Menghidupkan aksi

153
1

description

 

Transcript of Menghidupkan aksi

Page 1: Menghidupkan aksi

1

Page 2: Menghidupkan aksi

2

Judul:

Menghidupkan Aksi

Baca, Diskusi, Tuli(?)

Penulis:

Alikta Hasnah Safitri

Desain Cover:

Eri Muriyan

Buku ini diterbitkan secara mandiri oleh Tim

Medkominfo Kammi Uns 2014

Penerbit:

Kammi Uns 2014

www.kammiuns.org

FB: Kammi Uns

Twitter: @KAMMI_UNS

Page 3: Menghidupkan aksi

3

Sekapur Sirih

Berkiprah dalam gerakan mahasiswa adalah pilihan yang saya

putuskan sejak tahun pertama saya menyandang status sebagai

mahasiswa. Bagi saya, gerakan mahasiswa bukan hanya menjadi wadah

untuk beraktualisasi, namun menjadi tempat menempa kedewasaan diri,

kawah candradimuka yang menguji matang/tidaknya pola pikir dan pola

sikap, serta rumah singgah yang mengantarkan saya menemukan

sahabat sejati.

Di bagian pertama, saya mencoba mengulik alasan mengapa kita

harus bergerak, sebagai mahasiswa sekaligus sebagai manusia. Di bagian

kedua, saya menyajikan beberapa kumpulan renungan pemikiran dan

interpretasi atas sebuah persoalan di sekitar maupun diskusi/seminar.

Pada bagian terakhir, saya sajikan beberapa tulisan hasil pembacaan

sederhana yang saya lakukan terhadap beberapa buku pilihan.

Memang, tak butuh waktu lama untuk menghimpun tulisan yang

terserak ini. Namun, perlu dorongan yang sangat besar untuk

membaginya secara massif ke hadapan pembaca sekalian.

Saya ucapkan terima kasih yang teramat atas kesempatan untuk

persahabatan yang bermakna bagi kakak-kakak di berbagai organisasi

eksternal kampus. Mas Zulfikar Ali dan Mba Sakina di KAMMI, Kanda

Page 4: Menghidupkan aksi

4

Tori Nuariza dan Adhytiawan di HMI, serta Mba Ida di Muslimah HTI

Solo Raya. Tak lupa, terima kasih terhebat juga saya ucapkan pada

kawan-kawan Badan Pengurus Harian KAMMI Komisariat

Sholahuddin Al Ayyubi UNS: Mas Erick, Mas Apin, Mas Hendra, Mas

Hafidh, Nugroho, Dek Zulfikar, Mba Isna, Mba Rona, Mba Alifta, Mba

Mila, Mba Shofi, Maryam, Pepy, dan Titik.

Tulisan ini adalah cermin untuk berkaca pada masa lalu yang

penuh inkonsistensi, menyadarkan saya bahwa proses ini belumlah usai,

dan mungkin tak akan pernah selesai. Dengan berbagi, saya berharap

hati saya menjadi lapang untuk membuka ruang penerimaan. Sekaligus,

membuka ruang kritik dan koreksi untuk memperbaiki kualitas diri.

Tak dapat saya berkata banyak. Semoga Alloh swt menunjukkan

kita ke jalan-Nya yang lurus.

Page 5: Menghidupkan aksi

5

Daftar Isi

Sekapur Sirih 3

Mengapa Kita Bergerak? 7

Metamorphosa Pemuda 8

Mahasiswa Hebat? Yakin? 12

Generasi Instan 15

Refleksi Sumpah Pemuda dan Mainstream Indonesiasentris 21

Refleksi Mendalam tentang Sejarah Kita 28

Jelang Orientasi Mahasiswa Baru 33

Membingkai Potret Intelektual Muda Indonesia, Sebuah Refleksi 36

Leiden is Lidjen, Memimpin adalah Menderita Teladan

Kepemimpinan Haji Agus Salim 53

Menjelang Akhir Kepengurusan 57

Dari Renungan hingga Diskusi 60

Bijak Tanggap Isu 61

Baratayuda di Negeri Kita 65

Kumbakarna dan Wibisana: Tentang Sebuah Ikhtiar Menghaluskan

Rasa 71

Ekalaya dan Segala Hal tentang Strata 76

Pesta Tahun Baru, MEA, dan Ekstase Masyarakat Konsumer 81

Page 6: Menghidupkan aksi

6

Bedah Buku Waktunya Tan Malaka Memimpin 86

Derita Remaja dan Kapitalisme, Islam sebagai Solusi 92

Print Culture Ideologisasi Gerakan Tarbiyah di Indonesia 98

Demokrasi dalam Syariat Islam 105

Menjadi Ibu Peradaban 112

Dari Buku ke Buku 117

Mas Marco: Sama Rata Sama Rasa 118

Irrasional dalam Nalar 121

Menguatkan Keyakinan 124

Mukmin dan Ateis 126

Zainab Al Ghazali, Tentang Sebuah Keteguhan Hati 128

Islam dan Kesadaran Kebangkitan Nasional 132

Korupsi, Korupsi! 141

Bukan Pasar Malam 145

Bibliomania 148

Page 7: Menghidupkan aksi

7

Mengapa Kita Bergerak?

Page 8: Menghidupkan aksi

8

Metamorphosa Pemuda

“Kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi manusia, kalian menyuruh

(berbuat) kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran dan kalian beriman

kepada Allah” (QS. Ali imran Ayat 110)

Mengapa Mahasiswa?

Seorang pemikir Islam, Hasan Al-Banna pernah mengatakan

sejak dulu sampai sekarang pemuda adalah pilar kebangkitan. Dalam

setiap kebangkitan, pemuda adalah rahasia kekuataannya. Dalam setiap

fikroh, pemuda adalah pengibar panji-panjinya.

Berbicara tentang pemuda (mahasiswa_red) berarti kita

membicarakan tentang masa depan dan perbaikan bangsa. Sebab,

mahasiswa-lah yang nantinya akan menjadi salah satu tonggak

perubahan masa depan. Membangun Peradaban. Ya, itulah yang akan

kita lakukan di kampus ini.

Mahasiswa memiliki sekian banyak potensi besar untuk

senantiasa bergerak. Mereka memiliki peluang untuk bergerak

menjangkau setiap elemen masyarakat baik secara vertikal maupun

horizontal, hingga kesempatan besar untuk menjamah berbagai sektor,

Page 9: Menghidupkan aksi

9

baik publik maupun privat. Meskipun tentu saja kita tak bisa menafikan

potensi yang ada dalam internal diri mahasiswa itu sendiri yakni

memiliki kekhasan dalam idealisme dan daya saing, sehingga selain

terbuka terhadap segala informasi, mereka juga tetap menggunakan

logika dalam mengambil setiap keputusan.

Peran Strategis Mahasiswa dalam Membangun Kampus Madani

“..Hendaklah kamu menjadi orang-orang yang rabbani, karena kamu

selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya..” (QS

Ali Imran :79)

Kita adalah da’i sebelum menjadi apapun. Sebagai seorang da’i

kita tidak boleh berdiam diri dengan kebathilan yang kini kerap

menyebar luas di Indonesia.

Seorang da’i hendaknya menjadi sumber inspirasi perubahan,

yang mampu memimpin dan melayani lingkungannya, sehingga

kehadiran citra positif terhadap nilai-nilai Islam dapat terwujud.

Kita hadir bukan hanya untuk mengutuk fenomena-fenomena

yang kini terjadi, bahkan sekedar berdiam diri saja, kita perlu bergerak

dan menjadi bagian dari solusi. Sehingga, perlu kiranya kita berhimpun

dalam lingkungan kebaikan untuk membentuk fokus kerja nyata dan

dakwah langsung pada civitas akademik kampus, maupun masyarakat

pada umumnya.

Page 10: Menghidupkan aksi

10

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan

orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan” (QS. Al Mujadilah :11)

Di tengah berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini,

mahasiswa sebagai kaum intelektul mendapat tugas memberikan solusi

terhadap problematika masyarakat dengan mengkritisi dan

menghasilkan solusi efektif. Mahasiswa diharapkan lebih memainkan

peranan sebagai problem solver sehingga terciptalah gagasan dan

produk baru yang bermanfaat sebagai pertanggungjawaban kapasitas

intelektual mahasiswa dalam ranah akademik.

Pertanyaannya, bisakah kita menjadikan kampus sebagai embrio

dari sebuah peradaban madani dengan ilmu pengetahuan sebagai

landasan? Ada proyek pembaruan yang mesti kita rampungkan. Proyek

ini selamanya hanya akan menjadi konsep yang terformat di dalam

pikiran dan tertulis di memoar kita, dan pada akhirnya usang dan lapuk

oleh usia ketika tidak segera direalisasikan.

Kita membutuhkan energi perjuangan untuk melahirkan

kekuatan perubahan. Kita membutuhkan pemuda yang tangguh dan

idealis untuk merealisasikannya. Maka, ambilah peran sebagai creator of

change itu, pencipta perubahan yang mampu mentransformasikan

kehidupan kampus agar tersibghah dengan nilai-nilai rabbani.

Mulailah untuk melihat pada diri, komunitas mana yang dapat

menjadi ‘ladang amal’ bagimu. Apakah itu di kelas, ataupun kelompok

minat tertentu. Bergaul-lah dengan mereka, jadikan mereka sahabat,

Page 11: Menghidupkan aksi

11

buat sahabatmu percaya padamu, lalu jadikan kepercayaannya

instrumen untuk mengajaknya terus melangkah dalam menjalani

kebaikan.

Page 12: Menghidupkan aksi

12

Mahasiswa Hebat! Yakin?

Setelah melalui proses seleksi yang ketat dalam SNMPTN,

akhirnya saat ini kalian akan segera menyandang predikat sebagai

mahasiswa. Mahasiswa dalam tahap awalnya memasuki dunia kampus

memiliki orientasi awal yang berbeda-beda. Ada yang menganggap

kuliah sebagai keharusan penuntasan jenjang pendidikan, ada yang

hanya mengejar ijazah sebagai orientasi karir di masa depan, ajang

mencari jodoh, ada pula yang mengorientasikan kuliahnya demi

penuntasan hasrat intelektual. Termasuk yang manakah diri kalian?

Pertanyaan selanjutnya, sudah yakinkah kalian dengan jurusan/

program studi yang kalian pilih? Sebab, kalau kalian tak merasa cocok di

awal, bagaimana bisa menjalani masa kuliah dengan penuh tanggung

jawab? Ingat, masa kuliah tak akan seindah seperti yang disajikan di

layar kaca. Kalian akan disibukkan dengan tugas kuliah, kompleksitas

pergaulan dengan rekan kuliah, rekan organisasi, dosen, hingga

masyarakat sekitar kampus.

Tidak percaya? Merasa hanya kuliah hanya tentang diri kalian

sendiri, atau paling banter ya tentang kalian dan orang tua? Proses

belajar yang akan segera kalian jalani bukan hanya menyangkut tentang

diri kalian, tetapi juga ratusan juta rakyat Indonesia. Saat seleksi masuk

perguruan tinggi, ada berapa ratus ribu siswa yang mendaftar? Berapa

Page 13: Menghidupkan aksi

13

banyak yang diterima? Kasarnya, jika ada 800 orang yang mendaftar di

program studimu, lantas yang diterima hanya 80, kalian pikir berapa

banyak kawan kalian yang saat ini sedang berjuang menentukan arah?

Dengan perbandingan keketatan tiap orangnya adalah 1:10, kalian

memiliki tanggung jawab besar atas 9 orang yang gagal mendapatkan

kursi di perguruan tinggi.

Jika itu belum cukup, baiknya kalian cari tahu dari mana asalnya

subsidi untuk uang kuliah kalian. 20% APBN yang dialokasikan oleh

pemerintah untuk pendidikan, termasuk perguruan tinggi dan beasiswa

pemerintah diambil dari uang rakyat, tidak peduli seberapa miskinnya ia.

Ingat, 70% APBN negara kita berasal dari pajak. Siapa yang membayar

pajak? Mereka adalah abang tukang becak, ibu penjual asongan, sopir

bus, kenet angkutan umum, dan sesiapapun yang terkena wajib pajak.

Ingatlah bahwa anonim manusia yang tak kalian kenal pun turut andil

dalam penentuan masa depan kalian (tentu dengan asumsi bahwa dana

pendidikan diambil dari pemasukan pajak dan non pajak). Maka, kalian

tak hanya bertanggung jawab terhadap satu dua orang, tapi juga ratusan

juta rakyat Indonesia.

Di awal perkuliahan, hampir pasti kalian akan diingatkan dengan

status keren kalian sekarang: (MAHA)SISWA. Organisasi mahasiswa

akan mencekoki kalian dengan ragam label, dari mulai agen perubahan,

moral force, iron stock, dan lain-lain. Dosen akan mencekoki kalian dengan

ragam tuntutan, bisa dengan optimisme ataupun skeptisisme. Kalian

sendiri akan mulai membebani diri kalian dengan ragam pragmatisme

Page 14: Menghidupkan aksi

14

dan oportunisme yang disajikan di bangku kuliah maupun angan-angan

tentang lahan pekerjaan yang hendak kalian garap pasca lulus.

Lantas, bagaimana wujud pertanggungjawaban kita pada ratusan

juta anonim manusia yang telah meringankan beban kita? Masih enggan

untuk serius dalam menekuni kompetensi keahlian yang kita pilih saat

ini? Masih apatis untuk sekedar berbaur bersama rakyat dan berusaha

memberdayakan mereka? Katanya menjadi mahasiswa artinya juga

menjadi kaum intelektual. Ingat, terminologi intelektual bukanlah logika

yang sifatnya pasti dan hanya memiliki tafsir tunggal. Namun secara

umum, kata intelektual ditafsirkan sebagai kondisi dimana seseorang

berkutat secara tekun dan serius pada ilmu profesionalnya, untuk

selanjutnya mentranformasikan pengetahuannya sebagai bentuk peran

sosialnya dalam menyelesaikan problematika umat. Kaum intelektual

adalah sosok yang mencerahkan, demikian kata Gramsci. Konsekuensi

logisnya, kaum intelektual wajib memberi fungsi pencerahan bagi

orang-orang disekitarnya dengan kapasitas keilmuan yang mereka miliki.

Mahasiswa yang terlanjur tercitrakan sebagai kaum intelektual

mestinya mampu bergerak di ranah ini, mempertemukan teori dan

praksis guna memecahkan berbagai problem sosial yang mengakar di

masyarakatnya. Bukan hanya memperkuat ilmu pengetahuan sesuai

dengan basis akademis untuk kebutuhan pribadi, tetapi juga berani

untuk peka dan melek pada realitas sosial, serta memberikan

kebermanfaatan untuk sesama. Jadi, mau memberikan kebermanfaatan

apa kalian selama menjalani studi di kampus?

Page 15: Menghidupkan aksi

15

Generasi Instan

Yang instan semakin banyak dan beragam. Berawal dari mie, ikan

yang dikalengkan, sampai akhirnya nyerempet juga ke bumbu makanan.

Di zaman sekarang, orang tidak usah repot-repot nyiapin ubo rampe

buat masak opor, rendang, sayur, nasi goreng, cukup dengan beli si

bumbu kemasan sachet, buka, gunting, lalu campurkan ke bahan

makanan pokok, panaskan dengan api yang tinggal klik dari kompor,

selesai saudara. Betapa mudahnya.

Mungkin karena memang gampang dan menghemat waktu dan

biaya, bangsa kita jadi terbiasakan dengan pola-pola instan seperti ini.

Masyarakat kita jadi pelit menggunakan sedikit nalar mereka untuk

berfikir, jadi kikir pula soal penggunaan energi mereka untuk bekerja

lebih banyak.

Saya jadi miris dan menyesalkan hal ini. Lebih lanjut lagi, pola

hidup serba instan ini menyebabkan dampak yang lebih parah, bukan

hanya sebatas pada kebiasaan dan perilaku penggunaan, tapi lebih

kepada perubahan kepribadian bangsa. Yang sayangnya, saya temukan

di kalangan mahasiswa.

Page 16: Menghidupkan aksi

16

Beberapa waktu lalu, nomor handphone saya dicantumkan menjadi

salah satu contact person dalam sebuah buletin. Sederhana kerjanya:

menjawab pertanyaan. Tapi ternyata tak sesederhana dan semudah itu.

Beberapa bertanya, “Mba, besok osmaru (orientasi mahasiswa

baru) pakai apa?” Saya bilang, “Lihat di website resminya.”

Si adik ini bertanya lagi, “Lha mbak-nya udah tau kan? Apa to

mba? Kasih tau, saya males buka web-nya..” (Tidak hanya satu dua

orang yang memberikan tipe pertanyaan macam ini)

Beberapa lagi bertanya, “Mba tidak boleh pake jeans ya?”, saya

jawab, “Sudah baca yang di web?” Dia jawab: sudah.

Hallo? Lalu, untuk apa lagi bertanya? Usut punya usut, ternyata

adik yang satu ini menanyakan hal serupa ke beberapa orang, di

facebook, lewat sms. Dengan tujuan guna mendapatkan jawaban Ya

boleh. Hanya ingin menguatkan argumentasi dan pembenaran yang ia

harapkan.

Saya jadi ngeri dan takut membayangkan generasi macam apa

yang akan lahir dari rahim 2012 ini manakala pertanyaan yang diajukan

berkisar seperti yang saya sebutkan di atas. Saya takut bangsa kita akan

jadi bangsa yang mandul dalam melahirkan karya-karya monumental

yang bercita rasa tinggi.

Bukan karya (maaf) ecek-ecek yang hanya menginginkan

pengakuan dari museum rekor, tapi kemudian hilang pengaruhnya bagi

Page 17: Menghidupkan aksi

17

bangsa ini selain melahirkan budaya konsumtif yang kian merajai

panggung demokrasi.

Ah, mau mengeluhkan nasib bangsa ini dan menyalahkan

lahirnya generasi instan pada siapa rasanya juga tak akan berefek

apapun. Nyatanya, lahirnya generasi instan ini telah dimotori juga oleh

orang-orang yang mengaku sebagai aktivis.

Sebutlah aksi. Seringkali terjadi, saat mimbar-mimbar ilmiah

hilang suaranya, kajian kontemporer sunyi pengikutnya. Mendadak

undangan aksi menghampiri. Ramai. Lalu gempar.

Kita jadi kehilangan nilai sakral sebuah aksi hanya karena

ketidakpahaman kita soal isu yang hendak kita angkat ke jalan. Lalu aksi

hanya jadi sekadar luapan emosi tanpa rumusan ‘tuntutan’ dan ‘solusi’

yang jelas. Peserta aksi? Kadang mereka pun tak mengerti, yang

penting hafal lirik mars mahasiswa, darah juang, selesai semua urusan.

Bah!

Generasi instan ternyata bisa lahir juga dari insan-insan cendekia

yang kritis dan ‘katanya’ diharapkan. Sekali lagi saya bertanya: Buat apa?

“Kritik mendasar pada gerakan mahasiswa adalah ekspresi

reaksionernya pada berbagai isu. Bentuk reaksioner ini mengindikasikan

bahwa gerakan itu tidak memiliki agenda atau termakan oleh agenda

orang lain. Gerakan mahasiswa bukanlah alat pukul politik yang

disibukkan mencari musuh dan bergerak sebagai watch dog. Gerakan

Page 18: Menghidupkan aksi

18

mahasiswa adalah aset masa depan, maka ia harus memiliki rencana

masa depan bangsanya yang kelak ia pun ikut andil dalam proses

kepemimpinan bangsa ini. Kompetensi dasar di atas itu merupakan

wujud dari pengokohan gerakan yang menjadikan dirinya lebih

kontributif pada pemecahan masalah umat dan bangsa.” (Manhaj

Kaderisasi KAMMI 1427 H)

Saya pernah bergiat di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas.

Setidaknya saya berharap begitu. bukan orang yang hanya buat gagah-

gagahan saja memakai jaket bertuliskan Badan Eksekutif Mahasiswa.

Yang muncul seperti spora di awal, lalu kemudian berguguran di akhir,

dan dengan rasa percaya diri yang luar biasa masih berani mengatakan

saya pengurus bem, Hidup Mahasiswa. Saya tidak akan mengatakan

padamu untuk keluar saja dari BEM mengingat saya sering bilang :

Aktivis yang pragmatis juga banyak, ngapain sibuk mencerca mahasiswa

apatis!

Sering saya bertindak di luar batas, mencerca lembaga sendiri,

meski hanya ditanggapi dengan senyuman. Saya sadar bahwa sejatinya

tugas kita adalah menyalakan lilin, bukan menyalahkan kegelapan,

karena itu saya pantang bungkam.

Menjaga lidah itu pasti. Tapi siapa yang mau mendengar kecaman

dan tuntutan dari mahasiswa ‘biasa’, kalau diawal para aktivis sendiri

menaruh jarak luar biasa lebar dengan mengatakan bahwa mahasiswa

yang tak berorganisasi adalah mahasiswa yang pragmatis dan apatis

Page 19: Menghidupkan aksi

19

tanpa berkaca bahwa kebanyakan dari kita pun adalah generasi-generasi

instan yang bukan hanya pragmatis dan apatis, tapi juga culas dan

bermental kancil.

Semestinya kritik dan koreksi itu lahir dari pribadi-pribadi yang

banyak belajar, banyak tahu, banyak mendengar, yang katanya mau

mengabdi untuk rakyat.

Agaknya barang instan ini jadi momok yang kian

mengkhawatirkan. Ketika semua orang berharap mendapat sesuatu

dengan kilat, ekstra cepat hingga melupakan substansi yang pada

dasarnya jauh lebih bermakna. Yang saya khawatirkan adalah ketika

pada akhirnya, orang-orang jadi begitu terlena pada masa-masa kejayaan

mahasiswa dulu hingga lupa bahwa tantangan hari ini berbeda-tak lagi

seromantis zaman-zaman lalu yang sudah lapuk oleh usia

Saya sadar, saya bukanlah orang dengan segudang keahlian

meskipun saya yakin bahwa Allah menciptakan saya dalam keadaan

yang sebaik-baiknya sehingga saya tidak boleh sekalipun menyalahkan

siapapun atas apa yang tak saya miliki.

Saya iri pada mereka yang memiliki suara lantang dan berwibawa,

postur badan yang tegap, serta karisma yang terpancar bahkan sebelum

mereka bicara. Tapi, itu bukan tindakan ksatria. Seorang ksatria pantang

mengeluhkan keadaan, pantang baginya mencerca diri. Karena sejatinya,

seorang yang bisa menghargai dan menghormati segala apa yang ada

pada dirinya adalah orang yang bisa menghargai orang lain.

Page 20: Menghidupkan aksi

20

Maka meski saya skeptis, saya bersyukur. Masih ada orang-orang

seperti kalian. Meski dengan segala kritik dan caci, jangan pernah

mundur. Jadikan pelecut diri untuk jadi pribadi yang lebih baik.

Wahai aktivis!!

Jangan mau jadi generasi instan yang bergerak hanya atas dasar

ikut-ikutan, raihlah kefahaman dan capailah ketinggian.

Demi Tuhan yang menciptakan akal.

Atas nama ilmu pengetahuan.

Page 21: Menghidupkan aksi

21

Refleksi Sumpah Pemuda dan

Mainstream Indonesiasentris

Refleksi Sumpah Pemuda dan Karakter Pemuda Indonesia

Lahirnya sumpah pemuda 84 silam bukan saja merupakan batu

pijakan dari rangkaian proses sejarah yang bertonggak pada kejemuan

akan realitas penjajahan yang sarat dengan penderitaan dan

kesengsaraan, akan tetapi merupakan hasil pergolakan sekaligus

pembuktikan kualitas dan karakter pemuda Indonesia kala itu.

Sumpah Pemuda membuktikan kuatnya karakter pemuda kita

sebagai pemuda yang Visioner dan Pemberani. Para pemuda kita telah

melompati mainstream pemikiran kedaerahan, kesukuan, bahkan

melampaui batas-batas rasial yang membelenggu, membiarkannya

merambah dalam wilayah-wilayah universal, penolakan kolonialisme,

dan keinginan mewujudkan kesetaraan manusia. Keberanian

meneriakkan dengan lantang dan mengambil sikap melawan entitas

penjajah bukan merupakan hal yang main-main, mereka dengan berani

telah menyatakan persatuan bangsa Indonesia dan sebuah cita-cita

mulia untuk mendirikan sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat.

Page 22: Menghidupkan aksi

22

Mari kita cukupkan romantisme sajarah tentang heroisme

pemuda dalam periode yang lalu. Pertanyaannya, bagaimana dengan

kondisi pemuda kita hari ini? Kebudayan bangsa Indonesia yang

bernilai luhur dan agung begitu saja terkikis akibat hegemoni budaya

asing. Konflik horizontal yang marak terjadi pun semakin

memperlihatkan dengan gamblang disentegrasi bangsa.

Jika menilik lagi sejarah, barangkali memang pemuda (dalam hal

ini mahasiswa) mulai mabuk akan demonstasi pada 1998. Letih dengan

demonstrasi, mahasiswa mabuk label keilmiahan kemudian mengingkari

semangat angkatan ’98 untuk berteriak dan turun ke jalan

memperjuangkan rakyat. Kini, bukannya menempa pikir dalam kajian

dan diskusi untuk mencari solusi, mahasiswa malah asyik masyuk

menjadi event organizer. Beberapa mengklaim bahwa mereka memberi

solusi pada permasalahan bangsa, nyatanya solusi tersebut terongrong

dalam ego dan sikap elitis, selesai dalam ruang-ruang seminar dan kajian

akbar.

Menjamurnya berbagai lembaga dan organisasi mahasiswa, mulai

dari BEM, DEMA, Pers Mahasiswa, hingga Unit Kegiatan Mahasiswa

telah membentuk spektrum yang mencerminkan karakter mahasiswa

dalam skala yang relatif lebih luas, sayangnya hal ini pun berdampak

pada lemahnya konsolidasi visi dan orientasi sehingga terjadi dikotomi

dan pelepasan tanggung jawab mengemban amanah reformasi yang

telah dititipkan oleh generasi sebelum kita.

Page 23: Menghidupkan aksi

23

Melakukan refleksi terhadap Sumpah Pemuda 84 tahun silam

semestinya bisa menumbuhkan spirit dan semangat membangun

karakter baru untuk berpikir visioner melampaui mainstream pemikiran

umum sehingga dengan berani kita bisa memberikan sumbangsih ide,

gagasan, dan tindakan untuk perbaikan bangsa ini ke depan.

Pada hakikatnya, mahasiswa haruslah memiliki karakter yang

ideal, kuat dan cerdas. Akan tetapi bagaimanakah cara menumbuhkan

karakter ideal tersebut? Apakah ia akan tertanam melalui seminar satu

dua hari saja? Atau melalui kontribusi konkrit dengan pengadaan event-

event kepemudaan serta beribu lembar karya ilmiah? Ataukah, karakter

itu akan muncul saat kita memilih untuk menempuh alternatif gerakan

pecinta lingkungan dan pengabdian pada masyarakat?

