MENGGAGAS KEMBALI SPEKTRUM WAWASAN · PDF file... sudut pandang dan peristiwa-peristiwa...
-
Upload
trinhtuong -
Category
Documents
-
view
228 -
download
2
Transcript of MENGGAGAS KEMBALI SPEKTRUM WAWASAN · PDF file... sudut pandang dan peristiwa-peristiwa...
1
MENGGAGAS KEMBALI SPEKTRUM WAWASAN PENULISAN SEJARAH
INDONESIA: WAWASAN SEJARAH ”JAGAD INDONESIA” DAN ”INSANI-
KEINDONESIAAN” SEJARAH INDONESIA
Oleh:
Djoko Suryo
I. Pendahuluan
Manusia tidak pernah lepas dari sejarah. Manusia juga tidak pernah lepas
dari ikatan lingkungan kehidupannya. Ciri eksistensi manusia yang tidak berubah
adalah kapasitasnya untuk berubah dan berkembang. Itulah ciri ”historisitas”
manusia. Karena itu. sejarah adalah sejarah tentang manusia, dan telaah sejarah
adalah telaah manusia yang hidup dalam masyarakat (man in society) dengan segala
kapasitasnya untuk berubah dan berkembang. Menelaah Sejarah Indonesia, dengan
demikian, adalah menelaah masyarakat manusia Indonesia yang hidup di
lingkungan jagad Indonesia (Indonesian world), dengan segala aspek perubahan
dan perkembangannya. Telaah tentang perubahan dan perkembangan manusia
Indonesia sesungguhnya dapat diperoleh melalui telaah historiografi Indonesia, dari
historiografi Indonesia tradisional atau lama, historigrafi kolonial sampai
historiografi Indonesia baru atau modern. Melalui telaah historiografi Indonesia
tersebut dapat dipahami perubahan dan perkembangan alam pikiran, pandangan
dunia, sudut pandang dan peristiwa-peristiwa kehidupan manusia dan masyarakat
Indonesia dari masa lampau hingga masa kini melalui penulis sejarah pada
zamannya. Dari historiografi tradisonal, misalnya, kita bisa memahami tentang
bagaimana para penulis sejarah Indonesia lama menjelaskan historisitas manusia
dan masyarakat Jawa, manusia dan masyarakat Melayu, atau manusia dan
masyarakat Bugis pada masa awal mulanya melalui pandangan dunia kosmis-magis
dan pendekatan kosmologis dan kosmogonisnya. Penulis Serat Tantu Panggelaran
dan penulis Babad Tanah Jawi, memiliki cara untuk menjelaskan tentang
bagaimana asal-muasal Nusa Jawa atau Jambudwipa maujud dan berpenghuni
manusia Jawa terjadi. Selanjutnya bagaimana kemudian manusia Jawa belajar
bercocok tanam, berundagi dan berkebudayaan dan berkeadaban dari para Dewa
2
panteon-Hindu, dan dari Nabi Adam beserta para Nabi dari dunia Islam, hingga
melahirkan para raja dan kerajaannya di Jawa.1Hal yang sama juga kita peroleh
pengetahuan masa lampau tentang bagaimana penulis Hikayat Iskandar
Zulkarnain menjelaskan tentang asal-usul nenek moyang manusia dan masyarakat
beserta raja-raja Melayu berasal dari tokoh mistis-legendaris Iskandar Zulkarnain.2
Demikian juga halnya penulis Lontarak menjelaskan tentang tokoh makhluk suci To
Manurung turun dari langit ke bumi menjadi asal mula nenek moyang manusia dan
raja-raja Bugis dan lainnya di Sulawesi Selatan. Dari historiografi kolonial kita dapat
memahami tentang bagaimana pandangan sejarah dan narasi sejarah kolonial
menguasai pemikiran dan gambaran sejarah masyarakat Indonesia yang dibangun
oleh sejarawan Belanda yang banyak dikuasai oleh pandangan kolonial dan
Eropasentrisme. Historiografi Indonesia baru atau modern, sudah barang tentu,
merupakan historiografi Indonesia yang paling dekat dengan kehidupan kita pada
masa kini, dan bersifat kontemporer sehingga penting untuk terus menerus kita
telaah dan pikirkan. Sifat kekiniannya tersebut, menyebabkan historiografi yang
terakhir ini sangat kompleks dan problematik, dan terbuka menjadi wacana
akademik maupun publik.
Uraian singkat berikut ini bukanlah bermaksud untuk mengupas persoalan-
persoalan rumit dari keseluruhan historiografi Indonesia tersebut di atas, akan
tetapi sekedar untuk menengok kembali tentang segi-segi yang berkaitan dengan
perkembangan penulisan historigrafi pada tahun 1970-an dan sesudahnya, yang
pernah menjadi wacana dalam sejarah penulisan sejarah di Indonesia. Tujuan
terpenting dari uraian singkat ini adalah lebih dimaksudkan untuk menarik
pelajaran dari pengalaman sejarah penulisan sejarah Indonesia yang terjadi selama
ini. Mudah-mudahan catatan kecil ini ada manfaatnya. Segi-segi yang ingin
disampaikan di sini antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, tinjauan makna
tentang Seminar Sejarah tahun 1957 dan Seminar Nasional II bagi perkembangan
awal penulisan historiografi Indonesia baru. Kedua, tinjauan tentang penulisan
1 Lihat Th. G. Th. Pigeaud, De Tantu Panggelaran. ’s-Gravenhage: Nederl. Boek-en Steendrukkerij voorheen H. L. Smits, 1924; dan Babad Tanah Djawi. Batavia: Balai Pustaka, 1939 2 Lihat Siti Chamamah Suratno, Hikayat Iskandar Zulkarnain: Analisis Resepsi. Jakarta: Balai Pustaka, 1991
3
Sejarah Nasional Indonesia, 6 jilid, terbitan Balai Pustaka, Jakarta pada tahun
1975, dan penulisan Sejarah Indonesia paling baru yang berjudul Indonesia Dalam
Arus Sejarah, 8 jilid, terbitan Ikhtiar Baru, Jakarta pada 2008/2009. Ketiga,
memikirkan kembali pendekatan kajian Sejarah Indonesia yang lebih cerah. Secara
ringkas uraian ketiga segi tersebut akan disampaikan sebagai berikut.
II. Menelusuri Benang Merah Seminar Sejarah 1957 dan Seminar Sejarah
Nasional Indonesia II tahun 1970
Apa yang dapat kita pahami dari peristiwa kedua seminar sejarah nasional
tersebut di atas? Jawaban pertanyaan tersebut akan diberikan dalam uraian singkat
berikut ini.
Lebih dari setengah abad lalu pemikiran penulisan Sejarah Indonesia
dibicarakan dalam Seminar Sejarah di Yogyakarta yang diselenggarakan pada
tanggal 14-18 Desember 1957.3 Pada Seminar Sejarah Indonesia pertama yang
monumental itu telah berkumpul para sejarawan dan para pemikir sejarah
Indonesia untuk menyusun konsep penulisan sejarah Indonesia. Dua persoalan
pokok, yaitu konsepsi Filsafat Sejarah Nasional dan Periodisasi Sejarah Indonesia,
telah dibahasnya. Selain itu juga disinggung tentang keperluan yang mendesak
mengenai buku pelajaran sejarah di sekolah. Mengenai konsepsi Filsafat Sejarah
Nasional, diajukan dua buah usulan, yaitu konsep ”Catur-Sila Khalduniah” oleh Moh.
