MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN...
Transcript of MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN...
MODEL KELEMBAGAAN NAZHIR
DALAM PENGELOLAAN WAKAF PRODUKTIF DI INDONESIA
Tesis
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan Master
Ekonomi (M.E) pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Diajukan oleh
ANGGRAENI WENNY SAFITRI
NIM 21160850000013
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2020 M
i
ii
iii
iv
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor penghambat pengelolaan wakaf
produktif di Indonesia berikut prioritas strategi yang dapat ditawarkan dengan pendekatan
Analytic Network Process (ANP). Responden terdiri dari Badan Wakaf Indonesia (BWI),
Akademisi dan praktisi yang berkecimpung dalam dunia wakaf produktif. Hasil penelitian ini
menunjukan bawa permasalahan yang muncul dalam pengelolaan wakaf produktif di
Indonesia terdiri dari 4 aspek penting yaitu : 1) masalah sumber daya manusia; 2) masalah
informasi dan teknologi; 3) Masalah syariah dan 4) masalah regulasi. Adapun prioritas
strategi untuk mengembangkan wakaf produktif yaitu 1) penguatan sistem informasi dan
teknologi wakaf; 2) Aspek penguatan tata kelola (good nazhir governance), 3) aspek
pembentukan lembaga pendidikan, sosialisasi dan edukasi wakaf, 4) aspek dukungan regulasi
dari Pemerintah. Implikasi penelitian ini menemukan bahwa menyusun prioritas masalah
wakaf tetap penting untuk dilakukan karena keterbatasan sumber daya, dengan menyusun
prioritas masalah akan mendorong pengumpulan dan distribusi wakaf produktif yang lebih
maksimal di masa yang akan datang.
Kata Kunci : Kelembagaan, Wakaf, ANP.
v
Abstrak
This study aims to identify the factors inhibiting the management of productive waqf in
Indonesia and the strategic priorities that can be offered with the Analytic Network Process
(ANP) approach. Respondents consist of the Indonesian Waqf Board (BWI), academics and
practitioners who are involved in the world of productive waqf. The result of this study
indicates that the problems that arise in the management of productive waqf in Indonesia
consist of 4 important aspects, namely: 1) human resource problems; 2) information and
technology issues; 3) Sharia issues and 4) regulatory issues. The strategic priorities for
developing productive waqf are 1) strengthening information systems and waqf technology;
2) aspects of strengthening governance (good nazir governance), 3) aspects of the formation
of educational institutions, socialization and education of waqf, 4) aspects of regulatory
support from the Government. The implication of this research is that it is still important to
prioritize waqf issues due to limited resources, by setting priority issues will encourage the
maximum collection and distribution of productive waqf in the future.
Keywords: Institutional, Waqf, ANP.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim
Puji Syukur kepada Allah SWT, yang maha mengetahui. Salawat dan salam untuk
Nabi Muahammad SAW, penghulu ilmu. Semoga limpahan salawat dan salam ini merembes
kepada semua keluarga, sahabat, dan umat beliau, terutama al‟ ulama waratsah al-anbiya‟.
Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Ekonomi (M.E) pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa banyak pihak yang sudah memberikan
dukungan moril dan materil, do‟a yang diucapkan terus tiada henti serta virus semangat bagi
penulis dalam penyelesaian tesis ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa
terima kasih yang begitu besar atas dukungan tersebut. Oleh karena itu izinkan penulis untuk
menghaturkan hormat dan ungkapan rasa terima kasih kepada :
1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Amany Burhanudin Umar Lubis, LC.,
MA. Bapak Prof. Dr. Amilin, SE., Ak., M.Si., CA, QIA., BKP., CRMP, selaku Dekan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Herni Ali HT., M.M, selaku Kepala Program Studi Magister Perbankan Syariah
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bapak Dr. Asyari Hasan,
SH.I.,M.Ag, selaku pembimbing dan Sekertaris Program Studi Magister Perbankan
Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Sofyan Rizal, M.Si, selaku penasehat akademik atas arahan dan waktu yang
telah diluangkan kepada penulis untuk berdiskusi membimbing dengan penuh kesabaran.
Semoga kebaikan Bapak dibalas oleh Allah SWT.
4. Bapak Dr. Ade Sofyan Mulazid, S.Ag., M.H selaku Penguji Ahli atas masukan berharga
yang diberikan kepada penulis demi penyempurnaan tesis ini, semoga Allah SWT
membalas budi baik itu dengan kebahagiaan.
vii
5. Kedua orangtua terkasih Bapak Mayor Inf. Ahsyan Nyampa dan Ibu Siti Arah yang
tiada henti-hentinya memberikan kekuatan dalam setiap do‟a, penulis bersimpuh sebagai
wujud terima kasih yang tak bertepi.
6. Kak Isyana Kurniasari Konoras, Kak Erlin K Tobamba, Anggi Husain, Windy Gabara,
Faradilla, Wiwin Aplodita Daniel & Kak Mega Octaviany yang membuka jalan kepada
penulis sehingga bisa melanjutkan kuliah di Jakarta.
7. Keluarga Besar Magister Ekonomi dan Bisnis angkatan 2016 teman berjuang yang tak
hentinya terus menyemangati penulis.
8. Director Lembaga Smart Consulting Bapak Aam Rusydiana yang membantu penulis
selama ini terutama dalam membuka jalan bertemu dengan para responden.
9. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Jurusan Manajemen (HMJM) STIEM Bongaya
Makassar.
10. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam.
11. Para senior Himpunan Mahasiswa Islam/KAHMI Abangda Akbar Tandjung, Abangda
Fatah Yasin (Bulog), Ayunda Ir. Farida Liestijati (Bulog), Suryani SF Motik (Ketum DPP
HIPPI), Imas Sidiq (Wasekjend DPP HIPPI), dan Yunda Alm. Yunda Reni Marlinawati
yang memberikan dukungan kepada penulis semoga Allah SWT membalas budi baik itu
dengan kebahagiaan.
12. Keluarga besar Pengurus Masyarakat Ekonomi Syariah DKI Jakarta, Ketum Reza Artha,
Bu Sekjend Diantri Lapian, Ka‟ Temi Sumarlin, Ka‟ Asri, Ka‟ Safri Haliding, Mas Angga,
Andrean, Sunarmo, terima kasih atas dukungan dalam proses penelitian.
13. Keluarga besar Amir Hamzah Squad, Titi Haryati, Mutya Gustina, Samsudiarti, Ulfa Nur
Habibah, Rumitria Dinar, Susanti, Diah Anggun, Baiq Asma, dan Eva Nurpadillah yang
selama ini memberikan lingkungan yang nyaman bagi penulis dalam menyelesaikan
penelitian ini.
viii
14. Adinda Eva Musdalifah (Universitas Brawijaya) & Annisa Khairani (UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta) yang telah bersedia menjadi teman diskusi dan memberikan
informasi yang saya butuhkan, semoga kebaikannya diberikan balasan yang setimpal.
Akhirnya, penulis mempersembahkan tesis ini kepada almamater dan civitas akademika
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga ini menjadi sumbangsih bagi ilmu pengetahuan
yang berguna untuk adik-adik mahasiswa penerus Magister Ekonomi dan Bisnis UIN, dan
tidak lupa penulis mengharapkan segala kritik dan saran yang membangun.
Semoga segala bantuan yang telah diberikan akan dibalas berlipat ganda oleh Allah
Ahsanal Jazaa. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan.
Jakarta, Agustus 2020
Penulis
ix
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang ........................................................................................................... 1
B. Batasan Penelitian ..................................................................................................... 11
C. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 13
D. Tujuan Penelitian ....................................................................................................... 14
E. Manfaat Penelitian ..................................................................................................... 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pemikiran Ekonomi Kelembagaan ............................................................................ 15
1. Teori Biaya Transaksi ........................................................................................... 18
2. Teori Institusional dan Keagenan ......................................................................... 19
3. Teori Governance Perusahaan .............................................................................. 21
4. Teori Planned of Behavior .................................................................................... 21
B. Teori Lembaga dan Mikro Ekonomi Islam ............................................................... 24
1. Pengelola Wakaf (Nazhir) .................................................................................... 28
2. Pengelolaan Harta Wakaf ..................................................................................... 30
3. Pendistribusian Harta Wakaf ................................................................................ 34
4. Akuntabilitas Pengelolaan Wakaf ......................................................................... 37
C. Penelitian Terdahulu .................................................................................................. 41
D. Kerangka Berpikir .................................................................................................... 44
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian .......................................................................................................... 47
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................................................... 47
C. Populasi dan Sampel.................................................................................................. 48
x
D. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................................ 49
E. Metodologi Analisis Data .......................................................................................... 50
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Konsep Produktivitas dalam Ekonomi Konvensional ............................................... 54
B. Konsep Produktivitas dalam Ekonomi Islam ............................................................ 55
C. Gambaran Umum dan Objek Penelitian .................................................................... 58
D. Prioritas Masalah ....................................................................................................... 61
E. Jaringan Analytic Network Process (ANP) ............................................................... 64
F. Hasil Sintesis ............................................................................................................. 65
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ................................................................................................................ 71
B. Saran .......................................................................................................................... 71
REFERENSI
LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................................. 47
Tabel 3.2 Komposisi Responden ........................................................................................ 48
Tabel 3.3 Definisi Skala Penilaian dan Skala Numerik ...................................................... 51
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Pemanfaatan Tanah Wakaf di Indonesia ......................................................... 3
Gambar 1.2 Struktur Sukuk Al-Intifa‟ Dalam Pengembangan Zam Zam Tower ............... 10
Gambar 4.1 Institusi Wakaf di Indonesia ........................................................................... 60
Gambar 4.2 Jaringan Analytic Network Process (ANP) .................................................... 65
Gambar 4.3 Hasil Sintesis Masalah Pengembangan Wakaf Produktif di Indonesia .......... 65
Gambar 4.4 Hasil Sintesis Cluster Informasi Teknologi .................................................... 66
Gambar 4.5 Hasil Sintesis Cluster Regulasi ....................................................................... 67
Gambar 4.6 Hasil Sintesis Cluster Sumber Daya Manusia ................................................. 68
Gambar 4.7 Hasil Sintesis Cluster Syariah ......................................................................... 69
Gambar 4.8 Hasil Sintesis Cluster Strategi ......................................................................... 69
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sejarah Islam, lembaga wakaf memainkan peran penting dalam menyediakan
fasilitas publik seperti masjid, sekolah agama, universitas dan ruang publik (Cizaksa,
1998:43; Qahf, 1998:10). Banyak contoh yang menunjukan bagaimana wakaf memberikan
dampak positif bagi perekonomian masyarakat. Misalnya yang terjadi di Singapura,
Malaysia, dan Pakistan (Karim, 2007 & 2010; Mohsin, 2014 & 2016; Shirazi, 2014) dalam
Paksi dkk (2020:52). Kasus-kasus tersebut menjadi contoh nyata bagaimana pengelolaan
wakaf yang dilakukan dengan baik mampu membawa dampak positif terhadap peningkatan
aktivitas ekonomi masyarakat.
Potensi pemanfaatan asset wakaf di Indonesia sesungguhnya cukup besar. Mohsin
mencatat potensi wakaf di Indonesia sebesar $14 Milyar per tahun, lebih besar dari negara
lain yang ia teliti, seperti Malaysia ($1,4 Milyar), Mesir ($6,5 Milyar), dan Pakistan ($8
Milyar) (Mohsin, 2007:12). Namun demikian penggunaannya masih terbatas pada kegiatan
yang secara ekonomi tergolong non-produktif. Disamping itu asset-aset yang diwakafkan
juga masih terbatas pada tanah dan bangunan saja.
Islam mendorong umatnya untuk tidak hanya membangun masjid atau menyediakan
lahan pemakaman melalui wakaf, melainkan menyediakan segala kebutuhan sosial-ekonomi
masyarakat. Hukum wakaf memberikan kelonggaran bagi umat muslim untuk
mengembangkannya selama tidak melanggar ajaran Islam (Mohsin dkk, 2016:3). Umat
Muslim didorong untuk kreatif dan inovatif dalam mengelola wakaf, baik dalam
meningkatkan pendapatan yang diterima dari wakaf juga meningkatkan variasi layanan yang
dapat diberikan melalui wakaf sesuai kebutuhan masyarakat.
Kemampuan penggalangan dana Lembaga filantropi Islam di Indonesia terus
2
mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya kepercayaan publik terhadap kinerja
mereka. Dalam hal penggalangan dana, beberapa Lembaga seperti Dompet Dhuafa
memperlihatkan perkembangan di usianya yang relative muda. Menurut studi PIRAC (Public
Interest Research and Advocacy Center), kebanyakan LAZIS yang dikelola masyarakat sipil
ini sanggup menggalang dana ZIS dan Wakaf sehingga mencapai antara 2,5-15 miliar rupiah
per tahun, dalam tempo relative singkat (Saidi, 2003 dalam Abubakar dkk, 2006:133).
Bahkan hanya dalam tempo lima tahun, Dompet Dhuafa (DD) berhasil mencatat perolehan
dana zakat, infak, sedekah, melebihi jumlah ZIS yang dikumpulkan BAZIS DKI Jakarta.
Sepanjang tahun 2000, BAZIS DKI Jakarta berhasil menggalang dana ZIS sebesar 8,5 miliar
rupiah per tahun. Sedangkan Dompet Dhuafa mencatat perolehan lebih tinggi sebesar 11,45
miiar rupiah.
Namun demikian, meski dianggap cukup berhasil, perkembangan yang ditunjukan
oleh BAZIS dan LAZIS belum mencerminkan kebangkitan filantropi Islam. Pasalnya,
sebagaimana dilaporkan oleh S. Sinansari Ecip, dana ZIS yang dapat diserap oleh Lembaga-
lembaga filantropi di atas belumlah memadai untuk upaya-upaya pemberdayaan masyarakat
yang kurang mampu di Indonesia. Sebagaimana pernah dilaporkan, potensi dana zakat
masyarakat Islam diperkirakan berkisar antara 6-9 triliun rupiah per tahun. Sementara dana
yang baru bisa diserap oleh BAZIS dan LAZIS di Indonesia masih terbilang sedikit, yakni
sebesar 6%, dimana BAZIS menyerap 4% sementara LAZIS sekitar 2%. (Ecip, 2003 dalam
Abubakar dkk, 2006:134).
Ada banyak asumsi yang bisa kita bangun untuk menjawab masalah perwakafan di
Indonesia diantaranya adalah lemahnya manajemen (Kamil, 2016:131; Sadeq, 2002:135;
Saad dkk, 2013:73, tanah wakaf yang terlantar (Huda, 2016:2), Nazhir tidak professional
(Chowdury, 2012:4 ; Hasanah, 2012:68), pendapatan dari pengelolaan wakaf tidak cukup
membiayai operasional (Abdullah, 2010 & Chowdury, 2012:4), Sistem informasi yang buruk
3
(Nizar A.N, 2017:41; Mohammad, 2006:27), kurangnya akuntabilitas (Fikri dkk, 2010:2).
Sementara itu Sulaiman & Zakari (2013:2) menegaskan bahwa evaluasi kinerja sangat
penting dilakukan dilembaga wakaf mengingat salah satu ciri dari wakaf adalah
kelestariannya. Ini dapat dilakukan dengan menentukan efisiensi dan efektivitas lembaga.
Sementara itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Bahasa dan Budaya (PBB)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menunjukan bahwa harta wakaf lebih banyak bersifat
konsumtif (77%) daripada yang menghasilkan atau produktif (23%). Temuan lain
menunjukan pemanfaatan terbesar harta wakaf adalah masjid dan mushollah (79%) daripada
peruntukkan lainnya seperti kuburan, Lembaga Pendidikan, dan sarana umum. Data ini
menunjukan bahwa asset tanah wakaf yang tersebar di Indonesia masih dikelola secara
konsumtif belum kearah produktif. Padahal, pengelolaan wakaf seharusnya dikembangkan
secara produktif agar dapat meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Sebab,
substansi atau ruh dari ajaran wakaf adalah produktifitas (al-Shan‟ani, 1349:87)
Kondisi diatas menunjukan hambatan dan sekaligus peluang filantropi Islam di
Indonesia. Kondisi inilah yang ditanggapi Mulyadi dkk dalam E-Zakat : Redesign the
Collection and Distribution of Zakat yang mengungkapkan bahwa sistem E-Zakat merupakan
terobosan penting dalam teknologi untuk meningkatkan efisiensi penghimpunan dan
penyaluran Zakat Maal. Sistem ini akan memudahkan pembayar zakat dalam memenuhi
kewajibannya tanpa mengalami kesulitan untuk menemukan lembaga zakat ('amil).
Mekanisme pembayarannya mudah dan diharapkan dapat mendorong orang kaya untuk lebih
semangat membayar zakat. Pada gilirannya, jumlah zakat yang terkumpul dapat ditingkatkan.
Bisa juga digunakan untuk menerima skema pembayaran lain, seperti Infaq dan Sedekah. Ini
juga bisa menjadi desain untuk menerima santunan (waqaf) dan kurban (Qurban) di masa
depan. (Mulyadi, Hakim, A.R, Mulazid, A.S., Supriyono & Meiria, Endah,2018:435)
Islam memandang produktivitas sebagai suatu keseimbangan pencapaian manfaat di
4
dunia dan manfaat di akhirat. Konsep produktivitas ini hendaknya diterapkan bukan hanya
pada kegiatan perekonomian yang sifatnya duniawi saja terkait proses input-output produksi,
melainkan juga dalam segala aspek peribadatan khususnya dalam bidang distribusi ZISWAF
yang merupakan salah satu metode distribusi kekayaan dalam Islam (Paksi dkk, 2020:59).
Dari sudut pandang produktivitas, pemanfaatan harta wakaf dapat dibagi menjadi dua
jenis yaitu wakaf langsung dan wakaf produktif. Wakaf langsung yakni wakaf yang langsung
dapat diterima manfaatnya sebagai pelayanan bagi mauquf alaih seperti pembangunan
masjid, pondok pesantren dan madrasah. Sementara itu, wakaf produktif adalah wakaf yang
pokoknya digunakan untuk kegiatan produktif atau dikelola sedemikian rupa agar
mendatangkan hasil dan hasilnya itu yang akan diberikan kepada yang berhak sesuai tujuan
wakaf. (Qahaf dalam Lamuri, 2014:327)
Wakaf produktif dapat diartikan sebagai suatu tindakan wakaf yang mampu
menghasilkan , secara terus menerus. Dalam lingkup ekonomi, yang dimaksud dengan wakaf
produktif adalah kemampuan asset wakaf untuk terus menghasilkan pendapatan bagi
masyarakat (Paksi dkk, 2020:1).
Sementara itu Dahwan menegaskan bahwa wakaf produktif adalah memindahkan
harta dari upaya konsumtif menuju produktif dan investasi dalam bentuk modal produksi
yang dapat memproduksi dan menghasilkan sesuatu sehingga dapat dimanfaatkan pada masa
mendatang, baik oleh pribadi, kelompok maupun masyarakat luas. Dengan demikian, wakaf
produktif merupakan kegiatan menabung dan berinvestasi seccara bersamaan (Dahwan,
2008:73).
5
Gambar 1.1
Pemanfaatan Tanah Wakaf di Indonesia
Ga
Sumber : Siwak Kemenag (2020)
Penggunaan asset wakaf seperti pada penjelasan gambar 1.1 belum dapat dikatakan
sebagai bentuk wakaf produktif karena belum mampu menghasilkan pendapatan secara rutin
bagi masyarakat, bahkan membutuhkan biaya yang cukup besar untuk pengelolaannya.
Pemaknaan Wakaf sesungguhnya bisa lebih luas, tidak terbatas pada properti tanah dan
bangunan. Banyak asset yang berpotensi untuk diwakafkan selain dari kedua asset tersebut.
Demikian halnya dengan penggunaannya yang masih bisa dieksplorasi lebih jauh.
Pengelolaan harta benda wakaf dapat memasuki wilayah kegiatan ekonomi dalam arti
luas sepanjang pengelolaan tersebut sesuai dengan prinsip manajemen dan ekonomi Syariah.
Terlebih jika merujuk hadis Riwayat Muslim, tentang Umar Bin Khattab yang mewaakfkan
kebun kurmanya (Siddiqi, 2005) dalam Paksi (2020:2). Dalam hadis tersebut dijelaskan
bahwa Rasulullah SAW menyarankan agar Umar tetap merawat kebun tersebut dan
menyedekahkan hasil panennya kepada orang-orang yang membutuhkan. Hasil tersebut dapat
6
dijadikan landasan pentingnya mengelola wakaf secara produktif, dimana hasil pengelolaan
wakaf secara langsung dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Contoh lain pengelolaan wakaf produktif adalah wakaf yang dilakukan oleh Usman
bin Affan r.a melalui sumur Raumah (Ambrose dkk, 2015:2) Sumur tersebut tetap dipelihara
pada masa bani Umayyah dan menghasilkan kebun Kurma. Selanjutnya pada masa
pemerintahan Arab Saudi modern, hasil kebun kurma tersebut ditabung dan diolah menjadi
hotel yang hasil pengelolaannya digunakan untuk membiayai kebutuhan masyarakat miskin.
Karena lembaga wakaf memiliki beberapa karakteristik yang sama dengan organisasi
nirlaba, penggalangan dana merupakan elemen penting untuk menjalankan lembaga tersebut.
Metode penggalangan dana yang berfungsi, sesuai, dan efektif diperlukan untuk
mengamankan sumber daya manusia dan keuangan yang diinginkan. Meskipun wakaf dalam
beberapa kategori merupakan hal yang umum di dunia Muslim, penggalangan dana wakaf
yang terorganisir dalam skala besar masih merupakan fenomena yang luar biasa bagi
komunitas Muslim (Lindhal & Conley, 2002 :91 dalam Sulthoni, 2018: 62).
