MENUJU DEMOKRASI

155

Transcript of MENUJU DEMOKRASI

MENUJU DEMOKRASI

YANG WARAS

TAUFIQ EFFENDI

MENUJU DEMOKRASI

YANG WARAS

EditorArif Ma'ruf

MENU JU DEMOKRASI YANG WARAS

Sekapur Sirih Penulis Drs. Taufiq Effendi, MBAPengantar Prof. Dr. Awaloedin Djamin, MPA

BAB I. MENATA KEMBALI DEMOKRASI

□ Menuju Demokrasi Yang Waras 3□ HAM dan Demokrasi dalam Negara Hukum 7□ Reformasi 12□ Oposisi, Yes or No 1 17□ Oposisi, Yes or No II 22□ Monolog Sragen 1 26□ Monolog Sragen II 31□ Berdemokrasi Yang Waras 39

BAB 11. IRONIREALITA DEMOKRASI□ Bahasa Politik Gampang-Gampang Susah 45□ Tuban Oh Tuban 50□ Razia Pengikut RMS 54□ Preman di Balik Jabatan Terhormat 58□ Kemiskinan 62

BABin. MENGELOLAKENYATAAN□ DutaBesar,SebuahHarapan 69□ Saya pingin jadi PNS 73□ SekaliLagi,PenyesatanLogika 77□ Lagi-Lagi Logika 82□ Analog - Analog 86

BAB IV. PENUTUP:CATATANDR.MARGARITOKAMIS

□ HAM dan Demokrasi dalam Negara Hukum:Berumah Pada paham Konstitusionalis 95

□ Kesejahteraan Rakyat: Basis Etik Urusan Pemerintahan Ill

□ Oposisi: SoalKonstitusionalisme 122

Tentang Penulis 137

INDEKS

VI

Sekapur Sirih Penulis

Terima kasih Anda berkenan membaca buku ini. Maaf ba-hasanya agak gado-gado, maksudnya biar bisa membayangkannuansanya secara lebih jelas. Bahasa daerah terkadang bagi sayalebih tepat dalam mengekspresikan sesuatu, dan saya tidak punyapretensi menggurui, karena saya memang bukan guru. Saya han-ya ingin menggambarkan situasi kita dan mengajak Anda untukmerenung sedikit, untuk selanjutnya sama-sama berbuat; kembalipada hakekat impian pendiri bangsa ini. Itu saja.

Saya ingin membuat analogi yang sedikit konyol, karenakadang-kadang perlu demikian biar jelas dan tuntas, serta dapatdigunakan sebagai bahan renungan. Agar, paling tidak kita sama-sama rada berpikir sejenak. Soal apakah apakah analog ini ocok,pas atau tidak, itu soal pembaca, dosa masing-masing kita tang-gung sendiri.

Kita suka sekali mimpi. Kita dengan bangga bilang bahwanegara kita kaya. Bahkan paling kaya dengan sumber daya alam,seperti minyak, batu bara, biji besi, emas, timah, nikel, bahkanuranium, dan Iain-lain. Kita kaya dengan basil laut, ikan, dari ikanbuntel sampai ikan tuna yang paling disukai orang Jepang buatbikin sashimi. Belum lagi buah-buahan, cokelat, cengkeh, jeruk,durian, salak, nanas, dan banyak lagi. Orang pintar juga banyak,bahkan ada yang bilang "kebanyakan." Tapi kok kita miskin, kokribut terus, kok demo melulu?

Tetangga kita sudah pada "lari." Kita mah jalan di tempat,atau barangkali mundur. Vietnam, Miyanmar, Kamboja, apalagiMalaysia (dan jangan ngomong Singapura) sudah pada lari men-inggalkan kita dengan berbagai kemajuannya.

Kita selalu bangga bilang, "eh Malaysia itu belajar dari kita.Petronas itu belajar dari Pertamina." lya, tapi itu dulu. Sekarangmereka seperti jet meroket.

So whatl Malu-maluin saja. Dimana salah kita. Kalau mau

Vll

maju hams berani mencari dan menemukan di mana salah kita.Kita hams berani ngaku salah. Tapi mana ada orang Indonesiayang man ngaku salah. Sorry yau...

***

Kalau saya lagi bingung, lantas saya membuat analog. Sed-erhana, tapi cukup bisa boat bantu mikir. Pertama saya coba be-ranalog dengan makanan. Misalnya sashimi, tub makanan Jepangyang cukup beken dan mahal. Dibuat dari hasil laut, seperti tuna,gurita muda, cumi-cumi dan Iain-lain yang ditata dengan sangatindah di atas semtan lobak putih. Hasil laut yang serba mentah itudisuguhkan di atas alat makan yang artistik dengan kecap jepangdan washabi, yang nyegrak di hidung. Rasanya ya enak juga.

Lain lagi dengan makanan Barat, seperti sirloin steak,tenderloin, atau lambchop, dibakar matang, setengah matang,dihidangkan dengan kentang, bayam godog, dan saos steak.Umumnya banyak daging import. Percaya tidak, ada yang 350gram harganya sampai Rp. 500.000,- dan rasanya yang pasti jugaenak.

Lalu pertanyaannya adalah, bisakah kita makan makanantersebut setiap hari, tiga kali sehari. Pagi sarapan sashimi, siangsirolin steak, malam tenderloin steak, atau lambchaop. Mau ng-gak? Jawabannya pasti, aduh, ampun deh. Jadi bukan enak, tapijadi enek. Mual pemt kita. Mengapa? Jawabannya itu bukanmakanan kita, meskipun mewah, mahal, apapun, tidak bisa dinik-mati tiap hari. Lain dengan nasi goreng, lodeh, gado-gado, gudeg,oseng-oseng, dan Iain-lain. Nah ini bam makanan kita.

Analog lain adalah soal pakaian. Bisakah kita membayang-kan Sophia Loren yang cantik dan seksi itu pakai kebaya leng-kap dengan kondenya? Ngeri kan? Salah-salah dikira bencong.Lain halnya kalau dia pakai bikini, aduhai, syuur kali, kata orangMedan.

Nah, sebaliknya, apabila Sundari Sukoco (maaf ya mbak,ini cuma bikin contoh analog) pakai bikini. Mundar-mandiri di

Vlll

tempat umum. Aduh geger deh, aneh dan kurang pantas. Tapi ka-lau beliau ini pakai kebaya, aduh, mana tarzan. Luar biasa, can-tik, gandes, dan nges. Mengapa? Jawabannya ya karena kebayamemang pakaian kita.

Dari dua analog tersebut dapat kita simpulkan, tidak mung-kin kita memaksakan sesuatu yang bukan "makanan" atau "pakaian" kita. Kalau tetap kita paksakan jadi tidak pas dan "wagu'*(bahasa Jawa, cemplang, tidak enak dilihat maupun dirasa). Marikita teliti bersama dalam kehidupan politik dan demokrasi kita.Kita pilih dan pilah mana yang pas dan jangan paksakan yangtidak pas supaya pas. Saya tabu kita tidak boleh coba. Misalnyaapakah oposisi itu pembagian wewenang pas boat kita, dihubung-kan dengan watak dan sifat kita yang sangat "perasa" yang apa-apa selalu dibawa ke hati.

Satu hal lagi yang perlu kembali sama-sama kita renungiadalah pengertian otonomi, filosofi otonomi. Untuk apa sebenam-ya otonomi itu diadakan. Pasti bukan sekedar pembagian wewenang, apalagi pembagian rizki. Pasti dalam kerangka NegaraKesatuan Republik Indonesia. Dan sama-sama kita tabu babwanegara diduikan adalab untuk melindungi, menyejabterakan rak-yat, serta mencerdaskan rakyat. Artinya tidak lain adalab untukmelayani rakyat. Supaya rakyat Indonesia bisa terlayani denganbaik dan merata maka dibangunlab otonomi, to bring the statecloser to the people. Jelas yang menonjol adalab peran melayani.

Dengan otonomi, daerab diberi wewenang untuk berperanbiar rakyat bisa terlayani dengan baik, tidak kapiran alias ter-lantar. Logikanya kalau suatu daerab yang punya otonomi kbu-sus, maka sebarusnya pelayanan terbadap rakyat akan lebib baiklagi. Diberikan kbusus tidak lain supaya bisa melayani lebib baik.Pelayanan kesebatan, pendidikan, dan kesempatan keija barusnyalebib baik lagi. Tapi sayangnya cara berfikir kita tidak ke sana,tapi bak, bak, dan bak saja.

IX

Kita semua, bangsa ini dikenal sebagai bangsa yang ber-budi luhur, religius, sopan santun, kaya raya dengan sumber dayaalam, mineral dan sebagainya. Pertanyaannya; kemana semuaitu? Seolah hanya fatamorgana belaka, semboyan dan janji me-lulu. Saling tuding, saling menyalahkan, saling memutar balikfakta, tidak man mengakui keqa orang lain, saling menyesatkanlogika, saling menjatuhkan.

Cukup sampai di sini saja. Saya yakin kita semua cinta Indonesia, cinta NKRI. Karena itu dengarlah seruan rakyat," Hai,sesama telo jangan saling mendahului. Podho telone wae kok

macem-macem, wong aku yo telo kok.Yuk kita bergandeng atangan membangun bangsa dan ne-

gara ini, seperti yang diwariskan dan didambakan oleh pendirinegara ini. "Insyaallah. Amin.

***

Saya berharap, buku ini dapat memberikan manfaat bagipembangunan demokrasi di Indonesia, terutama dalam pemban-gunan mindset berdemokrasi. Namun begitu, buku ini saja tentutidak cuku guna membangun mindset berdemokrasi yang waras.Karena itu, anggaplah buku ini sebagai bacaan pelengkap sajayang insyaAllah akan memberikan manfaat.

Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagaipihak yang telah berperan serta dalam penerbitan buku ini. Kepada seluruh pejabat dan staf Kementerian Pendayagunaan AparaturNegara saya mengucapkan banyak terima kasih, karena mereka-lah ide-ide yang saya miliki menjadi semakin tajam dan bemakna.Kepada sahabat Prof. Dr. Awaloedin Djamin saya mengucapkanterima kasih atas kesediaan beliau memberikan pengantar dalambuku saya. Kepada Dr. Margarito Kamis, saya mengucapkan terima kasih atas kesediaannya memberikan komentar dan ulasan.Juga kepada saudara Arif Ma'ruf yang telah mengedit artikel-ar-tikel saya menjadi sebuah buku saya mengucapkan banyak terimakasih. Tidak ketinggalan, rasa terima kasih ini saya sampaikan

juga kepada media masa-madia masa yang telah menerbitkanpikiran-pikiran saya.

Untuk isteriku, Sri Widiati, saya mengucapkan terima kasihyang sebanyak-banyaknya karena ketulusan serta keikhlasanmemberikan dorongan semangat untuk terus berkarya dan meng-abdi. Semoga Allah melindunginya.

Akhimya, kepada Allahlah saya berserah diri dan berdoasemoga buku ini dapat memberikan manfaat kepada kita semuayang sedang beijuang mencapai cita-cita berbangsa dan bemega-ra. Kritik dan saran untuk perbaikan buku ini juga sangat sayaharapkan, karena saya menyadari bahwa ini jauh dari sempur-na.

***

Sydney, 22 Agustus 2006

TAUFIQ EFFENDI

XI

PengantarProf. Dr. Awaloedin Djamin, MPA

Membaca buku karangan Saudara Taufiq Effendi, "Men-uju Demokrasi Yang Waras," terceraiin bagi saya kepribadianpenulisnya, Saudara taufiq yang ceplas-ceplos, terns terang, tapipenuh humor.

Saudara Taufiq sebenamya dalam buku ini membahas ma-salah yang rumit, yang masih dibahas baik di forum akademik,seminar-seminar, lokakarya, maupun dalam pembicaraan sehari-hari, seperti "reformasi," "demokrasi," supremasi hukum," "hakasasi," anarki," "birokrasi," "kepemimpinan," dan Iain-lain. Den-gan uraian yang enak dibaca penuh humor, ia menggambarkankenyataan keadaan dewasa ini dengan memberikan saran-saranpemecahan masalahnya.

Memang, reformasi sudah beijalan satu dasa warsa, tetapibelum memperlihatkan pemulihan krisis yang menyeluruh, apal-agi mencapai tujuan reformasi.

Krisi yang dimulai dengan krisis moneter tahun 1997menghantam banyak negara, termasuk Indonesia. Negara-negaraKorea Selatan, Malaysia, dan Thailand telah lama berhasil men-gatasinya. Sebaliknya di Indonesia, krisis tersebut justru berkem-bang menjadi krisis di semua bidang, krisis multidimensi yangkompleks.

Krisis ini disalahkan pada era Orde Baru, karena itu hamsdireformasi.

Apa reformasi itu? Reformasi adalah "to reform,' memper-baiki yang salah, yang kelim, menyempumakan yang sudah baik.

Xll

menjadikan pembaharuan ke arah yang dicita-citakan. Reforma-si hams jelas sasarannya, dan dicapai dengan cara yang benar.Karena itu reformasi memerlukan "diagnosa" yang tepat untukmendapatkan "terapi" yang tepat.

Diagnosa memerlukan kemampuan, tidak cukup denganniat dan tekad, apalagi dalam usaha reformasi menyelumh, reformasi selumh bidang sekaligus {overall reform). Diagnosa yaitumengetahui keadaan dan masalah secara lengkap dan objektifakan menentukan tahap-tahap dan prioritas reformasi.

Reformasi bukan ubah asal ubah, "change for the sake ofchange." Reformasi menyelumh memerlukan pengetahuan dankemampuan dalam "public policy" yang telah mempakan ilmuyang penting di perguman tinggi negara-negara maju. Kebijakan,temtama yang bempa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,Keputusan Presiden, Peraturan Menteri, bahkan Peraturan Dae-rah hams konsisten satu sama lain (mutually consistent policies).Ini tidak mudah. Bila kelim, suatu kebijakan, termasuk yang dim-muskan dalam Undang-Undang, tidak berarti apa-apa, tidak da-pat dilaksanakan.

Reformasi mengarah ke "demokratisasi," karena masa laindianggap otoriter; ke "supremasi hukum," karena masa lalu di-anggap mengabaikan dan menyalahgunakan hukum dan melang-gar hak asasi manusia; ke "aparatur yang mengayomi dan melay-ani" masyarakat, karena di masa lalu aparatur dianggap bersikapsebagai penguasa, ke "good governance," karena masa lalu tidakada transparansi dan akuntabilitas, dan sebagainya.

Semua ini tujuan reformasi yang dicanangkan satu dasawarsa yang lalu. Apa yang telah dicapai dalam "orde reformasi"ini?

Xlll

Buku Tauiiq Effendi: Menuju Demokrasi Yang Waras,secara sederhana dan penuh humor membahas hal-hal ini danmenemukan banyak reformasi yang kebablasan.

Tentu, permasalahan yang dihadapi bangsa dan negara ini tidaksesederhana cara penulisan Saudara Taufiq Effendi, namun iatelah dapat menggambarkan keadaan dan masalah negara danbangsa dewasa ini untuk mudah dimengerti.

Ia juga menekankan, kebutuhan Indonesia akan "pemimpin"(leaders), bukan pejabat semata, apakah itu basil pemilu atau di-angkat yang berwenang. Negara ini, seolah-olah telah penuh den-gan pejabat, tapi hampir tidak punya pemimpin. Pemimpin adalahpanutan karena wibawanya, bukan di ABS-kan karena wewenangdan kekuasaannya.

Walaupun keadaan ruwet, buku ini juga menggambarkan opti-misme, bahwa Indonesia akan dapat mengatasinya.

Buku ini enak dibaca dan perlu, oleh pejabat yang paling tinggisampai kepada rakyat biasa. Semoga bermanfaat.

Jakarta, Juli 2006

XIV

BAB I

MENATA KEMBALIDEMOKRASI

MENUJU DEMOKRASI YANG WARAS

Seputar Indonesia, 5 Juli 2006

Berdemokrasi adalah dambaan hampir setiap manusia.Dengannya manusia bisa memperoleh hak-haknya sebagaimanafitrahnya. Namun yang menjadi masalah, demokrasi di negeri kitabanyak dipahami sebagai kebebasan bertindak, bukan kebebasanberpikir dan berpendapat. Akhimya, praktik demokrasi mendeka-ti anarki. Demokrasi menjadi tidak sehat alias tidak waras.

Dalam ideasi demokrasi, rakyat didesain memiliki tempatterhormat, yaitu sebagai pihak yang memiliki kekuasaan, demoscrates. Kekuasaan rakyat itu kemudian diwakilkan atau direp-resentasikan melalui pemerintah (eksekutif, legislatif, maupunyudikatif) sehingga pemerintah hanyalah abdi, pelayan, dan fa-silitator kekuasaan rakyat. Di sinilah rakyat sebenamya berpo-sisi sebagai tuan, majikan, ataupun bos, sementara pemerintahhanyalah public servant yang memberikan pelayanan kepadamasyarakat luas (public service). Untuk itu semua, rakyat sebagaimajikan lalu mengeluarkan uang guna menggaji dan memfasilita-si abdinya agar pelayanan yang didapatkan serba menyenangkandan mengenakkan.

Namun bagaimana kenyataannya? Rakyat sebagai bos ser-ing dibodohi, dan kekuasaan yang dimiliki banyak dimanipulasidan diatasnamakan. Penikmatnya segelintir atau sekelompokorang yang notabenenya adalah pelayan, abdi masyarakat, danpengayom rakyat.

Mestinya kalau kita berpikir waras, rakyat sebagai majikanseharusnya mendapatkan pelayanan yang serba prima. Si pelayan hams berpikir keras dan bempaya sekuat tenaga bagaimanamenyenangkan hati majikannya. Misalnya, ketika sang majikanmengums akte kelahiran, KTP, dan Iain-lain mereka mendapatkanpelayanan yang gampang, murah, dan cepat. Kan dia sebagai bos.Tapi apa yang terjadi justm pelayanan kepada sang bos susah

berbelit-belit, sangat mahal, dan bertele-tele. Anehnya lagi, sangmajikan sering kali dipalak, diminta secara paksa, oleh si pelay-annya agar memberikan uang ekstra. Ini kan lucu dan demokrasiini benar-benar tidak waras.

Demokrasi Yang WarasDemokrasi yang waras adalah demokrasi yang mampu

memberikan kesempatan seluas-luasnya secara bertanggung-jawab dan terbuka kepada masyarakat, pemerintah, dan duniausaha untuk melaksanakan perannya masing-masing. Sehinggasemua pihak sumringah, tersenyum bahagia, enak makan, enaktidur, dan nyaman beraktivitas.

Waras berasal dari bahasa Jawa. Arinya sehat, Terkandungdalam kata waras adalah makna seperti seger, sumyah^ berseri-seri, ceria, dan Iain-lain yang kesemuanya melambangkan padasesuatu yang menyenangkan dan menenangkan. "Waras" menu-rut selera politik saya juga berarti pas, tepat, dan cocok. Mudah-mudahan pemahaman saya tidak meleset dan juga tidak meng-ganggu kenyamanan orang lain, terutama para ahli bahasa. Kalaupemaknaan ini benar sekaligus pener alahamdulillah, kalau tem-yata salah, lupakan saja.

Sekarang mari kita lihat kenyataan. Belakangan ini ekspresidemokrasi lebih banyak disalurkan lewat hujatan, amukan, ca-cian, dan tindakan-tindakan lain beraroma sadisme. Yang demi-kian ini tidak benar, sebab demokrasi bukanlah kebebasan bertin-

dak tetapi kebebasan berpikir, berbicara, dan berpendapat. Sebabpada dasamya demokrasi adalah seni memperjuangkan ide, senimeyakinkan, seni berbicara, seni mendengarkan pembicaraanorang lain, seni menghargai pendapat dan hak orang lain. Demi-kian kata Socrates.

Hak bertanya dan interpelasi juga dijadikan alat untuk men-jatuhkan (maaf kalau keliru), dan demo dijadikan atau menjadisarana "demokrasi" utama. Litle-litle demo. Mestinya, segala as-

pirasi yang ada disampaikan lewat para wakilnya (DPR dan DPD).Yang demikian ini karena semua lapisan, komponen, daerah, danIain-lain sudah ada wakilnya. Apa mereka sudah tidak percayapada wakil-wakilnya? Saya tidak tahu, karena nyatanya parawakil rakyat itu juga tidak terusik, tidak tersinggung, dan jugatidak main dengan aksi-aksi demo masa itu yang melambangkanketidakpercayaan rakyat atas keterwakilannya. Dan lucunya lagiada "wakil mereka" yang juga ikut demo, atau malah ikut meran-cang dan membantu menyediakan bus, nasi bungkus, air mineraldan Iain-lain uborampenya, sarana dan prasarana, demo. Iki piye,bagaimana ini?

Demo itu kan mestinya dilakukan apabila ada aspirasi yangtidak diperjuangkan oleh wakilnya, atau terlewatkan, atau sudahdicoba dengan cara yang normal namun tidak berhasil sehinggaperlu ditunjukkan untuk mengingatkan. Juga mestinya demo itudilakukan oleh sekelompok orang dalam satu bendera. Misalnya,kalau demo oleh tukang mie ya tukan mie saja, tidak ada di dalam-nya tukang loak. Begitu pula kalau tukang loak ya tukang loak semua, tidak diikuti oleh penjual krupuk, sabun, dan Iain-lain. Juga,tuntutan demo itu mestinya juga hams faktual, jangan berdasarpada isu dan mmor. Lucu kan kalau demo mengangkat isu darikoran sementara koran yang memberitakannya sudah minta maafkarena salah pemberitaan.

Akibat larisnya demo, maka muncullah pemsahaan demo,muncul makelar demo, muncul calo demo, tinggal pesan berapaorang, berapa ban yang perlu diobong, dibakar, apa mateng atausetengah mateng. Itu semua ada tarifnya. Pakai menggulingkanpot bunga lain lagi harganya. Tukang membuat spanduk juga la-ris, tukang nasi kotak juga laris, air mineral laris. Ini benar-benarcrazyy gila alias tidak waras. Hati nurani dan akal sehat dibung-kam habis.

Demo memang bukan hal yang haram, boleh-boleh sajaasal dilakukan secara waras. Tapi kalau demo pakai cara yang

waras, mungkin kita yang dibilang tidak waras oleh orang yangtidak waras itu.

Ironi Realita

Dewasa ini cukup banyak ironi yang dipertontontan. Sebutsaja misalnya adalah ironi sikap masyarakat terhadap pemerin-tah. Sebenamya pemerintah itu adalah pelayan dan mitra mereka.Namun yang saya tidak mengerti pemerintah justru dilihat seo-lah-olah sebagai musuh; dicaci, dimarahi, dan dijatuhkan. Pada-hal kalau kita menyadari, sikap memusuhi pemerintah seperti ituhanya membuat pihak lain tertawa lebar dan bertepuk tangan.Dia merasa berada di pasar yang tepat untuk menjual barang da-gangannya.

Semangat saling menyalahkan kita juga hebat. Tapi aneh-nya kita tidak pemah merasa salah. Yang salah selalu orang lain.Kita tidak ada yang mau disalahkan, tapi tidak ada yang marahkalau dipuji dan disanjung, malah doyan, suka sekali. Sikap kitaselalu suka mendua, benci feodal tapi kita suka sekali bila disebutDen Bei, ndoro kakung, dan suka duduk di kursi yang berbeda.Benci sesuatu yang bau TNI, tapi masing-masing partai membuatpasukan loreng. Benci KKN, tapi minta supaya anakanya ataukeponakannya diluluskan ujian CPNS. Rakyat disuruh gemi nas-titi, hemat dan tidak boros, tetapi dia borosnya tidak ketulungan,minta tegakkan hukum dan keadilan, eh dia malah main hakimsendiri, melakukan penyitaan (baca: perampokan) atas nama"damai" atau entah atas nama apa lagi. Pokoknya serba boleh,serba halal.

Saya pikir sudah saatnya ada yang ambil inisiatif, dudukbersama, di pinggir sawah yang menguning, mencium aroma tan-ah, minum kopi, ditemani kacang, ubi rebus, dan Iain-lain untukmembcihas masa depan bangsa ini. Di sini kita rumuskan kon-sep Indonesia yang mapan, supaya tidak jatuh bangun. Juga disini kita rumuskan tentang demolaasi yang waras yang dan jugapener untuk selanjutnya kita wariskan pada anak cucu kita. AsalMau pasti bisa.*** Semoga!

HAM DAN DEMOKRASIDALAM NEGARA HKUM

Suara Pembaruan 28 Juli 2006,

HAM, demokrasi, dan negara hukum adalah tiga hal, tetapisatu tidak terpisahkan, dan juga tidak boleh dipisahkan. Namundalam kenyataan ketiganya sering—kalau tidak selalu—dibacasecara partial dan diambil yang menguntungkan saja. Akhimyaorang merasa mengerti dan merasa sangat mengerti, padahal ses-ungguhnya tidak mengerti apa-apa, serta masing-masing meng-klaim dirinya sebagai pejuang HAM, pejuang demokrasi, dantanpa malu menyebut dirinya sebagai pembela hukum atau gardanegara.

HAM adalah hak mendapatkan kebebasan atau pun kemer-dekaan yang didasarkan pada keyakinan bahwa semua orang di-lahirkan sama, all men are born equal. Apanya yang sama? Yaituhaknya sebagai manusia yang sama-sama memiliki perasaan, per-anakan, dan juga anak istri/suami. Karenanya tidak boleh salingmembatasi dan juga tidak boleh diskriminatif sebab perbedaanwama kulit, suku, agama, ras, dan Iain-lain (ini pengertian dantafsir penulis, tidak akademis tetapi pengertian populer saja).

Dengan demikian, HAM adalah kebebasan terbatas. Batasn-ya adalah kebebasan orang lain. Kalau kita tidak suka diganggu,kita tidak boleh mengganggu orang lain, lebih-lebih menyangkuthajat hidupnya; butuh makanan untuk dimakan, pakaian untukdipakai, pekerjaan untuk beli beras, dan Iain-lain.

Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, kesa-daran terhadap HAM berjalan lebih cepat ketimbangan kemam-puan memuaskan kebutuhan ekonomi dan menjamin berfungsinyamekanisme integrasi dan konsensus. Yang demikian ini sepertinyaperlu ditata ulang, sebab perjuangan yang dilakukan dengan perutsakit mlilit karena lapar cenderung melahirkan tindak kekerasan.

HAM yang diperjuangkan dengan cara-cara kekerasanhanya akan melahirkan kekerasan baru. Ini terjadi karena dalam

aksi kekerasan itu terselip—paling tidak~dua perasaan. Pertamaadalah perasaan terhina, teronggok di dalamnya keinginan untukkembali menegakkan harkat dan maitabat yang terpuruk. Yangkedua adalah perasaan tidak berdaya yang dilanjutkan denganupaya mengumpulkan energi guna menutupi ketidak berdayaanitu.

Tuntutan tegaknya HAM merupakan bagian dari demokra-si. Demokrasi itu sendiri diidentikkan dengan kebebasan berpen-dapat, karena bila kebebasan berpendapat ini tersumbat makasistem politiknya terancam. Oleh karena itu, sejak awal sistemdemokrasi dipraktikkan di Yunani sana, kebebasan berpendapatmenjadi sarana utama tindakan politik.

Politik Porno

Di Indonesia, kebebasan berpendapat kelihatannya be-lum menjadi sarana utama tindakan politik. Demokrasi lebihdimaknai sebagai kebebasan berbuat (padahal semestinya tidakdemikian). Berbagai aksi masa bemada kekerasan dan brutalisme(menghujat, menuduh tanpa bukti dan klarifikasi terlebih dahulu,membakar emosi masa, membakar bendera, memblokir jalan, danlain-lainnya di mana kesemuanya menyebabkan lalu lintas macet,saudara kita yang mau pergi ke kantor bekerja terhambat di jalan,ibu hamil harus manahan bayinya yang mau merojol, lahir, dansopir taksi serta bus kota tidak bisa cari nafkah) sering mewar-nai aksi politik dalam upaya mencapai tujuannya. Parahnya lagi,ini tidak semata didominasi oleh para politisi tapi juga dilakukanoleh kelompok-kelompok yang mengatasnamakan penjaga tatan-an moral. Yves Michaud menyebut kekerasan untuk tujuan politikseperti ini sebagai politik porno (berasal dari bahasa Yunani, por-neia, artinya berbuat tidak senonoh).

Lalu dimanakan kebebasan yang diperjuangkan, karenapasti mereka semua yang terganggu tidak senang disebabkan hakasasinya dilanggar oleh orang yang tidak senang kalau hak asas-

inya diganggu juga (ha, ha, ,..lucu kan?). Tapi sebenamya tidaklucu, sebab demokrasi tidak bisa dipeijuangkan dengan cara-carakekerasan. Kekerasan hanya melahirkan suasana mencekam-me-nakutkan yang mengebiri kebebasan yang dituntut oleh demokrasi itu sendiri.

Demokrasi itu ada aturannya. Tanpa aturan maka demokrasimenjadi anarki. Aturan itu berisi boleh dilakukan dan yang tidakboleh dilakukan, di samping hal-hal yang membolehkan ada yangdilarang. Tidak mungkin boleh semua, atau dilarang semua. Tapijuga tidak boleh serba tidak boleh, karena yang seperti ini se-makna dengan penjajahan yang bersifat otokrasi diktator.

Aturan-aturan itu adalah hukum. Hukum itu sendiri sebenamya adalah konsensus bersama warga negara guna melindungipihak yang lemah dari kesewenang-wenangan pihak yang kuatdan membatasi pihak yang kuat agar tidak semena-mena terha-dap pihak yang kurang berdaya. Dengan hukum ini diharapkanterwujud keadilan, kesejahteraan, perlindungan,dan solidaritasuntuk semua.

Agar aturan menjadi berarti perlu ada kekuasaan yang ber-wibawa, disegani, dan dihormati. Thomas Hobbes menyatakanbahwa perjanjian tanpa pedang hanya omong kosong." Atau,minimal, hukum menjadi tidak disalahgunakan untuk kepentin-gan pihak-pihak tertentu yang memiliki otoritas mendefinisikankeadilan—sebagaimana dikhawatirkan oleh Trasymachus, kawandebat Socrates.

Menumbuhkan kewibawaan pemerintah di era transisi bu-kan pekerjaan mudah, sebab sedikit bersikap tegas saja sudah di-anggap atau dinilai melanggar HAM, otoriter, dan lain sebagain-ya. Sementara ketika kran toleransi dibuka lebar, lalu pemerintahdipandang lembek, tidak gesit, dan tidak responsif terhadap tun-tutan. Inilah salah satu ekses masa transisi, di mana penyebab-uya—dikatakan oleh Samuel P Huntington—adalah karena aturanlama dianggap kuno dan tidak relevan sementara aturan baru be-

lum tersosialisasi serta belum terintemalisasi dengan baik. Tapiyang pasti kita semua tidak menginginkan terjebak dalam labi-rin kekecewaan, oleh ketidakadilan, kemarahan, kehancuran, danIain-lain. Oleh sebab itu konsolidasi demokrasi hams terns dilan-jutkan. Salah satunya adalah dengan supremasi hukum.

Inpres Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberan-tasan Kompsi adalah salah satu bukti nyata tekad pemerintah un-tuk menegakkan hukum. Karena itu dibutuhkan pengawalan ketatoleh semua pihak agar Inpres tersebut dapat operasional secaramaksimal hingga terlahir masyarakat sadar hukum (law obedi-ance citizens). Dalam bahasa ustad saya, terlahir warga negarayang ikhsan, yaitu merasa bahwa segala pikirannya dan juga ger-ak-geriknya dipantau oleh Tuhan Yang Maha Esa sehingga hamssenantiasa berhati-hati dan taat terhadap aturan yang ditetapkan.

Indonesia Negara HukumDalam UUD 45 dijelaskan bahwa Indonesia adalah negara

berdasar pada hukum bukan pada kekuasaan. Ini artinya Indonesia adalah suatu negara yang menganut falsafah bahwa negaradiatur secara hukum j semua orang mempunyai hak yang samadi hadapan pengadilan, tidak ada orang yang kebal hukum (impunity), tapi yang ada adalah semua hams tunduk pada hukum.

Sebenamya, Indonesia sebagai negara hukum sudah men-jadi rahasia umum, sudah diketahui setiap hidung, dan juga bukanbarang bam. Begitupun, ada saja alasan pembenar untuk melang-gar. Maaf, banyak kenalan saya yang ahli dalam hal mencari alasan yang tepat dan sepertinya legal untuk melanggar atas namademokrasi atau demi tegaknya negara hukum. Aneh lagi, sudahtahu dilarang tapi dilanggar secara amat sadar, dan yang palingeduan (ejaan dan dialek Jawa, artinya sangat gila), mereka bang-ga bisa melanggar hukum. Jagoan dan 'reformis' katanya. Yangdemikian ini sesungguhnya pengkhianatan, bukan perjuanganHAM dan demokrasi.

10

Bagimanapun juga supremasi hukum adalah harga matiyang tidak bisa ditawar lagi. Untuk itu hal pertama yang perludibangun adalah menyadarkan kembali spirit of nationalismepara founding father kepada generasi masa kini, di samping jugamengingatkan kembali tentang cita-cita hakiki kemerdekaan yangdiperjuangkan oleh para pendahulu kita.

Hukum juga tidak boleh diayunkan semaunya. Keadilanyang digali juga tidak sebatas keadilan formal tetapi menghujampada keadilan substansial. Indah sekali kelihatannya kalau hukumdi negeri ini dapat berdiri tegak. Siapa saja boleh berkeinginan,boleh berbuat, dan boleh apa saja tetapi tetap dalam koridor berkeinginan kuat untuk tidak menyakiti dan mencelakai orang lain.Sehingga semuanya aman, nyaman, dan sejahtera. Gambarannyapersis seperti semua negara boleh bercita-cita memperoleh WorldCup dalam kejuaraan sepak bola dunia, tetapi masing-masingberusaha taat terhadap aturan main yang disepakati (fair play).Melanggamya berarti mempercepat kegagalan menjadi juara.

Tapi lagi-lagi kuncinya ada pada konsistensi dan kesunggu-han kita. Karena tidak ada yang bisa membantu kecuali diri kitasendiri, oleh kita sendiri, dan dari kita sendiri. Apakah kita maukeluar dari kekusutan atau tidak. Atau, apakah kita ingin tetapmenjadi pelawak yang tidak lucu?. Semuanya berpulang kepadakita.

Jika tiga serangkai (HAM, demokrasi, dan hukum) berjalanseiring seirama serta senafas, maka hidup ini menjadi sangat indah menentramkan. Tapi, ini semua kembali kepada pilihan kitaapakah menginginkan hidup mendekam dalam kekusutan atauhidup dalam kepastian-kepastian yang menyejahterakan.*** Se-moga bermanfaat!

