Mikroalgae.doc
-
Upload
soniabdullah -
Category
Documents
-
view
202 -
download
21
description
Transcript of Mikroalgae.doc
MIKROALGA
Oleh :Nama : Saefullah Habibi Z.ANIM : B1J008010Kelompok : 7Rombongan : IIAsisten : Nita Wahyu Suwardani
LAPORAN PRAKTIKUM FIKOLOGI
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGIPURWOKERTO
2011
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Alga merupakan produsen primer dalam suatu ekosistem perairan dan
merupakan organisme uniseluler, filamen dan berkembang biak secara aseksual.
Cara hidupnya dapat menempel ataupun melayang sebagai fitoplankton. Alga
berdasarkan ukurannya dapat dibedakan menjadi mikroalga dan makroalga.
Mikroalga adalah alga yang berukuran sangat kecil sehingga tidak dapat dilihat
dengan kasat mata. Mikroalga juga tersebar dalam perairan laut, seperti mikroalga
dari jenis Chorella sp. (Feldman, 1951).
Protista yang menyerupai tumbuhan di kenal sebagai Alga. Mikroalga
merupakan kelompok tumbuhan berukuran renik yang memiliki thallus dan klorofil
dengan habitat tersebar di seluruh wilayah perairan air tawar, payau, laut dan
terestrial. Mikroalga mengandung klorofil yang dapat mengubah senyawa anorganik
menjadi senyawa organik dengan menggunakan energi cahaya melalui proses
fotosintesis untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya (Jati, 2007).
Pesatnya usaha perikanan di Indonesia terutama pembenihan ikan, udang
maupun kerang menyebabkan peranan mikroalga sebagai pakan alami semakin
besar khususnya mikroalga sebagai pakan awal (initial feed) larva. Ketersediaan
fitoplankton yang sesuai baik jumlah maupun mutu serta kesinambunganya
merupakan salah satu faktor diantara penentu keberhasilan pemeliharaan larva
ikan, udang, kepiting dan rajungan. Hal ini berarti setiap usaha pembenihan, teknik
kultur fitoplankton secara terkontrol harus dikuasai sehingga kegagalan
pemeliharaan larva yang disebabkan oleh kekurangan pakan alami tidak terjadi
(Haryanti, 2002).
Dalam praktikum kali ini dilakukan pengidentifikasian spesies mikroalga dari
berbagai cara hidup, pembuatan media pertumbuhan mikroalga, pengisolasian
spesies mikroalga, dan pengkulturan Spirulina sp. pada skala laboratorium, dimana
banyak mengkoleksi plankton dari berbagai jenis atau strain yang tidak
terkontaminasi (murni), sehingga dapat digunakan sebagai bibit yang baik.
B. Tujuan
Tujuan praktikum ini antara lain :
a) Mengetahui keanekaragaman mikroalga ditinjau dari berbagai cara hidupnya di
alam.
b) Mengetahui cara/tahapan pembuatan beberapa media kultur untuk
pertumbuhan mikroalga di laboratorium.
c) Membuat biakan murni mikroalga dengan metode isolasi pipet kapiler.
d) Mengetahui cara kultur mikroalga Chorella sp. pada skala laboratorium.
C. TINJAUAN PUSTAKA
Mikroalga yaitu alga yang berukuran sangat kecil sehingga dibutuhkan alat
bantu untuk melihatnya. Berdasarkan cara hidupnya mikroalga dibedakan menjadi
fitoplankton, fitobentos, alga simbiotik, dan aeria alga. Mikroalga mempunyai
peranan penting antara lain untuk makanan hewan dan manusia, sumber kimia,
treatment limbah, tanah diatome, biofertiliser, pupuk, dan cadangan minyak. Selain
itu mikroalga juga dapat menimbulkan kerugian antara lain blooming sehingga akan
mengakibatkan kekurangan oksigen dan dapat menimbulkan keracunan (Isnansetyo
dan Kurniastuty, 1995).
Alga berperan sebagai produsen dalam ekosistem. Berbagai jenis alga yang
hidup bebas di air terutama yang tubuhnya bersel satu dan dapat bergerak aktif
merupakan penyusun phitoplankton. Sebagian besar fitoplankton adalah anggota
alga hijau, pigmen klorofil yang dimilikinya efektif melakukan fotosintesis sehingga
alga hijau merupakan produsen utama dalam ekosistem perairan (Anonim, 2009).
