Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014
-
Upload
nisa-ilmi-luluk-masluki -
Category
Documents
-
view
139 -
download
2
description
Transcript of Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014
2 - 1
Modul 2 Pengumpulan dan Analisis Data Spasial
serta Pemetaan untuk Mendukung RZWP-3-K
Tujuan
Peserta dapat memahami kebutuhan data dasar dan tematik, pengumpulan data, survei
lapangan, penyusunan peta tematik, dan penyusunan paket sumberdaya.
Topik
Kebutuhan data dasar dan tematik
Pengumpulan data
Survei lapangan
Penyusunan peta tematik
Penyusunan paket sumberdaya
Penyajian peta
Durasi
Durasi penyampaian materi di dalam modul ini secara keseluruhan ialah selama 90
menit.
Metode
Materi di dalam modul ini disampaikan dengan pendekatan partisipatif dan
menggunakan metode yang interaktif.
Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam penyampaian modul meliputi: presentation slides,
LCD/Proyektor, Laptop, flipchart, pointer laser serta perlengkapan untuk simulasi dan
diskusi kelompok sesuai kebutuhan.
2 - 2
Modul 2
Pengumpulan dan Analisis Data Spatial
serta Pemetaan untuk Mendukung RZWP-3-K
A. Data apa saja yang dibutuhkan dalam penyusunan RZWP-3-K?
Penyusunan Rencana Zonasi Wilayah dan Pulau-pulau Kecil (RZWP-3-K) di tingkat propinsi,
kabupaten dan kota membutuhkan berbagai macam data, baik spasial maupun non-spasial. Data
spasial merupakan data dan informasi yang memiliki referensi geografis dan/atau informasi lokasi
dalam kedudukannya di ruang muka bumi, sedangkan data non-spasial tidak berhubungan dengan
referensi geografis, yang meliputi data statistik dan informasi deskriptif.
Data spasial merupakan input utama dalam penyusunan peta RZWP-3-K. Data spasial yang
digunakan dalam penyusunan RZWP-3-K terdiri dari 12 dataset yang meliputi dua dataset dasar
(baseline dataset) dan 10 dataset tematik (thematic dataset), dengan rincian sebagai berikut:
Dataset dasar terdiri dari:
1) Terestrial
2) Batimetri
Dataset tematik terdiri dari:
1) Geologi dan geomorfologi laut
2) Oseanografi
3) Penggunaan Lahan dan Status Lahan
4) Pemanfaatan Wilayah Laut Eksisting
5) Sumberdaya Air
6) Ekosistem Pesisir dan Sumberdaya Ikan
7) Infrastruktur
8) Demografi dan Sosial
9) Ekonomi Wilayah
10) Risiko Bencana dan Pencemaran
Kebutuhan data spasial selengkapnya dapat dilihat pada Tabel Kebutuhan Data pada
Lampiran 1a dan 1b.
Data spasial dasar dan tematik yang dibutuhkan dalam penyusunan RZWP-3-K propinsi,
kabupaten, dan kota memiliki skala yang berbeda, yaitu:
Propinsi : minimum skala 1 : 250.000
Kabupaten : minimum skala 1 : 50.000
Kota : minimum skala 1 : 25.000
2 - 3
Dalam penyusunan RZWP-3-K propinsi, kabupaten dan kota, data spasial yang digunakan
adalah data spasial yang memenuhi syarat kualitas dan kuantitas data sesuai dengan kebutuhan
untuk menyusun RZWP-3-K di tingkat pemerintahan tersebut di atas. Adapun persyaratan kualitas
dan kuantitas data untuk penyusunan RZWP-3-K adalah sebagai berikut:
1) Kualitas data
Skala
Skala memberikan informasi mengenai perbandingan antara ukuran obyek di peta
dibandingkan dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Untuk tingkatan perencanaan propinsi, skala
yang harus digunakan ialah minimum 1 : 250.000; kabupaten dengan skala minimum 1 : 50.000; dan
kota minimum skala 1 : 25.000.
Akurasi geometrik
Akurasi geometrik merupakan informasi mengenai ketepatan posisi dan presisi dalam
penyusunan peta dasar atau tematik sesuai dengan sistem/kerangka/referensi koordinat yang telah
ditetapkan di Indonesia. Sebagai acuan standar, proyeksi yang digunakan dalam pemetaan adalah
Universal Transverse Mercator (UTM) dan datum horisontal yang digunakan adalah World Geodetik
System 1984 (WGS-84). Dengan persyaratan akurasi geometrik ini, seluruh data spasial yang
digunakan diharuskan mengacu pada proyeksi dan datum tersebut, sehingga seluruh data spasial
dapat diintegrasikan dalam satu sistem dengan tepat.
Tingkat kedalaman data
Tingkat kedalaman data hampir mirip dengan tingkat kedetailan data. Data atau informasi
yang dipetakan pada saat proses penyusunan data/peta tematik, baik pada saat identifikasi obyek
dari citra satelit maupun pada saat survei lapangan, memiliki tingkat kedalaman informasi yang
berbeda.
Pada saat interpretasi citra satelit, tingkat kedalaman data menentukan seberapa detail
obyek tertentu dapat diidentifikasi. Sebagai contoh, pada saat delineasi mangrove dengan
menggunakan citra satelit A akan menghasilkan tingkat kedalaman informasi yang berbeda pada
saat delineasi menggunakan citra satelit B. Contoh lain adalah pada saat survei dan pengambilan
sampel di lapangan, skala survei dan berapa besar jumlah sampel yang diambil, akan
mempengaruhi tingkat kedalaman informasi yang dihasilkan. Untuk informasi tingkat kedalaman
data pada data sekunder (peta analog maupun digital) dapat diketahui dari riwayat peta dan
metadata (informasi mengenai data). Informasi yang tersaji di dalam setiap peta tematik dapat
diklasifikasikan lagi, secara lebih rinci, dan bervariasi, karena bergantung kepada skala yang
digunakan.
Tingkat kedetailan data
Tingkat kedetailan data menentukan sejauh mana informasi dari peta tematik dapat
dikeluarkan. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, pada skala 1 : 250.000, 1 : 50.000 dan
2 - 4
1 : 25.000, klasifikasi informasi yang dikeluarkan melalui peta tematik akan berbeda-beda. Skala 1 :
25.000 akan memberikan informasi yang paling detail. Pada peta analog, tingkat kedetailan data
dapat diketahui dari legenda peta, sedangkan pada data/peta digital, kedetailan data dapat dilihat
dari tingkatan klasifikasi pada data atributnya. Dengan persyaratan kedetailan data, seluruh data
tematik yang digunakan harus mengacu pada standar klasifikasi data yang ada sesuai tingkatan
perencanaannya.
Kemutakhiran data
Ada persyaratan batasan waktu terhadap data sekunder (data spasial dan di luar spasial)
yang dapat digunakan dalam penyusunan rencana zonasi WP-3-K. Batasan waktu ini mencakup
waktu penyusunan data, waktu verifikasi lapangan, sumber-sumber data yang digunakan dan
konsistensi waktu untuk berbagai data spasial yang digunakan. Kemutakhiran data untuk masing-
masing peta tematik berbeda-beda, tergantung sifat dari obyek-obyek yang dipetakan. Sebagai
contoh, kemutakhiran data untuk peta penggunaan lahan perkotaan berbeda dengan kemutakhiran
data untuk peta geologi.
Kelengkapan atribut
Ada persyaratan mengenai kelengkapan atribut di dalam setiap data spasial, terutama data
digital. Kelengkapan atribut sangat tergantung pada tipe data dan skala pemetaan. Sebagai contoh
untuk data spasial mangrove pada skala 1 : 250.000 memiliki kelengkapan atribut: id (identitas
poligon), koordinat, jenis penutupan lahan (mangrove dan selain mangrove), dan luas. Untuk skala
1 : 50.000 kelengkapan atribut: id, koordinat, jenis penutupan (mangrove dan selain mangrove),
penutupan tajuk dan kerapatan pohon.
Selain enam (6) persyaratan di atas, data spasial perlu diklarifikasi mengenai topologi dan
konsistensi antar komponen data, sehingga siap digunakan (GIS Ready) dalam analisis lanjutan
dalam penyusunan RZWP-3-K.
2) Kuantitas data
Kuantitas data merupakan persyaratan jumlah dataset spasial yang harus dipenuhi dalam
penyusunan RZWP-3-K. Jumlah dataset terdiri 12 dataset, dengan perincian dua dataset dasar
(baseline dataset) dan 10 dataset tematik (tematik dataset).
B. Data sekunder apa saja yang harus dikumpulkan dan dari instansi mana data diperoleh?
Pengumpulan data merupakan salah satu bagian terpenting dalam penyusunan RZWP-3-K.
Data sekunder yang dikumpulkan meliputi 12 dataset yang terdiri dari dua dataset dasar (baseline
dataset) dan 10 dataset tematik (thematic dataset).
Pengumpulan data (sekunder) dari instansi terkait dilakukan sebelum survei lapangan.
Apabila data sekunder yang dikumpulkan belum memenuhi persyaratan kualitas dan kuantitas,
2 - 5
maka harus dilakukan survei lapangan untuk melengkapi kebutuhan data dalam penyusunan RZWP-
3-K. Data sekunder (data spasial) yang dikumpulkan dari instansi terkait memiliki berbagai macam
bentuk dan format, di antaranya berupa peta analog (hardcopy), peta digital (data digital), dan data
tabular/numerik. Pada Tabel 2.1 dijelaskan secara lebih detail mengenai data sekunder tersebut.
Pengumpulan data sekunder dilakukan sesuai dengan kebutuhan penyusunan RZWP-3-K,
misalnya untuk tingkat propinsi, kabupaten atau kota. Masing-masing tingkat perencanaan
membutuhkan data sekunder dengan skala dan tingkat kedetailan data yang berbeda-beda. Data
yang dikumpulkan dari instansi terkait berupa data spasial hasil pemetaan dan data non spasial yang
telah dilakukan oleh instansi tersebut.
Untuk mendapatkan data sekunder tersebut, langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah
sebagai berikut:
1) Menyiapkan daftar data yang dibutuhkan di setiap instansi
2) Mendatangi instansi terkait untuk mendapatkan data sesuai dengan tema
3) Melakukan kompilasi data dan mengklasifikasikan data sesuai tema dan skala
4) Melakukan analisis data untuk menyeragamkan format data yang berbeda-beda menjadi format
peta digital
5) Menyusun peta-peta tematik
6) Melakukan penilaian kualitas dan kuantitas data
Data yang dikumpulkan dari dari berbagai instansi dapat dikategorikan menjadi dataset dasar
dan dataset tematik. Pengumpulan data untuk tingkat propinsi, kabupaten dan kota dapat dilihat
pada tabel berikut:
b.1. Peta Dasar dan Citra Satelit
Tabel 2.1 Pengumpulan Peta Dasar dan Citra Satelit dari Berbagai Instansi
untuk Level Provinsi, Kabupaten dan Kota
NO KATEGORI
DATA
PENGUMPULAN DATA SEKUNDER UNTUK PENYUSUNAN RZWP-3-K PROVINSI, KABUPATEN DAN KOTA
JENIS DATA/PETA SKALA/RESOL
USI
BENTUK/FORMAT
DATA/PETA
SUMBER DATA
INSTANSI PENYEDIA
DATA
1 Peta Dasar
Peta Rupabumi 1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000
Softcopy & hardcopy Shapefile
Peta Rupabumi Indonesia skala 1 : 250.000, 1 : 50.000 dan 1 : 25.000
BIG
Lingkungan Pantai Indonesia
1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000
Softcopy & hardcopy
Peta Lingkungan Pantai
BIG
2 - 6
NO KATEGORI
DATA
PENGUMPULAN DATA SEKUNDER UNTUK PENYUSUNAN RZWP-3-K PROVINSI, KABUPATEN DAN KOTA
JENIS DATA/PETA SKALA/RESOL
USI
BENTUK/FORMAT
DATA/PETA
SUMBER DATA
INSTANSI PENYEDIA
DATA
Indonesia skala 1 : 250.000, 1 : 50.000 dan 1 : 25.000
Peta Batas Wilayah Perencanaan WP-3-K provinsi, kabupaten dan kota
1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000
Softcopy Analisis KKP
2 Citra Satelit
- Citra Satelit ALOS, Landsat, (untuk ekosistem pesisir dan substrat dasar laut,)
- Citra Quickbird, Ikonos, GeoEye, WorldView (untuk ekosistem pesisir, substrat dasar laut dan pemanfaatan wilayah laut eksisting, infrastruktur)
- Citra satelit NOAA-AVHR, MODIS, SeaWiffs (untuk suhu permukaan laut, klorofil,
Resolusi 30 x 30 m, 10 x 10 m Resolusi minimum 1 x 1 m Resolusi 500 m x 500 m dan 250 x 250 m
Softcopy (.ecw dan format standar citra)
USGS, JAXA, NASDA, NOAA, Digital Globe,
LAPAN
2 - 1
a. Dataset Dasar
Data spasial dasar merupakan data spasial yang menjadi dasar dalam pemetaan tematik suatu wilayah. Data spasial dasar terbagi
menjadi data terestrial dan bathimetri.
Tabel.2.2. Pengumpulan Dataset Dasar dari Berbagai Instansi untuk Level Provinsi, Kabupaten dan Kota
NO KATEGORI
DATA
PENGUMPULAN DATA SEKUNDER UNTUK PENYUSUNAN RZWP-3-K PROVINSI, KABUPATEN DAN KOTA
JENIS DATA/PETA SKALA/RESOLUSI BENTUK/FORMAT
DATA/PETA SUMBER DATA
INSTANSI PENYEDIA DATA
1 Terestrial Peta Tanah
1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000
Softcopy & hardcopy Peta Tanah skala 1 : 250.000, 1 : 50.000 dan 1 : 25.000 (dari Peta RTRW)
BIG, BAPPEDA
Topografi
1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000
Softcopy Peta Rupabumi Indonesia skala 1 : 250.000, 1 : 50.000 dan 1 : 25.000 (dari Peta RTRW)
BIG, BAPPEDA
Kemiringan Lereng
1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000
Softcopy Peta Rupabumi Indonesia skala 1 : 250.000, 1 : 50.000 dan 1 : 25.000 (dari Peta RTRW)
BIG, BAPPEDA
2 Bathimetri Bathimetri
1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000
Softcopy & hardcopy Peta Lingkungan Pantai Indonesia skala 1 : 250.000, 1 : 50.000 dan 1 : 25.000
BIG, DISHIDROS
2 - 2
b. Dataset Tematik
Data spasial tematik merupakan data spasial yang memiliki tema tertentu yang dibutuhkan sebagai bahan penyusunan peta tematik.
Data tematik yang dibutuhkan dalam penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terbagi menjadi data geologi dan
geomorfologi, oseanografi; penggunaan lahan dan status lahan, rencana tata ruang wilayah, pemanfaatan wilayah laut eksisting, sumberdaya
air, ekosistem pesisir dan sumberdaya ikan, infrastruktur, demografi dan sosial, ekonomi wilayah, dan risiko bencana dan pencemaran.
