METODE DAN CORAK PENAFSIRAN AL-QUR`AN...
-
Upload
duongnguyet -
Category
Documents
-
view
230 -
download
5
Transcript of METODE DAN CORAK PENAFSIRAN AL-QUR`AN...
METODE DAN CORAK PENAFSIRAN AL-QUR`AN
MUHAMMAD SAID BIN UMAR DALAM TAFSÎR NÛR AL-
IHSÂN SERTA IMPLEMENTASINYA DALAM PENAFSIRAN
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
OLEH :
SAIFUDDIN BIN ASYARI NIM: 109034000105
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADITS FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1431 H./2010 M.
METODE DAN CORAK PENAFSIRAN AL-QUR`AN MUHAMMAD
SAID BIN UMAR DALAM TAFSÎR NÛR AL-IHSÂN SERTA
IMPLEMENTASINYA DALAM PENAFSIRAN
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
SAIFUDDIN BIN ASYARI NIM: 109034000105
Di Bawah Bimbingan:
DR. AHZAMI SAMI’UN JAZULI, M.A NIP: 19620624 20003 1 001
PROGRAM STUDI TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1431 H/2010 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi / tesis / disertasi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan
untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1/ starata 2/ stara 3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 1 Disember 2010
Saifuddin Asyari
ii
PEDOMAN TRANSLITERASI a. Padanan Aksara
Huruf Arab
Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا b be ب t te ت ts te dan es ث j je جh ح ha dengan garis di bawah
kh ka dan ha خ d de د dz de dan zet ذ r er ر z zet ز s es س sy es dan ye شs ص es dengan garis di bawah
d ض de dengan garis di bawah
t te dengan garis di bawah طz ظ zet dengan garis di bawah
koma terbalik diatas hadap kanan ‘ ع gh ge dan ha غ f ef ف q ki ق k ka ك l el ل m em م n en ن w we و h ha هـ apostrof ` ء y ye ي
b. Vokal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a fathah i kasra u dammah
Adapun Vokal Rangkap
ix
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي ai a dan i و au a dan u
c. Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas ــا î i dengan topi di atas ــــــي û u dengan topi di atas ـــــــو
d. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf )ال( , dialih-aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh الشمسية = al-syamsiyyah, القمرية = al-qamariyyah. e. Tasydîd
Dalam alih-aksara, tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda tasydîd itu. Tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tasydîd itu terletak setelah kata sandang yang diikuti huruf-huruf samsiyyah. f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. begitu juga jika ta marbûtah tersebut diikuti kata sifat (na‘t). Namun jika ta marbûtah diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/.
g. Huruf Kapital
Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya . Contoh البخار = al-Bukhâri. i. Singkatan Swt = سبحانه وتعالى Saw = صلى اهللا عليه وسلم H = Tahun Hijriah M = Tahun Masehi W = Wafat dkk = dan kawan-kawan t.p. = tanpa penerbit t.tp. = tanpa tempat terbit
x
xi
t.th = tanpa tahun h. = halaman ed. = editor Pengulangan kutipan dengan sumber yang sama dilakukan dengan menulis ulang nama penulis, judul buku, dan nomor halaman .
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul “METODE DAN CORAK PENAFSIRAN AL-
QUR`AN MUHAMMAD SAID BIN UMAR DALAM TAFSÎR NÛR AL-
IHSÂN SERTA IMPLEMENTASINYA DALAM PENAFSIRAN” telah
diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin “UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta” pada tanggal 9 Disember 2010. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata Satu
(S1) Pada Jurusan Tafsir Hadis.
Jakarta, 9 Disember 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Dr. M. Suryadinata, MA Muslim, S.Th.I NIP. 19600908 198903 1 005
Anggota
Dr. Ahsin Sakho Muhammad, MA Dr. M. Suryadinata, MA NIP. 19560221 199603 1 001 NIP. 19600908 198903 1 005
Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MA
NIP: 19620624 20003 1 001
iii
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur kehadrat Ilahi atas seluruh rahmat serta hidayahNya yang
telah dilimpahkan kepada hamba dan seluruh umat manusia di dunia. Sungguh hamba
hanya insan yang tiada berdaya selain dengan pertolongan Mu ya Rabb, atas izin dan
keridhaanMu maka hamba dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul
“Metode Dan Corak Penafsiran Muhammad Said Bin Umar Dalam Tafsîr Nûr
al-Ihsân Serta Implementasinya Dalam Penafsiran.” Salawat serta salam
senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah saw. yang memberikan cahaya terang bagi
perkembangan Islam di dunia.
Tiada hari tanpa hamba mengucap syukur kepadaMu ya Allah, Tuhan
penggenggam langit dan bumi yang menguasai hari pembalasan. Tidak ada satu
kejadianpun tanpa seizinMu, terima kasih karena telah mengizinkan hari ini terjadi
dalam hidup hamba. Amin ya Rabbal âlamin. Jutaan terima kasih kepada:
1. Pihak Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan kesempatan untuk menyelesaikan S1.
2. Negara Republik Indonesia yang telah memberikan izin tinggal.
3. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Prof. Dr. Zainun Kamaluddin, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Dr. Bustamin, M.Si, selaku ketua Jurusan Tafsir Hadis, Dr. Rifqi M. Fathi,
M.A, selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis dan Dr. Edwin Syarif, M.A,
mantan Sekretaris Jurusan Tafsir Hadits.
iv
6. Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, M.A selaku Pembimbing, yang banyak
meluangkan waktu, tenaga, fikiran, serta tunjuk ajar kepada penulis dalam
penyelesaian skripsi ini.
7. Jutaan terima kasih untuk Bunda tercinta Rahimah binti Abas (mak), dan
Ayahanda tersayang Asyari Bin Othman (abah), setiap hembusan nafas kalian
adalah doa untuk keberhasilan anakanda, dengan lautan kasih yang takkan
pernah surut walaupun kemarau panjang datang melanda.
8. Seluruh dosen dan staf pengajar pada program studi Tafsir Hadis (TH) atas
segala motivasi, bimbingan, wawasan, dan pengalaman yang mendorong
penulis selama menempuh studi. Seluruh staf dan karyawan Fakultas
Ushuluddin, Akademik Pusat, dan Rektorat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9. Pimpinan dan segenap karyawan perpustakaan-perpustakaan di Indonesia
dan perpustakaan-perpustakaan di Malaysia.
10. Terima kasih dan salam sayang penuh kerinduan kepada semua saudara-mara
penulis. Arwah aung dan tok serta mey, adik-adik,
11. Dato’ Tuan Guru Hj. Harun Taib selaku pengerusi Ahli Majlis Mesyuarat
KUDQI & Ahli Majlis Mesyuarat KUDQI. Pihak Kolej Universitas Darul
Quran Islamiyyah (KUDQI) yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat
terutama, Rektor Ust. Mahmood Sulaiman, Ust. Kamaruzaman, Ust Soud
Said, Ust. Nik Mohd Nor, YB. Ust. Mohd Nor Hamzah, Ust. Rizki Ilyas,
Ustadzah Zaitun, Ust. Shahari Zulkirnain, Ust. Asmadi, Ust. Khalil, dan
seluruh Ustadz dan Ustadzah juga mahasiswa serta adik-adik KUDQI,
MPMKUDQI dan HESIS. Sahabat-sahabat Mesir, Turki dan Yaman. Serta
warga MDQ, Ayahanda Ust. Rosli, Ust. Zulyadain, Ust. Wan Awang, dan
v
vi
semua tenaga pengajar MDQ serta adik-adik banin dan banat yang
berkesempatan dengan penulis.
12. Sahabat-sahabat Malaysia seangkatan dan senior, yaitu Hadi, Sabri, Ukasyah,
Ridzuan, Muaz, Zalani, Fawwaz, Ayah Su, Mad Yu, Ust. Azahari, Ridhuan
Hamid, Farid, Najmi, Nash, Syuk, Munir, Madan, dan lain-lain. Dan semua
sahabiyah Sa, Aminah, Kak Su, Najihah, Azidah, Hajar, dan lain-lain.
13. Sahabat-sahabat Indonesia terutamanya, Iqbal, Adnan, Ruslan, Pak Abbas
Sukardi, Hasim, Miftah, Pipit, Kholid Ganteng, Nita, Atie, Saiful Subhan,
serta sahabat-sahabat dari fakultas-fakultas yang lain terutamanya Deddy,
Iqbal, Erwin, Muhchin, dan Reza.
14. Terakhir, jutaan rasa terima kasih kepada semua individu yang secara tidak
langsung telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini.
Semoga Allah Subhanaahu wa Ta’ala menjadikan usaha kecil ini sebagai amal
yang ikhlas, memberi manfaat yang berterusan, menjadi teman ketika berseorangan di
kuburan dan keberkatan untuk kedua orang tua dan umat Islam seluruhnya.
Wama taufiqi Illa billah.
Jakarta, 6 November 2010 29 Dzulqa`idah 1431 H
Saifuddin Bin Asyari
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ......................................................................... iii
KATA PENGANTAR ............................................................................................ iv
DAFTAR ISI ........................................................................................................... vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................. 7
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 8
D. Tinjauan kepustakaan ..................................................................... 9
E. Metodologi Penelitian .................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 11
BAB II BIOGRAFI MUHAMMAD SAID BIN UMAR ................................ 13
A. Latar belakang kehidupan ............................................................... 13
B. Keperibadian ................................................................................... 17
C. Pendidikan ....................................................................................... 18
D. Mazhab akidah dan fikih ................................................................ 19
E. Sumbangan dan Karya-Karyanya ................................................. 20
BAB III METODE DAN SUMBER PENAFSIRAN AL-QUR`AN DALAM
TÂFSÎR NÛR AL-IHSÂN..................................................................... 29
A. Sumber penafsiran Muhammad Said Umar dalam Tafsîr Nûr al-
Ihsân ............................................................................................... 29
vii
viii
B. Metode penafsiran Muhammad Said Umar dalam Tafsîr Nûr al-
Ihsân ................................................................................................ 43
BAB IV CORAK PENAFSIRAN, TEMA-TEMA DAN CONTOH-CONTOH
PENAFSIRAN DALAM TÂFSÎR NÛR AL-IHSÂN ........................ 50
A. Corak Penafsiran Muhammad Said Umar dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân
.......................................................................................................... 50
B. Tema-tema dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân ............................................ 55
BAB V PENUTUP ........................................................................................... 62
A. Kesimpulan ...................................................................................... 62
B. Saran ................................................................................................ 63
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 65
LAMPIRAN .............................................................................................................. 68
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Metode dan corak penafsiran merupakan hal penting dalam menggali
makna al-Qur`an maupun dapat dipahami dan dipelajari. Makna-makna al-
Qur`an merupakan suatu khazanah agung yang harus digali dengan cara yang
sebaiknya. Konsep metode dan corak penafsiran yang jelas bertujuan
membebaskan pesan-pesan moral al-Qur’an dari kekeliruan. Hawa nafsu tidak
layak berperan dalam penafsiran ini, namun suatu sikap yang loyal untuk
menerapkan konsep metode dan corak penafsiran secara benar dapat
mencurahkan segenap kemampuan intelektual baik yang menyangkut kaidah-
kaidah penafsiran maupun bidang-bidang intelektual terkait lainnya.
Sudah barang tentu bahwa obyek penafsiran ialah al-Qur`an yang
diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi-Nya sebagai rahmat kepada seluruh alam
dan petunjuk kepada manusia yang berada dalam kesesatan mencari haluan
kehidupan di dunia. Berurutan dari itu, Nabi Muhammad saw menafsirkan al-
Qur`an sebagai penjelasan kepada umat manusia. Bermula dari itu, dapat
disingkapi juga kemukjizatan al-Qur`an baik dari susun katanya maupun makna
yang dikandungnya. Ia juga diturunkan sebagai syifâ` (obat) bagi manusia yang
1
2
dalam kegelisahan mencari jati diri dalam mengenal tuhannya. Dua mukjizat ini
teraplikasikan dalam kepimpinan Nabi Muhammad secara ideal walaupun
dijalani dalam tempoh yang singkat yaitu 23 tahun1.
Fakta historis di atas terjadi karena sikap Rasulullah saw yang senantiasa
menafsirkan al-Qur`an jauh dari hawa nafsu yang berdiri di atas kepentingan
peribadi atau kelompok tertentu. Bahkan Rasulullah mencegah dari penafsiran
al-Qur`an yang berlandaskan hawa nafsu (pemikiran yang tidak dilandasi oleh
al-Qur`an, Sunnah, dan sumber-sumber hukum yang lain yang disepakati oleh
ulama`), maka yang terjadi ialah kehancuran, keterperukan, sehingga bencana
multideminsional terjadi pada kehidupa manusia.
Rasulullah telah menegaskan bagaimana konsep metode penafsiran al-
Qur`an yang seharusnya, dalam hadisnya yang diriwayat oleh al-Turmudzi;
ن ع ةانوو عبا أنثد، حيلبو الكمرن عب يدوا سنثد، حيعآن وب انفيا سنثدح يبالن نع مانهع اهللا يضر اسبع ن ابنع يربن جب يدعن سع يلع إهللا بدع يلع بذن آمم ومتلا عا مي إلنع يثدوا الحقات: " ملسو يهلع اهللاى لصن ه مدقعأ موبتليف هأيرب رأني القف الن قمو ارالن نم هدقعأ موبتليا فدمعتم ".ارالن
Artinya: “Diceritakan kepada kami oleh Sufyân bin Wakî’, diceritakan kepada kami Suwaid bin ‘Amr al-Kalbiy, diceritakan kepada kami Abû ‘Awânah dari ‘Abdullah ‘Ali dari Sa’îd bin Jabîr dari Ibn ‘Abbâs ra dari Nabi Muhammad saw: Takutlah kamu terhadap hadis dariKu kecuali apa yang telah kamu ketahui dan barang siapa yang mendustakanKu secara sengaja ia menempatkan dirinya dalam api neraka, dan barang siapa mengatakan sesuatu tentang al-Qur`an dengan pendapat (ra`yu)nya berarti dia telah
1 Yaitu 13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah. Ia merupakan masa dakwah
Rasulullah saw bersama masa turunnya al-Qur’an.
3
sengaja menempatkan dirinya dalam api neraka. (H.R. al-Turmudzi)2.
Menafsirkan al-Qur`an yang dilandasi oleh pandangan mufassir saja tanpa
melibatkan ilmu pengetahuan, khususnya yang berkenaan dengan penafsiran
adalah suatu kesalahan seperti yang dijelaskan oleh al-Dzahabi dalam kitab al-
Tafsîr wa al-Mufassirûn3. Walaupun hasil penafsirannya benar, itu merupakan
perbuatan yang salah. Mengenai hal ini Rasulullah saw pernah bersabda dalam
satu hadis yang diriwayat Abu Dawud:
ي رقالم اقن إسحب وبعقا ينرخبى، أحين يب دمحن مب اهللا بدا عنثدحو ا أبنرخب، أيعطالق زمو حخأ انهرن مب يلها سنبرخ، أيمضرالح الن قم:" ملسو يهلع ى اهللالص اهللا ولسر ال، قالق بندن جع انمرع ".أخطد أقف ابأصف هأيرب لجو زع اهللا ابتي آف
Artinya; “Diceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin Yahya, dikabarkan kepada kami Ya’qûb bin Ishâq al-Maqarri, dikabarkan kepada kami Suhail bin Mahrân saudara laki-laki Hazm al-Quta`i, dikabarkan kepada ‘Imrân bin Jundub berkata, Rasulullah saw berkata: Barang siapa mengatakan sesuatu dengan pendapatnya tentang al-Qur`an, kemudian dia benar, maka dia dianggap telah melakukan kesalahan”. (H.R. Abû Dâwûd)4.
Keberadaan metode dan corak penafsiran berkembang sesuai dengan
kebutuhan manusia dalam merespon gejala-gejala dan problematika dalam
kehidupan.
2 Abû ‘Isa Muhammad Bin ‘Isa Bin Saurah, Sunan al-Tirmizi. (Beirut, Dâr al-Fikr), jilid
4, hal. 439, باب ما جاء الذي يفسر القرأن , Beliau mengatakan hadis ini adalah Hasan. 3 Muhammad Hussein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn (Cairo : Dâr al-Kutub al-
Hadîtsah, 1976) cet ke-21. Jilid I, hal. 265-268. 4 Sulaimân bin Al-Asy'ats al-Sijistani, Sunan Abû Dâwûd, (Beirut: Dâr al-Fikr: 1994),
Jilid III, hal. 63-64. آتاب العلم باب الكالم في آتاب اهللا بغير علم, lafal hadis ini dalam Sunan al-Tirmizi adalah من قال في القرأن برأيه فأصاب فقد أخطأ.
4
Pertumbuhan metode dan corak penafsiran al-Qur`an (walaupun tidak
disebut sistematikanya) berawal pada masa Rasul, dilanjutkan oleh para sahabat,
Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in. Masa ini merupakan periode awal dalam sejarah
penafsiran al-Qur`an, dan berakhir pada tahun 150 H5.
Metode dan corak penafsiran berkembang pada periode al-tadwîn
(pembukuan), pada akhir dinasti Umayyah dan awal Dinasti ‘Abbasiyah 6 ,
dampak dari gencarnya penerjemahan berbagai bidang ilmu. Pada masa
pemerintahan ‘Umar ‘Abdul ‘Azîz inilah sebagai pintu gerbang munculnya
berbagai metode dan corak penafsiran al-Qur`an, juga sebagai implikasi dari
berkembang ilmu pengetahuan beserta berbagai cabang-cabangnya.
