Merajakan Nalar Di Tengah Kepungan Hedonisme

4
Merajakan Nalar di Tengah Kepungan Hedonisme Judul Buku : Acropolis (Kerajaan Nalar) Penulis : Heri Wardoyo Penerje mah : Sudarmono (editor) Penerbi t : LARAS BAHASA (The Journalistic Files), Bandar Lampung Cetakan : 1, 2013 Tebal Buku : xviii + 254 halaman Buku bertajuk: Acropolis (Kerajaan Nalar) yang merupakan kumpulan kolom karya wartawan SKH Lampung Post Heri Wardoyo (HRW) hadir meramaikan pasar wacana. Buku yang berisi kolom-kolom Heri Wardoyo ini pernah dimuat di rubrik ‘Nuansa’ Lampung Post bertitimangsa tahun 2000-2009. Buku yang dikatapengantari budayawan Emha Ainun Najib ini memuat 122 tulisan dengan beragam tema yang menyoroti berbagai bidang kehidupan. HRW—begitu panggilan akrab sang penulis—memberi judul buku bungai rampai kolomnya Acropolis (Kerajaan Nalar) terinpirasi dengan nama sebuah bangunan megah di bukit karang di kota Athena yang konon merupakan asal muasal demokrasi di dunia ini ada. Acropolis juga menyimbolkan dewi kebijaksanaan, keadilan, semangat dan inspirasi penduduk Athena.

description

mer

Transcript of Merajakan Nalar Di Tengah Kepungan Hedonisme

Merajakan Nalar di Tengah Kepungan Hedonisme

Judul Buku:Acropolis (Kerajaan Nalar)

Penulis:Heri Wardoyo

Penerjemah:Sudarmono (editor)

Penerbit:LARAS BAHASA (The Journalistic Files), Bandar Lampung

Cetakan:1, 2013

Tebal Buku:xviii + 254 halaman

Buku bertajuk: Acropolis (Kerajaan Nalar) yang merupakan kumpulan kolom karya wartawan SKH Lampung Post Heri Wardoyo (HRW) hadir meramaikan pasar wacana. Buku yang berisi kolom-kolom Heri Wardoyo ini pernah dimuat di rubrik Nuansa Lampung Post bertitimangsa tahun 2000-2009. Buku yang dikatapengantari budayawan Emha Ainun Najib ini memuat 122 tulisan dengan beragam tema yang menyoroti berbagai bidang kehidupan. HRWbegitu panggilan akrab sang penulismemberi judul buku bungai rampai kolomnya Acropolis (Kerajaan Nalar) terinpirasi dengan nama sebuah bangunan megah di bukit karang di kota Athena yang konon merupakan asal muasal demokrasi di dunia ini ada. Acropolis juga menyimbolkan dewi kebijaksanaan, keadilan, semangat dan inspirasi penduduk Athena.

Acropolis menjadi bukti sejarah kebanggaan Athena tentang kejayaan sekitar 400 tahun lalu. Bangunan kuno terbesar di Acropolis adalah Parthenon Demokrasi dalam bidang politik yang kita kenal pada saat ini merupakan salah satu sumbangan dari dinasti Hellenislic (650-30 SM) pada zaman kekaisaran Yunani Kuno, dimana hak-hak sipil untuk menyampaikan pendapat secara bebas diakui. Sebagai ciri khas pola kota Yunani Kuno yang berupa Negara kota, di mana terdapat ruang-ruang terbuka untuk aktivitas demokrasi dan ditandai dengan bangunan-bangunan Negara untuk pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif, salah satunya adalah Acropolis. Konsep demokrasi ini kemudian dirumuskan kembali oleh ilmuwan Perancis setelah abad pertengahan, Montesquieu (1689-1755), dalam Esprit des Lois.

Nama Acropolis menjadi simbol dan cerminan dari isi buku HRW yang mengangkat dan menyuarakan ragam persoalan kehidupan masyarakat melalui kolom-kolomnya di Lampung Post yang kemudian diterbitkannya dalam bentuk buku ini.

HRWjurnalis Lampung Post yang kini menjadi Wakil Bupati Tulangbawang, Lampung iniingin kolom-kolomnya dalam buku ini menjadi seperti Acropolis yang melegenda. HRW melalui wacana pemikirannya ingin membangun kerajaan yang merajakan nalar alias akal sehat sebagai dasarnya. HRW yang kini ikut berkubang dalam jagat birokrasi sebagai wakil bupati Kabupaten Tulangbawang Provinsi Lampung ini menyumbangkan pemikirannya melalui buku ini. Kolom-kolom HRW hadir dengan bernas dan kaya referensi.