Sementara itu, Warwick menegaskan bahwa penggalangan dana tidak hanya sebagai
upaya untuk mendapatkan dana bagi organisasi, tetapi juga mencakup pembentukan basis
donor, membuat donor aktif, terlihat dan efisien (Warwick dalam Sulthoni & Saad, 2018:62).
Model penggalangan dana dalam pengembangan harta wakaf dapat dilakukan dengan
skema tradisional dan modern. Secara tradisional yaitu al-hikr, al ijaratyn, al-istibdal dan al-
mursad yang telah dilakukan oleh lembaga wakaf di beberapa negara muslim. (Kahf, 1998
dalam Sulthoni dan Saad, 2018:63).
Pertama, al-hikr adalah sewa jangka panjang, model ini dikembangkan oleh para ahli
hukum Islam di pertengahan abad ketiga hijriah untuk mencegah harta wakaf dijual, karena
menjual properti wakaf menurut mayoritas fuqaha klasik dilarang. Kahf mengusulkan bahwa
Nazhir memberikan hak sewa jangka panjang dengan nominal sewa periodik. Model ini
7
memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya Nazhir memperoleh dana yang cukup
besar yang dapat digunakan membiayai properti wakaf lainnya, yang pada gilirannya dapat
menghasilkan lebih banyak pendapatan. Kerugiannya adalah hak untuk menggunakan tanah
telah diberikan kepada penyewa untuk jangka waktu yang sangat lama, dibeberapa negara
hingga sembilan puluh sembilan tahun. Selain itu, sewa jangka panjang dapat mendorong
penyewa untuk menjual dan mewarisi properti yang akan menciptakan masalah lain, yaitu
mengambil alih hak properti, karena ahli waris penyewa akan mengklaim kepemilikan
properti dalam jangka panjang.
Kedua, al-ijaratyn (sewa dengan pembayaran ganda), model ini muncul sebagai
akibat dari kehancuran sebagian besar properti wakaf oleh konstatinopel. Pada saat itu,
sebagian besar layanan sosial bergantung pada wakaf. Untuk mengatasi ini, mereka harus
memulai metode ganda untuk membiayai dan merekonstruksi properti wakaf yang rusak ini.
Kelemahan model ini dana sewa yang diterima oleh departemen wakaf harus dihabiskan
untuk merekonstruksi dan merenovasi properti wakaf untuk kepentingan penyewa dengan
sewa berkala nominal. Satu-satunya keuntungan adalah karena properti wakaf masih milik
depertemen wakaf.
Ketiga, al-istibdal (subtitusi). Model ini untuk menukar properti wakaf dengan
properti lain atau dengan uang tunai untuk merenovasi properti wakaf yang lama. Menurut
mayoritas ahli hukum Islam jika properti wakaf tidak mampu menghasilkan pendapatan
karena lokasi atau usia bangunan maka dapat diganti dengan yang baru dengan cara menukar.
Keuntungan dari model ini adalah menyediakan likuiditas yang diperlukan untuk merenovasi
properti wakaf yang lama.
Keempat, al-mursad. Pembayaran uang muka dibayarkan oleh penyewa untuk
dikreditkan oleh Departemen Wakaf terhadap sewa berkala yang disepakati dan berlaku
setelah rekonstruksi. Keuntungan dari mode ini adalah bahwa tanah wakaf dikembangkan
8
tetapi kerugiannya adalah penyewa akan mengklaim kepemilikannya atas tanah ini setelah
waktu yang lama (Mohsin,2007:4)
Model penggalangan dana untuk pengembangan harta wakaf juga dapat dilakukan
dengan skema modern yaitu Venture Philanthropy of Waqf (VPWM), Value-based Capital
Model of Waqf (VBCM) dan Social Entreprise Waqf Fund Model (SEWF) (Scarlata dan
Alemany dalam Sulthoni dan Saad, 2018:73).
Venture Philanthropy of Waqf Model (VPWM) akan menghasilkan sumber pendanaan
baru untuk mencapai keuntungan finansial dan sosial dari kegiatan investasi. Wakif
memberikan dana kepada Nazhir yang kemudian akan berinvestasi dalam wirausaha sosial
yang memiliki potensi dan dampak sosial yang tinggi. Tujuan utama VPWM adalah untuk
mencapai dan memaksimalkan manfaat sosial daripada berkonsentrasi pada maksimalisasi
keuntungan seperti yang dicapai dalam modal ventura tradisional. Berbeda dengan modal
ventura konvensional yang biasanya memperoleh investasi dari investor kaya, seperti
Grameen Bank di Bangladesh. Sebaliknya, VPWM mengakumulasi modal dari kontribusi
wakaf. Dalam struktur organisasi, model keuangan mikro pada prinsipnya sama dengan
bisnis yang memaksimalkan keuntungan tetapi dimodifikasi menjadi berorientasi sosial
karena target memberdayakan masyarakat miskin dan usaha mikro.
Dalam skema Value-based Capital Model of Waqf (VBCM) ini semua modal harus
diinvestasikan, dan pendapatannya harus dikumpulkan. Pendapatan ini harus dipisahkan
menjadi pendapatan yang dapat didistribusikan dan biaya. Pendapatan yang dibagikan akan
dibagikan kepada penerima wakaf sedangkan dana yang akan digunakan untuk pengeluaran
disimpan di akun cadangan. Dana ini bisa ditempatkan pada dana yang lebih besar (hedge
fund). Ini dilakukan untuk mengkompensasi kerugian di salah satu akun modal utama. Selain
itu, penerapan VBCM dalam wakaf juga diproyeksikan akan mengurangi masalah non
likuiditas aset wakaf. dan dengan demikian mendorong umat untuk berkontribusi bagi
9
pengembangan lembaga wakaf lebih lanjut. (Zakaria, Samad dan Shafii dalam Sulthoni dan
Saad, 2018:75)
Social Entreprise Waqf Fund Model (SEWF) merupakan praktik perbaikan dalam
penghimpunan dana, pengelolaan, pemeliharaan yang dilaksanakan oleh lembaga wakaf di
banyak negara. Model ini menyeimbangkan perolehan pendapatan dengan penciptaan
dampak sosial untuk kepentingan umum dalam memastikan kemakmuran itu beredar dari
orang kaya kepada orang miskin. Ini adalah sebuah model yang tampaknya cocok untuk
mengatasi beberapa keberlanjutan lembaga wakaf di suatu negara (Arshad dan Haneef dalam
Sulthoni dan Saad, 2018:79).
Dalam mengelola wakaf berbeda dengan mengelola Zakat, Infaq atau Sedekah (ZIS)
karena Nazhir harus mampu mempertahankan “pokoknya”, pokoknya inilah yang harus
diinvestasikan ke berbagai macam kegiatan yang tidak bertentangan dengan Islam sehingga
pokoknya akan bertambah dan hasilnya akan dipergunakan oleh penerima wakaf.
Kholid,dkk (2007:6) mengungkapkan bahwa terus menerus bergantung pada
penerimaan asset wakaf dari wakif akan menciptakan masalah ketahanan dalam kontribusi
wakaf itu sendiri. Oleh sebab itu, Nazhir wakaf perlu melakukan proyek-proyek yang
profitable untuk membiayai sektor-sektor dasar yang dibutuhkan masyarakat dalam hal ini
yang direkomendasikan berupa Sukuk Al-Intifa‟a. Model pengelolaan wakaf secara modern
ini disebut juga wakaf corporation, dapat ditemui dalam proyek pembangunan Zam-zam
Tower.
Zam-zam Tower adalah sebuah menara yang berada di kota Mekkah, Arab Saudi, dan
dekat dengan Masjidil Haram. Zam-zam Tower berdiri di atas lahan yang diwakafkan oleh
Arab Saudi dibawah pengelolaan King Abdul Aziz Waqf (KAAW) sebagai Nazhir. Lahan
Wakaf tersebut oleh KAAW disewakan kepada Konglomerasi BinLaden Group dengan
10
sistem konsesi yang disebut BOT (Build-Operate-Transfer) dengan jangka waktu hingga 28
tahun.
Menurut Kholid,dkk (2009:15), kontrak konsesi mewajibkan BinLaden Group untuk
membangun pusat perbelanjaan, gedung perkantoran dan hotel untuk King Abdul Aziz Waqf
(KAAW) sebagai bentuk pembayaran BinLaden Group kepada KAAW. Kemudian,
BinLaden Group mensubkontrakan konsesinya kepada Munshaat, sebuah perusahaan properti
yang berbasis di Kuwait. Mushaat.
Pembiayaan megaproyek senilai 390.000.000 US ini dilakukan oleh Munshaat dengan
penerbitan Sukuk Intifa‟a dengan jangka waktu 24 tahun. Sukuk Intifa‟a adalah sejenis sukuk
yang memungkinkan pembelinya untuk menyewa ruang yang berada dalam kompleks Zam-
zam Tower selama jangka waktu tertentu. Jumlah unit sukuk yang terbeli setara dengan
jumlah hak waktu penyewaan yang dimiliki oleh pembeli tersebut. Pembeli dapat
menggunakannya untuk keperluan sendiri atau dikontrakkan kepada pihak lain (Ahmed
dalam Kholid dkk (2009:12).
Gambar 1.2
Struktur Sukuk Al-Intifa’ Dalam Pengembangan Zam Zam Tower
Proyek pembangunan Zam-zam Tower merupakan contoh model wakaf modern atau
waqf corporation yang dilakukan oleh Arab Saudi. Akan tetapi pada kenyataannya
perwakafan di Indonesia belum mampu memainkan perannya dan bahkan sebaliknya banyak
11
permasalahan yang muncul, seperti tidak sedikit tanah wakaf yang terlantar, sengeketa tanah
wakaf oleh ahli waris (Huda dkk, 2016:2).
Pengelolaan wakaf di Indonesia masih tergolong tradisional dan secara ekonomi
kurang produktif. Aset wakaf di Indonesia mayoritas berupa sekolah, masjid dan pemakaman.
Namun demikian, bukan berarti di Indonesia pengelolaan wakaf secara produktif tidak dapat
ditemukan sama sekali. Hanya saja pengelolaan wakaf yang lebih produktif baru dilakukan
dalam skala yang lebih kecil bila dibandingkan dengan pengelolaan wakaf mainstream di
Indonesia.
Lembaga Nazhir Dompet Dhuafa memiliki program wakaf bisnis dan usaha. Dalam
program ini, wakif akan menyerahkan usaha yang dimiliki kepada Dompet Dhuafa untuk
dikelola sebagai asset wakaf. Adapun jenis-jenis usaha yang dapat diserahkan meliputi
layanan publik seperti klinik, sekolah, universitas, dan sarana olahraga atau usaha komersial,
meliputi minimarket, restoran, waralaba, pabrik, dan hotel.
Walaupun pada dasarnya semua masalah wakaf perlu diselesaikan, menyusun prioritas
masalah tetap penting untuk dilakukan karena adanya keterbatasan sumber daya, baik sumber
daya dana, maupun sumberdaya waktu yang dimiliki oleh institusi atau Lembaga wakaf.
Menyusun prioritas masalah juga akan membantu pengelola wakaf atau nazhir dalam
menyusun rencana strategis dan menyusun agenda kerjanya. Berdasarkan latar belakang yang
dijelaskan di atas maka penulis memandang penting untuk dilakukan penelitian lebih lanjut
terkait pengelolaan wakaf produktif pada lembaga Nadzhir di Indonesia dengan mengangkat
judul “Model Kelembagaan Nadzhir dalam Pengelolaan Wakaf Produktif di Indonesia”
B. Batasan Penelitian
Pengelolaan asset wakaf diklasifikasikan menjadi tiga fase yaitu pengumpulan,
investasi dan alokasi. Fase pengumpulan dan investasi bertujuan mendapatkan dana yang
akan digunakan dalam memberdayakan masyarakat. Fase ketiga adalah langkah penting
12
dimana Nadzhir mengelola kekayaan wakaf untuk mendapatkan laba yang diinginkan.
Nadzhir pada titik ini, harus mengelola dana dengan baik. Mohammad dalam Sulthoni dan
Saad (2018:59) mengidentifikasi kendala utama dalam mengembangkan properti wakaf.
yakni ketentuan hukum yang tidak memadai, system informasi yang buruk, kurangnya tenaga
terlatih, kurangnya kepercayaan dan sumber keuangan yang tidak mencukupi.
Pengelolaan yang professional dan modern dalam mengembangkan harta wakaf dapat
dilihat dari beberapa aspek, diantaranya :
1. Kelembagaan
Pengelolaan dan pemberdayaan harta wakaf dapat dilakukan secara produktif baik
dengan cara pengumpulan, investasi, produksi, perdagangan, pertambangan,
perindustrian, agrobisnis, pembangunan Gedung, apartemen, rumah susun, pasar
swalayan, pertokoan, perkantoran dan usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan
Syariah. Harta wakaf memerlukan pengelolaan yang efektif dan efisien sehingga esensi
wakaf yang tetap asset/pokok modalnya, dan abadi manfaatnya untuk masyarakat dapat
bertahan lama dan tujuan filosofis dari wakaf sebagai shadaqah jariah dapat diwujudkan.
2. Pengelolaan Operasional
Dalam pengelolaan harta wakaf secara produktif harus ditetapkan standar operasional
pengelolaan yaitu : Batasan atau garis kebijakan dalam mengelola wakaf agar
menghasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi kepentingan masyarakat. Dalam kajian
ilmu manajemen bahwa yang disebut dengan pengelolaan operasional adalah proses-
proses pengambilan keputusan berkenaan dengan fungsi operasi. Keputusan yang
dimaksud disini ialah berkenaan dengan lima fungsi utama manajemen operasional yaitu
: proses, persediaan, tenaga kerja dan mutu.
3. Kehumasan (Pemasaran)
Dalam mengelola harta wakaf, kehumasan atau pemasaran merupakan aspek yang
13
memiliki posisi yang penting. Aspek ini berfungsi untuk memperkuat image bahwa
wakaf dikelola oleh Nadzhir yang professional dan wakaf betul-betul dapat
dikembangkan dengan memperkuat system informasi dan teknologi wakaf. Selain itu,
pemasaran bertugas memperkenalkan bahwa wakaf tidak hanya berorientasi pada pahala
oriented, tetapi juga memberikan bukti bahwa ajaran Islam sangat menonjolkan aspek
kesejahteraan umat manusia, khususnya kaum dhuafa.
4. Sistem Keuangan
Akuntabilitas dapat menumbuhkan kepercayaan (trust) masyarakat kepada lembaga.
Karena itu akuntabilitas menjadi sesuatu yang penting karena akan mempengaruhi
legitimasi terhadap lembaga pengelola wakaf. Dengan demikian akuntabilitas bukan
semata-mata berhubungan dengan pelaporan keuangan dan program yang dibuat,
melainkan berkaitan pula dengan persoalan legitimasi public.
Dalam penelitian ini penulis mengurai permasalahan wakaf produktif di Indonesia
kemudian mencoba memberikan strategi dalam upaya membangun wakaf produktif
berdasarkan skala prioritas kepada Nadzhir dalam menyusun rencana strategis dan menyusun
prioritas agenda kerjanya menggunakan model ANP. Agar penelitian ini lebih terfokus pada
hal-hal yang akan dicapai sesuai dengan tujuan penelitian maka penulis ingin membatasi
penelitian ini pada “Faktor-faktor penghambat pengelolaan wakaf produktif di Indonesia”.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan di atas maka perumusan masalah adalah sebagai
berikut :
1. Apa saja prioritas permasalahan yang menyebabkan pengelolaan wakaf di Indonesia
belum produktif?
2. Bagaimana strategi yang dapat diberikan atas permasalahan tersebut berdasarkan skala
prioritas?
14
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang serta perumusan masalah yang telah dipaparkan diatas , tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui prioritas permasalahan pengelolaan wakaf produktif di Indonesia
berdasarkan metode ANP.
2. Untuk mengetahui strategi yang dapat diberikan atas permasalahan pengelolaan wakaf
produktif di Indonesia.
E. Manfaaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Pada dasarnya masih banyak aspek yang perlu diperbaiki dalam pelaksanaan wakaf di
Indonesia, khususnya pada aspek kelembagaan serta tata kelola wakaf dalam meningkatkan
produktivitas harta wakaf. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi sumbangan
pemikiran dan masukan akademik serta bahan kajian ilmiah yang bersifat informatif bagi
akademisi, praktisi dan pemerhati wakaf.
2. Manfaat Praktis
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah agar para pengelola wakaf
(Nadzhir) dapat lebih memproduktifkan asset wakaf untuk memberdayakan masyarakat.
Prioritisasi masalah dan strategi dalam pengembangan wakaf produktif ini hendaknya dapat
memberi masukan tepat kepada seluruh pihak terkait, masalah apa yang seharusnya lebih
dahulu diselesaikan dan solusi mana yang paling tepat.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pemikiran Ekonomi Kelembagaan
Teori ekonomi kelembagaan menggunakan pendekatan multidisipliner untuk mengkaji
fenomena ekonomi, yakni dengan memasukkan aspek sosial, hukum, politik, budaya dan
yang lain sebagai satu kesatuan analisis. Jadi, pada aras ini, teori ekonomi kelembagaan
paralel dengan sifat asasi dari ilmu sosial, yakni sejak awal harus disadari bahwa ilmu sosial
memiliki dua dimensi yang harus dipahami secara kritis. Pertama, jika berkaitan dengan
(persoalan) negara, ilmu sosial tidak hanya mempunyai daya penjelas atau kapasitas
interpretative, tetapi juga berpotensi melegitimasi dan mendelegitimasi. Kedua, bila
bersinggungan dengan (urusan) masyarakat, maka ilmu sosial instrumental dan ilmu-ilmu
sosial kritis. Ilmu-ilmu sosial instrumental dapat dimaknai sebagai disiplin ilmu sosial yang
bertujuan akhir pada tindakan, yaitu pada dominasi masyarakat. Sedangkan ilmu-ilmu soial
kritis memiliki tujuan akhir pada emansipasi masyarakat. Emansipasi ini bertolak dari dalam
dengan memerdekakan kesadaran dari keadaannya yang tak reflektif (Kleden, 1997:27-28)
dalam Yustika (2006: 75). Dengan pijakan ini, setidaknya ilmu sosial mengusung pesan
penting : tidak ada kebenaran tunggal.
Ahli kelembagaan berusaha membuat model pola/pattern models (teori-teori),
sementara ahli neoklasik berusaha menyusun model-model prediktif (teori-teori). Model-
model pola menjelaskan perilaku manusia (human behavior) dengan menempatkannya secara
cermat di dalam konteks kelembagaan dan budaya. Model prediktif menjelaskan perilaku
manusia dengan menyatakan secara cermat asumsi-asumsi dan menarik kesimpulan implikasi
(prediksi) dari asumsi tersebut.
Inti dari paham kelembagaan (institusionalsm) adalah mengenai kelembagaan
(institutions), kebiasaan (habits), aturan (rules), dan perkembangannya (evolution). Namun,
16
ahli kelembagaan tidak akan berusaha membangun model tunggal umum berdasarkan ide-ide
tersebut. Pendekatan ahli kelembagaan bergerak dari ide-ide umum mengenai perilaku
manusia (human agency), kelembagaan, dan perkembangan sifat dari proses ekonomi menuju
ide-ide dan teori-teori khusus, yang berkaitan dengan kelembagaan ekonomi yang spesifik
atau tipe ekonomi (Hudgson, 1998:168) dalam Yustika (2006:78).
Ekonomi kelembagaan bersifat evolusioner, kolektif, interdisipliner, dan nonprediktif.
Ahli ekonomi kelembagaan pada umumnya fokus kepada konflik daripada keharmonisan,
pada pemborosan (inefisiensi) daripada efisiensi, dan pada ketidakpastian dibandingkan
pengetahuan yang sempurna. Mereka pada umumnya menolak keseragaman pasar sebagai
mekanisme alokasi yang tidak bias dan mekanisme distribusi. Di samping itu, ahli
kelembagaan tetap merawat secara konsisten persepsi yang jelas mengenai perbedaan antara
biaya/manfaat privat dan social (privat and social cost/benefits). Intinya, pusat kepentingan
dari kelembagaan kepada eksistensi dari penyimpangan kekuasaan dan hak khusus (privilege)
dari anggapan tentang perilaku individu yang atomistik (atomistic individual) (Miller,
1988:51).
Pada level motivasi, ekonomi kelembagaan telah mengenal pentingnya perilaku
manusia „non rasional‟ (non-rational human behavior) dalam pembuatan keputusan ekonomi
(Radner, 1996:1363). Perilaku haus pada kekuasaan dan petualangan, rasa kemerdekaan, sifat
mementingkan orang lain, keinginan tahu, adat dan kebiasaan semuanya dapat menjadi
motivasi yang kuat dari perilaku ekonomi individu. Lewat pijakan inilah ahli kelembagaan
sangat kritis terhadap asumsi ekonomi neoklasik. Sifat-sifat institusionalisme, yaitu holistic,
sistemis, evolutive, yang dikombinasikan dengan apresiasi terhadap sentralisasi kekuasaan,
konflik, dan pengenalan pentingnya perilaku manusia non-rasional telah membedakan aliran
ekonomi kelembagaan dengan ekonomi konvensional. Pada titik ini, dianggap model-model
formal tidak dapat menangani tentang variabilitas, spesifitas kelembagaan, dan non-
17
generalisasi perilaku individu (Wilber dan Harrison, 1988:106).
Keluhan inilah yang menjadi titik pijak pendekatan ekonomi kelembagaan untuk
mengembangkan sebuah pandangan baru, yang meyakini bahwa individu atau kelompok
bergerak tidak hanya dengan motif tunggal: laba (ekonomi). Sebaliknya individu/kelompok
merupakan entitas yang memiliki multiekspektasi dan hal itu menjadi dasar bagi mereka
untuk mengambil keputusan.
