MODEL KOTA HIJAU DI KABUPATEN BANDUNG JAWA BARAT · Kabupaten Bandung merupakan salah satu kota di...
Transcript of MODEL KOTA HIJAU DI KABUPATEN BANDUNG JAWA BARAT · Kabupaten Bandung merupakan salah satu kota di...
MODEL KOTA HIJAU
DI KABUPATEN BANDUNG
JAWA BARAT
SITI BADRIYAH RUSHAYATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ABSTRACT
SITI BADRIYAH RUSHAYATI. Green City Model of Bandung Regency West Java.
Under the supervision of HADI S. ALIKODRA, ENDES N. DAHLAN, and HERRY
PURNOMO.
Urban development in Bandung Regency has been responsible for the urban
heat island effect and increased of air temperature due to increased CO2 emissions
from motor vehicles, human population and industries. Other then these, urban heat
island was also caused by increasing built ups and declining green open spaces
leading to decreased albedo while in turn raised the air temperature. Urban heat island
should be managed through studying the related variables. The purpose of this study
was to assess the heat island city and create a green city model. This green city model
is expected to be the basis to make policy for green growth based development to
create Bandung regency as a green city. The research was conducted by collecting
secondary data (socio-economic conditions, number of vehicles, industry, population),
and primary data through field’s measurements of micro climate, crowns density,
quantities of motor vehicles, direct interviews with residents of Bandung Regency,
and analyzing the distribution of air temperature. The results of this research,
especially the study of the conditions of heat island effect, indicated that Bandung
Regency has experiencing urban heat island effect, where the air temperature in
urban centers (27,0 °C) were higher than in rural areas (20,0 °C). The difference
between the highest and lowest air temperature was 7 °C. The research also
suggested that higher percentage of land built ups would result in lower percentage of
green open spaces, thus higher CO2 emissions which would caused an increase of
areas with high temperature. Research Area I has the highest percentage (60%) of
develop area and the lowest percentage (29%) of green open space and also high CO2
emissions (503,987 tons CO2/year). This causes the region has most extensive area
(161.59 ha) with high temperature (air temperature > 27 º C) in comparison with
Research Area II and III. Urban heat island problems can be solved by building a
green open space. Based on the measurements of micro climate in several types of
green open space, it can be concluded that green open spaces including urban forest
are very important in overcoming urban heat island, because they can lower the air
temperature. Urban forest is known to be more effective in resolving urban heat island
issues than any other types of green open spaces. Based on the results of simulations
model, green scenarios can be used as a tool to determine alternative policies to
address urban heat island issue. Green scenario could hold back the occurrence of
≥30°C air temperature. The temperature would occur on 2054 in Research Area I,
after 2058 in Research Area II, and on 2056 in Research Area III. Although the
factors which influence heat island had been well managed (using green scenario),
nevertheless urban areas which already had high percentage of developed area, low
percentage of green open space, and high CO2 emissions, would still generate a
condition of ≥30°C air temperature on a faster rate (for example Research Area I).
Keywords : built up, green city, green open space, model, urban heat island
2
RINGKASAN
SITI BADRIYAH RUSHAYATI. Model Kota Hijau di Kabupaten Bandung, Jawa
Barat. Dibimbing oleh HADI S. ALIKODRA, ENDES N. DAHLAN, dan HERRY
PURNOMO.
Masalah lingkungan global yang dihadapi banyak negara saat ini adalah
terjadinya pulau bahang kota (urban heat island) di beberapa kawasan perkotaan di
dunia termasuk kota-kota di Indonesia. Pulau bahang kota menyebabkan heat island
effect (efek pulau bahang) yang dicirikan dengan suhu udara di wilayah perkotaan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu udara di sekitarnya. Beberapa kota di
dunia yang sudah mengalami efek pulau bahang adalah Los Angeles, London, Bogota,
beberapa kota di Swedia, Philadelphia, dan Guangzhou. Beberapa kota di Indonesia
juga sudah mengalami efek pulau bahang yaitu Jakarta, Surabaya, Semarang dan juga
Kota dan Kabupaten Bandung.
Terbentuknya pulau bahang kota disebabkan oleh tingginya gas rumah kaca
(CO2, N2O, CFC, CH4) dan lahan terbangun di area perkotaan. Berbagai aktivitas di
perkotaan (transportasi, industri, sampah), menghasilkan gas rumah kaca dan
menyebabkan terjadinya akumulasi gas-gas rumah kaca di atmosfer sehingga
menyebabkan pancaran radiasi balik gelombang panjang terperangkap oleh gas-gas
tersebut sehingga menyebabkan terjadinya efek rumah kaca. Efek rumah kaca di
kawasan perkotaan ini membentuk pulau bahang kota dan menyebabkan suhu udara
di kota lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Lahan terbangun di area
perkotaan menyebabkan albedo menurun sehingga semakin banyak radiasi yang
diserap sehingga dapat meningkatkan pemanasan dan peningkatan suhu udara.
Kabupaten Bandung merupakan salah satu kota di Indonesia yang sudah
mengalami efek pulau bahang. Kabupaten Bandung juga merupakan kawasan
penyangga Kota Bandung yang terus berkembang dan menyebabkan jumlah
penduduk, lahan terbangun dan jumlah kendaraan roda dua dan kendaraan roda empat
terus meningkat dengan peningkatan masing-masing sebesar 1,95%; 7%; 4,3%; dan
2,3% . Total emisi CO2 dari berbagai aktivitas tersebut, diperkirakan sebesar
4.563.174 ton/tahun. Sebaliknya ruang terbuka hijau terus menurun (4,3%). Tingginya
emisi CO2 dan kurangnya ruang terbuka hijau khususnya di area perkotaan,
menyebabkan terjadinya efek pulau bahang sehingga suhu udara di wilayah perkotaan
lebih tinggi dibandingkan wilayah perdesaan. Kondisi ini menyebabkan kenyamanan
di area perkotaan menurun.
Agar pembangunan di Kabupaten Bandung terus berjalan dengan baik dan
kondisi lingkungan juga terjaga, maka perlu strategi pembangunan berbasis
keseimbangan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang dikenal dengan pembangunan
kota hijau (green city). Kota hijau dapat diwujudkan dengan pembangunan yang
mempertimbangkan keseimbangan beberapa faktor yaitu (1) ekonomi, (2) sosial, (3)
keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan, (4) daya lenting lingkungan terhadap
perubahan iklim, serta (5) penurunan gas rumah kaca. Pembangunan yang
dilaksanakan berdasarkan keseimbangan kelima faktor tersebut dikenal dengan
pembangunan berbasis green growth.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji kondisi pulau bahang kota yang
terdiri dari kajian potensi emisi gas CO2, ruang terbuka hijau, dan distribusi suhu
permukaan di wilayah perkotaan Kabupaten Bandung. Selain mengkaji pulau bahang
kota, tujuan penelitian ini adalah membuat model kota hijau melalui penanganan
3
pulau bahang kota (urban heat island) sehingga dapat digunakan dalam pengambilan
keputusan dan kebijakan sehingga dapat mewujudkan kota hijau di Kabupaten
Bandung.
Penelitian dilakukan di tiga wilayah perkotaan. Wilayah I terdiri dari Kec.
Margaasih, Kec. Margahayu, Kec.Dayeuhkolot, Kec. Bojongsoang dan Kec. Cileunyi.
Wilayah II terdiri dari Kec. Soreang, Kec. Katapang, Kec. Pemeungpeuk, Kec.
Baleendah, Kec. Cangkuang dan Kec. Banjaran. Wilayah III terdiri dari Kec. Ciparay,
Kec. Majalaya, Kec. Solokan Jeruk dan Kec. Rancaekek. Metode penelitian terdiri
dari kajian efek pulau bahang, ruang terbuka hijau, sosial ekonomi, dan pembuatan
model kota hijau. Analisis data penelitian terdiri dari : (1) analisis efek pulau bahang
dengan menggunakan analisis spasial, (2) analisis deskriptif dan kuantitatif kajian
ruang terbuka hijau, (3) analisis deskriptif kondisi sosial ekonomi masyarakat, (4)
analisis sistem dinamik dengan menggunakan program stella 9.2.
Berdasarkan hasil analisis spasial tutupan lahan di wilayah penelitian, diketahui
bahwa lahan terbangun di Wilayah I, II dan III, berturut turut adalah sebesar 60%,
40% dan 37%. Sedangkan persentase ruang terbuka hijau berturut turut 29%, 45% dan
52%. Berdasarkan analisis spasial terhadap distribusi suhu udara, diketahui suhu
udara tertinggi dan terendah di Wilayah I, lebih tinggi dibandingkan area II dan III.
Suhu udara tertinggi di Wilayah I, II dan III berturut turut yaitu 29 ºC, 28 ºC, dan 27
ºC. Sedangkan suhu terendah di area I, II dan III berturut turut adalah 22 ºC, 21 ºC,
dan 20 ºC. Berdasarkan analisis spasial penutupan lahan dan distribusi suhu udara,
maka dapat disimpulkan bahwa di wilayah perkotaan di Kabupaten Bandung telah
terjadi pulau bahang kota.
Pulau bahang kota dapat diatasi dengan membangun ruang terbuka hijau.
Berdasarkan pengukuran iklim mikro diketahui bahwa ruang terbuka hijau berupa
pohon (hutan kota) lebih efektif dalam menurunkan suhu udara dan meningkatkan
kelembaban udara. Selain jenis ruang terbuka hijau, indeks luas daun (kerindangan)
juga mempengaruhi kondisi suhu udara. Semakin tinggi nilai indeks luas daun, maka
akan semakin menurunkan suhu udara. Bentuk dan struktur hutan kota juga
berpengaruh terhadap suhu dan kelembaban udara. Bentuk hutan kota yang
menggerombol dan berstrata banyak paling tinggi mereduksi suhu udara dan
meningkatkan kelembaban udara.
Agar masalah pulau bahang kota dapat diatasi dengan efektif, maka perlu
penentuan lokasi ruang terbuka hijau yang disesuaikan dengan analisis arah dan
kecepatan angin agar absorbsi dan adsorbsi CO2 dapat efektif dan efisien.
Berdasarkan windrose di Kabupaten Bandung, posisi ruang terbuka hijau khususnya
hutan kota sebaiknya dibangun membujur dari arah selatan ke utara dan terletak di
sebelah timur dan barat sumber polutan. Selain itu juga melintang dari barat ke timur
dengan letak di sebelah selatan sumber polutan.
Informasi hasil kajian kondisi pulau bahang kota, ruang terbuka hijau, dan
kondisi sosial ekonomi di Kabupaten Bandung, digunakan dalam penyusunan model
kota hijau. Berdasarkan simulasi model, secara umum untuk wilayah Kabupaten
Bandung, skenario hijau masih memungkinkan digunakan untuk mengatasi masalah
pulau bahang kota sehingga dapat membantu untuk mewujudkan kota hijau. Pilihan
kebijakan dengan menggunakan skenario hijau dapat menjaga kondisi lingkungan
khususnya suhu udara sehingga suhu udara ≥ 30 ºC di wilayah Kabupaten Bandung
baru akan terjadi pada tahun 2047. Namun skenario hijau pada wilayah perkotaan
yang sudah terlanjur didominasi oleh lahan terbangun, emisi CO2 yang tinggi, serta
kurangnya lahan ruang terbuka hijau (Wilayah I), menyebabkan suhu udara ≥ 30 °C
4
terjadi lebih cepat. Berdasarkan simulasi model, maka program kota hijau berbasis
green growth sangat penting diterapkan seawal mungkin terutama untuk kota-kota
yang masih pada taraf awal pengembangan.
5
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB.
6
MODEL KOTA HIJAU
DI KABUPATEN BANDUNG
JAWA BARAT
SITI BADRIYAH RUSHAYATI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
7
Penguji Luar Komisi
Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S
: Dr. Ir. Tania June, MSc
Penguji Luar Komisi
Ujian Terbuka : Dr. Ir. Efransjah
: Dr. Ir. Sobri Effendy, M.Si
8
Judul Disertasi : Model Kota Hijau di Kabupaten Bandung Jawa Barat
Nama : Siti Badriyah Rushayati
NRP : E 361070011
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra
Ketua
Mengetahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Konservasi Biodiversitas Tropika
Tanggal Ujian : 20 Desember 2011 Tanggal Lulus :
Dr. Ir. Endes N. Dahlan, M.S
Anggota
Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp
Anggota
Prof.Dr. Ir. Ervizal AM. Zuhud, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
9
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya
sehingga disertasi ini dapat penulis selesaikan. Karya ilmiah dalam disertasi ini adalah
mengenai model kota hijau untuk mengatasi pulau bahang kota yang saat ini menjadi
masalah di banyak kota di dunia termasuk kota-kota di Indonesia. Adapun judul dari
disertasi ini adalah Model Kota Hijau di Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada
Bapak Prof.Dr.Ir.H. Hadi S. Alikodra selaku pembimbing utama, serta kepada Bapak
Dr.Ir.H. Endes N. Dahlan, MS, dan Bapak Dr.Ir. Herry Purnomo, M.Comp selaku
anggota pembimbing, yang telah banyak memberi arahan, saran dan bimbingan.
Disamping itu penghargaan juga penulis sampaikan kepada Staf Pemerintah Daerah
Kabupaten Bandung yang telah memberikan informasi yang sangat bermanfaat dalam
penyusunan disertasi ini.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Sigit Nugroho S.Si, MT; Dr.Ir.
Arzyana Sunkar; Dr.Ir. Mirza Dikari K; Iis Siti Aisyah ST, MT; Syamsul Maarif ST,
MT; Eva Rahmawati S.Hut, MSi; Resti Meilani, S.Hut, MSi; serta para mahasiswa
bimbingan dan teknisi yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama proses
penyelesaian disertasi. Tak lupa terima kasih juga penulis sampaikan kepada suami
Ir. Dusanto Kristihono, MSi serta anak-anak Siva Devi Azahra dan Fadhel Haidar
Arrafi, ayah, ibu, Amira, Adit, dan adik-adik atas segala motivasi dan do’anya.
Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Januari 2012
Siti Badriyah Rushayati
10
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Wonogiri pada tanggal 4 Juli 1965 sebagai anak sulung
dari lima bersaudara dari ayah drs. Abdul Rosjid Muchtar dan ibu dra. Siti Badarul
Chajati. Penulis menikah dengan Ir. Dusanto Kristihono, M.Si dan dikaruniai dua
orang putra putri, Siva Devi Azahra dan Fadhel Haidar Arrafi. Pendidikan sarjana
penulis ditempuh di Program Studi Agrometeorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam IPB, lulus pada tahun 1989. Penulis melanjutkan di Program Studi
Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Program Pascasarjana IPB, dan
memperoleh gelar magister sains pada tahun 1999. Pada tahun 2007, penulis
memperoleh kesempatan untuk melanjutkan program doktor pada Program Studi
Konservasi Biodiversitas Tropika, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Departemen Konservasi Sumberdaya
Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bidang keahlian
penulis adalah klimatologi dan pencemaran lingkungan khususnya pencemaran udara.
Selama mengikuti program S3, penulis mendapatkan beasiswa pendidikan
pascasarjana (BPPS).
11
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL …………………………………………………………..........
DAFTAR GAMBAR ...…………………………………………………………..
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………….
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN.............................................................
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................................
1.2 Kerangka Pemikiran.....................................................................................
1.3 Tujuan Penelitian..........................................................................................
1.4 Hipotesa........................................................................................................
1.5 Manfaat Penelitian........................................................................................
1.6 Kebaruan (Novelty)......................................................................................
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pemodelan Sistem……………………………….......................................
2.2 Kota Hijau (Green City)………………………………..............................
2.3 Pulau Bahang Kota (Urban Heat Island)…………………………............
2.4 Ruang Terbuka Hijau……………………………………………………..
2.5 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat..........................................................
2.6 Kebijakan Kota Hijau..................................................................................
III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian.....................................................................
3.2 Bahan dan Peralatan ...................................................................................
3.3 Metode dan Analisis Penelitian..................................................................
3.3.1 Jenis Data Penelitian........................................................................
3.3.2 Metode dan Analisis Pulau Bahang Kota........................................
3.3.3 Metode dan Analisis Sistem Dinamik Model Kota Hijau...............
3.3.4 Metode dan Analisis Kondisi Sosial, Ekonomi Masyarakat.............
IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Letak Geografis...........................................................................................
4.2 Kondisi Iklim..............................................................................................
4.3 Topografi.....................................................................................................
4.4 Kondisi Penutupan Lahan...........................................................................
4.5 Kondisi Sosial Ekonomi..............................................................................
V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Pulau Bahang Kota di Kabupaten Bandung.................................................
5.1.1 Sumber Pulau Bahang Kota dari Emisi CO2......................................
5.1.2 Penutupan Lahan.................................................................................
5.1.3 Kondisi Pulau Bahang Kota di Wilayah Penelitian............................
5.1.4 Distribusi Suhu Udara.........................................................................
5.1.5 Peran Ruang Terbuka Hijau dalam Mengatasi Pulau Bahang Kota..
xv
xvi
xviii
xix
1
3
5
5
7
7
8
11
14
22
26
27
34
35
35
35
36
39
42
44
44
48
48
48
51
51
55
58
60
61
Halaman
12
5.2 Model Kota Hijau.........................................................................................
5.2.1 Pengorganisasian Model....................................................................
5.2.2 Sensitivitas Model dan Evaluasi Model.............................................
5.2.3 Model Baseline Wilayah Kabupaten Bandung..................................
5.2.4 Skenario Model Wilayah Kabupaten Bandung..................................
5.2.5 Model di Wilayah Penelitian..............................................................
5.2.6 Hasil Analisis Simulasi Model Kota Hijau........................................
5.3 Kondisi Sosial Ekonomi...............................................................................
5.4 Kebijakan Pengelolaan Pulau Bahang Kota.................................................
VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan..................................................................................................
6.2. Saran............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................
LAMPIRAN............................................................................................................
72
72
78
78
79
82
90
93
97
104
105
106
111
Halaman
xiv
13
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Bahan dan peralatan penelitian..................................................................................
Data primer dan sekunder penelitian.........................................................................
Persentase lapangan pekerjaan penduduk kabupaten Bandung pada tahun 2008 ....
Produk domestik regional bruto Kabupaten Bandung atas dasar harga berlaku
tahun 2008 (x 106 rupiah)..........................................................................................
Jumlah, kepadatan dan pertumbuhan penduduk........................................................
Emisi CO2 yang dikeluarkan oleh rumah tangga dalam menggunakan bahan bakar
di Kabupaten Bandung (2009)...................................................................................
Hasil penghitungan kepadatan kendaraan di Jalan Kopo (November 2009).............
Luas jenis penutupan lahan tahun 2003 dan 2008.....................................................
Kondisi pulau bahang kota di Kabupaten Bandung..................................................
Kondisi fisik ruang terbuka hijau di Kabupaten Bandung.......................................
Taman-taman kota yang terdapat di Kabupaten Bandung.........................................
Suhu dan kelembaban udara di beberapa bentuk dan struktur hutan kota.................
Prakiraan waktu suhu udara ≥ 30 ºC di Kabupaten Bandung....................................
35
35
49
50
51
52
53
56
58
62
63
66
91
Halaman
xv
14
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
Kerangka pemikiran membangun model kota hijau melalui penanganan
pulau bahang kota di Kabupaten Bandung....................................................
Pembangunan kota hijau berbasis green growth............................................
Rata-rata CO2 di Hawai.................................................................................
Hasil observasi temperatur global.................................................................
Tiga wilayah penelitian di Kabupaten Bandung...........................................
Konseptualisasi model dalam bentuk diagram sebab akibat (causal loop)
model kota hijau melalui pengendalian efek pulau bahang (urban heat
island)............................................................................................................
Peta wilayah administrasi Kabupaten Bandung……………………………
Curah hujan rataan bulanan Kabupaten Bandung.........................................
Suhu rataan bulanan Kabupaten Bandung....................................................
Kelembaban udara rataan bulanan Kabupaten Bandung..............................
Kecepatan angin rataan bulanan Kabupaten Bandung..................................
Penutupan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003........................................
Penutupan lahan Kabupaten Bandung tahun 2008........................................
Distribusi suhu udara tahun 2008 di Kabupaten Bandung............................
Suhu udara di beberapa jenis penutupan lahan di Kabupaten Bandung.......
Kelembaban udara di beberapa jenis penutupan lahan.................................
Kerindangan tajuk di Hutan Kawah Putih dan Hutan Kota Pemda
Kabupaten Bandung......................................................................................
Kerindangan tajuk vegetasi kebun campur dan hutan kota permukiman......
Kerindangan tajuk vegetasi Hutan Kota........................................................
Windrose Kabupaten Bandung......................................................................
Sub model sumber pencemar CO2………………………………………….
Sub model suhu udara………………………………………………………
Sub model penutupan lahan...........................................................................
Model kota hijau Kabupaten Bandung..........................................................
Model baseline Wilayah Kabupaten Bandung lima puluh tahun ke depan..
Hasil simulasi model skenario hijau di wilayah Kabupaten Bandung lima
puluh tahun ke depan....................................................................................
6
14
17
17
34
41
44
45
46
46
47
55
56
60
64
65
68
68
68
71
74
75
76
77
79
80
Halaman
15
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
Hasil simulasi model skenario moderat di Kabupaten Bandung lima puluh
tahun ke depan………………………………………………………………
Hasil simulasi model skenario pesimis di Kabupaten Bandung lima puluh
tahun ke depan...............................................................................................
Hasil simulasi model baseline Wilayah I lima puluh tahun ke depan……...
Hasil simulasi model skenario hijau Wilayah I lima puluh tahun ke depan..
Hasil simulasi model skenario moderat Wilayah I lima puluh tahun ke
depan………………………………………………………………………..
Hasil simulasi model skenario pesimis Wilayah I lima puluh tahun ke
depan………………………………………………………………………..
Hasil simulasi model baseline Wilayah II lima puluh tahun ke depan..........
Hasil simulasi model skenario hijau Wilayah II lima puluh tahun ke depan.
Hasil simulasi model skenario moderat Wilayah II lima puluh tahun ke
depan………………………………………………………………………..
Hasil simulasi model skenario pesimis Wilayah II lima puluh tahun ke
depan………………………………………………………………………..
Hasil simulasi model baseline Wilayah III lima puluh tahun ke depan…….
Hasil simulasi model skenario hijau Wilayah III lima puluh tahun ke
depan………………………………………………………………………..
Hasil simulasi model skenario moderat Wilayah III lima puluh tahun ke
depan………………………………………………………………………..
Hasil simulasi model skenario pesimis Wilayah III lima puluh tahun ke
depan………………………………………………………………………..
81
81
82
83
84
84
85
86
86
87
88
88
89
90
Halaman
xvii
16
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
Uji sensitivitas pengaruh perubahan jumlah kendaraan roda dua dengan suhu
udara...........................................................................................................................
Uji sensitivitas pengaruh perubahan jumlah kendaraan roda empat dengan suhu
udara...........................................................................................................................
Uji sensitivitas pengaruh perubahan jumlah industri dengan suhu udara..................
Uji sensitivitas pengaruh perubahan jumlah penduduk dengan suhu udara..............
Uji sensitivitas pengaruh perubahan luas lahan terbangun dengan suhu udara.........
Uji sensitivitas pengaruh perubahan luas ruang terbuka hijau dengan suhu udara....
Volume kendaraan bermotor yang beroperasi setiap jamnya di ruas jalan
Kabupaten Bandung pada tahun 2006........................................................................
Persamaan model…………………………………………………………………...
Hasil simulasi model baseline Wilayah Kabupaten Bandung ……..........................
Hasil simulasi model skenario hijau Wilayah Kabupaten Bandung.........................
Hasil simulasi model skenario moderat Wilayah Kabupaten Bandung....................
Hasil simulasi model skenario pesimis Wilayah Kabupaten Bandung.....................
Hasil simulasi model baseline Wilayah I..................................................................
Hasil simulasi model skenario hijau Wilayah I.........................................................
Hasil simulasi model skenario moderat Wilayah I....................................................
Hasil simulasi model skenario pesimis Wilayah I.....................................................
Hasil simulasi model baseline Wilayah II.................................................................
Hasil simulasi model skenario hijau Wilayah II.......................................................
Hasil simulasi model skenario moderat Wilayah II..................................................
Hasil simulasi model skenario pesimis Wilayah II...................................................
Hasil simulasi model baseline Wilayah III................................................................
Hasil simulasi model skenario hijau Wilayah III......................................................
Hasil simulasi model skenario moderat Wilayah III.................................................
Hasil simulasi model skenario pesimis Wilayah III..................................................
Kuesioner untuk anggota masyarakat Kabupaten Bandung………………………..
Daya rosot CO2 beberapa jenis tumbuhan yang dapat dikembangkan di Kabupaten
Bandung.....................................................................................................................
112
112
112
113
113
113
114
115
117
118
119
120
121
122
123
124
125
126
127
128
129
130
131
132
133
136
Halaman
17
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN
Albedo (α) Perbandingan antara jumlah radiasi gelombang pendek yang
dipantulkan dengan jumlah radiasi gelombang pendek yang
diterima suatu permukaan.
Emisi Emisi adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang
dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau
dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai
dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar.
Evaporasi Evaporasi yaitu penguapan dari tanah dan badan air (sungai,
danau, laut)
Evapotranspirasi Evapotranspirasi, yaitu penguapan yang terjadi pada
permukaan air, tanah, maupun tumbuhan.
Hutan Menurut Undang-Undang RI No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan.
Hutan Kota Peraturan Pemerintah No.63 Tahun 2002 tentang hutan kota,
yang dimaksud dengan hutan kota adalah suatu hamparan
lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan
rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah Negara
maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh
pejabat yang berwenang.
Iklim Mikro Kondisi fisik lapisan atmosfer yang dekat permukaan tanah
atau di sekitar tanaman, seperti suhu, kelembaban, tekanan
udara, dan dinamika energy radiasi surya.
ILD Indeks Luas daun (ILD) atau disebut juga Leaf Area Index,
adalah luas daun di atas suatu luas lahan.
18
Kawasan Perkotaan Menurut Undang-Undang RI No. 26 Tahun 2007, yang
dimaksud kawasan perkotaan adalah wilayah yang
mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan,
pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Landsat ETM+ Land Satellite Enhanced Thematic Mapper Plus, merupakan
satelit komersial modifikasi dari TM dengan pengayaan pada
kanal 8.
Laten Heat Flux (LE) Perpindahan bahang laten melalui proses evapotranspirasi.
Model Merupakan abstraksi dari sebuah sistem, yang merupakan
kegiatan membawa dunia nyata ke dalam dunia tak nyata
tanpa kehilangan sifat-sifat utamanya.
NDVI Normalized Difference Vegetation Index, menggambarkan
seberapa besar penyerapan radiasi matahari oleh tanaman
terutama bagian daun.
NIR Reflektansi kanal infra merah dekat (kanal 2)
RH Relative Humidity, adalah perbandingan dalam persen antara
tekanan uap air dengan tekanan uap air jenuh pada suhu
yang sama.
Ruang Terbuka Hijau Menurut Undang-Undang RI No. 26 Tahun 2007, ruang
terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau
mengelompok, yang penggu-naannya lebih bersifat terbuka,
tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah
maupun yang sengaja ditanam.
Radiasi Neto Radiasi bersih, yaitu selisih antara radiasi yang diserap
dengan radiasi yang dipancarkan oleh suatu benda atau
permukaan.
Sensible Heat Flux (H) Merupakan salah satu komponen neraca energi yang
digunakan untuk memanaskan udara di atas permukaan.
Soil Heat Flux (G) Merupakan salah satu komponen neraca energi yang
digunakan untuk memanaskan permukaan dan kedalaman
tanan melalui proses konduksi.
xx
19
Suhu Udara (Ta) Suhu udara adalah ukuran energi kinetik rata-rata dari
pergerakan molekul-molekul. Skala suhu udara yang sering
digunakan adalah skala celsius dan fahrenheit.
THI Temperature Humidity Index, adalah indeks kenyamanan
manusia dengan satuan °C yang ditentukan oleh suhu dan
kelembaban udara. Nilai kisaran THI nyaman tergantung
letak lintang.
Transpirasi Proses hilangnya air dalam tumbuhan akibat penguapan
melalui stomata daun.
Udara Ambien Udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada
lapisan troposfir yang mempengaruhi kesehatan manusia,
makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya.
Urban Heat Island Kondisi dimana udara (atmosfer) di atas kawasan perkotaan
digambarkan seperti pulau udara dengan permukaan panas
yang terpusat di area urban (kota). Suhu udara semakin
menurunke arah sub urban dan rural.
VIS Reflektansi kanal cahaya tampak (kanal 2)
xxi
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Permasalahan lingkungan saat ini semakin meningkat. Salah satu masalah
lingkungan global yang dihadapi banyak negara adalah terjadinya pulau bahang kota
(urban heat island) di beberapa kawasan perkotaan di dunia termasuk kota-kota di
Indonesia. Urban heat island (pulau bahang kota) menyebabkan heat island effect
(efek pulau bahang) yang dicirikan dengan suhu udara di area perkotaan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan suhu udara di sekitarnya. Beberapa kota di dunia yang
sudah mengalami efek pulau bahang adalah Los Angeles, London, Bogota, beberapa
kota di Swedia, Philadelphia, dan Guangzhou. Beberapa kota di Indonesia juga sudah
mengalami efek pulau bahang yaitu Jakarta, Surabaya, Semarang dan juga Kota dan
Kabupaten Bandung.
Pulau bahang kota disebabkan oleh tingginya gas rumah kaca dan persentase
lahan terbangun di perkotaan. Gas rumah kaca (CO2, N2O, CFC, CH4) dihasilkan dari
berbagai aktivitas manusia (transportasi, industri, sampah). Berbagai Aktivitas di
perkotaan, menyebabkan terjadinya akumulasi gas-gas rumah kaca di atmosfer
sehingga menyebabkan pancaran radiasi balik gelombang panjang terperangkap oleh
gas-gas tersebut sehingga menyebabkan terjadinya efek rumah kaca. Efek rumah kaca
di kawasan perkotaan ini membentuk pulau bahang kota dan menyebabkan suhu
udara di kota lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya (Voogt 2002).
Gas rumah kaca khususnya CO2 penyebab efek pulau bahang di Kabupaten
Bandung dihasilkan oleh berbagai aktivitas transportasi, industri dan persampahan.
Produksi CO2 dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan terus meningkatnya
jumlah penduduk. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik Kabupaten Bandung (2006
dan 2009), jumlah penduduk Kabupaten Bandung pada tahun 2005 tercatat berjumlah
2.952.042 orang, dan pada tahun 2008 naik menjadi 3.127.008 orang. Rata-rata laju
pertumbuhan penduduk sebesar 1,95 %.
Semakin meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan akan
transportasi juga meningkat. Jumlah kendaraan pada tahun 2003 tercatat 76.144
kendaraan roda dua dan 22.670 kendaraan roda empat. Pada tahun 2008 meningkat
menjadi 181.605 kendaraan bermotor roda dua, dan 28.411 kendaraan bermotor roda
empat. Laju peningkatan kendaraan roda dua 27,7 %/tahun, dan kendaraan bermotor
roda empat 5,06 %/tahun.
2
Aktivitas manusia di perkotaan dari transportasi, industri dan sampah,
mengakibatkan polutan udara di perkotaan meningkat. Ditambah dengan posisi
Kabupaten Bandung terletak di daerah cekungan, maka polutan udara yang terbawa
aliran udara mengalami stagnasi sehingga pengenceran polutan di Kabupaten
Bandung tidak efektif. Sebagai gambaran, hasil penelitian Soedomo (2001)
menyatakan bahwa emisi polutan udara antropogenik SO4 di Jakarta 20.503 ton/tahun,
dan Bandung 2.472 ton/tahun. Namun pembebanan SO4 di Jakarta lebih kecil
dibandingkan dengan Kabupaten Bandung. Di Jakarta sebesar 4,34 kg/ha/thn,
sedangkan di Kabupaten Bandung 5,37 kg/ha/thn.
Selain diakibatkan oleh polutan udara, efek pulau bahang dipengaruhi oleh jenis
penutupan lahan. Lahan terbangun meningkatkan efek pulau bahang yang
mengakibatkan suhu udara semakin tinggi. Salah satu cara untuk mengatasi efek
pulau bahang adalah dengan meningkatkan ruang terbuka hijau. Tetapi faktanya
adalah berkebalikan dengan jumlah kendaraan bermotor, jumlah penduduk dan lahan
terbangun, ruang terbuka hijau terus berkurang dari 119.150 ha (tahun 2003) menjadi
105.532 ha (tahun 2008).
Tursilowati (2002) menyatakan bahwa hasil pengamatan secara spasial di
Bandung, terlihat adanya perluasan efek pulau bahang (daerah dengan suhu tinggi 30-
35 °C) di pusat kota Bandung per tahun sebesar kira-kira 12.606 ha atau 4,47 % yang
terletak pada kawasan terbangun (permukiman dan industri). Menurut Tursilowati,
pertumbuhan kawasan terbangun menyebabkan perluasan efek pulau bahang. Hasil
penelitian Tursilowati juga menyebutkan bahwa pertumbuhan kawasan terbangun di
Bandung per tahun kurang lebih 1.029 ha (0,36%).
Meskipun pemerintah daerah sudah membuat kebijakan yang mendukung
terwujudnya Kabupaten Bandung sebagai kota hijau, serta sudah menuangkannya
dalam perencanaan dan pengembangan ruang terbuka hijau didalam rencana
pembangunan jangka menengah dan jangka panjang, serta dalam rencana tata ruang
wilayah (RTRW), tetapi karena belum menjadi prioritas penting dalam pembangunan
daerah maka pelaksanaannya belum dapat mengatasi permasalahan lingkungan
khususnya masalah pulau bahang kota.
Meskipun kondisi perkotaan belum seperti yang diharapkan dan pemerintah
daerah belum secara eksplisit mencanangkan diri sebagai kota hijau tetapi target
pemerintah daerah untuk mewujudkan Kabupaten Bandung menjadi kota yang bersih
dan teduh adalah merupakan bagian dari kriteria kota hijau. Untuk mewujudkan target
3
tersebut maka masalah efek pulau bahang perlu segera ditangani agar iklim mikro
perkotaan menjadi lebih baik dan nyaman.
Salah satu cara untuk mewujudkan Kabupaten Bandung menjadi kota hijau
adalah dengan cara mengkaji faktor-faktor penyebab terjadinya pulau bahang kota
serta memformulasikannya dalam sebuah model yang dapat dijadikan acuan dalam
membuat kebijakan yang disesuaikan dengan kondisi sosial, ekonomi, serta
lingkungan yang ada. Melalui simulasi model, maka akan didapatkan skenario terbaik
yang dapat menjadi dasar pengambilan keputusan dalam mewujudkan keberlanjutan
ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan dalam pembangunan daerah sehingga akan
dapat mewujudkan Kabupaten Bandung menjadi kota hijau.
1.2. Kerangka Pemikiran
1.2.1. Sosial Ekonomi Masyarakat dan Kebijakan Pemerintah Daerah
Kebijakan pemerintah daerah sangat menentukan kondisi sosial ekonomi
masyarakat. Begitu pula sebaliknya, kondisi sosial ekonomi masyarakat akan menjadi
dasar pertimbangan penentuan kebijakan pemerintah daerah. Salah satu kebijakan
Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung dalam meningkatkan kondisi sosial dan
pertumbuhan ekonomi adalah upaya peningkatan kapasitas produksi masyarakat agar
dapat meningkatkan pendapatan per kapita dan lapangan kerja. Selain itu, juga adanya
kebijakan peningkatan pertumbuhan industri yaitu dengan memberikan berbagai
program pengembangan industri kecil dan menengah, pengembangan cluster industri,
pengembangan teknologi dan pengembangan sentra-sentra industri potensial.
1.2.2. Pulau Bahang Kota
Kondisi sosial ekonomi masyarakat serta kebijakan yang diputuskan dan
dijalankan pemerintah daerah, sangat menentukan pertumbuhan lahan terbangun,
jumlah penduduk, industri, jumlah kendaraan bermotor, serta kondisi ruang terbuka
hijau. Aktivitas industri dan transportasi menyebabkan emisi gas rumah kaca ke
atmosfer. Selain itu emisi gas rumah kaca juga dihasilkan dari pemanfaatan bahan
bakar fosil untuk berbagai aktivitas penduduk (memasak, penerangan), serta dari
limbah sampah.
Akumulasi emisi gas rumah kaca khususnya gas CO2 dari berbagai aktivitas
manusia di perkotaan, menyebabkan konsentrasi gas CO2 di atmosfer menjadi tinggi
dan berakibat terjadinya efek rumah kaca. Efek rumah kaca terjadi ketika gas CO2
4
yang terakumulasi di perkotaan menyerap radiasi balik berupa radiasi gelombang
panjang. Akibatnya radiasi gelombang panjang terperangkap di atmosfer khususnya
troposfer di atas perkotaan, dan menyebabkan suhu udara di perkotaan lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Efek rumah kaca yang terjadi di kawasan
perkotaan dan menyebabkan suhu udara di perkotaan lebih tinggi dibandingkan
dengan kawasan sekitarnya, dan seperti pulau tersendiri, maka kondisi seperti ini
disebut dengan efek pulau bahang (Voogt 2002).
Selain dipengaruhi oleh gas CO2, efek pulau bahang juga dipengaruhi oleh
nilai albedo dari tutupan lahan yang ada. Albedo merupakan perbandingan radiasi
yang dipantulkan dengan radiasi yang datang di suatu permukaan (Geiger et al. 1961).
Dari nilai albedo dan radiasi surya yang masuk ke permukaan bumi, dapat
diperkirakan nilai radiasi neto (radiasi yang datang dikurangi radiasi yang keluar).
Radiasi neto dari lahan terbangun digunakan untuk memanaskan lahan terbangun
tersebut dan udara yang ada di atasnya. Area bervegetasi menggunakan radiasi neto
untuk evapotrans-pirasi sehingga pemanasan udara di atasnya rendah. Kondisi ini
menyebabkan area bervegetasi mempunyai suhu udara yang rendah. Persentase yang
tinggi dari lahan terbangun di perkotaan menyebabkan radiasi neto hanya digunakan
untuk memanaskan benda tersebut dan udara yang berada di atasnya sehingga area
yang didominasi lahan terbangun suhu udaranya tinggi.
Emisi CO2 dan persentase lahan terbangun yang tinggi, serta rendahnya
persentase ruang terbuka hijau, menyebabkan efek pulau bahang semakin meningkat.
Efek pulau bahang yang terjadi di berbagai perkotaan akan meningkatkan pemanasan
global yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi kondisi suhu udara di perkotaan
tersebut. Oleh karena itu penanganan permasalahan pulau bahang kota yang saat ini
sudah terjadi di banyak negara, akan membantu upaya mitigasi pemanasan global.
1.2.3. Kota Hijau
Wildsmith (2009) menyatakan bahwa kota hijau (green city) adalah sebuah
kota dengan kondisi ekosistem berkeseimbangan sehingga fungsi dan manfaatnya
berkelanjutan. Berdasarkan pengertian ini maka salah satu strategi dalam mewujudkan
kota hijau adalah melalui cara penanganan permasalahan lingkungan perkotaan yaitu
masalah pulau bahang kota. Pulau bahang kota dapat diatasi dengan cara
mengendalikan laju peningkatan emisi CO2, serta upaya peningkatan absorbsi CO2.
Oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian parameter sumber emisi CO2
5
(transportasi, industri, manusia) serta perlu dilakukan upaya peningkatan absorbsi
CO2 dengan cara mengembangkan ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau berperan
dalam menurunkan suhu udara dan meningkatkan kelembaban udara melalui proses
fotosintesis dan evapotranspirasi. Dengan peran ganda ini maka ruang terbuka hijau
sangat penting dalam perbaikan kondisi iklim mikro perkotaan dan perbaikan
kenyamanan kota. Suhu udara dan kondisi iklim mikro perkotaan yang nyaman dapat
menciptakan kota hijau yang akan berdampak positif terhadap perkembangan sosial
ekonomi masyarakat serta akan menjadi dasar pembuatan kebijakan yang lebih baik
dan lebih ramah lingkungan. Kerangka pemikiran membangun model kota hijau
melalui penanganan pulau bahang kota, disajikan pada Gambar 1.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengkaji kondisi pulau bahang kota yang terdiri dari kajian potensi emisi gas
CO2, ruang terbuka hijau, dan distribusi suhu permukaan di wilayah perkotaan
Kabupaten Bandung.
2. Membuat model kota hijau Kabupaten Bandung melalui penanganan pulau
bahang kota (urban heat island).
1.4. Hipotesa
Kota hijau di Kabupaten Bandung akan dapat diwujudkan dengan menangani
pulau bahang kota yaitu dengan cara mengendalikan sumber emisi CO2, mening-
katkan ruang terbuka hijau dan mengendalikan pertumbuhan lahan terbangun. Selain
faktor lingkungan, kota hijau dapat diwujudkan dengan meningkatkan kondisi sosial
ekonomi masyarakat. Kondisi sosial ekonomi dan lingkungan yang berjalan secara
seimbang akan dapat mewujudkan kota hijau sehingga fungsi dan manfaatnya dapat
berkelanjutan.
Lahan Jumlah
Kondisi Sosial
Ekonomi Kebijakan
Pemerintah
6
Keterangan : : Meningkatkan
: Menurunkan
Sumber : Dunn (2003), WWF dan PWC (2011), Voogt (2002), Wang (2009), dan
Wildsmith (2009)
Gambar 1 Kerangka pemikiran membangun model kota hijau melalui
penanganan pulau bahang kota di Kabupaten Bandung.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian ini adalah :
Jumlah
Unit Industri
MODEL
KOTA
HIJAU
Albedo
Evapotranpirasi
Sampah Pernapasan
Pem
anas
anG
lob
al
Bahan
Bakar
Fosil
Jumlah
Kendaraan
7
1. Bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)
pengelolaan lingkungan, khususnya pengetahuan dalam mengatasi pulau
bahang kota yang saat ini menjadi permasalahan perkotaan, baik di Indonesia
maupun di dunia.
2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam pembuatan
kebijakan di Kabupaten Bandung serta kota-kota lain di Indonesia sehingga
akan dapat membantu mengatasi permasalahan pemanasan perkotaan serta
dapat menjadi dasar menentukan strategi dalam mewujudkan kota hijau.
1.6. Kebaruan (Novelty)
Kebaruan dari penelitian ini adalah adanya konsep penanganan pulau bahang
kota untuk mewujudkan kota hijau dengan merumuskan parameter penentu pulau
bahang kota yang terdiri dari parameter jenis penutupan lahan (lahan terbangun,
tanah terbuka, ruang terbuka hijau) dan parameter sumber emisi CO2 (transportasi,
industri, sampah, konsumsi energi domestik), serta mempertimbangkan kondisi
sosial ekonomi masyarakat agar pembangunan berjalan secara berkesimbangan
antara kondisi ekonomi, sosial dan ekologi. Kebaruan lain dari penelitian ini adalah
adanya model kota hijau melalui penanganan pulau bahang kota sehingga
memudahkan dalam proses pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemodelan Sistem
2.1.1. Pengertian Pemodelan Sistem
Purnomo (2005) menyatakan bahwa pemodelan sistem adalah sebuah
pengetahuan dan seni. Pengetahuan karena dalam sistem dibangun logika yang jelas
dengan urutan yang logis, sedangkan pemodelan merupakan seni karena mencakup
bagaimana menuangkan gagasan manusia atas dunia nyata dengan segala
keunikannya dalam sebuah model.
