Menyusup Ke Sarang MILF
-
Upload
rizki-saputera -
Category
Documents
-
view
84 -
download
6
Transcript of Menyusup Ke Sarang MILF
Menyusup ke Sarang
MILF, Kelompok Separatis
Moro di Mindanao Wawancara sambil Diawasi 10 Orang Bersenjata
Moro Islamic Liberation Front (MILF) masih menjadi organisasi paling ''memu-
singkan'' pemerintah Filipina. Mempunyai tak kurang dari 125 ribu tentara, punya
akademi militer sendiri yang juga sering dipakai oleh kelompok Islam militan
Indonesia. Wartawan Jawa Pos Kardono Setyorakhmadi menyusup ke salah satu
kamp MILF dengan segenap liku-likunya.
SAYA tak pernah membayangkan harus melalui rute sesulit ini untuk bertemu dan
berwawancara dengan Mustafa Aid Kabalu, orang nomor tiga MILF yang sekaligus
juru bicara kelompok itu, di Cotabato City. Berjalan memasuki hutan yang penuh
jebakan dan sniper selama enam jam, disambung dengan penyeberangan kawasan
rawa-rawa menggunakan pump boat selama empat jam.
Wawancara saya kali ini juga dilakukan dengan penjagaan paling ketat di antara
yang pernah saya alami. Betapa tidak, ketika saya mewawancarai dia, sedikitnya
ada 10 orang bersenjata yang mengawasi wawancara tersebut.
Dua penjaga berada di halaman rumah dan delapan lainnya bersiaga di samping
kanan, kiri, serta depan luar rumah tersebut
Di sepanjang jalan selebar 3 meter di depan rumah di bagian utara Cotabato City
tersebut, masih banyak anggota MILF lainnya. Mereka juga tinggal di rumah itu.
Kata penunjuk jalan saya, rumah tersebut juga mempunyai jalan keluar tersembunyi.
Kabalu bersikap hati-hati ketika menerima saya. Namun, setelah saya mengenalkan
diri lebih jauh, sikap yang awalnya kaku langsung cair. Bahkan semakin ramah
ketika tahu bahwa saya muslim dan pernah melakukan tugas jurnalistik di Palestina.
''Ahlan wa sahlan, akhi (selamat datang, saudaraku, Red),'' ucapnya bersahabat
dengan muka tersenyum.
Seusai wawancara, saya menanyakan bagaimana dia cukup percaya diri untuk tak
bersembunyi dalam sebuah kamp di tengah hutan, misalnya? Dia langsung tertawa
dan menjawab, ''Jika AFP (Armed Forces of Philippines, Angkatan Bersenjata
Filipina, Red) menangkap saya, mereka bodoh. Situasi akan lebih memburuk,''
ucapnya percaya diri.
Selain itu, dia menyatakan bahwa memang ada kemungkinan tentara menangkap
dirinya dan memang dirinya menjadi salah satu target tentara. ''Tapi, itu hanya akan
terjadi bila tak waspada (not alerted). Bila Anda waspada, sejam sebelum tentara
datang, Anda sudah tak ada di tempat,'' ujarnya lantas tersenyum.
Jadi, intelijen Anda, tampaknya, cukup bagus, sehingga bisa mengetahui rencana
penyerbuan beberapa waktu sebelumnya? ''Dalam suasana konflik, Anda pasti akan
selalu waspada, bukan?'' katanya.
Aid Kabalu dan sejumlah tokoh MILF lainnya memang patut percaya diri. Penunjuk
jalan saya yang juga seorang perwira di MILF mengungkapkan bahwa ''musuh''
MILF memang hanya AFP.
Bagaimana dengan polisi? ''Dengan polisi, kami malah dekat. Bila ada pertempuran,
biasanya polisi hanya mencari tempat berlindung dan tak mau tahu,'' tuturnya.
Singkatnya, polisi regional di Mindanao Selatan bersikap cuek bila ada konflik antara
MILF dan AFP. Prinsip para polisi itu: perang bukan urusan saya. Kalau mau
perang, perang aja sana...
Saat ini, sebenarnya muslim Moro merupakan kelompok minoritas di Mindanao. Di
antara total sekitar 20 juta jiwa penduduk yang mendiami Mindanao, jumlah muslim
Moro mungkin hanya sepuluh persen atau sekitar dua juta jiwa.
Kebanyakan mereka berada di kawasan Mindanao Tengah (Marawi, North
Cotabato, dan Cotabato City) serta di Mindanao Selatan (Buluan, Sultan Kudarat,
Tipu-Tipu, dan General Santos).
Pusat pemerintahan MILF terletak di sebuah kamp nonmiliter di Kamp Darapanan,
10 km ke Utara Cotabato City. Selain pusat operasional, kamp itu menjadi jujukan
tim peninjau dari negara-negara asing terkait konflik bersenjata MILF dengan
pemerintah Filipina.
Sejarah konflik tersebut sangat panjang. Pada abad ke-16, kaum muslim Moro
sudah mengangkat senjata melawan penjajahan Spanyol. Tapi, mereka kurang
berhasil, bahkan malah terdesak ke daerah selatan. Perjuangan muslim Moro terus
berlanjut hingga pendudukan Amerika pada abad ke-18.
Nah, konflik kontemporer yang terjadi hingga sekarang ini bermula pada 1972.
Ketika itu, Presiden Ferdinand Marcos menerapkan kondisi perang ''Martial Law''.
Akibatnya luar biasa. Terjadi konflik horizontal antara suku muslim dan nonmuslim di
Mindanao Selatan. Perang tersebut memusnahkan banyak perkampungan muslim.
Banyak tanah dan harta milik kaum muslim Moro yang berpindah tangan.
