Mengapa Gameloft Memilih Yogyakarta?

12
TUGAS MATA KULIAH PERMASALAHAN PERENCANAAN DAN PEMBANGUNAN (PWK601) Dosen Pengampu Dr.-Ing. Prihadi Nugroho, ST, MT, MPP. MENGAPA GAMELOFT MEMILIH YOGYAKARTA? Disusun oleh: BRAMANTIYO MARJUKI 21040116410036 MAGISTER PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2016

Transcript of Mengapa Gameloft Memilih Yogyakarta?

TUGAS MATA KULIAH

PERMASALAHAN PERENCANAAN DAN PEMBANGUNAN

(PWK601)

Dosen Pengampu Dr.-Ing. Prihadi Nugroho, ST, MT, MPP.

MENGAPA GAMELOFT MEMILIH YOGYAKARTA?

Disusun oleh:

BRAMANTIYO MARJUKI

21040116410036

MAGISTER PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTA

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2016

1

I. PENDAHULUAN

I.1 Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), Cara Produksi, dan

Kedekatan Antar Wilayah

Kedekatan antar wilayah (proximity) sering didefinisikan sebagai kesamaan karakteristik

dan derajat kedekatan dari komponen wilayah (actors). Secara umum, kedekatan ini merupakan

faktor yang dianggap penting untuk memungkinkan terjadinya berbagai bentuk interaksi di

dalam wilayah dan antar wilayah. Hansen (1999) berpendapat bahwa kedekatan merupakan hal

yang penting agar interaksi dan pertukaran pengetahuan dapat terjadi. Adanya perkembangan

TIK dan komunikasi dalam beberapa puluh tahun terakhir telah menyebabkan perubahan terkait

bagaimana manusia berinteraksi, baik dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya,

termasuk hubungan antar wilayah. Pengaruh perkembangan TIK yang paling nyata terhadap

wilayah adalah, bahwa jarak dan waktu yang merupakan faktor penentu kedekatan antar wilayah

dalam konsep spasial klasik menjadi tidak berarti lagi (Talvitie, 2002). TIK memungkinkan

informasi dapat disebarkan dan komunikasi dapat dilakukan dimana saja serta dilaksanakan

setiap saat (Graham, 1998).

Pengaruh TIK dalam kedekatan antar wilayah dapat menyebabkan terjadinya sentralisasi

dan desentralisasi. Wujud sentralisasi antara lain peran kota sebagai lokasi industri berbasis TIK

akan semakin besar karena inovasi dari tenaga kerja kreatif yang menguasai teknologi akan

berakumulasi disini (Talvitie, 2002). Sementara desentralisasi menurut Mitchell (1999) dalam

Talvitie (2002), akan hadir dalam wujud dikotomi perkotaan dan perdesaan yang semakin

berkurang karena pelayanan dan jasa akan tersedia juga di daerah perdesaan. Penduduk akan

mulai tinggal kembali di perdesaan karena pertimbangan kondisi lingkungan yang lebih baik dan

harga rumah yang lebih murah. Weiner dan Brown (1997) dalam Talvitie (2002) menyebut

fenomena ini sebagai “rurbania”.

Terkait dengan produksi barang dan jasa, TIK berperan banyak dalam perubahan cara

berproduksi dan melayani, dimana kini keduanya dilakukan secara otomatis, yang berimplikasi

pada efektivitas dan efisiensi produksi (Talvitie, 2002). Selain itu juga muncul jenis produk baru

dari hasil perkembangan TIK, yaitu produk dijital online. Produk dijital online menurut Choi et al

(1997) dalam Le dan Rothlauf (2008) adalah barang dan jasa yang sebagian atau secara penuh

ditawarkan dan dijual melalui internet. Keberadaan produk dijital ini memunculkan model bisnis

dan perusahaan baru yang berfokus pada penyediaan konten digjtal secara online.

