Metode Penelitian Sintagmatik & Paradigmatik

download Metode Penelitian Sintagmatik & Paradigmatik

of 22

Transcript of Metode Penelitian Sintagmatik & Paradigmatik

8

1.6 Metode Penelitian1.6.1 Tipe PenelitianPenelitian tentang representasi prasangka sosial dalam Film 99 Cahaya di Langit Eropa ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif yaitu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena tersebut dapat berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya. Serta menggunakan analisis semiotika, yaitu menganalisis teks media sebagai suatu kesatuan struktur untuk melihat dan membaca makna yang terkandung di balik teks.Penelitian ini menggunakan studi representasi dari Stuart Hall dan studi analisis semiotika Roland Barthes yang merupakan salah satu metodologi penelitian kualitatif. Definisi semiotik yang umum adalah studi mengenai tanda-tanda. Studi ini tidak hanya mengarah pada tanda dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga tujuan dibuatnya tanda-tanda terbentuk. Bentuk-bentuk tanda di sini antara lain berupa kata-kata, gambar, suara, gesture, dan objek. Menurut John Fiske, konsentrasi semiotik adalah pada hubungan yang timbul antara sebuah tanda dan makna yang dikandungnya. Juga bagaimana tanda-tanda tersebut dikomunikasikan dalam kode-kode.Teori semiotika yang digunakan disini adalah semiotika Roland Barthes dengan memberikan cara bagaimana membedah teks melalui dua tataran penandaan, yaitu denotasi dan konotasi. Semiotika adalah salah satu metode yang paling interpretif dalam menganalisis teks. Realitas yang ada di dalam teks diinterpretasikan secara subjektif. Inti Teori Barthes (Fiske, 2004: 218) adalah gagasan tentang dua tataran penandaan:a. DenotasiTataran ini menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam sebuah tanda atau simbol. Makna denotasi adalah makna yang terlihat dalam tanda secara apa adanya.b. KonotasiTataran ini menggambarkan interaksi yang berlangsung ketika tanda atau simbol-simbol bertemu dengan ekspresi, perasaan, dan nilai-nilai kultural yang ada atau berlaku.Penelitian dengan judul Memaknai Prasangka Sosial Dalam Film 99 Cahaya di Langit Eropa ini akan dianalisis melalui tanda-tanda dalam teks film dan dicari makna denotasi dan konotasinya. Penelitian ini lebih memfokuskan diri pada penggunaan pendekatan semiotika yang menganalisis teks dan gambar (audio visual) media sebagai suatu kesatuan struktur untuk mengupas makna dan anggapan film mengenai prasangka sosial masyarakat Eropa terhadap muslim dalam Film 99 Cahaya di Langit Eropa.