Sistem sendiri dapat diartikan sebagai gugus atau kumpulan dari komponen yang
saling terkait dan terorganisasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau gugus tujuan
tertentu (Hartrisari (2007). Suatu sistem dapat terdiri dari beberapa subsistem.
Hartrisari (2007) juga menyatakan bahwa sistem dapat digolongkan menjadi dua jenis
yaitu sistem terbuka (open system) dan sistem tertutup (closed system). Sistem
terbuka merupakan sistem yang outputnya merupakan tanggapan dari input, namun
output yang dihasilkan tidak memberikan umpan balik terhadap input. Sedangkan
sistem tertutup, output memberikan umpan balik terhadap input.
Teori sistem erat hubungannya dengan sibernetika dan dinamika sistem (system
dynamics), yaitu model-model yang terdiri dari jaringan peubah yang berubah
menurut waktu. Sibernetika (cybernetics) yaitu studi tentang organisasi, komunikasi
dan kontrol dalam sistem kompleks dengan berfokus pada umpan balik. Teori sistem
digunakan dalam sain-sain kompleksitas (sciences complexity). Sedangkan analisis
sistim (system analysis) merupakan aplikasi dari prinsip-prinsip sistem untuk
membantu pengambilan keputusan.
Purnomo (2005) menjelaskan bahwa pemodelan merupakan aspek penting dari
teori sistem, terutama berhubungan dengan pemanfaatan teori sistem dalam aspek
yang lebih praktis. Model merupakan abstraksi dari sebuah sistem. Sedangkan sistem
adalah dunia nyata, dan model merupakan kegiatan membawa dunia nyata ke dalam
dunia tak nyata tanpa kehilangan sifat-sifat utamanya. Model dapat digunakan untuk
melakukan beragam percobaan atau perlakuan. Dampak dari percobaan tersebut
dapat diprediksi sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan.
9
Model yang dibangun harus diuji sensitivitasnya terhadap stimulus yang
diberikan terhadap model tersebut. Jika hasil uji sensitivitas terhadap model utuh
maupun terhadap masing-masing variabel kunci menunjukkan bahwa ada perubahan
kinerja model apabila diberikan suatu stimulus, maka dapat dikatakan model yang
dibangun tersebut sensitif (Muhammadi et al. 2001). Selain uji sensitivitas, menurut
Purnomo (2005), sebelum model digunakan harus dilakukan evaluasi model dengan
cara pengamatan kelogisan model, pengamatan perilaku model dan membandingkan
dengan konseptualisasi model, serta membandingkan perilaku model dengan data
yang didapat dari system (dunia nyata).
2.1.2. Penelitian Pemodelan Sistem Dinamik
Sistem bersifat dinamis. Dalam sistem, antar komponen berubah menurut waktu.
Purnomo (2005) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dinamika sistem adalah
studi mengenai perubahan sistem menurut waktu dengan memperhatikan umpan balik.
Sedangkan pemodelan sistem dinamik merupakan kegiatan membawa dunia nyata ke
dalam dunia tak nyata tanpa kehilangan sifat-sifat utamanya, serta model tersebut
bersifat dinamis berubah menurut waktu.
Telah banyak dilakukan penelitian mengenai pemodelan sistem dinamik, tetapi
belum ada pemodelan sistem dinamik yang menggambarkan sistem perkotaan dengan
permasalahan pulau bahang kota yang mengaitkan antara sumber-sumber emisi CO2,
albedo, dinamika perubahan luas berbagai jenis penutupan lahan, serta dampaknya
terhadap iklim mikro perkotaan khususnya suhu udara.
Fong et al. (2006) melakukan penelitian menggunakan model sistem dinamik
baru terbatas untuk menduga konsumsi energi di perkotaan. Model terdiri dari empat
sub model, yaitu sub model perumahan, komersial, industri, dan transportasi.
Berdasarkan simulasi model, diketahui bahwa pendorong utama terjadinya
peningkatan konsumsi energi adalah adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan
tingkat konsumsi energi oleh industri, konsumsi energi oleh penduduk di perumahan,
dan konsumsi energi aktivitas komersial.
Anand et al. (2005) melakukan penelitian lebih spesifik yaitu memprakirakan
emisi CO2 dengan menggunakan pendekatan sistem dinamik untuk menghitung dan
melakukan mitigasi terhadap emisi CO2 dari aktivitas industri semen di India. Anand
at al. (2005) memprediksi emisi CO2 dua puluh tahun ke depan dengan baseline
tahun 2000. Berdasarkan model tersebut dijelaskan bahwa variabel populasi manusia
10
sangat mempengaruhi permintaan dan produksi semen. Semakin meningkat jumlah
manusia, maka semakin meningkat pula permintaan akan semen, dan menyebabkan
emisi CO2 semakin meningkat pula. Dengan kondisi saat ini, diperkirakan emisi CO2
pada tahun 2020 adalah sebanyak 396,89 juta ton. Dengan menggunakan skenario
mitigasi emisi CO2 yang terdiri dari intervensi kebijakan untuk menstabilkan
pertumbuhan penduduk, pembatasan kelebihan produksi semen, melakukan
manajemen struktural, efisiensi energi, akan dapat menurunkan emisi CO2 pada tahun
2020 hingga mencapai 42%.
Model sistem dinamik juga digunakan Lee (2005) untuk memprakirakan
penyebab dan dampak dari emisi gas rumah kaca di Kota New York. Lee (2005)
membuat model sistem dinamik berdasarkan data emisi gas rumah kaca yang
dikeluarkan oleh Kota New York. Variabel aktivitas sumber emisi CO2 dalam model
tersebut terdiri dari konsumsi listrik, konsumsi bahan bakar fosil untuk pemanas udara,
serta konsumsi bahan bakar transportasi. Simulasi model dibuat untuk memprakirakan
emisi gas CO2 25 tahun ke depan yaitu dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2030.
Emisi gas rumah kaca di Kota New York pada tahun 2005, diperkirakan 58,8
juta metric ton equivalent (mt CO2e). Berdasarkan prakiraan model sistem dinamik,
pada tahun 2030 emisi gas CO2 meningkat menjadi 73 juta metric ton. Dengan
membuat skenario efisiensi energi dan penurunan konsumsi energi pada level moderat,
diperkirakan emisi CO2 tahun 2005 sebanyak 58 mt CO2e, sedangkan pada tahun
2030 diperkirakan menurun menjadi 54 mt CO2e. Apabila menggunakan skenario
yang lebih ketat, maka emisi CO2 dapat ditekan menjadi 43 mt CO2e pada tahun 2005,
dan 40 mt CO2e pada tahun 2030.
Dahlan (2007) melakukan penelitian mengenai kebutuhan luas hutan kota yang
berfungsi sebagai sink gas CO2 antropogenik. Berdasarlan simulasi model, Dahlan
(2007) menjelaskan bahwa kebutuhan luas hutan kota di Kota Bogor dengan jenis
vegetasi berdaya sink tinggi yaitu berkisar 5500 – 6500 ha. Dalam kurun waktu
sampai tahun 2100, diperkirakan lahan terbangun yang dibutuhkan untuk menampung
penduduk yaitu 8.032,11 ha (67,78%) dengan bangunan dua lantai, sedangkan luas
hutan kota yang dibutuhkan yaitu 1.278,81 ha (10,79%).
11
2.2. Kota Hijau (Green City)
2.2.1. Kawasan Perkotaan
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penye-
lenggaraan Penataan Ruang, dijelaskan bahwa kawasan perkotaan adalah wilayah
yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan
sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
2.2.2. Kota Hijau
a. Pengertian Kota Hijau
Menurut Wildsmith (2009), green city (kota hijau) juga dapat disebut sustainable
city (kota yang berkelanjutan) atau eco-city (kota berbasis ekologi), yaitu kota yang
dalam melaksanakan pembangunan didesain dengan mempertimbangkan lingkungan
sehingga fungsi dan manfaatnya dapat berkelanjutan. Green city dapat terwujud jika
masyarakat yang tinggal di dalamnya melakukan penghematan (minimisasi)
pemanfaatan energi dan air. Selain itu juga melakukan minimisasi buangan penyebab
panas, serta melakukan pencegahan pencemaran air dan udara. Selain elemen-elemen
tersebut Wildsmith (2009) juga menambahkan elemen sosial dan budaya. Sehingga
green city merupakan kota yang melakukan pembangunan berkelanjutan secara
ekonomi, sosial, dan ekologi sehingga tercipta keseimbangan diantara manusia dan
alam.
Mori dan Christodoulou (2011), mengartikan kota hijau sebagai kota
berkelanjutan. Yang dimaksud dengan kota berkelanjutan adalah sebuah kota yang
dalam melakukan pembangunan berasaskan keadilan antara generasi saat ini dengan
generasi yang akan datang. Pembangunan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan saat
ini tanpa mengorbankan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan generasi yang
akan datang. Seperti halnya Wildsmith (2009), Mori dan Christodoulou (2011) juga
mensyaratkan keseimbangan biofisik, sosial dan ekonomi yang berkeseimbangan
dalam pelaksanaan pembangunan kota berkelanjutan.
Roseland (1997) mendefinisikan green city sebagai eco-city, yaitu kota yang
berbasis ekologi dengan beberapa upaya yang dapat dilakukan sebagai berikut :
1) merevisi penataan penggunaan lahan agar menjadi lebih memperhatikan kebutuhan
akan ruang terbuka hijau dan kenyamanan di pusat-pusat permukiman dan area dekat
12
transportasi, 2) Perlu memperhatikan kebutuhan transportasi ramah lingkungan,
3) Merehabilitasi lingkungan perkotaan yang rusak (sungai, pantai, lahan basah),
4) Mendukung kegiatan penghijauan, pertanian masyarakat lokal, 5) Sosialisasi daur
ulang limbah, teknologi inovatif tepat guna, 6) Menciptakan keadilan sosial dengan
memberikan kesempatan pada wanita dan orang cacat untuk berperan serta menikmati
pembangunan, 7) Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berbasis ekologi yaitu
dengan menurunkan limbah dan polusi, serta menggunakan bahan baku yang tidak
berbahaya bagi lingkungan, 8) Mensosialisasikan penghematan pemanfaatan
sumberdaya alam, 9) Meningkatkan kesadaran terhadap lingkungan melalui kegiatan
pendidikan lingkungan.
b. Permasalahan dalam Mewujudkan Kota Hijau
Permasalahan lingkungan perkotaan yang menghambat terwujudnya kota hijau
adalah disebabkan oleh tingginya laju pertumbuhan penduduk serta laju pertambahan
luas lahan terbangun, semakin menurunnya ruang terbuka hijau, terjadinya
pencemaran air, pencemaran udara, pencemaran tanah, dan terbentuknya pulau
bahang kota.
Pulau bahang kota telah terjadi di beberapa kota di dunia, salah satunya adalah
pulau bahang kota yang terjadi di Guangzhou. Weng dan Yang (2004) menjelaskan
bahwa permasalahan lingkungan yang dihadapi Kota Guangzhou adalah terus
meningkatnya luas suhu udara tinggi di area perkotaan. Luas suhu udara tinggi yang
terus meningkat ini terkait dengan terus meningkatnya populasi penduduk sehingga
meningkatkan luas lahan terbangun, industri dan transportasi, serta merubah tata kota
dan lingkungan fisik Kota Guangzhou. Emisi CO2 dari berbagai aktivitas di
perkotaan serta semakin meningkatnya lahan terbangun dan menurunnya ruang
terbuka hijau di Kota Guangzhou, menyebabkan terbentuknya pulau bahang kota.
Masalah pulau bahang kota juga disebabkan oleh adanya pengembangan kota
yang tidak berdasarkan keberlanjutan ekologi perkotaan. Sektor ekonomi menjadi
prioritas utama pembangunan, lingkungan hidup tidak menjadi perhatian penting.
Berbagai aktivitas di perkotaan menyebabkan terus meningkatnya emisi CO2 dan
peningkatan suhu udara. Berdasarkan penelitian Wang (2009) di China mengenai
analisis permasalahan perencanaan urban green space system. Masalah lingkungan di
Cina diakibatkan karena kesalahan pada level perencanaan yang tidak mementingkan
lingkungan sehingga pelaksanaan pembangunan perkotaan lebih fokus pada sektor
13
ekonomi sehingga menimbulkan berbagai masalah lingkungan hidup termasuk
pemanasan di perkotaan.
c. Pengelolaan Kota dalam Mewujudkan Kota Hijau
Salah satu cara untuk mewujudkan kota hijau adalah dengan melakukan
pembangunan berkelanjutan yang saat ini dikenal dengan pembangunan berbasis
green growth. World Wide Fund for Nature dan PricewaterhouseCoopers (2011),
mendefinisikan green growth sebagai sebuah konsep pembangunan yang
dilaksanakan dengan mengupayakan keseimbangan ekonomi, sosial, budaya serta
lingkungan hidup. Konsep pembangunan berbasis green growth menurut World Wide
Fund for Nature (WWF) dan PricewaterhouseCoopers (PWC), dilaksanakan berdasar
pada lima pilar penting berikut :
a. Pertumbuhan ekonomi
b. Perbaikan kondisi sosial
c. Konservasi keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan
d. Kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim global
e. Penurunan emisi gas rumah kaca.
Sektor ekonomi sangat penting dalam menggerakkan pembangunan perkotaan.
Ekonomi yang sehat akan meningkatkan kondisi sosial ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat yang tinggal di dalamnya. Pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya
harus ditingkatkan. Selain sektor ekonomi dan kondisi sosial masyarakat, yang perlu
menjadi perhatian adalah perlunya memberikan harga (value) tinggi pada sumberdaya
alam dan jasa lingkungan yang ada. Sumberdaya alam termasuk keanekaragaman
hayati dan jasa lingkungan berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem
perkotaan. Keanekeragaman hayati vegetasi ruang terbuka hijau mempunyai jasa
lingkungan melalui perannya dalam mengabsorbsi dan mengadsorbsi berbagai polutan
udara, memperbaiki iklim mikro perkotaan, meningkatkan estetika lingkungan, me-
ngurangi kebisingan (Dahlan 2004). Oleh karena itu perlu dilakukan pemberdayaan
masyarakat dalam upaya konservasi sumberdaya alam dan jasa lingkungan serta
perbaikan habitat di perkotaan.
Agar sebuah kota dapat melakukan pembangunan berkelanjutan, maka selain
melakukan perbaikan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup, juga harus
meningkatkan kemampuan adaptasi kota tersebut terhadap perubahan iklim global.
Penurunan emisi gas rumah kaca harus dimasukkan dalam perencanaan dan
14
pelaksanaan pembangunan kota berbasis karbon rendah. Konsep pembangunan
berkelanjutan atau pembangunan berbasis green growth tersebut disajikan pada
Gambar 2.
Sumber : WWF dan PWC (2011)
Gambar 2 Pembangunan kota hijau berbasis green growth.
2.3. Pulau Bahang Kota (Urban Heat Island)
2.3.1. Pengertian Pulau Bahang Kota
Tursilowati (2002), Voogt (2002), Hidayati (1990), Santosa (1998) serta Weng
dan Yang (2004) menyatakan bahwa pulau bahang kota atau urban heat island atau
juga disebut dengan kubah kota terjadi ketika udara di atas perkotaan digambarkan
seperti pulau udara dengan permukaan panas yang terpusat di area urban (kota),
temperaturnya semakin menurun ke arah sub urban dan rural.
Irwan (2008) meneliti pulau bahang kota di Jakarta, Tangerang, Bekasi dan
Bogor. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa pulau bahang kota yang
terjadi di Kota Jakarta menciptakan suhu maksimum di Jakarta Pusat dan Jakarta
Utara. Secara bertahap, suhu udara menurun ke arah selatan (ke arah Bogor). Irwan
(2008) juga menjelaskan bahwa pola pulau panas cenderung melebar ke arah
Tangerang dan Bekasi bagian barat. Perbedaan suhu udara maksimum dan minimum
antara Kota Jakarta dan Bogor mencapai 1 – 3 °C.
Berdasarkan penelitian Effendy (2007), dijelaskan bahwa pulau bahang kota
(UHI) yang terjadi di Jakarta dipicu oleh meningkatnya kepadatan kendaraan (20%),
penambahan ruang terbangun (19%), dan kepadatan populasi (17%). Sedangkan pulau
Green
Growth
Emisi gas rumah
kaca
Pertumbuh-an
rendah karbonAdaptasi
terhadap
perubahan
iklim global
Ekonomi
Keanekaragam-
an hayati dan
jasa lingkungan
Sosial dan
pengurang-an
kemiskinan
Adaptasi
dan
mitigasi
Pertumbuhan
berkeseimba-
ngan
Nilai
sumber-
daya alam
Pember-
dayaan
masyarakat
& habitat
15
bahang kota yang terjadi di Bogor dipicu oleh meningkatnya semakin meluasnya
ruang terbangun (15%), diikuti oleh menurunnya ruang terbuka hijau (14%), semakin
padatnya kendaraan (14%), serta semakin padatnya populasi (13%). Selain Jakarta
dan Bogor, Kota Tangerang juga sudah mengalami efek pulau bahang. Kontribusi
terbesar terjadinya pulau bahang kota di Tangerang disebabkan oleh semakin
menurunnya ruang terbuka hijau (23%), diikuti oleh perluasan ruang terbangun
(22%0, padatnya populasi (19%), serta padatnya kendaraan (17%).
2.3.2. Sumber Permasalahan Pulau Bahang Kota
Hasil kajian pulau bahang kota yang dilakukan oleh Hidayati (1990), dan
Santosa (1998) membuktikan bahwa dengan adanya pulau bahang kota menyebabkan
suhu udara perkotaan lebih tinggi 0,02 – 1 °C dibandingkan daerah sekitarnya. Suhu
udara yang lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan, disebabkan oleh
tingginya emisi gas rumah kaca (CO2, N2O, CFC, CH4) dan persentase luas lahan
terbangun di perkotaan.
a. Emisi Gas Rumah Kaca
Pulau bahang kota yang terbentuk di area perkotaan diakibatkan oleh tingginya
konsentrasi gas rumah kaca. Gas rumah kaca di perkotaan dihasilkan oleh adanya
emisi gas-gas tersebut dari berbagai aktifitas antropogenik yang menggunakan bahan
bakar fosil (minyak bumi, batubara). Menurut Soedomo ( 2001), pembakaran bahan
bakar minyak bumi merupakan emisi terbesar dari gas rumah kaca. Urutan berikutnya
adalah penggunaan biomassa kayu bakar dan limbah pertanian, dan kemudian
penggunaan gas bumi.
Dahlan (2007) menyatakan bahwa rata-rata penggunaan bahan bakar per orang di
Kota Bogor adalah 134,19 liter bensin/orang/tahun ; 33,55 liter solar/orang/tahun;
6,24 liter diesel/orang/tahu; 84,17 liter minyak tanah/orang/tahun; 5,14 kg
LPG/orang/tahun; dan 0,28 m3 gas/orang/tahun. Berdasarkan simulasi model emisi
gas CO2 di Kota Bogor, diperkirakan emisi pada tahun 2010 sebanyak 600,216 ton
dan meningkat menjadi 848,175 ton pada tahun 2100. Sedangkan Soedomo (2001)
dengan menggunakan acuan tahun 1988 sebagai dasar, memperkirakan kontribusi per
kapita dalam emisi gas rumah kaca per kapita adalah sebesar 1,15 ton /tahun.
Jumlah keseluruhan emisi gas rumah kaca absolut dari hasil kegiatan
antropogenik (kegiatan yang dilakukan oleh manusia) di Indonesia disajikan pada
16
Tabel 1. Emisi gas absolut di Indonesia adalah sebesar 96,08 juta metrik ton pada
tahun 1980; 154,016 juta metrik ton pada tahun 1985; dan 202,47 juta metrik ton
pada tahun 1988. Karbon dioksida merupakan gas rumah kaca yang terbesar jumlah
emisi absolutnya. Chloro fluoro carbon belum dapat diperkirakan secara pasti
sehingga belum dimasukkan dalam perhitungan.
Pembakaran bahan bakar fosil (bensin, solar, batubara) menyebabkan emisi CO2
dan peningkatan suhu udara. Nowak dan McPherson (1993) menyatakan bahwa
peningkatan CO2 di atmosfer akan menyebabkan peningkatan suhu udara melalui
pemanasan udara akibat adanya penyerapan radiasi gelombang panjang oleh CO2.
Trewartha dan Horn (1995) juga menyatakan bahwa pencemaran atmosfer di kawasan
perkotaan akibat dari emisi polutan udara kendaraan bermotor dan industri, akan
mengakibatkan terperangkapnya radiasi terestrial di troposfer sehingga menghambat
lolosnya radiasi terestrial tersebut ke angkasa. Hal ini menyebabkan suhu udara
menjadi meningkat. Suhu udara selain ditentukan oleh konsentrasi gas rumah kaca,
juga dipengaruhi oleh variabilitas output total energi matahari. Variabilitas energi
matahari menghasilkan perubahan-perubahan dalam intensitas surya yang diterima di
puncak atmosfer bumi serta mengakibatkan variasi iklim termasuk suhu udara
(Trewartha & Horn 1980).
Trewartha dan Horn (1980) juga menyatakan bahwa variasi iklim juga
dipengaruhi oleh posisi matahari dan bumi. Jarak terjauh antara matahari dan bumi
selama peredarannya (aphelion) dan jarak terdekat antara matahari dan bumi
(perihelion), menentukan intensitas radiasi matahari dan suhu udara di permukaan
bumi.
Meskipun suhu udara ditentukan oleh variabilitas output total radiasi matahari
akibat aktivitas matahari serta posisi matahari dan bumi, tetapi suhu udara yang
terukur di permukaan bumi sangat ditentukan oleh konsentrasi gas rumah kaca,
termasuk gas CO2. Peningkatan konsentrasi CO2 menyebabkan kenaikan suhu udara
secara signifikan seperti yang disajikan pada Gambar 3 dan 4.
Efek pulau bahang yang terjadi di beberapa kota di dunia akan meningkatkan
pemanasan global, begitu pula pemanasan global yang terjadi saat ini juga
mempengaruhi proses pemanasan yang terjadi di perkotaan. Oleh karena itu perlu
dilakukan mitigasi dan adaptasi lokal dari masing-masing kota agar pemanasan di
tingkat lokal maupun global dapat dikendalikan.
17
Gambar 3 Rata-rata CO2 di Hawai.
Gambar 4 Hasil observasi temperatur global.
b. Pengaruh Penutupan Lahan terhadap Pulau Bahang Kota
Selain gas rumah kaca, faktor yang mempengaruhi pulau bahang kota adalah
jenis penutupan lahan. Penutupan lahan yang ada di area perkotan menentukan neraca
radiasi (termasuk pengaruh dari albedo) serta neraca energi di area perkotaan
sehingga akan menentukan kondisi pulau bahang kota.
Tahun
Sumber : Keeling et al. 1989 dalam IPCC 2007
Sumber : Brohan et al. (2006), Smith and
Reynolds (2005), Hansen et al.,
(2001) and Lugina et al. (2005)
dalam IPCC (2007)
Tahun
18
Neraca Radiasi dan Neraca Energi
Arya (2001) menyatakan bahwa neraca radiasi di suatu permukaan ditentukan
oleh radiasi gelombang pendek dan radiasi gelombang panjang yang datang dan yang
keluar. Radiasi neto merupakan radiasi yang datang dikurangi dengan radiasi yang
keluar. Persamaan neraca radiasi dan neraca energi disajikan pada persamaan berikut :
RS↓ (1 – α) + RL↓ - RL↑ = RN = H + HL + HG + ΔHS
Keterangan : RS↓ : Radiasi gelombang pendek yang masuk
α : Albedo
RL↓ : Radiasi gelombang panjang yang datang
RL↑ : Radiasi gelombang panjang yang keluar
RN : Radiasi neto
H : Panas terasa (sensible heat)
HL : Panas laten (latent heat)
HG : Flux panas permukaan
ΔHS : Perubahan panas tersimpan (energy storage)
Berdasarkan persamaan tersebut, radiasi neto dipengaruhi oleh albedo dari
permukaan. Albedo merupakan perbandingan antara jumlah radiasi surya gelombang
pendek (3-2 µm) yang dipantulkan oleh suatu permukaan dengan radiasi gelombang
pendek yang diterima permukaan tersebut (Geiger et al. 1961). Energi dari radiasi
neto terbagi menjadi beberapa energi yaitu energi panas terasa, panas laten, flux panas
permukaan dan perubahan panas tersimpan.
Berdasarkan persamaan neraca radiasi dan neraca energi (Arya 2001), maka area
yang didominasi oleh vegetasi akan menyebabkan nilai HL (energi yang digunakan
untuk evapotranspirasi) dan ΔHS (energi yang digunakan untuk fotosintesis) tinggi,
sedangkan nilai H dan HG, sehingga suhu udara menjadi rendah. Sebaliknya area
area yang didominasi oleh lahan terbangun menyebabkan nilai H dan HG tinggi
karena radiasi neto digunakan untuk memanaskan permukaan dan memanaskan udara
(panas terasa). Kondisi ini menyebabkan suhu udara tinggi.
Masing-masing jenis penutupan lahan yang ada di perkotaan mempunyai
kemampuan memantulkan dan menyerap radiasi surya (albedo) yang berbeda-beda.
Semakin banyak radiasi surya yang dipantulkan, maka radiasi neto (RN) akan semakin
tinggi sehingga mengakibatkan suhu permukaan tersebut serta suhu udara di
sekitarnya rendah. Sebaliknya, semakin sedikit radiasi yang dipantulkan, maka radiasi
19
neto akan semakin tinggi (sebagai contoh benda berwarna hitam) sehingga suhu
permukaan dan udara di sekitarnya semakin tinggi.
Radiasi neto yang diserap suatu benda akan dikonduksikan (HG), sehingga
kapasitas panas suatu benda akan sangat menentukan suhu benda tersebut. Dengan
energi yang sama dari radiasi surya yang sampai pada suatu permukaan, akan
mengakibatkan peningkatan suhu permukaan yang berbeda, karena suatu benda
mempunyai nilai albedo, konduktivitas dan kapasitas panas yang berbeda-beda.
Permukaan berupa tanah, rumput, ataupun aspal dan beton mempunyai konduktivitas
panas dan kapasitas panas yang berbeda. Radiasi surya yang jatuh pada permukaan
tersebut akan menyebabkan variasi suhu yang berbeda. Radiasi yang jatuh pada
permukaan berupa aspal dan beton menyebabkan suhu udara di sekitarnya lebih tinggi
dibandingkan jenis permukaan yang lain karena kapasitas panas pada aspal dan beton
lebih rendah (Mather 1974).
Area perkotaan modern, biasanya memiliki lahan terbangun (bangunan-
bangunan beton serta jalan-jalan beraspal) yang mendominasi area tersebut.
Karakteristik kota seperti ini akan mempengaruhi keseimbangan energi dan kondisi
suhu udara perkotaan. Atap yang gelap, bangunan beton, dan jalan-jalan beraspal di
perkotaan, memiliki albedo yang rendah sehingga lebih banyak menyerap radiasi
surya. Penyerapan radiasi surya menyebabkan peningkatan suhu udara, sehingga area
perkotaan memiliki suhu udara yang relatif lebih tinggi dibandingkan area perdesaan
yang masih didominasi oleh ruang terbuka hijau.
Penelitian Xiao dan Weng (2007) mengenai pengaruh jenis penutupan lahan
serta perubahan penutupan lahan terhadap suhu udara di Kota Guiyang, Anshun,
Qingzheng, dan Pingba County, menunjukkan bahwa peningkatan lahan terbangun di
empat kota tersebut yang terjadi dari tahun 1991 sampai 2001, menyebabkan
peningkatan suhu udara dan berakibat semakin lebarnya perbedaan suhu udara antara
area perkotaan (area dengan dominansi lahan terbangun) dengan perdesaan (area yang
didominasi ruang terbuka hijau). Perbedaan suhu udara antara area perkotaan dengan
perdesaan yang signifikan terdapat di Kota Guiyang dan Qingzheng karena kedua
kota tersebut mengalami peningkatan lahan terbangun dengan laju yang lebih tinggi
dibandingkan dua kota yang lain.
Hasil penelitian Akbari (2008) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pada
siang hari di musim panas, suhu udara di kota bisa mencapai 2,5 Kelvin (K) lebih
tinggi. Hal ini disebabkan karena lebih banyak lahan terbangun dan jalan-jalan
20
dibandingkan daerah sekelilingnya. Peningkatan suhu sebesar 1 K saja menyebabkan
permintaan listrik untuk energi pendingin udara meningkat 2-4 %.
Kaitan antara perluasan lahan terbangun dengan peningkatan suhu udara juga
ditemukan dalam penelitian Tursilowati (2002) yang menunjukkan adanya perluasan
pulau bahang kota di beberapa kota di Indonesia akibat adanya peningkatan luas lahan
terbangun. Di Bandung teramati pulau bahang kota (daerah dengan suhu tinggi 30-
35 °C) pada kawasan terbangun di pusat kota mengalami perluasan kira-kira 12.606
ha atau 4.47% per tahun, sedangkan di Semarang 12.174 ha atau 8,4% per tahun, dan
di Surabaya 1.512 ha atau 4,8% per tahun. Pertumbuhan kawasan terbangun di
Bandung per tahun kurang lebih 1.029 ha (0,36%), Semarang 1.200 ha (0,83%), dan
Surabaya 531,28 ha (1,69%).
Penelitian lain mengenai pulau bahang kota adalah yang dilakukan oleh Weng
dan Yang (2004) di Kota Guangzhou, Cina Selatan. Berdasarkan analisis peng-
inderaan jauh, didapat informasi bahwa penutupan lahan sangat berpengaruh terhadap
terbentuknya pulau bahang kota. Berdasarkan analisis data suhu permukaan pada
tanggal 29 Agustus 1997, terukur suhu permukaan terendah terdapat pada penutupan
lahan hutan (29,88 °C), diikuti dengan lahan pertanian (30,96 °C) dan suhu per-
mukaan tertinggi terukur pada tanah tandus (32,94 °C). Hasil penelitian Weng dan
Yang (2004) juga menyebutkan bahwa akibat perkembangan kota dan peningkatan
lahan terbuka, menyebabkan suhu udara perkotaan meningkat dari 22,50 °C pada
tahun 1989 menjadi 34,75 °C pada tahun 1997.
Sarkar (2004) juga meneliti kaitan fenomena pulau bahang kota dengan
perubahan dan kerapatan tutupan lahan dengan menggunakan remote sensing dan
GIS (Geographic Information System). Tutupan lahan yang dijadikan variabel bebas
adalah vegetasi, bangunan, jalan, lahan basah dan lahan terbuka. Nilai tutupan lahan
ditentukan oleh nilai sampel dari gambar satelit. Urban heat island dianalisis dengan
menggunakan composite band (6 red, 4 green dan 4 blue). Hasil penelitian ini
menyimpulkan bahwa urban heat island (pulau bahang kota) merupakan masalah yang
timbul akibat adanya perkembangan kota yang diakibatkan adanya peningkatan luas
lahan terbangun dan semakin berkurangnya ruang terbuka hijau.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Effendy (2007) yang mengkaji keterkaitan
antara ruang terbuka hijau dengan urban heat island di wilayah JABOTABEK
(Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi). Variabel yang dianalisis adalah perubahan
indeks kenyamanan dan neraca energi permukaan khususnya terhadap fluks LE (latent
21
heat flux) dan H (sensible heat flux). Berdasarkan penelitian tersebut disimpulkan
bahwa titik kritis pengurangan ruang terbuka hijau untuk Kota Jakarta, Kota dan
Kabupaten Bogor adalah sebesar 30%, artinya setiap pengurangan ruang terbuka hijau
yang melampaui batas tersebut maka akan mengakibatkan kenaikan suhu udara
dengan laju dua kali lipat dibandingkan dengan pengurangan ruang terbuka hijau di
bawah 30%. Hal sama berlaku untuk Kota dan Kabupaten Tangerang yang
mempunyai batas kritis pengurangan ruang terbuka hijau yang lebih kecil yaitu 15 dan
20%, sementara Kota dan Kabupaten Bekasi pada batas kritis yang lebih besar hingga
35%. Rata-rata wilayah JABOTABEK (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi) mempu-
nyai titik kriitis pengurangan ruang terbuka hijau sebesar 28%
Evaporasi dan Evapotranspirasi Berbagai Jenis Penutupan Lahan
Evaporasi adalah transfer massa uap air dan energi dari suatu permukaan ke
atmosfer (penguapan). Sedangkan transpirasi adalah kehilangan air dari vegetasi
melalui proses penguapan. Evapotranspirasi adalah kombinasi diantara evaporasi dan
transpirasi (Mather 1974). Evaporasi dan transpirasi selain ditentukan oleh faktor
iklim (radiasi, suhu udara, kelembaban udara, perbedaan tekanan udara, angin) juga
ditentukan oleh jenis vegetasi.
Vegetasi mempengaruhi suhu udara selain karena mempunyai nilai albedo
tersendiri yang menentukan pemantulan dan penyerapan radiasi surya, juga karena
vegetasi melakukan proses evapotranspirasi. Area perdesaan dengan persentase ruang
terbuka hijau yang masih tinggi, maka radiasi surya yang sampai permukaan selain
dikonduksikan juga digunakan untuk evapotranspirasi sehingga suhu permukaan serta
suhu udara di sekitarnya lebih rendah. Oleh karena itu vegetasi memainkan peranan
yang signifikan dalam mengurangi jumlah radiasi balik termal ke atmosfir,
menurunkan suhu udaradan terbukti efektif menekan efek pulau bahang.
Vegetasi memiliki peran penting dalam menurunkan suhu udara. Sebaliknya
lahan terbangun dan lahan terbuka menyebabkan peningkatan suhu udara. Hal ini
didukung oleh pendapat Trewartha dan Horn (1995) yang menyatakan bahwa
kawasan perkotaan umumnya sangat kurang vegetasi. Kondisi ini menyebabkan
evaporasi rendah, dan mengakibatkan sebagian besar energi radiasi yang diterima
dikonduksikan ke permukaan serta digunakan untuk memanaskan udara sehingga
suhu udara meningkat.
22
2.4. Ruang Terbuka Hijau
2.4.1. Pengertian Ruang Terbuka Hijau
Ruang terbuka hijau sangat menentukan kondisi pulau bahang kota, terutama
berperan dalam mengurangi gas CO2 melalui proses fotosintesis, serta dalam proses
evapotranspirasi yang mempunyai pengaruh positif dalam menurunkan suhu udara
perkotaan. Pengertian ruang terbuka hijau berdasarkan UU Republik Indonesia No. 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, adalah area memanjang/jalur dan/atau
mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman,
baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Berdasarkan PP
Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008, dijelaskan bahwa salah satu strategi
pengendalian perkembangan kegiatan budidaya agar tidak melampaui daya dukung
adalah dengan penetapan ruang terbuka hijau minimal 30% dari luas kawasan
perkotaan. Sedangkan kawasan perkotaan menurut UU RI No. 26 Tahun 2007 adalah
wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi
kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan
jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
2.4.2. Hutan Kota sebagai Bagian dari Ruang Terbuka Hijau
Hutan kota adalah bagian dari ruang terbuka hijau. Hutan kota menurut Irwan
(2008) adalah komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di
lahan kota atau sekitar kota, berbentuk jalur, menyebar, atau bergerombol
(menumpuk) dengan struktur menyerupai hutan alam, membentuk habitat yang
memungkinkan kehidupan bagi satwa dan menimbulkan lingkungan sehat, nyaman
dan estetis. Sedangkan Grey dan Deneke (1978), hutan kota merupakan kawasan
vegetasi berkayu yang luas, terbuka bagi masyarakat umum, mudah dijangkau oleh
penduduk kota, dan dapat memenuhi fungsi perlindungan kelestarian tanah, tata air,
ameliorasi iklim, penangkal polusi udara, kebisingan dan lain-lain. Peraturan
Pemerintah No.63 Tahun 2002 tentang hutan kota, dinyatakan bahwa luasan hutan
kota sekurang-kurangnya 10% dari luas kota.
Menurut Dahlan (1992), hutan kota mempunyai fungsi dan peranan sebagai
sebagai identitas kota, pelestarian plasma nutfah, penahan dan penyaring partikel
padat dari udara, penyerap dan penjerap partikel timbal, penyerap dan penjerap debu,
peredam kebisingan, mengurangi bahaya hujan asam, penyerap karbon monoksida,
penyerap karbon dioksida dan penghasil oksigen, penahan angin, penyerap dan
23
penapis bau, mengatasi penggenangan, mengatasi intrusi air laut, ameliorasi iklim,
pengelolaan sampah (sebagai penyerap dan penyekat bau, pelindung tanah dari
dekomposisi sampah, penyerap zat berbahaya), pelestarian air tanah, penapis cahaya
silau. Selain itu hutan kota berperan dalam meningkatkan keindahan, sebagai habitat
burung, mengurangi stres, mengamankan pantai terhadap abrasi, meningkatkan
industri pariwisata dan sebagai hobi dan pengisi waktu luang.
Bentuk dan Struktur Hutan Kota
Hutan kota dapat dikelompokkan berdasarkan bentuk dan strukturnya. Bentuk
hutan kota dibedakan berdasarkan bentuk sebarannya yaitu bergerombol, menyebar,
dan memanjang (jalur). Menurut Irwan (2008), berdasarkan bentuknya hutan kota
dibedakan menjadi tiga yaitu :
1. Bentuk bergerombol atau menumpuk, yaitu vegetasi yang terkonsentrasi
pada satu areal dengan jarak tanam rapat dan tidak beraturan.
2. Bentuk menyebar, adalah hutan kota yang tidak mempunyai pola tertentu,
vegetasi tumbuh menyebar, terpencar-pencar dalam bentuk rumpun atau
gerombol-gerombol kecil.
3. Bentuk jalur, vegetasi tumbuh pada lahan yang berbentuk jalur lurus atau
melengkung mengikuti bentukan sungai, jalan, pantai, saluran dan
sebagainya.
Selain berdasarkan bentuknya, hutan kota dikelompokkan berdasarkan
strukturnya yang dibedakan menurut strata (lapisan) tajuk (Irwan 2008). Menurut
strukturnya, hutan kota dibedakan menjadi dua kelompok yaitu :
1. Hutan kota berstrata dua, yaitu komunitas tumbuh-tumbuhan yang terdiri
dari pepohonan dan rumput atau penutup tanah lain.
2. Hutan kota berstrata banyak, komunitas tumbuh-tumbuhan yang terdiri
dari pepohonan dan rumput, juga terdapat semak, terna, liana, epifit,
ditumbuhi banyak anakan dan penutup tanah, jarak tanaman rapat tidak
beraturan dengan strata, serta komposisi mengarah meniru komunitas
tumbuh-tumbuhan hutan alam.
Fakuara (1987) memperkirakan kebutuhan luas hutan kota, menggunakan
metode jumlah O2 yang diperlukan oleh manusia dan kendaraan bermotor. Selain itu
kebutuhan luas hutan kota juga diprediksi dari proses fotosintesis yang menghasilkan
24
O2, sehingga dengan menghitung kemampuan vegetasi dalam menghasilkan O2 per
satuan luas, maka didapat kebutuhan luas hutan kota sesuai dengan kebutuhannya
terhadap O2.
Dahlan (2007) menganalisis kebutuhan hutan kota berdasarkan perannya
sebagai sink gas CO2 anthropogenik dari bahan bakar minyak dan gas di Kota Bogor
dengan pendekatan sistem dinamik. Model yang dibuat didasarkan pada emisi CO2
yang dihasilkan Kota Bogor dari tahun ke tahun, dan didasarkan atas daya rosot gas
CO2 vegetasi. Dari model ini Dahlan (2007) dapat memprediksi kebutuhan luas hutan
kota sampai tahun 2100.
2.4.3. Fungsi Ruang Terbuka Hijau
Proses fotosintesis yang terjadi pada vegetasi, selain memerlukan air (H2O) dan
radiasi matahari serta klorofil, juga membutuhkan CO2. Dalam proses fotosintesis
dihasilkan karbohidrat yang kemudian disebarkan serta tersimpan di seluruh bagian
vegetasi (daun, batang, ranting, akar, bunga, buah). Proses penyimpanan
(penimbunan) karbohidrat (C6H12O6) yang terdiri dari karbon ini disebut dengan
proses sekuestrasi (C-sequestration). Oleh karena itu ruang terbuka hijau termasuk
hutan kota, mempunyai fungsi sebagai rosot karbon (penyimpan karbon). Bernatzky
(1978) menjelaskan, bahwa satu hektar areal yang ditanami pohon, semak dan rumput
dengan luas daun kurang lebih 5 hektar, dapat menyerap 900 kg CO2 dari udara dan
melepaskan 600 O2 dalam waktu 2 jam.
Dahlan (2004) menyatakan bahwa dengan membangun kota kebun bernuansa
hutan kota, dapat meningkatkan kesehatan lingkungan. Kualitas lingkungan akan
meningkat karena vegetasi mempunyai fungsi sebagai penyerap dan penjerap partikel
logam dari industri, penyerap dan penjerap partikel timbal dari kendaraan bermotor
dan penyerap dan penjerap debu semen. Selain itu vegetasi juga dapat menyerap gas
beracun dan gas karbon dioksida. Brack (2002) menyatakan bahwa hutan kota
berfungsi sebagai kontrol refleksi (silau) dari radiasi yang sampai permukaan
perkotaan, peredam kebisingan, absorbsi polutan udara, serta dapat menjadi habitat
satwaliar.
Kondisi perkotaan dengan konsentrasi polutan udara dan suhu yang tinggi dapat
ditanggulangi dengan penanaman vegetasi berupa ruang terbuka hijau termasuk hutan
kota. Vegetasi berfungsi dalam mengintersepsi radiasi matahari sehingga dapat
menurunkan intensitas radiasi matahari di dekat permukaan. Intensitas radiasi yang
25
rendah di dekat permukaan akan menyebabkan pemanasan udara juga menurun
sehingga suhu udara juga akan turun.
Chang et al. (2007) melakukan pengukuran suhu udara di 61 titik di Kota Taipei.
Hasil pengukuran itu menunjukkan bahwa suhu udara di ruang terbuka hijau 0,81 K
lebih rendah dibandingkan dengan area terbuka tanpa vegetasi. Fungsi vegetasi dalam
penurunan suhu udara juga dibuktikan oleh Nichol dan Wong (2005) dalam
penelitiannya dengan menggunakan 3D virtual reality model di Kota Hongkong.
Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa area perkotaan yang didominasi oleh
gedung-gedung yang rendah, suhu udaranya 6 °C lebih tinggi dibandingkan dengan
area perkotaan bervegetasi. Dalam penelitian ini juga dibandingkan suhu udara di area
yang mendapat bayangan (naungan) dari gedung-gedung tinggi. Suhu udara di area
yang ternaungi gedung tinggi tersebut tetap lebih tinggi jika dibandingkan dengan
area bervegetasi. Nichol dan Wong (2005) menyimpulkan bahwa penurunan suhu
udara lebih ditentukan oleh vegetasi daripada naungan gedung-gedung tinggi.