Perkembangan metode dan corak penafsiran al-Qur`an dilatarbelakangi oleh
perbedaan kecenderungan, interest, motivasi, keilmuan, masa, lingkungan, dari
masing-masing mufassir yang tersebut7.
Dari zaman dahulu hingga kini, terdapat banyak konsep metode dan corak
penafsiran yang digunakan oleh mufassir-mufassir dalam menelaah dan meneliti
ayat-ayat al-Qur`an untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan
lingkungan. Seperti Ibnu Katsîr menggunakan metode tahlîli8 dan manhâj tafsîr
5M. Quraish Shihab, Membumi al-Quran ; Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung; Mizan, 1994) cetakan ke 15, hal. 71. 6 Manna’ Khalîl al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an, (Bogor; Pustaka Litera Antarnusa,
1996) cetakan ke -3, hal. 476. 7 M. Quraish Shihab, Membumi al-Quran....... hal. 73. 8 Tahlîli ialah satu metode yang bermaksud menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an dari seluruh
aspeknya. Seorangg mufassir yang mengikuti metode ini menafsirkan ayat al-Qur`an secara runtut dari awal hingga akhirnya, dan surat demi surat sesuai dengan urutan mushaf Utsmani. Lihat M. al-Fatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), cet. ke-2, hal.41-42.
5
bil ma`tsûr9 dalam tafsir ketika menguraikan pesan-pesan al-Qur`an. Manakala
Sayyid Qutb menggunakan metode tahlîli dan manhâj tafsîr bi al-ra`yi10 dalam
karyanya ketika menguraikan ayat-ayat al-Qur`an, begitu juga konsep-konsep
metode dan corak-corak penafsiran yang terdapat pada karya-karya tafsir yang
lain yang pembahasannya dilanjutkan dalam skripsi ini.
Di bumi Nusantara11 terdapat banyak karya klasik dan modern dalam
lapangan tafsir yang ditulis oleh mufassir-mufassir Melayu yang terkenal.
Sejarah perkembangan pesat tafsir di Nusantara terjadi pada abad ke-16 hingga
abad ke-19 12 . Sebagaimana di Timur Tengah, masing-masing mufassir di
Nusantara juga mempunyai konsep metode dan corak penafsiran. Walau karya-
karya tafsir di Nusantara bersumber dari karya-karya tafsir dari Timur Tengah,
para mufassir di rantau Nusantara mempunyai corak penafsiran yang sesuai
dengan lingkungan dan masa di rantau tersebut. Di antara karya tafsir yang
mempunyai nilai bobot tinggi ialah “Tarjumân al-Mustafîd” yang terkenal
9 Menafsir al-Qur`an dengan al-Qur`an, dengan sunnah, dengan perkataan sahabat dan
dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar Tabi’in. Karena pada umumnya, mereka menerimanya daripada para sahabat. Lihat “Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an”, Manna’ Khalil al-Qatthan (Bogor: Pustaka Litera, 2006), hal. 482.
10 Tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya, mufassir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan (istinbat) yang didasarkan pada ra`yu semata. Lihat “Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an”, Manna’ Khalil al-Qatthan ( Bogor: Pustaka Litera, 2006), hal. 488.
11 Istilah "Nusantara" merujuk kepada lingkungan pengaruh kebudayaan dan linguistik orang Melayu yang merangkumi kepulauan Indonesia, Malaysia, Singapura, bahagian paling selatan Thailand, Filipina, Brunei, Timor Timur dan mungkin juga Taiwan, namun ia tidak melibatkan daerah Papua Nugini. Istilah padanan untuk "Nusantara" dalam bahasa Melayu ialah Alam Melayu. Lihat http//:www.wacananusantara.org/.
12 Izza Rahman Nahrawi, “Profil Kajian al-Qur`an Di Nusantara Sebelum Abad Kedua Puluh”. Jurnal al-Huda (jakarata: Islamic Centre Jakarta 2002) Vol II no 6.
6
sebagai “Tafsir Baydawi” oleh Abd al-Rauf Singkel yang merupakan tafsir
pertama terlengkap bahasa Melayu (kuno) tertua di Nusantara13.
Namun di Tanah Melayu14 terdapat banyak karya klasik dalam bidang
tafsir yang dikarang oleh mufassir-mufassir setempat. Kebanyakan karya tafsir
al-Qur`ân di rantau ini ditulis secara tidak utuh sebuah mushâf al-Qur`ân, yaitu
penafsiran yang tidak melengkapi 30 juz al-Qur`an bermula dari surat al-Fâtihah
hingga al-Nâs15. Masing-masing mufassir melahirkan karya mereka tersendiri
seperti Muhammad Nor Bin Ibrahim melahirkan karyanya Ramuan Rapi Dari
Erti Surah al-Kahfi dan Syed Syiekh al-Hadi melahirkan karyanya Tafsîr Surah
al-Fâtihah.
Penulis memilih salah satu di antara karya-karya tafsir di Nusantara yaitu
Tafsîr Nûr al-Ihsân karya Muhammad Said Bin Umar menjadi judul skripsi ini,
karena ia merupakan karya tafsir bahasa Melayu terawal yang lengkap 30 juz
yang dihasilkan di Malaysia16. Maka, judul yang diberi ialah “METODE DAN
CORAK PENAFSIRAN MUHAMMAD SAID BIN UMAR DALAM
TÂFSIR NÛR AL-IHSÂN SERTA IMPLEMENTASINYA DALAM
PENAFSIRAN”. Penulis akan membahas juga secara ringkas tentang sejarah
13 Mohd. Taib Osman dkk, Tamadun Islam Di Malaysia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
Dan Pustaka, 2000), hal. 418. 14 Nama “Tanah Melayu” ialah Malaysia sebelum kemerdekaan. Kemudian dinamakan
“Persekutuan Tanah Melayu” sempena kemerdekaan negeri tersebut dari kolonial Inggris pada 31 Agustus 1957. Kemudian ditukar namanya menjadi “Malaysia” pada 16 September 1963. Lihat Zulhilmi Paidi dan Rohani Ab. Ghani, Kenegeraan Malaysia :Isu-isu Dalam Pembinaan Negara, (Kuala Lumpur: PTS Publications Sdn. Bhd., 2003), cet. ke-1, hal. 1, 5 dan 12.
15 Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir Di Malaysia, (Pahang: Perpustakaan Negara Malaysia, 2009), cet. 1, hal. 46, dan 55. Mohd. Taib Osman dkk, Tamadun..... hal. 419.
16 Mustaffa Abdullah, Khazanah..........hal. 45 dan 56.
7
penafsiran al-Qur`an di Malaysia yang merupakan latar belakang bagi konsep
metode dan corak penafsiran Tafsîr Nûr al-Ihsân.
Dari latar belakang tersebut, penulis berasumsi bahwa pemilihan judul
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Metode dan corak penafsiran merupakan cara yang sistematis untuk
memahami al-Qur`ân dengan berbagai pendekatan dan berbagai
kecenderungan, sehingga sistematika dari dua bidang tersebut perlu
dikenali, dikaji, dan diaplikasikan agar fungsi al-Qur`ân sebagai Syifâ`
(obat) dan Hudan (petunjuk) dapat diraih oleh manusia.
2. Karya yang penulis analisa ini, merupakan salah satu karya yang terkenal
di Malaysia, sehingga menganalisa metode dan corak penafsirannya
menjadi urgen.
3. Dari survey kepustakaan, metode dan corak penafsiran al-Qur`an dari
berbagai kitab tafsir diangkat sebagai judul skripsi17, namun metode dan
corak penafsiran al-Qur`an dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân karya Muhammad
Said Bin Umar belum ada yang menjadikannya sebagai judul skripsi.
Maka penulis berinisiatif untuk mengambilnya sebagai judul skripsi.
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
Membatasi hanya pada metode sumber dan corak penafsiran al-Qur`ân,
kemudian membahas biografi pengarang dan membahas sekilas tentang karya
tafsir ini.
17 Lihat pada tinjauan kepustakaan proposal ini, hal. 9.
8
Metode penafsiran dan corak penafsiran Tafsîr Nûr al-Ihsân adalah
perkara yang harus dipahami oleh seorang mufassir dan pengkaji sebelum
melakukan penafsiran terhadap kandungan karya tersebut. Karena memahami
keduanya adalah langkah pertama sebelum memahami seluruh kandungan suatu
karya tafsir.
Perumusan masalahnya ialah : Apa dan bagaimana metode dan corak penafsiran
Muhammad Said Bin Umar dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân dan bagaimana
implikasi/implimentasinya dalam penafsiran?
C. Tujuan Penelitian
1. Membahas metode dan corak penafsiran Tafsîr Nûr al-Ihsân secara
detail dan sistematis, sehingga penafsiran-penafsiran yang dibawa
oleh Muhammad Said Bin Umar dapat difahami dengan baik,
kelebihan dan kekurangannya terlihat jelas.
2. Sumbangan ilmiah dalam memperkayakan khazanah kepustakaan
Islam, khususnya bidang tafsir.
3. Melengkapi salah satu pensyaratan pada akhir program S1 Fakultas
Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadis, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, dalam meraih gelar S.Th.I.
D. Tinjauan Kepustakaan
Untuk melakukan tinjauan kepustakaan, penulis mengkaji buku-buku dan
literatur-literatur yang membahas tentang metode penafsiran al-Qur`an. Di antara
bahan-bahan kepustakaan yang dimaksudkan ialah “Metodologi Muhammad Said
9
Umar Dalam Tafsir al-Qur`an: Satu Kajian Terhadap Tafsir Nurul Ihsan” oleh
Hamza Muhammad @ Hamda18, “Sumbangan Tuan Haji Muhammad Said Bin
Omar Kepada Ilmu Tafsir al-Qur`an: Tumpuan Khas Kepada Kitab Nurul Ihsan”
oleh Najihah Md. Yusof19.
E. Metodologi Penilitian
Untuk membahas judul ini, penulis menggunakan metode pengumpulan
data. Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan cara penelitian
kepustakaan (Library Research) terhadap sumber-sumber kepustakaan seperti
buku-buku, skripsi-skripsi, jurnal-jurnal, dan makalah-makalah. Hanya metode
penelitian ini yang sesuai untuk menjalankan penelitian terhadap judul yang
dibahas. Yang demikian itu karena pembahasan judul ini hanya membutuhkan
kajian dan analisis terhadap sumber-sumber yang tersedia dan tidak
membutuhkan kajian dan studi terhadap obyek pembahasan.
Obyek penelitian ialah apa metode dan corak penafsiran yang digunakan
oleh Muhammad Said Bin Umar dan bagaimana implementasinya dalam karya
Tafsîr Nûr al-Ihsân. Penelitian yang akan dilakukan terhadap karya ini adalah
secara keseluruhan baik dari filologi dan kandungannya.
Tinjauan akan dilakukan terhadap sumber-sumber primer dan sumber-
sumber sekunder. Sumber primer adalah “Tafsîr Nûr al-Ihsân”. Di antara
sumber-sumber skunder ialah “Khazanah Tafsir Di Malaysia”, “Metodologi Ilmu
18 Tesis prodi S2 Fakultas Ushuluddin, jurusan al-Qur`an dan Hadits, Akademi Pengajian
Islam, Universitas Malaya, Malaysia. 19 Tugasan Ilmiyyah, Fakultas Ushuluddin, Akademi Islam, Universitas Malaya,
Malaysia.
10
Tafsir”, dan “Metodologi Tafsir: Kajian Komprohensif Metode Para Ahli Tafsir”.
Didukung oleh beberapa literatur baik berupa buku, artikel, surat kabar, majalah,
jurnal dan lainnya yang berhubungan dengan pembahasan. Maka penulis
melakukan pembacaan dan melakukan analisis terhadap konsep metode dan
corak penafsiran dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân dan sejarah penafsiran yang melatar
belakanginya.
Untuk teknik penulisannya, penulis berpedoman pada buku “Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang disusun oleh Tim
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terbitan UIN Press cet.1 Jan-2007 M/ 1427 H.
F. Sistematika Penulisan
Sebagai karya ilmiah, maka penulisan skripsi ini akan disusun secara
sistematis. Adapun sistematika penulisan skripsi adalah sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penilitian, tinjauan kepustakaan,
metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua adalah berkait biografi Muhammad Said Bin Umar yang
merangkumi latar belakang kehidupannya, keperibadian, pendidikan, mazhab
akidah dan fikih dan sumbangan serta karya-karyanya.
Bab ketiga ialah pembahasan tentang metode dan sumber penafsiran al-
Qur`an dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân. Pembahasan metode dan sumber penafsiran
al-Qur`an harus ditekan sebelum melanjutkan penulisan dan pembacaan bab-bab
seterusnya dalam skripsi ini supaya judul skripsi dapat dipahami secara jelas.
11
Bab keempat akan membahas corak penafsiran Syiekh Muhammad Said
Bin Umar dalam karyanya Tafsîr Nûr al-Ihsân. Pembahasan bab ini juga
merangkumi tema-tema yang diketengahkan oleh Syiekh Muhammad Said Bin
Umar dalam karyanya. Penulis turut memberi beberapa contoh penafsiran dalam
karya tersebut yang diaplikasi oleh Muhammad Said Bin Umar dari metode dan
corak penafsirannya supaya pembahasan ini dapat dipahami secara jelas.
Bab kelima merupakan penutup yang berisikan kesimpulan dan saran-
saran.
BAB II
BIOGRAFI MUHAMMAD SAID BIN UMAR
A. Latar Belakang Kehidupan
Nama penuh beliau ialah Muhammad Said bin Umar Khatib bin Aminuddin bin
Abdul Karim. Beliau terlahir pada tahun 1854 M. bersamaan 1275 H. di Kampung
Kuar, Jerlun, Kedah1. Para pengkaji tafsir dan para pengkaji sejarah Malaysia tidak
dapat menentukan tanggal sebenar kelahiran beliau karena tidak terdapat sumber-
sumber yang utuh mengenai kelahirannya, maka tidak terdapat info yang lengkap
tentang kelahirannya. Oleh karena terlahir sebagai anak Kedah maka julukan yang
diberi kepada ialah al-Qadahî seperti yang tercatat pada penutup tafsirnya pada jilid
terakhir2. Beliau dibesarkan bersama seorang saudara laki-lakinya dalam lingkungan
keluarga yang amat religius dan mendapat didikan agama langsung daripada bapanya
yaitu Haji Umar Khatib3. Beliau termasuk di antara 25 tokoh tafsir Malaysia yang
tercatat di dalam buku Khazanah Tafsir Di Malaysia yang membahas tentang
biografi, sumbangan, dan metode mereka dalam penafsiran4.
1 Salah satu dari tiga negeri bagian yang terletak di utara Malaysia. Lihat
http//:www.ms.wikipedia.org/wiki/Kedah, diakses pada 15 Feb 2010, 16.10 WIB. 2 Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân, (Pattani: Percetakan Bin Halâbi, 1956), cet. ke-
3, jilid ke-4, hal. 311. 3 Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir Di Malaysia, (Pahang: Perpustakaan Negara Malaysia,
2009), cet. Ke-1, hal. 52. Persatuan Keluarga Haji Muhammad Saaid, di http//:www.saaid.org.my, 20 Feb 2010, 11.30 WIB.
4 Mustaffa Abdullah, Khazanah.....hal. 46.
12
13
25 orang tokoh yang tersebut dalam Khazanah Tafsir Di Malaysia adalah:
1. Abdul Malik Abdullah
2. Muhammad Said bin Umar
3. Syed Syiekh al-Hadi
4. Uthman bin Muhammad
5. Muhammad Idris Abdul Rauf al-Marbawi
6. Abu Bakar al-Ashaari
7. Abdul Aziz bin Abdul Salam
8. Muhammad Nor bin Ibrahim
9. Maulana Abdullah Noh
10. Abdullah Abbas Nasution
11. Abdullah Basmeih
12. Mustafa Abdul Rahman Mahmud
13. Nik Muhammad Adeeb
14. Nik Muhammad Salleh Wan Musa
15. Yusof bin Abdullah al-Rawi
16. Yusoff Zaky Yacob
17. Nik Abdul Aziz bin Nik Mat
18. Abdullah al-Qari bin Salleh
19. Pauzi Awang
20. Zainuddin bin Idris
21. Abdul Hayei Abdul Sukor
22. Abdul Hadi Awang
23. Wan Ahmad Wan Ali (Abu Lukman)
14
24. Muhammad bin Abdul Latif
25. Abu Zaky Fadzil
26. Abdullah ar-Rahmat
Bapaknya ialah Haji Umar Bin Aminuddin. Ia merupakan seorang alim yang
terkenal dengan julukan ‘Khatib’ karena mempunyai ketokohan dalam memberi
ucapan dan menyampaikan khutbah di khalayak ramai. Ketika hayatnya, itulah
pekerjaan yang dilakukan sebagai satu sumbangan terhadap masyarakat dalam
menegakkan syariat Islam5. Bahkan, bapaknya merupakan seorang yang amat
cenderung kepada membesarkan anak-anaknya dalam lingkungan Islam dan memberi
bimbingan agama kepada mereka sehingga bimbingan tersebut terkesan secara jelas
pada peribadi Muhammad Said6. Bahkan, beliau juga mempunyai sifat-sifat yang
sama seperti sifat-sifat bapanya yang amat cenderung kepada agama dan melakukan
apa yang telah dilakukan oleh bapanya.