Uluran tangan persaudaraan dari Libya pun sempat mampir. ''Banyak di antara kami
yang kemudian belajar ke Libya. Saya juga termasuk salah seorang lulusan Libya,''
jelas Kabalu.
Untuk membuat perjuangan lebih terorganisasi, para pejuang Moro kemudian
membentuk Moro National Liberation Front (MNLF) di bawah pimpinan Dr Nur
Misuari.
Namun, dalam perkembangannya, kelompok tersebut terpecah. Mula-mula pada Juli
1982, MILF didirikan di bawah pimpinan Ustad Salamat Hashim. ''Ada sejumlah
perjanjian yang diteken MNLF yang tak sesuai dengan kaidah perjuangan kami.
Karena itu, kami kemudian memilih berpisah dan mendirikan MILF,'' tutur Kabalu.
Perjanjian yang diteken tersebut memang memberikan otonomi khusus kepada
bangsa Moro. Namun, secara keseluruhan justru menunjukkan bahwa bangsa Moro
takluk kepada pemerintah Filipina.
Selanjutnya, MNLF lagi-lagi pecah. Setelah MILF yang mayoritas dari suku
Manguindanao, Maranao, dan Iranon, suku Taosug dan suku Yakan di Basilan
mendirikan kelompok baru lagi, yakni kelompok Abu Sayyaf.
Menurut Senior Liaison Officer (SLO) Kepolisian KBRI di Filipina Kombes Pol Moh.
Nur Usman, ada empat kelompok bersenjata yang dianggap ''pemberontak'' oleh
Filipina. Yakni, MILF, MNLF, Abu Sayyaf, dan NPA (New People's Army), sebuah
kelompok komunis yang bercita-cita menjadikan Filipina menjadi negara komunis.
''Tapi, yang dianggap paling berat adalah MILF,'' tutur Usman.
Mantan Kabid Humas Polda Metro Jaya tersebut menuturkan, sejauh ini, MNLF
memang dianggap sudah ''melunak'' dan kooperatif. Sementara itu, Abu Sayyaf
dikategorikan lebih seperti ''bandit''. Dengan ''hobi'' menculik dan merampok warga
asing, kelompok yang namanya berarti ''Pembawa Pedang'' itu dianggap belum
menjadi ancaman berarti. ''Apalagi, platform perjuangannya lebih mengarah ke
perang global, memerangi Amerika,'' ungkap perwira dengan tiga mawar di pundak
tersebut.
Sementara itu, meski tersebar di mana-mana, NPA belum menunjukkan
kemampuan militer yang memadai. Persenjataan mereka rata-rata didapatkan dari
gun store-gun store yang tersebar di Filipina. Paling banter, persenjataan mereka
hanyalah senapan otomatis seperti M-16.
Hal itu berbeda dari MILF. Selain personelnya paling banyak dan mempunyai
akademi militer sendiri, persenjataan kelompok tersebut paling lengkap. Mereka
mempunyai senjata anti serangan udara, bahkan RPG (senapan anti-tank).
''Beberapa kali utusan NPA datang kepada kami untuk beli persenjataan berat. Tapi,
tak pernah kami beri,'' tegas Mario, nama samaran untuk guide saya, dalam
perjalanan mengantarkan saya ke Kamp Abu Bakar. Dia memang tak mau saya
mengutip nama aslinya dengan alasan keamanan.
Kabalu mengklaim bahwa pihaknya kukuh mempunyai basis kuat di sejumlah
daerah karena didukung masyarakat setempat. ''Kami tak mungkin kuat bila tidak
didukung rakyat,'' ucapnya.
Pada 1995, sepanjang Cotabato City hingga Marawi (yang berjarak sekitar 200 km
ke arah utara) dan ke arah Buluan (sekitar 200 km ke arah selatan) menjadi daerah
kekuasaan MILF. Ditambah, ketika itu dibantu oleh orang-orang JI (Jamaah
Islamiyah), banyak bermunculan kamp militer.
Menurut Mario, akademi militer tersebut betul-betul mengakomodasi akademi
pelatihan militer di Afghanistan. ''Semua yang dipelajari persis sama,'' urainya.
Karena itu, racikan bom di Filipina maupun Indonesia sama semua. ''Ramuannya ya
itu, black powder selalu menjadi andalan. Karena keterbatasan bahan baku, kami
memang harus menggunakan apa yang tersedia saja,'' jelas seorang anggota senior
JI Indonesia yang pernah menjadi instruktur di kamp-kamp militer tersebut.
Tak seberapa lama, Kamp Abu Bakar kemudian berdiri. Yang disebut Kamp Abu
Bakar sebenarnya adalah sebuah kamp induk seluas lebih dari 10.000 hektare yang
di dalamnya terdiri atas sekitar 15 kamp. Saking luasnya, wilayah Kamp Abu Bakar
itu masuk ke dalam enam kota. Yang termasuk menjadi bagian adalah Kamp
Hudaibiyah, sebuah kamp yang didirikan Nasir Abbas, mantan anggota JI dari
Malaysia yang telah menulis dua buku mengenai pengalamannya semasa menjadi
anggota JI.
Digempur 50 Ribu Tentara Bersenjata Lengkap
Dulu, Kamp Abu Bakar sangat ramai dan hidup. Penghuni kamp saat itu
diperkirakan mencapai 50 ribu orang. Mempunyai pertanian dan pasar sendiri. Yang
hebat, semua penghuni kamp hidup dalam kejujuran.
KAMP Abu Bakar memang ibarat sebuah provinsi sendiri. Sangat luas. Masyarakat
dengan berbagai aktivitas pun terbentuk. ’’Saya teringat ketika masih di sana. Ketika
itu, semua orang jujur. Pedagang tak perlu menunggui barang dagangannya,’’
kenang Mario yang menemani saya selama di kamp.
