Model Inkremental 1

29
TUGAS KELOMPOK Disusun Oleh: Suharti 1101121340 Ade Minarni 1101112479 Abdul Rahman 1101120835 Melda Ria Yanti 1101155304 PROGRAM STUDI S1 ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS RIAU

description

-

Transcript of Model Inkremental 1

Page 1: Model Inkremental 1

TUGAS KELOMPOK

Disusun Oleh:

Suharti 1101121340

Ade Minarni 1101112479

Abdul Rahman 1101120835

Melda Ria Yanti 1101155304

PROGRAM STUDI S1 ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS RIAU

2013

Page 2: Model Inkremental 1

MODEL INKREMENTAL (Policy as Variatons on the Past)

Model inkremental muncul merupakan kritik terhadap model rasional. Model

inkremental ini digunakan untuk menambah, mengurangi dan menyempurnakan program-

program yang telah ada sebelumnya. Pada model ini para pembuat kebijakan pada dasarnya

tidak mau melakukan peninjauan secara konsisten terhadap seluruh kebijakan yang dibuatnya

karena beberapa alasan, yaitu:

1. Tidak punya waktu, intelektualitas, maupun biaya untuk penelitian terhadap

nilai-nilai sosial masyarakat yang merupakan landasan bagi perumusan tujuan

kebijakan.

2. Adanya kekhawatiran tentang bakal munculnya dampak yang tidak diinginkan

sebagai akibat dari kebijakan yang belum pernah dibuat sebelumnya

3. Adanya hasil-hasil program dari kebijakan sebelumnya yang harus

dipertahankan demi kepentingan tertentu

4. Menghindari konflik jika harus melakukan proses negosiasi yang melelahkan

bagi kebijakan baru.

MODEL INKREMENTAL DALAM PENGAMBILAN KEBIJAKAN

Berbagai keraguan tentang praktikalitas bahkan kegunaan model rasional membawa

pada usaha untuk mengembangkan sebuah teori pengambilan keputusan yang lebih dekat

dalam memperkirakan perilaku aktual dari para pengambil keputusan. Situasi ini mendorong

munculnya model inkremental yang memotret pengambilan keputusan kebijakan publik

sebagai sebuah proses yang dikarakterisasikan oleh tawar menawar dan kompromi antara

berbagai pengambil keputusan yang memiliki kepentingannya sendiri-sendiri. Keputusan-

keputusan yang dihasilkan tentu saja lebih merepresentasikan apa yang secara politik fisibel

daripada diinginkan.

Jasa dalam mengembangkan model inkremental dalam analisa pengambilan

keputusan kebijakan publik paling layak diatributkan pada ilmuwan politik Yale University,

Charles Lindblom. Ia merangkum model ini sebagai sebuah model yang terdiri dari strategi-

strategi yang saling mendukung dalam melakukan penyederhanaan dan pemusatan fokus.

Strategi-strategi itu adalah:

1. Pembatasan analisis hanya pada beberapa alternatif kebijakan yang familiar hanya

sedikit berbeda dari status quo;

H a l a m a n | 1

Page 3: Model Inkremental 1

2. Sebuah strategi yang mengedepankan analisis untuk mencari masalah yang ingin

diselesaikan daripada tujuan-tujuan positif yang ingin dikejar;

3. Serangkaian percobaan, kegagalan, dan percobaan ulang;

4. Analisis yang mengeksplorasi hanya sebagian, bukan keseluruhan, konsekuensi-

konsekuensi yang penting dari suatu alternatif yang dipertimbangkan;

5. Fragmentasi kerja analitis untuk berbagai partisipan dalam pembuatan kebijakan

(setiap partisipan mengerjakan bagian mereka dari keseluruhan domain).

Dalam pandangan Lindbolm, para pengambil keputusan mengembangkan berbagai

kebijakan melalui sebuah proses membuat ‘perbandingan terbatas yang berurutan dengan

kebijakan sebelumnya’, yaitu keputusan-keputusan yang sudah familiar bagi mereka. Seperti

dikemukakan dalam artikelnya yang telah banyak dikutip, ‘The Science of “Muddling

Through”’, para pengambil keputusan bekerja dalam sebuah proses yang secara terus

menerus ‘terbangun dari situasi yang ada pada saat itu, setapak-demi-setapak dan dalam

derajad yang kecil’. Keputusan yang diambil biasanya hanya sedikit berbeda dari keputusan-

keputusan yang sudah ada; dengan kata lain, perubahan dari status-quo bersifat inkremental.

Ada dua sebab mengapa berbagai keputusan cenderung tidak terlalu jauh berbeda

dengan status quo. Pertama, karena proses tawar menawar mensyaratkan distribusi sumber

daya yang terbatas di antara berbagai partisipan, maka akan lebih mudah untuk melanjutkan

pola distribusi yang sudah ada daripada membuat sebuah pola baru yang berbeda secara

radikal. Keuntungan dan kelemahan dari tatanan ada sudah diketahui dan dikenal oleh para

aktor kebijakan, berbeda dengan ketidakpastian yang melingkupi tatanan yang masih baru,

yang membuat kesepakatan untuk melakukan perubahan menjadi sulit dicapai. Hasil yang

memiliki kemungkinan lebih besar untuk muncul adalah kelanjutan dari status quo atau hanya

perubahan kecil dari status quo. Kedua, standard operating procedure yang menjadi batu

penjuru seluruh sistem birokrasi cenderung untuk lebih mengedepankan keberlanjutan atau

kontinuitas praktek-praktek yang sudah ada. Cara para birokrat mengidentifikasi berbagai

opsi, metode dan kriteria untuk dipilih seringkali telah ditetapkan lebih dahulu, menghambat

inovasi dan hanya mengulang tatanan yang sudah ada.

