Model Inkremental 1
-
Upload
faisal-syukrillah -
Category
Documents
-
view
127 -
download
1
description
Transcript of Model Inkremental 1
TUGAS KELOMPOK
Disusun Oleh:
Suharti 1101121340
Ade Minarni 1101112479
Abdul Rahman 1101120835
Melda Ria Yanti 1101155304
PROGRAM STUDI S1 ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS RIAU
2013
MODEL INKREMENTAL (Policy as Variatons on the Past)
Model inkremental muncul merupakan kritik terhadap model rasional. Model
inkremental ini digunakan untuk menambah, mengurangi dan menyempurnakan program-
program yang telah ada sebelumnya. Pada model ini para pembuat kebijakan pada dasarnya
tidak mau melakukan peninjauan secara konsisten terhadap seluruh kebijakan yang dibuatnya
karena beberapa alasan, yaitu:
1. Tidak punya waktu, intelektualitas, maupun biaya untuk penelitian terhadap
nilai-nilai sosial masyarakat yang merupakan landasan bagi perumusan tujuan
kebijakan.
2. Adanya kekhawatiran tentang bakal munculnya dampak yang tidak diinginkan
sebagai akibat dari kebijakan yang belum pernah dibuat sebelumnya
3. Adanya hasil-hasil program dari kebijakan sebelumnya yang harus
dipertahankan demi kepentingan tertentu
4. Menghindari konflik jika harus melakukan proses negosiasi yang melelahkan
bagi kebijakan baru.
MODEL INKREMENTAL DALAM PENGAMBILAN KEBIJAKAN
Berbagai keraguan tentang praktikalitas bahkan kegunaan model rasional membawa
pada usaha untuk mengembangkan sebuah teori pengambilan keputusan yang lebih dekat
dalam memperkirakan perilaku aktual dari para pengambil keputusan. Situasi ini mendorong
munculnya model inkremental yang memotret pengambilan keputusan kebijakan publik
sebagai sebuah proses yang dikarakterisasikan oleh tawar menawar dan kompromi antara
berbagai pengambil keputusan yang memiliki kepentingannya sendiri-sendiri. Keputusan-
keputusan yang dihasilkan tentu saja lebih merepresentasikan apa yang secara politik fisibel
daripada diinginkan.
Jasa dalam mengembangkan model inkremental dalam analisa pengambilan
keputusan kebijakan publik paling layak diatributkan pada ilmuwan politik Yale University,
Charles Lindblom. Ia merangkum model ini sebagai sebuah model yang terdiri dari strategi-
strategi yang saling mendukung dalam melakukan penyederhanaan dan pemusatan fokus.
Strategi-strategi itu adalah:
1. Pembatasan analisis hanya pada beberapa alternatif kebijakan yang familiar hanya
sedikit berbeda dari status quo;
H a l a m a n | 1
2. Sebuah strategi yang mengedepankan analisis untuk mencari masalah yang ingin
diselesaikan daripada tujuan-tujuan positif yang ingin dikejar;
3. Serangkaian percobaan, kegagalan, dan percobaan ulang;
4. Analisis yang mengeksplorasi hanya sebagian, bukan keseluruhan, konsekuensi-
konsekuensi yang penting dari suatu alternatif yang dipertimbangkan;
5. Fragmentasi kerja analitis untuk berbagai partisipan dalam pembuatan kebijakan
(setiap partisipan mengerjakan bagian mereka dari keseluruhan domain).
Dalam pandangan Lindbolm, para pengambil keputusan mengembangkan berbagai
kebijakan melalui sebuah proses membuat ‘perbandingan terbatas yang berurutan dengan
kebijakan sebelumnya’, yaitu keputusan-keputusan yang sudah familiar bagi mereka. Seperti
dikemukakan dalam artikelnya yang telah banyak dikutip, ‘The Science of “Muddling
Through”’, para pengambil keputusan bekerja dalam sebuah proses yang secara terus
menerus ‘terbangun dari situasi yang ada pada saat itu, setapak-demi-setapak dan dalam
derajad yang kecil’. Keputusan yang diambil biasanya hanya sedikit berbeda dari keputusan-
keputusan yang sudah ada; dengan kata lain, perubahan dari status-quo bersifat inkremental.
Ada dua sebab mengapa berbagai keputusan cenderung tidak terlalu jauh berbeda
dengan status quo. Pertama, karena proses tawar menawar mensyaratkan distribusi sumber
daya yang terbatas di antara berbagai partisipan, maka akan lebih mudah untuk melanjutkan
pola distribusi yang sudah ada daripada membuat sebuah pola baru yang berbeda secara
radikal. Keuntungan dan kelemahan dari tatanan ada sudah diketahui dan dikenal oleh para
aktor kebijakan, berbeda dengan ketidakpastian yang melingkupi tatanan yang masih baru,
yang membuat kesepakatan untuk melakukan perubahan menjadi sulit dicapai. Hasil yang
memiliki kemungkinan lebih besar untuk muncul adalah kelanjutan dari status quo atau hanya
perubahan kecil dari status quo. Kedua, standard operating procedure yang menjadi batu
penjuru seluruh sistem birokrasi cenderung untuk lebih mengedepankan keberlanjutan atau
kontinuitas praktek-praktek yang sudah ada. Cara para birokrat mengidentifikasi berbagai
opsi, metode dan kriteria untuk dipilih seringkali telah ditetapkan lebih dahulu, menghambat
inovasi dan hanya mengulang tatanan yang sudah ada.
