metodebermain2

19
12 BAB II METODE BERMAIN KONSTRUKTIF DAN PERKEMBANGAN KEAGAMAAN ANAK A. Metode Bermain Konstruktif 1. Pengertian Metode Bermain Konstruktif Dalam pengertian umum, metode diartikan sebagai cara mengerjakan sesuatu. Dalam pengertian letterlijk, kata “metode” berasal dari bahasa Greek yang berarti dari “meta” yang berarti “melalui” dan “hodos” yang berarti jalan. Jadi metode berarti “ jalan yang dilalui”. 1 Dalam kamus besar bahasa Indonesia, metode diartikan sebagai berikut : “Cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.” 2 Metode mengandung implikasi bahwa proses penggunaannya bersifat konsisten dan sistematis, mengingat sasaran metode itu adalah manusia yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan. 3 Pengertian bermain adalah melakukan suatu perbuatan untuk menyenangkan hati (dengan alat-alat tertentu atau tidak). 4 Sedangkan pengertian Konstruktif adalah bersifat membina, memperbaiki, dan membangun. 5 Dengan demikian yang dimaksud dengan Metode Bermain Konstruktif adalah cara bermain yang bersifat membangun, membina, memperbaiki, dimana anak-anak menggunakan bahan untuk membuat sesuatu yang bukan untuk bertujuan bermanfaat, melainkan ditujukan bagi kegembiraan yang diperolehnya dari membuatnya. 6 1 H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1993), cet. III, hal. 97 2 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1995), hal. 652 3 H.M. Arifin, Op.cit., hal. 98 4 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), hal. 580-581 5 Ibid., hal. 457 6 Elizabeth B. Hurlock, Child Development, Med. Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih, Perkembangan Anak, Jilid I, (Jakarta : Erlangga, 1997), Cet. V, hal. 330

description

mtk

Transcript of metodebermain2

Page 1: metodebermain2

12

BAB II

METODE BERMAIN KONSTRUKTIF DAN

PERKEMBANGAN KEAGAMAAN ANAK

A. Metode Bermain Konstruktif

1. Pengertian Metode Bermain Konstruktif

Dalam pengertian umum, metode diartikan sebagai cara mengerjakan

sesuatu. Dalam pengertian letterlijk, kata “metode” berasal dari bahasa Greek

yang berarti dari “meta” yang berarti “melalui” dan “hodos” yang berarti

jalan. Jadi metode berarti “ jalan yang dilalui”.1

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, metode diartikan sebagai

berikut :

“Cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.”2

Metode mengandung implikasi bahwa proses penggunaannya bersifat

konsisten dan sistematis, mengingat sasaran metode itu adalah manusia yang

sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan.3

Pengertian bermain adalah melakukan suatu perbuatan untuk

menyenangkan hati (dengan alat-alat tertentu atau tidak).4 Sedangkan pengertian

Konstruktif adalah bersifat membina, memperbaiki, dan membangun.5

Dengan demikian yang dimaksud dengan Metode Bermain Konstruktif

adalah cara bermain yang bersifat membangun, membina, memperbaiki, dimana

anak-anak menggunakan bahan untuk membuat sesuatu yang bukan untuk

bertujuan bermanfaat, melainkan ditujukan bagi kegembiraan yang diperolehnya

dari membuatnya.6

1 H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1993), cet. III, hal. 97 2 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1995), hal. 652 3 H.M. Arifin, Op.cit., hal. 98 4 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), hal. 580-581 5 Ibid., hal. 457 6 Elizabeth B. Hurlock, Child Development, Med. Meitasari Tjandrasa dan Muslichah

Zarkasih, Perkembangan Anak, Jilid I, (Jakarta : Erlangga, 1997), Cet. V, hal. 330

Page 2: metodebermain2

13

Yang dimaksud konstruktif adalah bahwasanya anak-anak membuat

bentuk-bentuk dengan balok-balok, pasir, lumpur, tanah liat, manik-manik, cat,

pasta, gunting dan krayon. Sebagian besar konstruksi yang dibuat merupakan

tiruan dari apa yang dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari atau dari layar

bioskop atau televisi. Menjelang berakhirnya awal masa kanak-kanak, anak-

anak sering menambahkan kreatifitasnya ke dalam konstruksi-konstruksi yang

dibuat berdasarkan pengamatannya dalam kehidupan sehari-hari.7

2. Teori-teori Permainan

a. Teori Rekreasi

Teori ini dikembangkan oleh Schaller dan Lazarus, keduanya

ilmuwan bangsa Jerman, yang berpendapat bahwa permainan merupakan

kesibukan untuk menenangkan pikiran atau beristirahat. Orang melakukan

kesibukan bermain bila mereka bekerja ; maksudnya untuk mengganti

kesibukan bekerja dengan kegiatan lain yang dapat memulihkan tenaga

kembali.8 Maka disebut juga teori pemulihan tenaga.9 Atau disebut juga

teori Istirahat.10

b. Teori Penglepasan

Teori ini berasal dari Herbert Spencer, ahli pikir bangsa Inggris. Ia

mengatakan bahwa dalam diri anak terdapat kelebihan tenaga. Sewajarnya ia

harus mempergunakan tenaga itu melalui kegiatan bermain. Kelebihan

tenaga itu harus dipergunakan, paling tidak harus dilepaskan dalam kegiatan

bermain-main. Dengan demikian dapat mencapai keseimbangan dalam

dirinya.11 Teori ini disebut juga sebagai teori kelebihan tenaga

(Krachtoverschot-theorie).12

c. Teori Atavistis

Teori ini berasal dari Stanley Hall, ahli psikologi bangasa Amerika,

yang berpendapat bahwa di dalam perkembangannya, anak melalui seluruh

taraf kehidupan umat manusia. Sebelumnya Hackel merumuskan pendapat

ini berupa hukum biogenetis. Anak-anak selalu mengulangi apa yang pernah

dikerjakan atau diperbuat nenek moyangnya sejak dari masa dahulu sampai

kepada keadaan yang sekarang. Karena alasan itulah maka teori ini dinamai

atavistis. Dalam bahasa latin, atavus artinya nenek moyang. Jadi atavistis

7 Elizabeth B.Hurlock, Development Psycology A Life-Span Apprroach, Istiwidiyanti,

Soejarwo, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, (Jakarta : Erlangga, 1999) Cet. VII, Hal. 122

