MODEL DAN STRATEGI SISWA KELAS II SEKOLAH DASAR DALAM MENYELESAIKAN MASALAH KONTEKSTUAL PADA...

19
MODEL DAN STRATEGI SISWA KELAS II SEKOLAH DASAR DALAM MENYELESAIKAN MASALAH KONTEKSTUAL PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN REALISTIK (PMR) Rini Setianingsih (Dosen Matematika FMIPA Universitas Negeri Surabaya, e- mail:[email protected]) Abstract,This study investigated how grade 2 children learn mathematical concepts using realistic approach. A contextual problem involving multiplication was given to the students. Then, the researcher analysed the students’ strategies in solving such a contextual problem. A fullday school (SD Al Hikmah) was used as the setting of the research, and involved 32 students of grade 2. The children’s self-developed models were assessed through students’work on the student activity sheet, and also through observing the teaching and learning process. An analysis of performance, misconceptions and errors made by the students was achieved through an in-depth analysis of group work. The results suggested that the majority of students were able to solve the contextual problem, employed various models and strategy, while two groups of students engaged in formal method. Kata Kunci: pendekatan PMR, matematika SD, perkalian, model, strategi Pembelajaran matematika, pada dasarnya merupakan usaha membantu siswa mengonstruksi pengetahuan melalui proses (Marpaung, 1999). Hal ini selaras dengan yang dikemukakan Bruner bahwa mengetahui adalah suatu proses, bukan suatu produk. Proses tersebut dimulai dari pengalaman, dan selanjutnya pengetahuan dibangun dari pengalaman tersebut. Informasi dari pengalaman disaring, disusun dan disimpan dalam memori (Romberg & Carpenter, 1992). Menurut Soedjadi (2000), salah satu faktor yang penting untuk mencapai tujuan pendidikan adalah proses belajar mengajar yang dilaksanakan. Untuk itu, siswa harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengonstruksi sendiri pengetahuan yang harus dimiliki, karena pemberian kesempatan kepada siswa merupakan suatu strategi agar siswa berinteraksi dalam kelompok belajarnya (Cobb, Wood & Yackel, 1992). Latar belakang budaya juga mempunyai kontribusi terhadap terjadinya interaksi dalam pembelajaran. Dalam budaya Indonesia, khususnya budaya Jawa, siswa yang pandai biasanya mempunyai karakteristik: pendiam, penurut, jarang protes pada guru. Akibatnya, siswa tidak terbiasa mengemukakan pendapatnya 1

description

Jurnal Online Universitas Negeri Surabaya, author : RINI SETIANINGSIH,

Transcript of MODEL DAN STRATEGI SISWA KELAS II SEKOLAH DASAR DALAM MENYELESAIKAN MASALAH KONTEKSTUAL PADA...

MODEL DAN STRATEGI SISWA KELAS II SEKOLAH DASAR DALAM MENYELESAIKAN MASALAH KONTEKSTUAL PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN REALISTIK (PMR)

JURNAL PENDIDIKAN DASAR,VOL.10 NO.2, SEPTEMBER 2009 (135-146)

Setianingsih, Model dan Strategi Siswa

MODEL DAN STRATEGI SISWA KELAS II SEKOLAH DASAR DALAM MENYELESAIKAN MASALAH KONTEKSTUAL PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN REALISTIK (PMR)Rini Setianingsih

(Dosen Matematika FMIPA Universitas Negeri Surabaya, e-mail:[email protected])Abstract,This study investigated how grade 2 children learn mathematical concepts using realistic approach. A contextual problem involving multiplication was given to the students. Then, the researcher analysed the students strategies in solving such a contextual problem. A fullday school (SD Al Hikmah) was used as the setting of the research, and involved 32 students of grade 2. The childrens self-developed models were assessed through studentswork on the student activity sheet, and also through observing the teaching and learning process. An analysis of performance, misconceptions and errors made by the students was achieved through an in-depth analysis of group work. The results suggested that the majority of students were able to solve the contextual problem, employed various models and strategy, while two groups of students engaged in formal method. Kata Kunci: pendekatan PMR, matematika SD, perkalian, model, strategi

Pembelajaran matematika, pada dasarnya merupakan usaha membantu siswa mengonstruksi pengetahuan melalui proses (Marpaung, 1999). Hal ini selaras dengan yang dikemukakan Bruner bahwa mengetahui adalah suatu proses, bukan suatu produk. Proses tersebut dimulai dari pengalaman, dan selanjutnya pengetahuan dibangun dari pengalaman tersebut. Informasi dari pengalaman disaring, disusun dan disimpan dalam memori (Romberg & Carpenter, 1992).

Menurut Soedjadi (2000), salah satu faktor yang penting untuk mencapai tujuan pendidikan adalah proses belajar mengajar yang dilaksanakan. Untuk itu, siswa harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengonstruksi sendiri pengetahuan yang harus dimiliki, karena pemberian kesempatan kepada siswa merupakan suatu strategi agar siswa berinteraksi dalam kelompok belajarnya (Cobb, Wood & Yackel, 1992).

Latar belakang budaya juga mempunyai kontribusi terhadap terjadinya interaksi dalam pembelajaran. Dalam budaya Indonesia, khususnya budaya Jawa, siswa yang pandai biasanya mempunyai karakteristik: pendiam, penurut, jarang protes pada guru. Akibatnya, siswa tidak terbiasa mengemukakan pendapatnya di kelas, kurang aktif dalam pembelajaran, sehingga kurang dapat mengoptimalkan potensinya. Pembelajaran yang terjadipun cenderung satu arah. Marpaung (1995) melaporkan bahwa sebagian besar siswa pada sejumlah Sekolah Dasar di Jogjakarta takut pada matematika. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa guru matematika kurang percaya diri dan jarang tersenyum, sehingga situasi kelas tidak memungkinkan terjadinya interaksi, dan siswa tidak mempunyai kesempatan untuk mengkomunikasikan penyelesaian yang mereka dapatkan.