Analisis tentang keterkaitan dan dampak kelembagaan pada kebijakan publik
dianggap tidak lengkap tanpa memperhatikan perpaduan antara analisis kebijakan publik dan
analisis kelembagaan. Ilmu Ekonomi yang berkembang dalam cabang barunya, ilmu ekonomi
instutusi baru (Neo institusional economics) melihat kelembagaan dari sudut biaya transaksi
(transaction cost) dan tindakan kolektif (collective action) (Ostrom, 1990:46).
Di dalam analisis biaya, transaksi termasuk analisis tentang kepemilikan dan
penguasaan sumber daya alam atau factor produksi (property rights), ketidakseimbangan
akses dan penguasaan informasi (information assymmetry) serta tingkah laku oppurtunistik
(opportunistic behaviour). Ilmu ekonomi institusi baru ini sering pula disebut sebagai ilmu
ekonomi biaya transaksi (transaction cost economy) sedangkan yang lain menyebutnya
sebagai paradigma informasi yang tidak sempurna (imperfect information paradigma).
Sebagian pakar kelembagaan hanya memusatkan perhatian pada kode etik dan aturan
main, sedangkan sebagian lainnya hanya melihat pada organisasi dengan struktur, fungsi dan
manajemennya. Kebanyakan analis kelembagaan saat ini, memadukan organisasi dan aturan
main. Analisis mungkin akan menjadi komplek tetapi bisa dicari hal-hal pragmatis yang bisa
diterjemahkan ke dalam strategi pengembangan. Logika analisis institusi bisa dipakai untuk
menjelaskan kegagalan pemerintah dan negara atau kegagalan pasar atau kegagalan berbagai
model pembangunan. (Amalia, 2009:36-37).
Permasalahan kelembagaan dapat ditemui dalam penelitian Yustika “Corporate
18
Governance of Sugar Mills in East Java : A Transaction Cost Economics Perspective”. Ia
mengurai bagaimana penerapan ekenomi kelembagaan pada masalah industri gula di
Indonesia. Baginya, masalah mendasar pabrik gula adalah inefisiensi manajemen yang
mengakibatkan biaya transaksi tinggi. Dalam konteks biaya transaksi pasar, pabrik gula harus
berhubungan dengan banyak pihak, seperti petani tebu, koperasi, distributor, lembaga hukum
(notaris), bank, dan lain sebagainya. Selain itu pabrik gula melakukan penyesuaian kebijakan
pemerintah (biaya transaksi politik) agar dapat beroperasi dengan lancar. Masalah lain adalah
proses pengambilan keputusan seringkali terlambat, fungsi pengawasan dari Direksi tidak
berjalan dengan baik. Yustika dalam penutup penelitiannya mengusulkan restrukturisasi tata
kelola perusahaan dan aspek pengawasan (Yustika, 2007:17).
1. Teori Biaya Transaksi
Pendekatan biaya transaksi yang dikemukakan oleh Coase berawal dari adanya
observasi bahwa banyak keputusan alokasi sumber daya dalam operasi perusahaan tidak
dapat dilakukan secara efisien melalui mekanisme harga (pasar). Dalam hal ini, sumber daya
cenderung mengalir ke wilayah yang menawarkan harga tertinggi. Hal ini sering kali
mendorong tingginya biaya transaksi. Biaya transaksi disini mencakup biaya untuk mencari
informasi mengenai harga relatif barang yang akan ditransaksikan, biaya untuk mengadakan
dan menegosiasikan kontrak dan biaya yang muncul karena adanya pungutan-pungutan
selama transaksi. Coase menjelaskan bahwa ketika alokasi sumber daya tidak dikelola
melalui mekanisme pasar namun dikelola secara bijak melalui aktivitas internal perusahaan,
hal ini akan menghemat biaya transaksi. (Coase, 1937:386).
Perusahaan akan tetap eksis jika perusahaan tersebut mampu meminimalkan biaya
untuk menyediakan input produksi, khususnya melalui minimisasi biaya “membuat input”
melalui integrasi vertikal (penyediaan seluruh input secara mandiri oleh perusahaan) atau
meminimalkan biaya “membeli input” melalui kesempatan yang ada di pasar seperti joint
19
venture atau aliansi. Kelemahan dari pandangan ini adalah tidak dipertimbangkannya agency
cost dan evolusi dalam perusahaan. Teori ini juga tidak menjelaskan bagaimana proses
integrasi vertikal harus dilakukan, terutama mengingat proses transfer modal insani (human
capital) sulit untuk dilakukan dan nilai modal insani juga sulit untuk ditentukan (Kanterelis
dalam Arsyad & Kusuma, 2014 : 47).
2. Teori Institusional dan Keagenan
Teori institusional (institusional theory) dan teori keagenan (agency theory)
merupakan dua teori yang saling melengkapi dalam mengungkapkan praktek pelaporan
keuangan perusahaan (Falkman dan Tagesson, 2008:271 dan Pina dkk, 2010:350). Teori
Institusional menyatakan bahwa organisasi merespon tekanan-tekanan dari konteks
institusional mereka (Dimaggio dan Powell, 1983:147, dan Carpenter dan Feroz, 2001:565).
Respon yang dimaksud seperti adopsi praktek-praktek serta struktur yang diterima secara
sosial sebagai pilihan organisasional yang tepat dalam upaya memperolah legitimasi dari
konteks institusional mereka. Pelaporan keuangan lembaga pengelola wakaf merupakan
upaya dalam rangka memperoleh legitimasi dari lingkungan institusional yaitu Wakif, Badan
Wakaf Indonesi (BWI) dan masyarakat.
Teori keagenan perusahaan (principal-agent theory of the firm) merupakan perluasan
dari teori neoklasik yang dalam analisisnya memasukan elemen keagenan perusahaan. Teori
ini menekankan pembahasannya pada permasalahan ketidaksempurnaan informasi dan
permasalahn keagenan (principal agen) yang terjadi dalam proses interaksi antara pemilik
perushaan dan stakeholders lain atau manajer dan pekerja. Teori ini juga membahas
mekanisme pengukuran kinerja agen yang tepat dan mekanisme insentif yang efektif untuk
mendorong kinerja agen. Kelemahan teori ini terkait dengan 1) visibilitas 2) asumsi kontrak
yang tidak sempurna dan kompleks (complicated incomplete contracts) sehingga sulit untuk
dimodelkan, dan 3) tidak dipertimbangkannya biaya transaksi dan evolusi perusahaan.
20
Akuntabilitas sebetulnya timbul sebagai konsekuensi logis atas adanya hubungan
antara manajemen (agent) dan pemilik (principal) sehingga muncul hubungan yang dinamis
berupa agent-principal relationship. Principal dalam hal ini memberikan kewenangan penuh
pada agent untuk melakukan aktivitas operasi organisasi. Sebagai konsekuensi atas
wewenang ini, maka agent harus mempertanggungjawabkan aktivitasnya kepada principal.
Gray, Owen dan Mounders (1991:6) mendefinisikan akuntabilitas sebagai : the onus,
requirement or responsibility to provide account (by no means necessarily a financial
account) jor reckoning of action of which one is held responsible.
Principal melepaskan kontrol atas sumber daya kepada agent, memberikan instruksi
atas ekspektasi tentang penggunaan sumber daya. Kemudian agent bertanggung jawab atas
pelaksanaan aktivitas dan pemberian tersebut. Hubungan agent dan principal dalam kajian ini
(yaitu: konteks manajemen keuangan organisasi pengelola wakaf) lebih luas dari pengertian
di atas. Dalam pengertian umum seperti di atas, principal adalah pemegang saham
(stockholders). Principal dalam konteks pengelolaan wakaf adalah pemberi amanah atau
Wakif dan agent adalah pengelola wakaf atau Nazhir. Ini berarti bahwa Nazhir harus
mempertanggungjawabkan penggunaan sumber daya kepada Wakif dan Mauquf Alaih.
Akuntabilitas berarti kewajiban dasar bagi sebuah badan (negara, bisnis, LSM) untuk
memperhatikan masyarakat atau pemegang saham bagi berbagai kegiatan dan prestasi
mereka. Prinsip ini menjamin bagi masyarakat bahwa mereka memiliki kesempatan untuk
mengetahui siapa dan bagaimana keputusan dibuat serta apa alasan yang mendasarinya. Pada
saat yang sama, prinsip transparansi merujuk pada sikap terbuka seseorang kepada
masyarakat agar mereka mendapatkan informasi yang benar, jujur, dan adil, seraya tetap
mencermati hak-hak dasar dan kerahasiaan perusahaan selaku unsur yang bekerja.
Dalam konteks ini, transparansi menjadi kontrol publik terhadap organisasi pengelola
wakaf sehingga transparansi dikaitkan dengan tingkat akses bagi masyarakat untuk
21
mendapatkan informasi sebanyak mungkin. Masyarakat harus mengetahui sejumlah hal,
antara lain: piagam organisasi, dan mekanisme kontrol internal dan eksternal. Audit eksternal
harus dilakukan untuk mendorong transparansi organisasi-organisasi pengelola wakaf,
sesuatu yang sejauh ini belum dilakukan. Dengan demikian, akuntabilitas organisasi-
organisasi modern menjadi jelas (Herlina dalam Abidin dan Rukmini, 2004:197). Menurut
teori Keagenan, pelaporan keuangan merupakan sebuah upaya untuk mengurangi asimetri
informasi antara Lembaga wakaf (Nazhir) sebagai agen dan para wakif sebagai principal
(Laswad dkk, 2001:58)
3. Teori Governance Perusahaan
Melengkapi pandangan teori biaya transaksi, Wiliamson mengajukan teori perusahaan
berbasis tata kelola (governance). Governance membahas cara terbaik terkait bagaimana
perusahaan dapat mengelola hubungan kontrak dengan rekan bisnisnya. Dalam hal ini,
berbeda dengan Coase yang lebih menekankan pada minimisasi biaya transaksi sebelum dan
ketika kontrak terjadi, Wiliamson lebih menekankan pada minimisasi biaya pasca kontrak,
misalnya biaya untuk monitoring kontrak.
Pemikiran Wiliamson terkait teori Governance didasarkan pada sejumlah pelajaran
dari teori organisasi, yaitu : 1) adanya fenomena bounded rationality yang eksis dalam
perusahaan serta adanya kontrak yang incomplete (dimana kemauan rekan bisnis untuk
menjalani kontrak dimasa depan tidak bisa dpastikan) pada kontrak yang kompleks, 2)
struktur governance harus didesain berdasarkan semua bentuk outcome yang mungkin terjadi
dan perilaku (kebiasaan) yang umum terjadi dalam perusahaan, 3) unit analisis yang paling
penting dalam perusahaan adalah transaksi transaksi, dan 4) struktur organisasi dapat
disesuaikan dengan perubahan kondisi yang terjadi.
Berdasarkan keempat hal tersebut, Wiliamson membangun teori perusahaan dimana
organisasi atau hirarki diinterpretasikan sebagai struktur governance. Sementara itu, transaksi
22
terdiri dari elemen-elemen konflik dan ketidakpatuhan namun juga menawarkan potensi
benefit bagi kedua belah pihak yang bertransaksi. Menurut teori ini, struktur governance yang
efektif menjadi sarana untuk mengurangi konflik, meningkatkan kepatuhan terhadap kontrak,
dan menciptakan kondisi untuk tercapainya manfaat bagi kedua belah pihak yang melakukan
kontrak. (Wiliamson dalam Arsyad dan Kusuma, 2014:48)
Yuliafitri dan Rivaldi (2017:8) dalam penelitannya “Pengaruh Penerapan Prinsip-
Prinsip Good Governance dan Promosi Terhadap Penerimaan Wakaf Tunai” menegaskan
bahwa Good Governance yang masih lemah menyebabkan kepercayaan kepada Nazhir
berkurang hal ini semakin menguatnya tuntutan pelaksanaan akuntabilitas pada lembaga
wakaf. Selain itu, hasil penelitan ini juga menuliskan bahwa terdapat pengaruh yang positif
namun tidak signifikan dari penerapan prinsip-prinsip Good Governance terhadap
penerimaan wakaf tunai yang artinya semakin baik penerapan prinsip-prinsip good
governance maka akan semakin tinggi pula penerimaan wakaf tunai pada lembaga pengelola
wakaf di Indonesia.
4. Theory of Planned Behavior (TPB)
Sebuah teori populer di bidang psikologi sosial adalah theory of planned behavior
yang merupakan perluasan dari teori aksi penalaran dimana pada dasarnya mencoba untuk
menjelaskan perilaku orang (Fishbein & Ajzen dalam Faisal, 2019:238) dan telah diterapkan
pada berbagai situasi perilaku (Gopi & Ramayah, 2007:349). Fokus utama dari teori ini
adalah niat perilaku sebagai awal sebelum melakukan perilaku yang sebenarnya. Teori ini
menegaskan bahwa elemen kunci yang ada pada individu sebelum dia bertindak. Dengan kata
lain, faktor-faktor yang memengaruhi perilaku seseorang, seperti sikap dan norma subjektif,
bekerja melalui niat untuk mempengaruhi apakah seseorang benar-benar akan bertindak
berdasarkan niat atau tidak. Teori ini pada dasarnya mendalilkan bahwa keputusan seseorang
23
untuk benar-benar (sukarela) bertindak (atau tidak bertindak) ditentukan oleh niat seseorang
untuk bertindak (atau tidak bertindak).
Theory of planned behavior (TPB) pada umumnya digunakan dalam menjelaskan
perilaku sosial, penelitian Faisal meneliti tentang wakaf tunai dengan berdasarkan pada teori
theory of planned behavior (TPB) dimana niat untuk mematuhi pemberian wakaf tunai
menjadi fokus utama penelitian. Untuk menjelaskan perilaku orang, theory of planned
behavior (TPB) dapat diterapkan secara tepat untuk menjelaskan niat perilaku dalam
melakukan pemberian uang tunai karena teori ini relevan dalam memprediksi perilaku
sukarela (Ajzen dalam Faisal, 2019:239). Dalam konteks pemberian uang tunai, kepatuhan
untuk memilih wakaf uang tunai pada dasarnya adalah perilaku sukarela. Penelitian Faisal
mengurai hubungan antara penerimaan wakaf tunai melalui sikap, norma subjektif, dan
religiusitas. Sikap dan norma subjektif ditemukan berpengaruh dalam menentukan partisipasi
wakaf tunai pada masyarakat Indonesia. Selain sikap dan norma subjektif, Faisal
menambahkan religiusitas pada penelitian ini, hasilnya menunjukan bahwa religiusitas
berpengaruh signifikan terhadap niat perilaku waqif untuk berpartisipasi pada wakaf tunai.
Penelitian yang dilakukan oleh Ratnasari dan Arifin berjudul “Theory of Planned
Behaviour in Intention to Pay Cash Waqf”. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kuantitatif. Teknik samplingnya ialah probabilitas dengan simple random sampling. Metode
pengambilan data yang digunakan ialah survey responden sebanyak 100 sampel. Hasilnya
ialah terdapat pengaruh signifikan antara sikap, norma subjektif dan control perilaku yang
disadari terhadap intensi membayar wakaf uang. (Ratnasari dan Arifin, 2017:6)
Sementara itu, menurut Johari, Alias, Shukor dkk, dalam penelitiannya yang berjudul
“Factors That Influence Repeat Contribution of Cash Waqf in Islamic Philantropy”. Metode
yang digunakan metode kuantitatif berdasarkan observasi responden, dan analisis data
menggunakan SEM. Hasil penelitian menunjukan bahwa perintah/kewajiban agama,
24
kemurahan hati, familiar dengan Lembaga wakaf, dan akses wakaf uang berpengaruh
signifikan terhadap intensi untuk kembali berwakaf uang, sedangkan kepercayaan tidak
berpengaruh signifikan (Johari, 2015:73)
B. Teori Lembaga dan Mikro Ekonomi Islam
Secara teoretis, kelembagaan filantropi Islam, meskipun bagian dari ibadah (ritual
keagamaan yang langsung berhubungan dengan Tuhan), tetapi juga memiliki fungsi sosial
yang bertujuan menciptakan keadilan sosial. Agenda menciptakan keadilan sosial ini terlihat
dari pernyataan Al-Quran yaitu Q.S Al-Baqarah yang menjelaskan bahwa setiap muslim
selain harus melaksanakan sholat juga harus berzakat. Sementara itu Q.S Al Hasyr : 7
menjelaskan bahwa zakat, sedekah, wakaf pada dasarnya bertujuan, “Agar harta kekeayaan
tidak hanya berputar di kalangan orang-orang kaya”.
كينىوالمس م و الي ت لقرب ى ٱف للوو للرسولو لذىىر سولومنأىلالقر ى وع ل ء ٱلل آا ف آم
ي كون دول ة وابنالسبيل ال غني آءمنكم ك يل كمكمالرسولف خ ذوهو م ان ه ت و م آا ب ين
(۷) و ش ديدالعق ابانالل و و الت قواال ع نوف ان ت هوا
Artinya: Harta rampasan fa‟i yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari
penduduk beberapa negeri, adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim,
orang-orang miskin, dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan
hanya beredar diantara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul
kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.
Namun, permasalahannya adalah mengapa dalam realitasnya tampaknya tidak ada
hubungan yang signifikan antara filantropi Islam (zakat, infak, sedekah dan wakaf) dengan
25
keadilan sosial atau keadilan distribusi ekonomi bagi masyarakat Muslim. Kalaupun ada
hubungan, agaknya tidak begitu signifikan. Kamil (2016:131) menuliskan bahwa ada banyak
asumsi yang bisa kita bangun untuk menjawab problem filantropi Islam (ZIS dan Wakaf)
ketika dihubungkan dengan Keadilan Sosial.
Pertama, problem manajemen. Baginya manajemen lembaga organisasi ZIS dan
Wakaf di Indonesia masih lemah, hal ini menimbulkan rasa kurang percaya dari masyarakat.
Kenyataan ini bisa kita rujuk pada tidak ada atau kurangnya identifikasi dan penggalangan
muzakki (yang berzakat) dan terutama dalam mendistribusikan zakat, tidak adanya klasifikasi
mustahiq (yang menerima). Kecuali lembaga seperti Dompet Dhuafa Republika, para
mustahik pada umumnya tidak dibagi kedalam kelompok mustahik yang kategori konsumtif
yang diberi ikan dan kategori produktif yang berhak diberi kail (Birton, 2001:25-27).
Selain itu tentu saja kita juga bisa merujuk pada manajemen rekrutmen dana dan
pengelolaannya yang umumnya masih lemah seperti dalam mengakses bank, dalam
transparansi, akuntansi, distribusi, sumber daya manusia, dan program yang ditawarkan.
Bahkan yang lebih parah terjadi dalam manajemen wakaf. Wakaf di Indonesia pada
umumnya dikelola oleh orang-orang (nazhir) yang tidak jelas statusnya, tugas dan
kewajibannya, serta banyak dirangkap oleh takmir masjid. Karenanya dan juga karena PP
No.28/1977 yang menyulitkan kepengurusan tanah wakaf, mayoritas tanah wakaf pata tahun
sekitar 2002 tidak bersertifikat (Suhadi, 2002:131-133,135-136).
Kedua, problem kultur, yaitu kultur konsumerisme dan kultur tradisionalisme dalam
pengeluaran zakat. Masyarakat, baik pengelola ZIS maupun penerima, kebanyakan lebih
cenderung menerima uang wakaf atau barang yang disumbangkan kemudian dihabiskannya
daripada memutar uang untuk kepentigan produksi. Demikian juga dengan kultur tradisional
terutama di pedesaan, dalam pengeluaran zakat. Masyarakat mengeluarkan zakatnya tidak
kepada seluruh atau sebagian mustahiq tetapi hanya kepada para pemimpin agama sebagai
26
sabilillah, mereka tidak menyalurkannya pada Mustahik lain (Ali, 1988:54-56).
Ketiga, pemahaman masyarakat terbatas, Jika dibanding pemahaman mereka tentang
sholat, dan persepsi masyarakat yang melihat ajaran filantropi Islam lebih sebagai ibadah
daripada sebagai kelembagaan atau media untuk kesejahteraan masyarakat. Fenomena ini
khususnya dapat dilihat dari kenyataan bahwa sebagian besar tanah wakaf (sekitar 75%)
untuk kepentingan tempat ibadah, bukan untuk kepentingan umum seperti pendidikan,
kesehatan, dan sosial ekonomi (Ali, 1998:54-56, dan Suhadi,2002:136)
Keempat, tingkat ekonomi masyarakat kita yang memang lemah, yang karenanya
walaupun mereka memiliki semangat filantropi yang tinggi, tetapi jumlahnya tidak besar. Hal
ini terlihat dari tingkat angka kemiskinan yang semakin meningkat. Jika pada akhir 1997,
berdasarkan alat ukur konsumsi kalori per kapita, pengeluaran per kapita, dan kebutuhan fisik
minimum jumlahnya 25 juta orang, maka pada tahun 2000 menjadi 100 juta orang (Birton,
2001:24). Karena itu, cukup wajar bila hasil penelitian Zaim Zaidi “Peluang dan Tantangan
Kedermawanan Islam” memperlihatkan bahwa kebiasaan memberi masyarakat Indonesia
lebih tinggi dibanding Thailand, Filipina, Amerika Serikat, Jerman dan Prancis, tetapi nilai
nominalnya dibawah Thailand dan Filipina (Saidi, dalam Kamil, 2016:133).
Kelima, persoalan etos zakat masyarakat menengah ke atas (yang masuk kategori
muzakki) yang mungkin masih lemah, karena antara lain, sebelum keluarnya UU Zakat,
adanya hambatan besarnya angka pajak yang harus dibayar, sementara zakat pun harus juga
dibayar.
