METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama...

129
METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH PEREMPUAN DALAM SALAT Oleh: Muhammad Ilyas NIM: 106043101312 KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/ 2011 M

Transcript of METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama...

Page 1: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH

PEREMPUAN DALAM SALAT

Oleh:

Muhammad Ilyas

NIM: 106043101312

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H/ 2011 M

Page 2: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Muhammad Ilyas

Tempat/ Tanggal Lahir : Tembilahan, 23 Agustus 1984

NIM : 106043101312

Jurusan : Perbandingan Mazhab Fiqh

Judul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan

dalam Salat

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau

merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi

yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 1 Februari 2011

Muhammad Ilyas

Page 3: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH

PEREMPUAN DALAM SALAT

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)

Oleh:

Muhammad Ilyas

NIM: 106043101312

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Noryamin Aini, MA Mu’min Rauf, MA

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H/ 2011 M

Page 4: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul: “Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan dalam

Salat” telah diujikan dalam sidang Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 1 Maret 2011.

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah

(S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum.

Jakarta, 1 Maret 2011 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, M.A.,M.M. NIP: 195505051982031012

PANITIA UJIAN MUNAQASAH

1. Ketua : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag (...........................) NIP. 196511191998031002 2. Sekretaris : Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si (...........................)

NIP. 197421132003121002

3. Pembimbing I : Drs. Noryamin Aini, MA (...........................) NIP. 196303051991031002

4. Pembimbing II : Mu’min Rauf, MA (...........................) NIP. 150281979

5. Penguji I : Dr. H. Afifi Fauzi Abbas, MA (...........................)

NIP. 195609061982031004

6. Penguji II : Drs. Sirril Wafa, MA (...........................) NIP. 19600318199103

Page 5: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

v

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu

menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi

Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan juga melimpah kepada umat Islam

seluruhnya.

Terselesaikannya skripsi ini tentu tidak terlepas dari bantuan dan dorongan

banyak pihak, baik moril maupun materiil. Oleh karena itu penulis mengucapkan

terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM selaku Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Muhammad Taufiki, M.Ag selaku Ketua Program Studi Perbandingan

Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si selaku Sekretaris Program Studi

Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Drs. Noryamin Aini, MA sebagai pembimbing yang senantiasa

memberikan saran koreksi kepada penulis sehingga skripsi ini dapat tercapai.

Page 6: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

vi

5. Bapak Mu’min Rauf, MA selaku pembimbing kedua yang senantiasa

mengarahkan skripsi ini dapat terwujud.

6. Para Dosen dan seluruh Civitas Akademika Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Pimpinan dan Karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum serta

Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan

fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan.

8. Kedua orang tua tercinta Abah (Syahrul) dan Mama (Nursanah) yang telah

memberikan dorongan baik moril maupun materiil, serta doa dan kasih

sayangnya.

9. Kepada cahaya hatiku, insan yang selalu dicintai dan mencintai, Yiyis Wulan

Purnama Sanoesi (Imut) yang tiada henti memberikan motivasi dan menyediakan

waktu luang untuk membantu proses editing hingga terselesaikannya skripsi ini.

Semoga doamu dan doaku dikabulkan oleh yang Maha Kuasa.

10. Sahabat-sahabatku mahasiswa angkatan 2006 Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya jurusan Perbandingan Mazab dan Hukum

yang selama ini telah menjadi teman yang baik. Semoga ilmu yang kita dapat

bermanfaat dan membawa maslahat bagi kelurga, agama, nusa dan bangsa.

11. Kawan-kawan di komunitas Subuh.net dan Gusti Rahmat (Urang Banjar) yang

telah banyak memberikan bantuan kepada penulis hingga skripsi ini dapat

terselesaikan.

Page 7: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

vii

12. Semua pihak yang telah membantu dan membimbing penulis hingga

terselesaikannnya skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

Terima kasih atas kebaikan dan keikhlasan yang telah diberikan. Penulis

berdoa semoga Allah SWT memberikan imbalan dan pahala yang setimpal kepada

mereka yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna, khususnya bagi

penulis sendiri dan tentunya bagi para pembaca pada umumnya. Amin

Jakarta, 1 Februari 2011

Penulis

Page 8: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

viii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................... ...............v

DAFTAR ISI ......................................................................................... ...............viii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................ ...............1

A. Latar Belakang Masalah................................................... ………...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................... ………...5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................... ...............6

D. Review Kajian Terdahulu............... .................................. ...............7

E. Metode Penelitian ........................................................... ...............9

F. Teknik Penulisan ............................................................ ...............12

G. Sistematika Penulisan.........................................................................12

BAB II TEORI ISTINBATH HUKUM DAN PRAKTEKNYA ..... ...............14

A. Tinjauan Umum tentang Istinbath Hukum ........................ ...............14

B. Metode Pembentukan Hukum Ulama Mazhab ................. ...............20

BAB III PEREMPUAN MENJADI IMAM SALAT DALAM PANDANGAN

ULAMA .............................................................................. ...............55

A. Imam Salat....................................................................... ...............55

1. Pengertian Imam salat .................................................. ...............55

2. Syarat Imam Salat ........................................................ ...............57

3. Praktek Pelaksanaan Pengimaman Salat Berjamaah dalam Sejarah

Islam Klasik ................................................................ ...............61

B. Imam Salat dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an................. ...............63

C. Imam Salat dalam Perspektif Al-Hadits ........................... ...............74

BAB IV ANALISIS TERHADAP METODOLOGI ARGUMENTASI ULAMA

TENTANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM SALAT....78

A. Dasar Hukum Pendapat Ulama tentang Kepemimpinan Perempuan

dalam Salat ...................................................................... ...............78

Page 9: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

ix

B. Argumen Ulama Mengenai Imam Salat Perempuan ......... ...............88

C. Analisis Metode Istinbath Hukum Ulama tentang Kepemimpinan

Perempuan dalam Salat .................................................... ...............97

BAB V PENUTUP..............................................................................................112

A. Kesimpulan...................................................................... ..............112

B. Saran ............................................................................... ..............114

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ ..............116

Page 10: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada 18 Maret 2005, Amina Wadud Muhsin, seorang feminis Islam

dari Amerika Utara, memimpin salat Jumat yang diikuti oleh 100 orang

jamaah, baik laki-laki maupun perempuan di sebuah gereja Anglikan,

Manhattan, New York, AS. Peristiwa ini mendapatkan kecaman publik,

tidak hanyadi Amerika tetapi juga di seluruh dunia. Bahkan sekelompok

orang di Amerika mengancam akan meledakkan bom di tempat pelaksanaan

salat Jumat yang rencananya akan dilakukan di Sundaram Tagore Gallery.

Namun, dengan pertimbangan keamanan, akhirnya dipindahkan di gereja.1

Berbagai reaksi pun muncul di kalangan para ulama, yang sekaligus

menghadirkan kembali polemik yang selama ini hampir terkubur dalam

pemikiran umat Islam.Tindakan Amina Wadud ini memicu kembali

kontroversi seputar kebolehan-larangan perempuan menjadi imam, terutama

bagi laki-laki. Sebagai agama yang membenarkan dan melengkapi ajaran-ajaran

sebelumnya, Islam datang sebagai rahmatan lil alamin, rahmat untuk sekalian

alam. Salah satu ajarannya yang sangat bernilai adalah keadilan antara sesama

1Elya Munfarida, “Kepemimpinan Perempuan dalam Ibadah: Tafsir Transformatif atas

Diskursus Imam Perempuan bagi Laki-Laki dalam Shalat”, Studi Anak dan Gender vol. 3 no. 2 (Juli-Desember 2008): h. 1

Page 11: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

2

umat manusia. Tidak sedikit ayat-ayat di dalam al-Qur`an yang menyebutkan

bahwa umat manusia, laki-laki ataupun wanita, siapapun di antara mereka yang

beriman dan beramal shaleh, maka akan mendapatkan ganjaran yang sama dari

Allah swt. Seperti dijelaskan dalam firman Allah QS. al-Nahl (16): 97

) .97 :16/ النحل(

Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun

perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. al-Nahl (16): 97)

Ayat lainnya seperti dijelaskan di dalam QS. Ali Imran (3): 195

)195 : 3/ ال عمران (

Artinya: ”Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan

berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan". (QS. Ali Imran (3): 195)

Ayat-ayat di atas secara tegas menempatkan kesejajaran antara laki-laki

dan perempuan dalam bekerja dan mendapatkan hak-haknya. Perempuan berhak

mendapat ganjaran yang sama atas amal mereka, baik dalam kehidupan di dunia

maupun di akhirat. Tidak ada diskriminasi dari Allah terhadap hambanya. Karena

itulah kaum laki-laki tidak boleh melecehkan perempuan dan memperlakukan

mereka secara tidak manusiawi. Kaum laki-laki tidak boleh merasa dirinya lebih

Page 12: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

3

unggul dan mulia dari perempuan. Kemuliaan seseorang tidak diukur dari jenis

kelamin dan suku bangsa, melainkan dari prestasi dan kepribadian mulia, yang

ditampilkan melalui interaksi sosialnya.

Pada dasarnya, ajaran Islam sangat mendorong kepada kaum perempuan

untuk bekerja secara maksimal sesuai dengan kemampuan dan kodratnya. Karena

itulah, perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki dalam

pandangan Islam, antara lain laki-laki dan perempuan mempunyai persamaan hak

dalam pendidikan dan ilmu pengetahuan. Perempuan juga mempunyai hak yang

sama untuk menyatakan pendapat dan aspirasinya. Bahkan sebagian mereka ada

yang ikut berperang, mendukung tugas laki-laki.2

Posisi perempuan dalam Islam, pada dasarnya sejajar dengan kaum laki-

laki dalam berbagai masalah kehidupan, sesuai dengan kodrat masing-masing.

Tugas dan tanggung jawab perempuan dalam urusan rumah tangga, misalnya,

terutama peran seorang istri, ikut mendukung keberhasilan tugas-tugas suami

sebagai pemimpin keluarga.3

Islam telah berperan besar dalam mengangkat harkat dan martabat

perempuan. Kalau dalam masyarakat sebelum datangnya Islam, perempuan

diperlakukan sebagai barang yang hampir-hampir tidak mempunyai hak, maka

2 Hasbi Indra, dkk, Potret Wanita Shalehah (Jakarta: Penamadani, 2004), cet. Ke-3 h..4. 3 Ibid. h. 4

Page 13: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

4

ajaran Islam secara drastis memperlakukan perempuan sebagai “manusia” yang

mempunyai hak-hak tertentu sebagaimana layaknya laki-laki.4

Prof. Dr. Amina Wadud, intelektual muslim di Amerika Serikat, saat ini

menjadi tokoh kontroversial di kalangan umat muslim dunia. Tidak sedikit yang

menuduhnya sebagai "senjata baru" Amerika Serikat, yang didesain mempertajam

stigmatisasi (pencitraburukan) Islam di mata dunia setelah berbagai stigmatisasi

pasca-Black September 2001 justru membuat George W. Bush banyak mendulang

kecaman dunia internasional.

Banyak juga yang menilai tak ada yang salah dari gebrakan revolusioner

pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University, Amerika Serikat itu

karena secara fiqih tidak ada larangan dalam al-Qur’an bagi seorang perempuan

menjadi imam dalam salat.

Melalui pertimbangan yang panjang, penulis memutuskan untuk meneliti

serta mengkaji metode istidlal ulama tentang imamah perempuan dalam salat

dengan lebih memfokuskan pada kajian ushul fiqh secara komprehensif.

Gebrakan revolusioner pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth

University, AS, itu, membuka kembali perdebatan fiqih tentang kebolehan-

larangan perempuan memimpin salat yang disertai makmum laki-laki.

Berdasarkan paparan di atas, penulis ingin menuangkan masalah tersebut, dalam

4 Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan dalam Islam (Jakarta: Kerjasama Lembaga Kajian

Agama dan Jender, SP Solidaritas Perempuan dan The Asia Foundation, 1999), h. 23.

Page 14: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

5

sebuah karya ilmiah dengan judul ”METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA

TENTANG IMAMAH PEREMPUAN DALAM SALAT”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan oleh penulis dan mengingat

pembahasan yang begitu luas mengenai imamah perempuan dalam salat,

maka perlu dibatasi ruang lingkupnya agar lebih jelas dan rinci

pembahasannya. Persoalan imamah perempuan dalam salat yang sering terjadi

di kalangan para ulama merupakan perdebatan dalam ruang lingkup kajian

fiqh. Menurut penulis, pembahasan tersebut sudah dianggap selesai. Oleh

sebab itu, penulis memfokuskan tentang metode istidlal atau istinbath ulama

mengenai imamah perempuan dalam salat yang merupakan kajian dalam

ruang lingkup ushul fiqh. Berkenaan dengan latar belakang masalah tersebut

yang berkaitan dengan masalah imamah perempuan dalam salat, maka penulis

membatasi penulisan skripsi ini sebagai berikut:

a. Mengenai metode ulama dalam mengistinbathkan hukum perempuan

menjadi imam salat.

b. Mengenai penilaian sanad dan matan hadits-hadits imamah perempuan

dalam salat

Page 15: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

6

2. Perumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka dapatlah dirumuskan masalah-

masalah yang hendak dijawab, yaitu:

a. Apa yang menjadi dasar ulama dalam mengistinbathkan hukum imamah

perempuan dalam salat?

b. Bagaimana metode ulama dalam mengistinbathkan hukum imamah

perempuan dalam salat?

c. Bagaimana penilaian ulama terhadap perempuan menjadi imam salat?

d. Apa yang menjadi substansi masalah tentang imamah perempuan dalam

salat?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan yang telah penulis rumuskan di atas,

maka ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dari penyusunan skripsi ini,

yaitu:

a. Untuk mengetahui dasar ulama dalam mengistinbathkan hukum imamah

perempuan dalam salat

b. Untuk mengetahui metode ulama dalam mengistinbathkan hukum imamah

perempuan dalam salat

c. Untuk mengetahui penilaian ulama terhadap perempuan menjadi imam

salat

Page 16: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

7

d. Untuk mengetahui substansi masalah tentang imamah perempuan dalam

salat

2. Manfaat Penelitian

a. Secara teoritis yaitu untuk menambah wawasan sekaligus pengembangan

ilmu pengetahuan mengenai kedudukan perempuan sebagai imam salat

b. Kegunaan praktis yaitu membuka transformasi hukum yang mungkin akan

terjadi pada masa-masa yang akan datang.

c. Memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah dan lembaga

keagamaan untuk dapat aktif merespon berbagai fenomena keagamaan

aktual yang terjadi di masyarakat.pada masa-masa yang akan datang.

D. Review Kajian Terdahulu

Penelitian tentang imam perempuan dalam salat sudah menjadi tema yang

lazim ditemui. Namun yang berkaitan dengan penggalian hukum Islam, penulis

hanya mendapati satu penelitian, yaitu. : Pandangan Ulama tentang Imam

Perempuan: Telaah Kritis terhadap Pemikiran Amina Wadud oleh: Kokom

Komariah, PMF- Syari’ah dan Hukum tahun 2006. Penelitian ini mengkaji

pemikiran Amina Wadud tentang imam salat perempuan, pandangan Islam

terhadap peran perempuan, dan pandangan ulama klasik dan kontemporer tentang

imam salat perempuan, serta analisis penulis tentang imam salat perempuan yang

lebih terfokus dalam ruang lingkup fiqh.

Page 17: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

8

Dari penelitian di atas, penulis menyimpulkan bahwa imamah perempuan

dalam salat dengan makmum laki-laki maupun campuran, akan terus menjadi

pembicaraan hangat dari waktu ke waktu seiring dengan adanya gerakan

kesetaraan gender yang terus menerus diperjuangkan oleh kalangan perempuan.

Hal yang membedakan antara penelitian penulis dengan penelitian sebelumnya

terletak pada pembahasan yang mengkaji kontroversi imamah perempuan dalam

salat bagi makmum laki-laki dengan lebih fokus meneliti metode istinbath ulama

dalam menetapkan hukum terhadap perempuan yang menjadi imam salat

sehingga nantinya diharapkan dapat mengetahui hal yang melatar belakangi

pendapat yang melarang dan membolehkan perempuan menjadi imam salat

dengan makmum laki-laki.

Penelitian sebelumnya tentang imamah perempuan dalam salat bagi

makmum laki-laki adalah lebih terfokus membahas pemikiran Amina Wadud

menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. Kemudian dipaparkan pendapat

ulama klasik dan kontemporer tentang imamah perempuan dalam salat diseputar

kajian fiqh yang kemudian dihubungkan dengan peristiwa Amina Wadud

menjadi imam salat di Amerika Serikat. Tegasnya adalah bahwa analisis skripsi

sebelumnya hanya dalam ruang lingkup kajian fiqh. Sedangkan penelitian penulis

selain memaparkan kontroversi imamah perempuan dalam salat dalam kajian

fiqh, lebih dari itu penulis lebih terfokus meneliti serta mengkaji metode istinbath

ulama tentang imamah perempuan dalam salat yang merupakan kajian ushul fiqh.

Page 18: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

9

E. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah termasuk

penelitian normatif yakni dengan menggunakan pendekatan kualitatif, karena

dalam penelitian ini akan diketahui metode istinbath ulama dalam menetapkan

hukum terutama kaitannya dengan perempuan menjadi imam salat.

Penelitian ini adalah menggunakan metode yang terinci sebagai

berikut:

1. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yaitu

dengan melakukan analisa isi dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan

isi dari data-data yang penulis dapatkan, kemudian menghubungkan dengan

masalah yang diajukan sehingga ditemukan kesimpulan yang objektif, logis,

konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki dalam

penulisan skripsi ini.

Adapun jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah

jenis data kualitatif yakni deskripsi berupa kata-kata, ungkapan, norma, atau

aturan-aturan dari fenomena yang diteliti. Oleh karena itu, penulis berupaya

mengupas dan mencermati sesuatu secara ilmiah dan kualitatif mengenai

metode istinbath ulama tentang imamah perempuan dalam salat.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis

sumber data, diantaranya:

Page 19: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

10

a. Data Primer

Data primer yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bahan pustaka

yang berisikan pengetahuan ilmiah tentang metode istidlal atau istinbath

ulama dalam merumuskan dan menetapkan hukum baik berupa kitab ushul

fiqh maupun tentang sejarah ulama mazhab dalam mengistinbathkan

hukum. Di antara sumber primer tersebut adalah Ilmu Ushul al-Fiqh

karya Abdul Wahab Khalaf, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Ahkam karya Al-

Syatibi, al-Risalah karya Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Tarikh al-

Mazahib al-Islamiyyah karya Abu Zahrah, al-Madkhal ila al-Tasyri’ al-

Islamiy karya Kamil Musa.

b. Data Sekunder

Sumber data sekunder berupa bahan pustaka yang dapat memberikan

informasi, melengkapi dan menguatkan data primer dengan jalan

mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan

dengan masalah yang diajukan. Dokumen yang dimaksud adalah berupa

tafsir al-Qur’an, hadits, kitab-kitab para ahli dalam bentuk karya ilmiah,

buku-buku serta artikel-artikel dalam jurnal ilmiah yang berkaitan dengan

masalah yang diajukan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang dipakai oleh penulis dalam

skripsi ini adalah:

Page 20: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

11

a. Studi dokumentasi, yaitu dengan cara menghimpun dan menganalisis data-

data pustaka dan relevansinya dengan masalah yang dibahas. Sumber data

tersebut yaitu:

1. Kitab-kitab sumber hukum tafsir al-Qur’an seperti Jami’ al-Bayan ’an

Ta’wil Ay’ al-Qur’an karya Muhammad bin Jarir al-Tabari, Tafsir al-

Bagawi karya Abu Muhammad al-Hasan al-Farra al-Bagawi, Tafsir al-

Qur’an al-Azim karya Ibnu Katsir, Tafsir al-Manar karya Rasyid

Ridha, Tafsir Qur’an Karim karya Mahmud Yunus dan Tafsir al-

Mishbah karya Muhammad Quraish Shihab. Selain itu juga merujuk

kepada sumber hukum hadits seperti Sunan Ibnu Majah, Sunan Abi

Daud, Sunan al-Daruquthni.

2. Kitab-kitab yang memuat metode istidlal ulama dalam

mengistinbathkan hukum dan sejarah ushul fiqh ulama mazhab seperti

Ilmu Ushul al-Fiqh karya Abdul Wahab Khalaf, Tarikh al-Mazahib

al-Islamiyyah karya Abu Zahrah, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Ahkam

karya Al-Syatibi, al-Risalah karya Muhammad bin Idris al-Syafi’i dan

I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin karya Ibn Qayyim al-

Jauziyyah.

3. Kitab-kitab tentang pendapat ulama mengenai imamah

(kepemimpinan) perempuan dalam salat seperti al-Fiqh al-Islam

Waadillatuhu karya Wahbah Zuhailli, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab

karya Syarafuddin al-Nawawi, Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq, al-

Page 21: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

12

Fiqhu ala al-Madzahibil al-Arba’ah karya Abdurrahman al-Juzairi,

al-Mughni karya Ibnu Qudamah dan Bidayah al-Mujtahid karya Ibnu

Rusyd.

4. Metode Analisa Data

Setelah data tersebut terkumpul, penulis akan menganalisisnya secara

deskriptif-komparatif, objektif dengan memaparkan dan membandingkan metode

istinbath para ulama dalam menetapkan hukum dan aplikasinya dengan

kepemimpinan perempuan dalam salat dengan berusaha menyajikan bahan yang

relevan dan mendukung sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan hukum.

F. Teknik Penulisan

Penulisan skripsi ini mengacu pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi yang

diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syrif Hidayatullah Jakarta,

2007.

H. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan skripsi ini, penulis membagi pembahasan

menjadi beberapa bab yang diuraikan dalam sistematika sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Meliputi, Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan

Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Kajian Terdahulu,

Metode Penelitian, Teknik Penulisan dan Sistematika Penulisan.

Page 22: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

13

BAB II : TEORI ISTINBATH HUKUM DAN PRAKTEKNYA

Meliputi, Tinjauan Umum tentang Istinbath Hukum, Metode

Pembentukan Hukum Ulama Mazhab.

BAB III : PEREMPUAN MENJADI IMAM SALAT DALAM

PANDANGAN ULAMA

Meliputi, Pengertian Imam, Syarat Imam Salat, Praktek Pelaksanaan

Pengimaman Salat Berjamaah dalam Sejarah Islam Klasik, Imam Salat

dalam Perspektif al-Qur’an, Imam Salat dalam Perspektif al-Hadits.

BAB IV : ANALISIS TERHADAP METODOLOGI ARGUMENTASI

ULAMA TENTANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN

DALAM SALAT

Meliputi, Dasar Hukum Pendapat Ulama tentang Kepemimpinan

Perempuan dalam Salat, Argumen Ulama Mengenai Imam Salat

Perempuan, Analisis Metode Istinbath Hukum Ulama tentang

Kepemimpinan Perempuan dalam Salat

BAB V : PENUTUP

Berisi kesimpulan dan saran-saran

Page 23: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

14

BAB II

TEORI ISTINBATH HUKUM DAN PRAKTEKNYA

A. Tinjauan Umum Tentang Istinbath Hukum

Istinbath, dilihat dari sudut etimologi berasal dari nabth atau nubuth

dengan kata kerja nabatha, yanbuthu, yang berarti air yang mula-mula keluar

dari sumur yang digali. Dari kata kerja tersebut diubah menjadi muta’adi

(transitif), sehingga menjadi anbatha dan istanbatha, yang berarti

mengeluarkan air dari sumur. Jadi kata istinbath pada asalnya berarti usaha

mengeluarkan air dari sumber tempat persembunyiannya. Selanjutnya istilah

di atas dipakai sebagai istilah fiqh dan ushul fiqh, yang berarti usaha

mengeluarkan hukum dari sumbernya.1 Sedangkan secara terminologi, kata

istinbath berarti mengeluarkan atau mengambil makna (pengertian) dari nash

dengan mengerahkan segala kemampuan dan potensi yang dimiliki.2 Menurut

ilmu ushul fiqh, kata ”ijtihad” identik dengan kata ”istinbath”. Jadi, ijtihad

atau istinbath ialah menggali hukum syara’ yang belum ditegaskan secara

langsung oleh nash al-Qur’an dan sunnah.3 Kemudian kegiatan istinbath

hukum ini melahirkan ijtihad ulama yang merupakan kegiatan mencurahkan

1 Roibin, Sosiologi Hukum Islam: Telaah Sosio-Historis Pemikiran Imam Syafi’i (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 87-88. 2 Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 1. 3 Tamu Jalaluddin Rahmat, ed., Ijtihad dalam Sorotan (Bandung: Mizan, 1996), h. 25.