Salah satu pendekatan yang memberikan banyak kesempatan kepada siswa untuk mengonstruk pengetahuannya sendiri, sekaligus mendorong terjadinya interaksi adalah Pembelajaran Matematika Realistik (PMR), yang dikembangkan di Belanda pada tahun 1970-an (Treffers, 1991). Pendekatan ini didasarkan pada prinsip bahwa 'students ... see meaning in schoolwork when they connect ... information with ... their own experience' (siswa mengetahui makna dalam pekerjaan sekolah ketika mereka mengaitkan informasi dengan pengalaman mereka sendiri) (Johnson, 2002). Selanjutnya Johnson mengatakan bahwa dalam PMR, guru perlu mengaitkan dunia siswa dengan dunia ide-ide matematika. Ditinjau dari perspektif psikologi, ini berkaitan dengan teori Lave tentang situated learning, yang menyatakan bahwa pengetahuan perlu dipresentasikan dalam konteks autentik, yang berbeda dengan sebagian besar aktivitas belajar di kelas yang meliputi pengetahuan yang abstrak dan di luar konteks.

Gravemeijer (1999) mengatakan bahwa PMR menekankan pentingnya konteks nyata yang dikenal siswa dan proses konstruksi pengetahuan matematika oleh siswa sendiri. Masalah kontekstual dijadikan titik pangkal dalam pembelajaran matematika (Gravemeijer,1994). Dalam memecahkan masalah kontekstual yang diberikan, diharapkan akan terjadi interaksi, baik antara siswa dengan siswa, siswa dan guru maupun antara siswa dan sumber belajar. Interaksi dapat menyebabkan timbulnya refleksi, yang perlu bagi pencapaian pemahaman yang lebih tinggi. Streefland (1991) mengidentifikasi lima karakteristik PMR, yaitu: (1) Sumber konsep adalah realitas; (2) Siswa diberi kesempatan menjadi pengonstruk (constructors), sehingga secara aktif berkontribusi terhadap proses belajar; (3) Proses belajar harus interaktif sehingga dalam mengonstruk pengetahuan dari kehidupan nyata, siswa berdiskusi dan berkolaborasi jika diperlukan.; (4) Adanya keterkaitan antar materi (misalnya, pecahan, rasio, dan proporsi), sehingga memungkinkan terjadinya matematisasi horisontal dan vertikal; (5) Berbagai alat yang digunakan dalam proses memahami matematika, simbol-simbol, diagram dan model visual, seharusnya dihasilkan dari kebutuhan untuk mendeskripsikan dan menggunakan apa yang ditemukan oleh siswa untuk diri mereka sendiri.

Penelitian ini berupaya mengksplorasi kelima karakteristik di atas dalam pembelajaran perkalian di kelas II Sekolah Dasar. Sebuah masalah kontekstual diberikan kepada siswa, kemudian guru meminta siswa untuk memecahkannya secara berkelompok. Hasil pekerjaan siswa dipresentasikan di depan kelas oleh dua orang wakil kelompok, sedangkan siswa yang lain menanggapi presentasi tersebut antara lain dengan mengajukan pertanyaan, memperkaya jawaban teman yang sedang presentasi, membandingkan jawaban, bernegosiasi, dan melakukan matematisasi. Model-model (self-developed model) dan strategi yang dihasilkan siswa akan dianalisis secara kualitatif. Selain itu, jalannya pembelajaran (progress) di kelas juga akan dideskripsikan.

Istilah model dan modeling (pemodelan) digunakan dalam berbagai tujuan dalam banyak literatur, yang mencakup soal cerita, melakukan simulasi matematika, menciptakan representasi situasi masalah, dan menciptakan representasi psikologis internal pada saat menyelesaikan suatu masalah tertentu (Gravemeijer,1999; Less & Doerr, 2003; Romberg dkk., 2005; Doerr & English, 2003) mendefinisikan model sebagai systems of elements, operations, relationships, and rules that can be used to describe, explain, or predict the behavior of some other familiar system (sistem elemen, operasi, relasi, dan aturan yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan, menjelaskan atau meramalkan perilaku beberapa sistem yang lain). Ditinjau dari perspektif ini, masalah pemodelan merupakan situasi kompleks yang realistik, yang memungkinkan siswa terlibat dalam berpikir matematis di luar pengalaman di sekolah, sedangkan hasil yang diperoleh sering mencakup alat-alat (artifaks) yang kompleks atau alat-alat konseptual yang dibutuhkan untuk keperluan tertentu, atau untuk mencapai beberapa tujuan (Lesh & Zawojewski, 2007).

Pemahaman dan perkembangan pengetahuan siswa tentang model-model yang akurat seharusnya dianggap sebagai salah satu tujuan yang penting dalam pendidikan matematika (Lesh & Sriraman, 2005). Oleh karena itu, modeling perlu dimasukkan dalam kurikulum sekolah dasar, dan bukannya baru diberikan di tingkat sekolah menengah.