Yamin, dan konsep ”Merintis Hari Depan” oleh Soedjatmoko. Sementara usulan
konsep Periodisasi Sejarah Indonesia, diajukan oleh dua orang pembicara, yaitu
oleh Soekanto dan A. Sartono Kartodirdjo.
Pembicara pertama mengajukan usulan periodisasi yang lebih ditekankan
pada konsep pembagian zaman berdasarkan masa pemerintahan politik: Masa
pangkal sejarah, Masa Kutai-Taruma, Masa Sriwijaya-Medang-Singasari, Masa
Majapahit, Masa kerajaan-kerajaan Islam, Masa Pemerintahan Asing, dan Masa
Republik Indonesia 1945. Pembicara kedua, mengajukan konsep pembagian zaman
3 Lihat Laporan Seminar Sejarah, 14 – 15 Desember 1957 di Yogyakarta. Yogyakarta: Panitia Seminar, 10 Januari, 1958. Serie 2. Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan bekerjasama dengan Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia, 1957. Lihat pula M. Nursam, Membuka Pintu bagi Masa Depan. Biografi Sartono Kartodirdjo. (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2008), hal. 126-134
4
lebih di dasarkan pada landasan konseptual proses integrasi yang dianggap sesuai
dengan persoalan pokok yang sedang dihadapi bangsa pada masa itu. Pembagian
zaman yang dimaksud adalah: Zaman Prasejarah, Zaman Kuna (masa kerajaan-
kerajaan tertua; masa Sriwijaya, Masa Majapahit, Masa peralihan), dan Zaman Baru
(masa Aceh, Mataram, Makasar dan Ternate/Tidore, masa perlawanan terhadap
Imperialisme Barat, masa pergerakan nasional, dan masa Republik Indonesia).
Apabila disimak, hampir sebagian besar penggagas kedua persoalan pokok
tersebut di atas dipengaruhi oleh tuntutan situasi zaman yang sedang mereka alami
pada era tahun 1950-an, yaitu era pasca-revolusi kemerdekaan atau era pasca
proklamasi kemerdekaan. Sangat jelas alasan-alasan yang mendasari konsepsi
Filsafat Sejarah Nasional dan Periodisasi Sejarah Indonesia dipengaruhi oleh
tuntutan situasi zamannya, yaitu tuntutan konsolidasi semangat kebangsaan,
integrasi bangsa (nasionalisme), pembangunan negara bangsa, dan identitas
bangsa. Penulisan Sejarah Nasional dalam hal ini diperlukan sebagai salah satu
identitas bangsa yang baru merdeka. Situasi dan kondisi pada masa itu tampak
sangat kuat menguasai alam pikiran sejarawan pada masa itu.
Sesuai dengan tuntutan situasi zamannya, maka dapat dipahami bahwa
berbagai pihak ikut terlibat dalam penyelenggaraan seminar ini, yaitu baik pihak
pemerintah, lembaga pendidikan tinggi, para pejabat, cendikiawan, akademisi,
mahasiswa maupun para anggota masyarakat peminat sejarah. Seminar nasional
yang cukup prestisius ini diselenggarakan atas inisiatif Kementerian Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan dan dilangsungkan dengan kerja sama dari Universitas
Gajah Mada, Yogyakarta. Tempat penyelenggaraan seminar di Kampus Universitas
Gadjah Mada, yang pada waktu itu bertempat di Gedung Pagelaran dan Sitihinggil
Kraton Yogyakarta. Jumlah peserta seminar kurang lebih 800 orang, suatu jumlah
yang cukup besar. Hadir dalam seminar itu antara lain Menteri Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudaaan, para pejabat sipil dan militer, perwakilan dari berbagai
universitas dan lembaga pemerintahan, perwakilan dari daerah, para guru besar
asing, pers, mahasiswa serta para peminat sejarah. Menteri Pendidikan Prof. Dr.
Prijono dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX duduk sebagai pelindung, sementara
sebagai Ketua Penyelenggara Seminar adalah Presiden Universitas Gadjah Mada
5
Yogyakarta, Prof. Dr. M. Sardjito, dan wakilnya Presiden Universitas Indonesia,
Jakarta, Prof. Bahder Djohan.4
Tidak dapat disangkal bahwa seminar ini memiliki arti penting dalam
perjalanan sejarah penulisan sejarah Indonesia, Akan tetapi, apabila ditelusuri
kembali, ada petunjuk bahwa seminar nasional itu berakhir tanpa tindak lanjut
yang jelas dan nyata. Dapat diduga kondisi dan situasi pada masa pasca revolusi
menjadi salah satu faktor penyebabnya.
Baru tiga belas tahun kemudian, terdapat adanya pertanda yang menjadi
titik-titik kesinambungan dari seminar pada tahun 1957 itu. Pada tanggal 26–29
Agustus 1970 di Yogyakarta kembali diselenggarakan Seminar Sejarah Nasional II.
Seperti seminar sebelumnya, seminar nasional ini juga diselenggarakan di Kampus
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tetapi tempatnya berbeda, yaitu di kompleks
Bulaksumur, tepatnya di gedung baru Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.
Gedung baru fakultas ini baru saja ditempati setelah fakultas ini pindah dari gedung
lamanya di kampus Karang Malang, Yogyakarta. Berbeda dengan seminar yang
pertama, seminar nasional ini ditangani oleh para sejarawan, dan dipimpin oleh
seorang sejarawan senior yaitu Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo. Para peserta yang
hadir dalam seminar ini sebagian besar adalah sejarawan muda, di samping para
sejarawan senior. Mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia, Selain dari
Yogyakarta dan sekitarnya, peserta seminar datang dari Jakarta, Bandung,
Semarang, Malang, Surabaya, Banjarmasin, Sumatra, Kalimantan Selatan, Bali,
Sulawesi Selatan, Ambon dan tempat lainnya. Dalam beberapa hal penyelenggaraan
seminar dirasa lebih maju di banding dengan seminar yang diselenggarakan
sebelumnya.
Ditinjau dari perspektif sejarah (politik), Seminar Nasional II pada tahun
1970, pada hakekatnya terjadi tepat pada masa pergantian masa pemerintahan
poitik dari masa pemerintahan Sukarno ke pemerintahan Suharto. Lebih lazim pada
masa itu disebut pergantian dari pemerintahan Orde Lama ke pemerintahan Orde
Baru. Pergeseran masa pemerintahan itu pada hakekatnya juga diikuti dengan
4 Lihat Laporan Seminar Sejarah, op. cit. Lmpiran, hal. 200
6
pergeseran generasi sejarawan, yaitu generasi sejarawan tahun 1950-an ke
generasi sejarawan tahun 1970-an. Sesuai dengan pergeseran era tersebut, maka
tampak bahwa mayoritas para peserta seminar pada tahun 1970 adalah memang
dari golongan sejarawan muda, yaitu generasi sejarawan 1970-an. Mereka adalah
generasi sejarawan yang umumnya baru menyelesaiakan pendidikannya pada
sekitar tahun 1970-an. Sebaliknya, pada seminar tahun 1957, mayoritas pesertanya
terdiri dari sejarawan tahun 1950-an, yaitu mereka yang selesai pendidikannya
pada sekitar tahun 1950-an. Pergeseran masa dan pergeseran generasi terebut
diduga memiliki pengaruh terhadap proses, kelangsungan dan perubahan dalam
penyelenggaraan seminar dan juga terhadap pemikiran dan penulisan sejarah
Indonesia yang menjadi tujuannya. Apabila diamati, generasi pendukung seminar
ini memiliki orientasi pemikiran yang lebih rasional, realistis, dan operasional
dalam penyelenggaraan agenda seminarnya.