Banyak spesies alga terdapat sebagai sel tunggal yang dapat berbentuk
bola, batang, gada atau kumparan. Dapat bergerak atau tidak. Alga hijau uniseluler
yang khas yaitu alga mengandung nucleus yang dibatasi membran. Setiap sel
mengandung satu atau lebih kloroplas, yang dapat berbentuk pita atau seperti
cakram-cakram diskrit (satuan-satuan tersendiri) sebagaimana yang terdapat pada
tumbuhan hijau. Di dalam matriks kloroplas terdapat membran tilakoid yang
berisikan klorofil dan pigmen-pigmen pelengkap yang merupakan situs reaksi
cahaya pada fotosintesis (Anonim, 2009).
Teknik kultur mikroalga secara umum dapat dilakukan dalam 3 tahap, yaitu
skala laboratorium, skala semi massal, dan skala massal. Unit-unit pembenihan
ikan maupun udang biasanya hanya melakukan kultur skala semi massal dan skala
massal. Namun demikian keberhasilan dari tahapan kultur semi massal dan massal
tentunya tidak terlepas dari bibit yang dipergunakan (inokulum). Sementara teknik
kultur fitoplankton skala laboratorium banyak mengoleksi plankton dari berbagai
jenis/ strain yang tidak terkontaminasi (murni), sehingga dapat digunakan sebagai
bibit yang baik. Usaha pembenihan skala industri sudah mulai melakukan kultur
fitoplankton skala laboratorium untuk penyediaan bibit dalam memenuhui kebutuhan
pakan alami sebagai pakan awal (Suriadnyani, 2004).
D. MATERI DAN METODE
A. Materi
Alat yang digunakan pada acara identifikasi spesies mikroalga dari berbagai
cara hidupnya adalah mikroskop, object glass, cover glass, pipet, mikrotom/ pisau
silet, cawan petri, dan pinset. Sedangkan pada acara pembuatan media
pertumbuhan mikroalga alat yang digunakan antara lain beaker glass, pipet, corong
penyaring, pengaduk, dan magnetik hot stirrer. Metode isolasi yang digunakan
dalam acara isolasi spesies mikroalga adalah metode isolasi pipet kapiler, alat yang
digunakan meliputi pipet kapiler, object glass, cover glass, mikroskop, dan tabung
reaksi. Alat yang digunakan pada acara kultur mikroalga pada skala laboratorium
yaitu botol kultur, pipa aerasi, refraktometer, selang aerasi, corong penyaring,
highblow (aerator listrik), lampu neon, pipet, batu aerasi, dan beaker glass.
Bahan yang digunakan pada acara identifikasi spesies mikroalga dari
berbagai cara hidupnya adalah sampel mikroalga dari air, dan akuades steril.
Sedangkan pada acara pembuatan media pertumbuhan mikroalga bahan yang
digunakan antara lain larutan chlorin, natrium thiosulfat, aquades, dan media
Zarrouk. Acara praktikum metode isolasi dengan pipet kapiler menggunakan bahan
yang meliputi sampel mikroalga dari air, akuades steril dan media kultur spesifik
mikroalga. Bahan yang digunakan pada acara kultur mikroalga pada skala
laboratorium yaitu media Conway.
B. Metode
a) Identifikasi spesies mikroalga dari berbagai cara hidupnya :
1. Sampel mikroalga dari air diambil dengan planktonet dan dimasukan botol.
2. Dengan menggunakan pipet tetes sampel mikroalga diambil satu tetes dan
diteteskan di atas object glass serta ditutup dengan cover glass selanjutnya
diamati dibawah mikroskop.
3. Mikroalga yang diperoleh kemudian diidentifikasi dan diklasifikasikan
menggunakan buku identifikasi.
b) Pembuatan media pertumbuhan mikroalga :
1. Air sumur direbus sampai mendidih dan didinginkan.
2. Alat – alat Erlenmeyer, botol – botol kultur, disterilisasi dengan cara kimia
dengan cara peralatan yang sudah dicuci bersih direndam dengan larutan
chlorine 150 mg/l selama 12-24 jam. Kemudian dinetralisir dengan 40-50
mg/l Natrium Thiosulfat dan dibilas dengan air tawar hingga bau chlorine
hilang.