Keenam, persoalan struktural atau kebijakan makro pemerintah yang tidak berpihak
pada kaum miskin. Pembahasan terkait ini diungkapkan Wibowo (2001) dalam “Ideologi dan
Cetak Biru Ekonomi Indonesia: Pemulihan Ekonomi dan Pembangunan yang bekeadilan
Sosial”. Menurutnya, bagi petani sulit mengalami kesejahteraan ekonomi sekalipun dibantu
oleh filantropi Islam, karena kebijakan liberalisasi pertanian pada tahun 2000 yang
27
menetapkan tarif bea masuk 0% untuk komoditas pangan yang menyebabkan Indonesia
mendapat lipmpahan beras ekspor yang sangat banyak dan harga gabah dalam negeri pun
turun drastic. Ini belum lagi ditambah dengan kebijakan subsidi BBM dan listrik. Sementara
itu, lewat rekapitalisasi perbankan, konglomerasi diuntungkan (Wibowo, 2001:1-6 dan
Kontan No.12 tahun VII, 23 Desember 2002).
Ketujuh, problem kalam dan fikih. Dalam teologi Islam, dalam pengertian ilmu kalam
tradisional, kurang atau bahkan tidak memihak pada social justice. Teologi Islam atau ilmu
kalam merupakan teologi istana atau priestly theology (teologi kaum pendeta). Titik tekan
teologi Islam tidak menyentuh ranah sosial, padahal idealnya teologi harus memanusiakan
manusia atau cinta kepada sesama manusia. Mengingat teologi adalah dasar (ushul) untuk
fikih atau hukum Islam (furu‟), maka problem yang hampir sama pun muncul dalam fikih
atau hukum Islam sebagai turunannya. Ada banyak hal yang masih dipersoalkan ulama dalam
pengembangan filantropi Islam. Misalnya, penggunaan zakat untuk peningkatan ekonomi
jangka Panjang kaum miskin yang masih dipersoalkan kalangan tertentu, apalagi untuk
penerbitan buku dan fakir miskin non muslim, dipersoalkan atau bahkan ditolaknya
kemungkinan sebagian uang dari zakat fitra didepositokan untuk kepentingan kaum Muslimin
karena ada larangan menyerahkan zakat fitra kepada mustahiq pasca lebaran atau Idul Fitri,
dan kenyataan fikih masa pertengahan yang tidak mengenal zakat pendapatan. Problem-
problem kelembagaan diatas menjadi mendesak untuk dicarikan jalan keluar dalam upaya
mewujudkan keadilan sosial dan ekonomi (Kamil, 2016:133).
Sementara itu, telaah mengenai otoritas dan kredibilitas dalam pengorganisasian
filantropi Islam di Indonesia dalam kerangka „isu-isu sektor ketiga‟ yang di dalamnya
dielaborasi peran organisasi-organisasi masyarakat sipil dapat kita temukan dalam tulisan
Latief “Politik Filantropi Islam di Indonesia” (2017:30). Baginya jawaban atas pertanyaan
mengenai lembaga manakah yang paling otoritatif dan kredibel menjadi penggerak filantropi
28
Islam di Indonesia, dan pada tingkatan manakah gerakan gerakan filantropi ini dapat berperan
lebih efektif, negara atau masyarakat adalah dengan memeriksa ulang konsep otoritas dan
kredibilitas.
Latief menegaskan konsep otoritas terkait dengan persoalan kebijakan, legalitas dan
rekognisi dari sebuah lembaga formal seperti negara terhadap organisasi-organisasi filantropi
yang ada dimasyarakat. Dalam hal otoritas, pemerintah telah memberikan dukungan yang
luas bagi pengembangan wakaf dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 41 tahun
2004 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 tahun 2006 Tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf.
Sementara konsep „kredibilitas‟ mencakup kapasitas organisasi, akuntabilitas,
kompetensi dan rekognisi dari stakeholders. Dalam praktekya perwakafan di Indonesia saat
ini menghadapi persoalan yang cukup rumit, karena umumnya merupakan wakaf non
produktif dan biaya operasionalnya terkesan membebani masyarakat. Oleh sebab itu,
pengelolaan harta wakaf membutuhkan manajemen modern dalam mengelolanya.
Sebagaimana terungkap dalam paradigma baru tentang wakaf produktif yaitu :
1) Asas Kebadian manfaat
2) Asas Pertanggungjawaban/responsibility
3) Asas Profesional Manajemen
4) Asas Keadilan Sosial.
1. Nazhir (Pengelola Wakaf)
Dalam literatur fikih, pengelola wakaf disebut Nazhir yang berarti penjaga, manajer,
administrator, kepala atau direktur. Selain itu, ia disebut muttawali, yang berarti pengurus,
yang diberi kuasa atau berkomitment, eksekutif, manajer, atau direktur (Munawwir,
1984:1533) . Menurut as-Shan‟ani, pengertian Nazhir adalah orang atau pihak yang berhak
untuk bertindak terhadap harta wakaf, baik untuk memelihara, mengerjakan berbagai hal
29
yang memungkinkan harta itu tumbuh dengan baik, maupun mendistrubusikan hasilnya
kepada orang yang berhak menerimanya. Mengingat tugasnya yang berat ini, Nazhir boleh
terdiri dari dua orang atau lebih, agar bisa dilakukan pembagian tugas.
Dalam pengertian Nazhir diatas, maka dalam konteks perwakafan, Nazhir memegang
peranan dan tugas yang sangat penting yaitu membuat dan mempertahankan agar harta wakaf
dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan dapat berlangsung terus menerus. Untuk itu harta
wakaf harus dijaga, dipelihara, dikelola dan dikembangkan secara produktif baik dengan cara
pengumpulan, investasi, penanaman odal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis,
pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi, pengembangan Gedung, apartemen,
rumah susun pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana Pendidikan ataupun sarana
kesehatan dengan usaha usaha yang tidak bertentangan dengan syariah sehingga
menghasilkan keuntungan . Penjelasan ini sejalan dengan penelitian Mohsin dalam“The
Institution of Waqf : A Non – Profit Institution to Financing the Needy Sector (2007), ia
mengusulkan mengumpulkan seluruh wakaf uang dan menginvestasikannya kemudian
hasilnya dimanfaatkan untuk membiayai sektor yang membutuhkan.
Mengingat tugas Nazhir yang berat maka mereka berhak mendapatkan gaji dari hasil
harta wakaf yang dikelolanya itu sesuai dengan kinerjanya dan standar penggajian yang
umum (ajr al-mitsl). Terkait gaji yang diterima oleh pengelola wakfa, Muhammad Abu
Zahrah dalam “Muhadarat Fi al-Waqf” (2004) membolehkannya hingga 15% dari
penghasilan harta wakaf seperti yang berlaku di Mesir saat ini. Sementara itu, pembicaraan
bolehnya Nazhir memperolah gaji ini didasarkan pada hadis riwayat Bukhari dan Muslim
yang menyebutkan “Tidak ada larangan bagi pengelola harta wakaf memakan hasilnya
dengan baik”. Adapun, dasar penentuan gaji oleh wakif adalah kaidah Ushul Fikih : “Pada
prinsipnya hak pengelolaan wakaf adalah hak wakif”. Karenanya bagi nazhir yang belum
memperoleh gaji dari hasil wakaf dapat mengajukan kepada pemerintah yang berwenang agar
30
bisa memperolehnya. Jika tidak, maka ia tetap tidak boleh mengambilnya , karena bagian
nazhir harus diminta izinnya kepada pemerintah yang berwenang. (Kamil,2016:163).
Namun, menurut al-Qurthubi dan juga Ibn Taimiyyah, pertimbangan atau ketentuan
wakif dalam jumlah, atau bahkan larangannya kepada nazhir untuk mendapatkan gaji atau
bagian, boleh tidak diperhatikan, jika hal itu tidak sesuai dengan kepatutan atau adat. Selain
itu, sebagai hak, nazhir kaya yang tidak berhak membutuhkan gaji sekalipun boleh
memperoleh gaji/bagian dari hasil wakaf yang dikelolanya (Sabiq, 1365 H:261-262, al-
Asqalani, Tth:191, Ibrahim, as-Sayyid dalam al-Amin (ed.), 1979:209-215, Depag,
2004:31,43-44 dan Zahrah. 2004:324-328, 339-346 dalam Kamil:2016:163)
2. Pengelolaan Harta Wakaf
Nazhir atau Mutawalli merupakan salah satu bagian dari Mauquf Alaih. Posisi Nazhir
adalah sebagai manajer yang mewakili Wakif dalam mengelola aset wakaf. Dalam berbagai
kitab fikih Nazhir memang bukanlah sebaagi salah satu rukun wakaf. Namun demikian,
jumhur ulama sepakat bahwasanya Wakif harus menunjuk seorang sebagai manajer wakaf
yang bertugas untuk mengatur, merawat, melindungi dan mengembangkan aset wakif agar
bisa tetap dimanfaatkan oleh masyarakat dan tidak rusak sia-sia (Hasan, 2015 ; Sulistiani,
2017) dalam Paksi (2020 :41).
Sebagai pengelola, dalam fikih nazhir memiliki wewenang melakukan suatu aktivitas
yang memungkinkan benda wakaf lebih berkembang dan bermanfaat lagi bagi publik, tetapi
dengan memperhatikan syarat yang dikemukakan wakif dalam ikrar (pernyataan) wakafnya.
Sementara dalam urusan penggantian harta wakaf dan perubahan peruntukannya, baik fikih
klasik maupun pertengahan tidak mengaturnya secara detail. Pembahasan mengenai hal ini
hanya dalam fikih modern, yang intinya nazhir wakaf diperbolehkan melakukan
pengembangan harta secara produktif dengan terencana, terukur dalam kegiatan harian dan
mudah dievaluasi. (Kamil,2016:164).
31
Caranya antara lain dengan mendepositokan harta wakaf dalam bentuk uang di bank,
mengeluarkan sertifikat yang berisi pencantuman nilai uang tertentu untuk dijadikan modal
pengembangan wakaf atau dibelikan harta wakaf, membuat perusahaan bersama, membuat
lembaga amil zakat untuk rekrutmen modal pengembangan harta wakaf, dan membeli harta
dari dari hasil harta wakaf atau hasil usaha.
Cara lainnya adalah penginvestasian harta benda wakaf, baik langsung maupun tidak
langsung. Misalnya dengan membangun gedung perkantoran atau perumahan diatas tanah
wakaf dimana modalnya berasal dari pengelolaan harta wakaf lain atau pinjaman perbankan
syariah, lalu gedung itu disewakan. Namun, dalam peminjaman modal dari Bank, harus
dimungkinkan harta wakaf tidak menjadi hilang seperti lewat asuransi syariah. Karenanya,
model penyewaan yang bisa dipilih oleh nazhir adalah model hukr atau ijaratain. Hukr
adalah sewa berjangka panjang dengan pembayaran (dibayar sekaligus) di muka yang besar
dan pemabayaran secara periodik oleh pihak lain yang mau bekerjasama dengan nazhir.
Sedangkan ijaratain adalah sewa dengan dua kali pembayaran, di muka dan periodik, tetapi
jumlah pembayaran di muka lebih kecil dari Hukr, hanya cukup untuk rekonstruksi saja.
Dalam hal ini, nazhir wakaf hanya menyediakan tanah saja. Menurut Ahmad Muhammad as-
Sa‟ad dan Muhammad Ali al‟-Umri , pengembangan harta wakaf juga bisa lewat kerjasama
pertanian dan istishna‟, yakni melakukan penjualan barang tertentu dalam tempo yang
disyaratkan untuk dikerjakan terlebih dahulu. Lebih jelasnya, al-Istishna‟ adalah kontrak jual
beli dimana harga atas barang dibayar lebih dulu, atau diangsur sesuai dengan jadwal dan
syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli, diproduksi dan
diserahkan kemudian (Asyub, 2000:70-72-77,93-109, Hasanah 2002, Dirjen Bimas Islam
Depag, 2003:98-102 dalam Kamil 2016:164).
Di negara-negara Muslim, pengembangan wakaf sebagaimana diatur fikih modern
telah dipraktekkan. Di Mesir misalnya, lembaga pengelola wakaf selain telah melakukan
32
kerjasama dalam bidang pertanian dan peternakan juga dibidang industri dan konstruksi.
Salah satunya dengan perusahaan industry gula, permadani, kimia, besi, susu, makanan,
kertas, tenun, dan konstruksi rumah dan gedung.
Bahkan, dalam fikih, baik klasik maupun modern, nazhir wakaf pun dibolehkan
melakukan penukaran benda wakaf seperti dijual, lalun hasilnya disatukan dengan harta
wakaf lainnya sebagaimana yang terjadi di Libya dan Mesir. Tindakan ini dibenarkan dalam
fikih kalangan Hanabilah (Mazhab Hanbali), Hanafiyah dan sebagian Syafi‟iyah. Sebagian
besar Syafi‟iyah dan Malikiyah memang melarang penggantian benda wakaf seperti masjid
oleh benda lain dengan dijual terlebih dahulu, sekalipun masjidnya menjadi roboh. Alasannya
karena Harfiah larangan Nabi untuk mejualnya dalam hadis riwayat Bukhori dan Muslim.
Sebagaimana diungkap oleh ad-Dimyathi (Tth:179) dalam bukunya I‟anah at-Thalibin Jilid
III, sebuah buku terkenal di kalangan Pesantren di Indonesia, bahwa Imam Hanafi memang
membolehkan menjual barang-barang wakaf yang ada di masjid yang hendak roboh, lalu
digunakan lagi untuk masjid.
Namun, mayoritas Syafi‟iyah (Imam Nawawi, Imam as-Suyuthi, Ibn Hajar al-
Haitami, Imam Syairazi dan Syaikh Nawawi Banten) tidak membolehkannya, sekalipun
hendak roboh. Kenati begitu, tulis ad-Dimyati, Imam Subki dari kalangan Syafi‟iyah
membolehkan, selama bendanya akan tetap bertahan, ditukar dengan benda yang sama, dan
digunakan untuk kemaslahatan (as-Sa‟ad dan al-„Umri, 2000:19-20, Zahrah,2004:159-163,
dan Dirjen Bimas Islam Depag, 2003:77 dalam Kamil,2016:165). Karena mayoritas
Syafi‟iyah melarangnya itu, maka ide penukaran harta benda wakaf di Indonesia agaknya
tidak popular di kalangan ulama.
Namun, menurut Muhammad Amin, sesungguhnya harus dibedakan antara penjualan
sebagai salah satu bentuk penukuran benda wakaf dalam bentuk masjid dengan di luar
masjid. Dalam benda berbentuk masjid kecuali Hanabilah yang membolehkannya, para ulama
33
sepakat melarangnya. Sedangkan di luar benda wakaf masjid, para ulama di luar Hanabilah
pun pada dasarnya memandang boleh, selama keadaan memang benar-benar
menghendakinya. Bahkan, sebagian ulama Syafi‟iyah juga ada yang membolehkan penjualan
tikar masjid untuk diganti dengan tikar yang lebih baik atau untuk kemaslahatan masjid
lainnya yang tahan lama (al-Malibari, Tth : 90 dan Rasyid, 1995 : 344).
Sementara itu, Hanabilah membolehkan penjualan masjid atau barang masjid jika
dibutuhkan, seperti karena sudah sempit yang tidak mungkin lagi bisa dimanfaatkan.
Demikian juga boleh dijual, jika penduduk kampung berpindah tempat dan meninggalkan
masjid yang mereka bangun, padahal di tempat pemukiman baru, mereka tidak mampu
membangun masjid yang baru. Argumennya adalah perbuatan Umar bin Khattab yang telah
mengganti masjid Kufah yang lama dengan masjid yang baru, dan tempatnya pun beliau
pindahkan, sehingga tempat masjid yang lama menjadi pasar. Bahkan, Ibn Taimiyah justru
menganjurkannya, jika dipandang lebih maslahat. Hal itu sama dengan seorang yang
mewakafkan kuda pada saat peperangan. Jika perang telah usai, kuda wakaf tersebut boleh
dijual dan hasilnya dibelikan harta benda wakaf lain.
Dalam hal ini, proses penggantian dinilai para fuqaha terutama Ibn Taimiyah dan juga
Muhammad Abu Zahrah sebagai cara mengabadikan benda wakaf. Ibn Taimiyah dalam hal
ini memandang prinsip : “Nushush al-Wakif ka Nushush as-Syar‟I (pernyataan atau ikrar
wakif seperti pernyataan syariat) yang sering dijadikan hujjah (argumen) oleh banyak ulama,
tidak harus dipegang teguh secara Harfiah. Ia agaknya menyadari kemungkinan harta wakaf
berkurang atau habis manfaatnya. Sebab itu, menurutnya yang terpenting adalah
mempertahankan tujuan hakiki pensyariatan wakaf, sehingga tidak melakukan penyia-nyiaan
harta wakaf. Sebab itulah, larangan menukar atau menjual harta wakaf dari wakif boleh
dikesampingkan. Ia pun bahkan membenarkan mengubah persyaratan tertentu yang
ditetapkan wakif karena situasi dan menghendakinya. Katanya : “Sesungguhnya yang
34
menjadi pokok adalah menjaga kemaslahatan dan menjauhkan dari kerusakan. Allah telah
mengutus utusan-Nya guna menyempurnakan kemaslahatan dan melenyapkan segala
kerusakan (Amin, 1991:122-125 dalam Kamil:2016:166)
Sebagaimana isu penggantian, di Indonesia, perubahan peruntukan wakaf ini juga
merupakan isu yang tidak popular, karena dominannya doktrin “Syarat yang dikemukakan
wakif sama dengan teks agama, kecuali jika menyalahi aturan agama” (lihat ad-Damyati, Tth
:169, al-Malibari, Tth : 88 dan al-Bajuri, Tth : 84 dalam Kamil,2016:167).
3. Pendistribusian Harta Wakaf
Mengenai penggunaan hasil pengelolaan wakaf, dalam literatur fikih dijelaskan bahwa
wakaf atau hasilnya boleh digunakan untuk kepentingan ibadah (pembangunan masjid),
lembaga pendidikan dan para gurunya, kebutuhan minum, pengurusan mayit seperti
pembelian kain kafan, pembangunan dan rehabilitas jembatan, untuk para penghuni penjara,
rumah sakit, perpustakaan, pembangunan hotel atau pemondokan untuk para musafir, dan
lainnya. Bahkan berbeda dengan sedekah lainnya, sebagian wakaf atau manfaatnya pun,
seperti buku dan Al-Qur‟an, boleh didistribusikan atau dimanfaatkan oleh orang kaya yang
tidak berhak menerima zakat (as-Syaibani, Tth : 294-295, „Asyub, 2000:31, al-Hanafi, 1902:
122, dan as-Sa‟ad dan al-„Umri, 2000 : 9-17 dalam Kamil,2016:167).
Dalam fikih, wakaf agaknya bisa disebut sebagai institusi keadilan sosial Islam yang
mengandaikan tidak ada atau sangat sedikitnya orang yang dikecualikan dalam
pemanfatannya, termasuk non Muslim. Soal ini, meskipun Syafi‟iyah dalam permasalahan
zakat berpendapat tidak sahnya zakat jika diserahkan kepada fakir miskin yang non-Muslim,
sekalipun diperintahkan penguasa, tetapi berbeda sekali dalam soal wakaf (al-Malibari, Tth
:53). Sebagian Fikih Syafi‟iyah membolehkannya seperti Imam an-Nawawi dalam bukunya
ar-Raudhah menjelaskan mengenai sahnya wakaf kepada non-Muslim satu kewarganegaraan
(dzimmi), baik dari seorang Muslim maupun dari sesama non-Muslim dzimmi.
35
Namun menurutnya, syaratnya adalah : (1) Benda yang diwakafkannya tidak
mengandung dan tidak diperuntukkan untuk kemaksiatan seperti tikar untuk gereja dan lain-
lain. (2) Benda wakafnya boleh dimiliki non-Muslim tidak seperti Qur‟an dan Budak Islam,
walaupun alas an kedua ini bisa diperdebatkan (an-Nawawi, Tth., Jilid IV : 381 sebagaimana
dikutip Ibrahim, 2002 : 16-17).
Demikian juga dengan buku fikih modern seperti fiqh as-Sunnah Sayyid Sabiq (1365
H : 263) yang juga membolehkan pemberian wakaf kepada non-Muslim dzimmi seperti
kepada kaum Kristiani. Alasan yang dikemukakan Sabiq adalah karena telah dipraktikkan
Shafiyyah, istri Nabi, yang mewakafkan hartanya sendiri kepada saudaranya yang Yahudi
(Lihat juga Dirjen Bimas Islam Depag, 2003 : 47-48 dan as-Syaibani, Tth:340). Namun
demikian, mengingat buku ar-Raudhah an-Nawawi di pesantren Indonesia bukan rujukan
utama, sementara buku Fiqh Sunnah (terjemahannya) agaknya hanya menjadi rujukan kaum
modernis yang jumlahnya tidak mayoritas, bahwa pandangan bahwa wakaf boleh diberikan
kepada non-Muslim merupakan pandangan fikih yang tidak popular.
Kecuali alasan di atas, jika wakaf dianalogkan dengan zakat dalam soal bolehnya
memberikan zakat kepada dzimmi (non-Muslim yang berada yang berada dalam lindungan
Negara Muslim), maka menurut Yusuf Qardhawi alas an lainnya adalah karena : (1)
keumuman kata fakir miskin dalam Al-Taubah [9]:60 sebagai penerima sedekah, baik yang
wajib seperti zakat maupun yang sunnah seperti wakaf, dan (2) berdasarkan Q.S Al-
Mumtahanah [60]:8. “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tidak memerangi karena agama dan tidak pula mengusir kamu
dari negerimu”.
ين والا يرجوكم من ديااركم اان ت اب اروهم وات قسطو كم الل لا ي ان ه ا ه عان الذينا لا ي قاتلوكم ف الد
(۸ها يب المقسطيا )ان الل الايهم
36
Artinya: Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung
halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
Ia berpendapat demikian dengan mengikuti pendapat Ibn Sirin, Al-Zuhri, Zufar
(sahabat Abu Hanifah) Ikrimah, Jabir Ibn Zaid yang membolehkannya (Sabiq, 1365 H:293
dan Qardhawi, 1996 :684-688).