Dari gambaran tersebut di atas dapat dikemukakan beberapa segi dari
seminar nasional 1970;
1. Secara umum dapat dicatat bahwa penyelenggaraan seminar cukup
berhasil. Segi organisasi penyelenggaraan seminar cukup efektif dan
produktif yang dapat dibuktikan dari keberhasilan seminar dapat
menghadirkan peserta dan penyaji makalah yang cukup memadai.
2. Cakupan permasalahan yang dibahas cukup luas, substantif dan konkrit.
Hal ini cukup berbeda jika dibandingkan dengan seminar sebelumnya
yang lebih berorientasi pada segi-segi yang abstrak-teoretik (filsafat
sejarah). Materi seminar nasional kedua ini lebih difokuskan pada
penyajian substansi sejarah Indonesia yang terbagi atas enam tema dan
terintegrasi ke dalam enam periode perkembangan sejarah Indonesia.
Keenam tema dan periode tersebut kemudian diorganisasikan
pembahasannya kedalam enam panel diskusi. Masing-masing panel
diskusi, membahas materi sejarah yang berkaitan dengan tema dan
periode masing-masing, sehingga tersusunlah panel-panel diskusi
sebagai berikut; Panel I, membahas makalah yang menyajikan
perkembangan sejarah pada periode pra-sejarah; Panel II, membahas
7
makalah periode Hindu-Buddha di Indonesia; Panel III, membahas masa
perkembangan Islam; Panel IV, membahas masa penjajahan Belanda di
Indonesia, dari masa VOC sampai masa Pemerintahan Hindia Belanda
pada abad ke-19; Panel V, membahas periode pergerakan nasional di
Indonesia; Panel VI, membahas periode pendudukan Jepang sampai masa
Perang Kemerdekaan dan sesudahnya.
3. Seminar ini sesungguhnya bermaksud untuk menindak-lanjuti salah satu
gagasan pokok dari senimar sejarah pada tahun 1957, termasuk gagasan
tentang periodisasi sejarah Indonesia.
4. Suasana politik pada awal tahun 1970-an baik langsung maupun tidak
langsung ikut memengaruhi segi-segi gagasan penyelenggaraan kegiatan
seminar yang berorientasi akademik. Kelima, antusiasme peserta seminar
untuk hadir dan mengikuti persidangan seminar mecerminkan awal
kebangkitan semangat akademik.5
5. Patut dicatat bahwa pada persidangan terakhir, seminar ini telah berhasil
memutuskan dua hal penting. Pertama, keputusan untuk membentuk Tim
Penulisan Sejarah Nasional Indonesia sebagai upaya untuk
merealisasikan gagasan untuk menulis Sejarah Indonesia oleh bangsa
Indonesia yang sesuai dengan pandangan sejarah dari bangsa Indonesia
sendiri. Kedua, sidang seminar juga memutuskan untuk mendirikan
organisasi profesional sejarawan di Indonesia dengan nama Masyarakat
Sejarawan Indonesia (MSI), dan Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo ditetapkan
sebagai Ketua Umum MSI yang pertama. Keputusan pertama tentang
pembentukan Tim Penulisan Sejarah Nasional itu merupakan keputusan
bersejarah bagi pelaksanaan Penulisan Buku Sejarah Nasional Indonesia
6 jilid, yang baru terwujud lima tahun kemudian. Keputusan yang kedua
juga ikut menentukan keberadaan organisasi profesi MSI yang hingga
masa kini masih hidup, tetapi masih perlu dipikirkan tentang kinerja dan
keberlangsungannya di masa mendatang.
5 Penulis pada masa itu ikut menjadi anggota panita penyelenggara bagian teknis di samping ikut menjadi pemakalah
8
Sebaliknya, perlu diakui pula bahwa seminar yang diselenggarakan pada
tahun 1970 itu pada dasarnya juga memiliki banyak kekurangan. Salah satu
diantaranya ialah tentang kualitas makalah yang sebagian besar masih belum
cukup memadai, baik dari segi substansinya mapun dari segi penggarapan
akademiknya. Apa bila diteliti lebih lanjut, kelemahan ini pada dasarnya bisa
dimaklumi, mengingat sebagian besar penulis makalah dan peserta seminar pada
umumnya adalah para sejarawan pemula. Sebagai sejarawan pemula, sudah barang
tentu mereka belum banyak memilki pengalaman yang memadai dalam kegiatan
penelitian dan penulisan sejarah. Banyak di antara mereka baru saja menyelesaikan
pendidikannya dari perguruan tinggi atau institut pendidikan yang diikutinya.
Mereka umumnya juga baru mempraktekkan cara menulis karangan ilmiah dan
disajikan dalam sebuah seminar bersekala nasional. Sebagian lainnya, ada pula yang
datang dari kalangan non akademik dan tidak sepenuhnya terdidik dalam
pendidikan kesejarahan. Mereka datang dan menyajikan makalah semata-mata
karena lebih terdorong oleh antusiasmenya terhadap masalah sejarah Indonesia
dari pada alasan-alasan akademik, seperti yang dimiliki oleh para sejarawan
profesional. Kondisi peserta seminar sejarah pada tahun 1970-an semacam itu pada
dasarnya merupakan cerminan dari kondisi struktural sejarawan Indonesia pada
masa itu, yang pada umumnya masih lemah. Oleh karena itu, tidak mengherankan
apabila seminar itu mendapat kritik, misalnya, dari salah satu surat kabar yang
menyebutkan bahwa kegiatan seminar sejarah pada waktu tersebut mirip sebagai
sebuah ”Pesta Sejarah”.
Akan tetapi, terlepas dari semua kelemahan baik struktural maupun kultural
pada masa itu, seminar ini pada hakekatnya memiliki segi positif yang patut dicatat,
yaitu membangun komitmen tinggi untuk mewujudkan keinginan untuk menyusun
penulisan sejarah Indonesia baru yang dilakukan oleh orang Indonesia sendiri.
Dari uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa
penyelenggaraan kedua seminar sejarah tersebut sesungguhnya dapat dipahami
sebagai manifestasi kesadaran sejarawan Indonesia pada zamannya dalam rangka
untuk mengetahui kembali sejarah masa lampaunya, dan berusaha untuk
9
menyusun kembali sejarah baru yang sesuai dengan tuntutan kelahiran masyarakat
bangsa dan negara bangsa yang baru.
Bagaimanakah tindak lanjut terhadap keputusan-keputusan dari seminar ini,
menarik untuk disoroti, pertama, tentang pelaksanakan pembentukan Tim
Penulisan Sejarah Nasional dan proses kinerja penyusunan Buku Sejarah Nasional,
dan kritik internal dan eksternal terhadap penulisan sejarah nasional. Kedua,
penyusunan Sejarah Indonesia yang mutakhir yang berjudul Indonesia Dalam
Arus Sejarah, yang disusun oleh sebuah Tim Penulisan Sejarah Indonesia.
III. Dari Penulisan Buku Sejarah Nasional Indonesia ke Penulisan Buku
Indonesia Dalam Arus Sejarah: Sebuah Pengalaman Penulisan Sejarah
secara kolektif
Apa yang dapat diambil sebagi pelajaran dari pengalaman penulisan dua
karya penulisan sejarah Indonesia tersebut di atas? Untuk menjelaskan hal tersebut,
maka secara berturut-turut perlu disoroti proses penyesunan kedua buku tersebut
dengan telaahnya masing-masing. Secara ringkas perlu dikemukakan bahwa Panitia
Penulisan Buku Sejarah Nasional Indonesia segera terbentuk, sesuai dengan
keputusan Seminar Sejarah Nasional II 1970. Susunan Panitia Penulisan Sejarah
Nasional tersebut terdiri atas Pimpinan Umum atau Editor Umum, Sekretaris,
Bendahara, dan Ketua Panel atau Editor Jilid sebanyak 6 (enam) Panel atau jilid.
