MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

101
MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM KONTEKS INDONESIA PERSPEKTIF MASLAHAH NAJM AL-DIN AL-THUFI SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Disusun Oleh: Jijay Zaenal Arifin 11170430000013 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1443/2021

Transcript of MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

Page 1: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM KONTEKS

INDONESIA PERSPEKTIF MASLAHAH NAJM AL-DIN AL-THUFI

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Disusun Oleh:

Jijay Zaenal Arifin

11170430000013

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1443/2021

Page 2: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

ii

MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM KONTEKS

INDONESIA PERSPEKTIF MASLAHAH NAJM AL-DIN AL- THUFI

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

(S.H.)

Oleh:

JIJAY ZAENAL ARIFIN

11170430000013

Pembimbing:

Kamal Fiqry Musa, Lc., M.A.

NIDN. 2128018202

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1443 H/2021 M

Page 3: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

iii

Page 4: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

iv

Page 5: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

v

ABSTRAK

Jijay Zaenal Arifin (11170430000013) “Meninjau Ulang Praktik Waris

Beda Agama Dalam Konteks Indonesia Perspektif Maslahah Najm Al-Din Al-

Thufi”. Program Studi Perbandingan Mazhab (muqaranah al-mazahib),

Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta Tahun 2021 M/1443 H.

Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan secara rinci dan komprehensif tentang

waris beda agama di Indonesia dalam pandangan maslahah Najm al-din Al-Thufi.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (normative yuridis), bersifat

preskriptif dengan menggunakan pendekatan kasus (case approach). Penelitian ini

berjenis penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif-analitis.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa larangan waris beda agama yang

didasarkan kepada hadits nabi Muhammad Saw yang berbunyi “Seorang muslim

tidaklah mewariskan ke orang kafir, dan orang kafir tidaklah mewariskan ke seorang

muslim” (HR. Bukhari dan Muslim) bersifat umum. Hadits tersebut harus ditakhsish

dengan menggunakan maslahah dalam perspektif Najm al-Din al-Thufi. Sistem

kewarisan Islam menganut sistem kekerabatan, baik secara nasabiyah maupun secara

hukmiyah. Landasan pemberlakuan waris adalah al-In‟am yaitu memberikan hak

kepada orang lain untuk menikmati harta kekayaan pewaris. Sehingga nilai dan

tujuan wars inilah yang mentakhsish keumuman hadits tersebut diatas.

Kata kunci: Waris beda agama, Dalil argumentasi dan Maslahah Najm al-Din al-

Thufi.

Pembimbing : Kamal Fiqry Musa, Lc., M.A.

Daftar Pustaka : 1981 s/d 2020

Page 6: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tidak tehingga penulis persembahkan ke haribaan Allah

Swt yang Maha Mengetahui karena atas rahmat dan pertolongannya semata penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini. Begitu juga penulis tidak henti-hentinya membaca

shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad Saw yang telah menjadi panutan dalam

segala aktivitas dan perjuangan selama hidup di dunia sebagai ladang amal ini.

Penulisan skripsi ini diajukan dan dimaksudkan oleh penulis untuk memenuhi

salah satu syarat penulis memperoleh gelar Sarjana (Strata 1) pada program studi

perbandingan Mazhab (Muqaranah al-mazahib) Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini

sudah tentu banyak kekurangan dan kealfaan dari penulis sebagai manusia yang tidak

pernah luput dari salah. Oleh karenanya, kiranya pembaca skripsi penulis ini, dengan

hati yang bersih dan niat yang baik dan tebtunya setelah membacanya dengan teliti

berkenan untuk mengingatkan penulis atau membenarkannya.

Dalam penulisan skripsi ini, sudah tentu tidak terlpas dari bantuan, bimbingan

dan kontribusi dari berbagai pihak yang berpengaruh pada spirit dan kemampuan

penulis. Oleh karenanya, dalam hal ini penulis penulis mengucapkan terimakasih

kepada:

1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin

Umar Lubis, M.A.

2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., MA., M.H. Selaku Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Sitti Hanna, M.A. selaku Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Bapak

Hidayatullah, M.H. selaku sekretaris Program Studi.

4. Bapak Kamal Fiqry Musa, Lc., M.A. selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu, tenaga dan pikiran selama membimbing skripsi.

Page 7: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

vii

5. Segenap bapak dan ibu dosen, pada lingkungan program Studi Perbandingan

Mzhab Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang

telah memberikan banyak ilmu dan pengetahuan selama duduk di bangku

kuliah.

6. Ayahanda tercinta Alm, Aj. Aas Saifuddin dan ibuk Ereh yang tidak pernah

lupa mendoakan, mencintai, mendukung segala hal yang menjadi cita-cita

penulis dankeinginan penulis.

7. Segenap keluarga besar Ayahanda, Kakak, kepponakan dan semua warga

masyarakat Kp. Cibitung, Desa Cigintung, Kecamatan Singajaya Kabupaten

Garut yang selalu mensupport dan mendukung semua langkah perjuangan dan

pendidikan penulis.

8. Segenap mahasiswa Perbandingan Mzhab, angkatan 2017 terkhusus Izza

Amalia, Siti Fauziyah, Bidayatul Mutammimah, Putri, Kiki, Fatma, Wini dan

sebagainya yang telah tulus membantu, menjadi sahabat dalam segala hal

perjuangan dan kebaikan.

9. Keluarga besar Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum Mahasiswa Islam

(LKBHMI) Cabang Ciputat, kanda Fahmi Muhammad Ahmadi, kanda Ihdi

Karim Makinara, Kanda Muhammad Isnur, kanda Teuku Mahdar Adrian,

kanda Ali Fernandes, kanda Haris Barkah, kanda Ridho Akmal Nasution,

kanda Aji Andika Mufti, kanda Fauzul, kanda Irpan Pasaribu, Kanda

Awaludin, kanda Ahmad Masyhud, kanda Zainuri, kanda M. Irpan, kanda

Humaidi, kanda Rahmat Ramdani, kanda Roni Johan, kanda Afif Kurniawan,

kanda Abdul Qadir Batubara, kanda Agustiar Hariri Lubis, kanda Triono,

kanda Ahmad Imam Santoso, Kanda Wahid Sabekti, kanda Enday

Hidayatullah, kanda Onggi Sigma Utara, kanda Dhika Amal Fatul Hakiem,

kanda Rasyid Rahmat, Yunda Ayu Sitti. Teman-teman seperjuangan yang

tercinta Kanda Syukriyan, Direktur Eksekutif Kanda Herman Sunaro Lubis,

kanda Adnan Ajmain dan adik-adik tercinta, Adinda Rifki Andrio, Bimas

Zulfikar, Amin, Abdurrahman, Wahid, Rajif, Sukma, Arif, Taufik serta

Page 8: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

viii

segenap pengurus LKBHMI terimakasih atas kritik, saran, canda tawa, dan

tangisan haru serta bahagia yang telah dibagi dan turut dirasa. Terimkasih atas

semua kehidupan dan persahabatan yang luar biasa indah dan bahagianya.

Panjang umur semua untuk perjuangan dan kebaikan.

Semoga Allah yang maha baik membalas semua kebaikan dan pengorbanan

tersebut semua serta kita selalu sehat dan panjang umur. Terkahir, semoga

skripsi ini bermanfaat terlebih untuk penulis dan untuk semua orang pada

umumnya.

Ciputat, 14 September 2020

Jijay Zaenal Arifin

Page 9: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING..........................................................ii

LEMBAR PENGESAHAN……………………………….………………………..iii

LEMBAR PERNYATAAN……………………..……………………………….…iv

ABSTRAK………………………….………………………….…………………….v

KATA PENGANTAR………………………...….……...…………………………vi

DAFTAR ISI…………………………………………………….……………….....ix

BAB I

PENDAHULUAN......................................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................................... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................................... 7

D. Review Studi Terdahulu ..................................................................................... 8

E. Tinjauan Pustaka .............................................................................................. 10

F. Metode Penelitian............................................................................................. 13

G. Pedoman Penulisan .......................................................................................... 16

H. Sistematika Penulisan....................................................................................... 17

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS BEDA AGAMA DALAM HUKUM

ISLAM DAN HUKUM WARIS INDONESIA ............................................................ 1

A. Pengertian Dan Dasar Waris Beda Agama ........................................................ 1

1. Pengertian Waris Beda Agama ....................................................................... 1

2. Dasar Hukum Waris Beda Agama ................................................................. 6

B. Waris Beda Agama Dalam Hukum Islam dan Hukum Indonesia.................... 10

1. Waris Beda Agama Dalam Hukum Islam .................................................... 10

Page 10: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

x

2. Waris Beda Agama Dalam Hukum Waris Indonesia ................................... 14

3. Hukum Waris Burgerlijk Webook (BW) ...................................................... 18

BAB III

BIOGRAFI, KARYA DAN METODOLOGI PEMIKIRAN NAJM AL-DIN AL-

THUFI TENTANG MASLAHAH ............................................................................... 1

A. Biografi Najmuddin al-Thufi ............................................................................. 1

B. Perjalanan Intelektual dan Karya Najmuddin al-Thufi ...................................... 4

C. Latar Belakang dan Lahirnya Teori Maslahah Al-Thufi.................................. 12

D. Konsep Maslahah Al-Thufi .............................................................................. 13

a. Makna Maslahah Menurut Al-Thufi ............................................................ 13

b. Makna Hadits La Dlarar Wa La Dlirara ....................................................... 17

c. Mendahulukan Maslahah diatas Nash al-Syariah dan Ijma‟ ........................ 19

E. Ulama Yang Setuju Dengan Konsep Maslahah al-Thufi ................................. 28

BAB IV

ANALISIS WARIS BEDA AGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF

MASLAHAH NAJMUDDIN AL-THUFI .................................................................... 1

A. Analisis Dalil Waris Beda Agama ..................................................................... 1

B. Analisis Waris Beda Agama di Indonesia Perspektif Maslahah Al-Thufi ......... 7

C. Wasiat Wajibah Sebagai Solusi Waris Beda Agama di Indonesia .................. 14

BAB V

PENUTUP ................................................................................................................... 17

A. Kesimpulan ...................................................................................................... 17

B. Saran ................................................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 21

Page 11: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Mahmud Syaltut (1893-1963 M) menegaskan kebebasan beragama sebagai

sesuatu yang diakui dan dilegitimasi oleh islam.1 Kebebasan tersebut dalam konteks

negara Indonesia adalah hak konstitusional setiap warga negara yang telah dijamin

oleh konstitusi.2 Akibatnya keragaman agama di Indonesia menimbulkan relasi sosio-

keagamaan antar para pemeluk agama yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari sebuah

realitas yang menunjukan banyaknya pernikahan lintas agama yang berujung pada

kewarisan beda agama. Terbukti pada tahun 1980 sebanyak 24.677 pasangan

melakukan pernikahan beda agama pada tahun 1990 jumlahnya drastis meningkat

menjadi 28.688 pasangan dan pada tahun 2000, terdapat 2.673 pasangan.3

Konsekuensi logis dari fakta pluralitas agama dalam sebuah institusi keluarga

adalah kewarisan beda agama. Kewarisan beda agama mempunyai potensi yang besar

dalam menimbulkan pertikaian dalam sebuah keluarga pasca kematian seseorang

meskipun fakta pluralitas agama dapat diterima oleh setiap orang.

Karena kepercayaan yang besar terhadap nilai keadilan dan kemaslahatan

yang terkandung di dalam sistem hukum waris Islam membuat sebagian besar

masyarakat Muslim bersikap menerima doktrin fikih waris sebagaimana adanya tanpa

berfikir ulang tentang akibat-akibat baru yang akan muncul manakala mereka

menerapkan sistem hukum waris Islam yang telah ada saat ini. Sehingga nalar berfikir

mereka cenderung statis, tanpa memperhatikan atau bahkan mengkorelasikan sistem

hukum waris yang digunakan umat Islam saat ini dengan kemaslahatan dan tujuan

syariat atau maqāshid syarī‟ah

1 Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah wa Al-Syari‟ah,(Cairo: Daar al-Syuruuq), h., 47

2 Said Aqil Siradj, Tasawwuf Sebagai Kritik Sosial, (Jakarta: SAS Foundation), h., 287

3 Noryamin Aini “Fakta Empiris Nikah Beda Agama “ wawancara diakses pada tanggal 06 mei 2020

pukul 11.30 dari http://blog.umy.ac.id/retnoeno/2012/01/07lfakta-empiris-nikah-beda-agama/.

Page 12: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

2

Hukum di Indonesia juga mengenal tiga sistem hukum untuk mengatur proses

pembagian harta yang telah ditinggalkan oleh pewaris. Di antaranya Islam,

Buergerlijk wet book (BW) dan hukum adat. Dalam kebiasaannya, hukum Islam

hanya dipakai oleh kalangan umat Islam dalam pembagian kewarisannya. Sedangkan

hukum Perdata Barat burgerlijk wet book (BW) dan hukum adat lebih sering

digunakan oleh masyarakat pribumi dan pemeluk agama yang lain.

Perbedaan yang paling mencolok di antara ketiganya juga terlihat saat

memaknai aturan mengenai hak orang yang berbeda agama dalam mendapatkan harta

warisan. Dalam hukum islam, Argumentasi awal dan yang saat ini dipegang adalah

bahwa perberbedaan agama merupakan salah satu faktor penghalang seseorang

tersebut mendapatkan harta warisan. Pendapat yang lain mengatakan bahwa hanya

non muslim yang dan tidak sebaliknya. Dalam hukum adat disebutkan bahwa

perbedaan agama bukanlah salah satu penghalang bagi terlaksananya proses peralihan

harta peninggalan dari pewaris kepada waris dan siapa yang lahir terlebih dahulu

bukan merupakan soal dalam hal kewarisan4

Dalam hukum islam, akar perselisihnan diantara fuqaha (ahli yurisprudensi

hukum islam) diatas bersumber dari proses interpretasi yang berbeda terhadap suatu

hadits tentang larangan waris antar iman.

:انرخلآلاالق .ونرب خ :أييال)ق(يحيفظللال)ومياىرب بنإحقسإوةبي شببنأركبوب أوييبنيث نايحد

ليرث :الصلى الله عليه وسلمقبالن نأديبنزةامسأنعانمثعروبنمعنعيسيبنحلعنعيرىالز ن(عةينيعنباإنث د ح

سلمالكافرسلم .الم

)رواهمسلم(ولالكافرالم

Yahya bin Yahya, Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Ishaq bin Ibrahim telah

menceritakan kepada kami (Imam Muslim) telah menceritakan kepada kami Ibnu

4 Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Waris Adat (Jakarta: Berita Penerbit, Cet.2, 1997),

h.79.

Page 13: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

3

Uyainah dari Zuhri dari Ali bin Husain dari „Amr bin Utsman dari Usamah bin Zaid

bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad Saw telah bersabda : seorang muslim tidak

dapat menjadi ahli waris orang kafir, begitu juga orang kafir tidak dapat menjadi

ahli waris orang muslim (H.R Muslim)5. Sementara itu dilain sisi juga terdapat hadits

yang membolehkan waris beda agama.

:إاذعمالقاف ملسامخأكرت واتميدوهي فويلاإوعفت ارفنمليباذعمان :كاليليقالد دوسلابأنع تعسن

مهب جنونيرافكلاثرنن :نرآخثيدحصلى الله عليه وسلمفالللوسرالقوصقن ي وديزيملسلان :إلوقصلى الله عليه وسلمي الللوسرل

انن وب جيلاونن وث ريلو

Dari Ubaiy al-Aswad al-Diliy ia berkata: saat Muadz berada diyaman (atas perintah

Rasul mejadi hakim) para penduduk Yaman melaporkan suatu peristiwa kematian

seorang Yahudi yang meninggalkan seorang saudara laki-laki muslim. Muadz bin

Jabal berkata: Sunggguh saya telah mendengar Rasulullah Saw bersabda:

sesungguhnya islam itu bertambah dan tidak berkurang. Dalam hadits yang lain nabi

bersabda: kami dapat menjadi ahli waris orang-orang kafir, menghijab mereka,

mereka tidak bisa menjadi ahli waris kami dan juga tidak dapat menghijab kami.6

Dua hadits dengan ketentuan hukum yang berbeda tersebut dalam konteks

Indonesia terejawantahkan didalam putusan Mahkamah Agung (MA)

No.368K/AG/1995, Putusan Mahkamah Agung No.16K/AG/2010 dan Penetapan

Pengadilan Agama Badung pada perkara No.4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.

Dua pendapat yang berbeda dikalangan sahabat dan para ahli yurisprudensi

islam (al-A‟immah al-Mazahib) yang teraplikasikan didalam dua putusan Mahkamah

Agung dan Penetapan Pengadilan Agama Badung tersebut diatas cukup menjadi

dasar pengetahuan kita bahwa larangan waris beda agama bukan sesuatu yang bersifat

5 Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim (Beirut: Daar al-Fikr), juz 2, h., 56, no. Hadits 1614

6 Isamil Luthfi Fathani, Ikhtilaf al-Din wa –Atsaruhu fi Ahkam al-Munakahat wa-al-Mu‟amalat

(Mesir: Daar al-Salam), Juz 2, h., 306

Page 14: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

4

aksiomatik atau al-Ma‟lum Min al-Din Bi al-Dlarurah sehingga terdapat cela dan

potensi untuk berubah sesuai dengan situasi, kondisi dan maslahah yang relevan. Jika

Imam Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim al-Jauzi, Yusuf al-Qaradlawi, dan Ismail Luthfi

Fathani beranggapan bahwa larangan waris beda agama berlaku jika menyangkut

orang kafir harbi, lalau bagaimana dengan Indonesia yang sama sekali tidak

mengenal kategori jenis-jenis kafir tersebut diatas. Tentu sangat dibolehkan dan

sudah seharusnya berubah.

Hal demikian diatas tentu bukan sesuatu yang tabu mengingat perubahan

hukum adalah suatu yang niscaya. Konstruksi hukum islam, dalam hal ini fikih kental

dengan semangat ruang dan waktu. Oleh sebab itu keragaman hukum sesungguhnya

merupakan fenomena keniscayaan sosial dan budaya. Ibnu Qayyin al-Jawziyyah (w.

751 H/1350 M) menegaskan bahwa hukum islam seharusnya sebagai refleksi

responsif fukaha dalam menyikapi persoalan zaman dengan semangat kedisinian dan

kekinian.7

Maslahah dalam diskursus hukum islam adalah prinsip dan tujuan utama yang

henadak dicapai dalam merumuskan hukum. Sebagaimana ditegaskan oleh Ibn

Qayyim al-Jauziyyah, bahwa syariat (baca: hukum Islam) itu dibangun di atas fondasi

kemaslahatan manusia (mashalih al-ibad). Menurutnya, syariat itu seluruhnya adil,

mengandung rahmat, maslahat, dan hikmah. Konsekuensinya, segala sesuatu yang

keluar dari keadilan, rahmat dan mendatangkan mafsadat (kerusakan) tidak bisa

dikategorikan, apalagi diklaim sebagai syariat. Bahkan lebih jauh Ibn Qayyim

menyatakan, disebabkan kita bodoh dan tidak memahami konsep maslahat ini, kita

telah terjebak pada kesalahan yang besar di dalam memahami syariat.8

7 Noryamin Aini, Tradisi Mahar Di ranah Lokalitas Umat Islam: Mahar dan Struktur Sosial Di

Masyarakat Muslim, AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah Volume 14, Nomor 1, Januari 2014 8 Ibn Qayyim al- Jauziyyah, I‟lam Al-Muwaqi‟in „an Rob Al-„Alamin (Beirut: Dar al-Kutub al-

Ilmiyyah, 1993), juz 3, hlm. 11

Page 15: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

5

Teori dan konsep maslahah telah banyak diperbincangkan dan ditelaah secara

serius oleh para pakar hukum Islam. Diantaranya ada Imam al-Haramain, al-Ghazali,

„Izzuddin Ibn Abd Salam, asy-Syatibi, dan lain sebagainya. Namun teori dan konsep

maslahah mereka hampir seluruhnya cenderung statis dan bergerak dibawah

kungkungan teks. Maslahah dalam konsep mereka tidak lebih tinggi kedudukannya

dengan teks. Konsep maslahah mereka harus mendapatkan legitimasi oleh teks.

Oleh karena demikian, dari sekian banyak teori maslahat yang ditawarkan,

ada satu teori maslahat yang cukup menarik untuk diangkat ke permukaan untuk

dibahas, dipertimbangkan, dijadikan pisau analisis sebagai landasan teoretis dalam

upaya rekonstruksi larangan waris beda agama dalam merancang pembangunan

hukum nasional di Indonesia. Karena sekali lagi, mayoritas penduduk Indonesia yang

beragama Islam tentu menginginkan produk hukum yang memiliki landasan yang

bisa dipertanggungjawabkan, baik secara teologis maupun yuridis. Hal ini, tentu akan

sangat menguntungkan bagi pemerintah, karena rakyat akan dengan sukarela

menjalankan produk hukum yang dihasilkan oleh negara, sehingga tercapainya

keteraturan dan ketenteraman masyarakat akan terwujud. Posisi hukum Islam sangat

strategis dalam sistem hukum nasional, karena didukung oleh golongan mayoritas

penduduk Indonesia.9

Teori maslahah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah maslahah-nya

Najmuddin at-Thufi, seorang tokoh pemikir Islam yang hidup pada abad ke-13 M.

Pada masanya, pemikirannya tentang maslahat sangat kontroversial dan cenderung

melawan arus pemikiran yang ada dan telah berkembang mapan. Salah satu idenya

yang hingga kini dianggap masih kontroversial dan melawan arus adalah keharusan

maslahat menganulir teks-teks suci keagamaan (seperti al-Qur‟an dan al-Hadis) saat

bertentangan dengan nilai-nilai kemaslahatan yang berkembang di tengah

9 Abdul Hadi dan Shofyan Hasan, “Pengaruh Hukum Islam Dalam Pengembangan Hukum Di

Indonesia,” Nurani: Jurnal Kajian Syari‟ah Dan Masyarakat 15, No. 2 (2015): 89-100, https://doi.org/

https://doi.org/10.19109/nurani.v15i2.284.

Page 16: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

6

masyarakat. Karena baginya, tujuan Tuhan menurunkan hukum adalah dalam rangka

untuk memenuhi kemaslahatan manusia. Teks-teks suci keagamaan hanyalah sebatas

wasilah (baca: perantara) saja, sedangkan tujuan utamanya adalah tercapainya

kemaslahatan itu sendiri. Ini adalah inti dari ajaran maslahat yang ditawarkan oleh at-

Thufi. Kiranya tidak berlebihan jika penulis menyebut teori maslahat at-Thufi sebagai

“Hukum Islam progresif”.

Oleh karena itu dalam tulisan ini penulis tertarik untuk melakukan sebuah

penelitian tentang rekonstruksi dan pembaharuan hukum waris beda agama dengan

menjadikan teori maslahah Najmuddin al-Thufi sebagai landasan filosofis dan pisau

analisis sebagai arah pembangunan hukum nasional yang menitikberatkan kepada

kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka muncul beberapa

permasalahan yang dapat di identifikasi sebagai berikut:

a. Mayoritas umat Islam Indonesia selama ini berpendapat bahwa antara muslim

dan non muslim tidak saling mewarisi. Pemahaman ini sudah dianggap syariat

yang baku yang tidak mungkin untuk berubah

b. Adanya pendapat lain yang berbeda tentang waris beda agama mempunyai

argumentasi yang kuat dan relevan sesuai dengan prinsip hukum islam.

c. Kontekstualisasi, rekonstruksi dan pembaharuan hukum islam tentang

larangan waris beda agama di Indonesia dengan kondisi yang plural.

d. maslahah Najmuddin al-Thufi sebagai teori hukum islam yang progresif

dalam menyelesaikan dan mengurai sengketa dan problem waris beda agama

untuk menciptakan hubungan yang harmonis antar agama.

2. Pembatasan Masalah

Page 17: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

7

Agar pembahasan yang penulis lakukan terarah dan tidak meluas, maka

dalam penelitian ini penulis membatasi hanya pada rekonstruksi atau pembaharuan

hukum islam tentang larangan waris beda agama ditinjau dari teori maslahah

Najmuddin Al-Thufi dalam konteks Indonesia untuk pembangunan hukum

nasional Indonesia yang lebih equality dengan tetap berlandaskan kepada

kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum.

3. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep maslahah Najmuddin al-Thufi dalam penetapan hukum

islam ?

