Menggugat Pendidikan Hukum di Indonesia Oleh : Zainal Asikin...

12
Menggugat Pendidikan Hukum di Indonesia Oleh : Zainal Asikin 1 A. PENDAHULUAN Persoalan arah pendidikan hukum di Indonesia bukanlah persoalan yang baru dan sedehana. Akan tetapi pesoalan ini telah berlangsung lama dan terus menjadi perdebatan para akademisi dan praktisi hukum. Persoalnnya kemanakah dan mau dibawa kemana arah pendidikan hukum Indonesia ? Ketika pendidikan tinggi hukum dimulai di Indonesia pada awal abad 20, pendidikan hukum sepenuhnya mengikuti pola pendidikan tinggi hukum di Belanda. 2 Kurikulum serta pola pengajaran juga sepenuhnya mengikuti pola pengajaran di Belanda, meskipun ada penyesuaian dengan kondisi obyektif Hindia Belanda sebagai tanah jajahan. Lama pendidikan hukum (rechtshogeschool atau fakulteit der Rechtsgeleerheiit) yang dibuka tanggal 28 Oktober 1924 dipimpin oleh Paul Scholten, adalah 5 tahun, dibagi menjadi 3 tahap yaitu : Tahap Pertama yang diselesaikan selama 2 tahun dengan ujian kandidat ( candidaats exament}. Tahap kedua dengan ujian doktoral (doctoraal exament) ditempuh selama 2 tahun, dan Tahap ketiga, ditambah pada tahun terakhir sebagai ujian doktoral akhir melalui pengambilan jurusan ( richtingen)—hukum perdata, pidana, 1 . Penulis adalah Ketua Magister Hukum Fak Hukum Unram, Pernah menjadi Dekan Fakultas Hukum Unram ( 1996 sampai 2004), Pernah Menjadi Wakil Dekan ! Fak Hukum Unram ( 1988-1996), Pernah Menjadi Wakil Rektor IV Unram ( 2005-2009), Menjadi Ketua Lembaga Pengabdian Masyarakat Unram 2010-2012). 2 Makdir, Makalah Ssminar dan Lokakarya Pengkajian Kurikulum Fak Hukum, Fahultas Hukum UII, 23 Desmeber 2006.

Transcript of Menggugat Pendidikan Hukum di Indonesia Oleh : Zainal Asikin...

Menggugat Pendidikan Hukum di Indonesia

Oleh : Zainal Asikin 1

A. PENDAHULUAN

Persoalan arah pendidikan hukum di Indonesia bukanlah persoalan yang baru

dan sedehana. Akan tetapi pesoalan ini telah berlangsung lama dan terus menjadi

perdebatan para akademisi dan praktisi hukum.

Persoalnnya kemanakah dan mau dibawa kemana arah pendidikan hukum

Indonesia ?

Ketika pendidikan tinggi hukum dimulai di Indonesia pada awal abad 20,

pendidikan hukum sepenuhnya mengikuti pola pendidikan tinggi hukum di Belanda.2

Kurikulum serta pola pengajaran juga sepenuhnya mengikuti pola pengajaran di

Belanda, meskipun ada penyesuaian dengan kondisi obyektif Hindia Belanda

sebagai tanah jajahan. Lama pendidikan hukum (rechtshogeschool atau fakulteit der

Rechtsgeleerheiit) yang dibuka tanggal 28 Oktober 1924 dipimpin oleh Paul Scholten,

adalah 5 tahun, dibagi menjadi 3 tahap yaitu :

Tahap Pertama yang diselesaikan selama 2 tahun dengan ujian kandidat (

candidaats exament}. Tahap kedua dengan ujian doktoral (doctoraal exament)

ditempuh selama 2 tahun, dan Tahap ketiga, ditambah pada tahun terakhir sebagai

ujian doktoral akhir melalui pengambilan jurusan ( richtingen)—hukum perdata, pidana,