3. Media Zarrouk dibuat dengan mencampurkan 8,4 g NaHCO3; 0,25 g
K2HPO4; 1,25 g NaNO3; 0,1 g MgSO4; 0,5 g K2SO4; 0,5 NaCl, 20mg CaCl, 5
mg FeSO4 dan 80 mg EDTA didalam beker glass berisi 500 ml air steril.
Kemudian dilarutkan dengan menggunakan magnetik hot stirer. Setelah
terbentuk larutan homogen kemudian ditambahkan air steril hingga volume
1000 ml.
c) Isolasi spesies mikroalga :
1. Pipet kapiler dibuat dengan cara dipanaskan pada bagian ujung pipet,
setelah memijar ujungnya ditarik menggunakan pinset hingga membentuk
ujung yang sangat runcing.
2. Akuades diteteskan sebanyak tiga tetes pada permukaan object glass.
3. Sampel mikroalga dari air diteteskan pada salah satu tetesan akuades.
4. Dengan bantuan mikroskop dan pipet kapiler mikroalga diisolasi,
dipindahkan dari satu media ke media lain hingga didapat satu spesies
mikroalga.
5. Hasil kultur murni dikembangkan dalam media cair.
d) Kultur mikroalga pada skala laboratorium :
1. Kultur skala laboratorium dimulai dari volume sekitar 3-5 liter. Air laut dengan
salinitas 30 ppt dimasukkan ke dalam botol-botol kultur. Air laut yang
digunakan harus disaring dan disterilkan lebih dahulu.
2. Sebelum inokulum dimasukkan sebanyak 1/3 bagian, media kultur dipupuk
terlebih dahulu. Pupuk yang digunakan pada kutur ini terlebih dahulu dibuat
stok pupuk cair untuk memudahkan penggunaannya.
3. Setelah itu diberi aerasi dan botol-botol ditutup dengan plastik agar tembus
cahaya.
4. Pembuatan larutan Conway.
- Akuades sebanyak 2 liter disediakan.
- Satu per satu pupuk kimia (zat makro) dimasukkan ke dalam beaker
glass, kemudian diaduk hingga larut.
- Sementara larutan ini melarut, larutan treat elemen dibuat dalam 100 ml
akuades.
- Larutan treat elemen sebanyak 12 ml dimasukkan ke dalam stok pupuk
Conway dan sisanya baik dari treat elemen maupun Conway disimpan di
dalam kulkas. Pemakaian Conway adalah 1 ml dalam 1 liter air laut steril.
● Media Conway pembiakan mikroalga di laboratorium dengan
komposisi sebagai berikut :
- Penghitungan
bibit menggunakan
sedgewich
rafter dengan
sepuluh lapang
pandang.
E. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasila) Perhitungan pertumbuhan Chorella sp.
● Kepadatan awal = L1+L2+L3+L4+L5 x 400 x104
5
= 232 x 400 x 104
5
No Zat hara Jumlah (gr)
1 Makro
NaNO3
NaH2PO42H2O
FeCl3 6H2O
H3BO3
MnCl2 4H2O
EDTA TITRIPLEK III
200
40
2,6
67,2
0,72
90
2 Treat elemen
ZnCl2
CoCl2 6H2O
(NH4)6NO7O24 4H2O
CuSO4 5H2O
2,1
2
0,9
2
=185,6 x 106 sel / ml
● Volume bibit yang ditebar
N1.V1 = N2.V2
185,6 x 106 x V1 = 200.000 x 500
V1 = 0,538 ml
N1 = Kepadatan awal (sel / ml)
N2 = Kepadatan yang diinginkan (kepadatan untuk kultur Spirulina sp.)
V1 = Volume bibit yang ditebar
V2 = Volume air media yang diinginkan
b) Gambar hasil identifikasi spesies mikroalga.