Tabel 2.3. Pengumpulan Dataset Tematik dari Berbagai Instansi
NO KATEGORI
DATA
PENGUMPULAN DATA SEKUNDER UNTUK PENYUSUNAN RZWP-3-K PROVINSI, KABUPATEN DAN KOTA
JENIS DATA/PETA SKALA/RESOLUSI BENTUK/FORMAT
DATA/PETA SUMBER DATA & SKALA
INSTANSI PENYEDIA DATA
1 Geologi dan Geomorfologi Laut
Geologi dan
geomorfologi dasar laut
(Substrat dasar laut)
1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000
Softcopy & hardcopy Peta Geologi dan geomorfologi dasar laut skala 1 : 250.000, 1 : 50.000 dan 1 : 25.000
- P3GL Kemen. ESDM
- Dit. Vulkanologi Kementerian ESDM
Geomorfologi
1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000
Softcopy & hardcopy Peta Land System – RePProT (dari Peta RTRW)
BIG, BAPPEDA
Morfologi Pantai
1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000
Softcopy & hardcopy Peta LPI dan Peta Tipologi Pantai skala 1 : 250.000, 1 : 50.000 dan 1 : 25.000 (dari Peta RTRW)
BIG, BAPPEDA
2 Oseanografi Oseanografi Fisik:
1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000
Softcopy Peta oseanografi fisik skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 : 25.000
Dishidros, KKP, LIPI,
Instansi terkait,
Perguruan Tinggi
2 - 3
a. Pasut
b. Gelombang
c. Arus
d. Suhu Permukaan
e. Kecerahan
f. Total Suspended Solid
(TSS)
BIG, Adpel, Pelindo
BMKG, Pelindo
BPPT, KKP, P2O LIPI,
DISHIDROS
BPPT, KKP, P2O LIPI
KKP, P2O LIPI
KKP, P2O LIPI
Oseanografi Kimia
pH, salinitas,COD, BOD,
Ammonia (NH3-N)+,
Nitrat (NO3-N), Nitrit
(NO2), Fosfat (PO4-P)+,
Silika (Si), Logam berat
1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000
Softcopy Peta oseanografi kimia skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 : 25.000
KKP, P2O LIPI, BIG,
Perguruan Tinggi
Oseanografi Biologi
Klorofil, Plankton,
Benthos
1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000
Softcopy Peta oseanografi biologi skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 : 25.000
KKP, P2O LIPI, BIG,
Perguruan Tinggi
2 - 4
3 Penggunaan
Lahan dan
Status Lahan
Penggunaan Lahan
1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000
Softcopy Peta Penggunaan Lahan skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 : 25.000 (dari Peta RTRW)
BIG, BAPPEDA,
Kemen. Kehutanan,
kemen. Pertanian,
kemen. PU, KKP
BAPPEDA
Status Lahan
1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000
Softcopy & hardcopy Peta status lahan skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 : 25.000 (dari Peta RTRW)
BPN, BAPPEDA
4 Pemanfaatan
Wilayah Laut
Eksisting
Pemanfaatan Wilayah Laut Eksisting
1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000
Softcopy Peta Pemanfaatan Wilayah Perairan/Laut eksisting skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 : 25.000
KKP, ESDM, Pelindo,
Kemenparekraf,
BAPPEDA
5 Sumberdaya
Air
Sumberdaya Air
Permukaan dan Air
Tanah
1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000
Softcopy & hardcopy Peta Sumberdaya Air Permukaan dan Air Tanah skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 : 25.000 (dari Peta RTRW)
PU, BAPPEDA,
kemen. Pertanian,
Kemen. Kehutanan
6 Ekosistem
Pesisir dan
Sumberdaya
Ikan (Jenis dan
Kelimpahan
Ikan)
Mangrove
1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000
Softcopy Peta Mangrove skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 : 25.000
Kemen. Kehutanan ,
BIG, LIPI, KKP, KLH
Terumbu Karang 1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000
Softcopy Peta Terumbu Karang
skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 :
25.000
BIG, LIPI, KKP
Padang Lamun 1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000
Softcopy Peta Padang Lamun
skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 : 25.000
BIG, LIPI, KKP
2 - 5
Daerah Potensi Ikan
Demersal
1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000
Softcopy Peta Daerah Potensi Ikan Demersal (Fishing Ground), disertai informasi Jenis dan Kelimpahan Ikan skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 : 25.000
KKP, BPPT
Daerah Potensi Ikan
Pelagis
1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000
Softcopy Peta Daerah Potensi Ikan Pelagis (Fishing Ground), disertai informasi Jenis dan Kelimpahan Ikan skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 : 25.000
KKP, BPPT, LIPI
7 Infrastruktur Infrastruktur Eksisting
dan Rencana
Infrastruktur Umum:
Bandara, terminal, pasar
umum, pelabuhan
umum, kawasan
industri, kantor
pemerintah, sekolah,
rumah sakit/puskesmas,
bangunan
wisata/sejarah
Infrastruktur Khusus:
Pasar ikan, KUD, BBI,
Pelabuhan perikanan,
TPI, Gudang
penyimpanan, bangunan
perlindungan pesisir
(jeti, penahan
1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000
Softcopy & hardcopy Peta Lokasi Infrastruktur
Eksisting dan Rencana
skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 :
25.000
KKP, Kemen PU,
BAPPEDA
2 - 6
gelombang)
8 Demografi dan
Sosial
Data Kependudukan
dan Sosial:
- Pendidikan umum - Mata Pencaharian - Agama - Budaya - Tingkat akses dan
keterlayanan fasilitas publik: listrik, air bersih, sanitasi, kesehatan, pendidikan
- Lembaga Masyarakat, LSM
- Masyarakat hukum adat
- Wilayah nelayan tradisional
1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000
Softcopy & hardcopy Peta Kependudukan dan Sosial
skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 :
25.000 (time series),
BPS, BAPPEDA,
Masyarakat
9 Ekonomi
Wilayah
Tingkat perekonomian
wilayah:
- Pendapatan perkapita provinsi
- Pertumbuhan Pendapatan perkapita provinsi
- Angkatan kerja dan tingkat pengangguran per kabupaten
- Tenaga kerja di bidang perikanan, pertanian, kehutanan, dll
- Populasi dan
1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000
Softcopy & hardcopy Peta perekonomian wilayah
skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 :
25.000
PU, BPS,
Disnaker, Dinas
pariwisata, Dinas
Perikanan, BAPPEDA
2 - 7
kepadatan nelayan - Pendapatan di sektor
perikanan - Produksi perikanan
dan sektor -sektor lain - Potensi
pengembangan sumberdaya perikanan dan kelautan
- Jumlah wisatawan - Pendapatan rata-rata
dan pengeluaran per
sektor
10 Risiko
Bencana dan
Pencemaran
Peta sebaran daerah
rawan dan risiko
bencana
1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000
Softcopy & hardcopy Peta sebaran daerah rawan dan
risiko bencana
skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 :
25.000
BNPB, BMKG, KKP,
BPBD, ESDM, BPPT
Peta sebaran daerah
tercemar
1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000
Softcopy & hardcopy Peta sebaran daerah
pencemaran
skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 :
25.000
KLH, BLHD
2 - 65
Setelah dilakukan pengumpulan data sekunder, perlu dilakukan pengolahan data.
Pengolahan yang dilakukan terhadap data sekunder merupakan upaya untuk menjadikan data dalam
bentuk spasial atau mengolah data menjadi data yang memiliki informasi keruangan, tetapi tidak
mengubah substansi data. Pengolahan yang dilakukan berbeda-beda, tergantung jenis data yang
dikumpulkan dari berbagai instansi terkait, misalnya peta analog, data/peta digital, atau data
tabular/numerik.
Tabel 2.4. Jenis, Bentuk, dan Metode Pengolahan Data sekunder Peta Tematik yang Dikumpulkan dari Instansi Terkait
No Jenis
Peta Tematik Bentuk Data/Peta
Sumber
Data Metode Pengolahan Data/Peta
1 Peta Bathimetri Data titik-titik
kedalaman perairan
Peta Laut
Hardcopy
1. Scan peta laut menjadi data jpeg
2. Transformasi koordinat menjadi
koordinat WGS84 dan UTM
3. Digitasi titik-titik kedalaman
4. Interpolasi titik-titik kedalaman
menggunakan software GIS dengan
metode IDW
Data garis kontur
kedalaman perairan
dalam bentuk
hardcopy
Peta
LPI/Peta
laut
1. Scan peta menjadi data jpeg
2. Transformasi koordinat menjadi
koordinat WGS84 dan UTM
3. Digitasi garis kontur kedalaman perairan
2 Peta
oseanografi
Data garis kontur
oseanografi fisika,
kimia dan biologi :
gelombang, arus,
Suhu Permukaan,
Kecerahan, Total
Suspended Solid
(TSS), pH,
salinitas,COD, BOD,
Ammonia (NH3-N)+,
Nitrat (NO3-N), Nitrit
(NO2), Fosfat (PO4-
P)+, Klorofil,
Plankton, Benthos
dalam bentuk
hardcopy
Peta hasil
pengukuran
instansi
tertentu
1. Scan peta menjadi data jpeg
2. Transformasi koordinat menjadi
koordinat WGS84 dan UTM
3. Digitasi garis kontur kedalaman perairan
2 - 66
No Jenis
Peta Tematik Bentuk Data/Peta
Sumber
Data Metode Pengolahan Data/Peta
Data garis kontur
oseanografi fisika,
kimia dan biologi :
gelombang, arus,
Suhu Permukaan,
Kecerahan, Total
Suspended Solid
(TSS), pH,
salinitas,COD, BOD,
Ammonia (NH3-N)+,
Nitrat (NO3-N), Nitrit
(NO2), Fosfat (PO4-
P)+, Klorofil,
Plankton, Benthos
dalam bentuk
softcopy
Peta hasil
pengukuran
instansi
tertentu
1. Konversi data ke shapefile
2. Transformasi koordinat menjadi
koordinat WGS84 dan UTM
3. Klasifikasi interval garis kontur sesuai
dengan standar interval yang telah
ditentukan
3 Peta
pemanfaatan
wilayah laut
eksisting
Peta pemanfaatan
wilayah laut eksisting
dalam bentuk
hardcopy
Peta hasil
pengukuran
instansi
tertentu
1. Scan peta menjadi data jpeg
2. Transformasi koordinat menjadi
koordinat WGS84 dan UTM
3. Digitasi titik/poligon pemanfaatan
wilayah laut eksisting
4 Peta ekosistem
pesisir dan
sumberdaya
ikan
Peta pemanfaatan
wilayah laut eksisting
dalam bentuk
hardcopy
Peta hasil
pengukuran
instansi
tertentu
1. Scan peta menjadi data jpeg
2. Transformasi koordinat menjadi
koordinat WGS84 dan UTM
3. Digitasi titik/poligon pemanfaatan
wilayah laut eksisting
5 Peta
infrastruktur
Peta infrastruktur
dalam bentuk
hardcopy
Peta hasil
pengukuran
instansi
tertentu
1. Scan peta menjadi data jpeg
2. Transformasi koordinat menjadi
koordinat WGS84 dan UTM
3. Digitasi titik/poligon pemanfaatan
wilayah laut eksisting
6 Demografi dan
sosial
Data demografi dan
sosial dalam bentuk
data statistik
hasil
penelitian
instansi
tertentu
1. Input data ke dalam excel
2. Konversi data excel ke shapefile dengan
koordinat WGS84 dan UTM
3. Plot data ke peta dasar
7 Ekonomi
wilayah
Data perekonomian
wilayah dalam
bentuk data statistik
hasil
penelitian
instansi
tertentu
1. Input data ke dalam excel
2. Konversi data excel ke shapefile dengan
koordinat WGS84 dan UTM
3. Plot data ke peta dasar
2 - 67
No Jenis
Peta Tematik Bentuk Data/Peta
Sumber
Data Metode Pengolahan Data/Peta
8 Peta Risiko
bencana dan
Pencemaran
Peta titik-titik lokasi
berisiko bencana
dalam bentuk
hardcopy
Peta Risiko
bencana
BNPB
1. Scan peta menjadi data jpeg
2. Transformasi koordinat menjadi
koordinat WGS84 dan UTM
3. Digitasi titik-titik lokasi risiko bencana
Peta area/poligon
daerah-daerah yang
berisiko bencana
dalam bentuk
hardcopy
Peta Risiko
bencana
BNPB
1. Scan peta menjadi data jpeg
2. Transformasi koordinat menjadi
koordinat WGS84 dan UTM
3. Digitasi area/poligon lokkasi risiko
bencana
C. SURVEI LAPANGAN
Survei lapangan merupakan tahapan yang dilakukan apabila data sekunder yang
dikumpulkan dari berbagai instansi terkait tidak memenuhi syarat kualitas (skala, akurasi geometrik,
kedalaman data, kedetailan data, kemutakhiran data, dan kelengkapan atribut) dan kuantitas data.
Survei lapangan merupakan rangkaian proses observasi, pengukuran dan pengambilan data, serta
pengambilan sampel yang akan dianalisis untuk menghasilkan 12 dataset peta-peta tematik.
Sebelum pelaksanaan survei lapangan, terlebih dahulu dilakukan pengolahan data pra survei
sebagai bahan acuan survei lapangan. Pengolahan data pra survei dilakukan untuk peta-peta yang
dianalisis menggunakan data citra satelit penginderaan jauh. Proses pengolahan awal meliputi
koreksi radiometrik dan geometrik, penajaman citra satelit, dan interpretasi citra.
1. Metode Survei Dataset Dasar 1) Bathimetri
- Bagaimana Metode Pengumpulan Data Bathimetri?
Pengumpulan data bathimetri dimaksudkan sebagai data dasar dalam menganalisis
kedalaman perairan laut. Untuk mendapatkan informasi bathimetri digunakan metode
pemeruman, dengan menggunakan alat echosounder, yang terintegrasi dengan GPS. Alat
tersebut memancarkan gelombang suara secara vertikal ke dasar perairan dan dipantulkan
kembali ke echosounder melalui jalur-jalur yang telah direncanakan pada peta pre plot
digital, yang dapat terbaca di dalam komputer. Pengukuran kedalaman muka air laut dengan
alat echosounder dilakukan dari atas perahu motor, dengan kecepatan kapal maksimum 5
(lima) knot dan kondisi kapal stabil. Koordinat titik-titik pengukuran didapat dengan
menggunakan alat GPS (Global Positioning System) yang telah terintegrasi dengan
echosounder. Gambar 2.1 dan 2.2 memberikan ilustrasi mengenai aktivitas pengumpulan
data.
Pada pemetaan skala 1:50.000, lokasi ditentukan dengan menggunakan metode grid
2 - 68
pengukuran 500 meter yaitu dengan perekaman data bathimetri setiap satu detik. Misal:
lebar tegak lurus ke arah laut (ke selatan) 4 mil/kedalaman maksimum 100 m dan sejajar
pantai sepanjang garis pantai (lihat gambar 2.3). Pengumpulan data bathimetri dimaksudkan
sebagai data dasar dalam menganalisis kedalaman perairan laut. Untuk mendapatkan
informasi bathimetri digunakan metode pemeruman, dengan menggunakan alat
echosounder, yang terintegrasi dengan GPS. Alat tersebut memancarkan gelombang suara
secara vertikal ke dasar perairan dan dipantulkan kembali ke echosounder melalui jalur-jalur
yang telah direncanakan pada peta pre plot digital, yang dapat terbaca di dalam komputer.
Pengukuran kedalaman muka air laut dengan alat echosounder dilakukan dari atas perahu
motor, dengan kecepatan kapal maksimum 5 (lima) knot dan kondisi kapal stabil. Koordinat
titik-titik pengukuran didapat dengan menggunakan alat GPS (Global Positioning System)
yang telah terintegrasi dengan echosounder.
Data kedalaman yang dihasilkan dari hasil survey bathimetri dikoreksi dengan titik
referensi Mean Sea Level (MSL) yang diperoleh dari analisis data elevasi muka air saat
pengukuran. Jadwal pengukuran/pencatatan elevasi pasang surut (pasut) dilakukan
bersamaan dengan jadwal pengukuran bathimetri. Pengukuran/- Kedalaman perairan yang
sebenarnya dan garis kontur dasar laut diperoleh dengan superposisi (memadukan) data
pengukuran bathimetri dengan selisih antara elevasi muka air laut saat pengukuran
bathimetri dengan MSL yang telah diikat dengan referensi muka bumi.
Pengukuran bathimetri mengacu pada Standard IHO 44, LPI SNI 19-6726-2002 skala
1:50.000 dan LPI SNI 19-6727-2002 skala 1 : 250.000, IHO S-57. Prinsip kerja dari
pemeruman dengan menggunakan echo-sounder diterangkan oleh gambar-gambar berikut
ini:
Gambar. 2.1 Ilustrasi Proses Survei Bathimetri
2 - 69
Gambar 2.2 Prinsip Pengukuran Kedalaman Laut
Gambar 2.3 Contoh Rencana Jalur Pengukuran Kedalaman Laut
- Bagaimana Metode Analisis Data Bathimetri?
Analisis data bathimetri dilakukan terhadap titik-titik kedalaman yang telah diukur di
lapangan. Titik-titik yang memiliki informasi kedalaman dan koordinat tersebut kemudian
diinterpolasi dengan metode Inverse Distance Weighted (IDW). Interpolasi dapat dilakukan
4
5
2
1
Keterangan :
1. GPS Satellites 2. Known Station (BM)
3. Sounding Boat + Mobile DGPS + Echosounder
4. Tide Observation/Tide Pole
4 mil atau sampai kedalaman 100 m apabila sebelum jarak 4 mil telah dijumpai kedalaman >100 m
Daratan
Manuver kapal peta skala 1 : 250.000 jarak 2,5 km, tegak lurus garis pantai Manuver kapal peta skala 1 : 50.000
jarak 0,5 km, tegak lurus garis pantai
Perairan Laut
Lajur Pemeruman
Keterangan :
2 - 70
dengan bantuan software GIS sehingga menghasilkan garis kontur kedalaman untuk wilayah
perairan yang disurvey. Garis kontur kedalaman menunjukkan lokasi-lokasi yang memiliki
nilai kedalaman yang sama (isobath). Garis kontur kedalaman diolah lebih lanjut melalui GIS
dan diklasifikasikan sesuai kelas kedalaman untuk skala 1 : 50.000.
- Bagaimana Penyajian Data Bathimetri?
Peta Batimetri skala 1: 50.000 digambarkan dalam bentuk garis kontur batimetri dengan
dengan kelas kedalaman 0 ; 2 ; 5 ; 10 ; 15 ; 20 ; 40 ; 50 ; 70 ; 100 meter. Peta Bathimetri
digambarkan dengan kelas kedalaman tersebut di atas sampai jarak 4 mil apabila belum
mencapai kedalaman 100 m, atau sampai kedalaman 100 m apabila sebelum jarak 4 mil telah
dijumpai kedalaman lebih dari 100 m. Penggambaran simbol kontur bathimetri dan tampilan
layout peta 1 : 50.000 mengikuti Standar Simbol, Notasi, dan Kode Unsur Penyajian Peta
Dasar, Peta Tematik dan Peta RZWP-3-K. Contoh penyajian peta bathimetri dapat dilihat pada
gambar di bawah.
