Metodologi Jalan
-
Upload
agung-triraharjo -
Category
Documents
-
view
1.263 -
download
418
Transcript of Metodologi Jalan
BAB B.2 METODOLOGI PELAKSANAAN PEKERJAAN
2.1 Pendekatan UmumTranportasi darat baik angkutan barang maupun jasa mempunyai
peranan yang sangat penting didalam menunjang kelancaran roda
pembangunan yang dari tahun ketahun semakin meningkat.
Pentingnya peranan ini tidak terlepas dari kondisi prasarana jalan dan
jembatan yang sudah ada atau bertambahnya kebutuhan panjang
jalan yang juga semakin bertambah seiring dengan meningkatnya
ratio jumlah kendaraan dengan ketersediaan prasarana jalannya.
Untuk memenuhi persyaratan kondisi jalan yang baik dan tahan lama,
maka perkerasan jalan harus memenuhi persyaratan kondisi
fungsional dan struktural.
Kondisi fungsional menyangkut kerataan dan kekesatan permukaan
perkerasan, sedangkan persyaratan kondisi struktural menyangkut
kemampuan (dinyatakan dalam satuan waktu dan jumlah lalu-lintas)
dalam mempertahankan kondisi fungsionalnya pada tingkat yang
layak. Kondisi struktural ditunjukkan oleh kekuatan atau daya dukung
perkerasan yang biasanya dinyatakan dalam nilai struktural (structural
number) atau lendutan. Disamping permasalahan kondisi struktural
dan fungsional, juga yang dapat mempengaruhi kelancaran jalan
adalah kurang baiknya geometrik jalan tersebut.
Untuk mendapatkan kinerja perkerasan yang baik, yakni terpenuhinya
persyaratan kondisi struktural dan fungsional sehingga penguna jalan
cukup nyaman, aman, cepat (singkat) dan biaya perjalanan yang
murah. Hal tersebut tidak terlepas dari sistem pembinaan jalan.
Pemerintah Republik Indonesia, Departemen Pekerjaan Umum,
Direktorat Jenderal Bina Marga melalui Satuan Kerja Non Vertikal
B1
Proposal Teknis
Tertentu pembangunan jalan dan jembatan dan pembangunan jalan
lapis hotmix sebagai pemberi tugas dalam Paket Perencanaan
Pembangunan Jalan Lapis Hotmix tahun anggaran 2013. Dalam
pelaksanaan pekerjaan tersebut maka melalui Satuan Kerja Non
Vertikal Tertentu Perencanaan dan Penggawasan Jalan dan Jembatan
akan bekerjasama dengan Konsultan Teknik yang telah dievaluasi
layak dalam melaksanakan pekerjaan perencanaan ini.
Secara garis besar pekerjaan perencanaan teknis jalan meliputi
pekerjaan-pekerjaan :
- Survey dan pengumpulan data,
- Analisa data,
- Perencanaan detail (perencanaan geometrik, perencanaan tebal
perkerasan, perencanaan drainase, perencanaan struktur /
pelebaran jembatan dan penggambaran)
- Penyiapan dokumen tender.
Metodologi untuk perencanaan teknik jalan yang diuraikan di sini
adalah survey pendahuluan, survey teknik (survey topografi, survey
hidrologi, survey tanah dan upaya pemanfaatan lingkungan),
Pengujian di Laboratorium dan perencanaan detail (perencanaan
geometrik, tebal perkerasan, drainase dan struktur/jembatan) dengan
tahapan kegiatan sebagaimana ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
B2
Proposal Teknis
Gambar 2-1. Tahapan Kegiatan Detail Perencanaan
B3
Proposal Teknis
Gambar 2-2. Tahapan Kegiatan Detail Perencanaan
B4
Proposal Teknis
2.2 Survey Pendahuluan
2.2.1 UmumPengumpulan data pendukung sebagai pertimbangan untuk
menetapkan perencanaan perkerasan, drainase maupun geometrik
jalan dilakukan secara sekunder maupun primer.
Dari kegiatan survey pendahuluan ini juga diharapkan, konsultan
sudah dapat mengusulkan metode penelitian dan perencanaan yang
akan diterapkan, alternatif konstruksi jalan dan jembatan (bila ada)
yang akan dipakai antara lain : kriteria perhitungan geometrik,
batasan kelandaian, konfigurasi bentang, bahan konstruksi, bentuk
pilar dan abutment serta lainnya.
Didalam melaksanakan kegiatan ini, Tim Konsultan mempunyai tugas
antara lain:
Meninjau lokasi jalan yang telah ditentukan untuk melihat
kemungkinan survey apa saja dan peralatan yang cocok pada
daerah tersebut.
Menyiapkan alat atau fasilitas yang akan digunakan untuk
pelaksanaan survey.
Menentukan atau mencari alternatif calon lokasi as jalan
Adapun informasi yang harus diperoleh dari pemeriksanan ini adalah :
Data mengenai kondisi jalan dan bagian-bagiannya yang rusak
o Data banjir dan erosi
o Bahan yang tersedia yang dapat menentukan macam
konstruksi yang paling efisien dan efektif.
Data lain yang diperlukan dan dianggap penting.
Jaringan jalan serta kelas jalan.
Usulan lainnya dari pemberi tugas.
Semua hasil survey pendahuluan bila memungkinkan dan diminta
dalam "TOR" akan dilaporkan dalam bentuk laporan survey
pendahuluan lengkap dengan photo dokumentasi aslinya.
Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui instansi terkait seperti
Kantor SKNVT Perencanaan dan Pengawasan Jalan dan Jembatan,
Dinas Pekerjaan Umum Propinsi, Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten
B5
Proposal Teknis
dan instansi lainnya seperti Badan Meteorologi dan Geofisika (data
curah hujan), Direktorat Geologi dsb.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan mengadakan survey
langsung di lapangan.
2.2.2 Reconnaissance survey Dari peta dasar berupa Peta Topografi skala 1 : 250.000 sampai
1 : 25.000 atau yang lebih besar dan peta-peta pendukung
lainnya yang didapat dari data sekunder yang dapat dipelajari
kondisi terrain dan kemungkinan alternatif aliyenmen. Dengan
dasar awal ini kemudian dilakukan penjajagan di lapangan,
penggeseran atau pemindahan titik aliyenmen disesuaikan
dengan kondisi lapangan dengan pertimbangan ekonomis,
keamanan maupun kenyamanan kendaraan.
Mempelajari lokasi trase jalan lama dan atau rencana jalan baru
sesuai dengan target dan aspek perencanaan.
Inventarisasi jalan secara terinci
Pengumpulan data survey dan inspeksi jalan secara terinci harus
dilakukan untuk menghimpun catatan-catatan yang lengkap mengenai
data jalan dan bangunan pelengkap jalan, antara lain :
a. Survey Kondisi dan Geometrik Jalan
Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk mendapatkan data
umum mengenai kondisi perkerasan yang ada dan kondisi
geometrik jalan yang bersangkutan.
Pemeriksaan dilakukan dengan metode sederhana, yaitu
mencatat kondisi perkerasan yang ada setiap 1.00 km yang
dicatat selama berkendaraan dan mengisikannya dalam
formulir.
Data yang harus diperoleh dari pemeriksaan ini adalah :
1. Lebar perkerasan yang ada dalam meter.
2. Jenis bahan perkerasan yang ada, misalnya beton aspal,
soil sement jalan tanah, jalan kerikil dsb.
3. Nilai kekasaran jalan (Road Condition Index) yang dapat
diperoleh dari survey NAASRA Roughness Meter atau
B6
Proposal Teknis
ketentuan secara visual dengan ketentuan skala seperti
pada Tabel 2.1. berikut ini :
Tabel 2-1. Nilai Road Condition Index (RCI)
RCI Kondisi Visual Tipe Permukaan Tipikal
8 – 10 Sangat rata dan halus Hotmix (AC dan HRS) yang baru dibuat/ditingkatkan dengan beberapa lapisan aspal
7 – 8 Sangat baik dan rata Hotmix setelah dipakai beberapa tahun atau lapisan tipis hotmix diatas penetrasi macadam
6 – 7 Baik Hotmix lama, Nacas/Lasbutang baru
5 – 6 Cukup, sedikit/tidak ada lubang, tetapi permukaan jalan tidak rata
Penetrasi macadam, latasbum baru, lasbutang baru
4 – 5 Jelek, kadang-kadang ada lubang, permukaan jalan tidak rata
Penetrasi macadam setelah pemakaian 2 atau 3 tahun, jalan kerikil yang tidak terpelihara
3 – 4 Rusak, bergelombang, banyak lubang
Penetrasi macadam lama, latasbum lama, jalan kerikil yang tidak terpelihara
2 – 3 Rusak berat, banyak lubang dan seluruh daerah perkerasan hancur
Semua tipe perkerasan yang diabaikan
2 Tidak dapat dilewati kecuali oleh Jeep 4 WD
Roughness (ketidak rataan) menggambarkan bahwa jalan sudah
mengalami kerusakan. Kerusakan utama yang dapat mengakibatkan
ketidakrataan adalah lubang, deformasi dan tambalan. Ketidakrataan
dinyatakan dalam International Roughness Index (IRI) dalam satuan
m/km. Pengukuran dilakukan dengan alat NASRAA Roughness meter
yang dipasang pada kendaraan pengukur yang disyaratkan. Kecepatan
kendaraan pengukur adalah 32 km/jam. Guna mendapatkan harga IRI,
nilai hasil pengukuranan dengan alat NAASRA harus dikalibrasi terlebih
dahulu dengan alat Dipstick. Harga IRI ini kemudian dikorelasikan
dengan RCI.
B7
Proposal Teknis
Panjang jalan yang perlu diperiksa adalah sekitar 11,00 km/lajur.
1. Kondisi daerah samping jalan serta sarana utilitas yang ada,
seperti saluran samping, gorong-gorong, kerb, kondisi drainase
samping, jarak pagar/bangunan penduduk/tebing ke pinggir
perkerasan.
2. Lokasi awal dan akhir pemeriksaan harus jelas dan sesuai
dengan lokasi yang ditentukan untuk jenis pemeriksaan lainnya.
3. Data yang diperoleh dicatat dalam formulir terlampir.
4. Membuat foto dokumentasi inventarisasi geometrik jalan
sekurang-kurangnya 1 (satu) buah foto perkilometer tergantung
pertimbangan geometris.
5. Foto ditempel pada formulir tersedia dengan mencantumkan
hal-hal yang diperoleh seperti nomor dan nama ruas jalan, arah
pengambilan foto, tanggal pengambilan foto dan tinggi petugas
yang memegang kertas "Stasion".
b. Inventarisasi Jembatan (bila ada)
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mendapatkan informasi
mengenai kondisi jembatan yang terdapat pada ruas jalan yang
ditinjau.
Informasi yang diperoleh dan harus dicatat dalam formulir
tersedia adalah sebagai berikut :
1) Nama dan lokasi jembatan.
2) Dimensi jembatan meliputi bentang, lebar, tinggi bebas,
jenis bangunan atas dan bawah jembatan.
3) Perkiraan kasar jenis pekerjaan bila diperlukan pekerjaan
perbaikan atau pemeliharaan atau pelebaran.
4) Data yang diperoleh dicatat dalam formulir.
5) Foto dokumentasi sebanyak 2 (dua) lembar untuk setiap
jembatan yang diambil dari arah memanjang dan
melintang, foto ditempel pada formulir terlampir.
6) Sketsa jembatan (denah potongan
memanjang/melintang).
c. Survey Data Lalu Lintas
B8
Proposal Teknis
Survey pengumpulan data perhitungan lalu-lintas, peta lokasi
dan lainnya disesuaikan dengan kelas jalan yang bersangkutan.
d. Menganalisa secara visual keadaan tanah dasar pada daerah
rencana trace jalan.
e. Mengumpulkan data yang diperlukan untuk kemungkinan
diperlukan penggantian jembatan, gorong-gorong dan bangunan
pelengkap lainnya.
f. Membuat foto dokumentasi lapangan pada lokasi-Iokasi yang
penting untuk butir b, c, d, dan e.
g. Mengumpulkan data yang berupa informasi mengenai Harga
Satuan Bahan dan Upah.
h. Mengumpulkan informasi sumber material (quarry) yang
diperlukan untuk pekerjaan konstruksi berdasarkan pemetaan
yang ada dan memberikan gambaran umum tentang cadangan
quarry.
i. Membuat laporan lengkap perihal butir a s/d h dan memberikan
saran-saran yang diperlukan untuk pekerjaan tersebut.
2.2.3 Lalu LintasBesarnya biaya pembangunan jalan yang dikeluarkan seyogyanya
harus bisa memberikan nilai ekonomis dan kinerja lalu lintas jalan
yang memadai dan bisa memenuhi kriteria nyaman, aman, cepat, dan
biaya operasi kendaraannya normal. Ekonomis artinya biaya yang
dikeluarkan sebanding dengan demand, untuk itu perlunya
mengetahui karakteristik lalu lintas yang terjadi saat ini dan perkiraan
sesuai dengan umur rencana jalan, karakteristik lalu lintas yang
dimaksud menyangkut volume dan komposisi jenis lalu lintas serta
beban sumbu roda kendaraan. Parameter perencanaan yang didapat
dari karakteristik lalu lintas seperti : penetapan kendaraan rencana
untuk perencanaan geometrik jalan, volume lalu lintas untuk
perencanaan kapasitas jalan, dan beban sumbu roda kendaraan untuk
yang menghasilkan faktor perusak kendaraan (ESA) untuk
perencanaan struktur perkerasan jalan.
