Modul Manajemen-Perbendaharaan

387

Transcript of Modul Manajemen-Perbendaharaan

DAFTAR ISI

Halaman Sambutan Kepala BPPK i Kata Pengantar iii Daftar Isi v Daftar Gambar ix Daftar Lampiran ix OVERVIU 1 Sekilas tentang Keuangan Negara dan Perbendaharaan

Negara

1 Ruang Lingkup Perbendaharaan 5 Pelaksanaan Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah 6 Pengelolaan Kas/Uang 10 Pengelolaan Piutang dan Hutang Negara/Daerah 11 Pengelolaan Investasi 11 Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah 11 Larangan Penyitaan Uang dan Barang Milik/Kekayaan

Negara

12 Penatausahaan dan Pertanggungjawaban APBN/APBD 12 Pengendalian Intern Pemerintah 12 Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah 13 Pengelolaan Badan Layanan Umum 13 BAB 1 : MANAJEMEN KAS 15 Pengertian kas dan motif memiliki kas 17 Pengertian Manajemen Kas dan Sasarannya 18 Prinsip-prinsip umum pengendalian kas 20 Pengelolaan kas negara 24 Bagan arus kas/uang pada KPPN KBI 27 Bagan arus kas/uang pada KPPN Non-KBI 30 Pengelolaan kas pada satuan kerja 32 Rekening tunggal pemerintah/treasury single account 41 Implementasi TSA 46 Perencanaan Kas Pemerintah 50 Tantangan dalam pelaksanaan manajemen kas 51 Current Issue: Modul Penerimaan Negara (MPN) Prima 52 Rangkuman 55

vi

BAB 2: MANAJEMEN PIUTANG 57 Prinsip-Prinsip Pengelolaan Piutang dan

Pengendaliannya.

58 Pengertian Piutang Negara dan Jenis-Jenis Piutang

Negara.

63 Kerangka Umum Pengelolaan/Pengurusan Piutang

Negara.

69 Gambaran Umum Pengurusan Piutang Negara oleh

Departemen Keuangan RI.

78 Penyelesaian Kerugian Negara. 87 Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah 91 Rangkuman 98 BAB 3 : MANAJEMEN PERSEDIAAN 101 Gambaran umum barang persediaan instansi

pemerintah.

102 Kerangka umum pengelolaan barang persediaan. 106 Pengakuan, pengukuran, dan pengungkapan persediaan. 110 Pembukuan/akuntansi barang persediaan. 111 Rangkuman 130 BAB 4 : MANAJEMEN PEMBIAYAAN JANGKA PENDEK 133 Prinsip pembiayaan jangka pendek 135 Penggunaan kredit dari rekanan oleh Satuan Kerja:

Praktik, Manfaat, dan Kelemahan.

142 Penentuan kebutuhan pendanaan jangka pendek

pemerintah pusat/daerah.

145 Sumber pembiayaan pinjaman jangka pendek. 148 Pinjaman daerah jangka pendek 148 Rangkuman 152 BAB 5 : PENGANGGARAN PROGRAM/ PROYEK JANGKA

PANJANG

153 Aspek-aspek dalam penilaian program/proyek. 156 Jenis-jenis proyek pemerintah. 159 Macam-macam biaya terkait dengan proyek 160 Siklus hidup proyek. 163 Kriteria pemilihan alternatif program/proyek 164 Penilaian investasi proyek. 168 Rangkuman 178

vii

BAB 6 : MANAJEMEN PROGRAM 179 Konsep manajemen proyek. 180 Pengorganisasian pekerjaan. 185 Teknik manajemen proyek: PERT dan CPM. 187 Pengadaan barang dan jasa untuk program/ proyek

pemerintah.

198 Evaluasi proyek. 200 Rangkuman 202 BAB 7 : MANAJEMEN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH 205 Kerangka umum manajemen aset tetap pemerintah 207 Pejabat pengelola Barang Milik Negara/Daerah. 209 Perencanaan kebutuhan dan penganggaran 213 Pengadaan barang pada instansi pemerintah 214 Penggunaan aset/barang pemerintah 224 Penatausahaan aset/barang pemerintah 226 Akuntansi Barang Milik Negara. 231 Pengamanan dan pemeliharaan aset. 239 Penilaian aset 241 Pemanfaatan dan pemindahtanganan aset/barang 241 Penghapusan aset/barang 249 Rangkuman 251 BAB 8 : PENGELOLAAN BADAN LAYANAN UMUM 253 Pendahuluan 254 Pengertian Badan Layanan Umum 254 Pengelolaan Keuangan BLU 256 Asas Fleksibilitas Pengelolaan BLU 258 Siklus Pengelolaan Keuangan 260 Standar Pelayanan dan Kinerja BLU 283 Standar Pelayanan Minimal 283 Sistem Penetapan Tarif 284 Kinerja Keuangan 285 Rangkuman 286 BAB 9 : PERENCANAAN DAN PEROLEHAN

PINJAMAN/HIBAH LUAR NEGERI

289 Kebijakan PHLN 291 Pengertian PHLN 292 Sumber, Bentuk, dan Jenis PHLN 293 Perencanaan dan Pengadaan PHLN 297 Penyusunan Dokumen Perencanaan PHLN 302

viii

Pengajuan Usulan Pinjaman Program, Pinjaman Proyek, dan Hibah

304

Persyaratan Pengusulan Kegiatan 307 Hibah Luar Negeri yang bersifat Khusus 308 Penyusunan Daftar Kegiatan dan Rencana Pelaksanaan

Kegiatan

308 Kandungan dan Persyaratan PHLN 310 Rangkuman 312 BAB 10: PENGELOLAAN PENCAIRAN DAN PEMBAYARAN

PINJAMAN LUAR NEGERI

315 Pelaksanaan dan penatausahaan PHLN 316 Pelaksanaan Pencairan Dana PHLN 321 Istilah-istilah dalam pencairan dana PHLN 323 Penatausahaan dana PHLN 327 Pembayaran kembali pinjaman luar negeri 328 Rangkuman 331 BAB 11: PENGELOLAAN SURAT UTANG NEGARA 333 Sekilas tentang SUN 335 Istilah-istilah dalam SUN 339 Pengelolaan SUN 345 Penerbitan dan Penjualan SUN 354 Strategi Pengelolaan SUN Tahun 2005 – 2009 359 Rangkuman 373 BAB 12: PELAPORAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN 375 Laporan keuangan dan kinerja 378 Standar Akuntansi Pemerintahan 385 Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat 386 Pemeriksaan oleh BPK 392 Kebijakan Pengawasan Nasional Aparat Pengawasan

Intern Pemerintah (APIP) Tahun 2006

398 Rangkuman 408 LAMPIRAN Tabel Kode Barang Persediaan

sumber: Perdirjen Perbendaharaan Nomor Per-40/ PB/2006 Tentang Pedoman Akuntansi Persediaan

411 Tabel Mapping Klasifikasi Persediaan ke Perkiraan Buku

Besar Aset

423 Daftar Pustaka 425 Biografi Penulis 427

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1 Pemisahan Wewenang Dalam Pelaksanaan

Pengeluaran Negara Sebelum Undang-undang Keuangan Negara (UUKN)

3 Gambar 2 Pemisahan Wewenang Dalam Pelaksanaan

Pengeluaran Negara Setelah UUKN

4 Gambar 3 Bagan Arus Kas pada KPPN KBI 27 Gambar 4 Bagan Arus Kas pada KPPN Non-KBI 30

Gambar 5 Mekanisme Pelaksanaan TSA di KPPN untuk

Rekening Pengeluaran

43 Gambar 6 Mekanisme Pelaksanaan TSA di KPPN untuk

Rekening Penerimaan

44 Gambar 7 Alur Prosedur Pengurusan Piutang Negara 79 Gambar 8 Mekanisme Penatausahaan Persediaan 114 Gambar 9 Format Buku Persediaan 116 Gambar 10 Format Laporan Persediaan 118 Gambar 11 Format Hasil Mapping 120 Gambar 12 Siklus Akuntansi Persediaan 123 Gambar 13 Format Mapping Bagan Perkiraan Standar (BPS) 124 Gambar 14 Bentuk Formulir Jurnal Aset (FJA) 126 Gambar 15 Contoh WBS 182 Gambar 16 Diagram Gantt 183 Gambar 17 Activity on Arrow Diagram 189 Gambar 18 Activity on Node Diagram 190 Gambar 19 Perbandingan antara Konvensi Jaringan AON dan

AOA

191 Gambar 20 Diagram AOA 192 Gambar 21 Diagram CPM 195 Gambar 22 Estimasi waktu kegiatan 196 Gambar 23 Struktur Organisasi Akuntansi BMN 232 Gambar 24 Organisasi Akuntansi BMN UPB 233 Gambar 25 Organisasi Akuntansi BMN PPBI 233 Gambar 26 Organisasi Akuntansi BMN PBI 234 Gambar 27 Organisasi Akuntansi BMN PEBIN 235 Gambar 28 Pelaksanaan dan tempat transaksi perdagangan

SUN

356 Gambar 29 Mekanisme pembelian obligasi negara 357

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran I Tabel Kode Barang Persediaan 411 Lampiran II Tabel Mapping Klasifikasi Persediaan ke

Perkiraan Buku Besar Aset

423

OVERVIU

Sekilas tentang Keuangan Negara dan Perbendaharaan Negara

Tanggal 5 April 2003 menjadi tonggak sejarah pengelolaan keuangan negara di Indonesia. Pada tanggal tersebut, pemerintah Indonesia mengundangkan sebuah undang-undang fenomenal yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang sesunggguhnya telah disahkan/disetujui DPR sejak tanggal 6 Maret 2003. Undang-undang ini menggantikan undang-undang dan peraturan-peraturan produk kolonial Hindia Belanda yang telah digunakan dalam waktu yang sangat lama, yaitu:

Indische Comptabiliteitswet (ICW), Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448 sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2860);

Indische Bedrijvenwet (IBW) Stbl. 1927 Nomor 419 jo. Stbl. 1936 Nomor 445; Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) Stbl. 1933 Nomor 381;

Disebut fenomenal karena melalui undang-undang inilah pemerintah Indonesia

telah melakukan suatu reformasi di bidang keuangan guna menciptakan pengelolaan keuangan negara yang sesuai dengan tuntutan perkembangan demokrasi, ekonomi, dan teknologi. Setiap penyelenggaran negara pun dituntut untuk mengelola keuangan negara secara transparan dan profesional. Beberapa bulan kemudian dua paket undang-undang lainnya, yang merupakan bagian dari tiga paket undang-undang di bidang keuangan negara yang telah lama disiapkan, diundangkan oleh pemerintah yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 selain menjadi landasan hukum dalam pelaksanaan reformasi pengelolaan Keuangan Negara pada tingkat pemerintahan pusat, berfungsi pula untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2 Overviu

Melalui ketiga undang-undang tersebut, paling tidak, pemerintah telah berupaya

untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam pengelolaan keuangan pemerintah selama ini, yaitu:

Kelemahan di bidang perencanaan dan penganggaran. Kelemahan di bidang perbendaharaan. Kelemahan di bidang pemeriksaan/audit.

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 menyebutkan bahwa keuangan negara

adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Keuangan Negara yang dimaksud di sini, meliputi: (a) hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; (b) kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; (c) Penerimaan Negara; (d) Pengeluaran Negara; (e) Penerimaan Daerah; (f) Pengeluaran Daerah; (g) kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; (h) kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; dan (i) kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Undang-undang tersebut juga mengamanatkan agar keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN/APBD. Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan yang digunakan untuk mencapai tujuan bernegara. Dalam pelaksanaannya, kekuasaan tersebut dikuasakan kepada: (a) Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan; (b) Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya; dan (c) Gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Kekuasaan Presiden tersebut tidak termasuk kewenangan di bidang moneter yang meliputi antara lain kewenangan mengeluarkan dan mengedarkan uang.

Sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang tersebut, Menteri

Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakikatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakikatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Sesuai dengan prinsip tersebut Kementerian Keuangan berwenang dan bertanggung jawab atas pengelolaan aset dan kewajiban negara secara nasional, sementara kementerian negara/lembaga

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 3

berwenang dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Konsekuensi pembagian tugas antara Menteri Keuangan dan para menteri lainnya tercermin dalam pelaksanaan anggaran. Untuk meningkatkan akuntabilitas dan menjamin terselenggaranya saling-uji (check and balance) dalam proses pelaksanaan anggaran perlu dilakukan pemisahan secara tegas antara pemegang kewenangan administratif dengan pemegang kewenangan kebendaharaan. Penyelenggaraan kewenangan administratif diserahkan kepada kementerian negara/lembaga, sementara penyelenggaraan kewenangan kebendaharaan diserahkan kepada Kementerian Keuangan. Kewenangan administratif tersebut meliputi melakukan perikatan atau tindakan-tindakan lainnya yang mengakibatkan terjadinya penerimaan atau pengeluaran negara, melakukan pengujian dan pembebanan tagihan yang diajukan kepada kementerian negara/lembaga sehubungan dengan realisasi perikatan tersebut, serta memerintahkan pembayaran atau menagih penerimaan yang timbul sebagai akibat pelaksanaan anggaran.

Hal tersebut di atas sangat berbeda dengan pelaksanaan pengelolaan keuangan

negara sebelum UUKN diundangkan. Pada masa itu, Menteri Keuangan selain melaksanakan pengurusan kebendaharaan (comptabel beheer) juga melaksanakan pengurusan administratif (administratief beheer). Secara jelas hal ini dapat digambarkan melalui bagan 1 dan 2 berikut ini.

Gambar 1

Pemisahan Wewenang Dalam Pelaksanaan Pengeluaran Negara Sebelum Undang-undang Keuangan Negara (UUKN)

Gambar 2

Pemisahan Wewenang Dalam Pelaksanaan Pengeluaran Negara Setelah UUKN

Pembuat Komitmen

Pengujian, Pembebanan

dan Permintaan Pembayaran

Pengujian dan Perintah

Pembayaran

Pengujian

Pencairan

Dana

Pengurusan Administratif Pengurusan Kebendaharaan Pengurusan

Administratif

Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Otorisator

Menteri Keuangan selaku Ordonatur Tunggal dan Bendahara Umum Negara

4 Overviu

Dari bagan 1 dan 2 tersebut tergambarkan bahwa melalui UUKN telah terjadi suatu reformasi luar biasa dalam pengelolaan keuangan negara dimana Menteri/Pimpinan Lembaga ditetapkan sebagai Pengguna Anggaran yang berarti bahwa merekalah yang melaksanakan seluruh pengurusan administratif. Sementara Menteri Keuangan hanya bertindak sebagai Bendahara Umum Negara saja (melaksanakan pengurusan kebendaharaan) tanpa melaksanakan pengurusan administratif sebagaimana dulu. Melalui UUKN ini, setiap Kementerian/Lembaga diberikan kewenangan penuh untuk melakukan: a. Pembuatan komitmen, yaitu suatu kegiatan/tindakan yang mengakibatkan

terjadinya pengeluaran anggaran. Kegiatan ini terkait dengan pelaksanaan pengadaan barang/jasa pada kementerian/lembaga yang bersangkutan.

b. Pembebanan dan permintaan pembayaran, yaitu suatu kegiatan untuk melaksanakan pembebanan sesuai dengan mata anggaran pengeluaran terkait dan mengajukan permintaan pembayaran kepada pejabat yang ditetapkan.

c. Pengujian dan perintah pembayaran, yaitu suatu kegiatan pengujian atas tagihan yang diajukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk selanjutnya diterbitkan perintah pembayaran kepada Bendahara Umum Negara (BUN)/Kuasa BUN.

Namun demikian patut disadari bahwa sebagai konsekuensinya, penyerahan

kewenangan administratif secara penuh ini diiringi dengan pelimpahan tanggung jawab dan akibat yang ditimbulkan dari pelaksanaan kewenangan itu sendiri. Hal ini disebutkan secara tegas pada pasal 34 ayat (1) dan (2) UUKN sebagai berikut:

Menteri/Pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Pimpinan Unit Organisasi Kementerian Negara/Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kegiatan anggaran yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah

Pembuat Komitmen

Pembebanan

dan Permintaan Pembayaran

Pengujian dan

Perintah Pembayaran

Pengujian

Pencairan Dana

Pengurusan Administratif Pengurusan Kebendaharaan

Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran

Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 5

tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Di lain pihak, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dan pejabat

lainnya yang ditunjuk sebagai Kuasa Bendahara Umum Negara bukanlah sekedar kasir yang hanya berwenang melaksanakan penerimaan dan pengeluaran negara tanpa berhak menilai kebenaran penerimaan dan pengeluaran tersebut. Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara adalah pengelola keuangan dalam arti seutuhnya, yaitu berfungsi sekaligus sebagai kasir, pengawas keuangan, dan manajer keuangan. Fungsi pengawasan keuangan di sini terbatas pada aspek rechmatigheid dan wetmatigheid dan hanya dilakukan pada saat terjadinya penerimaan atau pengeluaran, sehingga berbeda dengan fungsi pre-audit yang dilakukan oleh kementerian teknis atau post-audit yang dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional.

Guna memastikan terciptanya pengelolaan keuangan yang baik, maka Menteri

Keuangan selaku Bendahara Umum Negara harus menyelenggarakan sistem pengendalian intern di bidang perbendaharaan sedangkan menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang harus menyelenggarakan sistem pengendalian intern di bidang pemerintahan masing-masing. Hal yang sama berlaku pula atas pengelolaan keuangan negara di daerah. Gubernur/bupati/walikota juga harus menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintah daerah yang dipimpinnya.

Ruang Lingkup Perbendaharaan

Perbendaharaan negara sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang perbendaharaan negara (UUPBN) adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan negara yang dipisahkan yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Adapun fungsi perbendaharaan meliputi perencanaan kas yang baik, pencegahan terjadinya kebocoran dan penyimpangan, pencarian sumber-sumber pembiayaan yang paling murah, dan pemanfaatan dana menganggur (idle cash) untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya keuangan.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan instrumen utama

kebijakan fiskal yang sangat mempengaruhi jalannya perekonomian dan keputusan-keputusan investasi yang dilakukan oleh para pelaku pasar. Hal ini disebabkan, APBN secara umum menjabarkan rencana kerja dan kebijakan yang akan diambil Pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan, alokasi sumber-sumber ekonomi yang dimiliki, distribusi pendapatan dan kekayaan melalui intervensi kebijakan dalam mempengaruhi permintaan dan penawaran faktor produksi, serta stabilisasi ekonomi makro. Dengan demikian, strategi dan pengelolaan APBN menjadi isu yang sangat sentral dan penting dalam perekonomian suatu negara. Berkaitan dengan peranannya yang sangat strategis tersebut, hingga saat ini kebijakan fiskal masih tetap konsisten diarahkan untuk melanjutkan dan memantapkan langkah-langkah

6 Overviu

konsolidasi fiskal, guna mewujudkan kesinambungan fiskal (fiscal sustainability), dan ketahanan hutang yang berkelanjutan (debt sustainability), sebagai salah satu upaya dalam menuju kemandirian bangsa. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa kebutuhan pembiayaan anggaran yang semakin besar setiap tahunnya, serta jumlah hutang dan rasionya terhadap PDB akan dapat dikendalikan dengan berkurangnya defisit anggaran secara bertahap, dan bahkan menjadi surplus anggaran.

Di sisi lain, kebijakan belanja yang diarahkan kepada pemberian stimulus fiskal sampai batas-batas tertentu terbentur pada kemampuan keuangan negara yang masih sangat terbatas. Dalam upaya memantapkan proses konsolidasi fiskal dimaksud, prioritas kebijakan fiskal lebih diarahkan untuk: (a) meningkatkan pendapatan negara, baik penerimaan perpajakan maupun optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) melalui langkah-langkah penyempurnaan administrasi dan kebijakan perpajakan dan PNBP; (b) mengendalikan dan mempertajam prioritas alokasi dan pemanfaatan anggaran belanja negara; (c) memperbaiki pengelolaan hutang dan optimalisasi pembiayaan anggaran melalui pencarian sumber-sumber pembiayaan anggaran yang biayanya paling murah, dengan risiko yang paling rendah; (d) memperbaiki struktur penerimaan dan belanja negara, melalui peningkatan peranan pajak sektor nonmigas dan pengalihan subsidi secara bertahap, serta (e) memperbaiki pengelolaan keuangan negara agar lebih efektif, efisien, dan berkesinambungan melalui perbaikan manajemen keuangan negara dengan mengacu pada paket undang-undang di bidang keuangan negara (UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara). Pelaksanaan Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah

Pendapatan negara/daerah adalah hak pemerintah pusat/daerah yang diakui menambah kekayaan bersih. Penerimaan negara/daerah adalah hak pemerintah pusat/daerah yang harus dibayarkan kembali baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun anggaran berikutnya (tidak menambah kekayaan bersih). Belanja negara/daerah adalah kewajiban negara/daerah yang mengurangi kekayaan bersih negara/daerah. Pengeluaran negara/daerah adalah kewajiban yang harus dibayarkan untuk diterima kembali baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun anggaran berikutnya (tidak mengurangi kekayaan bersih).

Dalam UUKN dinyatakan bahwa APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang. Sesuai pasal 15 ayat (5) UUKN tersebut dinyatakan bahwa APBN yang disetujui DPR terinci sampai dengan unit organisasi, Fungsi, Subfungsi, Program, Kegiatan, dan Jenis Belanja. Rincian belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan Kementerian Negara/Lembaga pemerintah pusat yang dibagi menurut organisasi tingkat eselon/satuan kerja (satker). Sedangkan rincian belanja negara menurut fungsi adalah klasifikasi anggaran berdasarkan fungsi pemerintahan untuk masing-masing

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 7

Kementerian Negara/Lembaga. Fungsi adalah perwujudan tugas dibagi ke dalam 11 (sebelas) fungsi utama, yaitu: 1) Pelayanan Umum 2) Pertahanan 3) Ketertiban dan Keamanan 4) Ekonomi 5) Lingkungan Hidup 6) Perumahan dan Fasilitas Umum 7) Kesehatan 8) Pariwisata dan Budaya 9) Agama 10) Pendidikan 11) Perlindungan Sosial

Pemisahan fungsi tersebut berdasarkan standar internasional yang dikeluarkan oleh United Nations Development Programme (UNDP). Namun terdapat sedikit perubahan pada penerapan di Indonesia, yaitu fungsi rekreasi, agama, dan budaya dipisahkan menjadi fungsi agama dan fungsi pariwisata dan budaya. Rincian belanja pemerintah yang dirinci berdasarkan klasifikasi fungsi dan sub fungsi tersebut merupakan kumpulan dari program-program yang akan dilaksanakan oleh kementerian negara/lembaga dalam melaksanakan tiga agenda pokok pembangunan, yaitu: a) Percepatan agenda reformasi b) Peningkatan kesejahteraan rakyat c) Pengokohan kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI)

Dasar alokasi dalam proses anggaran adalah program yang diajukan oleh kementerian negara/lembaga yang besarnya merupakan kompilasi anggaran dari program-program yang termasuk fungsi atau subfungsi yang bersangkutan. Klasifikasi fungsi dan subfungsi yang sekarang dilaksanakan merupakan pengganti dari klasifikasi sektor dan subsektor yang digunakan pada klasifikasi anggaran yang lama.

Program adalah penjabaran kebijakan Kementerian Negara/Lembaga dalam

bentuk upaya yang berisi satu atau beberapa kegiatan dengan menggunakan sumber daya yang disediakan untuk mencapai hasil yang terukur sesuai dengan misi Kementerian Negara/Lembaga. Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau beberapa Satker sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program dan terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya baik yang berupa personil (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau semua jenis sember daya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa. Subkegiatan adalah bagian dari kegiatan yang menunjang usaha pencapaian sasaran dan tujuan kegiatan tersebut. Timbulnya subkegiatan adalah sebagai konsekuensi adanya perbedaan jenis dan satuan keluaran antarsubkegiatan dalam kegiatan dimaksud. Dengan demikian dapat

8 Overviu

dikatakan bahwa subkegiatan yang satu dipisahkan dengan subkegiatan lainnya berdasarkan perbedaan keluaran.

Rincian belanja negara menurut jenis belanja dapat dibedakan: 1) Belanja pemerintah pusat

Dalam format baru APBN belanja pemerintah dikelompokkan menjadi belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembayaran bunga hutang, subsidi, belanja hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain. Berbeda dengan format APBN lama yang diperinci atas belanja rutin dan belanja pembangunan, belanja rutin dalam format lama bertujuan untuk menunjang, memberi penekanan dan arti penting atas anggaran pembangunan. Namun, pada kenyataannya sering terjadi penumpukan/duplikasi antara belanja pembangunan dan belanja rutin. Belanja pemerintah pusat berdasarkan klasifikasi ekonomi terdiri dari: a) Belanja Pegawai

Belanja pegawai adalah kompensasi baik dalam bentuk uang atau barang, yang harus dibayarkan kepada pegawai pemerintah (di dalam dan luar negeri) sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. Belanja pegawai dapat berupa gaji, pensiun, tunjangan beras, uang makan, dan lain-lain belanja pegawai. Dalam belanja pegawai ini termasuk juga pengeluaran dalam rangka meningkatkan kualitas aparatur pemerintahan, agar pegawai negeri dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

b) Belanja Barang Belanja barang dalam negeri dan luar negeri adalah pembelian barang dan jasa yang digunakan untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan, termasuk biaya pemeliharaan dan perjalanan.

c) Belanja Modal Belanja modal adalah pengeluaran/belanja yang dikeluarkan dalam rangka pembentukan modal, terdiri dari tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan, belanja modal lainnya, dan belanja modal non fisik.

d) Pembayaran Bunga Hutang Pembayaran bunga hutang adalah pembayaran atas biaya pinjaman yang dihitung berdasarkan posisi pinjaman. Pembayaran bunga hutang terdiri dari bunga hutang dalam dan luar negeri. Hutang bunga dalam negeri terutama untuk membiayai bunga obligasi pemerintah sedangkan bunga hutang luar negeri merupakan kewajiban yang timbul karena pembiayaan yang dilakukan luar negeri atas pendanaan untuk pembangunan dalam negeri. Masalah yang seringkali menimbulkan hambatan bagi pemerintah Indonesia adalah fluktuasi nilai tukar mata uang Rupiah dengan nilai mata uang luar negeri terutama Dolar Amerika sebagai standar pembayaran bunga hutang. Masalah timbul jika nilai Rupiah melemah terhadap nilai mata uang asing, sehingga pemerintah harus menyediakan dana yang lebih besar untuk membayar bunga hutang.

e) Subsidi Subsidi adalah alokasi anggaran yang diberikan pemerintah kepada perusahaan atau lembaga yang memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan jasa. Subsidi pemerintah diberikan kepada

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 9

perusahaan negara (baik yang bergerak di bidang keuangan maupun non keuangan) dan perusahaan swasta.

f) Belanja Hibah Belanja hibah adalah transfer rutin/modal yang sifatnya tidak wajib dari pemerintah pusat kepada negara lain dan kepada organisasi internasional.

g) Bantuan Sosial Bantuan sosial adalah transfer uang/barang yang diberikan kepada penduduk guna melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.

h) Belanja lain-lain Belanja lain-lain adalah pengeluaran/belanja pemerintah pusat yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam jenis-jenis belanja lain.

2) Belanja untuk daerah Berdasarkan UU nomor 25 tahun 1999 yang diamandemen dengan UU nomor 33 tahun 2004 mengamanatkan bahwa setiap pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah harus diikuti pembiayaannya, maka sejak tahun 2001 pemerintah telah menyediakan alokasi anggaran belanja untuk daerah berkaitan dengan pelimpahan kewenangan tersebut. Tetapi pemerintah juga mengupayakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan dana untuk daerah (dana desentralisasi) tersebut agar tidak terjadi tumpang tindih antara kegiatan yang dibiayai oleh dana untuk daerah dan kegiatan dari program-program yang dibiayai melalui pemerintah pusat, terutama dana dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Belanja pemerintah pusat untuk daerah terdiri dari dua macam, yaitu: a) Dana Perimbangan

Dana perimbangan adalah alokasi dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk membiayai pengeluaran pemerintah daerah baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Dana perimbangan terdiri dari: (1) Dana bagi hasil

Dana bagi hasil merupakan bagian daerah yang bersumber dari penerimaan yang dihasilkan oleh daerah, baik penerimaan perpajakan maupun penerimaan bukan pajak (sumber daya alam). Dana bagi hasil bertujuan untuk mengatasi ketimpangan antara pendapatan pemerintah pusat dan pemerintah daerah (vertical imbalance). Sumber pendapatan yang dibagihasilkan kepada daerah antara lain: PPh pasal 21, PPh pasal 25 dan 29 Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri, PBB, BPHTB, dan penerimaan yang bersumber dari sumber daya alam.

(2) Dana alokasi umum Dana alokasi umum adalah dana yang disediakan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terutama untuk mengatasi ketimpangan pendapatan antar daerah (horizontal imbalance). Besarnya dana alokasi umum adalah 26% dari penerimaan dalam negeri bersih setelah dikurangi dana bagi hasil dan dana alokasi khusus. Penggunaan dana diserahkan kepada daerah dengan memperhatikan prioritas kebutuhan daerah.

(3) Dana alokasi khusus

10 Overviu

Dana alokasi khusus adalah dana yang disediakan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dengan ketentuan penggunaan dari pemerintah pusat. Dana alokasi khusus diberikan kepada daerah terutama untuk kebutuhan yang tidak dapat diperhitungkan dengan rumus DAU, kebutuhan yang merupakan prioritas nasional, dan kebutuhan untuk biaya reboisasi dan penghijauan daerah penghasil.

b) Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian

Dana Otonomi Khusus dan penyesuaian adalah dana yang khusus diberikan pemerintah pusat kepada dua daerah di Indonesia yaitu Aceh dan Papua berkaitan dengan status Otonomi Khusus yang diberikan kepada dua daerah tersebut. Penggunaan dana otonomi khusus dan penyesuaian terutama untuk membiayai sektor pendidikan dan kesehatan.

Pengelolaan Kas/Uang

Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara adalah pejabat yang berwenang untuk mengatur dan menyelenggarakan pengelolaan uang. Untuk itu, Menteri Keuangan berwenang untuk membuka rekening pemerintah yaitu rekening kas umum negara. Rekening kas umum negara disimpan di bank sentral (Bank Indonesia), namun pada pelaksanaan operasional penerimaan dan pengeluaran bendahara umum negara dapat membuka pada rekening bank umum. Pembukaan rekening pada bank umum bertujuan untuk mempermudah operasional pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran uang kas negara. Untuk menatausahakan transaksi penerimaan dan pengeluaran uang kas negara yang dilakukan melalui bank umum, maka bendahara umum negara diwajibkan menyetor saldo rekening kas umum negara yang berada di bank umum. Dalam hal kewajiban penyetoran ke rekening bank sentral tersebut belum dapat dilaksanakan akibat hambatan yang bersifat teknis, maka penyetoran dapat dilakukan secara berkala. Rekening pengeluaran pada bank umum tersebut diisi dana yang bersumber dari rekening kas umum negara yang berada di bank sentral dan besarnya sesuai dengan rencana pengeluaran untuk membiayai kegiatan pemerintah yang telah ditetapkan dalam APBN.

Sehubungan dengan penyimpanan rekening uang pemerintah pada bank umum

akan timbul penerimaan dan belanja atas rekening tersebut. Pendapatan negara dari bunga bank, jasa giro merupakan pendapatan negara, sedangkan biaya sehubungan dengan pelayanan yang diberikan oleh bank umum dibebankan ke kas negara. Penyimpanan rekening kas negara pada bank umum perlu dilakukan pengelolaan kas yang baik dengan cara pemusatan saldo kas, perencanaan kas, dan menetapkan strategi pinjaman. Pengelolaan Piutang dan Hutang Negara/Daerah

Pemerintah pusat dapat memberikan pinjaman/hibah kepada pemerintah

daerah/BUMN/BUMD, penyelesaian piutang negara/daerah sebagai akibat dari hubungan keperdataan dapat diselesaikan secara damai, kecuali yang diatur lain

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 11

oleh undang-undang. Sebaliknya pemerintah juga berhak untuk mengadakan hutang negara/hibah yang berasal dari dalam maupun luar negeri yang dilaksanakan oleh pejabat yang ditunjuk untuk mewakili menteri keuangan untuk hutang pemerintah pusat dan Gubernur/ Walikota/Bupati untuk hutang daerah. Pengelolaan Investasi Pemerintah dapat menyertakan investasi jangka panjang untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial atau manfaat lain baik berupa saham, surat hutang, dan investasi langsung. Pelaksanaan kegiatan investasi ini pada hakekatnya merupakan upaya perolehan tambahan pendapatan dalam APBN/APBD yang sebagian besar didominasi oleh pendapatan pajak. Melalui pengelolaan investasi yang baik diharapkan akan memberikan kontribusi dalam memperkecil besaran defisit yang membebani keuangan negara selama ini. Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah

Menteri Keuangan mengatur pengelolaan barang milik negara dan menteri teknis/kepala lembaga berwenang sebagai pengguna barang bagi kementerian/lembaga yang dipimpinnya. Pengguna barang pemilik negara/daerah wajib mengelola barang milik negara/daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan negara/daerah tidak dapat dipindahtangankan. Sedangkan pemindahtanganan dapat dilakukan untuk barang yang tidak lagi diperlukan untuk penyelenggaraan negara/daerah. Pemindahtanganan dapat dilakukan dengan dijual, dihibahkan, ditukar, dan disertakan dalam modal BUMN/BUMD setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD. Larangan Penyitaan Uang dan Barang Milik/Kekayaan Negara

Pihak manapun dilarang untuk melakukan penyitaan terhadap uang dan surat berharga milik negara/daerah yang berada pada instansi pemerintah atau pada pihak ketiga, uang yang harus disetor ke kas negara/daerah, barang bergerak milik negara/daerah baik yang berada pada instansi pemerintah dan pada pihak ketiga, barang tidak bergerak dan hak kebendaan lain yang menjadi milik negara/daerah, serta barang milik pihak ketiga yang dikuasai oleh negara/daerah untuk penyelenggaraan pemerintah. Penatausahaan dan Pertanggungjawaban APBN/APBD

Menteri keuangan/pejabat pengelola keuangan daerah selaku bendahara umum

negara/daerah menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan aset, hutang,

12 Overviu

dan ekuitas dana termasuk pembiayaan dan perhitungannya. Sedangkan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, hutang dan ekuitas dana termasuk pendapatan dan belanja negara diselenggarakan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala satuan kerja. Penatausahaan dokumen yang berkaitkan dengan perbendaharaan negara dilaksanakan oleh orang/badan yang menguasai dokumen tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menteri keuangan sebagai pengelola fiskal setelah menerima pertanggungjawaban (laporan keuangan) dari masing-masing kuasa bendahara umum menyusun laporan keuangan pemerintah pusat untuk disampaikan kepada presiden untuk memenuhi pertanggungjawaban APBN, sedangkan laporan keuangan pemerintah daerah disampaikan oleh kepala satuan kerja kepada gubernur/walikota/bupati sebagai pertanggungjawaban APBD. Laporan pertanggungjawaban keuangan pusat dan daerah tersebut kemudian disampaikan oleh presiden kepada BPK.

Pengendalian Intern Pemerintah

Sebagai upaya peningkatan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara pemerintah selaku kepala pemerintahan menyelenggarakan dan mengatur sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh. Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah

Kerugian negara/daerah yang diakibatkan oleh pelanggaran hukum atau

kelalaian seseorang harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Bendahara atau pegawai negeri bukan bendahara atau pejabat lain yang telah melanggar hukum, lalai dalam melaksanakan kewajiban diwajibkan mengganti kerugian negara/daerah yang ditimbulkan atas pelanggaran hukum atau kelalaiannya tersebut. Setiap kerugian negara/daerah wajib dilaporkan oleh atasan langsung/kepala kantor kepada menteri/pimpinan lembaga maupun gubernur/walikota/bupati yang bersangkutan untuk kemudian diberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat tujuh hari kerja sejak kerugian negara/daerah diketahui.

Segera setelah kerugian negara tersebut diketahui bendahara/pegawai negeri

bukan bendahara/pejabat lain yang telah terbukti melakukan kesalahan yang merugikan negara diwajibkan membuat surat pernyataan sanggup mengganti kerugian negara yang ditimbulkan. Surat pernyataan bersedia mengganti kerugian negara tersebut disebut surat keterangan tanggung jawab mutlak. Jika surat keterangan tanggung jawab mutlak tidak mungkin diperoleh atau tidak dapat menjamin pengembalian kerugian negara, maka menteri/pimpinan lembaga yang bersangkutan mengeluarkan surat keputusan pembebanan penggantian kerugian sementara kepada yang bersangkutan.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 13

Penggantian ganti rugi atas kerugian negara/daerah terhadap bendahara

ditetapkan oleh BPK, dan bila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana maka penyelesaian kerugian diselesaikan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pengenaan ganti rugi atas kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/walikota/bupati dengan tata cara yang ditentukan pemerintah. Pengelolaan Badan Layanan Umum

Badan layanan umum dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan bangsa. Dalam hal ini kekayaan yang dimiliki badan layanan umum merupakan kekayaan negara/daerah yang tidak dipisahkan dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan badan layanan umum. Karena merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan, maka rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan badan layanan umum disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah. Pendapatan dan belanja badan layanan umum dikonsolidasikan dalam rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/ pemerintah daerah yang bersangkutan. Pembinaan badan layanan umum dilakukan oleh menteri keuangan sedangkan pembinaan teknis dilakukan oleh menteri teknis yang bersangkutan.

-o0o-

MANAJEMEN KAS

“Salah satu fungsi perbendaharaan adalah perencanaan kas dalam

rangka pengelolaan sumber daya keuangan pemerintah yang

terbatas secara efisien“

Bab ini membahas manajemen kas dalam manajemen perbendaharaan di Indonesia. Setelah mempelajari bab ini Saudara diharapkan mampu untuk menjelaskan hal-hal yang terkait dengan: § Pengertian kas dan motif memiliki kas. § Pengertian Manajemen Kas dan Sasarannya. § Prinsip-prinsip umum pengendalian kas. § Pengelolaan kas negara. § Bagan arus kas/uang pada KPPN KBI. § Bagan arus kas/uang pada KPPN Non-KBI. § Pengelolaan kas pada satuan kerja. § Rekening tunggal pemerintah/treasury single account. § Implementasi TSA. § Perencanaan kas pemerintah. § Tantangan dalam pelaksanaan manajemen kas. § Current Issue: Modul Penerimaan Negara (MPN) Prima.

Bab 1: Manajemen Kas 16

Modal kerja (working capital) merupakan salah satu elemen penting pada suatu organisasi yang ikut berpartisipasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hampir sulit ditemukan suatu organisasi yang bisa melaksanakan aktivitas tanpa adanya dukungan modal kerja. Berbeda dengan bentuk modal lainnya, modal kerja merupakan modal yang diperlukan dalam membiayai aktivitas rutin yang sifatnya singkat. Kita tidak bisa menggunakan modal yang bersifat tidak likuid untuk membiayai kegiatan sehari-hari. Sebagai contoh, kita tidak mungkin membiayai suatu kegiatan dengan mengandalkan aset tetap perusahaan secara langsung, seperti bangunan, mesin, kendaraan, dan sebagainya. Bila kita membutuhkan pembiayaan suatu kegiatan maka yang paling sangat mungkin adalah membiayai dengan uang tunai. Oleh karena itu, bila kita ingin menggunakan aset tetap organisasi untuk membiayai suatu kegiatan, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencairkan aset tetap tersebut dalam bentuk uang tunai. Caranya, tentu saja, dengan terlebih dahulu mencari pihak-pihak yang berniat atau berkeinginan membeli aset tetap yang kita miliki tersebut. Langkah ini jelas tidaklah mudah. Sangat sulit bagi kita untuk mendapatkan pihak/orang yang ingin membeli aset tetap yang kita tawarkan secara mendadak.

Berbeda dengan aset lancar (current asset, meskipun bentuk aset ini tidak semuanya berupa uang tunai, namun aset lancar nontunai relatif lebih mudah untuk dicairkan segera menjadi uang tunai. Contoh aset lancar nontunai adalah piutang/tagihan, surat-surat berharga jangak pendek, dan persediaan. Apabila kita secara mendadak membutuhkan uang tunai untuk membiayai suatu kegiatan, maka ketiga jenis aset ini relatif mudah untuk diuangkan daripada aset tetap. Paling tidak kita memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mencairkan aset-aset lancar tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama. Mengkonversi piutang menjadi uang tunai dapat kita lakukan dengan melakukan penagihan lebih dini. Mungkin saja tindakan ini akan berkonsekuensi pada pemberian potongan atas pembayaran piutang lebih awal kepada debitur. Demikian pula bila kita ingin mengkonversi surat berharga dan persediaan barang dagangan menjadi uang tunai. Kita akan dapat melakukannya dengan cara yang relatif mudah dibandingkan bila kita harus mengkonversi bangunan, mesin, ataupun kendaraan menjadi uang tunai dalam waktu segera.

Aset-aset yang secara relatif lebih mudah untuk dikonversi menjadi uang tunai dan yang merupakan pendukung pembiayaan aktivitas jangka pendek inilah yang disebut modal kerja. Pada instansi pemerintah, yang tidak berorientasi pada profit, tetap diperlukan pula ketersediaan modal kerja dalam menunjang terlaksananya kegiatan pemerintahan. Melalui kepemilikan modal kerja yang proposional akan dapat memberikan kesinambungan jaminan aktivitas yang sedang dilaksanakan oleh instansi pemerintah tersebut. Oleh karena itu, merupakan hal signifikan untuk membahas kondisi modal kerja dan pengelolaannya pada instansi pemerintah Indonesia saat ini.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 17

Pengertian Kas dan Motif Memiliki Kas

Uang tunai atau sering disebut dengan kas merupakan komponen penting dalam pelaksanaan suatu kegiatan. Sebagian besar aktivitas pada suatu entitas, apakah entitas bisnis ataupun entitas pemerintahan, selalu melibatkan uang tunai dalam pelaksanaan kegiatannya. Hampir dapat dipastikan bahwa kas inilah yang memiliki peranan sentral dalam menjaga kelangsungan sebuah aktivitas. Kegiatan-kegiatan pembayaran atas suatu aktivitas sebagian besar didominasi dengan menggunakan kas. Ini tak terlepas dari kondisi masa kini yang menjadikan uang tunai sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah. Sangat jarang ditemukan dalam sistem perekonomian sebuah negara saat ini yang tidak menggunakan uang tunai sebagai alat pembayaran. Kegiatan pembayaran dengan menggunakan sistem barter memang tidak ditinggalkan sepenuhnya. Namun kegiatan sistem barter dalam segala hal memiliki banyak keterbatasan dibandingkan penggunaan uang tunai sebagai alat pembayaran.

Pada suatu entitas, termasuk didalamnya adalah instansi pemerintah, pengelolaan kas harus dilakukan dengan memperhatikan sistem pengendalian interen yang sangat ketat. Hal ini mengingat bahwa kas merupakan bentuk aset lancar yang sangat sensitif terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan. Namun demikian hal ini tidak berarti kita mengabaikan sistem pengendalian interen bagi aset-aset lainnya. Hanya saja, kas harus mendapat perhatian ekstra dibandingkan aset-aset lain tersebut dalam pengelolaannya.

Hampir sebagian besar penyimpangan yang terjadi pada suatu entitas selalu

melibatkan penggunaan uang tunai. Hal Ini dapat dimaklumi karena kas memang memiliki sifat yang khusus dibandingkan aset lainnya. Kas sangat lebih mudah untuk diselewengkan baik pada kondisi entitas yang sudah berbasis komputer maupun pada entitas yang masih berbasis manual. Penerapan praktik-praktik yang tidak sehat pada pengelolaan uang tunai terbilang semakin canggih dari waktu ke waktu. Apabila manajemen tidak mampu menciptakan sistem pengendalian interen yang secara dini bisa mencegah kemungkinan-kemungkinan terjadinya kecurangan maka dapat dipastikan bahwa lambat laun organisasi tersebut akan mengalami kemunduran dalam kinerja dan bahkan mungkin saja harus siap dengan kemungkinan terjadinya kebangkrutan.

Pengelolaan kas bukanlah hal yang sangat mudah. Terlebih dahulu, diperlukan suatu pemahaman menyeluruh atas setiap aktivitas yang berkaitan dengan penggunaan kas pada suatu entitas. Selanjutnya, perlu dilakukan pengkajian antarbagian yang terkait dalam penggunaan kas dalam entitas tersebut dan melakukan penetapan sistem dan prosedur yang tepat untuk mengelola arus perjalanan uang tunai dalam entitas. Penentuan besaran uang tunai yang diperbolehkan untuk beredar dalam entitas pun menjadi sesuatu hal yang patut menjadi perhatian manajemen, termasuk penetapan pihak-pihak yang memiliki otoritas penerimaan, pengeluaran, penyimpanan, dan pendistribusian uang tunai.

Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (PP nomor 24 tahun 2005), yang dimaksud dengan kas adalah uang tunai dan saldo simpanan di bank yang setiap

Bab 1: Manajemen Kas 18

saat dapat digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan. Terkait dengan kegiatan pemerintahan ini, pada hakikatnya ada dua penggunaan terminologi kas yang dikenal dalam entitas pemerintahan, yaitu Kas Negara dan Kas Daerah. Kedua istilah ini lebih terkait dengan wadah/tempat penyimpanan kas pemerintah itu sendiri.

Yang dimaksud dengan kas negara adalah tempat penyimpanan uang negara

yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan dan pengeluaran pemerintah pusat. Sedangkan yang dimaksud dengan kas daerah adalah tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh Bendahara Umum Daerah untuk menampung seluruh penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah. Baik kas negara maupun kas daerah, keduanya harus disimpan pada sebuah rekening yang disebut dengan Rekening Kas Umum Negara dan Rekening Kas Umum Daerah.

Rekening Kas Umum Negara adalah rekening tempat penyimpanan uang negara

yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral. Sedangkan Rekening Kas Umum Daerah adalah rekening tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh gubernur/bupati/walikota untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah pada bank yang telah ditetapkan.

Pengertian Manajemen Kas dan Sasarannya

Manajemen kas adalah pengelolaan kas yang dimiliki oleh suatu entitas dengan memperhatikan upaya-upaya pengendalian yang baik sehingga dapat digunakan secara efisien dan efektif dalam aktivitas operasional entitas tersebut. Manajemen kas berfungsi sebagai alat untuk menjaga suatu organisasi agar berfungsi dengan baik. Penggunaan kas atau sumberdaya likuid lain yang dimiliki oleh organisasi harus dilakukan seoptimal mungkin. Manajemen kas merupakan bagian dari kegiatan yang lebih besar yaitu kebijakan moneter dan fiskal, karena: a. Terkait erat dengan manajemen hutang (debt management)

Diperlukan adanya suatu kerja sama yang baik dalam hal pertukaran informasi antara pihak yang menerbitkan hutang dan pihak yang mengetahui kondisi keuangan negara. Hal ini sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya pemborosan keuangan negara misalnya penerbitan Surat Hutang Negara (SUN) pada saat negara sedang mengalami surplus keuangan.

b. Manajemen hutang/kas terkait erat dengan kebijakan moneter Jumlah surat hutang yang diterbitkan oleh negara akan mempengaruhi pasar uang. Oleh karenanya penerbitan surat hutang pada saat dan jumlah yang tidak tepat dapat mempengaruhi nilai tukar rupiah di pasar uang. Pemerintah perlu

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 19

melakukan kajian bersama dengan Bank Indonesia mengenai dampak dari kebijakan fiskal terhadap kebijakan moneter.

c. Tempat dimana pemerintah menyimpan uangnya akan berpengaruh pada kebijakan moneter. Mengingat jumlah uang yang dimiliki pemerintah sangat besar maka penempatan uang pemerintah pada bank umum/sentral memiliki dampak berbeda. Jika pemerintah menempatkan sebagian besar dana pemerintah pada bank umum maka hal ini akan mengakibatkan terjadinya ekspansi moneter yang mana dapat berdampak pada naiknya inflasi dan stabilitas nilai rupiah. Bank sentral akan melakukan normalisasi jumlah uang yang beredar dengan melakukan kebijakan moneter untuk mengurangi uang yang beredar misalnya dengan menerbitkan Sertifikat Bank Sentral. Hal tersebut tidak akan terjadi jika pemerintah menempatkan uangnya pada Bank Sentral.

Sasaran Dalam Manajemen Kas

Beberapa sasaran dalam manajemen kas diantaranya adalah manajemen likuiditas, meminimalisasi kas menganggur (idle cash), mengurangi biaya transaksi manajemen pemerintah. Manajemen likuiditas. Manajemen likuiditas penting untuk memastikan negara memiliki kas yang cukup untuk menyelesaikan semua kewajiban yang jatuh tempo. Untuk itu pemerintah perlu mengetahui berapa besar penerimaan negara yang akan masuk dalam rekening kas negara dan berapa besar pengeluaran yang akan dilakukan. Upaya yang dapat dilakukan pemerintah antara lain berupa kegiatan monitoring penerimaan dan pengeluaran kas negara; dan penyiapan langkah antisipasi kemungkinan terjadinya kekurangan/kelebihan kas.

Pemerintah perlu mengetahui berapa besar pengeluaran kas yang akan

dilakukan. Beberapa pengeluaran pemerintah mungkin saja dapat ditunda atau dipercepat, oleh karenanya pemerintah harus mampu melihat kapan saat pengeluaran kas yang menguntungkan pemerintah. Dalam hal kegiatan penerimaan kas, pemerintah perlu menetapkan aturan tentang penyetoran seluruh penerimaan sesegera mungkin ke dalam rekening pemerintah yang telah ditetapkan Penerimaan negara yang tidak segera disetor akan menguntungkan penyetor atas biaya pemerintah. Demikian pula dengan kemungkinan terjadinya kekurangan/kelebihan kas, pemerintah harus mampu menyiapkan langkah-langkah pengantisipasian karena kekurangan/kelebihan kas akan membebani keuangan pemerintah akibat adanya time value of money.

Meminimalisasi kas menganggur (idle cash). Selayaknya, pemanfaatan kas secara maksimal ditujukan untuk memperoleh keuntungan ekonomi (yield). Sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, pemerintah berhak untuk mendapatkan bunga/jasa giro atas dana yang disimpan pada bank umum maupun bank sentral, bunga/jasa giro yang diperoleh didasarkan pada tingkat suku bunga yang berlaku (pasal 24). Pemerintah juga dapat melakukan investasi jangka panjang untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial dan/atau

Bab 1: Manajemen Kas 20

manfaat lainnya. Investasi tersebut dapat berupa saham, surat hutang, dan investasi langsung (pasal 41).

Kegiatan lain yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan kas menganggur adalah pembelian kembali (buy back) Surat Hutang Negara (SUN) yang diterbitkan pemerintah. Pembelian kembali ini akan memberikan dampak positif terhadap pengurangan beban bunga yang harus dibayar oleh pemerintah (cost of financing). Bahkan bila pemerintah mempunyai manajemen kas yang baik, maka sesungguhnya pemerintah dapat melakukan penundaan penerbitan SUN. Pengeluaran-pengeluaran yang harus dilakukan dapat dibiayai dengan menggunakan kas yang berasal dari pendapatan yang ada. Mengurangi biaya transaksi keuangan pemerintah. Banyaknya rekening pemerintah (bank accounts) yang tersebar di berbagai bank menimbulkan biaya tinggi untuk memelihara rekening tersebut. Selain itu tersebarnya rekening mengakibatkan semakin banyaknya kas menganggur (idle cash). Untuk itu perlu dilakukan pengurangan jumlah rekening pemerintah dengan menerapkan sistem rekening tunggal (single account system).

Manajemen kas perlu merestrukturisasi cara-cara pengumpulan pendapatan

pemerintah (misalnya banking arragement mengenai saat penyetoran oleh bank persepsi dan renumerasi yang diberikan atau yang harus dibayarkan oleh pemerintah kepada bank persepsi). Hal ini dimaksudkan agar penerimaan negara dapat masuk ke rekening kas umum negara sesegera mungkin dengan biaya seminimal mungkin. Demikian pula dengan pemrosesan pengeluaran. Pemrosesan pengeluaran perlu dilakukan dengan seefisien dan secepat mungkin, misalnya dengan menggunakan fasilitas perbankan. Jika hal tersebut dapat berjalan dengan baik maka manfaat lain yang didapatkan adalah pengurangan terjadinya penyelewengan terhadap keuangan negara.

Prinsip-Prinsip Umum Pengendalian Kas

Pengendalian terhadap peredaran kas pada sebuah kas merupakan hal terpenting yang harus dilakukan oleh manajemen. Pengendalian atas kas memiliki dampak positif terhadap pencapaian kinerja organisasi yang telah telah ditetapkan. Melalui mekanisme pengendalian kas yang baik diharapkan dapat memangkas pelaksanaan praktik-praktik yang tidak sehat. Hal ini dapat dimaklumi mengingat hampir sebagian besar aktivitas organisasi melibatkan kas. Tanpa pengendalian kas yang tepat, pelaksanaan kegiatan organisasi bisa saja terhambat dan berdampak pada terganggunya kontinuitas kegiatan organisasi. Singkatnya, dari sisi pengendalian, kegiatan kas sangat perlu mendapat perhatian khusus karena kas sangat mudah dipindahtangankan. Demikian pula bila dilihat dari sisi risiko, kegiatan kas relatif paling mudah untuk diselewengkan. Oleh karena itu, timbul kebutuhan untuk melindungi dan mengendalikan kas secara memadai. Dalam hubungan ini,

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 21

terdapat usaha memperkecil masalah dengan cara mengurangi penggunaan uang kas, sejauh dapat diterapkan.

Pengendalian sebagai salah satu fungsi manajemen yang bersifat komprehensif harus dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan kegiatan berjalan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan manajemen. Juga untuk memperkecil, atau bila mungkin meniadakan, terjadinya kecurangan-kecurangan yang berdampak negatif bagi organisasi. Pengendalian terhadap kas bertujuan untuk melindungi perputaran kas masuk dan keluar yang ada dalam organisasi. Kegiatan yang melibatkan kas masuk sama krusialnya dengan kegiatan yang melibatkan kas keluar. Manajemen tidak boleh mengabaikan penerimaan kas dengan tujuan berkonsentrasi pada pengendalian kas keluar. Demikian pula sebaliknya, kegiatan pengendalian terhadap kas keluar jangan mengorbankan kegiatan terhadap kegiatan penerimaan kas. Kedua arus kas tersebut haruslah mendapat perhatian yang luar biasa oleh manajemen bila pimpinan organisasi tidak menginginkan organisasinya hancur.

Selain kegiatan yang melibatkan arus kas, yaitu kas masuk dan kas keluar,

kegiatan lain yang juga memiliki peranan penting adalah kegiatan pencatatan. Melalui hasil kegiatan pencatatan, manajemen akan memperoleh informasi yang dibutuhkan yang terkait dengan pengelolaan kas. Pencatatan terhadap kas masuk dan kas keluar harus didesain sedemikian rupa sehingga diperoleh keyakinan tidak ada kas masuk maupun kas keluar yang tidak tercatat dalam pembukuan organisasi.

Oleh karena itu, prinsip-prinsip umum dalam pengelolaan kas yang baik, antara

lain adalah: 1. Adanya pemisahan fungsi pengelolaan kas, yaitu diantara fungsi penerimaan,

fungsi pencatatan, fungsi pengeluaran, dan fungsi penyimpanan. 2. Membuat prosedur penerimaan kas yang menjamin pengedalian internal kas. 3. Membuat prosedur pengeluaran kas yang menjamin pengedalian internal kas. 4. Membuat prosedur penyimpanan kas yang menjamin pengedalian internal kas. 5. Membuat prosedur pencatatan kas yang menjamin pengedalian internal kas. 6. Adanya suatu bagian yang diberikan tugas khusus dalam melakukan

pengendalian kas dan mengevaluasi keberlangsungan sistem yang sedang berjalan.

Penerimaan Kas

Penerimaan kas merupakan salah satu tahap dari keseluruhan kegiatan kas. Kas yang diterima oleh pemerintah berasal dari penerimaan pajak dan penerimaan nonpajak. Penerimaan negara nonpajak lebih dikenal dengan sebutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Karakteristik dasar yang diperlukan dalam sistem pengendalian penerimaan kas antara lain adalah: 1. Adanya penugasan khusus pada suatu bagian yang bertanggung penuh

terhadap kegiatan pengelolaan penerimaan kas.

Bab 1: Manajemen Kas 22

2. Memisahkan fungsi pengelolaan kas dengan fungsi penerimaan kas. 3. Memasukkan segera kas yang diterima ke bank per hari. 4. Memberlakukan sistem yang ketat dalam mengendalikan pengeluaran kas. 5. Melakukan pemeriksaan internal mendadak dengan rentang waktu yang tidak

reguler. 6. Melakukan rekonsiliasi bank secara periodik.

Berikut ini diuraikan prinsip-prinsip pengendalian yang bisa diterapkan untuk sebagian atau seluruh kegiatan penerimaan kas. Pengendalian ini diperlukan untuk memastikan bahwa uang kas yang seharusnya diterima memang betul-betul diterima dan dipertanggungjawabkan dengan lengkap dan benar. a. Pertanggungjawaban atas penerimaan kas harus ditetapkan sedini mungkin.

Hal ini dilaksanakan dengan cara menyiapkan alat pencatatan yang memadai mengenai pertanggungjawaban awal atas setiap penerimaan kas. Contoh sederhana yang umum berlaku adalah berupa pembuatan bukti penerimaan kas yang diberi nomor seri.

b. Penetapan dasar pertanggungjawaban harus dihubungkan dengan kegiatan. Sejauh dapat diterapkan, pertanggungjawaban mengenai penerimaan kas harus dihubungkan dengan kegiatan atau transaksi yang berkaitan dengannya. Misalnya dalam hal penagihan piutang, penerimaan kas dapat dihubungkan dengan berkurangnya jumlah piutang.

c. Pemisahan fungsi antara fungsi penerimaan, pencatatan, otorisasi dan pengawasan. Harus ada pemisahan fungsi antara fungsi penerimaan, pencatatan, otorisasi dan pengawasan. Dengan adanya pemisahan fungsi ini, diharapkan akan tercipta situasi saling mengecek (check and balance) di antara bagian sehingga dapat dicegah timbulnya kecurangan atau terjadinya kesalahan.

d. Pemanfaatan pihak luar sebagai unsur pengawasan. Dalam beberapa situasi, kehadiran pihak ketiga di luar organisasi dapat merupakan sumber informasi bagi kelayakan tindakan karyawan/pegawai organisasi tersebut. Sebagai contoh, kehadiran pihak pembayar (misal wajib pajak) akan ikut membantu dalam mengecek apakah bagian penerimaan telah membukukan penerimaan kas dengan benar ke dalam buku penerimaan.

e. Kegiatan penerimaan kas sedapat mungkin dipisahkan dari kegiatan pengeluaran kas, dimana masing-masing kegiatan dikendalikan dengan prosedur tersendiri.

f. Penerimaan-penerimaan kas hendaknya disetorkan secara utuh dan dengan segera ke bank atau ke tempat penyimpanan yang ditentukan.

g. Pertanggungjawaban harus ditetapkan untuk semua jenis transaksi keuangan. Pengeluaran Kas

Pengeluaran-pengeluaran kas yang dilakukan oleh pemerintah ditujukan untuk memenuhi berbagai kegiatan pemerintahan, seperti pembayaran gaji/tunjangan pegawai, belanja barang, belanja modal, pembayaran bungan dan pokok hutang, dan sebagainya. Sasaran pengendalian pada umumnya diarahkan untuk menjamin bahwa hanya pengeluaran-pengeluaran yang telah diotorisir saja yang boleh

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 23

dilakukan, tujuan-tujuan pengeluaran tersebut sah dan layak, nilai yang diterima adalah wajar, dan pengeluaran-pengeluaran tersebut dipertanggungjawabkan serta dibukukan dengan benar.

Prinsip-prinsip pengendalian khusus untuk pengeluaran kas dapat diikhtisarkan

sebagai berikut: a. Pemisahan fungsi.

Harus ada pemisahan fungsi antara pejabat yang mengotorisir pembayaran dengan petugas yang melakukan pembayaran serta yang memegang buku kas.

b. Kecukupan dokumentasi untuk melakukan pembayaran-pembayaran. Setiap pembayaran perlu dilakukan pemeriksaan atas dokumen pembayaran tersebut baik dari segi keabsahan dokumen maupun dari kelayakan pembayaran itu sendiri.

c. Penggunaan dana kas kecil. Untuk pembayaran-pembayaran yang nilainya dipandang “kecil”, dapat ditetapkan pembayarannya dengan menggunakan dana kas kecil yang dikelola oleh seorang bendahara. Namun demikian perlu ditetapkan dengan jelas, kriteria besaran pembayaran yang nilainya masuk dalam katagori “kecil”. Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi kas menganggur (idle cash) atau pembayaran atas tagihan yang sesungguhnya benilai “tidak kecil”.

d. Pengendalian atas penandatangan cek. Dalam situasi tertentu akan bermanfaat apabila ditentukan bahwa penandatanganan cek harus dilakukan oleh dua orang pejabat. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan adanya pengecekan saling guna mencegah terjadinya kesalahan atau kecurangan.

e. Penggunaan cek-cek atas nama. Sedapat mungkin semua cek yang dikeluarkan harus atas nama. Penulisan cek tunai sedapat mungkin dihindari karena memudahkan penyalahgunaan.

f. Pemisahan tugas dan tanggung jawab di antara para petugas yang terlihat dalam proses pengeluaran kas. Proses pengeluaran kas melibatkan berbagai aktivitas yang harus dilakukan oleh orang yang berlainan. Misalnya, satu orang bertugas melakukan review atas kebenaran dan kelengkapan dokumentasi, satu orang bertugas menyiapkan cek, dan dua orang menandatangani cek. Tiap aktivitas ini satu sama lain akan saling menimbulkan pengecekan silang (check and balance).

g. Kegiatan pengeluaran kas sedapat mungkin dipisahkan dari kegiatan penerimaan kas, dimana masing-masing kegiatan dikendalikan dengan prosedur tersendiri.

Pengelolaan Kas Negara 1

1 Diolah dari modul Cash Management Direktorat Pengelolaan Kas Negara, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Departemen Keuangan, anonim, tanpa tahun.

Bab 1: Manajemen Kas 24

Pengelolaan kas negara terdiri dari pengelolaan kas pusat dan daerah. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa kas negara merupakan tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan dan pengeluaran pemerintah pusat. Sedangkan yang dimaksud dengan kas daerah adalah tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh Bendahara Umum Daerah untuk menampung seluruh penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah. Baik kas negara maupun kas daerah, keduanya harus disimpan pada sebuah rekening yang disebut dengan Rekening Kas Umum Negara dan Rekening Kas Umum Daerah. Berikut ini adalah istilah yang terkait dalam pengelolaan kas negara, yaitu: Bendahara Umum Negara. Bendahara Umum Negara adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara dalam hal ini Menteri Keuangan adalah Bendahara Umum Negara. Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara mengangkat Kuasa Bendahara Umum Negara untuk melaksanakan sebagian wewenang Bendahara Umum Negara dan tugas kebendaharaan yang berkaitan dengan pengelolaan uang dan surat berharga. Kuasa Bendahara Umum Negara terdiri dari Kuasa Bendahara Umum Negara Pusat dan Kuasa Bendahara Umum Negara di Daerah. Kuasa Bendahara Umum Negara Pusat. Wewenang Bendahara Umum Negara dalam pengelolaan uang negara yang dikuasakan oleh Kuasa Bendahara Umum Negara Pusat terdiri dari: a. Menetapkan sistem penerimaan dan pengeluaran kas negara. b. Menunjuk bank dan/atau lembaga keuangan lainnya dalam rangka pelaksanaan

penerimaan dan pengeluaran anggaran negara. c. Mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan

anggaran negara. d. Menyimpan uang negara. e. Menempatkan uang negara dan mengelola/menatausahakan investasi dalam

rangka pengelolaan kas melalui pembelian surat hutang negara. f. Melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat Pengguna Anggaran

atas beban rekening kas umum negara. g. Menyajikan informasi keuangan negara.

Kuasa Bendahara Umum Negara di Daerah. Kuasa Bendahara Umum Negara di daerah bertugas menerima, menyimpan, membayar, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang yang berada dalam pengelolaannya. Kuasa Bendahara Umum Negara di daerah dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Bendahara Umum Daerah. Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah adalah Bendahara Umum Daerah. Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum Daerah melaksanakan tugas-tugas kebendaharaan yang berkaitan dengan pengelolaan uang dan surat berharga. Wewenang Bendahara Umum Daerah berkaitan dengan pengelolaan uang daerah terdiri dari:

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 25

a. Memberikan petunjuk teknis pelaksanaan sistem penerimaan dan pengeluaran kas daerah.

b. Memantau pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran APBD oleh bank dan/atau lembaga keuangan lainnya yang telah ditunjuk.

c. Mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan APBD. d. Menyimpan uang daerah. e. Melaksanakan penempatan uang daerah dan mengelola/menatausahakan

investasi dalam rangka pengelolaan kas melalui pembelian surat hutang negara. f. Melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat Penggguna Anggaran

atas beban rekening kas umum daerah. g. Menyajikan informasi keuangan daerah. Tujuan Pengelolaan Kas Negara Tujuan pengelolaan kas negara antara lain adalah: a. Menentukan jumlah dan alokasi dana untuk keperluan pelaksanaan kegiatan

operasional pemerintahan dan kegiatan investasi. Negara memiliki sumber daya keuangan yang terbatas oleh karena itu sangat penting adanya suatu perencanaan dalam pengalokasian dana yang dimiliki. Kegiatan pengalokasian ini sangat penting untuk memastikan semua kegiatan operasional pemerintah dapat dibiayai, jika kemudian setelah semua kegiatan telah dialokasikan dananya dan masih terdapat sisa dana, maka sisa dana tersebut dapat dipergunakan untuk kegiatan investasi sebagaimana yang diatur pada pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

b. Mendapatkan sumber dana yang paling efisien untuk membiayai kegiatan-kegiatan pemerintahan. Jika pemerintah tidak memiliki dana yang cukup untuk menutup semua kegiatan operasionalnya maka diperlukan adanya pembiayaan. Pembiayaan tersebut dapat berasal dari dalam dan luar negeri atau sumber-sumber lain. Pemerintah perlu melakukan perhitungan yang cermat sumber pembiayaannya sehingga biaya yang timbul atas pembiayaan tersebut dapat ditekan seminimal mungkin.

c. Meminimalisasi kas menganggur (idle cash). Setiap rupiah yang dimiliki oleh negara harus dipergunakan sebaik mungkin. Pemerintah selaku pengelola uang negara selayaknya menciptakan suatu sistem yang dapat meminimalkan terjadinya kas menganggur. Hingga saat ini masih banyak uang negara yang menganggur. Bagi negara, hal ini jelas tidak produktif. Uang tersebut tidak memberikan return yang memadai bahkan sebaliknya menimbulkan cost yang tinggi. Melalui penciptaan manajemen kas yang baik, dana yang tidak memberikan return maksimal tersebut dapat diinvestasikan dan dikelola secara profesional sehingga memberikan keuntungan bagi negara.

d. Mempercepat penyetoran penerimaan negara. Penerimaan negara haruslah disetorkan dengan cepat, hal ini dimaksudkan: • Agar dana yang bersumber dari penerimaan negara tersebut dapat segera

masuk ke rekening kas umum negara sehingga dapat segera dipergunakan untuk membiayai kegiatan pemerintah.

Bab 1: Manajemen Kas 26

• Minimalisasi kerugian negara atas dana yang mengambang (float) di bank persepsi. Dana yang tidak segera disetorkan ke kas negara dapat dipergunakan oleh bank umum untuk keuntungan bank tersebut dengan demikian pemerintah dirugikan sebesar selisih bunga yang diterima pemerintah dan tingkat return yang diterima oleh bank umum tersebut dari hasil investasinya. Melalui penyetoran penerimaan secara langsung ke rekening kas negara maka kerugian tersebut dapat diminimalisasi.

e. Melakukan pembayaran atas pengeluaran negara secara tepat waktu. Pemerintah perlu melakukan perhitungan yang cermat atas saat yang tepat untuk melunasi kewajibannya. Pemerintah dapat saja melunasi kewajibannya lebih cepat atau lebih lambat jika memang hal tersebut lebih menguntungkan, misalnya jika negara donor memberikan potongan bunga apabila pemerintah melakukan pelunasan dini atas hutangnya.

Bagan Arus Kas/Uang pada KPPN Kantor Bank Indonesia (KBI) 2 Berikut ini adalah bagan arus kas/uang pada KPPN yang ada sekarang:

Gambar 3 Bagan Arus Kas pada KPPN KBI

2 Diolah dari modul Cash Management Direktorat Pengelolaan Kas Negara, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Departemen Keuangan, anonim, tanpa tahun.

Setoran PBB/

BPHTB

j

n

k

p

o

q

q r

l BO I

Non Gaji SGG Penerimaa

n Setoran Pajak/ PNBP

SGG Pengeluar

an BO I Gaji

m j

Bank Persepsi

Bank Tunggal (BI)

BO III

WP/WB `WP WP/WB Rekanan/ Bendahara Rekanan/

Bendahara Rekening Bend/Pegawai Pemda

BO II

r

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 27

Keterangan Bagan Arus:

a. KPPN KBI terdiri dari KPPN KBI Induk dan Non Induk

• KPPN KBI Induk adalah KPPN yang bermitra dengan KBI yang berlokasi satu kota dengan KPPN dan melakukan transfer dana untuk membiayai pengeluaran anggaran kepada KPPN lainnya.

• KPPN KBI Non Induk adalah KPPN yang bermitra dengan KBI yang berlokasi satu kota dengan KPPN tetapi tidak melakukan transfer dana untuk membiayai pengeluaran anggaran KPPN lainnya.

b. Bank Operasional (BO) terdiri dari BO I, BO II dan BO III • BO I Mitra Kerja KPPN Induk dan Bukan Induk yang sekota dengan

Bank Indonesia yaitu bank yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk mengelola pengeluaran yang membebani rekening Kas Negara yang tediri dari BO I Gaji dan Non Gaji.

• BO II yaitu bank yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk melakukan pembayaran Gaji untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pusat, anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

• BO III yaitu bank yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk mengelola Pajak Bumi dan bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

c. Sentral Giro Gabungan (SGG) adalah Mitra Kerja KPPN Induk dan Non Induk yang sekota dengan Bank Indonesia yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk mengelola penerimaan Kas Negara dan pengeluaran yang membebani rekening Kas Negara yang tediri dari SGG Penerimaan dan SGG Pengeluaran.

d. Bank Persepsi adalah merupakan Bank Umum Mitra Kerja KPPN Induk dan Non Induk yang sekota dengan Bank Indonesia yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk mengelola/menampung seluruh penerimaan yang akan masuk ke Kas Negara.

Penjelasan Bagan Arus : 1. Wajib Pajak (WP) menyetor PBB dan BPHTB ke Bank Persepsi untuk

diteruskan ke BO III, dan selanjutnya BO III membagi porsi penerimaan PBB dan BPHTB sesuai dengan pasal 12 Undang-Undang No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sebagai berikut : a. Porsi PBB :

• 16, 2 % untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Provinsi;

• 64, 8 % untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota;

• 10 % bagian Pemerintah dari penerimaan PBB disetorkan ke Rekening Kas Umum Negara yang ada di Bank Indonesia yang nantinya

Bab 1: Manajemen Kas 28

dibagikan kepada seluruh daerah kabupaten/kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan;

• 9 % untuk biaya pemungutan disetorkan ke Rekening Kas Umum Negara yang ada di Bank Indonesia.

b. Porsi BPHTB :

• 16 % untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Provinsi;

• 64 % untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota;

• 20 % bagian Pemerintah dari penerimaan BPHTB disetorkan ke Rekening Kas Umum Negara yang ada di Bank Indonesia yang nantinya dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh daerah kabupaten/kota.

c. BO III melimpahkan penerimaan PBB (19 %) dan BPHTB (20%) bagian pemerintah ke Rekening Kas Umum Negara yang ada di Bank Indonesia.

2. BO I berdasarkan permintaan KPPN melakukan pengisian dan transfer dana

dari/ke Bank Tunggal (BI) sesuai dengan saldo pagu dana BO I yang telah ditetapkan untuk masing-masing KPPN baik untuk BO I Gaji dan Non Gaji.

3. Dana yang ada di BO I gaji diperlukan guna pembayaran/penyaluran Gaji PNS/TNI/Polri yang kemudian disalurkan ke BO II Gaji setiap tanggal 25 atau 6 hari kerja sebelum tanggal 1 setiap bulannya. Seminggu setelah pembayaran gaji, dana yang ada pada BO II Gaji harus dinihilkan dan dilimpahkan ke BO I Gaji atau bersaldo 5 % dari pembayaran gaji.

4. BO II Gaji akan membayarkan dana gaji ke rekening bendahara gaji atau langsung ke rekening pegawai setiap tanggal 1 bulan berkenaan berdasarkan permintaan KPPN sesuai SP2D yang telah diterbitkan KPPN.

5. BO I Non Gaji melakukan pembayaran diluar belanja pegawai kepada rekanan/bendahara berdasarkan permintaan KPPN berdasarkan SP2D yang telah diterbitkan KPPN.

6. Bank Tunggal (BI) melakukan transfer uang kepada SGG Pengeluaran berdasarkan permintaan KPPN untuk mengisi rekening kas negara pengeluaran yang ada di SGG Pengeluaran guna keperluan pembayaran kepada rekanan/bendahara, dan menerima dana dari SGG Pengeluaran sesuai pemberitahuan dari KPPN atas kelebihan pagu dana yang telah ditetapkan.

7. SGG Pengeluaran berdasarkan permintaan KPPN melakukan pembayaran kepada rekanan/bendahara sesuai dengan SP2D yang telah diterbitkan KPPN.

8. SGG Penerimaan menampung seluruh penerimaan negara yang disetor oleh Wajib Pajak/Wajib Bayar dan pada waktu tertentu (setiap hari Selasa, Jumat dan akhir bulan) penerimaan tersebut dilimpahkan ke Rekening Kas Umum Negara yang ada di Bank Tunggal (BI).

9. Bank Persepsi menampung seluruh penerimaan negara yang disetor oleh Wajib Pajak/Wajib Bayar dan pada waktu tertentu (setiap hari Selasa, Jumat, dan akhir bulan) penerimaan tersebut dilimpahkan ke Rekening Kas Umum Negara yang ada di Bank Tunggal (BI).

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 29

Bagan Arus Kas/Uang pada KPPN Non-KBI 3 Berikut ini adalah bagan arus kas/uang pada KPPN Non KBI, yang ada sekarang:

Gambar 4 Bagan Arus Kas pada KPPN Non-KBI

Keterangan Bagan Arus:

3 Diolah dari modul Cash Management Direktorat Pengelolaan Kas Negara, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Departemen Keuangan, anonim, tanpa tahun.

o Setoran

PBB/ BPHTB k

l m

m n

n o k

j

Bank Persepsi

Bank Operasional I Gaji dan Non Gaji

BO III SGG Penerimaa

n

WP/WB

Setoran Pajak/ PNBP

WP WP/WB Rekanan/ Bendahara Rekanan/

Bendahara Rek. Bendahara/

Pegawai Pemd

a

Gaji

SGG Pengeluar

an BO II

Bank Tunggal (BI)

KPPN Induk

j

Bab 1: Manajemen Kas 30

a. KPPN Non Induk terdiri dari KPPN Non Induk KBI dan KPPN Non Induk Non KBI. • KPPN Non Induk KBI adalah KPPN yang bermitra dengan KBI yang

berlokasi satu kota dengan KBI tetapi tidak melakukan transfer dana untuk membiayai pengeluaran anggaran KPPN lainnya.

• KPPN Non Induk Non KBI adalah KPPN yang berlokasi tidak satu kota dengan KBI dan tidak melakukan transfer dana untuk membiayai pengeluaran anggaran KPPN lainnya.

b. Bank Operasional (BO) I pada KPPN Non Induk yang tidak sekota dengan

KBI yaitu merupakan pengganti bank tunggal pada KPPN Induk/Non Induk KBI yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan yang berfungsi melakukan permintaan dan pengiriman dana dari/ke ke KPPN Induk, dan menerima/menyalurkan dana ke BO II, BO III, Bank Persepsi, dan SGG Penerimaan/Pengeluaran baik Gaji dan Non Gaji.

Penjelasan Bagan Arus : 1. Wajib Pajak (WP) menyetor PBB dan BPHTB ke Bank Persepsi PBB yang

kemudian diteruskan ke BO III, dan selanjutnya BO III membagi porsi penerimaan PBB dan BPHTB sesuai dengan pasal 12 Undang-Undang No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sebagai berikut : a. Porsi PBB :

• 16, 2 % untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Provinsi;

• 64, 8 % untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota;

• 10 % bagian Pemerintah dari penerimaan PBB disetorkan ke BO I Non Gaji.

• 9 % untuk biaya pemungutan disetorkan ke BO I Non Gaji. b. Porsi BPHTB :

• 16 % untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Provinsi;

• 64 % untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota;

• 20 % bagian Pemerintah dari penerimaan BPHTB disetorkan ke Rekening Kas Umum Negara yang ada di Bank Indonesia yang nantinya dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh daerah kabupaten/kota.

c. BO III melimpahkan penerimaan PBB (19 %) dan BPHTB (20%) bagian pemerintah ke BO I Non Gaji.

2. KPPN melakukan pengisian dana ke rekening BO II Gaji yang dananya berasal dari BO I Gaji setiap tanggal 25 atau 6 hari kerja sebelum tanggal 1 setiap bulannya sesuai dengan saldo pagu dana BO II yang telah ditetapkan untuk masing-masing KPPN. Dana yang ada di BO II gaji disalurkan untuk pembayaran Gaji PNS/TNI/Polri melalui bendahara atau langsung kepada pegawai yang bersangkutan sesuai SP2D yang diterima dari KPPN. Seminggu setelah

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 31

pembayaran gaji, dana yang ada pada BO II Gaji harus dinihilkan dan dilimpahkan ke BO I Gaji atau bersaldo 5 % dari pembayaran gaji.

3. BO I Non Gaji akan melakukan pembayaran kepada rekanan/bendahara berdasarkan permintaan dari KPPN sesuai SP2D yang telah diterbitkan KPPN.

4. BO I Non Gaji melakukan transfer uang kepada SGG Pengeluaran berdasarkan permintaan KPPN untuk mengisi rekening kas negara pengeluaran yang ada di SGG Pengeluaran guna keperluan pembayaran kepada rekanan/bendahara, dan menerima dana dari SGG Pengeluaran sesuai pemberitahuan dari KPPN atas kelebihan pagu dana yang telah ditetapkan.

5. SGG Penerimaan menampung seluruh penerimaan negara yang disetor oleh Wajib Pajak/Wajib Bayar dan pada waktu tertentu (setiap hari Selasa, Jumat, dan akhir bulan) penerimaan tersebut dilimpahkan ke BO I Non Gaji.

6. Bank Persepsi menampung seluruh penerimaan negara yang disetor oleh Wajib Pajak/Wajib Bayar dan pada waktu tertentu (setiap hari Selasa, Jumat, dan akhir bulan) penerimaan tersebut dilimpahkan ke BO I Non Gaji.

Pengelolaan Kas Pada Satuan Kerja

Satuan Kerja (satker) adalah bagian dari suatu unit organisasi pada Kementerian Negara/Lembaga yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu program. Kepala Satker baik organisasi tingkat eselon I maupun organisasi tingkat eselon II, eselon III, atau eselon IV yang berdiri sendiri, adalah sebagai Kuasa Pengguna Anggaran yang dibantu dengan pejabat pengelola keuangan. Satker yang dipimpinnya ditetapkan sebagai kuasa pengguna anggaran yang dikelompokkan sebagai berikut: a. Satker Pusat adalah satker yang kewenangan dan tanggung jawabnya

melakukan kegiatan pengelolaan anggaran dalam rangka pelaksanaan tugas pokok dan fungsi kantor pusat Kementerian Negara/Lembaga yang lokasinya dapat berada di pusat dan atau di daerah.

b. Satker/Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Negara/Lembaga adalah instansi vertikal di daerah yang kewenangan dan tanggung jawabnya melakukan kegiatan pengelolaan anggaran dalam rangka pelaksanaan tugas pokok dan fungsi yang berasal dari kantor pusat.

c. Satker khusus adalah satker yang ditetapkan untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi dalam melaksanakan program/kegiatan yang dibiayai dari Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan. Contoh: 1) KONI untuk membantu pembiayaan kegiatan-kegiatan keolahragaan yang

bersifat nasional dan internasional. 2) DEKOPIN untuk membantu pembiayaan operasional Dewan Koperasi

Indonesia. d. Satker Perangkat Daerah (SKPD) adalah satker di provinsi yang melaksanakan

tugas dekonsentrasi dan Satker di provinsi/kabupaten/ kota/desa yang melaksanakan tugas pembantuan.

Bab 1: Manajemen Kas 32

e. Satker Non Vertikal Tertentu (SNVT) adalah satker yang bukan merupakan instansi vertikal Kementerian Negara/Lembaga yang melakukan kegiatan yang dibiayai dari alokasi anggaran Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan. Sebagai contoh, PT Perusahaan Listrik Negara yang melaksanakan kegiatan pembangunan listrik pedesaan.

f. Satker Sementara (SKS) adalah satker di luar pengertian butir b sampai dengan e, yang ditetapkan untuk melakukan kegiatan yang dibiayai dari alokasi anggaran Kementerian Negara/Lembaga yang kewenangan dan tanggung jawabnya berasal dari Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.

Pada dasarnya pengelolaan kas untuk berbagai jenis satker adalah sama, yaitu

sesuai dengan praktik-praktik yang lazim dalam pengelolaan kas. Namun demikian, pemerintah selalu menetapkan aturan pelaksanaan dalam rangka pengelolaan kas tiap-tiap tahun anggaran akan dimulai. Di tingkat pemerintah pusat, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara mengatur penyediaan dan penyaluran dana untuk membiayai anggaran belanja negara dalam melaksanakan APBN. Contoh: untuk pelaksanaan kegiatan di tahun anggaran 2006, Menteri Keuangan menetapkan peraturan nomor 134/PMK.06/2005 tanggal 27 Desember 2005 tentang Pedoman Pembayaran Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Peraturan ini kemudian secara teknis dijabarkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan dengan menetapkan peraturan nomor Per-66/PB/2005 tanggal 28 Desember 2005 tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran Atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Di tingkat daerah, hal yang sama seharusnya dilakukan oleh Pejabat Pengelola

Keuangan Daerah (PPKD) yang bertindak selaku Bendahara Umum Daerah. PPKD adalah kepala kesatuan kerja pengelolaan keuangan di daerah yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan APBD yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Namun demikian, mengingat jumlah pemerintahan daerah di Indonesia dewasa ini sangat banyak dan ada kecenderungan akan semakin bertambah, maka guna penyeragaman praktik pengelolaan keuangan di daerah, Menteri Dalam Negeri ditunjuk untuk menetapkan peraturan yang terkait dengan pengelolaan keuangan daerah dengan mengacu pada peraturan pemerintah yang berlaku. Contoh: untuk pelaksanaan kegiatan di tahun anggaran 2006, pemerintah pusat telah menetapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP) nomor 58 Tahun 2005 tanggal 9 Desember 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan ini kemudian secara teknis dijabarkan oleh Menteri Dalam Negeri (sesuai pasal 155 PP nomor 58 Tahun 2005) dengan menetapkan peraturan nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Pengelolaan Kas pada Satker yang mengelola APBN

Ada dua jenis pengelolaan kas pada suatu satker yaitu pengelolaan kas yang terkait dengan kegiatan pengeluaran kas dan pengelolaan kas yang terkait dengan kegiatan penerimaan kas. Dari dua aktivitas tersebut, aktivitas pengeluaran kas merupakan aktivitas paling dominan yang ada pada suatu satker. Hal ini disebabkan

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 33

karena satker pada hakekatnya adalah perangkat organisasi pemerintah yang memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Dominasi aktivitas penerimaan kas pada suatu satker, umumnya hanya terjadi pada satker-satker yang memang memiliki tugas pokok dan fungsi penerimaan negara, baik penerimaan pajak maupun penerimaan negara bukan pajak. Beberapa tahun terakhir ini, penerimaan negara kita lebih banyak berasal dari penerimaan pajak, akibatnya satker yang melakukan aktivitas penerimaan kas secara dominan adalah satker-satker yang berada di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dan beberapa direktorat penerimaan negara lainnya yang ada di lingkungan Departemen Keuangan, seperti Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Jenis-Jenis Kas pada Satker

Secara umum, ada tiga jenis kas yang digunakan oleh Satker dalam pelaksanaan

kegiatan pengeluarannya, yaitu: a. Kas di Bank (Cash in Bank). b. Kas di tangan (Cash on Hand). c. Kas Kecil (Petty Cash). Kas di Bank. Adalah sejumlah uang milik satker yang tersimpan dalam satu bank pemerintah dalam bentuk rekening giro atas nama Pejabat Pengelola Keuangan (dalam hal ini disebut Bendahara Pengeluaran). Besaran jumlah uang yang dapat tersimpan dalam rekening ini diatur dengan suatu ketentuan. Kas di tangan. Adalah sejumlah uang yang disimpan oleh Bendahara Pengeluaran dalam brankasnya. Uang tersebut merupakan bagian dari uang yang menjadi tanggung jawab pengelolaan Bendahara Pengeluaran di samping uang yang tersimpan dalam bank pemerintah. Kas Kecil. Adalah sejumlah uang yang nilainya tidak besar yang diberikan oleh Bendahara Pengeluaran kepada pihak lain sebagai uang muka atau persekot atas pelaksanaan suatu kegiatan yang mendesak untuk dilakukan.

Ketiga jenis kas yang ada pada satker tersebut sesungguhnya merupakan uang muka kerja bagi satker untuk melakukan aktivitas pemerintahan dan pembangunan yang disediakan oleh pemerintah. Besaran nilai uang muka kerja yang diterima satker tersebut ditetapkan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sebelum suatu tahun anggaran dimulai. Apabila uang muka kerja tersebut telah selesai digunakan, maka satker dapat mempertanggungjawabkannya kepada Bendahara Umum Negara (melalui KPPN) untuk selanjutnya satker yang bersangkutan akan mendapatkan penggantian atas uang muka kerja yang telah digunakannya. Untuk tahun anggaran 2006, uang muka kerja yang dikelola oleh bendahara satker disebut dengan istilah Uang Persediaan (UP).

Hingga saat ini, besaran ideal uang persediaan yang sebaiknya ada pada setiap

satker (yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran) cukup sulit untuk ditentukan. Hal ini tidak terlepas dari sangat beragamnya kegiatan yang ada di setiap satker. Ada suatu satker yang merasa cukup dengan jumlah uang persediaan sebesar Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah) namun sebaliknya ada suatu satker yang merasa kurang dengan jumlah uang persediaan sebesar Rp200.000.000 (dua ratus juta

Bab 1: Manajemen Kas 34

rupiah). Tentu saja ini merupakan persoalan yang tidak sederhana yang perlu diupayakan solusinya segera oleh pemerintah. Problema lain yang dihadapi pemerintah adalah apabila besaran uang persediaan terlalu rendah maka akan berakibat pada terhambatnya pembayaran-pembayaran kepada pihak ketiga (penyedia barang/jasa) yang jatuh tempo. Sebaliknya, besaran uang persediaan yang terlalu tinggi akan mengakibatkan timbulnya kas menganggur (idle cash) pada setiap satker. Bayangkan bila terdapat 2.000 satker di seluruh Indonesia yang secara bersamaan memiliki uang menganggur masing-masing sebesar Rp2.000.000 (dua juta rupiah), maka ini berarti terdapat uang sebesar Rp4.000.000.000 (empat milyar rupiah) yang tidak produktif! Bayangkan bila jumlah satker maupun jumlah uang yang “tertahan” di tangan Bendahara Pengeluaran lebih besar lagi, maka hal tersebut sangat jelas akan merugikan negara karena terlalu banyaknya uang yang tidak memberikan manfaat secara ekonomis.

Karena besaran UP yang ideal cukup sulit ditentukan, pemerintah umumnya

mengambil angka rata-rata kebutuhan normal di setiap satker sebagai acuan besaran UP bagi setiap satker yang ada. Untuk tahun anggaran 2006, pemerintah menetapkan besaran UP sebagai berikut:

Satu per duabelas (1/12) dari pagu DIPA menurut klasifikasi belanja yang diijinkan untuk diberikan UP, maksimal Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) untuk pagu DIPA sampai dengan Rp900.000.000 (sembilan ratus juta rupiah).

Satu per delapanbelas (1/18) dari pagu DIPA menurut klasifikasi belanja yang diijinkan untuk diberikan UP, maksimal Rp100.000.000 (seratus juta rupiah) untuk pagu DIPA di atas Rp900.000.000 (sembilan ratus juta rupiah) sampai dengan Rp2.400.000.000 (dua milyar empat ratus juta rupiah).

Satu per duapuluh empat (1/24) dari pagu DIPA menurut klasifikasi belanja yang diijinkan untuk diberikan UP, maksimal Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah) untuk pagu DIPA di atas Rp2.400.000.000 (dua milyar empat ratus juta rupiah).

Aktivitas Pengeluaran Kas

Jumlah uang tunai yang dikelola oleh tiap satker untuk digunakan dalam operasional satker adalah sejumlah dana yang tercantum dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran yang disebut dengan DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran). DIPA merupakan dokumen pelaksanaan anggaran yang dibuat oleh Menteri/Pimpinan Lembaga atau Satker serta disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan dan berfungsi sebagai dasar untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran negara dan pencairan dana atas beban APBN serta dokumen pendukung kegiatan akuntansi pemerintah. Jumlah dana yang termuat dalam DIPA ini merupakan batas tertinggi untuk tiap-tiap pengeluaran.

Secara umum, terdapat dua mekanisme pengeluaran kas oleh suatu satker, yaitu

(a) pengeluaran yang dibayarkan melalui uang muka kerja satker; dan (b) pengeluaran yang dibayarkan secara langsung oleh Bendahara Umum Negara (dalam hal ini dilakukan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara/KPPN) atas beban dana satker yang bersangkutan. Mekanisme yang pertama biasa dikenal

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 35

dengan mekanisme UP (Uang Persediaan) sedangkan mekanisme yang kedua dikenal dengan istilah mekanisme LS (Langsung). Uang muka kerja atau uang persediaan merupakan dana yang tersedia dalam satker yang dikelola oleh seorang pejabat pengelola keuangan yang disebut Bendahara Pengeluaran. Pembayaran dengan menggunakan uang muka kerja ini biasanya dibatasi untuk hal-hal yang sifatnya rutin dalam rangka menjaga kontinuitas satker dan bernilai kecil. Oleh karenanya, salah satu tugas seorang Bendahara Pengeluaran adalah mengendalikan penggunaan uang muka kerja yang menjadi tanggung jawabnya. Ia pun diharapkan mampu memilah tagihan yang dapat dibayarkan dengan uang muka kerja dan tagihan yang tidak dapat dibayarkan dengan uang muka kerja. Hal ini dimaksudkan agar kontinuitas kegiatan satker tidak terganggu.

Mekanisme pembayaran (secara) LS merupakan pembayaran yang dilakukan

dengan memindahbukukan/mentransfer sejumlah uang yang besarnya sesuai dengan tagihan, dari rekening kas negara ke rekening giro pihak penerima pembayaran atas beban DIPA satker yang bersangkutan. Pembayaran jenis ini tidak dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran tetapi dilakukan “langsung” oleh Bendahara Umum Negara yang dilaksanakan oleh KPPN. Tagihan yang pembayarannya menggunakan mekanisme LS adalah tagihan-tagihan yang biasanya bernilai besar dan/atau yang telah ditetapkan untuk dibayarkan dengan menggunakan LS. Hal ini disebabkan oleh kondisi bahwa apabila tagihan semacam ini dibayarkan dengan menggunakan uang muka kerja yang dikelola Bendahara Pengeluaran maka akan berdampak pada terganggunya kelancaran aktivitas satker yang bersangkutan. Contoh: bila suatu satker memiliki uang persediaan sebesar Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan ia harus membayarkan beberapa tagihan bernilai besar yang jumlahnya mencapai Rp45.000.000 (empat puluh lima juta rupiah), maka apabila tagihan tersebut dibayarkan dengan UP, saldo UP yang tersisa adalah Rp5.000.000 (lima juta rupiah). Pada saat yang bersamaan diperlukan dana untuk membiayai tagihan-tagihan bernilai kecil yang bersifat operasional rutin dengan jumlah total sebesar Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah). Dengan kondisi seperti ini, jelas terlihat bahwa satker memiliki kekurangan dana sebesar Rp5.000.000 (lima juta rupiah) untuk membayar tagihan rutinnya. Padahal UP yang diberikan seharusnya diperuntukan bagi pembayaran yang lebih bersifat operasional rutin dan bernilai tidak besar. Oleh karena itu, solusinya adalah satker tidak menggunakan UP untuk membayarkan tagihan-tagihan yang bernilai besar agar bisa membayarkan tagihan-tagihan yang bernilai kecil dan bersifat operasional rutin. Tagihan-tagihan bernilai besar sebaiknya dibayarkan dengan mekanisme LS.

Mengacu pada contoh sederhana di atas, apabila seluruh satker menerapkan hal

yang seharusnya maka besaran nilai UP yang diperlukan satker dapat ditentukan dengan jumlah yang tidak besar agar kemungkinan terjadinya kas menganggur juga tidak besar. Dengan demikian perlu dibuatkan aturan tegas untuk mengatur pola pembayaran yang dilakukan satker kepada pihak ketiga atau pihak penyedia barang/jasa agar seluruh aktivitas yang ada pada tiap-tiap satker tidak terganggu. Meskipun cukup sulit dilakukan, mengingat setiap satker memiliki kegiatan yang berbeda-beda dan sangat beragam bentuk transaksi keuangannya, namun aturan umum tentang mekanisme pembayaran merupakan hal penting yang harus dilakukan dalam rangka menciptakan pengelolaan kas yang baik. Hal lain yang perlu dilakukan

Bab 1: Manajemen Kas 36

setiap satker adalah kemampuan melakukan prediksi kebutuhan dana jangka pendek untuk menunjang pelaksanaan kegiatan operasional rutin.

Sebenarnya, pemerintah telah memiliki aturan yang memungkinkan terjadinya

minimalisasi kas menganggur yaitu bahwa setiap pembayaran tagihan kepada pihak ketiga, berapapun besarnya, harus dilakukan dengan menggunakan mekanisme pembayaran langsung (LS). Mekanisme pembayaran langsung adalah mekanisme pembayaran yang dilakukan langsung oleh KPPN dengan mentransfer sejumlah uang sesuai tagihan kepada rekening giro pihak yang menerima pembayaran. Dalam praktik selama ini, mekanisme pembayaran langsung dipandang menyulitkan. Hal ini lebih disebabkan oleh kondisi-kondisi sebagai berikut: a. Pembayaran dengan mekanisme langsung (LS) hanya bisa dilakukan kepada

pihak ketiga selaku penyedia barang/jasa yang memiliki rekening pada sebuah bank.

b. Bila nilai tagihan tidak terlalu besar (misalnya kurang dari Rp5.000.000/lima juta rupiah), pihak ketiga selaku penyedia barang/jasa memandang bahwa pembayaran dengan mekanisme langsung sangatlah menyulitkan dan birokratis karena pembayarannya melibatkan pihak KPPN. Untuk tagihan yang jumlahnya tidak besar, pihak penyedia barang/jasa lebih senang menerima pembayaran secara tunai dari bendahara pengeluaran (mekanisme UP) daripada melalui mekanisme LS.

c. Pembayaran dengan menggunakan Uang Persediaan (UP) dipandang dapat membantu percepatan revolving dana UP dibandingkan bila pembayaran tagihan menggunakan mekanisme LS.

Terlepas dari mekanisme pembayaran mana yang digunakan, seluruh

pembayaran/ pengeluaran atas beban APBN dilakukan berdasarkan atas hak dan bukti-bukti yang sah untuk memperoleh pembayaran. Pembayaran belanja pegawai untuk PNS dan anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian RI serta pensiunan termasuk tunjangan-tunjangan yang melekat didalamnya dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Bukti-bukti yang sah yang harus disertakan dalam pengajuan tagihan atas penyediaan barang/jasa kepada pemerintah dapat berupa kuitansi atau bukti pembayaran dan dokumen-dokumen lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sedangkan proses pengajuan pembayaran melalui KPPN dilakukan dengan terlebih dahulu membuat Surat Permintaan Pembayaran (SPP), pelaksanaan pengujian SPP, dan penyampaian Surat Perintah Pembayaran (SPM) oleh satker yang bersangkutan. KPPN akan menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) apabila SPM yang diajukan telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

SPP merupakan suatu dokumen yang dibuat/diterbitkan oleh pejabat yang

bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan dan disampaikan kepada Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat lain yang ditunjuk selaku pemberi kerja untuk selanjutnya diteruskan kepada pejabat penerbit SPM berkenaan. Ada empat jenis SPP yang dapat dikeluarkan oleh satker, yaitu SPP-DUP (dana UP), SPP-GUP (Penggantian UP), SPP-TUP (Tambahan UP), dan SPP-LS.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 37

SPM merupakan dokumen yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan. Sama dengan SPP, terdapat empat jenis SPM yang dapat dikeluarkan oleh satker, yaitu SPM-DUP (dana UP), SPM-GUP (Penggantian UP), SPM-TUP (Tambahan UP), dan SPM-LS.

SP2D merupakan surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa

Bendahara Umum Negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM. Berdasarkan SPM yang diajukan oleh satker, KPPN menerbitkan SP2D yang ditujukan kepada Bank Operasional mitra kerjanya. KPPN dapat melakukan penolakan permintaan pembayaran apabila pengeluaran untuk Mata Anggaran Pengeluaran (MAK) terkait telah melampaui pagu yang disediakan dan/atau apabila SPM tidak didukung oleh bukti pengeluaran yang sah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Mekanisme pengeluaran kas sedemikian rupa, baik oleh Bendahara Pengeluaran

maupun oleh KPPN, pada hakekatnya merupakan suatu mekanisme yang diciptakan dengan memperhatikan aspek pengendalian. Meskipun prosedur yang dilalui cukup memakan waktu dan terlihat terlampau birokratis, namun diharapkan hal tersebut tidak menghambat pelaksanaan operasional rutin satker yang bersangkutan. Aktivitas Penerimaan Kas

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa sebagian besar satker yang ada memiliki kegiatan penerimaan kas yang tidak dominan. Kegiatan penerimaan kas yang dominan umumnya hanya ada pada satker-satker yang memiliki tugas pokok dan fungsi di bidang penerimaan negara, misalnya satker di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, serta satker yang berada di lingkungan organisasi pemerintah yang mengelola penerimaan negara bukan pajak. Penerimaan kas yang dilakukan bendahara pengeluaran saat menerima uang persediaan melalui mekanisme SPM-DUP/GUP/TUP dan SP2D-DUP/GUP/TUP dipandang sebagai kegiatan yang lebih terkait pada pengeluaran kas.

Penerimaan kas bagi negara telah ditetapkan melalui mekanisme perbankan. Setiap penerimaan negara harus dilakukan dengan menyetorkannya ke rekening kas negara, baik secara langsung maupun secara periodik sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pada tiap satker ditunjuk pejabat yang bertanggung jawab atas penerimaan kas dan pejabat yang bertanggung jawab atas pengelolaan kas masuk (bendahara penerimaan). Setiap potensi penerimaan negara yang ada di setiap satker harus diupayakan untuk dapat diraih guna membantu peningkatan penerimaan negara secara nasional. Di antara berbagai sumber penerimaan negara, penerimaan perpajakan mempunyai peranan yang sangat penting dalam memperkuat kapasitas fiskal dalam pembiayaan anggaran negara. Hal ini terutama karena (a) penerimaan perpajakan merupakan penyumbang terbesar penerimaan dalam negeri yaitu sebesar 65,4 persen di tahun 2006 sedangkan sisanya disumbang oleh PNBP, dan (b) penerimaan perpajakan relatif lebih stabil dibandingkan dengan PNBP yang cenderung berfluktuasi tergantung kepada faktor-faktor eksternal, seperti harga minyak mentah dan nilai tukar. Di antara berbagai jenis pajak yang dikenakan

Bab 1: Manajemen Kas 38

pemerintah kepada masyarakat, Pajak Penghasilan (PPh) merupakan penyumbang terbesar bagi penerimaan perpajakan (paling tidak hingga tahun 2006).

Khusus penerimaan negara di bidang perpajakan, pemerintah menerapkan

sistem self-assesment sehingga wajib pajaklah yang menghitung hingga membayarkan sendiri pajak yang seharusnya dibayar. Pembayaran pajak dapat langsung dilakukan oleh wajib pajak melalui mekanisme perbankan. Wajib pajak cukup melaporkan besarnya pajak yang dibayarkan ke Kantor Pelayanan Pajak yang terkait. Secara berkala wajib pajak melaporkan jumlah pajak yang dibayar dengan membuat Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) Masa. Pada akhir tahun, mereka melaporkan jumlah total pajak yang terhutang, pajak yang telah dibayar, kredit pajak, dan pajak lebih/kurang bayar dengan mengisi Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) Tahunan. Hal yang hampir sama juga terjadi pada proses penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Pihak yang terhutang PNBP dapat menyetorkan pembayarannya langsung ke rekening kas negara (atau rekening atas nama Bendahara Penerimaan Satker) pada bank-bank yang ditunjuk. Selanjutnya mereka melaporkan bukti penyetoran tersebut kepada pejabat yang bertanggung jawab atas penerimaan negara pada satker terkait. Mereka juga dapat menyetorkan pembayaran PNBP tersebut kepada pejabat yang berwenang pada satker terkait untuk selanjutnya pejabat yang berwenang tersebut menyetorkannya ke rekening kas negara atau rekening atas nama Bendahara Penerima Satker.

Dengan kondisi seperti diuraikan di atas, maka dapat dikatakan bahwa pada

dasarnya pengendalian penerimaan kas sampai dengan penerimaan tersebut masuk pada rekening kas negara telah baik. Pengendalian yang ketat terhadap penerimaan kas lebih diperlukan pada aktivitas-aktivitas sebagai berikut: a) Ketaatan wajib pajak dan subjek PNBP dalam membayarkan pajak atau PNBP

yang menjadi kewajibannya. b) Ketaatan pejabat yang bertanggung jawab di bidang penerimaan dalam

melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. c) Pengawasan arus penerimaan kas dari bank komersial (bank yang ditunjuk)

hingga ke rekening kas negara. Pengelolaan Kas pada Satker yang mengelola APBD

Secara prinsip, pengelolaan kas masuk (penerimaan) dan kas keluar (Pengeluaran) pada satker yang mengelola APBD sama dengan pengelolaan kas masuk dan kas keluar pada satker yang mengelola APBN. Setiap aktivitas penerimaan dan pengeluaran kas harus ditunjang dengan sistem dan prosedur yang memadai agar tercipta pengelolaan kas yang baik. Kepala pemerintahan daerah (gubernur/walikota/bupati) merupakan Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah yang mempunyai wewenang menyelenggarakan keseluruhan pengelolaan keuangan daerah yang menjadi tanggung jawabnya, seperti: a) Menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBD. b) Menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang daerah. c) Menetapkan kuasa pengguna anggarang/barang. d) Menetapkan bendahara penerimaan dan/atau bendahara pengeluaran.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 39

e) Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan daerah. f) Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan hutang dan piutang

daerah. g) Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan barang milik daerah. h) Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian atas tagihan dan

memerintahkan pembayaran.

Mulai tahun anggaran 2006, pola pengelolaan keuangan daerah mengikuti pola yang berlaku dalam pengelolaan keuangan di tingkat pusat karena sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, APBD merupakan bagian dari keuangan negara. Bila sebelum tahun anggaran 2006, dalam pengelolaan keuangan daerah tidak dikenal SP2D (Surat Perintah Pencairan Dana) maka mulai tahun anggaran 2006 penggunaan SP2D, yang telah dilakukan oleh pemerintah pusat sejak tahun anggaran 2005, dilakukan pula oleh pemerintah daerah. Sehingga mekanisme pengeluaran kas yang terjadi pada satker yang mengelola APBD pada prinsipnya sama dengan satker-satker yang mengelola APBN.

Demikian pula dalam kegiatan penerimaan kas. Kepala pemerintahan daerah

menugaskan pejabat-pejabat yang bertanggung jawab di bidang penerimaan kas daerah. Semua penerimaan daerah berbentuk uang tunai wajib segera disetorkan ke kas umum daerah. Bendahara penerimaan dilarang menyimpan uang, cek, atau surat berharga yang dalam penguasaannya lebih dari satu hari kerja dan/atau atas nama pribadi pada bank atau giro pos. Bendahara penerimaan wajib menyelenggarakan pembukuan terhadap seluruh penerimaan dan penyetoran atas penerimaan yang menjadi tanggung jawabnya. Rekening Tunggal Pemerintah (Treasury Single Account/TSA) 4

Rekening tunggal pemerintah merupakan suatu rekening yang berada pada bank

sentral yang dipergunakan untuk menyimpan uang negara, menampung semua penerimaan negara, dan sebagai sumber dana untuk membiayai pengeluaran negara. Hal ini sesuai dengan amanat UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyatakan bahwa: • Semua penerimaan dan pengeluaran negara dilakukan melalui Rekening Kas

Umum Negara (pasal 12 ayat 2). • Dalam rangka penyelenggaraan rekening pemerintah, Menteri Keuangan

membuka Rekening Kas Umum Negara (pasal 22 ayat 2). • Uang negara disimpan dalam Rekening Kas Umum Negara pada bank sentral

(pasal 22 ayat 3).

4 Diolah dari modul Cash Management Direktorat Pengelolaan Kas Negara, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Departemen Keuangan, anonim, tanpa tahun.

Bab 1: Manajemen Kas 40

Oleh karena itu, semua penerimaan dan pengeluaran negara dilakukan melalui satu rekening (Single Account) yang disebut Rekening Kas Umum Negara (RKUN) yang kemudian disebut sebagai Rekening Tunggal Pemerintah. Sistem rekening tunggal pemerintah akan memungkinkan pelaksanaan pengelolaan kas negara yang mengacu pada prinsip-prinsip pengelolaan kas yang baik. Selain itu, terdapat beberapa hal yang melatarbelakangi perlunya dibentuk Rekening Tunggal Pemerintah, antara lain:

a. Rekening penerimaan/pengeluaran pemerintah tersebar di banyak bank umum.

Selama ini uang negara tersimpan di Bank Indonesia dan di bank umum. Uang negara yang tersimpan di bank umum sebagian merupakan penyediaan dana di bank operasional untuk membiayai pengeluaran negara yang dilaksanakan melalui KPPN di seluruh Indonesia. Sebagian yang lain merupakan penerimaan negara yang terkumpul di rekening-rekening bank persepsi yang belum dilimpahkan ke rekening Bendahara Umum Negara (BUN) setiap hari Selasa dan Jumat. Tersebarnya rekening pemerintah di berbagai bank umum menyulitkan pemerintah untuk mengetahui jumlah uang yang masuk yang berasal dari penerimaan dan jumlah pengeluaran uang serta saldo uang secara cepat. Hal ini berakibat pada sulitnya dilakukan perencanaan kas yang baik. Banyaknya rekening juga berdampak pada inefisiensi karena: • Tingginya biaya pengelolaan rekening; • Pengendapan uang pemerintah yang berasal dari pendapatan dan

pengeluaran pada bank umum menyebabkan tingginya opportunity cost.

b. Banyaknya uang negara yang masih dikuasai oleh Departemen/Lembaga. Di samping itu juga masih terdapat uang negara yang berada dalam penguasaan departemen/lembaga yang juga disimpan dalam rekening-rekening di bank umum, berupa penerimaan negara yang sementara belum disetor ke kas negara dan uang persediaan yang berasal dari APBN untuk membiayai pengeluaran operasional departemen/lembaga.

c. Uang yang tersimpan di Bank Indonesia tersebar dalam puluhan rekening.

Selain di bank umum, pemerintah juga memiliki uang yang tersimpan di Bank Indonesia tersebar dalam puluhan rekening. Banyaknya rekening tersebut mengakibatkan sulit untuk mengetahui saldo rekening pemerintah dan monitoring dana yang keluar/masuk rekening tersebut.