Walau berasal dari Kedah, Muhammad Said telah melanjutkan pengajian ke
beberapa tempat di antaranya Changkat, Krian di Perak7 dan yang terakhirnya Sungai
Acheh, yang sekarang ini dikenali dengan nama Kampung Kedah di Perak. Selepas
berada di perantauan dalam tempoh yang lama, beliau pulang semula ke Kedah pada
1312H bersamaan 1891M dan ketika itu beliau berumur 37 tahun. Demi menuntut
ilmu, beliau merantau lagi ke luar negeri seperti Pattani di selatan Thailand dan
Mekah. Semasa menetap di Mekah, beliau memiliki sebidang tanah yang berada dekat
5 Mazlan Ibrahim, Israiliyyat Dalam Tafsir Melayu Tafsir Nur al-Ihsan: Satu Analisis, (tesis
untuk prodi S2 Fakulti Pengajian Islam di Universiti Kebangsaan Malaysia, 2001), hal. 17. 6 Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir...... hal. 52. 7 Salah satu dari tiga negeri bagian yang terletak di utara Malaysia, tetangga daripada Kedah
di bagian selatan. Lihat http//:www.ms.wikipedia.org/wiki/Perak, diakses pada 15 Feb 2010, 16.33 WIB.
15
daripada Masjid al-Haram tetapi kemudian tanah itu dibeli oleh Pemerintah Arab
Saudi dengan harga yang mahal. Maka bisa diandaikan bahwa beliau telah menetap di
Mekah dalam masa yang lama sehingga bisa memiliki sebidang tanah8.
Ketika berada di Changkat, beliau membuka sebuah pondok pesantren dan
mengajar di pesantren tersebut. Di sana beliau telah menikahi isteri pertamanya yang
bernama Fatimah dan hasil pernikahan keduanya, mereka telah dikaruniakan tiga
putra. Putra-putra mereka ialah Haji Mahmud, Haji Muhammad, dan Haji Ahmad9.
Isteri pertama beliau meninggal dunia dalam usia yang masih muda10.
Selepas kematian isteri pertama, beliau menikahi isteri keduanya yang bernama
Hajah Rahmah yang berasal dari Pulau Mertajam, Pulau Pinang (Penang) dan
dikarunia dua putra dan dua putri. Putra-putranya itu adalah Abdul Hamid dan Haji
Omar. Manakala kedua putrinya adalah Sofiah dan Fatimah11.
Kemudian beliau berhijrah ke Kampung Kedah di Sungai Acheh, Perak akibat
serangan siam terhadap Kedah. Ketika menetap di kampung tersebut, beliau mengajar
dan mengerjakan sawah padi sebagai pekerjaannya. Di sana juga beliau menikahi
isteri ketiganya yaitu Hajah Hamidah dan dikarunia 10 orang anak12 terdiri dari tujuh
putra dan tiga putri. Mereka adalah Haji Mustaffa, Haji Kassim, Cik Hassan, Haji
Mohd Akib, Haji Hussain, Hajah Asma, Hajah Mariam, Siti Hajar, Haji Mansor, dan
Haji Nasir13.
8 Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir...... hal. 52. 9 Persatuan Keluarga Haji Muhammad Saaid, di http//:www.saaid.org.my. 10 Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......, hal 53. 11 Ibid. 12 Ibid. 13 Ibid. Persatuan Keluarga.........org.my.
16
Semasa menetap di Kampung Kedah ini, beliau didatangi oleh utusan daripada
pihak Tengku Mahmud yang meminta beliau supaya pulang semula ke Kedah. Demi
memenuhi permintaan daripada Baginda, beliau pulang ke Kedah dan diberi sebidang
tanah di Kanchut14. Tengku Mahmud merupakan salah seorang pegawai pemerintah
yang mendukung Muhammad Said supaya mengarang Tafsîr Nûr al-Ihsân seperti
yang dijelaskan pada penutup karyanya itu15. Setelah menetap di Kedah, beliau diberi
jabatan ‘Guru Diraja’ untuk mengajar anak-anak raja dan di antara mata pelajaran
yang diajar adalah Tafsîr al-Qur`ân. Sementara itu, beliau juga diberi jabatan sebagai
qadi di Jitra yaitu pusat pemerintahan Kedah. Oleh karena diberi jabatan tersebut,
beliau diberi jolokan Haji Said Mufti tidak lama kemudian16. Di samping jabatannya
sebagai qadi, beliau juga menjalankan kegiatan menyebarkan risalah Islam dengan
mengajar di masjid dan surau di sekitar Jitra17.
Sehingga berumur 75 tahun, Muhammad Said masih menjabat sebagai qadi.
Pada penghujung karirnya sebagai qadi, beliau menghidap sakit lenguh badan yang
menyebabkan beliau terpaksa menjalani operasi. Setelah kondisinya semakin sehat,
beliau dibawa kepada isteri keduanya, Hajah Rahmah di Jitra. Selepas melewati
beberapa hari di Jitra, beliau dibawa kepada isteri ketiganya, Hajah Hamidah di
Kanchut. Di sana beliau meninggal dunia dan kewafatannya tercatat pada hari Rabu,
selepas masuk waktu Asar tanggal 22 Dzulka`idah 1350 H. bersamaan 9 Maret 1932
14 Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......, hal 53. Farid Mat Zin, Islam Di Tanah Melayu
Abad Ke-19, (Shah Alam: Pustaka Karisma, 2007), cet. ke-1, hal. 139. 15 Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........... jilid ke-4, hal. 311. 16 Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......, hal 54. 17 Mazlan Ibrahim, Israiliyyat Dalam Tafsir........ hal. 18.
17
M. di usia 78 tahun. Jenazah beliau disemadikan di Masjid Alor Merah, Alor Star,
Kedah18.
B. Keperibadian
Muhammad Said merupakan seorang yang tegas. Beliau memandang secara
serius terhadap pengetahuan dan pendidikan agama. Pandangan beliau itu bisa dilihat
pada perbuatannya yang senantiasa mendidik anak-anaknya membaca dan menghafaz
pada setiap malam sebelum waktu tidur. Beliau juga adalah seorang yang menekan
soal agama dan pendidikan. Beliau telah menyediakan keuangan untuk mengantar
anak-anaknya ke tempat-tempat pengajian agama supaya mereka mendapat
pendidikan yang terbaik, terutama putra-putranya yang telah diantar ke Mekah. Maka
oleh karena itu, kebanyakan anak-anaknya berhasil menguasai bahasa Arab. Segala
usaha Beliau tidak saja percuma, bahkan anak-anaknya pulang ke tanah air dengan
membawa keberhasilan mereka dan seterusnya berbakti kepada negeri mereka dengan
menjadi guru19.
Pada masa yang sama, Muhammad Said merupakan sosok individu yang
terkenal dengan sifat pendiam. Dengan sifatnya itu, maka anak-anaknya dan
masyarakat lokal menghormatinya. Walau sibuk dengan tugasan harian, beliau
senantiasa meluangkan masa untuk membaca serta menelaah buku-buku. Beliau
mempunyai prinsip tersendiri dan melakukan setiap perkara berdasarkan syari`at.
Ketinggian ilmunya telah menjadikan beliau terkenal dengan julukan ‘Tok Lebai’ dan
18 Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......, hal 54. 19 Ibid, hal. 55.
18
‘Penulis dan Guru Tafsir Quran’20. Panggilan yang paling tepat untuk beliau ialah
‘Guru Tafsir’ kerana merujuk kepada sumbangannya yang begitu besar dilakukan
oleh beliau yaitu dengan wujudnya Tafsîr Nûr al-Ihsân dalam Bahasa Melayu yang
boleh didapati di toko-toko buku. Karya beliau mendapat perhatian yang besar
daripada masyarakat Melayu di Malaysia sehingga ia telah dicetak berulang-ulang
bagi mencukupi permintaan yang banyak21. Jika disebut nama beliau, pasti mengenali
tubuh dan peribadinya itu adalah mesti, terutama di kalangan ulama’ Malaysia dan
Thailand.
C. Pendidikan
Pendidikan awal yang diterima oleh Muhammad Said sejak kecil ialah daripada
bapaknya Haji Umar Khatib dan keluarganya. Lingkungan keluarganya turut berperan
membentuk peribadinya yang murni dengan Islam. Tidak cukup dengan pendidikan
daripada bapaknya, beliau turut menuntut ilmu di pesantren-pesantren. Menurut Wan
Mohd Shaghir, ada riwayat yang menyebut bahwa Muhammad Said pernah belajar di
pondok Bendang Daya, Pattani. Beliau sempat belajar daripada pengasas pesantren
tersebut yaitu Syiekh Haji Wan Mustafa al-Fatani atau Tok Wan Pa22, yang lebih
terkenal sebagai Tok Bendang Daya Pertama. Tetapi beliau lebih banyak berguru
dengan Syiekh Wan Abdul Qadir Bin Wan Mustafa al-Fatani23 (1820an-1895) yang
20 Ibid. 21 Mazlan Ibrahim, Israiliyyat Dalam Tafsir........ hal. 17. 22 Ahmad Fathi al-Fatâni, Ulama Besar Dari Fatâni, (Kota Bharu: Majlis Agama Islam Dan
Adat Istiadat Melayu Kelantan (MAIK), 2009), Edisi ke-2, hal. 321. 23 Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......, hal 54. Lihat juga Ahmad Fathi al-Fatâni,
Ulama........hal. 322.
19
terkenal sebagai Tok Bendang Kedua, yang merupakan putra daripada Tok Bendang
Pertama yang meneruskan citra pengajian pesantren warisan al-marhum bapaknya.
Maka berdasarkan riwayat ini, bererti bahwa Muhammad Said adalah rekan
seguru dari Haji Ismail Bin Mustafa al-Fatani (1873-1948)24 atau terkenal dengan
jolokan di Kedah sebagai Cik Doi atau Cik Dol25, yaitu bapa dari Kiai Haji Hussein
Cik Doi26. Haji Ismail merupakan seorang alim dari Pattani yang menempa nama di
Kedah dan pernah membantu Haji Awang27 mengajar di pesantren beliau di Tualang
di negeri tersebut. Dapat disimpulkan juga bahwa Muhammad Said juga pernah
menjadi rekan seguru daripada beberapa tokoh ulama’ dari Pattani yang berguru
daripada Tok Bendang Daya Kedua seperti Tok Kelaba, Tok Jakir, Haji Abdul Rasyid
Bandar, dan Tok Titi, Haji Muhammad Syah Sayok dan lain-lain28.
Tidak terdapat info-info yang konkrit dari hasil-hasil kajian dan penelitian
tentang pengajiannya di tingkatan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Maka
pembahasan tentang latar belakang pendidikan Muhammad Said tidak mungkin bisa
dijelaskan secara detil. Tetapi kebanyakan para penyelidik dan penulis sejarah hidup
beliau menyebut bahwa beliau pernah melanjutkan pengajian tinggi ke Mekah. Info-
info lengkap tentang tahun dan periode pengajiannya di Mekah juga tidak tertemukan
dari sumber-sumber di atas29.
24 Ibid, hal. 356. 25 Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......, hal 54. Julukan Haji Mustafa al- Fatâni yang tepat
ialah Cik Dol, lihat Ahmad Fathi al-Fatâni, Ulama........hal. 356. 26 Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......, hal 54. 27 Haji Awang adalah seorang alim, terlahir di Kedah. Lihat Ahmad Fathi al-Fatâni,
Ulama........hal. 357. 28 Ibid, hal. 322. 29 Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......, hal. 55.
20
D. Mazhab Akidah dan Fikih
Muhammad Said telah dikenali sebagai cendikiawan Sunni. Walau tidak
terdapat sumber tentang pegangannya dengan mazhab tersebut, namun ia dapat dilihat
dari penafsirannya seperti yang telah dijelaskan. Sementara itu, beliau telah mencatat
pada penutup karyanya bahwa dirinya adalah seorang yang bermazhab al-Syâfi’iyah30
dan pengikut Tariqat al-Naqsyabandiyah al-Ahmadiah31. Kecenderungan beliau
terhadap mazhab-mazhab tersebut bisa ditemukan pada corak penafsiran beliau yang
menjelaskan suatu masalah fikih dengan pandangan empat mazhab fiqh yang
mu’tabar terutamanya al-Syâfi’iyah. Beliau juga menafsirkan ayat-ayat yang
menyentuh tema ibadah dan hukum-hukum dengan pendekatan yang terdapat dalam
tafsir fiqhi32. Contoh penafsiran yang penulis ingin kemukakan untuk membuktikan
pernyataan ini ialah penafsiran Muhammad Said terhadap surat al-Mâ’uûn ayat 4 dan
5:
)فويل للمصلين الذين هم عن صلاتهم ساهون(“Maka bermula sangat azab atau sangat jahat atau padang dalam neraka itu disedia bagi segala orang yang sembahyang yang ada mereka itu daripada sembahyang mereka itu lupa lalai ta`khîr daripada waktu kata Ibn ‘Abbas ini sifat orang munafiq sembahyang hadapan orang sahaja istimewa hadapan orang pun tiada sembahyang menunjuk tiada iman adapun orang mukminin maka ia sembahyang
30 Al-Syâfi’iyah adalah satu aliran fikih Islam, yang disandarkan kepada Abû ‘Abdillah
Muhammad Bin Idrîs, tokoh fikih Islam pada periode akhir abad pertama dan awal kedua Hijrah. Lihat Syamsuddin Muhammad Bin Ahmad al-Syarbînî al-Khatîb, al-Iqnâ’ fî Hall Alfâz Abî Syujâ’, (Damsyiq: Maktabah Dâr al-Khair, 2002), hal. 10-11.
31 Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........jilid ke-4, hal. 311. Tarekat al-Naqsyabandiyah al-Ahmadiah merupakan satu gerakan sufi yang disampaikan oleh generasi kepada generasi selepasnya secara periwayatan. Ia berkembang luas di rantau Nusantara. Gerakan tersebut berasal dari Bukhara dan dinasabkan kepada pengasasnya Muhammad Baha al-Din al-Naqshabandi. Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Naqshbandi.
32 Tafsir Fiqhi yaitu karya tafsir yang pembahasannya berorientasi pada masalah-masalah hukum Islam. Lihat Abd al-Hayy al-Farmâwi, Muqaddimah fî al-Tafsîr al-Maudu’i, (Beirut: Dâr al-‘Ilm, 1977), hal. 27.
21
ia di hadapan orang dan di belakang dan qada` yang lupa lalai dan sujûd sahwi33”.
Adapun contoh penafsiran beliau terhadap ayat-ayat al-Qur`an dengan pendekatan
sûfi34 bisa dilihat pada contoh yang dikemukakan ini, yaitu penafsirannya terhadap
surat al-Mâ`idah ayat 35:
(Suruh orang mukmin dengan taqwa dan wasîlah)
( )وا اهللاقوا اتنآم ينذا الها أييHai segala orang mukmin takut oleh kamu akan Allah pada tiap-tiap yang dikerja dan yang ditinggal.
( )وابتغوا إليه الوسيلةDan tuntut oleh kamu kepadaNya akan wasîlah perhubungan yang menghampirkan diri kepada Allah maka zikrullah dengan lidah dan hati yang dinama murâqabah dan musyâhadah dan dawâm al-hudûr dan baca Qur`an dan selawat dan doa dan sekalian bagi taat kebajikan sunat itu wasîlah hamba kepada Allah Taala yang boleh jadi dirinya hampir kepada Allah dan kekasih Allah maka dengan wasîlah itu maka boleh jadi pendengaran Allah pendengarannya dan penglihatan Allah penglihatannya dan tangannya dan langkahnya dan tamparnya Allahu Akbar maka wasîlah pada Allah seperti persembahan pada raja-raja.
( )وجاهدوا في سبيل اهللا لعلكم تفلحونDan bersungguh-sungguh oleh kamu pada meninggi agamaNya dengan perang seterunya yang nyata dan yang sembunyi kafir munafik mudah-mudahan kamu dapat kemenangan kamu dan lepas dari neraka35.
33 Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........... jilid ke-4, hal. 303. 34 Tafsir al-Sûfi identik dengan tafsir al-isyâri, yaitu suatu metode penafsiran al-Qur`an yang
lebih menitikberatkan kajiannya pada makna batin dan bersifat alegoris. Penafsir yang mengikuti kecenderungan ini biasanya berasal dari kaum sufi yang lebih mementingkan persoalan-persoalan moral batin dibandingkan masalah zahir dan nyata. Lihat M. Al-Fatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yoyakarta: Teras, 2005), cet. 2, hal. 44.
35 Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........... jilid ke-1, hal. 222 dan 223.
22
E. Sumbangan Dan Karya
Sumbangan Muhammad Said dalam bidang tafsir yang dinukil di dalam karya
ialah Tafsîr Nûr al-Ihsân. Beliau terkenal sebagai seorang yang aktif menyebarkan
risalah Islam dan mengajar di masjid-masjid. Walau kehidupannya dipenuhi dengan
kesibukan sebagai qadi serta partisipasinya bersama masyarakat, beliau masih sempat
mengarang sebuah lagi karya yang dinamakan “Fatwa Kedah”. Minat beliau terhadap
bidang penulisan bertambah selepas mendapat galakan daripada sultan (raja) Kedah
yaitu Sultan Abdul Hamid36 yang menjadi pendukung utama beliau untuk
meneruskan karyanya37.
1. Fatwa Kedah
Kitab Fatwa ini merupakan karya kedua Muhammad Said yang dinukilkan dan
masih wujud. Ia mengandungi fatwa-fatwa yang membahaskan hukum pernikahan
dan perceraian. Asalnya, buku ini diserahkan kepada setiap imam di masjid-masjid
di Kedah sebagai rujukan dan pedoman mereka untuk membantu dalam
penyelesaian masalah-masalah masyarakat berkaitan perkara-perkara tersebut
diatas. Kini, Fatwa Kedah sudah tidak digunakan lagi dan masih tersimpan di
Perkantoran Mufti Kedah38 dan tidak diizinkan lagi untuk mencetaknya39.
