MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat...

100

Transcript of MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat...

Page 1: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,
Page 2: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH

DALAM BINGKAI HUKUM RESPONSIF

Disusun Oleh:

Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum

Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum

Asri Agustiwi, S.H., M.H

Page 3: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

i

MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM BINGKAI HUKUM

RESPONSIF

Penulis :

Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum

Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum

Asri Agustiwi, S.H., M.H

Hak Cipta ©2019 pada penulis

Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini

dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari

penulis.

Edisi Pertama, Nopember 2019

ISBN: 978 – 602 – 6585 – 61 - 5

Penerbit

UNIDA-PRESS

Jl. Tol Ciawi No. 1 Kotak Pos Ciawi 35 Bogor 16720

Telp. 0251-8240773, Fax. 0251-8240985

Page 4: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

ii

Kata Pengantar

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya yang telah memberikan

hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan penyusunan buku ajar dengan judul “ Menelisik

Pengujian Peraturan Daerah Dalam Bingkai Hukum Responsif”. Penulis menyadari

bahwa buku ini masih jauh dari sempurna, bahkan tanpa, bimbingan, arahan, motivasi dan

doa dari berbagai pihak, tidak mungkin untuk dapat menyusun buku ini dengan baik, serta

Kemenristek Dikti yang telah mendanai dalam penelitian tahun 2019, untuk itu penulis

ucapkan terimakasih sebesar-besarnya.

Buku ini merupakan ulasan tentang penelusuran Peraturan Daerah terkait bagaimana

sebenarnya sistem pengujian terhadap Peraturan Daerah yang diuji melalui lembaga Peradilan

yaitu Mahkamah Agung yang sudah tersentralistik setelah adanya Putusan Mahkamah

Konstitusi, dimana sebelumnya ada Kementerian Dalam Negari yang juga memiliki peran

dalam melakukan pembatalan Peraturan Daerah. Peraturan Daerah merupakan Produk hukum

di daerah yang mengatur segala proses dan prilaku masyarakat di daerah untuk itu dengan

adanya disentalisasi maka daerah berhak membuat Peraturan-peraturan Daerah sesuai

kebutuhan daerah masing-masing. Disamping juga tentu mengulas suatu pembaharuan

dengan cara merekontruksi sistem pengujian yang sesuai dengan kebutuhan bangsa agar

menjadi lebih baik dengan berpersefktif pada hukum responsif. Hukum responsif yang

mengedepankan pada proses yang transparan, akuntabel dan partisipasi masyarakat daerah.

Akhirnya penulis berharap buku ini bisa menjadi bahan bacaan bagi para dosen,

mahasiswa, dan masyarakat sehingga membantu pemahaman terhadap pengujian peraturan

daerah.

Surakarta, Nopember 2019

Asri Agustiwi, S.H., M.H

Page 5: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

iii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DALAM ....................................................................................... i

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ iii

Bagian 1: Bingkai Buku ...................................................................................................... 1

1.1. Pendahuluan .................................................................................................................. 2

Bagian 2: Mencari Pijakan Teoritis .................................................................................. 4

2.1. Teori Desentralisasi ....................................................................................................... 5

2.2. Teori Hukum Responsif ................................................................................................. 11

2.3. Teori Pengujian Norma .................................................................................................. 15

2.4. Teori Negara Hukum ..................................................................................................... 21

Bagian 3: Menopang Peraturan Daerah ........................................................................... 25

3.1. Pengertian Peraturan Daerah ........................................................................................ 26

3.2. Penyusunan Peraturan Daerah ....................................................................................... 26

3.3. Proses Pengusulan Usulan Rancangan Peraturan Daerah .............................................. 32

3.4. Proses Pembahasan Rancangan Praturan Daerah Dalam Rapat Paripurna

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ................................................................................ 34

3.5. Bentuk, Kerangka dan Rubrik-Rubrik Peraturan ........................................................... 35

Bagian 4: Pengujian Peraturan Daerah ............................................................................ 38

4.1. Sejarah Sistem Hak Menguji Di Negara Indonesia ...................................................... 39

4.2. Lembaga Penguji Peraturan Daerah .............................................................................. 61

4.3. Kebutuhan Bangsa dalam Hukum Responsif ............................................................... 71

4.4. Reformulasi Sistem Pengujian Peraturan Daerah .......................................................... 79

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 86

Page 6: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

1

Bagian 1:

Bingkai Buku

Page 7: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

2

1.1. Pendahuluan

Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara yang mana telah

menetapkan Peraturan yang dibentuk oleh daerah sebagai peraturan yang mengatur pada

tingkat daerah. Pembetukan Peraturan Daerah tentunya harus memuat muatan-muatan

materil sebagai mana yang diatur dalam undang-undang agar secara kohorensif dapat

diterima oleh daerah sesuai dengan kebutuhan daerah tersebut. Peraturan Daerah tidak

dapat dipisahkan eksistensinya dari sistem hukum dan peraturan perundang-undangan

nasional. Dalam hal tersebut maka pengawasan Peraturan Daerah memiliki pengawasan

yang sangat penting. Pembatalan Peraturan Daerah adalah salah satu bentuk pengawasan

terhadap Peraturan Daerah, dalam hal pengawasan terhadap Peraturan Daerah,

pengawasan yang bersifat respresif.1 Pengawasan yang bersifat respresif ini pengawasan

yang dilakukan oleh Pemerintah.

Pembatalan Peraturan Daerah yang terjadi melalui Pemerintah (sebelum adanya

Putusan Mahkamah Konstitusi) yang dalam hal ini adalah Kemendagri ataupun melalui

Mahkamah Agung, telah banyak dikaji dalam berbagai penelitian guna memberikan

penemuan-penemuan terkait sistem pengujian Peraturan Daerah itu sendiri, akan tetapi

masih saja terdapat kekosongan hukum pengujian peraturan daerah mengingat Peraturan

Daerah adalah kebutuhan daerah.

Produk hukum daerah yang kita kenal dengan Peraturan Daerah dibuat oleh

daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan

lokal dan prilaku masyarakat setempat, guna memenuhi hukum tersebut maka diperlukan

jenis tatanan hukum yang responsif, suatu produk hukum daerah yang mencerminkan

rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat setempat. Karena Peraturan Daerah

merupakan tatanan aturan yang mengatur pada masyarakat di setiap daerah dengan

kebutuhan daerah masing-masing yang berbeda-beda. Menurut mahfud MD2 hasilnya

bersifat responsif mengarah pada tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu dalam

masyarakat apabila proses pembuatan memberikan peranan besar dan partisipasi

diberikan sepenuhnya kepada kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam

masyarakat. Maka dari itu suatu produk hukum itu masuk klasifikasi responsif jika

proses pembuatanya bersifat partisifasi jika proses pembuatanya bersifat partisifasi oleh

1 Sukardi, Pengawasan dan Pembatalan Peraturan Daerah, Yogyakarta, Genta Publishing, Cetakan

Pertama, 2016, hlm. 9 2 Sunaryo, Globalisasi Dan Pluralisme Hukum dalam Pembangunan Sistem Hukum Pancasila, artikel

pada Junal Masalah-masalah Hukum, Jilid 42 No. 4 Oktober 2013, hlm. 537

Page 8: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

3

masyarakat, materi hukumnya yaitu sesuai dengan kehendak masyarakat, dan hanya

memberi sedikit peluang bagi pemerintah untuk membuat penafsiran sendiri.

Selaras dengan penelitian yang dilakukan bahwa “This regulation is believed to

have exceeded the capacity substantially because there is overlapping regulation

settings. The regulation of the judicial review right on legal material must be placed in

the legal product which formation involves the participation of the people”.3

Regulasi ini tidak lepas dari bentuk negara Indonesia sebagai negara hukum, yaitu

negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan

belaka (machtsstaat).”4 Maka dari itu dalam menyelenggarakan pemerintahan dan setiap

warga negara dalam bertindak harus berdasarkan hukum baik secara tertulis maupun

tidak tertulis, yang menjamin warga negaranya akan kepastian hukum, ketertiban hukum,

dan perlindungan hukum, agar tercipta suatu stabilitas nasional yang mantap dan dinamis

dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Pembatalan yang dilakukan pengujian Peraturan Daerah setelah adanya ptusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 tentang Pengujian Undang-undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dikembalikan pengujiannya di

Mahkamah Agung, padahal hampir ribuan Peraturan Daerah yang dibatalkan pada tahun

2016 dengan alasan menghambat investasi yang karena beberapa pasal bertentangan

dengan undang-undang yang lebih tinggi. Mahkamah Agung menjadi tempat satu-

satunya pengujian Peraturan Daerah, maka apakah Mahkamah Agung siap menampung

ribuan Peraturan Daerah yang nantinya mengajukan permohona uji materiil di

Mahkamah Agung, Permasalahan yang kembali timbul, terkait Peraturan Mahkamah

Agung Nomor 1 tahun 2011 Tentang Hak Menguji Proses dan Tata Cara Pengujian di

Mahkamah Agung masih banyak yang harus direkonstruksi karena sudah tidak responsif.

Usulan Perbaikan Hukum Acara Pengujian Peraturan Perundang-undangan di

Mahkamah Agung. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015

pengujian terhadap Peraturan Daerah tingkat Kabupaten/Kota hanya bisa diuji melalui

pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung, maka perlu segera

menindaklanjuti Putusan tersebut dengan melakukan evaluasi menyeluruh terkait hukum

acara persidangan, sumber daya manusia dan sarana prasarana penunjang.

3 Retno Mawarini Sukmariningsih, Reconstruction Of setting Judicial Review Of Legal Material By

Indonesia Supremen Court” artikel pada International Journal of Civil Engineering and Technology (IJCIET),

Volume 9, Issue 2, February 2018, pp. 727–732, Article ID: IJCIET_09_02_069 4 Ni’Matul Huda. Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi. FH UII

Press, Yogjakarta. 2011, hlm. 17

Page 9: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

4

Bagian 2:

Mencari Pijakan Tentang Teori

Pengujian

Page 10: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

5

2.1. Teori Desentralisasi

Negara kesatuan merupakan negara yang tidak tersusun dari beberapa negara,

tetapi hanya terdiri atas satu negara, maka tidak ada negara di dalam negara. Begitupula

dengan pemerintahanya hanya ada satu pemerintah, yaitu pemerintah pusat yang

mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara,

menetapkan kebijaksanaan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan negara baik

dipusat maupun didaerah-daerah. 5 Dalam perkembangannya lebih lanjut juga dibeberapa

negara telah dilakasanakan azas disentralisasi (penyerahan urusan dari pemerintah pusat

ke arah otonom) untuk menjadi urusan rumah daerah otonom itu. Pelaksanaan azas

desentralisasi ini melahirkan daerah-daerah otonom. Daerah otonom dapat mengatur

rumah tangganya sendiri sesuai dengan hukum positif.6

Maka dari itu membicarakan desentralisasi tentunya tidak dapat dipisahkan

mengenai bentuk negara kesatuan merupakan negara yang hanya ada satu negara, dan

tidak ada negara di dalam negara, dan didalamnya hanya ada satu pemerintahan, yaitu

pemerintahan pusat yang mempunyai kekuasaan atau wewenang tertinggi dalam segala

lapangan pemerintahan. Pemerintah pusat inilah yang pada tingkat terakhir dan tertinggi

dapat memutuskan segala sesuatu dalam negara tersebut.7

Oleh sebab itu, negara kesatuan dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu: pertama,

segala sesuatu dalam negara itu langsung dan di urus oleh pemerintah pusat yang

disebut negara kesatuan dengan konsep sentralisasi, sedangkan daerah-daerah hanya

tinggal melaksanakannya saja. dan kedua, negara kesatuan dengan sistem

desentralisasi, yaitu daerah diberi kesempatan dan kekuasaan untuk mengatur dan

mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) yang dinamakan daerah

otonom.8

Sementara itu menurut Fred Iswara negara kesatuan yang dimaksud dengan konsep

sentralisasi adalah seluruh kekuasaan dipusatkan pada satu atau beberapa organ

pusat, tanpa adanya pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan

pemerintah daerah. Pemerintah daerah yang ada hanya bagian pemerintahan pusat

yang bertindak sebagai wakil-wakil dari pusat untuk menyelenggarakan administrasi

setempat.9

5 Rusdianto Sesung, Hukum Otonomi Daerah Negara Kesatuan, Daerah Istimewa, dan Daerah Otonomi

Khusus, Ctk. Kedua, Bandung, PT. Refika Aditama, 2013, hlm. 10-11. 6 Ibid. 7 Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hlm. 64.

8 Utang Rosidin, Otonomi Daerah Dan Desentralisasi, Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm. 86.

9 Fred Iswara, Pengantar Ilmu Politik, Bina Cipta, Bandung, 1974, hlm. 188.

Page 11: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

6

Desentralisasi berasal dari kata decentralization yang asal katanya dari bahasa

latin yaitu decentrum tetapi jika umum yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah

pusat kepada pemerintah daerah. Menurut Irawan Soejito, desentralisasi merupakan

pelimpahan kewenangan dari pemerintah (pusat) kepada pihak lain untuk dilaksanakan

(pemerintah daerah). Sedangkan Joeniarto mengartikan desentralisasi sebagai

memberikan wewenang dari pemerintah negara kepada pemerintah lokal untuk mengatur

dan mengurus urusan tertentu sebagai urusan rumah tangga sendiri. Adapun Amrah

Muslimin, mengatakan bahwa desentralisasi merupakan pelimpahan wewenang pada

badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu untuk

mengurus rumah tangganya sendiri.10

Sedangkan menurut Riwu Kaho, desentralisasi

adalah suatu istilah yang luas dan selalu menyangkut persoalan kekuatan (power),

biasanya dihubungkan dengan pendelegasian atau penyerahan wewenang dari

pemerintah pusat kepada pejabatnya di daerah atau kepada lembaga-lembaga pemerintah

di daerah untuk menjalankan urusan-urusan pemerintahan di daerah.11

Dengan dianutnya konsep desentralisasi dalam negara kesatuan, setidaknya

terdapat empat belas manfaat yang dapat diperoleh baik oleh pemerintah pusat maupun

daerah. Keempat belas manfaat tersebut menurut Shabbir Cheema dan Rondeinelli

sebagaimana dikutip oleh Ni’matul Huda adalah:

a. cara yang ditempuh untuk mengatasi keterbatasan karena perencanaan yang

bersifat sentralistik dengan mendelegasikan sejumlah kewenangan terutama dalam

perencanaan pembangunan, kepada pejabat di daerah yang bekerja di lapangan dan

tahu betul masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Dengan desentralisasi maka

perencanaan dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan masyarakat di daerah

yang bersifat heterogen;

b. Sistem yang memotong jalur birokrasi yang rumit serta prosedur yang sangat

terstruktur yang menjadi ciri khas perencanaan dan penyelenggaraan

(pembangunan) terpusat di negara-negara berkembang yang sebagiannya

mengakibatkan konsentrasi kekuasaan, kewenangan dan sumber daya yang

berlebihan di pusat pemerintahan di ibukota negara;

c. Fungsi dan penugasan kepada pejabat di daerah dengan desentralisasi, maka

tingkat pemahaman serta sensitivitas terhadap kebutuhan masyarakat daerah akan

10

Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Ctk. Kedua, Nusa Media, Bandung. 2010, hlm. 65. 11

Riwu Kaho, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,

1990, hlm. 3.

Page 12: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

7

meningkat. Kontak hubungan yang meningkat antara pejabat dengan masyarakat

setempat akan memungkinkan kedua belah pihak untuk memiliki informasi yang

lebih baik, sehingga dengan demikian akan mengakibatkan perumusan

kebijaksanaan yang lebih realistik dari pemerintah;

d. Mengakibatkan terjadinya penetrasi yang lebih baik dari pemerintah pusat bagi

daerah-daerah terpencil atau sangat jauh dari pusat, dimana seringkali rencana

pemerintah tidak dipahami oleh masyarakat setempat atau dihambat oleh elit lokal,

dan dimana dukungan terhadap program pemerintah sangat terbatas;

e. Memungkinkan representasi yang lebih luas dari berbagai kelompok politik, etnis,

keagamaan dalam perencanaan pembangunan yang kemudian dapat memperluas

kesamaan dalam mengalokasikan sumber daya dan investasi pemerintah;

f. Meningkatkan kapasitas pemerintahan serta lembaga privat daerah, yang kemudian

dapat meingkatkan kemampuan mereka untuk mengambil alih fungsi yang selama

ini dijalankan oleh departemen yang ada di pusat;

g. Meningkatkan efisiensi pemerintahan di pusat dengan tidak lagi pejabat puncak di

pusat menjalankan tugas rutin karena hal itu dapat diserahkan kepada pejabat

daerah. Dengan demikian, pejabat di pusat dapat menggunakan waktu dan energi

mereka `untuk melakukan supervisi dan pengawasan terhadap implementasi

kebijakan;

h. Dapat menyediakan struktur dimana berbagai departemen di pusat dapat

dikoordinasikan secara efektif bersama dengan pejabat daerah dan sejumlah LSM

di berbagai daerah. Provinsi, Kabupaten, dan kota dapat menyediakan basis

wilayah koordinasi bagi program pemerintah, khususnya di dunia ke III dimana

banyak sekali program pedesaan yang dijalankan;

i. Dapat melembagakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan implementasi

program melalui struktur pemerintahan yang di desentralisasikan. Struktur seperti

itu dapat merupakan wahan bagi pertukaran informasi yang menyangkut kebutuhan

masing-masing daerah kemudian secara bersama-sama menyampaikannya kepada

pemerintah;

j. Dapat meningkatkan pengaruh atau pengawasan atas berbagai aktivitas yang

dilakukan oleh elit lokal, yang seringkali tidak simpatik dengan program

pembangunan nasional dan tidak sensitif terhadap kebutuhan kalangan miskin di

pedesaan, melalui penyediaan modal alternatif cara pembuatan kebijakan;

Page 13: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

8

k. Menghantarkan kepada administrasi pemerintah yang mudah disesuaikan, inovatif

dan kreatif. Pemerintah daerah dapat memiliki peluang untuk menguji inovasi,

serta bereksperimen dengan kebijakan yang baru di daerah-daerah tertentu tanpa

harus menjustifikasinya kepada seluruh wilayah negara. Kalau mereka berhasil

maka dapat dicontoh oleh daerah yang lainnya;

l. Perencanaan dan fungsi managemen dapat memungkinkan pemimpin di daerah

menetapkan pelayanan dan fasilitas secara efektif di tengah-tengah masyarakat,

mengintegrasikan daerah-daerah terisolasi, memonitor dan mengevaluasi

implementasi proyek pembangunan dengan lebih baik daripada yang dilakukan

oleh pejabat di pusat;

m. Memantapkan stabilitas politik dan kesatuan nasional dengan memberikan peluang

kepada berbagai kelompok masyarakat di daerah untuk berpartisipasi secara

langsung dalam pembuatan kebijakan, sehingga dengan demikian akan

meningkatkan kepentingan mereka di dalam memelihara sistem politik;

n. Mengurangi pemborosan karena ukuran (yang besar) yang lekat dengan

konsentrasi pengambilan keputusan terlebih di ibukota negara, desentralisasi dapat

meningkatkan penyediaan pemerintah pusat dan daeerah ke tingkat lokal dengan

biaya yang lebih rendah, karena hal itu tidak lagi menjadi beban pemerintah pusat

karena sudah diserahkan kepada daerah.12

Dengan adanya manfaat sebagaimana telah disebutkan diatas, maka desentralisasi

mempunyai dua tujuan, yaitu:

a. Bertujuan untuk menyalurkan partisipasi politik di tingkat daerah untuk terwujudnya

stabilitas politik nasional dimana disebut dengan tujuan politik;

b. Bertujuan untuk menjamin bahwa pembangunan akan dilaksanakan secara efektif dan

efisien di daerah-daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial yang

dinamakan tujuan ekonomis.13

Pada hakikatnya desentralisasi dipandang sebagai otonomisasi suatu masyarakat

yang berada dalam teori tertentu. Masyarakat berserta wilayahnya yang memiliki

otonomi di indonesia di sebut daerah otonom. Daerah otonom dalam tradisi

Indonesia merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batasan wilayah

tertentu dan memiliki otonomi daerah, sedangakan otonomi daerah merupakan

wewenang untuk membuat kebijakan dan melaksanakan kebijakan berdasarkan

12

Ni’matul Huda, op. cit., hlm. 79-83. 13

Tjahya Supriatna, Sistem Administrasi Pemerintahan di Daerah, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm. 21.

Page 14: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

9

prakarsa sendiri. Mengingat terdapatnya variasi kondisi dan potensi masayarakat,

maka terjadi keanekaragaman kebijakan dan pelaksanaan.14

Diantutnya desentralisasi dalam organisasi negara tidak berarti ditanggalkannya

asas sentralisasi, karena kedua asas tersebut tidak bersifat dikotomis, melainkan

kontinum. Tidak mungkin diselenggarakan desentralisasi tanpa sentralisasi.

Desentralisasi tanpa sentralisasi akan mengakibatkan disintegrasi. Oleh karena itu

otonomi daerah yang pada hakekatnya mengandung kebebasan dan keleluasaan

berprakasa memerlukan bimbingan dan pengawasan Pemerintah, sehingga tidak

menjelma menjadi kedaulatan. Otonomi daerah dan daerah otonomi adalah ciptaan

pemerintah. Namun demikian, hubungan antara daerah otonom dan Pemerintah adalah

hubungan antara organisasi.15

Maka dari itu untuk mensukseskan pembangunan di daerah, diperlukan

kewengangan untuk menjalankan otonomi dengan penuh tanggujawab. Karena itu,

hubungan antara pusat dan daerah telah direformasi dengan diberlakukan sistem

pemerintah yang desentralistis yang kemudian dimanifestasikan dalam undang-undang

tentang Otonomi Daerah. 16

Dalam konteks Indonesia, desentralisasi selalu dikaitkan pembentukan daerah

otonom atau pemerintahan daerah dan penyerahan urusan pemerintahan dari pusat

kepada pemerintah daerah sehingga pemerintah daerah mempunyai kewenangan

untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tersebut. Desentralisasi adalah

istilah penting dengan konotasi yang luas. Setiap penyerahan kewenangan dari

Pemerintah Pusat dapat tercakup dari pengertian tersebut. Konsep desentralisasi

selalu berkaitan dengan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kekuasaan yang

menjadi domain Pemerintah Pusat yang diserahkan ke daerah.17

Secara teoritik terdapat elemen-elemen dasar yang bersifat generik dalam institusi

pemerintahan daerah. Setidaknya terdapat 7 (tujuh) elemen dasar yang membangun

entitas pemerintahan daerah yaitu Agar pemerintah daerah mampu melaksanakan

otonominya secara optimal yaitu sebagai instrumen menciptakan proses

demokratisasi dan instrumen menciptakan kesejahteraan ditingkat lokal, maka harus

14

Tim Redaksi Warta Gubernur, “Menuju Keseimabangan Format Otonomi Daerah”, Assosiasi

Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia, artikel pada Jurnal Otonomi & Pembangunan Daerah Warta Gubernur,

Vol. 3, Tahun 1, Maret 2007, hlm. 25. 15 Ibid. 16

Yeremias T. Keban, “Membangun Kerjasama Antara Pemerintah Daerah Dalam Era Otonom”, artikel

pada Jurnal Otonomi & Pembangunan Daerah Warta Gubernur, Assosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh

Indonesia Vol. 1, Tahun 1, 2007, hlm 19. 17

Oksep Adhayanto, Yudhanto Satyagraha Adiputra, “Dampak Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah Terhadap Peraturan Daerah Di Kabupaten Bintan Tahin 2015 (Studi Peralihan

Kewenangan Dibidang Kelautan dan Pertambangan)”, Jurnal Selat, Vol. 2, No. 2, Edisi 4, hlm. 300.

Page 15: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

10

dipahami secara filosofis elemen-elemen dasar yang membentuk pemerintahan

daerah sebagai suatu entitas pemerintahan, yaitu18

:

a. Urusan Pemerintahan yaitu “kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus

urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah. Desentralisasi pada hakekatnya

membagi urusan pemerintahan antar tingkatan pemerintahan; pusat mengerjakan

apa dan daerah mengerjakan apa.

b. Kelembagaan daerah diaman Kewenangan daerah tidak mungkin dapat

dilaksanakan kalau tidak diakomodasikan dalam kelembagaan daerah. Untuk

konteks Indonesia, ada dua kelembagaan penting yang membentuk pemerintahan

daerah yaitu: kelembagaan untuk pejabat politik yaitu kelembagaan kepala daerah

dan DPRD; dan kelembagaan untuk pejabat karier yang terdiri dari perangkat

daerah (dinas, badan, kantor, sekretariat, kecamatan, kelurahan, dll)

c. Personil, elemen ini yang mengerakkan kelembagaan daerah untuk menjalankan

urusan pemerintahan yang menjadi domain pemerintahan daerah. Personil daerah

(PNS Daerah) tersebut yang pada gilirannya menjalankan kebijakan publik

strategis yang dihasilkan oleh pejabat (DPRD dan Kepala Daerah) untuk

menghasilkan barang dan jasa (goods and services) sebagai hasil akhir dari

pemerintahan daerah.

d. Keuangan Daerah adalah sebagai konsekuensi dari adanya urusan pemerintahan

yang diserahkan kepada daerah. Hal tersebut sesuai dengan prinsip “money

follows function”. Daerah harus diberikan sumber-sumber keuangan baik yang

bersumber pada pajak dan retribusi daerah (desentralisasi fiskal) maupun

bersumber dari dana perimbangan (subsidi dan bagi hasil) yang diberikan ke

daerah. Adanya sumber keuangan yang memadai akan memungkinkan daerah

untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah.

e. Perwakilan Daerah adalah “perwakilan daerah secara filosofis, rakyat yang

mempunyai otonomi daerah tersebut. Namun secara praktis adalah tidak mungkin

masyarakat untuk memerintah bersama. Untuk itu maka dilakukan pemilihan

wakil-wakil rakyat untuk menjalankan mandat rakyat dan mendapatkan legitimasi

untuk bertindak untuk dan atas nama rakyat daerah. Dalam sistem pemerintahan

di Indonesia, ada dua jenis institusi yang mewakili rakyat. Pertama, DPRD yang

dipilih melalui pemilihan umum, untuk menjalankan fungsi legislasi daerah.

Kedua, Kepala Daerah yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah.

f. Pelayanan Publik adalah hasil akhir dari pemerintahan daerah dimana tersedianya

“goods and services” tersebut dapat dibagi dalam dua klasifikasi sesuai dengan

hasil akhir yang dihasilkan pemerintahan daerah. Pertama, pemerintahan daerah

menghasilkan public goods yaitu barang-barang untuk kepentingan masyarakat

lokal seperti; jalan, jembatan, irigasi, gedung sekolah, pasar, terminal, rumah

sakit dan sebagainya. Kedua, pemerintahan daerah menghasilkan pelayanan yang

bersifat pengaturan publik, seperti; menerbitkan akte kelahiran, kartu tanda

penduduk, kartu keluarga, izin mendirikan bangunan, dan sebagainya. Pada

dasarnya public regulation dimaksudkan untuk menciptakan ketentraman dan

ketertiban dalam masyarakat.

g. Pengawasan, “Argumen dari pengawasan adalah adanya kecenderungan

penyalahgunaan kekuasaan sebagaimana adagium Lord Acton “Power tends to

corrupt and absolute power will corrupt absolutely”. Untuk mencegah hal

tersebut maka elemen pengawasan mempunyai posisi strategis untuk

menghasilkan pemerintahan yang bersih. Undang-Undang Dasar 1945 beserta

18

Ibid.

Page 16: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

11

perubahannya telah memberikan landasan konstitusional mengenai

penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia.

2.2. Teori Hukum Responsif

Hukum responsip merupakan teori hukum yang sangat representatif dengan

tuntutan jaman dimana untuk menemukan suatu regulasi yang sesuai pada kondisi

masyarakat sekarang khususnya di Indonesia, dibutuhkan regulasi yang diciptakan

humanis terhadap masyarakat, apalagi kaitanya dengan suatu produk hukum daerah

yang memiliki karakteristik daerah yang berbeda-beda.

Hukum responsif itu sendiri merupakan pendapat yang dikeluarkan oleh Nonet

Selznick di tengah kritik pedas Neomarxis, terhadap liberal legalisme yaitu

mengandaikan hukum sebagai institusi mandiri dengan sistem peraturan dan prosedur

yang obyektif, tidak memihak dan benar-benar otonom. Hukum pada dasarnya adalah

sebuah alat bagi manusia, ia merupakan instrumen untuk melayani kebutuhan

manusia. Dalam makna ini, isolasi sistem hukum dari berbagai institusi sosial

sekitarnya justru berdampak buruk, dari sisi kebutuhan manusia itu sendiri, bukan lagi

melayani manusia.