Penelitian yang dilakukan oleh English (2006) dan English & Watters (2005) menunjukkan bahwa siswa sekolah dasar telah mampu mengembangkan model-model mereka sendiri dan sanggup memaknai situasi yang kompleks. Pendidikan matematika perlu memberikan perhatian yang lebih besar terhadap perkembangan kemampuan pemodelan matematika pada anak-anak sekolah dasar, khususnya dengan semakin meningkatnya penggunaan pemodelan di luar kelas (di kehidupan sehari-hari siswa).Penggunaan istilah konstruktivisme dapat menjadi ambigu, karena terdapat beberapa bentuk konstruktivisme yang dideskripsikan dalam literatur. Good, Wandersee & St. Julien (1993) menawarkan 15 kata sifat berbeda yang dapat diletakkan di depan konstruktivisme untuk mengklarifikasi maknanya: contextual, dialectical, empirical, humanistic, information-processing, methodological, moderate, Piagetian, post-epistemological, pragmatic, radical, rational, realist, social, and socio-historical. Banyak di antara istilah di atas yang berkaitan dengan konsep dan asumsi yang tumpang tindih (overlapping), sedangkan yang lain mempunyai perbedaan yang cukup besar. Semua bentuk konstruktivisme mempunyai ide tentang pengetahuan yang dikonstruksi secara individual. Konstruktivisme lemah (weak constructivism), sebagaimana pendapat Ernest (1996), mengasumsikan bahwa individu mengonstruk pengetahuannya sendiri (ide lokal), namun menerima eksistensi pengetahuan objektif (ide global). Pada konstruktivisme radikal ditambahkan asumsi bahwa pengetahuan individual berada dalam keadaan yang terus berubah, atau re-evaluasi konstan dengan cara adaptasi dan evolusi. Dalam pandangan ini, pikiran (mind) dicirikan sebagai pengetahuan yang problematis (problematizing knowledge). Selanjutnya, konstruktivisme sosial didasarkan pada asumsi bahwa pengetahuan individual sama saja dengan pengetahuan sosial. Ini berarti bahwa pengetahuan yang dikonstruk seorang individu adalah pengetahuan yang dikonstruknya bersama masyarakat, sehingga menimbulkan suatu metafor bersama (shared metaphor) antara metafor pengetahuan dan konstruksi sosial terhadap makna (Ernest, 1996).Realistic Mathematics Education (RME) dikembangkan di Belanda sejak 1971, berdasarkan falsafah Hans Freudenthal bahwa matematika harus diajarkan sebagai aktivitas manusia (mathematics as human activity). Sejak tahun 2001 RME diujicobakan di Indonesia, dengan nama Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI), yang merupakan pendidikan matematika sebagai hasil adaptasi dari Realistic Mathematics Education (RME) yang telah diselaraskan dengan kondisi budaya, geografi serta kehidupan masyarakat Indonesia umumnya (Soedjadi, 2007).

Secara historis, karakteristik PMR terkait dengan pendapat Van Hiele tentang tiga level belajar matematika (de Lange, 1996). Van Hiele berasumsi bahwa proses belajar berjalan melalui tiga level, yaitu: (1) seorang siswa mencapai level pertama dalam berpikir pada saat siswa tersebut dapat memanipulasi karakteristik yang diketahui dari suatu pola yang sudah dikenalnya; (2) pada saat siswa belajar memanipulasi keterkaitan (interrelatedness) dari karakteristik-karakteristik tersebut, maka ia telah mencapai level kedua; (3) siswa akan mencapai level berpikir yang ketiga ketika ia mulai memanipulasi relasi karakteristik yang hakiki.

Pembelajaran tradisional cenderung diawali dari level kedua atau ketiga, sedangkan pendekatan realistik diawali dari level pertama (Zulkardi, 1999). Dalam rangka memulai dari level pertama yang berkaitan dengan fenomena yang sudah dikenal oleh siswa, Freudenthal memperkenalkan didactical phenomenology bahwa belajar seharusnya dimulai dari suatu masalah kontekstual. Selanjutnya, dengan prinsip guided reinvention dan progressive mathematizations, siswa dibimbing secara didaktis dan efisien dari satu level berpikir ke level berpikir yang lain melalui matematisasi.

Kedua prinsip tersebut dan konsep self-developed models (Gravemeijer, 1994) dapat digunakan sebagai prinsip-prinsip desain dalam teori pembelajaran topik tertentu dalam pembelajaran matematika. Kombinasi dari tiga level berpikir Van Hiele (1957), didactical phenomenology dari Freudenthal (1971) dan matematisasi progresif dari Treffer (1985) menghasilkan lima karakteristik PMR (de Lange, 1987, Gravemeijer, 1994), yaitu (a) Penggunaan masalah kontekstual (kontekstual problem berperan sebagai penerapan dan starting points bagi materi matematika yang akan dipelajari); (b) Penggunaan model (perhatian diberikan pada model-model perkembangan, skema dan simbolisasi, dan bukan pada aturan-aturan matematika formal); (c) Penggunaan kontribusi siswa (kontribusi besar dalam pembelajaran datang dari konstruksi siswa sendiri, yang berproses dari metode yang informal menjadi metode yang lebih formal dan baku); (d) Interaktivitas (negosiasi eksplisit, intervensi, diskusi, kerja sama dan evaluasi antar siswa dan guru merupakan unsur penting dalam suatu proses belajar yang konstruktif, di mana strategi-strategi informal siswa digunakan sebagai pengungkit (lever) untuk mendapatkan strategi-strategi formal); (e) Keterkaitan (Intertwining of learning strands) (pendekatan holistik mempunyai implikasi bahwa pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial. Keterkaitan ini akan memudahkan siswa dalam proses pemecahan masalah).