Lindbolm juga berpendapat bahwa model inkremental yang mensyaratkan pemisahan
antara tujuan dan cara ternyata tidak bisa dipraktekan dalam praktek, tidak hanya karena ada
batasan waktu dan informasi seperti yang dikatakan Simon, tetapi juga karena para pembuat
kebijakan tidak pernah benar-benar bisa memisahkan antara tujuan dan cara. Lindbolm
berpendapat bahwa di sebagian besar area kebijakan, tujuan tidak bisa dipisahkan dari cara,
H a l a m a n | 2
dan tujuan apa yang dituju seringkali bergantung pada efektifitas cara yang tersedia untuk
mencapai tujuan tersebut. Karena kesepakatan atas pilihan kebijakan sulit untuk dicapai, para
pengambil keputusan menghindari membuka kembali isu-isu lama atau mempertimbangkan
kembali pilihan-pilihan yang terlalu jauh berbeda dengan praktek-praktek yang ada, karena
membuat kesepakatan menjadi semakin sulit dicapai. Hasilnya adalah berbagai keputusan
kebijakan yang hanya sedikit berbeda dengan kebijakan-kebijakan terdahulu.
Model inkremental melihat pengambilan keputusan sebagai sebuah kegiatan praktis
yang berfokus pada pemecahan masalah yang sedang dihadapi daripada berupaya mencapai
tujuan jangka panjang. Dalam model ini, cara-cara yang dipilih untuk menyelesaikan masalah
ditemukan melalui trial-and-error daripada melalui evaluasi yang komprehensif dari semua
cara yang ada. Para pengambil keputusan hanya mempertimbangkan beberapa alternatif yang
familiar, dan dianggap pantas, dan berhenti mencari alternatif lain ketika mereka percaya
bahwa sebuah alternatif yang bisa diterima telah ditemukan.
TENTANG MODEL INKREMENTAL
Lindblom, sebagai dikutip oleh Dye, berpendapat bahwa para pembuat kebijakan
publik tidak akan melakukan penilaian tahunan secara teratur terhadap seluruh kebijakan-
kebijakan yang ada maupun yang telah diusulkan sebelumnya dengan cara misalnya :
mengidentifikasi tujuan-tujuan masyarakat secara keseluruhan, meneliti manfaat dan biaya
dari tiap-tiap alternatif dan biayanya, kemudian memilih alternatif terbaik. Tetapi justru hal
sebaliknyalah yang dilakukan, terutama karena hambatan-hambatan baik dari segi waktu,
kecakapan maupun biaya, sehingga para pembuat kebijakan enggan untuk
mengidentifikasikan semua alternatif kebijakan berikut semua akibat-akibatnya.
Model inkremental ini oleh para penganutnya (Lindblom, Hirschman, dan Braybrooke) sering
disebut-sebut sebagai lebih mencerminkan keadaan yang sebenarnya dalam proses
pembuatan kebijakan publik bila dibandingkan dengan model rasional komprehensif. Ciri-ciri
utama yang melekat dalam proses pembuatan kebijakan yang sebenarnya, menurut
pengamatan Lindblom, mempunyai logika internalnya sendiri.
Ciri-ciri perumusan/pembuatan kebijakan public yang dimaksud, antara lain meliputi
hal-hal berikut:
a. Para pembuat kebijakan seringkali enggan untuk berfikir dalam kerangka yang
menyeluruh atau setidaknya menjelaskan secara terbuka tujuan-tujuan yang akan
mereka capai. Hal ini mungkin mencerminkan adanya suatu kesadaran bahwa jika
H a l a m a n | 3
mereka melakukannya maka yang akan mereka peroleh justru pertentangan yang
hebat, bukannya persetujuan.
b. Jika kemudian ternyata bahwa kebijakan-kebijakan yang ada tidak berhasil
mengatasi masalah, maka langkah-langkah perbaikan yang ditempuh oleh para
anggota dewan perwakilan rakyat dan para administrator akan cenderung bersifat
inkremental. Artinya, mereka cenderung melakukan perubahan kecil-kecilan atau
hanya melakukan penyesuaian-penyesuaian seperlunya terhadap kebijakan-
kebijakan itu, bukannya melakukan perubahan-perubahan secara besar-besaran.
Dalam melakukan hal ini mereka biasanya bertindak secara hati-hati dengan selalu
berpegang pada pengalaman sebelumnya, dan tidak akan menempuh langkah-
langkah besar menuju ke arah yang tidak pasti.
c. Para pembuat kebijakan percaya bahwa hanya sedikit sekali, kalau tokoh ada,
masalah yang dapat dipecahkan secara tuntas dan berlaku sepanjang masa. Sebab
mereka menyadari bahwa pembuatan kebijakan itu merupakan suatu siklus.
Artinya, kita akan kembali pada masalah tersebut begitu kesalahan-kesalahan telah
diperbaiki dan cara-cara baru untuk menanggulanginya telah berhasil
dikembangkan secara memuaskan.
d. Hanya sedikit sekali kebijakan-kebijakan publik yang dibuat oleh individu-individu
atau bahkan oleh badan-badan tunggal, karena kebanyakan justru dibuat melalui
interaksi dari banyak pihak yang dapat mempengaruhi kebijakan (policy
influentials) dan yang beroperasi dalam suatu jaringan kekuasaan (polycentricity).
e. Walaupun para aktor yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan publik itu
masing-masing mempunyai kebijakan publik itu masing-masing mempunyai
kepentingan pribadi, namun mereka bukanlah peserta-peserta yang buta dan karena
itu mereka mampu menyesuaikan diri satu sama lain, melalui tawar-menawar,
negosiasi, dan kompromi (partisan mutual adjustment).
f. Suatu nilai yang dianggap melekat pada kebanyakan demokrasi liberal yang
pluralistik ialah adanya upaya untuk mencari konsensus, sehingga yang muncul
tidak selalu berupa kebijakan yang terbaik, melainkan kebijakan yang paling
disepakti oleh kelompok-kelompok yang terlibat.