Agaknya, pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi suatu hal yang

sukar untuk dijawab lewat tiga sampai lima lembar kertas saja,

melainkan harus melalui penelaahan yang panjang dan kontinyu

sehingga dapat ditemukan pola kontruksi karakter mahasiswa yang ideal

untuk menjawab tantangan zaman.

Mainstream Indonesiasentris

Indonesiasentris mengacu pada nilai-nilai dan pandangaan yang

mengacu pada sudut pandang Indonesia. Sentrisme Indonesia ini adalah

suatu bentuk reaksi terhadap sikap elitis dan cara pandang parsial, salah

satunya di bidang pendidikan. Paulo Freire menyatakan bahwa

pendidikan kita saat ini jelas menerapkan gaya bank. Pendidikan kini

Page 24: Menghidupkan aksi

24

bukan lagi diletakkan sebagai proses memerdekakan manusia dari

penjajahan kebodohan, kebutaan akan hidup dan kehidupan. Ruang-

ruang pendidikan seperti sekolah dan universitas kini menjadi pabrik

yang mencetak generasi terbaik bangsa sebagai pekerja, buruh di negeri

sendiri.

Terbatasnya sikap keindonesiaan menyebabkan keterpurukan

pemuda dalam menjelaskan interpretasi dan eksplanasi, sehingga

mereka cenderung membuat generalisasi berdasar narasi besar yang

abstrak semata. Jarang pemuda kita membuat konsep yang berbeda dari

narasi umum yang ada. Seolah apabila sedang bicara tentang

nasionalisme maka kita bicara soal bertempur dan melawan musuh.

Padahal ada bentuk-bentuk lain dari perjuangan dalam rangka

nasionalisme. Pada akhirnya, perlu kita sadari bersama bahwa masing-

masing pihak mempunyai cara sendiri tentang bagaimana berjuang.

Solusi yang bisa diupayakan untuk merekonstruksi karakter

mahasiswa yang ideal adalah dengan menanamkan mainstream

Indonesiasentris pada pola pikir yang berbasis pada kesadaran.

Seringkali kita masih terhegemoni dengan romantisme sejarah

bahwasanya mahasiswa adalah tonggak sejarah perubahan bangsa yang

telah menumbangkan kekuasaan tiran dan memperjuangkan nasib

rakyat. Dan tentu saja, kini kita melihat dengan nyata bahwa sejatinya,

kita pun telah dikhianati oleh segelintir oknum yang kala itu

memperjuangkan nasib kita. Kesadaran mengenai realita sejarah

bermakna bahwa mahasiswa kini harus mampu mengenali dirinya

Page 25: Menghidupkan aksi

25

secara utuh sehingga mampu menentukan langkah dan arah geraknya

sendiri, tak mesti menunggu untuk ditunggangi kepentingan-

kepentingan yang akan memposisikan dirinya sebagai bidak-bidak catur

yang tak punya daya dan upaya untuk bergerak sesuai nuraninya.

Dalam masyarakat industrial seperti sekarang ini, yang mengatur

bukan lagi orang tetapi sistem sehingga perseorangan harus

menyesuaikan diri terhadap sistem yang berlaku. Hal ini menunjukkan

pada kita bahwa rasionalitas modern telah menempatkan individu

sebagai pihak yang otonom dan bebas, sehingga mereka dapat

mengambil tindakan atau keputusan terlepas dari kewibawaan institusi.

Representasinya tercermin dari sifat konsumerisme dan gaya hidup

hedonisme yang kini memiliki arti penting dalam praktek

bermasyarakat.

Karakter mahasiswa ideal harus peka dalam menghadapi

tantangan ini dan mampu menempatkan diri sebagai director of change.

Bukan bermaksud untuk latah dengan kembali mengulang stigma

(semoga saja belum usang) bahwa mahasiswa adalah ‘Agen Perubahan’,

pemegang tahta tertinggi dalam kancah pendidikan. Namun, seiring

berkembangnya jaman, lapuk pula-lah slogan itu. Sebuah paradigma

baru (yang entah siapa pembuatnya) mengantar orientasi berpikir

mahasiswa untuk menjadi si kaya yang bodoh dan sombong. Sombong

karena berani berkoar didepan umum dengan janji akan menaklukan

dunia di tangannya, tapi akhirnya binasa sebelum melangkah ke medan

laga.

Page 26: Menghidupkan aksi

26

Konstelasi ini harus dijawab oleh setiap individu dengan

menumbuhkan karakter yang utuh, tanpa terdistorsi kepentingan-

kepentingan personal maupun golongan tertentu.

Semestinyalah ada penerusan dari kesadaran individual menuju

kesadaran kolektif. Gambaran tentang masa depan tidak saja berkaitan

dengan kesadaran individu, melainkan juga secara sosial/ kolektif

dengan jalan mengintegrasikan diri dalam sebuah komunitas masyarakat

yang yang mempunyai agenda kebajikan di tengah masyarakat luas.

Sehingga individu-individu yang terhimpun dapat saling

mengeksplorasi pikiran tentang Indonesia di masa yang akan datang.

Pada Akhirnya, Mari berbenah

Upaya untuk membangun karakter pemuda Indonesia bukanlah

semata-mata kerja seorang teoritisi. Proyek ini merupakan tanggung

jawab setiap elemen sosial yang melibatkan kerja proaktif baik dari

kalangan aktivis maupun akademisi. Upaya selanjutnya adalah

bagaimana menginstutisionalkan kerja-kerja teknis dalam upaya

penanaman mainstream Indonesiasentris dalam diri pemuda Indonesia.

Pada tingkatan nasional misalnya, para aktivis dan kaum

intelektual yang bergerak di gerakan akar rumput harus melampaui

mainstream karakter perjuangan mahasiswa pada umumnya yang

sebatas melakukan aksi turun ke jalan tanpa merumuskan solusi yang

konkrit, menulis sejumlah proyek ilmiah namun tak memberikan

kontribusi yang berarti pada masyarakat, serta terus menerus

Page 27: Menghidupkan aksi

27

memberikan sumbangan materi pada masyarakat miskin tanpa disertai

dengan upaya pengabdian sosial.

Perjuangan untuk menumbuhkan karakter Indonesiasentris pada

diri pemuda merupakan hal yang sangat penting, karena dengan

perhatian pada konfigurasi tatanan pewaris masa depan Indonesia akan

menjadi jalan untuk menumbuhkan ulang semangat visioner dan

pemberani yang dimiliki oleh pemuda Indonesia dalam momentum 84

tahun silam saat mereka mengikrarkan sumpah pemuda.

Beberapa di antara kita mungkin memaknai sumpah pemuda

dengan menjadikannya sebagai ritual yang kosong dengan hanya

sekedar berucap SELAMAT HARI SUMPAH PEMUDA di jejaring

sosial, mungkin pula hanya sekedar menjadikannya pelengkap tema-

tema diskusi, atau bisa jadi kita mengambil momentum ini hanya

sebagai tema aksi. Tanpa pernah kita benar-benar merefleksikan releansi

semangat sumpah pemuda untuk menjawab tantangan masa depan

bangsa Indonesia. Inilah saat kita berbenah, Pemuda Indonesia.

Page 28: Menghidupkan aksi

28

Refleksi Mendalam tentang Sejarah

Kita

Sejak awal penciptaanya, manusia dikenal sebagai pribadi-pribadi

yang senang menyederhanakan. Konsep lambang bunyi yang arbitrer

kemudian difungsikan dalam ragam bahasa bunyi, penjabaran konsep

eksak terwakili oleh simbol-simbol dan lambang-lambang matematis,

berbagai referensi buku pelajaran senantiasa tersusun dalam sistematika

yang runtut agar mudah difahami. Lalu, bagaimana dengan sejarah?

Fragmentasi kesejarahan yang seringkali dipakai manusia seringkali

tersistem berdasarkan periodisasi waktu. Mengapa waktu? Sebab waktu

adalah ‘sesuatu’ yang begitu dekat dengan kita, bisa jadi malah

mencirikan eksistensi pokok keberadaan kita di alam semesta.

Sejarah telah membuktikan, disetiap kebangkitan suatu bangsa

terdapat pemuda sebagai rahasia kekuatannya. Revolusi Perancis yang

menumbangkan monarki dan gereja di abad pertengahan digerakkan

oleh kaum intelektual muda. Di dunia Islam Asia-Afrika, para

mahasiswa dan pemuda bangkit mempelopori perlawanan terhadap

penjajah di sepanjang paruh pertama abad ke-20 sampai tahun 70-an.

Bagaimana dengan sejarah kebangkitan pemuda di Indonesia?

Page 29: Menghidupkan aksi

29

Ketika belum ada seorangpun yang terpantik semangat juangnya

guna memperjuangkan tanah air, Pemuda Wahidin Sudirohusodo telah

melahirkan gagasan tentang kebangkitan nasional pada tahun 1908.

Pemuda Sukarno dan Hatta telah merealisasikannya dengan ikrar

kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam rentang

waktu tersebut terdapat banyak kisah heroik perjuangan para pemuda

Indonesia guna mengabdi dan berbakti untuk negeri.

Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928

menjadi titik tolak persatuan bangsa. Satu nusa, satu bangsa, satu

bahasa. Siapa yang menyerukan narasi besar ini? Pemuda. Uniknya,

kesadaran persatuan ini tumbuh dan berkembang secara sadar dan

kolektif pada tiap elemen kepemudaan. Jauh berbeda dengan sekarang,

yang hanya menggaungkan semangat persatuan ketika tim sepak bola

kita melawan tim negara lain.

Yang lebih menarik lagi adalah bahwa dalam keterbatasan yang

ada kala itu, dalam ketiadaan jaminan bahwa gagasan besar yang mereka

ikrarkan akan menjadi tonggak perjuangan yang menyejarah, mereka

tetap memperjuangkannya dengan gigih dan semangat menyala.

Bedakan dengan aksi anarkis para pemuda kita sekarang, yang maunya

menjadi ‘sejarah yang menyejarah’, tapi pada akhirnya nol dalam hal

kontribusi. Ya, hanya meneriakan slogan kosong kaum oportunis

semata.

Ini adalah zaman perubahan. Dari wacana menuju realita. Kita

sudah terlalu kenyang dengan aksi dan demonstrasi melalui

Page 30: Menghidupkan aksi

30

media(termasuk tulisan ini), kita sudah terlalu lama hanya mendengar

dan menggaungkan wacana-wacana tentang kemiskinan, mahalnya biaya

pendidikan, dan globalisasi. Ini saatnya kita bertindak, dengan memberi

kontribusi yang berarti. Memang, kita tak bisa menafikan bahwa wacana

adalah hal yang juga urgen. Tapi apakah hanya akan kita gantungkan

hidup mati bangsa dalam sebuah wacana saja?

Sejarah selalu memperlihatkan bahwa perubahan selalu

mewujudkan keinginan-keinginan dasar yang merupakan cita-cita

bersama. Setiap semangat perubahan akan mengantarkan kita pada

mimpi yang terejawantahkan. Karena itulah, kita membutuhkan pelaku

perubahan yang senantiasa berjuang untuk mengeksekusi gagasan-

gagasan besar, yang merealisasikan setiap impian menjadi narasi yang

tersejarahkan.

Sekali lagi, mari telaah kembali sejarah kita.

Pada 1908, pemuda mulai membangun gagasan kemerdekaan.

Tahun 1928, gagasan itu dibingkai dalam semangat persatuan. 1945,

perwujudan gagasan itu teraktualisasikan secara nyata dalam proklamasi

kemerdekaan. Setelah kemerdekaan berhasil dicapai, muncul masalah

internal dalam tubuh bangsa. Maka, pemuda lah yang kemudian

kembali bertindak, pada 1966 pemuda menumbangkan rezim orde

lama, dan keberhasilan pun kembali dicetak ketika mereka

menumbangkan rezim orde baru pada 1998.

Page 31: Menghidupkan aksi

31

Sejarah selalu menyimpan kisah. Meski tak mungkin sejarah bisa

merangkum semua lini kehidupan secara utuh dan sempurna. Euforia

masa lalu dan dinamika keberhasilan masa lampau bisa jadi meyebabkan

sebagian dari kita beranggapan inilah keberhasilan yang sesungguhnya

dan akhir dari tujuan. Pada satu sisi, kita memang mesti berterimakasih

kepada para pemuda era lalu. Tapi, itu tidak berarti kita mesti mengikat

diri pada kepuasan dan tak mengacuhkan cerita hari ini, serta enggan

menyusun gagasan esok hari.

Kebangkitan pemuda di masa lalu diwujudkan di tengah

cengkeraman penjajahan. Saat ini, kita hidup ditengah kemerdekaan,

namun sayang masih semu. Kita masih terjajah! Bukan lagi berebut

wilayah dan kekuasaan, tapi melalui destruksi moral generasi, opini

publik yang dikembangkan para pemilik konsorsium yang menggurita,

dan sketsa politik laba-laba yang menyesatkan.

Lantas, apa sejarah yang akan kita bubuhkan dengan tinta emas

di atas persada khatulistiwa? Kita butuh para pelaku sejarah yang gigih

memperjuangkan cita-cita dan idealismenya. Ketika idealisme pemuda

mengendur, maka mengendur pula zaman yang dilaluinya.

Ada proyek pembaruan yang mesti kita rampungkan. Proyek ini

selamanya hanya akan menjadi konsep yang terformat di dalam pikiran

dan tertulis di memoar kita, dan pada akhirnya usang dan lapuk oleh

usia ketika tidak segera direalisasikan. Kita membutuhkan energi

perjuangan untuk melahirkan kekuatan perubahan. Kita membutuhkan

pemuda yang tangguh dan idealis untuk merealisasikannya.

Page 32: Menghidupkan aksi

32

Maka, ambilah peran. Jadilah pemuda itu. Jadilah ‘sejarah yang

menyejarah’.

Hidup Mahasiswa! Hidup Pemuda! Hidup Indonesia!

Page 33: Menghidupkan aksi

33

Jelang Orientasi Mahasiswa Baru

Bagi mahasiswa baru momen samaru (sambut mahasiswa baru,

biasanya dikenal dengan sebutan ‘ospek’) adalah masa yang penting.

Untuk pertama kalinya, mereka akan menginjakkan kaki di kampus baru

mereka, sekaligus mengurus administrasi kemahasiswaanya.

Disisi lain, ada banyak pihak yang juga berkepentingan dengan

masa registrasi on desk tersebut. Lembaga internal kampus layaknya

organisasi mahasiswa akan mengambil kesempatan ini untuk

kepentingan mereka, entah untuk pelayanan semata, pelayanan demi

terciptanya citra yang baik (pencitraan), atau pelayanan demi terciptanya

citra yang baik (pencitraan) guna perekrutan anggota.

Hal ini telah menjadi semacam rutinitas yang terjadi setiap

tahunnya, maka semaraklah kampus demi menyambut para fresh

graduated high school tersebut.

Saya pun pernah menjadi mahasiswa baru, dan saya perkirakan,

konsep yang sekarang diusung pun akan sama dengan yang dulu.

Hampir semua organisasi mahasiwa menggunakan pendekatan-

pendekatan persuasif yaitu dengan cara melayani kebutuhan maru,

utamanya dalam hal teknis di lapangan. Misal: akses informasi (info kos,

advokasi biaya kuliah, dan lain sebagainya).

Page 34: Menghidupkan aksi

34

Bisa jadi, mereka pun mengusung pendekatan edukatif. Amunisi-

amunisi seperti leaflet, bulletin mini, sampai booklet akan terlihat

berserakan (yah, dibuang dan tak sempat dibaca barangkali). Namun,

yang lebih ditonjolkan dengan cara yang kedua adalah ‘pendidikan

organisasi’- pemberian stimulan-stimulan tentang pentingnya

mengembangkan kapasitas personal secara intelektual lewat lembaga

kampus.

Namun bagi saya, ada satu hal penting yang mestinya menjadi

corak berfikir para aktivis kampus. Bukan hanya mengusung fungsi

pelayanan, pencitraan, dan perekrutan lembaga. Yang lebih penting dari

itu semua adalah bagaimana kita mengupayakan agar kampus

tercitrakan sebagai basis moral dan intelektual dalam ranah akademis.

Basis intelektual yang saya maksud adalah manifestasi belajar

secara luas, menyangkut spesialisasi ilmu yang diambil oleh mahasiswa,

maupun pembelajaran yang ia ambil guna pengembangan dirinya

melalui organisasi-organisasi mahasiswa. Basis moral adalah hal yang

mendasar untuk membentuk karakter yang baik, kuat, dan cerdas.

Saya rasa kita harus menawarkan ruang aktualisasi secara

menyeluruh, untuk terus mengarahkan mahasiswa pada platform,

“Membangun integritas mahasiswa secara moral dan intelektual.”

Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Soe Hok Gie dalam

bukunya Catatan Seorang Demonstran: “Mimpi saya yang terbesar, yang

ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi

Page 35: Menghidupkan aksi

35

“manusia-manusia yang biasa”. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi

yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang

manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa,

sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.”

Page 36: Menghidupkan aksi

36

Membingkai Potret Intelektual Muda

Indonesia, Sebuah Refleksi

Hal yang menarik ketika kita bicara tentang ‘intelektual’ adalah

karena dengannya kita seolah dipaksa untuk berkaca di depan album

waktu yang kita beri nama ‘sejarah’. Dalam studi sejarah, Arnold

Toynbee mengemukakan adanya recurrent pattern atau kecenderungan

berulangnya suatu pola dengan beragam variasinya. Apakah

kecenderungan ini pun berlaku ketika memperbincangkan intelektual

Indonesia dari masa ke masa? Tentunya, ini akan menarik bila kita

telaah bersama. Namun, saya tidak akan membuat cerita ini menjadi

panjang dengan membaginya dalam periodisasi waktu yang baku, saya

hanya akan membiarkan tulisan ini mengalir sependek jalan pikiran saya

yang sederhana.

Sejarah modern pergerakan politik, ekonomi, sosial, dan budaya

nasional mencatat kaum terpelajar dalam dinamika masyarakatnya

memang amat menonjol. Bahkan terlihat sejak menjelang akhir abad ke-

19 dengan tampilnya sejumlah kalangan terpelajar yang melakukan

kritik pedas terhadap pemerintahan kolonial. Tidak sedikit diantaranya

malah yang sudah berani mengajak rakyat bangkit melawan penjajahan.

Perlawanan menentang kolonialisme bukan hanya dilakukan oleh

Page 37: Menghidupkan aksi

37

mereka yang mengenyam pendidikan barat, tapi juga oleh kaum

terpelajar yang berlatar pendidikan Islam.1

Pada 16 Oktober 1965, seorang saudagar batik asal Kampung

Batik Laweyan bernama Hadji Samanhoedi mendirikan Sarekat Dagang

Islam (SDI), sebuah organisasi modern berasas Islam pertama di Hindia

Timur, yang kelak menjadi cikal bakal lahirnya organisasi pergerakan

lain di Indonesia. Selain memperdalam ilmu agama pada Kyai

Djodjermo di Surabaya, semasa kecil ia juga mengenyam pendidikan di

Inlandsche School dan Eerste Inlandsche School. Ini membuktikan bahwa

Hadji Samanhoedi bukan hanya seorang pengusaha yang memegang

teguh Islam, tetapi juga seorang pejuang intelektual Islam yang anti

terhadap segala bentuk penjajahan.

Di era yang sama, kita mengenal RM Tirtoadhisoerjo, murid

STOVIA yang sering dikenal sebagai pelopor wartawan Indonesia. Ia

senantiasa melakukan kritik pedas terhadap pemerintah kolonial melalui

Medan Prijaji. Meskipun surat kabar tersebut bernama Medan Prijaji,

surat kabar tersebut tidaklah dimaksudkan hanya untuk kaum priyayi.

Malah, ia yang sebelumnya mendirikan Sjarikat Prijaji dan menjadi

bagian dari Boedi Oetomo menulis:

Aduh! Dalam programnya perkumpulan muda ini memang memuat

maksud yang begitu2, akan tetapi antara maksud dan kesampaiannya maksud itu

1 Yudha, D.P ; Peran Cendekiawan dalam Dinamika Masyarakat

2 maksudnya, melepaskan rakyat dari penderitaan akibat kolonilalisme

Page 38: Menghidupkan aksi

38

masih ada ruang lebar... tetapi yang demikian juga tak dapat diharapkan, sebab

anggota Boedi Oetomo juga ingin berumah yang patut dan penghidupan senang,

hingga masing-masing hendak mencari pekerjaan yang baik, biar di kandang

gubermen, biar di halaman partikulir”3

Kehebatan tulisan itulah yang membuat Tirto harus mengalami

pembuangan ke Lampung. Namun, di masa pembuangannya pun ia tak

pernah berhenti menulis karangan-karangan yang bertujuan membela

rakyat kecil serta melawan praktik buruk dari pemerintah kolonial

setempat. Apa yang dialami oleh Tirto dilukiskan indah oleh Pramoedya

Ananta Toer dalam tetralogi pulau buru-nya yang terkenal itu.

Termasuk juga kisah pertemuan antara Tirto, Mas Marco, serta Hadji

Misbach.

Hadji Misbach mendirikan Medan Moeslimin pada tahun 1915

dan Islam Bergerak pada tahun 1917. Salah satu tulisannya yang

dirilisnya dalam Medan Moeslimin berjudul Sroean Kita mengundang

ragam kontroversi. Ia menyindir umat Islam yang kaya namun enggan

bersedekah, juga umat Islam yang memiliki ilmu agama namun enggan

mengajarkannya pada bangsanya, malah mereka gunakan untuk menipu

bangsanya sendiri.

“..itulah sebabnya bangsa kita yang muslim itu terjerumus dengan tipu

daya orang yang mengisep darah kita.. itulah sebabnya kita kaum muslim harus

melawan dengan sekeras-kerasnya.. contohlah bergeraknya jujungan kita Kanjeng

3 Eko Prasetyo, Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin hal 180

Page 39: Menghidupkan aksi

39

Nabi Muhammad saw yang menjalankan perintah Tuhan dengan tidak

mempedulikan payah susah yang terdapat olehnya, tiada takut sakit mati untuk

melawan perbuatan sewenang-wenang.. Siapa yang merampas agama Islam, itu

yang wajib kita BINASAKEN!”4

Tulisan tersebut menjadi semangat dan gairah keberagamaan

yang baru. Agama tidak lagi menjadi anjuran beramal shalih yang

diterjemahkan hanya sebagai ibadah ritual, tetapi mampu menjadi alat

melakukan transformasi sosial. Selanjutnya, Hadji Misbach terus

berusaha melakukan propaganda dan memimpin beragam aksi

pemogokan. Langkahnya semakin masif setelah ia bergabung dengan

Sarekat Islam.5

Mas Marco Kartodikromo berada dalam sekoci yang sama

dengan Hadji Misbach dalam berjuang lewat propaganda melalui

tulisan. Ia menulis dalam novelnya, Student Hijo:

“...Tuan berkata orang Jawa kotor, tetapi Tuan toh mengerti juga bila ada

orang Belanda yang lebih kotor daripada orang Jawa... “Orang Jawa bodoh”, kata

4 Ibid, hal 182

Sumber asli: Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa

1912-1926 hal 181

5 Kelak, Hadji Misbach mengalami perbedaan prinsip yang cukup besar dengan

kalangan SI sehingga ia keluar dan mendirikan Partai Komunis Indonesia. Ini

pelajaran berharga yang patut dicatat dalam sejarah, bukan dihilangkan karena

dianggap sebagai aib.

Page 40: Menghidupkan aksi

40

Tuan, “Sudah tentu saja, memang pemerintah sengaja membikin bodoh

kepadanya. Mengapakah Regeering tidak mengadakan sekolah secukupnya untuk

orang Jawa of Orang Hindia, sedang semua orang mengerti bahwa tanah Hindia

itu yang membikin kaya tanah kita Nederland?”6

Logika bahwa penduduk pribumi adalah bangsa primitif, kotor,

dan terbelakang inilah yang menjadi pembenaran bagi kaum penjajah

melanggengkan kekuasaannya di tanah Hindia. Hal ini juga yang

membuat kaum terpelajar kita kala itu ‘menjauh’ dari akar

masyarakatnya. Sebab, mereka pun tidak ingin dikategorikan sebagai

kaum kromo yang primitif, kotor, dan terbelakang.

Multatuli, dalam roman yang ditulisnya berjudul Max Havelaar

menulis bagaimana dogma agama menjadi pembenaran bagi Belanda

menjajah bangsa Hindia dalam ceramah yang dilakukan oleh Blatherer.

“Arahkan pandangan anda ke kepulauan di Samudera Hindia, dihuni

oleh berjuta-juta anak dari putra terkutuk-putra yang sangat terkutuk-Nuh yang

mulia7, yang menemukan rahmat di mata Tuhan! Di sana dalam ketidaktahuan

mereka merangkak di sekitar sarang ular berhala yang menjijikan-di sana mereka

menyembah kepala hitam, keriting di bawah penindasan pendeta egois! Disana,

6 Eko Prasetyo, Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin hal 189

7 Dikisahkan, kaum Hindia adalah keturunan Kanaan, putra nabi Nuh yang

enggan mengimani risalah yang dibawa ayahnya.

Page 41: Menghidupkan aksi

41

mereka berdoa kepada Tuhan, memohon pada nabi palsu yang merupakan

kebencian di dalam pandangan Tuhan...”8

Lebih lanjut, Blatherer menyampaikan enam tugas yang ia klaim

harus mereka lakukan guna menyelamatkan ‘para penyembah berhala

miskin’, yang di dalam salah satu poinnya berisi: “Memerintahkan

masyarakat Jawa agar dibawa ke Tuhan dengan cara bekerja.”

Logika berpikir inilah yang membuat Tan Malaka resah. Belanda

memang memberikan kesempatan bagi kaum pribumi untuk belajar

(berhitung dan baca tulis), akan tetapi tujuan pendidikan itu pun hanya

mendapatkan buruh dengan upah rendah. Tan yang resah kemudian

mendirikan ‘Sekolah Rakyat’9 bersama SI Semarang. Sekolah ini tak

hanya mengajarkan pada para muridnya agar memiliki keterampilan

untuk bekerja dan memenuhi hajat hidupnya, tapi juga menanamkan

kesadaran kemerdekaan dari segala bentuk penjajahan dan penindasan.

Begitulah, kaum intelektual di zamannya mentransformasikan ide

dan gagasan yang mereka yakini dalam praksis kehidupan berbangsa.

Memang, ada saat dimana terjadi pertentangan ide dan gagsan hingga

menyebabkan konflik, baik konflik ideologis maupun politis, akan tetapi

8 Multatuli, Max Havelaar halaman 165

9 Tan Malaka tidak pernah menamai sekolah tersebut dengan nama “Sekolah

Kerakyatan”. Para sejarawan lah yang kemudian menamakan dengan nama

tersebut karena orientasi pendidikannya berakar pada permasalahan dan

kebutuhan rakyat.

Page 42: Menghidupkan aksi

42

yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah kemampuan para

cendekiawan kritis masa itu mengatasi perbedaan yang ada. SI misalnya,

pada rapat di Purwokerto dikacaukan oleh Moeso lewat SI Merahnya.