I.2 Pertimbangan Pemilihan Lokasi Perusahan Dalam Bisnis TIK

Perusahaan yang bergerak di bidang TIK dan penyediaan produk digital harus

mempertimbangkan dimana usaha ditempatkan, baik untuk meletakkan infrastruktur layanan

TIK maupun pusat administrasi perusahaan. Menurut Alavi dan Young (1992), infrastruktur dan

pusat layanan TIK dari sebuah perusahaan TIK dapat diletakkan dalam satu tempat secara

terpadu, atau tersebar di berbagai cabang di berbagai tempat atau negara. Penentuan mekanisme

peletakan infrastruktur dan pusat layanan dapat mendasarkan pada pertimbangan keekonomisan

atau strategi bisnis dari perusahaan itu sendiri. Secara lebih spesifik, Carlyte (1990) dalam Alavi

dan Young (1992) menggarisbawahi setidaknya ada beberapa pertimbangan dalam penentuan

lokasi perusahaan dan infrastruktur pendukungnya, yang meliputi:

2

1. Potensi pembiayaan yang lebih ekonomis dari jumlah fasilitas yang lebih sedikit tapi

berskala lebih besar;

2. Kemudahan dalam melakukan alih pengetahuan antar lokasi;

3. Karakteristik sosial, ekonomi, budaya, dan politik lokasi penempatan fasilitas;

4. Kedekatan antara fasilitas pelayanan dengan wilayah yang dilayani.

Keempat faktor diatas dapat dievaluasi dan dianalisis secara strategis mengenai kelebihan dan

kekurangannya dengan mendasarkan pada dua cara yang saling berkomplemen, yaitu:

1. Penilaian beban biaya (cost-benefit analysis);

2. Pembandingan jika seluruh fasilitas perusahaan dipusatkan pada satu lokasi.

I.3 Gameloft Studio(1)

Gameloft adalah salah satu perusahaan pengembang permainan video (video-game)

dengan pusat bisnis di Paris, Prancis. Perusahaan ini didirikan oleh Michel Guillemot dan Josh

Closson pada Tahun 1999, dan berfokus pada penyediaan permainan video pada perangkat

mobile. Pada awalnya, Gameloft hanya berfokus pada pengembangan permainan video berbasis

teks dan WAP, namun mulai Tahun 2002 mulai berpindah ke teknologi JAVA. Pada saat berdirinya,

jumlah pegawai Gameloft hanya terdiri dari puluhan orang, namun pada Tahun 2007 telah

berkembang menjadi 4.000 orang. Pada tahun 2003 Gameloft mulai memperoleh keuntungan dari

bisnis permainan video dengan menghasilkan keuntungan kurang lebih 10,2 juta euro dari

puluhan judul permainan video yang terimplementasi pada lebih dari 100 jenis perangkat mobile.

Keuntungan Gameloft semakin meningkat setiap tahun dan pada Tahun 2015 telah mencapai 256

juta euro.

Perkembangan bisnis Gameloft yang terus meningkat membuat perusahaan

mempertimbangkan untuk memperluas bisnis dengan membangun berbagai cabang studio

pembuatan game ke seluruh dunia (Gambar 1). Di Indonesia sendiri, Gameloft telah membangun

satu kantor cabang pada Tahun 2010 dengan nama PT. Gameloft Indonesia yang berpusat di

Jakarta, dan mengelola dua buah studio pembuatan game yang keduanya berlokasi di Yogyakarta.

Modal investasi Gameloft di Indonesia diperkirakan kurang lebih satu juta dolar. Investasi ini

kembali dengan cepat dan menghasilkan keuntungan yang lebih besar karena pada Tahun 2015,

Gameloft Indonesia berhasil membukukan pendapatan sebesar 73 miliar rupiah.

Gambar 1. Sebaran Lokasi Studio Gameloft (Sumber: gameloft.com)

(1). Gameloft SE. (2015). Gameloft Reference Document 2015. Diakses dari

http://media01.gameloft.com/web_mkt/corporateV2/pdf/en/Document_de_reference2015-EN.pdf. Pada Tanggal 19 Oktober 2016

3

I.4 Kota Yogyakarta dan Potensi Industrialisasi Teknologi Informasi

Yogyakarta sebagai salah satu kota besar di Jawa, mempunyai peran penting dalam

pengembangan sumberdaya manusia Indonesia dengan statusnya sebagai Kota Pelajar. Stigma

Yogyakarta sebagai Kota Pelajar muncul karena berbagai perguruan tinggi terkenal di Indonesia

seperti UGM, UNY, UII, UPN, dan UMY berada di kota ini. Banyaknya perguruan tinggi di

Yogyakarta menjadikan kota ini sebagai tujuan utama pelajar dari berbagai daerah di Indonesia

untuk mempelajari berbagai bidang ilmu pengetahuan, termasuk bidang TIK. Terkait dengan

potensi industrialisasi TIK di Yogyakarta, kajian yang dilakukan oleh Tjahjono et al (2013)

menunjukkan bahwa kalangan pelajar perguruan tinggi di Yogyakarta memiliki intensi

berwirausaha di bidang TIK yang cukup baik.