Berdasarkan keenam ciri tersebut di atas, nampak dengan gamblang bahwa model
inkremental ini menampilkan gaya konservatif dalam proses pembuatan kebijakan publik.
Gaya konservatif dari model ini dapat dilihat dalam caranya melakukan penilaian (evaluasi)
H a l a m a n | 4
terhadap program-program atau kebijakan-kebijakan baru, misalnya apakah akan
ditingkatkan, dikurangi atau dimodifikasi, maka dasar pertimbangan yang dipakainya selalu
mengacu pada program-program atau kebijakan-kebijakan lama dan biaya-biaya yang telah
dikeluarkan di masa sebelumnya.
Dengan perkataan lain, “para pembuat kebijakan pada umumnya cenderung tutup
mata, menerima keabsahan dari program-program yang sudah ada dan, secara diam-diam,
mereka setuju untuk melanjutkan kebijakan-kebijakan terdahulu”.
Menurut pengamatan Dye, ada sejumlah alasan yang dapat diketengahkan kenapa
para pembuat kebijakan pada umumnya cenderung bersikap konservatif seperti itu.
Pertama, karena para pembuat kebijakan pada umumnya menghadapi kendala internal yang
tidak enteng, yaitu tidak mempunyai waktu, kecakapan, atau dana yang cukup untuk meneliti
secara cermat semua alternatif kebijakan yang ada. Dana yang harus dikeluarkan untuk
menghimpun seluruh informasi ini terlalu besar. Para pembuat kebijakan juga tidak memiliki
kemampuan daya ramal yang memadai, bahkan dalam era digital/komputer sekarang, untuk
mengetahui semua akibat dari tiap alternatif kebijakan. Mereka juga tidak mampu bagi setiap
alternatif kebijakan itu mengingat beraneka ragamnya nilai-nilai politik, sosial, ekonomi dan
kultural. Dengan demikian kebijakan yang benar-benar rasional mungkin malah tidak efisien,
jika waktu yang dicurahkan untuk mengembangkan suatu kebijakan yang rasional itu amat
berlebihan.
Kedua, para pembuatan kebijakan pada umumnya menerima keabsahan dari
kebijakan-kebijakan sebelumnya karena mereka tidak yakin akan akibat-akibat dari
kebijakan-kebijakan yang sama sekali baru atau sama sekali berbeda. Oleh karena itu dirasa
aman berurusan dengan program-program yang telah dilaksanakan sebelumnya, tidak peduli
apakah kebijakan atau program tadi terbukti efektif ataukah tidak.
Ketiga, dalam program-program yang ada boleh jadi terdapat investasi besar-besaran
(sunk costs) yang mencegah dilakukannya setiap perubahan yang bersifat radikal. Investasi-
investasi tersebut mungkin dalam bentuk uang, bangunan, atau peralatan-peralatan berat
lainnya, atau dalam bentuk sikap-sikap psikologis, kebiasaan-kebiasaan (budaya)
administrasi, atau struktur organisasi. Misalnya, dianggap sebagai sesuatu yang bijaksana,
kalau organisasi-organisasi cenderung melestarikan dirinya sepanjang masa apapun
manfaatnya, kalau mereka mengembangkan rutinitas tertentu sehingga mempersulit
perubahan, dan kalau individu-individu yang terlibat di dalamnya mengembangkan hasrat
pribadi demi kelangsungan organisasi dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku, yang
H a l a m a n | 5
menjadikan perubahan radikal sulit dilakukan. Dalam kondisi seperti itu wajar jika tidak
semua alternatif kebijakan (kendati opsinya terbuka) dipertimbangkan dengan serius,
terkecuali beberapa yang sekiranya akan menimbulkan perubahan-perubahan kecil di bidang
fisik, ekonomis, organisasi dan administrasi.
Keempat, pendekatan inkremental juga dinilai memiliki tingkat kelayakan politik
akan semakin mudah dicapai apabila pokok-pokok soal yang diperdebatkan hanyalah
menyangkut masalah perubahan-perubahan kecil terhadap program-program yang ada.
Sebaliknya konflik akan semakin tajam apabila pembuatan keputusan itu berpangkal tolak
dan terpusat pada perubahan-perubahan yang mendasar dalam kebijakan yang bersangkut
paut dengan keputusan kebijakan mengenai perolehan besar-besaran atau kehilangan besar-
besaran atau “semua atau tidak sama sekali”, “ya atau tidak”. Karena ketegangan-ketegangan
politik yang menyertai pengesahan program-program baru atau kebijakan-kebijakan baru
setiap tahunnya cenderung sangat besar, maka kebijakan yang telah berhasil disahkan di masa
lampau cenderung untuk diteruskan di tahun-tahun mendatang, kecuali jika memang terdapat
kesepakatan politik baru yang mendasar. Dengan demikian pendekatan inkremental ini
penting sebagai upaya meredakan/mengurangi konflik, memelihara stabilitas, dan
melestarikan kehidupan sistem politik itu sendiri.
Ciri-ciri yang melekat pada diri para pembuat kebijakan itu sendiri juga mendorong
diterapkannya model inkremental ini. Amat jarang manusia yang bertindak untuk memuaskan
semua nilai-nilainya; lebih sering mereka bertindak untuk sekedar memuaskan jenis-jenis
tuntutan tertentu. Manusia pada dasarnya bersikap pragmatis : mereka hanya kadang-kadang
saja berusaha untuk mencari cara yang terbaik (the best way) namun akan segera mengakhiri
usaha pencariannya ini apabila mereka kemudian menemukan suatu cara akan dapat segera
dilaksanakan (workable).
