MODERNISASI SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN...
Transcript of MODERNISASI SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN...
MODERNISASI SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN
MENURUT NURCHOLIS MADJID
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh:
Luthfi Muchlis
NIM 1112011000091
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M/ 1440 H
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
“Modernisasi Sistem Pendidikan Pesantren Menurut Nurcholis Madjid”
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh:
Luthfi Muchlis
NIM 1112011000091
Yang mengesahkan,
Dosen Pembimbing
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
Skripsi yang berjudul “Modernisasi Sistem Pendidikan Pesantren Menurut Nurcholis
Madjid” Disusun oleh Luthfi Muchlis NIM. 1112011000091, Jurusan Pendidikan Agama Islam,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiyah yang
berhak untuk diujikan pada siding munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh fakultas.
Yang Mengesahkan,
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA. NIP 19540802.198503.1.002
UJI REFERENSI
Skripsi yang berjudul “Modernisasi Sistem Pendidikan Pesantren Menurut Nurcholis
Madjid” Disusun oleh Luthfi Muchlis NIM. 1112011000091, Jurusan Pendidikan Agama Islam,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta telah
melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiyah yang berhak untuk diujikan pada
siding munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh fakultas.
Jakarta, 8 Maret 2018
Yang Mengesahkan,
Dosen Pembimbing
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudul Modernisasi Sistem Pendidikan Pesantren Menurut
Hj. Marhamah Saleh, Lc, M.A
NIP 19720313 200801 2 010
Penguji I
Drs. Ahmad Gholib, M.Ag
NIP 19541015 197902 1 001
Penguji II
Drs. Muarif, M.Pd
NIP 19650717 199403 1 005
Mengetahui:
Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A
NIP 19550421 198203 1 007
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu memberikan
rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga, para sahabat dan para pengikutnya yang senantiasa berada dalam
lindungan Allah SWT. Atas ridho-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Modernisasi Sistem Pendidikan Pesantren Menurut Nurcholis Madjid”.
Apresiasi dan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah
berpartisipasi dalam penulisan skripsi ini. Secara khusus, apresiasi dan terima kasih
tersebut disampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, Rektor UIN Syarf Hidayatullah Jakarta
2. Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. Abdul Majid Khon, M. Ag, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Marhamah Saleh, LC, MA. Selaku sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam.
5. Dr. Muhammad Dahlan, M.Hum. Selaku dosen pembimbing akademik.
6. Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A Selaku dosen pembimbing skripsi.
7. Seluruh dosen, staff, dan karyawan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya
program studi Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan ilmu pengetahuan,
pemahaman, dan pelayanan selama proses perkuliahan.
8. Keluarga tercinta Ayahanda H. Kardi, Ibunda Hj. Sartiyah, serta semua keluarga yang
selalu mendoakan dan mendorong penulis untuk tetap semangat dalam mengejar dan
meraih cita-cita. Skripsi ini saya persembahkan untuk keluarga tercinta.
9. Kawan-kawan seperjuangan Pendidikan Agama Islam angkatan 2012 beserta kakak-kakak
tingkat pendidikan Agama Islam yang telah memberikan inspirasi dan motivasi.
10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam
penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih bayak kekurangan.
Sehingga, demi kesempurnaan penulisan selanjutnya, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca. Akhir kata penulis ucapkan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini sehingga
apa yang telah dihasilkan dapat bermanfaat dan berguna bagi kita semua.
Jakarta, 08 Maret 2018
Penulis
ABSTRAK
Luthfi Muchlis (NIM: 1112011000091) Modernisasi Sistem Pendidikan Pesantren Menurut Nurcholis Madjid
Pada dekade 70-80-an eksistensi pesantren mulai meredup, alumninya tak mampu berkiprah dalam persaingan global, dikarenakan pesantren menutup diri akan perkembangan jaman. Pesantren hanya fokus dalam mendalami ilmu-ilmu agama saja. Sehingga muncullah ide dari para tokoh agama dan juga pemerintah akan pembaharuan pendidikan pesantren dengan harapan pesantren dapat lebih berkontrubusi dalam perkembangan di berbagai sektor.
Seiring dengan itu muncul banyak ide-ide baru, yang bertujuan menyegarkan kembali pendidikan pesantren agar alumninya tidak hanya piawai dalam masalah agama tatapi juga dalam pengetahuan umum lainnya. Pada masa Orde Baru muncullah ide dari seorang cendikiawan muslim yang menawarkan ide pembaharuan pesantren yang bertolak dari keprihatinannya akan dunia pesantren yang makin tertinggal. Cendikiawan sekaligus penulis karya-karya yang bertemakan pembaharuan, Nurcholis Madjid, dalam beberapa bukunya mengulas tetntang bagaimana kondisi pesantren pada saat ini. apa yang menyebabkan pesantren dikatakan kolot, konservatif dan terlalu sempit memandang permasalahan umat pada masa kini, yang menjadi kritiknya adalah sistem pendidikan yang dipakai oleh pesantren adalah dalam aspek sarana dan prasarana, manajerial pesantren, metode pembelajaran dan juga system keorganisasian pesantren.
Namun, kendatipun demikian saat ini pesantren di Indonesia tidak seluruhnya melakukan pembaharuan di aspek-aspek tersebut. Masih banyak pesantren yang bertahan dengan tradisi lamanya dan tidak tertarik untuk memperbaharui pesantrennya. Hal tersebut disebabkan oleh banyak faktor yang akan dibahas dalam skrpsi ini.
Dalam penelitian ini diungkap berbagai pemikiran Nurcholis Madjid terhadap sistem pendidikan pesantren di Indonesia. Penelitian literer yang bersifat deskriptif dengan sumber primer karya-karya Nurcholis Madjid.
i
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
UJI REFERENSI
SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................1
B. Identifikasi Masalah ......................................................................................13
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah .............................................14
D. Kajian Terhadap Modernisasi Pesantren ......................................................14
E. Tujuan dan Manfaat Hasil Penelitian ............................................................16
BAB II KAJIAN TEORI TENTANG MODERNISASI PESANTREN .................... 17
A. Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia .................................................17
B. Pesantren Sebagai Pusat Pendidikan .............................................................20
C. Landasan Pendidikan Pesantren ....................................................................26
D. Pola Penyelenggaraan Pesantren ..................................................................28
E. Landasan Historis Pendidikan Pesantren ......................................................30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .......................................................................37
A. Waktu dan Tempat Penelitian .......................................................................37
B. Jenis dan Sifat Penelitian ..............................................................................37
C. Teknik Pemgumpulan Data ...........................................................................38
D. Sistematika Penulisan ...................................................................................39
E. Teknik Penulisan ...........................................................................................39
ii
BAB IV GAGASAN NURCHOLIS MADJID TERHADAP MODERNISASI
PESANTREN ............................................................................................... 40
A. Biografi Nurcholis Madjid ............................................................................40
B. Kondisi Objektif Pesantren ...........................................................................44
C. Gagasan Nurcholis Madjid Tentang Modernisasi Pendidikan Pesantren .....48
D. Kelemahan dan Kelebihan Pesantren ............................................................53
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................................81
B. Saran ............................................................................................................83
C. Kata Penutup .................................................................................................83
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
2
Untuk mencapai tujuan tersebutlah pesantren hadir dengan pola pendidikan
informal yang di adakan di masjid-masjid, surau, dan tempat lainnya. Nuansa
keagamaan yang kental dalam proses pendidikannya tersebutlah kiranya sama
sekali tidak menyentuh aspek selainnya. Seperti ilmu pengetahuan umum dan
teknologi.Pesantren hanya terfokus pada menyiapkan santri dengan bekal
pengetahuan agama melalui kajian kitab-kitab klasik.
Pesantren tidak hanya melahirkan tokoh-tokoh nasional yang paling berpengaruh
di negeri ini, tetapi juga diakui telah berhasil membentuk watak tersendiri, dimana
bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam selama ini dikenal sebagai
bangsa yang akomodatif dan penuh tenggang rasa. Kendatipun demikian, dalam
perjalanan sejarahnya yang panjang pondok pesantren mengalami dinamika yang
luar biasa.Hal ini tentu saja tidak terlepas dari berbagai konteks yang
melatarbelakangi.Sejak era kolonial pesantren tidak hanya sebagai pusat
pendidikan tetapi juga simbol perlawanan terhadap penjajah.Pesantren telah
melahirkan tokoh-tokoh terdepan yang non-kooperatif terhadap pemerintah
kolonial.Keadaan inilah yang kemudian membuat pesantren bergeser ke wilayah
periverial (pinggiran).Sebagai simbol oposisi terhadap pemerintah kolonial,
pesantren yang sebelumnya lebih akomodatif terhadap nilai-nilai budaya lokal kini
mulai protektif dan penuh kecurigaan, terutama terhadap nilai-nilai Barat yang
dibawa oleh penjajah.1
Perjalanan bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan pesantren dan
perkembangan Islam di negeri ini, sebab kemerdekaan Indonesia saja tidak terlepas
dari perjuangan umat Islam yang berkembang dari surau, masjid, mushola
pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya. Dalam sejarahnya umat
muslim yang berkembang dari pesantren berjuang melawan penjajah negeri ini
dengan segala daya dan upayanya. Mengusir penjajah dari bumi pertiwi ini
bukanlah hal yang mudah, sebab harta dan nyawa pun jadi taruhannya. Dalam
1Ibid, hal. 117
3
proses perlawanan terhadap penjajah inilah muncul sikap antipati terhadap apa yang
berkaitan dengan penjajah. Mulai dari cara berpakaian, tutur kata bahkan kemajuan
teknologi sekalipun, hal tersebut nampaknya adalah imbas dari ghiroh juang kaum
santri dalam memperjuangkan kemerdekaan. Namun, hal tersebut menjadi warisan
turun temurun di pesantren hingga kini yang menimbulkan sulitnya pesantren
dalam menjawab tantangan zaman.
Sejalan dengan kenyataan historis di atas, pesantren bukan hanya sebagai
lembaga pendidikan keagamaan tertua di negeri ini tetapi juga hasil produk budaya
nusantara yang indegenous.Pada awal-awal perkembangannya memang pesantren
belum tersetruktur, tetapi sejalan dengan perkembangan Islam di negeri ini,
terutama setelah terjadi persentuhan yang semakin kuat dengan tradisi intelektual
di Timur Tengah, penyelenggaraan pendidikan ini makin terstruktur.Sejak itulah
muncul tempat-tempat pengajian yang merumuskan kurikulumnya.Bentuk ini
kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para
pelajaryang kemudian disebut “pesantren”.Meskipun bentuknya masih sangat
sederhana, pada waktu itu pendidikan pesantren satu-satunya lembaga pendidikan
yang terstruktur.Sehingga pendidikan ini dianggap paling bergengsi.Di lembaga
inilah kaum muslimin Indonesia mendalami doktrin dasar Islam, khususnya
menyangkut praktek kehidupan keagamaan.2
Eksistensi pondok pesantren sudah tidak diragukan lagi.Lembaga pendidikan ini
telah sejak lama memberikan banyak sumbangsih bagi perjalanan bangsa ini dari
berbagai aspek, mulai dari bidang keilmuan, politik, ekonomi dsb.Agar eksistensi
pondok pesantren dapat terus unjuk gigi dan dapat terus memerankan perannya
dalam mencetak generasi muda bangsa, pesantren diharapkan dapat menyesuaikan
diri dengan arus perkembangan zaman yang tak dapat dibendung lagi.Maka harus
2 Amin Haedari “Transformasi Pesantren” (Jakarta: Lekdis dan Media Nusantara,
2006)hal. 45
4
ada langkah modernisasi sistem pendidikannya agar dapat selalu sejalan dengan
perkembangan zaman tanpa menghilangkan tradisi-tradisi yang dipegangnya.
Sementara itu, kondisi obyektif pendidikan Indonesia adalah sebuah potret
dualisme pendidikan, yaitu pendidikan Islam tradisional dan pendidikan
modern.Pendidikan Islam tradisional diwakili pesantren yang bersifat konservatif
dan hampir steril dari ilmu-ilmu modern.Sedangkan pendidikan modern diwakili
oleh lembaga pendidikan umum yang disebut sebagai “warisan kolonial” serta
madrasah-madrasah yang dalam perkembangannya telah berafiliasi dengan sistem
pendidikan umum.3
Dalam pendidikan pesantren modern hakikatnya ini terjadi akibat adanya
ekspansi pendidikan modern ala penjajah Belanda pada saat itu, yang kemudian
oleh beberapa pesantren yang ingin kontinuitas dan kelangsungannya direspon
dengan cara “menolak sambil mencontoh”4
Pada perkembangannya beberapa pesantren mengadopsi sistem-sistem yang di
tampilkan oleh para penjajah, pesantren model seperti ini telah menyadari bahwa
kemajuan pesantren harus ditopang juga dengan pengetahuan-pengetahuan
pendukung lainnya.Hal tersebutlah yang melatar belakangi beberapa pesantren
mengadopsi sistem-sistem penjajah belanda.Namun, bukan berarti selutuh
pesantren melakukan hal tersebut.Beberapa pesantren tetap eksis dan teguh pada
pendiriannya dengan menutup diri dari warisan penjajah.Sehingga, pesantren
tersebut menutup diri dari perkembangan dunia luar dan hanya membekali santri-
santrinya dengan pengertahuan agama saja.
3 Yasmadi “Modernisasi Pesantren: kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan
Islam Tradisional” (Jakarta: Ciputat Press, 2002)hal 45 4Nurcholis Madjid “Bilik-bilik pesantren” (Jakarta: Paramadina, 1997) hal. xiv
5
Sistem pesantren salaf, yaitu pesantren yang semata-mata hanya
mengajarkan atau menyelenggarakan pengajian kitab kuning yang dikategorikan
mu’tabaroh, dan sistem pendidikannya dengan sorogan atau bandongan.5
Pesantren sebagai pendidikan Islam oleh sebagian besar masyarakat tidak
pernah tersentuh oleh pembaharuan secara sistematik, terlebih lagi pesantren
dipandang sebagai potret keterbelakangan pendidikan Islam khususnya di
Indonesia ini. Hal tersebut tidak lain disebabkan oleh banyaknya pesantren yang
tidak mampu bertahan ditengah arus perkembangan zaman yang tidak bisa
dibendung lagi dewasa ini.
Hal tersebut berimbas kepada kurangnya kepercayaan masyarakat untuk
menitipkan anaknya di pondok pesantren. Namun, disisi lain banyak bermunculan
pesantren-pesantren yang justru mampu mengiringi perkembangan zaman dengan
menyelaraskan kurikulumnya dengan kurikulum nasional, mampu
mengidentifikasi kebutuhan sumber daya manusia pada era globalisasi ini, dengan
mengintegrasikan pendidikan umum dengan pendidikan Islam sehingga tak ada lagi
dinding pembatas antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum lainnya.
Keduanya berjalan beriringan sebagai implementasi dari menyiapkan bekal dunia
dan akhirat.
Problematika yang muncul kemudian adalah adanya dikotomi pendidikan
Ilmu Agama dan Ilmu Umum, dan tidak dapat dipungkiri sikap pesantren sebagai
salah satu lembaga pendidikan di Indonesia menunjukkan sikap antipati terhadap
ilmu-ilmu umum, sehingga yang menjadi fokus diajarkan di pesantren hanyalah
ilmu-ilmu agama.
Polarisasi ini menuntut bentuk perubahan yang radikal dalam sistem
pendidikan yang komprehensif dalam mentransformasi peradaban manusia secara
makro menuju peradaban madani yang sejalan dengan nilai doktrin Islam.Sebab
5 Mastuhu, “Dinamika Pesantren” (Jakarta: Langit Biru) hal. 39
6
pendidikan dalam konteks upaya merekonstruksi suatu peradaban merupakan salah
satu kebutuhan (jasa) asasi yang dibutuhkan oleh setiap manusia dan kewajiban
yang harus diemban oleh negara agar dapat membentuk masyarakat yang memiliki
pemahaman dan kemampuan untuk menjalankan fungsi-fungsi kehidupan selaras
dengan fitrahnya serta mampu mengembangkan kehidupannya menjadi lebih baik
dari setiap masa ke masa berikutnya.6
Hal demikian jelas sangat bertolak belakang dengan keadaan yang ada pada
zaman Nabi Muhammad dan para sahabatnya.Mereka sangat menghargai dan
mencintai ilmu pengetahuan.Dalam tradisi intelektual Islam, pendidikan telah lama
dikenal yaitu sejak awal Islam.Pada masa awal, pendidikan telah lama dikenal yaitu
sejak awal Islam, Pada masa awal, pendidikan identik dengan upaya da’wah
Islamiyah, karena itu pendidikan berkembang sejalan dengan perkembangan agama
itu sendiri.Prof. Baharuddin dalam bukunya “dikotomi pendidikan Islam” mengutip
pandangan Fazlur Rahman bahwa kedatangan Islam membawa untuk pertama
kalinya suatu instrumen pendidikan tertentu yang berbudayakan agama, yaitu al-
Qur’an dan ajaran-ajaran Nabi Muhammad.Tetapi perlu dipahami bahwa pada
masa awal perkembangan Islam, tentu saja pendidikan formal yang sistematis
belum terselenggara.Pendidikan yang berlangsung dapat dikatakan bersifat
informal dan inipun lebih berkait dengan upaya da’wah Islam, penyebaran,
penanaman dasar-dasar kepercayaan, dan ibadah Islam.7
Dalam catatan historis diatas Islam pada masa kejayaannya justru amat
mencintai ilmu pengetahuan, tidak adanya sekat-sekat kedudukan ilmu
pengetahuan pada saat itu merupakan sebab munculnya semangat intelektual umat
Islam.Ilmu agama dengan ilmu umum merupakan satu kesatuan, memiliki urgensi
6 Baharuddin, “Dikotomi Pendidikan Islam”(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007) hal.
22-23 7Ibid, hal. 25
7
masing-masing.Meskipun pada awal Islam praktek pendidikan kala itu masih
bersifat informal, tetapi semangat intelektual umat kala itu amat tinggi.
Hingga saat ini, perdebatan seputar dikotomi antara ilmu agama dan ilmu
umum masih terjadi.Karena itu konsep integrasi ilmu tetap menjadi diskursus yang
aktual.Sebagian berpandangan bahwa antara ilmu agama dan ilmu umum (sains)
merupakan dua kategori yang berbeda, memiliki wilayah kajian yang berbeda, dan
diorientasikan pada hal-hal yang berbeda pula. Sebagian lain mengatakan
sebaliknya, baik ilmu agama maupun ilmu umum adalah dua hal yang bersifat
integratif, dua aktifitas yang sama, dan keduanya tidak boleh dipilah-pilah karena
keduanya dapat saling melengkapi serta dapat dimanfaatkan bagi kepentingan umat
manusia.8
Perbedaan dalam memahami apakah ilmu agama dan ilmu umum itu
berada dalam satu kesatuan rasanya terus bergulir hingga kini.Yang harus menjadi
perhatian adalah adanya ketidak seimbangan antara proporsi keduanya.Ada
sekelompok orang yang hanya menganggap penting ilmu-ilmu agama saja dan
mengenyampingkan ilmu-ilmu lainnya, dan ada pula yang menganggap ilmu agama
itu paling penting dan menganggap perlu ditopang dengan kecakapan pengetahuan
ilmu-ilmu umum dan teknologi.
Secara historis, sebenarnya upaya awal survival pesantren telah dilakukan
jauh sebelum kemerdekaan, yakni sejak dilancarkannya perubahan atau
modernisasi pendidikan Islam di kawasan muslim. Modernisasi paling awal sistem
pendidikan Islam di Indonesia, diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda
pada paruh abad ke 19 M. Ini bermula dari adanya perluasan kesempatan para
pribumi untuk mendapatkan pendidikan, sebagai akibat penerapan politik ethis.
8 Syamsul Kurniawan, “Pemikiran Pendidikan Islam Soekarno” (Jakarta: Samudra Biru,
2016) hal. 34
8
Program ini dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan mendirikan
sekolah-sekolah rakyat atau sekolah negeri.9
Sistem pembelajaran tradisional yang berlaku, yaitu sorogan,
bandongan/balaghan atau halaqah (lingkar study) 10 dalam perspektif historis
terlihat, ketika pemerintah kolonial memperkenalkan pendidikan modern, kalangan
pesantren menyikapinya dengan resistansi yang kuat terhadap kebijakan
pemerintah kolonial tersebut, bahkan mengambil jalur politik non-kooperatif
dengan belanda, serta isolatif. Padahal pemerintah Belanda dengan segala i’tikad
baik nya ingin menyertakan rakyat “Hindia Belanda” dalam peradaban modern
tersebut.Para Ulama justru mengimbanginyadengan mengembangkan dan
mendirikan lebih banyak pesantren-pesantren, yang terasing dan mengasingkan diri
dengan lingkungan waktu itu.11
Kesenjangan waktu atau time lag memang mengandung konotasi ada yang
berposisi ketinggalan, konserpatif, ataupun kolot.Tetapi membentuk konotasi
keagamaan sebagai kekolotan sudah tentu tidak benar. Dalam hal universitas
Harvard misalnya, relevansinya dengan perkembangan zaman, bahkan
kepemimpinan, tidaklah diperoleh dengan meninggalkan sama sekali jiwa
“kepesantrenannya” (dalam arti: fungsi pokok atau historis sebagai tempat
pendidikan keagamaan). Disana masih terdapat bagian-bagianyang mengajarkan
teologis, disamping monumen-monumen keagamaan.Bahkan dalam bidang
teologia itu Harvard tetap meneruskan peranan historisnya sebagai penganut
madzhab unitarianisme.12
Penyajian fenomena diatas menunjukkan bahwa untuk memainkan peranan
besar dan menentukan dalam ruang lingkup nasional, pesantren-pesantren kita tidak
9 Abdul Halim Soebahar, “Modernisasi Pesantren”(Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2009) hal 40 10Ibidhal.112 11Ibidhal.115 12Nurcholis Madjid “Bilik-bilik Pesantren” (Jakarta: Paramadina, 1997)hal. 95
9
perlu kehilangan kepribadiannya sendiri sebagai tempat pendidikan
keagamaan.Bahkan tradisi-tradisi keagamaan yang dimiliki pesantren-pesantren itu
sebenarnya merupakan ciri khusus yang harus dipertahankan, karena disinilah letak
kelebihannya.13
Usaha untuk mendekonstruksi dan merekonstruksi “kebenaran-kebenaran”
yang telah mengakar di dunia pesantren menjadi hal yang tabu. Akibatnya, sistem
pendidikan ini tidak menganggap penting lagi meninjau pola pikir dan hasil jeri
payah para ulama terdahulu ketika berhadapan dengan perkembangan
kontemporer.14
Sistem pembelajaran di pesantren yang terjadi selama ini memandang
ajaran-ajaran Islam sebagai monumen baku yang statis, tak dapat di ganggu gugat
lagi. Sehingga upaya menyelaraskan ajaran Islam dengan perkembangan jaman
menjadi nhal yang tak mungkin terjadi, padahal ajaran-ajaran Islam yang di fahami
oleh muslim di dunia merupakan hasil ijtihad para ulama terdahulu sesuai dengan
kondisi sosiologis, geografis dan politik ketika itu. Keadaan pada masa para ulama
mujtahid terdahulu sangat jauh berbeda dengan kondisi kita pada saat ini, sehingga
mengharuskan adanya pembaharuan-pembaharuan yang disesuaikan dengan
denyut nadi perkembangan jaman.Pada dasarnya ajaran Islam adalah ajaran yang
cocok dengan kondisi dan tempat dimanapun berada.Dan ajaran Islam adalah ajaran
yang dinamis.
Disisi lain, sekitar tahun 1900 sampai pertengahan abad ke 20 ini, kompromi
dengan sistem pendidikan modern diperlihatkan oleh madrasah-madrasah dan
perguruan-perguruan di Minangkabau dan Jawa. Pembaharuan dalam lembaga
pendidikan tersebut dibawaoleh tokoh-tokoh, seperti Haji Rasul, Abdulah Ahmad,
13Ibid hal. 97 14 Armai Arif, “Reformulasi Pendidikan Islam”(Jakarta: CRSD, 2005) hal. 48
10
KH Ahmad Dahlan, dan lain-lain dengan mengadopsi corak pembaharuan
pendidikan Muhammad Abduh di Mesir.15
Dalam perjalanannya, pendidikan pesantren tidak semua yang ada bersikap
antipati terhadap dunia luar, dijelaskan diatas bahwa upaya pembaharuan sistem
pendidikan telah ditampilkan oleh beberapa tokoh di Indonesia seperti KH.Ahmad
Dahlan dan lain sebagainya. Itu menunjukkan bahwa telah ada kesadaran akan
pentingnya dunia pesantren membuka diri dengan perkembangan dunia global.
Hanya saja masih ditemukan beberapa pondok pesantren yang masih anti terhadap
dunia luar, dan cenderung mendikotomikan Antara pendidikan agama dengan
pendidikan umum.
Gerakan pembaharuan ini sangat berpengaruh dan berhasil untuk ukuran
waktu itu.Tetapi, tokoh pembaharu yang datang kemudian untuk melihat
kelemahan-kelemahan pada gerakan pembaharuan diatas.Terutama dalam wacana
masyarakat madani, lembaga pendidikan dalam hal ini dianggap tidak relevan lagi,
sebab hanya berdampak pada “pemiskinan intelektual” karena meninggalkan
khazanah kitab-kitab Islam klasik.16
Pertumbuhan pesantren sehingga tampak dengan model dan peran yang
muncul saat ini, menurut pengamatan Dr. Nurcholis Madjid, selain disebabkan
tiadanya kejelasan tujuan pendidikan pesantren, sedikit banyak juga dipengaruhi
ileh seting sejarah Indonesia yang pernah mengalami penjajahan. Dengan
membandingkan antara pertumbuhan pesantren di Indonesia dengan sistem
pendidikan di Barat, dimana hampir semua universitas terkenal disana cikal
bakalnya adalah perguruan yang semula berorientasi keagamaan, Nurcholis Madjid
melihat kemungkinan pesantren memainkan peranan yang begitu besar dalam
perkembangan sistem pendidikan modern, jika Indonesia tidak mengalami
15 Yasmadi “Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan
Islam Tradisional” (Jakarta: Ciputat Press, 2002 )hal. 4 16ibid hal. 5
11
penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikan di Indonesia akan mengikuti
jalur jalur pesantren selama ini, sehingga perguruan tinggi yang ada sekarang ini
tidak akan berupa Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung
(ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Gajah Mada (UGM) atau
perguruan ternama lain, melainkan, mungkin, namanya universitas Tremas,
Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem dan lain-lain.17
Selain daripada hal tersebut di atas menurut Dr. Nurcholis madjid
kelemahan pesantren dewasa ini adalah adanya pengaruh semangat pribadi para
pendirinya terhadap pesantren itu memang tidak bisa dihindarkan dan ini bukanlah
kesalahan mereka. Para pendiri tidak an sich salah, kalau saja hambatan bagi
perkembangan pesantren tidak timbul dari dominasi pengaruh ini. Sebab, seorang
pribadi tentulah tidak lebih daripada kapasitas-kapasitas fisik maupun mentalnya.Ia
memiliki kemampuan-kemampuan yang terbatas. Umpamanya saja, dari segi non
fisik, pribadi tersebut mengetahui beberapa hal, tetapi bisa dipastikan lebih banyak
lagi hal lain yang belum diketahuinya. Keterbatasan akan pengetahuan itu tentu
akan tercermin pula dalam keterbatasan kemampuan mengadakan responsi pada
perkembangan masyarakat.18
Pesantren di Indonesia yang bercorak tradisional dalam sistem
pengajarannya, juga dalam manajerial pesantren.Belum adanya penyusunan
kurikulum secara sistematis, bahkan tidak adanya evaluasi pembelajaran dalam
sistem pembelajarannya, pembelajaran hanya berpacu kepada pengajian kitab-kitab
klasik tanpa adanya sistem evaluasi untuk mengetahui capaian para santrinya.Dan
juga dalam manajerial pesantren, pesantren modern amat bertumpu pada pimpinan
17 Mastuhu, “Dinamika Sisten Pendidikan Pesantren” (Jakarta: Langit Biru) hal. 37 18Nurcholis Madjid “Bilik-bilik pesantren Sebuah Potret Perjalanan” (Jakarta:
Paramadina, 1997) hal. 6
12
pesantren atau kyai, kyai memegang stabilitas utama dalam keberlangsungan
kehidupan pesantren.Bahkan tidak sedikit pesantren yang gulung tikar disebabkan
meninggalnya kyai.Karna dalam sistem manajerial pesantren tradisional belum
dipikirkan mengenai kaderisasi kepemimpinan.Dan pesantren terlalu bergantung
terhadap sosok kyainya.
Kemudian kurangnya kemampuan pesantren dalam merespon dan
mengimbangi perkembangan zaman, ditambah faktor lain yang sangat beragam,
membuat produk-produk pesantren yang dianggap kurang siap untuk “lebur” dan
mewarnai kehidupan modern. Tidaklah mengherankan apabila muncul gambaran
diri seorang santri itu, dibanding dengan tuntutan kehidupan nyata pada zaman
sekarang, adalah gambaran diri seorang dengan kemapuan-kemampuan
terbatas.Sedemikian terbatasnya kemampuan itu sehingga peranan-peranan itu
hanya bersifat tambahan yang kurang berarti pada pinggiran-pinggiran keseluruhan
sistem masyarakat saja, dan kurang menyentuh, apalagi mempengaruhi nukleus dan
inti-poros perkembangan masyarakat itu.Meskipun gambaran diri itu tetap
mermiliki warna keagamaan biasanya memperoleh gelar sebagai kyai, alim, ustadz
atau sekedar santri namun diukur dari keharusan-keharusan keagamaan itu sendiri
masih menunjukkan kekurangan-kekurangan.19
Dari pemaparan diatas terlihat adanya image yang ditimbulkan masyarakat
pada umumnya tentang kompetensi para alumni pesantren, yang keilmuannya tidak
jauh dari kelimuan agama saja.Dan anggapan seperti itu nyatanya tidak dapat
mengambil peranan dalam perkembangan dunia secara keseluruhan.Sebab,
tantangan di era globalisasi seperti sekarang ini adalah bagaimana sumber daya
manusia menguasai teknologi, social, politik dan lain sebagainya.Dan pesantren
yang merupakan lembaga pendidikan khas Indonesia harus dapat menjawab
tantangan tersebut.
19Ibid, hal. 7
13
Selanjutnya menyikapi kelemahan pesantren dewasa ini penulis
berkesimpulan bahwa masih ditemukan corak pesantren tradisional yang
menunjukkan sikap antipati terhadap ilmu-ilmu umum, sikap tersebut
menimbulkan kontrasnya dikotomi antara ilmu agama dengan ilmu
umum.Ketimpangan yang terjadi pada pesantren tradisional ini disebabkan karna
kurangnya respon pesantren terhadap dunia luar pesantren yang telah beberapa
langkah lebih maju di bidang sains, teknologi, sosial dsb.Pesantren dengan corak
seperti tersebut diatas ini hanya menitikberatkan santrinya agar memiliki
pemahaman hanya dalam bidang agama saja dan cenderung mengenyamoingkan
ilmu-ilmu umum.
Menyikapi kondisi ini, tokoh cendikiawan muslim yang mempopulerkan
masyarakat madani di Indonesia, Nurcholis Madjid, melontarkan ide untuk
mengangkat dan mengembangkan citra pesantren dengan tema modernisasi
pendidikan Islam tradisional (pesantren). Untuk menuju masyarakat madani,
pesantren dijadikan pijakan dasar, sebab di samping lembaga ini menyimpan
khasanah Islam klasik, pesantren adalah sistem pendidikan benar-benar
mencerminkan peradaban “Indonesia baru” yang bercirikan budaya lokal. Menurut
Nurcholis Madjid, semboyan mewujudkan masyarakat madani akanmudah
terwujud bila institusi pesantren tanggap atas perkembangan dunia modern.20
Nurcholis madjid adalah tokoh cendikiawan muslim yang dalam karya-
karyanya mengusung tema pembaharuan pemikiran, pada masa orde baru Nurcholis
Madjid banyak membuat inovasi dalam hal pembaharuan pemikiran Islam, tak
jarang pula karya dan pemikirannya menciptakan imagenegatif dari masyarakat
luas, pemikiran Nurcholis Madjid dianggap oleh segelintir orang sebagai pemikiran
liberal yang justru memarjinalkan Islam.
20 Yasmadi “Modernisasi Pesantren: kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan
Islam Tradisional” (Jakarta: Ciputat Press, 2002 )hal. 6
14
Oleh sebab itu, penulis ingin membahas pemikiran Nurcholis Madjid
tentang modernisasi pendidikan pesantren, serta merupakan jawaban dari banyak
pertanyaan masyarakat tentang anggapan kepada Nurcholis Madjid yang
memarjinalkan Islam secara global atau pesantren secara lingkup lebih sempit
karena dalam banyak karyanya Nurcholis Madjid mengungkap bagaimana sistem
pendidikan pesantren seharusnya.
Atas dasar uraian diatas, penulis tertarik untuk mengangkat pemikiran
Nurcholis Madjid dalam memperbaharui sistem pendidikan pesantren, maka
diangkatlah judul “Modernisasi Sistem Pendidikan Pesantren Menurut Nurcholis
Madjid” sebagai judul skripsi ini.
A. Identifikasi Masalah
Dari uraian singkat di atas, penulis mengidentifikasi beberapa permasalahan yang
terkait dengan penelitian ini, yaitu:
1. Adanya sikap antipati pesantren terhadap dunia modern.
2. Belum adanya kesadaran pesantren perihal pentingnya mengikuti perkembangan
zaman.
3. Adanya dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang diuraikan diatas, agar dalam pembahasan dan
analisis tidak terlalu melebar dan meluas sehingga tidak sesuai dengan judul dan
tujuan, maka penyusunan ini perlu pembatasan masalah. Pembahasan pada
penelitian ini adalah :
1. Bagaimana kondisi objektif pesantren menurut Dr. Nurcholis Madjid?
15
2. Apakah ide-ide Dr. Nurcholis Madjid tentang modernisasi pesantren?
3. Apa kelemahan dan kelebihan pesantren dalam pandangan Nurcholis Madjid?
C. Tujuan dan Manfaat Hasil Penelitian
1. Tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui apa kelemahan dan kelebihan pesantren menurut
Nurcholis Madjid.
b. Untuk memperoleh pemahaman dari pemikiran Dr. Nurcholis Madjid tentang
modernisasi pendidikan pesantren ke depan.
2. Adapun manfaat penelitian ini adalah:
a. Untuk memperluas pemahaman penulis tentang modernisasi sistem
pendidikan pesantren.
b. Melengkapi khasanah intelektual Islam tentang modernisasi pesantren.
c. Memberikan kontribusi pemikiran kontemporer untuk dijadikan referensi
bagi penelitian selanjutnya.
16
17
BAB II
KAJIAN TEORI
TENTANG MODERNISASI PESANTREN
A. Kajian Teori
1. Modernisasi Pendidikan Pesantren
a. Pengertian Modernisasi
Modernisasi menurut sejarahnya, merupakan proses perubahan menuju tipe sistem
sosial, ekonomi dan politik yang telah berkembang di Eropa Barat dan Amerika
Utara pada abad ke-19 dan 20 meluas ke negara-negara Amerika Selatan, Asia serta
Afrika. Ahli-ahli ekonomi menginterpretasikan modernisasi dalam arti model-
model pertumbuhan yang berisikan indeks-indeks semacam indikator ekonomi,
standar hidup, pendapatan perkapita dan lain-lain. Ahli-ahli politik membuat
konsep modernisasi, menurut proses politik, pergolakan sosial dan hubungan-
hubungan kelembagaan. Ahli-ahli sosiologi mendefinisikan modernisasi dengan
berbagai macam tetapi tetap dalam kerangka perspektif evolusioner yang mencakup
transisi multiliner masyarakat yang sedang berkembang dari tradisi ke
modernisasi21
Menurut Harun Nasution “Modernisasi dalam masyarakat barat mengandung arti
pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah paham-paham, adat istiadat,
institusi-institusi lama dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang
ditimbulkan oleh perubahan dan keadaan, terutama oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern22
Dari penjabaran diatas diketahui bahwa modernisasi adalah suatu gagasan
menuju penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi pada masa kini.Usaha
21 Harapandi Dahri, “Modernisasi Pesantren”, (Jakarta: Balai Penelitian dan
Pengembangan Agama), hal. 72 22 Harun Nasution, “Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan”,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1982), Cet. II, hal. 11
18
tersebut merupakan langkah penyesuaian terhadap perubahan sosial masyarakat,
teknologi, sains dsb. Agar terbentuknya situasi yang kekinian dan semua aspek
dapat berjalan sebagaimana perkembangan yang terus dan akan selalu terjadi.
Kata modern dalam bahasa Indonesia selalu dipakai kata modern, modernisasi,
modernisme seperti “aliran modern dalam Islam” begitu juga “Islam dan
Modernisasi”. Modernisme pada masyarakat barat mengandung arti pikiran, aliran,
adat istiadat institusi-institusi lama, dan sebagainya untuk disesuaikan dengan
suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern.Kata modern berasal dari kata modoyang berarti barusan. Bisa juga
diartikan sikap dan cara berfikir, serta bertindak sesuai dengan tuntutan zaman,
sedangkan modernisasi diartikan sebagai proses pergeseran sikap dan mentalitas
sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan masa kini.23
Menurut Abuddin Nata, modern diartikan sebagai yang terbaru atau
mutakhir. Selanjutnya kata modern erat kaitannya dengan kata modernisasi yang
berarti pembaharuan atau tajdiddalam Bahasa Arab.Modernisasi mengandung
pengertian, pikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk mengubah pola, paham,
institusi dan adat untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam Islam, modernisasi seringkali
juga berarti upaya sungguh-sungguh untuk melakukan reinterpretasi terhadap
pemahaman, pemikiran, dan pendapat tentang masalah ke-Islaman yang dilakukan
oleh pemikir terdahulu untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Selanjutnya aspek yang dihasilkan oleh modernisasi disebut modernitas.24
b. Syarat-syarat Modernisasi
Modernisasi tidak sama dengan reformasi yang menekankan pada faktor-
faktor rehabilitasi. Modernisasi bersifat preventif dan konstruktif dan agar proses
23 Harapandi, Modernisasi Pesantren ....hal. 72
19
tersebut tidak mengarah pada angan-angan sebaliknya modernisasi harus dapat
memproyeksikan kecenderungan yang ada dalam masyarakat yang digagas oleh
Soerjono Soekanto memiliki beberapa syarat yaitu:
1) Cara berfikir yang ilmiah (scientifik thinking)
2) Sistem administrasi yang baik, yang benar – benar mewujudkan birokrasi.
3) Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teraturdan terpusat.
4) Pendiptaan iklim yang favourable dari masyarakat terhadap modernisasi dengan
cara penggunaan alat-alat komunikasi massa.
5) Tingkat organisasi yang tinggi.
6) Sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan perencanaan sosial.25
Apabila dibedakan menurut asal faktornya, maka faktor-faktor yang
mempengaruhi modernisasi pesantren dapat dibedakan atas faktor internal dan
eksternal.
a) Faktor-faktor internal, merupakan faktor-faktor perubahan yang berasal dari
dalam masyarakat, misalnya :
(1) Perubahan aspek demografi (bertambah dan berkurangnya penduduk),
(2) Konflik antar-kelompok dalam masyarakat,
(3) Terjadinya gerakan sosial dan
(4) Penemuan-penemuan baru, yang meliputi (a) discovery, atau penemuan
ide/alat/hal baru yang belum pernah ditemukan sebelumnya (b) invention,,
penyempurnaan penemuan-penemuan pada discovery oleh individu, dan
(c) inovation, yaitu diterapkannya ide-ide baru atau alat-alat yang telah ada.
a. Faktor-faktor eksternal, atau faktor-faktor yang berasal dari luar
masyarakat, dapat berupa:
(1) Pengaruh kebudayaan masyarakat lain, yang meliputi proses-proses difusi
(penyebaran unsur kebudayaan), akulturasi (kontak kebudayaan), dan asimilasi
(perkawinan budaya),
25 Soejono Soekanto, “Sosiologi Suatu Pengantar”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996). Cet. XXII. Hal. 386-387.
20
(2) Perang dengan negara atau masyarakat lain, dan
(3) Perubahan lingkungan alam.
Sedangkan dilihat dari faktor-faktor modernisasi pesantren menurut
jenisnya dapat dibesakan antara faktor-faktor yang bersifat material dan yang
bersifat immaterial.
b) Faktor-faktor yang bersifat material, meliputi:
(1) Perubahan lingkungan alam,
(2) Perubahan kondisi fisik-biologis, dan
(3) Alat-alat dan teknologi baru, khususnya Teknologi Informasi dan Komunikasi.
c) Faktor-faktor yang bersifat immaterial, meliputi:
(1) Ilmu Pengetahuan, dan
(2) Ide-ide atau pemikiran baru, ideologi, dan nilai-nilai lain yang hidup dalam
masyarakat.26
Sedangkan modernisasi pendidikan dilakukan dengan maksud menuju
pendidikan yang berorientasikan kualitas, kompetensi, dan skill. Artinya yang
terpenting ke depan bukan lagi memberantas buta huruf, lebih dari itu membekali
manusia terdidik agar dapat berpartisipasi dalam persaingan global juga harus
dikedepankan. Berkenaan dengan itu, standar mutu yang berkembang di masyarakat
adalah tingkat keberhasilanlulusan sebuah lembaga pendidikan dalam mengikuti
kompetisi pasar global.