I.5 Perumusan Masalah dan Fokus Kajian

Gameloft telah memilih Indonesia dan Yogyakarta pada khususnya sebagai salah satu

lokasi dari anak perusahaan dengan nama PT. Gameloft Indonesia. Investasi perusahaan besar

multinasional di bidang TIK dan Industri Kreatif ini baru pertama kali terjadi di Indonesia. Strategi

yang dilakukan Gameloft dengan memindahkan unit produksi ke berbagai negara, termasuk

Indonesia tampaknya cukup berhasil dengan adanya sumbangsih pendapatan dan keuntungan

yang tidak sedikit. Terkait dengan kesuksesan strategi pemisahan unit produksi ini tentunya akan

menarik jika faktor-faktor yang melatar belakangi pemilihan strategi ini diketahui, terutama

dalam konteks hubungan antar wilayah yang bermuara pada integrasi spasial antar wilayah,

mekanisme dan pertimbangan kemudahan proses alih pengetahuan, dan dampaknya terhadap

penguatan sektor ekonomi kreatif di Indonesia sendiri. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengkaji

faktor-faktor tersebut.

II. INTEGRASI SPASIAL ANTAR WILAYAH YANG MEMFASILITASI ALIH PENGETAHUAN UNTUK MENINGKATKAN DAYA SAING KLASTER UNGGULAN DAERAH

II.1 Integrasi Spasial Antar Wilayah

Comtois (1986) berpendapat bahwa Integrasi Spasial merupakan sebuah proses yang

menyeluruh dengan intensitasi yang bervariasi, yang bisa dipandang dari lingkup perkotaan,

nasional maupun global. Pada setiap lingkup tersebut, selalu ada dua faktor yang bekerja secara

bersamaan dan saling melengkapi, yaitu (1) sebaran geografis dari akumulasi; dan (2)

perpindahan geografis dari kelebihan produk sosial. Pada tingkatan kota, dua faktor diatas

tercermin dari penyerapan dan akumulasi surplus produk pertanian dari daerah pertanian dan

petani ke kelas masyarakat non pertanian yang berkumpul di suatu pusat kegiatan (disebut kota).

Hubungan timbal balik ini akan menyebabkan kota dan daerah pertanian di belakangnya

berintegrasi membentuk satu kesatuan wilayah nodal. Dalam lingkup yang lebih luas (nasional

dan global) pola yang terjadi tetap sama, dimana ada satu wilayah produksi (pertanian, industri

atau bentuk usaha lain) yang kemudian surplus produksinya diakumulasikan ke wilayah lain yang

berperan sebagai konsumen melalui mekanisme transportasi dan komunikasi.

4

II.2 Integrasi Spasial Antar Wilayah dan Peran Kegiatan Alih Pengetahuan

Selain melalui produk sosial (barang dan jasa), integrasi spasial dapat terjadi pada dua

atau lebih wilayah yang terkoneksi melalui penyebaran pengetahuan (spilling over of knowledge),

yang pada akhirnya memicu alih pengetahuan antar wilayah dan berujung pada integrasi spasial

antar wilayah. Dinamika alih pengetahuan antar wilayah yang berimplikasi pada integrasi spasial

berbasis alih pengetahuan telah diuraikan antara lain oleh Maier et al (2007) melalui Model

Knowledge Link (Gambar 2).

Gambar 2. Model Knowledge Link (Maier et al, 2007)

Deskripsi mengenai Model Knowledge Link dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Terjadi pergerakan (spillover) tenaga kerja berkeahlian tinggi (star scientist) pada ranah

industri dari wilayah 1 ke wilayah 2 yang dilatarbelakangi oleh berbagai faktor (misalnya

ketersediaan fasilitas pemenuh kebutuhan yang lebih baik di wilayah 2). Pergerakan ini

akan memicu alih pengetahuan di wilayah 2 yang berimplikasi pada proses produksi yang

lebih baik di wilayah 2 dan menghadirkan pertumbuhan ekonomi.