Lindbolm juga berpendapat bahwa model inkremental yang mensyaratkan pemisahan

antara tujuan dan cara ternyata tidak bisa dipraktekan dalam praktek, tidak hanya karena ada

batasan waktu dan informasi seperti yang dikatakan Simon, tetapi juga karena para pembuat

kebijakan tidak pernah benar-benar bisa memisahkan antara tujuan dan cara. Lindbolm

berpendapat bahwa di sebagian besar area kebijakan, tujuan tidak bisa dipisahkan dari cara,

H a l a m a n | 2

Page 4: Model Inkremental 1

dan tujuan apa yang dituju seringkali bergantung pada efektifitas cara yang tersedia untuk

mencapai tujuan tersebut. Karena kesepakatan atas pilihan kebijakan sulit untuk dicapai, para

pengambil keputusan menghindari membuka kembali isu-isu lama atau mempertimbangkan

kembali pilihan-pilihan  yang terlalu jauh berbeda dengan praktek-praktek yang ada, karena

membuat kesepakatan menjadi semakin sulit dicapai. Hasilnya adalah berbagai keputusan

kebijakan yang hanya sedikit berbeda dengan kebijakan-kebijakan terdahulu.

           Model inkremental melihat pengambilan keputusan sebagai sebuah kegiatan praktis

yang berfokus pada pemecahan masalah yang sedang dihadapi daripada berupaya mencapai

tujuan jangka panjang. Dalam model ini, cara-cara yang dipilih untuk menyelesaikan masalah

ditemukan melalui trial-and-error daripada melalui evaluasi yang komprehensif dari semua

cara yang ada. Para pengambil keputusan hanya mempertimbangkan beberapa alternatif yang

familiar, dan dianggap pantas, dan berhenti mencari alternatif lain ketika mereka percaya

bahwa sebuah alternatif yang bisa diterima telah ditemukan.

TENTANG MODEL INKREMENTAL

Lindblom, sebagai dikutip oleh Dye, berpendapat bahwa para pembuat kebijakan

publik tidak akan melakukan penilaian tahunan secara teratur terhadap seluruh kebijakan-

kebijakan yang ada maupun yang telah diusulkan sebelumnya dengan cara misalnya :

mengidentifikasi tujuan-tujuan masyarakat secara keseluruhan, meneliti manfaat dan biaya

dari tiap-tiap alternatif dan biayanya, kemudian memilih alternatif terbaik. Tetapi justru hal

sebaliknyalah yang dilakukan, terutama karena hambatan-hambatan baik dari segi waktu,

kecakapan maupun biaya, sehingga para pembuat kebijakan enggan untuk

mengidentifikasikan semua alternatif kebijakan berikut semua akibat-akibatnya.

Model inkremental ini oleh para penganutnya (Lindblom, Hirschman, dan Braybrooke) sering

disebut-sebut sebagai lebih mencerminkan keadaan yang sebenarnya dalam proses

pembuatan kebijakan publik bila dibandingkan dengan model rasional komprehensif. Ciri-ciri

utama yang melekat dalam proses pembuatan kebijakan yang sebenarnya, menurut

pengamatan Lindblom, mempunyai logika internalnya sendiri.

Ciri-ciri perumusan/pembuatan kebijakan public yang dimaksud, antara lain meliputi

hal-hal berikut:

a. Para pembuat kebijakan seringkali enggan untuk berfikir dalam kerangka yang

menyeluruh atau setidaknya menjelaskan secara terbuka tujuan-tujuan yang akan

mereka capai. Hal ini mungkin mencerminkan adanya suatu kesadaran bahwa jika

H a l a m a n | 3

Page 5: Model Inkremental 1

mereka melakukannya maka yang akan mereka peroleh justru pertentangan yang

hebat, bukannya persetujuan.

b. Jika kemudian ternyata bahwa kebijakan-kebijakan yang ada tidak berhasil

mengatasi masalah, maka langkah-langkah perbaikan yang ditempuh oleh para

anggota dewan perwakilan rakyat dan para administrator akan cenderung bersifat

inkremental. Artinya, mereka cenderung melakukan perubahan kecil-kecilan atau

hanya melakukan penyesuaian-penyesuaian seperlunya terhadap kebijakan-

kebijakan itu, bukannya melakukan perubahan-perubahan secara besar-besaran.

Dalam melakukan hal ini mereka biasanya bertindak secara hati-hati dengan selalu

berpegang pada pengalaman sebelumnya, dan tidak akan menempuh langkah-

langkah besar menuju ke arah yang tidak pasti.

c. Para pembuat kebijakan percaya bahwa hanya sedikit sekali, kalau tokoh ada,

masalah yang dapat dipecahkan secara tuntas dan berlaku sepanjang masa. Sebab

mereka menyadari bahwa pembuatan kebijakan itu merupakan suatu siklus.

Artinya, kita akan kembali pada masalah tersebut begitu kesalahan-kesalahan telah

diperbaiki dan cara-cara baru untuk menanggulanginya telah berhasil

dikembangkan secara memuaskan.

d. Hanya sedikit sekali kebijakan-kebijakan publik yang dibuat oleh individu-individu

atau bahkan oleh badan-badan tunggal, karena kebanyakan justru dibuat melalui

interaksi dari banyak pihak yang dapat mempengaruhi kebijakan (policy

influentials) dan yang beroperasi dalam suatu jaringan kekuasaan (polycentricity).

e. Walaupun para aktor yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan publik itu

masing-masing mempunyai kebijakan publik itu masing-masing mempunyai

kepentingan pribadi, namun mereka bukanlah peserta-peserta yang buta dan karena

itu mereka mampu menyesuaikan diri satu sama lain, melalui tawar-menawar,

negosiasi, dan kompromi (partisan mutual adjustment).

f. Suatu nilai yang dianggap melekat pada kebanyakan demokrasi liberal yang

pluralistik ialah adanya upaya untuk mencari konsensus, sehingga yang muncul

tidak selalu berupa kebijakan yang terbaik, melainkan kebijakan yang paling

disepakti oleh kelompok-kelompok yang terlibat.

