembangunan, menciptakan kondisi yang membuat anggota
masyarakat dapat menikmati iklim kepastian dan ketertiban hukum (Hasim Purba, 2008:
171). Peran serta masyarakat dalam memajukan suatu pembangunan dari suatu negara,
dimana peran serta masyarakat yang aktif dapat memberikan kemajuan dari suatu negara
dan juga dapat mensejahterakan masyarakat dan negara demi kemakmuran suatu bangsa.
Sebagai negara yang telah memilih prinsip demokrasi dan dipadukan dengan
prinsip negara hukum, Indonesia akan menata tertib hidup dan kehidupan dalam
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menggunakan aturan hukum yang demokratis.
Bangsa Indonesia akan meletakan prinsip demokrasi dan prinsip hukum sebagai suatu
sinergi yang saling bersinergi dalam mewujudkan adanya national legal order yang
demokratis dalam negara. Keberadaan undang-undang yang merupakan sub sistem dari sistem
hukum nasional menempati peran yang penting dalam rangka pembangunan sistem
hukum nasional yang demokratis di Indonesia.
Partisipasi adalah pada keterlibatan mental dan emosional. Kehadiran secara
pribadi/fisik semata dalam suatu kelompok, tanpa keterlibatan tersebut bukanlah partisipasi.
Selain itu terdapat kesedian untuk memberikan kontribusi tergerak. Partisipasi masyarakat
77
merupakan dan respresentasi dari terealisasinya pemerintahan yang demokratis.Tanpa adanya
partisipasi dan hanya mengandalkan mobilisasi maka demokrasi dalam suatu negara
tidak akan terwujud.
Bagir Manan (2001: 85-86) berpendapat bahwa partisipasi masyarakat dapat
dilakukan dengan cara: a.Mengikut sertakan dalam tim atau kelompok kerja penyusunan
Peraturan daerah
a. Mengikut sertakan dalam tim atau kelompok kerja penyusunan Peraturan daerah.
b. Melakukan public hearing atau mengundang dalam rapat-rapat penyusunan Peraturan
daerah.
c. Melakukan uji sahih kepada pihak-pihak tertentu untuk mendapat tanggapan.
d. Melakukan loka karya (workshop) atas Rancangan Peraturan Daerah sebelum secara
resmi dibahas oleh DPRD.
e. Mempublikasikan Rancangan Peraturan Daerah agar mendapat tanggapan publik.
Britha Mikkelsen (terjemah oleh Matheos Nalle, 2003:64) menjelaskan partisipasi
merupakan kata yang sangat sering digunakan dalam pembangunan. Istilah partisipasi
mempunyai banyak ragam arti yaitu:
a. Partisipasi adalah konstribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut
serta dalam pengambilan keputusan;
b. Partisipasi adalah “pemekaan” (membuat peka) pihak masyarakat untuk
meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-
proyek pembangunan;
c. Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau
kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasan-
nya untuk melakukan hal itu;
d. Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf
yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, supaya memperoleh
informasi mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak sosial;
e. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang
ditentukan sendiri; dan
f. Partisipasi adalah keterlibatan masya-rakat dalam pembangunan diri, kehidupan, dan
lingkungan mereka.
78
Partisipasi menjadi salah satu prinsip mendasar dari good governance (tata
pemerintahan yang baik), menempatkan partisipasi sebagai strategi awal dalam mengawal
reformasi. Dalam konteks Indonesia, Chandra (2003:2) menjelaskan bahwa wacana partisipasi
dalam pembangunan telah dimulai sejak era 1970an. Ide tentang pembangunan dari rakyat,
oleh rakyat, untuk rakyat telah masuk dalam draf GBHN pada dekade 1970an (Sanit, 1982)
Rakyat suatu negara mempunyai status yaitu kedudukan hukum, (rechtspositie) yang
berupa hak dan kewajiban setiap individu di dalam negara ini adalah (Fahrudin, 2011):
a. Status positif
Adalah rakyat berhak memperoleh perlindungan jiwa, raga, harta, kemerdekaan dan
sebagainya. Status ini merupakan kebutuhan dasar dari warga masyarakat agar dapat
menikmati tatanan kehiduoan secara wajar dan layak bagi kemanusiaan. Untuk mewujudkan
adanya tertib kehidupan dalam masyarakat ini, maka negara perlu membentuk badan-badan
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan sebagainya. Adanya badan tersebut bertujuan untuk
menangani.
b. Status Negatif
Bahwa negara dilarang campur tangan terhadap unsur-unsur yang berkaitan dengan hak-
hak asasi warga negaranya. Namun demikian hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan
umum, misalnya pembangunan jalan, negara dibenarkan campur tangan sepanjang dengan
ketentuan hukum yang berlaku. Negara tidak dapat mencampuri hak-hak asasi warga negara
secara sewenang-wenang. Negara harus tunduk pada aturan yang berlaku. Penggunaan campur
tangan negara terhadap hak-hak asasi manusia ini hanya dapat dilakukan secara terbatas dengan
tetap memberikan ganti kerugian yang layak bagi kemanusiaan
c. Status Aktif
Status aktif ini adalah bahwa warga negara berhak untuk turut serta dalam proses
penyelenggaraan negara baik memilih maupun dipilih. Adanya status aktif ini merupakan
konsekuensi bagi suatu negara yang menempatkan rakyat bukan sekedar sebagai obyek tetapi
sekaligus sebagai subyek dalam negara. Penggunaan status ini harus diberikan jaminan untuk
dapat dilaksanakan dengan baik. Negara harus memberikan kesetaraan, kesamaan, kejujuran,
keadilan kepada setiap warga negara dalam rangka pencapaian proses
79
d. Status Pasif
Bahwa warga negara berkewajiban untuk menaati dan tunduk kepada aturan hukum yang
dikeluarkan oleh negara. Berbagai peraturan perundnagundangan harus diberlakukan dan
ditegakan secara sama terhadap semua warga negara. Tidak boleh ada perlakuan istimewa
dengan berlakunya suatu aturan dan penegakan hukum disuatu negara. Hukum yang di produk
oleh negara harus ditegakan tanpa ada pilih kasih terhadap semua warga negara
Status yang bertalian dengan warga negara tersebut, maka adanya partisipasi
masyarakat jelas merupakan suatu kebutuhan yang tumbuh dari adanya kesadaran sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari negara. Partisipasi masyarakat merupakan suatu kenyataan
yang tak dapat dihindarkan bagi warga negara yang telah mencapai tingkat kesadaran tinggi
dalam bernegara. Tanpa adanya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
negara,sebenarnya lebih merupakan suatu kewajiban dari pada sekedar kesadaraan dalam
negara.
Partisipasi masyarakat dalam pembentukan suatu peraturan daerah juga sudah
dituangkan dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah dalam
pasal Pasal 237 ayat (3) dan dalam BAB XIV tentang partisipasi masyarakat. Masyarakat
berperan aktif dalam rumusan pembentukan peraturan.
Masyarakat dalam berpartisipasi juga merupakan suatu perwujudan dari demokrasi.
Demokrasi sebagai landasan bagi hadirnya partisipasi masyarakat untuk turut serta dalam
menjalankan pemerintahan yang baik, terutama dalam fungsi pengawasan dan pembahasan
suatu peraturan. Peraturan yang dibuat oleh badan legislatif DPR bersama-sama dengan
eksekutif dalam hal ini pemerintah, disini masyarakat hadir dalam hal berpartisipasi untuk
duduk bersama dengan lembaga eksekutif dan legislatif membahas suatu aturan yang nantinya
aturan tersebut akan mengikat
Masyarakat sendiri. Partisipasi masyarakat ini sangat penting digunakan paling tidak
adanya upaya masyarakat dalam mengawasi rancangan suatu aturan yang nanti disahkan dan
mengikat masyarakat sendiri. Pengawasan masyarakat melalui partisipasi ini yang
memunculkan pengawasan dari masyarakat atas kinerja legislatif dalam menghasilkan suatu
aturan yang dihasilkan tidak merugikan bagi kepentingan masyarakat umum
80
C. Civil Society dalam Pemilihan Umum
Peningkatan peran masyarakat sipil (civil society) dalam demokratisasi di Indonesia
dianggap sangat penting, hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Konsep civil society merupakan
konsep tentang masyarakat yang mandiri atau otonom, yakni sebagai entitas yang mampu
memajukan diri sendiri, tidak dibatasi oleh intervensi negara dan pemerintahan dalam realitas,
dan memperlihatkan sikap kritis dalam kehidupan politik. Civil societyyang dimaksud
mencakup institusi-institusi non-pemerintah yang berada di masyarakat yang mewujudkan diri
melalui organisasi, perkumpulan atau pengelompokan sosial dan politik yang mandiri seperti
organisasi sosial dan keagamaan, LSM, paguyuban, kelompok-kelompok kepentingan, dan
sebagainya yang juga bisa mengambil jarak dan menunjukkan otonomi terhadap negara.
Abraham Lincoln berpendapat bahwa pemerintahan berasal dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat. Dengan semua dikembalikan kepada rakyat, rakyat akan mempunyai ruang gerak
yang luas untuk memperkuat civil society, masyarakat akan merasa aman. Negara tidak akan
semena-mena dan hal inilah yang akan menaikan posisi kedaulatan rakyat dihadapan negara.
Ernest Gellner menyatakan, “no civil society, no democracy”. Civil society bergantung pada
tumbuh suburnya demokrasi didalam suatu negara, semakin demokrasi diakui dan diterapkan
dalam suatu negara, civil society semakin memiliki ruang yang besar dalam negara tersebut
namun sebaliknya bila demokrasi dikekang dalam suatu negara, maka kualitas civil society
sangatlah diragukan untuk berkembang.
Sumbangan civil society terhadap konsolidasi demokrasi dengan berbagai peran yang
dijalankannya tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Civil society adalah keterlibatan warga
Negara yang bertindak secara kolektif untuk mencapai tujuan dan masyarakat sipil yang
memusatkan perhatiannya untuk kepentingan umum, namun tidak berusaha untuk merebut
kekuasaan dan hanya sebagai penyeimbang diluar kekuasaan
Masyarakat demokratis, ketika warga yang berdiam diri memiliki suatu efektifitas
dalam penalaran kebijakan yang berkenaan dengan urusan publik. Jelas bahwa peranan
masyarakat demokratis non pemerintah dapat dikatakan membantu pemerintah dalam
menentukan kebijakan negara. Civil society berperan serta mendukung jalannya pembangunan
sebuah negara. Konsep ini bisa digambarkan sebagai karakter indentitas yang dimiliki untuk
mengaktualisasikan kedemokratisan masyarakat tersebut.
81
Habermas seorang tokoh madzab Frankfurt melalui konsep the free public sphere atau
ruang publik yang bebas, di mana rakyat sebagai citizen memiliki akses atas setiap kegiatan
publik. The free public sphere merupakan inspirator, motivator sekaligus basis bagi mekanisme
demokrasi modern, seperti yang dialami oleh Amerika, bangsa Eropa dan kawasan dunia lain.