11

REFORMASI

Suara Karya, 12 Juli 2006

Semua orang bicara reformasi. Lebih-lebih di usianya yangsudah mencapai satu windu ini. Berbagai komentar, baik bemadasinis atau pun memuji, datang silih berganti mengevaluasi per-jalanan reformasi. Sungguh, suatu tanggapan yang perlu diapre-siasi karena semua itu menunjukkan kepedulian terhadap reformasi itu sendiri. Bisa dibayangkan, jika semaunya masa bodoh,diam, dan tidak bersuara atas capaian-capaian reformasi selamakurun waktu delapan tahun ini.

"Reformasi" memang sangat menaiik dibincangkan,sebab ia merupakan titik kebangkitan Indonesia dari rezim otorit-er menuju tatanan yang demokratis (sosial, politik, ekonomi, hu-kum, dan sektor-sektor yang lain). Namun, di satu sisi yang lain,dikarenakan "reformasi" punya daya magnitude yang kuat, makareformasi itu sendiri juga mudah diseret ke ranah politik sehing-ga acapkali menjadi komoditas politik. Yang demikian itu jugabarangkali tidak salah, karena reformasi itu sendiri pada mulanyaadalah sikap -tepatnya—gerakan politik.

Yang menjadi masalah adalah ketika masing-masing kitamemiliki definisi sendiri-sendiri tentang reformasi. Literatumyapun diambil berdasarkan selera hati. Gambarannya persis sepertiketika kita bertanya kepada 25 orang tentang definisi meja. Mere-ka semua pasti tahu apa itu meja, tetapi demikian jawabannyapasti ada 25 macam juga. Karena hal yang seperti itulah, makaperjalanan reformasi seolah menjadi "linglung" yang bingungarah.

Kesamaan definisi atau persepsi yang sama tentang reformasi sangat signifikan. Sebab ini sangat menentukan arah perjalanan reformasi itu sendiri. Kalau persepsinya sudah sama,maka besar kemungkinannya tujuannya akan sama, dan strategipencapaian tujuan itu juga akan sama pula. Idealnya memang.

12

persepsi hams sama, tujuan sama, dan strategi sama.Sekarang ini ada kecendemngan bahwa reformasi di-

maknai sebagai sikap anti orde bam (orba). Semua yang berbauorba hams disingkirkan, dilenyapkan sampai akar-akamya di-binasakan, Bahkan kalau kita ingat di awal-awal reformasi, ge-dung-gedung megah yang dibangun di masa pemerintahan Suharto diluluh-lantahkan, balai desa diratakan dengan tanah, danlain sebagainya—padahal- masih bisa dipakai untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat yang selaras dengan cita-cita reformasiitu sendiri. Barangkali, pada waktu itu para pemsak sedang khilafdan tidak menyadari bahwa apa yang mereka msak dan robohkanitu hanyalah sarana dan prasarana yang tidak berdosa serta tidakbersalah. Juga mereka lupa bahwa bagunan-bangunan itu adalahhasil kucuran keringat kerja keras mereka. Akhimya, bangsa inihams berkeringat kembali membangun infrastmktur.

Hal lain yang cukup menonjol dalam reformasi ini adalahsoal pemaknaan kebebasan. Ada gejala bahwa kebebasan di erareformasi dimaknai sebagai suatu tindakan atau ucapan yang se-bebas-bebasnya tanpa batas. Coba kita perhatikan, sekarang sep-ertinya bukan hal yang tabu lagi berbicara di media masa dengancara menuding atau menuduh orang lain sebagai pihak yang ber-buat salah—meskipun tidak disertai bukti-bukti kuat. Juga, sekarang sepertinya tidak tabu lagi mencaci maki dengan kata-katakotor kepada tokoh masyarakat, tokoh agama, atau pun pejabatnegara. Padahal, kebebasan yang seperti ini sebenamya adalah ti-rani. Sebab, kebebasan yang sejati adalah menjamin terwujudnyarasa aman dan nyaman kepada setiap individu.

Termasuk dalam gejala di atas adalah mengatakan bahwareformasi birokrasi belum jalan. Reformasi birokrasi jalan di tem-pat, dan lain sebagainya, Mengatakan yang demikian ini boleh-boleh saja {toh ini jaman reformasi). Namun demikian, agar kitatidak termasuk kategori orang yang tidak tahu kalau dirinya tidaktahu—sebagaimana dikatakan oleh Imam Ghozali—maka kita

13

tidak perlu tergesa-gesa cepat mengambil sebuah kesimpulanberdasarkan pembacaan-pembacaan sekilas, tidak menyeleruh.Mungkin, orang yang mengatakan bahwa reformasi birokrasi tidak berjalan disebabkan dia belum pemah melihat dan membacabagaimana wajah birokrasi di Sragen, Gorontalo, Solok, Surabaya, dan lain sebagainya. Juga mereka belum melihat bagaimanapelayanan Puskesmas di kecamatan Kalideres, Tangerang. Sek-edar diketahui Puskesmas di kecamatan ini sudah mendapatkansertifikasi ISO 9001:2000. Dan juga, barangkali, mereka belummerasakan pelayanan SIM, STNK, dan BPKB di kota Tangerang.Dan tentunya di tempat-tempat lain yang tidak mungkin disebutsatu persatu.

Oleh sebab itu, marilah kita lebih arif dalam melihat refor

masi. Reformasi jangan dilihat dari kacamata selera pribadi danjuga defenisi sendiri. Kalau cara pandangnya pribadi, maka mak-na khakiki dari reformasi tidak akan pemah tergali.

Reformasi Itu Menata UlangReformasi tidak berarti memulai dari nol. Tetapi yang na-

manya reformasi itu adalah mcreform. Yaitu menata ulang agarlebih bagus dan lebih bermakna. Sesuatu yang buruk ditinggal-kan, dan yang baik dipelihara untuk disempumakan. Barangkali,reformasi itu semakna dengan apa yang sering diucapkan olehustad saya, " almuhaafadlatu al alqadiimi assaliih wa al ahdu bial jadidii al aslah." Yaitu memelihara yang baik dan mengambilsesuatu yang bam yang lebih bagus.

Dengan kalimat lain, reformasi sebenamya adalah memulaidari akhir. Yaitu memulai perbaikan berdasarkan atas capaian-ca-paian obyektif yang sudah ada. Contoh menarik yang bisa disebut di sini adalah reformasi yang dilakukan oleh pemerintahanJepang. Negara matahari terbit itu sama sekali tidak mencabutbudaya lama yang sudah ada tetapi mempertahankan yang baik-baik sembari menyedot budaya Eropa yang dipandang bagus yang

14

dapat memajukan kesejahteraan rakyat dan negaranya. Lihatlah,Jepang kini sangat maju! Beda halnya dengan Turki. Turki di ba-wah Kemal Attatruk—ketika melakukan reformasi—justeru men-

inggalkan semua budaya lamanya dan menggantikannya denganbudaya Eropa yang sama sekali bam. Hasilnya seperti diketahui,Turki tidak mendapatkan kemajuan yang beraiti.

Yang tidak boleh dilupakan dalam soal reformasi iniadalah kita melihat daya kemampuan kita. Kita hams mampumelihat dengan jelas di mana posisi kita, seberapa banyak kemampuan kita, seberapa canggih skill kita, dan lain sebagainya.Jangan sampai kita menggantang awan, mencita-citakan sesuatuyang sulit dilaksanakan. Misalnya, kita hoby bermain bulu tang-kis, kok kemudian bercita-cita menjadi seorang petinju sekelasMike Tyson. Yang seperti ini aneh, tidak realistis, dan kebablasan.Bahkan bisa dikatakan ini aksi nekat. Dan nekat itu searti den

gan bunuh diri. Karena—ibaratnya—kita mau perang tetapi tidakmengetahui kekuatan sendiri sejauh mana kita mampu.Yang passajalah!

Saya cukup senang dengan perkembangan reformasi yangsedang kita laksanakan. Ketika saya berkunjung ke Sragen, JawaTengah, tanggal 23 Mei 2006, bersama dengan Menteri Pertanian,Menteri Perindustrian, Menteri Kesehatan yang diwakili oleh Ir-jen Departemen Kesehatan, dan sejumlah wartawan dari berbagaimedia masa, temyata di sana kita dapatkan bahwa mikro ekonomiberjalan dengan baik, Pelayanan publik menyenangkan, stok padisurplus sampai diekspor ke manca negara, sawah baik organikdan non organik ijo royo-royo (sangat subur), fasilitas kesehatanbaik dan bersih, pemasukan pajak, PAD, dan lainnya naik temsmeningkat.

Mengapa di Sragen yang saya kunjungi seperti itu? Sayayakin bahwa dalam memaknai reformasi itu mereka berangkatdari pembacaan kemampuannya sendiri secara cermat, sehinggaterlahir konsep yang jelas. Bagi mereka, kemampuannya adalah

15

di bidang pertanian dan UKM. Ini yang mereka kembangkan.Dengan konsep dan kemampuan yang dimiliki, mereka

menelusuri jaringan atau koneksi, pasar, dan Iain-lain secara te-pat sehingga tidak salah jalan atau salah campur, dan juga tidakkonyol. Dan akhimya yang terpenting adalah melibatkan semuapihak agar punya komitmen yang kuat terhadap reformasi ini, disamping juga didukung oleh para aparatur yang handal-profe-sional. ***Semoga!

16

OPOSISI, YES OR NO (I)

Sinar Harapan,

Menurut para pakar, oposisi diartikan sebagai pendirianberlawanan kubu partai terhadap paitai yang sedang menjalankanpemerintahan. Tujuannya check and ballance serta mengontrolagar jalan roda kekuasaan lurus tidak menyimpang dari ketentuanyang telah ditetapkan.

Oposisi merupakan barang impor. "Impor" itu boleh-bolehsaja, tidak dilarang. Namun sebelum impor dilakukan pentingkiranya direnungkan terlebih dahulu secara mendalam apakahkeputusan impor itu sedah tepat. Juga, jangan lupa menyortir agaryang masuk adalah barang yang baik-baik saja, sebab yang na-manya barang impor tidak semuanya cocok (ada yang baik danada pula yang buruk, ada yang ukurannya terlalu besar, juga adayang terlalu ketat). Dengan demikian, kalau ada masalah dike-mudian hari kita sudah memperhitungkan sebelunmya. Jadi tidakkaget dan tidak saling menyalahkan. Biarkan Londo (Belanda)saja yang salah karena telah menjajah kita selama 350 tahun.

Mengapa perlu perenungan dan sortir?Mari kita telaah cerita ini. Ada orang Amerika namanya

Mr. Robert. Umumya 60 tahun. Dia sedang sakit dan dirawat dirumah sakit di negeri paman sam sana. Pada waktu diperiksa,dokter yang merawatnya mengatakan, " Eh Robert, maaf ya akumesti bilang sama you. Melihat you punya penyakit, maka palinglama you bisa bertahan 4 bulan karena jantung you sudah parah."Mendengar informasi dokter itu, Mr. Robert tersenyum dan bilang, "Dok, kita taruhan yuk. Saya yakin bahwa saya masih bisahidup dua tahun lagi, mungkin malah lebih.'*

Nah, sekarang mari kita beralih ke negeri kita. Di sini adaPak Wongso, usianya 55 tahun. Dia sedang sakit dan dirawat sep-erti Mr. Robert. Cuma perawatannya di Indonesia dan doktemya

17

juga orang Indonesia. Dokter itu juga mengatakan seperti dokteryang merawat Mr. Robert, "Pak insya Allah Bapak masih kuatsetahun lebih, asal Bapak rajin minum obat." Kata dokter den-

gan nada lembut dan santun menentramkan. Tapi apa lacur, PakWongso malah lemes, tercenung, tidak man makan tidak manminum, hilang semangat, dan besok paginya meninggal duniadengan wajah putus asa. Bukan main marah anak dan menantupak Wongso. "Dokter edan dan gemblung, masa orang sakit kokdiomongin seperti itu. Ya mati," katanya sambil marah-marah danmukulin dokter yang merawatnya.

Dari cerita di atas, tampak sekali bedanya. Yang pertamamembuat pasien tambah semangat, sementara yang ke dua mem-buat pasien putus asa dan hilang harapan. Mengapa demikian? Ja-wabannya adalah karena variabel Pak Wongso beda dengan vari-abel Mr. Robert. Tidak ada yang salah di sini, cuma soal kearifan,karena ada perbedaan hakiki antara "banar" dan "pener." (BahasaJawa: artinya pas dan tepat). Sesuatu yang "benar" belum tentupener karena latar belakang yang ada.

Begitu pula dengan masalah opoisisi. Baik dan cocok diter-apkan di negeri orang belum tentu pas di negeri kita. Kita punyakultur sendiri, punya kecerdasan emosi maupun kecerdasan in-teljensia sendiri, dan juga punya sejarah sendiri. Kalau kekhasanyang kita miliki diabaikan sembari memaksakan variabel dariluar, maka akan menjadi kacau. Bisa-bisa kasusnya akan seperticerita Pak Wongso di atas, menjemput ajal.

Perhatikan Variabel

Sudah panjang perjalanan republik ini. Coba renungkan,terhitung sejak orde reformasi ini sampai sekarang saja, sudahberapa banyak gaya dan model yang dipertontonkan untuk meng-kritisi pemerintah (beroposisi). Mulai dari yang konseptual sampai yang gaya nyentrik.

Oposisi tidak dilarang karena bagian dari berdemokra-

18

si. Cuma yang menjadi persoalan, semuanya meninggalkanpengikut-pengikut fanatik yang kemudian melahirkan kerak-ker-ak kelompok yang saling bertentangan satu sama lain. Munculkelompok-kelompok masyarakat, baik yang mumi, setengahmumi, atau palsu, baik biaya sendiri maupun biaya dari langit,bertikai hingga sama-sama jadi "bathang," binasa seperti ceritaAjisaka. Entah salah siapa, tapi yang pasti, yang bertarung adalahkelompok melati dan kelompok melur, yang sama-sama lahir dibumi pertiwi, sama-sama makan bacem dan belacan, dan sama-sama mandi di sungai Cisadane (Nama Sungai di Tangerang).

Korbannya adalah rakyat dan bangsa. Pertanyaannyaadalah untuk apa semua itu~sama dengan pertanyaan KhairilAnwar dalam sajak Antara Karawang dan Bekasi, "apakah ke-matian itu untuk kemerdekaan atau tidak untuk apa-apa, untuksia-sia, sekedar memuaskan nafsu politik suatu pihak, siapapunitu." Tentu, semua ini dilakukan demi yang muluk dan luar biasa.Kalau tidak, untuk apa bakar-bakar ban, robohkan pohon, acak-acak taman, dan lain sebagainya. Namun demikian, saya yakinpasti semuanya punya maksud baik.

Karena itu oposisi perlu didukung oleh konsep yang ma-pan, integral, dan holistik. Juga, oposisi tidak boleh melupakanvariabel-variabel yang ada. Tentang apa saja variabelnya, itu ter-gantung dari ketajaman cara baca dan juga cara mengayunkandisiplin ilmu yang dimiliki. Tanpa itu semua, maka oposisi hanyaakan melahirkan ketidakpastian-ketidakpastian, air mata, darah,dan bertambahnya Jumlah pusara. Jika ini terjadi saudaraku, makapenonton bertepuk tangan gegap gempita sambil mengacungkankedua jempol tangan kiri dan kanan. Lalu mereka saling pandang,saling kedip mata, mentertawakan kita.

Di antara variabel yang dimaksud adalah watak bangsa Indonesia. Kalau saya baca di literatur lama tentang watak bangsaIndonesia, sepertinya bangsa ini halus budi pakertinya, sopan tu-tur katanya, santun perilakunya, halus perasaannya, andhap asor

19

dan tidak sombong, hormat pada yang lebih tua, hormat padapemimpin, suka bergotong royong, dan lain sebagainya. Juga,bangsa ini adalah bangsa yang suka bekerja sama, saling mem-bantu, serta tidak menang sendiri. Kita kenal ada istilah rambateratahayu, ho lupis kuntul baris, dan Iain-lain di mana kesemuan-ya mencerminkan kebersamaan dan kekompakan.

Watak di atas baik dan mulia. Karena itu watak seperti initidak boleh diabaikan dalam beroposisi, sebab kekritisan yangtidak didasari oleh variabel keindonesiaan bisa jadi membuatorang lain mudah tersinggung, mudah korslet, dan mudah marahyang dibarengi dendam. Setelah itu pasti akan berbuat yang aneh-aneh dan politicing di mana hal-hal yang sebenamya persoalanteknis menjadi politis. Perkembangannya lebih mengerikan lagi,yaitu terjadinya antara partai pemenang dan partai yang kalahdalam pemilu, berubah jadi pemerintah lawan oposisi. Lalu den-gan pelbagai rekayasa politik (ini sah-sah saja) berubah menjadiseolah-olah pemerintahan berhadapan dengan rakyat. Runyamkan? Memang kelihatannya lucu. Tapi itulah kenyataan. Variabeltidak boleh dipandang remeh!

Kedepankan Kritisisme

Di Indonesia, menjadi oposisi itu terkadang bukan cita-citatapi umumnya terjadi karena kecelakaan. Misalnya karena kalah dalam pemilu, kalah dalam pilkada, atau karena kalah dalamproses politik yang lain. Motifnya adalah rasa tidak ikhlas jikakekuasaan dipegang oleh orang lain. Oposisi menjadi kehilanganmakna orisinalnya hingga akhimya oposisi di sini tidak sepertidi negeri asalnya yang mengedepankan kritisisme; bisa berdebatsampai teler, tunjuk-tunjukan di parlemen, dan Iain-lain, tetapisetelah itu mereka yang berbeda pendapat dapat duduk mesra dibar atau di kafe.

Sekarang timbul pertanyaan, apa kita sudah beroposisi, atauapakah kita sudah siap berdemokrasi. Kalah dalam Pilkada saja

20

kita sudah ngamuk tidak ketulungan, membakar gedung KPUD,minta pilkada ulang, dan lain sebagainya.

Mestinya politik hanya bermain sampai batas pemilu. Lewatbatas itu, begitu seseorang menjadi anggota dewan, jadi menteri,dan lain sebagainya, maka "kepentingan parpol" berhenti, yangada cuma kepentingan rakyat. Semua jadi satu. Perdebatan bolehsaja seru, tapi soal-soal yang substantif, bukan lagi karena mem-perahankan garis partai. Misalnya berdebat soal pembangunanpelabuhan di titik A atau di titik B. Masing-masing berdebat dimana yang paling pas dan apa alasannya. Mengapa hams di titikB, apa argumennya, apa dasar pemikirannya, silahkan adu argu-men. Bukan seperti sekarang adu kuat beraroma okoL Parlemenbembah menjadi arena gladiator, menteri yang tanggung-tang-gung dikerjain sampai mewek bercucuran air mata. Pokoknyasem banget! Apa memang hams begini?

Mungkin saja gambaran saya tadi berlebih-lebihan, mu-dah-mudahan memang berlebihan. Jadi ya kalau berlaku sekarang sudah dianggap baik lupakan saja apa yang Anda baca ini.Tidak perlu diperdebatkan karena tidak ada gunanya. Tapi cukupdirenungkan saja. Siapa tahu muncul pemikiran-pemikiran lainyang lebih tepat. Bagaimana bentuk, sistem, dan cara main opo-sisi. Agar kita bisa melangkah dan tidak jalan di tempat. LihatMalaysia, Thailand, Vietnam bahkan Mianmar dan Bangladesh.Merka sudah melenggang. Kita semua mencintai Indonesia. Per-tanyaannya bagaimana agar kita sedikit lebih baik. Asal mau pastibisa.***

21

OPOSISI, YES OR NO (U)

Sinar harapan,

Soal opisisi bukan barang baru di Indonesia. Pada masaDemokrasi Parlementer, praktik oposisi pemah dijalankan, tapiterkubur bersamaan dengan dikeluarkannya Dekrit presiden 5Mi 1959.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah oposisi benar-be-nar diperlukan di Indonesia? Beragam pendapat tentang hal ini;ada yang mengatakan perlu dan ada pula yang sebaliknya. Mas-ing-masing punya alasan yang mendasarinya.

Istilah oposisi lahir dari khazanah Inggris, ketika di parle-men ada dua kekuatan yang saling berhadapan antara partai yangmemerintah dan partai yang diperintah. Semangatnya adalahuntuk mengontrol kekuasaan agar tidak jatuh pada praktik kes-ewenang-wenangan. Sebab, sebagaimana di antaranya dikatakanoleh Lord Acton beihwa kekuasaan cenderung menyeleweng.Juga, oposisi dimaksudkan untuk memberikan altematif-altema-tif kebijakan yang lebih mencerahkan.

Oposisi di Ingris lahir sebagai akibat langsung sistempemerintahan yang ada pada masa itu, yaitu kerajaan absoulut, dimana raja berkuasa secara mutlak sementara rakyat tidak punyahak untuk mengoreksi dan mengingatkan jika raja berbuat salah.

Kelihatannya, di Indonesia punya sistem yang berbedasama sekali dengan sistem Inggris. Sejak dahulu kala—padamasa raja-raja—rakyat diberi kesempatan untuk ikut menyam-paikan aspirasi-aspirasinya berkaitan dengan hajat hidupnya.Alun-alun terbentang luas di depan istana raja adalah tempat ber-kumpul rakyat menyampaikan uneg-unegnydi. Jadi, sejarah Indonesia tidak mengenal sistem oposisi sebagaimana yang kita kenalsekarang ini (berdiri diametral dengan pemerintah yang berkuasadan membentuk kabinet bayangan, serta berusaha untuk mem-buat pemerintah terpuruk lalu jatuh).

22

Kita punya semangat gotong royong yang tinggi, mengede-pankan musyawarah untuk mufakat demi kesejahteraan bersa-ma, dan Iain-lain. Di daerah-daerah punya seiyo sekato, punyasemangat bule ai dipambuluah, dan Iain-lain yang kesemuanyamencerminkan semangat kebersamaan, bahu-membahu, dan sal-ing mendukung.

Kontrol terhadap pemerintah itu penting. Dengan demi-kian masalah accountability atau pertanggungjawaban akan lebihdiperhatikan. Tapi semangat kontrol itu adalah untuk perbaikandan penyempumaan, bukan semangat untuk menjatuhkan. Kalausemangat menjatuhkan ini menjadi peringkat nomor wahid, makasaya yakin negara kita tidak akan pemah memiliki pemerintahanyang stabil, kuat, dan berwibawa, tetapi pemerintah yang jatuh-bangun silih berganti sampai tidak sempat menyusun programkerja, apa lagi bekerja.

Melihat Indonesia adalah bukan Barat, tetapi negara yangmemiliki tradisi dan kebuduyaan sendiri, maka praktik oposisiperlu dinafasi oleh semangat kultur keindonesiaan. Kalu bolehusul, oposisi di negeri ini menempatkan diri sebagai kelompokkritis yang selalu mengingatkan para pengambil kebijakan agarberhati-hati serta tetap berada di rel dan rambu-rambu yang telahdisepakati dan telah ditetapkan. Juga, di saat yang sama pihakoposisi tidak sungkan dan tidak malu-malu memberi applous-hormat kepada pemerintah ketika kebijakan-kebijakan yangdibuatnya tepat.

Karena itu oposisi tidak perlu mendeklarasikan dirinya sebagai kelompok tersendiri tetapi bersatu dengan masyarakat, LSM,Pers, dan Iain-lain bekerjasama membantu pemerintah secara kritis (bukan yes man) agar jalan yang ditempuh oleh pemerintahlebih tepat dan lebih akurat, sehingga cita-cita besar berbangsadan bemegara cepat terwujud. Dan pemerintah menempatkankelompok kritis ini sebagai mitra sejati yang siap menyumbang-kan gagasan-gagasan segamya demi perbaikan.

23

Indonesia Bukan Barat

"Think globally and act locally." Barangkali ungkapanini cukup tepat untuk menggambarkan bahwa kita boleh berfikirsecara luas, mencari ilmu di mana saja (Barat ataupun Timur),tetapi selalu mengingat bumi tempat kita berpijak. Kita boleh dantidak dilarang belajar konsep oposisi dari negeri Barat, tetapi kitatidak boleh melupakan bahwa bumi yang kita pijak adalah Indonesia yang budaya dan orang-orangnya beda dengan Barat.

Menurut Benedic Anderson, kita punya konsep kekuasaanyang sama sekali berbeda dengan konsep Barat. Karena itu konsep oposisi yang lahir dari rahim Barat sepertinya kurang pasditerapkan di negeri kita secara seperti apa adanya di Barat. Untuk itu, konsep oposisi itu perlu diracik kembali agar bercita-rasaIndonesia (mengedepankan sikap gotong royong, andhap asor,bahu-membahu, dan tidak saling menjatuhkan).

Kalau oposisi masih dijiwai oleh semangat "perlawanan"kepada pemerintah, maka hal-hal yang substansi menjadi hilang,dan kita diributkan oleh hal-hal yang sifatnya permukaan. Akhim-ya, 50% energi bangsa ini habis untuk mengurus dan menjawaboposisi. Pembenaran akhimya bersifat pembenaran politik. Masa-lah teknik dikalahkan oleh kepentingan politik. Lalu yang munculadalah adu retorika dan asal suloyo yang sebenamya tidak pent-ing.

Kalau konsep oposisi yang masih bemuansa Barat itu di-paksakan, maka kasusnya akan seperti cerita Pak Wongso dan Mr.Robert yang pemah saya ceritakan. Sebab masing-masing (tam-pat dan orangnya) mempunyai variabel yang berbeda. Indonesiadan bangsanya memiliki variabel yang tidak sama dengan negaradan Inggris, Amerika, serta negara-negara lain, baik menyangkutvariabel politik, budaya, ekonomi, maupun variabel yang lain.

Bangsa Indonesia punya budaya politik sendiri. Dan dalampembangunan politik, kita tidak perlu mencabut akar, tetapi mem-benahi mana yang kurang pas agar lebih baik dan lebih sempuma.

24

Kalau pencabutan akar itu dilakukan, maka bangsa ini akan men-jadi bangsa yang miskin identitas dan tidak memiliki karakteris-tik. Alih-alih, nasibnya mungkin akan seperti Turki yang pemahmencabut akar budayanya dan menggantikannya dengan budayaBarat yang sama sekali bukan jiwa dan rub orang-orang Turki.Akhimya, kemajuan negera itu tersendat-sendat. Tentu kita se-mua tidak menginginkan membangun tatanan politik kita berang-kat dari titik nol.

Atas dasar pemikiran di atas, saya berpendapat oposisiitu boieh-boleh saja, yang penting cita rasanya adalah Indonesia. Dengan demikian, oposisi akan memberikan manfaat yanglebih bermakna bagi pembangunan bangsa dan negara ini.***Semoga!

25

MONOLOG SRAGENI

Pelita, 16 Juni 2006

Sepi dan sunyi sekali malam itu. Sesekali berhembus an-gin sepoi-sepoi menyuguhkan wangi bunga melati dan harumkamboja. Suara kucing hitam jantan sedang bercengkerama den-gan kucing betina belang tiga menambah kesempumaan malamitu; hening dan damai! Suatu nuansa yang tak pemak aku dap-atkan di Jakarta, bahkan Singapura, Bangkok, atau pun New Yorksekali pun. Sementara aku duduk seorang diri di sofa pendopoKabupaten sembari merenungkan hasil kunjungan kerja sepan-jang siang tadi. Aku memang lagi pingin sendirian malam itu.

"Lagi ngapain Kang?" Tiba-tiba seorang laki-laki bertu-buh tinggi besar, berperut buncit, berpakaian putih-rapi menyapa-ku. Raut mukanya persis wajahku sendiri saat bercermin di depankaca.

Aku kaget dan setengah grogi. Nafasku seolah tersengaldan berdegup tidak teratur, naik turun seperti orang yang kecapa-ian habis lari sprint. Aku pingin berkata-kata menyapa dan men-jawab pertanyaannya, tetapi lidahku terasa kaku bagai kayu jati,kelu terkunci.

"Kamu tidak perlu menjawab. Dengarkan saja baik-baik".Katanya sambil duduk di kursi persis di hadapan ku. Sementarasorot matanya yang tajam bagai matahari mentatap menelanjangisekujur tubuhku. Aku bak seorang pesakitan, atau seorang ter-dakwa yang sedang diperiksa. Tidak berkutik sama sekali!

la tersenyum mentertawakan kegagumanku dan jugabarangkali sikapku. Aku semakin kikuk. Tapi alhamdulillah, diamemecah rasa kikukku.

Dengan suara yang santun menenangkan, dia berkata, "Sayasenang kamu berkunjung ke sini, mengunjungi Sangiran, tempatawal kehidupan di nusanatara ini. Di situ laut, di situ daratan, disitu ada rawa-rawa, dan di situ pula danau. Di situ sejarah dimu-

26

lai."

Kata-katanya mengalir begitu saja seperti mitraliur, mem-buat aku semakin tidak berdaya berhadapan dengannya. Akumenjadi sangat kecil.

Begitupun, kelihatan sekali bahwa dia adalah orang yangsangat bijak. Dia tidak man membuat aku semakin salah tingkahdan tidak berdaya. Dia kembali menghangatkan suasana denganmengajakku bicara meskipun aku pribadi tetap tidak berdayamembuka mulut dan tidak mampu menggerakkan iidah.

"Coba Kamu renungkan. Anggaplah Sragen ini Indonesiakecil, miniatur Indonesia. Juga Kamu buktikan bahwa apabilakita kembali pada kekuatan kita sendiri, kekuatan dasar kita, makakita kan makmur. Jangan mengkhayal, jangan mimpi mengerja-kan segala macam hal yang besar-besar kecuali yang diharapkanoleh masyarakat. Harapan rakyat itu sebenamya sederhana saja.Yaitu cukup pangan, sukup sandang, ada atap untuk berlindungdari terik matahari dan guyuran hujan, ada pekerjaan yang bisamendatangkan rizki untuk menyambung kehidupannya. Ada se-kolah-sekolah buat anak-anak mereka mencari ilmu, dan ada ru-

mah sakit bila mereka sedang sakit. Ada rasa aman dan damai ser-ta jauh dari gangguan. Itu saja! Tapi kalian rupanya sibuk denganurusan politik. Rakyat sering dicekoki oleh kepentingan-kepent-ingan sempit jangka pendek, persatuan dan kesatuan dikoyak, danjuga keberadaannya sering dijual, dijadikan objek kepentingan.Mereka diberi janji dan mimpi tanpa realisasi."

Orang di hadapanku itu lalu terdiam sesaat. Dia menariknafas dalam-dalam sembari tetap memandangiku. Mungkin diasedang membaca apa yang sedang aku pikirkan dan rasakan. Se-dangkan aku sendiri masih tetap terpaku berdiam diri tanpa kata-kata.

"Tapi itu semua tidak di sini." Dia kembali menyambungpembicaraannya yang tadi sempat terputus. "Kamu bisa lihatkenyataan dan dapat merasakan bukan? Di sini tanaman tumbuh

27

hijau subur, rakyat makmur dan damai, tidak ada aksi masa, danmereka merasa senang serta menikmati kehidupannya."

Aku pun masih tetap terdiam. Perlahan nafasku mulai ter-atur. Nasihat-nasihat orang yang duduk di hadapanku semakinmudah aku serap dan aku cema. Aku merasa lebih tenang. Pastiini karena sikap santun dan lembut orang yang ada di depankuitu. Dia tidak mau membuat orang yang diajak bicara menjadi bo-doh dan semakin bodoh karena ketakutan. Dia menasehati tanpamenggurui, dan juga mengayomi. Aku bahagia sekali. Aku be-nar-benar sedang berhadapan dengan seorang guru yang merang-kap menjadi orang tua, sahabat, dan sekaligus pemimpin. Jarangsekali aku dapatkan sosok yang menyejukkan seperti ini, lebih-lebih di masa transisi yang sedang dijalani oleh negeri ini.

Aku menarik kakiku yang dari tadi tidak aku gerakkansedikit pun, Aku juga membenarkan posisi dudukku agar lebihbisa menyerap pembicaraan-pembicaraannya. Aku semakin terta-rik. Rasa pegal kaki dan pingganggu hilang oleh isi pembicaraandan sikap santun yang ditunjukkannya.

"Ugh," Dia mengeluarkan suara layaknya batuk untuk me-mecah sepi. Kelihatannya dia tahu bahwa aku semakin tertarikdengan isi pembicaraannya.

Aku tetap diam, dan kembali membenarkan posisi dudukkuagar lebih bisa konsentrasi.

Dia lalu berkata, "Terbukti bila pembangunan tertumpupada kekuatan dasar kita, yaitu pertanian dan UKM, lalu ditun-jang oleh bantuan dana "recovery fund" yang cerdas, sarana danprasarana yang sesuai, pendidikan dan latihan yang diarahkanuntuk mengawaki pertanian dan UKM sehingga mereka menjadipintar, mempunyai konsep, konsisten, dan kemudian didukunginformasi teknologi tepat guna, niscaya akan terwujud perubahanyang sangat berarti. Karena simfoni konsep pembangunan yangmapan lengkap."

Aku perhatikan dia dengan seksama, karena aku sudah mer-

28

asa bagian dari dirinya. Rasa grogiku sudah hilang sama sekali.Juga tingkahku yang salah sudah teratasi. Aku benar-benar men-jadi manusia yang merdeka; tidak puny a rasa takut tetapi tetapmenjaga orang yang di hadapanku tetap nyaman mengeluarkanpandangan dan gagasannya.

Aku terus perhatikan dia. Dia melipat ke dua tangannyadi atas dadanya. Tapi, kesantunan dan kesahajaan tetap terpancarbagai sinar bulan di malam pumama. Sama sekali tidak tampakgerak-gerik tubuhnya bemada sombong dan angkuh.

Dia kembali membuka lipatan kedua tangannya, dan berka-ta, "Dengan demikian, jumlah pengangguran menjadi kecil, kea-manan di kampung dan kota menjadi terjaga. Ekonomi masyar-akat bergulir dengan baik, pasar ramai, toko-toko ramai, berassurplus, garmen dan fumitur sampai dijual sampai ke manca ne-gara."

Dia lalu terdiam sejenak. Matanya menyapu sekelilingruangan dan juga area pendopo. Aku berfikir dia pasti sedangmemikirkan sesuatu.

Di saat itulah aku ingat kabupaten Balangan, KalimantanSelatan. Penduduk di kabupaten itu tidak ada yang menganggur.Mereka bekerja sebagai penyadap getah karet. Hasilnya rata-rataantara Rp. 50.000,- sampai Rp. 100.000,- perhari. Sore dan malamhari waning ramai di sana. Kehidupan berputar dengan damai.

Seketika itu aku juga ingat Kabupaten Sawah Lunto, Su-matera Barat. Tadinya daerah itu bergantung pada penghasilantambang batu bara. Tapi karena sudah dieksplorasi ratusan tahunlamanya, tambang itu kini tinggal kenangan. Akhimya merekaputar haluan yang lebih cerah. Begitu pula dengan KabupatenKarang Anyar. Dengan berbasis pertanian, masyarakatnya hidupsejahtera, aman, dan damai.