1. Penulis adalah Ketua Magister Hukum Fak Hukum Unram, Pernah menjadi Dekan Fakultas Hukum Unram ( 1996 sampai 2004), Pernah Menjadi Wakil Dekan ! Fak Hukum Unram ( 1988-1996), Pernah Menjadi Wakil Rektor IV Unram ( 2005-2009), Menjadi Ketua Lembaga Pengabdian Masyarakat Unram 2010-2012). 2 Makdir, Makalah Ssminar dan Lokakarya Pengkajian Kurikulum Fak Hukum, Fahultas Hukum UII, 23

Desmeber 2006.

hukum ketatanegaraan, dan sosiologi-ekonomi. Setelah lulus semua tahapan tersebut

maka mahasiswa berhak menyandang gelar ” Meester in de Rechten”.3

Berlanjut kemudian melalui perubahan pada tahun 1946 dengan

Hoogeronderwijs Ordonnantie 1946 (Stb. No. 47/1947) dan Universiteitsreglement

1946 (Stb. No. 170/1947). Sebagaimana halnya dengan penyelenggaraan

pendidikan tinggi hukum di Belanda sebelumnya , maka pendidikan hukum di

Indonesia kurikulumnya masih lebih menitik- beratkan pada pendidikan

akademiknya (academic schooling) dan kurang memperhatikan “professional

schooling”-nya.4

Hal yang juga disampaikan oleh Himahanto Juwana dalam makalahnya

Reformasi Pendidikan Hukum di Indonesia bahwa tujuan pendidikan hukum tidak lepas

dari tujuan yang dikehendaki oleh pemerintah.5 Artinya ketika awal pendidikan

hokum diperkenalkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, maka lulusan pendidikan

hokum diharapkan dapat mengisi jabatan birokrasi dibidang hokum

(rechtsambtenaren) seperti jaksa, hakim, panitera.

Oleh sebab itu kurikulum pendidikan hukum dirancang untuk mencapai tujuan

utama yaitu para mahasiswa benar benar menguasai kaidah hukum (norma hukum)

3 Hooge Onderwijs Ordonantie( Stb 1924/No.456, jo Stb 1926 ,No 338 jo 1927 No.395 jo 1929 No.222 jo Stb 1932

No.14. jo Stb 1933 No.345. Jo 1934 No.529. Lama pendidikan di Rechtshogeschool adalah lima tahun yang dibagi dalam

dua tahap. Tahap pertama diselesaikan dalam dua tahun dengan ujian kandidat (candidaatsexamen), dan tahap

kedua dengan ujian doktoral (doctoraal-examen). Pada tahun yang terakhir, yang dikenal sebagai ujian doktoral

bagian ketiga terdapat pemecahan dalam empat jurusan (richtingen) yang dapat dipilih mahasiswa, yaitu: Hukum

Keperdataan, Hukum Kepidanaan, Hukum Ketatanegaraan, dan Sosiologi-Ekonomi. Mereka yang telah lulus ujian ini

berhak memakai gelar Meester in de Rechten (pasal 10). Gelar ini memberikan kewenangan kepada yang

bersangkutan untuk diangkat menjadi: (a) advokat dan pengacara serta jabatan-jabatan dalam bidang kehakiman

lainnya, dan (b) pegawai pemerintah serta dalam bidang pendidikan (pasal 20). Peraturan

pendidikan Rechtshogeschool telah dikeluarkan dalam S. 1924 No. 457 yang telah ditambah dan diubah terakhir oleh

S. 1936 No. 106 dan 438.

4 Hal yang sama disampaikan oleh Soetandyo Wignjosoebroto:2000, Pembangunan Hukum Nasional dan

Pendidikan Hukum di Indonesia Pada Era Pascakolonial, h.2, diakses dari http://www.huma.or.id

5 Himahanto Yuwana, Reformasi Pendidikan Hukum Di Indonesia, halaman 3

dalam perundang undangan. Mahasiswa benar benar harus menguasai pasal pasal

undang yang akan diterapkan dalam ruang ruang persidangan dan di pemerintahan.

