MINGGU, 6 MEI 2018 - iai-jateng.orgiai-jateng.org/wp-content/uploads/2018/08/20180506_hal_14.pdf ·...

1
MINGGU, 6 MEI 2018 N amun kenyataannya beli- au sudah lebih dahulu pergi menghadap Sang Pencipta 19 tahun yang lalu (10 Februari 1999) dalam usia hampir 70 tahun. Sejak beliau wafat, pembicaraan tentang sosok Mangunwijaya sangat karena beliau adalah seorang tokoh multita- lenta yang menonjol pada jamannya, sebagai seorang rohaniwan, budayawan, sastrawan dan termasuk sebagai seorang arsitek. Mangunwijaya sangat dekat dengan rakyat kecil, dekat pula dengan para koleganya dari berbagai agama dan lapisan masyarakat, mereka memanggilnya Romo Mangun. Konsep pemikiran arsitektur Romo Mangun seperti sering diny- atakannya sendiri dalam berbagai tulisannya, adalah kebenaran dan keindahan dalam relasi seperti diungkap oleh Thomas Aquinas lebih dari setengah abad yang lalu: pulchrum splendor est veritatis (kein- dahan adalah pancaran kebenaran). Kebenaran dalam arsitektur dapat dilihat dalam dua hal, yaitu fisik (wadah, bentuk) dan non fisik (fungsi, makna). Menelusuri kebenaran yang non fisik tentulah lebih sulit daripada menelusuri yang fisik. Tanpa mengurangi rasa hormat pada hal-hal yang non fisik ini, perlu tetap dimegerti bahwa arsitektur adalah obyek terlihat, kasat mata, dapat diamati dan diraba (tacktile), paling tidak kebenaran akan faktor fisik ini perlu dipertang- gungjawabkan setiap kali karya arsitektur dibuat. Jangan sampai sebuah karya berumur pendek hanya karena logika gayanya tidak selaras hukum alam, material salah penempatannya ataupun hal-hal lain yang menyimpang dari kebenaran yang semestinya. Apabila sebuah karya arsitektur mengikuti hukum alam secara benar dan menemukan titik seimbang, tidak lebih dan juga tidak kurang (appropri- ate), maka paling tidak itulah indikator kebenarannya. Bagaimana dengan keindahan? Keindahan akan mengikuti kemana kebenaran itu ada, karena pada kebenaran ada keteraturan, ada kewajaran. Seorang penari tidak akan menampilkan keindahan tariannya tanpa benar gerakannya, seorang penyanyi melantunkan suara emas karena benar teknik bersuara dan bernyanyinya. Arsitektur pun demikian, men- jadi indah karena ada kebenaran teknik dan non teknik yang ada di dalamnya. Wujud fisik dari kebenaran teknik yang memancarkan kein- dahan tersebut, sering disebut sebagai tektonika (tectonics). Detail Romo Mangun sangat konsisten dalam memegang prinsip kebe- naran ini (tectonics). Hampir semua karya-karyanya, baik yang kecil maupun besar dinafasi oleh semangat ini. Susunan dinding batu bata, batu kali, konstruksi kayu dan detail dibuat dengan sangat cer- mat dan benar. Hal menarik yang selalu dilakukan Mangunwijaya dan sering dilupakan oleh arsitek modern adalah masalah konteks, terutama pengolahan bahan (material). Ia cenderung sangat cus- tomized dalam mendesain rancangannya, hampir tidak tertarik pada material fabrikasi kecuali material tersebut sangat cocok dengan karakter yang diharapkannya. Bentuk racangannya pun tidak didikte oleh kemudahan konstruksi, namun selalu menciptakan tantangan dalam konstruksi. Tapi itu semua dilakukannya dengan logika yang benar dan apppropriate. Bahkan ia menambahkan nilai tambah berupa detail pada setiap titik konstruksi yang berpotensi untuk diberi sentuhan seni. Tentunya penambahan detail ini bukanlah tanpa maksud. Detail adalah dinamika bagi konstruksi, melalui detail apresiasi terhadap konstruksi diperkaya. Mies Van der Rohe, arsitek terkenal asal Jerman, mengatakan : “ God is in the detail Ö”, sedemikian pentingnya detail bagi arsitektur (yang terlihat). Detail bagi Romo Mangun ibarat cat pada kanvas. Dikomposisikannya detail menjadi mozaik pada konstruksi dan elemen-elemen bangunan. Hampir seluruh bagian tak luput dari perhatiannya. Detail ibarat pintu masuk visual bagi pengamat untuk mulai menyelami karya-karyanya lebih dalam. Melalui tekstur, ornamen, warna dan pengkayaan keindahan konstruksi ia bermain untuk mengangkat martabat karyanya pada apresiasi yang tidak hanya fisik belaka tetapi menembus batas menuju yang maknawi (trasendensi). Pada akhirnya, akumulasi cara pandangnya yang multidisiplin dan keberpihakan- nya pada kaum lemah, secara tidak langsung mempengaruhi pula represen- tasi karya-karyanya. Keinginannya berbagi karya kepada yang lain telah menjadikan karyanya milik bersama (kolektif), ketika praksis yang diin- struksikannya dilakukan oleh para tukang lokal dan masyarakat sekitar. Ia mengembangkan ketrampilan lokal (craftmanship) yang hasilnya dita- mpilkan apa adanya dalam karya-karyanya.