Aku terus mengingat daerah-daerah yang sudah cukupberhasil menyejahterakan rakyatnya. Tapi, tiba-tiba aku kembalidikejutkan oleh pertanyaan orang yang sedang duduk di depanku

29

tadi.

"Di mana rahasia keberhasilan itu semua? Jawabannya cumasatu. Yaitu tergantung pemimpinnya. Tergantung bupati dan walikotanya. Tentu saja peran gubemur sangat penting. Dibutiihkanjiwa berwirausaha untuk bisa membangun, kreatif, konsisten danserins. Singkatnya tidak cengeng. Mereka inovatif tidak hanyamenggantungkan diri pada APBN atau APBD."

Aku terdiam-kagum mendengarkan kuliahnya yang seder-hana tapi masuk akal.

"Lihat Jerman dan Itali. Kedua negara itu stabil bertahankerena UKM. Di Cina dan Jepang petani menjadi warga nomorsatu, dihormati, dilindungi dan hidupnya sejahtera. Renungkan-lah. Di negeri ini banyak orang pintar."

Tiba-tiba mulutku terbuka untuk bersuara. Tapi laki-lakigagah itu sudah tidak ada lagi. Dia menghilang entah kemana.Namun demikian, nasihat-nasihatnya sangat jelas dan membe-kas.***

30

MONOLOG SRAGENII

Pelita, 17 Juni 2006

Entah mengapa, tiba-tiba aku ingin sekali berjumpa denganlelaki itu, lelaki yang kujumpai di pendopo kabupaten Sragen,beberapa waktu yang lain. Aku merasa seperti ada sesuatu yangmendesak yang ingin ku tanyakan, dan memerlukan jawaban seg-era.

"Seiamat malam." Lelaki itu sudah berada di hadapanku,dan aku sudah duduk di pendopo itu lagi, mencium bau itu lagi,kembang melati dan kamboja kuning. Tapi kali ini jauh lebihmenusuk lagi. Lebih hening, membuat aku terpana.

"Aku tahu apa yang Kau pikirkan," katanya tiba-tiba. "Akutidak akan memberikan solusi, aku hanya memberikan pandan-gan, sebuah renungan untuk dipikirkan dan dipertimbangkan.Tidak ada yang salah. Jangan saling menuduh. Tidak ada gunan-ya. Tiap rezim punya cara, tiap zaman punya tokoh, tiap situasipunya nuansa sendiri. Jangan habiskan waktu untuk menyalahkanatau dengan dendam kesumat. Tidak ada gunanya. Cuma buangenergi dan waktu. Dendam itu tidak akan menghasilkan apa-apakecuali dendam baru. Akhimya pembalasan lagi, dan pembala-san lagi tanpa henti. Buntutnya kehancuran. Kita menjadi bangsayang suka lihat saudaranya menderita.

Tiga puluh dua tahun kalian hidup dalam semangat atausuatu keyakinan bahwa stabilitas nasional merupakan prasyaratdapat terwujudnya pembangunan. Artinya stabilitas nasionaladalah segala-galanya. Semua didesain ke arah situ, demi stabilitas, baik kelembagaan, tatalaksana, pengisian manusianya, mau-pun budaya kerjanya diatur demikian. Musuhpun kalian ciptakankarenanya ada yang disebut corong utara, corong selatan, diben-tuk Kopkamtib yang kemudian jadi Bakorstanas, diwujudkan dwifungsi, ada jatah untuk ditunjuk jadi anggota DPR, ada menteristrategis, daerah strategis, gubemur dan bupati strategis, dan lain-

31

lain dengan segala macam implikasi dan ekses-eksesnya. Danpada puncaknya, diketerpurukkan bangsa ini karena resesi, danterbukti pada saat resesi itu kita sangat rapuh karena "kemajuan "hanya fatamorgana, investasi sarana dan comparative advantaes,bukan oleh produksi atau competitive advantages. Akhimya kalian lain mengadakan gerakan reformasi. Dan walau kalian ber-hasil menumbangkan orde baru, tapi sayangnya pada orde reformasi ini kalian masih doyan menggunakan sistem, gaya, dan tatacara lama. Jadinya ya masih sama.

Hasilnya kalian sudah tentu tabu sendiri. Bangsa tetap ter-pumk, jadi bangsa yang hanya suka cari selamat, atau jadi bebekdi satu pihak, di pihak lain jadi sangat ekstrim. Penuh dengan talkshow, wacana, tuding sana tuding sini. Tidak bertanggungjawab,pendidikan politik yang menyesatkan, demo diyakini sebagaisarana utama demokrasi, di mana-mana main hakim sendiri, media masa elektronik man pun cetak kompak bahwa "good news isnot a news," muncul hobi baru yaitu membakar ban, merubuhkanpagar dan menggulingkan pot, plus corat-coret. Demokrasi bukan kebebasan berpendapat, tetapi kebebasan berbuat. Akal se-hat entah lenyap ke mana, semua kebablasan. Investor dibuat jadingeri.

Pihak ketiga bertepuk tangan, geli terkekeh menyaksikanlawakan yang kita pertontontkan. Indonesia tetap cuma jadi pasarbuat semua orang. Karena memang itu yang mereka man.

Reformasi nyatanya hanya ganti orang saja, gaya cumabeda-beda tipis saja. Yang dulu dikutuk, yang dulu dibenci malahditiru. Contoh ringan, dulu pada benci pada yang bau militer,tapi partai politik malah berlomba-lomba bikin pasukan khusus,loreng lagi. Tampangnya lebih serem dari tentara lengkap denganbaretnya minus pedang panjang. Hidup tambah susah. Lalu apasebenamya yang diperjuangkan, "prinsip" atau cuma ngiri karenatidak kebagian? Jawabannya ada pada akal sehat dan nurani mas-ing-masing.

32

Bentuk pemerintahan tetap sama, paradigmanya juga masihsama, paling-paling ada departemen yang dicoret, ada yang di-gabung, kemudian ganti presiden, dipisah lagi, ganti lagi, laindigabung lagi, atau yang dicoret dihidupkan lagi dan seterusn-ya. KKN ya tetap saja marak. Perusahaan negara menjadi sapiperah buat kepentingan politik. Begitulah, dan tetap saja negeriini merupakan negara nomor lima terkorup di dunia. Ya lumayansekarang sudah menjadi nomor 6 menurut Transparansi Intema-sional. Tapi sayang kalian tak menyadari bahwa gaya pemerintahan ini memerlukan tangan besi atau kepemimpinan yang kuatdan sedikit agak otoriter, perlu memakai kekuasaan. Sedang diera reformasi pakai gaya los-losan, ya jebol dan kebablasan, kare-na semua oke, semua ngomong, protes dan sibuk berwacana ria.Padahal sekarang situasi dan suasananya lain. Ya ramai jadinya.Tambah semarak lagi karena ada UUD 45 yang sudah diamande-men, ada pasal yang bikin orang gemes dan nggak sabaran. Adakata mutiara yang cocok untuk kita pada saat ini yaitu "kalau mausembuh ganti obatnya, jangan yang diganti hanya aimya saja."Artinya perlu suatu perubahan yang mendasar, jangan hanya ganti orangnya saja, tetapi pendekatan, sistem, dan tata cara hamsdimbah pula. Perlu keberanian. Kalian kan banyak orang pandai,banyak profesor.

Pokoknya suasana selalu meriah dan himk pikuk, gegapgempita, dan yang pasti rakyat jadi bingung. Pegang ini salah,pegang itu aneh. Pegang lebih ini lagi "au ah lap." Jadi gampangdigiring ke sana ke mari. Kasihan!

Karena sukar mereka pahami, karena mereka maunya serbainstan, sudah tidak sabaran lagi dan hal tersebut dimanfaatkanoleh yang memancing di air kemh, petualang-petualang politik.Pokoknya rakyat jadi komoditi yang paling laku. Semua bicaraatas nama rakyat.

Entah rakyat yang mana, tapi anehnya ya laku saja. Semuajadi komoditi politik. Apa saja ditanggapi secara politik, bahkan

33

yang teknispun juga politik. Bencana jadi politik, padahal politikitu sendiri juga bencana. Maka jadinya ya bencana plus.

Nyatanya terbukti bahwa paham orde baru yang menguta-makan stabilitas nasional di atas segala-galanya itu tidak pas be-nar buat bangsa ini. Yang mencuat aksesnya saja, dan pembangu-nan manusia seutuhnya seperti yang didengung-dengungkan kantidak kunjung muncul, dan yang makmur hanya para kroni saja.Repelita, Mandat, dan iain-lain hanya dokumen megah. Pelak-sanaan lebih banyak ABS (Asal Bapak Senang). Laporan ke atasselalu baik, tidak pemah konsisten dan serins. Ini merupakankelemahan dasar kita.

Jelasnya, konsep pembangunan yang dimaksud tidak jelas.Lebih banyak bertopang pada investasi, investasi pada jalan dangedung, bukan pada produksi. Kawasan-kawasan industri yangtumbuh hanya jadi "tukang jahit," hanya comparative advantage,dan bukan competitive advantage. Semua itu sangat rapuh, kare-na yang kita jual hanya upah buruh yang murah disebabkan tidakmemiliki skill. Begitu datang badai resesi ambrollah kita, tidakketulungan. Lihatlah negara-negara lain di kawasan ini juga men-galami hal yang sama tapi mereka cepat recovery karena memiliki basisnya produksi.

Lain apakah Indonesia akan mengulangi kesalahan yangsama. Sudah 60 tahun Indonesia merdeka, barangkali sudah saat-nya ditata dengan baik dengan konsep Indonesia yang benar-be-nar jelas, crystal clear.

Bagaimana dan kemana, kalian kan sekarang sudah banyakorang pinter; S satu, S dua, dan S tiga, serta banyak profesor lagi.Masa sih tidak bisa merumuskan konsep yang baik. Tinggalkanimprovisasi, coba-coba, try and error. Kasihan rakyat. Merekakan bukan kelinci buat coba-coba. Mulailah dengan konsep danbiasakanlah memiliki konsep."

Sampai di sini lelaki itu tampak lebih bersemangat. Akumencoba memberi komentar, mau bilang bahwa orde baru itu kan

34

ada baiknya, tapi seperti yang dulu, lidahku jadi kaku, bagaikansepotong tulang.

"Renungkanlah!" Laki-laki itu kembali berbicara sembarimemandangiku. Matanya benar-benar membuat aku tak berdaya,tak lebih seperti pesakitan, karena aku dulu juga bagian dari ordebaru. Siapa yang bukan, kita semua melalui itu.

"Sudah, lupakan itu. Mari kita buka lembaran baru, rap-atkan barisan, lupakan perbedaan yang tidak substansial tersebutdan berfikir keras serta cerdas dan tinggalkanlah sesuatu yangmonumental buat anak cucu. Atau, apakah kalian mau dicacidan disesali mereka karena hanya meninggalkan kemiskinan danperpecahan di antara kalian, dan NKRI hanya jadi "kenangan?"Sampai di sini tubuhku jadi gemetar.

"Segera selesaikan pekerjaan rumahmu, yakinkan DPRbahwa itu sangat mendasar. Masa sudah enampuluh tahun mer-deka tidak punya UU Administrasi Pemerintahan, UU Pelay-anan Publik, UU Etika Penyelenggara Negara, UU KepegawaianNegara, dan UU Kementerian/Kementerian Negara. Itu semuamerupakan prasyarat reformasi birokrasi yang benar-benar efek-tif dan modem.

Empat UU yang pertama itu mengatur, membatasi tindakanpara penyelenggara negara agar tidak sewenang-wenang, mem-berikan mang seluas-luasnya kepada publik, melindungi publik, terjaminnya pelayanan masyarakat yang baik, terciptanyaclean government, pemerintah yang bersih, transparan, akunta-bel, dan berbasis kinerja. Hal tersebut terjadi karena sistemnyayang menuntut demikian. Karena sistemnya yang tidak mengi-jinkan sewenang-wenang, juga menutup peluang untuk kompsi.Perangkat-perangkat hukum tersebut tidak memberi kesempatankompsi, menyalahgunakan wewenang, dan Iain-lain terjadi. Jugaperangkat hukum tersebut menjamin terwujudnya good governance, yaitu pelayanan publik yang pasti, dan buat masyarakatmendapatkan kepastian pelayanan. Nah, RUU yang kelima yang

35

merupakan usulan atas hak inisiatif DPR, yaitu tentang Kemente-rian/Kementerian Negara, juga sangat amat penting. Sehinggasiapa pun presidennya nanti maka bentuk pemerintahannya akantetap sama.

Bagaimana bentuk dan isinya? Apa tetap begini saja, atauberanikah kita membuat lompatan besar, yaitu kembali ke akarkita.

Di mana letak Kekuatan bangsa ini? Yang perlu kitapetakan dengan seksama adalah warisan dan budaya kita. Ini perludalam rangka menyusun konsep Indonesia, sebagai induk konseppendidikan, konsep perdagangan, dan lain sebagainya. Pokonyakonsep pembangunan Indonesia ke depan. Perlu ada keujujurandan keberanian.

Karena letak geografis, jumlah penduduk, kebhinekaan,bahkan historis dan lain sebagainya (silahkan kupas sendiri), makasangat jelas dan gamblang di mana kekuatan bangsa ini. Pertamaada pada Pertanian dalam arti yang luas, termasuk petemakan,perikanan, kemudian perkebunan dengan segala basil olahannya.Kedua, Kelautan. Kekayaan kelautan kita melimpah tetapi lebihbanyak dicuri orang dari pada kita nikmati sendiri. Kemudianyang ketiga adalah Usaha Kecil dan Menengah (UKM).

Tiga kekuatan besar tersebut haruslah mendapat tempatutama dalam sistem pemerintahan mendatang sehingga benar-benar dapat kita garap dengan sungguh-sungguh dan sistematikdan bisa kita wujudkan. Karena itulah kita, nafas kita, dan orangtua kita. Kita ini, kalau bukan pedagang, ya petani, atau nelayan.Cuma itu! Semua harus menyatu di antara tiga kekuatan dasaritu.

Bayangkan kalau tiap kecamatan dapat mengembangkansatu atau dua kekuatan tersebut, kemudian dihimpun oleh kabupat-en sehingga terjadilah suatu kabupaten yang mandiri sejahtera;entah karena pertanian, atau perkebunan, atau barangkali karenaperikanan, hasil laut. Maka kumpulan dari semua kabupaten itu

36

menjadikan propinsi yang mandiri sejahtera, hingga akhimya ter-wujud Indonesia yang sejahtera.

Belum lagi bicara tentang tambang kita yang kaya-raya itu,serta ketinggian budaya dan keindahan panorama modal pari-wisata. Sehingga sebenamya aneh kalau kita hams miskin danbanyak pengangguran."

"Ini bukan khayalan," kata leiki-laki itu meyakinkan. "Kanterbukti di tempat-tempat yang mempakan best practices, semuajalan, beras surplus, mikro konomi jalan, pengangguran tidak ada,demo tidak ada. Coba kalau semua kabupaten demikian. Sejahterabangsa ini!

Modalnya "asal mau pasti bisa" kunci terletak pada pem-impin, pada bupati/walikota, lalu sistem dilaksanakan dengankonsisten dan serins, dan wilayahnya pasti aman dan damai sehingga terwujud stabilitas nasional yang mantap. Karena berasada, kerjaan ada, dagang jalan, sekolah gratis, mmah sakit terse-dia. Mau apa lagi? Rakyat jadi tenang, bisa tertawa "wong cilikiso ungguyu" dan sungguh-sungguh bisa ketawa. Maka insya Allah stabilitas bisa terwujud. Tidak mungkin stabilitas bisa diwu-judkan dengan pemt lapar, kedinginan, dan kehujanan. Sekali lagitidak mungkin!

Dari uraian di atas, jelas pendekatannya adalah pendekatankesejahteraan. Rakyat hams sejahtera untuk terwujudnya stabilitas nasional. Terbukti dan nyata fokus pembangunan hams dituju-kan pada pembangunan pertanian (dalam arti yang luas) serta di-dorong untuk pertumbuhan dan perkembangan UKM. Kemudiandisusul dengan perindustrian yang siap untuk memberi nilai tam-bah pada tiga hal di atas. Bukan itu saja. Konsep pengembanganSDM pun didesain untuk menyediakan tenaga-tenaga siap pakai,trampil serta teknolog mau pun pemikir dalam bidang-bidangtersebut. Lalu dibangun jalan dan jembatan untuk kelancaran lalulintas komoditi-komoditi tersebut, juga dibangun kapal-kapalyang khusus. Sistem keuangan dan perbankan yang khusus, tata

37

niang yang jelas, lengkap dan sinergis holistik.Pemerintahan atau kabinet hendaknya disusun dengan pola

dan sistem sesuai paradigma baru bahwa kesejahteraan masyar-akat merupakan prasyarat terwujudnya stabilitas nasional, ber-tumpu pada kekuatan dasar bangsa, ditata secara sistemik dansinergi dalam suatu konsep yang jelas, komprehensif, dan inova-tif, serta dilaksanakan secara konsisten dan serins.

Kemudian dipacu oleh diplomat-diplomat kita yang getolmemasarkan keunggulan negerinya, dengan komitmen yang kuat,serta yang punya main kalau angka neraca perdagangan tidak be-ranjak naik, perdagangan luar negeri hams plus, dan turis datangmembanjiri obyek-obyek wisata kita, duta-duta yang ahli strategipemasaran, untuk bisa menaikkan neraca perdagangan kita,...ohindahnya."

Aku tersenyum membalas senyum bumiku yang makmurdan damai. Suara azan subuh terdengar. Aku terbangun, aku masihdi atas tempat tidurku, tidak ke mana-mana.***

38

BERDEMOKRASI YANG WARAS

Seputar Indonesia, 19 April 2006

Berdemokrasi merupakan suatu yang diimpikan dan di-dambakan. Karena dengan demokrasi maka hakekat kemanu-siaan kita menjadi ada dan terhargai. Tetapi demikian, terkadangberdemokrasi itu sendiri susah dipahami dipahami. Contohnya,kita lihat berbagai tindakan anarkis-brutal yang miskin dengan ni-lai-nilai humanistik (membakar ban, merobohkan pagar, merobekbendera partai, dan lain sebagainya) juga mengatasnamakan per-juangan demokrasi atau dalam rangka berdemokrasi. Pertanyaankita sekarang adalah seperti apakah demokrasi itu?

'Keragaman' berdemokrasi itu bukan salah siapa-siapa.Yang salah adalah demokrasi itu sendiri karena demokrasi bukan produk asli Indonesia, dan juga istilah demokrasi itu sendiriawalnya bukan bahasa Indonesia, tapi bahasa Yunani. Jadi mak-lum kalau bangsa Indonesia-- yang jumlahnya ratusan juta jiwadengan aneka macam atribut dan karakter ini -memahami danmengaplikasikan demokrasi secara berwama-wami. Dalam se-Jarah Indonesia merdeka saja, kita mengenal ada demokrasiterpimpin, ada demokrasi liberal, dan ada demokrasi pancasila.Tentu, masing-masing demokrasi tadi—dengan istilah yang ber-beda-beda-mempunyai konsekuensi sendiri-sendiri. Misalnya,dalam Demokrasi Terpimpin tidak dikenal istilah voting tapi mus-yawarah untuk mufakat dengan segala keterbatasannya. Lain hal-nya dengan demokrasi pancasila dan demokrasi-demokrasi yanglain. Karena itu wajar kalau kemudian orang (publik) menjadibingung!

Kini muncul era reformasi. Semangatnya memper-

juangkan demokrasi (budaya, hukum politik, ekonomi, dan lainsebagainya). Sesuatu yang tidak saya pahami, di era ini jugamuncul berbagai macam demonstrasi yang mengarah pada an-arkisme dengan tujuan untuk menegakkan demokrasi di berbagai

39

sektor kehidupan (demonstrasi dipahami sebagai wujud nyataberdemokrasi). Akhimya, demonstrasi menjamur tumbuh ma-rak di mana-mana. Bahkan katanya—tetapi belum tentu benaradanya—demonstrasi menjadi profesi yang terkoordinasi (adapengarah, pelaksana, pencari dana, dan Iain-lain). Kayaknya iniseperti dongeng. Tapi nyanyian burung seperti itu. Amboy, luarbiasa berdemokrasi ini.

Demokrasi dan Anarki

Guillermo O'Donnell berpandangan bahwa transisi darisuatu rezim otoriter tidak otomatis menuju konsolidasi demokrasi.Pendulumnya bisa bergerak ke arah yang "Iain" yang sebenam-ya sama sekali tidak dikehendaki. Bisa jadi arah "lain" tersebutberupa anarki tidak berkesudahan, konflik identitas, disintegrasibangsa, atau kembali bercokolnya kekuatan lama yang sebenam-ya anti demokrasi tetapi berbaju demokrasi. Oleh karena itu, agardemokrasi yang kita kehendaki benar-benar terwujud sebagaima-na yang diinginkan, maka kita hams mampu manjaga secara utuhsemangat reformasi itu sendiri hingga berdiri kokoh dan kalis,kebal terhadap berbagai macam terpaan.

Memang, di berbagai negara di dunia menunjukkan bahwapintu gerbang menuju konsolidasi demokrasi diwamai oleh insta-bilitas-instabilitas yang berbau anarki. Sejarah dunia pada akhirabad ke-21 menunjukkan hal itu. Namun demikian ini tidak be-rarti bahwa kita memaklumi aneka anarki yang terjadi di negeriini. Pekerjaan kita adalah memperpendek masa atau usia anarkiitu sendiri, sebab kalau anarki bermur panjang maka tidak menu-tup kemungkinan apa yang diramalkan oleh O'Donnell bisa sajaterjadi di negeri kita. Tentu kita tidak menginginkan itu semuaterjadi.

Perlu kita sadari bersama bahwa berdemokrasi tidak ber-

makna sekehendak hati (apa yang terbetik dalam hati dapat diek-spresikan dalam tindakan mau pun ucapan). Kalau demokrasi

40

diartikan sebagai kebebasan tanpa batas maka istilah demokrasisebaiknya diganti dengan istilah democrazy saja.

Dewasa ini sering kita saksikan tindakan-tindsikan ataugerakan-gerakan atas nama demokrasi tetapi -sepertinya-tidakmencerminkan fatsun demokrasi itu sendiri. Terus terang say atidak tahu apakah demokrasi mengajarkan agar pendapat danaspirasi kita didengar oleh orang lain kita harus terlebih dahulumerobohkan pagar, membakar ban, mencaci dan menghujat? Sayajuga tidak tahu apakah demokrasi juga mengajarkan ketika ses-eorang kalah dalam Pilkada harus membakar KPUD? Jika hal itubenar sebagai bagian dari ajaran demokrasi, maka perlu difikir-kan bagaimana bentuk dan persyaratan gedung-gedung—misal-nya~ KPUD. Dalam hal ini saya usulkan agar bangunan kantoratau gedung KPUD konstruksinya dari baja yang tahan menerimaberbagai jenis amukan masa; ditimpuk tidak penyok, dibakar tidak kobong. Pokoknya kalau dilempar batu, batunya akan meman-tul kembali ke si pelempar; siapa yang jidatnya benjol, dia pastiakan dapat julukan pahlawan demokrasi.

Dari gejala-gejala ini—kalau bukan realita—lalu munculpertanyaan dalam diri saya apakah tindakan-tindakan destruktifseperti ini pemah terbayang oleh Socrates, Plato, Aristoteles, danlain sebagainya para founding father demokrasi. Mungkin terbayang dan mungkin juga tidak. Tapi yang jelas bahwa demokrasidimunculkan untuk menjamin kebebasan dan kemerdekaan manu-sia (tidak ada yang dikuasai dan tidak ada yang menguasai).

Terbayang atau tidak oleh para founding father demokrasi, mestinya, tindakan brutal itu tidak terjadi di Indonesia yangbangsanya religius, budayanya tinggi, dan orang-orangnya san-tun. Tapi kalau ini terjadi itu namanya kecelakaan. Tapi mestinya—sekali lagi—tidak perlu terjadi.

Dalam alam demokrasi, sebenamya kebebasan dan kemerdekaan yang kita miliki dibatasi oleh kemerdekaan dan kebebasan orang lain. Dengan kalimat lain, kemerdekaan seseorang

41

tidak boleh berakibat menguasai kemerdekaan orang lain. Kitamerdeka melakukan apa saja, tetapi di saat yang bersamaan oranglain juga bebas untuk tidak suka atas tindakan dan perbuatan kita.Contoh mudahnya, semua orang berhak untuk ote-ote, telanjangtidak berpakainan. Tetapi, tentunya, tindakan ini tidak dipera-gakan di muka umum, karena akan mengganggu ketenteramanmata dan hidung orang lain, yang tentunya di alam demokrasisejati hams dihormati. Pendek kata, demokrasi itu mesti ada atu-rannya. Seperti orang bermain bola volly, pasti ada aturannya;jumlah pemainnya dibatasi, scorenya ditentukan, dan lain se-bagainya. Kalau tidak ada aturannya maka demokrasi menjadianarki. Dan anarki itu sendiri berdiri diametral dengan demokrasi. Karenanya lumrah dan normal jika tidak satu pun negara didunia ini yang mencintai anarki. Karena itu anarkisme hams kitahindari semaksimal mungkin (ini kalau kita konsisten memper-juangkan demokrasi). Tentu, upaya ini tidak mudah, tapi tidakberarti tidak bisa dilakukan. Artinya dibutuhkan keseriusan dankomitmen yang tinggi. Sebab, diakui atau tidak, pasti ada pihak-pihak yang tidak suka dengan usaha ini, temtama mereka merekayang memiliki firma-firma demonstrasi. Semoga bermanfaat!***

42

BABn

IRONIREALITA DEMOKRASI

BAHASA POLITIK GAMPANG-GAMPANG SUSAH

Sinar Harapan, 4 Juli 2006

Bahasa politik bahasa yang gampang-gampang susah.Maunya susah dimengerti, tapi kadang-kadang mudah ditebak.Disampaikan dengan malu-malu kucing, tetapi juga kadang dilon-tarkan dengan vulgar dan terang-terangan, sampai memalukan.Begitulah kira-kira bahasa politik.

Sekedar mencontohkan bahasa politik di atas adalah pem-yataan Ali kepada Amat, sahabatnya yang sedang menjabat kepaladesa di suatu kampung. Di tengah-tengah warga, Ali berkata dengan nada keras penuh semangat, " Saya sangat mencintai BapakAmat. Beliau adalah sahabat saya sejak kecil, dan kini sebagaipemimpin kami dan kalian semua. Karena itu saya berkewajibanuntuk senantiasa mengingatkan agar beliau tetap menjaga amanat,tidak menyeleweng dari tugas yang diembannya. Hal yang sepertiini saya lakukan semata-mata kecintaan saya kepada beliau danrakyatnya. Beliau hams kita dampingi terns, sebab sebagaimanaKalian ketahui pemimpin kita ini orangnya otaknya kurang ce-merlang. Oleh karena itu, saya hams datang sendiri ke kelura-han menemui beliau untuk mengingatkan dan memberi nasehat.Sekali lagi, ini semua demi beliau dan kemajuan saudara sekaliansebagai rakyatnya."

Pemyataan Ali di atas sangat empatik dan terasa menye-jukkan sekaligus menenteramkan. Orang pasti senang menden-gamya, dan mungkin akan angkat topi atau acungkan jempoltangannya memberikan pujian atas keluhuran iktikadnya.

Tetapi tampaknya tidak demikian halnya dengan sang lu-rah Amat. Dia pasti kecut mendengamya. Sebab, nasehat-nasehatAli sahabatnya itu disampaikan secara terbuka di depan khalayakramai dan media masa, baik cetak mau pun elektronik, sampaiakhimya sebanyak 30 stasiun televisi lokal dan nasional serta60 koran harian dan mingguan padat penuh tulisan dan tayangan

45

yang berisi tentang nasehat Ali tersebut.Tidak diketahui secara pasti mengapa Ali memilih jalan sep-

erti di atas, yaitu menasehati lurah di depan publik. Padahal, padamasa lurah sebelumnya, Durakhim, tokoh masyarakat saat yangsangat disegani waktu itu, juga sering memberikan masukan dannasehat kepada pemimpinnya. Hanya saja, cara yang ditempuh-nya berbeda dengan cara Ali. Dia tidak terang-terangan mengu-mumkan di depan warga, juga tidak perlu mengumpulkan warta-wan untuk jumpa pers, tapi cukup dengan cara datang sendiri kerumah sang lurah di malam yang gelap nan sunyi tanpa dibarengioleh seorang pun untuk menemaninya. Di situ kemudian Durakhim mengeluarkan segala isi hatinya, baik yang berupa kritik,saran, dan juga nasehat. Akhimya, sang lurah pun bisa mener-imanya dengan lapang dada, penuh suka cita, dan rakyat nya tetaptenang tanpa riak gejolak.

Asal Beda

Apa yang dilakukan oleh Ali dan Durakhim merupakancontoh sederhana bahasa politik. Keduanya sama-sama punyamaksud yang susah ditebak, karena dalam bahasa politik itu ban-yak agenda tersembunyi (hidden agenda).

Sepintas, apa yang dilakukeui oleh Ali itu sungguh luar biasahebat dan terpuji (membantu pemimpin dan mengangkat derajatrakyat). Tapi karena itu dalam bahasa politik, maka pemyataanyang halus dan empatik tadi bisa jadi bermaksud keji. Ungka-pan "membantu" bisa jadi maksud sebenamya adalah "meninju"hingga tersungkur terbujur kaku. Begitu pula sebaliknya, pemyataan "menyerang" terkandung maksud di dalanmya adalah mem-pertahankan sampai titik penghabisan. Memang bahwa politik itugampang-gampang susah.

Terlepas dari 'hidden agenda" bahasa politik, yang jelascara yang diambil oleh Durakhim jauh lebih santun. Karenanya,agenda politiknya menjadi tepat sasaran, tidak meleset. Indikas-

46

inya jelas, yaitu sang lurah mudah menerima pesan-pesan yangdisampaikannya dengan tenang dan senang. Tapi memang—resikonya— Dulrokhim menjadi tidak populer, tidak masuk korandan TV, dan tidak dikenal rakyat. Singkatnya dia tidak menjaditokoh! Barangkali Durakhim berpikir, apalah arti dirinya populer,dikenal di seluruh pelosok negeri, tetapi rakyat resah, penuh ge-jolak, dan penuh amarah yang membuat hidup semakin susah.Lebih baik dia tidak dikenal, tapi gagasan-gagasannya berman-faat untuk rakyat dan pemimpinnya dalam rangka menuju kes-ejahteraan kehidupan.

Saya tidak tabu, apakah dalam politik, biar seseorang dise-but sebagai tokoh dan politikus ulung maka dia harus berani ber-bicara lantang di depan publik, termasuk menuduh orang tanpabukti nyata, dan harus berani beda pendapat meskipun pendap-atnya itu hanya asal-asalan dan asal beda. Sekali lagi saya tidaktahu! Yang saya tahu bahwa politik adalah instrumen menuju asayang dicitakan (hidup berkeadilan dan berkemakmuran). Karenaitu bagi saya, politik bukan ajang untuk hujat-hujatan, tetapi senimemainkan kemungkinan dan peran.

Ular dan MerpatiDalam sejarahnya, politik selalu diwamai dengan praktik-

praktik menghalalkan segala cara, penuh intrik, serta tipu muslihatdemi memperoleh atau pun mempertahankan kekuasaan. Rambu-rambu moral memang sering dibicarakan, tetapi keberadaannyatidak jauh dari sekedar basa-basi. Pasalnya, di satu sisi, etikapolitik selalu digemborkan, tapi tiba-tiba terjadi kerusuhan masa,pembunuhan, pembantaian, dan lain sebagainya di mana kese-muanya bermula dari politik. Karena itu politik sering dicitrakansebagai sesuatu yang kotor dan keji.

Banyak faktor yang menyebabkan wajah politik kita nam-pak seram bagai monster yang menakutkan. Bisa jadi ini karenakita sedang berada dalam masa transisi, masa panca roba. Se-

47

muanya dicoba, sementara di satu sisi yang lain UU yang ada be-lum mendukung sepenuhnya. Misalnya, karena kita belum punyaUU tentang Etika Pemerintahan, maka peluang abuse of power,discreation, dan lain sebagainya masih sangat terbuka.

Juga, boleh jadi karena kita kurang tepat memaknai refor-masi, di mana reformasi difahami sebagai era kebebasan. Yaitubebas berpendapat, bebas mengumpulkan masa, dan bebas men-yampaikan aspirasi atas nama rakyat lewat media masa. Definisiseperti ini boleh-boleh saja. Tapi bagi saya (kalau salah mohondiluruskan), reformasi adalah pembenahan mind-set dan polapikir, yaitu dari berpikir kepentingan sempit berjangka pendekmenuju kepentingan yang lebih luas, strategis, dan komprehen-sif yang disertai dengan kebersihan dan keikhlasan hati, bukandibarengi dengan emosi dan dengki mengikuti hawa nafsu. Kalaupun reformasi hams dimaknai dengan kebebasan, maka kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan dari rasa takut, kebebasandari cacian orang lain, kebebasan dari hasutan, kebebasan dariamuk, dan kebebasan-kebebasan yang lain yang dapat menjaminkemerdekaan individu. Bukan kebebasan tanpa batas! Yangdemikian ini karena semangat awal reformasi adalah pembahanmenuju kemaslahatan, bukan kemudlaratan.

Atau mungkin, politik kita masih berwajah seram karenalogika yang dipakai adalah logika sesat, yaitu kedengarannya lo-gis, tetapi sebenamya yang terjadi adalah nalar sesat dan menye-satkan, karena konklusi meloncat (jumping conclution) dari pi-jakan nalar yang salah. Dapat dicontohkan sebagai logika sesatdi sini adalah pemyataan "semua yang keras itu batu. Hati AliKeras." Lalu ditarik kesimpulan "hati ali batu." Dapat dilihat disini bahwa logikanya benar, tetapi kesimpulan itu salah karenadiambil dari premis yang tidak tepat (karena tidak semua yangkeras itu batu).

Semua faktor tersebut di atas adalah mungkin-mungkinsaja. Karena itu ketulusan dalam dalam berpolitik menjadi modal

48

utama yang tidak boleh diabaikan. Ketulusan adalah upaya yang

terus menerus tidak mengenal lelah, bukan upaya yang gampangbikin marah atau untuk memicu kemarahan. Tetapi demikian,saya lantas bertanya, adakah merpati bisa bersanding denganular? Masalahnya, politik berkata, "jadilah cerdik seperti ular."Sedangkan moral mengatakan, "tuluslah seperti merpati." Jawa-bannya—barangkali—adalah ular dan merpati bisa berbaringbersama, tetapi merpati sulit iidMr***Wallahua^lam.