1.6.2 Objek PenelitianObjek dalam penelitian ini adalah Film 99 Cahaya di Langit Eropa. Penelitian difokuskan pada bentuk representasi prasangka sosial masyarakat Eropa terhadap Islam yang terdapat dalam film tersebut. 1.6.3Sumber Data Data PrimerAdalah data yang diperoleh dari objek penelitian yaitu pengamatan dan pengkajian pada Film 99 Cahaya di Langit Eropa, yang terdiri dari elemen-elemen film yaitu: (1) Elemen Teknis, meliputi angle kamera, pergerakan kamera, durasi gambar, pencahayaan, editing, suara, efek suara, musik, spesial efek dan framing; (2) Elemen Simbolis, meliputi warna, kostum, pemeran, penampilan, setting dan lokasi. Data SekunderAdalah data yang diperoleh dari buku-buku, internet dan penelitian-penelitian terdahulu seperti skripsi, tesis, atau penelitian ilmiah tentang representasi film yang akan digunakan untuk membantu penelitian ini secara lebih mendalam.1.6.4 Teknik Pengumpulan DataTeknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan pembacaan teks melalui teknik dokumentasi. Teknik ini akan mendokumentasikan, mengumpulkan dan melakukan pengamatan terhadap unit analisis seperti dialog, adegan serta lokasi pengambilan gambar. Dokumentasi ini kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan studi analisis semiotika.1.6.5 Teknik Analisis DataMetode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:1.6.5.1 Analisis sintagmatikHubungan ini merupakan suatu tanda dengan tanda-tanda lainnya, baik yang mendahuluinya atau mengikutinya. Dalam film hubungan sintagmatik dikenal dengan istilah montage. Montage disusun dengan satuan-satuan gambar (shot). Hubungan sintagmatik mengajak kita untuk mengimajinasikan ke depan atau memprediksi apa yang akan terjadi kemudian. Kesadaran ini meliputi kesadaran logis, kausalitas atau sebab akibat. Dalam kaitannya dengan produksi makna (penciptaan signified), kesadaran sintagmatik mengandaikan bahwa signified suatu tanda tergantung juga pada hubungan logis atau kausalitas (Sunardi, 2002:70).Dalam analisis sintagmatik juga dikenal analisis leksia, Barthes (1990) mendefinisikan leksia (lexist) sebagai satuan bacaan (unit of meaning) dengan panjang pendek bervariasi yang membangun dan mengorganisasikan suatu cerita atau narasi. Leksia ini bersifat fleksibel, artinya tidak ada aturan yang pasti tentang panjang pendeknya. Dengan demikian, leksia dipilih dan ditentukan berdasarkan kebutuhan pemaknaan yang akan dilakukan. Oleh karena itu, leksia dalam narasi bahasa bisa didasarkan pada: kata, frasa ataupun kalimat (Kurniawan, 2009: 128). Analisis sintagmatik film akan dikaji secara denotatif melalui pemisahan bentuk-bentuk ikon. Ikon spasial akan digunakan untuk melihat apakah ada kesamaan tanda dalam film dengan representasi prasangka sosial masyarakat Eropa terhadap Islam, kedua ikon relasional digunakan untuk mengkaji apa hubungan struktural antara kedua tanda diatas, ketiga ikon metafora digunakan untuk melihat representasi apa yang sebenarnya ada di balik permasalahan dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa. Dalam melakukan analisis sintagmatik, peneliti mencoba mengkaji melalui teknik visualisasi dan naskah film:a. Teknik VisualisasiAdalah menata dalam adegan atau peradegan dalam kaitannya dengan fungsi kamera. Tugas ini berurusan dengan penciptaan ruang-ruang filmis berupa jenis-jenis shot. Setiap shot berhubungan erat dengan masalah pembingkaian, yaitu sedikit banyaknya subyek yang dimasukkan ke dalam bingkai. Dalam bingkai pembuat film memberikan batas antara dunia subyek yang ditampilkan dan dunia nyata (Sumarno, 1996:37-64):1) Camera Shota) Extreme long shotShot yang diambil sangat jauh, mulai kira-kira 200 meter sampai dengan jarak lebih jauh lagi.b) Long shotShot jarak jauh, yang kepentingannya untuk memperlihatkan hubungan antara subyek-subyek dan latar belakang.

c) Medium shotShot yang diambil lebih dekat pada subyeknya dibanding long shot.d) Close shotIstilah bebas untuk menyebut jarak dekat pemotretan, yaitu lebih dekat dari medium shot, tetapi belum sedekat close up.e) Close upTembakan kamera pada jarak yang sangat dekat dan memperlihatkan hanya bagian kecil subyek, misalnya wajah seseorang.f) Extreme close upSebuah close up yang sangat besar, yang memperlihatkan bagian yang diperbesar dari sebuah benda atau bagian manusia.

2) Ketinggian kamera terhadap subyekTinggi rendahnya pengambilan kamera ini membawa dampak dramatis dan psikologis tertentu.a) Eye levelSudut pengambilan yang bersifat netral/biasab) Low angelSudut pengambilan dari bawah, akan tampak lebih gagah dan berwibawa.c) High angelSudut pengambilan dari atas, ini akan menegaskan sebaliknya dari low angel.3) Komposisi kameraKomposisi untuk film harus dipikirkan dengan seksama. Tujuannya agar penonton tidak kehilangan pusat perhatian. Langkah-langkah pengaturan komposisi untuk film sebagai berikut: (1) Pada umumnya bagian pusat dari bingkai (frame) merupakan tempat yang wajar untuk meletakkan subyek/tokoh utama. (2) Pentingnya menarik perhatian penonton dengan pertimbangan kontras serta pencahayaan/ lighting. Lighting menunjang jiwa maupun mood film, juga harus terlihat berkesinambungan, karena tiap shot merupakan satu kesatuan. Ada tiga pencahayaan:a) Tata cahaya yang cenderung gelapb) Tata cahaya normalc) Tata cahaya yang cenderung terangd) Gerak kameraAda tiga prinsip gerak kamera yaitu:a) Panoramic shot/ pan shotGerakan kamera pada porosnya, baik berupa gerak horizontal maupun vertical, tanpa memajukan atau memundurkan atau menaik-turunkan kamera.b) Tracking shotGerakan kamera disebabkan kamera itu secara fisik dipindahkan posisinya. Ada dua jenis:

(1) Track inKamera mendekat kepada subyek, berguna menampakkan kesan introduksi, menggambarkan suasana dramatik dan menggambarkan keadaan jiwa tokoh.(2) Track outKamera menjauh dari subyek, kesannya untuk memunculkan kesan konklusi, meninggalkan ruangan dan menciptakan suasana kesendirian.(3) Focal lengthGerak kamera karena perubahan panjang titik api.

4) Struktur Setting dan ArtistikSetting harus memberikan informasi yang lengkap tentang peristiwa-peristiwa yang disaksikan penonton. Setting mencakup dua hal (Sumarno, 1996:66-67):a) Setting menunjukkan tentang waktu atau masa berlangsungnya cerita, apakah sekarang, dahulu atau masa mendatang.b) Setting menunjukkan tempat terjadinya peristiwac) Setting sangat berpengaruh penting, ini merupakan sarana visual dalam menyampaikan maksud dan pesan dalam film ini.

5) Struktur AudioSuara dalam film dapat kita pahami sebagai seluruh suara yang keluar dari gambar secara umum dapat dikelompokkan menjadi:1) Dialog2) Musik3) Efek suara

6) Struktur PencahayaanCahaya membentuk obyek dengan menciptakan sisi terang dan sisi bayangan dari sebuah obyek. Ada dua rancangan tata cahaya yang biasa digunakan:1) High key lighting2) Low key lighting

7) Struktur Editing atau PenyutinganPenyutingan atau editing adalah proses pemilihan serta penyambungan gambar-gambar yang telah diambil. Setelah itu menggunakan teknik-teknik tertentu untuk menggabungkan antar shot (Pratista, 2008:123).Menurut Sumarno (1996: 68) penyutingan akan menyusun segala materi di meja editing menjadi:

1) Potongan kasar (rough cut)2) Pemotongan halus (fine cut)3) Hasil pemotongan halus akan disempurnakan dengan suara dan efek-efek transisi (dissolves, fade out/ fade in) untuk menunjukkan pergantian waktu maupun adegan.Kuleshov, Pudovkin dan Eisenstein merumuskan variasi editing antara lain:1) Parallel cuttingDua peristiwa yang diungkapkan dengan waktu bersamaan atau kesan bersamaan.2) Contrast cuttingAdanya factor kontras dalam penyambungan.3) Cross cutiingLebih dari dua jalur cerita yang dirangkai dalam satu kisah. Masing-masing jalur cerita tak berkaitan langsung.

b. Naskah Film (Lexia Naratif)1) Babak Pendahuluan (Opening)2) Babak Pertengahan (Middle)3) Babak Klimaks (Ending)