Kemampuan vegetasi khususnya hutan kota dalam menurunkan suhu udara,
dipengaruhi oleh bentuk dan struktur dari hutan kota tersebut. Irwan (2008),
menyatakan bahwa hutan kota dengan komunitas vegetasi berstrata dua yang
berbentuk jalur, dapat menurunkan suhu udara sebesar 1,43 % dan menaikkan
kelembaban udara 1,77 %, sedangkan yang berbentuk menyebar menurunkan suhu
udara 3,60 % dan menaikkan kelembaban udara 4,77 % , dan yang berbentuk
bergerombol menurunkan 3,18 % dan menaikkan kelembaban udara 2,20 %. Irwan
(2008) juga menyebutkan bahwa hutan kota berstrata banyak dengan bentuk
menyebar, dapat menurunkan suhu udara sebesar 2,28 % dan menaikkan kelembaban
udara 4,77 % , sedangkan yang berbentuk bergerombol menurunkan suhu udara
3,04 % dan kelembaban udara 2,20 %.
Effendy (2007) menyatakan bahwa model persamaan ruang terbuka hijau dan
suhu udara mempunyai hubungan terbalik dimana setiap laju pengurangan ruang
terbuka hijau menyebabkan peningkatan suhu udara dan sebaliknya. Hal ini
membuktikan bahwa ruang terbuka hijau mempunyai fungsi menurunkan suhu udara
sehingga dapat memperbaiki iklim mikro (ameliorasi iklim).
26
2.4.4. Manfaat Ruang Terbuka Hijau
Manfaat dari ruang terbuka hijau menurut Brack (2002) yaitu dapat menjaga
kondisi iklim ekstrim perkotaan, menanggulangi pulau bahang kota, meningkatkan
kenyamanan, kesehatan, keindahan, kualitas udara, mengurangi konsumsi listrik
untuk pemanasan dan pendinginan, meningkatkan nilai properti, mempunyai nilai
ekonomi, serta dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat perkotaan. Brack
(2002) melakukan penelitian mengenai manfaat hutan kota di dataran Canberra,
Australia. Pembangunan hutan kota di dataran Canberra dengan penanaman secara
besar-besaran yang dilakukan sejak tahun 1911 yang sebelumnya merupakan area
terbuka akibat pembukaan lahan untuk ternak domba, telah memberikan manfaat
meningkatkan nilai estetika dan memperbaiki kondisi iklim ekstrem. Brack (2002)
menghitung nilai ekonomi pohon dengan mengestimasi ukuran pohon selama
Komitmen Kyoto periode 5 tahun ke depan dengan menggunakan metode Decision
Information System for Managing Urban Trees (DISMUT). Dari perhitungan tersebut
diperkirakan 400.000 pohon di area tersebut mempunyai nilai karbon sebesar
US $ 20-67 juta selama periode 2008-2012 atau $ 66 - $ 223/penduduk.
2.5. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
Manusia sebagai bagian dari ekosistem sangat menentukan kondisi
keseimbangan ekosistem perkotaan. Hal ini dijelaskan oleh Chiras (1985) yang
menyatakan bahwa kondisi lingkungan ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya :
jumlah penduduk, konsumsi perkapita sumberdaya alam, teknologi, sosial, ekonomi,
politik dan kebijakan. Kondisi sosial ekonomi masyarakat sangat menentukan kondisi
lingkungan. Kondisi sosial dan tingkat ekonomi yang tinggi disertai pola konsumsi
modern yang boros mengakibatkan masalah lingkungan lebih berat. Kearifan
tradisional yang menempatkan manusia sebagai bagian dari ekosistem sudah bukan
menjadi budaya masyarakat perkotaan. Hal ini mengakibatkan berbagai aktivitas
manusia hanya terfokus pada pemanfaatan sumberdaya alam tanpa
mempertimbangkan kelestarian fungs dan manfaatnya.
Chiras (1985) juga menyatakan bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat
mempengaruhi permintaan (demand) akan sumberdaya alam termasuk kebutuhan
akan energi bahan bakar fosil (batubara, minyak, gas). Semakin tinggi kondisi sosial
ekonomi masyarakat cenderung akan semakin meningkatkan kebutuhan perkapita
akan sumberdaya alam serta meningkatkan limbah dan pencemaran lingkungan.
27
Untuk mewujudkan sebuah kota menjadi kota hijau, harus diselaraskan antara
peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat dengan lingkungan. Oleh karena itu
dibutuhkan pemahaman, persepsi dan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga
kondisi lingkungan.
Pernyataan Chiras (1985) ini didukung oleh Tashiro (2009) yang menyatakan
bahwa untuk mewujudkan kota hijau perlu kerjasama dengan membuat jaringan yang
baik dengan melibatkan masyarakat serta mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi,
budaya, estetika serta aspek mental msayarakat. Hal ini berarti bahwa dalam
pelaksanaannya perlu mendengar masukan serta peran masyarakat agar kota hijau
dapat terlaksana dengan baik.
2.6. Kebijakan Kota Hijau
2.6.1. Analisis Kebijakan
Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kota sering tanpa dasar analisis
kebijakan yang berorientasi pada akar masalah yang dihadapi kota tersebut sehingga
kebijakan yang diterapkan tidak dapat menyelesaikan masalah dengan baik. Dunn
(2003) memperkenalkan analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah agar
kebijakan yang dibuat sesuai sasaran. Tahapan analisis kebijakan menurut Dunn
(2003) yaitu : perumusan masalah (definisi) untuk menghasilkan informasi mengenai
kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan. Berikutnya adalah peramalan
(prediksi) yaitu informasi mengenai konsekuensi dimasa datang dari penerapan
alternatif kebijakan. Kemudian rekomendasi (preskripsi) yang merupakan informasi
mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekuensi dimasa depan dari suatu
pemecahan masalah. Ketika kebijakan dilaksanakan, perlu dilakukan pemantauan
(deskripsi) yang merupakan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu
dari diterapkannya alternatif kebijakan. Komponen penting lainnya adalah evaluasi
yaitu informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan masalah.
Hampir sama dengan pendapat Dunn (2003), Parsons (2001) juga menyatakan
bahwa analisis kebijakan terdiri dari analisis determinasi kebijakan, analisis isi
kebijakan, monitoring dan evaluasi, informasi untuk kebijakan dan advokasi
kebijakan. Determinasi kebijakan adalah analisis yang berkaitan dengan pembuatan
kebijakan (mengapa, kapan, dan untuk siapa kebijakan dibuat). Isi kebijakan
merupakan deskripsi kebijakan termasuk perbaikan dan kaitan dengan kebijakan
terdahulu. Monitoring dan evaluasi merupakan penilaian kinerja kebijakan yang
28
terkait dengan tujuan dan dampak kebijakan. Informasi untuk kebijakan adalah hasil
analisis untuk memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pembuatan
kebijakan. Sedangkan advokasi kebijakan merupakan hasil riset dan argumen yang
digunakan untuk menentukan agenda kebijakan.
Prediksi merupakan salah satu tahapan analisis kebijakan yang diperkenalkan
Dunn (2003). Tujuan dari prediksi adalah untuk mendapatkan informasi tentang
perubahan di masa depan beserta konsekwensi atas kebijakan yang diterapkan
sehingga dapat merencanakan dan menetapkan kebijakan terbaik dari beberapa
alternatif kebijakan yang ada. Dunn (2003) juga menyatakan bahwa model sistem
dinamik dapat digunakan untuk memprediksi kondisi di masa depan.
2.6.2. Pelaksanaan Kebijakan Kota Hijau
2.6.2.1. Kebijakan Kota Hijau di Swedia
Elander dan Lundgren (2005) menginformasikan bahwa kebijakan kota hijau
telah diterapkan di kota-kota di Swedia (Stockholm, Goteborg, Malmo, dan Orebro).
Kota-kota tersebut telah mengadopsi kebijakan kota hijau (green policy), termasuk
kebijakan pentingnya konservasi keanekaragaman hayati. Dalam pelaksanaannya,
pemerintah lokal Swedia membentuk jaringan kerjasama diantara instansi pemerintah,
politikus, dan lembaga swadaya masyarakat. Dengan kerjasama ini dihasilkan
prioritas masalah yang harus segera ditangani untuk dapat diputuskan sebagai
kebijakan pemerintah daerah.
Permasalahan yang dihadapi kota-kota di Swedia adalah semakin menurunnya
luas ruang terbuka hijau akibat berubah menjadi bangunan, jalan, dan lahan terbangun
lain yang merupakan dampak dari semakin meningkatnya jumlah penduduk.
Pencemaran udara dan material tutupan lahan perkotaan menyebabkan peningkatan
abosorbsi energi panas sehingga meningkatkan suhu udara, keawanan, dan presipitasi.
Sebaliknya menyebabkan menurunnya kelembaban udara serta kecepatan angin
(Elander dan Lundgren 2005).
Kota Stockholm
Stockholm merupakan merupakan kota terbesar di Swedia yang mengalami
defisit perumahan sehingga permintaan akan tempat tinggal serta tekanan terhadap
lahan untuk memenuhi kebutuhan akan perumahan tinggi. Untuk mengatasinya,
pemerintah daerah mewajibkan intitusi pemerintah melakukan pembangunan dengan
29
berdasar pada green policy. Pemerintah daerah juga mengangkat tenaga profesional
yang kompeten di bidang ekologi yang disebar pada beberapa institusi. Selain itu juga
untuk mengevaluasi kebijakan yang telah dan sedang dilaksanakan, pemerintah
daerah juga menjaring masukan melalui pertemuan-pertemuan dan seminar-seminar
dengan para ahli dan NGOs (Non Governmental Organization). Untuk mendapatkan
dukungan masyarakat, selain melakukan sosialisasi program, juga dengan cara
membuat beberapa kompetisi misalnya kompetisi halaman warga terbaik dengan
kriteria keanekaragaman tanaman yang ditanam di halaman. Kompetisi ini merupakan
kerjasama diantara pemerintah daerah dengan perusahaan perumahan.
Kota Goteborg
Goteborg merupakan kota terbesar kedua di Swedia, merupakan kota dagang dan
industri. Di kota ini masih banyak sabuk hijau (green belt) dan taman-taman. Tetapi
Kota Goteborg juga mengalami masalah mengenai penurunan luas ruang terbuka
hijau akibat meningkatnya lahan terbangun termasuk meningkatnya kebutuhan akan
jalan. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah daerah mewajibkan program
kota hijau untuk menjadi kebijakan beberapa institusi pemerintah daerah. Kantor
perencanaan perkotaan; kantor konservasi lingkungan hidup; kantor museum, taman
dan sumberdaya alam, telah memasukkan konsep kota hijau dalam perencanaan dan
pelaksanaan programnya. Bahkan perusahaan real estate dan partai dalam kampanye-
kampanyenya telah memasukkan konsep kota hijau. Organisasi voluntary (suka rela)
di Kota Goteborg, bersama-sama kelompok masyarakat yang peduli terhadap
lingkungan hidup, membentuk kerjasama permanen dan ad hoc pada saat muncul
masalah lingkungan yang dihadapi kota tersebut.
Kota Malmo
Malmo adalah kota ketiga terbesar di Swedia. Kota tersebut disebut sebagai kota
taman, di perbatasan kota dikelilingi area pertanian. Pembangunan terus berjalan
dengan memperhatikan keberadaan ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau
dikembangkan menurut karaktaristik kondisi alam daerah setempat. Daerah (district)
membuat peta derajat kelangkaan species di daerah masing-masing, tetapi
pelaksanaan kebijakan daerah masih belum memenuhi harapan. Diskusi mengenai isu
hijau (green issues) antara masyarakat, NGOs, dengan pemerintah daerah, hanya
bersifat sporadis dan konsep hijau tidak menjadi fokus debat dalam kampanye politik.
30
Banyak perkantoran dan juga partai kekurangan ahli lingkungan hidup. Meskipun
demikian, pemerintah saat ini mempunyai target untuk mewujudkan Kota Malmo
sebagai kota kebun (the city gardener).
Kota Orebro
Orebro merupakan kota ketujuh terbesar di Swedia. Sekeliling kota terdapat area
pertanian lahan datar serta hutan yang tersisa berupa hutan berdaun lebar serta hutan
yang saat-saat tertentu menggugurkan daun. Kota Orebro sebelumnya merupakan
sebuah kota kecil industri, berkembang menjadi pusat perdagangan, pendidikan,
rumah sakit, dan transportasi. Pemerintah daerah bersama dewan kota meletakkan
konsep hijau dalam penyusunan perencanaan pembangunan. Dengan demikian semua
perkantoran pemerintah daerah mengimplementasikan kebijakan tersebut. Saat ini
pemerintah kota mengembangkan perencanaan hijau terhadap lansekap kota,
mendukung konsep kota hijau berdasarkan tiga dasar yaitu sosial, budaya dan ekologi.
Departemen yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan konsep hijau yaitu
Departemen Teknik dan Departemen Perencanaan Kota. Dalam proses penyusunan
perencanaan, ahli ekologi dan ahli biologi, pada tahun 2997 ditransfer dari Kantor
Jasa Lingkungan Hidup ke Departemen Perencanaan Kota. Non Governmental
Organization sangat aktif berperan dalam penyusunan perancanaan. Masyarakat
merasakan manfaat dan menghargai nilai dari lingkungan yang dikelola dengan baik.
Secara umum keempat kota di Swedia (Stockholm, Goteborg, Malmo,Orebro)
mempunyai sistem perencanaan hijau (green policy), melaksanakan pembangunan
hijau, serta mempunyai peraturan legal serta personil untuk mendukung pelaksanaan
pembangunan hijau meskipun pada masing-masing kota mempunyai variasi kebijakan
yang berbeda-beda.
2.6.2.2. Kebijakan Kota Hijau di Kota Guangzhou, Cina
Pemerintah Daerah Kota Guangzhou telah mengadopsi konsep kota hijau dalam
melaksanakan pembangunan. Untuk mewujudkan kota hijau, pemerintah daerah
membuat green policy untuk mengatasi masalah utama yang dihadapi yaitu adanya
pulau bahang kota (urban heat island). Weng dan Yang (2004) menyatakan bahwa
masalah yang dihadapi Kota Guangzhou adalah terjadinya pulau bahang kota (urban
heat island) akibat terus meningkatnya lahan terbangun. Pada tahun 1960, lahan
terbangun di Kota Guangzhou seluas 64,2 km2, meningkat menjadi 159,6 km
2 pada
31
tahun 1984. Selama 24 tahun, lahan terbangun meningkat sebesar 95,4 km2 atau 149%.
Tahun 1989, lahan terbangun terus mengalami peningkatan menjadi 194,8 km2, dan
pada tahun 1997 menjadi 295,2 km2
atau mengalami peningkatan 51,5% dalam waktu
delapan tahun. Akibat peningkatan lahan terbangun menyebabkan area urban heat
island dengan perbedaan suhu udara di pusat kota dengan area perdesaan berkisar
antara 0,2 sampai dengan 4,7 °C tergantung kondisi cuaca.
Penelitian Weng dan Yang (2004) mengenai kaitan antara jenis penutupan lahan
dengan suhu udara yang dilakukan pada tahun 1997, dijelaskan bahwa jenis
penutupan lahan berupa hutan menciptakan suhu udara yang paling rendah
dibandingkan jenis penutupan lahan lainnya. Suhu udara di area hutan pada tahun
1997 adalah 23,82 °C; suhu udara di area perairan 24,02 °C, tanaman pertanian
25,17 °C; tanah terbuka (tanah gundul) 26,06 °C; dan lahan terbangun 27,07 °C.
Untuk mewujudkan kota hijau, Pemerintah Daerah Kota Guangzhou membuat
kebijakan dengan target Kota Guangzhou sebagai kota bunga serta telah menambah
ruang terbuka hijau dari 37,36 km2 pada tahun 1978, meningkat menjadi 83,5 km
2
pada tahun 1999. Tetapi ruang terbuka hijau yang diutamakan adalah berupa taman
dengan beraneka macam bunga, ruang terbuka hijau berupa pohon sangat kurang
sehingga kebijakan ini tidak efektif dalam mengatasi masalah pulau bahang kota.
Berdasarkan penelitian Weng dan Yang (2004) disarankan agar kebijakan Pemerintah
Daerah Kota Guangzhou dapat diperbaiki agar lebih mengembangkan hutan kota
karena lebih efektif dan efisien dalam mengatasi pulau bahang kota.
2.6.2.3. Kebijakan Kota Hijau di Kota Canberra, Australia
Canberra merupakan ibu kota Australia. Awal mula daerah ini merupakan hutan,
yang mulai tahun 1820 peternak membuka hutan dan hanya menyisakan hutan yang
tidak luas. Berdasarkan laporan Brack (2002) disebutkan bahwa sejak tahun 1990
pemerintah membuat kebijakan penanaman secara besar-besaran pada area terbuka
dengan menanam sebanyak 400.000 bibit pohon. Pemerintah juga membuat model
sebagai dasar pengambilan keputusan yaitu program Decision Information System for
Managing Urban Trees (DISMUT) yang merupakan panduan dalam manajemen hutan
kota. Program DISMUT berisi prakiraan pertumbuhan jenis-jenis tanaman, penentuan
lokasi dan waktu penanaman yang sesuai, cara melakukan pemangkasan dan
pemeliharaan pohon. Selain itu DISMUT juga dapat digunakan untuk memprediksi
32
nilai dari hutan kota serta prakiraan kemampuan hutan kota dalam menurunkan gas
rumah kaca.
Program DISMUT berupa modelling sehingga dapat digunakan untuk
menentukan kebijakan dan keputusan pemerintah dari beberapa pilihan kebijakan.
Bahkan dalam model DISMUT dapat diprakirakan keuntungan dari manajemen hutan
kota dari mitigasi polusi udara dan sequestrasi karbon oleh hutan kota sehingga dapat
dihitung keuntungan dari penurunan konsumsi energi untuk pendinginan (AC) dan
pemanas ruangan di musim dingin. Lebih dari 50% hutan kota di Canberra berupa
hutan yang selalu hijau (evergreen), melalui kemampuannya dalam mengintersepsi
radiasi surya serta evapotranspirasi menyebabkan pengaruh positif menurunkan suhu
udara sehingga menurunkan biaya konsumsi enrgi untuk meningkatkan kenyamanan
lingkungan. Berdasarkan program DISMUT dapat diperkirakan keuntungan
mengelola hutan kota akan dapat menghemat biaya selama periode tahun 2008 sampai
dengan tahun 2012, adalah sebesar US$ 20 sampai dengan 67 juta.
2.6.2.4. Kebijakan Kota Hijau di Kota Lisbon, Portugal
Alcoforado et al. (2009) menyatakan bahwa untuk menciptakan pembangunan
kota berkelanjutan (kota hijau), diperlukan pengetahuan tentang iklim dalam proses
penyusunan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kota. Pengetahuan akan
iklim sangat penting untuk menangani permasalahan perkotaan terutama masalah
urban heat island (UHI) dan staganasi aliran udara. Metode yang digunakan adalah
dengan melakukan pemetaan tutupan lahan Kota Lisbon dengan menggunakan sistem
informasi geografi, memetakan kekasaran permukaan, kepadatan bangunan, serta
menganalisis arah dan kecepatan angin.
Berdasarkan penelitian Alcoforado et al. (2009), diketahui bahwa rata-rata
perbedaan suhu udara akibat UHI sebesar 3 °C. Suhu udara tertinggi terdapat di pusat
kota dengan lahan terbangun yang padat dan luas. Aliran massa udara yang buruk di
perkotaan meningkatkan efek buruk UHI. Efek negatif ini yaitu meningkatkan
ketidaknyamanan, menimbulkan masalah kesehatan, menimbulkan polusi oksidan,
seta meningkatkan konsumsi energi dan air.
Pemerintah Daerah Kota Lisbon membuat kebijakan pengelolaan lingkungan
untuk mengatasi masalah UHI dan penataan ventilasi udara kota dengan membuat
pedoman pengelolaan lingkungan secara sederhana agar mudah dipahami dan
dilaksanakan. Pedoman disusun berdasarkan kepadatan lahan terbangun, kekasaran
33
permukaan kota, serta topografi. Penataan kota Lisbon adalah sebagai berikut : 1)
Mencegah peningkatan lahan terbangun di area lembah, 2) Rasio antara tinggi (H)
bangunan dengan lebar (W) jalan tidak lebih dari 1, 3) Memaksimalkan
pengembangan ruang terbuka hijau termasuk taman atap, 4) Apabila melakukan
renovasi bangunan diusahakan menggunakan warna terang serta bahan bangunan
dengan absorbsi termal yang rendah, 5) membangun jalur ventilasi berupa jalur hijau
di sepanjang jalan raya serta di sekeliling batas kota 6) mencegah pendirian bangunan
tinggi yang paralel dengan pantai karena menahan pendinginan udara oleh penetrasi
aliran udara dari arah pantai.
Secara umum kebijakan Pemerintah Daerah Kota Lisbon dapat disimpulkan
bahwa pengelolaan lingkungan untuk mengatasi UHI dan stagnasi aliran udara dapat
dilakukan dengan : 1) Mempertahankan ruang terbuka hijau yang telah ada, 2)
Membangun ruang terbuka hijau semaksimal mungkin dengan memanfaatkan ruang
kosong yang ada, 3) ruang terbuka hijau yang dibangun sebaiknya terdiri dari vegetasi
yang beraneka ragam (keanekaragaman hayati tinggi) serta memepertimbangkan
kondisi biofisik, sosial dan budaya, 4) sebaiknya memperhatikan struktur ruang
terbuka hijau (kolam, hamparan rumput, tanaman semak, pohon tinggi). Pengelolaan
lingkungan demikian akan menciptakan kondisi iklim mikro yang baik serta
memperbaiki kondisi atmosfer kota.
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Penelitian
dilakukan dari tahun 2009 hingga tahun 2011. Penelitian dibagi menjadi tiga wilayah
berdasarkan perbedaan kepadatan penduduk, persentase luas lahan terbangun dan
ruang terbuka hijau. Kepadatan penduduk di Wilayah I adalah 82 orang/ha, persentase
lahan terbangun (60%) dan persentase ruang terbuka hijau (29%). Wilayah II
mempunyai kepadatan penduduk 31 orang/ha, persentase lahan terbangun 40%, dan
persentase ruang terbuka hijau 45%. Sedangkan Wilayah III memiliki kepadatan
penduduk 57 orang/ha, dengan persentase lahan terbangun 37% dan ruang terbuka
hijau 52%. Sesuai dengan pembagian wilayah administratif kecamatan, masing-
masing wilayah penelitian dikelompokkan menjadi :
a. Wiayah I terdiri dari Kec. Margaasih, Kec. Margahayu, Kec.Dayeuhkolot,
Kec. Bojongsoang dan Kec. Cileunyi.
b. Wilayah II terdiri dari Kec. Soreang, Kec. Katapang, Kec. Pemeungpeuk,
Kec. Baleendah, Kec. Cangkuang dan Kec. Banjaran.
c. Wilayah III terdiri dari Kec. Ciparay, Kec. Majalaya, Kec. Solokan Jeruk dan
Kec. Rancaekek.
Gambar 5 Tiga wilayah penelitian di Kabupaten Bandung.
Ciwidey
Pasirjambu Cimaung
Pacet
Ibun
35
3.2. Bahan dan Peralatan
Bahan dan peralatan penelitian yang diperlukan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Bahan dan peralatan penelitian
No. Bahan dan Peralatan Keterangan
1. Citra Landsat ETM path/row 122/065 dengan
tanggal akuisisi 6 Mei 2003 dan citra landsat
ETM path/row 121/062 tanggal akuisisi 11 Juli
2008 serta citra landsat ETM path/row 122/062
dengan tanggal akuisisi 2 Juli 2008.
Bahan analisis spasial
pembuatan peta penutupan
lahan, dan peta distribusi
suhu udara.
2. Termometer air raksa Alat ukur suhu udara
3. Termometer bola kering dan termometer bola
basah
Alat ukur kelembaban udara
4. Hemiphericalview Alat untuk memotret dan
mengukur kerapatan tajuk
5. GPS Untuk menentukan posisi
geografis titik-titik penelitian
6. Komputer, program Stella Untuk menyusun dan
melakukan simulasi model
3.3. Metode dan Analisis Penelitian
3.3.1. Jenis Data Penelitian
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data tersebut
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Data primer dan sekunder penelitian
No. Data Penelitian
Data Primer 1. Data iklim mikro (suhu dan kelembaban udara) di beberapa jenis penutupan lahan
(hutan, kebun campur, sawah, permukiman, pertokoan, jalan raya, area industri) 2. Data iklim mikro di beberapa bentuk dan struktur hutan kota 3. Data iklim mikro di beberapa kerapatan tajuk yang berbeda. 4. Jumlah kendaraan bermotor 5. Data luas jenis penutupan lahan 6. Kerapatan tajuk hutan kota 7. Data persepsi dan sikap masyarakat Kabupaten Bandung terhadap kondisi lingkungan
mereka. Data Sekunder 1. Data jumlah, kepadatan dan pertumbuhan penduduk dari Badan Pusat Statistik
Kabupaten Bandung. 2. Data jumlah industri dari Dinas Perindustrian Kabupaten Bandung. 3. Data iklim (curah hujan, suhu dan kelembaban udara, kecepatan dan arah angin)
sepuluh tahun terakhir (tahun 1999 sampai dengan 2008) dari Badan Meteorologi dan Geofisika.
4. Data luas ruang terbuka hijau dari Dinas Perumahan Penataan Ruang dan Kebersihan 5. Data jumlah kendaraan dari Dinas Perhubungan Kabupaten Bandung 6. Rencana tata ruang wilayah, rencana pembangunan jangka menengah dan jangka
panjang Kabupaten Bandung dari BAPPEDA, serta kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung.
36
3.3.2. Metode dan Analisis Pulau Bahang Kota
Faktor penyebab terjadinya efek pulau bahang dikaji dari sumber transportasi,
industri, konsumsi energi domestik, dan sampah domestik. Beberapa aktivitas tersebut
mengemisikan gas rumah kaca ke atmosfer dan menyebabkan terbentuknya pulau
bahang kota.
3.3.2.1. Sumber Emisi Gas Rumah Kaca
Transportasi
Data jumlah kendaraan bermotor baik kendaraan roda dua maupun roda empat
dari tahun 2003 hingga tahun 2008, digunakan untuk menghitung laju pertumbuhan
jumlah kendaraan bermotor. Jumlah dan kepadatan kendaraan bermotor juga dihitung
secara langsung di jalan raya (Jalan Kopo-Sayati) yang merupakan salah satu jalan
raya terpadat di Kabupaten Bandung. Penghitungan dilakukan pada pagi hari (pukul
06.00 – 07.00 WIB), siang hari (pukul 12.00–13.00 WIB) dan pukul (16.00 - 17.00
WIB). Penghitungan dilakukan dengan menggunakan counter dan parameter yang
diukur adalah : jumlah kendaraan roda dua, kendaraan roda empat, bus, dan truk.
Industri
Data jumlah unit industri baik industri besar maupun industri sedang yang ada di
Kabupaten Bandung dari tahun 2003 hingga tahun 2008, diambil dari data Kabupaten
Bandung dalam Angka. Klasifikasi industri berdasarkan jumlah tenaga kerja, yang
dimaksud dengan industri sedang adalah industri yang memiliki jumlah tenaga kerja
20 sampai 99 orang. Sedangkan industri besar adalah industri yang memiliki jumlah
tenaga kerja lebih dari 100 orang. Data jumlah industri sedang dan besar dianalisis
untuk menentukan kecenderungan peningkatan atau penurunan jumlah unit industri.
Kajian Data Kependudukan
Data yang diambil yaitu jumlah dan kepadatan penduduk. Laju pertumbuhan
penduduk dihitung dengan menghitung pertambahan penduduk per tahun di
Kabupaten Bandung. Data kependudukan ini sangat penting karena erat kaitannya
dengan potensi konsumsi energi rumah tangga, sampah domestik, serta potensi
perubahan lahan dari jenis penutupan lahan berupa ruang terbuka hijau menjadi lahan
terbangun.
37
3.3.2.2. Analisis Spasial Perubahan Penutupan Lahan dan Distribusi Suhu
Udara
Analisis spasial dilakukan untuk menentukan luas dan jenis penutupan lahan
serta peta distribusi suhu udara. Untuk membuat peta tutupan lahan, dilakukan
analisis citra dengan menggunakan software Erdas 9.1 dan citra TM 5 tahun 2003 dan
2008. Analisis citra dilakukan dengan metode klasifikasi citra terbimbing. Selain itu
untuk menganalisis data vektor digunakan software ArcGis 9.2 dan Arcview 3.3.
Untuk verifikasi data citra dan hasil klasifikasi citra satelit yang tepat, maka dilakukan
juga survey lapangan.
Peta sebaran suhu udara dibuat dengan terlebih dahulu melakukan estimasi nilai
suhu permukaan dengan menggunakan software Erdas Imagine 9.1 kemudian
dibangun sebuah model pada model maker yang sudah tersedia untuk mengkonversi
nilai-nilai pixel pada landsat 5 TM dan band 6. Nilai DN (digital number) dikonversi
menjadi nilai radiasi. Berikut adalah rumus yang digunakan untuk mengkonversi nilai
digital menjadi nilai radiasi (USGS 2002) :
Radiasi = gain x DN (Digital Number) + offset
Nilai gain sebesar 0,05518 dan digital number dengan band 6, sedangkan nilai
offset sebesar 1,2378. Nilai suhu permukaan diketahui dengan mengkonversi band 6
berikut (USGS 2002) :
K2
ln (K1 + 1)
Lλ
Kondisi vegetasi di suatu wilayah dapat diketahui melalui Normalized
Difference Vegetation Index (NDVI), yang menggambarkan seberapa besar
penyerapan radiasi matahari oleh tanaman terutama bagian daun. Tunbuhan hijau
menyerap radiasi matahari pada bagian photosynthetically active radiation (PAR).
Nilai NDVI merupakan perbedaan reflektansi dari kanal infra merah dekat dan kanal
cahaya tampak. Nilai NDVI berkisar antara -1 sampai +1, yang artinya bahwa jika
T = Keterangan : T : suhu efektif (K)
K2 : konstanta kalibrasi
K1 : konstanta kalibrasi
Lλ : spektral radiasi
38
suatu wilayah semakin hijau rapat oleh vegetasi maka nilai NDVI semakin besar.
Persamaan untuk menghitung NDVI berdasarkan U.S. Geological Survey,
Department of the Interior, National Aeronotics and Space Administration (2002)
adalah sebagai berikut :
NDVI = (NIR – VIS)/(NIR + VIS)
NIR : reflektansi kanal infra merah dekat (kanal 2)
VIS : reflektansi kanal cahaya tampak (kanal 2)
3.3.2.3. Kajian Ruang Terbuka Hijau
Ruang terbuka hijau diamati dan diukur di beberapa titik terutama pada RTH
atau hutan kota dengan bentuk dan struktur yang berbeda. Kondisi fisik tanaman yang
diukur dan diamati yaitu :
a. Tinggi pohon
b. Diameter batang
c. Kerapatan tajuk
Selain pengamatan dan pengukuran ruang terbuka hijau, juga dilakukan
pengukuran iklim mikro. Pengukuran iklim mikro dilakukan di beberapa tempat
sebagai berikut :
a. Di beberapa jenis penutupan lahan
Pengukuran iklim mikro di beberapa jenis penutupan lahan dilakukan dengan
mengukur suhu udara secara serentak dengan tinggi sensor 120 cm dari
permukaan tanah pada beberapa jenis penutupan lahan dengan 6 ulangan.
Lokasi pengukuran dilakukan di jalan raya (pusat kota), pertokoan, area
industri, permukiman, sawah, kebun campur, hutan kota dan hutan.
b. Di beberapa bentuk dan struktur hutan kota
Pengukuran suhu udara dan kelembaban udara dilakukan di beberapa bentuk
hutan kota yaitu bentuk jalur, menyebar dan menggerombol. Sensor berjarak
120 cm dari permukaan tanah. Pengukuran dilakukan di dalam dan di luar
hutan kota dengan 6 ulangan. Begitu pula pengukuran dilakukan di beberapa
struktur hutan kota yaitu strata dua dan strata banyak yang dilakukan di dalam
maupun di luar dengan 6 ulangan. Jarak dari hutan kota kurang lebih 5 meter.
39
Analisis peran hutan kota dalam perbaikan iklim mikro (mereduksi suhu udara
serta peningkatan kelembaban udara) dilakukan dengan cara menghitung
kemampuan hutan kota dalam menurunkan suhu udara dan meningkatkan
kelembaban udara.
Kemampuan hutan kota dalam mereduksi suhu udara :
Tr = Ttbk - Ttjk
Keterangan :
Tr = Suhu udara yang direduksi hutan kota
Ttbk = Suhu udara di luar hutan kota
Ttjk = Suhu udara di dalam hutan kota
Kemampuan hutan kota dalam meningkatkan kelembaban udara :
RH∆rh = RHtjk - RHtbk
Keterangan :
RH∆rh = Peningkatan kelembaban udara
RHtjk = Kelembaban udara di bawah tajuk
RHtbk = Kelembaban udara di tempat terbuka
3.3.3. Metode dan Analisis Sistem Dinamik Model Kota Hijau
Analisis sistem dinamik dalam pembuatan model kota hijau, menggunakan
program Stella 9.0.2. Beberapa asumsi dan batasan yang digunakan dalam model ini
adalah :
a. Lingkungan udara Kabupaten Bandung merupakan lingkungan tertutup.
Diasumsikan tidak ada massa udara dari dan keluar wilayah Kabupaten
Bandung.
b. Emisi CO2 dari sumber energi QF (penggunaan pendingin udara, lampu,
industri domestik) dianggap sudah tercakup dalam perhitungan emisi CO2
dari konsumsi energi rumah tangga.
c. Laju pertambahan jumlah kendaraan roda dua, kendaraan roda empat,
dan jumlah unit industri diasumsikan sama dari tahun ke tahun.
d. Terdapat pengaruh balik dari suhu udara terhadap pertumbuhan penduduk.
Laju pertumbuhan penduduk diasumsikan menurun ketika suhu udara
sudah melampaui kenyamanan.
40
e. Emisi CO2 dari kendaraan tidak dibedakan antara kendaraan produksi
lama dengan produksi baru.
f. Perkembangan jumlah kendaraan dari tahun ke tahun diambil dari data
yang tercatat di Dinas Perhubungan dengan mengabaikan kendaraan yang
keluar dan masuk wilayah Kabupaten Bandung.
g. Karena sulit memasukkan variabel jenis produk industri ke dalam model,
maka variabel industri hanya mempertimbangkan jumlah industri sedang
dan industri besar saja
h. Kondisi cuaca dan iklim tidak nyaman diasumsikan pada batas suhu
udara 30 ºC. Berdasarkan persamaan regresi antara suhu udara dengan
kelembaban udara di Kabupaten Bandung, diprakirakan pada suhu 30 ºC,
kelembaban udaranya 61%. Berdasarkan persamaan THI (temperature
humidity index), didapat nilai sebesar 27,7. Nilai THI 27,7 masuk pada
kisaran tidak nyaman.
Setelah menetapkan asumsi, maka langkah selanjutnya adalah membuat model
yang terdiri dari beberapa tahapan. Purnomo (2005), membagi tahapan penyusunan
model menjadi lima tahap berikut :
1. Identifikasi isu, tujuan, dan batasan
2. Konseptualisasi model
3. Spesifikasi model
4. Evaluasi model
5. Penggunaan model
a. Identifikasi Isu, Tujuan dan Batasan Model
Isu atau permasalahan yang akan dijadikan dasar dalam pembuatan model
adalah adanya efek pulau bahang (urban heat island) yang terjadi di Kabupaten
Bandung akibat berbagai macam aktivitas (faktor) yang menyebabkan peningkatan
polutan khususnya CO2 dan suhu udara, sehingga kualitas udara menurun dan suhu
udara meningkat. Pulau bahang kota yang terjadi di Kabupaten Bandung akan
menghambat terwujudnya kota hijau.
Berdasarkan permasalahan ini maka tujuan pembuatan model ini adalah untuk
menghasilkan model kota hijau yang terdiri dari variabel yang terkait dengan
permasalahan pulau bahang kota yaitu variabel jumlah penduduk, jumlah kendaraan,
jumlah industri, lahan terbangun dan ruang terbuka hijau. Dengan simulasi model
41
akan dihasilkan skenario terbaik untuk melakukan mitigasi pulau bahang kota
sehingga dapat dijadikan alternatif penentuan kebijakan dan pengambilan keputusan
dalam mewujudkan kota hijau di Kabupaten Bandung.
b. Konseptualisasi Model
Konseptualisasi model dibuat dengan mengidentifikasi semua komponen
penyebab pulau bahang kota yaitu kendaraan bermotor, industri, lahan terbangun,
sampah dan ruang terbuka hijau. Kemudian dicari interelasi antar komponen tersebut
serta prediksi perilaku komponen terutama jumlah penduduk, luas ruang terbuka hijau,
luas lahan terbangun, jumlah kendaraan dan jumlah industri. Konseptualisasi model
dalam bentuk causal loop diagram disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Konseptualisasi model dalam bentuk diagram sebab akibat (causal
loop) model kota hijau melalui pengendalian pulau bahang kota
(urban heat island).
c. Spesifikasi model
Kuantifikasi model antar komponen dengan persamaan-persamaan numerik
antara satu variabel dengan variabel yang lain dengan satuan-satuan dan peubah
waktu yang jelas. Dapat bersifat induktif (empirik) dengan menggunakan teknik
statistik, sedangkan yang bersifat deduktif (mekanistik) dalam bentuk hubungan
persamaan matematik.
Jumlah
Penduduk
Jumlah
Kendaraan Sampah
Konsumsi
Bhn Bakar
Rmh Tangga Perna-
pasan
Industri
CO2
Suhu
Udara
Lahan
Terbangun
Ruang
Terbuka
Hijau
Albedo
+
+
+ +
+
+ +
+
+
+
+
-
-
-
+
-
+ +
-
42
Kuantifikasi variabel sub model suhu udara, menggunakan batas suhu udara
30 °C dengan berdasar pada perhitungan THI (temperature humidity index).
Temperature humidity index dihitung berdasarkan persamaan Nieuwolt (1975)
sebagai berikut :
THI=0,8Ta+(RH x Ta)
500
Keterangan :
THI = temperature Humidity Index (°C)
Ta = Suhu Udara (°C)
RH = Kelembaban Udara (%)
Emmanuel (2005) menggunakan rumus Niewolt (1975) dalam penelitiannya di
Colombo, Sri Lanka, dan menyimpulkan bahwa pada THI antara 21-24 °C, 100 %
populasi manusia menyatakan nyaman. Sedangkan THI sebesar 25-27 °C, 50 %
populasi manusia menyatakan nyaman. Dan THI > 27, 100 % populasi manusia
menyatakan tidak nyaman. Berdasarkan persamaan regresi antara suhu dan kelemban
udara di Kabupaten Bandung didapat persamaan :
Y = 112,501 – 1,711X
Keterangan : Y = Kelembaban udara
X = Suhu udara
Berdasarkan hal tersebut, suhu udara 30 °C jika dihitung dengan rumus THI,
menghasilkan THI 27,67 (termasuk kisaran tidak nyaman) sehingga sub model suhu
udara menggunakan batas tidak nyaman pada suhu udara 30 °C.
d. Evaluasi Model
Beberapa hal yang dilakukan dalam evaluasi model, yaitu :
a. Pengamatan kelogisan model serta membandingkan dengan dunia nyata atau
dengan model lain yang serupa. Setiap bagian dari model diamati untuk
mengevaluasi kelogisan hubungan antar komponen dan kelogisan keseluruhan
model secara utuh.
b. Pengamatan apakah perilaku model sesuai dengan perkiraan pada fase
konseptualisasi model.
c. Membandingkan antara perilaku model dengan dunia nyata.
43
e. Penggunaan Model
Model yang sudah dibuat dapat digunakan untuk mempercepat proses
pembelajaran (double loop learning) dan dapat digunakan untuk menentukan skenario
pilihan kebijakan serta dapat untuk memperkirakan dampak dari skenario yang dipilih.
3.3.4. Analisis Kondisi Sosial, Ekonomi Masyarakat
Upaya untuk mewujudkan Kabupaten Bandung sebagai kota hijau, sangat
ditentukan oleh kondisi sosial ekonomi masyarakatnya. Dibutuhkan pemahaman,
persepsi, kesadaran dan sikap nyata dari masyarakat untuk mendukung terwujudnya
kota hijau tersebut. Beberapa informasi yang digali dari masyarakat adalah : kondisi
ekonomi (pendapatan), kondisi kualitas udara, kondisi cuaca khususnya suhu udara
saat ini dan perubahan suhu udara, potensi emisi CO2 dari kepemilikan kendaraan
bermotor, pengaruh industri terdekat, pengelolaan sampah, sikap dan persepsi
masayarakat dalam pengelolaan lingkungan khususnya dalam menangani pulau
bahang kota, serta kebijakan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan menurut
pandangan masyarakat.
Pengumpulan data sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Bandung, dilakukan
melalui wawancara secara langsung dengan masyarakat di lokasi penelitian.
Penentuan lokasi kecamatan dan responden yang akan diwawancarai menggunakan
metode purposive sampling. Lokasi kecamatan dipilih berdasarkan peta distribusi
suhu udara, dengan kriteria suhu udara yang lebih tinggi dibandingkan kecamatan lain.
Sedangkan penentuan jumlah responden dilakukan berdasarkan quota sampling
dengan kriteria responden minimal berumur 20 tahun dan telah tinggal di Kabupaten
Bandung minimal 5 tahun. Syarat umur responden minimal 20 tahun diharapkan dapat
memberikan informasi perubahan suhu udara dan perubahan iklim mikro perkotaan
lima tahun terakhir.
Informasi dikumpulkan melalui wawancara secara langsung dengan
menggunakan kuesioner yang terstruktur kepada warga masyarakat di wilayah
kecamatan terpilih (15 kecamatan). Tiap kecamatan diambil 12 responden sehingga
total di 15 kecamatan berjumlah 180 responden. Data hasil wawancara dengan
masyarakat, dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif sehingga akan dapat
menggambarkan keadaan subyek atau obyek yang diteliti.
BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. Letak Geografis
Kabupaten Bandung terletak di Provinsi Jawa Barat, dengan ibu kota Soreang.
Secara geografis, Kabupaten Bandung berada pada 6° 41’ – 7° 19’ Lintang Selatan
dan diantara 107° 22’ – 108°5’ Bujur Timur. Luas wilayah mencapai 3.073,70
km2. Kabupaten Bandung terdiri dari 31 kecamatan, 266 Desa dan 9 Kelurahan.
Batas administrasi Kabupaten Bandung disajikan pada Gambar 7.
4.2. Kondisi Iklim
4.2.1. Tipe Iklim
Berdasarkan Klasifikasi Iklim Koppen, Kabupaten Bandung termasuk ke dalam
tipe iklim Am (iklim monsun tropis). Jumlah curah hujan pada bulan-bulan basah
pada daerah ini dapat mengimbangi kekurangan curah hujan pada bulan-bulan kering.
Sedangkan berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, Kabupaten Bandung
termasuk kedalam tipe iklim C dengan nilai Q 37,7 %. Berdasarkan klasifikasi iklim
Gambar 7 Peta wilayah administrasi Kabupaten Bandung.
45
Oldeman, termasuk tipe iklim C3 dengan enam bulan basah berturut-turut dan empat
bulan kering berturut-turut serta jumlah bulan musim pertumbuhan sebesar delapan
bulan.