Hukum dalam bingkai rasional liberalisme adalah sebagai benteng perlindungan

bagi si kaya dan si penguasa. Bingkai ini adalah sebagai pegangan kuat bagi rule

of law. Menurut neo arxis bahwa rule of law dianggap tidak mampu menguasai

isu-isu mendesak mengenai keadaan sosial, dan lebih parah lagi bahwa rule of

law adalah musuh bagi keadilan sosial. Di tengah rangkaian kritik atas realitas

kritis otoritas hukum ini, melahirkan Nonet Selznick yang mengajarkan model

hukum responsif.19

Teori Hukum responsif ini dikembangkan melalui bukunya yang berjudul Law

And Society In Transition: Toward Responsive Law yang diterbitkan oleh Harper

and Row pada tahun 1978. Dalam perspektif hukum responsif, hukum yang baik

merupakan hukum yang bukan hanya menawarkan keadilan prosedural, tetapi

juga lebih dari itu, sprti hukum berkompeten dan adil, serta mampu mengenali

keinginan publik dan punya komitmen bagi tercapainya keadilan substantif.20

Hukum responsif merupakan respon terhadap tipe hukum represif dan teori

hukum otonom. Hukum represif, hukum otonom dan hukum responsif dapat dipahami

sebagai respon terhadap dilema yang ada antara integritas dan keterbukaan. Hukum

19 Bernart L. Tanya, Teori Hukum Stategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV Kita,

Surabaya, 2007, hlm. 227-228. 20

Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Nusa Media, Bandung, 2015. hlm. 84.

Page 17: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

12

yang represif ditandai dengan adaptasi yang pasif dan oportunistik dari institusi-

institusi hukum terhadap lingkungan sosial dan politik. Sehingga, tipe hukum represif

merupakan suatu hukum yang mempunyai karakter sebagai berikut, yaitu:

a. Institusi hukum, secara langsung dapat diakses oleh kekuatan politik, hukum di

identifikasikan sama dengan negara dan ditempatkan dibawah tujuan negara

(raison d’etat) khususnya negara Indonesia;

b. Langgengnya sebuah otoritas merupakan urusan yang paling penting dalam

administrasi hukum, dimana dalam perspektif resmi yang terbangun, manfaat dari

keraguan masuk kesistem, dan kenyamanan administratif menjadi titik berat

perhatian;

c. Lembaga-lembaga kontrol yang terspesialisasi, seperti polisi, menjadi pusat-pusat

kekuasaan yang independen, mereka terisolasi dari konteks sosial yang berfungsi

memperlunak, serta mampu menolak otoritas politik;

d. Sebuah rezim hukum berganda (dual law) melembagakan keadilan berdasarkan

kelas dengan cara mengkonsolidasikan dan melegitimasi pola-pola subordinasi

sosial;

e. Hukum pidana merefleksikan nilai-nilai dominan, moralisme hukum yang akan

menang.21

Sedangkan hukum otonom merupakan suatu reaksi yang menentang

keterbukaan yang serampangan. Kegiatan atau perhatian utamanya adalah bagaimana

menjaga integritas institusional. Untuk mencapai tujuan tersebut hukum mengisolasi

dirinya, mempersempit tanggung jawabnya, dan menerima formalisme yang buta

demi mencapai sebuah integritas. Dengan demikian, karakter khas yang melekat

kepada hukum otonom yaitu:

a. Hukum terpisah dari politik. Secara khas, sistem hukum ini menyatakan

kemandirian kekuasaan peradilan, dan membuat garis tegas antara fungsi-fungsi

legislatif dan yudikatif;

b. Model peraturan (model of rules) mendukung tertib hukum. Fokus pada peraturan

membantu menerapkan ukuran bagi akuntabilitas para pejabat; pada saat yang

sama, dalam wilayah politik ia memberikan batasan terkait kreativitas institusi-

institusi hukum maupun resiko campur tangan kepada lembaga-lembaga hukum

itu;

21

Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi, Huma, Jakarta, 2003.

hlm. 26.

Page 18: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

13

c. Jantung hukum adalah prosedur. Bukannya keadilan substantif yang terletak pada

keteraturan dan keadilan (fairness) dan, merupakan tujuan utama dan kompensasi

utama dari tertib hukum;

d. Tatat hukum dipahami sebagai kepatuhan yang sempurna terhadap peraturan-

perturan hukum positif. Kritik terhadap hukum yang berlaku harus disalurkan

melalui proses politik.22

Teori hukum responsif ini lahir pada tahun 1950-an dimana Amerika Serikat pada

saat itu dilanda masalah-masalah sosial seperti protes massal, kemiskinan,

kejahatan, pencemaran lingkungan, kerusuhan kaum urban, dan penyagunaan

kekuasaan dan hukum saat itu tidak dapat mengatasi masalah-masalah tersebut,

maka Nonet-Selnick mengajukan model hukum responsif di tengah rangkaian

kritik atas realitas krisis otooritas hukum itu. Perubahan sosial dan keadilan sosial

membutuhkan tatanan hukum yang responsif. Kebutuhan ini sesungguhnya telah

menjadi tema utama dari tema utama dari semua ahli yang sepaham dengan

semangat fungsional, pragmatis, dan semangat purposif berorientasikan tujuan,

sepertinya Roscou Pound, para penganut paham realisme hukum dan kritikus-

kritikus kontemporer.23

Hukum responsif merupakan tipe hukum yang berusaha untuk mengatasi

ketegangan atau permasalahan yang terdapat didalam tipe hukum represif maupun

hukum otonom. Dimana juga hukum responsif merupakan hukum yang

mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Partisipasi penuh

kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat merupakan peran besar

proses pembuatannya memberikan.24

Dengan kata lain, hukum responsif memberikan

perluasan bagi partisipasi hukum yang bukan hanya mengembangkan nilai demokratik

dan tatanan hukum.

Mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan

merupakan kekhas hukum responsif. Misalnya saja yang lazim untuk hal ini adalah

doktrin “due process”. Sebagai doktrin kontitusional “due process” mungkin hanya

dipahami sebagai nama untuk serangkaian peraturan, yang dipaparkan secara historis,

yang melindungi hak-hak atas atas pemberitahuan (right of notice), untuk didengar

dalam persidangan, peradilan dengan sistem juri, dan hal lain semacamnya. Dapat kita

22

Ibid, hlm. 44. 23

https://id.scribd.com/doc/241982471/Makalah-Teori-Hukum-Responsif-doc, diakses pada 19 Oktober

2019, jam 06.04 WIB. 24

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Edisi Revisi, Ctk. Ketiga, Rajawali Pers, Jakarta,

2010, hlm. 31.

Page 19: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

14

lihat hukum responsif mendorong dan mengembangkan kesopanan dalam dua cara

pokok yaitu:

a. Dalam moralitas komunal mengatasi kondisi sempitnya pandangan. Otoritas

tujuan yang tumbuh cenderung mengurangi preskripsi dan simbolisme. Kebiasaan

dan moralitas, sejauh moralitas dan kebiasaan ini mengklaim otoritas hukum,

harus dijustifikasi oleh suatu penilaian rasional mengenai pengorbanan dan

manfaat hal tersebut merupakan tuntutan dalam hukum responsif. Salah satu

akibatnya adalah tekanan untuk mendeskriminilisasi pelanggaran-pelanggaran

terhadap nilai-nilai moral yang berlaku. Tatanan hukum lalu lebih beradab, atau

tepatnya bahwa tatanan tersebut menjadi lebih santun, lebih menerima keragaman

budaya, tidak terlalu mudah menjadi kejam terhadap hal-hal yang menyimpang

dan eksentrik. Hal ini tidak lantas berarti bahwa hukum melepaskan diri dari

konsensus moral masyarakat. Ia hanya lebih menemukan konsensus di dalam

aspirasi-aspirasi yang umum daripada di dalam norma perilaku yang spesifik, ia

berusaha mengklarifikasi nilai-nilai yang dipertaruhkan dalam tatanan moral,

sehingga akan membebaskan budaya dan tafsiran-tafsiran sempitnya.

b. Suatu pendekatan yang berpusat pada masalah (problem centered) dan yang

integratif secara social yaitu mendorong suatu pendekatan baru terhadap krisis-

krisis ketertiban umum. Rekonstruksi hubungan sosial dianggap sebagai sumber

utama untuk mencapai ketertiban umum ini menurut hukum responsif. Dengan

kata lain, hukum responsif dapat lebih siap mengadopsi “paradigma politik”

dalam mengintrepetasikan ketidaktertiban dan ketidakpatuhan. Paradigma

tersebut menggunakan suatu model pluralistik dari struktur kelompok di dalam

masyarakat, dan karenanya menekankan realitas dan meneguhkan legitimasi

konflik sosial. Ketidakpatuhan mungkin dapat dilihat sebagai perbedaan

pendapat, dan penyimpangan sebagai munculnya suatu gaya hidup baru,

kerusuhan tidak dianggap sebagai aksi massa yang tidak masuk akal atau sekedar

merusak namun dipuji karena relevansinya sebagai proses sosial. Dengan jalan

ini, seni negosiasi, diskusi, dan kompromi secara politis dan juga sopan ikut

dilibatkan.25

Dengan menggunakan hukum responsif ini pengujian Perda dapat memenuhi

hukum yang mencerminkan rasa keadilan mungkin lebih dari sekedar keadilan dan

25

Philippe Nonet dan Philip Selznick, loc. cit.

Page 20: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

15

memenuhi harapan masyarakat, apalagi kita dapat lihat Perda merupakan instrumen

daerah yang melekat pada masyarakat setempat, dengan mencari nilai-nilai yang

terdapat dalam peraturan dan kebijakan dimana sesuai kebutuhan masyarakat

setempat.

Jika kita melihat dalam tatanan hukum responsif, maka hukum responsif ini

menekankan pada:

a. Keadilan substantif;

b. Merupakan subordinasi dari prinsip kebajikan;

c. Tujuan hukum harus berorientasi pada kemaslahatan hukum;

d. Pengambilan keputusan hukum berorientasi pada tujuan;

e. Memupuk sistem kewajiban daripada paksaan;

f. Moralitas kerjasama sebagai prinsip moral dalam menjalankan hukum;

g. Kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas hukum dalam melayani

masyarakat26

.

2.3. Teori Pengujian Norma

Terhadap konflik norma hukum dapat dilakukan pengujian. Secara terminologi

pengujian dapat dipadankan dengan kata toetsingrecht yang dipergunakan di negara-

negara yang menganut sistem civil law. Sedangkan review digunakan di negara-

negara yang menganut sistem common law.

King Faisal Sulaeman berpendapat hak menguji (toetsingrecht) sering

dirancukan dengan istilah judicial review. Kedua istilah tersebut mempunyai

pengertian yang berbeda meskipun secara substansi memiliki kesamaan yaitu

perlindungan hak-hak konstitusional warga negara. Secara umum, hak menguji

(toetsingrecht) lebih luas dari judicial review dan constitutional review. Hak menguji

(toetsingrecht) merupakan hak menguji peraturan perundang-undangan yang

diberikan baik kepada kekuasaan yudikatif, legislatif maupun eksekutif. Hak menguji

tersebut didasarkan kepada organ pengujinya.27

Sedangkan judicial review merupakan

pengujian yang diberikan kepada lembaga yudisial (hakim).

Dengan demikian, maka dapat ditarik perbedaan antara toetsingrecht dengan

judicial review. Perbedaan tersebut adalah:

a. Hak menguji (toetsingsrecht) merupakan kewenangan untuk menguji peraturan

perundang-undangan terhadap UUD, sedangkan judicial review tidak hanya

26 Bernard L. Tanya, op. cit., hlm 240-241. 27

King Faisal Sulaeman, 2017, Teori Peraturan Perundang-Undangan Dan Aspek Pengujiannya,

Yogyakarta: Thafa Media, hlm. 104-105.

Page 21: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

16

menguji peraturan perundang-undangan tetapi juga administrative action terhadap

UUD;

b. Hak menguji (toetsingrecht) terkait peraturan perundang-undangan tidak hanya

dipunyai hakim, tetapi juga lembaga negara lain yang diberi kewenangan tersebut

berdasarkan peraturan perundang-undangan, sedangkan dalam kasus konkret di

Pengadilan, judicial review hanya merupakan kewenangan dari hakim

pengadilan.28

Pengujian terhadap norma hukum ini bisa dilaksanakan melalui cara biasa

yaitu dengan cara mengeluarkan norma hukum (peraturan perundang-undangan) baru

dan dengan cara luar biasa yaitu cara ini biasanya dilakukan dengan cara penunjukan

organ tersendiri melalui konstitusi seperti halnya melalui judicial review.29

Secara teoritis, pengujian terhadap norma hukum dapat dibagi menjadi dua,

yaitu:

a. Hak menguji formal (formal toetsingrecht) adalah wewenang menilai, apakah

seperti Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang merupakan suatu produk

legislatif, misalanya dalami prosedur sebagaimana telah ditentukan dalam

peraturan yang berlaku ataukah tidak. Jika dilihat dari pengertian hak menguji

formil diatas, maka terlihat jelas jika yang dinilai atau diuji adalah tata cara

(prosedur) pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, apakah sudah

sesuai atau tidak dengan apa yang telah ditentukan atau digariskan dalam

peraturan;

b. Hak menguji material (materiel toetsingrecht) yakni wewenang untuk menyelidiki

dan kemudian menilai, apakah peraturan perundang-undangan tersebut dalam hal

isi sudah sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya,

dan apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan.30

Jika

digaris bawahi hak menguji material ini berkenaan dengan suatu peraturan dalam

hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.31

Dengan mengacu kepada pengertian hak menguji (toetsingrecht) maka

pengujian terhadap norma hukum dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu: (1)

28

Fatmawati., Hak Menguji (Toetsingrecht) Yang Dimiliki Hakim Dalam Sistem Hukum Indonesia,

Rajagrafindo, Jakarta, 2006. 29

Ibid. hlm. 104. 30

Jazim Hamidi, dkk, Optik Hukum Peraturan Daerah Bermasalah: Menggagas Peraturan Daerah Yang

Responsif Dan Berkesinambungan, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2011, hlm. 106. 31

Ibid, hlm. 97.

Page 22: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

17

pengujian yang dilakukan oleh eksekutif (executive review); (2) pengujian yang

dilakukan oleh legislatif (legislative review); dan (3) pengujian yang dilakukan oleh

yudisial (judicial review). Jika pengujian terhadap norma hukum dilakukan oleh

pemerintah maka disebut dengan istilah executive review. Jika kewenangan menguji

diberikan kepada lembaga legislatif atau parlemen dapat dikatakan sebagai legislative

review. Sedangkan jika hak uji diberikan kepada hakim maka disebut dengan judicial

review.32

Ada tiga pengujian terhadap norma hukum, yaitu (1) pengujian yang dilakukan

badan peradilan (judicial review); (2) pengujian oleh badan yang sifatnya politik

(political review); dan (3) pengujian yang dilakukan pejabat atau badan administrasi

negara (administrative review).33

Makna “judicial review” Pengujian terhadap

Peraturan Daerah tersebut yang dilakukan terhadap Mahkamah Agung sebagaimana

yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut dengan mengembalikan

pengujian terhadapat Peraturan Daerah, hanya pada tingkat uji normanya saja, padahal

kita ketahui banyak muatan-muatan materi perda yang bermasalah, untuk itu

pengujian ini tentunya tidak hanya pada formalnya saja, tetapi pada materinya.

Disebut sebagai judicial review jika pengujian itu dilakukan terhadap norma

hukum yang bersifat abstrak dan umum (general dan abstract norms) secara “a

posteriori”. Disebut judicial preview jika pengujian itu bersifat “a priori”, yaitu

terhadap rancangan undang-undang yang telah disahkan oleh parlemen tetapi

belum diundangkan sebagaimana mestinya. Jika ukuran pengujian itu dilakukan

dengan menggunakan konstitusi sebagai alat pengukur, maka kegiatan pengujian

semacam itu disebut sebagai “constitutional review”atau pengujian konstitusional

yaitu pengujian konstitisional yang dikaji dari norma hukumnya (judicial review

on the constituttionality of law).34

Namun, jika norma yang diuji itu menggunakan undang-undang sebagai batu

ujinya, misalnya Mahkamah Agung yang berwenang menguji peraturan

perundang-undang dibawah undang-undang terhadap undang-undang, maka

pengujian ini tidak dapat disebut sebagai constitutional review melainkan judicial

review on the legality of legulation‘. Itu itu harus dibedakan upaya pengujian

32

Menurut Jimly Asshidiqqie, pengujian norma hukum oleh hakim masih dibedakan menjadi dua, yaitu

judicial review dan judicial preview. Yang dimaksud dengan judicial review jika yang diuji adalah norma

hukum yang bersifat abstrak dan umum (general and abstract norm) secara a priori. Sedangkan jika pengujian

itu bersifat a priori, yaitu terhadap rancangan undang-undang yang telah disahkan oleh parlemen atau legistatif,

tetapi belum diundangkan sebagaimana mestinya, maka namanya adalah judicial preview. Lihat Jimly

Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 6. 33

Umbu Rauta, Konstitusionalitas Pengujian Peraturan Daerah, Genta Publishing, Yogyakarta, 2016.

hlm. 77. 34 Jimly Asshiddiqie, op. cit., hlm. 7

Page 23: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

18

legalitas (legal review). Di samping itu harus normanya bersifat umum dan

abstrak (general and abstract), berarti normanya yang diuji adalah produk

regeling. Akan tetapi kalau norma hukum yang diuji itu bersifat kongkrit dan

indvidual, maka judicial review masuk kedalam ruang lingkup peradilan tata

usaha negara.35

Kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian perundang-

undangan baik secara materiil yaitu subtansi pengaturan maupun secara formil yaitu

terhadap proses pembentukan peraturan perundang-undangan, selain itu uraian

tersebut juga menjelaskan tentang acuhan pengujian perundang-undangan yang dalam

Pasal 11 ayat (2) huruf b hanya disebutkan pengujian terhadap peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi, maka hak tersebut memperluas cangkupan pengujian. Hal

ini perlu karena terdapat beberapa bentuk perundang-undangan di bawah undang-

undang dan bisa jadi ketentuanya tidak selalu mengacu secara langsung atau

pertentanganya tidak pada undang-undang. 36

Hak uji materiil peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung ini

pernah dilakukan penelitian dalam tesis Franscisca Widiastuti memberikan saran:

a. Pelaksanaan hak uji materiil sebaiknya dibuat dalam bentuk undang-undang,

meskipun dalam UUD 1945 telah memuat secara jelas pembagian wewenang

kepada Mahkamah Agung, tetapi harus ada peraturan pelaksana berupa undang-

undang.

b. Pengujian yang dilakukan Mahkamah Agung haruslah sedemikian rupa ditunjang

dengan argumen ilmiah dan bukan sekedar argumen yang dilandaskan oleh

kepentingan praktis semata serta dihubungkan dengan teori-teori peraturan

perundang-undangan sehingga akan tercipta ketertiban hukum antara perundang-

undangan yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lainya.37

Beberapa persoalan yang muncul akibat mekanisme pengujian oleh dua

institusi badan Judicial review (Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung)

semacam itu, pertama tidak adanya visi dan konsep hukum atau peraturan perundang-

undangan yang hendak ditegakan. Karena ada dua lembaga yang berwenang untuk ini,

maka dapat dipastikan masing-masing lembaga memiliki standar/tolak ukur yang

35

Ibid. 36

M. Nur Solokin, “Perbaikan Prosedur Pengujian Peraturan Perundang-undangan Di Mahkamah

Agung”, Artikel pada Jurnal hukum dan peradilan, Vol. 3. No. 2, juli 2014. hlm 154. 37 Francisca Widiastuti, “Hak Uji materiil Peraturan Perundang-undangan Di Bawah Undang-undang

Oleh Makamah Agung”, artikel pada Tesis Fakulatas Hukum Universitas Gajah Mada, 2005, hlm 83-84.

Page 24: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

19

berberdatentang visi dan konsepsi hukum yang harus ditegakan. Kedua model

pengujian tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan pelecehan hukum

suatu keputusan karena tidak adanya integritasi konsep hukum terhadap perundang-

undangan yang diuji. Bagaimana apabila suatu Peraturan Pemerintah dinyatakan tidak

bertentangan dengan suatu undang-undang oleh Mahkamah Agung, sementara

Mahkamah Konstitusi menyatakan undang-undang yang dijadikan payung Peraturan

Pemerintahan tersebut bertentangan dengan undang-undang.38

Mahkamah Agung dalam pengujiannya dilakukan oleh secara kasuistis yaitu,

melalui perkara yang diajukan, baik karena permohonan penijauan kembali perkara

yang telah memperoleh putusan yang berkekuatan tetap (herziening) dan berpendapat

bahwa ketentuan perundang-undangan (yang lebih rendah kedudukanya dari undang-

undang) tersebut bertentangan maka Mahkamah Agung menyatakan bahwa ketentuan

tersebut adalah tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, dan karena itu pencabutan

ketentuan perundang-undangan tersebut harus segera dilakukan oleh instansi yang

bersangkutan (yang membuatnya).39

Tentang hak menguji perundang-undangan secara materiil tidaklah sama diberbagai

negara. Di Amerika Serikat misalnya, Supreme Court (Mahkamah Agung)

mempunyai hak menguji secara materiel terhadap undang-undang. Dan pengadilan

biasa (court) dapat menolak untuk menerapkan ketentuan-ketentuan dari suatu

perundang-undangan ke dalam suatu kasus, apabila ketentuan-ketentuan tersebut

bertentangan dengan sumbernya (peraturan yang lebih tinggi kedudukanya).40

Di Indonesia sendiri Pengaturan pengujian materiil lebih lanjut diantur dalam

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1993 Tentang Hak Uji Materiil

merupakan hukum acara pengujian materiil pertama yang dikeluarkan Mahkamah

Agung. Untuk menyesuaikan dengan berbagai perkembangan yang terjadi Perma

Nomor 1 Tahun 1993 kemudian diganti dengan Perma Nomor 1 tahun 1999 yang

pada akhirnya juga diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun

2004.41

Kemudian diperbaiki lagi dengan Perma Nomor 1 tahun 2011.

38

Nurainun Mangunsong , “Tolak Ukur Judisial Review undang-undang Terhadap Undang-undang dasar

1945 Oleh mahakamah Konstitusi”, artikel pada Jurnal Konstitusi PKKKD-FH Universitas Muhammadiyah

Magelang, Vol. 1, No. 1, Agustus 2008, hlm 104. 39

Amiroeddin Syarif, Perundang-undangan, Dasar, Jenis dan Tehnik Membuatnya, Rineka Cipta,

Jakarta, 1997, hlm. 80. 40

Ibid. 41

Fatkhurohman, Sirajuddin, Zulkarnain, Legislative Drafting Pelembagaan Metode Partisipasif Dalam

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Malang Corruption Watch (MCW), Malang, 2008, hlm. 176.

Page 25: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

20

Ketika Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1999 pengujian dapat dilakukan

melalui dua jalur, yakni gugatan dan permohonan keberatan. Gugatan adalah tuntutan

kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara terhadap peraturan perundang-undangan di

bawah undang-undang untuk mendapatkan keputusan. Sementara dalam Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2004 mengajukan hak uji materiil ke Mahkamah

Agung hanya dapat dilakukan melalui permohonan.42

Permohonan keberatan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun

2011 tentang Hak Uji Materiil diajukan ke Mahkamah Agung dengan cara (a) langsung ke

Mahkamah Agung, atau (b) melalui pengadilan negeri yang membawahi wilayah hukum

setempat kedudukan pemohon. Permohonan diajukan terhadap suatu perundang-undangan

yang diduga bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan tingkat tinggi.43

Permohonan keberatan diajukan ke Pengadilan Negeri yang mana prosesnya sama

saja tidak ada bedanya, hanya perbedaan tempat pengajuannya, ketika permohonan

gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri setempat, maka ketika berkas telah lengkap pada

hari berikut setelah pendaftaran diajukan ke Panitra Pengadilan Negeri, kemudian

diserahkan ke Panitra Mahkamah Agung yang akan disampaikan ke Ketua Mahkamah

Agung untuk ditetapkan Majelis Hakim Agung setelah lengkap berkas permohonan

tersebut. Penetatapan Majelis dilaksanakan oleh Ketua Muda Bidang Tata Usaha Negara

Atas nama Ketua Mahkamah Agung.

Kemudian dijelaskan pula putusan terhadap pengajuan hak uji materiil ke

Mahkamah Agung dibedakan menjadi 3 (tiga) macam : (1) jika Mahkamah Agung

berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan, karena peraturan Perundang-

undangan tersebut bertentangan, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan keberatan

tersebut; (2) Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan jika peraturan perundang-

undangan yang dimohonkan keberatan tersebut tidak sah dan tidak berlaku umum, serta

memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera mencabutnya; (3) dalam hal

Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu tidak beralasan,

Mahkamah Agung menolak permohonan keberatan tersebut.44

Putusan tersebut jangka

waktunya adalah 90 (sembilam puluh hari) setelah putusan Mahkamah Agung tersebut

dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Peraturan

42

Ibid. 43 Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. 44 Fatkhurohman, Sirajuddin, Zulkarnain. 2008. Legislative Drafting Pelembagaan Metode Partisipasif

Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Malang: Malang Corruption Watch (MCW), hlm. 177.

Page 26: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

21

Perundang-undangan, ternyata pejabat yang bersangkutan tidak melaksakan kewajibanya,

demi hukum Peraturan Perundang-undangan tidak mempunyai kekuatan hukum.45

Menurut Von Staden, Andreas“judicial review by international courts must be

guided by the principle of “normative subsidiarity The ideal of self-government as

the core of democracy and argue that in order to be democratically legitimate.”

Normative subsidiarity recognizes the legitimate exercise of decision-making

authority by national governments in specific contexts as an appropriate

instantiation of self-government at that level and, as a result, requires international

courts to exercise some deference through appropriately defined judicial standards

of review. While a number of international courts have already adopted

appropriately deferential standards, I argue that all courts and tribunals engaged in

judicial review beyond the state need to address the demands of normative

subsidiarity if they want to enhance their specifically democratic legitimacy”.46

Melengkapi hal tersebut diatas menurut Lever, Annabelle judicial review do not

require judges to be better at protecting rights than legislators if that judicial review

has a democratic justification, although it is not necessary for democratic

government and its virtues are controversial and often speculative. Hence a

democratic justification for judicial review does not depend on complex and

inevitably controversial interpretations and evaluations of judicial as opposed to

legislative judgments. Democratic government does not demand special virtue,

competence or wisdom in its citizens or their leaders. From a democratic

perspective, therefore, the case for judicial review is that it enables individuals to

vindicate their rights against government in ways that parallel those they commonly

use against each other. This makes judicial review normatively attractive whether or

not it leads to better decisions than would be made by other means.47

2.4. Teori Negara Hukum

Peran pemerintah dalam mengatur warga negaranya harus memperhatikan

keseimbangan antara hak dan kewajibannya sehingga tercipta ketertiban dan

keamanan dalam masyarakat. Guna mewujudkan hal tersebut maka produk-produk

hukum yang dibuat pemerintah bersama-sama wakil rakyat tentunya harus bersih,

berwibawa dan bertanggungjawab yang mengarah kepada terciptanya aparatur

pemerintah yang memiliki kemampuan untuk mengayomi warga negara dan

mendukung pembangunan nasional, serta ditujukan kepada pemantapan kelembagaan

pemerintahan dan peningkatan professionalitas aparatur pemerintah itu sendiri yang

45

Pasal 8 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil. 46

Von Staden, Andreas, “The democratic legitimacy of judicial review beyond the state: Normative

subsidiarity and judicial standards of revie”, artikel pada International Journal of Constitutional Law, 2012. 47 Lever, Annabelle, “Democracy and judicial review: Are they really incompatible?”, artikel pada

Journal Perspectives on Politics, 2009.

Page 27: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

22

nantinya digunakan sebagai pedoman didalam menyelenggarakan suatu pemerintahan

yang bersih, berwibawa dan bertanggung jawab.

Ricardo Miranda berpendapat “In modern legal theories see the law solely from

the viewpoint of the ruling class because of legal philosopher implicitly have

received the law as the exclusive domain of Governments and partisan politics.