’’Kami mengambil sendiri, menghitung sendiri, dan membayar sendiri, meski tak ada
penjualnya,’’ lanjut dia.
Saat itu, highway sepanjang 200 km antara Cotabato City hingga Marawi betul-betul
milik MILF. Banyak checkpoint di sana dan semua itu milik MILF. Tentara tanpa
persenjataan lengkap dan dukungan kuat dijamin tak berani melintas. Sebab, selain
checkpoint, di kiri kanan jalan –yang masih berupa hutan dan bukit– banyak tersebar
sniper MILF. Yang lebih menarik, saat itu MILF juga dibantu orang-orang asing
(kebanyakan Indonesia) yang menjadi instruktur maupun peserta didik di kamp-
kamp militer tersebut.
Namun, keadaan berubah pada Juli 2000. Ketika itu, Presiden Filipina Joseph
Estrada mengadakan operasi militer besar-besaran yang bersandi ’’All-Out War’’.
Mengerahkan lebih dari 50 ribu personel bersenjata lengkap dengan dukungan
pesawat pengebom, tentara Filipina menggempur habis Kamp Abu Bakar dan
daerah basis MILF.
Tentu saja, MILF membalas sekuat tenaga. Mengandalkan kelebihan pengenalan
medan, MILF mampu bertahan cukup lama. Satu pos penjagaan utama MILF di
Matanuk (sebuah kota kecil antara Cotabato dan Kamp Abu Bakar), misalnya. Pos
itu sangat penting. Sebab, yang berhasil menguasai akan menguasai rute ke
Matanuk.
Saking pentingnya, Joseph Estrada meminta pasukannya untuk merebut pos
tersebut dalam sehari. Kenyataannya, butuh 18 hari dengan persenjataan lengkap,
baru tentara Filipina berhasil mengambil alih.
Selama empat tahun berperang, memang sejumlah hasil diperoleh tentara Filipina.
Di antaranya, bangunan induk Kamp Abu Bakar direbut, termasuk Kamp
Hudaibiyah. Pasukan Filipina pun sempat berhasil mendesak posisi MILF hingga ke
Pawas dan Marawi. Namun, cost-nya terlalu besar. Buktinya, dalam perjalanan
saya ke Kamp Abu Bakar, hanya sedikit daerah yang betul-betul dikuasai tentara
Filipina. Antara Cotabato hingga ke Kamp Abu Bakar, sekitar delapan checkpoint
yang saya lewati memang milik tentara Filipina. Namun, pos-pos itu seolah tak
memiliki power, separonya sudah tidak dijaga tentara. Kami sekadar melintas. Di
empat sisanya, tentara hanya duduk dan lebih memilih berjaga di sebuah bangunan
bambu semipermanen yang bertuliskan: ’’Detasemen Militer Tentara Filipina’’.
Yang membuat saya yakin daerah tersebut tak sepenuhnya dikuasai militer, Mario
terlihat tenang-tenang saja ketika mengantarkan saya. ’’Bagaimana kalau kamu
ketahuan?’’ tanya saya kepada Mario. Tertawa sejenak, dia kemudian menjawab,
’’Tak akan. Mereka hanya berjaga dan tak akan macam-macam.’’
Kok bisa yakin? ’’Kami hafal kebiasaan tentara Filipina. Tak ada peralatan lengkap,
tak ada tanda-tanda mobilisasi, jadi situasi tetap tenang-tenang saja. Mereka tak
akan menyerang,’’ jelasnya.
Kalau begitu, mengapa MILF tak menyerang para tentara itu saja? Mario lagi-lagi
tertawa. ’’Kami tak sembarangan menyerang. Harus strategis kalau menyerang.
Kalau kami menyerang mereka yang duduk-duduk itu, paling-paling kami berhasil
membunuh sepuluh orang saja. Tapi, akibatnya malah terjadi penyerangan besar-
besaran,’’ urainya. Tampaknya, tentara maupun MILF sama-sama berhitung.
Selain itu, di antara belasan kamp dalam kompleks Kamp Abu Bakar, tampaknya,
tentara Filipina hanya menguasai tak lebih dari sepuluh persennya. Sisanya, kamp-
kamp tersebut masih aktif. Mario kemudian menunjukkan dari kejauhan sejumlah
kamp yang masih dikuasai MILF.
Hanya, dia tak berani menunjukkan kamp-kamp yang dikuasai tentara Filipina.
Maklum, kamp-kamp itu telah menjadi markas militer tentara Filipina. ’’Saya bisa
ditangkap kalau ketahuan muncul di sana,’’ tegasnya.
Ketika saya meminta untuk masuk ke dalam kamp-kamp dalam kompleks Kamp Abu
Bakar, dia sungguh tak menyarankan. ’’Jalan paling mudah masuk ke dalam
kompleks Kamp Abu Bakar adalah melalui kamp yang sekarang dikuasai tentara
Filipina. Anda harus mempunyai izin khusus dari tentara,’’ ucapnya. Memang ada
jalan lain, tapi harus memutar melalui rawa-rawa dan hutan-hutan berjalan kaki
selama lima sampai enam jam.
Selain itu, dia menyatakan, masuk ke Kamp Abu Bakar bagi orang asing sangat
berbahaya. Sebab, MILF akan mengira saya adalah tentara Filipina dan begitu pula
sebaliknya. Untuk itu, Mario kemudian berjanji mengusahakan saya masuk ke Kamp
Busro, sebuah kamp di dekat Marawi.
Kamp Busro adalah kamp terbesar kedua setelah Kamp Abu Bakar dan merupakan
kamp terpenting bagi MILF. Biasanya, pengambilan keputusan politik penting
dilakukan di kamp itu setelah semua elemen dalam MILF berkumpul.