Dalam usaha pencariannya itu biasanya dimulai dengan sesuatu cara yang sudah
dikenal sebelumnya, yakni alternatif-alternatif kebijakan yang dirasanya paling dekat dengan
kebijakan-kebijakan yang ada sekarang. Hanya jika alternatif-alternatif kebijakan tersebut
tidak lagi memuaskan maka pembuat kebijakan mulai berupaya keras untuk menempuh
perubahan kecil terhadap program-program yang ada akan memuaskan jenis tuntutan-
tuntutan tertentu, sehingga perubahan-perubahan kebijakan secara besar-besaran yang akan
memaksimalkan nilai-nilai tidak lagi dipedulikan.
Akhirnya, dalam keadaan tiadanya tujuan-tujuan atau nilai-nilai kemasyarakatan yang dapat
disepakatai bersama, kiranya jauh lebih mudah dan masuk akal bagi pemerintah dalam suatu
H a l a m a n | 6
masyarakat yang majemuk untuk meneruskan program-program yang ada dari pada harus
membuat perencanaan kebijakan yang menyeluruh menuju tercapainya tujuan-tujuan
kemasyarakatan yang khusus.
Kritik terhadap model rasional komprehensif yang kemudian berusaha menutupi
kekurangan yang ada dalam model tersebut dengan jalan menghindari banyak masalah yang
ditemui dalam model rasional komprehensif. Model ini lebih bersifat deskriptif dalam
pengertian, model ini menggambarkan secara aktual cara-cara yang dipakai para pejabat
dalam membuat keputusan.
Model inkremental/penambahan merupakan hasil dari praktik-praktik yang diterima
secara luas di kalangan pembentuk kebijakan publik. Model ini mencoba untuk
menyesuaikan dengan realitas kehidupan praktis dengan mendasarkan pada pluralisme dan
demokrasi, maupun keterbatasan-keterbatasan kemampuan manusia. Landasan pokok
rasional dari model ini adalah bahwa perubahan inkremental memberikan tingkat maksimal
keamanan dalam proses perubahan kebijakan. Semua pengetahuan yang bisa dipercaya
didasarkan pada cara satunya-satunya untuk mengambil keputusan tanpa menimbulkan resiko
dengan melanjutkan kebijakan sesuai dengan arah tujuan kebijakan lama – membatasi
pertimbangan-pertimbangan kebijakan alternatif dengan kebijakan-kebijakan yang secara
relatif mempunyai tingkat perbedaan yang kecil dengan kebijakan sekarang yang berlaku.
Menurut model ini, kebijakan atau keputusan selalu bersifat serial, fragmentari, dan
sebagian besar remedial. Suatu masalah bisa saja muncul, namun dapat dipecahkan oleh
proses pengambilan keputusan inkremental, dan sejalan dengan berlalunya waktu bisa
menciptakan atmosfir yang lebih menguntungkan bagi perubahan-perubahan, dan sekaligus
memberikan peluang-peluang tambahan bagi penyesuaian perbedaan di kalangan pembuat
keputusan.
Ringkasnya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mempelajari model
penambahan (inkrementalisme), yakni :
1. Pemilihan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran dan analisis-analisis empirik
terhadap tindakan dibutuhkan. Keduanya lebih berkaitan erat dengan dan bukan
berada satu sama lain.
2. Para pembuat keputusan hanya mempertimbangkan beberapa alternatif untuk
menanggulangi masalah yang dihadapi dan alternatif-alternatif ini hanya berada
secara marginal dengan kebijakan yang sudah ada.
H a l a m a n | 7
3. Untuk setiap alternatif, pembuat keputusan hanya mengevaluasi beberapa
konsekuensi yang dianggap penting saja.
4. Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan dibatasi kembali secara
berkesinambungan. Inkrementalisme memungkinkan penyesuaian-penyesuaian
sarana-tujuan dan tujuan-sarana sebanyak mungkin sehingga memungkinkan
masalah dapat dikendalikan.
5. Tidak ada keputusan tunggal atau penyelesaian masalah yang dianggap “tepat”.
Pengujian terhadap keputusan yang dianggap baik adalah bahwa persetujuan
terhadap berbagai macam analisis dalam rangka memecahkan persoalan tidak
diikuti persetujuan bahwa keputusan yang diambil merupakan sarana yang paling
cocok untuk meraih sasaran yang telah disepakati.
6. Pembuatan keputusan secara inkremental pada dasarnya merupakan remedial dan
diarahkan lebih banyak kepada perbaikan terhadap ketidaksempurnaan sosial
yang nyata sekarang ini daripada mempromosikan tujuan sosial di masa depan.
Selain menggunakan model inkremental, dibutuhkan pula tipologi tertentu untuk
menganalisis model kebijakan publik.
Menurut Budi Winarno : Model inkremental juga diartikan sebagai kritik terhadap
model rasional komprehensif akirnya melahirkan model penambahan atau inkrementalis.
Oleh karena model ini berangkat dari kritik terhadap model rasional komprehensif, maka ia
berusaha menutupi kekurangan yang ada dalam model tersebut dengan jalan menghindari
banyak masalah yang ditemui dalam model rasional komprehensif. Model ini lebih bersifat
deskriptif dalam pengertian, model ini menggambarkan secara actual cara-cara yang dipakai
para pejabat dalam membuat keputusan.