8 Zulkifli L, Psikologi Perkembangan, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2002), cet. IX, hal. 39

9 Abu Ahmadi dan Zul Afdi Ardian, Ilmu Jiwa Anak, (Bandung : Armico, 1989), hal. 79 10 Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1996), cet Vii, hal. 29 11 Zulkifli L, Loc. Cit. 12 Kartini Kartono, Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan), (Bandung : Mandar Maju,

1995_, cet. V, hal. 118

Page 3: metodebermain2

14

artinya kembali kepada sifat-sifat nenek moyang di masa lalu. Dalam

permainan timbul bentuk-bentuk kelakuan seperti bentuk kehidupan yang

pernah dialami oleh nenek moyang.13

Hall yang banyak mendengarkan teorinya kepada Rousseau dan

Darwin, memandang permainan berdasarkan teori rekapitulasi, yaitu

sebagai ulangan (rekapitulasi) bentuk-bentuk aktivitas yang dalam

perkembangan jenis manusia pernah memegang peranan yang dominan.

Menurut teori rekapitulasi perkembangan individu (ontogenesa)

adalah ulangan perkembangan jenis manusia (filogenesa). Menurut Hall

permainan merupakan sisa-sisa periode perkembangan manusia waktu dulu

tetapi yang sekarang perlu sebagai stadium transisi dalam perkembangan

individu.14Teori rekapitulasi berhasil memberi penjelasan lebih rinci

mengenai tahapan kegiatan bermain yang mempunyai urutan yang sama

seperti evolusi mahluk hidup.15

d. Teori Biologis

Teori ini berasal dari Karl Gross, seorang bangsa Jerman.

Selanjutnya Dr. Maria Montessori, pendidik kenamaan bangsa Italia (1870-

1952), mengembangkan teori biologis ini. Permainan merupakan tugas

biologis (hidup atau hayat). Dengan pedoman pendapat itu, permainan di

kalangan anak-anak mempunyai persamaan dengan permainan dalam dunia

binatang. Permainan merupakan latihan untuk menyesuaikan diri dengan

keadaan lingkungan kehidupan, juga dianggap sebagai latihan jiwa dan raga

untuk kehidupan dimasa yang akan datang.16

Dasar teori Groos adalah prinsip seleksi alamiah yang

dikemukakan oleh Charles Darwin. Binatang dapat mempertahankan

hidupnya karena dia mempunyai keterampilan yang diperoleh melalui

bermain. Bayi yang baru lahir juga binatang mewarisi sejumlah instink yang

tidak sempurna dan instink ini penting guna mempertahankan hidup.

Bermain bermanfaat untuk mahluk yang masih muda dalam melatih dan

menyempurnakan instinknya. Jadi tujuan bermain adalah sebagai sarana

latihan dan mengelaborasi keterampilan yang diperlukan saat dewasa

nanti.17

13 Zulkifli L., Loc. Cit. 14 F.J. Monks, A.M.P.Knoers, Ontwikkelings Psykologie Inleiding tot de verschillende

Deelgebieden, Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan : Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1998), cet. 11, hal. 132- 133

15 Mayke S. Tedjasaputra, Bermaian, Mainan dan Permainan Untuk Pendidikan Usia Dini, (Jakarta : PT. Grasindo, 2001), cet. I, hal. 4

16 Zulkifli L., Op.cit., hal. 40 17 Mayke S. Tedjasaputra, Op.cit., hal. 5

Page 4: metodebermain2

15

Montessori menyebut permainan ini sebagai latihan fungsi-fungsi.

Fungsi-fungsi dilatih dengan cara berlari-lari, dengan cara berjingkrak-

jingkrak, dan sebagainya. Perasaan senang dalam bermain ini dapat

membantu dan mendorong untuk menimbulkan kekuatan-kekuatan yang

dibutuhkan.18

e. Teori Psikologi Dalam

teori ini berasal dari Sigmund Freud dan Adler, kedua tokoh itu

membahas permainan dari sudut pandang psikologi dalam. Menurut Freud,

permainan merupakan pernyataan nafsu-nafsu yang terdapat di daerah

bawah sadar, sumbernya berasal dari dorongan nafsu seksual. Permainan

merupakan bentuk dari pemuasan dari nafsu seksual yang terdapat di

komplek terdesak. Sedang menurut Adler, pernyataan nafsu-nafsu yang

terdapat di bawah sadar itu sumbernya berasal dari dorongan nafsu

berkuasa. Permainan merupakan usaha untuk menutup-nutupi perasaan

“harga diri kurang”.19

f. Teori Fenomenologis

Profesor Kohnstamm, seorang sarjana Belanda yang

mengembangkan teori fenomenologi dalam pedagogik teoritisnya

menyatakan bahwa, permainan merupakan suatu fenomena atau gejala yang

nyata, yang mengandung unsur-unsur permainan (spels feer). Dorongan

bermain merupakan dorongan untuk menghayati suasana bermain itu. Yakni

tidak khusus bertujuan untuk mencapai prestasi-prestasi tertentu, akan tetapi

anak bermain untuk permainan itu sendiri. Jadi, tujuan permainan adalah

permainan itu sendiri.