Dengan kondisi penyimpanan uang negara seperti sekarang ini sulit untuk dapat

diketahui berapa jumlah uang yang dimiliki oleh negara secara cepat dan tepat. Kondisi seperti ini tidak mendukung perencanaan kas yang baik. Oleh karena itu perlu dilakukan perbaikan dalam pengelolaan kas negara dengan penerapan rekening tunggal pemerintah. Penerapan ini mencakup langkah-langkah sebagai berikut: 1. Mengkonsolidasikan penyimpanan uang negara dalam satu rekening, yaitu

Rekening Kas Umum Negara (RKUN). Pemisahan penyimpanan dana yang diperlukan untuk keperluan monitoring masih dimungkinkan dengan membuat sub-sub rekening tersendiri dalam RKUN.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 41

2. Semua penerimaan negara masuk ke RKUN dan semua pengeluaran negara dibayar dari RKUN.

3. Semua penerimaan negara harus dilimpahkan ke RKUN setiap hari. 4. Tidak ada lagi dana mengendap di bank umum berupa penyediaan dana bagi

keperluan pengeluaran negara oleh KPPN. Dana disediakan pada saat diperlukan untuk pembayaran dan saldo pada akhir hari harus nihil.

5. Uang persediaan diberikan hanya untuk membiayai pengeluaran yang kecil-kecil saja (minimum).

6. Uang yang berada di Bank Indonesia dan bank umum mendapatkan bunga/jasa giro pada tingkat bunga pasar (yang berlaku umum).

7. Membuat perencanaan kas yang baik dan akurat. 8. Menempatkan uang yang menganggur kedalam rekening yang mendapatkan

bunga/atau kedalam instrumen moneter yang aman dan menguntungkan. 9. Mencari dana dengan tingkat biaya yang rendah atau menjual Surat Hutang

Negara (SUN) yang dimiliki dengan harga yang paling menguntungkan untuk menutup kekurangan kas.

Di tahun 2006 telah dilaksanakan uji coba penerapan TSA di 3 KPPN, meskipun

hanya berkaitan dengan pengelolaan pengeluaran negara, yaitu 2 KPPN KBI (KPPN Jakarta II dan Batam) dan 1 KPPN non-KBI (KPPN Bekasi). Uji coba tersebut kemudian dilakukan pula melalui rekening Bank Operasional 50 Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) di BRI, Bank Mandiri dan Bank BNI. Penggunaan modul penerimaan negara yang diresmikan pada hari ini diharapkan akan dapat mempercepat penerapan TSA tersebut secara menyeluruh untuk penerimaan dan pengeluaran negara pada tahun 2007.

Untuk selanjutnya pelaksanaan TSA akan dikembangkan tidak hanya pada

kegiatan yang berhubungan dengan pengeluaran negara saja namun juga akan mencakup penerimaan negara. Dengan demikian penerapan TSA di KPPN seluruh Indonesia akan dilaksanakan secara bertahap. Tahap pertama akan di berlakukan terhadap seluruh KPPN KBI yang umumnya berada di ibukota provinsi. Selanjutnya akan diteruskan ke KPPN non-KBI di wilayah Jawa-Madura dan kemudian KPPN non-KBI di luar Jawa-Madura. Diharapkan pada pertengahan tahun 2007 seluruh KPPN sudah melaksanakan TSA.

Berikut ini adalah bagan arus kas penerapan rekening tunggal pemerintah dengan menggunakan BI untuk rekening pengeluaran.

Gambar 5

Mekanisme Pelaksanaan TSA di KPPN untuk Rekening Pengeluaran

j Kantor Pusat Bank

Indonesia

Kantor Pusat Bank Umum

(Rek. Pengeluaran)

Ditjen. Perbendaharaan

Penihilan

k

Meminta transfer dana dari RKUN sebesar kebutuhan harian

Transfer melalui RTGS

Bab 1: Manajemen Kas 42

n Bank Indonesia (RKUN)

DJPBN

Penjelasan Bagan Arus : (1) Direktorat Jenderal Perbendaharaan meminta Bank Indonesia untuk melakukan

transfer dana dari RKUN ke kantor pusat bank umum untuk mengisi dana di rekening pengeluaran pada kantor pusat bank umum tersebut.

(2) Bank Indonesia melakukan transfer dana ke kantor pusat bank umum melalui RTGS.

(3) Kantor pusat bank umum melakukan pengisian dana di kantor cabang bank umum yang berfungsi sebagai BO I/II sesuai dengan permintaan dana dari KPPN.

(4) KPPN meminta kantor cabang bank umum yang berfungsi sebagai BOI/II untuk mencairkan dana kepada rekanan/bendahara sesuai dengan SPPD yang dikirimkan.

(5) Kantor cabang bank umum melakukan transfer dana ke bendaharan/rekanan sesuai permintaan KPPN.

(6) Pada setiap akhir hari kerja kantor cabang bank umum yang berfungsi sebagai BOI/II akan mengembalikan sisa dana ke kantor pusatnya dan kantor pusat bank umum akan menyetorkan sisa dana tersebut ke Bank Indonesia.

Bagan arus kas penerapan rekening tunggal pemerintah dengan menggunakan

BI untuk rekening penerimaan terlihat di bawah ini.

Gambar 6 Mekanisme Pelaksanaan TSA di KPPN untuk Rekening Penerimaan

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 43

KPPN

Bank Persepsi

Wajib Pajak/ Bayar

Bank Persepsi

Bank Persepsi

Wajib Pajak/ Bayar

Wajib Pajak/ Bayar

Pelimpahan Penerimaan Setiap Hari

Laporan

Laporan

Rekonsiliasi

j j j

k k k

l m

k

Penjelasan Bagan Arus : (1) Setiap wajib bayar atau wajib pajak akan melakukan penyetoran pada bank

persepsi yang ditunjuk. (2) Bank persepsi akan memberikan laporan penerimaan setiap harinya kepada

KPPN. (3) Pada setiap akhir hari kerja, bank persepsi wajib menyetorkan seluruh

penerimaan pada hari itu ke Bank Indonesia. (4) KPPN akan memberikan laporan atas penerimaannya ke DJPBN. (5) DJPBN dan Bank Indonesia akan melakukan rekonsiliasi atas penerimaan.

Sebagai bahan perbandingan, berikut ini merupakan praktik terbaik (best practice) Internasional tentang penerapan Rekening Tunggal Pemerintah. • Tidak ada float penerimaan dan pengeluaran.

Tidak ada penerimaan negara yang berada di bank-bank umum yang tidak disetorkan ke bank sentral pada sore hari. Tidak ada pengeluaran yang dikeluarkan dari bank sentral sebelum jatuh tempo pembayaran. Pengeluaran dapat dilakukan lebih awal jika terbukti menguntungkan misalnya adanya diskon pembayaran.

• Rekening penampungan sementara (transit accounts) harus dinihilkan seriap hari. Jika rekening penampungan sementara misalnya rekening penampungan penerimaan, maka saldo dalam rekening penampungan penerimaan tersebut harus dinihilkan setiap sore hari.

• Sistem pembayaran elektonik untuk mendukung fungsi treasury. Sistem pembayaran secara elektronik akan memberikan keuntungan seperti penghematan biaya pegawai, biaya pencetakan, biaya pengamanan kas,

Bab 1: Manajemen Kas 44

meminimalisasi biaya penggunaan kertas, mempercepat aliran dana, memperbaiki internal control dan mendukung perencanaan kas.

• Adanya imbalan yang diberikan kepada bank atas penyediaan jasa perbankan. Karena tidak ada lagi dana yang mengambang (float) di bank umum dengan demikian tidak ada lagi keuntungan yang diperoleh oleh bank umum dengan demikian pemerintah harus memberikan imbalan atas penyediaan jasa perbankan yang diberikan oleh bank-bank umum mitranya.

• Bank sentral memberikan imbalan kepada treasury atas saldo rekening tunggal pemerintah. Karena seluruh dana pemerintah berada di bank sentral dan bank sentral memperoleh keuntungan dari dana pemerintah tersebut maka sewajarnya pemerintah mendapatkan bagian yang wajar atas keuntungan yang diperoleh oleh bank sentral.

Implementasi TSA pada KPPN Jakarta II 5

Di Indonesia, implementasi TSA telah dimulai dengan diujicobakannya mekanisme tersebut pada KPPN Jakarta II sejak bulan Juli 2005 sebagai pilot project. Hal ini sesuai dengan Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor 9/PB/2005 tanggal 27 Juni 2005 tentang Pelaksanaan Uji Coba Mekanisme Rekening Pengeluaran Bersaldo Nihil pada Bank Umum Mitra Kerja KPPN. Tujuan dari uji coba mekanisme TSA atau Mekanisme Rekening Pengeluaran Bersaldo Nihil ini dimaksudkan untuk memperoleh masukan bagi penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Uang Negara. Sedangkan secara khusus tujuan pilot project pada KPPN II adalah untuk meningkatkan/memperbaiki prosedur pembayaran di KPPN dengan menggunakan rekening saldo-nihil pada bank operasional.

Dasar pemilihan KPPN Jakarta II sebagai pilot project pelaksanaan TSA dilandasi oleh dua hal. Pertama, karena lokasi KPPN Jakarta II yang relatif dekat dengan Kantor Pusat Ditjen Perbendaharaan. Dengan demikian selama masa uji coba TSA, koordinasi dan evaluasi untuk melihat tingkat keberhasilan aplikasi TSA tersebut dapat berjalan lebih lancar. Kedua, karena beban kerja KPPN Jakarta II yang relatif tidak terlalu besar dibanding dengan KPPN-KPPN lain di Jakarta. Sehingga untuk tahap awal, permasalahan yang mungkin dihadapi pada masa uji coba tidak akan mengganggu jalannya pelaksanaan tugas dan fungsi KPPN sendiri. Perluasan pilot project juga telah dilakukan pada dua KPPN lain yaitu KPPN Bekasi dan KPPN Batam. Di masa yang akan datang, akan dipersiapkan suatu rencana untuk menerapkan sistem rekening saldo-nihil pada semua KPPN.

5 Diolah dari situs Direktorat Jenderal Perbendaharaan: http://www.perbendaharaan.go.id

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 45

Mekanisme Pembayaran pada KPPN Jakarta II

Dalam melakukan pembayaran kepada 6 unit Kementerian/Lembaga yang menjadi tanggung jawab pelayanannya, KPPN Jakarta II memiliki 1 (satu) Bank Operasional I dan 3 (tiga) Bank Operasional II. Untuk pengeluaran non-gaji, berdasarkan SP2D, KPPN menerbitkan bilyet giro kepada Bank Indonesia agar melimpahkan dana sebesar yang diminta. Kemudian BO I (non-gaji) tersebut yang akan membayarkan/mencairkan dana ke rekening bendahara atau pihak ketiga. Sedangkan untuk pengeluaran gaji, berdasarkan SP2D gaji, KPPN menerbitkan bilyet giro kepada BI untuk selanjutnya BI mentransfer dana yang diminta kepada ke-3 BO II (gaji) KPPN Jakarta II untuk selanjutnya dibayarkan ke rekening bendahara atau pegawai.

Sesuai dengan prinsip TSA, baik rekening penerimaan maupun rekening

pengeluaran harus bersaldo nihil dengan cara mengkonsolidasikan setiap penerimaan dan pengeluaran yang ada pada Rekening Kas Umum Negara pada Bank Indonesia. Namun, sebagai langkah awal, kas saldo nihil baru diujicobakan untuk rekening-rekening yang terkait dengan pengeluaran saja. Mekanisme Pencairan Dana

Pada mekanisme pencairan dana sebelum pemberlakuan TSA, permasalahan yang dihadapi adalah terdapatnya jumlah saldo perbendaharaan yang tidak terpakai yang sangat besar pada Bank Operasional. Pengendapan saldo tersebut menimbulkan kerugian bagi pemerintah dan sebaliknya akan menguntungkan pihak bank. Lihat Ilustrasi 1: Mekanisme pencairan dana sebelum diberlakukannya TSA. Sebagai contoh, pada KPPN II, dalam BO I (non-gaji) selama bulan April 2005, saldo rata-rata akhir hari kerja dalam rekening adalah 14 milyar. Opportunity cost @ 10 % per tahun terdapat 1.4 milyar per tahun (Rp 11,62 juta perbulan). Seperti diketahui, April adalah bulan dimana pengeluaran belum terlalu banyak, maka dengan perhitungan yang sama, misalnya untuk bulan September, pemerintah memperoleh kerugian yang lebih besar lagi (higher opportunity loss). Di pihak bank, sebaliknya terdapat keuntungan dalam memproses rata-rata 150 SPPD per hari untuk BO I (non-gaji) atau 3000 SPPD per bulan yaitu Rp 3.800 per transaksi. Sedangkan dana yang ditransfer pada rekening BO II mengendap selama 6 hari kerja. Dengan pembayaran gaji rata-rata per bulan pada KPPN Jakarta II sebesar Rp 63 milyar, mekanisme ini telah membebani Perbendaharaan sekitar Rp 175 juta perbulan pada tingkat bunga 10 % pertahun. Ilustrasi 1: Mekanisme Pencairan Dana Sebelum Diberlakukan TSA Pada Bank Operasional I (Rekening Non-Gaji): a. KPPN menerbitkan SP2D. b. Semua SP2D yang diterbitkan pada hari sebelumnya dikirim ke Bank

Operasional I pada jam 8:00 pagi hari berikutnya.

Bab 1: Manajemen Kas 46

c. Bank Operasional I (non-gaji) membayar/mencairkan dana pada rekening bendahara atau pihak ketiga. Pencairan ini dibebankan pada dana KPPN yang ada pada Bank Operasional I.

d. KPPN menerbitkan bilyet giro sesuai dengan kebutuhan dan dikirimkan ke BI. KPPN mempunyai dana/pagu yang diperkenankan pada BO I sebesar 20 milyar rupiah.

e. BI melimpahkan/transfer dana ke Bank Operasional I (non-gaji) berdasarkan bilyet giro yang diterbitkan oleh KPPN.

f. Bank Operasional I akan membayar dana yang ditransfer oleh BI kepada rekening bendahara atau pihak ketiga.

Pada Bank Operasional I (Rekening Gaji): a. KPPN menerbitkan SP2D Gaji. b. KPPN menerbitkan bilyet giro paling cepat 7 (tujuh) hari kerja sebelum tanggal

pembayaran gaji sesuai dengan SP2D gaji yang diterbitkan dan dikirimkan ke BI. c. Berdasarkan bilyet giro yang diterbitkan KPPN, BI melimpahkan / transfer dana

ke Bank Operasional I (gaji) paling cepat 7 (tujuh) hari kerja sebelum hari pembayaran gaji (tanggal 1).

d. Bank Operasional I (gaji) mentransfer dana ke 3 (tiga) Bank Operasional II KPPN Jakarta II, paling cepat 6 (enam) hari kerja sebelum hari pembayaran gaji.

e. Setelah 6 (enam) hari kerja dana untuk gaji mengendap pada Bank Operasional II, pada tanggal 1 bulan yang bersangkutan Bank Operasional II membayarkan dana tersebut ke rekening-rekening bank pegawai dan bendahara unit pengeluaran pada cabang bank yang sama.

Setelah pembayaran gaji, dana yang diperkenankan untuk mengendap pada

Bank Operasional II maksimal sebesar 5 % dari pembayaran gaji bulan yang berkenaan. Dana inilah yang akan digunakan untuk membayar kekurangan gaji, susulan gaji dan honor-honor dalam kelompok belanja pegawai. Apabila terdapat kekurangan, KPPN menerbitkan bilyet giro sebesar dana yang dibutuhkan. Pada praktik/implementasi TSA, semua uang negara akan terkumpul di Bank Indonesia sehingga tidak ada lagi idle cash balance di bank-bank umum. Pemerintah, sebaliknya, dapat mengelola uang tidak terpakai tersebut untuk kepentingan pemerintah sejalan dengan UU Nomor 1 Tahun 2004 yang telah menempatkan kewenangan Menteri Keuangan untuk menyimpan uang negara, menempatkan uang negara, mengelola/menatausahakan investasi. Bandingkan mekanisme pencairan dana sesudah diberlakukannya TSA pada ilustrasi 2. Ilustrasi 2: Mekanisme Pencairan Dana Setelah Diberlakukan TSA Pada Bank Operasional I (Rekening non-gaji) a. KPPN menerbitkan SP2D. b. BO I rekening non gaji memiliki saldo nihil pada awal hari kerja.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 47

c. KPPN mengirimkan SP2D ke Bank Operasional Pukul 08.00 dan 12.00 setiap hari kerja. SP2D yang dikirimkan pukul 08.00 adalah SP2D tertanggal 'hari ini' yang diproses pada siang hari pada satu hari sebelumnya. Sedangkan SP2D yang dikirimkan pukul 12.00 adalah SP2D tertanggal 'hari ini' yang diproses pagi hari pada hari yang sama.

d. Bersamaan dengan pengiriman SP2D ke Bank Operasional I, KPPN menerbitkan bilyet giro dan dikirimkan ke BI senilai SP2D yang telah diterbitkan.

e. BI mentransfer dana ke BO I, berdasarkan bilyet giro yang diterbitkan KPPN. f. BO I akan mencairkan SP2D setelah menerima dana dari BI pada hari yang

sama. g. Saldo akhir hari pada BO I (non gaji) akan menjadi nihil setiap hari. Pada Bank Operasional II (Rekening Gaji) a. KPPN menerbitkan SP2D gaji. b. SP2D gaji disampaikan ke Bank Operasional II paling lambat 5 (lima) hari kerja

sebelum hari pembayaran gaji (tanggal 1). c. Tiga hari kerja sebelum pembayaran gaji, KPPN akan mentransfer dana ke BO II

(gaji) melalui BI. d. Pada tanggal pembayaran gaji, BO II akan mencairkan gaji ke rekening masing-

masing pegawai dan rekening bendahara sesuai dengan SP2D dari KPPN. e. Saldo akhir hari rekening BO II pada tanggal pembayaran gaji harus nihil. Apabila

ada sisa dana pada BO II harus ditransfer ke R-BUN/RKUN.

Setelah tanggal 1 pembayaran gaji, rekening BO II tidak akan dipergunakan lagi. Pembayaran gaji susulan maupun kekurangan gaji akan dilakukan melalui rekening BO I. Dengan demikian rekening BO II hanya aktif selama 4 (empat) hari yaitu tiga hari pada akhir bulan dan satu hari bulan berikutnya. Implikasi lain dari Penerapan TSA

Selain dengan perubahan mekanisme pencairan seperti diuraikan di atas, terdapat pula beberapa implikasi implementasi TSA. Sebelum diberlakukannya TSA, Pemerintah memperoleh jasa perbendaharaan atas pengendapan uang yang terdapat di beberapa bank Operasional mitra kerja KPPN Jakarta II yaitu sejumlah 2 % dari saldo terendah bulan yang berkenaan. Akan tetapi sebaliknya dengan implementasi TSA, Pemerintah bukan hanya kehilangan pendapatan dari jasa perbendaharan, namun sebagai konsekuensi tidak adanya uang mengendap (rekening bersaldo nihil pada BO I), mekanisme ini berpotensi menimbulkan kewajiban jasa perbendaharaan yang harus dibayar pemerintah atas jasa yang dilakukan bank.

Walaupun dalam Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor 9/PB/2005

menyatakan bahwa Bank Operasional tidak diperkenankan memungut biaya transaksi pengeluaran/penyaluran dana APBN (pasal 4) dan selama pelaksanaan uji coba mekanisme baru ini kepada Bank Operasional tidak diberikan imbalan jasa pelayanan (pasal 5), pada kenyataannya BO I KPPN Jakarta II telah mengenakan jasa perbendaharaan untuk pihak ketiga. Sehingga, pada saat TSA diberlakukan ke seluruh KPPN akan timbul kewajiban pemerintah untuk membayar jasa

Bab 1: Manajemen Kas 48

perbendaharaan kepada BO I yaitu untuk jasa perbendaharaan yang terkait dengan pembayaran yang dilakukan kepada bendahara saja.

Perlu juga diperhatikan bahwa kemudahan penerapan TSA pada KPPN Jakarta II

tidak lepas dari domisili kantor yang berada satu kota dengan Bank Indonesia. Untuk KPPN-KPPN yang tidak berada dalam satu kota dengan BI (KPPN non-BI), implikasi yang timbul dari implementasi TSA adalah penambahan prosedur pencairan dana dimana KPPN non-BI tersebut harus meminta dropping dana ke KPPN Induk yang sekota dengan BI melalui fax senilai SP2D yang diserahkan ke BO I. Untuk selanjutnya KPPN induk mitra kerja KPPN non-BI yang akan menerbitkan bilyet giro kepada BI cabang dan melimpahkan dana kepada Bank Operasional mitra kerja KPPN non-BI sebesar jumlah yang diminta.

Perencanaan Kas Pemerintah (Cash Forecasting) 6

Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara Pusat bertanggung jawab untuk membuat perencanaan kas dan menetapkan saldo kas minimal. Kementerian negara/lembaga dan pihak-pihak lain yang terkait wajib menyampaikan proyeksi penerimaan dan pengeluaran secara periodik kepada Bendahara Umum Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara. Keberhasilan pembuatan perencanaan kas yang baik sangat bergantung kepada koordinasi dan dukungan dari seluruh departemen/lembaga serta kecermatan mereka dalam pembuatan perencanaan penerimaan dan pengeluaran masing-masing departemen/lembaga. Berdasarkan perencanaan arus kas dan saldo kas minimal, Bendahara Umum Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara Pusat menentukan strategi manajemen kas untuk mengatasi kekurangan kas maupun untuk menggunakan kelebihan kas. Oleh karena itu, strategi manajemen kas yang dilaksanakan oleh Bendahara Umum Negara harus dapat memastikan bahwa: • Negara selalu memiliki kas yang cukup untuk memenuhi pembayaran kewajiban

negara. • Saldo kas di atas saldo kas minimal harus diarahkan untuk mendapatkan

manfaat yang optimal. Perencanaan kas dimulai dari memperkirakan seberapa besar penerimaan

negara dalam suatu periode tertentu. Kemudian perencanaan kas dilanjutkan dengan membuat rencana pengeluaran kas. Berdasarkan pengeluaran dan penerimaan kas akan diketahui seberapa besar kekurangan atau kelebihan kas (cash mismatch) dan melakukan tindakan yang sesuai dengan keadaan cash mismatch tersebut.

Dalam hal terjadi kekurangan kas, Bendahara Umum Negara dapat melakukan:

a. Pinjaman, baik dari dalam maupun luar negeri. 6 Diolah dari modul Cash Management Direktorat Pengelolaan Kas Negara, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Departemen Keuangan, anonim, tanpa tahun.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 49

b. Menjual surat hutang negara dan/atau surat berharga lainnya. c. Pinjaman dapat dilakukan dengan menerbitkan surat hutang negara.

Sedangkan dalam hal terjadi kelebihan kas, Bendahara Umum Negara dapat melakukan : a. Menempatkan uang negara pada rekening di bank sentral/bank umum yang

menghasilkan bunga/jasa giro dengan tingkat bunga yang berlaku umum. b. Pembelian kembali (buy back) Surat Hutang Negara. Penempatan uang negara pada bank umum dilakukan dengan memastikan bahwa: a. Uang tersebut dijamin dengan surat hutang negara yang dimiliki oleh bank umum

bersangkutan dengan nilai minimal setara dengan jumlah uang yang ditempatkan;

b. Bendahara Umum Negara dapat menarik uang tersebut sebagian atau seluruhnya ke Rekening Kas Umum Negara pada saat diperlukan.

Tantangan dalam Pelaksanaan Manajemen Kas

Salah satu tujuan manajemen kas adalah guna menciptakan pengelolaan kas yang baik dan tepat. Namun demikian terdapat beberapa tantangan dalam pelaksanaan manajemen kas di Indonesia, antara lain: a. Implikasi terhadap audit.

Jika sistem manajemen kas telah berfungsi dengan baik demi efisiensi diharapkan sebagian besar proses akan dilakukan secara elektronis, dengan demikian akan mengurangi secara signifikan bukti-bukti keuangan dalam bentuk fisik (paperless work). Dengan demikian untuk keperluan pemeriksaan dan tuntutan peraturan diperlukan suatu manajemen penyimpanan data digital yang baik. Sistem yang berjalan selama ini yang sebagian besar paper-based akan banyak berkurang hal ini memerlukan perubahan dalam pola kerja dan pola pikir (mind set).

b. Sumber daya manusia.

Manajemen kas adalah suatu sistem manajemen kas yang komputer intensif serta banyak berhubungan dengan kegiatan perbankan secara online-realtime, untuk itu diperlukan training secara berkelanjutan dan sumberdaya yang memadai untuk pengolahan data dan memaksimalisasi manfaat yang dapat diperoleh dari manajemen kas. Sumberdaya yang ada di satker pada umumnya belum memiliki pengetahuan yang memadai mengenai hal ini.

c. Sistem informasi yang belum memadai.

Manajemen kas membutuhkan sistem informasi yang cepat. Jaringan internet biasa tidak lagi memadai untuk pertukaran data dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat. Stabilitas dan keamanan jaringan juga sangat perlu diperhatikan. Selama ini sistem yang ada hanya berbasis internet dengan kemampuan yang

Bab 1: Manajemen Kas 50

sangat terbatas dan kurang dapat diandalkan untuk on-line dalam 24 jam penuh. Selain itu transfer data melalui internet juga lebih rentan terhadap resiko keamanan dan kegagalan transfer data.

d. Kondisi geografis Indonesia. Mengingat Indonesia terdiri dari banyak pulau memerlukan strategi khusus dalam membangun sistem informasi. Kondisi geografis yang terdiri dari banyak pulau mencipatakan suatu hambatan tersendiri dalam pertukaran informasi yang cepat. Bagi satker yang berada didaerah terpencil pengiriman informasi melalui media fisik seperti kertas atau disket tidak lagi memungkinkan karena sangat memakan waktu, salah satu solusi yang memungkinkan adalah penggunaan satelit komunikasi.

e. Penyesuaian teknis.

Penerapan manajemen kas yang baik mengharuskan adanya beberapa penyesuaian terhadap sistem yang telah berjalan selama ini. Penyesuaian tersebut dapat berupa penyesuaian atas peraturan teknis, penyesuaian cara kerja dan pola pikir. Keberhasilan suatu sistem baru akan sangat tergantung pada keberhasilan teknis pelaksanaannya dilapangan.

Current Issue: Modul Penerimaan Negara (MPN) Prima

Menteri Keuangan pada tanggal 30 Oktober 2006 bertepatan dengan Hari Keuangan ke-60 meresmikan penggunaan secara paralel Modul Penerimaan Negara yang akan diterapkan secara penuh mulai tanggal 2 Januari 2007. Modul ini yang diperkenalkan dengan nama MPN-PrimA dirancang untuk memberikan kemudahan dan kepastian dalam pelaksanaan penerimaan negara. Selama ini, untuk melaksanakan kewajibannya wajib pajak/wajib bayar harus datang ke loket bank/kantor pos untuk menyetor pembayaran pajak/bukan pajak pada waktu buka loket bank/kantor pos.

Kemudahan dan pelayanan yang lebih baik kepada wajib pajak/wajib bayar dapat diwujudkan, karena dengan penggunaan modul ini wajib pajak/wajib bayar dapat melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak/bukan pajak tanpa harus datang ke bank/kantor pos dan dibatasi oleh waktu buka loket bank/kantor pos. Hal tersebut dimungkinkan karena pembayaran pajak/bukan pajak ke Kas Negara dapat dilakukan melalui fasilitas e-banking yang disediakan oleh Bank Persepsi yang dapat diakses dalam 24 jam sehari dan tujuh hari dalam seminggu. MPN-PrimA ini melayani setoran penerimaan negara yang meliputi setoran pajak, setoran bukan pajak, setoran PBB dan BPHTB, setoran bea masuk dan cukai, setoran pungutan ekspor, setoran pengembalian Belanja Negara, dan setoran potongan SPM. Sistem MPN-PrimA akan mengkoneksikan 87 bank dengan lebih dari 12 ribu cabangnya yang secara otomatis akan menampilkan data dengan validitas yang terjamin ke Departemen Keuangan.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 51

MPN-PrimA ini memberikan beberapa fasilitas seperti internet banking, mobile banking, ATM, dan loket.

Penerapan modul ini juga memberikan kepastian dan peningkatan efisiensi

dalam pengelolaan penerimaan negara. Dengan modul ini validitas setoran pajak dan bukan pajak dapat dijamin dengan adanya Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) sesuai dengan jenis setoran yang dilakukan. Selain itu, penerapan modul ini sekaligus juga merupakan upaya untuk meningkatkan efisiensi dan keterpaduan dalam penyelenggaraan sistem penerimaan negara melalui pengintegrasian beberapa sistem yang yang diselenggarakan oleh masing-masing unit eselon I di lingkungan Departemen Keuangan, yaitu MP3 (Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak) oleh Direktorat Jenderal Pajak, SISPEN (sistem Penerimaan Negara) oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan EDI (Electronic Data Interchange) oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Dengan pengintegrasian sistem penerimaan negara tersebut, tidak hanya wajib pajak/wajib bayar yang dimudahkan, tetapi juga pihak perbankan, karena untuk satu transaksi penerimaan negara cukup dilakukan satu kali proses perekaman data oleh petugas perbankan, sehingga diharapkan dapat menurunkan biaya dan mempercepat pemrosesan transaksi penerimaan negara. Dengan demikian, melalui MPN-PrimA tersebut diharapkan akan terwujud: a. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat karena memberikan kemudahan dan

kepastian dalam membayar kewajiban. b. Peningkatan efisiensi karena penginputan data yang hanya sekali. c. Peningkatan validitas transaksi penerimaan negara karena realisasi penerimaan

negara dapat dimonitor secara real time. d. Peningkatan akuntabilitas laporan keuangan pemerintah pusat karena

pemerintah dan publik dapat memperoleh informasi secara cepat dan akurat mengenai perkembangan realisasi penerimaan negara.

e. Dukungan terhadap pelaksanaan Treasury Single Account (TSA) dan akuntansi berbasis akrual. Modul Penerimaan Negara bukanlah modul yang berdiri sendiri, tetapi

merupakan bagian dari Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN) yang sedang dibangun oleh Departemen Keuangan dalam rangka modernisasi sistem pengelolaan Keuangan Negara sesuai dengan prinsip-prinsip yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dengan demikian, penerapan modul ini menandai awal dari dimulainya pelaksanaan SPAN tersebut yang selanjutnya akan diikuti dengan penerapan modul-modul lainnya, seperti modul anggaran berbasis kinerja, modul pengeluaran dan manajemen kas, serta modul manajemen asset negara secara bertahap sampai dengan tahun 2009.

Maskot MPN-PrimA melambangkan pundi yang menampung seluruh penerimaan

negara yang terdiri dari penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak. Adapun makna beberapa warna pada maskot tersebut adalah: • Warna kuning melambangkan penerimaan pajak yang merupakan penerimaan

negara yang terbesar dalam APBN; • Warna hijau melambangkan penerimaan bea dan cukai;

Bab 1: Manajemen Kas 52

• Warna ungu melambangkan penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari seluruh kementerian negara/lembaga yang diadministrasikan oleh Ditjen Anggaran dan Perimbangan Keuangan;

• Warna kuning kecoklatan merefleksikan Sekjen Departemen Keuangan yang turut berperan dalam pengintegrasian MPN; dan

• Warna biru yang melambangkan bahwa MPN digunakan di seluruh wilayah Indonesia, dan warna yang mengikat pundi tersebut menggambarkan Ditjen Perbendaharaan yang berfungsi mengelola seluruh penerimaan negara.

òô

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 53

Rangkuman

Pada instansi pemerintah, yang tidak berorientasi pada profit, diperlukan pula ketersediaan modal kerja dalam menunjang terlaksananya kegiatan pemerintahan. Melalui kepemilikan modal kerja yang proposional, khususnya kas, akan dapat memberikan kesinambungan jaminan aktivitas yang sedang dilaksanakan oleh instansi pemerintah tersebut. Uang tunai atau sering disebut dengan kas merupakan komponen penting dalam pelaksanaan suatu kegiatan. Sebagian besar aktivitas pada suatu entitas, apakah entitas bisnis ataupun entitas pemerintahan, selalu melibatkan uang tunai dalam pelaksanaan kegiatannya. Hampir dapat dipastikan bahwa kas inilah yang memiliki peranan sentral dalam menjaga kelangsungan sebuah aktivitas. Kegiatan-kegiatan pembayaran atas suatu aktivitas sebagian besar didominasi dengan menggunakan kas.

Manajemen kas adalah pengelolaan kas yang dimiliki oleh suatu entitas dengan

memperhatikan upaya-upaya pengendalian yang baik sehingga dapat digunakan secara efisien dan efektif dalam aktivitas operasional entitas tersebut. Manajemen kas berfungsi sebagai alat untuk menjaga suatu organisasi agar berfungsi dengan baik. Penggunaan kas atau sumber daya likuid lain yang dimiliki oleh organisasi harus dilakukan seoptimal mungkin.

Pengelolaan kas negara terdiri dari pengelolaan kas pusat dan daerah. Kas

negara merupakan tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan dan pengeluaran pemerintah pusat. Sedangkan kas daerah adalah tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh Bendahara Umum Daerah untuk menampung seluruh penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah. Baik kas negara maupun kas daerah, keduanya harus disimpan pada sebuah rekening yang disebut dengan Rekening Kas Umum Negara dan Rekening Kas Umum Daerah.

Perencanaan kas dimulai dari memperkirakan seberapa besar penerimaan

negara dalam suatu periode tertentu. Kemudian perencanaan kas dilanjutkan dengan membuat rencana pengeluaran kas. Berdasarkan pengeluaran dan penerimaan kas akan diketahui seberapa besar kekurangan atau kelebihan kas (cash mismatch) dan melakukan tindakan yang sesuai dengan keadaan cash mismatch tersebut. Pengendalian sebagai salah satu fungsi manajemen yang bersifat komprehensif harus dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan kegiatan berjalan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan manajemen. Juga untuk memperkecil, atau bila mungkin meniadakan, terjadinya kecurangan-kecurangan yang berdampak negatif bagi organisasi. Pengendalian terhadap kas bertujuan untuk melindungi perputaran kas masuk dan keluar yang ada dalam organisasi. Kegiatan yang melibatkan kas masuk sama krusialnya dengan kegiatan yang melibatkan kas keluar. Manajemen tidak boleh mengabaikan penerimaan kas dengan tujuan

Bab 1: Manajemen Kas 54

berkonsentrasi pada pengendalian kas keluar. Demikian pula sebaliknya, kegiatan pengendalian terhadap kas keluar jangan mengorbankan kegiatan terhadap kegiatan penerimaan kas. Kedua arus kas tersebut haruslah mendapat perhatian yang luar biasa oleh manajemen bila pimpinan organisasi tidak menginginkan organisasinya hancur.

Rekening tunggal pemerintah merupakan suatu rekening yang berada pada bank

sentral yang dipergunakan untuk menyimpan uang negara, menampung semua penerimaan negara, dan sebagai sumber dana untuk membiayai pengeluaran negara. Hal ini sesuai dengan amanat UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Oleh karena itu, semua penerimaan dan pengeluaran negara dilakukan melalui satu rekening (Single Account) yang disebut Rekening Kas Umum Negara (RKUN) yang kemudian disebut sebagai Rekening Tunggal Pemerintah. Sistem rekening tunggal pemerintah akan memungkinkan pelaksanaan pengelolaan kas negara yang mengacu pada prinsip-prinsip pengelolaan kas yang baik.

Modul Penerimaan Negara (MPN) Prima merupakan suatu paket yang dirancang

untuk memberikan kemudahan dalam melakukan pelaporan atau pembayaran pajak. Bila selama ini pembayaran pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Dengan MPN Prima para wajib pajak dapat membayar kewajiban pajak ataupun PNBP melalui berbagai fasilitas, seperti e-banking atau internet banking yang dapat dilakukan selama 24 jam. Modul ini mengintegrasikan tiga model penerimaan, yaitu (a) sistem penerimaan untuk pembuatan laporan ke KPPN, (b) Sistem Electronic Data Interchange (EDI) pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan (c) Sistem Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak (MP3) pada Direktorat Jenderal Pajak.

-o0o-

MANAJEMEN PIUTANG

“Memberdayakan orang yang memiliki hutang hingga menjadi mampu membayar hutang lebih baik daripada memberi sejumlah uang kepada pengemis yang tidak akan pernah berganti profesi “

Bab ini membahas manajemen piutang dalam manajemen perbendaharaan di Indonesia. Setelah mempelajari bab ini Saudara diharapkan mampu untuk menjelaskan hal-hal yang terkait dengan:

§ Prinsip-Prinsip Pengelolaan Piutang dan Pengendaliannya. § Pengertian Piutang Negara dan Jenis-Jenis Piutang Negara. § Kerangka Umum Pengelolaan/Pengurusan Piutang Negara. § Gambaran Umum Pengurusan Piutang Negara oleh Departemen

Keuangan RI. § Penyelesaian Kerugian Negara. § Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.

58 Bab 2: Manajemen Piutang

Kieso and Weygandt (1995) mendefinisikan piutang (receivables) sebagai suatu klaim/hak menagih kepada pelanggan atau pihak lain berupa uang, barang, ataupun jasa. Definisi yang hampir sama diberikan oleh para penulis buku-buku teks ekonomi, akuntansi, ataupun manajemen. Munculnya piutang mengindikasikan pula munculnya hak pada pihak yang bersangkutan untuk menagih sesuatu berupa uang, barang, ataupun jasa kepada pihak lain. Sebaliknya, akan terdapat pihak yang memiliki kewajiban untuk memberikan uang, barang, ataupun jasa sebagai bentuk penyelesaian klaim pihak lain. Pihak yang terakhir ini disebut debitur. Hubungan antara hak dan kewajiban memang tidak dapat dipisahkan. Hubungan ini memiliki pertalian erat yang sulit untuk dilepaskan. Setiap timbul kewajiban maka akan muncul hak pada sisi lain. Demikian pula sebaliknya.

Piutang yang timbul dalam rangka kegiatan penyelenggaraan bernegara disebut

dengan piutang negara. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang dimaksud dengan piutang negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah. Piutang daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Daerah dan/atau hak Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.

Prinsip-Prinsip Pengelolaan Piutang dan Pengendaliannya

Pengelolaan piutang timbul dari berbagai jenis tindakan entitas yang mengakibatkan timbulnya tagihan terhadap pihak ketiga. Di samping itu, lazim pula terdapat tagihan kepada para pegawai dan pejabat entitas itu sendiri. Walaupun tagihan ini bisa timbul oleh karena berbagai hal, namun sebagian besar dihasilkan oleh aktivitas utama entitas yang bersangkutan. Pengelolaan piutang yang timbul dari aktivitas utama biasanya mempunyai sejumlah persoalan penting. Persoalan pertama adalah penetapan kebijakan pemberian pinjaman ataupun penetapan perjanjian yang berakibat pada munculnya piutang. Persoalan kedua menyangkut cara penanganan piutang sebaik-baiknya demi kesinambungan hubungan baik dengan para debitur. Pada institusi pemerintahan, pengelolaan piutang muncul dari berbagai transaksi penyelenggaraan kegiatan kenegaraan, diantaranya: kegiatan sektor perbankan, kegiatan perpajakan, kegiatan sektor kehutanan, kegiatan sektor kesehatan, dan sebagainya. Mirip dengan yang terjadi pada sektor swasta (bisnis), piutang pada institusi pemerintahan (biasa disebut dengan piutang negara) pun memerlukan penanganan sebaik-baiknya mengingat jumlah yang merupakan hak negara tersebut menjadi bagian dari target penerimaan negara. Bagi Indonesia, penerimaan yang berasal dari piutang negara merupakan salah satu upaya dalam memperkecil nilai defisit APBN.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 59

Pada prinsipnya mengelola piutang harus sama dengan mengelola hutang. Bila

dalam pengelolaan hutang, entitas mesti benar-benar menjaga tangal jatuh tempo (due date) untuk mempertahankan predikat patuh bayar hutang, maka dalam pengelolaan piutang pun semestinya dilakukan hal yang sama. Entitas harus selalu memperhatikan saat-saat hak penagihan piutang jatuh tempo. Namun demikian, hal tersebut tetap diikuti dengan peningkatan pelayanan kepada para debitur (penanggung hutang) sebagaimana layaknya kita memperlakukan kreditur. Menagih piutang dengan cara yang sesuai dengan aturan, proporsional, tepat waktu, dan berorientasi pada meningkatnya kemampuan debitur adalah hal yang patut dikembangkan. Orang bijak mengatakan, “Memberdayakan orang yang memiliki hutang hingga menjadi mampu membayar hutang lebih baik daripada memberi sejumlah uang kepada pengemis yang tidak akan pernah berganti profesi.”

Entitas perlu menaruh perhatian terhadap reaksi para calon debitur atas cara-

cara otorisasi pemberian pinjaman atau penetapan perjanjian dan proses penagihan piutang. Di samping itu, entitas juga berkepentingan mengetahui bagaimana sikap dan reaksi calon debitur terhadap pelayanan dan kebijakan organisasi dalam arti luas. Selanjutnya, entitas perlu menaruh perhatian khusus terhadap efisiensi dari berbagai aktivitas yang menyangkut proses piutang, termasuk efektivitas pengendaliannya. Pada institusi pemerintahan hal ini cukup sulit dilakukan karena sifatnya yang relatif subjektif. Untuk itu diperlukan kejelian dan kemampuan lebih dari para pejabat yang berwenang memberi otorisasi yang berdampak pada munculnya piutang negara. Risiko dan tanggung jawab para pejabat pemberi otoritas itu pun perlu dipertegas agar pemberian pinjaman atau penetapan perjanjian tidak dilakukan serampangan.

Pada dasarnya, pengelolaan piutang meliputi tiga tahap. Tahap pertama

menyangkut kondisi-kondisi yang menyebabkan timbulnya piutang. Tahap kedua ialah mengenai administrasi dan pengorganisasian piutang. Dan tahap terakhir menyangkut rangkaian kegiatan pelunasan piutang. Tahap Timbulnya Piutang

Semua transaksi yang berpotensi menimbulkan piutang harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemberikan pinjaman/kredit atau penetapan perjanjian dengan pihak lain harus dilakukan dengan cermat dan hati-hati dengan mengutamakan unsur profesionalitas. Penelitian latar belakang pihak lain yang mengajukan pinjaman atau perjanjian tidak dilakukan hanya sebatas pada kelengkapan dokumen saja tetapi juga difokuskan pada penelitian latar belakang perilaku pihak tersebut. Pihak yang berklasifikasi “bersih” akan lebih kecil menimbulkan terjadinya piutang tidak tertagih. Sebaliknya, pihak yang “cacat” sangat mungkin menimbulkan terjadinya piutang tak tertagih. Meskipun hal tersebut tidak bersifat absolut namun asas kehatian-kehatian dalam hal ini tetap perlu diutamakan. Apalagi setiap entitas akan selalu berharap agar seluruh piutangnya dapat ditagih pada saat jatuh tempo.

60 Bab 2: Manajemen Piutang

Dalam hal perkreditan/pemberian pinjaman, entitas harus memiliki kebijakan umum yang diterapkan pada pihak lain (misalnya pelanggan) dengan memperhatikan posisi kredit dan pengalaman sebelumnya yang diperoleh entitas dengan pelanggan yang bersangkutan. Pada institusi pemerintahan, pelanggan adalah masyarakat yang harus diberikan pelayanan. Mereka adalah badan usaha ataupun individu-individu. Apabila pemberian kredit telah disetujui, maka prosedur-prosedur berikutnya baru dapat dilaksanakan.

Prinsip-prinsip pengendalian yang dapat dilakukan atas timbulnya piutang adalah sebagai berikut: a. Reviu oleh pejabat yang independen serta prosedur persetujuan kredit.

Persetujuan kredit harus diberikan oleh pejabat yang independen berdasarkan reviu dan informasi yang memadai mengenai pelanggan yang bersangkutan. Informasi ini mencakup posisi keuangan, posisi kredit, fakta-fakta yang mutakhir mengenai pengalaman entitas dalam menghadapi pelanggan yang bersangkutan, serta posisi piutangnya sekarang. Wewenang persetujuan pemberian kredit biasanya berada pada pejabat-pejabat tingkat tertentu sesuai dengan jumlah kredit yang diberikan.

b. Penentuan tersedianya produk (barang/jasa).

Barang yang dipesan mungkin ada yang belum tersedia pada saat ini dan karenanya tidak bisa dimasukkan dalam pengajuan faktur yang sekarang. Barang yang benar-benar telah tersedia harus diidentifikasikan yaitu bahwa barang tersebut telah dikemas dengan baik untuk kemudian menetapkan saat pengiriman dan pengajuan. Demikian pula dengan jasa (misalnya pemberian hak penguasaan hutan pada perusahaan). Setiap pemberian hak kepada pihak lain perlu pula diperhatikan ketersedian hak yang dapat diberikan kepada para pengaju hak tersebut. Hal ini terkait dengan aspek lain yang berpengaruh atas pemberian hak tersebut seperti kondisi kelestarian alam, keseimbangan ekosistem, pemanfaatan lahan pemukiman, dan sebagainya. Selain itu, perlu pula dihindari terjadinya praktik monopoli dalam pemberi hak dan juga praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).

c. Otorisasi mengenai harga (nilai kontrak) dan syarat-syarat penjualan/pemberian

jasa. Harga-harga dan syarat-syarat penjualan/pemberian jasa mungkin telah distandardisasikan bagi seluruh pelanggan. Akan tetapi dalam beberapa hal kadang terdapat variasi berdasarkan kelompok pelanggan dan kuantitas yang berbeda-beda. Untuk pengajuan harga dan syarat-syarat penjualan/pemberian jasa yang digunakan harus didasarkan atas kebijakan entitas yang telah ditetapkan. Pada institusi pemerintahan, hal ini harus sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Penafsiran-penafsiran atau penyimpangan-penyimpangan khusus harus mendapat persetujuan tambahan dari pejabat yang berwenang.

d. Penggunaan salinan dokumen-dokumen disesuaikan dengan kebutuhan.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 61

Setiap dokumen perlu disiapkan dengan jumlah salinan yang cukup sehingga informasi yang sama dapat digunakan bagi sejumlah tujuan. Pada institusi pemerintahan, salinan dokumen biasanya cukup banyak karena melibatkan banyak bidang/bagian/departemen.

Tahap Administrasi Piutang

Administrasi piutang dilakukan mulai saat timbulnya piutang dan diteruskan dengan pengurusan piutang hingga piutang tersebut dibayar atau dihapuskan. Pengadministrasi yang baik terhadap piutang akan sangat menentukan pengelolaan piutang itu sendiri oleh institusi yang terkait. Hal ini juga akan berpengaruh pada kegiatan pemantauan tanggal-tanggal jatuh tempo piutang dan pelaksanaan penagihannya. Pembuatan sistem dan prosedur yang memadai dalam pengadministrasian piutang merupakan upaya mempermudah pengelolaan piutang itu sendiri. Prinsip-prinsip pengendalian pada tahap ini meliputi: a. Penyelenggaraan catatan-catatan perkiraan piutang secara independen.

Pencatatan piutang bisa dilaksanakan secara manual atau menggunakan mesin pembukuan, seperti komputer. Akan tetapi dalam semua hal, prinsipnya adalah sama, yaitu bahwa pencatatan tersebut harus diselenggarakan secara independen. Selain itu, harus ada perkiraan pengendali, bahkan mungkin diperlukan perkiraan-perkiraan subpengendali yang didukung oleh buku tambahan piutang yang merupakan perkiraan-perkiraan piutang individual yang terinci.

b. Pencatatan yang mutakhir dari perkiraan piutang. Pada sistem pembukuan double entry accounting, perkiraan piutang dikredit antara lain dengan diterimanya pelunasan piutang. Hal ini harus dikerjakan atas dasar harian, sehingga informasi mengenai piutang senantiasa mutakhir dan segera tersedia bila diperlukan. Untuk itu, ketelitian harus terus dipertahankan melalui pengecekan langsung mengenai kecocokan antara perkiraan buku besar piutang dengan buku tambahan piutang.

c. Pelaporan yang memadai dan segera.

Untuk melengkapi informasi yang disiapkan secara harian, harus pula disusun laporan-laporan periodik mengenai saldo-saldo piutang beserta analisis umur piutang. Analisis umur piutang menunjukkan bagian-bagian atau rincian saldo perkiraan piutang yang belum dibayar menurut umur yang berlainan. Analisis ini merupakan alat yang penting untuk pengelolaan kredit serta usaha-usaha penagihannya.

d. Pemberitahuan berkala kepada Penanggung Hutang (debitur).

Secara berkala tiap akhir bulan dikirim kepada para debitur saldo tagihan pertanggal akhir tiap bulan beserta rincian nomor dan tanggal faktur yang masih belum dibayar untuk meminta pemberitahuan segera jika ada ketidakcocokan.

62 Bab 2: Manajemen Piutang

Jika hal tersebut terjadi bisa dilakukan penyesuaian dengan segera untuk memperoleh angka yang benar.

Tahap Pelunasan Piutang Berkurang atau hapusnya piutang dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:

a. Adanya pelunasan piutang.

Penyelesaian piutang yang paling lazim adalah karena adanya pelunasan yang akan menghapuskan piutang tersebut. Pengendalian pelunasan piutang ini tercakup dalam pertanggungjawaban penerimaan kas. Bila terdapat potongan atas piutang maka harus dipastikan bahwa potongan yang diberikan kepada debitur telah dipertanggungjawabkan secara layak dan benar-benar diterima oleh yang bersangkutan.

b. Adanya retur barang atau pembatalan perjanjian.

Retur merupakan kegiatan pengembalian yang dilakukan pelanggan kepada entitas penyedia barang/jasa. Hal yang hampir sama, terjadi bila terdapat pembatalan perjanjian atau pengembalian hak penguasaan kepada entitas, termasuk institusi pemerintahan. Pengendalian diperlukan untuk memastikan bahwa retur barang atau pembatalan perjanjian tersebut telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan diadministrasikan secara benar.

c. Penghapusan piutang karena tak dapat ditagih.

Sampai batas tertentu, biasanya terdapat beberapa debitur yang gagal untuk melunasi hutangnya. Walaupun usaha penagihan telah dilakukan, namun karena kebangkrutan, menghilangnya debitur, atau sebab-sebab lainnya, entitas terpaksa menghapuskan piutang tersebut. Dalam hal ini pengendalian ditujukan untuk memastikan bahwa tindakan penghapusan piutang tersebut telah dilakukan berdasarkan persetujuan dari pejabat yang berwenang. Disamping itu, usaha penagihan masih tetap harus dilakukan sejauh memungkinkan. Entitas biasanya telah menetapkan sebelumnya tentang besarnya taksiran kerugian akibat piutang yang tak tertagih tersebut. Pada institusi pemerintahan, proses penghapusan harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Piutang Negara: Pengertian dan Jenis-Jenisnya Pengertian Piutang Negara

Samsul Chorib, dkk (2006) mengungkapkan bahwa pengertian piutang negara dapat ditemukan pada dua buah undang-undang yang saat ini masih berlaku, yaitu Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 63

Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 mendefinisikan piutang negara atau hutang kepada negara sebagai jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian, atau sebab apapun. Penjelasan pasal tersebut menjabarkan piutang negara sebagai hutang yang:

Langsung terhutang kepada negara dan oleh karena itu harus dibayar kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;

Terhutang kepada badan-badan yang kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki Negara, misalnya bank-bank negara, PT-PT Negara, Perusahaan-perusahaan Negara, Yayasan Perbekalan Persediaan, Yayasan Urusan Bahan Makanan, dan sebagainya.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 dapat diketahui

beberapa hal yang terkait dengan pengertian piutang negara, yaitu: 1. Piutang negara adalah hutang yang wajib dibayar. 2. Pihak yang wajib membayar piutang negara adalah orang perorang atau badan. 3. Dasar terjadinya piutang negara atau hutang kepada negara adalah:

a. Suatu peraturan, misalnya: 1) Kewajiban pemegang konsesi pengusahaan hutan untuk membayar

Iuran Hasil Hutan dan Provisi Sumber Daya Hutan. 2) Kewajiban perusahaan untuk mengikutsertakan pegawainya dalam

program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) sehingga perusahaan tersebut harus membayar premi.

b. Suatu perjanjian, misalnya perjanjian kredit antara bank pemerintah dengan debitur, perjanjian kontrak kerja antara suatu departemen dengan perusahaan kontraktor, tagihan rekening listrik dari PT. PLN (Persero), tagihan rekening air dari PDAM, tagihan rekening telepon dari PT. TELKOM (Persero), tagihan rumah sakit, dan sebagainya.

c. Sebab lainnya, misalnya tuntutan ganti rugi terhadap pegawai negeri yang ditunjuk sebagai bendahara maupun pegawai negeri/pejabat negara lainnya.

4. Pengertian negara adalah: a. Pemerintah Pusat, seperti Departemen/Kementerian, Lembaga Negara Non

Departemen, Sekretariat Lembaga Tertinggi Negara, dan Sekretariat Lembaga Tinggi Negara.

b. Pemerintah Daerah, Instansi-instansi Pemerintah di daerah baik tingkat Provinsi, Kabupaten, maupun Kota.

c. Badan-badan yang secara langsung dikuasai oleh negara, seperti BUMN dan BUMD.

d. Badan-badan yang secara tidak langsung dikuasai oleh negara, seperti anak perusahaan (subsidiary) BUMN/BUMD.

5. Hutang pajak merupakan piutang negara yang penagihannya dilakukan dengan undang-undang khusus bidang perpajakan.

Sementara itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 mendefinisikan piutang

negara sebagai jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat

64 Bab 2: Manajemen Piutang

lainnya yang sah. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui beberapa hal yang terkait dengan piutang negara, yaitu: 1. Piutang negara adalah:

a. Sejumlah uang yang wajib dibayar oleh orang per orang atau badan. b. Hak negara yang dapat dinilai dengan uang dan harus diupayakan untuk

ditagih. 2. Piutang negara tersebut terjadi karena:

a. Suatu perjanjian, misalnya perjanjian kontrak kerja antara suatu departemen dengan perusahaan kontraktor, dan sebaginya.

b. Suatu peraturan, misalnya: 1) Kewajiban pemegang konsesi pengusahaan hutan untuk membayar

Iuran Hasil Hutan dan Dana Reboisasi. 2) Pengenaan denda oleh BAPEPAM atas pelanggaran yang dilakukan oleh

perusahaan yang telah masuk bursa. c. Sebab lainnya, misalnya tuntutan ganti rugi terhadap pegawai negeri yang

ditunjuk sebagai bendahara maupun pegawai negeri/pejabat negara lainnya. 3. Pengertian negara adalah pemerintah pusat yang terdiri dari Kementerian

Negara, Lembaga Negara atau Lembaga Pemerintah Non Kementerian Negara.

Pengertian pemilik piutang negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 lebih sempit dibandingkan dengan pengertian pemilik piutang negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960. Menurut Samsul Chorib, dkk. (2006) keadaan tersebut disebabkan oleh perkembangan situasi hukum, sosial kemasyarakatan, dan keadaan politik pada saat penyusunan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, yaitu antara lain:

Undang-undang Perbendaharaan Indonesia/Indische Comptabiliteitswet (ICW Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448, sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968) dan Peraturan Keuangan Perusahaan Negara Indonesia/Indische Bedrijvenwet (IBW Staatsblad Tahun 1927 Nomor 419 jo. Staatsblad Tahun 1936 Nomor 445) telah dinyatakan tidak berlaku lagi sejak berlakunya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dengan tidak berlakunya ketentuan tentang IBW tersebut, maka pengelolaan keuangan perusahaan negara (BUMN/BUMD) tidak lagi dimasukkan ke dalam sistem pengelolaan keuangan negara, dan pada gilirannya menyebabkan pengurusan piutang BUMN/BUMD dan piutang anak perusahaan BUMN/BUMD tidak dimasukkan sebagai bagian dalam pengurusan piutang negara secara umum.

Sistem pemerintahan telah melaksanakan azas desentralisasi dan otonomi daerah sehingga telah ada pembagian dan perimbangan roda pemerintahan, termasuk pengelolaan keuangan negara antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Keadaan ini menyebabkan piutang Pemerintah Daerah tidak termasuk dalam lingkup piutang negara.

Permasalahan yang mencuat sebagai issue penting selama ini adalah: ”Apakah

piutang BUMN merupakan bagian dari piutang negara?” Masalah ini timbul karena adanya perbedaan pemahaman mengenai cara penyelesaian piutang macet yang ada di badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh negara. Ada

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 65

yang menafsirkan bahwa piutang BUMN merupakan piutang negara sehingga pengurusannya dilakukan oleh negara melalui Panitia Urusan Piutang Lelang Negara (PUPN). Sementara itu, ada pula yang menafsirkan bahwa piutang BUMN bukanlah piutang negara sehingga penyelesaiannya dilakukan oleh BUMN yang bersangkutan selaku entitas usaha yang terpisah dari pemilik modal.

Ditinjau dari berbagai peraturan yang ada saat ini, pengertian piutang negara

memang mempunyai beberapa kontroversi seperti yang telah diuraikan di atas. Dalam bab II pasal 8 UU Nomor 49 Prp. Tahun 1960 berbunyi, ”Yang dimaksud dengan piutang negara atau hutang kepada negara oleh peraturan ini ialah jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian, atau sebab apapun.” Selanjutnya dalam pasal 12 ayat 1 UU tersebut menyatakan bahwa instansi-instansi pemerintah dan badan-badan negara yang dimaksudkan dalam pasal 8 peraturan ini diwajibkan menyerahkan piutang-piutangnya yang ada dan besarnya telah pasti menurut hukum akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada Panitia Urusan Piutang Negara. Lebih lanjut lagi, pasal 14 UU tersebut menyatakan bahwa Menteri Keuangan menetapkan peraturan-peraturan yang perlu untuk melaksanakan peraturan ini. Walaupun undang-undang ini disusun pada zaman dan konteks ekonomi yang berbeda dengan kondisi saat ini, tetapi undang-undang ini hingga diterbitkannya UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, tidak dicabut.

Namun demikian, kontroversi penafsiran antar undang-undang di atas telah

diputuskan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) melalui surat keputusan Nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 16 Agustus 2006 yang menyatakan bahwa piutang BUMN tidak dapat disebut sebagai piutang negara. Keputusan MA ini merujuk pada pasal 4 ayat 1 UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang menyatakan bahwa, ”Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.” Dalam penjelasan pasal dan ayat ini disebutkan bahwa, “Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.”

Jenis-Jenis Piutang Negara

Ditinjau dari kegiatan yang mengakibatkan muncul piutang bagi negara, terdapat dua jenis piutang yang menjadi bagian dalam piutang negara, yaitu (a) Piutang Negara Perbankan (PNP) dan (b) Piutang Negara Non Perbankan (PNNP). Piutang negara perbankan adalah piutang yang timbul dari pelaksanaan kegiatan perbankan yang dilakukan oleh bank-bank pemerintah maupun oleh bank-bank swasta yang mendapatkan dana tertentu dari pemerintah (bank sentral). Piutang jenis ini biasanya berupa kredit macet bank-bank pemerintah dan penunggakan pengembalian bantuan

66 Bab 2: Manajemen Piutang

dana (kredit) likuiditas kepada bank sentral. Piutang negara nonperbankan adalah piutang yang menjadi beban negara untuk menagihnya yang berasal dari transaksi-transaksi yang dilakukan institusi pemerintah selain perbankan. Piutang jenis ini berasal dari operasionalisasi perusahaan negara (BUMN dan BUMD), kewajiban perpajakan, tuntutan ganti rugi pegawai negeri/pejabat negara, dan pelaksanaan kegiatan pemerintahan lainnya, seperti pelaksanaan kegiatan di bidang kesehatan, pertanian, kehutanan, pertambangan, proyek-proyek pembangunan, dan sebagainya. Piutang Negara Perbankan (PNP)1

Keberadaan atau timbulnya PNP sebagian besar atau hampir seluruhnya

didasarkan pada adanya perjanjian, yaitu perjanjian pemberian kredit antara bank sebagai kreditur dengan debitur. Perjanjian pemberian kredit ini biasa disebut dengan istilah “Perjanjian Kredit“ atau lazim disingkat dengan PK, sebagian bank menyebutnya dengan singkatan PMK (Perjanjian Membuka Kredit). Sehingga munculnya PNP harus dibuktikan dengan keberadaan PK. Tanpa adanya dokumen PK, maka suatu piutang sulit atau tidak mungkin dibuktikan keberadaannya, atau patut diragukan keberadaannya. Namun demikian, pada kasus-kasus tertentu, terdapat kemungkinan bahwa PK tidak ada sehingga untuk membuktikan adanya piutang negara perbankan diperlukan Pengakuan Hutang yang dibuat oleh Penanggung Hutang.

Dalam praktik sering seorang debitur tidak mengakui bahkan menolak

mempunyai hutang kepada bank. Apalagi menghadapi “debitur nakal”, maka tanpa adanya bukti PK, PUPN/DJPLN akan mengalami kegagalan dalam menjalankan kewajibannya melakukan pengurusan piutang negara. Walaupun secara teori hukum suatu perjanjian itu dapat juga dilakukan secara lisan, namun hampir tidak mungkin dapat dibuktikan keberadaannya apabila kasus kredit macet ini oleh debitur dibawa ke sidang pengadilan (perdata). Berbeda dengan sistem peradilan pidana, menurut sistem hukum acara perdata di Indonesia, hakim bersifat pasif dan putusannya sangat bergantung kepada argumentasi serta alat-alat bukti, termasuk PK yang diajukan para pihak, baik tergugat (PUPN/DJPLN), maupun penggugat (debitur).

Walaupun dokumen PK memang ada, belum tentu dapat menjamin kelancaran

dalam pengurusan piutang negara, karena masih banyak rambu-rambu hukum yang harus diperhatikan seperti syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, batal (nietig) dan pembatalan (vernietigbaar) suatu perjanjian, saat dan tempat lahirnya suatu perjanjian, adanya wanprestasi (ingkar janji) dalam suatu perjanjian dengan segala akibat-akibat hukumnya, hapusnya suatu perjanjian serta rambu-rambu hukum lain yang siap menghadang apabila PUPN/DJPLN kurang hati-hati dalam mengantisipasinya. Sikap hati-hati inilah yang harus selalu dipedomani oleh PUPN/DJPLN dalam memberikan pertimbangan serta mengambil keputusan, apakah penyerahan suatu kasus kredit macet dari Penyerah Piutang dapat diterima untuk diurus atau ditolak.

1 Diolah dari Buku Pengurusan Piutang Negara, Samsul Chorib, dkk., 2006

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 67

Setiap penyerahan kasus piutang macet harus diteliti terlebih dahulu dengan cermat dan hasilnya dituangkan dalam suatu formulir “Resume Hasil Penelitian Kasus” (RHPK). Dipandang dari sudut hukum, Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, suatu perjanjian termasuk PK dianggap sah apabila memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu: a. Adanya kata sepakat antara para pihak; b. Para pihak mempunyai kecakapan dalam membuat perjanjian; c. Perjanjian dibuat mengenai suatu hal tertentu; d. Suatu sebab yang halal.

Kepastian besarnya piutang negara perbankan dapat dibuktikan dengan dokumen yang lazim diterbitkan oleh bank, yaitu berupa: a. Rekening Koran (RK) yang menunjukkan adanya/terjadinya mutasi dana

keluar/masuk, baik mutasi atas hutang pokok maupun hutang bunga, denda dan ongkos-ongkos (BDO). Atas dasar RK tersebut dapat diketahui kapan suatu kredit termasuk kategori kurang lancar, diragukan dan macet.

b. Prima Nota, yaitu catatan-catatan yang dibuat oleh bank tentang mutasi keuangan debitur yang dibuat secara manual dalam hal tidak ada atau tidak dibuat rekening koran.

c. Dokumen lain yang dipersamakan dengan Rekening Koran ataupun Prima Nota. d. Surat Pengakuan Hutang yang dibuat oleh debitur yang berisi pengakuan

besarnya jumlah hutang yang diterima olehnya dari bank, biasanya disertai pula dengan besarnya beban bunga yang harus ditanggung debitur.

Konstruksi besaran Piutang Negara Perbankan yang diserahkan oleh Penyerah Piutang kepada PUPN terdiri dari: a. Hutang Pokok. b. Hutang Bunga, yang terdapat bermacam-macam variasi sesuai dengan yang

diperjanjikan kedua belah pihak. Cara pembebanan bunga ini antara lain adalah fix rate, sliding rate, floating rate dan sebagainya.

c. Denda atas kelambatan pembayaran angsuran hutang pokok dan bunga. d. Ongkos-ongkos yang lazim diperjanjikan seperti biaya pemasangan hipotik/hak

tanggungan, asuransi kebakaran dsb.

Piutang Negara Non Perbankan (PNNP) 2

Sebagian besar PNNP timbul atas dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk hutang pajak dan hutang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Contoh-contoh PNNP antara lain adalah: a. Iuran Hasil Hutan (IHH) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), dipungut dari

Pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dalam rangka reboisasi, pembangunan hutan tanaman industri dan rehabilitasi lahan hutan. Dasar hukum pungutan IHH dan PSDH adalah Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 1990 sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1998, beserta segenap peraturan pelaksanaannya seperti Keputusan Menteri Kehutanan, Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan dan sebagainya.

2 Diolah dari Buku Pengurusan Piutang Negara, Samsul Chorib, dkk., 2006

68 Bab 2: Manajemen Piutang

b. Sanksi denda atas pelanggaran ketentuan pasar modal yang terhutang berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal Pasar Modal beserta segenap peraturan pelaksanaannya. Piutang Negara yang diurus oleh PUPN/DJPLN berupa “sanksi denda” atas kelambatan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) undang-undang tersebut.

c. Tunggakan biaya perawatan dan obat, yang terhutang berdasarkan pernyataan kesanggupan pasien untuk menyelesaikan segala biaya perawatan yang dilengkapi dengan surat peringatan pembayaran dan kwitansi penagihannya.

d. Tuntutan Ganti Rugi bagi Pegawai Negeri Sipil bukan Bendahara, Tuntutan Ganti Rugi bagi Pegawai Negeri Sipil selaku Bendahara, Piutang Ikatan Dinas, Piutang Bea Masuk/Bea Masuk Tambahan, Piutang Pajak Ekspor, Piutang yang diserahkan Badan Urusan Logistik, Piutang yang diserahkan oleh Instansi Pemerintah di sektor pertambangan, dan sebagainya.

Besarnya PNNP dihitung berdasarkan perhitungan pada saat piutang jatuh

tempo. Dalam hal terdapat pembebanan bunga, denda, dan ongkos-ongkos (BDO), maka perhitungan BDO tersebut ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan setelah piutang jatuh tempo, kecuali ditetapkan tersendiri berdasarkan peraturan perundang-undang yang berlaku.

Kerangka Umum Pengelolaan/Pengurusan Piutang Negara

Pengelolaan keuangan negara dalam rangka mewujudkan tujuan bernegara dapat menimbulkan hak Pemerintah Pusat/Daerah. Di antara hak pemerintah tersebut termasuk didalamnya adalah piutang negara/daerah. Piutang-piutang tersebut perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara dengan melaksanakan kaidah-kaidah administrasi keuangan negara, terutama yang mencerminkan prinsip-prinsip akuntabilitas, profesionalitas, proporsionalitas, dan keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara. Prinsip-prinsip tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip utama dalam Corporate Governance yaitu transparansi, akuntabilitas, fairness, responsibilitas, dan responsivitas.

Riant Nugroho (2005) menyebutkan bahwa transparansi tidak berarti

“ketelanjangan“, melainkan keterbukaan, yakni adanya sebuah sistem yang memungkinkan terselenggaranya komunikasi internal dan eksternal dari korporasi. Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban secara singkat ke atas. Dari organisasi manajemen paling bawah hingga dewan direksi, dan dari dewan direksi kepada dewan komisaris. Dan secara luas, akuntabilitas diberikan oleh dewan komisaris kepada masyarakat. Akuntabilitas secara sempit dapat diartikan secara finansial. Fairness agak sulit diterjemahkan, karena ia menyangkut keadilan dalam konteks moral. Fairness lebih menyangkut moralitas dari organisasi bisnis dalam menjalankan hubungan bisnisnya, baik secara internal maupun eksternal. Responsibilitas adalah pertanggungjawaban korporat secara kebijakan. Dalam konteks ini penilaian pertanggungjawaban lebih mengacu kepada etiket korporat, termasuk dalam hal ini etika profesional dan etika manajerial. Responsivitas adalah tingkat kepekaan

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 69

organisasi bisnis untuk merespons bukan saja kebutuhan publik -yang menyangkut tingkat inovativitas korporat- melainkan keluhan internal dan eksternal, serta kebutuhan tidak tampak yang dirasakan perlu untuk dipenuhi.

Membereskan piutang negara bukanlah perkerjaan yang mudah. Hal ini

berbanding terbalik dengan mudahnya sebuah institusi lembaga keuangan dalam memberikan hutang. Ironisnya, untuk sebagian penghutang kelas bawah, proses memperoleh hutang dari bank sama susahnya dengan menagih piutang debitur kelas kakap. Memang tidak semua debitur, baik besar maupun kecil, mempunyai itikad ngemplang. Namun dalam keseharian terungkap bahwa piutang negara yang berasal dari debitur kakap sebagian besar belum tuntas.

Menurut Samsul Chorib (2006), pengelolaan/pengurusan piutang negara yang dilaksanakan hingga saat ini didasarkan pada Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Undang-undang tersebut walaupun hanya berisi 15 pasal tapi telah mengatur tentang subyek, obyek, dan proses pengurusan piutang negara. Proses pengurusan piutang negara yang diatur dalam undang-undang tersebut ditujukan untuk memperoleh hasil pengurusan yang lebih cepat dan efektif dibandingkan hasil pengurusan bila ditempuh dengan cara pengurusan melalui jalur hukum (Lembaga Peradilan) yang akan memakan waktu lama (melalui pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi dan tingkat peninjauan kembali). Guna mendukung proses yang cepat dan efektif tersebut, subyek yang melakukan pengurusan piutang negara diberi kewenangan khusus yang disebut dengan istilah “parate eksekusi” yaitu kewenangan untuk menerbitkan keputusan-keputusan yang mempunyai kekuatan seperti keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan pasti (in kracht van gewijsde).

Upaya percepatan dan efektivitas pengurusan piutang negara tersebut memiliki

tujuan masing-masing, yang bila dicermati keduanya bermuara pada upaya penyelamatan keuangan negara. Tujuan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Upaya percepatan proses pengurusan negara ditujukan untuk efisiensi sumber

daya yang digunakan, seperti waktu, biaya, dan tenaga. Efisiensi tersebut tidak lain adalah bagian dari upaya penghematan keuangan negara, yang pada gilirannya dapat diartikan sebagai salah satu bentuk penyelamatan keuangan negara.

2. Upaya peningkatan efektivitas pengurusan piutang negara ditujukan untuk memaksimalkan hasil pengurusan piutang negara. Semakin maksimal hasil pengurusan yang diperoleh, maka semakin banyak kekayaan negara yang diselamatkan dari piutang macet. Dengan demikian peningkatan efektivitas pengurusan piutang negara, pada dasarnya merupakan salah satu upaya dalam penyelamatan keuangan negara.

Dari uraian di atas, jelas terlihat bahwa upaya percepatan dan peningkatan

efektivitas hasil pengurusan piutang negara pada akhirnya ditujukan pada upaya penyelamatan keuangan negara. Dengan demikian, pengurusan piutang negara dapat diartikan sebagai proses kegiatan yang secara khusus dilakukan untuk mengurus piutang negara dalam rangka penyelamatan keuangan negara.

70 Bab 2: Manajemen Piutang

Institusi yang Dapat Melakukan Pengurusan Piutang Negara 3 Terdapat beberapa instansi yang berwenang menyelesaikan piutang macet, yaitu:

Pengadilan Negeri

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, yang meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Berdasarkan Pasal 47 Undang-undang tersebut telah diatur bahwa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur kekuasaan kehakiman masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dibentuk yang baru berdasarkan Undang-undang ini. Hal ini menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan yang memuat aturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tersebut di atas atau belum dibentuk ketentuan yang baru berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tersebut.

Aturan main yang masih berlaku tersebut menentukan batas yurisdiksi untuk

setiap badan peradilan. Khusus mengenai permasalahan sengketa perkreditan, yurisdiksi termasuk kewenangan lingkungan Peradilan Umum, sehingga badan peradilan yang secara resmi bertugas menyelesaikan kredit macet bila disengketakan adalah Pengadilan Negeri.

Penyelesaian sengketa kredit macet dapat diselesaikan melalui Peradilan Umum

dengan beberapa cara, yaitu: a. Pemilik Piutang menggugat nasabah karena telah melakukan wanprestasi atas

perjanjian kredit yang telah disepakati. Pemilik Piutang (Kreditur) dapat menggugat debitur yang melakukan wanprestasi dengan tidak membayar hutang pokok maupun bunga ke Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri dalam hal ini akan memproses gugatan tersebut dengan mempertimbangkan bukti-bukti dan sanggahan yang diajukan oleh kedua belah pihak. Apabila proses pemeriksaan selesai dilakukan, Pengadilan Negeri akan mengeluarkan putusan. Putusan tersebut dilaksanakan dengan sita eksekusi atas agunan yang diberikan untuk kepentingan pelunasan hutang. Proses beracara di lembaga peradilan ini, dapat berlangsung sampai pada tahap Kasasi di Mahkamah Agung. Kondisi ini dapat menyebabkan lambatnya hasil dan rendahnya tingkat pengembalian kredit, sehingga pengurusan piutang negara melalui cara ini dipandang kurang efektif dan efisien

3 Diolah dari Samsul Chorib, dkk., Pengurusan Piutang Lelang, Jakarta: 2006

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 71

(hal inilah yang mendasari pembentukan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara).

b. Pemilik Piutang meminta penetapan Pengadilan Negeri tentang sita eksekusi

terhadap barang agunan debitur yang telah diikat secara sempurna. Terhadap barang agunan debitur yang telah diikat secara sempurna, seperti dengan cara hipotik (Pasal 224 HIR jo PMA Nomor 15 Tahun 1961), crediet verband (Stb. 1908 Nomor 542 jo Stb. 1937 Nomor 190), atau Hak Tanggungan (Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996) maka pemilik piutang dapat langsung mengajukan permohonan penetapan sita eksekusi barang agunan untuk dapat memperoleh pelunasan piutangnya tanpa harus melalui proses gugatan biasa di Pengadilan. Sebelum mengajukan penetapan eksekusi, pemilik piutang terlebih dahulu harus mendaftarkan barang agunan dimaksud ke Pengadilan untuk memenuhi prinsip “openbar” yang menentukan kepastian hukum kapan pengikatan barang agunan tersebut mempunyai kekuatan mengikat. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 198 dan 199 HIR serta berdasarkan azas ketertiban umum bahwa pengikatan barang agunan mempunyai kekuatan mengikat kepada pihak ketiga, terhitung sejak tanggal diterbitkannya sertifikat hipotik/crediet verband/hak tanggungan oleh kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang bersangkutan. Hal ini berbeda dengan pendaftaran conservatoir beslag (CB) dan sita eksekusi yang merupakan kewajiban juru sita, sehingga apabila bank lalai mendaftarkan dan ada kreditur lain yang telah terlebih dahulu mendaftarkan barang agunan yang sama, hal ini akan merugikan bank karena pelaksanaan eksekusi akan terhambat. Dalam praktik, sita eksekusi (eksekutorial beslag) atau conservatoir beslag yang diajukan oleh bank dapat ditangguhkan pelaksanaannya, karena pengadilan mengabulkan conservatoir beslag yang diajukan pihak lain, ikut campurnya pihak III dalam perkara (derdenverzet), atau pihak ke III mengajukan gugatan kepada pemilik agunan. Hal semacam ini sering dimanfaatkan oleh debitur yang merekayasa perjanjian kredit baru dengan pihak ke III pada waktu agunannya akan di eksekusi oleh pengadilan.

c. Pemilik Piutang bersama dengan satu atau lebih kreditur lain yang memiliki

tagihan kepada debitur yang sama mengajukan gugatan kepada Pengadilan Niaga (yang berada dalam lingkungan peradilan umum), untuk memailitkan debitur yang bersangkutan. Mekanisme kepailitan tersebut diatur berdasarkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Kejaksaan

Berdasarkan Pasal 30 ayat (2) Undang-undang Nomor 6 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. Berdasarkan ketentuan tersebut, peranan kejaksaan dalam bidang hukum perdata dapat disejajarkan dengan Government’s Law Office atau Advokat/ Pengacara Negara.

72 Bab 2: Manajemen Piutang

Dengan peran tersebut, kejaksaan dapat mewakili bank milik negara dalam

menyelesaikan masalah-masalah hukum, yang timbul dari hubungan pemberian kredit antara bank dengan debitur bilamana debitur tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi) kepada bank. Dalam pelaksanaan pemberian kuasa tersebut, kejaksaan diartikan sebagai pihak terafiliasi sehingga berkewajiban memenuhi ketentuan mengenai rahasia bank sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dalam pelaksanaan penyelesaian

masalah hukum yang timbul dalam hubungan antara bank dengan nasabahnya antara lain dalam hubungan pemberian kredit perlu dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Untuk menangani masalah hukum yang bersifat perdata dalam hubungan bank

dengan nasabahnya, bank dapat memberikan Surat Kuasa Khusus kepada Kejaksaan.

b. Dengan surat kuasa tersebut kejaksaan termasuk dalam kategori pihak terafiliasi yang berkewajiban mematuhi ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, termasuk ketentuan rahasia bank.

c. Sebagai penerima kuasa, Kejaksaan bertindak untuk dan atas nama bank tanpa adanya pelepasan/penagihan hak tagih bank terhadap debitur.

d. Sebagai pengacara Kejaksaan akan menghormati rahasia klien termasuk bank yang telah memberikan kuasa kepadanya.

Badan Arbitrase

Cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini diperlukan oleh para pihak karena cara penyelesaian melalui gugatan perdata di Pengadilan memerlukan waktu yang relatif lebih lama. Dasar hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Dalam klausul arbitrase tersebut biasanya ditetapkan cara-cara penunjukan

arbitrase (wasit) dan susunan tim arbiter yang akan memutuskan sengketa yang mungkin terjadi. Tim arbiter ini hanya berwenang memutuskan sengketa jika sebelumnya telah ada kesepakatan antara kedua pihak untuk tidak menyelesaikan sengketa melalui pengadilan melainkan melalui arbitrase yang dituangkan dalam suatu perjanjian tersendiri. Tanpa adanya kesepakatan dimaksud lembaga arbitrase tidak sah dan keputusannya tidak mempunyai kekuatan hukum.

Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 73

Dasar pembentukan BPPN adalah berdasarkan Pasal 37A Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 yang menetapkan bahwa: a. Apabila menurut penilaian Bank Indonesia terjadi kesulitan perbankan yang

membahayakan perekonomian nasional, atas permintaan Bank Indonesia, Pemerintah setelah berkonsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat membentuk badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan Perbankan.

b. Badan khusus tersebut melakukan program penyehatan terhadap bank-bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia kepada badan dimaksud. Yang dimaksud dengan kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional adalah suatu kondisi sistem perbankan yang menurut penilaian Bank Indonesia terjadi krisis kepercayaan masyarakat terhadap perbankan yang berdampak kepada hajat hidup orang banyak. Menurut ketentuan ini, atas piutang bank terhadap pihak ketiga yang diambil-alih

oleh badan khusus, badan khusus tersebut dapat melakukan tindakan penagihan piutang dengan penerbitan “Surat Paksa”, dengan berdasarkan pada catatan utang debitur yang bersangkutan pada bank dalam program penyehatan.

Surat Paksa ini berkepala kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa” mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dalam hal tindakan penagihan piutang tidak diindahkan oleh pihak berhutang, badan khusus tersebut dapat melakukan penyitaan atas harta kekayaan milik pihak yang berhutang tersebut, dan selanjutnya dapat melakukan pelelangan atas harta pihak yang berhutang dalam rangka pengembalian piutang dimaksud. Harta yang tidak dapat disita meliputi perlengkapan rumah tangga, buku-buku, dan peralatan kerja untuk kelangsungan hidup dari yang berhutang. Walaupun badan khusus ini diberi kewenangan untuk melakukan penagihan paksa, tata cara pelaksanaan penagihan paksa tersebut tetap memperhatikan aspek kepastian hukum dan keadilan.

Badan khusus yang melakukan tugas penyehatan perbankan pada saat itu

adalah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mempunyai tugas melakukan Penyehatan Bank yang diserahkan oleh Bank Indonesia: a. Penyelesaian aset Bank baik aset fisik maupun kewajiban debitur melalui Unit

Pengelola Aset (Aset Management Unit/AMU). b. Pengupayaan pengembalian uang negara yang telah tersalur kepada bank-

bank. Dengan demikian timbul titik singgung antara kewenangan badan khusus

dimaksud (BPPN/AMU) dengan kewenangan yang dimiliki oleh PUPN/DJPLN. Adapun perbedaannya terletak pada obyek pengurusan, dimana PUPN/DJPLN menangani kredit macet bank-bank BUMN, sedangkan BPPN selain menangani kredit macet bank BUMN juga menangani kredit macet perbankan swasta.

Pada tanggal 27 Februari 2004 Pemerintah mengakhiri tugas dan membubarkan

BPPN melalui Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pengakhiran

74 Bab 2: Manajemen Piutang

Tugas dan Pembubaran Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Selanjutnya, dalam rangka penyelesaian pengakhiran tugas BPPN Pemerintah membentuk Tim Pemberesan BPPN melalui Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Tim Pemberesan BPPN. Ketua Tim Pemberesan tersebut adalah Menteri Keuangan. Selain itu, untuk mengelola aset-aset bank dalam program penyehatan perbankan yang semula dikelola BPPN dan saat ini sudah tidak terkait permasalahan hukum lagi, Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2004 telah membentuk suatu Perseroan Terbatas dengan nama PT. Perusahaan Pengelolaan Aset (PT. PPA). Namun, badan usaha dimaksud, dalam mengelola aset-aset eks-BPPN tersebut, tidak dilengkapi dengan kewenangan parate eksekusi.

Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)

Berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, PUPN bertugas

menyelesaikan piutang negara yang telah diserahkan kepadanya oleh instansi pemerintahan atau badan-badan negara. Oleh karena itu, berdasarkan undang-undang tersebut, penyelesaian masalah kredit macet bagi instansi pemerintahan atau badan-badan negara wajib dilakukan melalui PUPN, dimana dengan adanya penyerahan kredit macet kepada PUPN, secara hukum wewenang penguasaan atas hak tagih dialihkan kepada PUPN. Pengurusan piutang negara dimaksud dilakukan dengan membuat surat Pernyataan Bersama antara PUPN dan debitur tentang besarnya jumlah hutang dan kesanggupan debitur untuk menyelesaikannya. Pernyataan Bersama tersebut mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti putusan hakim dalam perkara perdata yang berkekuatan hukum tetap, sehingga pernyataan tersebut mempunyai titel eksekutorial.

Jika debitur menolak membuat Pernyataan Bersama (PB), ketua PUPN dapat

menetapkan sendiri besarnya jumlah hutang melalui penerbitan PJPN (Penetapan Jumlah Piutang Negara). Pemberlakukan ketentuan tentang PJPN tersebut merupakan pelaksanaan Pasal 14 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 yang mengamanatkan Menteri Keuangan untuk menetapkan peraturan pelaksanaan undang-undang tersebut. Produk hukum PJPN yang diterbitkan oleh PUPN tersebut dikenal dan diakui dalam putusan Mahkamah Agung antara lain Keputusan Mahkamah Agung Nomor 1500 K/SIP/1978 tanggal 2 Januari 1980 dan Keputusan Mahkamah Agung Nomor 1267/k/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986.

Apabila ketentuan yang telah disepakati dalam PB tidak dipenuhi oleh debitur,

PUPN dapat memaksa debitur untuk membayar seluruh hutang dengan surat paksa. Selanjutnya bila surat paksa tidak dilaksanakan oleh debitur, maka PUPN akan melaksanakan penyitaan dan pelelangan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik debitur. Dengan demikian penagihan piutang negara dilakukan sesuai dengan azas parate eksekusi. Selain itu, PUPN juga diberi kewenangan untuk melakukan Paksa Badan terhadap Penanggung Hutang yang tidak menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan hutangnya walaupun yang bersangkutan mempunyai kemampuan untuk itu. Dari uraian tersebut terlihat bahwa pengurusan piutang negara oleh PUPN menganut asas percepatan, efektivitas, dan efisiensi dalam mengupayakan pengembalian piutang negara.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 75

Terminologi dalam Pengurusan Piutang Negara 4 Terdapat beberapa terminologi yang biasa digunakan dalam pengurusan piutang

negara. Terminologi yang digunakan di bawah ini mengacu pada ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960. Penyerah Piutang (Kreditur)

Penyerah piutang atau kreditur adalah instansi pemerintah badan negara baik tingkat pusat maupun tingkat daerah termasuk pemerintah daerah dan badan usaha yang jumlah saham atau modalnya dimiliki badan usaha milik negara/daerah seusai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan wajib menyerahkan pengurusan piutang macetnya kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Pemilik piutang negara berdasarkan Pasal 8 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 adalah: a. Pemerintah Pusat, seperti Departemen, Lembaga Negara Non Departemen,

Sekretariat Lembaga Tertinggi Negara, dan Sekretariat Lembaga Tinggi Negara; b. Pemerintah Daerah, baik Provinsi, Kabupaten, maupun Kota; dan c. Badan-badan yang secara langsung dikuasai oleh negara, seperti BUMN dan

BUMD; dan d. Badan-badan yang secara tidak langsung dikuasai oleh negara, seperti anak

perusahaan (subsidiary) BUMN/BUMD (misalnya PT. Telkomsel yang merupakan anak perusahaan PT. TELKOM (Persero).

Setelah para pemilik piutang tersebut di atas menyerahkan pengurusan piutangnya kepada PUPN, status pemilik piutang tersebut menjadi Penyerah Piutang.

Dalam operasional pengurusan piutang negara, Penyerah Piutang dibagi menjadi

2, yaitu: 1. Penyerah Piutang Perbankan. 2. Penyerah Piutang Non Perbankan, yang terdiri dari:

a. Instansi Pemerintah dan Lembaga Negara, yaitu: 1) Lembaga-Lembaga Tinggi Negara (LLTN) dalam hal ini Sekretariat

Jenderal atau Biro Keuangan yang berperan selaku Penyerah Piutang. 2) Kementerian Negara. 3) Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND).

b. Pemerintah Daerah. c. BUMN/BUMD Non Perbankan dan Badan/Lembaga Keuangan Bukan Bank

(LKBB), seperti: 1) Perusahaan Asuransi. 2) Lembaga-Lembaga Pembiayaan (sewa guna usaha/leasing, anjak

piutang/factoring, pembiayaan konsumen/consumer finance,

4 Diolah dari Samsul Chorib, dkk., Pengurusan Piutang Lelang, Jakarta: 2006

76 Bab 2: Manajemen Piutang

perdagangan surat berharga/securities, modal ventura/venture capital, pasar modal, dana pensiun).

Penanggung Hutang (Debitur)

Penanggung Hutang atau Debitur adalah badan usaha atau pribadi yang memiliki hutang kepada negara melalui instansi pemerintah baik tingkat pusat maupun tingkat daerah termasuk pemerintah daerah dan badan usaha yang jumlah saham atau modalnya dimiliki badan usaha milik negara/daerah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan wajib menyerahkan pengurusan piutang macetnya kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Secara yuridis formal, pengertian Penanggung Hutang tersebut dirumuskan dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN yang berbunyi:

(1) Penanggung Hutang kepada negara ialah orang atau badan yang berhutang menurut perjanjian atau peraturan yang bersangkutan.

(2) Sepanjang tidak diatur dalam perjanjian atau peraturan yang bersangkutan, maka para anggota pengurus dari badan-badan yang berhutang bertanggung jawab renteng terhadap hutang kepada negara.

Penjamin Hutang

Penjamin Hutang adalah badan atau orang yang menjamin penyelesaian sebagian atau seluruh hutang Penanggung Hutang. Penjamin Hutang dalam lalu lintas hukum lazim disebut dengan istilah “borg”. Penjamin Hutang atau borg ini timbul sebagai akibat adanya suatu perjanjian yang dalam Buku Ketiga KUH Perdata disebut dengan perjanjian “Penanggungan Hutang” sebagaimana dijumpai dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850. Pasal 1820 KUH Perdata secara lengkap berbunyi sebagai berikut:

“Penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan pihak si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berhutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya”.

Dari definisi tersebut di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Borg/Penjamin Hutang merupakan pihak ketiga yang berjanji/menyanggupi kepada kreditur untuk menanggung pembayaran suatu hutang bilamana si debitur tidak menepati kewajibannya.

2. Perjanjian Penanggungan Hutang ini merupakan perjanjian accessoir (pelengkap) seperti halnya gadai dan hipotik, yang tidak mungkin timbul bila tidak ada perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian pinjam meminjam uang.

3. Mengingat borgtocht merupakan perjanjian pelengkap, maka terhadap seorang borg secara azasi tidak boleh dipikulkan syarat-syarat yang lebih berat melebihi beban yang menjadi kewajiban debitur (lihat Pasal 1822 KUH Perdata). Berdasarkan uraian di atas, kedudukan borg tidak sama dengan kedudukan

debitur, kecuali borg/Penjamin Hutang yang bersangkutan telah melepaskan hak-hak

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 77

istimewanya sebagaimana diatur dalam Pasal 1831 dan Pasal 1832 KUH Perdata. Hak-hak istimewa tersebut adalah: 1. Jika ada penagihan, ia dapat meminta agar kreditur menagih/menuntut kepada

debitur terlebih dahulu, jika perlu dengan menyita kekayaan si debitur; 2. Jika terhadap suatu hutang terdapat beberapa borg/Penjamin Hutang, ia berhak

meminta agar pembayaran hutang tersebut dipikul bersama-sama dengan borg lainnya. Sesuai perkembangan dunia bisnis, saat ini dikenal adanya 2 jenis borg, yaitu

borg perseorangan (Personal Guarantor) dan borg perusahaan (Corporate Guarantor). Perikatan pertanggungan tersebut dituangkan dalam perjanjian penanggungan hutang dengan nama masing-masing adalah Personal Guaranty dan Corporate Guaranty.

Seorang borg/guarantor/Penjamin Hutang sebagai pihak ketiga dalam suatu

perjanjian pinjam-meminjam dapat menjadi penjamin hutang tanpa diminta oleh debitur bahkan dapat terjadi tanpa sepengetahuan si debitur itu sendiri. Hal ini adalah logis mengingat yang berkepentingan atas pengembalian suatu hutang adalah kreditur, bukan debitur. Bahkan berdasarkan Pasal 1823 KUH Perdata, seorang guarantor/borg dapat mengikatkan diri sebagai penjamin hutang terhadap guarantor lainnya. Penjamin hutang semacam ini dalam praktik disebut dengan nama sub borg/sub guarantor/sub penanggung.

Gambaran Umum Pengurusan Piutang Negara oleh Departemen Keuangan RI 5 Prosedur Pengurusan Piutang Negara

Pengurusan piutang negara dilaksanakan PUPN dengan menempuh tahap pengurusan sebagai yang dijabarkan pada Bagan 7 berikut ini.

Gambar 7: Alur Prosedur Pengurusan Piutang Negara

5 Diolah dari Samsul Chorib, dkk., Buku Pengurusan Piutang Lelang, Jakarta: 2006

78 Bab 2: Manajemen Piutang

Alur tahapan pengurusan piutang negara tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Penyerah Piutang menyerahkan pengurusan piutang/kredit macetnya secara

tertulis kepada PUPN melalui KP2LN, disertai berbagai dokumen pendukung yang dapat membuktikan adanya dan besarnya Piutang Negara (seperti Perjanjian Kredit, Kontrak Kerja, Rekening Koran, dan sebagainya) beserta dokumen lain yang dianggap perlu (dokumen barang jaminan, dokumen pengikatan barang jaminan, dan sebagainya).

2. KP2LN melakukan penelitian dokumen penyerahan yang hasilnya dituangkan dalam Resume Hasil Penelitian Kasus (RHPK).

3. Dari RHPK tersebut dapat diketahui apakah kasus tersebut dapat diterima untuk diurus (laik urus) atau tidak. Suatu piutang negara dikatakan laik urus oleh PUPN bila adanya dan besarnya piutang negara tersebut dapat dibuktikan secara hukum, dan § Apabila laik urus, maka PUPN akan menerbitkan Surat Penerimaan

Pengurusan Piutang Negara (SP3N); atau § Apabila tidak memenuhi syarat untuk diurus, maka PUPN akan menerbitkan

Surat Penolakan Pengurusan Piutang Negara, dan kasus tersebut akan dikembalikan kepada Penyerah Piutang.

4. Setelah SP3N diterbitkan, maka KP2LN melakukan pemanggilan kepada Penanggung Hutang (PH) dan/atau Penjamin Hutang (PjH), paling banyak 2 (dua) kali masing-masing berselang 7 (tujuh) hari. Bila PH/PjH tidak diketahui keberadaannya, pemanggilan dapat dilakukan melalui Pengumuman Panggilan pada media masa.

SURAT PENYERAHAN

1)

PANGGILAN 2X DAN/ATAU

PENGUMUMAN PANGGILAN 4)

ADANYA & BESARNYA

PASTI ?3)

T

Y

T

Y

SITA11)

MENGAKUI JML HTG & SEPAKAT

CARA PENYELESAIAN

5A)

TIDAK MENGAKUI

JUMLAH HUTANG

5C)

MENGAKUI JUMLAH HUTANG

TAPI TIDAK SEPAKAT CARA PENYELESAIAN

5B)

SURAT PENOLAKAN

3B)

BAYAR8)

T

PB DITAATI

?

T

LUNAS?9)

Y

LELANG12)

T 13B)

Y 13A)

LUNAS?

LAKU?

Y 14A)T 14B)

PEMERIKSAAN 15)

PSBDT 16)

MULAI

SELESAI

MEMENUHI PANGGILAN

?

PENETAPAN JUMLAH PIUTANG

NEGARA 6)

SURAT PENERIMAAN PENGURUSAN

PIUTANG NEGARA

3A)

PB7)

PENELITIAN KP2LN 2)

SURAT PAKSA

7)

Y

WAWAN-C ARA 5)

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 79

5. Apabila PH/PjH memenuhi panggilan, maka dilakukan wawancara yang menyangkut pengakuan jumlah hutang, dan kesepakatan tentang cara dan jangka waktu penyelesaian, serta sanksi bila PH/PjH wanprestasi/cidera janji. Dari hasil wawancara, dapat diketahui kemungkinan sebagai berikut: § PH/PjH mengakui dan menyetujui jumlah hutangnya, serta menyepakati cara

dan jangka waktu penyelesaian; § PH/PjH mengakui dan menyetujui jumlah hutangnya, tapi tidak menyepakati

cara dan jangka waktu penyelesaian; atau § PH/PjH tidak mengakui dan/atau tidak menyetujui jumlah hutangnya tanpa

alasan yang sah. 6. Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN) akan diterbitkan oleh PUPN bila: § PH/PjH menghilang, tidak diketahui alamatnya, atau PH/PjH tidak hadir

memenuhi panggilan terakhir dan/atau pengumuman panggilan; atau § PH/PjH hadir memenuhi panggilan, panggilan terakhir, atau pengumuman

panggilan, namun tidak mengakui dan/atau tidak menyetujui jumlah hutangnya tanpa alasan yang sah.

7. Berdasarkan PJPN di atas, PUPN melaksanakan penagihan piutang negara kepada PH/PjH secara sekaligus dengan Surat Paksa (SP). Tahap pengurusan ini dilaksanakan sebagai berikut: § PUPN menerbitkan SP, yang berisi perintah kepada PH/PjH untuk melunasi

hutang dalam jangka waktu 1 X 24 jam sejak SP diberitahukan; dan § Jurusita Piutang Negara memberitahukan SP tersebut kepada PH/PjH,

dengan menggunakan Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa. 8. Bila berdasarkan wawancara diketahui hasil sebagaimana dimaksud pada butir

5A atau 5B, maka Pernyataan Bersama (PB) dibuat dan ditandatangani bersama oleh PH/PjH dan Ketua PUPN.

9. Apabila PH/PjH mentaati isi PB, yang bersangkutan melaksanakan pembayaran. Bila PH/PjH tidak mentaati isi PB (wanprestasi), PUPN akan menerbitkan SP terhadap PH/PjH yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud pada butir 7 (tujuh).

10. Pembayaran yang dilakukan oleh PH/PjH sesuai ketentuan yang disepakati pada PB, akan bermuara pada pelunasan hutangnya.

11. Apabila PH/PjH tidak memenuhi ketentuan SP, maka PUPN menerbitkan Surat Perintah Penyitaan (SPP) terhadap barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain. SPP tersebut ditindaklanjuti dengan pelaksanaan penyitaan oleh Jurusita Piutang Negara dengan menggunakan Berita Acara Penyitaan.

12. Apabila debitur tetap tidak menyelesaikan hutangnya kepada negara walaupun barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain miliknya telah disita, maka tahap pengurusan akan ditingkatkan ke arah lelang barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik PH/PjH yang telah disita. Tahap pengurusan ini akan dilaksanakan sebagai berikut: § PUPN menerbitkan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan (SPPBS) yang

memerintahkan Kepala KP2LN untuk melakukan penjualan di muka umum (lelang) terhadap barang yang telah disita tersebut; dan

§ Pelaksanaan lelang dihadapan Pejabat Lelang. 13. Pelaksanaan lelang barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik PH/PjH

dapat berhasil (laku); atau Tidak berhasil (tidak laku), dan terhadap barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain tersebut akan dilakukan lelang ulang.

80 Bab 2: Manajemen Piutang

14. Terdapat 2 (dua) kemungkinan hasil yang diperoleh bila barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain tersebut laku terjual lelang, dan tidak ada lagi barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain yang tersisa, yaitu: § Piutang negara lunas; atau § Piutang negara tidak lunas.

15. Bila piutang negara belum lunas meski sudah tidak ada lagi barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik PH/PjH, maka untuk piutang negara yang memenuhi persyaratan akan dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui: § Kemampuan PH/PjH; § Keberadaan harta kekayaan lain; atau § Keberadaan diri PH/PjH bila yang bersangkutan menghilang, atau tidak

diketahui alamatnya. 16. Bila piutang negara belum lunas dan telah memenuhi persyaratan, maka PUPN

akan menghentikan sementara pengurusan piutang negara tersebut dengan menerbitkan pernyataan Piutang Sementara Belum Dapat Ditagih (PSBDT).

Penyerahan Pengurusan Piutang Negara

Penyerahan pengurusan piutang negara wajib dilakukan oleh para Penyerah Piutang, yang menurut Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 adalah Instansi-Instansi Pemerintah atau Badan-Badan yang kekayaannya baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai Negara. Penyerahan pengurusan tersebut disampaikan Penyerah Piutang secara tertulis kepada PUPN Cabang melalui KP2LN yang wilayah kerjanya merupakan bagian dari wilayah kerja PUPN Cabang yang bersangkutan.

Secara umum, KP2LN melalui siapa pengurusan piutang negara diserahkan,

dipilih Penyerah Piutang dengan pertimbangan: 1. Tempat kedudukan Penyerah Piutang sama dengan tempat kedudukan KP2LN,

misalnya: § PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk. Cabang Rasuna Said Jakarta menyerahkan

pengurusan piutangnya kepada PUPN Cabang DKI Jakarta melalui KP2LN Jakarta I;

§ PT. Jamsostek (Persero) Cabang Bekasi menyerahkan pengurusan piutangnya kepada PUPN Cabang Jawa Barat melalui KP2LN Bekasi.

2. Wilayah kerja Penyerah Piutang mencakup juga tempat kedudukan KP2LN, misalnya Perum Sarana Pengembangan Usaha Cabang Semarang, yang wilayah kerjanya meliputi kota Purwokerto, menyerahkan pengurusan piutangnya kepada PUPN Cabang Jawa Tengah melalui KP2LN Purwokerto, dan tidak melalui KP2LN Semarang;

3. Tempat kedudukan Penyerah Piutang termasuk dalam wilayah kerja KP2LN, misalnya PT. Bank BRI (Persero) Cabang Purwakarta menyerahkan pengurusan piutangnya kepada PUPN Cabang Jawa Barat melalui KP2LN Bekasi. Penyerahan pengurusan piutang kepada PUPN merupakan proses pertama yang

harus dilakukan oleh Penyerah Piutang dalam pengurusan piutang negara. Penyerahan tersebut harus disertai dengan resume perkembangan

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 81

pengurusan/penagihan piutang yang diserahkan tersebut, dan dokumen yang terkait. Resume tersebut berisi informasi sebagai berikut: 1. Identitas Penyerah Piutang. 2. Identitas Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang. 3. Bidang usaha Penanggung Hutang, antara lain industri, manufaktur

perdagangan, pertanian, perkebunan atau bidang usaha lainnya. 4. Keadaan usaha Penanggung Hutang pada saat pengurusan piutang negara atas

namanya diserahkan ke PUPN Cabang. 5. Dasar hukum terjadinya hutang, antara lain perjanjian kredit, akta pengakuan

hutang, peraturan atau dasar hukum lainnya. 6. Jenis piutang negara antara lain kredit investasi, kredit modal kerja, kredit umum,

dana reboisasi, jasa pelabuhan atau jenis piutang negara lainnya. 7. Penjamin Kredit oleh pihak ketiga antara lain PT. Askrindo, PT. ASEI, PERUM

PKK atau Lembaga Penjamin lainnya. 8. Sebab-sebab kredit/piutang dinyatakan macet seperti kesalahan manajemen,

kerusuhan sosial atau sebab-sebab lainnya. 9. Tanggal realisasi kredit dan tanggal Penyerah Piutang mengkategorikan kredit

sesuai peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia dalam hal Piutang Negara berasal dari perbankan atau tanggal PH dinyatakan wanprestasi sesuai perjanjian, peraturan, surat keputusan pejabat berwenang atau sebab apapun dalam hal Piutang Negara berasal dari Non Perbankan.

10. Rincian hutang yang terdiri dari saldo hutang pokok, bunga, denda dan ongkos/beban lainnya.

11. Daftar barang jaminan yang memuat uraian barang pengikatan, kondisi dan nilai barang jaminan pada saat penyerahan, dalam hal penyerahan didukung oleh barang jaminan.

12. Daftar harta kekayaan lain. 13. Penjelasan singkat upaya-upaya penyelesaian piutang yang telah dilakukan oleh

PP dan 14. Informasi lainnya yang dianggap perlu disampaikan oleh PP antara lain PH dan

atau PjH sudah tidak diketahui tempat tinggalnya, ada kasus gugatan di Pengadilan atau barang jaminan telah disita Pengadilan Negeri untuk kepentingan pihak lain.

Selain resume yang berisi uraian di atas, penyerahan pengurusan piutang negara

juga dilampiri dokumen, yang berdasarkan tujuannya, dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu: 1. Jenis dokumen yang dapat membuktikan adanya dan besarnya piutang negara;

dan 2. Jenis dokumen yang terkait dengan penjaminan (baik perjanjian penjaminan,

dokumen asli barang jaminannya, maupun pengikatan/pembebanan Hak Tanggungan atau Jaminan Fidusia). Pada tahap penyerahan pengurusan, dokumen yang dilampirkan tidak harus

dokumen asli tetapi cukup fotokopi dokumen saja. Dokumen-dokumen yang dilampirkan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Penyerahan pengurusan piutang negara perbankan, dilampiri dengan fotokopi:

82 Bab 2: Manajemen Piutang

a. Perjanjian kredit (dan addendum perjanjian kredit jika ada), akta pengakuan hutang, cessie, letter of crediet (LC) atau dokumen lain yang sejenis yang dapat membuktikan adanya piutang;

b. Rekening koran, prima nota, mutasi piutang, dan atau dokumen lain yang sejenis yang dapat membuktikan besarnya piutang;

c. Dokumen barang jaminan serta pengikatannya dan surat pernyataan kesanggupan Penyerah Piutang untuk mengajukan permohonan roya, bila piutang yang diserahkan pengurusannya didukung dengan barang jaminan;

d. Kartu Tanda Penduduk (KTP), paspor atau bukti diri Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang;

e. Daftar kekayaan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang diperkuat dengan dokumen kepemilikannya (bila ada) seperti sertifikat, Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK); dan

f. Surat menyurat antara Penyerah Piutang dengan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang berkaitan dengan upaya-upaya yang telah dilaksanakan dalam rangka penyelesaian hutang;

g. Akta Pendirian Perusahaan, pengumuman akta pendirian perusahaan dalam Tambahan Berita Negara, beserta akta perubahannya, tanda pengenal/pendaftaran perusahaannya dan atau identitas lainnya;

h. Izin usaha, izin mendirikan bangunan dan atau surat-surat izin lainnya; i. Surat pemberitahuan dari Penyerah Piutang kepada Penanggung Hutang

bahwa pengurusan piutang negara diserahkan ke PUPN Cabang.

2. Penyerahan pengurusan piutang negara non perbankan oleh BUMN/BUMD, dilampiri dengan fotokopi: a. Perjanjian, kontrak, surat perintah kerja, surat keputusan, peraturan atau

dokumen lain yang sejenis, yang dapat membuktikan adanya piutang; b. Mutasi keuangan, faktur, resi, bon sementara rekening, tagihan kartu kredit

atau dokumen lain yang sejenis yang dapat membuktikan besarnya piutang; dan

c. Dokumen barang jaminan serta pengikatannya dan surat pernyataan kesanggupan Penyerah Piutang untuk mengajukan permohonan roya, bila piutang yang diserahkan pengurusannya didukung dengan barang jaminan.

3. Penyerahan pengurusan piutang yang diserahkan oleh Istansi Pemerintah dan Lembaga Negara berupa Tuntutan Ganti Rugi (TGR) bagi Pegawai Negeri Sipil bukan bendahara, dilampiri dengan fotokopi: a. Laporan Kerugian Negara oleh atasan pegawai negeri yang dituntut /Kepala

Kantor; b. Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak; c. surat pemberitahuan dari Menteri/Ketua Lembaga Negara yang

bersangkutan kepada pihak/pegawai negeri yang dituntut; d. Surat Keputusan Pembebanan Tingkat Pertama yang ditetapkan oleh

Menteri/Ketua Lembaga Negara; e. Surat Keputusan Pembebanan Tingkat Banding; dan f. surat-surat hasil pemeriksaan.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 83

4. Penyerahan pengurusan piutang oleh Instansi Pemerintah dan Lembaga Negara berupa Tuntutan Ganti Rugi bagi Pegawai Negeri Sipil selaku Bendahara dilampiri dengan fotokopi: a. Hasil pemeriksaan yang mengungkapkan adanya kerugian negara; b. Berita acara pemeriksaan kas; c. Daftar pernyataan untuk menyusun Laporan Pemeriksaan Keuangan

Perbendaharaan guna keperluan proses Tuntutan Perbendaharaan; d. Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak; e. Bukti angsuran kerugian negara; f. Surat keputusan menteri/ketua lembaga negara tentang penggantian

sementara; g. Surat Keputusan Pembebanan Badan Pemeriksa Keuangan yang terdiri dari

: ♦ Surat Keputusan Penetapan Batas Waktu untuk Menjawab; ♦ Surat Keputusan Pembebanan; dan/atau ♦ Surat Keputusan Pembebanan Tingkat banding; dan ♦ Surat kuasa untuk menjual barang.

5. Penyerahan pengurusan piutang oleh Instansi Pemerintah dan Lembaga Negara berupa piutang ikatan dinas, dilampiri dengan fotokopi: a. Surat perjanjian; b. Surat keputusan Menteri/Ketua Lembaga Pemerintah Non Departemen yang

terdiri dari: ♦ Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil; ♦ Surat Keputusan Pemberhentian; dan ♦ Perhitungan jumlah biaya yang harus dibayarkan.

6. Penyerahan pengurusan piutang oleh Instansi Pemerintah berupa piutang Bea Masuk/Bea Masuk Tambahan, dilampiri dengan fotokopi: a. Bukti rincian perhitungan tagihan; b. Pemberitahuan Import Untuk Dipakai/Pemberitahuan Import Barang beserta

lampiran-lampirannya; dan c. Nomor Pokok Wajib Pajak.

7. Penyerahan pengurusan piutang oleh Instansi Pemerintah berupa piutang Pajak Ekspor, dilampiri dengan fotokopi: a. Bukti rincian Perhitungan Pajak Ekspor; dan b. Pemberitahuan Ekspor Barang.

8. Penyerahan pengurusan piutang oleh Instansi Pemerintah sektor kehutanan berupa: a. Tunggakan iuran Hasil Hutan/Provisi Sumber Daya Hutan dan dana

Reboisasi, dilampiri dengan fotokopi: ♦ Akta Pendirian Perusahaan pada saat memperoleh Hak Pengusahaan

Hutan berikut susunan direksinya; ♦ Surat Keputusan Penunjukan Selaku Pemegang Hak Konsesi Hak

Pengusahaan Hutan/Hak Pemanfaatan Hasil Hutan, Izin Pemanfaatan Kayu dan izin lainnya;

84 Bab 2: Manajemen Piutang

♦ Surat Perintah Pembayaran Tunggakan Iuran Hasil Hutan/Provisi Sumber Daya hutan dan dana Reboisasi;

♦ Bukti rincian tunggakan; dan ♦ Surat keputusan tentang terjadinya kerugian negara.

b. Tagihan atas Pelanggaran Eksploitasi Hutan, dilampiri dengan fotokopi: ♦ Surat Keputusan Penunjukan Pemegang Hak Konsesi Hak

Pengusahaan Hutan; ♦ Akta Pendirian Perusahaan/Hak Pemanfaatan Hasil Hutan, Izin

Pemanfaatan Kayu, dan izin lainnya; ♦ Foto/peta udara yang menunjukkan blok-blok dan batas konsesi; ♦ Laporan Hasil Pemeriksaan dan berita acara pemeriksaan di lapangan; ♦ Surat keputusan tentang terjadinya kerugian negara; dan ♦ Surat-surat penjatuhan sanksi denda.