Perlu diperhatikan bahwa komentar dari para ilmuwan lain, termasuk Yehezkel Dror
yang menyatakan bahwa mereka sepakat mengenai model inkremental sebagai alat bantu
deskriptif yang canggih untuk menganalisis proses-proses pembuatan kebijakan yang
sebenarnya. Namun perlu diketahui pula kritik-kritik mereka terhadap model inkremental
yang mengatakan bahwa model ini tidak mendorong pembuat keputusan untuk melakukan
inovasi dalam mencari alternatif-alternatif optimal, dan kenyataan menunjukkan bahwa
model ini tidak memberi peluang untuk beradaptasi dan mengatasi kondisi-kondisi darurat
dari sebuah masyarakat modern yang kompleks dan sedang mengalami perubahan yang
cepat.
H a l a m a n | 8
Sebuah model pembuatan kebijakan yang sangat signifikan, mirip dengan model
inkremental bisa ditemukan dalam tulisan Aaron Wildavsky yang berjudul “The Politics of
The Budgetary Process. Asumsi utama Wildavsky adalah bahwa proses penganggaran
belanja pemerintah adalah inkremental, terpisah-pisah, non-pragmatik, dan sequensial. Ini
disebabkan karena sifat pluralistik dari situasi dan pembuatan anggaran belanja. Selanjutnya
Wildavsky menjelaskan pemikiran ini dengan mengatakan bahwa proses yang
dikembangakan guna melakukan komparasi interpersonal dalam pemerintahan tidak didasari
kepentingan ekonomi, melainkan sarat dengan kepentingan politik. Konflik-konflik
dipecahkan (dengan landasan kesepakatan pada peran) dengan menerjemahkan preferensi-
preferensi yang berbeda melalui sistem politik ke dalam unit-unit yang disebut pemilihan atau
ke dalam tipe-tipe wewenang, seperti a veto power. Strategi melibatkan politik sebenarnya
merupakan faktor yang menentukan dalam proses anggaran belanja dan kinerjanya. Lebih
jauh Wildavsky mengatakan sebagai berikut :
Budgeting is incremental, not comprehensive. The beginning of wisdom about an
agency budget is that it is almost never actively reviewed as a whole every year in the sense
of reconsidering the whole of all existing programs as compared ro all possible alternatives.
Instead, it is based on last year’s budget with special attention given to a narrow range of
increase. Thus, the men who make the budget are concered with relatively small increments
to an existing base. Their attention is focused on a small number of items over which the
budgetary battle is fought.
Singkatnya, argumen pokok Wildavsky adalah bahwa proses penganggaran belanja
mempunyai alternatif terbatas, hanya penyesuaian-penyesuaian yang secara relatif kecil dari
anggaran belanja sebelumnya bisa dibuat. Argumen ini mirip dengan konsep yang
diperkenalkan oleh Lindblom, yaitu “partitional mutual adjustment”.
CONTOH MODEL INKREMENTAL
Contoh masalah kebijakan di Jakarta di mana dari tahun ke tahun, pemerintah telah
memperbaiki kebijakan-kebijakannya namun tetap saja belum mendapatkan hasil yang
memuaskan. Kemacetan adalah kondisi dimana terjadi penumpukan kendaraan di jalan.
Penumpukan tersebut disebabkan karena banyaknya kendaraan tidak mampu diimbangi oleh
sarana dan prasana lalu lintas yang memadai. Akibatnya, arus kendaraan menjadi tersendat
dan kecepatan berkendara pun menurun. Rata-rata kecepatan berkendara di Jakarta saat ini
berada di kisaran 15 km/jam, yang menurut standar internasional angka ini tergolong sebagai
H a l a m a n | 9
macet. Angka ini di bawah angka kecepatan berkendara di kota di dunia, seperti misalnya
Tokyo. Data ini menunjukkan bahwa kondisi kemacetan di Jakarta cukup parah. Kemacetan
ini disebabkan karena melonjaknya jumlah kendaraan bermotor yang ada di Jakarta.
Tingginya tingkat pertumbuhan kendaraan bermotor di Jakarta ini tidak diimbangi oleh
meningkatnya sarana dan prasarana lalu lintas yang memadai. Pertumbuhan jumlah
kendaraan bermotor di DKI Jakarta diperkirakan berada di kisaran 5-10% per tahun dengan
motor sebagai porsi terbesar penyumbangnya. Berbanding kontras dengan pertumbuhan
jumlah kendaraan bermotor, pertumbuhan panjang jalan bahkan kurang dari 1% per
tahunnya. Akibatnya, kendaraan bermotor semakin menumpuk di jalanan Jakarta dan
kemacetan pun tidak terhindari.
Pemerintah Daerah DKI Jakarta sendiri telah melakukan berbagai upaya untuk
menanggulangi kemacetan. Pelebaran dan pembangunan jalan adalah salah satunya.
Pemerintah daerah telah banyak menggusur pemukiman di Jakarta agar dapat melebarkan
jalan yang telah ada. Ini dimaksudkan agar tingkat kemacetan di jalan-jalan tersebut dapat
dikurangi dan arus kendaraan menjadi lebih lancar. Sementara itu, pemerintah juga
membangun sejumlah jalan baru sehingga alternatif jalan menjadi lebih banyak dan
kepadatan kendaraan tidak terkonsentrasi hanya di satu titik. Namun semua upaya itu
dianggap gagal. Pertumbuhan panjang jalan jauh tertinggal dibanding pertumbuhan jumlah
kendaraan. Pertumbuhan panjang jalan yang hanya sekitar 1% per tahun tidak akan mampu
mengakomodasi jumlah kendaraan yang tiap tahunnya meningkat 5-10%. Upaya lainnya
yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan menerapkan aturan three in one. Langkah ini
cukup efektif untuk mengatasi kemacetan karena dengan adanya aturan ini, kendaraan pribadi
dengan 1-2 penumpang tidak dapat melintasi jalan three in one. Akibatnya, penggunaan
kendaraan pribadi dapat dihindari dan kemacetan pun dapat dikurangi. Salah satu contohnya
adalah di kawasan Sudirman, Jakarta. Namun kebijakan ini tidak lantas mampu menjawab
permasalahan kemacetan di Jakarta. Aturan ini relatif sulit untuk diterapkan di jalan-jalan
lainnya. Selain itu, penyimpangan-penyimpangan seperti joki three in one juga membuat
kebijakan ini tidak efektif. Kehadiran joki membuat pengguna kendaraan pribadi dapat
mengelabui aturan dan kemacetan pun tidak akan berkurang. Dan program pemerintah daerah
yang terakhir dan baru-baru ini berhasil direalisasikan adalah Busway. Busway yang telah
beroperasi sejak 15 Januari 2004 ini meniru sistem transportasi yang ada di Bogota,
Kolombia. Ide angkutan transportasi massal ini diharapkan dapat mampu mengurangi
penggunaan kendaraan pribadi dan beralih ke Busway. Namun hasilnya kurang memuaskan.