Demokrasi modern secara substantif mengacu pada kebebasan, kesetaraan, kemandirian,
kewarganegaraan, regularisme, desentralisme, aktivisme, dan konstitusionalisme.
Konsep public sphere memiliki kapasitas dan fungsi amat penting dalam demokrasi
politik, dikarenakan terdapat ruang untuk setiap warga negara untuk dapat mengakses dan
peluang untuk memberikan berpendapat yang bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang
demokratis, transparan, partisipatif dan akuntabel. Bentuk ruang publik semakin beragam, di
antaranya adalah munculnya ruang publik virtual, dengan fasilitas teknologi internet. Ditandai
dengan munculnya media sosial dan situs-situs berita yang memungkinkan para pembacanya
berinteraksi satu dengan yang lain. Hal tersebut melahirkan komunitas-komunitas maya,
sehingga setiap aktor–aktor sosial bisa menjalin dan berinteraksi secara umum.
Pada Pemilu 2019 , jejaring sosial dan situs-situs yang berhubungan dengan Pemilu
seolah menjadi ruang bagi masyarakat dalam mengekspresikan diri, memberikan pendapat, dan
menggali informasi tentang kepemiluan. Dengan berkembangnya dan semakin dewasanya civil
society di Indonesia yang peduli dalam keikutsertaan memilih dan memberikan suara,
mengawal serta mengawasi seluruh prosesnya adalah bentuk dari demokrasi yang semakin
baik. Ini memberikan sebuah harapan akan lahirnya sebuah negara demokrasi yang
sesungguhnya. Hal tersebut dapat dilihat dari antusiasnya masyarakat dalam kontribusi
memberikan suara, mengawal proses perhitungan suara dan hal lainnya untuk mendukung
proses Pemilu serta tersedianya ruang bagi civil society untuk mengemukakan pendapat,
mengkritik dan membantu serta mengawasi pemerintah dalam mencapai program-program
yang telah dibuat.
Hal ini sekali lagi menjadi gambaran pentingnya civil society sebagai pengontrol dalam
proses demokrasi. Politik dalam negara demokrasi tidak hanya menjadi arena pergerakan bagi
pemerintah atau parpol namun juga arena dimana civil society bergerak dalam rangka
mengontrol roda pemerintahan demi keberlangsungan hidup sebuah bangsa.
82
D. Hubungan Civil Society dan Partai Politik
Diskusi mengenai civil society terbagi dua pandangan. Ada sebagian yang
berpandangan bahwa civil society memiliki keterikatan yang erat dengan Negara,
termasuk dalam hal ini dengan partai politik.4 Negara, termasuk apparatus dan
kebijakannya, merupakan bagian dari konsep sebuah masyarakat politik yang dicita-
citakan.
Sebaliknya, civil society merupakan sebuah ranah masyarakat yang terpisah
dengan ranah Negara karena dalam peran dan fungsinya yang lebih bebas dan merdeka
dari intervensi Negara. Civil society adalah kelompok masyarakat yang memiliki
kemandirian yang tegas terhadap berbagai kepentingan akan kekuasaan. Yang tidak kalah
penting dalam konsep civil society adalah adanya partisipasi aktif dari emua warga
negara baik yang tergabung dalam berbagai perkumpulan, organisasi atau kelompok
lainnya sehingga akan membentuk karakter demokratis di lembaga tersebut (Nickel, Patricia
Mooney, 2015)
Sementara itu, konsep partai politik sebagai sebuah kelompok atau organisasi di dalam
masyarakat berbeda dengan apa yang telah disebutkan dalam civil society. Menurut
Sartori yang dikutip oleh Miriam Budiarjo, definisi partai politik adalah suatu kelompok
politik yang mengikuti pemilihan umum dan melalui pemilihan umum itu mampu
menempatkan calon-calonmnya untuk menduduki jabatan publik. Dalam pengertian itulah
maka partai politik berbeda dengan civil society terutama dalam aspek usaha meraih
kekuasaan politik melalui jalur pemilihan umum. Meski keduanya juga memiliki
kesamaan dalam usaha untuk berkontribusi terhadap kepentingan publik.
Dalam konteks kebijakan,partai politik memiliki fungsi untuk mengagregasikan atau
merepresentasikan berbagai macam kepentingan dan menegosiasikan semua kepentingan
tersebut menjadi sebuah kebijakan negara. Sebaliknya, civil society berperan untuk menuntut
dan mengkritik terhadap kebijakan pemerintah, namun sayangnya kelompok ini tidak bisa
mengimplementasikan kritik tersebut dalam hal yang kongkrit.relasi ini sebenarnya terbangun
dalam membangun kepentingan akan lahirnya sebuah kebijakan publik (Andrée, 2019)
Sementara itu, dalam konteks yang lebih mikro, relasi para aktor civil society dan para
politisi terlihat dalam berbagai kerjasama. Para politisi di DPR, misalkan, mendukung
apa yang disampaikan oleh civil society mengenai satu isu tertentu. Dalam kesempatan
yang berbeda, para aktor civil society juga mendorong partai politik untuk lebih terbuka,
83
transparan dan membuka komunikasi yang intensif dengan berbagai kelompok masyarakat,
terutama di daerah pemilihannya. Di belahan benua Eropa, partai politik juga mengalami
situasi yang tidak menguntungkan yakni ketidakpercayaan ataupun alieanasi dari publik.
Salah satu penyebabnya adalah makin melemahnya ikatan antara konstituen dengan partai
politik, termasuk salah satunya adalah ikatan keagamaan ataupun kekeluargaan di dalam
partai. Yang menarik adalah menguatnya isu-isu sosial kemasyarakatan di kalangan
masyarakat yang kemudian mengikat kelompok-kelompok tersebut menjadi sebuah
kepentingan bersama yang diperjuangkan. Dalam perjalanannya, kelompok ini dimungkinkan
untuk menjelma sebagai partai politik seperti partai-partai Hijau di beberapa negara Eropa
Indikasi melemahnya partai politik dan menguatnya civil society juga
ditemukan di Amerika Latin ataupun beberapa negara Asia, manakala civil society telah
berkontribusi untuk memberi bantuan yang memadai bagi pengembangan dan penguatan
kelembagaan partai politik, seperti pengembangan kader-kader partai terutama dalam
berhubungan dengan konstituen atau merumuskan platform pembangunan yang akan
diarahkan. Artinya, civil society juga memiliki kemampuan dalam memobilisasi dukungan
publik menjadi sebuah kebijakan publik. Sayangnya,civil society memiliki keterbatasan,
terutama untuk mengambil peran dalam politik yaitu berada di dalam arena pemutus
kebijakan.
Padahal dalam negara yang sedang mengalami transisi demokrasi, kehadiran partai
politik dan civil society adalah bagian yang tidak bisa dianggap remeh. Linz dan Stepan
menyatakan bahwa kehadiran civil society dan partai politik adalah bagian yang penting
untuk menciptakan konsolidasi demokrasi, selain juga kehadiran birokrasi yang efektif,
kehadiran masyarakat ekonomi yang juga kondusif dan taatnya aturan terhadap hukum secara
bersama-sama. Kehadiran civil society yang dijamin kebebasannya juga menopang bagi
keberlangsungan partai politik, terutama untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang
berpihak kepada masyarakat. Tugas civil society adalah menghasilkan gagasan-gagasan
yang konstruktif dalam pembangunan dan juga memonitor aparat negara serta kelompok-
kelompok ekonomi. Sementara itu, tugas partai politik adalah menghasilkan dan membentuk
konstitusi dan aturan-aturan perundang-undangan, mengontrol aparat birokrasi dan juga
menghasilkan produk-produk kerangka kebijakan bagi semua pihak, termasuk kelompok
ekonomi
84
E. Model Relasi Partai Politik dan Civil Society
Untuk memahami relasi yang terjadi antara partai politik dan civil society, Beavis
melihat ada tiga hal mendasar yaitu (1) tipe dari aktivitas yang menghubungkan
partai politik dan civil society; (2) kekuatan dari hubungan tersebut, terlebih dalam konteks
seberapa dekat dan eksklusif hubungan tersebut dibangun; dan (3) arah dari pengaruh dalam
relasi tersebut. Dalam model-model ini yang nantinya akan menarik akan didiskusikan secara
lebih mendalam. Ada beberapa aktivitas yang dilakukan oleh civil society dan partai
politik secara bersama-sama, dimana lebih banyak fokus dalam konteks pembuatan
kebijakan publik seperti advokasi atau lobi terhadap suatu isu yang sedang dibahas
dalam proses pembuatan undang-undang. Dalam konteks ini, civil society sebagai
kelompok kepentingan yang akan me-lobi partai politik di DPR untuk mendorong dan
mendiskusikan kepentingan yang mereka ajukan. Sebagai organisasi yang independen
dari kepentingan politik, civil society juga memiliki peran untuk memonitor janji-
janji kampanye para kandidat dan partai dalam masa kampanye serta juga perilaku para
politisi di DPR. Dalam kesempatan yang berbeda, civil society Juga dianggap sebagai
wadah untuk berdiskusi tentang berbagai hal-hal penting terkait dengan isu-isu yang mereka
(anggota DPR) butuhkan saat itu (Arjona, Ana, Nelson Kasfir, and Zachariah Mampill, 2015)
Dalam konteks kebutuhan partai politik, civil society juga berperan dalam
meningkatkan kapasitas organisasi partai dalam menjalankan fungsinya, melalui berbagai
bentuk pelatihan pengembangan kapasitas. Sebagai lembaga yang memiliki sumber daya
manusia yang diakui eksistensi dalam pembangunan, civil society juga menyediakan para
aktor dan pimpinannya sebagai kandidat yang mumpuni dalam ajang pemilihan umum,
baik untuk legislatif ataupun eksekutif. Pada saat yang bersamaan, civil society juga
dapat berperan dalam mobilisasi para pemilih untuk dapat memilih pemimpin partai
politik yang sesuai dengan arah dan kepentingan mereka sebagai pemilih.
Dari perspektif partai politik, terdapat empat pandangan yang dapat dilakukan oleh
partai politik: (1) memiliki jarak jauh dengan civil society; situasi ini
mengindikasikan bahwa partai tidak memiliki hubungan dengan civil society atau adanya
kompetisi yang keras satu sama lain sehingga tidak memiliki relasi yang dekat. (2)
mendapat dukungan dari banyak kelompok masyarakat dalam jangka waktu yang singkat; hal
ini disebabkan tergantung dari kepentingan seperti apa yang menjadi titik temu dari relasi
tersebut. (3) memiliki hubungan jangka panjang dengan satu atau beberapa kelompok civil
85
society; hal ini diindikasi dari adanya dukungan serius dan permanen dari satu kelompok
civil society kepada satu partai politik, seperti kelompok think thank, kelompok serikat
pekerja dan lain-lainnya. Dan (4) relasi yang terputus dengan kelompok civil society;
hal ini dimungkinkan manakala salah satu organ partai memutuskan keluar dari partai
dan bertransformasi menjadi kelompok civil society dengan pertimbangan efektivitas kerja
dibandingkan berada di dalam partai politik.