Gambar 2.4 Ilustrasi Peta Bathimetri Kab. Banggai
2 - 71
Gambar 2.5 Ilustrasi Interval Bathimetri Kab. Banggai untuk wilayah Teluk Poh
2. Metode Pemetaan dan Analisis Data Tematik
1). Geologi dan Geomorfologi Dasar Laut
a. Geologi dan geomorfologi Dasar Laut (Substrat Dasar Laut)
- Bagaimana Metode Pengumpulan Data Substrat Dasar Laut?
Dataset geologi dan geomorfologi laut umumnya diperoleh dari peta geologi atau
geomorfologi laut yang dikeluarkan oleh Instansi terkait (PPPGL, Kementerian ESDM). Akan
tetapi, apabila peta tersebut tidak tersedia, perlu dilakukan survei lapangan. Dataset geologi
dan geomorfologi laut yang memungkinkan untuk disurvey adalah jenis substrat dasar laut.
Jenis substrat dasar laut yang mungkin ditemukan misalnya pecahan karang, pasir, lumpur,
lumpur berpasir dan sebagainya.
Untuk mendeteksi substrat dasar laut, dapat dilakukan dengan metode penginderaan
jauh dan survey lapangan. Melalui pendekatan penginderaan jauh, substrat dasar
diidentifikasi menggunakan citra satelit yang memiliki kemampuan menembus air sampai
kedalaman tertentu (<20 m). Identifikasi dilakukan menggunakan pendekatan kunci
interpretasi, diantaranya rona, warna, pola, bentuk, tekstur, situs dan asosiasi. Hasil
interpretasi citra penginderaan jauh berupa poligon substrat dasar laut tentatif. Berdasarkan
poligon substrat dasar laut, dapat ditentukan lokasi pengambilan sampel di lapangan. Untuk
perairan dengan kedalam di atas 20 meter perlu dilakukan survey lapangan secara langsung
karena umumnya citra satelit tidak mampu mendeteksi obyek perairan dasar laut pada
2 - 72
kedalaman lebih dari 20 meter.
Pada pemetaan skala 1:50.000, jumlah sampel substrat dasar laut yang diambil di
lapangan minimal 10 titik sampai dengan 4 mil atau sampai kedalaman 100 m apabila
sebelum jarak 4 mil telah dijumpai kedalaman lebih dari 100 m. Peralatan yang digunakan
berupa peralatan sedimen dasar laut (Grab sampler). Grab sampler diturunkan ke dasar laut
dalam keadaan terbuka menggunakan tali. Setelah sampai dasar laut, alat tersebut akan
menutup sambil menggaruk sedimen ketika ditarik ke atas. Pada saat pengambilan sampel
substrat dasar laut dilakukan pengukuran posisi menggunakan GPS.
Gambar.2.6. Proses pengambilan sampel substrat dasar laut
- Bagaimana Metode Analisis Data Substrat Dasar Laut?
Sampel substrat dasar laut dianalisis di laboratorium dan besar butirnya diukur
menggunakan metode Buchanan (1984, dalam Holme and Mc Intyre (1984)). Analisis ukuran
butir dilakukan menggunakan kurva distribusi frekuensi ukuran butir, sehingga dapat
diketahui ukuran butir rata-rata maupun persentase yang lain.
Gambar.2.7. Sistem Grafik Trianguler Untuk Proses Penamaan Sampel Substrat (Sumber:
Buchanan, 1984 Dalam Holme Dan Mc Intyre, 1984)
2 - 73
Tabel 2.5. Skala ASTM (kisaran ukuran butir)
Jenis Kisaran Ukuran Butir Partikel (mm)
Bongkah Berangkal Kerakal Kerikil Pasir sangat kasar Pasir kasar Pasir sedang Pasir halus Pasir sangat halus Lanau Lempung
> 256 64 – 256 4 – 64 2 – 4 1 – 2 0,5 – 1,0 0,25 – 0,50 0,125 – 0,250 0,063 – 0,125 0,0039 – 0,0630 < 0,0039
Sumber : Dacombe dan Gardiner, 1983
Hasil analisis laboratorium dan perhitungan ukuran butir tersebut kemudian dikonversi
menjadi data GIS sehingga menghasilkan data titik dalam format shapefile yang memiliki
informasi jenis bongkah dan koordinat geografis. Data titik shapefile kemudian dianalisis
dengan cara interpolasi dengan software GIS untuk mengetahui lokasi-lokasi yang memiliki
sebaran substrat yang sama di seluruh dasar perairan. Hasilnya berupa data sebaran substrat
dasar laut.
- Bagaimana Penyajian Data Substrat Dasar Laut?
Peta sebaran substrat dasar laut skala 1: 50.000 digambarkan dalam bentuk poligon yang
berisi informasi jenis substrat dasar laut, misalnya pecahan karang, pasir, lumpur, lumpur
berpasir dll. Pengambaran simbol substrat dasar laut dan tampilan layout peta untuk skala 1 :
50.000 mengikuti Standar Simbol, Notasi, dan Kode Unsur Penyajian Peta Dasar, Peta Tematik
dan Peta RZWP-3-K.
2 - 74
Contoh penyajian peta jenis substrat dasar laut dapat dilihat pada gambar di bawah.
Gambar.2.8. Contoh peta sebaran jenis substrat dasar laut Kab. Banggai
2. Data Oseanografi
1) Fisika Perairan
a) Pasang Surut
- Bagaimana Metode Pengumpulan Data Pasang Surut?
Pengumpulan data pasang surut dimaksudkan sebagai data dasar dalam menganalisis kondisi
pasang surut, sehingga dapat diketahui elevasi muka air laut, tipe pasang surut dan
komponen pasang surutnya. Data pasang surut yang dikumpulkan diharapkan dapat
menjelaskan: tipe pasang surut, Mean Sea level (MSL), Mean High Water Level (MHWL),
Mean Low Water Level (MLWL), Mean Lowest Low Water Level (MLLWL) dan tunggang air
(maksimum, minimum dan rata rata).
Metode yang digunakan dalam pengukuran pasang surut meliputi:
1) Metode langsung
Merupakan metode pengukuran pasut pada lokasi secara langsung (misalnya
menggunakan papan berskala, meteran, serta tide gauge outomatic).
2 - 75
2) Metode tidak langsung
Merupakan metode pengukuran gelombang laut melalui informasi atau perekaman dari
citra satelit (satelit altimetry)
Pada pengukuran pasut dengan metode langsung, bila belum ada stasiun pengamatan,
maka penentuan lokasi pengukuran pasut stabil dan terlindung dari ombak besar, angin, lalu
lintas kapal/perahu, arus kuat, serta titik pasut diikatkan pada Bench Mark (BM) yang
permanen yang stabil, dengan kedalaman minimum air laut pada station pasut minimum
satu meter di bawah permukaan air laut terendah. Kriteria lokasi pengamatan pasut adalah:
1) Tersedianya informasi awal tentang kondisi lokasi, diutamakan pada lokasi yang sudah
ada station pengamatan pasang - surut dari Dishidros TNI - AL atau Bakosurtanal, jika
tidak ada informasi tersebut maka ditentukan pada lokasi yang aman, mudah
pemantauan, serta tidak terganggu
2) Lokasi stasiun pasut stabil dan terlindung dari ombak besar, angin, lalu lintas
kapal/perahu, serta arus kuat
3) Kedalaman minimum air laut pada station pasut minimum satu meter di bawah
permukaan air laut terendah
4) Stasiun pasut tidak terganggu selama pengamatan berlangsung
5) Titik pasut diikatkan pada BM yang permanen yang stabil
Pasang surut diukur dengan menggunakan peralatan tide recorder selama 7 hari 7
malam pada 2 stasiun pengamatan. Tide recorder harus dipasang dengan posisi terendam air
dan tegak tidak bergerak, serta kedudukan tide recorder yang tidak menghalangi alur
nelayan. Setelah dilakukan pengukuran harus diikat dengan Bench Mark terdekat (kalau ada).
Jika tidak ada maka harus dibuatkan Bench Mark.
Gambar.2.9. Ilustrasi Pengukuran Pasang Surut Menggunakan Papan Berskala (Palem Pasut)
2 - 76
Gambar.2.10. Ilustrasi Pengukuran Pasang Surut Menggunakan Tide Gauge Automatic
Gambar.2.11. Ilustrasi Pengikatan Alat Pengukur Pasut Pada Titik Ikat Bench Mark (BM)
- Bagaimana Metode Analisis Data Pasang Surut?
Setelah memperoleh data dari pengukuran di lapangan, maka hal terpenting adalah
bagaimana data tersebut dapat diolah sehingga dapat dilakukan analisis sesuai tujuan yang
akan dicapai. Adapun beberapa pengolahan/analisis data pasang surut adalah sebagai
berikut:
1. Grafik Plot
Tujuan dari penyajian data dengan ini adalah untuk mengetahui tinggi elevasi muka air
(pasut) terhadap waktu (selama waktu) pengukuran.
2 - 77
Gambar. 2.12. Contoh Grafik Pengamatan Pasang Surut Selama 30 Hari
2. Analisis Harmonik Pasut
Tujuan dari pengolahan analisis harmonik pasang surut dengan menggunakan metode
admiralty adalah untuk mengetahui komponen pasang surut, sehingga dapat diketahui
tipe pasut dan elevasi muka air acuan, serta elevasi penting lainnya
Tipe pasang surut dapat dihitung menggunakan formula sebagai berikut:
𝐹 =𝐴𝐾1 + 𝐴𝑂1
𝐴𝑀2 + 𝐴𝑆2
dimana :
F = Konstanta pasut
AK1 = Amplitudo dari anak gelombang pasut harian rata-rata yang dipengaruhi oleh
deklinasi bulan dan matahari
AO1 = Amplitudo dari anak gelombang pasut harian tunggal yang dipengaruhi oleh
deklinasi matahari
AM2 = Amplitudo dari anak gelombang pasut harian ganda rata-rata yang dipengaruhi
oleh bulan
AS2 = Amplitudo dari anak gelombang pasut harian ganda rata-rata yang dipengaruhi
oleh matahari
Apabila harga F memiliki nilai :
0 < F < 0,25 : Sifat pasut Harian Ganda Murni
0,25 < F < 1,50 : Sifat pasut Campuran Condong harian Ganda
1,50 < F < 3,0 : Sifat pasut Campuran Condong harian Tunggal
3,0 < F : Sifat pasut Harian Tunggal Murni
Spring tide Neap tide
Neap tide Neap tide
2 - 78
Gambar.2.13. Tipe pasut
Untuk memastikan bahwa hasil pengolahan data pasang surut dengan metode admiralty
mempunyai tingkat akurasi yang cukup baik, maka komponen-komponen hasil dari
pengolahan data pasut digunakan untuk memprediksikan lagi kejadian pasang surut pada
waktu pengamatan dengan menggunakan model metode least square.
Dari hasil yang diperoleh terlihat bahwa pola pasang surut hasil pengamatan dan hasil
prediksi dengan model metode least square mempunyai pola yang berimpit (hampir sama)
seperti pada gambar di bawah ini.
Gambar. 2.14. Contoh verifikasi data pasang surut lapangan dan hasil peramalan
dengan model Least Square
2 - 79
- Bagaimana Penyajian Data Pasang Surut?
Data pasut umumnya tidak disajikan dalam bentuk peta. Pasut disajikan dalam bentuk
grafik plot yang menunjukkan informasi mengenai tinggi elevasi muka air (pasut) terhadap
waktu selama pengukuran.
b) Gelombang
- Bagaimana Metode Pengumpulan Data Gelombang?
Pengukuran gelombang dilakukan untuk mengetahui karakteristik dan parameter gelombang
(meliputi tinggi, periode, panjang gelombang, dll) di lokasi pengukuran. Periode gelombang
(T) yang diukur berdasarkan waktu tempuh antara satu puncak gelombang dan puncak
gelombang berikutnya, dan tinggi gelombang (H), yaitu jarak antara puncak gelombang dan
lembah gelombang yang terbentuk.
Metode pengukuran gelombang terbagi menjadi metode langsung, yaitu metode
pengukuran gelombang pada lokasi secara langsung (misalnya menggunakan papan berskala,
meteran dan wave rider /wave recorder) dan metode tidak langsung yaitu melalui informasi
atau perekaman dari citra satelit.
Metode penentuan lokasi pengukuran gelombang biasanya menggunakan metode
teknik non random sampling dengan teknik area sampel, yaitu penentuan lokasi ditentukan
pada lokasi tertentu dengan pertimbangan dapat mewakili karakteristik wilayah perairan
setempat.
1. Karakteristik Daerah Pantai/Lepas Pantai
Pertimbangan yang digunakan adalah lokasi dekat pantai (near shore) untuk mengetahui
karakteristik gelombang di dekat pantai dan lokasi lepas pantai (off shore) untuk
karakteristik gelom-bang lepas pantai. Untuk lokasi dekat pantai karakteristik gelombang
sangat dipengaruhi oleh proses deformasi gelombang akibat refraksi dan difraksi
gelombang yang dipengaruhi oleh perubahan kedalaman (pendangkalan), adanya
bangunan pantai, pulau-pulau kecil, maupun pengaruh lainnya. Oleh karena itu
karakteristik gelombang dekat pantai berbeda dengan gelombang lepas pantai.
2. Karakteristik Daerah Teluk dan Tanjung
Pertimbangan yang digunakan adalah lokasi di dalam teluk untuk mengetahui
karakteristik gelombang di dalam teluk dan lokasi di luar teluk untuk karakteristik arus di
luar teluk. Seperti halnya kondisi di dekat pantai, karakteristik gelombang sangat
dipengaruhi oleh proses deformasi gelombang akibat refraksi dan difraksi gelombang
yang dipengaruhi oleh perubahan kedalaman (pendangkalan) dan morfologi bentuk
pantai.
Fenomena yang terjadi di daerah teluk di dominasi oleh proses refraksi
gelombang (divergensi gelombang) dan cenderung mempunyai tinggi ge-lombang yang
2 - 80
relative lebih tenang. Oleh karena itu karakteristik gelombang di dalam teluk ber-beda
dengan gelombang di daerah di luar teluk. Sedangkan untuk daerah tanjung juga
mempunyai karakteristik gelombang yang berbeda yang disebabkan oleh refraksi
gelombang (konvergensi gelombang).
Gambar 2.15. Penentuan Lokasi Survey Gelombang di Perairan Kecamatan Bualemo,
Kabupaten Banggai
Pengukuran gelombang di perairan laut dilakukan minimal selama 3 x 24 jam dengan
interval waktu pencatatan antara 10-60 menit. Pengukuran sebaiknya dilakukan pada saat
kondisi pasang surut pada fase spring tide (pasang surut di saat bulan purnama atau bulan
mati), hal ini untuk memperoleh hasil pengukuran gelombang dengan kondisi pasang surut
dengan kisaran yang besar.
2 - 81
Gambar. 2.16 Ilustrasi alat dan proses pengukuran gelombang
Contoh Raw Data Tinggi dan Periode Gelombang hasil pembacaan ADCP pada
permukaan air dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.17 Contoh Raw Data Tinggi dan Periode Gelombang hasil pembacaan ADCP pada
permukaan air, di Kec. Bualemo, Kab. Banggai
Keterangan Gambar :
1. Persiapan Pemasangan Wave
Recorder di atas kapal
2. Instalasi Deploy Wave Recorder
3. Penyelam untuk membantu
pemasangan wave recorder di dasar
perairan
2 - 82
- Bagaimana Metode Analisis Data Gelombang?
a. Analisis Gelombang Representatif
Data hasil pengamatan gelombang dianalisis menggunakan metode penentuan
gelombang representatif sebagai berikut:
n
HHHHs
N+...++=
21
n
TTTTs
N+...++=
21
dimana : n = 33,3% x Jumlah data
Nilai Hs dihitung dari 33,3% kejadian tinggi gelombang tertinggi, sedangkan nilai Ts
dihitung dari 33,3% kejadian periode gelombang terbesar.
Untuk mengetahui kondisi gelombang pada berbagai musim, gelombang diprediksi dari
data angin dengan mempertimbangan panjang fetch, kecepatan dan arah angin. Data angin
dapat diperoleh dari stasiun meteorologi terdekat.
b. Perhitungan Parameter Gelombang
Data parameter gelombang yang dianalisis meliputi frekuensi gelombang, panjang
gelombang, bilangan gelombang, kecepatan gelombang, dll. Data parameter gelombang
salah satunya dapat digunakan untuk menentukan kedalaman relatif. Kedalaman relatif
adalah perbandingan antara kedalaman air dan panjang gelombang (Yuwono, 1982).
Berdasarkan data kedalaman relatif, dapat dilakukan perhitungan klasifikasi gelombang
dengan tiga tipe kelas berdasarkan kedalaman relatif (d/L) yaitu:
1) Gelombang di laut dangkal jika d/L < 0,05
Apabila nilai kedalaman dibanding panjang gelombang suatu perairan kurang dari 0,05
maka disebut sebagai gelombang perairan dangkal atau gelombang panjang.