Dalam firman Allah :
م حتى یغیروا ما بأنفسھم لھ معقباـث من بین یدیھ ومن خلفھ یحفظونھ من أمر اہلل إن اہلل الیغیر ما بقو
Artinya:
21
“Bagi Manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, dimuka dan
dibelakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.Sesungguhnya Allah tidak
merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’du 13:11)
Ayat ini berbicara tentang dua macam perubahan dengan dua
pelaku.Pertama, perubahan masyarakat yang pelakunya adalah Allah SWT.Dan kedua,
perubahan keadaan diri manusia dan pelakunya adalah manusia.Perubahan yang
dilakukan Tuhan terjadi secara pasti melalui hokum-hukum masyarakat yang
ditetapkan. Hukum-hukum tersebut tidak memilih atau membedakan antara satu
masyarakat atau kelompok dengan masyarakat atau kelompok lain.27
B. Sistem Pendidikan Pesantren
1. Pesantren sebagai Sebuah Sistem
Sistem Pendidikan Pesantren Sistem adalah seperangkat peraturan,
prinsip, tata nilai dan sebagainya yang digolongkan atau di susun dalam bentuk
yang teratur untuk mewujudkan rencana logis yang berhubungan dengan berbagai
bagian dan membentuk satu kesatuan.28
Menurut terminologi ilmu pendidikan, sistem dapat diartikan sebagai
“suatu keseluruhan yang tersusun dari bagian-bagian yang bekerja sendiri-sendiri
(independent)” atau bekerja bersama-sama untuk mencapai hasil tujuan yuang
diinginkan berdasarkan kebutuhan.” Masa awal perkembangan Islam ditandai oleh
munculnya lembaga pendidikan informal di rumah sahabat arqam, dan pada saat
yang sama telah ada kuttab, kemudian muncul masjid, dan baru madrasah. Namun,
di luar jenis pendidikan ini didapatkan berbagai lembaga pendidikan lain misalnya
zawiyah, ribat dan khanqah(sebagai lembaga lembaga sufi), atau halaqat al-dzikir,
bayt al-hikmah, dar al-hikmah, al-Muntadiyat, Hawanin, klinik observatori,
perpustakaan, dan lain sebagainya.29
27Quraish Shihab, “Membumikan Al-Qur’an”(Jakarta: Mizan, 1992) hal. 246 28Nurcholis Madjid “Bilik-bilik pesantren Sebuah Potret Perjalanan” (Jakarta:
Paramadina, 1997) hal.87-88
29Abdullah Syukri Zarkasyi “Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren” (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005)” hal. 29
22
Sistem pendidikan Islam khususnya tradisional memiliki ragam nama yang
berbeda-beda namun pada hakikatnya tetap sama, yaitu lembaga pendidikan Islam
yang mengkaji dan mendalami ajaran-ajaran ke-Islaman. Pondok pesantren
merupakan dua istilah yang menunjukan kepada satu pengertian.Suku jawa
biasanya menggunakan sebutan pondok/pesantren dan sering menyebutnya sebagai
pondok pesantren, di Sumatra barat disebut Surau, sedang di Aceh disebut
meunasah, rangkang dan dayah.Namun yang menjadi fokus kajian penelitian
penulis di sini adalah pesantren tradisional sebagai pembeda denganpesantren
modern.30
Keadaan pendidikan Islam dengan segala kebijaksanaan pemerintah pada
zaman Orde Lama. Pada akhir Orde Lama tahun 1965 lahir semacam kesadaran
baru bagi ummat Islam, di mana timbulnya minat yang mendalam terhadap
masalah-masalah pendidikan yang dimaksudkan untuk memperkuat ummat Islam,
sehingga sejumlah organisasi Islam dapat dimantapkan. Dalam hubungan ini
Kementrian Agama telah mencanangkan rencana-rencana program pendidikan
yang akan dilaksanakan dengan menunjukkan jenis-jenis pendidikan serta
pengajaran Islam sebagai berikut :
a. Pesantren Indonesia Klasik, semacam sekolah swasta keagamaan yang
menyediakan asrama, yang sejauh mungkin memberikan pendidikan yang
bersifat pribadi, sebelumnya terbatas pada pengajaran keagamaan serta
pelaksanaan ibadah. Baik guru maupun muridnya, merupakan suatu masyarakat
yang hidup serta bekerja sama, mengajarkan tanah milik pesantren agar dapat
memenuhi kebutuhan sendiri.
b. Madrasah Diniyah, yaitu sekolah-sekolah yang memberikan pengajaran pada
murid sekolah negeri yang berusia 7 sampai 20 tahun. Pelajaran berlangsung
di dalam kelas, kira-kira 10 jam seminggu, di waktu sore, pada Sekolah Dasar
30Zamakhsyari Dhofier. “Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup
Kyai”,(Jakarta: LP3ES, 1985) hal 20-21
23
dan Sekolah Menengah (4 tahun pada Sekolah Dasar dan 3 sampai 6 tahun pada
Sekolah Menengah). Setelah menyelesaikan Pendidikan menengah negeri,
murid-murid ini akan dapat diterima pada pendidikan agama tingkat akademi.
c. Madrasah-madrasah swasta, yaitu pesantren yang dikelola secara modern, yang
bersamaan dengan pengajaran agama juga dibrikan pelajaran umum. Biasanya
tujuannya adalah menyediakan 60%-65% dari jadwal waktu untuk mata
pelajaran umum, dan 35%-450% untuk mata pelajaran agama.
d. Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), yaitu Sekolah Dasar Negeri enam tahun,
di mana perbandingan umum kira-kira 1:2. Pendidikan selanjutnya dapat diikuti
pada MTsN, atau (sekolah tambahan tahun ketujuh) murid-murid dapat
mengikuti pendidikan ketrampilan, misalnya Pendidikan Guru Agama untuk
Sekolah Dasar Negeri,setelahnya dapat diikuti latihan lanjutan dua tahun untuk
menyelesaikan Kursus Guru Agama untuk Sekolah Menengah.
e. Suatu percobaan baru telah di tambahkan pada Madrasah Ibtidaiyah Negeri
(MIN) 6 tahun, dengan menambahkan kursus selama dua tahun, yang
memberikan latihan ketrampilan sederhana. MIN 8 tahun ini merupakan
pendidikan lengkap bagi para murid yang biasanya akan kembali ke
kampungnya masing-masing.
f. Pendidikan Teologi tertinggi, pada tingkat Universitas diberikan sejak tahun
1960 pada IAIN, IAIN ini dimulai dengan dua bagian atau dua fakultas di
Yogyakarta dan dua Fakultas di Jakarta.31
Secara global menurut Abdurrahman Wahid, pendidikan tradisional yakni
pondok pesantren memiliki kelebihan-kelebihan tersendiri, di samping kelemahan-
kelemahan sebagaimana lazimnya institusi kehidupan.Diantara kelebihan tersebut
adalah :
a. Kemampuan menciptakan sebuah sikap hidup universal yang merata yang
diikuti oleh semua warga pesantren sendiri dilandasi oleh tata nilai
31Mahmud Yunus, “Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia”, (Jakarta: Mutiara Sumber
Widya, 1962) hal. 312
24
b. Kemampuan memelihara subkulturnya yang unik.
Sedangkan kelemahan- kelemahannya antara lain:
a. Tidak adanya perencanaan terperinci dan rasional atas jalannya pendidikan itu
sendiri
b. Tidak adanya keharusan untuk membuat kurikulum
c. Hampir tidak ada perbedaan yang jelas antara yang benar-benar diperlukan
dengan yang tidak diperlukan bagi suatu tingkat pendidikan, sehingga tidak
ada sebuah filsafat pendidikan yang lengkap dan jelas.32
Sistem yang ditampilkan pondok pesantren menurut Hasbullah mempunyai
keunikan dibandingkan dengan sistem yang diterapkan dalam pendidikan pada
umumnya, yaitu:
a. Memakai sistem tradisional yang mempunyai kebebasan penuh di bandingkan
dengan sekolah modern, sehingga terjadi hubungan dua arah antara santri dan
kiai.
b. Kehidupan di pesantren menampakkan semangat demokrasi karena mereka
praktis bekerja sama mengatasi problem nonkurikuler mereka.
c. Para santri tidak mengidap penyakit simbolis, yaitu perolehan gelar dan ijazah,
karena sebagian besar pesantren tidak mengeluarkan ijazah, sedangkan santri
dengan ketulusan hatinya masuk pesantren tanpa adanya ijazah tersebut. Hal
itu karena tujuan utama mereka hanya ingin mencari keridlaan Allah SWT
semata.
d. Sistem pesantren mengutamakan kesederhanaan, idealisme persaudaraan,
persamaan, percaya diri dan keberanian hidup. Alumni pondok pesantren tidak
ingin menduduki jabatan pemerintah, sehingga mereka hampir tidak dapat
dikuasai oleh pemerintah33
2. Unsur-unsur Pesantren
32Abdurrahman Wahid, “Menggerakan Tradisi: Esei-esei Pesantren”, (Yogyakarta:
LKiS, 2001), hal. 21
33Ibid, hal. 15
25
Keunikan pesantren itu memang tidak hanya dalam pendekatan
pembelajarannya, tetapi juga unik dalam pandangan hidup (world view) dan tata
nilai yang dianut Begitu pula sebuah lembaga pendidikan dapat disebut sebagai
pondok pesantren apabila didalamnyaterdapat sedikitnya lima unsur, yaitu :
a. Kiai
Kyai memiliki peran yang paling essensial dalam pendirian, pertumbuhan
dan perkembangan pesantren.Sebagai pemimpin pesantren, keberhasilan pesantren
banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karisma dan wibawa, serta
keterampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan, sebab ia
adalah tokoh sentrral dalam pesantren34.
Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang
berbeda, yaitu: 1. Sebagai gelar kehormatan bagi barang yang dianggap keramat;
contohnya, “Kyai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di
keraton Yogyakarta; 2. Gelar kehormatan bagi orang tu pada umumnya; 3. Gelar
yang diberikan masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau
menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab kuning kepada santrinya.35
b. Santri
Merupakan peserta didik atau objek pendidikan, tetapi di beberapa
pesantren, santri yang memiliki kelebihan potensi intelektual (santri senior)
sekaligus merangkap tugas mengajar santri-santri yunior.Santri memiliki
kebiasaan-kebiasaan tertentu.“Santri memberikan penghormatan yang kadang
berlebihan kepada kyainya.Kebiasaan ini menjadikan santri besikap pasif karena
khawatir kehilangan barokah.Kekhawatiran ini menjadi salah satu sikap yang khas
pada santri dan cukup membedakan dengan kebiasaan yang dilakukan oleh siswa-
siswi sekolah maupun siswa siswi lembaga kursus.36
c. Pengajian
34 Zamaksyari Dhofier, “Tradisi Pesantren Studi Tentang Sebuah Pandangan Hidup
Kyai” (Jakarta: LP3S) hal. 47 35Ibid, hal. 63 36Mujamil Qomar, “Pesantren : Dari Transformasi Metodologi menuju Demokratisasi
Institusi” (Jakarta: Erlangga) hal. 20
26
Metode pembelajaran di pesantren ada yang bersifat tradisional dan
modern.Tradisional adalah metode pembelajaran yang diselenggarakan menurut
kebiasaan-kebiasaan yang telah lama dipergunakan pada institusi pesantren atau
metode pembelajaran asli pesantren.Sedang metode pembelajaran modern
merupakan metode pembelajaran hasil pembeharuan kalangan pesantren dengan
mengadopsi metode-metode yang berkembang di masyarakat modern.37
d. Asrama dan Masjid
Masjid merupkan elemen yang tidak dapat dipisahkan dari pesantren dan
dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik santri, terutama dalam
praktik sembahyang Jum’at, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.38Kedudukan
masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi
universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata lain,
kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat di Qubba didirikan dekat
Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW tetap terpancar dalam sistem
pesantren. Sejak zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam.39
Senada dengan yang disebutkan diatas, Prof. Dr. Abdul Halim Soebahar
berpendapat bahwa pesantren memiliki lima komponen utama, yaitu, kyai, santri,
musholla/langgar/masjid, pengajian kitab-kitab Islam klasik dan pondok/asrama.
Lembaga pesantren juga menganut sistem pengajaran sorogan, bandongan dan
weton dengan materi pelajaran agama.40
Demikian juga pondok pesantren memiliki tata hubungan yang khas dalam
kependidikan dan kemasyarakatan, yaitu:
1) Hubungan yang dekat antara kiai dan santri
2) Ketaatan santri yang tinggi kepada kiai
3) Hidup hemat dan sederhana
4) Tingginya semangat kemandirian para santri
37 Mahmud, “ Model-model Pembelajaran di Pesantren”..... hal. 50 38 Zamakhsyari Dhofier, “Tradisi Pesantren” 39Ibidhal.85 40Abdul Halim Soebahar, Modernisasi Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2013) hal. 47
27
5) Berkembangnya suasana persaudaraan dan tolong menolong
6) Kuatnya semangat mencapai cita-cita
7) Tertanamnya sikap disiplin dan istiqomah.41
Pendidikan Islam memiliki makna sentral dan berarti proses pencerdasan
secara utuh, dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia akhirat, atau keseimbangan
materi religious-spritual. Pangkal dari pengertian ini adalah, sesungguhnya Islam
tidak mengenal dikotomi ilmu agama dan sains (umum).Selama membawa
kebahagiaan dunia dan akhirat maka termasuk pendidikan Islam. Secara umum
pendidikan Islam dapat dipahami beberapa pendapat, antara lain :
1) Pendidikan agama yaitu usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam
membantu siswa agar mereka hidup sesuai norma agama.42
2) Pendidikan agama sesungguhnya adalah pendidikan untuk pertumbuhan total
seorang siswa.
3) Menurut Ahmad Tafsir, pendidikan Islam ialah bimbingan yang diberikan oleh
seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan
ajaran Islam.43
Adapun landasan dasar pendidikan agama Islam yang utama terdiri atas tiga
macam :
1) Al-Qur’an
Sebagai kitab undang-undang hujjah dan petunjuk yang sudah layak di
dalamnya mengandung banyak hal yang meliputi segenap kehidupan manusia.
2) As-Sunah
41 Ibid,hal. 29
42 Ismail SM., dkk.,“Paradigma Pendidikan Islam”, (Semarang: Pustaka Pelajar, 2001), hal.17.
43 Ahmad Tafsir, “Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam”, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), hal. 32.
28
Rasulullah telah meletakkan dasar-dasar pendidikan Islam semenjak dia
diangkat menjadi utuan Allah. Dia telah mengajarkan bagaimana cara membaca,
menghafal dan memahami kitab suci Al-Qur’an beserta pengalamannya.
3) Ijtihad
Ijtihad sebagai landasan dasar pendidikan Islam, dimaksudkan sebagai
usaha-usaha pemahaman yang serius dari kaum muslim terhadap Al-Qur’an dan
As-Sunah sehingga memunculkan kreatifitas yang cemerlang di bidang
kependidikan Islam, atau bahkanadanya tantangan zaman dan desakan kebutuhan
sehingga melahirkan ide-ide fungsional yang gemilang.
Seperti halnya dari level pengajaran Al-Qur’an muncul beberapa metode
yang brilian sehingga dapat dipelajari lebih cepat dan akurat, kemudian dari ilmu
tata bahasa, Imam Sibawai telah dapat menelurkan ilmu nahwu yang terambil dari
kitab suci Al-Qur’an yang sudah lazim dikaji di podok pesantren dan lembaga-
lembaga pendidikan Islam lainnya. tantangan zaman dan desakan kebutuhan
sehingga melahirkan ide-ide fungsional yang gemilang. Seperti halnya dari level
pengajaran Al-Qur’an muncul beberapa metode yang Brilian sehingga dapat
dipelajari lebih cepat dan akurat, kemudian dari ilmu tata bahasa, Imam Sibawai
telah dapat menelurkan ilmu nahwu yang terambil dari kitab suci Al-Qur’an yang
sudah lazim dikaji di podok pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam
lainnya.
3. Pola Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren
Secara umum, pesantren dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni: pesantren
salaf atau tradisional, pesantren khalaf atau modern, dan pesantren kombinasi.
Sebuah pesantren disebut salaf jika kegiatan pendidikannya semata-mata
didasarkan pada pola-pola pengajaran klasik. Maksudnya, berupa pengajian kitab
kuning ddengan metode pembelajaran tradisional. Materi yang dipelajari juga
hanya tentang pendalaman agama Islam melalui kitab-kitab salafi (kitab kuning).44
44 Mahmud, “Model-model Pembelajaran di Pesantren”, (Tangeran: Media Nusantara,
2005)hal. 16
29
Sistem pendidikan pada pesantren salag (tradisional) bertumpu pada seorang
tokoh yaitu kyai. Kyai lah yang menjadi tonggak berjalannya sistem yang ada pada
pesantren ini, mulai dari manajemen, pengajaran, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
santri dsb. Tanpa adanya seorang kyai pada pesantren salaf maka sistem pendidikan
di pesantren tidak akan berjalan dengan baik.
Pesantren khalaf atau modern adalah pesantren yang selain bermateri
utamakan pendalaman agama Islam (tafaqquh fiddiin), tapi juga memasukkan
unsur-unsur modern, seperti penggunaan sistem klasikal atau sekolah dan
pembelajaran ilmu-ilmu umum dalam muatan kurikulumnya.45
Pesantren khalaf (modern) pada dasarnya memiliki visi yang sama yaitu
tafaqquh di al diin. Hanya saja perbedaannya terletak pada muatan yang diajarkan,
pesantren khalaf menyisipkan juga pengetahuan-pengetahuan umum seperti ilmu
matematika, pengetahuan alam, pengetahuan sosial dan seni budaya. Muatan yang
ditampilkan pesantren khalaf terlihat lebih komprehensif tidak hanya ilmu agama
yang diajarkan tetapi juga ilmu umum. Hal tersebut terjadi karna para pendiri
pesantren khalaf menganggap semua ilmu memiliki peranan yang penting.
Meskipun tetap ilmu agamalah yang merupakan pondasi terpenting, hal tersebut
merupakan upayan menyeimbangkan kebutuhan duniawi dengan ukhrowi. Dalam
manajemennya pun pesantren khalaf memiliki perbedaan yang signifikan dengan
pesantren salaf, yaitu manajemen yang lebih teratur dengan tidak menjadikan kyai
sebagai tonggak utama pesantren. Sehingga sistem pesantren dapat tetap berjalan
tanpa harus kyai yang melaksanakan semua tugas, sebab kepengurusan pesantren
khalaf telah memiliki struktur organisasi dan setiap unit dapat melaksanakan
tugasnya masing-masing.
Sedangkan pesantren kombinasi merupakan merupakan gabungan keduanya.
Artinya, antara pola pendidikan modern sistem madrasi/sekolah dan pembelajaran
ilmu-ilmu umum dikombinasikan dengan pola pendidikan pesantren klasik. Jadi,
pesantren modern dan kombinasi merupakan pesantren yang diperbaharui atau
45Ibid hal. 17
30
dipermodern pada segi-segi tertentu untuk disesuaikan dengan sistem sekolah
dengan tetap memelihara pola pengajaran asli pesantren dalam pembelajaran kitab-
kitab salafi (kitab kuning)46
Pesantren kombinasi sebagaimana dijelaskan diatas merupakan perpaduan
antara sistem pesantren salaf dengan khalaf. Pesantren tipe ini berupaya lebih
mengintegrasikan antara ilmu agama dengan ilmu umum. Artinya, jika dalam
pesantren salaf tidak diajarkan ilmu-ilmu umum sedangkan di pesantren khalaf
diajarkan ilmu umum di sekolah, ilmu umum yang diajarkan disekolah memiliki
kurikulum yang berbeda dengan kurikulum bidang agama. Dan pada pesantren
kombinasi ini sistem pembelajarannya (ilmu agama dan umum)melebur menjadi
satu terintegrasi dibawah satu kurikulum, sehingga pembelajaran berbasis agama
dan umum memiliki peranan yang sama dalam penilaian dan evaluasi para santri
nantinya.
Berdasarkan pengelompokkan tipologi pesantren secara lebih rinci dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Pesantren Tipe Salafiyah, memiliki ciri-ciri:
1) Para santri belajar dan menetap di pesantren
2) Kurikulum tidak tertulis csecara eksplisit tetapi berupa hidden curriculum
(kurikulum tersembunyi yang ada dalam benak kyai)
3) Pola pembelajaran menggunakan metode pembelajaran asli milik pesantren
(sorogan, bandongan dan lainnya)
4) Tidak menyelenggarakan pendidikan dengan sistem madrasah
b. Pesantren tipe khalafiyah, memiliki ciri-ciri:
1) Para santri tinggal dalam pondok/asrama
2) Pemaduan antara pembelajaran asli pesantren dengan sistem madrasah/sistem
sekolah
3) Terdapat kurikulum yang jelas
4) Memiliki tempat khusus yang berfungsi sebagai sekolah/madrasah
46Ibidhal.17
31
c. Pesantren tipe kombinasi, memiliki ciri-ciri:
1) Pesantren hanya semata-mata temppat tinggal (asrama) bagi para santri
2) Para santri belajar di madrasah atau sekolah yang letaknya diluar dan bukan
milik pesantren
3) Waktu belajar di pesantren biasanya malam atau siang hari pada saat santri
tidak belajar di sekolah/ madrasah (ketika mereka berada di pondok/asrama)
4) Umumnya pembelajaran tidak terprogram dalam kurikulum yang jelas dan
baku.
4.Landasan Historis Modernisasi Pendidikan Pesantren
Daya nalar dan kreativitas berfikir siswa tidak mendapat tempat yang wajar dalam
orientasi pendidikan pesantren, dan lembaga pendidikan Islam pada
umumnya.Modernisasi pendidikan yang digagaskan Nurcholis Madjid pada dasarnya
mengacu pada penumbuhan metode berfikir filosofis, dan membangkitkan kembali
etos keilmuan Islam yang pada masa klasik Islam telah memperlihatkan hasil yang
cukup gemilang.Sebagai landasan historis, modernisasi pendidikan berangkat pada
penelaahan kembali kejayaan umat Islam pada masa klasik.
Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan keilmuan dan keahlian pada masa Islam
klasik tidak terlepas dari sikap kaum Muslim yang memandang hidup serba optimis.
Oleh sebab itu, kalangan muslim klasik misalnya, dengan tegas tidak dapat menerima
kisah-kisah Yunani yang serba pesimis, tragis, dan cenderung kurang harapan pada
dunia dan kehidupan. Kisah-kisah itu yang merupakan karya ssatra Yunani dunilai
tidak memiliki pengaruh positif pada kehisupan mereka, karen secara sadar orang-
orang muslim klasik tidak dapat menerima lakon, penuturan yang penuh tahayul,
mitologi, serta kepercayaan palsu lainnya. Sebaliknya, para intelektual muslim dulu
banyak mengambil alih filsafat Yunani dan bangsa-bangsa lainnya, serta
mengembangkan dan mengislamkannya.47
47 Yasmadi “Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan
Islam Tradisional” (Jakarta: Ciputat Press, 2002 )hal 141
32
Dalam tradisi pesantren salaf (tradisional) pembelajaran yang dilakukan
cenderung monoton, para santri hanya mendengarkan penjelasan dari seorang kyai
saja.Para santri tidak mendapatkan ruang yang strategis untuk menyampaikan
pendapatnya.Sehingga pemahaman yang didapatkan para santri bersifat dogmatis,
tidak kontruktifis, padahal dewasa ini negara kita membutuhkan banyak kader-kader
bangsa yang kritis, dinamis, dan kontesktual sehingga jika pesantren terus
menggunakan sistem tersebut sulit rasanya bisa mencetak kader-kader penerus bangsa
yang demikian.
Berbeda dengan bangsa Yunani yang sibuk dengan drama dan tragedi, para
sarjana muslim menekuni masalah teknik dan teknologi, karena itu mereka menonjol
dalam ilmu-ilmu empiris, seperti kedokteran, astronimi, pertanian, ilmu bumi, ilmu
ukur, ilmu bangunan, dan lain-lain. Inilah dampak positif dari sikap penuh
harapankepada hidup yang mengejala pada waktu itu, sehingga para sarjana Islam
klasik merintis jalan kearah nyata kehidupan duniawi dengan menerapkan berbagai
teori ilmiah.
Beberapa kondisi umat Islam klasik, mayoritas muslim sekarang terutama
Indonesia yang menganut paham Asy’ari dan bermadzhab Syafi’i justru memusuhi
filsafat. Filsafat yang dianggap datang dari barat mereka klaim sebagai kerangka
keilmuan yang keluar dari Islam yang benar.
Lenyapnya tradisi Iptek dikalangan muslim pada umumnya bukanlah sebab
dari Islamnya, tetapi terletak pada sikap muslim sendiri yang memusuhi Iptek. Ajaran
Islam dengan jelas menunjukkan adanya hubungan yang organik itulah kemudian yang
dibuktikan dalam sejarah Islam klasik, ketika kaum muslim memiliki jiwa
kosmopolitan yang sejati. kemudian keadaan jadi terbalik ilmu pengetahuan Islam
mulai mengalir dan pindah ke Barat dan selalu mengguncang dunia Barat selama dua
atau tiga abad, ilmu pengetahuan Islam akhirnya dapat mereka akomodasi, dengan cara
antara lain memisahkan ilmu dari iman (Kristen) karena memang tidak ada hubungan
33
organik antara keduanya. Pada abad ke-16 ilmu pengetahuan bangsa-bangsa Barat
sudah lebih unggul daripada ilmu pengetahuan kaum muslim.48
Dari perspektif kependidikan, pesantren merupakan satu-satunya lembaga
pendidikan yang tahan terhadap gelombang modernisasi. Padahal, diberbagai kawasan
dunia muslim, lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam seringkali lenyap,
tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan umum atau setidaknya menyesuaikan diri dan
mengadopsi sedikit banyak isi dan metodologi pendidikan modern itu.49
Dari uraian diatas nampaknya pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan
yang lamban dalam merespon kebutuhan manusia modern, hal tersebut disebabkan
sikap antipati pesantren khususnya salaf terhadap ilmu-ilmu umum. Tetapi di sisi lain
dewasa ini kesadaran akan kebutuhan zaman ini mulai bermunculan pesantren-
pesantren yang mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum.
Kendatipun demikian masih terdapat pesantren yang tetap mempertahankan
tradisi yang selama ini dianutnya, antipati terhadap modernisasi masih ditunjukkan oleh
beberapa pesantren yang ada.Dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum
nampaknya adalah hal yang perlu digaris bawahi. Pesantren dengan ketradisionalannya
hanya memandang penting ilmu-ilmu agama saja dengan kata lain mengenyampingkan
ilmu-ilmu yang bersifat umum.
Abuddin Nata dalam karyanya “Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum”
menyebutkan, ilmu agama yang berbasiskan pada wahyu, hadis nabi, penalaran dan
fakta sejarah sudah berkembang sedemikian pesat. Kita misalnya mengenal Ilmu
Kalam (Teologi), Ilmu Fiqih/ Ushul Fiqih, Filsafat, Tasawuf, Tafsir / Ilmu Tafsir,
Hadis/ Ilmu Hadis, Sejarah dan Peradaban Islam, Pendidikan Islam, Dakwah Islam.50
Selanjutnya Ilmu Umum yang berbasiskan pada penalaran akal dan data empirik juga
mengalami perkembangan yang lebih pesat lagi dibandingkan dengan ilmu-ilmu agama
Islam sebagaimana disebut di dalam Islam.Ilmu-ilmu umum ini secara garis besar dapat
48Ibid, hal. 142 49 Armai Arief “Pesantren di Tengah Modernisasi dan Perubahan Sosial” (Jakarta:
CRSD PRESS, 2005) hal.41 50Abuddin Nata “Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum” (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2003) hal. 11
34
dibagi kepada tiga bagian.Pertama ilmu umum yang bercorak naturalis dengan alam
raya dan fisika sebagai objek kajiannya. Yang termasuk ke dalam ilmu ini antara lain
fisika, biologi, kedokteran, astronomi, geologi, botani, dan sebagainya. Ilmu umum
yang bercorak sosiologis dengan perilaku sosial/ manusia sebagai objek kajiannya
antara lain antropologi, sosiologi, politik, ekonomi, pendidikan, komunikasi, psikologi,
dan lain sebagainya.Ketiga ilmu umum yang bercorak filosofis penalaran. Yang
termasuk ke dalam ilmu inin antara lain filsafat, logika, seni, dan ilmu-ilmu humaniora
lainnya.51
Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab, perubahan dapat terlaksana akibat
pemahaman dan penghayatan nilai-nilai al-Qur’an serta kemampuan memanfaatkan
dan menyesuaikan diri dengan hukum-hukum sejarah. Keduanya, nilai-nilai dan hokum
sejarah, dijelaskan secara gamblang oleh al-Qur’an.52
Baik dalam ilmu agama Islam maupun di dalam ilmu umum, kita menjumpai
adanya aliran atau madzhab yang amat beraneka ragam yang pada gilkirannya amat
mempengaruhi pola pikir, sikap dan cara pandang manusia. Pengaruh ini dari satu sisi
dapat dilihat sebagai sesuatu yang wajar bahkan menguntungkan, karena dapat
memperkaya khazanah pemikiran manusia, namun pada sisi lain terkadang menjadi
sesuatu yang memecah belah umat manusia, bahkan permusuhan, konflik dan
pertumpahan darah. Sejarah misalnya mencatat bagaimana sengitnya permusuhan
antara penganut paham teologi Mu’tazilah dengan penganut aliran teologi
Asy’ariyah.Satu dan lainnya saling mengkafirkan dan menghalalkan
darahnya.Demikian pula fikih, kita jumpai pertentangan antara penganut fikih Syafi’i
dengan penganut madzhab Hanafi, hingga antara satu dan lainnya tidak membenarkan
dan bermusuhan.Konflik juga terjadi antara Fikih dan Filsafat. Fikih yang menekankan
segi-segi hubungan formal dengan Tuhan secara fisik, sementara filsafat yang mencari-
cari logika dalam rangka beragama dinilai sebagai cara yang tidak dapat dipegangi.53
51 Abuddin Nata “Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum” (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2003) hal. 6 52Quraish Shihab “Membumikan Al Quran” (Jakarta: Mizan, 1992) hal. 245 53Ibid, hal. 2
35
Sutrisno mengutip pendapat Fazlur Rahman dalam bukunya, usaha menyelesaikan
problem dikotomi ilmu dalam kaitannya dengan dualisme sistem pendidikan umat
Islam.Terdapat dikotomi ilmu dikalangan umat Islam, antara ilmu-ilmu Islam dan ilmu-
ilmu umum, antara sistem pendidikan tradisional (madrasah) dan sistem pendidikan
umum (barat).Untuk mengatasi problem tersebut dilakukan dengan merujuk kepada
Al-Qur’an.
Uraian Al-Qur’an tentang hukum-hukum perubahan adalah wajar, karena
sejak semula ia memperkenalkan dirinya sebagai kitab suci yang berfungsi melakukan
perubahan-perubahan positif. Atau, menurut bahasa Al-Qur’an, mengeluarkan manusia
dari kegelapan menuju terang benderang.54 Sesuai dengan firman Allah :
كتاب انزلناه من الظلمات الى النور باذن ربھم الى صراط مستقیم
Artinya: “ Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia
dari gelap kepada cahaya yang terang benderang dengan izin Tuhan mereka,
yaitu menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji” (QS.
Ibrahim 14:2)
Al-Qur’an dalam hal ini tidak menjadikan dirinya sebagai alternative pengganti
usaha manusiawi, tetapi sebagai pendorong dan pemandu, demi berperannya manusia
secara positif dalam bidang kehidupan. Dari ayat-ayat Al-Qur’an difahami bahwa
perubahan baru dapat terlaksana bila dipenuhi dua syarat pokok: (a) adanya nilai atau
ide dan (b) adanya perilaku-perilaku yang menyesuaikan diri dengan nilai-nilai
tersebut.55
Menurut Al-Qur’an, umat Islam diperintah oleh Allah untuk mencari kebahagiaan
di akhirat demikian pula di dunia. Perhatikan firman Allah berikut :
وابتغ فیما اتاك اہلل الدار االخرة والتنس نصیبك من الدنیا
54Quraish Shihab “Membumikan Al Quran” (Jakarta: Mizan, 1992) hal. 245 55Ibid, hal. 246
36
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat dan jangan kamu melupakan bahagiamu dari
(kenikmatan) duniawi” (QS. al-Qashas 28:77)
Masyarakat berkembang begitu cepat, yang disebabkan antara lain oleh keberhasilan
pembangunan nasional di segala bidang. Tantangan pesantren dewasa ini setidaknya
ada dua aspek yang pertama, perkembangan dan kebutuhan masyarakat terhadap
layanan pendidikan serta perkembangan dunia pendidikan lain dan, kedua, dari sudut
fungsional pedagogik.56
Selanjutnya, Rahman berusaha memberi alternatif solusi terhadap problem dualisme
sistem lembaga pendidikan modern sebagaimana telah berkembang secara umum di
Barat dan mencoba untuk mengisinya dengan roh atau jiwa Islam, yaitu dengan
merujuk pada Al-Qur’an dan Hadist. Solusi ini memiliki dua tujuan, yaitu: pertama,
untuk membentuk watak pelajar-pelajar dengan nilai-nilai Islam dalam kehidupan
individu dan masyarakat. Kedua, memungkinkan para ahli yang berpenpendidikan
modern untuk menanami bidang kajian masing-masing dengan nilai-nilai Islam.57
Sikap kaum muslim yang tidak menghargai filsafat dan ilmu pengetahuan banyak
menyebabkan kaum muslim terus merosot dan mundur. Banyak orang yang langsung
menimpakan kesalahan ini kepada Al-Ghazali yang menyerang filsafat dan mendorong
kearah runtuhnya tradisi kefilsafatan dan ilmu pengetahuan.Meskipun menurut
Nurcholis madjid tuduhan terhadap Al-Ghazali dapat diperdebatkan, namun memang
terjadi koinsidensi historis berupa kenyataan bahwa pada abad ke-12, yaitu sekitar
tampilnya Al-Ghazali, ilmu pengetahuan Islam mulai mengalir pindah ke Barat.sikap
yang memusuhi filsafat begitu mengkristal di kalangan muslim. Pada akhirnya umat
Islam terperangkap pada paham jabarism, salah satu paham yang amat dimusuhi pada
masa islam klasik.
56 Ahmad Malik Fadjar, “Madrasah dan Tantangan Modernitas”, (Bogor: Mizan, 1999)
hal. 37 57 Sutrisno “Pendidikan Islam di Era Peradaban Modern”(Yogyakarta: Perpustakaan
Nasional, 2015) hal. 35
37
Jadi tantangan terberat zaman modern ini bagi dunia pendidikan Islam tidak
cukup dengan tindakan mengimpor iptek dari Barat secara ad hoc dan berdasarkan
expediency semata. Keilmuan yang kuat dan mendalam yang menghasilkan kesadaran
bahwa ilmu pengetahuan bukan saja memenuhi expediency dan menjawab tantangan
ad hoc, melainkan merupakan part and parcel dari sesuatu yang jauh yang dibutuhkan
adalah etos yang mampu melihat hubungan organik antara ilmu dan iman atau iman
dan ilmu. Disinilah titik fokus dari metodologi pendidikan Islam, yaitu upaya
penumbuhan etos keilmuan dikalangan peserta didiknya.Satu bangunan intelektual
yang memiliki persambungan warisan intelektual masa lalu.
Kesadaran akan adanya hubungan organik antara iman dan ilmu atau ilmu dan
iman dalam bentuk yang sangat sederhana telah mendekatkan orientasi pendidikan
pada tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Sebab, pendidikan itu seharusnya bertujuan
menimbulkan pertumbuhan yang seimbang dari kepribadian total manusia, meliputi
aspek spiritual, intelektual, imajinatif, fiskal, ilmiah, lingusitik, baik secara individual
maupun kolektif, serta memotivasi semua aspek untuk mencapai kebaikan dan
kesempurnaan.58
Dari uraian di atas terlihat jelas dikotomi yang kental di kalangan pesantren
salaf antara ilmu agama dan ilmu umum, dan sistem pembelajaran sama’i sepertinya
sudah tidak relevan lagi dengan kemajuan jaman.
Dari pembahasan pada Bab II dapat disimpulkan bahwa modernisasi adalah suatu
gagasan menuju penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi pada masa kini. Jadi
modernisasi pesantren adalah suatu upaya pesantren dalam meperbaharui sistem yang
ada di dalamnya dalam rangka menyesuaikan dengan keadaan masa kini, sehingga
dapat menghasilkan output santri yang cakap dalam segala aspek baik pengetahuan
social, agama serta teknologi.
5. Kajian Terhadap Modernisasi Pesantren
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis tidak mendapatkan kajian yang
secara spesifik membahas pemikiran Nurcholis Madjid tentang pembaharuan
58Ibid, hal. 146-147
38
pendidikan. Hanya saja ditemukan banyak penelitian tentang modernisasi pendidikan
pesantren menurut para tokoh lain diantaranya:
a. Skripsi yang ditulis oleh Mulyanti (NIM 06011000116) dari Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun yang berjudul “Pembaruan
Pendidikan Islam menurut Wahid Hasyim”
Dalam skripsi tersebut didapati kesimpulan bahwa perhatian Wahid
Hasyim dalam memasukkan ilmu pengetahuan umum dan agama agar seimbang
juga diimplementasikan dalam bentuk lain ketika menjadi Menteri Agama,
yakni memberikan pelajaran agama di sekolah-sekolah umum dan pelajaran
umum di Madrasah melalui Keputusan No.1432/Kab. Tanggal 20 Januari 1951
(Pendidikan) dan No.K.I/651.Tanggal 20 Januari 1951 (Agama) yang
merupakan realisasi dari UU Pokok Pendidikan No. 4 Tahun 1950 Ayat 2.
Kemudian atas dasar keputusan UU No. 20 tahun 1950 tentang Dasar-dasar
Pendidikan dan Pengajaran di sekolah umum maka dibentuklah lembaga
pendidikan yang menghasilkan guru-guru Agama professional melalui pendirian
Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Sekolah Guru Hakim Agama (SGHA) pada
tahun 1950.
Pembaruan pendidikan Islam di Indonesia kemudian berlanjut dengan
pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 34 Tahun 1950 ini merupakan salah satu peninggalan Wahid
Hasyim paling penting ketika menjadi Menteri Agama. Lembaga ini kemudian
berkembang menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang berjumlah 14
tempat di seluruh Indonesia, dan kemudian beberapa IAIN telah berkembang
menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Beberapa hal di atas menunjukkan
bahwa Wahid Hasyim adalah orang yang sangat luar biasa pada masanya.
Dengan kemampuan ilmu pengetahuan seadanya yang dimiliki dia tidak pernah
merasa “minder” untuk mewujudkan apa yang ada dipikirannya dengan
bermodalkan kepercayaan diri yang tinggi.
39
b. Skripsi yang ditulis oleh Ilham Arif (NIM: 08470115) dari Universitas IslamNegeri
Sunan Kalijaga Jogyakarta tahun 2015 yang berjudul“ Modernisasi Pondok
Pesantren (Studi Pemikiran Azyumardi Azra)
Dalam skripsi tersebut diketahui bahwa dalam pemikiran Azyumardi
Azra dalam upaya modernisasi pendidikan pesantren adalah dimasukannya ilmu-
ilmu pengetahuan umum kedalam kurikulum pesantren, dan juga sistem
pendidikan yang ada dipesantren harus memperhatikan potensi lokal pesantren.
Misalnya jika pesantren berada di daerah pantai maka pesantren harus memasukan
pelajaran yang berkaitan dengan kelautan agar kelak para lulusan memiliki potensi
sesuai dengan tempat tinggalnya sehingga dapat bersaing dengan dunia luar.
c. Skripsi yang ditulis oleh Munawir Hakiki (NIM: 109011000098) dari
UniversitasIslam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2015 yang berjudul
“Konsep Pendidikan Islam Modern menurut Moh. Natsir”
Dalam skripsi tersebut didapati kesimpulan yang berkaitan dengan modernisasi
pendidikan adalah bahwa ide pendidikan Moh. Natsir meliputi: Tuhid sebagai asas
pendidikan, Tujuan Pendidikan Islam dan nilai-nilai agama, pendidikan yang
universal, konsep ilmu dalam pendidikan, pentingnya bahasa asing bagi pendidikan
Islam, kebebasan berfikir sebagai tradisi ilmu, dan hubungan pendidikan dengan
masyarakat. Dari teori pendidikan Moh. Natsir tersebut bisa dipahami bahwa konsep
pendidikan Islam Moh. Natsir adalah mereformasi bentuk pendidikan Islam yang
dianggap masih terbelakang dan cenderung menutup diri dari perkembangan jaman,
sehingga akhirnya banyak orang tidak sadar dan beranggapan bahwa pada jaman
modern ini agama tidak diperlukan lagi. Untuk membantah anggapan tersebut Moh,
Natsir berusaha meluruskan dengan menanamkan konsep pemikiran pendidikannya.
Dalam konsepnya tersebut bisa dipahami bahwa Pendidikan Islam sebagaimana
agama Islam itu sendiri bersifat menyeluruh mengatur berbagai masalah kehidupan.
Pendidikan Islam bersifat menyeluruh mengenai berbagai disiplin ilmu pengetahuan
dan kebudayaan.
40
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
41
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari 2016 sampai bulan Juli 2017
digunakan untuk pengumpulan data mengenai sumber-sumber tertulis yang
diperoleh dari teks book yang ada di perpustakaan, artikel, jurnal, serta website
yang ada hubungannya dengan pemikiran Nurcholis Madjid tentang Modernisasi
Sistem Pendidikan Pesantren. B. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian kualitatif
yaitu suatu pendekatan penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan
menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi,
pemikiran orang secara individual maupun kelompok”.59
Sedangkan penyajiannya bersifat deskriptif yaitu suatu jenis penelitian
yang tujuannya untuk menyajikan gambaran lengkap mengenai setting sosial atau
dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau
kenyataan sosial dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan
dengan masalah dan unit yang diteliti antara fenomena yang diuji, dengan tujuan
menghasilkan gambaran akurat tentang sebuah kelompok, menggambarkan
mekanisem sebuah proses atau hubungan, memberikan gambaran lengkap baik
dalam bentuk verbal atau numerikal.60
Dalam memperoleh data, fakta dan informasi yang akan melengkapkan dan
menjelaskan permasalahan dalam penulisan skripsi, penulis menggunakan metode
deskriptif yang didukung oleh data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan
(library research).
Dalam segi analisa, skripsi ini dianalisa dengan pendekatan Ilmu Sejarah
Pemikiran Pendidikan Islam. Yaitu, ilmu yang membahas serangkaian sejarah
proses kerja akal dan kalbu yang dilakukan secara sungguh-sungguh dalam melihat
berbagai persoalan yang ada dalam pendidikan Islam dan berupaya untuk
59 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2007), hal. 60. 60 Lexy J Moleong, Metedologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2014) hal. 15
42
membangun sebuah paradigma pendidikan yang mempu menjadi wahana bagi
pembinaan dan pengembangan secara paripurna. 61
Mengenai penulisan skripsi ini, dalam membahas masalah-masalah yang
dikemukakan di atas, maka metode yang digunakan adalah library research yaitu
suatu metode yang menggunakan cara penelitian dengan membaca literatur dan
tulisan-tulisan yang ada kaitannya dengan masalah yang sedang diteliti.
C. Teknik Pengumpulan Data
Dalam proses pengumpulan data, penulis menggunakan teknik liblary
research.Pemeriksaan dokumentasi (studi dokumentasi) dilakukan dengan meneliti
bahan dokumentasi yang ada dan mempunyai relevansi dengan tujuan penelitian.62
Dengan menggunakan studi dokumentasi, penelitian dapat mengumpulkan
data tertulis mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang berupa buku
yang ada di perpustakaan maupun catatan-catatan tertulis di lokasi penelitian.
Untuk memperoleh data dan informasi yang berhubungan dengan tujuan
penelitian, maka sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder.
1. Sumber Primer
Dalam penelitian ini untuk mengumpulkan informasi tentang gagasan
Nurcholis Madjid tentang modernisasi pendidikan pesantren menggunakan karya-
karya yang ditulis sendiri oleh tokoh yang diteliti, dalam hal ini yaitu Prof. Dr.
Nurcholis Madjid, M.A. diantara karya tulis Prof. Dr. Nurcholis Madjid, M.A.
berjudul, Bilik-bilik Pesantren: sebuah potret perjalanan, 1997, Islam Doktrin dan
Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan
Kemodernan, 1998, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan
Indonesia, 1997 dan Kaki Langit Peradaban, 1997.