Argumen lain dimunculkan oleh Abdul Mannan, ekonom Islam. Dalam
pandangannya, istilah masakin (orang-orang miskin) sebagai penerima sedekah apa saja
termasuk hasil wakaf, berdasarkan filologi Semith yang dilaksanakan Umar bin Khattab,
sesungguhnya menunjuk pada orang-orang non-Muslim di suatu Negara Islam. Selain itu,
kata muallaf (mereka yang hatinya direbut) dan Sabilillah (di jalan Allah) pun bisa dijadikan
argument. Baginya, kata muallaf memiliki empat makna : mereka yang direbut hatinya agar
tutut membantu kaum Muslimin, tidak berbuat hal-hal yang merugikan kaum Muslimin, agar
memeluk agama Islam dan agar membujuk rakyat dan sukunya bersama-sama memeluk
Islam. Kata sabilillah (di jalan Allah) juga pengertiannya luas. Diantaranya adalah
meringankan penderitaan kalangan non-Muslim (Mannan, 1997 : 231).
Dalam pendistribusian hasil wakaf, sebagian fuqaha mendasarkan pada istihsan
(memandang baik suatu tindakan) atau karena alasan maslahat yang dibenarkan oleh hadis
riwayat Abdullah bin Mas‟ud bahwa yang dipandang baik oleh kaum Muslimin, maka
menurut Allah pun baik. Karena itu dalam pendistribusian hasil wakaf, seorang nazhir wakaf
bisa merujuk pada alasan untuk mendatangkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.
Kemaslahatan yang disebut oleh as-Syathibi (730-790 H) sebagai dharuriyat (mendesak),
baik untuk menjaga agama (hifzh al- din), nyawa (hifzh al-nafs), kebebasan berpikir (hifz al-
„aql), reproduksi (hifzh al-nasl) dan hak-hak ekonomi (hifzh al-mal).
37
Menurut as-Syathibi, kemaslahatan merupakan inti syariah Islam, dalil universal, dan
perenial hukum Islam. Bahkan, menurut al-„Iz bin „Abd as-Salam, seluruh hukum Islam
sesungguhnya nadalah untuk kemaslahatan manusia. As- Syathibi pun berpendapat juga
bahwa jika terjadi perbedaan antara dalil Naqli (Al-Quran dan Hadis) dengan kemaslahatan,
maka keduanya harus dikompromikan. Lebih jauh, at-Thufi (657-716 H) dan Ibn Rusyd
(1127-1198) berpendapat bahwa ketika keduanya sulit dikompromikan, maka kemaslahatan
atau temua akal harus didahulukan. Caranya menurut Ibn Rusyd, lewat proses takwil
(memahami teks dari makna zahirnya menuju makna batin yang juga dikandung teks) (as-
Syathibi, Tth : 7-8, 28-29, Suratmaputra, Tth 83-93. As-Sa‟ad dan al-„umri, 2000:30, dan Ibn
Rusyd, 1999:31-32 dalam Kamil, 2016).
Jadi, batasan sejauh mana hasil wakaf khairi boleh didistribusikan adalah sejauh
kemaslahatan menghendakinya, walaupun diktum ini tentu saja akan ditolak oleh kalangan
yang berpandangan bahwa “prinsip ketentuan wakif adalah teks agama” yang mutlak. Diktum
ini juga tampaknya akan ditolak oleh mereka yang terlalu terbelenggu oleh fikih klasik
pertengahan.
4. Akuntabilitas Pengelolaan Wakaf
Agar akuntabilitas pengelolaan dan pendistribusian hasil wakaf terpelihara, maka
dalam sebagian buku fikih modern dijelaskan bahwa para nazhir wakaf hendaknya dalam
bertransaksi, mengembangkan atau mendistribusikan harta wakaf mengikuti aturan akuntansi
yang benar, dimana semua transaksi harus ada bukti tertulisnya. Dengan mengutip Q.S 2 : 282,
Muhammad Abu Zahrah menilai bahwa bukti tertulis lebih meyakinkan, tidak meragukan.
ين ال مان و ااي هاا الذينا ا ي اي انتم بدا مسام ااكتب و ا اذاا تادا ناكم كااتب ااجا والياكتب ب ي
... بالعادل
38
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis
diantara kamu menuliskannya dengan benar...” Ia dan juga „Abd al-Jalil „Abd ar-Rahman „Asyub mengharuskan pelaksanaan audit
(pemeriksaan keuangan) kepada para nazhir wakaf agar diketahui tingkat akuntabilitasnya.
Meskipun begitu, keduanya sepakat bahwa nazhir yang dinilai akuntabel cukup diaudit secara
global saja, demi membuatnya lebih bersemangat dalam mengelola, karena dengan begitu
mereka tidak merasa dicurigai (Zahrah, 2004:346-356).
Selain Q.S 4 : 283, menurut Fauzi Kamal Adham ahli manajemen dalam perspektif
Islam yang pikirannya layak digunakan bagi pengembangan fikih wakaf, keharusan audit
juga sejalan dengan Q.S 4 : 58 yang memerintahkan ditegakkannya keadilan dan amanah.
متم ب ايا الناس اان تاكموا بالعادل ااهلهاا ت ال ن ها ياأمر كم اان ت ؤادوا الام ان الل وااذاا حاكا
عاان الل ها نعم ياعظكم به اان الل ي (٥۸باسي را ) ها كاانا سا
Artinya: Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu
menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran
kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.
Q.S 17 : 13-14 yang menjelaskan bahwa Tuhan akan memeriksa semua tindakan
hamba-Nya di akhirat kelak yang harus diteladani hambaNya sesuai dengan anjuran hadis.
انساان االزامن ( اق راأ كتااباكا ۳۱ه مانشورا )با ي لق ماة كت وانرج لاه ي اوما القي ئرا ف عنقه ه ط واك
(۳٤) وما عالايكا حاسيبا بن افسكا الي ا كاف
39
Artinya: “Dan setiap manusia telah Kami kalungkan (catatan) amal perbuatannya di
lehernya. Dan pada hari Kiamat Kami keluarkan baginya sebuah kitab dalam keadaan
terbuka” 13. “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai penghitung
atas dirimu”. 14
Selain itu, Q.S 3 :104 juga menganjurkan amar ma‟ruf dan nahyi munkar, dimana
kegiatan audit yang akan menjaukan seorang nazhir penyelewengan merupakan bagian dari
nahyi munkar.
عروف واي ان هاونا عان والتاكن منكم امت يادعونا الا الاي واياامرونا بالما
( ۳۱٤ئكا هم المفلحؤنا )وااول المنكار
Artinya: “Dan hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka
itulah orang-orang yang beruntung.
Lagi pula jika audit tidak dilaksanakan, maka sesuai Q.S 5 : 78-79, itu berarti kaum
Muslimin melakukan tindakan sebagaimana kebiasaan orang-orang Yahudi yang enggan
melakukan nahyi munkar yang dikecam Quran (Adham, 2001 : 311-312).
ا عال اسراا بان لعنا الذينا كافاروا من لكا باا عاصاوا و ذ لساان دااودا واعيسا ابن مارياا ءي
ان وا ي اعتادونا ) ( ۸۷لابئسا ماا كاان وا ي افعالونا ) اعالو ( كاان وا لا ي ات انااهاونا عان منكار ۸۸كا
Artinya: “Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melalui lisan (ucapan) Daud dan
„isa putra Maryam. Yang demikian itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas”
78. “Mereka tidak saling mencegah perbuatan mungkar yang selalu mereka perbuat.
Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat” 79.
40
Selain audit, untuk terpeliharanya akuntabilitas nazhir, mendesak juga dilakukan hal-
hal yang menunjukan transparansi. Meskipun dalam fikih keharusan transparansi ini tidak
dibahas, tetapi alasannya : pertama, dalam hadis Nabi riwayat Turmudzi, Ahmad, dan ad-
Darimi dijelaskan bahwa dosa adalah sesuatu yang membuat hati pelakunya merasa gundah
dan ketika melakukannya takut dilihat orang (CD ROM Hadis). Jadi, berdasarkan hadis ini
bisa dikatakan ciri perbuatan dosa adalah perbuatan yang takut jika dilakukan secara
transparan. Sementara perbuatan baik adalah perbuatan yang salah satu cirinya tidak takut
jika dilakukan secara transparan oleh pelakunya. Kedua, mengingat harta wakaf adalah harta
publik, maka dalam memanajnya juga harus melibatkan publik dalam persoalan publik
diwajibkan sebagaimana perintah Q.S 3:159 atau 42 : 38 yang menganjurkan dilakukannya
musyawarah dan tradisi Nabi Muhammad yang selalu melibatkan publik dalam persoalan
publik.
م ابماا راهاة منا الل ن فاضوا من حاولكا ه لنتا لا ااعف والاوء كنتا اظا غاليظا القالب لا
م واشااورهم ف الامر هم وااست اغفر لا عالا الل عان ان اللها يهب المت اواكليا ه ااذاا عازامتا ات اواك
(۳٥۷)
Artinya: “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri
dari sekitarmu. Karena itu, maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan
bersmusyawaralah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah
membulatkan tekad, maka bertawakkalah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang
yang bertawakkal.
41
Bahkan, bukan saja audit dan transparansi yang lebih banyak berkaitan dengan
keuangan, tetapi juga harus dilakukan pengawasan manajemen secara umum. Hal ini
sebagaimana tindakan Umar bin Khattab saat musyawarah yang di dalamnya para pengelola
wakaf menyhampaikan laporan pertanggungjawaban. Ia dalam forum ini mencari informasi
banding dari sumber informasi lain selain dari pihak pengelola wakaf. Misalnya dari wakif,
penerima, atau pengamat (Adham, 2001:313-320).
C. Pelitian Terdahulu
No
.
Nama
Peneliti
Jurnal
Penelitian
Metode dan
Variable
Persamaan
dan
Perbedaan Kesimpulan
1
Rusydian
a & Devi
Journal Al-
Awqaf (2018)
“Analisis
Pengelolaan
Wakaf Uang
di Indonesia :
Pendekatan
Metode
Analytic
Network
Process
(ANP)
Metode
Kualitatif. Alat
analisis Analytic
Network
Process (ANP)
dengan
menggunakan
software “Super
Decision”
Persamaan :
Metode
Kualitatif
Menggunaka
n Alat
Analisis ANP
Perbedaan :
Rusydian dan
Devi
mengurai
permasalahan
wakaf uang
di Indonesia
dari 4 aspek
yaitu :
Kepercayaan,
Syariah,
SDM dan
Sistem.
Sementara
dalam
penelitian ini
mengurai
permasalahan
wakaf
produktif di
Indonesia
dari 3 aspek
SDM,
Syariah,
Regulasi dan
Dari penelitian ini
penguraian aspek
masalah secara
keseluruhan
menghasilkan urutan
prioritas :
1). Masalah
Kepercayaan,
2) Masalah Syatiah,
3) Masalah SDM,
4) Masalah Sistem
42
IT.
2
Huda,
Rini,
Mardoni,
Khudori,
&
Anggraen
i
Journal of
Economic
Coorperation
&
Development
Vol. 38 No.1
(2017)
“Problems,
Solutions &
Strategies
Priority for
Waqf in
Indonesia”
Metode
Kualitatif. Alat
analisis Analytic
Network
Process (ANP)
dengan
menggunakan
software “Super
Decision”
Persamaan :
Metode
Kualitatif
Menggunaka
n Alat
Analisis ANP
Perbedaan :
Penelitian
Huda
membagi
permasalahan
wakaf mejadi
3 aspek yaitu
: Nazhir,
Regulasi dan
Wakif.
Sementara
dalam
penelitian ini
mengurai
permasalahan
wakaf
produktif di
Indonesia
dari 4 aspek
yaitu : aspek
SDM,
Syariah,
Regulasi dan
IT.
Metode yang
digunakan dalam
artikel ini adalah
metode kualitatif
dengan alat analisis
Analytic Networking
Process (ANP). Hasil
penelitian
menunjukkan bahwa
prioritas permasalahan
wakaf di Indonesia
terletak pada aspek
nazhir yang bukan
profesi utama.
Masalah kedua adalah
regulasi yang tidak
tersosialisasi dengan
baik. Masalah ketiga,
rendahnya pengetahuan
wakif. Solusi utama
permasalahan nazhir
adalah dengan
mentransformasikanny
a dari Nazhir individu
menjadi Nazhir
institusi.
3
Firdaus,
Nuruddin
&
Hasmawa
ti
Budapest
International
Research and
Critics
Institute
Journal
(BIRCI
Journal) Vol.
Metode
Kualitatif. Alat
analisis Analytic
Network
Process (ANP)
dengan
menggunakan
software “Super
Persamaan:
Metode
Kualitatif,
alat analisis
Analytic
Network
Process.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa
prioritas permasalahan
dalam pengelolaan
wakaf tunai di
Sumatera Barat adalah :
1)Sumber daya
manusia,
43
2 No.3
Agustus
(2019)
“Problematic
Analysis of
Cash Waqf
Management
in West
Sumatera
through ANP
Approach”
Decision”
Perbedaan :
Penelitian
Firdaus dkk
mengurai
faktor
penting yang
menjadi
kendala
dalam
pengembang
an wakaf
tunai di
Sumatera
Barat.
Sementara
penelitian ini
mengurai
permasalahan
wakaf
produktif di
Indonesia.
2) Regulasi
3) Akuntabilitas
4) Produk.
Penulis menegaskan
pentingnya nazhir
profesional dalam
mengelola wakaf uang.
4
Nasution,
Nasution
& Qorib
The
International
Journal of
Sciences and
Humanities
Invention, Vol
5, 2018
“Cash Waqf
on
Organization
of
Muhammadiy
ah Area of
Muhammadiy
ah North
Sumatra
Approach
ANP (Analytic
Network
Process)
Metode
Kualitatif. Alat
analisis Analytic
Network
Process (ANP)
Persamaan:
Metode
Kualitatif,
alat analisis
Analytic
Network
Process.
Perbedaan :
Penelitian
Nasution dkk
mengkaji
strategi
pengelolaan
wakaf uang
di organisasi
Muhammadi
yah wilayah
Sumatera
Utara,
dengan
menggunaka
n alat analisis
ANP
(Analytic
Network
Process)
Penelitian Nasution
dkk menegaskan bahwa
prioritas strategi yang
dapat ditawarkan
berdasarkan ANP
adalah sebagai berikut :
1) Sosialisasi
Program
2) Segementasi
wakaf tunai
3) Memperkuat
manajemen
4) Optimaslisasi
investasi
5) Program
Pendidikan dan
Kerjasama
pihak ketiga
44
5
Hidayati,
Indrawan
&
Madihah
Proceeding of
the 6th Asian
Academic
Society
International
Conferenc
(AASIC),
2018
“Analysis
Management
of Cash Waqf
on Innovative
Instrument for
Economic
Development
(A Case Study
in Indonesian
Waqf
Deposite)
Metode
Kualitatif. Alat
analisis Analytic
Network
Process (ANP)
Persamaan :
Metode
Kualitatif
Menggunaka
n Alat
Analisis ANP
Penelitian
Hidayati dkk
membagi
permasalahan
wakaf
menjadi 3
aspek yaitu:
Pemerintah,
Sumber Daya
Manusia dan
Masyarakat.
Sementara
dalam
penelitian ini
mengurai
permasalahan
wakaf
produktif di
Indonesia
yang terdiri
dari aspek
SDM,
Syariah,
Regulasi dan
IT.
Penelitian ini mengurai
permasalahan yang
muncul dalam
pengembangan wakaf
uang di Indonesia,
peneliti membagi
permasalahan tersebut
menjadi 3 aspek yaitu:
Pemerintah, Sumber
Daya Manusia, dan
Masyarakat. Dengan
menggunakan metode
ANP diperoleh
prioritas strategi untuk
menyelesaikan masalah
pengumpulan wakaf
uang di Indonesia,
terdiri dari pelatihan
urutan pertama,
sertifikasi nadzir dan
pengangkatan profesi,
optimalisasi sosialisasi
kepada masyarakat,
pelaporan dana wakaf
secara rutin dan
terakhir memberikan
dukungan infrastruktur
untuk mengakomodasi
lembaga wakaf.
6
Ali,
Yuliani,
Mulitsah
&
Abdullah
Journal Al-
Falah, Journal
of Islamic
Economics
Vol.3 N0.1
(2018)
“Aspek-aspek
prioritas
manajemen
Metode
Kualitatif. Alat
analisis Analytic
Network
Process (ANP)
Persamaan :
Metode
Kualitatif
Menggunaka
n Alat
Analisis ANP
Perbedaan :
Ali dkk
Masalah internal
pengelolaan wakaf
yang paling prioritas
adalah kurangnya
kompetensi pengelola
wakaf atau nazhir dan
profesionalisme nazhir.
Prioritas aspek solusi
45
waqf di
Indonesia”
mengurai
permsalahan
wakaf di
Indonesia
dibagi
menjadi 2
yaitu
masalah
internal dan
eksternal.
Sementara
dalam
penelitian ini
mengurai
permasalahan
wakaf
produktif di
Indonesia
yang terdiri
dari aspek
SDM,
Syariah,
Regulasi dan
IT.
internal manajemen
wakaf di Indonesia
pada hasil analisis
adalah peningkatan
kompetensi nazhir
Berdasarkan masalah
dan solusi tersebut,
terdapat tiga strategi
yang dapat menjadi
alternatif. Namun, yang
menjadi prioritas paling
penting adalah dengan
melakukan sosialisasi
dan edukasi secara
komprehensif kepada
semua elemen.
7
Astuti,
Basri, &
Tanjung
Tazkia Islamic
Finance and
Business
Review
Vol.13 N0.1
(2019)
“Analysis of
Nazhir
Accountability
Implementatio
n in
Empowerment
of Productive
Metode
Kualitatif. Alat
analisis Analytic
Network
Process (ANP)
Persamaan :
Metode
Kualitatif
Menggunaka
n Alat
Analisis ANP
Perbedaan :
Penelitian
Astuti dkk
menganalisis
Penerapan
Akuntabilitas
Hasil penelitian ini
menunjukkan masih
banyak masalah dalam
penerapan akuntabilitas
diantaranya adalah
pemahaman
masyarakat tentang
hukum wakaf masih
lemah, nazhir tidak
professional, sistem
yang tidak terintegrasi,
nazhir tidak transparan
serta peran BWI dan
46
Waqf in
Indonesia”
Nazhir dalam
Pemberdayaa
n Wakaf
Produktif di
Indonesia
Kemenag belum
maksimal.
Implikasi dari
penelitian ini adalah
identifikasi
permasalahan dan
solusi yang bisa
diterapkan oleh nazhir,
BWI dan Kemenag
untuk meningkatkan
produktifitas mereka
agar dapat membawa
maslahah untuk umat.
D. Kerangka Berpikir
Gambar 2.1
Kerangka Berpikir
47
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif-kualitatif dimana bertujuan untuk menangkap
suatu nilai atau pandangan yang diwakili para pakar dan praktisi Syariah tentang masalah
wakaf produktif di Indonesia. Alat analisis yang digunakan adalah metode ANP dan diolah
dengan menggunakan software “Super Decision”.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi hal-hal yang menjadi masalah
dalam pengelolaan wakaf produktif di Indonesia, kemudian untuk dapat dipakai sebagai
landasan dalam memberikan berbagai alternatif pemecahan dan strategi kebijakan yang tepat
untuk mengatasi masalah tersebut. Tujuannya adalah untuk memberikan masukan-masukan
kepada stakeholder terkait seperti lebaga Nadzhir, Badan Wakaf Indonesia sebagai wakil
pemerintah yang mengurusi ihwal wakaf untuk dapat mengambil policy action yang tepat
untuk mengatasi masalah-masalah yang ada, dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan.
Dalam penelitian ini, data yang digunakan merupakan data primer yang diperoleh
dari hasil wawancara (indepth interview) dengan pakar dan praktisi, yang memiliki
pemahaman tentang permasalahan yang dibahas. Dilanjutkan dengan pengisian kuesioner.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Tabel 3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian
No. Waktu Penelitian Lembaga
1 Periode April – Mei 2019 Dompet Dhuafa
Republika, Yayasan
Badan Wakaf Haji
48
Akrom di Bogor dan
Jakarta
2 Periode Februari-Maret 2020 Lembaga Riset,
SMART Indonesia di
Bogor
3 Periode Februari-Maret 2020 Badan Wakaf Indonesia
di Gedung Bayt Al-
Quran, TMII/Jakarta
Timur.
C. Populasi dan Sampel
Pemilihan responden pada penelitian dilakukan dengan mempertimbangkan
pemahaman responden terhadap permasalahan wakaf produktif di Indonesia. Jumlah
responden dalam penelitian ini terdiri dari tujuh orang pakar atau praktisi dengan
pertimbangan berkompeten. Syarat responden yang valid dalam ANP adalah bahwa mereka
adalah orang-orang yang menguasai atau ahli di bidangnya. Oleh karena itu responden yang
dipilih dalam survey ini adalah para pakar/peneliti ekonomi Islam dan praktisi yang
berkecimpung dalam dunia wakaf produktif di Indonesia.
Tabel 3.2
Komposisi Responden
No. Nama responden Afiliasi Kelembagaan Industri Perwakilan
1 Aam Rusydiana Smart Indonesia Lembaga Riset Akademisi
2 Abrista Devi Universitas Ibn Khaldun Pendidikan Akademisi
3 Kamaluddin Dompet Dhuafa Keuangan Syariah Praktisi
4 Agung Prijo Nugroho Yayasan Badan Wakaf Haji Akrom Keuangan Syariah Praktisi
5 Rifki Ismal Bank Indonesia Keuangan Syariah Praktisi
6 Nur S Buchori Badan Wakaf Indonesia Filantropi Islam Government
7 Nurul Huda Badan Wakaf Indonesia Filantropi Islam Government
49
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam melakukan
penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Adapun teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :
1. Teknik Wawancara
Dalam penelitian ini, data yang digunakan merupakan data primer yang didapat dari
hasil wawancara (indepth interview) dengan pakar dan praktisi, yang memiliki pemahaman
tentang permasalahan yang dibahas.