Berdasarkan keenam ciri tersebut di atas, nampak dengan gamblang bahwa model

inkremental ini menampilkan gaya konservatif dalam proses pembuatan kebijakan publik.

Gaya konservatif dari model ini dapat dilihat dalam caranya melakukan penilaian (evaluasi)

H a l a m a n | 4

Page 6: Model Inkremental 1

terhadap program-program atau kebijakan-kebijakan baru, misalnya apakah akan

ditingkatkan, dikurangi atau dimodifikasi, maka dasar pertimbangan yang dipakainya selalu

mengacu pada program-program atau kebijakan-kebijakan lama dan biaya-biaya yang telah

dikeluarkan di masa sebelumnya.

Dengan perkataan lain, “para pembuat kebijakan pada umumnya cenderung tutup

mata, menerima keabsahan dari program-program yang sudah ada dan, secara diam-diam,

mereka setuju untuk melanjutkan kebijakan-kebijakan terdahulu”.

Menurut pengamatan Dye, ada sejumlah alasan yang dapat diketengahkan kenapa

para pembuat kebijakan pada umumnya cenderung bersikap konservatif seperti itu.

Pertama, karena para pembuat kebijakan pada umumnya menghadapi kendala internal yang

tidak enteng, yaitu tidak mempunyai waktu, kecakapan, atau dana yang cukup untuk meneliti

secara cermat semua alternatif kebijakan yang ada. Dana yang harus dikeluarkan untuk

menghimpun seluruh informasi ini terlalu besar. Para pembuat kebijakan juga tidak memiliki

kemampuan daya ramal yang memadai, bahkan dalam era digital/komputer sekarang, untuk

mengetahui semua akibat dari tiap alternatif kebijakan. Mereka juga tidak mampu bagi setiap

alternatif kebijakan itu mengingat beraneka ragamnya nilai-nilai politik, sosial, ekonomi dan

kultural. Dengan demikian kebijakan yang benar-benar rasional mungkin malah tidak efisien,

jika waktu yang dicurahkan untuk mengembangkan suatu kebijakan yang rasional itu amat

berlebihan.

Kedua, para pembuatan kebijakan pada umumnya menerima keabsahan dari

kebijakan-kebijakan sebelumnya karena mereka tidak yakin akan akibat-akibat dari

kebijakan-kebijakan yang sama sekali baru atau sama sekali berbeda. Oleh karena itu dirasa

aman berurusan dengan program-program yang telah dilaksanakan sebelumnya, tidak peduli

apakah kebijakan atau program tadi terbukti efektif ataukah tidak.

Ketiga, dalam program-program yang ada boleh jadi terdapat investasi besar-besaran

(sunk costs) yang mencegah dilakukannya setiap perubahan yang bersifat radikal. Investasi-

investasi tersebut mungkin dalam bentuk uang, bangunan, atau peralatan-peralatan berat

lainnya, atau dalam bentuk sikap-sikap psikologis, kebiasaan-kebiasaan (budaya)

administrasi, atau struktur organisasi. Misalnya, dianggap sebagai sesuatu yang bijaksana,

kalau organisasi-organisasi cenderung melestarikan dirinya sepanjang masa apapun

manfaatnya, kalau mereka mengembangkan rutinitas tertentu sehingga mempersulit

perubahan, dan kalau individu-individu yang terlibat di dalamnya mengembangkan hasrat

pribadi demi kelangsungan organisasi dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku, yang

H a l a m a n | 5

Page 7: Model Inkremental 1

menjadikan perubahan radikal sulit dilakukan. Dalam kondisi seperti itu wajar jika tidak

semua alternatif kebijakan (kendati opsinya terbuka) dipertimbangkan dengan serius,

terkecuali beberapa yang sekiranya akan menimbulkan perubahan-perubahan kecil di bidang

fisik, ekonomis, organisasi dan administrasi.

Keempat, pendekatan inkremental juga dinilai memiliki tingkat kelayakan politik

akan semakin mudah dicapai apabila pokok-pokok soal yang diperdebatkan hanyalah

menyangkut masalah perubahan-perubahan kecil terhadap program-program yang ada.

Sebaliknya konflik akan semakin tajam apabila pembuatan keputusan itu berpangkal tolak

dan terpusat pada perubahan-perubahan yang mendasar dalam kebijakan yang bersangkut

paut dengan keputusan kebijakan mengenai perolehan besar-besaran atau kehilangan besar-

besaran atau “semua atau tidak sama sekali”, “ya atau tidak”. Karena ketegangan-ketegangan

politik yang menyertai pengesahan program-program baru atau kebijakan-kebijakan baru

setiap tahunnya cenderung sangat besar, maka kebijakan yang telah berhasil disahkan di masa

lampau cenderung untuk diteruskan di tahun-tahun mendatang, kecuali jika memang terdapat

kesepakatan politik baru yang mendasar. Dengan demikian pendekatan inkremental ini

penting sebagai upaya meredakan/mengurangi konflik, memelihara stabilitas, dan

melestarikan kehidupan sistem politik itu sendiri.

Ciri-ciri yang melekat pada diri para pembuat kebijakan itu sendiri juga mendorong

diterapkannya model inkremental ini. Amat jarang manusia yang bertindak untuk memuaskan

semua nilai-nilainya; lebih sering mereka bertindak untuk sekedar memuaskan jenis-jenis

tuntutan tertentu. Manusia pada dasarnya bersikap pragmatis : mereka hanya kadang-kadang

saja berusaha untuk mencari cara yang terbaik (the best way) namun akan segera mengakhiri

usaha pencariannya ini apabila mereka kemudian menemukan suatu cara akan dapat segera

dilaksanakan (workable).