2. Kesuksesan pergerakan awal dari wilayah 1 ke wilayah 2 akan diikuti oleh pergerakan

lanjutan oleh tenaga kerja lain (followers) yang akan memicu lebih lanjut atau

mempertahankan pertumbuhan ekonomi di wilayah 2.

3. Pertemuan antara sumberdaya manusia lokal di wilayah 2 dan pendatang melalui

kolaborasi ilmiah dan kontak informal akan memperkuat proses alih pengetahuan dan

menginisiasi kapasitas saintifik (termasuk kemungkinan menghadirkan inovasi baru di

dalamnya) yang lebih baik di ranah ilmiah (scientific system). Keberadaan pergerakan

lanjutan oleh tenaga kerja lain (followers) akan memperkuat sekaligus mempertahankan

proses ini.

4. Pendatang di wilayah 2 diasumsikan tetapi menjalin hubungan dengan kampung

halamannya di wilayah 1, yang memicu pergerakan balik (atau sirkulasi antar wilayah)

proses alih pengetahuan dan inovasi baru yang terjadi di wilayah 2 ke wilayah 1. Arus

5

balik ini akan mencegah kemunduran pengetahuan di wilayah 1 yang disebabkan oleh

kepergian sumber daya manusia berkualitas tinggi ke wilayah 2.

5. Hasil akhir dari sirkulasi alih pengetahuan antar wilayah ini adalah kedua wilayah akan

sama-sama mengalami kemajuan dan membentuk integrasi spasial antar wilayah yang

dipicu oleh proses alih pengetahuan.

II.3 Integrasi Spasial Pada Tingkatan Global dan Peningkatan Daya Saing Klaster Unggulan Daerah

Kajian geografi ekonomi dan kewilayahan yang dilakukan sejak Tahun 1980-an telah

mengidentifikasi adanya wilayah – wilayah tertentu yang memiliki industri yang berorientasi

pada transaksi intensif berbasis jaringan (transaction-intensive networks), yang mampu

mendorong dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional (Fan dan Scott, 2003).

Perusahaan – perusahaan ini utamanya bergerak di bidang elektronika, peralatan komunikasi,

permesinan dan komponennya, mainan dan hiburan, jam tangan, garmen, furnitur, perangkat

lunak (software) dan Jasa, dimana perusahan-perusahaan ini muncul dengan karakteristik

tertentu. Karakter tersebut misalnya kompetensi yang terspesialisasi dan skala kecil namun

mampu melaksanakan fungsi penting, serta mampu mengubah corak pekerjaannya secara

konstan dalam sistem pertukaran informasi yang saling terkoneksi satu sama lain (Fan dan Scott,

2003). Keterkaitan antar perusahaan ini seringkali membuat perusahaan berkembang menjadi

lebih besar karena banyak aspek yang bisa diminimalisir pembiayaannya, serta terbukti

meningkatkan dampak positif berupa semakin berkembangnya industri pendukung.

Perkembangan lebih lanjut dari pertumbuhan ekonomi dari perusahaan-perusahaan ini

memungkinkan mereka untuk bergabung dalam globalisasi ekonomi dimana bisnis yang

dilakukan berekspansi ke tingkatan global. Perkembangan ke arah global ini dipicu oleh

perkembangan teknologi sepanjang abad ke 20 yang memungkinkan komunikasi global lebih

mudah dilakukan (Twarowska dan Kakol, 2013). Operasi perusahaan dalam skala global

umumnya didasarkan pada keinginan untuk meningkatkan keuntungan sembari mengurangi

biaya produksi, oleh karena itu bisnis biasanya dilakukan dengan menargetkan negara yang

memiliki standar hidup dan nilai tukar uang yang lebih rendah dari negara asal bisnis dilakukan

(Twarowska dan Kakol, 2013).

Perkembangan dari bisnis lokal menjadi global yang didukung kemudahan komunikasi

dan informasi menyebabkan dimensi spasial menjadi kurang berarti. Fenomena ini menyebabkan

terbentuknya integrasi regional (spasial) dan globalisasi (Cornett, 2002). Globalisasi secara

langsung ataupun tidak langsung berpengaruh pada pengembangan wilayah, baik dilihat secara

lokal, nasional, maupun global. Namun demikian proses ini masih dipengaruhi oleh sistem

kebijakan dan administrasi wilayah. Faktor kebijakan dan ekonomi yang berpengaruh terhadap

pengembangan wilayah dapat disajikan secara konseptual pada Gambar 3.