Ketua Umum Panitia Sejarah Nasional atau sekaligus kemudian menjadi Editor
Umum adalah Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nugroho
Notosusanto. Sekretaris Panitia adalah Bambang Sumadio; Bendahara adalah
Suwadji; dan Pembantu Umum adalah Djoko Sukiman. Adapun Ketua Panel atau
kemudian Editor Jilid I; R.P. Soejono, Jilid II; Buchari, Jilid III; Oka Tjandrasasmita,
Jilid IV; F.A. Soetjipto, Jilid V; Abdurrahman Suryomihardjo dan Jilid VI; Nugraho
Notosusanto. Secara berturut-turut masing-masing jilid berjudul sebagai berikut:
1. Jilid I: Jaman Prasejarah di Indonesia.
2. Jilid II, Jaman Kuno (1 M + 1500M);
3. Jilid III, Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam
di Indonesia ( 1500 – 1800);
10
4. Jilid IV, Abad Kesembilanbelas (1800 – 1900);
5. Jilid V, Jaman Kebangkitan Nasional dan Masa Akhir Hindia Belanda
(1900 – 1942); dan
6. Jilid VI, Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia (1943 – 1970).6
Mengenai beberapa segi penting dari penulisan buku ini dapat disimak dari
Kata Pengantar Editor Umum yang terdapat pada Jilid I, antara lain sebagai berikut:
Pertama, bahwa alasan untuk menulis kembali sejarah Indonesia adalah
karena penulisan sejarah yang diwariskan oleh sejarawan Belanda sudah tidak
sesuai lagi dengan keadaan masyarakat Indonesia yang telah mencapai
kemerdekaan. Sudut pandang neerlando-sentrisme yang menguasai karya-karya
penulis Belanda tersebut perlu diganti dengan dengan sudut pandang Indonesia-
sentrisme, ialah pandangan dari sudut penglihatan yang terpusat pada Indonesia
sendiri.7
Kedua, untuk melaksanakan gagasan tentang penulisan kembali sejarah
Indonesia tersebut, sesungguhnya pada tahun 1951 telah dibentuk suatu Panitia
Sejarah Nasional yang bertugas menyusun kitab (sic.!) Sejarah Nasional Indonesia
dengan dasar luas dan jiwa nasional bersendi pada ilmu pengetahuan dipandang
dari sudut politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan mulai zaman purba sampai
sekarang. Kondisi pada waktu itu rupanya belum memungkinkan untuk
melaksanakan tugasnya. Pada sekitar 1963, sesungguhnya juga telah dibentuk
panitia untuk melaksanakan penulisan kembali, tetapi juga gagal karena terjadinya
krisis politik dan ketegangan sosial pada masa itu. Baru pada Seminar Nasional
tahun 1970, diusulkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) agar
diangkat sebuah Panitia yang bertugas untuk menulis kembali sejarah Indonesia.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri P dan K No. 0173/1970, tanggal 4 April 1970
maka terbentuk apa yang disebut Panitia Penyusun Buku Standard Sejarah Nasional
Indonesia. Panitia bertugas menyusun buku Sejarah Nasional Indonesia yang
berdasarkan Pancasila yang dapat dipakai di Perguruan Tinggi dan sekaligus akan
6 Lihat Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notosusanto (eds.), Sejarah Nasional Indonesia, 6 Jilid. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975 7 Lihat ”Kata Pengantar Editor Umum”., dalam Sartono, dkk, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid I. .ibid
11
dijadikan bahan text-book sejarah untuk Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas.8
Ketiga, dinyatakan bahwa penulisan kembali sejarah Indonesia merupakan
bagian dari proses dekolonisasi dalam bidang politik bagi bangsa Indonesia setelah
mencapai kemerdekaan. Penyusunan kembali sejarah Indonesia tersebut, menurut
Sartono Kartodirjo mencakup empat hal;
1. Bahwa sejarah Indonesia yang wajar adalah sejarah yang
mengungkapkan ”sejarah dari dalam” dimana bangsa Indonesia sendiri
memegang peranan pokok.
2. Proses perkembangan masyarakat Indonesia hanya dapat diterangkan
sejelas-jelasnya dengan menguraikan faktor atau kekuatan yang
mempengaruhinya, baik ekonomis, sosial maupun politik atau kultural.
3. Perlu ada pengungkapan aktivitas dari berbagai golongan masyarakat,
tidak hanya para bangsawan atau kesatria, tetapi juga dari kaum ulama
dan petani serta golongan-golongan lainnya.
4. Untuk menyusun sejarah Indonesia sebagai suatu sintesis, maka prinsip
integrasi perlu dipergunakan untuk mengukur seberapa jauh integrasi itu
dalam masa-masa tertentu telah tercapai.
Keempat, dinyatakan dengan jelas bahwa penulisan sejarah pada tahun tujuh
puluhan seyogyanya didasarkan atas beberapa anggapan tentang perkembangan
masyarakat Indonesia serta sejarahnya. Anggapan pertama, mencakup bahwa
proses integrasi memuat pengertian bahwa ada kelangsungan dan kesatuan-
kesatuan masyarakat dan kebudayaan lokal sampai nasional. Ini berarti bahwa
sejarah lokal atau daerah perlu ditulis dalam perannya dalam kesatuan besar.
Anggapan kedua, bahwa perubahan sosial dan kebudayaan merupakan persoalan
yang kompleks. Anggapn ketiga bahwa setiap kesatuan etnis serta kebudayaannya
perlu dipahami menurut sumbangan yang diberikan kepada sejarah Indonesia.
Kelima, ketua editor umum ini menyatakan bahwa tidak seorangpun anggota
panitia penulisan ini yang mempunyai anggapan bahwa karya penulisan Sejarah
8 Kata Pengantar Editor Umum”, dalam Sartono, dkk, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid I. .ibid
12
Nasional Indonesia ini merupakan suatu standard. Hal ini menegaskan bahwa
sesungguhnya panitia tidak setuju dengan istilah ”buku standard”. Istilah ini berasal
dari pemerintah bukan dari kehendak panitia.
Keenam, terdapat pernyataan bahwa untuk mempelajari sejarah yang lebih
mendalam serta terperinci sudah barang tentu diperlukan karya-karya khusus.
Buku ini dinyatakan hanya membatasi diri pada bagian-bagian dari perkembangan
sejarah yang penting, terutama dalam hubungannya dengan proses integrasi serta
menjelaskan struktur dan sistim masyarakat sekarang. Diakui pula bahwa sejarah
yang disajikan di dalam buku ini tidak meliputi semua bidang kehidupan bangsa
Indonesia di masa lampau, termasuk bidang seni dan sejarah kebudayaan. Hal ini
bisa ditangkap bahwa pihak panitia sesungguhnya tidak bermaksud untuk
menjadikan buku ini menjadi satu-satunya yang harus dipergunakan untuk
mempelajari sejarah Indonesia.
Ketujuh, panitia mengakui bahwa keterbatasan karya yang ditulis pada tahun
1970-an itu juga atas dasar belum cukup tersedianya penelitian, pengkajian dan
penulisan dari sudut pandang baru pada waktu penulisan ini dimulai. Bahkan
panitia mengakui secara jujur bahwa penulisan buku ini tidak didasarkan atas
penelitian yang asli dan mendalam.