4) Karakter dan PenokohanPenelitian ini mengamati bagaimana gaya bahasa, pilihan kata yang dilakukan setiap pemain, penelitian ini juga mengamati bagaimana dialog-dialog diucapkan oleh para pemain untuk mengungkapkan kebenaran dominan mengenai prasangka sosial masyarakat Eropa terhadap Islam dalam film ini.1.6.5.2 Analisis ParadigmatikAnalisis paradigmatik adalah hubungan eksternal suatu tanda dengan tanda yang lain. Tanda lain yang bias berhubungan secara paradigmatik adalah tanda-tanda satu kelas atau satu sistem. Hubungan paradigmatik ibarat hubungan saudara, hubungan ini juga disebut hubungan virtual atau in absentia karena hubungannya benar-benar ada namun saudara-saudara yang dihubungkan tidak ada di tempat (Sunardi, 2002: 63-64). Kesadaran paradigmatik menggugah peneliti untuk mempertanyakan sejauh mana system of signification obyek yang sedang kita teliti mengutamakan hubungan paradigmatik dalam produksi maknanya (Sunardi, 2002: 68).Paradigmatik melakukan analisis berkaitan dengan makna konotasi yang ada dalam teks, selanjutnya mencoba menemukan ideologi dalam teks film 99 Cahaya di Langit Eropa, analisis ini akan mengkaji lebih dalam lagi dalam teks. Konotasi akan terus digali guna mencari mitos apa yang hadir naskah dalam film ini. Upaya untuk mengeksplisitkan kode-kode narasi yang berlaku dalam naskah film, ada lima kode yang ditinjau Barthes antara lain (Budiman dalam Kurniawan, 2009: 128-129):a. Kode hermeneutika (hermeneutic code)Merupakan satuan-satuan yang dengan berbagai cara berfungsi untuk mengartikulasikan suatu persoalan, penyelesaian, serta aneka peristiwa yang dapat memformulasikan persoalan tersebut atau justru menunda penyelesaian. Pada dasarnya, kode ini adalah kode penceritaan yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajam permasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum member penyelesaian atau jawaban.b. Kode proairetik (proairetic code)Merupakan kode tindakan, kode ini didasarkan atas konsep proairesis, yakni kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari suatu tindakan secara rasional, yang mengimplikasikan suatu logika perilaku manusia, tindakan-tindakan membuahkan dampak dan masing-masing dampak memiliki nama generic tersendiri, semacam judul bagi sekuens yang bersangkutan.c. Kode simbolik (symbolic code)Merupakan kode pengelompokan atau konfigurasi yang gampang dikenali karena kemunculannya yang berulang-ulang secara teratur melalui berbagai sarana tekstual. Kode ini memberikan suatu struktur simbolik.d. Kode cultural (cultural code)Merupakan kode referensial yang berwujud sebagai suatu kolektif yang anonim dan otoritatif, bersumber dari pengalaman manusia, yang mewakili atau berbicara tentang sesuatu yang hendak dikukuhkannya sebagai pengetahuan atau kebijaksanaan yang diterima umum. Kode ini berupa kode-kode pengetahuan atau kearifan (wisdom) yang terus menerus dirujuk oleh teks atau menyediakan semacam dasar otoritas moral dan ilmiah bagi suatu wacana. Realisme tradisional didefinisikan oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau sub budaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu.e. Kode semik (code of semes)Atau konotasi adalah kode yang memanfaatkan isyarat, petunjuk atau kilasan makna yang ditimbulkan oleh penanda-penanda tertentu.

1.6.6 Unit Analisis DataUnit analisis yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah teks visual dan audio, dalam adegan film 99 Cahaya di Langit Eropa yang mencakup naskah/ narasi, dialog, gambar, warna, tata artistik dan konten cerita.1.7 Goodness CriteriaGoodness suatu teori kritis mencakup, pertama, kemampuan untuk membuat eksplanasi tentang kondisi-kondisi yang tidak seharusnya, seperti adanya kesadaran palsu. Kedua, kemampuan untuk mengkaitkan eksplanasi tentang kondisi tersebut dengan penjelasan mengenai aksi yang menjadi persyaratan agar kondisi tertentu bisa diciptakan. Ketiga, goodness suatu teori kritis juga ditentukan oleh kemampuan untuk membuat eksplanasi secara holistic, tidak menjelaskan, contohnya masalah prasangka sosial masyarakat Barat terhadap Islam dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa bukan semata-mata sebagai masalah kekurangtahuan masyarakat Barat mengenai Islam, namun juga dikarenakan sejarah hubungan yang buruk antara Islam dan Barat sejak perang Salib, juga dikarenakan bagaimana media memberitakan mengenai Islam dan sebagainya. Disamping ketiga hal itu, maka goodness suatu teori kritis juga tergantung pada kemampuan untuk (a) mendefinisikan secara konseptual konteks historis spesifik, serta (b) menjelaskan latar belakang historis dari fenomena yang dijelaskan oleh teori (Hidayat, 2010:11).Goodness Criteria dalam penelitian ini dilakukan melalui analisis historical situatedness dengan memperhatikan latar belakang historis sejumlah studi kasus sosial, politik, kebudayaan, ekonomi, etnik dan jender (Denzin dan Lincoln, 1994:114).