(53) Robert Rianto Widjaja | Staf Pengajar Fakultas Arsitektur dan Desain Unika Soegijapranata, Wakil Ketua Bidang Sinfar IAI Jateng Oleh Robert Rianto Widjaja Pada 6 Mei 1929 Mangunwijaya lahir di Ambarawa, dari pasangan Yulianus Sumadi Mangunwijaya dan Serafin Kamdaniyah. Berandai beliau masih hidup, usianya saat ini sudah 89 tahun. DIRGAHAYU kota Semarang, Sebagai kota bersejarah, sebagai kota ibu kota provinsi, yang ta- hun ini usianya yang menginjak 471 tahun mesti selalu terus berbenah dan berbenah untuk ke- baikan, selain sebagai kota perdagangan, kota pin- tar dan kota jasa, kedepan juga harus menjadi kota yang sehat dan lestari, kota yang ramah lingkungan hidup, kota yang berwawasan berkelanjutan salah satu upayanya adalah pengaturan bangunan ge- dung yang ramah lingkungan sebagai pengisi kota. Kelestarian lingkungan hidup merupakan warisan berharga bagi anak cucu kita, wajib hukumnya bagi seluruh lapisan masyarakat untuk melestarikannya. Saat ini banyak cara untuk melestarikan lingkungan hidup dari kerusakan, mulai dari yang sederhana sampai yang lebih komplek pengelolaannya. Membangun gedung yang tidak terkontrol mempunyai andil terhadap kerusakan lingkungan. Membangun gedung yang ramah lingkungan (green building) adalah salah satu contoh pengelolaan lingkungan yang komplek dalam upaya untuk meminimalisir ter- hadap dampak kerusakan lingkungan. Kita ketahui pada era sekarang masalah lingkungan sudah menjadi isu global. Demikian juga membangun gedung ramah lingkungan (green building) sudah menjadi perhatian negara-negara maju. Bahkan menjadi trend pembangunan pada kota-kota besar di dunia, sebagai model pemba- ngunan yang sustainable. Seperti diAmerika, negara-negara dibenua Eropa, maupun negara- negaraAsia. DiAmerika persyaratan bangunan gedung ramah lingkungan sudah dimulai semenjak tahun 1998 dengan berdirinya US Green Building Council (USGBC). Adalah badan pemegang otori- tas dalam pelaksanaan bangunan hijau diAmerika. DiAsia Pengaturan gedung ramah lingkungan yang sudah berjalan dengan baik adalah Singapura. Bagaimana di Indonesia. Di Negara kita dimulai semangat pembangunan gedung ramah lingkung- an sejak di terbitnya Undang-undang RI no: 28 Ta- hun 2002 tentang bangunan gedung serta Undang- undang lingkungan hidup no: 32/2009 tentang per- lindungan dan pengelolaan lingkungan. Ke- menterian lingkungan hidup sebetulnya menarget- kan mulai 2011 setiap kota kabupaten Indonesia su- dah memiliki bangunan rumah ramah lingkungan. Realisasi dari tindak lanjut program gedung ramah lingkungan di Indonesia, sebagai pioneer di awali di DKI Jakarta, dengan di terbitnya Peraturan Gubernur no: 38 Tahun 2012 tentang bangunan gedung hijau, yang mengatur bangunan baru dan lama (existing) milik pemerintah maupun swasta. Direncanakan pada bulan april 2013 semua gedung di wilayah DKI Jakarta sudah memenuhi persyaratan gedung ramah lingkungan. Sebagai langkah awal tahap sosialisasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memper- syaratkan dengan bertahap, pada semua bangunan gedung di DKI Jakarta harus memenuhi enam kriteria : (1) konservasi dan efe- siensi energi, (2) konservasi dan efesiensi air, (3) kualitas udara dalam ruang dan kenyamanan ter- mal, (4) pengelolahan lahan dan limbah, (5) pelaksanaan masa kontruksi pada bangunan, (6) memastikan elemen-elemen adaptasi perubahan iklim tercakup dalam desain bangunan.(53) Ir. Suroso M. Msi, IAI. Anggota IAI dan Wakil ketua DPP Inkindo Jawa Tengah Oleh Ir. Suroso Mustaqim Msi, IAI.