Hingga saat ini, pertempuran kecil-kecilan masih sering terjadi antara MILF dan
tentara Filipina. Pertempuran terakhir terjadi pertengahan Agustus lalu. Ketika itu,
pasukan pengintai tentara Filipina terlibat konflik senjata hebat dengan kelompok
Abu Sayyaf di Basilan.
Nah, dalam perjalanannya membantu pasukan pengintai, sekitar 200 personel
Marinir Filipina bersenjata lengkap malah justru terlibat kontak senjata dengan
pasukan MILF di Tipu-Tipu. ’’Tampaknya, mereka (tentara Filipina) mengira bahwa
pasukan kami di sana juga bagian dari kelompok Abu Sayyaf,’’ jelas Kabalu, orang
nomor tiga MILF yang sekaligus juru bicara kelompok itu.
Kuatnya resistansi dari MILF memaksa pemerintah Filipina akhirnya membuka
negosiasi dengan kelompok tersebut. Selama dua tahun terakhir, difasilitasi
pemerintah Malaysia, juru runding MILF dan pemerintah Filipina bernegosiasi
mengenai bentuk perdamaian.
Menurut Kabalu, pihaknya meminta tiga hal. Yang pertama adalah soal
kesejahteraan bangsa Moro, terutama muslim, pasca terampasnya tanah dan harta
mereka. Kedua, pembentukan negara federal Moro. Terakhir adalah kebebasan
berorganisasi. Artinya, MILF tetap akan terus ada. ’’Itu adalah tiga hal yang prinsip
bagi kami,’’ ujarnya.
Setelah melalui perundingan alot, sudah ada tanda-tanda menggembirakan bagi
MILF. Yakni, mulai masuknya pembahasan mengenai teritori bangsa Moro. ’’Itu
adalah hal utama yang sangat bagus. Artinya, dengan mengenali batas-batas
teritori, setidaknya pembicaraan akan lebih lancar dalam negosiasi nanti,’’ urainya.
Kabalu juga optimistis perjanjian damai tak lama lagi diteken, meski tak bisa
memastikan kapan. Apakah bila perjanjian itu sudah diteken pihaknya menjamin
soal keamanan? Kabalu menjawab diplomatis. ’’Semua bergantung perkembangan
di lapangan nanti. Tapi, bila segala sesuatunya sudah sesuai tuntutan kami, tentu
saja untuk apa kami terus berperang?’’ ungkapnya.
Lima Jam Berkuda Tembus Hutan Kamp Bushra
Memasuki kamp pelatihan militer MILF mutlak harus ada penunjuk jalan dari orang
mereka, sebab kamp-kamp itu memang berada di medan yang sulit ditembus yang
sekaligus menjadi benteng alami mereka.
KAMP pertama yang saya kunjungi adalah Kamp Bushra. Setelah bangunan
terpenting di Kamp Abu Bakar direbut tentara Filipina, Kamp Bushra menjadi kamp
terpenting bagi Front Pembebasan Islam Moro atau Moro Islamic Liberation Front
(MILF).
Di tempat itulah biasanya seluruh elemen MILF berkumpul untuk menentukan
sebuah keputusan. Di kamp itu juga Ustaz Salamat Hashim, pendiri MILF,
meninggal.
Orang luar mutlak harus membutuhkan pemandu untuk mencapainya. Satu-satunya
jalan harus menembus hutan. Untuk keamanan, sekitar seratus sniper MILF
ditempatkan di seantero hutan sekeliling kamp tersebut untuk menembak orang
asing yang coba-coba masuk.
Belum lagi MILF juga menyiapkan ranjau serta baby trap (perangkap alam),
misalnya kayu dengan duri-duri tajam bila salah melintas atau lubang yang berisi
tonggak tajam. Masih kurang? Ada lagi sejumlah ranjau yang disebar di tempat
tersebut.
Oleh pimpinan pusat MILF di Cotabato City, saya dirujuk menemui Hasan Y Lupia,
kepala pusat hubungan sipil-militer kamp tersebut. Saya berjanjian bertemu di
Marawi yang berjarak 200 kilometer dari Cotabato. Menyewa mobil omprengan,
saya bertemu dia pada Senin (14/9).
Dia tak langsung mengatur perjalanan. Lupia menginterogasi saya lebih dulu. Saya
sempat kaget. Sebab, selain mendapat izin dari pusat, saya datang bersama
seorang anggota MILF muda yang ditugaskan menjadi “pendamping” sekaligus
penerjemah saya.
Lalu dia menjelaskan bahwa pernah ada seorang intelijen Filipina yang mengaku
sebagai wartawan.
“Kami tahunya setelah mengecek ke kantor medianya. Ternyata tidak ada wartawan
yang dimaksud,” tuturnya.
Untunglah, setelah saya mengatakan silakan mengecek apa pun yang diinginkan,
Lupia akhirnya mau mengatur perjalanan. Saya lega karena ini adalah usaha kedua
untuk masuk ke Kamp Bushra.
Yang pertama tak diberi izin karena ada masalah di internal kamp dan ada
pergerakan tentara Filipina dekat kawasan itu. Namun kecurigaan Lupia masih
belum sepenuhnya hilang. Buktinya, dia meminta agar kamera saya ditinggal saja.
“Tak usah foto. Anda tahu sendiri, Kamp Bushra adalah kamp paling penting kami.
Anda bisa mengerti kalau kami sangat berhati-hati dalam keamanan kan,” katanya.
Sudah kepalang basah, saya menyanggupi.
Kepada Lupia, saya meminta untuk dicarikan rute terdekat. Jalan tradisional yang
dipakai biasanya adalah berjalan kaki dari Kamp Abu Bakar melintas gunung selama
15 jam. Berjalan kaki selama 15 jam menembus hutan yang penuh dengan
perangkap dan sniper jelas akan membuat siapa pun gamang. “Tenang saja, kami
sudah membuka rute baru yang lebih pendek,” jawab Lupia kemudian tersenyum,
mengerti soal kegamangan saya.