Kedelapan, panitia penulisan sejarah nasional Indonesia ini juga mengakui
bahwa tidak ada penulisan sejarah yang tidak memuat sifat-sifat subyektif.
Meskipun dalam penulisannya dinyatakan telah diusahakan untuk menggunakan
metodologi ilmu sejarah yang harus dipenuhi, termasuk kritik sejarah, namun tidak
menjamin hasilnya akan mencapai obyektivitas sepenuhnya.
Kesembilan, menarik untuk dicatat pernyataan yang menyebutkan bahwa
Sejarah Nasional seperti yang diskonseptualisasikan dalam buku ini ”sama sekali
tidak menyangkut pengertian bahwa sejarah bangsa Indonesia harus digambarkan
dalam serba keagungannya belaka sehingga mengorbankan obyektivitas demi
penggambaran yang demikian itu”.9
9 ”Kata Pengntar Editor Umum”, ibid.
13
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dari sejak awal pihak
penyelenggara penulisan sejarah tersebut di atas sesungguhnya telah menyadari
dan mengakui tentang keterbatasan dan kelemahan dari hasil penulisannya.
Timbulnya respon, reaksi dan kritik terhadap hasil penulisan Sejarah Nasional pada
masa kemudian, dengan demikian sesungguhnya merupakan hal yang logis dan
wajar karena adanya berbagai keterbatasan dan kelemahan penulisan yang
sebelumnya sudah disadari oleh panitia penyelenggaranya.
Apabila dicermati, kelamahan-kelemahan dalam penyelenggaraan penulisan
sejarah nasional pada tahun 1970-an itu pada hakekatnya dapat dikemukakan
sebagai berikut.
1. Kelemahan yang timbul dari sifat penulisan kolektif. Penulisan Sejarah
Nasional Indonesia pada tahun 1970-an yang melibatkan banyak penulis
dari latar belakang dan kapasitas yang berbeda-benda, banyak
menimbulkan kesulitan dan permasalahan dalam pelaksanaan
penyelenggaraannya. Visi, perspektif dan kerangka pemikiran konseptual
yang digariskan oleh panitia penyelenggara, dalam prakteknya tidak
semuanya bisa dipahami dan dilaksanakan oleh masing-masing penulis.
2. Komitmen, integritas dan kedisiplinan setiap penulis tidak bisa
sepenuhnya bisa dijamin. Akibatnya, tidak jarang beberapa penulis pada
beberapa panel tidak bisa memenuhi tugasnya. Beberapa penulis
terpaksa harus digantikan orang lain, pada saat-saat penulisan harus
berakhir, karena penulis gagal menyelesaikan tulisannya.
3. Dunia kehidupan politik nasional juga ikut menjadi kendala dalam
penulisan sejarah pada waktu itu. Suasana politik awal Orde Baru pada
1970-an dalam batas tertentu masih kurang kondusif dalam kebebasan
akademik. Hal ini terjadi, ketika salah seorang penulis pada suatu jilid
terkena sangsi akibat keterlibatannya dalam menentang kebijakan
pemerintahan Orde Baru, maka tulisannya pada buku tersebut ikut
terkena sangsi, yaitu dicabut. Sudah barang tentu hal itu menimbulkan
keresahan dan pertanyaan.
14
4. Kesalahan pengambilan kebijakan dalam menghadapi keterbatasan
waktu penulisan, telah menjadi penyebab timbulnya permasalahan serius
dalam sejarah penulisan sejarah nasional pada tahun 1970-an. Hal ini
terjadi ketika panitia penyelenggara dituntut untuk menyerahkan hasil
pekerjaannya kepada pihak pemerinrtah karena batas waktu programnya
telah berakhir. Dalam situasi yang mendesak itu, salah seorang anggota
pimipinan Editor Umum mengambil keputusan untuk menyerahkan hasil
penulisan itu kepada pihak pemerintah dalam bentuk yang belum
sempurna sekedar untuk memenuhi target waktu yang ditentukan.
Naskah penulisan yang belum sepenuhnya sempurna itu segera
diterbitkan dalam bentuk buku edisi pertama Sejarah Nasional
Indonesia, 6 jilid, pada tahun 1975. Sebagai akibatnya, penerbitan buku
ini menuai protes keras dari pimpinan dan anggota penulis pada suatu
buku/jilid yang dirasa belum layak terbit, antara lain ialah jilid V. Protes
tersebut diteruskan dengan melakukan aksi pemboikotan dan tuntutan
pencabutan nama-nama penulis yang merasa tidak puas terhadap
kebijakan tersebut dalam buku yang diterbitkan. Peristiwa ini telah
menyulut konflik internal yang berkepanjangan. Editor Umum Sartono
Kartodidjo, menyatakan bahwa kelahiran Buku Sejarah Nasional II pada
tahun itu dibaratkan sebagai seorang “Bayi yang Lahir Cacat”, dan
kemudian ia menyatakan pengunduran dirinya sebagai Ketua Umum
atau Editor Umum pada penerbitan buku selanjutnya. Pada penerbitan
beberapa tahun berikutnya nama editor umum hanya tercantum Marwati
Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Peristiwa ini sudah
barang tentu sangat disayangkan karena telah menyebabkan pecahnya
suasana hubungan harmonis antara para sejarawan senior di Indonesia
selama beberapa waktu yang lalu.
5. Revisi-revisi buku Sejarah Nasional Indonesia beberpa kali telah
dilakukan, terutama sesudah tahun 1977, namun revisi tersebut bersifat
parsial, bukan substantif, dan tidak menyeluruh, sehingga kurang berarti.
15
6. Terdapat petunjuk bahwa penulisan Sejarah kontemporer pada Sejarah
Nasional Indonesia tampak paling lemah dan terbatas. Secara substantif
maupun secara akademik penggarapan penulisan periode ini kurang
memadai. Sangat dirasakan penulisan lebih bersifat sejarah politik yang
dangkal dan sempit, sehingga tidak menarik dan lemah.
7. Kritik dan wacana yang ditujukan kepada penulisan Sejarah sejak tahun
1970-an hingga yang mutakhir cenderung lebih banyak ditujukan pada
segi-segi yang berkaitan dengan Sejarah Politik. Terkesan seolah-olah
sejarah Indonesia hanyalah sejarah politk. Wawasan Sejarah Sosial,
Sejarah Ekonomi, Sejarah Kebudayaan dan dimensi sejarah lain kurang
mendapat perhatian. Oleh karena itu beralasan diperlukan pemikiran-
pemikiran baru yang lebih tepat.10
Apa yang dapat ditarik dari pengalaman di atas antara lain ialah bahwa
perkembangan penulisan sejarah Indonesia pada tahun 1970-an pada satu sisi telah
menunjukkan sebagai suatu masa awal pertumbuhan yang cukup berarti, yaitu
berhasil melahirkan penulisan sejarah Indonesia yang ditulis oleh para sejarawan
Indonesia, yaitu oleh generasi sejarawan angkatan 1970-an. Akan tetapi, pada sisi
lain, hasil kinerja sejarawan pada masa itu belum cukup memadai, karena belum
mampu mengatasi hambatan dan kendala yang dihadapi pada situasi zamannya.
Kendala dan hambatan tidak hanya datang dari faktor-faktor struktural dan
kultural akan tetapi juga politik. Sebagai akibatnya sejarawan pada generasi masa
itu belum sepenuhnya mampu mewujudkan sebuah penulisan historiografi
Indonesia yang secara ideal seperti yang dicita-citakan. Sebuah penulisan
historiografi lengkap, menyeluruh, luas dan mendalam yang sesuai dengan arus
perubahan dan perkembangan sejarah yang dialami masyarakat Indonesia modern
masih menjadi harapan.