6

Gambar 3. Faktor Pengaruh Pengembangan Regional (Cornett, 2002)

Menurut Cornett (2008), perubahan dalam sistem ekonomi internasional dan proses globalisasi

serta integrasi spasial akan berpengaruh pada sistem produksi regional (wilayah). Bentuknya

antara lain berupa kemunduran ekonomi wilayah yang gagal bersaing, atau melakukan adaptasi

yang membuka kesempatan ekonomi baru. Kemajuan atau kemunduran ekonomi wilayah ini

dipengaruhi oleh dua aspek yaitu, pelaku dan pendorong pertumbuhan. Hubungan antara pelaku,

pendorong pertumbuhan dan pertumbuhan wilayah dapat digambarkan secara konseptual pada

Gambar 4.

Gambar 4. Aktor dan Pendorong Pertumbuhan Regional (Cornett, 2008)

7

Suatu kumpulan usaha dengan corak usaha yang relatif mirip dalam satu wilayah dapat

dikelompokkan menjadi satu dalam bentuk klaster usaha. Klaster usaha sendiri menurut Porter

(1998) dapat didefinisikan sebagai kelompok industri yang mengumpul secara geografis dengan

corak bisnis yang saling berhubungan dan membentuk kerjasama (partnership). Kerjasama ini

bisa dalam bentuk industri yang mendukung industri lain (supporting industry) maupun industri

yang bekerjasama karena mempunyai model bisnis yang sama (related industry). Menurut Lyon

dan Atherton (2009), klaster industri memiliki tiga ciri mendasar walaupun struktur, ukuran dan

sektornya mungkin berbeda, yaitu:

1. Keserupaan (communality), yaitu bisnis yang bergerak dalam bidang yang mirip atau

terkait, dengan fokus pasar sama;

2. Konsentrasi (concentration), yaitu terdapat pengelompokan bisnis yang bisa dan

melaksanakan interaksi;

3. Konektivitas (connectivity), yaitu terdapat usaha yang saling bergantung dengan jenis

hubungan yang berbeda-beda.

Hasil yang diharapkan dari pembentukan klaster adalah menciptakan keunggulan kompetitif bagi

anggota yang terlibat di dalamnya melalui kerjasama, yang pada akhirnya dapat memacu

pertumbuhan ekonomi wilayah.

III. MENGAPA GAMELOFT MEMILIH YOGYAKARTA?

III.1 Pertimbangan Lokasi, Kemampuan Produksi dan Potensi Sumberdaya Manusia

Pemilihan Indonesia sebagai salah satu cabang studio Gameloft tidak lepas dari

perkembangan TIK dewasa ini, dimana seluruh dunia pada saat ini telah terkoneksi melalui

jaringan internet. Lazim ditemui bahwa pada saat ini berbagai perusahaan multinasional telah

memecah unit produksi dari terpusat di satu tempat menjadi menyebar di berbagai negara.

Fenomena ini didasarkan pada fakta bahwa penyebaran unit produksi mampu memberikan

keuntungan ekonomi yang besar dengan biaya produksi yang kecil sebagaimana dikatakan oleh

Carlyte (1990) dalam Alavi dan Young (1992). Hambatan geografis tidak menjadi masalah dengan

adanya TIK yang mampu memberikan hubungan informasi dan transaksi secara efektif dan

efisien.

Gameloft membidik pengembangan unit produksi di luar negara asal tentunya

menggunakan prinsip yang serupa. Terkait dengan lokasi, mengingat barang dan jasa yang

ditawarkan merupakan produk dijital, maka lokasi tidak menjadi masalah karena barang dan jasa

dapat ditransportasikan melalui jaringan internet. Faktor kemampuan produksi dan keberadaan

dan potensi SDM berkualitas tinggi mungkin lebih dipertimbangkan. Terkait dengan faktor ini,

Yogyakarta dengan berbagai perguruan tinggi yang banyak diantaranya membuka program studi

berbasis teknolog informasi, tentunya memiliki potensi SDM di bidang TIK yang menarik minat

Gameloft. Namun demikian hal ini tentunya tidak cukup karena terkait dengan potensi SDM TIK

di Indonesia, banyak kota lain juga menyajikan potensi serupa seperti Jakarta, Bandung dan