Kegiatan yang harus dilakukan untuk mendapatkan parameter
perencanaan berkaitan dengan karakteristik lalu lintas dibutuhkan
B9
Proposal Teknis
beberapa survey pengumpulan data baik data sekunder maupun data
primer, jenis data yang disurvey tersebut terbagi atas tiga kelompok
yaitu data aspek volume dan komposisi lalu lintas, persatuan waktu
dan data aspek beban sumbu roda kendaraan.
A. Arus dan Komposisi Lalu Lintas
Survey penghitungan arus lalu lintas dilakukan untuk mengetahui
jumlah dan komposisi jenis kendaraan yang melewati suatu ruas jalan,
besamya volume lalu lintas seyogyanya bisa mencerminkan volume
jam perencanaan dan lalu lintas harian. Sebagai pendekatan untuk itu
pencatatan volume arus lalu lintas dilakukan paling tidak 3 x 24 jam
yang mewakili hari-hari padat lalu lintas dengan catatan harus
dikompresikan dengan faktor-faktor harian dan bulanan. Cara
pencacahan dilakukan dengan cara manual yang dibantu dengan alat
pencacah hand tally counter. Jenis kendaraan yang dicatat
dikelompokkan sesuai dengan yang biasa digunakan oleh Derektorat
Bina Marga , adalah jenis kendaraan sebagai berikut :
Jenis kendaraan sepeda motor
Jenis kendaraan sedan, jeep, sedan, mini bus (kijang)
Jenis kendaraan combi
Jenis kendaraan bus kecil
Jenis kendaraan bus sedang
Jenis kendaraan bus besar
Jenis kendaraan pick up
Jenis kendaraan truk 2 as kecil t ton
Jenis kendaraan truk 2 as sedang
Jenis kendaraan truk 3 as berat
Jenis kendaraan trailler, gandengan
Selengkapnya dapat dilihat dalam lampiran mengenai formulir survey
arus lalu lintas.
B. Berat Kendaraan
Kerusakan jalan secara lebih dini pada jaringan jalan antar kota sering
terjadi antara lain disebabkan oleh beban sumbu kendaraan melebihi
yang ditentukan (over load). lebihnya beban sumbu roda kendaraan
tersebut diduga adanya suatu kecenderungan perubahan dimensi dan
B10
Proposal Teknis
tenaga kendaraan karena teknologi yang maju atau perhitungan untuk
mendapatkan faktor perusak jalan akibat beban lalu lintas yang kurang
akurat.
Data beban lalu lintas merupakan salah satu parameter terpenting
dalam perencanaan struktur perkerasan jalan, beban tersebut
merupakan akumulasi beban kendaraan yang melintas. setiap jenis
kendaraan memiliki karakteristik bobot total maupun distribusinya
pada tiap sumbunya yang sekalipun jenis kendaraannya sama tetapi
dapat berbeda nilainya tergantung dari karakteristik ruas jalannya,
untuk itu perlunya mengetahui faktor perusak setiap jenis kendaraan
dimasing-masing lokasi pembangunan jalan.
Pengklasifikasian jenis kendaraan dalam analisis perhitungan beban
lalu lintas akan sejajar dengan pencacahan arus lalu lintas.
Nilai atau besarnya perusakan jalan ditentukan berdasarkan berat
sumbu (P) dan jenis sumbu (konfigurasi sumbu). Salah satu teknik
dalam menghitung daya rusak adalah dengan menggunakan
persamaan Liddle. Persamaan ini berlaku untuk 3 konfigurasi sumbu
kendaraan yaitu sumbu tunggal, sumbu tandem, dan sumbu triple.
Tabel 2-2. Perhitungan Faktor Perusakan Jalan
per Sumbu Kendaraan
No Jenis Sumbu VDF PMax Satuan
1 Sumbu Tunggal
[P/8.16]4 8.0 atau 10.0 ton
ESA 8.16 ton
2 Sumbu Tandem
0.0S6[P/8.16]4
15.0 atau 18.0 ton
ESA 8.16 ton
3 Sumbu Triple0.053[P/8.16]4
20.0 atau 21.0 ton
ESA 8.16 ton
Pengumpulan data beban lalu lintas dilakukan untuk mendapatkan
data berat sumbu dan konfigurasi sumbu untuk masing-masing jenis
kendaraan sekaligus, alat yang digunakan adalah Weight in Motion
(WIM). WIM adalah suatu alat yang dapat mendeteksi berat dan
konfigurasi sumbu kendaraan secara otomatis dalam keadaan
bergerak sehingga proses penimbangan tidak mengganggu lalu !intas.
B11
Proposal Teknis
Data yang diukur antara lain adalah waktu kedatangan, jenis
kendaraan, kecepatan, panjang kendaraan, konfigurasi berat dan jarak
sumbu kendaraan.
Untuk "maksud seperti diuraikan tersebut" di atas, maka alur
penggunaan data dari aspek karakteristik lalu lintas dan
pendukungnya dalam perencanaan jaringan dan konstruksi jalan
seperti yang diilustrasikan pada bagan alir pendekatan sebagai berikut
:
Gambar 2-3. Pendekatan Aspek Lalu Lintas
B12
Proposal Teknis
2.3 Survey TeknikKetentuan mengenai survey teknik jalan/jembatan ini diambil dari
buku petunjuk teknik survey dan perencanaan teknik jalan dan
jembatan dari Direktorat Jenderal Bina Marga.
2.4 Survey TopografiSurvey pengukuran topografi dilakukan sepanjang jalan trase rencana.
jalan perpotongan-perpotongan atau persimpangan-persimpangan
yang ada, daerah-daerah sekitar trase rencana jalan yang diperlukan
untuk rencana detail yang meliputi antara lain : lebar Daerah Milik
Jalan (DAMIJA) rencana, meliputi daerah kanan dan kiri sumbu jalan
selebar kurang lebih 75 m, survey ini meliputi pekerjaan-pekerjaan
sebagai berikut :
1. Pengukuran Titik Kontrol Horizontal.
2. Pengukuran Titik Kontrol Vertikal.
3. Pengukuran Situasi.
4. Pengukuran Profil Memanjang.
5. Pengukuran Profil Melintang.
6. Pemasangan Patok-patok titik ikat dengan tanda.
7. Perhitungan dan Penggambaran peta Topografi.
8. Pengukuran Khusus.
9. Pekerjaan digitasi dan computer.
2.4.1 Pengukuran Titik-titik Kontrol Horizontal1. Pengukuran ini berupa rangkaian poligon dengan jarak titik
polygon tidak lebih dari 100 m.
2. Titik-titik poligon ini dibuat sedapat mungkin seejajar dengan
sumbu jalan yang direncanakan.
3. Pengukuran jarak sisi poligon dikerjakan dengan alat ukur
yang memenuhi syarat (elektrolis/optis).
4. Pengukuran sudut dilakukan dengan alat ukur sudut
ketelitian bacaan 1 detik (Theodolite T-2).
5. Pengukuran poligon ini harus diikatkan pada titik tetap yang
sudah diketahui koordinatnya atau koordinat local.
6. Pengukuran poligon yang dikerjakan harus memenuhi syarat-
syarat ketelitian pengukuran poligon orde ke II yaitu :
B13
Proposal Teknis
a. kesalahan sudut 10 detik n, n = jumlah titik polygon.
b. kesalahan Azimuth pengontrol tidak lebih 5 detik.
c. Pada jarak ± 5 – 6 km poligon utama harus dilakukan
azimuth pengontrol dengan pengamatan azimuth
matahari.
d. kesalahan-kesalahan penutup jarak setelah azimuth
dikoreksi tidak lebih dari 1/10.000 dari jarak yang diukur.
7. Khusus untuk daerah persilangan jalan dengan sungai, perlu
penambahan 4 (empat) titik ikat yang diikatkan pada titik
poligon utama.
2.4.2 Pengukuran Titik-titik Kontrol Vertikal1. Pengukuran beda tinggi harus dilakukan dengan pergi
pulang.
2. Titik-titik tinggi dibuat setiap jarak 100 m, dan tiap jarak 500
m dibuat patok permanen. Titik-titik tinggi tersebut harus
diikatkan dengan titik tinggi yang ada secara sempurna (titik
awal dan titik akhir harus diikatkan dengan tinggi yang ada).
Kalau tidak ada titik tinggi di sekitarnya, pengukuran harus
dilakukan dengan cara tertutup.
3. Ketinggian titik tiggi geodesi dapat digunakan sebagai
ketinggian permulaan.
4. Kesalahan menengah dari sifat datar yeng diperoleh tidak
boleh lebih besar dari 4 JD mm - 6 JD mm, dimana D (km)
adalah panjang satu seksi sifat datar.
2.4.3 Pengukuran Situasi1. Pengukuran situasi harus dilakukan secara cermat, semua
dilapangan yang permanen harus diukur misalnya : jalan
raya, jalan kampung, bangunan-bangunan gedung, rumah-
rumah permanen, pinggir bahu jalan, pinggir selokan, letak
gorong-gorong serta dimensinya, tiang-tiang listrik, tiang
telepon, serta bangunan - bangunan lain yang dianggap
permanen. Pengukuran dapat dilakukan dengan cara
Tachimetry.
B14
Proposal Teknis
2. Patok-patok Km dan Hm jika ada, serta patok-patok tanda-
tanda permanen lainnya yang ada di tepi jalan harus diambil
dan dihitung koordinatnya (tujuan adalah untuk
memperbanyak titik-titik referensi sehingga memudahkan
penemuan kembali jalan yang direncanakan). Untuk daerah
penyeberangan sungai/jembatan, daerah lingkup pengukuran
harus lebih luas dan dicantumkan di dalam pengukuran ini
data-data mengenai :
a. tingsi muka air normal
b. tinggi muka air terendah
3. Pengukuran Situasi ini meliputi :
a. Pengukuran kedudukan horizontal titik-titik detail
b. Pengukuran kedudukan vertikal titik-titik detail
c. Untuk itu pengukuran dapat dilakukan dengan cara
Tachimetry
d. Ketelitian alat yang digunakan adalah 10"
e. Pengukuran situasi dilakukan pada penampang melintang
f. Pengukuran situasi daerah sepanjang rencana jalan harus
mencakup semua keterangan yang ada di daerah
sepanjang rencana jalan tersebut
g. Pada awal proyek dilakukan pengukuran situasi
kebelakang arah pengukuran sepanjang 50 m
h. Pada akhir proyek dilakukan pengukuran situasi
sekitarnya yang meliputi geometrik jalan yang sudah ada
i. Lebar pengukuran 75 m ke kiri/kanan atau perpotongan
dengan jalan lain pengukuran harus diperluas (lihat
pengukuran khusus).
2.4.4 Pengukuran Profil Memanjang1. Pengukuran profil memanjang diambil pada sumbu dari
lintasan yang diusulkan dengan melihat daerah perubahan
turunan dan tanjakan jalan tersebut.
B15
Proposal Teknis
2. Titik profil diambil 25 meter, titik tersebut supaya diberi
tanda patok di lapangan.
3. Untuk profil memanjang ini, peralatan yang dipergunakan
adalah alat ukur sudut satu detik (NI.2 atau yang sederajat).
2.4.5 Pengukuran Profil Melintang1. Pengukuran profil melintang diambil setiap 50 meter pada
daerah datar/landai dan 25 meter pada daerah tikungan
dengan lebar profil melintang selebar dengan jalur-jalur yang
dipetakan.
2. Peralatan yang digunakan untuk pengukuran penampang
melintang ini adalah alat ukur sudut satu datik (T2 atau yang
sederajat)
3. Titik-titik yang perlu diperhatikan juga adalah tepi
perkerasan, dasar dan permukaan selokan.
4. Lebar penampang pengukuran melintang adalah 75 meter ke
kiri dan 75 meter ke Kanan as jalan.
5. Pada daerah yang menikung, dari as jalan ke arah luar 50
meter dan ke arah dalam 100 meter.
6. Khusus untuk perpotongan dengan sungai dilakukan dengan
ketentuan khusus (lihat pengukuran khusus).
7. Peralatan yang digunakan untuk pengukuran melintang sama
dengan yang digunakan untuk pengukuran situasi (T0).
2.4.6 Pemasangan Patok-Patok, Titik Ikat dan Tanda-Tanda1. Patok untuk profit memanjang dan melintang dibuat dari
kayu dengan ukuran 5x7x60 cm. Patok tersebut harus
ditanam sedemikian rupa sehingga tidak mudah dicabut
maupun diganggu orang.
2. Patok tanda beton (BM) dibuat dari beton dengan ukuran
15x15x75 cm. Patok tersebut harus ditanam sedemikian rupa
sehingga yang muncul di atas tanah ± 20 cm.
3. Patok-patok beton maupun kayu harus dicat kuning dengan
tulisan merah dengan tanda BM dan nomor urut.
B16
Proposal Teknis
4. Untuk memudahkan kembali dibuat deskripsi BM yang
dilengkapi sketsa lokasi dan photo.
5. Khusus untuk titik-titik yang terletak pada jalan lama, diberi
paku dengan dilingkari cat kuning sebagai tanda.
6. Khusus untuk daerah persimpangan jalan, sungai dan kereta
api, dipasang minimal 2 buah patok beton seperti patok
poligon.
2.4.7 Penghitungan dan Penggambaran1. Titik-titik polygon utama harus di hitung koordinatnya
berdasarkan titik-titik ikat yang dipergunakan. Sedangkan
perhitungannya harus berdasarkan pada Metode Hitungan
Perataan.
2. Penggambaran titik-titik poligon harus berdasarkan
perhitungan koordinat dan tidak dipergunakan sama sekali
secara grafis.
3. Gambar ukur berupa gambar situasi harus digambar pada
kertas milimeter dengan skala 1 : 1000.
4. Garis kontur dapat diperlihatkan dengan interval 1 m dan
elevasi dapat dicantumkan dalam peta. Tiap kontur 5
meteran ditebalkan.