SI pun pernah ribut dengan Muhammadiyyah karena tak senang dengan

sikap Muhammadiyyah yang non-politik dan hanya bergerak di dalam

agama. Konflik antara Semaoen dan HOS Tjokroaminoto pernah

terjadi, namun Semaoen memilih diam dan Tjokro pun menganggap

kelakuan Semaoen sebagai bentuk gejolak kaum muda. Pun, konflik itu

pernah terjadi antara kubu Soekarno dan Hatta-Sjahrir. Soekarno yang

lebih memilih berjuang dengan agitasi masa lewat pidatonya, serta

Hatta-Sjahrir yang memilih berjuang dengan PNI-Baru (Pendidikan

Nasional Indonesia) yang berasas sosialis.

Inisiatif kaum muda yang brilian itu tak berhenti sampai disana,

generasi tua yang memegang tampuk pemerintahan pasca proklamasi

kini diimbangi dengan gerakan kaum muda. Inisiatif brilian itu

dilakukan jelang dua tahun setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya

pada 5 Februari 1947 ketika pemuda Lafran Pane memprakarsai

berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam. Kelahiran HMI erat kaitannya

dengan realitas kebangsaan, keagamaan, dan kemahasiswaan yang hidup

di masa tersebut. Realitas kebangsaan tersebut dapat dilihat dari upaya

HMI guna turut serta dalam mempertahankan kemerdekaan Republik

Indonesia. Selain realitas kebangsaan, kehadiran HMI terkait pula

dengan realitas keagamaan dan kemahasiswaan, dimana agama Islam

saat itu tidak dilaksanakan secara konsisten oleh umat Islam sendiri,

terutama mahasiswa. Lafran Pane, bersama kawan-kawannya di UII,

Page 43: Menghidupkan aksi

43

melihat pentingnya kembali menegakkan ajaran Islam di kalangan

mahasiswa, seperti sholat tepat waktu, dan lain-lain.

Dalam perkembangan selanjutnya, HMI secara aktif terlibat

dalam melakukan pengkaderan generasi muda bersama PMII dan IMM

(yang lahir setelahnya), serta beberapa organisasi mahasiswa lain seperti

GMNI, PMKRI, CGMI, dan lain-lain.

Sependek referensi yang pernah saya baca, saya akhirnya

mengenal beberapa ‘intelektual’ yang hidup di zaman pasca

kemerdekaan. Mereka menuliskan sepenggal perjalanan hidupnya lewat

catatan harian. Diantaranya, Soe Hok Gie (Catatan Seorang

Demonstran), dr.Sulastomo (Hari-Hari yang Panjang 1963-1966), serta

Ahmad Wahib (Pergolakan Pemikiran Islam). Ketiga orang tersebut

jelas adalah mahasiswa. Gie adalah mahasiswa Ilmu Sejarah UI yang

berafilisasi terhadap PSI. Sulastomo adalah mahasiswa Fakultas

Kedokteran UI yang juga merupakan Ketua Umum PB HMI tahun

1963-1966. Ahmad Wahib adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Pasti dan

Alam UGM yang juga merupakan kader HMI.

Dari catatan harian yang mereka tuliskan, dapat kita simak

dengan jeli bagaimana mereka sebagai mahasiswa memandang berbagai

persoalan yang terjadi di pada tahun yang diklaim bersejarah bagi

gerakan mahasiswa di Indonesia (yang katanya) menumbangkan

kekuasaan tiran, yakni tahun 1965 ketika meletus peristiwa G-30

September. Saya tidak akan mengulas lebih lanjut mengenai peristiwa

Page 44: Menghidupkan aksi

44

itu. Akan tetapi, ternyata ada hal menarik yang terjadi pada persepsi

Sulastomo dan Arief Budiman berkaitan dengan peristiwa tersebut.

Arief Budiman mengatakan bahwa pada 1965/1966 mahasiswa

sebenarnya bukanlah kekuatan yang independen. Ia menekankan agar

mahasiswa tak berilusi bahwa orde baru dilahirkan oleh mahasiswa. Tapi

ya, hanya ilusi saja, dan tidak benar. Sebab, yang terjadi sebenarnya saat itu

adalah pertarungan antara ABRI melawan PKI dengan gerakan

mahasiswa sebagai ujung tombak. Mahasiswa sendiri tidak mungkin

bergerak tanpa dukungan ABRI. Oleh karena itu, kemenangan

mahasiswa ketika itu sebenarnya merupakan bagian kecil dari

pertarungan yang lebih besar dan mungkin tidak kelihatan.10

Sulastomo secara bijak menanggapi pendapat yang Arief

Budiman katakan, “Sekali lagi memang salah apabila ada anggapan

Orde Baru dilahirkan oleh mahasiswa. Tetapi juga tidak betul apabila

mahasiswa digambarkan tidak berperan apa-apa. Sebab, kekuatan Orde

Baru adalah kekuatan rakyat yang sedemikian luas, ya mahasiswa, ABRI,

pemuda, dan lain-lainnya. ABRI berperan besar dan menjadi pelopor

adalah benar. Tetapi memfokuskan persitiwa 1965/66 hanya pada

pertarungan yang besar antara PKI dan ABRI, dapat menimbulkan

interpretasi yang mungkin lain, yang mungkin juga kurang

menguntungkan.”11

10 Sulastomo, Hari-Hari yang Panjang Hal 115

11 Ibid, hal 121

Page 45: Menghidupkan aksi

45

Irawan Puspito menjabarkan secara lebih general kemelut dan

pertentangan garis politik yang terjadi di antara organisasi-organisasi

mahasiswa jelang persitiwa 30 September 1965:

Organisasi mahasiswa yang secara tajam mengikuti garis Presiden

Soekarno adalah GMNI, dan yang sejalan dengan garis ABRI adalah HMI,

PMKRI, dan SOMAL (Sekretariat Organisasi-Organisasi Mahasiswa Lokal).

Sedangkan yang mengikuti dan mendukung garis PKI adalah CGMI (Concentrasi

Gerakan Mahasiswa Indonesia).12

Mungkin, ingatan kita akan kembali pada adegan di film Gie yang

mengisahkan pertentangan pelik yang terjadi antar organisasi mahasiswa

tersebut, kemudian bersatunya mereka saat berusaha menumbangkan

kekuasaan Orde Lama. Namun, yang patut kita cermati lebih lanjut

adalah adegan saat Gie bertemu kawannya yang telah menjadi anggota

dewan pasca lahirnya Orde Baru. Adegan tersebut memberi ilustrasi

lahirnya calon borjuis kecil yang diam-diam membina hubungan intim

dengan pemerintah hingga berimbas pada untung dan proyek, akhirnya

idealisme dan semangat militan pun dibonsai jadi kepatuhan pada

kenikmatan dan kemegahan. Gagasan demokrasi kemudian dibunuh

oleh para pejuangnya. Anak-anak muda yang dulu antusias mengutuk

rezim Soekarno duduk antusias di kursi parlemen, berkoalisi menguras

lebih dalam kekayaan bangsa untuk kantong pribadi bersama rezim

baru yang kini berkuasa.

12 Dynamics of Islamic Student Movements, hal 85

Page 46: Menghidupkan aksi

46

Pasca diberlakukannya Normalisasi Kegiatan Kampus dan Badan

Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada 1974, praktis ruang

gerak mahasiswa baik internal maupun ekstra kampus mengalami

pengebirian yang luar biasa. Dampaknya, kampus menjadi tempat yang

steril dari kegiatan politik mahasiswa, dan semata difungsikan sebagai

lembaga pengkajian akademis. Kelesuan aktivisme mahasiswa yang

terjadi menyebabkan munculnya pola-pola gerakan baru yang

berkembang dalam kancah kemahasiswaan, khususnya gerakan

mahasiswa Islam. Diantaranya, 1) ormas kemahasiswaan yang telah ada

sebelumnya seperti HMI, IMM, dan PMII, 2) kelompok mahasiswa

Islam yang bersentuhan dengan pemikiran Islam kiri, serta 3)

munculnya aktivitas keislaman berbasis masjid-masjid kampus.

Fenomena gerakan yang berbasis masjid kampus ini dimotori

oleh seorang tokoh HMI bernama Imaduddin Abdulrahim. Melalui

beliau, gerakan ini mengakar ke seluruh kampus di Indonesia yang

kemudian menjadi cikal bakal lahirnya FSLDK (Forum Silaturrahim

Lembaga Dakwah Kampus). Telah beberapa kali dilangsungkan

pertemuan FSLDK guna membahas khittah LDK agar tercipta

kesamaan pemahaman dan kesamaaan arah dalam melaksanakan

strategi dakwah kampus, hingga pada FSLDK Ke X di Malang para

Aktivis Dakwah Kampus tersebut menyadari perlunya respon terhadap

kondisi perpolitikan nasional yang begitu memprihatinkan. Selepas

acara, dideklarasikanlah kelahiran Front Aksi yang disepakati bernama

Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) pada 29 Maret

1998. Pada muktamar nasional pertama pada tanggal 1-4 Oktober 1998

Page 47: Menghidupkan aksi

47

dimulailah era baru bagi KAMMI, yakni perubahan statusnya sebagai

front aksi menjadi ormas yang permanen.

Reformasi yang senantiasa digadang-gadang dengan penuh

kebanggaan bukanlah sejarah yang indah, sebab setelah reformasi

ternyata gerakan mahasiswa belum berhasil membangun mimpinya akan

sebuah negara yang ideal. Gerakan mahasiswa berubah atributnya

menjadi gerakan moral, masa kepahlawanan selesai, ada sisi yang hilang

karena ketidakmampuan gerakan dalam menggalang massa. Gerakan

mahasiswa menjadi kebingungan membawa peran, saat mereka pulang

kandang ke kampusnya, mereka punya aturan-aturan baru, namun

kampus ternyata lebih dahulu membuat aturan-aturannya sendiri.

Ide-ide para ‘pahlawan reformasi’ ini pun tidak hidup. Konsep

tanpa prinsip dan uang ternyata tak bisa terealisasi. Ide mahasiswa

menghantam kekuatan yang jauh lebih besar. Wujud eksperimentasi

gerakan mahasiswa dengan corak kiri-kanan yang menggaungkan politik

progresif pun digempur militer. Habislah intelektual kampus. Mereka

yang pintar akan masuk ke dalam birokrasi, sementara yang radikal akan

tersingkir. Mulai tahun 2001-2002, tradisi intelektual menjadi menurun.

Disisi lain, masyarakat mulai meragukan efek reformasi sebab

demokrasi nyatanya tak menjamin apa yang dulu dijamin oleh Soeharto

(meski diberikan dengan hutang luar negeri). Gerakan Mahasiswa pun

hanya hidup saat pergantian kepengurusan, pelantikan, dan diskusi. Kita

pun kian terjebak, antara keinginan untuk melakukan pemberontakan

atas tatanan dan ketidaktahuan merumuskan alternatif. Mungkin karena

Page 48: Menghidupkan aksi

48

itu kebanyakan kemudian memilih pilihan pragmatis yang paling

realistis: mengadakan seminar, lomba ini itu, dan lain sebagainya.

Lantas, peran apa yang mestinya diambil oleh para intelektual

hari ini? Izinkan saya mengutip Manhaj Kaderisasi KAMMI 1427 H,

sebagai berikut:

Kritik mendasar pada gerakan mahasiswa adalah ekspresi reaksionernya

pada berbagai isu. Bentuk reaksioner ini mengindikasikan bahwa gerakan itu

tidak memiliki agenda atau termakan agenda orang lain. Gerakan mahasiswa

bukanlah alat pukul politik yang disibukkan mencari musuh dan bergerak sebagai

watch dog. Gerakan mahasiswa adalah aset masa depan, maka ia harus memiliki

rencana masa depan bangsanya yang kelak ia pun ikut andil dalam proses

kepemimpinan bangsa ini. Kompetensi dasar atas itu merupakan wujud dari

pengokohan gerakan yang menjadikan dirinya lebih kontributif pada pemecahan

masalah umat dan bangsa.

Menjadi proaktif (tidak reaksioner) bukan berarti abai terhadap

permasalahan, kemudian menjadi permisif dan enggan turun tangan.

Kaum intelektual wajib menjunjung tinggi dasar ilmiah sebagai bentuk

pertanggungjawaban atas pilihan sikapnya.

Pers pernah menjadi alat perjuangan yang mematikan guna

melawan kaum penjajah, saat ini pers berubah menjadi penjajah baru

yang mematikan intelektualitas dan moral bangsa, kaum intelektual

muda memiliki tanggung jawab yang besar untuk membuat arus baru

pers yang mencerdaskan. Ragam organisasi pernah didirikan sebagai

Page 49: Menghidupkan aksi

49

bentuk ijtihad para founding fathers guna mewujudkan cita-cita besar

kemerdekaan Indonesia (dan mereka berhasil), kaum terdidik kita hari

ini pun memiliki organisasi untuk mewujudkan cita-cita bersama

(Indonesia yang lebih baik), maka pendidikan kader dan penanaman

ideologi yang persisten dan konsisten mesti kita jaga dan tanamkan

baik-baik, disamping turut andil berbuat dan berkarya untuk menjadi

solusi permasalahan umat dan bangsa.

Jumlah perguruan tinggi hari ini semakin banyak. Pertemuan

mahasiswa semakin mudah, tukar menukar gagasan pun semakin

mudah. Yang perlu kita ciptakan adalah momentum dan kesempatan

mengambil peran. Sebelum menuju kesana, yang perlu kita perhatikan

benar adalah memulihkan kembali kepercayaan publik pada gerakan

mahasiswa. Produksi ide kita harus lebih banyak, harus lebih autentik

dan genuine. Bukan berdasar kata senior ataupun pendapat mainstream

para ilmuwan sosial yang kini lebih memilih menjadi ‘pelayan

pembangunan’ ketimbang penggerak perubahan.

Gerakan pemuda harus mengakar pada kebutuhan rakyat, dan

kita hanya akan bisa mengerti apa yang diinginkan rakyat manakala kita

mengidentifikasi diri sebagai rakyat, bukan bagian terpisahkan yang

menempatkan diri dengan narsis sebagai agent of change, agent of social

control, iron stock, moral force, dan lain-lainnya. Sebutan langitan ini

membuat mahasiswa berada pada posisi yang berbeda dengan rakyat

secara umum, ‘merasa’ lebih intelek-lah, lebih rasional-lah, lebih inilah,

itulah. Karena mahasiswa adalah rakyat, maka tiap langkah yang kita

Page 50: Menghidupkan aksi

50

ayun, tiap jejak yang kita buat, tiap goresan tinta yang kita torehkan,

merupakan tindakan sadar kita sebagai bagian himpunan

bernama rakyat.

Kita menyadari inferoritas kita ditengah superioritas mitologi

yang membangun kerangka diri kita selama ini, menyadari sepenuhnya

bahwa sebagai rakyat kita memiliki hak dan kewajiban yang sama

sebagai warga negara. Mudah-mudahan dengan menghidupkan

kesadaran ini, tidak akan lagi terjadi dikotomi yang terbangun antara diri

dengan rakyat, sebab kita sendiri pun harusnya menempatkan diri

sebagai bagian inheren dari rakyat, tanpa menafikan kapasitas keilmuan

yang kita miliki secara teori maupun praksis yang kita dapat di

perguruan tinggi.

Pada akhirnya, selain mengidentifikasi diri sebagai bagian kolektif

dari rakyat, tak bisa tidak, kita mesti mengidentifikasi diri sebagai

individu, sebagai pribadi. Sebagai pribadi, kita bisa berkaca pada Hadji

Misbach yang menggaungkan semangat perlawanan pada kekuasaan

yang menggurita atas nama Tuhan. Kita bisa berkaca pada Tan Malaka

yang membangkang terhadap otoritas pendidikan di zamannya dengan

membuat sistem pendidikan yang memerdekaan, merakyat, dan

membebaskan. Kita bisa berkaca pada RM Tirtohadiserjo yang menolak

kemapanan sistem dan memilih bergerak dengan kekuatan pena.

Apabila kita tak merasa nyaman dengan mengidentifikasi pada sosok-

sosok tersebut, yakinlah bahwa kita bisa memainkan peran kita sendiri,

tanpa menunggu naskah maupun skenario dari sutradara. Mengambil

Page 51: Menghidupkan aksi

51

peran adalah kebutuhan tak terbantah bagi mereka yang mengaku

sebagai kaum intelektual!

Akhirul kalam,

Ihdinaashhirotholmustaqiim. Tunjukilah kami jalan yang lurus Ya

Tuhan kami..

Sumber Bacaan:

Islam, R. J. (2013, November 15). Jejak Islam untuk Bangsa. Retrieved

Oktober 4, 2014, from Hari-Hari Terakhir Hadji Samanhoedi;

Pejuang yang Ter(Di)Lupakan:

http://www.jejakislam.net/?p=225

Multatuli. (2008). Max Havelaar. Jakarta: Penerbit Narasi.

Prasetyo, E. (2008). Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin.

Yogyakarta: Resist Book.

Puspito, I. (2009). IMM sebagai Mata Rantai Intelektual Muslim. In C.

N. Saluz, Dynamics of Islamic Student Movements (pp. 77-103).

Yogyakarta: Resist Book.

Raharjo, M. D. (1996). Cendekiawan Indonesia, Masyarakat dan

Negara: Wacana Lintas Kultural. In Kebebasan Cendekiawan,

Refleksi Kaum Muda. Jakarta: Pustaka Republika.

Page 52: Menghidupkan aksi

52

Sulastomo. (2000). Hari-Hari yang Panjang 1963-1966. Jakarta: Penerbit

Buku Kompas.

Wahib, A. (2013). Pergolakan Pemikiran Islam. Jakarta: Pustaka LP3ES.

Yudha, D. P. (1996). Peran Cendekiawan dan Dinamika Masyarakat,

Sebuah Refleksi. In Kebebeasan Cendekiawan, Refleksi Kaum

Muda (pp. 60-74). Yogyakarta: Pustaka Republika.

Page 53: Menghidupkan aksi

53

Leiden is Lidjen, Memimpin adalah

Menderita

Teladan Kepemimpinan Haji Agus

Salim

Pasca transisi kepemimpinan, Indonesia masih dihadapkan pada

pelbagai persoalan yang tak kunjung usai. Alih-alih beradu argumen

ideologis guna menyelesaikan persoalan bangsa, elite politik kita malah

asyik berebut pengaruh dan kekuasaan. Pembusukan institusi legislasi

tak terhindarkan. Kepercayaan rakyat pada para wakilnya tak pelak

musti pupus bahkan sebelum mereka ‘bergerak’.

Sebagai himpunan besar bernama ‘rakyat’, sudah pasti kita

kecewa. Lantas, kita pun bertanya, “Mengapa pentas politik

menampilkan lakon wayang yang tak menarik?”, “Apakah padang

kurusetra berpindah di ruang dewan?”, “Tidak adakah figur pemimpin

yang patut jadi teladan bagi rakyatnya?”

Agaknya mereka lupa. Bisa jadi kita enggan membaca. Bahwa

Republik pernah lahirkan tokoh pemimpin besar di masa lalu. Bahwa

fakta sejarah itu tak hanya patut diperingati, apalagi berakhir di hafalan

Page 54: Menghidupkan aksi

54

para pelajar sekolah negeri. Tanpa berniat lakukan glorifikasi, penulis

ingin hadirkan kembali ia yang berikan teladan terbaik kepemimpinan.

Terlahir dengan nama Masjhudul Haq (Pembela Kebenaran),

agaknya menjadi spirit bagi dirinya untuk selalu konsisten membela

bangsanya dari penjajah. Spirit itu ia wariskan pada para pemuda Islam

yang kelak lanjutkan jejak perjuangannya. Natsir, Roem, Kasman,

Soeparno, dan banyak aktivis JIB (Jong Islamieten Bond)

menjadikannya Bapak tempat bertanya dan menempa diri. Ia mendidik,

bukan mengajari. Ia menyederhanakan persoalan, bukan membuatnya

makin rumit. Ia tak mendikte solusi, tapi memberi ruang untuk setiap

kemungkinan alternatif jawaban.

Di awal berdirinya Republik, ia tampil penuh percaya diri di

panggung dunia. Ia lakukan lawatan ke negara-negara Timur Tengah

demi pengakuan kedaulatan atas negara yang terus mengalami invasi

militer pihak Belanda. Karena diplomasi seorang poliglot (seorang yang

mampu menguasai banyak bahasa) yang brilian ini, sejumlah negara

Arab berturut-turut mendukung pengakuan kedaulatan Indonesia. Tak

pelak, Soekarno menjulukinya, The Grand Old Man.

Dalam konteks politik, Haji Agus Salim pernah terlibat dalam

situasi yang pelik. Intrik dan konflik internal melanda Sarikat Islam-

Partai Sarikat Islam, ketika ia menjabat dalam struktur kepengurusan

pusat. Hal ini akibat infiltrasi yang dilakukan Partai Komunis Indonesia.

Ia selesaikan konflik dalam partai dengan cara yang beradab: adu

argumen dan debat terbuka. Akhirnya, disiplin partai diterapkan.

Page 55: Menghidupkan aksi

55

Mereka yang komunis tersingkir, purifikasi ideologi dilakukan dengan

mantap. Meski menghendaki Islam sebagai dasar negara, Haji Agus

Salim tidak bertindak agresif. Dengan kepala dingin, ia menjadi

penengah kubu nasionalis dan kubu Islamis dalam Panitia Sembilan saat

rumuskan dasar negara.

Diakui lawan politiknya, Willem Schermerhorn, hanya satu

kelemahan Haji Agus Salim, yaitu “selama hidupnya selalu melarat dan

miskin”. Deliar Noer, sejarawan Indonesia menguatkan pendapat ini:

“Sampai akhir hayatnya, salim tak pernah hidup mewah, tidak mengeluh

dengan keadaan dan tanpa mengurangi gairah perjuangan.”

Bagaimana tidak? Sampai akhir hayatnya, ia tak memiliki rumah

tinggal yang tetap. Tanpa lelah dan keluh kesah, ia, istri, dan ketujuh

anaknya berkali-kali pindah rumah kontrakan, sempat ia hanya mampu

mengontrak satu kamar saja. Saat anaknya meninggal, ia bahkan tak

memiliki uang guna membeli kafan. Ia cuci taplak meja dan kelambu

untuk mengkafani anaknya.

Leiden is Lidjen, Memimpin adalah Menderita. Demikian

keteladanan yang Haji Agus Salim ajarkan dengan tindakan. Bukan

semata lewat spanduk dan iklan. Apalagi pencitraan murahan yang jadi

bahan cemooh dan ejekan.

Semoga kita belajar..

Page 56: Menghidupkan aksi

56

Page 57: Menghidupkan aksi

57

Menjelang Akhir Kepengurusan

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul

dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu,

sedangkan kamu mengetahui.” (QS al-Anfal [8]: 27).

Pergantian kepengurusan dalam sebuah organisasi adalah suatu

keniscayaan sekaligus menjadi bukti bahwa denyut organisasi masih

berdetak. Adalah merupakan sunatullah, jika silih berganti aktivis datang

dan pergi mengisi pos-pos struktural kelembagaan untuk berkontribusi

dengan memaksimalkan potensi yang dimilikinya, karena di sanalah ia

ditempa untuk mempersembahkan totalitas perjuangan dan

pengorbanannya demi tercapinya visi dan misi lembaga.

Perjalanan mengemban amanah ini tak selamanya mulus. Ada

onak, duri, serta berbagai rintangan yang menghalangi. Karena itulah,

seorang aktivis diharapkan bisa menjadi sebuah pisau belati yang selalu

terasah tajam, yang memiliki semangat pengabdian, perjuangan, serta

pengorbanan secara maksimal dalam setiap bidang kelembagaan tempat

ia beramanah

Jika ada pengurus baru yang menggantikan pengurus lama, ini

berarti bahwa mereka tengah mendapat kepercayaan total untuk

Page 58: Menghidupkan aksi

58

mengemban amanah agar ditunaikan dengan penuh totalitas,

profesionalitas, dan dedikasi. Pengurus lama yang lengser dari jabatan

strukturalnya, bukan berarti kehilangan amanahnya, meskipun secara

formal memang Ya. Pasca kepengurusan, diharapkan mereka tetap

menggafiliasikan idealisme dan pemikirannya untuk keberlangsungan

dakwah. Jadi, tidak terbatas pada struktur kelembagaan semata.

Kita memikul amanah dari orangtua kita untuk mengoptimalkan

potensi fikriyah kita dalam konteks akademis, yakni kuliah. Di sisi lain,

kita ingin menembangkan soft-skills kita dengan berorganisasi, yang

dengan otomatis membuat kita ‘beramanah’. Dalam konteks ini kita

dituntut untuk bisa menyeimbangkan keduanya sesuai proporsi dan

porsi yang tepat.

Ironisnya, terkadang sikap kekanakkan kita muncul, banyak

mengeluh karena amanah yang begitu banyak dengan waktu yang begitu

terbatas. Juga rasa lelah yang mencekik dan membuat sesak di dada.

Seringnya, hal ini menjadi alasan dan dalih kita untuk

mengesampingkan kedua amanah yang dipercayakan pada kita.

Menjadikan kesibukan berorganisasi sebagai alasan ketika mendapat

IPK rendah, atau malah sebaliknya, menjadikan akademis sebagai dalih

untuk melalaikan tugas kelembagaan.

Allah tidak akan membebankan pada seseorang suatu ujian yang

diluar kesanggupannya. Jika kita bisa melakukan hal yang nilainya (misal

saja) A, namun yang kita dapatkan adalah B. Maka, adalah suatu yang

Page 59: Menghidupkan aksi

59

lumrah ketika dipertanyakan, “ apa jeda yang memisahkan antara A dan

B?”

Kita adalah sopir. Apakah kita mampu membuat kendaraan kita

mempercepat laju menuju tujuan, atau malah sebaliknya. Kembali pada

kita, inti dari pergerakan ini. Seberapa kita mengenal kendaraan kita,

mampukah mengoperasikannya dengan baik, dan apakah kita tahu apa

yang mesti dilakukan manakala chaos terjadi padanya. Ya memang

benar. Kembali pada kita, sang pengendara.

Di sinilah saatnya kita merefleksikan diri. Benarkah Allah sebagai

tujuan? Jika demikian, sesulit apapun medan, takkan jadi penghalang.

Sungguhkah ikhlas sebagai landasan perjuangan? Bila begitu, tiada

pantas keluhan demi keluhan terlontarkan. Da’wah memang indah,

Kawan. Ia mempesona kita bukan dengan fasilitas yang ditawarkan

namun justru oleh tantangan yang memayahkan. Tapi Allah Mahaadil.

Ia sediakan jiwa-jiwa penghangat perjuangan, Ia Berikan tangan-tangan

yang kan raih kita saat hendak terjatuh. Ia sediakan saudara seiman, dan

itulah yang buat manisnya perjuangan.