Dari Marawi, kami kemudian menuju sebuah municipal (semacam kabupaten kecil)
bernama Butig yang berjarak sekitar 80 km. Dari Butig itulah saya sudah ditunggu
sekitar delapan tentara MILF yang bertugas mengantar ke dalam kamp.
Dari Butig, kami kemudian naik kuda untuk melintas menuju Kamp Bushra di
Gunung Pangulintangan. Menurut mereka, dengan berkuda, tak sampai enam jam
sudah sampai. Meski begitu, enam jam menembus hutan penuh jebakan dan sniper
tetap membuat saya miris.
Meski kami sudah mengenakan jaket tebal, hawa dingin langsung menerpa, sebab
hutan yang dilalui masih sangat perawan. Pohonnya tinggi-tinggi dan sinar matahari
tak bisa langsung menembus ke bawah. Suasananya persis seperti senja. Untuk
penerangan tambahan, delapan tentara yang mengantar tersebut membawa senter.
Perjalanan tak bisa cepat karena kuda tak bisa berlari menaiki gunung. Setiap sejam
sekali berhenti. Selama perjalanan itu pula, saya mengerti mengapa orang luar tak
akan bisa mencapainya tanpa petunjuk, meski tak ada perangkap.
Memang ada jalan setapak. Tapi jalan setapak yang dibuat sangat banyak.
Tujuannya untuk mengecoh. Selain banyak persimpangan, kadang kami tiba-tiba
keluar dari jalan setapak, memasuki belukar sepanjang enam ratus meter, kemudian
ketemu lagi jalan setapak. Sungguh sulit untuk menghafalnya.
Akhirnya, setelah lima setengah jam perjalanan, selepas hutan perawan, tiba-tiba
kami sampai di sebuah dataran lapang seluas sekitar 5 hektar. Di pintu masuk,
berdiri sebuah gapura besar bertulisan Kamp Bushra. Ada lima bangunan dan satu
masjid di sana. Di antara gerbang dan lapangan, terdapat sebuah kolam ikan yang
lumayan besar, kira-kira seluas 1.000 meter persegi.
Di samping kiri-kanan bangunan, terdapat sawah dan kebun jagung serta umbi-
umbian. Tujuannya tentu saja untuk mencukupi kebutuhan pangan penghuni kamp.
“Kamp ini adalah self-sufficient camp (kamp yang mencukupi kebutuhannya sendiri,
red),” tutur Azis Mimbantas yang menjabat vice chairman in military operation MILF.
Untuk kebutuhan listrik, sejumlah panel tenaga surya terlihat terpasang di atas,
cukup untuk memberi listrik seperlunya untuk kamp tersebut.
Susah untuk menyebut luas sebenarnya kamp itu. Selain dataran dengan bangunan
serta peternakan seluas 5 hektar, masih banyak bangunan gubuk komando di
beberapa titik di sekitarnya. Ada barak militer, gudang senjata, gudang makanan,
dan masih banyak lagi. Menurut Azis, setidaknya ada 15 ribu orang yang menghuni
kamp. Di kamp itulah akademi militer MILF berada.
Menariknya, di kamp tersebut juga terdapat para tentara wanita yang biasa disebut
mujahidah. Setidaknya ada sekitar 2.000 wanita. Kebanyakan adalah istri para
pejuang Moro yang bertugas di kamp tersebut. Daripada menganggur, para istri itu
kemudian diajari dasar-dasar kemiliteran.
Jadi, selain mengasuh anak dan memasak, para wanita yang rata-rata bercadar
tersebut sangat fasih mengoperasikan senjata M-16. “Tapi mujahidah itu tak pernah
kami terjunkan dalam peperangan. Sebatas untuk self-defense juga,” urainya.
Hal itu bisa dipahami, sebab tak banyak yang bisa dilakukan di kamp. Listrik
terbatas, kegiatan terbatas, dan banyak aturan. Selain aturan berdasar norma-
norma Islam yang ketat, yang pertama adalah dilarang merokok. Ketahuan merokok
langsung harus dikeluarkan dari kamp. Kemudian, dilarang mengenakan celana
pendek.
Dengan kegiatan yang sudah terjadwal dan penuh aturan, para wanita mempunyai
banyak waktu luang. Dengan persenjataan yang melimpah di kamp itu, para wanita
tersebut dipersenjatai dan dilatih dasar-dasar kemiliteran.
Menariknya, kamp tersebut juga dilengkapi penjara. Saat Jawa Pos (induk Jambi
Independent) ke sana, ada sekitar lima “napi”. Empat di antaranya karena ketahuan
menggunakan narkoba (Marawi City memang dikenal sebagai salah satu kota yang
paling parah terkena narkoba di Filipina). Yang lain karena pelanggaran atau
indisipliner. Mereka dikurung dalam sebuah bangunan kecil seukuran 50 meter
persegi yang dikelilingi pagar dengan kawat berduri.
Berapa lama dikurung? “Tergantung. Tapi biasanya antara sebulan hingga dua
bulan. Narkoba memang merupakan salah satu masalah. Karena itu, kami
menerapkan hukuman tersebut. Tapi penjara kami maksudkan sebagai tempat
rehabilitasi,” katanya.
Saya ditempatkan dalam sebuah kamar yang dimaksudkan sebagai guest house.
Sekitar pukul 23.00, semua lampu dimatikan, kecuali lampu-lampu di luar saja.
Alasannya, menghemat tenaga listrik.