H a l a m a n | 10
Seperti yang telah disebutkan, jumlah kendaraan bermotor bertambah hingga 10% per
tahunnya. Ini menunjukkan bahwa Busway tidak berpengaruh signifikan untuk mengurangi
jumlah kendaraan bermotor. Tidak adanya Busway di seluruh wilayah Jakarta membuat
pemilik kendaraan pribadi lebih memilih untuk menggunakan kendaraannya. Orang akan
berpikiran bahwa naik Busway akan menyulitkan mereka karena mereka harus berjalan ke
halte Busway, naik Transjakarta Busway, turun, dan berjalan lagi ke kantor mereka. Sebagian
beranggapan akan lebih mudah dan simple bila menggunakan kendaraan pribadi. Inilah yang
membuat Busway tidak terlalu signifikan mengurangi jumlah penggunaan kendaraan pribadi
dan gagal mengatasi kemacetan.
Masalah berikutnya, masalah banjir di Jakarta. Masalah ini termasuk tipologi lowi
kategori regulatoris karena pada umumnya kebijakan ini bermaksud membatasi jumlah pihak
pemberi pelayanan tertentu. Banjir merupakan salah satu akar permasalahan yang paling
signifikan dijakarta. Karena pada dasarnya sampai saat ini pemerintah belum mampu untuk
mengatasi masalah banjir tersebut. mulai dari kebijakan pertama yang dilakukan pemerintah.
Kebijakan pertama diambil adalah pada tahun 1913, kebijakan Pemerintah Hindia Belanda di
Batavia atau Jakarta pada awal abad ke-20, tepatnya pada 1913, dengan membuat proyek
kanal banjir. Proyek ini usai tujuh tahun kemudian. Ciliwung dipotong mulai dari Manggarai,
sebagian dibelokkan arahnya melalui Dukuh Atas, Karet, Grogol, dan bermuara di Teluk
Gong. Setelah itu dibuat pula kanal atau grachten yang melewati Jalan Juanda, Hayam
Wuruk, dan Gajah Mada. Sekalipun kanal banjir sudah berfungsi pada tahun 1920. Setelah itu
untuk melindungi kota dari kenaikan permukaan air laut dan banjir, pada akhir 1990-an,
pemerintah Kota Rotterdam membangun maeslantkering, yaitu dua gerbang besar yang bisa
dibuka-tutup dengan total panjang 600 meter. Dan kebijakan yang diambil oleh fauzi wibowo
sekarang adalah kerjasama dengan program sister city pada tanggal 7 februari 2011 dengan
penandatangnan penandatanganan MoU tersebut, Pemerintah Provinsi (Pemrov) DKI
menggandeng Rotterdam untuk membuat tanggul raksasa di bagian utara Jakarta untuk
mengantisipasi kemungkinan tenggelamnya Ibu Kota. Dengan hal seperti ini model
incremental belum mampu untuk menyelesaikan masalah banjir di Jakarta. Karena dengan
perubahan-perubahan kebijakan yang terdahulu belum mampu untuk menyelesaikan masalah
tersebut. pemerintah harus memutar otak lagi untuk menanggulangi masalah banjir tersebut.
Kebijakan dana BOS masuk dalam kategori kebijakan distributive karena pada
dasarnya kebijakan ini merupakan subsidi dana pendidikan dari pemerintah untuk sekolah-
sekolah di tiap-tiap daerah. Program Dana Bos yang bertujuan untuk memberikan layanan
H a l a m a n | 11
pendidikan gratis bagi seluruh siswa miskin, Adanya berbagai pungutan-pungutan biaya
terhadap siswa, hal ini menjadi salah satu opsi yang menunjukkan bahwa program pemberian
Dana BOS tidak konsisten dengan apa yang telah ditetapkan sebelumnya. Uang yang
dikeluarkan oleh orang tua murid cenderung tidak berkurang walaupun sudah ada dana BOS.
Dana Bos sesungguhnya belum bisa dikatakan menggratiskan biaya pendidikan meskipun
Dana BOS telah memberikan SPP gratis bagi seluruh siswa, karena pada kenyataaannya
biaya diluar SPP lebih besar daripada SPP. Program dana BOS sebagai salah satu upaya
untuk memantapkan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun memang belum dapat
sepenuhnya memberikan layanan yang memadai, hal ini dikarenakan terbatasnya sumber
dana yang digunakan operasional sekolah. Sumberdana sekolah yang berasal dari orang
tua/wali siswa, bantuan APBD maupun dari dana BOS belum dapat menjangkau memberikan
layanan bagi siswa miskin berkisar secara keseluruhan, tetapi justru dengan program BOS
sekolah agak bisa bernafas sehingga dapat memberikan kontribusi pengentasan kemiskinan
bidang pendidikan sekitar 20% - 25%.