This approach, has been plagued by poststructuralist political development,

which serves as a powerful force for change concepts that apply”.48

Wirjono Projodikoro berpendapat bahwa negara hukum adalah suatu negara

dimana semua alat-alat perlengkapan dari negara, khususnya alat-alat

perlengkapan dari pemerintah dalam tindakan-tindakannya, baik terhadap para

warga negara maupun dalam saling berhubungan masing-masing tidak boleh

sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum

yang berlaku pada tempatnya serta hubungan kemasyarakatannya harus tunduk

pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku pada tempatnya dan ini berlaku

untuk semua orang-orang penduduk dalam berhubungan.49

Dicey membuat pengertian negara hukum sebagai berikut: “We mean, in the first

place, that no man is punishable or can be lawfully made to suffer in body or

goods except for a disnct breach of law established in the ordinary legal manner

before the ordinary Courts of the land.....50

“We mean in the second place . . . not only that with us no man is above the law,

but (what is a different thing) that here every man, whatever be his rank or

condition, is subject to the ordinary law of the realm and amenable to the

jurisdiction of the ordinary tribunals.....”51

“[Thirdly,] the constitution is pervaded by the rule of law on the ground that the

general principles of the constitution (as for example the right to personal liberty,

or the right of public meeting) are with us the result of judicial decisions

determining the rights of private persons in particular cases brought before the

Courts.52

Menjadi pertanyaan apakah negara lebih baik diatur oleh manusia atau hukum,

tentunya selama suatu pemerintahan menurut hukum, dimana adanya supermasi

hukum itu dapat diterima, oleh ariestoteles sebagai tanda negara yang baik bukan

semata-mata sebagai keperluan yang tidak layak, akan tetapi tentunya negara yang

48

Ricardo Miranda, The Becoming-Other Of Law: Preliminaries For A Citizen”s Conceptualization Of

law, Mexican Law Review Volume 8, Issue 2, January–June 2016, Pages 131-150 49

Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Ilmu Negara Dan Politik. Cet. Kedua: PT. Eresco, Jakarta-Bandung,

1981. hlm. 37. 50

A.V. Dicey, Introduction to Constional Law, London: ELBS and MacMillan, 1971, hlm. 188 51

Ibid, hlm. 193 52

Ibid, hlm. 195

Page 28: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

23

lebih baik lagi adalah negara yang diperintah oleh konstitusi dan berkedaulatan

hukum, dimana aturan konstitusional dalam negara berkaitan secara erat.53

Jimly Asshiddiqie menjelaskan asal usul dari negara hukum itu sendiri

awalnya dari zaman Yunani Kuno, dimana para filusuf mengembangkan ide negara

hukum, mereka menyatakan guna mencegah kemerosotan kekuasaan maka negara

hukum merupakan bentuk paling baik kedua (the scond best). Sedangkan konsep

negara hukum moderen di Eropa Kontenental di kembangkan dengan menggunakan

istilah jerman yaitu rechtsstaat. Sedangkan konsep negara hukum yang disebutan

“The Lure of Law” dalam tradisi Anglo Amerika. Selain itu, konsep negara hukum

yang terkait dengan istilah nomokrasi yang berarti bahwa penentu dalam

penyelenggara kekuasaan negara adalah hukum.54

Indonesia itu sendiri konsep negara hukum ini mulai berkembang dimasyarakat,

dimana perkembangnya melihat pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,

serta semakin kompleksnya kehidupan masyarakat di era globalisasi, maka akan

semakin menuntut perkembangan prinsip-prinsip negara hukum. Masalah

pembatasan kekuasaan dan perlindungan HAM adalah dua isu pokok yang

senantiasa menjadi inspirasi perkembangan prinsip-prinsip negara hukum. Saat

ini, paling tidak dapat dikatakan terdapat dua belas prinsip negara hukum, yaitu

peradilan tata usaha negara (administrative court), peradilan tata negara

(counstitutional court), perlindungan hak asasi manusia pembatasan kekuasaan

(limitation of power), organ pemerintah yang independen, peradilan yang bebas

dan tidak memihak (independent and imparatial judiciary), bersifat demokrasi

(democratische rechsstaats), berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan negara

(welfare rechsstaats), persamaan dalam hukum (equality before the law), asas

legalitas (due process of law), serta transparasi dan control social supermasi

konstitusi (suprememacy of law),”.55

Prinsip supermasi hukum itu sendiri dalam negara hukum merupakan pedoman

tertinggi dimana semua masalah diselesaikan dengan hukum yang mengharuskan

adanya pengakuan normatif dan empiric. Pengakuan normatif mengenai supermasi

hukum terwujud dalam pembentukan norma hukum secara hirarki yang berpuncak

pada supermasi konstitusi. Sedangkan secara empiris terwujud dalam prilaku

masyarakat dan pemerintahan yang tentunya mendasarkan pada aturan hukum

53

Nukthoh Arfawie Kurde. Telaah Kritis Teori Negara Hukum. Cetakan I, Pustaka Pelajar: Oktober

2005. Yogyakarta. 2005. hlm. 16. 54

Jimly Asshiddiqie. Konstitusi dan Konstisionalisme Indonesia. edisi revisi. Konstitusi Press, Jakarta.

2005. hlm. 152 55

Jimly Asshiddiqie. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD 1945.

Makalah Disampaikan dalam Simposium yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen

Kehakimandan HAM, 2003. hlm. 154-162

Page 29: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

24

positif.56

Aturan hukum ini yang kemudian dibuat mulai dari peraturan dari tingkat

pusat maupun tingkat daerah yang kita kenal dengan hirarki Peraturan Perundang-

undangan guna melindungi hak dan kewajiban bagi masyarakat Indonesia serta

memberikan jaminan terhadap hukum sebagaimana amanat pada konstitusi dalam

penyelenggaran pemerintahan suatu negara hukum.

Wujud dari negara hukum yang didasarkan hirarkri perundangan-undangan di

Indonesia yang diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dari tingakt pang paling atas UUD

1945, turun kebawah Tap MPR, Undang-undang/Peraturan Pemerintah Penganti

Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah

Provinsi, dan yang terakhir adalah Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Selain itu

mencangkup juga peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratn rakyat

(MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD),

Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK), Komisi Yudisial (KY), Bank Indonesia (BI), Menteri, Badan,

Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-undang atau

Pemerintah atas perintah Undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat daerah

Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Daerah Kabupaten/Kota,

Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkatnya.57

56 A. Rachman Sulaiman. 2012. Desertasi Fungsi pengawasan DPRD terhadap Kebijakan Pemerintah

Daerah Guna Mewujudkan Pemerintahan yang Baik, Program Doktor Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

hlm. 5 57

Tanto Lailam, Teori & Hukum Perundang-undangan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cetakan Pertama, 2017, hlm. 2-3

Page 30: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

25

Bagian 3:

Menopang

Peraturan Daerah

Page 31: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

26

3.1. Pengertian Peraturan Daerah

Peraturan Daerah adalah instrumen dalam menyelenggarakan pemerintah di daerah

yang merupakan aturan secara sah yang diberikan kepada pemerintah daerah. Sejak

tahun 1945 hingga sekarang ini, telah berlaku beberapa Undang-undang yang menjadi

dasar hukum penyelenggaran pemerintah daerah dengan menetapkan Perda sebagai salah

satu instrumen yuridisnya.58

Beberapa Undang-undang yang menjadi dasar hukum penyelenggaran

pemerintahan daerah dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok pokok

Pemerintahan Daerah, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1965

tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Undang-undang Republik Indonesia Nomor

5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 22

Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

Tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah.

3.2. Penetapan Peraturan Daerah

Prakarsa pembentukan peraturan daerah dari DPRD merupakan hak sehingga

tidak ada kewajiban bagi anggota dewan untuk menggunakan haknya sehingga hak

tersebut lebih pasif. Berbeda dengan Kepala Daerah, selain memiliki wewenang legislatif

seperti mengajukan rancangan Perda berdasarkan “Pasal 25 huruf b Undang-undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah”, juga menyelenggarakan

pemerintahan yang secara hirarki bertanggung jawab kepada “Presiden”. Sebagai

penyelenggara pemerintah di Dearah maka Kepala Dearah lebih mempunyai kemampuan

dalam menyusun rancangan peraturan daerah karena sarana, bahan dan sumber daya

manusianya lebih menunjang sehingga Kepala Derahnya lebih aktif dalam memprakarasi

pembentukan peraturan daerah. Meskipun demikian, dalam kaitanya dengan proses

sebagai elemen sistem, secara normatif yakni berdasarkan Pasal 25 huruf c undang-

undang ini, persetujuan bersama dari DPRD tetap diperlukan. Peraturan daerah yang

telah disahkan ini merupakan keluaran dari proses atau kegiatan tranformasi yang terjadi

dalam sistem pembentukan peraturan daerah.”59

58

Dadang Suwanda. Peningkatan Fungsi DPRD dalam Penyusunan Perda Yang Responsif, PT Remaja

Rosdakarya, Ceatakan Pertama. Bandung, 2016, hlm. 225-226. 59

I Wayan Suwandi, “Pendekatan Sistem Dalam Pembentukan Peraturan Daerah”, artikel pada Jurnal

Kerta Patrika, Vol. 33, No. 1. Januari 2008, hlm. 6.

Page 32: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

27

Dalam pembentukan peraturan daerah ada 3 (tiga) hal yang diperlukan, pertama,

peraturan daerah dibidang otonomi, kedua, peraturan daerah dibidang tugas pembantu.

Ketiga, Peraturan Daerah sebagai penjabaran peraturan perundang-undangan diatasnya.60

Pelaksanaan tugas pembantuan tersebut diatur/dituangkan dalam “Perda dan/atau

keputusan kepala daerah”, agar pemerintahan daerah dapat mengatur lebih rinci sesuai

dengan keadaan setempat, tetapi kewenangan yang diberikan bersifat terbatas. Sebab,

"Peraturan tidak boleh mengatur tugas pembantuan di luar dari yang telah ditentukan

dalam peraturan perundang-undangan61

Peraturan perundang-undangan tersebut tentunya harus baik, dalam artian baik

melalui cara dan metode yang pasti, sebagaimana yang diataur atau ditetapkan oleh

undang-undang maka diperlukan pula ketentuan yang sesuai dengan apa yang ditetapkan

undang-undang tentang jenis dan materi muatan jika melihat pendapat A. Hamid S.

Attamimi maka pembentukan norma hukum yang berlaku keluar dan mengikat secara

umum yang dituangkan dalam jenis-jenis peraturan perundang-undangan sesuai

hierarkinya.62

Pembentukan norma hukum tersebut perlu dituangkan dalam berbagai jenis

peraturan perundang-undangan, penting memperhatikan materi muatannya. Pentingnya

pemahaman dan ketentuan tentang “jenis, hierarki, dan materi muatan peraturan

perundang-undangan ditunjukkan pula dengan adanya salah satu asas pembentukan

peraturan perundang-undangan yang baik, yakni asas “kesesuaian antara jenis, hierarki,

dan materi muatan yang dimaksud dengan asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan

materi muatan yaitu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-

benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki

peraturan perundang-undangan.63

60

Isharyanto, Penegakan Hukum & Otonomi Daerah Praktisi Negara Hukum Menurut UUD 1945, UNS

Press, Surakarta, 2017, hlm.79-80. 61

Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta, 1999, hlm. 18. 62 A.Hamid S.Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam penyelenggaraaan

Pemerintahan Negara, Suatu studi analisis mengenai Keputusan Presiden yang berfungsi Pengaturan dalam

kurun waktu Pelita I-Pelita IV,untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Pasca Sarjana

Universitas Indonesia, Jakarta, 1990. 63

Pasal 5 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan.

Page 33: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

28

Jika kita melihat materi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan

makan sesuai jenis, fungsi dan hierarki peraturan perundang-undangan.64

Materi muatan

yang secara spesifik terkait dengan peraturan daerah, tertuang dalam “Pasal 14 Undang-

undang Nomor 12 tahun 2011 yang menyebutkan “materi muatan peraturan Daerah

Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah seluruh materi muatan dalam

rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung

kondisi khusus daerah dan/ataupenjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi”. Pasal menjelaskan bahwa materi muatan Peraturan Daerah

dimaksudkan :

a. Bahwa Perundang-undangan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan

tugas pembantuan;

b. Dapat Menampung kondisi daerah;

c. Merupakan Penjabaran peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Muatan itu sendiri, tolak ukurnya hanya bisa dikonsepkan secara umum. Semakin

tinggi kedudukan suatu peraturan perundang-undangan, semakin abstrak dan mendasar

materi muatannya. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah kedudukan suatu peraturan

perundang-undangan, semakin rinci dan konkrit pula materi muatannya. Menurut Bagir

Manan,65

suatu peraturan perundang-undangan yang baik setidaknya didasari pada tiga

hal, yakni Dasar Yuridis (juridische gelding), Dasar Sosiologis (sociologische gelding),

Dasar Filosofis.

Penyusunan Peraturan Daerah juga seharusnya memenuhi tiga landasan

sebagaimana yang sudah disebut diatas, yakni “landasan filosofis”, “landasan sosiologis”

dan “landasan yuridis”, dikarenakan Peraturan Daerah merupakan hukum yang berlaku

dimasyarakat, dan karena tidak melihat potensi dan karakteristik masyarakat,

implementasi Perda banyak terganggu. Disamping itu, sebagaian Perda yang bermasalah

umumnya bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, juga tumpang tindih antara

kebijakan pusat dan daerah serta tumpang tindih antara pajak dan retribusi. Sebagian

besar pejabat di daerah yang tidak memahami Undang-undang memaksakan Peraturan

Daerah yang berorentasi kepada keuntungan jangka pendek tanpa memikirkan jangka

64

Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Poin 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 65

Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill.Co, Jakarta, 1992, hlm. 34.

Page 34: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

29

panjangnya.66

Untuk itu didalam penyusunan Peraturan Daerah juga harus memenuhi

tiga aspek tersebut sbb :

a. Landasan Filosofis adalah pertimbangan atau alasan yang menggambarkan jika

peraturan yang dibentuk harus mem-pertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan

cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang

bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Perda haruslah dibuat dengan

berlandaskan pada kebenaran dan prinsip-prinsip keadilan.

b. Landasan Sosiologis merupakan landasan yang terdiri dari fakta-fakta yang

merupakan tuntutan kebutuhan masyarakat untuk mendorong perlunya pembuatan

perundang-undangan (Perda), yaitu bahwa ada sesuatu yang pada dasarnya

dibutuhkan oleh masyarakat sehingga perlu pengaturan.67

Landasan sosiologis

merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang

dibentuk dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.

Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut kenyataan empiris yang hidup dalam

masyarakat. Oleh karena itu, landasan sosiologis ini akan tercermin di dalam konsiden

menimbang yang didalamnya memuat fakta-fakta sosiologis yang melatar belakangi

dibentuknya peraturan perundang-undangan tersebut.

c. Landasan Yuridis merupakan ketentuan hukum yang menjadi sumber hukum/dasar

hukum untuk pembuatan/perancangan suatu peraturan perundang-undangan.68

menurut

W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Darsono Landasan yuridis dari penyusunan

peraturan perundang-undangan meliputi kewenangan dari pembuat peraturan

perundang-undangan dan kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan

dengan materi yang akan diatur serta keharusan mengikuti tata cara tertentu.69

Materi muatan Peraturan Daerah yaitu materi pengaturan yang terkandung yang

disusun sesuai dengan teknik legal drafting atau teknik penyusunan peraturan

perundang-undangan.70

Dalam Pasal 14, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa materi muatan Peraturan

Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam

rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung

66 Ni’matul Huda, op. cit., hlm. 83-84. 67

Moh. Mahfud, MD, Politik Hukum di Indonesia, Ctk. ke-1, LP3ES, Jakarta, 1998, hlm. 9. 68

Kresno Budi Darsono dan W. Riawan Tjandra. Legislative Drafting. Yogyakata: Atma Jaya 2009.,

hlm.81. 69

Ibid. 70

http://eprints.stainkudus.ac.id/218/6/6%20BAB%20II.pdf, diakese pada 23 Oktober 2019, jam 21.34

WIB.

Page 35: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

30

kondisi khusus daerah dan atau penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi.

Secara umum, materi muatan peraturan daerah dikelompokkan menjadi ketentuan

umum, materi pokok yang diatur, ketentuan pidana (jika memang diperlukan), dan

ketentuan peralihan (jika memang diperlukan) serta ketentuan penutup. Materi muatan

peraturan daerah dapat mengatur adanya ketentuan pidana. Namun, berdasarkan “Pasal

15, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan, ketentuan pidana yang menjadi materi muatan peraturan daerah dibatasi,

yakni hanya dapat mengatur ketentuan pidana berupa ancaman pidana paling lama 6

bulan kurungan penjara dan denda maksimal Rp. 50.000.000”.71

Muatan peraturan daerah sebagaimana didalam Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 80 tahun 2015 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah “Pasal 4 :

(1) “Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a terdiri atas:

a. “Peraturan Daerah provinsi; dan

b. “Peraturan Daerah kabupaten/kota.

(2) Peraturan Daerah memuat materi muatan:

a. “Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan

b. “Penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi.

(3) “Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Peraturan Daerah dapat

memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan”.

(4) “Peraturan Daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memiliki

hierarki lebih tinggi dari pada Perda kabupaten/kota”.

(5) “Peraturan Daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memuat

materi muatan untuk mengatur” yaitu Kewenangan provinsi”, “Kewenangan yang

lokasinya lintas daerah kabupaten/kota dalam satu provinsi”,“Kewenangan yang

penggunanya lintas daerah kabupaten/kota dalam satu provinsi”, ”Kewenangan

yang manfaat atau dampak negatifnya lintas daerah kabupaten/kota dalam satu

provinsi; dan/atau “Kewenangan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien

apabila dilakukan oleh daerah provinsi”.

71

Ibid.

Page 36: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

31

(6) “Peraturan Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b

memuat materi muatan untuk mengatur” yaitu “Kewenangan

kabupaten/kota”,“Kewenangan yang lokasinya dalam daerah kabupaten/kota”,

“Kewenangan yang penggunanya dalam daerah kabupaten/kota, “Kewenangan

yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam daerah kabupaten/kota;

dan/atau “Kewenangan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila

dilakukan oleh daerah kabupaten/kota”.

Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (3) Undang-undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Peraturan Daerah tidak boleh memuat

hal urusan Pemerintahan Pemerintah Pusat, dalam hal Politik luar negeri, Pertahanan,

Keamanan, Yustisi, Moneter dan fiskal nasional, serta Agama. Materi muatan Peraturan

Daerah dapat memuat asas sesuai dengan substansi peraturan daerah yang bersangkutan.

Peraturan Daerah dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang terdapat pada Pasal 237 (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun

2014 Tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa asas pembentukan dan materi

muatan Perda berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas

hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan

dengan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengacu kepada rumusan Pasal

237 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

tersebut, maka asas pembentukan Perda mengacu kepada asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) jo Pasal 6 ayat (1) Undang-

undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa dalam membentuk peraturan

perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik, yang meliputi:

a. Kejelasan tujuan adalah setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus

mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat yaitu setiap jenis Peraturan

Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk

Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan

tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara

atau pejabat yang tidak berwenang.

Page 37: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

32

c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan adalah dalam Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan

yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.

d. Dapat dilaksanakan adalah setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus

memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam

masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat

karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan;

f. Kejelasan rumusan adalah setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi

persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan

kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak

menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya, serta;

g. Keterbukaan adalah dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari

perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan

pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan

masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan

dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

3.3. Proses Pengusulan Usulan Rancangan Peraturan Daerah

Dalam usulan berasal dari pihak eksekutif (Kepala Daerah)sulan rancangan

Peraturan Daerah.72

a. Unit kerja di jajaran pemerintah daerah dapat mengajukan usulan prakarsa

penyusunan (persiapan) rancangan Peraturan Daerah.

b. Pra-Rancangan Peraturan Daerah (pra-Rancangan Peraturan Daerah) disertai

dengan penjelasan pokok pikiran dilaporkan kepada Kepala Daerah melalui

Sekertaris Daerah cq. Biro/bagian hukum, untuk diadakan kajian awal (diadakan

penelitian, koreksi);

c. Setelah diadakan kajian awal atau koreksi, dan/atau penelitian oleh biro/bagian

hukum, usulan pra-Rancangan Peraturan Daerah diajukan kepada Kepala

Daerah, disertai pertimbangan, saran dan penjelasan seperlunya, untuk mohon

petunjuk atau putusan. Apabila Kepala Daerah telah menyetujui usulan pra-

72

Soenobo Wirjosoegito, 2004, Proses & Perencanaan Peraturan Perundangan, Ghalia Indonesia Jakarta,

hlm. 37

Page 38: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

33

Rancangan Peraturan Daerah tersebut, maka seterusnnya dapat diproses lebih

lanjut. Sedangkan sebaliknya bilamana ditolak, maka pra-Rancangan Peraturan

Daerah dikembalikan kepada uni kerja yang bersangkutan.

d. Dari pra-Rancangan Peraturan Daerah yang telah menyetujui, maka Sekertaris

Daerah menugasi biro/bagian hukum untuk mengkaji ulang pra-Rancangan

Peraturan Daerah itu untuk diadakan penyempurnaan lebih lanjut. Apabila perlu

pembahasan dalam forum yang lebih luas, maka dapat dibentuk tim pengkaji

penyusunan Rancangan Peraturan Daerah dengan mengikut sertakan uni kerja

dan instansi yag terkait dengan koordinasi oleh biro/bagian hukum.

e. Apabila Rancangan Peraturan Daerah tersebut telah final (selesai) persiapannya,

yang disertai dengan penjelasan pokok, Rancangan Peraturan Daerah

disampaikan kepada Kepala Daerah, yang telah terlebih dahulu dikonsultasikan

kepada:

1) Instansi vertikal departemen keuangan setempat (untuk Rancangan Peraturan

Daerah Pajak);

2) Gubernur Kepala Daerah, untuk Rancangan Peraturan Daerah pajak/retribusi.

f. Selanjutnya Biro/Bagian Hukum menyiapkan nota pengantar penyampaian

Raperda dari Kepala Daerah kepada pimpinana DPRD, sekaligus menyiapkan

kata pengantar sebagai penjelasan Raperda pada rapat pembahasan DPRD

tersebut.

Usulan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari pihak Legislatif

(DPRD) dapat dilihat sebagai berikut:

a. Usulan prakarsa diajukan oleh anggota dewan kepada pimpinan DPRD,

sekurang-kurangnnya 5 (lima) orang anggota (tidak hanya satu fraksi).

b. Usulan prakarsa itu oleh Pimpinan Dewan disampaikan dalam rapat paripurna

dewan, setelah mendapatkan pertimbangan dari panitia musyawarah. Dalam

rapat paripurna tersebut, pemerkasa menyampaikan penjelasan atas usulannya

(inisiatif).

c. Dalam rapat paripurna itu anggota-anggota DPRD maupun pihak eksekutif

(Kepala Daerah) hadir dan memberikan tanggapan atas usulan tersebut.

d. Apabila usulan prakarsa tersebut diterima dalam sidang paripurna DPRD, maka

proses selanjutnya penyelesaian dilakukan melalui prosedur yang ada. Yang

dimaksud tentunya Rancangan Peraturan Daerah yang kini menjadi Peraturan

Page 39: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

34

Daerah itu, oleh pimpinan dewan disampaikan kepada Kepala Daerah atau

pihak eksekutif Daerah.

3.4. Proses Pembahasan Rancangan Praturan Daerah Dalam Rapat Paripurna Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah.

Pembahasan Rancangan Peraturan daerah dilakukan melalui 4 (empat) tahapan

pembicaraan, yaitu:tahapan I, tahapan II, tahapan III dan tahapan IV, kecuali apabila

panitia musyawarah menentukan lain.73

a. Pembicaraan tahap I, meliputi:

1) Penjelasan Kepala Daerah dalam rapat paripurna terhadap Rancangan Peraturan

daerah yang diajukan;

2) Penjelasan dalam rapat paripurna oleh pimpinan komisi/gabungan komisi/panitia

khusus, atas nama DPRD terhadap rancangan Peraturan daerahyang berasal dari

usulan prakarsa DPRD.

b. Pembicaraan tahap II, meliputi:

1) Pandangan umum dalam rapat paripurna oleh para anggota DPRD yang

membawakan surat fraksinya terhadap Rancangan Peraturan Daerah, yang

diajukan oleh Kepala Daerah;

2) Jawaban Kepala Daerah dalam rapat paripurna terhadap pandangan umum para

anggota DPRD;

3) Pendapat Kepala Daerah dalam rapat paripurna terhadap Rancangan Peraturan

Daerah usul prakarsa DPRD;

4) Jawaban pimpinan komisi, pimpinan rapat gabungan komisi atau pimpinan panitia

khusus atas nama DPRD terhadap pendapat Kepala Daerah tersebut.

c. Pembicaraan tahap III adalah:

1) Pembahasan dalam Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi, Rapat Panitia

Anggaran, atau Rapat Panitia Khusus yang dilakukan bersama dengan Kepala

Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.

d. Pembicaraan tahap IV meliputi:

1) Pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului dengan:

a) Laporan hasil pembicaraan tahap III,

73 Ibid, hlm. 38

Page 40: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

35

b) Pendapatan akhir fraksi-fraksi yang disampaikan oleh anggotanya

(stemmotieveering);

2) Pemberian kesempatan kepada Kepala Daerah untuk menyampaikan sambutan

terhadap pengambilan keputusan tersebut.

Peraturan Daerah yang telah memperoleh persetujuan DPRD dalam rapat

paripurna dituangkan dalam keputusan DPRD. Setiap tahun menjelang berlakukanya

tahun anggaran baru, Kepala daerah wajib menyampaikan Rancangan Peraturan daerah

tentang APBD serta lampiran selengkapnya dengan nota keuangan kepada DPRD

termasuk juga nantinya tentang perubahan dan perhitungan APBD.

3.5. Bentuk, Kerangka dan Rubrik-Rubrik Peraturan

Dalam era reformasi dewasa iniatau pedoman tata cara pembuatan

Peraturan Perundang-undangan ditinggalkan dan diatur oleh Presiden. Meteri

Dalam Negeri tidak lagi mengeluarkan petunjuk atau pedoman untuk pembuatan

Peraturan daerah dan Keputusan Kepala Daerah seperti yang sudah-sudah.

Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 menetapkan tehnik penyusunan

peraturan perundang-undangan dan bentuk rancangan undang-undang, rancangan

peraturan pemerintah, dan rancangan keputusan presiden. Ditegaskan, keputusan

Presiden ini berlaku untuk penyusunan peraturan perundang-undangan tingkat

pusat dan tingkat daerah. ini berarti bahwa pembuat rancangan Peraturan Daerah

harus mengacu pada pembuat penyusunana rancangan undang-undang di tingkat

pusat, dan pembuatan rancangan keputusan kepala daerah harus mengacu pada

penyusunan rancangan keputusan presiden di tingkat pusat. Ditentukan dalam

keputusan presiden dan peraturan dibawahny, sama dengan bentuk rancangan

untuk masing-masing jenis peraturan perundang-undangan (Pasal 7).

Menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 15 dan Nomor 16 tahun

2006, yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Mei 2006, jenis produk hukum daerah

terdiri atas, sebagai berikut:

a. “Peraturan Daerah”;

b. “Peraturan Kepala Daerah”;

c. “Peraturan Bersama Kepala Daerah”;

d. “Keputusan Kepala Daerah”;

e. “Intruksi Kepala Daerah”.74

74

Pipi Syarifin dan Dedah Jubaedah, Ilmu Perundang-undangan, CV Pustaka Setia, Bandung, 2012, hlm

253.

Page 41: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

36

Semua produk hukum daerah tersebut dapat dibagi dua, yaitu produk hukum

bersifat pengaturan dan produk hukum yang bersifat penetapan. Produk hukum yang

bersifat mengatur adalah sebagai berikut:

a. “Peraturan Daerah atau sebutan lain”;

b. “Peraturan Kepala Daerah”;

c. “Peraturan Bersama Kepala Daerah”.

Produk hukum yang bersifat penetapan adalah sebagai berikut:

a. “Keputusan Kepala Daerah”;

b. “Intruksi Kepala Daerah”.75

Dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan terdapat 2 jenis Perda yaitu Peraturan Daerah Propinsi

adalah “peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD Propinsi dengan

persetujuan bersama gubenur. Termasuk alam Perda Propinsi adalah Qanun yang

berlaku di Propinsi Aceh (NAD) dan Perdasus (Peraturan Daerah Khusus) serta Perdasi

(Peraturan daerah Propinsi) yang berlaku di Propinsi Papua dan papua Barat”.76

Sedangkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah “peraturan perundang-undangan

yang dibentuk oleh Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan

bersama Bupati/Walikota”.77

Adapun fungsi/peran Peraturan Daerah termasuk Qanun adalah sebagai

pedoman/pegangan bagi Pemerintah daerah Propinsi/Kabupaten/Kota dalam

menyelenggarakan tugas-tugas pemerintah dan pembangunan di daerah sesuai

karakteristik daerah-daerah di Indonesia. Selain itu Peraturan Daerah bersama Peraturan

Gubernur / Peraturan Bupati/walikota diharapkan dapat berfungsi mempercepat realisasi

tujuan/cita nasional khususnya untuk masyarakat daerah yang sejahtera, bersatu dan

benar-benar terangkat martabatnya. Tapi Peraturan Daerah-Peraturan Daerah itu tidak

boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya dan kepentingan umum. Tentu fungsi-

fungsi Peraturan Daerah tidak akan terlaksana sebagaimana mestinya kalau tidak

ditopang oleh partispasi rakyat daerah.78

Terbukti dengan Pelibatan/partisipasi masyarakat lokal (daerah) telah berhasil

membawa perubahan-perubahan mendasar dalam perbaikan kualitas hidup dan kesadaran

hukum masyarakat baik dalam perencanaan sehingga implementasi program

75

Ibid. hlm 254. 76

Nomensen Sinamo, Ilmu Perundang-undangan, Permata Aksara, Jakarta, 2016, hlm 88-89. 77

Ibid. 78

Ibid.