Surabaya. Keunggulan Yogyakarta apabila dibandingkan dengan kota lain terletak pada bahwa

potensi tenaga kerja di Yogyakarta lebih murah daripada kota lain, yang dapat diidentifikasi dari

nilai UMR Yogyakarta dari tahun ke tahun. Berdasarkan Tabel Perbandingan UMR antar kota

(Tabel 1), nampak jelas bahwa Yogyakarta lebih menawarkan keunggulan kompetitif wilayah di

8

aspek biaya tenaga kerja yang lebih murah dibanding kota lain, sehingga hal ini yang membuat

Gameloft memilih kota ini.

Tabel 1. Besarnya UMR (dalam ribu rupiah) Kota Besar Pulau Jawa (Sumber: BPS dan Pemerintah Kota)

III.2 Pengaruh Kebijakan dan Keterbukaan Ekonomi Indonesia

Keterbukaan ekonomi Indonesia telah dimulai sejak awal orde baru dan semakin terbuka

di pertengahan Tahun 80-an setelah periode jatuhnya harga minyak pada masa itu (Iskandar,

2006). Keterbukaan ini terus berlanjut sampai pada masa krisis moneter Tahun 1997/1998 yang

menyebabkan capital inflow beralih menjadi capital outflow yang memporak porandakan

ekonomi Indonesia. Dari berbagai laporan ekonomi yang diterbitkan (Lipsey dan Sjöholm, 2010;

Tabor, 2015), pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa dianggap pada posisi yang menengah

dibanding negara Asia lain. Pertumbuhan yang tidak signifikan ini antara lain disebabkan

kurangnya investasi ke infrastruktur, regulasi yang terlalu ketat, ketersediaan sarana dan

prasarana TIK yang masih kurang, kualitas SDM yang kurang terampil, dan institusi yang kurang

berkualitas. Namun demikian Indonesia selalu membuka peluang investasi asing guna membantu

mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih baik karena terbukti mendukung pertumbuhan

ekonomi Indonesia.

Dengan kondisi demikian, Indonesia tetap membuat Gameloft berani menginvestasikan

modal untuk membangun studio pembuatan permainan video di Indonesia dan utamanya di

Yogyakarta. Penyebab pengambilan keputusan ini apabila ditinjau dari sisi kebijakan adalah

bahwa Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta saat ini telah membuka peluang investasi luar

negeri yang seluas-luasnya di bidang TIK(2). Dengan suasana lingkungan kota yang nyaman,

regulasi yang tidak terlalu ketat memungkinkan Yogyakarta memenangi persaingan dengan kota

lain dalam menarik minat investor, yang dalam hal ini adalah Gameloft.

III.3 Relevansi Integrasi Spasial Antar Wilayah dan Alih Pengetahuan

Terhubungnya seluruh dunia melalui jaringan TIK memungkinkan proses integrasi

spasial melalui alih pengetahuan dapat berlangsung dimana saja, bahkan diantara wilayah –

wilayah yang secara geografis terpisah jauh. Terkait dengan Gameloft yang berinvestasi di

Yogyakarta, jika ditinjau dari Model Knowledge Link (Subbab II.2), alih pengetahuan akan terjadi

dari Gameloft yang telah berpengalaman di bidang permainan video kepada tenaga kerja yang

direkrut di Yogyakarta. Alih pengetahuan ini akan meningkatkan pengetahuan, pengalaman dan

keterampilan sumber daya manusia Gameloft di Yogyakarta, baik di bidang TIK pada umumnya

maupun pengembangan permainan video pada khususnya.

Berdasarkan wawancara dengan salah satu mantan pegawai Gameloft, dinamika yang

terjadi di Gameloft bahwa tenaga kerja yang bekerja di Gameloft dikontrak pada jangka waktu

tertentu, setelah kontrak selesai, sebagian tenaga kerja keluar dan diganti tenaga kerja baru. (3)

Tenaga kerja yang keluar ini dalam Model Knowledge Link berperan sebagai aliran lanjutan

(2). Pernyataan Kepala BKPM DIY. Diakses dari http://www.thepresidentpost.com/2014/02/04/yogyakarta-open-for-investment-in-ict-sector/ Pada Tanggal

