Militer dan konspirasi pilpres (oleh: Derek Manangka @inilah.com)

15

Click here to load reader

description

diambil dari situs inilah.com

Transcript of Militer dan konspirasi pilpres (oleh: Derek Manangka @inilah.com)

Page 1: Militer dan konspirasi pilpres (oleh: Derek Manangka @inilah.com)

Militer dan Konspirasi Pilpres (1)

Mengapa Prabowo Segan Berseteru Wiranto?

18

Prabowo Subianto dan Wiranto - inilahcom

Oleh: Derek Manangka

web - Jumat, 4 April 2014

INILAH.COM, Jakarta - Menjelang Pemilu Legislatif 9 April 2014, kecenderungan yang ada,

mengerucutnya persaingan antara Prabowo Subianto (Partai Gerindra) dan Joko Widodo

(PDIP).

Yang cukup menarik, kecenderungan itu terjadi secara tiba-tiba. Tidak lama setelah Ketua

Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menetapkan Joko Widodo sebagai capres PDIP, pada 14

Maret 2014. Sebelum pencapresan Joko Widodo, hubungan Gerindra-PDIP, "fine-fine" saja.

Dalam analogi sederhana pertarungan ini, tak lebih dari sebuah subyektifitas Prabowo. Ia

merasa dikhianati oleh Joko Widodo ataupun Megawati Soekarnoputri. Sebab menurut versi

Prabowo, Joko Widodo atau Jokowi pernah menegaskan tidak akan mencalonkan diri sebagai

Presiden dalam Pilpres 2014. Sedangkan Megawati, kata Prabowo lagi, pada 2009 pernah

berjanji akan mendukung pencapresan dirinya dalam Pilpres 2014.

Tapi di luar analogi, mencuat pula spekulasi. Yaitu pertarungan Prabowo Subianto melawan

Jokowi sejatinya merupakan wujud persaingan antara kekuatan militer dengan kelompok sipil.

Dikotomi militer-sipil, sebuah isu politik yang sensitif, kembali diangkat ke permukaan.

Page 2: Militer dan konspirasi pilpres (oleh: Derek Manangka @inilah.com)

Prabowo mewakili kekuatan militer dan Joko Widodo atau Jokowi mewakili kekuatan sipil. Lihat

saja sikap sejumlah jenderal pensiunan yang satu angkatan maupun yang lebih senior. Mereka

seperti membiarkan atau "menjerumuskan" Prabowo menyerang Jokowi.

Sayangnya, sekalipun fakta ini terjadi di depan mata, berbagai analisa dan liputan media, belum

ada yang tertarik menyorotinya. Para pengamat lebih tertarik mengomentari sikap

temperamental Prabowo dan puisi berisi sindiran yang dia tujukan ke Jokowi dan Megawati.

Tidak adanya analisa yang membedah isu persaingan militer dan sipil, bisa jadi kurang menarik,

karena penampilan Prabowo jauh lebih memikat. Boleh jadi juga karena ada unsur kesengajaan

dari para analis politik untuk menghindari isu tersebut - untuk melihat sejauh sensitifitas dikotomi

militer-sipil.

Keinginan militer bersaing dengan sipil, terbersit dari sikap Prabowo Subianto dalam

berkampanye. "Show of force", itulah yang paling menonjol. Unjuk kekuatan, begitulah yang

dipertontonkannya. Gaya militer yang tegas, cara memberi hormat ala militer - sekalipun yang

dihadapi publik sipil, demikian menonjol.

Tapi serangannya ke lawan politik, tidak dilakukan Prabowo kepada jenderal purnawirawan

Wiranto, yang juga termasuk salah satu pesaing dan lawan politiknya. Terhadap Wiranto, eks

petinggi militer yang pernah menjadi atasannya di 1998, Prabowo tak berani bereaksi spontan

apalagi bersikap temperamen.

Padahal kalau mau dicermati, pihak yang paling blak-blakan menyerang Prabowo Subianto,

justru Wiranto. Bukan Jokowi apalagi Megawati! Serangan Wiranto terhadap Prabowo secara

politik, tergolong yang paling keras. Bahkan bisa ditafsirkan sebagai sebuah pembunuhan

karakter.