Sekarang bagaimanakah halnya dengan penulisan buku Sejarah Indonesia
yang ditulis oleh generasi 2000-an, sesudah masa Reformasi? Menarik untuk
10 Mengenai ini lihat, Henk Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (eds.) Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-KITLV-Jakarta, 2008; dan lihat pula Bambang Purwanto: Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!. (Yogyakarta: Ombak, 2006)
16
direnungkan kembali bahwa keberhasilan yang telah pernah dicapai sekitar tahun
1970-an tersebut di atas, tampaknya tidak diikuti dengan keberhasilan dalam
pengembangan penulisan sejarah Indonesia pada masa-masa berikutnya. Tampak
adanya kelambanan dan ketersendatan dalam proses penyempurnaan penulisan
Sejarah Indonesia secara berkesinambungan.
Pada pihak lain, sesungguhnya kita telah menyaksikan terjadinya
peningkatan perkembangan pendidikan dalam bidang ilmu sejarah pada periode
pasca-1970-an, yang diikuti peningkatan kegiatan penelitian dan kajian sejarah
Indonesia. Berbagai studi pada tingkat magister dan doktoral dalam bidang sejarah
juga menunjukkan peningkatan dan penyebaran yang mulai merata baik dalam
tingkat lembaga perguruan tingginya maupun daerahnya. Perkembangan semacam
ini semestinya telah ikut meningkatkan potensi kualitas sumber daya sejarawan
yang ada di Indonesia.
Lahirnya upaya penulisan kembali Sejarah Indonesia yang mutakhir pada
sekitar 2003/2004 pada batas tertentu dapat diartikan sebagai manefestasi dari
perkembangan tersebut terakhir. Upaya tersebut telah berhasil dilaksanakan,
setelah Tim Penulisan Sejarah yang sudah beberapa waktu terbentuk telah
menjadwalkan penyelesaian tugasnya, pada akhir 2007, dan penerbitan
keseluruhan hasil penulisannya pada tahun 2008, dan semula direncankan sudah
siap edar pada tahun 2009.
Penulisan Sejarah Indonesia baru ini diberi judul Indonesia Dalam Arus
Sejarah, Berbeda dengan sebelumnya buku ini terdiri dari 8 jilid, dan diterbitkan
oleh Penerbit Ikhtiar Baru pada 2008/2009. Seperti halnya penulisan Sejarah
Nasional Indonesia pada tahun 1970-an, penyusunan buku ini juga disusun oleh
sebuah tim penulisan yang bekerja secara kolektif, dan secara kuantitatif
mengerahkan lebih dari 70-an penulis, yang terdiri dari sejarawan senior dan
yunior. Banyak dari penulis yang terlibat dalam penulisan buku yang ini dapat
digalongkan sebagai sejarawan generasi tahun 2000-an atau generasi Reformasi.
Secara kebetulan penerbitan buku ini terjadi pada masa Pasca-reformasi.
Pertanyaannya bagamanakah hasil penulisan pada masa Pasca-reformasi ini?
17
Mengingat belum adanya kesempatan untuk menelaah hasil penerbitan buku
tersebut di atas secara mendalam, maka yang dapat dikemukakan di sini hanyalah
sebuah ulasan singkat, antara lain sebagai berikut:
1. Tujuan pokok penulisan buku ini antara lain adalah ingin
menyempurnakan bentuk penulisan sejarah Indonesia yang lebih lengkap
dan menyeluruh dan mencakup periode yang lebih panjang, yaitu dari
masa prasejarah, hingga masa paling mutakhir, yaitu masa reformasi.
Mengingat tujuan pokoknya adalah penyempurnaan, maka tidak tampak
adanya bentuk perubahan yang sangat signifikan. Pendalaman dan
perluasan substansi memang tampak pada sejumlah jilid tertentu. Dalam
segi periodisasi, misalnya, masih meneruskan pada pola periodisasi yang
berlaku sebelumnya, yakni delapan periode;
a. Jilid I Masa Prasejarah
b. Jilid II Masa Hindu-Buddha
c. Jilid III Masa Islam
d. Jilid IV Masa Penjajahan dan Perlawanan
e. Jilid V Masa Gerakan Kebangsaan
f. Jilid VI Masa Perang dan Revolusi
g. Jilid VII Masa Pascarevolusi
h. Jilid VIII Masa Reformasi dan Akibatnya 11
2. Hal kedua yang perlu dicermati pada penulisan buku ini adalah, adanya
maksud untuk menjawab segala kritik yang telah dilontarkan pada
penulisan buku sejarah Indonesia sebelumnya, sehingga diperlukan
adanya perubahan pada segi-segi tertentu. Salah satu segi ialah adanya
perubahan untuk menggunakan konsep “Sejarah Indonesia” yang lebih
memuat wawasan penulisan yang lebih luas mencakup baik dari segi
batasan ruang maupun substansinya dari pada konsep “Sejarah Nasional”
yang dirasakan lebih terbatas pada penekanan pada lingkup geo-politik
dan nasion. Sekalipun sesungguhnya keduanya tidak harus terbatas pada
11 Ulasan ini didasarkan atas catatan pribadi sebagai anggota Tim Penulisan Buku Sejarah Indonesia pada tahun 2003-2008
18
batasan kaku semacam itu. Maka dari itu penerbitan buku tersebut dipilih
judul yang dirasa lepat sesuai dengan perkembangan yang berlangsung
pada masa kini adalah Indonesia Dalam Arus Sejarah.
3. Dibanding dengan penulisan sejarah sebelumnya, penulisan sejarah yang
mutakhir ini, tampak selangkah lebih maju, yaitu bahwa banyak tulisan
yang disajikan berasal dari hasil penelitian atau kajian penulisnya, baik
itu berasal dari hasil penelitian thesis maupun penelitian disertasi.
4. Penyelenggaraan penulisan mutakhir ini pada dasarnya juga tidak bisa
lepas dari kelemahan dan kekurangannya. Hambatan-hampatan teknis
organisasional, pengelolaan, dan ketergantungan pendanaan, masih
menjadi faktor yang melemahkan penyelenggaraan penulisan. Dari segi
ideologi politik suasana penulisan cukup memiliki kebebasan dan cukup
kondusif. Akan tetapi, hasil capaian penulisan mungkin masih terasa
masih belum maksimal, sehingga belum bisa diharapakan dapat
memberikan kepuasan yang memadai kepada semua pihak.
Belajar dari pengalaman tersebut di atas maka perlu kiranya dipikirkan
tentang pendekatan-pendekatan baru yang lebih tepat dalam pengkajian dan
penulisan sejarah Indonesia. Pemikiran Sejarah Indonesia sendiri masih perlu
secara terus-menerus dikembangkan dan dimantapkan sesuai dengan
perkembangan zamannya.
IV. Menggagas Kembali Spektrum Kajian Sejarah di Indonesia
Pengembangan jenis kajian semacam itu sesungguhnya telah berlangsung
lama sejajar dengan perkembangan kajian sejarah modern dan sejarah kritis. Selain
Sejarah politik, jenis-jensi Sejarah Sosial, Sejarah Ekonomi, Sejarah Sosial-Ekonomi
dan jenis-jenis kajian lainnya pada hakekatnya secara langsung maupun tidak
langsung telah mulai diperkenalkan di Indonesia sejak sekitar tahun 1960-an,
ketika kajian ilmu sejarah mulai banyak dibuka di perguruan-perguruan tinggi.