5. Semua detail yang diperlukan sebagai keterangan dalam
merencanakan jalan baru, harus dicantumkan dalam gambar
tersebut, termasuk titik-titik lengkap dengan ketinggiannya.
6. Penampang memanjang dibuat dengan skala 1: 1000
horizontal dan skala 1:100 vertikal dan digambar di atas
kertas standard.
7. Penampang melintang dibuat dengan skala 1:100 horizontal
dan skala 1:100 vertikal dan digambar dengan kertas
milimeter mencantumkan semua keterangan yang penting.
8. Khusus daerah sungai, tempat persimpangan jalan, dihuat
juga penampang melintang sungai yang sejajar dengan
sumbu lintasan jalan, untuk setiap jarak 25 meter, serta
dibuat sampai selebar daerah situasi. Keterangan yang harus
dicantumkan dalam gambar ini.
B17
Proposal Teknis
9. Buku ukur, hasil perhitungan koordinat poligon, katinggian,
harus dilampirkan pada penyerahan hasil pekerjaan.
2.4.8 Pengukuran KhususPengukuran khusus disekitar perpotongan sungai :
50 meter sebelum dan sesudah perpotongan dengan sungai
dibuat potongan melintang jalan dengan interval 25 m.
100 meter ke arah hulu dan hilir sungai dari as jalan dibuat
potongan melintang sungai dengan interval 25 m.
Pengukuran Khusus di sekitar persimpangan jalan :
Daerah pengukuran adalah didaerah persimpangan jalan sejauh
75 m kiri-kanan jalan yang akan direncanakan.
Pengukuran titik-titik kontrol horizontal berupa polygon
tertutup/ terbuka yang terikat sempurna.
Pengukuran titik kontrol vertikal dilakukan dengan waterpass.
Pengukuran penampang memanjang dilakukan pada sumbu
jalan.
Pengukuran melintang dibuat sepanjang 75 m ke arah kiri-kanan
jalan untuk setiap interval perubahan tanah yang ditentukan
pada skala yang diperlukan.
Pengukuran situasi dilakukan dengan lengkap terutama
bangunan-bangunan permanen yang ada di sekitar
persimpangan.
B18
Proposal Teknis
B19
Proposal Teknis
2.5 Survey HidrologiPengumpulan data curah hujan dilakukan berdasarkan data sekunder
(Survey Instansional). Data curah hujan tersebut dikumpulkan
berdasarkan daerah aliran (catchmen area) sesuai peta topografis,
geologis untuk kedua ruas jalan yang ditinjau. Analisa hidrologi
bertujuan untuk penetuan bangunan darinase.
Kegiatan-kegiatan yang diperlukan pada umumnya meliputi :
Menganalisa pola aliran dan jenis permukaan pada trase jalan
dan rencana pelebaran jembatan.
Mengambil data curah hujan dan banjir tahunan dari sumber-
sumber yang bersangkutan dan menentukan hujan rencana
yang selanjutnya dapat dipakai untuk menentukan banjir
rencana dengan metoda-metoda yang diperlukan.
Dari data laporan dan hasil perhitungan tersebut di atas, selanjutnya
menentukan jenis dan dimensi bangunan drainase yang diperlukan,
seperti jenis saluran samping dan dimensinya, jenis dan dimensi
gorong-gorong.
B20
Proposal Teknis
BAGAN ALIR ANALISIS HIDROLOGI & HIDROLIKAPERENCANAAN DRAINASE PERMUKAAN
Mulai
Surv ey & Pengukuran
Koefisien pengaliran Beda tinggi, Panjang pengaliran, Kemiringan Catchment area
Waktu konsentrasi Curah hujan
Intensitas hujan
Debit rencana max
Coba penampang basah Luas penampang basah Bentuk & ty pe saluran Keliling penampang basah
KoefisienRadius hidrolik Kemiringan dasar sal. kekasaran
Kecepatan pengaliran
Tidak
Ya
Selesai
Kapasitas saluran Q
B21
Proposal Teknis
2.6 Survey Lalu Lintas
2.6.1 Survey Volume KendaraanSurvey volume kendaraan dilakukan didua tempat yaitu :
1. Ruas jalan
2. Persimpangan
Seluruh jenis kendaraan yang lewat baik dari arah depan maupun dari
arah belakang harus dicatat.
Setiap lajur minimal 2 orang dengan peralatan yang digunakan 1
orang 1 counter serta format survey yang telah ditentukan.
A. Pos-Pos Perhitungan Lalu Lintas Yang Terbagi Dalam
Beberapa Tipe Pos :
a. Pos Kelas A : yaitu pos perhitungan lalu lintas yang terletak pada
ruas jalan dengan jumlah lalu lintas yang tinggi dan mempunyai
LHR ≥ 10.000 kendaraan.
b. Pos Kelas B : yaitu pos perhitungan lalu lintas yang terletak pada
ruas jalan dengan jumlah lalu lintas yang sedang dan
mempunyai 5.000 <LHR< 10.000 kendaraan.
c. Pos Kelas C : yaitu pos perhitungan lalu lintas yang terletak pada
ruas jalan dengan jumlah lalu lintas yang rendah dan
mempunyai LHR ≤ 5.000 kendaraan.
B. Pemilihan Lokasi Pos
a. Lokasi pos harus mewakili jumlah lalu lintas harian rata-rata dari
ruas jalan tidak terpengaruh oleh angkutan ulang alik yang tidak
mewakili ruas (commuter traffic).
b. Lokasi pos harus mempunyai jarak pandang yang cukup baik
untuk kedua arah, sehingga memungkinkan pencatatan
kendaraan dengan mudah dan jelas.
c. Lokasi pos tidak dapat ditempatkan pada persilangan jalan.
C. Tanda Pengenal Pos
B22
Proposal Teknis
a. Setiap pos perhitungan lalu lintas rutin mempunyai nomor
pengenal, terdiri dan satu huruf besar dan diikuti oleh tiga digit
angka. Huruf besar A, B, dan C memberikan identitas mengenai
tipe kelas pos perhitungan.
b. Tiga digit angka berikutnya identik dengan nomor ruas jalan
dimana pos-pos tersebut terletak.
c. Apabila pada suatu ruas jalan mempunyai pos perhitungan lebih
dari satu, maka kode untuk pos kedua, digit pertama diganti
dengan 4 dan seterusnya. Urutan pos hendaknya dimulai dari
kilometer kecil kearah kilometer besar pada ruas jalan tersebut.
D. Periode Perhitungan
a. Pos Kelas A : Untuk Pos Kelas A perhitungan dilakukan dengan
periode 40 jam selama 2 hari, mulai pukul 06.00 pagi pada hari
pertama dan berakhir 22.00 pada hari kedua. Pembina jalan
akan menginformasikan jadual perhitungan pada awal tahun
anggaran. Apabila ada perubahan jadual, waktu survey akan
ditentukan lebih lanjut oleh pembina jalan yang bersangkutan.
b. Pos Kelas B : Untuk pos kelas B, pelaksanaan perhitungan
seperti pada pos kelas A. Pelaksanaan perhitungan pada pos-pos
kelas B sesuai jadual yang telah ditentukan.
c. Pos Kelas C : Perhitungan dilakukan dengan periode 16 jam
mulai pukul 06.00 pagi dan berakhir pada pukul 22.00 pada hari
yang sama yang ditetapkan untuk pelaksanaan perhitungan.
a. Pengelompokan Kendaraan (RTC-Manual)
Dalam perhitungan jumlah lalu lintas, kendaraan dibagi
kedalam 8 kelompok mencakup kendaraan bermotor
dan kendaraan tidak bermotor.
Golongan/ Jenis Kendaraan yang masuk kelompok ini
adalah
B23
Proposal Teknis
Kelompok
1 Sepeda motor, sekuter, sepeda kumbang dan kendaraan bermotor roda 3
2 Sedan, Jeep, dan Station Wagon.3 Opelet, Pick-up opelet, Suburban, Combi, Minibus4 Pick-up, Micro Truck dan Mobil hantaran atau
Pick-up Box5a Bus Kecil5b Bus Besar6 Truk 2 sumbu7a Truk 3 sumbu7b Truk Gandengan7c Truk Semi Trailer8 Kendaraan tidak bermotor, sepeda, becak,
andong/ dokar, gerobak sapi
2.6.2 Survey Beban Gandar KendaraanSetiap masa minimal harus dilakukan survey beban gandar kendaraan
pada satu titik lokasi pada salah satu pos pengamatan volume lalu
lintas.
B24
Proposal Teknis
B25
Proposal Teknis
2.7 Survey Penyelidikan Tanah dan Material
2.7.1 Pendekatan Lapangan untuk Jembatan (bila ada)A. Penyelidikan Tanah untuk Jembatan
Mengadakan peninjauan kembali terhadap semua data-
data tanah dan material, selanjutnya mengadakan
penyelidikan tanah dan material sepanjang proyek
jembatan tersebut, yang akan dilakukan berdasarkan
survey langsung di lapangan maupun dengan
pemeriksaan di laboratorium.
Pada lokasi-Iokasi dari rencana pondasi jembatan dan
bangunan lain yang berdasarkan besar diadakan
penyelidikan kondisi dari sub-surfacenya.
Menyelidiki lokasi sumber material yang ada di sekitar
lokasi proyek beserta perkiraan jumlahnya untuk
pekerjaan-pekerjaan struktur jembatan dan bangunan
pelengkap lainnya termasuk pembuatan jalan pendekat /
oprit, semua harus dibuat petanya.
B. Pemboran dan Pengambilan Sampel dimaksudkan untuk
mendapatkan informasi lebih teliti yaitu :
- Jenis Tanah
- Struktur Lapisan Tanah
- Index dan Engineering Properties Sub Surface
Pemboran harus dilakukan sampai kedalaman yang
ditentukan atau setelah didapat informasi yang cukup
mengenai letak lapisan tanah keras, jenis batuan dan
tebalnya. Jika sebelum mencapai kedalam yang ditentukan
telah ditemukan lapisan tanah keras/batu, pemboran harus
diteruskan menembus lapisan keras tersebut sedalam
kurang lebih 3 meter, tergantung jenis batuannya dan beban
bangunan sub strukturnya.
Cara klarifikasi jenis tanah hendaknya dilakukan menurut
ASTM/ AASHTO atau Manual Pemeriksaaan Bahan Jalan
B26
Proposal Teknis
(MPBJ). Pada tiap lubang bor yang dikerjakan harus dilakukan
pencatatan : lokasi, elevasi permukaan pemboran, tanggal
dimulainya pemboran, tanggal selesai dan alat yang
digunakan.
C. Tes Sondir
1. Pemboran dilakukan dengan alat test sondir, yaitu test
yang dilakukan untuk menilai daya dukung tanah, daya
hambatan lekat, dan perkiraan lokasi adanya tanah keras.
2. Alat sondir yang dipakai boleh dari tipe lain selain tipe
ganda yaitu tipe Dutch Cone Penetrometer, asalkan masih
menggunakan metrik sistem dan dalam penelitian yang
sama. Alat tersebut harus dilengkapi dengan friction jack
cone kapasitas minimum 2 ton (pembacaan conus 250 kg/
cm2).
3. Pembacaan harga tegangan conus dan geser dilakukan
pada setiap interval kedalaman 20 cm.
4. Jika dipakai alat sondir dengan kapasitas 2 ton,
penyondiran harus dikerjakan sampai mencapai lapisan
tanah dengan tegangan conus yang lebih besar dari 200
kg/cm2.
5. Hasil Penyondiran dibuat dalam diagram sondir yang
memperlihatkan harga tegangan conus, serta jumlah
hambatan pelekat pada berbagai keadaan lapisan tanah.
D. Bor Mesin
1. Boring harus dikerjakan dengan alat bor yang digerakkan
dengan mesin yang mampu mencapai kedalaman yang
ditentukan. Mata bor harus mempunyai diameter besar
sehingga undisturb sample yang diinginkan didapat
dengan baik, dengan core 54,70 mm. Untuk tanah clay,
silt atau tanah lainnya yang tidak terlalu padat, dapat
dipakai steelbit sebagai mata bor, bor intan (diamond bit)
atau mata bor tungten sehingga dapat diambil undisturb
samplenya dari lapisan tanah tersebut.
B27
Proposal Teknis
2. Pada setiap interval kedalaman 3,0 meter harus dilakukan
Standard Penetration Test (SPT) dan contoh tanahnya
(tidak perlu undisturbed) disimpan dalam tempat yang
dapat menjaga kadar air aslinya. Standard Penetration
Test dilakukan sesuai ketentuan sebagai berikut :
- Berat Palu = 63,50 K
- Tinggi jatuh = 75, 00 Cm
Pengujian dilakukan hingga alat masuk 30 cm ke dalam
tanah yang jumlah pukulannya mencapai 50 kali/30 cm.
Pelaksanaan dilakukan N/15, N/15, N/15 nilai yang
diperhitungkan adalah dua kali nilai pengujian terakhir.
Contoh tanah tersebut diperlukan untuk menyusun
lithologie description lapisan tanah.
3. Pada setiap kedalaman yang ditentukan bila tidak
ditentukan lain, maka rata-rata kedalaman diambil
undisturbed sample untuk test di laboratorium guna
mendapatkan harga index dan engineering properties
lapisan tanah. Undisturb Sample harus dengan cara
sebagai berikut :
- Tabung Sampel (yang terbuat dari baja tipis tetapi
keras dan berbentuk silinder dengan rata-rata 7,0 cm,
panjang minimal 50 cm) dimasukkan ke dalam tanah
pada kedalaman dimana undisturb sample akan
diambil kemudian ditekan perlahan-Iahan sehingga
tabung tersebut dapat penuh terisi tanah.