Suasananya cukup dingin dan sangat gelap. Saya berpikir, dengan kondisi seperti
ini, disiplin tidur malam dan bangun pagi begitu terjaga di kamp ini. Sebab, memang
tak ada lagi yang bisa dikerjakan. Satu-satunya kegiatan produktif adalah pergi tidur.
Kenal Gus Dur karena Teman Sekamar Pendiri MILF
Kawasan Liguasan Marsh adalah salah satu basis pertahanan MILF yang paling
kuat di Mindanao. Lokasi itu juga menjadi salah satu tempat konsentrasi anggota JI
asal Indonesia, di antaranya Dulmatin dan Umar Patek.
SETELAH dari Kamp Bushra, saya menuju ke kawasan SK Pendaton. Berjarak
sekitar 300 km dari Butig, kawasan SK Pendaton merupakan salah satu pintu masuk
untuk menuju sekitar 15 kamp yang ada di seantero kawasan berawa-rawa tersebut.
Sebelum masuk ke kawasan tersebut, saya menemui dan menjemput lebih dahulu
Alimuddin, anak Commander Renegade, salah seorang komandan MILF yang
terkenal. Dialah yang akan menjadi password untuk bisa masuk dengan aman ke
kawasan SK Pendaton.
Dari Tacurong (salah satu kota yang relatif "aman") menuju SK Pendaton harus
melalui jalan kampung sejauh 7 km. Begitu mobil masuk ke kampung tersebut,
semua mata langsung melihat. Alimuddin kemudian membuka kaca mobil dan
menunjukkan dirinya. Orang-orang yang tadinya menatap curiga kemudian
melambai.
“You can not pass here without a guide. Someone will stop you. This is... I don't
know what to call,” ucap Alimuddin, kemudian berpikir keras. “No sh*t (kata jorok,
red) area?” sahut saya, mengutip istilah slang Amerika yang maksudnya tempat
rawan. Karena itu saya tak boleh berbuat aneh-aneh. “Yup, no sh*t area,” ujarnya,
kemudian tersenyum karena menemukan istilah yang menurutnya cocok. Itu daerah
yang dikuasai MILF dan seseorang tak bisa keluar-masuk begitu saja tanpa
pengawasan mereka. Yang mencurigakan langsung ditindak. Pada 2008, kawasan
tersebut menjadi kawasan paling panas di Mindanao setelah Presiden Arroyo
memerintahkan tentaranya menghabisi basis MILF di kawasan itu.
Setelah masuk 7 km, menjelang magrib, kami sampai di sebuah kali kecil. Hanya
ada satu jembatan kecil ala kadarnya untuk menyeberang. Sungai itu seperti
memisahkan kawasan sipil dan kawasan militer karena di seberang sungai tersebut
adalah kawasan yang menjadi daerah militer sebuah kamp satelit Kamp Rajamuda.
Menunggu sepuluh menit, kemudian datang enam orang bersenjata M-16
menjemput dan mengantarkan kami. Setelah menyeberang, saya langsung
mengeluh dalam hati, “Waduh, masuk hutan lagi.” Namun, kali ini hutannya tak
selebat di Kamp Bushra. Namun tingkat bahayanya sama bila tidak mengenal rute
dan tidak ada yang mengantar. Salah melangkah, bisa menginjak ranjau. Atau tiba-
tiba roboh tertembus peluru dari penembak jitu yang tak jelas tempat
persembunyiannya.
Untunglah, setelah berjalan kaki kurang-lebih satu setengah jam, sampailah saya di
kamp terdekat. Satu pasukan bersenjata lengkap telah menyambut. Di dalam kamp
tersebut, sudah menunggu H Yahyan Abbas, komandan Base Commander 105 di
Liguasan Marsh, Mindanao. Kami langsung bersantap. Menunya mantap, nasi putih
dengan lauk ayam dan ikan pantat. Ikan pantat adalah ikan gabus yang banyak
terdapat di rawa-rawa luas di sekitar kamp. Besarnya ikan itu sebetis orang dewasa.
Setelah itu, seorang staf H Yahyan menjelaskan larangan-larangan di kamp
tersebut, terutama tidak boleh mengenakan celana pendek. Tentu, kata saya dalam
hati, sebab saya melihat nyamuk begitu banyak dan besar-besar. Jelas bukan ide
yang baik menyuguhkan anggota badan kepada nyamuk-nyamuk menjengkelkan itu.
Saya hanya manggut-manggut.
Seperti Kamp Bushra, kamp satelit itu juga self sufficient. Namun karena hanya
kamp satelit, personel yang berjaga tak lebih dari seratus orang. Jadi nasi berasal
dari pertanian penduduk sekitar, sementara mereka hanya beternak ayam dan
menjala ikan pantat. Kamp tersebut juga menggunakan panel tenaga surya sebagai
sumber listrik.
Setelah makan dan salat, saya kemudian mewawancarai H Yahyan Abbas beserta
deputi-deputinya mengenai struktur militer MILF, pelatihan mereka, cara mereka
mengumpulkan senjata, dan keterlibatan orang-orang Indonesia di kelompok
mereka.
Karena tak ada hiburan, kami kemudian berbincang banyak hal, terutama Indonesia.
Menariknya, para warlord itu tak banyak tahu tentang Indonesia. Bahkan presiden
Indonesia saja mereka tak tahu. Ketika saya menyebut nama Susilo Bambang
Yudhoyono, mereka malah mengernyitkan kening. Yang mereka tahu, presiden
Indonesia adalah Gus Dur dan Megawati. Gus Dur dikenal karena merupakan teman
satu kamar Ustaz Salamat Hashim, pendiri MILF, di Universitas Al-Azhar, Mesir.
Megawati dikenal karena wanita Indonesia pertama yang jadi presiden. Selebihnya,
mereka tidak tahu apa-apa.
Tidur di kamp memang tidak nyaman, tapi tidur di kamp satelit itu lebih-lebih lagi.