2. Kuesioner
Dalam rangka mendapatkan data primer tentang persepsi para pakar, praktisi dan
regulator tentang permasalahan seputar pengembangan wakaf produktif di Indonesia dalam
kerangka model ANP yang telah dirancang, survey menggunakan kuesioner dilakukan.
Responden terdiri dari dua orang pakar, tiga orang praktisi, dan dua orang regulator.
Dalam analisis ANP jumlah sampel/responden tidak digunakan sebagai patokan
validitas. Syarat responden yang valid dalam ANP adalah bahwa mereka adalah orang-orang
yang ahli di bidangnya. Oleh karena itu responden yang dipilih dalam survey ini adalah
pihak-pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung dalam aktivitas pengembangan
Wakaf Produktif di Indonesia.
3. Teknik Kepustakaan
Teknik kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi terhadap
buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporan-laporan yang ada hubungannya
dengan masalah yang diteliti.
4. Teknik Dokumentasi
50
Teknik dokumentasi adalah teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data berupa
data-data tertulis yang mengandung keterangan dan penjelasan seta pemikiran tentang
fenomena yang masih faktual dan sesuai dengan masalah penelitian.
E. Metode Analisis Data
Penelitian ini merupakan penelitian analisis kualitatif – kuantitatif dimana bertujuan
untuk menangkap suatu nilai atau pandangan yang diwakili para pakar dan praktisi syariah
tentang masalah wakaf produktif di Indonesia sehingga mampu mengurangi kemiskinan di
Indonesia. Alat analisis yang digunakan adalah metode ANP dan diolah dengan
menggunakan software “Super Decision”.
1. Gambaran Umum Metode ANP
Analytic Network Process (ANP) juga merupakan teori matematis yang
mampu menganalisa pengaruh dengan pendekatan asumsi-asumsi untuk
menyelesaikan bentuk permasalahan. Metode ini digunakan dalam bentuk
penyelesaian dengan pertimbangan atas penyesuaian kompleksitas masalah secara
penguraian sistematis disertai adanya skala prioritas yang menghasilkan pengaruh
prioritas terbesar. ANP juga mampu menyelesaikan model faktor-faktor dependence
serta feedbacknya secara sistematik. Pengambilan keputusan dalam aplikasi ANP
yaitu dengan melakukan pertimbangan dan validasi atas pengalaman empirical.
2. Landasan ANP
ANP memiliki empat aksioma yang menjadi landasan teori, antara lain:
a. Resiprokal; aksioma ini menyatakan bahwa jika PC (EA,EB) adalah nilai
perbandingan pasangan dari elemen A dan B, dilihat dari elemen induknya C,
yang menunjukkan berapa kali lebih banyak elemen A memiliki apa yang dimiliki
elemen B, maka PC (EB,EA) = 1/Pc (EA,EB). Misalkan, jika A lima kali lebih
besar dari B, maka B besarnya 1/5 dari besar A.
51
b. Homogenitas ; menyatakan bahwa elemen-elemen yang dibandingkan dalam
struktur kerangka ANP sebaiknya tidak memiliki perbedaan terlalu besar, yang
dapat menyebabkan lebih besarnya kesalahan dalam menentukan penilaian elemen
pendukung yang mempengaruhi keputusan.
Tabel 3.3
Definisi Skala Penilaian dan Skala Numerik
Definition Intensity of Importance
Equal Importance 1
Weak 2
Moderate Importance 3
Moderate Plus 4
Strong Importance 5
Strong Plus 6
Very Strong or demonstrated importance 7
Very, very strong 8
Extreme Importance 9
Sumber: Saaty, 2006
c. Prioritas ; yaitu pembobotan secara absolut dengan menggunakan skala interval
(0.1) dan sebagai ukuran dominasi relative.
d. Dependence Condition ; diasumsikan bahwa susunan dapat dikomposisikan
kedalam komponen-komponen yang membentuk bagian berupa cluster.
3. Tahapan Penelitian
Tahapan pada Metode ANP antara lain :
a. Konstruksi Model
Konstruksi Model ANP disusun berdasarkan literature review secara teori
maupun empiris dan memberikan pertanyaan pada pakar dan praktisi wakaf serta
melalui indepth interview untuk mengkaji informasi secara lebih dalam untuk
memperoleh permasalahan yang sebenarnya.
52
b. Kuantifikasi Model
Tahap Kuantifikasi model menggunakan pertanyaan dalam kuesioner ANP berupa
pairwise comparison (perbandingan pasangan) antar elemen dalam cluster untuk
mengetahui mana diantara keduanya yang lebih besar pengaruhnya) lebih
dominan dan seberapa besar perbedaannya melalui skala numeric 1-9. Data hasil
penilaian kemudian dikumpulkan dan diinput melalui software super decision
untuk diproses sehingga menghasilkan output berbentuk prioritas dan
supermatriks. Hasil dari setiap responden akan diinput pada jaringan ANP
tersendiri.
c. Sintesis dan Analisis
1) Geometric Mean
Untuk mengetahui hasil penilaian individu dari para responden dan
menentukan hasil pendapat pada satu kelompok dilakukan penilaian dengan
menghitung geometric mean (Saaty dalam Rusydiana dan Devi, 2006:15).
Pertanyaan berupa perbandingan (Pairwise comparison) dari responden akan
dikombinasikan sehingga membentuk suatu consensus. Geometric Mean
merupakan jenis penghitungan rata-rata yang menunjukan tendensi atau nilai
tertentu dimana memiliki formula (Ascarya dalam Rusydiana dan Devi,
2011:15).
2) Rater Agreement
Rater Agreement adalah ukuran yang menunjukan tingkat kesesuaian
(persetujuan) para responden (R1-Rn) terhadap suatu masalah dalam satu
cluster. Adapun alat yang digunakan untuk mengukur rater agreement adalah
Kendall‟s Coeficient of Concordance (W;0 < W ≤ 1). W=1 menunjukan
kesesuaian yang sempurna (Ascarya, 2011).
53
Untuk menghitung Kendall‟s (W), yang pertama adalah dengan memberikan
rangking pada setiap jawaban kemudian menjumlahkannya.
i = ∑jm
= 1ri.j
Nilai rata-rata dari total rangking adalah :
R =
m (n 1)
Jumlah kuadrat defiasi (S), dihitung dengan formula :
S = ∑
Sehingga diperoleh Kendall‟s W, yaitu :
W =
Jika nilai pengujian W sebesar 1 (W=1), dapat disimpulkan bahwa penilaian
atau pendapat dari para responden memiliki kesesuaian yang sempurna.
Sedangkan ketika nilai W sebesar 0 atau semakin mendekati 0, maka
menunjukan adanya ketidaksesuaian antar jawaban responden atau jawaban
bervariatif (Ascarya dalam Rusydiana dan Devi, 2011:16).
Gambar 3.1
Tahapan Penelitian
Sumber : (Ascarya, 2005)
54
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Konsep Produktivitas dalam Ekonomi Konvensional
Nomenklatur organisasi pada umumnya dibagi ke dalam tiga sektor berbeda yang
saling berkelindan. „Sektor Pertama‟ bernama negara atau pemerintah (state agencies) yang
bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan terhadap masyarakat melalui perangkat-
perangkat hukum dan kebijakan. „Sektor Kedua‟ adalah organisasi-organisasi swasta yang
tujuannnya tidak lain dari mengakumulasikan modal dan melakukan pengembangan unit-unit
yang bersifat profit. „Sektor Ketiga‟ direpresentasikan oleh organisasi-organisasi sosial atau
organisasi nirlaba (non-profit). Organisasi pada sektor ini bertujuan antara lain untuk
memberikan pelayanan (service) atas kebutuhan dasar masyarakat dan menyediakan model
pendampingan (advocacy) bagi masyarakat dengan didasarkan pada sistem kemandirian (self-
reliace). (Latief, 2017:31-32).
Sejatinya, ketiga jenis organisasi tersebut memiliki tugas, wewenang dan wilayah garap
yang berbeda, Namun faktanya, seiring dengan kompleksitas kehidupan masyarakat,
ketiganya sering dikontestasikan dalam suatu arena dimana mereka memiliki tujuan dan
kepentingan yang sama, misalnya dalam program pemberdayaan masyarakat, pengentasan
kemiskinan, dan pemberantasan kebodohan. Pemerintah, swasta maupun organisasi
masyarakat memiliki hak dan kewenangan untuk berpartisipasi dalam memberikan solusi
terhadap problem tersebut dengan cara, kewenangan dan kapasitasnya masing-masing, Setiap
negara memiliki kebijakan yang berbeda antara satu sama lain dalam memberikan “porsi”
kewenangan kepada masing-masing sektor, bergantung kepada karakter “ideologi” negara
tersebut. Indonesia sendiri memiliki karakter dan pengalaman sosial politik yang berbeda
dengan negara-negara lain.
55
Beberapa organisasi sektor ketiga telah mengembangkan wilayah garapnya menjadi
lebih luas, meski belum secara „utuh‟memasuki sektor kedua yang lebih bersifat profit. Saat
ini, melalui inisiatif masyarakat, ribuan sekolah, pesantren, klinik, rumah sakit, dan berbagai
sentra ekonomi telah berdiri dan dioperasikan sebagai bentuk evolusi organisasi masyarakat
sipil. (Latief, 2017:37-38).
Dalam kajian ilmu konvensional, produktivitas merupakan rasio antara output
disbanding input. Produktivitas mengukur seberapa efisien input yang digunakan dalam
proses produksi mampu menghasilkan output pada tingkat tertentu (Krugman, 1997) dalam
Paksi (2020:53).
Produktivitas menjadi penting dalam kajian ekonomi baik di lingkup mikro maupun
makro, khususnya untuk mengukur efektivitas produksi suatu negara maupun perusahaan.
Dengan meningkatkan produktivitas di skala nasional, standar hidup layak di masyarakat bisa
meningkat. Hal tersebut disebabkan peningkatan produktivitas akan mendorong peningkatan
pendapatan masyarakat dan daya belinya. Dengan daya beli yang meningkat, masyarakat
akan mampu membeli barang dan jasa yang lebih berkualitas untuk dikonsumsi seperti
kebutuhan sandang, pangan, dan papan, Pendidikan, serta kemampuan berkontribusi pada
lingkungan sekitar.
Negara dan perusahaan akan terus berupaya mendorong peningkatan
produktivitasnya. Terdapat lima hal yang secara umum akan mendorong tingginya
produktivitas dalam jangka Panjang, yaitu investasi, inovasi, keahlian tenaga kerja,
entrepreneurship, dan kompetisi (ONS, 2007) dalam Paksi (2020: 53).
B. Konsep Produktivitas dalam Ekonomi Islam
Konsep produktivitas dalam Islam pada dasarnya sedikit berbeda dengan konsep
produktivitas dalam kajian ilmu ekonomi konvensional. Konsep produktivitas dalam ilmu
ekonomi konvensional hanya mengarah pada aspek material dalam kehidupan duniawi saja
56
yang berbasis pada pemahaman materialis. Padahal, dalam Islam selain kehidupan duniawi
juga dipercaya akan adanya kehidupan akhirat, sebagaimana tercantum dalam Surat Al-
An‟am ayat 162. Dalam ayat tersebut Allah SWT berfirman dan memerintahkan manusia
untuk menyerahkan segala urusan hidup matinya hanya untuk Allah SWT (Al-Haddad, 2012)
dalam Paksi (2020:56). Maka seharusnya konsep produktivitas juga mengarah kepada
keduanya.
Hal tersebut menjadi kunci perbedaan konsep produktivitas dalam Islam dan dalam ilmu
duniawi lainnya. Menjadi produktif dalam Islam artinya seorang muslim harus selektif dalam
memilih kegiatan yang dijalaninya, bukan hanya membawa keuntungan pada duniawinya saja
melainkan juga memaksimalkan pahala untuk kehidupan akhiratnya. Walaupun demikian,
pandangan tentang mengoptimalkan input dan output tidak sepenuhnya salah. Islam
memandang produktivitas sebagai suatu keseimbangan antara kehidupan duniawi dan akhirat,
bukan salah satu diantara keduanya.
Jika melihat makna produktivitas dalam ekonomi Islam, akan ditemui bahwa konsep
produktivitas dapat dikaitkan dengan kelancaran distribusi harta. Distribusi menjelaskan
bagaiman pembagian kekayaan yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi. Secara umum
distribusi mencegah adanya penumpukan harta pada satu pihak saja. Perekonomian Islam
mengenal dua metode distribusi kekayaan, yaitu melalui pasar dan non-pasar. Dalam
distribusi melalui pasar, harta didistribusikan melalui transaksi perdagangan barang dan jasa
yang terjadi sehari-hari. Sementara distribusi melalui non-pasar terjadi diantaranya lewat
zakat, infak, sedekah, dan wakaf.
Pentingnya produktivitas dalam Islam juga dapat dibuktikan melalui konsepsi Ihya‟ul
Mawa‟at (Mangunjaya, 2009) dalam Paksi (2020 : 58). Ihyaul Mawa‟at berasal dari dua kata
yaitu Ihya‟ yang artinya hidup dan mawa‟at yang berarti mati. Sementara secara istilah,
artinya adalah menghidupkan lahan-lahan yang sudah mati. Lahan-lahan mati yang dimaksud
57
adalah lahan-lahan produktif yang tidak dimiliki oleh siapa pun atau lahan yang dimiliki oleh
seseorang namun dibiarkan terbengkalai tanpa dimanfaatkan.
Konsep Ihya‟ul Mawa‟at bertujuan untuk mencegah adanya lahan-lahan yang tidak
digarap secara produktif. Umat Muslim dianjurkan untuk menggarap lahan-lahan tidak
produktif tersebut sesuai dengan fitrah-nya baik untuk lading maupun peternakan. Tujuannya
adalah agar tanah-tanah tersebut menghasilkan sayur, buah, atau hasil tanaman dan produksi
lainnya yang mampu digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Secara umum perintah untuk memanfaatkan lahan yang tidak produktif tersebut dapat
ditemukan dalam surat An-Nahl (16) ayat 13-15 yang menunjukkan bahwa bumi dan
seisinya memang telah dipersiapkan oleh Allah untuk dikelola dan diambil hasilnya demi
memenuhi kebutuhan manusia. Disamping itu, terdapat pula hadis Rasulullah SAW yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa‟I dan Turmudzi yang menyatakan bahwa jika seseorang
menggarap lahan-lahan mati atau tidak bertuan makai a berhak atas lahan tersebut (Al-
Hafizh, 2012) dalam Paksi (2020:58).
Konsep Ihya‟ul Mawa‟at dapat dijadikan analogi untuk harta-harta jenis lainnya. Harta-
harta yang disimpan selain tanah dan bangunan hendaknya memang dimanfaatkan secara
lebih produktif daripada dibiarkan terbengkalai dan tidak menghasilkan suatu apapun. Tentu
konsep produktif yang dimaksud adalah yang sesuai dengan konsep ekonomi Islam yaitu
keseimbangan antara perolehan duniawi dan akhirat, bukan hanya salah satu diantara
keduanya.
Demikian halnya dengan pengelolaan wakaf. Sebagaimana disebutkan dalam UU
No.41/2004 Tentang Wakaf bahwa tujuan wakf adalah sebagai sarana kegiatan ibadah,
Pendidikan, Kesehatan, bantuan kepada fakir miskin, serta untuk kemajuan peningkatan
ekonomi umat, maka wakaf yang ada juga harus dikelola sebaik-baiknya agar menjadi wakaf
yang produktif.
58
C. Gambaran Umum & Objek Penelitian
1. Yayasan Badan Wakaf Haji Akrom
Unsur AKROM pada Yayasan Badan Wakaf Haji Akrom berasal dari nama H.
Akrom bin H. Abdussalam, seorang ulama independen sekaligus pengusaha ternak dan
pertanian yang sukses dari Tulungagung, Jawa Timur. H. Akrom memiliki sekitar 200
ekor sapi perah di beberapa lokasi di Tulungagung dan Kediri. Saat masih belia, Haji
Akrom sudah memiliki perkebunan seluas lebih kurang 6 hektar. Di usi mudanya Hj
Akrom menuntut ilmu hingga ke kota suci Madinah di Saudi Arabia. Tahun 1920,
setelah beberapa tahun menimba ilmu di pondok Tihamah di Madinah, beliau kembali ke
Tanah Air.
Sejak masih muda, Haji Akrom telah mengajarkan ilmunya di sejumlah pondok
pesantren, dan banyak murid beliau yang kini menjadi tokoh sukses. Karena kepiawaian
dalam dakwah dan usaha perniagaannya yang sukses, Haji Akrom pun memiliki
pengaruh yang luar biasa di kalangan warga dan tokoh di Tulungagung saat itu. Namun
kesuksesan duniawi tidak membuat Haji Akrom lupa diri. Sebaliknya, beliau justru
menjadi orang yang sangat dermawan dan peduli pada sesama. Ini terbukti dari sejumlah
bidang tanah di Tulungagung yang beliau wakafkan untuk pembangunan masjid dan
lembaga pendidikan.
Tahun 2015, para cucu Haji Akrom memutuskan untuk melanjutkan perjuangan
beliau, dengan mendirikan Yayasan Badan Wakaf Haji Akrom di Tulungagung, agar
kebaikan-kebaikan beliau terus mengalir dan semakin banyak orang yang merasakan
manfaatnya. Pada awal 2017, Akrom Foundation cabang Jakarta pun didirikan. Semua
pengurus intinya adalah orang-orang profesional yang berpengalaman di bidang
fundraising. Salah satu misi utama kami saat mendirikan cabang Jakarta adalah ingin
menjadikan Akrom Foundation sebagai yayasan yang semakin besar dan semakin
59
profesional, sehingga semakin banyak masyarakat yang terbantu, dan semoga semakin
banyak amal jariyah yang mengalir untuk Haji Akrom.
2. Yayasan Dompet Dhuafa
Yayasan Dompet Dhuafa sebagai organisasi masyarakat sipil yang bergerak
dalam filantropi Islam untuk tujuan pelayanan sosial, pemberdayaan dan penanggulangan
bencana dan program kemanusiaan lainnya (Helmanita,2005). Yayasan Dompet Dhuafa
merupakan organisasi amal nirlaba Islam yang didirikan pada 1993. Organisasi ini
terdaftar sebagai Yayasan di Departemen Sosial Indonesia, dan diatur dalam undang-
undang zakat nomor 38/1999 sebagai organisasi Amil Zakat di tingkat Nasional.
Selanjutnya mengacu pada Undang-undang Republik Indonesia No 41 tahun 2004
tentang wakaf, Yayasan Dompet Dhuafa Republika juga telah terdaftar di Badan Wakaf
Indonesia sebagai Nazhir pada 16 Juni 2011.
Formulasi baru pengembangan wakaf uang dalam bentuk investasi yang
dilakukan Lembaga wakaf Dompet Dhuafa telah memberikan kontribusi yang nyata
dalam mendorong pembangunan sosial, Pendidikan dan ekonomi kaum dhuafa.Dompet
Dhuafa telah mampu membangun rumah sakit, sarana niaga, dan menginvestasikan
kepada perkebunan dan peternakan (Ulpah & Jahar, 2019:8).
3. Badan Wakaf Indonesia (BWI)
Badan Wakaf Indonesia (BWI) adalah lembaga independen untuk mengembangkan
perwakafan di Indonesia yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat bebas dari pengaruh
kekuasaan manapun, serta bertanggung jawab kepada masyarakat. Kelahiran Badan Wakaf
Indonesia (BWI) merupakan amanat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
wakaf. Kehadiran BWI, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 47, adalah untuk memajukan
dan mengembangkan perwakafan di Indonesia.
Badan Wakaf Indonesia (BWI) berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan
60
Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di Provinsi dan/atau
Kabupaten/Kota sesuai dengan kebutuhan. Dalam kepengurusan, BWI terdiri atas Badan
Pelaksana dan Dewan Pertimbangan, masing-masing dipimpin oleh oleh satu orang Ketua
dan dua orang Wakil Ketua yang dipilih dari dan oleh para anggota. Badan pelaksana
merupakan unsur pelaksana tugas, sedangkan Dewan Pertimbangan adalah unsur pengawas
pelaksanaan tugas BWI.
Gambar 4.1
Institusi Wakaf di Indonesia
Sumber : Ascarya (2007:37)
Sejak berdiri pada tahun 2007, Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang lahir
berdasarkan amanat UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf telah memiliki peran yang
signifikan dalam dinamika pengelolaan wakaf yang ada di Indonesia. Keberadaan BWI
telah diatur dalam undang-undang wakaf secara jelas dan terperinci, dari pasal 47 sampai
dengan pasal 61 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004. Pada pasal 57 disebutkan bahwa
untuk pertama kali, pengangkataan keanggotaan BWI diusulkan kepada Presiden oleh
menteri. Sedangkan BWI dibentuk dan berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di provinsi dan/atau kabupaten/kota
sesuai dengan kebutuhan
President
Ministry of Religious Affairs
PUBLIC PRIVATE
Waqf Institution (WI)
BWI Regional
WI Regional
National Sharia Board (Indonesian Council of Ulama)
BWI (as Operator)
BWI Regional
WI Regional
Waqif (Endower)
Nazhir(Manager/Endower)
Mauquf Alaih(Beneficiary)
Indonesian Waqf Board (BWI)
(as Regulator)
61
Adapun tugas Badan Wakaf Indonesia yaitu 1). Melakukan pembinaan terhadap
nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf; 2). Melakukan
pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional; 3).
Memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda
wakaf; 4) Memberhentikan dan mengganti nazhir; 5). Memberikan persetujuan atas
penukaran harta benda wakaf; 6). Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah
dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan. (Aziz,2017:3).