Page 60: Menghidupkan aksi

60

Dari Renungan hingga Diskusi

Page 61: Menghidupkan aksi

61

Bijak Tanggap Isu

Dalam menyongsong mihwar daulah, ada beberapa hal yang

nampak jelas terlihat. Jika pada mihwar sebelumnya ikhwah sangat

intens dengan kajian yang berkaitan dengan akidah, ibadah, serta

materi-materi lain yang menumbuhkan pemahaman mengenai tandzim,

di era setelahnya persoalan yang menyangkut amal siyasi mau tak mau

mendapat porsi yang cukup banyak. Dengan catatan, di era sebelumnya

amal siyasi memang selalu menyertai setiap aktivitas dakwah. Misal, di

mihwar muasasi, gerakan dakwah telah memiliki rakizah siyasiyah, yakni

penekanan kerja di bidang politik.

Adalah bukan kapasitas saya berkomentar mengenai berbagai isu

yang saat ini berkembang di media massa maupun obrolan ringan di

sudut-sudut kampus mengenai hasil Pemilu 2014. Namun, artikel ini

(http://polhukam.kompasiana.com/politik/2014/04/14/harusnya-

pks-tidak-seperti-itu–647710.html) memang sukses membuat saya

tersenyum-senyum sendiri. Segera saya membuka catatan tasqif saya

beberapa tahun silam dan menemukan beberapa catatan menarik.

Memang, sebagai follower, over-reaktif dalam menghadapi isu

bukanlah tindakan yang bijak. Mungkin hal tersebut memang bertujuan

baik, untuk tabayun, agar yang kita anggap sebagai kebenaran dapat

tersampikan. Akan tetapi, kekaburan kader dalam menyampaikan

Page 62: Menghidupkan aksi

62

informasi dengan data yang tak valid dan sama sekali tak akurat justru

akan memperkeruh isu negatif yang berkembang.

Sayyid Muhammad Nuh sendiri dalam bukunya Terapi Mental

Aktivis Harakah pernah mengatakan bahwa tabayun adalah kewajiban

qiyadah. Sebagai jundiyah, kita semestinya tidak tergesa-gesa dalam

menguatkan suatu pendapat, baik dengan over-reaktif men-share-

kannya secara terus menerus maupun memberi komentar-komentar

yang berdasar dari asumsi pribadi. Mengutip Ust Eko Novianto dalam

bukunya, Dakwah dan Manajemen Isu:“..tabayun, keterbukaan, ketepatan

respon qiyadah, kajian kebijakan, dan integritas struktur dakwah bukanlah tugas

kita sebagai individu, akan tetapi merupakan tugas struktur dakwah.”

Hal tersebut seharusnya akan ditaati dan dilakukan secara bijak

oleh mereka yang memahami konsekuensi dari menggabungkan diri

dalam sebuah harokah Islamiyah. Ust Fathi Yakan dalam bukunya,

Komitmen Muslim kepada Harokah Islamiyah menegaskan bahwa

seorang mukmin adakalanya tak mengetahui tanda-tanda adanya bahaya

(fitnah), sehingga ia tak menyadarinya kecuali itu benar-benar telah

terjadi. Oleh karena itu, seorang Mukmin harus berhati-hati dalam

berucap, berbuat, dan bersikap agar tidak mendatangkan bencana bagi

orang-orang yang beriman.

Perkara ini kembali diingatkan oleh Sayyid Muhammad Abdul

Halim Hamid, dalam bukunya Karakteristik dan Perilaku Tarbiyah,

beliau berpesan, “Memberikan perhatian kepada perkataan yang buruk

dan cepat mengambil keputusan atas isu dan praduga tidak akan

Page 63: Menghidupkan aksi

63

menghasilkan apapun kecuali semakin membuat ia durhaka dan

menjauh.” Hal ini berlaku baik untuk mereka yang berada dalam

internal gerakan dakwah, maupun mereka yang berada di eksternal

gerakan, bahkan musuh-musuh dakwah. “Janganlah kita

menghancurkan jembatan antara kita dan lainnya, meskipun mereka

berbuat jelek dan menjelek-jelekkan.”

Pernah, saya coba ingatkan kawan yang cenderung senang

mengumbar data-data yang kurang valid, menyerang rival politik, dan

melakukan klarifikasi tak berdasar, namun atas alasan tsiqah pada

berita/info yang ia miliki, ia tak gubris yang saya katakan. Lalu, saya pun

bertanya-tanya, apa sebenarnya makna dari tsiqah?

Ust Fathi Yakan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan

tsiqah adalah kepercayaan seorang prajurit akan kemampuan dan

keikhlasan komandannya secara mendalam sehingga membuahkan

kecintaan, penghargaan, penghormatan, serta ketaatan.

Sayyid Abdul Halim Hamid mengungkapkan bahwa tsiqah

adalah ketenangan hati tanpa adanya keragu-raguan. Kebutuhan akan

tsiqah menjadi prioritas yang penting saat ini. Lebih lanjut, beliau

menerangkan mengenai bentuk-bentuk tsiqah.

Pertama, tsiqah kepada Allah swt. Ketika terjadi perang dengan

tentara kebatilan, dan para tentara mendapat desakan keras, maka tsiqah

pada kebersamaan Allah dan dukungan serta pertolongan-Nya dapat

meringankan kerasnya tekanan yang dihadapi.

Page 64: Menghidupkan aksi

64

Kedua, tsiqah kepada diri sendiri. Tsiqah ini berlandaskan pada

keyakinan bahwa segala sesuatunya ia serahkan hanya kepada Allah swt.

Ketiga, tsiqah kepada manhaj (sistem) dengan konsisten selama

sistem bersumber dari sumber Islam, diturunkan dari sumber Islam,

serta pada substansinya secara keseluruhan dan terperinci.

Keempat, tsiqah kepada kepemimpinan, selama ia memimpin

atas sistem kebenaran, memberi contoh dengan komitmen, ketekunan,

dan bermujahadah di jalannya.

Kelima, tsiqah kepada prajurit yang merupakan hak tentara atas

kewajibannya memberi, berkarya, dan berkorban terhadap pemimpin.

Keenam, tsiqah antar individu asalkan mereka adalah kelompok

kaum mukminin yang merupakan ahli agama serta senang menciptakan

perdamaian. Akan tetapi, yang perlu diingat bahwa kepercayaan ini

kadang dimanfaatkan oleh orang-orang yang munafik dan

perekayasanya.

Maka dari itu, kehati-hatian dalam mencerna ragam informasi

yang disajikan di media merupakan keharusan bagi tiap muslim

dimanapun berada.

Page 65: Menghidupkan aksi

65

Baratayuda di Negeri Kita

Pasca deklarasi pencapresan Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta,

media mulai ramai dibanjiri pemberitaan mengenai kedua sosok

tersebut. Masing-masing kader maupun simpatisan seolah memiliki

energi tak terbatas guna menggali latar belakang masing-masing tokoh,

dari mulai orangtua, anak, prestasi yang pernah diperoleh, hingga

berderetnya kasus yang masih belum tuntas hingga saat ini.

Sebagai orang awam yang baru mulai belajar untuk melek politik,

saya tak ingin banyak berasumsi macam-macam. Entah dengan

memberi dukungan pada salah satu calon, maupun menistakan calon

yang lainnya dengan argumen yang saya ragukan kebenarannya. Tidak,

saya tak mau melakukan hal yang (menurut saya) konyol itu. Hanya saja,

melihat beberapa hari belakangan beranda facebook, blog, dan twitter saya

ramai, saya pun mulai gatal dengan sesekali menandai ‘suka’, meski

menahan diri untuk tidak menshare, me-reblog, maupun meretweetnya.

Alih-alih teori, saya malah jadi ingat akhir perang Baratayuda

yang tragis. Lho? Kok bisa? Bukannya kebaikan menang atas kejahatan?

Pandhawa menang! Ya, memang Pandhawa menang, akan tetapi

peniadaan kurawa hingga ke akar-akarnya, nyatanya tak membawa pada

kejayaan yang agung dan diidamkan. Kematian para Kurawa membuat

daya hidup Pandhawa juga habis. Memang, Pandhawa berhasil

Page 66: Menghidupkan aksi

66

menguasai Astina, tapi apa gunanya itu semua ketika seluruh keturunan

Pandhawa pun berhasil dimusnahkan (dengan perkecualian Parikesit)?

Hingga pada akhirnya, Pandhawa pun harus menghadapi kematian

serupa di puncak Mahameru, menyisakan Yudhistira dan anjingnya

dalam perjalanan panjang menemukan hakikat.

Mungkin, dialog antara Arjuna dan Kresna di awal perang besar

itu patut menjadi renungan bagi kita. Sesaat sebelum perang

berkecamuk, Arjuna berkata kira-kira begini, “Mungkinkah kepemilikan

suatu negara seimbang dengan korban-korban sedemikian besar?” Jika

saja Kresna menyepakati perkataan Arjuna dan memilih menyarankan

membatalkan pertempuran di detik-detik terakhir, (toh Pandhawa telah

hidup damai di Amarta). Jika pun Kresna tetap memberikan saran yang

sama untuk tetap melanjutkan pertempuran, toh Arjuna bisa menolak,

dan bisa jadi kematian ratusan ribu nyawa di medan pertempuran urung

terjadi, tak ada kisah tragis yang begitu memilukan ini.

Hanya saja, selama ini kita telah dicekoki dengan begitu

mudahnya bahwa kebaikan akan selalu menang dari kejahatan. Dengan

mudah, kita memberi label “BAIK” dan “BURUK” pada masing-

masing golongan. Jika sesuai dengan selera, kita katakan BAIK, jika

tidak, maka sebaliknya. Tapi, disinilah akan kita lihat uniknya

Mahabharata. Kita tidak akan dengan mudahnya memberi label BAIK

dan BURUK pada tokoh yang membangun cerita ini. Setiap peran

memiliki kompleksitas dan ambiguitas wataknya. Kita betul-betul akan

kesulitan menarik garis tegas yang memisahkan antara hitam dan putih,

Page 67: Menghidupkan aksi

67

antara baik dan buruk. Jika pihak Kurawa melambangkan kebengisan,

kejahatan, dan keangkaramurkaan, disana kita temukan tokoh Bhisma

Dewabrata, Resi Durna, Prabu Salya, dan Karna. Mereka adalah para

satria utama. Jika kita ingin melambangkan kebaikan, keadilan, dan

kepahlawanan pada para Pandhawa, toh egoisitas mereka memilih

korbankan nyawa tak berdosa untuk sebidang tanah patut pula

dipertanyakan. Itu baru di level pihak yang terlibat dalam pertempuran,

belum sampai pada level pribadi.

Tak ada yang meragukan watak satria Bhisma Dewabrata. Ia

adalah seorang panglima yang dihormati baik oleh Kurawa maupun

Pandawa. Tentu saja ia akan memihak pada kebenaran, kebaikan, dan

keadilan. Lantas, mengapa ia memilih berada di pihak Kurawa?

Bukankah seorang satria harus memilih yang benar, yang baik, dan yang

adil? Tapi di lain pihak, ia adalah seorang satria yang wajib membela

tanah airnya, Astina. Bukankah seorang satria memang harus

mempertahankan setiap jengkal tanah airnya ketika orang lain ingin

merebutnya? Lantas, bagaimana kita akan menghakiminya saat ia mati

di tengah pertempuran oleh panah Srikandi? Surga atau Neraka? Begitu

pikirmu?

Sengkuni memang terkenal culas dan licik, ia dituding sebagai

pengobar perang Baratayuda. Tapi bagaimana dengan Kresna? Sosok

yang kita kenal sebagai moksa Dewa Wisnu inilah yang mengipasi api

agar menyala lebih ganas dan membara! Sebagai seorang satria, ia pun

melakukan penipuan terhadap Durna dalam peperangan dengan

Page 68: Menghidupkan aksi

68

mengabarkan berita bohong bahwa Aswatama, anaknya, telah mati

(padahal yang mati gajah bernama Aswatama). Yudhistira memang

terkenal arif dan bijak, tapi kalau bukan karena persetujuannya berjudi

dengan Kurawa, Pandhawa tak akan terusir dari Astina begitu saja!

Karna mungkin dianggap khianat pada saudara seibunya, tapi ia setia

guna membalas budi atas kebaikan Duryudana.

Terjebak dalam moralitas murahan baik dan buruk ini akan

membuat kita kehilangan kemanusiaan kita. Mungkin kau akan berkata,

yang haq telah jelas, demikian pula dengan yang bathil, tapi selesaikah

sampai disana? Gambaran dunia bukan hanya hitam dan putih, begitu

banyak warna yang membentuk selengkung pelangi, dunia juga

demikian. Judgement asal-asalan bukan hal yang bijak.

Sebagaimana Kurawa dan Pandhawa yang mencerminkan sifat

khas manusia dengan ambiguitas dan ambivalensinya, demikian pula

pribadi kita. Maka, sembari menonton perang di dunia maya ini, saya

pun merenung dan berkaca, (mungkin kau juga berminat

melakukannya), bahwa baik dan buruk bukanlah suatu hal yang dengan

mudahnya dapat diputuskan kadarnya, lebih apik lagi jika kita mau

mawas diri.

Tokoh yang kita kenal dalam cerita pewayangan sudah memiliki

karakter khasnya masing-masing, kita tahu bijak sekaligus liciknya

Durna, kita paham kejumawaan sekaligus kedewasaan Antasena dan

Antareja, kita tahu watak satria Arjuna meski dia pernah pula

berselingkuh dengan Dresnala. Tapi, dalam dunia nyata, watak kita tak

Page 69: Menghidupkan aksi

69

tergambarkan sejelas itu. Apakah kita lebih dekat dengan tokoh

Sengkuni ataukah Bima? Apakah kita lebih pantas disejajarkan dengan

Bambang Ekalaya ataukah Prabu Salya? Jika saja kita mau jujur,

barangkali dalam hati kita pun hidup ragam sosok itu, bukan hanya

satu-dua, terjadi lebih dari sekedar paradoks dan ambiguitas. Kita ingin

menjadi seorang pembelajar sejati macam Ekalaya, tapi apakah setelah

sukses kita malah berubah menjadi Salya yang mencampakkan kawan

seperguruannya? Kita mungkin akan menelusup dalam batin kita

terdalam untuk menemukan hakikat, lalu setelah merasakan damai itu,

apa yang akan kita pilih? Bima memutuskan kembali dan menjalani

pertempuran, sementara Wisanggeni memilih hidup dalam jagad cilik

bersama isterinya. Bagaimana dengan kita? Ada Baratayuda yang

berkecamuk dalam tiap diri kita, meskipun dalam perang besar ini kita

tak lebih keberadaannya dari prajurit maupun penonton.

Sebagai prajurit, kita akan dengan mudahnya membuat

rasionalisasi atas perjuangan kita. Kulakukan ini karena yakin akan

kebenaran, kulakukan ini atas dasar nasionalisme, kulakukan ini untuk

cintaku. Sebagai penonton wayang, kita pun membuat rasionalisasi

mengapa Kurawa harus kalah dan Pandhawa memang layak menang.

Itu sah-sah saja. Sungguh, saya pun kesulitan menemukan motif saya

(termasuk dalam tulisan ini), apakah ia murni merupakan refleksi dan

saya berharap orang lain membaca serta memberikan pendapatnya

mengenai tulisan ini, ataukah tercampur pula kebencian serta dukungan

tersamar? Adakah pamrih? Seberapa besar? Hanya Tuhan yang tahu.

Page 70: Menghidupkan aksi

70

Tulisan ini tak bermaksud membuat pelabelan tertentu, bahwa

salah satu pasangan capres adalah Kurawa, sementara yang lainnya

adalah Pandhawa. Yang ingin saya katakan adalah, dalam Baratayuda,

ada ratusan ribu ‘Baratayuda” yang berkecamuk dalam tiap diri

lakonnya. Dalam kehidupan nyata, sudah pasti kita akan dihadapkan

dengan situasi yang menuntut kita memilah dan memilih, lantas

memberi keputusan. Tak jarang rasa bimbang menyergap, sebab baik

buruk hilang batasnya, tercampur baur! Akan tetapi, pada akhirnya, kita

lah yang akan mempertanggungjawabkan tiap keputusan yang kita

ambil.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip perkataan salah seorang

mursyid ‘Am Ikhwanul Muslimin, Syekh Hasan Al Hudhaibi: “Kami

adalah juru dakwah, bukan hakim.” Pernyataan ini beliau sampaikan

sebagai respon atas munculnya golongan takfiri di kalangan Ikhwanul

Muslimin puluhan tahun silam. Semoga kita terhindar.

Ya Allah, Tuhan kami, tunjukilah kami jalan yang lurus.

Page 71: Menghidupkan aksi

71

Kumbakarna dan Wibisana: Tentang Sebuah

Ikhtiar Menghaluskan Rasa

Malam ini saya menonton Sendratari Ramayana di Balekambang.

Langit cerah, purnama merekah, lenggak lenggok gemulai lakon Shinta

di pentas nampak indah. Untuk sejenak, saya terpukau oleh suasana

magis yang melingkupi sekitar sebelum beberapa orang mulai ramai

mengeluarkan smartphone/tabnya untuk mengambil gambar hingga

menutupi pandangan saya ke arah tempat pagelaran berlangsung.

Sembari menonton, saya iseng menguraikan jalan cerita seperti

yang sebelumnya saya baca dari kisah tragis Ramayana pada kawan yang

duduk di sebelah saya. Ia manggut-manggut saja, namun sepertinya

ocehan saya mengganggu fokusnya, jadi saya sadar diri dan memilih

diam, ikut memperhatikan.

Memang, jika dibandingkan dengan Ramayana, saya lebih suka

Mahabharata. Alasannya sederhana: kompleksitas karakter yang

berperan dalam membangun kisah Mahabharata. Akan tetapi, itu bukan

berarti Ramayana bebas dari ambiguitas peran serta kategorisasi lakon

hitam-putih, jahat-baik, penjahat-ksatria.

Rahwana menculik Shinta, dia berdiri di sisi ‘yang bersalah’.

Rama datang ke Alengka untuk menjemput kekasih yang dicintanya,

Page 72: Menghidupkan aksi

72

Shinta, dia berdiri di sisi ‘yang terzalimi’. Tapi, apa yang dilakukan Rama

setelah kembali ke negerinya pada Shinta juga merupakan bentuk

kezaliman lainnya. Banyak yang tak tahu bahwa setelah Rama kembali

ke negerinya, Rama meragukan kesucian Shinta, terpaksalah Shinta

harus melakoni ritual untuk membuktikan kesetiaan dan kesuciannya

dengan menceburkan diri ke dalam kobaran api yang menyala-nyala.

Apakah setelah Shinta selamat Rama tetap meyakini kesucian dan

kesetiaan Shinta? Tidak! Rama mengusirnya dalam keadaan tengah

mengandung! Kezaliman apa yang lebih menyedihkan dibanding

pengusiran seorang suami pada isterinya yang tengah mengandung buah

hati mereka? Adakah jawaban?

Tapi, tulisan ini tak akan meributkan perkara percintaan Rama-

Shinta, kalau sudah menyangkut soal cinta dan kepercayaan, itu akan

jadi bahasan lain. Nah, jadi begini. Ada dua tokoh dalam kisah

Ramayana yang sedang jadi role model saya dalam mengambil sikap, dan

selama pertunjukan tadi berlangsung, saya belum juga bisa memutuskan

akan memilih bersikap sebagai siapa manakala diminta untuk memilih:

Kumbakarna atau Wibisana? Keduanya sama-sama adik Rahwana,

keduanya sama-sama mencela tindakan penculikan Rahwana terhadap

Shinta, tetapi sikap yang mereka ambil toh berlawanan.

Saat Wibisana memilih bergabung bersama Rama atas nama

kebenaran, Kumbakarna memilih setia mempertahankan tanah airnya,

Alengka, hingga kematian yang tragis datang menjemputnya di medan

Page 73: Menghidupkan aksi

73

pertempuran. Keduanya tercatat sebagai satria utama, akan tetapi siapa

yang sejatinya mengambil sikap yang benar?

Pilihan Wibisana untuk bergabung bersama Rama bukan hanya

perkara soal benar-salah. Saya membayangkan, ketidakinginan Wibisana

menjadi bagian yang dieksklusi di dalam negeri karena perbedaan

sikapnya dengan sang kakak pun ‘memaksanya’ turut menyeberang

menjadi pendukung Rama. Pertanyaannya, apakah setelah ia hijrah

dengan begitu mudah ia mendapat kepercayaan dari Rama dan

pengikutnya? Menurut saya, jelas tidak semudah itu. Secara politik, di

pihak Rama, ia pun akan tereksklusi sebagai orang asing, sebagai alien.

Barulah ia akan diterima apabila telah memberikan pengorbanan yang

setimpal.

Kumbakarna sendiri tak serta merta turut andil dalam melawan

penyerbuan ke Alengka. Sebelumnya, ia melarikan diri dengan

bersemadi. Barulah ia mengambil sikap untuk menyerang balik pasukan

Rama manakala keadaan tentara Rahwana semakin mengkhawatirkan.

Betapa sulitnya menilai benar-salah dengan tetek bengek logika

menjengkelkan ini. Entahlah, saya ingin menilai semua itu dengan rasa,

hanya rasa. Mengabaikan segala logika yang mungkin, juga ketajaman

analisa dalam melihat kompleksitas persoalan.

Tiga pekan yang lalu, saya misuh-misuh gara-gara membaca

curhatan Jean Couteau di Kompas yang menurut saya terlalu subjektif

dan hanya berpedoman pada olah rasa, olah intuisi, sehingga tentu saja

Page 74: Menghidupkan aksi

74

tidak dapat dipertanggungjawabkana. Mungkin memang dimaksudkan

demikian, sebab JC sendiri pun memberi judul tulisan itu Igauan

“identiter” di Bandara Doha.

“Mengapa mereka yang berlalu-lalang itu semuanya merasa harus

berbeda, mengikuti gaya tampilan khas warisan dari suku, agama, atau

bangsanya masing-masing? Sementara mereka dan saya pun tak lebih

dari tetesan air di aliran sungai besar…Apakah itu cukup sebagai tanda

jati diri? Saya melihat “Babel” sekeliling saya. Jelas tidak cukup!”

Tulisnya di udar rasa tersebut.

Akan tetapi, di bawah tulisan itu kok dia langsung menilai sifat

orang, kemudian mengidentikkannya dengan tokoh lain, dengan hanya

melihat tampilan luarnya saja, bukan tampilan luar malah, dari tiket yang

ia beli!

Sayangnya, meskipun misuh-misuh, saya baru sadar bahwa selama

ini pun saya telah melakukan dosa tak terampuni itu: menilai dengan

begitu mudahnya orang-orang di sekitar hanya dari tampilan mereka,

bagaimana mereka memperlakukan gadget yang mereka miliki,

status facebook mereka, link-link yang mereka share. Tanpa mau

menyelami lebih dalam karakter dari tiap pribadi dengan melakukan

interaksi secara intens untuk menghaluskan rasa.

Mungkin (hanya mungkin) dengan kembali merenungkan sikap

yang diambil oleh Wibisana dan Kumbakarna, kita kembali belajar,

bukan untuk menggurui tentang benar-salah, atau sekadar

Page 75: Menghidupkan aksi

75

mengingatkan tentang norma-norma, pesan moralitas, apalagi sekadar

pembenaran penentuan sikap, tapi untuk kembali berkaca pada diri,

siapkah kita mengambil keputusan secara sadar dan bertanggungjawab?

Sekali lagi, betapa sulitnya menilai benar-salah dengan tetek

bengek logika yang menjengkelkan. Betapa inginnya saya menilai semua

itu dengan rasa, hanya rasa, mengabaikan segala logika yang mungkin,

juga ketajaman analisa dalam melihat kompleksitas persoalan. Tapi,

bijakkah?

Tanya hatimu saja.

Page 76: Menghidupkan aksi

76

Ekalaya dan Segala Hal tentang Strata

Di tengah sinar rembulan, dengan ditemani nyala api obor yang

remang-remang, seorang ksatria dengan wajah yang penuh kesedihan

tengah memahat pada sebuah batu besar, membentuk sebuah sosok

tubuh dengan wajah peyot tua, dengan tangan kanan memegang tasbih

di depan perut, sementara tangan kirinya memegang gandewa panah.

“Mengapa seorang Pengembara tidak layak berguru? Mengapa seorang

gelandangan dilarang belajar?” Kata-kata itu lirih ia ucapkan sembari

tangannya tak henti membuat guratan-guratan pada batu besar itu, suara

yang hampir-hampir tak terdengar oleh sebab dikalahkan suara desah

nafasnya sendiri.

Masih terngiang dalam ingatannya waktu-waktu yang telah

terlewati. Saat ia meninggalkan kerajaan kecilnya yang berada di wilayah

Atasangin, Paranggelung, beserta isteri yang sangat dikasihinya, Dewi

Anggraeni, untuk berguru pada Begawan Durna. Betapa ia

bersunggguh-sungguh dan dengan kebulatan tekad melakukan

perjalanan selama lebih dari dua warsa agar bisa bertemu dengan sosok

Guru yang didambakannya.

Masih terlintas dalam benaknya, penolakan demi penolakan yang

dilontarkan Begawan Durna saat ia memohon untuk diizinkan berguru

Page 77: Menghidupkan aksi

77

dengannya. Masih terlintas jua dalam pikirannya, hinaan dan cacian

yang Begawan Durna ucapkan saat ia memergokinya tengah mencuri

dengar saat Sang Begawan tengah memberikan ajarannya pada Permadi.

Dan disinilah ia kini, dengan raut wajah yang tak bisa

digambarkan dengan kata sederhana. Wajah sedih yang mengguratkan

semangat dan keingian belajar yang begitu memuncak, dengan kelelahan

yang makin menjadi, serta ketulusan yang tak terperi.

“Salam hormat saya, Guru. .” Ujarnya sambil melakukan

penghormatan di depan wujud patung Sang Begawan, Resi Durna.

“Izinkan hamba berguru pada ruh Guru. Biarkan hamba

mengabdi dengan keteguhan hati berkhayal terhadap sosok Anda,

Guru.” Lanjutnya.

Maka hari demi hari, ia terus-menerus berlatih, ditemani sosok

patung Sang Begawan yang telah ia anggap sebagai guru sejatinya. Tiga

purnama pun berlalu, mengantarkan sosok ksatria pemahat menjadi

seorang ksatria utama yang memiliki kemampuan memanah dan olah

kanuragan yang luar biasa.

Hingga di suatu kesempatan, ia memberanikan diri

memperlihatkan olah kesaktiannya pada Sang Begawan saat ia dan

Permadi tengah berlatih di tepi hutan. Saat itulah, sang Ksatria mampu

memperlihatkan kepandaian memanahnya yang setara dengan

kemampuan yang dimiliki Permadi. Karena takjub atas kesaktian

Page 78: Menghidupkan aksi

78

seorang ksatria yang belajar secara otodidak tersebut, Resi Durna dan

Permadi mengikuti sang ksatria menembus hutan, hingga

diperlihatkanlah pada Sang Begawan itu sebuah patung batu yang sama

persis dengan sosok tubuhnya.

Mendapati sosok ksatria dengan kemauan keras dan keikhlasan

yang luar biasa tersebut, nampak jelas Durna begitu kagum pada

sosoknya. Namun di sisinya, Permadi memperlihatkan wajah iri yang

tampak tersirat dari sorot matanya.