2. Tafsîr Nûr al-Ihsân
36 Mazlan Ibrahim, Israiliyyat Dalam Tafsir........ hal. 18. 37 Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......,hal. 55-56. 38 Lihat footnote “Fatwa Kedah”, Ibid, hal. 62. 39 Mazlan Ibrahim, Israiliyyat Dalam Tafsir........ hal. 18.
23
Tafsîr Nûr al-Ihsân merupakan karya pertama Muhammad Said Umar dan
karya tafsir pertama yang melengkapi 30 juz al-Qur`an40, yang telah dihasilkan pada
abad ke-2041 yaitu pada tahun 1934 M. bersamaan tahun 1346 H.42. Ia ditulis dalam
tiga jilid atau tersebut sebagai penggal, merupakan karya tafsir tahlîli43 yang ringkas
dalam bahasa Melayu dengan tulisan Arab-Melayu dan digunakan secara meluas di
pondok-pondok pesantren di Kedah44. Berdasarkan catitan pengarang pada penutup
karyanya beliau menyatakan bahwa tempoh penulisan karya ini bermula pada bulan
Dzulhijjah tahun 1344 H., yaitu bersamaan bulan Januari tahun 1925 M. Kemudian
berhasil diselesaikan pada 1 Rabi’ulawal tahun 1346 H. bersamaan 1 Oktober 1927
M.45. Manuskrip tulisan tangan karya tafsir ini masih wujud tersimpan di rumah
warisnya, Haji Abdul Hamid Bin Haji Ahmad di Tikam Batu, Sungai Petani,
Kedah46.
Kemunculan karya tafsir ini merupakan sinar baru untuk bidang tafsir di
Malaysia dan mata rantai yang meneruskan jalur sejarah tafsir al-Qur`an di
Semenanjung Tanah Melayu setelah melewati zaman kegelapan selama 3 abad yaitu
bermula dari abad ke-17 lagi hingga abad ke-19 Masihi. Bidang tafsir di Malaysia
40 Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir.......hal. 55. 41 Yaitu selepas tahun 1909M. Ibid, hal. 45. 42 Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân...........jilid ke-4, hal. 311. 43 Metode tahlîli berarti menjelaskan ayat-ayat al-Qur`an dengan cara meneliti semua
aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, dimulai dari uraian makna kosakata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antar pemisah (munâsabât) sampai sisi keterkaitan antarpemisah itu (wajh al-munâsabât) dengan bantuan asbâb al-nuzûl, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi saw, sahabat, dan tab’in. Lihat Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, Bandung: Pustaka Setia, 2002, cet. ke-1, hal. 23-24.
44 Mohd Nazri Ahmad, Israiliyyat: Pengaruh Dalam Kitab Tafsir, (Kuala Lumpur: Utusan Publication & Disributors Sdn. Bhd., 2007), cet. ke-1, hal. 138.
45 Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân...........jilid ke-4, hal. 311. 46 Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......,hal. 56.
24
diwarnai dengan partisipasi beberapa tokoh ulama tempatan, terdapat tulisan-tulisan
yang dihasilkan tetapi tidak dicetak. Oleh karena karya-karya tersebut tidak dicetak,
kebanyakannya telah hilang dan tidak bisa ditemukan manuskripnya47.
Tokoh yang pertama berpartisipasi dalam bidang tafsir ini adalah Syeikh
Abdul Malik atau Tok Pulau Manis48 dengan menyalin Tarjumân al-Mustafîd karya
Abdul Rauf al-Singkeli, yang merupakan karya tafsir pertama yang dihasilkan di
Nusantara. Beliau melakukan demikian untuk mengajarkannya kepada masyarakat
Melayu yang berada di Semenanjung Tanah Melayu terutama di Terengganu49,
beliau turut membuka sebuah pesantren untuk pengajian Islam yang berdasarkan
sistem pengajian pondok yaitu Pondok Pesantren Pulau Manis. Usahanya telah
diberkahi Allah, beliau berjaya melahirkan ramai murid melalui insitusi pengajian
pondok pesantren tersebut50. Namun apa yang menyedihkan ialah bahwa manuskrip
salinan karya itu telah hilang51.
Usaha kedua dilakukan untuk menulis karya tafsir oleh sekelompok penafsir
yang diketuai oleh Mohamad Yusof Ahmad atau Tok Kenali52, dengan
menterjemahkan karya-karya ulama’ tafsir klasik seperti Tafsir al-Khâzin dan Tafsîr
Ibn Katsîr. Karya-karya ini belum siap penulisannya dan masih tidak berkesempatan
47 Ibid, hal. 45. 48 Abdul Malik merupakan tokoh yang mendirikan pendidikan secara sistematik pada abad ke-
17. Beliau terlahir pada 1650-an di Hulu Terengganu, Terengganu, Malaysia, berasal dari keturunan seorang pendakwah dari Baghdad yang bernama Syarif Mohamad. Pernah menjabat sebagai salah seorang ulama’ istana dari Sultan Zainal Abidin I (1725-1734 M.). Beliau terkenal sebagai tokoh perkembangan tafsir di Malaysia dengan menyalin Tarjumân al-Mustafîd. Lihat Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......,hal. 47.
49 Ibid, hal. 47. 50 Ibid, hal. 49. 51 Ibid, hal. 45. 52 Seorang kiai dan tokoh ulama’ yang terkenal, berasal dari Kelantan. Ismail Che Daud,
Tokoh-tokoh Ulama’ Semenanjung Melayu, (Kelantan: Majlis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu Kelantan, 1992) , jilid 1, hal. 191-192.
25
dicetak. Manuskrip karya-karya ini juga hilang seperti hilangnya karya-karya
sebelumnya53.
Kemunculan Tafsîr Nûr al-Ihsân telah membuka pintu harapan baru bagi
perkembangan bidang tafsir di Malaysia. Jejak Tuan Haji Muhammad Said telah
diikuti oleh beberapa penafsir lain seperti Syed Syeikh al-Hadi, Haji Osman
Muhammad, Syeikh Abu Bakar al-Asha’ari, Maulana Abdullah Nuh dan lain-lain
penafsir. Di samping itu, terdapat juga usaha yang dilakukan untuk menerjemah
karya-karya tafsir Arab seperti yang telah dilakukan oleh Dato’ Yusoff Zaky Yacob
yang terkenal dengan karya terjemahannya Tafsir Fi Zilal al-Qur`an – Di Bawah
Bayangan al-Qur`an. Sejak dari ketika itu, ada beberapa pihak yang memberi
perhatian dalam memelihara ilmu tafsir dengan menulis semula kuliah-kuliah tafsir
yang disampaikan oleh tokoh-tokoh tafsir seperti Nik Abdul Aziz Nik Mat dan
Abdul Hadi Awang. Terdapat juga penafsir-penafsir yang menyumbangkan dan
menyampaikan pemikiran mereka dalam ilmu ini melalui tafsiran tematik dan
tafsiran terhadap beberapa surat al-Qur`an, di antara mereka ialah al-Qari Haji
Salleh, Abi Lukman, dan Abu Zaki Fadzil54.
Tafsîr Nûr al-Ihsân disusun oleh pengarangnya dalam empat jilid dan setiap
jilid mengandungi kelompok yang terdiri dari surat-surat al-Qur`an. Jilid pertama
mengandungi Surat al-Fâtihah hingga Surat al-Mâ`idah. Jilid kedua mengandungi
Surat al-An’aâm hingga Surat Hûd. Jilid ketiga mengandungi Surat al-Kahfi hingga
Surat al-Zumar. Dan jilid keempat mengandungi Surat al-Mu’min hingga Surat al-
Nâs.
53 Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......, hal. 45. 54 Ibid, hal. 46.
26
Tafsîr Nûr al-Ihsân telah dimulakan cetakan pertamanya pada tahun 1934 M.
di Mekah dan cetakan keduanya pada tahun 1936 M. di Pulau Pinang (Penang)
selepas diberi keizinan oleh pihak pemerintah Kedah. Cetakan ketiganya pada tahun
1391 H. bersamaan tahun 1970 M. oleh Percetakan al-Maarif Sdn. Bhd. Dan jilid
pertamanya dicetak bersama Maktabah wa Matba’ah Muhammad al-Nahdi wa
Awlâdihi. Sementara itu, terdapat juga cetakan yang diterbitkan oleh Dâr al-Ihya`
al-Kutub al-‘Arabiyah, Mesir pada tahun 1976 M.55. Namun, setiap percetakan
Tafsîr Nûr al-Ihsân harus mendapat keizinan daripada kerabat Tuan Haji
Muhammad Said dan semua perusahaan tersebut di atas telah mendapat keizinan
tersebut. Tanda keizinan tersebut bisa dilihat pada setiap halaman (i) pada setiap
jilid karya tersebut56.
Penulis berkesimpulan bahwa cetakan pertama dan kedua karya ini mendapat
sambutan dan mendapat perhatian bagi mereka yang ingin mendalami tafsir Al-
Quran bukan sahaja di kalangan masyarakat Islam di Tanah Melayu malah ia juga
dipelajari oleh umat Islam di negara tetangga yaitu Thailand57. Oleh karena itu,
banyak perusahaan percetakan yang berusaha menerbitkan cetakan ketiga karya
tersebut untuk memenuhi permintaan yang banyak, dan masih bisa ditemukan lagi
cetakan daripada beberapa perusahaan penerbitan lain di Thailand yang seperti
Matba’ah Bin Halâbi, Pattani dalam empat jilid. Cetakan daripada perusahaan
terakhir ini merupakan satunya referensi bagi penulis melakukan penelitian untuk
menyusun skripsi ini.
55 Ibid, hal. 56. 56 Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân...........jilid ke-1,2,3,4, hal. i. 57 Mazlan Ibrahim, Israiliyyat Dalam Tafsir........ hal. 19.
27
berdasarkan kajian penulis, Tafsîr Nûr al-Ihsân masih diajar di pesantren-
pesantren dan pusat-pusat pengajian Islam di Malaysia dan Thailand sehingga kini,
terutama di Kedah, Kelantan, Terengganu dan wilayah-wilayah Selatan Thailand
yaitu Pattani, Yala dan Songkhla. Terdapat juga masjid-masjid yang menjadikan
karya ini salah satu karya tafsir yang diajar kepada jemaah yang hadir dalam rutin
kuliah mingguan.
2.1. Al-Isrâ`iliyyât dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân
Tafsîr Nûr al-Ihsân juga tidak terlepas dari satu isu yang mengenainya
sehingga ramai penyelidik membuat kritikan terhadap karya ini. Isu yang dikatakan
itu ialah masuknya riwayat-riwayat al-Isrâiliyyât58 dalam tafsir tersebut. Tetapi tiap
riwayat Isrâiliyyât yang dikemukakan tidak dibuat kritikan dan penjelasan.
Riwayat-riwayat Isrâiliyyât terdapat di dalam tafsir tersebut hanya dalam bilangan
yang sedikit jika dibanding dengan Tarjumân al-Mustafîd59.
Penyelidik-penyelidik telah membuat analisis terhadap al-Isrâiliyyât yang
terdapat di dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân di dalam hasil-hasil penelitian mereka. Hasil-
hasil penelitian tersebut bisa ditemukan di Universitas Malaya (UM) dan
Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Di antara sumber-sumber tersebut yang
membahas kemasukan riwayat-riwayat Isrâiliyyât dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân ialah
hasil penulisan Muhammad Ismi Mat Taib berjudul “Israiliyyat Dalam Tafsir:
58 Menurut al-Dzahabi, isrâiliyyât mengandung dua pengertian yaitu, pertama: kisah dan
dongeng yang disusupkan dalam, tafsir dan hadits yang asal periwayatannya kembali kepada sumbernya yaitu Yahudi, Nashrani dan yang lainnya. Kedua: cerita-cerita yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadits yang sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber-sumber lama. Lihat Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Israilyyat fit-Tafsiri wa al-Hadits, terjemahan Didin Hafiduddin (Jakarta, PT. Litera Antara Nusantara, 1993), h. 9-10.
59 Abdul Majid Jaafar, Isu-isu Dalam Tafsir dan Hadith, (Selangor: Pustaka Haji Abdul Majid, 2007), hal. 7.
28
Kajian Terhadap Tafsir Nur al-Ihsan, Karya Haji Muhammad Said Bin Umar”60,
hasil kajian Mazlan Ibrahim yaitu “Israiliyyat Dalam Kitab Tafsir Melayu “Tafsir
Nur al-Ihsan”: Satu Analisis”61, karya Mohd Nazri Ahmad dan Muhd Najib Abdul
Kadir yang berjudul “Israiliyyat: Pengaruh Dalam Kitab Tafsir”62, karya yang
disusun oleh Haji Abdul Majid Jaafar yaitu “Isu-isu Dalam Tafsir dan Hadith”63.
60 Tesis prodi S2 Fakultas Ushuluddin, jurusan al-Qur`an dan Hadits, Akademi Pengajian
Islam, Universitas Malaya. 61 Tugasan Ilmiyyah, Fakultas Ushuluddin, jurusan al-Qur`an dan Hadits, Akademi Pengajian
Islam, Universitas Kebangsaan Malaysia. 62 Dicetak oleh Utusan Publication & Distributors Sdn. Bhd., Kuala Lumpur, diterbit cetakan
pertama pada tahun 2007. 63 Dicetak oleh Pustaka Haji Abdul Majid, Selangor, diterbit cetakan pertama pada tahun
2007.
BAB III
ANALISA SUMBER DAN METODE PENAFSIRAN DALAM TAFSÎR NÛR
AL-IHSÂN
A. Sumber Penafsiran
Adapun karya-karya ulama yang dijadikan rujukan oleh Muhammad Said
adalah sebagaimana beliau sendiri menyatakan di dalam pendahuluan Tafsîr Nûr al-
Ihsân, bahwa di antara karya-karya rujukan ialah Tafsîr al-Jalâlain dan Tafsîr al-
Baidâwi. Beliau turut menyatakan bahwa ada beberapa beberapa karya lain yang
dijadikan rujukan tetapi beliau tidak menyebut nama karya-karya tersebut1. Akan
tetapi beliau lebih banyak merujuk kepada Tafsîr al-Jalâlain dibandingkan dengan
Tafsîr al-Baidâwi dan lain-lainnya. Untuk membuktikan dan menjelaskan lagi bahwa
karya-karya dikutip oleh pengarang Tafsîr Nûr al-Ihsân dan dimasuki dalam karya,
penulis mengemukakan satu contoh komparatif penafsiran di antara karya-karya
ulama’ tersebut dan Tafsîr Nûr al-Ihsân bagi setiap satu karya yang tersebut.
1. Tafsîr al-Baidâwi:
Beliau berkata ketika menafsirkan surat al-Anbiyâ` ayat 87;
)ذا النون إذ ذهب مغاضباو(
1 Ibid, jilid 1, hal. 2.
29
30
Dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân: “dan sebut olehmu akan nabi yang empunya ikan ketika lari ia hal penyebal pada kaumnya yaitu Yûnus bin Mattê marah ia kepada kaumnya tiada mau beriman dengannya maka janji ia akan mereka itu turun azab maka azab tiada turun lari pergi maka dibuang undi kena atas Yûnus maka dibuang dalam laut maka telan akan dia oleh ikan kerana ia pergi dengan tiada izin Allah duduk dalam perut ikan empat puluh hari atau tujuh atau tiga hari atau empat jam diwahi Allah kepada ikan jangan engkau makan dagingnya dan jangan engkau pecah tulangnya bukan rezeki engkau Aku jadi penjara sahaja2. (dan hendaklah kamu sebut tentang nabi yang mempunyai ikan ketika ia benci pada kaumnya yaitu Yûnus bin Mattê, dia marah terhadap kaumnya yang tidak mau kepadanya maka ia berjanji kepada mereka akan turun azab, maka azab belum turun lagi ia lari pergi. Maka dilakukan pemilihan keputusannya terkena Yûnus, maka ia dibuang dalam kemudian ditelan oleh ikan karena pergi tanpa izin Allah, ia duduk di dalam perut ikan selama empat puluh hari atau tujuh atau tiga hari, atau empat jam. Allah mewahyukan kepada ikan jangan kamu makan dagingnya dan jangan kamu pecahkan tulangnya, ia bukan rezeki engkau, Aku jadikan engkau penjara saja”. Dalam al-Baidâwi dikatakan: “nabi yang mempunyai ikan (yang mempunyai ikan yaitu Yûnus bin Mattê ) ketika ia pergi dalam kemarahan (terhadap kaumnya ketika berputus asa selepas lama menyeru mereka, parah perbuatan jahat mereka, dan berterusan mereka pada perbuatan jahat dalam keadaan meninggalkan mereka, sebelum ia diperintah berbuat demikian dan sebelum menjanjikan mereka dengan azab maka ia tidak pergi kepada kaumnya untuk menjanjikan taubat untuk mereka sedang dia tidak mengetahui kondisi sebenar maka ia mengira bahwa ia telah berbohong terhadap mereka dan marah pembohongan itu, dan ia –perkataan
اضبامغ - untuk mengunjuk superlatif atau karena ia membuatkan mereka marah dengan meninggalkan mereka karena mereka takut datang azab ketika itu, dan ia bisa dibaca – ابغضم -3“.