Masalah kebijakan yang akan di bahas dengan menggunakan model inkremental
adalah masalah defisit pangan nasional yang terjadi di Indonesia, dan dari waktu ke waktu
selalu dipecahkan oleh pemerintah melalui kebijakan peningkatan produktivitas dan produksi
pertanian pangan padi secara nasional. Jika terjadi defisit pangan, pemerintah segera impor
beras dari Negara-negara lain penghasil beras. Kebijakan pemerintah yang mendasarkan
model inkremental ini tentu saja tidak efektif karena memecahkan persoalan pangan hanya
untuk sementara waktu. Selain itu, implikasi dari impor beras sangat merugikan kepada kaum
petani penghasil padi karena harga beras yang sempat naik dan membuat mereka bersuka
cita, lantas cenderung segera pula anjlok sehingga membuat para petani menangis, karena
kenaikan harga beras dalam negeri yang sifatnya sementara itu tidak mempunyai pengaruh
apapun bagi perbaikan kehidupan mereka. Sementara jika terjadi panen raya, harga juga
cenderung segera anjlok, dan kembali para petani menangis lagi karena mereka sangat
dirugikan. Pemerintah tentu saja tidak bisa menjalankan kebijakan seperti ini terus-menerus,
karena pada dasarnya kebijakan inkremental seperti dijelaskan sebelumnya merupakan
pendekatan konservatif untuk melakukan inovasi kebijakan. Perlu diingat pula bahwa
sebenarnya telah terjadi perubahan yang sangat cepat dalam masalah kependudukan. Pertama,
banyak penduduk desa yang cenderung meninggalkan daerah pedesaan mereka untuk
mencari pekerjaan di kota-kota besar atau di luar negeri sebagai tenaga kerja Indonesia.
Biasanya alasan klise yang menjadi pendorong mereka untuk meninggalkan daerah pedesaan
H a l a m a n | 12
mereka, yaitu dalam pandangan mereka lapangan kerja di sektor pertanian pangan dan di
sektor non pertanian tidak bisa lagi menjadi andalan bagi kehidupan mereka yang layak untuk
masa sekarang, maupun untuk masa mendatang. Kedua, pertambahan komulatif penduduk
secara nasional terus meningkat. Oleh karena itu, pemerintah tidak hanya harus segera
tanggap terhadap fenomena kependudukan saat ini, tetapi perlu segera melakukan inovasi
kebijakan pangan nasional dengan melakukan kebijakan terobosan, yang dalam hal ini adalah
kebijakan diversifikasi pangan secara nasional. Sudah saatnya pemerintah mempunyai
komitmen yang kuat terhadap kebijakan pertanian pangan di Indonesia yang telah dengan
gencar dan semangat yang menggebu-gebu diluncurkan pada tahun 1969 dan sempat menjadi
prioritas dan bisa mencapai swasembada pangan, justru sekarang ini menghasilkan anti
klimaks, yang berupa tidak kunjung selesainya persoalan pangan dan kesejahteraan para
petani. Padahal Negara-negara lain, seperti Korea Selatan dan Taiwan, kebijakan pertanian
pangan bisa berhasil, dan mengantarkan Negara-negara itu memasuki tahap perkembangan
industri dan perdagangan. Dibandingkan dengan Negara-negara itu, Indonesia merupakan
Negara pertanian terbesar di Asia Tenggara.
Sungguh sangat ironis dan tragis, sektor pertanian Indonesia, plus sumber-sumber
kekayaan alam lain tidak mampu mewujudkan impian seperti yang terjadi di Negara-negara
Asia lainnya yang sekarang telah menjadi Negara-negara industri dan perdagangan.
Secara agregat, produksi beras Indonesia terus meningkat. Demikian pula luas panen dan
produktivitas. Pada tahun 14 luas panen, produktivitas dan produksi hanya sebesar 8.509.000
ha, 26,4 ton/ha, dan 15.297.000 ton beras. Tahun 2006, luas panen telah mencapai 11.780.000
ha, dengan produktivitas sebesar 4,62 ton/ha dan jumlah produksi mencapai 34.382.000 ton
beras. Selama 34 tahun terakhir, hanya pada 9 tahun pertumbuhan produksi beras nasional
bernilai negative, yaitu tahun 1975, 1991, 1993-1994, 1997-1999, 2001, dan 2005.
Namun yang dibutuhkan bukan sekedar menjaga produksi beras bertumbuh positif. Yang
dibutuhkan adalah produksi per tahun itu mampu memenuhi permintaan atau konsumsi, dan
pertumbuhan produksi beras dari tahun ke tahun mampu mengimbangi pertumbuhan
penduduk atau konsumsi.
Kenyataannya, kecuali tahun 1984, produksi beras nasional senantiasa lebih rendah
dari kebutuhan konsumsi nasional. Karena itu sebagian kebutuhan nasional dipenuhi dari
impor. Sepanjang 1960-2006, proporsi impor terhadap total suplai (impor+produksi nasional)
yang bernilai kurang dari 2 persen hanya pada tahun 1984, 1989 dan 1997. Terdapat 4 tahun
dimana presentase impor terhadap total pasokan mencapai dua digit. Yang tertinggi di tahun
H a l a m a n | 13
1998 sebesar 22,81 persen. Setelah krisis ekonomi 1997 hingga 2004, proporsi impor beras
Indonesia tidak pernah kurang dari 4,5 persen.