Serangan yang dimaksud adalah pernyataan Wiranto yang mengungkapkan status Prabowo

Subianto. Menurut Wiranto, Prabowo dipecat dari dinas kemiliteran, akibat keterlibatannya dalam

penculikan.

Tidak disebutkan secara detil siapa yang diculik dan sedalam apa peran keterlibatan Prabowo.

Tetapi publik yang sudah mengikuti isu penculikan tersebut, sejak era Orde Baru (1990-an)

menangkap nuansa, Wiranto yang mantan Panglima TNI, merujuk pada para aktifis yang hilang

antara 1996-1998.

Salah satu sisi yang menarik dikritisi dalam serangan Wiranto tersebut, terletak pada cara

penyebaran informasinya. Pernyataan itu untuk pertama kalinya diungkap Wiranto dalam

wawancaranya dengan Arya Sinulingga dari kelompok media MNC, pada Maret 2013. Tapi

setahun kemudian, tepatnya semasa kampanye Pileg 2014, wawancara itu kembali disebarkan

oleh berbagai media.

Page 3: Militer dan konspirasi pilpres (oleh: Derek Manangka @inilah.com)

Bahkan oleh media-media sosial, serangan Wiranto terhadap Prabowo itu ditautkan ke sesama

pemilik akun media sosial. Bisa dibayangkan, kalau pengguna internet mencapai 60 juta orang,

berapa juta manusia yang membaca serangan Wiranto kepada Prabowo tersebut.

Sejauh ini, Prabowo tidak pernah melakukan klarifikasi langsung dengan Wiranto. Prabowo yang

eks menantu Jenderal Soeharto, terkesan menghindari persinggungan atau perbenturan dengan

mantan ajudan Presiden Soeharto tersebut.

Yang menimbulkan pertanyaan, apakah Prabowo segan berseteru dengan Wiranto, karena

keduanya terikat pada komitmen sesama anggota keluarga militer atau oleh faktor lain?

Dalam Pileg dan Pilpres 2014, keduanya sudah mendeklarasikan sebagai calon presiden melalui

partai yang mereka dirikan masing-masing. Prabowo melalui Gerindra dan Wiranto melalui Partai

Hanura. Bahkan jauh sebelum persaingan di Pemilu 2014, keduanya sudah bersaing di 2004

dan 2009.

Pada 2004, keduanya ikut dalam konvensi capres Partai Golkar. Wiranto keluar sebagai

pemenangnya. Di 2009, kembali keduanya bersaing. Wiranto menjadi cawapres Partai Hanura

sementara Prabowo menjadi cawapres Megawati Soekarnoputri dari PDIP.

Jadi wajar kalau muncul pertanyaan, mengapa Prabowo tidak memusuhi Wiranto, tapi lebih

melihat Jokowi sebagai musuh terberat. Apakah Prabowo segan berseteru dengan Wiranto atau

di antara para jenderal pensiunan, memang ada konspirasi untuk mencegah munculnya

kekuatan (Presiden) sipil? [mdr/Bersambung]

Page 4: Militer dan konspirasi pilpres (oleh: Derek Manangka @inilah.com)

Militer dan Konspirasi Pilpres (2)

Presiden Sipil ala SBY

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)

Oleh: Derek Manangka

web - Jumat, 4 April 2014

INILAH.COM, Jakarta - Berakhirnya kekuasaan Soeharto pada Mei 1998 oleh para

sejarawan dan analis politik dianggap sebagai berakhirnya hegemoni rezim militer di

Indonesia. Ditambah dengan tampilnya SBY sebagai Presiden melalui Pemilu 2004,

Indonesia tidak lagi dilihat sebagai sebuah negara yang dipimpin kekuatan militer.

Sebab selain sistem pemilihan yang digunakan dalam Pemilu 2004, dilakukan secara langsung

dan terbuka, sosok SBY sendiri lebih dilihat sebagai seorang tokoh sipil ketimbang militer.