14 Oktober 2016.

(3). Wawancara via Telepon dengan Sdr. Tiardi Marjuki, Senior Beta Tester di Gameloft Indonesia Tahun 2011-2013. Wawancara dilaksanakan pada Tanggal

25 Oktober 2016

9

(subsequental flow) yang kemudian bekerja membangun kolektif rintisan (startup) TIK di

Yogyakarta maupun di kota lainnya. Adapun aliran balik (konsekuensi dari Knowledge Link Model)

dari Yogyakarta ke Prancis sebagai tempat asal Gameloft dalam kasus ini tidak terjadi dalam

bentuk aliran pengetahuan, melainkan keuntungan ekonomi dari hasil produksi yang lebih

murah. Dengan demikian proses integrasi spasial yang terjadi antara wilayah Prancis dan

Yogyakarta dipicu oleh aliran pengetahuan yang kemudian mendapat umpan balik berupa

keuntungan ekonomi. Kedua wilayah yang berintegrasi dalam hal ini tidak dirugikan karena

adanya aliran pengetahuan dari Prancis ini akan mengembangkan potensi sektor ekonomi baru

di Yogyakarta, sementara Prancis mendapat keuntungan ekonomi guna mengembangkan

kompetensi wilayah dalam lingkup persaingan di bidang pengembangan permainan video yang

lebih luas.

III.4 Potensi Pembentukan Klaster Industri TIK di Yogyakarta

Keberadaan Gameloft di Yogyakarta secara langsung maupun tidak langsung turut

meningkatkan potensi pengembangan industri TIK di kota ini. Rekrutan Gameloft yang kemudian

keluar untuk mengembangkan bisnis rintisan (startup) ditambah dengan kolektif Startup lain

yang muncul sebelum dan sesudah keberadaan Gameloft di Yogyakarta pada gilirannya

memungkinkan Yogyakarta sebagai Center of Excellence TIK di masa depan. Potensi ini akan lebih

terkelola apabila diwadahkan dalam bentuk klaster industri yang mendapat dukungan baik dari

pemerintah maupun investor swasta.

Dukungan yang dimaksud diatas setidaknya saat ini sudah muncul dari PT. Telkom

bekerjasama dengan MIKTI (Masyarakat Industri Kreatif TIK Indonesia) yang telah

mengimplementasikan Program Jogja Digital Valley. Program serupa sebelumnya telah

diimplementasikan di Jakarta dan Bandung Jogja Digital Valley mempunyai misi memberikan

bimbingan baik segi bisnis maupun teknis dalam pengembangan konten maupun perangkat

berbasis TIK (4). Bukan tidak mungkin dari Yogyakarta akan dapat terbentuk Klaster TIK seperti

Silicon Valley di California, Amerika Serikat yang sudah melegenda di dunia karena sudah

melahirkan raksasa internet Google Inc.

IV. KESIMPULAN

Hadirnya Gameloft di Yogyakarta telah memicu integrasi spasial antar wilayah yang

berjauhan dan tidak dibatasi kendala geografis. Hal ini dikarenakan proses integrasi

memanfaatkan kemajuan teknologi berupa TIK, dimana dengan menggunakan teknologi ini

kendala geografis menjadi tidak berarti. Integrasi spasial muncul sebagai akibat dari keinginan

ekpansi dari pelaku ekonomi di sebuah wilayah yang ingin memperoleh keuntungan ekonomi

lebih besar dengan meminimalkan biaya produksi. Wilayah yang diekspansi dengan sendirinya

ikut maju sebagai imbas dari aliran pengetahuan baru yang dapat dieksploitasi lebih lanjut untuk

memacu pertumbuhan ekonomi wilayah yang bersangkutan, sementara wilayah asal

memperoleh keuntungan ekonomi dari biaya produksi yang lebih murah.

Selanjutnya, jika merujuk pada faktor pendorong kemajuan wilayah (Gambar 4),

Yogyakarta setidaknya telah memiliki Pelaku pertumbuhan wilayah di bidang TIK (institusi,

pemerintah, perusahaan) yang telah menunjukkan kemauan (willingness) untuk mengembangkan

sektor TIK. Selain itu faktor pendorong pertumbuhan seperti adanya semangat kewirausahaan,

inovasi, dan modal sumberdaya manusia juga tersedia. Pelaku dan faktor pendorong

(4). Jogja Digital Valley: http://jogjadigitalvalley.com/about-us/ . Diakses pada Tanggal 25 Oktober 2016.