2 Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân...........jilid 3, hal. 82. 3 Al-Baidâwi, Nâsir al-Dîn ‘Abdullah Bin ‘Umar, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabiyah), jilid ke-4, hal. 219.
31
2. Tafsîr Jalâlain:
Ketika menafsirkan surat Hûd ayat 1, Muhammad Said mengatakan seperti
berikut:
)ثم فصلت من حكيم خبير ـهآتاب أحكمت آيات(
Dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân:
“Ini Qur`an kitab yang telah ditetap segala ayatnya tiada berubah dengan ‘ajib nazm dan elok makna, kemudian di-tafsîl segala hukum-hukum dan cerita-cerita nabi-nabi dan pengajaran yang turun daripada Allah Tuhan yang Hakîm lagi amat Mengetahui4. (Ini al-Qur`an merupakan kitab yang tetap ayatnya tidak berubah, dengan keajaiban susunan dan keindahan makna, kemudian diperinci segala hukum dan kisah para Nabi dan pelajaran yang turun daripada Allah Tuhan yang Hakîm lagi amat Mengetahui”. Dalam Jalâlain dikatakan: “Ini al-Qur`ân kitab yang telah ditetap segala ayatnya (dengan keindahan susunan dan kecantikan makna) kemudian diperinci (diterangkan dengan hukum-hukum, histori-histori, dan nasehat-nasehat) daripada Tuhan yang amat Bijaksana dan amat Mengetahui (yaitu Allah)5”.
Sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Said bahwa terdapat karya-karya
yang turut dikutip dan dimasukkan ke dalam karya, penulis tidak menemukan
beberapa penafsiran yang dikutip daripada semua karya yang tidak tersebut nama-
namanya melainkan Tafsîr al-Khâzin. Maka untuk membuktikan eksistensi kutipan
beliau daripada karya tersebut, penulis mengemukakan satu contoh penafsiran dalam
Tafsîr Nûr al-Ihsân yang dikutip dari Tafsîr al-Khâzin yaitu berkata Muhammad
4 Ibid, jilid 2, hal. 205. 5 Al-Suyûti dan al-Mahalli, Jalâluddin, Tafsir al-Jalâlain......hal. 283.
32
Said ketika menafsirkan surat al-Fajr ayat 86. Dalam ayat tersebut, beliau
meriwayatkan satu atsâr yang terdapat dalam Tafsir al-Khâzin7 yaitu:
“.........riwayat Wahab Bin Munabbih daripada ‘Abdullah Bin Qilâbah ia keluar kepada padang negeri ‘Adn cari untanya hilang tiba-tiba terpandang kepada satu kampung yang ada rumah mahligai kota di keliling kota beberapa banyak rumah yang sangat besar dibina dengan batu emas dan perak dan batu lu’lu’ dan yâqût dihampar tanahnya dengan lu’lu’ dan kasturi za’farân dan segala pokok kayunya berbuah dan sungai mengalir air dan ambil ia sedikit lu’lu’ kasturi za’farân keluar balik ke Yaman dan dizahir barang yang padanya dan cerita khabarannya sampai kepada Mu‘awiyah disuruh panggil datang ia cerita barang yang dilihat maka suruh Mu‘awiyah panggil Ka’ab al-Ahbâr maka kata Mu‘awiyah Ya Aba al-Haq adakah dalam dunia rumah daripada emas perak kata Ka’ab al-Ahbâr bahkan yaitu Iram Zat al-‘Imâd bina akan dia Syidâd Bin ‘Aâd tatkala kehendak Syidad binanya disuruh empat ratus tukang tiap-tiap seorang seribu kawannya maka keluar tukang-tukang itu berjalan cari tempat seperti kehendak Syidâd maka bertemu mereka itu tempat tanah tinggi keluar mata air daripadanya dan tanah lapang maka kata masing-masing itulah yang dikehendaki oleh raja itu maka bina mereka itu lamanya tiga ratus tahun umur Syidâd sembilan ratus tahun maka tatkala sudah bina datang berkhabar kepadanya maka disuruh dibina kota itu seribu mahligai tempat wazîrnya seribu orang maka dibina menurut kehendaknya maka tatkala siap suruh Syidâd akan wazîr-wazîrnya seribu itu bersiap berpindah kepada Iram Zat al-‘Imâd maka bersiap mereka itu lama sepuluh tahun kemudian berjalan pergi kepadanya maka tatkala sampai tempat sehari semalam lagi dengan Iram Zat al-‘Imâd datang halilintar dari langit membinasa mereka itu sekalian dan kata Ka’ab lagi masuk seorang lelaki masa engkau cari untanya tubuh merah pendek atas dahinya tahi lalat dan di tengkuknya tahi lalat kemudian berpaling lihat ‘Abdullah Bin Qilabah maka kata ia ini lelaki8.
6 Ayat tersebut ialah firman Allah (التي لم يخلق مثلها في البلاد). QS, hal. 593. 7 ‘Ali bin Muhammad al-Khâzin, Lubab al-Ta`wîl fi Ma’âni al-Tanzîl, (t.tp, t.th), jilid 6, hal.
259. 8 Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........jilid ke-4, hal. 278. Riwayat ini dinyatakan
sebagai salah satu riwayat Isrâiliyyât dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân oleh Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir Di Malaysia, hal. 56.
33
Mengenai sumber penafsiran Tafsîr Nûr al-Ihsân dapat dinyatakan bahwa
karya tersebut termasuk di antara tafsir bi al-ra’yi. Dikatakan demikian karena
Muhammad Said menukil banyak penafsiran yang terdapat daripada karya-karya
tafsir ulama’ Timur Tengah yang menggunakan metode tafsir bi al-ra’yi seperti Tafsîr
al-Jalâlain. Ia dapat diketahui dengan melakukan kajian terhadap beberapa ayat-ayat
al-Qur’an yang ditafsir. Maka, penulis menyajikan beberapa ayat yang bisa dijadikan
contoh untuk membuktikan keberadaan metode sumber tersebut, di antaranya ketika
Tuan Haji Muhammad Said menafsirkan ayat 1 dari Surat al-Burûj:
)وجرالب اتذ اءمالسو(“Demi langit yang empunya buruj yaitu tempat duduk berjalan bintang dua belas yang dinazam oleh setengah fudhalâ`:
ورعى الليث سنبل الميزان جوزة السرطان حمل الثورة نزح الدلو برآـة الحيتـان ورمى عقرب القـوس الجدي
Yaitu جوزة السرطان أسد سنبلة ميزان عقرب قوس جدي دلو حمل الثورة dan حوت yaitu manzilah bagi bintang tujuh mula langit ketujuh sudah langit pertama nazam setengah fudhalâ`:
فتزاهرت لعطارد األقمار زحل شري مريخه من شمسهMaka Zuhal langit ketujuh baginya Jūdi dan Dalw al-Musytari langit keenam baginya Qus dan Hut al-Marikh langit kelima bagi Haml dan ‘Aqrab matahari keempat baginya Asad al-Zahrah ketiga baginya Tsūr dan Mîzan Utarid yang kedua baginya Jauzah dan Sunbulah bulan yang pertama baginya Saratân9.
Penafsiran ini terdapat di dalam Tafsîr al-Jalâlain, bahwa al-Suyûti telah
menyebut nama-nama bintang tersebut satu-persatu10. Persamaan ini tidak menjadi
9 Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........... jilid ke-4, hal. 269. 10 Jalâluddin al-Suyûti dan Jalâluddin al-Mahalli, Tafsir al-Jalâlain bi Hamisy al-Mushaf al-
Syarîf bi al-Rasm al-Utsmâni, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2002), cet.1, hal. 800.
34
suatu yang menimbulkan syak jika dijelaskan bahwa salah satu referensi Muhammad
Said untuk mengarang Tâfsîr Nûr al-Ihsân adalah Tafsîr al-Jalâlain.
Muhammad Said menguatkan lagi penafsirannya terhadap sebagian ayat
dengan menyebut dalil-dalil dari ayat-ayat al-Qur`an, atau hadits-hadits, atau
pendapat para Sahabat r.a seperti ‘Ali Bin Abî Talib, Ibn ‘Abbâs, dan Abû Mûsa al-
Asy’arî dan pendapat para Tabi’în. Beliau tidak meletak suatu tanda kurung kurawal
bahwa kata-kata tersebut merupakan dalil yang menjelaskan ayat tersebut, bahkan
beliau mencantumkan dalil-dalil tersebut langsung di dalam penafsirannya. Di antara
contoh-contoh yang bisa dilihat padanya penyajian metode penyebutan dalil tersebut
ialah seperti berikut:
1. Dalil daripada ayat-ayat al-Qur`ân, yaitu Surat al-Ahzâb ayat 7:
)ايظلا غاقيثم منها مذنخأو(“Dan Kami ambil daripada mereka itu perjanjian yang kuat teguh dengan menyempurnakan dengan barang yang disuruh daripada sembah Allah dan seru manusia kepadanya maka makna ‘mitsâq’ bersumpah dengan nama Allah maka ‘mitsâq’ pertama pada ( ألست ’dan ‘mitsâq’ yang kemudian ambil daripada anbiya (بربكم قالوا بلىsuruh sembah Allah dan seru manusia kepadanya dan suruh menyata pada segala masing-masing umat keadaan Nabi Muhammad Rasul Allah dan suruh Nabi Muhammad menyata pada umatnya dengan tiada nabi kemudiannya maka ambil ‘mitsâq’ itu”11. (Dan Kami ambil daripada mereka (para nabi) perjanjian yang kokoh dengan menyempurnakan perintah yang disuruh yaitu menyembah Allah dan menyeru manusia supaya melakukannya. Maka makna ‘mitsaq’ itu bersumpah dengan nama Allah, maka ia adalah ‘mitsâq’ yang pertama pada (ألست بربكم قالوا بلى), dan makna ‘mitsâq’ yang seterusnya yang diambil daripada para nabi yaitu menyembah Allah dan menyeru manusia kepadanya, serta menyampaikan kepada seluruh umat masing-masing nabi perihal Nabi Muhammad Rasul Allah, dan perintah kepada Nabi Muhammad menyampaikan kepada umatnya
11 Ibid, jilid 3, hal. 257.
35
2. Dalil dari hadîts-hadîts:
)فلا جناح عليه أن يطوف بـهما(“Maka tiada mengapa ke atasnya bahwa tawaf ia dengan keduanya dengan Sa’î antara keduanya tujuh kali turun ini ayat tatkala benci orang muslimin akan demikian itu Sa’îe kerana orang jahiliyah sa’îe mereka itu dengan keduanya dan atas kedua itu dua berhala sapu mereka itu akan keduanya dengan tangan kerana mengambil berkat kata ‘Abdullah Ibn ‘Abbâs bahawa Sa’îe bukan fardhu dan kata Imâm Syâfie dan lainnya Sa’îe itu rukun Haji dan menyata Rasulullah akan rukunnya dengan sabdanya bahawasanya Allah Taala telah fardhu atas kamu itu Sa’îe. Dan lagi sabdanya: “ابدأوا بما بدأ اهللا به” – mula oleh kamu dengan barang yang memulai oleh Allah dengannya yakni Safa”12. (Maka tidak suatu dosa ke atasnya jika ia tawaf keduanya –yaitu Safa dan Marwah- dengan niat Sa’îe di antara kedua sebanyak tujuh kali. Ayat ini turun ketika kelompok muslimin membenci Sa’îe itu karena orang jahiliyah melakukan Sa’ie di antara keduanya, dan di atas kedua bukit itu ada berhala yang mereka –orang jahiliyah- sapu tangan padanya untuk mengambil berkah. Berkata ‘Abdullah Ibn Abbâs bahwa Sa’îe itu bukan fardhu, berkata al-Imâm al-Syâfie dan lain-lain ulama’ Sa’îe itu rukun Haji. Rasulullah menyatakan rukunnya dengan sabdanya bahwa Allah telah menfardhukan atas kamu Sa’eî. Dan lagi sabdanya: “ابدأوا بما بدأ اهللا به” – mulakanlah dengan dengan apa yang telah dimulai oleh Allah dengannya yakni Safa).
3. Dalil dari pendapat para Sahabat dan Tabi’in:
)ومنكم من يرد إلى أرذل العمر(“Dan setengah dari kamu itu mereka yang dikembali kepada sehina-hina umur tua dan nyanyuk kata ‘Ali Bin Abi Talib r.a yaitu tujuh puluh lima tahun dan kata ‘qîl’-قيل- lapan puluh tahun dan kata Qatâdah sembilan puluh tahun”13.
12 Ibid, jilid 1, hal. 49. 13 Ibid, jilid 3, hal. 89.
36
(Dan sebagian dari kamu akan dikembalikan kepada umur paling hina yaitu tua dan nyanyuk, berkata ‘Ali Bin Abi Talib r.a yaitu tujuh puluh lima tahun, kata ‘qîl’-قيل- lapan puluh tahun, dan berkata Qatâdah sembilan puluh tahun”.
Melihat pada sumber kutipan Tafsîr Nûr al-Ihsân, pengarangnya
meriwayatkan banyak riwayat Isrâiliyyât ketika menafsirkan ayat-ayat historis.
Sesungguhnya al-Qur`an menceritakan kisah-kisah secara ringkas dan ditil terutama
kisah para nabi, kadang-kadang tanpa menyebut nama individu-individu, bilangan
mereka, tanggal, nama negeri tempat terjadi peristiwa-peristiwa tersebut. Karena
yang dikehendaki dari historis-historis itu hanya pelajaran yang membimbing dan
pedoman yang berguna untuk pembacanya14. Jika dibutuh pembahasan tentang
seluruh riwayat Isrâiliyyât dalam karya ini secara keseluruhannya, maka satu
penulisan khusus harus dilakukan15. Maka penulis turut ingin mengemukakan satu
contoh periwayatan dari sumber Isrâiliyyât tersebut, sebagai bukti bagi kenyataan di
atas:
)نحن نقص عليك نبأهم بالحق إنهم فتية أمنوا بربهم وزدناهم هدى( Penafsirannya berdasarkan Tafsîr Nûr al-Ihsân:
“Kami cerita atas engkau ya Muhammad akan khabaran mereka itu dengan sebenar, bahawa mereka itu beberapa orang muda-muda yang beriman dengan tuhan mereka itu. Kata Ibn ‘Abbas, tujuh orang Makslamina, Tamlikha, Martunas, Nionunas, Sarobunas, Zununas, dan Falentionunas adalah merupakan seorang pengembala kambing. Nama anjing Qi�mir. Khasiat segala nama-nama itu bagi sembilan perkara: tuntut dan lari dan padam terbakar, disurat pada perca kain lempar tengah api dan bagi menangis budak-budak dan bagi demam selang
14 Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn (Cairo : Dar al-Hadits, 2005),
Jilid I, hal. 148-149. 15 Mazlan Ibrahim, Israiliyyat Dalam Tafsir Melayu Tafsir Nur al-Ihsan...........hal. 30.
37
dan bagi sakit kepala diikat lengan kanan dan bagi Umm Sibyan: hantu pengusik budak-budak, dan bagi berjalan pada darat dan laut dan bagi pelihara harta dan bagi bertambah akal dan bagi lepas orang yang berdosa. Kata setengah ulama’: ajar oleh kamu akan anak kamu ini segala nama-nama. Maka bahawasanya jika disurah di pintu rumah tiada terbakar dan atas mata benda tiada kena curi dan atas perahu tiada karam. Adalah mereka itu orang besar-besar negeri Efsus dalam negeri Rom. Kemudian daripada Nabi ‘Isâ a.s. Tujuh orang- dengan gembala kambing lapan dengan anjingnya. Tatkala zalim ahli Injîl dan masuk kerja maksiat kafir hingga sembah berhala dan sembelih baginya. Dan ada dalam negeri itu orang yang berpegang dengan agama ‘Isâ, ibadah Allah swt dan tauhidnya. Dan raja negeri kafir nama Dikyanus. suruh manusia sembah berhala dan sembelih baginya dan bunuh orang yang menyalahinya. Maka masyhurlah orang yang tujuh itu pada raja disuruh panggil. Maka kata raja apa kerana kamu tiada mau ikut seperti orang-orang negeri sekarang kamu pilih amma masuk agama kami dan ammâ kena bunuh”16.
Secara keseluruhannya, ayat yang diperbahaskan ini mempunyai banyak
periwayatan yang berbeda dan merupakan kisah yang begitu terkenal. Kisah Ashâb al-
Kahf17 ini merupakan salah satu kisah yang terdapat di dalam al-Qur‘an supaya kita
mengambil pengajaran daripadanya. Walaupun begitu kisah-kisah seperti ini sering
berlaku penambahan jalan ceritanya yang hendak disampaikan sehinggakan perkara
yang tidak dinyatakan menjadi tema penting perbincangan.
Walaupun begitu Allah swt telah menjelaskan bahawa kisah seperti ini tidak
perlu dibahas kerana ia adalah perkara ghaib yang mana hakikatnya hanya Allah swt
sahaja yang lebih mengetahui. Jika dirujuk kepada penafsiran Tafsîr Nûr al-Ihsân
terdapat penambahan dalam menyatakan nama-nama Ashâb al-Kahf dan sebagai
16 Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........jilid ke-3, hal. 4. 17 Yaitu kisah tujuh pemuda yang kabur dari pemerintah mereka yang zalim untuk melindungi
iman mereka seperti yang ternukil dalam al-Qur`an, surah al-Kahf ayat 9 hingga 22. Kisah ini amat terkenal di kalangan masyarakat umat Islam, Yahudi, dan Kristen.
38
uraian dinyatakan pula bahawa terdapat sembilan khasiat yang boleh didapati
daripada nama-nama tersebut.