1.6 Metode Penelitian1.6.1 Tipe PenelitianPenelitian tentang prasangka sosial dalam Film 99 Cahaya di Langit Eropa ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif yaitu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena tersebut dapat berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya. Serta menggunakan analisis semiotika, yaitu menganalisis teks media sebagai suatu kesatuan struktur untuk melihat dan membaca makna yang terkandung di balik teks.Penelitian ini menggunakan studi representasi dari Stuart Hall dan studi analisis semiotika Roland Barthes yang merupakan salah satu metodologi penelitian kualitatif. Definisi semiotik yang umum adalah studi mengenai tanda-tanda. Studi ini tidak hanya mengarah pada tanda dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga tujuan dibuatnya tanda-tanda terbentuk. Bentuk-bentuk tanda di sini antara lain berupa kata-kata, gambar, suara, gesture, dan objek. Menurut John Fiske, konsentrasi semiotik adalah pada hubungan yang timbul antara sebuah tanda dan makna yang dikandungnya. Juga bagaimana tanda-tanda tersebut dikomunikasikan dalam kode-kode.Teori semiotika yang digunakan disini adalah semiotika Roland Barthes dengan memberikan cara bagaimana membedah teks melalui dua tataran penandaan, yaitu denotasi dan konotasi. Semiotika adalah salah satu metode yang paling interpretif dalam menganalisis teks. Realitas yang ada di dalam teks diinterpretasikan secara subjektif. Inti Teori Barthes (Fiske, 2004: 218) adalah gagasan tentang dua tataran penandaan:c. DenotasiTataran ini menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam sebuah tanda atau simbol. Makna denotasi adalah makna yang terlihat dalam tanda secara apa adanya.d. KonotasiTataran ini menggambarkan interaksi yang berlangsung ketika tanda atau simbol-simbol bertemu dengan ekspresi, perasaan, dan nilai-nilai kultural yang ada atau berlaku.Penelitian dengan judul Memaknai Prasangka Sosial Dalam Film 99 Cahaya di Langit Eropa ini akan dianalisis melalui tanda-tanda dalam teks film dan dicari makna denotasi dan konotasinya. Penelitian ini lebih memfokuskan diri pada penggunaan pendekatan semiotika yang menganalisis teks dan gambar (audio visual) media sebagai suatu kesatuan struktur untuk mengupas makna dan anggapan film mengenai prasangka sosial masyarakat Eropa terhadap muslim dalam Film 99 Cahaya di Langit Eropa.