Page 24: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

15

segala tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum agama melalui cara tertentu

dari sumber-sumber hukum Islam.

Dalil dalam kajian ushul fiqh secara etimologi diartikan dengan

”sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada apa yang dikehendaki”.4

Sementara itu, Abdul Wahaf Khalaf menjelaskan bahwa yang dimaksud

dengan dalil ialah:

5 حسي أو معنوي خري أو شراهلادى إىل أي شيء

Artinya: ”Dalil ialah yang memberi petunjuk kepada sesuatu yang dirasakan atau

yang dipahami baik sifatnya hal yang baik maupun yang tidak baik”.

Kemudian Abdul Wahab Khalaf menyebutkan bahwa dalil secara

terminologi ialah:

ما يستدل بالنظر الصحيح فيه على حكم شرعي عملي على سبيل القطع 6أو الظن

Artinya: ”Segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan

pemikiran yang benar untuk menetapkan hukum syara yang bersifat amali, baik secara qat’i maupun zhani”.

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya yang

disebut dengan dalil ialah sesuatu yanag dapat dijadikan alasan atau pijakan

4 Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, h. 41.

5 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh (Kairo: Dar al-Hadits, t.th.), h. 20 6 Ibid., h. 20.

Page 25: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

16

dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar

pertimbangan yang benar dan tepat.

Oleh karena itu, dalam istinbath hukum persoalan yang paling

mendasar yang harus diperhatikan adalah menyangkut apa yang menjadi dalil

atau pijakan yang dapat dipergunakan dalam menetapkan hukum syara’ dari

sesuatu persoalan yang dihadapi. Tentu saja, penetapan hukum harus

didukung oleh pertimbangan yang tepat dan cermat dengan menggunakan

dalil atau pijakan yang jelas.

Jika dilihat dari segi keberadaannya, maka dalil dapat dibedakan

kepada dua macam, yaitu:7

1. Dalil-dalil hukum yang keberadaannya secara tekstual terdapat dalam

nash. Dalil-dalil hukum yang dikategori kepada bagian ini adalah al-

Qur’an dan al-Sunah.

2. Dalil-dalil hukum yang secara tekstual tidak disebutkan oleh nash al-

Qur’an dan al-Sunnah. Dalil-dalil ini dirumuskan melalui ijtihad

dengan menggunakan penalaran ra’yu.

Ibnu Hazm dalam al-Ihkam memberikan definisi tentang istidlal yaitu:

8 أو من عامل يعلمهاإلستدالل طلب الدليل من طريق العقل ونتائجه

Artinya: “Istidlal itu mencari dalil (menegakkan dalil) dari ketetapan-ketetapan

akal dan natijah-natijahnya, atau dari seseorang yang mengetahuinya”. 7 Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, h. 44-45. 8 Abu Muhammad Ali ibn Hazm al-Andalusi al-Zahiri, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Beirut: Dar al-Jil, 1987), Juz I h. 22.

Page 26: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

17

Contohnya, kelaziman dari tidak adanya wudhu dengan tidak sah

salatnya. Apabila seseorang mengeluarkan angin dari duburnya, wudhunya

gugur, maka dengan sendirinya salatnya tidak sah lagi.

Lebih lanjut, Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin memberikan

pengertian istidlal yaitu:

9إقامة الدليل على حكم من نص او امجاع او غريمهاArtinya: ”Menegakkan dalil untuk suatu hukum, baik dalil tersebut berupa nash,

berupa ijma’ ataupun lainnya”.

Sumber-sumber yang telah disepakati jumhur ulama ushul fiqh sebagai

dasar dalam mengistinbathkan hukum meliputi al-Qur’an, al-Sunnah, al-

Ijma’ dan al-Qiyas.10 Sedangkan sumber yang tidak disepakati meliputi al-

Istihsan, al-Mashlahah al-Mursalah, al-Istishab, al-Urf’, Mazhab shahabi,

Sadd al-dzarai’i dan Syar’u Man Qablana Syar’un Lana.11

Kegiatan istinbath dan ijtihad merupakan pengerahan daya nalar

ulama dalam menemukan dan menetapkan hukum. Ijtihad adalah usaha besar

yang memerlukan pengerahan kemampuan. Hal ini berarti usaha yang

ditempuh dengan tidak sepenuh hati dan tidak bersungguh-sungguh, maka

tidak dinamakan ijtihad. Cara menemukan hukum syar’i yaitu melalui

istinbath yang pengertiannya memungut atau mengeluarkan sesuatu dan 9 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih (t.t., Amzah, 2005), h. 133. 10 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, h. 23. 11 Ibid., 25.

Page 27: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

18

dalam kandungan lafaz. Hal ini berarti bahwa ijtihad itu adalah usaha

memahami lafaz dan mengeluarkan hukum dari lafaz tersebut.12 Jika

persoalan hukum tidak terdapat dalam lafaz, maka ulama mujtahid akan

menggunakan metode istinbath lain seperti ijma’, qiyas, istihsan, maslahat

mursalah dan lain sebagainya dengan tetap bersandarkan kepada lafaz

tersebut. Istinbath mengandung arti lebih menekankan bagaimana cara yang

ditempuh ulama dalam menemukan hukum dari sumbernya. Sedangkan

ijtihad merupakan kegiatan ulama dalam memahami, menemukan, dan

merumuskan hukum dari sumbernya.

Para mujtahid mengerahkan segenap kemampuan nalarnya untuk

menemukan dan menetapkan hukum fiqh diluar apa yang dijelaskan dalam

nash al-Qur’an dan hadits. Mereka merumuskan cara atau metode yang

mereka gunakan dalam berijtihad. Meskipun ada beberapa metode istinbath

dalam menetapkan hukum, namun tidak semua metode itu disepakati

penggunaannya oleh ulama.13 Hal ini menunjukkan bahwa cara atau metode

istinbath ulama berbeda-beda dalam menetapkan hukum. Adanya perbedaan

metode istinbath ulama dalam menetapkan hukum berimplikasi pada

12 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 238-239. 13 Hal ini dapat dilihat Syafi’iyyah menggunakan al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas dalam mengistinbathkan hukum. Hanafiyyah menyetujui semua dalil yang dikemukakan Syafi’iyyah dengan menambahkan istihsan. Malikiyyah menambahkan dua dalil yaitu maslahah mursalah dan sadd al-zari’ah. Hanabilah menerima dalil-dalil yang dikemukakan Syafi’iyyah dengan menambahkan saad al-zari’ah. Zahiriyah menolak qiyas, istihlah dan istihsan, tetapi mereka menggunakan apa yang disebutnya dalil sebagai metode ijtihad. Syiah Imamiyah menolak juga teori keabsahan al-hadits, ijma’ dan konsep qiyas yang dikemukakan Syafi’iyyah, tetapi mereka hanya mengakui ijma’ ulama mereka saja.

Page 28: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

19

munculnya perbedaan antara hasil istinbath seorang mujtahid dengan yang

lainnya. Perbedaan metode tersebut ditentukan oleh jenis petunjuk dan jenis

pertimbangan yang dipakai oleh masing-masing mujtahid dalam berijtihad.

Para mujtahid dalam berijtihad langsung merujuk kepada dalil syara’

dan menghasilkan temuan orisinal. Karena antar para mujtahid itu dalam

berijtihad menggunakan ilmu ushul dan metode yang berbeda, maka hasil

yang mereka capai juga tidak selalu sama. Jalan yang ditempuh seorang

mujtahid dengan menggunakan metode tertentu untuk menghasilkan suatu

pendapat tentang hukum, kemudian disebut ”mazhab” dan tokoh mujtahidnya

dinamai ”imam mazhab”.14

Pendapat tentang hukum hasil temuan imam mazhab itu disampaikan

kepada umat dalam bentuk ”fatwa” untuk dipelajari, diikuti dan diamalkan

oleh orang-orang yang kemudian menjadi murid dan pengikutnya secara

tetap.15 Selanjutnya para murid dan pengikut imam itu menyebarluaskan

mazhab imamnya. Hal ini menjadikan mazhab tersebut berkembang dan

14 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 263. 15 Ibid., h. 263. Hal ini dapat dilihat dari para murid atau pengikut imam mazhab yang menyebarkan mazhab mereka seperti Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim al-Anshary yang merupakan murid Imam Hanafi. Usman ibn al-Hakam al-Juzami yang merupakan sahabat Imam Maliki. Muhammad ibn Abdullah ibn Abd al-Hakam merupakan ulama Mesir sangat berpengaruh yang menyebarkan mazhab Syafi’i di Mesir. Ibnu Qudamah sebagai salah seorang yang memperbaharui, membela, mengembangkan dan membuka mata manusia untuk memperhatikan ajaran-ajaran mazhab Hanbali, terutama dalam bidang muamalah. Ja’far Muhammad ibn Ya’kub al-Khulainiy pengarang kitab al-Kafiy yang merupakan kitab ushul fiqh mazhab Syiah Imamiyah. Abu Khalid Amr ibn Khalid al-Wasithiy mengembangkan mazhab Syiah Zaidiyah melalui kitab-kitab yang dikumpulkannya yakni kitab Majmu’ yang terdiri dari Majmu’ dalam bidang hadits dan Majmu’ dalam bidang fiqh. Ali ibn Hazmin al-Zhahiriy, dialah yang banyak menegembangkan mazhab Zahiriy.

Page 29: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

20

bertahan dalam kurun waktu yang lama. Bahkan perkembangannya sampai

sekarang dan mewarnai umat Islam di seluruh belahan bumi.

Di antara mazhab fiqh yang terkenal adalah:

1. Mazhab Hanafiyyah. Imamnya Abu Hanifah (80-150 H).

2. Mazhab Malikiyyah. Imamnya Malik ibn Anas (93-179 H).

3. Mazhab Syafi’iyyah. Imamnya Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (150-204 H).

4. Mazhab Hanabilah. Imamnya Ahmad ibn Hanbal (164-241 H).

5. Mazhab Zhahiriyyah. Imamnya Dawud ibn Ali al-Ashfahaniy (202-270 H).

6. Mazhab Zaidiyyah. Imamnya Zaid ibn Ali Zainul Abidin (80-122 H).

7. Mazhab Ja’fariyyah. Imamnya Ja’far al-Shadiq (80-148 H).

B. Metode Pembentukan Hukum Ulama Mazhab

Sebagaimana diketahui, sumber ajaran Islam yang pertama adalah al-

Qur’an. Al-Qur’an itu merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad SAW. Al-Qur’an tidak diwahyukan sekaligus tetapi dengan cara

berangsur-angsur dimulai di Mekkah dan disudahi di Madinah. Atas dasar

wahyu inilah Nabi menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul dalam

masyarakat Islam ketika itu.

Ketika persoalan yang dijumpai masyarakat Islam saat itu tidak

ditemukan ketetapan hukumnya di dalam al-Qur’an, Nabi menyelesaikannya

dengan pemikiran dan pendapat beliau dan terkadang pula melalui

permusyawaratan dengan para sahabat. Inilah yang kemudian dikenal dengan

Page 30: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

21

Sunnah Rasul. Memang al-Qur’an hanya memuat prinsip-prinsip dasar dan

tidak menjelaskan secara rinci. Perinciannya, dalam masalah ibadah, diberikan

oleh hadits. Sedangkan dalam bidang muamalat, prinsi-prinsip dasar itu, yang

belum dijelaskan oleh Nabi SAW diserahkan kepada umat untuk

mengaturnya.

Dalam periode Nabi, karena persoalan yang timbul dalam bidang ini

dikembalikan penyelesaiannya kepada Nabi, maka tidak ada persoalan. Tetapi

dalam periode sahabat, ketika daerah yang dikuasai Islam bertambah luas,

sedangkan permasalahan yang dihadapi semakin kompleks, sedangkan Nabi

sebagai tempat bertanya tidak ada lagi, ummat pun menyelesaikan

persoalannya berdasarkan al-Qur’an dan hadits Nabi. Ternyata pada

prakteknya, tidak semua persoalan yang timbul dapat dikembalikan pada al-

Qur’an dan hadits Nabi secara eksplisit. Untuk menyelesaikan persoalan yang

tidak dijumpai dari kedua sumber tersebut para ulama melakukan ijtihad.

Karena wahyu sudah tidak turun dan Nabi sudah wafat, maka para mujtahid

tidak ada yang berani menyatakan benar atau tidaknya hasil ijtihad itu. Untuk

mengatasi masalah itu dipakai ijma’. Dengan demikian putusan hukum yang

diambil secara suara bulat bersama oleh para ulama, lebih kuat daripada

putusan hukum yang dibuat oleh satu atau beberapa orang saja.

Ketika kekuasaan Islam semakin bertambah luas, para ulama tinggal

secara berpencar sehingga ijma’ dalam arti di atas tidak mungkin dilakukan

lagi. Akhirnya masing-masing ulama melakukan istinbath hukum sendiri.

Page 31: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

22

Maka lahirlah bermacam-macam metode istinbath hukum seperti qiyas,

istihsan, urf, dan lain-lain. Metode-metode istinbath hukum itu selanjutnya

menjadi objek kajian ilmu ushul fiqh. Pada perkembangannya metode

istinbath hukum tersebut melahirkan mazhab.

Imam mazhab dalam melakukan istinbath hukum telah menyusun

macam-macam sumber dalil secara sistematik. Kenyataannya, macam-macam

sumber dalil tersebut ada yang disepakati dan tidak disepakati. Dengan kata

lain, dalil-dalil yang menjadi sumber penetapan hukum di kalangan ulama

mazhab tersebut di satu pihak terdapat persamaan dan di pihak lain terdapat

perbedaan.

Macam-macam sumber dalil dan sistematika yang menjadi pijakan

berbagai mazhab dalam melakukan istinbath hukum seperti berikut ini:

1. Mazhab Hanafiyyah

Pendiri mazhab ini adalah Abu Hanifah (80-150 H) dikenal sebagai

ulama Ahl al-Ra’yi.16 Sehingga dapat diketahui bahwa dalam menetapkan

hukum Islam, baik yang diistinbathkan dari al-Qur’an ataupun hadits, beliau

banyak menggunakan nalar. Beliau lebih menggunakan ra’yi dari khabar

ahad. Apabila terdapat hadits yang bertentangan, beliau menetapkan hukum

16 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2003), h.98.

Page 32: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

23

dengan jalan qiyas dan istihsan.17 Jika dipandang bahwa menggunakan qiyas

kurang tepat, dipergunakan istihsan. Jika tidak dapat dipergunakan istihsan,

diambillah ’urf . Hal ini menjadikan Imam Hanafi banyak sekali

mengemukakan masalah-masalah baru, bahkan beliau banyak menetapkan

hukum-hukum yang belum terjadi.

Adapun metode istidlal Imam Abu Hanifah dapat dipahami dari

ucapan beliau sendiri yakni:

بسنة رسول اهللا ه فيه أخذتمل أجد فما إذا وجدتهاخذ بكتاب اهللا إىن ذافإ. واالثار الصحاح عنه الىت نشت ىف أيدى الثقاتصلى اهللا عليه وسلم

مل أجد ىف كتاب اهللا والسنة رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم أخذت الأخرج من قوهلم مث من شئت قولبقول أصحابه من شئت وأدع

وابن واحلسنإبراهيم والشعيب إىل فإذا انتهى األمر . ريهمإىل قول غ قد إجتهدوا فلى أن وعد رجاال املسيببن سريين وسعيد

18. اجتهدواكماأجتهد

Artinya: “Sesungguhnya saya berpegang kepada Kitab Allah (al-Qur’an) apabila menemukannya. Jika saya tidak menemukannya, saya berpegang kepada Sunnah Rasulullah SAW dan atsar-atsar yang memiliki tingkat keshahihan yang tersebar luas di kalangan perawi terpercaya. Jika tidak saya temukan dalam kitab dan sunnah, saya berpegang kepada pendapat para sahabat dan mengambil mana yang saya sukai dan meninggalkan yang lainnya, saya tidak keluar (pindah) dari pendapat mereka kepada yang lainnya. Maka jika persoalan sampai kepada Ibrahim, al-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Sirrin, Said ibn

17 Ibid., h. 98. 18 Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami (Kairo: Maktabah wa Matba’ah Ali Sabih wa auladuh, t.th.), h. 91-92

Page 33: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

24

al-Musayyab dan Abu Hanifah menyebut beberapa orang lagi, maka mereka itu orang-orang yang telah berijtihad, karena itu saya pun berijtihad sebagaimana mereka telah berijtihad”.

أخذ باالثقة وفرار من القبح والنظر ىف معامالت الناس كالم أيب حنيفةإذا قبح ومااستقاموا عليه وصلح عليه أمورهم ميضى األمر على القياس ف

ميضى له رجع إىل فإذا مل. ياس ميضيها على اإلستحسان مادام ميضى لهالق مث يقيس عليه مادام يوصل احلديث املعروفوكان . بهمايتعامل املسلمون

19 .القياس سائغا مث يرجع إىل اإلستحسان أيهما كان أوفق رجع إليه

Artinya: “Pendirian Abu Hanifah ialah mengambil hal yang diyakini dan

dipercayai dan lari dari keburukan serta memperhatikan muamalah-muamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi manusia. Ia menjalankan urusan atas qiyas. Apabila qiyas tidak baik dilakukan, ia melakukannya atas istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan, ia kembali kepada urf manusia. Dan ia mengamalkan hadits yang sudah terkenal kemudian ia mengqiyaskan sesuatu kepada hadits itu selama qiyas dapat dilakukan. Kemudian ia kembali kepada istihsan. Di antara keduanya yang mana lebih tepat, kembalilah ia kepadanya”.

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah dalam

melakukan istinbath hukum berpegang kepada sumber dalil yang sistematika

atau tertib urutannya seperti apa yang ia ucapkan tersebut. Dari sistematika

atau tertib urutan sumber dalil di atas nampak bahwa Imam Abu Hanifah

menempatkan al-Kitab atau al-Qur’an pada urutan pertama, kemudian al-

Sunnah pada urutan kedua dan seterusnya secara berurutan pendapat sahabat,

19 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah (al-Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1987), Juz II, h. 161.

Page 34: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

25

qiyas, istihsan dan terakhir adalah urf. Tidak disebutkannya ijma’ dalam

rumusan ini bukan berarti Abu Hanifah menolak ijma’ tetapi menggunakan

ijma’ sahabat yang tergambar dalam ucapannnya di atas.20 Jika terjadi

pertentangan qiyas dengan istihsan, sementara qiyas tidak dapat dilakukan,

maka Imam Abu Hanifah meninggalkan qiyas dan berpegang kepada istihsan

karena adanya pertimbangan maslahat. Dengan kata lain penggunaan qiyas

dapat dilakukan sepanjang ia dapat memenuhi persyaratan. Jika qiyas tidak

mungkin dilakukan terhadap kasus-kasus yang dihadapi, maka pilihan

alternatifnya adalah menggunakan istihsan dengan alasan maslahat.21

Secara terperinci dasar Imam Abu Hanifah dalam menetapkan suatu

dasar hukum adalah:

a. Al-Kitab

Al-Kitab adalah sumber pokok dan sumber pertama ajaran Islam

yang menjadi dasar dalam pembentukan hukum Islam sampai akhir

zaman. Oleh karena itu, jika didalam al-Qur’an dijumpai nash

mengenai suatu hukum, maka nash itu harus diikuti. Dalam

menetapkan hukum Islam yang diistinbathkan dari al-Qur’an, beliau

banyak menggunakan akal (nalar).

b. Al-Sunnah

20 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 106. 21 Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, h. 48.

Page 35: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

26

Al-Sunnah berfungsi sebagai penjelasan al-Kitab, merinci yang

masih bersifat umum (global). Jika dalam al-Qur’an tidak dijumpai

nash mengenai suatu hukum, maka harus kembali ke al-Sunnah.

Apabila di dalam al-Sunnah didapati hukum yang pasti, maka al-

Sunnah tersebut harus diikuti.

Abu Hanifah mensyaratkan bahwa hadits yang diriwayatkan

harus masyhur di kalangan perawi hadits terpercaya.22 Perawi hadits

harus beramal berdasarkan hadits yang diriwayatkan dan tidak boleh

menyimpang dari periwayatannya. Perawi hadits tidak boleh

merupakan seseorang yang aibnya tersebar di kalangan umum.23

c. Aqwalu al-Shahabah (pendapat sahabat)

Para sahabat adalah orang-orang yang membantu Nabi

menyampaikan risalah Allah. Mereka hidup dan bergaul bersama

Nabi. Lantaran kedekatannya dengan Nabi dalam pergaulan sehingga

mampu memahami al-Qur’an dan hukum-hukumnya. Mereka lebih

mengetahui sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur’an dan asbabu al-

wurud hadits Nabi serta bagaimana kaitannya hadits dengan al-

Qur’an yang diturunkan itu.

22 Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 94. 23 Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 100.

Page 36: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

27

Perkataan sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam

pandangan Abu Hanifah.24 Beliau menerima pendapat sahabat dan

mengharuskan umat Islam untuk mengikutinya.25 Jika pada suatu

masalah ada beberapa pendapat sahabat, maka beliau mengambil

salah satunya sebagai hujjah. Beliau membolehkan mengikuti

pendapat salah seorang sahabat yang dikehendaki akan tetapi tidak

boleh menentang keseluruhan pendapat sahabat. Oleh karena itu,

penggunaan qiyas masih tidak diperkenankan selama masih ada

pendapat sahabat walaupun hanya mengikuti pendapat salah seorang

sahabat yang dikehendaki. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Abu

Hanifah bahwa apabila ia tidak mendapatkan ketentuan dari al-

Qur’an dan al-Sunnah maka beliau akan mengambil pendapat sahabat

yang dikehendaki dan meninggalkan pendapat sahabat yang tidak

dikehendaki. Beliau tidak mau keluar dari pendapat sahabat-sahabat

tersebut untuk kemudian memilih pendapat selain sahabat.

d. Al-Qiyas

Abu Hanifah berpegang kepada Qiyas jika dalam al-Qur’an

dan al-Sunnah atau perkataan sahabat tidak beliau temukan ketetapan

hukum.26 Beliau menghubungkan sesuatu yang belum ada hukumnya

24 M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 189. 25 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 160. 26 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, Juz II, h. 162.

Page 37: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

28

dengan nash setelah menyamakan illat yang sama diantara keduanya.

Kemampuan Abu Hanifah dalam menerapkan Qiyas menurut Shubhy

Mahmasany sebagaimana dikutip oleh Huzaemah Tahido Yanggo

disebabkan profesi beliau sebagai saudagar dan pengetahuannya yang

mendalam di bidang ilmu hukum sehingga menjadikannya ahli dalam

menguasai pendapat dan logika dalam penerapan hukum syari’at.27

e. Al-Istihsan

Istihsan secara etimologi berarti mengangap baik terhadap

sesuatu. Menurut istilah ulama ushul, istihsan adalah kepindahan

seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jali (nyata) kepada qiyas khafi

(samar), atau dari dalil kulli kepada hukum takhsish lantaran terdapat

dalil yang menyebabkan mujtahid mengalihkan hasil fikirannya dan

mementingkan perpindahan hukum.28

Dari pengertian istihsan tersebut dapat dipahami bahwa apabila

seorang mujtahid menghadapi suatu peristiwa yang sudah tidak ada

nash yang menetapkan hukumnya, sedangkan untuk menetapkannya

terdapat jalan yang berbeda-beda, jalan yang satu adalah jelas dan

jalan yang lainnya adalah samar-samar, sedangkan pada diri mujtahid

tersebut terdapat suatu dalil yang dapat digunakan untuk menarjihkan

jalan yang samar-samar, maka ia menempuh jalan yang nyata

27 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 101. 28 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, h. 88.

Page 38: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

29

tersebut untuk menempuh jalan yang samar-samar itu. Demikian juga

jika ia menemukan dalil kulli yang menetapkan suatu hukum,

kemudian ia menemukan dalil yang lain yang mengecualikan suatu

hukum dari dalil kulli tersebut, maka ia menetapkan hukum lain yang

berbeda dengan hukum yang ditetapkan oleh dalil kulli tersebut.

Abu Hanifah banyak menetapkan hukum dengan istihsan.