Dalam usaha pencariannya itu biasanya dimulai dengan sesuatu cara yang sudah

dikenal sebelumnya, yakni alternatif-alternatif kebijakan yang dirasanya paling dekat dengan

kebijakan-kebijakan yang ada sekarang. Hanya jika alternatif-alternatif kebijakan tersebut

tidak lagi memuaskan maka pembuat kebijakan mulai berupaya keras untuk menempuh

perubahan kecil terhadap program-program yang ada akan memuaskan jenis tuntutan-

tuntutan tertentu, sehingga perubahan-perubahan kebijakan secara besar-besaran yang akan

memaksimalkan nilai-nilai tidak lagi dipedulikan.

Akhirnya, dalam keadaan tiadanya tujuan-tujuan atau nilai-nilai kemasyarakatan yang dapat

disepakatai bersama, kiranya jauh lebih mudah dan masuk akal bagi pemerintah dalam suatu

H a l a m a n | 6

Page 8: Model Inkremental 1

masyarakat yang majemuk untuk meneruskan program-program yang ada dari pada harus

membuat perencanaan kebijakan yang menyeluruh menuju tercapainya tujuan-tujuan

kemasyarakatan yang khusus.

Kritik terhadap model rasional komprehensif yang kemudian berusaha menutupi

kekurangan yang ada dalam model tersebut dengan jalan menghindari banyak masalah yang

ditemui dalam model rasional komprehensif. Model ini lebih bersifat deskriptif dalam

pengertian, model ini menggambarkan secara aktual cara-cara yang dipakai para pejabat

dalam membuat keputusan.

Model inkremental/penambahan merupakan hasil dari praktik-praktik yang diterima

secara luas di kalangan pembentuk kebijakan publik. Model ini mencoba untuk

menyesuaikan dengan realitas kehidupan praktis dengan mendasarkan pada pluralisme dan

demokrasi, maupun keterbatasan-keterbatasan kemampuan manusia. Landasan pokok

rasional dari model ini adalah bahwa perubahan inkremental memberikan tingkat maksimal

keamanan dalam proses perubahan kebijakan. Semua pengetahuan yang bisa dipercaya

didasarkan pada cara satunya-satunya untuk mengambil keputusan tanpa menimbulkan resiko

dengan melanjutkan kebijakan sesuai dengan arah tujuan kebijakan lama – membatasi

pertimbangan-pertimbangan kebijakan alternatif dengan kebijakan-kebijakan yang secara

relatif mempunyai tingkat perbedaan yang kecil dengan kebijakan sekarang yang berlaku.

Menurut model ini, kebijakan atau keputusan selalu bersifat serial, fragmentari, dan

sebagian besar remedial. Suatu masalah bisa saja muncul, namun dapat dipecahkan oleh

proses pengambilan keputusan inkremental, dan sejalan dengan berlalunya waktu bisa

menciptakan atmosfir yang lebih menguntungkan bagi perubahan-perubahan, dan sekaligus

memberikan peluang-peluang tambahan bagi penyesuaian perbedaan di kalangan pembuat

keputusan.

Ringkasnya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mempelajari model

penambahan (inkrementalisme), yakni :

1. Pemilihan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran dan analisis-analisis empirik

terhadap tindakan dibutuhkan. Keduanya lebih berkaitan erat dengan dan bukan

berada satu sama lain.

2. Para pembuat keputusan hanya mempertimbangkan beberapa alternatif untuk

menanggulangi masalah yang dihadapi dan alternatif-alternatif ini hanya berada

secara marginal dengan kebijakan yang sudah ada.

H a l a m a n | 7

Page 9: Model Inkremental 1

3. Untuk setiap alternatif, pembuat keputusan hanya mengevaluasi beberapa

konsekuensi yang dianggap penting saja.

4. Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan dibatasi kembali secara

berkesinambungan. Inkrementalisme memungkinkan penyesuaian-penyesuaian

sarana-tujuan dan tujuan-sarana sebanyak mungkin sehingga memungkinkan

masalah dapat dikendalikan.

5. Tidak ada keputusan tunggal atau penyelesaian masalah yang dianggap “tepat”.

Pengujian terhadap keputusan yang dianggap baik adalah bahwa persetujuan

terhadap berbagai macam analisis dalam rangka memecahkan persoalan tidak

diikuti persetujuan bahwa keputusan yang diambil merupakan sarana yang paling

cocok untuk meraih sasaran yang telah disepakati.

6. Pembuatan keputusan secara inkremental pada dasarnya merupakan remedial dan

diarahkan lebih banyak kepada perbaikan terhadap ketidaksempurnaan sosial

yang nyata sekarang ini daripada mempromosikan tujuan sosial di masa depan.

Selain menggunakan model inkremental, dibutuhkan pula tipologi tertentu untuk

menganalisis model kebijakan publik.

Menurut Budi Winarno : Model inkremental juga diartikan sebagai kritik terhadap

model rasional komprehensif akirnya melahirkan model penambahan atau inkrementalis.

Oleh karena model ini berangkat dari kritik terhadap model rasional komprehensif, maka ia

berusaha menutupi kekurangan yang ada dalam model tersebut dengan jalan menghindari

banyak masalah yang ditemui dalam model rasional komprehensif. Model ini lebih bersifat

deskriptif dalam pengertian, model ini menggambarkan secara actual cara-cara yang dipakai

para pejabat dalam membuat keputusan.