Melihat raut perasaan itu di wajah murid kesayangannya, Resi

Durna berkata, “Karena sungguh berat kewajiban murid kepada

seorang Guru, saatnya engkau memberikan bhaktimu padaku. Potong

ibu jari tangan kananmu dan berikan padaku!”

Sang Ksatria sadar, memotong ibu jari tangan kanan, bagi

seorang pemanah adalah sama dengan menghilangkan seluruh

kemampuan memanahnya. Namun, tanpa berpikir dua kali, tanpa ragu,

diambillah sebuah belati yang ia sarungkan di pinggangnya, kemudian

dengan tangan kirinya, ditebaslah ibu jari tangan kanannya itu.

Sembari berlutut dan menunduk, dihaturkanlah ibu jari itu pada

Sang Begawan. Tak sedikitpun raut sesal terlintas di benaknya, bahkan

saat Sang Begawan dan Permadi meninggalkannya tanpa sepatah kata

pun.

Page 79: Menghidupkan aksi

79

Adalah Bambang Ekalaya, sosok ksatria yang saya kisahkan

dalam cerita di atas. Bagiku pribadi, Ekalaya telah mengajarkan, bahwa

sebagai seorang ksatria ia bukan sekedar menerima ilmu, tapi benar-benar

menjalani proses belajar yang keras dalam kehidupan yang ia lakoni.

Meski mengalami penolakan berulang kali, ia tidak menyerah, dalam

pahitnya berjuang, ia tetap konsisten dengan komitmennya dan dengan

sungguh-sungguh berlatih keras untuk mewujudkannya.

Ekalaya juga memberikan teladan mengenai bagaimana menjadi

Murid Sejati. Ia mungkin tak mendapat pengajaran langsung dari Durna

yang baginya merupakan Guru Terbaik, namun konsistensinya untuk

belajar telah memperlihatkan proses pembelajaran yang sesungguhnya.

Di zaman ini, banyak orang tua yang berkeinginan

menyekolahkan anaknya di sekolah terbaik agar mendapat guru dan

pengajaran yang terbaik, rela merogoh kocek dalam-dalam untuk

mewujudkan hal tersebut. Akan tetapi, hal itu kadang membuat mereka

lupa mengenai proses pembelajaran yang sesungguhnya.

Sekolah elit tak memberikan jaminan bahwa anak-anak kita akan

mendapat pengetahuan terbaik tentang kehidupan. Rasa iri yang

ditunjukan Permadi menggambarkan kesombongannya sebagai ksatria

pilihan yang merasa jauh lebih baik dibanding Ekalaya yang tak

mengenyam pendidikan yang sama dengannya. Ini adalah penyakit

kronis yang mematikan.

Page 80: Menghidupkan aksi

80

“Mengapa seorang Pengembara tidak layak berguru? Mengapa seorang

gelandangan dilarang belajar?” Kata Bambang Ekalaya.

“Mengapa Pak Bagyo (yang jualan nasi goreng di depan kos saya)

disebut Tukang Nasi Goreng, sementara para tukang masak di restoran

yang juga menyajikan menu yang sama disebut chef? Atau mengapa para

pemain musik di jalanan disebut Pengamen yang tidak disukai

kedatangannya, sedang para penjaja suara di layar kaca

disebut Penyanyi yang selalu dinanti hadirnya? Atau mengapa

seorang tukang bangunan yang sama-sama membuat rancangan rumah

sederhana di desa terpencil tidak disebut arsitektur seperti mereka yang

juga membuat bangunan besar di kota-kota?”

Ah, betapa hidup ini penuh absurditas yang tak mampu saya

pahami dengan sederhana.

Page 81: Menghidupkan aksi

81

Pesta Tahun Baru, MEA, dan Ekstase

Masyarakat Konsumer

Perayaan tahun baru di Kota Solo tahun ini dirundung kelabu.

Beberapa hari jelang momen pergantian tahun, Pasar Klewer yang

merupakan salah satu jantung perekonomian Kota Solo habis dilalap

api. Demi nama kemanusiaan, dan tentu saja atas nama solidaritas,

gaung kemeriahan tahun baru pun turut dipadamkan. Akan tetapi,

antusiasme warga Solo untuk memeringati momen ini nyatanya tak

turut padam. Ribuan orang memadati jalan Slamet Riyadi mulai sejak

ba’da isya hingga lepas tengah malam jelang hari pertama di tahun 2015.

Saya termasuk salah satu orang yang turut berjubel memadati

Slamet Riyadi malam itu. Turut menyaksikan dengan mata kepala saya

sendiri begitu banyak anonim manusia yang duduk berjejer di sepanjang

trotoar, membentuk ratusan lingkaran kecil di tengah jalan, ataupun

menyantap ragam kuliner yang dijual berjejer sepanjang Purwosari-

Gladak. Meski tak meriah, dan bahkan cukup lengang karena matinya

listrik, kembang api beberapa kali dinyalakan menghias langit malam

yang gerimis.

Ada perasaan hampa yang menerpa saya demi melihat momen

pergantian tahun yang hening ini. Di tengah temaramnya pencahayaan

Page 82: Menghidupkan aksi

82

yang hanya hadir dari gedung-gedung bertingkat di kanan kiri jalan, saya

melihat wajah-wajah lelah yang memimpikan harap akan datangnya

matahari baru di tahun mendatang. Terwujud atau tidak harapan itu,

hanya Tuhan yang kan menjawab. Bukankah manusia memang hanya

bisa berupaya sebaik-baiknya?

Akhir tahun mendatang, saya dan ribuan anonim manusia yang

memadati Slamet Riyadi ini akan menghadapi MEA (Masyarakat

Ekonomi Asean). Kami semua harus siap melihat ketimpangan yang

lebih besar. Bukan hanya ketimpangan pasar yang terbakar dan

meriahnya sekaten di alun-alun. Kami harus siap melihat betapa yang

besar akan semakin besar, sementara yang kecil semakin tergilas. Kami

harus mengelus dada saat menyaksikan penghasilan kelompok atas dan

menengah lepas bebas, sementara kelompok kecil akan selalu di atur

dan di tekan serendah-rendahnya. Potret buram in akan hasilkan

kesenjangan antara mereka yang termanjakan oleh fasilitas mewah dan

mereka yang terhimpit dan tertindih titik nadir kesusahan.

Perluasan dan integrasi pasar yang tercermin dari

diberlakukannya MEA sedikit banyak telah terlihat dampaknya. Perilaku

konsumtif masyarakat telah muncul di berbagai kategori usia, lapisan,

dan kelompok. Hal ini tercermin dari lenyapnya dimensi moral,

kehangatan spiritual, dan makna kemanusiaan itu sendiri. Sekali lagi,

persoalan MEA bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga gesekan

lapisan moral, sosial, dan kebudayaan.

Page 83: Menghidupkan aksi

83

Perayaan malam tahun baru kemarin adalah perayaan yang

pertama saya ikuti sejak saya lulus dari bangku Sekolah Dasar. Saya

berharap akan mendapati ribuan orang yang saling berbagi kisah refleksi

tentang satu tahun yang telah terlewati dan resolusi yang mereka

canangkan satu tahun mendatang. Saya kira akan melihat orang-orang

yang saling menggenggam tangan erat untuk ucapkan maaf dan terima

kasih atas kebersamaan yang penuh makna sepanjang tahun. Namun,

yang saya lihat di hadapan saya adalah orang-orang yang detik demi

detiknya sibuk berpose di depan kamera, mengunggahnya ke jejaring

sosial, dan saling berbagi cerita dengan kawan mayanya.

Fenomena ini kerap diklaim sebagai salah satu bentuk ekstasi.

Ekstasi, menurut Jean Baudrillard, adalah kondisi mental dan spiritual di

dalam diri setiap orang yang berpusar secara spiral, sampai pada satu

titik ia kehilangan setiap makna, dan memancar sebagai sebuah pribadi

yang hampa. Seseorang yang tenggelam di dalam pusaran siklus hawa

nafsunya, pada titik ekstrem menjadi hampa akan makna dan nilai-nilai

moral.

Ekstasi dalam masyarakat kita hari ini tercermin dalam suntikan

ekstasi yang pragmatik dan narsistik. Yasraf Amir Piliang membaginya

dalam banyak term. Tiga diantaranya adalah ekstasi komunikasi, ekstasi

sosial, dan ekstasi internet. Ekstasi komunikasi adalah esktasi dalam

berkomunikasi tanpa merasa perlu adanya pesan dan makna

komunikasi. Ekstasi sosial yakni ekstasi dalam bersosialisasi secara

global tanpa merasa perlu berinteraksi secara fisik. Dan, ekstasi internet,

Page 84: Menghidupkan aksi

84

yakni sosialisasi global yang membuat dunia bergerak mengelilingi kita

melalui internet. Bentuk-bentuk ekstasi ini mengantarkan masyarakat

kita menjadi masyarakat konsumer yang senang bertamasya menuju

siklus trance/ pencerahan semu.

Masyarakat kita saat ini menjadikan jejaring sosial sebagai gaya

hidup yang menggoda. Jejaring sosial ini menawarkan penampakan ilusi,

kenyamanan, kegairahan, prestasi, dan ekstasi. “Saya mengunggah foto di

facebook yang di-like oleh ratusan orang, saya eksis, saya berhasil.” Namun,

berhasil dalam hal apa? Jumlah like atau komentar kah? Prestasi jumlah

like ini adalah prestasi semu yang menenggelamkan manusia dalam

ekstasi pengalaman puncak narsistik yang terdalam. Sebab, sejatinya tak

ada nilai guna dari jumlah like dan komentar selain citraan narsistik

pada diri.

Citraan semu ini terus dikejar demi mendapat pengalaman

puncak, ilusi akan keberhasilan yang tercipta dari banyaknya like dan

komentar di jejaring sosial. Maka, tak heran citraan semu ini menjadi

pasar untuk dijajah komoditi. Tak cukup menggunakan efek cantik

lewat aplikasi gratis di internet, demi mendapat penampilan sempurna

di layar kamera, seseorang rela melakukan perawatan wajah senilai

jutaan rupiah. Maka tubuh pun kini hanya jadi seonggok daging

terbungkus kulit yang padanya dipakaikan baju yang sesuai mode dan

ragam aksesoris yang memikat.

Yang perlu kita sadari adalah bahwa perubahan sistem nilai

budaya demi terwujudnya consumen culture adalah pilihan rasional

Page 85: Menghidupkan aksi

85

ekspansi pasar ke negara berkembang agar tindakan konsumtif tetap

terjaga. Selain menggunakan iklan sebagai media advertensi, ekstase

narsistik masyarakat juga dipupuk menjadi lahan subur serbuan

komoditas asing.

Pertanyaan besar yang belum terjawab adalah, sejauh mana

kesiapan kita menghadapi era pasar bebas di akhir tahun mendatang jika

kita belum jua bisa lepas dari budaya ekstasi masyarakat konsumer ini?

Page 86: Menghidupkan aksi

86

Bedah Buku Waktunya Tan Malaka

Memimpin

Tan Malaka adalah sosok yang jarang dikenal oleh generasi saat

ini. Sekalipun, saat orde lama ia pernah ditepakan sebagai pahlawan

nasional oleh Soekarno, akan tetapi foto, biografi, dan kisah

kepahlawanannya seolah tenggelam selama berpuluh tahun lamanya

seiring dengan keberjalanan Republik Ini. Saat mengetahui ada sebuah

buku berjudul ‘Waktunya Tan Malaka Memimpin’, yang kemudian

menjadi pertanyaan adalah. Siapa Tan Malaka? Mengapa Tan Malaka?

Dan sejauh mana relevansi gagasannya berpengaruh di era sekarang?

Penulis-Eko Prasetyo, menguraikan alasan mengapa ia menulis

buku ini dalam bedah buku yang diselenggarakan LPM Kentingan, 10

Juni 2013 dalam tiga poin berikut.

Pertama, karena tokoh kiri tak pernah diangkat dalam sejarah

Indonesia. Memang, sejauh yang saya ketahui, saat melanjutkan studi di

Rijks Kweekschool Belanda pada 1913, ia mengenal beragam

pemikiran, termasuk Marxisme-Leninisme yang kemudian diadopsinya

sehingga relevan diterapkan bagi bangsa Indonesia.

Kedua, karena gagasan Tan Malaka masih sangat relevan.

“Kemerdekaan 100%” yang menjadi cita-cita Tan Malaka merupakan

Page 87: Menghidupkan aksi

87

inspirator perdana lahirnya konsep negara yang berdaulat pasca

kemerdekaan, dimana istilah Republik Indonesia pertama kali

dicetuskan olehnya, empat tahun sebelum pledoi Indonesia Merdeka

Muhammad Hatta. Gagasan yang kemudian pun diwariskan pada

‘binaan’nya, Bung Tomo, yang seperti kita ketahui bersama, begitu

berapi-api dalam orasinya saat perang mempertahankan kemerdekaan

Indonesia.

Ketiga, di tengah miskinnya visi aktivis pergerakan, dimana setiap

kali diskusi menemui jalan buntu, maka lagi-lagi kalimat yang muncul

adalah “Mari kita kembali ke Pancasila”, atau “Mari kita kembali ke

manhaj..”, bla bla bla. Ia menolak jalan-jalan diplomasi yang ia yakini

sebagai jalan yang tidak meyakinkan. Keyakinan untuk merebut

kemerdekaan dengan tangan sendiri, ia buktikan sebagai jalan juangnya

membela Republik.

“Sejarah hidup Tan Malaka adalah jalan hidup seorang martir.

Begitu tegar. Asketisme yang luar biasa. Ia begitu meyakini kekuatan

agama dengan spirit Islam”, Demikian Ungkap Eko Prasetyo, sang

Penulis buku ‘Saatnya Tan Malaka Memimpin’ itu.

Memang, salah satu tesis Tan yang terkenal adalah integrasi

semangat Pan Islamisme dan komunisme guna melawan rezim

kapitalisme, yang ia sampaikan dalam pidato mewakili PKI di Rusia

tahun 1920. Ia meyakinkan komunis Rusia bahwa Islam adalah agama

untuk pembebasan rakyat dari kolonialisme yang ia dasari pada

Page 88: Menghidupkan aksi

88

perkembangan Sarekat Islam di Hindia Belanda (Meskipun SI pada saat

itu pecah menjadi dua, hingga pada akhirnya PKI lahir).

Tan sendiri, selain senantiasa menyuarakan kesadaran kolektif

massa dan persatuan guna melawan imperialisme juga menyuarakan

ketidakpercayaannya pada sistem parlementer yang menurutnya hanya

berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan. Ia mengusulkan agar

negara dikelola oleh organisasi konvensional, misal: organisasi sosial,

bukan Parpol. Sehingga, pengelolaan negara digantikan oleh perwakilan

blok-blok.

Menyoroti pemilihan umum raya di berbagai kampus di

PTN/PTS di Indonesia, agaknya memang mengkhawatirkan. Pemilihan

ketua BEM didasarkan pada suara mayoritas dengan mekanisme yang

sama sebagaimana ditetapkan dalam Pilkada. Mahasiswa seolah tak

memiliki gagasan genuine dalam berpolitik, tertampilkan jelas lewat

bagaimana foto calon dan orasi-orasinya yang tak jauh berbeda dengan

para politikus yang berebut suara di Pilkada. Memprihatinkan!

Bagi Tan Malaka, kemerdekaan 100% harus ditegakkan, dengan

parameter : semua sektor penting harus dikuasai oleh negara, termasuk

pendidikan. Nah, pertanyaanya bagaimana pendidikan ala Tan ini

diterapkan?

“Pendidikan harus menghasilkan tiga aspek ini lahir pada diri

siswa : Rasionalitas, kemauan yang keras, dan menghaluskan perasaan.”

Page 89: Menghidupkan aksi

89

Perlu diketahui pula bahwa sebelum ia berangkat ke

pembuangannya, ia telah mendirikan sekolah-sekolah rakyat dengan

menguraikan dasar tujuannya yaitu: dikuasainya ilmu alam dan bahasa,

pendidikan berorganisasi, serta pendidikan yang berpihak pada

kepentingan masyarakat.

Panelis Bedah buku kali ini, Kanda Ekanada Shofa (Dosen FISIP

UNS), mengungkapkan tangggapannya atas buku ‘Waktunya Tan

Malaka Memimpin’. Selain mengomentari tampilan buku yang menarik

karena disertai dengan kartun dan ilustrasi yang memikat, ia juga

berkomentar soal substansi buku tersebut.

“Ide-ide Tan Malaka harus memimpin sebab ide yang ia

kemukakan masih sangat relevan di era sekarang dimana lawan yang

kita hadapi bukan hanya imperealisme kapitalis, tetapi juga mentalisme

feodal.”

Setelah pemaparan dari Eko Prasetyo dan tanggapan dari Kanda

Eka, saya pun mengajukan pertanyaan: “Salah satu alasan Pak Eko

menulis buku Tan Malaka ini adalah karena skeptis terhadap visi aktivis

pergerakan yang setiap kali menemui jalan buntu, maka dikembalikan pada

kalimat normatif seperti kembali ke pancasila atau ideologi organisasinya. Tan

Malaka menyegarkan kita dengan tesisnya mengenai integrasi antara Pan-

Islamisme dan Komunisme. Nah, disini ada yang aneh. Pan Islamisme itu kanan

mentok, sedang komunisme itu kiri njeglek, bagaimana proses integrasi itu bisa

terjadi, dan apa implementasinya bagi aktivis pergerakan di era sekarang?”

Page 90: Menghidupkan aksi

90

Eko Prasetyo beranggapan bahwa komunisme dan Islam itu

memiliki banyak persamaan. Pertama, sama-sama membenci akumulasi

yang dikutuk (kapitalisme). Kedua, memiliki semangat militansi yang

sama. Ketiga, kelangsungan hidupnya dipertaruhkan pada revolusi.

Nah, bagaimana mengimplementasikan dalam dunia aktivis? Pertama,

jadilah aktivis yang radikal dan ekstrem. Kedua, Bukalah dialog dengan

membuka kran komunikasi. Ini waktunya membuka diri dengan

komunikasi untuk melawan imperialisme.

Sementara itu, dalam menyoroti dunia aktivisme pergerakan

mahasiswa di era sekarang, Kanda Eka berkomentar mengenai

‘narsisme’ aktivis kampus dan pergerakan. Minimnya semangat

membaca menyebabkan miskinnya gagasan dan ide-ide segar untuk

melakukan transformasi.

“Kalau belum baca buku, belum aktivis namanya. Tan Malaka

saja saat dalam pembuangannya bawa satu peti buku untuk dibaca!”

Padahal, seringkali aktivis kampus banyak turun ke jalan untuk

menyuarakan aksi. Tanpa membawa data dan solusi yang relevan,

sekedar ingin diliput media, selesai. Itu hal yang naïf. Bukannya

kesadaran kritis yang dihasilkan, melainkan kesadaran magis. Pun,

setelah aksi, evaluasi tak ada (kalaupun ada, tak pernah menyiapkan

langkah konkret pasca aksi).

Mestinya, saat kita tahu bahwa kapitalisme-yang menjadi musuh

kita bersama semakin besar, kita bisa menginisiasi untuk membuat

Page 91: Menghidupkan aksi

91

aliansi strategis, membuka kran-kran diskusi sesama organisasi

mahasiswa, baik itu intra maupun eksternal kampus.

Sayangnya, kita seringkali memiliki ego sektoral yang berlebih,

sektarianisme organisasi, sehingga yang ada saat mengangkat isu

bersama adalah kontestasi bendera dan massa.

Page 92: Menghidupkan aksi

92

Derita Remaja dan Kapitalisme,

Islam sebagai Solusi13

Judul di atas saya ambil dari paparan orator pertama dalam

sebuah acara yang digelar oleh Muslimah Hizbut Tahrir Solo Raya

dengan judul yang sama. Orator pertama dalam seminar ini berbicara

mengenai Derita Remaja dan Kapitalisme dengan menyinggung

mengenai kondisi remaja di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia

dalam menghadapi berbagai problematika akibat krisis multidimensi

yang terus menghinggapi bangsa.

Kapitalisme dinilai telah menyebabkan degradasi moral yang luar

biasa di kalangan pemuda dengan mengatasnamakan: kebebasan

perilaku, ekspresi jiwa, dan mengukuhkan eksistensi diri. Sehingga,

sadar tidak sadar kini remaja telah dieksploitasi dalam segala sisi

kehidupannya. Akibatnya, lahirlah generasi yang lemah secara

pemikiran, rusak kepribadiannya, dan mengalami split personality

(galau).

13 Khilafah Melindungi dan Menyejahterakan Remaja adalah tema dari kegiatan

yang diselenggarakan oleh Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia DPD HTI Kota

Surakarta Ahad, 16 Desember 2012 di Gedung YPAC Surakarta untuk para

pelajar dan mahasisa se-solo raya.

Page 93: Menghidupkan aksi

93

Yang saya garis bawahi dengan mantap dari yang dipaparkan oleh

orator pertama adalah mengenai model pendidikan di Indonesia yang

sarat dengan sekularisme. Diantaranya adalah pemisahan agama dari

kehidupan akademis sekolah dan lebih fokusnya pendidikan untuk

menghasilkan tenaga kerja yang serba ‘terbatas’ dengan upah yang jauh

dati kelayakan.

Untuk bisa menikmati pendidikan yang berkualitas, remaja harus

menguras kantong orang tua dengan biaya pendidikan yang luar biasa

mahal, sedang yang tidak mampu hanya bisa berharap dari serpihan

bantuan yang disebut dengan beasiswa, setelah memenuhi syarat yang

sangat menyulitkan dan merendahkan: menyatakan berasal dari keluarga

miskin.

Memang, saya pun merindukan hal yang sama. Dimana para

pemuda dan remaja Islam bangkit dan maju dengan ketinggian

syakhsiyah dan tsaqofahnya. Sebab, remaja/ pemuda-red adalah garda

terdepan untuk mengembalikan Islam secara kaffah.

Bagaimana caranya? Acara ini mengklaim bahwa hal ini akan

terwujud apabila model Negara yang menerapkan Islam sebagai

minhajul hayyah, Khilafah Islamiyah menjadi jalan politik.

Konsep ini lahir dari interpretasi terhadap Shiroh Nabawiyah,

dimana Rasulullah dalam perjuangannya menegakkan Islam membentuk

kelompok politik (kutlah siyasi). Kutlah siyasi adalah kelompok atau

partai politik yang berjuang di tengah-tengah umat untuk mewujudkan

Page 94: Menghidupkan aksi

94

syariat Allah swt di muka bumi yang dimulai dengan melakukan

pembinaan intensif (haqlah murazakkazah) dalam rangka mewujudkan

kader yang bersyakhsiyah Islamiyah dengan tsaqofah yang memadai.

Tahap berikutnya adalah dengan melakukan pembinaan umat (tatsqif

jama’i) secara luas guna terbentuknya kesadaran umum masyarakat (al

wa’yu al amy) yang benar tentang Islam sehingga memunculkan

kebutuhan dan terlibat aktif memperjuangkan tegaknya khillafah. Yang

ketiga adalah dengan melalui pembesaran tubuh jamaah (tanmiyatu

jizmi) agar kegiatan pengkaderan dan pembinaan umum dapat

dilakukan dengan lebih intensif hingga terbentuklah kekuatan politik (al

quwwatu al siyasiya). Kekuatan politik adalah kekuatan umat yang

memiliki kesadaran politik islam. Yakni kesadaran bahwa kehidupan

bermasyarakat dan bernegara harus diatur dengan syariat Islam sehingga

massa umat dalam jumlah besar tersebut akan menuntut perubahan ke

arah Islam. Didukung oleh al quwwah (polisi, militer, dsb) yang

mendukung perjuangan syariat dan khilafah maka sungguh kekuatan

politik ini tak akan terbendung.

Khilafah adalah sebuah model daulah yang melindungi dan

menyejahterakan. Sebab dalam khilafah islamiyah Negara

bertanggungjawab terhadap urusan seluruh rakyatnya dengan

menerapkan seluruh hukum Islam dan menyampaikan Islam ke seluruh

muka bumi. Bahkan, daulah islamiyah pun memiliki sistem kebijakan

strategis dan menyeluruh.

Page 95: Menghidupkan aksi

95

Bahwa khilafah adalah satu-satuya solusi guna meluruskan

tatanan jahiliyah menuju kebenaran Islam yang abadi. Karena

sesungguhnya tidak akan pernah mungkin kebaikan dan kejahiliyahan

akan dapat hidup berdampingan. Meskipun, beberapa orang

menganggap bahwa sejatinya pertempuran antara kebaikan dan

kebathilan musykil terjadi hingga satu diantara dua sebab ini terjad :

orang yang mempertempurkan itu dalam hatinya mati, atau dunia ini

kiamat.

Dalam bukunya, Ma’alim Fi Ath-Thariq, Sayyid Qutbh

menjelaskan bahwa konsepsi Islam bersifat teoritis sekaligus realistis.

Konsepsi Islam bukanlah teori yang lepas dari realitas, akan tetapi

tercermin dalam realitas yang dinamis. Kita tidak akan mampu

menegakkan konsepsi Islam dan juga mencapai kehidupan Islami,

kecuali dengan cara menempuh manhaj pemikiran yang Islami.

Sudah pasti, Islam datang untuk mengembalikan manusia juga

alam semesta yang melingkupi manusia kepada kedaulatan Allah-Rabb

semesta alam. Upaya untuk menghancurkan kejahiliyahan dan

mengembalikan kedaulatan kepada Allah semata tidaklah akan bisa

dilaksanakan tanpa menggunakan hukum Allah.

Dan, kedaulatan Allah sungguhlah hanya akan bisa ditegakkan

apabila syariat Allah menjadi pemerintahnya, dan sumber ketentuanya

ada di tangan Allah sesuai dengan aturan yang jelas yang telah

ditetapkan-Nya. Bahkan, siapapun yang mengaku dirinya mempunyai

otoritas menetapkan undang-undang bagi manusia, berarti ia telah

Page 96: Menghidupkan aksi

96

mengklaim ketuhanan dirinya secara implisit maupun eksplisit, entah ia

mengklaim itu dengan ucapan ataupun tanpa ucapan.

Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Konsekuensinya, Islam tidak

boleh berhenti pada batas-batas geografis, tidak pula mengisolasi diri

dalam sekat-sekat etnis. Maka, adalah hal yang menjadi suatu

keniscayaan bahwa Islam mulai mengambil inisaiatif gerakan

pembaharu guna menegakkan kalimatullah di muka bumi ini. Individu-

individu yang hatinya telah murni terhadap penghambaan kepada Allah

dan steril dari penghambaan selain kepada Allah, semestinyalah bersatu

dan bergabung dalam sebuah komunitas Islam.

Tatkala aqidah sudah berlainan maka terurailah satu ikatan

kerabat dan terbagilah yang satu, karena yang menjadi kata kunci dari

terbentuknya Darul Islam/ Khilafah Islamiyah adalah ikatan aqidah.