Sementara itu dari arah pengaruhnya, relasi partai politik dan civil society
tergantung dari konteks bagaimana kepentingan tersebut berhasil diolah dan dikelola. Ada
yang berpandangan bahwa partai politik sebenarnya juga memiliki kelompok-kelompok
civil society yang punya pengaruh di dalam konstituen sehingga partai memiliki
kekuasaan yang besar. Sebaliknya, kelompok civil society juga memiliki tingkat
independensi yang tinggi ketimbang partai politik karena dipengaruhi situasi dan
lingkungan sosial politik di negara yang bersangkutan.
Secara keseluruhan model yang diungkapkan oleh Beavis ini merupakan bentuk
relasi yang diasumsikan berada dalam konteks negara yang tengah mengalami transisi
demokrasi. Artinya, konteks relasi ini tidaklah tunggal dan satu arah melainkan
kondisi yang memiliki ketergantungan dengan apa yang terjadi dalam negara yang
bersangkutan
Sumber: Duncan, J. (2015). Global food security governance: Civil society engagement in the
reformed Committee on World Food Security. Routledge.
86
F. Membangun Relasi yang Konstruktif
Relasi dan dinamika yang terbangun diantara dua kelembagaan ini, civil society
dan partai politik, sedang berusaha menemukan arah yang konstruktif. Dahulu pada masa
Orde Baru, kelompok civil society yang cenderung beroposisi dengan pemerintah, tidak
mendapat tempat dalam konstelasi politik nasional. Pada saat yang bersamaan,hegemoni
Golkar yang didukung oleh penguasa Orde Baru telah mematikan langkah dan
strategi partai politik lainnya seperti PPP dan PDI. Dalam konteks ini kita tidak mampu
mendiskusikan secara jelas arah relasi civil society dan partai politik. (Hamad, 2015)
Dalam era pasca reformasi, kedua institusi ini sebenarnya telah sepakat bahwa
membangun demokrasi tentu memerlukan relasi yang konstruktif, terutama demi
menghasilkan kebijakan-kebijakan public yang menguntungkan masyarakat luas. Hanya
saja yang perlu didiskusikan secara intensif menyangkut perbedaan perspektif mengenai hal
tersebut. Bagi kelompok civil society, kebutuhan untuk terlibat dalam arena pembuatan
kebijakan adalah penting. Permasalahannya kemudian adalah bagaimana mengkoneksikan
kebutuhan tersebut menjadi sebuah kenyataan manakala terdapat kendala yang masih
dihadapi, semisal mobilisasi dukungan financial yang dibutuhkan dalam pemenangan
pemilu. Hal ini bisa terjadi karena partai politik besar di Indonesia masih menghadapi
persoalan serius dalam pembenahan internal organisasi, semisal dalam urusan rekrutmen
yang belum tertata dengan baik. Padahal salah satu usaha untuk memenangkan pemilu adalah
menyangkut mekanisme rekrutmen yang dikaitkan dengan cara pemenangan tersebut. Artinya
para aktor civil society yang berkeinginan untuk menjadi anggota partai politik tertentu dan
menjadi caleg partai tersebut akan mempertimbangkan kembali manakala partai belum
memikirkan secara serius terkait dengan aspek pemenangan tersebut
Sementara itu, partai politik juga berpandangan bahwa memenangkan pemilu ataupun
memutuskan sebuah perundang-undangan tanpa dukungan nyata dari kelompok atau organisasi
kemasyarakatan adalah sesuatu yang sulit dilakukan. Maka tidak heran bila partai politik
memiliki organ dan sayap kelompok masyarakat yang berkoneksi langsung dengan
kebutuhan mereka. Dalam konteks itu kelompok civil society dan partai politik memiliki
kedekatan yang jelas, namun masih memiliki permasalahan yang harus dicari
penyelesaiannya. Apakah mengajak dan meminta aktor civil society ke dalam partai
untuk membantu penyelesaian hal tersebut dan mendorong agar terjadi hubungan yang
permanen dan saling menguntungkan di kemudian hari? Ataukah yang bersifat sementara,
87
dimana kehadiran aktor civil society hanya menjadi pelengkap bagi usaha meningkatkan
suara partai? Maka diskusi tentang hal ini menjadi agenda yang menarik agar tidak
menimbulkan rasa curiga.
Gagasan Blok Politik Demokratik yang disampaikan oleh DEMOS merupakan sebuah
hal yang menarik.Gagasan ini sebenarnya ingin memberi enekanan adanya lembaga perantara
diantara dua kekuatan yaitu organisasi partai politik yang punya tujuan politis dengan
organisasi civil society seperti organisasi gerakan social dan organisasi kerakyatan lainnya.
Harapannya model blok seperti ini akan mampu menjelma sebagai sarana yang efektif untuk
menjembatani kepentingan politik dari organisasi civil society dengan keterbatasan yang
mereka miliki. Namun demikian, catatan yang perlu didiskusikan adalah bagaimana blok
ini mampu secara efektif bekerja dalam mengarahkan kepentingan politik dari kelompok
civil society manakala komitmen diantara para aktor (baik di dalam partai dan civil society)
belum terbangun dengan utuh. Pada saat yang bersamaan, kesiapan infrastruktur baik
menyangkut mobilisasi sumber daya untuk mengarahkan tujuan politik masih
menghadapi persoalan serius di partai politik dan civil society. Sebagai contoh, dalam
persoalan sumber daya, partai politik dan civil society masih mengandalkan
mobilisasi dari pihak luar untuk menjalankan organisasinya. Parahnya, partai politik
memiliki kelemahan dalam mengelola sumber daya secara baik, terutama dalam urusan
pendanaan. Artinya untuk menciptakan sebuah bangunan blok yang baik dibutuhkan
kedua organ penopangnya yaitu civil society dan partai politik yang juga memiliki kesiapan
yang memadai untuk menciptakan sebuah blok yang efektif.
Oleh karena itu, salah satu hal yang bisa dilakukan segera adalah membangun
komitmen diantara para aktor civil society dan pimpinan partai politik untuk mendesakkan
agenda pembangunan blok politik demokratik. Hal yang positif pada saat ini adalah
adanya kawan-kawan Ornop yang sudah bergabung di partai menjadi penghubung dalam upaya
menciptakan komitmen bersama ini. Bila ini bisa dilakukan dan mendapat dukungan luas
dan nyata dalam bentuk kesamaan komitmen terhadap blok-blok ini maka akan terbuka
kemungkinan kerjasama ini bisa diwujudkan.
88
References Andrée. (2019). "Civil society and social movements in food system governance.
Arjona, Ana, Nelson Kasfir, and Zachariah Mampill. (2015). governance in civil war. Australia:
Cambridge University Press.
asshidiqqie, J. (2006). Pengantar ilmu hukum tata negara jilid II. Jakarta: Gramedia.
Barata. (2018). The EU and the Civil Society: Romania Where Does It Stand. Europolity: Continuity
& Change Eur. Governance 5.
Cohen, J. L., & Arato, A. . (2007). Civil society and political theory. Jakarta: M.T Press.
Coryanata. (2016). Akuntabilitas, Partisipasi Masyarakat dan Transparansi Kebijakan Publik sebagai
Pemoderasi Hubungan Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran dan Pengawasan Keuangan
Daerah. Jurnal Akuntansi dan Investasi, .
Drainville, A. C. (2017). he fetishism of global civil society: global governance, transnational
urbanism and sustainable capitalism in the world economy. In Transnationalism from below.
Routledge.
Ehrenberg. (2017). Civil society: The critical history of an idea. NYU Press.
Fahrudin. (2011). Pemberdayaan partisipasi dan penguatan kapasitas masyaraka. Bandung:
Humaniore.
Fakih, M. (2008). . Islam, Globalisasi, dan Nasib Kaum Marjinal. Ulumul Qur’an:. Jurnal
Kebudayaan dan Peradaban.
Fukuyama. (2001). Social capital, civil society and developmen. Third world quarterly, 22(1), 7-20.
Hamad. (2015). Konstruksi realitas politik dalam media massa: Sebuah studi critical discourse
analysis terhadap berita-berita politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Klinke, A., Renn, O., & Lehners, J. P. . (2018). Ethnic conflicts and civil society: proposals for a new
era in Eastern Europe. Routledge.
Nickel, Patricia Mooney. (2015). Public Sociology and Civil Society: Governance, Politics, and
Power. Netherland: Routledge.
Sanit. (1982). Sistim politik Indonesia, kestabilan, peta kekuatan politik dan pembangunan. Penerbit
Cl Rajawali.
Tester. (2014). Civil Society (RLE Social Theory). . Routledge.
Yúdice. (2018). The globalization of culture and the new civil society. In Cultures of Politics Politics
of Cultures: Re-Visioning Latin American Social Movement. Francis: Taylor and Francis.
89
BAB V
PERAN BADAN PENGAWAS PEMILU (BAWASLU)
DAN KOMISI PEMILIHAN UMUM (KPU) TERHADAP POLITIK UANG
POKOK BAHASAN
Peran badan pengawas pemilu (BAWASLU) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
terhadap Politik Uang
DESKRIPSI SINGKAT
Pokok bahasan ini dimaksudkan untuk membantu peserta dalam mengenalkan peran
penyelenggara pemilu dalam menangani politik uang
SUB POKOK BAHASAN
1. Peran Kpu Dalam Menangani Praktik Politik Uang.
2. Peran Bawaslu dalam menangani Praktik politik uang
3. Skema pelaporan praktik politik uang kepada Bawaslu
HASIL BELAJAR
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu menjelaskan peran KPU dan
BAWASLU, serta skema pelaporan praktik politik uang kepada bawaslu
INDIKATOR HASIL BELAJAR
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta dapat :
1. Mengidentifikasi peran KPU terhadap politik uang
2. Mengidentifikasi peran BAWASLU terhadap politik uang
3. Mengidentifikasi strategi penyelenggara pemilu dalam pencegahan praktik
politik uang
4. Mengidentifikasi bagaimana proses pelaporan pelanggaran pemilu salah
satunya praktik politik uang kepada BAWASLU
METODE
1. Presentasi
2. Ceramah
3. Diskusi kelompok
4. Tanya jawab
ALAT BANTU
1. Info grafik;
90
2. Naskah Pegangan;
3. Flipchart;
4. Laptop;
5. LCD Proyektor;
6. Bahan Presentasi/Power Point;
7. Spidol Besar;
8. Spidol Kecil;
9. Lembar Kerja
WAKTU
120 Menit
PROSES PEMBELAJARAN
1. Fasilitator membuka pertemuan dengan menjelaskan tujuan pembelajaran yang ingin
dicapai dalam sesi ini.