Page 42: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

37

pembangunan di tingkat daerah (lokal).79

Agar Peraturan Daerah-Peraturan Daerah

berfungsi efektif dan menyentuh sendi-sendi kehidupan masyarakat daerah perlu

keteladanan dari aparat/pejabat daerah sebagai cara menstimulus/merangsang partisipasi

masyarakat daerah baik ketertiban, keamanan, kesejahteraan termasuk untuk

meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). 80

79

Ibid. 80

Ibid. hlm 88-89.

Page 43: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

38

Bagian 4:

Pengujian

Peraturan Daerah

Page 44: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

39

4.1. Sejarah Sistem Hak Menguji Di Negara Indonesia

Jika kita melihat sejarah sistem pengujian setelah kita merdeka yang ada dinegara

Indonesia dimana pada masa sebelum terbentuknya Rancangan Undang-undang Dasar

1945 sudah dipikirkan oleh para pendiri negara kita melalui rapat BPUPK, sidang Pertama

tepatnya tanggal 28 Mei sampai 1 Juni 1945 ketika perhentian sidang/waktu istirahat

sidang (reses) sebelum memasuki tahap kedua tanggal 10-17 Juli 1945, beberapa anggota

BPUPK menyampaikan dalam rapat besar mengenai usulanya terkait Rancangan Undang-

undang Dasar Sementara, dimana dalam Rumusan tersebut di Pasal 12 menekankan

kekuasaan kehakiman dilakukan oleh suatu Mahkamah Agung dan badan pengadilan lain.

Pada sidang kedua BPUPK, Muhammad Yamin dalam dalam pokok-pokok

pandanganya menyampaikan untuk dibentuk Balai Agung atau Mahkamah Tinggi, dimana

didalam Mahkamah Tinggi ini terdapat Mahkamah Islam, dan/atau Mahkamah Sipil dan

Kriminil. Mahkamah Agung ini yang nantinya, selaku pembanding undang-undang, yang

akan memutuskan apakah sejalan dengan hukum adat, syari’ah dan undang-undang Dasar.

Terhitung sejak masa persidangan dan pembahasan rumusan Undang-undang Dasar

1945 oleh BPUPKI, atau PPKI, keberadaan Mahkamah Konstitusi belum dikenal. Akan

tetapi, usulan agar dilaksanakannya wewenang uji matriil terhadap Undang-undang Dasar,

yang saat ini menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi, telah disuarakan pada rapat

tersebut.81

Mahkamah Agung yang menurut pendapat Yamin, agar melakukan kekuasaan

kehakiman dan juga membanding undang-undang dengan hukum adan dan hukum Islam

(syariah) serta dengan Undang-undang Dasar. Dan pendapat Balai Agung disampaikan

kepada Presiden, yang menggambarkan berita itu kepada Dewan Perwakilan, dan

melakukan aturan pembatalan. Oleh karena itu, menurut yamin Balai Agung jangan hanya

melaksanakan bagian kehakiman. Akan tetapi, juga menjadi badan yang membandingkan

apakah undang-undang yang dibuat Dewan Perwakilan Rakyat, tidak melanggar Undang-

undang Dasar atau bertentangan dengan hukum adat yang diakui atau tidak bertentangan

dengan syariah agama islam.

Masalah hak uji materiil terhadap undang-undang pernah diusulkan oleh

Muhammad Yamin, bahwa perlu dimasukan di dalam Undang-undang Dasar 1945

ketentuan Mahkamah Agung berhak menetapkan Undang-undang bertentangan Undang-

Undang Dasar, akan tetapi usul tersebut ditolak oleh Soepomo dengan alasan bahwa oleh

karena prinsipil Undang-Undang Dasar yang sedang dibahas dan akan diberlakukan di

81 Tim Penyusun Naskah Komprehensif, Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku VI

Kekuasaan Kehakiman ,Sekertariatan Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, hlm. 15.

Page 45: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

40

Indonesia tidak mengaut Trias Politica, sementara hak uji materiil terhadap Undang-

undang itu hanya dijumpai di negara-negara yang menganut teori Trias Politica. Alasan

lainya menurut soepomo adalah karena kita belum memiliki tenaga ahli dan

berpengalaman yang diperlukan untuk itu, dalam hal ini adalah tenaga ahli untuk menguji

suatu peraturan.82

Terhadap pendapat Soepomo ini Sri Soemantri berpendapat dan mengatakan

“............secara prinsipil alasan Soepomo ini tidak beralasan, sebab hak menguji itu tidak

hanya berada pada negara yang mangut Trias Politika, akan tetapi tergantung kepada

sistem hukum yang dianut suatu negara. Secara tidak prisipil pendapat Soepomo itu pun

tidak dapat diterima, sebab saat ini telah banyak sarjana hukum yang berpengalaman.83

Menurut Yamin, dalam Mahkamah Tinggi dibentuk badan sipil dan kriminal, juga

dibentuk Mahkamah Adat dan Mahkamah Islam Tinggi, yang pekerjaannya tidak hanya

menjalankan kehakiman tetapi juga membanding dan memberi laporan tentang

pendapatnya kepada Presiden tentang segala hal yang melanggar hukum dasar, hukum

adat dan hukum syariah.

Usulan Muhamad Yamin ditanggapi Soepomo selaku Ketua Panitia Kecil yang

bertugas membuat dan mempersiapkan rancangan Undang-undang Dasar. Soepomo tidak

sependapat dengan Yamin. Soepomo beralasan bahwa “hak untuk menguji undang-undang

lebih banyak dianut oleh negara-negara yang menganut Trias Politika, dengan prinsip

pemisahan secara tegas badan-badan penyelenggara negara”, maka dalam konsepsi

demikian relevan memberikan hak uji undang-undang kepada Mahkamah Agung. Namun,

dalam rancangan Undang-undang Dasar yang akan disusun tidak menganut pemisahan

kekuasaan/badan-badan penyelenggara negara secara tegas, yang kedua masih

beragamnya pandangan dikalangan ahli, tentang perlu tidaknya memberikan hak uji

kepada suatu lembaga. Hal itu disebabkan karena, Undang-Undang Dasar biasanya

mengatur hal-hal yang pokok dan dengan susunan kalimat yang panjang lebar, sehingga

memungkinkan adanya penafsiran.

Dalam praktek, perselisihan tentang apakah produk Undang-undang bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar atau tidak, pada umumnya bukan soal yuridis tetapi politis,

sehingga tidak tepat buat negara Indonesia, dan yang ketiga Para ahli hukum Indonesia

82

Marojahan JS Panjaitan, Pembentukan & Perubahan Undang-undang Berdasarkan UUD 1945:

Sebagai Bahan Ajar Ilmu Perundang-undangan dan Perancangana Undang-undang, Pustaka Reka Cipta, Ctk.

Pertama, Bandung, 2017, hlm. 171. 83 Ibid.

Page 46: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

41

belum memiliki pengalaman dalam hal hak uji peraturan perundang-undangan dan

meskipun ada jumlahnya masih sangat terbatas.

Mengkaji argumen penolakan Soepomo, sebetelunya Soepomo tidak sepenuhnya

menolak gagasan tentang pemberian hak uji peraturan perundang-undangan yang

diusulkan Muhamad Yamin. Penolakan Soepomo selain persoalan prinsip dalam

penyelenggaraan kekuasaan, yaitu pemisahan kekuasaan secara tegas karena adanya

pertimbangan kesiapan tenaga ahli dan posisi negara yang masih muda. Bahkan, Soepomo

dalam rapat BPUPKI tersebut juga sempat menyampaikan perlunya melihat sistem di

negara lain seperti di Austria, Ceko-Slowakia, dan Jerman yang tidak memberikan hak uji

peraturan perundang-undangan kepada Mahkamah Agung, melainkan hak tersebut

diberikan kepada pengadilan khusus yang menangani persoalan konstitusi. Selanjutnya

Yamin menyatakan, Mahkamah Agung dengan sendirinya harus bisa dan tentu saja

menyelidiki dan memutus apakah putusan pengadilan yang lebih rendah bertentangan

dengan hukum adat, hukum sipil atau tidak. Demikian juga apakah bertentangan dengan

hukum Islam atau tidak.

Walaupun telah dijelaskan secara panjang lebar, nampaknya Muhamad Yamin

belum menerima alasan yang disampaikan Soepomo, dan meminta untuk menunda

pembahasan tentang persoalan tersebut. Hingga akhirnya disetujuilah Undang-Undang

Dasar 1945, akan tetapi tanpa ada kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji

peraturan perundang-undangan terhadap Undang-Undang Dasar. Maka dapat dikatakan

Undang-undang Dasar 1945 belum mengenal Mahkamah Agung yang berwenang menjadi

lembaga penguji Undang-undang hanya pada tingkatan Undang-undang di bawah Undang-

undang.

Pada salah satu rapat BPUPKI, M. Yamin menggagas lembaga yang berwenang

menyelesaikan sengketa yang timbul di bidang pelaksanaan konstitusi, lazim disebut

constitutioneele geschil atau constitutional disputes. Gagasan Yamin berawal dari

pemikiran perlunya diberlakukan suatu materieele toetsengrecht (uji materil) terhadap

Undang-Undang.

Namun, gagasan itu disanggah oleh anggota BPUPKI yang lain Soepomo. Dalam

rapat besar BPUPKI pada 15 Juli 1945 ia mengatakan bahwa pembentukan sebuah

pengadilan spesial yang khusus menangani konstitusi belumlah diperlukan. Alasannya,

menurut Soepomo, Indonesia belum memiliki banyak ahli yang dapat mengisi jabatan itu

sebagaimana yang telah di sebutkan diatas. Akhir dari perdebatan itu adalah tidak

merumuskan konsep Judicial Review dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Page 47: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

42

Indonesia Tahun 1945 Negara Republik Indonesia 1945 dan BPUPKI memutuskan bahwa

isi dari Pasal 24 dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen

yaitu :

1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan

kehakiman menurut Undang-undang;

2) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan Undang-undang.

Dalam konteks keindonesiaan, perdebatan pemikiran tentang judicial review telah

muncul saat pembahasan Undang-Undang Dasar yang dilakukan oleh BPUPKI, dimana di

dalam pembahasan menjadi perdebatan yang menarik antara Muhamad Yamin dan

Soepomo. Rapat tersebut diselenggarakan pada tanggal 15 Juli 1945, dengan agenda untuk

membuat dan mempersiapkan naskah rancangan Undang-Undang Dasar, BPUPKI

membentuk panitia kecil yang diketuai oleh Soepomo. Panitia kecil berhasil menyusun

naskah rancangan Undang-Undang Dasar yang akan ditanggapi lebih lanjut dalam rapat

BPUPKI. Perihal kekuasaan kehakiman, panitia kecil sebagaimana tertera dalam “Pasal 24

mengusulkan, yang pertama pada ayat satu “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh

Mahkamah Agung, dan lain-lain badan kehakiman, dan yang kedua abad ayat dua

“Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan Undang-Undang”.

Kemudian dilajutkan pada “Pasal 25” mengatur tentang syarat-syarat untuk menjadi hakim

yang ditetapkan dengan undang-undang.

Ketika negara Indonesia berubah menjadi negara Republik Indonesia Serikat (RIS)

1950, sebagai hasil dari kesepakan Konfrensi Meja Bundar (KMB), diberlakukan pula

Konstitusi RIS 1949. Dalam Bab IV dengan Judul Mahkamah Agung pada Pasal 113-116.

Mahkamah Agung baru diberi kewenangan untuk melakukan pengujian atau Judicial

Review pada saat masa konstitusi RIS dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Dalam

konstitusi RIS dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 memberikan wewenang

kepada Mahkamah Agung untuk menguji peraturan di bawah undang-undang saja.

Sedangkan untuk pengujian undang-undang tidak dapat dilakukan Judicial Review karena

menurut Pasal 95 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1950 ditegaskan bahwa undang-undang

tidak dapat diganggu gugat (de wet is onschenbaar).

Pada saat Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 diberlakukan juga

mengubah keberadaan Mahkamah Agung dan dibentuk Undang-undang Darurat Nomor 1

tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara, dari Undang-Undang Darurat tersebut

kemudian dapat diketahui bahwa berbagai macam pengadilan yang menjalankan

kekuasaan kehakiman sejak proklamasi kemerdekaan sebagai warisan kolonial sampai

Page 48: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

43

dengan penyatuan dengan susunan pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah

Agung. Antara lain pengapusan pengadilan adat dan diteruskannya pengadilan agama.

Dalam perkembangnya, negara Indonesia menetapkan untuk kembali ke Undang-

Undang Dasar 1945. Hal ini dikarenakan sesuai Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959

tentang Kembali kepada Undang-undang Dasar 1945. Maka dengan demikian yang terkait

kekuasaan kehakiman kembali pada rumusan Bab IX dengan judul Kekuasaan

Kehakiman. Akan tetapi, dalam perkembangan kekuasaan kehakiman yang merupakan

kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari pengaruh kekusaan pemerintahan yang juga

mengalami penyimpangan.

Hal tersebut terjadi ketika dibentuknya “Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964

tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dimana dalam penjelasaan Pasal 19

yang berbunyi “pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan

kekusaan pembuat Undang-undang”. Penyimpangan lainnya Ketua Mahkamah Agung

dimasukan sebagai salah satu Menteri dalam susunan kabinat (eksekutif). Maka pada

tanggal 6 Juni 1956 diterbitkan Undang-undang Undang-undang Noor 13 Tahun 1965

yang mengatur tentang pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah

Agung. Maka dengan adanya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1950 tidak berlaku. Hal

tersebut menimbulkan persoalan mengenai akibat hukum yang timbul, yaitu adanya

kekosongan terkait hukum acara kasasi. Karena di Undang-undang Nomor 1 Tahun 1950

memuat hukum acara tentang kakasi sedangkan di dalam Undang-undang yang baru tidak

demikian.

Pada zaman orde baru dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970

tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka Undang-Undang Nomor 19 Tahun

1964 tidak berlaku dan memuat campur tangan Presiden dalam peradilan untuk

kepentingan Revolusi tersebut. Dalam ketentuan Pasal 10 Ayat (2) disebutkan bahwa

Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi dalam arti Mahkamah Agung

sebagai badan pengadilan kasasi (terakhir) bagi putusan yang berasal dari peradilan yang

lain, yang meliputi keempat lingkungan peradilan yang amsing-masing, terdiri dari:

peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.

Hal tersebut tentunnya berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Agung diatur

dalam “Undang-Undang. Nomor 14 Tahun 1970 Pasal 26” yaitu:

1. Mahkamah Agung berwenang untuk mengatakan tidak sah semua peraturan perundang-

undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang atas alasan bertentangan

dengan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi;

Page 49: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

44

2. Putusan tentang pernyataan tidak sah suatu peraturan perundang-undangan tersebut

dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan dari

peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah tersebut dilakukan oleh

instansi yang bersangkutan.

Dalam perkembangannya, Mahkamah Agung dimasukan sebagai salah satu lembaga

tinggi negara setara dengan Presiden, Dewan Pertimbangan Agung, Dewan Perwakilan

Rakyat, dan Badan Pemerikasaan Keuangan. Status struktur mengenai Mahkamah Agung

tertuang dalam Ketetapan MPR RI No. VI/MPR?1973 tentang Kedudukan dan Hubungan

Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antarlembaga Tinggi Negara. Sebagai

salah satu lembaga tinggi negara, MPR menghendaki agar Mahkamah Agung selaku

pelakasana kekuasaan kehakiman dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh

kekuasaan pemerintah dan pengaruh lainya.

Ketetapan MPR tersebut juga mengatur kedudukan Mahkamah Agung sebagai

lembaga yang memberikan pertimbangan dalam hukum, baik diminta maupun tidak,

kepada lembaga tinggi negara dan dapat pula memberikan nasihat hukum kepada

Presiden/kepala negara untuk pemberian/penolakan grasi. Selain itu, Mahkamah Agung

berwewenang khusus menguji secara materiil hanya terhadap peraturan-peraturan

perundangan di bawah undang-undang.

Terhitung sejak tahun 1973 hingga tahun 1978, fungsi dan kewenangan Mahkamah

Agung tidak mengalami perubahan yang berarti karena pada fase tersebut tidak ada

perubahan ayat atau pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan itu sesuai

dengan Ketetapan MPR RI. No. I/MPR/1978 tentang Peraturan Tata Tertib MPR, Bab

XVII Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 15, yang menyatakan sebagai berikut:

“Majelis berketetapan untuk mempertahankan Undang-Undang Dasar 1945, tidak

berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadapnya serta akan

melakasanakannya secara murni dan konsekuen”.

Kejadian penting pada masa pemerintahan Soeharto berkaitan dengan lembaga

peradilan dan Mahkamah Agung, adalah Sidang Umum MPR RI Tahun 1983 yang

melahirkan ketetapan penting berkaitan dengan ketatanegaraan Indonesia. Salah satunya

ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum. Berdasarkan ketetapan itu

kemudian dibentuk UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung., Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Page 50: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

45

Ide tentang perlunya uji materiil undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar

dan perlunya dibentuk sebuah pengadilan konstitusional pada masa ini pernah disuarakan

oleh beberapa anggota Konstituante. Usulan dari anggota Konstituante disampaikan ketika

berlangsung Sidang Konstituante pascapemilu tahun 1955. Konstituante dalam konteks

ketatanegaraan Indonesia, merupakan periode pemerintahan konstitutional. Periode ini,

juga sebagai masa peralihan dari sitem parlementer yang pernah berlangsung di Indonesia,

sebelum akhirnya berubah menjadi sistem demokrasi terpimpin. Setelah dikeluarkannya

Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Konstituante kemudian dibubarkan sebelum tugasnya selesai.

Terkait dengan keperluanya kewenangan hak uji materiil atas undang-undang

terhadap Undang-undanf dasar, serta usulan perlunya pengadilan Konstitusional di

Indonesia, pada masa Sidang Konstitusional di Indonesia, pada masa Sidang Konstituante

periode 20 Mei-13 Juni 1957 usulan itu mulai menguat. Dalam sidang pleno dengan

agenda pengumpulan materi pokok yang perlu dimasukkan ke dalam Undang-undang

dasar dan mengenai struktur Undang-undang Dasar dan mengenai struktur Undang-

Undang Dasar, tercatat beberapa anggota Konstituantemenggulirkan usul tersebut.

Anggota Konstituante yang menyampaikan usulan, adalah Soeripto dari PNI, Oei

Tjoe Tat, Siauw Giok Tjohan dan Yap Thiam Hien dari Baperki, Hermanu Kartodiredjo

dari PKI, dan Penda Saroengalo dari Parkindo, serta dari Ikatan Hakim Indonesia

(IKAHI). Pada masa sidang tersebut, mereka secara umum telah mengusulkan agara

dimasukan ke dalam Undang-Undang Dasar sebuah Pasal yang menyatakan tidak

berlakuknya suatu Undang-Undang apabila Undang-Undang itu bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar.84

Hal tersebu, menurut mereka, perlu agar memudahkan

Mahkamah Agung di Indonesia menjadi lembaga negara dalam mengambil keputusan

yang menyangkut sifat konstitutional perundang-undangan. Selain itu, menurut mereka

juga perlu adanya kompetisi konstitusional yang secara aktif untuk memutuskan

berlawanan atau tidaknya sebuah undang-undang, peraturan, atau keputusan pemerintah

terhadap Undang-Undang Dasar. Pada masa pemerintahan soeharto, tidak diaturnya

Mahkamah Konstitusi dan Kewenangan judicial review dalam Undang-Undang Dasar

1945 menimbulkan penafsiran beragam. Sebagian ahli hukum mengatakan, bahwa tidak

diaturnya masalah tersebut dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak berati para hakim

tidak memiliki wewenang tersebut. Para hakim memiliki kewenangan tersebut secara

84 Tim Penyusun Naskah Komprehensif, op.cit., hlm. 22.

Page 51: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

46

otomatis sebagai konsekuensi logis dari kedudukan dan fungsi kekuasaan kehakiman

kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan hak uji materiil terhadap

peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang secara tegas diatur dalam

ketentuan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-Pokok

Kekuasan Kehakiman terutama pada pasal 26 yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan-peraturan

dari tingkat yang lebih rendah dari Undang-undang atas alasan bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;

(2) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut

dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi.

Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Pokok

Kekauasaan Kehakiman tahun 1986 bersama Rancangan Undang-Undang Mahkamah

Agung pada Tahun 1968 di usulkannya adanya majelis Pertimbangan Penelitian Hakim

(MPPH) muncul yang berfungsi memberikan perimbangan dalam mengambil keputusan

akhir mengenai saran-saran dan usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi,

kepindahan, pemberhentian dan tindakan/hukum jabatan para hakim. Namu ide tersebut

tidak berhasil dimasukan dalam Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman.

Indonesia, dimana rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama kurang lebih 32

tahun, akhirnya digulingkan oleh rakyat karena telah bertindak secara otoriter. Rakyat

yang menginginkan nilai-nilai kedaulatan rakyat dijunjung tinggi, merasa hak-haknya

dilanggar oleh penguasa yang berlaku sewenang-wenang. Akhirnya muncullah gerakan-

gerakan perlawanan yang kemudian membesar dan mendorong terjadinya revolusi. Atas

dasar ini pula, rakyat menginginkan bahwa negara seharusnya berdasarkan atas hukum

(rechtstaat), dan bukan berdasar atas kekuasaan (machtstaat) semata. Dengan adanya

konsep negara hukum, maka tindakan penguasa dibatasi oleh hukum, dan hukum

seharusnya juga menjamin terpenuhi hak-hak masyarakat melalui prinsip kedaulatan

rakyat.85

Kedaulatan rakyat kemudian dijabarkan menjadi beragam domain kehidupan

berbangsa dan bernegara. Salah satunya adalah melalui mekanisme pengujian peraturan

perundang-undangan. Sebagai negara yang berlandaskan atas hukum dan menjunjung

tinggi pemenuhan atas hak bagi warga negaranya, maka Indonesia memberikan

85

Sholahuddin Al-Fatih, “Model Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Satu Atap melalui

Mahkamah Konstitusi”, artikel pada Jurnal Legality, Vol. 25, No. 2, September 2017- Februari 2018, hlm. 247-

260

Page 52: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

47

kesempaan dan peluang bagi warga negaranya yang merasa hak-haknya tidak diakomodasi

dengan baik oleh produk hukum yang berlaku. Mekanisme tersebut seringkali dikenal

dengan istilah pengujian peraturan perundang-undangan atau judicial review.86

Kewenangan Mahkamah Agung selaku judicial review tidak dicantumkan dalam

Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen melainkan tercantum dalam Tap MPR

RI No. III/MPR/1978 dan Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah

Agung serta Perma Nomor 1 tahun 1993 tentang Hak Uji Materiil. Di dalam Tap MPR RI

No. III/MPR/1978 tepatnya pada Pasal 11 ayat 4 disebutkan “Mahkamah Agung

mempunyai wewenang menguji secara material hanya terhadap peraturan-peraturan

perundangan di bawah Undang-undang dan Perma Nomor 1 tahun 1993 tentang Hak Uji

Materiil terkait pengajuan Permohonannya.

Seiring dengan perkembangan politik di Indonesia maka politik di Indonesia juga

mengalami perubahan perubahan tersebut ditandai dengan momentum perubahan Undang-

undang Dasar 1945 pada masa reformasi (1999-2004). Salah satu perubahan signifikan

dalalm amandemen Undang-undang Dasar 1945 itu adalah dicantumkannya kewenangan

hak uji materiil oleh Mahkamah Agung dalam Pasal 24A dan juga lahirnya Mahkamah

Konstitusi. Mahkamah Konstitusi ini terbentuk karena kebutuhan akan adanya suatu yang

semakin mendesak. Dalam perkembangannya sejak masa reformasi masyarakat semakin

kritis terhadap pemerintah apalagi sejak hadirnya Mahkamah Konstitusi sebagai penguji

undang-undang terhadap Undang-undang Dasar. Kedudukan mahkamah agung tetap

menguji dengan batu uji yang berbeda, diatur dalam peraturan Mahkamah Agung Nomor 1

tahun 2004 menggantikan Perma Nomor 1 Tahun 1993 tentang Uji Materiil.87

Mahkamah Agung diberi kewenangan melakukan Judicial Review terhadap

peraturan di bawah Undang-undang. Sebagimana yang pernah dijelaskan dalam Undang-

undang Dasar 1945 setelah amandemen, bahwa Mahkamah Agung mempunyai wewenang

untuk menguji apakah sesuatu undang-undang sesuai dengan Undang-Undang atau tidak,

dan untuk menolak melaksanakan undang-undang serta peraturan-peraturan lainnya yang

dianggap bertentangan dengan Undang-Undang. Dan yang termasuk peraturan di bawah

undang-undang menurut Pasal 7 undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah Peraturan

Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah

Kabupaten atau Kota. Kewenangan melakukan pembatalan peraturan yang dianggap

86 Ibid. 87

Arie satio Rantjoko, “Hak Uji Materiil Oleh Mahkamah Agung Untuk Menguji Peraturan Perundang-

undangan Dibawah Undang-undang Di Indonesia”, artikel pada Jurnal Rechtens, Vol.3, No.1, 2014, hlm. 44-47.

Page 53: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

48

bertentangan dengan undang-undang di atasnya dimiliki juga oleh pemerintah selain

Mahkamah Agung pembatalan tersebut dilakukan sebagi bentuk pengawasan dari

pemerintah.

Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah ini berupa Pembatalan Peraturan

Daerah yang diatur dalam Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah yaitu bahwa:

(1) Peraturan Daerah disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah

ditetapkan.

(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) yang bertentangan dengan

kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dapat

dibatalkan oleh Pemerintah.

(3) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) ditetapkan dengan

Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Peraturan

Daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1).

(4) Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada

Ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan

selanjutnya DPRD bersama kepala daerah rnencabut Peraturan Daerah dimaksud.

(5) Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda

sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh

peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada

Mahkamah Agung.

(6) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (5) dikabulkan; sebagian atau

seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden

menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

(7) Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan

Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (3), Perda dimaksud dinyatakan

berlaku Dari Pasal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah dapat

melakukan pembatalan terhadap peraturan daerah yang dianggap bertentangan dengan

kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dan apabila

pemeritah provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima pembatalan Peraturan

Daerah tersebut maka kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah

Agung.

Disini sudah mulai terlihat bahwa telah terjadi dualisme kewenangan dalam

melakukan uji materiil terhadap peraturan di bawah undang-undang. Sepanjang 2010,

Page 54: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

49

Mahkamah Agung sudah memutus 12 perkara uji materiil Peraturan Daerah tetapi

Kementerian Dalam Negeri sudah membatalkan tidak kurang dari 1.691 Peraturan Daerah

sepanjang periode 2004-2009. Secara praktek sejak 2004, telah terjadi dualisme

pembatalan Perda. Sebagian diputuskan melalui executive review di Kementerian Dalam

Negeri, sebagian lagi melalui uji materiil di Mahkamah Agung. Dualisme ini terjadi

karena inkonsistensi instrumen hukum yang mengatur Peraturan Daerah.88

Pengujian oleh hakim (toetsingsrecht van de rechter atau judicial review) diatur baik

sebelum dan sesudah perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Pengaturan mengenai

pengujian peraturan perundang-undangan pada masa berlakunya Undang-Undang Dasar

1945, pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang mengatur pengujian terhadap

peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang

merupakan kewenangan Mahkamah Agung. Setelah perubahan Undang-Undang Dasar

1945, kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang

terhadap Undang-Undang tetap merupakan kewenangan Mahkamah Agung, sedangkan

pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar merupakan kewenangan

Mahkamah Konstitusi Pengujian Undang-Undang oleh lembaga legislatif (legislative

review) dilakukan dalam kapasitas sebagai lembaga yang membentuk dan membahas serta

menyetujui Undang-Undang (bersama-sama Presiden).

Sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945, pengujian Undang-Undang

terhadap Undang-Undang Dasar berada pada MPR berdasarkan Ketetapan MPR RI

Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-

undangan. Alasan mengapa Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji hanya

terhadap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-

Undang pada masa sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945, menurut Padmo

Wahjono didasarkan pada pemikiran bahwa Undang-Undang sebagai konstruksi yuridis

yang maksimal untuk mencerminkan kekuasaan tertinggi pada rakyat, sebaiknya

diuji/diganti/diubah oleh yang berwenang membuatnya, yaitu MPR berdasarkan praktik

kenegaraan yang pernah berlaku.89

Praktik ketatanegaraan yang dimaksud adalah dengan ditetapkannya Ketetapan

MPRS RI Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-produk Legislatif

88 Ibid. 89 Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Ctk. 2, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986,

hlm. 15.