HRW sangat piawai memanfaatkan ruang yang terbatas dalam rubrik Nuansa untuk menyampaikan gagasan-gagasannya. Tulisan HRW berisi, padat dengan pilihan diksi yang pas menunjukkan kalau HRW sangat perfect dalam penggunaan bahasa Indonesia dalam tulisan-tulisannya termasuk dengan penggunaan tanda baca.

Meski kolom-kolom HRW ditulis beberapa tahun ke belakang tetapi terasa masih aktual dan timeless, karena mengangkat persoalan dan problematika masyarakat (Indonesia) yang sangat mendasar. Coba simak pada tulisan bertajuk: Skenario BBM yang ditulis tahun 2001 terasa sangat pas pada saat ini. Persoalan BBM pada era Presiden Megawati dan era Presiden Soesiolo Bambang Yoedhoyono masih sama setali tiga uang. Keragu-raguan pemerintah untuk menaikkan BBM, meskipun akhirnya naik juga membuat rakyat yang jadi korban. Akhirnya tetap rakyatlah yang menangung semua biayanya. (hal. 11).

Demikian juga dengan karut marutnya persoalan haji. Bisa disimak dalam kolom HRW bertajuk Haji (hal. 13) Jemaah yang nota bene akan menjalankan ibadah masih jadi sasaran sapi perahan. Kita masih menyaksikan perilaku koruptif di departemen yang mengurusi urusan haji ini.

Persoalan-persolan politik juga tak lepas dari bidikan HRW. Dalam kolomnya Bola-Bola Pendek yang menjadi pamungkas buku ini HRW mengingatkan kembali di tengah konstelasi politik yang sedang menghangat menjelang Pemilu Legislatif 2014, kalau politik hanya mengenal abadinya kepentingan, bukan perkawanan dan perseteruan terus menerus. Namun, akankah pola-pola itu mampu meletakkan dasar bagi peri kehidupan bernegara yang lebih baik. Kalaupun karpet koalisi yang dibentangkan, janganlah rumus perniagaan yang menjadi acuan (hal.254). Ini merupakan kritis pedas untuk parpol yang menjalankan politik kepentingan dan politik dagang sapi.

Budayawan Emha Ainun Najib dalam kata pengantarnya mengatakan buku karya HRW ini sangat menolong kita untuk mengenali kembali betapa kayanya kehidupan dan terlebih betapa kayanya manusia. Buku ini mencoba mengindentifikasi dimensi-dimensinya dan mendalaminya.

Menurut Emha kehadiran buku ini di tengah jaman yang merajakan hedonisme seperti oase, manakala dialog manusia kehilangan kemanusian, saat dialog kebudayaan tanpa budaya dan ketika dialog politik ketelingsut politiknya dibalik tumpukan uang.

Ketika kalimat-kalimat yang memuat kedalaman hidup, logika tipis lembut yang detail sebagaimana oksidan dan darah secara ajaib tak bercampur dalam badan. Semua itu tentunta tidak bisa diungkapkan melalui tajuk rencana, berlebihan kalau features menguraikannya, tak cukup bila pojok menyentilnya, dan juga tak cukup wacana jika artikel ilmiah mencoba mengarunginya. Itulah gunanya buku ini. Inilah manfaat kehadiran buku Acropolis (Kerajaan Nalar) mengingatkan kita untuk kembali ke nalar di tengah gempuran budaya yang merajakan hedonisme.

Sejatinya seperti dasar teori arsitektur Greeko-Roman yang menjadi ciri khas Acropolis yang oleh sebagian besar sejarawan dan kritikus arsitektur dianggap sebagai ilmu arsitektur yang paling abadi karena muncul di sepanjang zaman, termasuk pada zaman modern sekarang ini.

Pemikiran HRW dalam kolom-kolomnya yang dibukukan dalam Acropolis ini seperti nalar yang akan tetap membimbing manusia menelusuri zaman; betapapun absurdnya. Nalar tetaplah harus diyakini sebagai takbir terakhir, setidaknya, ketika kekusaman menyelubungi segalanya. Beningnya nalar, dengan begitu menjadi penjernih tatkala indera dan hati ditutupi debu-debu peradaban yang membutakan (hal.5). Semoga. ***

oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Editor pada Penerbit Sekelek Institute and Publishing House, Bandar Lampung.