49

TUBANOHTUBAN

Media Indonesia, 8 Mei 2006

Menyaksikan tayangan TV tanggal 29 April 2006 berupaaksi brutal di Tuban, Jawa Timur, sungguh membuat hati miriskarena sangat mengerikan. Apakah ini yang disebut dengandemokrasi? Setiap orang pasti akan menjawab—barangkali ter-masuk pelaku pembakaran dan penghancuran— bahwa itu bukandemokrasi tetapi anarki.

Peristiwa Tuban akibat ada pihak yang kalah dalam Pilkadaadalah bukan kerusuhan yang pertama di Indonesia. Pertanyaan-nya adalah apakah kita akan terus menerus begini? Apa tidak adajalan lain yang lebih elegan? Hanya orang gila dan tidak warassaja yang senang dengan kerusuhan. Coba Anda hitung berapakerugian (materiil mau pun immateril) yang diakibatkan olehtragedi itu. Harta terkuras dan energi tersedot!

Jauhkan Berpikir "Pokoknya"Bagi para pelaku kerusuhan dan pembakaran, di mana saja,

tentu mempunyai alasan tersendiri yang mendasari perbuatantidak terpuji itu. Masalahnya adalah apakah alasan yang merekabangun itu tepat, bisa diterima oleh akal sehat atau tidak. Bahayajika alasan yang digunakan hanya berdasar pada "pokoknya."Yaitu cara berpikir yang dibangun atas dasar like and dislike, sukadan tidak suka. Kalau sudah suka dan cocok, apa pun akan dibelawalau sebenamya itu salah. Tahi kucing pun dirasa sebagai coke-lat yang minis rasanya dan harum baunya. Sebaliknya, kalau sudah benci pasti akan dimusuhi dan dihabisi sampai akar-akamyameskipun sebenamya yang tidak disukai itu merupakan sesuatuyang benar adanya.

Berpikir "pokoknya" hams dibuang jauh-jauh karena tidak sehat bagi kehidupan berbangsa dan bemegara. Karenanya,seseorang menjadi apriori dan tidak mau menerima kebenaran

50

yang datang dari luar dirinya. Barangkali (mudah-mudahan sayasalah), tragedi yang menimpa bumi Ronggolawe ini juga karenabermula dari cara berpikir "pokoknya" ini. Pokoknya bupati sayasi anu kalau tidak maka saya akan tolak dan saya hancurkan kotaini.

Demokrasi tidak memakai cara berpikir "pokoknya" tetapididasarkan atas kesepakatan-kesepakatan aturan main bemalarsehat. Tujuannya adalah untuk menjamin kebebasan dan kesela-matan. Oleh sebab itu, ketika kita punya komitmen untuk men-egakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi maka kitaharus siap dengan risiko-risiko berdemokrasi itu sendiri (misal-nya kita tetap berbesar hati dan siap menerima kekalahan dalamsebuah pertandingan, kita tidak maunya menang sendiri, kita siapdipimpin oleh orang-orang yang tidak kita pilih tetapi dipilih olehmayoritas, dan lain sebagainya).

Dalam konteks Pilkada Tuban yang berujung kerusuhan,seharusnya para calon yang mau maju menjadi bupati tidak hanyasiap menang tapi juga siap kalah. Tidak mungkin ada dua bupatidalam satu kabupaten. Mereka sebenamya sudah tahu, bahkansaya lihat semua kontestan membuat pemyataan untuk siap baikmenang mau pun kalah. Tapi mengapa pemyataan bemada kes-epakatan ini tidak memiliki arti apa-apa? Barangkali karena ber-pikimya adalah "pokoknya." Naudzubillah!

Dan kalau ditanya kepada yang membakar kantor kabupaten, hotel, dan Iain-lain itu, tentang alasan mengapa merekamembela mati-matian calon yang kalah, apa substansinya, apaprogramnya, dan lain sebagainya, barangkali jawabannya sudahpasti "pokoknya" kami mau dia yang jadi bupati, karena kamiadalah tim suksenya. Atau barangkali (tapi mudah-mudahan tidak) karena dibayar untuk dia. Tapi sekali lagi mudah-mudahantidak. Semoga ada substansi yang sangat mendasar yang mem-bedakannya sehingga mereka berani mati-matian membela bupatiyang kalah tersebut.

51

Apa Yang Diperebutkan?Mengapa orang banyak yang berebut jadi bupati, apa

enaknya? Mungkin jabatan bupati itu enak, gurih, renyah, danmengasyikkan sehingga orang beramai-ramai memperebutkan-nya. Karena logikannya kalau jabatan bupati itu pahit pasti orangakan berlari terbirit-birit menyingkir dan saling mendorong meng-hindar.

Lalu apa enaknya? Saya tidak tahu pasti karena saya belumpemah menjabat bupati. Tapi sekedar meraba-raba bahwa jabatan bupati itu mungkin enak. Dia dipercaya oleh rakyatnya un-tuk mengelola dan mewujudkan cita-cita mereka di sektor sosial,politik, budaya, ekonomi, hukum, dan lain sebagainya kaitannyadengan asa berbangsa dan bemegara. Karenanya orang lantas be-rani mengeluarkan uang sebagai modal, ngutang sana-sini kepadainvestor, dan mencari sponsor.

Keberanian mereka mencari utangan ini karena berpikirpasti modalnya akan kembali. Bagaimana kembalinya pasti su-dah dihitung secara cermat. Kita hanya bisa menerka skenarioyang akan dimainkan ketika sudah memangku jabatan. Kalausudah begini, bagaimana komitmen seorang kepala daerah itu dil-etakkan?

Rakyat Indonesia sungguh lugu, mereka baik-baik, umum-nya sangat penurut. Mereka hanya mendambakan masa depanyang lebih baik dan lebih cerah. Harapan mereka tidak banyak.Mereka hanya ingin bisa cari makan dengan mudah, tidur nyen-yak tidak terganggu oleh atap rumah yang bocor saat hujan, adasekolahan buat anak-anak mereka menimba ilmu, ada lapangankerja untuk mencari nafkah, ada lingkungan yang sehat dan adarumah sakit yang siap membantu kalau mereka tidak enak badan,Mereka tidak berpikir proyek, tidak berpikir fasilitas, dan tidakberpikir neko-neko lainnya. Simpel sekali keinginan mereka!Tetapi demikian, harapan dan keinginan itu bisa pudar mengasapjika pemimpinnya yang mengatasnamakan rakyat itu tidak mem-

52

perhatikan nasib mereka karena sibuk mengembalikan hutangnyasaat pencalonan dan sibuk membalas jasa para investor dan timsukses yang telah memenangkannya dalam pertarungan menjadibupati.

Perlu disadari bersama, menjadi bupati (menteri, guber-nur, walikota, dan lain sebagainya) adalah ameuiah, bukan untukgagah-gagahan cari kehormatan. Diabertanggungjawab atas nasibrakyatnya. Adalah hak rakyat untuk mendapatkan pelayanan pub-lik yang bagus, yang penuh kepastian, memiliki ketepatan waktu,dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu penting untuk dite-gaskan kembali bahwa jabatan itu berat tanggungjawabnya.

Perlu diingat juga, sebentar lagi kita punya UU Administra-si Pemerintahan yang mengatur setiap keputusan pejabat admin-istrasi pemerintah. Dan pihak-pihak yang merasa dirugikan olehkeputusan itu dapat mengajukan keberatan. Lalu, apa enaknyajadi pejabat itu? Toh, dia diatur secara ketat oleh UU sehinggatidak bisa membuat keputusan-keputusan yang sifatnya men-dukung kepentingan pribadi, tim sukses, mau pun para sponsordan donatur. Karena itu, tragedi Tuban itu sebenamya tidak perluterjadi. Bayeuigan-bayangan akan mendapatkan suatu kenikmatanketika dirinya atau calonnya jadi bupati sepertinya sulit diwujud-kan.***

53

RAZIA PENGIKUT RMS

Sura Karya, 24 Mei 2006

Saya kok sepertinya kurang sreg dengan adanya razia pen-duduk untuk menjaring pengikut-pengikut RMS yang kebetulansaya lihat di acara TV beberapa waktu lalu. Kekurangsregan sayaitu karena, kemudian razia tersebut temyata tidak menemukanapa pun dari semua yang dicari.

Barangkali, bagi petugas, razia yang dilakukannya adalahbagian dari tugas, tepatnya pengabdian kepada negara. Tetapi, se-benamya, di satu pihak yang lain, razia itu hanya kembali meng-goreskan luka yang begitu mendalam di hati sanubari merekayang dirazia. Ada perasaan malu, marah, kecewa, dan mungkinjuga perasaan direndahkan karena dianggap sebagai pemberon-tak, tidak setia kepada NKRI, dan lain sebagainya. Dan segalaperasaan tidak menyenangkan itu semua—saya yakin—tertanamjuga di lubuk hati para anak cucu dan cicit mereka. Kalau keyaki-nan saya ini benar, pasti ini cukup potensial membahayakan bagikelangsungan NKRI kita. Semoga saya salah.

Sungguh, tayangan razia di televisi membuat saya tertegundan berpikir keras. Mengapa hal semacam itu terjadi? Saya mem-bayangkan, alangkah indahnya kalau razia itu dilakukan dengan cara mengumpulkan seluruh penduduk kampung, kemudiansalah seorang petugas menanyakan adakah di antara mereka yangmasih menyimpan atribut-atribut RMS. Pasti tidak satu orangpun mengaku, sebab tidak ada maling teriak maling. Tapi demi-kian, pengingkaran mereka jangan lantas disikapi dengan marah.Sebaliknya ditanggapi dengan santun dan penuh kasih sayang.Misalnya, petugas tadi mengatakan kepada mereka, " Baik, Kalian semua temyata masih sangat mencintai NKRI, Kalian semuaadalah pendukung setia keutuhan dan kesatuan Republik Indonesia. Saya berterima kasih. Mari kokohkan semangat dan tekadkanbulat kita demi keutuhan negara yang kita cintai ini." Kemudian,

54

acara itu di akhiri dengan pembagian nasi bungkus untuk dimakanbersama-sama. Hasilnya pasti semuanya senang dan semuanyakenyang. Tidak ada yang merasa disudutkan, direndahkan, dandisalahkan.

Apakah razia di atas salah? Saya melihat tidak ada yangsalah, baik pihak petugas man pun mereka yang dirazia. Yangsalah adalah keadaan, karena keadaanlah yang menyebabkan raziaitu terjadi. Dan kalau kita tidak mau menyalahkan keadaan, makayang bisa kita tuding sebagai pihak yang paling bersalah adalahpenjajah Belanda yang telah membodohi bangsa kita selama tigasetengah abad lamanya, hingga akhimya bangsa kita menjadi ser-ing salah cara berpikimya, salah cara membangun negerinya, dansalah-salah yang lain sampai akhimya terlihat menjadi Indonesiayang seperti ini (ada kesenjangan tingkat pendidikan, ada kesen-Jangan kesejahteraan, kesenjangan keadilan, dan Iain-lain).

Bahan IntrospeksiSaudaraku semua, kalau pun benar apa yang saya tonton—

dan mungkin juga Saudara lihat—tentang tayangan razia di televi-si itu dilakukan karena ada unsur pemberontakan oleh sekelom-pok orang yang diindikasikan akan mengancam keutuhan NKRI,alangkah arif dan bijaknya kalau peristiwa itu kita jadikan bahanintrospeksi. Kemudian kita bertanya kepada diri kita masing-mas-ing "mengapa pemberontakan itu terjadi?"

Sepengetahuan saya, pemberontakan itu terjadi karenadirasa tidak ada keadilan dan juga tidak ada kesejahteraan. Inihukum alam. Seekor cacing pun yang begitu lemah secara fisikakan menggeliat memberontak ketika diganggu kenyamanannya.Apalagi manusia yang mampu berpikir dan memiliki fisik sem-puma. Berbagai pemberontakan di Afrika, Asia, Eropa, dan lainsebagainya pasti mempakan akibat dari sebab ketidakadilan danketidaksejahteraan. Barangkali kita masih ingat sejarah revolusiFrancis yang mendunia. Itu pun bermula dari adanya ketidakadi-

55

Ian yang dirasakan oleh kaum proletar dan kaum borjuis ataskaum aristokrat.

Mendapatkan keadilan dan kesejahteraan adalah cita-citabemegara bagi setiap orang. Yang demikian ini karena, asumsin-ya, dengan bemegara maka seseorang akan dilindungi hak-kanyaoleh negara dan dipaksa menjalankan kewajibannya. Dengandemikian tidak ada yang dapat berbuat semena-mena, semuanyadiatur dan ada aturan mainnya.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bukankah kitasudah bemegara, tetapi mengapa pemberontakan masih sajaada? Benar, kita sudah bemegara, tapi ketidakadilan dan keti-daksejahteraan belum bisa dihilangkan sama sekali. Kita sedangmenekan itu semua.

Meskipun demikian, kita juga mesti ingat bahwa kebijakan-kebijakan negara tidak mungkin memuaskan selumh pihak, pastiada pihak-pihak yang merasa kecewa, bahkan mungkin dimgikan.Kebijakan negara yang seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia,tapi di semua negara. Kita masih ingat kebijakan Amerika Seri-kat untuk menyerang Iraq. Temyata, kebijakan yang dikeluarkanoleh George Walker Bush menuai protes dari rakyatnya karenadinilai memgikat rakyat Amerika sendiri (menyebabkan banyaktentara Amerika yang hams tewas di medan perang), meski punsebenamya ada sisi lain yang menguntungkan negara adi kuasaitu. Tapi, itulah kebijakan negara, karenanya dalam ilmu politikkita kenal ada istilah "kompensasi nilai." Meski pun demikian,pekerjaan kita adalah bagaimana meminimalkan ketidakpuasan-ketidakpuasan atas suatu kebijakan negara.

Aparatur Adalah PemimpinPeristiwa razia beberapa waktu lalu sungguh semakin

menyadarkan saya bahwa kita belum berhasil membah paradigmaaparatur negara dari pangreh praja menjadi pamong praja. Perlusaya tegaskan kembali di sini bahwa aparatur negara adalah abdi

56

dan pelayan masyarakat yang mempu memberikan daya dor-ong man pun motivasi-motivasi bukan menakut-nakuti. Dengandemikian, masyarakat menjadi merasa nyaman dan terlindungi.Juga, peristiwa razia itu semakin menyadarkan saya bahwa masihbanyak para aparatur kita lebih mengedepankan wewenang daripada perannya.

Aparatur negara sebenamya adalah pemimpin. Karena itutingkah laku dan sepak terjangnya hams menjadi tauladan, bukancemoohan. Oleh sebab itu seorang aparatur hams mampu tampilsebagai seorang komandan, guru, orang tua, dan sahabat.

Dengan menjadi komandan, dia memiliki sikap berani, te-gas, dan tidak plintat-plintut. Sedangkan sebagai gum dia mampu mendidik dan mengajarkan hal-hal yang baik kepada selumheinak muridnya. Jangan sampai mereka menapaki jalan yang sesatdan membahayakan. Sebagai orang tua, dia memiliki hati yangteduh, penuh rasa kasih sayang, tidak punya dendam, tidak pemahmembenci tapi mengayomi, tidak membunuh tapi justem memberikan kehidupan, dan membawa kesegaran serta ketenteraman.Dan dengan menjadi sahabat, dia mau mendengarkan segala sukaduka yang dihadapi rakyatnya. Pendeknya, dia menjadi temancurhat (curahan hati). Dari matanya terpancar kesedihan ketikamendengar sesuatu berita yang menyakitkan. Sebaliknya, terpancar kegembiraan dengan rona berseri-seri di saat mendapatkankabar rakyatnya mendapatkan sesuatu yang menyenangkan.

Cerita razia di atas sebenamya tidak akan terjadi kalau ditanah itu ada pemimpin. Yaitu seorang bapak, seorang gum, seorang sahabat, dan seorang komandan. Karena itu, mari kita satu-kan dan bulatkan tekad kita untuk membah paradigma aparaturkita, yaitu dari pangreh praja menjadi pamong praja, jadi batur,jadi pesumh. Dan seorang pesumh hanya ada satu, yaitu bagaim-ana supaya bisa menyenangkan majikannya, rakyat! Semoga!***

57

PERILAKU PREMAN

DIBALIK JABATAN TERHORMAT

Bisnis Indonesia, 9 Juni 2006

Saya tertarik berita mengenai kasus tindakan kasar(pemukulan ?) yang dilakukan oleh Satpam kepada wartawan saatmenjalankan tugas jumalisme beberapa hari lalu di Jawa Timur.Atas peristiwa itu, berbagai reaksi bemada mengecam terhadapperlakuan bercita rasa sadisme itu bermunculan. Berbagai posterprotes " Pecat Satpam yang berperilaku preman" ramai digelardan berarak,

Pertanyaan saya, "apakah preman itu?"Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, preman adalah

sebutan untuk orang jahat. Sedangkan menurut definisi awan,preman adalah orang yang pekerjaannya melakukan tindakan-tindakan atau cara-cara tid^ terpuji, tidak terhormat, serta tidakbermartabat lainnya. Ini definisi awam, kalau kurang pas sayamohon maaf.

Lalu pertanyaan saya kemudian adalah, "Apakah premanitu profesi, atau perilaku?"

Kalau profesi, maka bagi saya yang disebut dengan premanadalah kumpulan orang-orang atau sekelompok manusia yangbekerja secara sensasional-brutal untuk kepentingan pribadi, go-longan, majikan yang memberinya makan, partai politik tertentu,dan Iain-lain. Karena pekerjaannya yang seperti ini, maka alat-alat yang digunakannya pun serem-serem berupa alat-alat yangmampu membuat calon korban gemetar ketakutan, dan kalau per-lu mati berdiri begitu melihat alat yang dipakai oleh preman itu.Misalnya menggunakan golok, pistol, bogem, pentungan yangujungnya dikasih paku, gergaji dan Iain-lain.

Tetapi, kalau preman itu sebagai perilaku, maka yang disebut dengan preman adalah segala bentuk tindakan melawan hu-

58

kum. Alat yang digunakannya pun menjadi sangat halus. Bisajadi berupa pena, surat sakti, jabatan, dan masih banyak lagi yanglain.

Preman sebagai profesi mudah diidentifikasi dan dikenali.Misalnya, di pasar kita jumpai orang meminta uang secara paksadibarengi dengan ancaman senjata, pasti dia preman. Tapi kalaupreman sebagai perilaku, maka sangat susah bagi kita untuk men-genalinya. Bisa jadi, perilaku preman ini bersembunyi di balikjabatan-jabatan terhormat, mulia, dan luhur atas nama pengab-dian kepada bangsa dan negara. Kita pun lantas menghormatinya,tetapi di balik itu semua mereka melakukan tindak pemerasan danpemalsuan secara terselubung. Misalnya, seseorang dengan mon-cong mulut dan tulisannya mengucapkan atau menuliskan ses-uatu tentang seseorang yang belum tentu benar adanya, sehinggayang bersangkutan -dan mungkin juga keluarganya—merasa ter-ganggu. Apakah tindakan yang demikian itu bukan preman? Kalau tindakan itu bisa dikategorikan sebagai preman, maka wajud-nya bisa saja menteri, gubemur, hakim, pengacara, polisi, kepaladinas, wartawan, kompuser lagu, penulis, penyair, dan Iain-lain.

Baik sebagai profesi atau pun perilaku, hakekat premanadalah sama-sama merugikan, menyakiti dan meresahkan ket-enteraman, baik individu mau pun masyarakat. Karenanya, preman oleh masyarakat dipandang hina dan nista.

Nenek selalu bilang, "Engkau jangan pemah menyakiti sia-pa pun kalau Kamu tidak mau disakiti. Sakit fisik mudah sembuh,apalagi kalau dikasih parem beras kencur. Tapi sakit yang dis-ebabkan oleh sebuah tulisan atau ucapan, maka lukanya menjadidalam sekali. Bahkan fatal akibatnya, baik bagi orang tersebutdan juga keluarganya."

Nasehat nenek di atas benar adanya. Tapi yang menyedi-hkan, terasa jelas bahwa apa yang dinasehatkan oleh nenek belum membekas dalam sehingga masih banyak anak cucunya yangberprofesi dan berperilaku preman, meski pun tidak satu pun dari

59

mereka mengakui bahwa dirinya adalah preman. Mungkin dalamhal ini bukan nenek yang salah, tetapi embahnya sungkil karenacerita tentang preman ini juga datang dari embahnya sungkilsendiri.

Kebiasaan Primitif

Soal preman (sebagai profesi ataupun perilaku) tampa-knya bukan fenomena baru, tetapi realita yang umumya sudahsangat tua. Saya ingat, di jaman dahulu kala ada kebiasaan primitif di suku Twiti di mana ketika seseorang sedang tidak punyauang atau butuh uang, maka seseorang tersebut memanggil selu-ruh warga untuk mengadakan -semacam—kenduri di rumahnya.Setelah acara kenduri itu selesai, maka si tuan rumah dengan lan-tang mencaci maki para tamu yang diundangnya dengan sasaranutamanya orang yang paling kaya di antara mereka. Lalu, orangkaya yang merasa dihina dan direndahkan martabatnya tidak teri-ma atas perlakuan tersebut dengan cara mengeluarkan segepokuang diberikan kepada si tuan rumah yang menghinanya denganmaksud untuk mengatakan bahwa meski pun dihina tapi masihbisa memberikan uang kepada si penghina. Dengan demikian, situan rumah dapat meraup dan meneguk keuntungan materi dengan cara menghina, mencaci, dan merendahkan orang lain. Tidakdijelaskan secara detail (dalam literatur yang saya baca) apakahkebiasaan si tuan rumah suku Twiti itu disponsori oleh pihak-pihak tertentu atau atas inisiatif sendiri.

Barangkali, karena usianya yang sudah sangat tua itu,maka praktik premanisme susah ditekan, apalagi dihilangkan.Pelakunya pun tidak merasa berdosa kalau perbuatannya itu meru-gikan dan melukai masyarakat banyak. Lebih-lebih para premanyang bersembunyi di balik jabatan terhormat yang berangkat kekantomya diantar oleh mobil mengkilat, kembali pulang ke rumah tingkat, dan tidur di atas kasur bertingkat. Memang di duniaini tidak ada maling yang berteriak mating. Semua bersembunyi

60

di balik dinding!Namun demikian, sepertinya perlu disadari bersama bahwa

masyarakat kita tidak buta dan juga tidak tuli. Mereka mencatatdalam-dalam di hati nuraninya akan track record seseorang. Jadi,kita tidak usah bermain dengan kepura-kepuraan, karena masyarakat tahu mana yang domba, mana srigala, dan mana srigala ber-bulu domba.

Anda semua tidak perlu marah dengan sebutan premanyang saya boat dalam tulisan ini, karena Anda bukan termasukpreman. Biarkan diri saya saja yang preman. Di samping itu,definisi tentang preman itu sendiri juga masih kabur dan belumJelas. Jadi—sekali lagi—Anda tidak perlu marah! Dan kalau Andamarah bisa-bisa Anda nanti dituduh sebagai preman.

Tapi demikian Anda tidak perlu risau jika ada tuduhan preman yang dialamatkan kepada Anda. Anda masih bisa menyang-gah dengan seribu alasan untuk membuktikan bahwa Anda bukanpreman, tapi pahlawan, dermawan dan sebutan-sebutan terhormatlainnya. Tapi tahukan Anda, seribu dalil yang nda buat tidak akanbermakna apa-apa jika ada seribu orang yang mengatakan bahwaAnda adalah preman. Ini bukan saya yang bilang, tapi seribuorang itu yang bilang.*** Wallahualam.

61

KEMISKINAN

Seputar Indonesia, 26 Met 2006

Kemiskinan merupakan akar dari segala masalah yang se-dang kita hadapi. Tentu, kemiskinan yang saya maksud di sinibukan dalam arti miskin mated semata tetapi juga miskin ilmu,akhlak, dan moral. Karena itu, menjadi bisa dipahami kiranyamengapa bangsa ini susah bangkit dari keterpurukan yang selamaini membelenggunya.

Yang saya tidak mengerti dan terkadang juga hampir habispikir adalah mengapa banyak anak bangsa ini sendiri juga ikutandil dalam proses pemisikinan bangsa dan negaranya—entahsadar atau tidak sadar. Atau—barangkali—ada tangan jahil entahdari mana datangnya ikut bermain. Tetapi sebaiknya kita instro-speksi saja.

Birokrasi

Birokrasi kita ikut berperan dalam proses pemiskinan, ke-tika kehadirannya justeru menyulitkan bukan memudahkan. Kitasedang membenahi birokrasi munju performanya yang prima.Dengan demikian, diharapkan birokrasi mampu mempermudahberbagai urusan, bukan sebaliknya sebagaimana banyak dike-luhkan seperti sekarang ini. Jargon "kalau bisa dipersulit kenapadipermudah" harus kita ubah menjadi "kalau bisa dipermudah kenapa dipersulit."

Birokrasi kita memang masih banyak sisi ruwetnya. Se-bagai misal—sekedar untuk menyebut contoh—adalah prosedurinvestasi sulit berbelit-belit dan bagi orang asing yang mau tanammodal dipersulit. Maka siapa yang mau berinvestasi ketika pros-edumya sulit, waktunya tidak akurat, kontraknya tidak "bankable, " ditambah lagi tidak ada jaminan apa-apa. Yang demikianini merupakan salah satu "pemiskinan" yang dilakukan oleh birokrasi.

62

Reformasi birokrasi mudah diucapkan, tapi masyaallah ban-yak kendala yang mengiringinya. Barangkali ini disebabkan olehkronis dan mengakamya penyakit birokrasi. Ironisnya, terkadangkendala reformasi birokrasi itu justeru datang dari dalam sendiri.Yaitu dari para birokrat yang merasa terusik dan terganggu ken-yamanannya jika reformasi birokrasi dilaksanakan. Mereka men-jadi sulit berbuat mesum (baca: KKN). Akhimya, mereka gigihdengan segala cara melakukan perlawanan terhadap reformasibirokrasi yang sekarang sedang kita langsungkan ini.

Tapi demikian, "Rawe-rawe rantas malang-malang pu-tung!" Reformasi birokrasi tidak boleh berhenti. SDM aparaturdan sistem birokrasi hams terns diperbaiki. Jika keduanya sudahbagus maka reformasi birokrasi berhasil. Pasalnya, birokasi akandijalankan di atas sistem yang baik dan diawaki oleh para birokratyang handal. Dengan demikian, birokrasi menjadi menyenangkan,menyejahterakan, serta tidak memiskinkan rakyat kebanyakan.

Pembenahan SDM aparatur dan sistem birokrasi mesti di-lakukan secara bersamaan, tidak cukup hanya pada salah satunya.Ibaratnya, kita tidak cukup membentuk mental para pengemudiuntuk taat aturan lalu lintas di jalan raya, tetapi -di satu sisi lain--aturan di jalan rayanya sendiri masih semrawut dan kacau balau.Sudah pasti mental para pengemudi yang sudah dibentuk itu tidakdapat operasional secara maksimal di jalan raya.

Media Masa

Saya tidak tahu pasti apa yang sebenamya sedang terjadidengan media masa kita, cetak mau pun elektronik. Tetapi barangkali, apa yang disuguhkan oleh media massa itu adalah memanggambaran nyata kondisi masyarakat kita sekarang ini. Karena itukita tidak perlu menyalahkan siapa pun, karena memang tidakada yang salah.

Coba Anda lihat TV dari pagi sampai pagi lagi. Gambamyapasti lebih banyak seputar berita tentang maling yang digebuki.

63

demo yang marak dan beringas, pagar yang dirobohkan, kantorKPUD yang diamuk masa, gedung sekolah yang ambrug, suamimemotong tiga isterinya, penjarahan, penghancuran bar dan dis-kotik serta kafe, darah dan air mata yang bercucuran, dan lain se-bagainya. Kalau kita membaca koran juga isinya tidak jauh beda.Pahit semua, tidak ada yang manis (tentang pembunuhan, per-ampokan, penjambretan, dan tindakan-tindakan brutal yang lain).Itu semua adalah kenyataan yang hams diberitakan. Namun, disatu sisi yang lain, orang asing yang nonton dan baca jadi merind-ing untuk investasi.

Berbeda ketika Anda—misalnya—membaca koran ataunonton TV Malaysia misalnya. Isinya selain memberitakan tentang kekacauan dan kriminal yang ada, tersaji juga di dalamnyaadalah berita yang manis-manis bempa keberhasilan yang dicapaisebagai wujud tanda sukur kepada Allah swt, Tuhan Yang MahaKuasa.

Barangkali, media massa negara jiran itu menarik dicermati,untuk selanjutnya—kalau tidak keberatan—diikuti. Sajian-sajianyang disuguhkan tidak didominasi oleh berita-berita kriminal tapijuga ada berita-berita yang menggambarkan tentang kesuksesandan keberhasilan. Dengan demikian, membaca koran atau punnonton TV menjadi manis rasanya, karena informasinya berim-bang. Saya kira kok tidak haramkan kalau berita itu berimbang.Apa kurang gagah, atau ragu tidak laku? Saya pikir pasti tetaplaku dan diminati. Keren lagi!

Media masa adalah sarana menyajikan fakta dengan apaadanya. Tapi, apakah kenyataan negara kita benar-benar miskinfakta positif yang bisa menjadi daya dorong bagi pembangunan(ekonomi, budaya, hukum dan lain sebagainya)? Saya yakin, jikacitra Indonesia bumk pasti orang akan takut melirik, apalagi da-tang. Mungkin juga mereka akan bertanya, "negeri apa ini?" Tapikalau citranya bagus orang pasti akan berbondong untuk tujuan-tujuan yang bermanfaat (wisata mau pun tujuan investasi). Dan

64

jika hal itu terwujud, niscaya akan sangat membantu menghalan-gi laju kemiskinan.

Demonstrasi Masa

Terns terang saya tidak anti demonstrasi. Karena—bagaim-ana pun juga—demonstrasi merupakan bagian dari ekspresi ber-demokrasi. Pertanyaan saya adalah apakah demonstrasi wajib di-lakukan dengan cara membakar emosi masa? Saya yakin tidak.Demonstrasi itu bisa dilakukan dengan cara damai, penuh kesa-hajaan, serta penuh kecintaan. Dengan demikian, orang lain tidakmerasa terganggu aktivitasnya. Demokrasi itu bebas berpenda-pat, bukan bebas beraksi. Bebas ngomong tapi jangan anarki. In-dah sekali saya melihat sebuah demonstrasi yang dilakukan olehsalah satu LSM luar negeri yang bergerak di bidang lingkun-gan, di mana demonstrasi itu dilakukan tidak lebih dari tiga puluhorang tetapi efek yang ditimbulkannya sungguh luar biasa. Itulahdemonstrasi dalam alam demokrasi. Barangkali!

Demonstrasi yang tidak terkendali—seperti yang seringkita saksikan dewasa ini—nampaknya kok menjadi berlawanandengan prinsip dasar demokrasi itu sendiri. Mengapa demikian?Demokrasi bertujuan untuk menjamin berlangsungnya kebeba-san seseorang. Sementara anarki itu menyunat kebebasan yangdimiliki oleh individu. Dan jika kebebasan individu terganggu ituberarti telah berkontribusi terhadap proses pemisikianan bangsadan negara.

Bagaimana bisa mengatakan hal di atas? Yang jelas, parasopir taksi, bus, dan angkutan yang lain mengeluh karena tidakbisa narik (jalanan macet di mana-mana yang disertai huru-hara).AJdbatnya, mereka tidak punya setoran untuk majikannya, apal-agi buat beli beras dan biaya sekolah anak-anaknya. Singkat-nya, kewajiban mencari nafkah keluarga menjadi tersendat dantersumbat. Pendapatan mereka menjadi berkurang, atau malahminus. Bagi mereka yang punya tabungan uang bisa ambil dari

65

tabungannya, tapi bagaimana dengan mereka yang tidak punyauang simpanan? Mungkin mereka menjadi ngutang tetangga un-tuk memenuhi kebutuhannya.

Juga, coba Anda bayangkan! Berapa banyak biaya yangdikeluarkan untuk demonstrasi itu, misalnya biaya rokok, biayabus, biaya spanduk, dan biaya-biaya yang lain. Belum lagi ka-lau ada uang lelah bagi para demonstran (mudah-mudahan yangini tidak ada). Mungkin jutaan bahkan milyaran rupiah biaya di-habiskan untuk itu. Sadis bukan yang demikian ini? Alangkahindahnya kalau dana yang bermilyar-milyar itu digunakan untukkepentingan publik (membangun sekolahan yang roboh, tunjan-gan pendidikan, dan Iain-lain yang lebih maslahat). Saya menger-ti —barangkali —pendapat saya ini keliru. Tapi sepertinya patutdirenungkan agar negeri ini tidak tambah miskin.

Saudaraku semua. Sekarang kita sedang galak mempromo-sikan Indonesia untuk menarik para investor agar mereka maumenanamkan modalnya. Presiden kita, Bapak Sosilo BambangYudhoyono, tidak pernah capai meyakinkan kepada dunia bahwaIndonesia adalah tempat yang aman dan menguntungkan untukberinvestasi. Kita perlu mendukung pencitraan Indonesia yangdilakukan oleh presiden kita. Salah satu caranya adalah masing-masing kita bisa menunjukkan kepada dunia intemasional bahwa

kita adalah bangsa ramah yang tidak suka marah.Saudaraku, soal kemiskinan ini adalah masalah kita ber-

sama. Mari kita bulatkan tekad kita untuk memberantas pen-yakit yang sudah lama membelenggu bangsa kita ini. Bukankahkita senang menjadi bangsa yang bermartabat dan terhormat.Kemiskinan (mated, ilmu, dan akhlak) hanya menjadikan kitabangsa terpuruk yang tidak memiliki kewibawaan di mata bangsadan negara lain.*** InsyaAllah!

66

BABm

MENGELOLA KENYATAAN

DUTA BES AR, SEBUAH HARAPANSuara Pembaruan, 5 Juli 2006

Ini hanyalah sebuah renungan dan ucapan selamat bagi paraduta besar (dubes) baru kita. Juga sekaligus doa agar para dubeskita dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan baik hingga misiyang dibawanya tercapai.

Keberadaan seorang dubes sebagai "aparat" negara merupa-kan representasi pemerintah Indonesia di manca negara dalamrangka menjalankan amanat UUD 45 (ikut melaksanakan keterti-ban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dankeadilan sosial). Karena itu tugasnya berat dan posisinya sangatvital.

Berhubungan dengan hal di atas, maka penting kiranyabagi seorang calon dubes mempuyai kemampuan diplomas! yanghandal. Dengannya, lawan dapat dijadikan kawan, dan kawanbisa diajak untuk kerja sama atau dijadikan mitra kerja. Dengandemikian, berbagai persoalan yang semula menegangkan menjadimendamaikan, yang semula keruh menjadi jemih menyenangkan,yang semula merugikan menjadi menguntungkan, dan yang semula biasa-biasa saja menjadi luar biasa baiknya. Di sinilah se-benamya kecanggihan berdiplomasi, kecerdasan intelektual, dankematangan emosional seorang calon dubes memiliki arti yangsangat penting.