Page 55: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

50

Negara di luar Produk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang Tidak Sesuai

dengan Undang-Undang Dasar 1945.90

Sebagaimana pengujian oleh lembaga legislatif

(legislative review) yang dilakukan dalam kapasitas sebagai lembaga yang membentuk

dan membahas serta menyetujui Undang-Undang (bersama dengan Presiden), pengujian

oleh lembaga eksekutif (executive review) dilakukan terhadap peraturan perundang-

undangan yang dibentuk oleh lembaga eksekutif.

Salah satu contoh pengujian oleh lembaga eksekutif (executive review) adalah dalam

pengujian Peraturan Daerah. Untuk melaksanakan pemerintahan daerah, maka

penyelenggara pemerintahan daerah (pemerintah daerah dan DPRD) membentuk

Peraturan Daerah, yang akan ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan

bersama DPRD. Berdasarkan Pasal 136 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah, Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum

dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan Pasal 145

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah dapat

membatalkan Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi, dan keputusan pembatalan Peraturan Daerah

ditetapkan dalam Peraturan Presiden.

Analisis mendalam diperlukan jika mengkaji pengujian peraturan dari segi

obyeknya, karena harus memperhatikan sistem hukum yang digunakan, sistem

pemerintahan, dan sejarah ketatanegaraan dari sebuah negara sehingga sangat mungkin

terdapat kekhasan pada negara tertentu. Dilihat dari obyek yang diuji, maka peraturan

perundang-undangan yang diuji terbagi atas:

(1) Bahwa seluruh peraturan perundang-undangan (legislative acts dan executive acts)

dan tindakan administratif (administrative action) terhadap Undang-Undang Dasar

diuji oleh hakim pada seluruh jenjang peradilan.

(2) Bahwa pengujian dengan obyek seperti ini dilakukan dalam kasus yang kongkrit, dan

secara umum dilakukan pada negara yang menggunakan common law system.91

90 Ibid. 91

Beberapa definisi judicial review dari negara yang menggunakan sistem hukum common law. Dalam

Black’s Law, judicial review diartikan sebagai: power of courts to review decisions of another department or

level of government.” Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary with Pronunciations. 6thed. (United

States of America: West Publishing Co, 1990), hlm. 849. Encyclopedia Americana mengemukakan pengertian

judicial review sebagai berikut: “Judicial review is the power of the courts of the country to determine if the acts

of the legislature and executive are constitutional. Acts that the courts declare to be contrary to the constitution

are considered null and void and therefore unenforceable.” The Encyclopedia Americana Vol. 16, Cet.7,

(Canada: Grolier Limited, 1977), hlm. 236. Sedangkan Erick Barendt mengemukakan pengertian judicial

Page 56: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

51

Secara umum, istilah yang digunakan adalah judicial review, akan tetapi perlu

diperhatikan lagi penggunaan istilah itu pada negara-negara yang menggunakan sistem

hukum civil law system, Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar diuji oleh

hakim-hakim pada Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court), sedangkan peraturan

perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang diuji oleh

hakim-hakim di Mahkamah Agung (Supreme Court). Pengujian dengan pembagian obyek

seperti ini secara umum tidak dilakukan dalam kasus yang kongkrit, dan secara umum

dilakukan pada negara yang menggunakan sistem hukum civil law. Jimly Asshiddiqie

membedakan jika pengujian itu dilakukan terhadap norma hukum yang bersifat abstrak

dan umum (general and abstract norms) secara “a posteriori”, maka pengujian itu dapat

disebut sebagai “judicial review”, akan tetapi jika ukuran pengujian itu dilakukan dengan

menggunakan konstitusi sebagai alat pengukur maka, maka kegiatan pengujian semacam

itu dapat disebut sebagai “constitutional review” atau pengujian konstitusional, yaitu

pengujian mengenai konstitusionalitas dari norma hukum yang sedang diuji (judicial

review on the constitutionality of law).92

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa definisi dari suatu istilah

sangat tergantung dari sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan, sistem

pemerintahan, dan sejarah ketatanegaraan sebuah negara. Istilah judicial review selain

digunakan pada negara yang menggunakan sistem hukum common law juga digunakan

dalam membahas tentang pengujian pada negara yang menganut civil law system, seperti

yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie, yaitu: ‘Judicial Review’ merupakan upaya

pengujian oleh lembaga Judicial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang

kekuasaan legislatif, eksekutif, ataupun judikatif dalam rangka penerapan prinsip ‘checks

and balances’ berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan negara (separation of

power).93

Walaupun menggunakan istilah yang sama yaitu judicial review, akan tetapi

karena sistem hukum yang menjadi landasan berbeda, maka definisinya akan berbeda,

karena pada negara dengan common law system.94

tidak dikenal adanya suatu peradilan

review sebagai berikut: “Judicial review is a feature of a most modern liberal constitutions. It refers to the power

of the courts to control the compatibility of legislation and executive acts of the term of the constitutions.”

Erick Barendt, An Introduction to ConstitutionalLaw, (Great Britain: Biddles Ltd, Guildford and King’s Lynn,

1998), hlm. 17 92

Ibid, hlm 6-7. 93 Jimly Asshiddiqie, “Menelaah Putusan Mahkamah Agung tentang ‘Judicial Review” atas PP No.

19/2000 yang bertentangan dengan UU Nomor 31 Tahun 1999,” (tanpa tempat, tanpa tahun), loc cit., hal. 1. 94

Rene David dan John E.C. Brierley “The Common law,...was formed primarily by judges who had to

resolve specific disputes. The Common law legal rule is one which seeks to provide the solution to a trial rather

Page 57: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

52

khusus yang mengadili pegawai administrasi negara sebagaimana dalam civil law

system,95

maka terhadap tindakan administrasi negara juga diadili di peradilan umum. Hal

itu menyebabkan pada negara yang menganut common law system hakim berwenang

menilai tidak hanya peraturan perundang-undangan, tapi juga tindakan administrasi negara

terhadap Undang-Undang Dasar.96

Pembagian lainnya adalah berdasarkan waktu pengujian, yaitu pengujian yang

dilakukan sesudah Undang-undang disahkan (judicial review) dan pengujian yang

dilakukan sebelum Undang-undang disahkan (judicial preview). Jimly Asshiddiqie

mengemukakan perbedaan judicial review dan judicial preview sebagai berikut:

Jika pengujian itu dilakukan terhadap norma hukum yang bersifat abstrak dan umum

(general and abstract norms) secara “a posteriori”, maka pengujian itu dapat disebut

sebagai “judicial review”. Akan tetapi jika pengujian itu bersifat “a priori”, yaitu

terhadap rancangan undang-undang yang telah disahkan oleh parlemen tetapi belum

diundangkan sebagaimana mestinya, maka namanya bukan “judicial review”,

melainkan “judicial preview”.97

Gagasan pemberian kekuasaan hak menguji undang-undang telah dimulai pada saat

rapat-rapat persiapan kemerdekaan Indonesia. Namun, ketiadaan atau keterbatasan ahli

hukum pada awal berdirinya negara Indonesia menjadi salah satu alasan pragmatis dari

Soepomo untuk menolak diberikannya kewenangan menguji undang-undang kepada

kekuasaan kehakiman dalam konstitusi Indonesia. Alasan keterbatasan ahli hukum itu

direkam oleh Wiryono Prodjodikoro98

dalam catatannya tentang urgensi peradilan

administrasi sbb : “Hak kekurangan keahlian inilah yang menimbulkan keragu-raguan

dalam hati sanubari segenap pembicara dalam pertemuan para ahli hukum tersebut.

Terutama Prof. Logemann adalah sangat tegas dalam kesimpulannya, bahwa menurut

than to formulate a general rule of conduct for the future.”, Major Legal Systems in the World Today:

Introduction to the Comparative Study of the Law, ed. 3rd, (London: Stevens and Sons Ltd., 1996), hlm. 24 95 James Mac Gregor Burns, J.W. Peltason, dan Thomas E. Cronin Dalam literatur, istilah Civil Lawjuga

dikenal dengan istilah The Romano-Germanic Family.”A first family may be called the Romano-Germanic

family. “This group includes those countries in which legal science has developed on the basis of Roman ius

civile.” Ibid., hal. 22. Dalam buku tersebut dijelaskan lebih lanjut bahwa: “In countries of the Romano-

Germanic family, the starting point for all legal reasoning is found in various form of “written law”. Ibid., hal.

125. Selain itu, juga terdapat istilah statutory law. “Statutory law: Formulated primarily by a legislature, but also

includes treaties and executive orders; law that come from authoritative and specific law-making sources.”,

Government by the People, 13th alternate ed., (New Jersey: Prentice Hall, 1989), hlm. 364 96 Untuk penjelasan lebih lanjut tentang sistem sentralisasi dan sistem desentralisasi dalam pengujian

peraturan perundang-undangan, lihat Fatmawati, loc.cit. 97 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Ctk. Kedua,

Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm. 6-7. 98

Prodjodikoro, Wirjono. Bunga Rampai Hukum, Karangan Tersebar, Ichtiar Baru, Jakarta, 1974, hlm.

195.

Page 58: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

53

pendapatnya hal yang pertama-tama harus diperhatikan di Indonesia ialah suatu usaha

memperbaiki berjalannya tata-usaha pemerintahan secara mengatur sebaik-baiknya

pemisahan Pengadilan dan Pamongpraja, menyempurnakan hukum tata usaha

pemerintahan, memperbaiki hal pengawasan di dalam tata usaha pemerintahan, dan

mengadakan pengawasan atas tindakan pemerintah oleh badan-badan perwakilan rakyat.

Pada akhirnya Ketua Pertemuan tersebut Mr. Van Dunne mengemukakan bahwa

sebagai hasil dari pembicaraan diantara semua pembicara ialah, bahwa belum dirasakan

keperluan untuk lekas lekas mengadakan pengadilan dalam soal-soal tata usaha secara

prinsipil dan luas”. Pada tanggal 27 Desember 1949 berdiri negara federal Republik

Indonesia Serikat (RIS) yang hanya berumur 7 bulan 21 hari, karena kemudian pada

tanggal 17 Agustus 1950, negara Indonesia kembali ke Negara Kesatuan. Dalam

pemerintahan RIS, pembuatan undang-undang dilakukan oleh Presiden dan Menteri-

Menteri bersama dengan DPR, kecuali kalau mengatur hal-hal khusus mengenai hal

tertentu, beberapa atau semua daerah bagian, maka bersama-sama juga dengan Senat

(Pasal 127 KRIS).

Berdasarkan ketentuan pasal 130 ayat (2) Konstitusi RIS disebutkan bahwa objek

hak uji materi di Mahkamah Agung adalah undang-undang negara bagian yang

bertentangan atau tidak sesuai dengan konsitusi.99

Dalam Undang-Undang Dasar

Sementara Tahun 1950, hak uji menguji secara materil tidak dapat dilakukan. Artinya

tidak ada satu kekuasaan pun, termasuk Mahkamah Agung, yang mempunyai wewenang

untuk menguji, apakah isi suatu undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar atau tidak.100

Sedangkan menurut Henry P. Panggabean objek Hak Uji Materiil dalam periode

Undang-Undang Dasar Sementara adalah peraturan pemerintah dan peraturan daerah (vide

Pasal 95 ayat (2) UUDS).101

Praktek pengujian peraturan oleh para hakim di pengadilan

sebenarnya telah ada sejak zaman kolonial, terutama pada masa pendudukan Belanda-jauh

sebelum M. Yamin mengemukakan pemikiran itu dalam sidang pleno BPUPKI.102

Praktik hakim di pengadilan menilai dan menguji Undang-undang terhadap Undang-

undang Dasar semacam ini terus berlanjut pada masa Indonesia baru merdeka, sekalipun

99 Sri Soemantri M, Hak Uji Material di Indonesia, Edisi Kedua, Alumni, Bandung, 1997, hlm. 28

100 Ibid, hlm. 30.

101Panggabean, Henry Pandapotan, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari, Upaya

Penanggulangan tunggakan perkara dan pemberdayaan fungsi pengawasan Mahkamah Agung, Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta, 2001, hlm. 127. 102

Harman, Benny K, Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi, Sejarah Pemikiran Pengujian UU

Terhadap UUD, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2013. hlm. 146.

Page 59: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

54

secara tegas Undang-undang Dasar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak

memberikan kewenangan tersebut. Bahkan, secara tegas melarang praktik tersebut lewat

ketentuan Pasal 20 AbvW dari masa Hindia-Belanda yang dinyatakan masih tetap berlaku

(carry over). Dalam catatan Henry P. Panggabean103

terdapat satu yurisprudensi yang

sebenarnya telah menerapkan hak uji (toetsingsrecht)itu dalam sengketa yang berkaitan

dengan kewenangan Kantor Urusan Perumahan (KUP). Maksudnya, meskipun terdapat

PP. 49/1963 sebagaimana ditegaskan dengan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung)

Nomor 5 Tahun 1964 yang isinya menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang

mengadili sengketa sewa-menyewa perumahan dan pengosongannya melainkan hanya

Kepala Kantor Urusan Perumahan yang berwenang pada tingkat pertama dan kepala

daerah pada tingkat banding namun dalam praktik tetap sengketa perumahan diadili oleh

Pengadilan Negeri.

Namun, istilah hak uji sebagaimana digunakan oleh Henry P. Panggabean dalam

persoalan di atas perlu dicermati lebih seksama karena yang terjadi kemungkinan

sebenarnya adalah ketidakjelasan yuridiksi dalam sengketa perumahan, artinya kendati

terdapat peraturan perundang-undangan yang memberi kewenangan kepada Kepala

Daerah dalam menyelesaikan sengketa perumahan namun kewenangan tersebut tetap

beririsan dengan kewenangan Pengadilan Negeri dalam menyelesaikan soal-soal

keperdataan di bidang perumahan (vide SEMA No. 18/1964)104

. Namun harus diakui

praktik pengujian peraturan perundang-undangan senantiasa terjadi, meskipun sebelum

tahun 1993 para hakim tidak memiliki kewenangan tersebut. Hanya saja pengujian yang

dilakukan tidak mengakibatkan pembatalan karena yang dilakukan hanya

mengesampingkan suatu ketentuan atau aturan hukum tertulis.

103

Panggabean, Henry Pandapotan, Fungsi Mahkamah Agung Bersifat Pengaturan (Rule Making Power)

Tahun 1966-2003, Liberty, Yogjakarta, 2005, hlm. 90-91. 104

Selengkapnya lihat Junus, Anwar. Penuntun Praktis Perkara Perumahan di Jakarta. Penerbit dan Balai

Buku Ichtiar, Jakarta, 1979. Sehubungan dengan itu, Zainal Arifin Hoessein, dengan mengutip Sri Soemantri,

juga mencacat bahwa putusan MA No. 1631/K/Sip/1974 tanggal 21 Oktober 1975 merupakan sebuah

“pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang” yakni sebagai pelaksanaan pasal 26

UU. No. 14 Tahun 1970. Duduk permasalahan dalam putusan tersebut adalah keputusan yang dikeluarkan oleh

Gubernur DKI No. 229/Spb/T/T/1973 tanggal 29 Maret 1973 bertentangan dengan UU. No. 20 Tahun 1961

tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di atasnya. Menurut undang-undang ini,

prosedur pencabutan hak atas tanah tersebut seharusnya dilakukan melalui permohonan yang berkepentingan

kepadaMenteri Agraria (sekarang BPN) dan selanjutnya Menteri Agraria meminta keputusan Presiden. Jadi

pencabutan hak-hak atas tanah tersebut harus melalui keputusan Presiden. Selengkapnya lihat, Hoessein, Zainal

Arifin. Judicial Review di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-Undangan ,

Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2009, hlm.. 210-211.

Page 60: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

55

Selain itu, penilaian yang dilakukan para hakim selalu berkaitan dengan kasus

kongkret yang mereka tangani di pengadilan. Pengesampingan suatu ketentuan merupakan

bagian dari proses penemuan hukum atau interpretasi. Kendati sebelum tahun 1993,

melalui ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985

Tentang Mahkamah Agung secara formal Mahkamah Agung sudah memiliki kewenangan

melakukan Hak Uji Materiil, namun kewenangan tersebut terhalang oleh TAP MPR No.

III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara

dengan atau Antar Lembaga Tinggi Negara105

.

Pasal 31 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung

(diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009) berbunyi sebagai berikut:

(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap

peraturan perundang-undangan di bawah ini Undang-undang;

(2) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-

undangan dari tingkat yang lebih rendah daripada Undang-undang atas alasan

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;

(3) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut

dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi.

Pencabutan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah tersebut,

dilakukan segera oleh instansi yang bersangkutan. Jika dibandingkan dengan ketentuan

Pasal 26 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, nampak paling sedikit 3 perbedaan

subtansial, yaitu:

a. Alat uji yang digunakan Mahkamah Agung dalam pengujian peraturan perundang-

undangan di bawah undang-undang adalah undang-undang, bukan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi;

b. Mahkamah Agung menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan di bawah

undang-undang “tidak berlaku”. Pernyataan tidak berlaku membawa konsekuensi

bahwa peraturan perundang-undangan tidak perlu dicabut. Menurut ketentuan Pasal

26 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970, Mahkamah Agung menyatakan tidak sah

105

Lotulung, Paulus Effendi dkk, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Wewenang Mahkamah Agung

Dalam Melaksanakan Hak Uji Materil (Judicial Review), Badan Pembinaan HukumNasional, Departemen

Hukum dan Perundang-Undangan RI, Jakarta, 2001, hlm. 1-2.

Page 61: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

56

itu diikuti satu klausul bahwa peraturan perundang-undangan tersebut masih perlu

dicabut oleh lembaga pembentuknya.

c. Putusan Mahkamah Agung tentang pernyataan tidak berlakunya peraturan perundang-

undangan dapat diambil dalam pemerikasaan tingkat kasasi maupun berdasarkan

permohonan langsung kepada Mahkamah Agung.106

Berbeda dengan Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Dasar RIS 1949

memberikan peran yang sangat penting bagi Mahkamah Agung dalam pengujian peraturan

perundang-undangan. Undang-Undang Dasar RIS 1949 mengakomodir keberadaan

judicial review. Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk melakukan judicial

review terhadap peraturan perundang-undangan apabila bertentangan dengan Konstitusi.

Proses pengujian oleh Mahkamah Agung atau pengadilan lain dapat dilakukan melalui dua

cara, yaitu melalui perkara yang sedang diperiksa oleh hakim dalam perkara perdata

maupun perkara hukuman perdata dan melalui permohonan yang secara khusus diajukan

oleh dan atas nama Jaksa Agung untuk Pemerintah Republik Indonesia Serikat, dan untuk

pemerintah bagian oleh kejaksaan pada pengadilan tertinggi daerah bagian.107

Kewenangan Mahkamah Agung dalam bidang judicial review semestinya tidak

dipandang minor atau memiliki signifikansi yang inferior dibandingkan kewenangan

Mahkamah Konstitusi dalam melakukan constitutional review. Menurut Zainal Arifin

Hoessein108

pengaturan pengujian peraturan memiliki korelasi yang positif dengan

pelaksanaan pengujian peraturan. Hubungan ini dapat dijelaskan bahwa jika

pengaturannya jelas dan memberikan kebebasan dan kemandirian terhadap lembaga yang

diberikan wewenang untuk melakukannya maka pengujian peraturan perundang-undangan

sebagai bagian dalam membangun pemerintahan yang demokratis, dapat dijalankan

sebagaimana mestinya.109

Tetapi sebaliknya, jika pengaturan justru membatasi ruang gerak

106

Sukardi, op.cit., hlm. 69. 107 Pultoni, “Judicial Review Studi Perbandingan dan Pelaksanaannya di Indonesia”, artikel pada Jurnal

Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Jakarta, hlm. 33. 108

Hoessein, Zainal Arifin. Op.cit., hlm. 239-240. 109 Menurut Fajar Laksono Soeroso terkait dengan proses peradilan, terutama dalam perkara judicial

review, ada anggapan bahwa proses peradilan di MK lebih fair dan terbuka. Hal ini dapat dimengerti mengingat

seluruh proses persidangan di MK, terutama dalam perkara pengujian UU di MK ditentukan terbuka untuk

umum, kecuali Rapat Permusyawaratan Hakim. Dalam praktiknya, MK sejak awal menerapkan asas audi et

alteram partem. Di dalam hukum acara MK, asas ini tidak tegas dicantumkan. Namun pada dasarnya norma

yang dirumuskan pasal-pasal undang-undang merupakan penjabaran asas ini. Begitu pula dalam Peraturan MK,

seluruh ketentuannya mengarah pada pemberian kesempatan yang seimbang dalam memberikan keterangan

mulai dari pemberitahuan permohonan, kesempatan mengajukan jawaban dan bukti-bukti, masuknya pihak-

pihak berkepentingan dan lain sebagainya. Berbeda dengan di MK, proses peradilan di MA dalam perkara uji

materi peraturan perundang-undangan di bawah UU lebih bersifat tertutup dan sepi hak. Jika dicermati, PERMA

No. 01 Tahun 2011 tidak menyebutkan mengenai pentingnya proses persidangan yang terbuka dan

mengedepankan asas audi et alteram partem. Dalam Bab III Pemeriksaan dalam Persidangan Pasal 5 ayat (2)

Page 62: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

57

lembaga yang diberikan wewenang untuk melaksanakannya, maka pelaksanaan pengujian

peraturan tersebut sulit bahkan tidak dapat dilaksanakan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian

disertasi Zainal Arifin Hoessein dalam hal kewenangan judicial review di Mahkamah

Agung selama periode tahun 1970 sampai dengan 1993 yang tidak ada atau tidak pernah

diajukan oleh kelompok masyarakat yang dirugikan oleh peraturan yang dikeluarkan

pemerintah. Setelah lebih dari dua dekade, kewenangan hak uji materil Mahkamah Agung

tidak terealisir, dalam sistem sistem politik hukum Orde Baru yang memiliki

kecenderungan membatasi kekuasaan kehakiman, maka pada tahun 1993 merupakan

babak bersejarah dalam aktualisasi kewenangan hak uji materil Mahkamah Agung karena

pada tahun tersebut untuk pertama kali diterbitkan Peraturan Mahkamah Agung yang

mengatur tata cara pengajuan hak uji materil ke Mahkamah Agung.

Munculnya Peraturan Mahkamah Agung tersebut merupakan reaksi terhadap adanya

permohonan perkara hak uji materil oleh Surya Paloh sehubungan dengan pencabutan

SIUP Harian Prioritas oleh Menteri Penerangan berdasarkan Peraturan Menteri

Penerangan Nomor 01 Tahun 1984 yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang

Pokok Pers (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966).110

Permohonan Surya Paloh tersebut

langsung diajukan ke Mahkamah Agung, akan tetapi kemudian ditolak, karena absennya

aturan mengenai permohonan hak uji materi. Itulah sebabnya kemudian Mahkamah Agung

mengeluarkan Perma Nomor 1 Tahun 1993 tentang Hak Uji Materiil.111

Pelaksanaan pengujian juga dinilai masih menjadi masalah. Selama ini ada

hambatan bagi masyarakat karena sidang pengujian yang cenderung ‘tertutup’.

Kedepannya, Perma harus memberikan jaminan bahwa sidang pengujian Perda bersifat

terbuka. Bahkan perlu menghadirkan para pihak ke dalam ruang sidang, mendengarkan

keterangan ahli, seperti halnya sidang pengujian Undang-undang di Mahkamah Konstitusi.

Perma tersebut hanya disebutkan bahwa Majelis Hakim Agung memeriksa dan memutus permohonan keberatan

tentang Hak Uji Materiil tersebut dengan menerapkan hukum yang berlaku bagi perkara permohonan dalam

waktu yang sesingkat singkatnya sesuai dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Dalam

memutuskan sengketa kepemilikan Pulau Berhala, dengan berdasarkan PERMA No. 01 Tahun 2011, MA

memutuskan secara sepihak dan tertutup oleh Majelis Hakim Agung tanpa melibatkan pihak-pihak yang terkait

khususnya pihak pihak yang bersengketa. Padahal, akan sangat baik apabila dalam proses persidangan uji materi

tersebut, selain sifatnya terbuka untuk umum, MA seharusnya juga mengundang pihak-pihak yang bersengketa,

pihak terkait, termasuk saksi atau ahli seperti halnya dalam persidangan di MK. Dengan demikian, salah paham

dan salah implementasi hukum dapat dihindari. Karena itulah, terutama pihak yang dirugikan oleh putusan MA

kemudian memandang perlu mengalihkan penyelesaiaan kasusnya ke MK mengingat proses peradilan di MK

dirasakan lebih fair dan terbuka. Soeroso, Fajar Laksono. Memaknai Kecenderungan Penyelesaian Konflik

Batas Wilayah Ke Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol. 9, No. 3, September 2012. hlm. 30. 110

Lotulung, op.cit., hlm. 3. 111 Laoh, Arnold, “The Availability of International Judicial Review of Government Breaches of Human

Rights”, artikel pada Thesis submitted for award of the degree of Doctor of Philosophy (PhD) at Murdoch

University, Perth, Western Australia, July 2006. P. 72.

Page 63: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

58

Perma belum mengakomodir kemungkinan itu. Apabila proses pengujian di Mahkamah

Agung harus terbuka, pengujian oleh Kementerian Dalam Negeri untuk Perda Pajak dan

Retribusi harus mendapat perlakuan sama. Undang-Undang Pemda juga belum

mengakomodir kemungkinan hukum acara yang demikian Hal ini ditanggapi oleh

Mahkamah Agung dengan keluarnya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. Dalam konsideran butir b menyebutkan

bahwa pada dasarnya penentuan tenggat waktu pengajuan permohonan keberatan Hak Uji

Materiil adalah tidak tepat diterapkan bagi suatu aturan yang bersifat umum (Regelend)

karena sejalan dengan perkembangan hukum yang sedemikian rupa, dirasakan telah

bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan tidak lagi sesuai dengan “hukum

yang hidup (the living law) yang berlaku.” 112

Berdasarkan Pasal 12, Perma 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil ini mulai

berlaku pada tanggal 30 Mei 2011. Pada saat mulai berlakunya Perma tersebut,

permohonan hak uji materiil yang sudah diterima oleh Mahkamah Agung sebelum tanggal

tersebut masih didasarkan pada peraturan yang ada yakni Perma 1 Tahun 2004 tentang

Hak Uji Materiil. Sementara itu, dengan berlakunya Perma 01 Tahun 2011 tentang Hak

Uji Materiil, peraturan tentang hak uji materiil yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung,

yakni Perma 01 Tahun 1993 tentang Hak Uji Materiil, Perma Nomor 01 Tahun 1999

tentang Hak Uji Materiil, dan Perma 01 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil dinyatakan

tidak berlaku.

Tata Cara Pengajuan Pengujian Hak Uji Materiil Perma Nomor 1 Tahun 2011

Tentang Hak Uji Materiil menguraikan bahwa pengajuan Hak Uji Materiil ke Mahkamah

Agung tersebut dilakukan dengan cara sbb :

a. Langsung ke Mahkamah Agung; dan

b. Melalui Pengadilan Negeri yang membawahi tempat kedudukan pemohon.

Terhadap mekanisme Pengajuan Pengujian Hak Uji Materiil di Mahkamah Agung

tersebut timbul pertanyaan, jika Pendaftaran Hak Uji Materiil di Mahkamah Agung

dilakukan melalui Direktur Pranata dan Tata Laksana Tata Usaha Negara, dan diregister

melalui Panitera Muda Tata Usaha Negara, apalagi penetapan Majelis yang mengadili

Pengajuan Pengujian Hak Uji Materiil dilakukan oleh Ketua Kamar Peradilan Tata Usaha

Negara atas nama Ketua Mahkamah Agung yang menetapkan Majelis Hakim yang

112

Abdul Aziz Nasihuddin, “Implementasi Hak Uji Materiil Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Oleh

Mahkamah Agung”, artikel pada Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 13, No. 3 September 2013, hlm 436.