Dalam rangka menjadikan kelas sebagai suatu kesatuan, dapat diterapkan bermacam-macam metode mengajar, mulai dari pengajaran untuk seluruh kelas (whole-class teaching), tugas kelompok, dan tugas individual. Setting kelas dapat berkontribusi pada kemajuan siswa dalam menerapkan strategi-strategi matematika. Sebagai titik awal adalah eksplorasi suatu masalah kontekstual yang dapat dipecahkan dalam berbagai level pemahaman. Dengan berdiskusi dan berbagi strategi penyelesaian di kelas, siswa yang pertama memecahkan masalah dengan strategi yang panjang (longwinded strategy) dapat mencapai level pemahaman yang lebih tinggi, sehingga konsep matematika yang baru dapat dipahami.

Menurut Van den Heuvel-Panhuizen (1996), pembelajaran klasikal (whole-class instruction) memegang peranan penting dalam PMR . Belajar matematika merupakan suatu aktivitas sosial. Berdasarkan ide ini, interaksi merupakan salah satu karakteristik utama dalam PMR. Oleh karena itu, pembelajaran matematika seharusnya memberikan kesempatan kepada siswa untuk berbagi strategi dan penemuan (inventions) satu sama lain. Dengan mendengarkan apa yang ditemukan siswa lain dan mendiskusikan penemuan-penemuan tersebut, siswa dapat memperoleh ide-ide untuk memperbaiki cara-cara mereka dalam memecahkan masalah matematika.

Pendekatan PMR menekankan bagaimana siswa menemukan konsep-konsep atau prosedur-prosedur dalam matematika melalui dorongan masalah-masalah konteksual. Dalam menyelesaikan masalah-masalah kontekstual tersebut siswa diarahkan dalam situasi belajar mandiri, atau bekerja dalam kelompok kecil, yang mempunyai anggota kelompok 3-9 orang. Verschaffel (1997) mengatakan bahwa langkah-langkah untuk menyelesaikan masalah adalah memahami situasi masalah, membangun model matematika, menyusun model-model matematika atau operasi dalam unsur-unsur soal yang diketahui, interpretasi dan evaluasi hasil pekerjaan komputasi model dan mengkomunikasikan hasil.

Situasi siswa dalam kegiatan belajar mengajar pada pendekatan realistik adalah sebagai berikut: (1) Menggunakan masalah kontekstual untuk dipahami secara matematisasi; (2) Merumuskan masalah-masalah dari situasi di luar atau di dalam matematika dengan menemukan model-model matematika; (3) Mengembangkan dan menggunakan berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah dengan konsep-konsep atau prosedur secara matematis; (4) Memeriksa dan awalnya menginterpretasikan hasil yang mengacu pada situasi masalah awalnya; (5) Menggeneralisasikan penyelesaian dan strategi untuk situasi masalah baru (Treffers and Goffree, 1985).

Guru berfungsi sebagai fasilitator, artinya guru menyediakan bermacam-macam masalah kontekstual tentang materi untuk mendorong siswa akan proses menemukan konsep atau prosedur yang termuat di dalamnya, sedangkan siswa mengurangi ketergantungan aktivitasnya pada guru dalam menyelesaikan soal. Guru memfasilitasi proses penemuan dalam situasi menyelesaikan masalah dengan bermacam-macam pertanyaan, rangsangan, motivasi dan sedikit petunjuk.

Gravemeijer (1994) mengemukakan bahwa terdapat tiga prinsip kunci dalam PMR, yaitu: (1) Guided reinvention/ progressive mathematizing (penemuan terbimbing/ matematisasi progresif); (2) Didactical phenomenology; dan (3) Self-developed model. Di dalam PMR, model matematika dimunculkan dan dikembangkan secara mandiri oleh siswa. Siswa mengembangkan model tersebut dengan menggunakan modelmodel (formal dan informal) yang telah diketahuinya. Dimulai dengan menyelesaikan masalah kontekstual dari situasi nyata yang sudah dikenal siswa, kemudian ditemukan model-dari (model-of) situasi tersebut (bentuk informal), dan kemudian diikuti dengan penemuan model-untuk (model-for) bentuk tersebut (bentuk formal matematika), sehingga mendapatkan penyelesaian masalah tersebut dalam bentuk pengetahuan matematika formal. Gravemeijer (1994) menyebutkan bahwa siswa mempelajari matematika berawal dari tahap situasi nyata, kemudian tahap referensi (pemodelan), tahap generalisasi dan tahap formal matematika.

MetodeSubjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas II-E SD Al Hikmah Surabaya, yang berjumlah 32 orang. SD Al Hikmah merupakan salah satu SD mitra atau sekolah yang digunakan untuk ujicoba penerapan PMRI di Surabaya sejak tahun 2001. Dalam penelitian ini digunakan instrumen berupa Lembar Kerja Siswa yang memuat soal kontekstual untuk materi perkalian, dan lembar pengamatan. Siswa baru saja menyelesaikan materi penjumlahan. Proses pembelajaran yang terjadi direkam dengan handycam dan kamera. Selanjutnya, data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif-kualitatif.