Pendekatan SBY yang lebih persuasif ketimbang represif, telah mengubah citra Presiden ke-6 RI

tersebut sebagai seorang tokoh sipil yang dilahirkan dari perut militer. Baju militernya masih ada,

tetapi yang lebih menonjol karakter sipil. Kebetulan, SBY sendiri memang lebih banyak

menampilkan bahasa tubuh rezim sipil ketimbang militer.

SBY tidak temperamental dan yang paling membedakannya dengan para pemimpin militer di

negara-negara dunia ketiga, SBY tidak anti demokrasi. SBY tetap memberi ruang kebebasan,

terutama kepada media.

Sehingga banyak kalangan yang menghitung, sejak kejatuhan Jenderal Soeharto di 1998

sampai 2014 ini, Indonesia sudah dipimpin rezim sipil. Indonesia sudah dipimpin civil

Page 5: Militer dan konspirasi pilpres (oleh: Derek Manangka @inilah.com)

societyselama kurang lebih 16 tahun. Kalau Jokowi terpilih sebagai Presiden dalam Pilpres

2014, usia rezim sipil di Indonesia bakal bertambah.

Tapi, begitukah realitanya?

Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Tergantung dari sudut dan perspektif mana kita melihatnya.

Kalau dari segi kebebasan pers dan demokrasi, jawabannya iya. Tetapi kalau dilihat dari strategi

kepemimpinan, sejatinya Indonesia sejak era SBY, kembali dikuasai rezim militer.

Sehingga sejak kejatuhan Soeharto, pemerintahan sipil di Indonesia hanya berkuasa selama

1998-2004 atau enam tahun. Kepemimpinan sipil berusia seumur jagung itu hampir tak punya

arti sama sekali. Tak berdampak secara fundamental.

Dalam kurun waktu itu, kepemimpinan sipil Indonesia dibagi rata oleh tiga Presiden, BJ Habibie,

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri. Jadi secara matematis, presiden

sipil yang memimpin Indonesia hanya berkuasa dua tahun.

Mengapa SBY tetap dikategorikan sebagai bagian dari pemerintahan militer? Lihat saja orang-

orang sekeliling Presiden SBY. Semuanya memiliki latar belakang militer. Sebut saja dua

jenderal purnawirawan yang paling dipercaya Presiden SBY yaitu Sudi Silalahi dan TB Silalahi.

Sudi Silalahi yang bekas Pangdam Brawijaya, menjadi semacam penjaga pintu bagi pos terakhir

di Istana Kepresidenan. Ia dipercaya menjadi Menteri Sekretaris Negara. Sudi Silalahi ibarat

organ tubuh manusia, posisinya seperti sebuah jantung,

Jabatan ini sempat dipercayakan kepada Hatta Rajasa, Menko Perekonomian yang kemudian

menjadi besannya. Tapi durasi paling lama tetap diberikan oleh SBY kepada Sudi Silalahi.

Bahkan ketika SBY masih menjabat Menko Polkam dalam pemerintahan Presiden Megawati

(2001-2004), Sudi Silalahi sudah dipercaya sebagai Sekretaris Menko Polkam. Sehingga de

facto, SBY telah menjalankan pola kerjanya dengan sistem militer sejak di era Presiden

Megawati.

Sementara TB Silalahi yang di era Orde Baru pernah dipercaya Jenderal Soeharto memimpin

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN), oleh Presiden SBY diberi kepercayaan

melakukan lobi khusus untuk hal-hal yang bersifat strategis. TB Silalahi misalnya ditugaskan

Presiden SBY untuk merealisasikan keinginan Indonesia menjadi anggota pasukan perdamaian

PBB di Libanon Selatan.

Banyak analis menilai pekerjaan dan tugas TB Silalahi itu mirip sebuah "mission impossible".

Sebab penentangan paling kuat terhadap keinginan Indonesia, datang dari Israel. Otoritas Israel

menilai posisi Indonesia yang tidak mengakui eksistensi Israel sebagai sebuah negara, tidak

layak menjadi anggota pasukan perdamaian PBB di Libanon Selatan.