Chlorella sp. Peridinium sp
Pediastrum sp. Scenedesmus sp
Coelosphaerium sp Straurstrum sp
Gymnosium sp
B. Pembahasan
Kultur mikroalga hingga volume 3 liter yang dilakukan dalam laboratorium
disebut dengan kultur sekala laboratorium (Isnansetyo dan kurniastuty, 1995). Pada
praktikum ini Phytolankton atau mikroalga yang digunakan sebagai bibit adalah dari
species Chlorella sp. Kultur mikroalga ini ini dilakukan dalam skala laboratorium
dengan menggunakan medium dasar air tawar dengan volume sekitar 1 liter, dan
diperkaya dengan menggunakan pupuk Conway. Menurut Sriharti dan Carolina
(1995) pada media Miquell alen, mikroalga yang didapat memiliki kandungan
karbohidrat yang paling banyak sedangkan pigmen untuk fotosintesis menurun yang
mengakibatkan terjadinya penurunana kadungan protein dan klorofil a.
Kultur mikroalga murni atau monospesifik dimulai dari kegiatan isolasi
kemudian dikembangkan sedikit-demi sedikit secara bertingkat. Media kultur yang
digunakan mula-mula beberapa millimeter kemudian meningkat ke volume yang
lebih besar hingga mencapai skala masal. Kultur phytoplankton hingga volume 3
liter yang dilakukan dalam laboratorium disebut dengan kultur skala laboratorium
(Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Bibit awal Chlorella sp. yang digunakan dalam
praktikum ini adalah 1,2 ml.
Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), kultur mikroalga skala
laboratorium memerlukan kondisi lingkungan yang terkendali. Hal ini dimaksudkan
agar pertumbuhan mikroalga dapat optimal sehingga didapatkan bibit (strater) yang
bermutu tinggi. Kultur skala laboratorium dimulai dari volume 0,5 liter hingga 3-5
liter. Air laut dengan salinitas tertentu dimasukkan dalam botol kultur, namun
sebelumnya terlebih dahulu disterilkan agar pertumbuhan mikroalga tersebut tidak
terganggu oleh mikroorganisme lain. Sebelum inokulum dimasukkan terlebih dahulu
medium diberi pupuk kemudian sewaktu inkubasi diberi aerasi dan kultur diletakkan
dalam rak kultur dengan pencahayaan lampu TL. Djarijah (1995) menambahkan
bahwa air laut yang digunakan sebagai medium pertumbuhan harus disaring
menggunakan saringan 15 mikron kemudian disterilisasi dengan pemanasan
sampai mendidih atau dengan penambahan chlorine ataupun dengan penyinaran
dengan menggunakan sinar UV.
Menurut Isnansetyo dan Kurniastuti (1995) pertumbuhan mikroalga dalam
kultur dapat ditandai dngan bertambah besarnya ukuran sel atau bertambah
banyaknya jumlah sel. Ada 4 fase dalam pertumbuhan mikroalga yaitu 1) fase
istirahat, Pada fase ini populasi tidak mengalami pertumbuhan namun ukuran sel
secara umum meniningkat, 2) fase logaritmik/ eksponensial, yaitu diawali dengan
pembelahan sel dengan laju pertumbuhan yang tetap dan pada kondisi yang
optimum mencapai laju pertumbuhan yang maksimal, 3) fase stasioner, yaitu
pertumbuhan mulai mengalami penurunan. Pada fase ini laju reproduksi sama
dengan laju kematian dan yang ke 4) adalah fase kematian, yaitu laju kematian
lebih cepat dari laju reproduksi dan secara geometric jumlah sel menurun.
Berdasarkan pola pertumbuhanya, maka pemanenan phytoplankton harus
dilakukan pada saat yang tepat yaitu pada saat mikroalga tersebut mencapai
puncak populasinya. Apabila pemanenan mikroalga tersebut terlalu cepat maka sisa
zat hara dapat membahayakan organisme pemangsa. Sedangkan apabila
pemanenan mikroalgan tersebut terlambat maka sudah banyak terjadi kematian
phytoplankton sehingga kualitas dan kuantitasnya menurun. Beberapa mikroalaga
yang dapat diidentifikasi pada praktikum Identifikasi spesies mikroalga dari berbagai
cara hidupnya adalah Perimedium sp, Pediastrum sp, Scenedesmus sp,
Coelosphaerium sp, Straurstrum sp, Gymnosium sp.