- Tanah tersebut harus tetap berada dalam tabung
sampel sampai saatnya untuk dites di laboratorium.
Tabung yang berisi tanah tersebut harus segera
ditutup dengan parafin setelah dikeluarkan dari dalam
lubang bor.
4. Sabagai hasil borring, harus dibuat bor-Iog yang paling
sedikit dilengkapi dengan lithologi (geological description)
harga SPT, letak muka air tanah dan sebagainya beserta
letak kedalaman lapisan tanah yang bersangkutan.
B28
Proposal Teknis
5. Penamaan dari masing-masing tanah harus dilakukan
pada saat itu juga sesuai dengan kedalaman maupun
sifat-sifat tanah tersebut yang dapat dilihat secara visual.
6. Apabila tanah yang dibor dalam hal ini cenderung untuk
mudah runtuh, maka persiapan untuk itu (casing) harus
segera dilakukan.
7. Pekerjaan pengambilan tanah dimaksudkan sebagai
pekerjaan pengambilan tanah dengan tujuan penyelidikan
lebih lanjut di laboratarium.
8. Tes-tes di atas hendaknya dikerjakan berdasarkan
spesifikasi ASTM/ AASHTO.
9. Ketentuan lain :
- Penyelidikan tanah dengan mem-bor, lubang bor harus
diatur sedemikian rupa sehingga dapat memberikan
data maksimal pada tanah dasar penampang sungai.
- Sebagai hasil penelitian lapangan yang memerlukan
pemboran, letak lubang bor, jumlah dan
kedalamannya harus sesuai dengan keperluannya.
- Yang dimaksud dengan 1 (satu) pasang lubang bor
adalah terdiri dari 1 sondir dan 1 lubang.
- Lokasi titik bor diusahakan sedekat mungkin dengan
lokasi titik sondir.
10.Jumlah titik penyelidikan sondir dan Bor Mesin. untuk
setiap jembatan dilakukan 2 pasang lubang bor, masing-
masing pada kedua tepi abutment.
C. Material Konstruksi
1. Borrow Area
Penyelidikan lapangan yang dilakukan pada daerah
borrow area berupa tes pits, bertujuan untuk
mengetahui lebih jelas mengenai jenis, sifat dan
ketebalan lapisan tanah yang dapat digunakan sebagai
material timbunan. Ketentuan pelaksanaan pekerjaan
tes pits adalah sebagai berikut :
B29
Proposal Teknis
- Ukuran tes pits adalah 1.00 - 1,60 m2 dengan
kedalaman maksimum 3.00 meter.
- Penamaan dan deskripsi masing-masing jenis tanah,
warna dan tebalnya sesuai dengan kedalamannya
dilakukan pada pelaksanaan pekerjaan test pits.
- Dilakukan pengambilan contoh tanah tidak terganggu
(undisturbed sample) dan contoh tanah terganggu
(disturbed sample).
2. Quarry
Pada setiap daerah yang diperhitungkan dapat berfungsi
sebagai sumber quarry, perlu dianalisa dan di-plot pada
peta Geologi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :
- Jenis Quarry
- Perkiraan volume yang dapat dieksploitasi
- Lokasi/jarak dari rencana jalan
- Kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul dalam
eksploitasi, dsb.
Untuk bahan berbutir kasar akan dilakukan pengambilan
contoh sirtu di daerah penggalian atau penambangan
batu yang ada di sekitar proyek yang kemudian dianalisa
di laboratorium.
D. Pengambilan Contoh Tanah
Pengambilan contoh tanah bertujuan untuk lebih lanjut di
laboratorium. Sesuai tujuan dan kegunaannya pengambilan
contoh tanah dibagi menjadi 2 (dua) kelompok sebagai
berikut :
1. Pengambilan contoh tanah tidak terganggu (Undisturbed
Sample). Pengambilan contoh ini dilaksanakan dengan
ketentuan sebagai berikut :
- Pengambilan contoh tanah tidak terganggu dilakukan
pada pemboran inti dan tes pits dengan
B30
Proposal Teknis
menggunakan tabung contoh (tube sample) yang
dibuat dari baja tipis berbentuk silinder dengan Ø
rata-rata 7,00 cm, panjang minimal 50 cm.
2. Pengambilan contoh tanah terganggu ( Disturb Sample)
dilakukan pada setiap tes pits dengan volume/berat ± 30
kg/contoh tanah ini ditempatkan pada karung plastik
yang cukup kuat, diberi label yang mencantumkan No.
Tes pits, lokasi, kedalaman, tanggal pengambilan contoh
tanah dan Jamnya.
2.7.2 Pekerjaan Lapangan untuk Jalana. Pengujian Lapangan
Pengujian lapangan yang dilakukan untuk pekerjaan
perencanaan teknik jalan detail adalah :
a. Peninjauan terhadap peta geologi teknis permukaan.
b. Test pits dilaksanakan keseluruhan ruas :
- Tes Pit dilakukan terutama pada setiap jenis satuan
tanah atau setiap 5 Km yang berbeda dengan
kedalaman 1 - 2 meter.
- Pada setiap tes pit dilakukan pengamatan/deskripsi
struktur dan jenis tanah.
- Lokasi tes pit dipilih sesuai dengan petunjuk
pengguna jasa.
c. Pengujian kekuatan konstruksi perkerasan tidak beraspal
dengan Dynamic Cone Penetrometer (DCP).
Tujuan pengujian dengan alat Dynamic Cone
Penetrometer (DCP) ini adalah untuk mengetahui CBR
tanah dasar. Adapun alat DCP ini terdiri dari Palu
(hammer), Meter pembacaan dan Batang DCP serta
Konus. Nilai DCP adalah perbandingan antara penetrasi
(dalamnya perosokan) dibagi jumlah tumbukan.
Kemudian Nilai DCP tersebut dikorelasikan terhadap CBR
Laboratorium sebagimana ditunjukkan pada Gambar 6 –
3 berikut ini.
B31
Proposal Teknis
Jarak pengujian DCP ini adalah setiap interval 200 meter.
pengujian DCP dilakukan pada bahu (dekat tepi
perkerasan). Adapaun maksud pengujian DCP pada bahu
jalan tersebut adalah disamping untuk mengetahui CBR
tanah dasar bahu jalan bila diperlukan pelebaran lajur
lalu-lintas dan untuk mengetahui jenis lapisan kontruksi
perkerasan beraspal untuk keperluan perencanaan
teknik perkerasan beraspal/peningkatan.
Gambar 2-4. Dynamic Cone Penetrometer
B32
Proposal Teknis
Gambar 2-5. Hubungan Antara Nilai DCP dengan CBR
d. Pemeriksaan Benklement Beam Test (BB-Test)
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui
besarnya nilai lendutan balik dari konstruksi perkerasan
jalan yang beraspal. Pemeriksaan harus dilakukan
dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
- Truk yang dipakai harus dibebani sehingga mencapai
beban gandar belakang sebesar 8,20 ton dengan
tekanan angin ban sebesar 80 psi.
- Pengukuran beban gandar belakang harus dilakukan
dengan menggunakan jembatan timbang atau
dengan alat yang telah terbukti dapat dipakai untuk
pengukuran beban gandar, dan hasil pengukuran
beban gandar harus dicatat dengan jelas pada
formulir pemeriksaan Benklement Beam. (terlampir).
- Alat Benklement Beam yang dipakai harus
mempunyai ukuran yang standar sesuai ketentuan
Direktorat Jenderal Prasarana Wilayah (Bina Marga).
B33
Proposal Teknis
- Alat pembacaan (dial gauge) lendutan harus dalam
kondisi yang baik dan skala ketelitian pembacaan
jarum petunjuk harus jelas.
- Pemeriksaan balik harus dilakukan dengan interval
pemeriksaan setiap 200 meter sepanjang ruas jalan
ber-aspal yang telah dutentukan.
- Selama pemeriksaan, konsultan harus mencatat hal-
hal khusus yang dijumpai seperti kondisi drainase,
nama daerah yang diteliti, cuaca, waktu, peninggian
permukaan jalan.
e. Pengujian kekuatan struktur perkerasan beraspal dengan
Benklement Beam.
Test (BB-Test) atau dengan Falling Weight Deflectometer
(FWD).
Pengujian kekuatan struktur perkerasan beraspal dengan
Falling Weight Deflectometer (FWD).
Prinsip alat FWD adalah dengan memberikan beban
impuls, yaitu dengan menjatuhkan beban sebesar 50 kg -
350 kg dijatuhkan setinggi 50 rom - 390 mm terhadap
struktur perkerasan, melalui plat pembebanan (loading
plate) dengan diameter 300 rom, yang efeknya sama
dengan beban roda kendaraan, yaitu sama dengan
pembebanan 0,7 ton - 12 ton.
Beban impuls ini akan menimbulkan lendutan
(deflection) pada struktur perkerasan, dan efeknya akan.
ditangkap oleh 7 (tujuh) buah alat pencatat (detector)
yang diletakkan pada gelagar dengan jarak tertentu.
Detektor tensebut mencatat lendutan yang nyata yang
terjadi akibat beban impuls, dan terekam dalam Central
Processing Unit (CPU) yang ada di dalam kendaraan.
Selanjutnya melalui Program ELMOD dapat menghitung
modulus (Mr) tiap lapis dari 2, 3, atau 4 sistem lapis
B34
Proposal Teknis
perkerasan berdasarkan data tebal lapis dan profil
lendutan. Gambar alat-alat FWD dan ilustrasi cekung
lendutan ditunjukkan pada Gambar berikut.
Modulus yang dihasilkan adalah mulai dari modulus
tanah dasar, modulus lapis pondsi dan modulus lapisan
beraspal.
Jarak pengujian FWD yang akan dilakukan untuk tujuan
pekerjaan perencanaan teknik jalan ini adalah pada
posisi jejak roda luar dan untuk masing-masing arah
dilakukan setiap interval 100 meter. Titik pengujian FWD
untuk kedua arah dibuat zig-zag sehingga jarak efektif
titik pengujian FWD adalah 50 meter. Pengujian dengan
alat FWD ini bertujuan untuk perencanaan peningkatan
dan ruas jalan yang akan ditingkatkan.
Gambar 2-6. Alat FWD dan Ilustrasi Cekung Lendutan
2.7.3 Pengujian LaboratoriumPengujian laboratorium yang dilakukan terhadap contoh tanah yang
sudah diambil adalah sebagai berikut :
A. Mekanika Tanah
Pengujian laboratorium terhadap contoh tanah adalah untuk
menentukan Index dan Engineering Properties tanah, yaitu
sebagai berikut :
B35
Proposal Teknis
a. Besaran Index dimaksudkan untuk menentukan
klasifikasi, konsistensi dan density tanah. Pengujian Index
meliputi :
- Kadar Air
- Unit Weight
- Specific grafity
- Atterberg Limits
- Grain size analysis
b. Besaran Engineering tanah. Pengujian ini meliputi :
- Triaxial compression test unconsolidate undrained (uu)
- Triaxial compression test consolidated undrained (cu)
- Consolidation test
Test-test tersebut di atas dikerjakan berdasarkan
spesifikasi dari ASTM.
Setelah data dan informasi yang diperlukan diperoleh,
maka dilakukan evaluasi, analisis dan penafsiran untuk
mengetahui apakah kondisi geologi, geohidrologi, dan
kuari yang terdapat di daerah kajian dapat mendukung
kegiatan yang akan dilaksanakan.
Pengambilan contoh tanah dilakukan setiap interval 5 Km
namun apabila ditemukan adanya perubahan-perubahan
lapisan tanah maka contoh tanah akan diambil pada
setiap perubahan lapisan tanah. Jumlah contoh tanah
yang diambil pada setiap titik pengambilan yakni seberat
± 50 kg dan contoh tanah tersebut diperlukan untuk
keperluan percobaan pemadatan dan CBR di
laboratorium. Begitu juga untuk contoh batu dari kuari
diambil sebanyak 50 kg.
B36
Proposal Teknis
B37
Proposal Teknis
2.8 Perencanaan Teknis
2.8.1 Pertimbangan-Pertimbangan Konstruksi dalam DesainDesain akan mempertimbangkan metode-metode konstruksi dan
resiko-resiko yang berkaitan dengan metode dan proses konstruksi
yang akan diterapkan. Faktor-faktor resiko yang menjadi
pertimbangan desainer dalam tim konsultan antara lain : resiko-resiko
terhadap pekerja konstruksi dan langkah-Iangkah untuk mengurangi/
menghilangkan bahaya-bahaya, mengurangi resiko atau menyarankan
langkah-Iangkah kontrol dengan memodifikasi desain dan memberikan
informasi kepada kontraktor utama berkaitan dengan hal-hal tersebut.
Hal-hal yang berkaitan dengan konstruksi yang menjadi pertimbangan
dalam menentukan suatu solusi desain atau proses konstruksi adalah :
Akses/jalan masuk;
Batasan-batasan (bangunan, vegetasi, ROW dan sebagainya);
Proses penggalian dan penimbunan;
Layanan-Iayanan dan utilitas publik (pipa gas, kabel PLN dan
sebagainya);
Ketersediaan dan umur material;
Ukuran dan berat peralatan berat;
Biaya dan perawatan.
2.8.2 Implementasi DesainUntuk implementasi desain sehingga bisa secara efektif diterapkan di
lapangan maka konsultan akan menyiapkan :
Gambar rencana ( ukuran A-1);
Spesifikasi;
Jika dipandang perlu, catatan-catatan berupa petunjuk untuk
mendukung spesifikasi dan membantu memahami desain;
Perhitungan biaya dan volume pelaksanaan fisik pembuatan
jalan;
Ketentuan-ketentuan umum;
Sebagian dari hal-hal yang disebutkan di atas akan masuk ke dalam
Dokumen Kontrak/Tender yang disiapkan oleh Konsultan.