Defisit produksi terhadap konsumsi beras terjadi karena, meskipun dari tahun ke
tahun pertumbuhan produksi dan produktivitas terus terjadi, laju dari pertumbuhan tersebut
mengalami pelambatan. Jika pada antara tahun 1969-1984 pertumbuhan produksi mencapai 5
persen, maka pada periode 1985-1998 produksi hanya naik 1,71 persen. Jika periode 1979-
1983 produksi dapat ditingkatkan 6,29 persen, maka pada periode selanjutnya pertumbuhan
terus menurun, sehingga pada tahun 1994-1998 produksi hanya 1,01 persen per tahun pada
1995-2001. Kecenderungan ini bergerak sebaliknya dari laju pertumbuhan penduduk yang
rata-rata terus meningkat dari tahun ke tahun, dan jikapun mengalami pelambatan
pertumbuhan, tidak sedrastis pelambatan pertumbuhan produksi.
Penurunan laju pertambahan produksi terkait dua hal utama, yaitu melambatnya laju
perumbuhan produktivitas dan menurunnya laju pertambahan lahan. Pelambatan laju
pertumbuhan produksi pada periode 1980-1984 hingga periode 1995-2001 berkaitan dengan
menurunnya laju pertumbuhan produktivitas (dari 5,31% per tahun pada periode 1980-1984
menjadi 0,29% per tahun pada periode 1990-1994), dan bahkan negatif (-) 0,33% pada
periode 1995-2001) dan laju pertambahan luas baku sawah (turun dari 8,87% per tahun
menjadi 0,72% pada periode 1990-1994 dan -1,84% pada periode 1995-2001).
Pemerintah menyiapkan dana ketahanan pangan yang dianggarkan Rp3 triliun untuk
mengatasi melambungnya harga pangan belakangan ini. Menko Perekonomian Hatta Rajasa
menyatakan, pemerintah tengah mengatur penggunaan dana tersebut agar bisa menekan harga
pangan secara tepat dan efektif. "Kita juga mengatur dana cadangan Rp 1 triliun, dan Rp 2
triliun untuk kementerian negara. Kita akan susun agar penggunaannya bisa efektif," ungkap
Hatta di kantornya, Jumat (7/1).
Ia melanjutkan, dana tersebut akan digunakan untuk mengintervensi harga pangan
terutama pada kantong-kantong yang rawan harga. "Kita akan all out. Ini adalah program
seluruh K/L (Kementrian/Lembaga)," ujar Hatta.
Adapun beberapa kebijakan yang akan dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi
dampak melambungnya harga pangan adalah meningkatkan operasi pasar untuk beras.
"Kedua, kita lakukan pendekatan fiskal dan hal-hal yang berkaitan dengan pendekatan
perdagangan. Dan hal terkait dengan suplai juga harus cukup. Stok Bulog harus 1,5 juta ton,"
ujarnya.
H a l a m a n | 14
Selanjutnya adalah kembali melakukan penyaluran raskin. Rencananya, ungkap Hatta,
pada Februari nanti akan ada raskin rapelan alias pengguyuran raskin untuk jangka waktu 2
bulan ditarik ke 1 bulan. Pemerintah juga bakal melakukan pendekatan fiskal (pajak atau
kepabeanan) guna mencegah harga pangan dalam negeri menjadi tinggi. "Kita juga tahu,
harga pangan dunia meningkat sangat tajam di Desember-Januari. Kebijakan harus sukses,
apapun iklimnya. Pertanian harus tetap tumbuh," ungkapnya.
Pemerintah juga akan membuka lahan baru untuk meningkatkan produksi pangan.
"Itu jadi agenda mendesak. Senin seluruh gubernur Indonesia akan hadir. Salah satunya
membahas masalah ketahanan pangan harus sampai daerah. Lahan-lahan harus dilindungi,
jangan ada yang terkonversi. PP (peraturan pemerintah) sudah selesai. Tidak boleh ada lahan
pertanian dikonversi ke yang lain," pungkasnya.
Contoh kasus kebijakan publik bermodel inkremental adalah kebijakan dalam
Kementerian Pendidikan Nasional. Menteri Pendidikan Nasional ketika ditanya wartawan
mengapa setiap ganti menteri selalu ganti kebijaksanaan. Menteri Pendidikan Nasional
mengeaskan bahwa setiap menteri baru melanjutkan kebijaksanaan menteri sebelumnya.
Kebijaksanaan tersebut hanya disempurnakan tidak ada yang diganti. Dicontohkan oleh
Mendiknas bahwa kurikulum pendidikan itu dalam seratus tahun belakang ini tidak pernah
berubah. Hal ini menunjukkan pada kementerian pendidikan nasional menggunakan model
incremental.
H a l a m a n | 15
DAFTAR PUSTAKA
Buku :Abdul Wahab, Solichin. 2008. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. UMM Press. MalangWinarno Budi. 2011. Kebijakan Publik: Teori Proses dan Studi Kasis. CAPS. Yogyakarta
Website :http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2011/11/15/kemacetan-lalu-lintas-dki-jakarta/
http://jeinzlumbanraja.blogspot.com/2011/08/analisis-kebijakan-dana-bos.html
http://litbang.bantenprov.go.id/2012/kebijakan-dana-bos-terhadap-keberhasilan-program-wajardikdas-di-provinsi-banten/
http://www.zef.de/module/register/media/3ddf_Politik%20Ketahanan%20Pangan%20Indonesia%201950-2005.pdf
http://sosbud.kompasiana.com/2011/05/19/ketahanan-pangan-quo-vadis/
http://nttzine.com/articles/pertanian-pangan/160-produksi-nasional-turun-impor-beras.html
http://ekonomi.inilah.com/read/detail/1123382/URLTEENAGE
H a l a m a n | 16