9. Penyerahan pengurusan piutang oleh Badan Usaha Logistik, dilampiri dengan fotokopi: a. Akta Pendirian Perusahaan; b. Nota klaim; c. Surat perjanjian; dan d. Kontrak kerja.

10. Penyerahan pengurusan piutang oleh Instansi Pemerintah sektor pertambangan, yaitu fotokopi : a. Akta Pendirian Perusahaan; b. Surat Penunjukan Kontraktor Penambang; dan c. Bukti rincian perhitungan tagihan.

11. Penyerahan pengurusan piutang oleh Instansi Pemerintah instansi pemerintah sektor kesehatan berupa tagihan biaya rumah sakit, dilampiri dengan fotokopi: a. Bukti rincian tagihan; dan b. Surat pernyataan penanggungjawab hutang.

12. Penyerahan pengurusan piutang proyek-proyek pemerintah, dilampiri dengan fotokopi: a. Bukti rincian perusahaan; b. Perjanjian Kontrak; c. Surat Perintah Kerja; dan d. Laporan Hasil Pemeriksaan dan atau bukti rincian ganti rugi.

13. Penyerahan pengurusan piutang oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional, yaitu: a. Piutang yang berasal dari kredit perbankan berupa fotokopi dokumen

sebagaimana dimaksud dalam rincian butir 1 di atas; b. Piutang yang bukan berasal dari kredit perbankan berupa fotokopi dokumen: § Akta Pengakuan Utang, MSAA, MRNIA atau perjanjian yang sejenis; § Bukti pemilikan dan bukti pengikatan; § Rekening koran, mutasi keuangan atau dokumen yang sejenis dan; § Dokumen-dokumen lain yang mendukung adanya dan besarnya piutang

negara.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 85

Selain ketentuan tentang lampiran surat penyerahan, terdapat ketentuan lain

yang terkait dengan penyerahan pengurusan piutang negara dari Penyerah Piutang kepada PUPN Cabang. Ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Batas paling sedikit besaran piutang negara yang diserahkan pengurusannya

kepada PUPN Cabang adalah Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah) untuk setiap kasus. Batasan tersebut tidak berlaku bagi piutang Instansi Pemerintah dan Lembaga Negara Tingkat Pusat maupun Daerah;

2. Bila pada waktu yang bersamaan Penyerah Piutang menyerahkan lebih dari 1 (satu) berkas kasus pengurusan piutang negara, maka setiap berkas kasus dilengkapi surat penyerahan dengan nomor surat tersendiri;

3. Bila berkas kasus yang diserahkan belum lengkap atau KP2LN yang menerima penyerahan membutuhkan adanya informasi tambahan sebagai bahan pengurusan, KP2LN yang bersangkutan dapat meminta tambahan kelengkapan data kepada Penyerah Piutang. Demikian pula bila terdapat suatu kasus tertentu, KP2LN secara selektif dapat meminta Penyerah Piutang untuk memberikan ekspose atas kasus yang diserahkan dan/atau melakukan penelitian ”on the spot” (lapangan);

4. Bila terdapat piutang yang berasal dari kredit sindikasi/konsorsium, sepanjang terdapat piutang negara yang harus diselesaikan, pengurusannya dapat diserahkan kepada PUPN Cabang melalui KP2LN. Pihak yang bertindak selaku Penyerah Piutang adalah anggota sindikasi yang berasal dari Badan Usaha Milik Negara. Ketentuan tentang hal ini diperjelas dengan surat Menteri Keuangan yang ditujukan kepada sebuah bank swasta asing (milik seorang Jepang) yang bersindikasi/ berkonsorsium dengan Bank BUMN. Surat dengan Nomor 1191/MK.09/1991 tanggal 30 Oktober 1991 tersebut, pada intinya berisi: a. Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (sekarang DJPLN) akan

menerima pengurusan kredit macet dari Bank-bank BUMN tanpa melihat keterkaitan kredit tersebut dengan sindikasi/konsorsium sepanjang terdapat kepentingan Bank BUMN berupa piutang macet yang harus diselesaikan.

b. Hasil pengurusan piutang negara tersebut pada butir a. di atas diberikan kepada Bank BUMN bersangkutan selaku Penyerah Piutang setelah diperhitungkan biaya administrasi pengurusan piutang negara sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

c. Bila kredit yang diberikan secara sindikasi/konsorsium, penyelesaian piutang macet Bank BUMN yang bersangkutan oleh BUPLN tidak mengurangi hak Kreditur lainnya berdasarkan perjanjian dan ketentuan hukum yang berlaku atas hasil pengurusan yang diperoleh.

Penyelesaian Kerugian Negara 6

6 Diolah dari Seri Perbendaharaan Negara: Penyelesaian Kerugian Negara, Drs. J. Kardjo, Jakarta: 1994

86 Bab 2: Manajemen Piutang

Subbab ini membahas penyelesaian piutang-piutang negara yang timbul dari proses penyelesaian kerugian negara. Dengan demikian subbab ini tidak membahas piutang-piutang negara yang timbul dari sebab lain, misalnya karena pengenaan pajak, cukai dan lain-lain. Oleh karena itu, penyelesaian tagihan negara ini merupakan proses lanjutan dari: 1. Penyelesaian damai, dan 2. Tuntutan Perbendaharaan (TP) dan Tuntutan Ganti Ruti (TGR).

Tanpa hak eksekutorial, maka penyelesaian damai dan proses TP/TGR tidak mempunyai arti dalam proses penyelesaian kerugian negara. Hak eksekutorial yang dimiliki pemerintah didasarkan pada: 1. Persetujuan, bila proses penyelesaian kerugian negara ditempuh melalui

Penyelesaian Damai dengan membuat dan menandatangani SKTM. 2. Putusan Pembebanan Ganti Rugi yang ditetapkan Menteri/Ketua Lembaga

bahkan sampai putusan tingkat banding oleh Presiden, dalam hal yang dituntut mengganti kerugian negara adalah pegawai negeri.

3. Putusan Pembebanan yang ditetapkan BPK, bila yang diwajibkan mengganti kekurangan perbendaharaan adalah Bendahara.

4. Putusan Hakim Perdata, bila yang merugikan negara adalah pihak III. 5. Putusan Hakim Pidana, bila dalam kasus tersebut terdapat unsur pidana. Menurut Fatwa Mahkamah Agung Republik Indonesia kepada Jaksa Agung RI tanggal 12 Januari 1988 Nomor: 37/T4/88/66/Pid, tentang Fatwa mengenai eksekusi terhadap pembayaran uang pengganti (pasal 34 sub c Undang-undang Nomor 3 tahun 1971) antara lain menyatakan:

“Pada hakekatnya pembayaran uang pengganti adalah merupakan hutang yang harus dilunasi terpidana kepada Negara, hutang tersebut sewaktu-waktu masih dapat ditagih melalui gugatan perdata di pengadilan, yakni seandainya dalam pelaksanaan kali ini jumlah barang-barang yang dimiliki terpidana sudah tidak mencukupi lagi”.

Dasar Penagihan Piutang Negara Piutang negara yang terjadi melalui proses penyelesaian damai

Surat Keterangan Tanggungjawab Mutlak (SKTM) merupakan dasar hukum utama untuk melakukan penagihan. SKTM yang telah ditandatangani di atas materai yang cukup di hadapan pejabat atasannya serendah-rendahnya eselon III, mengikat semua pihak. Pihak yang membuat dan menandatangani SKTM, wajib melaksanakan janji yang telah dibuatnya sendiri. Apalagi yang bersangkutan tidak melaksanakan janji tersebut kepadanya akan langsung dikenakan pembebanan tanpa harus diberitahukan terlebih dahulu.

Mereka yang sudah membuat dan menandatangani SKTM juga sudah tidak

mungkin untuk mengajukan pembelaan diri dalam bentuk apapun, jadi baginya tidak mungkin lagi untuk mengajukan pembelaan dalam bentuk apapun, termasuk mengajukan banding dan peninjauan kembali. Bagi pejabat yang menerima

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 87

permohonan penyelesaian damai (yaitu atasan langsung pegawai bersangkutan serendah-rendahnya eselon III) wajib membubuhkan tanda tangannya sebagai telah maklum/mengetahui permohonan tersebut. Karena itu SKTM juga mengikat mereka dan mempunyai kewajiban menilai apakah dengan penyelesaian damai tersebut kepentingan negara sudah terjamin. Untuk itu, pejabat tersebut dianjurkan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut: 1. Minta agar mereka yang telah merugikan negara dan menyatakan keinginannya

menyelesaikan kerugian negara tersebut secara sukarela, membuat dan menyerahkan Surat Kuasa untuk memotong gaji/penghasilan lain guna mengganti kerugian yang diderita negara.

2. Minta agar mereka menyerahkan surat tentang pemilikan barang-barang yang dijadikan jaminan termaksud dalam SKTM.

3. Memantau pelaksanaan janji termaksud dan melaporkan kepada Menteri/Ketua Lembaga yang bagian anggarannya dirugikan.

Apabila dalam perjalanan waktu, penyelesaian damai dinilai tidak akan selesai

dalam waktu 2 tahun, maka pejabat tersebut melaporkan (secara hirarkis) kepada Menteri/Ketua Lembaga yang menyatakan bahwa SKTM tidak lagi dapat dijalankan, dan sekaligus menyusulkan agar terhadap yang bersangkutan dikenakan langsung TGR/TP.

Eksekusi SKTM dapat dilakukan dengan cara: 1. Dipotong langsung gaji/penghasilan lain sebagai angsuran/pelunasan kerugian

yang diderita negara; 2. Diterbitkan SPN bila yang bersangkutan tidak/tidak lagi memperoleh

gaji/penghasilan lain yang memberatkan anggaran negara.

Apabila pegawai yang merugikan negara tersebut dipindah/diberhentikan karena pensiun atau sebab lain, agar tagihan negara tersebut ikut dipindahkan untuk dilakukan penagihan di tempat yang baru. Piutang Negara yang terjadi karena dilaksanakan proses TGR/TP 1. Dasar hukum pelaksanaan penagihan.

Piutang negara yang terjadi karena proses TP/TGR maka dasar penagihan adalah: a. Surat Putusan Pembebanan yang ditetapkan Menteri/Ketua Lembaga, bila:

1) Yang memberi sanksi membayar uang pengganti adalah pegawai negeri; 2) Dalam surat keputusan tersebut telah jelas-jelas disebutkan bahwa

walaupun yang bersangkutan mengajukan banding kepada Presiden, putusan Menteri/Ketua Lembaga tetap wajib dijalankan untuk sementara (Pasal 5 ayat (4) Lembaran Negara Tahun 1904 Nomor 241). Apabila dalam SK termaksud tidak dapat dilaksanakan dan harus ditunggu keputusan pada tingkat banding yang ditetapkan oleh Presiden.

b. Surat Putusan Pembebanan untuk mengganti kekurangan perbendaharaan. Walaupun putusan pembebanan untuk mengganti kekurangan perbendaharaan bukan ditetapkan dalam sidang pleno, tetapi putusan BPK

88 Bab 2: Manajemen Piutang

sudah dapat dilaksanakan seperti putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti, karena itu Bendahara wajib melaksanakan, yaitu membayar kepada negara untuk mengganti kekurangan perbendaharaan yang menjadi tanggung jawabnya. Apabila ternyata dalam peninjauan kembali putusan yang ditetapkan dalam sidang pleno BPK memutuskan Bendahara tidak diwajibkan mengganti kekurangan perbendaharaan termaksud, maka apa yang telah dibayarkan akan dibayarkan kembali.

2. Pelaksanaan Putusan Pembebanan mengganti kerugian negara (TGR/TP).

Hak eksekutorial pemerintah untuk menagih kembali atas kerugian yang diderita negara setelah ada kepastian hukum putusan tersebut. Hak eksekutorial dilaksanakan oleh Menteri/Ketua Lembaga yang bagian anggarannya dirugikan. Yaitu dilaksanakan dengan cara, Menteri/Ketua Lembaga yang bagian anggarannya dirugikan minta kepada Direktur Jenderal Anggaran (saat adalah Direktorat Jenderal Perbendaharaan), agar terhadap pegawai negeri/bendahara bersangkutan diterbitkan Surat Penagihan (SPN). Berdasarkan Keputusan Direktur Anggaran Nomor Kep.7/A/54/0193, setiap penerbitan SPN harus secara jelas dicantumkan: a. Nama dan alamat yang berhutang (perorangan maupun badan); b. Lokasi/tempat penyetoran dimana rekening kas negara bersangkutan

berada; c. Mata Anggaran Penerimaan (MAP) dari tagihan yang bersangkutan; d. Tanggal dan nomor Surat Keputusan yang menjadi dasar penerbitan SPN; e. Instansi penerbit Surat Keputusan tersebut; f. Uraian dari piutang negara; g. Besarnya hutang dan besarnya angsuran; h. Kata “PERHATIAN” dengan uraian:

♦ SPN ini harus disimpan baik-baik; ♦ Setiap penyetoran atas pembayaran penagihan ini agar pada bukti

setoran berkenan dicantumkan tanggal dan nomor SPN ini; ♦ Apabila penyetoran dilaksanakan sendiri, fotocopy bukti penyetoran

tersebut agar disampaikan kepada KPPN penerbit SPN ini. Atas SPN yang diterima, pegawai negeri/bendahara/ahliwaris dapat: a. Menyetor langsung ke KPPN/Bank atas rekening KPPN; b. Minta agar dilakukan kompensasi/diperhitungkan dengan hak tagihannya

kepada negara (gaji atau penghasilan lain yang memberatkan anggaran negara).

Tata Cara Penyelesaian

Berdasarkan pasal 8 Undang-undang Nomor 49 Tahun 1960, piutang negara

yang tidak dibayar oleh penanggung hutang tepat pada waktunya, pada tingkat pertama penagihan dilakukan oleh instansi atau badan hukum yang bersangkutan, menurut peraturan-peraturan yang berlaku pada instansi tersebut; tetapi bila telah terjadi cidera janji, maka proses penagihannya wajib diserahkan kepada DJPLN (saat ini adalah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara).

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 89

Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut tahap penyelesaian tagihan negara adalah sebagai berikut: 1. Tahap pertama, merupakan tahap yang wajib diupayakan instansi bersangkutan

sedini mungkin. Upaya damai tersebut seolah-olah selalu ditawarkan pada setiap kesempatan. Atau upaya penyelesaian damai tetap terbuka, sejak kerugian negara diketahui. Maksudnya adalah memberi kesempatan kepada para pengurus untuk bertanggungjawab. Apabila semua pengurus mau bertanggungjawab, maka diharapkan kerugian negara dapat ditekan sekecil mungkin. Namun bila hal tersebut tidak mungkin lagi, barulah tagihan tersebut dilaporkan kepada Menteri Keuangan sebagai tagihan yang bermasalah, untuk diterbitkan SPN.

2. Tahap kedua, diterbitkan SPN, oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atas permintaan Departemen/Lembaga dalam hal ini permintaan Sekretaris Jenderal/Pimpinan Sekretariat Lembaga Tinggi Negara. Pada tahap kedua ini, yang bersangkutan dapat menyetor langsung maupun dapat pula dilakukan kompensasi (lihat uraian 30.2.1.). tidak semua piutang negara dapat memberikan hasil atas tagihannya. Banyak hal dapat menjadikan tagihan-tagihan negara tersebut tidak terselesaikan tepat pada waktunya. Tagihan-tagihan demikian disebut tagihan yang bermasalah.

3. Tahap penyelesaian tagihan-tagihan bermasalah. Hal-hal yang dapat menghalangi keberhasilan tagihan negara adalah: a. Tertagih telah meninggal dunia tanpa meninggalkan harta benda yang

berarti, sedangkan ahli waris/keluarga terdekat/mereka yang memperoleh hak tidak bersedia ikut menanggung tagihan yang merupakan hutang dari almarhum/almarhumah kepada negara.

b. Yang tertagih tidak lagi diketahui alamatnya. Memang ada ketentuan bila tertagih tidak ditemukan alamatnya, maka KPPN wajib membuat surat edaran keseluruh pelosok desa untuk menanyakan alamat dari yang bersangkutan kepada Kepala Desa/Lurah. Tetapi hal tersebut akan memakan ongkos besar, disamping memakan waktu yang cukup lama.

c. Yang tertagih telah menjadi miskin atau pailit (faillissement) atau yang bersangkutan dibawah pengampuan (curatele).

Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah 7

Pengelolaan Piutang Negara/Daerah diarahkan untuk optimalisasi tingkat penyelesaian piutang. Dalam hal upaya-upaya penyelesaian Piutang Negara/Daerah tidak dimungkinkan lagi, maka pengurusan piutang akan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengurusan Piutang Negara.

Sebagaimana yang telah diuraikan di muka bahwa peraturan perundang-

undangan yang berlaku di bidang pengurusan Piutang Negara saat ini adalah Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara 7 Diolah dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah

90 Bab 2: Manajemen Piutang

(PUPN) berikut peraturan pelaksanaannya. Dalam Pasal 4 Undang-Undang tersebut, diatur bahwa pada prinsipnya Piutang Negara/Daerah diselesaikan terlebih dahulu oleh instansi-instansi Pemerintah Pusat/Daerah dan badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya milik negara. Dalam hal upaya-upaya penyelesaian tidak dimungkinkan lagi, dan Penanggung Hutang kepada Negara/Daerah (untuk selanjutnya disebut Penanggung Hutang) tetap tidak melunasi hutang sebagaimana mestinya, maka pengurusan piutang tersebut diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Oleh PUPN, Piutang Negara/Daerah yang telah diserahkan pengurusannya tersebut, akan diurus dengan proses dan tahapan sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara berikut peraturan pelaksanaannya.

Dalam hal PUPN telah melakukan pengurusan Piutang Negara/Daerah secara

optimal, namun masih terdapat sisa hutang yang belum diselesaikan oleh Penanggung Hutang, PUPN dapat menetapkan bahwa pengurusan piutang tersebut untuk sementara waktu dihentikan. Penetapan tersebut dilakukan dengan penetapan Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih (PSBDT). PSBDT tersebut, ditetapkan oleh PUPN dalam hal masih terdapat sisa Piutang Negara, namun: 1. Penanggung Hutang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan

hutangnya; dan 2. Barang jaminan tidak ada, telah dicairkan, tidak lagi mempunyai nilai ekonomis,

atau bermasalah yang sulit diselesaikan.

Pengelolaan Piutang Negara/Daerah yang menganut prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, juga mengikuti sistem akuntansi sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku. Berdasarkan standar akuntansi tersebut, dalam pengelolaan piutang dimungkinkan adanya penghapusan piutang dari pembukuan dengan tidak menghapuskan hak tagih Negara (didefinisikan sebagai penghapusbukuan secara bersyarat). Piutang-piutang yang telah dihapuskan secara bersyarat dari pembukuan tersebut, tetap dikelola dan diupayakan penyelesaiannya. Dalam hal upaya-upaya penyelesaian tersebut tidak berhasil, dan kewajiban Penanggung Hutang tetap tidak terselesaikan, serta diperoleh keterangan dari Pejabat yang berwenang bahwa Penanggung Hutang yang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan lagi untuk menyelesaikan hutangnya, dimungkinkan dilaksanakan penghapusan hak tagih Negara (didefinisikan sebagai penghapusbukuan secara mutlak).

Piutang Negara/Daerah dapat dihapuskan secara bersyarat atau mutlak dari

pembukuan Pemerintah Pusat/Daerah, kecuali mengenai Piutang Negara/Daerah yang cara penyelesaiannya diatur tersendiri dalam Undang-Undang, misalnya piutang pajak. Penghapusan Secara Bersyarat dilakukan dengan menghapuskan Piutang Negara/Daerah dari pembukuan Pemerintah Pusat/ Daerah tanpa menghapuskan hak tagih Negara/Daerah. Penghapusan Secara Mutlak dilakukan dengan menghapuskan hak tagih Negara/Daerah.

Penghapusan Secara Bersyarat dan Penghapusan Secara Mutlak tersebut hanya

dapat dilakukan setelah Piutang Negara/Daerah diurus secara optimal oleh PUPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengurusan

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 91

Piutang Negara. Pengurusan Piutang Negara/Daerah dinyatakan telah optimal, dalam hal telah dinyatakan sebagai Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih (PSBDT) oleh PUPN. Piutang negara dinyatakan sebagai PSBDT apabila masih terdapat sisa utang, namun: 1. Penanggung Utang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikannya; dan 2. Barang jaminan tidak ada, telah dicairkan, tidak lagi mempunyai nilai ekonomis,

atau bermasalah yang sulit diselesaikan. Penghapusan Secara Bersyarat

Batasan nilai Piutang Negara/Daerah yang dapat dihapuskan secara bersyarat adalah per Penanggung Utang. Dalam hal di dalam perjanjian/peraturan/hal lain yang menjadi dasar terjadinya Piutang Negara/Daerah, diatur bahwa Penanggung Utang (misalnya Koperasi) wajib menyalurkan kredit kepada para anggotanya, maka nilai Piutang Negara/Daerah yang dapat dihapuskan secara bersyarat adalah per anggota Penanggung Utang.

Penghapusan Secara Bersyarat atas, sepanjang menyangkut Piutang Negara,

ditetapkan oleh : 1. Menteri Keuangan untuk jumlah sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh

miliar rupiah); 2. Presiden untuk jumlah lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)

sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); dan 3. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk jumlah lebih dari

Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Piutang Negara dalam satuan mata uang asing tidak perlu dikonversi menjadi satuan mata uang Rupiah. Namun demikian, nilai piutang yang dapat dihapuskan secara bersyarat adalah nilai yang setara dengan nilai sebagaimana dimaksud di atas dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku pada 3 (tiga) hari sebelum tanggal surat pengajuan usul penghapusan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga.

Penghapusan Secara Bersyarat, sepanjang menyangkut Piutang Daerah ditetapkan oleh : 1. Gubernur/Bupati/Walikota untuk jumlah sampai dengan Rp5.000.000.000,00

(lima miliar rupiah); dan 2. Gubernur/Bupati/Walikota dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

untuk jumlah lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Piutang Daerah dalam satuan mata uang asing tidak perlu dikonversi menjadi satuan mata uang Rupiah. Namun demikian, nilai piutang yang dapat dihapuskan secara bersyarat adalah nilai yang setara dengan nilai sebagaimana dimaksud di atas dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku pada 3 (tiga) hari sebelum tanggal surat pengajuan usul penghapusan oleh oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD).

92 Bab 2: Manajemen Piutang

Pengajuan Usul

Piutang Negara yang akan dihapuskan secara bersyarat untuk jumlah sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) diusulkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga yang berpiutang kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara/Direktur Jenderal Kekayaan Negara. Sedangkan piutang Negara yang akan dihapuskan secara bersyarat untuk jumlah lebih dari Rp10.000.000.000,00 diusulkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga yang berpiutang kepada Presiden Republik Indonesia melalui Menteri Keuangan.

Piutang Daerah yang akan dihapuskan secara bersyarat diusulkan oleh Pejabat

Pengelola Keuangan Daerah yang berpiutang kepada Gubernur/Walikota/Bupati setelah mendapat pertimbangan dari Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang wilayah kerjanya meliputi wilayah kerja Gubernur/Walikota/Bupati yang bersangkutan.

Persyaratan

Penghapusan Secara Bersyarat atas Piutang Negara/Daerah dari pembukuan dilaksanakan dengan ketentuan : 1. Dalam hal piutang adalah berupa Tuntutan Ganti Rugi, setelah piutang

ditetapkan sebagai PSBDT dan terbitnya rekomendasi penghapusan secara bersyarat dari Badan Pemeriksa Keuangan; atau

2. Dalam hal piutang adalah selain piutang Tuntutan Ganti Rugi, setelah piutang ditetapkan sebagai PSBDT.

Penghapusan Secara Mutlak

Batasan nilai Piutang Negara/Daerah yang dapat dihapuskan secara mutlak adalah per Penanggung Utang. Dalam hal di dalam perjanjian/peraturan/hal lain yang menjadi dasar terjadinya Piutang Negara/Daerah, diatur bahwa Penanggung Utang (misalnya Koperasi) wajib menyalurkan kredit kepada para anggotanya, maka nilai Piutang Negara/Daerah yang dapat dihapuskan secara mutlak adalah per anggota Penanggung Utang.

Penghapusan Secara Mutlak, sepanjang menyangkut Piutang Negara, ditetapkan

oleh: 1. Menteri Keuangan untuk jumlah sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh

miliar rupiah); 2. Presiden untuk jumlah lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)

sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); dan 3. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk jumlah lebih dari

Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 93

Piutang Negara dalam satuan mata uang asing tidak perlu dikonversi menjadi satuan mata uang Rupiah. Namun demikian, nilai piutang yang dapat dihapuskan secara mutlak adalah nilai yang setara dengan nilai sebagaimana dimaksud di atas dengan kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku pada 3 (tiga) hari sebelum tanggal surat pengajuan usul penghapusan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga.

Penghapusan Secara Mutlak, sepanjang menyangkut Piutang Daerah, ditetapkan oleh: 1. Gubernur/Bupati/Walikota untuk jumlah sampai dengan Rp5.000.000.000,00

(lima miliar rupiah); dan 2. Gubernur/Bupati/Walikota dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

untuk jumlah lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Piutang Daerah dalam satuan mata uang asing tidak perlu dikonversi menjadi satuan mata uang rupiah. Namun demikian, nilai piutang yang dapat dihapuskan secara mutlak adalah nilai yang setara dengan nilai sebagaimana dimaksud di atas dengan kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku pada 3 (tiga) hari sebelum tanggal surat pengajuan usul penghapusan oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah. Pengajuan Usul

Piutang Negara yang akan dihapuskan secara mutlak untuk jumlah sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), diusulkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga yang berpiutang kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara/Direktur Jenderal Kekayaan Negara. Sedangkan piutang yang akan dihapuskan secara mutlak untuk jumlah lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), diusulkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga yang berpiutang kepada Presiden Republik Indonesia melalui Menteri Keuangan.

Piutang Daerah yang akan dihapuskan secara mutlak diusulkan Pejabat

Pengelola Keuangan Daerah yang berpiutang kepada Gubernur/Walikota/Bupati setelah mendapat pertimbangan dari Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang wilayah kerjanya meliputi wilayah kerja Gubernur/Walikota/Bupati yang bersangkutan. Persyaratan

Penghapusan Secara Mutlak atas Piutang Negara/Daerah dari pembukuan dilaksanakan dengan ketentuan: 1. Diajukan setelah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penetapan

Penghapusan Secara Bersyarat piutang dimaksud; dan 2. Penanggung Utang tetap tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan

sisa kewajibannya, yang dibuktikan dengan keterangan dari Aparat/Pejabat yang berwenang, yaitu: a. Pihak Kementerian Negara/Lembaga yang mengelola piutang kementerian

negara/lembaga yang bersangkutan; dan

94 Bab 2: Manajemen Piutang

b. Pihak badan/dinas/biro keuangan/bagian keuangan yang mengelola piutang Instansi Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

Piutang Negara Yang Bersumber Dari Penerusan Pinjaman Luar Negeri/Rekening Dana Investasi/Rekening Pembangunan Daerah

Piutang Negara yang bersumber dari penerusan Pinjaman Luar Negeri/Rekening Dana Investasi/Rekening Pembangunan Daerah, dapat dilakukan penghapusan secara bersyarat atau secara mutlak. Penghapusan secara bersyarat atas piutang ini, dilaksanakan setelah terbitnya Surat Menteri Keuangan mengenai persetujuan pemberian program optimalisasi penyelesaian Piutang Negara kepada Penanggung Utang. Sedangkan penghapusan secara mutlak, dilaksanakan dengan ketentuan: 1. Setelah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penetapan Penghapusan

Secara Bersyarat piutang dimaksud; dan 2. Setelah Penanggung Utang menyelesaikan program optimalisasi penyelesaian

Piutang Negara sebagaimana yang ditetapkan dalam Surat Menteri Keuangan mengenai persetujuan pemberian program optimalisasi penyelesaian Piutang Negara kepada Penanggung Utang.

Optimalisasi Penyelesaian Piutang Negara

Dalam hal Piutang Negara yang berasal dari penerusan Pinjaman Luar Negeri/Rekening Dana Investasi/Rekening Pembangunan Daerah akan dilakukan penghapusan, Menteri Keuangan terlebih dahulu melakukan upaya optimalisasi tingkat penyelesaian Piutang Negara dimaksud. Upaya optimalisasi Piutang Negara ini, dilakukan terhadap penanggung utang yang: 1. Kegiatan usahanya melaksanakan pelayanan umum di sektor yang berhubungan

dengan kebutuhan dasar masyarakat, misalnya: pelayanan di sektor air minum dan kebersihan/ persampahan;

2. Melaksanakan pelayanan yang mempunyai keterkaitan dengan kepentingan Daerah;

3. Mengalami kesulitan keuangan di dalam memenuhi kewajiban pinjaman sehingga mempengaruhi kelangsungan usahanya. Penetapan penanggung utang yang telah memenuhi syarat untuk diberikan

restrukturisasi utang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Selanjutnya, upaya optimalisasi tingkat penyelesaian Piutang Negara tersebut dilakukan dengan cara restrukturisasi utang, antara lain: 1. Penjadwalan kembali pembayaran utang pokok, bunga, denda, dan/atau ongkos-

ongkos lainnya; 2. Perubahan persyaratan utang; dan/atau 3. Penghapusan.

Dalam rangka upaya optimalisasi piutang, Penanggung Utang wajib menyampaikan permohonan penyelesaian utang kepada Menteri Keuangan melalui

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 95

Direktur Jenderal Perbendaharaan dengan dilampiri rencana usaha sebagai dasar dalam rangka optimalisasi tingkat penyelesaian Piutang Negara dan/atau Penghapusan Secara Bersyarat atau Penghapusan Secara Mutlak. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara optimalisasi penyelesaian Piutang Negara dan mengenai Penanggung Utang atas Piutang Negara yang bersumber dari penerusan Pinjaman Luar Negeri/Rekening Dana Investasi/Rekening Pembangunan Daerah selain Penanggung Utang yang telah ditetapkan di atas, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. Penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah

Penghapusan Secara Bersyarat dan Penghapusan Secara Mutlak atas piutang Perusahaan Negara/Daerah (termasuk dalam pengertian ini adalah badan usaha yang dimiliki negara/daerah dan berbentuk Perseroan atau Perusahaan Umum) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tata cara Penghapusan Secara Bersyarat dan Penghapusan Secara Mutlak atas piutang Perusahaan Negara/Daerah yang pengurusan piutangnya diserahkan kepada PUPN, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.

òô Rangkuman

Pada prinsipnya mengelola piutang harus sama dengan mengelola hutang. Bila dalam pengelolaan hutang, entitas mesti benar-benar menjaga tangal jatuh tempo

96 Bab 2: Manajemen Piutang

(due date) untuk mempertahankan predikat patuh bayar hutang, maka dalam pengelolaan piutang pun semestinya dilakukan hal yang sama. Entitas harus selalu memperhatikan saat-saat hak penagihan piutang jatuh tempo. Namun demikian, hal tersebut tetap diikuti dengan peningkatan pelayanan kepada para debitur (penanggung hutang) sebagaimana layaknya kita memperlakukan kreditur. Menagih piutang dengan cara yang sesuai dengan aturan, proporsional, tepat waktu, dan berorientasi pada meningkatnya kemampuan debitur adalah hal yang patut dikembangkan.

Ditinjau dari berbagai peraturan yang ada saat ini, pengertian piutang negara

memang mempunyai beberapa kontroversi seperti yang telah diuraikan di atas. Dalam bab II pasal 8 UU Nomor 49 Prp. Tahun 1960 berbunyi, ”Yang dimaksud dengan piutang negara atau hutang kepada negara oleh peraturan ini ialah jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian, atau sebab apapun.” Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang dimaksud dengan piutang negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah. Dan piutang daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Daerah dan/atau hak Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.

Ditinjau dari kegiatan yang mengakibatkan muncul piutang bagi negara, terdapat

dua jenis piutang yang menjadi bagian dalam piutang negara, yaitu (a) Piutang Negara Perbankan (PNP) dan (b) Piutang Negara Non Perbankan (PNNP). Piutang negara perbankan adalah piutang yang timbul dari pelaksanaan kegiatan perbankan yang dilakukan oleh bank-bank pemerintah maupun oleh bank-bank swasta yang mendapatkan dana tertentu dari pemerintah (bank sentral). Piutang jenis ini biasanya berupa kredit macet bank-bank pemerintah dan penunggakan pengembalian bantuan dana (kredit) likuiditas kepada bank sentral. Piutang negara nonperbankan adalah piutang yang menjadi beban negara untuk menagihnya yang berasal dari transaksi-transaksi yang dilakukan institusi pemerintah selain perbankan. Piutang jenis ini berasal dari operasionalisasi perusahaan negara (BUMN dan BUMD), kewajiban perpajakan, tuntutan ganti rugi pegawai negeri/pejabat negara, dan pelaksanaan kegiatan pemerintahan lainnya, seperti pelaksanaan kegiatan di bidang kesehatan, pertanian, kehutanan, pertambangan, proyek-proyek pembangunan, dan sebagainya.

Pengelolaan Piutang Negara/Daerah yang menganut prinsip-prinsip

pemerintahan yang baik, juga mengikuti sistem akuntansi sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku. Berdasarkan standar akuntansi tersebut, dalam pengelolaan piutang dimungkinkan adanya penghapusan piutang dari pembukuan dengan tidak menghapuskan hak tagih Negara (didefinisikan sebagai penghapusbukuan secara bersyarat). Piutang-piutang yang telah dihapuskan secara bersyarat dari pembukuan tersebut, tetap dikelola dan diupayakan penyelesaiannya. Dalam hal upaya-upaya penyelesaian tersebut tidak berhasil, dan kewajiban Penanggung Hutang tetap tidak

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 97

terselesaikan, serta diperoleh keterangan dari Pejabat yang berwenang bahwa Penanggung Hutang yang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan lagi untuk menyelesaikan hutangnya, dimungkinkan dilaksanakan penghapusan hak tagih Negara (didefinisikan sebagai penghapusbukuan secara mutlak).

Piutang Negara/Daerah dapat dihapuskan secara bersyarat atau mutlak dari

pembukuan Pemerintah Pusat/Daerah, kecuali mengenai Piutang Negara/Daerah yang cara penyelesaiannya diatur tersendiri dalam Undang-Undang, misalnya piutang pajak. Penghapusan Secara Bersyarat dilakukan dengan menghapuskan Piutang Negara/Daerah dari pembukuan Pemerintah Pusat/ Daerah tanpa menghapuskan hak tagih Negara/Daerah. Penghapusan Secara Mutlak dilakukan dengan menghapuskan hak tagih Negara/Daerah.

-o0o-

98 Bab 2: Manajemen Piutang

MANAJEMEN PERSEDIAAN

“Kegiatan penatausahaan barang persediaan dalam bentuk pembukuan atau akuntansi perlu dilakukan dalam rangka

pertanggungjawaban pemerintah kepada masyarakat selaku stakeholders negara dan juga Dewan Perwakilan Rakyat selaku

lembaga representasi rakyat “

Bab ini membahas manajemen persediaan dalam manajemen perbendaharaan di Indonesia. Setelah mempelajari bab ini Saudara diharapkan mampu untuk menjelaskan hal-hal yang terkait dengan: § Gambaran umum barang persediaan instansi pemerintah. § Kerangka umum pengelolaan barang persediaan. § Pengakuan, pengukuran, dan pengungkapan persediaan. § Pembukuan/akuntansi barang persediaan.

102 Bab 3: Manajemen Persediaan

Gambaran Umum Barang Persediaan Instansi Pemerintah Pengertian Persediaan

Menurut sifatnya, yang dimaksud dengan persediaan atau yang biasa dikenal dengan sebutan inventory ialah aset lancar berupa barang yang dimiliki oleh suatu entitas yang dibeli dengan tujuan untuk digunakan dalam operasional entitas yang bersangkutan atau untuk dijual kembali. Persediaan yang dimiliki pada perusahaan jasa, perusahaan dagang, dan perusahaan manufaktur umumnya berbeda-beda. Pada perusahaan jasa, persediaan yang ada lebih berupa perlengkapan kantor (supplies inventory) atau yang biasa dikenal dengan Alat Tulis Kantor/ATK karena perusahaan jenis ini tidak menjual produk dalam bentuk barang. Pada perusahaan dagang, jenis persediaannya biasa disebut dengan persediaan barang dagangan (merchandise inventory) karena perusahaan ini menyediakan barang-barang untuk dijual kepada konsumen. Sedangkan pada perusahaan industri atau manufaktur, jenis persediaannya dibagi menjadi tiga, yaitu (a) persediaan bahan mentah (raw material inventory), (b) persediaan barang setengah jadi (goods in process inventory), dan (c) persediaan barang jadi (finished goods inventory).

Pada instansi pemerintah jenis persediaan yang ada bergantung pada kegiatan utama yang dilakukan instansi yang bersangkutan. Namun umumnya, sebagian besar persediaan yang dimiliki instansi pemerintah adalah berupa persediaan Alat Tulis Kantor/ATK. Persediaan dalam bentuk barang dagangan hanya ada pada instansi pemerintah yang menjalankan fungsi penyediaan barang kepada masyarakat. Pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.06/2005 Tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat disebutkan bahwa yang dimaksud dengan persediaan adalah aset lancar dalam bentuk barang atau perlengkapan yang dimaksudkan untuk mendukung kegiatan operasional pemerintah, dan barang-barang yang dimaksudkan untuk dijual dan/atau diserahkan dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah (PSAP) Nomor 05 disebutkan bahwa persediaan mencakup barang atau perlengkapan yang dibeli dan disimpan untuk digunakan, misalnya barang habis pakai seperti alat tulis kantor, barang tak habis pakai seperti komponen peralatan dan pipa, dan barang bekas pakai seperti komponen bekas.

Persediaan mencakup barang atau perlengkapan yang dibeli dan disimpan untuk

digunakan, misalnya barang habis pakai seperti alat tulis kantor, barang tak habis pakai seperti komponen peralatan dan pipa, dan barang bekas pakai seperti komponen bekas. Persediaan dapat meliputi barang konsumsi, amunisi, bahan untuk pemeliharaan, suku cadang, persediaan untuk tujuan strategis/berjaga-jaga, pita cukai dan leges, bahan baku, barang dalam proses/setengah jadi, tanah/bangunan untuk dijual atau diserahkan kepada masyarakat, dan hewan dan tanaman untuk dijual atau diserahkan kepada masyarakat. Persediaan untuk tujuan

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 103

strategis/berjaga-jaga antara lain berupa cadangan energi (misalnya minyak) atau cadangan pangan (misalnya beras).

Secara umum persediaan pada instansi pemerintah adalah merupakan aset

berwujud yang meliputi: a. Barang atau perlengkapan (supplies) yang digunakan dalam rangka kegiatan

operasional pemerintah; b. Bahan atau perlengkapan (supplies) yang digunakan dalam proses produksi; c. Barang dalam proses produksi yang dimaksudkan untuk dijual atau diserahkan

kepada masyarakat; d. Barang yang disimpan untuk dijual atau diserahkan kepada masyarakat dalam

rangka kegiatan pemerintahan.

Persediaan juga mencakup barang atau perlengkapan yang dibeli dan disimpan untuk digunakan, misalnya barang habis pakai seperti alat tulis kantor, barang tak habis pakai seperti komponen peralatan dan pipa, dan barang bekas pakai seperti komponen bekas. Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor Per-40/PB/2006 Tentang Pedoman Akuntansi Persediaan, disebutkan bahwa persediaan dapat meliputi: a. Barang konsumsi; b. Amunisi; c. Bahan untuk pemeliharaan; d. Suku cadang; e. Persediaan untuk tujuan strategis/berjaga-jaga; f. Pita cukai dan leges; g. Bahan baku; h. Barang dalam proses/setengah jadi; i. Tanah/bangunan untuk dijual atau diserahkan kepada masyarakat; j. Hewan dan tanaman, untuk dijual atau diserahkan kepada masyarakat.

Persediaan untuk tujuan strategis seperti cadangan energi (misalnya minyak)

atau untuk tujuan berjaga-jaga seperti cadangan pangan (misalnya beras), barang-barang dimaksud diakui sebagai persediaan. Hewan dan tanaman untuk dijual atau diserahkan kepada masyarakat antara lain berupa sapi, kuda, ikan, benih padi, dan bibit tanaman. Persediaan dengan kondisi rusak atau usang tidak dilaporkan dalam neraca, tetapi diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan. Persediaan Merupakan Bagian dari Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah (BMN/BMD)

Pengertian barang milik negara (BMN) menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Sedangkan barang milik daerah (BMD) adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Barang milik negara/daerah yang berasal dari perolehan lainnya yang

104 Bab 3: Manajemen Persediaan

sah meliputi barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan/sejenisnya, diperoleh sebagai pelaksanaan perjanjian/kontrak, diperoleh berdasarkan ketentuan undangundang dan diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semua barang yang dibeli atau

diperoleh atas beban APBN/APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah merupakan barang milik negara/daerah, termasuk didalamnya adalah persediaan. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.06/2005 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat yang dimaksud dengan barang adalah bagian dari kekayaan negara yang merupakan satuan tertentu yang dapat dinilai/dihitung/diukur/ditimbang dan dinilai tidak termasuk uang dan surat berharga.

BMN/BMD memiliki jenis dan variasi yang sangat beragam, baik dalam hal tujuan

perolehannya maupun masa manfaat yang diharapkan. Oleh karena itu, dalam perlakuan akuntansinya ada BMN/BMD yang dikategorikan sebagai aset lancar dan ada pula yang digolongkan sebagai aset tetap. BMN/BMD dikategorikan sebagai aset lancar apabila diharapkan segera dipakai atau dimiliki untuk dijual dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal pelaporan. BMN/BMD yang memenuhi kriteria ini diperlakukan sebagai Persediaan. Sedangkan BMN/BMD dikategorikan sebagai aset tetap apabila mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan, tidak dimaksudkan untuk dijual dalam operasi normal Kuasa Pengguna Barang, dan diperoleh atau dibangun dengan maksud untuk digunakan. BMN yang memenuhi kriteria tersebut bisa meliputi Tanah; Peralatan dan Mesin; Gedung dan Bangunan; Jalan, Irigasi, dan Jaringan; Aset Tetap Lainnya; serta Konstruksi dalam Pengerjaan.

Pengelolaan barang milik negara/daerah, termasuk persediaan, dilaksanakan

dengan memperhatikan asas-asas sebagai berikut: a. Asas fungsional, yaitu pengambilan keputusan dan pemecahan masalah-

masalah di bidang pengelolaan barang milik Negara/daerah yang dilaksanakan oleh kuasa pengguna barang, pengguna barang, pengelola barang dan gubernur/bupati/ walikota sesuai fungsi, wewenang, dan tanggung jawab masingmasing;

b. Asas kepastian hukum, yaitu pengelolaan barang milik Negara/daerah harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan;

c. Asas transparansi, yaitu penyelenggaraan pengelolaan barang milik negara/daerah harus transparan terhadap hak masyarakat dalam memperoleh informasi yang benar.

d. Asas efisiensi, yaitu pengelolaan barang milik negara/daerah diarahkan agar barang milik negara/daerah digunakan sesuai batasan-batasan standar kebutuhan yang diperlukan dalam rangka menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintahan secara optimal;

e. Asas akuntabilitas, yaitu setiap kegiatan pengelolaan barang milik negara/daerah harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat;

f. Asas kepastian nilai, yaitu pengelolaan barang milik negara/daerah harus didukung oleh adanya ketepatan jumlah dan nilai barang dalam rangka optimalisasi pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 105

serta penyusunan Neraca Pemerintah. Pejabat Pengelola Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah (BMN/BMD)

Pada dasarnya barang milik negara/daerah, termasuk di dalamnya adalah persediaan, digunakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian Negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah. Sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 bahwa menteri/pimpinan lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah adalah pengguna barang bagi kementerian Negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya.

Dalam pengelolan barang milik negara, Menteri Keuangan adalah pengelola

barang, menteri/pimpinan lembaga adalah pengguna barang, dan kepala kantor satuan kerja adalah kuasa pengguna barang. Sedangkan dalam pengelolaan barang milik daerah, gubernur/bupati/walikota adalah pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah, sekretaris daerah adalah pengelola barang, dan kepala satuan kerja perangkat daerah adalah pengguna barang. Dasar pengaturan mengenai wewenang dan tanggung jawab pejabat pengelolaan barang milik Negara/daerah adalah sebagai berikut: 1. Menteri Keuangan selaku pengelola barang mempunyai fungsi pengaturan

(regelling) dan fungsi pengelolaan atas barang milik termasuk mengambil berbagai keputusan administratif (beschikking).

2. Menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna barang mempunyai fungsi selaku pengguna barang pada dasarnya menyangkut penggunaan barang milik negara yang ada dalam penguasaannya dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian Negara/lembaga. Dalam melaksanakan fungsi dimaksud, menteri/pimpinan lembaga berwenang menunjuk kuasa pengguna barang.

3. Gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintah daerah merupakan pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah yang teknis pengelolaannya dilaksanakan oleh: a. Sekretaris daerah sebagai pengelola barang atas dasar pertimbangan

bahwa kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku bendahara umum daerah berkedudukan di bawah sekretaris daerah;

b. Kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pengguna barang. Kerangka Umum Pengelolaan Barang Persediaan Belanja Barang

Sesungguhnya barang persediaan ialah semua barang yang diperolehnya dari belanja barang yang masih tersimpan dalam tempat-tempat penyimpanan berupa gudang dan barang tersebut belum digunakan untuk keperluan dinas maupun kepentingan umum. Ingat bahwa dalam klasifikasi anggaran menurut jenis belanja

106 Bab 3: Manajemen Persediaan

terdapat 8 kategori, yaitu belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, beban bunga, subsidi, bantuan sosial, hibanh, dan belanja lain-lain. Menurut kategori tersebut, yang dimaksud belanja barang adalah pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan.

Belanja barang adalah pengeluaran untuk pembelian barang dan jasa yang habis

pakai dalam kurun waktu satu tahun anggaran untuk memproduksi barang dan jasa termasuk pengadaan barang dan jasa, pemeliharaan, dan perjalanan dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Perhitungan dan penilaian belanja barang atas masing-masing Mata Anggaran Pengeluaran (MAK) dilakukan berdasarkan HSU (Harga Satuan Umum), sepanjang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sedangkan penilaian atas pekerjaan yang belum ditetapkan dalam HSU dilakukan atas dasar Term of Reference/Kerangka Acuan (TOR/KA) dan atau Rincian Anggaran Belanja (RAB) yang disusun oleh pejabat yang berwenang, dengan memperhatikan harga pasar yang berlaku dan jensi serta spesifikasi yang diperlukan. Perencanaan Barang Persediaan

Perencanaan kebutuhan barang milik negara/daerah harus mampu menghubungkan antara ketersediaan barang sebagai hasil dari pengadaan yang telah lalu dengan keadaan yang sedang berjalan sebagai dasar tindakan yang akan datang dalam rangka pencapaian efisiensi dan efektivitas pengelolaan barang milik negara/daerah. Hasil perencanaan kebutuhan tersebut merupakan salah satu dasar dalam penyusunan perencanaan anggaran pada kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah. Perencanaan anggaran yang mencerminkan kebutuhan riil barang milik Negara/daerah pada kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah selanjutnya menentukan pencapaian tujuan pengadaan barang yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintah.

Dengan diterapkannya anggaran berbasis kinerja (performance based-

budget) maka setiap instansi pemerintah diwajibkan untuk menentukan/merancang kebutuhannya sesuai dengan kinerja yang akan dicapai. Penerapan anggaran berbasis kinerja secara tepat akan memberikan makna pembelajaran di bidang perencanaan bagi seluruh aparat pemerintah yang terkait. Sesuai dengan konsep dalam manajemen, tanpa perencanaan yang baik maka hasil yang akan diperoleh pun tidak akan pernah sesuai dengan yang diharapkan.

Terkait dengan pelaksanaan belanja barang, pada tahun anggaran berjalan

setiap instansi pemerintah harus mampu memperkirakan kebutuhan barang persediaan yang akan digunakan dalam menunjang kegiatan operasional kantornya di tahun berikutnya. Bahkan, bila perlu, melakukan perencanaan kebutuhan untuk dua atau lima tahun ke depan. Melalui perencanaan seperti ini, diharapkan penggunaan barang persediaan pada setiap kantor satuan kerja pemerintah dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Lebih jauh lagi, kita

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 107

berharap hal tersebut akan dapat berdampak pada penghematan anggaran pemerintah. Tempat Penyimpanan

Ada beberapa jenis gudang sebagai tempat penyimpan barang yang dikenal, diantaranya adalah: a. Gudang Besar

Yakni suatu gudang untuk menyimpan barang-barang persediaan untuk pelayanan gudang-gudang lainnya. Pengelola gudang jenis ini disebut Bendahara Barang.

b. Gudang Transit Yakni suatu gudang untuk menyimpan barang-barang persediaan wilayah yang akan dikirim ke tempat lain/daerah yang pengirimannnya adalah dari gudang pusat. Pengelola gudang jenis ini disebut kepala gudang.

c. Gudang Pemakaian Yakni suatu gudang untuk menyimpan barang-barang persediaan yang ada dipakai dari gudang pusat yang dikelola oleh kepala gudang.

d. Gudang Khusus Yakni suatu gudang untuk menyimpan barang-barang persediaan yang sifatnya khusus. Barang-barang tersebut tidak dapat dicampur penyimpanannya dengan barang-barang lainnya. Pengelolaannya dapat dilakukan oleh Bendahara Barang atau Kepala Gudang. Barang-barang persediaan dimaksud yang berada sebuah departemen/lembaga

pada dasarnya merupakan barang dasar yang akan dipakai. Kecuali pada Departemen Hankam/Polri, barang persediaan yang ada umumnya berbeda dengan departemen lain baik dari sisi jumlah maupun jenis barang. Oleh karena itu, penyimpanan maupun pengelolaannya pun sangat berbeda. Klasifikasi dan Kode Barang Persediaan

Barang-barang persediaan telah ditetapkan klasifikasi dan kodenya yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 18/KMK.18/1999 tentang Kodefikasi Barang Milik Negara. Klasifikasi barang menurut keputusan menteri keuangan tersebut adalah: a. Barang pakai habis b. Barang tak pakai habis c. Barang bekas

Sedangkan kode barang persediaan dimulai dengan kode golongan, kode bidang, kode kelompok, kode subkelompok, dan kode Sub-sub kelompok barang yang terdiri dari 10 digit. Kode barang persediaan selalu menggunakan kode golongan barang satu digit yakni dengan kode 4 (empat) dan kemudian tersusun

108 Bab 3: Manajemen Persediaan

kode bidang 2 digit, kode kelompok 2 digit, kode sub kelompok 2 digit dan kode sub-sub kelompok 3 digit. Contoh:

Tabel kode barang persediaan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor Per-40/PB/2006 tentang Pedoman Akuntansi Persediaan dapat dilihat pada lampiran.

Stock Opname Barang Persediaan 1

Kegiatan untuk melakukan perhitungan, pencatatan, pendaftaran, dan penilaian

barang persediaan dalam gudang yang menjadi tanggung jawab Bendahara Barang/Kepala Gudang pada saat tertentu disebut Stock Opname atau inventarisasi fisik. Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa unsur-unsur stock opname adalah: a. Suatu kegiatan untuk melakukan penghitungan terhadap semua barang dalam

gudang. b. Penghitungan dilakukan “pada suatu saat tertentu” artinya penghitungan-

penghitungan dapat dilakukan setiap saat bila dipnadang perlu, atau yang pasti pada setiap akhir tahun untuk menentukan saldo akhir tahun.

c. Kegiatan pencatatan berarti semua barang yang dilakukan penghitungan tersebut, wajib dicatat pada suatu formulir yang telah baku.

d. Kegiatan pendaftaran barang di mana semua barang dari hasil penghitungan yang telah dicatat dalam formulir yang baku, wajib untuk diberi nomor sebagai nomor unit pendaftaran per jenis barang.

Kegiatan penilaian terhadap barang-barang persediaan adalah penilaian yang berarti menilai kembali terhadap harga barang-barang persediaan yang sudah tidak diketahui lagi nilai perolehannya. Untuk memperoleh nilai perolehan barang-barang tersebut dapat diperoleh dari: a. Daftar barang persediaan/dokumen lama yang sejenis dan harga barangnya ada

dan jelas. b. Dokumen hasil pengadaan/pembelian. c. Dealer atau toko tempat barang tersebut dibeli.

Bila ada suatu barang yang tidak diketahui lagi nilai perolehannya barang tersebut menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku wajib untuk dinilai kembali. Untuk mendapatkan data/informasi nilai perolehan memang banyak mengalami kesulitan, namun tetap bahwa barang milik/kekayaan negara yang tidak diketahui nilai perolehannya wajib untuk dinilai kembali.

1 Diolah dari Modul Penatausahaan Kekayaan Negara, Drs. RM Sadewo, Pusdiklat Angaran BPPK, Tahun 2002

4.01.01.01.001

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 109

Manfaat dilaksanakannya stock opname barang-barang persediaan antara lain adalah: a. Untuk mengetahui jumlah dan nilai awal barang persediaan dalam suatu

pembukuan barang pada suatu gudang tertentu. b. Mempermudah dalam pembukuan barang persediaan, terutama sekali dalam

menentukan saldo awal pada suatu waktu.

Dengan kegiatan stock opname berarti Bendahara Barang/Kepala Gudang telah dapat membuat dokumen awal untuk gudang yang dikelolanya, sehingga sangat mudah diperoleh sewaktu-waktu diperlukan. Stock opname terhadap barang yang disimpan dalam gudang sebagai barang persediaan yang diurus oleh Bendahara Barang/Kepala Gudang perlu dilaksanakan secara bertanggung jawab. Pelaksanaan dimaksud adalah untuk mengetahui jumlah dan nilai barang dalam gudang yang penghitungannya dapat dilaksanakan pada setiap saat diperlukan atau pada setiap akhir tahun termasuk gudang-gudang yang pengurusannya berada di bawah proyek-proyek departemen/lembaga yang menyimpan barang persediaan yang berasal/dibeli dari APBN atau dana di luar APBN yang diurus dan dikuasai oleh proyek-proyek dimaksud. Barang-barang proyek tersebut diatur dalam Keppres No. 16 Tahun 1994 Pasal 18 yang menyatakan bahwa semua proyek yang selesai sebagian atau seluruhnya Pimpinan Proyek wajib menyerahkan hasil proyek dan seluruh kekayaannya kepada atasan proyek yang bersangkutan. Bila kekayaan proyek dimaksud belum diserahkan kepada atasannya maka wajib untuk diadministrasikan atau ditatausahakan secara tertib dan teratur termasuk barang persediaan dimaksud.

Jumlah dan nilai barang persediaan yang dimiliki atau di bawah pengurusan dan

penguasaan departemen/lembaga cukup besar dan sangat material untuk dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu barang-barang dimaksud perlu ditatausahakan secara proporsional dan perlu dilakukan penghitungannya secara cermat.

Hasil stock opname tersebut dalam kaitannya dengan pembukuan barang persediaan adalah akan mencerminkan dalam pembukuan sebagai saldo awal pembukuan persediaan. Untuk keberhasilan lainnya stock opname maka perlu diperhatikan tahapan-tahapan atau langkah-langkah untuk mencapai keberhasilan yang sempurna.

Pengakuan, Pengukuran, dan Pengungkapan Persediaan Dalam rangka pelaksanaan sistem akuntansi barang milik negara/daerah telah diatur mengenai barang persediaan kaitannya dengan kriteria pembukuan untuk memenuhi sistem aplikasi akuntansinya. Barang-barang tersebut oleh pihak pengguna barang/kuasa pengguna barang harus yakin bahwa barang tersebut sudah diterima atau hak kepemilikannya, oleh karena itu dalam pelaksanaannya harus memenuhi 3 (tiga) kriteria yaitu:

110 Bab 3: Manajemen Persediaan

a. Pengakuan persediaan: adalah barang persediaan diakui pada saat diterima atau hak kepemilikannya dan/atau penguasaannya berpindah. Dan pada akhir periode akuntansi, persediaan dicatat berdasarkan hasil inventarisasi fisik.

b. Pengukuran persediaan: adalah untuk memperoleh kepastian nilai dari suatu barang persediaan yang mencakup biaya perolehan, biaya standar, biaya nilai wajar.

c. Pengungkapan persediaan: adalah keterangan/informasi terakhir mengenai barang persediaan tersebut yang akan digunakan berbagai kepentingan (Kebijakan akuntansi, Penjelasan, Kondisi dan Lainnya).

Pengakuan Persediaan

Persediaan diakui pada saat potensi manfaat ekonomi masa depan diperoleh pemerintah dan mempunyai nilai atau biaya yang dapat diukur dengan andal. Persediaan diakui pada saat diterima atau hak kepemilikannya dan/atau kepenguasaannya berpindah. Pada akhir periode akuntansi, persediaan dicatat berdasarkan hasil inventarisasi fisik. Persediaan bahan baku dan perlengkapan yang dimiliki proyek swakelola dan dibebankan ke suatu perkiraan aset untuk kontruksi dalam pengerjaan, tidak dimasukkan sebagai persediaan. Pengukuran Persediaan

Persediaan disajikan sebesar: a. Biaya perolehan apabila diperoleh dengan pembelian.

Biaya perolehan persediaan meliputi harga pembelian, biaya pengangkutan, biaya penanganan dan biaya lainnya yang secara langsung dapat dibebankan pada perolehan persediaan. Potongan harga, rabat, dan lainnya yang serupa mengurangi biaya perolehan. Nilai pembelian yang digunakan adalah biaya perolehan persediaan yang terakhir diperoleh. Barang persediaan yang memiliki nilai nominal yang dimaksudkan untuk dijual, seperti pita cukai, dinilai dengan biaya perolehan terakhir.

b. Biaya standar apabila diperoleh dengan memproduksi sendiri. Biaya standar persediaan meliputi biaya langsung yang terkait dengan persediaan yang diproduksi dan biaya overhead tetap dan variabel yang dialokasikan secara sistematis, yang terjadi dalam proses konversi bahan menjadi persediaan.

c. Nilai wajar, apabila diperoleh dengan cara lainnya seperti donasi/rampasan Harga/nilai wajar persediaan meliputi nilai tukar aset atau penyelesaian kewajiban antar pihak yang memahami dan berkeinginan melakukan transaksi wajar. Persediaan hewan dan tanaman yang dikembangbiakkan serta persediaan yang diperoleh dengan cara lainnya seperti donasi/rampasan dinilai dengan menggunakan nilai wajar.

Pengungkapan Persediaan

Persediaan disajikan di neraca sebesar nilai moneternya dan diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK), berupa:

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 111

a. Kebijakan akuntansi yang digunakan dalam pengukuran persediaan; b. Penjelasan lebih lanjut persediaan seperti barang atau perlengkapan yang

digunakan dalam pelayanan masyarakat, barang atau perlengkapan yang digunakan dalam proses produksi, barang yang disimpan untuk dijual atau diserahkan kepada masyarakat, dan barang yang masih dalam proses produksi yang dimaksudkan untuk dijual atau diserahkan kepada masyarakat;

c. Kondisi persediaan; d. Hal-hal lain yang perlu diungkapkan berkaitan dengan persediaan, misalnya

persediaan yang diperoleh melalui hibah atau rampasan.

Sedangkan untuk persediaan bahan baku dan perlengkapan yang dimiliki proyek swakelola dan dibebankan ke suatu perkiraan aset untuk kontruksi dalam pengerjaan, tidak dimasukkan sebagai persediaan.

Pembukuan/Akuntansi Barang Persediaan 2

Pengurusan barang persediaan secara baik yang dilakukan oleh Bendahara/Kepala Gudang ataupun oleh pejabat yang bertanggung jawab atas pengelolaan barang persediaan wajib dilakukan. Bila tidak maka hal tersebut akan dapat menimbulkan kemungkinan kerugian negara. Kegiatan penatausahaan barang persediaan dalam bentuk pembukuan atau akuntansi perlu dilakukan dalam rangka pertanggungjawaban pemerintah kepada masyarakat selaku stakeholders negara dan juga Dewan Perwakilan Rakyat selaku lembaga representasi rakyat.

Tujuan penatausahaan persediaan adalah:

a. Menyediakan informasi yang akurat dan tepat waktu tentang persediaan; b. Mengamankan transaksi persediaan melalui pencatatan, pemrosesan dan

pelaporan transaksi keuangan yang konsisten; c. Mendukung penyelenggaraan Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) yang

menghasilkan informasi persediaan sebagai dasar pertanggungjawaban dan pengambilan keputusan.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

menyatakan bahwa: a. Menteri Keuangan mengatur pengelolaan Barang Milik Negara. b. Menteri/Pimpinan Lembaga adalah Pengguna Barang bagi kementerian

negara/lembaga yang dipimpinnya. c. Kepala kantor dalam lingkungan kementerian negara/lembaga adalah Kuasa

Pengguna Barang dalam lingkungan kantor yang bersangkutan. d. Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang wajib mengelola dan

menatausahakan barang milik negara yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.

2 Diolah dari Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor Per-40/PB/2006 Tentang Pedoman Akuntansi Persediaan

112 Bab 3: Manajemen Persediaan

e. Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku Pengguna Anggaran menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang dan ekuitas dana, termasuk transaksi pendapatan dan belanja, yang berada dalam tanggung jawabnya.

Yang dimaksud dengan aset pemerintah adalah seluruh sumber daya ekonomi

yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan darimana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dengan satuan uang. Barang Milik Negara (BMN) merupakan bagian dari aset pemerintah yang berwujud (tangible) Untuk tujuan pelaporan, BMN dikelompokkan menjadi aset lancar (current asset) dan aset tetap (fixed asset). Aset lancar adalah aset yang diharapkan untuk segera direalisasikan, dipakai, atau dimiliki untuk dijual dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal pelaporan. Sedangkan aset tetap adalah aset yang memiliki masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan. Barang persediaan merupakan BMN yang masuk dalam kategori aset lancar.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa menurut Pernyataan Standar

Akuntansi Pemerintahan (PSAP) Nomor 05 persediaan mencakup barang atau perlengkapan yang dibeli dan disimpan untuk digunakan, misalnya barang habis pakai seperti alat tulis kantor, barang tak habis pakai seperti komponen peralatan dan pipa, dan barang bekas pakai seperti komponen bekas.

Untuk memberi petunjuk kepada organisasi yang terkait dalam pelaksanaan

pencatatan dan pelaporan persediaan agar organisasi tersebut memiliki persepsi yang sama sehingga tercapai keseragaman dalam penatausahaan persediaan, pemerintah telah menyusun pedoman penatausahaan persediaan yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor Per-40/PB/2006 tentang Pedoman Akuntansi Persediaan. Mekanisme Penatausahaan Persediaan

Penatausahaan persediaan dilaksanakan oleh Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Barang (UAKPB) sesuai dengan PMK nomor 59/PMK.06/2005 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat. UAKPB adalah satuan kerja/kuasa pengguna barang yang memiliki wewenang mengurus dan atau menggunakan BMN. Dalam menatausahakan persediaan, UAKPB juga harus mengacu kepada Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 18/KMK.018/1999 tentang Kodefikasi Barang Milik Negara.

Persediaan dicatat dalam Buku Persediaan (dalam bentuk kartu) untuk setiap

jenis barang. Berdasarkan saldo per jenis persediaan pada Buku Persediaan disusun Laporan Persediaan. Laporan Persediaan disusun menurut Subkelompok Barang dan dilaporkan setiap semester. Laporan Persediaan dibuat didasarkan pada saldo pada akhir periode pelaporan berdasarkan hasil opname fisik. Laporan Persediaan dari UAKPB dikirimkan ke UAPPB-W (Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Barang-Wilayah). Laporan Persediaan pada tingkat UAPPB-W sampai dengan UAPB (Unit Akuntansi Pengguna Barang) dibuat berdasarkan penggabungan Laporan

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 113

Persediaan organisasi BMN di bawahnya dan disajikan dalam Bidang Barang. Sebagai pengganti Buku Persediaan pada tingkat UAPPB-W/UAPPBE1 (Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Barang-Tingkat Eselon I)/UAPB adalah arsip Laporan Persediaan dari seluruh organisasi BMN di bawahnya. UAKPB membuat mapping data persediaan berdasarkan Laporan Persediaan dan harga pembelian terakhir yang diperoleh dari UAKPA. Penyajian perkiraan persediaan dalam Neraca didasarkan pada hasil proses mapping klasifikasi BMN sesuai Keputusan Menteri Keuangan nomor 18/KMK.018/1999 dengan perkiraan buku besar neraca. Mekanisme Penatausahaan Persediaan secara umum dapat dilihat dalam flow chart pada bagan 8 berikut ini:

Gambar 8. Mekanisme Penatausahaan

Persediaan

114 Bab 3: Manajemen Persediaan

Formulir dan Pelaporan

Dokumen yang digunakan dalam pelaksanaan pencatatan persediaan adalah sebagai berikut : a. Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D), Surat Perintah Membayar (SPM) dan

dokumen pendukung lainnya, seperti faktur, kuitansi, kontrak/SPK, Berita Acara Serah Terima, dan sebagainya.

b. Buku Persediaan. Sedangkan laporan yang dihasilkan berupa: a. Laporan Persediaan; b. Laporan Hasil Mapping.

Berikut ini adalah contoh petunjuk pengisian dan bentuk Buku Persediaan, Laporan Persediaan, dan Laporan Hasil Mapping. 1) Buku Persediaan

a) Buku Persediaan dibuat dalam bentuk kartu untuk setiap jenis (item) barang. Pada setiap buku persediaan dicantumkan kode dan uraian sub-sub kelompok barang untuk barang yang dapat diklasifikasikan sesuai SK Menkeu nomor 18/KMK.018/1999;

b) Buku persediaan diisi setiap ada mutasi barang persediaan, seperti pembelian, hibah dan mutasi penggunaan barang persediaan;

c) Setiap akhir tahun perlu diadakan inventarisasi persediaan untuk menentukan kuantitas dari setiap item persediaan dan selanjutnya buku persediaan disesuaikan berdasarkan hasil inventarisasi tersebut;

d) Buku Persediaan dikelola oleh petugas yang menangani persediaan. 2) Laporan Persediaan

a) Laporan Persediaan dibuat setiap akhir semester pada suatu periode akuntansi untuk melaporkan nilai persediaan pada akhir semester;

b) Laporan Persediaan dibuat oleh Petugas yang menangani persediaan dan diketahui oleh penanggung jawab UAKPB;

c) Laporan Persediaan harus memberikan informasi jumlah persediaan yang rusak atau usang. Persediaan yang telah usang adalah persediaan yang tidak dapat dimanfaatkan untuk kegiatan operasional bukan hanya karena usianya tapi juga karena sudah ketinggalan teknologi atau ketidaksesuaian spesifikasi.

3) Laporan Hasil Mapping a) Laporan Hasil Mapping dibuat setiap akhir semester pada suatu periode

akuntansi serta setelah membuat Laporan Persediaan. b) Laporan Hasil Mapping memberikan informasi jumlah nilai serta kuantitas

persediaan berdasarkan Laporan Persediaan yang disesuaikan menjadi nilai serta kuantitas persediaan berdasarkan Bagan Perkiraan Standar (PMK nomor 13/PMK.06/2005).

c) Laporan Persediaan dibuat oleh Petugas yang menangani persediaan dan diketahui oleh penanggung jawab UAKPB.

Bentuk format Buku Persediaan, Laporan Persediaan, dan Laporan Hasil Mapping serta petunjuk pengisiannya seperti terlihat bagan-bagan berikut ini.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 115

Gambar 9 Format Buku Persediaan

UAPB : ……..(1) Nomor Kartu : ……….(4) UAPPB-E1 : ……..(2) Halaman : ……….(5) UAPPB-W : ……..(3)

BUKU PERSEDIAAN

Kode Sub-Sub

Kelompok : ………..(8a)

UAKPB : ………(6) Jenis Barang : ………..(8b) Kode UAKPB : ……….(7) Satuan : ………..(9)

116 Bab 3: Manajemen Persediaan

Petunjuk Pengisian Buku Persediaan sebagai berikut:

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 117

Gambar 10 Format Laporan Persediaan

UAPB : ……(1) UAPPB-E1 : ……(2) UAPPB-W : …….(3)

LAPORAN PERSEDIAAN

Semester : ….(4) Tahun Anggaran: …….(5)

UAKPB : ……(6) Kode UAKPB : …….(7)

Keterangan: 1. Persediaan senilai Rp……….(13)…. dalam kondisi rusak. 2. Persediaan senilai Rp……….(14)…. dalam kondisi usang. ….(15)…, …………… Mengetahui, Petugas Pengelola Persediaan Penanggung Jawab UAKPB Kepala …….(16)… Nama : …….(16)… Nama : ……(17)… NIP : ……..(16)… NIP : …….(17)…

118 Bab 3: Manajemen Persediaan

Petunjuk Pengisian Laporan Persediaan:

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 119

Gambar 11 Format Hasil Mapping

UAPB : ……(1) UAPPB-E1 : ……(2) UAPPB-W : …….(3)

HASIL MAPPING Semester : ….(4)

Tahun Anggaran: …….(5)

UAKPB : ……(6) Kode UAKPB : …….(7)

….(15)…, …………… Mengetahui, Petugas Pengelola Persediaan Penanggung Jawab UAKPB Kepala …….(16)… Nama : …….(16)… Nama : ……(17)… NIP : ……..(16)… NIP : …….(17)…

120 Bab 3: Manajemen Persediaan

Petunjuk Pengisian Laporan Hasil Mapping:

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 121

Akuntansi Persediaan Siklus Akuntansi Persediaan (Flowchart)

Pada dasarnya akuntansi persediaan oleh UAKPB dapat dilakukan secara manual ataupun menggunakan aplikasi persediaan. Apabila akuntansi persediaan sudah dilakukan dengan menggunakan aplikasi persediaan maka jurnal penyesuaian persediaan akan terbentuk secara otomatis dari sistem aplikasi persediaan. UAKPB mengirimkan file data jurnal penyesuaian kepada UAKPA. Apabila akuntansi persediaan belum menggunakan aplikasi persediaan, maka jurnal penyesuaian persediaan dibuat dengan menggunakan formulir jurnal aset (FJA) oleh UAKPA. Selanjutnya UAKPA merekam data persediaan menggunakan aplikasi SAI tingkat Satuan Kerja.

Untuk UAKPA yang belum menggunakan aplikasi persediaan, pada setiap akhir

semester harus membuat jurnal aset untuk mencatat nilai persediaan berdasarkan Laporan Persediaaan dan Laporan Hasil Mapping yang diterima dari UAKPB. Nilai rupiah yang dicantumkan dalam jurnal adalah nilai rupiah persediaan hasil mapping. Jurnal tersebut direkam melalui Aplikasi SAK untuk menyusun Laporan Keuangan berupa Neraca. Hasil mapping disajikan dalam CaLK. Setiap semester neraca beserta CaLK dikirimkan kepada unit akuntansi keuangan level atasnya. Siklus Akuntansi Persediaan (flowchat) dapat dilihat pada bagan 12. Proses Akuntansi

Setelah UAKPB melakukan inventarisasi fisik, hal yang selanjutnya dilakukan adalah menyesuaikan kode barang persediaan berdasarkan KMK nomor 18/KMK.018/1999 tentang Kodefikasi Barang Milik Negara. Kode barang persediaan yang tercantum dalam KMK nomor 18//KMK.018/1999 dimulai dengan kode golongan, kode bidang, kode kelompok, kode sub kelompok, dan kode sub-sub kelompok. Kode barang persediaan dimulai dengan kode golongan 4 (empat), seperti yang tecantum dalam lampiran 1 buku ini.

Setelah kode barang persediaan disesuaikan dengan KMK nomor

18/KMK.018/1999, UAKPB melakukan mapping atas kode barang persediaan terhadap kode barang sesuai PMK nomor 13/PMK.06/2005 tentang Bagan Perkiraan Standar (BPS). UAKPB membuat mapping data persediaan berdasarkan harga pembelian yang diperoleh dari UAKPA. Hasil mapping tersebut digunakan sebagai dasar penyajian nilai perkiraan persediaan dalam neraca. Format mapping BPS tercantum pada bagan 13.

122 Bab 3: Manajemen Persediaan

Gambar 12 Siklus Akuntansi Persediaan

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 123

Gambar 13 Format Mapping Bagan Perkiraan Standar (BPS)

124 Bab 3: Manajemen Persediaan

Jurnal Persediaan

Jurnal (journal) adalah pencatatan transaksi pertama kali dimana satu transaksi akan mempengaruhi dua atau lebih perkiraan (account), satu sisi sebagai debit dan sisi lainnya sebagai kredit. Satuan kerja membuat jurnal persediaan agar dapat menyajikan nilai persediaan dalam neraca. Bentuk jurnal persediaan sebagai berikut :

Jenis-jenis persediaan dalam jurnal standar mengacu kepada klasifikasi persediaan sesuai dengan BPS. Nilai per jenis persediaan dihitung sebagai berikut :

NP = QP x HP

dimana: NP : Nilai per jenis persediaan pada tanggal Neraca QP : Kuantitas/jumlah persediaan pada tanggal pelaporan (dalam unit)

berdasarkan Laporan Persediaan HP : Harga pembelian terakhir persediaan (dalam rupiah per unit) berdasarkan

faktur pembelian

Jurnal persediaan selanjutnya dituangkan dalam formulir jurnal aset (FJA) sebagai dokumen sumber perekaman data. Bentuk format jurnal aset (FJA) dan petunjuknya dapat dilihat pada gambar 14.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 125

Gambar 14 Bentuk Formulir Jurnal Aset (FJA)

Petunjuk Pengisian:

126 Bab 3: Manajemen Persediaan

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 127

Pelaporan Persediaan

Setiap semester UAKPB membuat Laporan Persediaan beserta data transaksi serta menyerahkan laporan beserta data transaksi tersebut kepada unit vertikal di atasnya untuk dikompilasi. UAKPB juga menyerahkan laporan beserta data transaksi tersebut kepada UAKPA. Untuk selanjutnya berdasarkan laporan tersebut, UAKPA membuat jurnal penambahan/pengurangan nilai persediaan. Berdasarkan jurnal tersebut, akun persediaan disajikan neraca. Contoh penyajian akun persediaan dalam neraca :

Persediaan disajikan di neraca sebesar nilai moneternya dan diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK), berupa: a. Kebijakan akuntansi yang digunakan dalam pengukuran persediaan; b. Penjelasan lebih lanjut persediaan seperti barang atau perlengkapan yang

digunakan dalam pelayanan masyarakat, barang atau perlengkapan yang digunakan dalam proses produksi, barang yang disimpan untuk dijual atau diserahkan kepada masyarakat, dan barang yang masih dalam proses produksi yang dimaksudkan untuk dijual atau diserahkan kepada masyarakat;

c. Kondisi persediaan; d. Hal-hal lain yang perlu diungkapkan berkaitan dengan persediaan, misalnya

persediaan yang diperoleh melalui hibah atau rampasan.

Sedangkan untuk persediaan bahan baku dan perlengkapan yang dimiliki proyek swakelola dan dibebankan ke suatu perkiraan aset untuk kontruksi dalam pengerjaan, tidak dimasukkan sebagai persediaan.

128 Bab 3: Manajemen Persediaan

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.06/2005 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat, jenjang pelaporan persediaan sebagai berikut :

Jenjang pelaporan persediaan di Unit Akuntansi Keuangan adalah sebagai berikut: a. UAKPA mengirimkan Neraca/CaLK termasuk data persediaan kepada UAPPA-

W; b. UAPPA-W mengirimkan Neraca/CaLK termasuk data persediaan kepada

UAPPA-E1; c. UAPPA- E1 mengirimkan Neraca/CaLK termasuk data persediaan kepada

UAPA.

Sedangkan, jenjang pelaporan persediaan di Unit Akuntansi Barang adalah sebagai berikut: a. UAKPB mengirimkan Laporan Persediaan kepada UAPPB-W; b. UAPPB- W mengirimkan Laporan Persediaan kepada UAPPB-E1; c. UAPPB- E1 mengirimkan Laporan Persediaan kepada UAPB.

òô

Rangkuman

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 129

Pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.06/2005 Tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat disebutkan bahwa yang dimaksud dengan persediaan adalah aset lancar dalam bentuk barang atau perlengkapan yang dimaksudkan untuk mendukung kegiatan operasional pemerintah, dan barang-barang yang dimaksudkan untuk dijual dan/atau diserahkan dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah (PSAP) Nomor 05 disebutkan bahwa persediaan mencakup barang atau perlengkapan yang dibeli dan disimpan untuk digunakan, misalnya barang habis pakai seperti alat tulis kantor, barang tak habis pakai seperti komponen peralatan dan pipa, dan barang bekas pakai seperti komponen bekas. Persediaan untuk tujuan strategis seperti cadangan energi (misalnya minyak) atau untuk tujuan berjaga-jaga seperti cadangan pangan (misalnya beras) diakui sebagai persediaan. Demikian pula dengan hewan dan tanaman untuk dijual atau diserahkan kepada masyarakat antara lain berupa sapi, kuda, ikan, benih padi, dan bibit tanaman.

Pengelolaan barang milik negara/daerah, termasuk persediaan, dilaksanakan

dengan memperhatikan asas-asas sebagai berikut: asas fungsional, asas kepastian hukum, asas transparansi, asas efisiensi, asas akuntabilitas, dan asas kepastian nilai. Dalam pengelolan barang milik negara, Menteri Keuangan adalah pengelola barang, menteri/pimpinan lembaga adalah pengguna barang, dan kepala kantor satuan kerja adalah kuasa pengguna barang. Sedangkan dalam pengelolaan barang milik daerah, gubernur/bupati/walikota adalah pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah, sekretaris daerah adalah pengelola barang, dan kepala satuan kerja perangkat daerah adalah pengguna barang.

Perencanaan kebutuhan barang milik negara/daerah harus mampu

menghubungkan antara ketersediaan barang sebagai hasil dari pengadaan yang telah lalu dengan keadaan yang sedang berjalan sebagai dasar tindakan yang akan datang dalam rangka pencapaian efisiensi dan efektivitas pengelolaan barang milik negara/daerah. Hasil perencanaan kebutuhan tersebut merupakan salah satu dasar dalam penyusunan perencanaan anggaran pada kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah. Perencanaan anggaran yang mencerminkan kebutuhan riil barang milik Negara/daerah pada kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah selanjutnya menentukan pencapaian tujuan pengadaan barang yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintah.

Tujuan penatausahaan persediaan adalah untuk menyediakan informasi yang

akurat dan tepat waktu tentang persediaan, mengamankan transaksi persediaan melalui pencatatan, pemrosesan dan pelaporan transaksi keuangan yang konsisten, dan mendukung penyelenggaraan Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) yang menghasilkan informasi persediaan sebagai dasar pertanggungjawaban dan pengambilan keputusan.

Untuk memberi petunjuk kepada organisasi pemerintah yang terkait dalam

pelaksanaan pencatatan dan pelaporan persediaan agar organisasi tersebut memiliki

130 Bab 3: Manajemen Persediaan

persepsi yang sama sehingga tercapai keseragaman dalam penatausahaan persediaan, maka pemerintah menyusun pedoman penatausahaan persediaan yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor Per-40/PB/2006 tentang Pedoman Akuntansi Persediaan.

-o0o-

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 131

MANAJEMEN PEMBIAYAAN JANGKA PENDEK

“Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya sehari-hari, unit-unit pengelola utang negara harus bebas dari benturan kepentingan sekecil mungkin yang dapat merugikan negara dan bebas dari

pengaruh pihak lain yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan praktik pengelolaan utang yang sehat dan

hati-hati “

Bab ini membahas manajemen pembiayaan jangka pendek dalam manajemen perbendaharaan di Indonesia. Setelah mempelajari bab ini Saudara diharapkan mampu untuk menjelaskan hal-hal yang terkait dengan: § Prinsip pembiayaan jangka pendek. § Penggunaan kredit dari rekanan oleh Satuan Kerja: Praktik, Manfaat,

dan Kelemahan. § Penentuan kebutuhan pendanaan jangka pendek pemerintah

pusat/daerah. § Sumber pembiayaan pinjaman jangka pendek. § Pinjaman daerah jangka pendek.

134 Bab 4: Manajemen Pembiayaan Jangka Pendek

Untuk menyelenggarakan suatu pemerintahan diperlukan adanya penerimaan negara yang akan digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan pelayanan kepada masyarakat dan kegiatan pembangunan ekonomi, sosial, politik, budaya, dan sebagainya. Secara ideal, besarnya penerimaan negara harus lebih besar daripada pengeluaran, sehingga negara yang b ersangkutan masih memiliki tabungan (saving) yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat produktif atau untuk membiayai kegiatan-kegiatan di tahun yang akan datang. Apabila penerimaan negara lebih kecil dibandingkan dengan pengeluarannya (defisit anggaran), maka pemerintah harus mencari sumber-sumber dana baru untuk menutup defisit tersebut. Sebaliknya, apabila penerimaan negara lebih besar dibandingkan dengan pengeluarannya (suplus anggaran), maka pemerintah akan memiliki beberapa alternatif kegiatan yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan dana surplus tersebut.

Kegiatan yang dilakukan untuk menutup defisit anggaran atau kegiatan untuk

memanfaatkan surplus anggaran biasa disebut dengan kegiatan pembiayaan (financing). Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) Indonesia mendefinisikan pembiayaan sebagai setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya, yang dalam penganggaran pemerintah terutama dimaksudkan untuk menutup defisit atau memanfaatkan surplus anggaran. Surplus/defisit adalah selisih lebih/kurang antara pendapatan dan belanja selama satu periode pelaporan. Bambang Widjajarso, dkk. (2006) menyebutkan bahwa penerimaan pembiayaan berasal dari penggunaan sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA), pinjaman (baik pinjaman dalam negeri maupun luar negeri) dan divestasi aset. Sedangkan pengeluaran pembiayaan digunakan untuk pembayaran pokok pinjaman, pemberian pinjaman kepada entitas lain, dan penyertaan modal oleh pemerintah.

Sebuah studi analisis kebijakan fiskal dan struktur pembiayaan jangka menengah

di Indonesia yang dilakukan oleh Laboratorium Penelitian, Pengabdian pada Masyarakat, dan Pengkajian Ekonomi (LP3E) Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran Bandung bekerjasama dengan Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional (Bapekki) Departemen Keuangan RI yang ditulis oleh Almizan Ulfa dalam Bunga Rampai Penelitian Tahun 2004, memberikan rekomendasi untuk unsur pembiayaan sebagai berikut:

Dari segi pembiayaan, bila memang defisit fiskal masih tetap dijalankan, sangatlah perlu mengambil langkah-langkah kebijakan untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan-pembiayaan dalam negeri baik perbankan maupun non-perbankan. Dengan masih berjalannya usaha pemulihan dunia usaha perbankan di Indonesia pasca krisis moneter, fokus untuk langkah-langkah kebijakan pembiayaan non-perbankan menjadi lebih jelas. Penerbitan obligasi atau surat utang negara serta privatisasi BUMN melalui Initial Public Offering (IPO) dan mitra strategis (strategic sale) merupakan dua komponen pembiayaan yang layak diintensifkan. Selain itu, memungkinkan pula untuk memanfaatkan dana-dana idle lain seperti Rekening Dana Investasi (RDI)

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 135

dan Rekening Dana Transitori Minyak (RDTR) yang disimpan di Bank Indonesia.

Obligasi yang awalnya diterbitkan khususnya pada pihak pemerintah daerah

yang memiliki surplus dalam dana perimbangannya harus mulai lebih diarahkan pada sektor lain seperti pihak dunia usaha swasta dan bila memungkinkan pada pihak internasional (obligasi internasional). Dengan penerbitan obligasi internasional tersebut diharapkan adanya sinyal yang positif dan kepercayaan pasar dunia serta bisa menambah cadangan devisa dan mengurangi jumlah penerbitan obligasi dalam negeri. Bila penerbitan obligasi dalam negeri lebih dipilih sebagai opsi, harus dipertimbangkan untuk mem-breakdown alokasi komposisinya, apakah lebih baik obligasi jangka pendek (T-Bills) yang secara manfaat dapat digunakan untuk pembiayaan kegiatan produktif, walaupun harus diupayakan sistem pengelolaan yang lebih disiplin menimbang ancaman jadwal waktu pembayaran yang bisa terjadi. Bila obligasi jangka panjang (T-Bonds) yang dipilih, maka usaha-usaha untuk dapat memanfaatkan dana dalam kegiatan yang produktif ini harus lebih disiplinkan karena dikhawatirkan adanya penyimpangan penggunaan dana ini untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat konsumtif dan tidak produktif.

Sejak dibekukannya dana RDI untuk permohonan BUMN, Pemda, dan BUMD

oleh Departemen Keuangan pada tahun 2003, dana ini dapat dimanfaatkan untuk alternatif pembiayaan. Namun mengingat ancaman terhadap posisi keuangan yang mungkin terjadi, karenanya dana RDI ini hanya bisa dijadikan opsi sumber pembiayaan dengan status emergency only dan incidental jangka pendek.

Prinsip Pembiayaan Jangka Pendek

Pembiayaan jangka pendek adalah suatu kegiatan pembiayaan dengan cara memilih berbagai alternatif sumber/alokasi pembiayaan yang bersifat jangka pendek. Acuan tentang panjang atau pendeknya suatu periode biasanya mengacu pada pelaksanaan siklus anggaran, yaitu satu tahun atau 12 (dua belas) bulan. Oleh karena itu kegiatan pembiayaan yang berumur tidak lebih dari 12 bulan dimasukkan dalam klasifikasi jangka pendek. Sedangkan kegiatan pembiayaan yang berumur lebih dari 12 bulan diklasifikasikan sebagai jangka panjang.

Secara umum kegiatan pembiayaan jangka pendek, untuk menutup defisit, yang

dapat dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan pinjaman jangka pendek (short-term loan) dan menerbitkan surat utang jangka pendek (short-term debt). Sedangkan untuk memanfaatkan surplus, pemerintah dapat melakukan kegiatan investasi jangka pendek (short-term investment) atau memberikan pinjaman jangka pendek (short-term credit). Saat ini dan untuk beberapa tahun ke depan, mengingat jumlah hutang Indonesia mencapai lebih dari Rp1.300 trilyun dan rata-rata defisit anggaran mencapai Rp40-an trilyun, konsentrasi yang perlu dilakukan oleh pemerintah kita adalah bagaimana mencari sumber pembiayaan baru, baik berupa sumber pembiayaan jangka pendek, jangka menengah, ataupun jangka panjang yang berbiaya murah guna menutup defisit anggaran tersebut.

136 Bab 4: Manajemen Pembiayaan Jangka Pendek

Risiko (Risk)

Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan kegiatan

pembiayaan diantaranya adalah risiko (risk). Dalam teori manajemen keuangan selalu disebutkan bahwa setiap kegiatan pembiayaan (penerimaan maupun pengeluaran) selalu melekat risiko di dalamnya. Risiko merupakan suatu konsekuensi dari dipilihnya suatu alternatif. Risiko umumnya dapat menimbulkan dampak yang tidak baik. Namun demikian kita tidak dapat menghindari risiko yang telah melekat tersebut. Satu-satunya tindakan yang dapat diambil terkait dengan risiko adalah meminimalisasi dampak risiko tersebut dengan cara mengelolanya (me-manage) dengan baik. Inilah yang disebut dengan manajemen risiko (risk management).

Keown (2002) mengatakan bahwa karena kita hidup dalam dunia yang penuh

dengan ketidakpastian maka cara kita dalam memandang risiko dan mengintegrasikannya ke dalam keputusan merupakan hal terpenting dalam seluruh dimensi kehidupan kita. Menurutnya lagi bahwa risiko haruslah dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan finansial. Ia pun mengutip sebuah sajak Yunani kuno yang dibuat oleh Raja Solon (abad ke-6 sebelum masehi) sebagai bentuk penghargaan pada Dewa Zeus:

“There is risk in everything that one does, and no one knows where he will make his landfall when his enterprise is at its beginning. One man, trying to act effectively, fails to foresee something and falls into great and grim ruination, but to another man, one who is acting ineffectively, a God gives good fortune in everything and escape from his folly.” (Risiko ada di setiap perbuatan manusia. Tak seorangpun mengetahui dimana ia akan berakhir saat ia memulai suatu usaha. Seorang manusia berusaha bekerja secara efektif namun karena ia gagal melihat sesuatu lebih dini, ia kandas pada jurang kehancuran nan suram dan dalam. Seorang manusia lainnya bekerja secara tidak efektif namun karena ia senantiasa diberkati oleh Dewa, ia berhasil lolos dari kegagalan). Puisi di atas memanglah hanya sebuah ungkapan terima kasih Solon pada Zeus.

Namun bila kita cermati lebih jauh, ada makna nilai yang terkandung didalamnya yaitu bahwa sesungguhnya hidup memanglah penuh ketidakpastian. Manusia, pintar ataupun bodoh, tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Hanya Tuhan yang Maha Besar-lah yang tahu tentang apa saja yang telah, sedang, dan akan terjadi. Namun demikian manusia telah dibekali akal untuk memprediksi apa yang kemungkinan besar akan terjadi. Sehingga manusia mampu untuk mengenal dan mengelola risiko yang akan dihadapinya dalam kegiatan apapun.

Menurut Brigham (1993) risiko mengacu pada suatu perubahan yang berakibat

pada terjadinya sesuatu yang tidak menyenangkan. Bila kita melakukan terjun payung, misalnya, maka itu berarti kita sedang mempertaruhkan nyawa kita. Bila kita bertaruh pada pertandingan balap kuda, itu berarti kita sedang mempertaruhkan uang kita. Dan bila kita berspekulasi pada saham atau surat berharga lainnya, maka itu

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 137

berarti kita pun sedang mengambil risiko agar bisa memperoleh keuntungan yang diharapkan.

Berikut ini diberikan ilustrasi tentang risiko pada kegiatan finansial. Jika seorang

investor menanamkan uangnya dengan cara membeli obligasi pemerintah dengan tingkat bunga sebesar 10% dan pemerintah menjamin bahwa obligasi tersebut adalah aman, maka investor tersebut akan mendapatkan pengembalian (return on investment) berupa bunga sebesar 10% saat obligasi tersebut jatuh tempo. Investasi seperti ini bisa disebut sebagai investasi bebas risiko (risk-free). Namun jika investor tersebut menanamkan uangnya dengan cara membeli saham perusahaan yang bergerak di bidang penelitian kesehatan, maka sang investor tidak bisa mengharapkan secara pasti berapa besarnya pengembalian (return on investment) yang akan diterimanya. Sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi pada perusahaan tersebut, bisa saja seseorang memprediksikan bahwa tingkat pengembalian dari investasi saham tersebut adalah sebesar 20%. Namun bisa juga lebih atau kurang dari angka tersebut. Secara aktual, rentang tingkat pengembalian investasi tersebut, bisa saja, antara plus 1000% hingga minus 100%. Dengan kondisi seperti ini maka investasi yang kedua tadi bisa dikatakan sebagai investasi yang penuh risiko.

Risiko yang digambarkan di atas merupakan risiko pada salah satu kegiatan

pengeluaran pembiayaan yaitu penanaman modal. Risiko yang hampir sama juga terjadi pada kegiatan penerimaan pembiayaan. Misalnya saat kita memutuskan untuk melakukan pinjaman sebagai alternatif untuk menutup defisit yang terjadi. Pinjaman tersebut dapat kita peroleh dari berbagai sumber seperti lembaga keuangan perbankan atau lembaga keuangan non-bank. Namun yang pasti adalah bahwa saat kita melakukan pinjaman berarti ada kewajiban kita untuk membayar pinjaman tersebut termasuk bunga yang terkait di dalamnya. Risiko akan timbul manakala terjadi sesuatu di luar perkiraan kita yang berakibat pada ketidakmampuan membayar kewajiban-kewajiban tersebut. Bisa saja aset yang kita miliki akan berpindah tangan (disita), bunga yang terus membengkak, hingga dikejar-kejar penagih hutang (debt-collector). Hasil (Yield)

Yield adalah tingkat keuntungan atau imbal hasil sebenarnya yang diperoleh dari

suatu sekuritas. Yield biasanya diukur dalam satuan persentase. Ada dua macam yield yang dikenal dalam sekuritas yaitu current yield (simple yield) dan yield to maturity (YTM). Current yield diukur dengan cara membagi tingkat bunga sekuritas dengan harga beli sekuritas tersebut. Sedangkan yield to maturity ialah tingkat keuntungan yang menggambarkan keuntungan investasi pada sekuritas dengan tingkat ketepatan yang lebih tinggi daripada current yield. Yield to maturity sesungguhnya adalah tingkat diskon (discount rate) yang digunakan untuk menghitung nilai sekarang (present value) dari seluruh arus kas di masa datang sehingga sama dengan harga beli sekuritas tersebut. Yield to maturity inilah yang sering digunakan secara umum dalam istilah yield sehari-hari. Interpretasi lain dari yield ialah harga dari nilai uang.

138 Bab 4: Manajemen Pembiayaan Jangka Pendek

Contoh penghitungan current yield: Sebuah sekuritas memiliki tingkat bunga kupon 10% dan dijual pada harga 96

(artinya 96% dari nominal), maka current yield adalah sebesar:

Tk bunga kuponHarga

10%96%

= 10.417%

=

=

Current Yield

Dengan demikian, tingkat keuntungan investor sebenarnya adalah sebesar 10,417% bukan 10% (tingkat bunga kuponnya). Contoh penghitungan yield to maturity:

Suatu sekuritas memberikan bunga setiap tahun sekali sebesar 5% dari nilai nominalnya. Sekuritas tersebut bernilai nominal Rp1.000,00 dan jatuh tempo lima tahun mendatang. Bila ada seorang investor menghendaki nilai YTM sebesar 6%, maka harga sekuritas tersebut seharusnya adalah: Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 •------------- •--------------- •-------------- •--------------- •-------------- • P = Rp…?

+Rp50 +Rp50 +Rp50 +Rp50 +Rp50

Jika YTM =6%, maka harga sekuritas (Price) adalah:

5% x 1,000 5% x 5% x 5% x 5% x 5% x2 3 4 5 6

P =

P =(1+6%)

+1,000

(1+6%)+

1,000 (1+6%)

1,000 (1+6%)

957,87

+1,000

(1+6%)+

1,000 +

(1+6%)

Dengan demikian, jika YTM yang diharapkan adalah sebesar 6%, maka harga

sekuritas tersebut haruslah sebesar Rp957,87. Tingkat keuntungan/yield (YTM) berbanding terbalik dengan harga sekuritas. Jika yield naik (dengan ketentuan faktor lain tidak berubah), maka harga akan turun, sebaliknya jika yield turun (dengan ketentuan faktor lain tidak berubah), maka harga akan naik.

Prinsip-Prinsip Operasional Pengelolaan Investasi Jangka Pendek

Pada saat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memiliki kelebihan dana uang tunai dalam suatu waktu, maka guna meningkatkan nilai dana tunai tersebut

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 139

pemerintah dapat melakukan kegiatan investasi yang bersifat jangka pendek. Kegiatan ini dilakukan untuk memberdayakan dana uang yang menganggur (idle cash) sehingga dari pemberdayaan tersebut dapat diperoleh tambahan dana yang dapat digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan.

Dalam memanfaatkan dana menganggur guna memperoleh tambahan dana bagi

kegiatan pemerintahan, beberapa prinsip yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah pusat maupun daerah, yaitu antara lain: 1. Tepat Guna.

Sebelum melaksanakan kegiatan investasi jangka pendek dalam rangka memanfaatkan dana kas menganggur, pemerintah harus terlebih dahulu meyakini bahwa dana kas yang ada tersebut adalah benar-benar dana yang menganggur. Dana tersebut benar-benar tidak digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintah dalam waktu dekat. Penentuan dana tersebut sebagai dana menganggur atau bukan, sangat terkait dengan kemampuan pemerintah dalam melaksanakan manajemen kas secara baik. Pemanfaatan dana kas yang tidak menganggur (non idle cash) dalam kegiatan investasi jangka pendek akan berdampak pada terganggunya perputaran arus kas pemerintah itu sendiri.

2. Kehati-hatian. Pemerintah harus sangat berhati-hati dalam menentukan bentuk investasi jangka pendek yang dipilih dengan mempertimbangkan aspek risiko dan yield dari investasi tersebut. Aspek risiko berkaitan dengan seberapa aman uang yang menganggur tersebut digunakan untuk kegiatan investasi. Aspek yield berkaitan dengan berapa besar nilai tambahan uang yang dapat dihasilkan dari investasi tersebut. Diperlukan suatu unit khusus, bila dimungkinkan, yang bertanggung jawab dalam pengelolaan dana-dana yang dapat diinvestasikan. Kegagalan dalam kegiatan investasi dapat mempengaruhi roda pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah itu sendiri.

3. Memperhatikan Aspek Sosial-Ekonomi. Pemanfaatan dana berlebih yang dimiliki pemerintah harus pula mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi. Sebelum keputusan investasi diambil perlu dikaji terlebih dahulu apakah pemanfaatan dana menganggur harus dilakukan dalam bentuk investasi ataukah dalam bentuk kegiatan lainnya, seperti pemberian pinjaman kepada usaha kecil dan menengah. Meskipun sesungguhnya pemerintah telah membuat program kerja yang terangkum dalam anggaran pendapatan dan belanja pemerintah, tidak berarti bahwa ketika pemerintah memiliki kelebihan dana maka seketika itu pula timbul ide untuk menginvestasikannya dalam bentuk sekuritas atau bentuk investasi lainnya, misalnya pasar uang. Aspek sosial perlu pula dipertimbangkan dengan tidak mengabaikan aspek ekonomi.

Prinsip-Prinsip Operasional Pengelolaan Utang Negara

Pada saat kegiatan pembiayaan (financing) yang harus dilakukan pemerintah adalah berupa kegiatan pencarian dana tambahan berupa pinjaman/utang negara maka kegiatan pengelolaan utang negara sehari-hari dilaksanakan dengan menerapkan prinsip-prinsip operasional manajemen dalam rangka mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Semua prinsip-prinsip operasional diarahkan untuk mencapai

140 Bab 4: Manajemen Pembiayaan Jangka Pendek

3 (tiga) sasaran antara yang menjadi landasan dalam pencapaian sasaran akhir pengelolaan utang negara, yaitu: 1. Proteksi terhadap Posisi Keuangan Pemerintah

Untuk melindungi dan menjaga posisi keuangan Pemerintah, kegiatan operasional pengelolaan utang negara mengacu kepada prinsip-prinsip sebagai berikut: a. Prinsip Efektivitas Biaya.

Prinsip ini menekankan upaya untuk memperoleh sumber dana dengan biaya yang rendah dan risiko yang dapat diterima.

b. Prinsip Kehati-hatian. Prinsip ini menganjurkan agar proses pengambilan keputusan dilakukan dengan mengutamakan kehati-hatian, dengan menghindari keputusan yang bersifat spekulatif.

c. Diversifikasi. Dalam proses mendapatkan utang negara baru perlu dipertimbangkan berbagai alternatif sumber dana, mata uang, tingkat bunga, dan jangka waktu yang berbeda-beda, dalam rangka memperoleh biaya utang negara yang rendah. Diversifikasi juga digunakan untuk memperluas basis investor surat utang negara dan kreditor sehingga Pemerintah tidak bergantung pada satu golongan investor atau kreditor yang dapat melemahkan posisi tawar pemerintah.

d. Transparansi dan Akuntabel. Pengadaan utang digunakan secara optimal dan efisien, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan serta diperoleh dari hubungan yang saling menguntungkan.

e. Bebas ikatan. Penerimaan hibah luar negeri tidak boleh didasari oleh ikatan politik maupun ikatan lainnya yang dapat merugikan negara.

f. Menjamin kesinambungan fiskal. Pengadaan utang harus dikaitkan dengan kemampuan membayar kembali, bersifat sementara dan hanya dapat diterima sepanjang tidak ada ikatan politik, serta dengan persyaratan yang tidak memberatkan negara.

g. Mekanisme APBN. Pengadaan utang dikelola dalam mekanisme APBN yang dalam pelaksanaannya dituangkan dalam bentuk program dan proyek.

h. Menunjang pertumbuhan ekonomi. Kegiatan yang dibiayai dari pinjaman dan hibah luar negeri harus memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan masyarakat.

2. Pengembangan Pasar

Upaya mengembangkan pasar utang dalam rangka mendapatkan dan memelihara sumber pembiayaan yang murah bagi Pemerintah dijalankan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut: a. Tidak diskriminatif

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 141

Maksudnya adalah menjaga sikap dan perilaku yang tidak membeda-bedakan atau diskriminatif terhadap semua pihak yang terlibat dalam kegiatan operasional pengelolaan utang negara dengan mengacu pada standar yang telah ditetapkan.

b. Dapat diprediksi Prinsip ini menekankan pentingnya aspek transparansi, likuiditas dan keteraturan dalam pelaksanaan program utang agar semua pihak yang terlibat baik kreditor, investor dan pihak lain dapat menyesuaikan rencana bisnis masing-masing dengan rencana kebutuhan dana yang disusun oleh Pemerintah.

c. Komunikasi yang baik dengan Investor dan Pemberi Pinjaman Dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan utang negara perlu dipertimbangkan pula masukan dari pelaku pasar agar kebijakan yang dihasilkan telah mencerminkan adanya partisipasi dari berbagai pihak yang terkait dan telah didasarkan pada informasi yang komprehensif. Komunikasi yang baik dengan pihak investor dan kreditor akan mempermudah penyelesaian masalah-masalah yang berkaitan dengan pengelolaan utang negara.

3. Penguatan Kinerja Kelembagaan Pengelolaan Utang Negara

Efisiensi dan efektivitas kinerja unit-unit pengelola utang negara ditingkatkan dengan menjalankan prinsip-prinsip sebagai berikut: a. Kemandirian

Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya sehari-hari, unit-unit pengelola utang negara harus bebas dari benturan kepentingan sekecil mungkin yang dapat merugikan negara dan bebas dari pengaruh pihak lain yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan praktik pengelolaan utang yang sehat dan hati-hati.

b. Kinerja yang Terukur Dalam rangka evaluasi kinerja untuk mengukur pencapaian tingkat efektivitas dan efisiensi pelaksanaan tugas dan fungsi pengelolaan utang negara, perlu ditetapkan parameter dan indikator kinerja yang terukur.

c. Akuntabilitas Setiap kegiatan pengelolaan utang negara harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan prosedur operasi standar yang berlaku.

d. Profesionalitas Pengelolaan utang negara dilaksanakan dengan mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik, praktik yang terbaik dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

e. Pertanggungjawaban Semua kegiatan pengelolaan utang negara akan dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

142 Bab 4: Manajemen Pembiayaan Jangka Pendek

Penggunaan Kredit dari Rekanan oleh Satuan Kerja: Praktik, Manfaat, dan Kelemahan Praktik

Telah menjadi kelaziman pada saat suatu satuan kerja (satker) mengalami

kekurangan dana segar untuk membiayai kegiatannya, mereka menutup kebutuhan dana tadi melalui pinjaman dari pihak ketiga yang telah memiliki hubungan baik dengan satker yang bersangkutan, misalnya rekanan. Ketidakmampuan dalam pengelolaan kas secara baik umumnya berdampak pada tidak tersedianya dana segar saat kegiatan akan dilaksanakan. Perputaran kebutuhan uang tunai di tangan bendahara sebenarnya telah diatur melalui mekanisme pembayaran UP (uang persediaan) dan LS (pembayaran langsung). Pembayaran menggunakan mekanisme UP adalah pembayaran atas kegiatan yang bersifat rutin atau operasional sehari-hari perkantoran. Sedangkan pembayaran menggunakan mekanisme LS, lebih diperuntukan bagi pembayaran kepada pihak ketiga dan bernilai cukup besar. Pemerintah kadang membatasi pola pembayaran mana yang harus menggunakan mekanisme UP dan mana yang menggunakan mekanisme LS.

Dalam praktiknya, sebagian besar satker selalu mengeluh akan kekurangan uang

persediaan yang ada di tangan bendahara. Semestinya keluhan ini tidak terjadi manakala tercipta kedisiplinan dalam pelaksanaan anggaran di setiap kantor. Besaran uang persediaan memang bersifat relatif. Tiap tahun pemerintah menetapkan besaran uang persediaan bagi seluruh satker dengan mengacu pada besaran dana yang tersedia dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Tiap tahun pula pemerintah memerintahkan satker untuk melakukan manajemen dan pengendalian kas dengan membuat skedul kebutuhan tiap bulannya. Namun umumnya, skedul yang dibuat oleh satker adalah dengan membagi secara rata kebutuhan tersebut di sepanjang bulan dalam tahun anggaran bersangkutan (membagi dana DIPA dengan jumlah angka bulan, yaitu 12). Penetapan kebutuhan dengan membagi secara sama tiap bulan ini tentu saja bukan merupakan metode perencanaan kas yang baik. Penetapan semacam ini tidak memperhatikan aspek beban kegiatan yang tentu saja berbeda di setiap bulannya.

Persoalan timbul manakala pimpinan satker atau subunit dari satker tersebut

akan melaksanakan kegiatan organisasi sementara dana yang ada di tangan bendahara tidak mencukupi. Persoalan klasik lainnya yang sering terjadi adalah adanya kegiatan yang telah lama selesai dilaksanakan namun pembayaran atas penyelesaian pekerjaan tersebut tidak kunjung dilakukan. Dalam kondisi seperti ini, umumnya solusi yang ditempuh adalah mencari dana talangan agar tetap dapat melaksanakan dan membiayai kegiatan tersebut. Praktik seperti ini tentu saja tidak sehat bagi pelaksanaan kegiatan pemerintahan.

Pemberian kredit atau pinjaman dari rekanan kepada satuan kerja, meskipun

tidak menimbulkan cost of financing berupa bunga, namun dapat mengganggu pelaksanaan good and clean governance. Satker akan merasa memiliki hutang budi

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 143

kepada pihak rekanan yang telah ”berbaik hati” membantu kesulitas likuiditasnya. Dalam jangka panjang, kondisi ini lambat-laun akan mengikat satker pada rekanan-rekanan tertentu yang membantunya. Hal terparah yang bisa saja terjadi adalah ketidakmandirian satker akan tetap terus berlangsung tanpa ada keinginan untuk membebaskan diri dari belenggu tersebut. Kondisi ini berdampak pula pada keengganan satker untuk melakukan perencanaan dan pengelolaan kas dengan baik. Di sisi lain, pihak rekanan tentu saja gembira bila ia mampu membantu kesulitan likuiditas satker. Meskipun tidak ada biaya tambahan yang harus dibayar satker pada saat itu, tetapi mereka sesungguhnya telah menanamkan investasi kelangsungan kegiatannya pada diri satker. Dalam jangka panjang, proses pengadaan barang/jasa pemerintah yang tidak dilakukan dengan cara pelelangan (saat ini kontrak pengadaan barang/jasa yang benilai di bawah Rp100.000.000,-) akan hilang semangat transparansinya. Manfaat

Konsep simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) berlaku dalam praktik pemberian kredit atau pinjaman dari rekanan kepada satker. Pihak rekanan berupaya mempertahankan eksistensinya dalam kegiatan pengadaan barang/jasa di lingkungan satker. Sementara itu, pihak satker dengan senang hati menerima bantuan pinjaman tanpa bunga untuk menutup kebutuhan dana segar jangka pendeknya. Kegiatan semacam ini, sebagaimana sistem simbiosis mutualisme lainnya, tentu saja akan mampu bertahan lama sepanjang kedua belah pihak masih merasakan manfaat atas sistem tersebut.