2) Gelombang di laut transisi jika 0,05 < d/L < 0,5
Apabila nilai kedalaman dibanding panjang gelombang suatu perairan berada diantara
0,05 sampai 0,5 maka disebut sebagai gelombang perairan menengah.
3) Gelombang di laut dalam jika d/L > 0,5
Apabila nilai kedalaman dibanding panjang gelombang suatu perairan lebih besar dari
0,5 maka disebut gelombang perairan dalam.
Dimana d adalah kedalaman laut dan L adalah panjang gelombang. Selama penjalaran
gelombang dalam ke laut dangkal terbentuk orbit yang terdiri dari partikel-partikel.
Perubahan orbit tersebut seperti yang ditunjukkan pada gambar dibawah:
2 - 83
Gambar 5.18. Gerak orbit partikel zat cair di laut dangkal, transisi, dan dalam
Sebagai contoh, dari data pengukuran gelombang diperoleh data perhitungan dimana, L
= 55,14 meter dan d = 21 meter, maka d/L = 0,38, artinya bahwa 1/20 < d/L < ½ sehingga
termasuk klasifikasi gelombang laut transisi.
c. Pemodelan Matematis Penjalaran Gelombang
Tujuan dari pemodelan matematis adalah untuk mengetahui besar dan arah penjalaran
gelombang menuju pantai. Hal ini penting untuk mengetahui proses deformasi gelombang
menuju pantai, seperti difraksi ataupun refraksi gelombang. Untuk mengetahui distribusi
spasial tinggi dan arah gelombang (setiap grid 500 meter untuk RZWP-3-K kabupaten, setiap
grid 250 meter untuk RZWP-3-K kota) di seluruh perairan wilayah perencanaan disimulasikan
dengan model matematika refraksi gelombang.
Hasil pemodelan matematik refraksi gelombang berupa nilai tinggi gelombang disetiap
titik grid yang ada di seluruh perairan di wilayah perencanaan. Nilai tinggi gelombang
disetiap titik grid yang diperoleh dari hasil pemodelan matematik diinterpolasi sehingga
menghasilkan kontur isoline tinggi gelombang. Kontur isoline tinggi gelombang kemudian
diklasifikasi dengan interval kontur setiap 0,1 meter .
Gambar 5.19. Diagram Proses Pemodelan Data Spasial Oseanografi (Data Titik Hasil
Lapangan, Interpolasi, Konversi Ke Polygon Dan Line)
2 - 84
- Bagaimana Penyajian Data Gelombang?
a. Grafik Tinggi dan Periode Gelombang
Tujuan dari penyajian data ini adalah untuk mengetahui pola dari tinggi (H) dan periode
gelombang (T) terhadap waktu (selama waktu) pengukuran.
Gambar. 2.20 Tinggi Gelombang harian hasil pembacaan ADCP pada permukaan air di Perairan Kec. Bualemo, Kab. Banggai
Gambar 2.21 Periode Gelombang harian hasil pembacaan ADCP pada permukaan air
di Perairan Kec. Bualemo. Kab. Banggai
2 - 85
b. Peta Gelombang
Peta gelombang untuk RZWP-3-K dengan skala 1 : 50.000 digambarkan dalam bentuk kontur
isoline setiap 0,1 meter. Peta ini dihasilkan dari interpolasi nilai tinggi gelombang disetiap
titik grid hasil model matematik refraksi gelombang. Berikut ini adalah beberapa contoh
ilustrasi hasil pemodelan matematik refraksi gelombang.
Gambar 2.22. Contoh Model Penjalaran Gelombang Dari Arah Tenggara Kepulauan Banggai
Gambar 2.23. Contoh Model Penjalaran Gelombang Dari Arah Timur Laut Kepulauan Banggai
2 - 86
c) Arus
- Bagaimana Metode Pengumpulan Data Arus?
Pengukuran arus dimaksudkan untuk mengetahui pola arus di lokasi pengukuran dan
dominasi jenis arus di perairan (arus pasut atau arus selain pasut). Peta arus adalah peta
yang menginformasikan pola arus di wilayah perencanaan. Informasi ini sangat diperlukan
sebagai data dasar untuk menentukan pemanfaatan pada wilayah perencanaan.
Metode yang digunakan dalam pengukuran arus meliputi Metode Euler dan Metode
Langrange. Metode Euler merupakan metode pengukuran arus pada lokasi yang tetap
(misal: cur-rent meter). Sensor yang digunakan meliputi sensor mekanik dan sensor non-
mekanik. Sensor Mekanik meliputi Current Meters seri RCM, Current Meters Vektor Rata-rata
(VACM) dan Vector Measuring Current Meter (VMCM), sedang sensor non mekanik terbagi
menjadi Acoustic Current Meter (ACM), Elektromagnetik Current Meter (ECM) dan Acoustic
Doppler Current Meter (ADCM).
Metode Lagrange merupakan metode pengukuran arus dengan mengikuti jejak suatu
alat (misal: pelampung). Teknis konvensional dilakukan dengan terjun langsung ke lapangan
sedangkan teknik modern atau Pencatat Arus Quasi-Lagrange, yang meliputi pencatat arus
permukaan dan bawah permukaan.
Gambar 2.24. Berbagai Tipe Macam Parasut (a), dan Skema Drifter (b).
2 - 87
Metode penentuan lokasi pengukuran arus biasanya menggunakan metode teknik non
random sampling dengan teknik area sampel, yaitu penentuan lokasi ditentukan pada lokasi
tertentu dengan pertimbangan dapat mewakili karakteristik wilayah perairan setempat.
Umumnya pengukuran arus dapat diwakili dengan tiga sampel untuk setiap kawasan
tertentu.
Gambar 2.25. Contoh Penentuan Lokas sampel Pantai (near shore) dan Lepas Pantai (off shore)
Arah dan kecepatan arus dipengaruhi oleh kondisi pasut, gelombang dan angin (self
current). Pengukuran arus di perairan laut dilakukan minimal selama 3 x 24 jam (3 hari 3
malam) dengan interval waktu pencatatan antara 10 -60 menit (umumnya dilakukan setiap
60 menit) secara simultan. ADCP dipasang pada kedalaman 15 meter. Pengukuran sebaiknya
dilakukan pada saat kondisi pasang surut pada fase spring tide (pasang surut di saat bulan
purnama atau bulan mati), hal ini untuk memperoleh hasil pengukuran arus yang optimal.
Untuk kalibrasi arus digunakan tiga titik pengamatan, sedangkan untuk kalibrasi pasut
digunakan dua titik. Data-data yang terkumpul kemudian ditampilan dalam scatter diagram.
2 - 88
Gambar 2.26. Ilustrasi Pengukuran (Perekaman Data) Kecepatan dan Arah Arus
Menggunakan Accoustic Doppler Current Profiler (ADCP)
Gambar 2.27. Ilustrasi Pengukuran (Perekaman Data) Kecepatan dan
Arah Arus Menggunakan ADCP
- Bagaimana Metode Analisis Data Arus?
Setelah memperoleh data dari pengukuran di lapangan, maka hal terpenting adalah
bagaimana data tersebut dapat diolah sehingga dapat dilakukan analisis sesuai tujuan yang
akan dicapai.
Data tersebut diolah dalam bentuk scatter diagram dan scatter plot. Untuk mengetahui
distribusi spasial pola arus di wilayah perairan pesisir maka dilakukan pemodelan matematik
Ked
alam
an P
erai
ran
Dasar Perairan
Permukaan Air
Sel Awal
Sel Akhir
Ketinggian
Alat
Blank
Distance
Noise
Distance
2 - 89
hidrodinamika pola arus. Pemodelan matematik hidrodinamika pola arus dapat
menggunakan perangkat lunak (software), seperti SMS BOSS (Amerika), Mike 21 (Denmark),
3DD (New Zealand), Trisula (Belanda), Telemarc (Perancis), dan lain-lain yang hasilnya
dikalibrasi dengan hasil pengukuran arus.
Gambar 2.28. Contoh verifikasi data kecepatan arus realtime di lapangan dengan data model
Gambar 2.29. Contoh verifikasi data arah arus realtime di lapangan dengan data model
0
50
100
150
200
250
0
5
10
15
20
25
30
35
Current Direction ( o)
Curr
ent V
eloc
ity (c
m/s
ec)
Observation Time
Current Velocity - Model Verification with ObservationPT. Lintech Duta Pratama, Paciran Seashore, Lamongan, Oct 14th - 20th 2009
Average Speed Tide Elevation Model Magnitude
0
50
100
150
200
250
300
350
400
0
5
10
15
20
25
30
35
Current Direction ( o)
Curr
ent V
eloc
ity (c
m/s
ec)
Observation Time
Current Magnitude - Model Verification with ObservationPT. Lintech Duta Pratama, Paciran Seashore, Lamongan, Oct 14th - 20th 2009
Average Speed Tide Elevation
Average Direction Model Direction
2 - 90
Gambar 2.30. Contoh Kalibrasi Kecepatan Arus Hasil Simulasi Model Matematik dengan Data Pengamatan Lapangan dengan Scatter Plot
i) Vector dan Scatter Plot Arus laut
Tujuan dari penyajian data dengan vektor arus adalah untuk mengetahui pola arah dan
besarnya kecepatan arus terhadap waktu (selama waktu) pengukuran. Adapun scatter plot
arus ialah untuk mengetahui distribusi kecepatan dan arah arus selama pengukuran.
Gambar 2.31. Contoh hasil pengolahan data arus berupa grafik arus
0
50
100
150
200
250
300
350
400
0
5
10
15
20
25
30
35
Curre
nt d
irectio
n (
o)
Curr
ent v
elo
city
(cm
/s)
Recording time
Current Velocity and Direction - Data Acquired by Sontek ArgonautPT. Lintech, Paciran, Lamongan Oct 14th - 20th, 2009
Cell04 Speed Cell04 Direction
2 - 91
Gambar 2.24 Contoh Penyajian Data Arus Dengan Menggunakan Vektor Arus Laut
Gambar 2.32. Contoh hasil pengolahan data arus berupa vector arus
Gambar 2.33. Contoh Penyajian Data Arus Dengan Menggunakan Scatter Plot Arus
ii) Grafik Elevasi (Pasut), Kecepatan dan Arah Arus
Tujuan dari penyajian data dengan grafik elevasi (pasut), kecepatan dan arah arus adalah
2 - 92
untuk mengetahui pola arah dan besarnya kecepatan arus terhadap waktu (selama waktu)
pengukuran, yang dikaitkan dengan kondisi pasang surut (elevasi muka air laut). Hal ini juga
merupakan salah satu cara untuk mengetahui hubungan pasut dengan kondisi arus. Apakah
pola arusnya mengikuti pola pasang surut atau tidak. Selain itu juga untuk melihat
bagaimana kondisi arus di kedalaman permukaan, tengah maupun dasar.
Gambar 2.34. Contoh hasil Pengolahan Data Kecepatan Arus Kedalaman 10-12 Meter (Cell
1) Perairan Kec. Bualemo, Kab. Banggai Tanggal 27 April 2013 - 3 Mei 2013.
Gambar 2.35. Kecepatan Arus Kedalaman 8-10 meter (Cell 2) Perairan Kec. Bualemo, Kab. Banggai
2 - 93
Gambar 2.28 Contoh Hasil Pengolahan Data Kecepatan Arus Kedalaman 6-8
Meter (Cell 3) Perairan B Kec. Bualemo, Kab. Banggai
Gambar 2.36. Contoh Hasil Pengolahan Data Kecepatan Arus Kedalaman 4-6 Meter (Cell 3)
Perairan Kec. Bualemo, Kab. Banggai
iii) Current Rose (Mawar Arus)
Selanjutnya untuk melihat frekuensi kejadian arus selama pengukuran dilakukan analisis
statistik dengan menyajikan current rose dan tabelnya. Pada analisis tersebut arah arus
dikelompokkan 16 mata angin dimana setiap 22,5 derajat terwakili oleh 1 arah mata angin.
2 - 94
Gambar 2.37. Contoh Current Rose Kedalaman Rata-rata Perairan Kec. Bualemo, Kab. Banggai
Gambar 2.38. Contoh Current Rose Kedalaman Cell 5 (2-4 meter) Perairan Kec. Bualemo, Kab. Banggai
Gambar 2.39. Contoh Current Cell 5 (0-2 meter) Perairan Kec. Bualemo, Kab. Banggai
2 - 95
Pada kedalaman rata-rata arah arus dominan menuju ke arah 315o (Barat Laut).
Frekuensi kejadian kecepatan arus secara keseluruhan yang menuju ke arah 315o sebesar
43,25 %. Frekuensi kejadian kecepatan arus dengan kecepatan terbanyak terjadi pada
kecepatan arus >60 cm/det dengan frekuensi kejadian kecepatan arus secara keseluruhan
sebesar 30,43 %. Kecepatan arus terbesar, yaitu >60 cm/det menuju ke arah 315˚ (Barat Laut)
dengan frekuensi 19,45 %.
iv) Plot World Current Untuk Mengetahui Jenis Arus (Pasut atau Selain Pasut)
Untuk membantu analisis arus digunakan Program World Current Versi 1.03 (12 Desember
2006). Grafik 3-day plot menunjukkan data arus yang diamati (warna merah), prediksi (biru),
sisa/pengurangan (hijau), sehingga memberikan sebuah grafik yang fluktuaktif dalam bentuk
gelombang yang menunjukkan model harmonik pasut sesuai dengan data tersebut. Gambar
23 menunjukkan bahwa pola kecepatan arus di lokasi kajian dipengaruhi oleh pasang surut
dan selain pasut.
Fluktuasi kecepatan arus berdasarkan data lapangan (arus total) mempunyai pola yang
hampir sama dengan data model astronomik (arus pasang surut). Namun nilai residu (arus
selain pasut) yang merupakan selisih dari arus total dan arus pasut mempunyai nilai fluktuasi
yang cukup besar. Berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa arus di perairan
wilayah kajian dipengaruhi oleh pasang surut dan selain pasut (seperti angin, gelombang,
dll.).
Hasil pengukuran digambarkan dalam scatter diagram, vektor plot, current rose (mawar
arus). Untuk distribusi spasial pola arus untuk tiap 500 m disimulasikan dengan model
hidrodinamika pola arus dengan grid maksimal 500 x 500 m, dan dikalibrasi dengan hasil
pengukuran. Pengukuran dilakukan pada saat kondisi pasang tinggi (fase spring tide). Peta
arus skala 1:50.000, digambar dalam bentuk kontur isoline dengan interval 0,05 m/detik.
2 - 96
Gambar 2.40. Contoh Analisis Scatter plot Kecepatan Arus Kedalaman Rata-rata Perairan Kec. Bualemo, Kab. Banggai.
Gambar 2.41. Scatter Plot Kecepatan Arus Kedalaman Cell 5 (2-4 meter) (Gambar Kiri) dan
Kedalaman Cell 6 (0-2 meter) (Gambar Kanan) Dari Perairan Kec. Bualemo, Kab. Banggai
v) Model Matematika
Untuk mengetahui distribusi spasial pola arus (setiap grid 500 meter untuk RZWP-3-K
kabupaten, setiap grid 250 meter untuk RZWP-3-K kota) di seluruh perairan wilayah
perencanaan disimulasikan dengan model matematika hidrodinamika pola arus dan
dikalibrasi dengan hasil pengukuran yang dilakukan pada kondisi pasang (spring tide).