Hasil dan PembahasanBerikut ini akan diuraikan jalannya proses belajar mengajar di kelas penelitian. Pada awalnya, guru melakukan apersepsi, dengan cara mengingatkan masalah dalam kehidupan sehari-hari yang dapat diselesaikan dengan operasi penjumlahan. Selanjutnya guru memotivasi siswa untuk mengikuti materi yang akan dipelajari pada hari tersebut. Dengan sangat menarik guru memberikan masalah kontekstual kepada siswa, yang apabila dituliskan adalah sebagai berikut: Untuk merayakan hari raya Idul Fitri, Ibu akan membuat masakan istimewa yang membutuhkan bahan 12 ekor ayam. Ibu kemudian pergi ke pasar. Ternyata harga satu ekor ayam adalah 25 ribu rupiah. Bantulah Ibu menghitung berapa harga seluruh ayam itu. Jelaskan caramu memperoleh jawaban Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah materi perkalian, karena siswa baru saja ulangan harian untuk materi penjumlahan, dan akan mulai belajar perkalian. Masalah kontekstual yang diberikan bertujuan untuk menggali strategi dan model apa saja yang digunakan siswa untuk memecahkan masalah. Konteks yang digunakan adalah berbelanja. Karena siswa belum mengenal bilangan ribuan, maka harga ayam ditulis dalam 25 ribu, bukannya 25.000. Guru membagi siswa menjadi kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan 4 orang (siswa yang duduk dibangku berurutan ke belakang). Kemudian guru membagikan kertas buram untuk corat-coret dan selembar kertas manila. Siswa diberi waktu yang cukup untuk berdiskusi dengan teman sekelompok, untuk memecahkan masalah kontekstual yang diberikan guru. Guru juga berpesan bahwa setelah berdiskusi, setiap kelompok harus menuliskan hasil diskusinya pada lembar kertas manila yang sudah dibagikan guru.

Berdasarkan pengamatan peneliti, sebagian besar kelompok siswa langsung menggunakan penjumlahan berulang. Hal itu terlihat pada kertas coretan mereka. Namun, beberapa kelompok ternyata berubah pendapat dan menggunakan berbagai model dan strategi lain untuk memecahkan masalah. Akibatnya, diskusi kelompok berjalan sangat dinamis. Walaupun mereka masih kelas II SD, namun mereka sudah mampu memberikan saran dan pendapatnya kepada teman satu kelompok, tanpa peduli ide-ide yang mereka kemukakan itu kurang masuk akal. Foto-foto berikut ini mungkin bisa memberikan gambaran bagaimana para siswa belajar matematika di kelas.

Tampak bahwa kelompok 2 menggunakan penjumlahan berulang untuk memecahkan masalah. Pada awalnya salah seorang anggota kelompok mengusulkan untuk menggunakan perkalian (penyelesaian formal). Siswa tersebut sudah mengenal perkalian karena diajari mamanya di rumah. Namun, anggota kelompok yang lain tidak setuju karena memang belum mengenal perkalian. Sesuai kesepakatan, mereka kemudian menggunakan penjumlahan berulang. Masalah mulai muncul ketika hasil penjumlahan berulang (275) ternyata tidak sama dengan hasil perkalian (300). Setelah lama memikirkan dan mendiskusikan masalah ini, sampailah mereka pada simpulan bahwa operasi penjumlahan yang dilakukan masih kurang sekali lagi.

Pada Gambar 5, siswa menggunakan garis bilangan dan bilangan loncat sebagai model penyelesaian. Para siswa bahkan mencari uang yang harus dibayar untuk 24 ekor ayam, dan berhasil mendapatkan jawaban 600. Pada Gambar 6, yang merupakan hasil kerja kelompok 4, tampak bahwa siswa juga menggunakan strategi penjumlahan berulang. Namun mereka sudah mengenal uang ribuan. Mereka menjumlahkan keduabelas angka 5, menghasilkan 60, satuan 0 (nol) ditulis pada hasil, sedangkan puluhan 6 (enam) disimpan di atas bagian puluhan, kemudian dijumlahkan dengan keduabelas angka 2 (dua), menghasilkan 30. Jadi jawaban yang diperoleh adalah 300000 (catatan: penulisan ketiga angka nol yang menyatakan ribuan ditambahkan belakangan).

Langkah berikutnya, guru kemudian meminta perwakilan kelompok untuk mempresentasikan hasil kerjanya di depan kelas. Para siswa yang lain menanyakan hal-hal yang belum mereka pahami kepada siswa yang sedang presentasi. Dalam hal ini, peneliti menemukan fakta yang memperkuat teori bahwa pembelajaran PMR melatih siswa untuk berani bertanya, menjawab pertanyaan, menghargai pendapat orang lain, melakukan negosiasi makna, dan menarik simpulan. Ini berarti siswa berhasil mengonstruk pengetahuannya sendiri, dan sesuai dengan falsafah konstruktivisme.

Ada sebagian kecil siswa yang nampak aktif melakukan aktivitas-aktivitas di luar tugas, setelah berhasil menyelesaikan tugasnya dengan waktu relatif singkat. Dengan mewawancarai mereka secara tak terstruktur, peneliti mengetahui bahwa siswa-siswa tersebut ada yang sudah mengenal perkalian dari luar sekolah, ada yang diajari ibunya di rumah, ada yang tahu dari guru les, dan ada yang sudah membaca buku suplemen matematika di rumah. Para siswa tersebut tidaklah ribut di kelas, tetapi menghabiskan waktunya dengan membaca buku bacaan. Yang menarik, kelompok siswa seperti ini ternyata menggunakan strategi perkalian formal untuk memecahkan masalah. Pada saat kelompok tersebut mempresentasikan hasil kerja kelompoknya, sebagian besar siswa kurang antusias mengikuti jalannya pelajaran. Peneliti merasa bahwa para siswa hanya belum siap mengakomodasi suatu cara baru dalam skema yang sudah ada dalam pikiran mereka(existing schema), karena para siswa telah merasa nyaman apabila menggunakan cara penjumlahan berulang. Selanjutnya, sebagaimana dikatakan Griffin (1989), '...learning is a process of maturation in the learner...' (belajar adalah suatu proses pematangan siswa), sehingga guru perlu memberikan waktu yang cukup kepada siswa untuk mengonstruksi konsep.Bekerja berpasangan, bekerja kelompok, dan diskusi kelas merupakan komponen integral dalam PMR. Siswa diminta bekerja dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4 (empat) orang yang duduk di bangku yang berdekatan (muka-belakang). Hal ini mengacu kepada teori Vygotsky (1978) tentang konstruktivisme sosial, yang menekankan bahwa interaksi sangat penting bagi terjadinya proses belajar. Dalam penelitian ini, teori tersebut dipakai secara ekstensif dalam pembelajaran. Brookfield dan Preskill (1999) berpendapat bahwa diskusi dapat menjadi sangat menyenangkan tetapi tak dapat diprediksi dan beresiko, ibarat mendaki gunung (exciting but unpredictable and risky ... the pedagogical equivalent of climbing a mountain). Diskusi yang baik memerlukan guru yang terampil mengelola diskusi, karena guru perlu menyiapkan pertanyaan-pertanyaan ataupun pancingan yang mungkin akan diperlukan dalam diskusi.