2. Apakah larangan waris beda agama sebagai pendapat Jumhur Ulama yang

terkodifikasikan dalam KHI memilki argumentasi hukum yang kuat dan

relevan dengan konteks Indonesia ?

3. Bagaimana rekonstruksi pemikiran hukum islam tentang larangan waris beda

agama dalam konteks Indonesia dilihat dari maslahah Najmuddin Al-Thufi ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

4. Tujuan

Sesuai dengan rumusan masalah diatas yang telah penulis paparkan, maka

dapat dipahami bahwa tujuan yang ingin penulis capai adalah sebagai berikut:

a. Untuk menganalisis dan memhami secara komprehensif konsep maslahah

Najmuddin al-Thufi dalam penetapan hukum i

b. Untuk mentarjih atau membandingkan beberapa dalil tentang larangan dan

kebolehan waris beda agama secara kontekstual dan kekinian.

c. Untuk menganalisis sekaligus mengimplementasikan konsep maslahah

Najmuddin al-Thufi dalam upaya rekonstruksi atau pembaharuan hukum

waris beda agama dalam konteks Indonesia.

2. Manfaat

Page 18: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

8

Selain beberapa tujuan yang hendak dicapai tersebut diatas, penulis juga

berharap tulisan ini memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Secara teoritik akademik, untuk menambah sumber referensi, wawasan dan

pengetahuan dalam dunia hukum terutama dalam hukum islam sendiri.

2. Diharapkan menjadi sebuah kontribusi didalam menentukan sikap dalam

menghadapi permasalahan sengketa waris beda agama

3. Menghasilkan karya ilmiah yang berguna bagi penulis sebagai syarat untuk

mendapatkan gelar Sarjana Hukum (SH) dalam program studi Perbandingan

Mazhab (PM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Review Studi Terdahulu

Tesis yang ditulis oleh Mulyadhi tahun 2019 dengan judul “Analisis

Pemikiran Abdullan Ahmad An-Naim Tentang Kewarisan Beda Agama dan

Relevansinya dengan Hukum Kewarisan di Indonesia”.

Penelitian ini berangkat dari ide-ide An-Naim tentang relevansi

Syariah dengan nilai-nilai dan budaya modern. An-Naim menekankan

perlunya reformasi Syariah supaya sesuai dengan perkembangan zaman.

Dalam pandangan An-Naim larangan waris beda agama tidak lain hanyalah

syariah historis yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman,

diskriminatif dan tidak selaras dengan Hak Asasi Manusia harus di masukh.

An-Naim menyatakan bahwa larangan waris beda agama dalam islam adalah

bentuk diskriminasi atas dasar agama yang mana merupakan titik konplik

yang paling serius antara syariah dengan Hak Asasi Manusia. oleh sebab itu

diskriminasi atas dasar agama sebagai salah satu sebab utama konflik dan

perang antar bangsa tidak berlaku di Indonesia dan tidak bisa diterapkan oleh

masyarakat Indonesia yang memiliki kemajemukan dalam sistem keagamaan.

Page 19: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

9

Chamim Tohari (2017) dalam penelitiannya yang berjudul

“Rekonstruksi Kewarisan Beda Agama Ditinjau dari Al-Ushul al-

Khamsah” mengungkapkan bahwa ditinjau dari al-Ushul al-Khamsah

larangan waris beda agama tidak sejalan dengan prinsip atau tujuan-tujuan

umum syariah (Maqasid al-Syariah). Pendapat yang melarang kewarisan beda

agama selain tidak memperhatikan kemaslahatan juga tampak literlijk, artinya

tidak memperhatikan kandungan dan substansi teks dengan maksud yang

ingin dicapai oleh teks tersebut yaitu kemsalahatan. Pendapat ulama yang

membolehkan seorang muslim mewarisi kafir adalah pendapat yang memiliki

relevansi dengan al-Ushul al-Khamsah, yaitu yang berkaitan dengan konsep

memelihara agama (Hifz al-Din), memelihara jiwa (Hifz al-Nafs), memelihara

akal (Hifz al-„Agl), memelihara keturunan (Hifz al-Nasl) dan memelihara

harta (Hifz al-Maal).

Enday Hidayatullah (2020) dalam penelitiannya yang berjudul

“Penetapan Ahli Waris Muslim Terhadap Pewaris Non Muslim: Studi

Analisis Yuridis Penegakan Keadilan Terhadap Non Muslim Dalam

Perkara Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013.PA.Bdg” mengungkapkan bahwa

penetapan yang dikeluarkan oleh pengadilan agama Bandung tersebut tidak

mencerminkan keadilan bagi ahli waris non muslim. Seharusnya anak yang

beragama Hindu sama seperti ibuknya yang harus mendapatkan warisan dan

menjadi ahli waris yang sah bukan justeru diberi warisan melalui mekanisme

wasiat wajibah. Sebab prinsip kewarisan dalam islam ditentukan oleh agama

yang dianut seorang pewaris. Enday juga berpendapat bahwa penetapan

Pengadilan Bandung tersebut diatas yang menetapkan ahli waris muslim

(dalam penetapan tersebut dua orang anak) dari seorang pewaris non muslim

bertentangan dengan jumhur ulama yang melarang kewarisan beda agama.

Dari beberapa penelitian diatas yang mempunyai kemiripan dengan

penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah penelitian yang dilakukan

Page 20: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

10

oleh Mulyadhi dan Chamim Tohari. Sedangkan yang membedakannya adalah

ruanglingkup dan Sudut pandang atau pisau analisis yang digunakan.

Dua penelitian diatas sebagaimana yang akan penulis lakukan adalah

sebuah upaya untuk merekonstruksi dan mendobrak pandangan-pandangan

larangan waris beda agama yang selama ini telah mapan bahkan seolah sudah

menjadi doktrin hukum yang tak dapat berubah. Namun jika penelitian yang

dilakukan oleh Mulyadhi menggunakan pisau analisis atau sudut pandang

Abdullah An-Naim dan dalam penelitian Chamim Tohari hanya dari

perspektif Maqosid al-Syariah maka, dalam penelitian ini penulis akan

menganalisis kewarisan beda agama secara spesifik meliputi, maslahah

Najmuddin al-Thufi dan Tarjih al-Adillah, bahkan Hak Asasi Manusia dengan

memperhatikan kontekstualisasi dan relevansinya dalam konteks negara

bangsa seperti Indonesia.

E. Tinjauan Pustaka

1. Kerangka Teori

a. Tarjih al-Adillah

Tarjih al-Adillah adalah menguatkan salah-satu dari dua dalil yang

brkekuatan dzanni. Definisi yang lebih komprehensif tentang tarjih dapat

ditemukan dari ulama-ulama bermazhab hanafi. Menurut mereka Tarjih

adalah menampakan atau menguatkan tambahan pada salah-satu dari dua

dalil dengan menggunakan sesuatu yang tidak berdiri sendiri. Tarjih al-

Adillah adalah salah satu metodologi hukum islam yang ditempuh dalam

menyelesaikan dua dalil yang bertentangan.10

Dalam bahasa yang mudah

difahami Tarjih Al-adillah adalah sebuah analisis terhadap dua dalil-dalil

yang bertentangan dengan menggunakan perangkat lain guna mengetahui

dalil yang paling kuat dan dijadikan sebagai pijakan. Dalam diskursus kajian

10 Wahbah Al-Zuhaili, Ushul al-Fiqhi al-Islami (Syuriah: Daar al-Fikr), Juz 1, h., 1185

Page 21: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

11

Ushul Fiqh, ulama‟ hanafiyyah menempatkan tarjih pada peringkat yang

pertama diatas al-Jam‟u wa al-Taufiq ketika menyelesaikan dalil-dali yang

bertentangan (Taarud al-Adillah).

Cara kerja tarjih didalam menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan

dapat dilakukan pada dua bagian, pertama Tarjih teks (Tarjih al-Nushush)

dan yang kedua tarjih qiyas (Tarjih al-Aqyisah). Tarjih al-Nushus adalah

menilai atau melakukan sebuah analisis terhadap dua dalil yang bertentangan

meliputi kajian sanad, matan, petunjuk lafadz dan faktor-faktor eksternal.

Sedangkan tarjih al-Aqyisah adalah analisis terhadap dua dalil yang

bertentangan dengan menggunkan perangkat qiyas baik dari aspek asal,

furu‟ ataupun „Illat hukum. Dengan berbagai macam kelengkapan dan

pendukungnya, Tarjih dalam pandangan Ulama‟ Hanafiyyah mendapatkan

perhatian khusus dalam mengurai permasalahan dua dalil atau lebih yang

saling bertentangan.11

b. Maslahah

Pengertian al-maslahah telah diberi muatan makna oleh beberapa

pakar teori hukum islam, usul fiqh dari yang klasik sampai yang

kontemporer. Al-Gazâli (w. 505 H), misalnya, mengatakan bahwa makna

genuine dari maslahah adalah menarik/mewujudkan kemanfaatan atau

menyingkirkan/menghindari kemudaratan ( Jalb al-Manfaat atau Daf‟u al-

Mafsadah )

Sedangkan Maslahah menurut Al-Thufi dapat dilihat dari dua segi,

yaitu „urf dan syara‟. Menurut „urf, yang dimaksud mashlahah adalah “sebab

yang membawa dan melahirkan keuntungan”. Adapun mashlahah dalam

pengertian syar‟i berarti: sebab yang membawa dan melahirkan maksud

Page 22: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

12

(tujuan) syar‟i baik maksud yang berkaitan dengan ibadah maupun muamalah

(al-adah).12

Teori maslahah Najmuddin al-Thufi yang penulis jadikan pisau

analisis dalam merekonstruksi hukum waris beda agama pada tulisan ini

hingga kini masih kontroversial dan melawan arus dikarenakan keharusan

maslahat menganulir teks-teks suci keagamaan (seperti al-Qur‟an dan al-

Hadis) saat bertentangan dengan nilai-nilai kemaslahatan yang berkembang

di tengah masyarakat. Karena baginya, tujuan Tuhan menurunkan hukum

adalah dalam rangka untuk memenuhi kemaslahatan manusia. Teks-teks suci

keagamaan hanyalah sebatas wasilah (baca: perantara) saja, sedangkan tujuan

utamanya adalah tercapainya kemaslahatan itu sendiri

c. Rekonstruksi Hukum Islam

Rekonstruksi memiliki makna yang sama dengan kata reformasi,

reaktualisasi, dekonstruksi, tajdid dan islah. Rekonstruski hukum islam

adalah sebuah upaya pembaharuan (tajdid) hukum islam yang lebih sesuai

dengan perkembangan zaman. Rekonstruksi hukum islam dimaksudkan

untuk melakukan pembaharuan atau penafsiran ulang terhadap norma-norma

agama yang lebih relevan dengan situasi, kondisi, ruang dan waktu.13

Berbicara soal pembaharuan hukum Islam, sebenarnya erat kaitannya

dengan ijtihad. Menurut Ibn Taimiyah, maju atau mundurnya hukum Islam

tergantung pada tinggi rendahnya frekuensi ijtihad yang dilakukan oleh para

mujtahid. Dalam konteks Indonesia Hasbie Ash Shideqy dengan gagasannya

fikih Indonesia menyebutkan bahwa rumusan fikih yang dihasilkan dari

proses ijtihad tidak harus terikat pada salah satu mazhab, tetapi merupakan

12 Mushtafa Zaid, al-Mashlahah fi al-Tasyri‟ al-Islamiy wa Najmuddin al-Thufi, (Mesir: Dar al-Fikr al-

Arabi, 1964), cet ke-2, h. 67

13 Abdul Manan, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, ( Depok: Kencana, 2017 ), h., 97

Page 23: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

13

penggabungan pendapat yang sesuai dengan keadaan masyarakat. Menurut

beliau hukum yang baik adalah hukum yang memperhatikan kondisi sosial,

ekonomi, budaya, adat istiadat dan kecendrungan masyarakat yang

bersangkutan. Pmenurut Hasbi prinsip utama dalam hukum adalah

kemaslahatan yang berasaskan keadilan dan kemanfaatan. Karenanya, nash

baru diamalkan selama tidak berlawanan dengan kemaslahatan dan tidak

mendatangkan kemadlaratan.

2. Kerangka Konseptual

a. Hukum Kewarisan

Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur perpindahan hak pemilikan

harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak

menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

b. Agama

Agama Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama sistem yang mengatur

tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa

serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia

serta lingkungannya14

c. Waris Beda Agama

Waris beda agama adalah perpindahan harta peninggalan (tirkah) dari seorang

pewaris yang memiliki keyakinan yang berbeda dengan ahli waris dan

sebaliknya.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dimaksud untuk

14 KBBI

Page 24: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

14

memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian secara

holistik dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu

konteks.15

2. Pendekatan Penelitian

Berdasarkan segi pendekatan analisis jenis penelitian ini termasuk

penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum

yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma

yang dibangun adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan

perundangan, putusan pengadilan, peranjian, serta doktrin (ajaran).16

Lebih

lanjut mengenai penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang memiliki objek

kajian tentang kaidah atau aturan hukum. Penelitian hukum normative meneliti

kaidah atau peraturan hukum sebagai suatu bangunan sistem yang terkait dengan

suatu peristiwa hukum. Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk

memberikan argumentasi hukum sebagai dasar penentu apakah suatu peristiwa

telah benar atau salah serta bagaimana sebaiknya peristiwa itu menurut hukum.

Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah statute approach

yaitu pendekatan melalui aturan hukum yang berlaku.

3. Sumber Data

Adapun jenis dan sumber data yang akan digunakan sebagai dasar untuk

menunjang penelitian ini adalah data yang dikumpulkan berasal dari data

sekunder. Data sekunder dimaksud antara lain meliputi bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier berupa Norma Dasar,

perundang undangan, hasil penelitian ilmiah, buku-buku dan lain sebagainya.

a. Bahan Hukum Primer

15 Lexy J Moelong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007),h., 6. 16

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar),h., 33

Page 25: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

15

Bahan hukum primer terdiri atas peraturan perundang undangan,

yurisprudensi, atau putusan pengadilan yang ditetapkan oleh pihak yang

berwenang. Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan adalah

hadits tentang larangan waris beda agama, Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991

tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), Keputusan Mahkamah Agung (MA)

No.368K/AG/1995, Putusan Mahkamah Agung No.16K/AG/2010, Penetapan

Pengadilan Agama Bandung pada perkara No.4/Pdt.P/2013/PA.Bdg dan Fatwa

MUI Nomor 5/MUNAS/VII/MUI/9/2005.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang dapat memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dalam

penelitian ini berupa kitab-kitab fikih klasik (turats) ataupun modern, buku,

dokumen, jurnal yang berkaitan dengan keabsahan kewarisan beda agama.

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data lengkap dalam tulisan ini, teknik

pengumpulan data yang digunakan adalah library research atau penelitian

kepustakaan. Penulis melakukan pelacakan terhadap literatur-literatur yang

berkaitan dengan materi pembahasan. Dokumentasi dapat digambarkan dalam

langkah-langkah penelitian ini sebagai berikut:

a. Mencari bahan-bahan. Dalam hal ini penulis berupaya mengumpulkan

data-data yang berkaitan dengan pembahasan rekonstruksi waris beda

agama secara spesifik yaitu kitab Ikhtilaf al-Din wa Atsaruhu Fi Ahkam

al-Munakahat wa Al-Muamalat karya Dr. Ismail Luthfi Fathani dan

Kitab al-Ta‟yin Fi Syarh al-Arbain karya Najmuddin al-Thufi.

b. Melengkapi bahan-bahan sekunder diatas dengan bahan-bahan

pendukung dari karya ulama lain dan para pakar fikih yang menulis dan

Page 26: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

16

menganalisis permasalahan waris beda agama baik dari fikih klasik

maupun kontemporer.

c. Mengumpulkan data dari beberapa kitab tersebut dan ditempatkan pada

sub-sub bahasan penelitian skripsi ini.

5. Teknik Pengolahan Data dan Analisi Data

Data yang penulis peroleh lewat beberapa sumber sebagaimana

disebutkan diatas, diolah secara kritis dan mendalam untuk dapat mengetahui

bagaimana kekuatan hukum waris beda agama yang telah dicetuskan ulama‟

terdahulu dengan menggunakan perspektif keindonesiaan.

Dalam menganalisis dan mengelola data yang diperoleh, penulis

menggunakan teknik analisis deskriptif sebagaimana yang sering dilakukan

dalam penelitian kualitatif. Setelah semua data yang diperlukan terkumpul,

maka selanjutnya data tersebut diolah dan disajikan dengan menggunakan

teknik analisis deskriptif, dengan melalui tahapan-tahapan tertentu, yakni

identifikasi, klasifikasi, dan selanjutnya diinterpretasikan melalui penjelasan-

penjelasan deskriptif. Data yang diperoleh lewat sumber primer dan sekunder

seperti disebutkan di atas, dianalisis secara seksama, kritis, dan mendalam,

dengan cara: Pertama, menyebutkan pendapat-pendapat ulama tentang waris

beda agama secara rinci. Kedua: menyebutkan dalil-dalil dan penunjukkannya

(wajhu al-dilalah) tiap-tiap pendapat secara tersendiri. Ketiga: mendiskusikan

dalil-dalil secara tertib berdasarkan perspektif keindonesiaan. Keempat:

mengambil mana pendapat yang paling kuat (tarjih) antara tiap-tiap pendapat,

kemudian ditarik kesimpulan.

G. Pedoman Penulisan

Pedoman penulisan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah

berdasarkan buku pedoman penulisan skrisi yang diterbitkan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.

Page 27: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

17

H. Sistematika Penulisan

Untuk lebih mempermudah dalam memahami penelitian ini, maka

pembahasannya harus dilakukan secara terstruktur dan sistematis. Penyusun

membagi pokok pembahasan ini kedalam lima bab. Adapun sistematikan

pembahasan ini adalah sebagai berikut:

Bab I berisi tentang pendahuluan, terdiri dari: latar belakang masalah

yang menguraikan alasan dasar penelitian ini dilakukan; batasan dan rumusan

masalah yang memberi batasan-batasan permasalahan dan lingkup kajian yang

diteliti, diwujudkan dalam beberapa bentuk pertanyaan penelitian; tujuan dan

kegunaan penelitian yang menjelaskan sasaran akhir dan kontribusi penelitian;

kajian pustaka untuk menelaah beberapa karya tulisan yang senada dengan

penelitian dan menelaahnya untuk mencari celah-celah topik yang belum

diungkap dalam penelitian terdahulu; kerangka teori yang digunakan sebagai

wadah dan pijakan berpikir dalam menganalisis persoalan yang ada dalam

lingkup penelitian ini; metode penelitian yang menguraikan saranasarana dan

strategi bagaimana langkah-langkah pengumpulan data, pengolahan data, dan

menganalisisnya menjadi satu kesatuan kerangka pikir yang dapat dipahami

secara runtut, logis, dan rasional; dan sistematika penulisan yang menjelaskan

secara runtut urutan-urutan yang akan dianalisis sehingga persoalan tersebut

dapat dibahas secara berurutan.

Bab II menggambarkan tinjauan umum tentang hukum kewarisan beda

agama. Bab ini akan menjelaskan secara umum tentang pengertian waris, hal-hal

yang menghalangi kewarisan, dasar hukum waris beda agama, kewarisan beda

agama menurut hukum Islam, kajian teoritis seputar dalil-dalil waris beda agama

dan kewarisan beda agama menurut hukum kewarisan di Indonesia.

Bab III tentang biografi Najmuddin Al-Thufi mulai dari asal usul

keluarganya, pendidikannya, karya-karyanya dan pemikirannya tentang al-

Page 28: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

18

Maslahah. Bab ini bertujuan untuk melihat latar belakang munculnya pemikiran

dan pemahaman sang tokoh tentang maslahah dan cara beliau dalam beristinbath

atau menggali hukum berdsarkan al-maslahah. Tujuannya adalah untuk

memperoleh gambaran yang jelas dan tepat dalam menafsirkan pola pikir sebuah

pemikiran yang dilontarkan tokoh progresif ini.

Dalam bab ini penulis juga akan memaparkan pengetahuan umum tentang

teori tarjih al-Adillah dan rekonstruksi hukum islam yang akan penulis gunakan

untuk menganalisis larangan waris beda agama di Indonesia.

Bab IV berisi tentang hasil penelitian dan analisa penulis tentang

rekonstruksi dan pembaharuan hukum kewarisan beda agama di Indonesia

dengan menggunakan teori al-Maslahah Najmuddin al-Thufi dan tarjih al-

adillah dengan ragam macamnya.

Bab V adalah bab penutup yang memuat kesimpulan dari penelitian serta

analisis yang penulis lakukan. Bagian ini akan melengkapi dan menjadi titik

terang hasil penelitian serta analisis penulis. Kemudia diakhiri dengan saran serta

masukan dari penulis setelah melakukan penelitian.

Page 29: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

1

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS BEDA AGAMA DALAM HUKUM

ISLAM DAN HUKUM WARIS INDONESIA

A. Pengertian Dan Dasar Waris Beda Agama

1. Pengertian Waris Beda Agama

Untuk mendapatkan pengertian yang komprehensif tentang

pengertian waris beda agama , terlebih dahulu harus dijelaskan tentang arti

waris itu sendiri baik dalam arti etimologi dan terminologi. Dalam

pengertian etimologi (bahasa) kata waris berasal dari bahasa arab waratsa,

yaritsu, waritsan ( ورثيرثورثا ) yang memiliki banyak arti. Setidaknya ada

lima (5) arti.

a. Kekal atau tetap. Nama Allah atau sifat dari beberapa sifat Allah yaitu

al-Waarits (Yang Maha Tetap). Seperti ungkapan :

نا هاوإلي نننرثالرضومنعلي ي رجعونإن

) Allah yang mengokohkan tanah dan orang yang hidup diatasnya,

sesungguhnya ia adalah sebaik-baiknya yang kokoh/kekal). Artinya

Allah kekal setelah seluruhnya sirna dan sirna segala sesuatu selain-

Nya, maka dikembalikan segala seseuatu kepadanya.1

b. Intiqal ( تمالإ /memindah atau berpindah ). Berpindahnya sesuatu dari

satu orang ke orang yang lain baik dalam pengertian yang hakikat

seperti makna berpindahnya harta kepada ahli waris atau makna

berpindahnya ilmu, seperti hadits Nabi SAW yang berbunyi :

اءيبنلاةثرومىاءمللعان إ

1 Abi Al-Fadl Jamal al-Din Muhammad ibn Makram Ibn Manzur Al-Ifriqi, Al-Mishri, Lisan al-„Arab

(Beirut: Daar al-Fikr, 1990 M, Juz 3, h., 199)

Page 30: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

2

Sesungguhnya Ulama‟ adalah ahli warits para Nabi

Atau pengertian secara hukum seperti berpindahnya harta terhadap

kandunganlal/haml (Janin).2

c. Al-Amr al-Qadim (الأير انمذيى) artinya urusan yang lalu. Seperti ucapan:

يدقرمألىعرلآخانعلو لاوثاروت

Orang pertama mewarisi suatu urusan yang lama dari orang lain.3

d. Al-mirats (انيراث) artinya المالالموروثعنالميت (harta yang diwariskan

dari mayit).4

e. Al-baqiyyah (انثمية) sebagaimana dalam hadits Nabi Muhammad Saw

yang berbunyi:

مكراعشلىاعون و :كالق,ف ةفرعلىألإيارصنلاعبرمنباثعصلىااللعليووسلمب بالن نأ

مياىرب إثرإنمثرإلىعمكإن,فهىذ

“Sesungguhnya Nabi saw., mengutus Ibn Murabba‟ al-Anshari

kepada penduduk „arafah, maka ia (ibnu murabba‟) berkata: Jadilah

kamu atas mensyi‟arkan ini, maka sesungguhnya kamu meneruskan

dari agama Ibrahim”.5

Sedangkan dalam pengertian terminologi atau istilah, Ulama

Hanafiyyah, mendefinisikan waris sebagai :

ةفللاليبسلىعيلغالإيلغاالمالقتنإ

2 Maryam Ahmad Al-Daghastani, Al-Mawarits Fi Al-Syariah al-Islamiyyah, „Ala Mazahib al-Arba‟ah

Wa Al-„Aml Alaihi Fi Al-Mahakam al-Misriyyah (Cairo: Jaami‟ah al-Azhar, 2001 ), h., 4 3 Az-Zabîdi al-Hanafi, Tâj al-„urûs min Jauhar al-Qamûs,Juz, I, h.599. 4 6 Bathras Bustânî, Muhîth al-Muhîth Qamûs muthawwal al-Lughat al-Arabiyah, (t.t: t.tp,t.th), I, h.16.