B38
Proposal Teknis
2.8.3 Perencanaan Teknis Pekerjaan Geometrik JalanElemen dalam perencanaan geometric jalan diantaranya adalah
alinyemen horizontal dan alinyemen vertikal.
A. Alinyemen Horizontal
a. Umum
- Alinyemen horizontal terdiri dari bagian lurus dan
bagian lengkung (disebut juga tikungan).
- Perencanaan geometrik pada bagian lengkung
dimaksudkan untuk mengimbangi gaya sentrifugal
yang diterima oleh kendaraan yang berjalan pada
kecepatan VR.
- Untuk keselamatan pemakai jalan, jarak pandang dan
daerah bebas samping jalan harus diperhitungkan.
b. Panjang Bagian Lurus
- Dengan memepertimbangkan faktor keselamatan
pemakai jalan, ditinjau dari segi kelelahan pengemudi,
maka panjang maksimum bagian yang lurus harus
ditempuh dalam waktu tidak lebih dari 2,5 menit
(sesuai VR).
- Panjang bagian lurus dapat ditetapkan dari Tabel
berikut :
-
Tabel 2-3. Panjang Bagian Lurus Maksimum
FungsiPanjang Bagian Lurus Maksimum (m)
Datar Perbukitan Pegunungan
Arteri 3.000 2.500 2.000
Kolektor 2.000 1.750 1.500
c. Tikungan
- Bentuk bagian lengkung dapat berupa :
1. Spiral-Circle-Spiral (SCS);
2. Full Circle (FC); dan
3. Spiral-Spiral (SS).
B39
Proposal Teknis
d. Panjang Bagian Lurus
- Superelevasi
Superelevasi adalah suatu kemiringan melintang di
tikungan yang berfungsi mengimbangi gaya
sentrifugal yang diterima kendaraan pada saat
berjalan melalui tikungan pada kecepatan VR.
Nilai superelevasi maksimum ditetapkan 10%.
- Jari-Jari Tikungan
Jari-jari tikungan minimum (Rmin) ditetapkan sebagai
berikut :
Dengan
Table berikut dapat menetapkan Rmin.
Tabel 2-4. Panjang Jari-Jari Minimum (dibulatkan)
VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Jari- Jari
Minimum,600 370 210 110 80 50 30 15
Rmin (m)
e. Lengkung Peralihan
Lengkung peralihan adalah lengkung yang disisipkan
di antara bagian lurus jalan dan bagian lengkung jalan
berjari-jari tetap R; berfungsi mengantisipasi
perubahan Alinyemen jalan dari bentuk lurus (R tak
terhingga) sampai bagian lengkung jalan berjari-jari
tetap R sehingga gaya sentrifugal yang bekerja pada
kendaraan saat berjalan di tikungan berubah secara
B40
Proposal Teknis
berangsur-angsur baik ketika kendaraan mendekati
tikungan maupun meninggalkan tikungan.
Bentuk lengkung peralihan dapat berupa parabola
atau spiral (clothoid). Dalam metodologi ini digunakan
bentuk spiral.
Panjang lengkung peralihan (Ls), ditetapkan atas
pertimbangan bahwa :
- lama waktu perjalanan di lengkung peralihan perlu
dibatasi untuk menghindarkan kesan perubahan
Alinyemen yang mendadak, ditetapkan 3 detik
(pada kecepatan VR);
- gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan
dapat diantisipasi berangsur-angsur pada lengkung
peralihan dengan aman; dan
- tingkat perubahan kelandaian melintang jalan (rc)
dari bentuk kelandaian normal ke kelandaian
superelevasi penuh tidak boleh melampaui r e-max
yang ditetapkan sebagai berikut :
- untuk VR 70 km/jam, re-max = 0,035 m/m/detik.
- untuk VR 80 km/jam, re-max = 0,025 m/m/detik.
Ls ditentukan dari 3 rumus di bawah ini dan diambil
nilai yang terbesar :
1. Berdasarkan waktu tempuh maksimum di lengkung
peralihan.
Dimana
dimana T = waktu tempuh pada lengkung
peralihan ditetapkan 3 detik.
VR = kecepatan rencana (km/jam)
2. Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal
Dimana e = superelevasi
B41
Proposal Teknis
C = perubahan percepatan, diambil 1-3
m/detik
R = jari-jari busur lingkaran, m
3. Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian
Dengan
Selain menggunakan rumus-rumus (1 s/d 3), untuk
tujuan praktis LS dapat ditetapkan dengan
menggunakan Tabel berikut.
Tabel 2-5. Panjang Lengkung Peralihan (Ls) dan Panjang
Pencapaian Superelevasi (Le) untuk Jalan 1 Jalur – 2 Jalur – 2
Arah
VR Superelevasi, e (%)
2 4 6 8 10
(km/
jam)
L
s
L
e
L
s
L
e
L
s
Le L
s
Le Ls Le
2030405060708090100110120
101515203030354
202530355560657
152020254040455
253035406070808
152025304550556
25304045708090100110
253035406570809
3040505590100110120135
3540506090100110--
40506070120130145--
B42
Proposal Teknis
040
580
055
590
070
095
Lengkung dengan R lebih besar atau sama dengan
yang ditunjukkan pada Tabel berikut, tidak
memerlukan lengkung peralihan.
Tabel 2-6. Jari-jari Tikungan yang Tidak Memerlukan Lengkung
Peralihan
VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Rmin (m) 2500 1500 900 500 350 250 130 60
Jika lengkung peralihan digunakan, posisi lintasan
tikungan bergeser dari bagian jalan yang lurus ke arah
sebelah dalam (lihat Gambar berikut) sebesar p. Nilai p
(m) dihitung berdasarkan rumus berikut :
dengan Ls = panjang lengkung
R = jari-jari lengkung (m)
Gambar 2-7. Pergeseran Lengkung Peralihan
Apabila nilai p kurang dari 0,25 meter, maka lengkung
peralihan tidak diperlukan sehingga tipe tikungan
menjadi FC.
B43
Proposal Teknis
Superelevasi tidak diperlukan apabila nilai R lebih
besar atau sama dengan yang ditunjukkan dalam
Tabel berikut.
Tabel 2-7. Jari-jari yang Dijinkan Tanpa Lengkung Peralihan
Kecepatan rencana R
(km/jam) (km)
60 700
80 1250
100 2000
120 5000
f. Pencapaian Superelevasi
- Superelevasi dicapai secara bertahap dari kemiringan
melintang normal pada bagian jalan yang lurus sampai
ke kemiringan penuh (superelevasi) pada bagian
lengkung.
- Pada tikungan SCS, pencapaian superelevasi dilakukan
secara linear lihat (Gambar 6 – 6), diawali dari bentuk
normal sampai awal lengkung peralihan (TS) pada
bagian lurus jalan, lalu ditunjukkan sampai
superelevasi penuh pada akhir bagian lengkung
peralihan (SC).
- Pada tikungan TC, pencapaian superelevasi dilakukan
secara linear (lihat Gambar 6 – 7), diawali dari bagian
lurus sepanjang 2/3 Ls sampai dengan bagian
lingkaran penuh sepanjang 1/3 bagian panjang Ls.
- Pada tikungan SS, pencapaian superelevasi seluruhnya
dilakukan pada bagian spiral.
B44
Proposal Teknis
Gambar 2-8. Metode Pencapaian Superelevasi pada Tikungan
Tipe SCS
Gambar 2-9. Metode Pancapaian Superelevasi pada Tikungan
Tipe TC
g. Tikungan Gabungan
Ada dua macam tikungan gabungan, sebagai berikut :
B45
Proposal Teknis
- Tikungan gabungan searah, yaitu gabungan dua
atau lebih tikungan dengan arah putaran yang
sama tetapi dengan jari-jari yang berbeda (lihat
Gambar 6 – 8);
- Tikungan gabungan balik arah, yaitu gabungan dua
tikungan dengan arah putaran yang berbeda (lihat
Gambar 6 – 9).
Gambar 2-10. Tikungan Gabungan Searah
Gambar 2-11. Tikungan
Gabungan Balik
Penggunaan tikungan gabungan tergantung
perbandingan R1 dan R2 :
B46
Proposal Teknis
Gambar 2-12. Tikungan Gabungan Searah dengan Sisipan
Bagian Lurus Minimum sepanjang 20 meter.
atau clothoid sepanjang paling tidak 20 meter (lihat Gambar 6 –
10).
Gambar 2-13.Tikungan Gabungan Balik dengan Sisipan Bagian
Lurus Minimum Sepanjang 20 meter.
B47
Proposal Teknis
B. Alinyemen Vertikal
i. Umum
- Alinyemen vertikal terdiri atas bagian landai vertikal
dan bagian lengkung vertikal.
- Ditinjau dari titik awal perencanaan, bagian landai
vertikal dapat berupa landai positif (tanjakan), atau
landai negative (turunan), atau landai nol (datar).
- Bagian lengkung vertikal dapat berupa lengkung
cekung atau lengkung cembung.
ii. Landai Maksimum
- Kelandaian maksimum dimaksudkan untuk
memungkinkan kendaraan bergerak terus tanpa
kehilangan kecepatan yang berarti.
- Kelandaian maksimun didasarkan pada kecepatan truk
yang bermuatan penuh yang mampu bergerak dengan
penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh
kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi
rendah.
- Kelandaian maksimum untuk berbagai VR ditetapkan
dapat dilihat dalam Tabel 2 – 8.
Tabel 2-8. Kelandaian Maksimum yang Dijinkan
VR (km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 <40
Kelandaian
maksimal 3 3 4 5 8 9 10 10
(%)
- Panjang kritis yaitu panjang landai maksimun yang
harus disediakan agar kendaraan dapat
mempertahankan kecepatannya sedemikian sehingga
penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh VR.
Lama perjalanan tersebut ditetapkan tidak lebih dari
satu menit.
- Panjang kritis dapat ditetapkan dari Tabel 2 – 9.
B48
Proposal Teknis
Tabel 2-9 Panjang Kritis (m)
Kecepatan
pada Awal
Tanjakan
(km/jam)
Kelandaian (%)
4 5 6 7 8 9 10
80 630 46
0
360 270 230 230 200
60 320 21
0
160 120 110 90 80
iii. Lengkung Vertikal
Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi
yang mengalami perubahan kelandaian dengan
tujuan :
- mengurangi gonangan akibat perubahan
kelandaian; dan
- menyediakan jarak pandang henti.
Lengkung vertikal dalam metodologi ini ditetapkan
berbentuk parabola sederhana.
- jika jarak pandang henti lebih kecil dari panjang
lengkung vertikal cembung, panjangnya ditetapkan
dengan rumus :
- jika jarak pandang henti lebih besar dari panjang
lengkung vertikal cekung, panjangnya ditetapkan
dengan rumus :
- Panjang minimum lengkung vertikal ditentukan
dengan rumus :
B49
Proposal Teknis
Dengan :
L = panjang lengkung vertical (m),
A = perbedaan grad (m),
S = jarak pandang henti (m),
Y = factor penampilan kenyamanan,
didasarkan pada tinggi objek 10 cm
dan tinggi mata 120 cm.
- Y dipengaruhi oleh jarak pandang di malam hari,
kenyamanan, dan penampilan. Y ditentukan sesuai
Tabel 2 – 10.
Tabel 2-2-10 Penetuan Faktor Penampilan Kenyamanan, Y
Kecepatan Rencana Faktor Penampilan Kenyamanan, Y
Ckm/jam)
< 40 1,5
40 - 60 3
> 60 8
- Panjang lengkung vertikal bisa ditentukan langsung
sesuai Tabel 2 – 11, yang didasarkan pada
penampilan, kenyamanan, dan jarak pandang.
Untuk jelasnya lihat Gambar 6 – 12 dan Gambar 6 –
13.
Tabel 2-11 Panjang Minimum Lengkung Vertikal
Kecepatan Rencana Perbedaan Panjang
Lengkung Kelandaian
(km/jam) Memanjang (%) (m)
< 40 1 20 - 30
40 - 60 0,6 40 - 80
> 60 0,4 80 - 150
B50
Proposal Teknis
Gambar 2-14. Lengkung Vertikal Cembung
Gambar 2-15. Lengkung Vertikal Cekung
iv. Lajur Pendakian
Lajur pendakian dimaksudkan untuk menampung truk-
truk bermuatan berat atau kendaraan lain yang
berjalan lebih lambat dari kendaraan lain pada
umumnya, agar kendaraan lain dapat mendahului
kendaraan lambat tersebut tanpa harus berpindah lajur
atau menggunakan lajur arah berlawanan.
B51
Proposal Teknis
Lajur pendakian harus disediakan pada ruas jalan yang
mempunyai kelandaian yang besar, menerus, dan
volume lalu lintasnya relatif padat.
Penempatan lajur pendakian harus dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut :
- disediakan pada jalan arteri atau kolektor,
- apabila panjang kritis terlampaui, jalan memiliki
VLHR > 15.000 smp/hari, dan persentase truk >
15%.
Lebar lajur pendakian sarna
dengan lebar lajur rencana.
Lajur pendakian dimulai 30 meter
dari awal perubahan kelandaian dengan serongan
sepanjang 45 meter dan berakhir 50 meter sesudah
puncak kelandaian dengan serongan sepanjang 45
meter (lihat Gambar 6 – 14).
Jarak minimum antara 2 lajur pendakian adalah 1,5 km
(lihat Gambar 6 – 15).