Transcript of MINGGU, 6 MEI 2018 - iai-jateng.orgiai-jateng.org/wp-content/uploads/2018/08/20180506_hal_14.pdf ·...

MINGGU, 6 MEI 2018

N amunkenyataannya beli-au sudah lebih

dahulu pergi menghadap SangPencipta 19 tahun yang lalu (10

Februari 1999) dalam usia hampir 70tahun. Sejak beliau wafat, pembicaraan

tentang sosok Mangunwijaya sangatkarena beliau adalah seorang tokoh multita-

lenta yang menonjol pada jamannya, sebagaiseorang rohaniwan, budayawan, sastrawan dan

termasuk sebagai seorang arsitek. Mangunwijayasangat dekat dengan rakyat kecil, dekat pula dengan para

koleganya dari berbagai agama dan lapisan masyarakat,mereka memanggilnya Romo Mangun.

Konsep pemikiran arsitektur Romo Mangun seperti sering diny-atakannya sendiri dalam berbagai tulisannya, adalah kebenaran dan

keindahan dalam relasi seperti diungkap oleh Thomas Aquinas lebihdari setengah abad yang lalu: pulchrum splendor est veritatis (kein-dahan adalah pancaran kebenaran). Kebenaran dalam arsitektur

dapat dilihat dalam dua hal, yaitu fisik (wadah, bentuk) dan nonfisik (fungsi, makna). Menelusuri kebenaran yang non fisik tentulah

lebih sulit daripada menelusuri yang fisik. Tanpa mengurangi rasa

hormat pada hal-hal yang non fisik ini, perlu tetap dimegerti bahwaarsitektur adalah obyek terlihat, kasat mata, dapat diamati dan diraba(tacktile), paling tidak kebenaran akan faktor fisik ini perlu dipertang-gungjawabkan setiap kali karya arsitektur dibuat.