Juga, penting pula kiranya bagi seorang calon dubes memiliki kualifikasi sebagai marketing andal, pandai 'menjual' Indonesia yang didasari oleh semangat serta komitmen melaksanakannasionalisme. Dengan demikian, setiap nafas yang terhembusadalah memasarkan keunggulan Indonesia, mengajak warga se-tempat berwisata ke Indonesia, meyakinkan para investor mau tan-am modalnya di Indonesia, malu kalau angka neraca perdaganganIndonesia tidak beranjak naik, malu kalau negaranya dipandangsecara sebelah mata oleh negara lain, dan lain sebagainya yang

69

keseluruhannya dicurahkan pada upaya pencapaian keluhuranharkat dan martabat guna mewujudkan keadilan, kesajahteraan,dan kemakmuran bagi bangsa dan negara Indonesia. Pendeknya,seorang calon dubes memiliki kreteria mampu 'menyulap' ses-uatu yang negatif menjadi positif, yang buruk menjadi balk, danyang sudah balk menjadi lebih baik lagi.

Selain itu, penting pula kiranya bagi seorang calon dubesmempunyai kemampuan membangun Jaringan secara luas (poli-tik, ekonomi, budaya, dan Iain-lain) dengan negara-negara lain,sebab luasnya jaringan berpengaruh pada kekuatan diplomasi.Alhamdulillah, Indonesia memiliki sejarah yang cukup baik kai-tannya dengan keluasan jaringan. Sebagai misal, pada tahun1955 Indonesia mampu berperan aktif meredam gejolak inter-nasional melalui Konferensi Asia Afrika (KAA). Kemudian padatahun 1967 Indonesia juga berperan aktif mendirikan ASEANdalam rangka meningkatkan kerja sama mancapai kesejahteraan,peningkatan keamanan, dan lain-lainnya, terutama bagi sesamaanggota ASEAN.

Sampai sekarang, jaringan kita terns berkembang denganbaik, dan keberadaan Indonesia terus diperhitungkan oleh duniaintemasional. Buktinya, Indonesia mendapatkan kepercayaanmenjadi salah satu anggota Dewan HAM FEE, menjadi anggotadi seluruh badan baru di bawah program reformasi menyeluruhPEE, dan mendapatkan kepercayaan-kepercayaan lain bertarafintemasional. Semua ini bermula dari kekuatan jaringan, selan-jutnya digunakan untuk mengibarkan identitas nasional dalamrangka memperkuat posisi tawar Indonesia. Oleh sebab itu yangmenjadi pekerjaan kita (sekarang dan selanjutnya) adalah men-gupayakan agar jaringan yang kita miliki bertambah luas danmemberi bobot nilai lebih terhadap jaringan tersebut sembarimenelusuri kemungkinan-kemungkinan menjadikannya sebagaijembatan mitra kerja sama dalam pembangunan yang sedang kitalaksanakan.

70

Tantangan Semakin KompleksTantangan Indonesia ke depan semakin kompleks. Persing-

gungan kepentingan antar negara dan juga persaingan di berb-agai sektor kehidupan semakin meningkat tajam. Tentu, kita tidakpingin tertinggal, apalagi terpuruk oleh kompetisi global. Olehkarena itu tidak keliru kiranya bila mengatakan bahwa seorangdubes kini dituntut lebih aktif, kreatif, dan inovatif, serta berjiwawirausaha, yaitu mampu menggunakan sumber daya dengancara baru untuk memaksimalkan produktivitas dan efektifitas.

Tantangan kita komples sekali. Sebagai misal, Indeks Pem-bangunan Manusia (Human Development Index) kita berada dibawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Dalam haldaya saing global (global competitivness)—htx(\diSdx}fi2cci GrowthCompetitiveness Index— berada di bawah Vietnam. Dalampelaksanaan e-government berada di bawah Darussalam, Thailand, dan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. IndeksPersepsi Korupsi (IPK) kita tahun 2005 masih 2,2 (tapi alhamdu-lilah ada penurunan karena tahun 2004 IPK kita 2,0). Dan masihbanyak lagi tantangan-tantangan lain yang menghadang. Sebutsaja misalnya adalah tantangan berupa stigma atau pun tuduhannegara tertentu bahwa Indonesia sebagai tempat aman persem-bunyian jaringan teroris intemasional, sebagai surga para korup-tor, sebagai negara yang sering melanggar HAM, negara yang se-dang terancam disintegrasi, dan negara yang sehari-harinya sibukberurusan dengan masalah kekerasan, pembunuhan, demonstrasimasa, dan Iain-lain.

Karena tantangan yang sangat kompleks ini, penting kiranya calon dubes disodorkan aneka problem dan tantangan Indonesia; neraca perdagangan, jumlah turis dari negara bersangkutan,stigma buruk negara-negara tertentu terhadap Indonesia, dan lainsebagainya untuk ditanyakan langkah dan strategi apa yang akandiambil guna menyelesaikan masalah-masalah yang ada, termas-uk di dalamnya adalah bagaimana kiat mengelola jika ada citra

71

buruk terhadap Indonesia.Juga, panting pula disuguhkan kepada para calon dubes

potensi-potensi Indonesia yang belum tergarap secara maksimal.Apa dan bagaimana pandangannya agar potensi-potensi itu men-jadi power tersendiri bagi Indonesia. Umpamanya diminta tang-gapannya tentang pengeloiaan masalah UKM, perikanan, danjuga pertanian. Dan khusus menyangkut tiga hal ini tampaknyaseorang calon dubes perlu memiliki perhatian lebih istimewa.Pasalnya ketiganya itu adalah kita, nafas kita, dan orang tua kita.Kita ini kalau bukan sebagai pedagang, ya hidup sebagai petani,kalau tidak ya sebagai nelayan.

Saya yakin dengan sepenuh hati apa-apa yang saya sebut diatas sudah dimiliki oleh para duta besar kita. Juga, pelaksanaanfit and proper test jauh lebih ketat dan lebih tajam dari sekedaryang saya tulis di sini. Karena itu, anggaplah tulisan ini sekedartambahan harapan saja, tidak lebih dan tidak bermaksud meng-gurui*** Semoga!

72

SAYA PENGIN JADIPNS

Suara Pembaruan,

Minat masyarakat untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil(PNS) masih sangat besar. Luar bisa! Lihat saja, setiap ada pen-daftaran calon PNS, pesertanya pasti berjibun, alias banyak seka-li.

Karena banyaknya peminat, maka bermunculanlah calo-calo PNS. Ada yang calo asli, yaitu mereka yang profesinya se-bagai calo. Juga, ada pula yang "calo dalam." Yaitu PNS yang ker-ja sambilan sebagai calo. Padahal, bagi calo dalam ini risikonyalebih berat ketimbang calo asli. Bila terbukti sebagai calo, merekadapat dipecat dari pekerjaannya. Anehnya, meskipun demikian,masih saja banyak PNS yang berani menjadi calo. Maklum, hasil-nya mungkin menggiurkan!

Praktik calo ini jelas tidak benar. Cuma, yang menjadi ma-salah, masih saja banyak calon PNS yang man menggunakan jasapara calo, meskipun di berbagai media (cetak maupun elektronik)sudah diumumkan dan diwanti-wanti jangan menggunakan calo,risikonya berat. Misalnya, bila ketahuan pakai menggunakan calobisa gugur sebagai CPNS, meskipun telah dinyatakan lulus sebagai CPNS.

Namun, tampaknya masyarakat merasa kurang sreg kalautidak menggunakan jasa calo. Mereka lebih percaya kepada paracalo ketimbang apa yang mereka dengar, mereka lihat, dan mereka ketahui sendiri dari informasi televisi maupun surat kabar. Ak-ibatnya, mereka mau membayar sejumlah uang yang diminta paracalo, padahal sudah jelas bahwa pendaftaran CPNS tidak bayaralias gratis. Lucu kan?

Saya sedikit akan bercerita tentang calo ini. Ada dua jeniscara kerja calo. Pertama adalah calo yang sungguh sungguh bek-erja dengan cara melobi sana dan melobi situ, serta "sogok" sanadan "sogok" situ untuk meluluskan calon pegawai negeri. Ini

73

adalah jenis calo aktif. Yang ke dua adalah calo "numpang lewat,"Maskipun "numpang lewat," calo ini termasuk jenis calo yangpunya teknik tinggi. Dia tidak berbuat apa-apa kecuali—barang-kali—bakar kemenyan sambil komat-kamit di tengah malam sete-lah mengumpulkan sejumlah nama calon PNS. Bagi calo jenisini, yang penting terkumpul uang dulu. Kalau tidak lulus uangkembali. Kelihatannya fair, tapi sebenamya tidak. Sebab dia tidakmelakukan apa-apa untuk membantu kelulusan calon PNS. Ka-laupun ada CPNS yang lulus, sebenamya bukan karena jasa caloini, tapi mumi karena kesungguhan dan kemampuandan calonPNS yang bersangkutan.

Keuntungan yang diperoleh oleh calo "numpang lewat"juga banyak. Taruhlah, sebagai misal, si calo dapat mengumpulkan 20 "korban." Nah, dari 20 korban dia dapat kumpulkanuang sebesar kurang lebih Rp. 600 juta, sebab—katanya- hargapasaran untuk setiap CPNS yang mau lulus adalah sekitar Rp. 30juta. Jaminannya jelas, tidak lulus uang kembali. Kalau nasib lagimujur, 20 CPNS lulus semua. Tapi kalau lagi kurang beruntungmaka 2 atau tiga orang calon ada yang lulus. Lumayan dia dapatkantongi uang Rp. 30 juta kali jumlah orang yang lulus. Misal-nya dua orang lulus, maka dia kantongi Rp. 20 juta tanpa berk-eringat. Enak benar bagi calo ini, tapi pahit bagi calon PNS, tohkelulusan mereka juga basil jerih payah sendiri, karena merekabisa mengerjakan soal-soal ujian CPNS, bukan karena kemenyanyang dibakar oleh calo.

Bagi calon PNS, menggunakan calo asli ataupun calo yangnumpang lewat sama-sama punya risiko. Kalau ketahuan kelulu-sannya dapat digugurkan. Jadi tinggal pilih, pakai calo atau tidak,pingin digugurkan kelulusannya atau tidak.

Renimgkan Dulu Untuk Menjadi PNSBerikut ini adalah beberapa catatan yang perlu dibaca se-

belum Anda memutuskan untuk bergabung menjadi PNS. Ke-

74

untungannya barangkali Anda sudah hafal di luar kepala walaumungkin saja persepsinya keliru. Tapi yang jelas, menjadi PNSpunya risiko.

Untiik sekedar diketahui, tahun ini ada kurang lebih se-banyak 500 PNS yang telah meninggalkan kita dan kembali kemasyarakat karena telah diberhentikan dengan hormat (masihdapat pensiun), maupun diberhentikan dengan tidak hormat. Ohya, ada sebagian mereka yang turun pangkat. Mengapa? Karenamereka terlibat dalam kejahatan, percaloan, dan tidak disiplin.Jadi, tidak benar kalau ada pemikiran bahwa menjadi PNS itu da-pat bekerja seenaknya sendiri, dapat berangkat siang dan pulanglebih cepat dari jam yang telah ditentukan, dapat ngobyek sana-sini cari uang tambahan, dan Iain-lain. Jadi tidak benar kalau PNStidak ada sanksi.

Menjadi PNS itu artinya Anda man tunduk pada aturanpegawai negeri. Sama halnya bila Anda menjadi karyawan di PT.Angin Ribut misalnya. Maka Anda hams patuh terhjadap aturanyang ada, tidak boleh tunduk pada aturan PT . Samber Petir. JadiAnda hams siap terikat dan siap diatur, bukan seenak udel dewe,sesuka hati.

Setiap warga negara berhak menjadi CPNS, apabila me-menuhi syarat dan siap mengikuti aturan-aturan PNS. Bagi yangberminat jadi PNS, tolong baca ini baik-baik dengan teliti, dancari serta baca aturan-aturan yang mengikat PNS.

Di antaranya adalah Anda perlu membaca PP Nomor 32Tahun 1979, yang isinya antara lain mengatur batas usia pensiun. Perlu juga Anda membaca PP Nomor 30 Tahun 1980 tentangDisiplin PNS. Penting juga Anda pelajari UU Nomor 43 Tahun1999 tentang Netralitas PNS. Anda juga perlu baca PP Nomor9 Tahun 2003. Dalam PP ini diatur sebagai berikut; PNS Pusatadalah PNS yang gajinya dibebankan pada APBN dan bekerja didepartemen, kementerian, atau LPND. PNS Daerah adalah PNSyang gajinya dibebankan pada APBD dan bekerja pada Pemda

75

Propibnsi/Kabupaten/Kota atau dipekerjakan di luar instansi in-duknya. PNS yang diperbantukan adalah PNS yang melaksana-kan tugas di luar intruksi induknya yang gajinya dibebankan padainstansi yang menerima perbantuaannya. Jadi, setelah jadi PNStidak bisa sembarangan. Misalnya, PNS pusat minta 'gaji' daerah,atau sebaliknya. Selain itu, PNS juga hams masuk KORPRI ses-uai dengan AD/ART. Jadi banyak aturan yang mengikat PNS.

Juga, yang perlu disadari bersama, bahwa menjadi PNSadalah berarti siap untuk menjadi pelayan masyarakat secara pri-ma selama 24 jam. Siap menerima berbagai kritik dan juga kelu-han masyarakat sekaligus bempaya mencari jalan keluamya seh-ingga problem yang dirasakan oleh masyarakat berkurang. Kalaumemang sudah siap lahir dan batin, silahkan daftarkan diri Andamenjadi PNS. Yang pasti PNS bukanlah penguasa atau ndoro,tapi pelayan atau batur masyarakat. Welcome on board. Semogabermanfaat!***

76

SEKALILAGI PENYESATAN LOGIKA

Republika, Pelita, 4 Agustus 2006

Logis, artinya masuk akal, dapat diterima oleh nalar sehat.Hanya saja, sesuatu yang dianggap logis itu terkadang sifatnyasektoral. Maksudnya, "logis" menurut A belum tentu logis menu-rut B, begitu pula sebaliknya. "Logis" akhimya menjadi subyek-tif.

Subyektivitas logis itu terjadi bisakarena perbedaan wilayahbudaya, wilayah agama, atau mungkin pula karena wilayahkepentingan politik. Untuk yang terakhir ini (kepentingan poli-tik), makna logis menjadi semakin kabur. Pasalnya, semua yang"menguntungkan" dalam perspektif kepentingan politik menjadilogis dan masuk akal. Sebaliknya, sesuatu yang benar tetapi tidakmenguntungkan bisa dipandang sebagai sesuatu yang irasional.Karenanya sering terjadi rasionalisasi dan pembenaran. Parahnya,"logis" versi wilayah kepentingan politik ini sering disampaikanoleh tokoh yang bukan sembarang tokoh, sehingga masyarakatmenerima saja pandangannya tanpa prasyarat dan menganggap-nya sebagai sesuatu yang mutlak benar adanya.

Ilmu logika yang sangat dasar dan populer mengatakan,sesuatu dapat dianggap logis apabila premis mayor dan premisminomya klop alias cocok sehingga kesimpulannya benar dantidak terbantahkan. Misalnya, dalam premis mayor disebut "semua manusia itu pasti mati." Premis minomya, "si Ali Manusia."Kesimpulannya, "Ali pasti akan mati." Ini sangat pasti dan benaradanya—kecuali jika ali adalah nama kursi atau sepeda, makakesimpulan ini menjadi salah.

Melahirkan Kesimpulan SesatBelakangan ini banyak statemen yang kelihatannya logis

tapi sebenamya tidak masuk akal. Penyebabnya adalah cara ber-fikir sesat hingga kesimpulan yang diambilpun sesat. Sebagai

77

contoh kecil adalah statemen yang menggugat Ujian Akhir Na-sional~UAN (ini hanya misal saja dan tidak ada hubungan den-gan kasus UAN yang marak). Menunit Logika saya—mungkin inikelini karenanya tidak perlu ada yang marah atau tersinggung--UAN itu dapat dikatakan buruk, salah kebijakan, konyol, danIain-lain jika angka kelulusan hanya mencapai 20%, atau kurang,dan angka yang tidak lulus mencapai 80 % lebih. Sementara, disatu sisi yang lain, tingkat kelulusan tahun sebelumnya lebih dari80%. Jadi, logis kalau diambil konklusi bahwa UAN tahun inibringsik, alias brengsek. Sebaliknya, bila angka kelulusan mencapai lebih dari 60% atau bahkan lebih baik dari tahun lalu, makaapakah logis jika diambil sebuah kesimpulan yang mengatakanada kesalahan kebijakan dalam UAN?

Contoh lainnya lagi adalah masalah pengangkatan pega-wai honorer. Sudah jelas, berdasarkan PP 48 /2005, bahwa yangdimaksud dengan pegawai honorer adalah mereka yang ada dilingkungan "aparatur negara," yaitu mereka yang diangkat olehpejabat yang berwenang, dibayar atau digaji dari APBN/APBD,bukan yang lain. Di sini jelas, PP itu mengatur masalah rumahtangga aparatur negara, bukan bicara rumah tangga Diknas, bukan rumah tangga Departemen Agama, Departemen Kesehatan,dan departemen-departemen yang lain.

Menyangkut soal honorer ini, perlu saya menganalogkansebagai berikut. Kita semua pasti tabu yang namanya dokter. Tapidokter itu ada yang dokter PNS, ada dokter tentara (TNI), adadokter polisi, ada dokter dosen, dokter perusahaan, dokter bebas(praktik sendiri), dan lain sebagainya. Semuanya adalah-dokteryang sama-sama bertugas dan berjasa bagi kemanusiaan, sama-sama pegang alat suntik, dan sama-sama memberi resep obatuntuk pasien yang sakit. Tetapi, meskipun sama-sama dokter,mereka itu punya bos sendiri-sendiri. Ada yang Panglima TNI,ada yang Menteri Kesehatan, ada yang menteri Diknas, ada yangKapolri, dan Iain-lain. Tapi karena cara berfikimya sesat, maka

78

kesimpulan yang diambilpun sesat. Akhimya, dokter perusahaandisamakan dengan dokter dosen, dokter polisi, dan atau yang lain.Bahaya bukan?

Dikarenakan oleh cara berfikir yang sesat ini, maka pema-haman tenaga honorer menjadi tidak seperti yang dikehendakioleh PP yang mengatumya. Rombongan guru honorer yang di-angkat oleh ketua yayasan, ketua organisasi orang tua murid, ataudiangkat oleh kepala sekolah ikut dikategorikan sebagai tenagahonorer. Para gurupun ikut berteriak, "betul, betul, kita semuamemang sama-sama honorer." Padahal, sejatinya mereka adalahbukan honorer sebagaimana dimaksud dalam PP Nomor 48/2005. Pasalnya, gaji mereka bukan berasal dari APBN/APBD.Bisa jadi mereka digaji dari donator, iuran, uang SPP siswa, danIain-lain yang entah sumbemya dari mana saja. Juga, yang men-gangkat mereka berbeda, kewajiban dan haknyapun berbeda dengan honorer aparatur negara. Betul, mereka itu sebagai honorer,tetapi dalam pengertian bahwa mereka bekerja tetapi belum fulldiangkat sebagai PNS. Jadi, ini hanya keseunaan istilah saja, bedadefinisi.

Honorer guru agama lebih kompleks persoalannya. Misal-nya, ada guru madrasah yang hebatnya bukan main, diakui ket-inggian ilmunya, tidak diragukan cara dia mengajar, tetapi tidakpunya sepotongpun ijazah formal. Kalau kemudian mereka diangkat secara serta merta, lalu bagaimana dengan pengangkatan PNSyang bersandar pada syarat-syarat formal? Nanti ada tuduhan dis-kriminasi lagi? Terns terang, ini persoalan yang tidak gampangdigabung dengan PP 48/2005. Mereka butuh PP tersendiri.

Bagaimanapun, guru honorer di lingkungan DepartemenAgama harus dipikirkan. Namun, yang paling mengerti dan men-guasai masalah honorer guru agama ini adalah Menteri Agama.

Hindari Logika SesatIngat prististiwa Ilham Habibie? Dia adalah putra mantan

79

Presiden RI yang menjadi korban akibat logika sesat masa itutentang KKN. Karenanya, dia tidak boleh bekerja di IPTN (lan-taran anak Habibie) meskipun dia lulus dengan predikat SummaCumlaude. Aji gile, alias gile bener bangsa ini. Kita menyia-nyiakan anak bangsa yang cerdas dan pandai. Lalu kapan kitaakan berfikir lurus dengan logika yang cerdas?

Kita mau obyektif tapi kita sulap diri kita menjadi tidakobyektif. Barangkali kita ini termasuk kategori orang yang tidaktahu, tapi tidak tabu yang kita tidak tabu. Ini kan repot. Masabegini kita pelibara? Tapi bisa jadi yang demikian ini karena—barangkali-memang ada pibak yang sengaja melontarkan logi-ka-logika sesat atau disesatkan biar rakyat bingung dan negararamai.

Ada yang membuat bati ini sangat miris, ketika saya ikutmembabas RUU Pemerintaban Aceb. Pasalnya, untuk membabas3 pasal saja barus mengbabiskan waktu 9 jam, dimulai dari jam19.00 malam sampai jam 02.00 pagi, diselingi makan malam danrebat kopi. Saya maklum karena ini pembabasan serius menyang-kut soal masa depan Indonesia.

Namun begitu, muncul dalam logika saya bagaimana ka-lau semua daerab minta bal yang sama, karena pada saat itubanyak suara yang membuat bulu roma berdiri. Misalnya suara,"apa karena kami diam lalu tidak dianggap, kami juga bisa bikinribut dan rame, agar bisa diperlakukan kbusus juga." Ngeri bu-kan? Dub gusti, sunggub ini di luar logika kalau kita sendiri ramemengbancurkan bangsa ini. Mudab-mudaban tidak, karena yangtidak logis saja bisa menjadi logis, apalagi yang memang logis.Ya Allab luruskan bati bangsa ini. Kita ini satu NKRJ dan baruskami pertabankan untuk selamanya.

Tiba-tiba lampu bangsal kebidupan anak bangsa meredupdan lalu mati, banya beberapa lampu sudut bewama jingga yangbidup, musik itu muncul lagi. Membawakan lagu "Balada AnakNegeri" Suara siter yang samar, ada bau kemenyan, suara camar.

80

suara malam yang saling menikam, rajawali yang patah sayap,kuda sembrani, melenguh pilu, menyeling di antara kaing pu-luhan anjing kurap berebut bangkai, Pertiwi terkulaiberteriak keras, keras sekali tapi tanpa bunyi,

Hei, tetapi di mana logika? Coba cari. Aduh celaka, temy-ata logika sudah minggat (bahasa Jawa, artinya pergi tanpa izin)entah kemana. Apa perlu kita cari? Buat apa di cari ? Hams! Se-mua galau, semua kacau, karena logika lenyap, sima, binasa danmoksa dari otak. Ha ha ha..., kemana? Sebenamya tidak jauh,masih ada di tubuh manusia itu juga, cuma melorot, sekarang sudah ada di pemt, karena dikejar-kejar kemiskinan, diancam olehkebodohan, dibohongi oleh politisi musiman, ditipu oleh penegakhukum yang zalim, sehingga ia capai mencari keadilan, bosankarena makan angin dan janji melulu. Ia putus asa akhimya laribersempunyi dan tergelincir, lain ditelan oleh kelaparan, dansekarang terperosok di dalam pemt.

Namun, mengapa mesti Repot. Tetapi, mari kita baca syairini. "I asked for strength , and God gave me difficulties to makeme strong, I asked for wisdom and God gave me problem to solve,I asked for prosperity and God gave me brain and brown to work,I received nothing I wanted, but I received everything I needed"***

81

LAGI-LAGI LOGIKA

Seputar Indonesia, 26 Juli 2006

Buat ketiga kalinya saya menulis soal logika. Hal ini sayalakukan karena memang persoalannya sangat mendasar, yaitu kitasemua tidak menginginkan ada logika sesat tumbuh subur di ten-gah masyarakat. Karena hal yang demikian ini maka kewajibankita adalah meluruskein cara berfikir dan mengajak masyarakatuntuk kembali pada logika yang benar,

Di antara sekian banyak contoh logika sesat yang dapatsaya sebutkan di sini adalah soal opini pemberian gaji ke-13 ke-pada para pejabat negara. Tapi mohon maaf kalau saya sebutkancontoh ini jangan buru-buru diartikan sebagai bentuk pembelaanterhadap pemerintah. Tidak, sama sekali tidak ada pikiran demikian, tapi saya hanya berusaha untuk berfikir logis saja.

Terlepas dari pro dan kontra gaji ke-13 tersebut (karena mas-ing-masing punya alasan yang masuk akal) saya pingin mengajak saudara untuk sedikit berhitung. Coba lihat, jumlah PNS pluspensiunan tidak kurang dari 5,8 juta. Sedangkan jumlah pejabatnegara berkisar 4000 orang, dan yang mumi pejabat negara (ek-sekutif) jumlahnya 1740 orang. Jadi, kalau diprosentase, jumlahmereka adalah cuma 0,05%. Dengan demikian, jumlah uang yangbakal di mammam (dimakan) oleh pejabat negara pada gaji ke-13tersebut paling banyak Rp. 58 milyar. Jadi sebenamya anggarangaji ke-13 untuk pejabat negara cukup kecil bila dibandingkandengan seluruh penerima gaji ke-13. Namun kesan yang dic-iptakan untuk publik sungguh berbeda, yaitu seolah-olah angkaRp. 9 triliun tersebut sebagian besar untuk bayar gaji ke-13 parapejabat negara. Hal seperti ini kurang pas dan kurang fair. Sayaberani katakan demikian karena saya bermaksud untuk memberi-kan informasi apa adanya sekaligus mengajak masyarakat untuklebih arif dan kritis, serta tidak mudah menelan logika sesat danmenyesatkan. Karena itu, boleh dan dan tidak haram kan kalau

82

saya sedikit beda pendapat.

Mengapa gaji ke-13?Perlu disampaikan di sini bahwa latar belakang kebijakan

pemberian gaji ke-13 kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) dia-wali oleh ide untuk meningkatkan kesejahteraan PNS. Dengandemikian diharapkan tidak dijumpai lagi kesenjangan antara PNSdengan pegawai swasta.

Ide atau gagasan ini kemudian dibahas dalam rapat di BadanAnalisa Fiskal pada tahun 2003 yang dihadiri oleh berbagai in-stansi terkait (wakil-wakil dari MenPAN, BKN, DepartemenKeuangan, dan PT. Taspen). Rapat tersebut membahas mengenaiusaha untuk memberikan kenaikan gaji pokok PNS yang akandiajukan dalam RAPBN tahun 2004.

Dalam rapat diusulkan, di samping adanya usaha untukmeningkatkan perbaikan gaji PNS, perlu ada pemberian insentifbagi pegawai negeri menjelang hari raya idul fitri. Argumentas-inya, pemerintah sebagai pemberi kerja diharapkan dapat memberikan semacam hadiah lebaran kepada para pekerjanya (PNS).Kemudian, dalam pembahasan RAPBN (antara pemerintah danDPR) disetujui adanya kenaikan gaji pegawai negeri dan pemberian insentif berupa hadiah lebaran. Namun karena hadiah insentif berupa hadiah lebaran tidak dikenal dalam sistem renumerasiPNS, maka diberi nama pemberian gaji bulan ke-13. Jadi menurutsaya, seal gaji ke-13 itu adalah hasil pembahasan bersama antarapemerintah dan DPR.

Sebenamya, kebijakan pemberian gaji ke-13 kepada PNSpemah dilakukan pada tahun 1983. Kebijakan dan nama itu kem-bali disepakati untuk digunakan lagi, yaitu pemberian gaji bulan ke-13 yang akan diberikan menjelang hari lebaran dan telahditetapkan dalam APBN tahun 2004. Namun dalam pembahasanRAPBN, pemberian gaji ke-13 tidak hanya diberikan pegawainegeri saja, tetapi juga diberikan kepada pejabat negara dan para

83

pensiunan, baik pensiunan pegawai negeri maupun pejabat ne-gara.

Dalam pelaksanaannya, pemerintah—pada saat itu PresidenMegawati Sukarno Putri—menghendaki agar pemberian gaji ke-13 lebih terasamanfaatnya. Karena itu pemberiannya tidak dilak-sanakan pada saat menjelang lebaran (sebab biasanya diikuti olehkenaikan harga barang-barang sehingga gaji ke-13 tidak begitubisa dirasakan dampak positifhya) tetapi pada bulan Tahun AjaranBaru anak-anak sekolah, di mana pada saat itu banyak PNS yangmembutuhkan biaya ekstra untuk menyekolahkan anak-anaknya.Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa sampaisekarang belum terbentuk usaha kesejahteraan PNS berupa asur-ansi pendidikan bagi putra-putri PNS sebagaimana diamanatkandalam pasal 32 UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang pembahan atasUU Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.

Kebijakan pemberian gaji ke-13 tersebut di atas berlanjutpada tahun 2005 dan tahun 2006 yang semuanya telah disepakatiantara pemerintah dan DPR dan dituangkan dalam APBN Tahun2005 dan Tahun 2006. Kebijakan pemberian gaji ke-13 tahun2006 adalah sebagai kelanjutan dari tahun sebelumnya dan telahditetapkan oleh presiden dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25Tahun 2006 tanggal 20 Juni 2006 dan telah ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Dirjen Anggaran Nomor: Per/28/PP/2006 tanggal 30 juni 2006.

Soal gaji ke-13 ini memang kembali marak dibincangkan,serta melahirkan berbagai respon para calon penerimanya (adayang menolak dan ada yang diam-diam saja). Yang menolak men-gatakan tidak etis pejabat negara terima gaji ke-13 dikarenakangajinya sudah besar. Juga, ada yang melalui iklan besar-besarakan menyerahkan gaji ke-13 tersebut ke panti asuhan, panti jom-po, atau pihak-pihak lain yang lebih membutuhkan. Tetapi adapula yang menerima gaji ke-13 tersebut, lalu secara diam-diammendermakannya kepada pihak yang membutuhkan tanpa ban-

84

yak bicara, sebagaimana dikatakan oleh ustad saya, "kalau tangankanan memberi tangan kiri tidak perlu tahu." Saya yakin, banyakorang yang mengikuti aj^an yang dibilang oleh ustad saya ini.

Semua penyikapan atas pemberian gaji ke-13 itu boleh-boleh saja. Namun yang pasti seal gaji ke-13 ini adalah amanat.Kalau amanat ini tidak dijalankan, nanti urusannya repot lagi.Bisa-bisa pemerintah dibawa ke PTUN untuk diminta pertang-gungjawabannya, dan urusannya menjadi semakin panjang. Lalubagaimana...? Sebaiknya kita taat asas saja.***Semoga berman-faat.

85

ANALOG-ANALOG

Kadang-kadang kita membutuhkan analog ketika hendakmenjelaskan suatu maksud kepada seseorang, setelah dengancara biasa orang yang kita ajak bicara belum juga mengerti apayang kita maksudkan. Tapi, kalau dengan cara analogi ini belumjuga dapat dimengerti, itu namanya keterlaluan alias kebangeten.Semacam pembanding apple to apple dari berbagai sudut pan-dang.

Pemah, suatu hari dalam acara talk show, ada pertanyaanyang cukup sulit diajukan pada saya. "Saudara Menteri, Saudaramengatakan bahwa pelayanan publik sudah berjalan dengan baik.Menurut pengamatan saya, pemyataan itu tidak benar. Di mana-mana rakyat tidak dilayani." Mendengar pertanyaan ini, hati sayaberkata, "bisa saja saya mengatakan kepadanya bahwa pemyatan-nya itu salah, dan saya bersikeras mengatakan bahwa pelayananpublik sudah Jalan." Jawaban yang demikian ini boleh-boleh sajadan sah, sama sahnya dengan pertanyaan tadi. Namun ujungnyapasti debat kusir. Tidak lucu kan?

Karena hal yang demikian ini akhimya saya jawab pertanyaan tersebut dengan analogi. Saya sampaikan padanya bahwa dibeberapa daerah percontohan pelayanan publik (best practices),seperti Kutai Kertanegara, Sragen, Jembrana, Solok, dan Iain-lain, pada Pilkada yang kedua kali kepala daerah incumbent padaumumnya kembali terpilih. Perolehan suaranya pun tinggi, adayang mencapai 87,5%. Bahkan, bupati Solok terpilih menjadi gu-bemur. Ini semua adalah bukti bahwa rakyat mulai merasakanadanya perbaikan serta peningkatan pelayanan publik. Kalau tidak percaya boleh tanya pada lembaga survey yang menerbitkanISO: 9001. Memang mesti diakui bahwa jumlahnya belum ban-yak, tapi jika disyukuri maka lama-lama akan bertambah dan ber-tambah.

Dalam kesempatan yang lain, saya ditanya wartawan. En-

86

tah dari media apa, tapi tampak pertanyaannya agak cerdas. "Pak,pemerintah kelihatannya akan membuat peraturan yang melind-ungi koruptor." Saya jadi kaget. Apa iya, pemerintah sampai seni-sta itu.

Kemudian saya jelaskan kepadanya latar belakang undang-undang yang diduga melindungi koruptor. Yaitu, belakangan inibanyak pejabat yang mengeluh (seperti bupati, gubemur, waliko-ta, dan Iain-lain) disebabkan sering didatangi oleh BPKP, BPK,KPK, TIPIKIOR, KPK, dan kadang-kadang polisi serta jaksa.Menurut laporan, kedatangan mereka untuk memeriksa itu ber-dasarkan pengaduan, surat kaleng, bahkan ada yang berdasar atasshort message system (SMS). Akhimya, pejabat yang didatangiitu menjadi merasa kurang nyaman, dan kurang tenang bekerja.Sampai-sampai mereka mengatakan lebih tenang diam tidak bekerja. Kan repot kalau begini!

Tentu saja laporan di atas perlu dikonfirmasi, tetapi di lainpihak perlu diantisipasi. Untuk itu perlu ada aturan yang jelasdan tegas untuk menghindari duplikasi tugas dan tanggungjawab.Sebab di setiap instansi ada Iijen, dan di daerah ada Bawasda.Apakah mereka sudah bobrok semua, sudah sangat brengsek, jadikeberadaannya tidak perlu direwes (bahasa Jawa, artinya dihi-tung) sehingga dilewati begitu saja. Atau, mereka bukan orangyang tidak perlu diorangkan? Atau, memang aturan yang meng-hilangkan keorangan dari para orang-orang tersebut. Semua itumungkin-mungkin saja, dan barangkali juga salah. Tapi yangjelas perlu ada pengaturan tugas.