5 Abi „Isâ Muhammad bin „Isâ Ibn Saurah al-Tirmidzi, al-Jâmi‟ al-Shahîh Sunan alTirmidzi, cet. II,

(Mesir: Mushthafâ Bab al-Halabî, 1388 H), III, h.21.

Page 31: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

3

Berpindahnya harta seseorang terhadap orang lain dengan cara

pergantian (khliafah).6

Sementara ahli yurisprudensi islam (fuqaha) lebih banyak

mendefinisikan waris sebagai:

ثارولالعرشردقمبيصن

Bagian yang telah ditentukan syara‟ (agama) bagi ahli waris.7

Menurut Ali al-Shabuni waris ialah berpindahnya hak kepemilikan

dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang

ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah atau apa saja yang berupa hak

milik legal secara syar‟i. Salah seorang tokoh fikih Indonesia, Hasbi al-

Shiddieqy, menjelaskan bahwa waris adalah hukum yang mengatur siapa-

siapa yang mewarisi dan yang tidak mewarisi bagian penerimaan setiap ahli

warits dan tata cara pembagiannya.8

Definisi yang agak berbeda tentang waris disampaikan oleh Door M.J.

Koenen & J. Edeples dalam Verklarend Handwoordenboek Der Nederland Se

Taal. Menurutnya waris adalah apa-apa yang diterima oleh seseorang dari

orang yang meninggal. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh A.

Winkler Prins dalam Geillustreerde Encyclopaedi yang berpendapat bahwa

waris adalah seluruh harta peninggalan dari orang yang meninggal dal selama

6 Maryam Ahmad Al-Daghastani, Al-Mawarits Fi Al-Syariah al-Islamiyyah, „Ala Mazahib al-Arba‟ah

Wa Al-„Aml Alaihi Fi Al-Mahakam al-Misriyyah (Cairo: Jaami‟ah al-Azhar, 2001 ), h., 4 7 Maryam Ahmad Al-Daghastani, Al-Mawarits Fi Al-Syariah al-Islamiyyah, „Ala Mazahib al-Arba‟ah

Wa Al-„Aml Alaihi Fi Al-Mahakam al-Misriyyah (Cairo: Jaami‟ah al-Azhar, 2001 ), h., 5 8 Muhammad Hasbi al-Shiddieqy, Fikih Mawaris, (Yogyakarta: t.p, t.th), h.8.

Page 32: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

4

ini sesuai dengan hukum waris, karena pewarisan dapat pindah kepada ahli

waris.9

Definisi waris yang menurut penulis paling jelas dan lengkap

disampaikan oleh Al-qadi Al-mustasyar Al-syaikh Husain Yusuf Ghazal

dalam kitabnya berjudul “ Al-mirats „ala Mazahib Al-arba‟ah, Dirasatah

Watatbiiqan”. Menurutnya, waris adalah

ادرواأبي صعت واأضرف لكذانكاءواسعرشةرد لمقايثاروالبيصنلةلملكااةفرعلمالىعدم تعي ملع

اواببسلاوثرلافةباجلواطورالش وتال اتبصلعابيترت وعانولم ثرلاق حتسينمثرايهبجو

مهثيروت ةيفيكوامحرلىاوذبيترات ذكوبجالق حتسينمبجيو

ilmu yang dijadikan pegangan untuk mengetahui secara sempurna

bagian-bagian ahli waris yang telah ditentukan oleh syara‟ baik berupa

bagian pasti, ashabah, rad dan juga syarat-syarat wajib, faktor-faktor

dan beberapa penghalang dalam kewarisan, urutan asahab (memberikan

hak kepada seseorang yang berhak untuk mewarisi atau menerima warits

dan menghijab (menghalangi) yang sudah seharusnya terhijab), urutan

dzawil arham dan metode mewarisi mereka.10

Dalam literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk

menamakan hukum kewarisan Islam seperti: faraid, fikih mawaris, dan

hukum al-mawaris.

Dalam kompilasi hukum Islam dijelaskan pula mengenai pengertian

hukum kewarisan, yaitu hukum yang mengatur tentang pemindahan hak

9 Amir Martosedono, Hukum Waris, (Jakarta Barat: Effhar & Dahara Prize, Tanpa Tahun), h., 9 10

al-Qadi Al-mustasyar Al-syaikh Husain Yusuf Ghazal, Al-mirats „ala Mazahib Al-arba‟ah,

Dirasatah Watatbiiqan, (Mesir: Daar al-Fik, 2008,H., 9

Page 33: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

5

pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, dan menentukan siapa saja yang

berhak menjadi ahli waris dan masing-masing bagiannya.11

Perbedaan Agama dalam istilah arabnya disebut إختلاف انذي adalah

tidak ada persamaan ( أ يكى كلاها إختلافا ) dalam sebuah keyakinan dalam

agama. Kata ikhtilaf jika kita telusuri dalam al-Qur‟an setidaknya dapat kita

temukan dalam surat Al-Rum ayat 22 yang berbunyi:

لكلآيتومنآيتوأنخلقل نكمم ود ةورحةإن فذ نأنفسكمأزواجالتسكنواإلي هاوجعلب ي لقومكمم

ي ت فك رون

Sedangkan yang dimaksud dengan waris beda agama adalah

ketidaksamaannya agama atau keyakinan dan/atau kepercayaan al-

muwarris (yaitu orang yang meninggal dunia atau mati, baik mati hakiki

maupun mati hukmi yaitu suatu kematian yang dinyatakan oleh keputusan

hakim atas dasar beberapa sebab, kendati sebenarnya ia belum mati, yang

meninggalkan harta atau hak) dengan agama al-waris (yaitu orang hidup

atau anak dalam kandungan yang mempunyai hak mewarisi, meskipun

dalam kasus tertentu akan terhalang) atau sebaliknya baik disebabkan

hubungan suami isteri atau hubungan kekerabatan.

Makna agama sendiri bisa berbeda karena mempunyai beberapa faktor

diantaranya seperti pendapat Mukti Ali yang dikutip oleh Adon Nasrullah

Jamaluddin dalam bukunya Agama dan Konflik Sosial. Faktor tersebut

adalah pertama, pengalaman dalam beragama sangat subjektif dan

individualis, maka dari itu kadang setiap orang mempunyai definisi agama

yang berbeda-beda. Kedua dalam pembahasan Agama selalu melibatkan

11 Inpres, No 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Page 34: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

6

emosi yang kuat setiap individu. Ketiga konsepsi seseorang untuk

mendefinisikan agama dipengaruhi oleh tujuan dan metode pendekatannya.12

Salah seorang ilmuan Indonesia, Harun Nasution, memiliki

konsepsinya sendiri atas agama. Menurutnya, agama terdiri dari sejumlah

definisi-definisi diantaranya: pertama Agama adalah pengakuan terhadap

adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus

dipatuhi. Kedua Agama adalah pengikatan diri pada suatu bentuk hidup yang

mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berbeda di luar diri manusia

dan yang mempengaruhi manusia. Ketiga, Agama merupakan kepercayaan

pada sesuatu yang gaib yang menimbulkan cara hidup

tertentu. Keempat, Agama ialah pengakuan adanya kewajiban-kewajiban yang

diyakini bersumber pada kekuatan gaib. Kelima, Agama adalah pemujaan

terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut

terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.13

Hal ini berbeda dalam definisi agama atau “al-diin” dalam bahasa

Arab. menurut Hamka, dalam mendefiniskan agama secara bahasa dan

makna Agama, tentu kita bisa merujuk pada arti aslinya yaitu menyembah,

menundukkan diri, atau memuja. Namun, pemahaman atas agama itu sendiri

tidak terbatas demikian. Agama itu sendiri, berasal dari bahasa Sansekerta

yang artinya A: tidak, gama: kacau. Artinya, agama sebagaimana aslinya,

adalah sebuah panduan hidup agar kehidupan ini teratur dan/atau tidak kacau.

2. Dasar Hukum Waris Beda Agama

Landasan teologis waris beda agama pada dasarnya sepenajang

pengetahuan penulis tidak terdapat dalam al-Qur‟an. Tidak ada satupun ayat

12

Nasrullah, Adon, Agama dan Konflik Sosial, cetakan pertama ( Bandung: Pustaka Setia, 2015), h.,

65 13 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Salemba: UI Press, 1985), Jilid 1, h.,

Page 35: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

7

yang menegaskan boleh atau tidak waris beda agama. Selama ini ayat al-

Qur‟an yang biasa dijadikan dalil waris beda agama adalah ayat-ayat al-

Qur‟an yang maknanya umum. Seperti ayat tentang larangan orang muslim

memberikan jalan (sabil) dan mengangkat wali orang non muslim.

للكافرين كان وإن معكم نكن أل قالوا الل من ف تح لكم كان فإن بكم ألالذين ي ت رب صون قالوا نصيب

القيا ي وم ب ي نكم يكم فالل المؤمني من ونن عكم عليكم علىنستحوذ للكافرين الل يعل ولن مة

المؤمنيسبيل

(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan

terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu

kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah kami (turut

berperang) beserta kamu?" Dan jika orang-orang kafir mendapat

keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah kami turut

memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka

Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat. Dan Allah

sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk

memusnahkan orang-orang yang beriman.14

ممنكمفإن و يأي هاال ذينآمنوالت ت خذواالي هودوالن صارىأولياءب عضهمأولياءب عضومني ت ول

همإن الل لي هديالقومالظ المي من

(Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil orang-orang

Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin) menjadi ikutanmu dan kamu

cintai. (Sebagian mereka menjadi pemimpin bagi sebagian lainnya)

karena kesatuan mereka dalam kekafiran. (Siapa di antara kamu

mengambil mereka sebagai pemimpin, maka dia termasuk di antara

14 Q.S al-Nisa [4]: 141

Page 36: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

8

mereka) artinya termasuk golongan mereka. (Sesungguhnya Allah tidak

menunjuki orang-orang yang aniaya) karena mengambil orang-orang

kafir sebagai pemimpin mereka. (Al Maidah 5:51).15

Secara garis besar dua ayat tersebut diatas sering kali dijadikan dalil

larangan waris beda agama oleh kelompok tertentu termasuk MUI dalam ayat

fatwanya Nomor: 5/MUNAS VII/MUI/9/2005 Tentang KEWARISAN BEDA

AGAMA. Terlepas dari itu semua, waris adalah bagian dari syariat islam yang

mempunyai landasan teologis dalam al-Qur‟an.

Landasan teologis waris beda agama secara eksplisit dan jelas

disebutkan dalam sumber kedua hukum islam yaitu hadits. Namun, meskipun

begitu kandungangan maknanya hanya besifat dzanni tidak bersifat Qath‟iy.

Diantara hadits-hadits yang berbicara tentang waris beda agama

adalah:

1. Hadits Riwayat Imam al-Bukhari (194-256 H), Imam Muslim (204-

261 H) dan Ibnu Majah (207-275 M)

بنةامأسنعانروبنثمعنعيسبنحيلعنعابهشنبانعجيرجنبانعماصعوب اأنث د ح

سلم .)رواهمسلمعنهماأنالنبصلى الله عليه وسلمقال :الليضرديزسلمالكافرولالكافرالم

(ليرثالم

Abu Ashim telah menceritakan kepadaku dari Ibnu Juraij dari Ibn

Syihab dari Ali ibn Husain dari Amr ibn Utsman dari Usamah ibn

Zaid ra. bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad Saw bersabda:

15 Q.S al-Maidah [5]: 51

Page 37: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

9

Seorang muslim tidak dapat mewarisi orang kafir begitupun orang

kafir tidak dapat mewarisi orang muslim (H.R Bukhari).16

Hadits yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim (204-261 H) dan

Ibnu Majah (207-275 M) dalam kitab hadits mereka masing-masing dengan

jalur sanad yang berbeda.

يي قال ( ليحي( )واللفظ إب راىيم بن وإسحق بة شي أب بن وأب وبكر يي بن يي ث نا :حد

عنعمروبنع عنعليبنحسي ث ناإبنعيينة(عنالز ىري انثمأخب رن .وقالاللآخران :حد

سلمسلمالكافرولالكافرالم

( .)رواهمسلمعنأسامةبنزيدأنالن بصلى الله عليه وسلمقال :ليرثالم

Yahya bin Yahya, Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Ishaq bin Ibrahim

telah menceritakan kepada kami (Imam Muslim) telah menceritakan

kepada kami Ibnu Uyainah dari Zuhri dari Ali bin Husain dari „Amr

bin Utsman dari Usamah bin Zaid bahwa sesungguhnya Nabi

Muhammad Saw telah bersabda : seorang muslim tidak dapat menjadi

ahli waris orang kafir, begitu juga orang kafir tidak dapat menjadi

ahli waris orang muslim (H.R Muslim).17

عنالزىريعنعليبن سفيانبنعيينة ثنا قال : الصباح . بنعمارومحمدب ىشام حدثنا

سلمالكافرولالسيعنعمروبنعثمانعنأسامةبنزيدرفعوإلالنبصلى الله عليه وسلمقال :ليرثالم

سلم .)رواهمسلم(الكافرالم

Hisyam ibn Ammar dan Muhammad ibn Al-Sabbah telah

menceritakan kepadaku. Mereka berdua berkata: Sufyan ibn Uyainah

telah menceritakan kepadaku dari Al-Zuhri dari Ali ibn al-Husain dari

16 Imam Abi Abdillah Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari (Damaskus-Beirut: Daar

Ibn Katsir, 2002), h., 1675 17 Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim (Beirut: Daar al-Fikr), juz 2, h., 56, no. Hadits 1614

Page 38: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

10

Amr ibn Utsma dari Usamah ibn Zaid yang disampaikan kepada Nabi

bahwa Nabi bersabda: Seorang muslim tidak dapat mewarisi seorang

kafr sebagaimana seorang kafir tidak dapat mewarisi seorang muslim.

(H.R Ibnu Majah).18

2. Hdits Riwayat Abu Dawud (W 285 H)

حدثناموسىبنإساعيل :حدثناحادعنحبيبالمعلمعنعمروبنشعيبعنابيوعن

تشيت ل ملىأثاروت ي جدهعنعبداللبنعمروقال :قالرسولاللصلى الله عليه وسلم :ل

Artinya:

Telah menceritakan kepada kami Musa ibn Ismail. Telah

menceritakan kepada kami Hammad dari Habib al-Mu;allim dari

Amr ibn Syuaib dari ayahnya dari kakeknya dari Abdullah ibn

Amr, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Tidak daling mewarisi

dua pemeluk agam yang berbeda-beda (H.R Abu Dawurd).19

B. Waris Beda Agama Dalam Hukum Islam dan Hukum Indonesia

1. Waris Beda Agama Dalam Hukum Islam

Dimuka telah dijelaskan pengertian tentang waris beda agama.

Selanjutnya dalam bagian ini, kita akan melihat pandangan islam –

tepatnya pandangan para Fuqaha (Ahli Yurisprudensi Hukum Islam)

mengenai waris beda agama. Berpacu pada beberapa hadits yang telah

disampaikan diatas, Mayoritas para ulama bependapat bahwa perbedaan

agama merupakan bagian dari penghalang waris secara mutlak. Kelompok

18 Al-Hafiz Abi Abdillah Muhammad ibn Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah (Daar Ihya‟ Al-Kutub

Al-Arabiyyah),juz 2, h., 911 19

Abu Dawud, Sulaiman ibn Asy‟asy, Al-Sijistani, Sunan Abi Dawud (Daar al-Kutub Al-Ilmiyah:

Beirut: 2010),h., 467

Page 39: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

11

ini dimotori oleh Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i. Mereka berpendapat

bahwa perbedaan agama dapat menghalangi kewarisan meskipun terdapat

beberapa sebab kewarisan seperti hubungan suami-isteri, kerabat dan wala

(kepemilikan budak), Sedangkan, menurut Imam Ahmad ibn Hanbal

(Pendiri Mazhab Hanbali) perbedaan agama tidak menjadi penghalang

kewarisan bilamana sebab kewarisannya adalah wala‟.20

Dari dua

pandangan ini dalam permasalahan yang sangat mendasar saja yaitu

apakah perbedaan agama dapat mnejadi penghalang kewarisan, para

ulama sudah berbeda pandangan ditambah belum lagi mengenai

permasalahan apakah seorang muslim berhak menjadi ahli waris non

muslim atau sebaliknya. Pandangan ini sekaligus juga meng counter

beberapa kesimpulan yang mengatakan para Ulama‟ telah sepakat seorang

kafir (non muslim) terhalang menjadi ahli waris dari muslim secara

mutlak.

Perbedaan juga terjadi dalam masalah waktu terhalangnya orang

beda agama menjadi ahli waris. Mayoritas ulama sepakat jika seorang

muslim meninggal dunia, terdapat ahli warisnya anak laki-laki yang masih

kafir, kemudian seminggu setelah itu masuk Islam, meski harta warisan

belum dibagi, anak tersebut tidak berhak mewarisi harta peninggalan

ayahnya, dan bukan pada saat pembagian warisan yang dijadikan

pedoman. Imam Ahmad bin Hanbâl dalam salah satu pendapatnya

mengatakan bahwa apabila seorang ahli waris masuk Islam sebelum

pembagian harta warisan dilakukan, maka ia tidak terhalang untuk

20 Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Ahkam al-Mawarits Fi-Sayariah Al-Islamiyyah, ‘Ala Mazahib Al-Arba’ah, (Mesir: Maktabah Ja’far: 1943 M), H., 45

Page 40: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

12

mewarisi. Alasannya, karena status berlainan agama sudah hilang sebelum

harta warisan dibagi.21

Mayoritas para ulama‟ terkecuali Imam Ahmad ibn Hanbal seperti

disebutkan diatas secara mutlak berpendapat bahwa seorang muslim atau

seorang kafir tidak berhak menjadi ahli waris dari muwaris yang berbeda

agama dengannya. Hal ini didasarkan pada hadits-hadits nabi diantaranya:

عنأسامةبنحدثناأبوعاصمعنابنجريجعنابنشهابعنعليبنحسيعنعمروبنثا

سلمالكافرولسلم .)رواهزيدأنالن بصلى الله عليه وسلمقال :ليرثالم

البخاري(الكافرالم

...... Nabi bersabda: Seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir dan

orang kafir tidak mewarisi orang muslim.

Hadits ini adalah dalil terkuat yang digunakan mayoritas ulama untuk

melarang waris beda agama secara mutlak.

Beberapa ulama berpendapat seorang muslim berhak dan boleh

menjadi ahli waris dari muwarits yang non muslim dan tidak sebaliknya.

Yang termasuk kelompok ini adalah Muadz bin Jabal, Muawiyah bin Abu

Shufyan, Abdullah bin Mughaffal, Said bin Musayyab, Muhammad bin

Hanafiyyah, Masruq bin Ajda‟, Yahya bin Ya‟mar dan Ishaq bin

Rahawaih,22

Imam Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim al-Jauzi, 23

Yusuf Al-

Qaradhawi, 24

dan Ismail Luthfi Fathani.25

21 Syekh Manshur bin Yusuf al-Bahuti, Raudh al-Murabba‟ Syarah Zad al-Mustaqni‟ wa Ikhtishar al-

Muqni‟, (Makkah Mukarramah: Maktab al-Tijarah, t.th), h.323. 22 Isamil Luthfi Fathani, Ikhtilaf al-Din wa –Atsaruhu fi Ahkam al-Munakahat wa-al-Mu‟amalat

(Mesir: Daar al-Salam), Juz 2, h., 203 23 Ibn Qayyim Al-Jauzy, Ahkaam Ahl Al-Dzimmah, (Mesir: Ramadi li-Al-Nasyr: 1997), cet. H., 856 24

Yusuf Al-Qaradlawi, Min Hady Al-Islam Fatawa Mu;asharah, (Beirut: Al-Maktab Al-Islami, 2003),

juz, 3, H., 692

Page 41: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

13

Saat sahabat Muadz ibn Jabal berada di Yaman ia telah

memutuskan bahwa saudara muslim dapat mewarisi keluarganya yang

Yahudi. Lebih jelas ditegaskan dalam beberapa kitab sebagai berikut:

ماتوت ركأخاعنأبالسودالد يليقال :كانمعاذبليمنفارت فعواإليوفي مسلماف قالهودي

ق عتلرسولاللصلى الله عليه وسلمي قول :إن السلميزيدوي ن س صوقالرسولاللصلى الله عليه وسلمفحديثمعاذ :إن

آخر :نننرثالكافرينونجب هموليرث ون ناوليجب ون نا

Dari al-Aswad al-Diliy ia berkata: saat Muadz berada diyaman (atas

perintah Rasul mejadi hakim) para penduduk Yaman melaporkan

suatu peristiwa kematian seorang Yahudi yang meninggalkan seorang

saudara laki-laki muslim. Muadz bin Jabal berkata: Sunggguh saya

telah mendengar Rasulullah Saw bersabda: sesungguhnya islam itu

bertambah dan tidak berkurang. Dalam hadits yang lain nabi

bersabda: kami dapat menjadi ahli waris orang-orang kafir,

menghijab mereka, mereka tidak bisa menjadi ahli waris kami dan

juga tidak dapat menghijab kami.26

Untuk menguatkan pendapat ini, Imam Ibnu Taimiyyah

sebagaimana dikutip oleh muridnya, Ibnu Qayim mengatakan bahwa

sesuatu yang telah pasti dan tetap berdasarkan sunnah muatwatir

Rasulullah Saw memberlakukan orang-orang Zindiq munafik seperti

orang-orang muslim dalam ketentuan-ketentuan yang tampak. mereka

menjadi ahli waris dan muwarits. Hal yang sama ditegaskan oleh Yusuf

Al-Qaradhawi saat ditanya oleh seorang non muslim tentang waris beda

agama. Menurutnya, pendapat yang rajih (unggul) adalah pendapat yang

25 Isamil Luthfi Fathani, Ikhtilaf al-Din wa –Atsaruhu fi Ahkam al-Munakahat wa-al-Mu‟amalat

(Mesir: Daar al-Salam), Juz 2, h., 306 26

Isamil Luthfi Fathani, Ikhtilaf al-Din wa –Atsaruhu fi Ahkam al-Munakahat wa-al-Mu‟amalat

(Mesir: Daar al-Salam), Juz 2, h., 306

Page 42: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

14

membolehkan seorang muslim menjadi ahli waris dari seorang muwarits

non muslim. Dalil hadits yang digunakan oleh Yusuf al-Qaradhawi adalah

hadits Nabi Muhamamd Saw yang berbunyi:

السلميعلواوليعلى

Islam adalah agama yang tinggi dan tidak ada yang menandingi

ketinggiannya.27

Dari semua paparan diatas, terlihat secara jelas bahwa persoalan

waris beda agama yang selama ini bagi sebagian orang dianggap telah

final dan bahkan diadopsi didalam sistem hukum nasional Indonesia

masih menyisahkan perbedaan dikalangan ulama dan para ahli hukum

islam sendiri. Ulama yang terlibat dalam silang pendapat tentang masalah

ini mencakup semua generasi ulama diantaranya yaitu klasik, modern,

dan neo modern dan kontemporer.

2. Waris Beda Agama Dalam Hukum Waris Indonesia

Terdapat tiga sistem kewarisan yang sampai saat ini masih berlaku

di Indonesia, yaitu hukum waris berdasarkan hukum Islam, hukum waris

berdasarkan hukum waris adat dan ketiga menggunakan hukum waris

berdasarkan hukum waris perdata atau Burgerlijk Wetboek (selanjutnya

disebut BW). Hukum waris di Indonesia bagi seorang yang beragama

islam menggunakan hukum berdasarkan agama yang dianut oleh pewaris,

sedangkan bagi yang non islam menggunakan BW, sementara itu bagi

masyarakat adat dapat menggunakan hukum waris adat. Terlepas dari itu

27 Abu Hasan Ali ibn Umar ibn Ahmad Mahdi ibn Mas‟ud ibn Nu‟man ibn Dinar al-Baghdadi, al-

Daruquthni, Sunan al-Daruquthni, (Beirut, Libnan: Muassasah al-Risalah, 1424 H) Juz 4, No. Hadits

3620, h. 371

Page 43: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

15

masalah waris jika diselesaikan diluar pengadilan dapat memilih dari

ketiga sistem waris tersebut diatas.

Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan

salah satu syarat sebagai ahli waris beragama adalah Islam,sementara

untuk memberikan kepastian hukum ahli waris yang berbeda agama dapat

diberikan melalui wasiat wajibah. Hal ini terdapat dalam yurisprudensi

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 368 K/AG/1995 tanggal

16 Juli 1998 dan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 51

K/AG/1995 tanggal 29 September 1999.

Tetapi menurut hukum waris BW dan hukum waris adat,

perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk memperoleh bagian

waris. Pada sistem hukum waris BW dapat dilihat pada pasal 838 BW

tentang yang tidak patut menjadi ahli waris (onwardeg), didalamnya tidak

menyebutkan ahli waris beda agama tidak patut menjadi ahli waris, dan

untuk hukum waris adat melihat sistem keturunan yaitu sistem patrilineal,

sistem matrilineal, dan sistem bilateral dengan menarik garis keturunan

pihak nenek moyang, di dalamnya tidak mempermasalahkan tentang ahli

waris beda agama.

Berikut ini akan dijelaskan secara terperinci tentang sistem

kewarisan beda agama yang berlaku di Indonesia.

1. Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Intruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi

Hukum Islam (KHI) telah mengatur tentang keharusan kesamaan agama

(Ittuhad al-Din) antara ahli waris dan pewaris. Pada Bab II Bagian I pasal

171 huruf b dan c disebutkan tentang pewaris dan ahli waris.

Page 44: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

16

Huruf b menyebutkan “Pewaris adalah orang yang pada saat

meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan

Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta

peninggalan”. Sedangkan huruf C menyebutkan “Ahli waris adalah

orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau

hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak

terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”.

Dari ketentuan pasal 171 pada huruf b dan c diatas dapat dipahami

bahwa kesamaan agama (islam) adalah salah satu syarat mutlak sebuah

kewarisan. Sehingga dengan begitu perbedaan agama adalah faktor

penghalang sebuah kewarisan dalam sistem hukum nasional Indonesia

bagi yang beragama islam selain sistem hukum waris adat dan BW.

Dalam praktek penerapan hukum di lingkungan Peradilan Agama,

seorang ahli waris non muslim dapat memperoleh bagian dari harta

peninggalan pewaris muslim melalui wasiat wajibah sejak putusan kasasi

dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 368

K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor: 51 K/AG/1995 tanggal 29 September 1999. Putusan

kasasi tersebut menggunakan sebuah hilah atau alternatif untuk

menegakan keadilan dan kepuasan kepada para pihak seolah meskipun

islam melarang waris beda agama akan tetapi tetap memperhatikan

prinsip-prinsip keadilan bagi para pihak. Putusan kasasi MA tersebut

sekaligus adalah perluasan dari pasal 171 KHI yang melarang waris beda

agama secara mutlak.

2. Hukum Waris Adat

Disamping hukum waris islam sebagaimana diatur dalam Inpres

Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berlaku

Page 45: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

17

di Inonesia, terdapat hukum waris lain yang juga berlaku di Indonesia, yaitu

hukum waris adat.

Hukum adat menurut hasil seminar hukum adat dan pembinaan hukum

nasional di Yogyakarta pada tanggal 15-17 Januari 1975 adalah hukum

Indonesia yang asli yang tidak tertulis dalam bentuk peraturan perundang-

undangan Republik Indonesia yang disana-sini mengandung unsur agama.28

Hukum waris adat yang berlaku di Indonesia seperti waris adat

mandailing, waris adat minangkabau dan waris adat melayu. Kesemua jenis

waris adat tersebut memiliki tipologinya masing-masing yang berbeda satu

sama lain. Akan tetapi yang terpenting adalah waris adat adalah suatu sistem

hukum yang berlaku dan diakui keberadaannya di Indonesia yang dipraktekan

dibeberapa masyarakat adat.

Dalam hukum waris adat Mandailing dijelaskan hukum waris adat

meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan

proses penerusan atau pengoperan dan peralihan atau perpindahan harta

kekayaan materill dan non-materill dari generasi ke generasi. Asas utama

dalam sistem waris adat masyarakat mandailing adalah asas patrilineal. Dalam

asas ini yang berhak mewarisi adalah anak laki-laki, apabila salah satu

meninggal dengan tidak meninggalkan anak laki-laki maka warisan itu jatuh

kepada kakek (ayah dari yang meninggal), apabila kakek tidak ada maka yang

berhak mewarisi adalah saudara laki-laki yang meninggal. Tetapi anak

perempuan juga dapat menerima warisan dari orang tuanya namun hal itu

kecil kemungkinannya dan jika perempuan menerima harta warisan dari orang

tuanya bagiannya tidak lebih besar dari pada bagian yang diterima oleh anak

laki-laki.

28

Maman Suparman, Hukum Waris Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2015), h. 7.

Page 46: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

18

Hukum adat Minangkabau mempunyai asas-asas tertentu dalam

kewarisan. Asas-asas itu banyak bersandar kepada sistem kekerabatan dan

kehartabendaan, karena hukum kewariasan suatu masyarakat ditentukan oleh

struktur kemasyarakatan. Sistem kewarisan berdasarkan kepada pengertian

keluarga karena kewarisan itu adalah peralihan sesuatu, baik berwujud benda

atau bukan benda dari suatu generasi dalam keluarga kepada generasi

berikutnya.

3. Hukum Waris Burgerlijk Webook (BW)

Selain hukum islam dan hukum adat, hukum waris yang masih berlaku

di Indonesia adalah Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk

Wetboek (BW). Hukum waris BW digunakan oleh warga negara Indonesia

yang tidak menggunakan hukum waris adat dan hukum waris islam.

Menurut Staatblad 1925 Nomor. 415 jo 447 yang telah diubah

ditambah dan sebagainya terakhir dengan S.1929 No. 221 Pasal 131 jo. Pasal

163, hukum kewarisan yang diatur dalam KUHPerdata tersebut diberlakukan

bagi orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang-orang

Eropa tersebut. Dengan Staatsblad 1917 Nomor 415 jo. 129 jo. Staatsblad

1924 No. 557 hukum kewarisan dalam KUHPerdata diberlakukan bagi orang-

orang Timur Asing Tionghoa. Dan berdasarkan Staatsblad 1917 No. 12

tentang pendudukan diri terhadap hukum Eropa, maka bagi orang-orang

Indonesia dimungkinkan pula menggunakan hukum kewarisan yang tertuang

dalam KUHPerdata. Dengan demikian maka KUHPerdata diberlakukan

kepada:

a. Orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang-orang

misalnya Inggris, Jerman, Perancis, Amerika dan termasuk orang-orang

Jepang.

b. Orang-orang Timur Asing Tionghoa.

Page 47: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

19

c. Orang-orang timur Asing lainnya, orang-orang pribumi menundukkan

diri.29

29

Mohd. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat, (Jakarta:

Sinar Grafika, 1993), h.30.

Page 48: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

1

BAB III

BIOGRAFI, KARYA DAN METODOLOGI PEMIKIRAN NAJM AL-DIN AL-

THUFI TENTANG MASLAHAH

Pemikiran seorang tokoh termasuk dalam hal ini adalah Najm al-Din al-Thufi

tidak lahir dari ruang kosong. Tetapi ia dilahirkan dari latar belakang pendidikan yang

membentuk intelektualnya, dinamika sosial, politik dan budaya yang mengitarinya.

Oleh karenanya membaca pemikiran seseorang tidak bisa dipisahkan dari latar

belakangnya, semua itu guna mendapatkan kesimpulan yang tepat, komprehensif dan

benar sebagai acuan dalam membedah kasus selanjutnya yang terjadi dimasa

mendatang. Untuk mengetahui latar belakang yang mempengaruhi pemikiran

Najmudin al-Thufi, pada bab III ini penulis akan paparkan tentang biografi,

perjalanan intelektual, karya dan metodologi pemikiran Najm al-Din al-Thufi.

A. Biografi Najmuddin al-Thufi

Najmud al-Din al-Thufi adalah seorang pemikir islam yang dapat

digolongkan berhaluan liberal. Tidak seperti pemikir-pemikir islam lainnya

seperti Imam al-Haramain, al-Ghazali, al-Syatibi dan lainnya yang menundukan

maslahah dibawah hierarki al-Qur‟an, al-Hadits dan Ijma‟, al-Thufi keluar dari

barisan mainstrem dengan menempatkan maslahah diatas segalanya. Seorang

yang ahli dalam hukum islam (fikih) dan metodologi fikih (ushul al-fiqh) ini tak

jarang dilabeli sebagai seorang syiah rafidah bahkan tuduhan itu dilontarkan oleh

Abu Zahrah, seorang ulama modern dengan menyebutnya Syi‟i yang

menampakan dirinya dengan jubah hanbali.1

Najm al-Din al-Thufi adalah seorang pemikir hukum islam bermazhab

hanbali berkebangsaan Baghdad. Ia lahir di daerah Sharshar, Baghdad dengan

1 Muhammad Abu Zahrah, Ahmad bin Hanbal Hayatuh wa „Ashruh Arauh wa Fiqhuh, (T.tp.: Dar al-

Fikr al-Arabi, tt.), h. 363.

Page 49: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

2

nama lengkap Abu al-Rabi‟ Sulaiman bin „Abd al-Qawi bin „Abd al-Karim ibn

Sa‟id.2 Sedangkan nama al-Thufi adalah nisbah kepada desa Thufa di daerah

sharshar. Sementara itu julukan najm al-Din yang berarti bintang agama adalah

gelar yang diberikan para murid dan para pengagumnya. Sebutan masyarakat

terhadapnya, terkadang ia dikenal dengan panggilan Najmuddin al-Bagdadi al-

Thufi, dan juga Ibn Abbas.3

Mengenai tahun kelahirannya, beberapa sejarawan dan ulama berbeda

pendapat. Al-Hafiz ibn Hajar al-„Asqalani menetapkan bahwa ia dilahirkan pada

tahun 657 H. Ibn Rajab dan Ibn al-„Imad menetapkan bahwa al-Thufi dilahirkan

tahun 670 H. Sumber lain menyebutkan bahwa al-Thufi dalam menjalani masa

hidupnya tahun 657-716 H./1259-1316 M. Tentang tahun wafatnya, juga ulama

berbeda pendapat. Mereka (Ibn Rajab, Ibn Hajar, dan Ibn al-„Imad) sepakat

menetapkan bahwa al-Thufi wafat tahun 716 H. Al-Suyuti menetapkan al-Thufi

wafat tahun 711 H. Sedangkan al-Shafadi menetapkan bahwa al-Thufi wafat

tahun 710 H. Sementara Abdul Wahab Khallaf menetapkan bahwa Najmuddin

al-Thufi al-„Alim al-Hanbali wafat pada tahun 716 H.4

Jika mengacu kepada pendapat yang mengatakan bahwa tahun

kelahirannya adalah 657 H/1259 M, itu berarti al-Thufi lahir satu ta hun setelah

terjadi peristiwa besar, yaitu pasukan Mongol menyerbu kota Bagdad yang

dipimpin oleh Hulaghu Khan pada tahun 1258 M.5 Jatuhnya kota Bagdad

ditangan tentara Mongol ini merupakan tragedi yang sangat memilukan dalam

lintas sejarah umat Islam. Karena secara langsung ataupun tidak langsung

2 Musthafa Zaid, Al-Mashlahat fi al-Tasyri‟ al-Islami wa Najm al-Din al-Thufi, (T.tp.: Dar al-Fikr al-

Arabi, tt.), h. 68. 3 Najmuddin al-Thufi, Al-Intisharat al-Islamiyyah fi „Ilm Muqaranah al-Adyan, Pentahqiq, Ahmad

Hujazi al-Saqi, (Mesir: Mathba‟ah Dar al-Bayan, tt.), h. 3 4 Musthafa Zaid, Al-Mashlahat fi al-Tasyri‟ al-Islami wa Najm al-Din al-Thufi, (T.tp.: Dar al-Fikr al-

Arabi, tt.), h. 68. 5 Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam, Alih Bahasa oleh H.M. Mulyadi Djojowartono, dkk., (Jakarta:

Panitia Penerbit, 1966), h. 29

Page 50: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

3

merupakan titik awal kemunduran dan kehancuran umat Islam, baik secara

politik maupun kehidupan sosial dan ilmu pengetahuan. Qamaruddin Khan

mengemukakan bahwa pada waktu itu terjadi pembakaran karya-karya yang

sangat berharga sehingga banyak karya yang tidak bisa diselamatkan. Umat

Islam sangat kehilangan dokumentasi ilmu pengetahuan sebagai warisan

intlektual generasi sebelumnya.6 Tragedi ini berdampak negatif bagi dunia Islam,

karena di satu sisi kondisi politik pemerintahan tidak kondusif, dan di sisi lain

pergulatan pemikiran dan pemahaman hukum Islam mengalami kemandegan dan

kemunduran yang cukup lama, yaitu sejak pertengahan abad IV H. hingga akhir

abad XIII H.7 Kondisi ini memperlihatkan bahwa kebebasan berpikir para ulama

nyaris menjadi hilang, mereka enggan melakukan berijtihad melampaui para

imam mazhabnya, mereka tidak sanggup menggali langsung dari sumber aslinya

(al-Qur‟an dan sunnah), mereka lebih suka bertaklid dan berpegang pada

pendapat para imam mazhabnya, kalaupun ada upaya-upaya untuk berijtihad

tidak lebih hanya sekedar mengkompromikan di antara berbagai pendapat (al-

jam‟ wa al-tauqif), mentakhrij riwayat, dan mengevaluasi causa legis („illat al-

hukm), serta menyelesaikan berbagai permasalahan atas dasar penetapan hukum

yang telah dirumuskan oleh para imam mazhabnya.

Al-Thufi hidup pada kondisi kekuasaan teks (nash) begitu sangat

menghegemoni atau menguasai. Kondisi seperti ini sering juga disebut dengan

hadarah al-Nash (peradaban teks) dimana sumber ilmu pengetahuan islam

termasuk didalamnya hukum islam (islamic law) terpacu dan terbatas pada teks-

teks hukum yang telah dirumuskan oleh pemikir-pemikir terdahulu. Hal ini

menyebabkan kurangnya produktifitas dan mandeg-nya pemikiran islam

termasuk dalam bidang hukum. Salah satu dari dampak terbesarnya adalah

6 Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, Alih Bahasa oleh Anas Mahyudin, (Bandung:

Penerbit Pustaka, 1983), h. 37. 7 Yoseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (London: Oxford at the Clarendom Press, 1971), h.

70-72.

Page 51: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

4

munculnya slogan pintu ijtihad telah tertutup. Kaitannya dengan pemikiran dan

cara berfikir al-Thufi dapat dilihat dari inkonsistensi teorinya tentang maslhaha

yang berdiri sendiri atau berada diatas al-nusush dan al-Ijma‟ manakala ia terjadi

pertentangan. Meskipun al-Thufi telah berusaha bersikap lebih progresif dan

liberal dan keluar dari kungkungan zamannya, namun ia masih tidak dapat

melepaskan dirinya dari kungkungan teks (bayani) sebagai ideologi zamannya.8

Terlepas dari perdebatan tentang sosok al-Thufi diatas, para ulama lain

banyak yang menilai al-Thufi sebagai seorang yang objektif dan rasional dalam

pemikiran hukum islamnya. Ali Jumuah menyebutkan bahwa al-Thufi adalah

salah satu dari beberapa ulama mazhab yang paling cerdas dan pintar dari

mazhab Hanbali. Ia seorang „alim allamah (purna intelektual) yang memiliki

kitab Mukhtashar al-Raudlah al-Ushuliyyah dan Syarh al-Khiraqi. Kepakaran

dan kecerdasannya dalam menganalisis dan memahami hukum sangat baik dan

teliti.9

Jika begitu dalam tingkatan kesarjanaan islam atau tingkatan mujtahid

dalam islam, al-Thufi dapat dikategorikan sebagai mujtahid mazhab yaitu

seorang yang dalam memutuskan hukum terpaku pada metodologi yang telah

dicetuskan atau digariskan oleh imam mazhab akan tetapi terus melakukan

pengembangan dan perifikasi dan pengkajian pada rumusan hukum yang telah

dicetuskan oleh imam mazhabnya. Al-Thufi memiliki metodologi yang sama

dengan Imam Ahmad ibn Hanbal dan ulama-ulama lainnya, hanya saja ia

memiliki konsep yang berbeda manakla ada pertentangan antara maslahah

dengan teks dan konsensus ulama.

B. Perjalanan Intelektual dan Karya Najmuddin al-Thufi

8 Muhammad Roy Purwanto, Dekonstruksi Teori Hukum Islam: Kritik Terhadap Konsep Maslahah

Najmuddin al-Thufi, (Yogyakarta: KAUKABA DIPANTARA:2014), h. 15 9 Ali Jumuah, Al-Madkhal ila Dirasah al-Mazahib al-Fiqhiyyah, (Cairo: Daar al-Salam, 2012), h. 267

Page 52: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

5

Al-Thufi dalam proses pendidikannya, dikenal sebagai seorang murid

yang pintar, memiliki kecerdasan intlektual yang tinggi, dan kuat daya ingatnya.

Dengan memiliki kecerdasan intlektual yang mumpuni, kecintaannya pada ilmu

pengetahuan, ia buktikan dengan belajar berbagai disiplin ilmu kepada para

ulama yang terkenal sebagai pakar di masanya. Di antara disiplin-disiplin ilmu

yang ia pelajari adalah ilmu tafsir, hadis, fikih, mantik, sastra, teologi, dan lain-

lain. Sedangkan berbagai tempat ilmu yang pernah ia datangi adalah Sharshari,

Bagdad, Damaskus, Mesir, dan tempat-tempat lain yang ketika itu dikenal

sebagai tempat domisilinya para ulama intlektual yang masyhur.

pendidikan dasar al-Thufi dimulai dari kota kelahirannya dengan belajar

kepada beberapa orang guru (ulama). Ia mempelajari dan menghafal kitab fikih

Mukhtashar al-Kharaqi (ringkasan buku al-Kharaqi) karya Umar bin alHusein

bin Abdullah bin Ahmad al-Kharaqi, dan kitab al-Luma‟ (Spesifikasi Gramatika

Bahasa Arab) karya Abu al-Fath Usman bin Jani. Kemudian ia juga bulak balik

ke Sharshar untuk melanjutkan belajar ilmu fikih kepada Syaikh Zainuddin „Ali

bin Muhammad al-Sharshari, salah seorang pakar fikih mazhab Hanbali yang

dikenal dengan sebutan al-Bauqi.10

Pada tahun 691 H. ia pindah pergi ke kota

Bagdad untuk belajar dan menghafal kitab fikih al-Muharrar (sebuah buku

pegangan mazhhab Hanbali), dan mendiskusikannya dengan Syaikh Taqiyuddin

al-Zarirati, salah seorang pakar fikih Irak. Di samping itu, ia belajar bahasa arab,

dan ilmu sharaf kepada Abu Abdullah Muhammad ibn al-Husein al-Musili, dan

belajar ilmu ushul fiqh kepada Nashr al-Faruqi, dan ulama yang lainnya.

Kemudian, ia juga belajar ilmu hadis kepada al-Rasyid bin al-Qasim, Isma‟il bin

al-Tabbal, Abdurrahman bin Sulaiman al-Harani, Abu Bakar al-Qalanisi, dan

kepada ulama-ulama hadis yang lainnya.

10

Musthafa Zaid, Al-Mashlahat fi al-Tasyri‟ al-Islami wa Najm al-Din al-Thufi, (T.tp.: Dar al-Fikr al-

Arabi, tt.), h. 70

Page 53: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

6

Selain spesifikasi ilmu-ilmu tersebut di atas, ia juga belajar ilmu cara

berdiskusi (al-jadl) sehingga ia pandai dalam mengemukakan pokok-pokok

pikirannya dengan sistematis, belajar cara berdiskusi mengkritisi teks-teks

alQur‟an, belajar ilmu mantik, dan ilmu faraidh. Al-Thufi juga menyusun sebuah

buku berjudul al-akbar fi Qawa‟id al-Tafsir dan ia mengatakan di dalam

mukaddimah bukunya ditujukan kepada mereka yang mau mengembangkan

pergulatan pemikiran intlektualitasnya untuk mencari kebenaran, bukan kepada

mereka yang terikat oleh pendapat orang lain, atau mencari kebenaran melalui

pendapat orang lain. Pada tahun 704 H. ia pindah pergi mencari ilmu ke

Damaskus, Syiria. Di tempat ini ia banyak berdiskusi secara intens dengan para

pakar dibidangnya masing-masing, terutama dengan pakar ilmu fikih, ilmu hadis,

dan ilmu tafsir dari kalangan mazhhab Hanbali, termasuk dalam pergulatan

wacana pemikiran intlektualitas di tempat ini adalah Syaikh Taqiyuddin ibn

Taimiyyah. Dari Damaskus kemudian ia pindah pergi ke Mesir. Di tempat ini

tampak pemikiranpemikirannya yang liberal (al-hurr al-fikr) sebagaimana terjadi

pada masa sebelumnya. Selama tinggal di Mesir, at-Thufi pernah diarak di

jalanan Kairo, dipenjarakan dan dibuang oleh penguasa karena permintaan ahli

fikih Hanbali ortodoks dan hakim waktu itu, yaitu Sa‟d ad-Din al-Harisi (w. 711

H). 11

At-Thufi dengan pendapatnya yang asional dianggap melawan hakim,

melawan hukum, melawan penguasa dan hadis-hadis Nabi shallallahu „alaihi

wasallam.

Menurut Roy Purwanto, berdasarkan penelitian Ibn Rajab, ada sekitar 30

buku yang memuat pandangan at-Thufi tentang maslahat, namun hingga saat ini

buku-buku tersebut tidak ditemukan, kecuali satu yaitu Syarah al-Arba‟in

anNawawiyyah karya tangan at-Thufi, yang memang sengaja “dibiarkan” oleh

11 Abdullah M. al-Husein al- Amiri, Dekonstruksi Sumber Hukum Islam: Pemikiran Hukum Najmuddin

at-Thufi, terj. Abdul Basir (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), hlm. 30. (Yogyakarta: Kaukaba

Dipantara, 2014), hlm. 117

Page 54: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

7

Ibn Rajab dengan tujuan untuk dikritik dan menyerang balik pemikiran-

pemikiran at-Thufi.

Kemudian perjalanan al-Thufi selanjutnya, pada tahun 714 H. ia

memutuskan untuk pergi menunaikan ibadah haji ke Baitullah, dan pada tahun

berikutnya 715 H. ia berangkat lagi untuk menunaikan ibadah haji kedua kalinya.

Sebagai akhir dari perjalanan petualangannya ia kembali ke negeri Syam, dan

berdomisili di Palestina (Yurusalam Baitul Maqdis) hingga akhir hayatnya,

meninggal dunia pada 716 H.

Al-Thufi merupakan seorang ulama yang cerdas, pandai, dan pintar. Pada

tahun 691 H, ia telah menghafal kitab al-Muharar fi al-Fiqh al-Hanbali, yang

merupakan kitab fikih rujukan mazhab Hanbali, dan ia mendiskusikannya dengan

Syekh Taqi az-Zarzirati, seorang ulama besar mazhab Hanbali pada masa itu.

Kebanyakan guru-gurunya adalah ulama-ulama besar mazhab Hanbali di

zamannya, sehingga tidak mengherankan apabila at-Thufi dianggap sebagai

penganut mazhab tersebut. Berbekal berbagai ilmu yang dikuasai, at-Thufi

berupaya untuk mengembangkan pemikirannya dan mengajak para ulama pada

zamannya untuk berpegang teguh pada al-Qur‟an dan as-Sunnah secara langsung

dalam mencari kebenaran, tanpa terikat kepada orang lain atau mazhabab fikih

manapun. Ajakannya itu dituangkan dalam kitabnya al-Akbar fi Qawa‟id

atTafsir, yaitu kitab yang membahas kaidah-kaidah tafsir. Dalam rangka

kebebasan berpikir untuk mencari kebenaran tersebut, al-Thufi tidak saja

mempelajari berbagai kitab dalam mazhab Sunni, tetapi juga banyak mempelajari

literatur-literatur Syi‟ah di zamannya. Ketika itu dikotomi Sunni-Syi‟ah sangat

kuat, tetapi at-Thufi tidak terpengaruh dengan dikotomi tersebut. At-Thufi

dikenal sangat ekstrim dalam beberapa pemikirannya, bahkan tidak jarang ia

mengkritik sebagian dari sahabat-sahabat besar (kubar ash-shahabah), dan berani

berbeda pendapat dengan mereka. Keberanian at-Thufi dalam melontarkan

pemikiranpemikirannya yang cenderung melawan mainstream pemikiran yang

Page 55: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

8

berkembang pada masanya telah membuat ia sering keluar masuk penjara. Dalam

perjalanan hidupnya, at-Thufi menyempatkan diri mengunjungi Baitullah guna

menunaikan ibadah haji dan tinggal di Mekkah dalam waktu yang cukup lama.