Gambar 2-16. Lajur Pendakian Tipikal
B52
Proposal Teknis
Gambar 2-17. Jarak Antara Dua Lajur Pendakian
v. Koordinasi Alinyemen
Alinyemen vertikal, Alinyemen horizontal, dan
potongan melintang jalan adalah elemen-elemen jalan
sebagai keluaran perencanaan harus dikoordinasikan
sedemikian rupa, sehingga menghasilkan suatu bentuk
jalan yang baik dalam arti memudahkan pengemudi
mengemudikan kendaraannya dengan aman dan
nyaman. Bentuk kesatuan ketiga elemen jalan tersebut
diharapkan dapat memberikan kesan atau petunjuk
kepada pengemudi akan bentuk jalan yang akan dilalui
di depannya sehingga pengemudi dapat melakukan
antisipasi lebih awal.
Koordinasi Alinyemen vertikal dan Alinyemen
horizontal harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :
- Alinyemen horizontal sebaiknya berimpit dengan
Alinyemen vertikal, dan secara ideal Alinyemen
horizontal lebih panjang sedikit melingkupi
Alinyemen vertical;
B53
Proposal Teknis
- Tikungan yang tajam pada bagian bawah lengkung
vertikal cekung atau pada bagian atas lengkung
vertikal cembung harus dihindarkan;
- Lengkung vertikal cekung pada kelandaian jalan
yang lurus dan panjang harus dihindarkan;
- Dua atau lebih lengkung vertikal dalam satu
lengkung horizontal harus dihindarkan; dan
- Tikungan yang tajam di antara 2 bagian jalan yang
lurus dan panjang harus dihindarkan.
Sebagai ilustrasi, Gambar 6 – 16 s/d Gambar 6 – 18
menampilkan contoh-contoh koordinasi Alinyemen yang
ideal dan yang harus dihindarkan.
Gambar 2-18. Koordinasi yang ideal antara Alinyemen
Horizontal dan Alinyemen Vertikal yang berimpit
B54
Proposal Teknis
Gambar 2-19. Koordinasi yang harus dihindarkan, dimana
Alinyemen Vertikal menghalangi pandangan pengemudi pada
saat mulai memasuki tikungan pertama
Gambar 2-20. Koordinasi yang harus dihindarkan, dimana pada
bagian yang lurus pandangan pengemudi sulit memperkirakan
arah Alinyemen di balik puncak tersebut
B55
PERENCANAAN GEOMETRIK
FISIK DAN TOPOGRAPHY
Fisik dan Topography
Fisik Topography
- Jenis tanah dasar : - Tipe daerah y ang dilalui :(Keras - Lunak) (Pemukiman, pertanian,
industri)- Keadaan M.A.T. :
(Tinggi - Rendah) - Jenis medan :Datar
- Keadaan curah hujan : Perbukitan(Tinggi - Rendah) Pegunungan
Proposal Teknis
B56
Proposal Teknis
PERENCANAAN GEOMETRIK
KLASIFIKASI JALAN
Klasifikasi Jalan
Fungsi Volume & sifat lalu lintas Adm. pemilikan Konstruksi
Bina Marga : Kelas I Jalan Negara Jalan Lentur Jalan Utama (I) Kelas IIA Jalan Propinsi Jalan Kaku Jalan Sekunder (II) Kelas IIB Jalan Kabupaten Jalan Penghubung (III) Kelas IIC Jalan Kotamady a
Kelas III Jalan Desa Urban : Jalan Ekspres Jalan Arteri Jalan Kolektor Jalan Lokal
B57
Proposal Teknis
PERENCANAAN GEOMETRIK
LALU LINTAS
Lalu lintas
Volume lalu lintas Kendaraan rencana Komposisi lalu lintas Proyeksi lalu lintas Kecepatan
- LHRT - Mobil penumpang - SMP - Analisa LL sekarang - Kecepatan rencana- LHR - Bus, truk - Kelompok kendaraan - Analisa perkembangan - Kecepatan jalan- Fluktuasi lalu lintas - Semi trailler, trailler - LL mendatang - Kecapatan relativ e- VJP - Faktor proy eksi- Pembagian jurusan
B58
Proposal Teknis
PERENCANAAN GEOMETRIK
KAPASITAS JALAN
Kapasitas Jalan
Faktor jalan Faktor lalu lintas
1. Lebar jalan2. Kebebasan samping3. Keadaan permukaan jalan4. Lebar dan keadaan bahu5. Letak dan bentuk pertemuan tak sebidang6. Kendaraan komersil (bus dan truk)7. Aliny emen sehubungan jarak pandang dan landai jalan
Formula
Km = Ki x Wc x Tc x Bc x N
A B C D E F
B59
Proposal Teknis
PERENCANAAN GEOMETRIK
KEAMANAN
Keamanan
Manusia Jalan Kendaraan
- Kelelahan - Lebar jalan - Rem- Ketrampilan - Jarak pandang - Day a mesin- Psikis - Aliny emen - Lampu
B60
Proposal Teknis
PERENCANAAN GEOMETRIK
STANDAR PERENCANAANKRITERIA DASAR
Kriteria Dasar
Syarat batas perencanaan Pertimbangan biaya
- Lalu lintas harian rata-rata- Kecepatan rencana- Lebar daerah penguasaan minimum- Lebar perkerasan- Lebar median minimum- Lebar bahu- Lereng melintang perkerasan- Lereng melintang bahu- Jenis lapisan permukaan jalan- Miring tikungan maksimum- Jari-jari lengkung minimum- Landai maksimum
B61
Proposal Teknis
PERENCANAAN GEOMETRIK
JARAK PANDANGAN
Jarak Pandangan
Fungsi Jarak pandang henti Jarak pandang menyiap
- Keamanan pengemudi - Jarak melihat rintangan - Jarak piev- Pedoman penempatan sampai menginjak rem - Jarak pada lajur kanan
tanda dan aturan - Jarak mengerem - Jarak bebaslalu lintas - Jarak berlandai - Jarak kendaraan
- Pengaruh jurusan dan berlaw anantruk - Jarak pandang malam
- Standar perencanaan harialiny emen - Tinggi jarak pandang
- Standar perencanaanaliny emen
B62
Proposal Teknis
PERENCANAAN GEOMETRIK
PENAMPANG MELINTANG
Penampang Melintang
Jalur lalu lintas Median Bahu jalan Drainase
- Lebar lajur - Fungsi median - Fungsi bahu - Kemiringan melintang- Pengaruh lebar lajur - Lebar bahu - Kemiringan memanjang- Lebar rencana - Kemiringan bahu - Selokan tepi
Kebebasan Bagian lain
- Kebebasan horisontal - Talud- Kebebasan v ertikal - Lebar manfaat
- Badan jalan- Daerah pembebasan
B63
Proposal Teknis
PERENCANAAN GEOMETRIK
ALINYEMEN HORIZONTAL
Alinyemen Horizontal
Kemiringan tikungan Lengkung peralihan Super-elevasi Pelebaran tikungan
- Gay a sentrifugal - Bentuk lengkung - As jalan - Lintasan- Koefisien geser - Panjang lengkung - Tepi dalam jalan - Penggeseran- Kemiringan dan koefisien - Tepi luar jalan - Tonjolan depan
geser pada bidang gerak - Pelebaran total
Landai relatif Bentuk lengkung horizontal Pandangan bebas
- Full circle - Jarak pandangan- Spriral - Circle - Spiral - Kebebasan samping- Spiral - Spiral
B64
Proposal Teknis
PERENCANAAN GEOMETRIK
ALINYEMEN VERTIKAL
Alinyemen Vertikal
Biaya Lengkung vertikal (LV) Landai maksimum
- Biay a pembangunan - Aman dan ny aman - Panjang kritis landai- Biay a operasi kendaraan - Drainase baik - Jalur pendakian- Kecelakaan lalu lintas
Bentuk lengkung vertikal Panjang minimum LV
Parabola sederhana - Cembung- Cekung
B65
Proposal Teknis
2.8.4 Perencanaan Teknis Pekerjaan Perkerasan BeraspalPerkerasan lentur yang direncanakan mempunyai umur pelayanan
selama 10 tahun. Perhitungan tebal perkerasan lentur dapat dihitung
dengan beberapa metode, antara lain :
M
etode Bina Marga
M
etode AASHTO
Metode-metode tersebut pada dasarnya mempunyai prinsip yang
sama, yaitu memasukkan pengaruh tegangan (beban lalu-lintas),
kekuatan bahan (modulus tanah dasar, modulus subbase, modulus
base dan modulus lapisan beraspal dan faktor lingkungan (drainase).
Pada metodologi ini disajikan dua metode perhitungan, yaitu metode
perhitungan tebal lapis tambah (overlay) dan perhitungan konstruksi
perkerasan baru. Adapun metoda yang digunakan adalah Metoda Bina
Marga 1989 (SNI 03-1732-1989). Bagan alir perencanaan perkerasan
sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 6 – 19. Sedangkan
struktur perkerasan lentur pada umumnya sebagaimana ditunjukkan
pada Gambar 6 – 20.
B66
Proposal Teknis
BAGAN ALIR PERENCANAAN PERKERASAN LENTUR
( PERKERASAN BARU )
Mulai
Traffic Test CBR
Angka Ekiv alen Koefisien Distribusi LHR pada aw alKendaraan (E) Kendaraan (C) umur rencana
Lintas Ekiv alen Permulaan Lintas Ekiv alen AkhirLEP = LHR x C x E LEA = LHR x (1+i)^UR x C x E
Lintas Ekiv alen TengahLET = (LEP+LEA)/2
Faktor Regional (FR) :- Kelandaian Indeks
Lintas Ekiv alen Rencana Day a Dukung - % kendaraan berat PermukaanLER = LET x UR/10 Tanah (DDT) - Iklim/curah hujan ( IP )
Koefisien Kekuatan Relatif Bahan Indek Tebala1, a2, a3, a4 Perkerasan (ITP)
Tebal PerkerasanD1, D2, D3, D4
Selesai
B67
BAGAN ALIR PERENCANAAN PERKERASAN CARA ANALISA KOMPONEN
( PELAPISAN TAMBAHAN )
Mulai
Traffic Test CBR
Angka Ekivalen Koefisien Distribusi LHR pada awalKendaraan (E) Kendaraan (C) umur rencana
Lintas Ekivalen Permulaan Lintas Ekivalen AkhirLEP = LHR x C x E LEA = LHR x (1+i)^UR x C x E
Lintas Ekivalen TengahLET = (LEP+LEA)/2
Faktor Regional (FR) :- Kelandaian Indeks
Lintas Ekivalen Rencana Daya Dukung - % kendaraan berat PermukaanLER = LET x UR/10 Tanah (DDT) - Iklim/curah hujan ( IP )
Indek TebalTest Pit Perkerasan (ITP)
Koefisien Kekuatan Relatif Bahan Tebal Perkerasana1, a2, a3, a4 D1, D2, D3, D4
Indek Tebal PerkerasanExisting (ITP)e
Indek Tebal PerkerasanPelapisan Tambahan
Tebal PerkerasanPelapisan Tambahan
Selesai
Proposal Teknis
B68
Proposal Teknis
2.8.5 Perencanaan Tebal Lapis Tambah (Overlay)Tebal lapis tambah dihitung dengan menggunakan metoda analisa
komponen Bina Marga (SNI 03-1732-1989). Prinsip dasar perhitungan
dengan menggunakan metoda analisa komponen adalah menentukan
tebal lapis tambah yang diperlukan oleh perkerasan untuk mendukung
lalu lintas rencana berdasarkan nilai kekuatan masing-masing lapis
perkerasan yang ada saat ini.
Langkah-langkah perhitungan tebal lapis tambah dengan
menggunakan metoda analisa komponen adalah sebagai berikut:
1. LEP (Lintas Ekivalen Permulaan), yaitu jumlah lintas
ekivalen harian rata-rata dari sumbu tunggal seberat 8,16
ton. (18.000 Ib) pada jalur rencana yang diduga terjadi pada
permulaan umur rencana LEP dihitung dengan menggunakan
persamaan
keterangan :
LHR : lalu lintas harian rata-rata (dari survey dan analisa
lalu lintas)
B69
Proposal Teknis
C : koefisien distribusi kendaraan
E : angka ekivalen beban sumbu kendaraan
j : jenis kendaraan
2. LEA (Lintas Ekivalen Akhir), yaitu jumlah lintas ekivalen
harian rata-rata dari sumbu tungga seberat 8,16 ton (18.000
lb) pada jalur rencana yang diduga terjadi pada akhir umur
rencana. LEA dihitung dengan menggunakan persamaan
keterangan :
LHR : lalu lintas harian rata-rata (dari survey dan analisa
lalu lintas)
C : koefisien distribusi kendaraan
E : angka ekivalen beban sumbu kendaraan
j : jenis kendaraan
i : perkembangan lalu lintas
3. LET (Lintas Ekivalen Tengah), yaitu jumlah lintas ekivalen
harian rata-rata dari sumbu tunggal seberat 8,16 ton (18.000
lb) pada jalur rencana pada pertengahan permulaan umur
rencana. LET dihitung menggunakan persamaan
4. LER (Lintas Ekivalen Rencana), yaitu besaran yang
dipakai dalam nomogram penetapan tebal perkerasan untuk
menyatakan jumlah lintas ekivalen sumbu tunggal seberat
8,16 ton 08.000 Ib) pada jalur rencana
LER dihitung dengan persamaan berikut :
LER = LET x FP
FP (faktor penyesuaian) ditentukan dengan persamaan
dengan DR adalah umur rencana (tahun)
B70
Proposal Teknis
5. DDT (Daya Dukung Tanah Dasar) dan CBR (California
Bearing Ratio), DDT adalah suatu skala yang dipakai dalam
nomogram penetapan tebal perkerasan untuk menyatakan
kekuatan tanah dasar.
Nilai CBR tanah dasar diperoleh dari pengujian dengan FWD
(Falling Weight Deflectometer), dan pengujian FWD diperoleh
data lendutan perkerasan! data tersebut kemudian
dikonversi menjadi nilai modulus dan selanjutnya dianalisa
menjadi data nilai CBR.