Page 64: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

59

memeriksa dan memutus Pengajuan Pengujian Hak Uji Materiil (vide Pasal 3 ayat (6)

Perma No. 1 Tahun 2011), maka dapat disimpulkan bahwa penanganan dan penyelesaian

sengketa Pengajuan Pengujian Hak Uji Materiil berada di kamar Tata usaha Negara,

walaupun mengatas namakan Ketua Mahkamah Agung. Atas dasar tersebut, Abdul Aziz

Nasihuddin berpendapat bahwa ke depan perlu dipertimbangkan alternatif perubahan

mekanisme pengajuan Pengajuan Pengujian Hak Uji Materiil dari Pengadilan Negeri

sesuai domisili pemohon agar dapat langsung diajukan dari Pengadilan Tata Usaha Negara

sesuai domisili Pemohon Pengajuan Pengujian Hak Uji Materiil selain langsung diajukan

ke Mahkamah Agung.113

Dapat disimpulkan bahwa karakter persoalan Pengajuan Pengujian Hak Uji Materiil

menyangkut masalah hukum publik (dalam hal ini hukum tata negara dan hukum

administrasi) sehingga memang penanganannya dilakukan oleh Kamar Tata Usaha

Negara. Hal ini diperkuat dengan praktek peradilan administrasi di negara-negara lain

yang pada umumnya memberikan kewenangan kepada peradilan administrasi untuk

menguji keputusan/peraturan yang bersifat mengikat secara umum (general binding rules),

termasuk halnya peraturan kebijakan sepanjang menimbulkan akibat hukum, namun tidak

termasuk pengujian undang-undang,114

maka dalam konteks tersebut dapat dipahami

pendapat Prof. Paulus Effendie Lotulung yang pernah menyatakan bahwa kewenangan

Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia meliputi kewenangan Pengadilan Tata Usaha

Negara mulai dari tingkat pertama, banding, kasasi termasuk dalam bidang pengujian hak

uji materil : “State Administration courts has the jurisdiction to resolve state

administration disputes at first instances, state administration high courts for second

instances and the supreme court for cassation and judicial reviews”.115

Pandangan Prof. Paulus Effendie Lotulung tersebut menjadi menarik untuk

dibandingkan dengan pandangan akhir pemerintah menyangkut kompetensi Peradilan Tata

Usaha Negara dalam risalah pembahasan Rancanngan Undang-undang Peradilan Tata

Usaha Negara tertanggal 20 Desember 1986, dimana Menteri Kehakiman, Ismail Saleh,

menyampaikan pandangan pemerintah sbb : “Negara Republik Indonesia sebagai negara

hukum bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram dan

tertib. Dalam usaha untuk mencapai tujuan tersebut, Pemerintah sebagai salah satu organ

113

Enrico Simanjuntak, “Kewenangan Hak Uji Materil Pada Mahkamah Agung RI”, artikel pada Jurnal

Hukum dan Peradilan, Vol. 2 No. 3 November 2013, hlm. 343. 114 Ibid, hlm. 345. 115

Ibid.

Page 65: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

60

negara diberi tugas untuk mengurus berbagai segi kehidupan dalam masyarakat. Untuk itu,

Pemerintah diberi wewenang untuk melakukan perbuatan tata usaha negara yang dapat

dikelompokan dalam 3 macam perbuatan, yaitu :

a. Mengeluarkan keputusan (beschikking);

b. Mengeluarkan peraturan (regeling);

c. Mengeluarkan perbuatan materil (materiele daad).

Dari ketiga macam perbuatan tersebut, yang menjadi kompetensi Peradilan Tata

Usaha Negara hanyalah terbatas mengenai perbuatan yang pertama, artinya keputusan

yang dikeluarkan oleh Badan Tata Usaha Negara dapat dinilai Peradilan Tata Usaha

Negara”.116

Selanjutnya, Ismail Saleh, sebagaimana halnya sosok Paulus Effendie

Lotulung, yang merupakan tokoh penting dan sentral mewakili pemerintah dalam

keseluruhan proses penyusunan dan pembahasan RUU Peratun selama dibahas di DPR

sejak bulan Mei 1986 sampai disahkannya RUU tersebut pada penghujung bulan

Desember 1986, menambahkan bahwa pada dasarnya semua perbuatan Badan Tata Usaha

Negara dapat dinilai oleh Pengadilan : perbuatan materil dinilai oleh Peradilan Umum

sedangkan perbuatan pemerintah mengeluarkan peraturan dinilai oleh Mahkamah Agung

(vide Undang-undang. Nomor 14 Tahun 1970 dan Undang-undang Nomor 14 Tahun

1985).117

Pengawasan terhadap perbuatan pemerintah mengeluarkan peraturan oleh kekuasaan

kehakiman tidak berjalan sebagaimana diharapkan pada zaman Orde Baru. Yahya

Harahap118

menyatakan penerapan hak uji materil (sebelum era reformasi) hanya dapat

dipergunakan pada saat menyelesaikan perkara dalam tingkat kasasi. Selama suatu

peraturan perundang undangan tidak tersangkut dalam suatu sengketa, Mahkamah Agung

tidak bisa berbuat apa-apa. Menurut Yahya Harahap kekuasaan hak uji materil Mahkamah

Agung pasif dan membisu meskipun suatu peraturan bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi.

Bahkan Kewenangan Hak Uji Materil Pada Mahkamah Agung RI 347 kekuasaan itu

tidak berperan, meskipun telah timbul sengketa apabila proses perkaranya tidak sampai

kasasi. Namun Purwoto S. Gandasubrata119

mengakui bahwa pelaksanaan hak uji materil

116

Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Proses Pembahasan Rancangan

Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta, 1996, hlm. 1610-1611. 117

Ibid. 118

Harahap, M. Yahya, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa,

Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1997, hlm. 62. 119

Gandasubrata, H.R. Purwoto S, “Renungan Hukum”, Diterbitkan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI)

Cabang Mahkamah Agung RI, artikel untuk kalangan sendiri, Jakarta, Maret 1998, hlm. 132-133.

Page 66: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

61

oleh Mahkamah Agung melalui prosedur kasasi adalah sangat sulit untuk dilaksanakan,

kecuali apabila dalam prosedur pemeriksaan kasasi diadakan ketentuan tambahan agar

Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi dapat masuk untuk memeriksa dan memutus

tuntutan tentang hak uji materil. Hal mana menurut Mantan Ketua Mahkamah Agung

tersebut prosedur semacam itu agak menyimpang dan diluar kelaziman, mengingat

pemeriksaan kasasi dimaksud hanya untuk meninjau putusan yang terhadapnya

dimohonkan kasasi, perkara yang sudah dimulai sejak tingkat pertama dan banding.

Baik dalam kepustakaan maupun dalam praktek dikenal ada dua macam hak

menguji, yaitu :

a. Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai suatu produk legislatif seperti

undang-undang, dalam proses pembuatannya melalui cara-cara sebagaimana telah

ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau

tidak.120

Pengujian formal terkait dengan masalah prosedural dan berkenaan dengan

legalitas kompetensi institusi yang membuatnya.

b. Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan menilai isi apakah

suatu peraturan perundang-undangan itu sesuai atau bertentangan dengan peraturan

yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende

macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Pengujian material berkaitan

dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain yang

lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan

dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum.121

4.2. Lembaga Penguji Peraturan Daerah

Dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

yang telah diamandemen sebanyak 4 kali sejak tahun 1999 sampai tahun 2002 oleh

120 Pasal 31 UU No. 03/09 Tentang Perubahan Kedua Atas UU 04/85 Tentang Mahkamah Agung:

(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang

terhadap undangundang.

(2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundangundangan di bawah undang undang atas alasan

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak

memenuhi ketentuan yang berlaku.

(3) Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat

diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan

langsung pada Mahkamah Agung. Jadi selain bertentangan dengan peraturan per-UU-an yg berlaku juga

pembentukannya tidak sesuai dengan ketentuan yg berlaku. Istilah “pembentukan” ini bukankah mengacu

kepada proses pembuatan per-UU-an itu sendiri? Dengan kata lain bagian ini bermakna formalitas sebuah

per-UU-an yg seharusnya diuji secara formil, bukan materil. 121

Enrico Simanjuntak, op.cit., hlm. 348.

Page 67: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

62

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), muncul beberapa lembaga Negara baru

termasuk di bidang kekuasaan kehakiman (yudisial). Ketentuan tersebut tercantum

dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya pasal 24 ayat (2) yang

berbunyi “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan

peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan

peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara,

dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”122

Berdasarkan ketentuan di atas, maka selain Mahkamah Agung, ada satu lembaga

baru di bidang kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi. Interprestasi yang ada adalah

pertama, bahwa kedudukan Mahkamah Konstitusi sejajar dengan kedudukan

Mahkamah Agung sekarang ini karena pernyataan pasal 24 ayat (2) UUD 1945 tersebut

menyatakan bahwa “…dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Ini berarti selain

Mahkamah Agung terdapat pula lembaga lain yang bernama Mahkamah Konstitusi.

Kedua, kedudukan Mahkamah Konstitusi seolah-olah lebih tinggi karena ia memakai

nama konstitusi serta memiliki kewenangan yang lebih tinggi seperti dalam hal judicial

review, sementara Mahkamah Agung hanya judicial review atas peraturan di bawah

undang-undang. Selain itu kewenangan Mahkamah Konstitusi juga mencakup wilayah

politik yaitu memutuskan permasalahan pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden,

pembubaran partai politik, dan perselisihan hasil pemilihan umum.123

Antara Mahkamah Konstitusi diberi keluasan wewenang untuk menguji kembali

dua putusan Mahkamah Agung yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Ini

akan menimbulkan dampak yang besar terhadap masyarakat Indonesia. Dibuktikan

dengan adanya perencanaan penambahan wewenang bagi Mahkamah Konstitusi untuk

memutuskan kembali putusan Peninjauan Kembali (PK) yang dilakukan oleh

Mahkamah Agung terhadap dua putusan Mahkamah Agung pada perkara yang sama.

Misalnya sengketa tanah antara masyarakat di suatu daerah dengan badan

hukum/pemerintah, di satu sisi badan hukum menyelesaikan persoalan tanah ini melalui

Peradilan Tata Usaha Negara sampai ke Mahkamah Agung dan dimenangkan oleh

pihak badan hukum tersebut, namun di sisi lain masyarakat menyelesaikan persoalan

ini melalui Peradilan Negeri (perdata) sampai ke Mahkamah Agung juga, yang

kemudian dimenangkan oleh pihak masyarakat. Dalam perkara ini ada dua buah

122

Henni Muchtar, Paradigma Hukum Responsif (Suatu kajian tentang Makamah Konstitusi sebagai

Lembaga Penegak Hukum), artikel pada, Jurnal Humanus, Volume XI, Nomor 2, Tahun 2012, hlm. 160 123

Ibid

Page 68: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

63

putusan Mahkamah Agung pada perkara yang sama dan mempunyai kekuatan hukum

tetap (inilah yang disebut dengan Konstitusional Komplain/pengaduan konstitusi).

Memang, akan lebih parah lagi apabila terdapat dua putusan Mahkamah Agung pada

perkara yang sama, tetapi tidak ada jalan yang ditempuh untuk penyelesaiannya,

putusan di-biarkan begitu saja. Dalam menyikapi permasalahan ini dibutuhkan suatu

pemikiran yang mampu untuk menyelesaikannya agar kepastian hukum dapat

diwujudkan secara jelas dan tepat.124

Secara teoritis tidak terdapat hubungan diantara kedua lembaga pelaksana

kekuasaan kehakiman itu. Tidak ditemukannya hubungan diantara kedua lembaga

pelaksana kekuasaan kehakiman itu dalam hal kewenangan judicial review adalah

dikarenakan objek yang menjadi kewenangan judicial review antara Mahkamah Agung

dan Mahkamah Konstitusi tidaklah sama. Sehingga sepintas, kondisi ini menunjukkan

tidak adanya hubungan di antara kedua lembaga pemegang kewenangan judicial review

itu. Namun demikian harus dipahami bahwa seluruh objek judicial review yang

menjadi ranah kewenangan kedua lembaga dimaksud berada dalam satu jenjang

hierarki peraturan perundang-undangan. Jenjang hierarki dimaksud mewajibkan seluruh

peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah untuk tunduk dan

mempunyai kekuatan hukum dari peraturan tingkat atasnya.125

Baru-baru ini Pemerintah melalui kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

melakukan suatu terobosan, dimana pada tanggal 8 Desember 2017 Menteri Hukum

dan HAM mengundangkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 32 Tahun

2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Peraturan Perundang-Undangan

Penyelesaian sengketa peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam

Permankumham 32 Tahun 2017 ialah penyelesaian melalui jalur nonlitigasi.

Dalam Permankumham ini mengatur ada pihak yang dirugikan baik Perorangan

atau sekelompok orang, badan/Lembaga/Kementrian/Lembaga Pemerintah Non

Kementerian/Pemerintah Daerah, swasta atau badan usaha yang dilakukan oleh badan

hukum privat/publik. Merasa ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan

baik secara vertikal maupun horizontal yang menyebabkan timbulkan konflik norma

124 Ibid, hlm. 162 125

Simamora, Analisa Yuridis terhadap Model Kewenangan Judicial Review di Indonesia artikel pada

Jurnal Mimbar Hukum, Volume 25, Nomor 3, Oktober 2013, Hlm 389-401

Page 69: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

64

hukum, konflik kewenangan antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang

menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat dan pelaku usaha serta menghambat iklim

investasi, usaha, dan kegiatan ekonomi nasional dan daerah dapat diajukan permohonan

penyelesaian sengketa melalui jalur Nonlitigasi dapat mengajukan permohonan secara

tertulis kepada Menteri Hukum dan HAM.126

Langkah penyelesaian sengketa nonlitigasi ini dianggap dapat lebih memberikan

kepastian hukum dan keadilan bagi pencari keadilan yang merasa dirugikan oleh

berlakunya suatu peraturan perundang-undangan, karena dilakukan secara terbuka,

dihadiri para pihak dan prosesnya hanya berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari

kerja sejak tanggal penugasan yang diberikan dari menteri kepada Direktur Jenderal,

namun dalam keadaan tertentu, jangka waktu pemeriksaan permohonan tersebut dapat

diperpanjang. Tentunya sangat jauh berbeda jika kita bandingkan dengan proses uji

materil di Mahkamah Agung yang jauh dari prinsip “fairness” serta kepastian hukum

yang adil bagi para pihak karena tidak dilakukan secara terbuka dan tidak

menghadirkan para pihak untuk dimintai keterangan. Proses Persidangan Uji Materiil

yang terbuka serta dihadiri oleh para pihak tidak dapat dilakukan oleh Mahkamah

Agung dengan alasan adanya keterbatasan waktu 14 hari yang dimiliki oleh Mahkamah

Agung untuk memeriksa dan memutus sejak permohonan di registrasi.127

Pemerintah melalui kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Permenkumham

Nomor 32 Tahun 2017 tersebut akan menjadi masalah baru karena secara aturan yang

dibuat bertententangan dengan peraturan yang berada diatasnya “Inkonstisional” dalam

hal ini Undang-Undang Dasar 1945. Munculnya lembaga-lembaga baru yang terbentuk

akan memberikan keleluas kepada masyarakat guna kepentingan yang dianggap

merugikan pribadi dan ini menjadi tidak sehat hukum, upaya penyelesaian sengketa

yang diatur dalam Permenkumham Nomor 32 Tahun 2017 yang dianggap dapat

menjadi alternative mekanisme penyelesaian sengketa diamana lebih menjamin adanya

keterbukaan proses pemeriksaan atas adanya suatu pertentangan norma dalam peraturan

perundang-undangan jika dibandingkan dengan mekanisme uji materiil di Mahkamah

Agung.

Hak Uji Materiil pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2011,

mengingat pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang

126

Ibid 127 Ibid

Page 70: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

65

dilakukan oleh Mahkamah Agung, maka seharusnya dilakukan persidangan secara

terbuka dengan menghadirkan Pemohon dan/atau pihak-pihak lain yang dianggap perlu

didengar keterangannya, bahkan wajib memberikan nasihat kepada pemohon. Oleh

karena peraturan perundang-undangan bersifat mengikat umum yang mutatis

mutandis128

putusan yang dihasilkan dari pengujian tentu diperuntukkan untuk

kepentingan umum, sehingga hakim harus aktif menggali keterangan atau data-data

dalam memeriksa perkara, dengan jalan menggelar persidangan.129

Sampai pada titik ini, indikasi akan munculnya persoalan hukum belum terlihat

secara jelas. Namun demikian, bila dilakukan pengkajian lebih mendalam, potensi

lahirnya persoalan dalam perjalanan kewenangan judicial review akan terlihat dengan

terang benderang manakala perkara yang muncul adalah kebalikan dari kasus yang

telah diuraikan di atas. Deskripsi sederhananya adalah ketika suatu perkara judicial

review diawali dari proses judicial review di Mahkamah Agung, lalu kemudian tidak

lama setelah Mahkamah Agung menjatuhkan putusan atas perkara dimaksud, muncul

perkara judicial review di Mahkamah Konstitusi atas peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi tingkatannya serta yang menjadi objek perkara judicial review di

Mahkamah Konstitusi ternyata sebelumnya telah dijadikan Mahkamah Agung sebagai

dasar hukum dalam menjatuhkan putusannya, maka persoalan hukum pun dipastikan

akan muncul.

Terhadap kasus yang demikian, kalau putusan Mahkamah Konstitusi ternyata

menguatkan ketentuan undang-undang yang merupakan batu uji pada saat judicial

review di Mahkamah Agung, maka apaka hal tersebut tidak akan menimbulkan

persoalan. Persoalan kemudian akan muncul ketika terjadi perbedaan putusan antara

putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Kalau dalam putusan

Mahkamah Konstitusi terkait dengan kewenangan judicial review yang dijalankan

justru menyatakan bahwa ketentuan undang-undang yang sebelumnya telah dijadikan

Mahkamah Agung sebagai batu uji dalam perkara judicial review di dalamranah

kewenangannya adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 atau

128

Berdasarkan wikipedia “Mutatis mutandis berasal dari bahasa Latin yang artinya kurang lebih adalah

"perubahan yang penting telah dilakukan". Istilah ini digunakan pada saat membandingkan dua situasi dengan

variabel yang berbeda”. 129 Viktor Santoso Tandiasa, Implikasi Dalam Persidangan Uji materiil Di Mahkamah Agung Yang

Tertutup Bagi Pelaku Usaha, artikel pada Makalah yang dipresntasikan dalam Diskusi Semiloka tentang

Transparasi Uji Materiil Dimahkamah Agung Guna Menunjang Dunia Usaha, Di fakultas Hukum Atma Jaya

Yogyakarta, pada Tanggal 08 September 2019, jam 09.00 WIB

Page 71: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

66

inkonstitusional, lalu bagaimana dengan nasib putusan Mahkamah Agung

sebelumnya? Berdasarkan ketentuan Pasal 58 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa Undang-undang yang diuji oleh

Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa

Undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Kemudian

dalam Pasal 39 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2005 tentang

Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang disebutkan bahwa

Putusan Mahkamah memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam

sidang pleno yang terbuka untuk umum.

Bila mengacu pada dua ketentuan itu, maka semestinya putusan Mahkamah

Konstitusi dalam perkara judicial review tidak dapat bersifat retroaktif (berlaku surut),

melainkan harus bersifat prospektif atau kedepan. Akan tetapi sebagaimana dikenal

dalam pengetahuan ilmu hukum pada umumnya, maka setiap asas mengenal adanya

pengecualian tertentu. Sehingga tidak mengherankan bila kemudian ditemukan

sejumlah putusan judicial review yang dinyatakan berlaku surut. Bahkan di Korea

Selatan, putusan judicial review diperbolehkan berlaku surut atau retroaktif sampai

sejak pembentukannya.130

Kemungkinan munculnya putusan yang bersifat retroaktif

dalam perkara judicial review bisa saja terjadi sepanjang memenuhi syarat-syarat

pemberlakuan asas retroaktif itu sendiri. Syarat-syarat dimaksud adalah:131

a. Besarnya kepentingan umum yang harus dilindungi undang-undang demikian;

b. Bobot hak-hak yang terlanggar akibat pemberlakuan undang-undang demikian lebih

kecil dari kepentingan umum yang terlanggar;

c. Sifat-Sifat hak yang terkena oleh undang-undang yang retroaktif. Selain itu,

berdasarkan Pasal 8 Bab VI Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2004

tentang Hak Uji Materiil disebutkan bahwa dalam 90 (sembilan puluh) hari setelah

putusan Mahkamah Agung Tersebut dikirim kepada Badan Atau Pejabat Tata Usaha

Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut, ternyata pejabat

yang berangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan

perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Untuk itu Pasal 8 khususnya ayat 2, ini harus dicabut karena akan menimbulkan

ketidakpastian hukum. Ahli dari penggugat berpendapat bahwa keputusan telah

130 Simamora, Loc Cit 131

Ibid

Page 72: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

67

dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah Agung dan akibat hukumnya bersifat ex nunc,

peraturan itu dianggap absah sampai dinyatakan batal. Sedangkan ahli dari tergugat

berpendapat bahwa putusan itu dianggap absah karena sekalipun peraturan yang

menjadi dasar diterbitkanya keputusan telah dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah

Agung, namun peraturan tersebut belum dicabut dan belum melampui tenggang waktu

90 (sembilan puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) Perma HUM

2011 dan karenanya masih mempunyai kekuatan hukum mengikat.132

Upaya untuk “memaksa” Mahkamah Agung untuk menggelar pemeriksaan

persidangan seperti pada pengujian undang-undang di Mahkmah Konstitusi sudah

pernah dilakukan, yaitu dengan upaya mengajukan uji materiil di Mahkamah Konstitusi

terhadap Undang-Undang Mahkamah Agung, namun upaya tersebut kandas.

Mahkamah Konstitusi menolak dengan dalil:

a. Mahkamah Agung terikat jangka waktu 14 (empat belas) hari harus memutus

perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang,

sehingga jangka waktu tersebut menjadi kendala bagi Mahkamah Agung untuk

menggelar persidangan yang hadiri para pihak.

b. Apabila menginginkan Mahkamah Agung untuk menggelar persidangan yang hadiri

para pihak, maka Mahkamah Agung diberi waktu yang cukup serta sarana dan

prasarana yang memadai. Hal ini merupakan open legal policy.133

Dari perjalanan kasus ini begitu nyata terlihat bahwa putusan Mahkamah

Konstitusi sangat berpotensi menggugurkan putusan Mahkamah Agung terkait perkara

judicial review dalam peraturan perundang-undangan yang saling berkaitan. Prediksi

akan munculnya persoalan hukum sebagai konsekuensi dari pemisahan kewenangan

judicial review dibawah Undang-Undang dengan judicial review atas Undang-Undang

juga sudah pernah diungkapkan oleh Asshiddiqqie. Namun kemudian, mantan ketua

Mahkamah Konstitusi itu berusaha memberikan alasan pembenar. Pertama, bahwa

praktik judicial review diberbagai negara adalah berbeda-beda. Di Jerman, Austria dan

Afrika Selatan, kewenangan judicial review sepenuhnya dijalankan dengan sistem yang

terintegrasi di bawah kewenangan Mahkamah Konstitusi. Namun ada pula negara yang

menjalankan kewenangan judicial review dengan tidak terintegrasi sebagaimana yang

dipraktekkan di Korea Selatan. Sistem yang dianut oleh Korea Selatan itulah yang

132 Imam Soebechi, Hak Uji Materiil, Jakarta, Sinar Grafika, 2016, hlm 225 133

Viktor Santoso Tandiasa, Loc Cit

Page 73: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

68

kemudian diadopsi di Indonesia. Kedua, bahwa berdasarkan catatan historis,

mekanisme kewenangan judicial review di bawah Undang-Undang selama ini memang

dianggap telah menjadi kewenangan Mahkamah Agung sejak semula. Oleh sebab itu,

maka dianggap sebagai suatu yang rasional bila kewenangan judicial review atas

peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang

masih tetap melekat sebagai bagian dari dari kewenangan Mahkamah Agung.134

Penyerahan kewenangan judicial review dalam dua lembaga negara yang berbeda

juga menunjukkan ketidakkonsistenan pengaturannya dengan kesatuan sistem hukum

nasional (the integrity of the national legal system) yang terbentuk antara lain dalam

peraturan perundang- undangan yang paling rendah sampai yang paling tinggi, dengan

mana dipuncak susunan tersebut konstitusi sebagai hukum dasar merupakan hukum

tertinggi, terdapat kemungkinan tata hukum yang dibangun tidak tertata dalam wujud

yang serasi dengan nilai yang menjadi sumber utama legitimasinya. Sebagai

konsekuensinya, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa suatu ketika, putusan

Mahkamah Konstitusi yang menyatakan suatu Undang-Undang, pasal, ayat atau bagian

dalam Undang-Undang tertentu tidak lagi berlaku, hanya akan mempunyai kekuatan

hukum mengikat terhadap undang-undang yang diuji tersebut, sedangkan peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah sebagai pelaksana Undang-Undang yang telah

diuji dan dinyatakan tidak berlaku lagi justru masih mempunyai kekuatan hukum dan

tetap berlaku, meskipun sesungguhnya telah kehilangan legitimasi karena Undang-

Undang yang menjadi landasan hukumnya sudah dibatalkan oleh Mahkamah

Konstitusi.135

Alasan Kedua, penyerahan kewenangan judicial review kepada Mahkamah

Agung dan Mahkamah Konstitusi juga akan menyisakan kerumitan lain dalam hal

perkara judicial review yang tidak bertentangan secara langsung terhadap peraturan

setingkat di atasnya, namun bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dengan

peraturan di tingkat atasnya. Konkritnya, bila suatu Peraturan Daerah (Perda) atau

Peraturan Pemerintah (PP) tidak bertentangan dengan Undang-Undang, namun justru

bertentangan langsung dengan Undang-Undang Dasar 1945, lalu lembaga manakah

yang memiliki kompetensi untuk melakukan judicial review terhadap persoalan

semacam ini? Kalau persoalan yang demikian diajukan ke Mahkamah Agung, maka

134 Janpatar Simamora, Analisa Yuridis terhadap Model Kewenangan Judicial Review di Indonesia,

artikel pada Hasil Penelitian Lembaga Penelitian Universitas HKBP Nommensen Medan Tahun 2012, hlm. 396 135

Ibid,

Page 74: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

69

sesuai dengan kewenangannya bahwa batu uji yang digunakan adalah Undang-Undang.

Sementara peraturan yang hendak diuji justru tidak bertentangan dengan Undang-

Undang terkait. Dengan demikian, maka dapat dipastikan bahwa Mahkamah Agung

tidak akan mengabulkan permohonan judicial review dimaksud. Kalaupun kemudian

diajukan ke Mahkamah Agung dan kemudian Mahkamah Agung menerimanya dengan

mengambil batu uji Undang-Undang sebagai peraturan tingkat atasnya, maka dapat

dipastikan bahwa Mahkamah Agung akan memberikan putusan dengan memberikan

pertimbangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang terkait. Padahal sejak awal

sudah jelas bahwa perkara yang hendak dilakukan upaya judicial review justru tidak

bertentangan dengan Undang-Undang, namun bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar 1945 Guna mengungkap lebih jauh ketidaksinkronan model kewenangan judicial

review yang dijalankan di Indonesia, kiranya perlu dipahami sejarah awal pengaturan

model kewenangan judicial review yang diserahkan kepada Mahkamah Agung dan

Mahkamah Konstitusi. Sehingga dengan demikian, maka nantinya akan dapat digali

solusi yang lebih efektif dan relevan dalam rangka mewujudkan sinkronisasi

kewenangan judicial review di Indonesia.

Di samping itu, berbagai kelemahan dan kelebihan yang dimiliki oleh Mahkamah

Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenangan judicial review

selama ini harus dijadikan pertimbangan guna melakukan evaluasi dan menggali

konsep kewenangan judicial review yang lebih relevan. Pada awalnya, terdapat 3 (tiga)

alternatif 136

yang digagas untuk memegang kewenangan judicial review, khususnya

terkait dengan judicial review atas Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar

1945. Gagasan pertama adalah memberikan kewenangan kepada MPR untuk

melakukan pengujian atas Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945,

namun kemudian gagasan ini dikesampingkan. Pengenyampingan gagasan ini tentu

dapat dipahami latar belakang pemikirannya, setidaknya ada beberapa alasan untuk

melakukan penolakan terhadap gagasan ini. Pertama, posisi MPR yang bukan lagi

merupakan lembaga tertinggi adalah salah satu faktor yang dapat dijadikan dasar

pertimbangan guna melakukan penolakan terhadap gagasan dimaksud. MPR hanyalah

lembaga tinggi yang setara dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, seperti

Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.

Oleh sebab itu maka menjadi tidak relevan bila kemudian MPR diberi kewenangan

136

Tim Penyusun, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama, Sekretariat Jenderal

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010, hlm. 7

Page 75: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

70

untuk itu. Kedua, keanggotaan MPR yang merupakan representasi dari partai politik

akan sarat dengan kepentingan politik. Dengan demikian, maka independensi dan

kualitas serta kadar keadilan dalam setiap keputusan yang akan diambil sudah barang

tentu tidak dapat dilepaskan dari berbagai kepentingan politik. Sehingga akan sulit

untuk mengharapkan tercapainya keadilan dalam setiap keputusannya. Bahkan tidak

tertutup kemungkinan bahwa nuansa politik akan lebih mendominasi setiap keputusan

yang diambil di MPR.