Namun dalam perkembangannya, kajian sejarah semacam itu pada dsarnya masih
belum cukup meluas dan memadai sampai pada masa kini. Sementara iru,
pengembangan penelitian dan penulian sejarah Indonesia, seperti yang telah
19
diuraikan di atas, juga belum memuaskan. Tepatlah apabila pada masa kini kita
memikirkan kembali untuk melakukan pengembangan jenis-jenis kajian tersebut
secara serius dan intensif. Manfaat dari perluasan dan pengembangan berbagai
jenis kajian sejarah tersebut diharapkan akan dapat membantu dalam memperluas
dan mempertajam cakupan cakarawa kajian sejarah Indonesia yang lebih
komprehensif. Diharapan penggarapan kajian sejarah menjadi semakin meluas,
mendalam, merinci dan menyeluruh, sehingga penggambaran masyarakat Indonesia
mejadi semakin jelas, mencakup, kaya dan bulat. Kegagalan, hambatan, dan
kelemahan penulisan sejarah Indonesia seperti yang tersebut di atas diharapkan
akan dapat diatasi.
Untuk itu, maka perlu dipertimbangkan kembali pengembangan bidang
telaah sejarah tersebut di atas di Indonesia , antara lain sebagai berikut:
1. Ada baiknya spektrum telaah kajian Sejarah Sosial perlu diperluas dan
dikembangkan secara komprehensif, agar mengimbangi telaah Sejarah
Politik yang telah lebih dahulu populer dan berkembang. Hal ini penting,
mengingat, telaah Sejarah Sosial atau disebut juga “Sejarah minus-
Politik”, atau “Sejarah Masyarakat”, memiliki jangkauan sasaran kajian
yang lebih luas dari pada sasaran Sejarah Politik. Obyek telaah sejarah
ini juga memiliki kedekatan dengan obyek telaah bidang ilmu-ilmu
sosial (social sciences) dan bidang telaah ilmu-ilmu kebudayaan atau
kemanusiaan (humanities/humaniora), sehingga pengembangan
kerangka teoretis-metodologis dan pendekatan interdisipliner dan multi-
dimensional yang selama ini telah diperkenalkan menjadi lebih layak
untuk dikembangkan lebih lanjut.
2. Telaah Sejarah Sosial-Ekonomi dan Sejarah Ekonomi juga tidak kalah
pentingnya untuk dikembangkan, mengingat persoalan sosial dan
ekonomi dalam perkembangan masyarakat Indonesia menduduki tempat
penting dari masa lampau hingga masa kini. Telaah sejarah ini pada
dasarnya juga telah memiliki tempat dalam telaah sejarah Indonesia,
sekalipun belum secara luas dikembangkan. Relevansinya dengan telaan
sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia pada masa kini juga cukup
20
besar. Lebih-lebih dengan perkembangan kebijakan otonomi daerah
telaah sejarah ini dapat memiliki tempat yang layak. Oleh karena itu
bersama dengan pengembangan bidang sejarah lainnya telaah sejarah ini
juga perlu mendapat prioritas.
3. Sejarah Pemikiran, Sejarah Kebudayaan dan Sejarah Keagamaan pada
masa kini tampak mulai mendapat tempat dan perhatian. Di lingkungan
Kajian Islmic Studies dan Studi Lintas Agama dan Kebudayaan, seperti
yang ada di Universitas Negeri Islam (UIN) atau Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) dan ICRS Yogya (Indonesian Consortium for Religious
Stuidies) di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, telaah
Sejarah Pemikiran dan Sejarah Keagamaan mendapat perhatian yang
cukup baik. Sementara di lingkungan .perguruan tinggi lainnya telaah ini
belum cukup mendapat perhatian, sehingga dengan demikian telaah
mengenai hal tersebut juga perlu mendapat ruang cukup.
4. Dewasa ini telaah Sejarah Perkotaan mulai mendapat perhatian dan
tempat yang cukup baik, diikuti telaah Sejarah Pedesaan yang
sebelumnya telah pernah berkembang. Sebagai kajian komunitas,
relevansi kajian ini bagi perkembangan sejarah Indonesia cukup lekat,
mengingat komunita desa dan kota memiliki historitas yang cukup
faktual. Telaah Sejarah Perkotaan dan Pedesaan dapat bersinerji dengan
Sejarah Sosial, sehingga memungkinkan untuk dikembanghkan lebih
komprehensif. Demikian pula Kajian Sejarah Perkotaan dan Sejarah
Pedesaan, merupakan kajian komunitas yang penting untuk
dikembangkan karena sangat relevan dengan kajian tentang perubahan
masyarakat di Indonesia.
5. Telaah Sejarah Agraria dan Sejarah Maritim juga merupakan kajian yang
masih membutuhkan perhatian dan perluasan, mengingat relevansinya
dengan persoalan-persoalan kebijakan masa kini cukup penting. Kedua
telaah ini disinergikan dengan telaah sejarah lainnya sehingga
memungkinkan dapat dikembangkan lebih luas.
21
6. Tidak kurang pentingnya untuk dipikirkan kembali tentang Sejarah Lokal
di Indonesia. Demikian juga dengan Sejarah Ilmu Pengetahuan, Teknologi
dan Sejarah Lingkungan. Telaah Sejarah Lokal pada dasarnya sudah
cukup mendapat tempat, karena sudah dikenal dan berkembang
semenjak sekitar 1970-an, Seminar Sejarah Lokal, yang sejajar dengan
penyelenggaraan Sejarah Nasional pada waktu itu, telah ikut menjadikan
telaah Sejarah Lokal cukup kembang. Apabila Sejarah Lokal ingin
dikembangkan kembali tidak akan mengalami kesulitan dalam
penanganannya. Adapun telaah Sejarah ilmu Pengetahuan dan Teknologi,
dan Sejarah Lingkungan terasa belum mendapat perhatian dan tempat
yang penting dalam kajian sejarah Indonesia. Sementara esensi dari
kajian ini sangat penting dalam perkembangan kehidupan masa kini,
sehingga telaah kajian ini sangat memungkinkan untuk ditawarkan untuk
dikembangkan dalam telaah sejarah Indonesia.
Apa yang dapat dipetik dari uraian di atas, antara lain adalah bahwa
spektrum telaah sejarah yang bermacam-macam tersebut di atas dapat
menawarkan kepada kita untuk memilih salah satu bidang telaah sejarah yang tepat
untuk dikembanhgkan menjadi sebuah konsentrasi unggulan pengembangan kajian
sejarah yang sesuai dengan komndisi kita masing-masing. Melalui konsentrasi
telaha yang sepesifik ini diharapakan akan dapat mencapai hasil kajian sejarah yang
optimal.
Untuk menggagas dan menemukan kembali pendekatan sejarah yang lebih”
cerah” menarik untuk disimak karya Linda Tuhiwai Smith yang berjudul
Decolonizing Methodologies, Reserach and Indigenous Peoples, terbitan 1999
/200212. Buku Linda Smith ini mengetengahkan model metodologi kritis tentang
penelitian orang pribumi yang dilakukan oleh orang pribumi sendiri melalui
perpektif dan pandangan orang pribumi sendiri. Penyusunan metodologi ini
12 Linda Tuhiwai Smith, Decolonizing Methodologies, Research and Indigenous Peoples. (London & New York, Dunedin:
Zed Books Ltd.-University of Otago Press, 2002).