Page 6: Militer dan konspirasi pilpres (oleh: Derek Manangka @inilah.com)

Posisi Indonesia yang tidak netral, menurut Israel, tidak mungkin diberi peran mencegah

terjadinya konflik antara Israel dengan Hisbullah, kelompok perlawanan Islam yang memusuhi

Israel di bagian selatan Libanon.

Namun, TB Silalahi mampu menyelesaikan misi yang dibebankan SBY kepadanya. Indonesia

hingga sekarang masih menampatkan kontingennya di pasukan perdamaian PBB di Libanon

Selatan.Dan last but not least important, berkat keberhasilan TB Silalahi, putera sulung SBY,

Kapten Infantri Agus Harimurti sempat mengenyam pengalaman di pasukan berbendera PBB.

Untuk bidang politik dan keamanan, SBY tetap mempercayakan seorang pensiunan jenderal

memimpin kementerian tersebut yakni Djoko Suyatno. Hanya saja kepintaran SBY di dalam

mengelola sekaligus menyembunyikan kesan beroperasinya pemerintahan militer, cukup tinggi.

Sulit terbaca oleh kacamata yang tidak secara teratur dan tetap mengikuti perkembangan politik.

Demikian pintarnya SBY mengelola Indonesia melalui cara-cara militer, membuat seorang politisi

Senayan berani menegaskan, seburuk apapun kepemimpinan SBY, tak akan mungkin terjadi

kudeta militer di Indonesia.

Di luar pemerintahan, SBY juga menjadikan Partai Demokrat sebagai partai yang "dekat" dengan

alam militer. Partai ini pernah dipimpin Hadi Utomo, seorang pensiunan Kolonel yang kebetulan

saudara ipar SBY. Sejumlah fungsionaris Partai Demokrat, terdiri atas pensiunan militer. DPD

Demokrat DKI misalnya, dipimpin Mayjen purnawirawan.

Bahkan dalam konvensi capres Partai Demokrat, dua dari sebelas peserta, berasal dari

kalangan militer. Keduanya adalah Pramono Edhie dan Endriartono Sutarto, masing-masing

pernah menjabat Kepala Staf Angkatan Darat.

Di luar pemerintahan, SBY juga mencoba memasukkan personalia militer di penyelenggaraan

Pemilu 2014. Menjelang penetapan calon tetap anggota legislatif, KPU sempat menyetujui

Lembaga Sandi Negara yang dimpimpin seorang Mayor Jenderal untuk ikut mengawasi

penghitungan suara hasil Pemilu.

Ide ini dicurigai datang dari kalangan lingkar satu kepresidenan atau bisa jadi langsung dari

Presiden SBY sendiri. Agendanya, tidak lain untuk memberi peran besar kepada korps militer.

Atau secara bertahap mengembalikan kekuatan militer di panggung pemerintahan nasional.

Kalaupun tidak persis sama dengan era Orde Baru, tetapi minimal, kekuatan militer bisa hadir

secara terbuka tanpa ada kecurigaan. Hanya saja, manuver itu terbaca oleh berbagai pihak,

yang berujung pada keputusan Lembaga Sandi Negara mengundurkan diri dari kerja samanya

dengan KPU.

Tentang kepintaran SBY yang mampu mengesankan, pemerintahannya tidak militeristik,

memang menuai spekulasi. Yaitu SBY terpaksa harus menonjolkan sosok sipil dari porto folio

Page 7: Militer dan konspirasi pilpres (oleh: Derek Manangka @inilah.com)

pemerintahannya. Karena hal itu disadari oleh SBY sebagai sebuah tuntutan politik yang tidak

tertulis dari rakyat dan bangsa Indonesia.

Tapi ada pula yang berspekulasi, kepemimpinan SBY yang mengurangi warna militer dalam

tampilan pemerintahannya, memang wajib dan harus dilakukannya. Sebab itulah yang

diinginkan kekuatan luar, kekuatan asing yang tidak terlihat namun menjadi pendukung

utamanya.