Dalam suasana permainan itu terdapat :

1) Kebebasan

2) Harapan

3) Kegembiraan

4) Unsur Ikhtiar dan

5) Siasat untuk mengatasi hambatan serta perlawanan.20

3. Jenis- Jenis Permainan

H. Zetzer, seorang ahli psikologi bangsa Jerman, meneliti permainan

dikalangan anak-anak. Tokoh ini menyebutkan jenis-jenis permainan sebagai

berikut :

a. Permainan Fungsi

18 Zulkifli L., Loc,cit 19 Ibid, hal. 40 20 Kartini Kartono, Op.cit., hal. 121

Page 5: metodebermain2

16

Dalam permainan ini yang diutamakan adalah gerakannya. Bentuk

permainan ini gunanya untuk melatih fungsi-fungsi gerak dan perbuatan.

b. Permainan Konstruktif

Dalam permainan ini yang diutamakan adalah hasilnya, ada pula

yang disebut permainan destruktif. Bentuk permainan ini lebih bersifat

merusak.

c. Permainan Reseptif

Sambil mendengarkan cerita atau melihat-lihat buku bergambar,

anak berfantasi dan menerima kesan-kesan yang membuat jiwanya sendiri

menjadi aktif.

d. Permainan Peranan

Anak itu sendiri memegang peranan sebagai apa yang sedang

dimainkannya.

e. Permainan Sukses

Dalam permainan ini yang diutamakan adalah prestasi, untuk

kegiatan permainan ini sangat dibutuhkan keberanian, ketangkasan,

kekuatan dan bahkan persaingan.21

Menurut Drs. Agus Sujanto, jenis-jenis permainan adalah :

a. Permainan Gerak atau Fungsi

Yang dimaksud adalah permainan yang mengutamakan gerak dan

berisi kegembiraan di dalam bergerak.

b. Permainan Destruktif

Yang dimaksud adalah permainan dengan merusakkan alat-alat

permainannya itu. Seakan-akan ada rahasia di dalam alat permainannya dan

ia mencari rahasia tersebut.

c. Permainan Konstruktif

Yang dimaksud anak senang sekali membangun, disusun balok-

balok, satu dan sebagainya menjadi sesuatu yang baru dan dengan itu si

anak menemukan kegembiraannya.

d. Permainan Peranan, atau ilusi

Yang dimaksud adalah permainan peranan yang di dalamnya, si anak

menjadi seorang yang penting.

e. Permainan Reseptif

Yang dimaksud adalah apabila orang tuanya sedang menceritakan

sesuatu , maka di dalam jiwanya si anak mengikuti cerita dengan

menempatkan dirinya sebagai tokohnya.

f. Permainan Prestasi

21 Zulkifli L., Op.cit., hal. 42-43

Page 6: metodebermain2

17

Yang dimaksud adalah di dalam permainan itu si anak berlomba-

lomba untuk menunjukkan kelebihannya, baik kelebihan dalam kekuatan,

dalam keterampilan maupun dalam ketangkasannya.22

4. Fungsi Bermain

Sesuai dengan pengertian bermain yang merupakan tuntutan dan bagi

perkembangan anak usia TK, menurut Hartley, Frank, dan Goldenson

sebagaimana dikutip oleh Moeslichatoen, ada 8 fungsi bermain bagi anak :

a. Memainkan apa yang dilakukan oleh orang dewasa

b. Untuk melakukan berbagai peran yang ada dalam kehidupan nyata

c. Untuk mencerminkan hubungan dalam keluarga dan pengalaman hidup yang

nyata.

d. Untuk menyalurkan perasaan yang kuat

e. Untuk melepaskan dorongan-dorongan yang tidak dapat diterima

f. Untuk kilas balik peran-peran yang biasa dilakukan

g. Mencerminkan pertumbuhan

h. Untuk memecahkan masalah dan mencoba berbagai penyelesaian

masalah.23

Sedangkan menurut Hetherington dan Parke bermain juga berfungsi

untuk mempermudah perkembangan kognitif anak. Dengan bermain akan

memungkinkan anak meneliti lingkungan, mempelajari segala sesuatu yang

dihadapinya. Bermain juga meningkatkan perkembangan sosial anak. Dengan

menampilkan bermacam-macam peran, anak berusaha memahami peran orang

lain dan menghayati peran yang akan diambilnya setelah ia dewasa kelak.

Sejalan dengan Hetherington dan Parke di atas, Dworetzky (1990) juga

mengemukakan fungsi bermain dan interaksi dalam permainan mempunyai

peranan penting bagi perkembangan kognitif dan sosial anak.

Fungsi bermain tidak saja dapat meningkatkan perkembangan kognitif

dan sosial, tetapi juga perkembangan bahasa, disiplin, perkembangan moral ,

kreatifitas dan perkembangan fisik anak. Beberapa fungsi bermain antara lain :

a. Mempertahankan keseimbangan

b. Menghayati berbagai pengalaman yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari

c. Mengantisipasi peran yang akan dijalani di masa yang akan datang

d. Menyempurnakan keterampilan-keterampilan yang dipelajari

e. Menyempurnakan keterampilan memecahkan masalah

f. Meningkatkan keterampilan berhubungan dengan anak lain.24

22 Agus Sujanto, Op.cit., hal. 32 23 Moeslichatoen R., Metode Pengajaran di Taman Kanak-kanak, (Jakarta : PT. Rineka Cipta,

1999), cet. I, hal. 33-34 24 Ibid., hal. 34-36

Page 7: metodebermain2

18

B. Perkembangan keagamaan Anak

1. Pengertian Perkembangan Keagamaan Anak

Psikologi berasal dari kata Psyche dan Logos, masing-masing kata itu

mempunyai arti “jiwa” dan “ilmu”. Psikologi adalah ilmu yang menyelidiki

dan membahas tentang perbuatan dan tingkah laku manusia.

Dalam usaha memahami psikologi perkembangan, ada baiknya kita

ketahui apa yang dimaksud dengan perkembangan. Mulanya kata

perkembangan berasal dari biologi, kemudian pada abad ke-20 ini kata

perkembangan digunakan oleh psikologi. Karena penggunaannya pertama-

tama dalam biologi , pada masa berikutnya ada ahli-ahli yang menyebut

pertumbuhan, disamping kata perkembangan, bahkan ada yang menyebut

istilah itu untuk maksud yang sama.25

Menurut Robert G Myers, dalam bukunya “Toward a fair Start For

Childern“, sebagaimana dikutip oleh Washington P. Napitupulu,

perkembangan anak tidak sama dengan pertumbuhan, walaupun sebagaimana

disarankan pada diskusi sebelumnya, istilah-istilah itu berkaitan dan sering

digunakan bergantian. Jika pertumbuhan digambarkan oleh perubahan dalam

ukuran, untuk perkembangan dicirikan oleh perubahan di dalam kerumitan

dan fungsi.26 Proses perkembangan akan berlangsung sepanjang kehidupan

menusia, sedang proses pertumbuhan sering kali akan berhenti bila seorang

telah mencapai kematangan fisik.27

Arti perkembangan anak menurut Robert G. Mayers sebagaimana

dikutip oleh Washington P. Napitupulu adalah suatu proses perubahan di

mana anak belajar menangani taraf-taraf yang semakin rumit tentang gerakan,

pemikiran, perasaan (emosi) dan hubungan dengan orang lain.28

Sedangkan arti jiwa agama menurut Zakiah Daradjat adalah pengaruh

agama terhadap sikap dan tingkah orang karena cara seseorang berfikir,

bersikap, bereaksi dan bertingkah laku, tidak dapat dipisahkan dari

keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam konstruksi keyakinannya.29