1.6.3 Objek PenelitianObjek dalam penelitian ini adalah Film 99 Cahaya di Langit Eropa. Penelitian difokuskan pada bentuk representasi prasangka sosial masyarakat Eropa terhadap Islam yang terdapat dalam film tersebut. 1.6.3Sumber Data Data PrimerAdalah data yang diperoleh dari objek penelitian yaitu pengamatan dan pengkajian pada Film 99 Cahaya di Langit Eropa, yang terdiri dari elemen-elemen film yaitu: (1) Elemen Teknis, meliputi angle kamera, pergerakan kamera, durasi gambar, pencahayaan, editing, suara, efek suara, musik, spesial efek dan framing; (2) Elemen Simbolis, meliputi warna, kostum, pemeran, penampilan, setting dan lokasi. Data SekunderAdalah data yang diperoleh dari buku-buku, internet dan penelitian-penelitian terdahulu seperti skripsi, tesis, atau penelitian ilmiah tentang representasi film yang akan digunakan untuk membantu penelitian ini secara lebih mendalam.1.6.4 Teknik Pengumpulan DataTeknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan pembacaan teks melalui teknik dokumentasi. Teknik ini akan mendokumentasikan, mengumpulkan dan melakukan pengamatan terhadap unit analisis seperti dialog, adegan serta lokasi pengambilan gambar. Dokumentasi ini kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan studi analisis semiotika.1.6.5 Teknik Analisis DataPenelitian tentang memaknai prasangka sosial dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa ini menggunakan teknik analisis data berdasarkan kode televisi dari Fiske (1987: 4-6). Tiga level kode tersebut adalah:a) Level Realita, yang telah terkode secara sosial, meliputi tampilan visual semacam penampilan Pakaian: perbedaan antara pakaian laki-laki dan perempuan, pakaian yang dipakai masyarakat muslim dan masyarakat Austria. Makeup: bukan hanya wajah yang dirias, tapi juga bisa meliputi seluruh anggota badan bila mempengaruhi gambar. Jika diperlukan, kadang artis dibuat dengan riasan lebih tua, lebam bekas pukulan, dan sebagaianya. Lingkungan: lingkungan di kampus Rangga di Austria dan lingkungan di Kota Wina sendiri. Perilaku dan gaya bicara: seperti menggunakan bahasa Jerman dan Inggris di dukung dengan logat yang khas. Ekspresi dan gesture: melalui raut muka dan bahasa tubuh seperti sedih, senang, bingung, kecewa, marah dll. Suara dan lain-lain.b) Level Representasi, terkode secara elektronik yang bersifat teknis, meliputi: Kamera: dari segi pembingkaian gambar (komposisi gambar), sudut pengambilan gambar (camera angle), dan pergerakan kamera (camera movement). Contoh, shot terdiri dari extreme long shot (ELS), long shot (LS), medium shot (MS), close shot (CS), close up (CU), dan extreme close up (ECU). Pencahayaan: terbagi dua available light adalah cahaya alami. Kemudian segala cahaya buatan yang berasal dari lampu disebut artificial light. Musik dan suara yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat konvensional yang membentuk representasi seperti narasi, konflik, karakter, aksi, dialog, pemeran, setting dan lain-lain.c) Level Ideologi, yang terorganisir kepada hubungan dan penerimaan sosial oleh kode-kode ideologi seperti individualisme, patriarki, ras, kelas, materialisme, kapitalisme, dan lain-lain. Kode-kode sosial yang mendasari realita dengan jelas dan relatif dinyatakan dalam warna kulit, pakaian, rambut, ekspresi wajah dan sebagainya.1.6.6 Unit AnalisisUnit analisis yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah teks dalam film dengan judul 99 Cahaya di Langit Eropa yang berdurasi 96 menit yang berisi atau sarat dengan nuansa kehidupan di bumi Eropa khususnya di Austria, dimana Islam menjadi agama minoritas dan terdapat banyak prasangka sosial yang negatif di benak masyarakat non-mulsim di Austria. Adapun yang dimaksud dengan teks adalah teks visual dan audio yang ada dalam beberapa adegan dalam film yang mencakup gambar, narasi, musik, dan konteks cerita 99 Cahaya di Langit Eropa. Teks di sini terorganisasi dalam kode-kode yang mempresentasikan masyarakat Eropa dan merepresentasikan Islam dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa.1.7 Goodness CriteriaGoodness suatu teori kritis mencakup, pertama, kemampuan untuk membuat eksplanasi tentang kondisi-kondisi yang tidak seharusnya, seperti adanya kesadaran palsu. Kedua, kemampuan untuk mengkaitkan eksplanasi tentang kondisi tersebut dengan penjelasan mengenai aksi yang menjadi persyaratan agar kondisi tertentu bisa diciptakan. Ketiga, goodness suatu teori kritis juga ditentukan oleh kemampuan untuk membuat eksplanasi secara holistic, tidak menjelaskan, contohnya masalah prasangka sosial masyarakat Barat terhadap Islam dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa bukan semata-mata sebagai masalah kekurangtahuan masyarakat Barat mengenai Islam, namun juga dikarenakan sejarah hubungan yang buruk antara Islam dan Barat sejak perang Salib, juga dikarenakan bagaimana media memberitakan mengenai Islam dan sebagainya. Disamping ketiga hal itu, maka goodness suatu teori kritis juga tergantung pada kemampuan untuk (a) mendefinisikan secara konseptual konteks historis spesifik, serta (b) menjelaskan latar belakang historis dari fenomena yang dijelaskan oleh teori (Hidayat, 2010:11).Goodness Criteria dalam penelitian ini dilakukan melalui analisis historical situatedness dengan memperhatikan latar belakang historis sejumlah studi kasus sosial, politik, kebudayaan, ekonomi, etnik dan jender (Denzin dan Lincoln, 1994:114). 1