Selain pengaturan yang jelas dan tegas, penting kiranyadibangun paradigma baru pengawan. Yaitu pengawasan dimak-sudkan untuk menjamin kualitas keluaran (output) dari suatu or-ganisasi (quality assurance), bukan untuk mencari-cari kesalahan.Dengan kalimat lain, seorang pengawas hams mampu berperansebagai penjamin tercapainya tujuan organisasi, meniadakanpenyimpangan dan sekaligus mampu memperbaiki kekurangan-

87

kekurangannya, sehingga yang diawasi merasa terbantu, bukanmalah takut.

Banyak contoh kasus yang menunjukkan bahwa pengawas-an masih menggunakan paradigma mencari kesalahan. Sebagaimisal, seorang gubemur diberitakan akah diperiksa karena suatukasus. Berbagai media masa, cetak dan elektronik ramai member-itakannya. Celakanya, pemberitaan itu tidak diikuti dengan pem-beritaan basil pemeriksaan hingga akhimya masyarakat terianjutmemvonis (dengan berbagai asumsi dan persepsi) bahwa guber-nur X diperiksa, padahal belum tentu dia terbukti salah. Barang-kali pemeriksaan model ini tidak salah, tetapi di satu sisi yanglain telah membuat wibawa seseorang jatuh. Boleh jadi ini semuaakibat dari kita belum punya UU Administrasi pemerintahan, UUPelayanan Publik, UU Etika Penyelenggara Pemerintahan, danIain-lain.

Analogi Memudahkan PemahamanAnalogi itu cukup membantu seseorang memudahkan

orang lain memahami sesuatu yang kita maksudkan. Tentu, dengan syarat analog yang kita pakai adalah analog sederhana danpopuler. Hanya saja yang menjadi penyakit, kebanyakan kita lebihsuka menggunakan istilah-istilah yang susah, ruwet, dan njlimetbiar dikira hebat dan berwawasan luas, meskipun yang hendakdisampaikan adalah persoalan ringan lagi sederhana. Mestinya,kita mampu mengemas dan menyajikan secara sederhana persoa-lan-persoalan yang berat dan ruwet, bukan sebaliknya.

Sebagai misal, kita akan menjelaskan makna "efisien"dan "efektif' kepada orang lain. Barangkali dua kata ini bagi se-mentara orang bukan masalah, tetapi bagi yang lain lagi adalahproblem, karena memang keduanya bukan asli bahasa Indonesia,tetapi hasil dari impor.

Pengalaman saya menunjukkan, beberapa kali saya men-gajar, dan menanyakan arti "efektif dan "efisien," temyata ja-

88

wabannya aneh-aneh. Ada yang menjawab seperti mandi dimanakita bisa mandi dengan 100 gayung air tapi dicukupkan dengan 5gayung saja. Ada lagi yang menjawab secara teoretik sebagaim-ana tertulis di buku-buku. Yaitu tepat guna dan berhasil guna.Ketika dikejar maksud jawaban itu, malahan yang bersangkutanbingung sendiri.

Atas hal ini, lalu saya memberikan analog kepada mereka.Saya katakan, kita punya beberapa alat yang dapat dipakai untukmenebang pohon pisang. Ada silet, gergaji, golok, traktor, pis-au roti, dan Iain-lain, Semuanya dapat dipakai untuk menebang.Tapi kalau menggunakan silet akan memakan waktu lama, danbisa-bisa tangan kita kebeler, terluka. Kita juga bisa menggunakan traktor, tetapi kebun bisa hancur-hancuran, tanaman yangbelum waktunya ditebang bisa rata dengan tanah. Alat yang pasdigunakan adalah golok karena silet tidak efisien dan traktortidak efektif. Saya sadar bahwa penganalogian ini tidak pas be-nar, tetapi murid-murid sudah bisa berimajinasi secara lebih baikkarena ruhnya sudah ditangkap.

Sebagai misal lagi kita mau menjelaskan tentang maknakompetensi. Guna memudahkan pemahaman, maka kita dapatmenganalogikan dengan alat-alat seperti sendok, garpu, kampakdan Iain-lain. Sendok untuk menyendok, bukan untuk mencong-kel lemari, atau untuk memasang paku. Pisau dipakai untuk men-giris bukan untuk menyuap nasi. Jika tidak digunakan sebagaimana mestinya pasti alat-alat tersebut akan hancur. Celakanya,yang disalahkan justru alatnya. Padahal, jelas kan alat-alat tersebut baru akan berguna dan berhasil guna bila user know how touse it. Ada pepatah lama, "awak tak pandai menari, lantai dika-takan terjungkit." Bayangkan bagaimana bisa meningkatkan kin-erja kalau kenal alat saja tidak, belum lagi cara memakainya.

Di tangan user yang baiklah alat-alat itu akan berdaya guna.

89

karena tahu cara menggunakannya. "Jangan kasih bunga samamonyet." Ini pepatah Barat, saya rasa kurang tepat. Nah sekarangmereka sudah mulai terbuka. Buktinya, mereka (user) sudah bisausul tentang kebutuhan alat dengan komposisi yang baik, bahkanmulai mikir tentang kualitas.

Lain halnya dengan motivasi. Di sini ada kata motif.Mungkin artinya yang mendorong seseorang berbuat sesuatu,memberi semangat. Saya pemah tanya sama teman lalu dijawab,"motovasi, eeeee yaitu, apa itu,....ya motivasi, memberi motif, atau alasan maka." Begitulah jawabannya.

Untuk mempermudah, saya buat analogi. Pada suatu hari,Anwar, yang ketika itu masih pegawai rendahan, bukan atau be-lum jadi dirjen seperti sekarang ini, diminta oleh sang pacar yangkini bu Dirjen itu, untuk menjemputnya jam 2 siang di dekat BlokM. Bagi Anwar, hal ini sangat merepotkan! Maklum, sepeda motor tidak punya, dan uang lagi pas-pasan. Tapi bukan Anwar ka-lau tidak gigih. Dia putar otak; cari pinjaman sepeda motor danpinjam umung untuk traktir sang pujaan hati. Pendek kata, berkatkeuletan yang luar biasa, akhimya jam 1: 30, Anwar sudah mera-pat tapat pada titik pertemuan yang sudah ditentukan sang pacar.Temyata, si pacar baru nongol jam setengah tiga, tetapi Anwartetap tersenyum manis. "Sorry ya," kata si pacar. "Ah nggak apa-apa, kalau belum selesai silahkan Iho, saya tunggu," saut Anwartersenyum ikhlas.

Sekarang bandingkan dengan episode berikut ini, Yantiyang sekarang Nyonya Anwar, telpon, "Mas nanti jemput aku ya.Sopir aku suruh pulang karena anaknya sakit, Di rumah ibu lagimasak kesukaanmu Iho. Jam tujuh malam ya, tenan Iho mas ojolali. Daag, I love You. Asalamualaikum." Lalu Anwar menjawabdi sebelah sana , "yo, iyooo..." Pendek dan datar. Ini motivasi.

Yang pertama Anwar penuh semangat karena ingin men-gambil hati Yanti. Oleh sebab itu, dengan segala daya upay dantrik, Anwar pantang mundur penuh gelora dan bersemangat 45.

90

Pendeknya, maju terus pantang mundur. Tetapi setelah jadi istrisemangat Anwar terhadap Yanti menjadi beda. Bukan tidak cinta,tapi ya... Tahu sendiri lah!

Dua perbedaan sikap di atas karena ada perbedaan motivasi.Yang pertama adalah motivasi untuk mendapatkan hati Yanti, se-dangkan yang ke dua motivasinya dalam bentuk lain. Oleh sebabitu, maka pekerjaan kita sekarang adalah menciptakan motovasi-motivasi sehingga hidup tetap bersemangat dan penuh gairah.

Dalam kaitannya dengan motivasi ini, saya pemah mem-berikan motivasi kepada para siswa untuk menguasai ilmu. Untuk itu saya berikan analog dengan bercerita tentang Mas Endangyang sekarang menjadi Kapolwil Madiun.

Saya sampaikan kepada para siswa, dulu pada suatu hariMas Endang yang berpangkat Letda hendak makan di waning.Waktu itu tanggal tua, dia belum gajian. Dengan uang Rp. 5000,-, dia masuk wamg nasi di belakang kantomya. Masuknyapunmindik-mindik biar tidak ketahuan kawannya, lalu duduk mojokmenghadap dapur, agak nyamping. Lalu Mas Endang berbisik,"Yu nasi campur berapa?" "Patang ewu, empat ribu," jawab pen-jual nasi itu dengan ketus. "Aman!" pikir Mas Endang karenauangnya cukup.

Sesaat kemudian, tersajilah nasi campur disiram sayur lo-deh, sepotong tempe, dan sayap ayam bagian kepet ujung yangkecil itu. Dia lalu menyantap nasi dengan menunduk dan penuhhati-hati, takut kalau nyenggol gelas, dan terjatuh pecah. Cilakajadinya.

Besok harinya pas tanggal muda, Mas Endang masuk lagike waning yang sama. Tapi kali ini kantongnya penuh uang karena habis gajian. Gayanya luar biasa. Masuknyapun sambil bersiulriang. "Mangan yu, sama kopi susu ya. Tolong paha dan empalsatu." Katanya tanpa basa-basi lagi. Mas Endang kelihatan gagahseperti gatutkaca.

Pertanyaannya sekarang adalah mengapa demikian? Raha-

91

sianya adalah karena Mas Endang sekarang sangu, bekalnya, ban-yak. Apapun yang dijual bisa dibelinya. Dia menjadi percaya diri.Begitu pula jika seseorang bekal ilmunya banyak, maka dia pastimembeli apa saja pekerjaan yang ditawarkan. Tidak merasa takuttidak mampu, sebab berbagai disiplin ilmu dikuasainya.***

92

BAB IV

PENUTUP: CATATAN DR. MARGARITO KAMIS

(Dosen Universitas Khairun Ternate)

HAM & DEMOKRASIDALAM NEGARA HUKUM

Berumah pada Paham Konstitusionalisme

Pendahuluan

Mestinya Negara Hukum menjamin dihormatinya hakazasi manusia, karena sebenamya hak azasi merupakan intidari demokrasi. Karena itu hak azasi manusia terjamin dalamdemokrasi, dan demokrasi terjamin dalam negara hukum, begitupemikiran Bang Taufiq, di bawah tema di atas, pada halaman duatulisannya. Sangat menarik. Karena yang menelorkannya adalahBang Taufiq, yang hari-hari ini berstatus sebagai salah seoranganggota kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam tulisannya. Bang Taufiq, memang tidak melakukanpenelusuran hingga aspek epistemogis dari ketiga tema terssbutdi atas, yang, secara konseptual, harus diakui cukup rumitl. Tetapimenurut saya, hal itu bukanlah sesuatu yang mesti digunakan un-tuk mengurangi nilai kejemihan Bang Taufiq dalam mengkon-struksi ketiga tema tersebut. Khususnya mengenai keterkaitanfungsional dari ketiga konsep tersebut secara tepat. Pada saatyang sama. Bang Taufiq tidak dapat menyebunyikan kecemasan-nya atas kenyataan yang begitu telanjang dihadapannya. Kecema-sannya terungkap begitu saja secara lugas. Katanya, tapi ada sajaalasan pembenar untuk melanggar. Maaf, banyak kenalan sayayang ahli dalam mencari alasan yang tepat, dan sepertinya legaluntuk melanggar atas nama demokrasi atau demi tegaknya Negara Hukum.

Bila kecemasan Bang Taufiq di atas dialihkan dan dimasu-kan ke dalam perdebatan akademis, maka menurut saya terdapatrangsangan yang sangat provokatif untuk merumuskan beberapamasalah. Pertama, apakah pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), dengan sendirinya melahirkan kondisi sosial politik,kultural, ekonomi dan hukum seperti dibayangkan dalam pengakuan itu? Kedua, apakah pengakuan terhadap hak asasi manu-

95

sia, dengan sendirinya melahirkan demokrasi politik dan ekono-mi seperti dicita-citakan? Ketiga, apakah pengakuan terhadapNegara Hukum, dengan sendirinya akan melahirkan kondisi yangmenguatkan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia?Apabila jawabannya negatif, maka masalah selanjutnya adalahmengapa tidak bisa.

Basis SosiologisMelalui manakah dari ketiga konsep di atas, yang pantas

dan tepat untuk digunakan sebagai pintu masuk untuk membin-cangkannya? Bang Taufiq, dengan sangat yakin, tentu setelahmencermati secarmat-cermatnya beragam wacana dan tentangketiga tema yang dibicarakannya. Katanya, ketiga konsep terse-but, lebih dicandrakan secara imprasial. Menurutnya, hal inimerupakan satu kekeliruan, karena ketiga memiliki kaitan yangsangat erat, bahkan bersifat timbal balik, Karenanya itu, tidaksalah kalau Bang Taufiq menilainya sebagai suatu cara yangsalah. Ketiganya, begitu kata Bang Taufiq, tidak dapat dipisa-hkan. Bang Taufiq, sebagaimana telah diuraikan di muka, haqqulyaqin, bahwa Hak Azasi Manusialah yang menjadi esensinya.Bang Taufiq benar. Cuma masalahnya, apa yang menjadi esensidari Hak Azasi Manusia. Menurut saya seal tersebut hams diper-soalkan, bukan karena, HAM mempakan esensi dari demokrasidan Negara Hukum, melainkan karena di dalanmya terdapat halyang lebih fundamental sebagai saripatinya.

Memahami HAM semata-mata karena ia dikonsensuskan

sebagai HAM adalah sebuah kekeliman besar, bukan karenapemahaman seperti itu tidak mampu menangkap saripatinya,melainkan menisbikan hakikatnya sebagai sebuah konsep yangpadat nilai. Untuk kepentingan itu, maka perlu dipikirkan "optikatau lensa" penglihatannya. Secara teoritis, HAM telah dibahasdalam filsafat politik dan filsafat hukum, serta sosiologi hukum.Saya sendiri menggunakan sosiologis hukum sebagai optiknya

96

dalam analisis singkat ini, karena secara metodologis saya meya-kini keunggulan optik ini. Hanya dengan optik seperti itulah,rekaman sejarah HAM dapat dipakai.

Terminologi "semua orang dilahirkan sama" dalam haknya,tidak muncul begitu saja. Terminilogi itu memiliki akar sejarahsosial yang panjang. Menurut saya tidak berlebihan kalau ditan-daskan bahwa terminologi itu bersifat reaktif terhadap formasisosial dan politik sebelumnya. Pengakuan terhadap segelintirorang, sebagai manusia yang memiliki hak karena keturunannya,dan orang kebayakan tidak memiliki hak karena keturunannyapula, merupakan fakta sejarah yang terbentang nyata dari permu-laan tahun masehi hingga awal abad 17.

Yunani kuno yang teramat sering ditunjuuk sebagai negarakota yang demoraktis, menurut saya tepat, namun mengungkapseluruh aspek HAM. Karena dapat dikatakan ungkapan itu masihmenyembunyikan beberapa kenyataan yang tidak sejalan dengankonsensus dasar mengenai implikasi-implikasi HAM di bidangsosial politik dan ekonomi. Demikian juga, menunjuk pengambi-lan keputusan saja terhadap sebuah masalah yang dilakukan secara langsung, dengan melibatkan banyak orang, hanya menandaisatu aspek hak asasi manusia.

Romawi, asal mula lahimya hukum perdata yang terkodi-fikasi, dan ini pula yang membedakannya dengan Yunani kuno,menarik untuk diungkapkan. Tak pelak, sebagaimana diakui olehbanyak ahli, Romawi menandai skema formasi sosial, politik,ekonomi dan hukum yang sangat buruk, bila diukur dengan ber-dasarkan rasa kemanusiaan. Diskriminasi, itulah gambaran yangtidak ada caca- celanya yang menandai skema sosial, politik,ekonomi dan hukum pada masa itu. Piramida terbalik, itu skemasosial, politik, ekonomi dan hukum pada itu. Memuncaki bagianteratas dari skema itu, tentu karena justifikasi relijius, hanyalahsegelintir orang. Orang-orang ini, dikonsensuskan sebagai orangyang berhak menguru kerajaan Tuhan di muka bumi. Mereka

97

memperoleh hak itu, karena mereka dilahirkan sebagai orang ter-wariskan dengan sendirinya perihal hak tuhan.

Suci, itulah klaim mereka yang tergolong sedikit jumlah itu.Bagai tersulap dengan sendirinya, orang kebanyakan, man sajasecara sukarela untuk mengakui keistimewaan, yang, demikiankatanya, disandang karena asal usulnya. Senatum, apa yang padasaat ini dikenal dengan parlemen atau legislatif, tidak lebih hanyasebagai forum, yang tak salah kalau disifatkan sebagai "koruptif'karena hanya dijadikan tempat orang-rang pada formasi tengahdikumpulkan dan duduk, tanpa hak menolak' untuk membicar-akan kebutuhan-kebutuhan sang Raja. Begitulah adanya padamasa itu.

Mereka yang berada pada medium tengah dalam piramidaformasi sosial, selalu adalah mereka yang tinggal dan menetap dikota, tanpa hak untuk menyampaikan pikiran atau apapun yangberkaitan dengan penyelenggaraan formasi sosial. Karena, se-bagaimana sudah diketahui, soal itu menjadi kewenangan sangRaja. Belas kasih Sang Raja, karena pengabdian mereka, disertaikesediaan secara sukeirela untuk menaggung seluruh kebutuhankerajaan, mereka diberikan, tentu sebagai imbalan, menguasaisebidang tanah. Mereka ini harus siap siaga, tanpa memiliki hakapapun, untuk datang ke Senatum mendengarkan beban keuan-gan yang ditentukan secara sepihak oleh Raja, yang biasa disam-paikan oleh kaki tangannya, dengan dalih kepentingan kerajaan.

Hidup tanpa hak, dan tinggal di enclave-enclave, bertem-bok dan terpisah-pisah, menandai ciri lain konstruksi formasi so-sialnya yang didasarkan pada asal usulnya seseorang. Lagi-lagi,dan hal ini tentu menarik, keadaan tersebut berlangsung berabad-abad lamanya. Mereka ini, demikian sering disebut sebagai freeman, orang bebas, karena tidak memiliki hak apapun. Tak salah,tentu dalam konteks ini dan pada waktu itu, mereka tidak lebihsebagai benda yang dapat dijadikan miliki oleh orang-orang tert-entu, biasa para tuan tanah, baron. Itulah yang kita kenal dengan

98

sebutan budak belian.

Memperbudak manusia oleh manusia pula, padahal mahl-uk ini diagungkan oleh malaikat, sebagai perkecualian dari iblis,tak salah kalau dikatakan bahwa para Raja itu betul-betul mem-perolok-olok Tuhan, padahal di sisi lain, dari Tuhanlah merekamemperoleh hak untuk mengurus kerajaannya di muka bumi ini.Karena itu, maka tidak ada pilihan lain, kecuali hams dikatakanbahwa klaim mereka, mengandung kontradiksi pada level episte-mologis. Itu artinya, mengada-ada.

Freeman^ sebagai sebuah terminologi sosial yang menandaimereka yang tak bebas, karena begitulah maunya Raja, memangdikontraskan secara nyata dengan terminologi lain; Civilis. Terminologi ini menunjuk pada sekelompok orang yang tinggal dikota-kota, tentu saja kecil, yang diakui, walaupun terbatas, terha-dap hak-haknya. Mereka yang menyandang Civilis, memiliki haktertentu. Menguasai tanah, dan ikut serta dalam rapat Senatum,adalah hak mereka. Karena itu mereka ini hams disebut sebagaimanusia merdeka sebagaimana dikenal dalam terminologi politikdan hukum tata negara modem.

Martabat dan Harkat Manusia

Tingkah pongah kekuasaan Raja yang tanpa batas, dalamrentang waktu berabad-abad, akhimya hams berhadapan denganperlawanan para tuan tanah, yang pada masa lalu dipeliharanyasebagai sapi perahan kekuasaan. Berawal dari kehendak untukmenancapkan kekuasaannya yang sudah begitu kuat. Raja masihmau mengumumkan keyakinannya bahwa Raja berada di atas hukum. la tidak tunduk pada hukum. Apa yang dikatakannya, itulahhukum. Inilah yang menjadi pemicu perlawanan dari para tuantanah terhadap raja pada tahun 970.

Peperangan akhimya tak terelakan lagi. Sebagaimana bias-anya, perang di masa lalu, perang ini berlangsung lama, kuranglebih satu abad. Sedikit memang, bila didasarkan pada dari butir-

99

butir keberhasilan. Tapi secara kualitatif, tentu pada zamaannyaitu, basil yang dicapai cukup signifikan. Untuk pertama kalinyadalam sejarah kekuasaan pada masa, lahimya sebuah konstitusipada awal abad ke 12, tepatnya pada tahun 1164. Itulah KonstitusiClarendom, mendahului Hunggaria Golden Bull. Walaupun tidakspesifik mengakui hak-hak, yang kini dikenal sebagai hak asasimanusia, akan tetapi, bagi siapapun sulit untuk tidak mengakuibahwa pengakuan itu tak lain adalah pengakuan terhadap hak asasi manusia. Mengapa? Karena Clarendom Constitution tersebut,terpatri pembatasan mengenai penggunaan kekuasaan oleh Raja.Namun, rekaman sejarah membuktikan juga, dan menurut sayahal ini patut ditandai, pengakuan tersebut tidak serta mengubahwatak kekuasaan korup Raja.

Di Inggris, sebagaimana diketahui, watak kekuasaan yangkorup, bengis, pemeras tetap saja eksis. Sebagaimana di Roma-wi, para tuan tanah juga merasa muak dengan tingkah kekuasaan. Sungguhpun tidak sedahsayat Romawi, perlawanan kaumtuan tanah terhadap Raja juga terjadi. Hasilnya adalah lahimyaPiagam Magna Charta 1215. Piagam ini selalu ditandai secaraberlebihan sebagai Piagam pertama di bidang hak Asasi Manusia.Padahed Piagam Madina yang lahir jauh sebelum Magna Charta,justm lebih dahulu memberikan pengakuan terhadap hak-hak se-tiap orang, bahkan komunitas. Berbeda dengan Magna Charta,Piagam Madinah, secara konsisten digunakan sebagai patokanpenyelenggaraan pemerintahan dan atau pengelolaan kehidupanmasayarakat di Madinah kala itu. Benar, penilaian sebagian ahlitentang Piagam ini sebagai sebuah Piagam yang meletakan fun-dasi negara hukum.

Untuk kasus Inggris, berabad-abad lamanya sesudah MagnaCharta dilahirkan, wajah kekuasaan belum juga berubah menjadicivilized. Parlemen tetap saja cuma menjadi perkakas Kerajaan,dan hanya digunakan untuk membicarakan pemenuhan dan pen-gumpulan dana yang dibutuhkan oleh Raja. Penguasaan tanah

100

tetap saja terkonsentrasi pada segelintir baron. Mereka pun tetapmenjadi somber pemenuhan kebutuhan keuangan kerajaan. For-masi sosial pun tetap tidak berubah sedikit pun.

Memasuki pertengahan abad ke 17, teijadi lagi perlawananterhadap raja. Peristiwa ini terjadi antara 1625-1635. Dilihat darisegi kajian konstitusionalisme, peristiwa ini ditandai sebagai pe-manasan menyongsong perlawanan yang lebih besar berikutnya,yakni Glorius Revolution 1688. Revolusi inilah yang ditandaisebagai awal yang secara sistematis mengonsolidasi hak asasimanusia, demokrasi dan negara hokum. Dari pada menjelaskanhal-hal yang telah umum, menurut saya akan jauh lebih untukmengungkapkan beberapa hal yang tersmbunyi selama ini. Lagipula, menurut saya hal itu akan membantu mengungkap masa-lah-masalah, seperti mengapa revolusi itu mematrikan hak asasimanusia, demokrasi dan kekuasaan raja yang supreme digantidengan hokum yang supreme.

Walaupun sedang berada di Amasterdam, karena diasingkanoleh Raja, ide John Locke yang ditelorkan beberapa tahun sebel-unmya, yang mengakibatkan ia harus diasingkan, tetap mengil-hami kaum whig di Inggris yang menyulut revolusi itu. Locke,sebagaimana diketahui, yang akhimya dianggap sebagai ilmuanyang dari lahir ide hak asasi manusia, dan menyandang sebutanterhormat sebagai bapak hak asasi manusia, karena menempatharkat dan martabat manusia di jantung teorinya. Mengakui hak-hak manusia, yang secara konsensual disepakati dibawa, mele-kat dan dimiliki sejak lahir oleh setiap orang, karena ia manusia,adalah mengakui harkat dan martabatnya.

Harkat dan martabat manusia, itulah esensi dari hak asasi

manusia. Dengan demikian, maka pengingkaran terhadap hakasasi manusia sama artinya dengan pengingkaran terhadap harkatdan martabat manusia. Ungkapan-ungkapan yang ditujukan ke-pada penguasa atau rezim yang semena-mena dalam menjalankankekuasaeuinya, sebagai rezim yang bengis, korup, cleptocrat, dan

101

tukang peras, dapat diterima, karena cara-cara seperti itu meng-ingkari harkat dan martabat manusia. Pemyataan-pemyataan yangdigunakan berulang-ulang oleh Locke, seperti usaha memanu-siakan manusia, tidak akan ada artinya, tanpa pengakuan terha-dap hak-hak mereka sebagai manusia, menurut saya merupakansebuah ungkapan yang tepat.

Secara empiris, tentu pada zamannya, Locke menyaksikandan merasakan sendiri postur formasi sosial politik dan ekonomi.Karena itulah, Locke, sekali lagi benar, memfokuskannya kajian-nya pada soal itu. Dikarenakan format sosial ekonomi dan politik,termasuk hukum pada masa itu muncul secara sengaja dan disisti-matisasikan oleh penguasa, maka Locke, akhimya tidak dapat me-lepaskan, hak asasi manusia, demokrasi dan negara dari kajian-nya. Locke, tentu benar secara konseptual dan metodologis, benardengan tidak memisahkan kajiannya tentang Hak Asasi Manusia,demokrasi dan kekuasaan. Dalam arti, ketiga tema yang secarakonseptual dapat dikaji secara terpisah itu, oleh Locke justru di-integrasikan. Di situlah letak keungngulan Locke dibandingkandengan Montesqieu, yang datang sesudahnya, bahkan teori Lockediilhami oleh teori Locke.

Harkat dan martabat manusia, yang diyakini sebagai esensihak asasi manusia, tak pelak merupakan jantung kajiannya dibi-dang ini. Untuk dan demi harkat dan martabat manusia itu pu-lalah, Locke menaruh perhatian sedemikian kuat, dengan mem-buat skema pengelolaan kekuasaan secara tegas, untuk memberijaminan perlindungan hak asasi manusia secara konseptual danprosedural. Dari empat cabang kekuasaan yang dikonstruksikan-nya, Locke memberi bobot yang demikian besar kepada badanpembuat undang-undang, Legislatif. Argumen Locke, badan iniatau cabang kekuasaan ini, merupakan perwujudan kemauan rak-yat, dan lambang kedaulatan. Badan inilah yang bertugas meru-muskan kehendak rakyat yang secara normatif dituangkan kedalam undang-undang.

102

Undang-undang dilihat dan dimaknai sebagai pantulan ke-mauan atau kehendak rakyat. Undang-undanglah yang memandupenguasa dalam menyelenggaraan kekuasaan, bukan kemauan-nya sendiri, sebagaimana dipraktekan oleh monarki demi mon-arki selama berabad-abad lamanya. Lagi-lagi, demi dan untukharkat dan martabat manusia, kekuasaan membuat undang-un

dang, menurut Locke tidak boleh didelegasikan ke cabang kekuasaan lain. Karena hal itu diyakni akan mengakibatkan masuknyakemauan sepihak dari eksekutif. Seal ini begitu ditakutkan olehLocke, tentu karena masa lalu model ini tidak memberi tempatsedikitpun terhadap hak-hak manusia.

Pemikiran inilah yang mempengaruhi, sekaligi lagi, kaumWhig Inggris, yang sesungguhnya adalah arsitokrat-aristokratpada masa lalu, untuk membatasi kekuasaan monarki. Setahunkemudian, atau tepatnya beberapa bulan sesudah revolusi gemi-lang itu, lahirlah serangkaian ketentuan yang esesinya adalahmengakui hak asasi manusia. Namun inilah yang terlalu seringdilupakan orang, yaitu pembatasan kekuasaan monarki atau pem-batasan kekuasaan saja.

Negara Hukum Demokratis: Memanusiawikan WajahKekuasaan

Mengakui hak asasi manusia, sama dan sebangun denganmembatasi kekuasaan penguasa. Mengapa? Karena penguasa tidak lagi dibenarkan membuat kebijakan-kebijakan yang bersifatarbitrer. Penguasa dipaksa untuk menyesuaikan setiap rencanakebijakannya dengan norma-norma, tidak saja hukum, melainkannorma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat,yang merupakan basis etik hdk asasi manusia. Mengakui hakasasi manusia, juga memaksa penguasa untuk menerima penda-pat-pendapat yang berbeda. Inilah yang tidak pemah terjadi padarezim-rezim monarki pada lalu.

Tidak boleh ada seorang pun yang diasingkan, dan disub-

103

ordinasikan, apalagi dicabut hak-haknya sebagai manusia. Tidakboleh dibiarkan ada satu pun tangisan, karena kemiskinan dankelaparan atau karena perbedaan visi politik, betapapun kerasnya.Suara mereka yang berbeda tidak boleh dipasung atas nama apa-pun. Cukuplah sudah, masa lain kita yang kadang terasa cukupmemilukan, kita ambil sebagai sejarah, yang, betapapun pahitnya,toh merupakan masa lain kita sebagai bangsa, dalam menapakijalan kebangsaan yang masih terus kita bangun, yang sepertinyatidak pemah akan ada ujungnya.

Masa lain kita, begitu juga masa lalu bangsa-bangsa lain didunia, terutama di Eropa, Asia, Amerika Latin dan Afrika, lebihdari cukup bagi kita, untuk dijadikan sebagai bahan pelajaran yangpaling murah tentang betapa berbahaya, membiarkan kekuasaanbekerja dan tumbuh sesuai dengan logika penguasanya. Kekuasaan itu hams dicek setiap saat, dan pengecekan tersebut tidakboleh dihentikan, walaupun hanya untuk beberapa saat. Masa laluitu, tentu beralasan, kalau mengilhami dan menuntun sikap kita,agar kita bersungnguh-sungguh mematikan rasa bosan kita untuk terns menems mengecek kekuasaan. Sangat berbahaya, sekalilagi, apabila kekuasaan dibiarkan berkembang sesuai denganlogika penguasa.

Rakyat memang memiliki wakilnya di DPR, atau Sena-tum zaman dulu kala di Romawi, tetapi membiarkan dan menya-rahkan sepenuhnya kepada mereka untuk mengontrol kekuasaanjuga, terlalu berbahaya, setidak-tidaknya naif. Sistem politik, se-demokratis apapun, selalu memungkinkan kelompok ini, merekayang mewakili kita, bermain-main dengan suara dan harapan kita.Mereka ini, bukan saja karena mereka adalah politisi, sebagianulung, namun sebagiannya lagi bam berkenalan dengan duniaitu, akan tetapi, mereka ini juga adalah penguasa atas sebagiankekuasaan, yang kita namakan kekuasaan negara. Itulah yang kitasebut sebagai kekuasaan legislative. Jangan lupa, dalam sistempolitik apapun, kekuasaan ini hanya dapat diselenggarakan, ka-

104

lau pemerintah yang rnemegang kekuasaan eksekutif, ikut sertadi dalamnya.

Bukan curiga, tetapi kalau toh dibilang curiga pun tidak adasoal, oleh karena sudah memang begitu adanya kekuasaan. Bay-angkan saja, negara sedemokratis Amerika Serikat, begitu katasebagian orang-orang berpengetahuan, toh juga tidak dapat lepasdari watak klasik kekuasaan. Apa yang dilakukan oleh Harry Truman, Presiden mereka pada perang Korea, adalah sesuatu yangmenarik. Di tengah-tengah kesibukan perang ini, Pabrik Baja di-nasionalisasikan, dengan alasan demi kepentingan nasional. Un-tung saja pekerja pabrik ini tidak memandang kekuasaan sebagaisesuatu yang sakral. Mereka akhimya mengajukan judicial rew-iew. Hasilnya kebijakan Truman didiskualifikasi oleh SupremeCourt. Ingat pula apa yang dilakukan oleh Richard Nixon, dalamIran Gate-nya. Dibungkus dengan alasan demi realisasi platformpolitik negaranya untuk kawasan Timur Tengah, senjata-senjatadiekspor ke Iran. Apa yang terjadi? Temyata politik negara itucuma, lagi-lagi, bungkusan. Di dalamnya terselip tujuan lain, ya-kni mengumpulkan uang demi biaya kampanyenya.

Coba saja mengingat sejenak, apa yang terjadi di tanah airkita yang tercinta ini di bawah kepemimpinan Bung Kamo danPak Harto, dua orang hebat yang pemah kita miliki. Atas namarevolusi, character and nation buildings dan demi pembangu-nan dan kesejahteraan rakyat, apa yang mereka lakukan terhadapmanusia-manusia Indonesia. Bung Kamo memang tidak men-umpuk-numpuk harta, akan tetapi demi reviolusinya, yang begitudiangungkan-agungkan, Yunan Nasution harus dipenjara, danSjahrir juga demikian. Semuanya tanpa peradilan, apalagi fair.Pak Harto? Mungkin juga tidak memiliki harta, tetapi, subhanal-lah, teman atau koleganya, diperlakukan harus berada dalam hari-hari yang tidak menyenangkan. Meraka yang disebut dissidentini, hams disingkirkan dan tersingkirkan secara sistematis. Anak-anak muda, yang selalu menggebu-gebu membayangkan masa

105

depan bangsanya yang gemilang, hams mati, entah di mana dankemana rimbanya. Mungkin mereka bersalah, karena melawanhukum, tetapi di dalam negara dan kehidupan yang beradab, ke-matian mereka pantas disesali.

Negara hukum, begitulah ungkapan yang selalu dapat di-dengar dari pidato para pejabat, temyata tidak otomatis mem-buat wajah kekuasaan menjadi manusiawi. Padahal, sejak awal,konsep dipadati dengan nilai etik, demi kemanusiaan, harkat danmartabat. Di dalamnya, hak-hak kita sebagai manusia yang ter-lahir karena kita manusia, melekat dan membawa hak itu, untukdan dengan itu, kita mengenal diri kita dan mengenal sesama kitasebagai manusia. Dari situlah kita rangkai dengan sopan dansantun, karena kita menusia, untuk bersama-sama secara beradabmenciptakan suatu lingkungan kehidupan yang memungkinkankita menjadi sejahtera, dalam arti yang sebenar-benamya. Ya se-jahtera lahir dan bathin.

Negara hukum, adalah suatu konsep yang netral. Karena ne-tralnya itulah, maka selalu dapat diselewengkan. Betapapun gan-dmngnya kita mengkampanyekan konsep itu, tidak ada jaminanbahwa kita sesungguhnya sudah menjadi suatu negara hukum.Lagi-lagi, masa lalu kita membuktikan hal itu. Itulah sebabnyakita, bersyukur, para wakil rakyat yang tergabung dalam MPRhasil pemilu 1999 bersungguh-sunggug mengubah UUD 1945.