Perkembangan jiwa keagamaan di sini dapat diartikan sebagai proses

perubahan keagamaan dalam diri seorang anak terhadap sikap dan tingkah

laku karena cara anak tersebut berfikir, bersikap, bereaksi, bertingkah laku,

tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya.

25 Zulkifli, Op.cit, hal. 4 26 Robert G. Myers, Toward a fair Start For Childern, Washington P. Napitupulu , Masanya

Untuk Anak- Semasa Kecil: Menuju Awal yang Adil Bagi Anak-anak, (Jakarta : Balai Pustaka, 1992) hal. 27

27 Hj. Endang Poerwanti, Nur Widodo, Perkembangan Peserta Didik, (Malang : Universitas Muhammadiyah Malang, 2002), cet. II, hal. 27

28 Robert G Mayers, Loc.cit 29 Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal. 2

Page 8: metodebermain2

19

2. Teori-Teori Perkembangan

Pengertian teori di sini bukan sebagai lawan praktek, melainkan

sebagai anggapan pakar mengenai hakekat perkembangan. Karena sebagai

anggapan, maka walaupun mengenai hal yang sama, yaitu perkembangan akan

tetapi berbeda-beda antara pakar yang satu dengan pakar yang lain. Adapun

beberapa teori yang perlu dikemukakan di sini adalah sebagai berikut :

a. Teori Nativisme

(Latin, Nativus : Pembawaan). Pelopor Nativisme adalah seorang

filosof bangsa Jerman bernama Arthur Schopenhauer (1788-1860).

Menurut pendapatnya anak sejak lahir telah memiliki sifat-sifat dasar

tertentu yang disebut sifat pembawaan. Sifat-sifat itu tidak dapat dirubah

dengan pengalaman, lingkungan atau pendidikan.30 Dan sifat bawaan

inilah yang akan menentukan wujud keperibadian seorang anak.31

Kelompok atau aliran ini dijuluki aliran Pesimisme atau aliran

yang sangat pesimis terhadap hasil pendidikan dan lingkungan dalam

menentukan perkembangan, karena bayi lahir seolah sudah menjadi

barang jadi, yang tidak dapat diotak-atik dan sama sekali tidak

memperhitungkan pengaruh lingkungan, pengalaman, hasil belajar dan

pendidikan yang diperoleh anak setelah lahir, sehingga juga tidak

memperhitungkan fungsi sekolah atau pengaruh teman.

Menurut aliran ini berbagai keistimewaan orang tua akan dapat

begitu saja diturunkan kepada anaknya tanpa pendidikan, sementara anak

yang sudah berpembawaan buruk, juga tidak akan ada gunanya dididik

atau dilatih untuk menjadi baik. Aliran ini tidak dipertahankan mengingat

uraiannya kurang bisa dipertanggung jawabkan.32

b. Teori Empirisme

(Latin Emperia : Pengalaman). Pelopor yang utama dari faham

ini adalah seorang ahli filsafat Inggris yang bernama John Locke (1632-

1704). Faham ini bertentangan dengan faham Nativisme dan berpendapat

bahwa anak sejak lahir belum memiliki sifat-sifat pembawaan apapun.33

Dan perkembangan manusia sepenuhnya tergantung pada lingkungan atau

pendidikan yang diperoleh. Aliran ini juga disebut dengan Optimisme

karena sangat optimis terhadap usaha pendidikan dalam memberi arah

perkembangan anak. Ajaran yang terkenal dalam aliran ini adalah “Tabula

Rasa” yang berarti meja lilin atau kertas kosong, artinya anak dilahirkan

30 Ahmad Thantowi, Psikologi Perkembangan, (Bandung : Angkasa, 1993), hal. 25 31 Abu Ahmadi, Munawar Sholeh, Psikologi Perkembangan, (Jakarta : PT. Rineka Cipta,

1991), Cet. I, Hal. 21 32Endang Poerwanti, Nur Widodo, Op.Cit., hal. 55 33 Ahmad Thantowi, Op.Cit., hal. 25-26

Page 9: metodebermain2

20

dalam keadaan putih bersih, yang dapat diisi apa saja dengan belajar dan

pengalaman yang diperoleh.34

c. Teori Konvergensi

Konvergensi (Converge : Memusatkan pada satu titik ;

bertemu).35 Teori Konvergensi ini dipelopori oleh Louis William Stern

(1871-1938) yang juga psikolog dan filosof Jerman. Pendapatnya tentang

teori ini adalah bahwa faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia

adalah integritas antara pembawaan dan lingkungan. Pembawaan tak ada

artinya bila tidak didukung pengalaman, kesempatan dan usaha belajar,

sebaliknya lingkungan juga tidak bermanfaat bila anak ternyata tidak

membawa kecenderungan yang potensial untuk dikembangkan.