Berikut ini akan diuraikan secara deskriptif-kualitatif, hasil analisis sehubungan dengan hasil pembelajaran matematika dengan menerapkan pendekatan PMR, yaitu:

Pertama; Sangat tergantung pada cara mengajar guru; PMR sesuai dengan falsafah pendekatan konstruktivis yang memberi penekanan yang besar kepada siswa, dan perkembangan atau kemajuan yang berbasis pada respon siswa. Guru harus menyeimbangkan perannya di dalam kelas dan berupaya keras untuk memahami ide-ide siswa. Pada saat yang sama, guru juga harus memberikan perhatian yang sama besar terhadap terjadinya matematisasi pada siswa. Peneliti juga menemukan bahwa meskipun konteks dalam PMR memungkinkan siswa lebih mudah mencapai kemajuan ke arah penggunaan strategi yang lebih kompleks, serta mempunyai pemahaman yang lebih mendalam, guru kadang berada pada keadaan yang sulit dan memberikan terlalu banyak 'scaffolding' (bantuan) kepada siswa. Apalagi, memahami berbagai respon siswa bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah. Berkaitan dengan pendekatan konstruktivis dalam mengajar, Maher & Davis (1990) menyatakan bahwa memahami ide-ide siswa bisa menjadi sangat sulit dan menggarisbawahi bahaya yang terkait dengan ketidaksesuaian antara jawaban siswa dan interpretasi guru. Banyak strategi teoretis yang dikemukakan untuk mengatasi kesulitan ini, yang secara khusus menekankan pada perlunya guru berupaya terus menerus untuk memperoleh pemahaman tentang respon-respon siswa. Meskipun demikian, strategi ini menimbulkan masalah dengan manajemen waktu. Kedua; Adanya penolakan terhadap strategi formal; Meskipun telah mempelajari strategi yang lebih formal untuk memecahkan masalah, masih terdapat siswa yang menggunakan cara coba-coba, bahkan berargumentasi bahwa tentang kelebihan cara tersebut dibandingkan cara yang lain. Pada saat guru menambah jumlah ayam yang akan dibeli (dari 12 ekor menjadi 24 ekor), ada kelompok siswa yang masih tetap menggunakan penjumlahan berulang, sehingga pengerjaannya menjadi panjang. Bahkan ada siswa yang mengatakan, Ustadzah, pakai penjumlahan kan benar juga jawabannya. Mengapa tidak boleh? Berdasarkan alasan seperti ini, guru seharusnya memilih konteks yang dapat membantu siswa beralih dari konsep dan prosedur matematika intuitif, mendorong mereka untuk berpikir apakah konsep dan prosedur tersebut masuk akal, dan membimbing mereka untuk membuat hubungan antara konsep dan prosedur matematika intuitif dan formal Lampert, 1986). Reeuwijk (2001) mengungkap bahwa kemajuan ke arah strategi yang lebih canggih tidaklah semudah yang dibayangkan. Ketiga; Penggunaan konteks memikat dan memotivasi siswa; Wooton (1997) menyarankan, Ketika memulai pelajaran, penting bagi guru untuk menangkap perhatian siswa dengan suatu pendahuluan yang menarik dan dipresentasikan dengan memikat. Penggunaan konteks dalam PMR terbukti sangat bermanfaat bagi konstruksi pengetahuan oleh siswa di dalam kelas, dan inilah salah satu kelebihan PMR (Reeuwijk, 1992). Keempat; PMR dapat mengakomodasi berbagai gaya belajar; Penggunaan model dalam PMR memberikan suatu proses visual dalam mengerjakan matematika, yang memberikan akses terhadap siswa yang memiliki gaya belajar visual dan kinestetik di kelas, sedangkan dorongan yang diberikan kepada siswa untuk berbagi strategi informal memberikan akses kepada siswa yang bergaya belajar auditori. Gardner (1993) percaya bahwa PMR dapat melayani berbagai gaya belajar, termasuk Kecerdasan Ganda seperti yang dikemukakan Gardner. Kelima; Kekurangmampuan dalam berkomunikasi/menyatakan pendapat merupakan hambatan dalam mencapai kemajuan; Respon/jawaban siswa memainkan peranan penting dalam kelas yang menerapkan pendekatan PMR. Ketika siswa sudah memahami sesuatu atau ingin menyarankan suatu strategi, peneliti mencatat bahwa kesulitan dalam menyampaikan pendapat dapat menghambat partisipasi siswa. Guru harus jeli dalam mengatasi hal ini. Keenam; Perbedaan/diferensiasi sulit dilakukan; Dalam PMR terdapat penekanan terhadap prinsip bahwa 'strategi siswa didasarkan pada apa yang masuk akal bagi mereka (http://www.nwshropshire-eaz.org.uk). Selain itu, penggunaan strategi informal didorong melalui pemilihan problem yang dilakukan secara cermat, yang didesain agar semua siswa memberikan respon. Semua siswa diharapkan mampu bernalar secara matematis. Oleh karena itu, aktivitas-aktivitas pembelajaran dalam PMR dirancang agar terdiri dari berbagai level sedemikian hingga siswa yang pandai dapat dengan cepat mengalami kemajuan ke arah materi yang lebih mendalam, sementara siswa yang mengalami kesulitan dapat menggunakan waktu yang lebih banyak untuk melakukan aktivitas belajar. Meskipun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa diferensiasi masih sulit dilakukan. Hal ini terlihat dalam diskusi kelompok, yaitu ketika siswa yang sudah memahami konsep atau strategi mengalami kebosanan, sedangkan siswa yang lain sedang mencoba memahami konsep yang dipelajari. Dalam penelitian ini, siswa-siswa jenis ini tidak membuat keributan di kelas, tetapi menghabiskan waktunya dengan membaca buku bacaan. Hal ini sangat memungkinkan untuk dilakukan karena di kelas penelitian terdapat rak buku bacaan yang berfungsi sebagai perpustakaan kelas.Simpulan dan SaranSebagian besar kelompok siswa menggunakan model dan strategi penjumlahan berulang untuk memecahkan masalah. Adapun model dan strategi lain yang digunakan siswa adalah garis bilangan, bilangan loncat, pengelompokan, dan perkalian formal. Terdapat satu kelompok siswa yang sudah mengenal uang ribuan sehingga mereka menuliskan jawabannya dalam bentuk 300000 dan bukannya 300 ribu. Hal ini membuktikan bahwa apabila konsep matematika dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari siswa, akan menghapus dinding/batas-batas pemahaman konsep yang selama ini ditetapkan, yakni bahwa siswa kelas II belum sampai pada bilangan ratusribuan. Peneliti berpendapat, inilah salah satu kelebihan pendekatan PMR.