Tetapi ia tidak pernah menjelaskan pengertian dan rumusan dari

istihsan yang dilakukannya itu. Istihsan menurut bahasa,

sebagaimana telah dijelaskan, berarti menganggap atau memandang

baik terhadap sesuatu.29 Karena Abu Hanifah tidak menjelaskan

pengertian dan rumusan dari istihsan itu, maka orang mengatakan

bahwa Abu Hanifah dalam menetapkan hukum menurut

keinginannya saja tanpa menggunakan metode. Hal ini dikarenakan

Abu Hanifah tidak menjelaskan pengertian dan rumusan dari istihsan

itu. Abu Hanifah dalam menetapkan hukum hanya berpatokan pada

apa yang sudah dipandang baik maka sudah bisa menjadi dasar

penetapan hukum.

Setelah timbul kritikan-kritikan terhadap istihsan yang tidak

diketahui definisi hakikinya, maka para sahabat dan murid Abu

Hanifah berusaha menjelaskan pengertian dan rumusan istihsan.

29 Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 43.

Page 39: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

30

Mereka berusaha untuk menjelaskan bahwa sesungguhnya istihsan

itu tidak keluar dari dalil-dalil syara. Sebagian Ulama Hanafiah

menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan istihsan adalah qiyas

yang wajib beramal dengannya, karena illatnya didasarkan pada

pengaruh hukumnya. Illat yang mempunyai pengaruh hukum yang

kuat dinamakan istihsan dan illat yang mempunyai pengaruh hukum

yang lemah dinamakan qiyas. Istihsan ini seolah-olah satu macam

cara beramal dengan salah satu yang paling kuat. Ini disimpulkan

dari penelitian induksi terhadap masalah-masalah yang ada dalam

istihsan menurut ketentuan-ketentuan mereka.30

f. Urf

Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia

karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan,

perbuatan atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan

tertentu, sekaligus disebut adat.31

Abu Hanifah berpegang kepada urf dalam menetapkan

hukum.32 Pendirian Abu Hanifah ialah mengambil hal yang sudah

diyakini dan dipercayai dan lari dari keburukan serta memperhatikan

muamalah-muamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat

bagi manusia. Beliau melakukan segala urusan yakni apabila tidak

30 Ibid., h. 44. 31 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, h. 99. 32 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h., 177.

Page 40: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

31

ditemukan dalam al-Qur’an, sunnah, ijma’ atau qiyas, dan apabila

tidak baik dilakukan denngan cara qiyas maka beliau kembali ke

istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan

melalui istihsan maka beliau kembali pada urf. Hal ini menunjukan

bahwa beliau memperhatiakn urf manusia apabila tidak ditemukan

nash dalam al-Qur’an, sunnah, ijma, qiyas maupun istihsan.

Tegasnya, Abu Hanifah pun hanya menggunakan urf shahih dengan

meninggalkan urf fasid.

2. Mazhab Malikiyyah

Pendiri mazhab ini adalah Imam Malik (93-179 H). Imam

Malik adalah seorang tokoh yang dikenal para ulama sebagai alim

besar dalam ilmu hadits.33 Al-Muwaththa’ adalah kitab hadits yang

merupakan karya Imam Malik. Kitab ini banyak mengandung hadits-

hadits yang berasal dari Rasullullah SAW. atau dari Sahabat dan

Tabi’in. Oleh karena itu, Imam Malik juga lebih dikenal termasuk

beraliran Ahl al-Hadits.

Adapun metode istidlal Imam Malik dalam menetapkan hukum

Islam berpegang kepada:

a. Al-Qur’an

33 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 105.

Page 41: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

32

Imam Malik bersandarkan kepada nash al-Qur’an sebagai

pegangan pokok dalam pengambilan hukum Islam. Pengambilan

hukum itu berdasarkan zahir nash al-Qur’an atau keumumannya.34

b. Al-Sunnah

Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum yang

kedua setelah al-Qur’an, imam Malik tetap mengikuti cara yang

dilakukannya dalam berpegang kepada al-Qur’an. Apabila dalil syar’i

menghendaki adanya penta’wilan, maka hal yang dijadikan pegangan

adalah arti ta’wil tersebut.35 Apabila sunnah berlawanan dengan zahir

al-Qur’an, baik zahir itu bersifat ’am, ataupun khas, maka Imam

Malik lebih mendahulukan zahir al-Qur’an terkecuali sunnah tersebut

dikuatkan oleh Amal Ahl al-Madinah, ijma’ atau oleh qiyas. Jika

sunnah tersebut dikuatkan oleh Amal Ahl Madinah, ijma’ atau oleh

qiyas, maka Imam Malik lebih mengutamakan makna yang

terkandung dalam sunnah daripada zahir al-Qur’an.

Imam Malik tidak mensyaratkan kepopuleran hadits seperti

yang disyaratkan Imam Hanafi dalam penerimaan hadits. Imam

Malik tidak menolak khabar wahid hanya karena bertentangan

dengan qiyas atau karena perawinya bertindak tidak sesuai dengan

hadits periwayatannya. Imam Malik tidak mendahulukan qiyas dari

34 Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 99. 35 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 106.

Page 42: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

33

khabar wahid. Selain itu, Imam Malik juga menggunakan hadits

mursal dalam mengistinbathkan hukum. Beliau mensyaratkan dalam

penerimaan khabar ahad yakni khabar ahad tersebut tidak

bertentangan dengan amal ahl Madinah dan tolak ukur dalam hadits

adalah hadits yang diriwayatkan oleh ulama Hijaz.36

c. Amal Ahl al-Madinah

Amal Ahl al-Madinah ada dua macam yakni Amal Ahl al-

Madinah yang asalnya dari al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah

SAW, bukan dari hasil ijtihad Ahl al-Madinah seperti tentang

penentuan suatu tempat, seperti tempat mimbar Nabi SAW atau

tempat dilakukannya amalan-amalan rutin seperti adzan di tempat

yang tinggi dan lain-lain. Ijma’ semacam ini dijadikan hujjah oleh

Imam Malik.37 Akan tetapi terkadang beliau menolak hadist apabila

ternyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama madinah.

d. Khabar Ahad dan al-Qiyas

Dalam penggunaan khabar ahad, Imam Malik tidak selalu

konsisten.38 Kadang-kadang ia mendahulukan qiyas, daripada khabar

ahad. Kadang-kadang ia mendahulukan khabar ahad daripada qiyas.39

Jika khabar ahad tidak dikenal di kalangan masyarakat Madinah,

36 Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 101. 37 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab h. 106. 38 Ibid., h. 108. 39 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, h. 215.

Page 43: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

34

maka khabar ahad itu tidak dianggap sebagai petunjuk dan tidak

dianggap benar sebagai sesuatu yang berasal yang Rasulullah SAW.

Dengan demikian, khabar ahad tidak digunakan sebagai dasar

hukum, akan tetapi ia menggunakan qiyas dan maslahah. Hal ini

menunjukan bahwa Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai

sesuatu yang datang dari Rasulullah jika khabar ahad itu

bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat

Madinah. Kecuali khabar ahad itu dikuatkan dengan dalil-dalil qat’i.

e. Al-Maslahah al-Mursalah

Al-maslahah al-mursalah adalah maslahah yang tidak ada

ketentuannya secara tersurat atau sama sekali tidak disingung dalam

nash dengan tujuan untuk memelihara tujuan-tujuan syara’ dengan

jalan menolak segala sesuatu yang merusak makhluk. Jadi, maslahah

mursalah itu kembali kepada memelihara syariat yang diturunkan.

Tujuan syariat dapat diketahui melalui al-Qur’an, sunnah, dan ijma’

ulama.

Imam Malik terlalu bebas dalam penggunaan prinsip istishlah,

sehingga prinsip metodologi ini dinisbatkan pada dirinya. Memang,

kadangkala para imam mujtahid menggunakan prinsip ini, tetapi

dalam bentuk lain, misalnya istihsan.40

40 Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan, h. 102-103.

Page 44: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

35

Adapun syarat-syarat penggunaan maslahah mursalah sebagai

dasar hukum yakni sebagai berikut:41

1. Maslahah harus benar-benar merupakan maslahah menurut

penelitian seksama, bukan sekedar diperkirakan secara sepintas saja.

2. Maslahah harus bersifat umum bukan maslahah yang hanya berlaku

untuk orang-orang tertentu.

3. Maslahah tersebut merupakan maslahah yang bersifat umum yang

tidak bertentangan dengan nash atau ijma’.

f. Fatwa Sahabat

Imam Malik berpegang kepada fatwa sahabat besar karena

mereka dianggap memiliki pengetahuan terhadap suatu masalah yang

didasarkan pada al-naql. Menurut Imam Malik,42 para sahabat besar

tersebut tidak akan memberi fatwa kecuali atas dasar apa yang

difahami dari Rasulullah SAW. Pada perkembangannya di kalangan

muta’akhirin mazhab Maliki, mereka menjadikan fatwa sahabat yang

semata-mata hasil ijtihad mereka sebagai hujjah.

g. Al-Istihsan

Madzhab Maliki sebagaimana dikatakan al-Syatibi

berpendapat bahwa istihsan adalah menurut hukum dengan

41 Ibid., h. 110. 42 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h., 206.

Page 45: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

36

mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang

bersifat kully (menyeluruh) dengan maksud mengutamakan istidlal

al-mursalah daripada qiyas, sebab menggunakan istihsan itu tidak

berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata,

melainkan mendasarkan pertimbangannya pada maksud pembuat

syara secara keseluruhan.43 Tegasnya istihsan selalu melihat dampak

suatu ketentuan hukum. Jangan sampai ketentuan hukum membawa

dampak merugikan. Dampak suatu ketentuan hukum harus

mendatangkan maslahat atau menghindarkan madharat.

Dalil umum melarang melihat aurat seseorang. Akan tetapi jika

dalil umum itu tetap digunakan sampai melarang melihat seseorang

dokter dalam pengobatan, maka hal itu akan mengakibatkan

hilangnya maslahat yang ingin diwujudkan oleh dalil tersebut, karena

dalil yang umum bertujuan untuk memelihara kemaslahatan.

Larangan melihat dalam pengobatan menghilangkan kemaslahatan

yang pokok, karena dengan tidak mengadakan pengobatan akan

mengakibatkan kematian. Dasar memelihara jiwa adalah pokok,

sedangkan memelihara pandangan adalah pelengkap bagi yang

pokok, maka pelengkap itu tidak perlu dipertahankan.

Pendapat Imam Malik dengan penggunaan prinsip istihsan

terdapat pada banyak kasus (persoalan) seperti persoalan saksi yang 43 Al-Syatibi, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Ahkam (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Juz. IV, h. 206.

Page 46: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

37

melihat langsung dan bersumpah, pemaksaan majikan dan para

pemimpin untuk penyamarataan pemberian upah kerja bagi para

pekerja. Hanya saja, Imam Malik tidak seberani mazhab Hanafiyah

dalam menggunakan prinsip ini.44

h. Sadd al-Zarai’i

Imam Malik menggunakan sadd al-zarai’i sebagai landasan

dalam menetapkan hukum.45 Menurutnya, semua jalan atau sebab

yang menuju kepada yang haram atau terlarang, maka hukumnya

juga haram. Dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang

halal, maka halalnya juga hukumnya.

i. Istishab

Imam Malik menjadikan istishab sebagai landasan dalam

menetapkan hukum.46 Istishab adalah menetapkan sesuatu berdasar

keadaan yang berlaku sebelumnya hingga ada dalil yang

menunjukkan adanya perubahan keadaan itu.47 Tegasnya adalah

tetapnya suatu hukum untuk sekarang dan yang akan datang

berdasarkan ketetapan hukum yang sudah ada pada masa lampau.

Yakni jika sesuatu yang telah diyakini adanya, kemudian datang

keraguan padanya, maka yang menjadi landasan adalah hukum

44 Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan, h. 103. 45 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, h. 219. 46 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 111. 47 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, h. 102.

Page 47: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

38

pertama yang telah diyakini. Misalnya, ketika seseorang yang salat

maghrib yakin bahwa dia sudah melaksanakan salat 2 rakaat,

kemudian datang keraguan 2 rakaat atau 3 rakaat, maka yang menjadi

hukum bagi orang tersebut adalah 2 rakaat.

j. Syar’u Man Qablana Syar’un Lana

Menurut Qadhy Abd. Wahab al-Maliky sebagaimana dikutip

oleh Huzaemah Tahido Yanggo, Imam Malik menggunakan kaidah

syar’u man qablana syar’un lana sebagai dasar hukum. Tetapi

menurut Sayyid Muhammad Musa seperti yang dikutip oleh

Huzaemah, kita tidak menemukan secara jelas pernyataan Imam

Malik yang mengatakan demikian.48

Menurut Abdul Wahab Khalaf, bahwa apabila al-Qur’an dan

al-Sunnah mengisahkan syariat atau hukum-hukum syara’ bagi umat

sebelum kita melalui utusan-Nya, dan juga dalam nash ditetapkan

sebagai syariat seperti untuk diwajibkan kepada orang-orang sebelum

kita, maka hal itu tidak terdapat perbedaan bahwa syariat itu

merupakan syariat dan undang-undang yang wajib ditaati dengan

menetapkannya sebagai syariat.49 Contohnya antara lain sebagaimana

disebutkan dalam QS. al-Baqarah (1): 183

48 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 112. 49 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, h. 105.

Page 48: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

39

)183: 1/البقرة(

Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu

berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. al-Baqarah (1): 183)

Namun, jika al-Qur’an dan al-Sunnah menyatakan bahwa hukum-

hukum tersebut telah dihapus, maka hukum-hukum tersebut sudah

tidak berlaku lagi buat kita. Contoh dari hal tersebut adalah bahwa umat

nabi Musa apabila berbuat maksiat maka harus bunuh diri karena sudah

tidak dapat bertobat lagi. Hukum tersebut pernah diberlakukan bagi

umat nabi Musa, tetapi tidak bagi kita.

3. Mazhab Syafi’iyyah

Mengenai dasar-dasar yang hukum yang dipakai oleh Imam

Syafi’i (150 H- 204 H) dalam menetapkan hukum adalah sebagai

berikut:

وإذا اتصل احلديث . وسنة فإن مل يكن فقياس عليهمااألصل قرانمجاع أكرب من اخلرب واإل. من رسول اهللا وصح اإلسناد فهو املنتهى

منها ظاهره املفرد واحلديث على ظاهره وإذا احتمل املعاين فما أشبهأوالها به وإذا تكافأت االحاديث فأصحها إسنادا أوالها، وليس املنقطع بشيء ما عدا منقطع ابن املسيب وال قياس أصل على أصل

Page 49: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

40

سه وإمنا يقال للفرع مل؟ فإذا صح قياوال يقال ألصل مل، كيف؟ 50.على األصل صح وقامت به حجة

Artinya: ”Dasar utama dalam menetapkan hukum adalah al-Qur’an dan

Sunnah. Jika tidak ada, maka dengan mengqiyaskan kepada al-Qur’an dan Sunnah. Apabila sanad hadits bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. dan shahih sanadnya, maka itulah yang dikehendaki. Ijma’ sebagai dalil adalah lebih kuat khabar ahad dan hadits menurut zahirnya. Apabila suatu hadits mengandung arti lebih dari satu pengertian, maka arti yang zahirlah yang utama. Kalau hadits itu sama tingkatannya, maka yang lebih shahihlah yang lebih utama. Hadits Munqathi’ tidak dapat dijadikan dalil kecuali jika diriwayatkan oleh Ibnu al-Musayyab. Suatu pokok tidak dapat diqiyaskan kepada pokok yang lain dan terhadap pokok tidak dapat dikatakan mengapa dan bagaimana, tetapi kepada cabang dapat dikatakan mengapa. Apabila sah mengqiyaskan cabang kepada pokok, maka qiyas itu sah dan dapat dijadikan hujjah”.

Dari perkataan Imam Syafi’i tersebut, dapat diambil

kesimpulan bahwa pokok-pokok pemikiran beliau dalam

mengistinbathkan hukum adalah:

a. Al-Qur’an dan al-Sunnah

Imam Syafi’i berpendapat bahwa al-Qur’an dan al-Sunnah

mempunyai kedudukan yang sama yakni dalam satu martabat. Hal

ini dikarenakan bahwa kedua-duanya berasal dari Allah dan

keduanya merupakan dua sumber yang membentuk syariat Islam.51

Al-Sunnah menurut beliau adalah menjelaskan al-Qur’an oleh

50 Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 105. 51 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 239.

Page 50: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

41

karenanya al-Sunnah sejajar dengan al-Qur’an. Akan tetapi beliau

tidak menyamakan hadits ahad dengan al-Qur’an dan hadits

mutawatir karena tidak sama nilainya.

Al-Qur’an dan al-Sunnah mempunyai derajat yang

sama. Untuk menghindari kekeliruan terhadap pandangan yang

mempersamakan al-Qur’an dan al-Sunnah, maka perlu digaris

bawahi:52

1. Al-Sunnah yang seperingkat dengan al-Qur’an adalah al-Sunnah

al- Mutawatirah (Sabitah), sama-sama qat’i al-wurud. Sedangkan

hadits ahad tidak seperingkat dengan al-Qur’an karena zanni al-

wurud. Akan tetapi, hadits ahad dibolehkan mentakhsiskan ayat-

ayat al-Qur’an yang zanni al-dalalah.

2. Al-Qur’an dan al-Sunnah seperingkat dalam mengistinbathkan

hukum furu’ bukan dalam menetapkan akidah.

3. Kesamaan peringkat tersebut tidak boleh diartikan sebagai

menurunkan al-Qur’an dari posisinya sebagai pokok dan sendi

agama Islam. Demikian juga tidak boleh diartikan sebagai

menaikkan posisi al-Sunnah dari posisinya sebagai cabang dan

penjelas al-Qur’an. Persamaannya hanya dalam hal sama-sama

menjadi landasan istinbath hukum furu’.

52 Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam: Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi’i (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 57.

Page 51: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

42

Imam Syafi’i mengambil al-Qur’an dengan makna (arti) yang

lahir kecuali jika didapati alasan yang menunjukkan bukan arti yang

lahir itu yang harus dipakai atau dituruti. Dalam hal sunnah, beliau

tidak hanya mewajibkan mengambil hadits yang mutawatir saja, tetapi

beliau juga mengambil dan menggunakan hadits ahad sebagai dalil

selama selama perawi hadis tersebut terpercaya, kuat ingatan dan

bersambung sanadnya langsung sampai kepada Nabi SAW.53

b. Ijma’

Imam Syafi’i menyatakan bahwa ijma’ menjadi hujjah setelah al-

Qur’an dan al-Sunnah sebelum qiyas dalam menetapkan hukum.54

Pengertian ijma’ dalam pandangannya ialah bahwa para ulama suatu

masa bersatu pendapat tentang sesuatu persoalan, sehingga ijma’

mereka menjadi hujjah terhadap persoalan yang mereka ijma’kan,

seperti yang dikemukakannya bahwa (”Saya dan tidak seorang pun

dari kalangan ulama pernah mengatakan: ”Ini adalah persoalan

yang telah disepakati”, kecuali menyangkut persoalan yang tidak

seorang ahli pun pernah mempersoalkannya lagi kepada anda dan

meriwayatkannya dari orang-orang yang mendahuluinya, seperti

salat Zuhur empat rakaat, bahwa khamar itu diharamkan dan

sebagainya”).55

53 M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, h. 211. 54 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 253. 55 Muhammad Idris al-Syafi’i, al-Risalah (Kairo: Dar al-Turas, 1979), Juz III, h. 534.

Page 52: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

43

Statemennya tersebut mengandung pengertian bahwa mereka

yang berijma’ adalah para ulama karena merekalah yang bisa

menemukan apa yang halal dan apa yang haram atas sesuatu yang tidak

disebutkan dalam al-Qur’an dan sunnah. Mereka terdiri dari ulama

semasa dari seluruh negeri Islam. Ijma’ yang bisa dijadikan hujjah

adalah ijma’ yang berasal dari ulama seluruh penjuru Islam bukan ijma’

ulama ahl Madinah. Artinya, ijma’ ahl Madinah tidak dapat dijadikan

hujjah dalam menetapkan hukum. Dengan demikian, Imam Syafi’i

menolak ijma’ ulama yang diakui gurunya, Imam Malik. Hal ini sesuai

dengan pernyataan beliau bahwa Ijma’ adalah ijma’ ulama pada suatu

masa di seluruh dunia Islam, bukan ijma’ suatu negeri saja dan juga

bukan ijma’ kaum tertentu saja. Namun Imam Syafi’i mengakui bahwa

ijma’ sahabat merupakan ijma’ yang paling kuat.56 Hal ini karena ijma’

mereka menunjukkan bahwa masalah yang diijma’kan itu didengarnya

dari Nabi SAW.

c. Qiyas

Imam Syafi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah dan dalil dalam

menetapkan hukum setelah al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’. Beliau

adalah mujtahid yang mula-mula menguraikan dasar-dasar qiyas. Beliau

adalah mujtahid pertama yang membicarakan qiyas dengan patokan

kaidahnya dan menjelaskan alasan-alasannya. Maka pantaslah beliau 56 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, h. 259.

Page 53: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

44

diakui sebagai peletak pertama metodologi qiyas sebagai satu disiplin

ilmu dalam menetapkan hukum Islam sehingga dapat dipelajari dan

diajarkan.57 Sedangkan mujtahid sebelumnya sekalipun telah

menggunakan qiyas dalam berijtihad, namun mereka belum membuat

rumusan patokan kaidah dan asas-asasnya, bahkan dalam praktek ijtihad

secara umum belum mempunyai patokan yang jelas sehingga sulit

diketahui mana hasil ijtihad yang benar dan mana yang keliru. Disini

Imam Syafi’i tampil ke depan memilih metode qiyas serta memberikan

kerangka teoritis dan metodologisnya dalam bentuk kaidah rasional

namun tetap praktis. Bahkan Imam Syafi’i mengatakan bahwa ijtihad

itu adalah qiyas.58

Beliau menggunakan qiyas berdasarkan pada firman Allah

dalam QS. al-Nisa (4): 59

)59: 4/النساء(

57 Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam: Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi’i, h. 96. Contoh qiyas seperti firman Allah dalam QS. al-Zilzal: 7-8 bahwa (”Barangsiapa yang melakukan kebaikan sebesar zarrah, Ia pasti melihatnya. Barangsiapa yang melakukan kejahatan sebesar zarrah, Ia pun pasti akan melihatnya”). Maka jika diqiyaskan bahwa kebaikan yang lebih berat dari satu zarrah, berarti lebih terpuji dan keburukan yang lebih berat dari satu zarrah lebih tercela. 58 Muhammad Idris al-Syafi’i, al-Risalah, Juz III h. 477.

Page 54: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

45

Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul

(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. al-Nisa (4): 59) Imam Syafi’i berpendapat bahwa maksud ”kembalikan kepada Allah

dan Rasul-Nya” maksudnya adalah kembalikanlah kepada salah satu dari

keduanya yakni al-Qur’an atau al-Sunnah.59

Selain berdasarkan kepada al-Qur’an, imam Syafi’i juga berdasarkan

kepada al-Sunnah dalam menetapkan qiyas sebagai hujjah, yaitu berdasarkan

hadis tentang dialog Nabi dengan sahabat yang bernama Mua’adz ibn Jabal,

ketika ia akan diutus ke Yaman sebagai gubernur di sana. Mua’dz ibn Jabal

memutuskan masalah berdasarkan al-Qur’an, jika beliau tidak menemukan

dalam al-Qur’an maka diputuskan berdasarkan al-Sunnah. Jika tidak

ditemukan dalam al-Sunnah, maka beliau berijtihad berdasarkan pendapatnya.

4. Mazhab Hanabilah

Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H) merupakan ahli hadits

sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama.60 Akan tetapi terjadi

perselisihan di antara ulama tentang kemampuan beliau sebagai ahli fiqh. Ibn

Jarir al-Thabary berpendapat bahwa Imam Ahmad ibn Hanbal termasuk Ahlu

59 Ibid., Juz I, h. 81. 60 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, h. 323.

Page 55: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

46

al-Hadits.61 Oleh karena itu, beliau tidak memperhitungkan pendapat-

pendapat Imam Ahmad dalam menghadapi khilaf dalam persoalan fiqh. Ibnu

Qutaibah memasukkan Ahmad ibn Hanbal dalam bilanggan muhadditsin,

bukan fuqaha.62 Sedangkan Ibn Abdul al-Barr sebagaimana dikutip oleh

Huzaemah Tahido Yanggo hanya memasukkan Abu Hanifah, Malik dan al-

Syafi’i sebagai ahli fiqh.63

Adapun metode istidlal Imam Ahmad ibn Hanbal dalam menetapkan

hukum adalah:64

a. Nash dari al-Qur’an dan Sunnah yang shahih

Apabila beliau telah menghadapi suatu nash dari al-Qur’an dan

dari Sunnah Rasul yang shahih, maka beliau dalam menetapkan hukum

adalah dengan mengambil dari kedua sumber hukum tersebut.

b. Fatwa para Sahabat Nabi SAW.