Adanya teori dan tafsiran tentang kertas putih (tabula rasa) dari

teori Empirisme yang diperkenalkan oleh John Locke mendasari

keyakinan Ki Hajar Dewantoro sejak tahun 1940-an tentang daya

konvergensi antara dasar dan ajar. Dasar adalah kodratnya anak-anak,

sedangkan ajar adalah lingkungan pendidikan.36

Disini diutarakan pula tentang pandangan Islam terhadap

hereditet dan lingkungan sebagai berikut :

1. Firman Allah SWT

)84: اإلسراء ... (قل آل يعمل على شاآلتهKatakanlah, “ Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing”.(QS. Al-Isra' ; 84)37

2. Sabda Nabi Muhammad saw :

حدثنا حاجب بن الوليد حدثنا محمد بن حرب عن الزبيد عن الزهرى أخبرنى سعيد بن المسيب عن أبى هريرة أنه آان يقول رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم آل مولود يولد على

38)رواه مسلم (الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه “Diriwayatkan dari Hajib bin al-Walid diriwayatkan dari Muhammad bin Harbi dari Zabidi dari Zuhri menceritakan kepadaku Said bin Musayyaib dari Abu Hurairah bahwasanya dia berkata : Rasulullah SAW bersabda : "Tiap-tiap anak dilahirkan menurut fitrahnya (bakatnya, orang tualah yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi)”. (HR. Muslim)

34 Endang Poerwanti, Nur Widodo, Op.Cit., hal. 55-56 35 Abu Ahmadi, Munawar Sholeh, Loc. Cit. 36 Endang Poerwanti, Nur Widodo, Op.Cit., hal. 56-57 37 R.H.A. Soenarjo, Al- Quran dan Terjemahannya, (Semarang : PT. Kumudasmoro

Grafindo, 1994), hal. 437. 38 Imam Muslim, Shohih Muslim juz II, (Beirut Libanon: Darul Kutub al-Alamiyah), hal. 458.

Page 10: metodebermain2

21

3. Prinsip-Prinsip Perkembangan

Ciri-ciri perkembangan menunjukkan gejala-gejala yang secara

relatif teratur, sehingga terjadi adanya pola-pola perkembangan yang

sistematis. Atas dasar itu maka para ahli merumuskan dalam bentuk prinsip

perkembangan. Prinsip-prinsip perkembangan itu kadang-kadang juga

dipandang sebagai hukum-hukum perkembangan. Beberapa prinsip-prinsip

perkembangan yang perlu dibicarakan di sini adalah :

a. Perkembangan fungsi-fungsi jasmaniah dan fungsi-fungsi rohaniah

berlangsung dalam proses satu kesatuan yang menyeluruh (integral).

b. Setiap individu mempunyai kecepatan sendiri-sendiri dalam

perkembangannya.

c. Perkembangan seorang individu, baik keseluruhan, maupun setiap

aspeknya, kelangsungannya tidak konstan, melainkan berirama.

d. Proses perkembangan itu mengikuti pola tertentu

e. Proses perkembangan berlangsung secara bersambungan atau kontinyu.

f. Antara aspek perkembangan yang satu dengan ayang lain saling berkaitan

atau saling berkorelasi secara bermakna.

g. Perkembangan berlangsung dari pola-pola yang bersifat umum ke pola-

pola yang bersifat khusus.39

Elizabeth B. Hurlock dalam bukunya perkembangan anak

menjelaskan bahwa prinsip-prinsip perkembangan tersebut meliputi :

a. Perkembangan melibatkan adanya perubahan yang bersifat progresif,

yang bertujuan agar manusia dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan

lingkungan dengan cara realistis diri dan pencapaian genetik.40

b. Perkembangan awal lebih kritis dari perkembangan selanjutnya.

Perkembangan merupakan proses kontinum, di mana perkembangan

sebelumnya akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya. Maka

kesalahan ataupun gangguan pada perkembangan awal akan terus

mempengaruhi perkembangan-perkembangan berikutnya. Kondisi yang

mempengaruhi perkembangan awal adalah hubungan pribadi yang

menyenangkan, keadaan emosi, metode melatih anak, peran yang dini,

struktur keluarga di masa kanak-kanak serta rangsangan lingkungan41.

c. Perkembangan merupakan hasil proses kematangan dan belajar. Dalam

kehidupan sering sulit dibedakan antara perubahan yang merupakan hasil

belajar dengan perubahan karena kematangan, hasil dari keduanya sering

terintegrasi. Hanya dapat ditandai bahwa perubahan karena belajar

39 Ahmad Thantowi, Op.Cit., hal. 30 - 32 40 Elizabeth B. Hurlock, Op.Cit., hal. 23 41 Ibid., hal. 25-27

Page 11: metodebermain2

22

diperoleh dengan usaha sadar atau latihan. Pengaruh hubungan antara

kematangan dan belajar adalah sebagai berikut :

1. Variasi pola perkembangan.

2. Kematangan membatasi perkembangan.

3. Batas kematangan yang dicapai.

4. Hilangnya kesempatan belajar membatasi perkembangan.

5. Rangsangan diperlukan untuk perkembangan sempurna.

6. Keefektifan belajar tergantung pada ketepatan waktu.42

d. Pola perkembangan dapat diramalkan. Karena pola perkembangan

manusia mengikuti pola umum, maka dengan melakukan pengamatan

longitudinal sejak awal perkembangan anak, akan dapat diramalkan pola

perkembangan berikutnya baik yang menyangkut pertumbuhan fisik

ataupun perkembangan psikis43.

e. Pola perkembangan mempunyai karakteristik yang dapat diramalkan, tidak

hanya pola perkembangan yang dapat diramalkan, juga karakteristik

tertentu dari tingkat perkembangan yang bisa diramalkan, baik dalam hal

ukuran, dan kapan kematangan atau sering disebut dengan masa peka

(masa yang paling tepat untuk mengembangkan kemampuan tertentu)

akan muncul, perencanaan pendidikan, kesiapan untuk tahap berikutnya,

perencanaan pekerjaan maupun untuk kepentingan adopsi.44

f. Terdapat perbedaan individu dalam perkembangan. Meskipun

perkembangan manusia mengikuti pola umum namun tempo dan irama

perkembangan bersifat individual, pemahaman terhadap perbedaan irama

dan tempo yang individual ini, bisa dipakai untuk landasan dalam

menentukan harapan yang berbeda, dengan individualitas (perlakuan yang

berbeda), pendidikan anak harus bersifat perseorangan, serta meramal

adalah sulit.45

g. Pada setiap periode perkembangan terdapat harapan sosial. Harapan sosial

sering dipakai oleh kelompok masyarakat sebagai kriteria untuk

menetapkan apakah perkembangan seseorang termasuk perkembangan

yang normal atau tidak.

h. Setiap bidang perkembangan mengandung bahaya yang potensial.