Peridinium sp merupakan dinoflagellata dengan ketebelan seperti pelat baja,
berbentuk bola dan mempunyai hiasan. Tubuh dinoflagellata primitif pada umumnya
berbentuk ovoid tapi asimetri, mempunyai dua flagella, satu terletak di lekukan
longitudinal dekat tubuh bagian tengah yang disebut sulcus dan memanjang ke
bagian posterior. Sedangkan flagella yang lain ke arah transversal dan ditempatkan
dalam suatu lekukan (cingulum) yang melingkari tubuh atau bentuk spiral pada
beberapa belokan. Lekukan tranversal disebut girdle, merupakan cincin yang simpel
dan jika berbentuk spiral disebut annulus. Flagellum transversal menyebabkan
pergerakan rotasi dan pergerakan kedepan, sedangkan flagellum longitudinal
mengendalikan air ke arah posterior. Sel Dinoflagellata terbagai secara transversal
oleh cingulum menjadi epiteka dan hipoteka. Pada Peridinium, epiteka tersusun
atas 2 seri: apical dan precingular. Pada beberpara genus terdapat seri pelat yang
tidak sempurna pada permukaan dorsal dengan 1-3 pelat interkalar anterior.
Hipoteka tersusun atas 2 seri transversal: cingular dan antapikal juga sering
terdapat seri yang tidak sempurna yaitu interkalar posterior. Beberapa spesies
(seperti limbatum Peridinium) memiliki tanduk khas. Genus ini memiliki lebih dari 30
spesies, yang sebagian besar berfotosintesis (Steward, 1974).
Peridinium Kebanyakan spesies ditemukan di perairan tawar atau payau,
dan tidak dapat mentolerir tingkat salinitas yang tinggi. Genus ini hampir
kosmopolitan di perairan yang kaya akan kalsium, tetapi juga dapat ditemukan di
perairan pH rendah dan nutrisi rendah. Beberapa spesies dapat membentuk
blooming. Biasanya dimanfaat kan sebagai pakan alamin bagi ikan (Steward, 1974).
Menurut Djarijah (1995), klasifikasi dari Pernidium adalah sebagai berikut:
Divisi : Pyrrophycophyta
Kelas : Dinophyceae
Ordo : Peridiniales
Familia : Peridiniaceae
Genus : Peridinium
Species : Peridinium
Pediastrum banyak ditemukan pada kolam-kolam yang permanen atau semi
permanent. Pediastrum koloninya mengapung, berisi 2 –128 (biasanya 4-64) sel
poligonal (bersudut banyak) yang tersusun dari satu bidang pipih setebal selnya.
Senobium mungkin padat atau berlubang. Jika jumlah sel senobium ada 16 atau
lebih, cenderung membentuk lingkaran-lingkaran yang ke arah dalam makin kecil.
Pada setiap lingkaran berisi sel dengan jumlah yang tertentu. Terjadi atau tidak
terjadinya keteraturan ini ditentukan oleh faktor-faktor yang menmpengaruhi
zoospora pada saat mulai membentuk koloni. Sel-sel lingkaran tepi (perifer) sering
berbeda bentuknya dengan sel-sel bagian dalam dan sel perifer mungkin punya
satu, dua, atau tiga taju atau penonjolan (prosesus) yang tidak dimiliki sel-sel bagian
dalam. Dinding sel mungkin mulus, berongga atau retikularis. Sel muda memiliki
kloroplas parietal bentuk cakram dengan satu pirenoid. Sel tua memiliki satu
kloroplas yang difuse (meluas) dan mungkin memiliki lebih dari satu pirenoid. Sel
dewasa mungkin memiliki satu, dua, empat, atau delapan nukleus (14 spiro).
Perkembangbiakan aseksual dengan membentuk zoospore. Sedangkan secara
seksual dengan isogami. Pediastrum merupakan fitoplankton yang berfungsi
sebagai makanan ikan. Daerah yang kaya plankton merupakan daerah perairan
yang kaya ikan. Pediastrum merupakan produser primer, yaitu sebagai penyedia
bahan organic dan oksigen bagi hewan-hewan air, seperti ikan, udang, dan
serangga air. Keberadaan produser mengundang kehadiran konsumen, predator,
dan organisme lain yang membentuk ekosistem perairan (Bougis, 1979). Di tinjau
dari frekuensi kemunculannya, marga ganggang hijau yang sering muncul adalah
Pediastrum, hal ini menunjukkan bahwa pediastrum mempunyai kemampuan
adaptasi yang lebih baik terhadap keadaan fisik, kimia dan biologi (Isnansetyo dan
Kurniastuty, 1995).