Imam Ahmad ibn Hanbal akan menetapkan hukum dengan

mengambil dasar dari fatwa para Sahabat Nabi SAW. yang tidak ada

perselisihan di antara mereka jika beliau tidak menemukan suatu nash

yang jelas dari al-Qur’an dan Rasul yang shahih.

c. Fatwa Sahabat yang diperselisihkan

61 Ibid., h. 323. 62 Ibid., h. 323. 63 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 140. 64 Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin. Ed. Thaha Abd al-Rauf (Kairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, 1973), Juz I, h. 29-33.

Page 56: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

47

Imam Ahmad ibn Hanbal akan menetapkan hukum dari fatwa

Sahabat yang diperselisihkan dengan memilih fatwa Sahabat yang

lebih mendekati al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini beliau lakukan jika

beliau tidak menemukan nash yang jelas dari al-Qur’an, Sunnah dan

fatwa sahabat yang tidak ada perselisihan di antara mereka.

d. Hadits Mursal dan Hadits Dha’if

Imam Ahmad ibn Hanbal membagi hadits menjadi dua yakni

hadits mursal dan hadits dha’if tidak seperti para ulama yang membagi

hadits menjadi shahih, hasan dan dha’if. Apabila dalam suatu perkara

tidak terdapat penyelesaian, maka hadits mursal dan dha’if digunakan

sebagai hujjah. Akan tetapi hadits dha’if yang digunakan bukan berarti

hadits dha’if yang batil, mungkar dan hadits yang dalam

periwayatannya terdapat perawi yang diragukan kejujurannya. Apabila

hadits dha’if tersebut tidak terdapat atsar yang membantah

keabsahannya, atau pendapat sahabat, tidak pula ijma’, maka lebih

mengamalkan hadits dha’if lebih utama daripada melakukan qiyas.65

Dalam keadaan darurat Imam Ahmad menerima hadits dha’if dan

mendahulukannya dari qiyas. Beliau menetapkan hukum dengan

mengambil dasar dari hadits mursal dan dha’if jika beliau tidak

65 Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan, h. 107-108.

Page 57: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

48

menemukan nash yang jelas dari al-Qur’an, Sunnah dan fatwa Sahabat

yang disepakati atau diperselisihkan.

e. Qiyas

Imam Ahmad ibn Hanbal walaupun tergolong ulama yang

mengunakan Qiyas dalam menetapkan hukum, akan tetapi beliau tidak

banyak menggunakannya. Beliau hanya menggunakannya dalam

keadaan darurat.

5. Mazhab Syiah Imamiyah

Mazhab syiah asalnya bukan sebagai mazhab dalam bidang

hukum fiqih, tetapi sebagai kelompok politik yang berpendapat bahwa

yang berhak menjadi khalifah setelah nabi wafat adalah Ali bin Ibn Abi

Thalib, bukan Abu Bakar, Umar, dan Utsman.66 Pada perkembangannya

mazhab syiah bukan saja menjadi mazhab politik, tetapi juga menjadi

mazhab fiqh.

Syiah Isna Asyariyah, biasa juga dikenal dengan nama

Imamiyah atau Ja’fariyah, adalah kelompok Syiah yang mempercayai

adanya dua belas imam yang kesemuanya dari keturunan Ali bin Abi

Thalib dan Fatimah al-Zahra, putri Rasulullah SAW.

66 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 145

Page 58: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

49

Syiah Imamiyah menetapkan hukum berdasarkan pada al-

Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan al-Ra’yu.67 Imamiyah berpendapat bahwa

pendapat para imam sama nilainya dengan hadits Rasul. Pendapat para

imam tidak dipandang istinbath, tetapi dianggap sunnah yang harus

diikuti. Pendapat para imam dianggap satu kesatuan. Lantaran itu syiah

Imamiyah tidak mengatakan bahwa Ja’far al-Shadiq mempunyai fiqh

yang berdiri sendiri, terpisah dari fiqh imam-imam syiah yang lain.68

Pada mulanya ulama syiah imamiyah melakukan ijtihad

mengikuti metode imam Syafi’i dalam menetapkan hukum, tetapi lama-

kelamaan, mereka menetapkan ushul fiqh sendiri dan beristinbath

dengan caranya sendiri pula. Mereka berijtihad menggunakan maslahat,

bukan dengan cara qiyas.69

Secara terperinci Syiah Imamiyah dalam mengistinbathkan

hukum berdasarkan pada:

a. Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan hujjatul Islam pokok yang disepakati

oleh seluruh umat Islam. Al-Qur’an merupakan sumber dari segala

sumber. Al-Qur’an dijamin terpelihara oleh Allah sebagaimana firman-

Nya di dalam QS. al-Hijr (15): 9

67 Ibid., 148. 68 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 409.

69 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 148.

Page 59: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

50

)9: 15/احلجر(

Artinya: ”Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan

sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (QS. al-Hijr (15): 9)

Imam Ja’far al-Shadiq berpendapat bahwa al-Qur’an adalah

kitab yang mencakup segala hukum, sedangkan al-Sunnah tidak

mendatangkan sesuatu yang baru. Al-Sunnah tidak diterima dan

diamalkan sebelum dirujuk kepada al-Qur’an.70

b. Al-Sunnah

Syiah Imamiyah berpendapat bahwa sunnah terbagi dua

macam yakni sunnah mutawatirah dan sunnah yang tidak

mutawatirah.71 Sunnah mutawatirah ada yang mutawatir dari Nabi dan

ada yang mutawatir dari imam yang ma’shum. Sunnah bagi mereka

termasuk fatwa imam. Mereka berpendapat bahwa mengingkari sunnah

mutawatirah akan menjadi kafir dan menolak fatwa imam akan menjadi

fasik.

c. Ijma’

Jumhur Syiah Imamiyah berpendapat bahwa ijma’ adalah

kesepakatan suatu golongan yang kesepakatan mereka menyingkapkan

70 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 32. 71 Ibid., h. 45.

Page 60: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

51

pendapat imam yang ma’shum.72 Dalam hal ini dapat dipahami bahwa

ijma’ di kalangan Syiah Imamiyah hanya dapat terjadi ketika tidak ada

imam dari golongan mereka. Ijma’ dalam pandangan Syiah Imamiyah

hanyalah menyingkap pendapat imam. Imamlah yang menjadi pokok

dasar. Apabila murid-murid imam sepakat menetapkan suatu hukum,

maka hal itu dianggap pendapat imam-imam mereka.

d. Al-Ra’yu

Syiah Imamiyah mempergunakan ra’yu (akal) untuk

mengetahui hal baik yang merupakan sesuatu yang dituntut syara’ dan

hal buruk yang merupakan sesuatu yang dilarang oleh syara’. Golongan

imamiyah berpendapat bahwa segala yang diperintah akal harus

dikerjakan. Segala yang dilarang akal harus ditinggalkan. Akal menurut

mereka tidak menyuruh dan melarang akan sesuatu. Akal hanya

menyingkap perintah dan larangan Allah.73

Al-Zaidiyah adalah adalah kelompok syiah pengikut Zaid bin

Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib ra.

Beliau lahir pada 80 H dan terbunuh pada 122 H. Beliau dikenal

sebagai seorang yang sangat taat beribadah, berpengetahuan luas

sekaligus revolusioner.74

72 Ibid., 53. 73 Ibid., h. 59. 74 Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran (Ciputat: Lentera Hati, 2007), h. 78.

Page 61: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

52

Al-Zaidiyah dalam konteks menetapkan hukum menggunakan

al-Qur’an, sunnah dan nalar.75 Mereka tidak membatasi penerimaan

hadits dari keluarga Nabi semata-mata, tetapi mengandalkan juga

riwayat-riwayat dari sahabat-sahabat Nabi yang lain.76

6. Mazhab Zhahiriyah

Pendiri mazhab Zhahiriyah adalah Daud ibn Ali al-Ashfaniy

yang dilahirkan pada tahun 202 H. di Kufah dan wafat pada tahun 270

H. di Baghdad. Mazhab Zhahiriyah adalah suatu mazhab yang

menetapkan hukum Islam berdasarkan kepada zahir nash saja, tidak

memberikan ta’wil atau tafsir terhadap nash, baik al-Qur’an maupun

sunnah Rasul. Mereka menafsirkan ayat al-Qur’an atau hadits dengan

menggunakan ayat al-Qur’an atau hadits yang lain dan tidak

menafsirkan dengan selain itu.77Kemudian mazhab Zhahiriyah ini

dikembangkan oleh Ali ibn Hazmin al-Zhahiriy (384-456 H) yang

dikenal dengan ibn Hazm. Ibn Hazm sebagaimana diterangkan dalam

kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam mengistinbathkan hukum berdasarkan

4 sumber yakni al-Qur’an, sunnah, ijma’ sahabat dan dalil.78

75 Kamil Musa, al-Madkhal ila al-Tasyri’ al-Islamiy (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1989), h. 166. 76 Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran, h. 82. 77 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 152. 78 Abu Muhammad Ali ibn Hazm al-Andalusi al-Zahiri, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Beirut: Dar al-Jil, 1987), Juz I h. 69.

Page 62: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

53

Secara terperinci dasar Ibnu Hazm dalam menetapkan suatu

dasar hukum adalah:

a. Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah sumber dari segala sumber. Tidak ada

sesuatu dalil syar’i melainkan diambil dari al-Qur’an. Al-Qur’an

adalah asal dari setiap asal. Ibn Hazm hanya mengambil zahir al-

Qur’an dalam menetapkan hukum. Apabila zahir al-Qur’an

memerintah wajib, maka wajib segera dilaksanakan kecuali terdapat

dalil yang menetapkan tidak demikian. Lafaz umum harus dimaknai

umum karena berdasarkan zahir keumuman lafaz tersebut kecuali

terdapat keterangan bahwa yang dimaksudkan adalah bukan zahir.79

b. Al-Sunnah

Ibn Hazm berpendapat bahwa al-Sunnah merupakan nash yang

turut membina syariat walau hujjahnya diambil dari al-Qur’an.

Keduanya merupakan wahyu dari Allah.80 Al-Qur’an dan al-Sunnah

merupakan satu dalam bidang istidlal, tidak didahulukan yang satu

atas yang lain. Keduanya dipandang senilai dan semartabat dalam

bidang istidlal.

c. Ijma’ Sahabat

Ijma’ yang ditetapkan oleh ibn Hazm adalah ijma’ mutawatir

yang bersambung sanadnya kepada Rasul dan harus bersandarkan 79 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 324. 80 Ibid., 326.

Page 63: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

54

kepada nash. Ijma’ yang tidak bersandarkan kepada nash bukan

termasuk ijma’. Ijma’ ulama Madinah oleh ibn Hazm tidak dapat

dikatakan sebagai ijma’ dan tidak dijadikan hujjah dalam

mengistinbathkan hukum.

d. Dalil

Ibn Hazm menggunakan apa yang ia sebut dengan ”dalil”

sebagai pengganti qiyas dalam mengistinbathkan hukum setelah al-

Qur’an, sunnah dan ijma’ sahabat.81 Dalil diambil dari nash atau

ijma’.

81 Ibid., h. 349.

Page 64: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

55

BAB III

PEREMPUAN MENJADI IMAM SALAT DALAM PANDANGAN ULAMA

A. Imam Salat

1. Pengertian Imam Salat

Imamah menurut bahasa berarti “kepemimpinan”. Imam artinya

“pemimpin”, seperti “ketua” atau yang lainnya, baik dia memberikan petunjuk

ataupun menyesatkan. Imam juga disebut khalifah yaitu penguasa dan

pemimpin tertinggi rakyat. Kata imam juga bisa digunakan untuk Al-Qur’an

karena Al-Qur’an itu adalah imam (pedoman) bagi umat Islam. Demikian

pula, bisa digunakan untuk Rasulullah SAW karena beliau adalah pemimpin.

Kata imam juga digunakan untuk orang yang mengatur kemaslahatan sesuatu,

untuk pemimpin pasukan, dan untuk orang dengan fungsi lainnya.1

Di dalam Al-Qur’an tidak disebutkan kata imamah, yang ada imam

(pemimpin) dan aimmah (pemimpin-pemimpin),2 seperti dalam firman Allah

SWT QS. Al-Baqarah (1): 124

)124: 1/البقرة(

1 Ali Ahmad al-Salus, Imamah dan Khalifah dalam Tinjauan Syar’i. Penerjemah Asmuni Solihin Zamarkhsyari (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 15 2 Ibid., h. 15

Page 65: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

56

Artinya: ”Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa

kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". (QS. Al-Baqarah (1): 124)

)73: 21/االنبياء(

Artinya: ”Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin

yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah”. (QS. al-Anbiya (21): 73)

)12: 09/التوبة(

Artinya: ”Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji,

dan mereka mencerca agamamu, Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena Sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti”. (QS. al-Taubah (9): 12)

)41: 28/القصص(Artinya: ”Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru

(manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong”. (QS. al-Qashash (28): 41)

Page 66: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

57

Sedangkan menurut Wahbah Zuhaili, arti imam terbagi menjadi dua

bagian yaitu imam dalam pengertian luas dan sempit. Pengertian yang luas

berarti hak pengendalian yang menyeluruh atas manusia atau memberi

ketaatan pada ketua dalam perkara agama dan dunia.3 Al-Mawardi

mengatakan imamah ditujukan untuk mengantikan tugas kenabian dalam

memimpin urusan agama dan dunia.4

Dalam pengertian sempit, maksudnya adalah imam salat, yang berarti

hubungan salat seseorang dengan imamnya.5 Imam adalah orang yang

memimpin pelaksanaan salat jamaah.

2. Syarat Imam Salat

Persoalan tentang kepemimpinan dalam salat (imam) telah

menjadi salah satu topik kajian para ulama dalam f iqh ibadah.

Signifikasi konsep imamah ini terlihat dengan adanya berbagai kriteria

yang ditetapkan ulama bagi orang-orang yang akan didaulat sebagai

imam salat. Para ulama menetapkan beberapa syarat imam salat, yang

terkadang antara ulama satu dengan yang lainnya berbeda pendapat.

Mainstream ulama memberikan beberapa kriteria yaitu muslim, berakal,

baligh, pria, suci dari hadas dan kotoran, bacaannya baik, alim, dan

3 Wahbah Zuhailli, al-Fiqh al-Islam Waadillatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr, 2004), jilid II h. 1191-1192 4 Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), h. 5.

5 Wahbah Zuhailli, al-Fiqh al-Islam Waadillatuhu, h. 1192

Page 67: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

58

sebagainya.6

Wahbah Zuhaili menerangkan bahwa untuk menjadi imam salat ada 9

syarat yakni:

a. Muslim, maka tidak boleh imam dari golongan kafir.

b. Berakal, maka tidak boleh salat di belakang orang gila.

c. Baligh. Menurut jumhur ulama tidak sah imam mumayyiz (anak kecil)

bagi orang yang sudah baligh, baik bagi salat fardu maupun salat sunnah,

dan bagi salat fardu saja menurut mazhab Maliki dan Hanbali.

d. Laki-laki yang sempurna. Apabila makmumnya laki-laki atau khunsa

(banci), maka tidak sah yang menjadi imam itu wanita atau banci, baik

dalam salat fardu maupun salat sunnah.

e. Suci, maka tidak sah imam itu seorang yang berhadas.

f. Pandai membaca al-Qur’an. Menurut jumhur, tidak sah imamah itu

seorang yang ummi (bodoh) dalam bacaan.

g. Keadaannya bukan makmum, maka tidak sah mengikuti makmum.

h. Mazhab Hanafi dan Hanbali mensyaratkan bahwa imam itu harus

terpelihara dari uzur (halangan).

i. Imam itu orang yang bagus lidahnya (bahasanya/tidak cadel).7

6 Elya Munfarida, “Kepemimpinan Perempuan dalam Ibadah: Tafsir Transformatif atas

Diskursus Imam Perempuan bagi Laki-Laki dalam Shalat”, Studi Anak dan Gender vol. 3 no. 2 (Juli-Desember 2008): h. 2

7 Wahbah Zuhailli, al-Fiqh al-Islam Waadillatuhu, h. 1192-1198

Page 68: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

59

Secara terperinci, Abu Hanifah mendahulukan mereka yang lebih

atas pengetahuan hukum-hukum, kemudian yang paling baik bacaannya,

kemudian mereka yang wara’, muslim, berumur, memiliki akhlak mulia,

tampan wajahnya, baik nasabnya, dan paling bersih pakaiannya. Apabila

terdapat sejumlah orang yang sama kriterianya, maka diadakan undian

untuk memilih salah seorang yang berhak menjadi imam.8 Senada

dengan pandangan Hanafiyah, Malikiyah memberikan syarat-syarat

kepemimpinan shalat secara agak luas, mencakup ke arah imamah

kubra, dan memperluas syarat-syaratnya. Adapun persyaratan secara

rinci yang dikemukakan Malikiyah adalah lebih mendahulukan sultan

(penguasa) atau wakilnya, imam masjid, penghuni rumah, yang paling

tahu tentang masalah salat, yang paling baik bacaannya, yang paling

banyak ibadahnya, yang lebih dulu Islamnya, suci nasabnya, memiliki

akhlak mulia, bagus pakaiannnya dan jika sama akan diadakan undian

untuk menentukannya.9

Sementara itu, Syafi’iyah memberikan persyaratan penguasa dan

imam masjid lebih didahulukan daripada mereka yang lebih paham

terhadap masalah salat dan baru kemudian mereka yang paling baik

bacaannya. Hanabilah berpandangan bahwa orang yang berhak

menjadi imam adalah yang seseorang yang paling paham dan paling

8 Ibid., h. 1201-1202.

9 Ibid., h. 12021203.

Page 69: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

60

baik bacaannya, kemudian orang yang paling baik bacaannya saja, dan

jika tidak ada maka baru mereka yang paling paham tentang masalah

salat. Namun, jika masih ditemukan ada yang sama, maka ditentukan

melalui undian. Berbeda dengan tradisi Sunni, kalangan Syi’ah lebih

mendahulukan para imam mereka untuk pimpinan salat. Apabila terdapat

kesamaan, maka yang didahulukan adalah yang lebih paham terhadap

ajaran agama, lebih baik bacaannya dan lebih tua umurnya.10

Secara umum, dari pendapat para ulama di atas terdapat beberapa

kriteria yang bersifat substansial, yang disepakati oleh mereka, untuk

seseorang yang dapat menjadi imam yakni kemampuan bacaan dan

kapasitas ilmu agama yang baik.

Sementara kriteria-kriteria lain, seperti umur, kedudukan, akhlak,

dan lain sebagainya, menjadi tidak terlalu substansial dibandingkan kedua

kriteria di atas. Namun, beberapa ulama memberikan persyaratan khusus

terkait dengan kriteria jenis kelamin, yang hanya membolehkan

laki-laki sebagai imam. Sementara itu, perempuan hanya diperbolehkan

imam bagi kaumnya saja.

Sedangkan Hasbi as-Shiddieqy mengemukakan bahwa syarat minimal

imam salat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:11

10 Ibid., h. 1203-1205. 11 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001),

h. 455

Page 70: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

61

a. Sanggup menunaikan salat. Maka jika dengan tiba-tiba datang ganguan,

hendaklah ia menggantikan dirinya dan mundur ke dalam shaf.

b. Mengetahui ketentuan salat. Mengetahui sah tidaknya salat dalam segala

sudut. Karena itu, tidak sah diikuti orang yang tidak sedikit juga

mengetahui Al-Qur’an dan tidak mengetahui fiqh. Dikehendaki dengan

mengetahui fiqh di sini, ialah mengetahui hukum-hukum bersuci dan

hukum-hukum salat.

c. Mempunyai hafalan yang kuat.

d. Tidak cacat bacaan Al-Qur’an (Al-Fatihah dan surat, dan dzikir)

3. Praktek Pelaksanaan Pengimaman Salat Berjamaah dalam Sejarah Islam

Klasik

Permulaan Nabi Muhammad SAW. mengerjakan salat berjamaah

secara terang-terangan dan terus-menerus, ialah di Madinah. Di kala masih di

Mekkah, Nabi SAW. tidak mengerjakan salat dengan berjamaah di Masjid,

karena sahabat Nabi kala itu masih lemah. Nabi SAW. salat berjamaah di

rumahnya, terkadang-kadang dengan sayyidina Ali ra. dan terkadang-kadang

dengan sayyidatina Khadijah ra. Jika Nabi SAW. salat berjamaah dengan para

sahabat di luar rumah, maka Nabi SAW. melaksanakannya di tempat-tempat

yang sepi. Para sahabat Nabi SAW. pun demikian halnya, yakni berjamaah di

rumah atau di tempat-tempat yang tersembunyi.12

12 Ibid., h. 432

Page 71: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

62

Orang-orang yang menghadiri jamaah bersama-sama lelaki adalah

kebajikan. Sejarah dan riwayat membuktikan bahwa orang-orang perempuan

di masa Nabi SAW. turut salat bersama-sama Nabi SAW. baik di waktu siang

maupun di malam hari. Bahkan Nabi SAW. melarang para sahabat melarang

istri-istri mereka pergi salat berjamaah ke mesjid pada malam hari. Hal ini

sebagaimana sabda Nabi SAW:

13بالليلال متنعوا النساء من اخلروج إىل املساجد Artinya: ”Janganlah kalian melarang istri-istri kalian pergi ke mesjid di

malam hari”. (HR Muslim). Jika orang-orang perempuan salat berjamaah bersama-sama

perempuan, mereka diimami oleh seorang perempuan, maka ini pun dianggap

baik karena tidak ada nash yang melarangnya. Aisyah ra. mengimami orang-

orang perempuan pada salat Maghrib. Beliau berdiri di tengah-tengah (pada

shaf pertama) dengan menjaharkan bacaan. Aisyah juga pernah menjadi imam

bagi orang-orang perempuan dalam salat Tathauwwu’. Beliau menjadi imam

bagi sesama perempuan. Ummu Salamah mengimami orang-orang perempuan

pada salat Ashar. Beliau berdiri di tengah-tengah mereka (shaf pertama).

Ummu Salamah juga menjadi imam bagi orang-orang perempuan di bulan

Ramadhan.14

13 Abu al-Husain Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2007), Vol. IV, h. 383.

14 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, h. 444-445.

Page 72: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

63

Dalam kitab Fiqh Sunnah, karangan Syeikh Sayyid Sabiq terdapat bab

kebolehan perempuan menjadi imam bagi perempuan. Dalam bab ini

dijelaskan bahwa Aisyah dan Ummu Salamah pernah mengimami jamaah

perempuan, dan Ummu Waraqah pernah diperintah oleh Nabi untuk menjadi

imam bagi keluarganya dalam salat fardhu, sedang di antara mereka ada

seorang laki-laki.15

B. Imam Salat dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an

Al-Qur’an menginformasikan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki

hak dan kewajiban yang sama untuk beribadah kepada Allah dalam seluruh aspek

kehidupannya. Al-Qur’an menyebutkan asas egalitarianisme Islam. Kelebihan

manusia atas manusia yang lain hanya berlaku pada soal kwalitas ibadahnya

kepada Allah (taqwa). Hal ini dijelaskan di dalam QS. al-Hujurat (49): 13

)13: 49/ الحجرات(

Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang

laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. al-Hujurat (49): 13)

15 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Bairut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1973) Cet. II Jilid. I h. 237

Page 73: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

64

Lihat pula firman Allah yang menyatakan imbalan yang sama diberikan

Allah kepada hamba-Nya yang melakukan amalan shaleh, baik laki-laki maupun

perempuan dalam surat al-Nahl (16): 97

)97: 16/النحل(

Artinya: ”Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun

perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. al-Nahl (16): 97)

Begitu pula kesamaan laki-laki dengan perempuan dalam memperoleh

hak dan bagian dari hasil usahanya, sebagaimana terdapat dalam QS. al-Nisa (4):

32

)32: 4/النساء(

Artinya: ”Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah

kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS. al-Nisa (4): 32)

Page 74: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

65

Persoalan perizinan atau pelarangan imamah perempuan dalam salat

dengan makmum laki-laki tampaknya tidak ada ayat yang secara tegas menyebut

demikian. Imam al-Syafi’i (w. 204 H) dalam al-Umm membuat satu bahasan

dengan topik إمامة المرأة للرجال (keimaman perempuan untuk laki-laki). Kemudian

beliau mengatakan:

وإذا صلت املرأة برجال ونساء وصبيان ذكور فصالة النساء جمزئة وصالة الرجال والصبيان الذكور غري جمزئة ألن اهللا عزوجل جعل الرجال قوامني

ذلك وال جيوز أن تكون امرأة على النساء وقصرهن عن أن يكن أولياء وغري 16إمام رجل يف صالة حبال أبدا

Artinya: Apabila wanita salat menjadi imam untuk kaum laki-laki, perempuan,

dan anak laki-laki, maka salat para makmum yang wanita sah. Sedangkan salat para makmum laki-laki dan anak laki-laki tidak sah. Hal itu karena Allah menjadikan laki-laki sebagai pemimpin perempuan, Allah juga tidak menjadikan perempuan sebagai wali dan lain-lain. Perempuan dalam keadaan bagaimana pun tidak boleh menjadi imam salat bagi makmum laki-laki.