Pada tahun ini, SBY sesuai konstitusi harus melepas kekuasaannya. Sangat wajar apabila ada

keinginan kelompok militer melanjutkan kekuasaan militer yang sudah dipetakan oleh SBY.

Masuk akal apabila SBY tetap berkeinginan, tongkat estafet kepemimpinannya jatuh ke tangan

militer atau eks militer. Karena boleh jadi SBY dan kawan-kawan militernya, tidak merasa aman,

apabila Indonesia dipimpin oleh kekuatan sipil.

Rasa tidak aman itu, cukup beralasan. Sipil, selain tidak memiliki sistem pengkaderan yang baik

dan melembaga, seperti halnya di militer, kalangan ini sangat mudah terpancing untuk gontok-

gontokan. Dalam sipil tidak ada sistem komando. Sipil menganut sistem egaliter.

Jadi bagi SBY ataupun kelompok militer, mereka tidak peduli siapapun yang menjadi penerus

estafet pemerintahan SBY, yang penting militer. Apakah dia Prabowo Subianto, Wiranto,

Sutiyoso, Pramono Edhie atau Endriartono Sutarto.

Masih terlalu pagi menyebutnya sebuah konspirasi, tetapi benang merahnya cukup mudah

dilihat. [mdr/Bersambung]

Page 8: Militer dan konspirasi pilpres (oleh: Derek Manangka @inilah.com)

Militer dan Konspirasi Pilpres (3)

Diaspora, Strategi TNI di Civil Society

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) - (Foto: INILAHCOM/Agus Priatna)

Oleh: Derek Manangka

web - Sabtu, 5 April 2014

INILAH.COM, Jakarta - Maret 2013 ada dua kejadian politik di Istana Merdeka, Jakarta.

Peristiwa yang melibatkan sejumlah jenderal purnawirawan (senior) yaitu Presiden SBY

menerima sejumlah jenderal senior yang terbagi atas dua kelompok dan tidak saling

"akur".

Kelompok pertama Prabowo Subianto. Ia diterima sendirian oleh Presiden SBY pada 11 Maret

2013. Prabowo datang sebagai pendiri Partai Gerindra. Topik yang dibicarakan, tidak dijelaskan

secara apa adanya. Namun publik bisa menebak, isu sentralnya tidak jauh dari sekitar politik

nasional secara satu kesatuan dan Pemilu 2014.

Dua hari kemudian, 13 Maret 2013, Presiden SBY kembali menerima jenderal senior yang

jumlahnya lebih banyak - tujuh orang. Mereka diantar Luhut Panjaitan yang terdiri atas Subagyo

HS (bekas KSAD-Kepala Staf Angkatan Darat), Fahrul Rozi (mantan Wakil Panglima TNI), Agus

Wijaya (mantan Kepala Staf Teritorial), Johny Lumintang (mantan Wakil KSAD), Sumardi (bekas

Direktur Latihan Kodiklat) dan Suadi Marasabessy (eks Kepala Staf Umum TNI).

Peristiwa ini menjadi bahasan terbatas di kalangan para pemerhati politik dan pengamat militer.

Soalnya pertemuan terpisah ini seakan menyiratkan telah terjadi perpecahan yang cukup serius

Page 9: Militer dan konspirasi pilpres (oleh: Derek Manangka @inilah.com)

di kalangan jenderal senior atau para sesepuh TNI. Dan perpecahan tersebut dapat

mempengaruhi stabilitas dan konstalasi politik nasional.

Rakyat sipil, boleh saja terpecah. Namun sehebat-hebatnya perpecahan di kalangan sipil, jika

tidak ada senjata, tak akan menuai risiko yang lebih besar. Tapi jangan sampai terjadi, hal

serupa melanda kalangan militer. Karena yang paling dikhawatirkan, perpecahan di kalangan

jenderal senior itu bisa diikuti oleh para prajurit bersenjata.