Perlu diperhatikan bahwa komentar dari para ilmuwan lain, termasuk Yehezkel Dror

yang menyatakan bahwa mereka sepakat mengenai model inkremental sebagai alat bantu

deskriptif yang canggih untuk menganalisis proses-proses pembuatan kebijakan yang

sebenarnya. Namun perlu diketahui pula kritik-kritik mereka terhadap model inkremental

yang mengatakan bahwa model ini tidak mendorong pembuat keputusan untuk melakukan

inovasi dalam mencari alternatif-alternatif optimal, dan kenyataan menunjukkan bahwa

model ini tidak memberi peluang untuk beradaptasi dan mengatasi kondisi-kondisi darurat

dari sebuah masyarakat modern yang kompleks dan sedang mengalami perubahan yang

cepat.

H a l a m a n | 8

Page 10: Model Inkremental 1

Sebuah model pembuatan kebijakan yang sangat signifikan, mirip dengan model

inkremental bisa ditemukan dalam tulisan Aaron Wildavsky yang berjudul “The Politics of

The Budgetary Process. Asumsi utama Wildavsky adalah bahwa proses penganggaran

belanja pemerintah adalah inkremental, terpisah-pisah, non-pragmatik, dan sequensial. Ini

disebabkan karena sifat pluralistik dari situasi dan pembuatan anggaran belanja. Selanjutnya

Wildavsky menjelaskan pemikiran ini dengan mengatakan bahwa proses yang

dikembangakan guna melakukan komparasi interpersonal dalam pemerintahan tidak didasari

kepentingan ekonomi, melainkan sarat dengan kepentingan politik. Konflik-konflik

dipecahkan (dengan landasan kesepakatan pada peran) dengan menerjemahkan preferensi-

preferensi yang berbeda melalui sistem politik ke dalam unit-unit yang disebut pemilihan atau

ke dalam tipe-tipe wewenang, seperti a veto power. Strategi melibatkan politik sebenarnya

merupakan faktor yang menentukan dalam proses anggaran belanja dan kinerjanya. Lebih

jauh Wildavsky mengatakan sebagai berikut :

Budgeting is incremental, not comprehensive. The beginning of wisdom about an

agency budget is that it is almost never actively reviewed as a whole every year in the sense

of reconsidering the whole of all existing programs as compared ro all possible alternatives.

Instead, it is based on last year’s budget with special attention given to a narrow range of

increase. Thus, the men who make the budget are concered with relatively small increments

to an existing base. Their attention is focused on a small number of items over which the

budgetary battle is fought.

Singkatnya, argumen pokok Wildavsky adalah bahwa proses penganggaran belanja

mempunyai alternatif terbatas, hanya penyesuaian-penyesuaian yang secara relatif kecil dari

anggaran belanja sebelumnya bisa dibuat. Argumen ini mirip dengan konsep yang

diperkenalkan oleh Lindblom, yaitu “partitional mutual adjustment”.

CONTOH MODEL INKREMENTAL

Contoh masalah kebijakan di Jakarta di mana dari tahun ke tahun, pemerintah telah

memperbaiki kebijakan-kebijakannya namun tetap saja belum mendapatkan hasil yang

memuaskan. Kemacetan adalah kondisi dimana terjadi penumpukan kendaraan di jalan.

Penumpukan tersebut disebabkan karena banyaknya kendaraan tidak mampu diimbangi oleh

sarana dan prasana lalu lintas yang memadai. Akibatnya, arus kendaraan menjadi tersendat

dan kecepatan berkendara pun menurun. Rata-rata kecepatan berkendara di Jakarta saat ini

berada di kisaran 15 km/jam, yang menurut standar internasional angka ini tergolong sebagai

H a l a m a n | 9

Page 11: Model Inkremental 1

macet. Angka ini di bawah angka kecepatan berkendara di kota di dunia, seperti misalnya

Tokyo. Data ini menunjukkan bahwa kondisi kemacetan di Jakarta cukup parah. Kemacetan

ini disebabkan karena melonjaknya jumlah kendaraan bermotor yang ada di Jakarta.

Tingginya tingkat pertumbuhan kendaraan bermotor di Jakarta ini tidak diimbangi oleh

meningkatnya sarana dan prasarana lalu lintas yang memadai. Pertumbuhan jumlah

kendaraan bermotor di DKI Jakarta diperkirakan berada di kisaran 5-10% per tahun dengan

motor sebagai porsi terbesar penyumbangnya. Berbanding kontras dengan pertumbuhan

jumlah kendaraan bermotor, pertumbuhan panjang jalan bahkan kurang dari 1% per

tahunnya. Akibatnya, kendaraan bermotor semakin menumpuk di jalanan Jakarta dan

kemacetan pun tidak terhindari.

Pemerintah Daerah DKI Jakarta sendiri telah melakukan berbagai upaya untuk

menanggulangi kemacetan. Pelebaran dan pembangunan jalan adalah salah satunya.

Pemerintah daerah telah banyak menggusur pemukiman di Jakarta agar dapat melebarkan

jalan yang telah ada. Ini dimaksudkan agar tingkat kemacetan di jalan-jalan tersebut dapat

dikurangi dan arus kendaraan menjadi lebih lancar. Sementara itu, pemerintah juga

membangun sejumlah jalan baru sehingga alternatif jalan menjadi lebih banyak dan

kepadatan kendaraan tidak terkonsentrasi hanya di satu titik. Namun semua upaya itu

dianggap gagal. Pertumbuhan panjang jalan jauh tertinggal dibanding pertumbuhan jumlah

kendaraan. Pertumbuhan panjang jalan yang hanya sekitar 1% per tahun tidak akan mampu

mengakomodasi jumlah kendaraan yang tiap tahunnya meningkat 5-10%. Upaya lainnya

yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan menerapkan aturan three in one. Langkah ini

cukup efektif untuk mengatasi kemacetan karena dengan adanya aturan ini, kendaraan pribadi