Klasifikasi fitoplankton Pediastrum sp. adalah sebagai berikut (Bougis, 1979) :
Divisi : Chlorophyta
Kelas : Chlorophyceae
Ordo : Chlorococcales
Family : Hydrodictyaceae
Genus : Pediastrum
Spesies : Pediastrum sp
Scenedesmus adalah salah satu spesies ganggang hijau uniseluler yang
berkoloni. Sel-selnya mempunyai kloroplas yang berwarna hijau, mengandung
klorofil-a dan klorofil-b, serta karotenoid. Pada kloroplas terdapat pirenoid, hasil
asimilasi berupa tepung dan minyak. Organisme ini tumbuh subur di lingkungan
perairan yang kaya akan nutrisi. Koloninya umumnya terdiri dari 2 atau 4 sel yang
berbentuk silindris. Masing – masing selnya mempunyai panjang 5 – 30 mm.
Scenedesmus sp .adalah salah satu spesies alga hijau berkoloni yang dapat
dimanfaatkan dalam pembuatan biodiesel. Scenedesmus mengandung lemak (fatty
acid) sebesar 16 – 40 %. Komponen lemak inilah yang dapat dijadikan sebagai
bahan dasar pembutan biodiesel (Prasetyo, 1967).
Menurut Bougis (1979) Scenedesmus klasifikasi adalah :
Divisi : Chlorophyta
Kelas : Chlorophyceae
Ordo : Chlorococcales
Familia : Scenedesmaceae
Genus : Scenedesmus
Spesies : Scenedesmus
Gymnodinium sp. merupakan sel vegetaif berflagel dua, hidup berkoloni
(senobium) setiap sel dalam senobium dihubungkan dengan benang-benang
sitoplasma. Koloni besar terdapat sel vegetatif yang besar, sel-sel ini adalah gonidia
yang merupakan sel pemula dari koloni anak. Pembiakan seksual dengan cara
oogami.
Menurut (Djarijah, 1995), klasifikasi dari Gymnodinium sp. adalah sebagai
berikut :
Divisio : Phyrrophyta
Classis : Dinophyceae
Ordo : Gymnodiniales
Familia : Gymnodiniaceae
Genus : Gymnodinium
Species : Gymnodinium sp.
Staurastrum adalah unicells dengan bentuk yang radial simetris. Semi sel
memiliki proyeksi beberapa berongga biasanya 3, 6, atau 9 dan sering tertutup kutil
atau duri. Dinding sel bisa halus atau dihiasi, dan mengandung senyawa yang
membuat mereka tahan terhadap kerusakan.Staurastrum tetap telah ditemukan
dalam sedimen danau ribuan tahun.
Setiap semi sel biasanya memiliki lobed, kloroplas besar dengan pyrenoid
tunggal yang besar di pusatnya, tetapi hal ini dapat bervariasi di antara spesies. Inti
terletak di tanah genting antara kedua semi sel. Ada lebih dari 800
spesies Staurastrumyang terutama dibedakan oleh perbedaan dalam pola dinding
sel. Menurut (Djarijah, 1995), klasifikasi dari Staurastrum sp.adalah sebagai berikut :
Divisi : Streptophyta
Classis : Zygnematophyceae
Ordo : Zygnematales
Familia : Desmidiacea
Genus : Staurastrum
Spesies : Staurastrum sp
Teknik isolasi spesies mikroalga tergantung ukuran dan kharakteristik
mikroalga. Ada lima teknik yang dapat dilakukan yaitu :
1. Metode Spraying
Aliran udara tekanan tinggi digunakan untuk memisahkan kultur alga campuran
pada cawan petri dengan medium agar yang mengandung nutrisi untuk
pertumbuhan alga.
2. Metode pipa kapiler
Menggunakan pipet kapiler steril untuk mentransfer tiap sel alga hasil koleksi
alami dengan bantuan mikroskop dan medium kultur cair.
3. Isolasi sel tunggal / koloni / filamen
Menggunakan mikropipet (pipet skala mikrometer) dengan tip yang berukuran
sesuai ukuran sel alga, dengan bantuan mikroskop.
4. Metode pengenceran bertingkat
Menggunakan teknik pengenceran secara aseptik / steril, penambahan 9 mL
medium kultur dan 1 mL sampel (10-1) dan seterusnya, lalu diinkubasi pada
suhu, fotoperiode dan intensitas cahaya terkontrol.