Nilai DDT diperoleh dari korelasi antara CBR dan DDT
(Gambar 6 – 1. SNI 03-1732-1989).
6. FR (Faktor Regional), yaitu faktor setempat, menyangkut
keadaan lapangan dan iklim, yang dapat mempengaruhi
keadaan pembebanan, daya dukung tanah dasar dan
perkerasan.
FR, dipengaruhi oleh bentuk alinyemen (kelandaian dan
tikungan), persentase kendaraan berat serta iklim (curah
hujan), hubungan antara faktor tersebut dengan nilai FR
dapat dilihat pada Daftar 4 SNI 03-1732-1989.
7. IP (Indeks Pennukaan), IP menyatakan nilai kerataan
serta kekokohan permukaan yang bertalian dengan tingkat
lalu lintas yang lewat. IP = 1 menunjukkan permukaan jalan
dalam keadaan rusak berat. Dalam menentukan nilai IP pada
akhir umur rencana, perlu dipertimbangkan faktor-faktor
klasifikasi fungsional jalan dan LER hubungan antara faktor-
faktor tersebut dapat dilihat pada Daftar 5 SNI 03-1732-
1989.
Sedangkan dalam menentukan IPo (indeks permukaan pada
awal umur rencana) perlu diperhatikan jenis lapis
permukaan jalan serta kekokohan pada awal umur rencana,
nilai IPo dapat dilihat pada daftar 6 SNI 03-1732-1989.
B71
Proposal Teknis
8. a (Koefisien Kekuatan Relatif).
Koefisien kekuatan relatif (a) rencana, masing-masing bahan
campuran perkerasan dan kegunaannya sebagai lapis
permukaan, pondasi, pondasi bawah ditentukan secara
korelasi berdasarkan nilai Marshall Test, Kuat Tekan atau
CBR. Nilai korelasi ini dapat dilihat pada Daftar 7 SNI 03-
1732-1989.
Sedangkan nilai koefisien kekuatan relatif perkerasan
existing dapat diperoleh dari hasil pengujian FWD. Dari nilai
lendutan hasil pengujian FWD dapat dilakukan analisa
lanjutan untuk mendapatkan nilai Modulus masing-masing
lapis perkerasan dan selanjutnya diperoleh nilai koefisien
kekuatan relatif untuk masing-masing lapis perkerasan
eksisting.
9. ITP (Indeks Tebal Perkerasan), yaitu suatu angka
yang berhubungan dengan penentuan tebal perkerasaan.
Nilai ITP dipengaruhi oleh IPt, IPo, DDT, LER dan FR korelasi
ini dapat diperoleh dari nomogram 1 - 9, Lampiran 1 SNI 03-
1732-1989 atau .
Nilai ITP dihitung untuk kondisi perkerasan eksisting dan ITP
rencana yang diperlukan untuk mendukung lalu lintas
rencana. Selisih nilai ITP eksisting dan ITP yang diperlukan
digunakan untuk menghitung tebal lapis tambah yang
diperlukan
.
2.8.6 Perencanaan Konstruksi Perkerasan Beraspal BaruTebal konstruksi perkerasan baru dihitung dengan menggunakan
metoda analisa komponen Bina Marga (SNI 03-1732-1989). Prinsip
dasar perhitungan dengan menggunakan metoda analisa komponen
B72
Proposal Teknis
adalah menentukan tebal lapis tambah yang diperlukan oleh
perkerasan untuk mendukung lalu lintas rencana berdasarkan nilai
kekuatan masing-masing lapis perkerasan yang ada saat ini.
Langkah-langkah perhitungan tebal lapis tambah dengan
menggunakan metoda analisa komponen adalah sebagai berikut
:
1. LEP (Lintas Ekivalen Permulaan), yaitu jumlah lintas
ekivalen harian rata-rata dari sumbu tunggal seberat 8,16
ton (18.000 lb) pada jalur rencana yang diduga terjadi pada
permulaan umur rencana
LEP dihitung dengan menggunakan persamaan
Keterangan:
LHR : lalu lintas harian rata-rata (dari survey dan analisa lalu
lintas)
C : koefisien distribusi kendaraan
E : angka ekivalen beban sumbu kendaraan
j : jenis kendaraan
2. LEA (Lintas Ekivalen Akhir), yaitu jumlah lintas ekivalen
harian rata-rata dari sumbu tunggal seberat 8,16 ton (18.000
lb) pada jalur rencana yang diduga terjadi pada akhir umur
rencana
LEA dihitung dengan menggunakan persamaan
Keterangan :
LHR : lalu lintas harian rata-rata (dari survey dan analisa lalu
lintas)
C : koefisien distribusi kendaraan
E : angka ekivalen beban sumbu kendaraan
B73
Proposal Teknis
j : jenis kendaraan
i : perkembangan lalu lintas
3. LET (Lintas Ekivalen Tengah), yaitu jumlah lintas ekivalen
harian rata-rata dari sumbu tunggal seberat 8,16 ton (18.000
lb) pada jalur rencana pada pertengahan permulaan umur
rencana
LET dihitung dengan menggunakan persamaan
4. LER (Lintas Ekivalen Rencana), yaitu besaran yang
dipakai dalam nomogram penetapan tebal perkerasan untuk
menyatakan jumlah lintas ekivalen sumbu tunggal seberat
8,16 ton (18.000 lb) pada jalur rencana
LER dihitung dengan persamaan berikut :
LER = LET x FP
FP (faktor penyesuaian) ditentukan dengan persamaan
5. DDT (Daya Dukung Tanah Dasar) dan CBR (California
Bearing Ratio), DDT adalah suatu skala yang dipakai dalam
nomogram penetapan tebal perkerasan untuk menyatakan
kekuatan tanah dasar. Nilai CBR tanah dasar diperoleh dari
pengujian DCP (Dynamic Cone Penetrometer).
6. FR (Faktor Regional), yaitu faktor setempat, menyangkut
keadaan lapangan dan iklim, yang dapat mempengaruhi
keadaan pembebanan, daya dukung tanah dasar dan
perkerasan. FR, dipengaruhi oleh bentuk alinyemen
(kelandaian dan tikungan), persentase kendaraan berat serta
iklim (curah hujan), hubungan antara faktor tersebut dengan
nilai FR dapat dilihat pada Daftar 4 SNI 03-1732-1989.
B74
Proposal Teknis
7. IP (Indeks Permukaan), IP menyatakan nilai kerataan
serta kekokohan permukaan yang bertalian dengan tingkat
lalu lintas yang lewat. IP = 1 menunjukkan permukaan jalan
dalam keadaan rusak berat Dalam menentukan nilai IP pada
akhir umur rencana, perlu dipertimbangkan faktor-faktor
klasifikasi fungsional jalan dan LER. Hubungan antara faktor-
faktor tersebut dapat dilihat pada Daftar 5 SNI 03-1732-
1989.
Sedangkan dalam menentukan Ipo (indeks permukaan pada
awal umur rencana) perlu diperhatikan jenis lapis
permukaan jalan serta kekokohan pada awal umur rencana,
nilai Ipo dapat dilihat pada daftar 6 SNI 03-1732-1989.
8. a (Koefisien Kekuatan Relatif).
Koefisien kekuatan relatif (a) rencana, masing-masing bahan
campuran perkerasan dan kegunaannya sebagai lapis
permukaan, pondasi, pondasi bawah ditentukan secara
korelasi berdasarkan nilai Marshall Test, Kuat Tekan atau
CBR. Nilai korelasi ini dapat dilihat pada Daftar 7 SNI 03-
1732-1989.
9. ITP (Indeks Tebal Perkerasan), yaitu suatu angka yang
berhubungan dengan penentuan tebal perkerasaan. Nilai ITP
dipengaruhi oleh Ipt, Ipo, DDT, LER dan FR korelasi ini dapat
diperoleh dari nomogram 1 - 9, Lampiran 1 SNI 03-1732-
1989 dan selanjutnya dibandingkan dengan persamaan ITP
= a1D1 + a2D2 + a3D3 untuk mendapatkan tebal lapisan
yang diperlukan.
2.8.7 Perencanaan Teknis Pekerjaan Drainasea. Umum
Setiap daerah pengaliran sungai mempunyai sifat-sifat khusus
yang berbeda, hal ini menyebabkan ketidaktentuannya suatu
teori yang akan cocok diterapkan pada daerah pengaliran.
Karena itulah sebelum memulai perencanaan drainase akan
B75
Proposal Teknis
disajikan kajian pustaka yang akan digunakan dalam
perencanaan. Dengan kajian pustaka ini dapat ditentukan
spesifikasi-spesifikasi yang akan menjadi acuan dalam
pelaksanaan pekerjaan konstruksi tersebut.
b. Analisa Hidrologi
Hidrologi adalah bidang pengetahuan yang mempelajari
kejadian-kejadian serta penyebab air alamiah di bumi. Faktor
hidrologi yang sangat berpengaruh adalah curah hujan
(presipitasi). Curah hujan pada suatu daerah merupakan salah
satu faktor yang menentukan besarnya debit banjir yang terjadi
pada daerah yang menerimanya.
c. Perhitungan Curah Hujan Wilayah
Data curah hujan dan debit merupakan data yang paling
fundamental dalam perencanaan / penelitian. Analisa data hujan
dimaksudkan untuk mendapatkan besaran curah hujan dan
analisa statistik yang diperhitungkan dalam perhitungan debit
banjir rencana. Data curah hujan yang dipakai untuk
perhitungan dalam debit banjir adalah hujan yang terjadi pada
daerah aliran sungai pada waktu yang sama.
Adapun metode yang digunakan dalam perhitungan curah hujan
ada tiga macam cara :
1. Cara Tinggi Rata-Rata
Tinggi rata-rata curah hujan yang didapatkan dengan
mengambil nilai rata-rata hitung (arithmetic mean)
pengukuran hujan di pos penakar-penakar hujan
didalam areal tersebut. Jadi cara ini akan memberikan
hasil yang dapat dipercaya jika pos-pos penakarnya
ditempatkan secara merata di areal tersebut, dan
hasil penakaran masing-masing pos penakar tidak
menyimpang jauh dari nilai rata-rata seluruh pos di
seluruh areal.
B76
Proposal Teknis
dengan :
d = tinggi curah hujan rata-rata
d1, d2 … …dn = tinggi curah hujan pada pos
penakar 1, 2, …n
n = banyaknya pos penakar
(Sumber : C.D. Soemartono, Hidrologi Teknik)
2. Cara Poligon Thiessen
Menurut Kiyotaka Mori dkk (977), metode ini sering
digunakan pada analisa hidrologi karena metode ini
lebih teliti dan obyektif dibanding metode lainnya dan
metode ini digunakan pada daerah yang memiliki titik
pengamatan yang tidak merata. Cara ini adalah
dengan memasukkan faktor pengaruh daerah yang
diwakili oleh stasiun hujan yang disebut faktor
pembobotan atau koefisien Thiessen. Untuk pemilihan
stasiun hujan yang dipilih harus meliputi daerah aliran
sungai yang akan dibangun. Besarnya koefisien
Thiessen tergantung dari luas daerah pengaruh
stasiun hujan yang dibatasi oleh poligon-poligon yang
memotong tegak lurus pad a tengah-tengah garis
penghubung stasiun. (Gambar 6 – 21)
Setelah luas pengaruh tiap-tiap stasiun didapat, maka
koefisien Thiessen dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut :
di mana :
C = Koefisien Thiessen
Ai= Luas pada daerah pengamatan
A = Luas total dari DAS
R = Curah hujan rata-rata
B77
Proposal Teknis
RI, R2 = Curah hujan ditiap titik pengukuran
(stasiun)
(Sumber : C.D. Soemarto, Hidrologi Teknik)
Gambar 2-21.Metode Thiessen
3. Cara Isohyet
Dengan cara ini, kita menggambar dulu kontur
tinggi hujan yang sama (isohyet), seperti terlihat
pada Gambar 6 – 22. kemudian luas bagian
diantara isohyet-isohyet yang berdekatan diukur,
dan nilai rata-ratanya dihitung sebagai nilai rata-
rata timbang nilai kontur, sebagai berikut :
Gambar 2-22. Metode Isohyet
B78
Proposal Teknis
dimana :
A = A1+A2+….An = luas area total
d = tinggi curah hujan rata-rata areal
do, d1, …dn = curah hujan pada isohyet 0, 1,
2, ….n
(Sumber : C.D. Soemarto, Hidrologi Teknik)
b. Perhitungan Curah Hujan Rencana
i. Metode Gumbel
Adapun rumus-rumus yang digunakan dalam
perhitungan curah hujan rencana dengan metode
gumbel adalah metode Gumbel adalah sebagai
berikut :
Dimana :
Tabel 2-12. Reduced Mean (Yn)
No 0 1
B79
Proposal Teknis
0.49 0.49 0.50 0.51 0.51 0.51 0.51 0.52 0.52
52 96 70 00 28 57 81 02 20
20.52 0.52 0.52 0.52 0.52 0.53 0.58 0.58 0.53 0.53
36 52 68 83 96 00 20 82 43 53
300.53 0.53 0.53 0.53 0.53 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54
63 71 80 88 96 00 10 18 24 30
400.54 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54 0.54
63 42 48 53 58 68 68 73 77 81
500.54 0.54 0.54 0.54 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55
85 89 93 97 01 04 08 11 15 18
600.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55
21 24 27 30 33 35 38 40 43 45
700.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55
48 50 52 55 57 59 61 63 65 67
800.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55
69 70 72 74 76 78 80 81 83 85
900.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55 0.55
86 87 89 91 92 93 95 96 98 99
100
Tabel 2-13Reduced Standard Deviation (Sn)
No 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
100.94 0.96 0.98 0.99 1.00 1.02 1.03 1.04 1.04 1.05
96 .76 33 71 95 06 16 11 93 65
201.06 1.06 1.07 1.08 1.08 1.09 1.09 1.10 1.10 1.10
28 96 54 11 64 15 61 04 47 80
301.11 1.11 1.11 1.12 1.12 1.12 1.13 1.13 1.13 1.13
24 59 93 26 55 85 13 39 63 88
401.14 1.14 1.14 1.14 1.14 1.15 1.15 1.15 1.15 1.15
13 36 58 80 99 19 38 57 74 90
501.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.17 1.17 1.17
07 23 38 58 67 81 96 08 21 34
601.17 1.17 1.17 1.17 1.17 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18
47 59 70 82 93 03 14 24 34 44
B80
Proposal Teknis
701.18 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18 1.19 1.19 1.19 1.19
54 63 73 81 90 98 06 15 23 30
801.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.20
38 45 53 59 67 73 80 87 94 01
90 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20
07 13 26 32 38 44 46 49 55 60
1001.20
65
Tabel 2-14Return Period A Function of Reduced Variate (Yt)
Periode Ulang Reduced Variate
2 0.3665
5 1.4999
10 2.2502
20 2.9606
25 3.1985
50 3.9019
100 4.6001
200 5.2960
500 6.2140
1000 6.9190
5000 8.5390
10000 9.9210
ii. Metode Log Normal
Rumus yang digunakan dalam perhitungan metode
ini adalah sebagaii berikut :
Rt = X + Kt * S
Dimana :
Rt = besarnya curah hujan yang mungkin
terjadi pada periode ulang T tahun
S = standar deviasi
B81
Proposal Teknis
X = curah hujan rata-rata
Kt = standar variable untuk periode ulang T
tahun
(Sumber : Sri Harto, Dipl, H, Hidrologi Terapan)
Tabel 2-15. Standard Variabel (Kt)
T Kt T Kt T Kt
1 -186 20 1.89 96 3.34
-
2 0.22 25 2.10 100 3.45
3 0.17 30 2.27 110 3.53
4 0.44 35 2.41 120 3.62
5 0.64 40 2.54 130 3.70
6 0.81 45 2.65 140 3.77
7 0.95 50 2.75 150 3.84
8 1.06 55 2.86 160 3.91
9 1.17 60 2.93 170 3.97
10 1.26 65 3.02 180 4.03
11 1.35 70 3.08 190 2.09
12 1.43 75 3.60 200 4.14
13 1.50 80 3.21 221 4.24
14 1.57 85 3.28 240 4.33
15 1.63 90 3.33 260 4.42
iii. Metode Distribusi Log Person III
Rumus yang digunakan dalam perhitungan metode
ini adalah sebagai berikut :
Dimana :
B82
Proposal Teknis
c. Uji Keselarasan
Untuk menentukan pola distribusi data curah hujan rata-
rata yang paling sesuai dari beberapa perhitungan
metode distribusi statistic yang telah dilakukan ,
digunakan uji keselarasan. Ada dua jenis uji keselarasan
(Godnes of fit test), yaitu uji keselarasan Chi cquare dan
Smirniv Kolmogorof. Pada test ini biasanya yang diminati
adalah nilai hasil perhitungan yang diharapkan.