2. Fasilitator mengundang Narasumber untuk menjelaskan peran penyelenggara pemilu
baik KPU dan BAWASLU dalam menangani praktik politik uang
3. Fasilitator memandu diskusi dengan narasumber tentang peran KPU dan BAWASLU
terhadap praktik politik uang
4. Fasilitator membagi peserta dalam ketiga kelompok, Kelompok satu mendiskusikan
posisi KPU dalam menangai pencegahan praktik politik uang, Kelompok dua Masing-
masing kelompok menjelaskan peran bawaslu dalam menangani pencegahan praktik
politik uang , kelompok ketiga menjelaskan dampak politik uang terhadap negara
5. Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompok selama 10 menit
dan peserta yang lain dipersilahkan memberi tanggapan dan masukan terhadap
presentasi masing-masing kelompok selama 15 menit.
6. Fasilitator menutup pertemuan dengan membuat kesimpulan-kesimpulan dari catatan
hasil diskusi peserta.
91
MATERI
BAB V
PERAN BADAN PENGAWAS PEMILU (BAWASLU)
DAN KOMISI PEMILIHAN UMUM (KPU) TERHADAP POLITIK UANG
A. Peran KPU Dalam Menangani Praktik Politik Uang.
Politik transaksional atau sering disebut dengan istilah money politics atau politik uang
merupakan suatu upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi. Dapat
dikatakan bahwa strategi ini merupakan jual-beli suara pada proses politik dan kekuasaan serta
tindakan membagi-bagikan uang baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara
pemilih. Praktik politik uang telah terjadi dan tampaknya sulit dihentikan, politik uang tumbuh
di tengah kondisi masyarakat yang rentan secara ekonomi dan politik. Elit-elit politik tidak
memposisikan rakyat sebagai konstituen yang menjadi obyek pengabdian mereka, memenuhi
kepentingan mereka, melainkan sebagai konstituen yang menjadi obyek kekuasaan mereka.
Maka dalam pemilihan umum (Pemilu) yang akan berlangsung akan ditemui bentuk-bentuk
kampanye yang hanya membesar-besarkan sepak terjang pencapaian calon, asal-muasal sang
calon terutama berkaitan dengan gelar kesukuan, dan pembagian atribut nomor urut agar
pemilih tidak salah coblos. Tetapi mengabaikan isi kampanye yang bersifat memasarkan isi
kemasan (Program calon) dan apa yang bisa diharapkan rakyat jika calon tersebut terpilih.
Maka rakyat menjadi apatis, cenderung melihat proses Pemilu sebagai kontes perebutan
kekkuasaan untuk mendapatkan priveleges sebagai elit, dan yang mengkhawatirkan adalah
rakyat kemudian melihat praktik politik uang menjadi suatu hal yang wajar.
Adanya fenomena praktik politik uang menunjukkan bahwa Komisi Pemilihan Umum
(KPU) perlu bekerja secara maksimal untuk mengatasi hal tersebut, sehingga budaya praktik
politik uang bisa dihilangkan, dan budaya politik partisipatif masyarakat bisa terbentuk dalam
proses Pemilu. Langkah atau peran yang dilakukan KPU lakukan dalam menangani praktik
politik uang adalah dengan melakukan pendidikan politik tentang larangan praktik politik uang
pada Pemilu dengan cara: Pertama, Sosialisasi politik dilakukan dengan cara memberikan
pengetahuan politik tentang bahaya atau dampak negatif money politics. Kedua, Memberikan
materi tentang prosedur yang harus dilakukan masyarakat ketika terdapat calon yang
melakukan praktik politik uang, bahwa masyarakat tidak perlu memilih calon peserta pemilu
yang melakukan politik uang dan tidak menerima pemberian berupa apapun oleh calon untuk
92
mempengaruhi hak pilih serta melaporkan kejadian tersebut kepada penyelenggara pemilu.
Ketiga, Pembelajaran Politik, KPU menekankan kepada lembaga politik, atau partai peserta
pemilu untuk ikut serta memberikan pembelajaran politik seperti mencitrakan politik yang baik
kepada masayarakat agar masyarakat didalam menentukan pilihannya bukan berdasarkan
emosi, akan tetapi berdasarkan pertimbangan rasio atau bagaimana menyalurkan pilihannya
dengan pikiran, intelektual dengan pendidikan dan pencerahan politik.
Penanganan praktik politik uang merupakan salah satu misi besar KPU dalam
menyelenggarakan pemilu dan menjaga pemilu supaya tetap berintegritas, maka dari itu
berbagai macam cara dilakukan dalam menangani persoalan praktik politik uang, seperti
bentuk-bentuk yang dilakukan dalam penanganan praktik politik pada tahap persiapan dan
pelaksanaan pemilu, beberapa bentuk penanganan nya yaitu antara lain:
1. Bentuk Pre-Emtif
KPU (Komisi Pemilihan Umum) dalam masa sebelum penetapan melakukan
himbauan kepada seluruh pasangan calon agar tidak melakukan tindak pidana
politik uang (Money Politic) karena konsekuensi dari melakukan politik uang
adalah beresiko dapat dibatalkan sebagai calon kalau ada keputusan dari
pengadilan. Sanksi yang berat seharusnya dapat menjadi pertimbangan calon
pasangan untuk tidak melakukan praktik politik uang, karena upaya
penanggulangan Pre-Emtif upaya awal untuk mencegah terjadinya tindak pidana,
upaya awal disini lebih ditekankan dalam factor “Niat” jadi jika pasangan
mengetahui jika melakukan politik uang dapat mengakibatkan pembatalan calon
maka si calon enggan melakukan politik uang. Dalam upaya penanggulangan Pre-
Emtif semua aspek harus turut ikut serta dalam mencegah adanya kesempatam,
contohnya masyarakat haru cerdas didalam kampanye seorang calon, jika calon
tersebut bagi-bagi sembako kepada masyarakat maka sebagai masyarakat jangan
langsung diterima sembako tersebut tanyakan tujuan dan niat dari pasangan calon
tersebut dahulu. Jika masyarakat sudah menolak sembako dari pasangan calon
tersebut maka otomatis niat pasangan calon untuk melakukan politik uang jadi
hilang.
2. Bentuk Preventif
Melakukan pencegahan praktik politik uang lebih baik daripada mencoba untuk
mendidik pelaku tindak pidana politik uang, maka KPU mengupayakan pencegahan
atau preventif dalam menangani praktik politik uang dengan mensosialisaikan
93
kepada peserta pemilu bahwa praktik politik uang dapat membatalkan peserta
pemilu mengikuti pemilu yang akan berlangsung. Pembatalan peserta pemilu yaitu
berdasarkan putusan keadilan yang sebelumnya di proses oleh Gakkumdu, jadi
ketika terbukti melakukan praktik politik uang oleh putusan keadilan, maka peserta
pemilu tersebut tidak boleh mengikuti seluruh tahapan pemilu.
3. Bentuk Represif
Upaya represif lebih menitikberatkan pada sifat pemberantasan dan penindakan
praktik politik uang. upaya penindakan diharapkan dapat memberikan efek jera
pelaku agar tidak mengulangi lagi perbuatannya, selain itu memberikan efek rasa
takut bagi masyarakat karena harus dipidana/ditindak apabila terbukti menerima
atau ikut serta melakukan praktik politik uang. selain itu KPU juga meminta kepada
seluruh lapisan elemen masyarakat untuk ikut serta memberantas politik uang
termasuk masyarakat juga harus berperan aktif, jika masyarakat melihat tindakan
poitik uang masyarakat harus cerdas tidak menerima politik uang tetapi langsung
melaporkan kepada Bawaslu.
Penanganan praktik politik uang bukan tanpa kendala, beberapa faktor dapat
menghambat proses penanggulangan politik uang, berikut ini factor-faktor yang menghambat
proses penanggulangan praktik politik uang:
a. Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)
Faktor undang-undang mempunyai peran yang utama dalam penegakan hukum
dan berlakunya kaedah hukum dimasyarakat ditinjau dari kaedah hukum itu
sendiri. Seharusnya peraturan mengenai pemilu dan kampanye harus dievaluasi
terutama pada masa penetapan menurut penulis kegiatan membagi-bagikan
tersebut dapat menguntungkan peserta pemilu yang memiliki uang lebih memiliki
kesempatan menang lebih besar daripada peserta pemilu yang tidak melakukan
kegiatan membagi-bagikan tersebut.
b. Faktor Penegak Hukum
Faktor ini adalah salah satu factor penting dalam menangani praktik politik
uang, karena penegak hukum merupakan aparat yang melaksanakan proses upaya
untuk tegaknya atau berfungsinya norma hukum secara nyata sebagai pedoman
perilaku hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermayarakat dan
bernegara, jika ada pelangggaran politik uang seharusnya langsung dilakukan
pelaporan, permasalahannya pada proses pelaporan yang menjadi penghambat
94
adalah kurangnya syarat-syarat pelaporan sehingga Gakkumdu tidak bisa
memproses laporan secara cepat.
c. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan
perangkat keras. Sarana dan fasilitas yang emadai diperlukan demi mendukung
proses penanggulangan praktik politik uang, kemudian diperlukan juga fasilitas
pengaduan yang mudah supaya antusias masyarakat dalam melaporkan tinggi,
akan tetapi apabila fasilitasnya sulit tentu akan menghambat proses
penanggulangan praktik politik uang
d. Faktor Masyarakat
Sikap masyarakat yang kurang menyadari bahwa setiap warga turut serta dalam
menegakkan hukum menjadi salah satu factor penghambat penegakkan hukum
praktik politik uang. Seharusnya perilaku masyarakat harus ditingkatkan, supaya
kesadaran dalam ikut serta mencegah terjadinya praktik politik uang itu bisa
terlaksana. Apabila terdapat calon yang melakukan politik uang masyarakat
seharusnya tidak menerima uang tersebut akan tetapi langsung melaporkan kepada
lembaga Bawaslu atau aparat penegak hukum.
e. Faktor Kebudayaan
Budaya masyarakat dan lemahnya ekonomi masyarakat menjadikan banyak
masyarakat yang ingin mengambil uang atau materi dari calon yang melakukan
praktik politik uang, hal tersebut yang menjadi penghambat penanggulangan
praktik politik uang itu sendiri. Budaya tersebut bahkan menjadi kebiasaan
menjelang berlangsungnya pemilu, bahkan yang mengkhawatirkan masyarakat
menganggap hal tersebut menjadi sesuatu yang wajar.
Penanggulangan politik uang memang harus menjadi tujuan bersama untuk
menciptakan demokrasi yang lebih sehat. Jika demokrasi sehat, maka akan tercipta pemilu
yang lebih bermartabat dan berkualitas. Untuk itu, penanganan praktik politik uang bukan
hanya tugas dari penyelenggara pemilu KPU atau Bawaslu akan tetapi masyarakat , civil
society, lembaga-lembaga masyarakat , organisasi masyarakat, dan yang paling penting partai-
parti politik yang ikut menjadi peserta pemilu harus memulai langkah bersama-sama untuk
menolak praktik politik uang, supaya tujuan awal dari proses berlangsungnya pemilu dapat
tercapai.