5. Metode gesek agar (streak plate)
Menggunakan medium agar (kedalaman agar ½ - 2/3 dari cawan petri), batang
(loop) steril untuk peletakan sampel alga dan penggesekan pada permukaan
medium agar. Cawan petri disegel dengan parafilm dan diinkubasi pada suhu
dan pencahayaan konstan. Hasil isolasi dicek menggunakan mikroskop dan diuji
kembali dengan mengulang prosedur gesek untuk mengurangi resiko
kontaminasi dan mendapatkan unisel alga (Erlina dan Hastuti, 1986).
Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) menyatakan bahwa pada kultur mikroalga
sangat membutuhkan berbagai macam senyawa anorganik baik sebagai hara
makro (N,P,K,S,Na, Si dan Ca) maupun hara mikro (Fe, Zn, Mn, Cu, Mg, Mo, Co, B
dll). Setiap unsur hara mempunyai fungsi-fungsi khusus yang tercermin pada
pertumbuhan dan kepadatan yang dicapai, tanpa mengesampingkan pengaruh
kondisi lingkungan. Unsur N, P, dan S penting untuk pembentukan protein,
sedangkan K berfungsi dalam metabolisme karbohidrat, Fe dan Na berperan untuk
pembentukan klorofil, sedangkan Si dan Ca merupakan bahan untuk pembentukan
dinding sel atau cangkang.
Faktor – faktor yang berpengaruh dalam kultur mikroalga antara lain :
1. Nutrisi / medium kultur
Kultur alga harus diperkaya dengan nutrien untuk melengkapi kekurangan nutrisi
dalam air / air laut kultur
2. Cahaya
Serupa dengan tumbuhan, mikroalga melakukan fotosintesis (mengkonversi
karbon inorganik menjadi materi organik). Cahaya merupakan sumber energi
yang membantu reaksi fotosintesis.
3. pH
Kisaran pH untuk kebanyakan spesies kultur mikroalga adalah antara 7 – 9, pH
optimum: 8,2 – 8,7.
4. Aerasi / pengadukan
Pengadukan diperlukan untuk mencegah sedimentasi sel alga, agar semua sel
terdedah secara merata terhadap cahaya dan nutrisi, mencegah stratifikasi suhu
(kultur outdoor), meningkatkan pertukaran gas antara medium kultur dan udara,
dan sumber karbon (CO2) dalam proses fotosintesis.
5. Suhu
Suhu optimal untuk kultur mikroalga berkisar antara 20 - 24°C, bervariasi
dengan komposisi medium kultur, spesies dan strain kultur.
6. Salinitas
Mayoritas spesies tumbuh optimal pada salinitas sedikit lebih rendah dibanding
habitat alaminya (20-24 ppt); didapatkan melalui pengenceran air laut dengan
air tawar (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).
Kepadatan awal hasil perhitungan pertumbuhan Chlorella sp. sebesar 185,6
x 106 sel / ml. Menurut Chilmawati dan Suminto (2008) dalam mengkultur chorella
terdapat lag phase yaitu lamanya adaptasi Chorella dengan media tanam. Lamanya
masa adaptasi diduga karena adanya kepekatan antara media kultur dengan cairan
tubuh Chorella. Dalam masa adaptasi sel-sel memulihkan enzim dan konsentrasi
substrat ke tingkat yang diperlukan untuk pertumbuhan serta masukya unsur hara
ke dalam sel mikroalga terjadi melalui proses difusi sebagai akibat perbedaan
konsentrasi antara media kultur dengan cairan tubuh.
Klasifikasi Chorella menurut Bougis (1979) adalah :
Divisi : Chlorophyta
Kelas : Chlorophyceae
Ordo : Chlorococales
Famili : Chlorellaceae
Genus : Chlorella
Spesies : Chlorella sp
Chlorella telah diteliti untuk dapat diproduksi secara missal dan dapat
digunakan untuk tujuan gizi seperti sumber protein, lipid, karbohidrat, vitamin dan
mineral ubtuk membantu mengisi kekurangan protein dan populasi pakan dunia
yang selalu berkembang. Ganggang ini sering digunakan di laboratorium untuk
penyelidikan fotosintesis karena sifatnya yang unik, para ahli berpendapat bahwa
Chlorella dapat ikut mengatasi kebutuhan pangan manusia di masa yang akan
datang (Mutlu et al.,2010).