2. Sumber Sekunder
Untuk kategori data sekunder, penulis menggunakan beberapa buku dan dua
diantaranya yaitu buku karya karya Drs. Yasmadi, M.A. yang berjudul, Modernisasi
61 Susanto, “Pemikiran Pendidikan Islam”, (Jakarta: Amzah, 2009) hal. 4 62 Anas Sudijono, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008),
hal. 30
43
Pesantren: kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional,2002.
Kemudian juga, penulis mendapatkan buku karya Amin Haedari berjudul,
Transformasi Pesantren, 2006 dan karya Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. berjudul,
Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia dan Tokoh-tokoh Pembaharu
Pendidikan Islam Indonesia, 2005.
D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam skripsi ini mengacu kepada penelitian deskriptif
analitif dari berbgai sumber bacaan dan digambarkan dalam bentuk narasi dengan
menggunakan pendekatan sejarah social pemikiran pendidikan.
d. Teknik Penulisan
Teknik Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan
Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2014.
Reliabilitas penelitian kualitatif pada penelitian ini juga dipengaruhi oleh
pendekatan analisis konsep.Analisis konsep merupakan suatu analisis tentang
istilah (kata-kata) yang mewakili konsep atau gagasan.63
BAB IV
HASIL PENELITIAN TENTANG GAGASAN
MODERNISASI PESANTRENMENURUT NURCHOLIS MADJID
63Imam Bernadib, “Filsafat Pendidikan (Sistem dan Metode”), (Yogyakarta: Andi Offset,
1997), hal. 90.
44
A. Biografi Prof. Dr. Nurcholis Madjid, M.A
Nurcholis Madjid lahir pada tanggal 17 Maret 1939 M, bertepatan dengan
26 Muharram 1358 H, di Desa Mojoanyar, Jombang, sebuah kabupaten di Jawa
Timur.Kota santri ini juga menjadi tempat kelahiran Nahdlatul Ulama (NU).
Ayahnya K.H. Abdul Madjid, di kenal sebagai kyai terpandang, alumnus Pesantren
Tebuireng dan merupakan salah seorang pemimpin Masyumi, partai berideologi
Islam paling berpengaruh pada saat itu. Lebih jauh, K.H. Abdul Madjid merupakan
santri kesayangan Hadrotul al-Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Pesantren
Tebuireng dan salah satu founding father Nahdlatul Ulama (NU), organisasi sosial
keagamaan muslim terbesar di Indonesia. Rasa sayang ulama besar dan terhormat
ini di dorong karena prestasi akademiknya yang sangat cemerlang, khususnya
dalam ilmu nahwu-sharafdan ilmu hisan (berhitung).Bahkan karena sayangnya,
kyai pendiri NU itu sampai dua kali memfait accompli menjodohkan K.H. Abdul
Madjid dengan perempuan yang dipilihnya dari keluarga dekatnya. Pertama dengan
Nyi Halimah, gadis cantik tapi nyentrik, hafal al-Qur’an, amat sholeh dan hidup
seperti sufi, tapi terkadang semaunya. Gadis ini merupakan keponakan Kyai
Hasyim sendiri.Karena tidak dikarunai anak, K.H Abdul Madjid minta izin kepada
Kyai Hasyim untuk bercerai.Kedua dengan Nyi Fathonah, anak seorang kyai dan
tokoh aktivis Syarikat Dagang Islam (SDI) di Kediri, Fathonah sendiri merupakan
ketua Muslimat Masyumi tingkat kecamatan.64
Nurcholis Madjid di beri nama oleh orang tuanya dengan nama Abdul
Malik. Perubahan nama menjadi Nurcholis Madjid terjadi pada usia 6 tahun,karena
Abdul Malik kecil sering sakit. Dalam tradisi Jawa, anak yang sering sakit dianggap
“kabotan jeneng” (keberatan nama) dank arena itu perlu diganti.65
64Abuddin Nata, Tokoh-tokoh pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005) hal. 322 65Ahmad Gaus AF, Api Islam: Nurcholis Madjid Jalan Menuju Hidup Seorang
Visioner, (Jakarta: Kompas, 2010), hal. 1
45
Pasangan kyai Madjid dan Fathonah dikaruniai lima orang anak, dua
perempuan (meninggal satu) dan tiga anak laki-laki. Nurcholis Madjid, Mukhlisah,
Saifullah dan Muhammad Adnan.
Nurcholis Madjid kecil bercita-cita menjadi masinis kereta api. Cita-cita
tersebut dipengaruhi oleh kondisi waktu itu, karena kereta api merupakan alat
transportasi paling populer kala itu, kelak ketika dewasa Nurcholis Madjid tak
hanya menjadi masinis bahkan “lokomotif” pembuka gerbong pembaharuan
pemikiran Islam Indonesia.66
Latar Belakang Pendidikan dan Pemikiran Prof. Dr. Nurcholis Madjid
dimulai dari Sekolah Rakyat di Mojoanyar pada pagi hari, sedangkan sore hari ia
sekolah di Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar. Setelaah menamatkan pendidikan
dasar dan ibtidaiyah, ia melanjutkan belajar ke Pesantren Darul Ulum di Rejoso,
Jombang. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di Kulliyatul Mua’allimin Al-
Islamiyah (KMI) Pesantren Darussalam di Gontor Ponorogo.
Menurut Fachri Ali yang dikutip oleh Marwan Saridjo dalam bukunya Cak
Nur Diantara Sarung dan Dasi, menuliskan bahwa perpindaan Nurcholis Madjid
dari Pesantren Darul Ulum, Rejoso ke Pondok Pesantren Modern Gontor
melengkapi proses migrasi budaya dan intelektual Cak Nur, karena Pondok Gontor,
secara kultural dan intelektual berada dalam asuhan dan pengaruh pemikiran kaum
modernis Islam.67
Setamat dari gontor, ia melanjutkan studi pada institut Agama Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada Fakultas Adab, jurusan Sastra Arab dan
tamat tahun 1968. Pendidikan selanjutnya ia lakukan di Universitas Chicago,
66 Marwan Saridjo, “Cak Nur: diantara Sarung dan Dasi”, (Jakarta: Yayasan Ngali
Aksara, 2005), hal. 5 67Ibid, hal. 6
46
Illinois, Amerika Serikat dan berhasil meraih gelar Doktor dalam bidang Islamic
Thought (Pemikiran Islam) pada tahun 1984.
Semasa menjai mahasiswa, Nurcholis Madjid banyak melakukan kegiatan
di berbagai organisasi.Ia pernah menjadi ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) Cabang Ciputat pada tahun 60-an, kemudian menjadi ketua umum Pengurus
Besar HMI selama periode 1966-1969 dan 1969-1971. Selain itu ia juga pernah
menjadi presiden pertama Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT)
tahun 1967-1969, sebagai Wakil Sekretaris Jendral Internasional Islamic
Federation of Student Organization (IIFSCO) pada 1969-1971.
Setamat dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Nurcholis Madjid bekerja
sebagai dosen di almamaternya, mulai tahun 1972 sampai 1976. Setelah berhasil
meraih gelar doctor pada tahun 1985, ia ditugaskan memberikan kuliah tentang
filsafat di Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, sejak
tahun 1978 ia bekerja sebagai peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI). Bersamaan dengan tugas-tugasnya itu, ia pernah juga berkesempatan
menjadi dosen tamu pada Universitas McGill, Montreal, Canada, pada tahun 1990
didampingi oleh istrinya yang menngikuti program Eisenhower Fellowship.
Selain ia banyak berkecimpung di organisasi dan memangku berbagai
jabatan, Nurcholis Madjid juga sebagai seorang penulis yang produktif. Di antara
karya tulisnya dapat disebutkan disini adalah :
1. Khasanah Intelektual Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1984)
2. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung, Mizan, 1987)
3. Islam Doktrin dan peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, (Jakarta, Yayasan Wakaf
Paramadina, 1992)
4. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Karya bersama para pakar
Indonesia lainnya), (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1995)
5. Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1997)
47
6. Masyarakat Religius, Jakarta, (Yayasan Wakaf Paramadina, 1995),
7. Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1997)
8. Tradisi Islam Peran dan fungsinya dalam pembangunan di Indonesia, (Jakarta,
Yayasan Wakaf Paramadina, 1997)
9. Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik
Kontemporer, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1998). 68
Berdasarkan informasi tersebut diatas, kita dapat mencatat tentang pribadi
Nurcholis Madjid adalah seorang cendikiawan yang memiliki basis
kesantrian/pesantren yang kuat, yaitu suatu komunitas Islam yang kental dengan
pelaksanaan ritual ibadah dan tradisi keislaman; dilihat dari basis kelimuannya,
Nurcholis Madjid adalah seorang muslim yang memiliki keahlian dalam bidang
ilmu agama Islam yang luas dengan titik tekan pada sejarah peradaban Islam, sesuai
dengan latar belakang pendidikan kesarjanaannya, yakni sebagai tamatan dari
Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dilihat dari segi sifat dan corak
pemikirannya, terlihat bahwa corak pemikiran Nurcholis Madjid bersifat modern
dengan tetap mengacu kepada nilai-nilai dasar ajaran Islam sebagaimana terdapat
dalam Al-Qur’an dam Al-Sunnah, serta nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
Melalui berbagai karya tulisnya ia tampak begitu bersemangat untuk
mengupayakan terjalinnya proses pembumian nilai-nilai ajaran agama Islam
sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’a dan Al-Sunnah. Ia berusaha agar doktrin-
doktrin Islam dapat dipahami dengan pendekatan nomenklatur yang terdapat dalam
budaya bangsa Indonesia. Doktrin ajaran Islam dan peradaban yang berkembang
dalam sejarah menurutnya harus saling melengkapi.Atas dasar ini pula, pandangan
keislaman Nurcholis Madjid bersifat sejarah, atau Islam sejarah sebagaimana
halnya dianut oleh idolanya Fazlur Rahman dari Pakistan.Namun, karena demikian
luas, mendalam dan holistiknya pemahaman keislaman yang dianutnya, maka untuk
dapat memahami dengan baik pemikiran keislaman Nurcholis Madjid diperlukan
68 Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada 2005), hal. 325
48
persyaratan yang memadai.Dilihat dari segi kepribadiannya, Nurcholis Madjid
adalah sosok cendikiawan Muslim yang sederhana dan bersahaja serta
berpenampilan rendah hati. Hal ini terlihat dari cara ia bertutur kata, berpakaian,
bergaul, dan sebagainya. Ia demikian akrab dengan kelompok-kelompok yang
termarjinalisasi, terutama dari kalangan kaum muda Islam dan memiliki komitmen
yang kuat untuk ikut menanggulanginya, dengan cara mengkritisi berbagai
kebijakan pemerintah atau siapa saja yang menyebabkan orang lain terdzolimi.
Gagasan dan pemikiran Nurcholis Madjid bukan hanya satu bidang saja, melainkan
dalam berbagai bidang, termasuk disalamnya masalah doktrin, ilmu pengetahuan
dan peradaban.Dari berbagai pemikirannya ini dapat ditelusuri dan dilacak gagasan
dan konsep yang berkaitan dengan pendidikan. Uraian berikut ini akan mencoba
melihat dan menjajagi pemikiran dan gagasan Nurcholis Madjid dalam bidang
pendidikan Islam.69
B. Kondisi Objektif Pesantren
Lembaga pendidikan yang memainkan perannya di Indonesia jika dilihat
dari struktur internal pendidikan Islam serta praktek- praktek pendidikan yang
dilaksanakan, ada empat kategori. Pertama, pendidikan pondok pesantren, yaitu
pendidikan Islam yang diselenggarakan secara tradisional, bertolak dari pengajaran
Qur’an dan hadits dan merancang segenap kegiatam pendidikannya untuk
mengajarkan kepada para siswa Islam sebagai cara hidup atau way of life. Kedua,
pendidikan madrasah, yakni pendidikan Islam yang diselenggarakan di lembaga-
lembaga model barat, yang menggunakan model klasikal, dan berusaha
menanamkan Islam sebagai landasan hidup ke dalam diri para siswa.Ketiga,
pendidikan umum yang bernafaskan Islam.Yaitu pendidikan Islam yang dilakukan
melalui pengembangan suasana pendidikan yang bernafaskan Islam di lembaga-
lembaga pendidikan yang bersifat umum.Keempat, pelajaran agama Islam yang
69Abuddin Nata, “Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia”, (Jakarta;
PT. Raja Grafindo Persada, 2005) hal. 326
49
diselenggarakan di lembaga-lembaga umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata
kuliah saja.70
Ditilik dari sejarah pendidikan Islam Indonesia, pesantren sebagai sistem
pendidikan Islam tradisional telah memainkan peran cukup penting dalam
membentuk kualitas sumber daya manusia Indonesia.71 Tetapi, dalam hal ini prof
dr. Nurcholis Madjid pendidikan pesantren tradisional ini memiliki sisi kelamahan.
Pembahasan tentang kondisi objektif pesantren ini amat penting mengingat
gagasan-gagasar Nurcholis Madjid tentang modernisasi pesantren berdasar kepada
kondisi objektif pendidikan tersebut.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, akhir-
akhir ini menarik untuk dicermati kembali. Di era 70-an Nurcholis Madjid telah
memprediksikan pesantren sebagai sesuatu yang dapat dijadikan alternative
terhadap sistem yang ada. Menurutnya, sistem pendidikan waktu itu masih sangat
“pegawai oriented” hingga menjadikan salah satu problem pendidikan di Indonesia.
Kondisi ini tidak terlepas dari tujuan dan sifat pendidikan yang mengacu pada
mencetak calon-calon pegawai yang bakal mengisi sistem menengah ke bawah
dalam piramida sistem administrasi pemerintahan.72
Menurut analisa Nurcholis Madjid pendidikan pesantren yang telah berjalan
selama ini hanya mencetak santri-santri menjadi pegawai saja. Alumni –alumni
pesantren mayoritas ketika selesai mengenyam pendidikan di pesantren selama
kurun waktu tertentu hanya menjadi pegawai di suatu instansi tertentu saja, bahkan
kebanyakan alumni pesantren yang kemudian berubah status sosialnya menjadi
kyai muda yang ahli membaca kitan-kitab klasik, yang pada akhirnya tradisi seperti
ini tak dapat di bending lagi bak bola salju yang lama kelamaan terus membesar tak
70 Mochtar Buchori, “Spektrum Problematika Pendidikan Islam di Indonesia“,
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1994), hal. 243-244 71 Yasmadi “Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan
Islam Tradisional” (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal. 59 72Ibidhal.60
50
terbendung, padahal, Nurcholis Madjid optimis bahwa pesantren mampu untuk
tidak hanya mencetak kyai-kyai saja tetapi juga para pelaku kemajuan bangsa di
bidang pemerintahan, akademisi, teknokrat, sosiolog, ahli sejarah dsb. Sehingga,
dapat diambil kesimpulan bahwa pesantren menurut Nurcholis Madjid belum dapat
memaksimalkan perannya sebagai agen perubahan bangsa.
Dalam pandangan Nurcholis Madjid, pada dasarnya kondisi ini wajar terjadi
bila diukur dari salah satu sebab pertumbuhan dan perkembangan pesantren-
pesantren dan madrasah-madrasah.Faktor yang mendorong tumbuhnya pesantren
dan madrasah disebabkan Karena munculnya sekolah-sekolah yang dibangun oleh
pemerintah colonial.73
Sebelum membahas tentang kritik Nurcholis Madjid terhadap sistem
pendidikan pesantren. Berikut penulis akan memaparkan gambaran umum kondisi
pesantren guna memudahkan pengkorelasian npemikiran Nurcholis Madjid dengan
kondisi objektif pesantren.
Pesantren terdiri dari lima elemen pokok sebagaimana dipaparkan pada bab
sebelumnya yaitu; kyai, masjid, pondok, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.74
Kelima elemen tersebut merupakan ciri-ciri khusus yang dimiliki pesantren dan
membedakan dengan pendidikan dalam bentuk lain. Sekalipun kelima elemen ini
saling menunjang eksistensi sebuah pesantren, tetapi kyai memainkan peranan yang
begitu sentral dalam dunia pesantren.
Keberadaan kyai dalam lingkungan pesantren laksana jantung bagi
kehidupan manusia.Intensitas kyai memperlihatkan peran yang otoriter disebabkan
karena kyailah pemilik tunggal sebuah pesantren.Oleh sebab alasan ketokohan kyai
di atas, banyak pesantren akhirnya bubar lantaran ditinggal wafat
73 Yasmadi “Modernisasi Pesantren: kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan
Islam Tradisional” (Jakarta: Ciputat Press, 2002)hal. 60 74 Zamakhsyari Dhofier, “Tradisi Pesantren”, (Jakarta: LP3S, 1982) hal.44
51
kyainya.Sementara kyai tidak memiliki keturunan yang dapat melanjutkan
usahanya.75
Kyai dapat juga dikatakan tokoh non formal yang ucapan dan seluruh
perilakunya akan dicontoh oleh komunitas sekitarnya. Kyai berfungsi sebagai sosok
model atau teladan yang baik tidak saja bagi para santrinya, tetapi juga bagi seluruh
komunitas di sekitar pesantren76
Kewibawaan kyai dan kedalaman ilmunya merupakan modal besar bagi
keberlangsungan semua wewenang yang dijalankannya.Kebijakan kyai diamini
oleh semua santrinya bahkan oleh penduduk sekitar pesantren.Kebijakan kyai
dalam mengatur keberlangsungan kehidupan dipesantren memegang peranan yang
sangat sentral, dan corak aturan, kurikulum, bidang pelajaran dan konsep pesantren
amat bergantung pada sosok seorang kyai.Dan sikap antipati pesantren yang masih
ditemukan dewasa ini merupakan cerminan dari sikap pribadi kyainya, tanpa
mempertimbangkan aspek-aspek lainnya, seperti kemajuan jaman, kebutuhan
sumber daya masyarakat sekitar dan lain sebagainya.
Akibatnya hampir semua pesantren dalam pandangan Nurcholis Madjid
merupakan hasil usaha pribadi atau individual (individual enterprise), karena dari
pancaran kepribadian pendirinya dinamika pesantren itu akan terlihat. Dalam hal
ini Nurcholis Madjid mengemukakan, pada dasarnya memang pesantren
merupakan pancaran kepribadian pendirinya.77Zamakhsyari dhofier dalam
bukunya mengemukakan bahwa pesantren diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil
dimana kyai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan dalam
kehidupan dan lingkungan pesantren.78
75 Imam Bawani, “Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam” (Surabaya: Al Ikhlas 1993)
hal. 90 76 Faisal ismail, “Paradigma Kebudayaan Islam”, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press,
1997) hal. 108 77 Nurcholis Madjid, “Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan”, (Jakarta:
Paramadina, 1997)hal. 6 78 Zamakhsyari Dhofier, “Tradisi Pesantren”, (Jakarta: LP3S, 1982) hal. 56
52
Keberlangsungan sebuah pesantren semata mata atas otoritas kyai di atas
menurut Nurcholis Madjid punya dampak negatif terhadap pesantren dalam
perkembangannya kearah yang lebih baik.Hal ini didasarkan atas profil kyai
sebagai pribadi yang punya serba keterbatasan dan kekurangan.Salah satu
keterbatasannya tercermin dalam kemampuan mengadakan respon terhadap
perkembangan-perkembangan masyararakat.Kyai dalam sebuah pesantren
memegang kendali terhadap keberlangsungan pendidikan pesantren, hal tersebut
jelas menghambat kemajuan pesantren yang seharusnya dapat memeberikan
jawaban atas kemajuan-kemajuan dunia global, jika sosok kyai yang menjadi
panutan tunggal dikhawatirkan timbul kejumudan dalam merespon tantangan
jaman yang tiada terbendung kemajuannya.
Paradigma baru pendidikan harus diarahkan pada upaya menyiapkan masa
depan bangsa agar mampu berkompetensi di era global. Di dalam Rencana Strategis
Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009 misalnya dinayatakan, bahwa visi
pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata social
yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia
berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif
menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.79
C. Gagasan pemikiran Prof. Dr. Nurcholis Madjid dalam modernisasi Pesantren
Gagasan dan pemikiran Nurcholis Madjid bukan hanya mencakup satu
bidang saja, melainkan dari berbagai bidang termasuk di dalamnya masalah doktrin,
ilmu pengetahuan dan peradaban.Pertama, pembaharuan pesantren.Sesuai dengan
latar belakang kehidupannya yaitu sebagai seorang cendikiawan nyang dibesarkan
79Abuddin Nata, “Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran”, (Jakarta: Kencana
Predana Media Group) hal. 16-17
53
di lingkungan pesantren, Nurcholis Madjid meiliki perhatian tentang pembaharuan
pesantren.Gagasan dan pemikirannya tentang pesantren ini dapat di lihat dari
karyanya berjudul bilik-bilik pesantren sebuah potret perjalanan.Dalam bukunya ini
Nurcholis Madjid berpendapat bahwa pesantren berhak, malah lebuh baik dan lebih
berguna untuk mempertahankan fungsi pokoknya semula yaitu sebagia tempat
menyelenggarakan pendidikan agama. Namun, mungkin diperluaskan suatu
tinjauan kembali sehinbgga ajaran-ajaran agama yang diberikan klepada setiap
pribadi merupakan jawaban yang komprehensif atas persoalan mkna hidup dan
weltanschauung Islam, selain tentu saja diosertai dengan pengetahuan secukuopnya
tenhtang kewajiban-kewajiban praktis seorang muslim sehari- hari. Pelajaran-
pelajaran ini kemungkinan dapat diberikan melalui beberapa cara, diantaranya:
1. Mempelajari al-Qur’an dengan cara yang lebih bersungguh-sungguh daripada
yang umumnya dilakukan oleh orang sekarang yaitu dengan menitikberatkan
kepada pemahaman makna dan ajaran-ajaran yang terkandung didalamnya ini
memungkinkan kemampuan pengajaran yang lebih besar. Yaitu pengajaran
kesatuan-kesatuan pengertian tentang ayat-ayat/surat-surat yang dibacanya atau
dengan menghubungkannya dengan ayat-ayat atau surat-surat lain yang belum
terbaca pada saat itu. Pelahjaran ini mungkin mirip dengan pelajaran tafsir,
tetapi dapat di berikan tanpa sebuah buku atau kitab tafsir melainkan cukup
dengan Al-Qur’an secara langsung.
Al-qur’an adalah kitab suci yang terbuka bagi segala corak penafsiran dan
pemikiran.Merebaknya gelombang rasionalisme juga berimbas pada penafsiran Al-
Qur’an dalam bentuk kitab-kitab tafsir rasional semacam al-Kasyaf karya az-
Zamakhsari, salah satu tokoh mu’tazilah yang terkemuka.80
80 Said Aqil SIradj dkk, “Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan dan
Transformasi Pesantren”, (Bandung: Pustaka Hidayah) hal. 290
54
2. Melaui pertolongan sebuah bahan bacaan atau buku pegangan penggunaan cara
ini sangat tergantung pada kemampuan para pengajar dalam mengembangkannya
secara lebih luas.
3. Selain itu, baik sekali memanfaatkan mata pelajaran lain untuk di sisipi
pandangan-pandangan keagamaan tadi. Dan menanamkan kesadaran serta
pengahrgaan yang lebih wajar pada hasil-hasil senio budaya Islam atau untuk
menumbuhkan kepekaan rohani, termasuk kepekaan rasa ketuhanan yang menjadi
inti rasa keagamaan.
Pembaharuan pesantren sesuai dengan latar belakang kehidupannya, yaitu
sebagai seorang cendikiawan yang dibesarkan di lingkungan pesantren, Nurcholis
Madjid memiliki perhatian tentang pembaruan pesantren.Gagasan dan
pemikirannya tentang pesantren ini dapat dilihat dari karyanya yang berjudul Bilik-
bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan.Nurcholis Madjid berpendapat bahwa
pesantren berhak, malah lebih baik dan lebih berguna, mempertahankan fungsi
pokoknya semula, yaitu sebagai tempat menyelenggarakan pendidikan agama.
Namun, mungkin diperlukan suatu tinjauan kembali sedemikian rupa, sehingga
ajaran-ajaran agama yang diberikan kepada setiap pribai merupakan jawaban yang
komprehensif atas persoalan makna hidup dan weltanshauung Islam, selain tentu
saja disertai dengan pengetahuan secukupnya tentang kewajiban-kewajiban praktis
seorang muslim sehari-hari. Pelajaran ini kemungkinan dapat diberikan melalui
beberapa cara, diantaranya: (1) mempelajari Alquran dengan cara lebih sungguh-
sungguh daripada yang umumnya dilakukan orang sekarang, yaitu dengan
menitikberatkan kepada pemahaman makna ajaran-ajaran yang terkandung di
dalamnya. Ini memerlukan kemampuan pengajaran yang lebih besar.Yaitu
pengajaran kesatuan-kesatuan pengertian tentang ayat-ayat atau surat-surat lain
(yang belum dibaca pada saat itu).Pelajaran ini mungkin mirip dengan pelajaran
55
tafsir, tetapi dapat diberikan tanpa sebuah buku atau kitab tafsir melainkan cukup
dengan Alquran secara langsung.81
Menurut Nurcholis Madjid, sesuai yang telah dipaparkan diatas, pesantren
harus tetap menjalankan fungsi utamanya yaitu sebagai lembaga pendidikan Agama
Islam. Islam adalah agama yang tak lekang oleh waktu yang mana ajarannya tetap
akan selalu relevan dengan perkembangan zaman. Dan hal tersebut harus diikuti
pula dengan kecerdasan penganutnya. Ajaran Islam yang diusung Nurcholis Madjid
adalah ajaran Islam yang komprehensif, menyeluruh, prular sehingga dapat menjadi
jawaban dari segala bentuk pertanyaan dan tantangan zaman yang selalu
berkembang ini, dan untuk mencapai hal tersebut melalui pesantrenlah saran yang
paling strategis untuk dicapai dan tentu dengan pendekatan yang berbeda. Menurut
Nurcholis Madjid, sistem pembelajaran Alquran yang efektif adalah dengan cara
mengetahui substansi dari setiap ayat yang ada didalamnya, lalu
menghubungkannya dengan ayat-ayat lainnya. Dan untuk merangsang berfikir para
santri mempelajari Alquran tidak dengan kitab tafsir melainkan dengan Alquran
secara langsung, hal ini diperlukan agar santri dapat berfikir kritis dan analitis
terhadap kandungan suatu ayat.
Metode yang ditawarkan Nurcholis Madjid adalah dengan bantuan sebuah
bacaan atau buku pegangan. Penggunaan cara ini sangat tergantung pada
kemampuan para pengajar dalam mengembangkannya secara lebih luas.82Agar
memperluas pemahaman ayat-ayat Alquran diperlukan menghubungkan ayat
dengan ayat dan dengan bahan bacaan lainnya.
Selain itu, baik seklai memanfaatkan mata pelajaran lain untuk disisipi
pandangan keagamaan tadi. Dan menanamkan kesadaran dan perhargaan yang
81Abuddin Nata, “Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia”, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005) hal. 237 82Abuddin Nata, “Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia”, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005) hal. 237
56
lebih wajar pada hasil-hasil seni budaya Islam atau untuk menumbuhkan kepekaan
rohanni, termasuk kepekaan rasa ketuhanan yang menjadi inti rasa keagamaan.83
Menghubungkan ayat Alquran dengan disiplin ilmu lain merupakan hal
yang digagas Nurcholis Madjid dalam metode kajian Alquran dipesantren, karna
ayat Alquran adalah bersifat universal sehingga kandungannya dapat dikaji melalui
disiplin ilmu lainnya, seperti penjelasan tentang perputaran bumu, hal tersebut
terdapat dalam Alquran dan kemudian dibahas kembali dengan pendekatan sains.
Artinya Nurcholis Madjid menekankan agar pesantren lebih terbuka dengan disiplin
ilmu lainnya karna satu sama lain saling menguatkan. Begitupun halnya dalam hal
seni agar menimnulkan rasa keagamaan perlu juga disisipi dengan sentuhan seni
budaya Islam.
Selain dari segi yang lebih universal in, pesantren dapat mengadakan
pendalaman-pendalaman pada segi lainnya dalam suatu tingkatan yang lebih lanjut
dan bersifat takhasus.Suatu catatan yang berkaitan dengan hal tersebut adalah
keharusan mengadakan pengaturan kembali alokasi waktu dan tenaga pengajar
sehingga terjadi penghematan dan intensifikasi bagi pelajaran-pelajaran lainnya.
Selanjutnya, Nurcholis Madjid menganjurkan agar pesantren tanggap
terhadap tuntutan-tuntutan hidup anak didiknya kelak dalam kaitannya dengan
perkembangan zaman.Di sini pesantren dituntut dapat membekali mereka dengan
kemampuan-kemampuan nyata yang didapat melaluin pendidikan atau pengajaran
pengetahuan umum secara memadai. Dan bagian ini pun, sebagaimana layaknya
yang terjadi sekarang, harus tersedia jurusan-jurusan alternative bagi anak didik
sesuai dengan potensi dan bakat mereka.84
Dalam menjalankan fungsinya pesantren diharapkan bukan hanya
mendalami masalah-masalah agama saja, tetapi juga membekali para santri dengan
83Ibid, hal.238 84 Mustajab, “Masa Depan Pesantren”, (Yogyakarta, LKiS Printing Cemerlang, 2015)
hal.328
57
kemampuanj-kemampuan praktis sehingga kelak lulusan pesantren tidak hanya
menjadi kyai, ustadz dan tokoh agama saja, tetapi pesantren mampu mencetak
tenaga-tenaga professional di berbagai bidang seperti, ekonomi, seni, ilmu
pengetahuan, politisi, social, psikologi dsb.
Dari pemaparan diatas Nurcholis menegaskan bahwa Islam memiliki nilai
universal artinya Islam bukanlah agama yang kaku akan perkembangan zaman
tetapi, diluar daripada itu Islam harus mampu menjawab segala perkembangan
zaman, sehingga produk dari pesantren diharapkan mampu menjawab tantangan-
tantangan dan tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu yang ada.
Kemudian gagasan yang ditawarkan Nurcholis Madjid dalam rangka
modernisasi pendidikan pesantren adalah dalam aspek kurikulum.Terlihat bahwa
pelajaran agama masih dominan di lingkungan pesantren, bahkan materinya hanya
khusus yang disajikan dalam berbahasa Arab.Mata pelajarannya meliputi fiqh,
(paling utama), aqaid.Nahwu sharf (juga mendapatkan dukungan penting), dan lain-
lain.Sedangkan tasawuf dan semangat sentra agama (religiusitas) yang merupakan
inti dari kurikulum keagamaan cenderung terabaikan.85
Nurcholis Madjid membedakan istilah materi pelajaran “agama” dan
“keagamaan”. Perkataan agama lebih tertuju pada segi formaldan ilmunya
saja.Sedangkan perkataan “keagamaan” lebih mengenai semangat dan rasa agama
(religiusitas). Menurut Nurcholis Madjid, materi keagamaan ini hanya dipelajari
sambil lalu saja tidak secara sungguh-sungguh. Padahal justru inilah yang lebih
berfungsi dalam masyarakat zaman modern, bukan fiqh atau ilmu kalamnya apalagi
nahwu sharfnya serta bahasa Aranya. Di sisi lain, pengetahuan umum nampaknya
masih dilaksanakan secara setengah-setengah, sehingga kemampuan santri
biasanya sangat terbatas dan kurang mendapat pengakuan di masyarakat umum.86
85 Mastuhu, “Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Suatu Kajian tentang Unsur Nilai
Sistem Pendidikan Pesantren”, (Jakarta: INIS, 1994), hal. 142 86 Yasmadi, “Modernisasi Pesantren”, (Jakarta: Ciputat Press, 2001) hal. 79
58
D. Kelemahan dan kelebihan Pesantren
Kekurangan pesantren adalah terletak pada lemahnya visi dan tujuan yang
dibawa pendidikan pesantren. Agaknya tidak banyak pesantren yang mampu secara
sadar merumuskan tujuan pendidikannya dan menuangkannya dalam tahapan-
tahapan rencana kerja atau program. Mungkin kebutuhan pada kemampuan itu
terlalu baru. Tidak adanya perumusan tujuan itu disebabkan adanya kecenderungan
visi dan tujuan pesantren diserahkan pada proses improvisasi yang dipilih sendiri
oleh seorang kyai atau bersama-sama para pembantunya secara intuitif yang
disesuaikan dengan perkembangan pesantrennya. Malahan pada dasarnya memang
pesantren itu sendiri dalam semangatnya adalah pancaran kepribadian
pendirinya.Maka tidak heran kalau timbul anggapan pesantren itu merupakan hasil
usaha pribadi atau individual (individual enterprise).87
Dari paparan diatas Nampak bahwa Nurcholis Madjid mengkritisi lemahnya
pesantren dalam hal penentuan visi dan misi pesantren itu sendiri.Dan pesantren
dewasa ini merupakan cerminan dari pendirinya, pola pendidikan pesantren
mengacu kepada semangat dan pengetahuan pendirinya, menurut Nurcholis Madjid
kondisi seperti ini kurang ideal untuk membentuk pola pendidikan modern. Sebab,
kadangkala kebijakan pendiri pesantren itu bersifat intuitif dan pengetahuan pendiri
pesantren-pun terbatas cenderung pendiri pesantren menolak hal-hal yang tidak ia
kuasai. Contoh diawal masa colonial belanda para penjajah mengajarkan
masyarakat menulis, membaca dengan huruf latin, dan banyak pesantren yang
menolak hal itu dikarenakan kebencian terhadap bangsa colonial Belanda dan juga
karena pendirinya tidak menguasai tulis menulis dengan menggunakan tulisan latin.
Padahal jika dicermati kemampuan tulis menulis dengan menggunakan tulisan latin
bisa sangat bermanfaat bagi para santrinya kelak.
87 Nurcholis Madjid, “Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan”, (Jakarta:
Paramadina, 1997) hal. 6
59
Kurangnya pesantren dalam meresponi dan mengaimbangi perkembangan
zaman tersebut, ditambah dengan faktor lain yang sangat beragam, membuat
produk-produk pesantren dianggap kurang siap untuk “lebur” dan mewarnai
kehidupan modern. Tidaklah mengherankan apabila muncul gambaran diri seorang
santri itu, dibanding dengan tuntutan-tuntutan nyata pada zaman sekarang, adalah
gambaran diri seorang dengan kemampuan-kemampuan terbatas.Sedemikian
terbatasnya kemampuan itu sehingga peranan-peranan yang mungkin dilakukan
ibarat hanya bersifat tambahan yang kurang berarti pada pinggiran-pinggiran dari
keseluruhan sistem masyarakat saja, dan kurang menyentuh, apalagi mempengaruhi
nucleus dan inti-poros perkembangan masyarakat itu.88
Meskipun gambaran diri itu tetap memiliki warna keagamaan biasanya
memperoleh gelar sebagai kyai, alim, ustadz atau sekedar santri, namun diukur dari
keharusan-keharusan keagamaan itu sendiri masih menunjukkan kekurangan-
kekurangan. Pada umumnya pembagian keahlian para lulusan atau produk
pesantren berkisar pada bidang-bidang berikut:
1. Nahwu-Sharaf
Kalau dalam bahasa kita istilah nahwu sharaf ini mungkin bisa diartikan
sebagai gramatika bahasa Arab.Banyak orang berhasil memperoleh status social-
keagamaan jadi berhak atas titel kyai, ustadz, atau yang lainnya hanya karena
dianggap ahli dalam gramatika bahasa Arab ini. Bentuk kongkrit keahlian itu
biasanya sangat sederhana, yaitu kemampuan mengaji atau mengajarkan kitab-kitab
nahwu-sharaf tertentu, seperti Ajurumiah, Imrithi, Alfiyah atau tingkat tingginya
kitab Ibnu Aqil. Konotasi keagamaan dalam keahlian di bidang ini semata-mata
karena bahasa objek studinya adalah bahasa Arab. Status social-keagamaan yang
mereka dapatkan itu tidak akan hilang meskipun yang bersangkutan sendiri
88 Nurcholis Madjid, “Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan”, (Jakarta:
Paramadina, 1997), hal. 7
60
mungkin tidak menggunakan “ilmu alat”nya secara sungguh-sungguh mempelajari
ilmu agama, sebagaimana yang menjadi tujuan semula.89
Kajian ilmu alat merupakan hal yang lumrah dalam pembelajaran di
pesantren.Namun, pengajaran gramatika bahasa Arab ini disalah artikan oleh
masyarakat luas sebagai suatu bagian dari substansi pengetahuan Agama. Padahal
gramatika bahasa arab adalah satu anak tangga yang harus dilalui seseorang yang
bertujuan memahami dan menghayati substansi Agama. Banyak masyarakat yang
memandang kecakapan dalam gramatika bahasa Arab berbanding lurus dengan
pemahaman agama.Hal inilah yang harus diluruskan bahwa menguasai gramatika
bahasa Arab saja tidak cukup untuk menghayati keluasan substansi ajaran agama
Islam.
2. Fiqh
Para ulama fiqh sendiri mendefinisikannya sebagai sekumpulan hukum
amaliah (sifatnya akan diamalkan) yang disyariatkan dalam Islam. Pengetahuan
tentang hokum (agama dan syariat) memang dalam jangka waktu yang lama sekali
memegang dominasi dunia pemikiran atau intelektual Islam.90
Kajian fiqih dewasa ini dianggap sebagai sesuatu yang baku, statis tak
terjamah dengan perkembangan. Sehingga kajian-kajian fiqh kurang
berkembang.Anggapan fiqh yang dipelajari sekarang ini sudah final dan tak bisa
diganggu gugat. Padahal fiqh merupakan ajaran yang dinamis terus berkembang
sesuai perkembangan zaman, sebab ajaran fiqh sekarang ini merupakan hasil ijtihad
(pemikiran) ulama terdahulu yang kondisi sosiologis, geografis politis yang amat
jauh berbeda dengan keadaan sekarang ini, sehingga kurangnya semangat
mengkritisi kajian fiqh dengan menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
89Ibid, hal. 8 90Ibid, hal. 9
61
Metode yang digunakan biasanya dengan metode sorogan atau bandongan,
dan di beberapa pesantren juga diadakan metode bahtsul masail mengenai seputar
masalah fiqh.Di dalam forum ini, para santri, biasanya mambahas dan
mendiskusikan suatu permasalahan dalam kehidupan masyarakat dan dicari
pemecahannya secara fiqh.91Nurcholis Madjid melihat bahwa fiqh didefinisikan
oleh para ulama terlalu sempit. Umumnya fiqh diartikan sebagai kumpulan hukum
amaliyah (sifatnya akan diamalkan) yang disyariatkan Islam. Pengetahuan tentang
hukum-hukum (agama atau syariat) memang untuk jangka waktu yang lama sekali
memegang dominasi dunia pemikiran atau intelektul Islam.Tetapi, Nurcholis
Madjid mempertanyakan apakan keahlian dalam bidang fiqh seluruhnya relevan
dengan keadaan sekarang.92
Nurcholis Madjid memaparkan kondisi seperti ini terjadi dari awal abad
kedua hijriyah.Karena hubungan erat dengan kekuasaan, sehingga pengetahuan
keagamaan merupakan tangga naik yang paling cepat menuju status social politik
yang lebih tinggi.
3. Aqa’id
Bentuk plural dari aqidah yang padanannya dalam bahasa kita adalah
keyakinan. Aqaid ini meliputi segala hal yang bertalian dengan kepercayaan dan
keyakinan seorang muslim. Meskipun bidang pokok-pokok agama ini disebut
dengan ushuluddin sedangkan fiqh disebut dengan furu’ (cabang-cabang) , tetapi
kenyataannya perhatian pada bidang ini kalah besar dengan perhatian pada bidang
fiqh yang hanya merupakan cabang itu. Selain itu, bidang aqaid ini juga disebut
dengan ilmu kalam memang membuka pintu bagi pemikiran filsafat yang kadang
91 M. Dian Nafi dkk, “Praksis Pembelajaran Pesantren”, (Yogyakarta: PT. LKiS
Pelangi Aksara, 2007) hal. 69 92 Yasmadi, “Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan
Islam Tradisional”, (Jakarta: Ciputat Press, 2002) hal. 81
62
sangat spekulatif.Sebagai akibatnya, keahlian di bidang ini nampak kurang
mendalam.93
4. Tasawuf
Sampai saat ini belum ada definisi tasawuf secara lengkap yang bisa
menjelaskannya.Pengamal tasawuf hanya memahami tentang tarekat, suluk, dan
wirid.Mungkin ditambah dengan sedikit dongeng tokoh-tokoh legendaris tertentu
seperti, Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani. Sesungguhnya tasawuf atau sufi adalah
bidang yang sangat mendalam, dan berkaitan dengan rasa atau semangat
keagamaan itu sendiri. Dan sebenarnya bidang ini sangat menarik dalam struktur
kehidupan beragama.Tetapi pesantren tidak ada yang secara sungguh-sungguh
menggarapnya.Padahal tasawuf ini merupakan bidang yang sangat potensial untuk
memupuk rasa keagamaan para santri dan menuntun mereka memiliki budi pekerti
mulia.94
Efisiensi gerkaan tasawuf adalah karena organisasi yang muncul sebagai
perkumpulan-perkumpulan tarekat.Atau thariqoh adalah aliran tentang jalan atau
acara mendekatkan diri kepada tuhan.Tarikat tidak membicarakan segi filsafat
daripada tasawuf. Tap amalan atau praktisnya. Di Indonesia terkenal dua tarikat
yaitu qodiriyah dan naqsabandiyah.Tetapi umumnya kedua tarikat ini telah menjadi
satu. Pada jaman sekarang menolak tarikat ialah dua golongan dengan titik tolak
yang berlawanan: modernism sekularis pada kaum kemalis di Turki dan
puritanisme ortodoks (salafi) pada kaum wahabi di Saudi Arabia. Hanya kedua
Negara itu sejauh ini yang melarang praktek-prektek dan organisasi sufi serta
sejenisnya.95
93Ibid, hal.10 94Ibid, hal. 11 95 Artikel Nurcholis madjid, yang di bukukan oleh (Jakarta:LP3S) hal. 113
63
5. Tafsir
Salah satu bidang keahlian yang jarang dihasilkan pesantren adalah bidang
tafsir qur’an. Padahal bidang inilah yang paling luas daya cakupannya, sesuai
dengan daya cakup kitab suci yang mampu menjelaskan totalitas ajaran agama
Islam.Kalau kita perhatikan, pemikiran-pemikiran fundamental yang muncul dalam
dunia Islam biasanya dikemukakan melalui penafsiran-penafsiran al-
Qur’an.lemahnya pengetahuan dibidang ini akan membuka kemungkinan
munculnya penyelewengan dalam menafsirkan ayat al-Qur’an. Sehingga dapat
dibayangkan betapa strategisnya keahlian dibidang ini untuk
mengantisipasinya.Saying sekali pesantren-pesantren “kurang berminat” dalam
menggarap bidang ini, terlihat dari miskinnya ragam kitab tafsir yang dimiliki
perpustakaannya.Kitab tafsir yang dikaji pun biasanya tidak jauh dari Tafsir
Jalalayn.96
6. Hadits
Kalau dibidang tafsir tidak banyak prodduk pesantren kita yang mumpuni,
terlebih lai di bidang hadits ini.Apalagi jika diukur dari segi penguasaan segi
riwayah dan diroyah.Padahal kalau diingat bahwa kedudukan Hadits sebagai
sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an, keahlian di bidang ini tentunya
sangat diperlukan untuk pengembangan pengetahuan agama itu sendiri.97
7. Bahasa Arab
Berbeda dengan bidang tafsir dan hadits, di bidang bahasa Arab ini kita bisa
melihat fenomena yang menggembirakan.Pesantren-pesantren kita telah mampu
memproduksi orang-orang yang memiliki keahlian lumayan dalam bahasa
Arab.Keahlian ini harus dibedakan dengan keahlian dalam nahwu sharaf
96Ibid hal. 11
97Ibid, hal. 12
64
diatas.Sebab, titik-beratnya ialah pada penguasaan “materi” bahas itu sendiri, baik
pasif ataupun aktif.Kebanyakan mereka kurang mengenal lagi kitab-kitab lain
dalam hal nahwu sharaf, tetapi kebanyakan mereka mengenal kitab yang berisi
syair-syair berbahasa Arab.98
Disisi lain, dalam sistem pendidikan kolonial terlihat bahwa, sistem ini tidak
memberikan tempat pada bahasa Arab diantara berbagai bahasa asing yang
diajarkan di sekolah menengah, seperti bahasa Prancis, Jerman dan, Inggris.