Akan tetapi begitu sulitnya menjadi dan mencapai gelar Meester in de

Rechten (MR) mengingat gelar tersebut derajatnya sama dengan gelar Strata 2 ,

bahkan karena begitu pentingnya dan mendesaknya akan kebutuhan itu, maka

Pemerintahpun mendirikan Sekolah Hakim dan Jaksa ( SHD), pendidikan keterampilan

hukum plus, yang ditempuh selama 4 tahun, dan para lulusannya langsung diterima

sebagai pegawai pengadilan atau kejaksaan (atau sebelumnya telah menjadi

pegawai Pengadilan dan Kejaksaan).

Pendidikan SHD tersebut berakhir pada tahun 1980 seiring dengan dieluarkanya

UU Tentang Kejaksaan No.5 Tahun 1991 dan UU Kekuasaan Kehakiman No.14 Tahun

1970 dimana syarat menjadi hakim harus Sarjana Hukum.

Jadi intinya bahwa sekolah hukum di Indonesia awalnya hanya pendikan hukum

yang mengajarkan ilmu tentang kaidah (Normwissenschaft atau

sollenwissenschaft , yaitu ilmu tentang Norma (undang undang ). Termasuk

didalamnya sebagian besar mata kuliah yang diajarkan di fakultas-fakultas hukum

Indonesia, seperti: Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Tata Negara, Hukum Tata

Usaha, Hukum Internasional, dan lain-lain. Disamping itu diajarkan pula Ilmu

Pengertian Verstandnis Wissenschaft, yaitu ilmu tentang pengertian pokok

dalam hukum seperti subyek hukum, hak dan kewajiban, obyek hukum dll6

Sedangkan Tatsachenwissenschaft; Ilmu tentang kenyataan (kajian empiris),

termasuk didalamnya Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Psikologi Hukum, Hukum

dan Masyarakat, dan lain-lainnya dianggap tidak terlalu penting.

Selaras dengan itulah maka kurikulum atau mata kuliah yang ditawarkan

(diajarkan) tidak terlalu banyak yaitu : 1. Pengantar Ilmu Hukum,2. Hukum Tata

Negara dan Administrasi, 3. Hukum Perdata dan Acara Perdata, 4. Hukum Pidana dan

Acara Pidana, 5. Hukum Adat, 6. Hukum dan Pranata Islam, 7. Hukum Dagang,8.

6 Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015, hlm 9

Sosiologi, 9.Ilmu Pemerintahan, 10. Ilmu Bangsa-bangsa Hindia Belanda,11. Bahasa

Melayu, Bahasa Jawa, Bahasa Latin,12. Filsafat Hukum, 13. Asas-asas Hukum Perdata

Romawi, 14. Hukum Perdata Internasional, 15.Hukum Intergentil, Kriminologi, 16.

Psikologi, 16. Ilmu Kedokteran Forensik, 17.Hukum Internasional, dan Statistik. Dengan

keputusan Gubernur Jenderal mata kuliah tersebut di atas masih dapat ditambah untuk

menjaga agar pendidikan hukum dapat mengikuti dan mengarahkan perkembangan

masyarakat.

Kemudian sampai tahun 70- an pola kurikulum Pendidikan Hukum di Indonesia

masih sama dengan pola di atas sehingga perkuliahan di pendidikan hokum seringkali

dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu Tingkat Persiapan ( PIH, Ilmu Negara, PHI dan

Asas Asas Hukum), Tingkat Sarjana I ( mata kuliah Hukum I), Tingkat Sarjana II

( Hukum II, Metode Penelitian, Filsafat Hukum dan Pilihan wajib dan Pilihan Bebas).

Sehingga mata kuliah yang ditawarkan berkisar 30 sampai 40 mata kuliah yang

ditembuh pada rentang waktu 4 tahun sampai tidak terhingga (karena tidak dikenal

istilah drop out). Setiap mata kuliah ditempuh dalam 1 tahun (bukan smester)

sehingga para dosen dan mahasiswa benar benar memiliki waktu yang cukup untuk

memahami materi perkuliahan.