At-Thufi meninggal dan dikuburkan di negeri al-Khalil (baldah al-Khalil) pada

tahun 716 H/1316 M.12

Al-Thufi terkenal sebagai sosok orang yang ceradas, berani dalam

mengemukakan pendapat dan pemikirannya. Maka dari itu, wajar bila al-Thufi

banyak meninggalkan karya-karya yang memuat pemikirannya yang terbilang

banyak dalam berbagai macam bidang ilmu pengetahuan seperti tafsir, hadits,

metodologi hukum islam, hukum islam, logika, bahasas dan sastra.

Menurut riwayat, al-Thufi tidak kurang meninggalkan karyanya dari 100

judul buku yang ia tulis dengan memuat berbagai macam topik. Akan tetapi,

sebagian dari buku-buku tersebut masih berbentuk manuskrip hingga sulit untuk

di cari atau hilang entah kemana. Salah satu karya al-Thufi yang hilang dan

mendapat banyak tanggapan dan kritik adalah buku yang berjudul Daf‟ al-Malam

„an Ahl al-Manthiq wa al-kalam. Karya tersebut menegaskan bahwa al-Thufi

adalah seorang pemikir islam rasional dan progresif sehingga perinsip-perinsip

logika rasional yang diusung oleh orang-orang terdahulu termasuk muktazilah

berhak untuk dibela.13

a. Dianatara karya al-Thufi dalam bidang ilmu al-Qur‟an dan Hadits adalah:

1. Al-Iksir Fi Qawaid al-Tafsir

Kitab ini berisi tentang kaidah-kaidah tafsir yang diperlukan

oleh para mufassir, terlebih yang berkaitan dengan ilmu balaghah.

Dalam mukaddimahnya, al-Thufi menjelaskan tentang tafsir dan

takwil kemudian membagi kitab menjadi tiga bagian, yaitu pertama,

12 Abd. Wahab Khallaf, Mashadir at-Tasyri‟ Al-Islami Fi Ma La Nash Fihi (Kuwait: Dar al-Qalam,

1972), hlm. 97 13 Mustafa Zaid, Al-Maslahah Fi al-Tasyri‟… hlm. 91

Page 56: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

9

mberbicara tentang hal-hal yang tidak perlu dilakukan oleh seorang

mufassir dalam menjelaskan makna dan ayat-ayat samarkedua,

berbicara tentang ilmu-ilmu yang diperlukan oleh seorang mufassir

dan ketiga, berbicara tentang ilmu balaghah dan topik-topik inti serta

problematika balaghah.

2. Al-Isyarat al-Ilahiyat ila al-Mabahits al-Ushuliyyah

Buku ini berbicara tentang ilmu kalam dan ilmu ushul fiqh dalam

al-Qur‟an. Al-Thufi menafsirkan ayat demi ayat dan menghubungkannya

dengan permasalahan yang berkaitan dengan ilmu kalam dan ushul al-

fiqh.

3. Idah al-Bayan an Ma‟na Umm al-Qur‟an

Inti bahasan kitab ini mengenai Ulum al-Qur‟an, keutamaan surah al-

fatihah dan penjelasan tentang kandungan surah al-fatihah terkait

maksud al-Qur‟an diturunkan. Bab I menjelaskan tentang kata- „Am al-

Qur‟an dan bab ke II tentang kalimat mujmal dan mufashal dan bab ke

III tentang urutan penjelasan makna al-Quran dan sebagai penutup berisi

tentang keutamaan surah-surah.

4. Tafsir Surah Qaf dan al-Naba

5. Mukhtashar Ma‟alin

Berisi keterangan bahwa al-Fatihah mengandung seluruh makna

kandungan al-Qur‟an

6. Jadl Al-Qur‟an

Tentang karya ini, seorang ulama besar yang disebut-sebut sebagai

mujaddid, Jalal al-Din al-Suyuthi pernah menukil kitab ini dalam salah

Page 57: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

10

satu kitabnya tentang ulum al-Qur;an berjudul al-Itqan. Namun, kitab al-

Thufi ini hingga sekarang kitab utuhnya tidak ditemukan.14

7. Bughyat al-Wasil ila Ma‟rifah al-Fawashil

Kitab ini pernah dijadikan rujukan oleh al-Suyuthi dalam menulis al-

Itqan, namun hingga sekarang kitab utuhnya tidak ditemukan.

8. Dll.

b. Karya-Karya al-Thufi di bidang Teologi

1. Bugyah al-Sail fi Ummahat al-Masail

Kitab ini menurut para ulama berisi tentang kedokteran, namun sayang

kitab ini hingga saat ini versi utuhnya tidak ditemukan. Al-Thufi pernah

menyebut karyanya ini dalam suatu keterangan dalam kitab al-Iksir fi

Qawaid al-Tafsir.15

2. Qudwat alMuhtadin ila Maqashid al-Din

Kitab ini tersimpan dalam beberapa perpustakaan dalam bentuk

manuskrip. Salah satuya perpustakaan Madinah.16

3. Halal al-„Aqdi fi Ahkam al-Mu‟taqid

4. Al-Intisharat al-Islamiyyah fi Kasyf Syibah al-Nashraniyyah

Kitab ini berisi tentang perbandingan agama dan krtik terhadap

pemikiran orang kristen terutama dihilangkannya tentang kenabian

Muhammad. Kitab meripakan karya utuh al-Thufi yang pemikiran-

pemikirannya dapat ditemukan disini.17

5. Dll.

c. Karya-Karya dibidang Ushul al-Fiqh

1. Mukhtashar al-Raudlah al-qudamah

14 Jalal al-Din al-SUyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur‟an, Jilid 2 (Beirut: Daar al-Fikr, Tanpa Tahun), h.

135 15

Najm al-Din Al-Thufi, Al-Iksir fi Qawaid al-Tafsir, h. 4 16

Saifudin Zuhri, Maslahah dan Implikasinya, h. 59 17

Najm al-Din Al-Thufi, Al-Intisharat al-Islamiyyah fi Kasyf Syibah al-Nashraniyyah Jilid I (riyad:

Maktabah Abikan, 1999),h. 77-78

Page 58: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

11

2. Syarh al-Raudlah

Kitab ini terdiri dari tiga jilid tentang ushul al-fiqh dan merupakan salah

satu karya al-Thufi yang bisa dijumpai Allah.

3. Mukhtashar al-Hasil fi Ushul al-Fiqh

Karya al-Thufi ini tidak sampai kepada kita, namun sempat dinukil oleh

Ibnu Rajab dalam Zail al-Thabaqhat.

4. Mukhtashar al-Mahshul

Kitab ini masih dalam berbentuk manuskrip di perpustakaan

Sulaimaniyyah, Turki dan belum diterbitkan.

5. Mi‟raj al-Wushul ila Ilm al-Ushul.

6. Dll.

d. Karya-Karya Al-Thufi dalam bidang Fikih

1. Al-Riyadh al-Nawadzir fi al-Asybah wa al-Nawadzir

Kitab ini bercerita tentang ilmu al-Qur‟an dan beberapa perumpaman

dalam al-Qur‟an.

2. Al-Qawaid al-Kubro

Kitab ini berisi tentang kaidh-kaidah fikih mazhab Hanbali. Untuk saat

ini kitab ini tidak dapat ditemukan terkecuali nukilan-nukilannya dalam

kitab Zail Thabaqhat karya Ibnu Rajab dan Kasyf al-Dzunun karya

Musthafa Haji Khalifah.

3. Al-Qawaid al-Sughra

Kitab ini sering kali disebut al-Thufi dalam karya-karyanya yang sampai

pada kita. Akan tetapi kitab ini untuk saat ini sudah tidak bisa dijumpai.

4. Syarh Nisf Mukhtashar al-Haraqi.

5. Dll.

e. Karya-Karya Al-Thufi dalam Bidang Bahasa, Sastra dan lain-lain

1. Al-Sa‟aqat al-Ghadlabiyyah „ala Munkir al-„Arabiyyah

Kitab ini merupakan salah satu karya al-Thufi yang sampai pada kita dan

diterbitkan oleh Maktabah al-Abikan.

Page 59: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

12

2. Al-Risalah al-Uluwiyat fi al-Qawaid al-„Arabiyyah

3. Ghaflath al-Mujtaz fi „Ilm al-Haqiqat wa al-Majaz

4. Dll.

C. Latar Belakang dan Lahirnya Teori Maslahah Al-Thufi

Islam mengalami sebuah masa keemasan sekitar tahun pertama Hijriah s.d

tahun pertengahan empat hijriah dimana produktifitas pemikiran dan inovasi

pemikiran muncul ke permukaan dengan lahirnya para imam mazhab besar (al-

mazahib al-„arba‟ah). Akan tetapi pasca munculnya para Imam mazhab ini, umat

islam tidak banyak melakukan pengayaan dan pengembangan bahkan

pembaharuan terhadap pemikiran-pemikiran mereka. hal yang demikian ini

akhirnya melahirkan sikap taklid, stagnansi dan puncaknya lahir slogan-slogan

pintu ijtihad telah tertutup (The closure the gate ijtihad/insidad bab al-ijtihad.)18

Hukum islam mengalami kemunduran yang cukup lama yaitu dari pertengahan

abad keempat hijriyah sampai pada akhir abad ketigabelas hijriyah.19

Al-Thufi lahir ditengah-tengah kondisi umat islam sedang dilanda

kejumudan, stagnasi dan kemunduran. Produktifitas para ulama dalam menulis

pemikiran-pemikirannya hanya berisikan tentang pengulangan terhadap apa yang

telah dicetuskan ulama sebelumnya. Proses Ijtihad dan pembaharuan hukum pada

masa ini benar-benar mati, setiap orang hanya melakukan pengulangan tanpa

melakukan pembaruan terhadap problem-problem yang terjadi. Pada masa ini

teks-teks lebih dominan daripada proses ijtihad itu sendiri. orang lebih memilih

menyelesaikan masalah dengan teks daripada berijtihad dan menyelesaikannya

sendiri.

18 Muhammad Abid Al-Jabiri, Takwin al-Qal al-„Arabi (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-

„Arabiyyah, 1989), bab 11 19

Josep Scacht, An Introduction To Islamic Law (London: Oxford at The Clarendon Press,1971), h. 72

Page 60: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

13

Sebagai bentuk dari kepeduliannya terhadap kondisi umat islam yang

sedang mengalami kemunduran, al-Thufi lahir dengan membawa gagasan yang

radikal dan liberal. Ia menginginkan dan sekaligus mengingatkan para ulama

untuk melakukan pembaharuan hukum melalui proses ijtihad dengan cara tidak

menjadikan pendapar para imam mazhab satu-satunya kebenaran. Problematika

umat yang muncul dapat diatasi melalui proses ijtihad dengan mengutamakan

maslahah dan manfaat sembari berpegang pada prinsip-prinsip syariah yang

bersifat universal dan menyeluruh. Al-maslahah adalah inti dan sumbu ajaran

islam dan hukum islam, oleh karenanya segala bentuk hukum yang tidak selaras

dengan maslahah dan manfaat manusia harus di nomor duakan atau dianggap

tidak berlaku. Inti dari ajaran al-Thufi terlebih yang akan dibahas pada BAB ini

adalah konsep maslahahnya sebagai maqasid al-syariah yang berbeda dengan

konsep maslahah para ulama lain. Berikut penjelasan maslahah al-Thufi sebagai

intisari dari pemikirannya.

D. Konsep Maslahah Al-Thufi

a. Makna Maslahah Menurut Al-Thufi

Menurut al-Thufi, kata maslahah memiliki bentuk yang sama

dengan kata maf‟alah. Lafadz Al-maslahah Terambil dari kata al-Salah

(kebaikan, kegunaan, validitas dan kebenaran), yang berarti bahwa sesuatu

berada dalam bentuk yang sempurna sesuai dengan tujuan atau sasaran

yang dimaksudkan, seperti pena dalam bentuknya yang tepat untuk

menulis atau pedang berada dalam bentuknya yang tepat sebagai alat

untuk menebas.20

Yang membedakan al-Thufi dengan yang lainnya mungkin terletak

pada pendefinisian maslahah dari dua aspek. Pertama aspek urf dan kedua

20

Najmd al-Din al-Thufi, Syarh al-arba‟in , Tahqiq Ahmad Haji Muhammad Usman, (Makkah: al-

Maktabah al-Makiyyah, tt), h. 139

Page 61: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

14

aspek syara‟. Al-Thufi memedakan pengertian al-maslahah berdasarkan

urf dan maslahah berdasarkan syara‟. Maslahah secara „urf adalah sebab

atau sesuatu berupa tindakan yang mendatangkan kepada kebaikan dan

kemanfaatan, seperti berdagang yang dapat menghasilkan keuntungan.

Sedangkan maslahah berdasarkan syara‟ adalah suatu sebab atau tindakan

yang menghasilkan tujuan al-syaari (Allah) baik berupa ibadah atau

„adah. Maslahah menurut al-Thufi dapat dibagi menjadi dua bagian.

Pertama, maslahah yang sesuai dengan tujuan syaari berupa Ibadah dan

maslahah yang kemanfaatannya kembali kepada manusia dan mengatur

manusia seperti halnya adah.

Disini mulai terlihat bagaimana paradigma al-Thufi tentang

maslahah yang berbeda dengan pemikir-pemikir lainnya. Klasifikasi

maslahah menjadi maslahah yaang manfaatnya kembali kepada pembuat

hukum (Allah) dan maslahah yang manfaatnya kembali kepada manusia

adalah tipologi pemikiran al-Thufi tentang konsep maslahahnya. Ia

membedakan mana maslahah yang konkret dan mana maslahah yang

abstrak, sama seperti tentang kajian maqasid al-syariah sebagai konsep

yang abstrak dan maqasid al-syariah sebagai sebuah pendekatan yang

bersifat konkret dan realistis.21

Al-Thufi mengatakan “bahwa segala sesuatu yang beriringan

atau sesuai dengan maksud pembuat syariat, baik berupa ibadah ataupun

adalah dinamakan maslahah”. Itu artinya disamping Allah dan rasulnya

sebagai pembuat hukum (syaari), maka manusiapun dengan akal budinya

dapat menjadi pembuat hukum (syaari), namun dalam hal adah atau

muamalah saja. Tidak dalam hal ibadah. Untuk menentukan Maslahah

dalam hal ibadah adalah mutlak hak preogratif Allah, sebagaimana

21

Imam Ahmad Mawardi, Fiqih Minoritas: Fiqh Al-Aqaliyyat dan Evolusi Maqasid Al-Syariah dari

Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2010), h. 175

Page 62: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

15

menentukan maslahah dalam hal mualamalah atau „adah bisa ditentukan

oleh manusia. berdasarkan ini al-Thufi mendefinisikan al-maslahah

kedalam dua termonologi. Pertama maslahah berdasarkan syar‟i dan

maslahah berdasakna „adah.

Inilah yang membedakan termonologi maslahah al-Thufi dengan

ulama lainnya, sebab ulama lainnnya memberikan terminologi maslahah

masih sebagai konsep yang tunduk dibawah nash. Imam al-Ghazali

misalnya, Al-Gazâli (w. 505 H), mengatakan bahwa makna genuine dari

maslahah adalah menarik/mewujudkan kemanfaatan atau

menyingkirkan/menghindari kemudaratan/bahaya ( Jalb al-Manfaat atau

Daf‟u al-Mafsadah ) Menurut al-Gazâli, yang dimaksud maslahah, dalam

arti terminologi syar‟i, adalah memelihara dan mewujudkan tujuan Syara‟

yang berupa memelihara agama, jiwa, akal budi, keturunan, dan harta

kekayaan. Ditegaskan oleh al-Gazâli bahwa setiap sesuatu yang dapat

menjamin dan melindungi eksistensi kelima hal tersebut dikualifikasi

sebagai maslahah, sebaliknya, setiap sesuatu yang dapat mengganggu dan

merusak kelima hal tersebut dinilai sebagai mafsadah; maka, mencegah

dan menghilangkan sesuatu yang demikian dikualifikasi sebagai al-

maslahah.22

Untuk mencegah kesalah fahaman atas definisi yang ia

lontarkan, Al-Ghazali kemudian sebagaimana terangkum secara jelas

dalam al-Mustasfa-nya menegaskan bahwa yang ia maksud dengan

maslahah sebagai menarik manfaat dan menolak kerusakan adalah

perspektif Syaari (pembuat hukum) bukan manusia sebagai pelaksana

hukum.

22 Abu Hamid, Muhammad al-Ghazali, Al-Mustashfa Min Ilm al-Ushul, Tahqiq wa Ta‟liq Muhammad

Sulaiman Al-Asyqar (Beirut: Mu‟assasat al-Risalah, 1417 H/1997 M), Juz ke-1, h.416-417

Page 63: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

16

Al-Syaukani juga mendefinisikan maslahah dengan terminologi

yang hampir sama dengan al-Ghazali. Menurutnya, maslahah adalah

memelihara tujuan syara‟ dengan cara menghindarkan manusia dari

kerusakan.23

Sedangkan al-Syatibi mendefinisikan maslahah dari dua

sudut pandang, yaitu dari aspek terjadinya maslahah dalam realitas dan

dari aspek tergantungnya syara‟ kepada maslahah. Dari aspek terjadinya

maslahah dalam sebuah realitas berarti sesuatu yang kembali kepada

tegaknya kehidupan manusia serta kesempurnaan hidupnya. Maslahah

jenis ini dinamakan pula oleh al-Syatibi dengan nama maslahah yang

duniawi atau temporal. Sedangkan maslahahah yang menjadi

ketergantungan syara‟ berarti maslahah yang menjadi tujuan dari

penetapan hukum syara‟.24

Dilain kesempatan al-Syatibi tidak mengakui al-Maslahah yang

bersifat temporal (duniawi) sebagai dalil syara‟ bahkan menurutnya

maslahah yang bertentangan dengan nash tetap tidak dapat dipakai sebagai

sebuah dalil karena maslahah sejenis ini tidak mutlak atau tidak murni. 25

Namun disini dapat dipahami bahwa konsep maslahah al-Thufi dengan

Al-Syatibi memiliki kemiripan yaitu sama-sama membagi maslahah

terhadap kedua terminologi.

Izz al-Din Ibn Abd Al-Salam memiliki konsep maslahah yang

sama dengan Al-Syatibi dan Al-Thufi. Ia membagi maslahah menjadi dua.

Pertama, maslahah duniawi yang bisa diketahui oleh akal. Kedua,

maslahah ukhrawi yang hanya bisa diketahui berdasarkan petunjuk wahyu

(naqli). Konsep maslahah al-Thufi, Al-Syatibi dan Izz al-Din Ibn Abd Al-

23 Al-Syaukani, Irsyad al-Fukhul Ila Tahqiq al-Haq min „Ilm al-Ushul, (Riyadh: Daar al-Fadilah, 1421

H), Vol. 2. H. 990 24

Asy Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, (Beirut: Dar Ibnu Affan, Cet 1. 1997 M/1417 H)

Vol. 2. H. 44 25

Asy Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, (Beirut: Dar Ibnu Affan, Cet 1. 1997 M/1417 H)

Vol. 2. H. 44

Page 64: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

17

Salam memiliki kesamaan yaitu membagi konsep maslahah pada ranah

Duniawi dan ukhrawi atau dalam konsep maslahahnya al-Thufi dikenal

dengan maslahah Adah atau muamalah dan maslahah ibadah. Hanya saja,

Izz al-Din Ibn Abd Al-Salam dan al-Syatibi tidak mengakui keberadaan

Malsahah duniawi sebagai sebuah dalil, sedangkan Al-Thufi mengakuinya

sebagai sebuah dalil syara‟.

Berdasarkan perbandingan antara definisi dan konsep maslahah al-

Thufi dengan ulama lain, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa

maslahah al-Thufi mempunyai semangat berbeda dan lebih progresif

dengan memberikan porsi lebih kepada akal manusia untuk menentukan

maslahah dalam hal adah/muamalah. Dengan kata lain, al-Thufi

membenarkan bahwa maslahah adalah sesuatu yang konkrit, relistis dan

nyata dalam kehidupan manusia bukan sesuatu yang abstrak dan

mengawang dalam fikiran Tuhan.

b. Makna Hadits La Dlarar Wa La Dlirara

Konsep maslahah yang didengungkan oleh al-Thufi berawal ketika

ia menjelaskan tentang tafsir salah satu hadits Nabi Nomor 32 dalam kitab

Arba‟in al-Nawawi. Hadits tersebut berbunyi:

لا ضرر ولا ضرار

Menurut al-Thufi hadits tersebut berkualitas hasan yang

diriwayatkan dengan mata rantai periwayatan (sanad) yang lengkap oleh

Ibn Majah, al-daaruquthnu dan lainnya. Dalam al-Muwattha karya Imam

Maik, hadits ini diriwayatan dari „Amr bin Yahya dari ayahnya dari Nabi

Muhammad Saw berupa hadits mursal dengan tidak menyebutkan Abi

Sid. Hadits ini memiliki beberapa jalur periwayatan yang saling

menguatkan.

Page 65: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

18

Mengacu pada hadits ini, yang dimaksud dengan hadits La Dlrara

wa La Dlirar adalah tidak boleh berbuat bahaya pada diri sendiri dan

orang lain dan tidak boleh berbuat bahaya beserta orang lain ( لا نحىق ولا

tanpa alasan khusus atau tanpa dibenarkan ) إنحاق ضرر ولا فعم ضرر يع أحذ

oleh syara‟. Artiya terdapat suatu tindakan manusia yang dapat

menimbulkan kerugian atau bahaya pada orang lain atau diri sendiri tetapi

hal itu dibolehkan atau legal secara syara‟ seperti hukuman had, diyat dan

lainnya. Jadi penafsiran redaksi “tidak boleh berbuat bahaya terhadap

diri sendiri dan orang lain” bersifat khsusu dan partikular. Pembatasan

berdasarkan syara‟ ini penting karena suatu kerugian, bahaya atau

kejahatan yang didasarkan pada hukum Tuhan yang pasti (Al-Hukm al-

Qadri al-Ilahiy) tidak boleh ditentang . pengecualian terhadap tindakan

yang menyebabkan timbulnya kerugian karena adanya sebab tertentu

(Mujabin Khas) didasarkan pada fakta bahwa hukuman had (Qishash,

potong tangan, hukum cambuk dll) merupakan perbuatan merugikan atau

melukai orang-orang yang berhak untuk menerimanya, dan hal itu

dibenarkan berdasarkan Nash dan Konsensus Ulama (Ijma‟).26

Al-Thufi menyebut dua hal mendasar, yaitu pertama, semua

bentuk kerugian dan kerusakan sosial harus ditolak, dilarang dan dicegah

oleh hukum (nafy al-dlrar wa al-mafasid syar‟an),. Kedua, penolakan atau

pelarangan hukum terhadap tindakan merugikan terhadap orang lain

berlaku umum sepanjang masa, kecuali pada kasus-kasus tertentu yang

sanksi hukumnya dipandang perlu oleh ijma‟

Ringkasnya hadits لا ضرر ولا ضرار tersebut oleh al-Thufi dijadikan

sebagai argumen utama atas eksistensi maslahah. Al-Thfi menjadikan

26 Najmd al-Din al-Thufi, Syarh al-arba‟in , Tahqiq Ahmad Haji Muhammad Usman, (Makkah: al-Maktabah al-Makiyyah, tt), h. 136

Page 66: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

19

hadits ini sebagai prinsip dasar kemaslahatan manusia yang berada jauh di

atas sumber lainnya.

c. Mendahulukan Maslahah diatas Nash al-Syariah dan Ijma’

Puncak pemikiran (ultimate meaning) dari seorang tokoh progresif

sepanjang sejarah ini adalah “taqdim al-maslahah „ala al-nash wa al-

ijma‟” yaitu mendahulukan maslahah diatas nash dan konsensus ulama.