Pemodelan matematik hidrodinamika yang digunakan merupakan persamaan aliran 2
dimensi pada rerata kedalaman (depth average). Percepatan gravitasi lebih dominan
dibandingkan dengan percepatan aliran vertikal. Sehingga persamaan aliran dapat didekati
dengan persamaan aliran dangkal (shallow water equation). Komponen kecepatan rata-rata
2 - 97
dzvH
V
Hz
z
b
b
1
dzuH
U
Hz
z
b
b
1
0
HV
yHU
xt
H
kedalaman dalam koordinat horizontal x dan y didefinisikan sebagai berikut :
Dengan : H = kedalaman air
zb = elevasi dasar sungai
zb+ H = elevasi muka air
u = kecepatan horizontal arah x
v = kecepatan horizontal arah y
Persamaan kontinuitas untuk aliran dua dimensi rata-rata kedalaman (averaged
continuity equation) dapat dituliskan sebagai :
Persamaan momentum pada arah sumbu x dan y untuk aliran dua dimensi rata-rata
kedalaman dapat dituliskan sebagai :
𝜕
𝜕𝑡(𝐻𝑈) +
𝜕
𝜕𝑥(𝛽𝑥𝑥𝐻𝑈𝑈) +
𝜕
𝜕𝑦(𝛽𝑥𝑦𝐻𝑈𝑉) + 𝑔𝐻
𝜕𝑧𝑏
𝜕𝑥+
1
2𝑔
𝜕𝐻2
𝜕𝑥+
1
𝜌[𝜏𝑏𝑥 − 𝜏𝑠𝑥 −
𝜕
𝜕𝑥(𝐻𝜏𝑥𝑥) −
𝜕
𝜕𝑦(𝐻𝜏𝑥𝑦)] = 0
untuk aliran arah sumbu x, dan
𝜕
𝜕𝑡(𝐻𝑉) +
𝜕
𝜕𝑥(𝛽𝑥𝑦𝐻𝑈𝑉) +
𝜕
𝜕𝑦(𝛽𝑦𝑦𝐻𝑉𝑉) + 𝑔𝐻
𝜕𝑧𝑏
𝜕𝑦+
1
2𝑔
𝜕𝐻2
𝜕𝑦+
1
𝜌[𝜏𝑏𝑦 − 𝜏𝑠𝑦 −
𝜕
𝜕𝑥(𝐻𝜏𝑦𝑥) −
𝜕
𝜕𝑦(𝐻𝜏𝑦𝑦)] = 0
untuk aliran pada sumbu y
Dengan : xx, xy, yx yy = koefisien koreksi momentum
g = percepatan gravitasi
= rapat massa air
bx by = tegangan geser dasar
sx sy = tegangan geser permukaan
xx, xy, yx yy = tegangan geser akibat turbulensi
(misal xy adalah tegangan geser ke arah sumbu x yang bekerja pada bidang tegak lurus
sumbu y). Komponen tegangan geser pada dasar dalam arah sumbu x dan y dihitung sebagai
berikut :
2 - 98
21
2
b
2
b22
fbyy
z
x
z1VUVc
21
2
b
2
b22
fbxy
z
x
z1VUUc
31
H
gn
C
gc
2
2
2f
x
U
x
Uxxxx
x
V
y
Uxyyxxy
y
V
y
Vyyyy
dengan cf adalah koefisien gesek dasar yang dapat dihitung sebagai :
dengan C = koefisien Chezy; n = koefisien kekasaran Manning; dan = 1,486 bila
menggunakan satuan Inggris dan 1,0 bila menggunakan satuan internasional (SI).
Tegangan geser turbulen rata-rata kedalaman dihitung menggunakan konsep eddy
viskositas dari Boussinesq, yakni :
Untuk penyederhanaan perhitungan, nilai eddy viskositas kinematik rata-rata kedalaman
dianggap isotropik (diasumsikan bahwa nilai xx = xy = yx = yy), dan eddy viskositas
isotropik dinotasikan dengan yang nilainya (0,3 0,6 U*H).
Hasil pemodelan matematik hidrodinamika pola arus berupa nilai kecepatan dan arah
arus disetiap titik-titik grid yang ada di seluruh perairan di wilayah perencanaan. Nilai ke-
cepatan arus disetiap titik-titik grid diinterpolasi sehingga menghasilkan kontur isoline ke-
cepatan arus. Kontur isoline kecepatan arus kemudian diklasifikasi dengan interval kontur se-
tiap 0,05 meter per detik.
2 - 99
Gambar 5.42. Diagram Proses Pemodelan Data Spasial Oseanografi (Data Titik Hasil Lapangan,
Interpolasi, Konversi Ke Polygon Dan Line)
- Bagaimana Penyajian Peta Arus?
Peta arus untuk RZWP-3-K dengan skala 1 : 50.000 digambarkan dalam bentuk kontur isoline
setiap 0,05 meter per detik. Peta ini dihasilkan dari interpolasi nilai kecepatan arus disetiap
titik-titik grid hasil model matematik hidrodinamika pola arus. Berikut ini adalah beberapa
contoh ilustrasi hasil interpolasi nilai kecepatan arus
Gambar .2.43. Peta Arus Pasang Menuju Surut Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
2 - 100
Gambar 2.44. Peta Arus Surut Menuju Pasang Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
d) Oseanografi Fisika Perairan Lainnya
- Bagaimana metode pengumpulan data fisika perairan?
suhu permukaan laut
Data parameter suhu permukaan laut, diperoleh dari analisis citra penginderaan jauh
thermal, contohnya adalah Citra Modis atau citra lain yang memiliki saluran thermal. Untuk
mendapatkan sebaran nilai suhu permukaan laut tiap grid pada citra satelit, dilakukan
transformasi matematis menggunakan software pengolahan citra.
Hasil transformasi tersebut digunakan untuk menentukan titik sampel pengukuran
suhu permukaan laut di lapangan. Jumlah sampel ditentukan berdasarkan keragaman
interval suhu permukaan laut.
Total Suspended Solid (TSS)
Total suspended solid diukur dengan cara pengambilan sampel air laut dan
pengukuran konsentrasi TSS di laboratorium. Penentuan lokasi dan jumlah sampel
ditentukan dengan melihat variabilitas rona/warna perairan, sehingga setiap tingkat
konsentrasi TSS di perairan dapat terwakili secara proporsional. Variabilitas rona/warna
perairan yang menunjukkan tingkat konsentrasi TSS dapat diidentifikasi menggunakan citra
penginderaan jauh secara visual.
2 - 101
Kecerahan
Kecerahan air laut diukur secara langsung di lapangan menggunakan Seechi Disk.
Penentuan lokasi dan jumlah sampel ditentukan dengan melihat variabilitas rona/warna
perairan, sehingga setiap tingkat kecerahan perairan dapat terwakili secara proporsional.
Variabilitas rona/warna perairan yang menunjukkan tingkat kecerahan perairan dapat
diidentifikasi menggunakan citra penginderaan jauh secara visual.
- Bagaimana Metode Analisis Data Oseanografi Fisika?
suhu permukaan laut
analisis suhu permukaan laut dilakukan dengan cara mengkoreksi data suhu permukaan
laut hasil pengolahan citra satelit dengan menggunakan data hasil pengukuran di lapangan.
Koreksi dilakukan dengan cara transformasi matematik menggunakan software pengolah
citra, sehingga dihasilkan data suhu permukaan laut yang valid/sesuai kondisi di lapangan.
Berdasarkan data suhu permukaan laut yang telah terkoreksi, dilakukan penyusunan peta
kontur isoterm dengan cara interpolasi nilai-nilai suhu permukaan laut disetiap titik-titik
grid yang ada di seluruh perairan di wilayah perencanaan
Total Suspended Solid (TSS)
Berdasarkan hasil pengukuran TSS di laboratorium diperolah nilai-nilai TSS untuk setiap
titik sampel. Nilai-nilai TSS tersebut kemudian di interpolasi sehingga menghasilkan kontur
isoline TSS untuk seluruh perairan di wilayah perencanaan.
Kecerahan
Berdasarkan hasil pengukuran kecerahan di lapangan diperoleh tingkat kecerahan perairan
untuk setiap titik sampel. Tingkat kecerahan perairan tersebut kemudian di interpolasi
sehingga menghasilkan kontur isoline kecerahan untuk seluruh perairan di wilayah
perencanaan.
- Bagaimana cara penyajian datanya?
Peta suhu permukaan laut untuk RZWP-3-K dengan skala 1 : 50.000 digambarkan dalam
bentuk kontur isoterm pada rentang 20 – 35 ˚C dengan interval 0,5˚C. Peta TSS
digambarkan dalam bentuk kontur isoline TSS dengan interval 0,5 mg/L. Kontur isoline
kecerahan digambarkan 1-20 m dengan interval kelas 1 meter.
Penggambaran simbol dan tampilan layout untuk data suhu permukaan laut, TSS dan
kecerahan, dan pada peta skala 1 : 50.000 mengikuti Standar Simbol, Notasi, dan Kode
Unsur Penyajian Peta Dasar, Peta Tematik dan Peta RZWP-3-K. Contoh penyajian Peta
Sebaran Suhu, Peta Sebaran TSS, Peta Sebaran Kecerahan dapat dilihat pada gambar di
bawah.
2 - 102
Gambar. 2.45. Peta sebaran TSS Kab. Banggai
Gambar. 2.46. Peta Kontur Sebaran Suhu Kab. Banggai
2 - 103
Gambar. 2.47. Peta Sebaran Kecerahan Kab. Banggai
e) Kimia Perairan
- Bagaimana Metode Pengumpulan Datanya?
Parameter oseanografi kimia meliputi pH, salinitas, COD, BOD, Ammonia (NH3-N)+, Nitrat
(NO3-N), Nitrit, dan Fosfat (PO4-P)+. Untuk menjaga akurasi data, pengukuran semua
parameter ini sebaiknya dilakukan di lokasi (in situ). pH diukur menggunakan pH meter
atau kertas lakmus. Salinitas diukur menggunakan salinometer atau refraktometer. COD,
BOD, Ammonia (NH3-N)+, Nitrat (NO3-N), Nitrit, dan Fosfat (PO4-P)+ diukur menggunakan
spektofotometer dan cairan reagent-nya.
Penentuan Lokasi sampel untuk untuk data oseanografi kimia (pH, salinitas, COD, BOD,
Ammonia (NH3-N)+, Nitrat (NO3-N), Nitrit, dan Fosfat (PO4-P)+) dilakukan dengan metode
purposive sampling. Lokasi sampel ditentukan dengan mempertimbangkan karakteristik
wilayah perairan setempat (daerah pertemuan arus, daerah muara sungai, daerah di
sekitar selat yang menghubungkan dua perairan, daerah teluk dan tanjung dan daerah
yang memiliki variabilitas kondisi ekosistem).
- Bagaimana Metode Analisis Datanya?
Berdasarkan hasil pengukuran data oseanografi kimia di lapangan, diperolah nilai-nilai
pH, salinitas, COD, BOD, Ammonia (NH3-N)+, Nitrat (NO3-N), Nitrit, dan Fosfat (PO4-P)+
untuk setiap titik sampel. Masing-masing nilai parameter tersebut kemudian di interpolasi
sehingga menghasilkan kontur isoline pH, salinitas, COD, BOD, Ammonia (NH3-N)+, Nitrat
(NO3-N), Nitrit, dan Fosfat (PO4-P)+ untuk seluruh perairan di wilayah perencanaan.
2 - 104
- Bagaimana menyajikan data parameter kimia perairan dalam peta?
Peta Sebaran pH untuk RZWP-3-K dengan skala 1 : 50.000 digambarkan dalam bentuk
kontur isoline pada rentang 4 – 9 dengan selang kontur 0.5. Peta Sebaran Salinitas untuk
RZWP-3-K dengan skala 1 : 50.000 digambarkan dalam bentuk kontur isoline pada rentang
antara 15-35 (o/oo) dengan selang kontur 1 (o/oo). Peta COD dan BOD untuk RZWP-3-K
dengan skala 1 : 50.000 masing-masing digambarkan dalam bentuk kontur isoline dengan
selang kontur 0.4 mg/l. Peta ammonia untuk RZWP-3-K dengan skala 1 : 50.000
digambarkan dalam bentuk kontur isoline dengan selang kontur 0.1 mg/l.
Penggambaran simbol dan tampilan layout untuk data pH, salinitas, COD, BOD,
Ammonia (NH3-N)+, Nitrat (NO3-N), Nitrit, dan Fosfat (PO4-P)+ pada peta skala 1 : 50.000
mengikuti Standar Simbol, Notasi, dan Kode Unsur Penyajian Peta Dasar, Peta Tematik dan
Peta RZWP-3-K. Contoh penyajian masing-masing Peta Sebaran pH, Peta Sebaran Salinitas,
dan Peta Sebaran Ammonia (NH3-N)+ dapat dilihat pada gambar di bawah.
Gambar 2.48. Peta Sebaran pH Kabupaten Banggai
2 - 105
Gambar 2.49. Peta Sebaran Salinitas Kabupaten Banggai
Gambar 2.50. Peta Sebaran Ammonia Kabupaten Banggai
f) Biologi Perairan
- Bagaimana Metode Pengumpulan Datanya?
Data biologi perairan yang dikumpulkan adalah data plankton. Plankton terbagi atas nabati
(phytoplankton) dan hewani (zooplankton). Data phytoplankton dapat diidentifikasi dari
2 - 106
citra penginderaan jauh dengan pendekatan kandungan klorofil yang ada di perairan.
Contoh citra penginderaan jauh yang dapat digunakan diantaranya adalah Citra Aqua
Modis, NOAA-AVHRR, atau citra lain yang memiliki kemampuan untuk mendeteksi klorofil.
Untuk mendapatkan sebaran plankton tiap grid pada citra satelit, dilakukan transformasi
matematis menggunakan software pengolahan citra, sehingga dihasilkan klasifikasi
kelimpahan phytoplankton (tentatif).
Hasil transformasi tersebut digunakan untuk menentukan titik sampel pengukuran
nilai plankton di lapangan. Jumlah sampel ditentukan berdasarkan variasi interval nilai
plankton pada citra satelit.
Untuk memvalidasi nilai kandungan plankton dari hasil pengolahan citra satelit,
dilakukan survey lapangan. Survey lapangan dilakukan untuk pengambilan sampel air
menggunakan planktonnet untuk mengekstrak plankton dari volume air tertentu yang akan
dianalisis di laboratorium. Analisis laboratorium dilakukan untuk mengukur kelimpahan
phytoplankton pada setiap lokasi sampling.
- Bagaimana metode analisa data Plankton?
Analisis plankton dilakukan dengan cara mengkoreksi nilai kelimpahan plankton hasil
pengolahan citra satelit dengan menggunakan data hasil analisis laboratorium. Koreksi
dilakukan dengan cara transformasi matematik menggunakan software pengolah citra,
sehingga dihasilkan data klasifikasi kelimpahan plankton yang valid/sesuai kondisi di
lapangan.
Berdasarkan data klasifikasi kelimpahan plankton yang telah terkoreksi, dilakukan
penyusunan peta kontur isoline dengan cara interpolasi nilai-nilai kelimpahan plankton
disetiap titik-titik grid yang ada di seluruh perairan di wilayah perencanaan.
- Bagaimana menyajikan data plankton dalam peta?
Peta Plankton untuk RZWP-3-K dengan skala 1 : 50.000 digambarkan dalam bentuk
kontur isoline antara 0,7 – 2,0 dengan interval 0,4 mg/L. Penggambaran simbol dan
tampilan layout untuk plankton pada peta skala 1 : 50.000 mengikuti Standar Simbol,
Notasi, dan Kode Unsur Penyajian Peta Dasar, Peta Tematik dan Peta RZWP-3-K.
3. Pemanfaatan Wilayah Laut Eksisting
- Bagaimana metode pengumpulan datanya?
Pemanfaatan wilayah laut eksisting adalah berbagai kegiatan pemanfaatan bentang
perairan yang dilakukan secara permanen maupun temporer. Pada wilayah perairan
kabupaten/kota, kegiatan pemanfaatan laut eksisting diantaranya pertambangan, kawasan
konservasi, pariwisata, BMKT, tambat labuh, rig, floating unit, bangunan perikanan
permanen (KJA, seabed, dll.), area penangkapan ikan modern dan tradisional dan budidaya
laut (seperti rumput laut dan mutiara).
2 - 107
Untuk memperoleh data lokasi pemanfaatan wilayah laut yang telah ada, dilakukan
identifikasi visual menggunakan citra penginderaan jauh resolusi tinggi (resolusi minimal 1
meter.) Hasil identifikasi visual pada citra tersebut digunakan untuk groundcheck di
lapangan dengan cara tracking dan plotting koordinat pada lokasi pemanfaatan laut yang
ditemukan dengan menggunakan GPS
- Bagaimana metode pengolahan datanya?
Metode pengolahan data pemanfaatan laut existing dilakukan dengan cara ploting
koordinat titik GPS hasil identifikasi citra penginderaan jauh dan poligon (untuk data yang
berupa area) hasil groun dcheck di lapangan ke dalam peta dasar.
- Bagaimana menyajikan data Pemanfaatan Wilayah Laut Eksisting dalam peta?
Peta pemanfaatan wilayah laut ekisting untuk RZWP-3-K dengan skala 1 : 50.000
digambarkan dalam bentuk titik dan poligon (untuk data yang berupa area).
Penggambaran simbol dan tampilan layout untuk data pada peta ini mengikuti Standar
Simbol, Notasi, dan Kode Unsur Penyajian Peta Dasar, Peta Tematik dan Peta RZWP-3-K.
4. Ekosistem Pesisir dan Sumberdaya Ikan
a. Terumbu Karang
- Bagaimana metode pengumpulan datanya?
Data terumbu karang dapat diperoleh melalui pendekatan penginderaan jauh dan survei
lapangan. Identifikasi terumbu karang melalui citra penginderaan jauh dilakukan dengan
cara dengan metode visual (on screen digitizing) maupun transformasi matematis,
misalnya transformasi Lyzenga. Secara visual, untuk membedakan terumbu karang dan
substrat dasar lainnya dilakukan dengan pendekatan unsur-unsur interpretasi citra.
Hasil interpretasi citra satelit digunakan untuk menentukan sampel yang akan dibawa
ke lapangan untuk verifikasi kebenarannya. Metode penentuan sampel yang digunakan
adalah purposive dan proportional random sampling. Purposive dengan
mempertimbangkan keragaman atau variabilitas kelas terumbu karang. Proportional
random sampling digunakan dalam menentukan titik sampel pada lokasi dengan
variabilitas kelas terumbu karang. Jumlah titik sampel yang ditentukan harus representatif
dan proporsional berdasarkan luasan area yang dipetakan.