Mata saya sulit terpejam. Bukan apa-apa. Penyebabnya, sebelum tidur, saya melihat
lima ekor tokek di dekat kaki saya. Keesokan paginya, barulah kami menuju ke
Kamp Rajamuda. Meski masih satu "kompleks", jarak dari kamp satelit itu ke Kamp
Rajamuda masih jauh. Pertama, kami harus berjalan menembus hutan lagi selama
satu jam, kemudian berjalan menembus rawa selama satu jam pula. Setelah itu,
barulah sampai ke “dermaga" pump boat. Kami kemudian naik pump boat menuju ke
Kamp Rajamuda.
Kawasan itu menjadi benteng alami yang punya keunikan luar biasa. Rawanya luas.
Sejauh mata memandang, hanya terlihat rawa. Saya menaksir luasnya sama
dengan dua kecamatan di Surabaya sekaligus. Seperempat rawa-rawa tersebut
ditumbuhi eceng gondok dan tanaman air lain. Memang ada semacam “jalan
setapak air" di antara eceng gondok tersebut yang cukup dilalui oleh satu pump
boat. Namun jalan setapak air itu setiap hari berubah karena gerakan air. Orang
yang tak hafal arah pasti tersesat.
Di tengah kawasan itulah, ada sebuah kamp yang pernah didirikan Dulmatin dan
Umar Patek. Kamp tersebut kini kosong. “Namun sering kami menempatkan sekitar
20 orang, terutama bila kami melihat ada pergerakan marinir,” kata H Yahyan. Dia
mengatakan, di seluruh rawa tersebut, ada sekitar lima kamp yang fungsi utamanya
adalah menembak tentara yang masuk dan sekaligus menghambat laju tentara yang
akan menyerbu kamp tersebut.
Setelah menempuh perjalanan selama tiga jam, barulah pump boat kami sampai di
Kamp Rajamuda. Terletak di sebuah dataran pinggir rawa, kamp tersebut
mempunyai delapan bangunan saja. Namun peralatannya lebih lengkap. Di pinggir
rawa yang letaknya menjorok, ada dua senapan antiserangan udara kaliber 50.
Selain itu, personel yang berjaga di sana cukup banyak, yakni 500 orang. Sebanyak
200 orang di antaranya selalu patroli keliling kawasan rawa tersebut. “Inilah
bangunan utama Kamp Rajamuda kami,” kata H Yahyan Abbas menunjukkan
bangunan rumah panggung seluas 4x20 meter, paling besar di antara bangunan
lainnya. Di bangunan itulah, strategi pertahanan maupun keputusan penting MILF di
kawasan Mindanao diputuskan.
Dengan memanfaatkan kondisi alam sebagai salah satu benteng pertahanan seperti
itulah, kamp-kamp tersebut sulit direbut oleh tentara Filipina yang notabene unggul
peralatan militer dan jumlah personel. Kalau sekadar merebut, mungkin bisa dengan
gampang dilakukan. Namun, setelah terebut, apa selanjutnya?
“Kalau diserbu dengan kekuatan penuh, kami akan meninggalkan kamp-kamp ini
begitu saja untuk pergi ke dalam hutan. Kami menerapkan sistem gerilya. Tentara
tak akan bertahan lama di dalam kamp ini,” ucap Yahyan, yakin.
Ucapannya beralasan. Dengan letak yang terpencil dan sulit untuk mengirimkan
bantuan logistik terus-menerus serta kondisi infrastruktur kamp yang sangat minim,
tentara Filipina tentu akan “sengsara" ketika menempati kamp. Belum lagi, serangan
gerilya yang tentunya dilancarkan terus-menerus ke kamp oleh MILF membuat
tentara Filipina tambah tidak betah. Akibatnya, kamp tersebut ditinggalkan begitu
saja untuk kemudian ditempati lagi oleh pejuang MILF. Hal itu tentu sangat tidak
menguntungkan, sebab secara teoretis tentara Filipina tidak mendapatkan hasil apa-
apa dengan merebut kamp tersebut bila hanya untuk sementara.
Hal seperti itu sudah terjadi di Kamp Abu Bakar. Pada akhir 2004 (akhir dari operasi
All Out War yang dilancarkan pemerintah Filipina), tentara Filipina merebut 20
persen kamp dari MILF dan menempatkan tiga batalion secara permanen di kamp
tersebut.
Namun satu per satu kamp di kompleks Kamp Abu Bakar direbut lagi oleh MILF. Ka-
rena itu, kini tentara Filipina hanya menempati 10 persen dari kamp tersebut. Itu pun
yang paling dekat dengan jalan beraspal yang sengaja dibangun untuk memenuhi
kebutuhan logistik tiga batalion tersebut.
Dengan pertimbangan seperti itu, pilihan terbaik sepertinya memang segera
menuntaskan perundingan damai. Tujuannya, situasi di Mindanao tak terus-menerus
bergejolak. Kemudian konflik tersebut digunakan sebagai training zone kelompok-
kelompok dari mana pun, termasuk Indonesia, untuk mendapatkan pendidikan
militer secara ilegal.
JI Wariskan Kemampuan Bikin Senjata
Pemerintah Filipina memang pantas “cemas” dengan kekuatan MILF, sebab sayap
militer kelompok itu begitu well organized. Bahkan separo persenjataannya mereka
rakit sendiri.
SELAIN punya dasar-dasar kemiliteran dan pendirian kamp, para anggota Jamaah
Islamiyah (JI) mewariskan sebuah kemampuan hebat, yakni merakit senjata dan me-
reloaded peluru yang telah digunakan hingga bisa dipakai lagi sebagai amunisi.
Dalam dunia ban, itu seperti vulkanisir. “Memang akurasi peluru menjadi berkurang.