Satker dapat merasakan bantuan luar biasa melalui pinjaman sementara tanpa

bunga yang diberikan pihak rekanan. Tanpa dana talangan mungkin saja suatu kegiatan yang telah direncanakan sebelumnya harus ditunda pelaksanaannya. Pembatalan kegiatan sebagai akibat tidak tersedianya dana pada saat kegiatan akan berlangsung memang hampir jarang terjadi di lingkungan pemerintahan. Hal ini disebabkan karena setiap satker telah memiliki pagu anggaran yang dapat digunakan untuk melaksanakan beberapa kegiatan sesuai dengan perencanaan di tahun sebelumnya. Setiap kegiatan yang telah tercantum dalam pagu anggaran hampir dipastikan tersedia dananya di Kas Umum Negara/Kas Umum Daerah. Hanya saja mekanisme pencairan dana tersebut sajalah yang selama ini dirasakan menjadi kendala di setiap satker. Hal ini tentu saja disadari oleh para rekanan ataupun potensial rekanan. Mereka memahami bahwa setiap kegiatan yang dilakukan instansi pemerintah (telah tercantum dalam DIPA) memiliki tingkat kepastian pembayaran yang cukup tinggi. Kondisi ini membuat para rekanan dan potensial rekanan untuk secara ”rela” memberikan bantuan pinjaman kepada satker manakala satker tersebut membutuhkannya.

Dari aspek efisiensi, pembiayaan kebutuhan dana jangka pendek yang

diperlukan satker melalui penerimaan pinjaman dari rekanan merupakan pembiayaan yang murah. Pembiayaan jenis ini tidak memiliki cost of financing secara nominal melainkan secara psikologis. Satker tidak perlu mengeluarkan beban tambahan sebagai akibat adanya pinjaman dari rekanan namun demikian satker memiliki beban psikologis untuk melibatkan rekanan tersebut dalam setiap kegiatan pengadaan

144 Bab 4: Manajemen Pembiayaan Jangka Pendek

barang/jasa di lingkungannya, paling tidak untuk pengadaaan berskala kecil namun sering. Sebagai akibatnya, dalam proses pengadaan barang/jasa tidak terjadi pelaksanaan pengadaan yang transparan dan bebas kolusi.

Kelemahan

Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan adanya pinjaman sementara dari pihak

rekanan kepada satker mendatangkan manfaat yang tidak sedikit namun pada kenyataannya hal tersebut justru membuka tabir kelemahan dalam pengelolaan keuangan negara, khususnya pengelolaan kas berupa uang persediaan. Pengeloaan kas oleh satker secara tidak tepat merupakan faktor penyebab utama terjadinya kekurangan dana segar pada suatu satker. Faktor lainnya adalah kondisi birokratisasi di negara kita yang masih dalam proses menuju yang terbaik dan masih banyaknya pejabat/pegawai yang terlibat dalam pengelolaan keuangan yang belum menyadari bahwa dalam pengelolaan keuangan negara diperlukan suatu hubungan keterkaitan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Tanggung jawab pengelolaan keuangan negara tidak semata-mata terletak pada para pengelola keuangan, seperti pejabat pembuat komitmen, pejabat penguji surat permintaan pembayaran, pejabat penerbit surat perintah membayar, bendahara pengeluaran, dan juga Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara atau Unit Pengelola Kas Daerah, melainkan merupakan tanggung jawab bersama. Siapa saja pihak yang menggunakan dana APBN/APBD untuk melaksanakan kegiatan yang menggunakan uang persediaan maka diharapkan memiliki tanggung jawab untuk segera mempertanggungjawabkan penggunaan uang persediaan tersebut. Bila semua pihak yang terkait dengan penggunaan dan pengelolaan uang persediaan menyadari fungsi dan tanggung jawabnya masing-masing maka semestinya tidak akan terjadi kekurangan dana segar pada kas satker.

Pemberian pinjaman sementara tanpa bunga oleh pihak rekanan kepada satker

memberikan peluang terciptanya pengelolaan keuangan negara yang tidak sehat. Di samping akan memunculkan ketidakmandirian satker dalam pengelolaan keuangan juga dapat menimbulkan keengganan untuk melakukan pengelolaan keuangan secara baik dan benar. Efek lain yang sangat mungkin muncul adalah adanya celah yang dimanfaatkan pihak ketiga/rekanan untuk menancapkan berbagai kepentingannnya pada satker yang bersangkutan. Secara makro, dampak negatif dari pemberian pinjaman oleh rekanan kepada satker menimbulkan high cost economic dalam pelaksanaan APBN/APBD karena kecilnya kemungkinan terjadi efisiensi dalam pengeluaran negara. Secara kasat mata, pinjaman tersebut tidak memberikan beban tambahan secara langsung karena memang rekanan tidak menetapkan adanya beban bunga atas pinjaman yang mereka berikan. Namun hal tersebut berdampak pada penetapan harga yang tidak ekonomis (meskipun sesuai standar harga maksimal) ketika terjadi pelaksanaan pengadaan barang/jasa oleh rekanan yang bersangkutan di kemudian hari.

Penentuan Kebutuhan Pendanaan Jangka Pendek Pemerintah Pusat/Daerah

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 145

Perencanaan Kebutuhan

Selayaknya setiap satker pada awal tahun anggaran membuat rencana

kebutuhan kas per bulan untuk satu tahun anggaran yang dihadapinya. Langkah ini dilakukan sebagai bagian dari proses perencanaan kegiatan satker secara keseluruhan. Proses perencanaan kegiatan satker itu sendiri sesungguhnya telah dilakukan sejak tahun anggaran sebelumnya dimana setiap satker mengajukan Rencana Kerja dengan memperhatikan capaian kinerja (performance) untuk tahun anggaran berikutnya. Bahkan pemerintah telah menetapkan agar seluruh satker juga melakukan forward estimate (prakiraan maju) untuk kegiatan dua tahun ke depan dan bahkan bila mungkin untuk lima tahun ke depan. Kegiatan perencanaan ini merupakan bagian dari reformasi keuangan negara dimana setiap satker dituntut untuk dapat membuat suatu perencanaan kegiatan yang matang. Setiap kementerian negara/lembaga diberikan peluang untuk mengajukan dana kegiatan sebesar-besarnya namun tidak lagi hanya berbasis pada biaya anggaran melainkan harus berbasis kinerja. Pola pengelolaan APBN/APBD dengan pendekatan ”menghabiskan anggaran” merupakan pola pengelolaan keuangan yang akan menjerumuskan suatu negara pada jurang kematiannya sendiri. Penetapan pola pengelolaan APBN/APBD yang berbasis pada kinerja yang hendak dicapai (performance budgeting) merupakan solusi bagi penciptaan kemajuan suatu negara.

Dengan ditetapkannya dokumen pelaksanaan anggaran (misalnya DIPA), maka

setiap satker akan dapat menentukan rencana pelaksanaan kegiatannya sesuai dengan rencana kegiatan yang telah disusunnya di tahun anggaran yang lalu. Penetapan rencana kegiatan berdampak pada besaran kebutuhan dana kas sebagai unsur penunjang kegiatan yang tidak bisa diabaikan. Pimpinan satker harus secara cermat menghitung kebutuhan dana yang diperlukan untuk melaksanakan setiap kegiatan di tiap-tiap bulan sepanjang tahun anggaran. Melalui prognosa kebutuhan kas ini akan diketahui besarnya uang tunai yang dibutuhkan satker di setiap bulannya. Bahkan, bila dimungkinkan, pembuatan prognosa tersebut dilakukan untuk tiap minggu. Semakin kecil/sempit rentang waktu pembuatan suatu prognosa (misalnya per minggu atau per hari) maka proses pengelolaan kas pada satker menjadi semakin terarah yang pada akhirnya ketidaktersediaan dana bukan lagi menjadi alasan bagi satker untuk melakukan pencarian sumber dana talangan ataupun pinjaman kepada pihak lain.

Pelaksanaan Kegiatan Prognosa atau prakiraan merupakan alat bantu bagi manajemen/pimpinan untuk

mengetahui kondisi yang dihadapi ke depan. Melalui pembuatan prognosa kebutuhan uang kas secara berkala akan memberikan informasi tentang besaran kebutuhan dana yang dibutuhkan dalam suatu periode. Pada suatu satker, hal ini akan sangat berguna dalam menentukan besarnya dana Tambahan Uang Persediaan (TUP) yang akan diajukan kepada KPPN atau Unit Pengelola Kas Daerah. TUP merupakan mekanisme pembayaran kegiatan suatu satker yang diperlukan bila kebutuhan dana pada suatu periode tertentu melebihi jumlah maksimal Uang Persediaan yang

146 Bab 4: Manajemen Pembiayaan Jangka Pendek

dikelola Bendahara. Sampai saat ini, ketentuan pertanggungjawaban TUP maksimal adalah satu bulan sejak Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D)-TUP diterima. Pembatasan waktu diperlukan bagi kelancaran pengelolaan keuangan negara secara keseluruhan. Bila dana TUP yang diterima setelah satu bulan tidak dapat dipertanggungjawabkan seluruhnya, maka satker berkewajiban menyetorkannya kembali ke rekening kas negara/kas daerah sisa dana TUP yang tidak terpakai.

Terjadinya kelebihan dana TUP dari yang seharusnya dibutuhkan sehingga harus

dikembalikan ke kas negara/kas daerah merupakan indikasi adanya ketidakcermatan dalam memprediksi kebutuhan uang tunai. Bila perencanaan kebutuhan dana pada suatu satker berjalan dengan baik, maka setiap pengajuan dana akan selalu disesuaikan dengan kebutuhan dana dan rencana kegiatan yang sudah ditetapkan. Namun demikian percepatan dalam pembuatan dokumen pertanggungjawaban oleh pihak-pihak terkait dalam satker juga memiliki pengaruh terhadap ketepatan waktu dalam pengajuan pertanggungjawaban dana ke pihak KPPN atau Unit Pengelola Kas Daerah. Untuk itulah, selain adanya perencanaan kebutuhan juga diperlukan adanya keharmonisan antarpihak yang terkait dalam pengelolaan keuangan pada suatu satker.

Penetapan para pejabat pengelola keuangan pada suatu satker menjadi faktor

berikutnya yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan keuangan, termasuk pengelolaan dana jangka pendek. Pegawai/Pejabat yang ditunjuk sebagai pengelola keuangan selayaknya merupakan personil yang memiliki kemampuan dan kompetensi yang baik dalam bidangnya. Konsep the right man on the right place berlaku dalam konteks ini. Bila para pejabat yang ditunjuk tidak memiliki performa yang memadai maka kekacauan dalam pengelolaan keuangan pada suatu satker merupakan hal yang lazim terjadi. Namun demikian, kemampuan dan kompetensi yang dimiliki pada pejabat pengelola keuangan harus diimbangi dengan kesadaran dalam menjunjung tinggi etika dan moral dalam setiap pelaksanaan kegiatannya.

Pemantauan (Monitoring) Perencanaan dan pelaksanaan kegiatan yang telah memadai dan kemudian

diikuti dengan pelaksanaan pengawasan atas setiap kegiatan perencanaan dan kegiatan pelaksanaan tersebut merupakan rangkaian kegiatan manajemen yang tidak dapat dipisahkan. Pengawasan berfungsi sebagai kontrol manajemen guna mengetahui sesuai atau tidaknya suatu pelaksanaan kegiatan dengan rencana yang telah ditetapkan. Baik saat perencanaan dilakukan maupun saat pelaksanaan kegiatan terjadi, pengawasan senantiasa mengiringi kedua aktvitas tersebut. Pelaksanaan fungsi pengawasan yang efektif akan memberikan peringatan dini (early warning) atas setiap aktivitas yang perlu mendapat perhatian lebih.

Pengawasan atas perencanaan kebutuhan jangka pendek akan memberikan

informasi tentang tepat atau tidaknya perencanaan tersebut dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait dengan perencanaan itu sendiri, seperti apakah semua kegiatan telah diperhitungkan, apakah lingkup kegiatan yang berubah berdampak pada pencapaian kegiatan, dan sebagainya. Sedangkan

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 147

pengawasan atas pelaksanaan kegiatan lebih bersifat pemantauan. Kegiatan ini meliputi: sudah sejauh mana kemajuan pelaksanaan kegiatan, apakah terjadi perubahan realisasi biaya, akankah seluruh dana kegiatan dapat dengan segera dibuatkan pertanggungjawabannya, dapatkah penyampaian dokumen pertanggungjawaban dilakukan secara tepat waktu, dan sebagainya.

Pengawasan harus dilakukan secara efektif dan efisien. Pengawasan yang efektif

adalah pengawasan yang dilakukan secara tepat guna. Pengawasan yang baik tidak mengganggu kontinuitas pelaksanaan kegiatan yang diawasi. Pengawasan yang efisien adalah pengawasan yang dilakukan secara tepat sasaran. Hindari kegiatan pengawasan yang dilakukan berulang-ulang dalam interval yang terlalu pendek. Bila hal tersebut dilakukan, pencapaian tujuan pengawasan menjadi terdistorsi dengan sendirinya.

Sumber Pembiayaan Pinjaman Jangka Pendek

Dalam dunia usaha, sumber pembiayaan pinjaman jangka pendek dapat berasal

dari lembaga keuangan perbankan dan dari lembaga keuangan nonperbankan. Untuk mendapatkan pinjaman jangka pendek yang nilainya relatif tidak besar, umumnya tidak dipersyaratkan adanya jaminan atau agunan. Sedangkan pada pinjaman yang bernilai relatif besar, umumnya lembaga jasa keuangan mensyaratkan adanya jaminan. Pada lingkungan pemerintahan, sumber pembiayaan penerimaan berasal dari penggunaan sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA), pinjaman (baik pinjaman dalam negeri maupun luar negeri) dan divestasi aset. Sebaliknya, sumber pembiayaan pengeluaran digunakan untuk pembayaran pokok pinjaman, pemberian pinjaman kepada entitas lain, dan penyertaan modal oleh pemerintah.

Sumber pembiayaan jangka pendek yang lazim dilakukan pemerintah adalah

penerbitan surat utang negara berjangka pendek (kurang dari 12 bulan) yang biasa disebut dengan surat perbendaharaan negara atau treasury bill atau T-bill. Penerbitan surat utang negara di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara. Sedangkan strategi penegelolaan utang negara untuk tahun 2004 – 2009 diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 447/KMK.06/2005. Uraian lebih jauh tentang surat utang negara dibahas pada bab 11.

Pinjaman Daerah Jangka Pendek

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menetapkan bahwa Pinjaman Daerah merupakan salah satu sumber Penerimaan Daerah dalam rangka pelaksanaan

148 Bab 4: Manajemen Pembiayaan Jangka Pendek

Desentralisasi, yang dicatat dan dikelola dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pinjaman Daerah merupakan alternatif sumber pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan/atau untuk menutup kekurangan kas yang digunakan untuk membiayai kegiatan yang merupakan inisiatif dan kewenangan Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan “kekurangan kas” adalah bentuk pembayaran kegiatan operasional yang dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Dana Pinjaman merupakan pelengkap dari sumber-sumber penerimaan Daerah

yang ada dan ditujukan untuk membiayai pengadaan prasarana Daerah atau harta tetap lain yang berkaitan dengan kegiatan yang bersifat meningkatkan penerimaan yang dapat digunakan untuk mengembalikan pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat. Selain itu, Daerah dimungkinkan pula melakukan pinjaman dengan tujuan lain, seperti mengatasi masalah jangka pendek yang berkaitan dengan arus kas Daerah.

Dalam pelaksanaannya, besaran Pinjaman Daerah perlu disesuaikan dengan

kemampuan Daerah karena dapat menimbulkan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun-tahun berikutnya, sehingga perlu didukung dengan ketrampilan perangkat Daerah dalam mengelola Pinjaman Daerah. Untuk meningkatkan kemampuan obyektif dan disiplin Pemerintah Daerah dalam melaksanakan pengembalian pinjaman, maka diperlukan kecermatan dan kehati-hatian dalam pengelolaan Pinjaman Daerah.

Pinjaman Daerah digunakan untuk membiayai kegiatan yang merupakan inisiatif

dan kewenangan Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pemerintah Daerah dilarang melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri dan dilarang pula memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain. Pendapatan Daerah dan/atau barang milik Daerah tidak boleh dijadikan jaminan Pinjaman Daerah. Namun demikian, khusus untuk proyek yang dibiayai dari Obligasi Daerah beserta barang milik Daerah yang melekat dalam proyek tersebut dapat dijadikan jaminan Obligasi Daerah.

Jenis Pinjaman Daerah terdiri atas:

1. Pinjaman Jangka Pendek; 2. Pinjaman Jangka Menengah; dan 3. Pinjaman Jangka Panjang.

Pinjaman Jangka Pendek merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu kurang atau sama dengan satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain (seperti biaya administrasi, komitmen, provisi, asuransi, dan denda) seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Jenis pinjaman ini hanya dipergunakan untuk menutup kekurangan arus kas pada tahun anggaran yang bersangkutan dan tidak diperkenankan dilakukan untuk membiayai defisit kas pada akhir tahun anggaran. Pinjaman jangka pendek tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan, misalnya pelunasan kewajiban atas

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 149

pengadaan/pembelian barang dan/atau jasa tidak dilakukan pada saat barang dan atau jasa dimaksud diterima.

Pinjaman Jangka Menengah merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu

lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa jabatan Kepala Daerah yang bersangkutan. Pinjaman ini dipergunakan untuk membiayai penyediaan layanan umum yang tidak menghasilkan penerimaan, yaitu suatu layanan kepada masyarakat yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah yang tidak menghasilkan pendapatan bagi APBD. Dalam hal Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang telah melakukan perjanjian pinjaman jangka menengah berhenti sebelum masa jabatannya berakhir, maka perjanjian pinjaman jangka menengah tersebut tetap berlaku.

Pinjaman Jangka Panjang merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu

lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi pada tahun-tahun anggaran berikutnya sesuai dengan persyaratan perjanjian pinjaman yang bersangkutan. Pinjaman ini dipergunakan untuk membiayai proyek investasi yang menghasilkan penerimaan yaitu suatu proyek prasarana dan atau sarana yang menghasilkan pendapatan bagi APBD yang diperoleh dari pungutan atas penggunaan prasarana dan atau sarana tersebut.

Pemerintah Daerah dapat melakukan Pinjaman Jangka Pendek yang bersumber

dari: 1. Pemerintah Daerah lain; 2. Lembaga keuangan bank yang berbadan hukum Indonesia dan mempunyai

tempat kedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia; dan/atau 3. Lembaga keuangan bukan bank yang berbadan hukum Indonesia dan

mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia.

Persyaratan yang harus dipenuhi dalam melakukan pinjaman jangka pendek adalah sebagai berikut: 1. Kegiatan yang akan dibiayai dari pinjaman jangka pendek telah dianggarkan

dalam APBD tahun bersangkutan. Hal ini dimaksudkan untuk membatasi penggunaan pinjaman jangka pendek hanya untuk menutup pembiayaan kegiatan yang telah dianggarkan dalam APBD yang mengalami kekurangan arus kas.

2. Kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang bersifat mendesak dan tidak dapat ditunda (seperti pembayaran gaji pegawai).

3. Persyaratan lainnya yang dipersyaratkan oleh calon pemberi pinjaman. Prosedur Pinjaman Jangka Pendek sebagai berikut:

1. Pemerintah Daerah mengajukan usulan pinjaman kepada calon pemberi pinjaman.

2. Calon pemberi pinjaman melakukan penilaian atas usulan pinjaman daerah. 3. Pinjaman daerah jangka pendek dilakukan dengan perjanjian pinjaman yang

ditandatangani oleh Kepala Daerah/pejabat yang diberi kuasa dan pemberi

150 Bab 4: Manajemen Pembiayaan Jangka Pendek

pinjaman, dengan memperhatikan persyaratan yang paling menguntungkan Pemerintah Daerah penerima pinjaman.

Dalam hal pembayaran kembali pinjaman jangka pendek menimbulkan biaya

antara lain bunga dan denda, maka biaya tersebut dibebankan pada belanja APBD. Kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Daerah yang jatuh tempo wajib dianggarkan dalam APBD dan direalisasikan/dibayarkan pada tahun anggaran yang bersangkutan. Pembayaran kembali Pinjaman Daerah dari Pemerintah, dilakukan dalam mata uang sesuai yang ditetapkan dalam Perjanjian Pinjaman antara Menteri Keuangan dan Kepala Daerah.

òô

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 151

Rangkuman

Apabila penerimaan negara lebih kecil dibandingkan dengan pengeluarannya (defisit anggaran), maka pemerintah harus mencari sumber-sumber dana baru untuk menutup defisit tersebut. Sebaliknya, apabila penerimaan negara lebih besar dibandingkan dengan pengeluarannya (suplus anggaran), maka pemerintah akan memiliki beberapa alternatif kegiatan yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan dana surplus tersebut. Kegiatan yang dilakukan untuk menutup defisit anggaran atau kegiatan untuk memanfaatkan surplus anggaran biasa disebut dengan kegiatan pembiayaan (financing).

Pembiayaan jangka pendek adalah suatu kegiatan pembiayaan dengan cara

memilih berbagai alternatif sumber/alokasi pembiayaan yang bersifat jangka pendek. Secara umum kegiatan pembiayaan jangka pendek, untuk menutup defisit, yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan pinjaman jangka pendek (short-term loan) dan menerbitkan surat utang jangka pendek (short-term debt). Sedangkan untuk memanfaatkan surplus, pemerintah dapat melakukan kegiatan investasi jangka pendek (short-term investment) atau memberikan pinjaman jangka pendek (short-term credit).

Dalam memanfaatkan dana menganggur guna memperoleh tambahan dana bagi

kegiatan pemerintahan, beberapa prinsip yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah pusat maupun daerah, yaitu antara lain: tepat guna, kehati-hatian, dan memperhatikan aspek sosial-ekonomi. Sedangkan pada saat kegiatan pembiayaan (financing) yang harus dilakukan pemerintah adalah berupa kegiatan pencarian dana tambahan berupa pinjaman/utang negara maka kegiatan pengelolaan utang negara sehari-hari dilaksanakan dengan menerapkan prinsip-prinsip operasional manajemen dalam rangka mencapai sasaran yang telah ditetapkan, yaitu: proteksi terhadap posisi keuangan pemerintah, pengembangan pasar, dan penguatan kinerja kelembagaan pengelolaan utang negara.

Pada lingkungan pemerintahan, sumber pembiayaan penerimaan berasal dari

penggunaan sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA), pinjaman (baik pinjaman dalam negeri maupun luar negeri) dan divestasi aset. Sebaliknya, sumber pembiayaan pengeluaran digunakan untuk pembayaran pokok pinjaman, pemberian pinjaman kepada entitas lain, dan penyertaan modal oleh pemerintah. Sumber pembiayaan penerimaan jangka pendek yang lazim dilakukan pemerintah adalah penerbitan surat utang negara berjangka pendek (kurang dari 12 bulan) yang biasa disebut dengan surat perbendaharaan negara atau treasury bill atau T-bill. Penerbitan surat utang negara di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Republik

152 Bab 4: Manajemen Pembiayaan Jangka Pendek

Indonesia Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara. Sedangkan strategi penegelolaan utang negara untuk tahun 2004 – 2009 diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 447/KMK.06/2005.

-o0o-

MANAJEMEN PROGRAM/ PROYEK JANGKA PANJANG

“Kepekaan manajer dalam memahami segala faktor yang mempengaruhi dalam menjalankan proyek akan mempengaruhi manajer dalam mencapai

tujuan proyek tersebut. “

Bab ini membahas manajemen program/proyek jangka panjang dalam manajemen perbendaharaan. Setelah mempelajari bab ini Saudara diharapkan mampu untuk menjelaskan hal-hal yang terkait dengan:

§ Konsep manajemen proyek § Pengorganisasian pekerjaan. § Teknik manajemen proyek: PERT dan CPM § Pengadaan barang dan jasa untuk program/proyek pemerintah § Evaluasi proyek

Bab 6 : Manajemen Program/Proyek Jangka Panjang

180

Bila suatu perencanaan atas kegiatan telah disepakati maka langkah berikutnya adalah pelaksanaan atas perencanaan tersebut. Banyak faktor yang perlu diperhatikan para manajer dalam melaksanakan suatu kegiatan, terutama bagi kegiatan yang bukan merupakan pekerjaan rutin baginya. Kepekaan manajer dalam memahami segala faktor yang mempengaruhi dalam menjalankan proyek akan mempengaruhi manajer dalam mencapai tujuan proyek tersebut.

Secara umum proses manajemen dapat dibagi menjadi 5 kegiatan, yakni perencanaan, pengorganisasian, pemotivasian, pengarahan, dan pengendalian. Perencanaan merupakan proses manajemen untuk menetapkan tujuan dan bagaimana hal tersebut dilakukan. pengorganisasian merupakan proses manajemen untuk mencari tatanan kerja yang sesuai dengan pelaksanaan kegiatan. Pemotivasian merupakan proses manajemen untuk menjaga agar orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut selalu memberikan kinerja yang maksimal. Pengarahan merupakan proses manajemen untuk menjaga agar kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan apa yang diperintahkan. Pengendalian merupakan proses manajemen untuk menjaga konsistensi atas perencanaan yang dibuat dengan realisasi kegiatan yang dilaksanakan.

Konsep Manajemen Proyek Manajemen Proyek

Manajemen proyek merupakan serangkaian kegiatan yang saling terikat untuk mencapai tujuan dari suatu proyek dengan bekerja dalam satu tim atau dengan beberapa pihak yang berkepentingan untuk mengelola jadwal proyek tersusun, biaya, dan kinerja teknis yang diinginkan. Secara konseptual, manajemen proyek adalah semua kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, mengambil keputusan, dan mengendalikan sumber daya organisasi perusahaan untuk mencapai tujuan tertentu dalam waktu tertentu dengan sumber daya tertentu. Dalam manajemen proyek teraplikasi pengetahuan, keahlian, dan teknik untuk aktivitas proyek guna memenuhi kebutuhan stakeholder dan harapan dari proyek itu sendiri. Manajemen proyek mempergunakan personil organisasi untuk ditempatkan pada tugas tertentu dalam proyek atau mengambil personil yang ahli dalam bidangnya.

Manajemen proyek pada dasarnya menggunakan proses yang sama dengan

manajemen secara umum, bahkan dapat dikatakan bahwa proses yang dilakukan dalam manajemen proyek merupakan adaptasi dari proses manajemen secara umum. Sebuah proses didefinisikan sebagai sebuah sistem operasi yang terdiri dari desain, pengembangan, dan produksi sesuatu, seperti proyek. Termasuk pula di dalam sebuah proses adalah sejumlah tindakan, perubahan, atau operasi untuk menyelesaikan sebuah hasil. Dengan kata lain, sebuah proses merupakan serangkaian kejadian atau kegiatan dimana sesuatu dihasilkan. Tahapan dalam Manajemen Proyek

Ada tiga tahap yang harus dilakukan dalam manajemen proyek yaitu:

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia

181

1. Perencanaan (Planning): mencakup penetapan sasaran, pendefinisian proyek, dan pengorganisasian tim.

2. Penjadwalan (Schedulling): menghubungkan antara tenaga kerja, uang, dan bahan yang digunakan dalam proyek.

3. Pengendalian (Controlling): merupakan pengawasan sumber daya, biaya, kualitas dan budget, jika perlu merevisi, mengubah rencana, menggeser atau mengelola ulang hingga menjadi tepat waktu dan tepat biaya.

Perencanaan Proyek

Menurut Anthony dan Govindarajan (2004), pada tahap perencanaan, tim

perencanaan proyek menggunakan perkiraan kasar yang menjadi dasar pengambilan keputusan pelaksanaan proyek sebagai titik awalnya. Mereka mengolah perkiraan ini menjadi spesifikasi terinci atas produk, jadwal rinci, dan anggaran biaya. Mereka juga mengembangkan sistem pengendalian manajemen dan sistem pengendalian tugas serta membuat bagan organisasi yang nantinya akan berisi nama-nama personil yang melaksanakan suatu kegiatan. Pada proyek yang sederhana sekalipun harus terdapat rencana dalam kegiatan perencanaan. Rencana ini berisi tentang uraian perencanaan setiap tugas, siapa yang bertanggung jawab untuk pekerjaan itu, kapan pekerjaan itu harus diselesaikan, serta hubungan antara tugas-tugas tersebut. Proses perencanaan itu sendiri merupakan sub proyek dalam keseluruhan proyek.

Untuk mengerjakan beberapa proyek sekaligus, seperti yang terjadi di beberapa

perusahaan besar, maka cara yang efektif untuk menugaskan tenaga kerja dan sumber daya secara fisik adalah melalui organisasi proyek. Maka organisasi akan bekerja secara baik apabila: 1. Pekerjaan dapat didefinisikan dengan sasaran dan target waktu khusus. 2. Pekerjaan unik atau tidak biasa dalam organisasi yang ada. 3. Pekerjaan terdiri dari tugas yang kompleks dan saling berhubungan serta

memerlukan keterampilan khusus. 4. Proyek bersifat sementara tetapi penting bagi organisasi 5. Proyek meliputi hampir semua lini organisasi.

Organisasi proyek dipimpin oleh seorang manajer proyek yang mengkoordinasikan kegiatan proyek dengan departemen lain maupun membuat laporan kepada manajemen puncak. Tanggung jawab manajer proyek adalah memastikan: 1. Seluruh kegiatan yang diperlukan diselesaikan dalam urutan yang tepat dan

waktu yang tepat. 2. Proyek selesai sesuai budget. 3. Proyek memenuhi sasaran kualitas. 4. Tenaga kerja yang ditugaskan dalam proyek mendapat motivasi arahan dan

informasi yang diperlukan dalam pekerjaan mereka.

Setelah tujuan proyek ditetapkan, maka dilakukan pemecahan proyek menjadi bagian-bagian yang dapat dikelola dengan baik yang disebut WBS (Work Breakdown Structure). WBS adalah daftar hierarki mengenai apa yang harus dilakukan dalam

Bab 6 : Manajemen Program/Proyek Jangka Panjang

182

sebuah proyek. Metode ini membangun kerangka logis mengenai apa saja yang harus dilakukan selama proyek berlangsung. WBS didapat dengan cara memecah (breakdown) suatu proyek menjadi beberapa sub level berdasarkan elemen utama proyek tersebut. Kemudian masing-masing sub level dipecah lagi menjadi bagian yang lebih kecil berdasarkan kegiatan pendukung utama masing-masing elemen. Begitu seterusnya hingga diperoleh kegiatan sederhana yang mudah direncanakan dan diestimasikan biaya, waktu, dan tenaga yang diperlukan untuk melaksanakannya.

Gambar 15

Contoh WBS

Membangun WBS yang baik akan membutuhkan waktu dan usaha yang

substansial tergantung pada ukuran dan derajat ketidakpastian suatu proyek. Biasanya porsi waktu yang diperlukan dalam mengembangkan WBS akan sangat mempengaruhi waktu yang diperlukan dalam membangun rencana proyek. Pentingnya WBS didasari kenyataan bahwa WBS adalah titik vokal dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek. Penjadwalan Proyek

Penjadwalan proyek meliputi urutan dan membagi waktu untuk seluruh kegiatan

proyek. Penjadwalan proyek membantu dalam bidang: 1. Menunjukkan hubungan tiap kegiatan lainnya dan terhadap keseluruhan proyek. 2. Mengidentifikasikan hubungan yang harus didahulukan di antara kegiatan. 3. Menunjukkan perkiraan biaya dan waktu yang realistis untuk tiap kegiatan. 4. Membantu penggunaan tenaga kerja, uang, dan sumber daya lainnya dengan

cara hal-hal kritis pada proyek.

Level 1

Level 2

Level 3

Level 4

Proyek

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia

183

Pendekatan yang dapat digunakan dalam penjadwalan proyek di antaranya

adalah Diagram Gantt yaitu suatu alat yang cukup populer dalam perencanaan dan penjadwalan proyek sederhana. Diagram ini dapat memungkinkan bagi manajer proyek untuk mengatur jadwal kegiatan proyek dan memonitor perkembangannya dari waktu ke waktu dengan cara membandingkan kemajuan yang direncanakan dengan kemajuan sebenarnya di lapangan.

Untuk menyiapkan Diagram Gantt, mananjer proyek harus menentukan terlebih

dahulu kegiatan utama yang dibutuhkan, kemudian menentukan estimasi waktu untuk masing-masing kegiatan tersebut beserta urutan kegiatan selanjutnya. Setelah selesai, Diagram Gantt akan menunjukkan kegiatan apa yang harus dimulai dalam suatu periode waktu, lama kegiatan tersebut, dan kapan berakhirnya. Kemudian, sesuai dengan kemajuan proyek, manajer proyek dapat memonitor kegiatan mana yang mendahului jadwal, mana yang sesuai jadwal, dan mana yang terlambat sehingga menunda penyelesaian proyek secara keseluruhan. Hal ini memungkinkan manajer proyek untuk langsung memusatkan perhatian pada apa yang paling diperlukan untuk mempercepat proyek dalam rangka menyelesaikan proyek secara tepat waktu.

Gambar 16 Diagram Gantt

Penempatan Fasilitas Baru

Wawancara Staff

Rekrut dan Latih Staff

Pilih dan Pesan Furnitur

Instal Telepon

Terima Furnitur dan Ditata

Pindah/ Mulai baru

Mulai 2 4 106 8 12 14 16 18 20

Minggu setelah mulai

Kegiatan

Selain menjadi alat visual, keuntungan lain menggunakan Diagram Gantt adalah

kesederhanaannya. Namun Diagram Gantt ini gagal untuk mengungkapkan hubungan tertentu antara suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya. Padahal, hal tersebut merupakan hal yang sangat krusial bagi manajemen proyek yang efektif. Lebih jauh lagi, jika salah satu kegiatan pendahulu dalam proyek mengalami penundaan, maka sangat penting bagi manajer proyek untuk dapat langsung menentukan kegiatan lanjutan mana yang pasti mengalami penundaan juga. Begitu juga sebaliknya, ada beberapa kegiatan yang dapat ditunda tanpa mempengaruhi waktu pelaksanaan proyek secara keseluruhan. Sayangnya Diagram Gantt tidak dapat mengungkapkan hal tersebut. Oleh karena itu, Diagram Gantt hanya dapat digunakan secara efektif untuk proyek sederhana dengan sedikit kegiatan. Cara

Bab 6 : Manajemen Program/Proyek Jangka Panjang

184

penjadwalan proyek yang lain untuk proyek yang lebih kompleks adalah PERT dan CPM, yang akan dibahas pada sub topik berikutnya. Pengendalian Proyek

Fungsi terakhir dalam manajemen proyek yang harus diperhatikan oleh tim proyek adalah pengendalian proyek. Pengendalian adalah proses monitoring, evaluasi, dan pembandingan antara hasil yang dicapai dengan apa yang direncanakan untuk menentukan tingkat pencapaian biaya proyek, jadwal, dan kinerja teknis serta tercapai tujuan organisasi secara keseluruhan. Pengendalian proyek melibatkan pengawasan ketat pada sumber daya, biaya, kualitas dan budget. Pengendalian juga berarti penggunaan loop umpan balik untuk merevisi rencana proyek dan pengaturan sumber daya yang diperlukan.

Pengendalian merupakan pencarian fakta dan tindakan perbaikan atas proses

yang dilaksanakan guna menjamin tercapai tujuan proyek. tujuan utama dari suatu pengendalian bukan semata-mata untuk mengetahui apa yang terjadi namun lebih untuk memprediksi apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang apabila kondisi sekarang berlanjut dan tidak ada perbaikan. Hal ini akan memungkinkan manajer untuk menjaga proyek tetap dalam koridor rencana yang telah ditentukan. Dasar yang dapat digunakan sebagai patokan dalam pengendalian proyek adalah pernyataan eksplisit atas tujuan, sasaran, dan strategi dari proyek yang ada.

Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan para manajer dalam melakukan

pengendalian atas proyek. langkah-langkah tersebut adalah (1) Penetapan Standar kinerja, (2) penelaahan kinerja proyek, (3) pembandingan antara rencana dan kinerja aktual, dan (4) tindakan perbaikan. Penetapan standar kinerja dilakukan untuk memperoleh ukuran atau patokan dalam menilai kinerja suatu proyek. standar dapat dinyatakan dalam satuan mata uang maupun tidak, misalnya jumlah peserta diklat yang dinyatakan lulus targetnya 90% maka angka 90% dapat dijadikan standar bagi lembaga tersebut. Penelaahan kinerja proyek merupakan proses pencarian fakta atas ukuran kinerja sesuai dengan standar yang telah disepakati. Tahap selanjutnya merupakan proses membandingkan antara fakta dan standar yang telah disepakati, sedangkan yang terakhir merupakan tindakan perbaikan atas kinerja yang ada saat ini. Pengorganisasian Pekerjaan

Pengorganisasian pekerjaan merupakan hal penting bagi sebuah pelaksanaan

proyek karena tujuan proyek harus dapat dicapai dalam waktu yang telah ditentukan. Kesalahan dalam mengorganisasikan proyek akan berakibat pada keberhasilan pencapaian tujuan proyek itu sendiri. Bila manajemen proyek memiliki skup area yang luas (mencakup perencanaan proyek hingga pengendaliannya), maka pengorganisasian pekerjaan memiliki skup yang lebih sempit dibandingkan

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia

185

manajemen proyek. Dengan kata lain, pengorganisasian pekerjaan pada hakekatnya merupakan bagian dari manajemen proyek.

Pengorganisasian pekerjaan terdiri dari penentuan bentuk organisasi yang akan digunakan dalam menyelesaikan proyek, penentuan orang-orang yang bertanggung jawab pada setiap level pekerjaan, pembuatan jadwal guna mengatur penggunaan sumber daya, dan pelaksanaan pekerjaan. Tatanan Organisasional untuk pelaksanaan proyek

Istilah organisasi proyek digunakan untuk menggambarkan sebuah tim dalam sebuah organisasi yang dikumpulkan menjadi satu guna mencapai suatu tujuan. Personil dapat ditarik dari beberapa unit teknis untuk melaksanakan pekerjaan tertentu sesuai dengan kebutuhan. Organisasi yang demikian biasanya bersifat sementara, dibangun untuk tujuan tertentu bukan atas dasar kesamaan fungsi, proses, atau produksi. Apabila tim semacam ini telah dibentuk di atas suatu struktur yang telah ada, maka sebuah organisasi matriks telah dibuat.

Tatanan organisasional dari suatu organisasi biasanya disusun berdasarkan

fungsi, produk, pelanggan, wilayah dan proses yang sama. Berikut ini adalah beberapa bentuk tatanan organisasi yang dibentuk untuk keperluan proyek. 1. Functional Organization

Proyek dibagi dan ditugaskan pada area fungsional yang relevan dalam koordinasi oleh manajemen fungsional atau manajemen diatasnya, misalnya tim medis untuk bencana alam.

2. Functional Matrix Proyek terdiri dari beberapa fungsi dimana kemudian ditugaskan seseorang untuk mengkoordinasikan proyek tersebut melintasi area fungsional yang berbeda.

3. Balanced Matrix Hal ini hampir sama dengan functinal matrix namun sesorang yang ditugaskan untuk mengkoordinasikan proyek juga berinteraksi dengan manajer fungsional masing-masing departemen dengan posisi yang sama, bukan sebagai atasan dan bawahan.

4. Project Matrix Dalam hal ini seseorang ditugaskan sebagai manajer atas proyek dan bertanggungjawab penuh dalam penyelesaian tujuan proyek tersebut.

5. Project Teams Dalam project teams seorang manajer ditugaskan secara penuh untuk memimpin sebuah group yang terdiri dari beberapa area fungsional yang ditunjuk dalam proyek tersebut secara total waktu.

Bab 6 : Manajemen Program/Proyek Jangka Panjang

186

Penjadwalan Pelaksanaan Proyek

Hasil utama dari sebuah perencanaan proyek adalah jadwal utama proyek, dilengkapai dengan jadwal pendukung, dimana gambaran waktu ditampilkan mewakili semua kegiatan yang terkait dengan proyek. jadwal proyek dibuat untuk memberikan batasan waktu dan membantu manajer dalam mengkoordinasikan dan memfasilitiasi segala upaya yang dilakukan selama masa proyek. Sebuah jadwal menjadi bagian dari pengendalian proyek, agar sebuah jadwal dapat berfungsi secara efektif, maka jadwal harus: 1. Harus mudah dimengerti oleh anggota tim 2. Mampu mengidentifikasi dan menunjukkan titik kritis dari sutau pekerjaan 3. Diperbaharui, dimodifikasi sesuai kebutuhan, dan fleksible dalam penerapannya 4. Terperinci dalam hal sebagai dasar pembuatan komitmen, monitoring, dan

evaluasi penggunaan sumber daya proyek 5. Berdasarkan waktu yang kredibel terkait dengan sumber daya yang tersedia 6. Sesuai dengan rencana lain dalam organisasi dalam hal penggunaan sumber

daya umum. Adapun beberapa langkah yang dibutuhkan dalam membuat suatu jadwal adalah

sebagai berikut: 1. Tentukan tujuan, sasaran dan strategi keseluruhan dari proyek. 2. Kembangkan jadwal rincian atas pelaksanaan proyek dalam paket-paket kerja. 3. Tentukan urutan waktu paket-paket kerja tersebut. 4. Estimasikan waktu dan biaya yang dibutuhkan atas paket-paket tersebut. 5. Review ulang jadwal utama dengan waktu yang tersedia. 6. Review ulang jadwal atas konsistensinya dengan biaya dan tujuan kinerja teknis. 7. Manajer senior menyetujui jadwal tersebut. Semua langkah-langkah tersebut di atas harus dilakukan secara berurutan untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Terdapat beberapa teknik penjadwalan yang dapat digunakan terkait dengan aspek waktu dari proyek. Teknik yang biasa digunakan adalah grafik gambar, begitu pula jaringan untuk PERT dan CPM dapat menunjukkan keterkaitan antara paket-paket kerja atau kegiatan. Teknik-teknik tersebut diuraikan sebagai berikut:

1. Project Planning Bar Chart.

Digunakan untuk perencanaan dan penjadwalan proyek yang sederhana. Bagan ini dibuat dalam skala yang dibagi dalam beberapa unit waktu di atas dari kiri ke kanan. Sedangkan paket kegiatan-kegiatannya diuraikan pada bagian kiri dari atas ke bawah. Garis dan gambar digunakan untuk menggambarkan jadwal dan status dari tiap paket kegiatan. Bagan garis dapat dengan mudah dibuat dan dimengerti, dan dengan menunjukkan permulaan dan berakhirnya jadwal tersebut bagan ini dapat menunjukkan posisi saat ini atas suatu proyek. Garis-garis yang digunakan dapat saja digantikan dengan bentuk lain seperti segitiga. Hal ini dimungkinkan untuk membedakan status dari suatu paket kegiatan. Di samping keuntungan tersebut, bagan garis mempunyai kelemahan yakni bagan ini tidak

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia

187

dapat menunjukkan keterkaitan antar paket-paket kegiatan dan pilihan waktu yang saling meniadakan antar paket tersebut.

2. Network Tehniques Digunakan untuk membantu proyek yang lebih besar dalam membuat perencanaan, pelacakan dan pengendalian proyek yang rumit secara efektif. Termasuk dalam katagori ini adalah PERT (program evaluation and review technique) dan CPM (critical path method). Network dianggarkan untuk menghasilkan gambar dinamis yang menunjukkan keterkaitan antara paket-paket kegiatan dalam proyek tersebut. selain itu PERT/CPM mampu membantu dalam menganalisis kebutuhan pekerjaan apabila terjadi penundanaan dalam pelaksanaan beberapa paket dalam proyek.

Teknik Manajemen Proyek: PERT dan CPM Pengertian

PERT (Program Evaluation Review Technique) dan CPM (Critical Path Method)

adalah dua teknik manajemen proyek yang paling banyak dipakai dalam perencanaan dan pengkoordinasian proyek. PERT adalah teknik manajemen proyek yang menggunakan tiga perkiraan waktu untuk tiap kegiatan. Sedangkan CPM adalah teknik menajemen proyek yang menggunakan hanya satu faktor waktu per kegiatan. Dengan menggunakan PERT atau CPM, manajer proyek dapat menghasilkan: § Tampilan grafis dari kegiatan proyek § Estimasi berapa lama proyek akan berjalan § Indikasi mengenai kegiatan mana yang paling kritis terhadap waktu penyelesaian

proyek § Indikasi mengenai berapa lama suatu kegiatan dapat ditunda tanpa menunda

waktu penyelesaian proyek secara keseluruhan

PERT dan CPM dikembangkan pada akhir tahun 1950-an. PERT dikembangkan atas kerja sama antara Lockheed Arcraft, US Navi Special Project Office, dan firma konsultan Booz, Allen & Hamilton dalam rangka usaha percepatan penyelesaian proyek misil Polaris. Proyek tersebut sangat besar dan melibatkan 3.000 kontraktor dan ribuan kegiatan. PERT cukup sukses dan diakui karena berhasil menghemat waktu dua tahun dari total waktu pelaksanaan proyek. Oleh karena itu, PERT dan beberapa teknik serupa sekarang dibutuhkan dalam semua proyek besar pemerintah.

CPM dikembangkan oleh J.E Kelly dari Remington Road Corporation dan M.R

Walker dari DuPont dalam merencanakan dan mengkoordinasikan proyek pemeliharaan pabrik kimia. Meskipun PERT dan CPM dikembangkan secara terpisah, namun keduanya memiliki banyak kesamaan. Banyak perbedaan awal antara keduanya yang sekarang melebur karena pengguna biasanya menggunakan

Bab 6 : Manajemen Program/Proyek Jangka Panjang

188

beberapa fitur yang dianggap kelebihan dari satu teknik untuk menutupi kekurangan teknik yang lain. Maka dalam pembahasan ini keduanya dianggap sama.

Kerangka pemikiran PERT dan CPM mengikuti enam langkah dasar yaitu: 1. Mendefinisikan proyek dan menyiapkan struktur pecahan. 2. Membangun hubungan antar kegiatan. 3. Memutuskan hubungan mana yang harus lebih dulu dan mana mengikuti yang

lain. 4. Menggambarkan network keseluruhan proyek 5. Menetapkan perkiraan waktu dan/atau biaya tiap kegiatan. 6. Menghitung jalur waktu terpanjang melalui jaringan yang disebut jalur kritis. 7. Menggunakan jaringan untuk membantu perencanaan, penjadwalan, dan

pengendalian proyek.

Dengan menggunakan PERT dan CPM maka dapat membantu pertanyaan seperti: 1. Kapan proyek selesai? 2. Mana tugas yang penting, yang tidak boleh ditunda (kegiatan kritis)? 3. Mana kegiatan yang tidak kritis? 4. Pada suatu waktu tertentu, apakah masih tetap dalam jadwal, terlambat, atau

lebih cepat? 5. Berapa probabilitas selesai sesuai jadwal? 6. Pada suatu waktu tertentu apakah uang yang dibelanjakan sama, lebih sedikit,

atau lebih besar? 7. Apakah sumber daya cukup agar proyek tepat waktu? 8. Jika ingin selesai lebih cepat, mana jalan terbaik dengan biaya minimal? Diagram Jaringan dan Pendekatannya

Menggunakan PERT dan CPM dimulai dengan membagi seluruh proyek menjadi kegiatan-kegiatan. Masing-masing kegiatan membutuhkan waktu dan biaya. Kegiatan-kegiatan tersebut digambarkan dengan jaringan pelaksanaan proyek dan hubungan sekuensialnya. Ada dua cara dalam menggambarkan diagram jaringan tersebut, yaitu dengan menggunakan pendekatan AON (Activity On Node) di mana titik dianggap kegiatan, atau AOA (Activity On Arrow) di mana panah dianggap kegiatan. Dalam AOA, masing-masing titik bisa menggambarkan titik mulai dan titik selesainya suatu kegiatan, yang disebut even. Even menunjukkan waktu, tapi tidak mnghabiskan biaya dan waktu. Contoh AOA dan AON dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 17: Activity on Arrow Diagram

Tata furnitur

Remodel

Pesan furnitur

Tempatkan fasilitas

1

2

4

5 6

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia

189

Gambar 18: Activity on Node Diagram

Tata furnitur

Rekrut dan Latih

Remodel

Wawancara

Pesan furnitur

Tempatkan fasilitas

Pindah/ mulai baru

S

1

2

5

3

6

4

7

Bab 6 : Manajemen Program/Proyek Jangka Panjang

190

Perbandingan antara kedua pendekatan digambarkan sebagai berikut:

Gambar 19: Perbandingan antara Konvensi Jaringan AON dan AOA

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia

191

Yang perlu dicermati oleh manajer proyek dalam diagram jaringan ini adalah jalur (path). Jalur adalah sederet urutan sekuensial kegiatan mulai dari titik mulai sampai dengan titik selesai. Sebagai contoh dalam gambar di atas, dalam diagram AOA urutan 1-2-4-5-6 adalah jalur, demikian juga urutan S-1-2-6-7 dalam diagram AON. Dalam kedua diagram tersebut terdapat tiga jalur. Salah satu alasan pentingnya jalur adalah untuk mengungkapkan hubungan sekuensial masing masing kegiatan. Hubungan sekuensial tersebut tidak dapat diubah, sehingga jika suatu kegiatan dalam sekuensial tersebut ditunda, maka itu berarti semua kegiatan berikutnya dalam jalur tersebut juga tertunda.

Aspek penting lainnya dalam jalur adalah panjangnya suatu jalur. Panjangnya

suatu jalur dapat ditentukan dengan menjumlahkan estimasi waktu yang dibutuhkan masing-masing kegiatan dalam jalur tersebut. Jalur dengan waktu terpanjang perlu dicermati secara khusus karena menentukan waktu penyelesaian proyek. Dengan kata lain, estimasi waktu penyelesaian proyek sama dengan estimasi waktu jalur terpanjang. Jika jalur terpanjang tersebut mengalami penundaan, maka juga berarti penundaan waktu penyelesaian proyek. Demikian juga usaha untuk mempendek waktu penyelesaian proyek harus berfokus pada jalur terpanjang. Oleh karena itu jalur terpanjang ini disebut jalur kritis, sedangkan kegiatan-kegiatan pada jalur terpanjang ini disebut kegiatan kritis.

Jalur yang lebih pendek daripada jalur kritis dapat mengalami penundaan dan

tidak mempengaruhi waktu pelaksanaan proyek apabila penundaan tersebut tidak melebihi panjangnya jalur kritis. Waktu yang diperbolehkan untuk penundaan jalur selain jalur kritis disebut slack. Slack menggambarkan perbedaan panjangnya suatu jalur dibandingkan dengan panjangnya jalur kritis. Dengan demikian jalur kritis memiliki zero slack, yaitu tidak mempunyai slack sama sekali. Contoh penentuan jalur, panjang jalur, jalur kritis, dan slack sebagai berikut.

Gambar 20: Diagram AOA

Dari gambar tersebut di atas dapat kita tentukan sebagai berikut

4

d

c

b

a e

1

2

3

5

Bab 6 : Manajemen Program/Proyek Jangka Panjang

192

Jalur panjang jalur slack

1-2-4-5-6 8 + 6 + 3 + 1 = 18 20 – 18 = 2 1-2-5-6 8 + 11 + 1 = 20 20 – 20 = 0 1-3-5-6 4 + 9 + 1 = 14 20 - 14 = 6

Dengan demikian jalur 1-2-5-6 adalah jalur kritis jalur kritis karena memiliki waktu terpanjang dan slack nol. Menentukan Penjadwalan Proyek

Jalur kritis adalah jalur waktu terpanjang yang melalui jaringan. Dengan

menggunakan analisis jalur kritis maka akan membantu menentukan jadwal proyek, yang mana perlu menghitung dua waktu awal dan akhir untuk tiap kegiatan, yaitu: § ES (Earliest Start), yaitu waktu terdahulu suatu kegiatan dapat dimulai dengan

asumsi kegiatan sebelumnya sudah selesai. § EF (Earliest Finish), yaitu waktu terdahulu suatu kegiatan dapat selesai. § LS (Latest Start), yaitu waktu terakhir suatu kegiatan dapat dimulai sehingga tidak

menunda waktu penyelesaian keseluruhan proyek. § LF (Latest Finish), yaitu waktu terakhir suatu kegiatan dapat selesai sehingga

tidak menunda waktu penyelesaian keseluruhan proyek Forward Pass. Yaitu mengidentifikasi waktu-waktu terdahulu, baik waktu mulai terdahulu maupun waktu selesai terdahulu. Aturan waktu Mulai Terdahulu adalah: § Sebelum suatu kegiatan dapat dimulai, semua pendahulu langsungnya harus

diselesaikan. § Jika suatu kegiatan hanya mempunyai satu pendahulu langsung, maka ES = EF

pendahulunya. § Jika suatu kegiatan mempunyai beberapa pendahulu langsung, maka ES =

maksimum dari semua EF pendahulunya. Sedangkan aturan waktu Selesai Terdahulu adalah: § EF = ES + waktu kegiatan Forward memungkinkan untuk menentukan waktu penyelesaian proyek terdahulu tetapi tidak mengidentifikasi jalus kritis, maka perlu backward pass. Backward Pass. Yaitu menentukan waktu terakhir, baik waktu mulai terakhir maupun waktu selesai terakhir. Aturan waktu selesai terakhir adalah: § Seluruh pendahulu langsungnya harus selesai. § Jika suatu kegiatan pendahulu langsung hanya untuk satu kegiatan maka LF =

LS kegiatan yang langsung mengikutinya § Jika kegiatan pendahulu langsung untuk lebih dari satu kegiatan maka LF =

minimun dari seluruh kegiatan yang secara langsung mengikutinya. Sedangkan aturan waktu mulai terakhir: § LS = LF – waktu kegiatan

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia

193

Menghitung Waktu Slack. Waktu Slack adalah waktu bebas yang dimiliki oleh setiap kegiatan untuk bisa diundur tanpa menyebabkan keterlambatan proyek keseluruhan, yaitu:

Slack = LS – ES

atau Slack = LF-EF

Kegiatan dengan Slack = 0 disebut kegiatan kritis dan berada pada jalur kritis. Contoh: Suatu proyek mempunyai data sebagai berikut:

Kegiatan Kegiatan sebelumnya Waktu (minggu)

A - 2

B - 3

C A 2

D A,B 4

E C 4

F C 3

G D,E 5

H F,G 2

Maka dapat digambarkan diagram CPM-nya sebagai berikut:

Bab 6 : Manajemen Program/Proyek Jangka Panjang

194

Gambar 21: diagram CPM

Maka jalur kritis dari proyek tersebut adalah: A-C-E-G-H dengan waktu penyelesaian 15 minggu. Variabilitas Pada Waktu Kegiatan

Dalam PERT, digunakan distribusi peluang berdasarkan tiga perkiraan waktu untuk setiap kegiatan yaitu: § Waktu Optimis (a) = waktu yang dibutuhkan sebuah kegiatan jika semua hal

berlangsung sesuai rencana. Sangat kecil kemungkinan kegiatan akan selesai sebelum waktu ini.

§ Waktu Pesimis (b) = waktu yang dibutuhkan suatu kegiatan dengan asumsi kondisi yang ada sangat tidak diharapkan. Waktu ini adalah waktu maksimal yang diperlukan suatu kegiatan, dimana terjadi pada situasi terburuk.

§ Waktu Realistis (m) = perkiraan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan kegiatan yang paling realistis. Waktu ini sering terjadi seandainya kegiatan bisa diulang.

Waktu kegiatan yang diharapkan (t) adalah

t = (a + 4m + b) / 6

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia

195

Variasi (v) waktu pelaksanaan proyek adalah v = ( b – a / 6 )2

Gambar 22: Estimasi waktu kegiatan

Jadi pada contoh di gambar 5 dapat dihitung § Waktu yang diharapkan

t = 3 + 4(5) + 13 / 6 = 6 hari

§ Variasi waktu pelaksanaan proyek

v = ( 13 - 3 / 6 )2 = 2.78 hari

Trade Off Biaya-Waktu dan Crashing Proyek

Proses dimana memperpendek jangka waktu proyek dengan biaya terendah yang mungkin disebut crashing proyek, dengan langkah sebagai berikut:

Bab 6 : Manajemen Program/Proyek Jangka Panjang

196

1. Hitung biaya crash per satuan waktu untuk tiap kegiatan, rumus:

(Biaya crash – Biaya normal) Biaya crash per periode = -----------------------------------

(Waktu normal – Waktu crash) 2. Dengan menggunakan waktu kegiatan sekarang, cari jalur kritis dan tentukan

kegiataan kritisnya. 3. Jika hanya ada satu jalur kritis maka:

◘ Jalur kritis pilih kegiatan kritis yang masih bisa di-crash. ◘ Cari yang biayanya terkecil. Jika lebih dari satu jalur kritis pilih satu kegiatan dari setiap jalur kritis sedemikian rupa sehingga : ◘ Setiap kegiatan yang dipilih masih bisa dilakukan crash. ◘ Biaya crash total per periode dari semua kegiatan yang dipilih merupakan

yang terkecil. 4. Perbarui semua waktu kegiatan, jika batas yang diinginkan telah tercapai,

berhenti. Jika tidak kembali ke langkah 2. Contoh 2. Sebuah proyek mempunyai data tentang waktu dan biaya secara normal dan crash yaitu:

Kegiatan

Waktu (minggu) Biaya (ribuan rupiah)

Biaya crash per minggu

Jalur kritis Normal Crash Normal Crash

A 2 1 22.000 22.750 750 ya B 3 1 30.000 34.000 2.000 tidak C 2 1 26.000 27.000 1.000 ya D 4 3 48.000 49.000 1.000 tidak E 4 2 56.000 58.000 1.000 ya F 3 2 30.000 30.500 500 tidak G 5 2 80.000 84.500 1.500 ya H 2 1 16.000 19.000 3.000 ya

§ Jalur kritis: A-C-E-G-H dengan waktu penyelesaian 15 minggu § Biaya crash terendah A sebesar Rp 750.000,- jika kegiatan A harus crash selama

satu minggu maka penyelesaian proyek menjadi 14 minggu dengan biaya tambahan Rp 75.000,-.

§ Jalur A-C-E-G-H tetap kritis dengan waktu penyelesaian 14 minggu. § Jalur baru B-D-G-H juga kritis dengan waktu penyelesaian 14 minggu. Karena itu

jika akan dilakukan crashing lagi harus pada kedua jalur tersebut. § Karena ada dua kegiatan yang sama di kedua jalur tersebut yaitu G dan H maka

itu yang kita pertimbangkan. Dari kedua kegiatan yang paling kecil biaya crash-nya adalah G maka itu yang dipilih. Maka jika crash proyek menjadi 13 minggu maka tambahan biaya adalah: 1 minggu untuk A sebesar Rp 750.000,- dan 1

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia

197

minggu untuk G sebesar Rp 1.500.000,- sehingga total biaya sebesar Rp 2.250.000,-

Kritik terhadap PERT –CPM

Ada beberapa ciri-ciri PERT yang harus diperhatikan yaitu: 1. Kelebihan PERT:

a. Sangat bermanfaat untuk menjadwalkan dan mengendalikan proyek besar. b. Tidak memerlukan perhitungan matematis yang rumit. c. Network dapat untuk melihat hubungan antar kegiatan proyek secara cepat. d. Analisis jalur kritis dan slack membantu menunjukkan kegiatan yang perlu

diperhatikan. e. Dokumentasi proyek menunjukkan siapa yang bertanggung jawab untuk

berbagai kegiatan. f. Dapat diterapkan untuk proyek yang bervariasi. g. Berguna dalam pengawasan biaya dan jadwal.

2. Keterbatasan:

a. Kegiatan harus jelas dan hubungan harus bebas dan stabil. b. Hubungan pendahulu harus dijelaskan dan dijaringkan bersama-sama. c. Perkiraan waktu cenderung subyektif dan tergantung manajer. d. Ada bahaya terselubung dengan terlalu banyaknya penekanan pada jalur

kritis, maka yang nyaris kritis perlu diawasi.

Pengadaan Barang dan Jasa untuk Program/Proyek Pemerintah

Fungsi pengadaan barang dan jasa merupakan sebuah area penting dari proyek

yang mendukung manajemen sebuah proyek dalam suatu organisasi. Terkadang kegiatan pengadaan barang berada dalam pengawasan langsung dari manajer proyek. Namun demikian, dapat pula fungsi pengadaan merupakan bagian tersendiri di luar tim proyek yang terhubung dengan proyek dengan bentuk organisasi matriks. Bagaimanapun penataan hubungan organisasi, manajer proyek dalam hal ini berperan penting dalam negosiasi dan administrasi pengadaan barang dan jasa tersebut.

Pengadaan barang dan jasa untuk program/proyek yang dilakukan oleh instansi

pemerintah diatur dengan Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah berikut beberapa perubahannya yang tertuang dalam peraturan pemerintah. Sebagaimana diatur dalam keppres tersebut pengadaan barang dan jasa harus memenuhi prinsip dasar sebagai berikut:

Bab 6 : Manajemen Program/Proyek Jangka Panjang

198

1. Efisien, berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan;

2. Efektif, berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang

telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan;

3. Terbuka dan bersaing, berarti pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi

penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan yang sehat di antara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan

4. Transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan

barang/jasa, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa, sifatnya terbuka bagi peserta penyedia barang/jasa yang berminat serta bagi masyarakat luas pada umumnya;

5. Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua

calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu, dengan cara dan atau alasan apapun;

6. Akuntabel, berarti harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun

manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang/jasa. Adapun kebijakan umum pemerintah dalam pengadaan barang adalah sebagai

berikut: 1. Meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri, rancang bangun dan

perekayasaan nasional yang sasarannya adalah memperluas lapangan kerja dan mengembangkan industri dalam negeri dalam rangka meningkatkan daya saing barang produksi dalam negeri pada perdagangan internasional;

2. Meningkatkan peran serta usaha kecil termasuk koperasi kecil dan kelompok masyarakat dalam pengadaan barang;

3. Menyederhanakan ketentuan dan tata cara untuk mempercepat proses pengambilan keputusan dalam pengadaan barang;

4. Meningkatkan profesionalisme, kemandirian, dan tanggungjawab pengguna barang, panitia/pejabat pengadaan, dan penyedia barang;

5. Meningkatkan penerimaan negara melalui sektor perpajakan; 6. Menumbuhkembangkan peran serta usaha nasional; 7. Mengharuskan pelaksanaan pemilihan penyedia barang dilakukan di dalam

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia

199

8. Mengharuskan pengumuman secara terbuka rencana pengadaan barang kecuali pengadaan barang yang bersifat rahasia pada setiap awal pelaksanaan anggaran kepada masyarakat luas.

9. Secara terbuka melalui surat kabar nasional dan/atau surat kabar provinsi.

Uraian tentang proses pengadaan barang pada instansi pemerintah diuraikan lebih lanjut pada bab 7.

Evaluasi Proyek

Menurut Anthony dan Govindarajan (2004) evaluasi proyek mempunyai dua

aspek terpisah, yaitu: (1) evaluasi dari kinerja dalam melaksanakan proyek, dan (2) evaluasi dari hasil yang diperoleh dari proyek. Aspek pertama dilaksanakan segera setelah proyek diselesaikan sedangkan aspek kedua mungkin tidak layak dilaksanakan sampai beberapa tahun kemudian. Evaluasi kinerja dalam pelaksanaan proyek mempunyai dua aspek, yaitu (1) evaluasi terhadap manajemen proyek, dan (2) evaluasi dari proses pengelolaan proyek. Tujuan aspek yang pertama adalah untuk membantu pengambilan keputusan yang berhubungan dengan manajer proyek, termasuk imbalan, promosi, kritik membangun, atau penugasan kembali. Tujuan aspek yang kedua adalah untuk menemukan cara yang lebih baik dalam pelaksanaan proyek berikutnya.

Karena pekerjaan pada sebuah proyek cenderung kurang distandarisasi dan

kurang dapat diukur jika dibandingkan dengan pekerjaan di pabrik, maka evaluasi terhadap proyek lebih bersifat subjektif daripada evaluasi aktivitas produksi. Ini mirip dengan evaluasi aktivitas pemasaran, di mana efek dari faktor eksternal pada kinerja harus diperhitungkan. Pertimbangan tentang apakah pencapaian aktual telah memuaskan dalam keadaan nyata yang dihadapi, akan sangat subjektif.

Pada proyek yang dilaksanakan oleh pemerintah, evaluasi atas proyek dilakukan

dengan membandingkan hasil pekerjaan proyek dengan spesifikasi pekerjaan yang telah ditetapkan sebelumnya. Spesifikasi pekerjaan ini tidak hanya meliputi hal-hal yang bersifat kuantitas, seperti: luas, ukuran, volume, dan sebagainya, tetapi juga meliputi hal-hal yang terkait dengan kualitas pekerjaan, seperti penggunaan barang berkelas, satuan ukuran kualitas produk (misalnya ukuran kualitas adukan semen), kerapihan pekerjaan, daya tahan produk, dan sebagainya. Pada proyek yang berkuantitas dan bernilai besar serta membutuhkan keahlian teknis tertentu, pemerintah (dalam hal ini adalah pihak penggguna barang/jasa) dapat menentukan tenaga konsultan teknik (penyedia jasa konsultansi) yang dipandang cakap dan memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan. Pada prinsipnya pemilihan jasa konsultansi harus dilakukan melalui seleksi umum. Namun dalam keadaan tertentu pemilihan penyedia jasa konsultansi dapat dilakukan melalui seleksi terbatas, seleksi langsung, atau penunjukan langsung.

Bab 6 : Manajemen Program/Proyek Jangka Panjang

200

Ketika biaya aktual melebihi yang dianggarkan, maka dinyatakan telah terjadi cost overrun. Bagi sebagian orang, ini dapat diartikan bahwa biaya aktual terlalu tinggi. Bagi sebagian orang yang lain, hal ini dapat diartikan bahwa anggaran biaya yang disediakan terlalu rendah. Pada instansi pemerintah, nilai tertinggi sebuah proyek adalah sebesar yang telah dianggarkan dalam budget. Pengguna barang/jasa tidak dapat mengeluarkan biaya melebihi yang telah dianggarkan sebelumnya. Plafon anggaran merupakan batas maksimal dana yang dapat digunakan. Oleh karenanya, sebelum proyek dilaksanakan pengguna barang/jasa diharuskan membuat Kerangka Acuan Kerja (KAK) dan Rincian Anggaran dan Biaya (RAB). Dalam RAB sudah diperhitungkan kemungkinan peningkatan harga akibat inflasi.

Untuk mengetahui sejauh mana pekerjaan proyek telah dikelola dengan baik,

sebaiknya kita menoleh kembali ke belakang guna menemukan kondisi-kondisi yang sesungguhnya terjadi. Godaan alamiah yang terjadi adalah kita terlalu mengandalkan pada informasi yang tidak tersedia pada waktu proyek dilakukan. Manajer mungkin saja tidak mempunyai seluruh informasi pada waktu itu, manajer mungkin tidak menangani masalah tersebut karena masalah lain mempunyai prioritas yang lebih tinggi, atau manajer mendasarkan keputusannya atas pertimbangan pribadi, atau bahkan terdapat faktor-faktor lain yang tidak tercatat dalam sebuah laporan tertulis. Meskipun demikian, beberapa indikasi positif atas manajemen yang buruk mungkin dapat diidentifikasikan. Penyimpangan dana atau aktiva lainnya untuk penggunaan pribadi manajer proyek adalah salah satu contoh yang jelas. Pemberian fee khusus dari pihak penyedia barang/jasa merupakan contoh buruk lainnya.

Evaluasi juga dapat mengarah kepada perubahan di dalam peraturan atau

prosedur. Evaluasi dapat mengidentifikasi beberapa peraturan yang menghalangi pelaksanaan proyek secara efisien. Sebaliknya, ia dapat mengungkapkan pengendalian yang tidak memadai. Sebagai bagian dari evaluasi, saran untuk perbaikan proses harus diminta dari personil proyek.

Anthony dan Govindarajan (2004) mengusulkan kriteria pemilihan dari proyek-

proyek yang dihendak dievaluasi sebagai berikut: 1. Proyek tersebut seharusnya cukup penting untuk dapat membenarkan

dilakukannya pengeluaran dan usaha yang cukup banyak dalam sebuah evaluasi formal.

2. Hasil yang didapat biasanya harus dikuantifikasi. Terutama jika proyek dimaksudkan untuk menghasilkan sejumlah tertentu tambahan laba. Laba aktual yang dikaitkan terhadap proyek tersebut juga sebaiknya dapat diukur.

3. Akibat dari variabel yang tidak dapat diantisipasi harus diketahui, atau setidak-tidaknya yang mendekati, dan mereka seharusnya tidak menutupi dampak akibat perubahan yang terjadi dengan asumsi saat proyek disetujui. Jika hasil dari produk baru yang diperkenalkan tidak memuaskan karena hilangnya pasar untuk produk tersebut, maka tidak akan banyak informasi yang dapat dihasilkan dari evaluasi tersebut.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia

201

4. Hasil dari evaluasi harus mempunyai kesempatan yang baik untuk mengarah kepada dilakukannya suatu tindakan. Khususnya, analisis tersebut dapat membawa kepada cara yang lebih baik dalam mengusulkan dan memutuskan dilakukannya proyek-proyek di masa depan.

òô Rangkuman

Secara konseptual, manajemen proyek adalah semua kegiatan merencanakan,

mengorganisasikan, mengarahkan, mengambil keputusan, dan mengendalikan sumber daya organisasi perusahaan untuk mencapai tujuan tertentu dalam waktu tertentu dengan sumber daya tertentu. Dalam manajemen proyek teraplikasi pengetahuan, keahlian, dan teknik untuk aktivitas proyek guna memenuhi kebutuhan stakeholder dan harapan dari proyek itu sendiri. Manajemen proyek mempergunakan personil organisasi untuk ditempatkan pada tugas tertentu dalam proyek atau mengambil personil yang ahli dalam bidangnya. Ada tiga tahap yang harus dilakukan dalam manajemen proyek yaitu: perencanaan, penjadwalan, dan pengendalian.

Pengorganisasian pekerjaan merupakan hal penting bagi sebuah proyek karena

dalam waktu yang telah ditentukan, tujuan proyek perlu untuk dicapai. Kesalahan dalam mengorganisasikan proyek akan berakibat dalam pencapain tujuan proyek tersebut. Pengorganisasian pekerjaan terdiri dari penentuan bentuk organisasi yang akan digunakan dalam menyelesaikan proyek, serta pembuatan jadwal guna mengatur penggunaan sumber daya dan pelaksanaan pekerjaan. Tatanan organisasional dari suatu organisasi biasanya disusun berdasarkan fungsi, produk, pelanggan, wilayah dan proses yang sama. Beberapa bentuk tatanan organisasi yang dibentuk untuk keperluan proyek adalah: Functional Organization, Functional Matrix, Balanced Matrix, Project Matrix, dan Project Teams.

Terdapat beberapa teknik penjadwalan yang dapat digunakan terkait dengan

aspek waktu dari proyek. Teknik yang biasa digunakan adalah grafik gambar, begitu pula jaringan untuk PERT dan CPM dapat menunjukkan keterkaitan antara paket-paket kerja atau kegiatan. PERT (Program Evaluation Review Technique) dan CPM (Critical Path Method) adalah dua teknik manajemen proyek yang paling banyak dipakai dalam perencanaan dan pengkoordinasian proyek. PERT adalah teknik manajemen proyek yang menggunakan tiga perkiraan waktu untuk tiap kegiatan. Sedangkan CPM adalah teknik menajemen proyek yang menggunakan hanya satu faktor waktu per kegiatan.

Bab 6 : Manajemen Program/Proyek Jangka Panjang

202

-o0o-

MANAJEMEN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH

“Aset pemerintah adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur

dalam satuan uang, termasuk sumber daya non-keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya

yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya. “

Bab ini membahas manajemen aset pemerintah dalam manajemen perbendaharaan di Indonesia. Setelah mempelajari bab ini Saudara diharapkan mampu untuk menjelaskan hal-hal yang terkait dengan: § Kerangka umum manajemen aset tetap pemerintah § Pejabat pengelola Barang Milik Negara/Daerah § Perencanaan kebutuhan dan penganggaran § Pengadaan barang pada instansi pemerintah § Penggunaan aset/barang pemerintah § Penatausahaan aset/barang pemerintah § Akuntansi Barang Milik Negara § Pengamanan dan pemeliharaan aset § Penilaian aset § Pemanfaatan dan pemindahtanganan aset/barang § Penghapusan aset/barang

Secara sederhana aset adalah segala harta/kekayaan yang kita miliki, baik harta tersebut memiliki wujud (tangible) maupun tidak memiliki wujud (intangeble).

Bab 7 : Manajemen Barang Milik Negara/Daerah

206

Dalam bahasa akuntansi, aset adalah seluruh pengorbanan ekonomis (economic sacrifices) yang dilakukan oleh suatu entitas untuk memperoleh manfaat (benefit) di masa depan. Pada dunia usaha, aset digunakan secara langsung ataupun tidak langsung untuk memperoleh pendapatan (revenue) perusahaan. Aset lancar (current asset) merupakan aset yang umumnya digunakan untuk menunjang perolehan pendapatan perusahaan secara langsung. Aset jenis ini biasanya dipandang memiliki masa manfaat kurang dari 12 bulan. Sedangkan aset tidak lancar (non current asset) adalah jenis aset yang diperoleh dengan harapan bahwa aset tersebut akan memberikan kontribusi pendapatan bagi perusahaan secara tidak langsung dan memiliki masa manfaat lebih dari 12 bulan. Umumnya, aset tidak lancar merupakan aset-aset yang memang menunjang pelaksanaan kegiatan utama perusahaan dalam memperoleh pendapatan. Aset tidak lancar terdiri dari aset berwujud (tangible asset) dan aset tidak berwujud (intangible asset).

Yang dimaksud dengan aset berwujud adalah aset yang memiliki wujud fisik,

seperti tanah, bangunan, peralatan, kendaraan, dan lain-lain. Sedangkan aset tidak berwujud adalah aset yang tidak memiliki wujud secara fisik. Kepemilikan atas aset ini ditandai melalui penguasaan hak kepemilikan secara hukum formal. Contoh aset tidak berwujud antara lain: hak paten, hak cipta, merek dagang, hak waralaba (franchise), goodwill, dan sebagainya.

Dalam tatakelola pemerintahan, seluruh harta yang dimiliki oleh negara disebut

dengan barang milik negara (juga biasa dikenal dengan istilah Barang Inventaris). Barang milik negara tersebut (termasuk barang milik daerah) merupakan aset yang harus dikelola dengan baik. Bila pada dunia usaha, aset diperoleh dengan maksud untuk dipergunakan dalam menunjang perolehan pendapatan baik langsung maupun tidak langsung maka pada lingkup pemerintahan, aset diperoleh dengan maksud untuk digunakan dalam menunjang pelaksanaan kegiatan pemerintahan. Meskipun dari kepemilikan aset tersebut terkadang pemerintah juga dapat memperoleh pendapatan berupa penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari pemanfaatan aset-aset tetap negara, seperti penyewaan ruang pada gedung milik negara, namun hal tersebut bukanlah tujuan utama. Sesuai dengan tujuan kepemerintahan, perolehan aset-aset lebih ditujukan untuk menunjang penyediaan layanan kepada masyarakat. Bahkan sebagai konsekuensi dari kepemilikan aset-aset tersebut, pemerintah harus menanggung pula biaya pemeliharaannya.

Dengan demikian, aset pemerintah adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai

dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya non-keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya.

Aset pemerintah meliputi unsur-unsur aset tetap dan persediaan. Pengertian aset

tetap sebagaimana yang telah diuraikan di atas, sedangkan yang dimaksud dengan persediaan adalah aset lancar dalam bentuk barang atau perlengkapan yang

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan : Aplikasi di Indonesia

207

dimaksudkan untuk mendukung kegiatan operasional pemerintah, dan barang-barang yang dimaksudkan untuk dijual dan/atau diserahkan dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Uraian lengkap tentang persediaan telah dibahas pada bab 3 tentang Manajemen Persediaan. Kerangka Umum Manajemen Aset Tetap Pemerintah

Semua kegiatan pengelolaan harta kekayaan berupa barang berwujud (tangible

assets), mulai dari kegiatan perencanaan strategis dan operasional, pengadaan, penggunaan, pencatatan, penilaian, pemeliharaan, sampai dengan pengalihan ataupun penghapusan aset disebut dengan manajemen aset tetap. Semua kegiatan tersebut ditujukan untuk mendukung penyelenggaraan fungsi utama sebuah intitusi untuk keberlangsungan institusi itu sendiri. Dari segi proses, manajemen aset tetap berupa suatu proses untuk mengelola kebutuhan dan pengadaan, penggunaan, serta penghapusan aset tetap untuk mengoptimalkan potensi pemanfaatan aset tetap tersebut, juga mengelola risiko dan biaya yang timbul sepanjang masa manfaatnya. Dengan demikian siklus manajemen aset tetap meliputi: analisis kebutuhan, penilaian ekonomis, perencanaan, penganggaran, penentuan harga, pengadaan, penggunaan dan pemeliharaan, serta pengalihan dan penghapusan.

Manajemen aset tetap pemerintah memiliki beberapa tujuan dan sasaran, antara lain: • Mengoptimalkan pemanfaatan aset tetap untuk mendukung penyelenggaraan

tugas dan fungsi pemerintah. • Mengelola aset tetap sebagai suatu investasi menghasilkan agar mampu

memberikan sumbangan penerimaan negara dalam bentuk penerimaan negara bukan pajak melalui pemanfaatan aset tetap tersebut.

• Menekan biaya keseluruhan dari kepemilikan aset tetap. • Menyeleksi secara ketat setiap permintaan aset tetap baru. • Mengevaluasi pertanggungjawaban dan akuntabilitas pengguna aset tetap. • Menganalisis kebutuhan aset tetap di masa mendatang.

Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut di atas, maka perlu didesain suatu

sistem manajemen yang meliputi: • Pelaksanaan rincian manajemen aset tetap secara tepat. • Pengelolaan keuangan yang benar. • Pengumpulan dan analisis data-data penting lainnya

Manajemen aset tetap haruslah diletakkan dalam kerangka pelaksanaan tugas dan fungsi utama organisasi. Dengan demikian, manajemen aset tetap pun harus sejalan dengan rencana strategis dan rencana kerja organisasi secara keseluruhan.

Bab 7 : Manajemen Barang Milik Negara/Daerah

208

Artinya manajemen aset tetap harus pula beriringan dengan manajemen sumber daya manusia, manajemen sistem informasi, manajemen keuangan, dan manajemen operasional lainnya.

Sesuai dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, yang dimaksud dengan Barang Milik Negara (BMN)/Barang Milik Daerah (BMD) meliputi barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah, maupun barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah, seperti: a. Barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis; b. Barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak; c. Barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang; atau d. Barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap.

Pengelolaan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan: 1. Asas fungsional, yaitu pengambilan keputusan dan pemecahan masalah-

masalah di bidang pengelolaan barang milik negara/daerah yang dilaksanakan oleh kuasa pengguna barang, pengguna barang, pengelola barang dan gubernur/bupati/walikota sesuai fungsi, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing;

2. Asas kepastian hukum, yaitu pengelolaan barang milik negara/daerah harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan;

3. Asas transparansi, yaitu penyelenggaraan pengelolaan barang milik negara/daerah harus transparan terhadap hak masyarakat dalam memperoleh informasi yang benar.

4. Asas efisiensi, yaitu pengelolaan barang milik negara/daerah diarahkan agar barang milik negara/daerah digunakan sesuai batasan-batasan standar kebutuhan yang diperlukan dalam rangka menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintahan secara optimal;

5. Asas akuntabilitas, yaitu setiap kegiatan pengelolaan barang milik negara/daerah harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat;

6. Asas kepastian nilai, yaitu pengelolaan barang milik negara/daerah harus didukung oleh adanya ketepatan jumlah dan nilai barang dalam rangka optimalisasi pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah serta penyusunan neraca pemerintah.

Pejabat Pengelola Barang Milik Negara/Daerah Pejabat Pengelola Barang Milik Negara

Pejabat pengelola barang milik negara terdiri dari pejabat pengelola barang dan

pengguna barang/kuasa pengguna barang. Pengelola barang milik negara adalah Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Menteri Keuangan selaku

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan : Aplikasi di Indonesia

209

pengelola barang menjalankan fungsi pengaturan (regelling), juga melakukan fungsi pengelolaan atas barang milik negara khususnya tanah dan/atau bangunan, termasuk mengambil berbagai keputusan administratif (beschikking).

Pengelola barang milik negara mempunyai wewenang dan bertanggung jawab

sebagai berikut: a. Merumuskan kebijakan, mengatur, dan menetapkan pedoman pengelolaan

barang milik negara; b. Meneliti dan menyetujui rencana kebutuhan barang milik negara; c. Menetapkan status penguasaan dan penggunaan barang milik negara; d. Mengajukan usul pemindahtanganan barang milik negara berupa tanah dan

bangunan yang memerlukan persetujuan DPR; e. Memberikan keputusan atas usul pemindahtanganan barang milik negara berupa

tanah dan bangunan yang tidak memerlukan persetujuan DPR sepanjang dalam batas kewenangan Menteri Keuangan;

f. Memberikan pertimbangan dan meneruskan usul pemindahtanganan barang milik negara berupa tanah dan bangunan yang tidak memerlukan persetujuan DPR sepanjang dalam batas kewenangan Presiden;

g. Memberikan keputusan atas usul pemindahtanganan dan penghapusan barang milik negara selain tanah dan bangunan sesuai batas kewenangannya;

h. Memberikan pertimbangan dan meneruskan usul pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan bangunan kepada Presiden atau DPR;

i. Menetapkan penggunaan, pemanfaatan atau pemindahtanganan tanah dan bangunan;

j. Memberikan keputusan atas usul pemanfaatan barang milik negara selain tanah dan bangunan;

k. Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan inventarisasi barang milik negara serta menghimpun hasil inventarisasi;

l. Melakukan pengawasan dan pengendalian atas pengelolaan barang milik negara; m. Menyusun dan mempersiapkan Laporan Rekapitulasi barang milik negara/daerah

kepada Presiden sewaktu diperlukan. Pengguna barang milik negara adalah setiap Menteri/pimpinan lembaga selaku

pimpinan kementerian negara/lembaga. Fungsi menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna barang pada dasarnya menyangkut penggunaan barang milik negara yang ada dalam penguasaannya dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga. Dalam melaksanakan fungsi dimaksud, menteri/pimpinan lembaga menunjuk kuasa pengguna barang.

Pengguna barang milik negara mempunyai wewenang dan tanggungjawab sebagai berikut: a. Menetapkan kuasa pengguna barang dan menunjuk pejabat yang mengurus dan

menyimpan barang milik negara; b. Mengajukan rencana kebutuhan dan penganggaran barang milik negara untuk

kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya; c. Melaksanakan pengadaan barang milik negara sesuai perundang-undangan yang

berlaku;

Bab 7 : Manajemen Barang Milik Negara/Daerah

210

d. Mengajukan permohonan penetapan status tanah dan bangunan untuk penguasaan dan penggunaan barang milik negara yang diperoleh dari beban APBN dan perolehan lainnya yang syah;

e. Menggunakan barang milik negara yang berada dalam penguasaannya untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga;

f. Mengamankan dan memelihara barang milik negara yang berada dalam penguasaannya;

g. Mengajukan usul pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan bangunan;

h. Mengajukan usul pemindahtanganan dengan tindak lanjut tukar-manukar berupa tanah dan bangunan yang masih dipergunakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi namun tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota;

i. Mengajukan usul pemindahtanganan dengan tindak lanjut penyertaan modal pemerintah pusat/daerah atau hibah yang dari awal pengadaannya sesuai peruntukkan yang tercantum dalam dokumen penganggaran;

j. Menyerahkan tanah dan bangunan yang tidak dimanfaatkan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga yang dipimpinnya kepada pengelola barang;

k. Melakukan pengawasan dan pengendalian atas penggunaan barang milik negara yang ada dalam penguasaannya;

l. Melakukan pencatatan dan inventarisasi barang milik negara yang berada dalam penguasaannya;

m. Menyusun dan menyampaikan Laporan Barang Pengguna Semesteran (LBPS) dan Laporan Barang Pengguna Tahunaan (LBPT) yang berada dalam penguasaannya kepada pengelola barang. Kuasa pengguna barang milik negara adalah masing-masing kepala kantor dalam

lingkungan kementerian negara/lembaga untuk lingkup kantor yang dipimpinnya. Kuasa pengguna barang milik negara mempunyai wewenang dan tanggungjawab sebagai berikut: a. Mengajukan rencana kebutuhan barang milik negara untuk lingkungan kantor

yang dipimpinnya kepada pengguna barang; b. Mengajukan permohonan penetapan status untuk penguasaan dan penggunaan

barang milik negara yang diperoleh dari beban APBN dan perolehan lainnya yang sah kepada pengguna barang;

c. Melakukan pencatatan dan inventarisasi barang milik negara yang berada dalam penguasaannya;

d. Menggunakan barang milik negara yang berada dalam penguasaannya untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kantor yang dipimpinnya;

e. Mengamankan barang milik negara yang berada dalam penguasaannya; f. Mengajukan usul pemindahtanganan barang milik negara berupa tanah dan

bangunan yang tidak memerlukan persetujuan DPR dan barang milik negara selain tanah dan bangunan kepada pengguna barang;

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan : Aplikasi di Indonesia

211

g. Menyerahkan tanah dan bangunan yang tidak dimanfaatkan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kantor yang dipimpinnya kepada pengguna barang;

h. Melakukan pengawasan dan pengendalian atas penggunaan barang milik negara yang ada dalam penguasaannya;

i. Menyusun dan menyampaikan Laporan Barang Kuasa Pengguna Semesteran (LBKPS) dan Laporan Barang Kuasa Pengguan Tahunan (LKBPT) yang berada dalam penguasaannya kepada pengguna barang.

Pejabat Pengelola Barang Milik Daerah

Pejabat pengelola barang milik daerah terdiri dari pemegang kekuasaan pengelolaan barang, pejabat pengelola barang, dan pengguna barang. Pejabat pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah adalah gubernur/bupati/walikota. Gubernur/bupati/ walikota selaku kepala pemerintah daerah merupakan pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah yang teknis pengelolaannya dilaksanakan oleh: a. Sekretaris daerah sebagai pengelola barang, b. Kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pengguna barang,

Pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah mempunyai wewenang: a. Menetapkan kebijakan pengelolaan barang milik daerah; b. Menetapkan penggunaan, pemanfaatan atau pemindahtanganan tanah dan

bangunan; c. Menetapkan kebijakan pengamanan barang milik daerah; d. Mengajukan usul pemindahtanganan barang milik daerah yang memerlukan

persetujuan DPRD; e. Menyetujui usul pemindahtanganan dan penghapusan barang milik daerah

sesuai batas kewenangannya; f. Menyetujui usul pemanfaatan barang milik daerah selain tanah dan/atau

bangunan.

Pejabat pengelola barang milik daerah adalah Sekretaris daerah, atas dasar pertimbangan bahwa kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku bendahara umum daerah, berkedudukan di bawah sekretaris daerah. Pengelola barang milik daerah mempunyai wewenang: a. Menetapkan pejabat yang mengurus dan menyimpan barang milik daerah; b. Meneliti dan menyetujui rencana kebutuhan barang milik daerah; c. Meneliti dan menyetujui rencana kebutuhan pemeliharaan/perawatan barang

milik daerah; d. Mengatur pelaksanaan pemanfaatan, penghapusan, dan pemindahtanganan

barang milik daerah yang telah disetujui oleh gubernur/bupati/walikota atau DPRD;

e. Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan inventarisasi barang milik daerah; f. Melakukan pengawasan dan pengendalian atas pengelolaan barang milik daerah.

Bab 7 : Manajemen Barang Milik Negara/Daerah

212

Pejabat pengguna barang milik daerah adalah masing-masing kepala satuan kerja perangkat daerah untuk lingkup satuan kerja yang dipimpinnya. Pejabat pengguna barang milik daerah mempunyai wewenang dan bertanggungjawab: a. Mengajukan rencana kebutuhan barang milik daerah bagi satuan kerja perangkat

daerah yang dipimpinnya; b. Mengajukan permohonan penetapan status untuk penguasaan dan penggunaan

barang milik daerah yang diperoleh dari beban APBD dan perolehan lainnya yang sah;

c. Melakukan pencatatan dan inventarisasi barang milik daerah yang berada dalam penguasaannya;

d. Menggunakan barang milik daerah yang berada dalam penguasaannya untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;

e. Mengamankan dan memelihara barang milik daerah yang berada dalam penguasaannya;

f. Mengajukan usul pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang tidak memerlukan persetujuan DPRD dan barang milik daerah selain tanah dan bangunan;

g. Menyerahkan tanah dan bangunan yang tidak dimanfaatkan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya kepada gubernur/bupati/walikota melalui pengelola barang;

h. Melakukan pengawasan dan pengendalian atas penggunaan barang milik daerah yang ada dalam penguasaannya;

i. Menyusun dan menyampaikan Laporan Barang Pengguna Semesteran (LBPS) dan Laporan Barang Pengguna Tahunan (LBPT) yang berada dalam penguasaannya kepada pengelola barang.

Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran

Perencanaan kebutuhan barang milik negara/daerah harus mampu menghubungkan antara ketersediaan barang sebagai hasil dari pengadaan yang telah lalu dengan keadaan yang sedang berjalan sebagai dasar tindakan yang akan datang dalam rangka pencapaian efisiensi dan efektivitas pengelolaan barang milik negara/daerah. Hasil perencanaan kebutuhan tersebut merupakan salah satu dasar dalam penyusunan perencanaan anggaran pada kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah. Perencanaan anggaran yang mencerminkan kebutuhan riil barang milik negara/daerah pada kementerian/lembaga/ satuan kerja perangkat daerah selanjutnya menentukan pencapaian tujuan pengadaan barang yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintah.

Perencanaan kebutuhan barang milik negara/daerah disusun dalam rencana

kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah setelah memperhatikan ketersediaan barang milik negara/daerah yang ada. Perencanaan kebutuhan barang milik negara/daerah tersebut berpedoman pada: • Standar barang, • Standar kebutuhan (yaitu standar sarana dan prasarana),

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan : Aplikasi di Indonesia

213

• Standar harga. Perencanaan kebutuhan dimaksud meliputi perencanaan kebutuhan pengadaan

dan perencanaan kebutuhan pemeliharaan barang milik negara/daerah. Standar barang dan standar kebutuhan ditetapkan oleh pengelola barang setelah berkoordinasi dengan instansi atau dinas teknis terkait. Pengguna barang menghimpun usul rencana kebutuhan barang yang diajukan oleh kuasa pengguna barang yang berada di bawah lingkungannya, kemudian menyampaikan usul rencana kebutuhan barang milik negara/daerah tersebut kepada pengelola barang. Pengelola barang bersama pengguna barang membahas usul tersebut dengan memperhatikan data barang pada pengguna barang dan/atau pengelola barang untuk ditetapkan sebagai Rencana Kebutuhan Barang Milik Negara/Daerah (RKBMN/D). RKBMN/D tersebut digunakan sebagai acuan dalam penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian Negara/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-KL/RKA-SKPD).

Termasuk data barang pada pengguna barang dan/atau pengelola barang adalah

Laporan Pengguna Barang Semesteran, Laporan Pengguna Barang Tahunan, Laporan Pengelola Barang Semesteran, Laporan Pengelola Tahunan, dan sensus barang serta Laporan Barang Milik Negara/Daerah Semesteran dan Tahunan

Pengadaan Barang pada Instansi Pemerintah

Pengadaan barang instansi pemerintah diatur melalui Keputusan Presiden RI

Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah serta peraturan perubahannya dalam Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 2004, Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2005, Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2005, dan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006.

Pengadaan barang pemerintah adalah kegiatan pengadaan barang yang dibiayai

dengan APBN/APBD, baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun oleh penyedia barang/jasa. Swakelola adalah pelaksanaan pekerjaan yang direncanakan, dikerjakan, dan diawasi sendiri. Sedangkan penyedia barang adalah badan usaha atau orang perseorangan yang kegiatan usahanya menyediakan barang. Adapun kebijakan umum pemerintah dalam pengadaan barang adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri, rancang bangun dan

perekayasaan nasional yang sasarannya adalah memperluas lapangan kerja dan mengembangkan industri dalam negeri dalam rangka meningkatkan daya saing barang produksi dalam negeri pada perdagangan internasional;

2. Meningkatkan peran serta usaha kecil termasuk koperasi kecil dan kelompok masyarakat dalam pengadaan barang;

3. Menyederhanakan ketentuan dan tata cara untuk mempercepat proses pengambilan keputusan dalam pengadaan barang;

4. Meningkatkan profesionalisme, kemandirian, dan tanggungjawab pengguna barang, panitia/pejabat pengadaan, dan penyedia barang;

5. Meningkatkan penerimaan negara melalui sektor perpajakan; 6. Menumbuhkembangkan peran serta usaha nasional;

Bab 7 : Manajemen Barang Milik Negara/Daerah

214

7. Mengharuskan pelaksanaan pemilihan penyedia barang dilakukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

8. Mengharuskan pengumuman secara terbuka rencana pengadaan barang kecuali pengadaan barang yang bersifat rahasia pada setiap awal pelaksanaan anggaran kepada masyarakat luas.

9. Secara terbuka melalui surat kabar nasional dan/atau surat kabar provinsi.

Setiap pengadaan barang pada instansi pemerintah wajib menerapkan prinsip-prinsip: a. Efisien, berarti pengadaan barang harus diusahakan dengan menggunakan dana

dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan;

b. Efektif, berarti pengadaan barang harus sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan;

c. Terbuka dan Bersaing, berarti pengadaan barang harus terbuka bagi penyedia barang yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan yang sehat di antara penyedia barang yang setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan;

d. Transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang, sifatnya terbuka bagi peserta penyedia barang yang berminat serta bagi masyarakat luas pada umumnya;

e. Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barang dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu, dengan cara dan atau alasan apapun;

f. Akuntabel, berarti harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang.

Pengguna barang, penyedia barang (pihak ketiga/rekanan), dan para pihak yang

terkait dalam pelaksanaan pengadaan barang harus mematuhi etika sebagai berikut: a. Melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggungjawab untuk mencapai

sasaran kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan pengadaan barang; b. Bekerja secara profesional dan mandiri atas dasar kejujuran, serta menjaga

kerahasiaan dokumen pengadaan barang dan jasa yang seharusnya dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang;

c. Tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung untuk mencegah dan menghindari terjadinya persaingan tidak sehat;

d. Menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan para pihak;

e. Menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang terkait, langsung maupun tidak langsung dalam proses pengadaan barang (conflict of interest);

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan : Aplikasi di Indonesia

215

f. Menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang;

g. Menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara;

h. Tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan berupa apa saja kepada siapapun yang diketahui atau patut dapat diduga berkaitan dengan pengadaan barang.

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa proses pelaksanaan pengadaan

barang pemerintah dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu: (a) dengan menggunakan penyedia barang, dan (b) dengan cara swakelola. Berikut ini diuraikan secara singkat tentang proses pelaksanaan kedua kegiatan tersebut. Pengadaan Barang yang Dilaksanakan oleh Penyedia Barang

Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), yaitu pejabat yang diangkat oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran/Dewan Gubernur Bank Indonesia/Pemimpin Badan Hukum Milik Negara/Badan Usaha Milik Neggara/Badan Usaha Milik Daerah sebagai pemilik pekerjaan yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Memiliki integritas moral; b. Memiliki disiplin tinggi; c. Memiliki tanggung jawab dan kualifikasi teknis serta manajerial untuk

melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya; d. Memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah; e. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan, bertindak tegas dan

keteladanan dalam sikap dan perilaku serta tidak pernah terlibat KKN. Tugas pokok PPK dalam pengadaan barang adalah:

a. Menyusun perencanaan pengadaan barang; b. Menetapkan paket-paket pekerjaan disertai ketentuan mengenai peningkatan

penggunaan produksi dalam negeri dan peningkatan pemberian kesempatan bagi usaha kecil termasuk koperasi kecil, serta kelompok masyarakat;

c. Menetapkan dan mengesahkan harga perkiraan sendiri (HPS), jadwal, tata cara pelaksanaan dan lokasi pengadaan yang disusun panitia pengadaan/pejabat pengadaan/unit layanan pengadaan;

d. Menetapkan dan mengesahkan hasil pengadaan panitia/pejabat pengadaan/unit layanan pengadaan sesuai kewenangannya;

e. Menetapkan besaran uang muka yang menjadi hak penyedia barang sesuai ketentuan yang berlaku;

f. Menyiapkan dan melaksanakan perjanjian/kontrak dengan pihak penyedia barang;

g. Melaporkan pelaksanaan/penyelesaian pengadaan barang/jasa kepada pimpinan instansinya;

Bab 7 : Manajemen Barang Milik Negara/Daerah

216

h. Mengendalikan pelaksanaan perjanjian/kontrak; i. Menyerahkan aset hasil pengadaan barang/jasa dan aset lainnya kepada

Menteri/Panglima TNI/Kepala Polri/Pimpinan Lembaga/Pimpinan Kesekretariatan/ Lembaga Tinggi Negara/Pimpinan Kesekretariatan Komisi/Gubernur/Bupati/ Walikota/Dewan Gubernur BI/Pemimpin BHMN/Direksi BUMN/BUMD dengan berita acara penyerahan;

j. Menandatangani pakta integritas sebelum pelaksanaan pengadaan barang dimulai. PPK dilarang mengadakan ikatan perjanjian dengan penyedia barang apabila

belum tersedia anggaran atau tidak cukup tersedia anggaran yang akan mengakibatkan dilampauinya batas anggaran yang tersedia untuk kegiatan/proyek yang dibiayai dari APBN/APBD. PPK bertanggung jawab dari segi administrasi, fisik, keuangan, dan fungsional atas pengadaan barang yang dilaksanakannya. PPK dapat melaksanakan proses pengadaan barang sebelum dokumen pelaksanaan anggaran disahkan sepanjang anggaran untuk kegiatan yang bersangkutan telah dialokasikan, dengan ketentuan penerbitan surat penunjukan penyedia barang dan penandatanganan kontrak pengadaan barang dilakukan setelah dokumen anggaran untuk kegiatan/proyek telah disahkan.

Panitia pengadaan wajib dibentuk untuk semua pengadaan dengan nilai di atas

Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Untuk pengadaan sampai dengan nilai Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dapat dilaksanakan oleh panitia/pejabat pengadaan/unit layanan pengadaan (procurement unit). Anggota panitia pengadaan/pejabat pengadaan/unit layanan pengadaan berasal dari pegawai negeri, baik dari instansi sendiri maupun instansi teknis lainnya dengan persyaratan sebagai berikut : a. Memiliki integritas moral, disiplin dan tanggung jawab dalam melaksanakan

tugas; b. Memahami keseluruhan pekerjaan yang akan diadakan; c. Memahami jenis pekerjaan tertentu yang menjadi tugas panitia/pejabat

pengadaan/unit layanan pengadaan yang bersangkutan; d. Memahami isi dokumen pengadaan/metoda dan prosedur pengadaan; e. Tidak mempunyai hubungan keluarga dengan pejabat yang mengangkat dan

menetapkannya sebagai panitia/pejabat pengadaan/anggota unit layanan pengadaan;

f. Memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang pemerintah.

Tugas, wewenang, dan tanggung jawab pejabat/panitia pengadaan/unit layanan pengadaan meliputi sebagai berikut: a. Menyusun jadwal dan menetapkan cara pelaksanaan serta lokasi pengadaan. b. Menyusun dan menyiapkan harga perkiraan sendiri. c. Menyiapkan dokumen pengadaan. d. Mengumumkan pengadaan barang di surat kabar nasional dan/atau provinsi

dan/atau papan pengumuman resmi untuk penerangan umum, dan diupayakan diumumkan di website pengadaan nasional.

e. Menilai kualifikasi penyedia melalui pascakualifikasi atau prakualifikasi.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan : Aplikasi di Indonesia

217

f. Melakukan evaluasi terhadap penawaran yang masuk. g. Mengusulkan calon pemenang. h. Membuat laporan mengenai proses dan hasil pengadaan kepada PPK dan/atau

pejabat yang mengangkatnya. i. Menandatangani pakta integritas sebelum pelaksanaan pengadaan barang

dimulai.

Panitia pengadaan berjumlah gasal beranggotakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang yang memahami tata cara pengadaan, substansi pekerjaan/kegiatan yang bersangkutan dan bidang lain yang diperlukan, baik dari unsur-unsur di dalam maupun dari luar instansi yang bersangkutan. Sedangkan pejabat pengadaan hanya 1 (satu) orang yang memahami tata cara pengadaan, substansi pekerjaan/kegiatan yang bersangkutan dan bidang lain yang diperlukan, baik dari unsur-unsur di dalam maupun dari luar instansi yang bersangkutan. Tidak boleh duduk sebagai panitia/pejabat pengadaan/anggota unit layanan pengadaan: a. Pejabat Pembuat Komitmen dan Bendahara; b. Pegawai pada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan

(BPKP)/Inspektorat Jenderal Departemen/Inspektorat Utama Lembaga Pemerintah Non Departemen/Badan Pengawas Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota, Pengawasan Internal BI/BHMN/BUMN/BUMD, kecuali menjadi panitia/pejabat pengadaan/anggota unit layanan pengadaan untuk pengadaan barang yang dibutuhkan instansinya.

c. Pejabat yang bertugas melakukan verifikasi surat permintaan pembayaran dan/atau pejabat yang bertugas menandatangani surat perintah membayar.

Pengguna barang wajib mengalokasikan waktu yang cukup untuk penayangan

pengumuman, kesempatan untuk pengambilan dokumen, kesempatan untuk mempelajari dokumen, dan penyiapan dokumen penawaran. Pengguna barang juga wajib memiliki harga perkiraan sendiri (HPS) yang dikalkulasikan secara keahlian dan berdasarkan data yang dapat dipertangungjawabkan. HPS tersebut disusun oleh panitia/pejabat pengadaan dan ditetapkan oleh pengguna barang. HPS digunakan sebagai alat untuk menilai kewajaran harga penawaran termasuk rinciannya dan untuk menetapkan besaran tambahan nilai jaminan pelaksanaan bagi penawaran yang dinilai terlalu rendah, tetapi tidak dapat dijadikan dasar untuk menggugurkan penawaran. Nilai total HPS terbuka dan tidak bersifat rahasia, serta menjadi salah satu acuan dalam menentukan tambahan nilai jaminan.

Ada dua proses penilaian kompetensi dan kemampuan usaha serta pemenuhan

persyaratan dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa oleh penyedia barang/jasa, yaitu Prakualifikasi dan Pascakualifikasi. Prakualifikasi adalah proses penilaian kompetensi dan kemampuan usaha serta pemenuhan persyaratan tertentu lainnya dari penyedia barang sebelum memasukkan penawaran. Sedangkan pascakualifikasi adalah proses penilaian kompetensi dan kemampuan usaha serta pemenuhan persyaratan tertentu lainnya dari penyedia barang setelah memasukkan penawaran.

Panitia/pejabat pengadaan wajib melakukan pascakualifikasi untuk pelelangan

umum pengadaan barang pemborongan lainnya secara adil, transparan, dan

Bab 7 : Manajemen Barang Milik Negara/Daerah

218

mendorong terjadinya persaingan yang sehat dengan mengikutsertakan sebanyak-banyaknya penyedia barang. Persyaratan prakualifikasi/pascakualifikasi yang ditetapkan harus merupakan persyaratan minimal yang dibutuhkan untuk pelaksanaan kegiatan agar terwujud persaingan yang sehat secara luas. Pengguna barang wajib menyederhanakan proses prakualifikasi dengan tidak meminta seluruh dokumen yang disyaratkan melainkan cukup dengan formulir isian kualifikasi penyedia barang.

Dalam proses prakualifikasi/pascakualifikasi panitia/pejabat pengadaan tidak

boleh melarang, menghambat, dan membatasi keikutsertaan calon peserta pengadaan barang dari luar propinsi/kabupaten/kota lokasi pengadaan barang. Pada setiap tahapan proses pemilihan penyedia barang, pengguna barang/panitia/pejabat pengadaan dilarang membebani atau memungut biaya apapun kepada penyedia barang, kecuali biaya penggandaan dokumen pengadaan. Proses prakualifikasi secara umum meliputi pengumuman prakualifikasi, pengambilan dokumen prakualifikasi, pemasukan dokumen prakualifikasi, evaluasi dokumen prakualifikasi, penetapan calon peserta pengadaan yang lulus prakualifikasi, dan pengumuman hasil prakualifikasi. Sedangkan proses pascakualifikasi secara umum meliputi pemasukan dokumen kualifikasi bersamaan dengan dokumen penawaran dan terhadap peserta yang diusulkan untuk menjadi pemenang serta cadangan pemenang dievaluasi dokumen kualifikasinya.

Untuk menentukan sistem pengadaan yang meliputi metoda pemilihan penyedia

barang, metoda penyampaian dokumen penawaran, metoda evaluasi penawaran, dan jenis kontrak, perlu mempertimbangkan jenis, sifat, dan nilai barang serta kondisi lokasi, kepentingan masyarakat, dan jumlah penyedia barang yang ada. Dalam menyusun rencana dan penentuan paket pengadaan, pengguna barang bersama dengan panitia, wajib memaksimalkan penggunaan produksi dalam negeri dan perluasan kesempatan bagi usaha kecil, koperasi kecil, dan masyarakat. Dalam menetapkan sistem pengadaan, pengguna barang: a. Wajib menyediakan sebanyak-banyaknya paket pengadaan untuk usaha kecil

termasuk koperasi kecil tanpa mengabaikan prinsip efisiensi, persaingan sehat, kesatuan sistem, kualitas, dan kemampuan teknis usaha kecil;

b. Dilarang menyatukan atau memusatkan beberapa kegiatan yang tersebar di beberapa daerah yang menurut sifat pekerjaan dan tingkat efisiensinya seharusnya dilakukan di daerah masing-masing;

c. Dilarang menyatukan beberapa paket pekerjaan yang menurut sifat pekerjaan dan besaran nilainya seharusnya dilakukan oleh usaha kecil termasuk koperasi kecil;

d. Dilarang menetapkan kriteria dan persyaratan pengadaan yang diskriminatif dan tidak obyektif.

Dalam pemilihan penyedia barang, pada prinsipnya dilakukan melalui metoda

pelelangan umum. Pelelangan umum adalah metoda pemilihan penyedia barang yang dilakukan secara terbuka dengan pengumuman secara luas sekurang-kurangnya di satu surat kabar nasional dan/atau satu surat kabar provinsi. Dalam hal jumlah penyedia barang yang mampu melaksanakan diyakini terbatas yaitu untuk

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan : Aplikasi di Indonesia

219

pekerjaan yang kompleks, maka pemilihan penyedia barang dapat dilakukan dengan metoda pelelangan terbatas dan diumumkan secara luas sekurang-kurangnya di satu surat kabar nasional dan/atau satu surat kabar provinsi dengan mencantumkan penyedia barang lainnya yang memenuhi kualifikasi.

Dalam hal metoda pelelangan umum atau pelelangan terbatas dinilai tidak efisien

dari segi biaya pelelangan, maka pemilihan penyedia barang dapat dilakukan dengan metoda pemilihan langsung, yaitu pemilihan penyedia barang yang dilakukan dengan membandingkan sebanyak-banyaknya penawaran, sekurang-kurangnya 3 (tiga) penawaran dari penyedia barang yang telah lulus prakualifikasi serta dilakukan negosiasi baik teknis maupun biaya serta harus diumumkan minimal melalui papan pengumuman resmi untuk penerangan umum dan bila memungkinkan melalui internet. Dalam keadaan tertentu dan keadaan khusus, pemilihan penyedia barang dapat dilakukan dengan cara penunjukan langsung terhadap 1 (satu) penyedia barang dengan cara melakukan negosiasi baik teknis maupun biaya sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan.

Penunjukan langsung dapat dilaksanakan dalam hal memenuhi kriteria sebagai

berikut: 1. Keadaan tertentu, yaitu:

a. Penanganan darurat untuk pertahanan negara, keamanan dan keselamatan masyarakat yang pelaksanaan pekerjaannya tidak dapat ditunda atau harus dilakukan segera, termasuk penanganan darurat akibat bencana alam serta tindakan darurat untuk pencegahan bencana dan/atau kerusakan infrastruktur yang apabila tidak segera dilaksanakan dipastikan dapat membahayakan keselamatan masyarakat.

b. Pekerjaan yang perlu dirahasiakan yang menyangkut pertahanan dan keamanan negara yang ditetapkan oleh Presiden; dan/atau

c. Pekerjaan yang berskala kecil dengan nilai maksimum Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), dengan ketentuan: 1) Untuk keperluan sendiri; dan/atau 2) Teknologi sederhana; dan/atau 3) Risiko kecil; dan/atau 4) Dilaksanakan oleh penyedia barang usaha perseorangan dan/atau badan

usaha kecil termasuk koperasi kecil. d. Pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak paten atau pihak

yang mendapat ijin; dan/atau e. Pekerjaan tertentu yang ditetapkan melalui peraturan presiden, seperti

pengadaan barang pada proses pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan pekerjaan yang memerlukan penyelesaian secara tepat dalam rangka pengembalian kekayaan negara yang penanganannya dilakukan secara khusus.