22
dimaksudkan sebagai sebuah kritik dan penolakan terhadap dominasi metodologi
ilmiah para peneliti Barat terhadap orang pribumi yang terjajah didasarkan atas
perspektif dan pandangan kolonialisme dan imperialisme Barat. Secara tegas ahli
penelitian pribumi Maori New Zealand ini menginginkan agar sejarah masyarakat
orang Maori harus ditulis dan ditulis kembali oleh orang Maori sendiri melalui
pandangan dan tujuan orang Maori sendiri13. Apabila dicermati apa yang
dirumuskan Linda pada masa kini itu, sesungguhnya tidak jauh dari apa yang telah
dilakukan oleh para sejarawan Indonesia pada tahun 1950-an dalam upaya untuk
menulis kembali sejarah Indonesia oleh orang Indonesia sendiri melalui pandangan
orang Indonesia, seperti yang telah dikemukakan di atas.
Menyikapi kembali upaya penuiisan sejarah Indonesia baru yang lebih
sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia pada masa kini, maka menarik
untuk dipikirkan kembali tentang pencerahan wawasan pendekatan sejarah yang
sesuai dengan akar pandangan dunia masyarakat Indonesia sendiri. Beberapa
kemungkinan wawasan pendekatan sejarah Indonesia yang dapat dikembangkan,
antara lain sebagai berikut.
1. Wawasan pendekatan sejarah Indonesia berbasis pada konsep “Jagad
Indonesia” (“Indonesian World”). Wawasan pendekatan sejarah ini
antara lain menempatkan Indonesia sebagai berikut.
a. Secara fisik, dunia Indonesia atau ”jagad” Indonesia dapat disebut
sebagai sebuah kesatuan ikatan geografis-ekologis-klimatologis
kepulauan (archipelago), dengan ragam jenis sumber daya alam, baik
flora, maupun fauna dan tambang beserta lingkungan kehidupan
Agrarian-Maritim, Daratan-Lautan, Desa-Kota, Dataran Tinggi-
Dataran Rendah, dan Hulu-Hilir yang menjadi basis dinamika
kehidupan sejarah masyarakat penghuninya.
13 Linda Tuhiwai Smith, Decolonizing Methodologies, Ibid. hal. 28
-29.
23
b. Secara non-fisik ”jagad” Indonesia juga berisi kesatuan-kesatuan
masyarakat manusia yang hidup dalam struktur dan sistem kesatuan
komunitas kehidupan manusia baik dalam bentuk desa, kota maupun
negara, dan pada pihak lain, hidup dalam ikatan kesukuan atau
etnisitas, kelompok atau golongan sosial, keagamaan, tradisi, bahasa,
daerah, dan sub-kultur.
c. Secara geo-politik jagad Indonesia, di dalamnya terdapat cakupan
keberadaan ikatan kesatuan masyarakat bangsa (nation) dan negara
bangsa (nation-state) sebagai hasil proses dinamika sejarah dan
kesejarahannya.
d. Secara historis Jagad Indonesia pada hakekatnya dapat dipandang
sebagai sebuah bangunan dunia kehidupan hasil proses interaksi,
transformasi dan integrasi dinamis antara faktor-faktor geo-eko-
sosio-kultural dan historis yang terbentuk melalui rentangan waktu
panjang dari masa awal hingga masa mutakhir.
2. Wawasan pendekatan sejarah Indonesia berbasis pada konsep
“InsaniKeindonesiaan”, (Kemanusiaan Indonesia) (“Indonesian
Humanity”).
Konsep “Insani Keindonesiaan ” atau Insan Indonesia yang memiliki
watak dan ciri ”keindonesiaan”” yang dimaksud di sini antara lain sebagai
berikut.
a. Sejarah Indonesia adalah sejarah “insan Indonesia”, yaitu sejarah
manusia Indonesia yang memiliki naluri kemanusian, kearifan,
kecerdasan dan ketangguhan (survival) dalam kehidupan perjalanan
sejarahnya dari masa lampau hingga masa kini.
b. Manusia Indonesia tersebut merupakan pelaku dan penggerak sejarah
Indonesia.
c. Proses sejarah Indonesia perlu dipandang sebagai sumber
terbentuknya bangunan dunia kesatuan kehidupan yang bercorak
“keindonesiaan” sebagai hasil proses interaksi, transformasi dan
integrasi dinamis antara faktor-faktor geo-eko-sosio -kultural dan
24
historis dari masyarakat Indonesia dalam rentangan waktu yang
panjang.
d. Bahasa, sejarah, masyarakat, ikatan teritorial, geopolitik, arus
transfomasi budaya, pluralitas, multikulturalitas, dan unitas
merupakan unsur-unsur pokok yang mendasari proses
dinamismenuju Keindonesiaan-Indonesia.
3. Wawasan pendekatan sejarah berbasis konsep ‘Madaniah Indonesia”.
Sejarah Indonesia adalah sejarah yang bergeraak menuju terwujudnya
masyarakat madaniah (civil society) Indonesia, yaitu suatu masyarakat
yang demokratis berbasis pada nurani budaya Indonesia.
4. Wawasan pendekatan sejarah dengan konsep “Ajeg” - “Owah-Gingsir”
(Continuity and Change).
Ini menjelaskan bahwa sejarah Indonesia memerupakan bagian dari
sejarah universal mengenal perubahan dan kelangsungan. Konsep
“Ajeg”, ‘Langgeng” dan ‘”Owah-Gingsir” telah menjadi kesadaran
sejarah masyakat lokal, termasuk dalam hal ini masyaralkat Jawa.
5. Wawasan pendekatan sejarah berbasis pada konsep “Wawasan “NKRI”
Pendekatan sejarah berbasis konsep “Wawasan NKRI”, ini sebenarnya
menjadi bagian dari konsep “Keindonesiaan” atau konsep lainnya, yang
lebih dekat dengan kajian Sejarah Politik Indonesia, Sejarah
Kewarganegaraan (civic history), dan kajian Sejaraah Ketahanan
Nasional, atau yang sejenis.
6. Wawasan pendekatan sejarah berbasis pada konsep ”keagamaan” di
Indonesia”.
Wawasan pendekatan sejarah yang dimaksud di sini, terutama adalah
wawasan pendekatan kajian sejarah agama-agama atau sejarah
keagamaan di Indonesia, yang perlu dilihat dari perspektif pluralitas
keagamaan, yang sesuai dengan alam kehidupan keagaman Indonesia
yang bersifat plural. Sudah barang tentu ini penting bagi mereka yang
memilih kajiannya pada bidang kajian sejarah keagamaan di Indonesia.
V. Penutup
25
Semoga uraian di atas dapat bermanfaat bagi kita untuk merenungkan
kembali dan selanjutnya menggas kembali tentang bagaimana sebaiknya penulisan
sejarah Indonesia secara berkelanjutan dapat disempurnakan. Memetik
pengalaman dari dinamika penulisan sejarah Indonesia dari tahun 1970-an hingga
masa mutakhir tersebut di atas, kiranya masih perlu adanya pengembangan dan
pemberdayaan spektrum wawasan kajian sejarah yang lebih luas, tajam, kaya, dan
menyeluruh agar mampu menjelaskan sejarah Indonesia yang lebih lengkap dan
jelas. Demikan juga menarik untuk di kembangkan dan diberdayakan wawasan
pendekatan sejarah “Jagad Indonesia” dan “Insan Keindonesiaan”-di Indonesia,
agar dapat menyegarkan dan mencerahkan kajian sejarah Indonesia. Dengan
demikian, diharapkan penulisan historiografi Indonesia dapat berkembang dengan
baik sesuai dengan perkembangan zaman.
Yogyakarta, 30 Desember 2009