Jangan sampai sebuah karya berumur pendek hanya karena logikagayanya tidak selaras hukum alam, material salah penempatannyaataupun hal-hal lain yang menyimpang dari kebenaran yang semestinya.Apabila sebuah karya arsitektur mengikuti hukum alam secara benar danmenemukan titik seimbang, tidak lebih dan juga tidak kurang (appropri-ate), maka paling tidak itulah indikator kebenarannya. Bagaimanadengan keindahan? Keindahan akan mengikuti kemana kebenaran ituada, karena pada kebenaran ada keteraturan, ada kewajaran.

Seorang penari tidak akan menampilkan keindahan tariannya tanpabenar gerakannya, seorang penyanyi melantunkan suara emas karenabenar teknik bersuara dan bernyanyinya. Arsitektur pun demikian, men-jadi indah karena ada kebenaran teknik dan non teknik yang ada didalamnya. Wujud fisik dari kebenaran teknik yang memancarkan kein-dahan tersebut, sering disebut sebagai tektonika (tectonics).

Detail Romo Mangun sangat konsisten dalam memegang prinsip kebe-

naran ini (tectonics). Hampir semua karya-karyanya, baik yang kecilmaupun besar dinafasi oleh semangat ini. Susunan dinding batubata, batu kali, konstruksi kayu dan detail dibuat dengan sangat cer-mat dan benar. Hal menarik yang selalu dilakukan Mangunwijayadan sering dilupakan oleh arsitek modern adalah masalah konteks,terutama pengolahan bahan (material). Ia cenderung sangat cus-tomized dalam mendesain rancangannya, hampir tidak tertarik pada

material fabrikasi kecuali material tersebut sangat cocok dengankarakter yang diharapkannya. Bentuk racangannya pun tidak didikte

oleh kemudahan konstruksi, namun selalu menciptakan tantangandalam konstruksi. Tapi itu semua dilakukannya dengan logika yang benar

dan apppropriate. Bahkan ia menambahkan nilai tambah berupa detail padasetiap titik konstruksi yang berpotensi untuk diberi sentuhan seni. Tentunyapenambahan detail ini bukanlah tanpa maksud. Detail adalah dinamika bagikonstruksi, melalui detail apresiasi terhadap konstruksi diperkaya. Mies Vander Rohe, arsitek terkenal asal Jerman, mengatakan : “God is in the detailÖ”,sedemikian pentingnya detail bagi arsitektur (yang terlihat). Detail bagiRomo Mangun ibarat cat pada kanvas. Dikomposisikannya detail menjadimozaik pada konstruksi dan elemen-elemen bangunan. Hampir seluruhbagian tak luput dari perhatiannya. Detail ibarat pintu masuk visual bagipengamat untuk mulai menyelami karya-karyanya lebih dalam. Melaluitekstur, ornamen, warna dan pengkayaan keindahan konstruksi ia bermainuntuk mengangkat martabat karyanya pada apresiasi yang tidak hanya fisikbelaka tetapi menembus batas menuju yang maknawi (trasendensi). Padaakhirnya, akumulasi cara pandangnya yang multidisiplin dan keberpihakan-nya pada kaum lemah, secara tidak langsung mempengaruhi pula represen-tasi karya-karyanya. Keinginannya berbagi karya kepada yang lain telahmenjadikan karyanya milik bersama (kolektif), ketika praksis yang diin-struksikannya dilakukan oleh para tukang lokal dan masyarakat sekitar. Iamengembangkan ketrampilan lokal (craftmanship) yang hasilnya dita-mpilkan apa adanya dalam karya-karyanya.(53)

— Robert Rianto Widjaja | Staf Pengajar Fakultas Arsitektur danDesain Unika Soegijapranata, Wakil Ketua Bidang Sinfar IAI Jateng

Oleh Robert Rianto Widjaja

Pada 6 Mei 1929 Mangunwijaya lahirdi Ambarawa, dari pasangan

Yulianus SumadiMangunwijaya dan Serafin

Kamdaniyah. Berandaibeliau masih hidup,

usianya saat ini sudah89 tahun.