Jumlah anggota Badan Wakaf Indonesia terdiri dari paling sedikit 20 (dua puluh)
orang dan paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang berasal dari unsur masyarakat. (Pasal
51-53, UU No.41/2004). Badan Wakaf Indonesia mempunyai visi “Terwujudnya lembaga
independen yang dipercaya masyarakat, mempunyai kemampuan dan integritas untuk
mengembangkan perwakafan nasional dan internasional”. Sementara misi BWI adalah
“Menjadikan BWI sebagai lembaga professional yang mampu mewujudkan potensi dan
manfaat ekonomi harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan pemberdayaan
masyarakat”.
D. Prioritas Masalah Wakaf
Permasalahan dalam hal pengembangan wakaf produktif di Indonesia dapat dibagi
menjadi empat aspek yang terdiri dari aspek sumber daya manusia (SDM), aspek Syariah,
aspek regulasi dan aspek Informasi dan Teknologi. Cluster-cluster secara keseluruhan
dikelompokkan menjadi cluster masalah dan strategi pengembangan wakaf produktif di
Indonesia yaitu :
1. Aspek
Masalah pengembangan wakaf produktif di Indonesia berdasarkan hasil wawancara
kepada para pakar dan praktisi disertai dengan kajian literature maka diperoleh 4 aspek
utama, yaitu :
62
a. Sumber Daya Manusia (SDM), banyak hal yang menjadi pertimbangan mengapa
aspek SDM dijadikan salah satu aspek utama dalam mengurai masalah
pengembangan wakaf produktif di Indonesia. Di Jawa Tengah misalnya, banyak
ditemui kurangnya pemahaman dan keterampilan Nazhir dalam mengelola harta
wakaf. Harta wakaf hanya digunakan untuk sarana ibadah dan kesulitan dana untuk
biaya pengelolaannya. Fuad (2008:3) menjelaskan bahwa kebanyakan nazhir
menganggap tugas mereka adalah menunggu dan menjaga wakaf yang diamanatkan
kepada mereka. Bahwa tugas Nazhir adalah mengurus, memelihara,
mengembangkan, dan melestarikan harta yang diwakafkan nampaknya belum banyak
dipahami.
Selain itu, berdasarkan kinerja professional nazhir, Lembaga riset UIN Syarif
Hidayatullah, CSRC (Center for the Study of Religion and Culture) menyampaikan
hasil riset yang salah satu masalahnya adalah hanya sedikit Nazhir wakaf (16%)
yang benar-benar mengelola wakaf secara penuh (full timer). Sebaliknya mayoritas
Nazhir wakaf (84%) mengakui tugasnya sebagai Nazhir hanyalah pekerjaan
sampingan (part time).
b. Masalah Syariah,
Hasil pengelolaan wakaf, dalam literatur fikih, juga dijelaskan selain boleh
digunakan untuk kepentingan ibadah (pembangunan masjid), Lembaga Pendidikan
dan para gurunya, pembangunan hotel atau pemondokan untuk para musafir, juga
kebutuhan minum, pengurusan mayat seperti pembelian kain kafan, pembangunan
dan rehabilitasi jembatan, untuk para penghuni penjara, rumah sakit dan
perpustakaan. Bahkan berbeda dengan sedekah lainnya, Sebagian wakaf atau
manfaatnya pun, seperti buku dan al-Quran, boleh didistribusikan atau dimanfaatkan
oleh orang kaya yang tidak berhak menerima zakat (as-Syaibani, Tth:294-295,
63
„Asyub, 2000:31, dan al-Hanafi, 1902:122 dan as-Sa‟ad dan al-„Umri, 2000:9-17
dalam (Kamil, 2016:179).
Penjelasan para ahli diatas dapat dipahami, karena dasar dari pendistribusian
hasil wakaf adalah ishtisan (hal-hal yang dipandang baik) atau alasan kemaslahatan
(istishlah) yang dibenarkan oleh hadis Riwayat Abdullah bin Mas‟ud. Dalam
pendistribusian hasil wakaf, seorang Nazhir wakaf bisa merujuk pada alasan untuk
mendatangkan kemaslahatan dan menolak kerusakan dengan merujuk pada konsep
kemaslahatan yang disebut oleh as-Syathibi (730-790 H).
Jadi sejauh mana hasil wakaf khairi boleh didistribusikan adalah sejauh
kemaslahatan menghendakinya. Tentu saja, catatannya adalah dictum ini akan ditolak
oleh kalangan yang memegang teguh kaidah fikih “Syarth al-waqif kanash as-
syar‟i‟‟ (syarat diajukan pewakaf sama dengan agama”. Diktum kemaslahatan itu
juga tampaknya akan ditolak oleh mereka yang terlalu terbelenggu oleh fikih klasik
dan pertengahan (Kamil, 2016:179).
c. Masalah Regulasi,
UU Wakaf yang ada saat ini memiliki beberapa kelemahan yaitu :
1) sumber pembiayaan BWI masih dibawah alokasi Kementerian Agama RI. Hal ini
kontradiksi dengan pasal 47 ayat (2) UU Wakaf.
2) UU Wakaf masih sebatas mengatur dan menguatkan wakaf uang, sementara
pengaturan mengenai benda bergerak lainnya belum diakomodir sepenuhnya
3) Dalam pengelolaan wakaf uang dalam ketentuan UU Wakaf masih sebatas
memanfaatkan Lembaga Keuangan Syariah, menurutnya hal ini akan
memperkecil pengembangan wakaf uang itu sendiri (Rahman, 2016).
d. Masalah Informasi dan Teknologi,
64
Pusat data dan informasi wakaf secara umum belum terdigitalisasi, sehingga
perlu dibentuk system informasi wakaf (SIWAK) oleh pemerintah sebagai unsur
pendukung yang bertugas dalam bidang pengelolaan data dan informasi terkait
wakaf. Selain berfungsi sebagai marketing, lembaga ini berperan dalam menciptakan
transparansi dan akuntabilitas institusi wakaf melalui informasi yang jelas terkait
perkembangan harta wakaf secara periodik yang mencakup wakaf secara terperinci,
baik dalam hal fundrising wakaf, pengelolaan dan pengembangan, dalam bentuk
dokumen, arsip, kepustakaan, laporan dan lain sebagainya.
Lebih jauh, lembaga ini juga bertugas dalam standarisasi system informasi
wakaf pada masing-masing institusi wakaf dan juga berkewajiban untuk
mempublikasikan data dan informasi wakaf kepada instansi pemerintahan, media
visual dan cetak, media sosial. Langkah serupa, juga bisa melakukan kerja sama
dengan pusat data dan informasi lembaga lain yang dapat diakses masyarakat secara
langsung terkait wakaf. Upaya-upaya tersebut akan lebih meyakinkan dan
meningkatkan kredibilitas nazhir dan institusi wakaf (Muljawan, 2016:169).
2. Strategi
Alternative dalam model ANP yang ditawarkan penulis adalah strategi-strategi
yang dapat dilakukan agar wakaf produktif dapat dikembangkan secara maksimal.
Berdasarkan hasil wawancara kepada beberapa pakar dan studi literature maka
diperoleh uraian strategi berdasarkan skala prioritas diantaranya adalah :
a. Penguatan sistem informasi dan teknologi
b. Penguatan tata Kelola (Good Nazhir Governance).
c. Pembentukan Lembaga Pendidikan, sosialisasi dan edukasi wakaf.
d. Dukungan regulasi pemerintah
E. Jaringan ANP
65
Berdasarkan identifikasi masalah dan strategi pengembangan wakaf produktif di
Indonesia yang telah dikemukakan di atas, selanjutnya terbentuklah jaringan ANP seperti
berikut ini :
Gambar 4.2
Model Jaringan ANP
F. Hasil Sintesis
Gambar 4.3
Hasil Sintesis Masalah Pengembangan Wakaf Produktif di Indonesia
Cluster Kriteria
Berdasarkan diagram di atas terdapat empat kriteria yang menjadi masalah utama
0 0.1 0.2 0.3 0.4
1. SDM
2.Regulasi
3. IT
4.Syariah
Kriteria
66
dalam pengelolaan wakaf produktif, yaitu aspek sumberdaya manusia, aspek regulasi, aspek
informasi dan teknologi dan aspek syariah. Dari ketiga aspek tersebut, sumberdaya manusia
menjadi masalah utama dalam pengelolaan wakaf produktif dengan nilai bobot sebesar
0.3478, diikuti oleh aspek informasi dan teknologi dengan nilai bobot sebesar 0.2077, aspek
syariah dengan nilai bobot sebesar 0.2172, dan aspek regulasi dengan nilai bobo terendah
sebesar 0.2077. Nilai rater agreement dari cluster ini sebesar 0.204 (w= 0.204) yang berada
pada skala lemah sampai moderat, yang menandakan bahwa para pakar memiliki jawaban
yang variatif dalam menentukan prioritas menganai masalah pengelolaan wakaf produktif.
Gambar 4.4
Hasil Sintesis Masalah Pengembangan Wakaf Produktif di Indonesia
Cluster Informasi dan Teknologi (IT)
Berdasarkan diagram di atas, terdapat tiga asek yang menjadi masalah dari sisi
informasi dan teknologi, yaitu aspek lemahnya informasi wakaf, aspek database wakaf belum
terkomputerisasi, dan aspek belum optimalnya sistem informasi wakaf. Dari aspek tersebut,
database wakaf belum terkomputerisasi menjadi masalah utama pada sisi informasi dan
teknologi dengan nilai bobot sebesar 0.4068, diikuti oleh aspek lemahnya informasi wakaf
dengan nilai bobot sebesar 0.3024, dan aspek belum optimalnya sistem informasi wakaf
0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45
1. Informasi Wakaf
2. Database Wakaf
3. Optimalisasi Wakaf
Informasi Teknologi
67
dengan nilai bobot terendah sebesar 0.2908. Nilai rater agreement dari cluster ini sebesar
0.25 (W = 0.25). Nilai tersebut berada pada skala lemah – moderate, yang menandakan
bahwa para pakar memiliki jawaban yang cukup variatif dalam menentukan prioritas masalah
pada cluster informasi dan teknologi.
Gambar 4.5
Hasil Sintesis Masalah Pengembangan Wakaf Produktif di Indonesia
Cluster Regulasi
Berdasarkan diagram di atas terdapat tiga aspek pada cluster regulasi, yaitu aspek UU
wakaf tahun 2004 yang masih perlu penyempurnaan, aspek lemahnya sistem pengawasan dari
pemerintah dan aspek BWI yang masih merangkap regulator/operator. Dari ketiga aspek
tersebut, UU wakaf tahun 2004 yang masih perlu penyempurnaan menjadi masalah utama
pada sisi regulasi pengelolaan wakaf produktif dengan nilai bobot sebesar 0.484, diikuti oleh
aspek lemahnya sistem pengawasan dari pemerintah dengan nilai bobot sebesar 0. 3108, serta
aspek BWI yang masih merangkap regulator/operator memiliki bobot terendah dengan nilai
sebesar 0.2807. Nilai rater agreement dari cluster ini sebesar 0.0357 (W = 0.0357). Nilai
tersebut berada pada skala „tidak sampai lemah‟yang menandakan bahwa jawaban para pakar
mengenai prioritas masalah pada sisi regulasi sangat variatif.
0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45
1.UU Wakaf
2.Pengawasan Regulator
3. Peran Rangkap BWI
Regulasi
68
Gambar 4.5
Hasil Sintesis Masalah Pengembangan Wakaf Produktif di Indonesia
Cluster Sumberdaya Manusia
Berdasarkan diagaram di atas terdapat tiga aspek pada sisi sumberdaya manusia yaitu,
aspek relatif rendahnya profesionalisme nazhir, aspek lemahnya inovasi, dan aspek trust-
amanah pengelola wakaf (nazhir). Dari ketiga aspek tersebut, terdapat dua aspek yang
menjadi masalah utama pada sisi sumberdaya manusia dengan nilai bobot sebesar 0.3359,
yaitu aspek relatif rendahnya profesionalisme nazhir dan aspek lemahnya inovasi, dikuti oleh
aspek trust-amanah pengelola wakaf (nazhir) dengan nilai bobot terendah sebesar 0.3282.
Nilai rater agreement dari cluster ini sebesar 0 (W = 0), yang menandakan bahwa jawaban
para pakar mengenai prioritas masalah pada sisi sumberdaya manusia sangat variatif.
Gambar 4.6
Hasil Sintesis Masalah Pengembangan Wakaf Produktif di Indonesia
Cluster syariah
0.324 0.326 0.328 0.33 0.332 0.334 0.336 0.338
1. Profesionalisme Nazhir
2 Lemahnya Inovasi
3 Trust
Sumberdaya Manusia
69
Berdasarkan diagram di atas terdapat tiga aspek pada sisi syariah, yaitu aspek Syafii‟-
sentris, aspek Tidak adanya DPS pada lembaga wakaf, dan aspek kurangnya ahli wakaf yang
profesional. Dari ketiga aspek tersebut, kurangnya ahli wakaf yang professional menjadi
masalah utama pada sisi syariah pengelolaan wakaf produktif dengan nilai bobot sebesar
0.5303, diikuti oleh aspek Syafii‟-sentris dengan nilai bobot 0.2381, dan aspek Tidak adanya
DPS pada lembaga wakaf memiliki bobot terendah dengan nilai sebesar 0.2315. Nilai rater
agreement dari cluster ini sebesar 0.3112 (W= 0.3112). Nilai ini berada pada skala „moderate
sampai kuat‟, yang menandakan bahwa para pakar cukup sepakat dalam menentukan prioritas
masalah pada sisi syariah.
Gambar 4.7
Hasil Sintesis Sub Masalah Pengembangan Wakaf Produktif di Indonesia
Cluster Strategi
Berdasarkan diagram di atas terdapat empat aspek strategi peningkatan pengelolaan
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6
1.Syafii' sentris
2.Tidak Ada DPS
3. Ahli Wakaf Kurang
Syariah
0.235 0.24 0.245 0.25 0.255 0.26
1.Lembaga Edukasi Wakaf
2. Dukungan Pemerintah
3. Penguatan Sistem Informasi
4.Tata Kelola
Strategi
70
wakaf produktif, yaitu, aspek pembentukan lembaga pendidikan, sosialisasi, dan edukasi
wakaf, aspek dukungan regulasi dari pemerintah, aspek penguatan sistem informasi dan
teknologi wakaf, dan aspek penguatan tata kelola (Good Nazhir Governance). Dari
keempat aspek tersebut, penguatan sistem informasi dan teknologi wakaf menjadi
prioritas utama untuk meningkatkan pengelolaan wakaf produktif dengan nilai bobot
sebesar 0.2569, diikuti oleh aspek penguatan tata kelola (Good Nazhir Governance)
dengan nilai bobot sebesar 0.2553, kemudian aspek pembentukan lembaga pendidikan,
sosialisasi, dan edukasi wakaf dengan nilai bobot sebesar 0.2448, dan aspek dukungan
regulasi dari pemerintah dengan nilai bobot terendah sebesar 0.2423. Nilai rater
agreement dari cluster ini sebesar 0.0418 (W = 0.0418). Nilai tersebut menandakan
bahwa jawaban para pakar mengenai prioritas strategi untuk meningkatkan pengelolaan
wakaf produktif sangat variatif.
71
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Hasil penelitian menunjukan bahwa permasalahan yang muncul dalam
pengembangan wakaf produktif di Indonesia terdiri dari empat aspek penting yaitu
: aspek sumber daya manusia (SDM), aspek Informasi dan Teknologi, aspek
syariah, dan aspek regulasi. Penguraian aspek masalah secara keseluruhan
menghasilkan urutan prioritas :1) Masalah Sumber Daya Manusia, dimana prioritas
nomor satu adalah relatif rendahnya profesionalisme Nazhir, 2) Masalah Informasi
dan Tekonologi yaitu database wakaf belum terkomputerisasi, 3) Masalah Syariah
yaitu kurangnya ahli wakaf yang profesional 4) Masalah Regulasi yaitu UU Wakaf
tahun 2004 yang masih perlu penyempurnaan.
2. Strategi yang dapat dibangun untuk mengembangkan wakaf produktif berdasarkan
urutannya terdiri dari : 1) Penguatan sistem informasi dan teknologi wakaf, 2)
Aspek penguatan tata kelola (Good Nazhir Governance), 3) Aspek pembentukan
lembaga pendidikan, sosialisasi, dan edukasi wakaf, 4) Aspek dukungan regulasi
dari pemerintah.
B. Saran
1. Undang-undang wakaf yang telah ada di Indonesia telah mengatur berbagai hal
berkenan dengan wakaf. Selanjutnya, perlu usaha yang lebih ketat dari pemerintah
dalam mengawal dan memastikan bahwa undang-undang tersebut dilaksanakan,
guna meningkatkan produktivitas asset wakaf dan perbaikan tata kelola wakaf di
Indonesia. Pemerintah memiliki wewenang dan tanggung jawab, khususnya dalam
administrasi wakaf serta penegakan aturan-aturannya. Disamping itu, pemerintah
72
juga harus menerbitkan aturan-aturan tambahan agar undang-undang tersebut
menjadi lebih operasional dalam pelaksanaannya.
2. Mengembangkan sistem pelaporan wakaf yang terstandardisasi dan sistem informasi
wakaf nasional, yang dapat dimulai dengan pelaporan terstandarisasi secara berkala
(bulanan, triwulanan dan / atau tahunan) dari lembaga wakaf daerah ke kantor
pusatnya Badan Wakaf Indonesia.
3. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memperluas kajian penelitian akademik
terkait tentang wakaf. Prioritas masalah dan strategi dalam pengembangan wakaf
produktif ini hendaknya dapat memberi masukan tepat kepada seluruh pihak terkait
masalah apa yang seharusnya lebih dahulu diselesaikan dan solusi mana yang paling
tepat.
4. Penelitian selanjutnya dengan pendekatan Analytic Network Proces (ANP)
disarankan agar dapat menambah jumlah responden dari pihak-pihak yang terkait
yang dipandang paham akan masalah perwakafan di Indonesia.
73
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, H., & Rukmini, M. (2004). Kritik dan Otokritik LSM: Membongkar Kejujuran dan
Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia. Jurnal Akuntansi. Jakarta:
Piramedia.
Adham, Fauzi Kamal. (2001), Al-Idarah al-Islamiyyah, Dirasah Muqaranah Bainah an-
Nizham al-Islamiyyah Wa al-Wadh‟iyyah al-Haditsah, Beirut:Dar An-Nafa‟is.
Ahmed, Habib. (2007).Waqf Based Microfinance: Realizing The Sosial Role of Islamic
Finance. Paper Presented the International Seminar on “Integrating Awqaf in the
Islamic Financial Sector”.
Amalia, E. (2009). Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo.
Ambrose, Aslam Mohamed, Hanafi Hanira, The Possible Role of Waqf in Ensuring A
Sustainable Malaysian Federal Government Debt, Journal Elsevier Procedia
Economics and Finance 31 (2015) 333 – 345.
Arsyad, Lincolin. Kusuma, E.S. (2014). Ekonomika Industri, Pendekatan Struktur, Perilaku,
dan Kinerja. Yogyakarta:UPP STIM YKPN.
Ascarya, (2005). Analytic Network Process (ANP) Pendekatan Baru Studi Kualitatif”.
Makalah disampaikan pada Seminar Intern Program Magister Akuntansi Fakultas
Ekonomi di Universitas Trisakti. Jakarta.
Ascarya, & Dimson, E. (2007), Endowment Asset Management (Investment Strategies in
Oxford and Camridge), Oxford University Press. New York, NY.
Ascarya, Sukmana R., & Rahmawati, (2017). Cash Waqf and Islamic Microfinance
Institutions: Business Model in Indonesia, Paper presented at the “2nd
Islamic
Finance, Banking & Business Ethics Global Conference 2017, INCEIF April 18-
19, 2017, Kuala Lumpur, Malaysia.
Aziz, Muhammad, (2017). Peran Badan Wakaf Indonesia (BWI) dalam mengembangkan
Prospek Wakaf Uang di Indonesia, Journal JES, Vol 2, 2017.
Birton, Nur A., dkk., 2001, Prospek dan Tantangan Koperasi Syariah di Pasar-pasar DKI
Jakarta, Jakarta: Puslitbang FE UMJ, 2001.
Budiman, A.A, 2011, Akuntabilitas Pengelola lembaga Wakaf, Jurnal Walisongo, Vol 19,
Nomor 1, hlm 75-102.
Carpenter, V. dan Feroz,H. (2001). Institutional Theory and Accounting Rule Choice.
Accounting, Organization and Society Vol.26, 565-596.
74
Chandra Hari,, Rahman Asmak Ab., (2010) Waqf Investment : A Case Study of Dompet
Dhuafa Republika, Indonesia”, Journal Syariah jilid 18 Bil.1 163-190
Chowdhury. (2012). Problems of Waqf administration and proposal for improvement : A
study in Malaysia, Journal of Internet Banking & Commerce 17, 1-8
Chowdury,M.S., Chowdury, I.A, Muhammad, M.Z and Yasoa,M.R. (2012), Problem
Administration and Proposals for Improvement : a Study in Malaysia, Journal of
Internet Banking and Commerce, pp.2-6
Cizakca, M. (1998), Awqaf in history and its implications for modern Islamic Economies,
Islamic Economic Studies, Vol.6 No.1, pp. 43-70.
Coase R. (1937). The nature of firm. Economica News Series, Vol 4 (16): 386-405.
Dahlan, R. (2016). Analisis Kelembagaan Badan Wakaf Indonesia, Journal Bisnis dan
Manajemen Volume 6 (1)
Dahwan. (2008). Pengelolaan Benda Wakaf Produktif, Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama,
Vol.IX, No.1 : 71-85.
Departemen Agama, (2004). Pola Pembinaan Lembaga Pengelola Wakaf (Nazhir), Jakarta :
Depag.