95
B. Peran Bawaslu Dalam Menangani Praktik Politik Uang.
Lembaga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) merupakan salah satu penyelenggara
pemilu di Indonesia selain KPU dan DKPP. Penjelasan mengenai Bawaslu dapat dilihat melalui
Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum pada pasal 1 angka (17)
dinyatakan bahwa Badan Pengawas Pemilihan Umum adalah lembaga penyelenggara
pemilihan umum yang mengawasi penyelenggaraan pemilu di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Secara hirarki kelembagaan, Bawaslu terdiri dari Bawaslu (RI)
yang berkedudukan di Jakarta; Bawaslu Provinsi berkedudukan di Provinsi; Bawaslu
Kabupaten/Kota berkedudukan di kabupaten/kota; Panwaslu Kecamatan berkedudukan di
kecamatan; Panwaslu Kelurahan/Desa berkedudukan di kelurahan/desa, dan Pengawas Pemilu
Luar Negeri berkedudukan di luar negeri.
Didalam mengawasi pemilihan Bawaslu memiliki tugas tersendiri yang diatur diatur
dalam Pasal 93 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Adapun tugas Bawaslu sebagai berikut:
a. Menyusun standar tata laksana pengawasan penyelenggaran pemilu di setiap
tingkatan
b. Melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran pemilu dan sengketa
proses pemiu
c. Mengawasi persiapan penyelenggaraan pemilu
d. Mengawasi pelaksanaan tahapan penyelenggaraan pemilu
e. Mencegah terjadinya praktik politik uang
f. Mengawasi netralitas ASN, TNI dan Polri
g. Mengawasi pelaksanaan putusan/keputusan
h. Menyampaikan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu kepada DKPP
i. Menyampaikan dugaan tindak pidana pemilu kepada Gakkumdu
j. Mengelola, memelihara dan merawat arsip serta melaksanakan penyusutannya
berdasarkan jadwal retensi arsip sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
k. Mengevaluasi pengawasan pemilu
l. Mengawasi pelaksanaan peraturan KPU
m. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
Dari beberapa tugas Bawaslu yang diatur didalam pasal 93 UU No 7 Tahun 2017,
terdapat satu poin yang menegaskan bahwa peran Bawaslu sangat penting didalam menangani
96
tindak pidana praktik politik uang. Diatas dijelaskan Bawaslu memiliki tugas untuk mencegah
terjadinya praktik politik uang didalam penyelenggaran pemilihan umum di Indonesia.
Mengutip dari Ananingsih (2016; 49-57) bahwa data di Bawaslu RI menunjukkan ada 929
laporan kasus praktik politik uang pada Pilkada serentak 2015. Hal ini menunjukkan kasus
politik uang yang termasuk dalam kategori tinggi. Dari 929 kasus hanya ada 3 kasus dugaan
praktik politik uang yang dapat dip roses di pengadilan.
Kasus politik uang memang selalu menjadi persoalan yang sulit untuk diselesaikan,
regulasi-regulasi yang telah dibuat dan terus mengalami perbaikan tidak membuat aktor-aktor
politik uang takut. Regulasi tentang larangan melakukan politik uang terus mengalami
penguatan, baik dari peraturan perundang-undangan maupun peraturan KPU dan Bawaslu
sendiri, akan tetapi implementasi di lapangan belum bisa menunjukkan jika peserta-peserta
pemilu telah mematuhi peraturan yang telah dibuat, seringkali di beberapa kesempatan baik
masa kampanye, masa tenang, maupun hari H pencoblosan mereka melakukan aksi praktik-
praktik politik uang untuk mendapatkan suara dari masyarakat Indonesia.
Beberapa larangan didalam undang-undang yang mengatur tentang politik uang
terdapat pada pasal 280 UU No 7 Tahun 2017 bahwa didalam berkampanye, peserta atau tim
kampanye pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada
peserta pemilu. Kemudian diatur juga didalam Peraturan Bawaslu No 28 Tahun 2018 tentang
Pengawasan Kampanye Pemilu Pasal 44 bahwasanya pengawas pemilu dalam hal ini Bawaslu
harus memastikan pelaksana kampanye dan/atau tim kampanye tidak menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara
langsung atau tidak langsung untuk:
a. Tidak menggunakan hak pilihnya
b. Menggunakan hak pilihnya dengan memilih peserta pemilu dengan cara tertentu
sehingga surat suaranya tidak sah.
c. Memilih pasangan calon tertentu
d. Memilih partai poltik tertentu dan/atau
e. Memilih calon anggota DPD tertentu.
Larangan praktik politik uang juga disertai sanksi bagi peserta pemilu atau tim
kampanye pemilu yang ditemukan melakukan politik uang. Sanksi tersebut diatur didalam UU
No 7 Tahun 2017 Pasal 523 yaitu:
97
a. Setiap pelaksana, peserta dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja
menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada
peserta kampanye pmilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana
dimaksud dalam pasal 280 ayat 1 huruf j dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 24.000.000,00 (dua puluh empat
juta rupiah).
b. Setiap pelaksana, peserta dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja pada
masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya
kepada pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud
dalam pasal 278 ayat 2 huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan denda paling banyak Rp. 48.000.000,00 (empat puluh delapan
juta rupiah).
c. Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada pemilih untuk tidak
menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Praktik politik uang termasuk didalam pelanggaran pidana pemilu, oleh karena itu
penanganannya juga dilakukan mengikuti prosedur tindak pidana pemilu yang melibatkan 2
(dua) instansi lain yaitu kejaksaan dan kepolisian. Ketiga lembaga tersebut yaitu Bawaslu,
Kejaksaan dan Kepolisian tergabung dalam satu lembaga yang dinamanakan Sentra
Gakkumudu (Sentra Penegakan Hukum Terpadu).
Penanganan pelanggaran pidana pemilu seperti praktik politik uang diatur didalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 476 sampai 485. Beberapa ringkasan yang dapat
diambil dari Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang penanganan pelanggaran pidana
pemilu:
1. Laporan dugaan tindak pidana Pemilu diteruskan oleh Bawaslu, Bawaslu
Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan kepada Kepolisian
Negara Republik Indonesia paling lama 1x24 jam sejak Bawaslu, Bawaslu
Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan menyatakan bahwa
perbuatan atau tindakan yang diduga merupakan tindak pidana pemilu
98
2. Perbuatan atau tindakan yang diduga merupakan tindak pidana pemilu
dinyatakan oleh Bawaslu, Bawaslu Provini, Bawaslu Kabupaten/Kota dan atau
Panwaslu Kecamatan setelah berkoordinasi dengan Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia
dalamGakkumdu
3. Laporan dugaan tindak pidana pemilu disampaikan secara tertulis dan paling
sedikit memuat:
a. Nama dan alamat pelapor
b. Pihak pelapor
c. Waktu dan tempat kejadian perkara
d. Uraian kejadian.
Dalam proses penanganan pelanggaran pidana pemilu, temuan/laporan yang sudah
ditindak lanjuti oleh Bawaslu kemudian dibuatkan dalam suatu kajian. Jika hasil kajian
menyimpulkan laporan atau temuan pelanggaran pemilihan itu memenuhi unsure tindak pidana
pemilihan maka Bawaslu akan berkoordinasi dengan anggota sentra gakkumdu lainnya yakni
kejaksaan dan kepolisian guna membahas kasus tersebut. Jika Sentra Gakkumdu memutuskan
kasus bisa diproses lebih lanjut maka dalam waktu 1X24 jam setelah keputusan tersebut,
Bawaslu harus segera melimpahkan berkas kasus itu ke penyidik kepolisian (sesuai dengan
tingkatannya). Sebaliknya jika keputusan Sentra Gakkumdu terhadap kasus tersebut tidak
dapat dilanjutkan maka proses penanganan kasus akan dihentikan. Pelapor akan diberi surat
yang berisi status laporan. Seluruh hasil rapat pembahasan di Sentra Gakkumdu akan
dituangkan dalam sebuah Berita Acara yang dinamakan form SG3.
Didalam memproses perkara tindak pidana pemilu bukan berarti tanpa kendala,
beberapa kendala yang dihadapi Bawaslu yaitu keterbatasan kewenangan yang dimiliki oleh
Bawaslu. Kewenangan utama yang dimiliki lembaga ini adalah melakukan pengawasan pada
setiap tahapan pemilu. Sebaliknya di bidang penanganan pelanggaran, lembaga ini sebenarnya
memiliki kewenangan terbatas. Kewenangan yang tidak dimiliki antara lain seperti
kewenangan dalam proses penyidikan dan penyelidikan. Ketika terlapor diundang untuk
klarifikasi oleh Bawaslu, banyak terlapor yang dengan sengaja tidak mau hadir (meskipun telah
diundang secara formal tertulis hingga 3 (tiga) kali pemanggilan). Di satu sisi, ketiadaan
kewenangan upaya paksa pemanggilan mengakibatkan terlapor tidak bisa dipaksa untuk hadir.
Akibat ketidakhadiran terlapor, batas waktu penanganan oleh Bawaslu habis sehingga kasus
menjadi kadaluarsa.
99
Selain itu adanya perbedaan persepsi dalam Sentra Gakkumdu. Perbedaan persepsi
seolah telah menjadi semacam cap yang sulit dihapus karena senantiasa menghantui dalam
setiap penyelenggaraan pemilu. Ada yang berpendapat hal itu disebabkan oleh adanya ego
sektoral dalam diri masing-masing lembaga, tidak adanya komitmen dalam penegakan hukum
pemilu dan juga tidak adanya daya tarik untukmenangani kasus pidana pemilu. Untuk
mengatasi hal itu sebenarnya dibutuhkan standard operating procedure (SOP) yang jelas dalam
penanganan dugaan tindak pidanapemilu. Praktiknya, keluarnya SOP penanganan pelanggaran
pidana pemilu seringkali terlambat, dalam arti pemilu sudah berlangsung tetapi SOP belum
jadi. Hal ini berakibat bisa menghambat kinerja Sentra Gakkumdu dalam penanganan tindak
pidana pemilihan, termasuk praktik politik uang.
Berangkat dari kendala yang terjadi, untuk itu harus dilakukan upaya penguatan baik
dari segi kelembagaan maupun peraturan yang mengaturnya, seperti selalu dilakukan revisi
atau perbaikan Undang-Undang Pemilu, pemilu merupakan suatu sistem yang meliputi
electoral regulation, electoral proses dan electoral law enforcement. Ketiganya merupakan satu
kesatuan, jika electoral regulation tidak baik maka akan berdampak pada electoral law
enforcement yang tidak bisa berjalan, akibatnya electoral prosesnya menjadi tidak berkualitas.
Kemudian upaya selanjutnya yaitu pemberian kewenangan penuh lembaga Bawaslu
dalam penanganan pidana pemilu termasuk praktik politik uang. Keberadaan Bawaslu tanpa
dilengkapi dengan kewenangan penuh menyebabkan kinerja lembaga ini menjadi tidak
maksimal. Pemberian kewenangan penuh akan mempermudah dan mempercepat penanganan
tindak pidana pemilu termasuk praktik politik uang. Selain itu juga akan meningkatkan
kedibilitas lembaga Bawaslu sebagai sebuah pengawas pemilu yang benar-benar mewujudkan
pemilu yang berintegritas.