Bagi saya tidak terlalu penting untuk membedakan dua konsep negara hukum berdasarkan asal usulnya, yang secara klasiktelah tertanam dalam benak para pengkaji konsep ini. Rechstaatuntuk menunjuk negara hukum yang bermula Jerman, sekaligusmewakili kawasan Eropa Kontinental, dan Rule of Law yang bermula dari Inggris, dan menunjuk kawasan Anglo Saxon. Kalaumau dibeda-bedakan, maka perbedaan yang prinsipil, sungguh-pun hanya dalam tataran konseptual, ya cuma Peradilan Tata Us-aha Negara. Anglo Saxon tidak mengenal Peradilan Tata UsahaNegara, sedangkan Eropa Kontinental mengenal itu. Selebihnya,

106

secara substansial sama. Kehadiran Peradilan Tata Usaha Negaraitu, sebenamya hanya bersebab pada perbedaan konstruksi pikirpara penguasa waktu itu. Napoleon, arsitek kemunculan peradilan ini, tidak man peradilan konvensional ikut-ikutan meni-lai pekerjaan eksekutif, yang dipandang sebagai suatu kesatuan,selain karena sebab cara raja-raja dahulu kala memerintah mela-lui decree, yang pada praktiknya dieskusi oleh para pembantunya.Walaupun sebagian menganggap keliru, A. V Dicey, orang yangterilhami, sebagian, oleh pikiran-pikiran John Locke, menganggap apa yang terjadi di Perancis, dan atau ide Napoleon itu, me-nandai adanya diskriminasi.

Dalam kajian-kajian konstitusionalisme mutakhir, kita jugamenemukan konsep-konsep lain tentang negara hukum, misalnyanegara hukum klasik, berhadapan dengan Negara Hukum modem.Satu-satu hal yang membedakan kedua konsep ini adalah, soalkeikut-sertaan negara dalam urusan-urasan kehidupan bemega-ra. Dalam Negara Hukum Klasik, negara sudah dianggap sangatbaik, kalau bertindak sebagai penjaga malam. Cukuplah negaramenjaga keamanan, lalu soal-soal selebihnya dibiarkan diusa-hakan sendiri oleh masyarakat. Ini pulalah yang sesungguhnyadimaksud dengan negara hukum liberal. Penekanannya terletakdan diletakan sepenuhnya pada "kebebasan individu." Kebebasanyang diagung-agungkan ini dianggap akan rusak, kalau negaraikut campur. Karena itu, sekali lagi negara hams dibatasi peran-annya. Ingatlah pada tesis Ekonom klasik seperti Adam Smith.

Tidak masuk akal kalau orang bodoh disumh bersaing dengan orang pintar. Sama bodohnya dengan menyumh si melaratbersaing dengan si kaya. Kesejahteraan macam apa yang dapatdiwujudkan oleh negara dalam keadaan demikian? Itulcih sebagian kritik orang terhadap konsep negara hukum klasik. Karenaitu, dari waktu ke waktu, sekurang-kurangnya pada awal ke 19muncul fakta tentang betapa kompleksnya, karena dampaknyayang begitu bumk terhadap kehidupan sosial ekonomi, maka te-

107

sis klasik itu, digugat sehebat-hebatnya. Inti gugatannya adalahnegara tidak bisa tinggal diam. Negara tidak dapat membiarkansegala sesuatunya berjalan berdasarkan hukum pasar. Pasar, be-gitu buas dan galak, sangat tidak bersahabat dengan mereka yanglemah. Karena itu, negara hams mengambil peran, lebih darisekedar penjaga malam.

Lahirlah apa yang dikenal dengan negara hukum modem,yang ditandai dengan dominannya negara mengusahakan kese-jahteraan rakyat. Muncullah konsep Walfare State. Dalam kon-sep ini, semua unsur negara hukum tetap saja, tetapi ditambahkandengan unsur lain, yaitu negara hams mengusahakan kesejahter-aan rakyat. Konsep ini dianggap tepat dalam dunia yang dipe-nuhi dengan industrialisasi. Kekuasaan pemerintahan apa yangdominan dalam negara macam ini? Pengaturan dan Penetapan.Lahir dan berkembanglah peraturan pemndangan, yang pastinya,pemerintah sendiri tidak dapat menghafalnya satu persatu. Sejagoapapun orang pasti tidak dapat menghafalnya.

Negara hukum seolah-olah sama dengan negara undang-undang. Semuanya mau diatur, baik dengan undang-undang atauPeraturan Pemerintah. Ruang-mang publik dikepung denganbarang ini. Lama kelamaan, terselip pulalah kepentingan-kepent-ingan dari kelompok tertentu ke dalam undang-undang itu. Un-dang-Undang pun bembah sifat, dari sifat semula sebagai suatupranata sosial yang netral, menjadi tidak netral. Fundasi filosofis,bahwa undang-undang mempakan representasi kemauan rakyatpun bembah menjadi alat kekuasaan ekonomi dan politik seg-elintir orang. Mengatur itu sama dengan membatasi. Mengaturjuga sama dengan menentukan pembatasan-pembatasan.

Namun, di atas semuanya itu, negara hukum yang demok-ratis memiliki keunggulan tertentu. Sekurang-kurangnya, hanyadalam negara yang demikianlah, distorsi-distorsi sebagaimanadigambarkan di atas dapat dikoreksi secara demokratis. Betapa-pun untuk tujuan itu, diperlukan energi politik yang tidak kalah

108

kecil. Hanya dalam negara hukum yang demokratislah, hak asasimanusia dapat tersemai, mekar dan berkembang. Puncak perkem-bangannya adalah terciptanya kesejahteraan yang diuseihakan se-cara demokratks, beradab dan bermatbat. Negara hukum yangdemokratislah, rumah yang tepat bagi hak asasi manusia dandemokrasi.

PenutupMenggembirakan, pada saat ini kita berada dalam negara

hukum yang demokratis. UUD 1945 yang telah diubah sebanyakempat kali secara berturut-turut (1999-2002) oleh para pemben-tuknya, anggota MPR, telah diletakan dan digariskan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis. Tidak sebagaimana UUD1945 sebelum diubah, yang hanya menyebut terminology negarapada bagian penjelasannya, setelah diubah, terminologi tersebutdirumusan secara exprecis verbis dalam batang tubuh, Pasal 1ayat (3). Dalam pasal ini, memang tidak ditemukan kata "demokratis". Padahal kata ini sempat muncul dalam perdebatan pertamapada tahun 1999, dan perdebatan terakhir tahun 20002, sebagaikata sifat yang diidealkan untuk dirangkai dengan kata-kata se-belumnya, sehingga menjadi Negara Hukum yang Demokratis.

UUD 1945 secara tegas mengatur pembatasan kekuasaanPresiden, independensi kekuasaan kehakiman, dan hak asasimanusia. Jarring-jaring hubungan antarkekuasaan pun diatur dengan baik dalam UUD ini. Lihat saja bagaiman hubungan antaraPresiden dengan DPR dalam hal Presiden hendak mengangkatdan menerima Duta Besar, atau hendak mengadakan perjanjiandengan negara lain, memberikan amnesti, abolisi, membem-betuk undang-undang. Presiden juga memiliki hubungan denganMahkamah Agung, khususnya ketika Presiden hendak memberikan rehabilitasi dan grasi.

Pada saat yang sama, pemerintah diiperintahkan oleh UUDuntuk memajukan kesejahteraan umum. Esensi pengaturan yang

109

terdapat dalam pasal-pasal tentang hak asasi manusia, adalahmenciptakan kesejahteraan umum, seraya menjamin agar setiaporang dapat dengein bebas dan bertanggung jawab mengusahakansendiri kesejahteraan hidupnya.

Semua ini menunjukan telah terjadi kemajuan yang cukupberarti dalam pertumbuhan bangsa kita. Perlahan-lahan kita ternsbergerak kearah yang baik. Kita perlahan-lahan mulai menem-patkan manusia secara utuh pada sentral kehidupan bemegara.Dengan dan demi manusia, dalam artinya yang utuh, yakni demiharkat, martabat dan peradaban bangsa yang beradab, kita tapakisecara perlahan-lahan menuju kehidupan yang bermartabat, yangmengenal manusia sebagai mahluk pilihan Allah Subhanahu-wataala. Negara hukum yang demokratislah, wadahnya. ***

110

KESEJAHTERAAN RAKYAT

Basis Etik Urusan Pemerintahan

PengantarTikus mati di lumbung padi, mungkin merupakan ungkapan

yang relatif tepat untuk mengungkap esensi monolog Bang Tau-fiq. Betapa tidak, kita miskin, bahkan sebagian di antara kita hams mati karena kelaparan di tengah-tengah kekayaan alam kita,yang, subhanallah, luar biasa. Kita memang patut memikirkan-nya dalam-dalam, dan wajib mencari jalan keluar sebaik-baiknya.Masalahnya adaleih mengapa kita menjadi semelarat, seperti yangditangkap dari monolog Bang Taufiq. Dari monolog Bang Taufiqpula, sepintas terlihat bahwa hal itu dikarenakan kita terlalu terbi-asa mencekoki dan memecah rakyat kita dengan politik. Namundi atas semuanya, kita juga melihat bahwa monolog Bang Taufiqmenghadirkan sebuah perspektif lain yang cukup fundamenntalyaitu "Kepemimpinan daerah". Dapat dikatakan bahwa kepem-impinan daerah tidak cukup memiliki kapasitas.

Kalau kepemimpinan daerah yang dimaksudkan oleh BangTaufiq dalam monolognya itu, konteksnya adalah "otonomi daerah" yang direorientasi sejak tahun 1999, dan diarsiteki oleh ahlipemerintahan daerah, Ryas Rasyid, tentu menyedihkan. Tapi itu-lah kenyataan yang dapat ditemui di daerah. Dilihat dari sudut ini,maka menumt saya, kita, sekurang-kurangnya rakyat di daerahsedang mengalami masalah yang lebih besar. Menumt saya ma-salah kepemimpinan mempakan masalah besar dan fundamentaldalam konteks penyelengaraan pemerintahan, termasuk pemerintahan daerah. Ini adalah jantung dariu selumh persoalan pem-bangunan di daerah, dan kemiskinan di daerah hams dilihat dandiletakan dalam konteks ini.

Hubungan Pusat dan DaerahSekedar membuka kembali lembaran sejarah partumbuhan

111

pemerintahan daerah dalam alam kemerdekaan Republik tercintaini, kita akan menemukan sesuatu yang, mau atau tidak, me-maksa kita untuk lebih kritis terhadap masalah kepemimpinandi daerah. Sejak tahun 1948, kita memiliki landasan legal untukmengatur penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Namun, ten-tu dapat dimaklumi, kala itu masalah ini tidak tertangani denganbaik, karena masalah-masalah di luar kemampuan kita sebagainegara yang baru seumur jagung. Kita mengalami agresi demiagresi yang dilakukan oleh bangsa yang "katanya" lebih dahulumengenal peradaban pemerintahan.

Setelah kita kembali ke negara kesatuan, sebagaimana di-gariskan oleh para pendiri bangsa ini sejak semula, tahun 1950,dengan diberlakukan UUD Sementara tahun 1950, kita punmempraktikkan sistem pemerintahan parlementer. Sistem ini,sebagaimana kita ketahui, juga temyata tidak cukup kuat meno-pang hasrat kita untuk bemegara dan mewujudkan kesejahteraanrakyat.

Pemerintahan berganti terus dari satu pemerintahan kepemerintahan lain, dari satu koalisi partai ke koalisi partai laindalam menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan. Atasnama rakyat, politisi terus tergoda dan bemafsu dalam memasa-rkan ide-idenya. Atas nama rakyat pula, satu pemerintahan harusberhenti, karena dinilai tidak sejalan dengan ekspektasi rakyat.Sedemikian gencamya ide-ide partai dipasarkan, akhimya pem-bangunan yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat terbengkalai.

Sampai dengan tahun 1956 misalnya, urusan pemerintahandi bidang pertanahan tidak mendapat perhatian yang baik. Usaha-usaha untuk membentuk satu undang-undang yang akan dijadikanlandasan reformasi di bidang keagrariaan memang sudah dimulaipada tahun ini. Akan tetapi, usaha ini tidak pemah berhasil. Pani-tia-panitia demi panitia harus dibentuk untuk mempercepat urusan ini. Lagi-lagi tidak berhasil. Hingga akhir, datanglah Kabinet

112

kerja, Zaken Kabinet, di bawah Administrator ulung, Djuanda,dan panitia dipimpin oleh Dr. Sahardjo, yang bekerjasama denganpara ahli dari Universitas Gajah Mada, barulah Undang-UndangAgraria, pada tahun 1960 yang dikenal dengan Undang-UndangNomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria,yang sering disalah-sebutkan menjadi UUPA, dapat diselesaikan.

Memang diakui bahwa pada periode tahun 1956 ke atasterdapat beberapa usaha di bidang agrarian. Akan tetapi, usaha-usaha ini masih terkonsentrasi pada penyelesaian pemilikan tanaholeh orang-orang Belanda, dengan hak eigendom dan Erpach, un-tuk perkebunan-perkebunan besar. Karena atmosfir politik per-tanahan masih seperti itu, maka tidak heran kalau hingga tahun1956 itu, urusan pertanahan belum dianggap sebagai sesuatu uru-san yang mesti ditangani secara lebih terfokus. Hingga akhimyapada tahun 1957 baru mulai dipikirkan Jawatan Pertanahan, sebagai suatu Jawatan yang bertugas untuk mengurus urusan-uru-san pemerintahan di bidang pertanahan.

Antagonisme, sekurang-kurangnya patologi-patologi yangada dalam dunia perpolitikan pada waktu itu, mengakibatkanmasalah ini ikut terpolitisasi. Tidak ada fleksibilitas dalam me-mandang persoalan-persoalan pada waktu, termasuk persoalanpertanahan. Setiap persoalan, akan mendorong polarisasi politikoposisional terhadap kebijakan pemerintah yang sedang berkua-sa. Kasus Tanjung Morawa di Sumatera misalnya, mengakibatkanpemerintahan Sukiman disodori mosi tidak percaya, dan mengakibatkan pemerintahan koalisi hams jatuh.

Gairah partai-partai politik terhadap berbagai persoalanbangsa sesuai dengan ekspektasi politiknya yang begitu beragam,mengakibatkan pembangunan di daerah terbengkalai. Hubun-gan antara pemerintah pusat dengan daerah pun tidak harmonis.Hubungan keuangan antara pusat dengan daerah juga bermasa-lah, temtama perimbangan keuangan antara pusat dengan daerah.Sebagian daerah meresponsnya, daerah mengambil jalan sendiri

113

dengan melupakan Jakarta. Bahkan daerah tertentu meresponsn-ya dengan melakukan pemberontakan.

Masalah terus mewamai pemerintahan sesudahnya, khu-susnya pemerintahan Soekamo setelah dekrit 5 Juli 1959. Dalamwaktu sangat singkat, Presiden membubarkan DPRS, dan digan-tikan dengan DPR GR. Pembubaran yang dinilai sebagai tindakanotoriter ini dipicu oleh penolakan sebagian anggota DPR terha-dap rencana anggaran pemerintah, yang sedang dibahas bersamaantara pemerintah dengan DPR pada saat itu. Tetapi sesungguh-nya, ada masalah lain yang menyangkut hubungan antara pemerintah daerah dengan pusat. Di tengah pembahasan anggaran pen-dapatan dan belanja negara tersebut, beberapa utusan pemerintahdaerah, khususnya dari Jawa Timur meminta agar alokasi anggaran untuk daerah mereka ditingkatkan. Tetapi apa daya, usul initidak tertampung.

Walaupun telah beralih ke rezim baru terpimpin, hubungan pusat dengan daerah tidak kunjung membaik. Persoalannyatetap berkisar pada dominannya pusat terhadap daerah. Usaha kearah normalisasi atau harmonisasi hubungan antara pusat dengandaerah, bukan tidak diusahakan, akan tetapi keburu mati, seiringdengan turbulensi politik yang terjadi pada tahun 1965.

Pemerintahan Soeharto memang berhasil membangunhubungan antara pusat dengan daerah yang luar biasa stabil. Lan-dasan normatif operasionalnya digariskan dalam UU Nomor 5Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Kedudukan KepalaDaerah dalam jajaran pemerintah di daerah benar-benar dominan,baik ditingkat satu maupun ditingkat dua. Pada saat yang sama,terlepas dari konsep otonomi daerah yang dianut dalam UU No 5tahun 1974, pusat juga mendominasi penentuan kebijakan pem-bangunan di daerah. Pusat, oleh orang daerah dinilai sebagai organ yang paling mengerti persoalan di daerah.

114

Keberpihakan PemerintahDininabobokkan dengan rasa aman, beras murah, minyak

murah, dan kebutuhan pokok lainnya yang juga murah, dan tid-ak boleh banyak menuntut, itulah yang kita temukan sepanjangpemerintahan Soeharto. Petani, jangan macam-macam, karenasubsidi pemerintah terhadap harga pupuk, bukan hanya diang-gap, sekedar insentif, melainkan belas kasih pemerintah terhadappetani. Karena itu petani dituntut untuk membalasnya dengan taatpada pemerintah, alias tidak boleh macam-macam.

Mungkin benar sikap pemerintah Orde Baru di atas. Olehkarena petani memiliki masa lain yang, oleh pemenang diang-gap cukup suram dalam bidang politik. Ekspektasi politik yangmenyala-nyala kala itu, mengakibatkan diskursus mengenai lan-dreform, begitu terasa. Karena motivasinya adalah politis, mengakibatkan terjadi antagonisme antarkekuatan politik pada waktuitu. Memang, pemerintahan berhasil mengeluarkan suatu undang-undang yang mengatur batas pemilikan tanah. Akan tetapi, bukansaja pada waktu itu, hingga sekarang pun undang-undang tidakefektif.

Periode pemerintahan ini tidak banyak yang dapat dibuat,kecuali dikeluarkannya UU tersebut. Itulah satu-satunya buktikeberpihakan pemerintah kepada petani yang paling spektakuler.Selebihnya nol. Akibatnya, struktur penguasaan dan pemilikantanah, betul-betul timpang. Tentu saja kehidupan petani menjaditidak memadai, dan logis kalau pemerintahan berikut mati-ma-tian untuk memperbaiki kehidupan mereka. Namun, dan tentusaja disayangkan, kebijakan-kebijakan pembangunan yang sung-guh-sungguh berpihak kepada petani tidak kunjung membuahkanhasil yang diinginkan.

Hasil yang demikian itu, sesungguhnya sudah dapat dibacasejak awal pemerintahan Orde Baru. Kehidupan petani yangmorat marit pada Orde lama, tampaknya dinilai sebagai akibatdari terlalu terkonsentrasinya pemerintahan Soekamo pada revo-

115

lusi, yang berdimensi politis. Dihadapkan pada kenyataan yangmemiliikan itu, mau tidak mau pemerintahan bani hams menentu-kan sikap. Sikapnya jelas, amburadulnya kehidupan pada waktuitu dinilai sebagai tidak adanya pembangunan, temtama dibidangekonomi.

Karena itu, maka kalau Bung Kamo menjadikan politik sebagai panglima, maka Soeharto menjadikan ekonomi sebagai pan-glima. Paradigma dominan ini, terasa mulai diperlihatkan sejakawal. Salah satu tandanya adalah memberi sambutan yang sangatpositif terhadap modal asing. Jauh sebelum undang-undang pen-anaman modal asing diundangkan, pemerintah telah menyetujuiinvestasi asing, khususnya Freeport di Irian Jaya. Setahun setelahdiundangkannya undang-undang yang mengatur investasi asingdan investasi dalam negeri, pemerintah memang mengeluarkanundang-undang koperasi. Namun, sebagaimana terlihat kemu-dian, koperasi tidak pemah bisa tumbuh menjadi suatu pelakuusaha, yang sungguh beipihak kepada rakyat kecil.

Kalau dilihat selumh kebijakan yang berkaitan dengan per-tanahan pada periode pemerintahan Soeharto, akan terlihat bahwasejak tahun 1974, kebijakan-kebijakan di bidang pertanahan,betul-betul berpihak pada sekelompok kecil orang, khususnyapengusaha. Regulasi demi regulasi dalam bidang ini, semuanyadiorientasikan pada penciptaan dan rangsangan terhadap modal besar, termasuk modal asing untuk berinvestasi di Indonesia. Invesatasi-investasi ini, tidak terbatas pada bidang property,melainkan memang dimaksudkan untuk menyediakan tatananhukum pertanahan yang pro modal besar, walaupun disana sinimengandung distorsi yang luar baiasa.

Kepada para petani memang diberi fasilitas kredit per-bankan, bahkan sepuluh tahun menjelang kemntuhan rezim OrdeBam, berkembang pula lembaga pembiyaan non bank. Akantetapi apa yang bisa mengantarkan petani untuk berpacu memaju-kan usahanya, sementara mereka tidak mengerti soal-soal teknis

116

perkreditan. Sementara urusan kredit adalah urusan teknis. Ter-lalu kasar kalau mengatakan poara petani ini bodoh, akan tetapi,faktanya, mereka tidak dapat mengorganisir dirinya secara man-diri untuk membicarakan, mencari dan menentukan masa depandan nasib mereka.

Di tengah lahan mereka yang tidak masuk akal, dan tidaksedikit yang hanya menjadi buruh tani, kesejahteraan macam apayang diharapkan dari mereka. Peran macam apa pula yang dihara-pkan dari mereka pula. Sudah miskin dan melarat, apakah masihmungkin mereka membicarakan soal-soal perubahan nasib, yangman tidak mau akan bersinggungan dengan soal-soal besar, poli-tik. Apa jadinya, tentu di masa itu, kalau petani bicara politik.Ketidak-berdayaan mereka berhadapan dengan para pemilik modal yang berbaju penguasa atau kong kalikong dengan penguasadalam mematok tanah mereka. Hanya kenekatan saja, yang mem-buat petani, terpaksa melakukan perlawanan, bila tanah yang di-garap secara turun temurun hendak diambil oleh pengusaha, yang,selalu saja menggunakan alasan "demi pembangunan".

Siapa Kepala Daerah pada masa itu yang berani melawanpengusaha yang mau mengambil tanah, dengan alasan demi pembangunan. Kepala Daerah mana, pada masa itu, yang beraniberdiri di belakang para petani atau rakyat miskin yang tanah-nya diambil, demi pembangunan? Daripada berhadapan dengankekuasaan tangan besi, lebih baik diam dan membela kepentin-gan pembangunan, supaya dianggap sebagai orang yang mengertidan mendukung pemerintah. Orde baru sangat menyukai manusiatipe ini, sebagai salah satu cirinya.

Kesejahteraan dan KepemimpinanLingkungan sosial politik, ekonomi dan hukum, dapat

diciptakan secara baik, kalau dari waktu ke waktu selalu terjadigoncangan? Negara mana di dunia ini yang dapat melaksanakanpembangunanya di tengah-tengah ketidak-stabilan politik? Apa-

117

kah memang urusan politik cukup diserahkan sepenuhnya kepadaelit-elit politik atau partai politik? Hams dan tepatkah, rakyat ke-banyakan, termasuk petani tidak usah mengerti politik? Cukup-kah mereka berpiklr tentang makan dan minum, lain kalau adasedikit kelebihan digunakan untuk menyekolahkan anaknya?

Disebutkan atau tidak dalam konstitusi, kesejahteraan su-dah diterima sebagai basis etik dan terdalam yang melandasi ber-dirinya satu negara. Sejarah tentang pertumbuhan bangsa-bang-sa, sekurang-kurangnya dimulai dari Eropah, dengan AtlanticCivilization, yang kemudian menghilhami terbentuknya bangsa-bangsa merdeka, adalah sejarah tentang kesejahteraan. Sejarahtentang perlawanan terhadap rezim-rezim otoriter, yang otomatismempakan rezim komp dan bengis, juga adalah sejarah tentangkesejahteraan.

Rezim-rezim demokratis, dalam masa transisi yang belummatang, di tengah-tengah kondisi kesejahteraan rakyatnya yangtidak kunjung terperbaiki, seringkali hams berjumpa dengan ku-deta sebagai selingannya. Negara-negara lain sudah mendahuluikita dalam masalah ini, karena itu tentu kita tidak man hal itu ter-

jadi di negara kita. Akan tetapi sesederhana itukah usaha kita untuk menjamin kelanjutan atau terciptanya tatanan sosial ekonomidan politik yang kita butuhkan untuk mewujudkan kesejahteraanrakyat? Padahal dalam situasi transisional, kita bemmsan denganbegitu banyak hal bumk yang diwariskan oleh rezim sebelunmya.Pengalaman negara-negara lain, ambil misalnya Philipina, pem-benahan terhadap distorsi-distorsi itu tidak begitu mudah. Hal-hal bumk itu dapat dijumpai pada selumh aspek kehidupan, yang,sekali lagi semuanya kompleks.

Menghentikan subsidi, sesuatu yang sudah begitu lamadikenali oleh para ahli sebagai salah satu penyebab tidak sehat-nya ekonomi kita, pun terasa begitu sulit. Demikian juga menye-hatkan landasan konstitusional, yang sudah lama dikenali orangsebagai sesuatu yang tumt mengantar rezim-rezim sebelunmya

118

menjadi otoriter pun begitu sulit. Utang kita, yang dari waktuke waktu dianggap telah menggiring bangsa ini ke dalam jurangmalapetaka, toh tidak mudah.

Reorientasi otonomi daerah, yang dianggap sebagai salahsatu obat untuk mendinamisasikan dan mendemokratiskan ke-hidupan sosial politik di daerah demikian kehidupan ekonomi didaerah, juga tidak mudah. Bayangkan, UU Pemerintahan daerahNomor 22 tahun 1999, hanya berumur tiga tahun. Bukan lagimenjadi rahasia, reorientasi otonomi daerah, berbanding terba-lik dengan pergeseran konsentrasi korupsi. Kalau dahulu Jakarta,dianggap sebagai biang keladi tumbuhnya korupsi di Indonesia, setelah reorientasi Otonomi Daerah, kiorupsi malah beralih,bahkan mengganas di daerah.

Kepala Daerah, lebih senang ada, atau bolak balik Jakarta,daripada berkonsentrasi di daerah untuk mengurus rakyatnya.DPRD yang diharapkan berubah dari sifatnya pada masa lainsebagai kaki tangan Kepala Daerah, malah melakukan tindakpidana korupsi. Pelayanan pemerintahan, yang diharapkan akanmembaik seiring dengan reorientasi otonomi daerah, malah pelayanan itulah yang menjadi salah miotivasi dasar otonomi daerahdilihat dari segi pengelolaan pemerintahan, justru menjengkel-kan. Selain mahal, para abdi negara, yang dahulu dibangggakandan diindroktrinasi habis-habisan, malah tidak merubah tingkahlakunya yang korup itu.

Kepemimpinan memang menjadi masalah pada konteksini. Karena kepemimpinan itulah, maka sebagian daerah di tan-ah air, dapat tumbuh dan berubah lebih cepat, bahkan jauh dariperkiraan orang. Kepemimpinan, memang merupakan masalahkunci dalam menejemen pemerintahan. Dapat dikatakan bahwamasalah pemerintahan adalah masalah menejemen. Masalahmenejemen pemerintahan adalah masalah kepemimpinan. Dalamlingkungan kultur apapun, kepemimpinan tetap merupakan esensidari setiap masalaha pemerintahan.

119

Kultur masyarakat, kultur politik, kultur birokrasi, itulahlingkungan yang membentuk kultur administrasi publik. Elitisasikultur dari suatu organisasi, suka atau tidak juga ditentukan olehseberapa jauh kepemimpinan dalam organisai tersebut menampil-kan kapasitas kepemimpinannya. Sulit mengharapkan seseorangmuncul dengan mutu kepemimpinan yang memadai, kalau tidakmemiliki nilai-nilai kemanusiaan, dan esensi kejujuran. Kecer-dasan saja tidak cukup, kalau nilai-nilai yang disebutkan itu tidakdimiliki.

Puluhan tahun sudah, saya mendengar begitu banyak parabirokrat di daerah, yang, sehabis ditatar di Jakarta, berkhutbahtentang entrepreneurship, sebagai bentuk ideal yang dikembang-kan dalam adminitrasi publik. Tetapi hasilnya, inefisiency, incapacity, dan Iain-lain. Bukannya melayani, melainkan banggakalau dilayani. Bukannya memudahkan, malah mempersulit. Bukannya cepat dalam mengambil keputusan yang tepat, melainkansuka mengulur-ulur, dengan alasan belum ada petunjuk atau tidakada normanya. Mungkin ini soal kultur juga, karena kita tidakterbiasa dan terlalu menanti petunjuk, dan kita secara individualtidak terbiasa dan membiasakan diri untuk mengambil risiko danbertindak cepat. Akan tetapi itulah wajah birokrat kita, sekurang-kurangnya sebagian di antara birokrat kita.

Memang akan terasa sulit, bahkan absurd bagi kita dalammendambakan kesejahteraan di tengah-tengah otonomi daerah,kalau pelaku birokrasinnya, tidak memiliki mental kepemimpinan yang kuat. Apalagi kalau kita menuntut agar kesejahteraanyang mesti diwujudkan itu, hams melalui jalan demokrasi, bu-kan otoriter dan main tunjuk. Lagi pula, kesejahetaraan itu bukansesuatu yang berwajah tunggal, sebab kesejahteraan itu pada es-ensinya adalah berwajah banyak.

PenutupMerenungkan nasib rakyat yang miskin, bodoh, yang terlalu

120

lama tak dibiasakan untuk memikirkan persoalan-persoalan bang-sa adalah hal yang mulia, sangat mulia. Berbagi dengan mereka,sungguhpun cuma dengan menyatakan kami prihatin, juga adalahhal baik. Tetapi, kalau renungan itu menghasilkan satu hal, mereka cukup berpikir tentang makan, minum dan menyekolahkananak saja, tentulah bukan sesuatu yang sungguh-sungguh tepat,walaupun tidak salah.

Sayangnya, wajah penyelenggara negara di daerah, belumsepenuhnya memadai. Kita akui, kepemimpinan di daerah men-jadi salah hal, di antara beberapa hal fundamental, yang hamsdibenahi. Sistem rekmitmen kepemimpinan di daerah, sekurang-kurangnya hingga saat ini, belum cukup menjanjikan. Padahal,sekali lagi, kepemimpinan di daerahlah yang menjadi motor peng-gerak pembahan yang diidam-idamkan oleh kita semua melaluiotonomi daerah. Sukses beberapa daerah lain dengan pelayananyang luar biasa beradab dan efisiensi serta efektifnya, karenakepemimpinan daerah itu.

Tugas kita ke depan adalah terns menems memperbaikimutu penyelenggaraan negara di daerah. Mungkin kita memerlu-kan reorientasi sistem rekmitmen kepemimpinan di daerah, sem-bari pada saat sama, kita tems melakukan pembenahan pada ta-tanan normatif penyelenggaraan pemerintahan. Pembuatan normadan standar pelayanan, pantas sekali untuk tems dikembangkandan disebar-luaskan, akan tetapi pada saat yang sama, kita mestimendidik hati para birokrat kita. Untuk kepentingan itu, kita jugahams memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat kitauntuk memikirkan pemerintahan mereka. Mereka hams memi-liki kapasitas, agar pemerintah tidak mudah tergelincir menjaditukang hisap. ****

121

OPOSISI

Soal Konstitusionalisme

PengantarBanyak hal yang kita impor dari luar, ya tidak jelek, dan

sah-sah saja, tidak ada larangan dan tidak perlu dilarang, hanyaperlu renungan yang dalam (penebalan dari penulis). Itulahsepenggal kalimat pertama dari tulisan Bang Taufiq. Apa yangmesti direnungkan, dan apakah perlu direnungkan. Kalau tidakperlu direnungkan, apa argumennya. Begitu sebaliknya, kalauperlu direnungkan, apa argumennya? Bang Taufik memang tidakmemberikan jawaban secara definitif, tetapi kalau dicermati tu-lisannya secara utuh, terlihat betul adalah sebuah kegelisahan.Gelisah, karena Bang Taufiq, merindukan sebuah kehidupan yangbermartabat.

Menelusuri seluruh kegelisahan Bang Taufiq dalam tulisan-nya, saya seolah-olah terangsang untuk, sejenak, melihat kembalimasa lalu kita, nun jauh di sana, pada zaman demokrasi liberal dengan sistem pemerihtahan parlementer tahun 1950-1959.Sejenak itu pula, rasa kejengkelan saya terhadap situasi praktikdemokrasi dan pemerintahan pada saat itu, muncul. Bagaimanatidak muncul, faktanya baru saja kita lepas dari cengkeramanpolitik busuk dari bekas penjajah, bukannya kita bersungguh-sungguh melaksanakan pembangunan demi mencapai tujuan kitabemegara, kesejahteraan rakyat, malah berkelahi karena segeng-gam kekuasaan.

Partai-partai politik, sesuai dengan apa yang kini dikenaldengan platformnya, ideologinya tidak pemah berhenti berdebat,yang sebenamya baik, tentang apa yang oleh mereka dianggapideal. Begitulah, apa yang dirasakan ideal oleh orang lain, tidakotomatis ideal bagi yang lainnya juga. Sebenamya, hal itu merupa-kan sesuatu yang wajar. Mungkin z^annya, kala itu orang-orangkita, para politisi, pada waktu itu, masih terlalu suka menganggap

122

diri dan golongannya yang paling benar. Di situlah susahnya.

Oposisi dan KonstitiisionalsimeDemokrasi keblinger, menunjuk demokrasi liberal yang

dipratikkan dan berkembang pada tahun 1950-1959, lama dige-lisahkein oleh Bung Kamo, salah seorang anak bangsa ini yangsaya kagumi kecemerlangannya dalam memperjuangkan ses-uatu yang diyakini benar. Demokrasi liberal, demokrasi impor,demokrasi 50 plus 1, bukan demokrasi kita. Namun untuk waktuyang cukup lama, kegelisahan Bung Kamo tetap saja cuma men-jadi kegelisahan. Namun, pada akhimya, dengan teknik politikyang dimilikinya, ditopang dengan keadaan obyektif, bukan han-ya di Dewan Konstituante, melainkan dalam kehidupem nyata,demokrasi keblinger itu pun, akhimya tersingkir dari panggungpolitik bangsa kita.