Gagasan kedua adalah memberikan kewenangan judicial review atas seluruh

peraturan perundang-undangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 kepada

Mahkamah Agung. Namun kemudian gagasan ini juga mengalami nasib yang sama

dengan gagasan pertama. Adapun dasar utama penolakan gagasan ini adalah karena

Mahkamah Agung dipandang sudah terbebani dengan tugas dan kewenangan yang

terlalu banyak.137

Gagasan ketiga adalah membentuk lembaga baru yang diformat

untuk menangani dan memegang kewenangan judicial review atas Undang-Undang

terhadap Undang-Undang Dasar 1945.138

Gagasan inilah yang kemudian menjadi cikal

bakal kelahiran Mahkamah Konstitusi. Namun sayangnya, gagasan pembentukan

lembaga baru itu justru hanya dilakukan guna menjawab persoalan terkait dengan

konsep judicial review atas Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Kewenangan judicial review yang diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi hanyalah

untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan

kewenangan judicial review atas peraturan perundang-undangan terhadap Undang-

Undang tetap berada dibawah kendali Mahkamah Agung sesuai dengan kewenangan

yang telah ada sebelumnya.

Lembaga mana yang ideal dalam kontek negara kesatuan Indonesia dalam

pemberian wewenang pengujian, dimana Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 dan undang-undang yang ada tidak memberikan celah bagi setiap

lembaga kekuasaan kehakiman (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi) untuk

melakukan pengujian, dalam artian terkait pengujian perundang-undngan dengan batu uji

masing-masing lembaga peradilan. Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1)

Undang-Undang Dasar 1945, dalam konteks judicial review, “hanya” berwenang untuk

melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Sedangkan

137 Tim Penyusun, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Ibid 138

Ibid

Page 76: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

71

Mahkamah Agung juga “hanya” berwenang untuk melakukan pengujian peraturan

perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.

Menurut arif hidayat139

, Undang-Undang Dasar 1945 itu seperti cambuk besar yang

kuat dimana terdiri dari berbagai Peraturan Perundang-undangan, jika cambuk-cambuk

itu bergoyang dan tarik menarik tetap ujungnya terikat kuat dan kokoh, dalam hal ini

Undang-Undang Dasar 1945 tidak mudah di amandemen hanya karena Peraturan

Perundang-undangan dibawahnya saling taling menarik atau beryogang mengikuti arus.

Hal tersebut juga ditegaskan dalam Penjelasan Romawi IV Undang-Undang Dasar

1945, yaitu “Maka telah cukup jikalau Undang-undang dasar hanya memuat aturan-

aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat

dan lain-lainya penyelenggara negara untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan

kesejahteraan sosial. Terutama bagi negara baru dan negara muda, lebih baik hukum

dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang

menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih

mudah cara membuat, mengubah, dan mencabut.140

Pemerikasaan perkara Hak Uji Materiil oleh Mahkamah Agung disejajarkan

dengan pemeriksaan perkara-perkara kasasi. Sekalipun sidang dibuka dan terbuka untuk

umum, namun sejatinya dalam pemriksaan perkara HUM pihak-pihak tidak dihadirkan

dalam perkara persidangan. Demikian pula, pemeriksaan saksi mapun ahli. Keterangan

ahli diajukan dalam bentuk tertulis (bila ada). Padahal permohonan pengujian atas

peraturan perundang-undangan dibawah Undang-undang oleh Mahkamah Agung. Tidak

hanya aspek menguji aspek hukumnya saja, akan tetapi juga menguji fakta, dan

putusannya bersifat final dan binding. Dan oleh karena obyek pengujiannya norma

hukum umum-abstrak, maka putusanya pun bedampak pada publik.

4.3. Kebutuhan Bangsa dalam Hukum Responsif

Dalam rangka mengatur dan menyelenggarakan otonomi daerah melalui

pembentuk Peraturan Daerah yang responsif merupakan suatu keharusan. Peraturan

daerah memiliki tujuan utama yaitu memperdayakan masyarakat dan mewujudkan

139 Arif Hidayat menyampaikan orasi, Dalam seminar di universitas Negeri Semarang, Tanggal 4

November 2018 140 Ida Zuraida, Tehnik Penyusunan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,

Jakarta, Sinar Grafika, 2014, hlm. 6

Page 77: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

72

kemandirian daerah. Peraturan Daerah otonomi harus didasarkan pada asas-asas

pembentukan perundang-undangan pada umumnya yaitu:

a. Memihak kepada kepentingan rakyat,

b. Menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan

c. Berwawasan lingkungan dan budaya.

Peneyelenggaraan otonomi daerah memerlukan peran masyarakat secara

keseluruhan agar upaya pembangunan daerah dapat dilaksanakan dengan baik.

Upaya untuk membentuk peraturan peraturan daerah yang responsif dapat tercapai

jika melalui tahapan-tahapan yang baik dan perencanaan yang baik pula, proses

pengharmonisasian yang dilakukan secara teliti dan cermat, dan menyertakan

masyarakat untuk menjaring aspirasi masyakat sesuai dengan hukum yang

diinginkan. Peraturan Daerah adalah hukum otonom yang berorentasi pada

pengawasan kekuasaan represif. Hukum otonom memfokuskan perhatiannya pada

kondisi sosial atas realitas-realitas dimasyarakat.141

Pemerintah daerah harus betul-betul menghindari adanya Peraturan Daerah yang

represif. Suatu kekuasaan pemerintahan dibilang represif jika kekuasaan tersebut tidak

memperhatikan kepentingan-kepentingan orang-orang yang diperintah, yaitu ketika suatu

kekuasaan dilaksanakan tidak untuk kepentingan mereka yang diperintah, atau mengikari

legitimasi mereka.142

Pembentukan Peraturan Daerah harus benar-benar sesuai dengan semangat

otonomi daerah, maka dari itu Peraturan Daerah harus benar-benar mampu

menjembatani kepentingan masyarakat di daerah. Tidak dapat dibenarkan jika Peraturan

Daerah dibentuk hanya sekedar kepanjangan tangan dari pemerintah pusat, Peraturan

Daerah harus benar-benar merupakan produk hukum yang mampu mendukung

pemerintah di daerah. Sesuai dengan namanya “Peraturan Daerah” kalau peraturan

tersebut bersubtansikan kepentingan masyarakat di daerah.143

Peraturan Daerah yang bersubtansikan kepada kepentingan masyarakat di daerah

dapat dilakukan melaui evaluasi terkait lahirnya sebuah Peraturan Daerah dimana

penting dilakukan untuk mengetahui segala kekurangan dan kelemahannya. Peraturan

Daerah yang disinyalir bermasalah serta menghambat masuknya investasi ke daerah

dapat diketahui lebih awal, karena dampak negatif dari “Peraturan Daerah

bermasalah”dapat diimplikasikan pada penurunan minat investor yang hendak

menanamkan modalnya ke daerah-daerah baik secara langsung atau tidak langsung

141

Isharyanto, op.cit., hlm. 114. 142

Ibid. 143

Ibid.

Page 78: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

73

sehingga lahirnya sebuah Peraturan Daerah harus benar-benar dapat mendukung

pelaksanaan Otonomi Daerah.144

Selain itu, akan semakin baik pula jika pemerintah pusat mau memahami sisi

sosiologis dan perkembangan situasi/kondisi aktual dari daerah yang bersangkutan untuk

menjadikan pertimbangan utama sebelum membatalkan sebuah Peraturan Daerah.

Pembatalan beberapa Peraturan Daerah yang bersangkutan untuk menjadikan

pertimbangan untama sebelum membatalkan sebuah Perda. Pembatalan beberapa

Peraturan Daerah yang dilakukan oleh pemerintah memang terkesan merepotkan daerah,

Peraturan Daerah yang dirancang sekian bulan lamanya dengan segenap pikiran, tenaga

dan biaya yang telah dikeluarkan ternyata harus dibatalkan karena dianggap

penyimpangan.145

Kemandirian dalam berotonomi tidak berarti daerah dapat membuat peraturan

perundang-undangan atau keputusan yang terlepas dari sistem perundang-undangan

secara nasional. Peraturan perundang-undangan tingkat daerah merupakan bagian tak

terpisahkan dari kesatuan sistem perundang-undangan secara nasional. Karena itu tidak

boleh ada peraturan perundang-undangan tingkat daerah yang bertentangan denngan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.146

Membentuk peraturan daerah yang responsif merupakan suatu keharusan dalam

rangka mengatur dan menyelenggarakan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi

daerah memerlukan peran serta masyarakat secara keseluruhan agar upaya pembangunan

daerah dapat dilaksanakan dengan baik. Upaya untuk membentuk peraturan daerah yang

responsif akan dapat tercapai apabila dilaksanakan melalui tahapan-tahapan perencanaan

yang baik, proses pengharmonisasian yang dilakukan secara teliti dan cermat, dan

pelibatan masyarakat untuk menjaring aspirasi masyarakat sesuai dengan hukum yang

diinginkannya. Peraturan daerah adalah hukum otonom yang berorientasi kepada

pengawasan kekuasaan represif.147

Hukum otonom memfokuskan perhatiannya pada kondisi sosial atas realitas-

realitas di masyarakat. hukum otonom juga memiliki penekanan kepada aturan-aturan

hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan resmi dan swasta. Sifat

responsif dalam peraturan daerah dapat diartikan untuk melayani kebutuhan

dankepentingan sosial yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh

144

Ibid. 145

Ibid. 146 Ibid. 147

Ibid.

Page 79: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

74

rakyat. Sebagaimana telah dikemukakan oleh teori hukum responsif bahwa hukum

responsif mengakomodir nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang berpihak pada kebutuhan

dan keadilan yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang

dikeluarkan penguasa.148

Dalam hal pembentukan Peraturan Daerah yang responsif, maka dapat diartikan

bahwa Peraturan Daerah tersebut harus mengakomodir kebutuhan dan kepentingan sosial

masyarakat, dan bukan cermin dari kemauan politik atau kemauan penguasa, melainkan

oleh rakyat. Sifat responsif mengandung arti atau makna bahwa hukum responsif

berguna bagi masyarakat. Tipe hukum responsif menurut A. Mukhtie Fadjar mempunyai

dua ciri yang menonjol, yakni: a) pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-

prinsip dan tujuan; dan b) pentingnya watak kerakyatan (populis), baik sebagai tujuan

hukum maupun cara untuk mencapainya.149

Pemerintah daerah harus betul-betul

menghindari adanya Perda yang represif. Suatu kekuasaan pemerintah dibilang represif

jika kekuasaan tersebut tidak memperhatikan kepentingan kepentingan orang-orang yang

diperintah, yaitu ketika suatu kekuasaan dilaksanakan tidak untuk kepentingan mereka

yang diperintah, atau mengingkari legitimasi mereka.150

Dalam hal Peraturan Daerah

yang diinginkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, maka pendapat di atas kiranya

dapat dijadikan rujukan yang harus diperhatikan dalam perancangan dan penyusunan

Peraturan Daerah. Tentunya tidak mudah untuk dilakukan, sebab bagaimanapun juga

Perda merupakan produk kompromi politik yang tidak dapat dilepaskan dari berbagai

faktor yang mempengaruhi, bahkan mayoritas kekuatan di parlemen akan sangat

menentukan ke arah mana Peraturan Daerah tersebut bermuara. Produk hukum daerah

tersebut harus dapat menunjukkan adanya keberpihakan terhadap masyarakat dengan

tidak menimbulkan tekanan yang memberatkan masyarakat151

Perubahan paradigma bernegara dari sentralistik menuju desentralistik telah

melahirkan konsep otonomi daerah sebagai sarana untuk mewujudkan kemandirian dan

demokratisasi di daerah. Seiring dengan gelombang reformasi 1998, telah menyebabkan

terjadinya perubahan kondisi dan struktur ketatanegaraan Republik Indonesia seperti

dewasa ini. Pada konteks tersebut, terbukalah peluang bagi bangsa Indonesia untuk

148

Ibid. 149

W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Darsono, Legislative Drafting, Atma Jaya, Yogyakata, 2009,

hlm 63. 150

Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Nusa Media, Bandung, 2015, hlm. 33 151

Muhammad Suharjono, “Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Dalam Mendukung

Otonomi Daerah”, artikel pada Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 10, No. 19, Pebruari 2014, hlm. 21 – 37.

Page 80: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

75

mengubah paradigma pembangunan nasional dan wawasan penyelenggaraan negara dari

berparadigma politik dan ekonomi pada masa sebelumnya menuju berparadigma hukum

yang demokratis bagi kesejahteraan segenap warga negara. 152

Jimly Asshiddiqie berpendapat153

bahwa dalam rangka reformasi ke arah

perwujudan cita-cita negara yang berparadigma atau berwawasan hukum, maka hukum

dan sistem hukum itu sendiri juga perlu direformasi terlebih dulu. Secara simultan diikuti

oleh reformasi politik, reformasi ekonomi, dan reformasi sosial budaya. Dalam

kenyataannya, reformasi hukum itulah yang bersifat instrumental dalam rangka

perwujudan gagasan reformasi politik, sosial, dan ekonomi sekaligus. Artinya, langkah-

langkah dan upaya-upaya reformasi yang dilakukan di bidang politik, sosial, dan

ekonomi itu pada pokoknya diwujudkan dalam bentuk-bentuk norma aturan hukum yang

baru, sehingga gagasan perbaikan yang dicita-citakan dituangkan secara resmi dalam

bentuk hukum yang dapat dijadikan pegangan normatif di masa depan.

Mengacu pada pendapat di atas, maka isu sentral reformasi itu dapat dibagi ke

dalam tiga agenda besar yaitu:154

Pertama dapat disebut dengan agenda reformasi

institusional (institutional reform) yang terus menerus perlu dilanjutkan penataannya

sampai terbentuknya institusi yang kuat dan fungsional dengan derajat pelembagaan

yang rasional dan impersonal. Agenda kedua reformasi instrumental (instrumental

reform) yang menyangkut upaya-upaya pembaruan mulai dari konstitusi sampai ke

peraturan-peraturan pada tingkatan terrendah seperti Peraturan Daerah Kabupaten dan

Peraturan Desa. Terakhir agenda ketiga yang dinamakan dengan reformasi budaya

(cultural reform), yang menyangkut orientasi pemikiran, pola-pola perilaku, dan tradisi

yang berkembang dalam kehidupan masyarakat luas yang perlu dikembangkan dalam

rangka mendukung proses pelembagaan sistem dan mekanisme kehidupan kenegaraan

yang diidealkan di masa mendatang.

152

Ria Casmi Arrsa, “Bargaining Politik Calon Kepala Daerah Independen”, artikel pada Hibah

Penelitian Mahasiswa (HPM) Fakultas, Hukum Universitas Brawijaya, tidak dipublikasikan, 2007, hlm 1. 153

Jimly Asshiddiqie, “Negara Hukum Indonesia: Paradigma Penyelenggaraan Negara Dan

Pembangunan Nasional Berwawasan Hukum”, artikel pada Makalah disampaikan pada Pertemuan Nasional

Ormas-Ormas Kristen di Jakarta, 10 November 2005, diakses pada http://www.jimly.com, diakses pada 04

november 2018, Jam 18.40 WIB. 154

Jimly Asshiddiqie, “Reformasi Menuju Indonesia Baru: Agenda Restrukturisasi Organisasi Negara,

Pembaruan Hukum, Dan Keberdayaan Masyarakat Madani”, Makalah disampaikan dalam forum Seminar

International Permias I dan Pertemuan Mahasiswa Indonesia Sedunia di Luar Negeri I, di Northwestern

University, Chicago, Amerika Serikat, 28 Oktober 2000, hlm 1, diakses pada 4 November 2019, jam 18.58

WIB.

Page 81: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

76

Reformasi secara gramatikal diartikan sebagai membentuk, menyusun, dan

mempersatukan kembali.155

Secara lebih sederhana reformasi berarti perubahan format,

baik pada struktur maupun aturan main (rule of the game) ke arah yang lebih baik. Pada

kata reformasi terkandung pula dimensi dinamik berupa upaya perombakandan penataan

yakni perombakan tatanan lama yang korup dan tidak efisien (dis-mantling the old

regime) dan penataan suatu tatanan baru yang lebih demokratik, efisien, dan berkeadilan

sosial (reconstructing the new regime). Selain itu, kata reformasi memuat nilai-nilai

utama yang menjadi landasan dan harapan proses bernegara dan bermasyarakat.

Reformasi hukum dalam konteks ini menjadi salah satu bagian penting dari

agenda penataan dan perombakan negeri ini. Reformasi hukum merupakan jawaban

terhadap bagaimana hukum di Indonesia diselenggarakan dalam kerangka pembentukan

negara hukum yang dicita-citakan. Hukum mengemban fungsi ekspresif yaitu

mengungkapkan pandangan hidup, nilai-nilai budaya dan nilai keadilan. Selain itu

hukum mengembang fungsi instrumental yaitu sarana untuk menciptakan dan

memelihara ketertiban, stabilitas dan prediktabilitas, sarana untuk melestarikan nilai-nilai

budaya dan mewujudkan keadilan, sarana pendidikan serta pengadaban masyarakat dan

sarana pembaharuan masyarakat (mendorong, mengkanalisasi dan mengesahkan

perubahan masyarakat).156

Kompleksitas pembatalan terhadap produk hukum daerah yang berbentuk

Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Kepala Daerah maupun bentuk yang lainnya

merupakan keniscayaan dalam mewujudkan peran dan fungsi hukum dalam menopang

proses pembangunan menuju masyarakat yang adil dan sejahtera. Sebagaimana

dikemukakan oleh Abdul Bari Azed157

bahwa Peraturan Daerah merupakan salah satu

sarana transformasi sosial dan demokrasi sebagai perwujudan kemampuan masyarakat

daerah untuk menjawab perubahan yang cepat dan tantangan pada era otonomi saat ini,

serta mewujudkan good local governance sebagai bagian dari pembangunan yang

berkesinambungan di daerah. Melalui mekanisme pembentukan Peraturan daerah yang

155 W.T.Cunningham, Nelson Contemporary English Dictionary, Thompson and Nelson Ltd, Canada,

1982, hlm.422. Lihat dalam Mahfud MD, “Keniscayaan Reformasi Hukum: Upaya Menjaga Jati Diri Dan

Martabat Bangsa”,Makalah dalam Konvensi Kampus VI dan Temu Tahunan XII Forum Rektor Indonesia (FRI)

di Universitas TanjungpuraPontianak, 9 Januari 2010, hal 3-4, diakses dari http://www.mahfudmd.com, diakses

pada 4 November 2019, jam 18.50 WIB. 156

Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm.

189. 157

Abdul Bari Azed, Lihat dalam H.A.S, Natabaya, Menata Ulang Sistem Peraturan Perundang-

Undangan Indonesia (Jejak Langkah dan Pemikiran Hukum Prof. H.A.S, Natabaya), Sekretarian Jenderal dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008, hlm. 363.

Page 82: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

77

berencana, aspiratif dan berkualitas, maka Perda dapat menciptakan multiplier effect

yakni menjadi penggerak utama bagi perubahan-perubahan mendasar di berbagai bidang

kehidupan masyarakat dan pemerintahan yang diperlukan oleh daerah yang

bersangkutan.

Sejumlah permasalahan ini layak untuk dikemukakan karena pemahaman

masyarakat terhadap otonomi daerah sangat beragam, sehingga perlu ditegaskan koridor

otonomi daerah dalam bingkai yang jelas agar tidak keluar jauh dari rel yang sudah

disepakati bersama dan membahayakan eksistensi Negara Kesatuan Republik

Indonesia.158

Prinsip utama yang dianut oleh semua sistem hukum adalah hukum itu dapat

dikomunikasikan terhadap masyarakat. Apabila suatu aturan hukum dalam bentuk

Peraturan Daerah tersebut tidak dapat dikomunikasikan dengan baik kepada masyarakat,

berarti Peraturan Daerah tersebut tidak dapat mempengaruhi tingkah laku masyarakat.

Begitu pula halnya dengan ketentuan yang berisi larangan atau pembatasan terhadap

kebebasan masyarakat, apabila tidak bisa dikomunikasikan, maka Peraturan Daerah

tersebut tidak akan mungkin berlaku secara efektif.159

Komunikasi yang harus di jalin yaitu antara pemerintah daerah dan masyarakat

setempat atau publik, karena peran masyarakat dalam kebebasan memberikan pendapat

dapat mengurangi permasalahan terhadap berlakunya Perda yang di buat oleh

Pemerintah, yang mana Peraturan Daerah ini nanti akan dijadikan hukum bagi

masyarakat tersebut. Mochtar Kusumaatmadja, dalam bukunya Isharyanto bahwa

“Hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku di suatu

masyarakat, bahkan hukum itu sendiri merupakan pencerminan daripada nilai-nilai yang

berlaku dalam masyarakat. Oleh karena itu, hukum yang baik adalah hukum yang sesuai

dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang sesuai pula atau

merupakan pencerminan daripada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu

sendiri”.160

Alexander Abdullah mengatakan partisipasi publik harus diberikan tidak saja

dalam arti prosedural, tetapi juga harus dilembagakan sebagai hak-hak rakyat yang

dijamin secara normatif.161

158

Ibid. 159

Sirajuddin, Fatkhurohman, zulkarnain, Legislative Drafting Pelembagaan Metode Partisipatif

Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Setara Press, Bandung, 2015, hlm. 200 160

Isharyanto, Hukum Kebijakan Ekonomi Publik, Thafa Media, Yogyakarta, 2016, hlm. 45-46. 161

Alexander Abdullah, “Desentralisasi dan Undang-undang Otonomi Daerah di Era Reformasi”,

artikel pada Jurnal Hukum Vol. 3, No. 1, Januari 2010, UII Yogyakarta, hlm. 25.

Page 83: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

78

Maria Farida Indrati mengatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan

dalam Peraturan daerah untuk setiap propinsi, kabupaten dan kota secara berbeda-beda.

Hal ini di sebabkan karena adanya perbedaan sumber daya yang tidak dapat disamakan

dalam hal pengelolaannya, terutama berkaitan dengan materi.162

Hal ini senada dengan

pendapat yang disampaikan oleh I Made Dedy Priyanto yang mengatakan bahwa

penyelenggaraan pemerintahan daerah haruslah disesuaikan dengan daerah masing-

masing melalui suatu kebijakan aturan yang disesuaikan dengan keadaan daerah

setempat, aturan inilah yang disebut dengan Perda.163

Peraturan daerah pada hakikatnya

adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kesatuan sistem hukum nasional.164

Hestu Cipto Handoyo memberikan catatan akhirnya bahwa Aktifitas pengujian

peraturan perundang-undangan pada hakikatnya merupakan kegiatan melakukan

penafsiran makna teks hukum. Dalam konstruksi yang demikian itulah, maka sang

penafsir tidak mengawali kegiatannya dari “ruang kosong”. Artinya sejak semula

penafsir sudah memiliki konsep, ide, gagasan, pengetahuan sebagai modal dasar untuk

melakukan penafsiran terhadap makna teks hukum. Oleh sebab itu tatkala seorang Hakim

melakukan penafsiran, dan agar penafsirannya lebih komprehensif, maka dia akan

membutuhkan orang lain yang memiliki pemahaman dan/atau pengetahuan spesifik

terkait dengan substansi peraturan perundang-undangan yang sedang dilakukan

pengujian .165

Contohnya seorang Hakim termasuk hakim Mahkamah Agung tentu kurang

memiliki pengetahuan tentang seluk beluk Kebudayaan dan/atau Cagar Budaya yang

sarat dengan pengetahuan antropologi dan arkeologi, ketika Hakim diminta melakukan

pengujian terhadap Perda Cagar Budaya. Oleh sebab itulah Hakim membutuhkan

“bantuan” pengetahuan tersebut kepada ahli atau pakarnya. Demikian pula seandainya

seorang Hakim termasuk hakim Mahkamah Agung tentu kurang memiliki

pemahaman/pengetahuan terkait Lanjut Usia ketika dia diminta untuk menguji Perda

Kesejahteraan Lansia. Oleh sebab itulah menjadi masuk akal dan logis jikalau Hakim

meminta pandangan dari para pihak, pakar atau ahli yang memiliki pengetahuan spesifik

di bidang Kesejahteraan Lansia. Disinilah keterbukaan atau transparansi dalam proses

162

Iza Rumesten R.S, “Model Ideal Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah”,

artikel pada Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12, No. 1, Januari 2012, hlm. 1. 163

I Made Dedy Priyanto, “Kewenangan Gubernur dalam Pembatalan Perda Kabupaten Tabanan”,

artikel pada Jurnal Advokasi Vol. 1 No. 1 Tahun 2011, FH Univ. Mahasaraswati Denpasar, hlm. 14. 164

Didik Sukriono, “Pembentukan dan Pengawasan Produk Hukum Daerah”, artikel pada Jurnal

Hukum Adil Vol. 2, No. 2, Agustus 2011, Fakultas Hukum Yarsi Jakarta, hlm. 168. 165

Hestu Cipto Handoyo, loc.cit.

Page 84: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

79

beracara dalam pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung menjadi

penting.166

4.4. Reformulasi Sistem Pengujian Peraturan Daerah

Kata ideal dalam kamus umum bahasa Indonesia memiliki makna sesuai dengan

yang dicita-citakan atau sesuai yang dikehendaki. Sistem pengujian Peraturan Daerah yang

ada di Indonesia diharapkan ideal, dapat sesuai dengan Prosedur dimana Prosedur yang

Pembentukan Peraturan Daerah itu sendiri dengan memperhatikan Perundang-undangan

yang berlaku dan Prosedur Penyusunan Partisipasi, adanya Ketersediaan mekanisme untuk

Evaluasi dan Pengujian Norma pada Peraturan Daerah, Materi Muatan, Asas-asas

pengujian Peraturan Daerah yang tepat, yang di tetapkan oleh peraturan berlaku sehingga

pembatalan Peraturan Daerah terkait Uji Materiil yang dilakukan oleh Lembaga yang

ditunjuk dapat memberikan kepastian hukum, sebagaiaman Undang-Undang Dasar 1945

menegaskan negara kita adalah negara hukum serta ketersediaan manajemen legislasi

dengan memperhatikan Karakteristik lokal.

Untuk itu hendaknya kita merekontruksi Pengujian Peraturan Perundang-undangan

dikembalikan ke Mahkamah Agung, yaitu terkait Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1

tahun 2011 Tentang Hak Menguji:

a. Bahwa Proses dan Tata Cara Pengujian Peraturan Perundang-undangan di Mahkamah

Agung:

Pada pasal 31A Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang perubahan kedua

atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dimana proses

dan tata cara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang

terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung diatur dalam Peraturan Mahkamah

Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. Pengajuan permohonan Judicial

Review di Mahkamah Agung hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap

haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-

undang, yaitu

1) Warga negara Indonesia Perorangan;

2) Sepanjang masih hidup yang berada dalam kesatuan masyarakat hukum adat dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan yang

diatur dalam undang-undang atau

166 Ibid.

Page 85: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

80

3) Badan hukum publik atau badan hukum privat.

4) Permohonan uji materi sekurang-kurangnya harus memuat: Nama dan alamat

pemohon;

5) Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan menguraikan dengan

jelas bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-

undangan di bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan

diatasnya; dan/atau tidak memenuhi ketentuan yang berlaku didalam pembentukan

peraturan perundang-undangan; dan

6) Berdasarkan ketentuan judicial review hal-hal yang diminta untuk diputus, maka

Pemerintah Pusat (Kemendagri) tidak dapat menjadi pemohon Judicial Review di

Mahkamah Agung. Mengingat masih banyaknya Peraturan Daerah yang dinilai

oleh Kemendagri masih “bermasalah” maka ketentuan hukum acara di Mahkamah

Agung harus dirubah dengan memperluas subyek hukum pemohon.

b. Usulan Perbaikan Hukum Acara Pengujian Peraturan Perundang-undangan di

Mahkamah Agung.

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 pengujian

terhadap Peraturan Daerah tingkat Kabupaten/Kota hanya bisa diuji melalui pengujian

peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung perlu

segera menindaklanjuti Putusan tersebut dengan melakukan evaluasi menyeluruh

terkait hukum acara persidangan, sumber daya manusia dan sarana prasarana

penunjang. Pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung pengalaman

selama ini belum menunjukkan sepenuhnya mengadopsi prinsip-prinsip peradilan yang

transparan, akuntabel, dan aksesebel, maka dari itu masih dibutuhkan perbaikan terkait

beberapa praktik beracara pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah

Agung.

c. Pengujian oleh Mahkamah Agung tidak Melalui Persidangan secara Terbuka.