Negara Islam diperuntuhkan bagi orang yang mau menerima

syariat Islam sebagai tatanan, meski ia bukan seorang muslim. Islam

tidak didasarkan pada hubungan tanah kelahiran atau kesukuan, tidak

pada ikatan keturunan ataupun pernikahan, dan tidak pula jalinan

kabilah ataupun kerabat. Islam tidak akan tegak di bumi yang tidak

dikendalikan oleh Islam dan syariatnya.

Dalam marhalah amal, Ikhwanul Muslimin, pembentukan

Negara Islam adalah salah satu capaian sebelum terbentuknya khilafah

Islamiyah dan menjadikan Islam sebagai soko guru peradaban.

Sehingga, pasca Negara dan bangsa ini telah bertunduk dalam hukum-

Page 97: Menghidupkan aksi

97

hukum Islam dan Negara-negara yang lain diseluruh dunia

mengazzamkan hal yang sama. Maka yakinlah bahwa gelombang besar

itu akan terus bergolak dan melaju penuh gairah, diusung oleh para

pemuda Islam yang yakin dengan hati mereka yang tulus bahwa hanya

Islam-lah satu-satunya solusi perjuangan.

Maka, saya sangat mengapresiasi siapapun mereka yang

mengafiliasikan dirinya dalam suatu wadah pergerakan pemuda Islam.

Sebab saya yakin mereka mencita-citakan hal yang sama. Sama baiknya

(setidaknya begitu). Gerakan apapun sama saja dalam manhaj Islam ini,

asalkan proaktif berupaya melepaskan manusia dari pengabdian

(ubudiyah) kepada hamba menuju pengabdian kepada Allah semata.

Selayaknya KAMMI yang bercita-cita mewujudkan bangsa dan Negara

yang Islami dan HMI yang berazzam mewujudkan masyarakat adil

makmur yang diridhoi oleh Allah swt. Dan HTI yang dengan menggebu

gebu mengatakan tiga baris kalimat yang menggetarkan: Tiada kemuliaan

tanpa Islam, Tiada Islam tanpa syariah, Tiada Syariah tanpa daulah khilafah.

Namun, apakah benar bahwa hanya ada satu macam negara yang

bisa menopang pemerintahan yang Islami, yaitu negara Islam (Darul

Islam)?

Page 98: Menghidupkan aksi

98

Print Culture Ideologisasi Gerakan

Tarbiyah di Indonesia

Gerakan Tarbiyah atau usroh merupakan sebuah prototype gerakan-

gerakan sejenis yang telah lama berkembang di berbagai belahan dunia

Islam. Lebih lanjut, model gerakan ini cenderung mengadopsi pola

gerakan Ikhwanul Muslimin yang lahir pada tahun 1928 sebagai

representasi gerakan pemikiran serta perpolitikan Islam yang didirikan

oleh Imam kharismatik, Hasan Al Banna di Mesir. Ciri khas gerakan ini

adalah sistem kaderisasi yang terstruktur, bersifat urban dan berbasis

perkotaan, serta menjadikan kampus sebagai basis gerakan.

Tulisan ini akan membahas mengenai ideologisasi yang dilakukan

gerakan tarbiyah di Indonesia dan peran media sebagai print

culture dalam upaya transfer ideologi.

Lahirnya Gerakan Tarbiyah

Hadirnya gerakan ini di Indonesia tak lepas dari pengaruh rezim

otoriterian orde baru yang represif melalui marginalisasi tokoh-tokoh

muslim beraliran ‘kanan’ serta pembubaran gerakan-gerakan yang

disinyalir fundamental, termasuk penerapan Pancasila sebagai asas

tunggal dalam organisasi sosial-keagamaan.

Page 99: Menghidupkan aksi

99

Menjalankan Islam secara menyeluruh dalam setiap aspek

kehidupan yang dianggap materialistik dan sekuler merupakan

keinginan yang muncul dari sebagian masyarakat Islam Indonesia yang

kala itu merasa menjadi ‘korban’ atas kebijakan-kebijakan politik orde

baru yang represif dan tidak memihak pada Islam sebagai golongan

mayoritas di Indonesia.

Maka, model gerakan Islam yang sebelumnya lebih

mengedepankan mobilisasi massa pun beralih melalui proses

internalisasi melalui halaqah-halaqah yang beranggotakan tak lebih dari

12 orang, yang melakukan rekruitmen dan kaderisasi dengan hati-hati.

Yakni melalui gerakan underground yang mengadakan pertemuan rutin

yang berpindah-pindah setiap pekannya dari satu masjid ke masjid yang

lain, maupun dari satu rumah ke rumah yang lain. Kebanyakan dari

mereka bukan berasal dari pesantren dan sejenisnya. Mereka belajar

agama Islam secara instan saat menempuh kuliah di pendidikan tinggi,

sehingga rasa peningkatan kesadaran beragama tersebut kadang

membuat mereka kaku dan merasa berbangga diri dengan identitas

kesantrian mereka.

Gerakan ini pun melesat pamornya di beberapa sekolah negeri,

menyusup dalam organisasi Islam (Rohis) dan melakukan pengkaderan

di sana. Pola pengkaderan yang dilakukan pun cenderung teratur dan

sistematis, sebab seorang yang telah dibina selama misal 1 tahun dan

dirasa memiliki kepahaman yang cukup akan didaulat menjadi mentor

(murobbi) dan bertugas untuk mencari adik binaan dengan ‘ajakan yang

Page 100: Menghidupkan aksi

100

baik’. Terus begitu hingga selanjutnya, kader-kader terekrut akan dibina

dan nantinya menjadi kader inti pada saat melanjutkan studi di

pendidikan tinggi.

Materi kajian yang dibahas bukanlah seperti yang dilakukan

oleh limited group yang dilakukan beberapa aktivis Himpunan Mahasiswa

Islam yang dimotori oleh Achmad Wahib, Dawam Raharjo, dan

Djohan Effendi guna pembredelan Islam dilihat dari kacamata filsafat

dan sejenisnya, akan tetapi lebih menanamkan pada beberapa aspek

seperti aqidah, ibadah, dan akhlak guna menanamkan nilai-nilai dasar

ideologi (fikrah). Mereka kerap menggunakan kosa kata bahasa Arab

pada saat penggunaan bahasa Indonesia, seperti :Afwan, syukron,

Jazakallah, La ba’tsa, dan lain-lain. Kelompok ini menyebut diri mereka

sebagai akhi/ikhwan untuk para pria, dan ukhti atau akhawat untuk

para wanita.

Ideologisasi Gerakan Tarbiyah melalui Media

Seiring dengan makin luas dan diterimanya gerakan ini di

masyarakat, maka kebutuhan akan materi-materi yang lebih kompleks

guna mengideologisasikan tujuan dan cita-cita jangka panjang pun

semakin meningkat.

Ismatu Ropi dalam essainya yang berjudul “Membangun

Masyarakat Islami dan Ideologisasi Gerakan Tarbiyah di Indonesia”

menyatakan bahwa adalah hal yang tak terbantah bahwa gerakan

Tarbiyah di Indonesia (sedikit banyak atau bisa jadi sedemikian besar)

Page 101: Menghidupkan aksi

101

mengadopsi dalam batas-batas tertentu ideologi Ikhwanul Muslimin

yang dikenal militan dan sangat tertarik dengan hal-hal praktis

keseharian. Jikapun dikatakan bahwa gerakan Tarbiyah dan IM masing-

masing tak saling berkaitan maka keduanya tetaplah akan saling

memberi dukungan disebabkan adanya kesamaan motif dan tujuan.

Akan tetapi, seperti yang saya sampaikan di atas, latar belakang

para anggota yang bukan berasal dari pesantren maupun perguruan

tinggi Islam menghambat transfer ideologi ini. Maka, disinilah peran

media cetak sebagai print culture memberikan andil besar dalam proses

transmisi gerakan.

Maka, dengan modal jaringan dan mobilisasi massa dan dana

yang memadai, diterjemahkanlah berbagai bentuk karya islam klasik dan

kontemporer besutan para akademisi lulusan timur tengah atau mereka

yang memiliki pandangan ideologis yang relative sama, sehingga

pemilihan yang selektif terhadap buku-buku bernuansa Islam pun laris

manis diterbitkan oleh beberapa penerbit seperti: Gema Insani Press,

Pustaka Al Kautsar, Rabbani Press, Asy-Syamil, dan yang terkahir Era

Intermedia. Penulis dan buku yang dijadikan sumber referensi yang

diterbitkan diilhami oleh karya-karya tokoh ikhwanul muslimin seperti

Sayyid Quthb, Hasan Al Banna, Hasan Al Hudhaybi, dan Yusuf Al

Qardhawi.

Tak hanya melalui media cetak, ideologisasi yang dilakukan pun

memanfaatkan sejumlah perangkat modern melalui dunia maya, seperti

Page 102: Menghidupkan aksi

102

jejaring sosial (akun facebook dan twitter) dan website (dakwatuna.com,

eramuslim.com).

Media yang digunakan untuk propaganda isu kontemporer pun

lumayan beragam, dari penerbitan beberapa majalah seperti Tarbawi,

Sabili, dan Ummi, serta pemanfaatan media elektronik yang tersedia.

Disini kentara terlihat bahwa kelompok ini bukanlah kelompok

fundamental anti-modernitas. Sebagai kaum intelegensia santri baru,

mereka menempatkan diri sebagai anak-anak zaman yang menggunakan

modernitas yang dihasilkan oleh peradaban barat untuk

mensubordinasikannya dengan standar ortodoksi keagamaan yang

mereka yakini sebagai ideologi sekaligus untuk melawan hegemoni barat

itu sendiri.

Menyoroti Print Culture Ideologi Tarbiyah

Adalah hal yang luar biasa ketika jumlah penerbitan buku-buku

Islam yang menyokong ideologisasi jamaah ini begitu berlimpah di

lapangan. Akan tetapi, cobalah perhatikan! Di titik inilah terjadi

disorientasi dan stagnasi, dimana buku-buku yang ada hanya

mengautentikkan pemikiran khas Ikhwanul Muslimin tanpa

mengkolaborasikan dengan unsur kearifan lokal khas Indonesia, bukan

hanya dari segi politik, tapi juga sosial dan kultur. Sehingga yang terjadi

seolah hanyalah perpindahan ideologi dari Timur Tengah ke Indonesia.

Padahal, seperti yang kita ketahui bangsa Indonesia pun memiliki

Page 103: Menghidupkan aksi

103

kearifan lokal tersendiri dengan konteks historis, politik, budaya, dan

keagamaannya.

Disini, penulis akan menganalisa kajian yang dilakukan oleh

Robert Wuthnow terkait gagasan reformasi protestan yang dimulai pada

tahun 1520-an oleh Martin Luther. Ia berpendapat bahwa dinamika

hubungan antara lingkup sosial dan ideologi akan berperan penting

dalam proses reformasi. Situasi inilah yang akan memunculkan proses

artikulasi gagasan dari aktor-aktor yang terlibat di dalamnya.

Proses ini dibagi menjadi tiga tahap: Pertama, tahap produksi

dimana ide-ide bermunculan melalui kerja-kerja penulisan dengan print

material berupa buku, jurnal, pamphlet, dan sebagainya. Kedua, seleksi

dimana para pemikir dan penulis memilih apa yang akan dituliskan

sehingga mulai terbentuklah beragam school of thought. Ketiga, adalah

proses institusionalisasi dimana mekanisme rutin untuk menyebarkan

ide sehingga menjadikan diskursus lebih terlembaga. Dalam

pelembagaan inilah akan tercipta komunitas yang diwarnai diskursus

yang beragam dari ideologi yang saling berkompetisi.

Dan untuk menjawab tantangan itu, berani dan mampukah kita

sebagai kader dari Jamaah Tarbiyah melakukan desakralisasi terhadap

ideologi kita dan mulai membuka kajian-kajian yang lebih terbuka guna

konteksualisasi ideologi dengan kondisi historis, politik, budaya, dan

keagamaan bangsa Indonesia dengan tetap berjalan pada koridor

AlQur’an dan Al-Hadits?

Page 104: Menghidupkan aksi

104

Sampai hatikah kita-sebagai pembangun rumah-kemudian

melupakan pondasi yang telah ditanamkan oleh kakek-nenek kita

terdahulu dan mengingkari pernyataan yang sangat asasi bahwa kita

adalah bagian dari masyarakat Indonesia?

Sumber Bacaan:

Ismatu Ropi dalam essainya yang berjudul Membangun Masyarakat

Islami dan Ideologisasi Gerakan Tarbiyah di Indonesia mengutip

hasil penelitian Tim Peneliti Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) IAIN

Jakarta :Radikalisme Agama di Indonesia yang laporannya tidak

diterbitkan.

Robert Wuthnow, Communities of Discourse: Ideology and Social

Structure in The Reformation, the Enlightment and European

Socialism (Cambridge : Harvard University Press, 1989), hal 9-10

Page 105: Menghidupkan aksi

105

Demokrasi dalam Syariat Islam14

Pertanyaan mengenai bagaimana Islam memandang demokrasi

senantiasa menjadi topik menarik untuk diperbincangkan dalam

berbagai obrolan ringan, selentingan di media sosial, diskusi klasikal,

hingga tema dalam berbagai seminar yang diselenggarakan ormas Islam.

Hal ini pula yang menjadi fokus kajian sebuah seminar yang dimotori

oleh Lembaga Kajian dan Pendampingan Sosial Kholif@h beberapa

waktu silam.

Bapak M.Dian Nafi, salah satu fasilitator seminar ini melakukan

telaah mengenai hakikat manusia, spirit dalam ajaran Islam untuk

memperbaiki demokrasi, serta kemungkinan umat Islam menjadi

pelopor dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Beliau menekankan pentingnya kebersamaan untuk membangun

kebajikan bersama guna membangun peradaban sesuai dengan yang

diajarkan Rasulullah saw. Dengan kesadaran tersebut, ia berpendapat

14 Pada 2 Februari 2014 kemarin, saya mengikuti seminar nasional

bertema Demokrasi dalam Syariat Islam yang diselenggarakan oleh Lembaga

Kajian dan Pendampingan Sosial Kholif@h di Ruang Sidang Gedung DPRD

Kota Surakarta atas ajakan kakak saya di KAMMI.

Page 106: Menghidupkan aksi

106

sudah sepatutnyalah manusia mau dan mampu menerima amanat dan

ikut memperbaiki keadaan, bukannya malah menarik diri dari

kehidupan komunalnya, termasuk peran sertanya dalam memperbaiki

demokrasi.

Lebih lanjut, ia berpandangan bahwa sebagai cara bernegara,

demokrasi tidak bisa dilaksanakan secara seragam oleh negara tempat

umat Islam berada dikarenakan berbagai faktor, baik itu dari segi

geografi, kependudukan, dan sejarah masing-masing. Ada demokrasi

yang menjamin umat Islam hidup dalam syariatnya meski tidak

diterapkan sebagai hukum positif, ada yang masih terus bergerak

dinamis, ada pula yang masih terjebak pertikaian politik yang berlarut-

larut.

Namun secara substansial, beliau berpesan bahwa umat Islam

haruslah mampu menjadi pelopor dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara dimanapun berada. Umat Islam haruslah

mampu menjadi pengawal dan teladan demokrasi sesuai dengan prinsip

kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan perwakilan.

Sementara itu, fasiliator kedua, Bapak Ihsan Saifuddin,

membahas mengenai bagaimana memilih pemimpin dalam Islam dalam

perspektif Qur’an, sunnah, dan sejarah.

Dalam eksistensi kepemimpinannya, manusia haruslah berkaca

pada sosok pemimpin paripurna, Nabi Muhammad saw. Diantara

Page 107: Menghidupkan aksi

107

sekian banyak kriteria seorang pemimpin, beliau meringkasnya dalam

satu kesimpulan yaitu: pemimpin yang memiliki karakter yang kuat.

Karakter yang kuat ini mencakup: kuat fisik dan kuat

ilmu/mental (basthotan fil ilmi wa jismi). Interpretasi kuat mental

adalah sifat kebaikan yang menyeluruh dengan poros utamanya yaitu

taqwa, kuat fisik artinya tidak memiliki cacat fisik dan penyakit yang

mengakibatkan lemah kepemimpinannya. Lebih lanjut, ia

menambahkan bahwa di era kini seorang pemimpin haruslah orang

yang melek teknologi.

Pembicara ketiga, Bapak Abdullah Faishol, membahas mengenai

Islam dan Demokrasi di Indonesia. Beliau mengawali pembahasannya

dengan mengingatkan kembali pada sejarah pasang surut politik di

Indonesia dari masa pra-kemerdekaan hingga era sekarang yang begitu

kompleks. Sejurus kemudian, ia mengaitkannya dengan pertanyaan

Hefner, yang salah satunya: Apakah Islam sejalan dengan demokrasi?

Lalu, bagaimana kontribusi Islam dan demokrasi di Indonesia di masa

yang akan datang?

Bagi beliau, Indonesia memiliki kapasitas untuk berbicara

bagaimana Islam dapat bersenyawa dengan sistem demokrasi yang

memiliki nilai-nilai kulturalnya. Namun, yang ia garisbawahi adalah

bagaimana menjadikan Islam sebagai sebuah nilai dalam menjalankan

sistem budaya Indonesia yang demokratis. Menurutnya, agama dan

politik adalah dua entitas yang berbeda, dimana agama bersifat profan

dan politk bersifat menindas. Apabila agama dijadikan alat sebagai

Page 108: Menghidupkan aksi

108

legitimasi kekuasaan, maka pengalaman pahit sejarah akan kembali

terulang.

Lebih lanjut, beliau menawarkan nilai Islam dalam sistem

demokrasi yang mampu mendukung penguatan budaya demokrasi,

seperti: musyawarah, pemufakatan, dan ijtihad. Hal tersebut pada

akhirnya akan berorientasi pada bangunan masyarakat yang sejahtera

lahir dan batin. Dari perspketif historis, lantas beliau mengisahkan

contoh tata kelola pemerintahan dalam Islam pada masa Abu Bakar,

Umar, Usman, Ali, dan Umar Ibn Abdul Aziz.

Sebagai penutup, beliau menyatakan bahwa demokrasi bersifat

universal sehingga tidak bisa dilabeli dengan agama manapun. Prinsip

Islam haruslah dipakai untuk menyokong sistem demokrasi di

Indonesia, bukan dijadikan sebagai alat untuk memenuhi nafsu politik.

Dalam sesi diskusi, muncul beberapa pertanyaan, diantaranya:

Mampukah umat Islam menjadi pelopor demokrasi? Bagaimana dengan

kepemimpinan non-muslim? Siapakah yang disebut ulil amri?

Menurut Bapak Dian Nafi, pemimpin Indonesia tak mesti

memenuhi semua kriteria pemimpin yang ditetapkan dalam fiqih, maka

Nahdatul Ulama menyebut ulil amri sebagai Pengampu urusan umat

sementara’. Bagaimana halnya dengan pemimpin perempuan? Presiden

RI tidak dapat berdiri sendiri. Jabatan presiden berimplikasi komunal,

sehingga akan melibatkan pejabat pemerintah yang lain. Bagaimana

dengan kepemimpinan non muslim? Mengutip pendapat Imam Malik

Page 109: Menghidupkan aksi

109

atas sengketa yang pernah terjadi di zamannya saat raja yang zalim

terpilih menjadi penguasa, beliau berkata: ‘kita ikut saja yang menang’.

Ada upaya sebelum pemilihan, dan keberikutan setelah pemilihan.

Menurut Ibn Khaldun, negara dibentuk dengan 3 pertimbangan

pokok: Pertama, yang kuat yang menjadi raja dengan implikasi siapa

yang bisa membeli suara rakyat dia yang akan menang. Kedua, yang

sifatnya siyasi dengan implikasi ia mendapat suara terbanyak kehendak

rakyat, dapat mengendalikan rakyat, dan mampu mewakili aspirasi

rakyat. Ketiga, memiliki filsafat tertentu/nilai-nilai yanng berbasiskan

ketuhanan. Negara Indonesia adalah negara falsafi. Ia berbeda dengan

negara sekuler!

Bapak Ihsan menyatakan agar pertanyaan itu harus dikembalikan

pada firman Allah yang termaktub dalam Al Qur’an dalam surat Ali

Imran ayat 28 dan surat An-Nisaa ayat 139 dan 144.

Menurut Bapak Faishol, demokrasi hanyalah sebuah wadah, yang

mengisi bukanlah sebuah label, tapi makna. Sebaiknya umat Islam

jangan terkooptasi partai tertentu. Menurut Ibn Katsir, ulil amri adalah

ulama, bukan pemimpin sebagaimana yang kita ketahui sekarang.

Saya jadi teringat apa yang Al Ghazali Hide Wulakada sampaikan

dalam bukunya Al-Qur’an sebagai Parameter Peradaban Indonesia

mengatakan. Ia menyampaikan bahwa demokrasi adalah buatan orang-

orang barat sudah tidak relevan lagi dipakai dalam penguatan wacana

Page 110: Menghidupkan aksi

110

pemberlakuan hukum syariah di Indonesia. Sebab, pemberlakuan

hukum syariah Islam akan berjalan seiring kesiapan masyarakat Islam.

Abdul Munir Mulkhan dalam suara Muhammadiyah tahun 2002

silam menulis: Penempatan rekayasa kekuatan anti Islam sebagai

penyebab kekalahan partai Islam atau partai berbasis umat Islam, belum

pernah melahirkan strategi efektif karena yang disebut kekuatan anti

Islam itu tidak pernah bisa dirumuskan secara jelas dan kongkrit, kecuali

kategori-kategori primordial dan simbolis.

Dalam buku Pembentukan Partai Politik Islam (Hizb At Tahrir),

Ust Taqqiyuddin An Nabhani berkata bahwa falsafah hakiki untuk

mewujudkan kebangkitan bertolak dari adanya suatu ideologi yang

menggabungkan fkrah dan thariqah secara terpadu. Ketika seseorang

menginternalisasikan sebuah ideologi dalam dirinya maka ideologi itu

akan mendorongnya untuk mendakwahkannya. Ketika sebuah partai

berbasiskan ideologi yang benar, dan ia mampu mempertahankan

dirinya dari segala macam benturan dan memenangkan pemikiran umat,

maka fikrah partai menjadi fikrah umat dan aqidah partai menjadi

aqidah umat.

Dalam benak saya, partai politik berideologi Islam maupun

berbasis umat Islam sah-sah saja, bahkan saya akan turut sertakan

afiliasi saya di dalamnya. Hanya saja, pemberlakuan hukum positif

formal untuk pemberlakuan syariat Islam agaknya masih menjadi hal

yang patut dipertimbangkan kembali. Karena Islam itu universal, maka

sudah semestinya ia tak mengambil jarak dengan relasi kekuasaan. Nilai-

Page 111: Menghidupkan aksi

111

nilai Islam haruslah dijiwai sebagai metode untuk mewujudkan

kesejahteraan, masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah swt.

Page 112: Menghidupkan aksi

112

Menjadi Ibu Peradaban

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api

neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS At-Tahrim : 6)

Keluarga adalah madrasah pertama bagi seorang anak guna

pembinaan aqidah, kepribadian, penguasaan dasar-dasar tsaqofah Islam

melalui pengalaman hidup sehari-hari. Sehingga, diharapkan anak-anak

yang lahir dari rahim ibunda bisa menjadi generasi yang tangguh dan

berkualitas dalam mengusung peran strategisnya sebagai pejuang yang

akan memperjuangkan Islam dengan seluruh jiwa dan raganya.

Bagi sebuah peradaban, keluarga adalah benteng terakhir yang

mana harus benar-benar dijaga dan tak boleh lengah dari penjagaan.

Keluarga adalah tempat dimana kebiasaan, nilai-nilai, dan cita-cita

dipancangkan. Berawal dari ini pula-lah, seluruh proses pendewasaan

disemai dan ditumbuhsuburkan.

Namun, jika kita lihat potret generasi sekarang yang justru

didominasi oleh tingginya angka kejahatan, depresi, kemalasan, gaya

hidup konsumtif dan hedonis. Masih layakkah kita bermimpi bahwa

anak-anak akan jadi tulang punggung kejayaan Islam dan ditangan

mereka-lah kewajiban atas kesejahteraan umat ini diembankan?

Page 113: Menghidupkan aksi

113

Saya masih optimis bahwa jawaban dari pertanyaan tersebut

adalah: Ya, Harapan itu masih ada. Berawal dari kesadaran untuk

menyehatkan tatanan kehidupan keluarga dengan nuansa Islami,

sehingga lahirlah generasi soleh, cerdas, taat pada orang tua, juga taat

pada Allah dan Rasul-Nya.

Tanggungjawab inilah yang dilimpahkan pada sosok seorang

wanita bernama : istri/ibu. Mereka-lah yang memegang kendali dalam

pembinaan keluarga. Mereka-lah yang memiliki peran besar untuk

menjadi ibu generasi. Serangkaian hukum syariat telah Allah siapkan

demi mengatur peran, posisi, dan hak-hak mereka dalam kehidupan

sesuai dengan kodrati tersebut.

Yusuf Al Qardhawi dalam Fiqih Wanita menyatakan bahwa

Rumah adalah kerajaan besar bagi wanita. Di sini wanita sebagai

pengelolanya, istri dari suaminya, partner hidupnya, pelipur laranya, dan

ibu bagi anak-anaknya. Islam mempersiapkan profesi wanita untuk

mengatur rumah dan memelihara urusan suami dan mendidik anak-

anak dengan baik sebagai bentuk ibadah dan jihadnya. Sehingga, setiap

sistem yang berupaya mencabut wanita dari ‘kerajaannya’ dan

merampas suami dan buah hatinya atas nama ‘kebebasan’ adalah musuh

baginya. Beliau menambahkan, Islam mengizinkan wanita bekerja diluar

rumah selama pekerjaannya itu sesuai tabiat, spesialisasi, dan

kemampuannya serta tidak meghilangkan naluri kewanitaannya.

Sungguh, semua kebaikan dan harapan akan lahir dari peran dan

kontribusi besar seorang ibu. Tak semua pekerjaan rumah harus

Page 114: Menghidupkan aksi

114

dikerjakan sendiri, karena ada pekerjaan yang bisa dilimpahkan pada

yang lain. Akan tetapi, menananamkan nilai-nilai, mengajarkan etika,

dan mempelajari ruh agama adalah tugas utama seorang ibu, sehingga

Rumah sebagai pilar peradaban utama itu akan menghasilkan generasi

tangguh yang berkualitas.

Ibu peradaban bukan hanya soal mengajarkan anak bisa belajar

membaca dan menulis. Lebih dari itu, buatlah anak belajar membaca

dan menulis kehidupan dari ibunya. Yang belajar untuk bersabar dalam

menghadapi beratnya cobaan hidup, yang belajar makna perjuangan dan

pengorbanan dalam mengarungi belantara kehidupan.

Pikiran saya menerawang, terpesona dan terkagum pada sosok

muslimah yang menjadi pembicara dalam sebuah konfrensi beberapa

waktu yang lalu. Mereka sungguh adalah cerminan wanita yang cerdas,

yang membekali akalnya dengan pengetahuan dan makna hidup terbaik.