Selain itu dijelaskan juga bahawa setengah ulama' menyuruh supaya diajar
nama-nama ini kepada anak-anak dan jika ditulis di pintu rumah, rumah tersebut tidak
akan terbakar begitu juga jika diletakkan di atas harta benda, benda tersebut tidak
akan hilang dan jika diletakkan di dalam perahu, perahu tidak karam. Kemudian
diceritakan bahawa raja semasa peristiwa ini berlaku bernama Dikyanus yang mana
merupakan seorang pemerintah yang zalim. Dia menyuruh rakyatnya menyembah
patung berhala dan melakukan penyembelihan korban kepada patung-patung tersebut.
Segala uraian berkaitan ayat ini, jika dilihat pada definisi Isrâiliyyât yang
menyatakan jika dalam penafsiran itu terdapat sebarang unsur-unsur luar yang boleh
membawa kepada penambahan daripada fakta sebenar, maka penafsiran dalam ayat
ini boleh dikategorikan antara yang rnengandungi unsur-unsur Isrâiliyyât. Oleh itu
unsur Isrâiliyyât dalam ayat ini mesti diberi penjelasan secara jelas untuk menjauhi
daripada kekeliruan fakta. Dalam hal ini, Sayyid Qutb menegaskan bahawa para
penghuni gua itu adalah terdiri daripada sekumpulan pemuda yang tidak diketahui
bilangan mereka. Ini bermakna telah berlaku penambahan terhadap fakta tersebut
yang mana al-Quran sendiri tidak menyebut mengenai nama-nama mereka dan
bilangannya18. Oleh itu jelas menunjukkan bahawa semua itu adalah rekaan dan
tambahan dalam melengkapkan sesebuah kisah. Selain itu jika dirujuk kepada ayat 22
Surat al-Kahf19 jelas menunjukkan bahwa hanya Allah swt sahaja yang lebih
18 Sayyid Qutb, Fi Zilâl al-Qur`an, (Cairo: Dâr al-‘Arabiyyah, 1968), jilid 5, hal. 84. 19 Ayat tersebut ialah firman Allah:
39
mengetahui bilangan mereka yang sebenar dan adapun apa yang diketahui oleh
sebagian kecil daripada umatnya adalah perkara-perkara yang berkaitan dengan kisah
tersebut secara umum kerana diandaikan yang dimaksudkan di sini ialah bilangannya
nescaya Allah s.w.t. akan menyambungkan pengetahuanya tersebut dengan
pengetahuan sebahagian daripada umatnya tersebut dengan al-‘Ataf20.
Dengan pembahasan terdahulu, Maka Tafsîr Nûr al-Ihsân merupakan salah
satu karya yang dikelompokkan dalam tafsîr bi al-ra’yi yang mahmûdah. Karena
penafsirannya yang disertai dengan merujuk kepada al-Qur`ân dan al-Hadîts serta
didukung dengan kutipan pendapat para ulama’ yang menjadikan ia dapat
dipertanggung jawabkan keabsahannya. Sementara perkara yang berkaitan dengan
Isrâiliyyât, ia sudah banyak dibahaskan di dalam hasil-hasil kajian dan penelitian
yang banyak. Hasil-hasil penelitian tersebut telah memurnikan Tafsîr Nûr a-Ihsân dari
terus mengandungi riwayat-riwayat Isrâiliyyât tanpa disertakan sebarang penjelasan
dan kritikan.
B. Metode Penafsiran Muhammad Said Umar Dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân.
Metode penafsiran Tafsîr Nûr al-Ihsân adalah tahlîli, yaitu dengan
menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur`an dari beragam aspeknya dan menyingkap
seluruh maksudnya. Bahkan menjelaskan kosakata dan lafaz, serta kandungannya
dalam berbagai aspek pengetahuan, historis, dan hukum. Di samping itu beliau
ربي أعلم بعدتهم ما يعلمهم رابعهم آلبهم ويقولون خمسة سادسهم آلبهم رجما بالغيب ويقولون سبعة وثامنهم آلبهم قل سيقولون ثلاثة "
."حداإلا قليل فلا تمار فيهم إلا مراء ظاهرا ولا تستفت فيهم منهم أ20 Al-‘Ataf adalah penyambungan ayat dengan salah satu abjad penyambungan seperti ‘dan’
untuk menunjukkan ketersamaan antara dua perkara pada hukum dan al-i’rab. Mush�afa al-Ghulaini, Jami’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, (Cairo: Dâr Ibn al-Jauzi, 2010), hal. 604.
40
menyebut pendapat-pendapat para ulama’ sebagai pendukung terhadap ra’yu-nya. Ini
semua dilakukan berdasarkan tahap pencapaian ilmu di kalangan masyarakat pada
ketika itu yang rata-ratanya kurang terdedah kepada bidang ilmu tafsir dan masih
ramai lagi yang tidak mahir dalam bahasa Arab. Kenyataan ini boleh dirujuk kepada
permintaan masyarakat tempatan agar pengarang menulis tafsir dalam Bahasa Melayu
untuk memudahkan mereka memahami maksud ayat-ayat al-Qur’an.
Sebelum memulakan penafsiran dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân, beliau menulis
satu pendahuluan yang ringkas dengan dwibahasa yaitu Bahasa Arab dan Bahasa
Melayu. Beliau menyatakan padanya kesyukuran kepada Allah swt dan shalawat ke
atas Rasulullah saw, tujuan pengarangan beliau, dan sumber-sumber referensi dalam
penafsiran21. Pada satu halaman selepas pendahuluan, beliau menulis muqaddimah,
yang terdapat padanya penjelasan ringkas tentang makna Islam dan rukun-rukunnya,
rukun Iman, syarat-syarat shalat, fardhu-fardhu wudhu`, dan rukun-rukun shalat22.
Metode Muhammad Said terhadap ayat-ayat al-Qur`ân dalam Tafsîr Nûr al-
Ihsân dengan metode yang diterapkan Jalâl al-Dîn al-Suyûti dan Jalâl al-Dîn al-
Mahalli dalam Tafsîr al-Jalâlain. Beliau mengemukakan suatu ayat dengan
memberikan terjemahannya disertakan uraian. Maka metode penafsiran dalam Tafsîr
Nûr al-Ihsân adalah metode penafsiran kuno atau klasik.
Semasa melakukan penafsiran, beliau menggunakan Bahasa Melayu Kedah
Lama dengan tulisan Arab Jawi23. Mengenai penggunaan bahasa dan ejaan dalam
21 Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........jilid ke-1, hal. 2. 22 Ibid, hal. 3 dan 4. 23 Tulisan Melayu huruf Arab atau lebih dikenali di Malaysia sebagai 'Tulisan Jawi' telah lama
wujud dan digunakan sebagai tulisan rasmi Melayu, iaitu sejak abad ke 14 Masihi atau sebelumnya. Ia merupakan bukti kokoh kedatangan Islam ke Kepulauan Nusantara. Lihat Mohd. Alwee Yusoff,
41
kitab ini, pengarang banyak menggunakan Bahasa Melayu Kedah lama dan
sebahagiannya agak sukar untuk difahami oleh generasi sekarang seperti “hambat
keluar”, “menyengehaja”, dan “tiada sayugia’24. Keadaan ini terjadi lantaran kerana
faktor zaman penghasilan kitab ini, dimana tahap pembinaan Bahasa Melayu sebagai
bahasa ilmu masih rendah dan masih kuat dipengaruhi oleh gaya bahasa Melayu lama.
Beliau juga memasukkan perkatan-perkataan Arab diselangi perkataan-
perkataan Melayu. Tidak sebarang petanda yang menunjukkan perkataan-perkataan
Arab tersebut. Maka, para pembaca harus mempunyai asas Bahasa Arab dalam proses
mempelajari dan memahami karya tafsir ini. Jika diteliti, Muhammad Said sebenarnya
telah memudahkan jalan kepada para pembaca kerana beliau terus membawa
terjemahan bagi setiap kalimat Arab itu. Selain daripada itu, dalam masa yang sama
juga pembaca boleh mengambil faidah untuk memperkuatkan lagi perbendaharaan
kata dalam Bahasa Arab. Malah beliau tidak mencatit nomor bagi ayat-ayat yang
ditafsirkan.
Tafsîr Nûr al-Ihsân adalah satu karya tafsir tradisionalis karena Muhammad
Said mengutip pandangan dari para ulama` klasik. Beliau meletakkannya secara
langsung di dalam yang ditafsirkan tanpa menggunakan sebarang tanda, akan tetapi
kadang-kadang beliau menyatakan bahwa sesuatu penafsirannya itu diambil daripada
cendikiawan tertentu. Untuk menjelaskan lagi perkara di atas, penulis menyajikan
penafsiran beliau yang dikutip dari tafsiran para ulama’ Salaf dan takwilan ulama’
Khalaf pada tafsiran ayat mutasyâbihât tanpa menyatakan kutipan dari para ulama,
Perkembangan Tulisan Jawi Dan Aplikasinya Dalam Masyarakat Islam Di Malaysia, Jurnal Usuluddin, (t.tp, 2005), Bil. 21.
24 “Hambat keluar” dalam bahasa Indonesia bermakna usir keluar, “menyegehaja” bermakna sengaja, dan “tiada sayugia” bermakna tidak sewajarnya.
42
hanya menyebutnya dan tidak mengurainya secara panjang seperti penafsiran beliau
terhadap ayat 10 Surat al-Fath:
)يد اهللا فوق أيديهم(“Tangan Allah atas tangan mereka itu ia memandang atas mubaya’ah mereka itu dibalas atasnya dengan syurga atau kekuatan Allah dan pertolongannya dan nikmatnya atas mereka itu”25. (Tangan Allah atas tangan mereka itu, Allah memandang atas mubâya’ah (berbai’ah dengan menjanjikan untuk) mereka itu dibalas atasnya dengan syurga atau kekuatan Allah, pertolongannya dan nikmatnya atas mereka itu)”.
Beliau amat berhati-hati ketika melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat
Muqatta‘ah sehingga beliau tidak pernah mentakwilkannya walaupun satu abjad
darinya. Sungguh ulama` mengizinkan agar memberi suatu takwil yang berpadanan
terhadap Muqatta‘ah, asal tidak menyalahi dengan sesuatu penetapan al-Qur`ân dan
Sunnah26. Untuk membuktikannya pernyataan ini, penulis mengemukakan satu
contoh daripada penafsiran tersebut yaitu penafsiran beliau terhadap ayat
Muqa��a‘ah daripada ayat 1 surat Luqmân:
)لسم اهللا الرحمن الرحيم آلم(“Allah terlebih ketahui kehendakNya27”.
Demikian perkataan beliau ketika menafsirkan ayat-ayat Muqatta‘ah. Beliau juga
menggunakan lafaz-lafaz seumpamanya seperti Allahu a’lam28 dan Allahu a’lam
dengan kehendakNya29.
25 Ibid, hal. 95. 26 Al-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Sejarah Pengantar Ilmu al-Qur`an & Tafsir, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2009), cet. ke-1, edisi ke-3, hal. 50. 27 Ibid, hal. 241.
43
Beliau tidak membahaskan mengenai perbedaan al-qirâ`ât30 bagi suatu ayat,
lebih-lebih lagi menyentuh perihal al-qirâ`ât al-syâdzah31. Seperti yang telah diteliti
pada biografi beliau, tidak terdapat bukti bahwa beliau pernah mempelajari ilmu al-
qirâ`ât sepanjang pembelajarannya. Maka, penulis mengemukakan beberapa contoh
penafsiran dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân, yaitu Surat al-Falaq.
Sebelum menafsirkan suatu surat, Muhammad Said menjelaskan tempat turun
surat tersebut, jumlah ayatnya, dan disertakan sabab nuzûl dan sebab penamaan surat
jika ada. Beliau juga menyebut fadilah surat tersebut pada akhirnya jika ada dengan
tanda kurungan atau tanpanya, beliau mengatakan:
سـورة الفلق مكية
“Lima ayat turun ini surah dan surah yang kemudiannya tatkala balik Rasulullah daripada Hudaibiyyah pada bulan Dzulhijjah dan masuk Muharram tahun tujuh dan kemudian daripada selesai perang Khaibar datang kepala-kepala Yahudi kepada seorang Yahudi yang pandai sihir nama Labîd Bin A’sam dan segala anak perempuannya atau saudara perempuannya dengan upah tiga dinar dengan muafakat budak Yahudi khadam al-Nabi ambil sisir kepala Nabi dan gigi sisir diperbuat rupa Rasulullah dengan lilin ditikam dalamnya sebelas jarum dan disimpul sebelas simpul maka kena sihir Rasulullah empat puluh hari maka pada satu hari Rasulullah tidur datang dua malaikat seorang di kepala dan seorang di kaki maka kata yang di kepala apa kena lelaki ini maka jawab yang di kaki orang sihir maka katanya siapa sihir maka
28 Lihat penafsiran Muhammad Said terhadap ayat pertama surat al-Sajadah. Ibid, hal. 249. 29 Lihat penafsiran beliau terhadap ayat pertama surat al-Rûm. Ibid, hal. 229. 30 Al-Qirâ’ât adalah bentuk bacaan yang diriwayat oleh seorang imam al-qirâ`ât berbeda dari
imam yang lain pada pembacaan al-Qur`an, yang bersesuaian dengan riwayat-riwayat tentang bentuk bacaan tersebut. Perbedaan tersebut adalah sama pada mentuturkan abjad atau hukumnya. Lihat Muhammad Al-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfan fi Ulūm al-Qur`an, (Beirut: Dar Qutaibah, 2001), cet. ke-2, hal. 489.
31 Al-Qirâ’ât al-syâdzah adalah bentuk bacaan al-Qur`an yang diriwayat bukan secara mutawâtir dan jalur sanad periwayatannya tidak sahîh, yaitu selain aliran-aliran qira`at yang masyhur. Contohnya ialah qira`at Ibn al-Samaifi’. Lihat Subhi al-Sâlih, Mabâhitsu fi Ulûm al-Qur`an, (Beirut: Dâr al-‘Ilmi lil-Milâyîn, 1972), cet. ke-7, hal. 257.
44
)لق يمحالر نحمالر اهللا سمب(Baca olehmu.
)قلالف برب وذأع(
Aku berlindung dengan tuhan falaq maka ikhtilaf ulama’ pada makna falaq kata setengah fajar subuh dan setengah penjara atau rumah dalam neraka apabila dibuka berkeriau ahli neraka daripada hangatnya.
)قلا خم رن شم(
Daripada kejahatan yang telah jadi daripada binatang atau manusia atau terbakar atau karam air dan racun kayu batu.
)بقا وإذ قاشغ رن شمو(
Dan daripada kejahatan malam apabila kelam ia.
)دقالع اتاثفالن رن شمو(Dan daripada kejahatan yang menghembus pada segala simpulan yang serta dengan tiada air liur.
)دسا حإذ داسح رن شمو(
Dan daripada kejahatan orang yang hasad apabila hasad ia seperti Yahudi hasad bagi al-Nabi saw maka hasad sejahat-jahat dosa mula maksiat Allah pada langit dengan hasad Iblis akan Adam dan mula maksiat dalam bumi dengan hasad Qabîl akan Habîl dua anak Adam maka makna hasad mencita-cita hilang nikmat daripada seorang dan munafasah cita-cita dapat nikmat umpama nikmat seorang dinama ghibtah yaitu harus sunat dibaca isti’âdzah pada kanak-kanak memelihara daripada syaitan dan penyakit ‘ain yaitu yang dibaca oleh Rasulullah pada Hasan dan Husain:
)أعوذ بكلمة اهللا التامة من آل شيطان وهامة وعين الالمة(
45
seperti dibaca: )ما شاء اهللا ال قوة إال باهللا( ketika dirinya dan rumahnya dan ahlinya dan hartanya selamat supaya berkekalan selamat itu32”.
dalam menafsirkan surat al-Falaq, Muhammad Said menjelaskan tempat
turunnya di Mekah, jumlah bilangan ayat, dan sabab nuzulnya. Kemudian beliau
menafsirkan ayat-ayat surat tersebut. Selesai menafsirkannya beliau menjelaskan
fadilahnya tanpa menggunakan suatu tanda.
Sementara itu, ada beberapa surat yang beliau meletakkan tanda ((Fadilat))
yang menunjukkan fadilahnya. Penulis mengemukakan salah satu contoh darinya
yaitu ketika Tuan Haji Muhammad Said selesai menafsirkan surat al-Nâs, beliau
menyatakan fadilahnya seperti di bawah:
(Fadilat) “Riwayat Abû Nu’aim daripada ‘Abdullah Bin Sakhir daripada bapanya sabda Rasulullah saw barangsiapa yang baca ((قل هو اهللا أحد)) pada sakit yang ia mati padanya nescaya tiada difitnah pada kuburnya dan aman daripada Hâfiah kubur dan ditanggung oleh malaikat hari kiamat dengan tapak tangannya hingga melepas akan dia daripada titian Sirat Mustaqîm kepada syurga dan lagi sabdanya barangsiapa baca ((قل هو اهللا أحد)) ketika hendak masuk rumahnya nescaya menghilang ia akan papa daripada ahli rumah dan jiran dan lagi sabdanya barangsiapa baca (( اهللا أحد قل هو )) sekali nescaya diberkat atasnya dan barangsiapa baca dua kali diberkat atasnya dan ahlinya dan barangsiapa baca tiga kali diberkat atasnya dan segala jirannya dan barangsiapa dua belas kali dibina Allah baginya dua belas mahligai dalam syurga maka jika baca akan dia seratus kali dikaffarah Allah daripadanya dosa lima puluh tahun yang lain darah orang dan harta orang maka jika dibaca akan dia dua ratus kali dikaffarah Allah daripadanya dosa seratus tahun maka jika dibaca seribu kali nescaya tiada mati hingga dia lihat ia akan tampaknya dan syurga atau dilihat baginya dalam mimpi dan lagi sabdanya barangsiapa baca (( قل هو اهللا sepuluh kali dibina baginya satu mahligai dalam syurga dan ((أحد
32 Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........jilid ke-4, hal. 308-309.