2. Keadaan khusus, yaitu:

a. Pekerjaan berdasarkan tarif resmi yang ditetapkan pemerintah; atau b. Pekerjaan/barang spesifik yang hanya dapat dilaksanakan oleh satu penyedia

barang, pabrikan, pemegang hak paten; atau

Bab 7 : Manajemen Barang Milik Negara/Daerah

220

c. Merupakan hasil produksi usaha kecil atau koperasi kecil atau pengrajin industri kecil yang telah mempunyai pasar dan harga yang relatif stabil; atau

d. Pekerjaan yang kompleks yang hanya dapat dilaksanakan dengan penggunaan teknologi khusus dan/atau hanya ada satu penyedia barang yang mampu mengaplikasikannya.

Dalam pemilihan penyedia barang dapat dipilih salah 1 (satu) dari 3 (tiga) metode

penyampaian dokumen penawaran berdasarkan jenis barang yang akan diadakan dan metoda penyampaian dokumen penawaran tersebut harus dicantumkan dalam dokumen lelang yang meliputi: 1. Metode satu sampul, yaitu penyampaian dokumen penawaran yang terdiri dari

persyaratan administrasi, teknis, dan penawaran harga yang dimasukan ke dalam 1 (satu) sampul tertutup kepada panitia/pejabat pengadaan.

2. Metode dua sampul, yaitu penyampaian dokumen penawaran yang persyaratan administrasi dan teknis dimasukkan dalam sampul tertutup I, sedangkan harga penawaran dimasukkan dalam sampul tertutup II, selanjutnya sampul I dan sampul II dimasukkan ke dalam 1 (satu) sampul (sampul penutup) dan disampaikan kepada panitia/pejabat pengadaan.

3. Metode dua tahap, yaitu penyampaian dokumen penawaran yang persyaratan administrasi dan teknis dimasukkan dalam sampul tertutup I, sedangkan harga penawaran dimasukkan dalam sampul tertutup II, yang penyampaiannya dilakukan dalam 2 (dua) tahap secara terpisah dan dalam waktu yang berbeda.

Dalam pemilihan penyedia barang pemborongan lainnya dapat dipilih salah 1

(satu) dari 3 (tiga) metoda evaluasi penawaran berdasarkan jenis barang yang akan diadakan, dan metode evaluasi penawaran tersebut harus dicantumkan dalam dokumen lelang, yang meliputi: 1. Sistem gugur, yaitu evaluasi penilaian penawaran dengan cara memeriksa dan

membandingkan dokumen penawaran terhadap pemenuhan persyaratan yang telah ditetapkan dalam dokumen pemilihan penyedia barang dengan urutan proses evaluasi dimulai dari penilaian persyaratan administrasi, persyaratan teknis dan kewajaran harga, terhadap penyedia barang yang tidak lulus penilaian pada setiap tahapan dinyatakan gugur.

2. Sistem nilai, yaitu evaluasi penilaian penawaran dengan cara memberikan nilai angka tertentu pada setiap unsur yang dinilai berdasarkan kriteria dan nilai yang telah ditetapkan dalam dokumen pemilihan penyedia barang, kemudian membandingkan jumlah nilai dari setiap penawaran peserta dengan penawaran peserta lainnya.

3. Sistem penilaian biaya selama umur ekonomis, yaitu evaluasi penilaian penawaran dengan cara memberikan nilai pada unsur-unsur teknis dan harga yang dinilai menurut umur ekonomis barang yang ditawarkan berdasarkan kriteria dan nilai yang ditetapkan dalam dokumen pemilihan penyedia barang, kemudian nilai unsur-unsur tersebut dikonversikan ke dalam satuan mata uang tertentu, dan dibandingkan dengan jumlah nilai dari setiap penawaran peserta dengan penawaran peserta lainnya.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan : Aplikasi di Indonesia

221

Dalam mengevaluasi dokumen penawaran, panitia/pejabat pemilihan penyedia barang tidak diperkenankan mengubah, menambah, dan mengurangi kriteria dan tatacara evaluasi tersebut dengan alasan apapun dan atau melakukan tindakan lain yang bersifat post bidding. Pengadaan Barang melalui Swakelola

Swakelola adalah pelaksanaan pekerjaan yang direncanakan, dikerjakan, dan diawasi sendiri oleh pelaksana swakelola dengan menggunakan tenaga sendiri dan/atau tenaga dari luar baik tenaga ahli maupun tenaga upah borongan dengan ketentuan tenaga ahli dari luar tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari tenaga sendiri. Swakelola dilihat dari pelaksanaan pekerjaan dibedakan menjadi: 1. Swakelola oleh pengguna barang, yaitu pekerjaan yang direncanakan,

dikerjakan, dan diawasi sendiri oleh pengguna barang dengan menggunakan tenaga sendiri, dan/atau tenaga dari luar baik tenaga ahli maupun tenaga upah borongan.

2. Swakelola oleh instansi pemerintah lain non swadana (universitas negeri, lembaga penelitian/ilmiah pemerintah, lembaga pelatihan), yaitu pekerjaan yang perencanaan dan pengawasannnya dilakukan oleh pengguna barang, sedangkan pelaksanaan pekerjaan dilakukan oleh instansi pemerintah yang bukan penanggung jawab anggaran.

3. Swakelola oleh penerima hibah, yaitu pekerjaan yang perencanaa, pelaksanaan, dan pengawasannya dilakukan penerima hibah (kelompok masyarakat, LSM, komite sekolah/pendidikan, lembaga pendidikan swasta/lembaga penelitian/ilmiah non badan usaha dan lembaga lain yang ditetapkan oleh pemerintah) dengan sasaran ditentukan oleh instansi pemberi hibah.

Swakelola oleh Pengguna Barang

Ketentuan yang perlu diikuti dalam pelaksanaan swakelola jenis ini sebagai berikut: a. Pengadaan bahan, peralatan/suku cadang, dan tenaga ahli yang diperlukan

dilakukan oleh panitia yang ditetapkan oleh pengguna barang dan menggunakan metoda pengadaan yang ditetapkan.

b. Pembayaran upah tenaga kerja yang diperlukan dilakukan secara harian berdasarkan daftar hadir pekerja atau dengan cara upah borong.

c. Pembayaran gaji tenaga ahli tertentu yang diperlukan dilakukan berdasarkan kontrak konsultan perorangan.

d. Penggunaan tenaga kerja, bahan, dan peralatan dicatat setiap hari dalam laporan harian.

e. Pengiriman bahan dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas penyimpanan.

f. Panjar kerja dipertanggungjawabkan secara berkala maksimal secara bulanan. g. Pencapaian target fisik dicatat setiap hari dan dievaluasi setiap minggu agar

dapat diketahui apakah dana yang dikeluarkan sesuai dengan target fisik yang

Bab 7 : Manajemen Barang Milik Negara/Daerah

222

dicapai, sedangkan pencapaian target non fisik/perangkat lunak dicatat dan dievaluasi setiap bulan.

h. Pengawasan pekerjaan fisik di lapangan dilakukan oleh pelaksana yang ditunjuk oleh pengguna barang berdasarkan rencana yang telah ditetapkan.

Swakelola oleh Instansi Pemerintah Lain Non Swadana

Ketentuan yang perlu diikuti dalam pelaksanaan swakelola jenis ini sebagai berikut: a. Pengadaan bahan, peralatan/suku cadang, dan tenaga ahli yang diperlukan

dilakukan oleh panitia dari unsur instansi pemerintah pelaksana swakelola yang ditetapkan oleh pengguna barang dan menggunakan metoda pengadaan yang ditetapkan.

b. Pembayaran upah tenaga kerja yang diperlukan dilakukan secara harian berdasarkan daftar hadir pekerja atau dengan cara upah borong.

c. Pelaksanaan yang menggunakan Uang Persediaan dilakukan oleh instansi pemerintah pelaksana swakelola.

d. Pembayaran gaji tenaga ahli tertentu yang diperlukan dilakukan berdasarkan kontrak konsultan perorangan.

e. Penggunaan tenaga kerja, bahan, dan peralatan dicatat setiap hari dalam laporan harian.

f. Pengiriman bahan dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas penyimpanan.

g. Panjar kerja dipertanggungjawabkan secara berkala maksimal secara bulanan. h. Pencapaian target fisik dicatat setiap hari dan dievaluasi setiap minggu agar

dapat diketahui apakah dana yang dikeluarkan sesuai dengan target fisik yang dicapai, sedangkan pencapaian target non fisik/perangkat lunak dicatat dan dievaluasi setiap bulan.

i. Pengawasan pekerjaan fisik di lapangan dilakukan oleh pelaksana yang ditunjuk oleh pengguna barang berdasarkan rencana yang telah ditetapkan.

Swakelola yang dilaksanakan oleh Penerima Hibah

Ketentuan yang perlu diikuti dalam pelaksanaan swakelola jenis ini sebagai berikut: a. Pengadaan bahan, peralatan/suku cadang, dan tenaga ahli yang diperlukan

dilakukan oleh penerima hibah. b. Penyaluran dana hibah khusus untuk pekerjaan konstruksi dilakukan secara

bertahap sebagai berikut: 1) 50% (lima puluh persen) apabila organisasi pelaksanaan penerima hibah telah

siap. 2) 50% (lima puluh persen) sisanya apabila pekerjaan telah mencapai 30% (tiga

puluh persen). c. Pencapaian kemajuan pekerjaan dan dana yang dikeluarkan dilaporkan secara

berkala kepada pengguna barang.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan : Aplikasi di Indonesia

223

d. Pengawasan pelaksanaan pekerjaan dilakukan oleh penerima hibah.

Penggunaan Aset/Barang Pemerintah

Pada dasarnya barang milik negara/daerah digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga satuan kerja perangkat daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004. Oleh karena itu, sesuai Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa barang milik negara/daerah yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan negara/daerah tidak dapat dipindahtangankan. Dalam rangka menjamin tertib penggunaan, pengguna barang harus melaporkan kepada pengelola barang atas semua barang milik negara/daerah yang diperoleh kementerian/lembaga/ satuan kerja perangkat daerah untuk ditetapkan status penggunaannya.

Status penggunaan barang ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut:

• Barang milik negara oleh pengelola barang (Menteri Keuangan). • Barang milik daerah oleh gubernur/bupati/walikota (Kepala Pemerintah Daerah).

Penetapan status penggunaan barang milik negara dilakukan dengan tata cara sebagai berikut: a. Pengguna barang melaporkan barang milik negara yang diterimanya kepada

pengelola barang disertai dengan usul penggunaan. Usul penggunaan meliputi barang milik negara yang digunakan oleh pengguna barang untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi, termasuk barang milik negara yang ada pada pengguna barang yang direncanakan untuk dihibahkan kepada pihak ketiga atau yang akan dijadikan penyertaan modal negara.

b. Pengelola barang meneliti laporan tersebut dan menetapkan status penggunaan barang milik negara dimaksud.

Penetapan status penggunaan barang milik daerah dilakukan dengan tata cara

sebagai berikut: a. Pengguna barang melaporkan barang milik daerah yang diterimanya kepada

pengelola barang disertai dengan usul penggunaan; b. Pengelola barang meneliti laporan tersebut dan mengajukan usul penggunaan

dimaksud kepada gubernur/bupati/walikota untuk ditetapkan status penggunaannya.

Penetapan status penggunaan barang milik negara oleh pengelola barang

disertai dengan ketentuan: a. Pengguna barang mencatat barang milik negara tersebut dalam Daftar Barang

Pengguna apabila barang milik negara itu akan digunakan sendiri oleh pengguna barang untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsinya.

Bab 7 : Manajemen Barang Milik Negara/Daerah

224

b. Pengguna barang menyampaikan Berita Acara Serah Terima Pengelolaan Sementara Barang Milik Negara kepada pengelola barang apabila barang milik negara itu akan dihibahkan atau dijadikan penyertaan modal negara. Barang milik negara/daerah dapat ditetapkan status penggunaannya untuk

penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah, untuk dioperasikan oleh pihak lain dalam rangka menjalankan pelayanan umum sesuai tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan.

Penetapan status penggunaan tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan

ketentuan bahwa tanah dan/atau bangunan tersebut diperlukan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang yang bersangkutan. Pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang wajib menyerahkan tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang kepada: a. Pengelola barang untuk barang milik negara; atau b. Gubernur/bupati/walikota melalui pengelola barang untuk barang milik daerah.

Pengelola barang menetapkan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan yang harus diserahkan oleh pengguna barang karena sudah tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan. Dalam menetapkan penyerahan tersebut, pengelola barang memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Standar kebutuhan tanah dan/atau bangunan untuk menyelenggarakan dan

menunjang tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan; b. Hasil audit atas penggunaan tanah dan/atau bangunan.

Tindak lanjut pengelolaan atas penyerahan tanah dan/atau bangunan meliputi hal-hal sebagai berikut: a. Ditetapkan status penggunaannya untuk penyelenggaraan tugas pokok dan

fungsi instansi pemerintah lainnya melalui pengalihan status penggunaan. b. Dimanfaatkan dalam rangka optimalisasi barang milik negara/daerah dalam

bentuk sewa, kerja sama pemanfaatan, pinjam pakai, bangun guna serah dan bangun serah guna; atau

c. Dipindahtangankan, dalam bentuk penjualan, tukar menukar, hibah, penyertaan modal pemerintah pusat/daerah.

Pengguna barang milik negara/daerah yang tidak menyerahkan tanah dan/atau

bangunan yang tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan kepada pengelola barang dikenakan sanksi berupa pembekuan dana pemeliharaan tanah dan/atau bangunan dimaksud. Tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan sesuai fungsinya tersebut dicabut penetapan status penggunaannya. Penatausahaan Aset/Barang Pemerintah

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan : Aplikasi di Indonesia

225

Penatausahaan aset/barang pemerintah meliputi pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan barang milik negara/daerah yang berada di bawah penguasaan pengguna barang/kuasa pengguna barang. Seluruh aset tersebut harus dibukukan melalui proses pencatatan dalam Daftar Barang Kuasa Pengguna oleh kuasa pengguna barang, Daftar Barang Pengguna oleh pengguna barang dan Daftar Barang Milik Negara/Daerah oleh pengelola barang. Proses inventarisasi, baik berupa pendataan, pencatatan, dan pelaporan hasil pendataan barang milik negara/daerah merupakan bagian dari penatausahaan. Hasil dari proses pembukuan dan inventarisasi diperlukan dalam melaksanakan proses pelaporan barang milik negara/daerah yang dilakukan oleh kuasa pengguna barang, pengguna barang, dan pengelola barang.

Hasil penatausahaan barang milik negara/daerah digunakan dalam rangka: • Penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah setiap tahun. • Perencanaan kebutuhan pengadaan dan pemeliharaan barang milik

negara/daerah setiap tahun untuk digunakan sebagai bahan penyusunan rencana anggaran.

• Pengamanan administratif terhadap barang milik negara/daerah.

Kuasa pengguna barang/pengguna barang harus melakukan pendaftaran dan pencatatan barang milik negara/daerah ke dalam Daftar Barang Kuasa Pengguna (DBKP)/Daftar Barang Pengguna (DBP) menurut penggolongan dan kodefikasi barang yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Pengelola barang harus melakukan pendaftaran dan pencatatan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan dalam Daftar Barang Milik Negara/Daerah (DBMN/D) menurut penggolongan barang dan kodefikasi barang yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan Menteri Keuangan. Dokumen kepemilikan tanah dan/atau bangunan harus disimpan oleh pengelola barang. Sedangkan dokumen kepemilikan barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan harus disimpan oleh kuasa pengguna barang/pengguna barang.

Pengguna barang melakukan inventarisasi barang milik negara/daerah sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun (yaitu berupa sensus barang), kecuali terhadap barang milik negara/daerah yang berupa persediaan dan konstruksi dalam pengerjaan, pengguna barang melakukan inventarisasi setiap tahun (yaitu berupa opname fisik). Pengguna barang menyampaikan laporan hasil inventarisasi kepada pengelola barang selambat-lambatnya tiga bulan setelah selesainya inventarisasi. Pengelola barang melakukan inventarisasi barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang berada dalam penguasaannya sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun.

Inventarisasi bertujuan untuk membandingkan antara catatan BMN dengan jumlah, nilai, harga, kondisi, dan keberadaaan seluruh BMN yang dimiliki dan atau dikuasai oleh Unit Pengguna Barang (UPB) dalam rangka tertib administrasi BMN. Inventarisasi dilakukan oleh UPB secara berkala jika catatan BMN dianggap tidak akurat.

Tahapan dalam melaksanakan inventarisasi meliputi kegiatan persiapan, pelaksanaan, dan tindak lanjut. 1. Tahap Persiapan, pelaksanaan kegiatannya berupa:

Bab 7 : Manajemen Barang Milik Negara/Daerah

226

a. Membentuk tim inventarisasi. b. Membagi tugas dan menyusun jadwal pelaksanaan inventarisasi. c. Mengumpulkan dokumen BMN. d. Menyiapkan label sementara. e. Membuat denah ruangan, memberi nomor ruangan dan menentukan

penanggung jawab ruangan. f. Menyiapkan kertas kerja inventarisasi.

2. Pelaksanaan, pelaksanaan kegiatannya berupa:

a. Menghitung jumlah BMN per sub-sub kelompok barang. b. Mencatat BMN ke dalam kertas kerja inventarisasi. c. Menempelkan label sementara pada BMN yang telah dihitung. d. Menentukan kondisi BMN dengan kriteria baik, rusak ringan atau rusak berat. e. Menyusun Laporan Hasil Inventarisasi (LHI). f. Membandingkan LHI dengan dokumen BMN yang ada. g. Membuat daftar BMN yang tidak ditemukan, belum pernah dicatat dan rusak

berat. h. Menyampaikan LHI, daftar BMN yang tidak ditemukan, belum pernah dicatat,

dan rusak berat ke penanggung jawab UPB untuk ditindaklanjuti. 3. Tindak Lanjut, pelaksanaan kegiatannya berupa:

a. Menelusuri BMN yang tidak ditemukan. b. Membuat usulan penghapusan BMN yang rusak berat. c. Mencatat hasil inventarisasi ke dalam sistem akuntansi BMN. Penyusunan laporan aset/barang milik negara/daerah dilakukan secara

berjenjang. Kuasa pengguna barang harus menyusun Laporan Barang Kuasa Pengguna Semesteran (LBKPS) dan Laporan Barang Kuasa Pengguna Tahunan (LBKPT) untuk disampaikan kepada Pengguna Barang. Pengguna barang harus menyusun Laporan Barang Pengguna Semesteran (LBPS) dan Laporan Barang Pengguna Tahunan (LBPT) untuk disampaikan kepada Pengelola Barang. Pengelola barang harus menyusun Laporan Barang Milik Negara/Daerah (LBMN/D) berupa tanah dan/atau bangunan semesteran dan tahunan. Pengelola barang harus menghimpun Laporan Barang Pengguna Semesteran (LBPS) dan Laporan Barang Pengguna Tahunan (LBPT) serta Laporan Barang Milik Negara/Daerah (LBMN/D) berupa tanah dan/atau bangunan berdasarkan hasil penghimpunan laporan tersebut. Laporan Barang Milik Negara/Daerah (LBMN/D) digunakan sebagai bahan untuk menyusun neraca pemerintah pusat/daerah.

Klasifikasi dan kodefikasi BMN didasarkan pada Surat Keputusan Menteri

Keuangan Republik Indonesia No. 18/KMK.018/1999 tanggal 14 Januari 1999 tentang Klasifikasi dan Kodefikasi Barang Inventaris Milik/Kekayaan Negara. Apabila terdapat BMN yang belum terdaftar pada surat keputusan tersebut, agar menggunakan klasifikasi dan kode barang yang mendekati jenis dan atau fungsinya.

Satuan barang (measurement) dalam akuntansi BMN menggunakan satuan yang

terukur dan baku. Nilai barang dicatat berdasarkan harga perolehan (historical cost).

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan : Aplikasi di Indonesia

227

Apabila harga perolehan tidak diketahui, maka dilakukan penaksiran dengan metode tertentu dan jika penentuan harga taksiran tidak dapat dilakukan maka BMN tersebut diberi nilai satu rupiah (Rp1).

Penentuan nilai kapitalisasi dalam Akuntansi BMN mengacu pada keputusan

Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 01/KM.12/2001 tanggal 18 Mei 2001 tentang Pedoman Kapitalisasi BM/KN dalam Sistem Akuntansi Pemerintah. Penerapan kapitalisasi dalam Akuntansi BMN, mengakibatkan Buku Inventaris (BI) dibagi menjadi dua jenis yaitu: 1. BI Intrakomptabel mencakup BMN yang memenuhi kriteria kapitalisasi dan

seluruh BMN yang diperoleh sebelum berlakunya kebijakan kapitalisasi, dan BMN yang diperoleh melalui transaksi transfer masuk/penerimaan dari pertukaran/Pengalihan Masuk serta BMN yang dipindahbukukan dari BI Ekstrakomptabel pada saat nilai akumulasi harga perolehan dan nilai pengembangannya telah mencapai batas minimum kapitalisasi.

2. BI Ekstrakomptabel mencakup BMN yang tidak memenuhi kriteria kapitalisasi. Kode Lokasi adalah kode yang dipergunakan untuk mengidentifikasi unit penanggung jawab akuntansi BMN. Kode ini terdiri dari 14 (empat belas) angka yang memuat kode Pembina Barang Inventaris (PEBIN), Penguasa Barang Inventaris (PBI), Pembantu Penguasa Barang Inventaris (PPBI), dan Unit Pengurus Barang (UPB), dengan susunan sebagai berikut:

§ Kode PEBIN, mengacu kepada kode Bagian Anggaran Kementerian

Negara/Lembaga yang bersangkutan. § Kode PBI, mengacu kepada Kode Anggaran unit eselon I pada Kementerian

Negara/Lembaga yang bersangkutan. § Kode PPBI, mengacu kepada Kode Wilayah Anggaran.

Khusus Departemen Keuangan, kode PPBI yang digunakan adalah Kode Kantor Wilayah. Unit kerja yang tidak mempunyai PPBI, kode PPBI diisi dengan 00.

§ Kode UPB, mengacu kepada Kode Satuan Kerja yang tercantum pada DIK untuk Kantor atau kode DIP untuk Proyek/Bagian Proyek (saat ini disebut dengan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran atau DIPA).

Bab 7 : Manajemen Barang Milik Negara/Daerah

228

§ Kode UPB Bagian Proyek, mengacu kepada urutan nomor Bagian Proyek yang tercantum pada kode DIP untuk Bagian Proyek. Kode ini diisi dengan 00 untuk UPB Kantor/Proyek

Kode Barang terdiri dari golongan, bidang, kelompok, sub kelompok dan sub-sub

kelompok, dengan susunan sebagai berikut:

Pengelompokan/klasifikasi BMN seperti tersebut di atas berhubungan dengan Sistem Akuntansi BMN pada masing-masing jenjang organisasi akuntansi BMN. Pada tingkat UPB, jenis BMN diklasifikasikan ke dalam sub-sub kelompok, pada tingkat PPBI diklasifikasi ke dalam sub kelompok, pada tingkat PBI dan PEBIN diklasifikasikan ke dalam kelompok.

Kode Registrasi adalah kode yang terdiri dari Kode Lokasi ditambah dengan

tahun perolehan dan Kode Barang ditambah dengan nomor urut pendaftaran. Kode registrasi merupakan tanda pengenal BMN dengan susunan sebagai berikut:

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan : Aplikasi di Indonesia

229

Contoh : Pada Periode Akuntansi 2003 Biro Umum Sekretariat Jenderal Departemen Keuangan (kode kantor 231421.00) melakukan pembelian Komputer Note Book. Pada saat perolehan barang tersebut nomor pencatatan terakhir untuk Note Book yang dikuasai satuan kerja yang bersangkutan adalah 000037. Berdasarkan hal tersebut UPB dapat memberikan tanda pada Note Book tersebut sbb:

Akuntansi Barang Milik Negara Tujuan dan Prinsip

Akuntansi Barang Milik Negara (BMN) diselenggarakan dengan tujuan untuk

menghasilkan informasi yang diperlukan sebagai alat pertanggungjawaban atas pengelolaan dan pengendalian BMN yang dikuasai oleh suatu unit organisasi. Akuntansi BMN diselenggarakan oleh unit organisasi akuntansi BMN dengan memegang prinsip-prinsip:

Bab 7 : Manajemen Barang Milik Negara/Daerah

230

1. Ketaatan yaitu prinsip akuntansi BMN dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan dan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Apabila prinsip akuntansi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka yang diikuti adalah ketentuan perundang-undangan.

2. Konsistensi yaitu akuntansi BMN dilaksanakan secara berkesinambungan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

3. Kemampubandingan yaitu akuntansi BMN menggunakan klasifikasi standar sehingga menghasilkan laporan yang dapat dibandingkan antar periode akuntansi.

4. Materialitas yaitu akuntansi BMN dilaksanakan dengan tertib dan teratur sehingga seluruh informasi yang mempengaruhi keputusan dapat diungkapkan.

5. Obyektif yaitu akuntansi BMN dilakukan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

6. Harga Perolehan yaitu pencatatan BMN didasarkan atas harga perolehan. Apabila harga perolehan tidak dapat diketahui maka dapat ditentukan dengan harga taksiran.

7. Kelengkapan yaitu akuntansi BMN mencakup seluruh transaksi BMN yang terjadi.

Struktur Organisasi

Secara umum, struktur organisasi akuntansi BMN ditetapkan sebagai berikut: a. Pembina Barang Inventaris (PEBIN)

PEBIN merupakan unit akuntansi BMN pada tingkat Kementerian Negara/Lembaga, penanggungjawabnya adalah Menteri/Pimpinan Lembaga. PEBIN membawahi PBI

b. Penguasa Barang Inventaris (PBI) PBI merupakan unit akuntansi BMN pada tingkat Eselon I, penanggungjawabnya adalah pejabat Eselon I. PBI membawahi PPBI atau UPB.

c. Pembantu Penguasa Barang Inventaris (PPBI) PPBI merupakan unit akuntansi BMN pada tingkat wilayah atau unit kerja lain yang ditetapkan sebagai PPBI, penanggungjawabnya adalah Kepala Kantor Wilayah atau Kepala unit kerja yang ditetapkan sebagai PPBI. PPBI membawahi UPB.

d. Unit Pengurus Barang (UPB) UPB adalah Kantor/Satuan Kerja yang memiliki wewenang mengurus dan atau

menggunakan BMN, baik yang menguasai maupun tidak menguasai anggaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penanggung jawab UPB adalah Kepala Kantor/Kepala Satuan Kerja. Untuk Kementerian Negara/Lembaga yang tidak memiliki struktur organisasi akuntansi BMN lengkap seperti tersebut di atas, arus laporan dan dokumen BMN disampaikan langsung ke unit akuntansi BMN di atasnya, atau unit akuntansi BMN yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi akuntansi BMN. Di samping sebagai PPBI atau PBI, unit-unit organisasi ini juga melaksanakan fungsi selaku UPB untuk unit kerjanya. Unit instansi vertikal yang langsung berada di bawah kantor pusat, digolongkan sebagai UPB di bawah PBI.

Gambar 23

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan : Aplikasi di Indonesia

231

Struktur Organisasi Akuntansi BMN

Masing masing unit akuntansi terdiri dari: a. Penanggung jawab, dan b. Petugas akuntansi BMN yang terdiri dari Petugas Administrasi dan Petugas

Verifikasi

Gambar 24 Organisasi Akuntansi BMN UPB

Bab 7 : Manajemen Barang Milik Negara/Daerah

232

Gambar 25

Organisasi Akuntansi BMN PPBI

Gambar 26 Organisasi Akuntansi BMN PBI

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan : Aplikasi di Indonesia

233

Bab 7 : Manajemen Barang Milik Negara/Daerah

234

Gambar 27 Organisasi Akuntansi BMN PEBIN

Tugas dan Fungsi Unit Akuntansi Barang Milik Negara 1. Tingkat UPB

Tugas pokok penanggungjawab UPB adalah menyelenggarakan akuntansi BMN

di lingkungan unit kerjanya dengan fungsi sebagai berikut: a. Melaksanakan inventarisasi BMN. b. Menyelenggarakan akuntansi BMN. c. Menyusun dan menyampaikan laporan BMN secara berkala.

Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi tersebut, UPB melaksanakan kegiatan sebagaimana uraian di bawah ini.

a. Penanggungjawab UPB Penanggungjawab UPB melaksanakan kegiatan sebagai berikut: 1) Menunjuk dan menetapkan petugas akuntansi BMN, 2) Menyiapkan rencana pelaksanaan sistem akuntansi BMN, 3) Mengkoordinasikan pelaksanaan sistem akuntansi BMN, 4) Membentuk tim inventarisasi,

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan : Aplikasi di Indonesia

235

5) Menandatangani laporan kegiatan dan surat-surat untuk pihak luar sehubungan dengan pelaksanaan sistem,

6) Mengevaluasi hasil kerja petugas pelaksana, 7) Menelaah Buku Inventaris dan Buku Persediaan serta menandatangani

LKB, KIB, DIR, DIL dan Laporan BMN, 8) Menyampaikan daftar transaksi BMN ke unit akuntansi keuangan pada

setiap akhir bulan, 9) Menyampaikan laporan BMN pada akhir periode laporan dan LKB pada

akhir tahun anggaran ke PPBI atau PBI untuk UPB Pusat, 10) Menyerahkan BMN hasil pengadaan barang kepada unit struktural (UPB)

dengan berita acara serah terima,

b. Petugas akuntansi BMN Petugas akuntansi BMN pada tingkat UPB yang terdiri dari Petugas

Administrasi dan Petugas Verifikasi melaksanakan kegiatan sebagai berikut: 1) Memelihara dokumen sumber dan dokumen akuntansi BMN, 2) Melaksanakan inventarisasi, 3) Membukukan BMN ke dalam BI berdasarkan dokumen sumber, 4) Memberi tanda registrasi pada BMN, 5) Membuat DIR, KIB, dan DIL, 6) Menyusun daftar transaksi BMN pada setiap akhir bulan, 7) Menyusun laporan BMN pada akhir periode laporan dan LKB pada akhir

tahun anggaran, 8) Melakukan tutup buku pada setiap akhir tahun anggaran.

2. Tingkat PPBI

Tugas pokok penanggung jawab PPBI adalah menyelenggarakan akuntansi BMN

pada tingkat kantor wilayah atau unit kerja lain yang ditetapkan sebagai PPBI dengan fungsi sebagai berikut: a. Menyelenggarakan akuntansi BMN, b. Menyusun dan menyampaikan laporan BMN secara berkala.

Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi tersebut, PPBI melaksanakan kegiatan sebagaimana uraian di bawah ini.

a. Penanggungjawab PPBI Penanggungjawab PPBI melaksanakan kegiatan sebagai berikut:

1) Menunjuk dan menetapkan petugas akuntansi BMN, 2) Menyiapkan rencana pelaksanaan Sistem Akuntansi BMN, 3) Mengkoordinasikan pelaksanaan sistem akuntansi BMN, 4) Menandatangani laporan kegiatan dan surat-surat untuk pihak luar

sehubungan dengan pelaksanaan sistem, 5) Mengevaluasi hasil kerja petugas pelaksana, 6) Menelaah Buku Inventaris , menandatangani LKB dan laporan BMN, 7) Menyampaikan Laporan BMN pada akhir periode laporan dan LKB ke

PBI.

Bab 7 : Manajemen Barang Milik Negara/Daerah

236

b. Petugas akuntansi BMN

Petugas akuntansi BMN pada tingkat PPBI yang terdiri dari Petugas Administrasi dan Petugas Verifikasi melaksanakan kegiatan sebagai berikut:

1) Memelihara laporan BMN dan LKB dari UPB, 2) Menyusun Buku Inventaris berdasarkan penggabungan laporan BMN

UPB, 3) Menyusun laporan BMN tingkat PPBI berdasarkan BI PPBI setiap akhir

periode laporan, 4) Menyusun LKB pada akhir tahun anggaran, 5) Menyusun laporan BMN pada akhir periode laporan, 6) Melakukan tutup buku pada akhir tahun anggaran.

3. Tingkat PBI

Tugas pokok penanggungjawab PBI menyelenggarakan akuntansi BMN pada tingkat Eselon I yang ditetapkan sebagai PBI dengan fungsi sebagai berikut: a. Menyelenggarakan akuntansi BMN, b. Menyusun dan menyampaikan laporan BMN secara berkala.

Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi tersebut, PBI melaksanakan kegiatan sebagaimana uraian dibawah ini.

a. Penanggungjawab PBI Penanggung jawab PBI melaksanakan kegiatan sebagai berikut: 1) Menunjuk dan menetapkan Petugas akuntansi BMN, 2) Menyiapkan rencana pelaksanaan Sistem Akuntansi BMN, 3) Mengkoordinasikan pelaksanaan Sistem Akuntansi BMN, 4) Menandatangani laporan kegiatan dan surat-surat untuk pihak luar

sehubungan dengan pelaksanaan sistem, 5) Memantau dan mengevaluasi hasil kerja petugas pelaksana, 6) Menelaah Buku Inventaris, menandatangani LKB dan Laporan BMN, 7) Menyampaikan Laporan BMN pada akhir periode laporan dan LKB pada

akhir tahun anggaran ke PEBIN.

b. Petugas akuntansi BMN Petugas akuntansi BMN pada tingkat PBI, terdiri dari Petugas Administrasi

dan Petugas Verifikasi melaksanakan kegiatan sebagai berikut: 1) Memelihara Laporan BMN dan LKB dari PPBI dan atau UPB Pusat, 2) Menyusun Buku Inventaris berdasarkan penggabungan Laporan BMN

PPBI dan atau UPB Pusat, 3) Menyusun Laporan BMN tingkat PBI berdasarkan BI PBI setiap akhir

periode laporan, 4) Menyusun LKB berdasarkan penggabungan LKB PPBI dan atau UPB

Pusat, 5) Menyusun Laporan BMN pada akhir periode laporan, 6) Menyusun LKB pada akhir tahun anggaran, 7) Melakukan tutup buku pada akhir tahun anggaran.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan : Aplikasi di Indonesia

237

4. Tingkat PEBIN

Tugas pokok penanggung jawab PEBIN menyelenggarakan akuntansi BMN pada tingkat Kementerian Negara/Lembaga yang ditetapkan sebagai PEBIN dengan fungsi sebagai berikut: a. Menyelenggarakan akuntansi BMN, b. Menyusun dan menyampaikan laporan BMN secara berkala.

Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi tersebut, PEBIN melaksanakan kegiatan sebagaimana uraian di bawah ini.

a. Penanggung jawab PEBIN Penanggung jawab PEBIN melaksanakan kegiatan sebagai berikut: 1) Menunjuk dan menetapkan petugas akuntansi BMN, 2) Menyiapkan rencana pelaksanaan sistem akuntansi BMN, 3) Mengkoordinasikan pelaksanaan sistem akuntansi BMN, 4) Menetapkan penanggung jawab Organisasi Akuntansi BMN pada setiap

tingkat unit organisasi akuntansi BMN, 5) Mengevaluasi hasil kerja petugas pelaksana, 6) Menelaah Buku Inventaris dan Buku Persediaan serta menandatangani

laporan BMN tingkat PEBIN, 7) Menyampaikan laporan BMN ke Menteri Keuangan pada akhir periode

laporan.

b. Petugas akuntansi BMN Petugas akuntansi BMN pada tingkat PEBIN yang terdiri dari Petugas

Administrasi dan Petugas Verifikasi melaksanakan kegiatan sebagai berikut: 1) Memelihara Laporan BMN dan LKB dari PBI, 2) Menyusun BI berdasarkan penggabungan data BMN PBI, 3) Menyusun Laporan BMN tingkat PEBIN berdasarkan BI PEBIN setiap

akhir periode laporan, 4) Menyusun LKB berdasarkan penggabungan LKB PBI, 5) Menyusun Laporan BMN pada akhir periode laporan, 6) Melakukan tutup buku pada akhir tahun anggaran.

Sistem Akuntansi Barang Milik Negara (SABMN)

Sistem Akuntansi Barang Milik Negara (SABMN) merupakan sub-sistem dari

Sistem Akuntansi Instansi (SAI). SABMN diselenggarakan dengan tujuan untuk menghasilkan informasi yang diperlukan sebagai alat pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN serta pengelolaan/pengendalian BMN yang dikuasai oleh suatu unit akuntansi barang. Disamping menghasilkan informasi sebagai dasar penyusunan

Bab 7 : Manajemen Barang Milik Negara/Daerah

238

Neraca Kementerian Negara/Lembaga SABMN juga menghasilkan informasi-informasi untuk memenuhi kebutuhan pertanggungjawaban pengelolaan BMN dan kebutuhan-kebutuhan manajerial Kementerian Negara/Lembaga lainnya. Penjelasan lebih lanjut tentang SABMN diuraikan pada Bab 12 tentang Akuntansi dan Pelaporan.

Pengamanan dan Pemeliharaan Aset

Pengamanan administrasi yang ditunjang oleh pengamanan fisik dan pengamanan hukum atas barang milik negara/daerah merupakan bagian penting dari pengelolaan barang milik ncgara/daerah. Kuasa pengguna barang, pengguna barang dan pengelola barang memiliki wewenangan tangung jawab dalam menjamin keamanan barang milik negara/daerah yang berada di bawah penguasaannya dalam rangka menjamin pelaksanaan tugas pokok dan fungsi pemerintah.

Pengelola barang, pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang wajib

melakukan pengamanan barang milik negara/daerah yang berada dalam penguasaannya. Pengamanan barang milik negara/daerah tersebut meliputi 1. Pengamanan administrasi, yang meliputi kegiatan pembukuan, penginventarisan,

dan pelaporan barang milik negara/daerah serta penyimpanan dokumen kepemilikan secara tertib.

2. Pengamanan fisik antara lain ditujukan untuk mencegah terjadinya penurunan fungsi barang, penurunan jumlah barang dan hilangnya barang. Pengamanan fisk untuk tanah dan bangunan antara lain dilakukan dengan cara pemagaran dan pemasangan tanda batas tanah, sedangkan untuk selain tanah dan bangunan antara lain dilakukan dengan cara penyimpanan dan pemeliharaan.

3. Pengamanan hukum antara lain meliputi kegiatan melengkapi bukti status kepemilikan. Ketentuan mengenai sertifikasi dan bukti kepemilikan diatur sebagai berikut: a. Barang milik negara/ daerah berupa tanah harus disertifikatkan atas nama

Pemerintah Republik Indonesia/Pemerintah Daerah yang bersangkutan. b. Barang milik negara/daerah berupa bangunan harus dilengkapi dengan bukti

kepemilkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

c. Barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan harus dilengkapi dengan bukit kepemilikan atas nama pengguna barang.

d. Barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan harus dilengkapi dengan bukit kepemilikan atas nama Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

Yang dimaksud dengan disertifikatkan atas nama Pemerintah Republik

Indonesia/pemerintah daerah yang bersangkutan adalah penerbitan sertifikat hak atas tanah milik pemerintah pusat langsung atas nama Pemerintah Republik Indonesia dan penerbitan sertifikat hak atas tanah milik pemerintah daerah langsung atas nama pemerintah propinsi/kabupaten/kota. Selanjutnya pengelola barang untuk tanah milik pemerintah pusat, dan gubernur/bupati/walikota untuk tanah milik pemerintah daerah, akan menerbitkan surat penetapan status penggunaan tanah kepada masing-masing pengguna barang/kuasa pengguna barang sebagai dasar

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan : Aplikasi di Indonesia

239

penggunaan tanah tersebut. Hak atas tanah yang dapat diterbitkan berupa hak yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penyimpanan bukti kepemilikan diatur sebagai berikut:

1. Bukti kepemilikan barang milik negara/ daerah wajib disimpan dengan tertib dan aman.

2. Penyimpanan bukti kepemilikan barang milik negara berupa tanah dan/ atau bangunan dilakukan oleh pengelola barang.

3. Penyimpanan bukti kepemilikan barang milik negara selain tanah dan/ atau bangunan dilakukan oleh pengguna barang/kuasa pengguna barang.

4. Penyimpanan bukti kepemilikan barang milik daerah dilakukan oleh pengelola barang.

Pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang bertanggung jawab atas

pemeliharaan barang milik negara/daerah yang ada di bawah penguasaannya. Yang dimaksud dengan pemeliharaan adalah suatu rangkaian kegiatan untuk menjaga kondisi dan memperbaiki semua barang milik negara/daerah agar selalu dalam keadaan baik dan siap untuk digunakan secara berdaya guna dan berhasil guna. Pemeliharaan tersebut berpedoman pada Daftar Kebutuhan Pemeliharaan Barang (DKPB). Biaya pemeliharaan barang milik negara/daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/ Daerah.

Kuasa pengguna anggaran wajib membuat daftar hasil pemeliharaan barang

yang berada dalam kewenangannya dan melaporkan/ menyampakan daftar hasil pemeliharaan barang tersebut kepada pengguna barang secara berkala. Pengguna barang atau pejabat yang ditunjuk, meneliti laporan tersebut dan menyusun daftar hasil pemeliharaan barang yang dilakukan dalam satu tahun anggaran sebagai bahan untuk melakukan evaluasi mengenai efisiensi pemeliharaan barang milik negara/daerah. Penilaian Aset

Penilaian barang milik negara/daerah diperlukan dalam rangka mendapatkan nilai wajar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Nilai wajar atas barang milik negara/daerah yang diperoleh dari penilaian ini merupakan unsur penting dalam rangka penyusunan neraca pemerintah, pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah. Penetapan nilai barang milik negara/daerah dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/ daerah dilakukan dengan berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintah (SAP).

Ketentuan mengenai pelaksanaan penilaian diatur sebagai berikut:

1. Penilaian barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan dan pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh

Bab 7 : Manajemen Barang Milik Negara/Daerah

240

pengelola barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh pengelola barang.

2. Penilaian barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan dan pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh Gubernur/Bupati Walikota.

Yang dimaksud dengan tim penilai adalah panitia penaksir harga yang unsurnya

terdiri dari instansi terkait. Sedangkan penilai independen adalah penilai yang bersertifikat di bidang penilaian aset yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Penilaian barang milik negara/daerah tersebut dilaksanakan untuk mendapatkan nilai wajar, dengan estimasi terendah menggunakan NJOP. Penilaian barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan dan pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh pengguna barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh pengguna/pengelola barang. Penilaian tersebut dilaksanakan untuk mendapatkan nilai wajar. Hasil penilaian barang milik negara/daerah tersebut ditetapkan oleh: 1. Pengelola barang untuk barang milik negara; 2. Gubernur /Bupati /Walikota untuk barang milik daerah Pemanfaatan dan Pemindahtanganan

Aset/Barang

Barang milik negara/daerah dapat dimanfaatkan atau dipindahtangankan apabila tidak digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah. Dalam konteks pemanfaatan tidak terjadi adanya peralihan kepemilikan dari pemerintah kepada pihak lain. Sedangkan dalam konteks pemindahtanganan akan terjadi peralihan kepemilikan atas barang milik negara/daerah dari pemerintah kepada pihak lain.

Tanah dan/atau bangunan yang tidak dipergunakan sesuai tugas pokok dan

fungsi instansi pengguna barang harus diserahkan kepada Menteri Keuangan selaku pengelola barang untuk barang milik negara, atau Gubemur/Bupati/Walikota selaku pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah untuk barang milik daerah. Penyerahan kembali barang milik negara/daerah tersebut dilakukan dengan memperhatikan kondisi status tanah dan/atau bangunan, apakah telah bersertifikat (baik dalam kondisi bermasalah maupun tidak bermasalah) atau tidak bersertifikat (baik dalam kondisi bermasalah maupun tidak bermasalah).

Barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang telah

diserahkan tersebut selanjutnya didayagunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan negara, yang meliputi fungsi-fungsi berikut: 1. Fungsi Pelayanan

Fungsi ini direalisasikan melalui pengalihan status penggunaan, di mana barang milik negara/daerah dialihkan penggunaannya kepada instansi pemerintah

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan : Aplikasi di Indonesia

241

lainnya untuk digunakan dalam rangka memenuhi kebutuhan organisasi sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.

2. Fungsi Budgeter Fungsi ini direalisasikan melalui pemanfaatan dan pemindahtanganan. Pemanfaatan dimaksud dilakukan dalam bentuk sewa, kerjasama pemanfaatan, pinjam pakai, bangun guna serah dan bangun serah guna. Sedangkan pemindahtanganan dilakukan dalam bentuk penjualan, tukar menukar, hibah, dan penyertaan modal negara/daerah.

Kewenangan pelaksanaan pemanfaatan atau pemindahtanganan tanah dan/atau

bangunan pada barang milik negara prinsipnya dilakukan oleh pengelola barang, dan untuk barang milik daerah dilakukan oleh Gubernur/Bupati/Walikota, kecuali hal-hal sebagai berikut : 1. Pemanfaatan tanah dan/atau bangunan untuk memperoleh fasilitas yang

diperlukan dalam rangka menunjang tugas pokok dan fungsi instansi pengguna dan berada di dalam lingkungan instansi pengguna, contohnya: kantin, bank, dan koperasi.

2. Pemindahtanganan dalam bentuk tukar menukar berupa tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan untuk tugas pokok dan fungsi namun tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota.

3. Pemindahtanganan dalam bentuk penyertaan modal pemerintah pusat/daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang sejak awal pengadaaannya sesuai dokumen penganggaran diperuntukan bagi Badan Usaha Milik Negara/Daerah atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara.

Pengecualian tersebut, untuk barang milik negara dilakukan oleh pengguna

barang dengan persetujuan pengelola barang, sedangkan untuk barang milik daerah dilakukan oleh pengelola barang dengan persetujuan gubernur/bupati/walikota.

Pemanfaatan

Bentuk-bentuk pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa: 1. Sewa; 2. Pinjam pakai; 3. Kerjasama pemanfaatan; 4. Bangun guna serah dan bangun serah guna.

1. Sewa Ketetentuan mengenai pemanfaatan dalam bentuk sewa diatur sebagai

berikut: a. Barang milik negara/daerah dapat disewakan kepada pihak lain

sepanjang menguntungkan negara/daerah. b. Jangka waktu penyewaan barang milik negara/daerah paling lama lima

tahun dan dapat diperpanjang. Penetapan formula besaran tarif sewa dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) barang milik negara oleh pengelola barang;

Bab 7 : Manajemen Barang Milik Negara/Daerah

242

2) barang milik daerah oleh gubernur/bupati/walikota. c. Penyewaan dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian sewa-menyewa,

yang sekurang-kurangnya memuat: 1) Pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian; 2) Jenis, luas atau jumlah barang, besaran sewa, dan jangka waktu; 3) Tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan

selama jangka waktu penyewaan; 4) Persyaratan lain yang dianggap perlu.

d. Hasil penyewaan merupakan penerimaan negara/daerah dan seluruhnya wajib disetorkan ke rekening kas umum negara/daerah.

2. Pinjam Pakai

Ketetentuan mengenai pemanfaatan dalam bentuk pinjam pakai diatur sebagai berikut:

a. Pinjam pakai barang milik negara/daerah dilaksanakan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah.

b. Jangka waktu pinjam pakai barang milik negara/daerah paling lama dua tahun dan dapat diperpanjang.

c. Pinjam pakai dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian yang sekurang-kurangnya memuat: 1) Pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian; 2) Jenis, luas atau jumlah barang yang dipinjamkan, dan jangka waktu; 3) Tanggung jawab peminjam atas biaya operasional dan pemeliharaan

selama jangka waktu peminjaman; 4) Persyaratan lain yang dianggap perlu.

3. Kerjasama Pemanfaatan Kerjasama pemanfaatan barang milik negara/daerah dengan pihak lain

dilaksanakan dalam rangka: a. Mengoptimalkan daya guna dan hasil guna barang milik negara/daerah. b. Meningkatkan penerimaan negara/pendapatan daerah.

Kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara/daerah dilaksanakan

dengan ketentuan sebagai berikut: a. Tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalam Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah untuk memenuhi biaya operasional/pemeliharaan/ perbaikan yang diperlukan terhadap barang milik negara/daerah di maksud;

b. Mitra kerjasama pemanfaatan ditetapkan melalui tender dengan mengikutsertakan sekurang-kurangnya lima peserta/peminat, kecuali untuk barang milik negara/daerah yang bersifat khusus dapat dilakukan penunjukan langsung;

c. Mitra kerjasama pemanfaatan harus membayar kontribusi tetap ke rekening kas umum negara/daerah setiap tahun selama jangka waktu pengoperasian yang telah ditetapkan dan pembagian keuntungan hasil kerjasama;

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan : Aplikasi di Indonesia

243

d. Besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil kerjasama pemanfaatan ditetapkan dari hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh pejabat yang berwenang;

e. Besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil kerjasama pemanfaatan harus mendapat persetujuan pengelola barang;

f. Selama jangka waktu pengoperasian, mitra kerjasama pemafaatan dilarang menjaminkan atau menggadaikan barang milik negara/daerah yang menjadi obyek kerjasama pemanfaatan;

g. Jangka waktu kerjasama pemanfaatan paling lama tiga puluh tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang.

Semua biaya berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan kerjasama

pemanfaatan tidak dapat dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah .

4. Bangun Guna Serah dan Bangun Serah Guna Bangun guna serah dan bangunan serah guna barang milik negara/daerah

dapat dilaksanakan dengan persyaratan sebagai berikut: a. Pengguna barang memerlukan bangunan dan fasilitas bagi

penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah untuk kepentingan pelayanan umum dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi; dan

b. Tidak tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah untuk penyediaan bangunan dan fasilitas dimaksud.

Bangun guna serah dan bangun serah guna dilaksanakan dengan ketentuan

sebagai berikut: a. Jangka waktu bangun guna serah dan bangun serah guna paling lama

tiga puluh tahun sejak perjanjian ditandatangani. b. Penetapan mitra bangun guna serah dan mitra bangun serah guna

dilaksanakan melalui tender dengan mengikutsertakan sekurang-kurangnya lima peserta/ peminat.

c. Mitra bangun guna serah dan mitra bangun serah guna yang telah ditetapkan, selama jangka waktu pengoperasian harus memenuhi kewajiban sebagai berikut: 1) Membayar kontribusi ke rekening kas umum negara/ daerah setiap

tahun, yang besarannya ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh pejabat yang berwenang;

2) Tidak menjaminkan, menggadaikan atau memindahkantangankan objek bangun guna serah dan bangun serah guna;

3) Memelihara objek bangun guna serah dan bangun serah guna. d. Dalam jangka waktu pengoperasian, sebagai barang milik negara/daerah

hasil bangun guna serah dan bangun serah guna harus dapat digunakan langsung untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintah.

e. Bangun guna serah dan bangun serah guna dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian yang sekurang-kurangnya memuat: 1) Pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian ;

Bab 7 : Manajemen Barang Milik Negara/Daerah

244

2) Objek bangun guna serah dan bangun serah guna; 3) Jangka waktu bangun guna serah dan bangun serah guna; 4) Hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian; 5) Persyaratan lain yang dianggap perlu.

f. Ijin mendirikan bangunan hasil bangun guna serah dan bangun serah guna harus diatasnamakan Pemerintah Republik Indonesia/ Pemerintah Daerah.

g. Semua biaya berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan bangun guna serah dan bangun serah guna tidak dapat dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

h. Mitra bangun guna serah barang milik negara/daerah harus menyerahkan objek bangun guna serah kepada pengelola barang pada akhir jangka waktu pegoperasian, setelah dilakukan audit oleh aparat pegawasan fungsional pemerintah.

i. Jangka waktu bangun guna serah dan bangun serah guna paling lama tiga puluh tahun sejak perjanjian ditandatangani.

Pemindahtanganan

Pemindahtanganan barang milik negara/daerah dilakukan setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD untuk tanah dan/atau bangunan maupun selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Usulan untuk memperoleh persetujuan DPR diajukan oleh pengelola barang.

Persetujuan DPR/DPRD tersebut tidak diperlukan untuk kondisi sebagai berikut: 1. Sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota; 2. Harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan

dalam dokumen penganggaran; 3. Diperuntukkan bagi pegawai negeri; 4. Diperuntukkan bagi kepentingan umum; 5. Dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan, yang telah memiliki

kekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan, yang jika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis.

Yang dimaksud dengan tidak sesuai dengan tata ruang wilayah artinya pada

lokasi tanah dan/atau bangunan milik negara/daerah dimaksud terjadi perubahan peruntukan dan/atau fungsi kawasan wilayah, misalnya dari peruntukan wilayah perkantoran menjadi wilayah perdagangan. Sedangkan maksud tidak sesuai dengan penataan kota artinya atas tanah dan/atau bangunan milik negara/daerah dimaksud perlu dilakukan penyesuaian, yang berakibat pada perubahan luas tanah dan/atau bangunan tersebut.

Pemindahtanganan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan dalam kondisi pengecualian dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Untuk tanah dan/atau bangunan yang bernilai di atas Rp10.000.000.000,00

(sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan Presiden/gubernur/bupati/walikota;

2. Untuk tanah dan/atau bangunan yang bernilai sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh pengelola barang;

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan : Aplikasi di Indonesia

245

Pemindahtanganan barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan

dalam kondisi pengecualian dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang

bernilai sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang.

2. Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dilakukan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan Presiden;

3. Usul untuk memperoleh persetujuan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh pengelola barang.

4. Pemindahtanganan barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dilakukan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota.

Bentuk-bentuk pemindahtanganan sebagai tidak lanjut atas penghapusan barang

milik negara/daerah meliputi: 1. Penjualan; 2. Tukar-menukar; 3. Hibah; 4. Penyertaan modal pemerintah pusat/daerah.

1. Penjualan Penjualan barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan pertimbangan:

a. Untuk optimalisasi barang milik negara yang berlebih atau idle; b. Secara ekonomis lebih menguntungkan bagi negara apabila dijual; c. Sebagai pelaksanaan ketentuan perundang-udangan yang berlaku.

Pertimbangan penjualan barang milik negara/daerah tersebut, dikecualikan untuk:

a. Barang milik negara/daerah yang bersifat khusus; yaitu barang-barang yang diatur secara khusus sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku; misalnya, rumah negara golongan III yang dijual kepada penghuni, dan kendaraan dinas perorangan pejabat negara yang dijual kepada pejabat negara.

b. Barang milik negara/daerah lainnya yang ditetapkan lebih lanjut oleh pengelola barang.

Penjualan barang milik negara/daerah dilakukan secara lelang, kecuali dalam hal-

hal tertentu. Hasil penjualan barang milik negara/daerah wajib disetor seluruhnya ke rekening kas umum negara/daerah sebagai penerimaan negara/daerah. Penjualan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Kuasa pengguna barang mengajukan usul kepada pengguna barang untuk diteliti dan dikaji;

b. Pengguna barang mengajukan usul penjualan kepada pengelola barang; c. Pengelola barang meneliti dan mengkaji usul penjualan yang diajukan

oleh pengguna barang sesuai dengan kewenangannya;

Bab 7 : Manajemen Barang Milik Negara/Daerah

246

d. Pengelola barang mengeluarkan keputusan untuk menyetujui atau tidak menyetujui usulan penjualan yang diajukan oleh pengguna barang dalam batas kewenangannya;

e. Untuk penjualan yang memerlukan persetujuan Presiden/gubernur/bupati/walikota atau DPR/D, pengelola barang mengajukan usul penjualan disertai dengan pertimbangan atas usulan dimaksud;

f. Penerbitan persetujuan pelaksanaan oleh pengelola barang untuk penjualan sebagaimana dimaksud pada angka 5 dilakukan setelah mendapat persetujuan Presiden atau DPR.

2. Tukar-menukar Tukar-menukar barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan pertimbangan:

a. Untuk memenuhi kebutuhan operasional penyelenggaraan pemerintahan; b. Untuk optimalisasi barang milik negara/daerah; dan c. Tidak tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara/Daerah.

Tukar-menukar barang milik negara dapat dilakukan dengan pihak: a. Pemerintah daerah; b. Badan usaha milik negara/daerah atau badan hukum milik pemerintah

lainnya; c. Swasta.

Tukar menukar barang milik negara/daerah dapat berupa:

a. Tanah dan/atau bangunan yang telah diserahkan kepada pengelola barang untuk barang milik negara dan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah;

b. Tanah dan/atau bangunan yang masih dipergunakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang tetapi tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota;

c. Barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan.

3. Hibah Hibah barang milik negara/daerah dilakukan dengan pertimbangan untuk

kepentingan sosial, keagamaan, kemanusiaan, dan penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah. Hibah tersebut harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Bukan merupakan barang rahasia negara; b. Bukan merupakan barang yang menguasai hajat hidup orang banyak; c. Tidak digunakan lagi dalam penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi dan

penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah.

Hibah barang milik negara/daerah dapat berupa:

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan : Aplikasi di Indonesia

247

a. Tanah dan/atau bangunan yang telah diserahkan kepada pengelola barang untuk barang milik negara dan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah;

b. Tanah dan/atau bangunan yang dari awal pengadaannya direncanakan untuk dihibahkan sesuai yang tercantum dalam dokumen penganggaran;

c. Barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan.

Penetapan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang akan dihibahkan dilakukan oleh:

a. Pengelola barang untuk barang milik negara; b. Gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah, sesuai batas

kewenangannya.

4. Penyertaan Modal Pemerintah Penyertaaan modal Pemerintah Pusat/Daerah atas Barang Milik Negara/Daerah

dilakukan dalam rangka pendirian, pengembangan, dan peningkatan kinerja badan usaha milik negara/daerah atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara/daerah. Penyertaaan modal pemerintah pusat/daerah tersebut dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut:

a. Barang milik negara/daerah yang dari awal pengadaannya sesuai dokumen penganggaran diperuntukkan bagi badan usaha milik negara/daerah atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara/daerah dalam rangka penugasan pemerintah; atau

b. Barang milik negara/daerah lebih optimal apabila dikelola oleh badan usaha milik negara/daerah atau badan hokum lainnya yang dimiliki negara/daerah baik yang sudah ada maupun yang akan dibentuk.

Penghapusan Aset/Barang

Penghapusan barang milik negara/daerah meliputi: 1. Penghapusan dari daftar barang pengguna dan/atau kuasa pengguna; 2. Penghapusan dari daftar barang milik negara/daerah.

Penghapusan barang milik negara/daerah tersebut dilakukan dalam hal barang milik negara/daerah dimaksud sudah tidak berada dalam penguasaan pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang, Barang milik negara/daerah sudah tidak berada dalam penguasaan pengguna barang dan atau kuasa pengguna barang disebabkan oleh: 1. Penyerahan kepada pengelola barang; 2. Pengalihgunaan barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan

kepada pengguna barang lain; 3. Pemindahtanganan atas barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau

bangunan kepada pihak lain; 4. Pemusnahan; 5. Sebab-sebab lain antara lain karena hilang, kecurian, terbakar, susut, menguap,

mencair.

Bab 7 : Manajemen Barang Milik Negara/Daerah

248

Penghapusan tersebut dilakukan dengan penerbitan surat keputusan

penghapusan dari: 1. Pengguna barang setelah mendapat persetujuan dari pengelola barang untuk

barang milik negara; 2. Pengguna barang setelah mendapat persetujuan Gubernur/Bupati/ Walikota atas

usul pengelola barang untuk barang milik daerah. Pelaksanaan atas penghapusan selanjutnya dilaporkan kepada pengelola barang.

Penghapusan barang milik negara/daerah dari daftar barang milik negara/daerah dilakukan dalam hal barang milik negara/daerah dimaksud: 1. Sudah beralih kepemilikannya, yaitu karena atas barang milik negara/daerah

dimaksud telah terjadi pemindahtanganan atau dalam rangka menjalankan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan sudah tidak ada upaya hukum lainnya.

2. Terjadi pemusnahan, 3. Atau karena sebab-sebab lain yang diatur undang-undang, antara lain adalah

karena hilang, kecurian, terbakar, susut, menguap, mencair.

Penghapusan tersebut dilakukan dengan penerbitan surat keputusan penghapusan dari: 1. Pengelola barang untuk barang milik negara; 2. Pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/ walikota untuk

barang milik daerah.

Penghapusan barang milik negara/daerah dengan tindak lanjut pemusnahan dilakukan apabila barang milik negara/ daerah dimaksud: 1. Tidak data digunakan, tidak dapat dimanfaatkan, dan tidak dapat

dipindahtangankan; atau 2. Alasan lain sesuai ketentuan perundang-undangan.

Pemusnahan tersebut dilaksanakan oleh: 1. Pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang untuk barang

miliki negara; 2. Pengguna barang dengan surat keputusan dari pengelola barang setelah

mendapat persetujuan ubernur/ bupati/walikota untuk barang milik daerah.

Pelaksanaan pemusnahan tersebut dituangkan dalam berita acara dan dilaporkan kepada pengelola barang.

òô

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan : Aplikasi di Indonesia

249

Rangkuman

Segala harta/kekayaan yang kita miliki, baik harta tersebut memiliki wujud

(tangible) maupun tidak memiliki wujud (intangeble) adalah aset. Aset berwujud adalah aset yang memiliki wujud fisik, seperti tanah, bangunan, peralatan, kendaraan, dan lain-lain. Sedangkan aset tidak berwujud adalah aset yang tidak memiliki wujud secara fisik. Kepemilikan atas aset ini ditandai melalui penguasaan hak kepemilikan secara hukum formal. Contoh aset tidak berwujud antara lain: hak paten, hak cipta, merek dagang, hak waralaba (franchise), goodwill, dan sebagainya.

Aset pemerintah adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya non-keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya.

Manajemen aset tetap pemerintah memiliki tujuan dan sasaran, yaitu: mengoptimalkan pemanfaatan aset tetap untuk mendukung penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintah, mengelola aset tetap sebagai suatu investasi menghasilkan agar mampu memberikan sumbangan penerimaan negara dalam bentuk penerimaan negara bukan pajak melalui pemanfaatan aset tetap tersebut, menekan biaya keseluruhan dari kepemilikan aset tetap, menyeleksi secara ketat setiap permintaan aset tetap baru, mengevaluasi pertanggungjawaban dan akuntabilitas pengguna aset tetap, dan menganalisis kebutuhan aset tetap di masa mendatang. Manajemen aset tetap haruslah diletakkan dalam kerangka pelaksanaan tugas dan fungsi utama organisasi. Dengan demikian, manajemen aset tetap pun harus sejalan dengan rencana strategis dan rencana kerja organisasi secara keseluruhan.

Perencanaan kebutuhan barang milik negara/daerah disusun dalam rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah setelah memperhatikan ketersediaan Barang Milik Negara/Daerah yang ada. Perencanaan kebutuhan Barang Milik Negara/Daerah tersebut berpedoman pada standar barang, standar kebutuhan (yaitu standar sarana dan prasarana), dan standar harga.

Hasil penatausahaan Barang Milik Negara/Daerah digunakan dalam rangka penyusunan neraca Pemerintah Pusat/Daerah setiap tahun, perencanaan kebutuhan pengadaan dan pemeliharaan barang milik Negara/daerah setiap tahun untuk digunakan sebagai bahan penyusunan rencana anggaran, dan pengamanan administratif terhadap Barang Milik Negara/Daerah.

Bab 7 : Manajemen Barang Milik Negara/Daerah

250

-o0o-

PENGELOLAAN BADAN LAYANAN UMUM

“Penetapan suatu BLU untuk mengikuti pola pengelolaan keuangan yang khusus dibandingkan dengan satuan kerja lainnya dilakukan oleh Menteri

Keuangan setelah menerima usulan dari kementerian teknis yang membawahi satuan kerja dimaksud. “

Bab ini membahas pengelolaan badan layanan umum dalam manajemen perbendaharaan di Indonesia. Setelah mempelajari bab ini Saudara diharapkan mampu untuk menjelaskan hal-hal yang terkait dengan: § Gambaran umum BLU § Pengelolaan keuangan BLU § Standar Pelayanan dan Kinerja BLU

Bab 8 : Pengelolaan Badan Layanan Umum

254

Pendahuluan

Sebagai landasan hukum Pengelolaan Keuangan Negara, pada tanggal 5 April 2003 telah diundangkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UUKN). Selanjutnya pada tanggal 14 Januari 2004 telah disahkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UUPN). Dalam penjelasan UUPN dikemukakan bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dapat dibentuk Badan Layanan Umum (BLU) yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan atau jasa yang diperlukan dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lebih jauh ditegaskan bahwa kekayaaan BLU merupakan kekayaan negara yang

tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan BLU yang bersangkutan. Bagian ini akan menjelaskan hal hal yang terkait dengan Badan Layanan Umum.

Pengertian Badan Layanan Umum Badan Layanan Umum (BLU) adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang

dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Tujuan pembentukan BLU adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat. Yang dimaksud dengan praktek bisnis yang sehat adalah penyelenggaraan fungsi organisasi berdasarkan kaidah-kaidah manajemen yang baik dalam rangka pemberian layanan yang bermutu dan berkesinambungan. Kekayaan BLU merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan BLU yang bersangkutan. Dari segi kelembagaan, status BLU penempatannya berada pada kementrian negara/lembaga/pemerintah daerah. Berkenaan dengan itu, rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja BLU disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah.

Istansi Pemerintah dapat melakukan pengelolaan keuangan dengan mekanisme

Badan Layanan Umum apabila memenuhi kriteria substantif dan kriteria teknis. Kriteria Substantif menekankan pada bagaimana memperoleh imbalan atas seluruh/sebagian layanan berupa barang/jasa yang diberikan kepada masyarakat (fungsi cost sharing) dan harus berorientasi pada layanan publik/masyarakat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya BLU tidak mengutamakan mencari keuntungan. Adapun Kriteria Teknis adalah merupakan suatu upaya

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan Aplikasi: di Indonesia

255

pendirian sebuah BLU dengan lebih memperhatikan kriteria teknis yang ditentukan oleh masing-masing kementerian negara/lembaga yang bersangkutan. Kriteria yang dimaksud tersebut antara lain meliputi aspek jenis dan mutu layanan produk, aspek kinerja keuangan, dan aspek manfaat pelayanan bagi masyarakat.

Penetapan suatu unit pemerintah yang dapat menggunakan pola pengelolaan

keuangan Badan Layanan Umum (BLU) dilakukan oleh Menteri Keuangan berdasarkan usulan dari menteri/pimpinan lembaga teknis. Untuk dapat diusulkan penetapannya, unit dimaksud harus memenuhi kriteria substantif, kriteria teknis dan syarat administratif.

Untuk kriteria substantif dan kriteria teknis akan mengacu pada ketentuan yang

ditetapkan oleh kementerian/lembaga teknis unit pemerintah yang bersangkutan. Adapun syarat administratif yang harus dipenuhi oleh unit pemerintah adalah sebagai berikut: a. Mampu membuat dan menyajikan neraca awal, b. Mampu menyusun laporan keuangan, c. Mampu membuat rencana strategis, d. Membuat rencana kerja (business plan) yang mencakup program, aktivitas,

output, input, perkiraan biaya dan harga, dan e. Mempunyai standar pelayanan minimal. f. Mampu menentukan output yang terukur dari dana yang diperoleh dari

pemerintah g. Mampu menentukan output yang terukur dari dana yang dihasilkan sendiri h. Memiliki dan mengimplementasikan AD dan ART yang mengatur tentang

pengangkatan, pemberhentian, remunerasi, deskripsi hak, wewenang, dan kewajiban dari eksekutif dan komisaris/board of trustees

i. Mempunyai budaya dan mekanisme pengambilan keputusan yang transparan. j. Mempunyai sistem informasi yang handal. k. Memiliki dan melaksanakan standard akuntansi yang diberlakukan bagi BLU l. Memiliki dan melaksanakan sistem pengelolaan keuangan yang berbasis pada

efektivitas dan efisiensi menurut standar nasional m. Memiliki dan melaksanakan Sistem Informasi Manajemen Finansial yang

berkualitas menurut standar nasional n. Memiliki kapasitas untuk diaudit secara independen serta sudah melaksanakan

eksternal audit tersebut. o. Bersedia membuat statement of intent.

Unit pemerintah yang dapat menggunakan pola pengelolaan keuangan BLU, antara lain Unit pelayanan kesehatan, Unit pelayanan tanda identitas, Unit penyelenggara pendidikan, Unit penyelenggara penyiaran publik, Unit pelayanan benih tanaman dan ternak, Unit pelayanan kebersihan kota, Unit pengelola wilayah atau otorita, Unit penelitian dan pengembangan, dan Unit pengelola dana bergulir.

Pada prinsipnya, BLU dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) rumpun, yaitu: rumpun

kegiatan penghasil barang/jasa, rumpun kegiatan pengelolaan wilayah, dan rumpun kegiatan pengelolaan dana khusus. Rumpun kegiatan penghasil barang/jasa

Bab 8 : Pengelolaan Badan Layanan Umum

256

merupakan unit pelayanan publik yang dalam melaksanakan kegiatan menghasilkan barang/jasa bagi masyarakat umum. Termasuk dalam rumpun ini adalah pelayanan kesehatan, penyelenggaraan pendidikan, pelayanan lisensi dan dokumen seperti surat ijin mengemudi (SIM), STNK, paspor, atau KTP, penyelenggaraan jasa penyiaran publik, pelayanan benih tanaman dan ternak, pelayanan kebersihan kota, dan pengelolaan olah raga, serta penelitian dan pengembangan. Rumpun kegiatan pengelolaan wilayah merupakan unit pelayanan publik yang dalam melaksanakan kegiatan mengelola wilayah secara otonom, seperti Otorita dan Kapet. Rumpun kegiatan pengelolaan dana khusus merupakan unit pelayanan publik yang mengelola suatu dana khusus, seperti pengelolaan atas dana bergulir, usaha kecil menengah, penerusan pinjaman, dan tabungan perumahan, serta pengelola dana Ongkos Naik Haji (ONH). Pengelolaan Keuangan BLU

Pengelolaan keuangan BLU tidak terlepas dari hubungan kelembagaan yang ada

antara BLU dengan kementerian teknis dan kementerian keuangan. Hubungan ini harus dipertegas agar tanggung jawab dan wewenang dari masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya semakin jelas. Hubungan ini sendiri pada dasarnya adalah merupakan suatu arm length relationship, dimana BLU merupakan kepanjangan tangan dari kementerian teknis atas program kerja yang menjadi kewenangannya. Menteri Keuangan dalam hal ini adalah sebagai Chief Financial Officer sedangkan menteri teknis adalah sebagai Chief Operasional Officer. Hubungan antara kedua lembaga pusat ini adalah sebagai pejabat yang diberikan kewenangan (agent) yang ada pada Presiden sebagai Chief Executive Officer. Sedangkan peran dari BLU sendiri adalah merupakan kuasa pengguna anggaran dari kementerian teknis dimaksud.

Dalam hubungan ini kementerian teknis bertanggungjawab atas kebijakan-

kebijakan sektoral yang ada dalam kewenangannya sedangkan BLU bertanggungjawab atas pelaksanaan operasional dari kebijakan-kebijakan sektoral yang disusun. BLU sendiri dapat memberikan masukan atas kebijakan-kebijakan yang diambil oleh kementerian teknis. Dalam Undang-Undang Keuangan Negara, akuntabilitas dibagi ke dalam beberapa tataran, tataran akuntabilitas kebijakan (political accountability) dibebankan kepada masing-masing kementerian negara/lembaga/kepala daerah, sedangkan tataran akuntabilitas operasional (operational accountability) dibebankan kepada satuan kerja. BLU dalam hal ini disetarakan dengan satuan kerja dari masing-masing kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah. BLU hanya bertanggung jawab atas kegiatan yang diberikan oleh principal-nya dalam hal ini adalah kementerian teknis. Perbedaan dengan satuan kerja yang berada dibawah langsung kementerian negara/lembaga adalah terletak dari sisi keleluasaan/fleksibilitas pengelolaannya, dimana BLU diberikan fleksibilitas yang lebih dibandingkan satuan kerja yang berada langsung di bawah kementerian teknis, walaupun begitu fleksibilitas yang diberikan tidak mengurangi sisi pertanggungjawaban yang harus dilakukan.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan Aplikasi: di Indonesia

257

Dikarenakan kementerian teknis bertanggung jawab atas kebijakan yang diambil sebagai dasar bagi BLU untuk melaksanakan kegiatan operasional, maka menteri teknis bertindak sebagai pembina teknis bagi BLU. Sedangkan Menteri Keuangan bertindak sebagai pembina keuangan atas BLU dikarenakan dana BLU adalah merupakan bagian dari kekayaan negara yang tidak dipisahkan.

Penetapan suatu BLU untuk mengikuti pola pengelolaan keuangan yang khusus

dibandingkan dengan satuan kerja lainnya dilakukan oleh Menteri Keuangan setelah menerima usulan dari kementerian teknis yang membawahi satuan kerja dimaksud. Dengan penetapan ini, unit pemerintah yang bersangkutan diberikan keleluasaan yang lebih besar dalam pengelolaan keuangan dibandingkan sebelumnya. Namun penetapan ini akan dievaluasi secara periodik oleh kementerian teknis dan kementerian keuangan. Apabila unit pemerintah tersebut tidak dapat mencapai kinerja yang telah ditetapkan maka penetapan tersebut dapat dicabut.

Adapun penetapan pengelolaan BLU ditujukan untuk:

1. Meningkatkan pelayanan/penyediaan barang dan/atau jasa kepada masyarakat; 2. Meningkatkan independensi, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan

keuangan; 3. Meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya yang ada dan meningkatkan

produktifitas; 4. Mempersiapkan kondisi yang memadai apabila unit pemerintah yang

bersangkutan akan menjadi lembaga yang lebih mandiri.

Ada beberapa issue dalam hubungan kelembagaan antara BLU dengan kementerian/lembaga dimaksud, seperti apakah tataran pertanggungjawaban BLU akan hanya sampai dengan kegiatan saja atau termasuk juga bertanggung jawab atas pencapaian program. Hal ini perlu ditegaskan sebab dari praktek di negara lain, akuntabilitas BLU dapat juga atas program, akan tetapi amanat yang ada dalam Undang-Undang Keuangan Negara jelas bahwa satuan kerja, termasuk BLU hanya bertanggung jawab atas pencapaian keluaran dari kegiatan yang diemban. Issue lainnya dalam hubungan kelembagaan, yang juga cukup penting, adalah penunjukan atas dewan pengawas dari BLU dimaksud. Sejauh mana peran kementerian teknis dan kementerian keuangan atas penunjukan tersebut.

Hubungan yang jelas bertujuan untuk memberikan ketegasan bagi BLU untuk memberikan layanan kepada masyarakat secara optimal. Tentunya dalam penyediaan layanan masyarakat dimaksud BLU diharapkan mempunyai fleksibilitas yang memadai dalam menggunakan sumber daya yang ada dalam pengelolaannya.

Berikut ini adalah beberapa kekhususan perlakuan keuangan yang berlaku bagi

BLU dan tidak berlaku bagi instansi pelaksana APBN/D lainnya: 1. Anggaran operasional disusun berdasarkan pendekatan kinerja layanan yang

dihasilkan dengan kalkulasi standar biaya (cost standard accounting) yang dinegosiasikan dengan menteri/pimpinan lembaga.

2. Anggaran tersebut di atas dikonsolidasikan dengan RKAKL/Pemda sebagai ”Belanja Barang”, dalam hal belanja pegawai diperoleh sebagian dari APBN/D murni, maka jumlah tersebut diklasifikasikan sebagai belanja pegawai.

Bab 8 : Pengelolaan Badan Layanan Umum

258

3. Mismatch atau selisih antara total biaya layanan dengan pendapatan BLU non-APBN diusulkan untuk dibiayai dari APBN murni, dengan memperhatikan penerapan flexible budget atau realisasi belanja yang disesuaikan dengan perubahan dalam output yang di-delivered.

4. DIPA/DASK yang telah disetujui dilengkapi dengan lembar perjanjian kinerja (contractual performance agreement) antara Menteri/Pimpinan Lembaga/KDH dengan pimpinan BLU.

5. Pendapatan yang bersumber dari pemberian layanan, hibah dan pendapatan lain, dapat digunakan langsung untuk membiayai kegiatan BLU. Pendapatan yang bersumber dari APBN murni dikucurkan dengan prosedur SPM berdasarkan jadwal yang tertuang dalam DIPA/DASK.

6. Kas dikelola secara mandiri, terutama untuk kepentingan pelaksanaan operasional BLU. Dana surplus dapat digunakan untuk short term investment.

7. Piutang dan utang operasional atau investment dikelola sesuai prinsip bisnis yang sehat, dengan jenjang kewenangan tertentu (PMK) dalam pengadaan utang dan penghapusan piutang.

8. Dibebaskan dari ketentuan pengadaan barang pemerintah bila terdapat alasan efektivitas dan efisiensi, kecuali terhadap pengadaan barang modal yang bersumber langsung dari APBN/D.

9. Penghapusan dan pengalihan dilakukan dengan kewenangan berjenjang. 10. BLU pada dasarnya tidak diperkenankan melakukan investasi permanen pada

usaha lain, kecuali atas ijin Menteri Keuangan/Kepala Daerah. 11. BLU dapat memberi imbalan/imbalan tambahan kepada pegawai/pejabatnya,

baik pegawai/pejabat eks PNS maupun yang non PNS. 12. Surplus realisasi anggaran suatu tahun dapat digunakan untuk membiayai

anggaran tahun berikutnya. Sebaliknya, defisit dapat diusulkan untuk dibiayai dalam TA berikutnya.

Asas Fleksibilitas Pengelolaan BLU

Kekayaan BLU merupakan bagian dari kekayaan negara yang tidak dipisahkan. Pola pengelolaan keuangan BLU mengikuti asas-asas umum dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas kesatuan, asas tahunan, dan asas spesialitas, kecuali asas universalitas. • Asas kesatuan menghendaki agar semua pendapatan dan belanja disajikan

dalam satu dokumen anggaran, dengan demikian rencana kerja dan anggaran BLU harus terintegrasi dalam rencana kerja dan anggaran kementerian teknis yang bersangkutan.

• Asas tahunan membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu tahun tertentu, dengan demikian BLU tetap menyusun rencana kerja dan anggaran untuk tahun anggaran yang sesuai dengan tahun anggaran kementerian teknis yang bersangkutan.

• Asas spesialitas mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terinci secara jelas peruntukannya, dengan demikian anggaran BLU dirinci dalam kredit anggaran yang sesuai dengan mata anggaran kementerian teknis yang bersangkutan.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan Aplikasi: di Indonesia

259

• Asas universalitas adalah asas yang mengharuskan setiap transaksi keuangan ditampilkan secara utuh dalam dokumen anggaran. Dalam hal BLU asas ini dikecualikan penerapannya dengan cara melampirkan laporan keuangan BLU pada laporan keuangan kementerian teknis tetapi tidak untuk setiap transaksi keuangan. Selain itu pendapatan BLU dapat langsung digunakan untuk belanja BLU. Sebenarnya pengelolaan yang lebih baik atas BLU ini dikarenakan adanya

perubahan paradigma yang sangat mendasar dalam pengelolaan keuangan sektor publik di Indonesia, dari konsep public financial administration menjadi public financial management. Banyak pihak mengatakan sebagai pendekatan managerialis dimana nilai-nilai pengelolaan keuangan sektor swasta dicoba untuk diterapkan kedalam pengelelolaan keuangan sektor publik yang bertujuan untuk sebesar-besar pelayanan kepada masyarakat.

Hal tersebut juga sejalan dengan tujuan dari pengelolaan belanja publik (Public

Expenditure Management) (Shichk. A.: 1998) yang mengatakan bahwa pengelolaan keuangan sektor publik bertujuan untuk, pertama adalah meningkatkan disiplin anggaran secara keseluruhan sehingga tingkat defisit keuangan negara dan kesinambungan fiskal dapat terjaga. Kedua adalah alokasi anggaran secara efisien, dalam artian bahwa anggaran harus dialokasikan kepada kementerian dan program sesuai dengan prioritas. Dan ketiga adalah pelayanan kepada publik harus efisien dalam arti bahwa satuan kerja diberikan kewenangan yang memadai untuk menghasilkan pelayanan kepada masyarakat. Jadi dalam pengelolaan keuangan publik akan ada pertentangan antara keterbatasan anggaran sejalan dengan keleluasaan yang diberikan (budget constraint versus flexibility).

Fleksibilitas dalam pengelolaan BLU terdiri atas beberapa aspek, seperti

fleksibiliats dalam pengelolaan sumber daya manusia BLU, fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan BLU, dan fleksibilitas dalam pengelolaan aset seperti tertuang dalam Managerial Flexibility Act of 2001 di Amerika Serikat. Fleksibilitas dalam pengelolaan sumber daya manusia termasuk kewenangan untuk merekrut tenaga kerja profesional dan tenaga lepas non PNS, serta menyusun mekanisme pemberhentian pegawai non-PNS dan pemberian bonus ataupun tunjangan lainnya, ataupun memberikan gaji yang memadai bagi senior PNS sama dengan yang diberikan di sektor swasta.

Fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan adalah dengan lebih menekankan

prinsip-prinsip yang disetujui bersama dalam pengelolaan keuangan BLU, bukan atas detail keuangan. BLU diberikan kewengan untuk menggunakan efisiensi dari pelaksanaan anggaran, sisa anggaran dapat dibawa ke tahun anggaran berikutnya, ataupun penggunaan anggaran tahun depan dipergunakan pada tahuan sekarang apabila diperlukan. Mekanisme pencairan dana dan pelaporan transaksi keuangan dapat dilakukan secara berbeda dengan satuan kerja yang berada di bawah kementerian teknis, merupakan fleksibilitas yang dapat diterapkan dalam pengelolaan keuangan BLU.

Bab 8 : Pengelolaan Badan Layanan Umum

260

Fleksibilitas dalam pengelolaan aset dimaksudkan untuk mengoptimalisasikan kinerja dari aset yang dimiliki, serta memberikan insentive untuk mengelola aset yang lebih baik. Hal lain yang dapat diterapkan juga adalah adanya kebebasan bagi BLU untuk memilih pengadaan langsung, yang berbeda dengan pendekatan yang ada.

Fleksibilitas yang diberikan dapat disesuaikan dengan kemampuan BLU untuk

melaksanakannya. BLU akan dievaluasi mengenai pengelolaan SDM, keuangan, dan aset yang ada dalam kewenangannya.

Dalam peraturan pemerintah yang akan disusun ini lebih menekankan kepada

pengelolaan keuangan atas BLU dimana Menteri Keuangan bertindak selaku pembina keuangan atas pengelolaan BLU. Pengelolaan dimaksud merupakan suatu siklus yang terdiri atas perencanaan dan penyusunan anggaran, pelaksanaan anggaran, pelaporan dan akuntansi, serta pertanggungjawaban atas pengelolaan dimaksud. Siklus Pengelolaan Keuangan

Pengelolaan keuangan BLU meliputi kegiatan penganggaran, perbendaharaan, pertanggungjawaban keuangan, serta pembinaan dan pengawasan keuangan. Berikut ini diuraikan kegiatan-kegiatan tersebut. 1. Penganggaran BLU

Kegiatan penganggaran BLU merupakan kegiatan yang terkait dengan

pembuatan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) dan kegiatan penetapan anggaran. a. Rencana Kerja dan Anggaran (RKA)

1) Aspek Yuridis RKA

Aspek yuridis dimaksud adalah mencakup landasan hukum serta

penetapan peraturan perundang-undangan yang terkait dan tepat untuk pengaturan Badan Layanan Umum dalam bidang perencanaan dan penganggaran. Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara khususnya Pasal 69 ayat (1) disebutkan bahwa setiap Badan Layanan Umum wajib menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan. Selanjutnya pada Pasal 2 disebutkan bahwa Rencana kerja dan Anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Badan Layanan Umum disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah. Kemudian pada ayat (3) disebutkan juga bahwa pendapatan dan belanja Badan Layanan Umum dalam rencana kerja dan anggaran tahunan dikonsolidasikan dalam rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah. Dengan demikian bahwa

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan Aplikasi: di Indonesia

261

perencanaan dan penganggaran Badan Layanan Umum seharusnya sesuai dan dapat dikonsolidasikan dengan perencanaan dan penganggaran kementerian negara/lembaga. Secara definisi, rencana kerja dan anggaran adalah dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi kegiatan yang merupakan penjabaran dari rencana kerja tahunan dalam satu tahun anggaran serta anggaran yang diperlukan untuk melaksanakannya.

2) Proses Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran BLU

Pembentukan suatu BLU didasarkan atas kebijakan makro

pemerintah dalam rangka memberikan pelayanan yang optimal bagi masyarakat yang dituangkan dalam suatu dokumen perencanaan jangka menengah/panjang. Oleh karena itu kebijakan yang diambil oleh pemerintah harus mencerminkan kepentingan bersama seluruh stakeholder (masyarakat secara luas), dan memberikan pedoman bagi kegiatan yang akan dilaksanakan oleh penyelenggara negara serta sebagai referensi bagi masyarakat dalam melaksanakan kegiatannya. Kedua, untuk mendapatkan komitmen agar pelaksanaannya dapat dilaksanakan secara konsisten. Hal ini diperlukan untuk menjamin kepastian kebijakan.

Kebijakan jangka menengah pemerintah secara nasional dijabarkan

oleh kementerian negara/lembaga sebagai pemegang fungsi penyelenggaraan negara dan pelayanan masyarakat dalam suatu rencana strategis, yang selanjutnya dijabarkan lagi dalam rencana strategis (renstra) dan rencana kerja (renja) Badan Layanan Umum. Rencana strategis, yaitu dokumen perencanaan sebagai hasil dari suatu proses perencanaan strategis yang berisi visi, misi, tujuan, dan sasaran, serta ukuran keberhasilan atau kegagalan dalam pelaksanaannya untuk kurun waktu 5 (lima) tahun.

Secara garis besar isi perencanaan strategis dapat diuraikan sebagai

berikut : a) Visi adalah suatu cara pandang ke depan atas suatu organisasi yang

merupakan harapan yang ideal dicapai pada masa tertentu dan yang akan datang. Visi menyatakan pandangan jauh kedepan yang ingin diwujudkan oleh suatu organisasi pada masa yang akan datang. Visi memberikan gambaran ke arah mana suatu organisasi akan dibawa dan bagaimana agar dapat tetap eksis, konsisten, antisipatif, inovatif, dan produktif. Visi merupakan suatu gambaran yang menantang tentang keadaan di masa depan yang diinginkan.

b) Misi adalah bentuk dari penjabaran visi ke dalam bentuk yang lebih realistis. Misi menyatakan suatu yang harus diemban sesuai dengan visinya. Pernyataan misi membawa organisasi kepada suatu fokus serta menjelaskan mengapa organisasi ada, apa yang akan dilakukan, dan bagaimana melakukannya.

Bab 8 : Pengelolaan Badan Layanan Umum

262

c) Tujuan adalah segala hal yang ingin dicapai atas pendirian suatu organisasi. Tujuan merupakan penjabaran dari misi yang menyatakan suatu yang ingin dicapai dalam jangka waktu menengah.

d) Sasaran adalah suatu titik yang ingin dicapai atas suatu pelaksanaan kegiatan. Sasaran merupakan penjabaran dari tujuan yang teridentifikasi dengan jelas dan terukur mengenai sesuatu yang ingin dicapai dalam jangka menengah dan dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Sasaran diusahakan dalam bentuk kuantitatif sehingga dapat diukur.

Dari rencana strategis tersebut disusunlah Rencana Kerja Tahunan (RKT), yaitu dokumen perencanaan yang berisi kegiatan yang akan dilaksanakan pada suatu tahun tertentu dan indikator kinerja yang akan dicapai beserta faktor-faktor yang dapat mendukung dan menghalangi keberhasilan pencapaian atas suatu target kinerja yang telah ditetapkan. RKT merupakan: a) Penghubung antara rencana strategis dengan kegiatan operasional

sehari-hari b) Berhubungan dengan outcome, output, dan input tahunan c) Berhubungan dengan kualitas dan kuantitas output dan outcome d) Memperlihatkan kegiatan-kegiatan yang dikerjakan pada tahun yang

bersangkutan

Penyusunan rencana kerja dan anggaran didasarkan atas rencana kerja tahunan, yaitu suatu dokumen perencanaan yang merupakan lanjutan dari rencana kerja tahunan yang sudah dilengkapi dengan alokasi dana bagi masing-masing kegiatan dan perkiraan penerimaan yang akan dilaksanakan oleh suatu organisasi. Rencana kerja dan anggaran terdiri dari dua komponen, pertama: pendapatan, yaitu perkiraan pendapatan yang akan diterima oleh suatu organisasi, kedua: belanja, yaitu perkiraan jumlah belanja yang akan dikeluarkan untuk menghasilkan barang/jasa dari suatu kegiatan.

Dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran terdapat dua pola

penyusunan yaitu Top-Down dan Bottom-Up. Top-Down dilakukan diawal persiapan yang kemudian dilanjutkan dengan Bottom-Up. Dalam kerangka yang lebih luas, Top-Down mengijinkan adanya pembelanjaan untuk pengeluaran total dan pengeluaran tiap kegiatan, dengan cara : a) Menemukan sumber daya-sumber daya yang tersedia untuk

pengeluaran organisasi melebihi periode yang direncanakan. b) Penetapan batasan pengeluaran yang sesuai dengan prioritas

pemerintah c) Menetapkan garis anggaran tentang batas-batas pengeluaran terlebih

dahulu.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan Aplikasi: di Indonesia

263

Kemudian, Bottom-Up memberi ruang pada pemerintah untuk memformulasikan program pengeluarannya yang konsisten dengan prioritas kebijakan dan pagu pengeluaran yang telah ditetapkan.

3) Pendekatan Penganggaran

Lahirnya paket Undang-Undang bidang Keuangan Negara telah

memberikan perubahan paradigma dalam pengelolaan keuangan negara termasuk pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum yaitu dari Public Financial Administrator ke Public Financial Manager. Pengelolaan keuangan negara yang asalnya hanya sebagai kegiatan administrasi semata menjadi pengelolaan yang didasarkan atas manajemen. Implikasi dari perubahan paradigma ini mengisyaratkan akan adanya perubahan dalam pendekatan penganggaran, yaitu:

a) Penerapan Kerangka Penganggaran Jangka Menengah (Mid Term

Expenditure Framework/MTEF)

Dalam rangka pencapaian tujuan suatu Badan Layanan Umum yang dituangkan dalam rencana strategis diperlukan adanya kepastian pendanaan yang berkesinambungan. Kepastian pendanaan ini mengisyaratkan adanya kebijakan dalam disiplin penganggaran termasuk alokasi sumber daya pada prioritas strategis yang pada akhirnya kebijakan yang kredibel sangat diperlukan. Kredibiltas kebijakan yang lebih tinggi dan keandalan (reliability) pendanaan melalui kebijakan penganggaran pada gilirannya akan menjadi landasan bagi implementasi kebijakan selama tahap-tahap pelaksanaan anggaran.

Untuk mencapai hasil yang dimaksudkan, sistem penganggaran harus

menciptakan lingkungan yang mendukung (enabling environment), dengan karakteristik:

(1) Mengaitkan kebijakan, perencanaan, dan penganggaran (2) Mengendalikan pengambilan keputusan:

(a) Pada hal-hal yang mungkin dalam kendala anggaran (b) Memastikan bahwa biaya sesuai dengan hasil yang

diharapkan (c) Memberikan informasi yang diperlukan untuk mengevaluasi

hasil dan review kebijakan. (3) Memberikan media/forum bagi alternatif kebijakan berkompetisi

satu sama lain. (4) Meningkatkan kapasitas dan kesediaan untuk melakukan

penyesuaian prioritas kembali alokasi sumberdaya

b) Anggaran terpadu (Unified Budget)

Yaitu mengintegrasikan anggaran rutin dan pembangunan merupakan tahapan yang diperlukan sebagai bagian upaya jangka panjang untuk

Bab 8 : Pengelolaan Badan Layanan Umum

264

membawa penganggaran menjadi lebih berorientasi kinerja. Dalam kaitan dengan menghitung biaya input dan menaksir kinerja program yang sangat penting untuk melihat secara bersama biaya secara keseluruhan, baik yang bersifat investasi maupun biaya rutin.

Dualisme/perbedaan yang ada saat ini antara anggaran rutin dan

anggaran pembangunan mengalihkan fokus dari kinerja secara keseluruhan. Memadukan anggaran sangat penting untuk memastikan bahwa investasi dan rutin dipertimbangkan secara simultan pada saat-saat kunci pengambilan keputusan dalam siklus anggaran.

c) Anggaran berbasis kinerja (Performance Based Budget)

Penganggaran berbasis kinerja merupakan penyusunan anggaran yang didasarkan atas perencanaan kinerja, yang terdiri dari program dan kegiatan yang akan dilaksanakan dan indikator kinerja yang ingin dicapai oleh suatu entitas anggaran. Pendekatan ini dimaksudkan untuk memperbaiki kelemahan sistem tradisional dimana anggaran disusun berdasarkan Line Item dengan perubahan yang cenderung konservatif dan inkremental dari anggaran tahun sebelumnya dan kurang mempertimbangkan prioritas dan kebijakan organisasi.

Penerapan anggaran berbasis kinerja bertujuan untuk meningkatkan

kualitas pelayanan publik, dan memperkuat dampak dari peningkatan pelayanan kepada publik. Sistem ini menekankan pentingnya sisi akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan. Organisasi diberikan keleluasaan lebih untuk mengelola program dan kegiatan didukung dengan adanya tingkat kepastian yang lebih tinggi atas pembiayaan untuk program dan kegiatan yang dilaksanakan, tetapi disisi lain dituntut mempertahankan prinsip-prinsip akuntabilitas. Disamping itu, anggaran berbasis kinerja diharapkan merubah paradigma dari penilaian kinerja suatu organisasi berdasarkan besarnya dana yang terserap dari suatu program dan kegiatan menjadi penilaian berdasarkan pencapaian kinerja yang diukur dengan indikator-indikator substantif yang dihasilkan suatu program dan kegiatan yang dilaksanakan secara efisien, efektif, dan ekonomis, dan sejalan dengan kebijakan organisasi.

Penerapannya didalam Badan Layanan Umum, isu yang paling

penting perlu dipertimbangkan lebih mendalam, apakah BLU tersebut berada pada suatu tatanan program atau kegiatan. Kalau BLU berada pada tatanan program maka BLU dapat disetingkatkan dengan unit eselon 1 selaku pelaksana dari program, maka yang dituntut dalam kinerja BLU adalah hasil yang ingin dicapai (outcome). Tetapi kalau BLU itu berada ditatanan kegiatan, maka BLU tersebut disetingkatkan dengan satuan kerja dimana kinerja yang diharapkan adalah keluaran (output).

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan Aplikasi: di Indonesia

265

Anggaran berbasis kinerja yang diimplementasikan dalam BLU diharapkan akan lebih baik dibandingkan dengan kementerian negara/lembaga. Hal ini mengingat bahwa pengelolaan keuangan BLU lebih fleksibel dibandingkan dengan kementerian negara/lembaga.

Secara kronologis dalam proses penganggaran berbasis kinerja justru

perencanaan kinerja harus dilakukan lebih dahulu, baru kemudian dihitung pendanaan yang dibutuhkan untuk menghasilkan output atau outcome yang ditargetkan dalam rencana kinerja.

Dalam anggaran berbasis kinerja yang tidak kalah pentingnya adalah

pengukuran dan evaluasi. Untuk mewujudkan evaluasi kinerja yang memadai diperlukan sistem penentuan biaya yang jelas (fixed) untuk suatu kegiatan sehingga organisasi maupun unit organisasi mempunyai mekanisme yang baku dalam menetapkan biaya keseluruhan yang dibutuhkan untuk menghasilkan output/outcome.

b. Penetapan anggaran

Penetapan penganggaran BLU, dimulai dari penyusunan suatu rancangan rencana kerja tahunan yang dikonsolidasikan dengan rancangan rencana kerja kementerian negara/lembaga. Setelah kementerian negara/lembaga memperoleh pagu indikatif, yang kemudian dipecah ke dalam suatu kegiatan, salah satunya pagu indikatif untuk BLU di bawah binaannya. Setelah menerima pagu indikatif, BLU yang bersangkutan rancangan rencana kerja. Di lingkungan intern BLU, unit-unit di bawah BLU menyusun rancangan rencana kerjanya (proses Bottom-up). Rancangan rencana kerja yang telah disusun suatu BLU disampaikan kepada kementerian negara/lembaga binaannya untuk diintegrasikan. BLU diharapkan dapat mendampingi kementerian negara/lembaga dalam pembahasan rencana kerja di DPR/DPRD.

Setelah rencana kerja ditetapkan dalam Rencana Kerja Pemerintah dan

pembahasan prioritas anggaran dan pagu di DPR/DPRD, maka kementerian negara akan memperoleh pagu sementara sebagai acuan untuk menyusun rencana kerja dan anggaran. Pagu sementara yang dialokasikan kepada BLU disampaikan kepada BLU. Atas dasar itu BLU dapat menyusun rencana kerja dan anggaran (RKA). Hasil penyusunan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada kementerian negara/lembaga untuk dikonsolidasikan. BLU dapat mendampingi kementerian negara/lembaga dalam penelaahan RKA di kementerian keuangan. Setelah penelaahan selesai maka pimpinan BLU dapat mengesahkan rencana kerja anggaran sebagai acuan dalam rangka pelaksanaan tugas BLU yang bersangkutan.

2. Perbendaharaan

Pada hakekatnya BLU merupakan salah satu institusi publik yang bertugas

memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dari sisi keuangan negara, BLU

Bab 8 : Pengelolaan Badan Layanan Umum

266

merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan. Oleh karenanya BLU harus dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan pelayanan. Rencana kerja, anggaran serta laporan keuangan BLU disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kementerian/lembaga/pemerintah daerah. Dengan demikian pendapatan dan belanja BLU merupakan pendapatan dan belanja negara/daerah. Walaupun demikian dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat, berbeda dengan satuan kerja pemerintah lainnya, pendapatan dari usaha BLU dapat langsung digunakan untuk biaya operasional sebagai bentuk otonomi BLU yang memiliki kewenangan mengelola sumber dayanya secara efisien dan akuntabel.

Sehubungan dengan hal tersebut, pengelolaan keuangan BLU khususnya perbendaharaan BLU harus dikelola sesuai dengan pola umum perbendaharaan negara tetapi dengan fleksiblitas manajerial sehingga tidak membatasi otonomi BLU untuk mengelola kekayaannya. Perbendaharaan sesuai dengan definisi yang tercantum dalam UU Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD.

Standar, kebijakan, sistem dan prosedur yang berkaitan dengan pengelolaan

keuangan BLU mencakup antara lain: • Menjalankan kebijakan dan sistem akuntansi keuangan BLU sesuai dengan

standar akuntansi yang berlaku yang ditetapkan asosiasi profesi akuntansi Indonesia;

• Melakukan pengendalian pelaksanaan anggaran; • Mengawasi pelaksanaan anggaran pendapatan dan anggaran belanja; • Menyusun dan menyampaikan laporan keuangan unit kerja dan menyajikan

informasi keuangan BLU; • Menunjuk pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan dan

pengeluaran; • Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan utang-piutang ; • Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian dan perintah

pembayaran; • Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan barang

milik/kekayaan negara; • Menetapkan kebijakan dan pedoman pelaksanaan anggaran BLU; • Mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran; • Menetapkan sistem penerimaan dan pengeluaran negara; • Menunjuk bank dan/atau lembaga keuangan lainnya dalam rangka

pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara; • Mengusahakan dan mengatur pengelolaan dana yang diperlukan dalam

pelaksanaan anggaran; • Menyimpan dan menempatkan uang BLU; • Melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat Pengguna

Anggaran atas beban rekening BLU; • Melakukan pinjaman dan memberikan jaminan atas nama BLU; • Memberikan pinjaman atas nama BLU;

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan Aplikasi: di Indonesia

267

• Melakukan pengelolaan utang-piutang; • Memanfaatkan barang milik negara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Adapun Pejabat Perbendaharaan pada BLU terdiri dari: a. Pengguna Anggaran/Barang adalah Kepala Unit Kerja BLU; b. Bendahara Umum adalah Kepala Unit Pengelola Keuangan; c. Bendahara Penerimaan; d. Bendahara Pengeluaran.

Kewenangan dan kewajiban masing-masing pejabat perbendaharaan BLU dapat diuraikan sebagai berikut.

Kepala Unit Kerja memiliki kewenangan antara lain:

• Menyusun dokumen pelaksanaan anggaran; • Meminta pengesahan dokumen pelaksanaan anggaran • Melaksanakan anggaran sesuai dengan rencana kerja yang ditetapkan

Sedangkan kewajiban seorang Kepala Unit Kerja adalah: • Bertanggung jawab atas realisasi anggaran sesuai dengan rencana kerja

yang telah ditetapkan • Melaporkan pelaksanaan anggaran sesuai dengan standar akuntansi yang

berlaku bagi BLU. Kepala Unit Keuangan memiliki kewenangan antara lain:

• Melaksanakan kebijakan keuangan yang telah ditetapkan oleh kepala unit kerja dalam hal merealisasikan anggaran berbasis rencana kerja yang telah disahkan.

• Melakukan otorisasi penerimaan dan pengeluaran keuangan pada BLU yang ditangani oleh Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran.

Sedangkan kewajiban yang harus dilakukan seorang Kepala Unit Keuangan

adalah: • Bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan keuangan yang telah

ditetapkan oleh kepala unit kerja dalam hal merealisasikan anggaran berbasis rencana kerja yang telah disahkan.

• Bertanggung jawab atas penerimaan dan pengeluaran keuangan pada BLU yang ditangani oleh Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran.

• Melaporkan pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran keuangan berbasis rencana kerja kepada Kepala Unit Kerja

• Melaporkan pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran keuangan yang tidak sesuai dengan rencana kerja, akibat adanya crash programe kepada Kepala Unit Kerja Bendahara Penerimaan memiliki kewenangan antara lain:

• Melaksanakan penerimaan keuangan yang sesuai dengan rencana kerja, maupun yang tidak sesuai akibat adanya crash programe.

Bab 8 : Pengelolaan Badan Layanan Umum

268

• Melakukan penyimpanan uang yang diterima sebagaimana disebutkan di atas.

Sedangkan kewajiban Bendahara Penerimaan adalah:

• Mempertanggungjawabkan secara pribadi atas uang yang berada dalam pengelolaannya.

• Menyetorkan seluruh hasil penerimaan dalam bentuk uang ke dalam rekening yang ditunjuk dan sah.

• Menatausahakan uang yang berada dalam tanggungjawab pengelolaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

• Melaporkan hasil penerimaan dan penyetoran kepada kepala unit keuangan.

Bendahara Pengeluaran memiliki kewenangan antara lain: • Melakukan verifikasi atas tagihan pengeluaran uang yang telah diotorisasi

oleh yang berwenang. • Melaksanakan pengeluaran uang atas tagihan yang telah diverifikasi.

Sedangkan kewajiban Bendahara Pengeluaran adalah:

• Mempertanggungjawabkan secara pribadi atas uang yang berada dalam pengelolaannya.

• Menatausahakan uang yang berada dalam tanggung jawab pengelolaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

• Melaporkan seluruh pengeluaran yang dilakukan kepada kepala unit keuangan.

Ruang lingkup perbendaharaan BLU sesuai dengan UU Perbendaharaan

mencakup: • Pelaksanaan pendapatan dan belanja; • Pengelolaan uang ; • Pengelolaan piutang ; • Pengelolaan utang; • Pengelolaan investasi; • Pengelolaan barang; • Penyelenggaraan akuntansi; • Penyelenggaraan sistem informasi manajemen keuangan; • Penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran; • Penyelesaian kerugian.

a. Pelaksanaan Pendapatan dan Belanja

Secara garis besar sumber dana BLU berasal dari APBN dan

Masyarakat. Dana APBN merupakan gabungan dari belanja operasional dan modal (unified budget). Sumber dana dari masyarakat terdiri atas pendapatan operasional, hibah, dana hasil kerjasama dengan pihak ketiga.

Sumber dana BLU dapat terdiri dari beberapa jenis, misalnya:

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan Aplikasi: di Indonesia

269

1) Dana Lancar (Current Fund), yaitu dana-dana yang diperoleh dari APBN dan masyarakat untuk tujuan operasional.

2) Dana Aktiva Tetap dan Program Jangka Panjang (Plant Fund), yaitu dana yang diperuntukkan untuk perolehan atau pembangunan aset tetap dan pembayaran pinjaman jangka panjang karena perolehan aset tetap

3) Dana Abadi (Endowment Fund), yaitu dana yang sengaja dibentuk untuk menghasilkan kas/pendapatan dimana dana pokok tidak bisa digunakan sampai tanggal pelaporan, yang bisa digunakan hanya hasil investasi dari dana.

4) Dana Agensi (Agency Fund), yaitu dana yang dihasilkan dari aktivitas unit-unit di luar unit struktural BLU, misalnya, toko buku, guesthouse, wartel, dan lain-lain.

5) Dana Pinjaman (Loan Fund), yaitu dana yang dipinjamkan ke pihak ketiga, misalnya perguruan tinggi kepada mahasiswa. Dana ini bisa bersumber dari pemberian pemerintah, hibah, bantuan, dan lain-lain.

Pendapatan yang diterima BLU dari masyarakat merupakan pendapatan negara/daerah yang harus dimasukkan dalam APBN/APBD. Pendapatan tersebut dapat digunakan langsung untuk membiayai kegiatan BLU yang bersangkutan tanpa terlebih dahulu disetor ke kas negara/kas daerah.

Pengeluaran belanja yang berasal dari dana APBN harus mengikuti

prosedur pengeluaran belanja APBN. Sedangkan pengeluaran belanja yang berasal dari masyarakat dilakukan sesuai dengan sistem dan prosedur BLU yang bersangkutan.

b. Pengelolaan Uang BLU

Pengelolaan uang pada BLU mencakup: 1) Pengelolaan rekening BLU

a) BLU berhak memperoleh bunga dan/atau jasa giro atas dana yang disimpan pada bank umum.

b) Bunga dan/atau jasa giro yang diperoleh didasarkan pada tingkat suku bunga dan/atau jasa giro yang berlaku.

c) Biaya sehubungan dengan pelayanan yang diberikan oleh bank umum didasarkan pada ketentuan yang berlaku pada bank umum yang bersangkutan.

d) Bunga dan/atau jasa giro yang diperoleh merupakan pendapatan BLU .

e) Biaya sehubungan dengan pelayanan yang diberikan oleh bank umum dibebankan pada belanja BLU

2) Pembukaan rekening BLU

a) Dalam rangka penyelenggaran rekening BLU, Pejabat Pengelola Keuangan BLU/Direktur Keuangan membuka Rek. Kas Umum BLU pada bank yang ditentukan oleh Direksi;

Bab 8 : Pengelolaan Badan Layanan Umum

270

b) Dalam rangka operasional Penerimaan dan Pengeluaran, Pejabat pengelola keuangan BLU dapat membuka Rekening Penerimaan dan Rekening Pengeluaran pada bank yang ditetapkan oleh Direksi.

c) Rekening Penerimaan digunakan untuk menampung penerimaan setiap hari,

d) Saldo Rekening Penerimaan tersebut setiap akhir hari kerja wajib disetorkan seluruhnya ke Rekening Kas Umum BLU

e) Rekening Pengeluaran pada bank sebagaimana dimaksud pada ayat diisi dengan dana yang bersumber daeri Rekening Kas Umum BLU

f) Jumlah dana yang disediakan pada Rekening Pengeluaran sebagaimana dimaksud disesuaikan dengan rencana pengeluaran untuk membiayai kegiatan pemerintahan yang telah ditetapkan dalam anggaran BLU.

g) Pokok-pokok pengelolaan uang diatur dengan keputusan kementerian/lembaga teknis dan persetujuan kementerian keuangan.

h) Pedoman lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan BLU sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam ditetapkan Direksi BLU.

c. Pengelolaan Piutang BLU

Jenis piutang BLU: 1) Piutang Operasional dari pemberian jasa BLU 2) Piutang Non Operasional misal sewa ruangan, parkir 3) Piutang eks perikatan perdata, misal pinjam meminjam 4) Piutang Bunga, deviden 5) Piutang eks transfer antara instansi Pemerintah.

Prinsip-Prinsip Pengelolaan Piutang BLU: 1) Piutang BLU dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-

undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan

2) Pejabat Pengelola Keuangan BLU/Direktur Keuangan bertugas melaksanakan pemungutan pendapatan BLU yang telah ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan

3) BLU dapat memberikan pinjaman kepada pihak ke tiga sebagaimana disetujui Keputusan Direksi

4) Setiap pejabat yang diberi kewenangan wajib mengusahakan penyelesaian piutang BLU tepat waktu

5) Setiap penerimaan penyelesaian piutang harus disetorkan ke kas BLU 6) Piutang BLU memiliki hak mendahului, kecuali ditentukan lain oleh

perundang-undangan lain

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan Aplikasi: di Indonesia

271

7) Piutang BLU yang penyelesaiannya bermasalah, dapat diselesaikan melalui perdamaian oleh pejabat berwenang atau dengan persetujuan Menteri Keuangan tergantung jumlah piutang yang bermasalah.