dengan 1-2 penumpang tidak dapat melintasi jalan three in one. Akibatnya, penggunaan

kendaraan pribadi dapat dihindari dan kemacetan pun dapat dikurangi. Salah satu contohnya

adalah di kawasan Sudirman, Jakarta. Namun kebijakan ini tidak lantas mampu menjawab

permasalahan kemacetan di Jakarta. Aturan ini relatif sulit untuk diterapkan di jalan-jalan

lainnya. Selain itu, penyimpangan-penyimpangan seperti joki three in one juga membuat

kebijakan ini tidak efektif. Kehadiran joki membuat pengguna kendaraan pribadi dapat

mengelabui aturan dan kemacetan pun tidak akan berkurang. Dan program pemerintah daerah

yang terakhir dan baru-baru ini berhasil direalisasikan adalah Busway. Busway yang telah

beroperasi sejak 15 Januari 2004 ini meniru sistem transportasi yang ada di Bogota,

Kolombia. Ide angkutan transportasi massal ini diharapkan dapat mampu mengurangi

penggunaan kendaraan pribadi dan beralih ke Busway. Namun hasilnya kurang memuaskan.

H a l a m a n | 10

Page 12: Model Inkremental 1

Seperti yang telah disebutkan, jumlah kendaraan bermotor bertambah hingga 10% per

tahunnya. Ini menunjukkan bahwa Busway tidak berpengaruh signifikan untuk mengurangi

jumlah kendaraan bermotor. Tidak adanya Busway di seluruh wilayah Jakarta membuat

pemilik kendaraan pribadi lebih memilih untuk menggunakan kendaraannya. Orang akan

berpikiran bahwa naik Busway akan menyulitkan mereka karena mereka harus berjalan ke

halte Busway, naik Transjakarta Busway, turun, dan berjalan lagi ke kantor mereka. Sebagian

beranggapan akan lebih mudah dan simple bila menggunakan kendaraan pribadi. Inilah yang

membuat Busway tidak terlalu signifikan mengurangi jumlah penggunaan kendaraan pribadi

dan gagal mengatasi kemacetan.

Masalah berikutnya, masalah banjir di Jakarta. Masalah ini termasuk tipologi lowi

kategori regulatoris karena pada umumnya kebijakan ini bermaksud membatasi jumlah pihak

pemberi pelayanan tertentu. Banjir merupakan salah satu akar permasalahan yang paling

signifikan dijakarta. Karena pada dasarnya sampai saat ini pemerintah belum mampu untuk

mengatasi masalah banjir tersebut. mulai dari kebijakan pertama yang dilakukan pemerintah.

Kebijakan pertama diambil adalah pada tahun 1913, kebijakan Pemerintah Hindia Belanda di

Batavia atau Jakarta pada awal abad ke-20, tepatnya pada 1913, dengan membuat proyek

kanal banjir. Proyek ini usai tujuh tahun kemudian. Ciliwung dipotong mulai dari Manggarai,

sebagian dibelokkan arahnya melalui Dukuh Atas, Karet, Grogol, dan bermuara di Teluk

Gong. Setelah itu dibuat pula kanal atau grachten yang melewati Jalan Juanda, Hayam

Wuruk, dan Gajah Mada. Sekalipun kanal banjir sudah berfungsi pada tahun 1920. Setelah itu

untuk melindungi kota dari kenaikan permukaan air laut dan banjir, pada akhir 1990-an,

pemerintah Kota Rotterdam membangun maeslantkering, yaitu dua gerbang besar yang bisa

dibuka-tutup dengan total panjang 600 meter. Dan kebijakan yang diambil oleh fauzi wibowo

sekarang adalah kerjasama dengan program sister city pada tanggal 7 februari 2011 dengan

penandatangnan penandatanganan MoU tersebut, Pemerintah Provinsi (Pemrov) DKI

menggandeng Rotterdam untuk membuat tanggul raksasa di bagian utara Jakarta untuk

mengantisipasi kemungkinan tenggelamnya Ibu Kota. Dengan hal seperti ini model

incremental belum mampu untuk menyelesaikan masalah banjir di Jakarta. Karena dengan

perubahan-perubahan kebijakan yang terdahulu belum mampu untuk menyelesaikan masalah

tersebut. pemerintah harus memutar otak lagi untuk menanggulangi masalah banjir tersebut.

Kebijakan dana BOS masuk dalam kategori kebijakan distributive karena pada

dasarnya kebijakan ini merupakan subsidi dana pendidikan dari pemerintah untuk sekolah-

sekolah di tiap-tiap daerah. Program Dana Bos yang bertujuan untuk memberikan layanan

H a l a m a n | 11

Page 13: Model Inkremental 1

pendidikan gratis bagi seluruh siswa miskin, Adanya berbagai pungutan-pungutan biaya

terhadap siswa, hal ini menjadi salah satu opsi yang menunjukkan bahwa program pemberian

Dana BOS tidak konsisten dengan apa yang telah ditetapkan sebelumnya. Uang yang

dikeluarkan oleh orang tua murid cenderung tidak berkurang walaupun sudah ada dana BOS.

Dana Bos sesungguhnya belum bisa dikatakan menggratiskan biaya pendidikan meskipun

Dana BOS telah memberikan SPP gratis bagi seluruh siswa, karena pada kenyataaannya

biaya diluar SPP lebih besar daripada SPP. Program dana BOS sebagai salah satu upaya

untuk memantapkan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun memang belum dapat

sepenuhnya memberikan layanan yang memadai, hal ini dikarenakan terbatasnya sumber

dana yang digunakan operasional sekolah. Sumberdana sekolah yang berasal dari orang

tua/wali siswa, bantuan APBD maupun dari dana BOS belum dapat menjangkau memberikan

layanan bagi siswa miskin berkisar secara keseluruhan, tetapi justru dengan program BOS

sekolah agak bisa bernafas sehingga dapat memberikan kontribusi pengentasan kemiskinan

bidang pendidikan sekitar 20% - 25%. 