Chlorella mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan berkembangbiak
dengan cepat. Oleh karena itu, selain menguntungkan dalam penurunan efek
pemanasan global, pertumbuhan Chlorella juga memberikan efek ganda yaitu
menghasilkan produksi biomassa dalam jumlah yang tinggi. Biomassa dari
Chlorella banyak mengandung vitamin, karbohidrat, dan terutama protein
sehingga mempunyai potensi secara komersial untuk dimanfaatkan sebagai
suplemen makanan (Dianursanti et al, 2009).
F. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Berdasarkan cara hidupnya mikroalga dibedakan menjadi fitoplankton,
fitobentos, alga simbiotik, dan aeria alga.
2. Teknik isolasi spesies mikroalga tergantung ukuran dan kharakteristik mikroalga.
Ada lima teknik yang dapat dilakukan yaitu : metode spraying, metode pipa
kapiler, Isolasi sel tunggal / koloni / filamen, metode pengenceran bertingkat,
dan metode gesek agar (streak plate).
3. Kepadatan awal hasil perhitungan pertumbuhan Chlorella sp. adalah 185,6 x
106 sel / ml.
4. Zat hara makro yang dibutuhkan kultur mikroalga adalah N, P, K, S, Na, Si dan
Ca, sedangkan zat hara mikro yang dibutuhkan antara lain adalah Fe, Zn, Mn,
Cu, Mg, Mo, Co, B, dll.
5. Faktor – faktor yang berpengaruh dalam kultur mikroalga antara lain : Nutrisi /
medium kultur, cahaya, pH, aerasi / pengadukan, suhu, dan salinitas.
6. Beberapa fitoplankton yang dapat diidentifikasi pada praktikum Identifikasi
spesies mikroalga dari berbagai cara hidupnya adalah Perimedium sp,
Pediastrum sp, Scenedesmus sp, Coelosphaerium sp, Straurstrum sp,
Gymnosium sp
DAFTAR REFERENSI
Anonim. 2009. Alga Uniseluler. http://moningkaharvey.wordpress.com. Diakses tanggal 24 April 2011.
Bougis, P. 1979. Marine Plankton Ecology. American Elsevier Publishing Company, New York.
Chilmawat, D dan Suminto. 2008. Penggunaan Media Kultur Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Chlorella sp. Jurnal Saintek Perikanan Vol. 4, No. 1, 2008 : 42 – 49
Dianursanti et al., 2009. Peningkatan Produksi Biomassa Chlorella vulgaris Melalui Perlakuan Teknik Pemerangkapan Sel Dalam Aliran Sirkulasi Media Kultur. Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia : Bandung
Djarijah, A. S. 1995. Pakan Ikan Alami. Kanisius, Yogyakarta.
Erlina, A dan W. Hastuti. 1986. Kultur Plankton. IDRC, Jakarta.
Feldman, Y. 1951. Ekology of Marine Algae. Stanford University, California.
Haryanti. 2002. Teknik Produksi Pakan Alami. BBRPBL-Gondol,Bali, 15 pp.
Isnansetyo, A. Dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zoopankton. Kanisius, Yogykarta.
Jati, Wijaya. 2007. Aktif Biologi. Penerbit Ganeca Exact. Jakarta.
Prasetyo, Triastono Imam.1967. Beberapa Genus Alga Air Tawar. Malang: UM PRESS.
Saptasari, Murni. 2006. Botani Tumbuhan Bertallus. Malang: UM Press.
Sriharti dan Carolina.1995. Kualitas Algae Bersel Tunggal Chlorella sp pada Berbagai Media.Seminar Ilmiah Hasil Penelitiian dan Pengembangan Bidang Fisika Terapan 1994/19995.
Steward, W.D.P. 1974. Algae Physiology and Biochemystri. Blackwell Scientific Publication Oxford, London.
Suriadnyani, N. 2004. Teknik Kultur Fitoplakton Secara Tradisional. Buletin Teknik Litkayasa Akuakultur. Vol 3 no 2:21-25.
Tjitrosoepomo, Gembong. 1991. Taksonomi Tumbuhan. Yogyakarta: UGM Press.