8) Direksi bertanggung jawab melaporkan piutang dan penerimaan piutang dalam laporan keuangannya yang dimuat dalam laporan realisasi anggaran dan neraca BLU.

9) Direksi BLU menyajikan posisi piutang dan penerimaan piutang dalam LRA dan laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi BLU.

10) Piutang BLU dapat dihapuskan dari pembukuan oleh pejabat berwenang (Menteri Keuangan/PPKD, Presiden/Gubernur/Walikota) atau dengan persetujuan DPR/D tergantung jumlah piutang, kecuali diatur lain dalam peraturan perundangan lain.

d. Pengelolaan Utang

Utang adalah jumlah uang yang wajib dibayar dan/atau kewajiban yang

dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, perjanjian, atau berdasarkan sebab lain yang sah. Setiap Badan Layanan Umum pada dasarnya bertanggung jawab atas pengelolaan utang yang terjadi termasuk prosedur pengelolaannya. Sampai saat ini, pengelolaan utang pada Badan Layanan Umum dilakukan dengan mengacu pada aturan yang dibuat oleh masing-masing Badan Layanan Umum karena dalam peraturan perundangan yang ada pengelolaan keuangan diserahkan sepenuhnya ke masing-masing unit. Kondisi ini tentunya menimbulkan pola pengelolaan yang berbeda dari masing-masing Badan Layanan Umum.

Sesuai dengan Undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara Pasal 69 ayat (2) bahwa rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Badan Layanan Umum disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Kementerian Negara/ Lembaga/Pemerintah Daerah. Sehubungan dengan ketentuan di atas, utang Badan Layanan Umum harus dikelola dengan aturan yang jelas dan seragam, seperti siapa yang dapat mengikat perjanjian utang, bagaimana tata cara penarikan utang, kemana dana dari penarikan utang tersebut dapat/boleh dialokasikan dan bagaimana pertanggungjawabannya, sehingga diharapkan pengelolaan utang dapat dilaksanakan dengan kaidah-kaidah yang berterima umum serta dapat menyajikan informasi yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam hal mengikat perjanjian utang jangka panjang dengan pihak ke-tiga

setiap Badan Layanan Umum harus menyajikan sebelumnya dalam rencana kerja dengan mempertimbangkan kemampuan keuangannya. Rencana kerja tersebut diajukan kepada Menteri terkait yang selanjutnya meminta persetujuan Menteri Keuangan/Pejabat Pengelola Keuangan Daerah. Sesuai dengan tujuan pembentukan Badan Layanan Umum, dana yang diperoleh

Bab 8 : Pengelolaan Badan Layanan Umum

272

dari penarikan utang tersebut harus sepenuhnya dipergunakan untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat.

e. Pengelolaan Investasi

BLU dapat memanfaatkan surplus anggaran untuk melakukan investasi

jangka panjang untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial dan/atau manfaat lainnya. Investasi tersebut dapat berbentuk saham, surat utang, dan investasi langsung baik pada perusahaan negara, daerah, maupun swasta. Dalam rangka manajemen kas, BLU dapat melakukan investasi jangka pendek.

Namun demikian, kondisi saat ini tampaknya belum banyak BLU yang

menempatkan uangnya dan mengelola/menatausahakan investasi untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya keuangan. Apabila BLU kekurangan dana seringkali meminjam uang dari bank dengan tingkat bunga tertentu. Sementara itu apabila mempunyai saldo kas yang berlebih, dibiarkan menganggur dalam rekening giro yang tidak memberikan hasil secara langsung kepada BLU.

Investasi jangka pendek dapat dilakukan dengan memanfaatkan saldo

kas yang berlebih sepanjang tidak mengganggu likuiditas keuangan BLU. Investasi yang tidak mengganggu likuiditas berarti bahwa investasi tersebut tidak mengandung risiko fluktuasi nilai dan dapat dicairkan kapan saja saat BLU membutuhkan kas. Jenis investasi yang tidak berisiko dan sangat likuid dikelompokkan sebagai setara kas dan dikelola sebagai bagian tak terpisahkan dari kas. Jangka waktu sebagai batasan investasi dalam kelompok setara kas adalah 3 (tiga) bulan. Investasi jangka pendek juga harus mempertimbangkan penyediaan saldo kas yang cukup untuk membiayai seluruh pengeluaran BLU yang telah dianggarkan secara tepat waktu dan penyediaan kas untuk berjaga-jaga apabila terdapat suatu kejadian yang tidak terduga sebelumnya, misalnya bencana sosial, bencana alam, atau kebutuhan mendesak lainnya. Dalam UUPN, yang dimaksud dengan investasi ini adalah pembelian Surat Utang Negara (SUN).

Pengeluaran untuk investasi, baik jangka panjang maupun jangka

pendek, didahului dengan serangkaian pembahasan yang rinci dengan Menteri teknis atau Kepala Dinas terkait. Proposal pengggunaan uangnyapun telah disampaikan kepada Menteri teknis atau kepala dinas terkait dan disetujui Menteri Keuangan atau Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah sebagai pembina keuangan BLU.

f. Pengelolaan Barang

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan Aplikasi: di Indonesia

273

Kekayaan BLU merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan BLU yang bersangkutan. Barang milik BLU dapat diperoleh dari dana yang bersumber dari APBN melalui pembelian, pembangunan atau dana masyarakat melalui hibah atau donasi, pertukaran dengan aset lainnya atau dari rampasan. Barang BLU dikelola mengacu kepada UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UUPN).

Pengelolaan barang BLU pada umumnya masih mengikuti pola

pengelolaan barang BMKN/BMKD. Penatausahaan barang BLU masih dilakukan secara manual dan pembagian kewenangan pengelolaan barang BLU masih simpang siur sehingga banyak kekayaan BLU yang tidak terdokumentasikan dengan baik. Akibatnya banyak barang BLU yang tidak tercatat dan dikelola tidak efisien karena ketidakjelasan status kepemilikan. Misalnya pengadaan barang yang berasal dari belanja proyek Kementerian kemudian diserahkan ke BLU, penatausahaannya tidak jelas. Kementerian tidak mencatat barang tersebut karena pengelolaannya sudah beralih ke BLU. Dilain pihak, BLU sendiri tidak menatausahakan barang tersebut karena merasa bukan miliknya. Pemindahtanganan kekayaan BLU selain tanah dan bangunan sampai dengan jumlah tertentu dapat dilakukan dengan persetujuan Menteri teknis dengan ijin tertulis kepada Menteri Keuangan. Pemindahtanganan tanah dan bangunan harus dilakukan dengan persetujuan Menteri Keuangan.

UUPN pasal 45 dapat diinterpretasikan bahwa barang milik BLU tidak

dapat dipindahtangankan kecuali dengan persetujuan Menteri Keuangan/ Gubernur/Bupati/Walikota dan DPR/DPRD. Pemindahtanganan kekayaan dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal pemerintah. Penjualan barang milik BLU dilakukan dengan cara lelang. Mekanisme persetujuan pemindahtanganan barang dapat dilihat pada tabel berikut:

Nama Barang BLU

Pemerintah Pusat

BLU Pemerintah

Daerah • Tanah dan/bangunan • Selain tanah dan/bangunan> Rp 100 miliar • Selain tanah dan/bangunan> Rp 5 miliar

-

-PRD

Selain tanah dan/bangunan Rp10-100 miliar Presiden -

Selain tanah dan/bangunan ≤ Rp 10 miliar Menkeu -

Bab 8 : Pengelolaan Badan Layanan Umum

274

Selain tanah dan/bangunan ≤ Rp 5 miliar - Gubernur/Bupati/ Walikota

Tanah dan/bangunan dimaksud tidak termasuk tanah dan/bangunan yang: 1) sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota 2) harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah

disediakan dalam dokumen pelaksanaan anggaran 3) diperuntukkan bagi kepentingan umum 4) dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memiliki

kekuatan hukum tetap dan/ berdasarkan ketentuan perundang-undangan, yang jika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis

Penatausahaan barang milik BLU dilakukan dengan mengacu pada

prinsip-prinsip berikut: 1) Barang milik BLU yang berupa tanah yang dikuasai Pemerintah

Pusat/Daerah disertifikasi atas nama pemerintah Republik Indonesia/Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

2) Bangunan milik BLU harus dilengkapi dengan bukti status kepemilikan dan ditatausahakan dengan tertib.

3) Tanah dan bangunan milik BLU yang tidak dimanfaatkan untuk kepentingan tugas pokok dan fungsi instansi teknis, pemanfaatannya diserahkan kepada Menteri Keuangan/Gubernur/Bupati/Walikota untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan.

4) Barang milik BLU tidak boleh diserahkan kepada pihak lain sebagai pembayaran atas tagihan pemerintah, digadaikan atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman.

Untuk kepentingan akuntansi barang BLU, perlu ditentukan nilai

kapitalisasi yaitu penentuan nilai pembukuan terhadap semua pengeluaran untuk memperoleh barang (aset tetap) hingga siap pakai, termasuk pengeluaran untuk pengembangan, renovasi, restorasi dan rehabilitasi aset tetap yang bersangkutan. Pengeluaran yang dikapitalisasi dilakukan terhadap pengadaan tanah, pembelian peralatan dan mesin sampai siap pakai; pembuatan peralatan, mesin dan bangunan, pembangunan gedung dan bangunan, pembangunan jalan/irigasi/jaringan, pembelian aset tetap lainnya sampai siap pakai, dan pembangunan/pembuatan aset tetap lainnya. Nilai satuan minimum kapitalisasi aset tetap adalah sebagai berikut: 1) pengeluaran untuk per satuan peralatan dan mesin, dan alat olah raga

yang sama dengan atau lebih dari Rp 300,000.00 2) pengeluaran untuk gedung dan bangunan yang sama dengan atau lebih

dari Rp 10,000,000.00

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan Aplikasi: di Indonesia

275

3) pengeluaran untuk tanah, jalan/irigasi/jaringan, dan aset tetap lainnya berupa koleksi perpustakaan dan barang bercorak kesenian dikecualikan dari nilai satuan minimum kapitalisasi aset tetap.

Berdasarkan pertimbangan efisiensi dan peningkatan produktivitas,

pengelolaan barang milik BLU dapat dilakukan bekerjasama dengan pihak ketiga sehingga mengakibatkan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.

g. Penyelesaian Kerugian

Setiap kerugian BLU yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum

atau kelalaian seseorang harus diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bendahara atau pejabat BLU karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan BLU wajib mengganti kerugian tersebut. Setiap pimpinan BLU dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi setelah mengetahui bahwa dalam BLU terjadi kerugian akibat perbuatan pihak manapun. Tuntutan kerugian akan menjadi kadaluarsa apabila dalam waktu lima tahun sejak diketahuinya kerugian tersebut atau dalam waktu delapan tahun sejak terjadinya kerugian tidak dilakukan penuntutan ganti rugi terhadap yang bersangkutan. Apabila terjadi kerugian keuangan BLU yang disebabkan oleh kelalaian bendahara maka kerugian tersebut menjadi tanggung jawab pribadi bendahara.

Prosedur penyelesaian ganti rugi diatur dengan peraturan tersendiri yang dikeluarkan oleh BLU setelah mendapat persetujuan menteri teknis dan menteri keuangan.

3. Pertanggungjawaban Keuangan

a. Standar Akuntansi

UU nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dalam Ketentuan

Umum menyebutkan bahwa Badan Layanan Umum adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

Kekayaan Badan Layanan Umum merupakan kekayaan negara/daerah yang

tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan Badan Layanan Umum yang bersangkutan. Karena merupakan kekayaan negara/daerah yang tidak dipisahkan, maka laporan pertanggungjawaban Badan Layanan Umum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan pertanggung jawaban Kementerian Negara/Lembaga/Pemerintah Daerah. Dalam menyusun laporan pertanggung jawaban Badan Layanan Umum harus mengacu pada suatu standar akuntansi

Bab 8 : Pengelolaan Badan Layanan Umum

276

pemerintahan yang berlaku umum seperti yang diatur dalam pasal 32 ayat 1 UU nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Standar akuntansi pemerintahan yang berlaku bagi seluruh entitas

pemerintah, baik yang mengelola dana APBN maupun APBD untuk saat ini masih berupa Draft Publikasi Standar Akuntansi Pemerintahan (DPSAP). DPSAP tersebut harus mendapat pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan dan saat ini sedang dalam proses menunggu terbitnya Peraturan Pemerintah untuk pemberlakuannya. DPSAP tersebut disusun oleh suatu komite standar yang independen sesuai dengan yang diatur dalam pasal 32 ayat 2 UU nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan pasal 57 UU nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sedangkan untuk organisasi nirlaba, standar akuntansi yang dapat digunakan sebagai dasar penyusunan laporan pertanggungjawabannya adalah Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 45 tentang Pelaporan Keuangan Organisasi Nirlaba.

Dalam ruang lingkup PSAK no. 45 tersebut dikatakan bahwa PSAK ini

berlaku bagi laporan keuangan yang disajikan oleh organisasi nirlaba yang memenuhi karakteristik sebagai berikut:

1) Sumber daya entitas berasal dari para penyumbang yang tidak mengharapkan pembayaran kembali atau manfaat ekonomi yang sebanding dengan jumlah sumber daya yang diberikan.

2) Menghasilkan barang dan/atau jasa tanpa bertujuan memupuk laba, dan kalau suatu entitas menghasilkan laba, maka jumlahnya tidak pernah dibagikan kepada para pendiri atau pemilik entitas tersebut.

3) Tidak ada kepemilikan seperti lazimnya pada organisasi bisnis, dalam arti bahwa kepemilikan dalam organisasi nirlaba tidak dapat dijual, dialihkan, atau ditebus kembali, atau kepemilikan tersebut tidak mencerminkan proporsi pembagian sumber daya entitas pada saat likuidasi atau pembubaran entitas

Dalam ruang lingkup PSAK nomor 45 tersebut juga dikatakan bahwa PSAK

nomor 45 tersebut tidak berlaku bagi lembaga pemerintah, departemen, dan unit-unit sejenis lainnya. Hal ini sejalan dengan uraian pada paragraf sebelumnya bahwa standar akuntansi yang berlaku bagi lembaga pemerintah/departemen adalah Standar Akuntansi Pemerintahan sesuai dengan UU nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 32 ayat (1).

Apabila kita lihat kondisi yang saat ini ada, dapat dikatakan bahwa tidak ada kejelasan standar akuntansi yang mana yang berlaku bagi Badan Layanan Umum. Sehingga sebagian Badan Layanan Umum karena karakteristiknya sama dengan organisasi nirlaba, menggunakan PSAK nomor 45 sebagai acuannya dalam menyusun laporan keuangannya. Tetapi ada juga Badan Layanan Umum yang menyusun sendiri standar akuntansinya, sebagai contoh untuk lingkungan rumah sakit terdapat Pedoman Akuntansi Rumah Sakit yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 156/MENKES/SK/I/2003 tanggal 28 Januari 2003 tentang Pedoman Akuntansi Rumah Sakit. Pedoman akuntansi tersebut berlaku bagi seluruh Rumah Sakit Perjan dan Rumah Sakit Vertikal serta

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan Aplikasi: di Indonesia

277

Rumah Sakit Daerah maupun Rumah Sakit lain yang nirlaba. Ketidakseragaman penerapan standar akuntansi oleh Badan Layanan Umum akan menimbulkan ketidakseragaman dalam perlakuan akuntansi.

Sesuai dengan definisi UU Nomor 1 tahun 2004, Badan Layanan Umum

merupakan instansi yang tidak dapat dipisahkan dari lembaga pemerintah atau departemen teknis terkait. Hal ini tercermin pada sumber dana yang mengalir pada Badan Layanan Umum yaitu dana yang berasal dari APBN langsung (sama dengan departemen teknis lainnya) dan dana masyarakat (sesuai karakteristik organisasi nirlaba). Dengan demikian untuk pertanggungjawaban keuangan APBN akan menggunakan Standar Akuntansi Pemerintahan yang berlaku untuk semua kementerian/lembaga. Sedangkan untuk keperluan operasional dan manajerial, apabila dibutuhkan dapat dibuat Standar Akuntansi BLU untuk bidang bersangkutan yang ditetapkan oleh menteri teknis dan menteri keuangan.

b. Sistem Akuntansi

Pada umumnya dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum terdiri dari

dana yang berasal dari APBN langsung dan dana yang berasal dari masyarakat. Hal ini tentunya akan mempengaruhi sistem akuntansi yang harus digunakan pada Badan Layanan Umum.

Sistem akuntansi yang saat ini digunakan pada Badan Layanan Umum

adalah beragam tergantung pada masing-masing institusi dan tidak ada kejelasan sistem akuntansi seperti apa yang seharusnya diberlakukan bagi Badan Layanan Umum. Sebagian dari Badan Layanan Umum menyusun dan menetapkan sendiri sistem akuntansi mereka seperti misalnya untuk lingkungan rumah sakit terdapat Pedoman Akuntansi Rumah Sakit yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 156/MENKES/SK/I/2003 tanggal 28 Januari 2003 tentang Pedoman Akuntansi Rumah Sakit. Pedoman akuntansi tersebut berlaku bagi seluruh Rumah Sakit Perjan dan Rumah Sakit Vertikal serta Rumah Sakit Daerah maupun Rumah Sakit lain yang nirlaba. Walaupun demikian sebagai bagian dari Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, rumah sakit juga harus tunduk pada peraturan perundangan yang mengatur mengenai sistem akuntansi yang berlaku bagi Direktorat Jenderal Pelayanan Medik yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari entitas pemerintah pusat yaitu Departemen Kesehatan. Apakah Pedoman Akuntansi Rumah Sakit ini juga harus diterapkan bagi Rumah Sakit ABRI? Karena saat ini mereka mengatur sistem akuntansi tersendiri dengan peraturan yang dikeluarkan oleh Departemen Pertahanan?

UU nomor 1 tahun 2004 pasal 69 ayat (2) menyebutkan bahwa “Rencana

kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Badan Layanan Umum disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran Kementerian Negara/Lembaga/Pemerintah Daerah”, hal ini mengandung arti bahwa dalam hal penggunaan sistem akuntansi untuk mendukung pelaporannya, Badan Layanan Umum harus tunduk pada peraturan perundangan yang sama dengan Kementerian Negara/Lembaga/pemerintah

Bab 8 : Pengelolaan Badan Layanan Umum

278

daerah. Dengan demikian untuk dapat menghasilkan laporan keuangan yang dimaksud, khususnya untuk dana yang bersumber dari APBN langsung, Badan Layanan Umum harus menggunakan Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan nomor 337/KMK.012/2003 tanggal 18 Juli 2003 tentang Sistem Akuntansi dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat.

Sistem Akuntansi yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan nomor

337/KMK.012/2003 tersebut mempunyai ciri-ciri pokok sebagai berikut : 1) Menggunakan dasar kas untuk pencatatan pendapatan, belanja dan

pembiayaan dan menggunakan dasar akrual untuk penyusunan neraca. 2) Menggunakan pembukuan berpasangan (double entry) 3) Sistem yang terintegrasi, baik untuk arus uang maupun arus barang. 4) Menggunakan Bagan Perkiraan Standar. 5) Berdasar pada Standar Akuntansi Pemerintahan.

Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) tersebut dapat menghasilkan

laporan pertanggungjawaban berupa Neraca, Laporan Realisasi Anggaran dan Laporan Arus Kas seperti yang diatur dalam pasal 30 ayat (2) dan pasal 31 ayat (2) UU nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Sebagai petunjuk pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan nomor 337/KMK.012/2003 tersebut diterbitkan Keputusan Kepala Badan Akuntansi Keuangan Negara nomor KEP-16/AK/2004 tentang Pelaksanaan Penyusunan Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga Tahun Anggaran 2004.

SAPP ini hanya mencakup transaksi-transaksi yang secara langsung melalui

Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN), sehingga tidak semua transaksi Badan Layanan Umum dapat dicakup dalam SAPP ini. Untuk keperluan operasional dan manajemen Badan Layanan Umum perlu dikembangkan suatu sistem akuntansi yang mencatat seluruh transaksi-transaksi keuangan, aset, kewajiban/utang dan ekuitas termasuk pembiayaan Badan Layanan Umum baik untuk dana yang berasal dari APBN langsung maupun dana masyarakat.

Untuk BLU penentuan sistem akuntansinya adalah: 1) menggunakan SAPP untuk mencatat transaksi dan pertanggungjawaban

dana APBN; 2) BLU bila perlu dapat mengembangkan sistem akuntansi untuk keperluan

operasional dan manajerial sesuai dengan standar akuntansi BLU yang bersangkutan, yang mencakup seluruh transaksi dana yang dikelola.

c. Pelaporan Keuangan

1) Penyajian Sesuai dengan ketentuan UU Keuangan Negara pasal 30 ayat (2) secara

eksplisit menyebutkan bahwa pertanggungjawaban pelaksanaan APBN disampaikan dalam bentuk laporan keuangan yang terdiri dari setidak-tidaknya Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan Aplikasi: di Indonesia

279

Pada Draft Publikasi Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), Laporan

Realisasi Anggaran menyajikan ikhtisar sumber, alokasi, dan pemakaian sumber daya ekonomi yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah, yang menggambarkan perbandingan anggaran dan realisasinya dalam satu periode pelaporan.

Laporan Realisasi Anggaran minimal mencakup pos-pos sebagai berikut:

a) Pendapatan; b) Belanja; c) Transfer; d) Surplus atau defisit; e) Penerimaan Pembiayaan; f) Pengeluaran Pembiayaan; g) Pembiayaan neto; dan h) Selisih lebih/kurang pembiayaan anggaran (SiLPA/SiKPA).

Neraca menggambarkan posisi keuangan suatu entitas pelaporan mengenai

aset, kewajiban, dan ekuitas dana pada tanggal tertentu. Neraca mencantumkan sekurang-kurangnya pos-pos sebagai berikut:

a) kas dan setara kas; b) piutang pajak dan bukan pajak; c) persediaan; d) investasi jangka panjang; e) aset tetap; f) kewajiban jangka pendek; g) kewajiban jangka panjang; dan h) ekuitas dana.

Sedangkan Laporan Arus Kas menyajikan informasi kas sehubungan dengan

kegiatan operasional, investasi aset non keuangan, dana cadangan, pembiayaan, dan transaksi non anggaran yang menggambarkan saldo awal, penerimaan, pengeluaran, dan saldo akhir kas pemerintah pusat/daerah selama periode tertentu.

Klasifikasi Laporan Arus Kas terdiri dari:

a) Aktivitas Operasi; b) Aktivitas Investasi Aset Non Keuangan; c) Aktivitas Dana Cadangan; d) Aktivitas Pembiayaan; dan e) Aktivitas Non Anggaran.

UU Perbendaharaan Negara Pasal 55 ayat (2) huruf a. menyebutkan bahwa

menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang menyusun dan menyampaikan laporan keuangan yang meliputi Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Dalam

Bab 8 : Pengelolaan Badan Layanan Umum

280

ketentuan tersebut, menteri/pimpinan lembaga tidak menyusun Laporan Arus Kas. Apakah hal ini berlaku juga pada badan layanan umum?

Catatan atas Laporan Keuangan meliputi penjelasan atau daftar terinci atau

analisis atas nilai suatu pos yang disajikan dalam dalam Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Laporan Arus Kas. Catatan atas Laporan Keuangan juga mencakup informasi tentang kinerja keuangan, kebijakan akuntansi yang dipergunakan oleh entitas pelaporan dan informasi lain yang diharuskan dan dianjurkan untuk diungkapkan di dalam Standar Akuntansi Pemerintahan serta ungkapan-ungkapan yang diperlukan untuk menghasilkan penyajian laporan keuangan secara wajar.

Sedangkan laporan keuangan untuk BLU dapat menggunakan Standar

akuntansi yang ditetapkan oleh Menteri Teknis dan Menteri Keuangan minimal terdiri dari:

a) Laporan Posisi Keuangan (Neraca); b) Laporan Aktivitas (Laporan Pendapatan dan Beban); c) Laporan Arus Kas; d) Laporan kinerja keuangan; e) Catatan atas Laporan Keuangan.

Laporan Posisi Keuangan mencakup organisasi secara keseluruhan dan

harus menyajikan total aktiva, kewajiban, dan aktiva bersih. Laporan Aktivitas mencakup organisasi secara keseluruhan dan menyajikan perubahan jumlah aktiva bersih selama satu periode. Perubahan aktiva bersih dalam laporan aktivitas tercermin pada aktiva bersih atau ekuitas dalam laporan posisi keuangan. Laporan Arus Kas harus melaporkan arus kas selama periode tertentu dan diklasifikasikan menurut aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan.

2) Penyampaian

Badan Layanan Umum adalah unit yang berada dibawah kementerian

negara/lembaga pemerintah. Dalam UU Perbendaharaan Negara Pasal 55 ayat (2) huruf a. diamanatkan bahwa Laporan Keuangan Badan Layanan Umum menjadi lampiran dari Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga dimana badan tersebut berada. Hal ini mengimplikasikan bahwa laporan tersebut disampaikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga.

Sebagai akuntabilitas atas partisipasi masyarakat dalam pembiayaan BLU,

maka informasi yang relevan untuk memenuhi kepentingan para penyumbang, anggota organisasi, kreditur, dan pihak lain yang menyediakan sumber daya, dapat disediakan.

3) Waktu Penyampaian

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan Aplikasi: di Indonesia

281

Menteri Keuangan menerima laporan keuangan dari kementerian negara/lembaga terkait selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

4. Pembinaan dan Pengawasan Keuangan

a. Pembinaan

Agar tujuan pelayanan kepada masyarakat dapat tercapai maka perlu

dilakukan pembinaan dalam bentuk penyediaan informasi dan konsultasi dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran tahunan serta laporan keuangan serta kinerja BLU. Sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam UU PN, pembinaan atas BLU terbagi atas dua aspek, yaitu:

1) Pembinaan keuangan BLU yang dilaksanakan di:

a) Pemerintah Pusat, dilakukan oleh Menteri Keuangan b) Pemerintah Daerah, dilakukan oleh pejabat pengelola keuangan

daerah 2) Pembinaan teknis BLU yang dilaksanakan di:

a) Pemerintah Pusat, dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan.

b) Pemerintah daerah, dilakukan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan.

b. Pengawasan

1) Pengawasan Intern

Dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan BLU, Pimpinan BLU selaku penanggung jawab penyelenggaraan sistem pengendalian intern di instansi BLU yang dipimpinnya atas persetujuan menteri/pemerintah daerah selaku pembina teknis dan keuangan, membentuk Satuan Pengawasan Intern (SPI) yang tugasnya membantu direksi BLU dalam mengindentifikasi permasalahan operasional dan keuangan serta menilai kinerja manajemen, menilai pengendalian, pengelolaan dan pelaksanaan BLU dan memberikan saran-saran perbaikan. Satuan Pengawasan Intern dimaksud dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab langsung kepada Pimpinan BLU.

Pimpinan BLU wajib memperhatikan dan segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan atas segala sesuatu yang dikemukakan dalam setiap laporan hasil pemeriksaan yang dibuat oleh Satuan Pengawasan Intern. 2) Pengawasan Ekstern

Bab 8 : Pengelolaan Badan Layanan Umum

282

Pengawasan Ekstern atas BLU dilakukan oleh menteri/pimpinan lembaga di luar manajemen BLU.

Standar Pelayanan dan Kinerja BLU Standar Pelayanan Minimal

Untuk dapat memuaskan pengguna layanan Badan Layanan Umum diperlukan pengetahuan akan ekspektasi pengguna layanan. Dengan memberikan pelayanan yang sesuai dengan ekspektasi pengguna layanan berarti telah memberikan kepuasan kepada pengguna layanan. Faktor-faktor yang menentukan kepuasan pengguna layanan dilihat dari sudut pandang pengguna layanan adalah : 1. Kualitas pelayanan (teknis pelayanan dan proses pelayanan). 2. Kemudahan untuk mendapatkan pelayanan. 3. Biaya untuk memperoleh pelayanan.

Namun ekspektasi pengguna layanan sifatnya kualitatif. Oleh karena itu perlu diwujudkan dalam bentuk standar pelayanan. Standar pelayanan pada hakekatnya adalah konkritisasi daripada ekspektasi pengguna layanan. Dalam proses pelayanan, standar pelayanan diperlukan berdasarkan pertimbangan sebagai berikut : 1. Memperjelas tugas pelayanan. 2. Pedoman bagi pegawai dalam memberikan pelayanan. 3. Dengan standar pelayanan diketahui kegiatan mana yang diprioritaskan. 4. Dalam hal kegiatan pelayanan telah dilaksanakan, maka standar pelayanan

berfungsi sebagai kriteria kinerja pelayanan. 5. Membantu pengguna layanan dalam memfokuskan pelayanan sesuai dengan

pelayanan yang diberikan oleh pegawai pemberi jasa, sehingga hal ini akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan. Konkritnya Standar layanan minimum meliputi:

1. Persyaratan yang harus dipenuhi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan. 2. Tata cara dan waktu tunggu untuk mendapatkan pelayanan. 3. Biaya dan tata cara pembayaran layanan. 4. Spesifikasi layanan.

Standar pelayanan minimal bagi pelaksanaan pekerjaan/kegiatan akan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan di masing-masing unit kerja/bidang dengan tujuan memberikan kepuasan. Agar fungsi standar pelayanan Badan Layanan Umum dapat mencapai tujuannya, maka standar pelayanan Badan Layanan Umum harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. Relevan dengan apa yang menjadi ekspektasi pengguna layanan. 2. Dapat diukur. 3. Dapat dimonitor dan dikendalikan dalam pelaksanaannya. 4. Fokus kepada kepedulian penggunan layanan. 5. Mudah diingat sehingga menjamin pelaksanaan pelayanan sesuai dengan

standar.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan Aplikasi: di Indonesia

283

Sistem Penetapan Tarif

Sistem penetapan tarif layanan menggunakan prinsip : 1. Cost minus, yaitu kebijakan penetapan biaya yang diharapkan kembali, tanpa

memperhitungkan dengan biaya pemeliharaan. 2. Cost recovery, yaitu kebijakan penetapan biaya yang ditetapkan sebagai tarif

dengan memperhitungkan seluruh biaya yang diharapkan kembali. 3. Cost plus, yaitu kebijakan penetapan biaya yang ditetapkan sebagai tarif yang

memperhitungkan seluruh biaya yang diharapkan kembali ditambah dengan kelebihan yang dihitung sebagai peningkatan penerimaan pemberian jasa.

Dalam penetapan tarif layanan tersebut diatas perlu memperhatikan pula :

1. Dampak pengenaan tarif tersebut terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, serta dampak terhadap kelangsungan penyelenggaraan pelayanan .

2. Aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat.

Tarif atas jenis penerimaan Badan Layanan Umum ditetapkan dengan pengaturan tersendiri, sesuai dengan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah yang berlaku. Kinerja Keuangan

Laporan kinerja keuangan Badan Layanan Umum adalah laporan realisasi pedapatan dan belanja yang disusun berdasarkan basis akrual. Dalam laporan dimaksud, perlu disajikan informasi mengenai pendapatan operasional, belanja berdasarkan klasifikasi fungsional dan ekonomi, dan surplus atau defisit.

Laporan kinerja keuangan sekurang-kurangnya menyajikan pos-pos sebagai berikut : 1. Pendapatan dari kegiatan operasional; 2. Beban berdasarkan klasifikasi fungsional dan klasifikasi ekonomi; 3. Surplus atau defisit.

Kinerja keuangan Badan Layanan Umum harus mengikhtisarkan indikator dan pencapaian kinerja kegiatan operasional yang berdimensi keuangan dalam suatu periode pelaporan. Tujuan penyajian ikhtisar pencapaian kinerja keuangan Badan Layanan Umum adalah untuk memberikan informasi secara komprehensif kepada pengguna laporan keuangan mengenai tingkat efisiensi dan keekonomisan penggunaan sumber-sumber daya Badan Layanan Umum serta efektivitas dari fungsi, program dan aktivitas-aktivitas yang dilaksanakan oleh Badan Layanan Umum.

Keberhasilan pencapaian kinerja dapat diketahui berdasarkan tingkat

keekonomisan, efisiensi dan efektivitas suatu program. Ekonomis adalah suatu keadaan dimana suatu Badan Layanan Umum dapat memperoleh atau menggunakan sumber daya dengan biaya/harga yang paling rendah. Efisiensi dapat

Bab 8 : Pengelolaan Badan Layanan Umum

284

diukur dengan membandingkan keluaran (output) dengan masukan (input). Sedangkan efektivitas diukur dengan membandingkan hasil (outcome) dengan target yang ditetapkan.

Pembahasan mengenai kinerja keuangan harus dihubungkan dengan tujuan dan

sasaran dari rencana strategis Badan Layanan Umum dan indikatornya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ikhtisar pembahasan kinerja keuangan Badan Layanan Umum harus : 1. Menguraikan strategi dan sumber daya yang digunakan untuk mencapai tujuan; 2. Memberikan gambaran yang jelas atas rencana dan realisasi kinerja keuangan

BLU; 3. Menguraikan prosedur yang telah disusun dan dijalankan oleh manajemen untuk

dapat memberikan keyakinan yang beralasan bahwa informasi kinerja keuangan yang dilaporkan adalah relevan dan handal. Pembahasan mengenai kinerja keuangan harus :

1. Meliputi baik hasil yang positif maupun negatif; 2. Menyajikan data historis yang relevan; 3. Membandingkan hasil yang dicapai dengan tujuan dan rencana yang telah

ditetapkan; 4. Menyajikan informasi penjelasan lainnya yang diyakini oleh manajemen akan

dibutuhkan oleh pembaca laporan kinerja keuangan untuk dapat memahami indikator, hasil, dan perbedaan yang ada dengan tujuan atau rencana.

òô

Rangkuman

Badan Layanan Umum (BLU) adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Tujuan pembentukan BLU adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat.

Penetapan suatu unit pemerintah yang dapat menggunakan pola pengelolaan

keuangan Badan Layanan Umum (BLU) dilakukan oleh Menteri Keuangan berdasarkan usulan dari menteri/pimpinan lembaga teknis. Untuk dapat diusulkan penetapannya, unit dimaksud harus memenuhi kriteria substantif, kriteria teknis dan

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan Aplikasi: di Indonesia

285

syarat administratif. Unit pemerintah yang dapat menggunakan pola pengelolaan keuangan BLU, antara lain Unit pelayanan kesehatan, Unit pelayanan tanda identitas, Unit penyelenggara pendidikan, Unit penyelenggara penyiaran publik, Unit pelayanan benih tanaman dan ternak, Unit pelayanan kebersihan kota, Unit pengelola wilayah atau otorita, Unit penelitian dan pengembangan, dan Unit pengelola dana bergulir.

Pengelolaan keuangan BLU tidak terlepas dari hubungan kelembagaan yang ada

antara BLU dengan kementerian teknis dan kementerian keuangan. Hubungan ini harus dipertegas agar tanggung jawab dan wewenang dari masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya semakin jelas. Dikarenakan kementerian teknis bertanggung jawab atas kebijakan yang diambil sebagai dasar bagi BLU untuk melaksanakan kegiatan operasional, maka menteri teknis bertindak sebagai pembina teknis bagi BLU. Sedangkan Menteri Keuangan bertindak sebagai pembina keuangan atas BLU dikarenakan dana BLU adalah merupakan bagian dari kekayaan negara yang tidak dipisahkan.

Fleksibilitas dalam pengelolaan BLU terdiri atas beberapa aspek, seperti

fleksibiliats dalam pengelolaan sumber daya manusia BLU, fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan BLU, dan fleksibilitas dalam pengelolaan aset. Fleksibilitas dalam pengelolaan sumber daya manusia termasuk kewenangan untuk merekrut tenaga kerja profesional dan tenaga lepas non PNS, serta menyusun mekanisme pemberhentian pegawai non-PNS dan pemberian bonus ataupun tunjangan lainnya, ataupun memberikan gaji yang memadai bagi senior PNS sama dengan yang diberikan di sektor swasta. Fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan adalah dengan lebih menekankan prinsip-prinsip yang disetujui bersama dalam pengelolaan keuangan BLU. Fleksibilitas dalam pengelolaan aset dimaksudkan untuk mengoptimalisasikan kinerja dari aset yang dimiliki, serta memberikan insentive untuk mengelola aset yang lebih baik.

-o0o-

Bab 8 : Pengelolaan Badan Layanan Umum

286

PERENCANAAN DAN PEROLEHAN PINJAMAN/HIBAH LUAR NEGERI

“Pinjaman luar negeri merupakan sumber dana mahal yang menimbulkan adanya beban kewajiban pembayaran kembali hutang luar negeri berupa

pembayaran bunga, cicilan pokok, dan biaya-biaya lain yang terkait. “

Bab ini membahas perencanaan dan perolehan pinjaman/hibah luar negeri dalam manajemen perbendaharaan di Indonesia. Setelah mempelajari bab ini Saudara diharapkan mampu untuk menjelaskan hal-hal yang terkait dengan: § Kebijakan PHLN. § Pengertian PHLN. § Sumber, Bentuk, dan Jenis PHLN. § Perencanaan dan Pengadaan PHLN. § Penyusunan Dokumen Perencanaan PHLN. § Pengajuan Usulan Pinjaman Program, Pinjaman Proyek, dan Hibah. § Persyaratan Pengusulan Kegiatan. § Hibah Luar Negeri yang bersifat Khusus. § Penyusunan Daftar Kegiatan dan Rencana Pelaksanaan Kegiatan. § Kandungan dan Persyaratan PHLN. § Siklus Periode/Masa NPPHLN

Sampai saat ini Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN) masih diperlukan dalam rangka meningkatkan mutu pembangunan terutama membiayai proyek-proyek yang sifatnya produktif, dimana pemerintah belum mampu untuk membiayai proyek-

Bab 9 : Perencanaan dan Perolehan Pinjaman/Hibah Luar Negeri

290

proyek tersebut dengan komponen tabungan pemerintah. Peran PHLN saat ini merupakan sumber pembiayaan negara yang sangat penting dalam rangka menutupi defisit APBN sebagaimana telah disebutkan di awal. Dana yang diperoleh pemerintah dari penerimaan domestik masih sangat terbatas, sedangkan dana yang diperlukan untuk pembiayaan pembangunan semakin besar sejalan dengan meningkatnya kebutuhan dana bagi upaya penyelamatan dan pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat akibat krisis ekonomi.

Harus diakui bahwa peran PHLN sejak awal orde baru kepada pembangunan

Indonesia secara keseluruhan tidaklah kecil, terutama saat Indonesia mengalami krisis ekonomi, PHLN hadir sebagai suatu solusi utama untuk memulihkan kondisi Indonesia. Walau PHLN dipandang sebagai pelengkap, kebutuhannya secara absolut tetap masih besar, khususnya membiayai prioritas pembangunan yang menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah. Sumiyarto (2003) menjelaskan bahwa jumlah hutang pemerintah, baik hutang dalam negeri maupun hutang luar negeri, meningkat tajam yaitu dari sebesar USD 53 milyar (23% dari GDP) sebelum krisis menjadi sebesar USD 159 milyar (92% dari GDP) pada awal tahun 2000. Hampir tiga perempat dari kenaikan ini diakibatkan oleh kenaikan pinjaman dalam negeri untuk membiayai restrukturisasi perbankan. Sedangkan kenaikan hutang luar negeri sebenarnya tidak terlalu besar yaitu dari USD 53 milyar sebelum krisis menjadi USD 63 milyar pada bulan Maret 2000 atau naik 13% dari total pinjaman pemerintah secara keseluruhan dan kenaikan ini pun sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh menguatnya nilai tukar mata uang asing khususnya US dollar terhadap rupiah.

Menyadari cukup besarnya ketergantungan Indonesia atas dana PHLN bagi

pencapaian sasaran pembangunan, maka perlu diupayakan pemanfaatan dana tepat sasaran sesuai dengan yang telah ditetapkan pada perencanaan penggunaan dana. Selain itu mengingat bahwa dana pinjaman luar negeri merupakan sumber dana mahal yang menimbulkan adanya beban kewajiban pembayaran kembali hutang luar negeri berupa pembayaran bunga, cicilan pokok dan biaya-biaya lain yang terkait. Beban kewajiban tersebut tentunya akan menambah beban APBN bahkan beberapa tahun ini pembayaran bunga dan cicilan hutang merupakan porsi terbesar biaya dalam APBN.

Selanjutnya dengan mencermati kenyataan pelaksanaan PHLN selama ini,

terdapat berbagai permasalahan yang timbul sejak perencanaan sampai dengan pengembaliannya. Permasalahan tersebut semakin kompleks apabila dikaitkan dengan prosedur pelaksanaan PHLN yang sifatnya spesifik yakni tergantung kepada isi kesepakatan yang tercantum dalam naskah perjanjian. Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan optimalisasi pemanfaatan PHLN serta mengupayakan penyempurnaan pengelolaan PHLN kiranya diperlukan suatu pemahaman yang baik mengenai pengelolaan PHLN.

Kebijakan PHLN

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan Aplikasi di Indonesia 291

Sesuai dengan amanat RPJM ataupun Rencana Kerja Pemerintah saat ini, penerimaan bantuan luar negeri tidak boleh dikaitkan dengan ikatan politik, bersyarat lunak, dan dalam batas kemampuan negara untuk membayar kembali. Sebagai tindak lanjut pelaksanaan amanat tersebut maka kebijaksanaan pengelolaan dana bantuan luar negeri perlu dilakukan dengan cermat dan cerdas. Bantuan luar negeri yang dikaitkan dengan kondisi atau persyaratan seperti HAM ataupun perburuhan yang secara politis dapat merugikan posisi Indonesia di dunia internasional harus dihindari. Demikian pula jika bantuan tersebut menciptakan ketergantungan kepada salah satu negara pemberi pinjaman, maka pemberian pinjaman tersebut hendaknya dihindari. Dalam melakukan upaya konsolidasi pengelolaan keuangan negara dan akumulasi modal untuk membangun perekonomian Indonesia, dana yang berasal dari luar negeri masih sangat diperlukan mengingat kondisi Indonesia yang mengalami kendala sumber pembiayaan. Namun secara tegas perlu ditekankan bahwa PHLN adalah sebagai pelengkap dan disediakan khusus untuk proyek produktif sesuai prioritas dan tidak ditujukan untuk pembiayaan yang sifatnya rutin.

Proses perencanaan juga harus memperhatikan kemampuan negara untuk

membayar kembali, sehingga pinjaman luar negeri tidak akan menjadi beban berat bagi generasi mendatang. Selain itu perencanaan pinjaman luar negeri harus mempertimbangkan kebutuhan dalam negeri secara cermat, agar pinjaman yang diperoleh berada pada status wajar dan menitikberatkan pada pinjaman bersyarat lunak, yaitu tingkat suku bunga rendah dan jangka waktu pengembalian yang masa tenggangnya panjang.

Sumiyarto (2003) mengungkapkan bahwa kebijakan pemerintah dalam

melakukan pinjaman khususnya pinjaman luar negeri perlu dilakukan secara hati-hati (prudent foreign borrowing policy) mengingat dalam pinjaman luar negeri antara lain terkandung risiko nilai tukar valuta asing dan posisi tawar Indonesia di arena Internasional, termasuk dalam hal ini adalah rating dan country risk Indonesia merupakan faktor yang sangat menentukan dalam memperoleh akses terhadap sumber-sumber pendanaan internasional terutama pemilihan alternatif pendanaan dan persyaratannya. Di lain pihak strategi di dalam pembelanjaan dana tersebut juga merupakan faktor lain yang tidak kalah penting dalam Debt Management Strategy sebab kekeliruan kebijakan dalam membelanjakan sumber-sumber pendanaan yang diperoleh berakibat inefisiensi, costly, dan dapat mengancam keuangan negara. Sebagai contoh, penggunaan dana yang berasal dari pinjaman komersial atau pinjaman keras lainnya untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat konsumtif seperti jaring pengaman sosial, membayar gaji pegawai, dan lain-lain.

Adapun arah kebijakan bantuan luar negeri antara lain:

• Mengurangi ketergantungan dana dari luar negeri. • Pengurangan pinjaman luar negeri secara bertahap. • Melakukan renegosiasi dan mempercepat restrukturisasi hutang luar negeri

bersama-sama dengan IMF, Bank Dunia, dan lembaga donor lainnya dengan memperhatikan kemampuan negara, yang dilakukan secara transparan. Pelaksanaan proyek-proyek pembangunan diupayakan didanai sepenuhnya

dengan dana rupiah sendiri. Adapun sumber dana rupiah dapat digali dari seluruh

Bab 9 : Perencanaan dan Perolehan Pinjaman/Hibah Luar Negeri

292

potensi masyarakat sendiri. Sumber pembiayaan pembangunan itu dapat berasal dari sumbangan masyarakat, dana APBD dan sumber-sumber pendapatan dalam negeri lainnya. Dengan demikian, dana rupiah untuk pembangunan tidak sepenuhnya bergantung pada pemerintah. Namun, apabila terdapat proyek-proyek pembangunan yang sangat prioritas untuk segera dilaksanakan tetapi belum tersedia dana rupiahnya, maka diupayakan dari PHLN.

Dari uraian dan gambaran di atas, maka pembiayaan proyek pembangunan dari

aspek sumber pembiayaannya dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu: 1. Sepenuhnnya didanai dengan rupiah 2. Sebagian didanai dengan rupiah murni dan sebagian lagi dengan PHLN 3. Dibiayai penuh dengan PHLN Pengertian PHLN

Dana dari luar negeri yang diterima oleh pemerintah untuk membiayai pembangunan selama ini dikenal dengan istilah “Bantuan Luar Negeri”. Istilah tersebut berasal dari pengertian/definisi yang diberikan pihak lembaga keuangan Internasional yaitu : Official Development Assistance consisting of funds made available by Government on concessional terms primarily to promote economic development and the welfare of the developing countries.

Adapun faktanya, dana yang berasal dari luar negeri yang diterima Indonesia

terdiri dari Pinjaman Luar Negeri dan Hibah/Bantuan. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri mendefinisikan Pinjaman Luar Negeri (PLN) sebagai setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, maupun dalam bentuk barang dan/atau jasa yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu. Sedangkan Hibah Luar Negeri (HLN) adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, maupun dalam bentuk barang dan/atau jasa yang diperoleh dari pemberi hibah luar negeri yang tidak perlu dibayar kembali. Tabel berikut memperjelas perbedaan antara pinjaman dan hibah luar negeri:

Etimologi Hutang Hibah

Kewajiban Harus dikembalikan Tidak perlu dikembalikan Keuangan Pengeluaran yang

tertunda Penerimaan

Akuntansi Unsur pembiayaan Unsur Asset (aktiva) Sifat/Kondisi Keterpaksaan Sukarela

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan Aplikasi di Indonesia 293

Penerima Pihak tertentu Semua Pihak Pencairan Langsung, Letter of Credit,

Pembayaran Pendahuluan, dan Rekening Khusus

Langsung, Letter of Credit, Rekening Khusus, dan Pencatatan

Sumber, Bentuk, dan Jenis PHLN

Pemerintah dapat menerima Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri yang bersumber dari: 1. Negara Asing. 2. Lembaga Multilateral. 3. Lembaga Keuangan dan Lembaga Nonkeuangan asing. 4. Lembaga Keuangan Nonasing.

Lembaga multilateral adalah institusi atau lembaga keuangan internasional yang dibentuk secara bersama-sama yang meliputi beberapa negara anggota. Lembaga-lembaga tersebut antara lain seperti: International Monetary Fund (IMF), The World Bank Group (yang terdiri dari: International Bank for Reconstruction and Development atau IBRD, International Development Association atau IDA, International Finance Corporation atau IFC, Multilateral Investment Guarantee Agency atau MIGA, dan International Center for the Settlement of Investment Diputes atau ICSID), Asian Develpoment Bank (ADB), Islamic Development Bank(IDB), Nordic Investment Bank (NIB), European Investment Bank (EIB), International Food and Agriculture Development (IFAD), UNICEF, dsb. Sedangkan Lembaga-Lembaga Asing yang biasa memberikan pinjaman/hibah antara lain: United State of Agency for International Development (USAID), The French Caisse Centrale pour le Cooperation Economique, German Kreditanstalt fur Wiederaufbau (KfW), United State Export-Import Bank (US Exim Bank), Japanese Export-Import Bank (JEXIM), dsb.

Selain itu terdapat 17 negara yang bergabung di bawah Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) membentuk Development Assistance Committee (DAC) dan bertemu secara periodik untuk merumuskan target-target bantuan luar negeri secara umum dan karakteristik bantuan luar negeri secara menyeluruh. Guna mengkoordinasikan bantuan kepada masing-masing negara secara individual, Bank Dunia mengetuai Consultative Groups and Aid Consortia yaitu suatu organisasi yang bertemu dalam waktu 1 atau 2 tahun sekali dan mereka memberikan dorongan baik bagi donor dan penerima bantuan untuk mendiskusikan prospek ekonomi dari negara penerima bantuan serta mengkoordinasikan program-program bantuan nasional dengan tujuan untuk memastikan bahwa prioritas yang dibutuhkan terpenuhi dan bahwa para donor bilateral tidak akan terjadi tumpang-tindih satu dengan yang lainnya. Bank Dunia memberikan pinjaman kepada negara-negara yang menjadi anggotanya dalam konteks strategi pembangunan jangka menengah yang dilaksanakan setelah melalui diskusi secara ekstensif dengan masing-masing pemerintah.

Bab 9 : Perencanaan dan Perolehan Pinjaman/Hibah Luar Negeri

294

Pinjaman Luar Negeri (PLN) dapat berbentuk Pinjaman Program dan/atau Pinjaman Proyek yang terdiri atas: 1. Pinjaman Lunak.

Yaitu pinjaman yang masuk dalam kategori Official Development Assistance (ODA) Loan atau Concessional Loan, yang berasal dari suatu negara atau lembaga multilateral, yang ditujukan untuk pembangunan ekonomi atau untuk peningkatan kesejahteraan sosial bagi negara penerima dan memiliki komponen hibah (grant element) sekurang-kurangnya 35% (tigapuluh lima per seratus).

2. Fasilitas Kredit Ekspor (FKE). Yaitu pinjaman komersial yang diberikan oleh lembaga keuangan atau lembaga nonkeuangan di negara pengekspor yang dijamin oleh lembaga penjamin kredit ekspor.

3. Pinjaman Komersial. Yaitu pinjaman luar negeri Pemerintah yang diperoleh dengan persyaratan yang berlaku di pasar dan tanpa adanya penjaminan dari lembaga penjamin kredit ekspor.

4. Pinjaman Campuran. Yaitu kombinasi antara dua unsur atau lebih yang terdiri dari hibah, pinjaman lunak, fasilitas kredit ekspor, dan pinjaman komersial.

Sedangkan Hibah Luar Negeri (HLN) dapat berupa uang dan/atau barang

dan/atau jasa yang terdiri atas: Bantuan Teknik, Bantuan Proyek, Kerja sama Teknik, dan Kerja sama Keuangan yang dapat digunakan untuk: 1. Menunjang peningkatan fungsi pemerintahan. 2. Menunjang penyediaan layanan dasar umum. 3. Menunjang peningkatan kemampuan sumber daya manusia. 4. Membantu penyiapan rancangan kegiatan pembangunan. 5. Mendukung pelestarian sumber daya alam, lingkungan hidup, dan budaya. 6. Mendukung pengembangan riset dan teknologi. 7. Bantuan kemanusiaan.

Menurut asal atau sumbernya, PHLN dapat dibagi menjadi: 1. Pinjaman atau Hibah Luar Negeri dalam rangka Consultative Group on Indonesia

(CGI). a. Pinjaman atau hibah bilateral yang berasal dari pemerintah suatu negara

anggota yang tergabung dalam CGI. Amerika Serikat, Belgia, Denmark, Finlandia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Norwegia, Perancis, Selandia Baru, Spanyol, Swiss, Swedia, atau yang disalurkan melalui badan/lembaga yang ditunjuk oleh negara yang bersangkutan (contoh: pinjaman Jepang yang disalurkan melalui JBIC).

b. Pinjaman atau hibah multilateral yang berasal dari lembaga/badan keuangan internasional/regional dimana Indonesia sebagai salah satu anggotanya, yaitu: IMF, IBRD, ADB, UNDP, OECD, MEE, UNICEF, IFAD.

2. Pinjaman atau hibah Luar Negeri di Luar CGI. a. Pinjaman atau hibah bilateral yang berasal dari pemerintah suatu negara di

luar yang tergabung dalam CGI, seperti Brunei Investment Agency, dll.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan Aplikasi di Indonesia 295

b. Pinjaman atau hibah multilateral yang berasal dari badan/lembaga keuangan internasional maupun regional di luar CGI seperti Asean Japan Development Fund (AJDF), dll.

3. Pinjaman atau hibah Luar Negeri yang berasal dari pinjaman badan-badan lembaga keuangan internasional. Pinjaman yang termasuk dalam kelompok ini antara lain pinjaman yang berasal dari US Exim Bank, Syndicate International Bank, dll.

Menurut Obyek Pembiayaannya, PHLN dapat dibagi menjadi:

1. Pinjaman atau hibah kegiatan adalah penerimaan pembangunan dalam bentuk

barang dan jasa bagi keperluan kegiatan pembangunan seperti pinjaman atau hibah tenaga ahli (expert) yang didatangkan dari luar negeri atau pengiriman tenaga-tenaga Indonesia ke luar negeri untuk belajar, seminar, studi pertandingan, dll.

2. Pinjaman atau hibah program adalah pinjaman atau hibah luar negeri berbentuk

bahan pangan dan devisa (tunai) yang dapat dirupiahkan (RPLN), hasilnya digunakan untuk pembiayaan kegiatan pembangunan atau pinjaman atau hibah berupa komoditas yang nilai lawan rupiahnya digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan.

Menurut Syarat Pengembaliannya, PHLN dapat dibagi menjadi:

1. Pinjaman Lunak (Soft Loan)

Yaitu pinjaman luar negeri dengan persyaratan lunak seperti: a. Jangka waktu pengembalian termasuk tenggang waktu 25 tahun atau lebih. b. Tenggang waktu (grace period) 7 tahun atau lebih. c. Bunga pinjaman maksimal 3,5 % per tahun. Pinjaman ini umumnya berasal dari negara/lembaga keuangan yang tergabung dalam Consultative Group on Indonesia (CGI), baik dalam kerangka bilateral maupun multilateral.

2. Pinjaman Kredit Eksport (Export Credit Facilities)

Yaitu pinjaman yang diberikan oleh negara-negara pengekspor dengan jaminan tertentu (guaranteed loan) dari pemerintahnya dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor negara yang bersangkutan di satu pihak, dan di pihak lain untuk memenuhi kebutuhan barang yang dibutuhkan negara pengimpor. Fasilitas Kredit Ekspor disediakan untuk mendorong ekspor negara eksportir dengan cara menyediakan kredit kepada importir dengan persyaratan lebih ringan dibandingkan dengan kredit komersial pada umumnya. Oleh karena pembiayaan yang berasal dari Fasilitas Kredit Ekspor (FKE) terutama berasal dari negara-negara yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) maka penggunaan FKE harus mengacu pada ketentuan-ketentuan OECD (OECD Guide Lines) dan karena itu: a. FKE merupakan kredit yang dijamin (Guaranted Loan) baik oleh pemerintah

dari negara pemberi FKE atau lembaga yang ditunjuk untuk keperluan

Bab 9 : Perencanaan dan Perolehan Pinjaman/Hibah Luar Negeri

296

tersebut (misalnya: Export Credit Agency seperti COFACE, Hermes dan sebagainya).

b. Bersifat Tied-Loan, yang berarti bagian terbesar dari dana tersebut digunakan untuk membeli barang dari negara pemberi FKE.

c. FKE pada dasarnya hanya mencakup maksimum 85 % dari nilai impor (foreign content), dan oleh karena itu bagian yang tidak disediakan melalui FKE harus disediakan oleh pemerintah melalui anggaran masing-masing instansi yang bersangkutan (misalnya:untuk pembayaran uang muka, bagian kontrak yang tidak disediakan dari FKE dan kegiatan pendukung pelaksanaan kegiatan).

d. FKE digunakan untuk mengimpor barang modal. e. Maksimum pengembalian antara 8,5 tahun s.d. 10 tahun. f. Tingkat bunga FKE mengacu pada Commercial Interest Reference Rate

(CIRR) yang diterbitkan oleh OECD setiap bulan dan berlaku dari tanggal 15 s.d. tanggal 14 bulan berikutnya. CIRR bersifat tetap (Fixed).

g. FKE tidak dapat diberikan untuk keperluan pengadaan peralatan militer (military equipment) dan pengadaan komoditas pertanian (agricultural commodities).

h. Harus ada alokasi KE dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Terdapat 2 (dua) macam skim pendanaan Kredit Ekspor, yaitu: a. Buyers Credit. Adalah pinjaman Kredit Ekspor yang dananya disediakan oleh

badan/lembaga keuangan di negara pengekspor untuk dipinjamkan kepada negara pengimpor (penerima pinjaman) untuk dibayarkan kepada supplier atas barang/jasa yang diimpor.

b. Suppliers Credit. Adalah pinjaman Kredit Ekspor yang dananya disediakan oleh bank kepada supplier dan selanjutnya supplier tersebut meminjamkan kepada negara pengimpor (penerima pinjaman) dalam bentuk barang/jasa.

3. Pinjaman Komersial Pinjaman Komersial adalah pinjaman yang berasal dari pasar uang internasional dalam bentuk devisa tunai dengan persyaratan komersial. Pinjaman komersial pemerintah pada dasarnya digunakan untuk menyangga pembiayaan APBN. Yang termasuk ke dalam pinjaman komersial ini antara lain adalah obligasi dan leasing.

Perencanaan dan Pengadaan PHLN

Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Untuk itu proyek-proyek yang akan dibiayai oleh pinjaman luar negeri selayaknya terlebih dahulu dilakukan uji kelayakan dan seleksi yang ketat. Seleksi terhadap proyek yang diusulkan Departemen/LPND sangat ditekankan prioritasnya, substansinya benar-benar dikuasai pelaksana proyek dan telah siap untuk dilaksanakan. Setiap usulan proyek harus benar-benar dibutuhkan dan merupakan prioritas Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan sesuai dengan tujuan

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan Aplikasi di Indonesia 297

pencapaian sasaran yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Oleh karena itu, proyek harus diidentifikasi dan diusulkan oleh pimpinan Kementerian Negara/Lembaga dan sekaligus meningkatkan akuntabilitas dari proyek tersebut pada publik.

Penekanan pada kesiapan proyek dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas

dan efisiensi pelaksanaan proyek yang menggunakan dana PHLN. Dengan kualitas yang lebih baik di awal, diharapkan keterlambatan pelaksanaan dapat dihindari dan proyek dapat segera dilaksanakan setelah perjanjian PHLN ditandatangani. Kelancaran pelaksanaan proyek antara lain dapat menekan biaya berupa commitment fee yang harus dibayar pemerintah. Kualitas proyek dapat diidentifikasi melalui studi kelayakan dan penjabaran tugas yang jelas meliputi kesiapan sumber daya manusia, pendanaan dan penyediaan lahan proyek berkenaan.

Dalam rangka optimalisasi penggunaan dana PHLN, pihak proyek selaku ujung

tombak dalam pengelolaan PHLN hendaknya mempersiapkan proyek secara matang. Perencanaan yang dimaksud meliputi: 1. Kesiapan rencana baik fisik maupun non fisik. 2. Kesiapan Sumber Daya Manusia. 3. Kesiapan penguasaan substansi proyek. 4. Kesiapan dana. 5. Kesiapan lahan proyek.

Proposal proyek-proyek yang dinilai prioritas dikaji kelayakannya oleh Bappenas

bersama Departemen Keuangan dan Departemen/Lembaga terkait untuk kemudian dimasukkan ke dalam Daftar Rencana Pinjaman/Hibah Luar Negeri (Blue Book/Buku Biru) untuk selanjutnya dicarikan pinjamannya pada CGI. Proposal tersebut akan dijelaskan dalam Sidang CGI. Sidang CGI akan menghasilkan pledge CGI yang berisi kesanggupan para anggota CGI selaku donor untuk mendanai sejumlah proyek yang diusulkan. Sesuai dengan pledge yang merupakan komitmen donor, akan dilakukan pengiriman misi pencari fakta ke lapangan. Berdasarkan hasil misi yang telah dilaksanakan, maka pihak donor akan mengirimkan misi Pre-Appraisal ataupun langsung Appraisal Mission (Misi Appraisal).

Misi Appraisal bertugas menganalisis semua aspek dari usulan pendanaan,

termasuk aspek-aspek teknis, keuangan, ekonomi, kelembagaan, hukum serta aspek sosial dan lingkungan. Apabila hasil penilaian terhadap usulan proyek adalah layak dan disepakati untuk didanai, maka hasil penilaian misi tersebut akan dicatat dalam Minutes of Understanding (MOU). Hasil dari misi Appraisal akan menjadi dasar penyusunan dokumen yakni Staff Appraisal Report dan Draft Loan/Grant Agreement.

Staff Appraisal Report (SAR) merupakan dokumen rinci yang memuat hal-hal

berikut: 1. Latar belakang, tujuan, dan target proyek 2. Ruang lingkup kegiatan, komponen, dan rencana kegiatan/ jadwal pelaksanaan

proyek 3. Organisasi dan Manajemen proyek 4. Aspek lain seperti pengadaan barang dan jasa serta retroactive financing

Bab 9 : Perencanaan dan Perolehan Pinjaman/Hibah Luar Negeri

298

Tahapan selanjutnya adalah mempersiapkan suatu misi perundingan atau negosiasi. Perundingan akan menghasilkan Naskah Perjanjian PHLN yang memuat proyek-proyek yang disetujui pembiayaannya. Setelah Loan Agreement ditandatangani dan legal opinion disampaikan kepada Menteri Kehakiman, maka pinjaman/hibah tersebut dinyatakan sah dan dapat digunakan sebagai salah satu sumber dana. Selanjutnya Naskah Perjanjian PHLN dicantumkan ke dalam dokumen anggaran yaitu DIPA atau dokumen yang dipersamakan. Perencanaan dan Pengadaan PHLN menurut PP Nomor 2 Tahun 2006

Dalam rangka perencanaan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri Presiden menetapkan Rencana Kebutuhan Pinjaman Luar Negeri (RKPLN) selama 5 (lima) tahun, berdasarkan usulan Menteri dan Menteri Perencanaan yang disusun sesuai dengan prioritas bidang pembangunan yang dapat dibiayai dengan pinjaman luar negeri. Penyusunan RKPLN dan prioritas bidang pembangunan tersebut dilakukan berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Presiden dapat meminta pertimbangan Gubernur Bank Indonesia terkait dengan konsekuensi moneter dan neraca pembayaran dari pinjaman luar negeri tersebut. Dalam menyusun RKPLN selama lima tahun, Menteri memperhatikan pokok-pokok manajemen pinjaman yang baik, seperti penargetan pinjaman (debt targeting), kemampuan membayar kembali (repayment capacity), pengurangan risiko (risk mitigation), dan kesinambungan fiskal (fiscal sustainability), serta memperhatikan ketentuan mengenai pembatasan jumlah kumulatif pinjaman dan jumlah kumulatif defisit APBN.

Rencana Kebutuhan Pinjaman Luar Negeri (RKPLN) adalah dokumen

perencanaan yang memuat kebutuhan dan rencana pemanfaatan pinjaman luar negeri meliputi rencana besaran pinjaman tahunan dan prioritas bidang pembangunan yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri yang periodenya sama dengan periode RPJM. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 5 (lima) tahun.

Kementerian Negara/Lembaga mengajukan usulan kegiatan prioritas yang

dibiayai dengan pinjaman dan/atau hibah luar negeri kepada Menteri Perencanaan. Kegiatan yang dapat diusulkan untuk dapat dibiayai dengan pinjaman/hibah luar negeri adalah kegiatan prioritas untuk mencapai sasaran RPJM dan sesuai dengan Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga. Pemerintah Daerah dan BUMN hanya dapat mengajukan usulan penerusan pinjaman luar negeri dan tidak dapat mengajukan usulan penerushibahan atau penyertaan modal. Penerusan pinjaman luar negeri kepada Pemerintah Daerah dalam bentuk penerushibahan dan kepada BUMN dalam bentuk penerushibahan atau penyertaan modal adalah merupakan kebijakan dan diskresi presiden dalam rangka mencapai sasaran-sasaran RPJM. Usulan kegiatan yang diajukan kementerian negara/lembaga tersebut termasuk kegiatan yang pembiayaannya akan diterushibahkan kepada Pemerintah Daerah atau sebagai penyertaan modal negara kepada BUMN.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan Aplikasi di Indonesia 299

Untuk mendapatkan penerusan pinjaman luar negeri dari pemerintah pusat,

Pemerintah Daerah mengajukan usulan kegiatan investasi kepada Menteri Perencanaan. Sedangkan BUMN mengajukan usulan yang sama kepada Menteri Perencanaan dengan persetujuan menteri yang bertanggung jawab di bidang pembinaan BUMN. Kegiatan investasi yang dimaksudkan di sini adalah kegiatan prasarana dan/atau sarana yang menghasilkan pendapatan bagi APBN/APBD yang diperoleh dari pungutan atas penggunaan prasarana dan atau sarana tersebut.

Usulan kegiatan Kementerian Negara/Lembaga, Pemerintah Daerah, dan BUMN

atas kegiatan prioritas yang dibiayai dengan pinjaman dan/atau hibah luar negeri, sekurang-kurangnya dilampiri dengan: 1. Kerangka Acuan Kerja (KAK), yaitu uraian tentang latar belakang, tujuan, ruang

lingkup, masukan yang dibutuhkan, dan hasil yang diharapkan dari suatu kegiatan.

2. Dokumen studi kelayakan kegiatan, yaitu hasil penelitian yang dibuat oleh tenaga ahli Kementerian Negara/Lembaga/Pemerintah Daerah/BUMN, maupun tenaga ahli yang dikontrak oleh Kementerian Negara/Lembaga/Pemerintah Daerah/BUMN yang bersangkutan, yang memberi gambaran secara lengkap tentang layak tidaknya suatu kegiatan berdasarkan aspek-aspek yang dianggap perlu, sebagai dasar untuk pengambilan keputusan dilaksanakannya suatu kegiatan yang bersangkutan.

3. Surat persetujuan dari DPRD (khusus untuk Pemerintah Daerah).

Atas usulan yang diajukan oleh Kementerian Negara/Lembaga, Pemerintah Daerah, dan BUMN tersebut, Menteri Perencanaan melakukan penilaian dengan memperhatikan Rencana Kebutuhan Pinjaman Luar Negeri (RKPLN) dan prioritas bidang pembangunan yang dapat dibiayai dengan pinjaman luar negeri. Hasil penilaian tersebut dituangkan dalam Daftar Rencana Prioritas Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri (DRPPHLN) yaitu suatu daftar rencana kegiatan pembangunan prioritas yang layak dibiayai dari pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Selanjutnya, atas dasar DRPPHLN dan rencana pinjaman calon Pemberi PLN/Pemberi HLN, Menteri Perencanaan menyampaikan Daftar Kegiatan yang dapat dibiayai pinjaman/hibah luar negeri kepada Menteri yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan keuangan negara, yaitu Menteri Keuangan. Yang dimaksud dengan Daftar Kegiatan di sini adalah daftar rencana kegiatan yang telah memiliki indikasi komitmen pendanaan dari calon Pemberi PLN/Pemberi HLN, mencakup jenis kegiatan, instansi pengusul, instansi pelaksana, rencana alokasi pinjaman/hibah, jadwal pelaksanaan, rencana sumber pendanaan luar negeri dan jenis penerusan pinjaman dan/atau penerushibahan luar negeri.

Menteri Keuangan menetapkan alokasi pinjaman pemerintah pusat menurut

sumber dan persyaratannya dengan mempertimbangkan kebutuhan riil pembiayaan luar negeri, kemampuan membayar kembali, batas maksimum kumulatif pinjaman, dan kemampuan penyerapan pinjaman, serta risiko pinjaman bersangkutan. Menteri Keuangan selanjutnya mengajukan usulan pinjaman/hibah kepada calon Pemberi PLN/Pemberi HLN dengan mengacu pada DRPPHLN dan alokasi pinjaman pemerintah pusat. Berdasarkan komitmen pemberian pinjaman dan/atau hibah luar

Bab 9 : Perencanaan dan Perolehan Pinjaman/Hibah Luar Negeri

300

negeri dari calon Pemberi PLN/Pemberi HLN, Kementerian Negara/Lembaga/Pemerintah Daerah/BUMN mempersiapkan pelaksanaan kegiatan yang akan dibiayai dengan pinjaman dan/atau hibah luar negeri untuk memenuhi kriteria kesiapan kegiatan.

Pengadaan pinjaman pemerintah melalui fasilitas kredit ekspor atau pinjaman

komersial dilaksanakan dengan mengajukan terlebih dahulu usulan kegiatan prioritas yang dibiayai dengan PHLN dari Kementerian Negara/Lembaga, Pemerintah Daerah, dan BUMN kepada Menteri Perencanaan dengan melampirkan dokumen sekurang-kurangnya berupa Kerangka Acuan Kerja (KAK), Dokumen Studi Kelayakan Kegiatan, dan Surat Persetujuan dari DPRD (khusus bagi Pemda). Selanjutnya usulan tersebut akan dinilai oleh Menteri Perencanaan dengan memperhatikan RKPLN dan prioritas bidang pembangunan yang dapat dibiayai dengan pinjaman luar negeri untuk kemudian dituangkan dalam DRPPHLN. Selanjutnya, Menteri Perencanaan menyampaikan Daftar Kegiatan yang dapat dibiayai pinjaman/hibah luar negeri kepada Menteri Keuangan.

Pengadaan barang/jasa yang dibiayai melalui fasilitas kredit ekspor atau

pinjaman komersial ini akan dilaksanakan setelah alokasi pinjaman pemerintah ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mempertimbangkan kebutuhan riil pembiayaan luar negeri, kemampuan membayar kembali, batas maksimum kumulatif pinjaman, dan kemampuan penyerapan pinjaman, serta risiko pinjaman bersangkutan. Sedangkan pengadaan barang/jasa yang dibiayai dengan pinjaman komersial yang tidak dijamin oleh lembaga penjamin kredit ekspor, maka pengadaan tersebut harus dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: (a) Penyedia barang harus mengajukan bank komersial terkemuka bertaraf internasional sebagai calon PPLN dan (b) Pengadaan barang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk pinjaman program, Menteri Keuangan dapat mengajukan usulan pinjaman luar negeri kepada calon Pemberi PLN selain yang tercantum dalam DRPPHLN.

Perundingan dengan calon Pemberi PLN/Pemberi HLN baru dapat dilakukan

setelah kriteria kesiapan kegiatan berikut dipenuhi, yaitu mencakup: 1. Indikator kinerja monitoring dan evaluasi, seperti data dasar, harus telah siap. 2. Dana pendamping untuk tahun pertama pelaksanaan kegiatan telah dialokasikan. 3. Rencana pengadaan tanah dan/atau resettlement telah ada, termasuk

ketersediaan dana yang diperlukan. 4. Unit Manajemen Proyek (Project Management Unit/PMU) dan Unit Pelaksana

Proyek (Project Implementation Unit/PIU) telah dibentuk dan telah ada personalianya.

5. Draft final pengelolaan proyek/petunjuk pengelolaan/administrasi proyek/ memorandum (yang berisi cakupan organisasi dan kerangka acuan kerjanya, dan pengaturan tentang pengadaan, anggaran, disbursement, laporan, dan auditing) telah siap, dan

6. Pernyataan dari Pemerintah Daerah (bila diperlukan) yang menyatakan komitmen mereka untuk berpartisipasi dalam penyediaan dana pendamping.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan Aplikasi di Indonesia 301

Perundingan ini dilaksanakan oleh Menteri Keuangan atau pejabat yang diberi kuasa dengan melibatkan unsur-unsur Departemen Keuangan, Kementerian Perencanaan, Departemen Luar Negeri dan instansi terkait lainnya, seperti Kementerian Negara/ Lembaga/BUMD/Pemerintah Daerah pelaksana kegiatan, dengan didampingi oleh ahli hukum. Perundingan tersebut sekurang-kurangnya mencakup aspek keuangan dan hukum. Aspek keuangan mencakup persyaratan pinjaman, antara lain: pengefektifan pinjaman, tingkat suku bunga, periode pembayaran bunga, cara penghitungan bunga, denda bunga, biaya-biaya lain, pembayaran sebelum jatuh tempo, metode penarikan pinjaman, lama pinjaman, tenggang waktu, dan periode pembayaran pokok pinjaman. Sedangkan aspek hukum mencakup antara lain: kesepakatan, janji dan jaminan, kepatuhan terhadap hukum, penyampaian dokumen peradilan, pelepasan hak kekebalan, hukum yang mengatur.

Hasil perundingan tersebut dilaporkan kepada Menteri Keuangan untuk

mendapatkan persetujuan dan dituangkan dalam Naskah Perjanjian Pinjaman/Hibah Luar Negeri (NPPHLN). NPPHLN adalah naskah perjanjian atau naskah lain yang disamakan yang memuat kesepakatan mengenai Pinjaman/Hibah Luar Negeri antara Pemerintah dengan Pemberi Pinjaman/Hibah Luar Negeri. NPPHLN ditandatangani oleh Menteri Keuangan atau pejabat yang diberi kuasa oleh Menteri Keuangan. NPPHLN sekurang-kurangnya memuat (a) jumlah, (b) peruntukan, dan (c) persyaratan pinjaman dan/atau hibah. Salinan NPPLN/NPHLN disampaikan oleh Departemen Keuangan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan instansi terkait lainnya, seperti Kementerian Perekonomian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Lembaga yang bersangkutan, Bank Indonesia, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). NPPHLN/perjanjian internasional di bidang keuangan lainnya yang dibuat oleh Menteri Keuangan berlaku sejak ditandatangani, kecuali ditentukan lain dalam naskah/dokumen yang bersangkutan.

Penyusunan Dokumen Perencanaan PHLN 1

Dalam rangka perencanaan kegiatan yang dibiayai dari Pinjaman dan/atau Hibah

Luar Negeri, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Menneg PPN/Kepala Bapppenas) menyusun perencanaan kegiatan pembangunan yang menghasilkan dokumen sebagai berikut: 1. RKPLN (Rencana Kebutuhan Pinjaman Luar Negeri). 2. DRPHLN-JM (Daftar Rencana Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri Jangka

Menengah), yaitu daftar rencana kegiatan pembangunan yang layak dibiayai dari pinjaman dan/atau hibah luar negeri untuk periode 5 tahun, yang digunakan sebagai dasar dalam penyusunan Daftar Rencana Prioritas Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri.

3. DRPPHLN (Daftar Rencana Prioritas Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri).

1 Diolah dari Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor Per.005/M.PPN/06/2006.

Bab 9 : Perencanaan dan Perolehan Pinjaman/Hibah Luar Negeri

302

4. RPK-PHLN (Rencana Pelaksanaan Kegiatan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri), yaitu rencana pelaksanaan atas kegiatan yang tercantum dalam NPPLN/NPHLN.

1. Rencana Kebutuhan Pinjaman Luar Negeri (RKPLN)

RKPLN memuat kebutuhan dan rencana pemanfaatan pinjaman luar negeri tahunan meliputi rencana pinjaman tahunan dan prioritas bidang pembangunan yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri. RKPLN disusun paling lambat 3 (tiga) bulan setelah RPJM ditetapkan. RKPLN berlaku sesuai dengan periode RPJM dan dapat disempurnakan setiap tahun sesuai dengan perkembangan perekonomian nasional. Rancangan RKPLN disusun oleh Menneg PPN/Kepala Bappenas dan Menteri Keuangan. Rancangan RKPLN disusun dengan mengacu pada kerangka ekonomi makro sebagaimana tercantum dalam RPJM dan kapasitas penyerapan pinjaman luar negeri. Rancangan RKPLN disampaikan kepada Presiden untuk mendapat penetapan.

2. Daftar Rencana Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri

Jangka Menengah (DRPHLN-JM).

DRPHLN-JM disusun oleh Menneg PPN/Kepala Bappenas dengan berpedoman pada RKPLN dan RPJM. Menneg PPN/Kepala Bappenas menetapkan DRPHLN-JM paling lambat 6 (enam) bulan setelah RPJM ditetapkan. DRPHLN-JM berisi rencana kegiatan Kementerian Negara/Lembaga, Pemerintah Daerah, dan BUMN yang layak dibiayai dari pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Masa berlaku DRPHLN-JM sesuai dengan masa berlaku RPJM. DRPHLN-JM dapat diperbaharui dan disempurnakan setiap tahun sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan perekonomian nasional.

3. Daftar Rencana Prioritas Pinjaman dan/atau Hibah

Luar Negeri (DRPPHLN).

Menneg PPN/Kepala Bappenas menyusun DRPPHLN dengan berpedoman pada RKPLN dan DRPHLN-JM. Menneg PPN/Kepala Bappenas menetapkan DRPPHLN paling lambat bulan November setiap tahun. DRPPHLN berisi rencana kegiatan Kementerian Negara/Lembaga, Pemerintah Daerah, dan BUMN yang layak dibiayai dari pinjaman dan/atau hibah luar negeri yang tercantum dalam DRPHLN-JM dan telah memiliki indikasi sumber pendanaan pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Kegiatan yang telah tercantum dalam DRPPHLN selama 2 (dua) tahun berturut-turut dan tidak mendapat komitmen pendanaan dari calon Pemberi PLN/Pemberi HLN, tidak dicantumkan dalam DRPPHLN tahun berikutnya.

4. Rencana Pelaksanaan Kegiatan Pinjaman dan/atau

Hibah Luar Negeri (RPK-PHLN).

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan Aplikasi di Indonesia 303

Menneg PPN/Kepala Bappenas menyusun RPK-PHLN dengan berpedoman

pada NPPLN/NPHLN yang telah ditandatangani Menteri Keuangan dengan Pemberi PLN/Pemberi HLN. RPK-PHLN berisi rencana pelaksanaan kegiatan yang meliputi rincian jenis kegiatan, lokasi, rencana alokasi anggaran, satuan kerja pelaksana kegiatan, jadwal pelaksanaan, kebutuhan dana pendamping, dan mekanisme pengadaan barang dan jasa. RPK-PHLN disusun paling lambat bulan Desember setiap tahun.

Pengajuan Usulan Pinjaman Program, Pinjaman Proyek, dan Hibah 2

1. Pengajuan Usulan Pinjaman Program.

Berdasarkan kebutuhan Pinjaman Program yang disusun oleh Menteri Keuangan, Menneg PPN/Kepala Bappenas melakukan koordinasi dengan Menteri pada Kementerian Negara/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Direksi BUMN untuk mengusulkan kebijakan pemerintah di bidang tertentu yang akan didukung dengan Pinjaman Program. Rencana kebijakan Pemerintah tersebut dapat dicantumkan dalam DRPPHLN.

2. Pengajuan Usulan Pinjaman Proyek dan Hibah.

Menneg PPN/Kepala Bappenas menyampaikan rencana penyusunan DRPHLN-JM kepada Menteri pada Kementerian Negara/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Direksi BUMN. Berdasarkan rencana penyusunan DRPHLN-JM tersebut Menteri pada Kementerian Negara/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Direksi BUMN mengajukan usulan kegiatan untuk dibiayai dari pinjaman dan/atau hibah luar negeri yang ditandatangani oleh: (a) Menteri pada Kementerian Negara untuk usulan yang berasal dari Kementerian Negara; (b) Pimpinan Lembaga untuk usulan yang berasal dari Lembaga; (c) Gubernur/Bupati/Walikota untuk usulan yang berasal dari Pemerintah Daerah; dan (d) Direksi untuk usulan yang berasal dari BUMN. Usulan kegiatan tersebut disampaikan kepada Menneg PPN/Kepala Bappenas.

3. Kriteria Umum Usulan Kegiatan Pinjaman Proyek dan

Hibah.

2 Diolah dari Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor Per.005/M.PPN/06/2006.

Bab 9 : Perencanaan dan Perolehan Pinjaman/Hibah Luar Negeri

304

Kriteria umum usulan kegiatan yang dibiayai melalui Pinjaman Proyek dan Hibah mencakup: a. Kegiatan sesuai dengan arahan dan sasaran RPJM; b. Kegiatan dalam rangka pencapaian sasaran program yang merupakan

prioritas pembangunan nasional; c. Kegiatan harus mempertimbangkan kemampuan pelaksanaan; d. Kegiatan yang secara teknis dan pembiayaan lebih efisien untuk dibiayai

dari pinjaman dan/atau hibah luar negeri; dan e. Hasil kegiatan dapat dioperasikan oleh sumberdaya dalam negeri dan dapat

diperluas untuk kegiatan lainnya. 4. Usulan Kementerian Negara/Lembaga.

Usulan kegiatan yang berasal dari Kementerian Negara/Lembaga berupa kegiatan dalam rangka pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan. Kriteria atas usulan kegiatan ini meliputi: a. Kriteria umum; dan b. Kegiatan dilakukan dalam rangka pencapaian sasaran tugas pokok dan

fungsi Kementerian Negara/Lembaga. Kementerian Negara/Lembaga dapat mengusulkan kegiatan untuk

Pemerintah Daerah berupa usulan kegiatan yang sebagian atau seluruhnya akan diterushibahkan dengan kriteria meliputi: a. Kriteria umum; dan b. Kriteria khusus yang mencakup:

1) Kegiatan merupakan urusan Pemerintah Daerah, dengan prioritas untuk Pemerintah Daerah yang memiliki kapasitas fiskal rendah;

2) Kegiatan memberi manfaat langsung bagi masyarakat suatu pemerintah daerah dan/atau masyarakat pada pemerintah daerah lain;

3) Untuk kegiatan yang hanya memberikan manfaat langsung bagi masyarakat di daerah penerima penerushibahan, Pemerintah Daerah harus ikut menanggung sebagian biaya pelaksanaan kegiatan;

4) Kegiatan pendukung merupakan kewajiban Pemerintah Daerah; dan 5) Kegiatan dalam bidang tugas Kementerian Negara/Lembaga pengusul. Kementerian Negara/Lembaga dapat pula menginisiasi kegiatan untuk

Pemerintah Daerah berupa usulan kegiatan yang sebagian atau seluruhnya akan diteruspinjamkan, yang selanjutnya akan diusulkan oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Kriteria usulan kegiatan ini meliputi: a. Kriteria umum. b. Kriteria khusus yang mencakup:

1) Kegiatan investasi untuk prasarana dan/atau sarana yang menghasilkan penerimaan pada APBD Pemerintah Daerah yang diperoleh dari pungutan atas penggunaan prasarana dan/atau sarana tersebut;

2) Kegiatan merupakan urusan Pemerintah Daerah; 3) Kegiatan memberikan manfaat langsung bagi pelayanan masyarakat

daerah setempat;

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan Aplikasi di Indonesia 305

4) Pemerintah Daerah mempunyai kemampuan fiskal untuk memenuhi kewajiban pembayaran kembali pinjaman;

5) Kegiatan dilaksanakan oleh lebih dari satu pemerintah daerah; dan 6) Kegiatan dalam bidang tugas Kementerian Negara/Lembaga pengusul. Kementerian Negara/Lembaga juga dapat mengusulkan kegiatan untuk

BUMN berupa usulan kegiatan yang sebagian atau seluruhnya akan dijadikan penerushibahan atau penyertaan modal negara dengan kriteria meliputi: a. Kriteria umum. b. Kriteria khusus yang mencakup:

1) Kegiatan digunakan untuk memperluas dan meningkatkan pelayanan yang disediakan BUMN;

2) BUMN tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk mencapai sasaran program, yang dinilai berdasarkan laporan keuangan BUMN;

3) Kegiatan dalam bidang tugas Kementerian Negara/Lembaga pengusul. 5. Usulan Pemerintah Daerah.

Usulan kegiatan yang dapat diusulkan oleh Pemerintah Daerah adalah : a. Kegiatan yang dibiayai dari pinjaman luar negeri untuk penerusan pinjaman; b. Kegiatan yang dibiayai dari penerusan pinjaman dan diinisiasi oleh

Kementerian Negara /Lembaga; atau c. Kegiatan yang dibiayai dari hibah luar negeri untuk penerushibahan.

Kriteria untuk usulan kegiatan huruf a dan huruf b di atas, meliputi:

a. Kriteria umum. b. Kriteria khusus yang mencakup:

1) Kegiatan investasi untuk prasarana dan/atau sarana yang menghasilkan penerimaan pada APBD yang diperoleh dari pungutan atas penggunaan prasarana dan/atau sarana tersebut;

2) Kegiatan merupakan urusan Pemerintah Daerah; 3) Kegiatan dalam rangka pencapaian sasaran program yang merupakan

prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah dan sejalan dengan program RPJM;

4) Kegiatan memberikan manfaat langsung bagi pelayanan masyarakat daerah setempat; dan

5) Pemerintah Daerah mempunyai kemampuan fiskal untuk memenuhi kewajiban pembayaran kembali pinjaman.

Sedangkan kriteria untuk usulan kegiatan huruf c, meliputi:

a. Kriteria umum. b. Kriteria khusus yang mencakup :

1) Kegiatan untuk menunjang peningkatan fungsi pemerintahan; 2) Kegiatan untuk memberikan layanan dasar umum; dan 3) Kegiatan untuk pemberdayaan aparatur pemerintah daerah.

Bab 9 : Perencanaan dan Perolehan Pinjaman/Hibah Luar Negeri

306

6. Usulan Badan Usaha Milik Negara.

Usulan kegiatan yang berasal dari BUMN hanya merupakan usulan kegiatan yang dibiayai dari penerusan pinjaman luar negeri melalui Pemerintah. Kriteria untuk usulan kegiatan tersebut meliputi: a. Kriteria umum. b. Kriteria khusus yang mencakup:

1) Kegiatan investasi untuk memperluas dan meningkatkan pelayanan serta meningkatkan penerimaan BUMN;

2) BUMN mempunyai proyeksi kemampuan keuangan untuk memenuhi kewajiban pembayaran kembali pinjaman, yang dinilai berdasarkan laporan keuangan BUMN.

Persyaratan Pengusulan Kegiatan 3

Persyaratan umum usulan kegiatan yang dibiayai melalui Pinjaman Proyek dan

Hibah mencakup: 1. Daftar Isian Pengusulan Kegiatan. 2. Kerangka Acuan Kerja. 3. Dokumen Studi Kelayakan Kegiatan.

Persyaratan untuk usulan kegiatan yang berasal dari Kementerian Negara/Lembaga meliputi: 1. Persyaratan umum. 2. Persyaratan khusus yang mencakup:

a. Surat persetujuan Pemerintah Daerah calon penerima penerushibahan, untuk usulan kegiatan yang diperuntukkan bagi Pemerintah Daerah berupa usulan kegiatan yang sebagian atau seluruhnya akan diteruhibahkan.

b. Surat persetujuan Direksi BUMN dan surat persetujuan Menteri yang bertanggung jawab di bidang pembinaan BUMN, untuk usulan kegiatan yang diperuntukkan bagi BUMN berupa usulan kegiatan yang sebagian atau seluruhnya akan dijadikan penerushibahkan atau penyertaan modal negara.

Persyaratan untuk usulan kegiatan yang berasal dari Pemerintah Daerah berupa

kegiatan yang dibiayai dari pinjaman luar negeri untuk penerusan pinjaman dan berupa kegiatan yang dibiayai dari penerusan pinjaman dan diinisiasi oleh Kementerian Negara/Lembaga, meliputi persyaratan umum ditambah dengan surat persetujuan DPRD yang bersangkutan. Sedangkan persyaratan untuk usulan kegiatan yang berasal dari BUMN meliputi persyaratan umum ditambah dengan surat persetujuan Menteri yang bertanggungjawab di bidang pembinaan BUMN. 3 Diolah dari Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor Per.005/M.PPN/06/2006.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan Aplikasi di Indonesia 307

Hibah Luar Negeri yang Bersifat Khusus 4

Menteri pada Kementerian Negara/Pimpinan Lembaga dapat mengajukan usulan

kegiatan yang dibiayai dari Hibah Luar Negeri yang bersifat khusus kepada Menteri PPN/Kepala Bappenas. Yang dimaksud dengan Hibah Luar Negeri yang bersifat khusus adalah: 1. Bersifat mendesak untuk segera dilakukan perjanjian hibahnya. 2. Waktu pelaksanaan kegiatan kurang dari 6 (enam) bulan. 3. Kegiatan yang diusulkan masih dimungkinkan untuk dicantumkan dalam

dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga pengusul dan/atau pelaksana.

Atas usulan yang disampaikan oleh Menteri pada Kementerian Negara/Pimpinan

Lembaga, Menteri PPN/Kepala Bappenas melakukan penilaian kesiapan pelaksanaan kegiatan dan kesiapan pendanaan. Dalam melakukan penilaian tersebut, Menteri PPN/Kepala Bappenas melakukan koordinasi dengan Menteri Keuangan. Selanjutnya, berdasarkan hasil penilaian dan hasil koordinasi tersebut, Menteri PPN/Kepala Bappenas menetapkan tambahan kegiatan pada DRPPHLN yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari DRPPHLN.

Penyusunan Daftar Kegiatan dan Rencana Pelaksanaan Kegiatan 5 Penyusunan Daftar Kegiatan

Berdasarkan DRPPHLN, Menteri PPN/Kepala Bappenas melakukan koordinasi dengan calon Pemberi PLN/Pemberi HLN untuk mendapatkan indikasi komitmen pendanaan. Selanjutnya, Menteri PPN/Kepala Bappenas menyampaikan Daftar Kegiatan yang diusulkan untuk dibiayai dari Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri kepada Menteri Keuangan dan calon Pemberi PLN/Pemberi HLN. Daftar Kegiatan tersebut mencakup jenis kegiatan, instansi pengusul, instansi pelaksana, rencana alokasi pinjaman/hibah, jadwal pelaksanaan, dan rencana sumber pendanaan luar negeri.

4 Diolah dari Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor Per.005/M.PPN/06/2006. 5 Diolah dari Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor Per.005/M.PPN/06/2006.

Bab 9 : Perencanaan dan Perolehan Pinjaman/Hibah Luar Negeri

308

Untuk kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah/BUMN, Daftar Kegiatan selain mencakup hal-hal tersebut di atas, juga berisi jenis penerusan pinjaman dan/atau penerushibahan luar negeri. Berdasarkan Daftar Kegiatan, Menteri Keuangan melakukan negosiasi dengan calon Pemberi PLN/Pemberi HLN dalam rangka penandatanganan NPPLN/NPHLN. Rencana Pelaksanaan Kegiatan

Berdasarkan NPPLN/NPHLN, Menteri pada Kementerian Negara/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Direksi BUMN penanggung jawab kegiatan menyampaikan Rencana Pelaksanaan Kegiatan kepada Menteri PPN/Kepala Bappenas, selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah NPPLN/NPHLN ditandatangani. Rencana Pelaksanaan Kegiatan tersebut sekurang-kurangnya terdiri atas rincian jenis kegiatan, lokasi, alokasi anggaran, satuan kerja pelaksana kegiatan, jadwal pelaksanaan, kebutuhan dana pendamping, dan mekanisme pengadaan barang dan jasa.

Berdasarkan Rencana Pelaksanaan Kegiatan, Menteri PPN/Kepala Bappenas

menyusun RPK-PHLN yang akan digunakan sebagai bahan untuk penyusunan Rencana Kerja Kementerian Negara/Lembaga dalam rangka penyusunan rancangan RAPBN dan pemantauan pelaksanaan kegiatan. Menteri pada Kementerian Negara/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Direksi BUMN penanggung jawab kegiatan, dapat mengajukan usulan perubahan atas rencana pelaksanaan kegiatan kepada Menteri PPN/Kepala Bappenas dengan dilengkapi penjelasan atas usulan perubahan. Selanjutnya, Menteri PPN/Kepala Bappenas melakukan koordinasi atas usulan perubahan rencana pelaksanaan kegiatan dengan instansi pelaksana kegiatan dan instansi terkait lainnya. Berdasarkan hasil koordinasi tersebut, Menteri PPN/Kepala Bappenas menyampaikan rekomendasi atas perubahan rencana pelaksanaan kegiatan kepada Menteri Keuangan untuk mendapat persetujuan dari Pemberi PLN/Pemberi HLN. Menteri pada Kementerian Negara/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Direksi BUMN penanggung jawab kegiatan, dapat mengajukan usulan perubahan terhadap NPPLN/NPHLN kepada Menteri PPN/Kepala Bappenas dan Menteri Keuangan dengan dilengkapi dokumen yang disyaratkan dalam NPPLN/NPHLN. Usulan perubahan terhadap NPPLN/NPHLN tersebut meliputi perubahan rencana kegiatan, realokasi dana, perpanjangan masa berlaku perjanjian dan/atau pembatalan sebagian kegiatan dan/atau dana. Selanjutnya, Menteri PPN/Kepala Bappenas melakukan penilaian atas usulan perubahan tersebut dan merekomendasikan kepada Menteri Keuangan untuk perubahan NPPLN/NPHLN. Kandungan dan Persyaratan NPPHLN

NPPHLN adalah suatu naskah perjanjian atau suatu naskah lainnya yang

merupakan kesepakatan mengenai PHLN, ditandatangani oleh Pemerintah RI dan

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan Aplikasi di Indonesia 309

Pemberi PHLN. Bentuk dan format NPPHLN tidaklah baku, tergantung dengan siapa pemerintah mengadakan perjanjian. Oleh karena itu NPPHLN dikenal dengan beberapa sebutan berikut: • Loan Agreenment • Grant Agreement • Exchange of Notes • Memorandum of Understanding • Letter of Intent • Protocol (Umbrella Agreement)

Apabila dana PHLN yang tercantum dalam NPPHLN, sebagian atau seluruhnya

disediakan untuk membiayai proyek-proyek BUMN/BUMD atau Pemda, maka dalam hal ini dana PHLN tersbeut diteruspinjamkan kepada BUMN/BUMD atau Pemda. Dalam pelaksanaannya dilakukan melalui Perjanjian Penerusan Pinjaman atau disebut juga dengan Two Step Loan. Subsidiary Loan Agreement atau Perjanjian Penerusan Pinjaman yaitu perjanjian penerusan pinjaman LN untuk membiayai proyek Pemda/BUMN/BUMD yang ditandatangani Menteri Keuangan dan Pihak Pemda/BUMN/BUMD.

Persyaratan atau ketentuan yang umumnya terdapat dalam suatu NPPHLN

antara lain memuat: 1. Scope proyek 2. Tanggal efektifnya pinjaman 3. Condition precedent:

• Legal opinion • Evidence Authority • Spesimen Tanda Tangan • Down-payment • Lain-lain yang dibutuhkan oleh pemberi pinjaman

4. Prosedur Penarikan 5. Closing Date 6. Loan Account 7. Special Account (jika menggunakan rekening khusus) 8. Syarat-syarat pengembalian, tingkat bunga, biaya-biaya lainnya 9. Tata cara pengadaan barang dan jasa.

Untuk memahami ketentuan prosedur penggunaan dan penarikan dana PHLN

terlebih dahulu harus dipahami ketentuan yang tercantum dalam dokumen NPPHLN yang berkenaan. Ketentuan penarikan dana PHLN berbeda antara satu dengan yang lain. Hal ini perlu dipahami untuk menghindari adanya kesalahan pembayaran dan terjdinya kegiatan-kegiatan yang in-eligible sehingga menyebabkan penolakan replenishment atau tidak disetujuinya penarikan oleh pihak lender.

Yang dimaksud dengan in-eligible expenditure yaitu pengeluaran-pengeluaran yang karena tidak memenuhi uraian kategori ataupun persyaratan lainnya sehingga tidak dapat dibiayai dari dana pinjaman luar negeri. Oleh karena itu isi dari NPPHLN dan SAR harus dipahami terutama mengenai: • Porsi beban loan untuk masing-masing kegiatan/kategori • Kegiatan-kegiatan yang dapat dibiayai loan

Bab 9 : Perencanaan dan Perolehan Pinjaman/Hibah Luar Negeri

310

• Tanggal efektif loan dan closing loan • Diperlukannya NOL (No Objection Letter) atau SOE (Statement of Expenditure) • Ketentuan lainnya.

Pada setiap NPPHLN terdapat periode/masa tertentu yang merupakan persyaratan atau batas waktu pelaksanaan pencairan dana atau mulai kapan harus membayar cicilan. Ada beberapa istilah yang terkait dengan periode NPPHLN, yaitu: 1. Signing Date, yaitu tanggal ditandatanganinya NPPHLN 2. Effectife Date yaitu tanggal PHLN dapat dicairkan 3. Closing Date adalah tanggal batas akhir pencairan PHLN 4. Loan Account Closing yaitu tanggal penutupan rekening loan berkenaan.

òô

Rangkuman

Dana pinjaman luar negeri merupakan sumber dana mahal yang menimbulkan adanya beban kewajiban pembayaran kembali hutang luar negeri berupa pembayaran bunga, cicilan pokok dan biaya-biaya lain yang terkait. Beban kewajiban tersebut tentunya akan menambah beban APBN bahkan beberapa tahun ini pembayaran bunga dan cicilan hutang merupakan porsi terbesar biaya dalam APBN. Oleh karenanya, sesuai dengan amanat RPJM ataupun Rencana Kerja Pemerintah saat ini, penerimaan bantuan luar negeri tidak boleh dikaitkan dengan ikatan politik, bersyarat lunak dan dalam batas kemampuan negara untuk membayar kembali.

Kebijakan pemerintah dalam melakukan pinjaman khususnya pinjaman luar negeri perlu dilakukan secara hati-hati (prudent foreign borrowing policy) mengingat dalam pinjaman luar negeri antara lain terkandung risiko nilai tukar valuta asing dan posisi tawar Indonesia di arena Internasional, termasuk dalam hal ini adalah rating dan country risk Indonesia merupakan faktor yang sangat menentukan dalam

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan Aplikasi di Indonesia 311

memperoleh akses terhadap sumber-sumber pendanaan internasional terutama pemilihan alternatif pendanaan dan persyaratannya. Di lain pihak strategi di dalam pembelanjaan dana tersebut juga merupakan faktor lain yang tidak kalah penting dalam Debt Management Strategy sebab kekeliruan kebijakan dalam membelanjakan sumber-sumber pendanaan yang diperoleh berakibat inefisiensi, costly, dan dapat mengancam keuangan negara.

Pemerintah dapat menerima Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri yang

bersumber dari negara asing, lembaga multilateral, lembaga keuangan dan lembaga nonkeuangan asing, serta lembaga keuangan nonasing. Pinjaman Luar Negeri (PLN) dapat berbentuk Pinjaman Program dan/atau Pinjaman Proyek yang terdiri atas Pinjaman Lunak, Fasilitas Kredit Ekspor (FKE), Pinjaman Komersial, dan Pinjaman Campuran. Sedangkan Hibah Luar Negeri (HLN) dapat berupa uang dan/atau barang dan/atau jasa yang terdiri atas Bantuan Teknik, Bantuan Proyek, Kerjasama Teknik, dan Kerjasama Keuangan. Hibah Luar Negeri dapat digunakan untuk menunjang peningkatan fungsi pemerintahan; menunjang penyediaan layanan dasar umum; menunjang peningkatan kemampuan sumber daya manusia; membantu penyiapan rancangan kegiatan pembangunan; mendukung pelestarian sumber daya alam, lingkungan hidup, dan budaya; mendukung pengembangan riset dan teknologi; dan bantuan kemanusiaan.

Dalam rangka perencanaan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri Presiden

menetapkan Rencana Kebutuhan Pinjaman Luar Negeri (RKPLN) selama 5 (lima) tahun, berdasarkan usulan Menteri dan Menteri Perencanaan yang disusun sesuai dengan prioritas bidang pembangunan yang dapat dibiayai dengan pinjaman luar negeri. Penyusunan RKPLN dan prioritas bidang pembangunan tersebut dilakukan berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Presiden dapat meminta pertimbangan Gubernur Bank Indonesia terkait dengan konsekuensi moneter dan neraca pembayaran dari pinjaman luar negeri tersebut. Dalam menyusun RKPLN selama lima tahun, Menteri memperhatikan pokok-pokok manajemen pinjaman yang baik, seperti penargetan pinjaman (debt targeting), kemampuan membayar kembali (repayment capacity), pengurangan risiko (risk mitigation), dan kesinambungan fiskal (fiscal sustainability), serta memperhatikan ketentuan mengenai pembatasan jumlah kumulatif pinjaman dan jumlah kumulatif deficit APBN.

-o0o-

Bab 9 : Perencanaan dan Perolehan Pinjaman/Hibah Luar Negeri

312

PENGELOLAAN PENCAIRAN DAN PEMBAYARAN PINJAMAN LUAR NEGERI

“Pembayaran kembali PLN secara tepat dan benar selain untuk menghindari biaya tambahan yang tidak perlu akibat kekurangcermatan

dalam melakukan pembayaran juga dapat mengurangi beban karena akan diberikan potongan pembayaran yang disebut waiver. Dan hal yang

terpenting adalah menjaga citra negara Indonesia dan meningkatkan kredibilitas terutama pemerintah RI dalam pandangan pemberi pinjaman.“

Bab ini membahas pengelolaan pencairan dan pembayaran pinjaman luar negeri dalam manajemen perbendaharaan di Indonesia. Setelah mempelajari bab ini Saudara diharapkan mampu untuk menjelaskan hal-hal yang terkait dengan: § Pelaksanaan dan Penatausahaan PHLN. § Pelaksanaan Pencairan Dana PHLN. § Istilah-istilah Dalam Pencairan Dana PHLN. § Penatausahaan Dana PHLN. § Pembayaran Kembali Pinjaman Luar Negeri.

Bab : Pengelolaan Pencairan dan Pembayaran Pinjaman Luar Negeri 316

Pelaksanaan dan Penatausahaan PHLN

Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Nomor 185/KMK.03/1995 dan KEP.031/KET/5/1995 tentang Tata Cara Perencanaan, Pelaksanaan, Penatausahaan, dan Pemantauan Pinjaman/Hibah Luar Negeri yang telah diubah dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas tanggal 29 September 1999 Nomor 459/KMK.03/1999 dan Nomor KEP.264/KET/09/1999 dan SE DJA tanggal 24 April 2001 Nomor SE-54/A/2001 tentang Tata Cara Penatausahaan Hibah Luar Negeri dalam rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara, diatur sebagai berikut: 1. Pembukaan Letter of Credit (L/C)

Berdasarkan Letter of Credit (L/C) dari Bank Indonesia, Letter of Commitment atau dokumen lain yang disamakan dari Pemberi Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PPHLN) dan dokumen realisasi L/C, Bank koresponden melaksanakan pembayaran kepada rekanan dan selanjutnya melakukan penagihan kepada PHLN. L/C diterbitkan berdasarkan Surat Kuasa Pembebanan (SKP) atau Surat Kuasa Membayar beban Rekening Khusus untuk penerbitan L/C (SPM-R/K L/C) yang dibuat oleh KPPN Khusus Jakarta VI.

2. Pembayaran Langsung (Direct Payment) Pembayaran dengan cara ini dilakukan melalui penarikan dana oleh KPPN Khusus Jakarta VI atas permintaan kegiatan dengan mengajukan aplikasi kepada PPHLN untuk membayar langsung kepada rekanan/pihak yang ditunjuk.

3. Rekening Khusus (Special Account) Rekening khusus adalah rekening pemerintah pada Bank Indonesia atau Bank Pemerintah lainnya yang ditunjuk Menteri Keuangan yang dibuka untuk menampung dana PPHLN yang digunakan untuk pembiayaan kegiatan pembangunan. Dana rekening khusus ini bersifat revolving dengan pengertian dana yang telah digunakan dapat diganti kembali dengan mengajukan aplikasi replenishment kepada pemberi pinjaman.

4. Penarikan hibah secara langsung dalam bentuk barang dan jasa untuk melaksanakan kegiatan/kegiatan tertentu. Dalam hal ini hibah kepada pemerintah langsung dilaksanakan oleh pemberi hibah atau pihak lain yang ditunjuk oleh pemberi hibah.

Persyaratan Pencantuman PHLN Dalam DIPA

Oleh karena ketentuan penarikan PHLN berbeda antara yang satu dengan yang lain maka untuk pencantuman PHLN dalam DIPA harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Loan Agreement berkenaan untuk menghindari kesalahan dalam pencantuman dana yang dapat menyebabkan terjadinya kesalahan pembayaran. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pencantuman PHLN dalam DIPA sebagai berikut:

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia

317

1. Status Loan Dana PHLN harus memiliki status yang jelas, dalam arti Naskah Perjanjian Pinjaman/Hibah Luar Negeri (NPPHLN) berkenaan sudah ditandatangani dan dinyatakan efektif serta telah diberi kode register PHLN oleh Direktorat PHLN.

2. Jenis Cara Pembayaran Pencantuman jenis cara pembayaran Pinjaman Luar Negeri (PLN) seperti Rekening Khusus (RK), Pembayaran Langsung (PL), pembukuan Letter of Credit (L/C), dan penarikan langsung khusus hibah pada DIPA agar memperhatikan petunjuk-petunjuk pada Surat Edaran yang mengatur tentang cara-cara pembayaran masing-masing loan yang diterbitkan oleh Direktorat PHLN ataupun keterangan yang ada dalam loan agreement itu sendiri.

3. Alokasi Dana Untuk mengalokasikan dana PHLN dalam DIPA perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Jenis kegiatan/pekerjaan yang akan dibiayai harus terdapat dalam uraian

kategori dalam NPPHLN. b. Dana PHLN untuk setiap kategori pengeluaran masih cukup tersedia. Hal ini

penting untuk menghindari terjadinya overdrawn/kelebihan penarikan suatu kategori.

c. Porsi dana PHLN sesuai kategori yang telah ditetapkan dalam NPPHLN. d. Khusus PHLN yang penarikannya melalui tata cara L/C, perlu diperhatikan

nilai kontrak pekerjaan secara keseluruhan. Hal ini berkaitan dengan pembukaan rekening L/C di Bank Indonesia oleh KPPN Khusus Jakarta VI dan Aceh.

4. Biaya Administrasi Kegiatan. Pengalokasian biaya administrasi kegiatan (AK) untuk kegiatan berpinjaman dan hibah Luar Negeri hendaknya memperhatikan ketentuan dalam Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 32/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara dan NPPHLN berkenaan.

5. Satuan Harga. Dalam hal dijumpai besaran harga pembiayaan pada kegiatan-kegiatan Loan Agreement atau bagian dari Loan Agreement (misalnya cost table) yang melebihi Harga Satuan Umum (HSU), Harga Satuan Pokok Kegiatan (HSPK), dan billing rate, maka yang digunakan adalah besaran yang terdapat dalam HSU, HSPK, dan Billing Rate atau ketentuan lain yang berlaku.

6. Memahami NPPHLN. Untuk menghindari terjadinya kegiatan-kegiatan yang ineligible maka isi dari Loan Agreement (NPPHLN) dan Staff Appraisal Report (SAP) harus dipahami terutama mengenai: a. Porsi beban loan untuk masing-masing kegiatan/kategori. b. Kegiatan-kegiatan yang dapat dibiayai loan. c. Tanggal closing date.

d. Lokasi sasaran/cakupan kegiatan. e. Ketentuan loan lainnya jika ada (cara pembayaran, dsb).

7. Kegiatan Baru Khusus untuk kegiatan-kegiatan baru yang dananya bersumber dari PHLN namun naskah perjanjiannya masih dalam proses negosiasi, dana

Bab : Pengelolaan Pencairan dan Pembayaran Pinjaman Luar Negeri 318

pendampingnya dapat disediakan dari APBN dan atau APBD dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Adanya perencanaan pembiayaan yang matang. b. Tersusunnya rencana perolehan tanah dan penempatan kembali penduduk,

termasuk rencana pembiayaannya untuk tahun pertama pekerjaan-pekerjaan konstruksi (civil works).

c. Telah disusunnya indikator-indikator untuk menilai tingkat keberhasilan kegiatan dalam rangka monitoring dan evaluasi, termasuk tersedianya database kegiatan.

d. Tersusunnya sistem pengadaan barang/jasa dan manajemen keuangan, termasuk sistem auditnya.

e. Tersusunnya usulan-usulan (proposal) untuk jasa konsultan, dan dokumen-dokumen tender (baik untuk pengadaan barang maupun pekerjaan konstruksi) untuk tahun pertama pelaksanaan kegiatan.

f. Pada waktu negosiasi, Project Management Unit (PMU/Project Implementing Unit (PIU)) sudah terbentuk dan telah dilengkapi dengan staff/personalianya. Dalam hal ini termasuk rencana-rencana kegiatan-kegiatan dan dana persiapan kegiatan.

Penyediaan Dana Loan dan Rupiah Pendamping dalam DIPA 1. Penyediaan Dana dalam DIPA.