Anitesa terhadap kebijakan pemerintah kolonial di atas lahir (atau kebijakan yang
diambil) pesantren justru lebih menekankan perhatian yang besar pada bahasa
Arab.Sebab, bahasa Arab adalah bahasa kemuliaan dan bahasa hasanah kelilmuan
Islam secara umum.Untuk itu di pondok pesantren sangat ditekankan penelaahan
terhadap kitab-kitab klasik tentang gramatika bahasa Arab.99
Selanjutnya, akibat modernisme muncul gejalabaru di dunia pesantren yang
bersikap terbuka kepada ilmuan modern.Indikatornya adalah masuknya pelajaran
bahasa Inggris ke pesantren-pesantren tertentu.Penekanan bahasa Arab tidak lagi
pada penelaahan gramatikanya, tetapi bagaimana menguasai bahasa Arab itu
sendiri, baik secara lisan maupun tulisan. Nurcholis Madjid melihat bahwa produk
yang dilahirkan pesantren dalam bentuk ini lebih unggul dibanding pesantren dalam
bentuk lain.
Melihat pada pemikiran Nurcholis Madjid tersebut, nampaknya pesantren
semacam inilah yang paling memenuhi selera kaum muslim dalam memasuki era
modernisasi pada saat ini. Kondisi ini memperlihatkan terjadinya integritas
keilmuan (ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu Islam) yang selama ini dianggap tidak
dapat dikompromikan.Ini terlihat pada penggabungan pengetahuan bahasa Arab
dan bahasa Inggris yang melambangkan perpaduan antara unsur keislaman dan
98Ibid hal. 13 99 Yasmadi, “Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan
Islam Tradisional”, (Jakarta: Ciputat Press, 2002) hal. 89
65
unsur kemodernan.Karena itu orientasi kulturalnya menjadi lebih sederhana.Justru
aspek integritas keilmuan yang menjadi perhatian utama.100
Nampaknya Nurcholis Madjid di sini menekankan agar dalam penerapan
kurikulum di pesantren adanya check and balance. Nurcholis Madjid menekankan
adanya keseimbangan antara materi keIslaman dan materi-materi umum. Misalnya
penekanan yang sama antara fiqh, aqaid, tafsir, hadits, bahasa Arab dan lain-lain.
8. Fundamentalisme
Adalagi hasil pendidikan pesantren yang perlu dibicarakan di sini, yaitu
untuk mudahnya namakan saja fundamentalisme.Yang dimaksud di sini adalah
mereka yang dilatih begitu rupa oleh pesantrennya sehingga memiliki semangat
fundamentalistik yang tinggi sekali. Curahan perhatian biasanya diutamakan pada
bidang fiqh, tetapi tentu dengan cara dan orientasi yang berbeda dengan model
“fiqh” tersebut di atas. Jenis ini biasanya dapat berfungsi hanya dalam lingkungan
yang sangat terbatas saja, mengingat kadar fundamentalisme an puritanisme mereka
yang sering melahirkan sikap-sikap kaku.
Selain jenis-jenis produk pesantren di atas sudah tentu masih terdapat jenis-
jenis lain yang tak perlu diketengahkan secara khusus di sini, seperti jenis keahlian
dalam ilmu falak, kanuragan, qiraat dan ilmu hikmah.101
Kesadaran yang mulai tumbuh mengenai pesantren itu sering disertai
dengan sikap apresiatif secukupnya misalnya dengan memberi penilaian bahwa
sistem pesantren adalah merupakan sesuatu yang bersifat “asli” atau indigenous
Indonesia, sehingga dengan sendirinya bernilai positif dan harus dikembangkan.
Penilaian itu menempatkan dunia pesantren pada deretan daftar perbendaharaan
100Ibid, hal. 89 101 Yasmadi, “Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan
Islam Tradisional”, (Jakarta: Ciputat Press, 2002) hal. 14
66
nasional, menumbuhkan pengakuan akan peranannya dalam pertumbuhan dan
pertumbuhan dan perkembangan pendidikan nasional.
Namun tidak tertutup kemungkinan adanya penilaian resmi yang pincang
(sekurang-kurangnya sebagai sisa masa lalu).Misalnya dalam pembicaraan atau
penulisan resmi, hamper tidak terdapat penyebutan pesantren sebagai unsur pokok
dalam sistem pendidikan nasional.Bahkan peranan dan sumbangan pesantren pada
sistem pendidikan nasional dinilai belum mampu menandingi organisasi-organisasi
pendidikan lainyya.
Hal itu tampaknya karena pesantren dilihat sebagai berada diluar jalur resmi
atau standar dalam hal pendidikan, dan dilihat sebagai gejala yang seolah-olah
seharusnya tidak boleh ada. Sebab yang resmi dan baku atau standar ialah apa yang
dasar-dasarnya telah diletakkan oleh pemerintah colonial Belanda, yaitu sistem dan
filsafat pendidikan tertentu yang kini dikenal sebagai sekolah atau lebih popular
sekolah umum. Namun kembali pada apa yang disebutkan tadi, syukurlah bahwa
kecenderungan yang lebih posuitif sekarang lebih tampak di ufuk dunia pemikiran
para sarjana kita, khususnya di bidang pendidikan dan kebudayaan.
Pesantren sendiri dalam melihat dirinya, seperti dapat diduga, terbagi
menjadi berbagai macam kelompok.Kelompok penyederhanaan, disini kita
sebutkan saja berapa kelompok yang perlu.Pertama, yang merupakan bagian
terbesar, yaitu kelompok pesantren yang tidak menyadari dirinya, apakah bernilai
baik atu bernilai kurang baik. Mereka menganggap bahwa apa yang terjadi adalah
terjadi begitu saja, tanpa ada persoaalan serius yang perlu mereka fikirkan. Kedua,
adalah kelompok yang seperti seorang zealot atau fanatikus yang karena
kefanatikannya ini membuat penilaian mereka kurang objektif.Kelompok ini
menilai bahwa pesantren dengan segala aspeknya adalah pasti positif dan mutlak
harus dipertahankan.Ketiga, adalah kelompok yang kehinggapan perasaan bangga
diri.Perasaan ini bisa menimbulkan sikap pesimis dan kurang percaya diri dalam
mengejar ketertinggalannya, sehingga mereka menganggap indentitas pesantrennya
67
tidak perlu lagi dipertahankan. Tentunya ini akan berakibat rusaknya identitas
pesantren secara keseluruhannya. Dan keempat, mungkin kelompok ini yang paling
sedikit jumlahnya yaitu pesantren-pesantren yang sepenuhnya menyadari dirinya
sendiri baik segi-segi positif maupun negatifnya, sanggup dengan jernih melihat
mana yang harus diteruskan dan mana yang harus ditinggalkan.Kelebihan mereka
dalam melakukan introspeksi secara objektif ini menjadikannya memiliki
kemampuan beradaptasi secara positif pada perkembangan zaman dan
masyarakat.102
Bila dilihat dari sistem pengajaran yang diterapkan di dunia pesantren,
memang terdapat kemiripan dengan tata laksana pengajaran dalam ritual
keagamaan Hindu, dimana terdapatnya penghormatan yang besar oleh murid
(santri) kepada kyainya sehubungan dengan hal ini Cuk Nur menggambarkan, kyai
duduk diatas kursi yang dilandasi bantal dan para santri duduk mengelilinginya.
Dengan cara begini timbul sikap hormat dan sopan oleh para santri terhadap kyai
seraya dengan tenang mendengarkan uraian-uraian yang disampaikan
kyainya.103Sehingga peran kyai sangat fenomenal dan signifikan dalam
keberlangsungan atau eksistensi sebuah pesantren, sebab kyai adalah sebuah
elemen dari beberapa elemen-elemen dasar sebuah pesantren.104
Menurut Nurcholis Madjid kelemahan pesantren selanjutnya adalah adanya
kesenjangan Intelektual dan Kultural. Eksistensi pesantrten dengan kondisi yang
ada sekarang ini telah melahirkan output santri dengan segala potensi akademisnya
hanya bagaikan menghadirkan “koleksi busana”, tetapi orang lain tidak
menyukainya, atau mereka memang tidak tahu kalau itu baik untuk digunakan. Atau
barangkali dapat juga diibaratkan, seseorang yang mempunyai “koleksi busana”,
102 Nurcholis Madjid, “Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan”, (Jakarta:
Paramadina, 1997) 103 103Ibid, hal. 22 104 Yasmadi, “Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan
Islam Tradisional”, (Jakarta: Ciputat Press, 2002) hal. 63
68
tetapi tidak tahu bagaimana cara memakai atau apa yang lebih cocok dipakai untuk
waktu-waktu tertentu.105
Ungkapan diatas menunjukkan bahwa output yang dihasilkan pesantren
dewasa ini belum bisa memahami substansi ajaran Islam, yang mereka tonjolkan ke
permukaan adalah unsur terluar dari inti ajaran Islam. Symbol-simbol keagamaan
amat sangat dikedepankan tetapi tidak jarang dibalik itu ada hal-hal yang malah
bertentangan dengan ajaran Islam.Hal tersebutlah maksud dari ungkapan Nurcholis
Madjid “kesenjangan intelektual dan kultural antara pesantren dan dunia
luar.Dengan demikian pesantren yang menyimpan berbagai macam potensi itu
tidak dapat hadir secara akomodatif dan memainkan peranan yang maksimal di
zaman modern ini.
Untuk mengetahui factor penyebabnya, Nurcholis Madjid telah
mengidentifikasi beberapa hal, antara satu dengan yang lainnya yaitu, lingkungan,
santri, kurikulum, kepemimpinan, alumni dan prinsip kehidupan pesantren secara
umum. Menurut Nurcholis Madjid, dilihat dari factor lingkungan, pesantren
merupakan hasil pertumbuhan tak berencana. Sarana dan prasarana yang
mendukung keutuhan suatu pesantren, seperti letak masjid, asrama atau pondok,
madrasah, kamar mandi, perumahan pimoinan, dan lain-lain, umumnya sporadic.
Kondisi ini diperparah lagi dengan minimnya peralatan dan alat pendukung proses
belajar-mengajar, seperti meja, kursi, ruangan kelas, masjid, musholla, halaman
madrasah papan tulis dan lain-lain.106Namun kendatipun demikian pesantren
dewasa ini sudah banyak yang melengkapi diri dengan sarana dan prasarana yang
cukup memadai.Kondisi yang dimaksudkan Nurcholis Madjid diatas adalah kondisi
awal tumbuh dan berkenmbangnya suatu pesantren.Sebab, pesantren berdiri atas
dasar swadaya masyarakat atau berasal dari pendirinya sendiri.
105Ibid, hal. 106 106 Nurcholis Madjid, “Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan”, (Jakarta:
Paramadina, 1997) hal. 90
69
Dalam proses modernisasi itu memang terjadi proses reformasi social. Ini
memungkinkan lapisan-lapisan tertentu kelompok social paling inti dari pesantren
beralih ke tingkat elite terpelajar.Sementara itu, pesantren sendiri menjadi lembaga
pendidikan yang menampung anak-anak masyarakat bawah.Mereka tidak mampu
menikmati sekolah-sekolah umum, karena biaya yang harus dibayar amatlah
mahal.107
Dari sisi santri terlihat beberapa fenomena yang unik, mulai dari pakaian,
kondisi kesehatan, prilaku, dan penyimpangan-penyimpangan yang mereka
lakukan.Cara berpakaian misalnya, umumnya para santri tidak bisa membedakan
antara pakaian untuk belajar, dalam kamar, ke luar pondok pesantren, bahkan untuk
tidurpuntidak berbeda.Apakah ada kaitanyya dengan kesehatan atau tidak, tapi yang
pasti jelas penyakit kulit (kudis), sering diasosiasikan dengan para santri.Kemudian
menyangkut tingkah laku santri, sudah menjadi rahasia umum bahwa para santri
mengidap penyakit rasa rendah diri dalam pergaulan ketika harus bersosialisasi
dengan masyarakata luar mereka. Ada telihat ketidakkonsistenan dalam tingkah
laku samtri ini menurut Nurcholis Madjid, sebab untuk lingkungan intern mereka
sangat liberal, ini ditunjukkan dengan sikap termasuk pembicaraan mereka yang
hamper-hampir seenaknya. Tetapi, ketika mereka berhadapan dengan orang luar
sikap ini tidak tampak. Apalagi jika mereka berhadapan dengan “orang lain”
(agama, ras, pandangan politik, ataupun paham keagamaan yang berbeda).
Berkaitan dengan pergaulan santri ini juga, menurut Nurcholis Madjid,
sangatlah wajar dilakukannya penyimpangan oleh santri mengingat di pesantren
tidak diberlakukannya sistem pergaulan (sekedar pergaulan saja) dengan jenis
kelamin lain. Namun, barangkali hal tersebut jarang terjadi oleh karena beberapa
factor: pertama, pada umumnya para santri sangat menghayati nilai-nilai akhlak
yang mereka pelajari di pesantren. Kedua, para santri pada umumnya belum
107 Jamali, “Kaum Santri dan Tantangan Kontemporer”, (Bandung: Pustaka Hidayah)
hal. 139
70
mencapai usia pubertas, sehingga konsentrasi mereka hanya terfokus untuk mengaji
dan ibadah. Walaupun ada santri yang tingkat aliyah (sudah mencapai usia remaja),
biasanya mereka secara tidak langsung harus memperlihatkan pribadi yang baik
(terpuji, panutan), mengingat mereka adalah wakil kyai (asisten), atau guru bantu
di pondok. Ketiga, para santri sedikit sekali mendapat rangsangan dari luar, baik
dari lawan jenis maupun rangsangan lain seperti media masa, lingkungan dan lain-
lain. Sebab, pergaulan para santri akan dibatasi oleh lingkungannya sendiri.
Kyai adalah figur yang berperan sebagai penyaring informasi dalam
memacu perubahan di dalam pondok pesantren dan masyarakat
seitarnya.Kedudukan kyai adalah pemegang pesantren yang menawarkan agenda
perubahan social keagamaan baik yang menyangkut masalah interpretasi agama
dalam kehidupan social maupun perilaku keagamaan santri, yang kemdian menjadi
rujukan masyarakat.108
Kyai, dalam sepanjang sejarah kepemimpinannya, rupanya berupaya
menginternalisasikan dan merefleksikan citra imam sebagaimana yang tercermin
dalam kaidah fiqih “tasharruful imam ala ar ra’iyyah manuutun bil maslahah”.Kyai
berupaya sungguh-sungguh menjadi pemimpin bagi dirinya, bagi keluarganya dan
bagi masyarakatnya.Tetapi kepemimpinan kyai itu dimana kemaslahatan menjadi
tujuannya terutama ditujukan bukan untuk keluarganya, apalagi dirinya, melainkan
untuk masyarakat yang dipimpinnya.109
Berkaitan dengan kepemimpinan pesantren, secara apologetic sering
dibanggakan bahwa kepemimpinan atau pola kepemimpinan pesantren adalah
demokratis, ikhlas, sukarela dan seterusnya.Anggapan seperti ini menurut
Nurcholis Madjid perlu dipertanyakan kebenarannya bila diukur dengan
perkembangan jaman sekaran ini. Untuk penelaahan lebih jauh Nurcholis Madjid
108Abdurrahman Wahid, “Benarkah Kyai Membawa Perubahan Social? Pengantar dari
Buku Kyai dan Perubahan Social” hal. Xi-xx 109 Zainal Arifi Thoha, “Runtuhnya Singgasana Kyai”, (Yogyakarta: Kutub, 2003)
hal292
71
mengemukakan beberapa hal: pertama, karisma. Pola kepemimpinan karismatik
sudah cukup menunjukkan segi tidak demokratisnya, sebab tidak rasional.Apalagi
jika disertai dengan tindakan-tindakan yang bertujuan memelihara karisma
tersebut.Seperti, jaga jarak dan ketinggian dari para santri. Pola kepemimpinan
seperti ini akan menghilanghkan kualitas demokratisnya. Kedua, personal.Karena
kepemimpinan kyai adalah karismatik maka dengan sendirinya juga bersifat pribadi
atau personal. Kenyataan itu mengandung implikasi bahwa seorang kyai itu tidak
mungkin digantikan orang lain serta sulit ditundukkan kebawah rule of the game
nya administrasi dan manajemen modern. Ketiga, religiufeodalisme.Seorang kyai
selain menjadi pemimpin agama sekaligus merupakan traditional mobility dalam
masyarakat feodal. Dan feodalisme yang berbungkus keagamaan ini bila
disalahgunakan akan jauh lebih berbahaya dari feodalisme biasa. Keempat,
kecakapan teknis. Karena dasar kepemimpinan kyai dalam pesantren adalah seperti
diterangkan diatas, maka dengan sendirinya factor kecakapan teknis menjadi tidak
begitu penting. Dan kekurangan ini menjadi salah satu sebab pokok tertinggalnya
pesantren dari perkembangan jaman.110
Kyai merupakan tumpuan pesantren, berkat tempaan pengalamannya
mendirikan pesantren sebagai realisasi cita-cita kyai, akhirnya timbullah corak
kepemimpinan yang sangat bersifat pribadi, yang berlandaskan pada penerimaan
masyarakat sekitar dan warga pesantrennya secara mutlak.Karena itu, ciri utama
penampilan kepemimpinannya kyai adalah watak kharismatik yang dimilikinya.111
Kyai memegang tongkat utama kepemipinan pesantren menurut mustajab
diatas kyai merupakan watak kharismatik yang dimiliki kyai tersebut.Dalam arti
bahwa pesantren yang di dirikan oleh kyai adalah merupakan kristalisasi corak
pemikiran pendirinya. Begitupun dalam menerima hal lain diluar pemahaman kyai
tersebut cenderung sulit, meskipun pada saat ini mulai bermunculan pesantren-
110 Nurcholis Madjid, “Bilik-bilik Pesantren”, (Jakarta: Paramadina, 1997)hal. 95 111 Mustajab, “Masa Depan Pesantren Telaah atas Model Kepemimpinan dan
Manajemen Pesantren Salaf”, (Yogyakarta: LKiS 2015) hal. 47
72
pesantren yang sudah terbuka dengan perkembangan dunia modern, seperti
memasukkan Bahasa inggris kedalam Bahasa sehari-hari dan lain sebagainya.
Disisi lain, elemen alumni santri juga salah satu factor ketidakmampuan
pesantren menjawab tantangan jaman. Nurcholis Madjid melihat, kendatipun
institusi pesantren mengklaim telah berhasil melahirkan wakil-wakilnya, kader-
kadernya, ataupun outputnya yang articulated, tetapi itu hanya terbatas untuk
lingkungan sendiri. Artinya, output tersebut tidak siap megisi kebutuhan pada
institusi-institusi lain. Di samping itu ada yang lebih ironis lagi di kalangan santri
ada slogan tidak mau menjadi pegawai negeri.Slogan ini merupakan sisa-sisa sikap
isolatif dan non-kooperatif zaman kolonial dulu.112Sama sekali tidak relevan untuk
dipertahankan.Sikap non-kooperatif yang diambil oleh para alumni pesantren
sangan tidak relevan sekali dengan kondisi sekarang ini.Hendaknya para alumni
pesantren turut ambil bagian dalam pembangunan.
Selanjutnya, segi yang dianggap positif dalam kehidupan pesantren adalah
semangat kesederhanaan.Namun, menurut Nurcholis Madjid dalam beberapa hal
perlu ditelaah kembali, bahkan dalam pesantren sendiri pengajaran ini kurang
mendapat tekanan dalam kurikulumnya.113
Kesederhanaan tidak dapat diukur secara kuantitas.Kesederhanaan adalah
sikap dan perilaku yang didasarkan pada kebutuhan, bukan pada keinginan.Bisa
saja seseorang memiliki beberapa mobil mewah karena memang mobil-mobil
tersebut dibutuhkan dan tentu saja karena orang tersebut memiliki kemampuan
untuk mengadakannya. Dengan kata lain, kesederhanaan mesti didasarkan pada
kemampuan dan kebutuhan, bukan pada keinginan.114
112 Nurcholis Madjid, “Bilik-bilik Pesantren”, (Jakarta: Paramadina, 1997)hal. 96 113Ibid, hal. 99 114 Wahyuni Nafis, “Pesantren Daar el Qolam, Menjawab Tantangan Zaman”,
(Tangerang: Daar el Qolam Press 2008) hal. 160
73
Jika saja khasanah keilmuan Islam klasik yang dimiliki pesantren dapat
dipotimalisasikan dengan sebaik-baiknya, pesantren jauh lebih baik kualitasnya
dari lembaga-lembaga pendidikan dalam bentuk lain. Tapi dengan miskinnya
metodologi dan apriorinya pesantren dengan dunia luar telah membuat potensi ini
tidak berarti apa-apa.
Beberapa persoalan diatas memperlihatkan jurang yang menganga antara
dunia pesantren di satu sisi dan alam real di sisi lain, padahal pesantren sendiri
adalah bagian dari dunia itu. Kesenjangan ini tidak jarang telah melahirkan
dikotomi pada lembaga pendidikan Islam. Pesantren yang bersifat “konservatif”
lebih diidentikkan dengan lembaga pendidikan tradisional, sedangkan lembaga
pendidikan yang “mewarisi” sistem colonial diklaim sebagai lembaga pendidikan
modern.
Klaim didatas dalam beberapa kali barangkali dapat
dibenarkan.Persoalanyya, barangkali sistem pendidikan yang diklaim modern
tersebut tidaklah akomodatif untuk perkembangan zaman sekaran ini.Karena
kenyataan menunjukkan bahwa pertumbuhan ilmu pengetahuan yang tidak
dilandasi dengan iman dan taqwa, tidak membawa manfaat yang banyak.Bahkan
tidak jarang sebaliknya, justru menumbulkan dampak negatif dalam bentuk yang
amat canggih.
Sementara itu, di sisi lain pesantren nampaknya juga perlu membenahi diri
dalam banyak hal agar dapat menjadi sistem pendidikan alternative di masa depan
dan berperan menciptakan dukungan social bagi perkembangan yang sedang
berjalan.
Berangkat dari potensi lembaga tersebut (pesantren dan lembaga pendidikan
“modern”) serta belajar dari kekurangan masing-masing, agaknya pepaduan kedua
unsur itulah yang dijadikan sebagai model pendidikan alternative untuk
menyongsong Indonesia baru dengan mewujudkan masyarakat madani. Masyarakat
yang memiliki sumber daya manusia yang kaya iptek dan imtaq.
74
Setelah menelaah lebih jauh kritik Nurcholis Madjid terhadap dunia
pendidikan Islam tradisional dan mempelajari pikiran-pikiran serta gagasannya,
nampaknya Nurcholis Madjid berobsesi menciptakan suatu sistem pendidikan yang
memiliki keterpaduan antara unsur keislmaman, keindonesiaan dan keilmuan.
Sistem pendidikan terpadu ini diproyeksikan sebagai suatu alternatif untuk menuju
masyarakat madani. Untuk membuktikan tesis diatas, berikut ini akan dilihat
konsep keterpaduan dalam ketiga unsur tersebut.
1) Keislaman
Islam sudah termarginalkan dalam bangunan sistem pendidikan, karena ada
anggapan bahwa Islam sebagai penghambat kemajuan.Islam diklaim sebagai
tatanan nilai yang tidak dapat hidup berdampingan dengan sistem modern. Menurut
Nurcholis Madjid, Islam yang dipandang sebagai penyebab kegagalan dan
keterbelakangan adalah klaim-klaim warisan kolonial yang pada masa dahulu
digunakan sebagai alat untuk menghadapi sikap-sikap permusuhan non kooperatif
kaum ulama, kyai,, dan santrinya. Anggapan terhadap Islam sebagai musuh
kemajuan dalam pandangan Nurcholis Madjid berarti orang itu tidak memahami
keuniversalan ajaran Islam. Oleh sebab itu, penelaahan kembali terhadap ajaran
nilai universalitas Islam amat diperlukan 115
Munculnya anggapan Islam sebagai agama yang menjadi penghambat
kemajuan jaman, tidak dapat berjalan beriringan Antara Islam dan arus
perkembangan zaman menurut Nurcholis Madjid itu disebabkan warisan colonial
Belanda di masa lalu dalam memerangi ulama, kyai dan santri yang melakukan
perlawanan terhadap colonial Belanda.
Ajaran Islam jelas menunjukkan adanya hubungan organik antara ilmu dan
iman.Hubungan organik itu kemudian dibuktikan dalam sejaran Islam klasik ketika
kaum muslimin memiliki jiwa kosmopolit yang sejati.Atas dasar kosmopolitanisme
115Nurcholis Madjid,”Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan” (Jakarta: Paramadina, 1998) hal. 92
75
itu umat Islam membangun membangun peradaban dalam arti yang sebenar-
benarnya yang juga berdimensi universal.116
Menurut Nurcholis Madjid anggapan Islam tidak dapat beriringan dengan
arus perkembangan jaman adalah bentuk kejumudan berfikir atau dalam bahasa lain
bentuk ketidak pahaman seseorang dalam memahami universalitas Islam, padahal
Islam adalah agama yang sesuai dengan ruang dan waktu. Agama yang bias
fleksibel dalam menerjemahkan ajaran agama yang disesuaikan dengan
perkembangan zaman. Kalau dalam istilah Nurcholis Madjid Islam bukanlah
sebuah monument baku yang statis tapi Islam adalah agama yang dinamis yang
memiliki kemampuan menyelaraskan diri dengen perkembangan zaman.
Inilah yang memperkokoh nilai universalitas Islam yang meliputi unsur
sejarah, filsafat, sains, teologi dan tasawuf, sebagai tradisi keilmuan Islam klasik
yang telah menaruh perhatian pemikiran keislaman klasiknya dan disisi lain
memberikan metode modern baik untuk menelaah-menelaah penguasaan bahasa
asing Arab-Inggris, maupun untuk menyajikan dan mengemas pengetahuan secara
ilmiah untuk dapat dihadirkan ke dunia modern. Yasmadi mengutip pendapat Greg
Barton dalam bukunya tentang pendapatnya mengenai pondok modern gontor,
bahwa Gontor menghadirkan perpaduan yang liberal, yakni tradisi belajar klasik
dengan gaya modern Barat. Kepustakaan Arab klasik yang merupakan kurikulum
untuk setiap pesantren-pesantren ternyata juga diajarkan di Gontor, tetapi diberikan
dalam praktik pengajaran modern.117
Berdasarkan ungkapan diatas, agaknya konsep awal Nurcholis Madjid
dalam memodernisasi pendidikan berangkat dari sistem pendidikan Gontor sebagai
model.Tetapi, lebih jauh lagi sistem pendidikan yang digagas Nurcholis Madjid
adalah untuk memadukan unsur keislaman, keindonesiaan dan kelimuan.Hal ini
116Ibid, hal. 24 117 Yasmadi, “Modernisasi Pesantren, Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan
Islam Tradisional”, (Jakarta: Ciputat Press, 2002) hal. 123
76
sesuai dengan platform pembaharuan Nurcholis Madjid sendiri yaitu
keindonesiaan, keislaman dan kemodernan.
Setelah menelaah lebih jauh kritik Nurcholis Madjid terhadap dunia
pendidikan Islam tradisional dan mempelajari pikiran-pikiran serta gagasannya,
nampaknya Nurcholis Madjid berobsesi meciptakan suatu sistem pendidikan yang
memiliki keterpaduan antara unsur keislaman, keindonesiaan dan keilmuan. Sistem
pendidikan terpadu ini diproyeksikan sebagai suatu alternatif untuk menuju
masyarakat madani.118
Aktualisasi terhadap pemahaman agama dengan mengaitkannya dengan
disiplin ilmu lain dalah salah satu gagasan Nurcholis Madjid dalam reaktualisasi
pemahaman agama melalui kitab-kitab klasik. Hematnya dalam memahami kitab
klasik yang didorong oleh pemahaman gramatika bahasa Arab nampaknya harus
dimanfaat kan untuk menggali sedalam-dalamnya pemahaman keagamaan, karena
menurut Nurcholis Madjid banyak alumni pesantren yang mumpuni di dalam
gramatika bahasa Arab tetapi lemah dalam fiqh atau cabag-cabang ilmu yang
lainnya. Ini menandakan bahwa pemahaman gramatika bahasa Arab tidak melulu
berbading lurus dengan pemahaman agama secara luas.
Untuk melihat kembali kitab-kitab lama “klasik” dan menyikapi agar tidak
terjadinya kemiskinan intelektual atau dalam istilah Nurcholis Madjid kehilangan
jejak riwayat intelektualisme Islam.119
Menurut Nurcholis Madjid, inilah salah satu kelemahan dan akibat dari
pembaharuan yang dilakukan Muhammadiyah, sehingga menimbulkan
kesenjangan intelektual. Jejak pemahaman mereka terhadap Islam tidak
lengkap.Mereka memahami Islam dari kaum orientalis, bukan khasanah Islam yang
ada.Tidak timbul lagi wacana kreatif untuk mempelajari “kitab-kitab lama” sebagai
118Ibid, hal. 124 119Nurcholis Madjid,”Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan” (Jakarta: Paramadina, 1998) hal. 65
77
warisan intelektual Islam.Padahal khasanah keislaman terdapat dalam kitab-kitab
itu, jadi perlu suatu fase reorientasi tradisi.120
Satu kelemahan pesantren pada masa kini menurut Nurcholis Madjid dalam
mengkritisi pembaharuan yang dilakukan organisasi Muhammadiyah itu malah
menciptakan kesenjangan intelektual, yang mana dalam memahami suatu teks
agama terbilang letterlek. Pemahaman yang seperti itu nampaknya tidak sesuai
dengan zaman ini, sebab konteks akan selalu berubah dan teks akan cenderung statis
jadi bukan mengubah teksnya tetapi mengubah konteksnya. Melihat konteks
kekinian dalam memahami suatu teks agama.
Oleh sebab itu, menurut Nurcholis Madjid, di Indonesia sering
didengungkan tentang perlunya para sarjana keislaman mengenal apa yang disebut
“kitab kuning”. Seruan itu adalah penyederhanaan dari rasa kesadaran dan
keperluan kepada sikap-sikap yang lebih apresiatif terhadap warisan intelektual
Islam sendiri.Apresiasi yang dikehendaki terhadap kitab kuning bukanlah jenis
apresiasi doktrinal dan dogmatik, melainkan jenis intelektual-akademik.Selain itu
juga diharapkan secara wajar mengapresiasikan warisan intelektual dari luar Islam
sejalan dengan petunjuk agama sendiri dalam hal sikap terhadap ilmu pengetahuan
dari manapun datangnya.121
Sikap terhadap kedua kutub warisan intelektual itupun mengindikasikan
pengitegrasian keilmuan dalam wacana pendidikan Islam.Selanjutnya, pada tataran
yang lebih tinggi lagi bidang filsafat belum mendapat tempat dalam pendidikan
Islam, sehingga kedalaman ilmu seseorangdalam Islam selalu diukur sejauh mana
pengetahuannya terhadap fiqh, sebagai akibat dari fiqh oriented. Reorientasi ini
120 Yasmadi, “Modernisasi Pesantren, Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan
Islam Tradisional”, (Jakarta: Ciputat Press, 2002) hal. 124 121 Nurcholis Madjid, “Kaki Langit Peradaban Islam”, (Jakarta: Paramadina,1997) hal.
157
78
telah diupayakan oleh Nurcholis Madjid melalui Yayasan Wakaf Paramadina
sebagai suatu alternatif menghadirkan Islam di alam modern.
Tinggal lagi persoalan yang melihat dunia pendidikan sekarang adalah
merumuskan kajian epistimologi ilmu-ilmu umum yang masih kabur, kemudian
merumuskan metodologi dalam mengajarkannya di dunia pendidikan Islam secara
umum.Azyumardi Azra misalmnya mengangkat kasus Al-Azhar.Pengalaman Al-
Azhar dalam mengintegrasikan antara bidang ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu
agama tersebut boleh dikatakan kurang berhasil.Ada hambatan-hambatan tertentu,
misalnya berkaitan dengan persoalan dikotomi konseptual ketika fakultas-fakultas
umum dimasukkan ke Al-Azhar, tidak disertai dengan perumusan epistimologi
yang jelas.Misalnya saja, bagaimana ilmu-ilmu eksakta diajarkan kepada
mahasiswa dalam kerangka atau visi Islam, bagaimana memberikan warna Islam
terhadap ilmu yang bersifat umum.122
Gagasan serupa juga nampaknya memiliki substansi yang sama bahwa
konsep epistimologi keilmuan umum tersebut belum kongkrit dalam wacana
pendidikan Islam.
Konsep dasar yang dimunculkan Nurcholis Madjid hanya sebatas
bagaimana mendapatkan kembali ilmu pengetahuan dan teknologi ke dalam daerah
pengawasan nilai agama, moral dan etika.Karena pada prinsipnya, asal mula semua
cabang ilmu pengetahuan adalah berpangkal pada ilmu agama. Ketika para
intelektual muslim mampu mengembangkan dan mengislamkan ilmu pengetahuan
modern itu, dunia Islam akan dapat mencapai kemakmuran dalam berbagai bidang,
seperti yang dicontohkan pada masa Islam klasik. Saat ini, umat Islam hanya dapat
menyaksikan bekas-bekasnya saja.Buktinya sampai sekarang banyak sekali istilah-
sitilah teknis dalam ilmu pengetahuan dan teknologi modern barat yang berasal dari
bahasa Arab.Sebagai indikator, terdapat akar-akar Islam bagi ilmu pengetahuan dan
122 Azyumardi Azra,”Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pendidikan Islam”, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998), hal. 82
79
teknologi modern.Peradaban Islam mempengaruhi barat tidak hanya dalam bidang
iptek, tetapi juga dalam bidang peradaban pada umumnya, maka dapat ditemukan
pula berbagai istilah Inggris pinjaman dari bahasa Arab dan Persia.123
Menurut Nurcholis Madjid kemajuan teknolohgi sekarang ini yang
cenderung bermunculan dari dunia Barat adalah berasal dari Islam, kemajuan
teknologi, al jabar, ilmu kesehatan dan lain sebagainya merupakan peninggalan
kejayaan Islam di masa klasik. Yang merupakan buah dari tidak adanya dikotomi
Antara ilmu agama dan ilmu umum, sehingga semangat mempelajari berbagai ilmu
pengetahuan dikala itu melonjak tinggi. Seiring kekalahan kerajaan Islam yang
Berjaya dimasa klasik umat Islam mengalami kemunduran yang sangat signifikan
akibat penguasaan ilmu-ilmu yang telah ditemukan ilmuan muslim oleh Barat. Dan
imbasnya kini umat Islam hanya dapat menonton arus perkembangan teknologi
yang tak dapat terbendung yang padahal itu merupakan bagian dari Islam.
Dengan menyadari kondisi umat Islam, dimana tingkat pendidikan modern
rata-rata diseluruh dunia, masih lebih rendah dari bangsa-bangsa lain, maka untuk
menuju ke arah masa depan yang lebih baik Nurcholis Madjid menyerukan kepada
umat Islam dalam merespon tantangan zaman itu harus terlebih dahulu dengan
menangkap pesan dalam kitab suci. Kemudian secara kritis mempelajari sosok ilmu
pengetahuan yang dihasilkan oleh modernitas.Upaya ini merupakan salah satu
upaya untuk menemukan kembali pengetahuan baru yang merupakan tujuan sejati
intelektual Islam.124
Pemahaman substansial terhadap teks Al-Qur’an nampaknya menjadi kunci
umat Islam dapat menjawab tantangan dunia modern. Sebab pemahaman substansi
terhadap suatu teks adalah modal awal bagaimana kontekstualisasi ajaran agama
Islam dapat terus berjalan beriringan, sehingga hilangnya image bahwa Islam
123 Nurcholis Madjid, “Kaki Langit Peradaban Islam” (Jakarta: Paramadina,1997) hal.
72 124 Nurcholis Madjid, “Islam doktrin dan Peradaban”, (Jakarta: Paramadina, 1995) hal.
485
80
adalah hambatan kemajuan zaman akan semakin tergerus sebab kesadaran umatnya
bahwa Islam adalah agama yang dinamis.
2) Keindonesiaan
Lebih jauh lagi, modernisasi pendidikan yang dimaksud diharapkan mampu
menciptakan suatu lembaga pendidikan yang mempunyai identitas kultural yang
lebih sejati sebagai konsep pendidikan masyarakat Indonesia baru yang didalamnya
juga akan ditemukan nilai-nilai universalitas Islam yang mampu melahirkan suatu
peradaban masyarakat Indonesia masa depan. Di sisi lain, lembaga ini juga
mencirikan keaslian Indonsia, karena secara kultural terlahir dari budaya Indonesia
yang asli. Konsep ini agaknya yang relevan dengan konsep pendidikan untuk
menyongsong masyarakat madani.125
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa Nurcholis Madjid
mengidentifikasi kelebihan pesantren adalah bahwa pesantren merupakan lembaga
pendidikan asli Indonesia.Sehingga dalam menyikapi perkembangan dunia global
pesantren harus selalu mempertahankan jati dirinya yaitu Indonesia, dalam rangka
merawat jati diri tersebut pesantren harus selalu membawa nuansa budaya asli
Indonesia dan merawat tradisi tersebut. Menurut Nurcholis Madjid pesantren perlu
mendesain pengajaran ataupun kultur yang ada didalamnya sehingga tidak hilang
nuansa keindonesiaannya meskipun terus menyesuaikan diri dengan dunia global,
sebab itulah yang menjadi nilai plus pesantren.
Obsesi Nurcholis Madjid adalah mengupayakan modernisasi dengan tegas
dan jelas berlandaskan platform kemodernan yang berakar dalam keindonsiaan
dengan dilandasi keimanan. Sehingga dalam satu kesempatan diskusi dan
peluncuran buku Masa Lalu yang Membunuh Masa Depan: Krisis Agama
Pengetahuan dan Kekuasaan dalam Kebudayaan Teknokrasi karya Yudi Latief di
125 Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan
Islam Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002) hal. 127
81
Jakarta, Nurcholis Madjid sekali lagi mengingatkan, ketika bangsa gagal
memahami masa lalu, maka yang akan terjadi adalah kemiskinan intelektual.126
Oleh karena itu, berkaitan dengan upaya modernisasi pendidikan Indonesia,
terbuka peluang kembali untuk melirik lembaga pesantren sebagai institusi
pendidikan yang lahir dari budaya Indonesia yang asli.
Sistem pendidikan kolonial yang jauh berbeda dengan sistem pendidikan
pesantren sangat tidak tepat untuk dijadikan model bagi pendidikan masa depan
dalam rangka menyongsong Indonesia baru yang berdimensi keislaman,
keindonesiaan dan keilmuan. Sejak awal kemunculannya sistem pendidikan
kolonial hanya terpusat pada pengetahuan dan keterampilan dunawi yaitu
pendidikan umum.127
Komitmen Nurcholis Madjid dalam memodernisasi dunia pendidikan Islam
Indonesia adalah kemodernan yang dibangun dan berakar dari kultur Indonesia
serta dijiwai dengan semangat keimanan. Maka untuk merekonstruksi institusi
pendidikan tersebut perlu mempertimbangkan sistem pesantren yang
mempertahankan tradisi belajar kitab klasik ditunjang dengan upaya internalisasi
unsur keilmuan modern.Pesantren dijadikan sebagai moderl awal, sebab disamping
sebagai warisan budaya Indonesia, pesantren juga menyimpan potensi kekayaan
khazanah Islam klasik yang terletak pada tradisi belajar kitab kuningnya.
Pesantren diharapkan dapat memberikan responsi atas tuntutan era
mendatang yang meliputi dua aspek, universal dan nasional.Aspek universal yaitu
pengetahuan dan teknologi.Sedangkan dalam skala nasional yaitu pembangunan di
Indonesia.Pesantren dinilai mampu menciptakan dukungan sosial bagi
pembangunan yang sedang berjalan.Sebab, pembangunan adalah suatu usaha
perubahan sosial.Tujuannya adalah perbaikan dan peningkatan kehidupan secara
126 Jangan tinggalkan masa lalu 25 juni 99 127 Karel A Stenbrink, “Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun
Moderen” (Jakarta: LP3ES, 1986), hal. 24
82
keseluruhan.Meskipun urgensi awalnya adalah tersirat dalam semboyan “cukup
sandang, pangan dan papan” tetapi, kaitannya luas sekali, seperti masalah
perubahan sikap mental masyarakat dari agraris menjadi industri, pendiptaan
kesempatan kerja seimbang dengan pertumbuhan tenaga kerja yang ada, masalah
demografis, masalah motivasi, juga menyangkut kondisi sosial masyarakat.128
Atas dasar pertimbangan itu Nurcholis Madjid memikirkan bahwa
kemungkinan pola pesantren menjadi pola pendidikan nasional.Kemungkinan ini
diperbesar dengan munculnya anggapan bahwa sistem pendidikan yang kini secara
resmi berlaku adalah warisan pemerintah Belanda, sebab masih mengancung ciri-
ciri kolonial.Sistem pendidikan ini tentunya bukan pilihan yang tepat dan layak
diterapkan di bumi Indonesia.129
3) Keilmuan
Persoalan mendasar yang terjadi hampir merata di dunia pendidikan kaum
muslim kontemporer adalah terpisahnya lembaga-lembaga pendidikan yang
memiliki konsentrasi dan orientasi yang berbeda. Ada lembaga yang
menitikberatkan orientasinya pada “ilmu-ilmu modern” dan disisi lain ada lembaga
yang hanya memfokuskan diri pada “ilmu-ilmu tradisional”. Realitas kelembagaan
pendidikan ioni dikenal dengan dualisme pendidikan.