Bagi siswa yang langsung menggunakan perkalian formal, peneliti maupun guru perlu meneliti lebih jauh apakah mereka benar-benar telah memahami konsep, ataukah sekadar mengetahui algoritma yang diajarkan oleh orangtua ataupun guru lesnya. Guru perlu mempersiapkan pertanyaan atau petunjuk kecil untuk melakukan scaffolding apabila diperlukan. Hal ini mendukung pendapat yang mengatakan bahwa apapun pendekatan pembelajaran yang dipilih, peran guru di dalam pembelajaran tidak akan pernah tergantikan.Datar AcuanBrookfield, S.D.& Preskill, S. 1999. Discussion As a Way of Teaching. San Francisco: Jossey-Bass, Inc.Brown, A. L. 1992. Design experiments: theoretical and methodological challenges in creating complex interventions in classroom settings. Journal of the Learning Sciences 2, 141-178.Cobb, P., Confrey, J., di Sessa, A., Lehrer, R. & Schauble, L. 2003. Design experiments in educational research. Educational Researcher, vol.32 (1), 9-13.Cobb, P., Wood, T., and Yackel, E. 1992. Classroom as Learning Environments for Teaching and Research. Journal for Research in Mathematics Education. Monograph, Number 4, 1992, 125-146.Davis, R.B., Maher, C.A., & Noddings, N. 1990. Constructivist Views on the Teaching and Learning of Mathematics. Reston: National Council of Teachers of Mathematics.De Lange, J. 1996. Using and Applying Mathematics in Education. In: A.J. Bishop, K. Clements, Ch. Keitel, J. Kilpatrick and C. Laborde (eds). International Handbook of Mathematics Education, Part One, 49-97. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.De Lange, J. 1987. Mathematics, Insight and Meaning. Utrecht: OW&OCDoerr, H.M. & English, L.D. 2003. A modeling perspective on students mathematical reasoning about data. Journal for Research in Mathematics Education, vol.34 (2), 110-136.Doerr, H.M., & Tripp, J.S. 1999. Understanding how students develop mathematical models. Mathematical Thinking and Learning, 1(3), 231-254.English, L.D. 2006. Mathematical Modeling in the Primary School: Childrens Construction of a Consumer Guide. Educational Studies in Mathematics, 63(3), 303-323.English, L.D., & Watters, J.J. 2005. Mathematical modeling in the early school years. Mathematics Education Research Journal, 16 (3), 58 79.Ernest, P. 1996. Varieties of constructivism: A framework for Comparison. In L.P. Steffe, P. Nesher, P. Cobb, G.A Goldin, and B. Greer (Eds.). Theories of Mathematical Learning. Nahwah: Lawrence Erlbaum. Freudenthal, H. 1991. Revisiting Mathematics Education. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.Gardner, H. 1993. Multiple Intelligences: The Theory in Practice. New York: Basic Books.Good, R.G., Wandersee, J.H., & St. Julien, J. 1993. Cautionary notes on the appeal of the new "ism" (constructivism) in science education. In K. Tobin (Ed.). The practice of constructivism in science education. Hillsdale: Lawrence Erlbaum.Gravemeijer, K.P.E. 1999. How emergent models may foster the construction of formal mathematics. Mathematical Thinking and Learning, 1, 155-177.Gravemeijer, K.P.E. 1994. Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: Freudenthal Institute.Griffin, P. 1989, Teaching takes place in time, learning takes place over time. Mathematics Teaching, 126, 12-13.