Pada masa itu, materi perkuliahan melulu hanya berbagai doktrin, dogma,

adagium, asas, dan pasal-pasal perundang-undangan positif. Kesimpulannya, dimasa itu

pendidikan tinggi hukum baru pada konteks perundang-undangan dan hukum positif

saja. Sehingga hampir bisa dikatakan secara ekstrem bahwa pada saat itu fakultas

hukum tidak lebih sebagai fakultas perundang-undangan.

B. PERUBAHAN KURIKULUM BERBASIS PROFESI ?

Perubahan dan pembaharuan arah pendidikan hukum di Indonesia mulai

dikembangkan pada tahun 70 an. Salah seorang pelopor dari pembaharuan

pendidikan hukum ini adalah Mochtar Kusumaatmadja, yang mengemukakan bahwa

hukum itu bukan hanya sebagai kaidah, tetapi juga adalah sebagai sarana

pembangunan. Teori ini sebagai modifikasi terhadap teori law as a tool of social

engineering dari Roscoe Pound.7 Pada periode ini mulai diperkenalkan latihan

keterampilan professional, etika professional, dan tanggung jawab

professional.8

Pembaharuan kurikulum ini terus menurus dipikirkan dan dilakukan dan

kemudian menjadi terkenal dengan nama kurikulum 1993. Dengan kurikulum

ini diharapkan semua Fakultas Hukum secara proporsional mengajarkan aspek-

aspek kemahiran hukum dan aspek-aspek pengetahuan atau keilmuan

hukum. Dengan demikian diharapkan setelah lulus nanti mereka memiliki bekal yang

cukup memadai untuk masuk ke dunia praktik hukum.9

Kurikulum inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Kurikulum pendidikan

tInggi hukum di Indonesia. Kurikulum ini berlaku berdasarkan Keputusan Mendikbud

No. 0325/U/1994 dan No. 056/U/1994 yang kemudian dalam perkembangannya

mengalami sedikit perubahan di tahun 2000 dengan Keputusan Mendikbud No.

232/U/2000. Perubahan pokok dari kurikulum bukan pada substansinya melainkan

lebih pada (1). perubahan penamaan materi muatan kurikulum nasional menjadi

kurikulum inti, dan kurikulum lokal menjadi kurikulum institusional (2). Kurikulum

1994 ini pada dasarnya disusun dengan landasan dengan semangat, serta motivasi

untuk melakukan pembaharuan pendidikan tinggi hukum agar lebih mampu

menyiapkan para lulusan fakultas hukum siap kerja dalam memasuki lapangan kerja

atau siap mengemban profesi hukum, sehingga dalam kurikulum 1994 ini

diintrodusirnya matakuliah hukum yang sarat dengan bobot kemahiran hukum.

Sebelum berlakunya kedua SK tersebut, kurikulum program Sarjana Hukum mengacu

pada “kurikulum inti” yang ditetapkan dalam Keputusan Direktur Pendidikan

Tinggi Depdikbud No 30/DJ/Kep/1983 tanggal 27 April 1983. Kurikulum inti tersebut

lebih berorientasi dan menitik beratkan pada kepentingan fungsi peradilan dan

pemerintahan

7 Mochtar Kusumaatmadja: 2006, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, hlm. 59-60. 8 Ibid, hlm 67 9 Sidharta Rohan Prastowo, Legal Research Institute, 2004,t, hlm xii

Dalam pedoman penyusunan kurikulum pendidikan tinggi (antara lain tercantum

dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 232/U/2000), sempat dinyatakan

bahwa perbedaan tersebut dapat dilihat dari kualifikasi kompetensi hasil lulusan, yang

kurang lebih perbedaannya sebagai berikut :

Pertama , Program sarjana diarahkan pada hasil lulusan yang memiliki

kualifikasi sebagai berikut:

(a) menguasai dasar-dasar ilmiah dan ketrampilan dalam bidang keahlian

tertentu sehingga mampu menemukan, memahami, menjelaskan, dan

merumuskan cara penyelesaian masalah yang ada di dalam kawasan keahliannya;

(b) mampu menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya sesuai

dengan bidang keahliannya dalam kegiatan produktif dan pelayanan kepada

masyarakat dengan sikap dan perilaku yang sesuai dengan tata kehidupan bersama;

(c) mampu bersikap dan berperilaku dalam membawakan diri berkarya di

bidang keahliannya maupun dalam berkehidupan bersama di masyarakat;

(d) mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian

yang merupakan keahliannya.