Bagi al-Thufi, bunyi teks-teks al-Qur‟an dan hadits serta konsesnus para

ulama atau ketentuan-ketentuan hukum yang disebutkan secara jelas dan

eksplisit dalam sumber-sumber hukum islam dalam aspek muamalah tidak

berarti semua itu mengandung maslahah. Hal ini berbeda halnya dengan

aspek ibadah yang harus diterima secara apa adanya karena ia merupakan

ranah ilahiyyah yang merupakan hak preogratif Allah, seperti shalat lima

waktu, puasa bulan ramadhan, haji dan ibadah lainnya. Pandangan ini

berbeda dengan pemikir-pemikir maslahah lainnya yang berpendapat

bahwa segala ketentuan hukum Tuhan harus diyakini mengandung

maslahah meskipun dalam relitanya tidak demikian. oleh karenanya, al-

Thufi dikenal sebagai seorang pemikir hukum islam pertama yang

memunculkan ruang dialog dan diskusi tentang tentang taarudh baina al-

nash wa al-maslahah atau menghadap-hadapkan antara al-nash dan al-

maslahah.27

Menurut al-Thufi, berdasarkan penelitiannya hanya terdapat

sembilan belas sumber hukum islam yang diakui oleh para ulama, yaitu

(1) al-kitab, (2) al-Sunnah, (3) Ijma‟ al-Ummah (konsensus ulama secara

menyeluruh), (4) Ijma‟ ahl al-Madinah (konsensus masyarakat Madinah),

(5) al-Qiyas (analogi), (6) Qaul al-Shabi (pendapat sahabat Nabi), (7) al-

27 Sarifudin, Hukum Islam Progresif: Tawaran Teori Maslahat At-Thufi sebagai Epistemologi untuk

Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, Jurnal Wawasan Yuridika, Vol. 3 | No. 2 | September

2019 | Halaman : 135-154

Page 67: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

20

Maslahah al-Mursalah (kepentingan publik), (8) Istishab (anggapan tetap

sahnya hukum yang lama), (9) al-Baraah al-Ashliyah (pembebasan dari

suatu aturan hukum yang asal), (10) al-„Awaid (kebiasaan yang diterima

masyarakat), (11) al-Istiqra (penelitian), (12) Sad al-Dzara‟i (tindakan

hukum kontributif), (13) Istidlal (demonstrasi atau deduksi), (14)

Istihasan (preferensi), (15) al-Akhad bi al-Khaf (pengambilan beban yang

paling ringan), (16) al-„Ishmah, (terlindungi dari dosa), (17) Ijma‟ ahl al-

Kufah (konsesnus penduduk Kufah), (18) Ijma al-Asyrah (konsensus

sahabat nabi yang 10, yang telah diberi kabar gembura masuk surga), (19)

Ijma‟ al-Khulafa al-Arba‟ah (konsensus khalifah yang empat). Sebagian

sumber hukum diatas disepakati oleh seluruh ulama (muttafaq „alaih) dan

sebagian yang lain dierselisihkan (mukhtalaf fih).28

Diantara sembilan belas sumber humum islam tersebut, menurut

al-Thufi yang paling kuat (al-aqwa) menempati posisi pertama adalah al-

Nash (al-Kitab,al-Sunah) dan Ijma‟. Namun demikian, terdapat sumber

hukum yang lebih kuat dibandingkan dengan sumber hukum yang kuat

tersebut (aqwa al-aqwa) yaitu al-maslahah atau kepentingan umum.

Dalam permasalahan-permasalaha hukum, kemaslahatan manusia

menempati urutan yang paling kuat dan pertama. Artinya, ia memiliki

prioritas lebih diatas seluruh sumber hukum lainnya, termasuk al-Qur‟an,

al-Sunnah dan al-Ijma‟.

At-Thufi juga menjelaskan bahwa inti dari seluruh ajaran Islam

yang termuat dalam nas adalah maslahat (kemaslahatan) bagi umat

manusia. Karenanya, seluruh bentuk kemaslahatan disyari‟atkan dan

kemaslahatan itu tidak perlu mendapatkan dukungan dari nas, baik oleh

nas tertentu maupun oleh makna yang dikandung oleh sejumlah nas.

28

Najmd al-Din al-Thufi, Syarh al-arba‟in , Tahqiq Ahmad Haji Muhammad Usman, (Makkah: al-

Maktabah al-Makiyyah, tt), h. 138

Page 68: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

21

Maslahat, menurutnya merupakan dalil paling kuat yang secara mandiri

dapat dijadikan alasan dalam menentukan hukum syarak.29

Lebih jauh lagi, at-Thufi menjelaskan bahwa maslahat merupakan

dalil syar‟i yang paling kuat di antara dalildalil syar‟i lainnya, sehingga

harus didahulukan dari nas dan ijma. Dalam pandangannya, nas, ijma, dan

dalil-dalil syariat yang lain hanyalah merupakan wasilah (perantara)

untuk mewujudkan kemaslahatan manusia (masalih annas). Sedangkan

kemaslahatan manusia merupakan maqasid (tujuan) dari diturunkannya

syariat Islam. Oleh sebab itu, wajib mendahulukan maqasid (maslahat)

dari wasilah (nas, ijma, dan dalil lainnya). Karena alasan ini pula,

maslahat bisa me-nasakh (menghapus) atau membatalkan sebagian

hukum syariat yang dihasilkan dari dalil lain (nas dan ijma), karena

kepentingan menjaga maslahat.

Al-nash dan ijma‟ sebagai sumber hukum islam yang paling kuat

tersebut, kata al-Thufi memiliki dua kemungkinan ketika dihadap-

hadapkan dengan maslahah. pertama adakalanya nash dan ijma‟ selaras

dengan maslahah, kedua nash dan ijma‟ bertentangan dengan maslahah

atau nash dan ijma‟ tidak mengandung maslahah dalam implementasinya.

Lebih lengkapnya al-Thufi mengatakan demikian:

ااىفاليوأةحلصمالةايعارقافويناأم اإه,ث اعجلاوص لن اااىوق أرشعةعسالتةل دلاهىذو

Sembilan belas sumber hukum islam ini yang paling kuat adalah al-nash

dan ijma‟. Keduanya adakalanya sejalan dengan maslahah atau

bertentangan.

29 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 125.

Page 69: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

22

Untuk yang pertama, yaitu ketika nash dan ijma‟ tersebut sejalan

dengan maslahah, maka kita dapat mengamalkan nash dan ijma tersebut

dan menjadikannya sebagai sebuah hukum.

ةايعرواعجالوص النيىومكلالىعالثلثوةل دالتقفإت دقذإاعزن لوتمعناوهبافاىقاف ونإف

ااررضلوررضعليوالصلةوالسلم :لولوق نمةادفت سمالةحلصلم

akan tetapi, apabila nash dan ijma‟ tersebut menyalahi ketentuan

kemaslahatan manusia, maka maslahah harus diberikan prioritas

lebih dibandingan dengan teks atau kemaslahatan manusia harus

didahulukan daripada teks melalui takhsish (mengambil hukum yang lebih

spesifik dari yang umum) atau bayan (hukum yang lebih jelas).

Dan untuk yang kedua, yaitu ketik nash dan ijma‟ tidak selaras

dengan nilai-nilai maslahah, maka yang harus didahulukan adalah

kemaslahatan manusia.

اةايعريدقت بجاواىفالخنإواتيتفلاقيرطبالملانيب الوصيصخالت قيرطابمهيلعةحلصلم

انيلب اقيرطبأنرقاللىعةن الس مدقات ماكملليطعالت اومهيلع

Namun, apabila nash dan ijma‟ tersebut saling berlawanan dengan

kemaslahatan manusia, maka harus di dahulukan kemaslahatan manusia

melalui takhsis dan bayan (sebagaimana mendahulukan al-sunnah

daripada al-Qur‟an melalui bayan) bukan dengan tidak menggunakannya

sama sekali.

Menurut al-Thufi, kemaslahatan manusia pada dasarnya adalah

tujuan didalam dirinya sendiri, sehingga perlindungan terhadapnya

menjadi prinsip hukum tertinggi atau sumber hukum yang paling kuat

(aqwa al-adillah al-syar‟iyyah). Akan tetapi keharusan mendahulukan

Page 70: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

23

maslahah daripada nash dan ijma‟ ini hanya berlaku dalam aspek

muamalah atau „adah bukan aspek ibadah. Hal ini karena sesuatu yang

harus diikuti sebagai otoritas adalah bukan kesimpulan-kesimpulan atau

kesepakatan para ahli hukum atau penafsiran mereka terhadap teks-teks

agama. Dengan kata lain, hakim tertinggi untuk menentukan

kemaslahatan manusia atau kehidupan duniawi manusia bukanlah “teks

keagamaan” tetapi tuntutan-tuntutan akal atau intelegnsi dalam seluruh

kehidupan manusia sendiri.

Berkaitan dengan ini, al-Thufi menegaskan bahwa dirinya tidak

menafikan nash dan ijma sebagai sumber hukum islam yang mengandung

maslahah. Hanya saja, nash dan Ijma‟ tersebut tidak dapat dijadikan

sebagai referensi utama dan mutlak untuk menentukan kemaslahatan

kehidupan sosial manusia. keduanya hanya dapat dijadikan sebagai

sebuah sumber hukum yang mutlak dalam aspek ibadah. Aspek ibadah

inilah yang referensi utamanya atau sumber mutlaknya nash dan ijma‟

yang mana kandungan maslahahnya hanya Tuhan yang maha tahu.

Sedangkan kemaslahatan manusia dalam kehidupan sosialnya dapat

ditentukan oleh manusia itu sendiri. Dengan bahasa yang ringkas,

kemaslahatan manusia dalam kehidupan sosial adalah puncak tujuan dari

syariat islam (quthb maqsud al-syariah) yang khsusus diberikan untuk

kebaikan manusia, sehingga manusia sendiri yang boleh menentukannya

karena syariat telah mendelegasikan untuk menentukannya. Sedangkan

kemaslahatan dalam aspek ibadah adalah mutlak hak Tuhan sehingga

hanya Tuhan sendiri yang berhak dan dapat menentukan maslahah atau

Page 71: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

24

tidaknya, sementara manusia hanya dapat mentaati dan menuruti

perintahnya.30

Paparan taqdim al-maslahah al-nash dan ijma‟ sebagai puncak

dari pemikiran al-Thufi diatas, memiliki kesamaan dengan pemikiran

Ibnu Rusyd (W 595 H/1198 M). Seorang ulama dan pembaharu

bermazhab Maliki dan hidup lebih awal dari al-Thufi ini dalam sebuah

karyanya berjudul “Fashl al-Maqal fi ma bayna al-hikmati wa as-syariati

min al-itishal” (Diferensiasi dan Harmonisasi antara Syariah dan Filsafat)

mengemukakan sebuah postulat yang sangat menarik tentang hubungan

dan posisi sebuah nash ketika berhadapan dengan akal:

وإ كات انشريعة طمت ته فلا يخهى ظاهر انطك أ يكى يىافما نا أدي إنيه انثرها فيه

طهة هانك تأويهه أويخانفا فإ كا يىافما فلا لىل هانك وإ كا يخانفا

Sebuah syariat (nash) tidak terlepas dari dua kemungkinan. Pertama, ia

selaras dengan akal, dan kedua bertentangan dengan akal. Apabila nash

itu selaras atau sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran rasional, maka

tidak menjadi soal. Akan tetapi, apabila nash itu bertentangan dengan

prinsip-prinsip kebenaran rasional, maka harus ditakwil.31

Sebagai seorang pemikir dan ahli hukum islam dan banyak

menguasai ilmu lainnya termasuk filsafat, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa

antara filsafat atau kebenaran-kebenaran rasional tidak akan pernah

bertentangan dengan syariat, atau sebuah syariat apabila ia memang

adalah benar-benar sebuah kebenaran dan mendorong seseorang untuk

mengetahui tentang sesuatu yang benar, maka saya pastikan-kata Ibnu

30

Najmd al-Din al-Thufi, Syarh al-arba‟in , Tahqiq Ahmad Haji Muhammad Usman, (Makkah: al-

Maktabah al-Makiyyah, tt), h. 141 31

Ibnu Rusyd, Kitab Fashl al-Maqal fi ma bayna al-hikmati wa as-syariati min al-itishal

(Cairo: Daar al-Ma‟aarif, Tanpa Tahun), h. 32

Page 72: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

25

Rusyd wahai kaum muslimin- bahwa akalpun atau pengetahuan

rasionalpun tidak akan menyalahi kepada ketentuan-ketentuan atau

prinsip syariah. Hal ini karena sebuah kebenaran tidak akan bertentangan

dengan kebenaran yang lainnya, akan tetapi ia akan saling bersinergi dan

saling menguatkan.32

Ada empat prinsip yang dipegang at-Thufi tentang maslahat yang

menyebabkan pandangannya berbeda dengan jumhur ulama, yaitu: 33

1. Akal bebas menentukan kemaslahatan dan kemafsadatan,

khususnya dalam bidang muamalah dan adat. Pandangan ini

berbeda dengan jumhur ulama yang mengatakan bahwa

sekalipun kemaslahatan dan kemafsadatan itu dapat dicapai

dengan akal, namun kemaslahatan itu harus mendapatkan

dukungan dari nas atau ijma, baik bentuk, sifat maupun

jenisnya. Peran dan kemampuan akal di dalam “mendeteksi”

kemaslahatan dan kemafsadatan juga diakui oleh ulama lain,

sebagaimana ditegaskan oleh „Izzuddin Ibn „Abd as-Salam.34

2. Maslahat merupakan dalil mandiri (dalil mustaqil) dalam

menetapkan hukum. Oleh sebab itu, untuk kehujjahan

maslahah tidak diperlukan dalil pendukung, dengan

argumentasi bahwa maslahat itu didasarkan kepada akal

semata.

3. Maslahat hanya berlaku dalam lapangan muamalah dan adat

kebiasaan, adapun dalam lapangan ibadah atau ukuran-ukuran

32 Ibnu Rusyd, Kitab Fashl al-Maqal fi ma bayna al-hikmati wa as-syariati min al-itishal (Cairo: Daar al-Ma‟aarif, Tanpa Tahun), h. 31 s.d 32 33

Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Daar al-Fikr,2017), Jilid 2, h. 94, Mustafa

Zaid, Al-Maslahah Fi Tasyri Al-Islam Wa Najmuddin at-Thufi (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1964),

hlm. 127-132. 34

Izzuddin Ibn „Abd as- Salam, Qawa‟id Al-Ahkam Fi Mashalih Al-Anam (Beirut: Muasasah ar-

Rayyan, 1998), juz 1, hlm. 6-7.

Page 73: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

26

(alMuqaddirat) yang ditetapkan syara, seperti salat zuhur

empat rakaat, puasa ramadan selama satu bulan, dan tawaf

dilakukan tujuh kali, tidak termasuk objek maslahat, karena

masalah-masalah seperti itu merupakan hak Allah semata.

4. Maslahat merupakan dalil syara paling kuat. Oleh sebab itu,

at-Thufi menegaskan, apabila ada kontradiksi antara maslahat

dengan nas maupun ijma, maka yang harus didahulukan atau

dimenangkan adalah maslahat dengan cara Takhsis nas atau

Bayan.

Jika diteliti lebih jauh, gagasan maslahat at-Thufi ini ternyata

memiliki semangat yang sama dengan ajaran hukum progresif yang

ditawarkan oleh begawan hukum Indonesia, Satjipto Rahardjo yang

landasan filosofinya diambil dari ajaran filsafat hukum alam Yunani,

di samping mazhab sejarah, freirechtslehre, legal realism, sociological

jurisprudence, dan critical legal studies. Hukum progresif Stajipto

Rahardjo menolak segala anggapan bahwa institusi hukum sebagai

institusi yang final dan mutlak, sebaliknya hukum progresif percaya

bahwa institusi hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi

(law as a process, law in the making). Anggapan ini dijelaskan oleh

Satjipto Rahardjo sebagai berikut : Hukum progresif tidak memahami

hukum sebagai institusi yang mutlak secara final, melainkan

ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia.

Dalam konteks pemikiran yang demikian itu, hukum selalu berada

dalam proses untuk terus menjadi. Hukum adalah institusi yang secara

terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada

tingkat kesempurnaan yang lebih baik.Kualitas kesempurnaan disini

bisa diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan,

Page 74: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

27

kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah hakikat “hukum yang

selalu dalam proses menjadi (law as a process, law in the making).35

Dalam konteks tersebut, hukum akan tampak selalu bergerak,

berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Akibatnya hal ini

akan mempengaruhi pada cara pelaksanaan hukum kita, yang tidak

akan sekedar terjebak dalam ritme “kepastian hukum”, status quo dan

hukum sebagai skema yang final, melainkan suatu kehidupan hukum

yang selalu mengalir dan dinamis baik itu melalui perubahan-undang

maupun pada kultur hukumnya. Pada saat kita menerima hukum

sebagai sebuah skema yang final, maka hukum tidak lagi tampil

sebagai solusi bagi persoalan kemanusiaan, akan tetapi manusialah

yang dipaksa untuk memenuhi kepentingan kepastian hukum.

Selin itu, hukum progresif mengajarkan bahwa hukum semata-

mata untuk kemanusiaan dan keadilan. hukum progresif berangkat dari

asumsi dasar bahwa hukum untuk manusia bukan sebaliknya. Artinya,

segala ketentuan hukum adalah sebuah sarana untuk manusia

semata0mata untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan. Oleh karena

itu, hukum progresif menolak aliran-aliran positivisme atau legisme

yang menjadikan bunyi norma sebagai satu-satunya hukum. Hukum

progresif mengajarkan bahwa kesejahteraan manusia dan

kemaslahatan adalah inti dari sebuah hukum.36

Akhirnya, adalah sesuatu yang kiranya tepat dan selaras jika

penulis mengatakan bahwa teori hukum islamnya al-Thufi adalah

doktrin hukum progresif islam yang hanya berorientasi pada

35 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia,

Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Pustaka Pelajar, Semarang. 2006. Hlm. 9 36

Mukhidin, Hukum Progresif Sebagai Solusi Hukum Yang Mensejahterakan Rakyat, Jurnal

Pembaharuan Hukum Volume I No. 3 September – Desember 2014

Page 75: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

28

kehidupan manusia riil yang lebih baik dan sesuai dengan prinsip-

prinsip syariah.

E. Ulama Yang Setuju Dengan Konsep Maslahah al-Thufi

Terdapat sekian banyak ulama atau cendikiawan muslim yang memiliki

pandangan yang sama dengan Najm al-Din al-Thufi. Diantara ulama itu, adalah:

a. Ibrahim Husain

Ibrahim Husain dalam komentarnya terhadap al-Thufi

menyatakan bahwa maslahah al-thufi harus dipahami dalam konteks

ushul al-fiqh. Ia mengandaikan terjadinya benturan antara nash atau

ijma dengan maslahah. Benarkah terjadi pertentangan diantara

keduanya tersebut ? al-Thufi tampaknya sedang berandai-andai dan

tampaknya, menurut Ibrahim Husain, ia belum pada tahap praktis dan

belum mengungkanpak kasus relistis yang menunjukan pandangannya

tersebut.

Selain itu pula harus dipahami bahwa al-Thufi baru berbicara

secara teoritis belum sampai pada tataran fiqih. Oleh karena itu yang

perlu dilakukan oleh mereka yang sepaham dengan al-Thufi adalah

membela atau paing tidak membahas premis dasar argumen

tersebut.37

b. Munawwir Sjadzali

Munawwir Sjadzali dalam gagasannya tentang reaktualisasi

ajaran Islam sejak tahun 1985 dalam berbagai macam kesempatan

sosialisasi, berulang kali mengutif konsep maslahah al-Thufi dan

konsep adat Abu Yusuf sebagai salah satu pendukung gagasannya.

Mulai tahun 90-an ide-idenya mendapat sambutan yang hangat

terutama ide tentang reaktualisasi ajaran islam mengenai perbankan

37 Ibrahim Hosen, Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam, dalam Munawwir Syadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam (Jakarta:IPHU Kerjasama dengan Paramadina, 1995), h. 257-2581

Page 76: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

29

dan waris.38

Munawwir dalam bukunya; Ijtihad Kemanusiaan banyak

mengungkapkan ulama-ulama besar yang sejalan dengan pemikiran

al-Thufi, diantaranya Abu Yusuf, Izzuddin Ibn Abd as-Salam, Ibn

Qayyim, Ibn Taimiyah, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan

Jalaludiin al-Afghani. Dari kalangan mufassir diantaranya, Tanthowi

Jauhar, Al-Maraghi dan Sayyid Qutub.

Pada akhir kesimpulan, Munawwir Sjadazli mengungkapkan

kalau kita dengan rasa penuh tanggung jawab kepada Islam berusaha

memahami islam yang luhur itu dengan memanfaatkan akal budi,

maka kita bukan yang pertama yang berbuat demikian, karena ulama-

ulama zaman dulu telah banyak yang melakukannya seperti Umar ibn

Khattab dan al-Thufi.

c. Abu Yusuf al-Hanafi

Pada zaman khalifah Harun al-Rasyid, Abu Yusuf menjabat

sebagai Hakim Agung (MA). Senada dengan al-Thufi ia bependapat

suatu nash yang dulu dasarnya adat kemudian adat itu telah berubah,

maka gugur pula ketentuan hukum yang terdapat dalam nash itu.

Misalnya Nabi pernah mengatakan bahwa takaran dalam jual beli

gandum mengikuti takaran kebiasaan adat setempat itu, tetapi

kemudian kebiasaan itu berubah. Al-Thufi berani berbeda dengan

ulama lain, ia berpendapat apabila terjadi pertentangan antara nash

dengan adat kebiasaan, maka nash tersebut harus ditinggalkan,

dengan kata lain adat itulah yang kemudian harus diutamakan.39

38 Munawwir Sjadzali, Reaktualisasi, h. 77-78 39 Subhi Mahmashani, Falsafah al-Tasyri al-Islami, (Beirut: Daar al-Malayin, 1961), h. 170

Page 77: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

1

BAB IV

ANALISIS WARIS BEDA AGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF

MASLAHAH NAJMUDDIN AL-THUFI

Sebelum menganalisis tentang waris beda agama di Indonesia dalam

perpsktif Maslahah Najmuddin al-Thufi, pertama-tama penulis akan melakukan

analisis terhadap waris beda agama sendiri dalam islam. Hal ini dilakukan agar

menghasilkan sebuah pengetahuan yang komprehensif, obyektif dan dapat

dipertanggungjawabkan.

A. Analisis Dalil Waris Beda Agama

Berkaitan dengan waris beda agama, sumber hukum islam primer yang

secara jelas menyebutnya hanyalah sumber hukum islam yang kedua, yaitu al-

hadits. Sementara itu, tidak ditemukan ayat-ayat al-Qur‟an yang secara

eksplisist dan jelas menyebutkan waris beda agama, baik yang membolehkan

atau yang melarang. Akan tetapi, terdapat ayat-ayat al-Qur‟an yang melarang

orang islam bergaul, berteman dekat, menjadi wali atau mengangkat wali

(tauliyyah) orang-orang non Islam. Ayat-ayat ini memiliki makna yang umum

dan tidak spesifik maknanya. Ayat yang oleh sebagian orang dijadikan

sebagai dalil waris beda agama dalam melarangnya diantaranya surat al-

maidah ayat 51 dan surah al-Nisa ayat 141.

Surat al-Nisa ayat 141 berbunyi:

الذينيتربصونبكمفإنكانلكمفتحمناللقالواألنكنمعكموإنكانللكافريننصيب .قالواأل

.فاللهيكمبينكميومالقيامةولنيعلاللللكافرينعلىالمؤمنينستحوذعليكموننعكممنالمؤمني

سبيل

Page 78: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

2

Dalam beberapa kitab tafsir seperti Tafsir Ibnu Katsir karya Ibnu

Katsir, tafsir Al-Jami li Ahkam al-Qur‟an karya Al-Qurtubi disebutkan bahwa

ayat tersebut berbicara tentang karakter orang-orang munafik yang standar

ganda. Mereka memiliki karakter ganda sesuai dengan kondisi yang

menguntungkannya. Ia akan berpura-pura baik terhadap orang-orang mukmin

demi mendapatkan harta rampasan perang, tetapi akan jahat terhadap orang-

orang mukmin dan baik terhadap orang-orang kafir manakala mereka menang

dalam perang. Untuk memberikan semangat kepada orang-orang mukmin,

Allah menegaskan bahwa dia (Allah) tidak akan memberikan jalan bagi

orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin. Jadi sudah jelas dan

dapat dipahami bahwa ayat tersebut tidak ada kaitannya dengan larangan

waris beda agama.