Mayoritas ulama salaf dan khalaf telah sepakat akan ketidakbolehan

perempuan memegang tampuk pimpinan terlebih lagi kepemimpinan negara

Islam.17 Begitu juga kepemimpinan perempuan dalam salat Alasan yang sering

digunakan antara lain adalah firman Allah SWT QS. al-Nisa (4): 34

16 Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm (Beirut: Dar al-Wafa, 2005), Juz II Cet. III h. 320.

17 Endis Firdaus, Imam Perempuan: Dekonstruksi Berpesrpektif Gender Menuju Kontekstualisasi Politis Ajaran Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Ceria, 2008) h. 114.

Page 75: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

66

)34: 4/النساء(

Artinya: ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena

Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (QS. al-Nisa (4): 34)

Dari ayat 34 Surat Al-Nisa ini, secara khusus yang dibahas di sini

adalah qawwamun. Kata ini seperti tersebut di atas merupakan potongan kalimat

dari ayat al-rijal qawwamun ala al-nisa (kaum lelaki adalah qawwamun bagi

perempuan). Kata qawwamun adalah bentuk jamak (plural) dari al-qawwamu

yang berarti menjamin, mampu berdiri, dan raja.18 Menurut al-Mu’jam al-

Wasith, kata al-qawwamu berarti bagus pendirian, dan mempunyai ide yang

bagus dalam setiap pekerjaan.19 Namun menurut al-Munawwir, kata al-

Qawwamu berarti yang menanggung, bertanggung jawab, amir, kepala,

pemimpin.20

Tafsir besar klasik populer menjelaskan hal ini secara etimologi

kebahasaan dimulai oleh Al-Thabari. Ia mengartikan kata itu dengan arti Ahl al-

Qiyam (penegak). Ini berarti bahwa laki-laki sebagai penegak derajat kaum

perempuan bertanggung jawab mendidik dan membimbing istri agar

menunaikan kewajibannya kepada Allah maupun suami dalam keluarganya. Al-

Tabari memaparkan:

18 Abdul Lois Ma’luf, Al-Munjid (Beirut: Dar al-Masyrik, 2002), h. 664 19 Anis Ibrahim, Al-Mu’jam al-Wasith (Qahirah: Dar al-Qalam, t.th.), h. 786 20 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1174

Page 76: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

67

يعين بقوله جل ثناؤه الرجال قوامون على النساء الرجال أهل قيام على نسائهم يف تأديبهن واألخذ على أيديهن فيما جيب عليهن اهللا وألنفسهم

على أزواجهم من مبافضل اهللا به الرجال مبافضل اهللا بعضهم على بعض يعين 21سوقهم إليهن مهورهن وإنفاقهم عليهن أمواهلم وكفايتهم إياهن مؤن

Artinya: ”Yang dimaksud dengan para lelaki qawwamun atas perempuan, lelaki

itu Ahl al-Qiyam (penegak) untuk kaum perempuannya dalam tugas mendidik dan mengambil tindakan yang seharusnya dilakukan kaum perempuan terhadap Allah serta hak diri kaum laki-laki sendiri, disebabkan keunggulan yang diberikan Allah di atas yang lainnya. Maksudnya karena Allah mengunggulkan kaum laki-laki di atas para isterinya berupa pemberian maharnya kepada para isteri, kewajiban memberi nafkah harta bendanya kepada isteri, dan jaminan para suami terhadap perbekalan hidup para isteri”.

Al-Bagawi menafsirkan qawwamun dengan pelindung kaum

perempuan, penguasa dan pengatur pendidikan para perempuan.22 Al-

Zamakhsyari menekankan arti kata itu pada kaum lelaki untuk menegakkan amr

bi al-ma’ruf wa al-nahy ’an al-munkar kepada istrinya. Seperti apa yang

dilakukan pemimpin kepada rakyatnya.23 Demikian juga pendapat Abdullah

Yusuf Ali menerjemahkan dengan arti pelindung.24 Serasi dengan pendapat

21 Muhammad bin Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay’ al-Qur’an (Beirut: Dar al-

Kutub al-Ilmiyyah, 2005), Vol. IV, h. 59. 22 Abu Muhammad al-Hasan al-Farra al-Bagawi, Tafsir al-Bagawi (Beirut: Dar al-Ma’rifah,

1993), vol. 1 h. 335 23 Endis Firdaus, Imam Perempuan: Dekonstruksi Berpesrpektif Gender Menuju

Kontekstualisasi Politis Ajaran Islam di Indonesia, h. 116 24 Abdullah Yusuf Ali, Quran. Penerjemah Ali Audah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h.

190

Page 77: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

68

Rasyid Rida, kata itu berarti pemimpin tetapi menempuh jalan bimbingan dan

penjagaan bukan melalui pemaksaan.25

Sementara al-Zamaksyari menegaskan bahwa ayat tersebut

menunjukkan keunggulan laki-laki adalah alami, bukan karena hasil paksaan.

Kemudian pemikir Mu’tazilah ini mengemukakan bahwa kelebihan laki-laki itu

karena umumnya memiliki kelebihan penalaran, tekad yang kuat, keteguhan,

kekuatan, kemampuan tulisan, dan keberanian. Karena itu dari kaum laki-laki ini

lahir para nabi, ulama, dan pemimpin. Mereka juga berperan dalam jihad, azan,

khutbah, i’tiqaf, takbir, persaksian, dalam hudud dan qisas. Juga mereka

menerima bagian lebih dalam waris dan lain-lain. Selain itu laki-laki juga dapat

menjadi wali nikah, menentukan talaq dan ruju’.26

Ibnu Katsir secara panjang lebar membahas ayat ini.27 Menurut beliau

ayat al-rijal qawwamun ala al-nisa berarti bahwa laki-laki lebih dibanding

wanita dalam empat hal, yaitu: memimpin, besar/kuat, hakim dan mengajar

akhlaknya jika akhlaknya tidak baik. Karena laki-laki lebih baik daripada

perempuan, itulah sebabnya para Nabi hanya dari jenis laki-laki. Begitu pula

pengendalian kekuasaan yang lebih besar, dengan mengutip sabda Rasulullah

SAW bahwa (”tidak akan beruntung bagi suatu kaum/golongan yang

menyerahkan urusannya kepada wanita”).

25 Rasyid Rida, Tafsir al-Manar (Beirut: Dar al-Fikr, 1973), vol. 5 h. 68 26 Endis Firdaus, Imam Perempuan: Dekonstruksi Berpesrpektif Gender Menuju

Kontekstualisasi Politis Ajaran Islam di Indonesia, h. 118 27 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azim (Riyadh: Dar Thayibah, 2007), Juz I h. 292.

Page 78: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

69

Namun menurut Ibnu Katsir, kelebihan tersebut dalam masalah rumah

tangga dengan alasan kelanjutan ayat itu yang menyatakan bahwa laki-lakilah

yang harus mengeluarkan harta untuk mereka. 28

Rasyid Rida menekankan,29 bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan

terjadi karena dua sebab: fitri dan kasbi. Sebab fitri (bawaan) sudah ada sejak

penciptaan. Menurutnya, laki-laki sejak penciptaan sudah diberi kelebihan

kekuatan (al-Quwwah), dan kemampuan (al-Qudrah). Laki-laki katanya lebih

tegap (ajmal), lebih sempurna (atamm wa akmal) dan lebih kuat (aqwa).

Kelebihan laki-laki atas perempuan bukan hanya berlaku pada manusia

melainkan juga pada binatang. Binatang jantan adalah lebih tegap dan lebih

sempurna (ajmal wa akmal) daripada betinanya. Sebagai akibat dari

kesempurnaan sejak penciptaan itu, laki-laki mempunyai kesempurnaan akal dan

kejernihan pandangan. Rasyid Rida mengemukakan kenyataan itu merupakan

sesuatu yang wajar karena pribahasa sendiri menyatakan ’akal yang sehat ada

pada tubuh yang sehat’. Kemudian kelebihan akal katanya, menyebabkan

kelebihan kasbi. Laki-laki lebih mampu berusaha, berinovasi, dan bergerak.

Karena itu, laki-laki dituntut memberi nafkah pada perempuan, menjaga, dan

memimpinnya.

Abdullah al-Mirgani mengartikan qawwamun sebagai pelindung yakni

laki-laki pelindung bagi perempuan, sebagaimana seorang pemimpin mengurus

28 Ibid., h. 293. 29 Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, vol. 5 h. 69-70

Page 79: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

70

rakyatnya. Hal ini dikarenakan Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-

laki) atas sebagian yang lain (perempuan) yakni karena kaum laki-laki yang

mengatur urusan perempuan berkat kelebihan yang mereka miliki, di antaranya

kesempurnaan akal, kemampuan manajemen, dan hak perwalian serta hak

lainnya. Selain itu karena laki-laki telah menafkahkan kepada perempuan

sebagian dari harta mereka seperti kewajiban memberi nafkah dan mahar.30

Sedangkan Nashir al-Sa’adi menafsirkan bahwa kaum laki-laki adalah

pemimpin bagi kaum perempuan, maksudnya dengan cara mengharuskan

mereka untuk menunaikan hak-hak Allah berupa pemeliharaan akan kewajiban-

kewajiban dari-Nya dan melarang mereka dari berbuat kerusakan, laki-laki wajib

untuk menekankan hal tersebut kepada mereka, dan laki-laki juga adalah

pemimpin mereka dengan memberikan nafkah kepada mereka berupa pakaian

dan tempat tinggal.31

Kemudian al-Sa’adi mengemukakan tentang kelebihan laki-laki atas

perempuan disebabkan dari berbagai segi. Segi kekuasaan adalah dikhususkan

bagi laki-laki, kenabian, karasulan, dan pengkhususan mereka dalam berbagai

macam ibadah seperti jihad, salat hari raya dan salat jumat, dan apa yang telah

berikan secara khusus bagi mereka berupa akal pikiran yang matang, kesabaran,

dan ketegaran yang tidak dimiliki oleh perempuan. Demikian juga Allah telah

mengkhususkan mereka dengan kewajiban memberikan nafkah kepada istri,

30 Muhammad Usman Abdullah al-Mirgani, Taj al-Tafasir (Dar al-Fikr, t.th.), Juz I h. 90. 31 Abdurrahman bin Nashir al-Sa’adi, Tafsir al-Sa’adi. Penerjemah Muhammad Iqbal, dkk

(Jakarta: Pustaka Sahifa, 1999), h. 76

Page 80: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

71

bahkan pada sebagian besar nafkah laki-laki dikhususkan untuknya dan

diistimewakan dengannya daripada perempuan. Laki-laki adalah seperti wali dan

tuan bagi istrinya, sedangkan istrinya adalah sebagai pendamping, tawanan, dan

pelayan. Maka tugas laki-laki adalah menunaikan apa yang telah Allah

perintahkan untuk dilindungi, dan tugas perempuan adalah melakukan ketaatan

kepada Rabb-Nya dan kepada suaminya.32

Amina Wadud Muhsin menyatakan kalimat ”Laki-laki adalah

qawwamun atas perempuan” tidaklah dimaksudkan bahwa superioritas itu

melekat pada setiap laki-laki secara otomatis sebab hal itu hanya terjadi secara

fungsional, yaitu selama yang bersangkutan memenuhi kriteria al-Qur’an

memiliki kelebihan dan memberikan nafkah. Dan ini jelas tidak hanya berlaku

bagi laki-laki melainkan juga untuk perempuan. Ayat ini sendiri tidak menyebut

semua laki-laki superior atas perempuan. Hal yang dinyatakan Kitab Suci adalah

bahwa ”Allah telah melebihkan sebagian mereka laki-laki (ba’dahum) atas

sebagian yang lain.33

Selanjutnya Asghar Ali Engineer menjelaskan pernyataan al-Qur’an

”laki-laki adalah qawwam atas perempuan” sesungguhnya merupakan

pengakuan bahwa dalam realitas sejarah, kaum perempuan pada masa itu sangat

rendah dan pekerjaan domestik dianggap pekerjaan perempuan. Sementara laki-

laki menganggap dirinya sendiri lebih unggul karena kekuasaan dan kemampuan

32 Ibid., h. 77 33 Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan. Penerjemah Abdullah Ali (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 121 dan 123.

Page 81: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

72

mereka mencari nafkah dan membelanjakannya untuk perempuan. Al-Qur’an

menggambarkan situasi sosial itu. Hal yang perlu diperhatikan, menurutnya

ialah bahwa al-Qur’an hanya mengatakan ”Kaum laki-laki adalah qawwamun

(pemberi nafkah atau pengatur urusan keluarga) dan tidak mengatakan bahwa

laki-laki harus menjadi qawwam. Menurutnya, laki-laki merupakan pernyataan

kontekstual, bukan normatif.34

Mahmud Yunus menerjemahkan qawwamun dengan tulang punggung

(pemimpin).35 Quraish Shihab berpendapat bahwa kata qawwamun adalah

bentuk jamak dari kata qawwam, yang terambil dari kata qama artinya berdiri

atau tegak. Perintah salat misalnya, juga menggunakan akar kata itu. qawwam

artinya bukan mendirikannya semata akan tetapi juga melaksanakannya dengan

sempurna, memenuhi segala syarat,dan sunnahnya. Seseorang yang

melaksanakan tugas itu sesuai dengan harapannya dinamai qaim. Baru dinamai

qawwam seandainya pelaksanaan suatu tugas dilaksanakan sesempurna

mungkin, berkesinambungan dan berulang-ulang. Kata yang digunakan dalam

ayat itu adalah kata qawwam untuk makna kata banyak laki-laki (al-rijal).36

Namun, pertanyaan kemudian adalah kenapa al-Qur’an menyatakan

adanya keunggulan laki-laki atas perempuan karena nafkah yang mereka

berikan?. Masalah sesungguhnya di sini adalah masalah kesadaran sosial dan

34 Asghar Ali Engineer, Hak-hak Wanita dalam Islam. Penerjemah Farid Wajidi dan Cici

Farkha Assegaf (Yogyakarta: Bentang, 1994), h. 701 35 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim (Jakarta: Hidakarya Agung, 2004), h.113 36 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an

(Ciputat: Lentera Hati, 2000), h. 402

Page 82: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

73

penafsiran yang tepat. Kesadaran perempuan pada masa itu tidak diragukan lagi,

sangat rendah dan pekerjaan domestik dianggap sebagai kewajiban perempuan.

Lebih dari itu, laki-laki menganggap dirinya sendiri lebih unggul karena

kekuasaan dan kemampuan mereka mencari nafkah dan membelanjakan untuk

perempuan. Al-Qur’an mencerminkan kondisi sosial itu. Al-Qur’an hanya

mengatakan bahwa laki-laki adalah qawwam (pemberi nafkah atau pengatur

urusan keluarga) dan tidak mengatakan bahwa mereka harus harus menjadi

qawwam. Dapat dilihat bahwa ”qawwam”merupakan sebuah pernyataan

kontekstual, bukan normatif. Seandainya al-Qur’an mengatakan bahwa laki-laki

harus menjadi qawwam, maka ia akan menjadi sebuah pernyataan normatif dan

pastilah akan mengikat bagi semua perempuan pada semua zaaman dan dalam

semua keadaan.37

Mengenai QS. al-Nisa (4): 34 yang telah dikemukakan di atas, dapat

diketahui bahwa terdapat dua penafsiran yang berbeda. Kelompok pertama

menyatakan bahwa QS. al-Nisa (4): 34 hanya berkaitan dalam ruang lingkup

rumah tangga. Laki-laki dalam hal ini adalah sebagai pemimpin, pelindung,

pendidik dan pengayom perempuan dalam rumah tangga karena laki-laki

mempunyai kelebihan atas perempuan dan laki-lakilah yang memberikan nafkah

bagi perempuan. Ayat tersebut tidak lepas dalam konteks realitas sejarah

masyarakat arab saat itu. Derajat perempuan sangat rendah dan pekerjaan

domestik hanya menjadi tugas perempuan. Keadaan perempuan saat ini sungguh

37 Abdulmanan Syafi’i, “Memahami Ayat al-Rijalu Qawwamuna ‘Ala al-Nisa Secara

Tekstual dan Kontekstual”, Harakat an-Nisa’, vol. 1 no. 1 (Januari 2001): h. 35-36

Page 83: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

74

sangat berbeda dengan kondisi perempuan dalam sejarah arab jahili. Perempuan

era sekarang sudah dapat mengakses dan mendapatkan ilmu pengetahuan dan

teknologi sama seperti laki-laki. Bahkan banyak perempuan yang dapat

mengungguli prestasi laki-laki. Sedangkan kelompok kedua berpendapat bahwa

QS. al-Nisa (4): 34 menyatakan bahwa laki-laki adalah syarat mutlak sebagai

pemimpin bagi perempuan dalam segala bidang, tidak terkecuali imamah

perempuan dalam salat.

C. Imam Salat dalam Perspektif Al-Hadits

Secara umum, tidak ada hadits Nabi yang membedakan aturan dan

tatacara salat antara perempuan dan laki-laki. Hampir bisa dipastikan, hadits-

hadits yang berkaitan dengan salat memiliki ketentuan yang sama. Perlakuan

yang berbeda muncul dalam konteks pelaksanaan salat berjamaah, menyangkut

posisi perempuan dalam salat tersebut dan dibolehkannya perempuan bertindak

menjadi imam salat berjamaah.

Pandangan paling umum dalam masyarakat muslim sepanjang

sejarahnya sepakat menolak kepemimpinan perempuan bagi jamaah salat laki-

laki. Pandangan ini menyatakan bahwa perempuan tidak dibenarkan menjadi

imam salat bagi makmum laki-laki. Perempuan menurut mereka, hanya

dibolehkan menjadi imam bagi jamaah perempuan.38

Abu Hamid al-Isfirayini, tokoh utama aliran fiqh Iraqi dari mazhab

Syafi’i (Syaikh al-Iraqiyyin), menyatakan bahwa (”Seluruh ulama fiqh dari 38 Husein Muhammad, “Perempuan dalam Fiqh Ibadah”, Harkat vol. 5, no. 1 (Oktober 2004): h. 4.

Page 84: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

75

berbagai mazhab fiqh Islam, kecuali Abu Tsaur, salah seorang mujtahid besar,

sepakat berpendapat bahwa kepemimpinan perempuan dalam salat bagi jamaah

kaum laki-laki adalah tidak sah”).39

Akan tetapi, pernyataan Abu Hamid ini dibantah oleh Qadhi Abu

Thayyib dan al-Abdari. Kedua tokoh ini menyatakan bahwa (”Kebolehan

perempuan menjadi imam salat bagi kaum laki-laki bukan hanya dikemukakan

oleh Abu Tsaur saja, melainkan juga Ibn Jarir al-Thabari dan imam al-

Muzani”).40 Al-Thabari adalah seorang mufassir terkemuka, sejarawan, dan

pendiri mazhab fiqh, sementara al-Muzani adalah murid utama imam al-Syafi’i

Argumen yang dikemukakan untuk pandangan yang pertama ini adalah

hadits Nabi SAW. antara lain adalah:

التؤمن امرأة رجال وال أعرايب : عن جابر عن النيب صلى اهللا عليه وسلم قال 41 )اخرجه ابن ماجه(مهاجرا واليؤمن فاجر مؤمنا

Artinya: Dari sahabat Jabir, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Janganlah sekali-kali perempuan menjadi imam salat bagi laki-laki, orang Arab Badui bagi orang-orang Muhajir (mereka yang ikut hijrah bersama nabi ke Madinah), dan orang jahat bagi orang mukmin”.

Sementara pandangan kedua yakni pandangan minoritas ulama fiqh (Abu

Tsaur, al-Muzani, dan al-Thabari) mendasarkan pendapatnya pada hadits Ummu

Waraqah yang diriwayatkan Abu Daud sebagai berikut:

39 Syarafuddin al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab (Beirut: Dar Ihya al-Turas al-

Arabiy, 2001), Juz IV, h. 107. 40 Ibid., h. 107.

41 Ibnu Majah al-Qozwini, Sunan Ibnu Majah (Beirut: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 2004), h. 122.

Page 85: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

76

وكان رسول : وعن أم ورقة رضي اهللا عنها بنت عبد اهللا بن احلارث قالاهللا صلى اهللا عليه وسلم يزورها يف بيتها وجعل هلا مؤذنا يؤذن هلا وامرها

اخرجه (فأنا رأيت مؤذا شيخا كبريا : قال عبد الرمحن. أن تؤم أهل دارها 42)ابو داود

Artinya: Dari Ummu Waroqah bintu Abdillah bin Al Haarits, beliau

menyatakan bahwa Rasulullah mengunjunginya di rumah dan mengangkat untuknya seorang muazin yang berazan untuknya dan memerintahkannya untuk mengimami keluarganya di rumah. Abdurrahman berkata: saya melihat muazinnya seorang lelaki tua”.

Nama lengkap Ummu Waraqah adalah Ummu Waraqah binti Abd

Allah bin al-Harits bin Uaimir bin Naufal al-Anshari.43 Al-Asqalani menyatakan

bahwa (“Nabi SAW. Mengunjungi Ummu Waraqah dan menamakannya

Syahidah. Beliau memerintahkannya untuk mengimami keluarganya, kemudian

ia menjadi imam mereka dan ia mempunyai muazin. Maka kedua anak didiknya

membunuh Ummu Waraqah. Hal ini terjadi pada masa khalifah Umar bin al-

Khattab. Umar datang kepada keduanya, kemudian mensalib keduanya.

Keduanya adalah orang yang pertama disalib di Madinah. Maka Umar berkata:

“Benar Rasulullah bersabda: Mari kita mengunjungi Syahidah (Ummu

Waraqah)”.44

Itulah kisah Ummu Waraqah yang kemudian menjadi imam salat

jamaah untuk penghuni rumahnya. Kisah ini diriwayatkan oleh sejumlah ahli

42 Abu Daud al-Sijistani, Sunan Abi Daud (Beirut: Dar ibnu al-Hazm, t.th), Juz I, h. 100

43 Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib (India: Majlis Da’irat al-Ma’arif al-Nizhamiyah, t.th), Juz X, h. 533. 44 Ibid., h. 534.

Page 86: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

77

Hadits sebagaimana yang dikutip oleh Husein Muhammad yaitu imam Ahmad

bin Hanbal (w. 241 H) dalam kitabnya al-musnad, imam Abu Daud (w. 275 H)

dalam kitabnya Sunan Abi Daud, dan imam Ibnu Khuzaimah (w. 311 H) dalam

kitabnya Shahih Ibnu Khuzaimah.45

Selanjutnya diriwayatkan oleh imam al-Tabrani (w. 360 H) dalam

kitabnya al-Mu’jam al-Kabir, imam al-Daruqutni (w. 385 H) dalam kitabnya

sunan al-Daruqutni, imam Ibnu al-Jarud (w. 307 H) dalam kitabnya al-

Muntaqa, imam al-Hakim (w. 407 H) dalam kitabnya al-Mustadrak, dan imam

al-Baihaqi dalam kitabnya Kitab Sunan al-Shagir.46

Hadits-hadits di atas menyatakan bahwa terdapat dua pendapat ulama

yang kontradiktif tentang imamah perempuan dalam salat bagi makmum laki-

laki. Pendapat mayoritas ulama mazhab tidak membolehkan perempuan menjadi

imam salat bagi makmum laki-laki. Pendapat ini berpatokan kepada hadits Jabir

yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang menyatakan bahwa perempuan tidak

boleh menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. Sedangkan minoritas ulama

seperti yang dikemukakan oleh Abu Tsaur, Muzani dan al-Thabari berpendapat

bahwa perempuan dibolehkan menjadi imam bagi makmum laki-laki. Mereka

berpendapat bahwa hadits Ummu Waraqah riwayat Abi Daud secara zahir

menyatakan bahwa Ummu Waraqah diizinkan menjadi imam penghuni

rumahnya sedangkan di situ terdapat laki-laki.