Walaupun pola perkembangan bergerak normal, selalu perlu diwaspadai

adanya gangguan baik yang berasal dari dirinya sendiri ataupun

lingkungan. Gangguan akan dapat mempengaruhi penyesuaian phisik,

psikhologis maupun sosial, akibatnya secara tidak sengaja memungkinkan

anak mengubah pola perkembangan, sehingga menghasilkan daerah

42 Ibid., hal. 28-29. 43 Ibid., hal. 31. 44 Ibid., hal. 33. 45 Ibid., hal. 35-37.

Page 12: metodebermain2

23

mendatar atau bahkan menurun pada grafik perkembangan anak. Bila

tidak diwaspadai hal ini akan merugikan keseluruhan perkembangan anak.

i. Kebahagiaan bervariasi pada berbagai periode perkembangan kebahagiaan

merupakan pengalaman subyektif yang tidak mungkin digambarkan

dengan ukuran dan prosedur obyektif. Subyektifitas rasa bahagia ini

menyangkut perbedaan individual yang berbeda antara satu dengan yang

lain, juga menyangkut subyektifitas pada setiap tahapan perkembangan.46

4. Periode-periode Perkembangan Cara menyusun atau memberikan periodesasi perkembangan tidak

sama antara pakar yang satu dengan yang lain, ini disebabkan oleh perbedaan pandangan yang mendasari cara pembagian itu. Beberapa macam cara pembagian periode perkembangan yang didasarkan pada dasar pandangan yang berbeda misalnya sebagai berikut : a. Periodesasi perkembangan berdasar pada ciri-ciri biologis

Yaitu berdasarkan ciri-ciri jasmaniah yang menandai setiap masa pada periode itu. Periodesasi itu dikemukakan oleh Aristoteles (384-322 S.M). Ia membagi ke dalam tiga masa (0-21 tahun) yaitu : 1. Masa anak kecil atau masa bermain (0-7 th) 2. Masa belajar atau masa sekolah rendah (7-14 th) 3. Masa remaja atau masa pubertas, yaitu masa peralihan dari masa anak-

anak menjadi dewasa (14-21th) b. Periodesasi perkembangan berdasar konsep didaktik

Periode ini dikembangkan oleh Amos Comenius, seorang ahli pendidikan bangsa Cekoslovakia (1592-1671) yang termuat dalam bukunya Didactika magna (Didaktik yang agung), sebagaimana dikutip oleh Ahmad Thantowi. Ia membagi perkembangan sejak lahir-usia 24 tahun, dalam empat masa, masing-masing meliputi enam tahunan yaitu : 1. Masa sekolah ibu (Scola Maferna), (0-6 th). 2. Masa sekolah bahasa ibu (Scola Vernacula), (6-12 th). 3. Masa sekolah latin (Scola Latena), (12-18 th). 4. Masa sekolah tinggi (Academia), (18-24 th).47

Rosseau, membagi periodesasi perkembangan menjadi empat masa yaitu : 1. Masa usia asuhan, (0-2 th). 2. Masa pendidikan jasmani dan latihan panca indera, (2-12 th). 3. Masa pendidikan akal, (12-15 th). 5. Masa pendidikan watak dan pendidikan agama.48

46 Ibid., hal. 40-42. 47 Ahmad Thantowi, Op.Cit., hal. 34-35. 48 Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung : PT. Remaja

Rosda Karya, 2000), cet. I, hal. 22.

Page 13: metodebermain2

24

c. Periodesasi perkembangan berdasarkan ciri-ciri psikologi

Ciri-ciri psikologis adalah ciri-ciri kejiwaan yang menonjol, yang

menandai masa pada periode itu. Periodesasi seperti ini dikemukakan oleh

Oswarl Kroch. Ciri-ciri psikologis yang ia kemukakan, yang dipandang

terdapat pada anak-anak yang pada umumnya adalah pengalaman

kegoncangan jiwa yang memanifestasikan dalam bentuk Trotz atau sifat

“keras kepala”. Atas dasar ini ia menyusun periode perkembangan

menjadi tiga masa yaitu :

1. Masa anak awal ; berlangsung sejak 0-3 tahun. Disebut juga trotz

periode pertama, yaitu masa menentang.

2. Masa keserasian sekolah ; berlangsung dari 3-13 tahun, disebut juga

trotz periode kedua, yaitu masa keserasian.

3. Masa kematangan ; berlangsung dari usia 13-21 tahun, disebut juga

trots periode ketiga, yaitu masa kematangan, dari pada masa krisis.49

d. Periodesasi perkembangan berdasarkan konsep tugas perkembangan.

Tugas perkembangan adalah pelbagai ciri perkembangan yang

diharapkan timbul dan dimiliki oleh setiap anak pada setiap masa dalam

periode perkembangannya. Periodesasi ini dikemukakan oleh Robert J.

Harighurt. Dalam bukunya yang berjudul Human Development and

Education, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Thantowi. Ia membagi

seluruh masa perkembangan menjadi masa sebagai berikut :

1. Masa bayi dan anak-anak (in fancy and Childhood); 0-6 tahun.

2. Masa sekolah atau pertengahan kanak-kanak (Middle Childhood); 6-12

tahun.

3. Masa remaja (Adolascence); 13-18 tahun.

4. Masa dewasa :

a. Masa mula dewasa (erly adulthood), 18-30 tahun.

b. Masa usia pertengahan (Middle age), 30-55 tahun.

c. Masa tua (latter maturity), 55 tahun keatas.50

5. Aspek Perkembangan Keagamaan Anak Usia Prasekolah (Perkembangan

Keagamaan Anak Usia Taman kanak-kanak)

Fitrah beragama ini merupakan disposisi (kemampuan dasar) yang

mengandung kemungkinan atau berpeluang untuk berkembang. Namun

mengenai arah dan kualitas perkembangan beragama anak sangat bergantung

kepada proses pendidikan yang diterimanya. Hal ini seperti yang telah

dinyatakan oleh Nabi Muhammad Saw: “ Setiap anak dilahirkan dalam

keadaan fitrah, hanya karena orang tuanyalah, anak itu menjadi yahudi,

49 Ahmad Thantowi, Op.Cit., hal. 35 50 Ibid., hal. 36

Page 14: metodebermain2

25

nasrani, atau majusi”. Hadis ini mengisyaratkan bahwa faktor lingkungan

(terutama orang tua) sangat berperan dalam mempengaruhi perkembangan

fitrah keberagamaan anak.