Modernisasi pendidikan yang digagas oleh Nurcholis Madjid pada
prinsipnya menghilangakan dualisme pendidikan tersebut.Kedua bentuk lembaga
itu sama-sama memiliki sisi positif yang patut dikembangkan dan juga memiliki
sisi negatif yang harus dibuang dan ditinggalkan. Usaha modernisasi Nurcholis
Madjid tertuju pada upaya untuk mengkompromikan kedua lembaga ini dengan
memadukan sisi baik antara keduanya, sehingga pada gilirannya akan melahirkan
128Karel A Stenbrink, “Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun
Moderen” (Jakarta: LP3ES, 1986), hal. 87 129Ibid, hal. 87
83
sistem pendidikan yang ideal. Nurcholis Madjid menyebutnya dengan sistem
pendidikan Indonesia menuju arah titik temu atau konvergensi.130
Upaya menghilangkan dualisme pendidikan tersebut tidak terlepas dari
usaha menghilangkan dikotomi keilmuan saat sekarang.Sebab, mengakarnya
paham dikotomi keilmuan amat berpengaruh pada dinamika umat Islam itu sendiri.
Pada masa kejayaan Islam, hampir tidak terlihat adanya dikotomi keilmuan antara
ilmu umum dan ilmu keislaman .perkembangan ilmu pengetahuan berjalan
demikian pesatnya, meliputi agama, bahasa, sejarah, aljabar, fisika, kedokteran, dan
lain-lain. Tokoh-tokoh seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Ikhwan Al-Shafa, dan lain-lain
menyadari bahwa kesempurnaan manusia hanya akan terwujud dengan penyerasian
antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu keislaman, sebagai satu bagian yang tak
terpisahkan dalam komponen keilmuan dalam Islam.
Dengan demikian, sistem pendidikan baru yang digagas Nurcholis Madjid
ini mengacu pada perpaduan kedua disiplin ilmu tersebut. Pemikiran Nurcholis
Madjid tersebut tertuju pada upaya untuk memasukkan kurikulum umum yang
selama ini diterapkan di dunia pendidikan umum ke dalam pendidikan Islam yang
memiliki kirukulum tersendiri, sehingga yang akan terjadi nantinya kombinasi dua
bentuk unsur keilmuan dalam skala utuh. Meskipungagasan ini masih terlihat belum
kongkrit sebab apakah mengacu pada sistem pendidikan terpadu dengan
menggunakan kurikulum penuh atau hanya sekedar memberikan label Islam
terhadap ilmu-ilmu umum, namun yang jelas obsesi Nurcholis Madjid adalah
dengan perpaduan kedua unsur keilmuan diharapkan lahir manusia-manusia yang
memiliki kekayaan intelektual, baik wawasan keislaman maupun wawasan
kekayaan sains modeern. Inilah yang menjadi sasaran dan tujuan pendidikan Islam
yang tercermin dalam penyusunan kurikulum.131
130 Nurcholis Madjid, “TradisiIslam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan
Indonesia”, (Jakarta: Paramadina, 1997) hal. 22 131 Jalaludin dan Utsman, “Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan
Perkembangan”,(Jakarta:Raja Grafindo, 2007)hal.43
84
Latar belakang munculnya gagasan memadukan unsur keilmuan dalam
modernisasi pendidikan Islam yang dilontarkan Nurcholis Madjid dapat dilihat dari
dua faktor.Pertama, berangkat dari ketidakpuasan yang berlebihan terhadap
lembaga pendidikan yang selama ini hanya bergerak di bidang “ilmu-ilmu
umum”.Pendidikan dalam bentuk ini akhirnya melahirkan tenaga-tenaga terampil
dalam disiplin keilmuan umum, bahkan tidak jarang menguasai iptek, namun
memiliki jiwa yang kosong dari nilai-nilai moral.Sehingga peradaban yang
diciptakan adalah peradaban yang tanpa dibarengi oleh nilai-nilai religius.
Disisi lain, munculnya ide dan gagasan ini tidak terlepas dari latar belakang
background pendidikan Nurcholis Madjid sendiri. Selaku seorang modernis yang
liberal, demokratis dan liberal, Nurcholis Madjid adalah produk dari dua sistem
pendidikan yang berbeda kutub.Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa sisi-
sisi kelebihan dan kekurangan pada kedua bentuk lembaga ini telah dirasakan
Nurcholis Madjid sebelumnya, sehingga sikap kekecewaan dan kritik yang
dilontarkannya adalah suatu refleksi dari pengalaman belajarnya.
Bila dilihat secara mendalam, kekecewaan Nurcholis Madjid di atas juga
merupakan tampilan atas kekurangan yang diperlihatkan oleh lembaga pendidikan
umum. Mereka yang telah menempuh jenjang ini pada gilirannya hanya melahirkan
pribadi yang pincang.Mereka mengklaim dirinya sebagai orang yang modern dan
maju ketika mereka menempuh jenjang pendidikan umum dan tidak pernah
berkenalan dengan Islam secara lebih komprehensif seperti yang terjadi pada orang
Turki.
Oleh sebab itu, konsep keterpaduan (keislaman, keindonesiaan, dan
keilmuan) diatas, merupakan solusi Nurcholis Madjid dalam rangka menyikapi
munculnya split personality, sebagai akibat dari tidak kompleksnya unsur keilmuan
dalam pendidikan. Konsep tersebut pada dasarnya juga merupakan usaha untuk
mengkompromikan sistem pendidikan modern dengan sistem pendidikan
tradisional.
85
Sebaliknya, Nurcholis Madjid nampaknya juga menaruh kekecewaan yang
amat mendalam pada golongan Islam tradisionalis yang masih melestarikan
semangat non-kooperatif masa lalu terhadap kaum kolonial. Masih mengakarnya
semangat ini dapat dilihat dari sikap kaum tradisionalis yang tidak menyetujui
bahkan sama sekali tidak dapat menerima hal-hal yang beru atau ilmu-ilmu modern.
Sikap mereka ini berimplikasi terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam
tradisional yang berada dibawah naungan mereka. Segala yang berbau modern
masih diklaim sebagain warisan kaum kolonial, sehingga kurikulum yang
dipergunakan sama sekali terlepas dari ilmu-ilmu modern tersebut. Padahal sikap
memusuhi hal-hal baru di masa lalu itu sendiri, menurut Nurcholis Madjid adalah
faktor psikologi politik semata.
Akhirnya, rumusan tentang konsep keterpaduan di atas menuntut usaha
yang serius untuk merealisasikannya dalam dunia pendidikan Islam
Indonesia.Walaupun secara eksplisit Nurchlis Madjid tidak menyebutkan menata
suatu administrasi pendidikan yang rapi, namun munculnya ide membangun suatu
konsep pendidikan alternatif sebagai titik temu atau konvergensi dari dualisme
pendidikan yang ada mengharuskan penataan secara administratif.
Nurcholis Madjid dalam hali ini mengisyaratkan bahwa untuk menopang
penataan dan pembenahan sistem pendidikan pesantren dituntut keseriusan dalam
penggarapan yang diikuti dengan kejelasan program, penggunaan metode yang
komprehensif, kecakapan pelaksanaan, dan kelengkapan sasarannya.132
Konsep yang dilontarkan Nurcholis Madjid tersebut paling tidak menuntut
suatu ketegasan sikap bahwa mengadopsi ilmu pengetahuan modern itu amat
diperlukan pada saat ini. Sebab pada gilirannya usaha ini akan menumbuhkan sikap
kompromistis umat Islam terhadap dikotomi keilmuan yang ada dengan jalan
menghilangkan sikap mental yang memusuhi sains modern, sebagai pengaruh dari
132 Nurcholis Madjid, “Bilik-bilik Pesantren”, (Jakarta: Paramadina, 1997) hal. 13
86
sikap non-kooperatif masa lampau, ini diharapkan lahirnya output pendidikan yang
liberal, dengan sendirinya dapat mengubah orientasi pendidikan Islam.
Konsep modernisasi pendidikan lebih mengedepankan aspek keterpaduan
ketiga dimensi di atas dengan landasan historis dan filosofisnya.Dalam paradigma
pemikiran Nurcholis Madjid, landasan modernisasi pendidikan Islam berangkat
dari khasanah kejayaan masa Islam klasik.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kondisi objektif pesantren menurut Nurcholis Madjid kurang memiliki peranan
dalam merespon perkembangan zaman karena sistem pendidikan pesantren
tradisional hanya menitikberatkan kepada pengajaran agama saja. Menurut
Nurcholis Madjid kondisi tersebut amat terbelakang dan tertinggal sehingga
tidak mampu menjawab berbagai tantangan zaman. Sehingga pesantren kurang
87
dapat mengikuti arus perkembangan jaman sebab pada jaman sekarang ini
diperlukan generasi-generasi muda yang cakap akan pemahaman terhadap ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sementara, pendidikan pesantren yang berkembang
di Indonesia masih ditemukan sikap antipati terhadap perkembangan jaman.
Nurcholis Madjid menganggap bahwa pesantren jangan menutup diri dari arus
perkembangan jaman dan tidak mendikotomikan antara ilmu-ilmu agama dan
ilmu umum, keduanya harus berjalan beriringan.
2. Ide-ide Nurcholis Madjid dalam modernisasi pendidikan pesantren terletak
pada kurikulum yang digunakan belum seutuhnya mewakili kebutuhan
masyarakat pada umumnya. Belum adanya integrasi antara ilmu agama dengan
ilmu umum. Keduanya adalah hal yang saling berkaitan, akan sangat saling
melengkapi manakala pemahaman ilmu agama dilengkapi dengan pemahaman
ilmu pengetahuan umum, sehingga keduanya merupakan satu kesatuan yang tak
bisa terpisahkan. Kurikulum pesantren yang di gagas oleh Nurcholis Madjid
adalah bagaimana pesantren meniadakan jurang pemisah antara ilmu
pengetahuan agama dengan ilmu pengetahuan umum. Iklim pembelajaran yang
efektif dan sesuai dengan karakteristik manusia pada umumnya adalah
menciptakan suasana belajar yang interaktif dimana murid dapat dengan leluasa
mengekspresikan pendapatnya sehingga para murid di pesantren memiliki daya
nalar kritis. Juga yang menjadi perhatian Nurcholis Madjid dalam tata kelola
pesantren dalam struktural dan manajerial pesantren, pesantren diharapkan
tidak terpaku kepada satu figure hendaknya menyusun divisi-divisi yang
mendukung kegiatan dan perkembangan para santri seperti divisi pengajaran,
pengasuhan, kesehatan, teknologi informasi, tata usaha dan ekstrakurikuler
santri. Dan dalam menyiapkan sarana dan prasarana pesantren perlu melakukan
perbaikan sarana dan prasarana untuk para santri yang memadai dan memenuhi
aspek kebersihan, keteraturan, lengkap dan terintegrasi.
3. Pesantren menurut Nurcholis Madjid merupakan produk asli Indonesia yang
tidak dimiliki Negara lainnya itulah nilai lebih pesantren, sehingga
pembaharuan-pembaharuan dalam pendidikan pesantren harus terus dilakukan
88
dengan tetap merawat tradisi-tradisi khas pesantren dan merespon modernisasi
dunia global.
B. Saran-saran
Berdasarkan temuan tersebut disarankan:
1. Kepada para peneliti hendaknya mengkaji lebih dalam gagasan-gagasan
Nurcholis Madjid dalam hal yang lain, yang menimbulkan stigma negative di
masyarakat luas agar mengerti landasan filosofis gagasan-gagasannya.
2. Kepada para praktisi pendidikan agar dapat membuka terhadap perkembangan
jaman dan selalu memperbaharui kemampuan dan pengetahuan sesuai dengan
perkembangan jaman.
3. Kepada pesantren harus dapat mempertahankan tradisi-tradisi yang baik, dan
mengambil aspek-aspek modernisasi yang lebih baik lagi. Dan tidak menutup
diri dari perkembangan jaman. Menggunakan metodologi pembelajaran aktif
pada santri dan membekali mereka dengan banyak ragam keilmuan baik
pengetahuan umum maupun teknologi. Juga selektif mencermati gagasan
Nurcholis Madjid tersebut karena pastinya ada beberapa hal yang memang
masih relevan dan sudah tidak relevan lagi, mengingat gagasan ini lahir pada
decade 70-80-an.
C. Kata Penutup
Berkat rahmat dan pertolongan Allah SWT penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.Penelitian tentang gagasan Nurcholis Madjid yang berkaitan dengan
modernisasi pendidikan pesantren ini masih jauh dari kata sempurna.Karena
penelitian ini hanya menitik beratkan kepada pemikiran Nurcholsi Madjid dalam
pembaharuan pendidikan pesantren saja yang masuk dalam kategori sejarah
pemikiran pendidikan Islam Indonesia dengan metode liblary research yaitu dengan
penilitian dari karya-karya Nurcholis Madjid dan karya pendukung lainnya dengan
kajian pustaka. Mengingat pesantren merupakan lembaga pendidikan yang
89
mengandung banyak aspek didalamnya seperti secara sosiologis, historis dan lain
sebagainya yang perlu kajian lebih komprehensif.
Kajian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan tentang
sejarah perkembangan pemikiran pendidikan Islam Indonesia, dan mencoba
mengingatkan bahwa Indonesia pernah memiliki tokoh yang banyak memberikan
gagasan baru dalam sistem pendidikan pesantren, sehingga kedepan kita sebagai
penerus bangsa terus berupaya memperkaya diri dengan berbagai pengetahuan dan
mengaplikasikannya dalam kehidpan sehari-hari demi menciptakan kemaslahatan
bagi seluruh umat manusia.
Dengan hadirnya skripsi ini diharapkan dunia pesantren bisa terus
berkembang dan memberikan kontribusi demi kemajuan bangsa Indonesia
khususnya dan untuk dunia global pada umumnya dengan tetap mempertahankan
jati dirinya sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia tetapi memberikan banyak
pengaruh bagi perkembangan dunia sehingga dapat terwujudnya Islam rahmatan
lil alamiin.
DAFTAR PUSTAKA
AF, Ahmad Gaus.Api Islam: Nurcholis Madjid Jalan Menuju Hidup Seorang
Visioner, Jakarta: Kompas, 2010.
Arief, Armai.Pesantren di Tengah Modernisasi dan Perubahan Sosial Jakarta:
CRSD PRESS, 2005.
Arief, Armai.Reformulasi Pendidikan Islam. Jakarta: CRSD, 2005.
Artikel Nurcholis madjid, yang di bukukan oleh Jakarta:LP3S, 1998
90
Azra, Azyumardi.Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998.
Baharuddin. Dikotomi Pendidikan Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.
Bawani, Imam.Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam. Surabaya: al ikhlas 1993.
Bernadib, Imam.Filsafat Pendidikan (Sistem dan Metode). Yogyakarta: Andi
Offset, 1997.
Buchori, Mochtar.Spektrum Problematika Pendidikan Islam di Indonesia.
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1994.
Chalid, Ndan Abu Ahcmadi.Metodologi Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Dahri, Harapandi.Modernisasi Pesantren, Jakarta: Balai Penelitian dan
Pengembangan Agama
Dhofier. Zamakhsyari. Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai.
Jakarta: LP3ES, 1985.
Fadjar Ahmad Malik. Madrasah dan Tantangan Modernitas, Bogor: Mizan, 1999.
Haedari ,Amin.Transformasi Pesantren. Jakarta: Lekdis dan Media Nusantara,
2006.
Ismail SM., dkk.Paradigma Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Pelajar, 2001.
Ismail, Faisal.Paradigma Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997.
Jalaludin dan Utsman. Filsafat pendidikan islam konsep dan perkembangan.
Jakarta:Raja Grafindo, 2007.
Jamali.Kaum Santri dan Tantangan Kontemporer.Bandung: Pustaka Hidayah. 2012
Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya 2014
91
Kurniawan, Syamsul. Pemikiran Pendidikan Islam Soekarno. Jakarta: Samudra
Biru, 2016.
Madjid, Nurcholis.Bilik-bilik pesantren. Jakarta: Paramadina, 1997.
_______________Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan Jakarta:
Paramadina, 1998.
_______________ Islam doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1995.
_______________ Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta: Paramadina,1997.
_______________ TradisiIslam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan
Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1997.
Mahmud. Model-model Pembelajaran di Pesantren. Tangerang: Mitra Fajar
Indonesia, 2006.
Mastuhu. Dinamika Sisten Pendidikan Pesantren. Jakarta: Langit Biru, 1994
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya,
1994.
Mustajab. Masa Depan Pesantren Telaah atas Model Kepemimpinan dan
Manajemen Pesantren Salaf. Yogyakarta: LKiS 2015.
Nafi M, Dian dkk. Praksis Pembelajaran Pesantren,Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi
Aksara, 2007.
Nafis, Wahyuni. Pesantren Daar el Qolam, Menjawab Tantangan Zaman.
Tangerang: Daar el Qolam Press 2008.
Nasution, Harun.Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
Jakarta: Bulan Bintang, 1982.
92
Nata, Abuddin.Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta: UIN Jakarta Press,
2003
_______________ Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran,Jakarta:
Kencana Predana Media Group, 2014
_______________ Tokoh-tokoh pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia,Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
. Inovasi Pendidikan Islam, Jakarta: Salemba Diniyah, 2016.
Qomar, Mujamil. Pesantren : Dari Transformasi Metodologi menuju
Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga, 2008.
Saridjo, Marwan. Cak Nur: diantara Sarung dan Dasi. Jakarta: Yayasan Ngali
Aksara, 2005.
Siradj, Said Aqil dkk.Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan dan
Transformasi Pesantren. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.
Soebahar, Abdul Halim.Modernisasi Pesantren. LKiS: Yogyakarta, 2013.
Soekanto, Soejono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1996.
Stenbrink, Karel.Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun
Moderen. Jakarta: LP3ES, 1986.
Sudijono, Anas.Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2008.
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif Kualitatif, dan
R&D. Bandung: CV. Alfabeta, 2008.
Sukmadinata, Nana Syaodih.Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2007.
93
Sutrisno. Pendidikan Islam di Era Peradaban Modern. Yogyakarta: Perpustakaan
Nasional, 2015.
Susanto, A. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah, 2009
Tafsir Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2002.
Thoha, Zainal Arifin.Runtuhnya Singgasana Kyai. Yogyakarta: Kutub, 2003.
Wahid, Abdurrahman.Benarkah Kyai Membawa Perubahan Social? Pengantar
dari buku kyai dan perubahan social, 1987.
_______________ Menggerakan Tradisi: Esei-esei Pesantren, Yogyakarta:
LKiS, 2001.
Yasmadi. Modernisasi Pesantren: kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan
Islam Tradisional. Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Yunus, Mahmud.Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber
Widya, 1962.
Zarkasyi, Abdullah Syukri.Gontor dan Pembaharuan Pendidikan
PesantrenJakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
17
Dari penjabaran diatas diketahui bahwa modernisasi adalah suatu gagasan menuju
penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi pada masa kini.Usaha tersebut merupakan langkah
penyesuaian terhadap perubahan sosial masyarakat, teknologi, sains dsb. Agar terbentuknya
situasi yang kekinian dan semua aspek dapat berjalan sebagaimana perkembangan yang terus dan
akan selalu terjadi.
Kata modern dalam bahasa Indonesia selalu dipakai kata modern, modernisasi, modernisme seperti “aliran modern dalam Islam” begitu juga “Islam dan Modernisasi”. Modernisme pada
masyarakat barat mengandung arti pikiran, aliran, adat istiadat institusi-institusi lama, dan
sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern.Kata modern berasal dari kata modoyang berarti barusan. Bisa
juga diartikan sikap dan cara berfikir, serta bertindak sesuai dengan tuntutan zaman, sedangkan
modernisasi diartikan sebagai proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat
untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan masa kini.1
Menurut Abuddin Nata, modern diartikan sebagai yang terbaru atau mutakhir.
Selanjutnya kata modern erat kaitannya dengan kata modernisasi yang berarti pembaharuan atau
tajdiddalam Bahasa Arab.Modernisasi mengandung pengertian, pikiran, aliran, gerakan dan
usaha-usaha untuk mengubah pola, paham, institusi dan adat untuk disesuaikan dengan suasana
baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam Islam, modernisasi
seringkali juga berarti upaya sungguh-sungguh untuk melakukan reinterpretasi terhadap
pemahaman, pemikiran, dan pendapat tentang masalah ke-Islaman yang dilakukan oleh pemikir
terdahulu untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman. Selanjutnya aspek yang dihasilkan
oleh modernisasi disebut modernitas.2
1 Harapandi, Modernisasi Pesantren ....hal. 72
18
a. Syarat-syarat Modernisasi
Modernisasi tidak sama dengan reformasi yang menekankan pada faktor-faktor
rehabilitasi. Modernisasi bersifat preventif dan konstruktif dan agar proses tersebut tidak
mengarah pada angan-angan sebaliknya modernisasi harus dapat memproyeksikan kecenderungan
yang ada dalam masyarakat yang digagas oleh Soerjono Soekanto memiliki beberapa syarat yaitu:
1) Cara berfikir yang ilmiah (scientifik thinking)
2) Sistem administrasi yang baik, yang benar – benar mewujudkan birokrasi.
3) Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teraturdan terpusat.
4) Pendiptaan iklim yang favourable dari masyarakat terhadap modernisasi dengan cara
penggunaan alat-alat komunikasi massa.
5) Tingkat organisasi yang tinggi.
6) Sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan perencanaan sosial.3
Apabila dibedakan menurut asal faktornya, maka faktor-faktor yang mempengaruhi
modernisasi pesantren dapat dibedakan atas faktor internal dan eksternal.
a) Faktor-faktor internal, merupakan faktor-faktor perubahan yang berasal dari dalam
masyarakat, misalnya :
(1) Perubahan aspek demografi (bertambah dan berkurangnya penduduk),
(2) Konflik antar-kelompok dalam masyarakat,
(3) Terjadinya gerakan sosial dan
(4) Penemuan-penemuan baru, yang meliputi (a) discovery, atau penemuan ide/alat/hal baru
yang belum pernah ditemukan sebelumnya (b) invention,, penyempurnaan penemuan-
penemuan pada discovery oleh individu, dan (c) inovation, yaitu diterapkannya ide-ide
baru atau alat-alat yang telah ada.
a. Faktor-faktor eksternal, atau faktor-faktor yang berasal dari luar masyarakat, dapat
berupa:
(1) Pengaruh kebudayaan masyarakat lain, yang meliputi proses-proses difusi (penyebaran unsur
kebudayaan), akulturasi (kontak kebudayaan), dan asimilasi (perkawinan budaya),
(2) Perang dengan negara atau masyarakat lain, dan
(3) Perubahan lingkungan alam.
3 Soejono Soekanto, “Sosiologi Suatu Pengantar”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996). Cet.
XXII. Hal. 386-387.
19
Sedangkan dilihat dari faktor-faktor modernisasi pesantren menurut jenisnya dapat
dibesakan antara faktor-faktor yang bersifat material dan yang bersifat immaterial.
b) Faktor-faktor yang bersifat material, meliputi:
(1) Perubahan lingkungan alam,
(2) Perubahan kondisi fisik-biologis, dan
(3) Alat-alat dan teknologi baru, khususnya Teknologi Informasi dan Komunikasi.
c) Faktor-faktor yang bersifat immaterial, meliputi:
(1) Ilmu Pengetahuan, dan
(2) Ide-ide atau pemikiran baru, ideologi, dan nilai-nilai lain yang hidup dalam masyarakat.4
Sedangkan modernisasi pendidikan dilakukan dengan maksud menuju pendidikan yang
berorientasikan kualitas, kompetensi, dan skill. Artinya yang terpenting ke depan bukan lagi
memberantas buta huruf, lebih dari itu membekali manusia terdidik agar dapat berpartisipasi dalam
persaingan global juga harus dikedepankan. Berkenaan dengan itu, standar mutu yang berkembang di
masyarakat adalah tingkat keberhasilanlulusan sebuah lembaga pendidikan dalam mengikuti
kompetisi pasar global.
Dalam firman Allah :
م حتى یغیروا ما بأنفسھم لھ معقباـث من بین یدیھ ومن خلفھ یحفظونھ من أمر اہلل إن اہلل الیغیر ما بقو
Artinya:
“Bagi Manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, dimuka dan
dibelakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan
yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’du 13:11)
Ayat ini berbicara tentang dua macam perubahan dengan dua pelaku.Pertama, perubahan
masyarakat yang pelakunya adalah Allah SWT.Dan kedua, perubahan keadaan diri manusia dan
pelakunya adalah manusia.Perubahan yang dilakukan Tuhan terjadi secara pasti melalui hokum-
20
hukum masyarakat yang ditetapkan. Hukum-hukum tersebut tidak memilih atau membedakan antara
satu masyarakat atau kelompok dengan masyarakat atau kelompok lain.5
A. Sistem Pendidikan Pesantren
1. Pesantren sebagai Sebuah Sistem
Sistem Pendidikan Pesantren Sistem adalah seperangkat peraturan, prinsip, tata nilai dan
sebagainya yang digolongkan atau di susun dalam bentuk yang teratur untuk mewujudkan rencana
logis yang berhubungan dengan berbagai bagian dan membentuk satu kesatuan.6
Menurut terminologi ilmu pendidikan, sistem dapat diartikan sebagai “suatu keseluruhan
yang tersusun dari bagian-bagian yang bekerja sendiri-sendiri (independent)” atau bekerja
bersama-sama untuk mencapai hasil tujuan yuang diinginkan berdasarkan kebutuhan.” Masa awal
perkembangan Islam ditandai oleh munculnya lembaga pendidikan informal di rumah sahabat
arqam, dan pada saat yang sama telah ada kuttab, kemudian muncul masjid, dan baru madrasah.
Namun, di luar jenis pendidikan ini didapatkan berbagai lembaga pendidikan lain misalnya
zawiyah, ribat dan khanqah(sebagai lembaga lembaga sufi), atau halaqat al-dzikir, bayt al-hikmah,
dar al-hikmah, al-Muntadiyat, Hawanin, klinik observatori, perpustakaan, dan lain sebagainya.7
Sistem pendidikan Islam khususnya tradisional memiliki ragam nama yang berbeda-beda
namun pada hakikatnya tetap sama, yaitu lembaga pendidikan Islam yang mengkaji dan
mendalami ajaran-ajaran ke-Islaman. Pondok pesantren merupakan dua istilah yang menunjukan
kepada satu pengertian.Suku jawa biasanya menggunakan sebutan pondok/pesantren dan sering
menyebutnya sebagai pondok pesantren, di Sumatra barat disebut Surau, sedang di Aceh disebut
meunasah, rangkang dan dayah.Namun yang menjadi fokus kajian penelitian penulis di sini adalah
pesantren tradisional sebagai pembeda denganpesantren modern.8
Keadaan pendidikan Islam dengan segala kebijaksanaan pemerintah pada zaman Orde
Lama. Pada akhir Orde Lama tahun 1965 lahir semacam kesadaran baru bagi ummat Islam, di
mana timbulnya minat yang mendalam terhadap masalah-masalah pendidikan yang dimaksudkan
5Quraish Shihab, “Membumikan Al-Qur’an”(Jakarta: Mizan, 1992) hal. 246 6Nurcholis Madjid “Bilik-bilik pesantren Sebuah Potret Perjalanan” (Jakarta: Paramadina, 1997) hal.87-
88
7Abdullah Syukri Zarkasyi “Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren” (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005)” hal. 29
8Zamakhsyari Dhofier. “Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai”,(Jakarta: LP3ES, 1985) hal 20-21
21
untuk memperkuat ummat Islam, sehingga sejumlah organisasi Islam dapat dimantapkan. Dalam
hubungan ini Kementrian Agama telah mencanangkan rencana-rencana program pendidikan yang
akan dilaksanakan dengan menunjukkan jenis-jenis pendidikan serta pengajaran Islam sebagai
berikut :
a. Pesantren Indonesia Klasik, semacam sekolah swasta keagamaan yang menyediakan asrama,
yang sejauh mungkin memberikan pendidikan yang bersifat pribadi, sebelumnya terbatas pada
pengajaran keagamaan serta pelaksanaan ibadah. Baik guru maupun muridnya, merupakan
suatu masyarakat yang hidup serta bekerja sama, mengajarkan tanah milik pesantren agar dapat
memenuhi kebutuhan sendiri.
b. Madrasah Diniyah, yaitu sekolah-sekolah yang memberikan pengajaran pada murid sekolah
negeri yang berusia 7 sampai 20 tahun. Pelajaran berlangsung di dalam kelas, kira-kira 10 jam
seminggu, di waktu sore, pada Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah (4 tahun pada Sekolah
Dasar dan 3 sampai 6 tahun pada Sekolah Menengah). Setelah menyelesaikan Pendidikan
menengah negeri, murid-murid ini akan dapat diterima pada pendidikan agama tingkat
akademi.
c. Madrasah-madrasah swasta, yaitu pesantren yang dikelola secara modern, yang bersamaan
dengan pengajaran agama juga dibrikan pelajaran umum. Biasanya tujuannya adalah
menyediakan 60%-65% dari jadwal waktu untuk mata pelajaran umum, dan 35%-450% untuk
mata pelajaran agama.
d. Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), yaitu Sekolah Dasar Negeri enam tahun, di mana
perbandingan umum kira-kira 1:2. Pendidikan selanjutnya dapat diikuti pada MTsN, atau
(sekolah tambahan tahun ketujuh) murid-murid dapat mengikuti pendidikan ketrampilan,
misalnya Pendidikan Guru Agama untuk Sekolah Dasar Negeri,setelahnya dapat diikuti latihan
lanjutan dua tahun untuk menyelesaikan Kursus Guru Agama untuk Sekolah Menengah.
e. Suatu percobaan baru telah di tambahkan pada Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 6 tahun,
dengan menambahkan kursus selama dua tahun, yang memberikan latihan ketrampilan
sederhana. MIN 8 tahun ini merupakan pendidikan lengkap bagi para murid yang biasanya
akan kembali ke kampungnya masing-masing.
22
f. Pendidikan Teologi tertinggi, pada tingkat Universitas diberikan sejak tahun 1960 pada
IAIN, IAIN ini dimulai dengan dua bagian atau dua fakultas di Yogyakarta dan dua
Fakultas di Jakarta.9
Secara global menurut Abdurrahman Wahid, pendidikan tradisional yakni pondok
pesantren memiliki kelebihan-kelebihan tersendiri, di samping kelemahan-kelemahan
sebagaimana lazimnya institusi kehidupan.Diantara kelebihan tersebut adalah :
a. Kemampuan menciptakan sebuah sikap hidup universal yang merata yang diikuti oleh semua
warga pesantren sendiri dilandasi oleh tata nilai
b. Kemampuan memelihara subkulturnya yang unik.
Sedangkan kelemahan- kelemahannya antara lain:
a. Tidak adanya perencanaan terperinci dan rasional atas jalannya pendidikan itu sendiri
b. Tidak adanya keharusan untuk membuat kurikulum
c. Hampir tidak ada perbedaan yang jelas antara yang benar-benar diperlukan dengan yang tidak
diperlukan bagi suatu tingkat pendidikan, sehingga tidak ada sebuah filsafat pendidikan yang
lengkap dan jelas.10
Sistem yang ditampilkan pondok pesantren menurut Hasbullah mempunyai keunikan
dibandingkan dengan sistem yang diterapkan dalam pendidikan pada umumnya, yaitu:
a. Memakai sistem tradisional yang mempunyai kebebasan penuh di bandingkan dengan
sekolah modern, sehingga terjadi hubungan dua arah antara santri dan kiai.
b. Kehidupan di pesantren menampakkan semangat demokrasi karena mereka praktis bekerja
sama mengatasi problem nonkurikuler mereka.
c. Para santri tidak mengidap penyakit simbolis, yaitu perolehan gelar dan ijazah, karena
sebagian besar pesantren tidak mengeluarkan ijazah, sedangkan santri dengan ketulusan
hatinya masuk pesantren tanpa adanya ijazah tersebut. Hal itu karena tujuan utama mereka
hanya ingin mencari keridlaan Allah SWT semata.
9Mahmud Yunus, “Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia”, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1962) hal.
312 10Abdurrahman Wahid, “Menggerakan Tradisi: Esei-esei Pesantren”, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hal. 21
23
d. Sistem pesantren mengutamakan kesederhanaan, idealisme persaudaraan, persamaan, percaya
diri dan keberanian hidup. Alumni pondok pesantren tidak ingin menduduki jabatan
pemerintah, sehingga mereka hampir tidak dapat dikuasai oleh pemerintah11
2. Unsur-unsur Pesantren
Keunikan pesantren itu memang tidak hanya dalam pendekatan pembelajarannya, tetapi
juga unik dalam pandangan hidup (world view) dan tata nilai yang dianut Begitu pula sebuah
lembaga pendidikan dapat disebut sebagai pondok pesantren apabila didalamnyaterdapat
sedikitnya lima unsur, yaitu :
a. Kiai
Kyai memiliki peran yang paling essensial dalam pendirian, pertumbuhan dan
perkembangan pesantren.Sebagai pemimpin pesantren, keberhasilan pesantren banyak bergantung
pada keahlian dan kedalaman ilmu, karisma dan wibawa, serta keterampilan kyai. Dalam konteks
ini, pribadi kyai sangat menentukan, sebab ia adalah tokoh sentrral dalam pesantren12.
Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu: 1.
Sebagai gelar kehormatan bagi barang yang dianggap keramat; contohnya, “Kyai Garuda
Kencana” dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di keraton Yogyakarta; 2. Gelar kehormatan
bagi orang tu pada umumnya; 3. Gelar yang diberikan masyarakat kepada orang ahli agama Islam
yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab kuning kepada
santrinya.13
b. Santri
Merupakan peserta didik atau objek pendidikan, tetapi di beberapa pesantren, santri yang
memiliki kelebihan potensi intelektual (santri senior) sekaligus merangkap tugas mengajar santri-
santri yunior.Santri memiliki kebiasaan-kebiasaan tertentu.“Santri memberikan penghormatan
yang kadang berlebihan kepada kyainya.Kebiasaan ini menjadikan santri besikap pasif karena
khawatir kehilangan barokah.Kekhawatiran ini menjadi salah satu sikap yang khas pada santri dan
11Ibid, hal. 15
12 Zamaksyari Dhofier, “Tradisi Pesantren Studi Tentang Sebuah Pandangan Hidup Kyai” (Jakarta: LP3S) hal. 47
13Ibid, hal. 63
24
cukup membedakan dengan kebiasaan yang dilakukan oleh siswa-siswi sekolah maupun siswa
siswi lembaga kursus.14
c. Pengajian
Metode pembelajaran di pesantren ada yang bersifat tradisional dan modern.Tradisional
adalah metode pembelajaran yang diselenggarakan menurut kebiasaan-kebiasaan yang telah lama
dipergunakan pada institusi pesantren atau metode pembelajaran asli pesantren.Sedang metode
pembelajaran modern merupakan metode pembelajaran hasil pembeharuan kalangan pesantren
dengan mengadopsi metode-metode yang berkembang di masyarakat modern.15
d. Asrama dan Masjid
Masjid merupkan elemen yang tidak dapat dipisahkan dari pesantren dan dianggap sebagai
tempat yang paling tepat untuk mendidik santri, terutama dalam praktik sembahyang Jum’at, dan
pengajaran kitab-kitab Islam klasik.16Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi
pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan
kata lain, kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat di Qubba didirikan dekat
Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW tetap terpancar dalam sistem pesantren. Sejak zaman
Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam.17
Senada dengan yang disebutkan diatas, Prof. Dr. Abdul Halim Soebahar berpendapat
bahwa pesantren memiliki lima komponen utama, yaitu, kyai, santri, musholla/langgar/masjid,
pengajian kitab-kitab Islam klasik dan pondok/asrama. Lembaga pesantren juga menganut sistem
pengajaran sorogan, bandongan dan weton dengan materi pelajaran agama.18
Demikian juga pondok pesantren memiliki tata hubungan yang khas dalam kependidikan
dan kemasyarakatan, yaitu:
1) Hubungan yang dekat antara kiai dan santri
2) Ketaatan santri yang tinggi kepada kiai
3) Hidup hemat dan sederhana
4) Tingginya semangat kemandirian para santri
5) Berkembangnya suasana persaudaraan dan tolong menolong
14Mujamil Qomar, “Pesantren : Dari Transformasi Metodologi menuju Demokratisasi Institusi” (Jakarta:
Erlangga) hal. 20 15 Mahmud, “ Model-model Pembelajaran di Pesantren”..... hal. 50 16 Zamakhsyari Dhofier, “Tradisi Pesantren” 17Ibidhal.85 18Abdul Halim Soebahar, Modernisasi Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2013) hal. 47
25
6) Kuatnya semangat mencapai cita-cita
7) Tertanamnya sikap disiplin dan istiqomah.19
Pendidikan Islam memiliki makna sentral dan berarti proses pencerdasan secara utuh,
dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia akhirat, atau keseimbangan materi religious-spritual.
Pangkal dari pengertian ini adalah, sesungguhnya Islam tidak mengenal dikotomi ilmu agama dan
sains (umum).Selama membawa kebahagiaan dunia dan akhirat maka termasuk pendidikan Islam.
Secara umum pendidikan Islam dapat dipahami beberapa pendapat, antara lain :
1) Pendidikan agama yaitu usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu siswa
agar mereka hidup sesuai norma agama.20
2) Pendidikan agama sesungguhnya adalah pendidikan untuk pertumbuhan total seorang siswa.
3) Menurut Ahmad Tafsir, pendidikan Islam ialah bimbingan yang diberikan oleh seseorang
kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.21
Adapun landasan dasar pendidikan agama Islam yang utama terdiri atas tiga macam :
1) Al-Qur’an
Sebagai kitab undang-undang hujjah dan petunjuk yang sudah layak di dalamnya
mengandung banyak hal yang meliputi segenap kehidupan manusia.
2) As-Sunah
Rasulullah telah meletakkan dasar-dasar pendidikan Islam semenjak dia diangkat menjadi
utuan Allah. Dia telah mengajarkan bagaimana cara membaca, menghafal dan memahami kitab
suci Al-Qur’an beserta pengalamannya.
3) Ijtihad
Ijtihad sebagai landasan dasar pendidikan Islam, dimaksudkan sebagai usaha-usaha
pemahaman yang serius dari kaum muslim terhadap Al-Qur’an dan As-Sunah sehingga
memunculkan kreatifitas yang cemerlang di bidang kependidikan Islam, atau bahkanadanya
tantangan zaman dan desakan kebutuhan sehingga melahirkan ide-ide fungsional yang gemilang.
19 Ibid,hal. 29
20 Ismail SM., dkk.,“Paradigma Pendidikan Islam”, (Semarang: Pustaka Pelajar, 2001), hal.17. 21 Ahmad Tafsir, “Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam”, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002),
hal. 32.
26
Seperti halnya dari level pengajaran Al-Qur’an muncul beberapa metode yang brilian
sehingga dapat dipelajari lebih cepat dan akurat, kemudian dari ilmu tata bahasa, Imam Sibawai
telah dapat menelurkan ilmu nahwu yang terambil dari kitab suci Al-Qur’an yang sudah lazim
dikaji di podok pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya. tantangan zaman dan
desakan kebutuhan sehingga melahirkan ide-ide fungsional yang gemilang. Seperti halnya dari
level pengajaran Al-Qur’an muncul beberapa metode yang Brilian sehingga dapat dipelajari lebih
cepat dan akurat, kemudian dari ilmu tata bahasa, Imam Sibawai telah dapat menelurkan ilmu
nahwu yang terambil dari kitab suci Al-Qur’an yang sudah lazim dikaji di podok pesantren dan
lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya.
3. Pola Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren
Secara umum, pesantren dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni: pesantren salaf atau
tradisional, pesantren khalaf atau modern, dan pesantren kombinasi. Sebuah pesantren disebut
salaf jika kegiatan pendidikannya semata-mata didasarkan pada pola-pola pengajaran klasik.
Maksudnya, berupa pengajian kitab kuning ddengan metode pembelajaran tradisional. Materi yang
dipelajari juga hanya tentang pendalaman agama Islam melalui kitab-kitab salafi (kitab kuning).22
Sistem pendidikan pada pesantren salag (tradisional) bertumpu pada seorang tokoh yaitu
kyai. Kyai lah yang menjadi tonggak berjalannya sistem yang ada pada pesantren ini, mulai dari
manajemen, pengajaran, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan santri dsb. Tanpa adanya seorang kyai
pada pesantren salaf maka sistem pendidikan di pesantren tidak akan berjalan dengan baik.
Pesantren khalaf atau modern adalah pesantren yang selain bermateri utamakan pendalaman
agama Islam (tafaqquh fiddiin), tapi juga memasukkan unsur-unsur modern, seperti penggunaan
sistem klasikal atau sekolah dan pembelajaran ilmu-ilmu umum dalam muatan kurikulumnya.23
Pesantren khalaf (modern) pada dasarnya memiliki visi yang sama yaitu tafaqquh di al diin.
Hanya saja perbedaannya terletak pada muatan yang diajarkan, pesantren khalaf menyisipkan juga
pengetahuan-pengetahuan umum seperti ilmu matematika, pengetahuan alam, pengetahuan sosial
dan seni budaya. Muatan yang ditampilkan pesantren khalaf terlihat lebih komprehensif tidak
hanya ilmu agama yang diajarkan tetapi juga ilmu umum. Hal tersebut terjadi karna para pendiri
pesantren khalaf menganggap semua ilmu memiliki peranan yang penting. Meskipun tetap ilmu
agamalah yang merupakan pondasi terpenting, hal tersebut merupakan upayan menyeimbangkan
22 Mahmud, “Model-model Pembelajaran di Pesantren”, (Tangeran: Media Nusantara, 2005)hal. 16 23Ibid hal. 17
27
kebutuhan duniawi dengan ukhrowi. Dalam manajemennya pun pesantren khalaf memiliki
perbedaan yang signifikan dengan pesantren salaf, yaitu manajemen yang lebih teratur dengan
tidak menjadikan kyai sebagai tonggak utama pesantren. Sehingga sistem pesantren dapat tetap
berjalan tanpa harus kyai yang melaksanakan semua tugas, sebab kepengurusan pesantren khalaf
telah memiliki struktur organisasi dan setiap unit dapat melaksanakan tugasnya masing-masing.
Sedangkan pesantren kombinasi merupakan merupakan gabungan keduanya. Artinya, antara
pola pendidikan modern sistem madrasi/sekolah dan pembelajaran ilmu-ilmu umum
dikombinasikan dengan pola pendidikan pesantren klasik. Jadi, pesantren modern dan kombinasi
merupakan pesantren yang diperbaharui atau dipermodern pada segi-segi tertentu untuk
disesuaikan dengan sistem sekolah dengan tetap memelihara pola pengajaran asli pesantren dalam
pembelajaran kitab-kitab salafi (kitab kuning)24
Pesantren kombinasi sebagaimana dijelaskan diatas merupakan perpaduan antara sistem
pesantren salaf dengan khalaf. Pesantren tipe ini berupaya lebih mengintegrasikan antara ilmu
agama dengan ilmu umum. Artinya, jika dalam pesantren salaf tidak diajarkan ilmu-ilmu umum
sedangkan di pesantren khalaf diajarkan ilmu umum di sekolah, ilmu umum yang diajarkan
disekolah memiliki kurikulum yang berbeda dengan kurikulum bidang agama. Dan pada pesantren
kombinasi ini sistem pembelajarannya (ilmu agama dan umum)melebur menjadi satu terintegrasi
dibawah satu kurikulum, sehingga pembelajaran berbasis agama dan umum memiliki peranan
yang sama dalam penilaian dan evaluasi para santri nantinya.