Masalah kebijakan yang akan di bahas dengan menggunakan model inkremental

adalah masalah defisit pangan nasional yang terjadi di Indonesia, dan dari waktu ke waktu

selalu dipecahkan oleh pemerintah melalui kebijakan peningkatan produktivitas dan produksi

pertanian pangan padi secara nasional. Jika terjadi defisit pangan, pemerintah segera impor

beras dari Negara-negara lain penghasil beras. Kebijakan pemerintah yang mendasarkan

model inkremental ini tentu saja tidak efektif karena memecahkan persoalan pangan hanya

untuk sementara waktu. Selain itu, implikasi dari impor beras sangat merugikan kepada kaum

petani penghasil padi karena harga beras yang sempat naik dan membuat mereka bersuka

cita, lantas cenderung segera pula anjlok sehingga membuat para petani menangis, karena

kenaikan harga beras dalam negeri yang sifatnya sementara itu tidak mempunyai pengaruh

apapun bagi perbaikan kehidupan mereka. Sementara jika terjadi panen raya, harga juga

cenderung segera anjlok, dan kembali para petani menangis lagi karena mereka sangat

dirugikan. Pemerintah tentu saja tidak bisa menjalankan kebijakan seperti ini terus-menerus,

karena pada dasarnya kebijakan inkremental seperti dijelaskan sebelumnya merupakan

pendekatan konservatif untuk melakukan inovasi kebijakan. Perlu diingat pula bahwa

sebenarnya telah terjadi perubahan yang sangat cepat dalam masalah kependudukan. Pertama,

banyak penduduk desa yang cenderung meninggalkan daerah pedesaan mereka untuk

mencari pekerjaan di kota-kota besar atau di luar negeri sebagai tenaga kerja Indonesia.

Biasanya alasan klise yang menjadi pendorong mereka untuk meninggalkan daerah pedesaan

H a l a m a n | 12

Page 14: Model Inkremental 1

mereka, yaitu dalam pandangan mereka lapangan kerja di sektor pertanian pangan dan di

sektor non pertanian tidak bisa lagi menjadi andalan bagi kehidupan mereka yang layak untuk

masa sekarang, maupun untuk masa mendatang. Kedua, pertambahan komulatif penduduk

secara nasional terus meningkat. Oleh karena itu, pemerintah tidak hanya harus segera

tanggap terhadap fenomena kependudukan saat ini, tetapi perlu segera melakukan inovasi

kebijakan pangan nasional dengan melakukan kebijakan terobosan, yang dalam hal ini adalah

kebijakan diversifikasi pangan secara nasional. Sudah saatnya pemerintah mempunyai

komitmen yang kuat terhadap kebijakan pertanian pangan di Indonesia yang telah dengan

gencar dan semangat yang menggebu-gebu diluncurkan pada tahun 1969 dan sempat menjadi

prioritas dan bisa mencapai swasembada pangan, justru sekarang ini menghasilkan anti

klimaks, yang berupa tidak kunjung selesainya persoalan pangan dan kesejahteraan para

petani. Padahal Negara-negara lain, seperti Korea Selatan dan Taiwan, kebijakan pertanian

pangan bisa berhasil, dan mengantarkan Negara-negara itu memasuki tahap perkembangan

industri dan perdagangan. Dibandingkan dengan Negara-negara itu, Indonesia merupakan

Negara pertanian terbesar di Asia Tenggara.

Sungguh sangat ironis dan tragis, sektor pertanian Indonesia, plus sumber-sumber

kekayaan alam lain tidak mampu mewujudkan impian seperti yang terjadi di Negara-negara

Asia lainnya yang sekarang telah menjadi Negara-negara industri dan perdagangan.

Secara agregat, produksi beras Indonesia terus meningkat. Demikian pula luas panen dan

produktivitas. Pada tahun 14 luas panen, produktivitas dan produksi hanya sebesar 8.509.000

ha, 26,4 ton/ha, dan 15.297.000 ton beras. Tahun 2006, luas panen telah mencapai 11.780.000

ha, dengan produktivitas sebesar 4,62 ton/ha dan jumlah produksi mencapai 34.382.000 ton

beras. Selama 34 tahun terakhir, hanya pada 9 tahun pertumbuhan produksi beras nasional

bernilai negative, yaitu tahun 1975, 1991, 1993-1994, 1997-1999, 2001, dan 2005.

Namun yang dibutuhkan bukan sekedar menjaga produksi beras bertumbuh positif. Yang

dibutuhkan adalah produksi per tahun itu mampu memenuhi permintaan atau konsumsi, dan

pertumbuhan produksi beras dari tahun ke tahun mampu mengimbangi pertumbuhan

penduduk atau konsumsi.

Kenyataannya, kecuali tahun 1984, produksi beras nasional senantiasa lebih rendah

dari kebutuhan konsumsi nasional. Karena itu sebagian kebutuhan nasional dipenuhi dari

impor. Sepanjang 1960-2006, proporsi impor terhadap total suplai (impor+produksi nasional)

yang bernilai kurang dari 2 persen hanya pada tahun 1984, 1989 dan 1997. Terdapat 4 tahun

dimana presentase impor terhadap total pasokan mencapai dua digit. Yang tertinggi di tahun

H a l a m a n | 13

Page 15: Model Inkremental 1

1998 sebesar 22,81 persen. Setelah krisis ekonomi 1997 hingga 2004, proporsi impor beras

Indonesia tidak pernah kurang dari 4,5 persen.