Praktik politik uang memang menjadi permasalahan yang harus segera ditangani.
Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu berperan sangat penting dalam menindak kegiatan-
kegiatan yang berbau politik uang, karena akan sangat merugikan kualitas pemilu di Indonesia,
selain itu praktik politik uang juga menjadi bibit-bibit aktor yang terpilih bisa melakukan
tindakan yang lebih merugikan kedepannya seperti korupsi, suap, nepotisme dan lain
sebagainya, untuk itu harus ada alternatif lain didalam menangani praktik politik uang. Dari
segi penindakan Bawaslu telah memiliki tugas tersendiri dalam menindak praktik politik uang,
akan tetapi dari segi pengawasan dan pencegahan, Bawaslu juga harus memiliki langkah yang
bisa menyadarkan kepada masyarakat Indonesia, bahwa praktik politik uang merupakan
100
kegiatan yang merugikan setiap warga negara Indonesia yang memiliki hak pilihnya dalam
menentukan sosok pemimpin kedepan. Berikut ini langkah-langkah Bawaslu didalam
memberantas praktik politik uang
1. Pencegahan:
a. Mempelajari Indeks Kerawanan Pemilu sebagai bahan untuk memahami
kondisi dan potensi kerawanan Pemilu di wilayah masing-masing.
b. Menyusun strategi pengawasan untuk pencegahan pelanggaran Pemilu dan
sengketa, dengan mempertimbangkan karakter serta kondisi di daerah masing-
masing.
c. Membangun komunikasi dan koordinasi secara intensif dengan lembaga
Penyelenggara Pemilu serta stakeholder Pemilu terutama Pemerintah Daerah,
Kepolisian Daerah, Perguruan Tinggi, serta tokoh agama dan tokoh masyarakat,
untuk mendapatkan data dan informasi serta mengefektifkan kerja kolaboratif
untuk pencegahan pelanggaran Pemilu; terutama terkait dengan antisipasi
penggunaan isu-isu Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA), politisasi
birokrasi, politik identitas, dan politik uang yang akan berimplikasi pada
terganggunya tahapan dan Integritas Pemilu.
d. Mengoptimalkan sosialisasi, penyediaan informasi publik, dan pendidikan
politik, kepada masyarakat, tim kampanye, relawan, serta pasangan calon, baik
melalui kegiatan koordinasi maupun menggunakan media massa (media cetak,
media elektronik maupun media sosial) untuk mengefektifkan pencegahan
pelanggaran serta menumbuhkembangkan pengawasan partisipatif.
2. Pengawasan:
a. Bersikap dan bertindak proaktif dalam menjalankan agenda dan kegiatan
pengawasan Pemilu, serta bersikap responsif terhadap laporan dugaan
pelanggaran Pemilu.
b. Bekerja secara taktis dengan menggerakkan sumber daya struktural organisasi
pengawas Pemilu untuk mencapai efektivitas pengawasan.
c. Memperkuat supervisi kepada jajaran Pengawas Pemilu di bawahnya untuk
memastikan integritas dan profesionalitas penyelenggaran pengawasan Pemilu.
d. Melibatkan peran kelompok masyarakat dalam kegiatan pengawasan Pemilu
untuk mendeteksi dan melaporkan dugaan pelanggaran; terutama terkait dengan
101
daftar pemilih, penggunaan isu sara dalam kampanye, politik uang, politisasi
birokrasi, dan politik identitas.
3. Penindakan Pelanggaran dan Sengketa:
a. Melaporkan secara aktif dan berkala ke jajaran pengawas lebih tinggi terkait
penanganan pelanggaran.
b. Memperkuat koordinasi untuk membangun kesepahaman dengan penegak
hukum dalam sentra penegakkan hukum terpadu (Gakkumdu), untuk
mengoptimalkan penanganan pelanggaran pidana pemilu.
c. Memperkuat pemahaman dan kemampuan dalam memeriksa dan memutus
pelanggaran administrasi pemilu dan penyelesaian sengketa.
d. Memperkuat koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Komisi
Aparatur Sipil Negara terkait pengawasan terhadap netralitas ASN dan
pengunaan fasilitas negara
e. Menyediakan akses yang mudah bagi masyarakat untuk memberikan informasi
dan melaporkan dugaan pelanggaran pemilu.
Bawaslu adalah lembaga yang sangat penting dalam menenetukan proses pemilu yang
baik. Peran Bawaslu dalam menangani pelanggaran-pelanggaran pemilu baik pelanggaran
administratif, pelanggaran kode etik maupun pelanggaran pidana pemilu adalah kewajiban
tugas sebagai pengawas pemilu, maka dari itu peran stakeholder dan masyarakat sangat
dibutuhkan dalam membantu Bawaslu menngawasi, mencegah dan menindak pelanggaran-
pelanggaran pemilu dan praktik-praktik politik uang, agar pemilu di Indonesia memiliki
integritas dan kualitas yang baik.
C. Alur laporan temuan ke bawaslu
102
Referensi
Septianingrum, Galuh (2017) Peranan KPU Kabupaten Pati dalam Pembentukan Budaya
Politik dan Perilaku Memilih Masyarakat pada Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pemilukada) Serentak di Kabupaten Pati Tahun 2017. S2 thesis, UNY.
Ananingsih, Sri Wahyuni. (2016). Tantangan dalam Penanganan Dugaan Praktik Politik
Uang Pada Pilkada Serentak 2017. Masalah-Masalah Hukum, Jilid 45 No 1, Januari 2016; 49-
57
Yamin, Ilham dkk. (2018). Indeks Kerawanan Pemilu, Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden.
Jakarta: BAWASLU RI.
Undang-Undang Nomor 07 Tahun 2017.
103
BAB 6.
PENDIDIKAN PEMILIH
POKOK BAHASAN
Pendidikan Pemilih
DESKRIPSI SINGKAT
Pokok bahasan ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada peserta tentang tentang
pendidikan pemilih untuk menjadi pemilih cerdas.
SUB POKOK BAHASAN
1. Pengertian Pendidikan Pemilih
2. Tujuan Pendidikan Pemilih
3. Prinsip-Prinsip Pendidikan pemilih
4. Meriview pembahasan sebelumnya
HASIL BELAJAR
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta mampu memahami pentingnya pendidikan pemilih
dengan tujuan menjadi pemilih cerdas
INDIKATOR HASIL BELAJAR
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta dapat:
1. Memahami pentingnya pendidikan pemilih
2. Memahami tujuan pendidikan pemilih agar menjadi pemilih cerdas
3. Memahami prinsip-prinsip pendidikan pemilih
4. Menjelaskan atau dapat mereview materi-materi sebelumnya
METODE
1. Brain Stroming (curah pendapat)
2. Diskusi kelompok
104
3. Village Market (warung partisipasi)
4. Presentasi dan Tanya jawab
5. Ceramah
6. Role play
BAHAN / ALAT BANTU
1. Powerpoint presentasi
2. Naskah Pegangan
3. Bagan alur.
4. LCD projector
5. Laptop
6. Flipchart
7. Lembar Kerja
8. Spidol
WAKTU (MENIT)
90 Menit
BAHAN RUJUKAN
1. Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Penyelenggara Pemilu
2. PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 7 TAHUN 2018
TENTANG PENANGANAN TEMUAN DAN LAPORAN PELANGGARAN PEMILIHAN
UMUM
PROSES PEMBELAJARAN
1. Fasilitator mereview secara singkat pokok bahasan yang terdapat pada bab 1,2,3,4,5, dengan
durasi(15 menit)
a. Sebutkan point penting dalam pembahasan menjadi pemilih cerdas
b. Acuan jawaban Fasilitator:
Pengertian demokrasi dan pemilu
105
Menjelaskan pengertian politik uang dan patronase serta dampak dari praktik
tersebut
Menjelaskan perbedaan dana politik dan politik uang
menjelaskan posisi masyarakat dalam demokrasi dan pemilu
menjelaskan peran penyelenggara pemilu terhadap praktik politik uang
menjelaskan skema pelaporan praktik politik uang
Acuan jawaban Fasilitator:
UU Nomor 7 tahun 2017
PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 7 TAHUN
2018 TENTANG PENANGANAN TEMUAN DAN LAPORAN PELANGGARAN
PEMILIHAN UMUM
2. Fasilitator menjelaskan tujuan pembelajaran dari modul ini, yaitu:
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta dapat:
a. Menjelaskan pengertian demokrasi dan pemilu
b. Menjelaskan dampak-dampak dari politik uang
c. Memahami pengertian patronase
d. Dapat memahami perbedaan politik uang dan dana politik
e. Dapat memahami posisi masyarakat dalam pemilu dan demokrasi
f. Dapat memahami dan menjadi pemilih cerdas di pemilu serentak 2019
3. Metode Peyampaian Materi
Cara pertama
Fasilitator melakukan curah pendapat tentang tahapan, sub tahapan, pelaksana dan waktu
pelaksanaan pilpres dengan cara: (10 menit)
a. Fasilitator membagikan kelompok menjadi lima kelompok dengan skema berhitung
b. Fasilitator meminta kepada setiap kelompok untuk menuliskan hasil materi yang
didapatkan dengan pembagian kelompok satu : menjelaskan pengertian pemilu dan
demokrasi serta prinsip-prinspu pemilu bebas dan adil, kelompok kedua : menjelaskan
pengertian politing uang dan patronase beserta dampaknya, kelompok ketiga
menjelaskan perbedaan politik uang dan dana politik beserta contoh kasus-kasus yang
pernah dialami, kelompok keempat menjelaskan posisi masyarakat dalam demokrasi,
kelompok kelima menjelaskan peran KPU dan Bawaslu dalam pencegahan politik uang
serta proses pelaporan praktik politik uang kepada bawaslu
c. Fasilitator meminta masing-masing kelompok membacakan hasil tugas kelompoknya
106
d. Fasilitator meminta kepada peserta yang lain untuk menilai hasil kerja kelompok 1 dan
sebaliknya
e. Fasilitator mencatat semua masukan / koreksi dari peserta terhadap hasil kinerja
kelompok 1 hingga 5 dan menempelkan masukan tersebut di metalplan
f. Fasilitator meminta kepada peserta yang lain untuk menilai hasil kerja kelompok
selanjutnya
g. Fasilitator mencatat semua masukan / koreksi dari peserta terhadap hasil kinerja
kelompok selanjutnya dan menempelkan masukan tersebut di metalplan
h. Dan seterusnya berurutan hingga kelompok kelima
Cara kedua
Fasilitator memimpin diskusi dengan metode “Warung Partisipatif” dengan cara :
a. Fasilitator membuat group dengan skema berhitung 1 hingga 3
b. Fasilitator memberikan tugas pada setiap kelompok 1 hingga 3 dengan pembagian
kelompok 1 : menjelaskan pengertian seputar pemilu dan demokrasi, menjelaskan politik
uang dan patronase serta dampaknya , selanjutnya perbedaan politik uang dan dana
politik. Kelompok 2 : menjelaskan posisi masyarakat dalam demokrasi, menjelaskan
peran KPU dan Bawaslu dalam menangani pencegahan politik uang. Kelompok 3 :
menjelaskan bagaimana hubungan masyarakat dengan partai politik, menjelaskan
bagaimana menjadi pemilh cerdas, dan menjelaskan langkah-langkah dalam melakukan
pencegahan praktik politik uang
c. Fasilitator meminta Juru bicara masing-masing kelompok untuk berdiri di samping
penayangan hasil kelompok yang memuat hasil diskusi kelompoknya
d. Fasilitator meminta:
Putaran 1 (15 menit)
1) Anggota kelompok 1 mengunjungi warung kelompok 2, lalu Juru Bicara Kelompok
2 diminta mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya di depan anggota kelompok
1. Anggota kelompok 1 memberi masukan terhadap hasil kerja kelompok 2. Juru
bicara kelompok 2 mencatat masukan dari kelompok 1.