Kekhawatiran semakin menjadi, sebab ada rumor yang menyebutkan kedatangan Luhut

Panjaitan dan kawan-kawan ke Istana untuk meyakinkan Presiden SBY bahwa niat Prabowo

menjadi Presiden RI, tidak didukung oleh ketujuh jenderal tersebut.

Setahun kemudian, Maret 2014, peristiwa yang hampir serupa kembali terjadi. Kali ini jumlah

jenderal senior yang berkumpul lebih banyak. Hanya saja pertemuan tidak dilaksanakan di

Istana dan juga tidak dihadiri Presiden SBY.

Prabowo Subianto menggelar pertemuan dengan 80 jenderal senior sementara Luhut Panjaitan

bertemu dengan senior lainnya, sebanyak 20 orang. Tak pelak lagi, kabar pertemuan itu

semakin memicu kekhawatirkan tentang kemungkinan potensi meletusnya "Perang Bintang",

perang antara militer yang tanda pangkat mereka berbentuk bintang. Prabowo dan Luhut saling

mengklaim sesuai kepentingan politik masing-masing.

Prabowo menyebut para jenderal senior yang bertemu dengannya, mendeklarasikan dukungan

mereka teradap pencapresannya. Di pihak lain, Luhut Panjaitan yang bertindak selaku juru

bicara dari dua puluh jenderal, menegaskan dia dan kawan-kawan sudah sepakat mendukung

Jokowi sebagai calon presiden RI periode 2014 - 2019.

Makna politiknya, Luhut cs mau menjegal perjuangan Prabowo menjadi Presiden RI. Aneh,

membingungkan, itulah kalimat pertama yang menyeruak dari mulut sejumlah politisi, ketika

memberi penilaian manuver politik yang dilakukan Prabowo Subianto dan Luhut Panjaitan.

Aneh dan membingungkan, sebab manuver politik oleh kedua bekas anggota pasukan baret

merah itu, sangat kontras dengan jargon yang selalu menyebut tingginya kekompakan di

kalangan militer.

TNI atau militer merupakan korps yang paling kompak di republik ini. TNI tidak mengenal

dualisme. TNI patuh pada garis komando. Senioritas di TNI sangat dijunjung.

Aneh dan membingungkan, sebab di 1980-an, Prabowo dan Luhut merupakan dua prajurit

terpilih yang disekolahkan oleh Mabes TNI AD ke Jerman Barat, untuk mengikuti pendidikan

bagaimana meng-counter terorisme.

Page 10: Militer dan konspirasi pilpres (oleh: Derek Manangka @inilah.com)

Di luar dunia militer, pada satu masa Prabowo dan Luhut dikenal sebagai dua jenderal senior

yang berduet di dunia bisnis. Pernah diberitakan, Prabowo dan Luhut mengakuisisi perusahaan

kertas milik taipan di era Orde Baru, Bob Hasan.

Dengan menjadi pebisnis, Prabowo dan Luhut sebetulnya sudah mengadopsi paradigma baru

yaitu menjalin hubungan baik dengan mitra bisnis manapun. Perang dengan menggunakan

senjata, sudah jauh dari gaya hidup mereka yang ada hanya perang bisnis.

Membingungkan sekaligus mengkhawatirkan, sebab polarisasi yang ditunjukkan Prabowo dan

Luhut, mulai dimuati oleh rumor dan isu SARA. Prabowo dikatakan, seorang jenderal yang

didukung kekuatan Islam dan Luhut oleh kelompok Kristen dan sekaligus mendapat bantuan

pihak asing, Amerika Serikat bahkan oleh lobi Israel.

Lantas apa pendidikan politik yang bisa dipetik dari perpecahan para jenderal senior ini?

Agaknya publik harus lebih alert dan cermat. Jangan sampai dipengaruhi oleh kabar perpecahan

tersebut. Publik jangan terburu-buru menarik kesimpulan, telah terjadi perpecahan yang serius di

kalangan para jenderal senior atau TNI secara keseluruhan.

Sikap yang paling aman adalah melihat atau mencurigai manuver kedua jenderal senior

tersebut. Yakni perpecahan ataupun permusuhan Prabowo dan Luhut, tidak lebih dari sebuah

strategi yang biasa digunakan para ahli politik di institusi militer.