Berdasarkan pengelompokkan tipologi pesantren secara lebih rinci dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Pesantren Tipe Salafiyah, memiliki ciri-ciri:
1) Para santri belajar dan menetap di pesantren
2) Kurikulum tidak tertulis csecara eksplisit tetapi berupa hidden curriculum (kurikulum
tersembunyi yang ada dalam benak kyai)
3) Pola pembelajaran menggunakan metode pembelajaran asli milik pesantren (sorogan,
bandongan dan lainnya)
4) Tidak menyelenggarakan pendidikan dengan sistem madrasah
b. Pesantren tipe khalafiyah, memiliki ciri-ciri:
1) Para santri tinggal dalam pondok/asrama
24Ibidhal.17
28
2) Pemaduan antara pembelajaran asli pesantren dengan sistem madrasah/sistem sekolah
3) Terdapat kurikulum yang jelas
4) Memiliki tempat khusus yang berfungsi sebagai sekolah/madrasah
c. Pesantren tipe kombinasi, memiliki ciri-ciri:
1) Pesantren hanya semata-mata temppat tinggal (asrama) bagi para santri
2) Para santri belajar di madrasah atau sekolah yang letaknya diluar dan bukan milik pesantren
3) Waktu belajar di pesantren biasanya malam atau siang hari pada saat santri tidak belajar di
sekolah/ madrasah (ketika mereka berada di pondok/asrama)
4) Umumnya pembelajaran tidak terprogram dalam kurikulum yang jelas dan baku.
4.Landasan Historis Modernisasi Pendidikan Pesantren
Daya nalar dan kreativitas berfikir siswa tidak mendapat tempat yang wajar dalam orientasi
pendidikan pesantren, dan lembaga pendidikan Islam pada umumnya.Modernisasi pendidikan yang
digagaskan Nurcholis Madjid pada dasarnya mengacu pada penumbuhan metode berfikir filosofis,
dan membangkitkan kembali etos keilmuan Islam yang pada masa klasik Islam telah memperlihatkan
hasil yang cukup gemilang.Sebagai landasan historis, modernisasi pendidikan berangkat pada
penelaahan kembali kejayaan umat Islam pada masa klasik.
Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan keilmuan dan keahlian pada masa Islam klasik tidak
terlepas dari sikap kaum Muslim yang memandang hidup serba optimis. Oleh sebab itu, kalangan
muslim klasik misalnya, dengan tegas tidak dapat menerima kisah-kisah Yunani yang serba pesimis,
tragis, dan cenderung kurang harapan pada dunia dan kehidupan. Kisah-kisah itu yang merupakan
karya ssatra Yunani dunilai tidak memiliki pengaruh positif pada kehisupan mereka, karen secara
sadar orang-orang muslim klasik tidak dapat menerima lakon, penuturan yang penuh tahayul,
mitologi, serta kepercayaan palsu lainnya. Sebaliknya, para intelektual muslim dulu banyak
mengambil alih filsafat Yunani dan bangsa-bangsa lainnya, serta mengembangkan dan
mengislamkannya.25
Dalam tradisi pesantren salaf (tradisional) pembelajaran yang dilakukan cenderung monoton,
para santri hanya mendengarkan penjelasan dari seorang kyai saja.Para santri tidak mendapatkan
ruang yang strategis untuk menyampaikan pendapatnya.Sehingga pemahaman yang didapatkan para
santri bersifat dogmatis, tidak kontruktifis, padahal dewasa ini negara kita membutuhkan banyak
25 Yasmadi “Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional”
(Jakarta: Ciputat Press, 2002 )hal 141
29
kader-kader bangsa yang kritis, dinamis, dan kontesktual sehingga jika pesantren terus menggunakan
sistem tersebut sulit rasanya bisa mencetak kader-kader penerus bangsa yang demikian.
Berbeda dengan bangsa Yunani yang sibuk dengan drama dan tragedi, para sarjana muslim
menekuni masalah teknik dan teknologi, karena itu mereka menonjol dalam ilmu-ilmu empiris, seperti
kedokteran, astronimi, pertanian, ilmu bumi, ilmu ukur, ilmu bangunan, dan lain-lain. Inilah dampak
positif dari sikap penuh harapankepada hidup yang mengejala pada waktu itu, sehingga para sarjana
Islam klasik merintis jalan kearah nyata kehidupan duniawi dengan menerapkan berbagai teori ilmiah.
Beberapa kondisi umat Islam klasik, mayoritas muslim sekarang terutama Indonesia yang
menganut paham Asy’ari dan bermadzhab Syafi’i justru memusuhi filsafat. Filsafat yang dianggap
datang dari barat mereka klaim sebagai kerangka keilmuan yang keluar dari Islam yang benar.
Lenyapnya tradisi Iptek dikalangan muslim pada umumnya bukanlah sebab dari Islamnya,
tetapi terletak pada sikap muslim sendiri yang memusuhi Iptek. Ajaran Islam dengan jelas
menunjukkan adanya hubungan yang organik itulah kemudian yang dibuktikan dalam sejarah Islam
klasik, ketika kaum muslim memiliki jiwa kosmopolitan yang sejati. kemudian keadaan jadi terbalik
ilmu pengetahuan Islam mulai mengalir dan pindah ke Barat dan selalu mengguncang dunia Barat
selama dua atau tiga abad, ilmu pengetahuan Islam akhirnya dapat mereka akomodasi, dengan cara
antara lain memisahkan ilmu dari iman (Kristen) karena memang tidak ada hubungan organik antara
keduanya. Pada abad ke-16 ilmu pengetahuan bangsa-bangsa Barat sudah lebih unggul daripada ilmu
pengetahuan kaum muslim.26
Dari perspektif kependidikan, pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang
tahan terhadap gelombang modernisasi. Padahal, diberbagai kawasan dunia muslim, lembaga-
lembaga pendidikan tradisional Islam seringkali lenyap, tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan
umum atau setidaknya menyesuaikan diri dan mengadopsi sedikit banyak isi dan metodologi
pendidikan modern itu.27
Dari uraian diatas nampaknya pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan yang lamban
dalam merespon kebutuhan manusia modern, hal tersebut disebabkan sikap antipati pesantren
khususnya salaf terhadap ilmu-ilmu umum. Tetapi di sisi lain dewasa ini kesadaran akan kebutuhan
26Ibid, hal. 142 27 Armai Arief “Pesantren di Tengah Modernisasi dan Perubahan Sosial” (Jakarta: CRSD PRESS,
2005) hal.41
30
zaman ini mulai bermunculan pesantren-pesantren yang mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama
dengan ilmu-ilmu umum.
Kendatipun demikian masih terdapat pesantren yang tetap mempertahankan tradisi yang
selama ini dianutnya, antipati terhadap modernisasi masih ditunjukkan oleh beberapa pesantren yang
ada.Dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum nampaknya adalah hal yang perlu digaris
bawahi. Pesantren dengan ketradisionalannya hanya memandang penting ilmu-ilmu agama saja
dengan kata lain mengenyampingkan ilmu-ilmu yang bersifat umum.
Abuddin Nata dalam karyanya “Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum” menyebutkan, ilmu
agama yang berbasiskan pada wahyu, hadis nabi, penalaran dan fakta sejarah sudah berkembang
sedemikian pesat. Kita misalnya mengenal Ilmu Kalam (Teologi), Ilmu Fiqih/ Ushul Fiqih, Filsafat,
Tasawuf, Tafsir / Ilmu Tafsir, Hadis/ Ilmu Hadis, Sejarah dan Peradaban Islam, Pendidikan Islam,
Dakwah Islam.28
Selanjutnya Ilmu Umum yang berbasiskan pada penalaran akal dan data empirik juga mengalami
perkembangan yang lebih pesat lagi dibandingkan dengan ilmu-ilmu agama Islam sebagaimana
disebut di dalam Islam.Ilmu-ilmu umum ini secara garis besar dapat dibagi kepada tiga bagian.Pertama
ilmu umum yang bercorak naturalis dengan alam raya dan fisika sebagai objek kajiannya. Yang
termasuk ke dalam ilmu ini antara lain fisika, biologi, kedokteran, astronomi, geologi, botani, dan
sebagainya. Ilmu umum yang bercorak sosiologis dengan perilaku sosial/ manusia sebagai objek
kajiannya antara lain antropologi, sosiologi, politik, ekonomi, pendidikan, komunikasi, psikologi, dan
lain sebagainya.Ketiga ilmu umum yang bercorak filosofis penalaran. Yang termasuk ke dalam ilmu
inin antara lain filsafat, logika, seni, dan ilmu-ilmu humaniora lainnya.29
Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab, perubahan dapat terlaksana akibat pemahaman dan
penghayatan nilai-nilai al-Qur’an serta kemampuan memanfaatkan dan menyesuaikan diri dengan
hukum-hukum sejarah. Keduanya, nilai-nilai dan hokum sejarah, dijelaskan secara gamblang oleh al-
Qur’an.30
Baik dalam ilmu agama Islam maupun di dalam ilmu umum, kita menjumpai adanya aliran
atau madzhab yang amat beraneka ragam yang pada gilkirannya amat mempengaruhi pola pikir, sikap
dan cara pandang manusia. Pengaruh ini dari satu sisi dapat dilihat sebagai sesuatu yang wajar bahkan
28Abuddin Nata “Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum” (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003) hal. 11 29 Abuddin Nata “Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum” (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003) hal. 6 30Quraish Shihab “Membumikan Al Quran” (Jakarta: Mizan, 1992) hal. 245
31
menguntungkan, karena dapat memperkaya khazanah pemikiran manusia, namun pada sisi lain
terkadang menjadi sesuatu yang memecah belah umat manusia, bahkan permusuhan, konflik dan
pertumpahan darah. Sejarah misalnya mencatat bagaimana sengitnya permusuhan antara penganut
paham teologi Mu’tazilah dengan penganut aliran teologi Asy’ariyah.Satu dan lainnya saling
mengkafirkan dan menghalalkan darahnya.Demikian pula fikih, kita jumpai pertentangan antara
penganut fikih Syafi’i dengan penganut madzhab Hanafi, hingga antara satu dan lainnya tidak
membenarkan dan bermusuhan.Konflik juga terjadi antara Fikih dan Filsafat. Fikih yang menekankan
segi-segi hubungan formal dengan Tuhan secara fisik, sementara filsafat yang mencari-cari logika
dalam rangka beragama dinilai sebagai cara yang tidak dapat dipegangi.31
Sutrisno mengutip pendapat Fazlur Rahman dalam bukunya, usaha menyelesaikan problem
dikotomi ilmu dalam kaitannya dengan dualisme sistem pendidikan umat Islam.Terdapat dikotomi
ilmu dikalangan umat Islam, antara ilmu-ilmu Islam dan ilmu-ilmu umum, antara sistem pendidikan
tradisional (madrasah) dan sistem pendidikan umum (barat).Untuk mengatasi problem tersebut
dilakukan dengan merujuk kepada Al-Qur’an.
Uraian Al-Qur’an tentang hukum-hukum perubahan adalah wajar, karena sejak semula ia
memperkenalkan dirinya sebagai kitab suci yang berfungsi melakukan perubahan-perubahan positif.
Atau, menurut bahasa Al-Qur’an, mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju terang benderang.32
Sesuai dengan firman Allah :
كتاب انزلناه من الظلمات الى النور باذن ربھم الى صراط مستقیم
Artinya: “ Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap
kepada cahaya yang terang benderang dengan izin Tuhan mereka, yaitu menuju jalan
Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji” (QS. Ibrahim 14:2)
Al-Qur’an dalam hal ini tidak menjadikan dirinya sebagai alternative pengganti usaha manusiawi,
tetapi sebagai pendorong dan pemandu, demi berperannya manusia secara positif dalam bidang
kehidupan. Dari ayat-ayat Al-Qur’an difahami bahwa perubahan baru dapat terlaksana bila dipenuhi
31Ibid, hal. 2
32Quraish Shihab “Membumikan Al Quran” (Jakarta: Mizan, 1992) hal. 245
32
dua syarat pokok: (a) adanya nilai atau ide dan (b) adanya perilaku-perilaku yang menyesuaikan diri
dengan nilai-nilai tersebut.33
Menurut Al-Qur’an, umat Islam diperintah oleh Allah untuk mencari kebahagiaan di akhirat
demikian pula di dunia. Perhatikan firman Allah berikut :
وابتغ فیما اتاك اہلل الدار االخرة والتنس نصیبك من الدنیا
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat dan jangan kamu melupakan bahagiamu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. al-
Qashas 28:77)
Masyarakat berkembang begitu cepat, yang disebabkan antara lain oleh keberhasilan pembangunan
nasional di segala bidang. Tantangan pesantren dewasa ini setidaknya ada dua aspek yang pertama,
perkembangan dan kebutuhan masyarakat terhadap layanan pendidikan serta perkembangan dunia
pendidikan lain dan, kedua, dari sudut fungsional pedagogik.34
Selanjutnya, Rahman berusaha memberi alternatif solusi terhadap problem dualisme sistem lembaga
pendidikan modern sebagaimana telah berkembang secara umum di Barat dan mencoba untuk
mengisinya dengan roh atau jiwa Islam, yaitu dengan merujuk pada Al-Qur’an dan Hadist. Solusi ini
memiliki dua tujuan, yaitu: pertama, untuk membentuk watak pelajar-pelajar dengan nilai-nilai Islam
dalam kehidupan individu dan masyarakat. Kedua, memungkinkan para ahli yang berpenpendidikan
modern untuk menanami bidang kajian masing-masing dengan nilai-nilai Islam.35
Sikap kaum muslim yang tidak menghargai filsafat dan ilmu pengetahuan banyak menyebabkan
kaum muslim terus merosot dan mundur. Banyak orang yang langsung menimpakan kesalahan ini
kepada Al-Ghazali yang menyerang filsafat dan mendorong kearah runtuhnya tradisi kefilsafatan dan
ilmu pengetahuan.Meskipun menurut Nurcholis madjid tuduhan terhadap Al-Ghazali dapat
diperdebatkan, namun memang terjadi koinsidensi historis berupa kenyataan bahwa pada abad ke-12,
yaitu sekitar tampilnya Al-Ghazali, ilmu pengetahuan Islam mulai mengalir pindah ke Barat.sikap
yang memusuhi filsafat begitu mengkristal di kalangan muslim. Pada akhirnya umat Islam
terperangkap pada paham jabarism, salah satu paham yang amat dimusuhi pada masa islam klasik.
33Ibid, hal. 246
34 Ahmad Malik Fadjar, “Madrasah dan Tantangan Modernitas”, (Bogor: Mizan, 1999) hal. 37 35 Sutrisno “Pendidikan Islam di Era Peradaban Modern”(Yogyakarta: Perpustakaan Nasional, 2015)
hal. 35
33
Jadi tantangan terberat zaman modern ini bagi dunia pendidikan Islam tidak cukup dengan
tindakan mengimpor iptek dari Barat secara ad hoc dan berdasarkan expediency semata. Keilmuan
yang kuat dan mendalam yang menghasilkan kesadaran bahwa ilmu pengetahuan bukan saja
memenuhi expediency dan menjawab tantangan ad hoc, melainkan merupakan part and parcel dari
sesuatu yang jauh yang dibutuhkan adalah etos yang mampu melihat hubungan organik antara ilmu
dan iman atau iman dan ilmu. Disinilah titik fokus dari metodologi pendidikan Islam, yaitu upaya
penumbuhan etos keilmuan dikalangan peserta didiknya.Satu bangunan intelektual yang memiliki
persambungan warisan intelektual masa lalu.
Kesadaran akan adanya hubungan organik antara iman dan ilmu atau ilmu dan iman dalam
bentuk yang sangat sederhana telah mendekatkan orientasi pendidikan pada tujuan pendidikan Islam
itu sendiri. Sebab, pendidikan itu seharusnya bertujuan menimbulkan pertumbuhan yang seimbang
dari kepribadian total manusia, meliputi aspek spiritual, intelektual, imajinatif, fiskal, ilmiah,
lingusitik, baik secara individual maupun kolektif, serta memotivasi semua aspek untuk mencapai
kebaikan dan kesempurnaan.36
Dari uraian di atas terlihat jelas dikotomi yang kental di kalangan pesantren salaf antara ilmu
agama dan ilmu umum, dan sistem pembelajaran sama’i sepertinya sudah tidak relevan lagi dengan
kemajuan jaman.
Dari pembahasan pada Bab II dapat disimpulkan bahwa modernisasi adalah suatu gagasan menuju
penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi pada masa kini. Jadi modernisasi pesantren adalah suatu
upaya pesantren dalam meperbaharui sistem yang ada di dalamnya dalam rangka menyesuaikan
dengan keadaan masa kini, sehingga dapat menghasilkan output santri yang cakap dalam segala aspek
baik pengetahuan social, agama serta teknologi.
36Ibid, hal. 146-147
34
5. Kajian Terhadap Modernisasi Pesantren
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis tidak mendapatkan kajian yang secara spesifik
membahas pemikiran Nurcholis Madjid tentang pembaharuan pendidikan. Hanya saja ditemukan
banyak penelitian tentang modernisasi pendidikan pesantren menurut para tokoh lain diantaranya:
a. Skripsi yang ditulis oleh Mulyanti (NIM 06011000116) dari Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun yang berjudul “Pembaruan Pendidikan Islam menurut Wahid
Hasyim”
Dalam skripsi tersebut didapati kesimpulan bahwa perhatian Wahid Hasyim dalam
memasukkan ilmu pengetahuan umum dan agama agar seimbang juga diimplementasikan
dalam bentuk lain ketika menjadi Menteri Agama, yakni memberikan pelajaran agama di
sekolah-sekolah umum dan pelajaran umum di Madrasah melalui Keputusan No.1432/Kab.
Tanggal 20 Januari 1951 (Pendidikan) dan No.K.I/651.Tanggal 20 Januari 1951 (Agama) yang
merupakan realisasi dari UU Pokok Pendidikan No. 4 Tahun 1950 Ayat 2. Kemudian atas dasar
keputusan UU No. 20 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah
umum maka dibentuklah lembaga pendidikan yang menghasilkan guru-guru Agama
professional melalui pendirian Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Sekolah Guru Hakim
Agama (SGHA) pada tahun 1950.
Pembaruan pendidikan Islam di Indonesia kemudian berlanjut dengan pendirian
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34
Tahun 1950 ini merupakan salah satu peninggalan Wahid Hasyim paling penting ketika menjadi
Menteri Agama. Lembaga ini kemudian berkembang menjadi Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) yang berjumlah 14 tempat di seluruh Indonesia, dan kemudian beberapa IAIN telah
berkembang menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Beberapa hal di atas menunjukkan
bahwa Wahid Hasyim adalah orang yang sangat luar biasa pada masanya. Dengan kemampuan
ilmu pengetahuan seadanya yang dimiliki dia tidak pernah merasa “minder” untuk mewujudkan
apa yang ada dipikirannya dengan bermodalkan kepercayaan diri yang tinggi.
b. Skripsi yang ditulis oleh Ilham Arif (NIM: 08470115) dari Universitas IslamNegeri Sunan
Kalijaga Jogyakarta tahun 2015 yang berjudul“ Modernisasi Pondok Pesantren (Studi Pemikiran
Azyumardi Azra)
Dalam skripsi tersebut diketahui bahwa dalam pemikiran Azyumardi Azra dalam upaya
modernisasi pendidikan pesantren adalah dimasukannya ilmu-ilmu pengetahuan umum kedalam
35
kurikulum pesantren, dan juga sistem pendidikan yang ada dipesantren harus memperhatikan
potensi lokal pesantren. Misalnya jika pesantren berada di daerah pantai maka pesantren harus
memasukan pelajaran yang berkaitan dengan kelautan agar kelak para lulusan memiliki potensi
sesuai dengan tempat tinggalnya sehingga dapat bersaing dengan dunia luar.
c. Skripsi yang ditulis oleh Munawir Hakiki (NIM: 109011000098) dari UniversitasIslam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2015 yang berjudul “Konsep Pendidikan Islam Modern
menurut Moh. Natsir”
Dalam skripsi tersebut didapati kesimpulan yang berkaitan dengan modernisasi pendidikan
adalah bahwa ide pendidikan Moh. Natsir meliputi: Tuhid sebagai asas pendidikan, Tujuan
Pendidikan Islam dan nilai-nilai agama, pendidikan yang universal, konsep ilmu dalam pendidikan,
pentingnya bahasa asing bagi pendidikan Islam, kebebasan berfikir sebagai tradisi ilmu, dan
hubungan pendidikan dengan masyarakat. Dari teori pendidikan Moh. Natsir tersebut bisa dipahami
bahwa konsep pendidikan Islam Moh. Natsir adalah mereformasi bentuk pendidikan Islam yang
dianggap masih terbelakang dan cenderung menutup diri dari perkembangan jaman, sehingga
akhirnya banyak orang tidak sadar dan beranggapan bahwa pada jaman modern ini agama tidak
diperlukan lagi. Untuk membantah anggapan tersebut Moh, Natsir berusaha meluruskan dengan
menanamkan konsep pemikiran pendidikannya. Dalam konsepnya tersebut bisa dipahami bahwa
Pendidikan Islam sebagaimana agama Islam itu sendiri bersifat menyeluruh mengatur berbagai
masalah kehidupan. Pendidikan Islam bersifat menyeluruh mengenai berbagai disiplin ilmu
pengetahuan dan kebudayaan.
42
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari 2016 sampai bulan Juli 2017 digunakan untuk
pengumpulan data mengenai sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari teks book yang ada di
perpustakaan, artikel, jurnal, serta website yang ada hubungannya dengan pemikiran Nurcholis
Madjid tentang Modernisasi Sistem Pendidikan Pesantren. B. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian kualitatif yaitu suatu
pendekatan penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena,
peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun
kelompok”.1
Sedangkan penyajiannya bersifat deskriptif yaitu suatu jenis penelitian yang tujuannya
untuk menyajikan gambaran lengkap mengenai setting sosial atau dimaksudkan untuk eksplorasi
dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial dengan jalan mendeskripsikan
sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti antara fenomena yang
diuji, dengan tujuan menghasilkan gambaran akurat tentang sebuah kelompok, menggambarkan
mekanisem sebuah proses atau hubungan, memberikan gambaran lengkap baik dalam bentuk
verbal atau numerikal.2
Dalam memperoleh data, fakta dan informasi yang akan melengkapkan dan menjelaskan
permasalahan dalam penulisan skripsi, penulis menggunakan metode deskriptif yang didukung
oleh data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research).
Dalam segi analisa, skripsi ini dianalisa dengan pendekatan Ilmu Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam. Yaitu, ilmu yang membahas serangkaian sejarah proses kerja akal dan kalbu yang dilakukan secara sungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada dalam
1 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007),
hal. 60. 2 Lexy J Moleong, Metedologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014) hal. 15
43
Dalam segi analisa, skripsi ini dianalisa dengan pendekatan Ilmu Sejarah Pemikiran
Pendidikan Islam. Yaitu, ilmu yang membahas serangkaian sejarah proses kerja akal dan kalbu
yang dilakukan secara sungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada dalam
pendidikan Islam dan berupaya untuk membangun sebuah paradigma pendidikan yang mempu
menjadi wahana bagi pembinaan dan pengembangan secara paripurna. 1
Mengenai penulisan skripsi ini, dalam membahas masalah-masalah yang dikemukakan di
atas, maka metode yang digunakan adalah library research yaitu suatu metode yang menggunakan
cara penelitian dengan membaca literatur dan tulisan-tulisan yang ada kaitannya dengan masalah
yang sedang diteliti.
A. Teknik Pengumpulan Data
Dalam proses pengumpulan data, penulis menggunakan teknik liblary
research.Pemeriksaan dokumentasi (studi dokumentasi) dilakukan dengan meneliti bahan
dokumentasi yang ada dan mempunyai relevansi dengan tujuan penelitian.2
Dengan menggunakan studi dokumentasi, penelitian dapat mengumpulkan data tertulis
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang berupa buku yang ada di perpustakaan
maupun catatan-catatan tertulis di lokasi penelitian.
Untuk memperoleh data dan informasi yang berhubungan dengan tujuan penelitian, maka
sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder.
1. Sumber Primer
Dalam penelitian ini untuk mengumpulkan informasi tentang gagasan Nurcholis Madjid
tentang modernisasi pendidikan pesantren menggunakan karya-karya yang ditulis sendiri oleh
tokoh yang diteliti, dalam hal ini yaitu Prof. Dr. Nurcholis Madjid, M.A. diantara karya tulis Prof.
Dr. Nurcholis Madjid, M.A. berjudul, Bilik-bilik Pesantren: sebuah potret perjalanan, 1997, Islam
Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan
Kemodernan, 1998, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan Indonesia, 1997 dan
Kaki Langit Peradaban, 1997.
2. Sumber Sekunder
Untuk kategori data sekunder, penulis menggunakan beberapa buku dan dua diantaranya
yaitu buku karya karya Drs. Yasmadi, M.A. yang berjudul, Modernisasi Pesantren: kritik
1 Susanto, “Pemikiran Pendidikan Islam”, (Jakarta: Amzah, 2009) hal. 4 2 Anas Sudijono, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), hal. 30
44
Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional,2002. Kemudian juga, penulis
mendapatkan buku karya Amin Haedari berjudul, Transformasi Pesantren, 2006 dan karya Prof.
Dr. H. Abuddin Nata, M.A. berjudul, Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia dan Tokoh-tokoh
Pembaharu Pendidikan Islam Indonesia, 2005.
B. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam skripsi ini mengacu kepada penelitian deskriptif analitif dari berbgai
sumber bacaan dan digambarkan dalam bentuk narasi dengan menggunakan pendekatan sejarah
social pemikiran pendidikan.
b. Teknik Penulisan
Teknik Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi” yang
diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, tahun 2014.
Reliabilitas penelitian kualitatif pada penelitian ini juga dipengaruhi oleh pendekatan
analisis konsep.Analisis konsep merupakan suatu analisis tentang istilah (kata-kata) yang
mewakili konsep atau gagasan.3
3Imam Bernadib, “Filsafat Pendidikan (Sistem dan Metode”), (Yogyakarta: Andi Offset, 1997), hal. 90.
43
BAB IV
HASIL PENELITIAN TENTANG GAGASAN
MODERNISASI PESANTRENMENURUT NURCHOLIS MADJID
A. Biografi Prof. Dr. Nurcholis Madjid, M.A
Nurcholis Madjid lahir pada tanggal 17 Maret 1939 M, bertepatan dengan 26 Muharram
1358 H, di Desa Mojoanyar, Jombang, sebuah kabupaten di Jawa Timur.Kota santri ini juga
menjadi tempat kelahiran Nahdlatul Ulama (NU). Ayahnya K.H. Abdul Madjid, di kenal sebagai
kyai terpandang, alumnus Pesantren Tebuireng dan merupakan salah seorang pemimpin Masyumi,
partai berideologi Islam paling berpengaruh pada saat itu. Lebih jauh, K.H. Abdul Madjid
merupakan santri kesayangan Hadrotul al-Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Pesantren
Tebuireng dan salah satu founding father Nahdlatul Ulama (NU), organisasi sosial keagamaan
muslim terbesar di Indonesia. Rasa sayang ulama besar dan terhormat ini di dorong karena prestasi
akademiknya yang sangat cemerlang, khususnya dalam ilmu nahwu-sharafdan ilmu hisan
(berhitung).Bahkan karena sayangnya, kyai pendiri NU itu sampai dua kali memfait accompli
menjodohkan K.H. Abdul Madjid dengan perempuan yang dipilihnya dari keluarga dekatnya.
Pertama dengan Nyi Halimah, gadis cantik tapi nyentrik, hafal al-Qur’an, amat sholeh dan hidup
seperti sufi, tapi terkadang semaunya. Gadis ini merupakan keponakan Kyai Hasyim
sendiri.Karena tidak dikarunai anak, K.H Abdul Madjid minta izin kepada Kyai Hasyim untuk
bercerai.Kedua dengan Nyi Fathonah, anak seorang kyai dan tokoh aktivis Syarikat Dagang Islam
(SDI) di Kediri, Fathonah sendiri merupakan ketua Muslimat Masyumi tingkat kecamatan.1
1Abuddin Nata, Tokoh-tokoh pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005) hal. 322
44
Nurcholis Madjid di beri nama oleh orang tuanya dengan nama Abdul Malik.
Perubahan nama menjadi Nurcholis Madjid terjadi pada usia 6 tahun,karena Abdul
Malik kecil sering sakit. Dalam tradisi Jawa, anak yang sering sakit dianggap “kabotan
jeneng” (keberatan nama) dank arena itu perlu diganti.1
Pasangan kyai Madjid dan Fathonah dikaruniai lima orang anak, dua
perempuan (meninggal satu) dan tiga anak laki-laki. Nurcholis Madjid, Mukhlisah,
Saifullah dan Muhammad Adnan.
Nurcholis Madjid kecil bercita-cita menjadi masinis kereta api. Cita-cita
tersebut dipengaruhi oleh kondisi waktu itu, karena kereta api merupakan alat
transportasi paling populer kala itu, kelak ketika dewasa Nurcholis Madjid tak hanya
menjadi masinis bahkan “lokomotif” pembuka gerbong pembaharuan pemikiran Islam
Indonesia.2
Latar Belakang Pendidikan dan Pemikiran Prof. Dr. Nurcholis Madjid dimulai
dari Sekolah Rakyat di Mojoanyar pada pagi hari, sedangkan sore hari ia sekolah di
Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar. Setelaah menamatkan pendidikan dasar dan
ibtidaiyah, ia melanjutkan belajar ke Pesantren Darul Ulum di Rejoso, Jombang.
Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di Kulliyatul Mua’allimin Al-Islamiyah
(KMI) Pesantren Darussalam di Gontor Ponorogo.
Menurut Fachri Ali yang dikutip oleh Marwan Saridjo dalam bukunya Cak Nur
Diantara Sarung dan Dasi, menuliskan bahwa perpindaan Nurcholis Madjid dari
Pesantren Darul Ulum, Rejoso ke Pondok Pesantren Modern Gontor melengkapi proses
migrasi budaya dan intelektual Cak Nur, karena Pondok
1Ahmad Gaus AF, Api Islam: Nurcholis Madjid Jalan Menuju Hidup Seorang Visioner,
(Jakarta: Kompas, 2010), hal. 1 2 Marwan Saridjo, “Cak Nur: diantara Sarung dan Dasi”, (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara,
2005), hal. 5
45
Gontor, secara kultural dan intelektual berada dalam asuhan dan pengaruh pemikiran
kaum modernis Islam.3
Setamat dari gontor, ia melanjutkan studi pada institut Agama Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada Fakultas Adab, jurusan Sastra Arab dan tamat
tahun 1968. Pendidikan selanjutnya ia lakukan di Universitas Chicago, Illinois,
Amerika Serikat dan berhasil meraih gelar Doktor dalam bidang Islamic Thought
(Pemikiran Islam) pada tahun 1984.
Semasa menjai mahasiswa, Nurcholis Madjid banyak melakukan kegiatan di
berbagai organisasi.Ia pernah menjadi ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) Cabang Ciputat pada tahun 60-an, kemudian menjadi ketua umum Pengurus
Besar HMI selama periode 1966-1969 dan 1969-1971. Selain itu ia juga pernah
menjadi presiden pertama Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) tahun
1967-1969, sebagai Wakil Sekretaris Jendral Internasional Islamic Federation of
Student Organization (IIFSCO) pada 1969-1971.
Setamat dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Nurcholis Madjid bekerja
sebagai dosen di almamaternya, mulai tahun 1972 sampai 1976. Setelah berhasil
meraih gelar doctor pada tahun 1985, ia ditugaskan memberikan kuliah tentang filsafat
di Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, sejak tahun 1978
ia bekerja sebagai peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Bersamaan dengan tugas-tugasnya itu, ia pernah juga berkesempatan menjadi dosen
3Ibid, hal. 6
46
tamu pada Universitas McGill, Montreal, Canada, pada tahun 1990 didampingi oleh
istrinya yang menngikuti program Eisenhower Fellowship.
Selain ia banyak berkecimpung di organisasi dan memangku berbagai jabatan,
Nurcholis Madjid juga sebagai seorang penulis yang produktif. Di antara karya tulisnya
dapat disebutkan disini adalah :
1. Khasanah Intelektual Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1984)
2. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung, Mizan, 1987)
3. Islam Doktrin dan peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan dan Kemodernan, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1992)
4. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Karya bersama para pakar
Indonesia lainnya), (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1995)
5. Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1997)
6. Masyarakat Religius, Jakarta, (Yayasan Wakaf Paramadina, 1995),
7. Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1997)
8. Tradisi Islam Peran dan fungsinya dalam pembangunan di Indonesia, (Jakarta,
Yayasan Wakaf Paramadina, 1997)
9. Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik
Kontemporer, (Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1998). 4
Berdasarkan informasi tersebut diatas, kita dapat mencatat tentang pribadi
Nurcholis Madjid adalah seorang cendikiawan yang memiliki basis
kesantrian/pesantren yang kuat, yaitu suatu komunitas Islam yang kental dengan
pelaksanaan ritual ibadah dan tradisi keislaman; dilihat dari basis kelimuannya,
Nurcholis Madjid adalah seorang muslim yang memiliki keahlian dalam bidang ilmu
agama Islam yang luas dengan titik tekan pada sejarah peradaban Islam, sesuai dengan
latar belakang pendidikan kesarjanaannya, yakni sebagai tamatan dari Fakultas Adab
4 Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada 2005), hal. 325
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dilihat dari segi sifat dan corak pemikirannya, terlihat
bahwa corak pemikiran Nurcholis Madjid bersifat modern dengan tetap mengacu
kepada nilai-nilai dasar ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dam Al-
Sunnah, serta nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Melalui berbagai karya tulisnya ia
tampak begitu bersemangat untuk mengupayakan terjalinnya proses pembumian nilai-
nilai ajaran agama Islam sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’a dan Al-Sunnah. Ia
berusaha agar doktrin-doktrin Islam dapat dipahami dengan pendekatan nomenklatur
yang terdapat dalam budaya bangsa Indonesia. Doktrin ajaran Islam dan peradaban
yang berkembang dalam sejarah menurutnya harus saling melengkapi.Atas dasar ini
pula, pandangan keislaman Nurcholis Madjid bersifat sejarah, atau Islam sejarah
sebagaimana halnya dianut oleh idolanya Fazlur Rahman dari Pakistan.Namun, karena
demikian luas, mendalam dan holistiknya pemahaman keislaman yang dianutnya,
maka untuk dapat memahami dengan baik pemikiran keislaman Nurcholis Madjid
diperlukan persyaratan yang memadai.Dilihat dari segi kepribadiannya, Nurcholis
Madjid adalah sosok cendikiawan Muslim yang sederhana dan bersahaja serta
berpenampilan rendah hati. Hal ini terlihat dari cara ia bertutur kata, berpakaian,
bergaul, dan sebagainya. Ia demikian akrab dengan kelompok-kelompok yang
termarjinalisasi, terutama dari kalangan kaum muda Islam dan memiliki komitmen
yang kuat untuk ikut menanggulanginya, dengan cara mengkritisi berbagai kebijakan
pemerintah atau siapa saja yang menyebabkan orang lain terdzolimi. Gagasan dan
pemikiran Nurcholis Madjid bukan hanya satu bidang saja, melainkan dalam berbagai
bidang, termasuk disalamnya masalah doktrin, ilmu pengetahuan dan peradaban.Dari
berbagai pemikirannya ini dapat ditelusuri dan dilacak gagasan dan konsep yang
berkaitan dengan pendidikan. Uraian berikut ini akan mencoba melihat dan menjajagi
pemikiran dan gagasan Nurcholis Madjid dalam bidang pendidikan Islam.5
5Abuddin Nata, “Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia”, (Jakarta; PT.
Raja Grafindo Persada, 2005) hal. 326
48
A. Kondisi Objektif Pesantren
Lembaga pendidikan yang memainkan perannya di Indonesia jika dilihat dari
struktur internal pendidikan Islam serta praktek- praktek pendidikan yang
dilaksanakan, ada empat kategori. Pertama, pendidikan pondok pesantren, yaitu
pendidikan Islam yang diselenggarakan secara tradisional, bertolak dari pengajaran
Qur’an dan hadits dan merancang segenap kegiatam pendidikannya untuk mengajarkan
kepada para siswa Islam sebagai cara hidup atau way of life. Kedua, pendidikan
madrasah, yakni pendidikan Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga model
barat, yang menggunakan model klasikal, dan berusaha menanamkan Islam sebagai
landasan hidup ke dalam diri para siswa.Ketiga, pendidikan umum yang bernafaskan
Islam.Yaitu pendidikan Islam yang dilakukan melalui pengembangan suasana
pendidikan yang bernafaskan Islam di lembaga-lembaga pendidikan yang bersifat
umum.Keempat, pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga
umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja.6
Ditilik dari sejarah pendidikan Islam Indonesia, pesantren sebagai sistem
pendidikan Islam tradisional telah memainkan peran cukup penting dalam membentuk
kualitas sumber daya manusia Indonesia.7 Tetapi, dalam hal ini prof dr. Nurcholis
Madjid pendidikan pesantren tradisional ini memiliki sisi kelamahan. Pembahasan
tentang kondisi objektif pesantren ini amat penting mengingat gagasan-gagasar
Nurcholis Madjid tentang modernisasi pesantren berdasar kepada kondisi objektif
pendidikan tersebut.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, akhir-akhir ini
menarik untuk dicermati kembali. Di era 70-an Nurcholis Madjid telah
memprediksikan pesantren sebagai sesuatu yang dapat dijadikan alternative terhadap
6 Mochtar Buchori, “Spektrum Problematika Pendidikan Islam di Indonesia“, (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya. 1994), hal. 243-244 7 Yasmadi “Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam
Tradisional” (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal. 59
49
sistem yang ada. Menurutnya, sistem pendidikan waktu itu masih sangat “pegawai
oriented” hingga menjadikan salah satu problem pendidikan di Indonesia. Kondisi ini
tidak terlepas dari tujuan dan sifat pendidikan yang mengacu pada mencetak calon-
calon pegawai yang bakal mengisi sistem menengah ke bawah dalam piramida sistem
administrasi pemerintahan.8
Menurut analisa Nurcholis Madjid pendidikan pesantren yang telah berjalan
selama ini hanya mencetak santri-santri menjadi pegawai saja. Alumni –alumni
pesantren mayoritas ketika selesai mengenyam pendidikan di pesantren selama kurun
waktu tertentu hanya menjadi pegawai di suatu instansi tertentu saja, bahkan
kebanyakan alumni pesantren yang kemudian berubah status sosialnya menjadi kyai
muda yang ahli membaca kitan-kitab klasik, yang pada akhirnya tradisi seperti ini tak
dapat di bending lagi bak bola salju yang lama kelamaan terus membesar tak
terbendung, padahal, Nurcholis Madjid optimis bahwa pesantren mampu untuk tidak
hanya mencetak kyai-kyai saja tetapi juga para pelaku kemajuan bangsa di bidang
pemerintahan, akademisi, teknokrat, sosiolog, ahli sejarah dsb. Sehingga, dapat diambil
kesimpulan bahwa pesantren menurut Nurcholis Madjid belum dapat memaksimalkan
perannya sebagai agen perubahan bangsa.
Dalam pandangan Nurcholis Madjid, pada dasarnya kondisi ini wajar terjadi
bila diukur dari salah satu sebab pertumbuhan dan perkembangan pesantren-pesantren
dan madrasah-madrasah.Faktor yang mendorong tumbuhnya pesantren dan madrasah
disebabkan Karena munculnya sekolah-sekolah yang dibangun oleh pemerintah
colonial.9
Sebelum membahas tentang kritik Nurcholis Madjid terhadap sistem
pendidikan pesantren. Berikut penulis akan memaparkan gambaran umum kondisi
8Ibidhal.60 9 Yasmadi “Modernisasi Pesantren: kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam
Tradisional” (Jakarta: Ciputat Press, 2002)hal. 60
50
pesantren guna memudahkan pengkorelasian npemikiran Nurcholis Madjid dengan
kondisi objektif pesantren.
Pesantren terdiri dari lima elemen pokok sebagaimana dipaparkan pada bab
sebelumnya yaitu; kyai, masjid, pondok, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.10
Kelima elemen tersebut merupakan ciri-ciri khusus yang dimiliki pesantren dan
membedakan dengan pendidikan dalam bentuk lain. Sekalipun kelima elemen ini
saling menunjang eksistensi sebuah pesantren, tetapi kyai memainkan peranan yang
begitu sentral dalam dunia pesantren.
Keberadaan kyai dalam lingkungan pesantren laksana jantung bagi kehidupan
manusia.Intensitas kyai memperlihatkan peran yang otoriter disebabkan karena kyailah
pemilik tunggal sebuah pesantren.Oleh sebab alasan ketokohan kyai di atas, banyak
pesantren akhirnya bubar lantaran ditinggal wafat kyainya.Sementara kyai tidak
memiliki keturunan yang dapat melanjutkan usahanya.11
Kyai dapat juga dikatakan tokoh non formal yang ucapan dan seluruh
perilakunya akan dicontoh oleh komunitas sekitarnya. Kyai berfungsi sebagai sosok
model atau teladan yang baik tidak saja bagi para santrinya, tetapi juga bagi seluruh
komunitas di sekitar pesantren12
Kewibawaan kyai dan kedalaman ilmunya merupakan modal besar bagi
keberlangsungan semua wewenang yang dijalankannya.Kebijakan kyai diamini oleh
semua santrinya bahkan oleh penduduk sekitar pesantren.Kebijakan kyai dalam
mengatur keberlangsungan kehidupan dipesantren memegang peranan yang sangat
sentral, dan corak aturan, kurikulum, bidang pelajaran dan konsep pesantren amat
bergantung pada sosok seorang kyai.Dan sikap antipati pesantren yang masih
10 Zamakhsyari Dhofier, “Tradisi Pesantren”, (Jakarta: LP3S, 1982) hal.44 11 Imam Bawani, “Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam” (Surabaya: Al Ikhlas 1993)
hal. 90 12 Faisal ismail, “Paradigma Kebudayaan Islam”, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997)
hal. 108
51
ditemukan dewasa ini merupakan cerminan dari sikap pribadi kyainya, tanpa
mempertimbangkan aspek-aspek lainnya, seperti kemajuan jaman, kebutuhan sumber
daya masyarakat sekitar dan lain sebagainya.