45 Ali Mustafa Yaqub, Imam Perempuan, h. 28 46 Ibid., h. 29-29

Page 87: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

78

BAB IV

ANALISIS TERHADAP METODOLOGI ARGUMENTASI

ULAMA TENTANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM

SALAT

A. Dasar Hukum Ulama tentang Kepemimpinan Perempuan dalam Salat

Permasalahan mengenai kepemimpinan perempuan dalam salat bukan hal

yang baru. Bahkan pada zaman Nabi Muhammad SAW pun praktek imam

perempuan dalam salat sudah pernah terjadi. Sebut saja misalnya Ummu Waraqah

yang pernah menjadi imam salat di kalangan keluarganya, padahal di situ ada

laki-laki.1 Siti Aisyah bertindak sebagai imam bagi kaum perempuan dan berdiri

bersama mereka dalam barisan. Demikian pula halnya Ummu Salamah pernah

menjadi imam salat dengan makmum perempuan. Bahkan Rasulullah SAW.

mengangkat seorang muadzin untuk Ummu Waraqah dan diperintahkannya

supaya ia menjadi imam bagi keluarganya dalam salat-salat fardhu.2

Akan tetapi kisah-kisah itu sering dilupakan. Terutama dengan kehadiran

beberapa ayat al-Quran yang ditafsirkan menurut pandangan laki-laki, ungkapan

hadits maupun pandangan ulama yang secara harfiah memiliki makna yang

berbeda dengan keadaan di atas. Karenanya, diperlukan banyak rekonstruksi baru

untuk menilai hal yang bertentangan dengan redaksi tersebut.

1 Abu Daud al-Sijistani, Sunan Abi Daud (Beirut: Dar ibnu al-Hazm, t.th), Juz I, h. 100. 2 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1973), Cet. II Jilid I, h. 237.

Page 88: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

79

Keseluruhan pandangan ulama tentang perempuan menjadi imam salat

dengan makmum laki-laki terdapat dua pendapat yakni ada yang membolehkan

dan ada yang melarang. Untuk mencapai satu pemikiran yang utuh, kiranya perlu

dikritisi dasar-dasar pandangan keduanya dengan mentelaah lebih lanjut

kekurangan dan kelebihannya.

1. Pendapat yang menolak kepemimpinan perempuan dalam salat dengan

makmum laki-laki

Pandangan umum masyarakat muslim sepanjang sejarah sepakat menolak

kepemimpinan perempuan bagi jamaah laki-laki dalam salat. Pandangan ini

menyatakan bahwa perempuan tidak dibenarkan menjadi imam salat bagi

makmum laki-laki. Perempuan menurut mereka, hanya dibolehkan menjadi imam

bagi jamaah perempuan.

Para ulama dalam menanggapi masalah perempuan menjadi imam dalam

salat adalah:

a. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa perempuan tidak sah menjadi imam salat

dengan makmum laki-laki dalam salat fardhu maupun salat sunnah. Mereka

membolehkan perempuan menjadi imam salat dengan makmum perempuan,

tetapi hukumnya makruh.3

3 Wahbah Zuhailli, al-Fiqh al-Islam Waadillatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr, 2004), Jilid II, h. 1194.

Page 89: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

80

b. Mazhab Maliki berpendapat bahwa laki-laki merupakan syarat mutlak imam

salat. Perempuan tidak sah menjadi imam dengan makmum laki-laki maupun

perempuan.4

c. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa syarat menjadi imam adalah laki-laki

yang sempurna (tidak banci). Apabila di antara makmum terdapat laki-laki

atau khunsa (banci), maka perempuan atau banci tidak sah menjadi imam

dengan makmum laki-laki baik di dalam salat fardhu maupun salat sunnah.

Jika makmum terdiri dari para perempuan saja, maka tidak menjadi syarat

imam mereka harus laki-laki, tetapi perempuan juga sah menjadi imam bagi

perempuan.5

d. Mazhab Hanbali berpendapat bahwa perempuan tidak sah menjadi imam

dengan makmum laki-laki baik dalam salat fardhu maupun salat sunnah.6

Secara umum, ada beberapa argumentasi yang digunakan para ulama

untuk menolak imam perempuan bagi laki-laki:

1) Surat al-Nisa ayat 34 menyatakan bahwa (“Laki-laki adalah pemimpin

bagi perempuan”). Kepemimpinan laki-laki dalam ayat ini, kemudian

dijadikan legitimasi haknya untuk memimpin dalam bidang apapun tidak

terkecuali ibadah sehingga imamah salat menjadi kewenangan laki-laki.

4 Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ala al-Madzahibil al-Arba’ah (Kairo: al-Sakafa al-Dinayah, 2005), h. 409. 5 Ibid., h. 409 6 Ibid., h.409.

Page 90: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

81

Konsekuensinya, perempuan hanya berhak menjadi makmum dalam

semua aspek kehidupannya termasuk dalam salat.

2) Ummu Waraqah hanya diizinkan oleh Nabi untuk mengimami jamaah

perempuan penghuni rumahnya. Hal ini dapat dilihat dari hadits riwayat

Daruquthni yang menyatakan bahwa (“Rasulullah SAW. memerintahkan

Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi kaum perempuan penghuni

rumahnya”).7

3) Dalam Hadits riwayat Ibnu Majah, Rasulullah bersabda, (“Janganlah sekali-kali

perempuan menjadi imam salat bagi laki-laki, orang Arab Badui bagi orang-orang

Muhajir, dan orang jahat bagi orang mukmin”).8 Hadits pelarangan perempuan

menjadi imam salat dijadikan dalil oleh para ulama untuk menolak imamah

perempuan dalam salat.

4) Argumentasi lain yang digunakan untuk menolak kepemimpinan perempuan

dalam salat adalah bahwa perempuan dianggap sebagai “pembangkit birahi

kaum laki-laki”. Alasan ini menyiratkan bahwa eksistensi perempuan

dikonsepsikan hanya sebagai makhluk sensual, di mana tubuhnya hanya dimaknai

sebagai perangsang nafsu laki-laki. Konsepsi ini kemudian dijadikan legitimasi

untuk membatasi gerak perempuan terbatas pada ruang-ruang domestik karena

kebebasan untuk mengakses dunia publik justru akan menimbulkan fitnah.

7 Imam al-Daraquthni, Sunan al-Daruquthni (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1993), Jilid I, h. 304.

8 Ibnu Majah al-Qozwini, Sunan Ibnu Majah (Beirut: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 2004), h. 122.

Page 91: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

82

5) Dalam banyak persoalan yang terkait dengan persoalan relasi laki-laki dan

perempuan, baik yang menyangkut bidang ibadah maupun sosial, di mana

berlangsung pertemuan antara perempuan dan laki-laki, baik secara bersama-sama,

berhadap-hadapan, maupun aktivitas perempuan yang mengundang perhatian laki-

laki, para ulama fiqh selalu mengaitkannya dengan alasan khauf al-fitnah (menjaga

jangan sampai terjadi fitnah, yakni suasana yang menganggu atau menggoda hati

dan pikiran laki-laki). Dengan alasan seperti ini pula maka dalam banyak masalah,

seperti urusan shaf dalam salat berjamaah, posisi perempuan dan laki-laki haruslah

terpisah dan shaf perempuan di belakang laki-laki. Selain itu, perempuan juga tidak

diwajibkan melaksanakan salat jum’at,9 dilarang menyampaikan khutbah, atau

mengumandangkan azan dengan suara yang dapat didengar laki-laki. Bahkan

perempuan yang keluar rumah untuk mengikuti salat berjamaah di mesjid dianggap

kurang baik. Bahkan Abu Hanifah dan dua orang murid utamanya berpendapat

bahwa makruh bagi perempuan-perempuan muda menghadiri salat berjamaah

bersama laki-laki karena khawatir akan terjadi fitnah. Mazhab Syafi’i dan Hanbali

juga sepakat dengan pendapat ini.10

2. Pendapat yang menerima kepemimpinan perempuan dalam salat dengan

makmum laki-laki.

Inti dari pandangan ini adalah upaya untuk meletakkan kesetaraan

kedudukan laki-laki dan perempuan, sehingga kemudian keduanya memiliki hak

9 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy, 1996), Juz I, h. 171. 10 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LKiS, 2009), h. 44-45.

Page 92: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

83

yang berimbang. Mereka berupaya menjelaskan bahwa Islam mengandung

keadilan melalui interpretasi-interpretasi baru.

Golongan ini menganggap bahwa tradisi-tradisi Islam yang secara letterlejk

redaksinya menolak perempuan menjadi imam salat dengan makmum laki-laki

bersifat kontekstual tidak berlaku umum. Akibatnya, perlu diadakan interpretasi-

interpretasi baru menurut konteks zamannya, tanpa harus menjadikannya sebagai

hukum yang baku.

Berikut ini akan diungkapkan tanggapan-tanggapan dan dalil-dalil yang

digunakan golongan ini. Sebelumnya perlu diketahui bahwa mereka yang

menerima kepemimpinan perempuan dalam salat dengan makmum laki-laki

berarti telah menolak keputusan jumhur ulama dan tradisi yang telah lama

berjalan di masyarakat.

a. Al-Qur’an

)34: 4/النساء( Artinya:

”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (QS. al-Nisa (4): 34)

Pendapat yang mengambil landasan terjemah firman Allah SWT QS. Al-

Nisa (4): 34 bahwa (”Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan.”)

merujuk kepada asbab al-nuzul ayat tersebut. Ayat tersebut diturunkan dalam

Page 93: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

84

konteks istri Sa’ad bin al-Rabi’ yang membangkang, lalu ditampar oleh Sa’ad.

Kemudian istri Sa’ad mengadu kepada Nabi Muhammad SAW. Nabi berkata:

”Balaslah suamimu! Ketika si istri beranjak pergi, Rasulullah memanggilnya

kembali dan mengatakan, ”Begini, Jibril datang kepadaku, lalu Allah menurunkan

firman-Nya; dengan terjemahan: ”Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum

perempuan.” (QS. Al-Nisa: 34). Kata Rasulullah lebih lanjut, ”Aku menghendaki

suatu hal dan Allah menghendaki hal lain.11

Quraish Shihab berpendapat bahwa QS. al-Nisa: 34 hanya berkaitan

dengan kepemimpinan laki-laki (dalam hal ini suami) terhadap seluruh

keluarganya dalam bidang kehidupan rumah tangga. Kepemimpinan ini tidak

mencabut hak-hak istri dalam berbagai segi kehidupan.12 Tegasnya bahwa

ayat di atas hanya berbicara`dalam ruang lingkup keluarga. Lebih lanjut,

rumah tangga sebagai institusi memerlukan seorang pemimpin dalam rangka

menjaga kelestarian institusi tersebut. Hukum dan Undang-Undang

perkawinan di Indonesia menetapkan bahwa pemimpin rumah tangga adalah

laki-laki.13 Secara tekstual, kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga

tersebut merujuk pada QS. al-Nisa ayat 34. Ayat ini lebih lanjut menjadi alat

legitimasi bagi pendapat yang menyatakan bahwa kepemimpinan rumah

tangga berada di tangan suami.

11 Qomaruddin Saleh , dkk, Asbab al-Nuzul: Latar Belakang Turunnya Ayat-ayat al-Qur’an (Bandung: Diponegoro, 1996), h. 33. 12 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Mizan, 1997), h. 274. 13 UU No. 1 Tahun 1974 bab VI pasal 31 ayat 3.

Page 94: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

85

Menanggapi ayat tersebut, Asghar Ali berpendapat bahwa QS al-Nisa

ayat 34 tersebut tidak dapat difahami lepas sosial pada saat ayat tersebut

diturunkan. Menurutnya, pada saat itu, struktur sosial yang ada tidak benar-

benar mengakui adanya kesetaraan laki-laki dan perempuan. Oleh karena

kondisi yang semacam itu, orang tidak dapat menilai ayat tersebut semata-

mata dalam pandangan teologis, tetapi harus menggunakan perspektif sosio-

teologis.14 Keunggulan laki-laki yang diungkapkan dengan kata fadala dalam

ayat tersebut menurut pandangan Asghar Ali bukanlah keunggulan jenis

kelamin yang bersifat absolut, tetapi keunggulan tersebut lebih bersifat

fungsional karena laki-laki bertanggung jawab atas nafkah serta

membelanjakan hartanya untuk perempuan sebagai isterinya. Fungsi sosial

laki-laki sebagai pemberi nafkah ini seimbang dengan fungsi sosial yang

diemban oleh perempuan yaitu melakukan tugas-tugas domestik dalam rumah

tangga. Namun demikian, al-Quran menyatakan keunggulan laki-laki atas

perempuan adalah karena nafkah yang mereka berikan kepada perempuan.15

Tidak ada satu teks pun dalam al-Qur’an yang melarang perempuan

memimpin laki-laki dalam salat . Al-Qur’an menegaskan bahwa perempuan

mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki bukan hanya

dalam urusan ibadah mahdah, tetapi juga bidang-bidang pengabdian

14 Asghar Ali Engineer, Hak-hak Wanita dalam Islam. Penerjemah Farid Wajidi dan Cici

Farkha Assegaf (Yogyakarta: Bentang, 1994), h. 61 15 Siti Habibah Jazila, “ Konsep Kepemimpinan Rumah Tangga: Telaah atas Pemikiran

Asghar Ali Engineer”, Justitia Islamica. Vol. 3, no.2 (Juni-Desember 2006): h. 34 -35.

Page 95: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

86

(ibadah) dalam pengertian yang luas, yakni amal-amal saleh yang lain.

Al-Qur’an menyebutkan asas egalitarianisme Islam. Kelebihan manusia

atas manusia yang lain hanya berlaku pada kwalitas ibadahnya kepada

Allah. Hal ini dapat dilihat dalam QS. al-Hujurat (49): 13

)13: 49/احلجرات(

Artinya: ”Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang

laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. al-Hujurat (49): 13)

Ayat di atas menegaskan bahwa Islam datang untuk membebaskan

manusia dari diskriminasi dan subordinasi. Sejarah masyarakat Arab

sebelum kedatangan Islam menginformasikan bahwa diskriminasi dan

subordinasi terhadap perempuan merupakan ciri khas mereka. Perempuan

pada masa itu bukan hanya terdiskriminasi dan tersubordinasi, tetapi juga

dipandang dengan kebencian dan merupakan sumber fitnah. Perempuan

dikonotasikan kepada hal-hal yang bersifat negatif (stereotype) yang

tampaknya mempunyai pengaruh atau imbas yang sangat besar. Dengan

adanya diskriminasi dan subordinasi, maka pemahaman ulama atau

mufasir pendahulu kita sesuai dengan zamannya, di mana perempuan

Page 96: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

87

memang belum bisa banyak berkiprah seperti kaum laki-laki, sehingga

muncul penafsiran yang sesuai dengan situasi dan kondisi saat itu.16

Melalui ayat ini Islam ingin menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan

mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk beribadah kepada Allah

dalam seluruh aspek kehidupannya.

b. Al-Hadits

Abu Tsaur, al-Muzani, dan al-Thabari mendasarkan pendapat mereka

tentang kebolehan perempuan menjadi imam dengan makmum laki-laki pada

hadits Ummu Waraqah yang diriwayatkan Abu Daud sebagai berikut:

وكان رسول : وعن أم ورقة رضي اهللا عنها بنت عبد اهللا بن احلارث قالاهللا صلى اهللا عليه وسلم يزورها يف بيتها وجعل هلا مؤذنا يؤذن هلا وامرها

اخرجه (فأنا رأيت مؤذا شيخا كبريا : قال عبد الرمحن. أن تؤم أهل دارها 17 )ابو داود

Artinya: “Dari Ummu Waraqah bintu Abdillah bin Al Haarits, beliau

menyatakan bahwa Rasulullah mengunjunginya di rumah dan mengangkat untuknya seorang muazin yang berazan untuknya dan memerintahkannya untuk mengimami keluarganya di rumah. Abdurrahman berkata: saya melihat muazinnya seorang lelaki tua”.

Al-Syaukani mengatakan bahwa menurut lahiriyahnya Ummu

Waraqah jelas melakukan salat sementara sang muazzin, pembantu laki-laki

dan penghuni rumahnya yang lain menjadi makmumnya.18 Pendapat yang

16 Zaitunah Subhan, Rekonstruksi Pemahaman Jender dalam Islam: Agenda Sosio-Kultural dan Politik Peran Perempuan (Ciputat: el-Kahfi, 2002), h. 60. 17 Abu Daud al-Sijistani, Sunan Abi Daud, Juz I, h. 100 18 Al-Syaukani, Nail al-Authar (Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, t.th.), Juz III, h. 187.

Page 97: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

88

sama juga dikemukakan oleh al-Shan’ani, penulis kitab Subul al-Salam yang

mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan atas kebolehan perempuan

menjadi imam dengan makmum laki-laki. Secara eksplisit hadits ini

memperlihatkan bahwa Ummu Waraqah menjadi imam salat bagi laki-laki

tua, laki-laki hamba sahaya, dan perempuan hamba sahaya.19

c. Perempuan yang dianggap sebagai sumber fitnah menunjukkan adanya bias

laki-laki dalam memandang perempuan. Fitnah atau gangguan itu seakan-akan

hanya muncul dari pihak perempuan terhadap laki-laki.20 Padahal fitnah atau

gangguan juga bisa muncul dari pihak laki-laki terhadap perempuan. Sebab,

ketertarikan dan ketergodaan dapat terjadi pada masing-masing pihak. Jadi,

jika alasan khauf al-fitnah yang diutarakan oleh ulama tidak cukup beralasan

dengan konteks kekinian. Apalagi jika dengan mekanisme tertentu atau dalam

situasi dan ruang serta waktu tertentu, pertemuan/kebersamaan laki-laki dan

perempuan dapat dipastikan tidak akan membawa fitnah.21

B. Argumen Ulama Mengenai Imam Salat Perempuan

Ketika kita memperbincangkan soal kepemimpinan dalam salat maka kita

menjumpai para ulama fiqih dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali

sepakat bahwa perempuan tidak dibenarkan memimpian salat kaum laki-laki. Ia

hanya bisa menjadi imam bagi kaumnya sendiri. Bahkan Imam Malik bin Anas,

19 Al-Shan’ani, Subul al-Salam (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz II, h. 35. 20 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, h. 47. 21 Ibid., h. 46.

Page 98: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

89

pendiri mazhab Maliki, sama sekali tidak membenarkan perempuan menjadi

imam salat, termasuk bagi jama’ah kaumnya sendiri, baik untuk salat fardu

(wajib) maupun salat sunnah.22 Sedangkan Imam Muzani, Abu Tsaur dan al-

Thabari membolehkan perempuan menjadi imam salat dengan makmum laki-

laki.23

Para ulama yang melarang perempuan menjadi imam salat dengan makmum

laki-laki berdasarkan hadits riwayat Jabir:

التؤمن امرأة رجال وال أعرايب : عن جابر عن النيب صلى اهللا عليه وسلم قال 24 )اخرجه ابن ماجه( مهاجرا واليؤمن فاجر مؤمنا

Artinya: Dari sahabat Jabir, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Janganlah

sekali-kali perempuan menjadi imam salat bagi laki-laki, orang Arab Badui bagi orang-orang Muhajir (mereka yang ikut hijrah bersama nabi ke Madinah), dan orang jahat bagi orang mukmin”.

Sedangkan ulama yang membolehkan perempuan menjadi imam salat dengan

makmum laki-laki berdasarkan hadits riwayat Abi Daud:

وكان رسول : وعن أم ورقة رضي اهللا عنها بنت عبد اهللا بن احلارث قالاهللا صلى اهللا عليه وسلم يزورها يف بيتها وجعل هلا مؤذنا يؤذن هلا وامرها

اخرجه (فأنا رأيت مؤذا شيخا كبريا : قال عبد الرمحن. أن تؤم أهل دارها 25)ابو داود

22 Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqhu ala al-Madzahibil al-Arba’ah, h. 409. 23 Ahmad Abd al-Rahman al-Banna, al-Fathu al-Rabbany (al-Qahirah: Dar al-Syihab, t.th.), Juz V, h. 234.

24 Ibnu Majah al-Qozwini, Sunan Ibnu Majah, h. 122. 25 Abu Daud al-Sijistani, Sunan Abi Daud, Juz I, h. 100.

Page 99: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

90

Artinya: Dari Ummu Waroqah bintu Abdillah bin al-Harits, beliau menyatakan

bahwa Rasulullah mengunjunginya di rumah dan mengangkat untuknya seorang muazin yang berazan untuknya dan memerintahkannya untuk mengimami keluarganya di rumah. Abdurrahman berkata: saya melihat muazinnya seorang lelaki tua”.

Wahbah al-Zuhaili, ahli fiqh kontemporer dari Syiria dalam ensiklopedi

fiqhnya, al-Fiqh Islam Waadillatuhu, mengatakan bahwa perempuan hanya sah

menjadi imam salat bagi jama’ah kaum perempuan. Perempuan tidak sah menjadi

imam bagi jama’ah kaum laki-laki. Ia menyebutkan alasan larangan perempuan

menjadi imam salat jama’ah laki-laki antara lain hadits Nabi SAW. dari Aisyah,

Ummu Salamah dan Atha:

أن املرأة تؤم النساء: عن عائشة وأم سلمة وعطاءروي Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah, Ummu Salamah dan Atha’: bahwa perempuan

(hendaklah) menjadi imam bagi kaum perempuan”.

Pernyataan ini juga diperkuat oleh hadits lain yang diriwayatkan oleh al-

Daruquthni dari Ummu Waraqah:

ا أن تؤم نساء هل أنه صلى اهللا عليه وسلم أذن: الدارقطين عن أم ورقةوروي 26دارها

Artinya: “Al-Daruquthni meriwayatkan dari Ummu Waraqah bahwa Nabi

Muhammad SAW. menperkenankan dia menjadi imam bagi kaum perempuan penghuni rumahnya”.

Ibnu Qudamah, yang terkenal dengan sebutan syeikhnya para pengikut

Hanbali, dalam Al-Mughni,27 menjelaskan penafsirannya atas hadits Ummu

26 Wahbah Zuhailli, Al-Fiqh Al-Islam Waadillatuhu, Jilid II, h. 1194.

Page 100: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

91

Waraqah tersebut. Pertama Ummu Waraqah diizinkan Nabi untuk mengimami

jamaah perempuan. Hal ini, misalnya diperkuat oleh hadits riwayat

Daruquthni bahwa (“Rasulullah SAW. memerintahkan Ummu Waraqah untuk

menjadi imam bagi kaum perempuan penghuni rumahnya”).28 Kedua, kalaupun

di antara jamaahnya ada laki-laki, maka sesungguhnya peristiwa ini berkaitan

dengan salat sunnah karena sebagian dari fuqaha mazhab Hanbali memang

membolehkan perempuan menjadi imam dalam salat tarawih. Ketiga,

apabila kasus Ummu Waraqah benar-benar berkaitan dengan salat wajib, maka

ketentuan itu harus dimaknai bersifat kasuistik dan khusus untuk Ummu

Waraqah, sebab ketentuan tersebut tidak pernah disyari’atkan kepada perempuan

lain. Atas dasar analisis tersebut, Ibnu Qudamah tetap berkesimpulan bahwa

perempuan tidak boleh menjadi imam bagi makmum laki-laki. Padahal Ibnu

Qudamah tidak mengatakan bahwa hadits Ummu Waraqah itu dhaif.