4.2.2. Curah Hujan
Curah hujan rataan tahunan Kabupaten Bandung dari tahun 1999 sampai dengan
tahun 2008 adalah 1.959 mm. Curah hujan rataan bulanan berkisar antara 36 mm
(bulan Agustus) dan 283 mm (bulan November). Pola curah hujan di Kabupaten
Bandung disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 Curah hujan rataan bulanan Kabupaten Bandung.
Berdasarkan Gambar 8 terlihat bahwa mulai bulan Oktober wilayah ini sudah
menerima curah hujan > 100 mm/bulan (bulan basah), mencapai maksimum pada
bulan November, kemudian cenderung menurun. Bulan Juni dan Juli mengalami
bulan lembab (curah hujan antara 60 sampai 100 mm per bulan), dan mengalami
musim kering pada bulan Agustus dan September.
4.2.3. Suhu dan Kelembaban Udara
Suhu udara rataan tahunan dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2008, tercatat
23,4 °C, dengan suhu rataan bulanan terendah 22,9 °C (bulan Februari), dan tertinggi
24,4 °C (bulan November). Kelembaban udara rataan tahunan terukur 78 %, dengan
Curah Hujan Rataan Bulanan (mm)
0
50
100
150
200
250
300
J F M A M J J A S O N D
Curah Hujan Rataan
Bulanan (mm)
Sumber : Badan Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika (2009)
46
kelembaban rataan bulanan terendah 73 % (bulan Agustus dan September) dan
tertinggi 81 % (bulan November, Desember, Januari dan Maret, April, Mei).
Gambar 9 Suhu rataan bulanan Kabupaten Bandung.
Gambar 10 Kelembaban udara rataan bulanan Kabupaten Bandung.
Berdasarkan Gambar 9 dan 10, terlihat bahwa wilayah Kabupaten Bandung
suhu udara dan kelembaban udara dari bulan ke bulan berfluktuasi. Kelembaban udara
cenderung tinggi pada bulan November sampai dengan bulan Mei, kemudian
menurun mencapai kelembaban terendah pada bulan Agustus dan September.
Kelembaban Udara Rataan Bulanan (%)
68
70
72
74
76
78
80
82
J F M A M J J A S O N D
Bulan
- Suhu Udara Rataan Bulanan (ºC)
22.0
22.5
23.0
23.5
24.0
24.5
J F M A M J J A S O N D Bulan
Sumber : Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (2009)
Sumber : Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (2009)
47
4.2.4. Kecepatan dan Arah Angin
Kisaran rataan kecepatan angin bulanan dari tahun 1999 sampai dengan tahun
2008, tercatat sebesar 4 km/jam (bulan April) sampai dengan 5,7 km/jam (bulan
Februari). Angin di Kabupaten Bandung pada bulan Desember sampai dengan Mei
dipengaruhi oleh angin yang berasal dari arah barat, sedangkan pada bulan Juni
sampai dengan November dipengaruhi oleh angin yang berasal dari arah timur.
Gambar 11 Kecepatan angin rataan bulanan Kabupaten Bandung.
Angin yang mengalir di Kabupaten Bandung dipengaruhi oleh angin yang
berasal dari arah barat, timur, timur laut dan barat laut. Angin dominan mengalir dari
arah barat dengan kecepatan pada kisaran >2,5 - 5,0 km/jam (28,6 %), >5,0 - 7,5
km/jam (14 %) dan 0 – 2,5 km/jam hanya 1,2 %.
Kecepatan angin yang berasal dari arah timur dengan kecepatan >5,0 - 7,5
km/jam sebesar 10,7 %, >2,5 - 5,0 km/jam sebesar 19 % dan kecepatan angin 0 - 2,5
sebesar 4,8 %. Angin dari timur laut persentasenya lebih kecil bila dibandingkan
dengan angin yang berasal dari arah barat dan timur. Kecepatan angin antara >2,5 -
5,0 km/jam hanya sebesar 4,8 % dan kecepatan angin antara 0 – 2,5 km/jam sebesar
3,6 %. Angin yang berasal dari barat laut juga persentasenya kecil dengan kecepatan
rendah. Kecepatan angin yang terukur antara >2,5 - 5,0 km/jam sebesar 1,2 % dan
antara 0 – 2,5 km/jam hanya 1,2 %.
(km/jam)
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
7.0
J F M A M J J A S O N D
Bulan
Sumber : Badan Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika (2009)
48
4.3. Topografi
Wilayah Kabupaten Bandung terletak pada kisaran ketinggian + 110 m - 2.429 m
di atas permukaan laut. Wilayah dengan ketinggian tempat kurang dari 2000 m di atas
permukaan laut, sebagian besar berada di Kecamatan Cipeundeuy, Ciwidey,
Kertasari, Lembang dan Pasirjambu. Sedangkan wilayah dengan ketinggian 2000 m di
atas permukaan laut tersebar di Kecamatan Banjaran, Kertasari, Pacet, Pangalengan
dan Pasirjambu. Sebagian besar wilayah Bandung adalah pegunungan. Di antara
puncak-puncaknya adalah : sebelah utara terdapat Gunung Bukittunggul (2.200 m)
dan Gunung Tangkubanperahu (2.076 m). Sedangkan di selatan terdapat Gunung
Patuha (2.334 m), Gunung Malabar (2.321 m), serta Gunung Papandayan (2.262 m)
dan Gunung Guntur (2.249 m), keduanya di perbatasan dengan Kabupaten Garut.
Wilayah Kabupaten Bandung merupakan cekungan di dataran tinggi Bandung yang
morfologi wilayahnya terdiri dari dataran datar/landai, kaki bukit dan pegunungan.
Kemiringan lerengnya bervariasi antara 0-8%, 8-15% hingga > 40%.
4.4. Kondisi Penutupan Lahan
Luas wilayah Kabupaten Bandung adalah 176.393 ha. Berdasarkan Status
Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung tahun 2009, jenis penutupan lahan berupa
hutan seluas 52.715 ha, lahan pertanian 86.384 ha, lahan kritis 10.013 ha, dan
permukiman 27.282 ha. Kawasan hutan terdiri dari kawasan konservasi cagar alam
Patengan, Cagar Alam Gunung Malabar, Cagar Alam Cigenteng, Cagar Alam
Yunghun, Cagar Alam Gunung Tilu, Taman Wisata Alam Telaga Patengan, dan
Taman Wisata Alam Cimangu Kawasan hutan juga terdiri dari hutan lindung di
Cileunyi, Cimenyan, Cilengkrang, Banjaran, Pengalengan, Cimaung, Pacet,
KertasariPaseh, Ibun, Pasirjambu, CiwideyRancabali, dan Cangkuang.
4.5. Kondisi Sosial Ekonomi
Berdasarkan data hasil SUSEDA (survey sosial ekonomi daerah) Kabupaten
Bandung yang dilakukan pada tahun 2008, diketahui bahwa jumlah penduduk tercatat
3.127.008 orang, dengan laju pertumbuhan penduduk 1,95 %. Berdasarkan sebaran
kelompok umur, penduduk Kabupaten Bandung kisaran umur 0 – 14 tahun tercatat
927.594 orang, sedangkan kisaran umur 15 – 64 tahun tercatat 2.054.721 dan
49
kelompok umur di atas ≥ 65 tahun tercatat 144.693 orang. Dari data ini terlihat bahwa
penduduk Kabupaten Bandung didominasi oleh usia antara 15 – 64 yaitu sebesar
66 %.
Berdasarkan hasil SUSEDA yang dilakukan oleh BPS Kabupaten Bandung pada
tahun 2008, persentase terbesar jenjang pendidikan penduduk Kabupaten Bandung
adalah tamat sekolah dasar yaitu 37,11 %. Penduduk yang belum dan yang tidak
tamat sekolah dasar (SD) sebesar 17,27 %. Penduduk yang tamat SLTP sebanyak
24,03 %. Tamat SLTA 18,24 %. Lulusan perguruan tinggi masih sedikit, yaitu hanya
3,35 %. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa mayoritas tingkat pendidikan
penduduk Kabupaten Bandung masih rendah sehingga perlu perhatian pemerintah
daerah dalam peningkatan kualitas sumberdaya manusia khususnya di bidang
pendidikan. Dengan tingkat pendidikan yang baik akan lebih mempermudah
sosialisasi program kota hijau khususnya dalam meningkatkan kesadaran dan
dukungan akan pentingnya memperbaiki lingkungan.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat, khususnya mengenai angkatan kerja,
disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3, menunjukkan bahwa angkatan kerja
yang bekerja di sektor pertanian dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2008
mengalami penurunan. Sedangkan sektor industri, perdagangan dan jasa meskipun
berfluktuasi dari tahun ke tahun tetapi secara umum tidak begitu banyak mengalami
perubahan. Ada indikasi perpindahan lapangan usaha penduduk dari sektor pertanian
ke sektor sektor lainnya (pertambangan, listrik gas dan air, angkutan dan komukasi,
koperasi dan lembaga keuangan), sehingga proporsi sektor lainnya mencapai 22,54 %.
Sektor industri merupakan sektor paling banyak menyerap tenaga kerja.
Tabel 3 Persentase lapangan pekerjaan penduduk kabupaten Bandung pada tahun
2008
Lapangan Pekerjaan Tahun
2005 2006 2007 2008 Angkatan Kerja
- Pertanian 26,25 25,86 25,02 20,66
- Industri 27,00 26,42 23,56 27,08
- Perdagangan 18,92 19,06 18,54 19,51
- Jasa 10,57 10,76 21,19 10,21
- Lainnya 17,26 17,90 11,69 22,54
Angkatan Kerja yang
Menganggur
14,97 14,73 14,64 13,19
Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2005-2008
50
Produk domestik regional bruto Kabupaten Bandung dihitung berdasarkan
sembilan sektor ekonomi yaitu pertanian; pertambangan dan penggalian; industri
pengolahan; listrik, gas dan air; bangunan; perdagangan, hotel dan restoran;
pengangkutan dan komunikasi; keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; dan jasa.
Produk domestik regional bruto belum memperhitungkan sektor lingkungan hidup
yang lain, misalnya pendapatan dari ekowisata. Kesembilan sektor ekonomi tersebut
dikelompokkan menjadi tiga yaitu : sektor primer, sekunder, dan tersier. Sektor
sekunder masih mendominasi dalam penciptaan nilai tambah di Kabupaten Bandung.
Total nilai tambah bruto atas dasar harga berlaku dari kelompok sektor sekunder di
tahun 2008 mencapai Rp. 24,57 trilyun, atau meningkat 15,30 % dibandingkan tahun
sebelumnya sebesar Rp. 21,31 trilyun.
Tabel 4 Produk domestik regional bruto Kabupaten Bandung atas dasar harga
berlaku tahun 2008 (x 106 rupiah)
Lapangan Usaha x 106 Rupiah
1. Primer
- Pertanian
- Pertambangan dan penggalian
3.221.936,07
2.753.632,27
468.303,80
2. Sekunder
- Industri pengolahan
- Listrik, gas dan air
- Bangunan
24.566.798,29
23.275.745,49
642.658,74
648.394,06
3. Tertier
- Perdagangan, hotel dan restoran
- Pengangkutan dan komunikasi
- Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan
- Jasa
10.501.000,77
6.005.197,92
1.766.609,79
792.877,54
1.936.315,52
PDRB 38.289.735,12
Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2005-2008
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Pulau Bahang Kota di Kabupaten Bandung
Pulau bahang kota di Kabupaten Bandung dipengaruhi oleh gas rumah kaca
khususnya CO2, lahan terbangun, dan ruang terbuka hijau di wilayah tersebut. Gas
CO2 berpengaruh terhadap absorbsi radiasi gelombang panjang serta peningkatan
suhu udara. Nowak dan McPherson (1993) menyatakan bahwa peningkatan CO2 di
atmosfer akan menyebabkan peningkatan suhu udara melalui pemanasan udara akibat
adanya penyerapan radiasi gelombang panjang oleh CO2. Trewartha dan Horn (1995)
juga menyatakan bahwa pencemaran atmosfer di kawasan perkotaan akibat dari emisi
polutan udara kendaraan bermotor dan industri, akan mengakibatkan terperangkapnya
radiasi terestrial di troposfer sehingga menghambat lolosnya radiasi terestrial tersebut
ke angkasa. Hal ini menyebabkan suhu udara menjadi meningkat. Faktor lain yang
mempengaruhi pulau bahang kota adalah lahan terbangun. Lahan terbangun
berpengaruh pada proses refleksi dan absorbsi radiasi yang juga mengakibatkan
peningkatan suhu udara, sedangkan ruang terbuka hijau berperan terhadap penurunan
suhu udara melalui proses refleksi radiasi, evapotranspirasi dan fotosintesis.
5.1.1. Sumber Pulau Bahang Kota dari Emisi CO2
Jumlah Penduduk
Penduduk Kabupaten Bandung tahun 2006 berjumlah 2.994.551 orang, tahun
2007 menjadi 3.038.082 orang, dan tahun 2008 semakin meningkat menjadi
3.127.008 orang. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk 1,95 %/tahun. Kepadatan
penduduk dari tahun ke tahun juga meningkat. Tercatat pada tahun 2006, kepadatan
penduduk sebesar 1.694 orang/km2, meningkat menjadi 1.769 orang/km
2 (tahun 2008).
Jumlah, kepadatan dan laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bandung, disajikan
pada Tabel 5.
Tabel 5 Jumlah, kepadatan dan pertumbuhan penduduk
Tahun Jumlah
Penduduk
(orang)
Kepadatan Penduduk
(Org/km2)
Laju Pertumbuhan
Penduduk
(%) 2006 2.994.551 1.694 1,45
2007 3.038.082 1.718 1,45
2008 3.127.008 1.769 2,93 Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2005-2008
52
Suhu udara sangat dipengaruhi oleh produksi gas rumah kaca khususnya CO2
yang dikeluarkan oleh penduduk. Environmental Protection Agency (2010),
menyatakan bahwa pernapasan manusia mengeluarkan CO2 1 kg/hari atau sama
dengan 0,365 ton/orang/tahun. Berdasarkan hal tersebut, maka semakin tinggi jumlah
penduduk, maka juga semakin banyak gas CO2 yang dihasilkan dari manusia.
Pertambahan jumlah penduduk sangat potensial meningkatkan emisi CO2 ke atmosfer
sehingga dapat meningkatkan efek negatif terutama dalam hal peningkatan suhu udara
pulau bahang kota.
Selain CO2 yang dikeluarkan manusia melalui pernapasan, CO2 juga dikeluarkan
dari pemakaian bahan bakar dari aktivitas rumah tangga seperti yang disajikan pada
Tabel 6. Berdasarkan data Badan Lingkungan Hidup Pemerintah Daerah Kabupaten
Bandung (2009), tercatat mayoritas rumah tangga menggunakan bahan bakar gas
yaitu sebesar 85,79 %. Rumah tangga yang menggunakan minyak tanah, kayu bakar
dan listrik persentasenya kecil. Berdasarkan data dokumen Kabupaten Bandung dalam
Angka tahun 2009, diketahui jumlah rumah tangga adalah sebesar 885.674, maka
dapat diperkirakan emisi CO2 dari penduduk kabupaten Bandung dari aktifitas rumah
tangga sebanyak 557.374,73 kg CO2/rumah tangga/tahun. Berdasarkan perhitungan
emisi CO2 dari aktivitas rumah tangga, maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi
jumlah penduduk (jumlah rumah tangga) maka akan semakin tinggi juga kebutuhan
akan bahan bakar, serta akan menyebabkan emisi CO2 dari aktivitas tersebut semakin
meningkat pula.
Tabel 6 Emisi CO2 yang dikeluarkan oleh rumah tangga dalam menggunakan bahan
bakar di Kabupaten Bandung (2009)
BBM untuk
Memasak
Jumlah Rumah
Tangga
%
Emisi CO2
(kg/rumah
tangga/tahun)
Total Emisi
(kg CO2/tahun)
Listrik 68 0,01 1.459,56 99.250,08
Gas 713.054 85,79 607,68 433.308,65
Minyak Tanah 23.862 2,87 1.039,98 24.816,00
Kayu Bakar 94.130 11,33 - - Sumber : Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (2009)
Jumlah Kendaraan
Volume kendaraan bermotor yang beroperasi di Kabupaten Bandung bervariasi
tergantung waktu (jam). Jam (waktu) puncak pada pagi hari mulai dari pukul 07.00-
08.00, sedangkan waktu puncak pada sore hari terjadi pada pukul 16.00-17.00 dengan
53
jumlah kendaraan yang beroperasi sekitar 30.000. Lokasi kepadatan kendaraan
bervariasi tergantung jalan yang dilewati. Jalan yang padat kendaraan terjadi pada
jalan-jalan utama. Data selengkapnya mengenai volume kendaraan bermotor pada
setiap jamnya di ruas-ruas jalan di Kabupaten Bandung tercantum pada Lampiran 7,
sedangkan hasil penghitungan kendaraan bermotor secara langsung yang dilakukan
pada Bulan November 2009 di Jl. Kopo-Sayati, disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Hasil penghitungan kepadatan kendaraan di Jalan Kopo (November 2009)
Waktu Kendaraan
Roda Dua
Kendaraan
Roda Empat
Truk Bus
06.00-07.00 9.347 1.689 65 14
12.00-13.00 13.678 1.911 172 5
15.00-16.00 2.210 850 272 3
Purnomohadi (1995) menyatakan bahwa kontribusi sektor transportasi terhadap
polutan udara adalah sebesar 90 %. Hasil penelitian Soedomo (2001) di Bandung,
menunjukkan bahwa sektor transportasi menghasilkan beberapa jenis polutan udara
yaitu CO sebesar 97,4 %, NOx 56,3 %, SOx sebesar 12 %, hidrokarbon 78,5 % dan
partikulat sebesar 27,4 %. Jika dibandingkan aktifitas sumber pencemar lainnya, maka
transportasi merupakan penyumbang polutan udara tertinggi kecuali untuk senyawa
SOx.
Senyawa polutan udara yang mempengaruhi suhu udara secara langsung adalah
CO2. Polutan CO2 yang dikeluarkan sektor transportasi dari kendaraan bermotor dapat
diperkirakan dari kebutuhan bahan bakar baik bensin maupun solar per kendaraan.
Kendaraan bermotor mengeluarkan CO2 sebesar 2,33 kg dari pemakaian per liter
bahan bakar.
Berdasarkan data Status Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung tahun 2009,
diketahui bahwa pemakaian premium kendaraan mobil pribadi roda empat rata-rata
sebesar 9,9 liter/hari, sedangkan mobil umum 24,74 liter/hari. Kendaraan roda dua
rata-rata membutuhkan premium rata-rata 1,85 liter/hari. Pemakaian bahan bakar
solar untuk kendaraan pribadi roda empat rata-rata sebesar 11,96 liter/hari, sedangkan
kendaraan umum 28,68 liter/hari.
Jumlah kendaraan pada tahun 2003 tercatat 76.144 kendaraan roda dua dan
22.670 kendaraan roda empat. Pada tahun 2008 tercatat kendaraan bermotor roda dua
sebesar 181.605, sedangkan kendaraan roda dua sebesar 28.411 kendaraan. Laju
54
peningkatan kendaraan bermotor roda empat 5,06 %/tahun, sedangkan kendaraan roda
dua sebesar 27,7 %. Dari kecenderungan terus meningkatnya kendaraan bermotor
terutama kendaraan roda dua, maka dikhawatirkan permintaan bahan bakar fosil
bensin akan meningkat tajam. Akibatnya, emisi polutan udara khususnya CO2 akan
terus meningkat sehingga akan meningkatkan efek pulau bahang terutama suhu udara.
Industri
Sektor industri merupakan sektor penting dalam menyumbang PDRB (Produk
Domestik Regional Bruto) Kabupaten Bandung. Industri di Kabupaten bandung
terdiri dari industri kain blacu, tenun, sarung, handuk, T-shirt, cotton bud, pakaian jadi,
gendongan bayi, benang pintal, benang texture, benang polyster, katun dari serat
rayon, kain tenun dari benang filament, aneka macam tas, kain asahi polyester (kain
paris, kain gordyn), sol sepatu dalam-luar/sol sepatu, sarung tangan golf, topi, alas
kaki (aneka sepatu, sendal) dan aneka barang dari kulit.
Lokasi industri di Kabupaten Bandung tersebar di Kecamatan Cileunyi,
Margaasih, Dayeuhkolot, Bojongsoang, Margahayu, Pameungpeuk, Banjaran,
Katapang, Baleendah, Majalaya, Solokanjeruk, dan Kecamatan Rancaekek.
Pertumbuhan jumlah industri besar maupun sedang di Kabupaten Bandung, sejak
terjadinya krisis ekonomi tahun 1998 mengalami penurunan. Sejak saat itu jumlah
unit industri menurun 3,5 % per tahun.
Berdasarkan data tahun 2009, seluruh industri di Kabupaten Bandung
mengkonsumsi bahan bakar total sebanyak 823.841,5 ton. Apabila bahan bakar total
yang dikonsumsi sektor industri dikonversi berdasarkan emisi CO2, maka
diperkirakan sektor industri menghasilkan CO2 sebesar 1.919.551 ton/tahun. Emisi
CO2 dari sektor industri dapat meningkatkan suhu udara melalui peningkatan absorbsi
radiasi gelombang panjang oleh CO2. Hal ini akan memperburuk kondisi pulau
bahang kota.
Emisi CO2 Total dari Aktivitas Manusia
Jumlah penduduk, jumlah kendaraan roda dua dan kendaraan roda empat terus
meningkat di Kabupaten Bandung dengan laju masing-masing sebesar 1,95%, 23%,
dan 4,3%. Peningkatan jumlah penduduk juga menyebabkan terjadinya peningkatan
produksi sampah. Sampah mengemisikan gas rumah kaca methana yang
menyebabkan peningkatan suhu udara. Menurut Suprihatin et al. (2003), produksi
55
sampah per orang adalah 0,6 kg/hari atau 214 kg/tahun. Per kg sampah menghasilkan
235 L methana (CH4), sedangkan 0,5 juta ton methana setara dengan 12,8 juta ton
CO2. Dengan jumlah penduduk sebanyak 3.127.008 orang, maka produksi sampah
diperkirakan sebanyak 684.815 ton yang menghasilkan gas rumah kaca setara CO2
sebanyak 1.753.126 ton. Berdasarkan data jumlah kendaraan roda dua dan roda empat,
jumlah penduduk, jumlah konsumsi bahan bakar industri dan produksi sampah,
diperkirakan emisi CO2 total Kabupaten Bandung sebanyak 4.563.174 ton/tahun.
Berdasarkan hasil analisis potensi emisi gas CO2, maka untuk mengendalikan
pulau bahang kota adalah dengan cara mengendalikan emisi CO2 dari beberapa faktor
yaitu pengendalian jumlah penduduk, jumlah kendaraan bermotor, konsumsi bahan
bakar fosil untuk aktivitas rumah tangga, serta pengendalian produksi sampah dengan
minimisasi limbah.
5.1.2. Penutupan Lahan
Pulau bahang kota selain dipengaruhi oleh konsentrasi CO2 juga dipengaruhi
oleh jenis penutupan lahan. Hasil analisis penutupan lahan dengan menggunakan citra
landsat tahun 2003 dan tahun 2008, diketahui bahwa beberapa jenis penutupan lahan
mengalami peningkatan diantaranya adalah lahan terbuka (1,4%), dan lahan
terbangun (130%). Sedangkan jenis penutupan lahan yang berkurang adalah hutan
(49,15%), dan lahan pertanian (3,23%). Peta penutupan lahan Kabupaten Bandung
tahun 2003 dan tahun 2008, disajikan pada Gambar 12 dan Gambar 13.
Gambar 12 Penutupan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003.
56
Gambar 13 Penutupan lahan Kabupaten Bandung tahun 2008.
Jenis penutupan lahan yang mengalami penurunan luas, yaitu hutan dan lahan
pertanian. Luas hutan di Kabupaten Bandung pada tahun 2003 yaitu 59.893,82 ha,
sedangkan lahan pertanian seluas 96.841,14 ha. Lima tahun kemudian kedua jenis
penutupan lahan ini menurun, luas hutan menjadi 30.454,10 ha, sedangkan lahan
pertanian menjadi 93.709,87 ha. Jenis penutupan lahan yang mengalami peningkatan
yaitu lahan terbangun dan lahan terbuka. Luas lahan terbangun tahun 2003 yaitu
15.950,97 ha, meningkat menjadi 36.688,95 ha pada tahun 2008. Lahan terbuka
meningkat dari 3.552,73 ha pada tahun 2003, menjadi 8.524,09 ha pada tahun 2008.
Secara umum di Kabupaten Bandung mengalami penurunan ruang terbuka hijau
(hutan, lahan pertanian), sedangkan lahan terbangun cenderung meningkat. Perubahan
penutupan wilayah Kabupaten Bandung disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Luas jenis penutupan lahan tahun 2003 dan 2008
Jenis Penutupan Lahan 2003 (ha) 2008 (ha) Hutan 59.893,82 30.454,10
Lahan pertanian 96.841,14 93.709,87
Lahan terbangun 15.950,97 36.688,95
lahan terbuka 3.552,73 8.524,09
57
Setiap jenis penutupan lahan mempunyai nilai albedo yang berbeda. Albedo
lahan terbangun sebesar 0,12; albedo tanah terbuka 0,17; albedo hutan 0,15 (Akbari
2008). Nilai albedo masing-masing jenis penutupan lahan menentukan proses
absorbsi dan refleksi (pantulan) radiasi. Pada jenis penutupan lahan yang sama
misalnya jenis lahan terbangun, maka semakin tinggi nilai albedo, akan semakin
tinggi pula radiasi yang direfleksikan ke atmosfer sehingga nilai radiasi neto akan
rendah. Radiasi neto yang rendah akan menyebabkan suhu udara juga rendah.
Sebaliknya semakin rendah nilai albedo, maka semakin sedikit radiasi yang
direfleksikan ke atmosfer, sehingga radiasi neto tinggi. Energi radiasi neto yang tinggi
menyebabkan suhu udara menjadi tinggi. Jenis penutupan lahan ruang terbuka hijau
berupa lapangan rumput dengan hutan akan memiliki albedo berbeda.
Tinggi rendahnya suhu udara tidak hanya ditentukan oleh nilai albedo, tetapi
juga ditentukan oleh neraca energi radiasi neto (Arya 2001). Meskipun albedo tanah
terbuka (0,17) lebih besar dibandingkan hutan (0,15), tetapi suhu udara di dalam
hutan lebih rendah dibandingkan suhu udara tanah terbuka. Radiasi yang direfleksikan
lapangan tanah terbuka lebih besar dan menyebabkan radiasi neto lebih kecil, tetapi
karena nilai ΔHS (penggunaan energi untuk fotosintesis) dan HL (energi yang
digunakan untuk evapotranspirasi) lapangan rumput lebih kecil bahkan mungkin 0,
maka energi radiasi neto di tanah terbuka banyak digunakan untuk HG (memanaskan
permukaan) dan H (memanaskan udara) sehingga suhu udara di lapangan rumput
lebih tinggi dibandingkan hutan. Sebaliknya, energi radiasi neto di hutan lebih banyak
digunakan untuk ΔHS dan HL sehingga nilai H (pemanasan udara) lebih kecil. Hal ini
menyebabkan suhu udara di hutan lebih rendah (Arya 2001).
Masing-masing jenis ruang terbuka hijau mempunyai albedo dan neraca radiasi
serta neraca energi yang berbeda sehingga akan menghasilkan suhu udara yang
berbeda juga. Pada intensitas radiasi surya yang sama, apabila jatuh di area ruang
terbuka hijau, maka suhu udaranya akan lebih rendah dibandingkan dengan area
dengan penutupan lahan berupa beton dan aspal. Fungsi ruang terbuka hijau dalam
menurunkan suhu udara sangat penting. Hal ini didukung oleh penelitian Mather
(1974) yang melakukan pengukuran suhu udara di beberapa jenis permukaan. Secara
berurutan suhu udara dari yang terendah sampai suhu udara tertinggi adalah sebagai
berikut : hamparan pohon oak (27 ºC), lapangan rumput (31 ºC), dan jalan beton tanpa
peneduh tumbuhan (35 ºC). Kecenderungan terjadinya penurunan ruang terbuka hijau,
58
dan meningkatnya lahan terbangun serta tanah terbuka di Kabupaten Bandung
berpotensi meningkatkan suhu udara.
5.1.3. Kondisi Pulau Bahang Kota di Wilayah Penelitian
Kondisi pulau bahang kota di wilayah penelitian (Wilayah I, II dan III) selain
dipengaruhi oleh CO2 juga ditentukan oleh persentase luas lahan terbangun serta
ruang terbuka hijau di wilayah penelitian tersebut. Luas keseluruhan wilayah
perkotaan dalam penelitian adalah 29.321 ha. Terdiri dari Wilayah I seluas 6.570 ha,
Wilayah II seluas 13.807 ha dan Wilayah III seluas 8.944 ha.
Luas area dengan suhu ≥ 27 °C di Wilayah I adalah seluas 161,59 ha (2,46 %),
sedangkan Wilayah II seluas 130,5 ha (0,95 %) dan Wilayah III seluas 81,5 ha
(0,91 %). Kondisi pulau bahang kota di wilayah penelitian disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Kondisi pulau bahang kota di Kabupaten Bandung
Area
Luas
(ha)
Persentase
Luas Lahan
Terbangun
(%)
Persentase
Luas RTH
(%)
Luas Area
> 27 °C
Suhu
Tertinggi
(°C)
Suhu
Terendah
(°C)
Wilayah I 6.570 60 29 161,59 ha
(2,46 %)
29 22
Wilayah II 13.807 40 45 130,5 ha
(0,95 %)
28 21
Wilayah III 8.944 37 52 81,5 ha
(0,91 %)
27 20
Berdasarkan Tabel 9, menunjukkan bahwa meskipun luas Wilayah I lebih kecil
tetapi persentase area dengan suhu ≥ 27 °C lebih besar dibandingkan dengan Wilayah
II dan III. Hal ini disebabkan di Wilayah I memiliki persentase lahan terbangun paling
tinggi sedangkan persentase ruang terbuka hijau rendah sehingga radiasi neto yang
sampai di permukaan lebih banyak digunakan untuk memanaskan permukaan tersebut
serta udara di sekitarnya. Kondisi ini menyebabkan suhu udara menjadi tinggi.
Jumlah radiasi yang sama, suhu udara di sekitar lahan terbangun akan lebih
tinggi dibandingkan dengan ruang terbuka hijau karena ruang terbuka hijau
memanfaatkan energi radiasi neto tidak hanya untuk memanaskan permukaan, tetapi
juga untuk fotosintesis serta evapotranspirasi. Hal ini sesuai pernyataan Trewartha
dan Horn (1995), bahwa kawasan perkotaan umumnya kurang tumbuhan sehingga
evapotranpirasi rendah, sehingga sebagian besar energi radiasi yang diterima akan
dikonduksikan ke permukaan dan digunakan untuk memanaskan udara.
59
Persentase yang tinggi dari tutupan lahan berbahan beton dan aspal di kawasan
perkotaan menyebabkan penyerapan energi radiasi sangat efektif karena bahan
tersebut merupakan konduktor panas yang baik. Mather (1974), juga menyatakan
bahwa permukaan berupa tanah, rumput, ataupun aspal dan beton mempunyai
konduktivitas panas dan kapasitas panas yang berbeda. Oleh karena itu radiasi surya
yang jatuh pada suatu permukaan akan menyebabkan variasi suhu yang berbeda, dan
permukaan berupa beton dan aspal menghasilkan suhu udara yang lebih tinggi
dibandingkan permukaan bertumbuhan.
Berdasarkan hasil analisis spasial distribusi suhu udara di area penelitian,
diketahui bahwa suhu udara tertinggi di Wilayah I yaitu 29 °C (di Kecamatan
Margahayu), dan terendah 22 °C (Kecamatan Margaasih). Sedangkan suhu udara
tertinggi di Wilayah II terukur 28 °C (Kecamatan Baleendah) dan terendah 21 °C (di
Kecamatan Soreang). Suhu udara tertinggi di Wilayah III terukur 27 °C (di
Kecamatan Rancaekek), dan terendah 20 °C (di Kecamatan Majalaya). Dari ketiga
wilayah tersebut, diketahui bahwa terdapat perbedaan suhu udara di pusat kota dengan
wilayah transisi dengan perdesaan. Perbedaan suhu udara pada masing-masing area
penelitian mencapai 7 °C. Lebih tingginya suhu udara di area perkotaan
dibandingkan area perdesaan bervegetasi, didukung oleh penelitian Nichol dan Wong
(2005) yang melakukan penelitian dengan menggunakan 3D virtual reality model di
Kota Hongkong. Hasil penelitian Nichol dan Wong (2005), menjelaskan bahwa area
perkotaan yang didominasi oleh gedung-gedung yang rendah, suhu udaranya 6 °C
lebih tinggi dibandingkan dengan area bervegetasi.
Selain Nichol dan Wong (2005), penelitian serupa juga dilakukan oleh Chang et
al. (2007) yang melakukan pengukuran suhu udara di 61 titik di Kota Taipei. Hasil
pengukuran itu menunjukkan bahwa suhu udara di ruang terbuka hijau 0,81 K lebih
rendah dibandingkan dengan area terbuka tanpa vegetasi. Hal ini juga sesuai dengan
pernyataan Trewartha dan Horn (1995), bahwa efek pulau bahang yang terjadi di area
perkotaan menyebabkan terjadinya perbedaan energi antara perkotaan dengan
perdesaan sehingga menyebabkan perbedaan suhu udara dimana suhu udara area
perkotaan lebih tinggi dibandingkan area perdesaan.
60
5.1.4. Distribusi Suhu Udara
Berdasarkan peta distribusi suhu udara tahun 2008 di wilayah penelitian,
diketahui bahwa di area perkotaan dengan persentase luas lahan terbangun tinggi dan
persentase luas ruang terbuka hijau rendah, menyebabkan suhu udara lebih tinggi
dibandingkan dengan area yang masih banyak tertutup tumbuhan. Wilayah dengan
suhu tinggi di area penelitian di Kabupaten Bandung tersebut terdapat di Kecamatan
Margahayu, Margaasih, Dayeuhkolot, Baleendah, Bojongsoang, Rancaekek, Cileunyi,
Pameungpeuk dan Majalaya. Sebaliknya, berdasarkan peta distribusi suhu udara juga
diketahui bahwa wilayah dengan tumbuhan yang masih rapat dan luas suhu udaranya
relatif rendah. Area suhu rendah terdapat di wilayah Kabupaten Bandung bagian
selatan yaitu di Kecamatan Ciwidey dan Pasir Jambu. Area suhu rendah juga terdapat
di sebagian wilayah Kecamatan Pengalengan, Kertasari, Pacet, Ibun, Cimaung,
Banjaran dan Arjasari. Peta distribusi suhu udara disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14 Distribusi suhu udara tahun 2008 di Kabupaten Bandung.
Selain Mather (1974), penelitian yang mendukung akan pentingnya
pengendalian lahan terbangun dan pulau bahang kota, yaitu dilakukan oleh Weng dan
Yang (2004). Weng dan Yang (2004) menganalisis dampak dari percepatan
pembangunan kota di Guangzhou terhadap perluasan pulau bahang kota. Berdasarkan
hasil penelitian tersebut, disimpulkan bahwa efek termal dari pembangunan perkotaan
yang dilakukan sejak tahun 1960 sampai dengan tahun 1997, menyebabkan luas pulau
bahang kota meningkat sebesar enam kali lipat. Penelitian tersebut juga menjelaskan
61
bahwa tumbuhan mempunyai peran penting dalam menurunkan radiasi termal yang
dipancarkan ke atmosfer sehingga suhu udara menjadi rendah. Tumbuhan berupa
pohon dapat menurunkan suhu udara 2,1 ºC. Penanaman pohon-pohonan di kiri kanan
jalan dapat menurunkan suhu 0,9 ºC.
Berdasarkan penelitian ini serta berdasar pada penelitian Mather (1974) serta
Weng dan Yang (2004), maka pengendalian laju pertumbuhan lahan terbangun di
perkotaan harus menjadi perhatian agar tidak terjadi perluasan pulau bahang kota
serta peningkatan suhu udara. Selain itu, untuk mengatasi pulau bahang kota agar
dapat mewujudkan kota hijau di Kabupaten Bandung, maka perlu dilakukan
pembangunan ruang terbuka hijau khususnya hutan kota di kecamatan-kecamatan
dengan suhu udara tinggi agar terjadi penurunan suhu udara sehingga terjadi
ameliorasi (perbaikan) kondisi iklim di area tersebut.
5.1.5. Peran Ruang Terbuka Hijau dalam Mengatasi Pulau Bahang Kota
5.1.5.1. Ruang Terbuka Hijau di Kabupaten Bandung
Luas total kawasan perkotaan di area penelitian yaitu 29.512 ha. Di kawasan
perkotaan ini memiliki ruang terbuka hijau 42%. Hal ini sudah memenuhi syarat
minimal ruang terbuka hijau. Distribusi ruang terbuka hijau belum merata di semua
kawasan perkotaan. Ruang terbuka hijau di Wilayah I baru mencapai 29 %. Ruang
terbuka hijau di Kabupaten Bandung meskipun telah memenuhi syarat perundang-
undangan, tetapi karena distribusinya tidak merata dan jenis ruang terbuka hijau
berupa pohon (hutan kota) sangat kurang, maka tidak efektif dalam menurunkan efek
pulau bahang. Ruang terbuka hijau berupa taman kota dan taman pulau jalan, tidak
efektif dalam mengabsorbsi CO2, menurunkan suhu udara, serta tidak efektif dalam
meningkatan kelembaban udara.
Ruang terbuka hijau di wilayah Kabupaten Bandung mempunyai berbagai jenis
dan kondisi yang bervariasi. Jenis ruang terbuka hijau berupa hutan kota, persawahan,
kebun campur, dan hutan. Jenis ruang terbuka hijau berupa hutan terletak di area
yang relatif jauh dari pusat kegiatan (perdagangan, industri dan jasa). Ruang terbuka
hijau di Kabupaten Bandung disajikan pada Tabel 10.
62
Tabel 10 Kondisi fisik ruang terbuka hijau di Kabupaten Bandung
No Lokasi Jenis RTH
Jenis Tumbuhan
Diame-
ter
(cm)
Tinggi
(m)
ILD Bentuk
Hutan Kota
Kondisi
Tumbuhan
1. PT Unilon Hutan Kota Mahoni 26-113 11-15 0,778 Jalur Sehat,
2. Kopo Sayati Hutan Kota Kamboja, palem - 2,5-3 - Jalur
(Jarang)
-
3. Kawah Putih Hutan Eucalyptus 11-42 13-18 0,419 Mengelom-
pok
Sehat
4. Kec. Pasir
Jambu
Kebun
campuran
Sawo walanda, waru,
sengon
2-12 4-12 0,076 Mengelom-
pok dan
tersebar
Sehat
5. Perumahan
Griya Prima
Asri
Hutan Kota Angsana, jambu biji,
jambu air, krey
payung, karet kerbau,
mahkota dewa
7-35 2-8 0,891 Jalur,
tersebar
Sehat
6. Pemda
Bandung
(Soreang)
Hutan Kota Bungur, mahoni,
angsana, asam kranji,
asam kawak, kersen,
ketapang, krey
payung, palem raja,
glodogan tiang,
beringin, akasia
10-31 6-17 0,644 Mengelom-
pok, tersebar
Sehat
7. Depan Hotel
Antik
(Banjaran)
Sawah Padi, pisang, kelapa - 3-10 0,000 - Sehat
Keterangan : ILD = indeks luas daun
Ruang terbuka hijau berupa hutan kota berbentuk jalur terdapat di kawasan
industri dengan jenis tumbuhan mahoni dewasa yang ditanam di jalur kanan kiri jalan.
Penggunaan jenis tumbuhan mahoni ditujukan untuk dapat menciptakan kenyamanan
(iklim mikro) bagi para pekerja. Hal ini berbeda dengan jenis tumbuhan yang
dikembangkan di kompleks pertokoan Kopo Sayati, yang lebih menekankan pada
fungsi keindahan yaitu penanaman dengan jenis kamboja dan palem. Di Kopo Sayati,
komplek pertokoan sudah padat serta bahu jalan juga digunakan untuk pejalan kaki
sehingga tumbuhan sudah tidak ada tempat lagi. Tumbuhan di area ini sangat kurang.
Kebun campuran merupakan ruang terbuka hijau yang dikembangkan oleh
masyarakat di sekitar rumah, terutama untuk daerah yang agak jauh dari pusat kota.
Fungsi tumbuhan yang dikembangkan, selain berperan dalam ameliorasi iklim juga
diharapkan dapat memberikan manfaat ekonomi, tanaman yang dikembangkan pada
kebun campur biasanya berupa tumbuhan pangan dan buah-buahan.
Ruang terbuka hijau di kompleks perumahan, terutama berupa hutan kota tipe
pemukiman yang bertujuan untuk menciptakan kenyamanan bagi penghuninya. Jenis
tumbuhan yang dikembangkan mempunyai fungsi kombinasi antara keindahan dan
kenyamanan. Untuk lahan publik seperti di Kompleks Kantor Pemda, jenis ruang
63
terbuka hijau yang dikembangkan berupa hutan kota yang mempunyai fungsi dalam
menciptakan iklim mikro dan juga diharapkan dapat berfungsi sebagai fasilitas sosial
untuk rekreasi (outdoor recreation).
Pemerintah Kabupaten Bandung telah mengembangkan ruang terbuka hijau
berupa taman-taman kota. Taman kota ini dapat berupa jalur hijau yang mengikuti
jalan, kompleks perkantoran, area pusat kota seperti tercantum pada Tabel 11.
Tabel 11 Taman-taman kota yang terdapat di Kabupaten Bandung
No. Kecamatan Kelurahan/Desa Lokasi Luas (m2)
1. Soreang Desa Soreang Green Strip Soreang 6.056,00
Desa Pamekaran
Taman Kota Komplek
Pemda 5.000,00
Desa Pamekaran
Taman Alun - alun
Soreang 5.625,00
2 Ciwidey Ds. Ciwidey Taman Kota Ciwidey 11.136,00
3 Katapang Ds. Cingcin
Taman Segitiga Warung
lobak II 349,00
4 Cangkuang Ds. Ciluncat
Taman Segitiga Warung
lobak I 132,00
5
Baleendah
Kel. Baleendah
Taman Kota Baleendah 4.602,00
Taman Tugu Juang
Baleendah 312,00
Green Strip Baleendah 600,00
6 Banjaran Desa Banjaran
Taman Alun - Alun
Banjaran 5.000,00
TOTAL 38.812,00
5.1.5.2. Peran Ruang Terbuka Hijau dalam Perbaikan Iklim Mikro
Iklim Mikro Berbagai Jenis Ruang Terbuka Hijau
Peran ruang terbuka hijau dalam menurunkan suhu udara dapat diketahui
dengan membandingkan suhu udara pada berbagai jenis penutupan lahan sehingga
dapat diketahui perbedaan suhu udara di area bervegetasi dengan area yang
didominasi oleh lahan terbangun. Suhu udara pada berbagai jenis penutupan lahan
disajikan pada Gambar 15. Berdasarkan Gambar 15, diketahui bahwa suhu udara
tertinggi terdapat di Jalan Raya Kopo-Sayati yaitu sebesar 30,6 °C. Jalan Raya Kopo-
Sayati didominasi oleh lahan terbangun. Suhu udara berikutnya yaitu di area
pertokoan (29,5 °C), selanjutnya area industri (29,2 °C), permukiman (28,2 °C),
sawah (27,7 °C), kebun campur (26,8 °C), hutan kota Pemda Kabupaten Bandung
(23,3 °C), dan suhu udara terendah terukur di area hutan (19,1 °C). Berdasarkan hasil
pengukuran suhu udara ini terlihat bahwa ruang terbuka hijau sangat berperan dalam
menurunkan suhu udara karena tajuk tumbuhan pada ruang terbuka hijau berperan
mengintersepsi radiasi surya sehingga radiasi yang sampai permukaan menurun.