46
Dapat diasumsikan secara jelas bahwa masyarakat umat Islam di Tanah
Melayu ketika itu mempunyai pengetahuan yang cetek tentang Islam. Perkara itu
terjadi karena Tanah Melayu pada saat itu merupakan kolonial Inggris, dipengaruhi
oleh pelbagai persoalan yang terhidang akibat penjajahan Barat pada pertengahan
abad ke-19 M. Tanah Melayu pada periode kedua kurun tersebut telah menyaksikan
pertembungan budaya antara warisan terdahulu dan wawasan pendatang asing34.
Hingga pada awal abad ke-20 M., perkembangan Islam ketika itu dijalankan dalam
bentuk gerakan reformis dan al-islâh yang bertujuan memurnikan kehidupan
masyarakat yang tenggelam dalam melakukan khurâfât dan bid’ah, dan menaikkan
tingkatan sosioekonomi mereka35. Bahkan pihak pemerintah di negeri-negeri bagian
Tanah Melayu turut merasakan akan pentingnya pendidikan Islam sehingga mereka
mendorong para ulama’ supaya menulis karya yang berupaya menaikkan moral dan
pemahaman masyarakat terhadap Islam seperti yang dilakukan oleh Tengku Mahmud
dengan meminta Muhammad Said menulis satu karya yang dikenali sebagai Tafsîr
Nûr al-Ihsân.
33 Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........jilid ke-4, hal. 308. 34 Farid Mat Zin, Islam Di Tanah Melayu Abad Ke-19, (Shah Alam: Pustaka Karisma, 2007),
cet. ke-1, hal. 1. 35 Ibid, hal. 7 dan 8.
BAB IV
CORAK PENAFSIRAN DAN TEMA-TEMA DALAM
TAFSIR NÛR AL-IHSÂN
A. Corak penafsiran Tafsîr Nûr al-Ihsân.
Corak penafsiran yang dipilh oleh Muhammad Said dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân
ialah Târîkhi1. Demikian itu karena beliau lebih banyak menjelaskan tema-tema
historis berbanding tema-tema yang lain. Beliau menyertakan penjelasannya dengan
riwayat daripada hadis-hadis dan atsâr2. Beliau memilih corak penafsiran tersebut
supaya masyarakat yang awam dapat mengambil lebih banyak pelajaran daripada
karyanya.
Sebelum lanjut kepada contoh-contoh penafsiran, terlebih dahulu penulis
menyajikan beberapa keistimewaan “kisah-kisah” dalam al-Qur`an. Keistimewaan-
keistimewaannya adalah seperti berikut:
1. Kisah-kisah dalam al-Qur`an merupakan pelajaran dan edukatif pada
tingkat awal dalam pendidikan.
1 Metode târîkhi berarti menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an dengan menyebut riwayat-riwayat
historis daripada Nabi saw, para sahabatNya saw, tabi’in, dan ulama’ sebagai pendukung bagi penafsiran.
2 Atsâr menurut ulama’ hadits ia riwayat-riwayat yang dinukil daripada para Sahabat Nabi Muhammad saw dan para Tabi’in. Lihat Rosmawati Ali @ Mat Zain, Pengantar Ulum Hadis, (Kuala Lumpur; Pustaka Salam, 2005), edisi ke-11, hal. 76.
47
48
2. Mengabaikan dari menyebut nama individu-individu, tempat, dan masa
sesuatu peristiwa, karena yang dimaksudkan daripadanya adalah al-
‘ibrah (pelajaran).
3. Kisah-kisah dalam al-Qur`an merupakan realitas-realitas yang pernah
berlaku. Maka kisah-kisah yang terkandung dalam al-Qur`an adalah
benar, tidak bisa dibohongi lagi.
4. Kisah-kisah tersebut menyajikan bagi orang-orang beriman suatu
kajian terhadap sejarah kemanusiaan dari sudut ujian-ujian yang
dihadapi, dakwah-dakwah yang dijalani, dan ketamadunan yang
dibina.
Di antara contoh penafsiran yang dikemukakan adalah mengenai kisah Nabi
Ismâ`îl a.s yang terkandung dalam surat Maryam ayat 54 dan 55;
(Kisah Ismâ’îl)
)إسماعيل إنه آان صادق الوعد ابتي الكر فاذآو(
“Dan sebut olehmu pada kitab Qur`an itu akan Nabi Ismâ`îl bahawasanya ada ia sangat benar perjanjian apabila berjanji sempurna ia dengannya dan menanti-nanti ia mereka yang berjanji tiga hari.
)رسولا نبياوآان (
Dan adalah jadi rasul lagi nabi kepada Jurhum dengan syari`at bapanya Ibrâhîm. Maka Jurhum itu satu qabilah Arab Yaman datang duduk bersama Hajar emak Ismâ`îl di Mekah. Ketika Ibrâhîm tinggal Hajar dan Ismâ`îl di Mekah dan keluar air Zamzam dan kahwin Ismâ`îl dengan seorang perempuan Jurhum dan dijadi ia rasul kepada mereka itu.
)وآان يأمر أهله بالصلوة والزآوة(
Dan adalah ia suruh ahlinya dengan sembahyang dan zakat.
49
)ـياوآان عند ربه مرض(
Dan adalah Ismâ`îl pada sisi Tuhannya keredaan sekalian perbuatannya3”.
Penjelasan di atas menunjukkan kisah Ismâ`îl a.s yang amat terpuji tingkah
lakunya dan digalakkan mencontohinya. Ia merupakan seorang yang menepati janji
walaupun hingga terpaksa menunggu selama tiga hari untuk memenuhi janjinya
terhadap orang lain. Diceritakan juga bahwa baginda merupakan seorang utusan Allah
kepada kaumnya yaitu qabilah Jurhum dengan membawa ajaran agama yang dibawa
oleh bapanya yaitu Ibrâhîm as.
Qabilah Jurhum merupakan satu kelompok bangsa Arab yang berasal dari
Yaman kemudian mereka menetap di Mekkah bersama Ismâ`îl dan ibunya yaitu Hajar
ketika keduanya ditinggal oleh Ibrâhîm yang menjalankan tugasan dakwah. Penetapan
mereka disana selepas kemunculan mata air Zamzam yang mulia. Ismâ`îl juga
menikahi salah seorang wanita dari kelompok tersebut.
Ismâ`îl senantiasa menyuruh keluarga dan zuriatnya menunaikan shalat dan
membayar zakat, karena keduanya merupakan kewajiban dalam agama Islam. Allah
memuji baginda dengan pujian yang sebenarnya dan mendapat keridhoan di sisiNya.
Dengan penjelasan yang ringkas pada setiap tafsiran ayat-ayat tersebut, sudah
dapat masyarakat menggambarkan kisah sebenar dan mengambil pelajaran
daripadanya. Berdasarkan latar belakang masyarakat yang masih awam beliau
mengambil pendekatan menafsirkan ayat-ayat al-Qur`ân dengan melebihkan ayat-ayat
historis agar dapat membimbing masyarakat dan membentuk jiwa mereka menjadi
3 Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........... jilid ke-3, hal. 39.
50
orang-orang yang beriman dengan sebenarnya. Ditambah lagi dengan kondisi negeri
yang terjajah, yang turut memberikan impak negatif pada masyarakat. Maka kondisi
tersebut memberi beliau motivasi menulis karya ini.
Di samping itu, beliau secara serius memberi penafsiran tentang ayat-ayat
yang berkait hukum fiqih juga. Corak fiqhi4 merupakan corak kedua yang
mempengaruhi penafsiran dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân. Beliau memberi perhatian serius
pada hukum-hukum hinggas menguraikan ayat-ayat fikih lebih panjang dari ayat-ayat
biasa. Maka harus dikemukan juga satu contoh yang membuktikan eksistensi corak
fiqhi. Yaitu ketika Muhammad Said menjelaskan pidana terhadap pelaku kecurian
pada ayat 38 dan 39 surat al-Ma`idah:
(Hukum mencuri)
)والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما(
“Dan bermula lelaki yang mencuri dan perempuan yang mencuri itu
maka kerat oleh kamu akan tangan keduanya pada pergelangan tangan
kanan dan jika balik dikerat kaki kiri dan yang ketiga tangan kiri dan
yang keempat kaki kanan kemudian dita’zîr dengan apa-apa yang
difikir oleh raja-raja”.
)نكالا من اهللا(
Siksa daripada Allah bagi keduanya teladan bagi lainnya.
)واهللا عزيز حكيم(
4 Al-Tafsîr al-Fiqhi yakni salah satu corak tafsir yang pembahasannya berorientasikan pada
persoalan-persoalan hukum Islam. Lihat Suryadilaga, M. Al-Fatih, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), cet. ke-1, hal. 44.
51
Dan bermula Allah Taala itu Tuhan yang amat berkekerasan di atas
kerajaanNya dan lagi amat Hakim pada perbuatannya.
)وأصلح هلمظ عدن بم ابن تمف(
Maka barangsiapa yang taubat daripada kemudian zalimnya dan
beramal soleh ia..
)فإن اهللا يتوب عليه(
Maka bahawasa Allah Taala itu memberi taubat ia atasnya.
)إن اهللا غفور رحيم(
Bahawasa Allah Taala itu Tuhan yang amat mengampuni lagi amat
Perahim”5.
Berdasarkan penafsiran terhadap kedua ayat tersebut, dapat difahami bahwa
setiap pencuri laki-laki dan perempuan harus dihukum selepas dibukti pelakuannya
oleh mereka dengan kali pertamanya dipotong tangan kanan pada pergelangannya.
Jika diulangi kali kedua, maka dipotong kaki kiri. Jika diulangi kali ketiga, maka
dipotong tangan kiri pada pergelangan. Jika diulangi kali keempat dipotong kaki
kanan. Jika masih diulangi untuk kali seterusnya, penghukuman itu tergantung pada
kepintaran pihak pemerintah dan penanggung jawab hukum untuk menghukumnya.
Yang nyata bahwa beliau mengutip hukum fikih ini daripada keempat mazhab fikih
yang mu’tabar6 sebagaimana terdapat dalam Tafsîr al-Jalâlain7.
5 Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........... jilid ke-1, hal. 223-224. 6 Empat mazhab tersebut adalah al-Syâfi’iyah, al-Mâlikiyah, al-Hanâbilah, dan al-Hanafiyah.
Lihat al-Jazîri, Abd al-Rahman, al-Fiqh ala al-Madzâhib al-Arba’ah, (Universitas al-Azhar: Dâr al-Bayân al-‘Arabi, 2005), cet. ke-1, jilid ke-5, hal. 119.
7 Jalâluddin al-Suyûti dan Jalâluddin al-Mahalli, Tafsir al-Jalâlain.....hal. 143.
52
Hukuman tersebut dijatuhkan sebagai pelajaran terhadap si pelaku agar tidak
mengulang pelakuannya dan terhadap individu-individu lain agar tidak coba
melakukan kecurian. Bahkan siapa yang insaf daripada pelakuannya itu dan berbuat
kebaikan maka Allah menerima tobatnya, didukung dengan sifat Allah yang Maha
Pemaaf dan Penyayang.
Muhammad Said menyajikan penafsiran yang ringkas tentang hukum al-Had
terhadap pencuri. Beliau tidak menyinggung perkara tersebut dengan pembahasan
yang panjang, bahkan dengan kadar yang cukup bagi pemahaman masyarakat awam.
Pada penafsiran ayat-ayat dari kedua contoh di atas, tampak bahwa
Muhammad Said memberi sumbangan pemikirannya walaupun pendapat yang
dikemukakan itu ringkas sekali. Mungkin inilah satu kelebihan dari tafsir ini yang
hanya menyajikan penafsiran yang ringkas, padat, dan dengan bahasa yang difahami.
Lebih jauh ia berupaya secara cepat memperkokoh landasan syari’at di kalangan
masyarakat awam sebelum mereka diberi pengetahuan tentang pemahaman yang lebih
mendalam.
B. Tema-tema Penafsiran Tafsîr Nûr al-Ihsân.
Muhammad Said menyusun banyak tema di dalam karyanya. Tema-tema
tersebut merupakan apa yang beliau beri penjelasan secara panjang jika dibanding
dengan tema-tema yang tidak disebut. Ini memungkinkan adanya suatu keperluan
untuk menjelaskan sebagian ayat-ayat al-Qur`an secara panjang dan menjelaskan
sebagiannya secara sepintas. Beliau menyusunnya mengikut susunan surat-surat
dalam al-Qur`ân, dan tema-tema tersebut terbagi mengikut jilid. Begitu juga pada
53
sebagian karya-karya tafsir lain yang hanya menjelaskan sebagian ayat-ayat dengan
penafsiran berdasarkan kecenderungan masing-masing pengarang. Tema-tema
tersebut bisa dilihat pada tiap halaman terakhir pada tiap-tiap jilid Tafsîr Nûr al-Ihsân.
Maka, penulis mengemukakan tema-tema yang disusun dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân
adalah seperti berikut;
Pada jilid yang pertama, beliau menyusun 67 tema yaitu;
1. Khutbah kitab 2. Muqaddimah 3. Kisah ambil ikan Hari Sabtu 4. Suruh sembahyang zakat 5. Pencubaan Nabi Ibrahim dengan
sepuluh perkara 6. Qiblat sekalian
7. Bicara Haji 8. Hukum qisas 9. Hukum al-Soum 10. Hukum anak yatim
11. Kisah lari Ta’un 12. Kisah bunuh Jâlût 13. Kisah sedekah pada orang kafir 14. Kata ‘Ali r.a 15. Kisah pilihan Âdam 16. Kisah beranak Maryam 17. Kisah beranak ‘Isâ 18. Mukjizat ‘Isâ 19. Kisah angkat ‘Isâ ke langit 20. Seru Yahûdi Nasârâ kepada
Islam 21. Kisah Yahûdi seru kepada
agamanya 22. Kisah Yahûdi jadi kafir
23. Tegah ambil lain bangsa tempat rahsia
24. Kisah pecah perang
25. Kisah pecah gigi Nabi 26. Tegah riba 27. Kisah perang Uhud 28. Hukum Fara`id
29. Haram isteri bapa – haram nikah 30. Hukum jawab salam 31. Hukum bunuh 32. Hukum duduk negeri kafir 33. Hukum sembahyang qasar 34. Kisah bermegah-megah 35. Kisah wasiat Allah 36. Kisah Yahûdi 37. Kisah kufur Yahûdi 38. Seru beriman dengan Rasulullah 39. Hukum wudu’ 40. Hukum junub 41. Hukum tayammum 42. Perjanjian Nasârâ 43. Perkataan Yahûdi Nasârâ kami
anak Allah 44. Zaman fatrah
45. Ungkit Nabi Mûsâ nikmat Allah 46. Kisah masuk Baitul Maqdis 47. Kisah dua anak Âdam 48. Kisah korban 49. Kisah bunuh Qabîl akan Habîl 50. Hukum menyamun 51. Suruh orang mukmin dengan taqwa
dan wasîlah 52. Hukum mencuri
54
53. Hukum zina 54. Hukum qisas dalam Taurat 55. Hukum Injil 56. Kemuliaan Nabi Muhammad
Qur`an 57. Tegah berkasih Yahûdi Nasârâ 58. Tegah bersetia orang kafir 59. Kekejian Yahûdi 60. Suruh menyampai risalah 61. perjanjian 62. Tafsil kekejian Nasârâ 63. Kisah Banî Isrâ`îl kena laknat 64. Hukum khumur dan arak dan
judi 65. Kisah soal segala rasul 66. Kisah Mâ`idah 67. Kisah Rasûlullah 68.