Ibnu Qudamah hanya mengatakan bahwa hadits riwayat Abu Daud

pengertiannya umum dan harus diartikan dengan riwayat Imam al-Daruquthni

yang menyatakan bahwa Nabi SAW. menyuruh Ummu Waraqah untuk

mengimami salat jamaah untuk kaum perempuan penghuni rumahnya. Ini juga

berarti bahwa hadits Ummu Waraqah menurut Ibnu Qudamah adalah shahih,

baik dalam riwayat Abu Daud maupun riwayat al-Daruquthni.29

Al-Syaukani mengungkapkan hadits tentang larangan perempuan menjadi

imam salat bagi jama’ah laki-laki dengan lebih lengkap sebagai berikut: 27 Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Ed. Abdullah bin Abd al-Muhsin al-Turki dan Abd al-Fattah Muhammad al-Hilwu (Riyadh: Hajar, 1987), Jilid III, h. 33-34. 28 Imam al-Daraquthni, Sunan al-Daruquthni, Jilid I, h. 304. 29 Ali Mustafa Yaqub, Imam Perempuan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 35.

Page 101: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

92

ؤمن امرأة رجال وال أعرايب الت: عن جابر عن النيب صلى اهللا عليه وسلم قالاخرجه (مهاجرا واليؤمن فاجر مؤمنا إال أن يقهره بسلطان خياف سوطه وسيفه

30 )ابن ماجه

Artinya: Dari sahabat Jabir, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Janganlah sekali-

kali perempuan menjadi imam salat bagi laki-laki, orang Arab Badui bagi orang-orang Muhajir (mereka yang ikut hijrah bersama nabi ke Madinah), dan orang jahat bagi orang mukmin kecuali karena paksaaan dari penguasa yang ditakuti cambuknya atau pedangnya”.

Al-Syaukani kemudian mengemukakan penilaian ulama ahli hadits mengenai

kwalitas hadits ini. Katanya:

: قال البخارى. حديث جابر ىف إسناده عبداهللا بن حممد التميمى وهو تالفيضع احلديث : وقال وكيع. وز االحتجاج بهجيال: وقال ابن حبان. منكر احلديث

وقد تابعه عبد امللك بن حبيب ىف الواضحة ولكنه متهم بسرقة احلديث وختليط ور أفسد إسناد هذا املذك وقد صرح ابن عبد الرب بأن عبد امللكاألسانيد 31 .احلديث

Artinya: ”Hadits Jabir dalam rantai sanadnya ada Abdullah bin Muhammad al-

Tamimi, dia adalah rusak. Al-Bukhari berkata: munkar al-hadits. Ibn Hibban berkata: (yang diriwayatkan) orang itu tidak bisa dijadikan dasar hukum. Waki’ berkata: dia sering memalsukan hadits. Abdul Malik memasukkan hadits itu dalam kitab al-Wadhihah, namun dia juga dituduh mencuri hadits, mencampur rantai sanad. Ibn Abdul Barr menegaskan bahwa Abdul Malik itu telah merusak sanad hadits di atas.

Imam al-Busyairi dalam kitab Zawaid Ibnu Majah ’Ala al-Kutub al-Khamsah

menyebutkan bahwa hadits riwayat Ibnu Majah tentang larangan perempuan menjadi

30 Ibnu Majah al-Qozwini, Sunan Ibnu Majah, h. 122. 31 Al-Syaukani, Nail al-Authar, Juz III, h. 185.

Page 102: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

93

imam salat bagi makmum laki-laki adalah dhaif (lemah) karena di dalam sanadnya

terdapat dua orang perawi yang lemah periwayatannya. Dua orang itu adalah Ali bin

Zaid bin Ju’dan dan Muhammad bin Abdullah al-’Adawi.32 Imam Nawawi dalam al-

Majmu’ Syarah al-Muhazab berpendapat bahwa hadits Jabir yang diriwayatkan Ibnu

Majah dan al-Baihaqi dengan sanad yang dhaif.33

Hadits riwayat Ibnu Majah yang menjadi dasar hukum mayoritas ulama,

antara lain diriwayatkan oleh Abdullah bin Muhammad al-Adawi al-Tamimi.

Mengenai hadits ini para ulama ahli hadits melakukan penilaiannya masing-masing:

1. Al-Bukhari dan Abu Hatim al-Razi mengatakan bahwa ”Hadits Abdullah

bin Muhammad al-Adawi munkar”. Abu Hatim selanjutnya

menambahkan: ”Abdullah bin Muhammad al-Adawi guru yang tidak

dikenal”.

2. Ibnu Adi mengatakan: ”Hadits yang dimiliki Abdullah bin Muhammad

al-Adawi sedikit”.

3. Imam al-Daruquthni mengomentari hadits yang diriwayatkan Abdullah

bin Muhammad al-Adawi sebagai hadits yang ditinggalkan.

4. Imam Waki’ bin al-Jarrah mengatakan bahwa Abdullah bin Muhammad

al-Adawi suka membuat hadits palsu.

32 Ahmad bin Abu Bakar al-Busyairi, Zawaid Ibnu Majah ’Ala al-Kutub al-Khamsah, Ed. al-Syeikh Muhammad Mukhtar Husain (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), h. 167.

33 Syarafuddin al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab (Beirut: Dar Ihya al-Turas al-Arabiy, 2001), Juz IV, h. 107.

Page 103: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

94

5. Ibnu Hibban mengatakan ”Hadits yang Abdullah bin Muhammad al-

Adawi riwayatkan tidak boleh menjadi dasar hukum”.

6. Ibn Abdu al-Barr mengatakan segolongan ulama mengatakan bahwa

hadits yang dikeluarkan Ibnu Majah ini adalah bikinan Abdullah bin

Muhammad al-Adawi. Menurut mereka, orang ini terkenal pendusta.34

Kemudian, untuk hadits Abu Daud yang menjadi dasar kebolehan perempuan

menjadi imam salat bagi makmum laki-laki yang merupakan pendapat Abu Tsaur, al-

Muzani dan al-Thabari, terdapat seorang perawi yang perlu dilihat kualifikasinya,

yaitu al-Walid bin Abdullah bin Jumayyi’ al-Zuhri al-Maliki. Mengenai orang ini,

para ulama hadits memberikan komentarnya sebagai berikut:35

1. Ahmad dan Abu Daud mengatakan: ”Dia tidak bermasalah”. Begitu juga

yang dinyatakan oleh Abu Zur’ah.

2. Ibn Ma’in dan al-Ijli mengatakan bahwa dia terpercaya.

3. Abu Hatim mengomentari: ”Hadits yang diriwayatkannya bagus”.

4. Ibn Hibban memasukkan dia dalam kelompok orang-orang yang dapat

dipercaya.

5. Ibnu Sa’ad juga mengatakan bahwa dia dapat dipercaya, dia mempunyai

banyak hadits.

34 Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib (India: Majlis Da’irat al-Ma’arif al-Nizhamiyah, t.th), Juz VI, h. 21.

35 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, h. 41.

Page 104: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

95

6. Al-Uqaili memandang bahwa hadits yang diriwayatkannya

membingungkan.

Selanjutnya, terhadap perawi Abdurrahman bin al-Khalad, Ibn Hibban

memasukannya ke dalam golongan orang yang dapat dipercaya.36 Sementara

Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haqq al-Azhim, penulis kitab Aun al-

Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud mengatakan bahwa Abu al-Hasan ibn al-

Qaththan berpendapat bahwa hal ihwalnya tidak diketahui.37

Dari penilaian ulama terhadap hadits riwayat Ibnu Majah dan Abu

Daud, jelas terlihat bahwa hadits yang menjadi argumen pandangan minoritas

(yang membolehkan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki)

ternyata memiliki nilai lebih tinggi dibanding hadits yang menjadi argumen

pandangan mayoritas (yang melarang perempuan menjadi imam kaum laki-

laki).

Persoalan imamah perempuan dalam salat bagi makmum laki-laki

dalam perspektif hadits, terdapat hadits-hadits yang bersifat umum dan

khusus. Lebih lanjut, Ali Mustafa Yaqub berpendapat bahwa jika ada ayat

yang bersifat mutlak dan muqayyad (terbatas), ada ayat yang pengertiannya

umum dan ada ayat yang pengetiannya khusus, maka kedua ayat tersebut

harus digabung (dijamak), sehingga pengertian mutlak itu dibatasi dengan

36 Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, Juz VI, h. 168

37 Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haqq al-Azhim, Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), Jilid II, h. 212.

Page 105: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

96

pengertian muqayyad. Begitu pula apabila dalam suatu masalah terdapat ayat

yang pengertiannya umum dan ayat yang pengertiannya khusus, maka ayat

yang pertama digabung dengan ayat kedua, sehingga pengertian umum itu

menjadi pengertian khusus.38 Kajian ini dalam ilmu ushul fiqh dan tafsir al-

Qur’an disebut takhsish.

Apabila ada riwayat hadits yang pengertiannya umum dan ada riwayat

yang pengertiannya khusus, maka kedua pengertian tersebut harus

digabungkan (dijamak) sehingga riwayat yang berpengertian umum itu

menjadi berpengertian khusus.

Hadits Ummu Waraqah tentang imamah perempuan dalam salat

terdapat dua pengertian. Dalam salah satu riwayat al-Daruquthni terdapat

pengertian khusus bahwa (“Rasulullah SAW. memerintahkan Ummu

Waraqah untuk menjadi imam bagi kaum perempuan penghuni

rumahnya”).39 Sementara dalam riwayat lain seperti riwayat Abi Daud

pengertiannya adalah umum yakni bahwa Nabi mengizinkan Ummu

Waraqah menjadi imam salat berjamaah bagi penghuni rumahnya.

Lebih lanjut Ali Mustafa Yaquf berpendapat bahwa dengan

metode jamak (penggabungan riwayat), maka pengertian hadits Ummu

Waraqah secara keseluruhan adalah bahwa Ummu Waraqah diizinkan

Nabi untuk mengimami salat bagi perempuan penghuni rumahnya.40

38 Ali Mustafa Yaqub, Imam Perempuan, h. 44-45. 39 Imam al-Daruquthni, Sunan al-Daruquthni, Jilid I, h. 304. 40 Ibid., h. 46.

Page 106: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

97

Pernyataan hadits Daruquthni jelas berbeda dengan hadits Abi

Daud, meski keduanya sama-sama menyebutkan riwayat Ummu

Waraqah. Hadits Daruquthni menyebutkan bahwa yang menjadi

makmum dari Ummu Waraqah adalah kaum perempuan penghuni

rumahnya. Sedangkan hadits riwayat Abi Daud menyebutkan bahwa

yang menjadi makmum dari Ummu Waraqah adalah penghuni

rumahnya, tanpa menyebutkan laki-laki atau perempuan.

C. Analisis Metode Istinbath Hukum Ulama tentang Kepemimpinan

Perempuan dalam Salat

Perdebatan para ulama tentang imam perempuan atas laki-laki dalam

salat telah melahirkan dua kelompok yang berseberangan. Pertama,

kelompok yang melarang imam perempuan bagi laki-laki diwakili oleh

para imam empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), yang

kemudian berlanjut pada para ulama belakangan, seperti Yusuf Qardhawi,

dan sebagainya. Kedua, adalah kelompok yang membolehkan imam

perempuan bagi laki-laki, yang diwakili oleh para ulama salaf seperti

Tabari, Abu Tsaur, Muzani dan lain-lain, yang kemudian berlanjut pada

ulama kontemporer, seperti Muhammad Hasbi al-Shiddieqy.41

41 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 447.

Page 107: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

98

Kontroversi seputar kebolehan-larangan perempuan sebagai imam telah

ada dalam pemikiran-pemikiran ulama terdahulu. Keempat imam mazhab secara

tegas menolak imam perempuan atas laki-laki. Imam Malik dan Abu Hanifah

menolak perempuan sebagai imam laki-laki karena imamah merupakan posisi

yang terhormat dan agung yang hanya menjadi kewenangan laki-laki. Hal ini

berlaku secara mutlak. Sementara itu, Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal,

membolehkan perempuan menjadi imam terbatas pada sesama perempuan saja.

Diskursus para ulama tentang imamah perempuan t e r s e b u t

mencerminkan keberpihakan mereka kepada kepentingan patriarki. Hal ini

terlihat dari adanya inkonsistensi rasional dalam pemikiran mereka, di satu sisi

dalam persyaratan imam secara umum, pemahaman agama dan bacaan al-

Qur’an dijadikan sebagai kriteria utama. Namun, di sisi lain ketika membahas

tentang imamah perempuan, kriteria yang substansial yakni kemampuan

bacaan dan kapasitas ilmu agama yang baik itu justru tidak diterapkan.

Penolakan mereka tidak didasarkan pada pertimbangan apakah perempuan

memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan, tetapi justru pada “karena ia

perempuan”. Sementara itu, Abu Tsaur, al-Thabari dan Muzani, merupakan

wakil ulama yang membolehkan secara mutlak perempuan sebagai imam.

Namun, pandangan kelompok ini, tidak muncul ke permukaan, bahkan hampir

tenggelam dalam diskursus pemikiran Islam. Dalam konteks ini, seperti

Page 108: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

99

ditegaskan oleh Ibnu Rusyd bahwa wacana imamah perempuan memang

sengaja diredam dalam diskursus pemikiran Islam.42

Persoalan imamah perempuan dalam salat perlu dikaji lebih

dalam lagi. Pemaknaan perempuan mengatributkan sifat-sifat negatif,

seperti kurang akal, lemah agama, dan pembangkit nafsu laki-laki, telah

dijadikan legitimasi untuk membatasi otoritas dan kewenangannya pada

wilayah-wilayah tertentu. Hal ini tentu bertentangan dengan gagasan tauhid

yang mengimplikasikan adanya kesetaraan manusia universal. Manusia, apapun

jenis kelamin, etnik, ras, kulit, bangsa dan bahasa, memiliki posisi setara di

hadapan Tuhan. Keterangan ini mengimplikasikan penolakan terhadap

subordinasi dan penindasan antara sesama manusia apapun motif dan

kepentingan ideologisnya.

Diskursus pemikiran ulama yang menolak kepemimpinan perempuan

dalam salat tampaknya masih berada dalam kerangka tradisi patriarki, sehingga

pembahasan tentang perempuan dalam kajian fiqh selalu ditempatkan dalam

posisi marginal atau ’berbeda’. Berbagai persyaratan khusus selalu

diatributkan kepada perempuan dalam berbagai status legalnya, yang

kemudian dikaitkan dengan kelemahan-kelemahan yang dianggap inheren

dalam diri perempuan.

Sementara itu, adanya beberapa teks agama yang melegitimasi

konsepsi perempuan lebih rendah dari laki-laki, pembangkit birahi laki-laki, 42 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz I, h. 161.

Page 109: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

100

pembuat fitnah, kurang agama dan akal, harus dipahami secara kontekstual

dengan melihat background kultural masyarakat Arab saat itu. Bukan hal

yang tidak mungkin bahwa para ulama dahulu akan memberikan penafsiran

yang berbeda ketika mereka hidup pada situasi sekarang, di mana perempuan

dapat mengakses perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga

dapat meningkatkan kwalitas keilmuannya.

Kalau hadits Ummu Waraqah dianalisis lebih jauh, pada dasarnya

kesempatan untuk mendapatkan posisi imam dapat diperoleh siapapun, baik

laki-laki maupun perempuan, sepanjang ia memiliki kualifikasi sebagai

imam. Namun, karena di antara orang-orang yang ada di rumah Ummu

Waraqah, hanya ia yang memiliki kwalitas dan kemampuan dalam agama dan

membaca al-Qur’an dengan baik, maka Nabi mengizinkannya menjadi imam.

Dalam hal ini, pertimbangan Nabi didasarkan bukan pada apa jenis

kelaminnya, t e tapi bagaimana kemampuannya. 43

Hal yang menunjukkan inkonsistensi ulama adalah sikap mereka

terhadap hadits Ummu Waraqah. Hadits tersebut dalam berbagai jalurnya

telah memenuhi kualifikasi hadits sahih. Oleh karenanya, ia dapat diterima

sebagai hujjah atas kebolehan perempuan menjadi imam laki-laki. Namun,

sebagian ulama menolak hadits ini sebagai dalil, dengan mengajukan

hadits lain yang melarang perempuan menjadi imam laki-laki. Sebagian

43 Elya Munfarida, “Kepemimpinan Perempuan dalam Ibadah: Tafsir Transformatif atas Diskursus Imam Perempuan bagi Laki-Laki dalam Shalat”, Studi Anak dan Gender vol. 3 no. 2 (Juli-Desember 2008): h. 1

Page 110: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

101

ulama lain mengakui keotentikan hadits tersebut, namun mereka berupaya

memberikan interpretasi yang membatasi batasan dan otoritas imam

perempuan, seperti tercermin dalam pandangan ibnu Qudamah di atas.

Padahal, kalau dianalisis lebih jauh interpretasi Ibnu Qudamah

terhadap hadits Ummu Waraqah, dapat ditemukan beberapa kelemahan yang

mendasar, yang sekaligus dapat menggugurkan analisisnya. Analisis pertama:

bahwa Ummu Waraqah hanya mengimami jamaah perempuan tidak

berdasar, sebab tingkat kesahihan hadits Ummu waraqah yang menyebutkan

bahwa di antara makmumnya ada laki-laki, diakui oleh para sarjana hadits.

Analisis kedua: bahwa kebolehan perempuan sebagai imam hanya sebatas pada

salat sunnah, juga lemah, sebab salat sunnah tidak disyari’atkan adanya

adzan. Sementara itu, dalam hadits Ummu Waraqah di atas, dinyatakan

bahwa Nabi menunjuk seseorang mengumandangkan adzan. Lebih-lebih

jika posisi imam harus di belakang makmum laki-laki, tentu bukan disebut

sebagai imam lagi. Analisis ketiga: bahwa peristiwa Ummu Waraqah bersifat

khusus, juga memiliki kelemahan. Jika hanya karena terjadi pada Ummu

Waraqah sendiri, bukankah banyak peristiwa hukum syari’ah yang diderivasi

dari peristiwa tertentu. Dalam kaidah ushuliyah dikenal suatu prinsip bahwa al-

’ibrah bi ’umum al-lafdz la bi khusus al-sabab(ketentuan hukum itu diambil dari

keumuman lafadz, bukan dari kekhususan sebab).44 Jadi ketentuan hukum yang

44 Masykuri Abillah dan Mun’im A. Sirri, “Hukum yang Memihak Kepentingan Laki-laki: Perempuan dalam Kitab Fikih”, dalam Ali Munhanif (Ed.), Perempuan dalam Literatur Islam

Page 111: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

102

diambil adalah Ummu Waraqah mengimami penghuni rumahnya dengan

terdapat makmum laki-laki.

Persoalan perizinan atau pelarangan imamah perempuan dalam salat dengan

makmum laki-laki tampaknya tidak ada ayat yang secara tegas menyebut demikian.

Ayat yang dijadikan hujjah oleh ulama dalam QS. al-Nisa (4): 34 juga tidak secara

jelas berbicara tentang larangan atau kebolehan perempuan menjadi imam salat

dengan makmum laki-laki. Bahkan para mufasir berbeda pendapat mengenai tafsir

ayat tersebut. Bagi para mufasir yang berpendapat bahwa ayat tersebut merupakan

hak kepemimpinan yang hanya diberikan kepada laki-laki secara mutlak, maka

kepemimpinan perempuan dalam salat dengan makmum laki-laki dilarang. Akan

tetapi jika merujuk kepada pendapat mufasir yang menyatakan bahwa ayat tersebut

hanya berkaitan dengan urusan rumah tangga, maka kepemimpinan perempuan dalam

salat dengan makmum laki-laki bukan tidak mungkin dibolehkan. Jika ayat tersebut

dikaitkan dengan semangat ayat lain yang menjunjung kesetaraan antara laki-laki dan

perempuan, maka secara umum laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama

dalam seluruh aspek kehidupan termasuk hak perempuan menjadi imam salat bagi

makmum laki-laki.

QS. al-Nisa: 34 menurut analisis penulis hanya berkaitan dengan urusan

rumah tangga. Karena itu pernyataan ayat tersebut adalah tepat sesuai konteks

zamannya. Karena itu merupakan kesalahan besar apabila perempuan masa kini

selalu diposisikan dalam setting budaya masa lampau seperti pandangan diskriminatif Klasik (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 107-108.

Page 112: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

103

masyarakat Arab jahili yang memandang perempuan tidak berharga. Kemaslahatan

dan keadilan akan dapat terwujud jika menempatkan sesuatu pada secara tepat dan

proporsional. Penerapan QS. al-Nisa: 34 harus memperhatikan kemaslahatan pada

situasi riil saat ayat tersebut diturunkan. Untuk menghadapi kasus tertentu yang

secara substansial berbeda dengan kondisi masa lampau, maka perlu dikaji ulang

penerapan ayat tersebut dengan memperhatikan kemampuan yang dimiliki

perempuan serta kesepakatan mereka dalam mewujudkan kemaslahatan bersama.

Menurut penulis, para ulama dalam menetapkan hukum perempuan menjadi

imam salat bagi makmum laki-laki tidak beristidlal kepada QS. al-Nisa: 34 kecuali

Imam Syafi’i. Imam Syafi’i dalam al-Umm menyatakan bahwa (”Apabila wanita

salat menjadi imam untuk kaum laki-laki, perempuan, dan anak laki-laki, maka salat

para makmum yang wanita sah. Sedangkan salat para makmum laki-laki dan anak

laki-laki tidak sah. Hal itu karena Allah menjadikan laki-laki sebagai pemimpin

perempuan, Allah juga tidak menjadikan perempuan sebagai wali dan lain-lain.

Perempuan dalam keadaan bagaimana pun tidak boleh menjadi imam salat bagi

makmum laki-laki”).45 Nampaknya Imam Syafi’i menjadikan QS. al-Nisa: 34 sebagai

istidlal larangan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. Bahkan

imam salat hanya berhak diberikan kepada laki-laki.

Dasar hukum yang dipakai Imam Syafi’i dalam pelarangan perempuan

menjadi imam salat bagi makmum laki-laki sebagaimana disebutkan dalam al-Umm

hanya berdasarkan QS. al-Nisa: 34 tanpa berdasarkan hadits Nabi tentang 45 Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm (Beirut: Dar al-Wafa, 2005), Juz II, Cet. III h. 320.

Page 113: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

104

kepemimpinan perempuan dalam salat. Ayat ini tidak menjelaskan tentang imam salat

perempuan bagi laki-laki. Ayat ini hanya menyatakan bahwa laki-laki menjadi

pelindung, pengayom dan pemimpin bagi perempuan. Hal ini sesuai dengan metode

istinbath Imam Syafi’i yang hanya mengambil al-Qur’an dengan makna (arti) yang

lahir kecuali jika didapati alasan yang menunjukkan bukan arti yang lahir itu yang

harus dipakai atau dituruti. Imam Syafi’i juga beristidlal kepada hadits, ijma’ dan

qiyas dalam mengistinbathkan hukum.

Dalam satu kesempatan, beliau pernah berkata:

46 فهو مذهيب احلديثإذا صح Artinya: ”Apabila hadits itu shahih maka itu adalah mazhabku”.

Dalam hal pelarangan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-

laki, Imam Syafi’i tidak mendasarkan pendapatnya kepada hadits riwayat Ibnu

Majah. Ini berarti hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah tentang larangan

perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki kwalitasnya menurut

Imam Syafi’i adalah dhaif. Sedangkan hadits yang membolehkan perempuan

menjadi imam salat bagi makmum laki-laki dinilai shahih oleh para ulama.

Dalam pernyataanya, jika Imam Syafi’i menemukan dua hadits yang sama

tingkatannya, maka beliau akan mengambil hadits yang lebih shahih sebagai

dasar mengistinbathkan hukum.47 Mengenai hadits tentang kepemimpinan

46 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, Juz II, h. 272. 47 Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 105.

Page 114: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

105

perempuan dalam salat, hadits riwayat Abi Daud berkwalitas shahih sedangkan

hadits riwayat Ibnu Majah dinilai dhaif. Hadits riwayat Ibnu Majah yang

digunakan sebagai alasan untuk menunjukkan bukan arti yang lahir dari QS. al-

Nisa: 34 juga tidak bisa dipakai sebagai dasar hukum karena kwalitas hadits

tersebut dhaif. Artinya hadits dhaif tentang larangan perempuan menjadi imam

salat bagi makmum laki-laki yang digunakan untuk menentang arti zahir QS. al-

Nisa: 34 tidak dapat dipakai sebagai hujjah.