64
Berkurangnya radiasi yang sampai permukaan, menyebabkan pemanasan permukaan
dan pemanasan lapisan udara di atasnya juga menurun (Trewartha & Horn 1980).
Gambar 15 Suhu udara di beberapa jenis penutupan lahan di Kabupaten
Bandung.
Peran ruang terbuka hijau dalam mengameliorasi (memperbaiki) iklim, selain
melalui penurunan suhu udara, juga perannya dalam meningkatkan kelembaban udara.
Berdasarkan pengukuran kelembaban udara secara serentak di beberapa jenis
penutupan lahan, diketahui bahwa kelembaban udara dari yang terendah sampai yang
tertinggi secara berurutan adalah sebagai berikut : yaitu di sawah (50%), jalan raya
Kopo-Sayati (62%), pertokoan (64%), industri (64%), permukiman (68%), kebun
campur (70%), hutan kota Pemda Kabupaten Bandung (82%), dan tertinggi di hutan
Ciwidey (89%). Hasil pengukuran kelembaban udara disajikan pada Gambar 16.
Tumbuhan dapat mengurangi radiasi yang lolos sampai permukaan tanah
melalui intersepsi radiasi oleh tajuk. Selain itu tumbuhan juga mempunyai nilai
albedo antara 0,15 – 0,18 sehingga radiasi surya yang datang akan mengalami refleksi
(pemantulan) sebesar 15–18%. Pemanasan udara dipengaruhi oleh pemanfaatan
radiasi neto. Radiasi neto pada area tertutup vegetasi akan banyak digunakan untuk
penguapan tanah (evaporasi) maupun penguapan tumbuhan (transpirasi), serta
fotosintesis sehingga energi yang digunakan untuk memanaskan udara rendah.
Kondisi ini mengakibatkan suhu udara di area bervegetasi lebih rendah dibandingkan
area dengan jenis penutupan lahan lainnya. Hal ini didukung oleh penelitian Blennow
(1998) yang menyatakan bahwa area berhutan dengan kerapatan tinggi, suhu
udaranya lebih rendah dibandingkan area tanpa tumbuhan dengan perbedaan suhu
udara mencapai 10 ºC.
15
20
25
30
Hutan Hutan Kota Jl. Kopo Sayati Permukiman
Suhu Rata-Rata
(°C)
Lokasi
Suhu Udara
Rata-Rata
(ºC)
65
40
50
60
70
80
90
100
Hutan Hutan Kota Jl. Kopo Sayati Permukiman
KelembabanRata-Rata
(%)
Lokasi
Gambar 16 Kelembaban udara di beberapa jenis penutupan lahan.
Berdasarkan penelitian Weng dan Yang (2004), diketahui bahwa suhu udara
rata-rata di berbagai jenis penutupan lahan berturut-turut dari jenis lahan terbangun,
tanah gundul (tanah terbuka), pertanian hortikultura dan hutan adalah 27,07 °C;
26,06 °C; 25,52 °C; dan 23,82 °C. Dari berbagai jenis penutupan lahan, hutan
mempunyai peran yang signifikan dalam menurunkan suhu udara. Sebaliknya, dari
hasil penelitian Weng dan Yang (2004) juga menyatakan bahwa lahan terbangun
menciptakan suhu udara yang tinggi.
Berdasarkan analisis kondisi ruang terbuka hijau serta perannya dalam
meningkatkan kualitas lingkungan khususnya iklim mikro (suhu dan kelembaban
udara), maka penanganan efek pulau bahang akan lebih efisien dan efektif dengan
cara melakukan pembangunan hutan kota terutama di area-area dengan konsentrasi
CO2 serta suhu udara tinggi. Adapun bentuk dan struktur hutan kota dapat disesuaikan
dengan kondisi lahan yang ada. Lahan sempit di kiri kanan jalan dapat dibangun hutan
kota berbentuk jalur, sedangkan area dengan lahan yang kurang luas tetapi banyak
tersebar di beberapa tempat, dapat dibangun hutan kota berbentuk menyebar dengan
strata dua maupun strata banyak. Apabila lahan yang tersedia luas, maka dapat
dibangun hutan kota dengan bentuk mengelompok dan berstrata banyak.
Rekittke (2009) menyatakan bahwa tumbuhan berupa pohon lebih efektif dalam
menangani permasalahan urban heat island di perkotaan, oleh karena itu menyarankan
pembangunan perkotaan berbasis kota hijau dapat diarahkan menjadi kota hutan
(urban jungle) khususnya untuk kota-kota yang berbatasan dengan kawasan
Kelembaban
Udara Rata-
Rata (%)
Kelembaban
Udara Rata-
Rata (%)
66
konservasi. Rekittke (2009) juga mempunyai pemikiran kota kebun (garden city)
menuju kota di dalam kebun (city in the garden) dimana tumbuhan berupa pohon
menyebar di area perkotaan dan di sekeliling perkotaan agar iklim mikro perkotaan
lebih baik.
Berdasarkan penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa ruang terbuka hijau
berupa pohon-pohonan lebih efektif mengatasi efek pulau bahang dan dapat
menurunkan suhu udara serta meningkatkan kelembaban udara. Meskipun persentase
ruang terbuka hijau di perkotaan sudah cukup tinggi, tetapi apabila terdiri dari
lapangan rumput, semak dan kebun, taman kota, taman pulau jalan, tidak akan efektif
dalam menangani pulau bahang kota, dan tidak efektif dalam menurunkan suhu udara.
Berdasarkan hasil pengukuran dan analisis iklim mikro di beberapa jenis
penutupan lahan serta di beberapa bentuk dan strata hutan kota, serta didukung oleh
penelitian Weng dan Yang (2004), Rekittke (2009) serta Blennow (1998), dapat
disimpulkan bahwa ruang terbuka hijau berupa pohon-pohonan lebih efektif dalam
menangani efek pulau bahang dan dapat memperbaiki kondisi iklim mikro.
Iklim Mikro pada Beberapa Bentuk dan Struktur Hutan Kota
Iklim mikro (suhu udara dan kelembaban udara) juga diukur pada beberapa
bentuk dan struktur hutan kota. Hasil pengukuran iklim mikro disajikan pada Tabel
12. Suhu udara di dalam hutan kota pada hutan kota berbentuk jalur, menyebar
maupun bergerombol, terukur lebih rendah dibandingkan dengan suhu udara di luar
hutan kota. Sedangkan kelembaban udara di dalam hutan kota pada hutan kota
berbentuk jalur, menyebar maupun bergerombol, terukur lebih tinggi dibandingkan
dengan di luar hutan kota. Hal ini menunjukkan bahwa hutan kota mempunyai fungsi
memperbaiki kondisi iklim mikro khususnya dalam penurunan suhu udara dan
peningkatan kelembaban udara.
Tabel 12 Suhu dan kelembaban udara di beberapa bentuk dan struktur hutan
kota
Struktur Hutan Kota
Suhu Udara (°C) Kelembaban Udara (%)
Di Dalam Di Luar Di Dalam Di Luar
Bentuk Hutan Kota :
Jalur 29,9 30,1 65 64
Menyebar 24,3 24.9 80 79
Bergerombol 23,6 24,3 82 80
Struktur Hutan Kota :
Strata Dua 28,2 29,2 68 67
Strata Banyak 23,7 24,5 81 79
67
Suhu udara terendah dari ketiga bentuk hutan kota, adalah yang terukur di hutan
kota berbentuk bergerombol, disusul bentuk menyebar, dan suhu udara tertinggi
terdapat di hutan kota berbentuk jalur. Hal ini sesuai dengan penelitian Irwan (2005)
yang menunjukkan bahwa hutan kota bergerombol menciptakan suhu udara yang
lebih rendah dibandingkan bentuk jalur dan menyebar. Berbeda dengan suhu udara,
kelembaban udara terendah terukur pada hutan kota berbentuk jalur, disusul hutan
kota berbentuk menyebar dan kelembaban udara tertinggi terukur pada hutan kota
berbentuk bergerombol. Suhu udara hutan kota berstrata banyak lebih rendah
dibandingkan dengan hutan kota berstrata dua. Sebaliknya, kelembaban udara di
hutan kota berstrata banyak lebih tinggi dibandingkan hutan kota berstrata dua.
Kaitan antara Indeks Luas Daun dengan Suhu Udara
Tingkat kerindangan tumbuhan ditunjukkan dengan nilai Indeks Luas Daun
(ILD). Kerindangan tumbuhan sangat menentukan suhu udara di sekitarnya. Semakin
rindang, maka semakin banyak radiasi yang diintersepsi sehingga radiasi yang sampai
permukaan tanah semakin rendah. Berkurangnya radiasi yang sampai permukaan
tanah, menyebabkan pemanasan permukaan dan pemanasan lapisan udara di atasnya
juga menurunn sehingga suhu udara di sekitar pohon menjadi rendah. Beberapa
contoh hasil pemotretan ILD dengan menggunakan alat hemivericleview disajikan
pada Gambar 17, 18 dan Gambar 19. Indeks luas daun 0,076; 0,419; 0,644; 0,778 dan
0,891 menghasilkan kondisi iklim mikro khususnya suhu udara berturut-turut 29,9 ºC;
28,2 ºC; 24,3 ºC; 23,6 ºC; dan 23,6 ºC. Semakin rapat dan rindang, menyebabkan
semakin rendah suhu udara di sekitarnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Hardin dan Jensen (2007) mengenai kaitan antara ILD dengan suhu permukaan
perkotaan. Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa suhu udara di area tanpa
tumbuhan (ILD mendekati 0) adalah 39,2 ºC. Sedangkan pada ILD lebih besar yaitu
0,45; suhu udara menurun menjadi 32,1 ºC. Hardin dan Jensen (2007) menyimpulkan
bahwa peningkatan ILD akan meningkatkan intersepsi radiasi, pertukaran CO2 dan
menurunkan suhu udara. Oleh karena itu pulau bahang kota dapat diatasi dengan
membangun ruang terbuka hijau khususnya hutan kota dengan kerindangan tinggi
(ILD tinggi) agar efektif dalam menurunkan suhu udara.
68
(a) Hutan Kawah Putih Ciwidey (b) Hutan kota di area industri
Gambar 17 Kerindangan tajuk di Hutan Kawah Putih dan Hutan Kota Pemda
Kabupaten Bandung.
(a) Kebun campur (b) Hutan kota di permukiman
Gambar 18 Kerindangan tajuk tumbuhan kebun campur dan hutan kota permukiman.
(a) Hutan Kota Pemda (b) Hutan Kota Pemda
Gambar 19 Kerindangan tajuk tumbuhan Hutan Kota.
69
Peran Hutan Kota dalam Perbaikan Iklim
Luas hutan kota di Kabupaten Bandung belum memenuhi peraturan perundangan
khususnya Peraturan Pemerintah No.63 Tahun 2002 tentang hutan kota, yang
mengharuskan luas hutan kota di wilayah perkotaan sekurang-kurangnya 10% dari
luas kota. Luas hutan kota di Kabupaten Bandung yaitu seluas 17.000 ha (9 %). Selain
belum memenuhi persyaratan minimal, distribusi hutan kota di Kabupaten Bandung
juga belum merata. Luas dan persentase hutan kota di Wilayah I yaitu 297 ha (4,5%),
Wilayah II seluas 1202 ha (8,7%), dan Wilayah III belum mempunyai hutan kota.
Pemerintah daerah masih lebih fokus pada pembangunan taman kota. Bahkan sejak
tahun 2007 taman kotapun belum mengalami penambahan. Taman kota di Kabupaten
Bandung saat ini terdapat di Kecamatan Soreang, Ciwidey, Katapang, Cangkuang,
Baleendah, dan Banjaran. Total luas taman kota adalah 38.812 m2.
Penanganan efek pulau bahang akan lebih efektif apabila dilakukan dengan
pembangunan hutan kota meskipun perlu juga dilakukan pembangunan taman-taman
kota agar nilai estetika kota meningkat. Hutan kota sebaiknya dibangun terutama di
area perkotaan dengan emisi CO2 tinggi dan suhu udara tinggi. Menurut Bernatzky
(1978), satu hektar areal yang ditanami pohon, semak dan rumput dengan luas daun
kurang lebih 5 hektar, dapat menyerap 900 kg CO2 dari udara dan melepaskan 600 O2
dalam waktu 2 jam. Penelitian Weng dan Yang (2004), lebih spesifik membandingkan
peran taman kota dan hutan kota dalam meningkatkan kualitas lingkungan.
Berdasarkan penelitian Weng dan Yang (2004), diketahui bahwa pembangunan
taman-taman kota kurang efektif dalam menangani efek buruk termal dari
pembangunan perkotaan dibandingkan dengan hutan kota.
Pemilihan Jenis Tumbuhan
Pemilihan jenis tumbuhan khususnya untuk pembangunan hutan kota harus
disesuaikan dengan kondisi lingkungan yang ada yaitu kondisi tanah dan iklim
Kabupaten Bandung. Selain itu, pemilihan jenis juga harus mempertimbangkan tujuan
pembangunan hutan kota. Agar CO2 ambien dapat diabsorbsi oleh tumbuhan, maka
perlu dilakukan pemilihan jenis tumbuhan dengan daya rosot gas CO2 tinggi. Daya
rosot CO2 beberapa jenis tumbuhan yang dapat dikembangkan di Kabupaten Bandung
disajikan pada Lampiran 26.
70
Selain daya rosot CO2, yang harus menjadi pertimbangan apabila akan
membangun hutan kota berbentuk jalur di kanan kiri jalan raya, maka harus dipilih
jenis tumbuhan yang perakarannya tidak merusak aspal jalan, cabang dan dahannya
kuat, dan bukan jenis tumbuhan yang menggugurkan daun pada musim kemarau.
Jenis tumbuhan hutan kota untuk jalan tol, dapat dipilih jenis-jenis tumbuhan
yang tahan terhadap polutan CO, NOx, partikulat, Pb, dan SOx. Hutan kota di jalan tol
selain berfungsi untuk mengabsorbsi polutan udara, juga merupakan peredam
kebisingan dan untuk menambah keindahan. Agar hutan kota dapat meredam
kebisingan, maka penataan tumbuhan sebaiknya berstrata banyak dari strata paling
bawah berupa rumput, kemudian tumbuhan semak (dapat berupa bunga-bungaan),
dan pohon.
Pemilihan jenis hutan kota berbentuk menyebar dan mengelompok lebih
fleksibel. Pemilihan jenis tumbuhan, selain berdasarkan kondisi tanah dan iklim juga
sebaiknya merupakan jenis lokal yang sudah mulai langka. Thomashik (2011)
menyatakan bahwa pembangunan berbasis green growth, harus mempertimbangkan
konservasi kenakekaragaman hayati serta jasa lingkungan. Hutan kota yang dibangun
dengan jenis tumbuhan lokal yang sudah mulai langka, dapat meningkatkan jasa
lingkungan sekaligus dapat mengkonservasi tumbuhan langka.
Elander et al. (2005) menyatakan bahwa salah satu komponen dari green policy
adalah konservasi keanekaragaman hayati. Pembangunan perkotaan yang
berkelanjutan harus mempertimbangkan keanekaragaman hayati terutama
keanekearagaman hayati yang terancam punah. Pemilihan jenis dalam pengembangan
ruang terbuka hijau termasuk hutan kota selain berdasar pada kondisi lingkungan
(tanah dan iklim), juga harus mempertimbangkan jenis lokal terutama jenis lokal yang
sudah langka.
Penentuan Lokasi Ruang Hutan Kota
Brack (2002) menyatakan bahwa hutan kota (ruang terbuka hijau) berfungsi
untuk mengurangi polusi udara, mengurangi polusi suara, meningkatkan kualitas
udara, menurunkan suhu udara, estetika, mengontrol silau dan refleksi radiasi, sebagai
tempat rekreasi, untuk relaksasi dan peningkatan kesehatan, sebagai habitat satwa,
mengurangi konsumsi energi (listrik), dan meningkatkan nilai properti.
71
Fungsi ruang terbuka hijau khususnya hutan kota akan efektif apabila
pembangunan hutan kota tersebut disesuaikan dengan kondisi lingkungan yang ada.
Agar absorbsi polutan udara khususnya CO2 maksimal maka sebaiknya dibangun di
hadap angin, dan terletak diantara sumber emisi polutan dengan permukiman agar
aliran udara yang membawa CO2 tertahan oleh hutan kota yang berfungsi sebagai
windbreak sehingga setelah melalui area hutan kota, kecepatan angin dan konsentrasi
CO2 sudah menurun. Windbreak hutan kota ini sangat bermanfaat untuk melindungi
penduduk yang tinggal di area permukiman dari pencemar udara yang dapat
mengganggu kesehatan.
Hasil analisis data kecepatan angin dari tahun 1999 sampai dengan 2008, dapat
digambarkan dengan windrose (mawar angin) yang disajikan pada Gambar 20.
Berdasarkan hasil analisis kecepatan dan arah angin dalam bentuk windrose
tersebut, dapat disimpulkan bahwa arah angin di Kabupaten Bandung lebih banyak
berasal dari arah barat 43,8%, kemudian dari arah timur 34,5%. Angin yang berasal
dari timur laut hanya 8,4%, itupun dengan kecepatan rendah (maksimum 5,0 km/jam).
Sedangkan angin yang berasal dari barat laut hanya 2,4%, juga dengan kecepatan
rendah (maksimum 5,0 km/jam).
Agar manfaat hutan kota dapat maksimal maka sebaiknya hutan kota yang
berfungsi sebagai windbreak sebaiknya dibangun dengan desain sebagai berikut :
NE NW
W E
SW
WW
SE
EE S
Keterangan :
: 0 – 2,5 km/jam
: > 2,5 – 5 km/jam
: > 5 km/jam
Gambar 20 Windrose Kabupaten Bandung.
N
72
1) Hutan kota dibangun membujur dari arah selatan ke utara dan terletak di
sebelah timur dan barat sumber polutan.
2) Hutan kota dibangun melintang dari barat ke timur dengan letak di
sebelah selatan sumber polutan.
Berdasarkan kondisi aliran udara di Kabupaten Bandung, dari kedua desain
tersebut, maka desain 1 harus lebih menjadi prioritas karena angin dominan di
Kabupaten Bandung berasal dari arah barat dan timur. Desain 1 maupun desain 2
sebaiknya dibangun di Kecamatan Margaasih, Margahayu, Dayeuhkolot, Cileunyi,
Rancaekek, Bojongsoang, Baleendah, Katapang, Banjaran, dan Majalaya.
5.2. Model Kota Hijau
Purnomo (2005) menyatakan bahwa untuk mempermudah pengorganisasian
model, maka model dibagi menjadi beberapa sub model. Berdasarkan
pengoganisasian model, model kota hijau di Kabupaten Bandung dibagi menjadi tiga
sub model yaitu sub model sumber pencemar CO2, sub model suhu udara dan sub
model penutupan lahan. Model terdiri dari variabel jumlah kendaraan yang dibagi
lagi menjadi dua kelompok yaitu jumlah kendaraan roda dua dan kendaraan roda
empat. Selain itu juga terdiri dari variabel jumlah unit industri, variabel jumlah
penduduk dan variabel luas penutupan lahan. Luas penutupan lahan terdiri dari ruang
terbuka hijau, lahan terbangun dan lahan terbuka.
5.2.1. Pengorganisasian Model
5.2.1.1. Sub Model Sumber Pencemar CO2
Variabel sub model sumber pencemar CO2 terdiri dari variabel sumber emisi
CO2 dari kendaraan bermotor, industri dan penduduk. Sub model sumber pencemar
CO2 disajikan pada Gambar 21.
Emisi CO2 dari Penduduk
Jumlah penduduk Kabupaten Bandung pada tahun 2008 (sebagai stok awal)
berjumlah 3.127.008 orang dengan laju pertambahan penduduk rata-rata sebesar
1,95 %. Berdasarkan Environmental Protection Agency (2010), dinyatakan bahwa
pernapasan manusia mengeluarkan CO2 1 kg/hari atau sama dengan 0,365 ton/ orang/
tahun. Jika diketahui jumlah penduduk Kabupaten Bandung pada tahun 2009 sebesar
73
3.174.869 orang, maka CO2 yang dikeluarkan penduduk Kabupaten Bandung dari
pernapasan kira-kira sebanyak 1.158.827 ton/orang/tahun.
Bahan bakar fosil yang dikonsumsi penduduk, selain untuk bahan bakar
kendaraan bermotor, adalah bahan bakar untuk memasak dan kebutuhan lain.
Penduduk memerlukan bahan bakar gas, listrik dan minyak tanah. Berdasarkan
laporan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung (2009)
dinyatakan bahwa emisi CO2 dari konsumsi listrik oleh penduduk rata-rata sebesar
1.459,56 kg/rumah tangga/tahun. Total jumlah rumah tangga yang tinggal di
Kabupaten Bandung adalah 885.674 rumah tangga, sehingga emisi dari konsumsi
listrik diperkirakan sebesar 1.292.694.343 kg/rumah tangga/tahun atau 1.292.694
ton/tahun. Emisi CO2 dari konsumsi bahan bakar gas adalah 607,68 kg/rumah
tangga/tahun, sehingga total sebesar 538.206.376,3 kg/tahun atau sama dengan
538.206 ton/tahun. Emisi CO2 dari konsumsi minyak tanah adalah sebesar 1.039,98
kg/rumah tangga/tahun, sehingga total adalah sebesar 921.083.246,5 kg/tahun atau
921.083 ton/tahun.
Karbondioksida juga dihasilkan dari sampah. Dalam proses pembusukan dan
penguraian sampah, dihasilkan gas methane (CH4). Berdasarkan penelitian dari
Suprihatin (2006) menyatakan bahwa 5 juta ton sampah sama dengan 25 m3, dan
menghasilkan 0,5 juta ton methana yang setara dengan12,8 juta ton CO2 dalam
memanaskanudara. Rata-rata sampah yang dihasilkan adalah 0,5 kg/orang/hari.
Apabila jumlah penduduk Kabupaten Bandung tahun 2008 sebesar 3.127.008 orang,
maka diperkirakan CO2 yang dihasilkan dari sampah adalah 1.460.938 ton/tahun.
Sumber CO2 dari Emisi Kendaraan Bermotor
Jumlah kendaraan bermotor roda empat pada tahun 2008 di kabupaten Bandung
adalah 28.411 kendaraan, sedangkan roda dua sebesar 181.605 kendaraan.
Karbondioksida yang diemisikan oleh kendaraan bermotor roda dua rata-rata sebesar
0,35 ton/kendaraan/tahun, sedangkan emisi yang dihasilkan oleh kendaraan roda emat
adalah sebesar 1,21 ton/kendaraan/tahun. Maka ada tahun 2008 diperkirakan CO2
yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat adalah sebesar
97.939 ton/tahun.
74
Sumber CO2 dari Industri
Industri di Kabupaten Bandung khususnya industri besar, dari tahun ke tahun
jumlahnya mengalami penurunan. Tercatat ada tahun 1998 terdapat industri besar
sebanyak 331 dan pada tahun 2006 menurun menjadi 315. Berdasarkan data Badan
Pengendalian Lingkungan Hidup kabupaten Bandung tahun 2009, konsumsi total
bahan bakar oleh industri adalah sebesar 823.841,5 ton. Per liter bahan bakar
menghasilkan CO2 setara 2,33 kg, sehingga total CO2 yang dihasilkan diperkirakan
1.919.551 ton.
Gambar 21 Sub model sumber pencemar CO2.
5.2.1.2. Sub Model Suhu Udara
Suhu udara yang terukur di atmosfer adalah resultan dari keseimbangan energi
radiasi surya yang berkaitan dengan albedo dan peran gas rumah kaca khususnya CO2
yang ada di atmosfer (udara). Masing-masing jenis penutupan lahan mempunyai nilai
albedo tersendiri. Tanah terbuka mempunyai albedo sebesar 0,17, sedangkan lahan
terbangun mempunyai albedo 0,12 dan ruang terbuka hijau 0,15. Tingginya nilai
albedo, menjelaskan bahwa radiasi yang dipantulkan juga besar. Pemanasan udara
lebih dipengaruhi oleh jumlah radiasi yang diabsorbsi. Semakin tinggi nilai albedo
maka jumlah radiasi yang dipantulkan juga semakin tinggi sedangkan jumlah radiasi
yang diserap semakin kecil.
Jumlah Penduduk
Tambah
Kendaraan 2
Laju pertumbuhan penduduk
Kendaraan 4
Bertambah roda 4
CO2 krn
kendaraan roda 4CO2 Industri Sdg & Besar
Total CO2 penduduk
Bahan Bakar Industri Sdg & Besar
C02 krn
kendaraan roda 2
CO2
Laju tumbuh kendaraan roda 4
Kons BBG
Industri Sdg & Besar
UP
Bertambah roda 2
Total CO2 Kendaraan
Laju peningkatan
industri Sdg & Besar
Laju tumbuh kendaraan roda 2
PenurunanPeningkatan
down
Total CO2 Industri Sdg & Besar
Kons Bhn
Listrik
Pernapasan
Jmh KK
Kons
Miny ak tanah
Produksi sampah
Sampah
Laju penurunan
industriSdg & Besar
75
Meskipun nilai albedo tanah terbuka lebih tinggi dibandingkan ruang terbuka
hijau, tetapi radiasi yang diserap lahan terbuka dipergunakan untuk pemanasan
permukaan dan udara di atasnya. Maka udara di atas lahan terbuka suhunya tinggi.
Tetapi meskipun ruang terbuka hijau albedonya lebih rendah dibandingkan tanah
terbuka yang berarti radiasi yang diserap lebih tinggi, tetapi karena radiasi yang
diserap tidak hanya untuk memanaskan permukaan, tetapi juga untuk evapotranspirasi,
maka sisa energi radiasi untuk pemanasan udara tinggal sedikit sehingga suhu udara
di sekitar ruang terbuka hijau suhunya lebih rendah.
Albedo lahan terbangun memiliki nilai paling rendah (0,12), artinya jumlah
radiasi yang dipantulkan lebih kecil, sedangkan jumlah radiasi yang diserap lebih
besar. Energi radiasi yang besar ini digunakan hanya untuk memanaskan permukaan
dan udara di atasnya sehingga suhu udara yang terukur akan tinggi. Oleh karena itu
semakin luas lahan terbangun, maka suhu udara semakin meningkat, dan semakin luas
ruang terbuka hijau, maka suhu udara semakin menurun.
Gambar 22 Sub model suhu udara.
5.2.1.3. Sub Model Penutupan Lahan
Kondisi lingkungan khususnya suhu udara di Kabupaten Bandung sangat
dipengaruhi oleh kondisi penutupan lahan. Lahan terbangun sangat berperan dalam
pemanasan permukaan dan peningkatan suhu udara sedangkan ruang terbuka hijau
berperan dalam penurunan suhu udara.
Berdasarkan data tahun 2008, luas lahan terbuka di Kabupaten Bandung adalah
sebesar 10.012 ha, sedangkan lahan terbangun 27.281 ha dan ruang terbuka hijau
sebesar 139.009 ha. Semakin meningkatnya lahan terbangun dan lahan terbuka
Suhu
Incrase
Table 1
Graph 1
Albedo RTHAlbedo Lhn terbangun
Albedo Tanah Terbuka
Table 2
Albedo TB AwalAlbedo riil TB
Suhu udara
Albedo LTB Awal
Albedo riil LTB Albedo RTH Awal
Albedo riil RTH
Persen Albedo TB
Persen Albedo RTH
Persen Albedo LTB
Decrease
76
menyebabkan penurunan luas ruang terbuka hijau. Sub model penutupan lahan
disajikan pada Gambar 23.
Gambar 23 Sub model penutupan lahan.
5.2.1.4. Gabungan Sub Model Kota Hijau
Model utuh kota hijau terdiri dari gabungan sub model. Kondisi riil lingkungan
Kabupaten Bandung khususnya suhu udara digambarkan pada model sistem dinamik
yang terdiri dari beberapa variabel. Dengan menggabungkan semua variabel,
menentukan konstanta yang mempengaruhi nilai dari masing-masing variabel, maka
didapat model lengkap yang menggambarkan dinamika sistem yang ada di Kabupaten
Bandung. Model kota hijau Kabupaten Bandung, disajikan pada Gambar 24.
Laju pertambahan
lhn terbangun
in
Penghijauan
RTH Absolut
Luas Total Wilay ah
Luas Lhn Terbangun
Absolut
RTH
Tanah Terbuka
Lahan Terbangun
out
berkurang
77
78
5.2.2. Sensitivitas Model dan Evaluasi Model
Analisis sensitivitas dibutuhkan untuk mengetahui sejauh mana model dapat
digunakan apabila ada perubahan pada asumsi. Berdasarkan analisis sensitivitas dapat
diketahui sejauh mana kesimpulan hasil model dapat berubah apabila variabel model
diubah.
Analisis sensitivitas dengan merubah laju peningkatan jumlah kendaraan roda
dua, kendaraan roda empat, jumlah industri, jumlah penduduk, luas lahan terbangun,
dan luas ruang terbuka hijau; mengakibatkan perubahan suhu udara. Hasil uji
sensitivitas terhadap masing-masing variabel kunci menunjukkan bahwa ada
perubahan kinerja model apabila diberikan suatu stimulus. Hal ini menunjukkan
bahwa model yang dibangun sensitif (Muhammadi et al. 2001)
Evaluasi model dilakukan dengan mengamati kelogisan model. Hasil simulasi
model dinamik menunjukkan bahwa peningkatan CO2, dan lahan terbangun, serta
penurunan RTH menyebabkan peningkatan suhu udara. Dengan kondisi sistem tahun
2008, prakiraan suhu udara model adalah sebesar 24,1 °C, dan suhu udara riil sebesar
24,2 °C. Hal ini memperlihatkan kemiripan perilaku dengan struktur model
agregatnya sehingga model dapat dikatakan baik.
5.2.3. Model Baseline Wilayah Kabupaten Bandung
Kondisi riil saat ini di Kabupaten Bandung dengan masing-masing nilai variabel
model sistem dinamik dalam kondisi seperti sekarang apa adanya tanpa ada
pengelolaan, maka diperkirakan ruang terbuka hijau akan terus menurun. Tahun 2044
ruang terbuka hijau yang tersisa hanya pada kawasan konservasi dengan luas 52.715
ha. Sebaliknya lahan terbangun terus bertambah, maksimal tahun 2044. Emisi gas
CO2 dari berbagai aktivitas manusia akan terus naik dan menyebabkan naiknya suhu
udara. Apabila semua variabel-variabel ini tidak dikendalikan dengan baik, maka
diperkirakan suhu udara di Kabupaten Bandung tahun 2040 ≥ 30 °C. Grafik model
baseline wilayah Kabupaten Bandung lima puluh tahun ke depan disajikan pada
Gambar 25.
79
Gambar 25 Model baseline wilayah Kabupaten Bandung lima puluh tahun ke
depan.
5.2.4. Skenario Model Wilayah Kabupaten Bandung
5.2.4.1. Skenario Hijau
Salah satu cara untuk mewujudkan Kabupaten Bandung sebagai kota hijau, yaitu
dengan mengantisipasi adanya pemanasan udara di perkotaan yang dikenal dengan
pulau bahang kota. Beberapa variabel yang harus ditangani adalah laju pertumbuhan
penduduk, laju peningkatan jumlah industri, laju peningkatan lahan terbangun, laju
pertambahan kendaraan bermotor serta penambahan luas ruang terbuka hijau.
Pemanasan udara di perkotaan dapat diatasi dengan menggunakan skenario hijau
dengan cara menurunkan beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi pulau bahang
kota, diantaranya dengan menurunkan laju pertumbuhan penduduk dari 0,0195
menjadi 0,01; laju peningkatan lahan terbangun diturunkan dari 0,07 menjadi 0,04;
laju peningkatan kendaraan bermotor roda empat diturunkan dari 0,043 menjadi 0,02;
dan kendaraan roda dua diturunkan dari 0,23 menjadi 0,1. Selain itu juga agar dapat
meningkatkan penyerapan CO2 dan agar kondisi iklim perkotaan lebih nyaman, maka
perlu dilakukan penghijauan 100 ha per tahun.
Kota hijau Kabupaten Bandung diwujudkan tidak hanya dengan mengatur
faktor-faktor lingkungan, tetapi juga mengusahakan perbaikan kesejahteraan
masyarakat dengan cara menjaga agar pertumbuhan ekonomi tetap meningkat. Oleh
karena itu dalam skenario hijau dilakukan pencegahan penurunan jumlah industri
yang saat ini terjadi di Kabupaten Bandung. Laju penurunan jumlah industri yang
semula -3,5% diusahakan menjadi 0.
10:03 AM Sun, Nov 20, 2011Page 1
2008 2018 2028 2038 2048 2058
Years
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
0
1e+009.
2e+009.
25000
75000
125000
50000
95000
140000
20
30
40
1: CO2 2: Lhn terbangun absolut 3: RTH Absolut 4: Suhu udara
1 1 11
1
2
2
2
2
2
3
3
3
33
44
4
4 4
1. CO2 (ton) 2. Lahan Terbangun (ha) 3. Ruang Terbuka Hijau (ha) 4. Suhu Udara (ºC)
Tahun
80
Skenario hijau yang dirancang berdasarkan model ini diprakirakan dapat
menciptakan kondisi suhu udara < 30 °C di Kabupaten Bandung pada tahun 2046,
tahun 2047 baru terjadi suhu udara ≥ 30 °C. Grafik prakiraan suhu udara di
Kabupaten Bandung lima puluh tahun ke depan berdasarkan skenario hijau, disajikan
pada Gambar 26.
Gambar 26 Hasil simulasi model skenario hijau di wilayah Kabupaten Bandung lima
puluh tahun ke depan.
5.2.4.2. Skenario Moderat
Alternatif kebijakan yang agak longgar untuk mengantisipasi tingginya suhu
udara akibat terjadinya pulau bahang kota yaitu kebijakan dengan menggunakan
skenario moderat. Pilihan skenario ini dilakukan dengan cara menurunkan laju
pertumbuhan penduduk dari 0,0195 menjadi 0,015, laju peningkatan industri dari
-3,5% menjadi 0; peningkatan lahan terbangun diupayakan turun dari 0.07 menjadi
0,05; laju peningkatan kendaraan roda empat diturunkan dari 0,043 menjadi 0,03.
Laju peningkatan kendaraan roda dua diturunkan dari 0,23 menjadi 0,15; serta
melakukan penghijauan 50 ha per tahun. Hasil prakiraan dari skenario ini dapat dilihat
pada Gambar 27, yang menjelaskan bahwa kondisi suhu udara ≥ 30 °C baru terjadi
pada tahun 2046.
7:25 PM Sun, Nov 20, 2011Page 1
2008 2018 2028 2038 2048 2058
Years
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
20
30
40
0
100000000
200000000
25000
75000
125000
50000
95000
140000
1: Suhu udara 2: CO2 3: Luas terbangun absolut 4: RTH Absolut
1 11
1
1
2 22
2
2
3
3
3
33
4
4
4
4 4
1. Suhu Udara (ºC) 2. CO2 (ton) 3. Lahan Terbangun (ha) 4. Ruang Terbuka Hijau (ha)
Tahun
81
Gambar 27 Hasil simulasi model skenario moderat di Kabupaten Bandung lima
puluh tahun ke depan.
5.2.4.3. Skenario Pesimis
Skenario pesimis merupakan skenario pilihan kebijakan yang tidak banyak
melakukan pengelolaan lingkungan bahkan beberapa variabel penyebab
meningkatnya suhu udara dan ketidaknyamanan terus meningkat. Laju peningkatan
luas lahan terbangun dari 0,07 meningkat menjadi 0,1; serta laju peningkatan jumlah
penduduk dari 0,0195 menjadi 0,04; Laju peningkatan jumlah industri dari -0,035
menjadi 0,01; laju peningkatan kendaraan roda empat meningkat dari 0,043 menjadi
0,07 dan laju peningkatan kendaraan roda dua dari 0,23 menjadi 0,4. Dari hasil
skenario ini diprediksi suhu udara ≥ 30 ºC akan terjadi pada tahun 2032. Skenario
pesimis menghasilkan suhu udara ≥ 30 ºC terjadi lebih cepat dibandingkan skenario
hijau dan moderat. Grafik hasil simulasi model skenario pesimis disajikan pada
Gambar 28.
Gambar 28 Hasil simulasi model skenario pesimis di Kabupaten Bandung lima puluh
tahun ke depan.
7:17 PM Sun, Nov 20, 2011Page 1
2008 2018 2028 2038 2048 2058
Years
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
20
30
40
0
100000000
200000000
25000
75000
125000
55000
100000
145000
1: Suhu udara 2: CO2 3: Luas terbangun absolut 4: RTH Absolut
1 11
1
1
2 2
2
2
2
3
3
3
3
34
4
4
4
4
7:30 PM Sun, Nov 20, 2011Page 1
2008 2018 2028 2038 2048 2058
Years
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
20
30
40
0
3.5e+011
7e+011.
25000
75000
125000
50000
95000
140000
1: Suhu udara 2: CO2 3: Luas terbangun absolut 4: RTH Absolut
1 1
1
1 1
2 2 2 2
2
3
3
33 3
4
4
4 4 4
1. Suhu Udara (ºC) 2. CO2 (ton) 3. Lahan Terbangun (ha) 4. Ruang Terbuka Hijau (ha)
1. Suhu Udara (ºC) 2. CO2 (ton) 3. Lahan Terbangun (ha) 4. Ruang Terbuka Hijau (ha)
Tahun Tahun
Tahun
82
5.2.5. Model di Wilayah Penelitian
5.2.5.1. Model Wilayah I
a. Model BaselineWilayah I
Wilayah I terdiri dari Kecamatan Margaasih, Margahayu, Dayeuhkolot,
Bojongsoang dan Kecamatan Cileunyi. Wilayah I memiliki luas total 6.704,302 ha
dengan luas ruang terbuka hijau sebesar 1.951 ha (29 %) dan luas lahan terbangun
3.999 ha (60 %). Dibandingkan dengan Wilayah II dan III, tutupan lahan di Wilayah I
didominasi oleh lahan terbangun. Jumlah penduduk di Wilayah I (539.397 orang)
juga lebih tinggi dibandingkan dengan Wilayah II (424.523 orang) dan III (507.209
orang).
Peningkatan lahan terbangun, jika tidak dikendalikan akan menyebabkan ruang
terbuka hijau pada tahun 2018 tinggal tersisa 290 ha, karena sudah berganti menjadi
lahan terbangun. Selain ditentukan oleh jenis penutupan lahan, suhu udara
dipengaruhi oleh gas CO2. Akibat terus meningkatnya jumlah penduduk dan
kendaraan bermotor baik roda empat maupun roda dua, diprediksi jumlah CO2 terus
meningkat. Kondisi lahan terbangun dan jumlah CO2 yang terus meningkat
menyebabkan suhu udara terus mengalami kenaikan sehingga lingkungan menjadi
tidak nyaman. Berdasarkan model ini dapat diprediksi bahwa suhu udara ≥ 30 ºC di
Wilayah I terjadi pada tahun 2047.
Gambar 29 Hasil simulasi model baseline Wilayah I lima puluh tahun ke
depan.
7:21 PM Sun, Nov 20, 2011Page 1
2008 2018 2028 2038 2048 2058
Years
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
20
30
40
0
1e+009.
2e+009.
25000
75000
125000
50000
95000
140000
1: Suhu udara 2: CO2 3: Lhn terbangun absolut 4: RTH Absolut
1 1
1
1
1
2 2 22
2
3
3
3
33
4
4
4
4 4
1. Suhu Udara (ºC) 2. CO2 (ton) 3. Lahan Terbangun (ha) 4. Ruang Terbuka Hijau (ha)
Tahun
83
b. Skenario Hijau Wilayah I
Seperti halnya skenario model umum Kabupaten Bandung, skenario hijau untuk
Wilayah I dilakukan dengan cara menurunkan laju peningkatan jumlah kendaraan
roda empat, kendaraan roda dua, jumlah penduduk, serta laju peningkatan luas lahan
terbangun. Penurunan dan kenaikan masing-masing variabel sama dengan skenario
model umum Kabupaten Bandung, perbedaan hanya pada penghijauan yaitu 50 ha per
tahun. Berdasarkan skenario hijau, diprediksi Wilayah I mengalami suhu udara
≥ 30 ºC pada tahun 2054. Kondisi suhu udara, ruang terbuka hijau, jumlah total CO2
dan perkembangan lahan terbangun disajikan pada Gambar 30.
Gambar 30 Hasil simulasi model skenario hijau Wilayah I lima puluh tahun ke depan.
c. Skenario Moderat Wilayah I
Semua variabel pada skenario moderat, sama dengan variabel pada skenario
moderat model umum, yang berbeda adalah nilai stok serta variabel laju penghijauan
yaitu 25 ha per tahun. Berdasarkan skenario moderat diprediksi sampai tahun 2049
kondisi perkotaan pada Wilayah I masih < 30 ºC. Baru pada tahun 2050 suhu udara
≥ 30 ºC. Kondisi suhu udara, ruang terbuka hijau, jumlah total CO2 dan
perkembangan lahan terbangun disajikan pada Gambar 31.
10:32 AM Sun, Nov 20, 2011Page 1
2008 2018 2028 2038 2048 2058
Years
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
24
28
32
0
15000000
30000000
3500
5000
6500
0
1000
2000
1: Suhu Udara 2: CO2 3: Luas terbangun absolut 4: RTH Absolut
11
1
1
1
2
2
2
2
2
3
3
3 3 3
4
4
4 4 4
1. Suhu Udara (ºC) 2. CO2 (ton) 3. Lahan Terbangun (ha) 4. Ruang Terbuka Hijau (ha)
Tahun
84
Gambar 31 Hasil simulasi model skenario moderat Wilayah I lima puluh tahun ke
depan.
d. Skenario Pesimis Wilayah I
Skenario pesimis untuk Wilayah I dilakukan dengan cara membiarkan terus
naiknya laju peningkatan jumlah kendaraan roda empat dari 0,043 menjadi 0,05 serta
naiknya laju peningkatan jumlah kendaraan roda dua dari 0,23 menjadi 0,3. Laju
peningkatan jumlah unit industri dibiarkan naik sebesar 0,02, juga laju peningkatan
jumlah penduduk tidak ditahan dan dibiarkan terus naik dari 0,0195 menjadi 0,04.
Begitu pula laju peningkatan luas lahan terbangun dibiarkan naik dari 0,07 menjadi
0,15. Usaha untuk merehabilitasi lingkungan dengan penghijauan juga tidak
dilakukan. Dari hasil skenario pesimis ini diprediksi suhu udara di Wilayah I ≥ 30 ºC
terjadi pada tahun 2037. Kondisi suhu udara, ruang terbuka hijau, jumlah total CO2
dan perkembangan lahan terbangun disajikan pada Gambar 32.