2) Anggota kelompok 2 mengunjungi warung kelompok 3, lalu Juru Bicara Kelompok
3 diminta mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya di depan anggota kelompok
2. Anggota kelompok 2 memberi masukan terhadap hasil kerja kelompok 3. Juru
bicara kelompok 3 mencatat masukan dari kelompok 2.
107
3) Anggota kelompok 3 mengunjungi warung kelompok 1, lalu Juru Bicara Kelompok
1 diminta mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya di depan anggota kelompok
3. Anggota kelompok 3 memberi masukan terhadap hasil kerja kelompok 1. Juru
bicara kelompok 1 mencatat masukan dari kelompok 3.
Putaran 2 (10 menit)
Setelah putaran 1 selesai, fasilitator memulai putaran 2, dengan mengulang tahapan
sebagaimana putaran pertama.
Putaran ketiga (5 menit)
Semua kelompok kembali ke kelompoknya masing-masing dan melakukan perbaikan
berdasarkan masukan dari kelompok lain.
4. Setelah 3 putaran diatas fasilitator menyampaikan catatan terhadap proses diskusi warung
partisipatif sekaligus memberikan pembulatan pemahaman.(5 menit)
5. Selanjutnya Fasilitator menyampaikan kepada peserta bahwa kegiatan penyusunan kalender
pengawasan telah selesai. Fasilitator mengajak peserta rehat. (10 menit)
6. Setelah waktu rehat selesai fasilitator menayangkan paparan tentang: (5 menit)
a. Pemilu dan demokrasi bagi masa depan bangsa dan negara
b. Peran masyarakat dalam berdemokrasi
c. Peran kpu dan bawaslu dalam melakukan pencegahan politik uang
7. Fasilitator menyampaikan kepada peserta bahwa sesudah ini pembelajaran akan dilanjutkan
dengan materi Modul 6 yaitu “Hubungan Kelembagaan Dan Kehumasan Dalam Mendorong
Pengawasan Partisipatif” lalu menyampaikan salam dan menutup pembelajaran.
108
MATERI
BAB VI
PENDIDIKAN PEMILIH
A. Pengertian Pendidikan Pemilih
Pendidikan adalah proses menanamkan nilai-nilai tertentu kepada satu generasi untuk
membentuk sikap dan perilaku. Nilai-nilai itu diharapkan menjadi pedoman dan sumber
inspirasi dalam melihat dan menghadapi suatu hal.
Pendidikan dalam konteks penyelenggaraan pemilu adalah pendidikan untuk menanamkan
nilai terkait tentang pemilu dan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sementara itu pemilih adalah setiap warganegara yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih
ketika pemilu/ pemilihan dilaksanakan. Indonesia selama ini memakai batas usia 17 tahun dan
atau telah menikah serta warganegara Indonesia sebagai syarat untuk disebut sebagai pemilih.
Warganegara yang dalam rentang waktu lima tahun kemudian menjadi pemilih disebut sebagai
pra-pemilih.
Pendidikan Pemilih, dengan demikian, adalah usaha untuk menanamkan nilai-nilai yang
berkaitan dengan pemilu dan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kepada
warganegara yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih dalam pemilu atau potensial pemilih
dalam rentang waktu kemudian. Dalam pendidikan pemilih, di dalamnya mencakup pemberian
informasi kepemiluan, pemahaman mengenai aspek-aspek pemilu serta demokrasi.
Pendidikan pemilih penting karena beberapa alasan:
Membantu penyelenggara pemilu melaksanakan pemilu dengan baik. Semakin
banyak pemilih yang paham dengan proses pemilu dan demokrasi dapat meringankan
dan memudahkan kerja dari penyelenggara pemilu karena masing-masing sudah
paham dengan proses dan bagaimana pemilih seharusnya bertindak.
Meningkatkan partisipasi pemilih. Kesadaran tentang pentingnya penggunaan suara
dalam pemilu dilakukan secara intensif dan luas sehingga partisipasi pemilih dapat
meningkat.
Meningkatkan kualitas partisipasi pemilih. Angka kecurangan pemilu, konflik pemilu,
mobilisasi pemilih dapat dikurangi sedemikian rupa melalui pendidikan pemilih
sehingga menghasilkan pemenang pemilu yang berkualitas.
109
Memperkuat sistem demokrasi. Pendidikan pemilih membentuk nilai dan kesadaran
akan peran, hak, kewajiban, dan tanggung jawab pemilih dalam sistem demokrasi. Ini
akan memperkokoh advokasi warganegara terhadap sistem demokrasi dibandingkan
sistem politik lain.
B. Tujuan Pendidikan Pemilih
1. Peningkatan Partisipasi
Pendidikan pemilih dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi pemilih.
Partisipasi adalah keterlibatan pemilih pada keseluruhan periode siklus
pemerintahan, yaitu pada periode pemilihan dan periode di luar pemilihan. Pada
periode pemilihan, pendidikan pemilih dimaksudkan untuk mendorong pemilih
terlibat pada setiap tahapan pemilihan. Merujuk pada Economist Intelligence Unit
(EIU) , demokrasi yang mapan partisipasi untuk memberikan suara berada pada
kisaran 70%. Partisipasi ini mesti dicatat sebagai bukan mobilisasi. Angka
partisipasi yang wajar ini penting karena menyangkut biaya pemilu yang mahal,
legitimasi dan efektifitas kepemimpinan pejabat yang dipilih, serta eksistensi
sistem demokrasi. Pada periode di luar pemilu, pendidikan pemilih dimaksudkan
untuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam mengawal agenda, menagih janji
kampanye, dan mengkritisi serta mengevaluasi pemerintahan. Partisipasi pemilih
pada periode ini umumnya rendah. Pemilih cenderung mengabaikan dan
menyerahkan proses politik kepada kelompok kecil elit. Kondisi ini tidak baik
karena pada titik ini nasib pemilih sesungguhnya ditentukan oleh pemerintah
melalui kebijakannya.
2. Peningkatan Literasi Politik
Pendidikan pemilih ditujukan untuk meningkatkan kemampuan literasi politik
pemilih. Literasi politik merujuk pada seperangkat kemampuan yang dibutuhkan
pemilih untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Kemampuan dalam literasi
pemilih meliputi pemahaman, keterampilan, dan perilaku yang menuntun pada
partisipasi yang memperkuat sistem demokrasi. Kemampuan literasi politik
dibutuhkan sebagai prayarat partisipasi politik yang ideal, baik selama periode
pemilihan dan di luar periode pemilihan. Literasi politik yang baik menjadikan
pemilih tahu bagaimana harus bersikap dan berpartisipasi dalam sebuah proses
politik. Peminggiran kepentingan pemilih juga dapat dihindari dengan kemampuan
literasi politik yang baik. Pemilih, dengan berbagai latar belakang, akan paham
110
bahwa berbagai proses politik sangat mempengaruhi kehidupannya. Tingkat
literasi politik yang rendah menjadikan proses politik akan didominasi oleh
segelintir orang. Kepentingan pemilih akan terpinggirkan dan rentan dimanipulasi.
Dengan literasi politik yang baik akan terjadi saling keterpautan antara pemilih
dengan proses politik (state and civil engagement).
3. Peningkatan Kerelawanan (Voluntaritas)
Pendidikan pemilih juga bertujuan untuk meningkatkan sikap kerelawanan
pemilih. Kerelawanan adalah partisipasi pemilih dalam proses politik yang
didorong oleh suatu idealisme tertentu dengan tanpa pamrih. Ide pokoknya adalah
pada kehendak individu sebagai hasil dari kesadaran untuk berpartisipasi. Lawan
dari kerelawanan adalah pragmatisme pemilih. Pragmatisme merujuk pada
perilaku untuk berpartisipasi atau tidak berpartisipasi dalam proses politik karena
adanya insentif material. Pada sikap pragmatis, pemilih melakukan komodifikasi
atas partisipasi mereka dalam proses politik. Pemilih memperdagangkan posisi
mereka untuk ditukar atau diperjual-belikan dengan sesuatu yang bersifat material.
Situasi ini menjadi persoalan serius yang menggerogoti fundamental demokrasi.
Sebab, demokrasi akan menjadi mahal, hubungan pemilih dengan pejabat publik
akan terputus seketika transaksi sudah berlangsung, dan korupsi akan berkembang
biak. Pendidikan pemilih harus mendorong berkembangnya kerelawanan, dan
sekaligus mengikis pragmatisme. Kerelawanan yang tumbuh baik dalam proses
politik akan memperkuat bangunan demokrasi.
C. Prinsip-Prinsip Pendidikan Pemilih
1. Segmentasi
Pendidikan pemilih dilakukan dengan melihat segmentasi dalam masyarakat.
Segmentasi adalah pembilahan sosial yang ada di dalam masyarakat. Masyarakat
terpilah-pilah ke dalam kelompok-kelompok pemilih homogen yang potensial. Baik
itu potensial dari sisi jumlah maupun potensial dari sisi masalah yang dihadapinya.
Setiap segmen pemilih memiliki kebutuhan, karakteristik, dan perilaku yang
berbeda. Oleh karena itu pendekatan pendidikan pemilih yang dilakukan kepada
masing-masing kelompok tersebut harus berbeda pula sesuai dengan karakter dari
setiap segmen. Menyamakan pendekatan kepada semua segmen dalam melakukan
pendidikan pemilih justru akan membuat proses pendidikan itu sendiri tidak akan
111
berhasil. Dengan melakukan segmentasi dalam pendidikan pemilih, pendidikan
pemilih akan relevan dengan karakter pemilih
2. Orientasi Kepada Pemilih
Pendidikan pemilih harus berorientasi kepada pemilih. Berorientasi kepada
pemilih artinya kepentingan pemilih sebagai warganegara menjadi pusat penguatan.
Pemilih harus dikuatkan di hadapan pemerintah dan elemen-elemen non-
demokratis lainnya. Pendidikan pemilih tidak dalam kerangka kooptasi atau
hegemoni.Pendidikan pemilih adalah untuk membangun kesadaran kritis- reflektif
tentang hak dan kewajiban pemilih di hadapan negara dengan sistem demokrasi.