Defisit produksi terhadap konsumsi beras terjadi karena, meskipun dari tahun ke

tahun pertumbuhan produksi dan produktivitas terus terjadi, laju dari pertumbuhan tersebut

mengalami pelambatan. Jika pada antara tahun 1969-1984 pertumbuhan produksi mencapai 5

persen, maka pada periode 1985-1998 produksi hanya naik 1,71 persen. Jika periode 1979-

1983 produksi dapat ditingkatkan 6,29 persen, maka pada periode selanjutnya pertumbuhan

terus menurun, sehingga pada tahun 1994-1998 produksi hanya 1,01 persen per tahun pada

1995-2001. Kecenderungan ini bergerak sebaliknya dari laju pertumbuhan penduduk yang

rata-rata terus meningkat dari tahun ke tahun, dan jikapun mengalami pelambatan

pertumbuhan, tidak sedrastis pelambatan pertumbuhan produksi.

Penurunan laju pertambahan produksi terkait dua hal utama, yaitu melambatnya laju

perumbuhan produktivitas dan menurunnya laju pertambahan lahan. Pelambatan laju

pertumbuhan produksi pada periode 1980-1984 hingga periode 1995-2001 berkaitan dengan

menurunnya laju pertumbuhan produktivitas (dari 5,31% per tahun pada periode 1980-1984

menjadi 0,29% per tahun pada periode 1990-1994), dan bahkan negatif (-) 0,33% pada

periode 1995-2001) dan laju pertambahan luas baku sawah (turun dari 8,87% per tahun

menjadi 0,72% pada periode 1990-1994 dan -1,84% pada periode 1995-2001).

Pemerintah menyiapkan dana ketahanan pangan yang dianggarkan Rp3 triliun untuk

mengatasi melambungnya harga pangan belakangan ini. Menko Perekonomian Hatta Rajasa

menyatakan, pemerintah tengah mengatur penggunaan dana tersebut agar bisa menekan harga

pangan secara tepat dan efektif. "Kita juga mengatur dana cadangan Rp 1 triliun, dan Rp 2

triliun untuk kementerian negara. Kita akan susun agar penggunaannya bisa efektif," ungkap

Hatta di kantornya, Jumat (7/1).

Ia melanjutkan, dana tersebut akan digunakan untuk mengintervensi harga pangan

terutama pada kantong-kantong yang rawan harga. "Kita akan all out. Ini adalah program

seluruh K/L (Kementrian/Lembaga)," ujar Hatta.

Adapun beberapa kebijakan yang akan dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi

dampak melambungnya harga pangan adalah meningkatkan operasi pasar untuk beras.

"Kedua, kita lakukan pendekatan fiskal dan hal-hal yang berkaitan dengan pendekatan

perdagangan. Dan hal terkait dengan suplai juga harus cukup. Stok Bulog harus 1,5 juta ton,"

ujarnya.

H a l a m a n | 14

Page 16: Model Inkremental 1

Selanjutnya adalah kembali melakukan penyaluran raskin. Rencananya, ungkap Hatta,

pada Februari nanti akan ada raskin rapelan alias pengguyuran raskin untuk jangka waktu 2

bulan ditarik ke 1 bulan. Pemerintah juga bakal melakukan pendekatan fiskal (pajak atau

kepabeanan) guna mencegah harga pangan dalam negeri menjadi tinggi. "Kita juga tahu,

harga pangan dunia meningkat sangat tajam di Desember-Januari. Kebijakan harus sukses,

apapun iklimnya. Pertanian harus tetap tumbuh," ungkapnya.

Pemerintah juga akan membuka lahan baru untuk meningkatkan produksi pangan.

"Itu jadi agenda mendesak. Senin seluruh gubernur Indonesia akan hadir. Salah satunya

membahas masalah ketahanan pangan harus sampai daerah. Lahan-lahan harus dilindungi,

jangan ada yang terkonversi. PP (peraturan pemerintah) sudah selesai. Tidak boleh ada lahan

pertanian dikonversi ke yang lain," pungkasnya.

Contoh kasus kebijakan publik bermodel inkremental adalah kebijakan dalam

Kementerian Pendidikan Nasional. Menteri Pendidikan Nasional ketika ditanya wartawan

mengapa setiap ganti menteri selalu ganti kebijaksanaan. Menteri Pendidikan Nasional

mengeaskan bahwa setiap menteri baru melanjutkan kebijaksanaan menteri sebelumnya.

Kebijaksanaan tersebut hanya disempurnakan tidak ada yang diganti. Dicontohkan oleh

Mendiknas bahwa kurikulum pendidikan itu dalam seratus tahun belakang ini tidak pernah

berubah. Hal ini menunjukkan pada kementerian pendidikan nasional menggunakan model

incremental.

H a l a m a n | 15

Page 17: Model Inkremental 1

DAFTAR PUSTAKA

Buku :Abdul Wahab, Solichin. 2008. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. UMM Press. MalangWinarno Budi. 2011. Kebijakan Publik: Teori Proses dan Studi Kasis. CAPS. Yogyakarta

Website :http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2011/11/15/kemacetan-lalu-lintas-dki-jakarta/

http://jeinzlumbanraja.blogspot.com/2011/08/analisis-kebijakan-dana-bos.html

http://litbang.bantenprov.go.id/2012/kebijakan-dana-bos-terhadap-keberhasilan-program-wajardikdas-di-provinsi-banten/

http://www.zef.de/module/register/media/3ddf_Politik%20Ketahanan%20Pangan%20Indonesia%201950-2005.pdf

http://sosbud.kompasiana.com/2011/05/19/ketahanan-pangan-quo-vadis/

http://nttzine.com/articles/pertanian-pangan/160-produksi-nasional-turun-impor-beras.html

http://ekonomi.inilah.com/read/detail/1123382/URLTEENAGE

H a l a m a n | 16