Gambar 32 Hasil simulasi model skenario pesimis Wilayah I lima puluh tahun
ke depan.
10:37 AM Sun, Nov 20, 2011Page 1
2008 2018 2028 2038 2048 2058
Years
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
24
29
34
0
25000000
50000000
3500
5000
6500
0
1000
2000
1: Suhu Udara 2: CO2 3: Luas terbangun absolut 4: RTH Absolut
11
1
1
1
2
2
2
2
2
3
3 3 3 3
4
4 4 4 4
9:27 AM Sun, Nov 20, 2011Page 1
2008 2018 2028 2038 2048 2058
Years
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
20
30
40
0
1e+011.
2e+011.
3500
5000
6500
0
1000
2000
1: Suhu Absolut 2: CO2 3: Luas terbangun absolut 4: RTH Absolut
1 1
1
1
1
2 2 2 22
3
3 3 3 3
44 4 4 4
1. Suhu Udara (ºC) 2. CO2 (ton) 3. Lahan Terbangun (ha) 4. Ruang Terbuka Hijau (ha)
1. Suhu Udara (ºC) 2. CO2 (ton) 3. Lahan Terbangun (ha) 4. Ruang Terbuka Hijau (ha)
Tahun
Tahun
85
5.2.5.2. Model Wilayah II
a. Model Baseline Wilayah II
Wilayah II meskipun memiliki luas wilayah yang lebih besar (14.080 ha)
dibandingkan dengan Wilayah I tetapi memiliki jumlah penduduk yang lebih sedkit
yaitu 424.523 orang. Jumlah kendaraan roda empat juga lebih sedikit yaitu 6.946
kendaraan. Tetapi jumlah kendaraan roda dua di Wilayah II lebih besar yaitu 60.879
kendaraan. Luas lahan terbangun di wilayah ini lebih besar dibandingkan dengan
Wilayah I yaitu sebesar 5.641 ha, tetapi persentasenya lebih rendah yaitu hanya 40 %
(lahan terbangun Wilayah I sebesar 60 %). Ruang terbuka hijau di Wilayah II masih
luas yaitu sebesar 6.390 ha (45 %). Berdasarkan analisis dari model baseline di
Wilayah II, suhu udara ≥ 30 ºC terjadi pada tahun 2047. Kondisi suhu udara, ruang
terbuka hijau, jumlah total CO2 dan perkembangan lahan terbangun disajikan pada
Gambar 33.
Gambar 33 Hasil simulasi model baseline Wilayah II lima puluh tahun ke
depan.
b. Skenario Hijau Wilayah II
Penurunan serta pengurangan, dan juga laju penghijauan skenario hijau di
Wilayah II sama dengan skenario hijau di Wilayah I. Hanya berbeda pada nilai stok
awal sesuai kondisi Wilayah II. Wilayah II memiliki wilayah paling luas (14.080 ha),
jumlah industri sedang dan besar paling sedikit (25 industri) dan juga memiliki ruang
terbuka hijau paling luas (6390 ha). Model skenario hijau yang diterapkan pada
Wilayah II menciptakan kondisi lingkungan yang paling baik. Diprakirakan suhu
udara ≥ 30 °C baru akan terjadi setelah tahun 2058. Kondisi suhu udara, ruang terbuka
10:42 AM Sun, Nov 20, 2011Page 1
2008 2018 2028 2038 2048 2058
Years
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
20
30
40
0
300000000
600000000
5500
9500
13500
1000
4000
7000
1: Suhu Udara 2: CO2 3: Luas terbangun absolut 4: RTH Absolut
1 11
1
1
2 2 22
23
3
3 3 3
4
4 4 4 4
1. Suhu Udara (ºC) 2. CO2 (ton) 3. Lahan Terbangun (ha) 4. Ruang Terbuka Hijau (ha)
Tahun
86
hijau, jumlah total CO2 dan perkembangan lahan terbangun disajikan pada
Gambar 34.
Gambar 34 Hasil simulasi model skenario hijau Wilayah II lima puluh tahun ke
depan.
c. Skenario Moderat Wilayah II
Penurunan serta pengurangan, dan juga laju penghijauan skenario moderat di
Wilayah II sama dengan skenario moderat di Wilayah I. Hanya berbeda pada nilai
stok awal sesuai kondisi Wilayah II. Berdasarkan skenario moderat, suhu udara di
Wilayah II ≥ 30 ºC diprakirakan baru akan terjadi pada tahun 2057. Kondisi suhu
udara, ruang terbuka hijau, jumlah total CO2 dan perkembangan lahan terbangun
disajikan pada Gambar 35.
Gambar 35 Hasil simulasi model skenario moderat Wilayah II lima puluh tahun ke
depan.
10:52 AM Sun, Nov 20, 2011Page 1
2008 2018 2028 2038 2048 2058
Years
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
24
27
29
0
15000000
30000000
5500
9500
13500
1000
4000
7000
1: Suhu Absolut 2: CO2 3: Luas terbangun absolut 4: RTH Absolut
11
1
1
1
2
2
2
2
2
3
3
3
3 3
4
4
4
4 4
10:58 AM Sun, Nov 20, 2011Page 1
2008 2018 2028 2038 2048 2058
Years
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
24
28
31
0
25000000
50000000
5500
9500
13500
1000
4000
7000
1: Suhu Absolut 2: CO2 3: Luas terbangun absolut 4: RTH Absolut
11
1
1
1
2
2
2
2
2
3
3
3 3 3
4
4
4 4 4
1. Suhu Udara (ºC) 2. CO2 (ton) 3. Lahan Terbangun (ha) 4. Ruang Terbuka Hijau (ha)
1. CO2 (ton) 2. Lahan Terbangun (ha) 3. Ruang Terbuka Hijau (ha) 4. Suhu Udara (ºC) 1. Suhu Udara (ºC) 2. CO2 (ton) 3. Lahan Terbangun (ha) 4. Ruang Terbuka Hijau (ha)
Tahun
Tahun
87
d. Skenario Pesimis Wilayah II
Skenario pesimis untuk Wilayah II dilakukan dengan cara membiarkan tanpa
pengelolaan sehingga terjadi kenaikan laju peningkatan jumlah kendaraan roda empat
laju peningkatan kendaraan roda dua, laju peningkatan jumlah unit industri, laju
peningkatan jumlah penduduk, begitu pula laju peningkatan luas lahan terbangun .
Sebaliknya, pada skenario pesimis tidak dilakukan penghijauan. Semua nilai variabel
sama dengan skenario pesimis pada Wilayah I, yang berbeda hanya pada stok awal.
Berdasarkan hasil skenario pesimis ini diprakirakan suhu udara ≥ 30 ºC terjadi pada
tahun 2037. Kondisi suhu udara, ruang terbuka hijau, jumlah total CO2 dan
perkembangan lahan terbangun disajikan pada Gambar 36.
Gambar 36 Hasil simulasi model skenario pesimis Wilayah II lima puluh tahun ke
depan.
5.2.5.3. Model Wilayah III
a. Model Baseline Wilayah III
Wilayah III memiliki luas 9.135 ha. Jumlah penduduk di wilayah ini yaitu
507.209 orang. Jumlah kendaraan baik roda empat maupun roda dua di Wilayah III
lebih sedikit dibandingkan dengan Wilayah I dan II yaitu 3.873 kendaraan roda empat
dan 28.816 kendaraan roda dua. Persentase lahan terbangun di wilayah ini paling kecil
yaitu hanya 37% (3.399 ha), sedangkan persentase ruang terbuka hijaunya paling
besar yaitu sebesar 52% (4.747 ha).
11:03 AM Sun, Nov 20, 2011Page 1
2008 2018 2028 2038 2048 2058
Years
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
20
30
40
0
1.5e+011
3e+011.
5500
9500
13500
1000
4000
7000
1: Suhu Absolut 2: CO2 3: Luas terbangun absolut 4: RTH Absolut
1 11
1 1
2 2 2 2
2
3
3 3 3 3
4
4 4 4 4
1. Suhu Udara (ºC) 2. CO2 (ton) 3. Lahan Terbangun (ha) 4. Ruang Terbuka Hijau (ha)
Tahun
88
Berdasarkan analisis dari model baseline di Wilayah III dapat dijelaskan bahwa
suhu udara < 30 °C masih dapat dipertahankan sampai tahun 2046. Baru pada tahun
2047 suhu udara di Wilayah III ≥ 30 ºC. Kondisi suhu udara, ruang terbuka hijau,
jumlah total CO2 dan perkembangan lahan terbangun disajikan pada Gambar 37.
Gambar 37 Hasil simulasi model baseline Wilayah III lima puluh tahun ke
depan.
b. Skenario Hijau Wilayah III
Sama halnya dengan skenario hijau di Wilayah I dan II, yang berbeda dari
skenario hijau di Wilayah III adalah pada nilai stok awal. Berdasarkan skenario hijau
di Wilayah III, diprediksi suhu udara ≥ 30 ºC akan terjadi pada tahun 2056. Kondisi
suhu udara, ruang terbuka hijau, jumlah total CO2 dan perkembangan lahan terbangun
disajikan pada Gambar 38.
Gambar 38 Hasil simulasi model skenario hijau Wilayah III lima puluh tahun ke
depan.
11:16 AM Sun, Nov 20, 2011Page 1
2008 2018 2028 2038 2048 2058
Years
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
20
30
40
0
200000000
400000000
3000
6000
9000
0
2500
5000
1: Suhu Absolut 2: CO2 3: Luas terbangun absolut 4: RTH Absolut
1 11
1
1
2 2 22
23
3
3 3 3
4
4
4 4 4
11:21 AM Sun, Nov 20, 2011Page 1
2008 2018 2028 2038 2048 2058
Years
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
24
28
31
0
15000000
30000000
3000
6000
9000
0
2500
5000
1: Suhu Absolut 2: CO2 3: Luas terbangun absolut 4: RTH Absolut
11
1
1
1
2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
4
4
4
4
4
1. Suhu Udara (ºC) 2. CO2 (ton) 3. Lahan Terbangun (ha) 4. Ruang Terbuka Hijau (ha)
1. Suhu Udara (ºC) 2. CO2 (ton) 3. Lahan Terbangun (ha) 4. Ruang Terbuka Hijau (ha)
Tahun
Tahun
89
c. Skenario Moderat Wilayah III
Sama halnya dengan skenario moderat di Wilayah I dan II, yang berbeda dari
skenario moderat di Wilayah III adalah pada nilai stok awal. Berdasarkan skenario
moderat di Wilayah III, diprakirakan suhu udara ≥ 30 ºC akan terjadi pada tahun 2053.
Kondisi suhu udara, ruang terbuka hijau, jumlah total CO2 dan perkembangan lahan
terbangun disajikan pada Gambar 39.
Gambar 39 Hasil simulasi model skenario moderat Wilayah III lima puluh tahun ke
depan.
d. Skenario Pesimis Wilayah III
Skenario pesimis untuk Wilayah III dilakukan dengan cara membiarkan tanpa
pengelolaan sehingga terjadi kenaikan laju peningkatan jumlah kendaraan roda empat
laju peningkatan kendaraan roda dua, laju peningkatan jumlah unit industri, laju
peningkatan jumlah penduduk, begitu pula laju peningkatan luas lahan terbangun .
Sebaliknya, pada skenario pesimis tidak dilakukan penghijauan. Semua nilai variabel
sama dengan skenario pesimis pada Wilayah I dan II, yang berbeda hanya pada stok
awal. Berdasarkan hasil skenario pesimis ini diprakirakan suhu udara ≥ 30 ºC di
Wilayah III akan terjadi pada tahun 2038. Kondisi suhu udara, ruang terbuka hijau,
jumlah total CO2 dan perkembangan lahan terbangun disajikan pada Gambar 40.
11:24 AM Sun, Nov 20, 2011Page 1
2008 2018 2028 2038 2048 2058
Years
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
24
28
32
0
25000000
50000000
3000
6000
9000
0
2500
5000
1: Suhu Absolut 2: CO2 3: Luas terbangun absolut 4: RTH Absolut
11
1
1
1
2
2
2
2
2
3
3
3
3 3
4
4
4
4 4
1. Suhu Udara (ºC) 2. CO2 (ton) 3. Lahan Terbangun (ha) 4. Ruang Terbuka Hijau (ha)
Tahun
90
Gambar 40 Hasil simulasi model skenario pesimis Wilayah III lima puluh tahun ke
depan.
5.2.6. Hasil Analisis Simulasi Model Kota Hijau
Secara umum terdapat perbedaan hasil simulasi model dengan menggunakan
skenario hijau, moderat dan pesimis di Kabupaten Bandung. Skenario hijau dapat
memperlambat suhu udara sehingga suhu udara ≥ 30 ºC terjadi pada tahun 2047,
sedangkan skenario moderat pada tahun 2046, dan skenario pesimis mempercepat
terjadinya suhu udara ≥ 30 ºC yaitu pada tahun 2032. Skenario pesimis mempercepat
terjadinya suhu udara ≥ 30 ºC.
Hasil simulasi model Wilayah I, II dan III, terlihat berbeda karena nilai dari
masing-masing peubah (variabel) di wilayah tersebut berbeda. Berdasarkan skenario
hijau, moderat dan pesimis, Wilayah I paling cepat mengalami suhu udara ≥ 30 ºC
dibandingkan Wilayah II dan III. Hal ini disebabkan karakteristik wilayah I memiliki
luas wilayah paling kecil (6.704 ha), tetapi memiliki jumlah penduduk paling banyak
dibandingkan Wilayah II dan III yaitu berjumlah 539.397 orang di Wilayah I, 424.523
orang di Wilayah II, dan 507.209 orang di Wilayah III. Selain itu jumlah kendaraan
roda empat di Wilayah I juga paling banyak yaitu 7.562 kendaraan, sedangkan di
Wilayah II sebanyak 6.946 kendaraan dan di Wilayah III sebanyak 3.873 kendaraan.
Selain itu persentase lahan terbangun di Wilayah I paling tinggi dibanding Wilayah II
dan III, yaitu Wilayah I sebesar 60 %, Wilayah II 40 % dan Wilayah III 37 %.
Sebaliknya ruang terbuka hijau di Wilayah I paling kecil yaitu sebesar 29 %,
sedangkan di Wilayah II sebesar 45 % dan Wilayah III 52 %. Selain itu, lahan terbuka
di Wilayah I yang dapat digunakan untuk penghijauan juga terbatas (492 ha).
Karakteristik lingkungan demikian menyebabkan tidak banyak pilihan skenario untuk
11:28 AM Sun, Nov 20, 2011Page 1
2008 2018 2028 2038 2048 2058
Years
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
20
30
40
0
5e+010.
1e+011.
3000
6000
9000
0
2500
5000
1: Suhu Absolut 2: CO2 3: Luas terbangun absolut 4: RTH Absolut
1 1
1
1
1
2 2 2 2
2
3
3
3 3 3
4
4 4 4 4
1. Suhu Udara (ºC) 2. CO2 (ton) 3. Lahan Terbangun (ha) 4. Ruang Terbuka Hijau (ha)
Tahun
91
mengatasi pulau bahang kota karena skenario hijau hanya memperlambat tujuh tahun
suhu udara ≥ 30 ºC dibandingkan suhu udara saat ini.
Wilayah II paling luas dibandingkan dengan Wilayah I dan III. Persentase RTH
di wilayah ini juga paling tinggi dibandingkan dengan Wilayah I dan III. Meskipun
Wilayah II memiliki wilayah lebih luas tetapi jumlah penduduk paling sedikit jika
dibandingkan dengan Wilayah I dan Wilayah II. Wilayah II memiliki jumlah industri
paling sedikit (25 industri) dibandingkan dengan Wilayah I (50 industri) dan Wilayah
III (65 industri). Wilayah II juga memiliki kawasan lindung dan kawasan konservasi
seluas 1202 ha di Cangkuang dan Banjaran. Karakteristik demikian menyebabkan
skenario hijau sangat efektif dalam mengatasi pulau bahang kota sehingga suhu udara
≥ 30 ºC terjadi paling lambat dibandingkan dengan skenario hijau untuk Wilayah I
dan III. Suhu udara di Wilayah II yaitu sampai tahun 2058 masih < 30 ºC.
Wilayah III memiliki persentase ruang terbuka hijau paling tinggi (52%)
dibandingkan dengan Wilayah I (29%) dan II (45%), tetapi memiliki jumlah unit
industri paling banyak dibandingkan Wilayah I dan II. Selain itu Wilayah III tidak
mempunyai kawasan konservasi sehingga tidak ada ruang terbuka hijau yang
terlindungi undang-undang dan sangat beresiko berubah menjadi lahan terbangun.
Skenario hijau dan moderat untuk Wilayah III menyebabkan terjadinya suhu udara
≥ 30 ºC lebih lambat dibanding Wilayah I tetapi lebih cepat dibanding dengan
Wilayah II. Hasil simulasi model Wilayah I, II dan III disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13 Prakiraan waktu suhu udara ≥ 30 ºC di Kabupaten Bandung
Model Tahun dengan Suhu Udara Tinggi (≥ 30 °C)
Model Baseline Skenario Hijau Skenario Moderat Skenario Pesimis
Wilayah I 2047 2054 2050 2037 Wilayah II 2047 > 2058 2057 2037 Wilayah III 2047 2056 2053 2038
Berdasarkan simulasi model wilayah Kabupaten Bandung serta model di
Wilayah I, II dan III; dan juga berdasar uji sensitivitas model, menunjukkan bahwa
variabel jumlah penduduk, ruang terbuka hijau dan lahan terbangun sangat
menentukan kondisi pulau bahang kota khususnya suhu udara. Suhu udara tinggi
ditentukan oleh tingginya emisi CO2. Semakin banyak jumlah penduduk maka
semakin banyak emisi CO2 yang dikeluarkan dari kendaraan bermotor, konsumsi
bahan bakar dari aktivitas rumah tangga, sampah, serta dari pernapasan. Hal ini
didukung oleh penelitian Anand et al. (2005) yang menyatakan bahwa jumlah
penduduk sangat menentukan tingkat emisi CO2, sehingga harus ada intervensi
92
kebijakan pemerintah untuk mengendalikan peningkatan jumlah penduduk agar emisi
CO2 menurun.
Kaitan antara peningkatan jumlah penduduk dengan emisi CO2 juga dilakukan
oleh Fong et al. (2006) yang melakukan penelitian mengenai model sistem dinamik
untuk menduga konsumsi energi dengan membuat model yang terdiri dari empat sub
model, yaitu sub model perumahan, komersial, industri, dan transportasi. Menurut
Fong et al. (2006), pulau bahang kota disebabkan oleh tingginya konsumsi energi oleh
berbagai aktivitas penduduknya sehingga menyebabkan emisi CO2 di perkotaan tinggi.
Berdasarkan penelitian Fong et al. (2006) diketahui bahwa pendorong utama
terjadinya peningkatan konsumsi energi adalah adanya peningkatan pertumbuhan
ekonomi dan tingkat konsumsi energi oleh industri, konsumsi energi oleh penduduk di
perumahan, dan komersial. Oleh karena itu menurut Fong et al. (2006), agar
keberlanjutan kota terwujud, maka harus dilakukan penghematan konsumsi energi,
merubah gaya hidup penduduk perkotaan, perbaikan teknologi dan pengadaan sistem
angkutan masal.
Selain Fong (2006), penelitian mengenai model sistem dinamik di area perkotaan
yang mengaitkan antara konsumsi energi dengan emisi CO2 juga dilakukan oleh Lee
(2005). Lee (2005) membuat model sistem dinamik mengenai penyebab dan dampak
dari emisi gas rumah kaca dengan menambahkan satu variabel suhu udara dalam
modelnya. Model dalam penelitian ini menggambarkan proses peningkatan emisi gas
rumah kaca (CO2) akibat peningkatan konsumsi energi listrik, pengkatan permintaan
energi panas, dan peningkatan energi bahan bakar transportasi. Emisi gas rumah kaca
menyebabkan peningkatan suhu udara yang dapat menyebabkan bencana banjir,
gangguan suplai air, serta penipisan ozon.
Berdasarkan simulasi model beberapa skenario model kota hijau di Kabupaten
Bandung, khususnya di Wilayah I, II, dan III, menunjukkan bahwa kondisi perkotaan
dengan persentase lahan terbangun tinggi, emisi CO2 tinggi dan ruang terbuka rendah,
akan menyebabkan terjadinya suhu udara ≥ 30 ºC lebih cepat. Hasil simulasi model
juga menunjukkan bahwa level perencanaan pembangunan adalah sangat penting
terutama untuk pengembangan wilayah-wilayah di kabupaten atau kota lain yang
masih memungkinkan untuk ditingkatkan kualitas lingkungannya secara optimal
sehingga permasalahan efek pulau bahang di perkotaan dapat diatasi melalui
pembangunan berbasis green growth yang tertuang di dalam model skenario hijau
agar lebih mudah mewujudkan kota hijau.
93
Berdasarkan hasil penelitian Wang (2009) diketahui bahwa permasalahan utama
pengembangan kota adalah pada level perencanaan. Perencanaan yang kurang baik,
tanpa mengindahkan akar masalah yang dihadapi serta kurangnya perhatian terhadap
keseimbangan ekosistem, keinginan dan dukungan masyarakat, serta kecenderungan
perilaku masyarakat, maka akan menghambat terwujudnya kota hijau.
5.3. Kondisi Sosial Ekonomi
Kondisi sosial ekonomi dan keinginan masyarakat berkaitan dengan kondisi
lingkungan khususnya kualitas udara, iklim mikro serta penanganannya, didapat dari
hasil wawancara dengan 180 responden yang tersebar di 15 kecamatan. Berdasarkan
hasil wawancara, diketahui 49% responden menyatakan kondisi perkotaan di
Kabupaten Bandung sudah sangat tercemar, 50% tercemar ringan dan hanya 1%
menyatakan belum tercemar. Mayoritas penduduk Kabupaten Bandung menyatakan
udara perkotaan sudah sangat panas (52%), dan yang menyatakan panas sebanyak
41%, dan 7% menyatakan tidak panas. Lima tahun terakhir, 87% responden
merasakan suhu udara semakin panas.
Kondisi suhu udara yang panas dan semakin panas ini membuat penduduk
Kabupaten Bandung beradaptasi dan telah terbiasa dengan kondisi yang ada sehingga
meskipun panas tetapi 57% merasa kenyamanan masih dalam batas sedang, hanya
14 % yang menyatakan tidak nyaman dan 29% menyatakan nyaman.
Salah satu sumber emisi polutan udara adalah kendaraan bermotor. Penduduk
Kabupaten Bandung 28 % tidak memiliki kendaraan roda dua, 48% tiap rumah tangga
memiliki 1 kendaraan roda dua, 17% tiap rumah tangga memiliki 2 kendaraan roda
dua, dan 7% memiliki lebih dari 2 kendaraan roda dua bahkan pada rumah tangga
dengan jumlah anggota rumah tangga 14 orang memiliki 7 kendaraan roda dua.
Penduduk yang tidak memiliki kendaraan roda empat sebanyak 82%, hanya 12%
rumah tangga yang memiliki 1 kendaraan roda empat, 5% yang memiliki 2 kendaraan
roda empat dan hanya 1% yang memiliki kendaraan roda empat lebih dari 2
kendaraan. Kebutuhan bahan bakar bensin kendaraan bermotor roda dua per kendaran
yaitu 37 liter/bulan, sedangkan kebutuhan per kendaraan roda empat sebanyak
93 liter/bulan.
Pendapatan masyarakat < Rp. 1.000.000,- sebanyak 36 %, pendapatan antara Rp.
1.000.000,- sampai dengan Rp. 2.000.000,- sebanyak 38 %, pendapatan antara
Rp.2.000.000,- sampai dengan Rp. 3.000.000,- sebanyak 15%, pendapatan antara
94
Rp. 3.000.000,- sampai dengan Rp.4.000.000,- sebanyak 6%, dan yang lebih dari Rp.
4.000.000, hanya sebesar 5%. Berdasarkan 180 responden yang diwawancarai,
persentase terbesar adalah masyarakat dengan pendapatan ≤ Rp. 1.000.000,-.
Kecenderungan masyarakat apabila mengalami peningkatan pendapatan, 2%
menginginkan untuk membeli peralatan rumah tangga mewah (barang-barang
elektonik), 15% menginginkan untuk membeli kendaraan roda dua, 6% menginginkan
untuk membeli kendaraan roda empat, 29% membeli rumah. Beberapa orang ingin
membeli rumah karena belum memiliki rumah, dan ada beberapa orang yang ingin
berinvestasi rumah untuk disewakan bagi para pekerja pabrik. Masyarakat yang
menginginkan membeli tanah sebanyak 67% yang akan digunakan untuk usaha
pertanian.
Masyarakat Kabupaten Bandung hidup berdekatan dengan aktivitas industri.
Hampir semua kecamatan di wilayah penelitian masyarakatnya berdampingan dengan
industri tekstil. Dari 15 kecamatan di area penelitian, hanya Kecamatan Cangkuang
dan Kecamatan Ciparay yang agak jauh dari industri tekstil. Kecamatan pusat industri
tekstil adalah Kecamatan Majalaya dan Kec. Dayeuhkolot.
Keberadaan industri di dekat kawasan permukiman,menurut masyarakat (74%)
menyebabkan udara menjadi kotor dan tidak nyaman karena menyebabkan bau dan
debu. Hanya 26% masyarakat yang menyatakan industri tidak menyebabkan udara
kotor dan mengganggu kenyamanan. Masyarakat yang tidak terganggu ini bertempat
tinggal di dekat area industri furniture, sepatu dan garment (konveksi). Masyarakat
yang tinggal di dekat industri tekstil maupun kertas hampir semuanya merasakan
bahwa udara menjadi kotor dan tidak nyaman.
Meskipun masyarakat sudah merasakan udara kotor dan tidak nyaman akibat
adanya industri tetapi 64% menyatakan tidak sampai mempermasalahkan gangguan
tersebut. Hanya 36% yang bermasalah sampai ranah hukum dengan industri tekstil
yaitu yang terjadi pada tahun 2005.
Selain aktivitas industri, sumber polutan udara yang lain adalah sampah.
Sampah menghasilkan gas rumah kaca yaitu CH4. Sebanyak 17% menyatakan bahwa
pengelolaan sampah di Kabupaten Bandung sudah baik, 50% cukup baik dan 33%
menyatakan kurang baik karena sering terjadi keterlambatan pengangkutan sampah.
Hal ini juga didukung oleh informasi dari pemerintah daerah bahwa kendaraan
pengangkut sampah masih sangat kurang. Kabupaten Bandung hanya memiliki sekitar
50 truk pengangkut sampah.
95
Emisi gas CH4 sebenarnya bisa dikurangi dengan melakukan pamilhan sampah
dari sumbernya yaitu terutama dari limbah rumah tangga sebelum dibuang ke TPS
(tempat pembuangan sampah sementara) dan TPA (tempat pembuangan sampah
akhir). Namun masyarakat belum melakukan pemilahan sampah. Dari total responden,
sebanyak 84 % tidak melakukan pemilahan sampah dengan pertimbangan karena
sampah akan bercampur juga ketika di TPS dan TPA. Masyarakat yang sudah
melakukan pemilahan sampah dan memanfaatkan sampah tersebut sebanyak 8%.
Sampah yang dipilah dan dimanfaatkan terutama sampah kertas untuk digunakan
kembali atau dijual. Hanya 8% masyarakat yang telah melakukan pemilahan dan
pengolahan sampah. Sampah dipilah dan diolah menjadi kompos.
Persentase masyarakat yang mau (tanpa syarat) dan patuh apabila pemerintah
daerah mengintruksikan untuk melakukan pemilahan sampah adalah sebesar 47%,
51% mau tetapi dengan syarat pemerintah daerah benar-benar mengelola dan
mengolah sampah tersebut dengan baik agar yang telah dilakukan warga tidak sia-sia.
Masyarakat yang tidak mau memilah sampah hanya 2%. Alasan mereka, memilah
sampah sangat merepotkan. Dengan kondisi dan sikap masyarakat seperti ini
sebenarnya persentase masyarakat Kabupaten Bandung untuk mau bersama-sama
mengelola sampah agar lingkungan menjadi lebih baik, masih tinggi. Hal ini positif
untuk perbaikan kondisi lingkungan khususnya dalam penanganan efek pulau bahang
dan peningkatan kenyamanan lingkungan.
Berkaitan peran RTH dalam perbaikan kualitas udara dan kondisi iklim mikro,
18% masyarakat Kabupaten Bandung menyatakan bahwa RTH yang ada sudah cukup,
sedangkan 82% merasa belum cukup terutama di perkotaan sehingga perlu dibangun
RTH lagi. Pengetahuan masyarakat mengenai manfaat RTH dalam penurunan suhu
udara dan peningkatan kenyamanan sudah baik, terbukti 97% masyarakat tahu akan
manfaat RTH tersebut dan hanya 3% yang tidak tahu.
Persepsi dan sikap masyarakat mengenai lingkungan hidupnya bisa dilihat dari
keinginan dan harapan mereka. Apabila kebutuhan hidup primer mereka terpenuhi
dan mempunyai pendapatan lebih, 1% masyarakat menginginkan untuk membangun
rumah yang besar dengan kamar banyak untuk disewakan agar menghasilkan
pendapatan semaksimal mungkin. Masyarakat yang menginginkan untuk membangun
rumah dengan ukuran sedang, dan sisa tanah ditanami tumbuhan buah-buahan, sayur
dan tumbuhan hias adalah sebesar 27%. Mayoritas masyarakat (54%) menginginkan
membangun rumah secukupnya, lebih banyak ditanami tumbuhan buah-buahan,
96
sayuran dan tumbuhan hias. Dan hanya 18% yang menginginkan hanya untuk
ditanami tumbuhan buah-buahan, sayuran dan tumbuhan hias. Kelompok ini adalah
masyarakat yang sudah memiliki rumah sehingga lahan hanya untuk usaha dan
berekreasi. Keinginan masyarakat seperti ini dapat dipahami Karean Kabupaten
Bandung merupakan kota tujuan wisata. Hal ini juga diperkuat dengan informasi dari
Dinas Perhubungan bahwa kepadatan lalu lintas di Kabupaten Bandung relative
merata dari hari Senin sampai hari Minggu, dari hari kerja maupun hari libur karena
Kabupaten Bandung merupakan kota tujuan wisata.
Keinginan masyarakat dalam pengembangan ruang terbuka hijau adalah 82%
responden menginginkan ruang terbuka hijau terdiri dari tumbuhan lokal Kabupaten
Bandung dan ditambah dengan tumbuhan-tumbuhan dari luar Kabupaten Bandung.
Adapun jenis tumbuhan yang diinginkan adalah 31% menginginkan tumbuhan
sumber pangan dan tumbuhan perindang, dan 9% menginginkan tumbuhan bunga.
Masyarakat yang menginginkan tumbuhan pangan, perindang dan tumbuhan bunga
sebesar 60%.
Berdasarkan wawancara dengan masyarakat, 40% menyatakan bahwa
pemerintah daerah masih memprioritaskan pembangunan di sektor ekonomi
dibandingkan dengan pembangunan lingkungan hidup. Sebanyak 46% masyarakat
yang menyatakan bahwa pemerintah sudah mengelola lingkungan hidup dengan baik
meskipun masih belum menjadi prioritas sehingga lingkungan hidup masih belum
seperti yang diharapkan. Masyarakat yang menyatakan bahwa pemerintah daerah
masih menganggap tidak penting melakukan pengelolaan lingkungan sebanyak 5%.
Hanya 9 % masyarakat yang menyatakan bahwa pemerintah daerah sudah melakukan
pengelolaan lingkungan dengan baik seperti yang diharapkan.
Apabila pemerintah daerah mengintruksikan agar masyarakat ikut berpartisipasi
dalam kegiatan penghijauan dan perbaikan kondisi lingkungan, 75% menyatakan
mau untuk berpartisipasi dengan senang hati demi peningkatan kualitas hidup mereka.
Masyarakat yang akan membantu seadanya sebanyak 24%, karena dalam persepsi
mereka sudah ada institusi yang bertanggungjawab. Hanya 1% yang menyatakan
tidak perlu berpartisipasi Karena sudah ada institusi yang bertanggungjawab.
Berkaitan dengan program kota hijau, apabila pemerintah daerah
mengintruksikan agar masyarakat ikut berpartisipasi untuk mewujudkan program
tersebut, sebanyak 97% menyatakan mendukung dan akan ikut serta dalam program
tersebut. Hanya 3% yang menyatakan mendukung saja tetapi lebih baik institusi
97
terkait yang melaksanakan. Tingginya dukungan masyarakat ini merupakan modal
positif untuk mewujudkan target kota hijau di Kabupaten Bandung. Tanpa dukungan
masyarakat akan sulit mewujudkan program tersebut.
5.4. Kebijakan Pengelolaan Pulau Bahang Kota
Tahapan analisis kebijakan menurut Dunn (2003) yaitu : perumusan masalah
(definisi), peramalan (prediksi), rekomendasi (preskripsi), pemantauan (deskripsi),
dan evaluasi. Hampir sama dengan pendapat Dunn (2003), Parsons (2001) juga
menyatakan bahwa analisis kebijakan terdiri dari analisis determinasi kebijakan,
analisis isi kebijakan, monitoring dan evaluasi, serta informasi untuk kebijakan dan
advokasi kebijakan.
5.4.1. Perumusan Masalah (Definisi) dalam Penyusunan Kebijakan
Dunn (2003) menyatakan bahwa agar kebijakan yang dibuat berjalan efisien dan
efektif, maka harus dilakukan analisis yang berorientasi pada masalah. Tahap
pertama analisis kebijakan adalah perumusan masalah (definisi) untuk menghasilkan
informasi mengenai kondisi-kondisi (fakta-fakta) sumber masalah. Masalah yang
dihadapi wilayah perkotaan Kabupaten Bandung dalam mewujudkan kota hijau
adalah terjadinya pulau bahang kota yang diakibatkan oleh tingginya jumlah
penduduk, terus berkurangnya ruang terbuka hijau, meningkatnya lahan terbangun,
semakin meningkatnya emisi CO2, serta pola pikir dan sikap masyarakat yang masih
cenderung berakibat akan meningkatkan emisi CO2 serta semakin meningkatnya luas
lahan terbangun. Permasalahan ini menyebabkan terbentuknya pulau bahang kota
yang berakibat pada perbedaan suhu udara di wilayah perkotaan lebih tinggi (7 °C)
dibandingkan wilayah perdesaan.
5.4.2. Peramalan (Prediksi) dalam Penyusunan Kebijakan
Hasil analisis perumusan masalah merupakan bahan untuk melakukan tahap
berikutnya yaitu tahap peramalan (prediksi). Dunn (2003) menyatakan bahwa
peramalan atau prediksi yaitu informasi mengenai konsekuensi dimasa datang dari
penerapan alternatif kebijakan. Pembuatan model merupakan alat yang dapat
digunakan untuk melakukan peramalan (prediksi) atas pemilihan dan penerapan
alternatif kebijakan sehingga dapat dilakukan pemilihan kebijakan terbaik untuk
kondisi Kabupaten Bandung.
98
Berdasarkan hasil simulasi dari beberapa skenario model di Wilayah I, II
maupun Wilayah III, dapat diketahui bahwa model ideal untuk mewujudkan kota
hijau adalah skenario hijau. Skenario hijau Wilayah I, II dan III dapat memperlambat
suhu udara ≥ 30 °C dibandingkan dengan model baseline dan skenario moderat.
Berdasarkan hasil simulasi model diketahui bahwa wilayah dengan lahan
terbangun yang terlanjur tinggi di Wilayah I (60%) menyebabkan penambahan ruang
terbuka hijau menjadi terbatas. Jumlah penduduk yang tinggi (539.397 orang) serta
tingginya emisi CO2 dari berbagai aktivitas manusia (503.987 ton/tahun), menye-
babkan skenario hijaupun masih menciptakan kondisi suhu udara ≥ 30 °C terjadi lebih
cepat dibandingkan dengan Wilayah II dan III.
Jika dibandingkan dengan Wilayah I dan III, area perkotaan Wilayah II masih
relatif lebih baik. Masih banyak waktu untuk mempertahankan kondisi lingkungan
yang nyaman di Wilayah II. Skenario hijau di Wilayah II masih dapat digunakan
untuk mempertahankan kondisi suhu udara perkotaan < 30 °C sampai lebih dari tahun
2058. Berdasarkan hasil simulasi model, dapat disimpulkan bahwa kebijakan
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan merupakan hal sangat penting dan harus
dilakukan seawal mungkin dan harus hati-hati agar tidak terjadi masalah pulau
bahang kota. Apabila sudah terlanjur tercipta pulau bahang kota seperti di Wilayah I,
maka akan membatasi pemilihan dan pengambilan kebijakan dalam mengatasi
tingginya suhu udara akibat pulau bahang kota.
5.4.3. Rekomendasi (Preskripsi) dalam Penyusunan Kebijakan
5.4.3.1. Rekomendasi Berdasarkan Hasil Analisis Pulau Bahang Kota
Berdasarkan hasil analisis kondisi pulau bahang kota khususnya distribusi suhu
udara, diketahui suhu udara tinggi terdapat di beberapa kecamatan yaitu Kecamatan
Margahayu, Margaasih, Dayeuhkolot, Baleendah, Bojongsoang, Rancaekek, Cileunyi,
Pameungpeuk dan Majalaya. Agar pulau bahang kota dapat diatasi secara efektif
maka kecamatan-kecamatan ini harus menjadi prioritas dalam pengembangan hutan
kota di Kabupaten Bandung.
Berdasarkan hasil analisis peran ruang terbuka hijau dalam mengatasi pulau
bahang kota khususnya dalam menurunkan suhu udara, diketahui bahwa hutan kota
lebih efektif dalam menurunkan suhu udara dibandingkan dengan jenis ruang terbuka
hijau yang lain. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mather (1974), Blennow (1998),
Weng dan Yang (2004), serta Rekittke (2009) yang menyatakan bahwa tumbuhan
99
mempunyai peran penting dalam menurunkan radiasi termal yang dipancarkan ke
atmosfer sehingga suhu udara menjadi rendah. Tumbuhan berupa pohon lebih efektif
dalam mengatasi pulau bahang kota dibandingkan jenis ruang terbuka yang lain.
Efektivitas tumbuhan dalam menurunkan suhu udara juga ditentukan oleh indeks
luas daun. Indeks luas daun yang lebih tinggi, menciptakan suhu udara lebih rendah
dibandingkan dengan tumbuhan dengan indeks luas daun lebih rendah. Berdasarkan
pengukuran suhu udara di berbagai tumbuhan dengan ILD yang berbeda, diketahui
bahwa ILD 0,076 menciptakan iklim mikro khususnya suhu udara 29,9 °C, sedangkan
ILD 0,891 menyebabkan suhu udara menurun menjadi 23,6 °C. Semakin tinggi nilai
ILD, semakin rendah suhu udara. Penelitian Hardin dan Jensen (2007) mengenai
kaitan antara ILD dengan suhu permukaan perkotaan, diketahui bahwa suhu udara di
area tanpa tumbuhan (ILD mendekati 0) adalah 39,2 ºC. Sedangkan pada ILD lebih
besar yaitu 0,45; suhu udara menurun menjadi 32,1 ºC. Peningkatan ILD akan
meningkatkan intersepsi radiasi, pertukaran CO2 dan menurunkan suhu udara. Oleh
karena itu pulau bahang kota dapat diatasi dengan membangun ruang terbuka hijau
khususnya hutan kota dengan kerindangan tinggi (ILD tinggi) agar efektif dalam
menurunkan suhu udara.
Pulau bahang kota dapat diatasi melalui pengembangan hutan kota berbentuk
jalur, menyebar dan bergerombol, serta dengan strata tajuk dua atau strata banyak,
tergantung kondisi lahan yang tersedia. Namun dari beberapa bentuk dan struktur
tajuk hutan kota, hutan kota berbentuk bergerombol dengan struktur banyak lebih
efektif menurunkan suhu udara serta meningkatkan kelembaban udara. Hutan kota
berbentuk menggerombol dengan strata banyak dapat menurunkan suhu udara 0,8 °C
serta meningkatkan kelembaban udara 2%.
Penanganan masalah efek pulau bahang akan lebih efektif apabila informasi
kondisi cuaca dan iklim setempat juga menjadi pertimbangan. Alcoforado et al.
(2009) menyatakan bahwa untuk mengatasi pulau bahang kota diperlukan
pengetahuan iklim terutama dalam menyusun desain tata kota agar penanganan pulau
bahang kota dapat berjalan secara efektif. Desain tata kota untuk mengatasi pulau
bahang kota, sangat penting mempertimbangkan parameter angin terutama dalam hal
menentukan lokasi ruang terbuka hijau khususnya hutan kota agar fungsi hutan kota
sebagai windbreak (pematah angin) dapat optimal. Hutan kota yang berfungsi sebagai
windbreak dapat meningkatkan absorbsi dan adsorbsi polutan udara termasuk gas CO2
sehingga dapat menurunkan efek pulau bahang. Berdasarkan analisis arah dan
100
kecepatan angin dengan menggunakan windrose, hutan kota di Kabupaten Bandung
sebaiknya dibangun di Kecamatan Margaasih, Margahayu, Dayeuhkolot, Cileunyi,
Rancaekek, Bojongsoang, Baleendah, Katapang, Banjaran, dan Majalaya. Hutan kota
di wilayah tersebut sebaiknya diprioritaskan dengan desain membujur dari arah
selatan ke utara dan terletak di sebelah timur dan barat sumber polutan karena arah
angin dominan di Kabupaten Bandung berasal dari arah barat. Prioritas berikutnya,
hutan kota dapat dibangun melintang dari barat ke timur dengan letak di sebelah
selatan sumber polutan.
Berdasarkan analisis peran ruang terbuka hijau juga ditemukan bahwa kebijakan
yang berkaitan dengan pemenuhan persyaratan persentase 30% dari luas perkotaan
belum dapat mengatasi masalah pulau bahang kota karena pemerintah daerah hanya
terfokus pada nilai persentasenya saja, tidak mempertimbangkan distribusi suhu udara
di perkotaan serta belum mempertimbangkan efektivitas jenis ruang terbuka hijau,
bentuk serta struktur hutan kota dalam mengatasi pulau bahang kota. Pemerintah
daerah lebih memperhatikan nilai estetika sehingga lebih fokus pada pengembangan
taman kota dan taman pulau jalan, belum memprioritaskan pengembangan hutan kota.
Penentuakn lokasi ruang terbuka hijau dibangun di lokasi-lokasi yang sebenarnya
masih dalam kondisi iklim mikro yang baik dengan suhu udara rendah, sebaliknya
lokasi-lokasi dengan suhu udara tinggi belum menjadi prioritas utama.
5.4.3.2. Rekomendasi Berdasarkan Hasil Simulasi Model
Berdasarkan hasil simulasi beberapa skenario model, maka untuk mewujudkan
Kabupaten Bandung sebagai kota hijau direkomendasikan memilih dan menerapkan
skenario hijau. Skenario hijau telah memasukkan variabel-variabel berbasis green
growth yang merupakan konsep dari WWF dan PWC (2011). Pembangunan berbasis
green growth dilakukan dengan mengusahakan keseimbangan antara ekonomi, sosial,
budaya serta lingkungan hidup. Konsep pembangunan berbasis green growth,
mempertimbangkan lima pilar penting sebagai berikut : pertumbuhan ekonomi,
perbaikan kondisi sosial, konservasi keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan,
kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim global, serta penurunan emisi gas
rumah kaca.