Sejak itu muncullah apa yang dinamakan Prof. Satjipto Rahardjo sebagai

diversifikasi kedalam:

1. Program Pofesi; yang menekankan pada pendidikan keterampilan (skill)

2. Program Keilmuan; yang intinya adalah perburuan terhadap kebenaran

(searching for truth).

Termasuk dalam program profesi adalah pendidikan tinggi hukum pada jenjang

S1 atau yang sering disebut sebagai Fakultas Hukum, karena di S1 Ilmu Hukum tujuan

akhirnya adalah mendapatkan Sarjana Hukum yang memiliki kecakapan ilmu praktis

semata. Inilah yang disebut sebagai legal professional. Akibat dari keinginan

agar pendidikan hukum melahirkan tenaga yang professional, maka

berbagai mata kuliah kemudian dimasukan dalam kurikulum yang paling

kurang 144 Sks yang ditempuh dengan system smester. Dengan banyaknya

dan membengkaknya jumlah mata kuliah maka pendidikan hokum menjadi

kehilangan arah dan ibarat senetron kejar tayang, karena materi yang

harus disampaikan tidak seimbang dengan waktu yang tersedia.10

Kedua , sedangkan pada program S2 dan S3 dinamakan program keilmuan,

sebab di program tersebut, seharusnyalah ada peningkatan jenjang, daripada hanya

mengajarkan dunia praktis semata seperti dalam S1. Jadi program S1 adalah sekolah

Juris, sedangkan S2 dan S3 adalah sekolah Ilmuwan.

Jadi perubahan yang terjadi di era 80 -an, seolah olah ingin membalik

tujuan pendidikan hukum jenjang S1 yang awalnya adalah pendidikan

akademik menjadi pendidikan profesi, sedangan pendidikan akademik

(keilmuan) ditempuh dalam jenjang S2 dan S3.

Namun sayang cita cita untuk menjadikan pendidikan hukum (S1) melahirkan

lulusan yang terampil dan profesioal, masih jauh dari yang diharapkan diakibatkan oleh

terlalu banyaknya mata kuliah yang di bebankan kepada para mahasiswa.

Lebih lanjut Pemerintah kembali mengeluaran Permenristek No.44 Tahun

2015 diatur standar nasional Perguruan Tinggi dengan mengacu Perpres No.8 Tahun

2012 dimana standar komptensi kelulusan Pendidikan Tinggi Menyangkut 3 hal yaitu

:

1. Sikap ;

2. Pengetahuan

3. Keterampilan ( Keterampilan Umum dan Keterampilan Khusus)

10 Celakanya juga setiap para dosen yang baru pulang sekolah, berkeinginan agar Thesis dan Disertasinya

dijadikan mata kuliah , karena dianggap semua penting. Maka berjejerlah mata kuliah baru sehingga membuat jumlah SKS menjadi membengkak.

Kemudian dalam Permenristek dan Perpres tersebut di bagi jenjanjang Pendidikan

Tinggi menjadi beberapa strata yaitu :

1. Pendidikan Diploma 4/Sarjana Terapan atau Sarjana ; yaitu jenjang pendidikan

yang diharapkan melahirkan lulusan yang menguasai konsep teoritis bidang

pengetahuan dan keterampilan tertentu secara umum dan konsep

teoritis bagian khusus dalam bidang pengetahuan dan keterampilan tersebut.;