Penyediaan dana dalam DIPA atas kegiatan-kegiatan ber-PHLN harus mengikuti ketentuan perpajakan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan dalam rangka Pelaksanaan Kegiatan Pemerintah yang dibiayai dengan Dana Pinjaman Luar Negeri sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2001 jo. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 239/KMK.01/1996 tentang pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995, Surat Edaran Direktur Jenderal Anggaran Nomor SE-29/A.6/2001 Tahun 2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan (PPN/PPnBM) dan PPh Kegiatan Pemerintah yang dibiayai dengan Hibah atau Pinjaman Luar Negeri.

2. Pinjaman Luar Negeri. Dengan demikian dana untuk kegiatan-kegiatan yang dibiayai PHLN dalam DIPA harus mengikuti ketentuan dimaksud yang antara lain menyebutkan: a. Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, PPN dan PPnBM atas Impor Barang

Kena Pajak, pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean oleh kontraktor utama, yang terhutang sejak tanggal 1 April 1995 sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan pemerintah yang seluruh dananya dibiayai dengan hibah atau pinjaman luar negeri, tidak dipungut.

b. Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, PPN dan PPnBM atas Impor Barang Kena Pajak, Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean, dan pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean oleh kontraktor utama, yang terhutang sejak tanggal 1 April 1995

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia

319

sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan pemerintah yang sebagian dananya dibiayai dengan hibah atau pinjaman luar negeri, tidak dipungut hanya atas sebagian dari kegiatan pemerintah yang dananya dibiayai dari hibah atau pinjaman luar negeri.

c. Fasilitas pajak tidak dipungut sebagaimana diuraikan dalam angka 1) dan 2) di atas hanya berlaku bagi main contractor (kontraktor utama), sedangkan bagi sub kontraktor (apabila pelaksanaan kegiatan disubkontrakkan) maka fasilitas pajak tidak dipungut menjadi tidak berlaku.

d. Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) atas Surat Perintah Membayar Bantuan Luar Negeri (SPM BLN) tidak dilakukan melalui pemotongan dalam SPM, tetapi Wajib Pajak/Rekanan yang bersangkutan menyetorkan jumlah pajak terhutang sesuai dengan persentase (tarif pajak) yang berlaku sebesar jumlah yang tercantum dalam SPP (Surat Penetapan Pajak) atas dasar kontrak yang dananya berasal dari Hibah/Pinjaman Luar Negeri.

3. Pengalokasian Dana Pendamping. Berkaitan dengan pengalokasian dana pendamping, maka penyediaan dana dalam DIPA mengikuti ketentuan sebagai berikut: Penyediaan dana dalam DIPA: IBRD = Rp 346.500.000,00 Gol: Rp. 103.500.000,00 + Rp. 10.350.000,00 = Rp113.850.000,00 a. Loan IBRD yang sudah punya fasilitas Rekening Khusus (R/K) sebagaimana

tercantum dalam NPPHLN disalurkan seluruhnya melalui Rekening Khusus. Dengan demikian, Pembayaran Langsung (PL) dan Pembiayaan Pendahuluan (PP) tidak lagi digunakan sebagai tata cara penarikan loan tersebut (SE DJA tanggal 23 Februari 1994 Nomor SE-22/A/61/0294).

b. Rekening Khusus untuk loan ADB hanya digunakan untuk pembayaran mata uang rupiah, kecuali untuk training dan fellowship yang dibayarkan dengan valas. Sedangkan semua pembayaran valas untuk kegiatan selain training dan fellowship harus dilaksanakan dengan PL (walaupun dalam Loan Agreement tersedia tata cara rekening khusus yang pembayarannya melalui KPPN Khusus Jakarta VI).

c. Penyediaan dana yang bersumber dari PHLN lainnya agar berpedoman pada NPPHLN berkenaan.

4. Penggunaan Dana Pendamping. Penyediaan dana pendamping merupakan salah satu prioritas utama dalam pencantuman alokasi anggaran pembangunan. Oleh karena itu, dana pendamping baik porsi maupun non porsi yang telah dialokasikan dalam Satuan 3 maupun DIPA tidak dapat digunakan untuk kegiatan selain pendamping.

5. Dana Pendamping Porsi dan Non Porsi. Untuk kepentingan pendataan/informasi, perlu dibedakan mengenai dana pendamping yang merupakan porsi dan non porsi dalam DIPA. Dana pendamping porsi adalah beban pemerintah untuk menyediakan dana pendamping yang merupakan porsi dan non porsi dalam DIPA. Dana

Bab : Pengelolaan Pencairan dan Pembayaran Pinjaman Luar Negeri 320

pendamping porsi adalah beban pemerintah untuk menyediakan dana dalam DIPA dengan ketentuan sebagai berikut: a. Porsi alokasi dana tersebut dalam suatu kategori telah ditentukan dalam

NPPHLN, misalnya porsi Gol 40% dan porsi PLN 60% b. Berpengaruh langsung pada penarikan dana PLN Dana pendamping non porsi adalah beban pemerintah untuk membiayai kewajiban yang ditentukan dalam NPPHLN dengan ketentuan sebagai berikut: a. Porsi dana PLN/Hibah pada suatu kategori dalam NPPHLN sebesar 100 %. b. Tidak berpengaruh langsung pada penarikan dana PLN namun tetap

berpengaruh terhadap penyelesaian pekerjaan kegiatan secara keseluruhan. Contoh: Kegiatan pembangunan gedung sekolah. PLN membiayai pembangunan gedung sedangkan pemerintah berkewajiban membiayai penyediaan tanah. Pembangunan gedung sekolah tidak dapat terlaksana apabila tanah belum tersedia, namun penarikan dana untuk pembangunan sekolah tidak tergantung pada penarikan dana untuk penyediaan tanah. Dalam aplikasi komputer, istilah dana pendamping non porsi disebut dengan local host.

6. Pencantuman PHLN dalam DIPA. Pencantuman PHLN dalam DIPA khususnya halaman 1 mengenai “Rincian Pinjaman atau Hibah Luar Negeri” harus dilakukan dengan benar dan lengkap agar dapat memberikan data dan informasi yang akurat mengenai sumber PHLN, pagu PHLN, perkiraan penarikan, serta dana pendamping yang tersedia.

7. Jumlah Dana Pendamping Bagi DIPA yang berpinjaman dan hibah luar negeri yang mempunyai dana pendamping maka loan dan dana pendampingnya hanya disediakan untuk keperluan satu tahun anggaran dan apabila kegiatan/pekerjaannya harus diselesaikan beberapa tahun (multi years contract) maka kekurangan dananya disediakan pada DIPA tahun berikutnya.

8. Pencairan Dana Pendamping pada awal Tahun Anggaran. Untuk menjamin kelancaran pelaksanaan kegiatan yang dibiayai oleh pinjaman/hibah luar negeri, maka pada awal tahun anggaran berikutnya, dapat dilakukan pencairan dana berdasarkan DIPA tahun sebelumnya sementara menunggu penyelesaian DIPA yang menampung alokasi dana luncuran kegiatan tersebut.

9. Pencantuman Dana Pendamping yang berasal dari luar APBN Apabila dana pendamping berasal dari luar APBN, seperti PEMDA (APBD), BUMN, atau dari kontribusi masyarakat, dan sebagainya, maka pencantuman dana pendamping dimaksud dalam DIPA cukup dilakukan dengan memberi kode yang telah ditentukan dalam aplikasi DIPA.

Pelaksanaan Pencairan Dana PHLN

Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa tata cara penarikan PHLN yang diatur

dalam ketentuan yang berlaku saat ini dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu: 1. Pembukaan Letter of Credit (L/C) dari Bank Indonesia

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia

321

2. Pembayaran Langsung (Direct Payment) oleh PPHLN kepada rekanan 3. Penggantian Pembiayaan Pendahuluan (Reimbursment) 4. Rekening Khusus (Special Account) di Bank Indonesia ataupun bank pemerintah

lainnya yang ditunjuk Menteri Keuangan.

Dalam hal tata cara penarikan dana PHLN, paling banyak dilakukan dengan cara L/C, pembayaran langsung, dan pembukaan rekening khusus. Pembayaran Langsung dan L/C biasanya ditujukan untuk pembayaran pengadaan barang luar negeri, dan Rekening Khusus ditujukan untuk pembayaran kegiatan proyek yang berada di daerah. Sedangkan tata cara penarikan dana dengan Penggantian Pembiayaan Pendahuluan jarang untuk digunakan karena pemerintah harus menyediakan dana talangan sehingga akan membebani rupiah. Tata cara/ prosedur penarikan dana PHLN berbeda-beda sesuai dengan yang tercantum pada Naskah Perjanjian.

Pengajuan permintaan pembayaran atau pencairan dana PHLN yang disalurkan

melalui tata cara Pembukaan L/C, pembayaran langsung, dan pembiayaan pendahuluan harus disampaikan ke KPPN Khusus Jakarta VI yang menangani pencairan dana PHLN. 1. Tata Cara Pembukaan L/C

Letter of Credit (L/C) adalah suatu perintah/order yang biasanya dilakukan oleh pembeli atau importir yang ditujukan kepada bank untuk membuka L/C agar membayar sejumlah uang kepada penjual atau eksportir. Prosedur penarikan ini pada pelaksanaannya dilakukan oleh Bank Indonesia, setelah menerima Surat Kuasa Pembebanan (SKP) dari Ditjen Perbendaharaan dan Surat Permintaan Pembukaan L/C dari pimpinan proyek. Prosedur ini umumnya khusus untuk pembayaran barang-barang yang disuplai dari luar negeri dalam mata uang asing (Valas/Forex) minimum senilai USD 100.000 per aplikasi penarikan dan dilakukan dengan tata cara sebagai berikut: a. Pengajuan aplikasi kepada Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai

berikut: 1) Pimpinan Proyek mangajukan SPM SKP atas dasar KPBJ ke KPPN

khusus kemudian KPPN menerbitkan SP2D kepada Bank Indonesia. 2) Rekanan/Importir mengajukan permintaan pembukaan L/C ke Bank

Indonesia dengan kelengkapan sebagai berikut: a) Dokumen KPBJ b) Surat penunjukkan Handling importir c) Rincian dan Harga sesuai kontrak d) Term of Payment e) Pernyataan sanggup menanggung biaya L/C f) NOL jika dipersyaratkan PPHLN

b. Bank Indonesia Pusat menerbitkan L/C negotiating Bank LN sekaligus mengajukan application for special commitment kepada PPHLN.

c. PPHLN menerbitkan S/C kepada negotiating bank. d. Supplier LN mengirim barang dan atas dasar dokumen pengapalan menagih

dana ke negotiating bank LN. e. Negotiating Bank LN mengajukan claim kepapa PPHLN.

Bab : Pengelolaan Pencairan dan Pembayaran Pinjaman Luar Negeri 322

f. PPHLN membayar klaim atas beban Loan. 2. Tata cara Pembayaran Langsung (Direct Payment)

Dalam cara ini aplikasi penarikan dana (APD) diajukan proyek kepada PPHLN melalui Ditjen Perbendaharaan untuk membayar langsung kepada rekanan/pihak yang ditunjuk. Prosedur ini khusus untuk penarikan/pembayaran dalam mata uang asing dan pada umumnya untuk setiap penarikan minimum senilai USD 100.000 melalui pengajuan kepada PPHLN, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pimpinan proyek mengajukan application for withdrawl kepada KPPN khusus

dengan kelengkapan; • Dokumen kontrak (KPBJ) • NOL dari PPHLN • Invoice/Tagihan dari rekanan dengan mencantumkan Bank Account • Berita Acara Prestasi Pekerjaan/ Penyerahan barang • Bank garansi (untuk DP)

b. KPPN meneruskan Withdrawl Application kepada PPHLN untuk diproses pembayarannya dari PPHLN ke rekening rekanan yang ditunjuk.

c. PPHLN mengirim Debit Advice sebagai realisasi pembayaran pada DJPb yang kemudian ditindaklanjuti dengan menerbitkan SP2D Pengesahan sebagai dasar pengeluaran dan penerimaan. APBN sebesar nilai ekuivalen rupiah kepada Bank Indonesia sebagai realisasi penarikan PHLN.

d. Bank Indonesia membuat nota perhitungan debit atas dasar SP2D yang kemudian dikirimkan kepada DJPb.

3. Tata cara Pembiayaan Pendahuluan (Reimbursment)

Penggantian pembiayaan pendahuluan yaitu merupakan penggantian oleh PPHLN atas pembiayaan pendahuluan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah atau proyek/penerima pinjaman, melalui prosedur sebagai berikut: a. Aplikasi Reimbursment diajukan oleh proyek kepada PPHLN melalui KPPN

Khusus, dimana pimpro menyertakan SPM dengan dilampiri: • KPBJ • Berita Acara Pekerjaan • Kuitansi • Invoice/Faktur • BA serah terima barang • Nota transfer (bukti pembayaran)

b. KPPN menerbitkan SP2D PP c. Bank Indonesia mentransfer dana ke rekening rekanan atau bendaharawan

proyek atas dasar SP2D PP. d. KPPN khusus mengajukan aplikasi penggantian dana ke PPHLN dilampiri

dengan dokumen pendukung. e. PPHLN mengganti dana yang diminta dengan mentransfer ke Bank

Indonesia. f. PPHLN mengirim Debit Advice kepada DJPb.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia

323

Istilah-istilah dalam Pencairan Dana PHLN

Istilah-istilah dalam pencairan dana PHLN terlihat dalam bentuk dokumen-dokumen pendukung terkait dengan penerbitan SPM PHLN, yaitu: 1. Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa (KPBJ).

Adalah suatu perjanjian pengadaan barang dan atau jasa atau naskah lainnya yang disamakan yang ditandatangani oleh Pimpinan Proyek/Pejabat yang berwenang dengan Rekanan

2. Garansi Bank. Adalah surat jaminan dari Bank/Asuransi atau lembaga keuangan lainnya yang ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan yang berlaku yang menyatakan bahwa pihak asuransi/bank atau lembaga keuangan lainnya bersedia menjamin atas transaksi yang dilakukan oleh rekanan atau pihak ketiga dalam batas jumlah nilai dan batas waktu tertentu. Garansi Bank diperlukan untuk jaminan atas permintaan uang muka yang diajukan oleh rekanan kepada pimpinan proyek yang selanjutnya diajukan ke KPPN khusus.

3. Kuitansi. Adalah tanda bukti pembayaran atas nama pimpinan proyek untuk pembelian barang dan jasa yang ditandatangani di atas materai oleh rekanan sesuai ketentuan berlaku.

4. Invoice. Adalah pengajuan tagihan pembayaran kepada pimpinan proyek atas prestasi penyelesaian pekerjaan jasa konsultan atau pengadaan barang yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak ketiga. Invoice memuat satuan rincian dan nilai penyelesaian pekerjaan.

5. Berita Acara Pemeriksaan Barang. Adalah suatu pernyataan atas penilaian/pemeriksaan dan kondisi barang pada saat penyerahan barang oleh rekanan yang dibuat oleh tim penilai pekerjaan sebagai dasar pengajuan pembayaran kepada pimpinan proyek.

6. Berita Acara Pemeriksaan Pekerjaan. Adalah suatu pernyataan atas penilaian/pemeriksaan dan prestasi penyelesaian pekerjaan sebagai dasar pengajuan pembayaran kepada pemimpin proyek. Dokumen ini diperlukan untuk mendukung kebenaran jumlah nilai permintaan pembayaran kontrak.

7. Berita Acara Serah Terima Barang/Pekerjaan. Adalah pernyataan yang ditandatangani oleh pemimpin proyek dan rekanan atas penyerahan penyelesaian pekerjaan fisik sesuai prestasi pekerjaan sebagaimana diatur dalam kontrak dengan diketahui oleh instansi/pejabat yang berwenang. Pelaksanaan serah terima pekerjaan selambat-lambatnya pada saat jatuh tempo tanggal penyelesaian pekerjaan sebagaimana telah diatur dalam kontrak. Apabila terjadi keterlambatan, maka rekanan wajib dikenakan denda/sanksi sebagaimana juga diatur dalam kontrak. Tanggal pembuatan Berita Acara Serah Terima Pekerjaan tidak boleh melampaui closing date Loan yang menjadi sumber dana

Bab : Pengelolaan Pencairan dan Pembayaran Pinjaman Luar Negeri 324

proyek, karena tidak ada pembayaran setelah closing date oleh lender (pemberi pinjaman)

8. Berita Acara Pembayaran. Merupakan pernyataan yang ditandatangani oleh pemimpin proyek/pejabat yang berwenang dengan rekanan yang terikat dalam suatu kontrak mengenai persetujuan pembayaran atas prestasi penyelesaian pengadaan barang dan jasa.

9. Rincian Rencana Penggunaan Dana. Adalah daftar yang memuat rincian rencana penggunaan dana kegiatan proyek yang akan dipertanggungjawabkan. Rincian rencana penggunaan dana ini dibuat oleh Bendahara Proyek dengan diketahui/disetujui oleh Pimpro pada saat pengajuan permintaan dana.

10. Rekapitulasi Pengeluaran per kategori. Adalah daftar yang memuat pengeluaran proyek atas penggunaan dana uang persediaan per kategori PHLN. Dalam rekapitulasi ini memuat porsi masing-masing sumber pembiayaan yang perhitungannya proporsional.

11. Local Competitive Biding (LCB). Local Competitive Bidding adalah cara pengadaan barang (procurement) yang dilaksanakan apabila hal-hal yang disyaratkan oleh lender seperti berikut ini dapat dipenuhi, yaitu: a. Fasilitas konstruksi atau produksi dalam negeri tersedia dengan harga yang

memadai, efisien, dan dapat diperoleh dengan waktu yang relatif cepat. b. Supplier dan kontraktor luar negeri diperkirakan tidak berminat ikut dalam

penawaran. c. Prosedur yang dilaksanakan untuk pengadaan tersebut (prakualifikasi dan

sebagainya) sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan lender. d. Peminjam (borrower) meminta untuk melaksanakan prosedur LCB ini.

12. International Competitive Biding (ICB).

International Competitive Bidding adalah pelelangan internasional yang bertujuan agar kegiatan dapat memperoleh kesempatan menyeleksi penawaran yang masuk dari seluruh rekanan yang terbaik serta memberikan kesempatan yang sama kepada calon rekanan yang berasal dari negara-negara lain untuk menawarkan barang-barang serta pekerjaan yang akan dibiayai dari dana pinjaman. Dalam hal ini banyak ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi kegiatan untuk melaksanakan ICB yang tergantung pada ketentuan-ketentuan dari PPHLN antara lain berupa prosedur untuk menyiapkan penawaran dan dokumen kontrak, prosedur untuk mengiklankan penawaran, mengevaluasi penawaran, dan sebagainya.

13. Subsidiary Loan Agreement (SLA). Subsidiary Loan Agreement adalah perjanjian penerusan pinjaman antara Pemerintah selaku borrower dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan badan/lembaga lainnya.

14. Category/Uraian Kategori. Category/uraian kategori adalah kelompok pekerjaan atau kegiatan yang tercantum dalam NPPHLN. Beberapa contoh category/uraian kategori dari Loan IBRD 3742-IND:

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia

325

a. Category 1 (civil work) adalah jenis kegiatan untuk pekerjaan fisik konstruksi termasuk di dalamnya konsultan atas pekerjaan konstruksi tersebut.

b. Category 2 (equipment and material) adalah jenis kegiatan untuk melaksanakan pekerjaan pengadaan barang dan peralatan.

c. Category 3 (training) adalah jenis kegiatan untuk melaksanakan pekerjaan training/pelatihan, workshop, seminar, dll. Pelaksanaan kegiatan/pekerjaan yang tidak tercantum pada uraian kategori dalam NPPHLN akan menyebabkan pengeluaran ineligible.

d. Category 4 (incremental operating cost) adalah jenis belanja untuk mendukung kegiatan utama yang dibiayai oleh PHLN, contohnya adalah biaya telekomunikasi, Alat Tulis Kantor (ATK), dan lain-lain.

15. Porsi/Persentase Pembiayaan PHLN. Porsi/persentase pembiayaan PHLN adalah beban pembiayaan yang dapat disetujui untuk masing-masing kategori oleh PHLN. Dalam hal porsi pembiayaan PHLN kurang dari 100% maka selisih/kekurangan tersebut dibebankan pada Pemerintah sebagai dana pendamping.

16. Rupiah Pendamping Luar Negeri. Rupiah Pendamping Luar Negeri adalah pinjaman luar negeri yang digunakan untuk keperluan pembiayaan kegiatan.

17. Rupiah Hibah Luar Negeri. Rupiah Hibah Luar Negeri adalah hibah luar negeri yang digunakan untuk keperluan pembiayaan kegiatan.

18. Pendamping non porsi. Pendamping non porsi adalah beban pemerintah untuk menyediakan kewajiban yang ditentukan dalam Loan Agreement seperti kendaraan, tanah, dll. Dalam aplikasi komputer istilah non porsi ini disebut dengan local cost.

19. Eligible Expenditure. Eligible expenditure adalah pengeluaran-pengeluaran yang disetujui pihak lender untuk dibiayai dari dana PHLN karena sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan dalam NPPHLN bersangkutan.

20. Ineligible Expenditure. Ineligble expenditure adalah pengeluaran-pengeluaran yang ditolak/tidak dapat dibiayai dari dana PHLN karena sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan dalam NPPHLN bersangkutan.

21. Local Expenditure. Local expenditure adalah pengeluaran untuk barang dan jasa yang diperoleh atau disuplai dari dalam negeri.

22. Local Expenditure Ex-Factory Cost. Local expenditure ex-factory cost adalah pembelian barang-barang yang disuplai langsung dari pabriknya di dalam negeri.

23. Ex-Factory Expenditure. Ex-factory expenditure adalah pengeluaran untuk barang-barang yang dibuat di negara pemberi pinjaman atau penerima pinjaman berupa harga pokok di luar ongkos angkut dan pajak.

24. Foreign Expenditures. Foreign expenditures adalah pengeluaran dalam bentuk mata uang asing (valas) di luar negara peminjam untuk barang/jasa yang disuplai dari negara lain.

25. Sector Program Loan (SPL)

Bab : Pengelolaan Pencairan dan Pembayaran Pinjaman Luar Negeri 326

Sector Program Loan adalah pinjaman yang digunakan untuk program tertentu yang ditentukan dalam NPPHLN untuk melengkapi program yang ada dalam APBN. Pinjaman tersebut dicantumkan dalam RKA-KL.

26. Initial Deposit. Initial deposit adalah dana atau uang muka (advance) yang dapat ditarik setelah NPPHLN dinyatakan efektif.

27. Effective Date. Effective date adalah tanggal dimana suatu naskah perjanjian mulai mengikat semua pihak dan pada saat itu pula penarikan dana dapat dilakukan.

28. Clossing Date. Clossing date adalah batas akhir waktu untuk penarikan dana pinjaman/hibah luar negeri melalui surat perintah pengeluaran kas oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN).

Penatausahaan Dana PHLN

Penatausahaan berkaitan dengan pembayaran kembali PHLN dimulai dengan registrasi setiap NPPHLN. Penatausahaan NPPHLN dapat dikategorikan sebagai penatausahaan statis karena setelah data pokok direkam dan NPPHLN diberi nomor register, dokumen tersebut disimpan dalam file kepustakaan dan baru dapat dilihat kembali apabila diperlukan dalam rangka pemeriksaan perhitungan penarikan maupun pembayaran. Mengingat banyaknya dokumen yang dikelola, masalah yang timbul berasal dari NPPHLN tersebut yaitu masalah kelengkapan dokumen. Hal tersebut terutama berhubungan dengan loan agreement yang baru dan masih adanya beberapa NPPHLN yang berhubungan dengan Hibah LN yang belum disampaikan pada DJPb. Kesulitan utama adalah banyak pihak yang menerima hibah secara langsung dan belum memahami ketentuan administrasi bagi hibah LN.

Penatausahaan PHLN kini berada pada Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang

yang mengimplementasikan sistem komputerisasi DMFAS (Debt Management and Financial Analysis System) untuk menangani administrasi PHLN yang meliputi registrasi, transaksi penarikan, pembayaran serta perekaman data dan pelaporan yang berkaitan dengan loan dan grant. DMFAS adalah suatu sistem komputerisasi yang didesain untuk menyelenggarakan fungsi manajemen pinjaman luar negeri baik pada dimensi makro ekonomi maupun dimensi makro administrasi. Sebagai suatu sistem komputerisasi, DMFAS didesain untuk mampu menyajikan sistem informasi mengenai PHLN pemerintah secara akurat dan up to date serta memonitor perkembangannya. DMFAS merupakan kerjasama teknis antara Departemen Keuangan dengan UNDP/UNCTAD yang telah diimplementasikan di berbagai negara dan telah terbukti mampu membantu pengelolaan PHLN.

Penatausahaan data PHLN meliputi penatausahaan data transaksi penarikan

dan pembayaran. Penatausahaan ini sifatnya dinamis karena pada data tersebut terus berkembang dan harus selalu dicatat perubahannya. Dalam penatausahaan data penarikan, sumber data dapat dikelompokkan ke dalam:

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia

327

• Sumber data primer, yaitu kreditor/lender di LN • Sumber data sekunder, yaitu Bank Indonesia • Sumber data tersier yaitu pengguna dana/ proyek/ bank penatausaha penyalur

dana.

Informasi utama diharapkan datang dari sumber data primer, tetapi adakalanya oleh karena sumber tersebut independen sifatnya dan hanya mengirimkan data dan informasi kepada pihak yang tersebut dalam loan agreement, yakni disampaikan pada Bank Indonesia atau proyek yang bersangkutan. Tidak jarang pula, alamat yang dituju adalah nama personal pejabat yang umumnya sudah berganti karena mutasi. Selain itu data pada umumnya dikirimkan melalui pos, maka terdapat tenggat waktu pengiriman yang berkisar antara 2 minggu sampai dengan 1,5 bulan. Waktu yang cukup lama jika data tersebut diperlukan segera.

Pembayaran Kembali Pinjaman Luar Negeri

Pembayaran berbagai kewajiban terkait dengan Pinjaman LN merupakan bagian dari rangkaian kegiatan pengelolaan pinjaman LN yang harus dilaksanakan pemerintah RI sebagai pihak yang menerima pinjaman LN. Pelaksanaan pembayaran berbagai kewajiban yang berkaitan dengan PHLN harus dilakukan secara tepat dan benar apalagi jika dikaitkan dengan anggaran negara yang terbatas. Pembayaran kembali PLN secara tepat dan benar selain untuk menghindarkan biaya tambahan yang tidak perlu akibat kekurangcermatan dalam melakukan pembayaran juga dapat mengurangi beban karena akan diberikan potongan pembayaran yang disebut waiver. Dan hal yang terpenting adalah menjaga citra negara Indonesia dan meningkatkan kredibilitas terutama pemerintah RI dalam pandangan pemberi pinjaman.

Pada dasarnya kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah berkaitan

dengan pinjaman LN yang telah diterima dapat dikelompokkan menjadi: (1) Pembayaran pokok pinjaman, (2) Pembayaran bunga pinjaman, dan (3) Pembayaran biaya lainnya selain pokok dan bunga.

1. Pembayaran Pokok Pinjaman

Pokok pinjaman atau yang dikenal dengan istilah principal outstanding adalah jumlah realisasi pinjaman yang telah dinyatakan dalam suatu dokumen otorisasi penarikan (withdrawal authorization) atau semacamnya yang diterbitkan oleh pihak pemberi pinjaman. Berdasarkan nilai pokok pinjaman tersebut maka timbul kewajiban pembayaran angsuran pada periode tertentu sesuai dengan ketentuan pada NPPHLN. Adapun jumlah angsuran pokok tiap periode pembayaran dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain nilai pinjaman, lamanya masa angsuran serta pola perhitungan yang digunakan oleh pemberi pinjaman. Dalam kaitan dengan pola perhitungan yang digunakan dalam pembayaran angsuran, dikenal istilah pro

Bab : Pengelolaan Pencairan dan Pembayaran Pinjaman Luar Negeri 328

rata dan pola annuitas. Perhitungan secara pro rata membuat pembayaran angsuran pada tiap periode sama besarnya, sedangkan dengan pola annuitas pembayaran dapat berubah-ubah setiap periode. Pembayaran angsuran pertama kali diatur sesuai dengan NPPHLN yang dapat berupa: a. Tanggal pembayaran pertama secara tegas dicantumkan dalam NPPHLN b. Pembayaran pokok pertama dilakukan lima bulan setelah availability date

berakhir c. Pembayaran pokok pertama menunggu jadwal pembayaran yang akan

dikirimkan pihak pemberi pinjaman. d. NPPHLN tidak secara tegas menyatakan waktu pembayaran pokok yang

pertama harus dilakukan, namun menyebutkan suatu persyaratan atau perkiraan tanggal khusus sebagai patokan.

Dalam kondisi NPPHLN telah menyebutkan secara jelas tanggal pembayaran pokok pertama kali, biasanya NPPHLN telah dilengkapi dengan amortization schedule yaitu jadwal tiap pembayaran jatuh tempo angsuran sampai tanggal terakhir angsuran. Dalam hal ini jumlah masing-masing angsuran dihitung berdasarkan anggapan bahwa pinjaman yang telah disetujui akan ditarik seluruhnya (sifatnya tentatif). Apa bila sampai batas penarikan ternyata jumlah penarikan tidak sama dengan nilai yang tercantum dalam NPPHLN, maka pihak pemberi pinjaman mengirimkan perubahan jadwal perubahan pembayaran angsuran pokok pinjaman sehingga selanjutnya mengikuti jadwal terbaru. Dalam perhitungan pembayaran pinjaman, pada beberapa pinjaman seperti ADB dan IBRD menggunakan sistem pooling yaitu suatu sistem perhitungan PLN yang diterapkan pemberi pinjaman dengan memperhatikan beban perubahan kurs mata uang. Dalam hal ini jumlah pembayaran angsuran pokok juga memperhitungkan beban akibat fluktuasi kurs. Hal lain yang dapat mempengaruhi perhitungan jumlah pembayaran pokok adalah pemberian waiver oleh pemberi pinjaman kepada negara-negara peminjam karena dinilai tepat waktu dalam pembayaran kembali hutang-hutangnya. Perhitungan waiver yang merupakan potongan dapat berupa pengurangan sejumlah tertentu dari bunga yang harus dibayar pada periode tertentu, berkisar antara 2% dari nilai yang dibayar. Namun, di lain pihak perlu diperhatikan juga ancaman terhadap peminjam yang lalai dan tidak menyelesaikan kewajibannya.

2. Pembayaran Bunga Pinjaman

Bunga pinjaman adalah kewajiban yang harus dibayar oleh penerima pinjaman berkaitan dengan realisasi penarikan pinjaman. Besarnya bunga yang dibayar pada tanggal jatuh tempo periode dihitung berdasarkan tingkat bunga yang telah ditetapkan dalam NPPHLN dikalikan dengan pinjaman yang belum terbayar dan jumlah hari bunga. Pada dasarnya ada dua macam tingkat bunga yang seringkali ditetapkan dalam NPPHLN yaitu tingkat bunga tetap (fixed interest rate) dan tingkat bunga mengambang (variable interest rate). Di samping kedua jenis tingkat bunga tersebut untuk pinjaman tertentu, tingkat bunga yang diterapkan

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia

329

merupakan perpaduan dari kedua jenis tingkat bunga yang merupakan tingkat bunga rata-rata. Yang dimaksud dengan tingkat bunga tetap adalah tingkat bunga yang telah ditetapkan dan berlaku sampai dilunasinya pinjaman. Sedangkan tingkat bunga mengambang adalah tingkat bunga yang berubah-ubah sesuai dengan kondisi pasar Internasional. Perhitungan bunga dimulai sejak tanggal transaksi penarikan pertama dan periode pembayaran pada umumnya 2 kali setahun dan untuk pinjaman tertentu dapat 3 sampai dengan 4 kali setahun. Apabila dikaitkan dengan periode pembayaran angsuran pokok, periode pembayaran bunga memiliki kemungkinan: a. Periode pembayaran bunga berbeda dengan periode pembayaran pokok. b. Sebelum pembayaran angsuran pokok jatuh tempo, periode pembayaran

bunga ditentukan berbeda. Namun setelah pembayaran angsuran yang pertama, periode pembayaran angsuran sama dengan pembayaran bunga.

c. Periode pembayaran bunga dan angsuran selalu sama. 3. Pembayaran biaya lainnya.

a. Management fee Merupakan biaya yang dibayarkan kepada pihak kreditor sehubungan dengan pinjaman yang diberikan. Biaya manajemen dikenakan sekali selama umur pinjaman. Dalam beberapa pinjaman biaya ini disebut sebagai handling fee dan up front fee atau bahkan disebut facility fee (pinjaman EFIC Australia). Pada umumnya persentase biaya manajemen berkisar antara 0.15% sampai dengan 0.5%. Untuk beberapa pinjaman, biaya manajemen tidak dinyatakan besarnya dalam persentase tetapi dinyatakan langsung nilainya dalam nilai mata uang. Tidak semua pinjaman dikenai kewajiban pembayaran management fee, namun pada pinjaman tertentu yang tidak dikenai management fee ternyata persentase untuk biaya komitmen dikenakan lebih besar.

b. Commitment fee

Merupakan biaya yang harus dibayar oleh peminjam.

òô

Bab : Pengelolaan Pencairan dan Pembayaran Pinjaman Luar Negeri 330

Rangkuman

Tata cara penarikan PHLN yang diatur dalam ketentuan yang berlaku saat ini

dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu: Pembukaan Letter of Credit (L/C) dari Bank Indonesia, Pembayaran Langsung (Direct Payment) oleh PPHLN kepada rekanan, Penggantian Pembiayaan Pendahuluan (Reimbursment), dan Rekening Khusus (Special Account) di Bank Indonesia ataupun bank pemerintah lainnya yang ditunjuk Menteri Keuangan. Pembayaran Langsung dan L/C biasanya ditujukan untuk pembayaran pengadaan barang luar negeri, dan Rekening Khusus ditujukan untuk pembayaran kegiatan proyek yang berada di daerah. Sedangkan tata cara penarikan dana dengan Penggantian Pembiayaan Pendahuluan jarang untuk digunakan karena pemerintah harus menyediakan dana talangan sehingga akan membebani rupiah. Tata cara/ prosedur penarikan dana PHLN berbeda-beda sesuai dengan yang tercantum pada Naskah Perjanjian.

Oleh karena ketentuan penarikan PHLN berbeda antara yang satu dengan yang

lain maka untuk pencantuman PHLN dalam DIPA harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Loan Agreement berkenaan untuk menghindari kesalahan dalam pencantuman dana yang dapat menyebabkan terjadinya kesalahan pembayaran. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pencantuman PHLN dalam DIPA antara lain: Status Loan, Jenis Cara Pembayaran, Alokasi Dana, Biaya Administrasi Kegiatan, Satuan Harga, Memahami NPPHLN, dan Kegiatan Baru. Penyediaan dana dalam DIPA atas kegiatan-kegiatan ber-PHLN harus mengikuti ketentuan perpajakan yang berlaku.

Penyediaan dana pendamping merupakan salah satu prioritas utama dalam

pencantuman alokasi anggaran pembangunan. Oleh karena itu, dana pendamping baik porsi maupun non porsi yang telah dialokasikan dalam Satuan 3 maupun DIPA tidak dapat digunakan untuk kegiatan selain pendamping. Untuk kepentingan pendataan/informasi, perlu dibedakan mengenai dana pendamping yang merupakan porsi dan non porsi dalam DIPA. Dana pendamping porsi adalah beban pemerintah untuk menyediakan dana pendamping yang merupakan porsi dan non porsi dalam DIPA. Dana pendamping porsi adalah beban pemerintah untuk menyediakan dana dalam DIPA. Sedangkan dana pendamping non porsi adalah beban pemerintah untuk membiayai kewajiban yang ditentukan dalam NPPHLN.

Pencantuman PHLN dalam DIPA khususnya halaman 1 mengenai “Rincian

Pinjaman atau Hibah Luar Negeri” harus dilakukan dengan benar dan lengkap agar dapat memberikan data dan informasi yang akurat mengenai sumber PHLN, pagu PHLN, perkiraan penarikan, serta dana pendamping yang tersedia. Bagi DIPA yang

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia

331

berpinjaman dan hibah luar negeri yang mempunyai dana pendamping maka loan dan dana pendampingnya hanya disediakan untuk keperluan satu tahun anggaran dan apabila kegiatan/pekerjaannya harus diselesaikan beberapa tahun (multi years contract) maka kekurangan dananya disediakan pada DIPA tahun berikutnya. Untuk menjamin kelancaran pelaksanaan kegiatan yang dibiayai oleh pinjaman/hibah luar negeri, maka pada awal tahun anggaran berikutnya, dapat dilakukan pencairan dana berdasarkan DIPA tahun sebelumnya sementara menunggu penyelesaian DIPA yang menampung alokasi dana luncuran kegiatan tersebut. Apabila dana pendamping berasal dari luar APBN, seperti PEMDA (APBD), BUMN, atau dari kontribusi masyarakat, dan sebagainya, maka pencantuman dana pendamping dimaksud dalam DIPA cukup dilakukan dengan memberi kode yang telah ditentukan dalam aplikasi DIPA.

-o0o-

PENGELOLAAN SURAT UTANG NEGARA

“Sampai saat ini, utang masih merupakan sumber utama pembiayaan APBN untuk menutup defisit maupun untuk pembayaran kembali pokok

utang yang telah jatuh tempo (refinancing) “

Bab ini membahas pengelolaan surat utang negara dalam manajemen perbendaharaan di Indonesia. Setelah mempelajari bab ini Saudara diharapkan mampu untuk menjelaskan hal-hal yang terkait dengan: § Sekilas tentang SUN. § Istilah-istilah dalam SUN. § Pengelolaan SUN. § Penerbitan dan Penjualan SUN § Strategi Pengelolaan SUN Tahun 2005 – 2009

Total kewajiban/hutang yang tertera pada laporan keuangan Neraca

Pemerintah per 31 Desember 2005 menunjukkan angka sebesar

Bab 11 : Pengelolaan Surat Utang Negara 334

Rp1.342.050.706.668.530 atau lebih dari seribu tiga ratus trilyun rupiah. Kewajiban sebesar tersebut terdiri dari Kewajiban Jangka Pendek (Short-term Liabilities) sebanyak Rp138.027.347.740.000, Kewajiban Jangka Panjang Dalam Negeri (Domestic Long-Term Liabilities) sebanyak Rp625.296.698.625.409 dan Kewajiban Jangka Panjang Luar Negeri (Foreign Long-Term Liabilities) sebanyak Rp578.726.657.303.121,-

Salah satu faktor penyebab besarnya jumlah kewajiban yang harus dipikul pemerintah adalah jumlah penerimaan negara yang lebih rendah daripada jumlah pengeluaran/belanja negara. Kondisi defisit anggaran ini memaksa pemerintah untuk melakukan kegiatan pembiayaan melalui pencarian sumber-sumber dana sebagai penutup defisit. Beberapa upaya telah dilakukan pemerintah, seperti privatisasi BUMN dan pelaksanaan divestasi. Upaya lainnya yang selalu dilakukan adalah melakukan pinjaman baru. Surat utang negara (SUN) merupakan salah satu instrumen pembiayaan yang dilakukan pemerintah saat ini guna menutup defisit anggaran yang senantiasa terjadi.

Keberhasilan pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat yang adil,

makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan, antara lain, oleh adanya (1) kemandirian bangsa untuk melaksanakan pembangunan ekonomi nasional secara berkesinam-bungan dengan bertumpu pada kekuatan masyarakat; (2) partisipasi masyarakat secara optimal dalam program pembiayaan pembangunan nasional melalui mekanisme pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dapat dipertang-gungjawabkan; (3) kepastian hukum kepada pemodal dan komitmen Pemerintah untuk mengelola sektor keuangan yang transparan, profesional, dan bertanggung jawab.

Dalam konteks kemandirian bangsa, potensi yang tersedia di dalam negeri harus

dioptimalkan untuk melaksanakan kegiatan ekonomi dan membiayai kegiatan pembangunan. Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah perlu diberikan peluang untuk meningkatkan akses yang dapat menggali potensi sumber pembiayaan pembangunan dan memperkuat basis pemodal domestik. Pembiayaan tersebut akan terjamin keamanannya apabila mobilisasi dana masyarakat disertai dengan bekerjanya sistem keuangan, meliputi sistem perbankan, pasar uang dan pasar modal, yang efisien. Terciptanya keragaman dalam mobilisasi dana dapat menghasilkan sistem keuangan yang kuat dan memberikan alternatif bagi para pemodal.

Awalnya, penerbitan surat utang oleh pemerintah ditujukan untuk menyelamatkan

sektor perbankan dari systemic insolvency sebagai dampak krisis moneter tahun 1997. Pemerintah saat itu memutuskan untuk melaksanakan program restrukturisasi dan rekapitalisasi perbankan dengan menerbitkan surat utang kepada Bank Indonesia untuk keperluan program penjaminan (termasuk pengalihan hak Bantuan Likuiditas Bank Indonesia/BLBI) dengan nilai nominal sebesar Rp218,3 triliun dan menerbitkan obligasi negara kepada bank-bank umum dalam rangka rekapitalisasi perbankan berjumlah Rp 422,6 triliun. Namun kini beberapa SUN dengan seri tertentu telah tersedia untuk dibeli oleh masyarakat bahkan secara eceran/retail.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 335

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab Overviu pada halaman muka bahwa

dalam upaya memantapkan proses konsolidasi fiskal maka salah satu prioritas kebijakan fiskal yang ditempuh pemerintah dewasa ini adalah memperbaiki pengelolaan hutang dan optimalisasi pembiayaan anggaran melalui pencarian sumber-sumber pembiayaan anggaran yang biayanya paling murah, dengan resiko yang paling rendah. SUN merupakan salah satu instrumen pembiayaan yang memenuhi keinginan tersebut dan sebagai alternatif pengganti sumber pembiayaan yang berasal dari pinjaman luar negeri.

Sekilas tentang SUN

Surat Utang Negara (SUN) adalah surat berharga berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya. Berdasarkan pengertian tersebut maka pada hakekatnya SUN, yang juga dikenal sebagai Obligasi Pemerintah, merupakan Pinjaman Negara. SUN dan pengelolaannya diatur dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara. Undang-undang ini memberi kepastian bahwa: § Penerbitan SUN hanya untuk tujuan-tujuan tertentu; § Pemerintah wajib membayar bunga dan pokok SUN yang jatuh tempo; § Jumlah SUN yang akan diterbitkan setiap tahun anggaran harus memperoleh

persetujuan DPR dan dikonsultasikan terlebih dahulu dengan Bank Indonesia; § Perdagangan SUN diatur dan diawasi oleh institusi berwenang; § Memberikan sanksi hukum yang berat dan jelas terhadap penerbitan oleh pihak

yang tidak berwenang dan atau pemalsuan SUN. Selain Undang-undang Nomor 24 Tahun 2002, berbagai peraturan

pelaksanaan pun telah diterbitkan untuk mendukung pengelolaan SUN, antara lain: § Keputusan Menteri Keuangan Nomor 15/KMK.01/2003 tentang Pembentukan

Komite Kebijakan Pengelolaan SUN, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 513/KMK.01/2004.

§ Keputusan Menteri Keuangan Nomor 66/KMK.01/2003 tentang Penunjukkan Bank Indonesia sebagai Agen untuk melaksanakan Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana.

§ Keputusan Menteri Keuangan Nomor 83/KMK.01/2003 tentang Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana.

§ Keputusan Menteri Keuangan Nomor 343/KMK.01/2003 tentang Lelang Pembelian Kembali Obligasi Negara.

§ Keputusan Menteri Keuangan Nomor 22/KMK.01/2004 tentang Penjualan Obligasi Negara dalam Valuta Asing di Pasar Perdana Internasional, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 614/KMK.06/2004.

§ Peraturan–peraturan lain yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, yang meliputi Peraturan Bank Indonesia atau PBI dan Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI),

Bab 11 : Pengelolaan Surat Utang Negara 336

terkait dengan peran Bank Indonesia sebagai agen lelang, registrasi, kliring, setelmen SUN dan central registrar.

Pemerintah pusat berwenang menerbitkan SUN setelah mendapatkan

persetujuan DPR yang disahkan dalam kerangka pengesahan APBN dan setelah berkonsultasi dengan Bank Indonesia. Atas penerbitan tersebut, Pemerintah berkewajiban membayar bunga dan pokok pada saat jatuh tempo. Dana untuk pembayaran bunga dan pokok SUN disediakan di dalam APBN.

Dalam kegiatan di pasar keuangan, peranan pasar surat utang negara sangat

strategis. Artinya, tingkat keuntungan (yield) dari surat utang negara, sebagai instrumen keuangan yang bebas resiko, dipergunakan oleh para pelaku pasar sebagai acuan atau referensi dalam menentukan tingkat keuntungan suatu investasi atau aset keuangan lain. Dengan demikian, penerbitan surat utang negara secara teratur dan terencana diperlukan untuk membentuk suatu tolok ukur yang dapat dipergunakan dalam menilai kewajaran suatu harga aset keuangan atau surat berharga. Adanya pasar keuangan yang efisien akan memberikan beberapa manfaat, antara lain, (1) memberikan peluang dan partisipasi yang lebih besar kepada pemodal untuk melakukan diversifikasi portofolio investasinya, (2) membantu terciptanya suatu tata kelola yang baik (good governance) dikarenakan adanya tingkat transparansi informasi keuangan yang tinggi dalam pasar modal, dan (3) membantu terwujudnya suatu sistem keuangan yang stabil karena berkurangnya resiko sistemik (systemic risk) akibat menurunnya ketergantungan pada modal yang berasal dari sistem perbankan.

Dari sisi mobilisasi dana masyarakat melalui mekanisme APBN, penggunaan

surat utang negara secara potensial dapat mengurangi ketergantungan pada pembiayaan luar negeri yang sangat rentan terhadap fluktuasi nilai tukar. Di samping itu, pengelolaan surat utang negara secara baik dapat mengurangi kerugian negara yang ditimbulkan oleh berbagai resiko keuangan dalam portofolio utang negara. Melalui mekanisme APBN, dengan sendirinya akan terselenggara pengawasan langsung oleh publik.

Pelaku pasar keuangan sangat berkepentingan terhadap informasi tentang arah

kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang tercermin dalam APBN, mengingat implikasi kebijakan tersebut terhadap minat dan kesempatan investasi di pasar keuangan domestik. Persepsi pasar akan sangat tergantung pada konsistensi tindakan Pemerintah dalam menjalankan kebijakan tersebut. Di samping itu, para pemodal membutuhkan adanya kepastian hukum dan jaminan adanya pengelolaan pasar keuangan yang profesional dan berstandar internasional.

Bertitik tolak dari pemikiran di atas, diperlukan pasar surat utang negara yang

aktif dan likuid baik di pasar perdana maupun pasar sekunder. Dalam rangka mewujudkan pasar tersebut diperlukan langkah-langkah strategis untuk membangun infrastruktur, antara lain, sistem penerbitan di pasar perdana, sistem perdagangan di pasar sekunder, sistem registrasi, kliring dan setelmen yang efisien, serta kerangka regulasi yang transparan dan adil. Prasyarat terpenting bagi terciptanya suatu pasar surat utang negara adalah adanya kepercayaan pasar terhadap surat utang negara

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 337

yang diterbitkan oleh Pemerintah. Tujuan dan Manfaat Penerbitan SUN

Adapun tujuan penerbitan SUN adalah sebagai berikut: 1. Membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Jika suatu saat APBN mengalami defisit, maka salah satu sumber pembiayaan adalah penerbitan surat utang negara. Pilihan atas surat utang negara sebagai sumber dari berbagai sumber pembiayaan lainnya harus didasarkan atas perhitungan yang cermat yang dapat meminimalkan biaya utang pada anggaran negara.

2. Menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara arus kas penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam satu tahun anggaran. Agar kegiatan-kegiatan dan/atau proyek yang telah ditetapkan di dalam APBN tidak mengalami hambatan, penerbitan surat utang negara berjangka pendek (Surat Perbendaharaan Negara atau Treasury Bill) digunakan untuk menutup kekurangan kas tersebut. Apabila penerimaan yang direncanakan tersebut terealisasi, dananya digunakan untuk menebus kembali Surat Perbendaharaan Negara tersebut.

3. Mengelola portofolio utang negara. Manajemen portofolio utang negara bertujuan untuk meminimalkan biaya bunga utang pada tingkat resiko yang dapat ditoleransi. Untuk itu, portofolio utang negara terutama portofolio surat utang negara harus dilakukan secara efisien berdasarkan praktik-praktik yang berlaku umum di berbagai negara. Manajemen portofolio dimaksud meliputi penerbitan, pembelian kembali sebelum jatuh tempo (buyback), dan pertukaran (bond swap) sebagai Surat Utang Negara yang beredar.

Sedangkan manfaat penerbitan surat utang negara antara lain adalah:

§ Sebagai Instrumen Fiskal. Penerbitan SUN diharapkan dapat menggali potensi sumber pembiayaan APBN yang lebih besar dari investor pasar modal.

§ Sebagai Instrumen Investasi. Menyediakan alternatif investasi yang relatif bebas resiko gagal bayar dan memberikan peluang bagi investor dan pelaku pasar untuk melakukan diversifikasi portofolionya guna memperkecil resiko investasi. Selain itu, investor SUN memiliki potential capital gain dalam transaksi perdagangan di pasar sekunder SUN tersebut. Potential capital gain ialah potensi keuntungan akibat lebih besarnya harga jual obligasi dibandingkan harga belinya.

§ Sebagai Instrumen Pasar Keuangan. Surat Utang Negara dapat memperkuat stabilitas sistem keuangan negara dan dapat dijadikan acuan (benchmark) bagi penentuan nilai instrumen keuangan lainnya.

Bab 11 : Pengelolaan Surat Utang Negara 338

Bentuk dan Jenis Surat Utang Negara

Surat utang negara diterbitkan dalam bentuk warkat dan tanpa warkat. Surat utang negara dengan warkat adalah surat berharga yang kepemilikannya berupa sertifikat baik atas nama maupun atas unjuk. Sertifikat atas nama adalah sertifikat yang nama pemiliknya tercantum dalam sertifikat. Sedangkan sertifikat atas unjuk adalah sertifikat yang tidak mencantumkan nama pemilik sehingga setiap orang yang menguasainya adalah pemilik yang sah. Surat utang negara tanpa warkat atau scripless adalah surat berharga yang kepemilikannya dicatat secara elektronis (book-entry system). Dalam hal surat utang negara tanpa warkat, bukti kepemilikan yang otentik dan sah adalah pencatatan kepemilikan secara elektronis. Cara pencatatan secara elektronis dimaksudkan agar pengadministrasian data kepemilikan (registry) dan penyelesaian transaksi perdagangan surat utang negara di Pasar Sekunder dapat diselenggarakan secara efisien, cepat, aman, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Kedua bentuk surat utang negara tersebut di atas diterbitkan dalam bentuk yang

diperdagangkan dan dalam bentuk yang tidak diperdagangkan di Pasar Sekunder. Surat utang negara yang diperdagangkan adalah surat utang negara yang diperjualbelikan di Pasar Sekunder baik di dalam maupun di luar negeri. Perdagangan dapat dilakukan melalui bursa dan/atau di luar bursa yang biasa disebut over the counter (OTC). Surat utang negara yang tidak diperdagangkan adalah surat utang negara yang tidak diperjualbelikan di Pasar Sekunder dan biasanya diterbitkan secara khusus untuk pemodal institusi tertentu, baik domestik maupun asing, yang berminat untuk memiliki surat utang negara sesuai dengan kebutuhan spesifik dari portofolio investasinya.

Secara umum jenis surat utang negara dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Surat Perbendaharaan Negara (SPN), yaitu surat utang negara berjangka waktu sampai dengan 12 bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto. Yang dimaksud dengan pembayaran bunga secara diskonto adalah pembayaran atas bunga yang tercermin secara implisit di dalam selisih antara harga pada saat penerbitan dan nilai nominal yang diterima pada saat jatuh tempo. Di beberapa negara SPN lebih dikenal dengan sebutan T-Bills atau Treasury Bills.

2. Obligasi Negara (ON), yaitu surat utang negara berjangka waktu lebih dari 12 bulan baik dengan atau tanpa kupon. Obligasi Negara dengan kupon adalah surat utang negara yang pembayaran bunganya dihitung dengan persentase tertentu atas nilai nominal dan dibayarkan secara berkala. Obligasi Negara dengan pembayaran bunga secara diskonto adalah surat utang negara yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dan pembayaran bunganya tercermin secara implisit di dalam selisih antara harga pada saat penerbitan dan nilai nominal yang diterima pada saat jatuh tempo. Obligasi Negara dengan kupon memiliki jadwal pembayaran kupon yang periodik (tiga bulan sekali atau enam bulan sekali). Sementara ON tanpa kupon tidak memiliki jadwal pembayaran kupon, dijual pada harga diskon dan pokoknya akan dilunasi pada saat jatuh tempo. Berdasarkan jenis kuponnya ON dapat dibedakan menjadi:

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 339

1. Obligasi Berbunga Tetap, yaitu obligasi dengan tingkat bunga tetap setiap periodenya (atau Fixed Rate Bonds), dan

2. Obligasi Berbunga Mengambang, yaitu obligasi dengan tingkat bunga mengambang (atau Variable Rate Bonds) yang ditentukan berdasarkan suatu acuan tertentu seperti tingkat bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia).

Obligasi Negara juga dapat dibedakan berdasarkan denominasi mata uangnya. Pemerintah sampai saat ini telah menerbitkan ON berdenominasi Rupiah dan USD. Istilah-istilah dalam Surat Utang Negara

Berikut ini disajikan beberapa istilah yang terkait dengan surat utang negara. Nilai Pari (Par Value)/Nilai Nominal (Nominal Value)

Nilai Nominal atau nilai pokok ialah nilai pecahan per unit SUN, yaitu nilai yang

dapat ditagih oleh pemegang SUN kepada penerbit SUN pada saat jatuh tempo, atau besarnya kewajiban pokok SUN yang wajib dibayar oleh Pemerintah kepada pemegang SUN. Nilai nominal ini dapat dianalogikan seperti uang kertas yang diterbitkan dalam pecahan (atau memiliki nominal) Rp1.000,00, Rp5.000,00, Rp10.000,00, Rp20.000,00, Rp50.000,00, dan Rp100.000,00. Untuk SUN saat ini diterbitkan dalam pecahan per unit sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Nilai nominal ini akan dibayarkan Pemerintah pada saat jatuh tempo SUN yang bersangkutan. Nilai nominal juga digunakan sebagai dasar perhitungan kupon yang akan dibayar pemerintah. Tanggal Jatuh Tempo

Yang dimaksud dengan “tanggal jatuh tempo” adalah jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian penerbitan SUN (biasanya tercantum dalam perjanjian perwaliamanatan) dimana pemegang SUN berhak menuntut pelunasan hak yang terkait dengan SUN. Tanggal jatuh tempo tersebut dapat meliputi tanggal jatuh tempo pembayaran pokok maupun pembayaran bunga. Tingkat Bunga (Kupon/Coupon)

Yang dimaksud dengan “tingkat bunga (kupon)” adalah manfaat yang dijanjikan

kepada pemegang SUN sebesar persentase tertentu dari nilai nominal yang dibayarkan secara reguler. Penetapan tingkat bunga dapat ditetapkan secara pasti (fixed rate) atau mengambang (floating rate). Sebagai contoh: Obligasi Negara Seri FR0028 dengan tingkat kupon 10%, artinya setiap tahun jumlah bunga yang dibayarkan kepada investor adalah sebesar 10% dikalikan dengan tingkat nominalnya. Dengan demikian untuk setiap unit Obligasi senilai Rp1.000.000,00

Bab 11 : Pengelolaan Surat Utang Negara 340

maka kupon yang diterima per tahun oleh investor ialah sebesar Rp100.000,00. Apabila dalam term and conditions periode pembayaran kupon ditetapkan 2 kali setahun, maka pembayaran kuponnya setelah 6 bulan adalah sebesar masing-masing Rp50.000,00. Kupon Obligasi Negara dapat dibayarkan dua kali setahun (semiannual) atau empat kali setahun (quarterly). Saat ini kupon Obligasi Negara seri VR (Variable Rate) dibayarkan empat kali setahun. Untuk seri VR, kuponnya ditentukan oleh tingkat suku bunga hasil lelang SBI (Sertifikat Bank Indonesia) berjangka 3 bulan. Penghitungan bunga adalah sebagai berikut: Jika kupon 10% dibayarkan dua kali setahun, nominal Rp1.000.000,00, maka besarnya bunga per periode pembayaran bunga dihitung sebagai berikut:

10%2

= 50.000

Bunga = x 1.000.000

Hasil (Yield)

Yield adalah tingkat keuntungan atau imbal hasil yang sebenarnya diperoleh

investor obligasi. Ada dua macam yield, yaitu current yield (simple yield) dan yield to maturity. Current yield diukur dengan cara membagi tingkat kupon obligasi dengan harga beli obligasi tersebut. Contoh penghitungan current yield adalah sebagai berikut: Obligasi Negara seri FR0028 dengan tingkat kupon 10% dibeli pada harga 95 (artinya 95% dari nominal), maka current yield adalah sebesar:

CouponPrice

10% x Rp1.000.000.000,0095% x Rp1.000.000.000,00

= 10,526%

=

=

Current Yield

Dengan demikian, tingkat keuntungan investor sebenarnya adalah sebesar 10,526% bukan 10% (kuponnya).

Sedangkan yield to maturity ialah tingkat keuntungan yang merepresentasikan keuntungan investasi pada obligasi dengan tingkat ketepatan yang lebih tinggi daripada current yield. Yield to maturity ialah discount rate yang digunakan untuk mem-present value-kan cash flow obligasi di masa mendatang (baik kupon maupun pokok) sehingga sama dengan harga belinya. Yield to maturity inilah yang sering digunakan secara umum dalam istilah yield sehari-hari. Interpretasi lain dari yield ialah harga dari uang.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 341

Yield to Maturity versus Price

Secara teoritis, harga obligasi atau price ialah nilai sekarang (present value) dari seluruh penerimaan kas di masa mendatang, baik melalui kupon maupun pokok saat jatuh tempo, dengan menggunakan tingkat bunga tertentu sebagai discount rate-nya. Tingkat bunga inilah yang disebut sebagai yield to maturity (YTM). Contoh: Investor A membeli obligasi yang membayar bunga setiap tahun sekali sebesar 5% dari nominalnya. Nominal Obligasi sebesar Rp1.000,00. Obligasi tersebut jatuh tempo tepat lima tahun mendatang dari saat dibelinya obligasi. Berapa harga obligasi (P) tersebut jika investor menghendaki YTM 4%, 5%, atau 6%. Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 •-------------•---------------•--------------•---------------•--------------• P = Rp…?

+Rp50 +Rp50 +Rp50 +Rp50 +Rp50

Jika YTM =4%, maka harga obligasi (P):

5% x 1.000 5% x 5% x 5% x 5% x 5% x2 3 4 5 6

P =

1.000 (1+4%)

1054,87

+1.000

(1+4%)+

1.000 +

(1+4%)1.000

(1+4%)+

1.000 (1+4%)

P =(1+4%)

+

Dengan demikian, investor harus membayar Rp1.054,52 untuk memperoleh

obligasi tersebut. Dengan perhitungan yang sama, jika YTM yang diharapkan adalah adalah 5%, maka harganya Rp1.000,00. Sedangkan jika YTM yang diharapkan adalah 6%, maka harganya Rp957,87. Tingkat keuntungan/yield (YTM) berbanding terbalik dengan harga obligasi. Jika yield naik (dengan ketentuan faktor lain tidak berubah), maka harga akan turun, sebaliknya jika yield turun (dengan ketentuan faktor lain tidak berubah), maka harga akan naik.

Jika pada saat membeli obligasi investor harus membayar lebih besar daripada

nominal obligasi tersebut maka kondisi ini disebut: investor membeli pada harga premium. Contohnya dapat dilihat pada contoh di atas, saat YTM 4%, maka investor harus membayar Rp1.054,52 untuk membeli obligasi dengan nominal Rp1.000,00. Dengan demikian, besarnya premium ialah Rp1.054,52 – Rp1.000,00 = Rp54,52. Jika pada saat membeli obligasi investor harus membayar lebih kecil daripada nominal obligasi tersebut maka kondisi ini disebut: investor membeli pada harga discount. Contohnya, pada boks di atas, saat YTM 6%, investor harus membayar Rp957,87 untuk membeli obligasi dengan nominal Rp1.000,00. Dengan demikian, besarnya discount ialah Rp1.000,00 Rp957,87 = Rp42,13. Jika pada saat membeli obligasi jumlah yang dibayarkan investor sama dengan nominal obligasi, maka kondisi ini disebut: investor membeli pada harga par. Contohnya, masih pada boks di atas, pada saat YTM 5%, maka investor membayar Rp1.000,00 sesuai harga nominalnya.

Bab 11 : Pengelolaan Surat Utang Negara 342

Dengan menganalisis perbandingan antara YTM dengan kupon, kita dapat juga mengetahui apakah obligasi memiliki harga discount, premium atau par. Jika YTM < kupon (contoh di atas 4% < 5%), maka obligasi tersebut memiliki harga premium. Jika YTM > kupon (contoh di atas 6% > 5%), maka obligasi tersebut memiliki harga discount. Jika YTM = kupon, maka obligasi tersebut memiliki harga par. Government Securities Yield Curve

Government Securities Yield Curve atau kurva imbal hasil SUN ialah grafik yang

menggambarkan hubungan antara jatuh tempo SUN pada berbagai titik waktu, dengan tingkat bunganya (yield to maturity). Dengan kata lain kurva ini menggambarkan berapa harga yang pantas dari suatu instrumen keuangan (SUN) untuk setiap jangaka waktu jatuh temponya. Kurva ini biasanya juga disebut sebagai benchmark yield curve karena menjadi acuan bagi investor untuk menentukan harga wajar Obligasi Negara atau harga wajar instrumen keuangan lain selain SUN, tentu setelah melakukan penyesuaian dengan menambahkan premi resiko.

Capital Gain/Loss

Capital gain/loss ialah selisih antara harga jual dengan harga beli SUN. Jika

harga jual lebih tinggi daripada harga beli maka investor memperoleh capital gain. Sebaliknya, jika harga jual lebih rendah daripada harga beli, maka investor menanggung capital loss. Investor tidak memiliki keharusan untuk memperdagangkan SUN yang dimilikinya. Jika tidak memerlukan likuiditas, investor dapat memiliki/menahan SUN sampai jatuh tempo. Dalam hal ini jika investor membeli SUN pada harga discount dan menahannya sampai jatuh tempo, maka investor tersebut pasti memperoleh capital gain, karena pada saat jatuh tempo Pemerintah selalu membayar sebesar nilai par-nya. Accrued Interest

Accrued interest atau bunga berjalan ialah jumlah fraksi kupon yang harus

dibayar pembeli obligasi kepada penjual obligasi. Accrued interest timbul jika transaksi jual beli obligasi terjadi di antara tanggal pembayaran kupon obligasi, dan dihitung dari tanggal pembayaran kupon sebelumnya sampai dengan tanggal transaksi.

Sebagai contoh, investor A membeli obligasi pada tanggal 1 April 2005 dari

investor B dengan nominal Rp1.000.000,00. Tingkat kupon obligasi tersebut adalah 10%, yang jatuh tempo tanggal 1 Juli 2006. Kupon dibayarkan setiap enam bulan (masing-masing 5%) yaitu setiap tanggal 1 Januari dan 1 Juli. Selain membayar harga obligasi kepada investor B sesuai YTM yang disepakati, investor A juga harus membayar accrued interest atau hak atas bunga kepada B yang dihitung dari tanggal pembayaran kupon terakhir sampai dengan tanggal setelmen, atau dalam hal ini dari tanggal 1 Januari 2005 sampai 1 April 2005 (asumsi untuk memudahkan perhitungan, 3 bulan).

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 343

Perhitungan accrued interest-nya (AI) adalah sebagai berikut:

10% 3 bulan2 6 bulan

1.000.000 = 25.000 AI = x x

3 bulan ialah periode dari tanggal pembayaran kupon terakhir sampai tanggal setelmen. 6 bulan ialah periode dari tanggal pembayaran kupon terakhir sampai tanggal pembayaran kupon berikutnya.

Tgl •-----------------------------•----------------------------• Bayar kupon 1 Jan ’05 1 Juli ’05 1 Jan ’06

Coupon Bonds versus Zero Coupon Bonds

Coupon Bonds ialah obligasi yang membayarkan kupon secara regular di

samping membayar pokok saat jatuh temponya. Contoh Obligasi Negara dengan kupon ialah seluruh Obligasi Negara seri FR (Fixed Rate) dan seri VR (Variable Rate). Zero coupon bonds ialah obligasi yang tidak membayarkan kupon secara periodik namun hanya membayar pokok saat jatuh tempo. Zero coupon bonds disebut juga dengan discount paper karena dibeli dengan harga discount. Keuntungan investor diukur dari dari capital gain yang diperolehnya. n sebutan T-Bills atau Treasury Bills. Istilah-istilah lainnya Pasar Primer (Pasar Perdana) versus Pasar Sekunder:

Pasar primer adalah kegiatan penawaran dan penjualan obligasi untuk pertama kali. Pasar sekunder ialah kegiatan perdagangan selanjutnya atas obligasi yang telah dijual di pasar primer. Clean Price versus Dirty Price:

Clean price ialah harga obligasi sebelum memperhitungkan accrued interest, sedangkan dirty price ialah harga obligasi setelah memperhitungkan accrued interest, atau dengan kata lain Dirty price = Clean price + Accrued interest. Rating Obligasi:

Obligasi, baik obligasi yang diterbitkan oleh korporasi swasta maupun Pemerintah, memiliki rating tertentu yang menggambarkan tingkat resiko yang

Setelmen 1 April ‘05

Al

Bab 11 : Pengelolaan Surat Utang Negara 344

dihadapi oleh investor. Investor obligasi umumnya ingin memastikan bahwa kupon dan pokok atas obligasi dapat diperolehnya sesuai jadwal dan dalam jumlah yang telah ditentukan sesuai ketentuan dan persyaratan obligasi tersebut. Namun riset yang cukup dalam rangka memberikan kepastian tersebut sangat sulit dilakukan oleh individual investor. Oleh karena itu, investor umumnya memanfaatkan jasa lembaga pemeringkat (rating agency) untuk menentukan rating suatu institusi penerbit obligasi, sehingga dapat diukur resiko yang dihadapi.

Semakin tinggi rating obligasi, semakin rendah resiko yang dihadapi investor.

Sebaliknya semakin rendah rating obligasi, semakin tinggi resiko yang dihadapi investor. Rating berpengaruh terhadap tingkat bunga (yield/YTM) yang dikehendaki investor. Semakin tinggi rating obligasi, semakin rendah yield yang dikehendaki investor, karena semakin rendah resikonya.

Tingkat rating obligasi bervariasi dari satu lembaga pemeringkat ke lembaga

pemeringkat yang lain. Sebagai contoh, Moody’s menggunakan Aaa untuk rating tertinggi, diikuti Aa, A, Baa, Ba, B, Caa, Ca, C dan D untuk rating terendah. Sedangkan Standard & Poor’s menggunakan AAA untuk rating tertinggi, diikuti AA, A, BBB, BB, B, CCC, CC, dan C untuk yang terendah. Moody’s dan Standard & Poor’s (sering disingkat S&P) ialah dua lembaga pemeringkat internasional yang diterima di seluruh dunia. Pengelolaan Surat Utang Negara 1 Kebijakan Umum Pengelolaan SUN

Surat Utang Negara merupakan salah satu instrumen dan sumber pembiayaan anggaran negara, oleh karena itu kebijakan pengelolaannya tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah di bidang Pembiayaan Anggaran Negara. Rasio antara pokok utang pemerintah dengan PDB yang berada di bawah 60 % pada akhir tahun 2005 merupakan salah satu target kebijakan pemerintah dalam upaya penurunan jumlah (stock) utang publik dan rasionya terhadap PDB. Hal ini dilakukan guna meringankan beban utang pemerintah secara cepat dalam jangka menengah. Beberapa upaya telah dilakukan pemerintah guna menurunkan defisit anggaran dan penurunan rasio utang terhadap PDB, diantaranya berupa: 1. Peningkatan penerimaan negara, terutama yang berasal dari sektor perpajakan. 2. Pengendalian dan penajaman prioritas alokasi belanja negara. 3. Penerapan strategi pengelolaan utang dan pemilihan alternatif kebijakan

pembiayaan yang tepat, dalam rangka penurunan rasio utang. 4. Meningkatkan kapasitas perekonomian nasional melalui peningkatan pendapatan

nasional. 1 Diolah dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.01/2006, dan Bahan Ajar Pengelolaan Surat Utang Negara oleh Dungtji Munawar.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 345

Upaya mengurangi beban pembayaran bunga utang dalam negeri antara lain

dilakukan melalui upaya pembelian kembali (buy back) surat utang negara yang belum jatuh tempo dan pertukaran surat utang negara (debt switching). Penurunan besaran defisit dan rasionya terhadap PDB tahun 2005 mencerminkan besarnya kesungguhan dan komitmen pemerintah dalam melanjutkan program dan langkah-langkah konsolidasi fiskal untuk memantapkan upaya peningkatan ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal sustainability). Meskipun besaran defisit anggaran tahun anggaran 2005 lebih rendah dari tahun 2004, akan tetapi tantangan yang dihadapi pada sisi pembiayaan tidak ringan. Pembiayaan yang harus disediakan tidak hanya digunakan untuk menutupi defisit APBN semata-semata, akan tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan pembayaran cicilan pokok utang dalam negeri dan utang luar negeri yang akan jatuh tempo dalam tahun 2005 dan 2006 yang jumlahnya cukup besar. Saat ini, pemerintah memberikan perhatian besar dan serius terhadap beban utang tersebut. Oleh karena itu, kebijakan pengelolaan utang diarahkan agar diperoleh struktur portofolio utang pemerintah yang dapat meminimalkan beban utang pada tingkat resiko yang aman dan terkendali.

Dalam rangka menjaga fiscal sustainability, maka dilaksanakan kerangka kebijakan pengelolaan utang pemerintah sebagai berikut: 1. Dari sisi APBN:

a. Memperbesar primary balance surplus melalui berbagai upaya meningkatkan pendapatan negara dan penghematan belanja negara, sehingga surplus tersebut dapat digunakan untuk mengurangi pokok utang pemerintah.

b. Peningkatan pendapatan negara: menetapkan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan pajak (tax to GDP ratio) dan non pajak .

c. Penghematan belanja negara: memperbaiki sistem dan mekanisme anggaran agar terjadi efisiensi dan mengurangi secara bertahap berbagai bentuk subsidi dan pengeluaran yang kurang produktif .

2. Dari sisi pengelolaan Utang Dalam Negeri (Surat Utang Negara): a. Mengurangi jumlah obligasi rekap yang beredar dengan membeli kembali

(buyback) obligasi rekap dari hasil penjualan aset BPPN, hasil privatisasi BUMN, menukarkan obligasi dengan aset melalui program asset to bond swap, dan surplus APBN di masa depan.

b. Menyeimbangkan struktur jatuh tempo obligasi melalui berbagai teknik standar yang dilakukan di berbagai negara (best practice), seperti debt exchange offers dengan prinsip market friendly approach (voluntary), serta menerbitkan obligasi jangka panjang (refunding bonds) untuk membeli obligasi jangka pendek.

c. Mengembangkan pasar sekunder obligasi yang likuid dan yang memiliki basis investor yang besar dan beragam, sehingga dapat mengakomodir upaya optimalisasi sturktur portofolio utang pemerintah dan memungkinkan terserapnya refunding bonds di masa mendatang.

d. Memperkuat koordinasi dan kerja sama dengan otoritas moneter untuk mengupayakan agar tingkat bunga SBI menjadi lebih rendah, sehingga beban pembayaran bunga obligasi dapat menurun.

3. Dari sisi pengelolaan utang luar negeri: a. Melanjutkan kebijakan penarikan utang baru secara hati-hati.

Bab 11 : Pengelolaan Surat Utang Negara 346

b. Mengupayakan fasilitas Debt Swaps (Debt For Nature, Debt For Poverty, Debt For Trade, Debt For Investment).

c. Meningkatkan kapasitas pengelolaan utang dan pemanfaatan utang yang produktif dan efisien.

Pengelolaan Surat Utang Negara

Pengelolaan surat utang negara diselenggarakan oleh Menteri Keuangan yang meliputi sekurang-kurangnya: 1. Penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan surat utang negara termasuk

kebijakan pengendalian resiko; 2. Perencanaan dan penetapan struktur portofolio utang negara; 3. Penerbitan surat utang negara; 4. Penjualan surat utang negara melalui lelang dan/atau tanpa lelang; 5. Pembelian kembali surat utang negara sebelum jatuh tempo; 6. Pelunasan; 7. Aktivitas lain dalam rangka pengembangan Pasar Perdana dan Pasar Sekunder

Surat Utang Negara.

Dalam rangka mendukung penyelenggaraan pengelolaan surat utang negara tersebut, Menteri Keuangan membuka rekening yang merupakan bagian dari Rekening Kas Negara. Pembukaan rekening ini diperlukan baik untuk menampung hasil penjualan surat utang negara maupun menampung penyediaan dana bagi pembayaran bunga dan pokok surat utang negara. Tata cara pembukaan dan pengelolaan rekening mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perbendaharaan negara, sedangkan tata cara pembukaan rekening di Bank Indonesia mengikuti ketentuan Bank Indonesia.

Setiap surat utang negara mencantumkan sekurang-kurangnya:

1. Nilai nominal, 2. Tanggal jatuh tempo, 3. Tanggal pembayaran bunga, 4. Tingkat bunga (kupon), 5. Frekuensi pembayaran bunga, 6. Cara perhitungan pembayaran bunga, 7. Ketentuan tentang hak untuk membeli kembali surat utang negara sebelum jatuh

tempo, 8. Ketentuan tentang pengalihan kepemilikan.

Kegiatan penatausahaan yang mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen, serta agen pembayar bunga dan pokok surat utang negara dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Dalam menyelenggarakan kegiatan penatausahaan tersebut Bank Indonesia wajib membuat laporan pertanggungjawaban kepada Pemerintah melalui Menteri Keuangan.

Menteri Keuangan menunjuk Bank Indonesia sebagai agen untuk melaksanakan

lelang Surat Perbendaharaan Negara di Pasar Perdana dan dapat menunjuk Bank Indonesia sebagai agen untuk melaksanakan lelang Obligasi Negara di Pasar

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 347

Perdana. Lelang Obligasi Negara dilaksanakan oleh Bank Indonesia sampai pada saat Pemerintah dinilai telah siap serta mampu secara teknis untuk melaksanakan lelang bersama Bank Indonesia atau secara tersendiri. Ketentuan mengenai metode lelang, jadwal pelaksanaan lelang, kriteria peserta lelang, dan hasil akhir lelang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Menteri dapat menunjuk Bank Indonesia dan/atau pihak lain sebagai agen untuk

melaksanakan pembelian dan penjualan Surat Utang Negara di Pasar Sekunder. Pengaturan (regulasi) dan pengawasan (supervisi) terhadap kegiatan perdagangan surat utang negara dilakukan oleh instansi pemerintah yang melakukan pengaturan dan pengawasan di bidang pasar modal. Pengaturan dan pengawasan tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan pemodal dan para pelaku pasar surat utang negara. Kedua hal tersebut diperlukan agar kegiatan perdagangan surat utang negara dapat dilaksanakan secara efisien dan sehat. Pengaturan dilaksanakan melalui penerbitan berbagai ketentuan, antara lain, mengenai transparansi data dan informasi penerbitan serta mengenai tata cara perdagangan surat utang negara. Pengawasan merupakan upaya untuk memperoleh keyakinan akan ketaatan para pelaku pasar terhadap ketentuan yang berlaku. Strategi Manajemen Portofolio Surat Utang Negara

Sejalan dengan kebijakan pembiayaan anggaran tersebut, maka dalam kebijakan

pengelolaan surat utang negara ditempuh melalui strategi manajemen portofolio surat utang negara sebagai berikut: 1. Menurunkan refinancing risk di dalam periode 2004-2009; 2. Memperpanjang rata-rata jangka waktu jatuh tempo (average maturity) obligasi

negara; 3. Menyeimbangkan struktur jatuh tempo portofolio obligasi negara relatif terhadap

anggaran negara dan daya serap pasar; 4. Mengembangkan dan meningkatkan likuiditas pasar sekunder; 5. Menurunkan jumlah obligasi negara (obligasi rekap) dengan melakukan

pembelian kembali di pasar sekunder, dibiayai dari hasil penjualan tunai aset BPPN, asset –bond swap, privatisasi, dan dana SAL (atau surplus APBN). Dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan surat utang negara seperti dalam hal

program penerbitan baru, pembelian kembali (Buy Back), dan Debt Switching diarahkan untuk memenuhi hal-hal tersebut di atas dengan cara-cara yang market friendly, menggunakan mekanisme pasar dan memelihara market integrity. Pengelolaan surat utang negara dapat dilakukan secara efektif dan optimal apabila didukung oleh pasar surat utang negara yang aktif dan likuid. Oleh karena itu, upaya pengembangan infrastuktur pasar surat utang negara merupakan bagian penting yang terintegrasi di dalam strategi pengelolaan surat utang negara. Pada hakekatnya, pasar surat utang negara yang likuid dapat diberi peluang bagi pemerintah untuk meminimalkan biaya penerbitan dan mengelola resiko surat utang negara secara lebih optimal. Inisiatif untuk mengembangkan infrastuktur pasar surat utang negara yang likuid meliputi, antara lain: 1. Menyediakan harga acuan melalui pengembangan pasar antar pedagang surat

utang negara.

Bab 11 : Pengelolaan Surat Utang Negara 348

2. Membangun dan mengembangkan pasar repo (repurchase agreement), 3. Menerbitkan surat utang negara yang menjadi acuan, 4. Memperluas basis investor melalui kerjasama dengan pemodal institusional,

antara lain dana pensiun, reksadana dan perusahaan asuransi, 5. Meningkatkan efisiensi dan keandalan sistem kliring, settlement, dan registry, dan 6. Menciptakan kerangka hukum yang dapat mewujudkan pasar yang transparan

dan menjamin terlindungnya kepentingan pemodal (investor).

Strategi Pengendalian Resiko Surat Utang Negara

Dalam portofolio surat utang negara terkandung aspek biaya dan resiko. Aspek biaya merupakan bagian yang tak terelakan dalam kegiatan pembiayaan berupa penerbitan surat utang karena hal tersebut merupakan konsekuensi yang timbul dari hutang (cost of debt). Resiko-resiko yang dihadapi dalam pengelolaan surat utang negara, antara lain adalah: 1. Resiko tingkat bunga (interest rate risk), yaitu potensi penambahan beban bunga

akibat kenaikan suku bunga. 2. Resiko nilai tukar (currency risk), yaitu potensi penambahan beban bunga akibat

melemahnya nilai tukar Rupiah, dan 3. Resiko pembiayaan kembali (refinancing risk) yaitu, resiko yang dihadapi

Pemerintah untuk membiayai kewajiban pokok yang jatuh tempo dari hasil penerbitan baru dengan biaya yang mahal. Refinancing risk ini muncul sebagai akibat terkonsentrasinya struktur jatuh tempo surat utang negara dalam periode tertentu dan terbatasnya daya serap pasar dalam periode tersebut. Permasalahan utama yang dihadapi dalam pengelolaan surat utang negara saat

ini adalah refinancing risk sebagai akibat terlalu terkonsensentrasinya jatuh tempo surat utang negara dalam periode 2004–2009. Dengan demikan, kegiatan penerbitan (issuance), pembelian kembali (buyback), dan penukaran (switching), lebih ditujukan dalam kerangka untuk mengurangi refinancing risk. Selain itu, permasalahan beban bunga utang yang cukup besar di dalam APBN secara berangsur telah diupayakan untuk terus diturunkan seiring dengan semakin menurunnya tingkat bunga SBI sebagai hasil dari upaya kebijakan makro ekonomi Pemerintah bersama Bank Indonesia. Koordinasi antara otoritas fiskal dan moneter sangat diperlukan agar penerbitan surat utang negara dapat tepat waktu, sehingga resiko beban jangka pendek maupun jangka panjang yang timbul dapat dikelola secara optimal.

Organisasi Pengelolaan Surat Utang Negara

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan, dibentuk direktorat jenderal yang khusus menangani pengelolaan utang negara, yaitu Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang. Sebelumnya direktorat jenderal ini merupakan unit eselon dua yang berada di bawah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Pembentukan unit eselon satu ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk secara serius menangani utang negara yang semakin besar dan memperbaiki pengelolaan utang secara lebih profesional.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 349

Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) mempunyai tugas merumuskan

dan melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang pengelolaan utang sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam melaksanakan tugas tersebut, DJPU menyelenggarakan fungsi: 1. Penyiapan perumusan kebijakan Departemen Keuangan di bidang pengelolaan

utang; 2. Pelaksanaan kebijakan di bidang pengelolaan utang; 3. Penyusunan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang

pengelolaan utang; 4. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi; 5. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal.

Struktur organisasi Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang terdiri dari:

1. Sekretariat Direktorat Jenderal; 2. Direktorat Pinjaman dan Hibah Luar Negeri; 3. Direktorat Surat Berharga Negara; 4. Direktorat Portofolio dan Resiko Utang; 5. Direktorat Kebijakan Pembiayaan Syariah; 6. Direktorat Evaluasi, Akuntansi dan Setelmen.

Sekretariat Direktorat Jenderal mempunyai tugas memberikan pelayanan teknis

dan administratif kepada semua unsur di lingkungan Direktorat Jenderal. Dalam melaksanakan tugasnya, Sekretariat Direktorat Jenderal menyelenggarakan fungsi: 1. Koordinasi kegiatan Direktorat Jenderal; 2. Penyelenggaraan pengelolaan urusan organisasi dan ketatalaksanaan,

kepegawaian, dan keuangan, serta pembinaan Jabatan Fungsional pada Direktorat Jenderal;

3. Koordinasi penyusunan rencana kerja, rencana strategik, dan pelaporan akuntabilitas kinerja Direktorat Jenderal;

4. Koordinasi dan pemantauan tindaklanjut hasil pemeriksaan aparat pengawasan fungsional dan pengawasan masyarakat;

5. Pelaksanaan tata usaha, kearsipan dan dokumentasi Direktorat Jenderal; 6. Pelaksanaan urusan rumah tangga dan perlengkapan Direktorat Jenderal.

Direktorat Pinjaman dan Hibah Luar Negeri menyiapkan perumusan pelaksanaan kebijakan, standarisasi, dan bimbingan teknis pengelolaan pinjaman dan hibah luar negeri berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal. Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Pinjaman dan Hibah Luar Negeri menyelenggarakan fungsi: 1. Penyiapan bahan perumusan pelaksanaan kebijakan pinjaman dan hibah luar

negeri; 2. Penganalisaan kelayakan proyek-proyek yang akan dibiayai dari Pinjaman dan

Hibah Luar Negeri; 3. Pelaksanaan kegiatan negosiasi dan penyiapan dokumen, serta penatausahaan

perjanjian Pinjaman dan Hibah Luar Negeri; 4. Penyusunan naskah perjanjian pinjaman/hibah luar negeri;

Bab 11 : Pengelolaan Surat Utang Negara 350

5. Penyusunan standarisasi materi perjanjian dan peraturan perundang-undangan serta ketentuan pelaksanaan dalam pengelolaan pinjaman dan hibah luar negeri;

6. Pelaksanaan urusan tata usaha Direktorat.

Direktorat Surat Berharga Negara mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan portofolio, pengembangan pasar, analisis keuangan dan pasar, merumuskan dan menyiapkan peraturan, dan kebijakan operasional Surat Berharga Negara berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan Direktur Jenderal. Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Surat Berharga Negara menyelenggarakan fungsi: 1. Penyiapan pelaksanaan pengelolaan portofolio Surat Berharga Negara; 2. Pelaksanaan transaksi Surat Berharga Negara; 3. Pengembangan pasar perdana dan pasar sekunder Surat Berharga Negara; 4. Pelaksanaan koordinasi dengan instansi terkait dalam pelaksanaan transaksi dan

pengembangan pasar; 5. Pelaksanaan pelayanan publik, hubungan investor dan kreditor; 6. Pelaksanaan analisis keuangan dan pasar Surat Berharga Negara terkait

pelaksanaan transaksi; 7. Penyiapan peraturan dan pengembangan prosedur standar pengelolaan Surat

Berharga Negara; 8. Pelaksanaan urusan tata usaha Direktorat.

Direktorat Portofolio dan Resiko Utang mempunyai tugas mengkaji, merumuskan dan merekomendasikan strategi struktur portofolio utang dan pengendalian resiko yang optimal; melakukan evaluasi terhadap kepatuhan dalam melaksanakan kebijakan operasional; mengkaji dan mengembangkan instrumen utang yang dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN. Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Portofolio dan Resiko Utang menyelenggarakan fungsi: 1. Pengkajian dan perumusan pencapaian struktur portofolio utang yang optimal; 2. Pengidentifikasian dan pengukuran resiko portofolio utang; 3. Perumusan strategi meminimalkan exposure resiko; 4. Pengkajian dan pengembangan instrumen pembiayaan; 5. Penyusunan rekomendasi strategi pengelolaan portofolio utang dan resiko utang; 6. Pelaksanaan urusan tata usaha Direktorat.

Direktorat Kebijakan Pembiayaan Syariah mempunyai tugas melaksanakan perencanaan dan kebijakan portofolio serta melakukan pengembangan instrumen pembiayaan Syariah; melakukan analisis keuangan dan pasar keuangan Syariah; melakukan koordinasi dengan instansi terkait dan pihak-pihak di dalam maupun luar negeri dalam rangka pengembangan infrastruktur dan kebijakan Pembiayaan Syariah; melakukan pengkajian peraturan dan prosedur standar; dalam rangka kebijakan pembiayaan Syariah berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan Direktur Jenderal. Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Kebijakan Pembiayaan Syariah menyelenggarakan fungsi: 1. Perencanaan dan kebijakan pengelolaan portofolio instrumen pembiayaan

Syariah dalam rangka pengelolaan portofolio pembiayaan Syariah; 2. Pengembangan instrumen pembiayaan Syariah; 3. Pelaksanaan analisis keuangan dan pasar keuangan Syariah;

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 351

4. Pelaksanaan koordinasi dengan instansi yang terkait dengan pelaksanaan transaksi dan pengembangan instrumen serta pasar keuangan Syariah;

5. Pengkajian peraturan dan kebijakan operasional serta penyiapan dokumen terkait kebijakan pembiayaan Syariah;

6. Pelaksanaan kegiatan koordinasi dengan instansi terkait dan pihak-pihak di dalam maupun luar negeri dalam rangka pengembangan infrastruktur dan kebijakan Pembiayaan Syariah;

7. Pelaksanaan urusan tata usaha Direktorat.

Direktorat Evaluasi, Akuntansi dan Setelmen mempunyai tugas mengumpulkan dan menganalisis kinerja perkembangan pelaksanaan pinjaman dan hibah luar negeri; melakukan monitoring dan evaluasi terhadap cakupan pencairan pinjaman (disbursement ratio) dan efektifitas pinjaman dan hibah luar negeri (aid effectiveness); serta merekomendasikan action plan percepatan pelaksanaan pinjaman dan hibah luar negeri; melaksanakan verifikasi dan administrasi pinjaman dan hibah luar negeri; melaksanakan penyelesaian kewajiban atas pengelolaan portofolio utang; menyelenggarakan fungsi akuntansi, konsolidasi data, penyajian dan publikasi laporan utang, serta mengembangkan sistem informasi utang berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan Direktur Jenderal. Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Evaluasi, Akuntansi dan Setelmen menyelenggarakan fungsi: 1. Pelaksanaan monitoring pengelolaan pinjaman; 2. Pelaksanaan analisis kinerja perkembangan pelaksanaan pinjaman dan hibah

luar negeri; 3. Pelaksanaan evaluasi terhadap cakupan pencairan pinjaman (disbursement ratio)

dan efektifitas pinjaman dan hibah luar negeri (aid effectiveness); 4. Penyiapan rekomendasi action plan percepatan pelaksanaan pinjaman dan hibah

luar negeri; 5. Pelaksanaan verifikasi dan administrasi pinjaman dan hibah luar negeri; 6. Pelaksanaan penyelesaian kewajiban yang timbul dari pengelolaan portofolio

pinjaman dan Surat Berharga Negara; 7. Pelaksanaan pengendalian internal atas input dan output dalam pengelolaan

portofolio utang; 8. Penyelenggaraan fungsi akuntansi dan konsolidasi data meliputi penyiapan data

utang, verifikasi data utang, pencatatan basis data utang dan penyajian laporan utang serta publikasi laporan utang;

9. Pelaksanaan diseminasi laporan utang dan melaksanakan koordinasi dengan pihak terkait dalam rangka penerapan standar akuntansi utang;

10. Pengembangan sistem informasi dalam rangka pengelolaan utang; 11. Pelaksanaan urusan tata usaha Direktorat. Faktor-faktor Penting dalam Pengelolaan Surat Utang Negara

Pada dasarnya, faktor-faktor dominan yang sangat berpengaruh dalam pengelolaan surat utang negara atau obligasi pemerintah paling tidak dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor mikro dan faktor makro.

Bab 11 : Pengelolaan Surat Utang Negara 352

Faktor mikro mencakup tiga hal, yaitu: 1. Institutional framework, terutama mencakup kapasitas kelembagaan untuk

melaksanakan manajemen utang secara profesional, termasuk sumber daya manusia, sistem dan prosedur operasi, serta strategi dan kebijakan manajemen utang yang tepat.

2. Market infrastructure, seperti penyelenggaraan kegiatan kliring dan settlement, lembaga pencipta pasar (market makers), lembaga pemeringkat uang (credit rating agencies), asosiasi pelaku pasar (brokers-dealers association), pasar repo, dan sebagainya yang diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar obligasi aktif dan likuid;

3. Regulatory framework yaitu peraturan dan ketentuan yang menjadi pedoman penyelenggaraan pengelolaan obligasi. Regulatory framework harus ada agar penerbitan maupun perdagangan di pasar obligasi dapat dilakukan secara efisien, transparan dan aman.

Adapun faktor makro tercermin dari perkembangan indikator makroekonomi

seperti tingkat inflasi, nilai tukar rupiah, dan suku bunga pasar (SBI) yang sangat mempengaruhi besarnya beban utang maupun eksposur berbagai resiko misalnya resiko pasar, resiko nilai tukar, resiko suku bunga dalam portofolio surat utang negara.

Dalam UU no 24 tahun 2002 tentang SUN terdapat sejumlah ketentuan tentang

pokok-pokok pengelolaan Surat Utang Negara dan ketentuan tentang perlunya konsultasi antara Pemerintah dengan Bank Indonesia pada saat perencanaan penerbitan surat utang negara yang dimaksudkan agar dampak faktor mikro maupun makro terhadap pengelolaan portofolio surat utang negara dapat dikendalikan dengan baik.

Penerbitan dan Penjualan Surat Utang Negara 2 Kewenangan dan Kewajiban

Kewenangan menerbitkan surat utang negara dengan tujuan untuk membiayai defisit APBN, untuk menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian

2 Diolah dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 dan Bahan Ajar Pengelolaan Surat Utang Negara oleh Dungtji Munawar.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 353

antara arus kas penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam satu tahun anggaran, dan untuk mengelola portofolio utang negara berada di tangan pemerintah. Namun demikian, sebelum menerbitkan surat utang negara, pemerintah terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bank Indonesia. Konsultasi ini dimaksudkan untuk mengevaluasi implikasi moneter dari penerbitan surat utang negara agar selaras antara kebijakan fiskal, termasuk manajemen utang, dengan kebijakan moneter. Pendapatan Bank Indonesia tersebut menjadi masukan di dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah agar penerbitan surat utang negara tersebut dapat dilakukan tepat waktu dan dilakukan dengan persyaratan yang dapat diterima pasar serta menguntungkan pemerintah.

Penerbitan surat utang negara harus terlebih dahulu mendapat persetujuan

Dewan Perwakilan Rakyat yang mencakup persetujuan atas pembayaran semua kewajiban bunga dan pokok yang timbul sebagai akibat penerbitan surat utang negara dimaksud. Persetujuan tersebut diberikan atas nilai bersih maksimal surat utang negara yang akan diterbitkan dalam satu tahun anggaran. Nilai bersih adalah tambahan atas jumlah surat utang negara yang beredar. Jumlah ini merupakan selisih antara jumlah surat utang negara yang diterbitkan dengan yang ditarik kembali sebelum jatuh tempo dan dilunasi selama satu tahun anggaran. Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat diberikan pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Persetujuan tersebut didahului dengan mengajukan rencana penerbitan dan pelunasan dan/atau pembelian kembali yang disampaikan bersamaan dengan penyampaian Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Dalam hal-hal tertentu, Menteri Keuangan dapat menerbitkan surat utang negara

melebihi nilai bersih maksimal yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat setelah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat dan dilaporkan sebagai Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan hal-hal tertentu adalah mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Penerbitan Surat Perbendaharaan Negara dalam rangka menutup kekurangan

kas jangka pendek menjelang akhir tahun anggaran yang tidak dapat diantisipasi sebelumnya sehingga jumlah nilai bersih maksimal yang telah disetujui terlampaui.

2. Penerbitan Obligasi Negara dalam rangka pengelolaan portofolio Surat Negara adakalanya dilakukan menjelang akhir tahun anggaran karena pertimbangan kondisi dan perkembangan pasar surat utang, sedangkan realisasi pembelian kembali (buyback) baru dilakukan pada tahun berikutnya (carry over) sehingga jumlah nilai bersih maksimal yang disetujui terlampaui. Pemerintah wajib membayar bunga dan pokok setiap surat utang negara pada

saat jatuh tempo. Dana untuk membayar bunga dan pokok tersebut disediakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut. Semua kewajiban bunga dan pokok yang timbul akibat penerbitan surat utang negara dialokasikan dalam APBN setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut. Perkiraan dana yang perlu dialokasikan untuk pembayaran kewajiban untuk satu tahun anggaran disampaikan kepada

Bab 11 : Pengelolaan Surat Utang Negara 354

Dewan Perwakilan Rakyat untuk diperhitungkan dalam APBN tahun yang bersangkutan. Pada saat jatuh tempo, pembayaran kewajiban bunga dan pokok dapat melebihi perkiraan anggaran disebabkan oleh perbedaan perkiraan kurs (nilai tukar), tingkat bunga, dan tingkat inflasi. Dalam hal pembayaran kewajiban bunga dan pokok dimaksud melebihi perkiraan dana, Menteri Keuangan melakukan pembayaran dan menyampaikan realisasi pembayaran tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembahasan Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Dalam rangka penerbitan surat utang negara tentu pemerintah perlu menetapkan

strategi dengan berbagai pertimbangan termasuk juga menyangkut mengenai pilihan debt characteristic, seperti term to maturity, jenis tingkat bunga, embedded option, currency denomination, tempat penjualan (dalam negeri/internasional), dan sebagainya. Pertimbangan atas pilihan tentang debt characteristics didasarkan pada tiga pertimbangan yaitu: § Kebutuhan fiskal, § Pengembangan pasar sekunder di dalam negeri, dan § Kebutuhan pengelolaan portofolio. Pelaksanaan Penerbitan dan Penjualan SUN

Menteri Keuangan menerbitkan surat utang negara melalui pelelangan atau metode lain seperti penempatan langsung (private placement). Dengan demikian metode penerbitan surat utang negara terdiri dari: 1. Bookbuilding 2. Pelelangan (auction):

a. Pricing methods : uniform price vs multiple price b. Bidders : competitive vs non competitive

3. Private placement Contohnya: obligasi rekapitulasi telah diterbitkan dengan cara penempatan langsung (private placement) pada bank yang direkapitulasi. Sehubungan dengan itu, tidak ada lelang di pasar perdana untuk obligasi ini.

Adapun pelaksanaan dan tempat dimana transaksi perdagangan surat utang

negara diselenggarakan dapat dijelaskan melalui bagan di bawah ini:

Gambar 28: Pelaksanaan dan tempat transaksi perdagangan SUN

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 355

Catatan: Pada umumnya, perdagangan obligasi terjadi melalui OTC (Over The Counter). Transaksi OTC dilakukan secara langsung antara pihak-pihak berkepentingan (issuers, intermediaries, investors) melalui telepon, media elektronik (bloomberg), broker, dan sebagainya. Mekanisme Pembelian Obligasi Negara

Mekanisme pembelian obligasi negara dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 29: Mekanisme pembelian obligasi negara

Pasar Primer adalah kegiatan penawaran dan penjualan obligasi untuk pertama kali

Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan obligasi yang telah dijual di pasar primer

BURSA Di luar bursa

Over The Counter (OTC)

Metode Penerbitan: • Public offering melalui

auction (lelang) • Underwriting • Sindikasi • Private Placement

Penjual Pembeli

Bank (Rekening Kas Pembeli)

Sub-Registry (rekening Obligasi Pembeli)

Langkah 1 Langkah 2

Langkah 3

Langkah 4 A

Langkah 4 B

Bab 11 : Pengelolaan Surat Utang Negara 356

Keterangan cara pembelian obligasi Langkah 1 : Buku rekening kas pada bank untuk menerima pembayaran kupon

dan pelunasan pokok. Langkah 2 : Buku rekening surat berharga pada lembaga keuangan yang

terdaftar sebagai sub-registry Bank Indonesia, untuk mencatat kepemilikan atas obligasi negara.

Langkah 3 : Negosiasi harga antara penjual dan pembeli. Langkah 4A : Penjual memerintahkan Bank Indonesia untuk memindahkan

obligasi dari rekening penjual ke rekening pembeli. Langkah 4B : Pembeli memerintahkan Bank untuk membayar pembelian obligasi

ke rekening penjual di Bank Indonesia. Langkah 4C : Bank Indonesia memberitahukan pembeli melalui sub-registry-nya

tentang status kepemilikannya atas obligasi pemerintah. Adapun sub-registry yang ditunjuk oleh Bank Indonesia adalah: 1. Bank Niaga 2. Deutsche Bank 3. Citibank 4. ABN Amro 5. Bank Internasional Indonesia 6. Bank Negara Indonesia 7. Bank Mandiri 8. The Hongkong and Shanghai Banking Corp. Limited 9. Bank Central Asia 10. Bank Rakyat Indonesia

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 357

Akuntabilitas dan Transparansi

Menteri Keuangan wajib menyelenggarakan penatausahaan dan membuat

pertanggungjawaban atas pengelolaan surat utang negara dan dana yang dikelola. Penatausahaan mencakup kegiatan administrasi dan pembukuan (akuntansi) semua transaksi yang berkaitan dengan pengelolaan surat utang negara. Sedangkan pertanggungjawaban disampaikan sebagai bagian dari pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Oleh karena itu, secara berkala Menteri Keuangan wajib mempublikasikan informasi tentang: 1. Kebijakan pengelolaan utang dan rencana penerbitan surat utang negara yang

meliputi perkiraan jumlah dan jadwal waktu penerbitan; 2. Jumlah surat utang negara yang beredar beserta komposisinya, termasuk jenis

valuta, struktur jatuh tempo dan tingkat bunga. Aktivitas pasar surat utang negara dapat ditingkatkan bilamana informasi tentang

rencana dan realisasi penerbitan yang meliputi, antara lain, informasi tentang jadwal penerbitan, jatuh tempo, dan volume surat utang negara, diumumkan secara luas dengan jadwal yang teratur. Program tersebut khususnya dilakukan dalam rangka penerbitan surat utang negara yang dimaksudkan untuk pembentukan tolok ukur harga aset keuangan. Adanya hal tersebut akan memberikan kesempatan kepada para pemodal untuk menyusun strategi penawaran (bidding), menentukan jumlah persediaan surat utang negara dalam portofolio, dan merencanakan penjualan/pelepasan surat utang negara yang saat ini berada dalam portofolio mereka. Bilamana pelaku pasar sudah mengetahui jadwal penerbitan dimaksud, gangguan potensial yang terjadi di pasar dapat dihindari.

Strategi Pengelolaan Utang Negara Tahun 2005-2009 3 Latar Belakang

Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) senantiasa diarahkan untuk menjaga dan mempertahankan stabilitas ekonomi makro serta

3 Diolah dari Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 447/KMK.06/2005

Bab 11 : Pengelolaan Surat Utang Negara 358

sekaligus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Sampai saat ini, utang masih merupakan sumber utama pembiayaan APBN untuk menutup defisit maupun untuk pembayaran kembali pokok utang yang telah jatuh tempo (refinancing). Jumlah utang negara saat ini sebesar lebih kurang Rp1.282 triliun (per Maret 2005) atau 52% dari PDB per Maret 2005. Pada masa yang lalu, peranan pinjaman luar negeri, baik yang bersifat lunak maupun semi komersial, merupakan sumber pembiayaan APBN yang sangat dominan. Dalam perkembangan selanjutnya sejak tahun 1999, selain pinjaman luar negeri yang masih diperlukan mengingat pinjamannya lunak dan berbunga tetap, instrumen fiskal yang utama lainnya adalah Surat Utang Negara (SUN), yang juga merupakan instrumen pasar keuangan, yaitu pasar uang dan pasar modal. Komposisi utang negara berdasarkan sumber dan jenis sumber pinjaman menunjukan bahwa komposisi utang negara per tanggal 31 Maret 2005 sebesar 51% bersumber dari utang domestik dan 49% dari utang luar negeri. Sementara itu, diketahui bahwa persentase SUN telah melampaui pinjaman bilateral/multilateral yaitu sebesar 52% dan pinjaman bilateral/multilateral sebesar 48%.

Ditinjau dari besaran jumlah utang sebesar Rp1.282 triliun (52% PDB) serta

komposisi mata uang domestik dan valuta asing (50%:50%) berdasarkan sumber dan jenis instrumen di atas, maka dapat disimpulkan bahwa portofolio utang negara sangat rentan terhadap berbagai resiko, yaitu tambahan beban/biaya utang dalam APBN secara signifikan, baik berupa resiko pembiayaan kembali (refinancing risk) akibat struktur jatuh tempo yang tidak seimbang maupun resiko pasar akibat perubahan suku bunga dan nilai tukar. Resiko-resiko tersebut secara terus-menerus harus dikelola dengan sebaik-baiknya agar krisis fiskal dapat dihindari, dengan menerapkan praktek-praktek pengelolaan utang negara terbaik sesuai standar yang berlaku secara internasional. Tujuan Pengelolaan Utang

Secara umum tujuan pengelolaan utang negara dalam jangka panjang adalah

meminimalkan biaya utang pada tingkat resiko yang terkendali. Secara terinci, tujuan pengelolaan utang adalah: 1. Menjamin terpenuhinya financing gap dan ketahanan fiskal yang

berkesinambungan (fiscal sustainability) yang sesuai dengan kondisi ekonomi makro, serta biaya terendah.

2. Meningkatkan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan utang terutama untuk meminimalkan resiko, baik resiko pasar maupun resiko refinancing.

3. Mengembangkan upaya-upaya agar pinjaman yang sudah direncanakan dapat dilaksanakan sesuai jadwal dan perkiraan biaya. Tercapainya tujuan tersebut akan secara langsung mendukung pelaksanaan

kebijakan untuk meningkatkan ketahanan fiskal yang berkesinambungan serta kemampuan fiskal untuk memenuhi kewajiban utang yang jatuh tempo (debt sustainability). Selain hal tersebut di atas, khususnya yang terkait dengan SUN, pengelolaan SUN juga dilaksanakan dalam berbagai bentuk kegiatan yang dapat mendukung pengembangan pasar SUN untuk menciptakan pasar perdana yang efisien maupun pasar sekunder yang aktif dan likuid.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 359

Tujuan Penyusunan Strategi Pengelolaan Utang Negara

Penyusunan strategi pengelolaan utang negara bertujuan: (a) untuk memenuhi

amanat ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara, (b) untuk memberikan keyakinan kepada semua pihak yang berkepentingan dengan penyelenggaraan pengelolaan keuangan negara, misalnya DPR, lembaga/negara donor, pelaku pasar/investor, masyarakat umum, bahwa utang negara dikelola secara baik dan bertanggung-jawab melalui suatu proses pengelolaan yang transparan dan akuntabel, (c) untuk memberikan pedoman umum kepada setiap unit/lembaga yang terkait dengan pengelolaan utang negara, agar kebijakan yang ditempuh dapat merefleksikan bentuk kebijakan utang yang terpadu dan komprehensif, sehingga dapat mewujudkan keselarasan dan keharmonisan dalam pengelolaan utang negara, (d) untuk memfasilitasi penyusunan indikator pengukuran kinerja utama (key performace indicators) oleh unit-unit penyelenggara pengelolaan utang. Ruang Lingkup Strategi Pengelolaan Utang Negara

Strategi pengelolaan utang negara ini hanya mencakup strategi pengelolaan atas

utang negara yang langsung membebani APBN, yaitu pinjaman luar negeri bilateral/multilateral yang dikelola oleh Direktorat Pengelolaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (DPPHLN), Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan SUN yang dikelola oleh Direktorat Pengelolaan Surat Utang Negara (DPSUN), Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Departemen Keuangan. Strategi pengelolaan utang negara ini merupakan strategi jangka menengah yang meliputi periode tahun 2005-2009 dan strategi ini akan dievaluasi minimal sekali dalam setahun agar sesuai dengan perkembangan lingkungan dan kondisi pasar keuangan. Lingkungan Pengelolaan Utang Negara

Lingkungan pengelolaan utang negara merupakan kondisi yang dihadapi

pengelolaan utang negara di Indonesia. Kebijakan Utang Negara

Pedoman umum kebijakan utang negara yang berlaku saat ini berdasarkan pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 12 ayat 3 beserta penjelasannya dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit APBN dan APBD serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah usat dan Pemerintah Daerah yang mengatur bahwa: 1. Jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD dibatasi tidak melebihi 3% (tiga persen)

dari PDB tahun bersangkutan. 2. Jumlah kumulatif pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dibatasi

tidak melebihi 60% (enam puluh persen) dari PDB tahun bersangkutan.

Bab 11 : Pengelolaan Surat Utang Negara 360

Dalam jangka menengah, pedoman umum pengelolaan utang negara mengacu

pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004-2009 yang antara lain menyebutkan bahwa peningkatan pengelolaan pinjaman luar negeri Pemerintah diarahkan untuk menurunkan stok pinjaman luar negeri tidak saja secara relatif terhadap PDB tetapi juga secara absolut. Sementara itu, untuk pinjaman dalam negeri, diupayakan tetap adanya ruang gerak yang cukup pada sektor swasta melalui penarikan pinjaman neto kurang dari 1% (satu persen) PDB dan menurun secara bertahap. Dengan demikian, rasio stok pinjaman terhadap PDB diperkirakan menurun secara bertahap menjadi lebih rendah dari 40% (empat puluh persen) PDB pada tahun 2009.

Dalam jangka pendek kebijakan utang mengacu pada Rencana Kerja Pemerintah

(RKP) dan APBN 2005 dengan sasaran pencapaian konsolidasi fiskal dan penurunan lebih lanjut rasio utang negara terhadap PDB hingga di bawah 60% (enam puluh persen) yang dilakukan dengan: 1. Mempertahankan stabilitas ekonomi makro; 2. Mendorong pertumbuhan ekonomi yang memadai; 3. Melakukan restrukturisasi dan reprofilling utang untuk mengurangi resiko

pembiayaan kembali; 4. Melanjutkan konsolidasi fiskal; 5. Mendukung pengembangan pasar SUN. Perangkat Peraturan Pendukung

Penetapan peraturan pendukung pengelolaan utang negara dilakukan secara

terpisah antara SUN dan utang dalam bentuk pinjaman dan hibah luar negeri. Kegiatan pengelolaan SUN diatur dengan berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara sedangkan kegiatan pengelolaan pinjaman dan hibah luar negeri diatur dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua BAPPENAS Nomor 185/KMK.03/1995 dan Nomor KEP 031/KET/5/1995 tentang Tata Cara Perencanaan, Pelaksanaan, Penatausahaan, dan Pemantauan Pinjaman/Hibah Luar Negeri Dalam Rangka Pelaksanaan APBN sebagaimana diubah dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua BAPPENAS Nomor 459/KMK.03/1999 dan Nomor KEP 264/KET/09/1999. Di masa yang akan datang, pengelolaan utang negara memerlukan suatu landasan hukum berupa Undang-Undang yang komprehensif yang mencakup pengelolaan kedua jenis instrumen utang. Likuiditas Pasar Surat Utang Negara yang Belum Optimal

Kondisi pasar sekunder SUN yang aktif dan likuid merupakan kunci keberhasilan

pengelolaan utang secara efisien. Namun demikian, permasalahan sampai saat ini adalah masih rendahnya efisiensi dan likuiditas pasar sekunder SUN, karena selain basis investor yang belum luas, juga karena belum berkembangnya infrastruktur

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 361

pasar, misalnya, repo, forward, swap, futures, options, securities lending and borrowing, market intermediaries, serta transparansi informasi untuk pembentukan harga. Akibatnya, daya serap pasar obligasi domestik untuk mendukung program penerbitan SUN guna membiayai seluruh kebutuhan pembiayaan APBN, masih sangat terbatas. Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya crowding-out di pasar domestik, maka sumber pembiayaan seperti penerbitan SUN dalam valuta asing di pasar internasional dan pinjaman dari kreditor, baik bilateral maupun multilateral, masih sangat diperlukan. Alternatif Instrumen dan Fasilitas Pembiayaan Bagi Pemerintah

Pemerintah memiliki beberapa pilihan instrumen dan fasilitas dalam pengelolaan

utang negara, yaitu antara lain: 1. Pemerintah telah dapat menerbitkan SUN sampai dengan jangka waktu 15 tahun

di pasar domestik. Pemerintah memiliki fleksibilitas untuk menerbitkan SUN dalam rentang waktu jangka pendek sampai jangka panjang, tetapi dengan tingkat volume penerbitan yang bervariasi dan tergantung daya serap pasar serta kebutuhan untuk pengelolaan portofolio utang. Jatuh tempo ON yang diterbitkan dipertahankan pada rata-rata jatuh tempo portofolio SUN di atas 5 tahun sampai dengan 2009 mengingat masih relatif tingginya eksposur (exposure) resiko pembiayaan kembali sampai dengan 4 tahun mendatang (tahun 2009).