Pembangunan berbasis green growth dalam skenario hijau dilakukan dengan cara
mengendalikan beberapa variabel berikut, yaitu dengan cara menurunkan laju emisi
101
CO2, laju peningkatan lahan terbangun serta melalui peningkatan laju penambahan
ruang terbuka hijau. Laju peningkatan jumlah kendaraan roda empat diusahakan
diturunkan dari 4,3%/tahun menjadi 2%/tahun, sedangkan laju peningkatan kendaraan
roda dua diturunkan dari 23%/tahun menjadi 10%/tahun. Laju pertumbuhan penduduk
ditekan dari 1,95%/tahun menjadi 1%/tahun. Pertumbuhan luas lahan terbangun
diturunkan dari 7%/tahun menjadi 4%/tahun. Ruang terbuka hijau perlu ditingkatkan
dengan laju 1000 ha per tahun. Sedangkan unit industri yang terus menurun
(3,5%/tahun), diusahakan tidak mengalami penurunan. Pengendalian jumlah unit
industri meskipun merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan emisi CO2
dan efek pulau bahang, tetapi diusahakan untuk tidak terus menurun berdasarkan
pertimbangan pentingnya aspek ekonomi dalam peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
5.4.3.3. Rekomendasi Berdasarkan Hasil Analisis Sosial Ekonomi
Pola pikir dan sikap masyarakat Kabupaten Bandung akan pentingnya perbaikan
lingkungan khususnya dengan adanya peningkatan suhu udara serta kenyamanan yang
terus menurun merupakan potensi positif untuk mendukung kebijakan dalam
mengatasi pulau bahang. Tetapi pola pikir dan sikap masyarakat apabila kondisi
ekonominya membaik masih cenderung berakibat meningkatkan emisi CO2 serta
meningkatkan luas lahan terbangun. Chiras (1985) menyatakan bahwa kondisi sosial
ekonomi masyarakat mempengaruhi permintaan (demand) akan sumberdaya alam
termasuk permintaan akan bahan bakar fosil (batubara, minyak, gas). Semakin tinggi
kondisi sosial ekonomi masyarakat cenderung akan semakin meningkatkan kebutuhan
perkapita akan sumberdaya alam serta meningkatkan limbah dan pencemaran
lingkungan. Pola pikir dan kecenderungan perilaku masyarakat yang berkaitan
dengan efek pulau bahang harus menjadi pertimbangan dalam menentukan kebijakan
dan pengambilan keputusan agar kebijakan yang dibuat efisien dan efektif.
Agar pola pikir serta sikap masyarakat Kabupaten Bandung berubah dan peduli
terhadap lingkungan mereka, maka diperlukan pemberdayaan masyarakat serta
pelibatan masyarakat dalam mengatasi pulau bahang kota sehingga dapat membantu
mewujudkan kota hijau. Pemahaman dan peningkatan kesadaran terhadap lingkungan
hidup dapat dilaksanakan melalui sosialisasi atau pendidikan lingkungan.
Hambatan lain dalam penanganan pulau bahang kota di Kabupaten Bandung
adalah karena aspek lingkungan masih belum menjadi prioritas penting untuk segera
102
ditangani. Aspek ekonomi masih menjadi prioritas utama kebijakan Pemerintah
Daerah Kabupaten Bandung. Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan mindset pada
para pengambil kebijakan daerah dengan melibatkan akademisi, NGO, politisi, dan
para pemerhati lingkungan hidup untuk dapat bersama-sama memberikan evaluasi
dan masukan perbaikan kebijakan. Model pelibatan masyarakat ini dapat mengadopsi
model yang telah dilakukan di kota-kota di Swedia (Stockholm, Goteborg, Malmo,
dan Orebro) yang disampaikan pada hasil penelitian Elander dan Lundgren (2005).
5.4.4. Pemantauan (Deskripsi) dan Evaluasi Kebijakan
Pemantauan dan evaluasi kebijakan merupakan tahapan analisis kebijakan ketika
kebijakan tersebut dilaksanakan. Pelibatan masyarakat, para ahli, NGO, serta para
pemerhati lingkungan dalam pemantauan dan evaluasi kebijakan merupakan bagian
dari konsep pembangunan kota hijau berbasis green growth (WWF dan PWC 2011)
dalam rangka menurunkan efek pulau bahang akibat tingginya emisi gas CO2,
perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat, serta untuk meningkatkan
kemamapuan adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim (terutama iklim
perkotaan) yang terjadi.
Elander dan Lundgren (2005) menyatakan bahwa pemerintah daerah kota-kota di
Swedia memberikan kesempatan kepada para ahli ekologi untuk ikut berperan dalam
perumusan masalah, peramalan, rekomendasi, pemantauan, dan evaluasi kebijakan.
Alcoforado et al. (2009) menambahkan bahwa untuk menciptakan pembangunan kota
berkelanjutan (kota hijau), selain ahli ekologi, juga diperlukan ahli iklim dalam proses
penyusunan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan
pembangunan kota. Ahli iklim dapat memberikan masukan dan rekomendasi dalam
penanganan masalah pulau bahang kota serta penataan ventilasi dan penanganan
stagnasi udara di perkotaan yang berkaitan dengan penataan kota serta penentuan
hutan kota kota.
Analisis kebijakan menurut Parson (2001) terdiri dari analisis determinasi,
analisis isi kebijakan, monitoring dan evaluasi, informasi untuk kebijakan dan
advokasi kebijakan. Pada dasarnya analisis kebijakan Parson (2001) hampir sama
dengan tahapan analisis kebijakan Dunn (2003). Determinasi kebijakan menurut
Parson (2001) dalam hal permasalahan yang dihadapi Kabupaten Bandung adalah
terdiri dari analisis perumusan masalah terjadinya pulau bahang kota yang saat ini
terjadi serta penyusunan dan pelaksanaan kebijakan yang ditujukan untuk semua
103
warga kabupaten Bandung, baik pemerintah daerah, pengusaha serta masyarakat
Kabupaten Bandung. Tahapan analisis kebijakan yang lain menurut Parson (2001)
juga sama dengan analisis kebijakan Dunn (2003) yang merupakan rekomendasi,
monitoring dan evaluasi untuk pebaikan kebijakan. Informasi dan advokasi kebijakan
menurut Parson (2001) sudah tercakup didalam tahapan analisis kebijakan Dunn
(2003) yaitu pada tahap rekomendasi, monitoring dan evaluasi kebijakan.
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pulau bahang kota (urban heat island) telah terjadi di wilayah perkotaan
Kabupaten Bandung. Pulau bahang kota diakibatkan oleh tingginya emisi CO2
(tahun 2008 mencapai 1.081.176 ton) dan disebabkan oleh tingginya persen-
tase lahan terbangun (rata-rata 46%, bahkan di Wilayah I 60%). Terbentuknya
pulau bahang kota, mengakibatkan perbedaan suhu udara di pusat perkotaan
dengan perdesaan mencapai 7 °C.
2. Karakteristik lingkungan perkotaan menentukan kondisi efek pulau bahang,
hal ditunjukkan dengan berbedanya persentase luas suhu udara tinggi pada tiga
wilayah penelitian. Secara berurutan persentase luas area suhu udara tinggi
(suhu udara ≥ 27 °C) di Wilayah I, II dan III adalah 2,4%; 0,95%; dan 0,91%.
Karakteristik lingkungan Wilayah I, dengan persentase lahan terbangun
tertinggi dibanding dengan Wilayah II dan III, ruang terbuka hijau terendah,
jumlah penduduk terbanyak, dan jumlah unit industri juga tinggi menyebabkan
persentase luas area bersuhu tinggi paling tinggi.
3. Model kota hijau dapat digunakan untuk mengatasi pulau bahang kota,
dengan cara menurunkan laju peningkatan emisi CO2 dari kurva berbentuk
logistik (eksponensial) menuju kurva sigmoid dengan cara mengatur beberapa
variabel yaitu menurunkan laju pertumbuhan penduduk dari 1,95%/tahun
menjadi 1%/tahun; laju peningkatan kendaraan bermotor roda empat dari
4,3%/tahun menjadi 2%/tahun; kendaraan roda dua dari 23%/tahun menjadi
10%/tahun. Selain itu, pulau bahang kota juga diatasi dengan menurunkan laju
lahan terbangun dari 7%/tahun menjadi 4%/tahun, meningkatkan laju
penambahan ruang terbuka hijau dari 0 menjadi 100 ha per tahun, serta
mencegah penurunan jumlah industri dari -3,5%/tahun menjadi 0%/tahun.
Model kota hijau dapat mempertahankan suhu udara < 30 °C sampai tahun
2046.
4. Karakteristik lingkungan perkotaan yang terlanjur didominasi oleh lahan
terbangun disertai emisi CO2 tinggi, menyebabkan penanganan pulau bahang
kota tidak dapat dilaksanakan secara maksimal, sehingga pembangunan harus
dilaksanakan secara hati-hati dari awal.
105
5. Ruang terbuka hijau minimal 30%, berupa hutan kota, berbentuk me-
ngelompok, berstrata banyak, dan terletak di area suhu udara tinggi, lebih
efektif mengatasi pulau bahang kota karena dapat menurunkan suhu udara
sampai 6,3 °C.
B. Saran
1. Perlu implementasi dan pengawasan yang ketat dari Undang-Undang Republik
Indonesia No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan PP Nomor I Tahun
2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang
mengharuskan kawasan perkotaan memiliki ruang terbuka hijau minimal 30%.
2. Perlu implementasi dan pengawasan yang ketat dari Peraturan Pemerintah
No.63 Tahun 2002 tentang hutan kota, yang menyatakan bahwa luasan hutan
kota sekurang-kurangnya 10 % dari luas kota.
DAFTAR PUSTAKA
Akbari H. 2008. Saving energy and improving air quality in urban heat islands.
Berkeley : American Institute of Physics.
Alcoforado MJ, Andrade H, Lopes A, Vasconcelos J. 2009. Application of climatic
guidelines to urban planning, the example of Lisbon (Portugal). Land and Urb
Plan 90 : 56–65.
Anand S, Vrat P, Dahiya RP. 2006. Application of a system dynamics approach for
assessment and mitigation of CO2 emissions from the cement industry. Environ
Man 79 : 383–398.
Arya SP. 2001. Introduction to Micrometeorology. California : Academic Press.
Bernatzky A. 1978. Tree ecology and preservation. Amsterdam : Elsevier Science.
357 hal.
Blennow K. 1998. Modelling minimum air temperature in partially and clear felled
forests. Agric For Meteorol 91 : 223 – 235.
[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2009. Data Cuaca dan
Iklim. Bogor : BMKG.
[BPLH] Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung. 2009. Status
Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung Tahun 2009. Bandung : Pemerintah
Daerah Kabupaten Bandung.
[BPS] Badan Pusat Statistik dan [BAPPEDA] Badan Perencanaan Daerah Kabupaten
Bandung. 2003. Data Sosial Ekonomi Masyarakat Kabupaten Bandung.
Bandung : Badan Pusat Statistik Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung.
[BPS] Badan Pusat Statistik dan [BAPPEDA] Badan Perencanaan Daerah Kabupaten
Bandung. 2008. Data Sosial Ekonomi Masyarakat Kabupaten Bandung.
Bandung : Badan Pusat Statistik Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung.
Brack CL. 2002. Pollution mitigation and carbon sequestration by an urban forest.
Environ Pollut 116 : 195-200.
Chang CR, Li MH, Chang SD. 2007. A preliminary study on the local cool-island
intensity of Taipei city parks. Lands & Urban Plan 80 : 386-395.
Chiras DD. 1985. Environmental Science, a Framework for Decision Making. Sand
Hill : The Benjamin Publishing Company.
Dahlan EN. 1992. Hutan Kota untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas
Lingkungan Hidup. Kerjasama Institut Pertanian Bogor dengan Asosiasi
Pengusaha Hutan Indonesia. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia. Jakarta.
Dahlan EN. 2004. Membangun Kota Kebun (Garden City) Bernuansa Hutan Kota.
IPB Press. Bogor.
107
Dahlan EN. 2007. Analisis kebutuhan luasan hutan kota sebagai sink gas CO2
antropogenik dari bahan bakar minyak dan gas di Kota Bogor dengan pendekatan
sistem dinamik [disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Intitut Pertanian Bogor.
Dahlan EN. 2008. Jumlah emisi gas CO2 dan pemilihan jenis tanaman berdaya rosot
sangat tinggi : studi kasus di Kota Bogor. Media Konservasi 13 : 85-89.
Departemen Kehutanan. 2002. Peraturan Pemerintah No. 63 tentang Hutan Kota.
Jakarta.
[DEPDAGRI] Departemen Dalam Negeri. 1988. Instruksi Menteri Dalam Negeri
No. 14 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan. Jakarta.
[DEPDAGRI] Departemen Dalam Negeri. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan
Perkotaan. Jakarta : Departemen Dalam Negeri Pemerintah Republik Indonesia.
Dunn WN. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Wibawa S, Asitadani D,
Hadna AH, Purwanto EA, penerjemah. Terjemahan dari : Public Policy Analysis.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Effendy S. 2007. Keterkaitan antara ruang terbuka hijau dengan urban heat island
wilayah Jabotabek [disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Intitut Pertanian
Bogor.
Elander I, Lundgren E, Malbert B, Sandstrom UG. 2005. Biodiversity in urban
governance and planning: examples from Swedish Cities. Plan Theor 6 :
283-301.
Emmanuel R. 2005. Thermal comfort implication of urbanization in a warm humid
city : the Colombo Metropolitan Region (CMR). Build and Environ 40 :
1591-1601.
[EPA] Environmental Protection Agency. 2010. Climate Change. United States :
Environmental Protection Agency.
Fakuara Y. 1987. Konsepsi Pengembangan Hutan Kota. Bogor : Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor.
Fong WK, Matsumoto H, Lun YF, Kimura R. 2006. System dynamic model for the
prediction of urban energy consumption trends. Japan : Toyohashi University
and Tohoku University.
Geiger R, Aron RH, Todhunter P. 1961. The Climate Near the Ground. America :
Harvard University Press.
Grey GW and Deneke FJ. 1978. Urban Forestry. New York : J Wiley.
Hardin PJ, Jensenb RR. 2007. The effect of urban leaf area on summertime urban
surface kinetic temperatures: A Terre Haute case study. Urb For & Urb Green
6 : 63-72.
108
Hartrisari. 2007. Sistem Dinamik : Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri dan
Lingkungan. Bogor : SEAMEO BIOTROP (Southeast Asian Regional Centre for
Tropical Biology).
Hidayati R. 1990. Kajian prilaku iklim jakarta. Perubahan dan perbedaan dengan
daerah sekitarnya. Bogor : Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007. IPCC fourth assessment
report : climate change 2007. Jenewa : UNEP and WMO.
[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007. Climate change :
Greenhouse gas and aerosols.
Irwan ZD. 2005. Tantangan lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Center for
Information and Development Studies. Jakarta : PT Pustaka CIDESINDO.
Irwan ZD. 2008. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Jakarta : PT
Bumi Aksara.
Lee YM. 2005. Modelling causes and impacts of greenhouse gas emission in a city.
New York : IBM Thomas J. Watson Research Center.
Lubis DP et al. 2010. Dasar-Dasar Komunikasi. Hubeis AVS, editor. Bogor : Sains
KPM IPB Press.
Mather JR. 1974. Climatology : fundamentals and aplications. United State of
America : McGraw-Hill Inc.
McConnel VD, Scwab RM. 1990. The impact of environmental regulation on industry
location decisions : the motor vehicle industry. Land Econ 66.
Mori K, Christodoulou A. 2011. Review of sustainability indices and indicators:
towards a new City Sustainability Index (CSI). J Environ Imp AssRev xxx : 13.
Muhammadi, Aminullah E, Soesilo B. 2001. Analisis Sistem Dinamis : Lingkungan
Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. Jakarta : UMJ Press.
Nawawi HH. 1991. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
Nichol J, Wong MS. 2005. Modelling urban environmental quality in a tropical city.
Land & Urban Plan 73 : 49-58.
Niewolt S. 1975. Tropical climatology, an introduction to the climate low latitude.
New York : J Willey.
Nowak DJ, McPherson DJ. 1993. Quantifying the impact of trees : the Chicago urban
forest climate project. Unasylva 44 : 39-44.
109
Parsons W. 2001. Public Policy : Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan.
Santosa TWB, penerjemah. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Terjemahan dari : Public Policy : An Introduction to the Theory and Practice of
Policy Analysis.
Pemerintah Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang. Jakarta : Sinar Grafika.
Pemerintah Republik Indonesia. 2010. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Jakarta : CV
Citra Utama Media.
Purnomo H. 2005. Teori Sistem Komplek, Pemodelan dan Simulasi, untuk
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Bogor : Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor.
Rekittke J. 2009. From green city to urban jungle. The International Symposium of
Green City; Bogor, IPB Internatinal Convention Center, 10-11 Aug 2009.
Roseland M. 1997. Dimensions of the eco-city. Cities 4 : 197-202.
Santosa I. 1998. Pulau panas (heat island) wilayah JABOTABEK. Jurusan Geofisi-
ka dan Meteorologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sarkar H. 2004. Study of landcover and population density influences on urban heat
island in tropical cities by using remote sensing and GIS. A methodological
consideration. Jakarta : 3rd FIG Regional Conference.
Shen J, Sakata Y, Hashimoto Y. 2009. The influence of environmental deterioration
and network improvement on transport model choice. Environ Sci Pol 12 : 338-
346
Soedomo M. 2001. Pencemaran udara. Bandung : Penerbit ITB Bandung.
Suprihatin, Indrasti NS, Romli M. 2003. Potensi penurunan emisi gas rumah kaca
melalui pengomposan sampah di wilayah Jabotabek. Bogor : Environmental Re-
search Center (PPLH), Institut Pertanian Bogor.
Tashiro Y. 2009. Green Networking as an Appropriate Urban Greening Method to
the Green City. The International Symposium of Green City. August 10-11,
2009. IPB Internatinal Convenstion Center. Bogor
Trewartha GT, Horn LH. 1980. Pengantar Iklim. Andani S, penerjemah; Srigandono,
editor. United State of America : McGraw-Hill Inc. Terjemahan dari : An
introduction to climate.
Tursilowati L. 2002. Urban heat island dan kontribusinya pada perubahan iklim dan
hubungannya dengan perubahan lahan. Seminar Nasional Pemanasan Global
dan Perubahan Global . Fakta, mitigasi, dan adaptasi. Pusat Pemanfaatan Sains
Atmosfer dan Iklim LAPAN, ISBN : 978-979-17490-0-8 : 89-96.
110
[USGS] U.S. Geological Survey. 2002. Landsat 7 Science Data User Handbook.
Amerika Serikat : Department of the Interior, National Aeronotics and Space
Administration.
Voogt JA. 2002. Urban heat island : causes and consequences of global
environmental change. Chichester : J Wiley.
Wang XJ. 2009. Analysis of problems in urban green space system planning in China.
J For Res 20 : 79-82.
Weng Q, Yang S. 2004. Managing the adverse thermal effects of urban development
in a densely populated Chinese city. J Env Man 70 : 145–156
Wildsmith D. 2009. Green cities eco-architecture. Zain AFM, Syartinilia, editor. The
International Symposium of Green City; Internatinal Convenstion Center,
Bogor,10-11 Agt 2009. Bogor : Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural
University (IPB). hlm 7-18.
[WWF] World Wide Fund for Nature, [PWC] PricewaterhouseCoopers. 2011.
Roadmap for a green economy in the Heart of Borneo : a scoping study. Jakarta :
PricewaterhouseCoopers LLP.
Xiao H, Weng Q. 2007. The impact of land use and land cover changes on land
surface temperature in a karst area of China. J Environ Man 85 : 245-257.
LAMPIRAN
112
Lampiran 1 Uji sensitivitas pengaruh perubahan jumlah kendaraan roda dua
dengan suhu udara
Lampiran 2 Uji sensitivitas pengaruh perubahan jumlah kendaraan roda empat
dengan suhu udara.
Lampiran 3 Uji sensitivitas pengaruh perubahan jumlah industri dengan suhu
udara.
5:49 PM Fri, Jun 24, 2011Page 1
2008.00 2015.50 2023.00 2030.50 2038.00
Years
1:
1:
1:
20
30
40
Suhu Absolut: 1 - 2 - 3 -
5:51 PM Fri, Jun 24, 2011Page 1
2008.00 2015.50 2023.00 2030.50 2038.00
Years
1:
1:
1:
20
30
40
Suhu Absolut: 1 - 2 - 3 -
5:56 PM Fri, Jun 24, 2011Page 1
2008.00 2015.50 2023.00 2030.50 2038.00
Years
1:
1:
1:
20
30
40
Suhu Absolut: 1 - 2 - 3 -
113
Lampiran 4 Uji sensitivitas pengaruh perubahan jumlah penduduk dengan suhu
udara.
Lampiran 5 Uji sensitivitas pengaruh perubahan luas lahan terbangun dengan
suhu udara.
Lampiran 6 Uji sensitivitas pengaruh perubahan luas ruang terbuka hijau dengan
suhu udara
5:54 PM Fri, Jun 24, 2011Page 1
2008.00 2015.50 2023.00 2030.50 2038.00
Years
1:
1:
1:
20
30
40
Suhu Absolut: 1 - 2 - 3 -
5:53 PM Fri, Jun 24, 2011Page 1
2008.00 2015.50 2023.00 2030.50 2038.00
Years
1:
1:
1:
20
30
40
Suhu Absolut: 1 - 2 - 3 -
5:58 PM Fri, Jun 24, 2011Page 1
2008.00 2015.50 2023.00 2030.50 2038.00
Years
1:
1:
1:
20
30
40
Suhu Absolut: 1 - 2 - 3 -
114
Lampiran 7 Volume kendaraan bermotor yang beroperasi setiap jamnya di ruas jalan
Kabupaten Bandung pada tahun 2006
No NAMA JALAN Pukul
06.00 -
07.00
07.00 -
08.00
12.00 -
13.00
13.00 -
14.00
16.00 -
17.00
17.00 -
18.00
1 Jl. Kopo (TKI -
Sukamenak) 1231,30 1378,60 1417,30 1410,50 1779,50 1768,40
2 Jl. Kopo (Sukamenak -
Citarum) 1649,00 2089,40 1819,90 1572,30 1556,90 1831,70
3 Jl. Kopo (Citarum -
Soreang) 1587,10 1830,10 1665,10 1546,10 1623,50 1883,10
4 Soreang - Pasirjambu 491,10 605,70 651,20 565,20 639,10 714,10
5 Ciwidey - Patenggang 310,40 354,40 243,20 299,00 320,00 384,30
6 Jl. Moh. Toha (Batas
Kota - Dayeuhkolot) 919,10 1223,90 992,80 1079,50 1545,80 1300,50
7 Dayeuhkolot -
Baleendah 1840,90 1823,90 1370,30 1502,60 1573,00 1174,80
8 Baleendah - Ciparay 1291,10 1318,00 1218,80 1195,90 1094,20 976,40
9 Ciparay - Majalaya 693,30 774,10 619,10 583,20 886,60 599,70
10 Dayeuhkolot -
Bojongsoang 831,00 914,80 691,00 715,00 912,70 914,60
11 Bojongsoang -
Buahbatu (Batas Kota) 1257,30 1765,00 1209,90 1224,20 1652,90 1270,20
12 Banjaran -
Pameungpeuk 1566,10 1430,50 1233,60 1373,70 1383,60 1236,20
13 Pameungpeuk -
Dayeuhkolot 1453,00 1439,10 1072,30 1351,80 1278,00 1346,60
14 Banjaran - Soreang 754,00 596,60 470,10 776,40 721,30 487,90
15 Banjaran - Cimaung
(Pangalengan) 1110,60 882,20 992,80 928,60 1214,00 1157,40
16 Ciparay/Lemburawi -
Pacet 520,00 441,90 428,20 432,80 343,40 331,80
17 Derwati - Sapan 429,10 508,70 333,70 342,70 447,00 448,30
18 Majalaya - Sapan 354,90 319,00 244,20 242,90 264,60 308,80
19 Majalaya - Rancaekek 764,60 574,20 465,10 476,60 456,70 476,50
20 Majalaya - Cikancung 465,20 521,00 412,30 448,60 568,60 468,50
21 Cikancung - Cicalengka 500,00 539,40 436,20 430,10 485,20 461,30
22 Soreang - Cipatik 534,20 655,10 585,50 651,90 643,40 635,80
23 Cipatik - Batujajar
(KOPASSUS) 669,40 634,40 524,40 534,70 567,90 533,40
24 Cimareme - Batujajar
(Pos Disja) 917,80 1010,50 757,10 901,90 851,90 735,00
25 Cikalongwetan -
Cipeundeuy 225,10 215,90 191,30 201,80 246,50 214,90
26 Cipatik - Cililin 547,00 647,60 640,70 593,00 576,90 440,40
27 Cililin - Sindangkerta 220,90 243,80 209,90 194,10 175,70 83,10
28 Cangkuang - Palasari 375,70 430,60 283,60 439,10 528,30 498,20
29 Cibaduyut - Cangkuang 1193,30 1699,20 1197,80 1549,50 1662,80 1604,10
30 Cangkuang - Sayati 724,80 839,20 657,50 674,10 909,80 1010,30
31 Cangkuang - Sayuran 1106,50 1190,80 603,40 794,50 1017,60 743,40
32 Cikancung - Cijapati 271,30 276,30 238,50 214,70 254,40 199,20
33 Cihideung -
Parongpong 132,70 118,10 153,90 174,60 157,70 107,30
34 Cisarua - Lembang 330,10 397,00 302,40 350,60 428,30 405,00
35 Cipatik - Leuwigajah 726,40 870,50 647,00 725,80 788,60 929,50
36 Katapang - Junti 421,80 393,00 296,80 224,60 443,40 314,40
37 Banjaran - Pinggir Sari
- Garduh 187,80 241,50 188,80 213,80 180,00 155,80
38 Cicalengka - Nagreg 844,80 884,60 734,10 763,50 727,40 575,40
39 Manglid - Kopo 328,00 437,90 349,60 596,70 455,90 523,40
40 Cijagra - Kopo 412,30 376,80 268,20 326,80 413,40 425,60
Jumlah 30189,000 32893,300 26817,600 28623,400 31776,500 29675,300
Sumber : DLLAJR Kabupaten Bandung (2006)
115
Lampiran 8 Persamaan Model
Penutupan Lahan :
Lhn_terbangun(t) = Lhn_terbangun(t - dt) + (out + berkurang1) * dtINIT
Lhn_terbangun = 27381
INFLOWS:
out = 0.5*Lhn_terbangun*Laju_lhn_terbangun
berkurang1 = Lhn_terbangun*Laju_lhn_terbangun*0.5
RTH(t) = RTH(t - dt) + (in - out) * dtINIT RTH = 139000
INFLOWS:
in = penghijauan
OUTFLOWS:
out = 0.5*Lhn_terbangun*Laju_lhn_terbangun
Tnh_terbuka(t) = Tnh_terbuka(t - dt) + (- berkurang1) * dtINIT Tnh_terbuka = 10012
OUTFLOWS:
berkurang1 = Lhn_terbangun*Laju_lhn_terbangun*0.5
Laju_lhn_terbangun = 0.07
Lhn_terbangun_absolut = if Lhn_terbangun < 123678 then Lhn_terbangun else if
Lhn_terbangun > 123678 then 123678 else 0
LUAS_TOTAL_WILAYAH = RTH_Absolut+Lhn_terbangun_absolut+Tnh_terbuka
penghijauan = 0
RTH_Absolut = if RTH > 139000 then 139000 else if RTH < 52715 then 52715 else
RTH
Suhu(t) = Suhu(t - dt) + (Incrase - Decrease) * dtINIT Suhu = 24.1
INFLOWS:
Incrase =
(0.0000001*CO2*0.1+0.2*Persen_Albedo_LTB*0.45+0.2*Persen_Albedo_TB*0.45)
OUTFLOWS:
Decrease = 0.9*Persen_Albedo_RTH
Albedo_Lhn_terbangun = 0.12*Lhn_terbangun_absolut
Albedo_LTB_Awal = 3273
Albedo_riil_LTB = (Albedo_Lhn_terbangun-Albedo_LTB_Awal)
Albedo_riil_RTH = (Albedo_RTH-Albedo_RTH_Awal)
Albedo_riil_TB = (Albedo_Tanah_Terbuka-Albedo_TB_Awal)
Albedo_RTH = 0.15*RTH_Absolut
Albedo_RTH_Awal = 20851
Albedo_Tanah_Terbuka = 0.17*Tnh_terbuka
Albedo_TB_Awal = 1702.04
Persen_Albedo_LTB = (Albedo_riil_LTB/Albedo_LTB_Awal)/100
Persen_Albedo_RTH = (Albedo_riil_RTH/Albedo_RTH_Awal)/100
Persen_Albedo_TB = (Albedo_riil_TB/Albedo_TB_Awal)/100
Suhu_udara = if Suhu < 35 then Suhu else if Suhu > 35 then 35 else 0
CO2(t) = CO2(t - dt) + (Peningkatan - Penurunan) * dtINIT CO2 = 1081176
INFLOWS:
Peningkatan =
(0.19*Total_CO2_Kendaraan+0.27*Total_CO2_Industri_Sdg_&_Besar+0.54*Total_
CO2_penduduk)
116
OUTFLOWS:
Penurunan = 22.5*RTH
Industri_Sdg_&_Besar(t) = Industri_Sdg_&_Besar(t - dt) + (UP - down) * dtINIT
Industri_Sdg_&_Besar = 157
INFLOWS:
UP = Industri_Sdg_&_Besar*Laju_peningkatan_industri_Sdg_&_Besar
OUTFLOWS:
down = Industri_Sdg_&_Besar*Laju_penurunan_industriSdg_&__Besar
Jumlah_Penduduk(t) = Jumlah_Penduduk(t - dt) + (Tambah) * dtINIT
Jumlah_Penduduk = 3127008
INFLOWS:
Tambah = Jumlah_Penduduk*Laju_pertumbuhan_penduduk
Kendaraan_2(t) = Kendaraan_2(t - dt) + (Bertambah_roda_2) * dtINIT Kendaraan_2
= 181605
INFLOWS:
Bertambah_roda_2 = Kendaraan_2*Laju_tumbuh_kendaraan_roda_2
Kendaraan_4(t) = Kendaraan_4(t - dt) + (Bertambah_roda_4) * dtINIT Kendaraan_4
= 28411
INFLOWS:
Bertambah_roda_4 = Kendaraan_4*Laju_tumbuh_kendaraan_roda_4
Bahan_Bakar_Industri_Sdg_&_Besar = 5247*Industri_Sdg_&_Besar
C02_krn__kendaraan_roda_2 = 0.35*Kendaraan_2
CO2_Industri_Sdg_&_Besar = Bahan_Bakar_Industri_Sdg_&_Besar*2.33
CO2_krn__kendaraan_roda_4 = 1.21*Kendaraan_4
Jmh_KK = Jumlah_Penduduk/4
Kons_BBG = 0.6*Jmh_KK
Kons_Bhn__Listrik = 1.4*Jmh_KK
Kons__Minyak_tanah = 1*Jmh_KK
Laju_peningkatan_industri_Sdg_&_Besar = -0.035
Laju_penurunan_industriSdg_&__Besar = 0.035
Laju_pertumbuhan_penduduk = if Suhu > 35 then 0.014 else 0.0195
Laju_tumbuh_kendaraan_roda_2 = if Laju_pertumbuhan_penduduk = 0.014 then 0
else 0.23
Laju_tumbuh_kendaraan_roda_4 = if Laju_pertumbuhan_penduduk = 0.014 then 0
else 0.043
Pernapasan = 0.34*Jumlah_Penduduk
Produksi_sampah = 0.1825*Jumlah_Penduduk
Sampah = 2.56*Produksi_sampah
Total_CO2_Industri_Sdg_&_Besar = CO2_Industri_Sdg_&_Besar
Total_CO2_Kendaraan =
C02_krn__kendaraan_roda_2+CO2_krn__kendaraan_roda_4
Total_CO2_penduduk =
Kons_BBG+Kons_Bhn__Listrik+Kons__Minyak_tanah+Pernapasan+Sampah
117
Lampiran 9 Hasil simulasi model baseline Wilayah Kabupaten Bandung
Tahun Suhu Udara (ºC) CO2 (ton) Luas Lahan Terbangun
(ha) Luas RTH (ha)
2008 24,1 1.081.176 27.381 139.000
2009 24,1 1.119.987 29.298 138.042
2010 24,1 1.216.556 31.349 137.016
2011 24,1 1.374.677 33.543 135.919
2012 24,2 1.598.395 35.891 134.745
2013 24,2 1.892.049 38.403 133.489
2014 24,2 2.260.320 41.092 132.145
2015 24,2 2.708.295 43.968 130.707
2016 24,2 3.241.536 47.046 129.168
2017 24,3 3.866.171 48.872 127.521
2018 24,3 4.589.000 50.582 125.811
2019 24,4 5.416.471 52.353 124.040
2020 24,4 6.355.714 54.185 122.208
2021 24,5 7.414.864 56.082 120.311
2022 24,5 8.603.275 58.045 118.348
2023 24,6 9.931.798 60.076 116.317
2024 24,7 11.413.106 62.179 114.214
2025 24,8 13.062.105 64.355 112.038
2026 25,0 14.896.439 66.607 109.786
2027 25,1 16.937.099 68.939 107.454
2028 25,3 19.209.187 71.352 105.041
2029 25,5 21.742.840 73.849 102.544
2030 25,7 24.574.381 76.434 99.959
2031 26,0 27.747.721 79.109 97.284
2032 26,2 31.316.088 81.878 94.515
2033 26,5 35.344.156 84.743 91.650
2034 26,9 39.910.661 87.709 88.684
2035 27,3 45.111.612 90.779 85.614
2036 27,8 51.064.248 93.956 82.437
2037 28,3 57.911.901 97.245 79.148
2038 28,8 65.829.978 100.648 75.745
2039 29,5 75.033.315 104.171 72.222
2040 30,3 85.785.224 107.817 68.576
2041 31,1 98.408.620 111.591 64.802
2042 32,1 113.299.709 115.496 60.897
2043 33,2 130.944.813 119.539 56.854
2044 34,5 151.941.079 123.678 52.715
2045 35,0 177.021.937 123.678 52.715
2046 35,0 207.088.421 123.678 52.715
2047 35,0 243.247.687 123.678 52.715
2048 35,0 286.860.395 123.678 52.715
2049 35,0 339.598.980 123.678 52.715
2050 35,0 403.519.336 123.678 52.715
2051 35,0 481.148.971 123.678 52.715
2052 35,0 575.595.449 123.678 52.715
2053 35,0 690.679.770 123.678 52.715
2054 35,0 831.100.418 123.678 52.715
2055 35,0 1.002.635.153 123.678 52.715
2056 35,0 1.212.293.842 123.678 52.715
2057 35,0 1.468.767.567 123.678 52.715
2058 35,0 1.782.797.556 123.678 52.715
118
Lampiran 10 Hasil simulasi model skenario hijau Wilayah Kabupaten Bandung
Tahun Suhu Udara (ºC) CO2 (ton) Luas Lahan Terbangun
(ha) Luas RTH (ha)
2008 24,1 1.081.176 27.381 139.000
2009 24,1 1.119.987 29.298 138.042
2010 24,1 1.189.856 31.349 137.016
2011 24,1 1.293.312 33.543 135.919
2012 24,2 1.432.984 35.891 134.745
2013 24,2 1.611.609 38.403 133.489
2014 24,2 1.832.041 41.092 132.145
2015 24,2 2.097.262 43.968 130.707
2016 24,2 2.410.394 47.046 129.168
2017 24,2 2.774.711 48.872 127.521
2018 24,3 3.193.651 50.582 125.811
2019 24,3 3.669.677 52.353 124.040
2020 24,3 4.205.171 54.185 122.208
2021 24,4 4.802.581 56.082 120.311
2022 24,4 5.464.418 58.045 118.348
2023 24,5 6.193.269 60.076 116.317
2024 24,5 6.991.799 62.179 114.214
2025 24,6 7.862.757 64.355 112.038
2026 24,7 8.808.984 66.607 109.786
2027 24,8 9.833.421 68.939 107.454
2028 24,9 10.939.113 71.352 105.041
2029 25,0 12.129.219 73.849 102.544
2030 25,1 13.407.023 76.434 99.959
2031 25,3 14.775.939 79.109 97.284
2032 25,4 16.239.526 81.878 94.515
2033 25,6 17.801.494 84.743 91.650
2034 25,7 19.465.720 87.709 88.684
2035 25,9 21.236.257 90.779 85.614
2036 26,2 23.117.353 93.956 82.437
2037 26,4 25.113.460 97.245 79.148
2038 26,6 27.229.255 100.648 75.745
2039 26,9 29.469.655 104.171 72.222
2040 27,2 31.839.837 107.817 68.576
2041 27,5 34.345.261 111.591 64.802
2042 27,9 36.991.688 115.496 60.897
2043 28,2 39.785.210 119.539 56.854
2044 28,6 42.732.273 123.678 52.715
2045 29,1 45.839.710 123.678 52.715
2046 29,5 49.114.768 123.678 52.715
2047 30,0 52.565.149 123.678 52.715
2048 30,6 56.199.044 123.678 52.715
2049 31,1 60.025.176 123.678 52.715
2050 31,7 64.052.847 123.678 52.715
2051 32,4 68.291.986 123.678 52.715
2052 33,1 72.753.204 123.678 52.715
2053 33,8 77.447.854 123.678 52.715
2054 34,6 82.388.097 123.678 52.715
2055 35,0 87.586.970 123.678 52.715
2056 35,0 92.963.112 123.678 52.715
2057 35,0 98.484.673 123.678 52.715
2058 35,0 104.162.849 123.678 52.715
119
Lampiran 11 Hasil simulasi model skenario moderat Wilayah Kabupaten Bandung
Tahun Suhu Udara (ºC) CO2 (ton) Luas Lahan Terbangun
(ha) Luas RTH (ha)
2008 24,1 1.081.176 27.381 139.000
2009 24,1 1.119.987 28.750 138.365
2010 24,1 1.196.452 30.188 137.697
2011 24,1 1.312.848 31.697 136.992
2012 24,2 1.471.521 33.282 136.250
2013 24,2 1.674.892 34.946 135.468
2014 24,2 1.925.466 36.693 134.644
2015 24,2 2.225.845 38.528 133.777
2016 24,2 2.578.739 40.454 132.863
2017 24,3 2.986.982 42.477 131.902
2018 24,3 3.453.546 44.601 130.890
2019 24,3 3.981.558 46.831 129.825
2020 24,4 4.574.320 48.289 128.704
2021 24,4 5.235.332 49.496 127.547
2022 24,5 5.967.821 50.733 126.360
2023 24,5 6.775.058 52.002 125.141
2024 24,6 7.660.546 53.302 123.891
2025 24,7 8.628.052 54.634 122.609
2026 24,7 9.681.651 56.000 121.293
2027 24,8 10.825.762 57.400 119.943
2028 24,9 12.065.209 58.835 118.558
2029 25,1 13.405.270 60.306 117.137
2030 25,2 14.851.748 61.814 115.679
2031 25,4 16.411.050 63.359 114.184
2032 25,5 18.090.271 64.943 112.650
2033 25,7 19.897.297 66.566 111.077
2034 25,9 21.840.923 68.231 109.462
2035 26,1 23.930.980 69.936 107.807
2036 26,4 26.178.499 71.685 106.108
2037 26,6 28.595.875 73.477 104.366
2038 26,9 31.197.081 75.314 102.579
2039 27,2 33.997.890 77.197 100.746
2040 27,6 37.016.151 79.127 98.866
2041 27,9 40.272.091 81.105 96.938
2042 28,3 43.788.670 83.132 94.961
2043 28,8 47.591.987 85.211 92.932
2044 29,2 51.711.746 87.341 90.852
2045 29,8 56.181.794 89.525 88.719
2046 30,3 61.040.736 91.763 86.530
2047 30,9 66.332.646 94.057 84.286
2048 31,6 72.107.882 96.408 81.985
2049 32,3 78.424.022 98.818 79.625
2050 33,1 85.346.944 101.289 77.204
2051 34,0 92.952.067 103.821 74.722
2052 34,9 101.325.772 106.416 72.177
2053 35,0 110.567.045 109.077 69.566
2054 35,0 120.789.359 111.804 66.889
2055 35,0 132.122.843 114.599 64.144
2056 35,0 144.716.774 117.464 61.329
2057 35,0 158.742.443 120.401 58.443
2058 35,0 174.396.448 123.411 55.482
120
Lampiran 12 Hasil simulasi model skenario pesimis Wilayah Kabupaten Bandung
Tahun Suhu Udara
(ºC) CO2 (ton) Luas Lahan Terbangun
(ha) Luas RTH (ha)