Seburuk-bumknya demokrasi liberal, ada juga yang dicapaidalam setiap periode pemerintahan, yang, umumya selalu sangatpendek, dilihat dari ukuran pemerintahan parlementer di mana-pun. Namun, tentu masuk akal, apa yang dicapai tersebut selalutidak memadai, dilihat dari kenyataan obyektif tentang kebutuhankita terhadap kehidupan yang baik dalam sebuah negara merde-ka. Usia pemerintahan yang singkat-singkat itu, nama lain daripemerintahan yang tidak stabil, temyata juga memiliki dampakyang tidak sederhana. Jangankan konsolidasi demokrasi, konsoli-dasi integrasi bangsa pun sulit dilakukan. Walaupun dari waktuke waktu atau dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya,selalu diselenggarakan melalui koalisi antar partai, yang sialnya,selalu tidak memiliki haluan politik yang sama, apalagi secaraidiologis, tetap saja tidak cukup menjadikan pemerintahan koalisi tersebut stabil.

Seolah berlomba untuk berkuasa, begitulah keadaannya, ter-jadi pegantian pemerintahan secara silih berganti. Mungkin jugadapat dikatakan bahwa kejatuhan dari pemerintahan-pemerinta-

123

han tersebut, merupakan akibat dari kontrol parlemen yang demi-kian kuat. Dilihat dari sudut gagasan konstitusionalisme kontrolterhadap pemerintahan merupakan sesuatu yang sudah semesti-nya. Namun, konstitusionalisme bukan untuk kontrol. Kontrol di-

maksudkan untuk memastikan arah pelaksanaan penyelenggaraanpemerintahan, sehingga membuahkan terciptanya kesejahteraanrakyat. Dengan begitu, maka kontrol bukan demi kontrol itu send-iri. Di dalam dirinya, kontrol mengandung tujuan lain. Tujuanlain yang berada di luar itu, adalah kesejahteraan rakyat.

Jadi berbeda pun tidak boleh asal, dan demi berbeda saja.Kalau cuma seperti perbedaan yang dikembangkan, walaupunatas nama kontrol, tetap saja dapat disebut oposisi keras, karenatoh tidak ada yang benar dari pihak sana. Berbeda dengan kontrol,yang diabdikan sepenuhnya pada tujuan hakiki kontrol, yang ser-ing disebut kontrol yang konstruktif atau oposisi loyal. Berbeda,tidak tidak merusak. Berbeda sekedar mengingat, atau meniupsempritan, tanda ada yang salah dalam penyelenggaraan pemerintahan, sehingga hams diperbaiki. Bukan malah memntuhkanpemerintahan itu.

Kalau perspektif seperti ini yang digunakan, maka apa yang teijadi pada masa-masa parlemen tempo 1950-an adalah oposisi yang keras, dan destmktif. Bayangkan, seorang Indonesianis,Daniel S. Lev, yang banyak menamh perhatian pada politik hu-kum Indonesia, menyatakan demokrasi tampak tumbuh pesat,tetapi tidak ada yang dapat dicapai dalam bidang pembangunandan kesejahteraan rakyat.

Asyik dengan hal-hal yang dianggap ideal di Jakarta, dariwaktu ke waktu pembangunan di daerah juga terbengkalai. Dae-rah-daerah menganggap Jakarta tidak memperhatikan mereka.Lama kelamaan, mempengamhi postur hubungan antara pusatdengan daerah. Di beberapa daerah malah memuncak dengan ter-jadinya pemberontakan. Maluku, Manado, Makassar, dan Sumat-era Barat, terjadi pemberontakan bersenjata. Tampaknya hal ini

124

hanya sekedar mengingatkan Jakarta agar bersungguh-sungguhmemperhatikan daerah.

Asyik pula dengan perdebatan terhadap hal-hal yang di-pandang ideal untuk dimasukan ke dalam UUD baru, yang akandibuat oleh Majelis Konstituante, ditengah kondisi kesejahteraandan pembangunan yang tidak beranjak maju, temyata membuatsebagian kalangan gelisah. Bung Kamo, begitu juga Pak A.HNasution mengalami hal ini. Perpaduan kegelisan dari dua tokohhebat ini, sebagaimana terbaca jelas dalam buku Bang BuyiingNasuiton, menguatkan legitimasi atas tindakan politik tertentu,untuk menyelamatkan bangsa dan negara dari keterpurukan demiketerpurukan. Inilah konteks lahir dekrit Presieden pada tang-gal 5 Juli 1959. Intinya membubarkan Majelis Konstituante dankembali ke UUD 1945.

Dekrit ini, tak pelak, menghentikan seluruh hiruk pikukpolitik dalam demokrasi lioberal, yang memberikan tempat pa-kling subur kepada partai politik untuk mengembangkan politikoposisional. Beralih masuk ke dalam politik pasca dekrit, tidakada lagi cerita oposisi. Semuanya mesti bahu membahu denganPresiden Soekamo yang mati-matian menyalakan api revolusidemi bangsa dan negara. Partai politik yang dahulu gemar ber-suara berbeda, ditertibkan. Yang tidak mau ditertibkan atau seten-gah setengah dalam mengikuti ajaran pimpinan besar Revolusi,Bung Kamo, menyingkir. Demokrasi ditunaikan berdasarkanpanduan revolusi. Itulah demokrasi terpimpin, demokrasi ala Indonesia.

Hasilnya? Rapat-rapat atau pertemuan-pertemuan politikdilarang. Caranya rapat-rapat tersebut hams mendapat izin daripenguasa setempat. Puncakanya siapa yang mencoba merongrongajaran revolusi, yang disamakan dengan merongrong pemerinta-han yang sah, dianggap subversi. Asosiasi-asosiasi politik, ambilmisalnya Liga Demokrasi, yang di dalamnya berkumpul tokoh-tokoh dengan kaliber politik luar biasa masa itu, dilarang. Mereka

125

yang tetap kepala batu, tentu karena keyakinan politik mereka,dikirim ke penjara. Sakitnya, tokoh-tokoh ini ke penjara tanpamelalui jalan peradilan, melainkan jalan kekuasaan. KasmanSingadimejo, Sjahrir, Yunan Nastuion adalah sebagian di antaramereka. Celaka!

Praktis Versus Ideal

Kalau ada negara di dunia yang jago bereksperimen dengandemokrasi atau UUD, itulah Perancis. Bayangkan, UUD pertamamereka hanya berumur dua tahun. Puluhan pemerintahan dijalaniantara tahun 1890 hingga 1945. Antara 1946 dengan 1958 ada 12pemerintahan. Luar biasa. Bukankah hal ini dapat dianalogkandengan kondisi kita pada periode demokrasi liberal? Lepas dariseal itu, apa yang menyebabkan semua ini bisa teijadi di Perancis.

Perancis memang tumbuh sebagai negara modem, jauhlebih belakangan setelah Inggris. Inggris memulainya pada akhirabad ke 17, sedangkan Perancis pada akhir abad ke 18. Inggrisdapat lebih stabil daripada Perancis. Padahal dua-duanya meng-gunakan sistem pemerintahan parlementer. Di Perancis sistemparlementer berakhir pada tahun 1958, setelah Charles de Gaule,mengubah UUD-nya dan memperkenalkan sistem pemerintahanyang dikenal sekarang ini, yakni kuasi presidensial.

Australia dan Jepang, dua negara dengan sistem pemerintahan parlementer, yang memberi ruang kepada oposisi, juga bisalebih stabil. Begitu juga Swedia, dan negara lain yanfg sekawasandengan Swedia. Bagi orang yang menekuni ilmu politik, fenom-ena ini betul-betul mempakjan sebuah fenomena yang kompleks.Mereka pasti meminta kita untuk melihat bagaimana sistem partaipolitiknya, sistem dua partai atau banyak partai. Bagi kita ini memang penting, karena menyangkut pengelolaan politik. Sedikitjumlah partai politik, tentu akan mudah dilola, sebaliknya banyakpartai politik, justm sulit dikelola, karena kepentingan dan ek-

126

spektasinya begitu beragam dan luas.Terlepas dari soal-soal yang dibicarakan di atas, ada satu hal

yang menarik dari Jepang. Hal yang man dikatakan adalah "mun-dumya" seorang Perdana Menteri atau pimpinan partai, karenakebijakannya temyata kelim secara fundamental. Kekeliruan, bi-asanya ditunjukan oleh mereka, yang berada pada kubu oposisi.Berbeda dengan Jepang, Thailand, seorang pimpinan justru akanbertahan mati-matian, sampai Rajanya harus turun tangan. Rajapun turun tangan setelah kubu-kubu yang berlawanan denganPerdana Menteri adu kuat di parlemen dan jaleuian. Lalu? Apayang bisa kita jelaskan mengenai seal seperti ini.

Secara sederhana, jumlah partai dan sistem politik bukanfaktor dominan yang menentukeui, demikian juga dengan sistempemerintahan dan perilaku politiknya. Walaupun untuk yangterakhir ini, sejak tahun 1950-an ditunjuk oleh beberapa ilmuansebagai faktor yang harus diperhitungkan dalam menjelaskanpraktik politik empiris dalam satu lingkungan politik. Sambilmenganalogikannya dengan masalah yang melanda dunia pen-egakan hukum, saya pun percaya bahwa persoalan-persoalanyang berkaitan dengan oposisi, tidak sepenuhnya disebabkan olehsistem dan perilaku politik.

Dalam dunia hukum, khususnya persoalan-persoalan seperti ini mesti dijelaskan dengan menggunakan pendekatan sosi-ologi hukum. Sudut pandang yang pantas digunakan dalam menjelaskan persoalan seperti ini, adalah sudut pandang sistemik yangdigunakan oleh L. M Friedman. Secara sederhana, sudut pandangini menjelaskan bahwa sistem hukum ditentukan oleh tiga hal;subtansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Persoalanyang sangat rumit di antara ketiga sub-sistem ini adalah persoalan pada sub-sistem budaya hukum. Subsistem ini, menjadikantiga elemen sebagai tiga hal yang mutlak harus diperhatikan.Pertama, soal orientasi. Intinya adalah setiap kelompok masayar-akat, memiliki orientasi yang saling berbeda, bahkan berlaweuian

127

antara satu dengan lainnya. Kedua, soal ekspektasi. Setiap kel-ompok masyarakat meiniliki ekspektasi yang berbeda, bahkanberlawanan antara satu dengan yang lainnya. Masalah-masalahini berakar pada nilai yang dianut oleh setiap kelompok. Faktor-faktor inilah yang menghasilkan postur penegak dan penegakanhukum, yang dapat dibaca secara empirik.

Postur perpolitikan Amerika Serikat, sedikit banyaknyaturut ditentukan oleh kematangan mereka mengelola budayahukumnya. Pada batas tertentu, kitapun sebenamya telah ber-hasil, sekurang-kurang mulai menunjukan arah yang baik dalammengelola soal ini. Mari kita bandingkan, perselisihan tentangjumlah perolehan suara antara A1 Gore dengan George W. Bush,yang intinya perolehan suara popular A1 Gore jauh melebihi Bush.Namun pada level electorale college, justru suara Gore tidak sig-nifikan. Akibatnya terjadilah perkara, dan diselesaikan melaluipengadilan negara bagian. Hasilnya, A1 Gore dinyatakan kalaholeh Electorale College. Menariknya kekalahan ini tidak menjadipemicu bagi kubu Gore, untuk membuat keonaran. Menarik.

Kita pun, sekurang-kurangnya pada pemilu langsung per-tama, kandidat-kandidat yang kalah, begitu berbesar hati meneri-ma kekalahannya. Wiranto dan Gus Solah, membawa persoalanmereka ke Mahkamah Konstitusi. Namun setelah persidanganberulang-ulang, dan dilakukan secara maraton, menghasilkankeputusan yang menyatakan para pemohon kalah, juga tidak ter-jadi apa-apa. Hebat kan? Mengapa hebat, kita bam pertama kalidalam sejarah republik yang masih muda ini menyelenggarakanpemilihan umum Presiden secara langsung. Padahal, semula, ke-tika soal pemilu langsung ini diperdebatkan di MPR, dalam rang-ka pembahan UUD 1945, cukup banyak kalangan yang skeptis.Inti skeptisisme mereka adalah kita belum siap, bukan budayakita dan setemsnya. Karena itu, saya berpendapat kita cukupmaju dalam soal ini.

Kala itu, perkara ini sedang dan beberapa saat setelah dipu-

128

tuskan, kita memang tidak mendengar komentar yang berasal darikalangan terbawah dalam strata sosial politik kita. Namun kitadisuguhi oleh komentar-komentar, yang tidak kalah kuat men-unjukan kematangan keyakinan kita terhadap nilai-nilai tertentu.Ungkapan yang menyatakan demi bangsa dan negara, semuapasangan calon yang memperoleh suara tidak signifikan, tidakperlu mempersoalkan perolehan suara dari pasangan yang keluarsebagai pemenang, adalah sesuatu yang luar biasa berarti dalampertumbuhan karakter bangsa.

Kalau ini terbudayakan, tentu memerlukan waktu, maka kitaakan terus tumbuh sebageii bangsa yang dewasa. Kita boleh sajaberbeda, dan tidak setuju terhadap sebuah kebijakan, akan tetapikalau kebijakan tersebut sudah kita uji dengan alat-alat demokrasikonstitusional yang tersedia, mengantarkan kita pada kekalahan,maka kita mesti mengatakan, sudahlah demi bangsa dan negara,kami bersama-sama anda mengawal kebijakan tersebut. Kamiberdiri dibelakang anda untuk melaksanakan tugas tersebut. Tapikami tetap akan mengontrolnya sesuai dengan saluran-salurandemokrasi yang tersedia. Kami tidak akan melakukan keonaran.

Dilihat dari sudut gagasan dan pertumbuhan konstiktusikon-alisme suatu bangsa, anibil misalnya Amerika Serikat, Inggris disatu sisi dibandingkan dengan Perancis di sisi lain, jelas terlihatbahwa nilai-nilailah yang menentukan kecepatan pertumbuhandan kematangan konstitusionalisme Amerika Serikat dan Inggrisdibandingkan dengan Perancis. Seperti sudah disinggung secarasekilas di muka, antara tahun 1946-1958 di Perancis terdapat 12pemerintahan, sedangkan di Inggris hanya dua pemerintahan.Perancis mengalami gonta-ganti pemerintahan, sedangkan Inggris tidak. Padahal keduanya menggunakan sistem pemerintahanparlementer. Kuncinya, terletak pada keyakinan terhadap nilai.

Nilai dan ide dasar orang Inggris menumbangkan monarkiabsolut, bertolak dari nilai, bahwa Monarki tidak memberikan

penghargaan yang baik terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Karena

129

itu absolutisme hams dihentikan, untuk mewujudkan kesejahter-aan. Itu saja tidak lebih. Inilah yang tidak dimiliki Perancis.Karena itu, maka orang Inggris, sering dikatakan sebagai orangyang cukup praktis dalam memandang sebuah persoalan. Nilaiseperti ini pulalah yang dibawa ke dalam kehidupan perpolitikandan hukum. Orang Inggris tidak memiliki kecurigaan terhadapabsolutisme yang berlebihan.

Perancis justm berbeda. Kecurigaan terhadap kemungkinankembalinya absolutisme begitu membara. Kaum Jacobin, di satusisi berhadapan dengan kaum yang pro kerajaan bertamng habis-habisan pasca Revolusi 1789. Mereka begitu curiga terhadap kemungkinan kembali Monarki. Karena itu, kelompok-kelompokJacobin terns menems bempaya untuk menghentikan dan ataumenutup semua mang, yang memungkinkan Monarki kembali ke

penggung politik Perancis kala itu. Mereka ini betul-betul men-dambakan sesuatu yang dianggap ideal.

Ketakutan yang luar biasa, di samping hasrat untuk memper-lihatkan ketokohan Napoleon, bemjung pada dihasilkannya KitabUndang-Undang Hukum Pidana, Dagang dan Perdata, sebagaikitab terkodifikasi dan termodem pertama di dunia. Kitab-kitabhukum yang terkodifikasikan ini, bukan sekedar dimaksudkanuntuk menghimpun norma-norma hukum ke dalam satu kitab,untuk memudahkan siapa saja dapat mengontrol penggunaankekuasaan di bidang hukum, akan tetapi kitab itu juga hendakmenunjukan satu identitas politik. Identitas ini dimaksudkan untuk membedakannya dengan identitas politik lain. Singkatnyakitab-kitab itu mengandung simbolisasi kesatuan politik.

Karena kecurigaan yang luar biasa, dan ini pula yang membedakannya dengan Inggris, adalah pelembagaan pranata landlord, para baron pada masa lalu dalam kelembagaan dan stmk-tur politik mereka. Landlord, tetap saja dibiarkan eksistensinya,apalagi memang kelompok ini juga menjadi pilar utama dalamRevolusi penumbangan Monarki pada tahun 1688. Lalu Raja

130

yang ditumbangkan, tetap saja diberi hak tertentu, sebagai hak is-timewa, prerogatif. Di Perancis, tidak. Walaupun perkembangansesudah Revolusi, menunjukan sebuah fenomena monarki, ambilmisalnya Napoleon yang hendak menjeimakan dirinya seolah sebagai raja.

Hal lain yang dimiliki Inggris, tetapi tidak dimiliki Peran-cis adalah cara mereka memperlakukan hukum. Kalau sesudahRevolusinya, Perancis terus bergerak membuat berbagai kitab hukum, Inggris malah membiarkannya tumbuh dengan sendirinya.Keyakinan-keyakinan mereka terhadap nilai-nilai fundamentalyang terkandung dalam hukum alam, misalnya penggunaan ke-wenangan dan perlakuan yang adil, terlembagakan dalam apayang kini dikenal dengan ultra vires dan tort. Orang Inggrismenghargai hukum meliputi nilai-nilai intrinsik yang terkandung dalam setiap pranata hukum. Ini tidak ditemukan di Perancis,sekurang-kurangnya tidak cukup jelas.

Tidak Boleh GegabahAnarkisme, apapun bentuk dan kualitasnya, dalam sistem

politik dan hukum apapun Juga, tetap saja tidak dapat ditolerir.Tindakan-tindakan anarkis yang terjadi belakangan ini, sebagairespons atas hasil pilkada, sekali lagi tidak dapat ditolerir. Apa-kah tindakan-tindakan itu merupakan ekspresi sikap politik opo-sisional, juga tampaknya masih hams dikaji lebih jauh. Sungguh-pun begitu, tidak kelim kalau diskursus tentang anarkisme itu,dilterima, sekali lagi tidak lebih sebagai diskursus.

Terlalu lama masyarakat politik kita tidak dibiasakan untukmengekspresikan pilihan politiknya secara bebas dan mandiri.Terlalu leuna pula mereka tersingkir dan, tidak jarang juga men-jadi korban dari format politik yang dipolakan oleh rezim yangtidak mengenal toleransi terhadap perbedaan. Terlalu lama juga,masyarakat politik kita dibiasakan dengan kerja politik modelmobilisasi, tanpa menghiraukan etika dan penaleiran politik yang

131

pantas dan logis.Mungkin tidak terlalu tepat, akan tetapi menurut saya saat

ini kita belum sepenuhnya berada dalam situasi yang stabil. Tran-sisi ini belum tuntas benar, dan mungkin masih memerlukan wak-tu beberapa tahun lagi untuk memantapkannya. Mungkin terasaberlebihan juga, akan tetapi fenomena-fenomena transisional dibeberapa negara menunjukan bahwa, dalam situasi seperti ini se-lalu memiliki segelintir orang, biasanya penikmat kekuasaan masalalu, yang selalu siap sedia untuk mencari dan membeli siapapunyang terbiasa, sekurang-kurangnya berbakat mempratikkan gayapolitik oportunistik.

Tujuannya jelas, menggagalkan, sekurang-kurangnya men-gacaukan konsolidasi demokrasi yang diidam-idamkan olehkelompok, yang, secara idiologis mempercayai prospeknya.Sehingga rezim demokratis yang baru tumbuh, akan kehilangankesempatan emas untuk menata tatanan politik ke arah yang lebihmantap. Bagaimanapun dalam sitiuasi transisional seperti ini,selalu terdapat begitu banyak hal yang kelihatannya samar-sa-mar. Yang lain berharap dapat segera menyelesaikan transisi itusecepatnya, tetapi yang lain, malah melihat transisi tidak men-janjikan apa-apa, kecuali sekedar memenuhi hasrat sekelompokkecil orang yang gandrung pada demokrasi, dan dendam terhadapperlakuan serta tersingkirkan pada masa lalu.

Inovasi-inovasi politik yang sedang diupayakan secaramati-matian, namun seringkali, tidak terlalu sistematik, karenahams melewati jembatan kompromistik dengan kalangan penikmat kekuasaan masa lalu yang berganti baju diawal dan diten-gah masa transisi, pasti terhambat, kalau kita terlalu cepat cemasterhadap patologis-patologis politik yang muncul ditengah upayakonsolidasi yang sedang giat-giatnya digalakan ditengah-tengahmasa transisi ini.

Kembali ke masalah anarkisme, yang menyusuli Pilkadadi beberapa daerah, mengakibatkan Bang Taufiq agak gundah.

132

bagi saya, tidak lebih sekedar merangsang kita untuk memikirkankelanjutan transisi ini secara serius. Toh transisi kita, bukan sekedar dimaksudkan untuk menggantikan rezim diktator masa laludengan rezim demokratis yang kita idam-idamkan, akan tetapitransisi ini lebih dimaksudkan untuk menciptakan satu tatanankehidupan bemegara, yang penyelenggaraan dan pengelolaanpolitiknya dapat dinalar dengan nalar orang-orang beradab.

Kalah dan menang adalah hal yang biasa dan pasti terjadidalam setiap kompetisi. Tetapi, ini soal yang tidak sepele. Sebabseperti dikemukakan di atas, kita tidak pemah terlatih untukmenerima kenyataan yang menunjukan kita kalah, apalagi kalahtelak, dan kalau kekalahan tersebut diakibatkan oleh permainancurang dari lawan. Karena itu, maka diperlukan ketahanan psiko-politik kita untuk membaca fenomena tersebut.

Diakui, betapapun fenomena anarkisme, yang tampaknyapantas dinilai sebagai konsekuensi-konsekuensi, langsung mau-pun tidak langsung dari tidak terbelajarkannya kita untuk waktuyang terlalu lama, dalam kehidupan berbangsa dan bemegara,khususnya dalam hal berpolitik, anarkisme, yang dianggap mung-kin sebagai ekspresi sikap oposisi, hams dilihat secara jemih. Diakui pula, faktor yang memntuhkan sebuah rezim otoriter, tidakdengan sendirinya sama dengan faktor-faktor yang memntuhkankonsolidasi demokrasi. Akan tetapi apa yang akan teijadi kalauanarkisme tems menems menjadi sesuatu yang biasa, dengan da-lih demokrasi atau kebebasan. Apalagi kalau mereka yang kitaanggap sedang beroposisi mampu menunjukan dan meyakinkankepada khalayak banyak, bahwa apa yang dipertunjukan, ka-takanlah demokrasi politik, yang mereka pun tumt menikmatin-ya, hanya diputuskan oleh sekelompok pejabat dan para politisi,yang pada masa lalu ikut mendisain format politik otoriter.

Jangan lupa, sekedar berkaca pada kasus Brazil dan Span-yol, yang terlebih dahulu melakukan demokratisasi politik, se-mula dipicu sekelompok kecil perwira menengah, yang gandmng

133

pada liberalisasi. Hanya karena, rakyat secara spontan ikut ambilbagian dan mendorong mereka untuk tidak berhenti pada sekedarmelakukan liberalisasi melainkan ke demokratisasi, maka demok-

ratisasi pun tidak dapat ditangguhkan. Artinya rezim yang sedangberkuasa, akhimya tidak dapat lagi mengontrol ide sekelompokkecil perwira pada eselon menengah ini. Kelompok pembaharu,yang mungkin tidak memprediksi akhir dari ide-ide mereka padaawal-awalnya, sudah tentu akan ikut ambil bagian dalam upaya-upaya inovatif konsolidasi demokrasi, yang mereka sendiri ikutmeletakan fondasinya.

Kalau konsolidasi demokrasi di tengah masa-masa tran-sisional ini tidak juga menunjukan sesuatu yang sungguh-sung-guh masuk akal, bagi rakyat, maka situasi ini akan mudah dima-nipulasi oleh segelintir kelompok oportunistik dan antek-antekrezim lama untuk membalikan situasi. Segera setelah itu, mudahbagi ini untuk mengatakan bahwa demokrasi yang diidamkandan dijanjikan, temyata hanya menghasilkan kekacauan demikekacauan dan menjauhkan kita dari upaya-upaya untuk meraihkesejahteraan.

Tidak dapat dilupakan juga adalah, dalam situasi seperti ini,kesuksesan relatif berhadapan langsung dengan kegagalan relatifjuga. Karena itu, maka banyak hal terlihat menjadi samar-samar.Relatifitas dari semuanya, memaksa kita agar meningkatkan fle-ksibilitas membacanya. Memang, kegagalan kebijakan tertentuakan segera mengarah pada ketidak-puasan yang meluas, hinggarezim dan kekuatan demokratik baru, akan kehilangan kontrol dankendali. Maka semua upaya konsolidasi, misalnya penciptaan in-stitusi-institusi dan proses-proses politik demokratis baru, tidakdipercaya orang.

Menarik kembali benang sejarah dalam siklus perubahanpolitik, yang di dalamnya, dapat ditempatkan "frasa" transisi,maka memang tidak dapat dihindari kegalauan-kegalauan dariorang yang mendambakan demokrasi. Sejarah kita menunjukan.

134

sekurang-kurangnya sejak peristiwa dekrit 5 Juli 1959, pennu-laan Orde Bam dan masa reformasi pada saat ini, seolah-olahmenghadirkan sesuatu yang dapat kita nyatakan sebagai, sebuahciri umum.

Ciri umum yang mau saya katakan adalah bahwa pada situ-asi transisional, selalu menghadirkan dua fenomena yang berha-dap-hadapan secara diametral. Fenoma yang saya maksudkanadalah harapan yang tinggi terhadap kelanjutan pembahamanproses politik atau demokratisasi, berhadapan dengan ketaku-tan-ketakutan akan kegagalan. Ciri umum lainnya adalah pelem-bagaan institusi-institusi politik bam yang diidealkan oleh merekayang ingin melihat dan memastikan tumbuhnya demokrasi secaraberkelanjutan dalam proses yang juga demokratis, berhadapandengan lambannya pengikisan praktik-praktik politik kotor padamasa lalu. Yang tidak boleh dilupakan juga adalah dalam situasitransisional selalu terdapat kekuatan-kekuatan politik yang salingbersaing, berebut kekuasaan. Karena itu, tidak jarang juga dibela-han dunia lain, transisi politik, kadangkala diselingi dengan kude-ta, walaupun jarang yang sukses. Philipine, misalnya mempakansuatu negara yang paling sering dilanda hantu kudeta ditangahupaya konsolidasi dalama masa transisi.

PenutupKecuali memperoleh gambaran secara umum, sejauh yang

saya tahu belum ada kajian yang sungguh-sungguh mendalammengenai fenomena anarkisme menyusul kekalahan kandidat dankelompok tertentu dalam Pilkada. Apa yang terjadi di Gresik be-berapa bulan lalu, hanya mempakan salah satu dari sekian kasusricuhnya Pilkada. Maluku Utara, khususnya di Kabupaten Hal-mahera Selatan, juga pemah dilanda kekacauan menyusul kekalahan seorang kandidat. Begitu juga, dengan Pilkada di HalmaheraBarat dan di kota Temate, dan Kepulauan Sula. Alasannya samasaja, kandidat mereka dianggap hamsnya menang temyata kalah.

135

Kekalahan yang mereka derita, ditimpakan kepada penyelengga-ra Pilkada dan kandidat yang memenangkan pertaningan. Namunhal itu tidak terjadi di Halmahera Timur, Utara dan Kota Tidore.

Dikarenakan selalu tersediakemungkinan terjadinyakericu-han pada setiap Pilkada, maka diperlukan sistem dan pengelolaanyang lebih komprehensif. Mungkin perlu dipikirkan pelembagaanmekanisme yang memungkinkan kelompok yang kalah untukberoposisi dalam pemerintahan. Tetapi, sebegini jauh, tampaknyaagak sulit, karena pola perekrutan kandidat dan sistem kepartaianyang tidak memadai untuk mengembangkannya. Apalagi sistempartai kita masih mungkin berubah pada waktu-waktu menda-tang.

Kalau oposisi sekedar ditafsir semata-mata sebagai ekspresiatas sikap dan ekspektasi politik yang berbeda, maka setiap saatkita dapat menemukannya dalam kehidupan politik kita. Namun,kalau oposisi dalam arti sebagaimana dikenal secara konseptual,tentulah apa yang terjadi pada saat ini, tidak kurang dan tidak lebih sekedar sebagai sebuah ekspresi dari konsistensi partai-partaipolitik untuk menyuarakan suara konstituensinya. Kalau bukankarena perbedaan yang berhasil terkelola secara baik dan elok dinegeri ini, mungkin negeri ini bukanlah bemama Indonesia. Berbeda itu indah, tetapi berbeda asal berbeda, itu malapetaka. Oposisi? Mungkin dong, tapi ...didiklah dulu hati sebaik-baiknya.!****

136

TENTANG PENULIS

DRS. TAUFIQ EFFENDI, MBA. Dilahirkan di Barabai,Kalimantan Selatan pada 12 April 1941. Oleh Presiden SusiloBambang Yudoyono kini dipercaya sebagai Menteri NegaraPendaya-'guna-'-'an Aparatur Negara dalam Kabinet IndonesiaBersatu. Suami dari Sri Widiati sekaligus bapak dari NanangEko Raswandi adalah alumni Universitas Gajah Mada. GelarMaster Bussines Administration (MBA) diperoleh dari InstitutBisnis Manajemen Jayakarta, Jakarta. Pendidikan luar negeriyang ditempuh~'nya, di antaranya , adalah; Airport Safety andScurity,Sidney, Advance Narcotics Cource, Washington DC, danInternational Police Academy, Washington DC.

Karimya dimulai dari menjadi Liasion POLRI DinasHubungan Luar Negeri Mabes POLRI (1967-1975). Pada tahun1975-1978 dipercaya sebagai Kepala Unit 1 Direktorat ReserseNarkotika Mabes POLRI. Tahun 1979-1983 diberi amanat sebagaiKepala Seksi Intelijen dan Pengamanan Polda Nusa Tenggara,Denpasar. Tahun 1985-1987 menjabat sebagai Kepala DirektoratIntelijen dan Pengamanan Polda Kalselteng, Banjarmasin. Tahun 1987-1989 menjabat sebagai Kepala Direktorat PembinaanMasyarakat Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah. Tahun1989-1990 dipercaya sebagai Kasubdit Ramarda Dit Bimas Ma-bers POLRI. Tahun 1990-1992 menjabat Kaset Deputy OperasiKapolri. Tahun 1993-1998 menjabat Kepala Devisi Projek Khu-sus UPT Industri Hankam, BPPT. Kemudian pada tahun 2004 dipercaya sebagai Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR-Rl.

137

INDEKS

A

A.H. Nasution

A.V DiceyABS

Absolutisme

Absurd

Abuse of powerAccountabilityAdam Smith

A1 Gore

Anarki

Andhap ashorAPBN

ApplousAristoteles

ASEAN

Atlantic Civilization

B

Bakorstanas

BangladesBankable

Bathang, binasaBelanda

Benedic Anderson

Birokrasi

Born

BPKB

Bule ai dipambuluah

c

Character and national building

Charles de Gaule

Chek and balance

Civilis

Clarendom

Clean governmentComparative advantageCompetitive advantagesCPNS

D

Daniel S. Lev

Decree, melalui

Definisi

Dekrit Presiden

DemocrazyDemonstrasi, masa

Demos cratos

Destruktif

Diametral

Discreation

DPR

Dr. Sahardjo

Dubes (Duta Besar)

E

Eksekutif

Electoral CollegeEmbahnya sungkilEnclave-enclave

EqualEtika Pemerintahan

Exprecis verbisFit and proper testForign Direct Investment

F

Formasi, sosial politikFree man

Freeport

Funding father

G

Gemi nastiti

George W BushGeorge Walker BushGlobal competitiveGlorius Revolution

Good governance

Good news is not a news

Gorontalo

Growth Competitiveness IndexGuillermo O'Donnell

Gus Solah

H

HAM

Harry Truman

Hidden agendaHo lubis kuntul baris

Human Development IndexHungaria Golden Bull

I

Impor

ImpunityincapacityIndeks Persepsi Konipsi (IPK)ineficiencyInovatif

Inpres Nomor 5 Tahun 2004IntrospeksiISO 9001:2000

J

Jacobin, kaum

JepangJohn Locke

Judicial review

Jumping conclution

K

KAA

Kalis, resistance

Karang Anyar, KabupatenKasman SingodemejoKeblinger, demokrasiKelautan

KKN

Konferensi Asia Afrika

Konsolidasi

Konsolidasi, demokrasi

Konstitusi, Clarendom

Konstitusionalisme

Kontinental, EropaKPUD

L

L.M Friedman

Landlord

LandreformLaw Obediance citizens

LegislatifLensa

Liberal, Demokrai

Liga DemokrasiLike and dislike

Lord Acton

Loyal, oposisi

M

Magna ChartaMedia masa

MerpatiMianmar

Michaud

Mindset

N

NapoleonNasionalisme

Nerimo

New York

NKRI

O

OposisiOptikOrde Baru

Orde Lama

Ote-ote

Otoriter

Otoriter, rezim

P

PAD

Partial

PBB

Pener

Piagam Madinah

Plato

PoliticingPome, politikPreman

Profesi

Public servant

Public service

Puskesmas

R

Rambate ratahayoRawe-rawe

Recovery

ReformReforaiasi

RepelitaRichard Nixon

RMS

Romawi

S

Samuel P Huntington

Sawah Lunto, KabupatenSDM

Seiyo sekatoSIM

SjahrirSocrates

Solok

Spirit of nationalism

SprintSragenSTNK

SuloyoSumringahSupreme Court

Susilo Bambang Yudhoyono

T

TerminologiThailand

Think globally and act locallyThomas Hobbes

Tort

Trac record

Trastmachus

Try an error

Tuban

Turki

Twiti

Uborampe

U

UKM

Ular, dan merpati

Ultra vires

Undang-Undang AgrariaUndang-Undang Nomor 5 Tahun 1960Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974Utangan, ngutang

UU Administrasi Pemerintah

UU Etika Penyelenggara NegaraUU Kementerian/Kementerian NegaraUU Kepegawaian NegaraUU Pelayanan PublikUUD45

V

Variababel

Vietnam

Voting

W

Wahid, nomor

Walfare state

Wiranto

World Cup

Y

Y ves Michaud

Yudikatif

Yunan Nasution

Z

Zaken Kabinet

Saudara Taufiq sebenarnya dalam buku inl membahas masalah yang rumll. yang masih dibahas balk di forum akademik. seminar-seminar. iokakarya. maupun dalam pemblcaraan seharl-harl. sepeni retormasi, demokrasl , supremas! hukum . hak asasl, anarki . birokrasi . kepemlmplnan. dan lain-lain, Dengan uraian yang enak dibaca penuh humor. ia menggambarkan kenyataan ke­adaan Clewasa ini dengan memberlkan saran-saran pemecahan masalahnya

palmo linggi sam pal kepada