Jiwa beragamaatau kesadaran beragama merujuk kepada aspek

rohaniah individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah yang

direfleksikan ke dalam peribadatan kepadaNya, baik yang bersifat

hablumminallah maupun hablumminannas.51

Perkembanganberagama seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor

pembawaan dan lingkungan.

a) Faktor Pembawaan (internal)

Dalam perkembangannya, fitrah beragama ini ada yang

berjalan secara alamiah, dan ada juga yang mendapat bimbingan dari para

rasul Allah Swt, sehingga fitrahnya itu berkembang sesuai dengan

kehendak Allah Swt.52

Keyakinan bahwa manusia itu mempunyai fitrah atau

kepercayaan kepada Tuhan didasarkan pada firman Allah surat Ar-Ruum

ayat 30 sebagai berikut:

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, (Ar-Ruum:30)53

b) Faktor Lingkungan (Eksternal)

Faktor pembawaan atau fitrah beragama merupkan potensi

yang mempunyai kecenderungan untuk berkembang. Namun,

perkembangan itu tidak akan terjadi manakala tidak ada factor luar

(eksternal) yang memberikan rangsangan yang memungkinkan fitrah

itu berkembang dengan sebaik-baiknya. Faktor eksternal itu adalah

lingkungan dimana individu itu hidup. Lingkungan itu adalah

keluarga, sekolah, dan masyarakat.

(1) Lingkungan Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama

bagi anak, oleh karena itu kedudukan keluarga dalam

pengembangan kepribadian anak sangatlah dominan.

51 Syamsu Yusuf LN., Op. Cit., hal. 136

52 Ibid, hal. 137 53 R.H.A. Soenarjo dkk, Op. Cit, hal. 645

Page 15: metodebermain2

26

Dalam hal ini, orang tua mempunyai peranan yang

sangat penting dalam menumbuhkan fitrah beragama anak.54

Orang tua adalah pembina pribadi yang pertama dalam hidup

anak. Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup mereka

merupakan unsur-unsur pendidikan yang tidak langsung, yang

dengan sendirinya akan masuk ke dalam pribadi anak yang

sedang tumbuh. Sikap anak terhadap pendidikan agama di

sekolah sangat dipengaruhi oleh sikap orang tuanya.55

Dalam mengembangkan fitrah beragama anak dalam

keluarga, ada beberapa hal yang perlu menjadi kepedulian orang

tua yaitu:

(a) Karena orang tua merupakan pembina pribadi yang pertama

bagi anak, dan tokoh yang diidentifikasi atau ditiru anak,

maka seharusnya dia memilki kepribadian yang baik

(berakhlakul karimah).

(b) Orang tua hendaknya memperlakukan anaknya dengan baik.

Karakteristik sikap orang tua yang baik: (1)

memberikan curahan kasih sayang yang ikhlas; (2)

menghargai pribadi anak; (3) mau mendengar pendapat atau

keluhan anak; (4) memaafkan kesalahan anak; (5)

meluruskan kesalahan anak; (6) menerima anak sebagaimana

mestinya.

(c) Orang tua hendaknya memelihara hubungan yang harmonis

antar anggota keluarga.

(d) Orang tua hendaknya membimbing, mengajarkan agama

terhadap anak, seperti: syahadat, sholat, berwudlu, doa-doa,

bacaan al-Quran dan lain-lain.56

Pentingnya peranan orang tua dalam mengembangkan fitrah

beragama anak ini, dinyatakan dalam surat at-Tahrim ayat 6

sebagai berikut:

Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…..,(at-Tahrim:6)57

( 2) Lingkungan Sekolah

54 Syamsu Yusuf LN., Op. Cit., hal. 137-138 55 Zakiah Daradjat,. Op. Cit., hal. 56 56 Syamsu Yusuf LN,. Op. Cit,. hal. 138-139 57 R.H.A. Soenarjo dkk, Op. Cit., hal. 951

Page 16: metodebermain2

27

Sekolah merupakan lembaga pendidiksn formal yang

mempunyai program yang sistemik dalam melaksanakan

bimbingan, pengajaran dan latihan kepada anak agar mereka

berkembang sesuai dengan potensinya.

Faktor yang menunjang perkembangan fitrah beragama

siswa adala:

(a) Kepedulian kepala sekolah, guru-guru dan staf sekolah

lainnya terhadap pelaksanaan pendidikan agama di sekolah.

(b) Tersedianya sarana ibadah yang memadai dan

memfungsikannya secara optimal.

(c) Penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler kerohanian bagi

para siswa dan ceramah-ceramah atau diskusi keagamaan

secara rutin.

(3) Lingkungan Masyarakat

Yang dimaksud lingkungan masyarakat di sini adalah

situasi atau kondisi interaksi social dan sosiokultural yang secara

potensial berpengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama

atau kesadaran agama individu.58

Menurut Abin Syamsuddin Makmun sebagaimana yang

dikutip oleh Syamsu Yusuf LN, mengemukakan bahwa

kesadaran agama pada usia ini ditandai dengan ciri-ciri sebagai

berikut:

a) Sikap keagamaannya bersifat reseptif (menerima) meskipun

banyak bertanya.

b) Pandangan ketuhanannya bersifat anthropormorph

(dipersonifikasikan).

c) Penghayatan secara rohaniah masih superficial (belum

mendalam) meskipun mereka telah melakukan atau

berpartisipasi dalam berbagai kegiatan ritual.