Akibatnya hampir semua pesantren dalam pandangan Nurcholis Madjid
merupakan hasil usaha pribadi atau individual (individual enterprise), karena dari
pancaran kepribadian pendirinya dinamika pesantren itu akan terlihat. Dalam hal ini
Nurcholis Madjid mengemukakan, pada dasarnya memang pesantren merupakan
pancaran kepribadian pendirinya.13Zamakhsyari dhofier dalam bukunya
mengemukakan bahwa pesantren diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil dimana kyai
merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan dalam kehidupan dan
lingkungan pesantren.14
Keberlangsungan sebuah pesantren semata mata atas otoritas kyai di atas
menurut Nurcholis Madjid punya dampak negatif terhadap pesantren dalam
perkembangannya kearah yang lebih baik.Hal ini didasarkan atas profil kyai sebagai
pribadi yang punya serba keterbatasan dan kekurangan.Salah satu keterbatasannya
tercermin dalam kemampuan mengadakan respon terhadap perkembangan-
perkembangan masyararakat.Kyai dalam sebuah pesantren memegang kendali
terhadap keberlangsungan pendidikan pesantren, hal tersebut jelas menghambat
kemajuan pesantren yang seharusnya dapat memeberikan jawaban atas kemajuan-
kemajuan dunia global, jika sosok kyai yang menjadi panutan tunggal dikhawatirkan
timbul kejumudan dalam merespon tantangan jaman yang tiada terbendung
kemajuannya.
Paradigma baru pendidikan harus diarahkan pada upaya menyiapkan masa
depan bangsa agar mampu berkompetensi di era global. Di dalam Rencana Strategis
13 Nurcholis Madjid, “Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan”, (Jakarta:
Paramadina, 1997)hal. 6 14 Zamakhsyari Dhofier, “Tradisi Pesantren”, (Jakarta: LP3S, 1982) hal. 56
52
Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009 misalnya dinayatakan, bahwa visi pendidikan
nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata social yang kuat dan
berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia berkembang
menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan
zaman yang selalu berubah.15
B. Gagasan pemikiran Prof. Dr. Nurcholis Madjid dalam modernisasi Pesantren
Gagasan dan pemikiran Nurcholis Madjid bukan hanya mencakup satu bidang
saja, melainkan dari berbagai bidang termasuk di dalamnya masalah doktrin, ilmu
pengetahuan dan peradaban.Pertama, pembaharuan pesantren.Sesuai dengan latar
belakang kehidupannya yaitu sebagai seorang cendikiawan nyang dibesarkan di
lingkungan pesantren, Nurcholis Madjid meiliki perhatian tentang pembaharuan
pesantren.Gagasan dan pemikirannya tentang pesantren ini dapat di lihat dari karyanya
berjudul bilik-bilik pesantren sebuah potret perjalanan.Dalam bukunya ini Nurcholis
Madjid berpendapat bahwa pesantren berhak, malah lebuh baik dan lebih berguna
untuk mempertahankan fungsi pokoknya semula yaitu sebagia tempat
menyelenggarakan pendidikan agama. Namun, mungkin diperluaskan suatu tinjauan
kembali sehinbgga ajaran-ajaran agama yang diberikan klepada setiap pribadi
merupakan jawaban yang komprehensif atas persoalan mkna hidup dan
weltanschauung Islam, selain tentu saja diosertai dengan pengetahuan secukuopnya
tenhtang kewajiban-kewajiban praktis seorang muslim sehari- hari. Pelajaran-pelajaran
ini kemungkinan dapat diberikan melalui beberapa cara, diantaranya:
15Abuddin Nata, “Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran”, (Jakarta: Kencana
Predana Media Group) hal. 16-17
53
1. Mempelajari al-Qur’an dengan cara yang lebih bersungguh-sungguh daripada yang
umumnya dilakukan oleh orang sekarang yaitu dengan menitikberatkan kepada
pemahaman makna dan ajaran-ajaran yang terkandung didalamnya ini
memungkinkan kemampuan pengajaran yang lebih besar. Yaitu pengajaran
kesatuan-kesatuan pengertian tentang ayat-ayat/surat-surat yang dibacanya atau
dengan menghubungkannya dengan ayat-ayat atau surat-surat lain yang belum
terbaca pada saat itu. Pelahjaran ini mungkin mirip dengan pelajaran tafsir, tetapi
dapat di berikan tanpa sebuah buku atau kitab tafsir melainkan cukup dengan Al-
Qur’an secara langsung.
Al-qur’an adalah kitab suci yang terbuka bagi segala corak penafsiran dan
pemikiran.Merebaknya gelombang rasionalisme juga berimbas pada penafsiran Al-
Qur’an dalam bentuk kitab-kitab tafsir rasional semacam al-Kasyaf karya az-
Zamakhsari, salah satu tokoh mu’tazilah yang terkemuka.16
2. Melaui pertolongan sebuah bahan bacaan atau buku pegangan penggunaan cara ini
sangat tergantung pada kemampuan para pengajar dalam mengembangkannya secara
lebih luas.
3. Selain itu, baik sekali memanfaatkan mata pelajaran lain untuk di sisipi pandangan-
pandangan keagamaan tadi. Dan menanamkan kesadaran serta pengahrgaan yang lebih
wajar pada hasil-hasil senio budaya Islam atau untuk menumbuhkan kepekaan rohani,
termasuk kepekaan rasa ketuhanan yang menjadi inti rasa keagamaan.
Pembaharuan pesantren sesuai dengan latar belakang kehidupannya, yaitu
sebagai seorang cendikiawan yang dibesarkan di lingkungan pesantren, Nurcholis
Madjid memiliki perhatian tentang pembaruan pesantren.Gagasan dan pemikirannya
tentang pesantren ini dapat dilihat dari karyanya yang berjudul Bilik-bilik Pesantren
Sebuah Potret Perjalanan.Nurcholis Madjid berpendapat bahwa pesantren berhak,
16 Said Aqil SIradj dkk, “Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan dan Transformasi
Pesantren”, (Bandung: Pustaka Hidayah) hal. 290
54
malah lebih baik dan lebih berguna, mempertahankan fungsi pokoknya semula, yaitu
sebagai tempat menyelenggarakan pendidikan agama. Namun, mungkin diperlukan
suatu tinjauan kembali sedemikian rupa, sehingga ajaran-ajaran agama yang diberikan
kepada setiap pribai merupakan jawaban yang komprehensif atas persoalan makna
hidup dan weltanshauung Islam, selain tentu saja disertai dengan pengetahuan
secukupnya tentang kewajiban-kewajiban praktis seorang muslim sehari-hari.
Pelajaran ini kemungkinan dapat diberikan melalui beberapa cara, diantaranya: (1)
mempelajari Alquran dengan cara lebih sungguh-sungguh daripada yang umumnya
dilakukan orang sekarang, yaitu dengan menitikberatkan kepada pemahaman makna
ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya. Ini memerlukan kemampuan pengajaran
yang lebih besar.Yaitu pengajaran kesatuan-kesatuan pengertian tentang ayat-ayat atau
surat-surat lain (yang belum dibaca pada saat itu).Pelajaran ini mungkin mirip dengan
pelajaran tafsir, tetapi dapat diberikan tanpa sebuah buku atau kitab tafsir melainkan
cukup dengan Alquran secara langsung.17
Menurut Nurcholis Madjid, sesuai yang telah dipaparkan diatas, pesantren
harus tetap menjalankan fungsi utamanya yaitu sebagai lembaga pendidikan Agama
Islam. Islam adalah agama yang tak lekang oleh waktu yang mana ajarannya tetap akan
selalu relevan dengan perkembangan zaman. Dan hal tersebut harus diikuti pula dengan
kecerdasan penganutnya. Ajaran Islam yang diusung Nurcholis Madjid adalah ajaran
Islam yang komprehensif, menyeluruh, prular sehingga dapat menjadi jawaban dari
segala bentuk pertanyaan dan tantangan zaman yang selalu berkembang ini, dan untuk
mencapai hal tersebut melalui pesantrenlah saran yang paling strategis untuk dicapai
dan tentu dengan pendekatan yang berbeda. Menurut Nurcholis Madjid, sistem
pembelajaran Alquran yang efektif adalah dengan cara mengetahui substansi dari
setiap ayat yang ada didalamnya, lalu menghubungkannya dengan ayat-ayat lainnya.
Dan untuk merangsang berfikir para santri mempelajari Alquran tidak dengan kitab
17Abuddin Nata, “Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia”, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005) hal. 237
55
tafsir melainkan dengan Alquran secara langsung, hal ini diperlukan agar santri dapat
berfikir kritis dan analitis terhadap kandungan suatu ayat.
Metode yang ditawarkan Nurcholis Madjid adalah dengan bantuan sebuah
bacaan atau buku pegangan. Penggunaan cara ini sangat tergantung pada kemampuan
para pengajar dalam mengembangkannya secara lebih luas.18Agar memperluas
pemahaman ayat-ayat Alquran diperlukan menghubungkan ayat dengan ayat dan
dengan bahan bacaan lainnya.
Selain itu, baik seklai memanfaatkan mata pelajaran lain untuk disisipi
pandangan keagamaan tadi. Dan menanamkan kesadaran dan perhargaan yang lebih
wajar pada hasil-hasil seni budaya Islam atau untuk menumbuhkan kepekaan rohanni,
termasuk kepekaan rasa ketuhanan yang menjadi inti rasa keagamaan.19
Menghubungkan ayat Alquran dengan disiplin ilmu lain merupakan hal yang
digagas Nurcholis Madjid dalam metode kajian Alquran dipesantren, karna ayat
Alquran adalah bersifat universal sehingga kandungannya dapat dikaji melalui disiplin
ilmu lainnya, seperti penjelasan tentang perputaran bumu, hal tersebut terdapat dalam
Alquran dan kemudian dibahas kembali dengan pendekatan sains. Artinya Nurcholis
Madjid menekankan agar pesantren lebih terbuka dengan disiplin ilmu lainnya karna
satu sama lain saling menguatkan. Begitupun halnya dalam hal seni agar menimnulkan
rasa keagamaan perlu juga disisipi dengan sentuhan seni budaya Islam.
Selain dari segi yang lebih universal in, pesantren dapat mengadakan
pendalaman-pendalaman pada segi lainnya dalam suatu tingkatan yang lebih lanjut dan
bersifat takhasus.Suatu catatan yang berkaitan dengan hal tersebut adalah keharusan
18Abuddin Nata, “Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia”, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005) hal. 237 19Ibid, hal.238
56
mengadakan pengaturan kembali alokasi waktu dan tenaga pengajar sehingga terjadi
penghematan dan intensifikasi bagi pelajaran-pelajaran lainnya.
Selanjutnya, Nurcholis Madjid menganjurkan agar pesantren tanggap terhadap
tuntutan-tuntutan hidup anak didiknya kelak dalam kaitannya dengan perkembangan
zaman.Di sini pesantren dituntut dapat membekali mereka dengan kemampuan-
kemampuan nyata yang didapat melaluin pendidikan atau pengajaran pengetahuan
umum secara memadai. Dan bagian ini pun, sebagaimana layaknya yang terjadi
sekarang, harus tersedia jurusan-jurusan alternative bagi anak didik sesuai dengan
potensi dan bakat mereka.20
Dalam menjalankan fungsinya pesantren diharapkan bukan hanya mendalami
masalah-masalah agama saja, tetapi juga membekali para santri dengan kemampuanj-
kemampuan praktis sehingga kelak lulusan pesantren tidak hanya menjadi kyai, ustadz
dan tokoh agama saja, tetapi pesantren mampu mencetak tenaga-tenaga professional di
berbagai bidang seperti, ekonomi, seni, ilmu pengetahuan, politisi, social, psikologi
dsb.
Dari pemaparan diatas Nurcholis menegaskan bahwa Islam memiliki nilai
universal artinya Islam bukanlah agama yang kaku akan perkembangan zaman tetapi,
diluar daripada itu Islam harus mampu menjawab segala perkembangan zaman,
sehingga produk dari pesantren diharapkan mampu menjawab tantangan-tantangan dan
tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu yang ada.
Kemudian gagasan yang ditawarkan Nurcholis Madjid dalam rangka
modernisasi pendidikan pesantren adalah dalam aspek kurikulum.Terlihat bahwa
pelajaran agama masih dominan di lingkungan pesantren, bahkan materinya hanya
khusus yang disajikan dalam berbahasa Arab.Mata pelajarannya meliputi fiqh, (paling
20 Mustajab, “Masa Depan Pesantren”, (Yogyakarta, LKiS Printing Cemerlang, 2015)
hal.328
57
utama), aqaid.Nahwu sharf (juga mendapatkan dukungan penting), dan lain-
lain.Sedangkan tasawuf dan semangat sentra agama (religiusitas) yang merupakan inti
dari kurikulum keagamaan cenderung terabaikan.21
Nurcholis Madjid membedakan istilah materi pelajaran “agama” dan
“keagamaan”. Perkataan agama lebih tertuju pada segi formaldan ilmunya
saja.Sedangkan perkataan “keagamaan” lebih mengenai semangat dan rasa agama
(religiusitas). Menurut Nurcholis Madjid, materi keagamaan ini hanya dipelajari sambil
lalu saja tidak secara sungguh-sungguh. Padahal justru inilah yang lebih berfungsi
dalam masyarakat zaman modern, bukan fiqh atau ilmu kalamnya apalagi nahwu
sharfnya serta bahasa Aranya. Di sisi lain, pengetahuan umum nampaknya masih
dilaksanakan secara setengah-setengah, sehingga kemampuan santri biasanya sangat
terbatas dan kurang mendapat pengakuan di masyarakat umum.22
C. Kelemahan dan kelebihan Pesantren
Kekurangan pesantren adalah terletak pada lemahnya visi dan tujuan yang
dibawa pendidikan pesantren. Agaknya tidak banyak pesantren yang mampu secara
sadar merumuskan tujuan pendidikannya dan menuangkannya dalam tahapan-tahapan
rencana kerja atau program. Mungkin kebutuhan pada kemampuan itu terlalu baru.
Tidak adanya perumusan tujuan itu disebabkan adanya kecenderungan visi dan tujuan
pesantren diserahkan pada proses improvisasi yang dipilih sendiri oleh seorang kyai
atau bersama-sama para pembantunya secara intuitif yang disesuaikan dengan
perkembangan pesantrennya. Malahan pada dasarnya memang pesantren itu sendiri
dalam semangatnya adalah pancaran kepribadian pendirinya.Maka tidak heran kalau
21 Mastuhu, “Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Suatu Kajian tentang Unsur Nilai
Sistem Pendidikan Pesantren”, (Jakarta: INIS, 1994), hal. 142 22 Yasmadi, “Modernisasi Pesantren”, (Jakarta: Ciputat Press, 2001) hal. 79
58
timbul anggapan pesantren itu merupakan hasil usaha pribadi atau individual
(individual enterprise).23
Dari paparan diatas Nampak bahwa Nurcholis Madjid mengkritisi lemahnya
pesantren dalam hal penentuan visi dan misi pesantren itu sendiri.Dan pesantren
dewasa ini merupakan cerminan dari pendirinya, pola pendidikan pesantren mengacu
kepada semangat dan pengetahuan pendirinya, menurut Nurcholis Madjid kondisi
seperti ini kurang ideal untuk membentuk pola pendidikan modern. Sebab, kadangkala
kebijakan pendiri pesantren itu bersifat intuitif dan pengetahuan pendiri pesantren-pun
terbatas cenderung pendiri pesantren menolak hal-hal yang tidak ia kuasai. Contoh
diawal masa colonial belanda para penjajah mengajarkan masyarakat menulis,
membaca dengan huruf latin, dan banyak pesantren yang menolak hal itu dikarenakan
kebencian terhadap bangsa colonial Belanda dan juga karena pendirinya tidak
menguasai tulis menulis dengan menggunakan tulisan latin. Padahal jika dicermati
kemampuan tulis menulis dengan menggunakan tulisan latin bisa sangat bermanfaat
bagi para santrinya kelak.
Kurangnya pesantren dalam meresponi dan mengaimbangi perkembangan
zaman tersebut, ditambah dengan faktor lain yang sangat beragam, membuat produk-
produk pesantren dianggap kurang siap untuk “lebur” dan mewarnai kehidupan
modern. Tidaklah mengherankan apabila muncul gambaran diri seorang santri itu,
dibanding dengan tuntutan-tuntutan nyata pada zaman sekarang, adalah gambaran diri
seorang dengan kemampuan-kemampuan terbatas.Sedemikian terbatasnya
kemampuan itu sehingga peranan-peranan yang mungkin dilakukan ibarat hanya
bersifat tambahan yang kurang berarti pada pinggiran-pinggiran dari keseluruhan
23 Nurcholis Madjid, “Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan”, (Jakarta:
Paramadina, 1997) hal. 6
59
sistem masyarakat saja, dan kurang menyentuh, apalagi mempengaruhi nucleus dan
inti-poros perkembangan masyarakat itu.24
Meskipun gambaran diri itu tetap memiliki warna keagamaan biasanya
memperoleh gelar sebagai kyai, alim, ustadz atau sekedar santri, namun diukur dari
keharusan-keharusan keagamaan itu sendiri masih menunjukkan kekurangan-
kekurangan. Pada umumnya pembagian keahlian para lulusan atau produk pesantren
berkisar pada bidang-bidang berikut:
1. Nahwu-Sharaf
Kalau dalam bahasa kita istilah nahwu sharaf ini mungkin bisa diartikan sebagai
gramatika bahasa Arab.Banyak orang berhasil memperoleh status social-keagamaan
jadi berhak atas titel kyai, ustadz, atau yang lainnya hanya karena dianggap ahli dalam
gramatika bahasa Arab ini. Bentuk kongkrit keahlian itu biasanya sangat sederhana,
yaitu kemampuan mengaji atau mengajarkan kitab-kitab nahwu-sharaf tertentu, seperti
Ajurumiah, Imrithi, Alfiyah atau tingkat tingginya kitab Ibnu Aqil. Konotasi
keagamaan dalam keahlian di bidang ini semata-mata karena bahasa objek studinya
adalah bahasa Arab. Status social-keagamaan yang mereka dapatkan itu tidak akan
hilang meskipun yang bersangkutan sendiri mungkin tidak menggunakan “ilmu
alat”nya secara sungguh-sungguh mempelajari ilmu agama, sebagaimana yang menjadi
tujuan semula.25
Kajian ilmu alat merupakan hal yang lumrah dalam pembelajaran di
pesantren.Namun, pengajaran gramatika bahasa Arab ini disalah artikan oleh
masyarakat luas sebagai suatu bagian dari substansi pengetahuan Agama. Padahal
gramatika bahasa arab adalah satu anak tangga yang harus dilalui seseorang yang
bertujuan memahami dan menghayati substansi Agama. Banyak masyarakat yang
24 Nurcholis Madjid, “Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan”, (Jakarta:
Paramadina, 1997), hal. 7 25Ibid, hal. 8
60
memandang kecakapan dalam gramatika bahasa Arab berbanding lurus dengan
pemahaman agama.Hal inilah yang harus diluruskan bahwa menguasai gramatika
bahasa Arab saja tidak cukup untuk menghayati keluasan substansi ajaran agama Islam.
2. Fiqh
Para ulama fiqh sendiri mendefinisikannya sebagai sekumpulan hukum amaliah
(sifatnya akan diamalkan) yang disyariatkan dalam Islam. Pengetahuan tentang hokum
(agama dan syariat) memang dalam jangka waktu yang lama sekali memegang
dominasi dunia pemikiran atau intelektual Islam.26
Kajian fiqih dewasa ini dianggap sebagai sesuatu yang baku, statis tak terjamah
dengan perkembangan. Sehingga kajian-kajian fiqh kurang berkembang.Anggapan
fiqh yang dipelajari sekarang ini sudah final dan tak bisa diganggu gugat. Padahal fiqh
merupakan ajaran yang dinamis terus berkembang sesuai perkembangan zaman, sebab
ajaran fiqh sekarang ini merupakan hasil ijtihad (pemikiran) ulama terdahulu yang
kondisi sosiologis, geografis politis yang amat jauh berbeda dengan keadaan sekarang
ini, sehingga kurangnya semangat mengkritisi kajian fiqh dengan menyesuaikan
dengan perkembangan zaman.
Metode yang digunakan biasanya dengan metode sorogan atau bandongan, dan
di beberapa pesantren juga diadakan metode bahtsul masail mengenai seputar masalah
fiqh.Di dalam forum ini, para santri, biasanya mambahas dan mendiskusikan suatu
permasalahan dalam kehidupan masyarakat dan dicari pemecahannya secara
fiqh.27Nurcholis Madjid melihat bahwa fiqh didefinisikan oleh para ulama terlalu
sempit. Umumnya fiqh diartikan sebagai kumpulan hukum amaliyah (sifatnya akan
diamalkan) yang disyariatkan Islam. Pengetahuan tentang hukum-hukum (agama atau
syariat) memang untuk jangka waktu yang lama sekali memegang dominasi dunia
26Ibid, hal. 9 27 M. Dian Nafi dkk, “Praksis Pembelajaran Pesantren”, (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi
Aksara, 2007) hal. 69
61
pemikiran atau intelektul Islam.Tetapi, Nurcholis Madjid mempertanyakan apakan
keahlian dalam bidang fiqh seluruhnya relevan dengan keadaan sekarang.28
Nurcholis Madjid memaparkan kondisi seperti ini terjadi dari awal abad kedua
hijriyah.Karena hubungan erat dengan kekuasaan, sehingga pengetahuan keagamaan
merupakan tangga naik yang paling cepat menuju status social politik yang lebih tinggi.
3. Aqa’id
Bentuk plural dari aqidah yang padanannya dalam bahasa kita adalah
keyakinan. Aqaid ini meliputi segala hal yang bertalian dengan kepercayaan dan
keyakinan seorang muslim. Meskipun bidang pokok-pokok agama ini disebut dengan
ushuluddin sedangkan fiqh disebut dengan furu’ (cabang-cabang) , tetapi kenyataannya
perhatian pada bidang ini kalah besar dengan perhatian pada bidang fiqh yang hanya
merupakan cabang itu. Selain itu, bidang aqaid ini juga disebut dengan ilmu kalam
memang membuka pintu bagi pemikiran filsafat yang kadang sangat spekulatif.Sebagai
akibatnya, keahlian di bidang ini nampak kurang mendalam.29
2. Tasawuf
Sampai saat ini belum ada definisi tasawuf secara lengkap yang bisa
menjelaskannya.Pengamal tasawuf hanya memahami tentang tarekat, suluk, dan
wirid.Mungkin ditambah dengan sedikit dongeng tokoh-tokoh legendaris tertentu
seperti, Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani. Sesungguhnya tasawuf atau sufi adalah bidang
yang sangat mendalam, dan berkaitan dengan rasa atau semangat keagamaan itu
sendiri. Dan sebenarnya bidang ini sangat menarik dalam struktur kehidupan
beragama.Tetapi pesantren tidak ada yang secara sungguh-sungguh
menggarapnya.Padahal tasawuf ini merupakan bidang yang sangat potensial untuk
28 Yasmadi, “Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam
Tradisional”, (Jakarta: Ciputat Press, 2002) hal. 81 29Ibid, hal.10
62
memupuk rasa keagamaan para santri dan menuntun mereka memiliki budi pekerti
mulia.30
Efisiensi gerkaan tasawuf adalah karena organisasi yang muncul sebagai
perkumpulan-perkumpulan tarekat.Atau thariqoh adalah aliran tentang jalan atau acara
mendekatkan diri kepada tuhan.Tarikat tidak membicarakan segi filsafat daripada
tasawuf. Tap amalan atau praktisnya. Di Indonesia terkenal dua tarikat yaitu qodiriyah
dan naqsabandiyah.Tetapi umumnya kedua tarikat ini telah menjadi satu. Pada jaman
sekarang menolak tarikat ialah dua golongan dengan titik tolak yang berlawanan:
modernism sekularis pada kaum kemalis di Turki dan puritanisme ortodoks (salafi)
pada kaum wahabi di Saudi Arabia. Hanya kedua Negara itu sejauh ini yang melarang
praktek-prektek dan organisasi sufi serta sejenisnya.31
3. Tafsir
Salah satu bidang keahlian yang jarang dihasilkan pesantren adalah bidang
tafsir qur’an. Padahal bidang inilah yang paling luas daya cakupannya, sesuai dengan
daya cakup kitab suci yang mampu menjelaskan totalitas ajaran agama Islam.Kalau
kita perhatikan, pemikiran-pemikiran fundamental yang muncul dalam dunia Islam
biasanya dikemukakan melalui penafsiran-penafsiran al-Qur’an.lemahnya
pengetahuan dibidang ini akan membuka kemungkinan munculnya penyelewengan
dalam menafsirkan ayat al-Qur’an. Sehingga dapat dibayangkan betapa strategisnya
keahlian dibidang ini untuk mengantisipasinya.Saying sekali pesantren-pesantren
“kurang berminat” dalam menggarap bidang ini, terlihat dari miskinnya ragam kitab
30Ibid, hal. 11 31 Artikel Nurcholis madjid, yang di bukukan oleh (Jakarta:LP3S) hal. 113
63
tafsir yang dimiliki perpustakaannya.Kitab tafsir yang dikaji pun biasanya tidak jauh
dari Tafsir Jalalayn.32
4. Hadits
Kalau dibidang tafsir tidak banyak prodduk pesantren kita yang mumpuni,
terlebih lai di bidang hadits ini.Apalagi jika diukur dari segi penguasaan segi riwayah
dan diroyah.Padahal kalau diingat bahwa kedudukan Hadits sebagai sumber hukum
Islam kedua setelah Al-Qur’an, keahlian di bidang ini tentunya sangat diperlukan untuk
pengembangan pengetahuan agama itu sendiri.33
5. Bahasa Arab
Berbeda dengan bidang tafsir dan hadits, di bidang bahasa Arab ini kita bisa
melihat fenomena yang menggembirakan.Pesantren-pesantren kita telah mampu
memproduksi orang-orang yang memiliki keahlian lumayan dalam bahasa
Arab.Keahlian ini harus dibedakan dengan keahlian dalam nahwu sharaf diatas.Sebab,
titik-beratnya ialah pada penguasaan “materi” bahas itu sendiri, baik pasif ataupun
aktif.Kebanyakan mereka kurang mengenal lagi kitab-kitab lain dalam hal nahwu
sharaf, tetapi kebanyakan mereka mengenal kitab yang berisi syair-syair berbahasa
Arab.34
Disisi lain, dalam sistem pendidikan kolonial terlihat bahwa, sistem ini tidak
memberikan tempat pada bahasa Arab diantara berbagai bahasa asing yang diajarkan
di sekolah menengah, seperti bahasa Prancis, Jerman dan, Inggris. Anitesa terhadap
kebijakan pemerintah kolonial di atas lahir (atau kebijakan yang diambil) pesantren
justru lebih menekankan perhatian yang besar pada bahasa Arab.Sebab, bahasa Arab
adalah bahasa kemuliaan dan bahasa hasanah kelilmuan Islam secara umum.Untuk itu
32Ibid hal. 11
33Ibid, hal. 12 34Ibid hal. 13
64
di pondok pesantren sangat ditekankan penelaahan terhadap kitab-kitab klasik tentang
gramatika bahasa Arab.35
Selanjutnya, akibat modernisme muncul gejalabaru di dunia pesantren yang
bersikap terbuka kepada ilmuan modern.Indikatornya adalah masuknya pelajaran
bahasa Inggris ke pesantren-pesantren tertentu.Penekanan bahasa Arab tidak lagi pada
penelaahan gramatikanya, tetapi bagaimana menguasai bahasa Arab itu sendiri, baik
secara lisan maupun tulisan. Nurcholis Madjid melihat bahwa produk yang dilahirkan
pesantren dalam bentuk ini lebih unggul dibanding pesantren dalam bentuk lain.
Melihat pada pemikiran Nurcholis Madjid tersebut, nampaknya pesantren
semacam inilah yang paling memenuhi selera kaum muslim dalam memasuki era
modernisasi pada saat ini. Kondisi ini memperlihatkan terjadinya integritas keilmuan
(ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu Islam) yang selama ini dianggap tidak dapat
dikompromikan.Ini terlihat pada penggabungan pengetahuan bahasa Arab dan bahasa
Inggris yang melambangkan perpaduan antara unsur keislaman dan unsur
kemodernan.Karena itu orientasi kulturalnya menjadi lebih sederhana.Justru aspek
integritas keilmuan yang menjadi perhatian utama.36
Nampaknya Nurcholis Madjid di sini menekankan agar dalam penerapan
kurikulum di pesantren adanya check and balance. Nurcholis Madjid menekankan
adanya keseimbangan antara materi keIslaman dan materi-materi umum. Misalnya
penekanan yang sama antara fiqh, aqaid, tafsir, hadits, bahasa Arab dan lain-lain.
6. Fundamentalisme
Adalagi hasil pendidikan pesantren yang perlu dibicarakan di sini, yaitu untuk
mudahnya namakan saja fundamentalisme.Yang dimaksud di sini adalah mereka yang
35 Yasmadi, “Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam
Tradisional”, (Jakarta: Ciputat Press, 2002) hal. 89 36Ibid, hal. 89
65
dilatih begitu rupa oleh pesantrennya sehingga memiliki semangat fundamentalistik
yang tinggi sekali. Curahan perhatian biasanya diutamakan pada bidang fiqh, tetapi
tentu dengan cara dan orientasi yang berbeda dengan model “fiqh” tersebut di atas.
Jenis ini biasanya dapat berfungsi hanya dalam lingkungan yang sangat terbatas saja,
mengingat kadar fundamentalisme an puritanisme mereka yang sering melahirkan
sikap-sikap kaku.
Selain jenis-jenis produk pesantren di atas sudah tentu masih terdapat jenis-
jenis lain yang tak perlu diketengahkan secara khusus di sini, seperti jenis keahlian
dalam ilmu falak, kanuragan, qiraat dan ilmu hikmah.37
Kesadaran yang mulai tumbuh mengenai pesantren itu sering disertai dengan
sikap apresiatif secukupnya misalnya dengan memberi penilaian bahwa sistem
pesantren adalah merupakan sesuatu yang bersifat “asli” atau indigenous Indonesia,
sehingga dengan sendirinya bernilai positif dan harus dikembangkan. Penilaian itu
menempatkan dunia pesantren pada deretan daftar perbendaharaan nasional,
menumbuhkan pengakuan akan peranannya dalam pertumbuhan dan pertumbuhan dan
perkembangan pendidikan nasional.
Namun tidak tertutup kemungkinan adanya penilaian resmi yang pincang
(sekurang-kurangnya sebagai sisa masa lalu).Misalnya dalam pembicaraan atau
penulisan resmi, hamper tidak terdapat penyebutan pesantren sebagai unsur pokok
dalam sistem pendidikan nasional.Bahkan peranan dan sumbangan pesantren pada
sistem pendidikan nasional dinilai belum mampu menandingi organisasi-organisasi
pendidikan lainyya.
Hal itu tampaknya karena pesantren dilihat sebagai berada diluar jalur resmi
atau standar dalam hal pendidikan, dan dilihat sebagai gejala yang seolah-olah
37 Yasmadi, “Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam
Tradisional”, (Jakarta: Ciputat Press, 2002) hal. 14
66
seharusnya tidak boleh ada. Sebab yang resmi dan baku atau standar ialah apa yang
dasar-dasarnya telah diletakkan oleh pemerintah colonial Belanda, yaitu sistem dan
filsafat pendidikan tertentu yang kini dikenal sebagai sekolah atau lebih popular
sekolah umum. Namun kembali pada apa yang disebutkan tadi, syukurlah bahwa
kecenderungan yang lebih posuitif sekarang lebih tampak di ufuk dunia pemikiran para
sarjana kita, khususnya di bidang pendidikan dan kebudayaan.
Pesantren sendiri dalam melihat dirinya, seperti dapat diduga, terbagi menjadi
berbagai macam kelompok.Kelompok penyederhanaan, disini kita sebutkan saja
berapa kelompok yang perlu.Pertama, yang merupakan bagian terbesar, yaitu
kelompok pesantren yang tidak menyadari dirinya, apakah bernilai baik atu bernilai
kurang baik. Mereka menganggap bahwa apa yang terjadi adalah terjadi begitu saja,
tanpa ada persoaalan serius yang perlu mereka fikirkan. Kedua, adalah kelompok yang
seperti seorang zealot atau fanatikus yang karena kefanatikannya ini membuat
penilaian mereka kurang objektif.Kelompok ini menilai bahwa pesantren dengan
segala aspeknya adalah pasti positif dan mutlak harus dipertahankan.Ketiga, adalah
kelompok yang kehinggapan perasaan bangga diri.Perasaan ini bisa menimbulkan
sikap pesimis dan kurang percaya diri dalam mengejar ketertinggalannya, sehingga
mereka menganggap indentitas pesantrennya tidak perlu lagi dipertahankan. Tentunya
ini akan berakibat rusaknya identitas pesantren secara keseluruhannya. Dan keempat,
mungkin kelompok ini yang paling sedikit jumlahnya yaitu pesantren-pesantren yang
sepenuhnya menyadari dirinya sendiri baik segi-segi positif maupun negatifnya,
sanggup dengan jernih melihat mana yang harus diteruskan dan mana yang harus
ditinggalkan.Kelebihan mereka dalam melakukan introspeksi secara objektif ini
menjadikannya memiliki kemampuan beradaptasi secara positif pada perkembangan
zaman dan masyarakat.38
38 Nurcholis Madjid, “Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan”, (Jakarta:
Paramadina, 1997) 103
67
Bila dilihat dari sistem pengajaran yang diterapkan di dunia pesantren, memang
terdapat kemiripan dengan tata laksana pengajaran dalam ritual keagamaan Hindu,
dimana terdapatnya penghormatan yang besar oleh murid (santri) kepada kyainya
sehubungan dengan hal ini Cuk Nur menggambarkan, kyai duduk diatas kursi yang
dilandasi bantal dan para santri duduk mengelilinginya. Dengan cara begini timbul
sikap hormat dan sopan oleh para santri terhadap kyai seraya dengan tenang
mendengarkan uraian-uraian yang disampaikan kyainya.39Sehingga peran kyai sangat
fenomenal dan signifikan dalam keberlangsungan atau eksistensi sebuah pesantren,
sebab kyai adalah sebuah elemen dari beberapa elemen-elemen dasar sebuah
pesantren.40
Menurut Nurcholis Madjid kelemahan pesantren selanjutnya adalah adanya
kesenjangan Intelektual dan Kultural. Eksistensi pesantrten dengan kondisi yang ada
sekarang ini telah melahirkan output santri dengan segala potensi akademisnya hanya
bagaikan menghadirkan “koleksi busana”, tetapi orang lain tidak menyukainya, atau
mereka memang tidak tahu kalau itu baik untuk digunakan. Atau barangkali dapat juga
diibaratkan, seseorang yang mempunyai “koleksi busana”, tetapi tidak tahu bagaimana
cara memakai atau apa yang lebih cocok dipakai untuk waktu-waktu tertentu.41
Ungkapan diatas menunjukkan bahwa output yang dihasilkan pesantren dewasa
ini belum bisa memahami substansi ajaran Islam, yang mereka tonjolkan ke permukaan
adalah unsur terluar dari inti ajaran Islam. Symbol-simbol keagamaan amat sangat
dikedepankan tetapi tidak jarang dibalik itu ada hal-hal yang malah bertentangan
dengan ajaran Islam.Hal tersebutlah maksud dari ungkapan Nurcholis Madjid
“kesenjangan intelektual dan kultural antara pesantren dan dunia luar.Dengan demikian
39Ibid, hal. 22 40 Yasmadi, “Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam
Tradisional”, (Jakarta: Ciputat Press, 2002) hal. 63 41Ibid, hal. 106
68
pesantren yang menyimpan berbagai macam potensi itu tidak dapat hadir secara
akomodatif dan memainkan peranan yang maksimal di zaman modern ini.
Untuk mengetahui factor penyebabnya, Nurcholis Madjid telah
mengidentifikasi beberapa hal, antara satu dengan yang lainnya yaitu, lingkungan,
santri, kurikulum, kepemimpinan, alumni dan prinsip kehidupan pesantren secara
umum. Menurut Nurcholis Madjid, dilihat dari factor lingkungan, pesantren
merupakan hasil pertumbuhan tak berencana. Sarana dan prasarana yang mendukung
keutuhan suatu pesantren, seperti letak masjid, asrama atau pondok, madrasah, kamar
mandi, perumahan pimoinan, dan lain-lain, umumnya sporadic. Kondisi ini diperparah
lagi dengan minimnya peralatan dan alat pendukung proses belajar-mengajar, seperti
meja, kursi, ruangan kelas, masjid, musholla, halaman madrasah papan tulis dan lain-
lain.42Namun kendatipun demikian pesantren dewasa ini sudah banyak yang
melengkapi diri dengan sarana dan prasarana yang cukup memadai.Kondisi yang
dimaksudkan Nurcholis Madjid diatas adalah kondisi awal tumbuh dan
berkenmbangnya suatu pesantren.Sebab, pesantren berdiri atas dasar swadaya
masyarakat atau berasal dari pendirinya sendiri.
Dalam proses modernisasi itu memang terjadi proses reformasi social. Ini
memungkinkan lapisan-lapisan tertentu kelompok social paling inti dari pesantren
beralih ke tingkat elite terpelajar.Sementara itu, pesantren sendiri menjadi lembaga
pendidikan yang menampung anak-anak masyarakat bawah.Mereka tidak mampu
menikmati sekolah-sekolah umum, karena biaya yang harus dibayar amatlah mahal.43
Dari sisi santri terlihat beberapa fenomena yang unik, mulai dari pakaian,
kondisi kesehatan, prilaku, dan penyimpangan-penyimpangan yang mereka
lakukan.Cara berpakaian misalnya, umumnya para santri tidak bisa membedakan
42 Nurcholis Madjid, “Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan”, (Jakarta:
Paramadina, 1997) hal. 90 43 Jamali, “Kaum Santri dan Tantangan Kontemporer”, (Bandung: Pustaka Hidayah) hal.
139
69
antara pakaian untuk belajar, dalam kamar, ke luar pondok pesantren, bahkan untuk
tidurpuntidak berbeda.Apakah ada kaitanyya dengan kesehatan atau tidak, tapi yang
pasti jelas penyakit kulit (kudis), sering diasosiasikan dengan para santri.Kemudian
menyangkut tingkah laku santri, sudah menjadi rahasia umum bahwa para santri
mengidap penyakit rasa rendah diri dalam pergaulan ketika harus bersosialisasi dengan
masyarakata luar mereka. Ada telihat ketidakkonsistenan dalam tingkah laku samtri ini
menurut Nurcholis Madjid, sebab untuk lingkungan intern mereka sangat liberal, ini
ditunjukkan dengan sikap termasuk pembicaraan mereka yang hamper-hampir
seenaknya. Tetapi, ketika mereka berhadapan dengan orang luar sikap ini tidak tampak.
Apalagi jika mereka berhadapan dengan “orang lain” (agama, ras, pandangan politik,
ataupun paham keagamaan yang berbeda).
Berkaitan dengan pergaulan santri ini juga, menurut Nurcholis Madjid,
sangatlah wajar dilakukannya penyimpangan oleh santri mengingat di pesantren tidak
diberlakukannya sistem pergaulan (sekedar pergaulan saja) dengan jenis kelamin lain.
Namun, barangkali hal tersebut jarang terjadi oleh karena beberapa factor: pertama,
pada umumnya para santri sangat menghayati nilai-nilai akhlak yang mereka pelajari
di pesantren. Kedua, para santri pada umumnya belum mencapai usia pubertas,
sehingga konsentrasi mereka hanya terfokus untuk mengaji dan ibadah. Walaupun ada
santri yang tingkat aliyah (sudah mencapai usia remaja), biasanya mereka secara tidak
langsung harus memperlihatkan pribadi yang baik (terpuji, panutan), mengingat
mereka adalah wakil kyai (asisten), atau guru bantu di pondok. Ketiga, para santri
sedikit sekali mendapat rangsangan dari luar, baik dari lawan jenis maupun rangsangan
lain seperti media masa, lingkungan dan lain-lain. Sebab, pergaulan para santri akan
dibatasi oleh lingkungannya sendiri.
Kyai adalah figur yang berperan sebagai penyaring informasi dalam memacu
perubahan di dalam pondok pesantren dan masyarakat seitarnya.Kedudukan kyai
adalah pemegang pesantren yang menawarkan agenda perubahan social keagamaan
70
baik yang menyangkut masalah interpretasi agama dalam kehidupan social maupun
perilaku keagamaan santri, yang kemdian menjadi rujukan masyarakat.44
Kyai, dalam sepanjang sejarah kepemimpinannya, rupanya berupaya
menginternalisasikan dan merefleksikan citra imam sebagaimana yang tercermin
dalam kaidah fiqih “tasharruful imam ala ar ra’iyyah manuutun bil maslahah”.Kyai
berupaya sungguh-sungguh menjadi pemimpin bagi dirinya, bagi keluarganya dan bagi
masyarakatnya.Tetapi kepemimpinan kyai itu dimana kemaslahatan menjadi tujuannya
terutama ditujukan bukan untuk keluarganya, apalagi dirinya, melainkan untuk
masyarakat yang dipimpinnya.45
Berkaitan dengan kepemimpinan pesantren, secara apologetic sering
dibanggakan bahwa kepemimpinan atau pola kepemimpinan pesantren adalah
demokratis, ikhlas, sukarela dan seterusnya.Anggapan seperti ini menurut Nurcholis
Madjid perlu dipertanyakan kebenarannya bila diukur dengan perkembangan jaman
sekaran ini. Untuk penelaahan lebih jauh Nurcholis Madjid mengemukakan beberapa
hal: pertama, karisma. Pola kepemimpinan karismatik sudah cukup menunjukkan segi
tidak demokratisnya, sebab tidak rasional.Apalagi jika disertai dengan tindakan-
tindakan yang bertujuan memelihara karisma tersebut.Seperti, jaga jarak dan
ketinggian dari para santri. Pola kepemimpinan seperti ini akan menghilanghkan
kualitas demokratisnya. Kedua, personal.Karena kepemimpinan kyai adalah karismatik
maka dengan sendirinya juga bersifat pribadi atau personal. Kenyataan itu mengandung
implikasi bahwa seorang kyai itu tidak mungkin digantikan orang lain serta sulit
ditundukkan kebawah rule of the game nya administrasi dan manajemen modern.