Hiebert, J., & Lefevre, P. 1986. Conceptual and procedural knowledge in mathematics: An introductory analysis. In J. Hiebert (Ed.), Conceptual and Procedural Knowledge: The Case of Mathematics,1-27. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum.Johnson, E.B. 2002. Contextual Teaching and Learning: What it is and why its here to stay. Thousand Oaks: Corwin Press, Inc.Lesh, R., & Doerr, H.M. (Eds.). 2003. Beyond constructivism: Models and modeling perspectives on mathematics problem solving, learning and teaching. Mahwah: Lawrence Erlbaum.Lesh, R. & Sriraman, B. 2005. Mathematics education as a design science. ZDM: The International Journal on Mathematics Education, 37 (6), 490-505.Lesh, R., & Zawojewski, J. S. 2007. Problem Solving and Modeling. In F. Lester (Ed.), Second Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. Greenwich: Information Age Publishing.Marpaung, Y. 1999. Mengejar Ketertinggalan Kita dalam Pendidikan Matematika, Mengutamakan Proses Berpikir dalam Pembelajaran Matematika. Makalah. Disampaikan dalam Upacara Pembukaan Program S3 Pendidikan Matematika Universitas Negeri Surabaya, tanggal 10 September 1999.Marpaung, Y. 1995. Pendekatan RANI untuk Pendidikan Matematika di Sekolah Dasar. Dalam Jurnal Penelitian Pendidikan Dasar, nomor 2 tahun I, hal. 33-51. Edisi Khusus. Jakarta: Bagian Proyek Pengembangan Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Ditjen Dikti Depdikbud.Nickson, M. 2000. Learning and Teaching Mathematics, New York: Cassell Education.Romberg, T.A. and Carpenter, T.P. 1992. Research on Teaching and Learning Mathematics: Two Disciplines of Scientific inquiry. Douglas A. Grouws (Ed). In Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. New York: MacMillan Publishing Company.Sabandar, J. 2001. Aspek Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika. Makalah disajikan pada Kegiatan Pelatihan Penatar Guru Matematika SLTP di Kampus Unesa, Juni 2001.Setianingsih, R.; Lukito, A., Lukito; Sutinah. 2005. Pelaksanaan Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Realistik di Sekolah-sekolah Ujicoba PMRI di Surabaya. Hasil Penelitian yang dibiayai dari dana DIPA UNESASoedjadi, R. 1999/2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia: Konstatasi Keadaan Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas. Soedjadi, R. 2001. Pemanfaatan Realitas dan Lingkungan dalam Pembelajaran Matematika. Makalah disajikan pada Seminar PMRI, FMIPA Universitas Negeri Surabaya.Soedjadi, R. 2007. Masalah Kontekstual sebagai Batu Sendi Matematika Sekolah. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah (PSMS) Unesa. Streefland, L. 1991. Realistic Mathematics Education in Primary School. Utrecht: Freudenthal Institute.Treffers, A. 1991. Realistic Mathematics Education in The Netherlands 1980-1990. In L. Streefland (Ed.), Realistic Mathematics Education in Primary School. Utrecht: CD-B Press / Freudenthal Institute. Treffers, A., and Goffree, F. 1985. Rational analysis of realistic mathematics education the Wiskobas program. In L. Streefland (ed.), Proceedings of the Ninth International Conference for the Psychology of Mathematics Education, Vol. II, 97-121. Utrecht: OW&OC.Tyas Ing Kalbu. Pendidikan Anak Usia Dini: Jangan Dibatasi Namun Diarahkan. Kompas, 6 Februari 2009, Hal. E. Inspiratorial Pendidikan.Van den Heuvel-Panhuizen, M. 1999. Mathematics Education in the Netherlands: A Guided Tour. Utrecht: Freudenthal Institute.Van den Heuvel-Panhuizen, M. 1996. Assessment and Realistic Mathematics Education. Utrecht: Freudenthal Institute. Verschaffel, L. 1997. Young childrens strategy choices for solving elementary arithmetic wor(l)d problems: the role of task and context variables. In M. Beishuizen, K. Gravemeijer & E. Van Lieshout (Eds.), The role of contexts and models in the development of mathematical strategies and procedures, 113-126. Utrecht: Freudenthal Institute.Yetkin, E. 2003. Student Difficulties in Learning Elementary Mathematics. ERIC/CSMEE (Clearinghouse for Science, Mathematics, and Environmental Education). http:// www.ericse.org// Diakses tanggal 9-9-2008.Zulkardi. 1999. How to design lesson based on the realistic approach. Available on line at [http://www.geocities.com/ratuilma/rme.html]. Diakses 4 Juni 2005.

Gambar 1. Siswa berupaya memecahkan masalah kontekstual yang diberikan dengan cara berdiskusi kelompok.

Gambar 2. Siswa mendiskusikan cara memecahkan masalah kontekstual yang diberikan guru.

Gambar 3 dan 4. Pada awalnya kelompok 2 menggunakan strategi perkalian formal, namun kemudian mereka juga menyelesaikannya dengan penjumlahan berulang.

Gambar 5. Siswa menggunakan strategi bilangan loncat untuk menyelesaikan masalah.

Gambar 6. Siswa menggunakan strategi penjumlahan berulang. Siswa juga sudah mengenal uang ribuan.

Gambar 7. Siswa mampu menuliskan hal-hal yang diketahui, ditanyakan, dan jawaban, serta simpulan, atau yang lebih dikenal dengan istilah memakai cara bagi siswa kelas II SD pada umumnya.

Gambar 8. Siswa mampu menentukan harga 12 ekor ataupun 24 ekor ayam menggunakan perkalian formal. Namun, mereka ternyata juga menggunakan model pengelompokan seratusan sehingga diperoleh jawaban 300 dan 600.

1

146145