Penulis berpendapat bahwa Imam Syafi’i tidak konsisten dengan

metodologi istidlal yang dirumuskannya dalam mengistinbathkan hukum. Hal ini

terlihat dari pendapat beliau yang melarang perempuan menjadi imam salat bagi

makmum laki-laki. Padahal QS. al-Nisa: 34 secara zahir hanya menerangkan

bahwa laki-laki pemimpin bagi perempuan. Dalam ayat tersebut tidak ada

larangan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. Apalagi hadits

yang digunakan untuk mendukung pelarangan imam perempuan dalam salat bagi

makmum laki-laki juga dhaif. Jika Imam Syafi’i konsisten dengan metode

istinbath hukum yang dibuatnya sendiri, seharusnya beliau berpatokan dengan

zahir QS. al-Nisa dan hadits shahih yang diriwayatkan Abi Daud tentang

kebolehan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki.

Ijma’ menurut Imam Syafi’i adalah ijma’ ulama pada suatu masa di

seluruh dunia Islam, bukan ijma’ suatu negeri saja dan juga bukan ijma’ kaum

tertentu saja. Ijma’ yang bisa dijadikan hujjah menurut beliau adalah ijma’ ulama

pada suatu masa di seluruh dunia Islam. Ijma’ sahabat dalam pelarangan

Page 115: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

106

perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki juga tidak pernah terjadi.

Padahal Imam Syafi’i menjadikan ijma’ sahabat sebagai ijma’ yang paling kuat.

Ini terbukti dari sahabat Nabi yakni Ummu Waraqah pernah diidzinkan oleh

Nabi untuk menjadi imam salat penghuni rumahnya sedangkan di sana terdapat

makmum laki-laki.

Dalam hal qiyas, Imam Syafi’i mengqiyaskan perempuan sebagai fitnah

yang dapat menganggu fikiran dan hati laki-laki. Perempuan diqiyaskan hanya

sebagai sumber fitnah yang dapat menganggu kekhusyukan laki-laki dalam salat.

Kehadiran perempuan dalam salat apalagi menjadi imam salat bisa dianggap

bahkan diyakini menganggu fikiran dan hati laki-laki. Akibatnya perempuan

tidak boleh menjadi imam salat bagi makmum laki-laki.

Penulis berpendapat bahwa jika Imam Syafi’i menqiyaskan ”fitnah”

sebagai hujjah pelarangan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-

laki adalah tidak tepat dan hanya merupakan pandangan kebudayaan patriarki.

Laki-laki juga bisa menganggu fikiran dan hati perempuan. Ini berarti laki-laki

juga bisa menjadi sumber fitnah bagi perempuan. Jika dengan mekanisme

tertentu laki-laki dan perempuan salat berjamaah dan hal itu dipastikan tidak

akan membawa fitnah, maka laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang

sama untuk menjadi imam salat berjamaah meskipun terdapat makmum laki-laki

dan perempuan.

Satu hal yang dapat penulis simpulkan adalah bahwa Imam Syafi’i tidak

konsisten dengan metode istinbath yang dibuatnya sendiri. Imam Syafi’i

Page 116: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

107

beristidlal kepada al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas dalam mengistinbathkan

hukum. Artinya, sistematika atau tertib urutan sumber dalil yang beliau gunakan

dalam mengistinbathkan hukum adalah al-Qur’an pada urutan pertama,

kemudian sunnah pada urutan kedua dan seterusnya secara berurutan ijma’ dan

qiyas. Dalam hal pelarangan imam salat perempuan bagi makmum laki-laki,

Imam Syafi’i beristidlal kepada al-Qur’an dan qiyas tanpa menggunakan hadits

Nabi sebagai sumber dalil. Padahal, jika masih terdapat hadits yang dapat

dijadikan hujjah dalam mengistinbathkan hukum maka penggunaan qiyas tidak

dibenarkan.

Metode istidlal Imam Hanafi dalam mengistinbathkan hukum secara

berurutan adalah melalui al-Qur’an, sunnah, pendapat sahabat, qiyas, istihsan

dan urf. Dalam mengistinbathkan hukum perempuan menjadi imam salat bagi

makmum laki-laki, beliau melarang perempuan menjadi imam salat bagi

makmum laki-laki dalam salat wajib dan salat sunah. Dasar hukum yang beliau

pakai adalah hadits riwayat Ibnu Majah tentang larangan perempuan menjadi

imam salat bagi makmum laki-laki dan qiyas bahwa perempuan akan menjadi

fitnah bagi laki-laki.

Inkonsistensi Imam Hanafi juga terlihat dalam mengistinbathkan hukum

tentang imam salat perempuan bagi makmum laki-laki. Imam Hanafi dikenal

sebagai ulama yang sangat selektif dalam penerimaan hadits. Beliau hanya

menerima hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya).

Hadits riwayat Ibnu Majah tentang larangan perempuan menjadi imam salat bagi

Page 117: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

108

makmum laki-laki ternyata diriwayatkan oleh perawi yang tidak tsiqah. Menurut

para ulama, hadits riwayat Ibnu Majah ini dhaif. Sedangkan hadits riwayat Abi

Daud diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah sehingga hadits ini shahih

kwalitasnya. Jika Abu Hanifah konsisten dengan metode istidlal yang

digunakannya dalam mengistinbathkan hukum, maka beliau akan membolehkan

perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki dengan berdasarkan

hadits riwayat Abi Daud.

Ummu Waraqah adalah seorang sahabat Rasulullah yang diidzinkan oleh

Nabi mengimami salat berjamaah penghuni rumahnya walaupun terdapat

makmum laki-laki. Perkataan sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam

pandangan Abu Hanifah. Beliau menerima pendapat sahabat dan mengharuskan

umat Islam untuk mengikutinya. Perkataan Ummu Waraqah tentang kebolehan

perempuan menjadi Imam salat bagi makmum laki-laki tidak dijadikan Imam

Hanafi sebagai hujjah. Beliau bahkan memperkuat argumennya tentang larangan

perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki dengan alasan khauf al-

fitnah. Padahal, qiyas dalam pandangan Abu Hanifah hanya bisa dilakukan jika

tidak terdapat ketetapan hukum dalam al-Qur’an, sunnah dan perkataan sahabat.

Perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki merupakan

sesuatu yang dianggap baik dan tidak keluar dari dali-dalil syara’. Sesuatu yang

dianggap baik maka sudah bisa menjadi dasar penetapan hukum. Perempuan

menjadi imam salat bagi makmum laki-laki sudah pernah dicontohkan Ummu

Page 118: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

109

Waraqah. Hal ini sesuai dengan konsep istihsan dan urf dalam pandangan Imam

Hanafi.

Ummu Waraqah adalah salah seorang sahabat Rasulullah SAW. Izin bagi

Ummu Waraqah mengimami penghuni rumahnya oleh Nabi SAW. sedangkan di

situ terdapat makmum laki-laki merupakan salah satu amal ahlu Madinah yang

langsung mendapatkan legitimasi dari Nabi SAW. Hadits Nabi tentang

kebolehan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki yang

dikuatkan amal ahlu Madinah lebih kuat dari hadits larangan perempuan menjadi

imam salat bagi makmum laki-laki kedudukannya sebagai hujjah walaupun

bertentangan dengan makna zahir QS. al-Nisa: 34. Ketika Imam Malik tidak

membolehkan perempuan menjadi imam salat secara mutlak, maka beliau tidak

konsisten dengan metode istidlal yang telah diterapkannya dalam

mengistinbathkan hukum tentang kepemimpinan perempuan dalam salat bagi

makmum laki-laki..

Imam Ahmad bin Hanbal beristidlal kepada al-Qur’an, sunnah, fatwa para

sahabat, fatwa para sahabat yang diperselisihkan, hadits mursal dan hadits dhaif

dan qiyas. Inkonsistensi Imam Ahmad terlihat ketika beliau tidak berpatokan

kepada hadits Abu Daud yang berkwalitas shahih dalam mengistinbathkan

hukum perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. Dalam hal ini,

Imam Hanbali hanya berpatokan kepada hadits dhaif riwayat Ibnu Majah dan

qiyas bahwa perempuan hanya akan menjadi fitnah bagi laki-laki dalam salat

berjamaah. Padahal Imam Ahmad beristidlal kepada hadits shahih dalam metode

Page 119: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

110

istinbath yang telah ditentukannya, bukan kepada hadits riwayat yang

berkwalitas dhaif. Penggunaan hadits dhaif hanya beliau pakai apabila hadits

dhaif itu tidak bathil, munkar dan hadits yang dalam periwayatannya terdapat

perawi yang diragukan kejujurannya. Sedangkan hadits riwayat Ibnu Majah

terdapat perawi yang bathil, munkar dan diragukan kejujurannya. Penggunaan

qiyas pun hanya digunakan dalam keadaan darurat.

Sebaliknya, penulis berpendapat bahwa ulama minoritas yang

membolehkan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki ternyata

konsisten dengan metode istinbath yang mereka rumuskan. Al-Tabari

menafsirkan bahwa QS. al-Nisa: 34 hanya berbicara dalam ruang lingkup

keluarga dan urusan sosial. Ini berarti bahwa kepemimpinan perempuan dalam

salat bagi makmum laki-laki menurutnya adalah boleh. Kemudian beliau

memperkuat argumennya dengan hadits riwayat Abi Daud dalam hal kebolehan

perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. Hanya saja, pendapat al-

Tabari tentang kebolehan kepemimpinan perempuan dalam salat bagi makmum

laki-laki tengelam bersamaan dengan punahnya mazhab ini.

Imam Muzani ternyata konsisten mengikuti metode istinbath yang telah

Imam Syafi’i rumuskan dalam mengistinbathkan hukum. Penulis berpendapat

bahwa Imam Muzani membolehkan perempuan menjadi imam salat bagi

makmum laki-laki berdasarkan penafsiran QS. al-Nisa: 34 yang hanya berkaitan

dalam ruang lingkup rumah tangga. Kemudian beliau merujuk kepada hadits

riwayat Abi Daud dalam hal kebolehan kepemimpinan perempuan dalam salat

Page 120: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

111

bagi makmum laki-laki. Akan tetapi, pendapat Imam Muzani tenggelam karena

kebesaran gurunya yakni Imam Syafi’i. Begitu juga dengan pendapat Abu Tsaur

yang tenggelam karena beliau tidak meninggalkan kitab yang berisi pemikiran-

pemikirannya. Pendapat-pendapat Abu Tsaur hanya dapat ditemukan pada kitab-

kitab lain yang bukan kitab karya beliau. Ini berarti, kita tidak dapat menemukan

kitab karya Abu Tsaur.

Penulis berpendapat bahwa pendapat minoritas ulama tentang kebolehan

perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki yang telah tenggelam

menunjukkan bahwa perempuan pernah menjadi imam salat bagi makmum laki-

laki seperti yang terjadi pada kasus Ummu Waraqah yang mengimami penghuni

rumahnya sedangkan di situ terdapat makmum laki-laki. Hal ini bukan berarti

pendapat yang telah tenggelam tentang kebolehan perempuan menjadi imam

salat bagi makmum laki-laki dapat dijadikan dasar untuk melegitimasi larangan

perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki.

Page 121: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

112

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Ulama yang melarang perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-

laki berdasarkan hadits riwayat Ibnu Majah yang menyatakan bahwa

(“Janganlah sekali-kali perempuan menjadi imam salat bagi laki-laki, orang

Arab Badui bagi orang-orang Muhajir, dan orang jahat bagi orang mukmin”)

kemudian diperkuat dengan hadits riwayat Daruquthni yang menyatakan

bahwa (“Rasulullah SAW. memerintahkan Ummu Waraqah untuk

menjadi imam bagi kaum perempuan penghuni rumahnya”).

Sedangkan ulama yang membolehkan perempuan menjadi imam salat

bagi makmum laki-laki berdasarkan hadits riwayat Abi Daud yang

menyatakan bahwa Rasulullah bersabda (”Dari Ummu Waraqah bintu

Abdillah bin al-Haarits, beliau menyatakan bahwa Rasulullah

mengunjunginya di rumah dan mengangkat untuknya seorang muazin

yang berazan untuknya dan memerintahkannya untuk mengimami

keluarganya di rumah. Abdurrahman berkata: saya melihat muazinnya

seorang lelaki tua”).

2. Secara umum, metode istinbath ulama yang melarang perempuan menjadi

imam salat bagi makmum laki-laki adalah beristidlal kepada QS. al-Nisa:

Page 122: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

113

34 yang ditafsirkan bahwa pemimpin dalam salat adalah hak mutlak laki-

laki. Kemudian mereka memperkuat argumennya kepada hadits riwayat

Ibnu Majah. Sedangkan metode istinbath ulama yang membolehkan

perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki juga berdasarkan

QS. al-Nisa: 34 yang ditafsirkan bahwa ayat ini hanya berbicara dalam

konteks rumah tangga yakni mengenai kepemimpinan suami terhadap

istrinya. Kemudian mereka memperkuat pendapatnya dengan hadits

riwayat Abi Daud.

3. Persoalan imamah perempuan dalam salat bagi makmum laki-laki telah

melahirkan dua pendapat yang saling bersebrangan. Mayoritas ulama

(Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) sepakat bahwa perempuan

dilarang menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. Imam Malik dan

Abu Hanifah menolak perempuan sebagai imam laki-laki karena

imamah merupakan posisi yang terhormat dan agung yang hanya

menjadi kewenangan laki-laki. Hal ini berlaku secara mutlak.

Sementara itu, Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, membolehkan

perempuan menjadi imam terbatas pada sesama perempuan saja.

Sedangkan kelompok minoritas (Imam Abu Tsaur, Muzani dan Thabari)

membolehkan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki.

4. Substansi masalah tentang imamah perempuan dalam salat adalah bahwa

perempuan sering dikaitkan dengan alasan khauf al-fitnah. Perempuan

seakan-akan dianggap mempunyai unsur-unsur inheren yang membuat

Page 123: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

114

laki-laki tergoda. Oleh karena itu, untuk menghindarkan laki-laki dari

godaan dan fitnah, perempuan sebaiknya dilarang melakukan aktivitas

bersama-sama laki-laki, apalagi dalam persoalan ibadah salat yang

merupakan ibadah yang membutuhkan konsentrasi penuh. Padahal

ketertarikan atau ketergodaan lawan jenis bisa dimiliki laki-laki atau

perempuan. Pesoalan yang tersisa adalah mengenai ada atau tidaknya

faktor fitnah sebab proses kebudayaan dan tradisi dapat membentuk

ideologi tertentu berupa ideologi laki-laki maupun perempuan.

B. SARAN-SARAN

1. Adanya perbedaan ulama dalam metode istinbath hukum menunjukkan

bahwa ulama terkadang berbeda dalam memahami, merumuskan dan

menetapkan hukum. Ini semua merupakan sebuah rahmat bagi umat

muslim yang patut kita tiru. Perbedaan dalam menaggapi sebuah persoalan

merupakaan sebuah kenyataan yang selalu akan kita hadapi dalam hidup

ini. Jadi, sikap yang elegan adalah bagaimana kita menghadapi perbedaan

tersebut dengan bijaksana yakni dengan tidak menyalahkan bahkan

dengan mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda pendapat dengan

kita. Apalagi, mengklaim bahwa pendapatnya adalah paling benar dengan

menafikan pendapat orang lain. Toleransi adalah solusi terbaik dalam

menghadapi setiap perbedaan.

Page 124: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

115

2. Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, ini menunjukkan bahwa

setiap ayat al-Qur’an yang diturunkan mempunyai latar belakang (asbab

al-nuzul) atau faktor sosiologis yang mempengaruhinya. Sudah saatnya

kita memahami ayat al-Qur’an secara kontekstual, bukan hanya secara

tekstual. Hal ini bertujuan agar terdapat pemahaman yang mengedepankan

kesetaraan dengan terbebas dari budaya patriarki dalam memahami ayat

al-Qur’an yang merupakan ruh tauhid. Begitu juga ketika kita memahami

hadits Nabi, harus melihat asbab al-wurud sehingga didapatkan penafsiran

yang tidak diskriminatif dan subordinatif. Konsep pemahaman terhadap

teks al-Qur’an dan hadits yang memperhatikan asbab al-nuzul dan asbab

al-wurud akan melahirkan pemahaman teks yang menunjukkan elastilitas

ajaran agama Islam. Ini berarti, ajaran Islam tidak kaku dan jumud.

Page 125: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

116

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Masykuri dan Mun’im A. Sirri, “Hukum yang Memihak Kepentingan Laki-laki: Perempuan dalam Kitab Fikih”. Dalam Ali Munhanif, ed. Perempuan dalam Literatur Islam Klasik . Jakarta: Gramedia, 2002.

Abdullah, Sulaiman. Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam: Kajian

Konsep Qiyas Imam Syafi’i. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996. Ali, Abdullah Yusuf. Quran. Penerjemah Ali Audah. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993. Asqalani, al, Ibnu Hajar. Tahdzib al-Tahdzib. India: Majlis Da’irat al-Ma’arif al-

Nizhamiyah, t.th. Azhim, al, Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haqq. Aun al-Ma’bud Syarh Sunan

Abi Daud. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990. Bagawi, al, Abu Muhammad al-Hasan al-Farra. Tafsir al-Bagawi. Beirut: Dar al-

Ma’rifah, 1993. Banna, al, Ahmad Abdurrahman. Fathu al-Rabbany. Kairo: Dar al-Syihab, t.th., Cet. Ke-5. Busyairi, al. Zawaid Ibnu Majah ’Ala al-Kutub al-Khamsah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993. Daruquthni, al, Imam. Sunan al-Daruquthni. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi,

1993. Engineer, Asghar Ali. Hak-hak Wanita dalam Islam. Penerjemah Farid Wajidi dan

Cici Farkha Assegaf. Yogyakarta: Bentang, 1994. Firdaus, Endis. Imam Perempuan: Dekonstruksi Berpesrpektif Gender Menuju

Kontekstualisasi Politis Ajaran Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Ceria, 2008.

Hasan, M. Ali. Perbandingan Mazhab. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Ibrahim, Anis. Al-Mu’jam al-Wasith. Qahirah: Dar al-Qalam, t.th. Indra, Hasbi. dkk. Potret Wanita Shalehah. Jakarta: Penamadani, 2004. Jauziyyah, al, Ibn Qayyim. I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin. (ed.). Thaha

Abd al-Rauf. Kairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, 1973.

Page 126: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

117

Jazila, Siti Habibah. “ Konsep Kepemimpinan Rumah Tangga: Telaah atas Pemikiran Asghar Ali Engineer.” Justitia Islamica. Vol. 3, No.2 (Juni- Desember 2006): h. 34 -35. Juzairi, al, Abdurrahman. al-Fifqh ala al-Madzahibil al-Arba’ah. Kairo: al-Sakafa al-Dinayah, 2005. Katsir, Ibnu. Tafsir al-Qur’an al-Azim. Riyadh: Dar Thayibah, 2007. Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushulul Fiqh. Kairo: Dar al-Hadits, t.th. Mawardi, al. al-Ahkam al-Sulthaniyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th. Ma’luf, Abdul Lois. Al-Munjid. Beirut: Dar al-Masyrik, 2002. Mirgani, al, Muhammad Usman Abdullah. Taj al-Tafasir. Dar al-Fikr, t.th. Muhammad, Husein. Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan

Gender. Yogyakarta: LKiS, 2009. --------------. “Perempuan dalam Fiqh Ibadah.” Harkat Vol. 5 No. 1 (Oktober 2004):

h. 1-9. Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997. Munfarida, Elya. “Kepemimpinan Perempuan dalam Ibadah: Tafsir Transformatif

atas Diskursus Imam Perempuan bagi Laki-Laki dalam Shalat.” Studi Anak dan Gender vol. 3. No. 2 (Juli-Desember 2008).

Musa, Kamil. al-Madkhal ila al-Tasyri’ al-Islamiy. Beirut: Muassasah al-Risalah,

1989. Muslim, Abu al-Husain. Shahih Muslim. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2007. Mustafa Yaqub, Ali. Imam Perempuan. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006. Nawawi, al, Syarafuddin. al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab. Beirut: Dar Ihya al- Turas al-Arabiy, 2001. Qozwini, al, Ibnu Majah. Sunan Ibnu Majah. Beirut: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 2004. Qudamah, Ibnu. Al-Mughni. Ed. Abdullah bin Abd al-Muhsin al-Turki dan Abd al-

Fattah Muhammad al-Hilwu. Riyadh: Hajar, 1987.

Page 127: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

118

Rahmat, Tamu Jalaluddin (ed.). Ijtihad dalam Sorotan. Bandung: Mizan, 1996. Rida, Rasyid. Tafsir al-Manar.Beirut: Dar al-Fikr, 1973. Roibin. Sosiologi Hukum Islam: Telaah Sosio-Historis Pemikiran Imam Syafi’i.

Malang: UIN Malang Press, 2008. Romli SA. Muqaranah Mazahib fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999. Rusyd, Ibnu. Bidayah al-Mujtahid. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy, 1996. Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1973. Saleh, Qomaruddin. Dkk. Asbab al-Nuzul: Latar Belakang Turunnya Ayat-ayat al-

Qur’an. Bandung: Diponegoro, 1996. Salus, al, Ali Ahmad. Imamah dan Khilafah dalam Syar’i. Penerjemah Asmuni

Solihan Zamakhsyari. Jakarta: Gema Insani Press, 1997. Sayis, al, Muhammad Ali. Tarikh al-Fiqh al-Islami. Kairo: Maktabah wa Matba’ah

Ali Sabih wa auladuh, t.th. -------------. Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad.

Penerjemah M. Ali Hasan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Sa’adi, al, Abdurrahman bin Nashir. Tafsir al-Sa’adi. Penerjemah Muhammad Iqbal,

dkk. Jakarta: Pustaka Sahifa, 1999. Shan’ani, al. Subul al-Salam. Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Shiddieqy, ash, Muhammad Hasbi. Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab.

Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997. ------------------. Pedoman Salat. Semarang: Pustaka Rizki Putera, 2001. Shihab, Quraish. Perempuan: Dari Cinta Sampai Seks, Dari Nikah Mut’ah Sampai

Nikah Sunnah, Dari Bias Lama Sampai Bias Baru. Jakarta: Lentera Hati, 2007.

---------. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat. Jakarta: Mizan, 1997.

Page 128: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

119

---------. Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran. Ciputat: Lentera Hati, 2007.

----------.Tafsir al-Mishbah: Pesaan, Kesan dan Keserasian al-Quran. Ciputat:

Lentera Hati, 2000. Sijistani, al, Abu Daud. Sunan Abi Daud. Beirut: Dar ibnu al-Hazm, t.th. Subhan, Zaitunah .Rekonstruksi Pemahaman Jender dalam Islam: Agenda Sosio-

Kultural dan Politik Peran Perempuan. Ciputat: el-Kahfi, 2002. Syafi’i, Abdulmanan. “Memahami Ayat al-Rijalu Qawwamuna ‘Ala al-Nisa Secara

Tekstual dan Kontekstual.” Harakat an-Nisa’, vol. 1 no. 1 (Januari 2001): h. 35-36.

Syafi’i, al, Muhammad bin Idris. al-Risalah. Kairo: Dar al-Turas, 1979. ------------.al-Umm. Beirut: Dar al-Wafa, 2005. Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009. Syatibi, al. al-Muwafaqat Fi Ushul al-Ahkam. Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Syaukani, al, Ali. Nail al-Authar. Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, t.th. Tabari, al, Muhammad bin Jarir. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay’ al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005. Umar, Nasaruddin. Kodrat Perempuan dalam Islam. Jakarta: Kerjasama Lembaga

Kajian Agama dan Jender, PS Perempuan dan The Asia Foundation, 1999. Usman, Iskandar. Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 1994. Wadud, Amina. Quran Menurut Perempuan. Penerjemah Abdullah Ali. Jakarta:

Serambi Ilmu Semesta, 2006. Yanggo, Huzaemah Tahido. Pengantar Perbandingan Mazhab. Ciputat: Logos

Wacana Ilmu, 2003. Yunus, Mahmud. Tafsir Quran Karim. Jakarta: Hidakarya Agung, 2004, Cet. Ke-73.

Page 129: METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH · PDF fileJudul Skripsi : Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan ... pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University,

120

Zahiri, al, Abu Muhammad Ali ibn Hazm al-Andalusi. al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Beirut: Dar al-Jil, 1987.

Zahrah, Abu. Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah. al-Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabiy,

1987. Zuhaili, Wahbah. al-Fiqhu al-Islam Waadillatuh. Kairo: Darul Fikar, 2004.