2. Program magister diarahkan pada hasil lulusan yang memiliki ciri-ciri

sebagai berikut: (a) mempunyai kemampuan mengembangkan dan

memutakhirkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian dengan cara

menguasai dan memahami, pendekatan, metode, kaidah ilmiah disertai

ketrampilan penerapannya; (b) mempunyai kemampuan rnemecahkan

permasalahan di bidang keahliannya melalui kegiatan penelitian dan

pengembangan berdasarkan kaidah ilmiah: (c) mempunyai kemampuan

mengembangkan kinerja profesionalnya yang ditunjukkan dengan ketajaman

analisis permasalahan, keserbacakupan tinjauan, kepaduan pemecahan masalah

atau profesi yang serupa; Lulusan program magister, magister terapan, dan

spesialis satu paling sedikit menguasai teori dan teori aplikasi bidang

pengetahuan tertentu

3. Program doktor diarahkan pada hasil lulusan yang memiliki kualifikasi

sebagai berikut: (a) mempunyai kemampuan mengembangkan konsep ilmu,

teknologi, dan/atau kesenian baru di dalam bidang keahliannya melalui

penelitian; (b) mempunyai kemampuan mengelola, memimpin, dan

mengembangkan program penelitian; (c) mempunyai kemampuan pendekatan

interdisipliner dalam berkarya di bidang keahliannya. Luluan program doktor,

doktor terapan, dan subspesialis paling sedikit menguasai filosofi keilmuan bidang

pengetahuan dan keterampilan tertentu.

Dari uraian di atas semakin tidak jelas apa dan bagaimana arah

pendidkan hukum di Indonesia, apakah jenjang S1 kearah pendidikan

keterampilan atau akademik ? Begitupula pendidikan magister , apakah

kepada pendidikan akademik atau professional ?

Ketidak jelasan ini berdampak kepada keraguan masyarakat dan

pengguna (stakeholder) atas kemampuan dan keterampilan para alumni

pendidikan hukum. Akibatnya seorang Sarjana Hukum (yang konon sudah

mendapat ilmu keterampilan) untuk menjadi Advokat , kembali harus

mengikuti pendidikan profesi advokat dan harus magang sekurang kurangnya

2 tahun).11

Yang lebih unik lagi tamatan magister hukum yang menempuh

pendidikan magister kenotariatan/magister terapan, masih harus diragukan

keterampilannya sehingga untuk bisa diangkat menjadi Notaris harus

magang selama 2 tahun lagi di kantor notaries dan harus diuji lagi agar bisa

berpraktik dengan syarat syarat yang cukup berat.12

Kemudian seorang magister kenotariatan untuk bisa berpraktik dan

diangkat menjadi PPAT harus mengikuti magang selama satu tahun dan

harus diuji lagi oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional dengan sarat sarat

yang tidak mudah. 13

Semua itu sebenarnya bentuk pelecehan atas ouput pendidikan

hukum di Indonesia yang meragukan kualitas hasil proses pembelajaran. Dan

yang ikut melecehkan juga, justru Pemerintah yang membidangi pendidikan

tinggi, terlihat dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Riset dan Dikti No.5

Tahun 2019 tentang Pendiidkan Advokat , yaitu perlunya pendidikan profesi

advokat selama 2 tahun bagi yang ingin menjadi advokat. Ini artinya

pendidikan S1 Fakultas Hukum masih dianggap belum terampil untuk

menjalani profesi advokat.

Akhirnya pertanyaan pamungkas adalah hendak kemana pendidikan

tinggi hukum Indonesia ? Pertanyaan yang sama pernah disampaikan oleh

11 UU No.18 Tahun 2003 Tentang Advokat, pasal 2 , pasal 3 ayat (1 ) 12 UU No.2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris , Pasal 3 13 PP No. 24 Tahun 2016 tentang PPAT , Pasal 6 ayat 1

Prof Sudarto .14 Sampai saat ini nampaknya masih belum ditemukan dimana

letak persoalannya sehingga apa yang diharapkan dari sarjana hukum

memenuhi harapan pengguna, ditambah lagi sarjana hukum tidak yakin akan

kemampuan dirinya, dan pengguna juga masih ragu akan kemampuan

sarjana hukum.

Hal itu disebabkan oleh arah pendidikan hukum masih mencari bentuk

dan meraba raba arah antara pendidikan profesi (yang setengah hati) dan

pendidikan kemahiran (yang masih canggung).