d) Hal ketuhanan dipahamkan secara ideosyncritic (menurut

khayalan pribadinya) sesuai dengan taraf berfikirnya yang

masih bersifat egosentrik (memandang segala sesuatu dari

sudut dirinya).59

Hendaknya setiap pendidik menyadari bahwa dalam

pembinaan pribadi anak sangat diperlukan pembiasaan-

pembiasaan dan latihan-latihan yang cocok dan sesuai dengan

perkembangan jiwanya. karena pembiasaan dan latihan tersebut

akan membentuk sikap tertentu pada anak, yang lambat laun

58 Syamsu Yusuf LN., Op. Cit., hal. 140-141 59 Ibid, hal. 176-177

Page 17: metodebermain2

28

sikap itu akan bertambah jelas dan kuat, akhirnya tidak

tergoyahkan lagi, karena telah masuk menjadi bagian dari

pribadinya.60

Pembiasaan-pembiasaan tersebut diantaranya adalah

akhlakul karimah, seperti (a) mengucapkan salam; (b) membaca

basmalah pada saat akan mengerjakan sesuatu; (c) membaca

hamdalah pada saat mendapatkan kenikmatan dan setelah

mengerjakan sesuatu; (d) menghormati orang lain; (e) memberi

shodaqoh; (f) memelihara kebersihan. Adapun doa-doa yang

diajarkan: (a) doa sebelum makan dan sesudahnya; (b) doa keluar

dan masuk rumah; (c) doa mau tidurdan bangun tidur; (d) doa

untuk orang tua; (e) doa keselamatan di dunia dan akhirat.

Untuk menanamkan nilai-nilai agama kepada anak

pada usia ini, orang tua menyekolahkannya ke TK atau TPA,

apabila orang tua tidak mempunyai kesempatan untuk mendidik

anak, karena kesibukan bekerja. TK /TPA ini mempunyai

peranan yang sangat penting dalam mengembangkan kesadaran

beragama anak, baik menyangkut penghayatan dan pengamalan

ibadah mahdloh (hablum minallah) maupun hablum

minannaas.61

Mengenai pentingnya menanamkan nilai-nilai agama kepada anak

pada usia ini, Zakiyah Daradjat, mengemukakan bahwa umur TK adalah

umur yang paling subur untuk menanamkan rasa agama kepada anak, umur

penumbuhan kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan ajaran agama, melalui

permainan dan perlakuan dari orang tua dan guru. Keyakinan dan

kepercayaan guru TK itu akan mewarnai pertumbuhan agama pada anak.62

C. Metode Bermain Konstruktif dalam Belajar dan Pengaruhnya terhadap

Perkembangan Keagamaan Anak.

Bermain memberi pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan diri

anak, baik secara fisik maupun mental. Beberapa pengaruh bermain bagi

perkembangan anak adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Hurlock sebagai

berikut :

1. Perkembangan fisik.

Bermain berguna untuk mengembangkan otot dan melatih seluruh

bagian tubuh. Bermain juga berfungsi untuk menyalurkan tenaga yang

60 Zakiah Daradjat, Op. Cit., hal. 61-62 61 Syamsu Yusuf Ln., Op. Cit., hal. 177-178 62 Zakiah Daradjat, Op. Cit., hal. 111

Page 18: metodebermain2

29

berlebihan yang bila dibiarkan dapat mengganggu kesehatan fisik dan mental

anak.

2. Dorongan berkomunikasi.

Melalui aktivitas bermain, anak terdorong untuk berbicara dan

berkomunikasi dengan teman lain. Dan tanpa disadari anak belajar

mengungkapkan pikiran dan perasaannya pada orang lain, serta belajar

memahami pembicaraan orang lain.

3. Penyaluran energi emosional yang terpendam

Bermain merupakan sarana bagi anak untuk menyalurkan berbagai

ketegangan yang disebabkan oleh pembatasan lingkungan terhadap perilaku

mereka. Dengan demikian bermain merupakan terapi cepat dan murah bagi

pengembalian kondisi psikis anak yang terganggu.

4. Penyaluran bagi kebutuhan dan keinginan yang tidak terpenuhi

Tidak semua kebutuhan dan keinginan anak dapat terpenuhi.

Keinginan yang tidak terpenuhi dalam dunia riil dapat dikompensasikan

melalui kegiatan bermain.

5. Sumber belajar

Melalui kegiatan bermain, anak belajar berbagai hal, baik bersifat fisik

maupun pengembangan mental.

6. Rangsangan kreatifitas

Dalam bermain, anak bebas memilih dan bebas berekplorasi. Maka

bermain dapat mengembangkan kreatifitas anak sedemikian rupa.

7. Perkembangan wawasan diri

Dengan bermain anak mengetahui tingkat kemampuannya

dibandingkan dengan temannya bermain. Ini memungkinkan mereka untuk

mengembangkan konsep dirinya dengan lebih pasti dan nyata.

8. Belajar bersosialisasi dan bermasyarakat

Semakin tambah usia, anak akan cenderung bermain semakin banyak

teman, dengan demikian secara otomatis anak akan belajar bersosialisasi dan

berinteraksi.

9. Belajar standart moral

Melalui kegiatan bermain, anak belajar hal-hal yang dapat diterima

oleh lingkungan, dan hal-hal yang ditolak.

10. Belajar bermain sesuai dengan peran jenis kelamin

Anak belajar di rumah dan di sekolah mengenai apa saja peran jenis

kelamin yang disetujui. Akan tetapi, mereka segera menyadari bahwa mereka

juga harus menerimanya bila ingin menjadi anggota kelompok bermain.

11. Perkembangan ciri keperibadian yang diinginkan

Page 19: metodebermain2

30

Secara pelan dan pasti keperibadian anak akan terbentuk melalui

kegiatan bermain.63

Berdasarkan dari uraian di atas, maka dapat ditegaskan pengaruh dari

kegiatan bermain yaitu : Secara fisik,Mengembangkan kemampuan otot dan

kesehatan tubuh, Secara psikis, Mengembangkan berbagai aspek keperibadian

dan sikap mental.64

63 Menurut Alizabeth B. Hurlock yang dikutip oleh Hibana S. Rahman dalam bukunya

Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini,PGTKI Press, 2002 hal. 86-89. 64 Hibana S. Rahman, Op.Cit., hal. 89.