DIRGAHAYUkota Semarang, Sebagai kotabersejarah, sebagai kota ibu kota provinsi, yang ta-hun ini usianya yang menginjak 471 tahun mestiselalu terus berbenah dan berbenah untuk ke-baikan, selain sebagai kota perdagangan, kota pin-tar dan kota jasa, kedepan juga harus menjadi kotayang sehat dan lestari, kota yang ramah lingkunganhidup, kota yang berwawasan berkelanjutan salahsatu upayanya adalah pengaturan bangunan ge-dung yang ramah lingkungan sebagai pengisi kota.

Kelestarian lingkungan hidup merupakanwarisan berharga bagi anak cucu kita, wajibhukumnya bagi seluruh lapisan masyarakat untukmelestarikannya. Saat ini banyak cara untukmelestarikan lingkungan hidup dari kerusakan,mulai dari yang sederhana sampai yang lebihkomplek pengelolaannya. Membangun gedungyang tidak terkontrol mempunyai andil terhadapkerusakan lingkungan. Membangun gedungyang ramah lingkungan (green building) adalahsalah satu contoh pengelolaan lingkungan yangkomplek dalam upaya untuk meminimalisir ter-

hadap dampak kerusakan lingkungan. Kita ketahui pada era sekarang masalah

lingkungan sudah menjadi isu global. Demikian jugamembangun gedung ramah lingkungan (greenbuilding) sudah menjadi perhatian negara-negaramaju. Bahkan menjadi trend pembangunan padakota-kota besar di dunia, sebagai model pemba-ngunan yang sustainable. Seperti di Amerika,negara-negara dibenua Eropa, maupun negara-negara Asia. Di Amerika persyaratan bangunangedung ramah lingkungan sudah dimulai semenjaktahun 1998 dengan berdirinya US Green BuildingCouncil (USGBC). Adalah badan pemegang otori-tas dalam pelaksanaan bangunan hijau di Amerika.Di Asia Pengaturan gedung ramah lingkungan yangsudah berjalan dengan baik adalah Singapura.

Bagaimana di Indonesia. Di Negara kita dimulaisemangat pembangunan gedung ramah lingkung-an sejak di terbitnya Undang-undang RI no: 28 Ta-hun 2002 tentang bangunan gedung serta Undang-undang lingkungan hidup no: 32/2009 tentang per-lindungan dan pengelolaan lingkungan. Ke-menterian lingkungan hidup sebetulnya menarget-kan mulai 2011 setiap kota kabupaten Indonesia su-

dah memiliki bangunan rumah ramah lingkungan. Realisasi dari tindak lanjut program gedung

ramah lingkungan di Indonesia, sebagai pioneer diawali di DKI Jakarta, dengan di terbitnya PeraturanGubernur no: 38 Tahun 2012 tentang bangunangedung hijau, yang mengatur bangunan baru danlama (existing) milik pemerintah maupun swasta.Direncanakan pada bulan april 2013 semuagedung di wilayah DKI Jakarta sudah memenuhipersyaratan gedung ramah lingkungan.

Sebagai langkah awal tahap sosialisasiPemerintah Provinsi DKI Jakarta memper-syaratkan dengan bertahap, pada semuabangunan gedung di DKI Jakarta harusmemenuhi enam kriteria : (1) konservasi dan efe-siensi energi, (2) konservasi dan efesiensi air, (3)kualitas udara dalam ruang dan kenyamanan ter-mal, (4) pengelolahan lahan dan limbah, (5)pelaksanaan masa kontruksi pada bangunan, (6)memastikan elemen-elemen adaptasi perubahaniklim tercakup dalam desain bangunan.(53)

— Ir. Suroso M. Msi, IAI. Anggota IAI danWakil ketua DPPInkindo Jawa Tengah

Oleh Ir. Suroso Mustaqim Msi, IAI.