Dengan demikian pendidikan pemilih meletakkan pemilih sebagai subjek yang
membangun nalarnya sendiri. Pendidikan pemilih memandu bagaimana kesadaran
dan tindakan kritisreflektif dihasilkan. Penekanan ini penting agar pendidikan
pemilih tidak dibelokkan untuk pemahaman atau pola pikir yang tidak ada
hubungannya dengan kepentingan pemilih sebagai warganegara.
3. Kontekstual
Pendidikan pemilih harus bersifat kontekstual. Kontekstual dalam arti sesuai
dengan situasi mutakhir (kekinian) dan kondisi setempat (kedisinian). Kontekstual
pada materi yang disampaikan dan metode yang digunakan. Kontekstualisasi pada
sisi materi menjadikan pendidikan pemilih sesuai dengan kondisi terkini. Sementara
itu, dengan kontekstualisasi metode yang dipakai untuk pendidikan pemilih juga
dapat mengikuti perkembangan teknologi informasi. Kontekstualisasi pendidikan
pemilih memudahkan pemilih untuk mengkaitkan materi yang disampaikan dengan
kondisi pemilih. Materi itu kemudian dapat operasional dengan situasi yang
dihadapi pemilih.
4. Partisipasif
Pendidikan pemilih harus partisipatif. Partisipatif artinya melibatkan segenap
pemangku kepentingan. Keterlibatan itu meliputi keseluruhan proses pendidikan
pemilih, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
Prinsip partisipatif penting karena KPU tidak mungkin melakukan pendidikan
pemilih sendiri. Daya jangkau, pembiayaan, waktu, sumberdaya manusia menjadi
beberapa sebab KPU tidak dapat melakukan pendidikan pemilih sendiri. Pada sisi
yang lain, partisipasi itu sendiri mengandung nilai positif yang menjadikan
pendidikan pemilih itu bukan sematamata persoalan KPU, tetapi persoalan
112
bersama. Dalam negara demokrasi, pendidikan pemilih adalah kepentingan bagi
seluruh pihak.
Pemerintah berkepentingan dengan pendidikan pemilih karena berkaitan langsung dengan
legitimasi rezim dan tanggungjawab mereka membangun proses pemerintahan yang
demokratis. Masyarakat sipil penting terlibat karena pemilih terdidik akan mempermudah kerja
masyarakat sipil sendiri dan memperkuat posisi masyarakat sipil dihadapan negara. Sedangkan
partai politik penting dilibatkan dalam pendidikan pemilih karena itu menjadi salah satu tugas
utama dari partai politik. Pendidikan pemillih yang partisipatif ini juga harus dapat
mengakomodir ketentuan atau aturan main yang sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku. Norma-norma maupun nilai-nilai yang berlaku di dalam tata kehidupan masyarakat
setempat tetap harus dikedepankan.
D. Kelompok Sasaran
Terdapat beberapa kelompok masyarakat yang menjadi prioritas ikhtiar pendidikan
pemilih. Ia menjadi prioritas karena posisi strategis kelompok sosial itu dalam struktur pemilih
dan adanya persoalan-persoalan khusus yang perlu mendapat perhatian dibandingkan
kelompok sosial lainnya. Secara umum terdapat 2 (dua) kluster pemilih yang menjadi
kelompok sasaran, yaitu:
1. Kelompok Pemilih Strategis Kelompok pemilih strategis adalah kelompok pemilih
yang karena besaran ataupun posisi dalam struktur pemilih berada dalam posisi
strategis. Kluster ini terbagi dalam pra-pemilih, pemula, perempuan, marginal dan
penyandang disabilitas, dan agamawan.
2. Kelompok Rentan Kelompok rentan adalah sejumlah daerah dan/atau
kelompokmasyarakat yang dalam penyelenggaraan pemilu memiliki masalah
secara berkesinambungan ataupun acak (random). Masalah itu dapat secara khusus
terkait dengan partisipasi pemilih maupun penyelenggaraan pemilu secara umum.
Masalah yang terjadi pada daerah atau kelompok masyarakat itu dapat mengganggu
penyelenggaraan pemilu dan legitimasi pemilu. Kluster ini terbagi ke dalam daerah
dan kelompok masyarakat dengan partisipasi pemilih rendah, potensi pelanggaran
pemilu tinggi serta daerah rawan konflik dan kekerasan.
113
E. Strategi Pendidikan Pemilih
Komunitas Independen Sadar Pemilu memiliki beberapa strategi dalam melakukan
pendidikan pemilih. Ada 3 hal yang dilakukan Komunitas Independen sadar pemilu dalam
melakukan strategi pendidikan pemilih yaitu :
1. Pengunaan Teknologi Informasi seperti Media Sosial ( Facebook, Twitter,
Instagram, Youtube, Blog).
Hampir tidak ada masyarakat yang tidak bersentuhan sama sekali dengan
teknologi informasi. Pada saat bersamaan, teknologi informasi juga berkembang
dengan cepat. Situasi tersebut perlu direspon dengan baik untuk pendidikan
pemilih. Teknologi informasi memiliki daya jangkau yang sangat luas dan akses
real time.
Internet menjadi bagian pokok masyarakat dalam menjalankan kehidupan.
Untuk generasi muda internet menjadi hal yang selalu dekat. Pendidikan pemilih
dengan memanfaatkan teknologi informasi kontemporer akan mendorong
partisipasi. Pemilih akan terdorong berkontribusi dan memberikan umpan balik.
atas topik atau masalah yang sedang menjadi pembahasan bersama, atas kesadaran
sendiri. Pendidikan pemilih juga menjadi lebih transparan dan dapat dijangkau oleh
semua pihak dan sepanjang waktu. Konektivitas dan jejaring antar sesama
pengguna yang terlibat dalam pendidikan pemilih juga dapat tercipta dengan
memanfaatkan teknologi informasi.
Lebih jauh lagi, pemanfaatan teknologi informasi kontemporer untuk
pendidikan pemilih dapat mendorong suatu advokasi publik atas suatu persoalan.
Setiap orang bebas menyuarakan ide atau kepentingannya sekaligus meminta
dukungan.
2. Sosialisasi berbasis anak sekolah
Lembaga pendidikan menjadi salah satu elemen strategis dalam melakukan
pendidikan pemilih. Komunitas Independen Sadar pemilu mengandeng atau
melakukan kerjasama dengan organisasi sekolah seperti OSIS dalam
menyampaikan pendidilan pemilu. Dan bekerjasama dengan KPU Kota/kabupaten
dalam menjalankan program GOES TO SCHOO.
3. Madrasah Pemilu ( Ngobrol pemilu kekinian )
Komunitas Independen Sadar Pemilu memiliki agenda Madrasah pemilu
dengan konsep ngobrol pemilu kekinian yang bertajuk dengan tema anak muda
114
atau generasi milenial. Madrasah pemilu terbuka untuk umum siapun dipersilahka
untuk mengikuti diskusi ini. Judul dalam diskusi ini tidak hanya terbatas terhadap
pendidikan pemilih namun juga membahas pemantauan pemilu, isu kaum marjinal,
politik uang,atau lebih spesifik kecurangan dalam pemilu.
4. Kreasi Lain
Strategi pendidikan pemilih melalui kreasi lain adalah berbagai program
kegiatan yang dimaksudkan untuk mengakomodasi berbagai variasi tantangan.
Kreasi lain ini dapat diinisiasi karena kombinasi tantangan yang muncul sebagai
akibat dinamika masyarakat, kondisi geografis/alam, atau adanya inovasi
teknologi. Persoalan kemampuan sumberdaya dan anggaran juga dapat menjadi
pertimbangan satu strategi pendidikan pemilih melalui kreasi lain. Pengiriman
bahan pendidikan pemilih, mobil keliling, becak keliling, pemasangan bahan
pendidikan pemilih di tempat-tempat strategis adalah beberapa strategi pendidikan
pemilih yang termasuk kategori melalui kreasi lain.
F. Materi-Materi
1. Demokrasi
Banyak negara-negara di dunia yang mendekrasikan sebagai negara demokrasi.
Demokrasi dianggap sebagai sistem yang baik untuk saat ini. Indonesia salah satu
negara yang mendeklarasikan sebagai negara demokrasi. Pembahasan meliputi
sebagai berikut:
a. Pengertian demokrasi
b. Ciri-ciri negara demokrasi
c. Prinsip demokrasi
d. Kedudukan warga dalam negara demokrasi
e. Hambatan dalam negara demokrasi
2. Kelembagaan Negara
Salah satu penterjemahan dari kekuasaan demokrasi adalah keberadaan organ
atau cabang kekuasaan dalam negara. Masing-masing organ kekuasaan memiliki
karakteristik dan fungsi tersendiri. Dengan organ kekuasaan itu negara
dijalankan, dan pada organ kekuasaan itu rakyat meminta pertanggungjawaban.
Pembahasan tentang kelembagaan negara setidaknya mencakup tentang:
115
a. Pengertian kelembagaan negara
b. Cabang kekuasaan negara
c. Kekuasaan negara dalam Konstitusi
d. Tantangan kelembagaan negara
e. Peran rakyat atas kelembagaan negara
3. Pemilu
Pemilu adalah salah satu bentuk negara demokrasi. Pemilu bagian terpenting
dari negara demokrasi. Pembahasan terkait pemilu meliputi
a. Pengertian Pemilu
b. Prinsip Pemilu
c. Tujuan Pemilu
d. Sistem Pemilu di Dunia
e. Kelembagaan Pemilu dan Fungsinya
f. Tahapan pemilu
g. Mekanisme memilih
4. Sejarah Pemilu di Indonesia
Sejarah pemilu adalah bagian terpenting dalam berjalannya pemilu saat ini.
Sejarah ini menjadi pengetahuan bagi kalangan pemilih pemula. Pembahasan
meliputi
a. Sejarah pemilu pertama di Indonesia
b. Partai-partai politik di Indonesia
c. Penyelengaraan pemilu dari tahun 1955 hingga sekarang
5. Partisipasi Politik
Partisipasi adalah jantung dari pemilu dan demokrasi. Tanpa partisipasi, pemilu
dan demokrasi menjadi kehilangan makna. Patisipasi memastikan daulat rakyat,
yaitu pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat menemukan wujud konkretnya.
Pembahasan tentang partisipasi pemilih diantaranya mencakup:
a. Pengertian partisipasi
b. Fungsi partisipasi
c. Bentuk dan arena partisipasi: - Periode masa pemilihan dan; - Periode
pasca pemilihan
6. Proses Pemilihan
Proses pemilihan ini dilakukan dengan metode simulasi dengan alat peraga atau
tampilan visual berupa video bagi pemilih pemula
116
7. Peserta pemilu
Peserta Pemilu (Pileg dan Pilpres) Konten meliputi Peserta Pemilu (Partai
politik dan perseorangan) dalam Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD; Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden; Pemilukada Materi dapat ditampilkan dalam bentuk
Panel dinding (analog/digital), poster, video, miniatur bendera parpol
117
References komunitas Independen sadar pemilu. (2018). MILLENIAL VOTERS. YOGYAKARTA: RUA
AKSARA.
118