Dham, Fauzi Kamal, (2001). Al-Idarah al-Islamiyyah, Dirasah Muqaranah Baina an-Nizham
al-Islamiyyah Wa al-Wadh‟iyyah al-Haditsah, Beirut : Dar An-Nafa‟is. Dalam
Kamil, 2016. Ekonomi Islam, Kelembagaan, dan Konteks Keindonesiaan. Jakarta :
Rajagrafindo Persada.
Dimaggio, P dan Powell,W. (1983). The Iron Cage Revisited : Institutional Isomorphism and
Collective Rationality in Organization Fields, American Sosiological Review
,Vol.48 pp 147-160.
Faisal, M, (2019), Sikap, Norma Subjektif, Religiusitas, dan Partisipasi Terhadap Wakaf
Tunai, Jurnal Studi Ekonomi dan Bisnis Islam, Universitas Yarsi, Vol.4. No.1
Falkman, P dan Tagesson, T. (2008). Accrual Accounting Does Not Necessarily Mean
Accrual Accounting : Factors that Counteract Compliance with Accounting
Standards in Swedish Municipal Accounting, Scandinavian Journal of
Management Vol.24 : 271-283.
Fathurrahman, (2012), Wakaf dan Usaha Penanggulangan Kemiskinan Tinjauan Hukum
Islam Peraturan Perundangan di Indonesia (Studi Kasus Pengelolaan Wakaf di
Kabupaten Bandung), Disertasi tidak dipublikasikan, Universitas Indonesia.
Fauza, N, (2015). Rekonstruksi Pengelolaan Wakaf: Belajar Pengelolaan Wakaf dari
Bangladesh dan Malaysia, Jurnal Universum Vol. 9 No. 2 Juli 2015 hlm.161-171
Gopi,M. Ramayah,T. 2007. Applicability of theory of planned behavior in predicting
intention to trade online, International Journal of Emerging Markets. Vol.2 No.4,
75
pp 348-360.
Gray, Rob, David L,Owen, Keith Mounders, (1991). Accountability, Corporate Social
Reporting and the Social Audit, Journal of Business, Finance, and Accounting”
(Spring), hlm 39-50. Dalam Muhammad Rifki, 2006, Akuntabilitas Keuangan pada
Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jurnal
Akuntansi dan Investasi, Vol.7.No.1, hlm.34-55, Universitas Islam Indonesia.
Hanefah, M.M, (2010), Waqf Models In Iskandar Malaysia: An Analysis, Conference
Proceedings, The 4th Islamic Banking, Accounting and Finance Seminar.
International Islamic University Malaysia.
Hashim, M. (2012), Islamic perception of business ethics and the impact of secular thoughts
on islamic business ethics, International Journal of Academic Research in Business
and Social Sciences, Vol. 2 No. 3, pp. 98-120.
Helmanita, K., (2005). “Mengelola Filantropi Islam dengan Manajemen Modern :
Pegalaman Dompet Dhuafa‟‟, Jakarta.
Herlina, Lusi, (2004). “Pengembangan Transparansi dan Akuntabilitas di KPPM”, Jakarta:
PIRAC, Ford Foundation dan Tifa. Dalam Muhammad Rifki, 2006, “Akuntabilitas
Keuangan pada Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) di Daerah Istimewa
Yogyakarta”, Jurnal Akuntansi dan Inventasi, Vol.7.No.1, hlm.34-55, Universitas
Islam Indonesia.
Huda, H, dkk (2016). Manajemen Pengelolaan Wakaf di Indonesia Timur. Junral Ekonomi
dan Keuangan, Vol 20 No.1
Huda, N, (2014). Akuntabilitas sebagai Sebuah Solusi Pengelolaan Wakaf, Journal Akuntansi
Multiparadigma, Volume 5 Nomor 3.
Huda, N, dkk (2017). “Problems, Solutions and Strategies Priority for Waqf in Indonesia”.
Journal of Economic Cooperation and Development, Vol.38 No.1
Hudgson, Geoffrey M, 1998. The Approach of Institusional Economics. Journal of Economic
Literature. Vol.1, No.2, September-November: 30-58.
Johari, F dkk. (2015). Factors that influence repeat contributionof cash waqf in Islamic
Philantropy. Journal Malaysian Accounting Review, Volume 14 No.2, pp 55-78
Kahf, M. (1998), Financing development of awqaf properties, International Seminar on
awqaf and economic development, Pan Pacific Hotel, Kuala Lumpur, 2-4 March.
Kamil, S. (2016), “Ekonomi Islam, Kelembagaan, dan Konteks Keindonesiaan : dari Politik
Makro Ekonomi Hingga Realisasi Mikro”, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Kholid, M dkk. (2007). Waqf Management through Sukuk al Intifa‟a:A Generic Model.
Journal Awqaf, Vol.9 ,No.17, 11-27
Lamuri,A.B. (2014). “Pengelolaan Wakaf Alkhairaat Palu Sulawesi Tengah”, Jurnal Studia
76
Islamika, Vol 11 No.2 hal.315-346.
Laswad, F., Fisher, R., dan Oyelere, P. (2001). Local Authorities and Financial Reporting on
the Internet, Chartered Accountants Journal, 58-60.
Latief, H, (2017). “Politik Filantropi Islam di Indonesia : Negara, Pasar, Dan Masyarakat
Sipil”, Yogyakarta : Penerbit Ombak.
Mohsin, Magda Ismail, (2007).The Institution of Waqf : A Non – Profit Institution to
Financing the Needy Sector, Paper presented to a conference “Research and
Development: The Bridge between Ideals and Realities”, IIUM International
Conference on Islamic Banking and Finance.
Mohsin, Magda Ismail, (2013). Financing through cash waqf : a revitalization to finance
different needs. International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and
Management,Vol.6 No.4.
Mohsin, Magda Ismail, Hisham D., Murat C., Syed Othman A., Shaikh Hamzah A., Seyed
Kazem S., Thamina A., & Mohammed O. (2016). Financing The Development Of
Old Waqf Properties; Classical Principles And Innovative Practices Around The
World. New York: Palgrave Macmillan; Springer Science Business Media.
Mohsin, Magda Ismail. (2017). Past, present and future of family waqf. In Syed Khalid
Rashid (Ed.), Waqf laws and management (pp.46-56). Kuala Lumpur, Malaysia:
IIUM Press.
Mulyadi, Hakim, A.R, Mulazid, A.S, Supriyono, Meiria, E. (2018). E-Zakat:Redesign the
Collection and Distribution of Zakat. International Conference in Islamic Finance,
Economics and Business, KnE Social Sciences, pages 433.
Munawwir, A.W. (1984). “Al-Munawwir, Kamus Arab Indonesia”. Jogjakarta: Pondok
Pesantren Al-Munawwir, 1533.
Nadya, F.A dkk. (2018). Strategy of Optimalization Cash Waqf in Indonesia, Journal
Syarikah, Vol 4 No 2 Desember.
Paksi, Girindra Mega, (2020). Wakaf Bergerak:Teori dan Praktik di Asia .Malang : Penerbit
Peneleh.
Pina, V.Torres,L. dan Royo, S. (2010). Is E-Government Promoting Convergence Towards
More Accountbale Locar Government?, International Public Management Journal
13 (4), 350-380.
Radner, R .(1996). Bounded Rationality, Indeterminacy, and the Theory of the Firm. The
Economic Journal, Vol 106. Issue 438. September: 1360-1373.
Making with the Analytic Network Process. Economic, Political, Social and Technological
Applications with Benefits, Opportunities, Cost and Risks, Spinger.RWS.Publicatio
Ratnasari, R.T., & Arifin, M.H. (2007). “Theory of Planned Behavior in Intention to Pay
77
Cash Waqf, Repository Unair, 1-6.
Rusydiana, Devi A, (2017). Analisis Pengelolaan Dana Wakaf Uang di Indonesia :
Pendekatan Metode Analytic Network Process (ANP). Journal Al-Awqaf Jurnal
Wakaf dan Ekonomi Islam.
Saaty, Thomas L and Vargas, Louis G, (2006). Decision, Pittsburgh.
Sabiq, Sayyid, (1365 H), Fiqh Al-Sunnah, Jilid 1 dan III, Kairo: Dar al-Tsaqafah al-
Islamiyyah.
Sulaiman, M. and Zakari, M.A. (2013), Efficiency and effectiveness of waqf institutions in
Malaysia: toward financial sustainability, 9th International Conference in Islamic
Economics and Finance, Istanbul, 9-11 September
Sulthoni, Muhammad, Saad Md Norma. (2018). Waqf Fundrising Management: a Conceptual
Comparison Between Traditional and Modern Methods in the Waqf Institutions,
Vol 8 No 1, 57-86.
Ulpah, Maria & Jahar, S. (2019). Investasi Wakaf Uang : Studi Kasus pada Dompet Dhuafa
dan Al Azhar Peduli Umat, Vol. 9 No.2
Undang-undang No 41 tahun 2004.
Yuliafitri, Indri, Rivaldi I.E. (2017). Pengaruh Penerapan Prinsip-Prinsip Good Governance
dan Promosi Terhadap Penerimaan Wakaf Tunai. Jurnal Infestasi Vol.13 No.1 pp
217-226.
Yustika, (2006). Ekonomi Kelembagaan : Definisi, Teori & Strategi. Malang : Bayumedia
Publishing.
78
Lampiran Kuesioner
“Model Kelembagaan Nazhir dalam Pengelolaan Wakaf Produktif”
1. Nama Responden : Aam Slamet Rusydiana
2. Afiliasi Kelembagaan : SMART Indonesia
3. Industri : Lembaga Riset
4. Kualifikasi Pendidikan : S2
5. Pengalaman kerja : 7 tahun
6. Tanggal pengisian kuesioner : 2 Juni 2020
KRITERIA
No Aspek Skala Numerik
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 SDM v
2 Regulasi v
3 Informasi Teknologi
(IT)
v
4 Syariah v
SUBKRITERIA
No Indikator Skala Numerik
1 2 3 4 5 6 7 8 9
ASPEK SDM
1 Relatif rendahnya profesionalisme
nazhir
v
2 Lemahnya inovasi v
3 Trust-amanah pengelola wakaf (nazhir) v
ASPEK REGULASI
1 UU Wakaf tahun 2004 masih perlu
penyempurnaan
v
2 Lemahnya sistem pengawasan dari
regulator
v
3 BWI yang masih merangkap
regulator/operator
v v
ASPEK IT
1 Lemahnya teknologi informasi
lembaga wakaf
v
2 Belum Optimalnya sistem informasi
wakaf
v
3 Database wakaf belum
terkomputerisasi
v
ASPEK SYARIAH
1 Masih syafii‟-sentris v
2 Tidak adanya DPS pada lembaga
wakaf
v
3 Kurangnya ahli wakaf yang juga
profesional
v
79
ASPEK STRATEGI
1 Pembentukan lembaga pendidikan,
sosialisasi dan edukasi wakaf
v
2 Dukungan (support) regulasi dari
Pemerintah
v
3 Penguatan sistem informasi dan
teknologi wakaf
v
4 Penguatan tata kelola (Good nazhir
governance)
v
80
Lampiran Kuesioner
“Model Kelembagaan Nazhir dalam Pengelolaan Wakaf Produktif”
1. Nama Responden : Abrista Devi, M.E.I
2. Afiliasi Kelembagaan : Universitas Ibn Khaldun
3. Industri : Pendidikan
4. Kualifikasi Pendidikan : S2
5. Pengalaman kerja : Dosen, Peneliti
6. Tanggal pengisian kuesioner : 2 Juni 2020
KRITERIA
No Aspek Skala Numerik
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 SDM v
2 Regulasi v
3 Informasi Teknologi
(IT)
v
4 Syariah v
SUBKRITERIA
No Indikator Skala Numerik
1 2 3 4 5 6 7 8 9
ASPEK SDM
1 Relatif rendahnya profesionalisme
nazhir
v
2 Lemahnya inovasi v
3 Trust-amanah pengelola wakaf (nazhir) v
ASPEK REGULASI
1 UU Wakaf tahun 2004 masih perlu
penyempurnaan
v
2 Lemahnya sistem pengawasan dari
regulator
v
3 BWI yang masih merangkap
regulator/operator
v
ASPEK IT
1 Lemahnya teknologi informasi
lembaga wakaf
v
2 Belum Optimalnya sistem informasi
wakaf
v
3 Database wakaf belum
terkomputerisasi
v
ASPEK SYARIAH
1 Masih syafii‟-sentris v
2 Tidak adanya DPS pada lembaga
wakaf
v
3 Kurangnya ahli wakaf yang juga
profesional
v
ASPEK STRATEGI
1 Pembentukan lembaga pendidikan,
sosialisasi dan edukasi wakaf
v
81
2 Dukungan (support) regulasi dari
Pemerintah
v
3 Penguatan sistem informasi dan
teknologi wakaf
v
4 Penguatan tata kelola (Good nazhir
governance)
v
82
Lampiran Kuesioner
“Model Kelembagaan Nazhir dalam Pengelolaan Wakaf Produktif”
1. Nama Responden : Agung Prijo Nugroho
2. Afiliasi Kelembagaan : Yayasan Badan Wakaf Haji Akrom
3. Industri : Keuangan Syariah dan Wakaf
4. Kualifikasi Pendidikan : S1
5. Pengalaman kerja : 25 tahun
6. Tanggal pengisian kuesioner : 8 Juni 2020
KRITERIA
No Aspek Skala Numerik
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 SDM v
2 Regulasi v
3 Informasi Teknologi
(IT)
v
4 Syariah v
SUBKRITERIA
No Indikator Skala Numerik
1 2 3 4 5 6 7 8 9
ASPEK SDM
1 Relatif rendahnya profesionalisme
nazhir
v
2 Lemahnya inovasi v
3 Trust-amanah pengelola wakaf (nazhir) v
ASPEK REGULASI
1 UU Wakaf tahun 2004 masih perlu
penyempurnaan
v
2 Lemahnya sistem pengawasan dari
regulator
v
3 BWI yang masih merangkap
regulator/operator
v
ASPEK IT
1 Lemahnya teknologi informasi
lembaga wakaf
v
2 Belum Optimalnya sistem informasi
wakaf
v
3 Database wakaf belum
terkomputerisasi
v
ASPEK SYARIAH
1 Masih syafii‟-sentris v
2 Tidak adanya DPS pada lembaga
wakaf
v
3 Kurangnya ahli wakaf yang juga
profesional
v
STRATEGI
1 Pembentukan lembaga pendidikan,
sosialisasi dan edukasi wakaf
v
83
2 Dukungan (support) regulasi dari
Pemerintah
v
3 Penguatan sistem informasi dan
teknologi wakaf
v
4 Penguatan tata kelola (Good nazhir
governance)
v
84
Lampiran Kuesioner
“Model Kelembagaan Nazhir dalam Pengelolaan Wakaf Produktif”
1. Nama Responden : Kamaluddin
2. Afiliasi Kelembagaan : Dompet Dhuafa
3. Industri : Keuangan Syariah
4. Kualifikasi Pendidikan : S1
5. Pengalaman kerja : Dosen, Peneliti
6. Tanggal pengisian kuesioner : 22 Mei 2020
KRITERIA
No Aspek Skala Numerik
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 SDM v
2 Regulasi v
3 Informasi Teknologi
(IT)
v
4 Syariah v
SUBKRITERIA
No Indikator Skala Numerik
1 2 3 4 5 6 7 8 9
ASPEK SDM
1 Relatif rendahnya profesionalisme
nazhir
v
2 Lemahnya inovasi v
3 Trust-amanah pengelola wakaf (nazhir) v
ASPEK REGULASI
1 UU Wakaf tahun 2004 masih perlu
penyempurnaan
v
2 Lemahnya sistem pengawasan dari
regulator
v
3 BWI yang masih merangkap
regulator/operator
v
ASPEK IT
1 Lemahnya teknologi informasi
lembaga wakaf
v
2 Belum Optimalnya sistem informasi
wakaf
v
3 Database wakaf belum
terkomputerisasi
v
ASPEK SYARIAH
1 Masih syafii‟-sentris v
2 Tidak adanya DPS pada lembaga
wakaf
v
3 Kurangnya ahli wakaf yang juga
profesional
v
STRATEGI
1 Pembentukan lembaga pendidikan,
sosialisasi dan edukasi wakaf
v
85
2 Dukungan (support) regulasi dari
Pemerintah
v
3 Penguatan sistem informasi dan
teknologi wakaf
v
4 Penguatan tata kelola (Good nazhir
governance)
v
86
Lampiran Kuesioner
“Model Kelembagaan Nazhir dalam Pengelolaan Wakaf Produktif”
1. Nama Responden : Nur S Buchori
2. Afiliasi Kelembagaan : Badan Wakaf Indonesia
3. Industri : Filantropi Islam
4. Kualifikasi Pendidikan : S3
5. Pengalaman kerja : Dirut di beberapa BPRS
6. Tanggal pengisian kuesioner : 4 Juni 2020
KRITERIA
No Aspek Skala Numerik
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 SDM v
2 Regulasi v
3 Informasi Teknologi
(IT)
v
4 Syariah v
SUBKRITERIA
No Indikator Skala Numerik
1 2 3 4 5 6 7 8 9
ASPEK SDM
1 Relatif rendahnya profesionalisme
nazhir
v
2 Lemahnya inovasi v
3 Trust-amanah pengelola wakaf (nazhir) v
ASPEK REGULASI
1 UU Wakaf tahun 2004 masih perlu
penyempurnaan
v
2 Lemahnya sistem pengawasan dari
regulator
v
3 BWI yang masih merangkap
regulator/operator
v
ASPEK IT
1 Lemahnya teknologi informasi
lembaga wakaf
v
2 Belum Optimalnya sistem informasi
wakaf
v
3 Database wakaf belum
terkomputerisasi
v
ASPEK SYARIAH
1 Masih syafii‟-sentris v
2 Tidak adanya DPS pada lembaga
wakaf
v
3 Kurangnya ahli wakaf yang juga
profesional
v
STRATEGI
1 Pembentukan lembaga pendidikan,
sosialisasi dan edukasi wakaf
v
87
2 Dukungan (support) regulasi dari
Pemerintah
v
3 Penguatan sistem informasi dan
teknologi wakaf
v
4 Penguatan tata kelola (Good nazhir
governance)
v
88
Lampiran Kuesioner
“Model Kelembagaan Nazhir dalam Pengelolaan Wakaf Produktif”
1. Nama Responden : Prof. Nurul Huda
2. Afiliasi Kelembagaan : Badan Wakaf Indonesia
3. Industri : Wakaf
4. Kualifikasi Pendidikan : S3
5. Pengalaman kerja : Komisioner BWI
6. Tanggal pengisian kuesioner : 23 Mei 2020
KRITERIA
No Aspek Skala Numerik
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 SDM v
2 Regulasi v
3 Informasi Teknologi
(IT)
v
4 Syariah v
SUBKRITERIA
No Indikator Skala Numerik
1 2 3 4 5 6 7 8 9
ASPEK SDM
1 Relatif rendahnya profesionalisme
nazhir
v
2 Lemahnya inovasi v
3 Trust-amanah pengelola wakaf (nazhir) v
ASPEK REGULASI
1 UU Wakaf tahun 2004 masih perlu
penyempurnaan
v
2 Lemahnya sistem pengawasan dari
regulator
v
3 BWI yang masih merangkap
regulator/operator
v
ASPEK IT
1 Lemahnya teknologi informasi
lembaga wakaf
v
2 Belum Optimalnya sistem informasi
wakaf
v
3 Database wakaf belum
terkomputerisasi
v
ASPEK SYARIAH
1 Masih syafii‟-sentris v
2 Tidak adanya DPS pada lembaga
wakaf
v
3 Kurangnya ahli wakaf yang juga
profesional
v
STRATEGI
1 Pembentukan lembaga pendidikan,
sosialisasi dan edukasi wakaf
v
89
2 Dukungan (support) regulasi dari
Pemerintah
v
3 Penguatan sistem informasi dan
teknologi wakaf
v
4 Penguatan tata kelola (Good nazhir
governance)
v
90
Lampiran Kuesioner
“Model Kelembagaan Nazhir dalam Pengelolaan Wakaf Produktif”
1. Nama Responden : Prof. Nurul Huda
2. Afiliasi Kelembagaan : Badan Wakaf Indonesia
3. Industri : Wakaf
4. Kualifikasi Pendidikan : S3
5. Pengalaman kerja : Komisioner BWI
6. Tanggal pengisian kuesioner : 23 Mei 2020
KRITERIA
No Aspek Skala Numerik
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 SDM v
2 Regulasi v
3 Informasi Teknologi
(IT)
v
4 Syariah v
SUBKRITERIA
No Indikator Skala Numerik
1 2 3 4 5 6 7 8 9
ASPEK SDM
1 Relatif rendahnya profesionalisme
nazhir
v
2 Lemahnya inovasi v
3 Trust-amanah pengelola wakaf (nazhir) v
ASPEK REGULASI
1 UU Wakaf tahun 2004 masih perlu
penyempurnaan
v
2 Lemahnya sistem pengawasan dari
regulator
v
3 BWI yang masih merangkap
regulator/operator
v
ASPEK IT
1 Lemahnya teknologi informasi
lembaga wakaf
v
2 Belum Optimalnya sistem informasi
wakaf
v
3 Database wakaf belum
terkomputerisasi
v
ASPEK SYARIAH
1 Masih syafii‟-sentris v
2 Tidak adanya DPS pada lembaga
wakaf
v
3 Kurangnya ahli wakaf yang juga
profesional
v
STRATEGI
1 Pembentukan lembaga pendidikan,
sosialisasi dan edukasi wakaf
v
91
2 Dukungan (support) regulasi dari
Pemerintah
v
3 Penguatan sistem informasi dan
teknologi wakaf
v
4 Penguatan tata kelola (Good nazhir
governance)
v