C. KESIMPULAN

Untuk menyelesaikan benang kusut atas arah dan tujuan pendidikan

hukum itu, maka perlu menentukan arah yang jelas terhadap pendidikan

hukum di Indonesia dengan kurikulum yang mendukungnya, yaitu :

1. Perlunya Pendidikan Diploma (D4) Hukum yang khusus mendidik

calon Sarjana Terapan di bidang hukum yang memang dipersiapkan

menjadi tenaga professional di bidang masing masing ( pengacara,

jaksa, hakim dan lain lain). Sarjana terapan (D4) memang khusus

diberikan materi hukum praktis dan oleh karenanya lulusannya

tidak untuk melanjutkan ke Jenjang S2. Hal ini mengadopsi pola

pendidikan Juris Doctor di beberapa Negara Barat. Tamatan ini

untuk berprofesi sebagai Advokat harus mengikuti ujian oleh

Mahkamah Agung atau Organisai Advokat tanpa melalui

pendidikan/pelatihan tambahan lagi dan tanpa harus magang lagi.

2. Pendidikan Sarjana Hukum (S1) yang berbasis kurikulum pendidikan

akademik yang dipersiapkan menjadi tenaga akhli hukum yang

14 Prof SUdarto, Hukum dan Hukum Pidana , Penerbit Alumni, 1986, Bandung, Jlm 2.

dapat melanjutkan ke jenjang S2 HUKUM dan S3 HUKUM. Hal ini

mengadopsi pola pendidikan Legum Bachelor.

3. Khusus untuk magister terapan seperti Notaris dan PPAT, maka

lulusannya tidak perlu mengikuti magang 2 tahun lagi dan tidak

perlu mengikuti ujian lagi, jadi langsung mengajukan permohonan

ijin ke Pemerintah ( Menkumham atau Menteri Agraria dan Tata

Ruang).

Pembahauan kurikulum tersebut tentunya harus melibatkan seluruh pemangku

kepentingan, baik Ikatan Advokat, Ikatan Notaris, Kepala Badan Pertanahan

Nasional, Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia. Pembentuk UU, dan

sebagainya sehingga kurikulum Pendidikan Hukum menjadi suatu system yang

terpadu dengan undang undang yang lainnya.

Demikianlah sekelumit catatan saya tentang pendidikan hukum di

Indonesia,dan jika terdapat kekurangan dipersilahkan para peserta untuk

menambahkan. Terima kasih.

Mataram Juni 2019

DAFAR PUSTAKA

Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro kerjasama Mochtar, Karuwin & Komar :

2002, Reformasi Hukum di Indonesia, CYBERconsult.

Asep Saefullah dan Herni Sri N: 2003, Pendidikan Hukum di Indonesia Perlu

Jalan Alternatif, Jentera Jurnal Hukum, Edisi Khusus.

Bagir Manan dalam Bisnis Indonesia Rabu 18 Februari 2004, h T3.

Prof. Bagir Manan: 2004, Peranan Pendidikan Hukum dalam Pembangunan dan Penegakkan Hukum untuk Masa Depan Indonesia, diakses dari http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=9738&cl=Kolom

Bursja Zahir : 1978, Pendidikan Tinggi: Hubungan dengan Masyarakat dan

Keadaan Sekarang, Prisma No.2 Maret, Tahun VII

Erman Rajagukguk: 1997, Peranan Hukum dalam Pembangunan pada era Globalisasi: Implikasinya bagi Pendidikan Hukum di Indonesia, Pidato pengukuhan diucapkan pada upacara penerimaan jabatan Guru Besar dalam bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 4 Januari 1997.

Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D: 2006, Reformasi Pendidikan Hukum di Indonesia, diakses dari http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.

Mochtar Kusumaatmadja: 2006, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, cetakan ke 2, Alumni.

Prof SUdarto, Hukum dan Hukum Pidana , Penerbit Alumni, 1986, Bandung

Sidharta Rohan Prastowo, Legal Research Institute, 2004, Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015