Luas cakrawala ilmu mereka membuat saya sadar bahwa saya harus

cepat-cepat melek, membuka mata saya lebar-lebar pada semua

diskursus yang pada hakikatnya sangat utama diketahui oleh seorang

muslimah. Mulai dari sejarah Islam, hingga berbagai pengetahuan

modern terkait ekonomi, kesehatan, ideologi, sastra, dan lain-lain.

Sungguh, saya yakin bahwa dengan kecerdasan tersebut, seorang ibu

akan dapat menjalankan tugasnya dengan keilmuan yang memadai.

Anak adalah Penerus Mimpi. Begitu kata seorang teman sore

kemarin. Ya, itu benar. Taurits. Pewarisan cita-cita, mimpi, dan harapan.

Pewarisan kecintaan dan kebermanfaatan. Pewarisan akan harapan

Page 115: Menghidupkan aksi

115

terwujudnya nilai-nilai Islam dalam kehidupan. Pewarisan keimanan dan

keistiqomahan yang akan dengan teguh ia pegang sebagai pondasi

dalam menjalani kehidupan.

Jadilah seorang ibu tempat berbagi suami dan buah hati.

Jadilah ibu cerdas yang selalu mendengar, mengerti, dan berempati.

Jadilah seorang ibu bagi terbitnya kembali harapan bagi mereka yang tak

lagi

berharap.

Jadilah ibu yang selalu mengatakan : ‘nahnu du’at qobla kulli syai`in’

Ah, seketika tergelitik, terketuk, dan tertohok.

Bagaimana memulainya? Diri sendiri pun belum baik. Masih suka

mengeluh dan menggerutu, masih senang asal dan tak tau aturan.

Bagaimana bisa?

Kata seorang ustadzah, islahu an nafs. Mulailah dari diri sendiri.

Tuh, selamatkan aqidahmu, benarkan ibadahmu, kokohkan akhlaqmu,

luaskan wawasanmu, kuatkan fisikmu, mandiri belum neng? Bisa

mengendalikan nafsu pada kefanaan belum? Rapikan urusuanmu,

perhatian sama waktumu. dan sudahkah kau memberikan kemanfaatan

pada orang-orang disekitarmu?

Page 116: Menghidupkan aksi

116

Sungguh, perbaikan diri adalah titik pangkal dari seluruh

perbaikan yang lainnya.

Page 117: Menghidupkan aksi

117

Dari Buku ke Buku

Page 118: Menghidupkan aksi

118

Mas Marco: Sama Rata Sama Rasa

Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan (Sebuah Catatan

Awal) yang disusun oleh Bapak Sapardi Djoko Damono merupakan

sebuah buku yang menarik. Buku ini membahas mengenai kapan sastra

Indonesia lahir dan perkembangannya. Hal ini penyusun telusuri dari

media cetak yang berkembang sekitar pertengahan abad ke 19 yang

umumnya berupa puisi agama (Nasrani) berbahasa Melayu. Namun,

seiring dengan pengaruh kebudayaan barat, para penulis puisi kita

mempertimbangkan cara penulisan baru yang kemudian melahirkan

angkatan Pujangga Baru dengan segala inkonsistensinya. Meskipun

demikian, tradisi lisan yang kuat menyebabkan bentuk-bentuk seperti

syair dan pantun menjadi pilihan penting penulisan puisi.

Salah satu yang menarik dari buku ini adalah ketika penyusun

membahas mengenai Mas Marco Kartodikromo, seorang yang selama ini

saya kenal sebagai tokoh awal pendiri Partai Komunis Indonesia dalam

buku Zaman Bergerak karya Takashi Shiraishi.

Saya akhirnya membaca Marco dari perspektif ‘lain’ dari yang

selama ini saya ketahui. Selain aktif menjadi wartawan, ternyata ia juga

seorang novelis dan sastrawan.

Page 119: Menghidupkan aksi

119

Setelah Medan Prijaji mati, pada tahun 1914 ia menerbitkan

mingguannya sendiri yang ia beri nama Dunia Bergerak. Lewat

mingguan ini, ia menyuarakan pembelaannya terhadap kaum pribumi

jawa yang miskin. Meskipun awalnya menyuarakan kritik lewat beberapa

surat dan artikel, pada akhirnya sastra-lah yang dipilih Mas Marco

sebagai alat perjuangan.

Ia pernah menerbitkan buku puisi berjudul Syair Rempah-

rempah sebagai bentuk tanggapannya terhadap situasi sosial politik

pada tahun 1918. Buku yang berisi delapan syair itu menunjukkan

keburukan pemerintah kolonial di Hindia Belanda yang menyebabkan

kesengsaraan rakyat. Salah satu syair dalam buku tersebut berjudul Sama

Rasa dan Sama Rata

….

Dulu kita suka kroncongan

Tapi sekarang suka terbangan

Dalam SI Semarang yang aman

Pergerak keras ebeng-ebengan

Ini sair nama: Sama Rasa

Dan sama Rata itulah nyata

Tapi bukan sair bangsanya

Page 120: Menghidupkan aksi

120

Yang menghela kami di penjara

Syair di atas ditujukan pada orang-orang Sarekat Islam untuk

menyadarkan mereka bahwa prinsip sama rasa sama rata harus

diterapkan di dunia ini. Tentu ini berlandaskan pada kenyataan bahwa

Marco memang aktif sebagai anggota dari Sarekat Islam. Dalam

karyanya, Mas Marco menekankan pandangan hidup orang Jawa yang

menyatakan bahwa watak satria dan pandita harus menyatu dalam diri

kita. Selain mesti berani berperang dan berjuang, seseorang haruslah

memberikan perhatian pada hal-hal rohaniah.

Jalan kemardika’an amat susah

Buat orang yang hatinya lemah

Dan berjalan setengah-setengah

Tidak bisa dapat yang diarah

Dalam syair tersebut, Mas Marco memberikan semangat pada

pembaca untuk berani melakukan perjuangan demi kemerdekaan. Ia

menyarankan pada pembacanya agar berani menghadapi bahaya.

Meskipun, dalam beberapa nasehat yang ia sampaikan pun, ia tak

menampik bahwa “Saya hanyalah berkata saja/ Tak tentu bisa

melakukannya”

Page 121: Menghidupkan aksi

121

Irrasional dalam Nalar

Seorang kawan sedang membaca Dunia Sophie. Ia meminta

pendapat saya mengenai Descartes. Kata saya: Dia menciptakan yang

irrasional di dalam nalar.

Saya pernah membaca sebuah buku yang berkata kurang lebih

begini: sebagian orang menyatakan bahwa Descartes adalah peletak

dasar-dasar filsafat subjektivisme. Argumentasinya mengarah pada

terciptanya kepuasan dan terbentuk dalam format wacana pembuktian

induktif. Setiap orang boleh saja berkata: “Saya berpikir, maka saya

ada”, akan tetapi kata-kata itu jelas lebih bermakna dari sebuah

ungkapan. Sebab, ungkapan tersebut telah menjelaskan sebuah usaha

untuk membangun konsep subjektivisme atau konsep ego sebagai

subjek berpikir secara orisinil. Dari sini, kita bisa ambil kesimpulan

bahwa filsafat Descartes dibangun di atas kekaburan antara rasio dan

irrasio. Itu kata Michael Foucault.

Hari ini saya membaca buku berjudul Rindu yang Berujung

Surga karya Abul Miqdad Al-Madany. Buku ini berisi kisah perjalanan

para ulama salaf baik itu berupa pesan, ucapan maupun tindakan yang

mereka telah lakukan untuk kemudian direnungkan diambil hikmahnya.

Page 122: Menghidupkan aksi

122

Salah satu bab dalam buku ini berkisah mengenai murid Imam

As Syafi’iy yang bernama Al Muzany. Ia pernah bertanya pada gurunya

mengenai keraguannya tentang tauhid. Setelah menanyakan hal-hal yang

bisa Al Muzany indra namun belum ia pahami dengan baik, As Syafi’iy

menjawab: “Sesuatu yang dapat engkau lihat dengan mata kepalamu sendiri saja

engkau tak mengetahuinya, lalu bagaimana mungkin engkau ingin tahu bahkan

meragukan tentang Allah yang tidak dapat engkau lihat dengan mata kepalamu

sendiri?”

Beliau kemudian bertanya mengajukan pertanyaan mengenai

wudhu, namun Al Muzany salah menjawabnya. Beliau pun berkata,

“Sungguh mengherankan, sebuah perkara yang engkau butuhkan lima kali sehari

saja tidak engkau ketahui, lalu engkau memaksa diri menggugat tentang Allah,

Sang Khaliq?” Kemudian beliau menyarankan membaca QS Al Baqarah:

163-164.

Keraguan memang selalu menggoda. Beberapa menganggapnya

tamasya intelektual, beberapa lainnya menganggap sebagai keharusan

seorang cendekiawan. Nalar Descartes bertujuan untuk mendapatkan

kepastian mengenai hakikat kehidupan, dia ingin memulai dengan

menyatakan bahwa pertama-tama orang harus meragukan segala

sesuatu.

Descartes merasa, ia harus membebaskan dirinya dari

pengetahuan yang diwarisi atau diterima sebelum ia menyusun

filsafatnya sendiri. Lebih lanjut, ia malah bertambah ragu, sebab ia mulai

Page 123: Menghidupkan aksi

123

tak dapatmempercayai indera-indera yang dimilikinya sebab mungkin

mereka memperdayanya.

Pada akhirnya, yang ia yakini adalah bahwa saat ia ragu, maka ia

sedang berpikir, dan saat ia sedang berpikir pastilah ia makhluk yang

berpikir. Cogito, ergo sum. Bedanya, kita telah menemukan posisi

subjektif kita atas dasar tauhid yang melandasi keimanan kita

pada kitabullah yang menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan dan

menjawab segala pertanyaan.

Semoga keraguan itu mampu mengantar kita untuk menyadari

bahwa akal (sebagaimana anggota tubuh lainnya) memiliki kelemahan

dan keterbatasan. Di luar batas jangkauannya, ia tak akan sanggup

bekerja, dan itulah saat-saat terindah dalam hidup, saat kita

menyerahkan segalanya pada Sang Mahasegala, Allah Azza wa jalla.

Page 124: Menghidupkan aksi

124

Menguatkan Keyakinan

Buku At Tauhid wat Tawakal yang dibahas oleh Syekh Zuhair

Syafiq al Kubbiy merupakan referensi penting untuk menjelajahi

pemikiran seorang filsuf besar Islam, Imam Al Ghazali. Buku ini

membahas mengenai pemikiran Imam Al Ghazali, khususnya mengenai

tawakal.

Menarik ketika Al Ghazali memaparkan mengenai bagaimana

keyakinan itu didapatkan. Baginya, keimanan merupakan pembenaran,

setiap pembenaran yang dilakukan oleh hati adalah ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan dalam intensitas yang kuat itu akan menjadi

keyakinan. Akan tetapi, gerbang keyakinan sangat banyak, maka disini

Al Ghazali mengambil satu bentuk keyakinan yang diatasnya bisa

dibangun konsep tawakal, yaitu: tauhid.

Tauhid merupakan sebuah konsep pokok yang akan menjadi

ilmu pembuka rahasia transedental. Menurut Al Ghazali, ada empat

strata dalam tauhid. Pertama, tauhid seorang manusia yang

mengucapkan kalimah syahadat akan tetapi hatinya lalai dalam ucapan

itu. Ini disebut munafik. Kedua, jika hatinya membenarkan arti dari

perkataan tersebut sebagaimana yang dilakukan kaum muslimin pada

umumnya. Ini disebut keyakinan orang awam. Ketiga, jika ia dapat

mempersaksikan semua itu dengan metode kasyaf (terbukanya ilmu

Page 125: Menghidupkan aksi

125

transdental), dimana mereka merasakan ketunggalan Allah SWT

meskipun ia melihat segala sesuatu yang beragam di dunia ini. Ini

disebut keyakinan kaum muqarrabiin. Keempat, jika ia tak memandang

perwujudan kecuali hanya satu saja. Kaum sufi menyebutnya ‘peleburan

diri’ dalam tauhid. Konsepsi tawakal hanya bisa didirikan diatas

landasan strata ketiga.

Setelah membahas mengenai kemanunggalan wujud, penulis

membahas mengenai kondisi tawakal dan tingkatannya. Pertama, adalah

jika kita berada dalam hak Allah, percaya dengan tanggungan dan

pertolongan-Nya. Kedua, merupakan tawakal yang kuat, yaitu bila

keberadaan kita bersama Allah seperti kebersamaan seorang anak kecil

pada ibunya. Ketiga, merupakan bentuk tawakal yang paling tinggi, yaitu

jika kita selalu merasa berada di hadapan Allah di dalam segala gerak

dan diamnya, seperti seorang mayat di tangan orang yang

memandikannya.

Dalam ranah praksis, penulis membahas mengenai amalan orang-

orang yang bertawakal dan tawakalnya orang-orang yang berkeluarga.

Pada akhirnya, interpretasi tawakal dalam sudut pandang yang

relevan dengan tuntutan tauhid, dalil naqly, dan syariat, berada dalam

kedalaman dan kesukaran kecuali bagi para ulama yang dianugrahkan

Allah cahaya hikmah sehingga mereka dapat melihat, menyatakan dan

kemudian mengucapkan dengan fasih apa yang telah mereka saksikan

jika mereka diminta untuk bicara.

Page 126: Menghidupkan aksi

126

Mukmin dan Ateis

“Seorang mukmin tidak dapat melepaskan sikap kebertuhanan

dari paham ateisme.” Demikian diungkapkan oleh Dr. Ali Harb dalam

essaynya mengenai Mukmin dan Ateis.

Saya kira pandangan ini bukan hal baru lagi. Beberapa kawan

saya di Himpunan Mahasiswa Islam juga pernah berujar dengan

candaan bahwa sebelum kita menjadi seorang muslim, terlebih dahulu

kita harus meniadakan semua bentuk penuhanan kepada nalar, akal,

bahkan teks. Ateis kan? Nah, setelahnya baru kita menuhankan satu

Dzat yang pada-Nya lah tempat kita bergantung dan memohon

pertolongan.

“Begitulah nalar syahadat. Jadi Al, mereka yang ateis itu saudara

dekat kita yang tauhid.”

“Kita tidak mungkin mengingkari Ateisme kita.” Kata Harb

Ya Alloh, kata mereka para ateis tidak akan membunuh-Mu

untuk menghindari semua bentuk kepercayaan. Kata mereka, para ateis

adalah pencari kebenaran yang paling hakiki sebab kepercayaan mereka

pada kebenaran amatlah besar. Kata mereka, orang-orang yang memiliki

Page 127: Menghidupkan aksi

127

posisi subjektif dalam memandang kebenaran tentang-Mu dalam

ketunggalan yang mutlak adalah orang-orang fanatik dan eksklusif.

Tapi aku percaya, yang mereka cari bukanlah kebenaran.

Kekerasan yang diekspresikan Nietzshe, sang cikal bakal ateisme

telah menjiwai teks dan wacana yang ia ungkapkan. Sama halnya saat

ketika ia mengumumkan kematian tuhan. Sama halnya ketika ia

mengingkari Tuhan yang selamanya menjelma dalam bentuk yang

diingkarinya.

Harb sendiri mengatakan bahwa pengingkaran yang Nietzshe

lakukan adalah pengingkaran di atas pengingkaran. Tapi ia tetap saja ia

berargumen bahwa kadangkala Nietzshe menjadi sangat teologis dan

lebih memasuki dunia malaikat daripada para teolog itu sendiri.

Saya hanya berpikir: Bagaimana mungkin sikap ateis seseorang

disamakan dengan seorang mukmin? Bagaimana bisa persaksian

seorang yang meyakini keesaan Tuhan disamakan dengan perjalanan

pencarian kebenaran orang mabuk?

Page 128: Menghidupkan aksi

128

Zainab Al Ghazali, Tentang Sebuah

Keteguhan Hati

Mulanya, saya mengenal tokoh pejuang wanita bernama Zainab

Al Ghazali dari buku berjudul Kontribusi Muslimah di Mihwar Daulah

karya Sumaryatin Zarkasyi. Buku ini merupakan salah satu seri dari

seratus seri buku pengokohan Tarbiyah terbitan Era Intermedia.

Salah satu bab di buku tersebut menerangkan kontribusi

muslimah dalam marotibul ‘amal kelima yakni islahu al hukumah. Penulis

memaparkan kisah hidup Sayidah Zainab Al Ghazali sebagai

percontohan bagi wanita muslimah untuk berperan aktif dalam ranah

publik dan politik dengan mengadvokasi masyarakat untuk memperoleh

hak-hak yang dirampas oleh pemerintah.

Zainab Al Ghazali adalah seorang yang sepanjang hidupnya telah

membentuk dirinya sebagai pribadi yang memiliki ambisi yang kuat dan

tekad yang membara. Ia adalah sosok muslimah yang cerdas dan kuat

pendiriannya dalam memperjuangkan apa yang ia yakini sebagai

kebenaran.

Beberapa hari lalu, seorang kawan meminjamkan saya buku yang

sayidah tulis berjudul Perjuangan Wanita Ikhwanul Muslimin. Buku ini

Page 129: Menghidupkan aksi

129

mengisahkan perjuangan hidupnya sebagai Ketua Umum Jamaah

Muslimat di Mesir saat rezim Gamal Abdul Naser berkuasa.

Kisah dalam buku ini dimulai saat Zainab Al Ghazali harus

menjalani perawatan di rumah sakit karena ‘kecelakaan’ lalu lintas yang

dialaminya pada bulan Februari 1964, saat itu pemerintah membuat

surat keputusan pembubaran Jamaah Muslimat yang ditolaknya

mentah-mentah. Penolakan itu membuat pemerintah memaksanya

untuk melakukan penggabungan organisasi Jamaah Muslimat ke dalam

Front Persatuan Sosialis.

Setelah siasat yang dilakukannya untuk menggagalkan rencana

Dinas Intelejen Mesir berhasil, ia kembali mendapat bujukan dari Dinas

Intelejen mesir. Namun seperti yang sudah-sudah, ia berkata lantang

dan tegas: TIDAK! untuk sebuah rezim tiran.

Jamaah Muslimat yang didirikan tahun 1358 H mendapat

tawaran dari Asy Syahid Hasan Al Banna untuk melebur ke dalam

Ikhwanul Muslimin sebagai bagian Wanita Muslimat, akan tetapi

permintaan fusi tersebut ditolaknya meskipun ia tetap sepakat untuk

mempererat hubungan kedua lembaga tersebut.

Namun, sehari setelah pembubaran Ikhwanul Muslimin tahun

1948 Zainab Al Ghazali berbaiat pada Allah di hadapan Hasan Al

Banna untuk berjuang melancarkan dakwah Islam sebagaimana yang

dicita-citakan oleh Ikhwanul Muslimin. Tak lama setelahnya, Hasan Al

Page 130: Menghidupkan aksi

130

Banna pun syahid menemui Tuhannya dan jabatan mursyid ‘am

Ikhwanul Muslimin dilimpahkan pada Imam Hasan Al Hudhaibi.

Ketika pada pertengahan 1956 gelombang tahanan pemerintahan

Abdul Naser dibebaskan, Zainab Al Ghazali beserta beberapa anggota

Wanita Ikhwanul Muslimin menggalang bantuan dana demi

meringankan beban para tahanan yang tersiksa, terutama anak-anak dan

para yatim. Kemudian, pada 1958 bersama Abdul Fattah Ismail ia

memulai menyusun konsep pengkaderan pertamanya yang meletakkan

metode pendidikan Islam, yaitu pendidikan individu muslim yang sadar

akan kewajibannya untuk Tuhannya, penataan masyarakat muslim yang

sadar akan diri dan kewajiban yang diembannya serta terpisah dari

masyarakat jahiliyah. Konsep ini semakin dimatangkan ketika pada

tahun 1962 Sayid Qutb memberikan berkas berjudul Ma’alim fii Thariq

yang ditulisnya dari dalam penjara untuk dijadikan pedoman dalam

proses pendidikan, pembentukan, persiapan, dan penanaman aqidah

tauhid dalam jiwa para pemuda yang dibinanya secara sembunyi-

sembunyi dalam kumpulan antara 5-10 orang pemuda.

Rencananya, pendidikan ini akan berlangsung selama tiga belas

tahun. Setelah 13 tahun berlalu, maka akan diadakan survei kembali di

seluruh negeri untuk mencatat pengikut dakwah Islam. Apabila 75%

jumlahnya, maka mereka akan mencanangkan penerapan hukum Islam

di negara. Apabila hanya 25%, maka mereka akan mengulang

pendidikan kader selama 13 tahun lamanya. Zainab Al Ghazali meyakini

Page 131: Menghidupkan aksi

131

bahwa ia tidak boleh menghentikan upaya pendidikan Islam ini dari

generasi ke generasi.

Membaca dua bab kisah Zainab Al Ghazali yang tetap berdiri

tegak ketika para intelejen datang untuk menundukkannya membuat

saya merinding dan tercengang. Saya melihat sinar kecerdasan yang

terpancar dari tatapan dan tutur katanya. Saya melihat ketegaran tanpa

banding yang tak berkarat oleh waktu, ia tetap berdiri dan tetap teguh

dengan pendiriannya memperjuangkan kebenaran atas nama dakwah

illallah.

Page 132: Menghidupkan aksi

132

Islam dan Kesadaran Kebangkitan

Nasional

Islam Sebagai Simbol Nasionalisme

Kondisi penjajahan dan penindasan yang telah dilakukan oleh

Barat melahirkan pemahaman bagi rakyat Indonesia bahwa Islam

identik dengan kebangsaan atau Nasionalisme, sedangkan imperialisme

atau penjajahan itu identik dengan kristenisasi. Oleh karena itu, Islam

menjadi Simbol Nasionalisme Bangsa Indonesia pada saat itu.

Menyikapi hal ini, pemerintah kolonial Belanda merasa perlu

berupaya memadamkan cahaya Islam, sebab imperialisme yang

dilakukan terhalang oleh kehadiran Islam yang sudah terlebih dahulu

menyebar di nusantara.

Upaya yang dilakukan oleh Belanda antara lain: 1) De-Islamisasi

penulisan sejarah Indonesia yang menafsirkan bahwa setelah jatuhnya

kerajaan Hindu-Budha di Nusantara berdampak menimbulkan

kemunduran bangsa Indonesia. 2) Penelitian Arkeologi yang

menerangkan bahwa masa lalu nenek moyang bangsa Indonesia adalah

manusia purba yang tergolong ‘manusia kera’. Sehingga, secara politis

mengarah pada pemahaman bahwa bangsa kulit putih adalah manusia

Page 133: Menghidupkan aksi

133

beradab yang berhak menjajah bangsa kulit berwarna. 3) Kehadiran

pakar Belanda: Snouck Hurgronje (meneliti Islam di Aceh) dan Van

Vollenhove yang berusaha kembali menghidupkan hukum adat untuk

menggantikan hukum Islam. 4) Mengembangkan aliran kebatinan

(Kedjawen) di kalangan para priyayi dan pejabat pribumi yang berpihak

pada Belanda. 5) Membangkitkan kesadaran sejarah Hindu-Budha di

Nusantara agar pengaruh ajaran Islam melemah, dan ditargetkan

penganut Hindu-Budha akan memihak pada pemerintah kolonial

Belanda. 6) Distorsi peta bumi

Disadarkan pada kritik yang dilemparkan oleh Conrad Th van

Deventer dalam majalah De Gids yang berjudul ‘Utang Kehormatan’

yang berisi bahwa kemajuan kerajaan protestan Belanda dan pemerintah

kolonial Belanda diperoleh dengan pengorbanan bangsa Indonesia. Hal

ini merupakan utang kehormatan yang wajib dibayar dengan

memajukan kehidupan pribumi. Dalam menjawab kritik dari kalangan

liberal, Kerajaan Protestan menciptakan tiga macam kebijakan politik :

Politik pintu terbuka, politik etis, dan politik asosiasi. Politik pintu

terbuka membawa implikasi dibukanya nusantara Indonesia bagi

penanaman modal asing di bidang perkebunan, pertambangan, dan

transportasi yang ditandai dengan dibuatnya Undang-Undang Bumi

tahun 1870 M. Pelaksanaan politik pintu terbuka ini memerlukan tenaga

kerja terdidik, sehingga diberlakukanlah politi etis pada tahun 1901 M

dengan triloginya : Edukasi, Irigasi, dan Emigrasi.

Page 134: Menghidupkan aksi

134

Dengan pemberlakukan sistem edukasi yang tidak berdasar

kurikulum pesantren, lahirlah generasi yang berorientasi budaya barat.

Selain itu, pendidikan juga didiskriminasi dengan diberlakukannya

startifikasi sosial dalam sekolah, yaitu sekolah Eropa, Bangsawan, Cina,

dan Ambon, sehingga kaum bangsawan dipisahkan hubungannya

dengan rakyat. Menyikapi hal ini, diperlukanlah politik asosiasi, yaitu

suatu politik yang bertujuan menciptakan sikap keterbukaan generasi

muda Islam: kebergantungan pada budaya Barat.

Emigrasi dilakukan untuk melahirkan generasi yang cacat budaya

dan cacat kepahaman tentang Islam. Namun, hal ini gagal terjadi.

Sebab, dengan adanya program ini justru terbentuklah kesadaran

sesama muslim, yang lahirkan kesadaran sesama musuh yang satukan

Islam untuk lawan imperialisme barat.

Pemikiran Islam dan Nasionalisme

Namun, muncullah pertanyaan, benarkah politik etis yang

membangkitkan kesadaran nasional pada abad ke 20 M? tentu tidak.

Jiwa gerakan tersebut datang dari pengaruh Timur Tengah, India, Cina,

dan Jepang.

Beberapa konstruktor pemikiran gerakan islam yang berpengaruh

tersebut diantaranya adalah: Jamalludin Al Afghani (1897 M),

Muhammad Abduh (1849-1905), Gerakan Nasionalisme Mesir yang

Page 135: Menghidupkan aksi

135

ditandai dengan pemberontakan terhadab Arbi Pasha, dan Rashid

Ridha (1865-1935 M) yang menekankan purifikasi pada pemikiran Islam

yang ia tuangkan dalam majalah Al Mannar.

Akan tetapi, Imperialisme Barat tak tinggal diam. Mereka

merekayasa gerakan nasionalis menjadi gerakan pembebasan diri dari

kesultanan Turki. Mereka juga membenturkan antar gerakan

puritanisme, sekulerisme, pluralism, dan liberalism sehingga terpecahlah

gerakan-gerakan ini untuk saling serang satu sama lain dan mengalami

disorientasi untuk melawan imperialism barat.

Faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya kebangkitan

nasional adalah terbentuknya integritas nasional dalam ‘Nasionalisme dan

Revolusi di Indonesia’ oleh Kahin dipengaruhi oleh factor berikut:

1)Terbentuknya kesatuan agama bangsa Indonesia dengan keyakinan

Islam 2) Islam menjadi simbol terhadap penjajahan asing barat dengan

masuknya raja-raja hindu budha ke Islam akibat adanya invasi katolik

Portugis di Indonesia. 3) Perkembangan bahasa melayu pasar berubah

menjadi bahasa persatuan Indonesia akibat pelarangan bahasa Belanda

untuk dipakai masyarakat Islam Indonesia. 4) Sjarikat Dagang Islam

yang didirikan pada tanggal 16 Oktober 1905 oleh Hadji Samanhudi ini

dinilai oleh para sejarawan sebagai pelopor Kebangkitan kembali

kesadaran Nasional Indonesia. Keberhasilan SDI adalah lambang awal

keberhasilan gerakan pembaruan system organisasi Islam melalui pasar

sebagai lahan operasi aktivitasnya. Guna menjaga kontinuitas gerakan,

Page 136: Menghidupkan aksi

136

diterbitkanlah Taman Pewarta sebagai media komunikasi yang bertahan

selama 13 tahun.

Ditambah lagi, dengan diadakannya kerjasama antar pribumi

Islam dan Cina dengan nama organisasi niaganya, Kong Sing. Belanda

merasa perlu membangun organisasi tandingan yang di gawangi oleh

RMT Adhisoerjo dengan membentuk Sarekat Dagang Islamiyah di

Bogor dengan medianya Medan Prijaji. Namun, pada 1911 M, Sarekat

Dagang Islamiyah dibubarkan dan diserahkan kepemimpinannya pada

Haji Samanhudi.

Pergerakan Islam dan Kebangkitan Nasional

Realitas sejarah tentang adanya eksistensi kekuasaan politik Islam

di Nusantara semenjak abad ke-9 hingga 20 Masehi digunakan oleh para

ulama dan santri untuk menyadarkan kembali kebangkitan politik umat

Islam Indonesia. Hal ini dilakukan melalui pembantukan organisasi

modern sebagai wahana mobilitas dan mendinamikakan semangat juang

umat Islam Indonesia.

Fakta sejarah diatas memberi gambaran bahwa kebangkitan

Islam memberikan jawaban sesuai dengan tantangan zaman. Sehingga,

dalam waktu yang relative singkat ulama berhasil membangun berbagai

organisasi kerakyatan yang memiliki karakter nasionalis. Akan tetapi,

Pemerintah Belanda tidak tinggal diam, diberlakukanlah politik pecah

belah dengan mempertentangkan perbedaan antara ajaran kejawen,

Page 137: Menghidupkan aksi

137

kesundan dengan ajaran Islam, serta mengembangkan pertentangan

prasangka etnis.

Menyoal Sarekat Islam dan PKI

Perpecahan yang paling rentan memang yang yang terjadi pada

SI, sebab SI merupakan organisasi yang benar-benar mendapatkan

dukungan masa riil dari berbagai strata sosial dan ulama. Yang terjadi di

SI ini memang menarik, sebab dengan menggunakan orang Belanda

bernama Sneevliet mereka membelah keutuhan SI.

Aksi mereka diawali dengan membina pimpinan muda SI

Semarang pada 1916 M dalam Sarekat Buruh Kereta Api dan Trem

(VSTP). Disini, dibinalah seorang buruh KA bernama Semaoen,

Darsono, Alimin, dan Tan Malaka yang menjadi kader ISDV dan

VSTP. Pada National Congres CSI di Surabaya, kelompok kader ini

mulai berani menyerang pimpinan SI untuk mengganti ideology Islam

dengan Marxist.

Namun, usaha mereka gagal meskipun dicoba kembali

digaungkan pada konggres di Jogja dua tahun kemudian. Akibatnya,

Semaoen dan Darsono mengubah SI Semarang menjadi Perserikatan

Komunis di India (PKI) pada 23 Mei 1920. Pada 1923, diresmikanlah

adanya disiplin partai yang memutuskan menolak ideology Marxist yang

dikembangkan PKI dan tidak membenarkan merangkap pimpinan PKI

dan SI sekaligus. Konggres juga membentuk partai politik yang

pertama, Partai Sarekat Islam. (dua puluh lima tahun kemudian, pada kudeta

Page 138: Menghidupkan aksi

138

madiun tahun 1948, PKI membalasnya dengan pembunuhan terhadap ulama dan

santri)

Bisa dibayangkan. SI yang semula hanya menghadapi

Kristenisasi, Kapitalisme, dan Kebatinan selanjutnya juga harus

melawan Komunisme dan fitnah Korupsi.

Disorientasi Sejarah

Dalam buku-buku sejarah, kita akan menemukan bahwa momen

kebangkitan nasional bertolak dari kebangkitan pemuda yang

diorganisir oleh organisai Boedi Oetomo pada tahun 1908. Dari

persfektif nasionalis hal ini tentu benar dan sangat menguntungkan,

tetapi tentunya hal ini merupakan salah satu sudut pandang saja tentang

periode sejarah awal kebangkitan nasional. Bahwa Boedi Oetomo pada

saat itu banyak membantu menyemaikan rasa nasionalisme Indonesia

dengan banyak mendirikan sekolah-sekolah memang benar. Tetapi

pertanyaan selanjutnya, apakah hanya Boedi Oetomo saja yang menjadi

tulang punggung penyebaran kesadaran terhadap penjajah pada sat itu?

Dari pertanyaan inilah kita bisa meluruskan sejarah awal pergerakan

pemuda.

Buku Ahmad Mansur Suryanegara yang berjudul Api Sejarah

menguraikan secara detail secara runtut kronologis peristiwa yang

terjadi di zaman pergerakan nasional sebagaimana yang telah saya

paparkan di muka.

Page 139: Menghidupkan aksi

139

Ia menceritakan bagaimana peran besar Syarikat Islam (SI) untuk

menyuemaikan benih-benih kesadaran rasa Nasionalisme yang diikat

oleh akidah Islam. Dengan kesaaran nasionalisme yang disatukan dalam

bingkai akidah Islam ini SI menjdai organisasi yang paling besar, baik

dari sisi anggota ataupun gerakan. Di bandingkan dengan Boedi

Oetomo yang hanya digerakan oleh segelintir pemuda lulusan Belanda,

SI telah menyebar ke hampir setiap pelosok, dan mempunyai

pimpinannya masing-masing hampir di setiap daerah.

Di sisi lain, Boedi Oetomo lebih bersifat organisasi primordial

Suku Jawa, karena lebih mengakomodir orang-orang yang berasal dari

suku Jawa, begitupun bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa.

Berbeda dengan Syarikat Islam, walaupun notabene bercorak dan

mempunyai ideologi perjuangan politik ekonomi Islam, tetapi bahasa

yang digunakan merupakan bahasa melayu yang pada saat itu telah

menjadi bahasa pergaulan nusantara. Dengan demikian bila dilihat dari

sepak terjang, gerakan, bahasa, yang seharusnya dijadikan pijakan

kebangkitan pemuda atau kebangkitan nasional seharusnya bertolak dari

gerakan Syarikat Islam bukan Boedi Oetomo. Disinilah rasa

keaberislaman para sejarawan Islam Indonesia diuji. Termasuk kita

sebagai pemuda Islam harus berani membantah kekuranglurusan

sejarah tersebut. Forum seperti diskusi yang kita lakukan saat ini adalah

salah satu media efektif untuk peyebaran kesadaran sejarah ini.

Refleksi

Page 140: Menghidupkan aksi

140

Demikian penggalan sejarah yang coba penulis angkat untuk

dijadikan pelajaran bagi kita yang hidup di era kini. Perjuangan para

ulama (cendekiawan muslim) kala itu adalah perjuangan yang

bersumber dari hati nurani. Perjuangan luhur yang berupaya

mengentaskan manusia dari penjajahan kolonialisme menuju

kemerdekaan yang hakiki.

Sudahkah kita bisa belajar dari apa yang telah diperjuangkan para

pendahulu kita? Atau malah lalai dan lari dari tanggungjawab sebagai

seorang cendekiawan muslim yang memiliki tanggungjawab besar guna

mengentaskan diri kita dari perbudakan terhadap kesewenangan tiran

dan menciptakan tuhan baru atas nama popularitas dan jabatan.

Benarlah Ali Syariati dalam bukunya “Tanggung Jawab

Cendekiawan Muslim” yang menyatakan bahwa pandangan simbolisasi

manusia shaleh tidak bisa dipandang dari sisi bentuk formalitasnya saja,

sebab manusia yang tercerahkan adalah “ia dengan tangan yang sama

menuliskan ayat-ayat suci dari langit serta terbenam dalam genangan lumpur dan

mengayunkan kayu untuk menyuburkan tanah yang kering, ia berdiri tegak

memperjuangkan ayat-ayat Allah dan hak-hak masyarakat”

Page 141: Menghidupkan aksi

141

Korupsi, Korupsi!

Bakir, nama pak tua itu. Sudah dua puluh tahun ia menjadi

pegawai. Hanya sepeda tua berkarat yang jadi kawannya. Ia butuh uang

untuk anak-anaknya yang akan melanjutkan sekolah, juga untuk

mengusir keluarga Tionghoa yang menyewa beberapa kamar di

rumahnya sebagai warung yang saban hari hadirkan keributan.

Kebutuhan akan uang itulah yang membuatnya gelisah siang

malam. Ia butuh sumber penghasilan yang memungkinkan. Namun, ia

hanya pegawai biasa yang andalkan kenaikan sedikit gaji tiap tahunnya.

Tak akan cukup. Tak akan cukup. Hingga akhirnya, terbetiklah dalam

hatinya, seperti sudah jamak di masa kini: korupsi! Berdengung kata itu

di tiap dinding dan tiap benda di kamarnya: korupsi! Korupsi!

Hatinya sakit mengingat betapa selama ini kejujuran telah

membuat ia dihargai sebagai pribadi yang bermartabat akan lenyap

begitu saja, berganti dengan keculasan dan kecurangan yang ia niatkan.

Dengung kata Korupsi itu ternyata lebih berkuasa dan merobohkan

pertahanan idealismenya. Berawal dari hasil pencurian persediaan alat

tulis kantor yang ia jual pada tauke sebesar dua puluh rupiah, semakin

menjadi lah hasrat Bakir untuk lakukan korupsi, lagi dan lagi.

Page 142: Menghidupkan aksi

142

Isteri yang telah setia mendampinginya belasan tahun melihat

gelagat itu. Ia ingatkan suaminya agar tak berbuat lebih jauh. Namun,

apa mau dikata, uang telah membuat Bakir silau. Ia pun lakukan korupsi

dalam jumlah yang lebih besar. Isterinya berang. Karyawan setianya,

Sirad, mulai curiga. Karena senantiasa diliputi kecemasan bahwa

tindakannya diketahui orang, ia melarikan diri pada pelukan seorang

dara belia bernama Sutijah.

“Kalau engkau sungguh-sungguh tak mau dicegah dalam niatmu, besok

lusa engkau jual benteng pertahananmu dengan uang. Kemudian engkau kawin

lagi. Kemudian engkau menjauhi atau dijauhi kawan-kawanmu. Engkau

mendapat kawan-kawan baru yang semua ada di dalam ketakutan. Engkau jadi

binatang perburuan. Engkau harus lari, terus lari, terus sampai akhirnya rebah

sendiri tiada bertenaga.”

Bagaikan kutukan, kata-kata isterinya tersebut satu per satu

terlaksana. Bakir tinggalkan isteri dan tiga anaknya demi Sutijah. Mereka

tinggal di kawasan Puncak, Bogor. Ia tak lagi berkawan dengan rekan-

rekan sejawatnya di kantor. Ia punya komunitas elite sendiri, pelaku

pezinahan, koruptor, dan seperti binatang perburuan, ia terus lari, terus,

sampai akhirnya rebah sendiri tiada bertenaga.

“Dapatlah aku mengetahui bahwa jalan kembali bagiku masih tersedia,

hanya saja aku yang tak berani kembali. Tidak berani! Tidak berani! Dan

tambah lama tambah tidak berani. Tambah tua aku menjadi tambah penakut

menghadapi kebenaran dan menerimanya sebagai milik sendiri..”

Page 143: Menghidupkan aksi

143

Agaknya, kegelisahan yang sempat ia rasa mesti ia semaikan

sebelum lakukan perbuatan kotor itu. Bakir, dalam kegelisahan sebelum

melangkah lebih jauh menjadi budak nafsunya pernah berkata: Apakah

yang sebenarnya betul: manusia yang mencari kebahagiaan ataukah kebahagiaan

telah memperkudanya? Belasan tahun lampau ia berkata bahwa

kebahagiaan adalah harta terbesar yang selalu diimpikan manusia, tapi

sekaligus harta benda yang begitu dekat, begitu tak teraba, begitu tak

disadarinya, bahwa itulah sesungguhnya yang diimpikannya.

Dibalik jeruji besi, Bakir hanya bisa menyesali nasib: betapa

pengetahuan dan kesadaran ini terlampau mahal untuk ia beli.

Membaca novel Pram ini membuat saya terus menghela nafas.

Kita seolah telah kehabisan kata, daya, dan upaya dalam upaya

pemberantasan korupsi. Berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari

gerakan sosial antikorupsi, penafsiran teologi anti korupsi, pembuatan

aturan perundangan anti korupsi setiap kali ada kasus korupsi yang dinilai

baru, serta pembentukan lembaga yang khusus menangani masalah

korupsi. Namun nyatanya, korupsi tetap ada, mengakar, dan

membudaya.

Benarlah apa yang dikatakan Cak Nun dalam salah satu artikel

lepasnya; “Orang lebih tertarik kekayaan dibanding kesalehan. Orang lebih

terpikat oleh uang banyak daripada digniti kepribadian. Orang lebih tergiur pada

kejayaan materi dibanding kemuliaan hidup.”

Page 144: Menghidupkan aksi

144

Agaknya, pabila segala daya dan upaya memang tiada guna.

Minimal, diri ini sadari bahwa kalau kita mencuri, kita mencuri harta

milik Tuhan, di bumi yang jadi milik Tuhan. Meski kita membawa harta

curian kita lari, mentransfernya, menginvestasikannya, Sang Penadah

Agung tetaplah pemilik sahnya. Harta Tuhan saja tak pernah pergi

kemana pun, apalagi diri kita yang tak berdaya ini. Melarikan diri

kemana pun jua adalah jalan kembali pada asal usul kita yang sejati.

Ya, hidup adalah pergi untuk kembali. Kata Ello.

Inna lilahi wa inna ilaihi roji’un.

Ingatlah bahwa kita akan mati, akan pulang, dan

mempertanggungjawabkan apa yang telah kita amalkan.

Page 145: Menghidupkan aksi

145

Bukan Pasar Malam

"Mengapa kemudian kita harus bercerai berai dalam maut. Seorang.

Seorang. Seorang. Dan seorang lagi lahir. Seorang lagi. Seorang lagi. Mengapa

orang-orang ini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati? Aku ingin dunia

ini seperti pasar malam." (h.95)

Seorang pelayat bertanya dalam suasana duka oleh sebab kawan

main judinya mati. Pertanyaan itu tak mendapat jawaban. Yang

mendengar tertawa. Yang bicara pun tertawa. Mungkin yang bicara pun

tak mengerti apa yang telah diucapkannya. Kemudian, percakapan itu

mati.

Pramoedya Ananta Toer, seperti lazimnya ia, mengisahkan

dengan apik kisah keperwiraan seorang dalam revolusi yang pada

akhirnya melunak ketika dihadapkan pada kenyataan sehari-hari;

pesakitan yang meregang nyawa, kemiskinan yang mendarah daging,

serta ketidakberdayaan yang syahdu.

Berpotong-potong kisah itu terbingkai dalam sebuah perjalanan

yang hadirkan kembali kenangan yang pernah dilalui. Kenangan-

kenangan itu sewenang-wenang menyerbu dalam kepalanya tanpa

permisi. Membuatnya tersenyum saat sadari bahwa memang terkadang

manusia terlampau kuat dan menenggelamkan kesadarannya.

Page 146: Menghidupkan aksi

146

Hari-hari yang dibayangi maut membuatnya sadar; sama seperti

berlalunya malam, demikian pula hidup manusia yang lenyap sedetik

demi sedetik tanpa disadari. Meninggalkan berbagai persoalan yang

bukannya menua, malah meremaja bersama pusaran arus waktu.

Membaca Bukan Pasar Malam karya Pramodya Ananta Toer ini

membuat saya kembali mendefinisikan diri, hidup, keberadaan saya di

dunia, dan akhir cerita hidup saya kelak.

Jelang dua puluh satu tahun masa usia yang telah terlewati, saya

telah menjalani hidup seperti wanita kebanyakan, tak ada yang istimewa,

tak banyak hal berbeda kecuali hal-hal yang detail. Pada intinya, saya

adalah orang yang biasa-biasa saja, yang tak pernah berpikir untuk

lakukan hal-hal besar, atau bertindak layaknya pahlawan yang

mewujudkan hal-hal besar.

Banyak orang suka membaca, saya salah satunya. Dan saat saya

membaca, saya seperti melihat diri saya tengah berperan dalam skenario

cerita yang ditulis dalam buku-buku. Saya telah membaca sedikit dari

jutaan buku yang ada, namun cerita hidup saya sama membosankannya

seperti dalam roman-roman usang yang mudah dicari referensinya. Tak

ada yang istimewa.

"Mengapa kita ini harus mati seorang diri? Lahir seorang diri pula? Dan

mengapa kita ini harus hidup di satu dunia yang banyak manusianya? Dan kalau

kita sudah bisa mencintai seorang manusia, dan orang itu pun mencintai kita.."

(h.95)

Page 147: Menghidupkan aksi

147

Ah, betapa indahnya hidup yang singkat ini bila kita bisa dicintai

seorang manusia dengan sungguh-sungguh. Tidak hanya berdasarkan

perasaan, akan tetapi juga pada kenyataan yang apa adanya tentang diri

dengan segenap paradoks dan ambiguitas yang melekat.

Saya tak lagi harapkan cinta yang berakhir indah dan romantis

sebagaimana tertulis dalam buku-buku. Dalam kehidupan nyata, kisah

itu berakhir dramatis dan tragis. Kita dipaksa menangis sejadi-jadinya,

jatuh sedalam-dalamnya, menerima seperih-perihnya. Itulah hidup.

Hidup yang hanya menunda kekalahan, kata Chairil.

Page 148: Menghidupkan aksi

148

Bibliomania

Allison Hoover Bartlett patut bangga. Novel investigasinya

berjudul The Man Who Loved Books Too Much mendapat

penghargaan sebagai salah satu buku terbaik tahun 2009 versi Library

Journal, setelah sebelumnya artikel mengenai tokoh utama novel ini,

John Gilkey, dimasukkan dalam Best American Crime Reporting tahun

2007.

John Gilkey memang sosok yang memikat. Atas dasar

kecintaannya pada buku, ia menjadi pencuri buku-buku langka koleksi

para agen di seluruh penjuru negeri dengan bermodal nomor kartu

kredit dan telepon umum hotel. Dan, Bartlett berhasil memukau

pembacanya dengan detail yang amat teliti mengenai manuskrip-

manuskrip bersejarah serta humor satir untuk menarasikan kisah

Gilkey.

Inspirasinya untuk mencuri buku muncul saat ia masih kanak-

kanak. Bukan hanya karena alasan cinta, melainkan juga dampak

memiliki buku itu terhadap dirinya. Terlahir dalam keluarga miskin

membangkitkan fantasinya akan kehormatan dan penghargaan sebagai

orang yang berbudaya dan terpelajar apabila ia memiliki koleksi buku

langka. Ia mendapatkan buku-buku koleksinya dengan mencuri, tentu

saja.

Page 149: Menghidupkan aksi

149

Anehnya, meskipun Gilkey sadar bahwa mencuri buku adalah

tindakan ilegal, namun baginya ilegal tidak sama dengan salah. Saat ia

berkali-kali ditahan oleh polisi, bukannya merasa bersalah, ia justru

menyalahkan orang lain yang dianggapnya menghalanginya untuk

mendapatkan itu. Gilkey adalah orang yang percaya bahwa mengoleksi

amat banyak buku langka adalah ekspresi terbesar identitasnya, dan

dengan cara apapun ia mendapatkannya itu bernilai adil dan benar.

Seperti Bartlett, aku pun bertanya-tanya: bagaimana rasanya

memandang dunia dengan cara seperti itu, merasa berhak mendapatkan

semua yang diinginkan dan membenarkan cara apapun untuk

meraihnya. Namun, Gilkey ternyata pribadi yang tak sesederhana itu.

Dibalik kegilaannya mengoleksi buku, ia pun sedang berupaya keras

membangun citra dirinya sebagai pria terhormat. Dia mempelajari

filsafat, meneliti pengarang buku, membaca sastra, bahkan menulis esai

dan naskah dramanya sendiri.

Namun, buku ini tak hanya berkisah soal obsesi gila Gilkey untuk

membuat perpustakaan raksasa dengan ribuan koleksi langka di

rumahnya. Bartlett pun berkisah tentang Ken Sanders, seorang yang

menyebut dirinya bibliodick (penjual buku yang merangkap detektif)

yang memiliki obsesi besar untuk menangkap John Gilkey lewat

jaringannya di Asosiasi Pedagang Buku Amerika.

Mengesankan membaca bagaimana Bartlett meletakkan kecintaan

dua orang ini pada buku dalam konteks yang lebih besar, tak hanya

berkutat soal kejar mengejar antara detektif dan maling, tetapi juga

Page 150: Menghidupkan aksi

150

mengeksplorasi secara mendalam tentang gairah terhadap buku selama

berabad-abad, meskipun terkadang nyaris menyiratkan seksualitas

platonian.

Kecintaan fanatik yang cukup intim ini dituliskan oleh Eugene

Field dalam The Love Affairs of a Bibiliomaniac pada 1896, “Terlalu

sedikit orang yang sepertinya menyadari bahwa buku memiliki perasaan.

Tetapi aku tahu sesuatu hal lebih baik dari pada orang lain, yaitu buku-

bukuku mengenalku dan mencintaiku. Ketika suatu pagi aku terbangun,

aku melempar pandangan ke sekeliling ruangan untuk melihat harta

benda yang kucintai, dan ketika dengan gembira aku berseru kepada

mereka, ‘Apa kabar teman-temanku yang baik!’ mereka akan berseri-seri

dengan indah, gembira aku sudah bangun!”

Buku, bagi beberapa orang merupakan catatan pribadi satu bab

kehidupan mereka. Secara fisik, ia menjadi saksi bisu pengalaman

pembacanya, artefak sejarah tempat berkumpulnya kenangan, misal

tentang siapa yang memberi buku itu pada kita, dimana kita saat

membacanya, berapa usia kita saat asyik membuka lembar demi

lembarnya, dan lain sebagainya.

Ada banyak buku yang saya baca saat kecil. Meskipun mencoba

mengingatnya dengan keras, terkadang saya pun lupa, buku mana yang

lebih dulu saya baca. Namun, bagi saya, buku yang paling penting (dan

berharga) di masa kecil saya adalah Little Women karya Alcott.

Page 151: Menghidupkan aksi

151

Tidak seperti kebanyakan buku yang saya baca di masa itu, yang

selalu berkisah tentang sekumpulan bocah laki-laki yang hobi

berpetualang, saya merasa, buku ini berkisah tentang diri saya dalam

tokoh Jo.

Jo, seorang maniak buku yang ceplas ceplos, apa adanya,

menyukai seni bermain peran, tokoh yang selalu saya kagumi hingga

menjadi role model saya hingga hari ini. Saya masih ingat bagaimana

membuka lembar demi lembar halaman yang telah menguning di kamar

tidur saya kala itu. Saya rasa, buku memang bukan hanya sebuah

kendaraan yang mengantarkan isinya pada pembaca, tetapi juga pada

kehidupan di saat kita tengah membacanya.

Ketika Gilkey bertemu Jo dan Faqih

Saya sedang membayangkan bagaimana jadinya bila hari ini John

Gilkey bertemu dengan Jo. Apa yang akan mereka obrolkan? Koleksi

buku-buku klasik yang mereka miliki? Kesepakatan bahwa Jo akan

memainkan naskah drama yang ditulis Gilkey? Ah, akan lebih baik jika

Profesor Bhaer (suami Jo) turut serta dalam obrolan mereka. Mungkin,

dia akan memberikan Jo dan Gilkey saran bacaan, atau memberikan

bukunya secara cuma-cuma untuk Gilkey agar dia tak mencuri lagi.

Bukankah Jo dan Profesor Bhaer mendidik anak-anak mereka dengan

baik? Saya rasa, Jo dan Bhaer bisa membujuk Gilkey untuk bertaubat.

Ah, tapi bagaimana jika Gilkey malah bertemu dengan Faqih.

Apa yang akan mereka obrolkan? Mungkin, mereka akan ngobrol soal

Page 152: Menghidupkan aksi

152

penghancuran buku yang dilsayakan dari masa ke masa: pembakaran

beribu koleksi kesusastraan China pada tahun 213 SM, pembakaran

buku-buku sastra oleh Nazi, penenggelaman buku-buku karya para

ulama Muslim di laut Merah, pelarangan buku-buku di zaman Orde

Baru, dan semakin sedikitnya buku tentang pemikiran Islam setiap

tahunnya.

Faqih akan katakan bahwa semakin minimnya buku tentang

pemikiran Islam merupakan pertanda kemunduran Islam. Sebab,

mereka yang katakan bahwa Al Qur’an dan Hadist adalah sumber

pedoman satu-satunya justru menunjukkan ketidakyakinan dan

kebuntuan mereka dalam mengartikulasikan apa yang Al Qur’an dan

Hadits sampaikan tentang masalah yang mereka hadapi hari ini. “We

never doing any reading process and too afraid for break the streamlines..”

Gilkey akan menepuk pundak Faqih dan berkata, “Jangan khawatir,

akan selalu ada kami, para kolektor buku, penyelamat peradaban, yang

sedia mengumpulkan buku-buku terlarang sebagai wujud penghargaan

kami terhadap ilmu pengetahuan. Sejarah sudah membuktikan. Buku-

buku merangkai sebenar-benarnya kisah. Tugas kita adalah menemukan

dan melakukan interpretasi secara objektif.” Mungkin demikian.

Page 153: Menghidupkan aksi

153

Tentang Penulis

Alikta Hasnah Safitri lahir 28 Februari 1994 di Kemangkon,

Purbalingga, Jawa Tengah. Jenjang pendidikan yang telah ditempuhnya

yaitu: MI Muhammadiyyah Senon, SMP Negeri 1 Kemangkon, dan

SMA Negeri 1 Purbalingga. Saat ini ia masih menempuh studi di

program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret dan Ilmu Komunikasi

Universitas Terbuka Surakarta. Sembari menempuh studi, ia juga

terlibat aktif dalam kepengurusan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim

Indonesia Komisariat Sholahuddin Al Ayyubi.

Selama menetap di Kota Solo, ia sering berlama-lama membaca di

perpustakaan, mengikuti berbagai seminar, serta menonton pertunjukan

seni.

Saran dan kritik dapat disampaikan pada penulis ke

[email protected]. Tulisannya yang lain bisa diakses di blog

pribadinya: aliktahassa.wordpress.com