i. Uji keselarasan Chi Square
Rumus : f2 = (Ei – Oi)2 / Ei
Dimana :
f2 = harga Chi Square
Oi = jumlah nilai pengamatan pada sub
kelompok ke-1
Ei = jumlah nilai teoritis pada sub
kelompok ke-1
Dari hasil pengamatan yang didapat, dicari yang
penyimpangannya dengan Chi kuadrat kritis
(didapat dari Tabel 2 – 16) paling kecil. Untuk suatu
nilai nyata tertentu (level of significant) yang sering
diambil adalah 5%.
Derajat kebebasan ini secara umum dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut :
Dk = n-3
Dimana : Dk = derajat kebebasan
B83
Proposal Teknis
n = banyaknya data
Tabel 2-16. Nilai Chi Kuadrat Kritis dengan Significant 5%
Ok Oist.f 2 Ok OistJ 2 Ok Oist.f 2
1 3.841 11 19.575 21 32.671
2 5.991 12 21.026 22 33.924
3 7.815 13 22.362 23 35.172
4 9.451 14 23.605 24 36.415
5 11.070 15 24.996 25 37.652
6 12.592 16 26.296 26 40.005
7 14.067 17 27.587 27 40.113
8 15.507 18 28.869 28 41.007.
9 16.919 19 30.144 29 . 42.557
10 18.307 20 31.410 30 43.773
ii. Uji keselarasan Smirnov Kolmogorof
Dengan membandingkan probabilitas untuk tiap
variabel dari distribusi empiris dan teoritis didapat
perbedaan (A) tertentu. Rumus : = P max / P(x) -
P(xi) / Cr
Tabel 2-17. Nilai Delta Kritis Untuk Uji Keselarasan Smirnov
Kolmogorov
n
0.20 0.10 0.05 0.01
5 0.45 0.51 0.56 0.67
10 0.32 0.37 0.41 0.49
15 0.27 0.30 0.34 0.40
20 0.23 0.26 0.29 0.36
25 0.21 0.24 0.27 0.32
30 0.19 0.22 0.24 0.29
B84
Proposal Teknis
35 0.18 0.20 0.23 0.27
40 0.17 0.19 0.21 0.25
45 0.16 0.18 0.20 0.24
50 0.15 0.17 0.19 0.23
n > 50 1.07/n 1.22/n 1.36/n 1.63/n
iii. Lengkung Massa Ganda
Jika data curah hujan tidak konsisten karena
perubahan atau gangguan lingkungan di sekitar
tempat penakar hujan dipasang, misalnya,. penakar
hujan terlindung oleh pohon, terletak berdekatan
dengan gedung tinggi, perubahan cara penakaran
dan pencatatan, pemindahan letak penakar dan
sebagainya, memungkinkan terjadi penyimpangan
terhadap trend semula. Hal tersebut dapat diselidiki
dengan menggunakan lengkung massa ganda
deperti terlihat pada Gambar 6 – 23.
Kalau tidak ada perubahan terhadap lingkungan
maka akan diperoleh garis ABC. Tetapi karena pada
tahun tertentu terjadi perubahan lingkungan,
didapat garis patah ABC’. Penyimpangan tiba-tiba
dari garis semula menunjukkan adanya perubahan
tersebut, yang bukan disebabkan oleh perubahan
iklim atau keadaan hidrologis yang dapat
menyebabkan adanya perubahan trend.
B85
Proposal Teknis
Gambar 2-23. Lengkung Massa Ganda
d. Perhitungan Intensitas Curah Hujan
Perhitungan intensitas curah hujan ini menggunakan
Metode Dr. Monobe dengan rumus sebagai berikut :
Dimana :
R24 = curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)
t = lamanya curah hujan
e. Perhitungan Debit Banjir Rencana
Untuk mencari debit banjir dari sungai yang akan
dianalisa menggunakan metode sebagai berikut :
i. Hubungan empiris antara curah hujan
limpasan
Metode ini paling banyak dikembangkan, sehingga
terdapat rumus-rumus antara lain rumus Rasional,
Weduwen, Haspers.
- Rumus Rasional
Rumus : Qr = C.L.A / 3,6 =
0,278C.L.A
B86
Proposal Teknis
Dimana : Qr = debit maksimum
rencana (m3/det)
I = intensitas curah hujan
selama konsentrasi (mm/jam)
A = luas daerah aliran (km2)
C = koefisien run off
Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah
hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu
dimana air berkonsentrasi. Intensitas curah
hujan dilambangkan dengan botasi I (mm/jam).
Menurut Dr. Mononobe
Rumus I = (R24/24)(24/t)0,667
Dimana I = intensitas curah hujan
t = lamanya curah hujan
R24 = curah hujan maksimum dalam
24 jam (mm)
Menurut Tolbat (1881)
Rumus I = a / (t+b)
Dimana I = intensitas curah hujan
T = lamanya hujan
A,b = konstanta yang tergantung
pada lama curah hujan di daerah aliran
Menurut Ishiguro
Rumus I = a / (t+b)
DimanaI = intensitas hujan
t = lama hujan
a,b = konstanta yang
tergantung pada lama curah hujan di daerah
aliran
B87
Proposal Teknis
- Koefisien run off
Koefisien run off dipengaruhi oleh jenis lapis
permukaan tanah. Setelah melalui berbagai
penelitian, didapatkan koefisien run off seperti
yang tertulis dalam Tabel 2 – 18.
Tabel 2-18. Harga Koefisian Run Off dari Dr. Mononobe
Kondisi daerah pengaliran dan sungai Harga C
Daerah pegunungan yang curam 0.75-0.90
Daerah pegunungan tersier 0.70-0.80
Tanah bergelombang dan hutan 0.50-0.75
Tanah dataran yang ditanami 0.45-0.60
Persawahan yang dialiri 0.70-0.80
Sungai di daerah pegunungan 0.75-0.85
Sungai kecil di dataran 0.45-0.75
Sungai besar yang lebih dari setengah daerah0.45-0.75
pengalirannya terdiri dari dataran
Rumus Melchior, Weduwen, Haspers
Rumus Q = ..q.f
Dimana = koefisien run off
= koefisien reduksi
q = hujan maksimum
(m3/km2/dt)
f = luas daerah aliran (km2)
- Koefisien run off ()
Koefisien ini merupakan perbandingan antara
run off dengan hujan
Melchior : 0,42 ≤ ≤ 0,62 (diambil 0,52)
Weduwen : = 1 – (4,1/(q+7)
Harpers : = (1+0,0127 f2)/(1+0,075 f0,7)
Koefisien reduksi ()
B88
Proposal Teknis
Koefisien ini diperlukan untuk mendapatkan
hujan rata-rata dari hujan maksimum.
Melchior : t = 1000L / 3600V
Dimana :
L = panjang saluran
V = kecepatan rata-rata = 1.3 (Q/i2)
i = kemiringan saluran = H / 0.9L
H = beda elevasi
2.8.8 Desain Drainase1. Penampang Tunggal
Keterangan :
Q = debit saluran drainase
w = lebar jagaan
L = lebar tanggul
m = kemiringan talud
H = tinggi muka saluran drainase
B89
Proposal Teknis
B = lebar saluran
A = luas penampang basah
P = keliling penampang basah
n = koefisien manning
I = kemiringan saluran
Rumus Desain :
Q = A.V
A = (B + m.H)H
P = B + 2H
R =
V =
2. Penampang Ganda
Keterangan :
Q = debit saluran drainase
w = lebar jagaan
L = lebar tanggul
m = kemiringan talud
H = tinggi muka saluran drainase
B = lebar saluran
A = luas penampang basah
P = keliling penampang basah
n = koefisien manning
I = kemiringan saluran
Rumus Desain :
B90
Proposal Teknis
2.8.9 Perencanaan Teknis Pekerjaan StrukturUntuk mendapatkan hasil yang diharapkan, kegiatan penelitian
ini meliputi antara lain :
- Survey Instansional,
- Pengukuran, pengujian dan survey lapangan,
- Evaluasi dan Analisis Data,
- Metode Penanganan dan Perencanaan,
- Pelaporan.
a. Survey Instansional
Kegiatan ini diharapkan mendapatkan data dan informasi
penunjang dari instansi terkait, seperti Bagian Proyek,
Konsultan Perencana, Kontraktor Pelaksana atau Pihak Lain
yang diperlukan untuk keperluan evaluasi dan analisis data.
Data tersebut berupa laporan perhitungan struktur jembatan,
Laporan Penyelidikan Tanah, As Built Drawing, dan data
mutu beton pada saat pelaksanaan. Di dalam penilaian
B91
Proposal Teknis
kapasitas box culvert, data-data tersebut sangatlah penting
karena akan diketahui asumsi-asumsi yang diambil pada saat
perencanaan, kejadian maupun perubahan desain pada saat
box culvert tersebut dibangun. Khusus untuk perencanaan
persimpangan, maka diperlukan data mengenai jarak bebas
horizontal dan vertikal dari pipa gas. Selain itu diperlukan
pula mengenai tingkat resiko dari pipa gas tersebut terhadap
pelaksanaan konstruksi seperti getaran tanah, karena akan
terkait dengan bentuk struktur pada persimpangan tersebut.
b. Survey Lapangan
Kegiatan ini dilakukan langsung di lokasi box culvert. Dari
kegiatan ini akan diperoleh data mengenai dimensi aktual
dari box culvert tersebut, jarak antar pipa gas dan diameter
pipa. Selain itu data geoteknik pada lokasi box culvert dan
pada jalur pipa.
c. Evaluasi dan Analisis Data
Setelah data dan informasi yang diperlukan diperoleh, maka
dilakukan evaluasi, analisis dan perhitungan untuk
mengetahui kondisi box culvert yang ada. Dari analisis di
atas maka akan disimpulkan apakah box culvert tersebut
masih cukup aman terhadap beban-beban rencana yang
bekerja.
d. Metode Penanganan dan Perencanaan Struktur
Persimpangan
Apabila hasil analisis data dan perhitungan diperoleh hasil
yang mengharuskan penanganan lebih lanjut pada box
culvert tersebut, baik perbaikan maupun peningkatan
kapasitas, maka pada bagian metode penanganan/perbaikan
dan peningkatan kapasitas box culvert, akan disampaikan
juga metode yang digunakan untuk penanganan/ perbaikan
dan peningkatan kapasitas box culvert jembatan tersebut
B92
Proposal Teknis
secara optimal. Selain itu juga dilakukan perencanaan
struktur terhadap persimpangan pipa gas tersebut.
B93