Survei lapangan dilakukan untuk mendapatkan data sebaran dan kondisi terumbu
karang. Sebaran terumbu karang dilakukan dengan menggunakan metode Manta Tow.
Untuk melihat kondisi terumbu karang beserta keanekaragaman jenisnya digunakan Point
Intercept Transect (PIT). Pada saat survei terumbu karang, dilakukan pula identifikasi
kelimpahan dan keanekaragaman jenis ikan karang (demersal). Metode-metode tersebut di
atas akan dijelaskan secara rinci pada paparan di bawah ini.
2 - 108
1) Manta Tow
Metode ini bertujuan untuk mengetahui kondisi ekosistem terumbu karang dalam waktu
yang relatif singkat dalam skala yang luas. Metode ini berguna untuk mengetahui kondisi
umum, heterogenitas suatu komunitas karang sehingga data yang dihasilkan dapat
digunakan sebagai acuan dalam menentukan lokasi-lokasi yang mewakili area terumbu
untuk pengamatan ekosistem terumbu karang yang lebih detail.
Manta Tow dilakukan dengan cara mengamati tutupan substrat dasar laut oleh
penyelam snorkel yang ditarik oleh perahu kecil untuk menentukan kondisi terumbu karang
pada skala luas. Kecepatan perahu dijaga tetap dengan kecepatan kurang lebih 5 km/jam
atau sama dengan kecepatan orang berjalan. Metode Manta Tow melibatkan minimal 3
orang, yang terdiri dari pengamat 1, pengamat 2 dan pengemudi perahu (Gambar 1).
Pengamat 1 bertugas memotret, mengamati dan mencatat kondisi tutupan substrat di
wilayah yang diamati, dengan cara berpegangan dengan papan manta kemudian ditarik
oleh perahu dan melintas di atas puncak terumbu (reef crest). Sementara pengamat 2 yang
berada di atas perahu bertugas mengatur waktu, menggunakan GPS dan berkomunikasi
dengan pengamat 1. Pengemudi perahu bertugas mengemudikan perahu agar berada di
jalur yang sesuai dengan kecepatan yang sesuai juga. Waktu setiap tarikan adalah 2 menit,
kemudian setelah 15 tarikan berhenti sejenak untuk pergantian dimana pengamat 2 akan
menggantikan pengamat 1 dan begitu sebaliknya. Hal ini terus berulang sampai seluruh
area yang direncana-kan teramati.
Gambar 2.51 Ilustrasi Teknik Manta Tow (diadaptasi dari Brainard dkk, 2014)
2 - 109
Gambar. 2.52. Pengamatan Sebaran terumbu karang dengan metode Manta Tow
2) Point Transect
Metode Point Transect adalah salah satu metode penilaian kondisi terumbu karang
dengan cara mencatat jenis substrat dasar utamanya karang keras di bawah transek garis di
setiap in-terval 0,5 m. Pengamat hanya mencatat jenis substrat pada meter ke-0, lalu titik
0,5 m kemudian titik 1 m dan seterusnya hingga meter ke-100. Transek garis dibuat dengan
me-masang roll meter sepanjang 100 m sejajar dengan reef crest pada kedalaman 7 m
(Gambar 3). Penyelam SCUBA yang melakukan pencatatan dengan cara membagi transect
menjadi empat segmen, setiap segmennya terdiri dari 20 m dengan batas antar segmen
sepanjang 5 m, sehingga akan diperoleh 40 data point setiap segmen
2 - 110
Gambar 2.53. Ilustrasi Teknik Point Transect (diadaptasi dari Brainard dkk, 2014)
Gambar 2.54. Pengamatan substrat dasar menggunakan transek garis
metode Point Transect
2 - 111
- Bagaimana metode analisis datanya?
Kondisi Ekosistem Terumbu Karang
Kondisi ekosistem terumbu karang ditentukan oleh persentase tutupan karang, indeks
keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi biota. Tutupan karang
diperoleh menggunakan metode Manta Tow. Indeks keragaman, indeks keseragaman, dan
indeks dominansi biota diperoleh menggunakan metode Point Transect. Berdasarkan nilai-
nilai tersebut kemudian dapat ditentukan kriteria kondisi terumbu karang (rusak atau baik).
Persentase tutupan karang hidup dapat dilihat dari jumlah karang keras hidup
(Scleractinia spp.), yang merupakan unsur dominan di dalam ekosistem terumbu karang
(Sukarno, 1995).
Tabel 2.6. Kriteria Penilaian Kondisi Terumbu Karang Berdasarkan Persentase Tutupan
Karang Hidup (SK Meneg LH No. 04/2001)
Persentase Tutupan Karang (%) Kondisi Terumbu Karang
0 – 24,9 Rusak
Buruk
25 – 49,9 Sedang
50 – 74,9 Baik
Baik
75 – 100 Baik sekali
Keanekaragaman jenis karang dihitung berdasarkan rumus Indeks Keanekaragaman
Legendre & Legendre (1983) dengan rumus sebagai berikut :
N
nipipipiH
n
i
;log'1
2
dimana : H’ = Indeks Keanekaragaman Legendre & Legendre n = jumlah spesies dalam sampel ni = jumlah panjang karang jenis ke-i N = jumlah panjang total seluruh jenis
Analisa data tentang nilai Indeks Keanekaragaman Legendre & Legendre adalah
sebagai berikut:
H’ < 3,20 = keanekaragaman kecil dan tekanan ekologi sangat kuat 3,20 < H’ < 9,97 = keanekaragaman sedang dan tekanan ekologi sedang (moderat) H’ > 9,97 = keanekaragaman tinggi, terjadi keseimbangan ekosistem.
Sementara Keanekaragaman jenis ikan karang dihitung berdasarkan rumus Indeks
Keanekaragaman Shannon-Wienner dengan rumus sebagai berikut :
2 - 112
N
ni
N
niH
s
i
ln'1
dimana : H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner S = jumlah spesies dalam sampel ni = jumlah individu ikan karang jenis ke-i N = jumlah total individu seluruh jenis
Analisa data tentang nilai Indeks Keanekaragaman Shannon-Weaver adalah : H < 1 = berarti komunitas dalam kondisi tak stabil 1 < H < 3 = berarti komunitas dalam kondisi sedang (moderat) H > 3 = berarti komunitas dalam kondisi baik
Indeks Keseragaman (J’) jenis bertujuan untuk mengetahui keseimbangan individu
dalam keseluruhan populasi terumbu karang/ ikan karang, yang merupakan perbandingan
nilai keragaman dengan nilai keragaman maksimum. Nilai Indeks Keseragaman jenis karang
dan ikan karang dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :
2
'' ; log
HE Hmaks S
Hmaks
dimana : J’ = Indeks Keseragamanan H = Indeks Keanekaragaman S = jumlah spesies dalam sampel Pengambilan keputusannya adalah, jika : J’ < 0,3 = keseragaman populasi kecil 0,3 < J’ < 0,6 = keseragaman populasi sedang J’ > 0,6 = keseragaman populasi tinggi
Bila J mendekati 0 (nol), spesies penyusun tidak banyak ragamnya, ada dominasi dari
spesies tertentu dan menunjukkan adanya tekanan terhadap ekosistem. Bila J mendekati 1
(satu), jumlah individu yang dimiliki antar spesies tidak jauh berbeda, tidak ada dominasi
dan tidak ada tekanan terhadap ekosistem.
Indeks Dominansi jenis digunakan untuk mengetahui sejauh mana kelompok biota
mendominasi kelompok lain (Ludwig, 1988). Nilai Indeks Dominansi jenis karang dan ikan
karang dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :
2ni
CN
dimana: C = Indeks Dominasi Jenis ni = Jumlah individu jenis ke-i N = Jumlah total individu seluruh jenis
2 - 113
- Bagaimana metode penyajian data terumbu karang dalam peta?
Peta sebaran terumbu karang untuk RZWP-3-K dengan skala 1 : 50.000 ditampilkan
dalam bentuk poligon, sedangkan kondisi terumbu karang (persentase tutupan, indeks
keanekaragaman, indeks keseragaman dan indeks dominansi) ditampilkan dalam bentuk
pie chart atau diagram batang. Tipe terumbu karang (fringing reef, barier reef, atoll,
patch reef) disajikan dalam bentuk simbol.
Penggambaran simbol dan tampilan layout untuk data terumbu karang pada peta skala
1 : 50.000 mengikuti Standar Simbol, Notasi, dan Kode Unsur Penyajian Peta Dasar, Peta
Tematik dan Peta RZWP-3-K. Contoh penyajian peta sebaran terumbu karang dapat dilihat
pada gambar berikut:
Gambar2.55. Contoh tampilan peta ekosistem pesisir Kabupaten Banggai
b. Data Lamun
Lamun memegang peranan penting pada komunitas pesisir karena merupakan
pendukung bermacam-macam fauna yang berasosiasi di dalamnya, sehingga
keberadaannya mempengaruhi produktivitas pesisir. Komunitas ini juga berperan sebagai
penstabil sedimen dan mengontrol kualitas dan kejernihan air.
Padang lamun pada wilayah tropis hidup di perairan dangkal dengan substrat halus
disepanjang pantai dan estuari. Coles et.al, (1993) menyatakan bahwa komposisi spesies
lamun terdapat pada: (1) perairan dangkal kurang dari 6 meter merupakan daerah dengan
2 - 114
kelimpahan tinggi; (2) perairan kedalaman antara 6 sampai kedalaman 11 meter,
didominasi oleh Halodule spp dan Halophila spp; dan (3) perairan dengan lebih dari
11 meter, hanya dihuni oleh Halophila spp.
- Bagaimana metode pengumpulan datanya?
Pengumpulan data padang lamun dapat dilakukan melalui interpretasi citra
penginderaan jauh dan survei lapangan. Melalui metode penginderaan jauh, sebaran
padang lamun dapat diidentifikasi menggunakan metode visual (on screen digitizing)
maupun transformasi matematis, misalnya transformasi Lyzenga. Hasil interpretasi citra
satelit berupa peta tentatif sebaran padang lamun yang selanjutnya digunakan sebagai
dasar dalam penentuan titik lokasi survei lapangan.
Untuk survey lapangan, pengamatan padang lamun dilakukan menggunakan metode
transek kuadrat. Pelaksanaan metode ini menggunakan petak berbentuk bujursangkar yang
dibentangkan secara tegak lurus terhadap garis pantai. Pengukuran dilakukan dengan
menggunakan petak pengamatan seluas 10 m x 10 m. Di dalam petak pengamatan
diletakkan petak berbentuk bujursangkar ukuran 1 m x 1 m secara sejajar luas areal
pengamatan. Pengamatan didukung dengan kamera bawah air (underwater camera). Hasil
yang diperoleh dari metode ini adalah persentase tutupan relatif (English et al, 1997).
Penutupan lamun menyatakan luasan area yang tertutupi oleh tumbuhan lamun.
- Bagaimana metode analisis datanya?
Berdasarkan hasil pengukuran persentase pengukuran relatif padang lamun, dilakukan
pengolahan lebih lanjut untuk memperoleh komposisi jenis lamun, kerapatan spesies, dan
penutupan spesies.
Komposisi Jenis Lamun
Komposisi jenis merupakan perbandingan antara jumlah individu suatu jenis terhadap
jumlah individu secara keseluruhan. Komposisi jenis lamun dihitung dengan menggunakan
rumus:
Kerapatan Jenis Lamun
Kerapatan jenis lamun yaitu jumlah total individu suatu jenis lamun dalam unit area
yang diukur. Kerapatan jenis lamun ditentukan berdasarkan rumus:
2 - 115
𝐾𝑖 = ∑𝑛𝑖
𝐴
𝑝
𝑖=1
Penutupan Spesies ( PCi) adalah perbandingan antara luas area penutupan jenis i (Ci)
dan luas total area penutupan untuk seluruh jenis (A) :
PCi = (Ci / A) x 100
- Bagaimana metode penyajian data lamun dalam peta?
Peta sebaran padang lamun untuk RZWP-3-K dengan skala 1 : 50.000 digambarkan
dalam bentuk poligon, kondisi lamun (komposisi, kerapatan, persentase penutupan lamun,
dan penutupan spesies) ditampilkan dalam bentuk pie chart atau diagram batang. Jenis
lamun disajikan dalam bentuk simbol.
Penggambaran simbol dan tampilan layout untuk data pada peta padang lamun skala
1 : 50.000 mengikuti Standar Simbol, Notasi, dan Kode Unsur Penyajian Peta Dasar, Peta
Tematik dan Peta RZWP-3-K
c. Mangrove
Hutan mangrove merupakan komunitas pantai tropis yang didominasi oleh beberapa
jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang di daerah pasang surut baik
pantai berlumpur atau berpasir (Bengen, 1999). Saenger et al. (1983) dalam Aksornkoae
(1993) mendefinisikan mangrove sebagai karakteristik formasi tanaman litoral tropis dan
sub tropis di sekitar garis pantai yang terlindung.
- Bagaimana Metode Pengumpulan Data Mangrove?
Data mangrove dapat diperoleh melalui pendekatan penginderaan jauh dan survei
lapangan. Identifikasi mangrove melalui citra penginderaan jauh dilakukan dengan metode
visual (on screen digitizing) maupun transformasi matematis. Interpretasi mangrove dengan
citra penginderaan jauh dilakukan dengan melihat perbedaan rona/tingkat kecerahan,
warna, bentuk, pola, dan asosiasi/kedekatan terhadap obyek lain. Selain metode visual,
identifikasi mangrove dapat juga dilakukan dengan metode transformasi matematis
diantaranya, Ratio Vegetation Index (RVI), Transformed RVI (TRVI), Difference Vegetation
2 - 116
Index (DVI), Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), dan Transformed NDVI
(TNDVI).
Hasil interpretasi citra penginderaan jauh meliputi perkiraan luas, kerapatan, dan
distribusi vegetasi. Hasil ini selanjutnya digunakan untuk menentukan lokasi sampling untuk
verifikasi lapangan.
Metode penentuan sampel yang digunakan adalah purposive dan proportional
random sampling. Purposive dengan mempertimbangkan keragaman atau variabilitas kelas
mangrove. Proportional random sampling digunakan dalam menentukan titik sampel pada
lokasi dengan mempertimbangkan jumlah sampel pada setiap kelas mangrove. Jumlah titik
sampel yang ditentukan harus representatif berdasarkan luasan area yang dipetakan.
Survey lapangan kondisi ekosistem mangrove meliputi pengambilan data jumlah
individu, kerapatan dan distribusi vegetasi. Metode ini menggunakan plot/petak dengan
ukuran 10 x 10 meter yang diletakkan secara acak sesuai dengan jumlah sampel yang telah
ditentukan. Pada setiap petak yang telah ditentukan, dilakukan identifikasi setiap
tumbuhan mangrove yang ada, jumlah individu setiap jenis, dan lingkaran batang setiap
pohon mangrove.
Data mangrove yang dikumpulkan meliputi jenis, komposisi jenis, kerapatan jenis,
frekuensi jenis, luas area penutupan, nilai penting jenis, dan biota yang berasosiasi. Data
tersebut diolah lebih lanjut untuk memperoleh kerapatan jenis, frekuensi jenis, luas area
penutupan, dan nilai penting suatu spesies dan keanekaragaman spesies.
Metode pengumpulan data mangrove dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.7. Metode Survei Mangrove
2 - 117
Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit dan survei lapangan, mangrove dapat
dikategorikan sebagai berikut:
Tabel. 2.8. Klasifikasi tingkat kerapatan mangrove
Sumber : SNI Survey dan Pemetaan Mangrove, 2011
- Bagaimana Metode Analisis Data Mangrove?
Berdasarkan data-data mangrove yang telah diidentifikasi di lapangan berupa spesies,
jumlah individu dan diameter pohon, dilakukan pengolahan lebih lanjut untuk memperoleh
kerapatan jenis, frekuensi jenis, penutupan jenis, indeks keanekaragaman, dan indeks
kemerataan.
Rumus-rumus untuk analisis data adalah sebagai berikut:
● Kerapatan Jenis (Di) adalah jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit area:
Di = ni / A
dimana Di adalah kerapatan jenis i, ni adalah jumlah total individu dari jenis i dan A
adalah luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot)
● Frekuensi Jenis (Fi) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam petak contoh/ plot yang
diamati:
Fi= pi/∑p
Dimana, Fi adalah frekuensi jenis i, pi adalah jumlah petak contoh/ plot dimana
ditemukan jenis i, dan p adalah jumlah total petak contoh/plot yang diamati.
● Penutupan jenis (Ci) adalah jenis luas penutupan jenis i dalam suatu unit area:
Ci=∑BA/A
Dimana BA= πDBH2/4 (dalam cm2), π (3,1416) adalah suatu konstanta dan DBH adalah
2 - 118
diameter batang pohon dari jenis i,A adalah luas area pengambilan contoh (luas total
petak contoh/ plot). DBH= CBH adalah lingkaran pohon setinggi dada.