Al-Qurthubi, dalam tafsir al-Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an, menyebutkan

tiga permasalahan yang timbul dari akhir ayat 141 surah al-Nisa diatas.

Pertama, para ulama memiliki 5 penafsiran tentang akhir ayat tersebut yaitu:1

1. Berdasarkan penuturan sayyidina Ali ra. yang dimaksud dengan

akhir ayat tersebut adalah pada hari kiamat. Bukan dikhidupan

dunia.

2. Allah tidak akan memberikan kemenangan kepada kaum kafir

untuk menguasai negara Islam.

3. Allah tidak akan memberikan kekuasaan kepada orang kafir untuk

meguasai orang-orang mukmin, terkecuali mereka berdua saling

berkonsolidasi untuk menghancurkan oraang muknin.

4. Allah tidak akan memberikan jalan (kekuasaan) kepada orang kafir

untuk menguasai orang mukmin dalam urusan agama (syara‟).

1Abi Abdillah, Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr al-Qurhtubi, Al-Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an wa al-

Mubayyin Lima Tadlamnahu min al-Sunnah wa ayi al-Furqan, (Libnan: Muassasah al-Risalah, TT), h.

187 s.d 190

Page 79: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

3

5. Allah tidak akan memberikan jalan 9dalam hal ini maksudnya

adalah argumentasi rasional/ hujjah aqliyyah) untuk menguasai

dan mengalahkan orang mukmin.

Permasalahan kedua, sebagaimana telah disampaikan oleh Ibnu Arabi

dan para Ulama lainnya, bahwa ayat ini menunjukan seorang kafir atau non

muslim tidak berhak (tidak sepatutnya) memiliki atau menguasai seorang

budak (hamba sahaya yang muslim). Ayat ini memberikan motivasi kepada

orang muslim agar jangan sampai seorang budak dimiliki oleh seorang

tuannya yang non muslim atau kafir.

Permasalah ketiga, berkaitan dengan kepemilikan budak muslim yang

dikuasai oleh seorang Nashrani atau Kristen. Dalam hal ini para ulama

berbeda pendapat.

Sementara itu menurut Fakhrudin al-Razi dalam Tafsir Mafatih al-

Qhaib, Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar, Abu Hayyan al-Andalusi dalam

tafsir Al-Bahr al-Muhith dan Wahbah Al-Zuhaili dalam tafsir al-Munir

menyebutkan bahwa ayat tersebut hanya berbicara tentang kekuasaan.2 Kata

sabil yang berarti adalah jalan dalam pandangan Rasyid Ridha bermakna

umum, yaitu kekuasaan secara mutlak baik dunia maupun akhirat. Tetapi

sekali lagi hanya menyangkut tentang kekuasaan dan politik.3

Dari penjelasan diatas, menjadi jelas dan gamblang bahwa inti dari

ayat tersebut sama sekali tidak berbicara tentang waris beda agama terlebih

yang melarang. Jika kemudian ada usaha untuk menarik atau menjadikan ayat

tersebut sebagai dalil dalam aspek hukum, maka paling mentok, ayat tersebut

berbicara mengenai kepemilikan budak yang muslim oleh tuannya yang non

2 Fakhruddin al-Razi, Tafsir Mafatih al-Ghaib, (Damaskus, Daar al-Fikr, 1981), Jilid 11, h. 83, lihat

juga Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Mesir: Munsyi Majallah al-Manar, TT), Jilid 5, h. 466 dan Abu

Hayyan al-Andalusi, Tfsir Al-Bahr al-Muhith, (Beirut: Daar al-Kutub al-Islami, 2010), Jilid 3, h. 379 3 Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Mesir: Munsyi Majallah al-Manar, TT), Jilid 5, h.

Page 80: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

4

musli dan tidak berkaitan dengan waris beda agama terkecuali sedikit

penfasiran al-Qurthubi saja.

Sumber hukum primer Islam yang jelas dan gamblang berbicara

tentang waris beda agama adalah hadits nabi Muhammad Saw yang banyak

termuat dalam kitab-kitab hadits. Kitab hadits dengan validitas dan otoritas

paling tinggi dalam bidang hadits yaitu sahih Bukhari dan sahih Muslim juga

mengemukakan hadits waris beda agama tersebut. Selain itu, Ibnu Majah (w:

275 H) dalam kitab sunan-nya juga mengemukakan hadits dengan redaksi

(matn) yang sama. Hadits tersebut berbunyi:

حذثا أتى عاصى ع ات جريج ع ات شهاب ع عهي ت حسي ع عرو ت ثا ع أساية ت

زيذ رضي الله عها أ انثي صلى الله عليه وسلم لال: لايرث انسهى انكافر ولا انكافر انسهى

Hadis tersebut terdapat dalam Shahih Bukhari: Kitab Al-Hajj Hadis

nomor 1485; Kitab al-Jihād wa al-Sair Hadis nomor 2830; Kitab al-

Maghāzi, Hadis nomor 3946; Shahih Muslim: Kitab al-Farā‟id, Hadis

nomor 3027; Sunan Tirmidzi: Kitab al-Farā‟id „an Rasulillah, Hadis nomor

2521; Sunan Abu Daud: Kitab al-Farâid, Hadis nomor 2521-2522; Sunan

Ibnu Majah: Kitab al-Farā‟id, Hadis nomor 2719-2720; Musnad Ahmad:

Musnad al-Anshar, Hadis nomor 20752, 20757, 20771, 20807, 20819; Al-

Muwatha Imam Malik: Kitab al-Farā‟id, Hadis nomor 959-960; dan Sunan

Al-Darimi: Kitab al-Farâ‟id, Hadis nomor 2871, 2873, 2874.

Hadits tersebut dari aspek sampainya kepada kita (i‟tibar wushulihi

ilaina) atau kuntitas rawinya termasuk kedalam hadits ahad dengan

tingkatan garib mutlak 4 dan dari aspek kualitasnya tergolong kedalam

kategori hadits sahih.

4 Gharib adalah sebuah hadits yang hanya diriwayatkan oleh satu rawi pada setiap tingkatan sanad atau

sebagian sanadnya. Hadits Garib terbagi kedalam dua bagian yaitu garib mutlak dan garib nisbi. Garib

Page 81: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

5

Kelompok ahli hadits menyatakan bahwa hadits-hadits ahad

menghasilkan pengetahuan yang bersifat pasti ( yaqin qath‟i) sehingga bisa

menopang sebuah ketentuan yang mengikat, bukan saja dalam persoalan

ibadat (hukum yang berkaitan dengan peribadatan) dan muamalat (hukum

yang berkaitan dengan interaksi sosial) tapi juga dalam persoalan „aqaid

(akidah dan keimanan).5 Mazhab-mazhab pemikiran lainnya tidak

berpendapat demikian. Beberapa diantaranya menegaskan bahwa hadits ahad

sama sekali tidak menghasikan pengetahuan apa-apa dan tidak boleh

dijadikan acuan dalam persoalan hukum. Namun, mayoritas ulama

berpendapat bahwa hadits-hadits semacam itu, meskipun tidak menghasilkan

pengetahuan yang pasti, memberikan sebuah kemungkinan bahwa

periwayatan tersebut valid (zhan). Lebih jauh lagi mayoritas ahli hukum

berpendapat bahwa hadits ahad bisa digunakan sebagai acuan dalam

prsoalan furu bukan dalam persoalan ushul meskipun dengan beberapa

ketentuan, seperti yang dikemukakan oleh al-mazhib al-Arba‟ah.6

Terlepas dari persoalan kualitas dan kuantitas hadits tersebut, yang

menjadi soal dalam hadits tersebut adalah pendapat ulama yang melarang

Muslim mewarisi kafir atau sebaliknya tampak litterlijk, artinya tidak

mengaitkan teks dengan maksud yang ingin dicapai oleh teks tersebut, yaitu

kemaslahatan. Pendapat tersebut juga cenderung melupakan bahwa hadis

yang melarang Muslim dan kafir saling mewarisi adalah hadis āhad yang

berstatus zannī, baik tsubūt maupun dalālah-nya. Disebut zanni al-Tsubut

karena hadis tersebut adalah hadis ahad. Dikatakan zanni Al-dalālah karena

mutlak adalah sebuah hadits yang hanya rawi pokoknya yaitu sahabat Nabi hanya berjumlah satu

orang saja, sedangkan gharib Nisbi adalah hadits dengan rawi satu pada salah satu tingkatan sanad dan

lebih dari satu pada tingkatan pokok sanad (sahabat). Lihat Mahmud al-Than, Taisir Mustalah al-

Hadits, (Semarang: al-Haramain, TT), h. 28 5 Khaled M. Abou El-Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, (Jakarta:

Serambi, 2004), h. 322 6 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Daar al-Fikr, 2017), Jilid 1, h. 450 s.d 453

Page 82: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

6

lafaz kāfir dalam hadits tersebut dapat diartikan lebih dari satu makna (aam)

karena kata kāfir dari sudut pandang keterkaitannya dengan hukum Islam

(Syari‟ah) dapat bermakna kāfir harbī dan dzimmī, mu‟ahad, dan musta‟man.

Lafadz kafir dalam hadits diatas adalah lafadz tunggal (mufrad)

dengan tambahan alif lam sebelumnya. Kriteria lafadz tersebut dalam

diskursus metodologi hukum islam atau ushul al-fiqh masuk dalam kategori

lafadz „aam.7 Konsekuensi dari lafadz aam adalah tidak boleh diguakan dalam

menentukan sebuah hukum sebelum dilakukan takhsish. Para ulama golongan

ini membiarkan kata kafir tetap menjadi lafaz āmm atau mujmal, tanpa adanya

usaha untuk menjadikan kata tersebut khash (mukhasash) sehingga menurut

mayoritas ahli hukum petunjuk hukumnya adalah adalah zanni. Membiarkan

kata yang bermakna „aam atau mujmal untuk dijadikan sebagai sebuah

landasan dalam menentukan sebuah kasus hukum tidak dapat dibenarkan

sebelum dilakukan pengkhususan (takhsish) atau penafsiran terhadap lafadz

tersebut.

انعىو لا يتصىر ف الأحكاو

Lafadz am tidak dapat mengambarkan suatu hukum.

Dengan demikian, hadits larangan waris beda agama diatas dapat

dijadikan sebagai sebuah landasan hukum dalam melarang waris beda agama

setelah dilakukan takhsish dan penafsiran. Makna kafir dalam hadits diatas

harus ditafsirkan dan ditakhsish sehingga memiliki makna yang jelas dan

eksplisit.

Hadits tentang larangan waris beda agama diatas salah satunya dapat

ditakhsish dengan kemaslahatan, sebagaimana disebutkan oleh Najmuddin al-

7 Wahbah Al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Daar al-Fikr, 2017), Jilid 1, h. 245

Page 83: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

7

Thufi8 atau dengan akal sebagaimana disebutkan oleh mayoritas para ahli

hukum. akal dan maslahah dapat dijadikan sebagai sebuah mukhsish untuk

menafsirkan dan menentukan sebuah ketentuan hukum atau lafadz yang

bermakna global. Akal dan maslahah adalah dua dari jenis mukhasish al-

mustaqil atau pentakhsish yang dapat berdiri sendiri.9 Sehingga dengan

demikian hadits tentang larangan waris beda agama harus ditakhsish dengan

menggunakan maslahah atau kemanfaatan atau kebijakan hukum yang lebih

toleran, manusiawi, relevan.

Beberapa para ulama seperti Imam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al

Jauzi, Yusuf al-Qradhawi dan lainnya mentakwil kata kafir dalam hadits

diatas khusus kafir harbi. Oleh karena kata kafir dalam hadits diatas bermakna

umum, maka harus ditakwil. Menurutnya, yang dimaksud kafir dalam hadits

diatas adalah kafir harbi, sebagaimana Imam Abu Hanifah mnejelaskan bahwa

yang dimaksud kafir dalam hadits “tidak boleh dihukum qisash seorang

muslim yang membunuh kafir” adalah kafir harbi, bukan kafir dzimmi. 10

B. Analisis Waris Beda Agama di Indonesia Perspektif Maslahah Al-Thufi

Pada bagian ini terlebih dahulu ditegaskan bahwa Indonesia sebagai

negara dengan penduduk muslim sebagai mayoritas menyebut dirinya sebagai

8 Najmd al-Din al-Thufi, Syarh al-arba‟in , Tahqiq Ahmad Haji Muhammad Usman, (Makkah: al-

Maktabah al-Makiyyah, tt), h. 141 9 Ulama ahli Ushul al-Fiqh, secara garis besar membagi jenis mukhasish kedalam dua bagian. Pertama,

mukhasish al-mustaqil dan kedua mukhasish ghair al-mustaqil. Sebagian ahli ushul al-fiqh

menggunakan istilah al-mukhasish al-mutashil dan al-mukhasish ghair al-mutasil. Sebagian yang lain

menggunakan istilah al-mukhasish al-muttasil dan al-mukhasish al-munqati‟. Mukhasish al-mustaqil

atau pentakhsish yang berdiri sendiri adalah sesuatu yang bukan bagian dari nash aam ketika sebuah

lafadz disebutkan. Sementara mukhasish ghair al-mustaqil adalah sesuatu (takhisih) yang disebutkan

bersamaan dengan lafadz aam tersebut. Masing-masing dari dua jenis takhsish tersebut memiliki

pembagiaannya. Pentakhsish al-mustaqil mencakup aql, urf, adat, maslahah, nash dan ijma;. Sementara

mukhasish ghair al-mustaqil mencakup istisna (pengecualian), syarat, ghayah dan sifat. Lihat, Wahbah

al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 255 s.d 263. Taaj al-Din al-Subki, Jam‟u al-Jawami; Terjemah

dan Penjelasan Jam‟u al-Jawami‟ (Kediri: Santri Salaf Press, 2014), Juz 2. H. 9 10

Yusuf Al-Qaradlawi, Min Hady Al-Islam Fatawa Mu;asharah, (Beirut: Al-Maktab Al-Islami, 2003),

juz, 3, H., 692

Page 84: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

8

negara kesatuan republik Indonesia yang menjunjung tinggi perdamaian,

keselamatan dan kesamaan. Indonesia berdasarkan kepada Pncasila bukan

Islam. Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-11 Tahun 1935/19 Rabiul Awal

1355 H di Banjarmasin memutuskan dan menyebut Indonesia sebagai daar al-

Salam bukan daar al-Islam.11

Status ini membawa dampak yang besar kedalam berbagai macam

aspek termasuk aspek hukum. Indonesia tidak menggunakan syariah sebagai

undang-undang atau peraturan perundang-undangan secara formal, meskipun

dalam berbagai macam hal, syariah ( fikih) sedikit demi sedikit telah menjadi

undang-undang setelah dilakukan modivikasi atau kontekstualisasi. Indonesia

adalah sebuah negara dengan pancasila sebagai phyosophygrondslagh atau

falsafah dasar negara yang mengakomodir semua agama dan bukan negara

agama termasuk negara Islam. oleh karenanya, peraturan agama hanya dapat

dijalankan secara formal, setelah melalui proses taqinin atau perubahan

kepada udang-undang. Selain itu, karena Indonesia bukan negara islam, maka

konsep status warga negara yang terdapat dalam Negara Islam seperti Kafir

zimmi, mu‟ahad dan lainnya dengan sendirinya tidak lagi berlaku dalam

kehidupan bernegara. Semua warga negara indonesia memiliki status yang

sama dan hak yang sama pula.

Hukum waris di Indonesia diberlakukan sesuai dengan penduduknya

masing-masing. Untuk pemeluk islam, diberakukan hukum waris islam, untuk

pemeluk agama lain diberlakukan hukum waris Eropa (BW) dan untuk

masyarakat adat, diberlakukan hukum waris adat. Hukum waris islam di

Indonesia yang berlaku saat ini adalah hukum waris yang telah dilakukan

modivikasi dan relevansi, artinya bukan murni seperti yang tertuang di kitab-

11 Said Aqil Siradj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi, (Jakarta Selatan: SAS Founation, 2012), h. 257

Page 85: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

9

kitab fikih meskipun terdapat juga hal-hal yang sama persis seperti dalam

kitab fikih.

Hal yang tidak mengalami perubahan itu diantaranya adalah waris

beda agama. Di Indonesia, perbedaan agama, dalam waris islam yang berlaku

di Indonesia setelah mengalami taqnin, merupakan salah satu penghalang dari

kewarisan seperti yang tertuang dalam kitab-kitab fikih, meskipun Mahkamah

Agung telah memberlakukan wasiat wajibah untuk problematika demikian.

jurisprudensi dari Mahkamah Agung tersebut, disebut-sebut sebagai salah satu

putusan progresif dan berkemajuan padahal dalam pandangan penulis,

mengenai waris beda agama, para Ulama terdahulupun masih berbeda

pendapat. Artinya jurispridensi MA tersebut dapat penulis sebut sebagai

putusan atau terobosan yang biasa-biasa saja mengingat ulama terdahulupun

masih berbeda pendapat.

Lalu bagaimana pemberlakuan waris beda agama di Indonesia dilihat

dari maslahah Najm al-Din al-Thufi ? Sebelum menjawab permaslahan diatas,

kita perlu menegaskan dan menjawab apakah diksursus waris termasuk

kedalam urusan ubudiyah atau muamalah ?. Hal ini perlu dijawab secara tegas

karena untuk meganalisisnya dari perspektif maslahah Najm al-Din al-Thufi

harus merupakan urusan muamalah atau interaksi sosial.

Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa secara garis besar aktivitas

manusia meliputi perbuatan, ucapan dan perjanjian manusia dikelompokan

menjadi dua bagian. Pertama urusan Ibadah dan kedua urusan muamalah.

Ibadah adalah segala hal yang mencakup hubungan manusia dengan tuhannya,

sedangkan muamalah adalah hal-hal yang mencakup hubungan atau interaksi

manusia dengan dengan manusia lainnya. Aspek muamalah, menurut Wahbah

Al-Zuhaili mencakup hukum keluarga, perniagaan, jinayah, pengadilan,

administrasi negara, tata negara dan hukum ekonomi. Diskursus waris adalah

Page 86: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

10

bagian dari hukum keluarga karena ia hanya dapat timbul karena ada

keterkaitan keluarga.12

Oleh karenanya, dapat ditarik kesimpulan, bahwa

diskursus waris adalah termasuk aspek mualamah dan karenanya telah

memenuhi syarat sebagai objek kajian maslahah Najm al-Din al-Thufi.

Sistem kewarisan Islam menganut sistem kekerabatan, baik secara

nasabiyah maupun secara hukmiyah. Sistem kekerabatan ini lebih utama bila

dibandingkan dengan perbedaan agama sebagai penghalang mewarisi, karena

hukum kewarisan murni mengandung unsur muamalah dan bahkan muamalah

itu sendiri. hubungan kekerabatan antara seseorang dengan seseorang yang

lain tidak akan pernah terputus sekalipun agama mereka itu berbeda. Seorang

anak tetap mengakui ibu kandungnya sekalipun ibu kandungnya itu tidak satu

agama dengannya. Islam tidak mengajarkan permusuhan dengan memutuskan

hubungan horizontal dengan non muslim, terlebih-lebih mereka itu ada

pertalian darah.

Selain itu, hal yang sangat penting dan perlu dipahami oleh semua

orang bahwa prinsip dan dasar dari sistem kewarisan islam adalah al-tanashur

al-Dhair dan al-tarahum, yaitu saling membantu dan mengasihi bukan

kesamaan agama atau kecondongan keimanan yang bersifat abstrak.13

Setiap

pemeluk agama yang resmi di Indonesia bahkan pemeluk kepercayaan seperti

kejawen, Sunda Wiwitan satu sama lain saling membantu dan hidup rukun

selama bertahun-tahun di Indonesia. Oleh karenanya, Ahli waris berhak

menerima sejumlah harta dari harta warisan kerabat yang meninggal atas

dasar saling membantu dan mengasihi. Ia dibantu dan dikasihi dengan

diberikan sejumlah harta dari harta peninggalan. Mengingat objek warisan itu

adalah harta atau materi yang bersifat duniawi maka masuk akal dan wajar

12 Wahbah Al-Zuhaili,Ushul al-Fiqh al-Islami, (Daaskus: Daar al-Fikr, 1985) h. 19 13

Yusuf Al-Qaradlawi, Min Hady Al-Islam Fatawa Mu;asharah, (Beirut: Al-Maktab Al-Islami, 2003),

juz, 3, H., 69

Page 87: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

11

jika prinsip dasar waris tersebut adalah saling menolong dan mengasihi. Oleh

karenanya, perbedaan agama sudah sepatutnya dikesampingkan dan tidak

menjadi penghalang kewarisan mengingat prinsip saling membantu dan

mengasihi dengan memberikan materi bahkan lainnya dalam islam tidak

mengenal perbedaan agama dan harus didahulukan.

Hal lain yang perlu diketahui dalam diskursus kewarisan islam bahwa

illat hukum (landasan rasional) atau tujuan pemberlakuan waris dalam islam

adalah al-In‟am (memberikan kenikmatan) yaitu memberikan kesempatan

kepada orang lain yang berhak menerima warisan untuk mendapatkan dan

merasakan serta memiliki harta warisan berupa materi atau lainnya.14

Al-

in‟am atau memberikan hak kepada orang lain untuk merasakan dan

menikmati harta peninggalan kerabatnya melampaui unsur-unsur agama dan

lainnnya artinya ia berhak dan harus didahulukan untuk menikmati harta

peninggalan daripada perbedaan agama itu sendiri. Dengan memberikan hak

seseorang yang berbeda agama untuk menikmati haknya dari harta

peninggalan tidak akan membuat seseorang menjadi murtad atau rela terhadap

kemaksiatan (al-Ridha bi al-Ma‟shiyyat). Mabna atau dasar pemberlakuan

waris dalam islam adalah hukum-hukum zahir atau yang nampak15

sehingga

urusan agama adalah urusan masing-masing pemeluk agama dengan tuhannya

sehingga prinsip saling membantu, menolong dan memberikan hak harus

didahulukan daripada sekedar perbedaan agama.

Hal lain yang tidak bisa dilepaskan dari asas pemberlakuan warisa

dalam hukum islam sekaligus menjadi tujuan inti dari waris dalam islam

adalah kesejahteraan atau ketercukupan dalam ekonomi. Pemberlakuan waris

dimaksudkan agar ahli waris yang ditinggalkan oleh pewaris tetap dalam

14 Yusuf Al-Qaradlawi, Min Hady Al-Islam Fatawa Mu;asharah, (Beirut: Al-Maktab Al-Islami, 2003),

juz, 3, H., 692 15 Ibnu Qayyim al-Jauzi, h. 854

Page 88: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

12

keadaan sejahtera dan berkecukupan harta. Hal ini ditegaskan dalam al-

Qur‟an surah al-Nisa ayat sembilan.16

ولي قول واق ولسديداوليخشال ذينلوت ركوامنخلفهمذري ةضعافاخافواعليهمف لي ت قواالل

“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya

mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang

mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu,

hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka

berbicara dengan tutur kata yang benar”

Menurut penutural al-Qurthubi,17

ayat berisi tentang nasihat kepada

para pewaris agar tidak dampai meninggalkan ahli waris dalam keadaan lapar,

melarat dan miskin harta. Seyongnyanya seorang pewaris meninggalkan harta

yang cukup untuk dijadikan warisan kepada ahli waris yang bersangkutan.

Nabi Muhammad Saw pernah bersabda kepada Sa‟d :

Sesungguhnya ahli warismu yang kamu tinggalkan dalam keadaan

kaya (cukup harta) jauh lebih baik daripada saat kamu tinggalkan

dalam keadaan melarat dan/atau miskin, meminta-minta kepada

orang.

Jadi prinsip dasar dari pemberlakuan waris dalam islam tidak lain

adalah agar ahli waris yang ditinggalkan tidak miskin, kekurangan sampai

meminta-minta kepada orang lain. Hal yang demikian tentunya harus jauh

lebih diprioritaskan dari[ada hal-hal lain termasuk perbedaan agama.

Konsep kemaslahatan sebagai konsep dan tujuan hukum islam yang

paling utama dan paling penting diantaranya dalam diskursus hukum islam

adalah menjaga hubungan baik, menghindari pertikaian, sengketa dan

pertengkaran harus didahulukan daripada menghalangi seseorang untuk

16 Q.S Al-Nisa [4]: (9) 17

Abi Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr al-Qurthubi, Tafsir Al-Jami li Ahkam al-Qur‟an,

(Beirut, Libnan: Muassasah al-Risalah, 2006), Juz 6, h. 89

Page 89: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

13

menerima harta warisan. Kemaslahatan berupa menghindari pertikaian dan

menjaga hubungan kekerabatan dengan cara memberikan hak waris kepada

keluarga beda agama harus lebih didahulukan daripada melarangnya yang

berpotensi besar dan sering terjadi menimbulkan pertikaian dan permusuhan

diantara anggota keluarga.