10

pertumbuhan yang mampu bersinergi dengan baik pada akhirnya akan bermuara pada

pertumbuhan ekonomi wilayah Yogyakarta. Terkait dengan sistem ekonomi dan kebijakan

sebagai faktor pertumbuhan wilayah, apabila keterbukaan sistem kebijakan baik nasional,

regional dan keterbukaan investasi ekonomi yang sudah muncul di Indonesia ini dilanjutkan,

bukan tidak mungkin sektor TIK di Yogyakarta (dan wilayah lain di Indonesia) dapat berkembang

lebih baik dan mampu mendukung terwujudnya pengembangan regional Indonesia menjadi

wilayah dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kompetitif.

DAFTAR PUSTAKA

Alavi, M., & Young, G. (1992). Information Technologies in International Enterprise: An Organizing

Framework. Dalam Palvia, P. C., Palvia, S., & Zigli, R. M. The Global Issues of Information

Technology Management. Hershey, PA: IGI Global.

Comtois, C. (1986). Spatial Integration and Geographic Modernization: Review of Theories and

Synthesis. Cahiers de géographie du Québec, 30 (79), 41-51.

Cornett, A. P. (2008). Economic Integration in a cross border perspective: An emerging new

system of production. Dalam International Journal of Public Policy, Special issue European

Integration, Regional Growth and Cohesion, Inderscience publishers.

Cornett, A. P. (2002). Spatial Development: Regional and Global Specialization. Dalam Christer

Bengs (ed.). Facing ESPON. 51 – 73. Stockholm: Nordregio R2002:1.

Fan, C., & Scott, A.J. (2003). Industrial Agglomeration and Development: A Survey of Spatial

Economic Issues in East Asia and a Statistical Analysis of Chinese Regions. Economic

Geography, 79 (3), 295-319.

Graham, S. (1998). The End of Geography or the Explosion of Place? Conceptualizing Space, Place

and Information Technology. Progress in Human Geography, 22 (2), 165-185.

Hansen, M. T. (1999). The Search-Transfer Problem: The Role of Weak Ties in Sharing Knowledge

across Organization Subunits. Administrative Science Quarterly, 44 (1), 82-111.

Iskandar, S. (2006). The Openness and Its Impact to Indonesian Economy: A SVAR Approach.

Dipresentasikan di Graduade Program in Economic Development’s 50th Anniversary

Conference Vanderbilt University, Nashville TN USA.

Le, K. D., & Rothlauf, F. (2008). Foreign Market Entry of E-business Companies and Implications for

Theories of Internationalization (Working Paper in Information Systems and Business

Administration 4/2008). Mainz: Johannes Gutenberg-University.

Lipsey, R. E., & Sjöholm, F. (2010). FDI and Growth in East Asia: Lessons for Indonesia (IFN Working Paper No. 852). Stockholm: Research Institute of Industrial Economics.

Lyon, F., & Atherton, A. (2000). A business view of clustering: Lessons for cluster development policies. Foundation for SME Development, University of Durham, 1–13.

11

Maier, G., Kurka, B., & Trippi, M. (2007). Knowledge Spillover Agents and Regional Development:

Spatial Distribution and Mobility of Star Scientists. Dipresentasikan pada WP 17/2007,

Wirtschaftsuniversität Wien.

Porter, M. E. (1998). Cluster and the New Economics of Competition. Harvard Business Review, (November-December), 77–90.

Tabor, S. R. (2015). Constraints to Indonesia’s Economic Growth (ADB Papers on Indonesia No.10). Manila: Asian Development Bank.

Talvitie, J. (2002). The Influence of Information Technology on Spatial Development.

Dipresentasikan di FIG XXII International Congress: TS8.1 Basical Planning Aspects and

Examples Worldwide, Washington D.C.

Tjahjono, H. K., Maryati, T., & Fauziah. (2013). Intensi Mahasiswa Yogyakarta Berwirausaha

Berbasis TIK. Jurnal Siasat Bisnis, 17 (1), 17-27.

Twarowska, K., & Kakol, M. (2013). International Business Strategy - Reasons and Forms of

Expansion into Foreign Markets. Dipresentasikan pada Management, Knowledge, and

Learning International Conference: Active Citizenship by Knowledge Management &

Innovation (1005-1011), Zadar, Kroasia.