2008 24,1 1.081.176 27.381 139.000
2009 24,1 1.119.987 30.119 137.631
2010 24,1 1.310.303 33.131 136.125
2011 24,1 1.661.566 36.444 134.468
2012 24,2 2.184.474 40.089 132.646
2013 24,2 2.891.327 44.097 130.642
2014 24,2 3.796.496 47.956 128.437
2015 24,2 4.917.082 50.354 126.039
2016 24,3 6.273.186 52.872 123.521
2017 24,4 7.887.633 55.515 120.878
2018 24,4 9.789.422 58.291 118.102
2019 24,5 12.016.068 61.205 115.188
2020 24,7 14.616.878 64.266 112.127
2021 24,8 17.657.530 67.479 108.914
2022 25,0 21.226.477 70.853 105.540
2023 25,2 25.443.911 74.396 101.997
2024 25,4 30.474.300 78.115 98.278
2025 25,8 36.543.934 82.021 94.372
2026 26,1 43.965.490 86.122 90.271
2027 26,6 53.172.401 90.428 85.965
2028 27,1 64.766.983 94.950 81.443
2029 27,7 79.587.786 99.697 76.696
2030 28,5 98.803.891 104.682 71.711
2031 29,5 124.046.911 109.916 66.477
2032 30,8 157.595.785 115.412 60.981
2033 32,3 202.635.477 121.183 55.210
2034 34,4 263.619.149 123.678 52.715
2035 35,0 346.775.187 123.678 52.715
2036 35,0 460.817.034 123.678 52.715
2037 35,0 617.936.937 123.678 52.715
2038 35,0 835.197.184 123.678 52.715
2039 35,0 1.136.477.829 123.678 52.715
2040 35,0 1.555.203.482 123.678 52.715
2041 35,0 2.138.160.809 123.678 52.715
2042 35,0 2.950.783.422 123.678 52.715
2043 35,0 4.084.611.513 123.678 52.715
2044 35,0 5.667.980.986 123.678 52.715
2045 35,0 7.880.556.404 123.678 52.715
2046 35,0 10.973.862.220 123.678 52.715
2047 35,0 15.300.026.506 123.678 52.715
2048 35,0 21.352.022.151 123.678 52.715
2049 35,0 29.820.004.538 123.678 52.715
2050 35,0 41.670.184.274 123.678 52.715
2051 35,0 58.255.249.012 123.678 52.715
2052 35,0 81.468.953.977 123.678 52.715
2053 35,0 113.962.548.706 123.678 52.715
2054 35,0 159.447.774.457 123.678 52.715
2055 35,0 223.121.060.582 123.678 52.715
2056 35,0 312.257.399.429 123.678 52.715
2057 35,0 437.041.771.197 123.678 52.715
2058 35,0 611.733.138.712 123.678 52.715
121
Lampiran 13 Hasil simulasi model baseline Wilayah I
Tahun Suhu Udara (ºC) CO2 (ton) Luas Lahan Terbangun
(ha) Luas RTH (ha)
2008 24,1 503.987 3.999 1.951
2009 24,1 1.082.577 4.279 1.811
2010 24,1 1.664.882 4.578 1.661
2011 24,1 2.251.238 4.899 1.501
2012 24,2 2.842.023 5.112 1.330
2013 24,2 3.437.663 5.291 1.151
2014 24,2 4.038.541 5.477 965
2015 24,3 4.645.058 5.668 774
2016 24,3 5.257.683 5.867 575
2017 24,4 5.876.962 6.072 370
2018 24,4 6.503.534 6.274 290
2019 24,5 7.138.159 6.274 290
2020 24,6 7.780.328 6.274 290
2021 24,6 8.427.399 6.274 290
2022 24,7 9.080.475 6.274 290
2023 24,8 9.740.914 6.274 290
2024 24,9 10.410.387 6.274 290
2025 25,0 11.090.945 6.274 290
2026 25,1 11.785.112 6.274 290
2027 25,2 12.495.990 6.274 290
2028 25,4 13.227.395 6.274 290
2029 25,5 13.984.017 6.274 290
2030 25,6 14.771.627 6.274 290
2031 25,8 15.597.317 6.274 290
2032 25,9 16.469.814 6.274 290
2033 26,1 17.399.846 6.274 290
2034 26,3 18.400.612 6.274 290
2035 26,5 19.488.340 6.274 290
2036 26,6 20.682.993 6.274 290
2037 26,9 22.009.120 6.274 290
2038 27,1 23.496.918 6.274 290
2039 27,3 25.183.526 6.274 290
2040 27,6 27.114.622 6.274 290
2041 27,8 29.346.389 6.274 290
2042 28,1 31.947.930 6.274 290
2043 28,4 35.004.240 6.274 290
2044 28,8 38.619.858 6.274 290
2045 29,2 42.923.367 6.274 290
2046 29,6 48.072.922 6.274 290
2047 30,1 54.263.049 6.274 290
2048 30,6 61.733.013 6.274 290
2049 31,2 70.777.108 6.274 290
2050 32,0 81.757.312 6.274 290
2051 32,8 95.118.854 6.274 290
2052 33,7 111.409.363 6.274 290
2053 34,8 131.302.420 6.274 290
2054 35,0 155.626.526 6.274 290
2055 35,0 185.400.732 6.274 290
2056 35,0 221.878.470 6.274 290
2057 35,0 266.601.454 6.274 290
2058 35,0 321.465.989 6.274 290
122
Lampiran 14 Hasil simulasi model skenario hijau Wilayah I
Tahun Suhu Udara (ºC) CO2 (ton) Luas Lahan Terbangun
(ha) Luas RTH (ha)
2008 24,1 503.987 3.999 1.951
2009 24,1 1.082.577 4.159 1.921
2010 24,1 1.656.479 4.325 1.888
2011 24,1 2.225.976 4.498 1.851
2012 24,2 2.791.353 4.678 1.811
2013 24,2 3.352.891 4.865 1.768
2014 24,2 3.910.873 5.022 1.720
2015 24,3 4.465.581 5.122 1.670
2016 24,3 5.017.281 5.224 1.618
2017 24,4 5.566.211 5.329 1.563
2018 24,4 6.112.610 5.435 1.507
2019 24,5 6.656.717 5.544 1.448
2020 24,5 7.198.769 5.655 1.387
2021 24,6 7.739.007 5.768 1.324
2022 24,7 8.277.674 5.883 1.259
2023 24,8 8.815.013 6.001 1.191
2024 24,9 9.351.273 6.121 1.121
2025 24,9 9.886.706 6.244 1.048
2026 25,0 10.421.570 6.274 974
2027 25,1 10.956.128 6.274 896
2028 25,3 11.490.652 6.274 816
2029 25,4 12.025.421 6.274 734
2030 25,5 12.560.723 6.274 649
2031 25,6 13.096.858 6.274 561
2032 25,7 13.634.139 6.274 470
2033 25,9 14.172.890 6.274 377
2034 26,0 14.713.454 6.274 290
2035 26,2 15.256.189 6.274 290
2036 26,3 15.801.474 6.274 290
2037 26,5 16.349.709 6.274 290
2038 26,6 16.900.723 6.274 290
2039 26,8 17.453.125 6.274 290
2040 27,0 18.007.322 6.274 290
2041 27,2 18.563.758 6.274 290
2042 27,4 19.122.906 6.274 290
2043 27,5 19.685.282 6.274 290
2044 27,7 20.251.443 6.274 290
2045 27,9 20.821.995 6.274 290
2046 28,1 21.397.595 6.274 290
2047 28,4 21.978.959 6.274 290
2048 28,6 22.566.866 6.274 290
2049 28,8 23.162.166 6.274 290
2050 29,0 23.765.789 6.274 290
2051 29,3 24.378.749 6.274 290
2052 29,5 25.002.154 6.274 290
2053 29,8 25.637.220 6.274 290
2054 30,0 26.285.275 6.274 290
2055 30,3 26.947.777 6.274 290
2056 30,6 27.626.321 6.274 290
2057 30,8 28.322.658 6.274 290
2058 31,1 29.038.708 6.274 290
123
Lampiran 15 Hasil simulasi model skenario moderat Wilayah I
Tahun Suhu Udara (ºC) CO2 (ton) Luas Lahan Terbangun
(ha) Luas RTH (ha)
2008 24,1 503.987 3.999 1.951
2009 24,1 1.082.577 4.199 1.876
2010 24,1 1.665.495 4.409 1.796
2011 24,1 2.252.912 4.629 1.711
2012 24,2 2.845.016 4.861 1.620
2013 24,2 3.442.007 5.043 1.524
2014 24,2 4.044.102 5.170 1.422
2015 24,3 4.651.500 5.299 1.318
2016 24,3 5.264.382 5.431 1.211
2017 24,4 5.882.946 5.567 1.100
2018 24,4 6.507.407 5.706 986
2019 24,5 7.138.002 5.849 868
2020 24,6 7.774.993 5.995 747
2021 24,6 8.418.667 6.145 622
2022 24,7 9.069.345 6.274 493
2023 24,8 9.727.381 6.274 361
2024 24,9 10.393.172 6.274 290
2025 25,0 11.067.160 6.274 290
2026 25,1 11.749.841 6.274 290
2027 25,2 12.440.413 6.274 290
2028 25,4 13.137.513 6.274 290
2029 25,5 13.841.751 6.274 290
2030 25,6 14.553.824 6.274 290
2031 25,8 15.274.533 6.274 290
2032 25,9 16.004.797 6.274 290
2033 26,1 16.745.670 6.274 290
2034 26,2 17.498.362 6.274 290
2035 26,4 18.264.262 6.274 290
2036 26,6 19.044.967 6.274 290
2037 26,8 19.842.309 6.274 290
2038 27,0 20.658.393 6.274 290
2039 27,2 21.495.639 6.274 290
2040 27,4 22.356.825 6.274 290
2041 27,6 23.245.147 6.274 290
2042 27,9 24.164.274 6.274 290
2043 28,1 25.118.426 6.274 290
2044 28,4 26.112.452 6.274 290
2045 28,6 27.151.926 6.274 290
2046 28,9 28.243.257 6.274 290
2047 29,2 29.393.811 6.274 290
2048 29,5 30.612.058 6.274 290
2049 29,8 31.907.735 6.274 290
2050 30,1 33.292.037 6.274 290
2051 30,4 34.777.836 6.274 290
2052 30,8 36.379.932 6.274 290
2053 31,1 38.115.342 6.274 290
2054 31,5 40.003.635 6.274 290
2055 31,9 42.067.309 6.274 290
2056 32,3 44.332.237 6.274 290
2057 32,8 46.828.169 6.274 290
2058 33,2 49.589.314 6.274 290
124
Lampiran 16 Hasil simulasi model skenario pesimis Wilayah I
Tahun Suhu Udara (ºC) CO2 (ton) Luas Lahan Terbangun
(ha) Luas RTH (ha)
2008 24,1 503.987 3.999 1.951
2009 24,1 1.082.577 4.399 1.751
2010 24,1 1.686.435 4.839 1.531
2011 24,1 2.317.101 5.153 1.289
2012 24,2 2.976.329 5.410 1.032
2013 24,2 3.665.953 5.681 761
2014 24,2 4.388.042 5.965 477
2015 24,3 5.145.088 6.263 290
2016 24,3 5.940.160 6.274 290
2017 24,4 6.774.084 6.274 290
2018 24,4 7.647.424 6.274 290
2019 24,5 8.566.239 6.274 290
2020 24,6 9.538.648 6.274 290
2021 24,7 10.575.629 6.274 290
2022 24,8 11.692.152 6.274 290
2023 24,9 12.908.763 6.274 290
2024 25,1 14.253.793 6.274 290
2025 25,2 15.766.453 6.274 290
2026 25,4 17.501.176 6.274 290
2027 25,5 19.533.681 6.274 290
2028 25,7 21.969.469 6.274 290
2029 25,9 24.955.714 6.274 290
2030 26,2 28.697.918 6.274 290
2031 26,5 33.483.211 6.274 290
2032 26,8 39.712.985 6.274 290
2033 27,2 47.948.576 6.274 290
2034 27,7 58.975.211 6.274 290
2035 28,3 73.891.546 6.274 290
2036 29,0 94.235.005 6.274 290
2037 30,0 122.157.263 6.274 290
2038 31,2 160.669.915 6.274 290
2039 32,8 213.988.416 6.274 290
2040 34,9 288.013.591 6.274 290
2041 35,0 391.005.753 6.274 290
2042 35,0 534.528.460 6.274 290
2043 35,0 734.769.785 6.274 290
2044 35,0 1.014.392.075 6.274 290
2045 35,0 1.405.121.632 6.274 290
2046 35,0 1.951.374.249 6.274 290
2047 35,0 2.715.330.963 6.274 290
2048 35,0 3.784.044.118 6.274 290
2049 35,0 5.279.385.832 6.274 290
2050 35,0 7.371.975.866 6.274 290
2051 35,0 10.300.680.632 6.274 290
2052 35,0 14.399.911.799 6.274 290
2053 35,0 20.137.844.344 6.274 290
2054 35,0 28.169.921.822 6.274 290
2055 35,0 39.413.763.737 6.274 290
2056 35,0 55.154.035.862 6.274 290
2057 35,0 77.189.268.682 6.274 290
2058 35,0 108.037.403.219 6.274 290
125
Lampiran 17 Hasil simulasi model baseline Wilayah II
Tahun Suhu Udara (ºC) CO2 (ton) Luas Lahan Terbangun
(ha) Luas RTH (ha)
2008 24,1 335.029 5.641 6.390
2009 24,1 636.398 6.036 6.193
2010 24,1 947.460 6.458 5.981
2011 24,1 1.268.987 6.910 5.755
2012 24,1 1.601.823 7.394 5.513
2013 24,2 1.946.892 7.912 5.255
2014 24,2 2.305.219 8.466 4.978
2015 24,2 2.677.949 9.058 4.681
2016 24,2 3.066.367 9.545 4.364
2017 24,3 3.471.926 9.879 4.030
2018 24,3 3.896.169 10.224 3.685
2019 24,3 4.340.729 10.582 3.327
2020 24,4 4.807.505 10.953 2.956
2021 24,4 5.298.727 11.336 2.573
2022 24,5 5.817.025 11.733 2.176
2023 24,5 6.365.521 12.143 1.766
2024 24,6 6.947.938 12.568 1.341
2025 24,7 7.568.742 12.605 1.200
2026 24,7 8.233.301 12.605 1.200
2027 24,8 8.948.101 12.605 1.200
2028 24,9 9.720.407 12.605 1.200
2029 25,0 10.549.357 12.605 1.200
2030 25,1 11.446.153 12.605 1.200
2031 25,2 12.424.519 12.605 1.200
2032 25,4 13.501.274 12.605 1.200
2033 25,5 14.697.047 12.605 1.200
2034 25,6 16.037.151 12.605 1.200
2035 25,8 17.552.661 12.605 1.200
2036 26,0 19.281.738 12.605 1.200
2037 26,2 21.271.258 12.605 1.200
2038 26,4 23.578.817 12.605 1.200
2039 26,6 26.275.193 12.605 1.200
2040 26,9 29.447.382 12.605 1.200
2041 27,2 33.202.320 12.605 1.200
2042 27,5 37.671.478 12.605 1.200
2043 27,9 43.016.495 12.605 1.200
2044 28,3 49.436.122 12.605 1.200
2045 28,8 57.174.753 12.605 1.200
2046 29,4 66.532.926 12.605 1.200
2047 30,0 77.880.229 12.605 1.200
2048 30,8 91.671.188 12.605 1.200
2049 31,7 108.464.794 12.605 1.200
2050 32,8 128.948.537 12.605 1.200
2051 34,1 153.967.951 12.605 1.200
2052 35,0 184.562.970 12.605 1.200
2053 35,0 222.012.635 12.605 1.200
2054 35,0 267.890.088 12.605 1.200
2055 35,0 324.130.215 12.605 1.200
2056 35,0 393.112.844 12.605 1.200
2057 35,0 477.765.082 12.605 1.200
2058 35,0 581.687.188 12.605 1.200
126
Lampiran 18 Hasil simulasi model skenario hijau Wilayah II
Tahun Suhu Udara (ºC) CO2 (ton) Luas Lahan Terbangun
(ha) Luas RTH (ha)
2008 24,1 335.029 5.641 6.390
2009 24,1 636.398 5.867 6.327
2010 24,1 937.086 6.101 6.260
2011 24,1 1.237.336 6.345 6.188
2012 24,1 1.537.399 6.599 6.111
2013 24,2 1.837.527 6.863 6.029
2014 24,2 2.137.981 7.138 5.942
2015 24,2 2.439.027 7.423 5.849
2016 24,2 2.740.941 7.720 5.750
2017 24,2 3.044.004 8.029 5.646
2018 24,3 3.348.509 8.350 5.535
2019 24,3 3.654.759 8.684 5.418
2020 24,3 3.963.069 9.031 5.295
2021 24,4 4.273.765 9.393 5.164
2022 24,4 4.587.189 9.583 5.026
2023 24,5 4.903.698 9.774 4.885
2024 24,5 5.223.582 9.970 4.739
2025 24,6 5.547.143 10.169 4.590
2026 24,6 5.874.699 10.373 4.436
2027 24,7 6.206.585 10.580 4.279
2028 24,7 6.543.152 10.792 4.117
2029 24,8 6.884.773 11.008 3.952
2030 24,9 7.231.845 11.228 3.781
2031 25,0 7.584.787 11.452 3.607
2032 25,0 7.944.047 11.681 3.428
2033 25,1 8.310.104 11.915 3.244
2034 25,2 8.683.468 12.153 3.056
2035 25,3 9.064.689 12.396 2.863
2036 25,4 9.454.355 12.605 2.665
2037 25,5 9.853.099 12.605 2.462
2038 25,6 10.261.604 12.605 2.254
2039 25,7 10.680.606 12.605 2.041
2040 25,8 11.110.901 12.605 1.823
2041 25,9 11.553.350 12.605 1.599
2042 26,0 12.008.885 12.605 1.370
2043 26,1 12.478.519 12.605 1.200
2044 26,2 12.963.351 12.605 1.200
2045 26,4 13.464.574 12.605 1.200
2046 26,5 13.983.488 12.605 1.200
2047 26,6 14.521.507 12.605 1.200
2048 26,8 15.080.173 12.605 1.200
2049 26,9 15.658.312 12.605 1.200
2050 27,1 16.254.521 12.605 1.200
2051 27,3 16.870.659 12.605 1.200
2052 27,4 17.508.767 12.605 1.200
2053 27,6 18.171.086 12.605 1.200
2054 27,8 18.860.079 12.605 1.200
2055 28,0 19.578.451 12.605 1.200
2056 28,2 20.329.176 12.605 1.200
2057 28,4 21.115.521 12.605 1.200
2058 28,6 21.941.078 12.605 1.200
127
Lampiran 19 Hasil simulasi model skenario moderat Wilayah II
Tahun Suhu Udara (ºC) CO2 (ton) Luas Lahan Terbangun
(ha) Luas RTH (ha)
2008 24,1 335.029 5.641 6.390
2009 24,1 636.398 5.923 6.274
2010 24,1 939.929 6.219 6.151
2011 24,1 1.245.984 6.530 6.020
2012 24,1 1.554.941 6.857 5.882
2013 24,2 1.867.202 7.200 5.736
2014 24,2 2.183.189 7.559 5.581
2015 24,2 2.503.353 7.937 5.417
2016 24,2 2.828.176 8.334 5.243
2017 24,2 3.158.172 8.751 5.060
2018 24,3 3.493.898 9.189 4.866
2019 24,3 3.835.954 9.523 4.661
2020 24,3 4.184.991 9.761 4.448
2021 24,4 4.541.646 10.005 4.229
2022 24,4 4.906.559 10.255 4.004
2023 24,5 5.280.430 10.511 3.773
2024 24,5 5.664.036 10.774 3.535
2025 24,6 6.058.239 11.043 3.291
2026 24,7 6.463.999 11.319 3.040
2027 24,7 6.882.389 11.602 2.782
2028 24,8 7.314.612 11.892 2.517
2029 24,9 7.762.020 12.190 2.244
2030 24,9 8.226.136 12.494 1.965
2031 25,0 8.708.680 12.605 1.677
2032 25,1 9.211.598 12.605 1.382
2033 25,2 9.737.097 12.605 1.200
2034 25,3 10.287.682 12.605 1.200
2035 25,4 10.866.200 12.605 1.200
2036 25,5 11.475.894 12.605 1.200
2037 25,6 12.120.460 12.605 1.200
2038 25,7 12.799.211 12.605 1.200
2039 25,9 13.514.074 12.605 1.200
2040 26,0 14.270.343 12.605 1.200
2041 26,2 15.074.097 12.605 1.200
2042 26,3 15.932.320 12.605 1.200
2043 26,5 16.853.035 12.605 1.200
2044 26,6 17.845.460 12.605 1.200
2045 26,8 18.920.188 12.605 1.200
2046 27,0 20.089.394 12.605 1.200
2047 27,2 21.367.072 12.605 1.200
2048 27,4 22.769.306 12.605 1.200
2049 27,6 24.314.589 12.605 1.200
2050 27,9 26.024.177 12.605 1.200
2051 28,1 27.922.510 12.605 1.200
2052 28,4 30.037.687 12.605 1.200
2053 28,7 32.402.016 12.605 1.200
2054 29,1 35.052.644 12.605 1.200
2055 29,4 38.032.282 12.605 1.200
2056 29,8 41.390.046 12.605 1.200
2057 30,2 45.182.409 12.605 1.200
2058 30,6 49.474.311 12.605 1.200
128
Lampiran 20 Hasil simulasi model skenario pesimis Wilayah II
Tahun Suhu Udara (ºC) CO2 (ton) Luas Lahan Terbangun
(ha) Luas RTH (ha)
2008 24,1 335.029 5.641 6.390
2009 24,1 636.398 6.205 6.108
2010 24,1 959.298 6.826 5.798
2011 24,1 1.305.598 7.508 5.456
2012 24,1 1.677.515 8.259 5.081
2013 24,2 2.077.721 9.085 4.668
2014 24,2 2.509.497 9.695 4.214
2015 24,2 2.976.947 10.180 3.729
2016 24,2 3.484.957 10.689 3.220
2017 24,3 4.039.689 11.223 2.686
2018 24,3 4.649.318 11.785 2.124
2019 24,4 5.324.807 12.374 1.535
2020 24,4 6.081.004 12.605 1.200
2021 24,5 6.938.179 12.605 1.200
2022 24,5 7.924.160 12.605 1.200
2023 24,6 9.068.001 12.605 1.200
2024 24,7 10.416.085 12.605 1.200
2025 24,8 12.041.407 12.605 1.200
2026 24,9 14.045.795 12.605 1.200
2027 25,1 16.571.426 12.605 1.200
2028 25,2 19.816.953 12.605 1.200
2029 25,4 24.060.077 12.605 1.200
2030 25,7 29.689.155 12.605 1.200
2031 26,0 37.247.437 12.605 1.200
2032 26,3 47.495.013 12.605 1.200
2033 26,8 61.495.525 12.605 1.200
2034 27,4 80.737.573 12.605 1.200
2035 28,2 107.304.673 12.605 1.200
2036 29,3 144.113.205 12.605 1.200
2037 30,8 195.245.535 12.605 1.200
2038 32,7 266.416.392 12.605 1.200
2039 35,0 365.625.779 12.605 1.200
2040 35,0 504.073.068 12.605 1.200
2041 35,0 697.436.719 12.605 1.200
2042 35,0 967.665.881 12.605 1.200
2043 35,0 1.345.488.652 12.605 1.200
2044 35,0 1.873.923.620 12.605 1.200
2045 35,0 2.613.196.029 12.605 1.200
2046 35,0 3.647.620.418 12.605 1.200
2047 35,0 5.095.236.294 12.605 1.200
2048 35,0 7.121.298.098 12.605 1.200
2049 35,0 9.957.161.129 12.605 1.200
2050 35,0 13.926.721.861 12.605 1.200
2051 35,0 19.483.434.368 12.605 1.200
2052 35,0 27.262.133.329 12.605 1.200
2053 35,0 38.151.586.220 12.605 1.200
2054 35,0 53.396.066.394 12.605 1.200
2055 35,0 74.737.555.387 12.605 1.200
2056 35,0 104.614.826.142 12.605 1.200
2057 35,0 146.442.159.518 12.605 1.200
2058 35,0 204.999.547.414 12.605 1.200
129
Lampiran 21 Hasil simulasi model baseline Wilayah III
Tahun Suhu Udara (ºC) CO2 (ton) Luas Lahan Terbangun
(ha) Luas RTH (ha)
2008 24,1 563.886 3.399 4.747
2009 24,1 1.100.949 3.637 4.628
2010 24,1 1.641.975 3.892 4.501
2011 24,1 2.187.679 4.164 4.365
2012 24,2 2.738.808 4.455 4.219
2013 24,2 3.296.144 4.767 4.063
2014 24,2 3.860.516 5.101 3.896
2015 24,3 4.432.805 5.283 3.717
2016 24,3 5.013.962 5.467 3.533
2017 24,4 5.604.876 5.659 3.341
2018 24,4 6.206.517 5.857 3.143
2019 24,5 6.819.957 6.062 2.938
2020 24,5 7.446.390 6.274 2.726
2021 24,6 8.087.166 6.494 2.506
2022 24,7 8.743.819 6.721 2.279
2023 24,8 9.418.118 6.956 2.044
2024 24,9 10.112.112 7.200 1.800
2025 25,0 10.828.202 7.452 1.548
2026 25,1 11.569.214 7.712 1.288
2027 25,2 12.338.503 7.982 1.018
2028 25,3 13.140.067 8.262 738
2029 25,5 13.978.701 8.551 449
2030 25,6 14.860.172 8.850 150
2031 25,7 15.791.448 8.944 0
2032 25,9 16.777.373 8.944 0
2033 26,1 17.824.580 8.944 0
2034 26,2 18.945.293 8.944 0
2035 26,4 20.154.461 8.944 0
2036 26,6 21.470.389 8.944 0
2037 26,9 22.915.504 8.944 0
2038 27,1 24.517.310 8.944 0
2039 27,3 26.309.549 8.944 0
2040 27,6 28.333.640 8.944 0
2041 27,9 30.640.443 8.944 0
2042 28,2 33.292.427 8.944 0
2043 28,5 36.366.345 8.944 0
2044 28,9 39.956.517 8.944 0
2045 29,3 44.178.869 8.944 0
2046 29,7 49.175.899 8.944 0
2047 30,2 55.122.796 8.944 0
2048 30,8 62.234.949 8.944 0
2049 31,4 70.777.199 8.944 0
2050 32,1 81.075.209 8.944 0
2051 32,9 93.529.454 8.944 0
2052 33,8 108.632.424 8.944 0
2053 34,9 126.989.791 8.944 0
2054 35,0 149.346.435 8.944 0
2055 35,0 176.618.465 8.944 0
2056 35,0 209.932.597 8.944 0
2057 35,0 250.674.595 8.944 0
2058 35,0 300.548.851 8.944 0
130
Lampiran 22 Hasil simulasi model skenario hijau Wilayah III
Tahun Suhu Udara (ºC) CO2 (ton) Luas Lahan Terbangun
(ha) Luas RTH (ha)
2008 24,1 563.886 3.399 4.747
2009 24,1 1.100.949 3.535 4.729
2010 24,1 1.631.543 3.676 4.708
2011 24,1 2.156.011 3.823 4.685
2012 24,2 2.674.694 3.976 4.658
2013 24,2 3.187.926 4.135 4.629
2014 24,2 3.696.038 4.301 4.596
2015 24,3 4.199.359 4.473 4.560
2016 24,3 4.698.214 4.652 4.521
2017 24,3 5.192.929 4.838 4.478
2018 24,4 5.683.826 5.031 4.431
2019 24,5 6.171.230 5.170 4.380
2020 24,5 6.655.463 5.273 4.327
2021 24,6 7.136.823 5.379 4.271
2022 24,6 7.615.589 5.486 4.214
2023 24,7 8.092.042 5.596 4.154
2024 24,8 8.566.462 5.708 4.092
2025 24,9 9.039.132 5.822 4.028
2026 25,0 9.510.337 5.938 3.962
2027 25,1 9.980.366 6.057 3.893
2028 25,2 10.449.513 6.178 3.822
2029 25,3 10.918.078 6.302 3.748
2030 25,4 11.386.365 6.428 3.672
2031 25,5 11.854.691 6.557 3.593
2032 25,6 12.323.378 6.688 3.512
2033 25,7 12.792.761 6.821 3.429
2034 25,9 13.263.189 6.958 3.342
2035 26,0 13.735.022 7.097 3.253
2036 26,1 14.208.639 7.239 3.161
2037 26,3 14.684.435 7.384 3.066
2038 26,4 15.162.828 7.531 2.969
2039 26,6 15.644.256 7.682 2.868
2040 26,7 16.129.185 7.836 2.764
2041 26,9 16.618.109 7.992 2.658
2042 27,1 17.111.552 8.152 2.548
2043 27,2 17.610.074 8.315 2.435
2044 27,4 18.114.276 8.482 2.318
2045 27,6 18.624.798 8.651 2.199
2046 27,8 19.142.332 8.824 2.076
2047 28,0 19.667.620 8.944 1.949
2048 28,2 20.201.464 8.944 1.819
2049 28,4 20.744.727 8.944 1.686
2050 28,6 21.298.347 8.944 1.548
2051 28,8 21.863.338 8.944 1.407
2052 29,0 22.440.800 8.944 1.262
2053 29,2 23.031.929 8.944 1.114
2054 29,5 23.638.026 8.944 961
2055 29,7 24.260.504 8.944 804
2056 30,0 24.900.907 8.944 643
2057 30,2 25.560.917 8.944 478
2058 30,5 26.242.368 8.944 309
131
Lampiran 23 Hasil simulasi model skenario moderat Wilayah III
Tahun Suhu Udara (ºC) CO2 (ton) Luas Lahan Terbangun
(ha) Luas RTH (ha)
2008 24,1 563.886 3.399 4.747
2009 24,1 1.100.949 3.569 4.687
2010 24,1 1.634.298 3.747 4.623
2011 24,1 2.164.347 3.935 4.554
2012 24,2 2.691.511 4.132 4.481
2013 24,2 3.216.208 4.338 4.402
2014 24,2 3.738.863 4.555 4.319
2015 24,3 4.259.907 4.783 4.230
2016 24,3 4.779.781 5.022 4.136
2017 24,3 5.298.936 5.190 4.035
2018 24,4 5.817.838 5.320 3.930
2019 24,5 6.336.925 5.453 3.822
2020 24,5 6.856.623 5.589 3.711
2021 24,6 7.377.378 5.729 3.596
2022 24,7 7.899.657 5.872 3.478
2023 24,7 8.423.953 6.019 3.356
2024 24,8 8.950.791 6.169 3.231
2025 24,9 9.480.729 6.323 3.102
2026 25,0 10.014.372 6.482 2.968
2027 25,1 10.552.369 6.644 2.831
2028 25,2 11.095.430 6.810 2.690
2029 25,3 11.644.332 6.980 2.545
2030 25,4 12.199.928 7.154 2.396
2031 25,6 12.763.161 7.333 2.242
2032 25,7 13.335.080 7.517 2.083
2033 25,8 13.916.851 7.705 1.920
2034 26,0 14.509.781 7.897 1.753
2035 26,1 15.115.334 8.095 1.580
2036 26,3 15.735.159 8.297 1.403
2037 26,4 16.371.119 8.504 1.221
2038 26,6 17.025.317 8.717 1.033
2039 26,8 17.700.142 8.935 840
2040 26,9 18.398.302 8.944 642
2041 27,1 19.122.879 8.944 438
2042 27,3 19.877.383 8.944 228
2043 27,5 20.665.818 8.944 13
2044 27,7 21.492.753 8.944 0
2045 27,9 22.358.706 8.944 0
2046 28,2 23.269.228 8.944 0
2047 28,4 24.231.009 8.944 0
2048 28,6 25.251.730 8.944 0
2049 28,9 26.340.206 8.944 0
2050 29,1 27.506.562 8.944 0
2051 29,4 28.762.424 8.944 0
2052 29,7 30.121.152 8.944 0
2053 30,0 31.598.095 8.944 0
2054 30,3 33.210.889 8.944 0
2055 30,7 34.979.805 8.944 0
2056 31,0 36.928.143 8.944 0
2057 31,4 39.082.684 8.944 0
2058 31,8 41.474.215 8.944 0
132
Lampiran 24 Hasil simulasi model skenario pesimis Wilayah III
Tahun Suhu Udara (ºC) CO2 (ton) Luas Lahan Terbangun
(ha) Luas RTH (ha)
2008 24,1 563.886 3.399 4.747
2009 24,1 1.100.949 3.739 4.577
2010 24,1 1.654.361 4.113 4.390
2011 24,1 2.225.631 4.524 4.184
2012 24,2 2.816.456 4.976 3.958
2013 24,2 3.428.769 5.291 3.709
2014 24,2 4.064.817 5.555 3.445
2015 24,3 4.727.057 5.833 3.167
2016 24,3 5.418.390 6.124 2.876
2017 24,4 6.142.423 6.431 2.569
2018 24,4 6.903.732 6.752 2.248
2019 24,5 7.708.239 7.090 1.910
2020 24,6 8.563.725 7.444 1.556
2021 24,7 9.480.561 7.817 1.183
2022 24,8 10.472.725 8.207 793
2023 24,9 11.559.218 8.618 382
2024 25,0 12.766.059 8.944 0
2025 25,1 14.127.972 8.944 0
2026 25,2 15.685.386 8.944 0
2027 25,4 17.506.458 8.944 0
2028 25,6 19.686.107 8.944 0
2029 25,8 22.356.695 8.944 0
2030 26,0 25.702.995 8.944 0
2031 26,3 29.983.128 8.944 0
2032 26,6 35.557.887 8.944 0
2033 26,9 42.931.780 8.944 0
2034 27,3 52.810.500 8.944 0
2035 27,9 66.181.373 8.944 0
2036 28,5 84.425.986 8.944 0
2037 29,4 109.477.868 8.944 0
2038 30,5 144.043.241 8.944 0
2039 31,9 191.910.069 8.944 0
2040 33,8 258.380.729 8.944 0
2041 35,0 350.877.742 8.944 0
2042 35,0 479.791.807 8.944 0
2043 35,0 659.669.032 8.944 0
2044 35,0 910.873.073 8.944 0
2045 35,0 1.261.912.110 8.944 0
2046 35,0 1.752.696.627 8.944 0
2047 35,0 2.439.100.291 8.944 0
2048 35,0 3.399.345.189 8.944 0
2049 35,0 4.742.941.158 8.944 0
2050 35,0 6.623.200.832 8.944 0
2051 35,0 9.254.760.729 8.944 0
2052 35,0 12.938.110.748 8.944 0
2053 35,0 18.093.935.483 8.944 0
2054 35,0 25.311.192.040 8.944 0
2055 35,0 35.414.418.999 8.944 0
2056 35,0 49.557.968.942 8.944 0
2057 35,0 69.357.934.003 8.944 0
2058 35,0 97.076.841.626 8.944 0
133
Lampiran 25 Kuesioner untuk anggota masyarakat Kabupaten Bandung
BIODATA RESPONDEN
1. Nama :
2. Umur : tahun
3. Alamat, Desa/kecamatan : ………………………………………………
4. Jenis Kelamin : Laki-laki Perempuan
5. Status Perkawinan : Kawin Janda
Tdk Kawin Duda
6. Pendidikan : Tdk tamat SD Sarjana (S1)
Tamat SD Pascasarjana S2
SLTP Pascasarjana S3
SLTA
7. Pekerjaan :
8. Jumlah total anggota keluarga :
Mohon untuk memberikan tanda silang (X) pada pilihan jawaban dan berikan
penjelasan yang sesuai dengan pendapat Anda pada beberapa pertanyaan berikut ini :
1. Apakah menurut anda daerah perkotaan di Kabupaten Bandung sekarang ini sudah
mengalami pencemaran udara ?
a. Ya, udara di daerah perkotaan di Kabupaten Bandung sudah sangat tercemar
b. Ya, udara di daerah perkotaan di Kabupaten Bandung tercemar tetapi masih ringan
c. Daerah perkotaan Kabupaten Bandung belum mengalami pencemaran udara
2. Apakah menurut anda kondisi udara perkotaan di Kabupaten Bandung sekarang ini panas
?
a. Ya, sangat panas
b. Ya, udara di perkotaan sedang saja panasnya
b. Tidak panas
3. Apakah menurut anda dalam 10 tahun terakhir ini suhu udara lebih panas (terutama ketika
musim kemarau )?
a. Ya, semakin panas
b. Tidak ada perubahan
c Semakin dingin
4. Apakah kondisi di perkotaan sekarang ini (terutama pada musim kemarau) masih nyaman
?
a. Ya, masih nyaman
b. Kenyamanan sedang-sedang saja
c. Tidak nyaman
5. Berapa jumlah kendaraan roda dua yang anda miliki dalam satu keluarga ?
a. Tidak mempunyai kendaraan roda dua
b. 1 kendaraan roda dua
c. 2 kendaraan roda dua
d. Lebih dari 2 kendaraan roda dua, yaitu sebanyak..............
134
6. Berapa jumlah kendaraan roda empat (mobil) dalam satu keluarga anda ?
a. Tidak mempunyai mobil
b. 1 mobil
c. 2 mobil
d. Lebih dari 2 mobil, yaitu sebanyak..............
7. Jika anda mempunyai kendaraan roda dua, berapa kebutuhan bensin rata-rata per
kendaraan roda dua per bulan ? .......liter/bulan
8. Jika anda mempunyai mobil berbahan bakar bensin, berapa kebutuhan bensin rata-rata per
mobil per bulan ? ................liter/bulan
9. Jika mobil anda berbahan bakar solar, berapa kebutuhan solar rata-rata per mobil per bulan
? ......................liter/bulan
10. Berapa pendapatan rata-rata rumah tangga anda per-bulan pada tahun terakhir ini :
a. Kurang dari Rp.1.000.000
b. Antara Rp. 1.000.000 – 2.000.000
c. Antara Rp. 2.000.000 – 3.000.000
d. Antara Rp. 3.000.000 – 4.000.000
e. Lebih dari Rp. 4.000.000
11. Jika Tuhan memberikan rizki yang lebih baik pada tahun-tahun mendatang kepada anda
sehingga penghasilan perbulan anda semakin meningkat, maka setelah kebutuhan sandang
dan pangan terpenuhi apa saja yang akan anda beli :
a. Membeli peralatan rumah tangga yang mewah
b. Membeli kendaraan roda dua
c. Membeli kendaraan roda empat
d. Membeli rumah lagi untuk investasi
e. Membeli tanah/ladang untuk berkebun
12. Industri apa yang letaknya terdekat dengan tempat tinggal anda ?.................................
13. Apakah menurut anda industri tersebut menyebabkan udara di lingkungan anda menjadi
tidak bersih dan menjadi tidak nyaman ?
a. ya, udara menjadi kotor dan tidak nyaman. Sebutkan bentuk ketidaknyamanan anda
(mungkin dari bau atau warna udara)...................................................................
.........................................................................................................................................
b. Industri tersebut tidak menyebabkan udara di lingkungan kami kotor.
14. Apakah pernah ada masalah yang diakibatkan oleh adanya industri tersebut ?
a. Tidak
b. Ya, pernah. Sebutkan masalah tersebut........................................................................
........................................................................................................................................
15. Apakah menurut anda pengelolaan sampah di lingkungan anda sudah baik ?
a. Ya, sudah baik
b. Cukup baik
c. Kurang baik, karena.......................................................................................................
.........................................................................................................................................
16. Apakah anda sudah melakukan pemilahan sampah yaitu sampah basah (sisa makanan, sisa
sayuran, daging dan lain-lain) dengan sampah kering (plastik, kaca, batu baterai, botol
bekas dan lain-lain) ?
a. Belum melakukan pemilahan sampah
b. Sudah melakukan pemilahan sampah dan menggunakan kembali sampah tersebut
dengan tanpa diolah terlebih dahulu. Mohon disebutkan contohnya........................
.........................................................................................................................................
c. Sudah melakukan pemilahan sampah dan mendaurulang sampah tersebut. Mohon
disebutkan contohnya.....................................................................................................
135
17. Jika anda belum melakukan pemilahan sampah, agar dapat membantu dan dapat
meringankan beban Pemda dalam mengelola sampah tersebut, apakah anda mau untuk
melakukan pemilahan sampah ?
a. Ya, mau.
b. Ya mau, dengan syarat pemda benar-benar mengolah sampah tersebut dengan baik
agar yang dilakukan warga tidak sia-sia
b. Tidak karena sangat merepotkan
18. Apakah menurut anda ruang terbuka hijau (tanaman, taman kota, hutan kota) di wilayah
kecamatan/desa tempat anda tinggal sudah cukup ?
a. Sudah cukup
b. Masih kurang dan perlu ditambah
19. Apakah menurut anda ruang terbuka hijau dapat menurunkan suhu udara dan
meningkatkan kenyamanan ?
a. Ya, dapat menurunkan suhu udara dan meningkatkan kenyamanan
b. Tidak berpengaruh terhadap suhu udara dan kenyamanan
20. Sebaiknya tanaman apa yang ditanam pada pengembangan ruang terbuka hijau ?
a. Tanaman asli Kabupaten Bandung (tanaman lokal), sebutkan tanaman asli
tersebut............................................................................................................................
b. Tanaman dari luar Kabupaten Bandung (bukan tanaman lokal)
c. Campuran tanaman lokal dan luar Kabupaten Bandung
21 Tanaman apa yang anda inginkan untuk ditanam sebagai ruang terbuka hijau ?
a. Tanaman/pohon-pohonan penghasil pangan (buah-buahan) dan atau perindang
b. Tanaman bunga-bungaan (berupa taman bunga), tumbuhan rendah
c. Kedua-duanya perlu ditanam
22. Apakah pemerintah daerah masih memprioritaskan pembangunan ekonomi daripada
lingkungan hidup ?
a. Ya. Pemerintah daerah masih lebih memprioritaskan peningkatan ekonomi
dibandingkan dengan pengelolaan lingkungan hidup.
b. Pemerintah daerah sudah mulai mempertimbangkan kondisi lingkungan hidup
meskipun belum seperti yang diharapkan.
c. Pengelolaan lingkungan masih dianggap tidak penting oleh pemerintah daerah..
d. Pemerintah daerah sudah sangat baik dan memuaskan dalam mengelola lingkungan
hidup.
23. Apakah anda mau berpartisipasi (membantu) apabila ada program penanaman
(penghijauan) ?
a. Ya, dengan senang hati akan membantu.
b Membantu seadanya karena sudah ada institusi yang bertanggungjawab.
c. Tidak perlu membantu karena sudah ada institusi yang bertanggungjawab.
24. Jika anda memiliki lahan pekarangan yang cukup luas, dan uang yang cukup banyak, apa
yang akan anda lakukan terhadap lahan pekarangan tersebut :
a. Membangun rumah yang besar sehingga lahan pekarangan tidak tersisa lagi.
b. Membangun rumah yang luasnya sedang dan sisanya ditanami dengan pohon buah-
buhan, taman bunga dan kebun sayur.
c. Membangun rumah secukupnya dan lebih banyak menanami pekarangan dengan
pohon buah-buahan, taman bunga dan kebun sayur.
d. Seluruh lahan pekarangan akan ditanami pohon-pohon buah-buahan, taman bunga dan
kebun sayur.
136
Lampiran 26 Daya rosot CO2 beberapa jenis tumbuhan yang dapat dikembangkan di
Kabupaten Bandung
No. Nama Jenis Rosot CO2 (kg/pohon/tahun)
Klasifikasi Daya Rosot
1. Coompasia exselsa 0,20 SR 2. Hopea mengarawan 0,42 SR 3. Tamarindus indica 1,49 SR 4. Nephelium lappaceum 2,19 SR 5. Hopea odorata 4,23 SR 6 Erythrina cristagalli 4,55 SR 7. Maniltoa grandiflora 8,26 SR 8. Pithecelobium dulce 8,48 SR 9. Pterocarpus indicus 11,12 RD 10. Pachira affinis 12,63 RD 11. Acacia mangium 15,19 RD 12. Sapium indicum 16,50 RD 13. Intsia bijuga 19,25 RD 14. Khaya anthotheca 21,90 RD 15. Dipterocarpus retusa 24,24 RD 16. Caesalpinia pulcherrima 30,95 RD 17. Carapa guinensis 34,15 RD 18. Mimusops elengi 34,29 RD 19. Pterygota alata 36,19 RD 20. Manilkara kauki 41,78 RD 21. Delonix regia 42,20 RD 22. Acacia 48,68 RD 23. Schima wallichii 63,31 SD 24. Anona muricata 75,29 SD 25. Khaya senegalenis 83,86 SD 26. Swietenia macrophylla 114,03 SD 27. Cassia grandis 116,25 SD 28. Artocarpus heterophyllus 126,51 SD 29. Tectona grandis 135,27 SD 30. Lagerstroemia speciosa 160,14 TG 31. Adenanthera pavoniana 221,18 TG 32. Cinnamomum parthenoxylon 227,21 TG 33. Swietenia mahagoni 295,73 TG 34. Pometia pinnata 329,76 TG 35. Felicium decipiens 404,83 TG 36. Beilschmiedia roxburghiana 442,63 TG 37. Ficus benjamina 535,90 ST 38. Trachilobium verrucossum 562,09 ST 39. Dysoxylum excelsum 720,49 ST 40. Canangium odoratum 756,59 ST 41. Strombosia zeylanica 1603,20 ET 42. Cassia sp. 5.295,47 ET 43. Samanea saman 28.488,39 ET
Sumber : Dahlan (2008)