Satu strategi untuk membaca bagaimana sebetulnya opini publik terhadap pencapresan tokoh

yang berlatar belakang militer. Kalau bicara soal strategi untuk mendapatkan peta situasi yang

ril, militer sangat terlatih untuk itu. Latihan tersebut mencakup bagaimana melakukan desepsi

kepada pihak yang hendak jadi sasaran.

Strategi ini harus dilakukan, sebab secara legal, militer apalagi eks militer sudah tidak punya

akses untuk berpolitik. Para jenderal senior tak bisa lagi terang-terangan membangun kekuatan

untuk meraih kekuasaan tertinggi di republik tercinta ini.

TNI tidak bisa berpolitik. Tapi kalau TNI juga menerima mentah-mentah begitu saja, tanpa

alternatif, eksistensi dan harga diri korps juga lama-lama akan tergerus. Maka alternatif yang

paling tepat adalah tetap berada di wilayah kekuasaan sipil, tanpa harus mengenakan baju

militer.

Soalnya masyarakat madani (civil society) yang sudah menggantikan militer, jika tidak didesepsi,

akan dengan cepat berreaksi, apabila militer ingin kembali berkuasa seperti di era Orde Baru.

Di 2004 merupakan tahun terakhir militer atau TNI memiliki fraksi di DPR-RI. Keputusan

menghapus fraksi militer di DPR-RI merupakan bagian dari tuntutan reformasi. Karena tuntutan

reformasi, kehendak mayoritas rakyat Indonesia, TNI pun kelihatannya terpaksa menerima

penghapusan itu.

Page 11: Militer dan konspirasi pilpres (oleh: Derek Manangka @inilah.com)

Walaupun begitu, hal tersebut tidak berarti di DPR serta merta tak ada lagi wakil TNI atau militer.

Kenyataannya, jumlah mantan perwira TNI menjadi anggota DPR-RI sejak Pemilu 2004, justru

lebih banyak dan tersebar di berbagai fraksi. Para mantan anggota militer itu menjadi wakil

rakyat melalui fraksi-fraksi yangt berbeda.

Menyebar ke berbagai kekuatan politik, juga dilakukan oleh para jenderal senior. Seperti halnya,

Luhut menjadi anggota Dewan Pembina DPP Golkar, Sutiyoso sebagai Ketua Umum Partai

Keadilan dan Persatuan Indonesia, Pramono Edhie dan Endriartono Sutarto sebagai kader dan

capres Partai Demokrat kemudian Prabowo Subianto dan Glenny Kairupan yang berada di

Partai Gerindra.

Strategi menyebar atau diaspora ini, memang sulit terbaca. Terutama oleh kalangan sipil yang

melihat manuver politik militer atau eks militer, hanya dengan kaca mata biasa. Tetapi

sesungguhnya sejak reformasi, strategi diaspora ini, sudah dilakukan begitu rezim militer

berganti ke pemerintahan sipil.

Di pemerintah sipil BJ Habibie (1998-1999) terdapat jenderal senior seperti Yunus Yosfiah dan

Sintong Panjaitan. Di era Abdurrahmwan Wahid (1999-2001), terdapat jenderal senior seperti

SBY. Lalu di era Megawati Soekarnoputri (2001 -2004) terdapat jenderal senior seperti AM

Hendropriyono, Agum Gumelar, Theo Syafei (almarhum) dan TB Hasanuddin.

Oleh sebab itu kalau Luhut Panjaitan mendeklarasasikan dukungannya terhadap Jokowi, hal itu

harus dibaca sebagai usaha militer atau jenderal senior untuk tetap mempertahankan eksistensi

baju loreng dan sepatur lars.

Karena bila Jokowi benar-benar terpilih sebagai Presiden, setidaknya, di pemerintahan sipil itu,

tak ada penolakan terhadap militer, khususnya yang diwakili oleh jenderal senior seperti Luhut

Panjaitan. [mdr/Habis].