Indeks Keanekaragaman (H’). Keanekaragaman jenis (species diversity) vegetasi
mangrove ditentukan dengan indeks Keanekaragaman Shanon-Wiener (H’) (Odum,
1971) dengan formula sebegai berikut :
H’ = -∑ Pi ln Pi
dimana :
H’ = Indeks Keanekaragaman
Pi = (ni / N)
ni = jumlah individu dari jenis ke-i
N = jumlah total seluruh individu
Kisaran nilai indeks keanekaragaman Shannon Wienner diklasifikasikan sebagai berikut :
H’ < 1 = Keanekaragaman jenis kecil dan komunitas rendah
H’ < 1 < 3 = Keanekaragaman jenis sedang dan komunitas sedang
H’ > 3 = Keanekaragaman jenis tinggi dan komunitas tinggi
Indeks Kemerataan (E). Keseragaman jenis vegetasi mangrove ditentukan dengan
indeks kemerataan (Brower and Zar, 1977), dengan formula sebagai berikut :
E = H’ / H maks’
H maks’ = l n S
Dimana ;
H’ = Indeks Keanekaragaman
S = Jumlah Jenis
Nilai keseragaman berkisar antara 0 – 1. Apabila nilai E mendekati 0, maka sebaran
individu antara jenis tidak merata dan apabila nilai E mendekati 1, maka sebaran
individu antara jenis merata.
- Bagaimana Penyajian Data Mangrove ke Dalam Peta?
Peta sebaran mangrove untuk RZWP-3-K dengan skala 1 : 50.000 digambarkan dalam
bentuk poligon. Kondisi mangrove yang meliputi kerapatan jenis, frekuensi jenis,
penutupan jenis, indeks keanekaragaman, indeks pemerataan dan nilai penting jenis
digambarkan dalam bentuk diagram batang.
Penggambaran simbol dan tampilan layout untuk data mangrove mengikuti Standar
Simbol, Notasi, dan Kode Unsur Penyajian Peta Dasar, Peta Tematik dan Peta RZWP-3-K.
Contoh penyajian peta sebaran mangrove dapat dilihat pada Peta Ekosistem Perairan
Kabupaten Banggai .
2 - 119
Fitur yang harus ada dalam peta mangrove adalah fitur dasar dan fitur tematik
sesuai dengan hasil klasifikasi.
Tabel 2.9. Fitur dasar dan fitur tematik untuk penyajian peta mangrove
d. Sumberdaya Ikan
1. Daerah Penangkapan Ikan Pelagis Ikan pelagis merupakan ikan yang memiliki kebiasaan berenang dekat permukaan
perairan, berenang secara terus menerus dan cenderung beruaya atau tidak menetap di
suatu area. Ikan pelagis dibagi menjadi ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil. Contoh
ikan pelagis besar antara lain : ikan tuna besar (madidihang, tana mata besar, albakora,
tuna sirip biru selatan, tuna ekor panjang; ikan pedang/setuhuk (ikan pedang, setuhuk,
setuhuk biru, setuhuk hitam, setuhuk loreng, ikan layaran); ikan tuna kecil (cakalang,
tongkol); dan jenis-jenis ikan cucut. Contoh ikan pelagis kecil antara lain: ikan selar,
kembung, teri, layang, tembang, lemuru, dan ikan terbang.
- Bagaimana Metode Pengumpulan Data Sumberdaya Ikan Pelagis?
Delineasi/pemetaan daerah penangkapan ikan (DPI) pelagis dilakukan dengan metode
penginderaan jauh multitemporal dan survei lapangan. Metode penginderaan jauh
menggunakan beberapa parameter sebagai pendekatan, yaitu suhu permukaan laut
(SPL)/Sea Surface Temperature (SST), klorofil, Sea Surface Height Anomaly (SSHA) dan Total
Suspended Solid (TSS). Citra Satelit yang digunakan diantaranya NOAA-AVHRR (Advance
Very High Resolution Radiometer), Aqua/Terra Modis dan SeaWiffs untuk periode lima
tahun (multitemporal). Penggunaan parameter untuk skala pemetaan DPI Pelagis 1 :
250.000 dan 1 : 50.000 sebagai berikut:
2 - 120
Tabel 2.10. Parameter Oseanografi Dalam Penentuan DPI Pelagis Sesuai Skala Pemetaan
No Skala
Pemetaan Parameter yang digunakan Keterangan
1 1 : 250.000
1. Suhu permukaan laut (SPL atau SST)
2. Klorofil
3. Sea Surface height Anomaly (SSHA) -
Arus
- Data diperoleh dari citra
penginderaan jauh oseanografi
dan altimetri multitemporal (5
tahunan)
2 1 : 50.000 1. Suhu permukaan laut (SPL atau SST)
2. Klorofil
3. Sea Surface height Anomaly (SSHA) -
Arus
4. Total Suspended Solid (TSS).
- Data diperoleh dari citra
penginderaan jauh oseanografi
dan altimetri multitemporal (5
tahunan)
- TSS digunakan sebagai
pembatas untuk keberadaan
ikan pelagis di daerah perairan
dangkal.
- Metode Analisis DPI Pelagis
Untuk menentukan lokasi fishing ground ikan pelagis berbasis data penginderaan jauh,
secara tepat, maka diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:
• Langkah 1. Pengolahan data Aqua MODIS dilakukan dengan menggunakan perangkat
lunak SeaDAS
• Langkah 2. Koreksi geometrik merupakan tahapan pengolahan awal. Setelah itu dil-
akukan pemotongan pada daerah yang akan dikaji
• Langkah 2A. Pengolahan data SSH untuk mendapatkan informasi tinggi muka laut, se-
lanjutnya diturunkan menjadi informasi pergerakan arus laut
• Langkah 3. Ekstraksi klorofil-a dan suhu permukaan laut
• Langkah 3A. Data satelit yang digunakan: Satelit Jason atau Topex/Poseidon yang
disimpan di NOAA GEO-IDE UAF ERDDAP berupa data AVISO Altimetry and Niiler
Climatology, Global, SSH.
• Langkah 4. Pendekatan Knowledge-Based Expert Systems (KB-ES) yang diintegrasikan
dengan sistem berbasis spasial
• Langkah 5. Penyusunan dan standardisasi data serta penyajian data FG lebih mengacu
pada konsep Sistem Informasi Geografi (SIG)
• Langkah 6. Perbandingan kualitas produk pengamatan sensor dibandingkan dengan
kondisi sebenarnya dilakukan dalam proses validasi
2 - 121
Analisis citra oseanografi dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut
Analisis Suhu Permukaan Laut
Identifikasi suhu permukaan laut menggunakan pendekatan citra penginderaan jauh
dilakukan melalui penerapan algoritma untuk menonjolkan informasi suhu permukaan
pada citra satelit. Langkah-langkah analisis citra sebagai berikut:
Gambar 2.56. Diagram Alir Pengolahan Citra Satelit untuk analisis Suhu Permukaan Laut
2 - 122
Gambar 2.57. Contoh Hasil Analisis SST Multitemporal Dari Citra Satelit Untuk Wilayah Teluk Tomini
Analisis Klorofil
Dalam pendeteksian klorofil perairan, citra penginderaan jauh Ocean Color (Misal
SeaWIFS) dapat memberikan data dan informasi tentang adanya variasi warna perairan
sebagai implementasi dari perbedaan konsentrasi fitoplankton dalam perairan. Langkah-
langkah pengolahan data ocean color sebagai berikut:
Gambar 2.58. Pengolahan Data Ocean Color untuk Identifikasi Klorofil Perairan
2 - 123
Gambar 2.59. Contoh Hasil Analisis Klorofil Menggunakan Citra Satelit Multitemporal Analisis Sea
Surface Height Anomaly (SSHA)
Data SSHA diperoleh melalui analisis citra penginderaan jauh altimetri, yaitu citra
satelit yang dapat menunjukkan pola-pola perubahan permukaan laut secara kontinu,
misalnya perputaran arus dan gelombang.
Analisis selanjutnya dilakukan melalui tumpangsusun peta suhu permukaan laut,
klorofil dan arus sebagaimana gambar berikut:
2 - 124
Gambar 2.60 Langkah-langkah Identifikasi Fishing Ground
2 - 125
Untuk mendapatkan informasi DPI pelagis yang valid dilakukan identifikasi suhu
permukaan laut, klorofil dan SSHA pada tiga musim, yaitu musim barat, musim timur dan
musim peralihan. Dari hasil analisis didapatkan Peta DPI Pelagis Musim Barat, Peta DPI
Pelagis Musim Timur, dan Peta DPI Pelagis Musim Peralihan. Peta-peta tersebut kemudian
divalidasi dengan cara membandingkan dengan hasil pengukuran jenis dan kelimpahan ikan
pelagis di lapangan. Pengukuran di lapangan dilakukan pada waktu dan musim yang sama
dengan tanggal perekaman citra penginderaan jauh.
Metode pengukuran jenis dan kelimpahan ikan pelagis di lapangan sebagai berikut:
1. Pencatatan Data Hasil Tangkapan
Data hasil tangkapan meliputi : komposisi jumlah dan jenis serta total hasil tangkapan
setiap hauling. Pengambilan data dilakukan dengan cara menimbang hasil tangkapan ikan
dengan menggunakan timbangan pada setiap kegiatan hauling selesai dilaksanakan.
Penghitungan jumlah tangkapan ikan berasal dari kapal ikan (jumlah lebih dari satu
kapal ikan sejenis dengan ukuran dan jumlah trip yang sama). Untuk mendapatkan data
yang memiliki waktu yang sama dengan data dari hasil analisis citra penginderaan jauh dan
GIS, maka data penangkapan ikan dari kapal ikan diambil pada periode waktu yang sama
dengan data penginderaan jauh/citra satelit dan data GIS. Apabila analisis citra satelit
menggunakan data citra satelit multitemporal 5 tahun, maka data hasil tangkapan ikan
menggunakan data pada pariode yang sama. Data dapat diperoleh dari fishing log book
selama 5 tahun.
2. Identifikasi densitas ikan menggunakan Metode Hidroakustik
Metode hidroakustik dilakukan untuk memperoleh informasi tentang obyek di bawah air
dengan cara pemancaran gelombang suara dan mempelajari pantulan gelombang suara
yang dihasilkan. Perangkat akustik yang digunakan antara lain: echosounder, fish finder,
sonar, dan Acoustic Doppler Current Profiler (ADCP). Berdasarkan metode ini, dapat
diketahui tingkat densitas ikan per meter kubik dan dapat diketahui sebarannya untuk
wilayah perairan yang disurvey.
2 - 126
Berdasarkan hasil identifikasi DPI Pelagis menggunakan pendekatan penginderaan jauh
dan hasil pengumpulan densitas ikan di lapangan, dilakukan validasi dengan metode
sebagai berikut:
Gambar 2.61. Alur Validasi Lokasi Fishing Ground (Diwakili Dengan Kondisi Klorofil) dengan
Data Sebaran Densitas Ikan
Berdasarkan hasil validasi diperoleh Peta Sebaran DPI Pelagis Musim Barat, Peta
Sebaran DPI Pelagis Musim Timur, dan Peta Sebaran DPI Pelagis Musim Peralihan.
Selanjutnya, untuk mendapatkan titik lokasi fishing ground pilihan dari berbagai lokasi
tersebut perlu dilakukan analisis:
Jarak titik/area fishing ground ke pelabuhan terdekat
Tumpang susun dengan batas wilayah perencanaan kabupaten (4 mil)
Contoh analisis dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar. 2.62. Contoh Hasil Analisis Lokasi Fishing Ground Pilihan
2 - 127
- Bagaimana Penyajian Peta DPI Pelagis?
Peta DPI Pelagis untuk RZWP-3-K dengan skala 1: 50.000 digambarkan dalam bentuk
poligon. Jenis dan kelimpahan ikan dalam bentuk pie chart atau diagram batang dengan
informasi dasar lokasi fishing ground. Peta dibuat untuk musim barat, musim timur dan
musim peralihan.
Penggambaran simbol dan tampilan DPI pelagis skala 1 : 50.000 mengikuti Standar
Simbol, Notasi, dan Kode Unsur Penyajian Peta Dasar, Peta Tematik dan Peta RZWP-3-K.
2. Daerah Penangkapan Ikan Demersal
Ikan demersal adalah ikan yang mempunyai kebiasaan hidup di dasar atau dekat dasar
perairan. Contoh ikan demersal diantaranya: kerapu, beronang, kakap putih, kakap
merah/bambangan, manyung, gerot-gerot, kurisi, beloso, kuniran, bawal putih, bawal
hitam, peperek, layur, dll.
Delineasi/pemetaan DPI demersal dilakukan dengan metode analisis GIS dengan
pendekatan ekosistem perairan. Beberapa parameter yang digunakan yaitu sebaran dan
kualitas terumbu karang, padang lamun, mangrove, kedalaman perairan, topografi
perairan, kecerahan, perubahan cuaca dan pencemaran.
Analisis kesesuaian untuk daerah penangkapan (fishing ground) ikan demersal
menggunakan 2 pendekatan, yaitu pendekatan kesesuaian parameter biofisik dan
pendekatan konvensional.
- Bagaimana memperoleh data untuk mengetahui sebaran dan kondisi DPI demersal ?
a. Identifikasi Sebaran DPI Demersal
Identifikasi Sebaran DPI Demersal dilakukan dengan menggunakan kriteria kesesuaian
berdasarkan habitat sumberdaya ikan demersal. Habitat ikan demersal umumnya berkaitan
langsung maupun tidak langsung dengan keberadaan ekosistem pesisir, antara lain:
ekosistem mangrove (habitat menetap dan habitat temporer/ruaya pasang surut),
ekosistem padang lamun (habitat menetap dan habitat temporer/ruaya pasang surut), dan
ekosistem terumbu karang.
Data-data yang dibutuhkan dalam penentuan Identifikasi Sebaran DPI Demersal dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel.2.11. Kebutuhan Data Dalam Penentuan Kesesuaian Parameter Biofisik
No Data Sumber Data Keterangan
1 Ekosistem pesisir (terumbu karang, mangrove, padang lamun)
- Kondisi ekosistem (buruk, sedang, baik sangat baik)
Survey lapangan Kondisi ekosistem mempengaruhi kelimpahan ikan
- Kelimpahan ikan Survey lapangan
- Keanekaragaman/kekayaan jenis Survey lapangan
2 - 128
No Data Sumber Data Keterangan
ikan (ikan target)
2 Kedalaman perairan Peta bathimetri Distribusi ikan demersal sangat dibatasi oleh kedalaman karena jenis ikan demersal hanya mampu bertoleransi terhadap kedalaman tertentu sebagai akibat perbedaan tekanan air.
3 Morfologi dasar laut Peta bathimetri (analisis garis isodepth)
Persebaran habitat ikan demersal di sekitar ekosistem dengan morfologi dasar laut landai lebih jauh jangkauannya dibandingkan morfologi dasar laut curam – karena faktor kedalaman
4 Kecerahan air Citra satelit atau survey lapangan
Mempengaruhi feeding activity
5 Pencemaran Pengukuran lapangan Mempengaruhi distribusi/kehidupan ikan
Tabel 2.12. Kriteria Penentuan Daerah Potensi Perikanan Tangkap Demersal
No Parameter
Skor
1 3 5
1 Kondisi ekosistem terumbu karang/
tutupan karang hidup
Buruk (<25%) Sedang
(25-49,9%)
Baik & sangat
baik (50%)
2 Kondisi ekosistem padang lamun/
penutupan lamun
Buruk (<29,9%) Sedang
(30 – 59,9%)
Baik
(50%)
3 Kondisi ekosistem mangrove/ penutupan
mangrove
Rusak
(<50%)
Sedang
(50-74,9%)
Baik
(75%)
4 Kelimpahan ikan Rendah Sedang Tinggi
5 Kekayaan Jenis <10 jenis 10 – 30 jenis > 30 jenis
6 Kedalaman perairan (m) < 3 dan >100 3-5 dan
50-100
5-50
7 Morfologi dasar perairan landai Landai - curam curam
8 Kecerahan < 5 5-10 > 10
9 Pencemaran Ada Sedikit Tidak Ada
Sebagai unit analisis, delineasi DPI demersal menggunakan pendekatan ekosistem
terumbu karang, padang lamun dan mangrove. Asumsi yang digunakan ialah ketiga
ekosistem ini merupakan tempat spawning ground, nursery ground dan feeding ground
bagi berbagai jenis ikan.
2 - 129
b. Identifikasi Kondisi Sumberdaya Ikan Demersal
Langkah ini ditujukan untuk mengetahui secara lebih lebih detail kondisi sumberdaya
ikan demersal yang berasosiasi dengan ekosistem yang diamati. Lokasi survey lapangan
ditentukan berdasarkan hasil identifikasi sebaran DPI demersal. Kondisi sumberdaya ikan
demersal yang diteliti melalui pendekatan ini adalah jenis, kelimpahan, keanekaragaman,
keseragaman, dan dominasi sumberdaya ikan demersal.