Dengan demikian, sejatinya hukum waris harus dikembalikan pada

pada semangat awalnya yaitu dalam konteks keluarga (ulu al-arham),

keturunan (nasab) dan menantu (musaharah) apapun agamanya. Yang

menjadi tujuan utama dalam waris adalah mempererat hubungan keluarga,

menjaga hubungan keluarga. Logikanya, bila islam menghargai agama lain,

dan mempersilahkan pernikahan dengan agama lain, maka secara otomatis

waris beda agama adalah boleh dan sesuai syariat islam. Lagipula, hal-hal

yang selama ini dianggap sebagai syariat terutama larangan waris beda agama

bukan sesuatu yang absolut dan baku. Ia adalah lebih merupakan hasil

interpretasi jumhur ulama yang tidak menutup kemungkinan salah dan

sewaktu-waktu bisa berubah sesuai dengan konteks yang bberbeda. Dulu,

tatkala hukum waris ini turun, memang harus diakui adanya kekhawatiran dan

ketakutan terhadap non muslim yang cenderung diasosiasikan sebagai musuh.

Oleh karenanya, yang terjadi sebenarnya adalah bukan perbedaan agama,

bukan perbedaan teologi tetapi perbedaan kepentingan politik antara

komunitas muslim dan non muslim.

Pertikaian, pertengkaran dan permusuhan antara anggota keluarga

yang salahsatunya terhalangnya mendapatkan warisan akibat perbedaan

agama di Indonesia menjadi dalahsatu kasus yang sering dijumpai. Seorang

kaka bermusuhan dengan adiknya akibat berbeda agama. oleh karena itu,

perbedaan agama sebagai penghalang waris merupakan sesuatu yang

sepatutnya dihapuskan karena madlarat atau dampak buruk yang ditimbulkan.

Kemaslahatan seperti menjaga hubungan keluarga yang harmonis, toleran

Page 90: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

14

harus lebih didahulukan salahsatunya dengan menghindari hal-hal yang dapat

menimbulkan madharat yaitu menghapuskan larangan waris beda agama

terlebih dalam konteks Indonesia yang tidak mengenal status penduduk

berdasarkan agama.

C. Wasiat Wajibah Sebagai Solusi Waris Beda Agama di Indonesia

Pemberlakuan larangan waris beda agama sebagaimana tercantum dan

diadopsi oleh Inpres No 1 Tahun 1999 Tentang Kompilasi Hukum Islam pasal

pasal 209 ayat 2 rupanya dipandang sebagai suatu masalah atau aturan yang

tidak mencerminkan keadilan. Hukum islam sebagai suatu hukum yang

disyariatkan untuk menciptakan keadilan dengan adanya rumusan hukum

seperti tersebut diatas dirasa menciderai tujuan hukum itu sendiri. Dalam

rangka mengayomi dan memberikan keadilan kepada semua orang tanpa

memandang status agama, maka Jurisprudensi Mahkamah Agung melakukan

sebuah terobosan dan pembaharuan hukum dalam bidang ini dengan tetap

berpatok dan berpegang teguh pada pendapat jumhur ulama yang berpendapat

terhalangnya waris beda agama sembari memberikan hak-haknya kepada ahli

waris untuk mendapatkan haknya dengan cara wasiat wajibah.

Wasiat wajibah adalah sebuah hilah (alternatif) atau perubahan sebuah

hukum dengan cara yang berbeda untuk memberlakukan atau melarang aturan

hukum. Dalam konteks waris beda agama, seorang yang berbeda agama tetap

mendapatkan haknya dari peninggalan muwarits dengan cara wasiat wajibah

dengan tanpa tetap mematuhi atau mengakui pendapat yang melarang. Hanya

saja hak yang ia dapatkan bukan harta warisan tetapi wasiat wajibah.

Pemberlakuan wasiat wajibah dalam diskursus waris beda agama tidak

dikenal dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Peraturan

perundang-undangan Indonesia diantaranya adalah KHI hanya

memberlakukan Wasiat wajibah untuk anak angkat sebagaimana disebut

Page 91: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

15

dalam pasal 209 ayat 2. Pemberlakuan wasiat wajibah terhadp ahli waris beda

merupakan ijtihad hakim mahakamah agung (MA). MA pertama kali mulai

memberlakukan wasiat wajibah terhadap waris beda agama beradasarkan

putusan Mahkamah Agung (MA) No.368K/AG/1995 dan Putusan Mahkamah

Agung No.16K/AG/2010. Putusan MA tersebut menjadi Jurisprudensi para

hakim Pengadilan Agama dalam memutus perkara waris beda agama.

Pemberlakuan wasiat wajibah tersebut berangkat dari pemberlakuan

hukum islam yang tidak mengakomodasi hak-hak pemeluk agama lain untuk

menerima warisan. Sejak awal, hukum islam (fikih) yang kemudian diadopsi

oleh KHI menutup ruang atau tidak memberikan ventilasi pemikiran bagi non

muslim sehingga dapat dipastikan kesimpulan hukum yang diambil cenderung

kaku dan keras. Pada akhirnya, kesimpulan hukum tersebut menimbulkan

probelamtika hukum yang besar dalam konteks Indonesia oleh sebab hak-hak

pemeluk agama lain tidak terakomodasi. Keadilan dan kemaslahatan sebagai

nilai tertinggi dan tujuan utama hukum harus tunduk pada norma hukum.

Wasiat wajibah adalah solusi bagi probelmatika hukum tersebut.

Wasiat wajibah menjadi dasar bahwa seorang ahli waris non muslim atau ahli

waris muslim dari pewaris non muslim tetap berhak menerima hak-hak

warisan tersebut. Pemberlakuan Wasiat wajibah sebetulnya adalah legitimasi

dan pengakuan para hakim MA secara tidak langsung bahwa larangan waris

beda agama tidak sesuai dengan tujuan dan maslahah hukum islam, terlebih

dalam konteks Indonesia. Perbedaan keyakinan di Indonesia adalah hak asasi

setiap warga negara yang tidak boleh dipangkas dan menimbulkan kerugian,

termasuk hanya karena perbdaan agama.

Tujuan dan spirit utama dalam diskursus waris adalah menjaga

hubungan keluarga agar tetap harmonis. Oleh karenannya, pembagian hak-hak

ahli waris dibagi dengan sedemikian rumit agar benar-benar tidak terjadi

Page 92: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

16

masalah. Hal ini ditegaskan oleh KHI bahwa pembagian harta warisan

diperbolehkan dengan cara sama rata. Mengindari Keretakan hubungan

keluarga, pertikaian dan permusuhan yang tidak jarang berdampak kepada

permaslahan yang lebih besar merupakan tujuan utama pemberlakuan waris.

Oleh sebab itu, pemberlakuan wasiat wajibah dimaksudkan untuk menjaga

hubungan baik itu dan menghindari buruk itu diantara para anggota keluarga.

Perbedaan agama sebagai suatu ancaman hubungan harmonis diantara

pemeluk agama dapat dicounter dengan cara pemberlakuan wasiat wajibah.

Sehingga dengan begitu, ahli waris apapun agamanya tetap berhak menerima

harta warisan dari pewaris dengan cara wasiat wajibah. Dan akhirnya

hubungan baik diantara keluarga tetap terjaga.

Page 93: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

17

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Konsep maslahah Najm al-Din Al-Thufi dengan tipologinya yang harus

didahulukan daripada teks-teks agama dengan cara takhsish manakala

terjadi paradoks atau pertentangan dengan teks-teks agama (baca: al-

qur‟an dan al-hadits) dan konsensus ulama (ijma‟) diamksudkan dalam

aspek-aspek muamalah atau „adah dan bukan pada aspek „ubudiyah atau

„ibadah. Aspek mualamah adalah aspek sosial dimana manfaat atau

tidaknya suatu tindakan ditentukan oleh akal budi mansuia dan kembali

kepada manusia. Sedangkan aspek ibadah adalah aspek irasional (Gahir

ma‟qul al-ma‟na) dimana maslahah atau tidaknya suatu perbuatan kembali

kepada Allah. Diskursus waris termasuk dalam kategori muamalah

meskipun terdapat bagian-bagian tertentu didalamnya yang sudah

ditentukan secara pasti seperti bagian besar dan/atau kecilnya ahli waris.

Akan tetapi pada prinsipnya diskursus waris adalah diskursus yang

berhubungan antar manusia dalam permasalahan harta.

2. Pendapat jumhur ulama yang melarang waris beda agama dengan landasan

hadits Nabi Muhammad Saw memiliki dalil argumentasi yang lemah atau

marjuh disebabkan pendekatan yang literlijk (tidak mengaitkan dengan

koteks) dan membiarkan lafadz aam tanpa takhsis. Kata Kafir didalam

hadits :

لايرث انسهى انكافر ولا انكافر انسهى

adalah lafadz tunggal (mufrad) dengan tambahan alif lam sebelumnya.

Kriteria lafadz tersebut dalam diskursus metodologi hukum islam atau

ushul al-fiqh masuk dalam kategori lafadz „aam (bermakna umum).

Konsekuensi dari lafadz aam adalah tidak boleh diguakan dalam

menentukan sebuah hukum sebelum dilakukan takhsish. Jumhur ulama

Page 94: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

18

membiarkan kata tersebut sebagai lafaz āmm atau mujmal, tanpa adanya

usaha untuk takhsish. Membiarkan kata yang bermakna „aam atau mujmal

untuk dijadikan sebagai sebuah landasan dalam menentukan sebuah kasus

hukum tidak dapat dibenarkan sebelum dilakukan pengkhususan

(takhsish) atau penjelasan (bayan) terhadap lafadz tersebut. Dalam teori

hukum Barat dikenal sebuah asas “Lex Spesialis Derogat Lex Generalis”

bahwa aturan hukum yang spesifik mengenyampingkan aturan hukum

yang umum. Hadits tersebut dalam teori hukum islam pada umumnya

dapat ditaksish dengan hadits lain seperti hadits yang disebutkan oleh

Muadz ibn Jabal bahwa orang islam berhak menjadi ahli waris dari non

muslim dan tidak sebaliknya atau ditakhsish dengan maslahah

sebagaimana ditegaskan oleh al-Thufi. Dalam konteks Indonesia sebagai

sebuah negara bangsa yang heterogen dimana semua warga negara

memiliki kedudukan yang sama rata didepan hukum (equality before the

law) yang tidak mengenal pembagian jenis warga negara berdasarkan

agama pendapat mayoritas ulama tersebut dipastikan tidak relevan.

3. Hadits tersebut dalam pemikiran dan teori hukum Najm al-Din al-Thufi

dapat ditakhsish dengan menggunakan maslahah. Takhsish kata Kafir

dengan pendekatan maslahah dalam diksursus waris beda agama di

Indonesia sebagai negara bangsa yang menjamin kebebasan beragama

dapat berarti menjaga hubungan dan relasi serta harmoni antar anggota

keluarga yang berbeda agama serta menjamin kesejahteraan ahli waris

yang ditinggalkan. Sistem kewarisan Islam menganut sistem kekerabatan,

baik secara nasabiyah maupun secara hukmiyah. Sistem kekerabatan ini

lebih utama bila dibandingkan dengan perbedaan agama sebagai

penghalang mewarisi, karena hukum kewarisan murni mengandung unsur

muamalah dan bahkan muamalah itu sendiri. hubungan kekerabatan

antara seseorang dengan seseorang yang lain tidak akan pernah terputus

Page 95: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

19

sekalipun agama mereka itu berbeda. prinsip dan dasar dari sistem

kewarisan islam adalah al-tanashur al-dlahir dan al-tarahum, yaitu saling

membantu dan mengasihi bukan kesamaan agama atau kecondongan

keimanan yang bersifat abstrak. Illat hukum (landasan rasional) atau

tujuan pemberlakuan waris dalam islam adalah al-In‟am (memberikan

kenikmatan) yaitu memberikan kesempatan kepada orang lain yang

berhak menerima warisan untuk mendapatkan dan merasakan serta

memiliki harta warisan berupa materi atau lainnya atau dengan kata lain

ahli waris yang ditinggalkan mendapatan jaminan kesejahteraan dunia

sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam al-Qur‟an:

خافواعليهمف لي ت قواالل ولي قولواق ولسديداوليخشال ذينلوت ركوامنخلفهمذري ةضعافا

Ayat tersebut menegaskan begitu penting dan harusnya pewaris tidak

meninggalkan ahli waris dalam keadaan lemah secara ekonomi. oleh

karena itu instrumen untuk menuju itu dilakukan melalui proses

pemindahan harta yang bersifat absolut yang disebut dengan waris.

Kemaslahatan sebagaimana dimaksud tersebut memang dapat dicapai

dengan cara pemberlakuan wasiat wajibah itu sendiri, akan tetapi

pemberlakuan wasiat wajibah itu hanya dapat dilakukan setelah

memastikan tidak ada jalan keluar dan dalil larangan waris itu bermakna

pasti. Oleh karenanya pemberlakuan wasiat wajibah dengan tidak

memperhatikan dua hal diatas menjadi problematik.

B. Saran

Dari penelitian yang telah penulis lakukan, maka penulis memberikan saran

terhadap beberapa pihak, antara lain sebagai berikut:

1. Terhadap lembaga pengadilan, dalam hal ini penulis memberikan saran

bahwa hakim pengadilan agama sebagai mujthaid yang menangani

Page 96: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

20

perkara waris hendaklah berfikir secara komprehensif, obyektif dan

melakukan kajian dan pendalaman sesuai dengan konteks terhadap aturan-

aturan umum yang selama ini dianggap sesuatu yang pasti dan mutlak

dengan merujuk kepada sumber-sumber primer hukum islam dengan

metodologi hukum yang semstinya dengan berpatokan kepada nilai-nilai

atau prinsip-prinsip dasar tujuan hukum islam.

2. Terhadap akademisi, bahwa pendalaman untuk mencari formula hukum

yang berkeadilan sangatlah penting. Oleh karenanya saran dari penulis

adalah pengkajian terhadap aturan-aturan hukum islam dalam hal ini fikih

sebagai produk manusia yang kontekstual dan peraturan perundang-

undangan yang tidak memberikan rasa keadilan atau tidak kontekstual

harus terus di lakukan. Sehingga dapat menjadi kritik dan saran dalam

memajukan hukum yang sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai islam dan

berkeadilan di negara Indonesia

3. Bagi masyarakat, bahwa pemahaman terhadap hukum termasuk hukum

islam haruslah terus ditingkatkan. Pemahaman hukum islam tidak bisa

dilepaskan dari konteks dan kondisi yang menyitarinya. Aturan-aturan

yang dianggap baku tempo dulu, tidak menutup kemungkinan menjadi

pendapat yang berubah dan minoritas pada saat ini oleh karenakeharusan

pembaharuan hukum yang mengharuskannya sehingga trciptalah sebuah

hukum yang menjamin keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa

diskriminasi apapun.

Page 97: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

21

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad. Ahmad bin Hanbal Hayatuh wa „Ashruh Arauh wa Fiqhuh,

(T.tp.: Dar al-Fikr al-Arabi, tt.)

Ahmad Al-Daghastani, Maryam. Al-Mawarits Fi Al-Syariah al-Islamiyyah, „Ala

Mazahib al-Arba‟ah Wa Al-„Aml Alaihi Fi Al-Mahakam al-Misriyyah (Cairo:

Jaami‟ah al-Azhar, 2001 )

Aini Noryamin “Fakta Empiris Nikah Beda Agama “ wawancara diakses pada

tanggal 06 mei 2020 pukul 11.30 dari

http://blog.umy.ac.id/retnoeno/2012/01/07lfakta-empiris-nikah-beda-agama/.

Aini, Noryamin. Tradisi Mahar Di ranah Lokalitas Umat Islam: Mahar dan Struktur

Sosial Di Masyarakat Muslim, AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah Volume 14,

Nomor 1, Januari 2014

Al- Jauziyyah, Ibn Qayyim . I‟lam Al-Muwaqi‟in „an Rob Al-„Alamin (Beirut: Dar al-

Kutub al-Ilmiyyah, 1993)

Al-Jauzy, Ibn Qayyim . Ahkaam Ahl Al-Dzimmah, (Mesir: Ramadi li-Al-Nasyr: 1997)

Al-Qaradhawi, Yusuf . Min Hady Al-Islam Fatawa Mu;asharah, (Beirut: Al-Maktab

Al-Islami, 2003)

Al-Razi, Fakhruddin. Tafsir Mafatih al-Ghaib, (Damaskus, Daar al-Fikr, 1981),

Al-Suyuthi, Jalal al-Din. Al-Itqan fi Ulum al-Qur‟an, Jilid 2 (Beirut: Daar al-Fikr,

Tanpa Tahun)

Al-Syaukani, Irsyad al-Fukhul Ila Tahqiq al-Haq min „Ilm al-Ushul, (Riyadh: Daar

al-Fadilah, 1421 H), Vol. 2.

Al-Thufi, Najmd al-Din . Syarh al-arba‟in , Tahqiq Ahmad Haji Muhammad Usman,

(Makkah: al-Maktabah al-Makiyyah, tt)

Al-Zuhaili, Wahbah . Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Daar al-Fikr,2017),

Aqil Siradj, Said. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai

Inspirasi Bukan Aspirasi, (Jakarta Selatan: SAS Founation, 2012)

Page 98: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

22

Asy Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, (Beirut: Dar Ibnu Affan, Cet 1. 1997

M/1417 H) Vol. 2.

Bathras Bustânî, Muhîth al-Muhîth Qamûs muthawwal al-Lughat al-Arabiyah, (t.t:

t.tp,t.th)

Bin Hajjaj, Muslim. Shahih Muslim (Beirut: Daar al-Fikr)

Departemen Agama RI., Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Jakarta: Proyek Pengadaan

Kitab Suci Al-Qur‟an, 1983/1984)

Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan

Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar),h., 33exy J Moelong, Metode Penelitian

Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007)

Hadi, Abdul dan Shofyan Hasan, “Pengaruh Hukum Islam Dalam Pengembangan

Hukum Di Indonesia,” Nurani: Jurnal Kajian Syari‟ah Dan Masyarakat 15,

No. 2 (2015): 89-100, https://doi.org/

https://doi.org/10.19109/nurani.v15i2.284.

Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos, 1997)

Hasbi al-Shiddieqy, Muhammad . Fikih Mawaris, (Yogyakarta: t.p, t.th)

Ibn „Abd as- Salam, Izzuddin. Qawa‟id Al-Ahkam Fi Mashalih Al-Anam (Beirut:

Muasasah ar-Rayyan, 1998)

„Isâ Muhammad bin „Isâ Ibn Saurah al-Tirmidzi, Abi. al-Jâmi‟ al-Shahîh Sunan al-

Tirmidzi, cet. II, (Mesir: Mushthafâ Bab al-Halabî, 1388 H)

Inpres, No 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Jamal al-Din Muhammad ibn Makram Ibn Manzur Al-Ifriqi, Abi Al-Fadl. Al-Mishri,

Lisan al-„Arab (Beirut: Daar al-Fikr, 1990 M, Juz 3, h., 199)

Khallaf, Abd. Wahab. Mashadir at-Tasyri‟ Al-Islami Fi Ma La Nash Fihi (Kuwait:

Dar al-Qalam, 1972)

Khan, Qamaruddin. Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, Alih Bahasa oleh Anas

Mahyudin, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983)

Page 99: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

23

Luthfi Fathani, Isamil. Ikhtilaf al-Din wa –Atsaruhu fi Ahkam al-Munakahat wa-al-

Mu‟amalat (Mesir: Daar al-Salam tt),

M. Abou El-Fadl, Khaled . Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif,

(Jakarta: Serambi, 2004)

M. al-Husein al- Amiri, Abdullah. Dekonstruksi Sumber Hukum Islam: Pemikiran

Hukum Najmuddin at-Thufi, terj. Abdul Basir (Jakarta: Gaya Media Pratama,

2004),

Manan, Abdul. Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, ( Depok: Kencana, 2017 )

Manshur bin Yusuf al-Bahuti, Syekh. Raudh al-Murabba‟ Syarah Zad al-Mustaqni‟

wa Ikhtishar al-Muqni‟, (Makkah Mukarramah: Maktab al-Tijarah, t.th)

Martosedono, Amir . Hukum Waris, (Jakarta Barat: Effhar & Dahara Prize, Tanpa

Tahun)

Mawardi, Imam Ahmad . Fiqih Minoritas: Fiqh Al-Aqaliyyat dan Evolusi Maqasid

Al-Syariah dari Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2010)

Muhammad al-Ghazali, Abu Hamid, . Al-Mustashfa Min Ilm al-Ushul, Tahqiq wa

Ta‟liq Muhammad Sulaiman Al-Asyqar (Beirut: Mu‟assasat al-Risalah, 1417

H/1997 M), Juz ke-1, h.416-417

Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr al-Qurhtubi, Abi Abdillah. Al-Jami‟ li Ahkam

al-Qur‟an wa al-Mubayyin Lima Tadlamnahu min al-Sunnah wa ayi al-

Furqan, (Libnan: Muassasah al-Risalah, TT)

Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari, Imam Abi Abdillah. Shahih Al-Bukhari

(Damaskus-Beirut: Daar Ibn Katsir, 2002)

Muhammad ibn Yazid Al-Qazwini, Al-Hafiz Abi Abdillah . Sunan Ibnu Majah (Daar

Ihya‟ Al-Kutub Al-Arabiyyah)

Muhyiddin Abdul Hamid, Muhammad . Ahkam al-Mawarits Fi-Sayariah Al-

Islamiyyah, „Ala Mazahib Al-Arba‟ah, (Mesir: Maktabah Ja‟far: 1943 M)

Mukhidin, Hukum Progresif Sebagai Solusi Hukum Yang Mensejahterakan Rakyat,

Jurnal Pembaharuan Hukum Volume I No. 3 September – Desember 2014

Page 100: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

24

Nasrullah, Adon, Agama dan Konflik Sosial, cetakan pertama ( Bandung: Pustaka

Setia, 2015)

Nasution, Harun . Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Salemba: UI Press, 1985)

Rahardjo, Satjipto. Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum

Indonesia, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Pustaka Pelajar, Semarang.

2006

Ridha, Rasyid. Tafsir al-Manar, (Mesir: Munsyi Majallah al-Manar, TT),

Roy Purwanto, Muhammad. Dekonstruksi Teori Hukum Islam: Kritik Terhadap

Konsep Maslahah Najmuddin al-Thufi, (Yogyakarta: KAUKABA

DIPANTARA:2014)

Rusyd, Ibnu. Kitab Fashl al-Maqal fi ma bayna al-hikmati wa as-syariati min al-

itishal (Cairo: Daar al-Ma‟aarif, Tanpa Tahun)

Sarifudin, Hukum Islam Progresif: Tawaran Teori Maslahat At-Thufi sebagai

Epistemologi untuk Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, Jurnal

Wawasan Yuridika, Vol. 3 | No. 2 | September 2019 |

Schacht, Yoseph. An Introduction to Islamic Law, (London: Oxford at the Clarendom

Press, 1971)

Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Waris Adat (Jakarta: Berita Penerbit, Cet.2,

1997)

Stoddard, Lothrop. Dunia Baru Islam, Alih Bahasa oleh H.M. Mulyadi

Djojowartono, dkk., (Jakarta: Panitia Penerbit, 1966)

Sulaiman ibn Asy‟asy, Al-Sijistani, Abu Dawud, . Sunan Abi Dawud (Daar al-Kutub

Al-Ilmiyah: Beirut: 2010)

Suparman, Maman . Hukum Waris Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2015)

Syaltut, Mahmud. Al-Islam Aqidah wa Al-Syari‟ah,(Cairo: Daar al-Syuruuq)

Yusuf Ghazal, Al-Qadi Al-mustasyar Al-syaikh Husain . Al-mirats „ala Mazahib Al-

arba‟ah, Dirasatah Watatbiiqan, (Mesir: Daar al-Fik, 2008)

Page 101: MENINJAU ULANG PRAKTIK WARIS BEDA AGAMA DALAM …

25

Zaid, Mushtafa. al-Mashlahah fi al-Tasyri‟ al-Islamiy wa Najmuddin al-Thufi,

(Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1964)