Tapi secara umum, tetap bisa digunakan,” kata H Yahyan Abbas, komandan Base
Commander Ke-105 Mindanao.
Tidak tanggung-tanggung, Moro Islamic Liberation Front (MILF) bisa memproduksi
lebih dari 2.000 peluru per hari. Jenderal bintang satu dalam struktur sayap militer
MILF tersebut mengakui, kemampuan perakitan yang diperoleh MILF tak lepas dari
orang-orang Indonesia. “Dengan bantuan mereka (militan Indonesia, red), kami
mampu membuat senjata sendiri,” tambahnya bangga.
Berdasarkan penelusuran Jawa Pos (induk Jambi Independent), selain membuat
peluru sendiri, mereka mampu membikin tiga jenis senjata. Pertama, senjata sniper
berkaliber 5,56. Senjata itu dibuat dari gagang kayu, dicat hijau tua, dan dilengkapi
periskop, komplet dengan tampilan perimeternya. Mereka mengklaim, sniper mereka
dengan senjata itu bisa menembak efektif hingga 2 kilometer. Tak ada penamaan
khusus untuk senjata hand made tersebut. MILF hanya menyebut senjata itu fifty
kaliber riffle.
Selain senapan sniper, MILF mampu memproduksi granat sendiri. Juga tak ada
penamaan khusus. Mereka hanya menyebut granat.
Namun, yang paling fenomenal di antara self-manufactured weapon mereka adalah
peluru RPG (pelontar roket digendong). Empat jenis RPG mereka adalah buatan
sendiri. Empat jenis RPG itu adalah RPG 2 untuk jarak efektif 200 meter dan RPG 7
untuk jarak efektif 700 meter. Masing-masing RPG dibedakan menjadi dua macam,
yakni antipersonel dan antitank.
Juru Bicara Kamp Rajamuda Mindanao Hasan Ombi mengatakan, biaya pembuatan
senjata itu 13 ribu peso hingga 15 ribu peso (sekitar Rp 3 juta hingga Rp 3,5 juta)
per unit.
Ombi juga menjelaskan, senjata-senjata itu dibuat terpisah. “Hampir semua kamp
mempunyai teknisi sendiri,” tuturnya. Namun pembuatannya harus sepengetahuan
Kamp Darapanan, kantor pusat MILF yang berkedudukan di Cotabato City. Seperti
laiknya pasukan militer, setiap base commander mengajukan anggaran pertahanan
dan persenjataan. Bila disetujui, kantor pusat menyerahkan anggaran dan kemudian
setiap base commander mengorder sendiri senjata-senjata itu ke dalam kampnya.
Menurut salah seorang anggota JI senior yang tak mau disebutkan namanya,
keterampilan membuat senjata itu diperoleh dari Akademi Militer Mujahidin
Afghanistan. “Jadi apa yang kami ketahui, kami berikan semua kepada para pejuang
Moro,” katanya. Itulah mengapa terkadang bergantian, ketika militan Indonesia
datang ke Filipina, mereka disambut terbuka dan mendapatkan pengajaran balik.
Selain itu, pendidikan militer mereka tertata baik. Kendati dasar-dasarnya dari
Akademi Militer Mujahidin, MILF memodifikasi itu. Kalau dasar-dasar kemiliteran di
Akademi Militer Mujahidin membutuhkan waktu dua tahun, MILF hanya perlu enam
bulan yang mereka sebut basic training. Ada empat hal yang diajarkan. Pertama,
tactic, yaitu seni pertempuran yang pernah dilakukan komandan perang terkenal
dunia. Kedua, map reading atau pemetaan lokasi. Ketiga, weapon training, pelatihan
mengenai segala jenis persenjataan. Keempat, field engineering. Itu adalah
pelatihan mengenai ranjau dan bom. Boleh dibilang, itulah “materi” yang paling
membuat pusing para aparatur pemerintahan yang terkena teror bom.
Setelah basic training, masih ada dua tahap yang harus dilalui, yakni regular dan
advance training. “Yang basic training masih berbaris seperti itu,” kata Azis
Mimbantas, vice chairman of military MILF, sembari menunjuk barisan tentara di
Kamp Bushra. Sedangkan siswa yang reguler dan advance sudah ditempatkan
berjaga di sekitar kamp.
Setelah menempuh tiga tahap itu, seseorang bisa menyebut dirinya sebagai tentara
reguler di MILF. Dia pun mendapatkan pos reguler dan bisa berperang di garis
depan. Pangkatnya adalah second loy.
Selanjutnya, sejumlah tentara reguler yang dianggap menonjol disekolahkan lagi
untuk mendapatkan officer training. Ada dua jurusan, yaitu officer training non
combatant (untuk tugas administrasi dan konsep) dan officer training combatant
(untuk perwira militer). Training itu harus dilakoni tiga bulan.
Setelah officer training, jenjang berikutnya adalah commissionship training. Itu bisa
dibandingkan dengan sespati (sekolah staf perwira tinggi) bila di Polri. Ada dua
tahap, yakni phase one dan phase two. Setelah lulus phase two, jaminan untuk
mendapatkan posisi sebagai salah seorang di antara 15 base commander yang ada
di seluruh Mindanao.
Kendati akademi militernya sangat sederhana, MILF tetap saja menunjukkan sebuah
jenjang kemiliteran yang terstruktur. Artinya, MILF tak bisa dianggap sebagai
sekadar milisi. Buktinya, Brigjen Zulkifli, jenderal Tentera Diraja Malaysia (TDRM)
yang menjadi salah seorang anggota tim monitoring proses pembicaraan damai
MILF-pemerintah Filipina, pernah berkomentar, “Kekuatan kalian (MILF) bisa
dianggap setara dengan personel militer di sebuah negara kecil.”