Beliau menyusun 36 tema pada jilid kedua yaitu;
1. Kisah Nabi Ibrâhîm dengan bapanya
2. Berhujah Nabi Ibrâhîm
3. Anbiyâ` dua puluh lima wajib ketahui dengan tafsil
4. Kisah yang haram
5. Kisah Iblîs 6. Kisah Âdâm 7. Kisah Nûh 8. Kisah Hûd 9. Kisah Nabi Sâleh 10. Kisah Lut
11. Kisah Syu’aib 12. Kisah Mûsâ 13. Kisah bala Qibti 14. Kisah Banî Isra`îl 15. Kisah terima Taurat 16. Kisah ajal 17. Kisah minta uzur bagi tambah ajal 18. Kisah ambil ikan hari Sabtu 19. Kisah ambil janji 20. Kisah Bal’am Bin Ba’ura` 21. Kisah ahli al-Nâr 22. Perangi baik-baik 23. Sifat al-mu`min 24. Kisah perang Badar 25. Kisah perang Yahûdi Quraizah 26. Kisah tebusan Badar 27. Perang Hunain 28. Kisah ‘Uzair ‘Isâ anak Allah 29. Perang Tabûk 30. Kisah Tsa’labah 31. Kematian kepala munafikin 32. Masjid Dirâr 33. Kisah Nûh 34. Kisah Mûsâ 35. Kisah lalu Laut Swiss 36. Kisah Yûnus
Beliau menyusun 43 tema pada jilid ketiga yaitu;
1. Al-qissah 2. Kisah raja Bidrûs 3. riwayat 4. Kisah Mûsa dan Khadhîr 5. Kisah Zil Qarnain 6. Kisah Maryam 7. Kisah Ibrâhîm 8. Kisah Mûsâ 9. Kisah Ismâ’îl 10. Kisah Idrîs
11. Kisah Mûsâ keluar dari Mesir 12. Kisah Nûh
55
13. Kisah Dâwûd 14. Kisah Ayûb 15. Kisah Ismâ`îl 16. Kisah Yûnus 17. Kisah Zakaria 18. Kisah Maryam 19. Kisah Nûh 20. Hukum zina 21. Qazaf 22. Qazaf isteri 23. Kisah al-Ifk - diriwayat 24. Kisah Nûh
25. Kisah Hûd 26. Kisah Nabi Sâleh 27. Kisah Lut 28. Kisah Syu’aib 29. Kisah Mûsâ 30. Kisah Dâwûd dan Sulaimân 31. Kisah Sâleh 32. Kisah Lut
33. Kisah Qârûn 34. Kisah Nuh
35. Kisah Ibrâhîm 36. Kisah Lut
37. Kisah Syu’aib 38. Kisah Luqmân 39. Zihâr 40. Kisah Nabi Dâwûd 41. Al-qissah 42. Kisah Nûh
43. Riwayat Abu Ja’far al-Râzi 44.
Pada jilid keempat, beliau menyusun hanya 9 tema yaitu;
1. Dan tatkala selesai 2. Muslihat kaya miskin 3. Turun ‘Isâ – alamat Qiamat 4. Mahar Hûr al-‘Ain 5. Al-qissah 6. Kisah Mûsâ 7. Kisah Ashâb al-Fîl 8. fadilat 9. Khâtimah 10.
Dari daftar tema-tema di atas, terdapat 155 tema yang disusun dalam Tafsîr
Nûr al-Ihsân. Tema-tema tersebut bisa dikategorikan kepada tiga kelompok yaitu
pertamanya tema-tema târîkhi, tema-tema fiqhi, dan tema-tema umum. Kelompok
tema-tema pertama yaitu târîkhi terdiri dari sejumlah 102 tema dengan perkiraan
66%. Kelompok tema ini merupakan yang mendominasi, banyaknya tema ini
merupakan faktor corak penafsiran dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân dikategori sebagai
târîkhi. Karena untuk menentukan corak penafsiran suatu karya tafsir, harus dilakukan
penelitian terhadap tema-tema yang terkandung di dalamnya. Corak penafsiran
dikategorikan berdasarkan kelompok tema terbanyak dan yang mendominasi.
56
Kelompok tema-tema umum terdiri dari 28 tema dengan perkiraan 16%.
Sementara kelompok tema-tema fiqhi merupakan kelompok tema yang mempunyai
bilangan tema paling sedikit yaitu 20 tema dengan perkiraan 8%.
Dari berbagai pendekatan yang penulis kemukakan, penulis akan kemukakan
kelebihan dan kekurangan Tafsîr Nûr al-Ihsân karya Tuan Haji Muhammad Said
Umar. Kelebihannya adalah:
1. Penafsirannya yang singkat, padat dan dengan bahasa yang mudah
difahami, sehingga mendapat perhatian masyarakat dan ulama’. Karya
ini juga sesuai dengan keadaan pada waktu itu, di mana masyarakat
masih awam.
Sedang kekurangan Tafsîr Nûr al-Ihsân adalah:
1. Tidak menampilkan sanad dan matan hadits pada fadilah membaca
surat tersebut dikutip dari Tâfsîr al-Baidâwi dan Tafsîr al-Jalâlain
sebagai pendukung Tafsîr Nûr al-Ihsân.
2. Tidak menampilkan sanad dan matan hadis pada kisah atau Asbâb al-
Nuzûl yang dikutip dari semua karya sumber tafsirnya.
3. Telah dibuktikan dengan jelas bahwa dalil-dalil yang dikutip dari
semua karya sumber tafsir beliau mengadopsi cerita-cerita Isrâiliyyât.
Dengan kata lain bahwa dalil-dalil yang digunakan tidak sahîh.
4. Tafsirannya yang singkat tidak memberikan wawasan yang luas
terhadap pemikiran lebih jauh tentang kandungan al-Qur`ân.
57
Pada akhir penulisan, pengarang Tafsîr Nûr al-Ihsân menyatakan secara jelas
dan dengan merendah diri bahwa beliau menerima sebarang pembetulan terhadap
karyanya. Beliau mencatat kata-katanya itu pada penutup karya, dengan katanya;
“.......... maka yang didapati berbetulan itu maka yaitu daripada Allah kurniaNya dan yang khata’ atau silap qalam itu daripada hamba taqsîrnya diharap tolong perbetul kemudian daripada im’aân al-nazar mudah-mudahan manfaat dan dapat ketahui kehendak Allah dalam Qur`anNya oleh ahli pembaca daripada perempuan dan kanak-kanak sekolah yang membawa jadi Tauhîd Allah yang melepas daripada kaum asyqiyâ` masuk pada kaum su’adâ` yang dapat bahagia selama-lamanya8”.
Kemudian beliau menutup penulisannya dengan doa memohon rahmat Allah,
dilindungi imannya dan saudara-saudara seIslamnya dalam hidup dan mati, dan
dimasukkan ke kelompok orang-orang yang diberi karunia nikmat oleh Allah yaitu
para nabi, siddîqîn, syuhadâ`, dan orang-orang sâlih. Beliau menutup doanya dengan
selawat ke atas Nabi Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya, dan melafazkan
pujian kepada Allah9.
8 Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........... jilid ke-4, hal. 311. 9 Ibid.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tafsîr Nûr al-Ihsân adalah salah satu karya yang terkelompok tafsir yang
boleh diterima, karena ia bersumberkan dari karya-karya tafsir klasik yang diterima
(mu’tabar). Muhammad Said menerapkan metode yang tepat dalam ilmu tafsir yaitu
tahlîli dengan uraian yang sederhana, bersesuaian dengan kondisi masyarakat muslim
pada zamannya.
Karya tafsir tersebut merupakan karya tafsir sunni tradisional yang sama
metode penafsirannya dengan Tafsîr al-Jalâlain. Suatu ayat al-Qur`an disajikan
dengan terjemahannya disertai uraian yang sederhana dengan bahasa Melayu Kedah
kuno. Uraiannya mengandungi beragam aspek dan menyingkap seluruh maksudnya.
Bahkan menjelaskan kosakata dan lafaz, serta kandungannya dalam berbagai aspek
pengetahuan, historis, dan hukum. Maka metode penafsiran Tafsîr Nûr al-Ihsân
adalah tahlîli.
B. SARAN-SARAN
Tafsîr Nûr al-Ihsân telah mengangkat derajat masyarakat Islam di Malaysia
dan Selatan Thailand. Bertepatan dengan kehendak pengarangnya yang ingin
masyarakat Tanah Melayu yang masih mempelajari al-Qur`ân bermula dari dasar
58
59
Alangkah baiknya jika karya tafsir ini diterbitkan dalam wajah baru yang bisa
diedit dengan meletakkan tanda baca, dicetak ulang dengan tulisan yang lebih rapi
dan disusun dengan lebih cantik. Sesungguhnya Muhammad Said telah memohon
kerjasama kepada generasi selepasnya untuk memperbaiki kesalahan yang mungkin
ada dalam karyanya ini. Jika difahami dan diteliti secara mendalam, inilah amanah
yang ditinggalkannya untuk kita semua.
Metode pengajaran dan pengajian baru terhadap karya-karya tafsir amat
dibutuhkan dan harus dikaji secara berterusan. Walaupun umur karya-karya tafsir
tersebut mencapai satu abad atau lebih, umurnya itu tidak bermakna bahwa ia sudah
tidak relevan lagi dipelajari atau diselidiki. Lihat saja pada karya penafsir-penafsir
terdahulu seperti Tafsîr al-Khâzin, pada hari ini ia masih lagi digunakan sebagai
bahan mengajar dan penelitian. Maka demikian juga Tafsîr Nûr al-Ihsân, metode
pengajarannya dan pelajarannya harus dikembangkan bersesuaian dengan zaman,
tidak hanya berterusan dengan metode pengajaran dan pembelajaran pondok
pesantren. Selain itu, setiap individu yang mempelajari dan meneliti karya ini
mendapat faidah extra yaitu pengetahuan tentang histori-histori yang terkandung di
dalamnya.
60
Penelitian ini hanyalah sebuah penelitian awal yang mencoba untuk
menelusuri sedikit dari banyak aspek yang menarik dari Tafsîr Nûr al-Ihsân, dari
biografi pengarang, metode sumber, metode dan corak penafsiran. Mudah-mudahan ia
menjadi kunci pintu bagi penelitian seterusnya pada masa akan datang. Jesteru
penelitian ini membuka lembar baru dalam penafsiran al-Qur`ân pada zaman
kontemporer dan terus berkembang hingga ke abad-abad seterusnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur`ân al-Karîm
Abdullah, Mustaffa, Khazanah Tafsir Di Malaysia, Pahang: Perpustakaan Negara Malaysia, 2009, cet. ke-1.
Abû Dâwûd, Sulaimân Bin Asy’ats, Sunan Abî Dâwûd, Jordan: Dâr al-A’lam, 2003, cet. ke-1.
Al-Farmâwi, ‘Abdul al-Hayy, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, penerjemah: Drs. Rosihon Anwar, Bandung: Pustaka Setia, 2002, cet. ke-1.
Ahmad, Mohd Nazri, Israiliyyat: Pengaruh Dalam Kitab Tafsir, Kuala Lumpur: Utusan Publication & Distributors Sdn. Bhd., 2007, cet. ke-1.
Ali @ Mat Zain, Rosmawati, Pengantar Ulum Hadis, Kuala Lumpur; Pustaka Salam, 2005, edisi ke-11.
Awang, Hussin, Kamus al-Tullâb Arab – Melayu, Kuala Lumpur: Darul Fikr, 1994, cet. ke-1.
A’rifat, Muhammad Hadi, Sejarah al-Qur`an, Penerjemah: Thoha Musawa, Jakarta: Penerbit al-Huda, 2007, cet. ke-2.
Azra, Azyumardi, Et.Al (Tim Penyusun), Pedoman Penulisan Karya Ilmiah,Skripsi,Tesis Dan Desertasi. Ceqda,2007 cet. ke- 2.
Al-Baidâwi, Nâsir al-Dîn ‘Abdullah Bin ‘Umar, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2002, cet. ke-1, jilid ke-4.
Al-Bukhâri, Muhammad bin Ismâ’îl Abû ‘Abdullah, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar. Beirut: Dar Ibnu Katsir, al-Yamamah, 1987, cet. ke-3.
Dahlan, Abd. Rahman, Kaidah-kaidah Penafsiran al-Qur`an, Bandung: Mizan, 1997, cet. ke-1.
Departemen Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahannya Edisi Tahun 2002, CV Darus Sunnah.
61
62
Al-Dzahabî, Muhammad Husain, al-Isrâiliyyât fi al-Tafsîr wa al-Hadîts, Terjemahan Didin Hafiduddin, Jakarta, PT. Litera Antara Nusantara, 1993, cet. ke-1
___________________, Penyimpangan-penyimpangan Dalam Penafsiran al-
Qur`an, penerjemah: Hamim Ilyas dan Machnun Husein, Jakarta: Rajawali, 1986, edisi ke-1, cet. ke-1.
___________________, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Cairo : Dar al-Hadits, 2005, Jilid I.
Al-Fatâni, Ahmad Fathi, Ulama Besar Dari Fatâni, Kota Bharu: Majlis Agama Islam Dan Adat Istiadat Melayu Kelantan (MAIK), 2009, Edisi ke-2.
Hadhiri SP, Chairuddun, Indeks Al-Quran, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Ibrahim, Mazlan, Israiliyyat Dalam Tafsir Melayu Tafsir Nur al-Ihsan: Satu Analisis, Tesis prodi S2 Fakultas Pengajian Islam Universitas Kebangsaan Malaysia, 2001.
Ikram, Achdiati, Filologi Nusantara, Jakarta: Pustaka Jaya, 1997, cet. ke-1.
Jaafar, Abdul Majid, Isu-isu Dalam Tafsir dan Hadith, Selangor: Pustaka Haji Abdul Majid, 2007, cet. ke-1.
Al-Jamal, Sulaimân Bin ‘Umar al-‘Ajili, al-Futūhât al-Ilâhiyah bi Taudhîh Tafsîr al-Jalâlain li al-Daqâiq al-Khafiyah, (t.tp: Dar al-Fikr, t.th), jilid ke-1.
Al-Jazîrî, ‘Abd al-Rahman, al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, Universitas al-Azhar: Dâr al-Bayân al-‘Arabi, 2005, cet. ke-1, jilid ke-5.
Al-Khâzin, ‘Ali bin Muhammad, Lubab al-Ta`wîl fî Maâni al-Tanzîl, t.tp, t.th, jilid 6.
Mahmud, Abdul Halim Mani’, Metodologi Tafsir: Kajian Komprohensif Metode Para Ahli Tafsir, Jakarta: RajaGrafido Persada, 2006, cet. ke-1.
Al-Marbawi, Muhammad Idris ‘Abdul Rauf, Kamus Idris Al-Marbawi Arab-Melayu, Kuala Lumpur: Darul Fikr, 2006, cet. ke-3.
Mat Zin, Farid, Islam Di Tanah Melayu Abad Ke-19, Shah Alam: Pustaka Karisma, 2007, cet. ke-1.
63
Al-Maulâ, Muhammad Ahmad Jâd, Qasas al-Qur`an, Cairo: Maktabah Dâr al-Turâts, 2000, cet. ke-4.
Al-Naisâbûri, ‘Ali Bin Ahmad, Asbâb al-Nuzûl, Beirut: Dar al-Fikr, 2001, cet. ke-1.
Osman, Mohd Taib dkk, Tamadun Islam Di Malaysia, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2003, cet. ke-1.
Paidi, Zulhilmi dkk, Kenegeraan Malaysia: Isu-isu Dalam Pembinaan Negara, Kuala Lumpur: PTS Publication Sdn. Bhd., 2003, cet. ke-1.
Al-Qattân, Mannâ’ Khalîl, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur`an, Penerjemah: Mudzakir AS, Jakarta: Litera AntarNusa bekerjasama dengan Halim Jaya, 2007, cet. ke-10.
Al-Sâlih, Subhi, Mabâhitsu fî Ulûm al-Qur`ân, Beirut: Dâr al-‘Ilmi lil-Milâyîn, 1972, cet. ke-7.
Al-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Sejarah Pengantar Ilmu al-Qur`an & Tafsir, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009, cet. ke-1.
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1996.
Slamet, Mulyana, Asal Bangsa Dan Bahasa Nusantara, Jakarta: Balai Pustaka, 1964, cet. ke-1.
Suma, M. Amin, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an (1), Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000, cet. ke-1.
Al-Suyûti, Jalâluddin, Sebab Turunnya Ayat al-Qur`an, Penerjemah: Tim Abdul Hayyie, Jakarta: Gema Insani, 2008, cet. ke-1, jilid I.
_________________, Sebab Turunnya Ayat al-Qur`an, Penerjemah: Tim Abdul Hayyie, Jakarta: Gema Insani, 2008, cet. ke-1, jilid II.
Al-Suyûti & al-Mahalli, Jalâluddin, Tafsîr al-Jalâlain bi Hamisy al-Mus�af al-Syarîf bi al-Rasm al-Utsmâni, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2002.
Suryadilaga, M. Al-Fatih, Metodologi Ilmu Tafsir, Yoyakarta: Teras, 2005, cet. 2.
al-Syarbînî, Syamsuddin Muhammad Bin Ahmad al-Khatîb, al-Iqnâ’ fî Hall Alfâz Abî Syujâ’, Damsyiq: Maktabah Dâr al-Khair, 2002.
64
Al-Turmudzi, Muhammad Bin ‘Isâ Bin Saurah, Sunan al-Turmuzi, Beirut: Dâr al-Fikr, 1983, cet. ke-1.
Umar, Muhammad Said, Tafsîr Nûr al-Ihsân, Pattani: Percetakan Bin Halâbi, 1971, cet. ke-3, Jilid I.
____________________, Tafsîr Nûr al-Ihsân, Pattani: Percetakan Bin Halâbi, 1971, cet. ke-3, Jilid II.
____________________, Tafsîr Nûr al-Ihsân, Pattani: Percetakan Bin Halâbi, 1971, cet. ke-3, Jilid III.
____________________, Tafsîr Nûr al-Ihsân, Pattani: Percetakan Bin Halâbi, 1971, cet. ke-3, Jilid IV.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab – Indonesia, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1972.
Al-Zarqâni, Muhammad ‘Abd al-‘Azhim, Manâhil al-‘Irfan fi Ulūm al-Qur`an, Beirut: Dar Qutaibah, 2001, cet. ke-2.
Situs dan Jurnal
http//:www.wacananusantara.org/
http//:www.saaid.org.my
http//:www.ms.wikipedia.org/wiki/Kedah
http//:www.ms.wikipedia.org/wiki/Perak
http://en.wikipedia.org/wiki/Naqshbandi
Jurnal Usuluddin, (t.tp, 2005), Bil. 21, Mohd. Alwee Yusoff, Perkembangan Tulisan Jawi Dan Aplikasinya Dalam Masyarakat Islam Di Malaysia.