2. Penerbitan SUN dalam valuta asing telah dilakukan untuk tenor 10 tahun dalam mata uang US dollar. Penerbitan SUN dalam valuta asing dapat dilakukan, terutama untuk refinancing kewajiban dalam valuta asing yang jatuh tempo sekaligus untuk memperkuat cadangan devisa dan menghindari crowding-out pasar obligasi dalam negeri.

3. Pemerintah dapat menerbitkan SUN berjangka waktu sampai dengan 12 bulan atau Surat Perbendaharaan Negara (SPN) pada saat terjadi kebutuhan kas jangka pendek yang sangat mendesak (cash mismatch). Namun, mengingat tambahan SPN secara signifikan akan berdampak pada peningkatan resiko pembiayaan kembali, terutama dalam periode 2006 – 2009, yaitu memperpendek rata-rata jatuh tempo dari portofolio SUN, maka jumlah SPN yang dapat diterbitkan perlu diperhitungkan sedemikian rupa, sehingga secara kumulatif rasio SUN dengan sisa jatuh tempo sampai dengan 1 tahun (termasuk SPN) terhadap total outstanding SUN pada tahun 2010 sebesar maksimal 8%.

4. Tersedianya tawaran resmi pinjaman luar negeri dalam bentuk pinjaman lunak dengan tingkat bunga 0,75% – 3,5% per tahun dengan waktu jatuh tempo antara 30 - 40 tahun dan pinjaman semi komersial (yang dijamin pemerintah negara pemberi pinjaman) dengan pilihan tingkat bunga tetap atau LIBOR.

5. Penarikan pinjaman luar negeri diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Penarikan pinjaman diprioritaskan untuk pinjaman yang bersifat lunak, terutama pinjaman yang dipergunakan untuk membiayai proyek-proyek pengentasan kemiskinan, karena jangka waktunya panjang dan bunganya relatif murah.

Adanya Kesempatan untuk Meningkatkan Efisiensi

Bab 11 : Pengelolaan Surat Utang Negara 362

1. Pengurangan biaya pinjaman luar negeri juga dilakukan melalui peningkatan

kualitas persiapan proyek sebelum pinjaman dilakukan. Strategi ini diarahkan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pinjaman luar negeri sebagai sumber pembiayaan proyek agar sasaran sebagaimana tercantum dalam RPJM dapat tercapai. Oleh karena itu, dalam strategi pengurangan biaya pinjaman luar negeri, faktor objektivitas dalam menentukan prioritas suatu proyek, menjadi sangat penting. Selain itu, strategi ini dilakukan untuk mengurangi biaya pinjaman tambahan yang harus dibayar akibat proyek yang belum siap. Upaya peningkatan penyerapan dana proyek (loan disbursement ratio) dapat mengurangi biaya pinjaman luar negeri karena berkurangnya jumlah commitment fee yang harus dibayar oleh Pemerintah. Pengurangan biaya pinjaman luar negeri juga dilakukan dengan mengupayakan ketentuan dan persyaratan (terms and conditions) yang meringankan APBN dan menguntungkan negara.

2. Fasilitas untuk melakukan transaksi currency swap portofolio pinjaman luar negeri ke mata uang lain (hard currency) dan interest rate swap tersedia untuk pinjaman yang diperoleh dari berbagai kreditor. Fasilitas currency swap tersedia pada pinjaman baru dan pinjaman yang sudah ada jika Pemerintah ingin memanfaatkannya. Untuk pelaksanaan transaksi swap pinjaman luar negeri ke dalam mata uang Rupiah dapat dilakukan untuk pinjaman yang baru, tetapi fasilitas ini tersedia dalam volume yang relatif kecil untuk pinjaman yang sudah ada.

3. Fasilitas debt swap dari kreditor tersedia dalam volume yang terbatas dalam

bentuk, antara lain debt to nature swap, debt to education swap, dan debt to debt swap.

4. Meningkatkan koordinasi pengelolaan utang luar negeri, terutama pinjaman proyek, karena melibatkan hampir seluruh Departemen dan Lembaga untuk menghindari pinjaman yang tidak tepat sasaran. Perlunya sinkronisasi antara proyek yang akan dibiayai dengan pinjaman luar negeri disesuaikan dengan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan dalam RPJM. Ketidaksiapan proyek yang mengakibatkan penyerapan rendah seharusnya dapat dihindarkan dengan adanya koordinasi yang baik sehingga pinjaman menjadi efektif.

5. Menegosiasikan dengan pihak pemberi pinjaman tentang syarat-syarat yang

ditetapkan dalam perjanjian pinjaman yang memberatkan dalam pencairan atau penyerapan dana serta berbagai kewajiban-kewajiban yang membebani Pemerintah Indonesia.

6. Meninjau kembali hibah-hibah (grants) yang tidak prioritas. Resiko Utama Portofolio Utang Negara

Portofolio utang negara saat ini mengandung beberapa resiko utama yang harus

dikelola secara hati-hati, yaitu:

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 363

Resiko Kesinambungan Fiskal

Nilai utang negara langsung yang beredar saat ini adalah sebesar Rp1.282 triliun per 31 Maret 2005 atau 52% dari nilai PDB tahun anggaran 2005 (belum termasuk utang lainnya di luar utang negara langsung), yang membutuhkan pembiayaan besar dari APBN. Utang yang besar berpotensi membahayakan kesinambungan anggaran Pemerintah. Untuk itu, dalam dokumen ini dirumuskan strategi yang konsisten dan terarah pada pencapaian sasaran yang jelas seperti dalam bentuk pencapaian target yang realistis atas indikator beban utang, misalnya debt to export ratio, debt to service ratio, dan ratio of short term debt to reserve. Resiko Nilai Tukar

Semua pinjaman luar negeri Pemerintah dan sebagian (kecil) SUN dalam mata

uang asing, porsinya lebih kurang mencapai setengah dari nilai utang negara. Apabila terjadi penurunan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing tersebut, akan dapat mengakibatkan tambahan beban pembayaran pokok utang dan bunga. Komposisi utang berdasarkan mata uang disajikan dalam grafik berikut ini.

Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa utang negara dalam valuta asing didominasi oleh beberapa jenis mata uang kuat dunia (hard currencies), yang dapat meningkatkan resiko terjadinya fluktuasi nilai tukar terhadap Rupiah.

Resiko Perubahan Tingkat Bunga

Hampir sepertiga dari total utang negara merupakan utang dengan bunga mengambang (variable rate), sehingga apabila terjadi kenaikan tingkat bunga pasar, akan mengakibatkan kenaikan pada nilai kewajiban pembayaran bunga dari

Bab 11 : Pengelolaan Surat Utang Negara 364

anggaran pemerintah. Komposisi utang negara berdasarkan jenis kupon dapat dilihat pada grafik berikut ini:

Resiko akibat perubahan tingkat bunga dapat terjadi apabila Pemerintah menerbitkan SUN pada saat kondisi pasar sedang memburuk (bearish), yang antara lain ditandai oleh kenaikan suku bunga secara tajam sehingga biaya utang (yield) menjadi lebih tinggi. Hal tersebut mengingat sebagian (32%) portofolio utang adalah SUN (FR dan VR) yang dapat diperdagangkan (tradable bonds). Komposisi Utang Negara berdasarkan tradability dapat dilihat pada grafik berikut ini.

Resiko Pembiayaan Kembali

Selama periode lima tahun mendatang, volume utang negara yang jatuh tempo

dan harus dilunasi pokoknya setiap tahun cukup besar. Pelunasan pinjaman luar negeri dan SUN yang jatuh tempo dengan volume yang cukup besar tersebut dapat mengakibatkan timbulnya resiko berupa lebih tinggi/mahalnya biaya dari peminjaman

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 365

baru, baik dengan pinjaman luar negeri maupun dengan penerbitan SUN sebagaimana umumnya dilakukan.

Dari grafik kiri atas dapat diketahui bahwa dana yang dibutuhkan untuk membayar kembali pokok dan bunga utang negara dalam periode waktu 2005 – 2009 relatif sangat besar. Grafik kanan atas memberikan rincian proyeksi jumlah pokok utang negara yang harus dibayar Pemerintah dalam periode waktu 2005 – 2009, dengan jumlah yang sangat signifikan. Resiko Operasional

Pencapaian sasaran pengelolaan utang memiliki resiko kegagalan jika operasional pengelolaan utang sehari-hari tidak dikelola dengan baik, baik dari sisi sumber daya manusia maupun dari sisi kelembagaannya, antara lain, berupa kelengkapan prosedur operasi baku (standard operating procedures), sistem pengelolaan resiko, sistem informasi manajemen, mengingat bidang pengelolaan utang membutuhkan standar kinerja operasi yang tinggi. Strategi Umum Pengelolaan Utang Negara

Dalam rangka pencapaian tujuan jangka panjang pengelolaan utang negara untuk meminimalkan biaya utang pada tingkat resiko yang terkendali, secara umum strategi yang ditempuh oleh pemerintah dalam jangka menengah periode tahun 2005-2009 adalah sebagai berikut:

1. Pengelolaan portofolio dan resiko, antara lain:

a. Pengurangan Utang Negara. Untuk mengurangi resiko kesinambungan fiskal, diperlukan upaya untuk mengurangi stok utang yang jatuh tempo 2005-2009. Upaya pengurangan stok SUN baik melalui pembelian tunai (cash buyback) maupun penukaran (debt switching) dilakukan secara bertahap dan terencana yang disesuaikan dengan kondisi keuangan negara dan memperhatikan kondisi obyektif pasar SUN. Apabila kondisi keuangan memungkinkan, pelunasan utang negara

Bab 11 : Pengelolaan Surat Utang Negara 366

sebelum jatuh tempo diprioritaskan untuk utang yang dapat meningkatkan eksposur terhadap resiko dalam portofolio utang negara. Pemanfaatan fasilitas debt swap yang tersedia khususnya untuk pinjaman luar negeri dapat mengurangi nilai stok utang negara. Penggunaan debt swap harus memperhatikan faktor pengurangan resiko dan biaya serta kondisi keuangan Pemerintah.

b. Penyederhanaan Portofolio Utang Negara.

Untuk mempermudah pengelolaan resiko, maka pengelolaan utang secara komprehensif dilakukan untuk menyederhanakan keragaman jenis-jenis instrumen utang dalam struktur portofolio utang negara, sehingga pengelolaan dapat dilakukan secara lebih efisien.

c. Penerbitan/Pengadaan Utang Negara dalam Mata Uang Rupiah.

Untuk mengurangi resiko terhadap fluktuasi nilai tukar, yaitu tambahan beban anggaran Pemerintah jika terjadi pelemahan mata uang rupiah, penerbitan utang negara baru diprioritaskan dalam mata uang Rupiah dan diupayakan pengurangan pinjaman dalam mata uang asing secara bertahap dan terencana. Selain itu akan dipertimbangkan pula penggunaan instrumen lindung nilai yang tersedia di pasar, misalnya currency swap.

d. Minimalisasi Resiko Pembiayaan Kembali. 1) Dalam rangka pengelolaan resiko refinancing pada periode 2006-2009,

penerbitan SUN diprioritaskan untuk Obligasi Negara jangka menengah–panjang agar dapat mempertahankan rata-rata durasi portofolio SUN sebesar 4 tahun.

2) Penerbitan SPN disesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 4 huruf b dan penjelasannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang SUN, yaitu untuk menutup kebutuhan kas jangka pendek (cash mismatch) dan tidak untuk menutup defisit maupun refinancing Obligasi Negara yang jatuh tempo.

3) Pelaksanaan program pembelian kembali (buyback) SUN diarahkan untuk membeli kembali SUN secara tunai (cash buyback) maupun melalui penukaran (debt switching), terhadap SUN yang jatuh tempo dalam periode 2006-2009. Buyback selain untuk mengurangi resiko pembiayaan kembali dalam periode tersebut juga dimaksudkan untuk menjaga stabilitas harga pasar SUN pada saat mengalami bearish. Pelaksanaan buyback/debt switching dapat juga sekaligus dilakukan dalam rangka meningkatkan likuiditas pasar dengan menarik seri SUN yang tidak likuid (off-the-run bonds) dan menggantikannya dengan SUN yang likuid (benchmark issues).

4) Untuk mengurangi resiko pembiayaan kembali dalam portofolio pinjaman luar negeri, upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan fasilitas penjadwalan utang yang disediakan oleh kreditor untuk pinjaman lunak dan semi komersial dengan tetap memperhatikan faktor resiko dan penghematan biaya utang negara.

e. Peningkatan Porsi Utang Negara dengan Bunga Tetap.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 367

Diupayakan untuk memperoleh utang negara baru dengan bunga tetap, guna menghindari beban tambahan yang harus dibayar oleh Pemerintah, yang dapat terjadi akibat kenaikan tingkat bunga di pasar apabila utang berbunga mengambang yang diperoleh. Jumlah SUN berbunga tetap dan SUN berbunga mengambang diupayakan dalam proporsi yang seimbang (50%:50%). Penambahan jumlah SUN berbunga mengambang dapat dilakukan melalui penerbitan maupun pertukaran. Strategi ini juga membantu memberikan kepastian bagi Pemerintah dalam menghitung jumlah biaya bunga yang akan menjadi beban dalam satu tahun anggaran. Di samping itu, khususnya untuk SUN, perdagangan SUN berbunga tetap dapat membantu likuiditas pasar karena dapat mempermudah pembentukan kurva acuan harga (benchmark yield curve) di pasar sekunder SUN. Resiko tingkat bunga dapat juga dikurangi dengan memanfaatkan fasilitas interest rate swap yang tersedia di pasar keuangan.

f. Penurunan Porsi Kredit Ekspor.

Utang Negara yang diperoleh melalui pinjaman luar negeri, memprioritaskan pinjaman yang bersyarat lunak yaitu berbunga rendah dan jangka waktu yang panjang serta pinjaman yang bersifat komersial khususnya kredit ekspor.

g. Penerapan Prinsip Pengelolaan Utang Negara yang Baik.

Untuk mengantisipasi terjadinya resiko operasional, kegiatan pengelolaan utang sehari-hari dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan sebagaimana terlampir.

2. Pengembangan pasar perdana dan pasar sekunder SUN

a. Pengembangan pasar perdana.

1) Mengembangkan metode penerbitan baik melalui sistem lelang maupun non-lelang yang dapat menjangkau semua segmen investor SUN.

2) Mengembangkan sistem lelang yang dapat mendorong partisipasi peserta lelang baik dari industri perbankan maupun pasar modal (perusahaan efek) yang mampu berperan sebagai market-makers, sehingga dapat ikut mendukung mekanisme pembentukan harga (price discovery mechanism) yang wajar di pasar SUN.

3) Menyusun jadwal penerbitan yang teratur (regular calendar of issuance) agar para pelaku pasar dapat memperoleh kepastian untuk dapat mengelola portofolio investasi SUN secara efisien.

4) Menerbitkan benchmark issues dalam jumlah dan variasi jatuh tempo yang beragam, dengan tujuan: (i) mendorong terciptanya yield curve yang mencerminkan harga pasar SUN yang wajar di pasar sekunder, (ii) membantu upaya Bank Indonesia guna mengganti SBI dengan SUN sebagai instrumen moneter, mulai tahun 2005 sesuai dengan pasal 71 ayat 2 UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

b. Pengembangan pasar sekunder.

1) Diversifikasi Instrumen Surat Utang Negara.

Bab 11 : Pengelolaan Surat Utang Negara 368

Dalam rangka pengembangan pasar SUN, diversifikasi jenis SUN dapat dilakukan seiring dengan upaya memperluas basis investor. Instrumen SUN baru yang merupakan prioritas yang harus segera dikembangkan, antara lain, adalah SUN berbasis syariah (SUN sukuk) dan SUN ritel yang mempunyai potensi pasar yang sangat besar. Pengembangan pasar SUN sukuk memerlukan kerangka hukum dan regulasi yang dapat mendukung implementasinya secara efektif di Indonesia. Dalam hal pasar SUN ritel, pengembangannya memerlukan kerjasama dengan sejumlah self regulatory organizations (SRO) di pasar modal, khususnya untuk: (i) mempersiapkan infrastruktur yang dapat mendukung pelaksanaan sistem kliring dan setelmen SUN ritel secara efisien serta (ii) menciptakan suatu platform perdagangan melalui bursa yang dapat menjamin transparansi informasi perdagangan guna memfasilitasi partisipasi langsung investor individual dalam pasar SUN ritel.

2) Aktivitas lain untuk meningkatkan likuiditas pasar SUN melalui upaya-upaya untuk: a) Mengembangkan pasar derivatif dan pasar repo, b) Mendorong integrasi antara sistem perdagangan, kliring dan

setelmen, c) Mendorong terbentuknya primary dealer system yang dapat

berfungsi sebagai market makers, d) Mengembangkan sarana penunjang untuk meningkatkan

transparansi informasi tentang pengelolaan dan perdagangan SUN. e) Melakukan sosialisasi dan edukasi tentang SUN kepada publik, f) Meningkatkan koordinasi antara pihak-pihak terkait, antara lain

Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), Bank Indonesia, Himpunan Pedagang Pasar SUN (Himdasun), Bursa Efek Surabaya, SRO di bidang pasar keuangan dan asosiasi pelaku pasar obligasi lainnya, dalam rangka pengembangan pasar SUN, serta

g) Melaksanakan disiplin internasional penerbitan SUN (timely issue) sesuai dengan jadwal yang telah direncanakan. Pasar SUN adalah pasar kepercayaan dan kredibilitas Pemerintah dipertaruhkan.

Prinsip-Prinsip Operasional Pengelolaan Utang Negara

Kegiatan pengelolaan utang negara sehari-hari dilaksanakan dengan menerapkan prinsip-prinsip operasional manajemen dalam rangka mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Semua prinsip-prinsip operasional diarahkan untuk mencapai 3 (tiga) sasaran antara yang menjadi landasan dalam pencapaian sasaran akhir pengelolaan utang negara, yaitu:

1. Proteksi terhadap Posisi Keuangan Pemerintah

Untuk melindungi dan menjaga posisi keuangan Pemerintah, kegiatan operasional pengelolaan utang negara mengacu kepada prinsip-prinsip sebagai berikut:

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 369

a. Prinsip Efektivitas Biaya Prinsip ini menekankan upaya untuk memperoleh sumber dana dengan biaya yang rendah dan resiko yang dapat diterima.

b. Prinsip Kehati-hatian Prinsip ini menganjurkan agar proses pengambilan keputusan dilakukan dengan mengutamakan kehati-hatian, dengan menghindari keputusan yang bersifat spekulatif.

c. Diversifikasi

Dalam proses mendapatkan utang negara baru perlu dipertimbangkan berbagai alternatif sumber dana, mata uang, tingkat bunga, dan jangka waktu yang berbeda-beda, dalam rangka memperoleh biaya utang negara yang rendah. Diversifikasi juga digunakan untuk memperluas basis investor SUN dan kreditor sehingga Pemerintah tidak bergantung pada satu golongan investor atau kreditor yang dapat melemahkan posisi tawar pemerintah.

d. Transparansi dan Akuntabel

Pengadaan utang digunakan secara optimal dan efisien, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan serta diperoleh dari hubungan yang saling menguntungkan.

e. Bebas ikatan

Penerimaan hibah luar negeri tidak boleh didasari oleh ikatan politik maupun ikatan lainnya yang dapat merugikan negara.

f. Menjamin kesinambungan fiskal

Pengadaan utang harus dikaitkan dengan kemampuan membayar kembali, bersifat sementara dan hanya dapat diterima sepanjang tidak ada ikatan politik, serta dengan persyaratan yang tidak memberatkan negara.

g. Mekanisme APBN

Pengadaan utang dikelola dalam mekanisme APBN yang dalam pelaksanaannya dituangkan dalam bentuk program dan proyek.

h. Menunjang pertumbuhan ekonomi

Kegiatan yang dibiayai dari pinjaman dan hibah luar negeri harus memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan masyarakat.

Pengembangan Pasar

Upaya mengembangkan pasar utang dalam rangka mendapatkan dan memelihara sumber pembiayaan yang murah bagi Pemerintah dijalankan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut: i. Tidak diskriminatif

Maksudnya adalah menjaga sikap dan perilaku yang tidak membeda-bedakan atau diskriminatif terhadap semua pihak yang terlibat dalam

Bab 11 : Pengelolaan Surat Utang Negara 370

kegiatan operasional pengelolaan utang negara dengan mengacu pada standar yang telah ditetapkan.

j. Dapat diprediksi Prinsip ini menekankan pentingnya aspek transparansi, likuiditas dan keteraturan dalam pelaksanaan program utang agar semua pihak yang terlibat baik kreditor, investor dan pihak lain dapat menyesuaikan rencana bisnis masing-masing dengan rencana kebutuhan dana yang disusun oleh Pemerintah.

k. Komunikasi yang baik dengan Investor dan Pemberi Pinjaman

Dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan utang negara perlu dipertimbangkan pula masukan dari pelaku pasar agar kebijakan yang dihasilkan telah mencerminkan adanya partisipasi dari berbagai pihak yang terkait dan telah didasarkan pada informasi yang komprehensif. Komunikasi yang baik dengan pihak investor dan kreditor akan mempermudah penyelesaian masalah-masalah yang berkaitan dengan pengelolaan utang negara.

2. Penguatan Kinerja Kelembagaan Pengelolaan Utang Negara

Efisiensi dan efektifitas kinerja unit-unit pengelola utang negara ditingkatkan dengan menjalankan prinsip-prinsip sebagai berikut: a. Kemandirian

Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya sehari-hari, unit-unit pengelola utang negara harus bebas dari benturan kepentingan sekecil mungkin yang dapat merugikan negara dan bebas dari pengaruh pihak lain yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan praktik pengelolaan utang yang sehat dan hati-hati.

b. Kinerja yang Terukur

Dalam rangka evaluasi kinerja untuk mengukur pencapaian tingkat efektivitas dan efisiensi pelaksanaan tugas dan fungsi pengelolaan utang negara, perlu ditetapkan parameter dan indikator kinerja yang terukur.

c. Akuntabilitas

Setiap kegiatan pengelolaan utang negara harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan prosedur operasi standar yang berlaku.

d. Profesionalitas

Pengelolaan utang negara dilaksanakan dengan mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik, praktik yang terbaik dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

e. Pertanggungjawaban Semua kegiatan pengelolaan utang negara akan dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 371

òô Rangkuman

Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) senantiasa diarahkan untuk menjaga dan mempertahankan stabilitas ekonomi makro serta sekaligus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Sampai saat ini, utang masih merupakan sumber utama pembiayaan APBN untuk menutup defisit maupun untuk pembayaran kembali pokok utang yang telah jatuh tempo (refinancing).

Surat Utang Negara (SUN) adalah surat berharga berupa surat pengakuan utang

dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya. SUN merupakan salah satu instrumen dan sumber pembiayaan anggaran negara, oleh karena itu kebijakan pengelolaannya tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah di bidang Pembiayaan Anggaran Negara. SUN diterbitkan dalam bentuk warkat dan tanpa warkat. Surat utang negara dengan warkat adalah surat berharga yang kepemilikannya berupa sertifikat baik atas nama maupun atas unjuk.

Dalam kegiatan di pasar keuangan, peranan pasar surat utang negara sangat

strategis. Artinya, tingkat keuntungan (yield) dari surat utang negara, sebagai instrumen keuangan yang bebas resiko, dipergunakan oleh para pelaku pasar sebagai acuan atau referensi dalam menentukan tingkat keuntungan suatu investasi atau aset keuangan lain. Dengan demikian, penerbitan surat utang negara secara teratur dan terencana diperlukan untuk membentuk suatu tolok ukur yang dapat dipergunakan dalam menilai kewajaran suatu harga aset keuangan atau surat berharga.

Penerbitan surat utang negara harus terlebih dahulu mendapat persetujuan

Dewan Perwakilan Rakyat yang mencakup persetujuan atas pembayaran semua kewajiban bunga dan pokok yang timbul sebagai akibat penerbitan surat utang negara dimaksud. Persetujuan tersebut diberikan atas nilai bersih maksimal surat utang negara yang akan diterbitkan dalam satu tahun anggaran. Nilai bersih adalah tambahan atas jumlah surat utang negara yang beredar. Jumlah ini merupakan selisih antara jumlah surat utang negara yang diterbitkan dengan yang ditarik kembali sebelum jatuh tempo dan dilunasi selama satu tahun anggaran. Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat diberikan pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Persetujuan tersebut didahului dengan mengajukan rencana penerbitan dan pelunasan dan/atau pembelian kembali yang disampaikan bersamaan dengan penyampaian Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Bab 11 : Pengelolaan Surat Utang Negara 372

-o0o-

PELAPORAN DAN PERTANGGUNG JAWABAN

“Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota/kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah harus secara jelas menyatakan bahwa Laporan

Keuangan telah disusun berdasarkan Sistem Pengendalian Intern yang memadai dan informasi yang termuat pada Laporan Keuangan telah

disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan. “

Bab ini membahas pelaporan dan pertanggungjawaban dalam manajemen perbendaharaan di Indonesia. Setelah mempelajari bab ini Saudara diharapkan mampu untuk menjelaskan hal-hal yang terkait dengan: § Laporan Keuangan dan Kinerja. § Standar Akuntansi Pemerintahan. § Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat. § Pemeriksaan oleh BPK

Sebelum berlakunya paket undang-undang di bidang keuangan negara,

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengharuskan

Bab 12 : Pelaporan dan Pertanggungjawaban 376

pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara dalam bentuk perhitungan anggaran negara/daerah. Wujud laporan ini hanya menginformasikan aliran kas pada APBN/APBD sesuai dengan format anggaran yang disahkan oleh legislatif, tanpa menyertakan informasi tentang posisi kekayaan dan kewajiban pemerintah. Laporan demikian, selain memuat informasi yang terbatas, juga waktu penyampaiannya kepada legislatif sangat terlambat. Keandalan (reliability) informasi keuangan yang disajikan dalam perhitungan anggaran juga sangat rendah karena sistem akuntansi yang diselenggarakan belum didasarkan pada standar akuntansi dan tidak didukung oleh perangkat data dan proses yang memadai.

Upaya konkret dalam mewujudkan akuntabilitas dan transparansi di lingkungan

pemerintah mengharuskan setiap pengelola keuangan negara untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan dengan cakupan yang lebih luas dan tepat waktu. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menegaskan bahwa laporan pertanggungjawaban keuangan dimaksud dinyatakan dalam bentuk Laporan Keuangan yang setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan keuangan, dan disusun berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara lebih

lanjut memperjelas bahwa Laporan Keuangan dimaksud harus disusun berdasarkan proses akuntansi yang wajib dilaksanakan oleh setiap Pengguna Anggaran dan kuasa Pengguna Anggaran serta Pengelola Bendahara Umum Negara/Daerah. Sehubungan itu, pemerintah pusat maupun setiap pemerintah daerah perlu menyelenggarakan akuntansi dalam suatu sistem yang pedomannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk lingkungan pemerintah pusat dan oleh Menteri Dalam Negeri untuk lingkungan pemerintah daerah.

Salah satu hal yang sangat penting dalam praktek akuntansi dan pelaporan

keuangan di lingkungan pemerintah berhubungan dengan penetapan satuan kerja instansi yang memiliki tanggung jawab publik secara eksplisit di mana laporan keuangannya wajib diaudit dengan opini dari lembaga pemeriksa yang berwenang. Instansi demikian digolongkan sebagai entitas Pelaporan. Sementara instansi lain yang wajib menyelenggarakan akuntansi dan berperan secara terbatas sebagai entitas akuntansi berperan sebagai penyumbang bagi Laporan Keuangan yang disusun dan disampaikan oleh Entitas Pelaporan. Sementara itu, setiap kuasa Pengguna Anggaran, termasuk entitas pelaksana Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan, untuk tingkat pemarintah pusat, Satuan Kerja Perangkat Daerah, Bendahara Umum Daerah, dan Kuasa Pengguna Anggaran tertentu di tingkat daerah diwajibkan menyelenggarakan akuntansi sebagai Entitas Akuntansi.

Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, ditetapkan bahwa Laporan

Keuangan pemerintah pada gilirannya harus diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebelum disampaikan kepada pihak legislatif sesuai dengan kewenangannya. Pemeriksaan BPK dimaksud adalah dalam rangka pemberian pendapat (opini) sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Dengan demikian, Laporan Keuangan yang disusun oleh Pemerintah yang

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 377

disampaikan kepada BPK untuk diperiksa masih berstatus belum diaudit (unaudited financial statements). Sebagaimana lazimnya Laporan Keuangan tersebut setelah diperiksa dapat disesuaikan berdasarkan temuan audit dan/atau koreksi lain yang diharuskan oleh SAP. Laporan Keuangan yang telah diperiksa dan telah diperbaiki itulah yang selanjutnya diusulkan oleh pemerintah pusat/daerah dalam suatu rancangan undang-undang atau peraturan daerah tentang Laporan Keuangan pemerintah pusat/daerah untuk dibahas dengan dan disetujui oleh DPR/DPRD.

Selain itu, menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, pada rancangan

undang-undang atau peraturan daerah tentang Laporan Keuangan pemerintah pusat/daerah disertakan atau dilampirkan informasi tambahan mengenai kinerja instansi pemerintah, yakni prestasi yang berhasil dicapai oleh Pengguna Anggaran sehubungan dengan Anggaran yang telah digunakan. Pengungkapan informasi tentang kinerja ini adalah relevan dengan perubahan paradigma penganggaran pemerintah yang ditetapkan dengan mengidentifikasikan secara jelas keluaran (outputs) dari setiap kegiatan dan hasil (outcomes) dari setiap program. Untuk keperluan tersebut, perlu disusun suatu sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (SAKIP) yang terintegrasi dengan sistem perencanaan strategis, sistem penganggaran dan Sistem Akuntansi Pemerintah. Ketentuan yang dicakup dalam sistem akuntabilitas, kinerja instansi pemerintah tersebut sekaligus dimaksudkan untuk menggantikan ketentuan yang termuat dalam Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, sehingga dapat dihasilkan suatu Laporan Keuangan dan Kinerja yang terpadu. Selain itu, terhadap paket Laporan Keuangan pemerintah pusat /daerah disertakan pula ikhtisar Laporan Keuangan Perusahaan Negara/Daerah untuk periode yang sama.

Dalam rangka memperkuat akuntabilitas pengelolaan anggaran dan

perbendaharaan, setiap pejabat yang menyajikan Laporan Keuangan diharuskan memberi pernyataan tanggung jawab atas Laporan Keuangan yang bersangkutan. Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota/kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah harus secara jelas menyatakan bahwa Laporan Keuangan telah disusun berdasarkan Sistem Pengendalian Intern yang memadai dan informasi yang termuat pada Laporan Keuangan telah disajikan sesuai dengan SAP. Laporan Keuangan dan Kinerja

Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD, setiap Entitas Pelaporan (yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah, kementerian negara/lembaga, dan bendahara umum negara) wajib menyusun dan menyajikan laporan keuangan dan laporan kinerja. Entitas Pelaporan Kementerian

Bab 12 : Pelaporan dan Pertanggungjawaban 378

Negara/Lembaga ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangan kemandirian pelaksanaan anggaran, pengelolaan kegiatan, dan besarnya anggaran.

Setiap kuasa pengguna anggaran (yaitu setiap satuan kerja yang mempunyai

dokumen pelaksanaan anggaran tersendiri, termasuk satuan kerja yang memperoleh alokasi anggaran dari Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan) di lingkungan suatu kementerian negara/lembaga dan Bendahara Umum Daerah serta setiap pengguna anggaran di lingkungan pemerintah daerah merupakan Entitas Akuntansi. Kuasa Pengguna Anggaran di lingkungan Pemerintah Daerah dapat ditetapkan sebagai entitas akuntansi oleh gubernur/bupati/walikota bila mempunyai dokumen pelaksanaan anggaran yang terpisah, jumlah anggarannya relatif besar, dan pengelolaan kegiatannya dilakukan secara mandiri.

Yang dimaksud dengan Entitas Pelaporan adalah unit pemerintahan yang terdiri dari satu atau lebih entitas akuntansi yang berkewajiban menyampaikan laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan. Sedangkan yang dimaksud dengan Entitas Akuntansi adalah unit pemerintahan pengguna anggaran yang berkewajiban menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan untuk digabungkan pada entitas pelaporan.

Komponen Laporan Keuangan

Laporan keuangan pemerintah pusat/daerah setidak-tidaknya terdiri dari: § Laporan Realisasi Anggaran; § Neraca; § Laporan Arus Kas; dan § Catatan atas Laporan Keuangan.

Laporan keuangan kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah setidak-tidaknya terdiri dari: § Laporan Realisasi Anggaran; § Neraca; dan § Catatan atas Laporan Keuangan.

Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara/Daerah setidak-tidaknya terdiri dari: § Laporan Realisasi Anggaran; § Neraca; § Laporan Arus Kas; dan § Catatan atas Laporan Keuangan.

Laporan Realisasi Anggaran menyajikan realisasi pendapatan, belanja, dan pembiayaan yang diperbandingkan dengan anggarannya dan dengan realisasi periode sebelumnya. Neraca menyajikan aset, utang, dan ekuitas dana yang diperbandingkan dengan periode sebelumnya. Laporan Arus Kas menyajikan arus kas dari aktivitas operasi, arus kas dari aktivitas investasi aset non keuangan, arus kas dari aktivitas pembiayaan, dan arus kas dari aktivitas non anggaran yang diperbandingkan dengan periode sebelumnya. Penambahan unsur-unsur Laporan

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 379

Keuangan ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan dan/atau oleh komite yang menyusun SAP. Khusus untuk tingkat pemerintah daerah, penambahan unsur-unsur Laporan Keuangan ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri.

Laporan Keuangan di atas disusun dan disajikan sesuai dengan SAP.

Penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah dihasilkan dari suatu Sistem Akuntansi Pemerintahan. Tingkat keandalan Laporan Keuangan berhubungan erat dengan keandalan sistem akuntansi yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah. Sistem akuntansi perlu dikembangkan dengan mengacu pada SAP serta mempertimbangkan kondisi pendukung yang diperlukan, terutama personil, dukungan teknologi informasi, prosedur dan tata kerja, bagan perkiraan standar, dan lembaga atau organisasi pendukung. Karenanya, sistem akuntansi tersebut dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan tingkat kompleksitas kegiatan bidang keuangan maupun bidang teknis. Sistem akuntansi pemerintahan pada tingkat pemerintah pusat diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan, sedangkan pada tingkat pemerintah daerah diatur dengan Peraturan Gubernur/Bupati/ Walikota mengacu pada peraturan daerah tentang pengelolaan keuangan daerah dan berpedoman pada peraturan pemerintah mengenai SAP.

Penyusunan Laporan Keuangan

Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran menyusun Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan APBN pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan dan menyampaikannya kepada Presiden melalui Menteri Keuangan. Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga tersebut merupakan konsolidasian dengan laporan keuangan BLU maupun satuan kerja yang menyelenggarakan pengelolaan dana tersendiri dan secara struktural dibawahkannya. Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menyusun Laporan Keuangan sebagai pertanggungjawaban pengelolaan perbendaharaan negara dan menyampaikannya kepada Presiden. Laporan Keuangan tersebut disampaikan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Laporan Keuangan Menteri Keuangan/Bendahara Umum Negara termasuk pertanggungjawaban Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan yang disusun berdasarkan Laporan Keuangan setiap kuasa Pengguna Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan. Untuk pelaksanaan pemeriksaan keuangan, baik Laporan Keuangan yang disusun oleh Menteri/Pimpinan Lembaga maupun oleh Menteri Keuangan disampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan.

Selain menyusun berbagai laporan keuangan yang disebutkan di atas, Menteri Keuangan juga menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) untuk memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. LKPP disusun berdasarkan Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga serta laporan pertanggungjawaban pengelolaan perbendaharaan negara. LKPP dimaksud disampaikan oleh Menteri Keuangan kepada Presiden, untuk selanjutnya disampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Presiden dapat mendelegasikan kepada Menteri

Bab 12 : Pelaporan dan Pertanggungjawaban 380

Keuangan atas nama pemerintah pusat untuk menyampaikan LKPP dengan status belum diperiksa (unaudited) kepada Badan Pemeriksa Keuangan dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan keuangan.

Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku Pengguna Anggaran menyusun

Laporan Keuangan sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan APBD pada Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bersangkutan dan menyampaikannya kepada Gubernur/Bupati/ Walikota melalui Pejabat Pengelola Keuangan Daerah. Penyelenggaraan teknis akuntansi dan penyusunan Laporan Keuangan dapat diselenggarakan langsung oleh satuan kerja Pengguna Anggaran atau dibantu oleh satuan kerja/pihak lain yang ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota berdasarkan pertimbangan kondisi sumber daya yang tersedia, namun tanggung jawab atas laporan tersebut berada pada satuan kerja Pengguna Anggaran yang bersangkutan. Laporan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah merupakan konsolidasian dengan laporan keuangan BLU yang secara struktural dibawahkannya.

Pejabat Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum Daerah menyusun Laporan Keuangan sebagai pertanggungjawaban pengelolaan perbendaharaan daerah dan menyampaikannya kepada gubernur/bupati/walikota. Laporan Keuangan dimaksud disampaikan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

Pejabat Pengelola Keuangan Daerah juga menyusun Laporan Keuangan

Pemerintah Daerah (LKPD) untuk disampaikan kepada gubernur/bupati/walikota untuk memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. LKPD ini disusun berdasarkan Laporan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah serta laporan pertanggungjawaban pengelola perbendaharaan daerah. Selanjutnya, LKPD disampaikan oleh gubernur/bupati/walikota kepada Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

Menteri/Pimpinan Lembaga memberikan tanggapan dan melakukan penyesuaian

terhadap Laporan Keuangan berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atas Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan. Laporan Keuangan yang telah disesuaikan bersama tembusan tanggapan disampaikan kepada Menteri Keuangan oleh menteri/pimpinan lembaga selambat-lambatnya 1 (satu) minggu setelah laporan hasil pemeriksaan diterbitkan Badan Pemeriksa Keuangan untuk digunakan sebagai bahan penyesuaian Laporan Keuangan pemerintah pusat.

Menteri Keuangan atas nama pemerintah memberikan tanggapan dan

melakukan penyesuaian terhadap Laporan Keuangan berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atas Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat serta koreksi lain berdasarkan SAP.

Gubernur/bupati/walikota memberikan tanggapan dan melakukan penyesuaian

terhadap Laporan Keuangan berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atas Laporan Keuangan pemerintah daerah serta koreksi lain berdasarkan SAP.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 381

Berdasarkan Laporan Keuangan Menteri Keuangan menyusun rancangan

undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. Rancangan undang-undang disampaikan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

Berdasarkan Laporan Keuangan, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah

menyusun rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. Rancangan peraturan daerah disampaikan oleh gubernur/bupati/walikota kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, untuk tingkat pemerintah provinsi disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri, dan untuk tingkat pemerintah kabupaten/kota disampaikan kepada gubernur. Laporan Kinerja

Laporan kinerja berisi ringkasan tentang keluaran dari masing-masing kegiatan dan hasil yang dicapai dari masing-masing program sebagaimana ditetapkan dalam dokumen pelaksanaan APBN/APBD. Bentuk dan isi Laporan Kinerja disesuaikan dengan bentuk dan isi rencana kerja dan anggaran. Tata cara tentang penyusunan kegiatan dan indikator kinerja dimaksud didasarkan pada ketentuan peraturan pemerintah tentang rencana kerja pemerintah dan peraturan pemerintah tentang penyusunan rencana kerja dan anggaran Kementerian Negara/Lembaga. Informasi tentang Realisasi Kinerja disajikan secara berbanding dengan Kinerja yang direncanakan dan dianggarkan sebagaimana tercantum dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Pemerintah Pusat/Daerah untuk tahun anggaran yang bersangkutan.

Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran menyusun Laporan

Kinerja dan menyampaikannya kepada Menteri Keuangan, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. Lapoan Kinerja disampaikan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku Pengguna Anggaran menyusun

Laporan Kinerja dan menyampaikannya kepada gubernur/bupati/walikota, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Laporan Kinerja disampaikan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

Laporan Kinerja dihasilkan dari suatu sistem akuntabilitas kinerja instansi

pemerintah yang diselenggarakan oleh masing-masing Entitas Pelaporan dan/atau Entitas Akuntansi. Sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dikembangkan secara terintegrasi dengan sistem perencanaan, sistem penganggaran, sistem perbendaharaan, dan Sistem Akuntansi Pemerintahan. Sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah setidak-tidaknya mencakup perkembangan keluaran dari masing-masing kegiatan dan hasil yang dicapai dari masing-masing program sebagaimana ditetapkan dalam dokumen pelaksanaan APBN/APBD.

Bab 12 : Pelaporan dan Pertanggungjawaban 382

Suplemen Laporan Keuangan

Laporan keuangan dilampiri dengan: § Laporan keuangan BLU bentuk ringkas.

Yang dimaksud bentuk ringkas disini adalah lembar muka Laporan Keuangan (face of financial statements). Dalam hal suatu BLU di lingkungan pemerintah daerah tidak dibawahkan secara struktural oleh suatu Satuan Kerja Perangkat Daerah, laporan keuangan BLU ringkas dimaksud dilampirkan langsung pada laporan keuangan pemerintah daerah.

§ Ikhtisar laporan keuangan Perusahaan Negara/Daerah. Ikhtisar laporan keuangan Perusahaan Negara/Daerah disusun oleh Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota selaku wakil pemerintah pusat/daerah dalam kepemilikan kekayaan pemerintah pusat/daerah yang dipisahkan.

§ Ikhtisar dan/atau informasi tambahan nonkeuangan yang relevan. Misalnya: statistik pegawai, pergantian pejabat, dan keterangan mengenai bencana alam. Untuk memenuhi ketentuan penyusunan ikhtisar laporan keuangan Perusahaan

Negara, menteri yang ditunjuk dan/atau diberi kuasa untuk mewakili pemerintah pusat selaku pengelola/pembina Perusahaan Negara wajib menyampaikan: § Laporan keuangan Perusahaan Negara yang belum diaudit kepada Menteri

Keuangan selambat-lambatnya 2 ½ (dua setengah) bulan setelah tahun APBN berakhir; dan

§ Laporan keuangan Perusahaan Negara yang telah diaudit kepada Menteri Keuangan selambat-lambatnya 5 ½ (lima setengah) bulan setelah tahun APBN berakhir. Untuk memenuhi ketentuan penyusunan ikhtisar laporan keuangan Perusahaan

Daerah, Perusahaan Daerah wajib menyampaikan: § Laporan keuangan Perusahaan Daerah yang belum diaudit kepada Pejabat

Pengelola Keuangan Daerah selambat-lambatnya 2 ½ (dua setengah) bulan setelah tahun APBD berakhir; dan

§ Laporan keuangan Perusahaan Daerah yang telah diaudit kepada Pejabat Pengelola Keuangan Daerah selambat-lambatnya 5 ½ (lima setengah) bulan setelah tahun APBD berakhir.

Pernyataan Tanggung Jawab Laporan Keuangan tahunan Kementerian Negara/Lembaga/pemerintah

daerah/Satuan Kerja Perangkat Daerah disertai dengan pernyataan tanggung jawab yang ditandatangani oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota/kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah. Laporan Keuangan tahunan Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan yang dialokasikan kepada Kementerian Negara/Lembaga, dan pemerintah daerah, disampaikan secara terpisah dan disertai dengan pernyataan tanggung jawab yang ditandatangani oleh menteri /pimpinan lembaga /gubernur/bupati/walikota yang menerima alokasi Anggaran Pembiayaan dan perhitungan tersebut.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 383

Pernyataan tanggung jawab memuat pernyataan bahwa pengelolaan

APBN/APBD telah diselenggarakan berdasarkan Sistem Pengendalian Intern yang memadai dan akuntansi keuangan telah diselenggarakan sesuai dengan SAP. Pejabat pemerintah yang membuat pernyataan tanggung jawab dapat mewajibkan para pejabat yang dibawahkannya untuk membuat pernyataan tanggung jawab yang sama dalam batas tanggung jawab masing-masing. Laporan Keuangan dan Kinerja Interim

Kepala satuan kerja sebagai kuasa Pengguna Anggaran di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga menyampaikan Laporan Keuangan dan Kinerja interim sekurang-kurangnya setiap triwulan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga. Menteri/Pimpinan Lembaga menyusun Laporan Keuangan dan Kinerja interim Kementerian Negara/Lembaga berdasarkan Laporan Keuangan dan Kinerja interim kuasa Pengguna Anggaran dan menyampaikannya kepada Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan, dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.

Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah sebagai Pengguna Anggaran /kuasa

Pengguna Anggaran menyampaikan Laporan Keuangan dan Kinerja interim sekurang-kurangnya setiap triwulan kepada gubernur/bupati/walikota, dilampiri dengan Laporan Keuangan dan Kinerja interim atas pelaksanaan kegiatan dan Dekonsentrasi /Tugas Pembantuan.

Laporan Keuangan Atas Pelaksanaan Kegiatan Dana Dekonsentrasi/ Tugas Pembantuan

Satuan Kerja Persngkat Daerah yang menjadi pelaksana kegiatan Dana Dekonsentrasi menyelenggarakan akuntansi dan menyusun Laporan Keuangan dan Kinerja sebagaimana yang berlaku bagi kuasa Pengguna Anggaran pada tingkat pemerintah pusat. Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah menyampaikan Laporan Keuangan Kinerja atas pelaksanaan kegiatan Dana Dekonsentrasi kepada gubernur dan Menteri/Pimpinan Lembaga terkait. Gubernur menyiapkan Laporan Keuangan dan Kinerja gabungan berdasarkan laporan yang diterima dari Satuan Kerja Perangkat Daerah yang menjadi pelaksana kegiatan Dana Dekonsentrasi, dan selanjutnya menyampaikannya kepada Menteri/Pimpinan Lembaga terkait serta kepada Presiden melalui Menteri Keuangan.

Satuan Kerja Perangkat Daerah yang menjadi pelaksana kegiatan Tugas

Pembantuan menyelenggarakan akuntansi dan menyusun Laporan Keuangan dan Kinerja sebagaimana berlaku bagi kuasa Pengguna anggaran pada tingkat pemerintah pusat. Laporan Keuangan dan Kinerja atas pelaksanaan kegiatan Tugas Pembantuan disampaikan kepada gubernur/bupati/walikota dan Menteri/Pimpinan Lembaga terkait. Gubernur/bupati/ walikota menyiapkan Laporan Keuangan dan Kinerja gabungan berdasarkan laporan yang diterima dari Satuan Kerja Perangkat Daerah yang menjadi pelaksana kegiatan Tugas Pembantuan dan selanjutnya

Bab 12 : Pelaporan dan Pertanggungjawaban 384

menyampaikannya kepada Menteri/Pimpinan Lembaga terkait serta kepada Presiden melalui Menteri Keuangan.

Laporan Keuangan dan Kinerja atas pelaksanaan kegiatan Dana

Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan dilaporkan secara terintegrasi dalam Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga Pengguna Anggaran yang bersangkutan. Laporan Keuangan dan Kinerja atas pelaksanan kegiatan Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan dilampirkan pada laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. Laporan Pertanggungjawaban Bendahara

Bendahara penerimaan/pengeluaran wajib menatausahakan dan menyusun laporan pertanggungjawaban atas uang yang dikelolanya dalam rangka pelaksanaan APBN /APBD. Laporan pertanggungjawaban bendahara menyajikan informasi tentang saldo awal, penambahan, penggunaan, dan saldo akhir uang persediaan yang dikelolanya pada suatu periode. Laporan pertanggungjawaban bendahara disampaikan kepada Bendahara Umum Negara/Daerah atau Kuasa Bendahara Umum Negara/Daerah, Menteri/Pimpinan Lembaga/gubernur/bupati/walikota, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Laporan Manajerial di Bidang Keuangan

Laporan manajerial di bidang keuangan adalah laporan yang menyajikan informasi keuangan untuk membantu manajemen pemerintah dalam pengambilan keputusan dan pengendalian yang berhubungan dengan pengelolaan keuangan. Laporan manajerial di bidang keuangan dapat dihasilkan dari Sistem Akuntansi Pemerintahan.

Standar Akuntansi Pemerintahan

Salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip tepat waktu dan disusun mengikuti standar akuntansi pemerintahan yang telah diterima secara umum. Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mensyaratkan bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) adalah prinsip-prinsip akuntansi yang

diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan pemerintah. Dengan demikian SAP merupakan persyaratan yang mempunyai kekuatan hukum dalam upaya meningkatkan kualitas laporan keuangan pemerintah di Indonesia. SAP

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 385

dinyatakan dalam bentuk Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) dan dilengkapi dengan Pengantar Standar Akuntansi Pemerintahan.

PSAP disusun dan dikembangkan oleh Komite Standar Akuntansi Pemerintahan

(KSAP) dengan mengacu kepada Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan yang dikembangkan oleh KSAP. Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan adalah prinsip-prinsip yang mendasari penyusunan dan pengembangan Standar Akuntansi Pemerintahan bagi Komite Standar Akuntansi Pemerintahan dan merupakan rujukan penting bagi Komite Standar Akuntansi Pemerintahan, penyusun laporan keuangan, dan pemeriksa dalam mencari pemecahan atas sesuatu masalah yang belum diatur secara jelas dalam Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan.

Komite Standar Akuntansi Pemerintahan merupakan suatu komite yang

diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang berfungsi menyusun dan mengembangkan SAP. KSAP terdiri dari Komite Konsultatif Standar Akuntansi Pemerintahan (Komite Konsultastif) dan Komite Kerja Standar Akuntansi Pemerintahan (Komite Kerja). Komite konsultatif bertugas memberi konsultasi dan/atau pendapat dalam rangka perumusan konsep rancangan peraturan pemerintah tentang Standar Akuntansi Pemerintah. Komite kerja bertugas mempersiapkan, merumuskan, dan menyusun konsep rancangan peraturan pemerintah tentang Standar Akuntansi Pemerintah.

PSAP dapat dilengkapi dengan Interpretasi Pernyataan Standar Akuntansi

Pemerintahan (IPSAP) dan/atau Buletin Teknis. IPSAP dan Buletin Teknis disusun dan ditetapkan oleh KSAP dan diberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan. IPSAP adalah klarifikasi, penjelasan dan uraian lebih lanjut atas pernyataan SAP yang diterbitkan oleh KSAP. Sedangkan Buletin Teknis adalah informasi yang diterbitkan oleh KSAP yang memberikan arahan/pedoman secara tepat waktu untuk mengatasi masalah-masalah akuntansi maupun pelaporan keuangan yang timbul. IPSAP dan Buletin Teknis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SAP.

PSAP terdiri dari:

1. PSAP Nomor 01 tentang Penyajian Laporan Keuangan. 2. PSAP Nomor 02 tentang Laporan Realisasi Anggaran. 3. PSAP Nomor 03 tentang Laporan Arus Kas. 4. PSAP Nomor 04 tentang Catatan atas Laporan Keuangan. 5. PSAP Nomor 05 tentang Akuntansi Persediaan. 6. PSAP Nomor 06 tentang Akuntansi Investasi. 7. PSAP Nomor 07 tentang Akuntansi Aset Tetap. 8. PSAP Nomor 08 tentang Akuntansi Konstruksi Dalam Pengerjaan. 9. PSAP Nomor 09 tentang Akuntansi Kewajiban. 10. PSAP Nomor 10 tentang Koreksi Kesalahan, Perubahan Kebijakan Akuntansi,

dan Peristiwa Luar Biasa. 11. PSAP Nomor 11 tentang Laporan Keuangan Konsolidasian.

Pemerintah menyusun sistem akuntansi pemerintahan yang mengacu pada SAP. Sistem akuntansi pemerintahan pada tingkat pemerintah pusat diatur dengan

Bab 12 : Pelaporan dan Pertanggungjawaban 386

Peraturan Menteri Keuangan. Sistem akuntansi pemerintahan pada tingkat pemerintah daerah diatur dengan peraturan gubernur/bupati/walikota, mengacu pada Peraturan Daerah tentang pengelolaan keuangan daerah yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat

Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) adalah serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhitisaran sampai dengan pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan Pemerintah Pusat. Hasil dari pelaksanaan SAPP adalah Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). SAPP, terdiri dari: § SiAP (Sistem Akuntansi Pusat) yang terdiri dari SAKUN (Sistem Akuntansi Kas

Umum Negara) dan SAU (Sistem Akuntansi Umum). § SAI (Sistem Akuntansi Instansi) yang terdiri dari SAK (Sistem Akuntansi

Keuangan) dan SABMN ( Sistem Akuntansi Barang Milik Negara).

SiAP hanya dilakukan di Kementerian Keuangan sedangkan SAI dilaksanakan di seluruh Kementerian Negara/Lembaga hingga di tingkat satkernya masing-masing. Hasil dari SAKUN adalah Laporan Arus Kas dan Neraca KUN (Kas Umum Negara). Sedangkan hasil dari SAU adalah Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca. Sementara itu, hasil dari pelaksanaan SAI adalah Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca di masing-masing satker, unit wilayah, tingkat eselon I, hingga ke tingkat Kementerian Negara/Lembaga.

Skema Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat

SAI(Sistem Akuntansi Instansi)

SAK(Sistem Akuntansi

Keuangan)

SABMN(Sistem Akuntansi

BMN)

LRA Instansi Neraca Instansi

Laporan KeuanganInstansi

SAPP(Sistem AkuntansiPemerintah Pusat)

DEPARTEMEN KEUANGAN

DEPARTEMEN/ LEMBAGA

SiAP(Sistem Akuntansi Pusat)

SAKUN(Sistem AkuntansiKas Umum Negara)

SAU(Sistem Akuntansi

Umum)

Laporan ArusKas Pemerintah

Pusat

Neraca KasUmum Negara

LRA Pemerintah

Pusat

NeracaPemerintah

Pusat

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 387

Sistem Akuntansi Pusat Sistem Akuntansi Pusat (SiAP) adalah serangkaian prosedur manual maupun

terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan pada Kementerian Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN). SiAP terdiri dari SAKUN dan SAU. SAKUN menghasilkan Laporan Arus Kas dan Neraca KUN sedangkan SAU menghasilkan Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca.

Dalam rangka pelaksanaan SiAP: Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara

(KPPN) memproses data transaksi penerimaan dan pengeluaran, KPPN Khusus memproses data transaksi pengeluaran yang berasal dari Bantuan Luar Negeri (BLN), Direktorat Pengelolaan Kas Negara (DPKN) memproses data transaksi penerimaan dan pengeluaran Bendahara Umum Negara (BUN) melalui kantor pusat, dan Direktorat Informasi dan Akuntansi memproses data APBN serta melakukan verifikasi dan akuntansi untuk data transaksi penerimaan dan pengeluaran BUN melalui kantor pusat.

KPPN menyusun Lapran Arus Kas, Neraca KUN, dan Laporan Realisasi

Anggaran di wilayah kerjanya masing-masing. Laporan Realisasi Anggaran tersebut merupakan bahan rekonsiliasi dengan satuan kerja di wilayah kerjanya. Laporan-laporan tersebut oleh KPPN disampaikan ke Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan setiap bulan. Demikian pula halnya dengan KPPN Khusus. Laporan yang dihasilkan, terkait dengan transaksi pengeluaran BLN, beserta data transaksi dikirimkan ke Direktorat Informasi dan Akuntansi setiap bulan.

Kantor Wilayah (kanwil) Direktorat Jenderal Perbendaharaan menyusun laporan

keuangan berupa Laporan Arus Kas, Neraca KUN, dan Laporan Realisasi Anggaran SAU di tingkat wilayah yang merupakan hasil penggabungan laporan keuangan seluruh KPPN di wilayah kerjanya. Laporan Realisasi Anggaran tersebut merupakan bahan rekonsiliasi dengan Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Wilayah (UAPPA-W) di wilayah kerjanya. Laporan-laporan tersebut di atas kemudian disampaikan ke Direktorat Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktorat Informasi dan Akuntansi setiap bulan.

Direktorat Jenderal Perbendaharaan menyusun laporan keuangan berupa

Laporan Arus Kas, Neraca KUN, dan Laporan Realisasi Anggaran yang merupakan hasil penggabungan laporan keuangan seluruh unit Direktorat Jenderal Perbendaharaan, baik yang berada di tingkat pusat maupun di daerah. Laporan Realisasi Anggaran tersebut merupakan bahan rekonsiliasi dengan Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Eselon I (UAPPA-E1) dan Unit Akuntansi Pengguna Anggaran (UAPA). Berdasarkan hasil rekonsiliasi dengan UAPA yang tertuang dalam Berita Acara Rekonsiliasi (BAR), Direktorat Jenderal Perbendaharaan berwenang melakukan perbaikan data Laporan Realisasi Anggaran sebelum revisi atas Laporan Realisasi Anggaran yang diterima dari UAPA. Perbaikan data Laporan Realisasi Anggaran tersebut tidak menghilangkan kewajiban UAPA untuk menyampaikan revisi atas Laporan Realisasi Anggaran.

Bab 12 : Pelaporan dan Pertanggungjawaban 388

Sistem Akuntansi Instansi Sistem Akuntansi Instansi (SAI) adalah serangkaian prosedur manual maupun

terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan pada Kementerian Negara/Lembaga. SAI merupakan subsistem dari Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP). SAI terdiri dari Sistem Akuntansi Keuangan (SAK) dan Sistem Akuntansi Barang Milik Negara (SABMN). Setiap Kementerian Negara/Lembaga wajib menyelenggarakan SAI untuk menghasilkan laporan keuangan termasuk Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan.

Untuk melaksanakan SAK dibentuk Unit Akuntansi Keuangan yang terdiri dari:

1. UAPA (Unit Akuntansi Pengguna Anggaran) 2. UAPPA-E1 (Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Eselon I) 3. UAPPA-W (Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Wilayah) 4. UAKPA (Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran)

Sedangkan untuk melaksanakan SABMN dibentuk Unit Akuntansi Barang yang terdiri dari: 1. UAPB (Unit Akuntansi Pengguna Barang) 2. UAPPB-E1 (Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Barang Eselon I) 3. UAPPB-W (Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Barang Wilayah) 4. UAKPB (Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Barang) Sistem Akuntansi Keuangan Kegiatan UAKPA: § Wajib memproses dokumen sumber untuk menghasilkan laporan keuangan

berupa Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan satuan kerja.

§ UAKPA yang menggunakan anggaran pembiayaan dan perhitungan, wajib memproses dokumen sumber untuk menghasilkan Laporan Realisasi Anggaran dan Catatan atas Laporan Keuangan Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan.

§ Wajib menyampaikan Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca beserta Arsip Data Komputer (ADK) dan melakukan rekonsialiasi setiap bulan ke KPPN.

§ Hasil rekonsiliasi dimaksud dituangkan dalam Berita Acara Rekonsiliasi. § Menyampaikan Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca beserta ADK setiap

bulan kepada UAPPA-W/UAPPA-E1. § Menyampaikan laporan keuangan semesteran dan tahunan berupa Laporan

Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan.

Kegiatan UAPPA-W: § Melakukan proses penggabungan laporan keuangan yang berasal dari UAKPA di

wilayah kerjanya termasuk Laporan Realisasi Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan yang digunakan oleh Kementerian Negara/Lembaga.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 389

§ Menyusun laporan keuangan tingkat UAPPA-W berdasarkan hasil penggabungan laporan keuangan tersebut.

§ Wajib menyampaikan Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca tingkat UAPPA-W beserta ADK kepada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan di wilayah masing-masing setiap bulan.

§ Melakukan rekonsiliasi atas laporan keuangan yang dibuatnya dengan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan setiap triwulan. Hasil rekonsiliasi tersebut dituangkan dalam Berita Acara Rekonsiliasi.

§ Wajib menyampaikan Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca tingkat UAPPA-W beserta ADK kepada UAPPA-E1 setiap bulan.

§ Menyampaikan laporan keuangan semesteran dan tahunan berupa Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan

Kegiatan UAPPA-E1: § Melakukan proses penggabungan laporan keuangan yang berasal dari UAPPA-

W yang berada di wilayah kerjanya termasuk laporan keuangan UAPPA-W Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, laporan keuangan UAKPA yang langsung berada di bawah UAPPA-E1, dan Laporan Realisasi Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan yang digunakan oleh Kementerian Negara/Lembaga.

§ Menyusun laporan keuangan tingkat Eselon I berdasarkan hasil penggabungan laporan keuangan tersebut.

§ Dapat melakukan rekonsiliasi atas laporan keuangan yang dibuatnya dengan Direktorat Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktorat Informasi dan Akuntansi setiap semester. Hasil rekonsiliasi tersebut dituangkan dalam Berita Acara Rekonsiliasi.

§ Menyampaikan Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca tingkat Eselon I beserta ADK kepada UAPA setiap bulan.

§ Menyampaikan laporan keuangan semesteran dan tahunan berupa Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan.

Kegiatan UAPA: § Melakukan proses penggabungan laporan keuangan yang berasal dari UAPPA-

E1 termasuk laporan keuangan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan serta Laporan Realisasi Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan (bila ada).

§ Menyusun laporan keuangan tingkat Kementerian Negara/Lembaga berdasarkan hasil penggabungan laporan keuangan tersebut.

§ Menyampaikan Laporan Realisasi Anggaran tingkat UAPA beserta ADK kepada Direktorat Jenderal Perbendaharaan setiap triwulan.

§ Menyampaikan laporan keuangan semesteran dan tahunan berupa Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan.

§ Melakukan rekonsiliasi laporan keuangan dengan Direktorat Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktorat Informasi dan Akuntansi setiap semester yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Rekonsilisasi.

Bab 12 : Pelaporan dan Pertanggungjawaban 390

Sistem Akuntansi Barang Milik Negara Kegiatan UAKPB: § Melaksanakan proses akuntansi atas dokumen sumber dalam rangka

menghasilkan data transaksi Barang Milik Negara (BMN), Laporan BMN, dan Laporan Manajerial lainnya termasuk yang dananya bersumber dari anggaran pembiayaan dan perhitungan.

§ Data transaksi BMN disampaikan kepada petugas akuntansi UAKPA setiap bulan dalam bentuk ADK untuk penyusunan Neraca.

§ Laporan BMN beserta ADK data transaksi BMN disampaikan kepada UAPPB-W/UAPPB-E1 setiap semester.

§ Selain untuk memenuhi kebutuhan manajerial, Laporan BMN merupakan bahan penyusunan Catatan atas Laporan Keuangan tingkat UAKPA dan lampiran laporan keuangan.

Kegiatan UAPPB-W: § Menyusun Laporan BMN tingkat wilayah berdasarkan hasil penggabungan

laporan BMN seluruh UAKPB di wilayah kerjanya. § Laporan BMN tingkat wilayah beserta ADK data transaksi BMN disampaikan

kepada UAPPB-E1 dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan di wilayah kerjanya masing-masing setiap semester.

§ Selain untuk memenuhi kebutuhan manajerial, Laporan BMN merupakan bahan penyusunan Catatan atas Laporan Keuangan tingkat UAKPA-W dan lampiran laporan keuangan.

Kegiatan UAPPB-E1: § Menyusun Laporan BMN tingkat Eselon I berdasarkan hasil penggabungan

laporan BMN seluruh UAPPB-W di wilayah kerjanya, termasuk UAPPB-W Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan serta UAKPB yang langsung berada di bawahnya.

§ Laporan BMN beserta ADK data transaksi BMN disampaikan kepada UAPB setiap semester.

§ Selain untuk memenuhi kebutuhan manajerial, Laporan BMN merupakan bahan penyusunan Catatan atas Laporan Keuangan tingkat Eselon I dan lampiran laporan keuangan.

Kegiatan UAPB: § Menyusun Laporan BMN tingkat Kementerian Negara/Lembaga berdasarkan

hasil penggabungan laporan BMN dari seluruh UAPPB-E1 di wilayah kerjanya.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 391

§ Laporan BMN disampaikan kepada Menteri Keuangan c.q Direktur Jenderal Perbendaharaan setiap semester.

§ UAPB melakukan pemutakhiran data Laporan BMN dengan Direktorat Jenderal Perbendaharaan c.q Direktorat Pengelolaan Barang Milik/Kekayaan Negara setiap tahun.

§ Selain untuk memenuhi kebutuhan manajerial, Laporan BMN merupakan bahan penyusunan Catatan atas Laporan Keuangan tingkat Kementerian Negara/Lembaga dan lampiran laporan keuangan.

Pemeriksaan oleh BPK

Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Yang dimaksud dengan pengelolaan keuangan negara adalah keseluruhan

kegiatan pejabat pengelola keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban. Sedangkan yang dimaksud dengan tanggung jawab keuangan negara adalah kewajiban Pemerintah untuk melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan, dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Standar pemeriksaan adalah patokan untuk melakukan pemeriksaan

pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang meliputi standar umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa. Lingkup Pemeriksaan

BPK melakukan pemeriksaan keuangan negara yang meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara. Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh BPK meliputi seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan

ketentuan undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan. Hal ini dimaksudkan agar BPK dapat melakukan evaluasi pelaksanaan pemeriksaan yang dilakukan oleh akuntan publik. Hasil

Bab 12 : Pelaporan dan Pertanggungjawaban 392

pemeriksaan akuntan publik dan evaluasi tersebut selanjutnya disampaikan oleh BPK kepada lembaga perwakilan, sehingga dapat ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangannya.

Pemeriksaan oleh BPK terdiri atas:

1. Pemeriksaan keuangan, yaitu pemeriksaan atas laporan keuangan. 2. Pemeriksaan kinerja, yaitu pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara

yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas.

3. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, yaitu pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan keuangan maupun pemeriksaan kinerja, antara lain meliputi pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern pemerintah.

Pelaksanaan Pemeriksaan

Penentuan obyek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan,

penentuan waktu dan metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas dan mandiri oleh BPK. Dalam merencanakan tugas pemeriksaan, BPK memperhatikan permintaan, saran, dan pendapat lembaga perwakilan. Dalam rangka membahas permintaan, saran, dan pendapat, BPK atau lembaga perwakilan dapat mengadakan pertemuan konsultasi.

Dalam merencanakan tugas pemeriksaan, BPK dapat mempertimbangkan

informasi dari pemerintah, bank sentral, dan masyarakat. Informasi dari pemerintah termasuk dari lembaga independen yang dibentuk dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha, dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Informasi dari masyarakat termasuk hasil penelitian dan pengembangan, kajian, pendapat dan keterangan organisasi profesi terkait, berita media massa, pengaduan langsung dari masyarakat.

Dalam menyelenggarakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab

keuangan negara, BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. Untuk keperluan tersebut, laporan hasil pemeriksaan intern pemerintah wajib disampaikan kepada BPK. Dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, BPK dapat menggunakan pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK. Penggunaan pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK dilakukan apabila BPK tidak memiliki/tidak cukup memiliki pemeriksa dan/atau tenaga ahli yang diperlukan dalam suatu pemeriksaan. Pemeriksa dan/atau tenaga ahli dalam bidang tertentu dari luar BPK dimaksud adalah pemeriksa di lingkungan aparat pengawasan intern pemerintah, pemeriksa, dan/atau tenaga ahli lain yang memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh BPK. Penggunaan pemeriksa yang berasal dari aparat pengawasan intern pemerintah merupakan penugasan pimpinan instansi yang bersangkutan.

Dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan, pemeriksa dapat:

§ Meminta dokumen yang wajib disampaikan oleh pejabat atau pihak lain yang

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 393

berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;

§ Mengakses semua data yang disimpan di berbagai media, aset, lokasi, dan segala jenis barang atau dokumen dalam penguasaan atau kendali dari entitas yang menjadi obyek pemeriksaan atau entitas lain yang dipandang perlu dalam pelaksanaan tugas pemeriksaannya;

§ Melakukan penyegelan tempat penyimpanan uang, barang, dan dokumen pengelolaan keuangan negara. Penyegelan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pemeriksa sebagai salah satu bagian dari prosedur pemeriksaan paling lama 2 x 24 jam dengan memperhatikan kelancaran pelaksanaan pekerjaan/pelayanan di tempat yang diperiksa. Penyegelan hanya dilakukan apabila pemeriksaan atas persediaan uang, barang, dan/atau dokumen pengelolaan keuangan negara terpaksa ditunda karena sesuatu hal. Penyegelan dilakukan untuk mengamankan uang, barang, dan/atau dokumen pengelolaan keuangan negara dari kemungkinan usaha pemalsuan, perubahan, pemusnahan, atau penggantian pada saat pemeriksaan berlangsung.

§ Meminta keterangan kepada seseorang dan melakukan pemanggilan kepada seseorang. Permintaan keterangan tersebut dilakukan oleh pemeriksa untuk memperoleh, melengkapi, dan/atau meyakini informasi yang dibutuhkan dalam kaitan dengan pemeriksaan. Yang dimaksud dengan seseorang adalah perseorangan atau badan hukum

§ Memotret, merekam dan/atau mengambil sampel sebagai alat bantu pemeriksaan. Kegiatan pemotretan, perekaman, dan/atau pengambilan sampel (contoh) fisik obyek yang dilakukan oleh pemeriksa bertujuan untuk memperkuat dan/atau melengkapi informasi yang berkaitan dengan pemeriksaan. Dalam rangka pemeriksaan keuangan dan/atau kinerja, pemeriksa melakukan

pengujian dan penilaian atas pelaksanaan sistem pengendalian intern pemerintah. Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hasil Pemeriksaan dan Tindak Lanjut

Pemeriksa menyusun laporan hasil pemeriksaan setelah pemeriksaan selesai dilakukan. Dalam hal diperlukan, pemeriksa dapat menyusun laporan interim pemeriksaan. Laporan interim pemeriksaan dimaksud, diterbitkan sebelum suatu pemeriksaan selesai secara keseluruhan dengan tujuan untuk segera dilakukan tindakan pengamanan dan/atau pencegahan bertambahnya kerugian.

Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah memuat opini.

Opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada kriteria (a) kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, (b) kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), (c) kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan (d) efektivitas sistem pengendalian intern. Terdapat 4 (empat) jenis opini yang dapat diberikan oleh pemeriksa, yakni (a) opini wajar tanpa pengecualian (unqualified

Bab 12 : Pelaporan dan Pertanggungjawaban 394

opinion), (b) opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion), (c) opini tidak wajar (adversed opinion), dan (d) pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion).

Laporan hasil pemeriksaan atas kinerja memuat temuan, kesimpulan, dan

rekomendasi. Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu memuat kesimpulan. Tanggapan pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas temuan, kesimpulan, dan rekomendasi pemeriksa, dimuat atau dilampirkan pada laporan hasil pemeriksaan.

Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat

disampaikan oleh BPK kepada DPR dan DPD selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah pusat. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah disampaikan oleh BPK kepada DPRD selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah daerah. Laporan hasil pemeriksaan tersebut disampaikan pula kepada Presiden/gubernur/ bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Laporan hasil pemeriksaan kinerja disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya. Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya. Laporan hasil pemeriksaan kinerja dan laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan khusus disampaikan pula kepada Presiden/gubernur/ bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Ikhtisar hasil pemeriksaan semester disampaikan kepada lembaga perwakilan

selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah berakhirnya semester yang bersangkutan. Ikhtisar hasil pemeriksaan tersebut disampaikan pula kepada Presiden/gubernur/bupati/ walikota selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah berakhirnya semester yang bersangkutan.

Laporan hasil pemeriksaan yang telah disampaikan kepada lembaga perwakilan,

dinyatakan terbuka untuk umum. Laporan hasil pemeriksaan yang terbuka untuk umum berarti dapat diperoleh dan/atau diakses oleh masyarakat. Namun demikian laporan hasil pemeriksaan dimaksud tidak termasuk laporan yang memuat rahasia negara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.

Tindak lanjut atas rekomendasi dapat berupa pelaksanaan seluruh atau sebagian dari rekomendasi. Dalam hal sebagian atau seluruh rekomendasi tidak dapat dilaksanakan, pejabat wajib memberikan alasan yang sah. Pejabat wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan. Jawaban atau penjelasan tersebut disampaikan kepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah laporan hasil pemeriksaan diterima.

BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan. Dalam rangka

pemantauan ini, BPK menatausahakan laporan hasil pemeriksaan dan menginventarisasi permasalahan, temuan, rekomendasi, dan/atau tindak lanjut atas

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 395

rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan. Selanjutnya BPK menelaah jawaban atau penjelasan yang diterima dari pejabat yang diperiksa dan/atau atasannya untuk menentukan apakah tindak lanjut telah dilakukan. Pejabat yang diketahui tidak melaksanakan kewajiban berupa melaksanakan tindak lanjut rekomendasi dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian. BPK memberitahukan hasil pemantauan tindak lanjut kepada lembaga perwakilan dalam hasil pemeriksaan semester.

Lembaga perwakilan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK dengan melakukan

pembahasan sesuai dengan kewenangannya. DPR/DPRD meminta penjelasan kepada BPK dalam rangka menindaklanjuti hasil pemeriksaan. DPR/DPRD dapat meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. Pemeriksaan lanjutan ini dapat berupa pemeriksaan hal-hal yang berkaitan dengan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. DPR/DPRD dapat meminta Pemerintah untuk melakukan tindak lanjut hasil pemeriksaan. Pengenaan Ganti Kerugian Negara

BPK menerbitkan surat keputusan penetapan batas waktu pertanggungjawaban bendahara atas kekurangan kas/barang yang terjadi, setelah mengetahui ada kekurangan kas/barang dalam persediaan yang merugikan keuangan negara/daerah. Surat keputusan ini diterbitkan apabila belum ada penyelesaian yang dilakukan sesuai dengan tata cara penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh BPK. Bendahara dapat mengajukan keberatan atau pembelaan diri kepada BPK dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima surat keputusan. Apabila bendahara tidak mengajukan keberatan atau pembelaan dirinya ditolak, BPK menetapkan surat keputusan pembebanan penggantian kerugian negara/daerah kepada bendahara bersangkutan. Pembelaan diri ditolak oleh BPK apabila bendahara tidak dapat membuktikan bahwa dirinya bebas dari kesalahan, kelalaian, atau kealpaan.

Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota/direksi perusahaan negara

dan badanbadan lain yang mengelola keuangan negara melaporkan penyelesaian kerugian negara/daerah kepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah diketahui terjadinya kerugian negara/daerah dimaksud. BPK memantau penyelesaian pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan/atau pejabat lain pada kementerian negara/lembaga/ pemerintah daerah.

Ketentuan Pidana

Ketentuan pidana yang diatur pada pasal 24, pasal 25, dan pasal 26 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 adalah sebagai berikut: § Setiap orang yang dengan sengaja tidak menjalankan kewajiban menyerahkan

dokumen dan/atau menolak memberikan keterangan yang diperlukan untuk kepentingan kelancaran pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6

Bab 12 : Pelaporan dan Pertanggungjawaban 396

(enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

§ Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalangi, dan/atau menggagalkan pelaksanaan pemeriksaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

§ Setiap orang yang menolak pemanggilan yang dilakukan oleh BPK tanpa menyampaikan alasan penolakan secara tertulis dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

§ Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan atau membuat palsu dokumen yang diserahkan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

§ Setiap pemeriksa yang dengan sengaja mempergunakan dokumen yang diperoleh dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan melampaui batas kewenangannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

§ Setiap pemeriksa yang menyalahgunakan kewenangannya sehubungan dengan kedudukan dan/atau tugas pemeriksaan dipidana dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

§ Setiap pemeriksa yang dengan sengaja tidak melaporkan temuan pemeriksaan yang mengandung unsur pidana yang diperolehnya pada waktu melakukan pemeriksaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

§ Setiap orang yang tidak memenuhi kewajiban untuk menindaklanjuti rekomendasi yang disampaikan dalam laporan hasil pemeriksaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Kebijakan Pengawasan Nasional Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Tahun 2006

Kebijakan Pengawasan Nasional APIP Tahun 2006 merupakan upaya untuk mensinergikan seluruh kegiatan APIP di Pusat dan Daerah dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengawasan intern Pemerintah. Untuk itu diperlukan komunikasi dan kerja sama antar APIP, sehingga program-program yang disusun oleh masing-masing APIP dapat saling menunjang satu sama lain. Diharapkan seluruh APIP dapat menjadikan Kebijakan Pengawasan Nasional ini sebagai acuan dalam penyusunan Kebijakan Pengawasan Tahunan dan Program Kerja Pengawasan Tahunan masing-masing APIP. Latar Belakang

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 397

Pengawasan intern pemerintah merupakan unsur manajemen Pemerintah yang

penting dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik. Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) sebagai pelaksana pengawasan intern pemerintah harus mampu merespon secara signifikan berbagai permasalahan dan perubahan yang terjadi, baik politik, ekonomi, dan sosial melalui suatu program dan kegiatan yang ditetapkan dalam suatu kebijakan pengawasan nasional yang berlaku secara menyeluruh untuk APIP Pusat dan Daerah. Perubahan yang terjadi akibat dinamika tuntutan masyarakat tercermin dari penetapan peraturan perundang-undangan yang mendukung penerapan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik dan peningkatan peranan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Peraturan perundang-undangan yang mendukung kepemerintahan yang baik terutama berupa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selain itu dalam bidang keuangan telah ditetapkan paket Undang-Undang

Keuangan Negara yang terdiri atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 yang mendorong penerapan sistem administrasi keuangan negara yang berbasis kinerja serta lebih transparan dan akuntabel. Sementara itu, tuntutan masyarakat terhadap peningkatan peranan daerah diwujudkan melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004.

Tuntutan masyarakat kepada Pemerintah untuk segera mewujudkan

kepemerintahan yang baik merupakan tuntutan untuk terselenggaranya pemerintah yang bersih, efektif, efisien, dan taat kepada peraturan perundang-undangan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan melalui suatu sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Dalam hal ini pengawasan intern pemerintah memegang peranan penting untuk memberikan keyakinan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pertanggungjawaban melalui sistem akuntabilitas tersebut telah dapat dilaksanakan seperti yang diharapkan. Untuk dapat melaksanakan peran pengawasan secara optimal, setiap unit APIP sesuai dengan lingkup kewenangan serta tugas dan fungsi masing-masing harus dapat memilih prioritas sasaran pengawasan, melaksanakan kegiatan pengawasan yang tepat dan relevan untuk diterapkan sesuai dengan sasaran pengawasan yang telah ditetapkan. Prioritas sasaran pengawasan tersebut perlu dirumuskan secara jelas dan terinci dalam program kerja pengawasan tahunan.

Sebagai acuan bagi seluruh jajaran APIP dalam menyusun Program Kerja Pengawasan Tahunan di Pusat dan Daerah sesuai dengan lingkup kewenangan serta tugas dan fungsi masing-masing, perlu dirumuskan dan ditetapkan Kebijakan Pengawasan Nasional Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (Jakwasnas APIP), dengan memperhatikan program-program Pemerintah terutama yang tercantum

Bab 12 : Pelaporan dan Pertanggungjawaban 398

dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 dan masalah-masalah aktual yang muncul pada tahun-tahun terakhir.

Visi pengawasan intern pemerintah adalah terwujudnya Aparat Pengawasan

Intern Pemerintah (APIP) yang profesional dan mampu mendorong penerapan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik. Misi Pengawasan intern pemerintah adalah melaksanakan pengawasan intern berdasarkan kode etik dan standar pengawasan yang diakui bersama dalam rangka memberikan jaminan bagi terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, efisien, dan taat terhadap peraturan perundang-undangan serta terlindunginya kekayaan negara dari setiap upaya penyimpangan.

Tujuan penyusunan Kebijakan Pengawasan Nasional APIP Tahun 2006 adalah:

§ Menetapkan arah Kebijakan Pengawasan Intern Pemerintah dalam Tahun 2006. § Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengawasan intern pemerintah melalui

sinergi pengawasan fungsional yang dilakukan melalui APIP. § Menjadi dasar penyusunan Kebijakan Pengawasan Tahunan dan Program Kerja

Pengawasan Tahunan masing-masing APIP.

Arah Kebijakan dan Program Kebijakan Pengawasan Nasional Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Tahun

2006 diarahkan untuk meningkatkan peran dan fungsi pengawasan intern pemerintah, dalam rangka membantu dan mendorong agar kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat dilaksanakan sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan serta untuk mendorong agar tujuan kegiatan pemerintahan dapat dicapai secara hemat, efisien, efektif, dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Dalam RPJM 2004-2009, arah kebijakan pengawasan dinyatakan dengan: § Peningkatan efektivitas pengawasan aparatur negara, koordinasi dan sinergi

pengawasan internal, eksternal dan pengawasan masyarakat. § Percepatan pelaksanaan tindak lanjut hasil-hasil pengawasan dan pemeriksaan. § Pemberian sanksi yang tegas bagi para pelaku KKN sesuai dengan ketentuan

yang berlaku. Dengan memperhatikan arah kebijakan pengawasan yang telah ditetapkan

diuraikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 dan masalah-masalah aktual yang muncul dalam tahun-tahun terakhir, maka Program Pengawasan Intern Pemerintah tahun 2006 disusun dalam bentuk kegiatan utama dan kegiatan penunjang sebagai berikut: 1. Kegiatan Utama

a. Pemeriksaan Pemeriksaan Kinerja Terhadap Penggunaan Dana APBN dan APBD

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 399

Pengeluaran negara yang dibiayai dari dana APBN, termasuk dana Pinjaman atau Hibah Luar Negeri (PHLN), dana APBN yang dialokasikan untuk pelaksanaan tugas pembantuan dan dekonsentrasi, serta dana APBD harus dikelola dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh instansi pemerintah pusat dan daerah. Dalam rangka menjalankan peran utamanya sebagai quality assurance, setiap unit APIP sesuai dengan lingkup kewenangan masing-masing, perlu melakukan pemeriksaan untuk memberikan penilaian atas kinerja penggunaan dana-dana tersebut, termasuk anggaran untuk TNI dan POLRI. Ruang lingkup pemeriksaan kinerja berupa pemeriksaan efektivitas, efisiensi dan ekonomi (kehematan) penggunaan anggaran serta ketaatan pelaksanaan kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan. Pemeriksaan kinerja penggunaan dana APBN dan APBD bertujuan menilai kinerja penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang didanai APBN dan APBD, serta memberikan rekomendasi dalam rangka membantu manajemen/pimpinan instansi pemerintahan meningkatkan kinerja. Pemeriksaan Kinerja atas Kegiatan Pelayanan Publik

Salah satu indikator keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan adalah efektivitas pelayanan instansi pemerintahan dalam memenuhi kebutuhan dan keperluan masyarakat melalui pelayanan publik yang prima, termasuk di dalamnya pelayanan dalam bidang perijinan.

Seluruh jajaran APIP sesuai dengan lingkup kewenangan masing-masing, perlu meningkatkan intensitas pengawasan atas pelayanan publik sebagaimana disebutkan dalam Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. SE/15/M.PAN/9/2005 tentang Peningkatan Intensitas Pengawasan Dalam Upaya Perbaikan Pelayanan Publik untuk memastikan bahwa kualitas pelayanan publik termasuk perijinan yang diberikan oleh instansi pemerintah kepada masyarakat telah sesuai dengan ketentuan dan standar pelayanan publik yang baku. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan atas proses penyelenggaraan pelayanan publik. Melalui pemeriksaan kinerja unit pelayanan publik diharapkan APIP dapat membantu pimpinan instansi pemerintah meningkatkan kualitas dan efektivitas pelayanan publik.

Peningkatan efektivitas dan kualitas pelayanan publik diharapkan dapat meningkatkan nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia, yang berdasarkan penilaian Transparency International, hanya mencapai 2,2 pada tahun 2005. Sebagaimana diketahui, IPK adalah nilai dengan interval 1-10 yang menggambarkan persepsi masyarakat bisnis internasional terhadap tingkat korupsi pada suatu negara, di mana komponen penilaian utama adalah tentang tingkat kemudahan dan kelancaran perijinan untuk melakukan usaha bisnis pada suatu negara. Nilai IPK yang tinggi mencerminkan tertib dan lancarnya perijinan untuk usaha bisnis sebagai bagian dari pelayanan publik dalam suatu negara.

Nilai IPK Indonesia meningkat dari 1,9 pada Tahun 2000 menjadi 2,2 pada tahun 2005. Walaupun terjadi peningkatan nilai IPK, namun dapat dilihat bahwa peningkatan tersebut sangat lambat, yaitu rata-rata 0,06 per tahun. Upaya percepatan pemberantasan korupsi di bidang perijinan diharapkan dapat mempercepat peningkatan nilai IPK menjadi 5,0 pada tahun 2010, atau rata-rata

Bab 12 : Pelaporan dan Pertanggungjawaban 400

0,6 per tahun. Nilai IPK yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan laju investasi (penanaman modal) asing maupun dalam negeri, sehingga mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional.

Dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan kinerja pelayanan publik, perlu dilakukan penilaian tentang efektivitas penerapan prinsip-prinsip dan standar pelayanan publik yang ditetapkan dalam Kep. Men. PAN No. 63/Kep/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Pelayanan Publik. Melalui pemeriksaan kinerja, APIP dapat memberikan penilaian-penilaian dan rekomendasi untuk mendorong peningkatan kinerja pelayanan publik. Pemeriksaan Kinerja atas Optimalisasi Penerimaan Negara dan Daerah

Untuk mengurangi ketergantungan Pemerintah terhadap pinjaman luar negeri dalam rangka penyediaan sumber dana pembiayaan pembangunan, Pemerintah berupaya keras melakukan optimalisasi peningkatan penerimaan negara , baik penerimaan Pemerintah Pusat maupun Pendapatan Asli Daerah baik penerimaan pajak maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Upaya pemerintah ini harus didukung sepenuhnya oleh seluruh jajaran APIP melalui pelaksanaan pengawasan yang meliputi pemeriksaan kinerja atas kegiatan optimalisasi penerimaan negara baik yang bersifat intensifikasi maupun ekstensifikasi. Dalam rangka intensifikasi maupun ekstensifikasi penerimaan pajak, APIP, khususnya Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan perlu melakukan pemeriksaan kinerja penerimaan pajak. Khusus mengenai PNBP, jika dipandang perlu Departemen Keuangan dapat meminta bantuan BPKP. Khusus untuk melakukan pemeriksaan PNBP sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam PP No. 22 Tahun 2005 tentang Pemeriksaan PNBP. Pemeriksaan Keuangan atas Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN)

Pemeriksaan terhadap dana hutang dan hibah luar negeri mencakup nilai hutang keseluruhan sebagaimana tercantum dalam Loan Agreement, dilakukan oleh APIP yang ditunjuk oleh institusi atau negara donor. Pemeriksaan terhadap PHLN mencakup pemeriksaan umum (general audit) untuk memberikan opini atau pernyataan pendapat akuntan terhadap kewajaran laporan keuangan proyek-proyek yang dibiayai dari sumber dana PHLN. Hal ini dimaksudkan agar dana PHLN tersebut dimanfaatkan secara optimal, terarah, dengan tingkat kebocoran yang minimal dan penggunaannya dilakukan menurut skala prioritas sesuai kebijakan pembangunan yang telah digariskan. Pemeriksaan Investigatif

Salah satu isu aktual yang sangat penting untuk direspon oleh APIP adalah Instruksi Presiden kepada pimpinan instansi pemerintah di Pusat dan Daerah yang berisi tentang percepatan pemberantasan korupsi sebagaimana tercantum dalam Inpres No. 5 Tahun 2004. Dalam Diktum ke 10 Inpres No. 5 tahun 2004, Pimpinan Instansi Pemerintah diinstruksikan untuk meningkatkan upaya pengawasan dan pembinaan aparatur untuk meniadakan perilaku koruptif di lingkungannya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh APIP adalah melakukan pemeriksaan investigatif apabila ada dugaan kasus KKN di lingkungan Aparatur Negara.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 401

Dalam melaksanakan setiap tugas pemeriksaan terutama pemeriksaan terhadap obyek Pemeriksaan atau kegiatan yang rawan terhadap kebocoran dan adanya hambatan kelancaran pembangunan serta pelayanan masyarakat, setiap APIP wajib mengembangkan dan melaksanakan prosedur pemeriksaan yang diarahkan untuk mengungkapkan adanya unsur-unsur tindak pidana korupsi, perdata, dan kejahatan keuangan lainnya (antara lain penggelapan, penipuan dan pemalsuan) serta penyelesaian hambatan kelancaran pembangunan dan pelayanan masyarakat. Apabila ditemukan indikasi yang kuat adanya unsur-unsur tindak pidana korupsi, perdata dan kejahatan keuangan lainnya, maka pemeriksaan perlu ditindaklanjuti dengan pemeriksaan investigatif.

Selain dari hasil pengembangan pemeriksaan reguler, pemeriksaan investigatif juga dilaksanakan berdasarkan pengembangan atas temuan hasil pemeriksaan yang belum ada atau belum tuntas tindak lanjutnya, pengaduan masyarakat baik melalui Kotak Pos 5000 maupun yang langsung ditujukan kepada APIP yang bersangkutan, permintaan dari instansi yang berwenang dan isu aktual yang berkembang di masyarakat. Perlu dilakukan peningkatan dan pengembangan kerja sama dengan instansi lain mencakup kejaksaan, kepolisian, dan pihak lain yang terkait, serta peningkatan kerja sama dalam lingkup APIP baik di pusat ataupun daerah terutama dengan Bawasda Propinsi/Kabupaten/Kota serta lembaga-lembaga pengawasan masyarakat.

Untuk lebih mendalami dan mengungkap adanya unsur-unsur tindak pidana korupsi maka alokasi dana untuk pemeriksaan investigatif dalam tahun 2006 perlu disediakan secara memadai. Bahkan bila dipandang perlu, di dalam organisasi Inspektorat Jenderal Departemen dapat dibentuk inspektorat yang secara khusus melakukan pemeriksaan investigatif di luar inspektorat yang telah ada, tanpa mengurangi struktur organisasi yang telah ada. Hal ini dimungkinkan, dengan terbitnya Perpres Nomor 62 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Perpres No. 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia. Pemeriksaan terhadap masalah yang menjadi fokus perhatian Pimpinan Lembaga/Instansi Pemerintah

Dalam pengambilan keputusan, pimpinan lembaga/instansi pemerintah dapat memberikan perhatian khusus pada masalah-masalah tertentu yang menjadi bidang tugasnya. Masing-masing unit APIP harus tanggap dan harus dapat menyajikan informasi hasil pengawasan atas permasalahan yang menjadi perhatian pimpinan lembaga/instansi dimaksud. Pemeriksaan bersifat khas

Sesuai dengan tujuan pembentukannya, setiap unit APIP dapat mempunyai tugas dan fungsi yang bersifat khas yang tidak dimiliki oleh APIP lainnya seperti pemeriksaan akhir masa jabatan Kepala Daerah. Unit APIP bersangkutan perlu memperhatikan dan melaksanakan kegiatan pengawasan yang bersifat khas dimaksud, antara lain melalui pemeriksaan dengan tujuan tertentu di luar pemeriksaan investigatif. b. Monitoring

Bab 12 : Pelaporan dan Pertanggungjawaban 402

Kegiatan pengawasan lainnya yang penting adalah monitoring atau pemantauan. Monitoring oleh APIP dilakukan secara terus-menerus terhadap seluruh tahap pelaksanaan tugas pokok instansi pemerintah sejak tahap perencanaan, sebagai salah satu bentuk pengarahan dan penjagaan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah, agar tetap berjalan sesuai dengan kebijakan, rencana, prosedur dan ketentuan peraturan perundang-undangan. APIP dapat segera memberikan saran/rekomendasi kepada pimpinan instansi pemerintah/unit kerja yang bertanggungjawab, jika hasil monitoring menunjukkan bahwa ada hal-hal yang perlu dikoreksi untuk menjamin agar tujuan/sasaran program/kegiatan dapat dicapai secara efektif dan efisien. Saran/rekomendasi tersebut antara lain dapat berupa perbaikan dalam penerapan sistem pengendalian intern, misalnya penyempurnaan kebijakan, pengorganisasian, perencanaan, prosedur, dan sistem pelaporan.

Selain itu, untuk mencapai hasil pengawasan yang optimal dan memberikan nilai tambah bagi penyelenggaraan pemerintahan, setiap APIP wajib untuk memantau tindak lanjut dari rekomendasi hasil pengawasan intern, ekstern dan pengawasan masyarakat dan mendorong pimpinan instansi untuk memperhatikan dan melaksanakan tindak lanjut tersebut. Pemantauan tindak lanjut ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa instansi pemerintah telah melaksanakan tindak lanjut sebagaimana mestinya. Apabila dari pemantauan tindak lanjut hasil pengawasan tersebut ditemukan adanya rekomendasi yang tidak dilaksanakan, maka pimpinan instansi pemerintah dapat mengenakan sanksi kepada pimpinan unit kerja atau personil yang bertanggungjawab. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan dalam SE Men. PAN No. SE/02/M.PAN/01/2005 tanggal 7 Januari 2005. c. Kegiatan Evaluasi Evaluasi Sistem Pengendalian Intern Pemerintah

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah yang selama ini dikenal dengan istilah pengawasan melekat (Waskat) merupakan lapisan pengawasan terdepan yang menjadi benteng pertahanan terhadap setiap upaya penyimpangan dan hambatan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. APIP mempunyai kewajiban untuk melakukan evaluasi secara berkala terhadap efektivitas atau keandalan Sistem Pengendalian Intern Instansi Pemerintah. Evaluasi secara berkala merupakan suatu sistem pengendalian intern pada tingkat kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka pemeriksaan atas kegiatan tertentu. Evaluasi efektivitas Sistem Pengendalian Intern Instansi Pemerintah dapat dilaksanakan dengan menggunakan metodologi evaluasi yang ditetapkan dalam Kepmen PAN No. 46/Kep/M.PAN/04/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Melekat.

Evaluasi Penggunaan Dana Dekonsentrasi dan Pembantuan

Dana dekonsentrasi dan pembantuan merupakan bagian anggaran dari Kementerian Negara. Gubernur wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Menteri yang bersangkutan, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Selanjutanya

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 403

Menteri menyusun laporan kepada Menteri Keuangan untuk dikonsolidasikan sebagai bagian laporan pertanggungjawaban keuangan Pemerintah. APIP Kementerian Negara/Departemen yang bersangkutan wajib melakukan evaluasi atas pertanggungjawaban yang disampaikan oleh Gubernur kepada Menteri. Evaluasi Aspek tertentu Penyelenggaraan Program Instansi Pemerintah

Selain melakukan pemeriksaan, APIP perlu juga melakukan evaluasi atas aspek tertentu penyelenggaraan program instansi pemerintah. Evaluasi tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan metodologi evaluasi yang sesuai dengan masalah yang dihadapi dan memanfaatkan data hasil pemeriksaan yang ada. d. Reviu

Reviu merupakan salah satu bentuk kegiatan pengawasan, berupa penilaian

terhadap hasil kegiatan suatu instansi pemerintah. Salah satu bentuk reviu yang dilakukan oleh APIP adalah reviu terhadap laporan keuangan berdasarkan SE Dirjen Perbendaharaan No. SE-27/Pb/2004 tanggal 27 Oktober 2004. APIP Pusat wajib melakukan reviu Laporan Keuangan Departemen/Kementerian/LPND yang akan disampaikan kepada Menteri Keuangan untuk dikonsolidasikan sebagai bagian pertanggungjawaban keuangan pemerintah. Tujuan reviu tersebut terutama adalah untuk menilai laporan keuangan dari sudut penyajiannya. Hal yang sama dapat dilakukan juga oleh APIP Daerah. e. Sosialisasi dan Asistensi Kepada Instansi Pusat dan Daerah

Dengan berlakunya UU No. 17 tahun 2003, khususnya PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah, dan berlakunya Sistem Akuntansi Keuangan Daerah, maka format Laporan Keuangan Negara sudah dibakukan APIP, khususnya BPKP perlu melaksanakan sosialisasi penyuluhan, pembinaan, serta asistensi (bimbingan teknis) untuk perumusan format serta substansi materi laporan keuangan dimaksud. Dalam kaitan dengan penyusunan laporan keuangan ini, perlu dilakukan sosialisasi dan asistensi (bimbingan teknis). Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Pemerintah (PSAKP), serta sosialisasi dan asistensi penyusunan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah (SAKD).

2. Kegiatan Penunjang Untuk mencapai keberhasilan kegiatan utama pengawasan perlu didukung

dengan kegiatan penunjang pengawasan yang terdiri atas: Sinergi Pelaksanaan Kegiatan Pengawasan

Untuk lebih mengoptimalkan hasil pengawasan, setiap unit APIP perlu mengembangkan dan meningkatkan kerjasama yang sinergis antar APIP, dengan Badan Pemeriksa Keuangan serta dengan aparat penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Bab 12 : Pelaporan dan Pertanggungjawaban 404

Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan Berbagai kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan,

keterampilan, kapabilitas, dan profesionalisme SDM Pengawasan, yang dimiliki oleh setiap unit APIP perlu terus ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan pengawasan yang meliputi diklat sertifikasi JFA, diklat penjenjangan struktural, diklat manajemen pengawasan, diklat teknis substansi (antara lain termasuk melalui diklat LAKIP, diklat evaluasi kinerja, diklat evaluasi kebijakan publik serta diklat penunjang lainnya). Diklat di bidang keuangan sehubungan dengan terbitnya SAP dan SAKD merupakan diklat yang sangat penting bagi para auditor APIP untuk mendukung pengawasan penerapan UU No. 17 Tahun 2003 dan peraturan perundang-undangan lainnya di bidang keuangan.

Selain itu perlu pula dilakukan berbagai forum seperti seminar, Pelatihan di Kantor Sendiri (PKS), diskusi, studi kasus berbagai masalah yang berhubungan dengan pengawasan dalam rangka meningkatkan dan memelihara konsep pendidikan dan pelatihan berkelanjutan (continuing professional education). Untuk itu setiap APIP perlu mengalokasikan dana yang memadai untuk kegiatan pendidikan dan pelatihan pengawasan. Penelitian, pengembangan, dan studi di Bidang Pengawasan

Berbagai kegiatan penelitian, pengembangan dan studi dalam rangka peningkatan kualitas dan efektifitas hasil kegiatan pengawasan perlu dilakukan oleh setiap unit APIP, untuk peningkatan sistem, metode, dan teknik pengawasan agar setiap unit APIP dapat memanfaatkan sumber daya pengawasan secara optimal. Pengembangan Sistem Informasi Pengawasan

Dalam rangka penyusunan Sistem Informasi Pengawasan yang terpadu, setiap APIP harus menyusun database pengawasan yang terus dimutakhirkan dan dikembangkan. Database pengawasan tersebut antara lain mencakup data obyek pengawasan, temuan dan tindak lanjut hasil pengawasan dan berbagai data SDM pengawasan. Pembinaan Jabatan Fungsional Auditor (JFA)

Sesuai dengan surat keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 19 Tahun 1996 tanggal 2 Mei 1996 tentang jabatan Fungsional Auditor dan Angka Kreditnya, pembinaan Jabatan Fungsional Auditor (JFA) di lingkungan BPKP dan instansi pemerintah lainnya, dilakukan oleh BPKP yang dimaksudkan untuk mempertahankan standar kinerja dan meningkatkan mutu hasil pengawasan. Untuk itu komunikasi dan kerja sama antara BPKP dan APIP lainnya perlu dibina dalam rangka meningkatkan pemahaman tentang JFA. Kegiatan Penunjang Lainnya

Kegiatan APIP yang juga merupakan kegiatan penunjang meliputi pembuatan laporan berkala kegiatan pengawasan, penyusunan kebijakan pengawasan, penyusunan PKPT, penyusunan daftar obyek pengawasan, penyusunan daftar temuan, tindak lanjut hasil pengawasan, dan penyusunan prosedur tata kerja pengawasan.

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 405

Koordinasi Pengawasan

Koordinasi pengawasan penyelenggaraan atas pemerintahan di tingkat Pusat

dilaksanakan oleh Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara berdasarkan Perpres No. 9 tahun 2005, sedangkan koordinasi pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Departemen Dalam Negeri berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004. Untuk mewujudkan koordinasi pengawasan intern pemerintah pada tingkat nasional yang efektif, diperlukan koordinasi antar APIP Pusat dan Daerah. Kegiatan koordinasi pengawasan yang perlu dilaksanakan mencakup:

Rapat Koordinasi Pengawasan (Rakorwas)

Untuk meningkatkan koordinasi pengawasan di antara jajaran APIP perlu dilaksanakan Rapat Koordinasi Pengawasan (Rakorwas) guna di peroleh kesamaan persepsi mengenai kebijakan pengawasan, memantapkan sinergi pengawasan, dan sekaligus mengeliminasi adanya tumpang tindih pelaksanaan pemeriksaan. Rakorwas diselenggarakan dalam bentuk Rakorwas Nasional yang diikuti unsur APIP Pusat dan Daerah, Rakorwas antar APIP Pusat, Rakorwas Regional, Rakorwas APIP Daerah. Tujuan Rakorwas adalah untuk membahas isu-isu pengawasan yang relevan. Rakorwas diselenggarakan oleh Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Departemen Dalam Negeri.

Koordinasi Pelaporan

Koordinasi pelaporan dilakukan melalui pengiriman laporan dari satu APIP kepada APIP lainnya yang memerlukan. Sebagai contoh Inspektorat Jenderal Departemen perlu menyampaikan tembusan laporan hasil pemeriksaan dana dekonsentrasi kepada Bawasda Provinsi. Koordinasi pelaporan juga perlu dilakukan antara APIP dengan BPK-RI dalam bentuk pengiriman laporan hasil pemeriksaan APIP kepada BPK-RI, sebagaimana diwajibkan dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2004.

Frekuensi Pemeriksaan Oleh APIP

Dalam satu tahun anggaran, terhadap satu obyek pengawasan dapat dilakukan maksimal dua kali pemeriksaan oleh APIP yang berbeda, dengan tenggang waktu minimal 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya pemeriksaan terdahulu pada obyek pemeriksaan yang bersangkutan, dengan sasaran dan tujuan pemeriksaan yang sama atau berbeda. Ketentuan ini tidak berlaku untuk pemeriksaan investigatif yang dapat dilakukan sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan. Sasaran dan jadwal pengawasan oleh APIP di Pusat dan Daerah masing-masing ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri dalam Program Kerja Pengawasan Tahunan di Pusat dan Daerah.

Bab 12 : Pelaporan dan Pertanggungjawaban 406

Rangkuman

Salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip tepat waktu dan disusun mengikuti standar akuntansi pemerintahan yang telah diterima secara umum. Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mensyaratkan bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Laporan Realisasi Anggaran menyajikan realisasi pendapatan, belanja, dan pembiayaan yang diperbandingkan dengan anggarannya dan dengan realisasi periode sebelumnya. Neraca menyajikan aset, utang, dan ekuitas dana yang diperbandingkan dengan periode sebelumnya. Laporan Arus Kas menyajikan arus kas dari aktivitas operasi, arus kas dari aktivitas investasi aset non keuangan, arus kas dari aktivitas pembiayaan, dan arus kas dari aktivitas non anggaran yang diperbandingkan dengan periode sebelumnya. Penambahan unsur-unsur Laporan Keuangan ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan dan/atau oleh komite yang menyusun SAP. Khusus untuk tingkat pemerintah daerah, penambahan unsur-unsur Laporan Keuangan ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri.

Laporan kinerja berisi ringkasan tentang keluaran dari masing-masing kegiatan dan hasil yang dicapai dari masing-masing program sebagaimana ditetapkan dalam dokumen pelaksanaan APBN/APBD. Bentuk dan isi Laporan Kinerja disesuaikan dengan bentuk dan isi rencana kerja dan anggaran. Tata cara tentang penyusunan kegiatan dan indikator kinerja dimaksud didasarkan pada ketentuan peraturan pemerintah tentang rencana kerja pemerintah dan peraturan pemerintah tentang penyusunan rencana kerja dan anggaran Kementerian Negara/Lembaga. Informasi tentang Realisasi Kinerja disajikan secara berbanding dengan Kinerja yang direncanakan dan dianggarkan sebagaimana tercantum dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Pemerintah Pusat/Daerah untuk tahun anggaran yang bersangkutan.

Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pengawasan intern pemerintah merupakan unsur manajemen Pemerintah yang penting dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik. Aparat Pengawasan

Manajemen Perbendaharaan Pemerintahan: Aplikasi di Indonesia 407

Intern Pemerintah (APIP) sebagai pelaksana pengawasan intern pemerintah harus mampu merespon secara signifikan berbagai permasalahan dan perubahan yang terjadi, baik politik, ekonomi, dan sosial melalui suatu program dan kegiatan yang ditetapkan dalam suatu kebijakan pengawasan nasional yang berlaku secara menyeluruh untuk APIP Pusat dan Daerah.

DAFTAR PUSTAKA Anonim, Modul Cash Management Direktorat Pengelolaan Kas, Direktoral Jenderal

Perbendaharaan, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Jakarta: tanpa tahun.

Anonim, Modul Diklat Audit Operasional, Pusat Pengembangan Akuntansi dan Keuangan, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara: Jakarta: 2006.

Bambang Widjajarso, Akhmad Solikin, Akhmad Priharjanto, Akuntansi Pemerintahan: Teori dan Praktik, LPKPAP, Jakarta: 2006

Brigham, Ganpenski, Intermediate Financial Management Fourth Edition, The Dryden Press: 1993

Buklet Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Direktorat Pengelolaan Surat Utang Negara, Depkeu.

Dungtji Munawar, Bahan Ajar Pengelolaan Surat Utang Negara, Pusdiklat Angggaran BPPK Departemen Keuangan, Jakarta: 2004

Kardjo, Johannes. Seri Perbendaharaan Negara: Penyelesaian Kerugian Negara, Penerbit Eko Jaya, Jakarta: 1994

Keown, Martin, Petty, and Scott, Jr., Financial Management: Principles and Applications, Ninth Edition, Prentice Hall, New Jersey: 2002

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 447/KMK.06/2005 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Tahun 2005-2009

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 466/KMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan

Kieso and Weygandt, Intermediate Accounting, Eighth Edition, John Wiley and Sons, Inc., 1995

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.

Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Pemerintah Nomor: Per/03/M.PAN/02/2006 Tentang Kebijakan Pengawasan Nasional Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Tahun 2006

426

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 59/PMK.06/2005 Tentang Sistem Akuntansi Dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 96/PMK.06/2005 tentang Petunjuk Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan, dan Revisi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2006.

Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor Per.005/M.PPN/06/2006 tentang Tata Cara Perencanaan dan Pengajuan Usulan serta Penilaian Kegiatan yang Dibiayai dari Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri.

Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor Per-40/PB/2006 Tentang Pedoman Akuntansi Persediaan

Riant Nugroho D., Tri Hanurita S., Tantangan Indonesia: Solusi Pembangunan Politik Negara Berkembang, Elex Media Komputindo, Jakarta: 2005

Robert N. Anthony dan Vijay Govindarajan, Management Control System, The McGraw-Hill Companies: 2004

Sadewo, Modul Penatausahaan Kekayaan Negara, Pusdiklat Angaran BPPK, Tahun 2002

Samsul Chorib, Boedirijanto, Andy Pardede, Pengurusan Piutang Negara, LPKPAP, Jakarta: 2006

Smith, Stice, and Stice, Intermediate Accounting, Ohio: 2002

Sumiyarto, Bahan Ajar Diklat Teknis Substantif Pinjaman/Hibah Luar Negeri, Direktorat Dana Luar Negeri, Direktorat Jenderal Anggaran, Jakarta: 2003

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara

Undang-Undang Republik Indonesia Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Weaver and Weston, Finance and Accounting for Nonfinancial Managers, The McGraw-Hill Executive, New York: 2001

Website Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Departemen Keuangan Republik Indonesia: http://www.perbendaharaan.go.id

William J. Stevenson, Operations Management: Seventh Edition, McGraw-Hill Companies, New York: 2002

-o0o-

Lampiran I

Tabel Kode Barang Persediaan

412

413

414

415

416

417

418

419

420

421

422

423

Lampiran II

Tabel Mapping Klasifikasi Persediaan

Ke Perkiraan Buku Aset Besar

424