Ketiga, religiufeodalisme.Seorang kyai selain menjadi pemimpin agama sekaligus
merupakan traditional mobility dalam masyarakat feodal. Dan feodalisme yang
berbungkus keagamaan ini bila disalahgunakan akan jauh lebih berbahaya dari
44Abdurrahman Wahid, “Benarkah Kyai Membawa Perubahan Social? Pengantar dari
Buku Kyai dan Perubahan Social” hal. Xi-xx 45 Zainal Arifi Thoha, “Runtuhnya Singgasana Kyai”, (Yogyakarta: Kutub, 2003) hal292
71
feodalisme biasa. Keempat, kecakapan teknis. Karena dasar kepemimpinan kyai dalam
pesantren adalah seperti diterangkan diatas, maka dengan sendirinya factor kecakapan
teknis menjadi tidak begitu penting. Dan kekurangan ini menjadi salah satu sebab
pokok tertinggalnya pesantren dari perkembangan jaman.46
Kyai merupakan tumpuan pesantren, berkat tempaan pengalamannya
mendirikan pesantren sebagai realisasi cita-cita kyai, akhirnya timbullah corak
kepemimpinan yang sangat bersifat pribadi, yang berlandaskan pada penerimaan
masyarakat sekitar dan warga pesantrennya secara mutlak.Karena itu, ciri utama
penampilan kepemimpinannya kyai adalah watak kharismatik yang dimilikinya.47
Kyai memegang tongkat utama kepemipinan pesantren menurut mustajab
diatas kyai merupakan watak kharismatik yang dimiliki kyai tersebut.Dalam arti bahwa
pesantren yang di dirikan oleh kyai adalah merupakan kristalisasi corak pemikiran
pendirinya. Begitupun dalam menerima hal lain diluar pemahaman kyai tersebut
cenderung sulit, meskipun pada saat ini mulai bermunculan pesantren-pesantren yang
sudah terbuka dengan perkembangan dunia modern, seperti memasukkan Bahasa
inggris kedalam Bahasa sehari-hari dan lain sebagainya.
Disisi lain, elemen alumni santri juga salah satu factor ketidakmampuan
pesantren menjawab tantangan jaman. Nurcholis Madjid melihat, kendatipun institusi
pesantren mengklaim telah berhasil melahirkan wakil-wakilnya, kader-kadernya,
ataupun outputnya yang articulated, tetapi itu hanya terbatas untuk lingkungan sendiri.
Artinya, output tersebut tidak siap megisi kebutuhan pada institusi-institusi lain. Di
samping itu ada yang lebih ironis lagi di kalangan santri ada slogan tidak mau menjadi
pegawai negeri.Slogan ini merupakan sisa-sisa sikap isolatif dan non-kooperatif zaman
kolonial dulu.48Sama sekali tidak relevan untuk dipertahankan.Sikap non-kooperatif
46 Nurcholis Madjid, “Bilik-bilik Pesantren”, (Jakarta: Paramadina, 1997)hal. 95 47 Mustajab, “Masa Depan Pesantren Telaah atas Model Kepemimpinan dan Manajemen
Pesantren Salaf”, (Yogyakarta: LKiS 2015) hal. 47 48 Nurcholis Madjid, “Bilik-bilik Pesantren”, (Jakarta: Paramadina, 1997)hal. 96
72
yang diambil oleh para alumni pesantren sangan tidak relevan sekali dengan kondisi
sekarang ini.Hendaknya para alumni pesantren turut ambil bagian dalam
pembangunan.
Selanjutnya, segi yang dianggap positif dalam kehidupan pesantren adalah
semangat kesederhanaan.Namun, menurut Nurcholis Madjid dalam beberapa hal perlu
ditelaah kembali, bahkan dalam pesantren sendiri pengajaran ini kurang mendapat
tekanan dalam kurikulumnya.49
Kesederhanaan tidak dapat diukur secara kuantitas.Kesederhanaan adalah sikap
dan perilaku yang didasarkan pada kebutuhan, bukan pada keinginan.Bisa saja
seseorang memiliki beberapa mobil mewah karena memang mobil-mobil tersebut
dibutuhkan dan tentu saja karena orang tersebut memiliki kemampuan untuk
mengadakannya. Dengan kata lain, kesederhanaan mesti didasarkan pada kemampuan
dan kebutuhan, bukan pada keinginan.50
Jika saja khasanah keilmuan Islam klasik yang dimiliki pesantren dapat
dipotimalisasikan dengan sebaik-baiknya, pesantren jauh lebih baik kualitasnya dari
lembaga-lembaga pendidikan dalam bentuk lain. Tapi dengan miskinnya metodologi
dan apriorinya pesantren dengan dunia luar telah membuat potensi ini tidak berarti apa-
apa.
Beberapa persoalan diatas memperlihatkan jurang yang menganga antara dunia
pesantren di satu sisi dan alam real di sisi lain, padahal pesantren sendiri adalah bagian
dari dunia itu. Kesenjangan ini tidak jarang telah melahirkan dikotomi pada lembaga
pendidikan Islam. Pesantren yang bersifat “konservatif” lebih diidentikkan dengan
49Ibid, hal. 99 50 Wahyuni Nafis, “Pesantren Daar el Qolam, Menjawab Tantangan Zaman”, (Tangerang:
Daar el Qolam Press 2008) hal. 160
73
lembaga pendidikan tradisional, sedangkan lembaga pendidikan yang “mewarisi”
sistem colonial diklaim sebagai lembaga pendidikan modern.
Klaim didatas dalam beberapa kali barangkali dapat dibenarkan.Persoalanyya,
barangkali sistem pendidikan yang diklaim modern tersebut tidaklah akomodatif untuk
perkembangan zaman sekaran ini.Karena kenyataan menunjukkan bahwa pertumbuhan
ilmu pengetahuan yang tidak dilandasi dengan iman dan taqwa, tidak membawa
manfaat yang banyak.Bahkan tidak jarang sebaliknya, justru menumbulkan dampak
negatif dalam bentuk yang amat canggih.
Sementara itu, di sisi lain pesantren nampaknya juga perlu membenahi diri
dalam banyak hal agar dapat menjadi sistem pendidikan alternative di masa depan dan
berperan menciptakan dukungan social bagi perkembangan yang sedang berjalan.
Berangkat dari potensi lembaga tersebut (pesantren dan lembaga pendidikan
“modern”) serta belajar dari kekurangan masing-masing, agaknya pepaduan kedua
unsur itulah yang dijadikan sebagai model pendidikan alternative untuk menyongsong
Indonesia baru dengan mewujudkan masyarakat madani. Masyarakat yang memiliki
sumber daya manusia yang kaya iptek dan imtaq.
Setelah menelaah lebih jauh kritik Nurcholis Madjid terhadap dunia
pendidikan Islam tradisional dan mempelajari pikiran-pikiran serta gagasannya,
nampaknya Nurcholis Madjid berobsesi menciptakan suatu sistem pendidikan yang
memiliki keterpaduan antara unsur keislmaman, keindonesiaan dan keilmuan. Sistem
pendidikan terpadu ini diproyeksikan sebagai suatu alternatif untuk menuju masyarakat
madani. Untuk membuktikan tesis diatas, berikut ini akan dilihat konsep keterpaduan
dalam ketiga unsur tersebut.
1) Keislaman
Islam sudah termarginalkan dalam bangunan sistem pendidikan, karena ada
anggapan bahwa Islam sebagai penghambat kemajuan.Islam diklaim sebagai tatanan
74
nilai yang tidak dapat hidup berdampingan dengan sistem modern. Menurut Nurcholis
Madjid, Islam yang dipandang sebagai penyebab kegagalan dan keterbelakangan
adalah klaim-klaim warisan kolonial yang pada masa dahulu digunakan sebagai alat
untuk menghadapi sikap-sikap permusuhan non kooperatif kaum ulama, kyai,, dan
santrinya. Anggapan terhadap Islam sebagai musuh kemajuan dalam pandangan
Nurcholis Madjid berarti orang itu tidak memahami keuniversalan ajaran Islam. Oleh
sebab itu, penelaahan kembali terhadap ajaran nilai universalitas Islam amat diperlukan 51
Munculnya anggapan Islam sebagai agama yang menjadi penghambat
kemajuan jaman, tidak dapat berjalan beriringan Antara Islam dan arus perkembangan
zaman menurut Nurcholis Madjid itu disebabkan warisan colonial Belanda di masa lalu
dalam memerangi ulama, kyai dan santri yang melakukan perlawanan terhadap
colonial Belanda.
Ajaran Islam jelas menunjukkan adanya hubungan organik antara ilmu dan
iman.Hubungan organik itu kemudian dibuktikan dalam sejaran Islam klasik ketika
kaum muslimin memiliki jiwa kosmopolit yang sejati.Atas dasar kosmopolitanisme itu
umat Islam membangun membangun peradaban dalam arti yang sebenar-benarnya
yang juga berdimensi universal.52
Menurut Nurcholis Madjid anggapan Islam tidak dapat beriringan dengan arus
perkembangan jaman adalah bentuk kejumudan berfikir atau dalam bahasa lain bentuk
ketidak pahaman seseorang dalam memahami universalitas Islam, padahal Islam
adalah agama yang sesuai dengan ruang dan waktu. Agama yang bias fleksibel dalam
menerjemahkan ajaran agama yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Kalau
dalam istilah Nurcholis Madjid Islam bukanlah sebuah monument baku yang statis tapi
51Nurcholis Madjid,”Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan” (Jakarta: Paramadina, 1998) hal. 92 52Ibid, hal. 24
75
Islam adalah agama yang dinamis yang memiliki kemampuan menyelaraskan diri
dengen perkembangan zaman.
Inilah yang memperkokoh nilai universalitas Islam yang meliputi unsur sejarah,
filsafat, sains, teologi dan tasawuf, sebagai tradisi keilmuan Islam klasik yang telah
menaruh perhatian pemikiran keislaman klasiknya dan disisi lain memberikan metode
modern baik untuk menelaah-menelaah penguasaan bahasa asing Arab-Inggris,
maupun untuk menyajikan dan mengemas pengetahuan secara ilmiah untuk dapat
dihadirkan ke dunia modern. Yasmadi mengutip pendapat Greg Barton dalam bukunya
tentang pendapatnya mengenai pondok modern gontor, bahwa Gontor menghadirkan
perpaduan yang liberal, yakni tradisi belajar klasik dengan gaya modern Barat.
Kepustakaan Arab klasik yang merupakan kurikulum untuk setiap pesantren-pesantren
ternyata juga diajarkan di Gontor, tetapi diberikan dalam praktik pengajaran modern.53
Berdasarkan ungkapan diatas, agaknya konsep awal Nurcholis Madjid dalam
memodernisasi pendidikan berangkat dari sistem pendidikan Gontor sebagai
model.Tetapi, lebih jauh lagi sistem pendidikan yang digagas Nurcholis Madjid adalah
untuk memadukan unsur keislaman, keindonesiaan dan kelimuan.Hal ini sesuai dengan
platform pembaharuan Nurcholis Madjid sendiri yaitu keindonesiaan, keislaman dan
kemodernan.
Setelah menelaah lebih jauh kritik Nurcholis Madjid terhadap dunia pendidikan
Islam tradisional dan mempelajari pikiran-pikiran serta gagasannya, nampaknya
Nurcholis Madjid berobsesi meciptakan suatu sistem pendidikan yang memiliki
keterpaduan antara unsur keislaman, keindonesiaan dan keilmuan. Sistem pendidikan
terpadu ini diproyeksikan sebagai suatu alternatif untuk menuju masyarakat madani.54
53 Yasmadi, “Modernisasi Pesantren, Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam
Tradisional”, (Jakarta: Ciputat Press, 2002) hal. 123 54Ibid, hal. 124
76
Aktualisasi terhadap pemahaman agama dengan mengaitkannya dengan
disiplin ilmu lain dalah salah satu gagasan Nurcholis Madjid dalam reaktualisasi
pemahaman agama melalui kitab-kitab klasik. Hematnya dalam memahami kitab
klasik yang didorong oleh pemahaman gramatika bahasa Arab nampaknya harus
dimanfaat kan untuk menggali sedalam-dalamnya pemahaman keagamaan, karena
menurut Nurcholis Madjid banyak alumni pesantren yang mumpuni di dalam
gramatika bahasa Arab tetapi lemah dalam fiqh atau cabag-cabang ilmu yang lainnya.
Ini menandakan bahwa pemahaman gramatika bahasa Arab tidak melulu berbading
lurus dengan pemahaman agama secara luas.
Untuk melihat kembali kitab-kitab lama “klasik” dan menyikapi agar tidak
terjadinya kemiskinan intelektual atau dalam istilah Nurcholis Madjid kehilangan jejak
riwayat intelektualisme Islam.55
Menurut Nurcholis Madjid, inilah salah satu kelemahan dan akibat dari
pembaharuan yang dilakukan Muhammadiyah, sehingga menimbulkan kesenjangan
intelektual. Jejak pemahaman mereka terhadap Islam tidak lengkap.Mereka memahami
Islam dari kaum orientalis, bukan khasanah Islam yang ada.Tidak timbul lagi wacana
kreatif untuk mempelajari “kitab-kitab lama” sebagai warisan intelektual
Islam.Padahal khasanah keislaman terdapat dalam kitab-kitab itu, jadi perlu suatu fase
reorientasi tradisi.56
Satu kelemahan pesantren pada masa kini menurut Nurcholis Madjid dalam
mengkritisi pembaharuan yang dilakukan organisasi Muhammadiyah itu malah
menciptakan kesenjangan intelektual, yang mana dalam memahami suatu teks agama
terbilang letterlek. Pemahaman yang seperti itu nampaknya tidak sesuai dengan zaman
ini, sebab konteks akan selalu berubah dan teks akan cenderung statis jadi bukan
55Nurcholis Madjid,”Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan” (Jakarta: Paramadina, 1998) hal. 65 56 Yasmadi, “Modernisasi Pesantren, Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam
Tradisional”, (Jakarta: Ciputat Press, 2002) hal. 124
77
mengubah teksnya tetapi mengubah konteksnya. Melihat konteks kekinian dalam
memahami suatu teks agama.
Oleh sebab itu, menurut Nurcholis Madjid, di Indonesia sering didengungkan
tentang perlunya para sarjana keislaman mengenal apa yang disebut “kitab kuning”.
Seruan itu adalah penyederhanaan dari rasa kesadaran dan keperluan kepada sikap-
sikap yang lebih apresiatif terhadap warisan intelektual Islam sendiri.Apresiasi yang
dikehendaki terhadap kitab kuning bukanlah jenis apresiasi doktrinal dan dogmatik,
melainkan jenis intelektual-akademik.Selain itu juga diharapkan secara wajar
mengapresiasikan warisan intelektual dari luar Islam sejalan dengan petunjuk agama
sendiri dalam hal sikap terhadap ilmu pengetahuan dari manapun datangnya.57
Sikap terhadap kedua kutub warisan intelektual itupun mengindikasikan
pengitegrasian keilmuan dalam wacana pendidikan Islam.Selanjutnya, pada tataran
yang lebih tinggi lagi bidang filsafat belum mendapat tempat dalam pendidikan Islam,
sehingga kedalaman ilmu seseorangdalam Islam selalu diukur sejauh mana
pengetahuannya terhadap fiqh, sebagai akibat dari fiqh oriented. Reorientasi ini telah
diupayakan oleh Nurcholis Madjid melalui Yayasan Wakaf Paramadina sebagai suatu
alternatif menghadirkan Islam di alam modern.
Tinggal lagi persoalan yang melihat dunia pendidikan sekarang adalah
merumuskan kajian epistimologi ilmu-ilmu umum yang masih kabur, kemudian
merumuskan metodologi dalam mengajarkannya di dunia pendidikan Islam secara
umum.Azyumardi Azra misalmnya mengangkat kasus Al-Azhar.Pengalaman Al-
Azhar dalam mengintegrasikan antara bidang ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu
agama tersebut boleh dikatakan kurang berhasil.Ada hambatan-hambatan tertentu,
misalnya berkaitan dengan persoalan dikotomi konseptual ketika fakultas-fakultas
umum dimasukkan ke Al-Azhar, tidak disertai dengan perumusan epistimologi yang
jelas.Misalnya saja, bagaimana ilmu-ilmu eksakta diajarkan kepada mahasiswa dalam
57 Nurcholis Madjid, “Kaki Langit Peradaban Islam”, (Jakarta: Paramadina,1997) hal. 157
78
kerangka atau visi Islam, bagaimana memberikan warna Islam terhadap ilmu yang
bersifat umum.58
Gagasan serupa juga nampaknya memiliki substansi yang sama bahwa konsep
epistimologi keilmuan umum tersebut belum kongkrit dalam wacana pendidikan Islam.
Konsep dasar yang dimunculkan Nurcholis Madjid hanya sebatas bagaimana
mendapatkan kembali ilmu pengetahuan dan teknologi ke dalam daerah pengawasan
nilai agama, moral dan etika.Karena pada prinsipnya, asal mula semua cabang ilmu
pengetahuan adalah berpangkal pada ilmu agama. Ketika para intelektual muslim
mampu mengembangkan dan mengislamkan ilmu pengetahuan modern itu, dunia
Islam akan dapat mencapai kemakmuran dalam berbagai bidang, seperti yang
dicontohkan pada masa Islam klasik. Saat ini, umat Islam hanya dapat menyaksikan
bekas-bekasnya saja.Buktinya sampai sekarang banyak sekali istilah-sitilah teknis
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi modern barat yang berasal dari bahasa
Arab.Sebagai indikator, terdapat akar-akar Islam bagi ilmu pengetahuan dan teknologi
modern.Peradaban Islam mempengaruhi barat tidak hanya dalam bidang iptek, tetapi
juga dalam bidang peradaban pada umumnya, maka dapat ditemukan pula berbagai
istilah Inggris pinjaman dari bahasa Arab dan Persia.59
Menurut Nurcholis Madjid kemajuan teknolohgi sekarang ini yang cenderung
bermunculan dari dunia Barat adalah berasal dari Islam, kemajuan teknologi, al jabar,
ilmu kesehatan dan lain sebagainya merupakan peninggalan kejayaan Islam di masa
klasik. Yang merupakan buah dari tidak adanya dikotomi Antara ilmu agama dan ilmu
umum, sehingga semangat mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dikala itu melonjak
tinggi. Seiring kekalahan kerajaan Islam yang Berjaya dimasa klasik umat Islam
mengalami kemunduran yang sangat signifikan akibat penguasaan ilmu-ilmu yang
58 Azyumardi Azra,”Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pendidikan Islam”, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998), hal. 82 59 Nurcholis Madjid, “Kaki Langit Peradaban Islam” (Jakarta: Paramadina,1997) hal. 72
79
telah ditemukan ilmuan muslim oleh Barat. Dan imbasnya kini umat Islam hanya dapat
menonton arus perkembangan teknologi yang tak dapat terbendung yang padahal itu
merupakan bagian dari Islam.
Dengan menyadari kondisi umat Islam, dimana tingkat pendidikan modern
rata-rata diseluruh dunia, masih lebih rendah dari bangsa-bangsa lain, maka untuk
menuju ke arah masa depan yang lebih baik Nurcholis Madjid menyerukan kepada
umat Islam dalam merespon tantangan zaman itu harus terlebih dahulu dengan
menangkap pesan dalam kitab suci. Kemudian secara kritis mempelajari sosok ilmu
pengetahuan yang dihasilkan oleh modernitas.Upaya ini merupakan salah satu upaya
untuk menemukan kembali pengetahuan baru yang merupakan tujuan sejati intelektual
Islam.60
Pemahaman substansial terhadap teks Al-Qur’an nampaknya menjadi kunci
umat Islam dapat menjawab tantangan dunia modern. Sebab pemahaman substansi
terhadap suatu teks adalah modal awal bagaimana kontekstualisasi ajaran agama Islam
dapat terus berjalan beriringan, sehingga hilangnya image bahwa Islam adalah
hambatan kemajuan zaman akan semakin tergerus sebab kesadaran umatnya bahwa
Islam adalah agama yang dinamis.
2) Keindonesiaan
Lebih jauh lagi, modernisasi pendidikan yang dimaksud diharapkan mampu
menciptakan suatu lembaga pendidikan yang mempunyai identitas kultural yang lebih
sejati sebagai konsep pendidikan masyarakat Indonesia baru yang didalamnya juga
akan ditemukan nilai-nilai universalitas Islam yang mampu melahirkan suatu
peradaban masyarakat Indonesia masa depan. Di sisi lain, lembaga ini juga mencirikan
keaslian Indonsia, karena secara kultural terlahir dari budaya Indonesia yang asli.
60 Nurcholis Madjid, “Islam doktrin dan Peradaban”, (Jakarta: Paramadina, 1995) hal. 485
80
Konsep ini agaknya yang relevan dengan konsep pendidikan untuk menyongsong
masyarakat madani.61
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa Nurcholis Madjid
mengidentifikasi kelebihan pesantren adalah bahwa pesantren merupakan lembaga
pendidikan asli Indonesia.Sehingga dalam menyikapi perkembangan dunia global
pesantren harus selalu mempertahankan jati dirinya yaitu Indonesia, dalam rangka
merawat jati diri tersebut pesantren harus selalu membawa nuansa budaya asli
Indonesia dan merawat tradisi tersebut. Menurut Nurcholis Madjid pesantren perlu
mendesain pengajaran ataupun kultur yang ada didalamnya sehingga tidak hilang
nuansa keindonesiaannya meskipun terus menyesuaikan diri dengan dunia global,
sebab itulah yang menjadi nilai plus pesantren.
Obsesi Nurcholis Madjid adalah mengupayakan modernisasi dengan tegas dan
jelas berlandaskan platform kemodernan yang berakar dalam keindonsiaan dengan
dilandasi keimanan. Sehingga dalam satu kesempatan diskusi dan peluncuran buku
Masa Lalu yang Membunuh Masa Depan: Krisis Agama Pengetahuan dan Kekuasaan
dalam Kebudayaan Teknokrasi karya Yudi Latief di Jakarta, Nurcholis Madjid sekali
lagi mengingatkan, ketika bangsa gagal memahami masa lalu, maka yang akan terjadi
adalah kemiskinan intelektual.62
Oleh karena itu, berkaitan dengan upaya modernisasi pendidikan Indonesia,
terbuka peluang kembali untuk melirik lembaga pesantren sebagai institusi pendidikan
yang lahir dari budaya Indonesia yang asli.
Sistem pendidikan kolonial yang jauh berbeda dengan sistem pendidikan
pesantren sangat tidak tepat untuk dijadikan model bagi pendidikan masa depan dalam
rangka menyongsong Indonesia baru yang berdimensi keislaman, keindonesiaan dan
61 Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam
Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002) hal. 127 62 Jangan tinggalkan masa lalu 25 juni 99
81
keilmuan. Sejak awal kemunculannya sistem pendidikan kolonial hanya terpusat pada
pengetahuan dan keterampilan dunawi yaitu pendidikan umum.63
Komitmen Nurcholis Madjid dalam memodernisasi dunia pendidikan Islam
Indonesia adalah kemodernan yang dibangun dan berakar dari kultur Indonesia serta
dijiwai dengan semangat keimanan. Maka untuk merekonstruksi institusi pendidikan
tersebut perlu mempertimbangkan sistem pesantren yang mempertahankan tradisi
belajar kitab klasik ditunjang dengan upaya internalisasi unsur keilmuan
modern.Pesantren dijadikan sebagai moderl awal, sebab disamping sebagai warisan
budaya Indonesia, pesantren juga menyimpan potensi kekayaan khazanah Islam klasik
yang terletak pada tradisi belajar kitab kuningnya.
Pesantren diharapkan dapat memberikan responsi atas tuntutan era mendatang
yang meliputi dua aspek, universal dan nasional.Aspek universal yaitu pengetahuan
dan teknologi.Sedangkan dalam skala nasional yaitu pembangunan di
Indonesia.Pesantren dinilai mampu menciptakan dukungan sosial bagi pembangunan
yang sedang berjalan.Sebab, pembangunan adalah suatu usaha perubahan
sosial.Tujuannya adalah perbaikan dan peningkatan kehidupan secara
keseluruhan.Meskipun urgensi awalnya adalah tersirat dalam semboyan “cukup
sandang, pangan dan papan” tetapi, kaitannya luas sekali, seperti masalah perubahan
sikap mental masyarakat dari agraris menjadi industri, pendiptaan kesempatan kerja
seimbang dengan pertumbuhan tenaga kerja yang ada, masalah demografis, masalah
motivasi, juga menyangkut kondisi sosial masyarakat.64
Atas dasar pertimbangan itu Nurcholis Madjid memikirkan bahwa
kemungkinan pola pesantren menjadi pola pendidikan nasional.Kemungkinan ini
diperbesar dengan munculnya anggapan bahwa sistem pendidikan yang kini secara
63 Karel A Stenbrink, “Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun
Moderen” (Jakarta: LP3ES, 1986), hal. 24 64Karel A Stenbrink, “Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun
Moderen” (Jakarta: LP3ES, 1986), hal. 87
82
resmi berlaku adalah warisan pemerintah Belanda, sebab masih mengancung ciri-ciri
kolonial.Sistem pendidikan ini tentunya bukan pilihan yang tepat dan layak diterapkan
di bumi Indonesia.65
3) Keilmuan
Persoalan mendasar yang terjadi hampir merata di dunia pendidikan kaum
muslim kontemporer adalah terpisahnya lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki
konsentrasi dan orientasi yang berbeda. Ada lembaga yang menitikberatkan
orientasinya pada “ilmu-ilmu modern” dan disisi lain ada lembaga yang hanya
memfokuskan diri pada “ilmu-ilmu tradisional”. Realitas kelembagaan pendidikan ioni
dikenal dengan dualisme pendidikan.
Modernisasi pendidikan yang digagas oleh Nurcholis Madjid pada prinsipnya
menghilangakan dualisme pendidikan tersebut.Kedua bentuk lembaga itu sama-sama
memiliki sisi positif yang patut dikembangkan dan juga memiliki sisi negatif yang
harus dibuang dan ditinggalkan. Usaha modernisasi Nurcholis Madjid tertuju pada
upaya untuk mengkompromikan kedua lembaga ini dengan memadukan sisi baik
antara keduanya, sehingga pada gilirannya akan melahirkan sistem pendidikan yang
ideal. Nurcholis Madjid menyebutnya dengan sistem pendidikan Indonesia menuju
arah titik temu atau konvergensi.66
Upaya menghilangkan dualisme pendidikan tersebut tidak terlepas dari usaha
menghilangkan dikotomi keilmuan saat sekarang.Sebab, mengakarnya paham
dikotomi keilmuan amat berpengaruh pada dinamika umat Islam itu sendiri. Pada masa
kejayaan Islam, hampir tidak terlihat adanya dikotomi keilmuan antara ilmu umum dan
ilmu keislaman .perkembangan ilmu pengetahuan berjalan demikian pesatnya, meliputi
agama, bahasa, sejarah, aljabar, fisika, kedokteran, dan lain-lain. Tokoh-tokoh seperti
65Ibid, hal. 87 66 Nurcholis Madjid, “TradisiIslam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan
Indonesia”, (Jakarta: Paramadina, 1997) hal. 22
83
Al-Farabi, Ibnu Sina, Ikhwan Al-Shafa, dan lain-lain menyadari bahwa kesempurnaan
manusia hanya akan terwujud dengan penyerasian antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-
ilmu keislaman, sebagai satu bagian yang tak terpisahkan dalam komponen keilmuan
dalam Islam.
Dengan demikian, sistem pendidikan baru yang digagas Nurcholis Madjid ini
mengacu pada perpaduan kedua disiplin ilmu tersebut. Pemikiran Nurcholis Madjid
tersebut tertuju pada upaya untuk memasukkan kurikulum umum yang selama ini
diterapkan di dunia pendidikan umum ke dalam pendidikan Islam yang memiliki
kirukulum tersendiri, sehingga yang akan terjadi nantinya kombinasi dua bentuk unsur
keilmuan dalam skala utuh. Meskipungagasan ini masih terlihat belum kongkrit sebab
apakah mengacu pada sistem pendidikan terpadu dengan menggunakan kurikulum
penuh atau hanya sekedar memberikan label Islam terhadap ilmu-ilmu umum, namun
yang jelas obsesi Nurcholis Madjid adalah dengan perpaduan kedua unsur keilmuan
diharapkan lahir manusia-manusia yang memiliki kekayaan intelektual, baik wawasan
keislaman maupun wawasan kekayaan sains modeern. Inilah yang menjadi sasaran dan
tujuan pendidikan Islam yang tercermin dalam penyusunan kurikulum.67
Latar belakang munculnya gagasan memadukan unsur keilmuan dalam
modernisasi pendidikan Islam yang dilontarkan Nurcholis Madjid dapat dilihat dari dua
faktor.Pertama, berangkat dari ketidakpuasan yang berlebihan terhadap lembaga
pendidikan yang selama ini hanya bergerak di bidang “ilmu-ilmu umum”.Pendidikan
dalam bentuk ini akhirnya melahirkan tenaga-tenaga terampil dalam disiplin keilmuan
umum, bahkan tidak jarang menguasai iptek, namun memiliki jiwa yang kosong dari
nilai-nilai moral.Sehingga peradaban yang diciptakan adalah peradaban yang tanpa
dibarengi oleh nilai-nilai religius.
67 Jalaludin dan Utsman, “Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan
Perkembangan”,(Jakarta:Raja Grafindo, 2007)hal.43
84
Disisi lain, munculnya ide dan gagasan ini tidak terlepas dari latar belakang
background pendidikan Nurcholis Madjid sendiri. Selaku seorang modernis yang
liberal, demokratis dan liberal, Nurcholis Madjid adalah produk dari dua sistem
pendidikan yang berbeda kutub.Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa sisi-sisi
kelebihan dan kekurangan pada kedua bentuk lembaga ini telah dirasakan Nurcholis
Madjid sebelumnya, sehingga sikap kekecewaan dan kritik yang dilontarkannya adalah
suatu refleksi dari pengalaman belajarnya.
Bila dilihat secara mendalam, kekecewaan Nurcholis Madjid di atas juga
merupakan tampilan atas kekurangan yang diperlihatkan oleh lembaga pendidikan
umum. Mereka yang telah menempuh jenjang ini pada gilirannya hanya melahirkan
pribadi yang pincang.Mereka mengklaim dirinya sebagai orang yang modern dan maju
ketika mereka menempuh jenjang pendidikan umum dan tidak pernah berkenalan
dengan Islam secara lebih komprehensif seperti yang terjadi pada orang Turki.
Oleh sebab itu, konsep keterpaduan (keislaman, keindonesiaan, dan keilmuan)
diatas, merupakan solusi Nurcholis Madjid dalam rangka menyikapi munculnya split
personality, sebagai akibat dari tidak kompleksnya unsur keilmuan dalam pendidikan.
Konsep tersebut pada dasarnya juga merupakan usaha untuk mengkompromikan sistem
pendidikan modern dengan sistem pendidikan tradisional.
Sebaliknya, Nurcholis Madjid nampaknya juga menaruh kekecewaan yang
amat mendalam pada golongan Islam tradisionalis yang masih melestarikan semangat
non-kooperatif masa lalu terhadap kaum kolonial. Masih mengakarnya semangat ini
dapat dilihat dari sikap kaum tradisionalis yang tidak menyetujui bahkan sama sekali
tidak dapat menerima hal-hal yang beru atau ilmu-ilmu modern. Sikap mereka ini
berimplikasi terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional yang berada
dibawah naungan mereka. Segala yang berbau modern masih diklaim sebagain warisan
kaum kolonial, sehingga kurikulum yang dipergunakan sama sekali terlepas dari ilmu-
85
ilmu modern tersebut. Padahal sikap memusuhi hal-hal baru di masa lalu itu sendiri,
menurut Nurcholis Madjid adalah faktor psikologi politik semata.
Akhirnya, rumusan tentang konsep keterpaduan di atas menuntut usaha yang
serius untuk merealisasikannya dalam dunia pendidikan Islam Indonesia.Walaupun
secara eksplisit Nurchlis Madjid tidak menyebutkan menata suatu administrasi
pendidikan yang rapi, namun munculnya ide membangun suatu konsep pendidikan
alternatif sebagai titik temu atau konvergensi dari dualisme pendidikan yang ada
mengharuskan penataan secara administratif.
Nurcholis Madjid dalam hali ini mengisyaratkan bahwa untuk menopang
penataan dan pembenahan sistem pendidikan pesantren dituntut keseriusan dalam
penggarapan yang diikuti dengan kejelasan program, penggunaan metode yang
komprehensif, kecakapan pelaksanaan, dan kelengkapan sasarannya.68
Konsep yang dilontarkan Nurcholis Madjid tersebut paling tidak menuntut
suatu ketegasan sikap bahwa mengadopsi ilmu pengetahuan modern itu amat
diperlukan pada saat ini. Sebab pada gilirannya usaha ini akan menumbuhkan sikap
kompromistis umat Islam terhadap dikotomi keilmuan yang ada dengan jalan
menghilangkan sikap mental yang memusuhi sains modern, sebagai pengaruh dari
sikap non-kooperatif masa lampau, ini diharapkan lahirnya output pendidikan yang
liberal, dengan sendirinya dapat mengubah orientasi pendidikan Islam.
Konsep modernisasi pendidikan lebih mengedepankan aspek keterpaduan
ketiga dimensi di atas dengan landasan historis dan filosofisnya.Dalam paradigma
pemikiran Nurcholis Madjid, landasan modernisasi pendidikan Islam berangkat dari
khasanah kejayaan masa Islam klasik.
68 Nurcholis Madjid, “Bilik-bilik Pesantren”, (Jakarta: Paramadina, 1997) hal. 13
86
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kondisi objektif pesantren menurut Nurcholis Madjid kurang memiliki peranan dalam
merespon perkembangan zaman karena sistem pendidikan pesantren tradisional hanya
menitikberatkan kepada pengajaran agama saja. Menurut Nurcholis Madjid kondisi tersebut
amat terbelakang dan tertinggal sehingga tidak mampu menjawab berbagai tantangan zaman.
Sehingga pesantren kurang dapat mengikuti arus perkembangan jaman sebab pada jaman
sekarang ini diperlukan generasi-generasi muda yang cakap akan pemahaman terhadap ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sementara, pendidikan pesantren yang berkembang di Indonesia
masih ditemukan sikap antipati terhadap perkembangan jaman. Nurcholis Madjid menganggap
bahwa pesantren jangan menutup diri dari arus perkembangan jaman dan tidak
mendikotomikan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu umum, keduanya harus berjalan beriringan.
2. Ide-ide Nurcholis Madjid dalam modernisasi pendidikan pesantren terletak pada kurikulum
yang digunakan belum seutuhnya mewakili kebutuhan masyarakat pada umumnya. Belum
adanya integrasi antara ilmu agama dengan ilmu umum. Keduanya adalah hal yang saling
berkaitan, akan sangat saling melengkapi manakala pemahaman ilmu agama dilengkapi
dengan pemahaman ilmu pengetahuan umum, sehingga keduanya merupakan satu kesatuan
yang tak bisa terpisahkan. Kurikulum pesantren yang di gagas oleh Nurcholis Madjid adalah
bagaimana pesantren meniadakan jurang pemisah antara ilmu pengetahuan agama dengan
ilmu pengetahuan umum. Iklim pembelajaran yang efektif dan sesuai dengan karakteristik
manusia pada umumnya adalah menciptakan suasana belajar yang interaktif dimana murid
dapat dengan leluasa
87
1. mengekspresikan pendapatnya sehingga para murid di pesantren memiliki daya nalar kritis.
Juga yang menjadi perhatian Nurcholis
Madjid dalam tata kelola pesantren dalam struktural dan manajerial pesantren, pesantren
diharapkan tidak terpaku kepada satu figure hendaknya menyusun divisi-divisi yang
mendukung kegiatan dan perkembangan para santri seperti divisi pengajaran, pengasuhan,
kesehatan, teknologi informasi, tata usaha dan ekstrakurikuler santri. Dan dalam menyiapkan
sarana dan prasarana pesantren perlu melakukan perbaikan sarana dan prasarana untuk para
santri yang memadai dan memenuhi aspek kebersihan, keteraturan, lengkap dan terintegrasi.
2. Pesantren menurut Nurcholis Madjid merupakan produk asli Indonesia yang tidak dimiliki
Negara lainnya itulah nilai lebih pesantren, sehingga pembaharuan-pembaharuan dalam
pendidikan pesantren harus terus dilakukan dengan tetap merawat tradisi-tradisi khas pesantren
dan merespon modernisasi dunia global.
B. Saran-saran
Berdasarkan temuan tersebut disarankan:
1. Kepada para peneliti hendaknya mengkaji lebih dalam gagasan-gagasan Nurcholis Madjid
dalam hal yang lain, yang menimbulkan stigma negative di masyarakat luas agar mengerti
landasan filosofis gagasan-gagasannya.
1. Kepada para praktisi pendidikan agar dapat membuka terhadap perkembangan jaman dan
selalu memperbaharui kemampuan dan pengetahuan sesuai dengan perkembangan jaman.
2. Kepada pesantren harus dapat mempertahankan tradisi-tradisi yang baik, dan mengambil
aspek-aspek modernisasi yang lebih baik lagi. Dan tidak menutup diri dari perkembangan
jaman. Menggunakan metodologi pembelajaran aktif pada santri dan membekali mereka
dengan banyak ragam keilmuan baik pengetahuan umum maupun teknologi. Juga selektif
mencermati gagasan Nurcholis Madjid tersebut karena pastinya ada beberapa hal yang
memang masih relevan dan sudah tidak relevan lagi, mengingat gagasan ini lahir pada decade
70-80-an.
C. Kata Penutup
Berkat rahmat dan pertolongan Allah SWT penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini.Penelitian tentang gagasan Nurcholis Madjid yang berkaitan dengan modernisasi pendidikan
88
pesantren ini masih jauh dari kata sempurna.Karena penelitian ini hanya menitik beratkan kepada
pemikiran Nurcholsi Madjid dalam pembaharuan pendidikan pesantren saja yang masuk dalam
kategori sejarah pemikiran pendidikan Islam Indonesia dengan metode liblary research yaitu
dengan penilitian dari karya-karya Nurcholis Madjid dan karya pendukung lainnya dengan kajian
pustaka. Mengingat pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mengandung banyak aspek
didalamnya seperti secara sosiologis, historis dan lain sebagainya yang perlu kajian lebih
komprehensif.
Kajian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan tentang sejarah
perkembangan pemikiran pendidikan Islam Indonesia, dan mencoba mengingatkan bahwa
Indonesia pernah memiliki tokoh yang banyak memberikan gagasan baru dalam sistem pendidikan
pesantren, sehingga kedepan kita sebagai penerus bangsa terus berupaya memperkaya diri dengan
berbagai pengetahuan dan mengaplikasikannya dalam kehidpan sehari-hari demi menciptakan
kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.
Dengan hadirnya skripsi ini diharapkan dunia pesantren bisa terus berkembang dan
memberikan kontribusi demi kemajuan bangsa Indonesia khususnya dan untuk dunia global pada
umumnya dengan tetap mempertahankan jati dirinya sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia
tetapi memberikan banyak pengaruh bagi perkembangan dunia sehingga dapat terwujudnya Islam
rahmatan lil alamiin.
89
DAFTAR PUSTAKA
AF, Ahmad Gaus.Api Islam: Nurcholis Madjid Jalan Menuju Hidup Seorang Visioner,
Jakarta: Kompas, 2010.
Arief, Armai.Pesantren di Tengah Modernisasi dan Perubahan Sosial Jakarta: CRSD
PRESS, 2005.
Arief, Armai.Reformulasi Pendidikan Islam. Jakarta: CRSD, 2005.
Artikel Nurcholis madjid, yang di bukukan oleh Jakarta:LP3S, 1998
Azra, Azyumardi.Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998.
Baharuddin. Dikotomi Pendidikan Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.
Bawani, Imam.Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam. Surabaya: al ikhlas 1993.
Bernadib, Imam.Filsafat Pendidikan (Sistem dan Metode). Yogyakarta: Andi Offset,
1997.
Buchori, Mochtar.Spektrum Problematika Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya. 1994.
Chalid, Ndan Abu Ahcmadi.Metodologi Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Dahri, Harapandi.Modernisasi Pesantren, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan
Agama
Dhofier. Zamakhsyari. Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai.
Jakarta: LP3ES, 1985.
Fadjar Ahmad Malik. Madrasah dan Tantangan Modernitas, Bogor: Mizan, 1999.
90
Haedari ,Amin.Transformasi Pesantren. Jakarta: Lekdis dan Media Nusantara, 2006.
Ismail SM., dkk.Paradigma Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Pelajar, 2001.
Ismail, Faisal.Paradigma Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997.
Jalaludin dan Utsman. Filsafat pendidikan islam konsep dan perkembangan.
Jakarta:Raja Grafindo, 2007.
Jamali.Kaum Santri dan Tantangan Kontemporer.Bandung: Pustaka Hidayah. 2012
Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
2014
Kurniawan, Syamsul. Pemikiran Pendidikan Islam Soekarno. Jakarta: Samudra Biru,
2016.
Madjid, Nurcholis.Bilik-bilik pesantren. Jakarta: Paramadina, 1997.
_______________Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan Jakarta: Paramadina,
1998.
_______________ Islam doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1995.
_______________ Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta: Paramadina,1997.
_______________ TradisiIslam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan
Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1997.
Mahmud. Model-model Pembelajaran di Pesantren. Tangerang: Mitra Fajar Indonesia,
2006.
Mastuhu. Dinamika Sisten Pendidikan Pesantren. Jakarta: Langit Biru, 1994
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya,
1994.
91
Mustajab. Masa Depan Pesantren Telaah atas Model Kepemimpinan dan Manajemen
Pesantren Salaf. Yogyakarta: LKiS 2015.
Nafi M, Dian dkk. Praksis Pembelajaran Pesantren,Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi
Aksara, 2007.
Nafis, Wahyuni. Pesantren Daar el Qolam, Menjawab Tantangan Zaman. Tangerang:
Daar el Qolam Press 2008.
Nasution, Harun.Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
Jakarta: Bulan Bintang, 1982.
Nata, Abuddin.Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta: UIN Jakarta Press,
2003
_______________ Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran,Jakarta: Kencana
Predana Media Group, 2014
_______________ Tokoh-tokoh pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia,Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005.
. Inovasi Pendidikan Islam, Jakarta: Salemba Diniyah, 2016.
Qomar, Mujamil. Pesantren : Dari Transformasi Metodologi menuju Demokratisasi
Institusi. Jakarta: Erlangga, 2008.
Saridjo, Marwan. Cak Nur: diantara Sarung dan Dasi. Jakarta: Yayasan Ngali Aksara,
2005.
Siradj, Said Aqil dkk.Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan dan
Transformasi Pesantren. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.
Soebahar, Abdul Halim.Modernisasi Pesantren. LKiS: Yogyakarta, 2013.
92
Soekanto, Soejono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1996.
Stenbrink, Karel.Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun
Moderen. Jakarta: LP3ES, 1986.
Sudijono, Anas.Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008.
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif Kualitatif, dan
R&D. Bandung: CV. Alfabeta, 2008.
Sukmadinata, Nana Syaodih.Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2007.
Sutrisno. Pendidikan Islam di Era Peradaban Modern. Yogyakarta: Perpustakaan
Nasional, 2015.
Susanto, A. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah, 2009
Tafsir Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2002.
Thoha, Zainal Arifin.Runtuhnya Singgasana Kyai. Yogyakarta: Kutub, 2003.
Wahid, Abdurrahman.Benarkah Kyai Membawa Perubahan Social? Pengantar dari
buku kyai dan perubahan social, 1987.
_______________ Menggerakan Tradisi: Esei-esei Pesantren, Yogyakarta: LKiS,
2001.
Yasmadi. Modernisasi Pesantren: kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam
Tradisional. Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Yunus, Mahmud.Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber
Widya, 1962.
93
Zarkasyi, Abdullah Syukri.Gontor dan Pembaharuan Pendidikan PesantrenJakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005.