Identifikasi kondisi sumberdaya ikan demersal dilakukan dengan pengamatan langsung
oleh penyelam SCUBA yang mencatat jenis dan jumlah ikan yang berada di kolom air. Ikan
karang yang berada di area terumbu karang diidentifikasi dan dihitung dengan mengikuti
transek garis sepanjang 30 m. Pencatat berenang di atas garis transek dan populasi ikan
yang disensus adalah pada luasan 7,5 m samping kiri-kanan dan atas bawah sepanjang garis
transek (Gambar 4). Selain pencatatan data komunitas ikan karang (demersal) untuk
mendukung deskripsi kondisi ekosistem terumbu karang juga dilakukan perekaman kondisi
bawah air dengan memotret dan mengambil gambar video menggunakan kamera
underwater.
Gambar . 2.63. Ilustrasi pengambilan data ikan karang (diadaptasi dari Brainard dkk, 2014)
Jumlah ikan karang yang disensus disajikan sebagai kelimpahan ikan karang sedangkan
data ikan karang dianalisa untuk menghitung keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan
dominasi (C).
- Bagaimana Menganalisis Data Sumberdaya Ikan Demersal?
Untuk mendapatkan Peta DPI Demersal dengan identifikasi sebaran DPI Demersal,
dilakukan analisis dengan cara overlay seluruh parameter sehingga menghasilkan Peta DPI
Demersal.
- survey pada kolom air di
kedalaman 0-30 m
- diameter transek sepanjang 15 m
- Pengambilan gambar benthos
sepanjang alur transek
- pencatatan data survey ikan
2 - 130
Untuk mengetahui kondisi sumberdaya ikan demersal, dilakukan analisis komunitas
ikan karang dengan menggunakan analisis kelimpahan ikan, indeks keanekaragaman (H’),
indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi. Berikut penjelasan masing-masing indeks
komunitas yang dipakai:
Kelimpahan Ikan
Kelimpahan komunitas ikan karang adalah jumlah ikan karang yang dijumpai pada
suatu lokasi pengamatan persatuan luas transek pengamatan. Kelimpahan ikan karang
dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Xi =ni
A x 100%
Dimana :
Xi = Kelimpahan ikan ke-i (ind/ha)
ni = Jumlah total ikan pd stasiun pengamatan ke-i
A = Luas transek pengamatan
Indeks keanekaragaman (H’)
Indeks keanekaragaman atau keragaman (H’) menyatakan keadaan populasi organisme
secara matematis agar mempermudah dalam menganalisis informasi jumlah individu
masing-masing bentuk pertumbuhan/genus ikan dalam suatu komunitas habitat
dasar/ikan. Indeks keragaman yang paling umum digunakan adalah rumus:
PiPiHS
i
1
ln'
dimana : H’ = Indeks keanekaragaman
Pi = Perbandingan proporsi ikan ke i
S = Jumlah ikan karang yang ditemukan
Indeks keanekaragaman digolongkan dalam kriteria sebagai berikut :
H’≤ 2 : Keanekaragaman kecil
2 < H’≤ 3 : Keanekaragaman sedang
H’ > 3 : Keanekaragaman tinggi
Indeks keseragaman (E)
Indeks keseragaman (E) menggambarkan ukuran jumlah individu antar spesies dalam
suatu komunitas ikan. Semakin merata penyebaran individu antar spesies maka
keseimbangan ekosistem akan makin meningkat. Rumus yang digunakan adalah:
maksH
HE
'
2 - 131
dimana : E = Indeks keseragaman
H maks = Ln S
S = Jumlah ikan karang yang ditemukan
Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0 – 1. Selanjutnya nilai indeks keseragaman
berdasarkan Krebs (1972) dikategorikan sebagai berikut :
0 < E ≤ 0.5 : Komunitas tertekan
0.5 < E ≤ 0.75 : Komunitas labil
0.75 < E ≤ 1 : Komunitas stabil
Semakin kecil indeks keseragaman, semakin kecil pula keseragaman populasi, hal ini
menunjukkan penyebaran jumlah individu setiap jenis tidak sama sehingga ada
kecenderungan satu jenis biota mendominasi. Semakin besar nilai keseragaman,
menggambarkan jumlah biota pada masing-masing jenis sama atau tidak jauh beda.
Indeks dominansi (C)
Indeks dominansi berdasarkan jumlah individu jenis ikan karang digunakan untuk
melihat tingkat dominansi kelompok biota tertentu. Persamaan yang digunakan adalah
indeks dominansi yaitu :
S
i
PiC1
2)(
dimana : C = Indeks dominansi
Pi = Perbandinga proporsi ikan ke i
S = Jumlah ikan karang yang ditemukan
Nilai indeks dominansi berkisar antara 1 – 0. Semakin tinggi nilai indeks tersebut,
maka akan terlihat suatu biota mendominasi substrat dasar perairan. Jika nilai indeks
dominansi (C) mendekati nol, maka hal ini menunjukkan pada perairan tersebut tidak ada
biota yang mendominasi dan biasanya diikuti oleh nilai keseragaman (E) yang tinggi.
Sebaliknya, jika nilai indeks dominansi (C) mendekati satu, maka hal ini menggambarkan
pada perairan tersebut ada salah satu biota yang mendominasi dan biasanya diikuti oleh
nilai keseragaman yang rendah. Nilai indeks dominansi dikelompokkan dalam 3 kriteria,
yaitu:
0 < C ≤ 0.5 : Dominansi rendah
0.5 < C ≤ 0.75 : Dominansi sedang
0.75 < C ≤ 1 : Dominansi tinggi
2 - 132
- Bagaimana Menyajikan Data DPI Demersal Dalam Peta?
Peta DPI demersal untuk RZWP-3-K dengan skala 1:50.000 digambarkan dalam bentuk
poligon dan hasil analisis kondisi sumberdaya ikan demersal (kelimpahan ikan, indeks
keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi) ditampilkan dalam bentuk
diagram batang dengan informasi dasar ekosistem pesisir.
Penggambaran simbol dan tampilan DPI demersal skala 1 : 50.000 mengikuti Standar
Simbol, Notasi, dan Kode Unsur Penyajian Peta Dasar, Peta Tematik dan Peta RZWP-3-K.
5. Infrastruktur
Pemetaan infrastruktur di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bertujuan untuk
mengetahui sebaran infrastruktur yang ada, sebagai data dasar dalam pengembangan
alokasi ruang dan proyeksi kebutuhan sarana dan prasarana. Terdapat berbagai jenis
insfrastruktur penting yang perlu dipetakan.
Untuk infrastruktur terkait dengan kelautan dan perikanan, sarana infrastruktur yang
penting meliputi Infrastruktur Umum, diantaranya bandara, terminal, pasar umum,
pelabuhan umum, kawasan industri, kantor pemerintah, sekolah, rumah sakit/puskesmas,
bangunan wisata/sejarah; dan Infrastruktur Khusus diantaranya pasar ikan, KUD, BBI,
Pelabuhan perikanan, TPI, Gudang penyimpanan, bangunan perlindungan pesisir (jeti,
penahan gelombang). Sedangkan infrastruktur penting lainnya yang perlu dipetakan adalah
data eksisting dan rencana jaringan sistem prasarana yang meliputi Transportasi,
Sumberdaya air, Energi, Telekomunikasi, Persampahan, Sanitasi, dan Drainase.
- Bagaimana cara mengumpulkan data infrastruktur?
Kondisi infrastruktur dapat diketahui berdasarkan data sekunder yang telah ada dan
juga melalui pengamatan langsung di lapangan. Data sekunder terkait dengan kondisi
infrastruktur berupa peta analog atau data tabular sebaran infrastruktur. Melalui
pengamatan langsung di lapangan diperoleh data jenis infrastruktur dan posisinya
(menggunakan GPS).
- Bagaimana cara mengolah dan menyajikan data infrastruktur?
Pemetaan dilakukan dengan mengkonversi data sekunder dan survey lapangan. Data
sekunder berupa peta analog perlu dikonversi terlebih dahulu menjadi peta digital sebelum
diolah menjadi peta infrastruktur. Konversi peta analog menjadi peta digital dilakukan
dengan metode digitasi.
Sedangkan, data sekunder berupa data tabular dapat diintegrasikan langsung ke dalam
peta dasar untuk menjadi peta infrastruktur. Data sekunder dan/atau data hasil
pengamatan langsung di lapangan selanjutnya diintegrasikan ke dalam peta dasar sehingga
diperoleh Peta Infrastruktur umum, khusus, dan infrastruktur lainnya. Peta Infrastruktur
untuk skala 1 : 50.000 digambarkan dalam bentuk titik dan garis dengan penggambaran
2 - 133
simbol dan tampilan mengikuti Standar Simbol, Notasi, dan Kode Unsur Penyajian Peta
Dasar, Peta Tematik dan Peta RZWP-3-K.
6. Demografi dan Sosial
Pemetaan demografi dan sosial dimaksudkan untuk mengetahui kondisi dan komposisi
masyarakat di suatu wilayah secara struktural dan kultural. Data terkait demografi dan
sosial yang dikumpulkan meliputi Populasi (jumlah, kepadatan dan distribusi umur), Trend
pertumbuhan populasi (tingkat kelahiran dan kematian), Pendidikan, Mata Pencaharian,
Agama, Budaya, Lembaga kemasyarakatan dan hukum adat serta masyarakat tradisional
- Bagaimana cara mengumpulkan data Demografi dan Sosial?
Metode pengumpulan data demografi dan sosial dapat dilakukan secara primer dan
sekunder. Pengumpulan/survey data primer dilakukan dengan cara wawancara dan Focus
Group Discussion (FGD) terhadap kelompok masyarakat yang dianggap mengetahui
informasi yang diperlukan dan perwakilan masyarakat dari lembaga lokal, pemuka
masyarakat, pemuka agama, dan lainnya. Pengamatan secara langsung terhadap lingkungan
sosial, hubungan sosial dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat, juga merupakan
upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh data primer serta memverifikasi (cross
check) informasi dari hasil wawancara dan Focus Group Discussion (FGD) .
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengunjungi instansi penyedia
data kependudukan dan sosial seperti Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kantor
Kepemerintahan lainnya.
- Bagaimana cara mengolah dan menyajikan data Demografi dan Sosial?
Pemetaan dilakukan dengan menintegrasikan data survey lapangan dan data sekunder
ke dalam peta dasar. Peta dasar yang digunakan adalah peta administrasi. Peta demografi
dan sosial skala 1:50.000 digambar dalam bentuk polygon disertai informasi dalam bentuk
diagram/tabel/pie chart.
7. Ekonomi Wilayah
Pemetaan ekonomi wilayah bertujuan untuk mengetahui kondisi perekonomian suatu
wilayah. Kondisi perekonomian suatu wilayah dapat dilihat dari : 1) Pendapatan perkapita;
2) Pertumbuhan Pendapatan perkapita ; 3) Angkatan kerja dan tingkat pengangguran; 4)
Tenaga kerja di bidang perikanan, pertanian, kehutanan, dll; 5) Populasi dan kepadatan
nelayan; 6) Pendapatan di sektor perikanan; 7) Produksi perikanan dan sektor-sektor lain;
8) Potensi pengembangan sumberdaya perikanan dan kelautan; 9) Jumlah wisatawan; 10)
Pendapatan rata-rata dan pengeluaran per sektor; dan data perekonomian lainnya.
2 - 134
- Bagaimana cara mengumpulkan data Ekonomi Wilayah?
Metode pengumpulan data Ekonomi Wilayah dilakukan melalui pengumpulan data
sekunder. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengunjungi instansi
penyedia data ekonomi wilayah seperti Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kantor
Kepemerintahan lainnya.
- Bagaimana cara mengolah dan menyajikan data Ekonomi Wilayah?
Pemetaan dilakukan dengan menintegrasikan data sekunder ke dalam peta dasar. Peta
dasar yang digunakan adalah peta administrasi. Peta Ekonomi Wilayah skala 1:50.000
digambar dalam bentuk polygon disertai informasi dalam bentuk diagram/tabel/pie chart.
Peta tersebut diklasifikasikan menjadi Peta Ekonomi Wilayah Per Kecamatan Pesisir dengan
kedalaman informasi berisikan Pendapatan perkapita kabupaten, Pertumbuhan
Pendapatan perkapita kabupaten, Angkatan kerja dan tingkat pengangguran per kabupaten,
Tenaga kerja di bidang perikanan, pertanian, kehutanan, dll, Populasi dan kepadatan
nelayan, Pendapatan di sektor perikanan, Produksi perikanan dan sektor–sektor lain,
Jumlah wisatawan, Pendapatan rata-rata dan pengeluaran per sektor.
Peta tersebut ditampilkan bersama dengan batas administrasi kabupaten, batas
administrasi kecamatan pesisir, batas wilayah perencanaan WP3K kabupaten, titik pusat
pemerintahan kabupaten, jaringan jalan, sungai, kontur ketinggian, kontur batimetri,
infrastruktur kelautan dan perikanan dengan simbolisasi sesuai standar Simbol, Notasi, dan
Kode Unsur Penyajian Peta Dasar, Peta Tematik dan Peta Rencana Zonasi WP-3-K.
8. Risiko Bencana dan Pencemaran
a) Risiko Bencana
Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu
kawasan dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam,
hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan
masyarakat.
Bencana Pesisir adalah kejadian karena peristiwa alam atau karena perbuatan orang
yang menimbulkan perubahan sifat fisik dan/atau hayati pesisir dan mengakibatkan korban
jiwa, harta, dan/atau kerusakan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Bencana yang
diakibatkan karena peristiwa alam seperti gempa bumi, tsunami, gelombang ekstrim,
gelombang laut berbahaya, letusan gunung api, banjir, kenaikan paras muka air laut, tanah
longsor, erosi pantai, angin puting beliung, serta jenis bencana lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan bencana yang diakibatkan karena
perbuatan orang seperti banjir, kenaikan paras muka air laut, tanah longsor dan erosi
pantai.
Peta Risiko Bencana dan Kajian Risiko Bencana harus disusun untuk setiap jenis
ancaman bencana yang ada pada daerah kajian. Rumus dasar umum untuk analisis risiko
yang diusulkan dalam 'Pedoman Perencanaan Mitigasi Risiko Bencana' yang telah disusun
2 - 135
oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana Indonesia (Peraturan Daerah Kepala BNPB
Nomor 4 Tahun 2008) adalah sebagai berikut:
Dimana:
R : Disaster Risk ; Risiko Bencana
H : Hazard Threat : Frekuensi (kemungkinan) bencana tertentu cenderung terjadi
dengan intensitas tertentu pada lokasi tertentu.
V : Vulnerability : Kerugian yang diharapkan (dampak) di daerah tertentu dalam sebuah
kasus bencana tertentu terjadi dengan intensitas tertentu. Perhitungan variabel ini
biasanya didefinisikan sebagai pajanan (penduduk, aset, dll) dikalikan sensitivitas
untuk intensitas spesifik bencana
C : Adaptive Capacity : Kapasitas yang tersedia di daerah itu untuk pulih dari bencana
tertentu
Metode pengumpulan data, metode analisis data dan simbolisasi peta mengacu pada
Peraturan Kepala BNPB Nomor 02 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko
Bencana. Sedangkan untuk penyajian peta risiko bencana mengikuti Pedoman Pemetaan
RZWP-3-K (Keputusan Dirjen KP3K No 46 Tahun 2013).
b) Pencemaran
Pencemaran yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat diidentifikasi
melalui pendekatan penginderaan jauh dan survei lapangan. Beberapa jenis polutan yang
menyebabkan terjadinya pencemaran di antaranya adalah:
Air Raksa (Hg)
Timbal (Pb)
Kadmium (Cd)
Daerah yang terpapar oleh pencemaran atau polusi akibat kimia dan limbah dapat
diidentifikasi secara in situ dan melalui analisis citra penginderaan jauh. Interpretasi citra
dilakukan dengan cara identifikasi perubahan suhu permukaan perairan maupun
identifikasi perubahan warna perairan yang menginformasikan kandungan polutan yang
ada di perairan. Survei lapangan dilakukan untuk pengukuran kualitas kimia dari perairan
yang telah dideteksi mengalami pencemaran bahan kimia.
2 - 136
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (2011). Ketentuan Mengenai
Penyusunan RZWP-3-K Kab/Kota. Jakarta: Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil.
Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (2012). Pedoman Teknis Pemetaan
Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi, Kabupaten / Kota. Jakarta:
Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (2012). Pedoman Teknis Penyusunan
RZWP-3-K Kabupaten / Kota. Jakarta: Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil.
Diposaptono, S & D.N. Sugianto, 2010. Metodologi Pengumpulan dan Analisis Data Hidro-
oseanografi. Diklat penilaian Amdal di Pusdiklat Kementerian Negara Lingkungan Hidup:
Jakarta.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.16/ MEN/2008 tentang Perencanaan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Peraturan Pemerintah No.10 tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta untuk Penataan Ruang
Wilayah.
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2013 tentang Tingkat Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang.
Peraturan Pemerintah No.85 tahun 2007 tentang Jaringan Data Spasial Nasional.
Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (2011). Modul Bimbingan Teknis
Penyusunan Perencanaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta: Direktorat
Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Undang-undang No.4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial.
Undang-Undang No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Undang-undang No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Undang-undang No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.