Di Mahkamah Agung proses pengujiannya berbeda dengan praktik pengujian di

Mahkamah Konstitusi, ataupun persidangan perkara Tata Usaha Negara dan Pengadilan

Tata Usaha Negara. Proses pengujian oleh Mahkamah Agung dilaksanakan secara tidak

terbuka, dimana Pemohon tidak mengetahui secara pasti tahapan dan proses pengujian

yang sedang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan para pihak juga tidak dapat

memberikan argumentasi untuk memperkuat permohonan, ataupun membantah

permohonan, atau menghadirkan ahli atau saksi untuk diperdengarkan keterangannya

Page 86: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

81

sehingga pemohon tidak dapat meyakinkan hakim tentang pentingnya permohonan

pengujian tersebut.

Prinsip keterbukaan pengadilan (open court principle) sebagai salah satu prinsip

utama dalam hukum acara dimana salah satu aspek penting bagi Mahkamah Agung

yang harus dipertimbangkan sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman Beverly

McLachin memberikan pendapat bahwa dalam proses pengadilan harus prinsip

keterbukaan pengadilan, yang mana Pertama, dengan adanya pengadilan yang terbuka

maka menjamin pemenuhan kebebasan individu dalam hal berpendapat dan untuk

mengekpresikan sikapnya dan pikiran. Kedua, akuntabilitas pengadilan dimana

mendukung keterbukaan pengadilan. publik dapat mengawasi proses pengambilan

putusan sehingga mencegah hakim dari penyalahgunaan wewenang yang merupakan

jaminan atas hak publik untuk mengakses persidangan dan putusan pengadilan, maka

Sebagai wujud akuntabilitas dan penerapan prinsip keterbukaan pengadilan, untuk itu

Mahkamah Agung perlu membangun sistem dan mekanisme baru yang memungkinkan

diselenggarakannya persidangan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah

undang-undang secara terbuka dan mudah diakses oleh publik.167

Perkara yang ditangani oleh Mahkamah Agung juga cukup banyak, seperti

perkara kasasi, perkara peninjauan kembali dan perkara upaya hukum lainnya.

Penanganan perkara tersebut juga menyita waktu dalam penyelesaiannya. Di sisi lain,

Abdullah menuturkan upaya menghadirkan pihak-pihak berperkara juga memerlukan

waktu yang lebih. "Alasan tersebut menjadi kendala dan hambatan bagi Mahkamah

Agung untuk melakukan persidangan yang dihadiri oleh pihak-pihak dan memberi

kesempatan menghadirkan saksi dan ahli dalam sidang terbuka untuk umum dalam

pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang," Bagir Manan168

juga jelaskan, posisi Mahkamah Agung adalah pengadilan judex juris yaitu hanya

memeriksa berkas, tidak memeriksa prinsipal secara langsung. Maka apabila

Mahkamah Agung berupaya menghadirkan para pihak yang berperkara di sidang,

sementara itu tidak ada di dalam peraturan perundangan-undangan, karena sifatnya

hanya judex juris. Menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, sidang pada saat putusan digelar terbuka. Hanya saja pada saat proses

pemeriksaan, karena prinsip judex juris, maka Mahkamah Agung hanya mengadili

berkas saja. Meski tidak ada tatap muka hakim dan pihak yang berperkara, namun

167 Ibid. 168 Wawancara dengan Bagir Manan, pakar hukum tata negara, Senin 29 April 2019.

Page 87: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

82

menurut Abdullah, para pihak diberi keleluasaan untuk memberikan jawaban dan

tanggapan dengan menyertakan keterangan ahli atau pendapat ahli.

Berbagai lembaga swadaya masyarakat mendesak Mahkamah Agung untuk lebih

terbuka dalam menggelar sidang uji materi peraturan di bawah undang-undang.

Menurut Feri, bukan tidak mungkin akan terjadi kongkalikong di balik keputusan

Mahkamah Agung. Sebab, dengan sidang uji materi di Mahkamah Agung yang

tertutup, masyakarat tidak bisa memantau proses persidangan. Masyarakat hanya

mengatahui keputusan Mahkamah Agung setelah majelis hakim mengambil keputusan

atas suatu perkara. Padahal, proses persidangan sangat penting untuk mengetahui fakta-

fakta yang terungkap dalam persidangan. Aturan terkait uji materi di Mahkamah Agung

diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak

Uji Materiil. Menurut Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Bayu

Dwi Anggono, Perma Nomor 1 Tahun 2011 tidak mengatur suatu mekanisme yang

melibatkan banyak pihak dalam sidang uji materi di Mahkamah Agung. Akibatnya,

sidang uji materi peraturan di bawah undang-undang justru tertutup.169

d. Tidak ada Batas Waktu Proses Penyelesaian Perkara Pengujian.

Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan paling lama 14 hari kerja

sejak permohonan diterima oleh Mahkamah Agung untuk diproses. Tetapi hukum

acaranya sampai dikeluarkannya putusan tidak membatasi waktu penyelesaian

permohonan. Penentuan batas waktu menjadi penting karena putusan pada suatu aturan

yang dianggap bertentangan dengan peraturan di atasnya membutuhkan kepastian dan

sebagai kepatian hukum.

Mahkamah Agung yang tidak jelas dalam memberikan kepastian penyelesaian

terhadap permohonan pengujian, dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarkat

kepada lembaga peradilan. Selain perlu membangun dan mengembangkan sistem acara

pengujian peraturan perundang-undangan yang terbuka, Mahkamah Agung juga perlu

memberikan kepastian waktu penyelesailan permohonan dan disertai dengan informasi

dan akses yang mudah terhadap perkembangan proses pengujian seperti melaui media

elektronik.

e. Putusan Mahkamah Agung tidak Bisa Langsung Berlaku.

169 Kompas.com dengan judul "Sidang Uji Materil Tertutup, MA Sebut karena Batasan Waktu",

https://nasional.kompas.com/read/2018/04/10/10161061/sidang-uji-materil-tertutup-ma sebut-karena-batasan-

waktu. diakses pada 4 November 2019, jam 19.50 WIB.

Page 88: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

83

Suatu ketentuan yang dibatalkan melalui Putusan Mahkamah Agung tidak

langsung berlaku sejak putusan itu dibacakan, dan itu tertuang dalam ketentuan Perma

yang mengatur hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan. Mahkamah

Agung berpendapat, bahwa permohonan pengujian peraturan perundang-undangan

beralasan oleh karena peraturan tersebut dinilai bertentangan dengan undang-undang

atau peraturan di atasnya, maka Mahkamah Agung mengabulkan permohonan tersebut.

Dalam putusannya, jika peraturan perundang-undangan yang dimohonkan keberatan

tersebut sebagai tidak sah atau tidak berlaku untuk umum serta memerintahkan kepada

instansi yang bersangkutan segera mencabutnya. Salinan putusan dikirim kepada para

pihak dalam waktu 90 hari setelah salinan Putusan dikirim kepada Pejabat Tata Usaha

Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan. Namun, dalam praktik

terkadang Pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum

peraturan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai

kekuatan hukum.

Mahkamah Agung dalam Skema pelaksanaan putusan hasil pengujian peraturan

perundang-undangan tidak menunjukkan asas kepastian, karena membutuhkan tindakan

dari Pejabat lain. Adanya jeda berlakunya Putusan Mahkamah Agung berpotensi

menimbulkan penyalahgunaan wewenang oleh Pejabat yang terkait, dan mengurangi

tingkat kepercayaan masyarakat kepada institusi peradilan Putusan pengadilan

seharusnya berlaku sejak diputuskan, dan mengikat para pihak sejak saat itu juga.

f. Beban Biaya untuk Proses Pengujian

Ketika permohonan pengujian di Mahkamah Agung maka beban biaya

ditanggung oleh pembohon. Masalah yang diajukan berupa peraturan perundang-

undangan dan terkait dengan kebijakan pemerintah yang dibuat oleh penyelenggara

negara, sehingga menjadi tidak relevan membebankan biaya perkara. Adanya beban

biaya juga tidak sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pengujian peraturan

perundang-undangan di bawah undang-undang oleh Mahkamah Agung yang sesuai

dengan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan serta dalam

pemeriksaannya Majelis Hakim Agung memeriksa dan memutus permohonan

pengujian peraturan perundang-undangan dengan menerapkan kententuan hukum yang

berlaku bagi perkara permohonan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

g. Lemahnya Prosedural

Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang tidak

mengatur secara rinci mengenai prosedur atau hukum acara pengujian. Padahal menurut

Page 89: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

84

catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) sejak 2011 sampai

dengan 2014 pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang

memiliki trend peningkatan jumlah. Secara berurutan judicial review pada kurun waktu

tersebut berjumlah 50, 52, 76 dan 83.170

Trend tersebut tentu akan semakin meningkat setelah Mahkamah Konstitusi

mengeluarkan putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undamg Dasar

1945. Dalam putusan itu Mahkamah Konstitusi menyampaikan pandangan bahwa

berdasarkan Pasal 251 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan wewenang kepada Menteri dan

gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk membatalkan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi, selain menyimpangi logika dan bangunan negara hukum Indonesia sebagaimana

amanah Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 juga menegasikan peran dan

fungsi Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengujian

peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang in case Perda

Kabupaten/Kota sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang

Dasar 1945.

Di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung tidak mengatur

secara rinci hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-

Undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung, karena dalam Undang-Undang

tersebut hanya mengatur mengenai subyek pemohon, waktu dimulainya pemeriksaan,

amar putusan, dan pemuatan putusan dalam berita negara. Sementara itu menurut

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, prosedur

pengujian peraturan perundang-undangan yang diatur meliputi:

a. Pengajuan permohonan;

b. Pendaftaran permohonan;

c. Pengiriman salinan permohonan kepada termohon;

d. Pengiriman jawaban dari termohon;

e. Penunjukan majelis hakim;

170 Hestu Cipto Handoyo, Gagasan Transparasi Judicial Review Di Mahkamah Agung, artikel pada

Makalah yang dipresntasikan dalam Diskusi Semiloka tentang Transparasi Uji Materiil Dimahkamah Agung

Guna Menunjang Dunia Usaha, Di fakultas Hukum Atma Jaya Yogyakarta, 08 September 2019.

Page 90: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

85

f. Pemeriksaan perkara;

g. Putusan;

h. Pemberitahuan putusan; dan

i. Pelaksanaan putusan.

Jika diperhatikan prosedur ini, maka nampak jelas bahwa dalam penanganan

perkara pengujian peraturan perundang-undangan sebagian besar lebih menekankan

pada aspek administratif. Sementara dalam konteks hukum acara pemeriksaan

persidangan tidak banyak diatur.171

Keinginan mewujudkan negara yang berdasarkan hukum sudah tersurat dalam

Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan bahwa negara

Indonesia adalah negara hukum, maka kekuasaan kehakiman merupakan posisi yang

sangat strategis guna menegakan keadilan melalui putusan-putusanya, karena akan

berdampak pada masyarakat pada umumnya apalagi ini kaitanya dengan Peraturan

Daerah.

Untuk mewujudkan dalam melaksanakan fungsi peradilan harus melaksanakan

prinsip-prinsip hukum yakni merdeka dalam penegakan hukum dan keadilan. Seperti

yang termaktub dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan

bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Negara 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum

Republik Indonesia.172

171 Ibid. 172

Retno Mawarini Sukmariningsih, “Implementasi Hak Uji Materiil Oleh Mahkamah Agung Dalam

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011”, artikel pada Jurnal Konstitusi, FKK-FII universitas 17 agustus 1945

semarang, Vol. III, No. 2, November 2011, hlm. 1.

Page 91: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

86

DAFTAR PUSTAKA

Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1990.

Amiroeddin Syarif, Perundang-undangan, Dasar, Jenis dan Tehnik Membuatnya, Rineka

Cipta, Jakarta, 1997.

A.V. Dicey, Introduction to Constional Law, London: ELBS and MacMillan, 1971.

A.Hamid S.Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam

penyelenggaraaan Pemerintahan Negara, Suatu studi analisis mengenai Keputusan

Presiden yang berfungsi Pengaturan dalam kurun waktu Pelita I-Pelita IV,untuk

memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Pasca Sarjana Universitas

Indonesia, Jakarta, 1990.

Abdul Bari Azed, Lihat dalam H.A.S, Natabaya, Menata Ulang Sistem Peraturan

Perundang-Undangan Indonesia (Jejak Langkah dan Pemikiran Hukum Prof. H.A.S,

Natabaya), Sekretarian Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta,

2008.

Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1990.

Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah menurut UUD 1945, Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta, 1999.

Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill.Co, Jakarta, 1992.

Bernart L. Tanya, Teori Hukum Stategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV Kita,

Surabaya, 2007.

Fred Iswara, Pengantar Ilmu Politik, Bina Cipta, Bandung, 1974.

Harman, Benny K, Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi, Sejarah Pemikiran Pengujian

UU Terhadap UUD, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2013.

Harahap, M. Yahya, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian

Sengketa, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1997.

Ida Zuraida, Tehnik Penyusunan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah, Jakarta, Sinar Grafika, 2014.

Isharyanto, Penegakan Hukum & Otonomi Daerah Praktisi Negara Hukum Menurut UUD

1945, UNS Press, Surakarta, 2017.

Isharyanto, Hukum Kebijakan Ekonomi Publik, Thafa Media, Yogyakarta, 2016.

Imam Soebechi, Hak Uji Materiil, Jakarta, Sinar Grafika, 2016.

Jimly Asshiddiqie. Konstitusi dan Konstisionalisme Indonesia. edisi revisi. Konstitusi Press,

Jakarta. 2005.

Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Ctk. Kedua,

Konstitusi Press, Jakarta, 2005.

Page 92: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

87

Jazim Hamidi, dkk, Optik Hukum Peraturan Daerah Bermasalah: Menggagas Peraturan

Daerah Yang Responsif Dan Berkesinambungan, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2011.

Junus, Anwar. Penuntun Praktis Perkara Perumahan di Jakarta. Penerbit dan Balai Buku

Ichtiar, Jakarta, 1979. Sehubungan dengan itu, Zainal Arifin Hoessein, dengan

mengutip Sri Soemantri, juga mencacat bahwa putusan MA No. 1631/K/Sip/1974

tanggal 21 Oktober 1975 merupakan sebuah “pengujian peraturan di bawah undang-

undang terhadap undang-undang” yakni sebagai pelaksanaan pasal 26 UU. No. 14

Tahun 1970. Duduk permasalahan dalam putusan tersebut adalah keputusan yang

dikeluarkan oleh Gubernur DKI No. 229/Spb/T/T/1973 tanggal 29 Maret 1973

bertentangan dengan UU. No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah

dan Benda-Benda yang ada di atasnya. Menurut undang-undang ini, prosedur

pencabutan hak atas tanah tersebut seharusnya dilakukan melalui permohonan yang

berkepentingan kepadaMenteri Agraria (sekarang BPN) dan selanjutnya Menteri

Agraria meminta keputusan Presiden. Jadi pencabutan hak-hak atas tanah tersebut harus

melalui keputusan Presiden. Selengkapnya lihat, Hoessein, Zainal Arifin. Judicial

Review di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan , Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2009.

King Faisal Sulaeman, Teori Peraturan Perundang-Undangan Dan Aspek Pengujiannya,

Yogyakarta: Thafa Media, 2017.

Kresno Budi Darsono dan W. Riawan Tjandra. 2009. Legislative Drafting. Yogyakata: Atma

Jaya.

Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Ctk. Kedua, Nusa Media, Bandung. 2010.

Nukthoh Arfawie Kurde. Telaah Kritis Teori Negara Hukum. Cetakan I, Pustaka Pelajar:

Oktober 2005. Yogyakarta. 2005.

Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Ctk. 2, Ghalia Indonesia,

Jakarta, 1986.

Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Nusa Media, Bandung, 2015.

Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi, Huma,

Jakarta, 2003.

Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Nusa Media, Bandung, 2015.

Pipi Syarifin dan Dedah Jubaedah, Ilmu Perundang-undangan, CV Pustaka Setia, Bandung,

2012.

Prodjodikoro, Wirjono. Bunga Rampai Hukum, Karangan Tersebar, Ichtiar Baru, Jakarta,

1974.

Riwu Kaho, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Rineka Cipta,

Jakarta, 1990.

Rusdianto Sesung, Hukum Otonomi Daerah Negara Kesatuan, Daerah Istimewa, dan

Daerah Otonomi Khusus, Ctk. Kedua, Bandung, PT. Refika Aditama, 2013.

Sri Soemantri M, Hak Uji Material di Indonesia, Edisi Kedua, Alumni, Bandung, 1997.

Page 93: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

88

Soenobo Wirjosoegito, Proses & Perencanaan Peraturan Perundangan, Ghalia Indonesia

Jakarta, 2004.

Sukardi, Pengawasan dan Pembatalan Peraturan Daerah, Yogyakarta, Genta Publishing,

Cetakan Pertama, 2016.

Sirajuddin, Fatkhurohman, zulkarnain, Legislative Drafting Pelembagaan Metode Partisipatif

Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Setara Press, Bandung, , 2015.

Tim Penyusun, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama, Sekretariat Jenderal

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010.

Moh. Mahfud, MD, Politik Hukum di Indonesia, Ctk. ke-1, LP3ES, Jakarta, 1998.

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Edisi Revisi, Ctk. Ketiga, Rajawali Pers,

Jakarta, 2010.

Ni’Matul Huda. Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi.

FH UII Press, Yogjakarta. 2011.

Nomensen Sinamo, Ilmu Perundang-undangan, Permata Aksara, Jakarta, 2016.

Tjahya Supriatna, Sistem Administrasi Pemerintahan di Daerah, Bumi Aksara, Jakarta, 1996.

Tanto Lailam, Teori & Hukum Perundang-undangan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cetakan

Pertama, 2017.

Umbu Rauta, Konstitusionalitas Pengujian Peraturan Daerah, Genta Publishing,

Yogyakarta, 2016.

Utang Rosidin, Otonomi Daerah Dan Desentralisasi, Pustaka Setia, Bandung, 2010.

Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Ilmu Negara Dan Politik. Cet. Kedua: PT. Eresco, Jakarta-

Bandung, 1981.

W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Darsono, Legislative Drafting, Atma Jaya, Yogyakata,

2009.

Artikel

Alexander Abdullah, “Desentralisasi dan Undang-undang Otonomi Daerah di Era

Reformasi”, artikel pada Jurnal Hukum Vol. 3, No. 1, Januari 2010, UII Yogyakarta.

A Rachman Sulaiman. Desertasi Fungsi pengawasan DPRD terhadap Kebijakan Pemerintah

Daerah Guna Mewujudkan Pemerintahan yang Baik, Program Doktor Universitas 17

Agustus 1945 Surabaya, 2012.

Arie satio Rantjoko,“Hak Uji Materiil Oleh Mahkamah Agung Untuk Menguji Peraturan

Perundang-undangan Dibawah Undang-undang Di Indonesia”, artikel pada Jurnal

Rechtens, Vol.3, No.1, 2014.

Page 94: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

89

Abdul Aziz Nasihuddin, “Implementasi Hak Uji Materiil Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Oleh Mahkamah Agung”, artikel pada Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 13, No. 3

September 2013.

Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,

2000.

Arif Hidayat menyampaikan orasi, Dalam seminar di universitas Negeri Semarang, Tanggal 4

November 2019.

Didik Sukriono, “Pembentukan dan Pengawasan Produk Hukum Daerah”, artikel pada Jurnal

Hukum Adil Vol. 2, No. 2, Agustus 2011, Fakultas Hukum Yarsi Jakarta.

Didik Sukriono, “Pembentukan dan Pengawasan Produk Hukum Daerah”, artikel pada Jurnal

Hukum Adil Vol. 2, No. 2, Agustus 2011, Fakultas Hukum Yarsi Jakarta.

Enrico Simanjuntak, “Kewenangan Hak Uji Materil Pada Mahkamah Agung RI”, artikel pada

Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 2 No. 3 November 2013, hlm. 343.

Fajar Laksono Soeroso terkait dengan proses peradilan, terutama dalam perkara judicial

review, ada anggapan bahwa proses peradilan di MK lebih fair dan terbuka. Hal ini

dapat dimengerti mengingat seluruh proses persidangan di MK, terutama dalam perkara

pengujian UU di MK ditentukan terbuka untuk umum, kecuali Rapat Permusyawaratan

Hakim. Dalam praktiknya, MK sejak awal menerapkan asas audi et alteram partem. Di

dalam hukum acara MK, asas ini tidak tegas dicantumkan. Namun pada dasarnya

norma yang dirumuskan pasal-pasal undang-undang merupakan penjabaran asas ini.

Begitu pula dalam Peraturan MK, seluruh ketentuannya mengarah pada pemberian

kesempatan yang seimbang dalam memberikan keterangan mulai dari pemberitahuan

permohonan, kesempatan mengajukan jawaban dan bukti-bukti, masuknya pihak-pihak

berkepentingan dan lain sebagainya. Berbeda dengan di MK, proses peradilan di MA

dalam perkara uji materi peraturan perundang-undangan di bawah UU lebih bersifat

tertutup dan sepi hak. Jika dicermati, PERMA No. 01 Tahun 2011 tidak menyebutkan

mengenai pentingnya proses persidangan yang terbuka dan mengedepankan asas audi et

alteram partem. Dalam Bab III Pemeriksaan dalam Persidangan Pasal 5 ayat (2) Perma

tersebut hanya disebutkan bahwa Majelis Hakim Agung memeriksa dan memutus

permohonan keberatan tentang Hak Uji Materiil tersebut dengan menerapkan hukum

yang berlaku bagi perkara permohonan dalam waktu yang sesingkat singkatnya sesuai

dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Dalam memutuskan sengketa

kepemilikan Pulau Berhala, dengan berdasarkan PERMA No. 01 Tahun 2011, MA

memutuskan secara sepihak dan tertutup oleh Majelis Hakim Agung tanpa melibatkan

pihak-pihak yang terkait khususnya pihak pihak yang bersengketa. Padahal, akan

sangat baik apabila dalam proses persidangan uji materi tersebut, selain sifatnya

terbuka untuk umum, MA seharusnya juga mengundang pihak-pihak yang bersengketa,

pihak terkait, termasuk saksi atau ahli seperti halnya dalam persidangan di MK. Dengan

demikian, salah paham dan salah implementasi hukum dapat dihindari. Karena itulah,

terutama pihak yang dirugikan oleh putusan MA kemudian memandang perlu

mengalihkan penyelesaiaan kasusnya ke MK mengingat proses peradilan di MK

dirasakan lebih fair dan terbuka. Soeroso, Fajar Laksono. Memaknai Kecenderungan

Penyelesaian Konflik Batas Wilayah Ke Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol.

9, No. 3, September 2012.

Page 95: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

90

Fatkhurohman, Sirajuddin, Zulkarnain, Legislative Drafting Pelembagaan Metode

Partisipasif Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Malang Corruption

Watch (MCW), Malang, 2008.

Francisca Widiastuti, “Hak Uji materiil Peraturan Perundang-undangan Di Bawah Undang-

undang Oleh Makamah Agung”, artikel pada Tesis Fakulatas Hukum Universitas Gajah

Mada, 2005.

Fatkhurohman, Sirajuddin, Zulkarnain. 2008. Legislative Drafting Pelembagaan Metode

Partisipasif Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Malang: Malang

Corruption Watch (MCW), Pasal 8 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1

Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil.

Gandasubrata, H.R. Purwoto S, “Renungan Hukum”, Diterbitkan Ikatan Hakim Indonesia

(IKAHI) Cabang Mahkamah Agung RI, artikel untuk kalangan sendiri, Jakarta, Maret

1998.

Hestu Cipto Handoyo, Gagasan Transparasi Judicial Review Di Mahkamah Agung, artikel

pada Makalah yang dipresntasikan dalam Diskusi Semiloka tentang Transparasi Uji

Materiil Dimahkamah Agung Guna Menunjang Dunia Usaha, Di fakultas Hukum Atma

Jaya Yogyakarta, 08 September 2019.

I Wayan Suwandi, “Pendekatan Sistem Dalam Pembentukan Peraturan Daerah”, artikel pada

Jurnal Kerta Patrika, Vol. 33, No. 1. Januari 2008.

Iza Rumesten R.S, “Model Ideal Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan

Daerah”, artikel pada Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12, No. 1, Januari 2012.

I Made Dedy Priyanto, “Kewenangan Gubernur dalam Pembatalan Perda Kabupaten

Tabanan”, artikel pada Jurnal Advokasi Vol. 1 No. 1 Tahun 2011, FH Univ.

Mahasaraswati Denpasar.

Jimly Asshiddiqie, “Menelaah Putusan Mahkamah Agung tentang ‘Judicial Review” atas PP

No. 19/2000 yang bertentangan dengan UU Nomor 31 Tahun 1999,” (tanpa tempat,

tanpa tahun).

Jimly Asshiddiqie. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD

1945. Makalah Disampaikan dalam Simposium yang dilakukan oleh Badan Pembinaan

Hukum Nasional, Departemen Kehakimandan HAM, 2003.

James Mac Gregor Burns, J.W. Peltason, dan Thomas E. Cronin Dalam literatur, istilah Civil

Lawjuga dikenal dengan istilah The Romano-Germanic Family.”A first family may be

called the Romano-Germanic family. “This group includes those countries in which

legal science has developed on the basis of Roman ius civile.” Ibid., hal. 22. Dalam

buku tersebut dijelaskan lebih lanjut bahwa: “In countries of the Romano-Germanic

family, the starting point for all legal reasoning is found in various form of “written

law”. Ibid., hal. 125. Selain itu, juga terdapat istilah statutory law. “Statutory law:

Formulated primarily by a legislature, but also includes treaties and executive orders;

law that come from authoritative and specific law-making sources.”, Government by

the People, 13th alternate ed., (New Jersey: Prentice Hall, 1989).

Page 96: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

91

Janpatar Simamora, Analisa Yuridis terhadap Model Kewenangan Judicial Review di

Indonesia, artikel pada Hasil Penelitian Lembaga Penelitian Universitas HKBP

Nommensen Medan Tahun 2012.

Laoh, Arnold, “The Availability of International Judicial Review of Government Breaches of

Human Rights”, artikel pada Thesis submitted for award of the degree of Doctor of

Philosophy (PhD) at Murdoch University, Perth, Western Australia, July 2006. P. 72.

Lever, Annabelle, “Democracy and judicial review: Are they really incompatible?”, artikel

pada Journal Perspectives on Politics, 2009.

Lotulung, Paulus Effendi dkk, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Wewenang Mahkamah

Agung Dalam Melaksanakan Hak Uji Materil (Judicial Review), Badan Pembinaan

HukumNasional, Departemen Hukum dan Perundang-Undangan RI, Jakarta, 2001.

Muhammad Suharjono, “Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Dalam Mendukung

Otonomi Daerah”, artikel pada Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 10, No. 19, Pebruari 2014.

M. Nur Solokin, “Perbaikan Prosedur Pengujian Peraturan Perundang-undangan Di

Mahkamah Agung”, Artikel pada Jurnal hukum dan peradilan, Vol. 3. No. 2, juli 2014.

Marojahan JS Panjaitan, Pembentukan & Perubahan Undang-undang Berdasarkan UUD

1945: Sebagai Bahan Ajar Ilmu Perundang-undangan dan Perancangana Undang-

undang, Pustaka Reka Cipta, Ctk. Pertama, Bandung, 2017.

Nurainun Mangunsong , “Tolak Ukur Judisial Review undang-undang Terhadap Undang-

undang dasar 1945 Oleh mahakamah Konstitusi”, artikel pada Jurnal Konstitusi

PKKKD-FH Universitas Muhammadiyah Magelang, Vol. 1, No. 1, Agustus 2008.

Oksep Adhayanto, Yudhanto Satyagraha Adiputra, “Dampak Undang-undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Terhadap Peraturan Daerah Di Kabupaten

Bintan Tahin 2015 (Studi Peralihan Kewenangan Dibidang Kelautan dan

Pertambangan)”, Jurnal Selat, Vol. 2, No. 2, Edisi 4.

Pultoni, “Judicial Review Studi Perbandingan dan Pelaksanaannya di Indonesia”, artikel pada

Jurnal Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Jakarta.

Panggabean, Henry Pandapotan, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari,

Upaya Penanggulangan tunggakan perkara dan pemberdayaan fungsi pengawasan

Mahkamah Agung, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001.

Panggabean, Henry Pandapotan, Fungsi Mahkamah Agung Bersifat Pengaturan (Rule

Making Power) Tahun 1966-2003, Liberty, Yogjakarta, 2005.

Rene David dan John E.C. Brierley “The Common law,...was formed primarily by judges who

had to resolve specific disputes. The Common law legal rule is one which seeks to

provide the solution to a trial rather than to formulate a general rule of conduct for the

future.”, Major Legal Systems in the World Today: Introduction to the Comparative

Study of the Law, ed. 3rd, (London: Stevens and Sons Ltd., 1996).

Ricardo Miranda, The Becoming-Other Of Law: Preliminaries For A Citizen”s

Conceptualization Of law, Mexican Law Review Volume 8, Issue 2, January–June

2016.

Page 97: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

92

Retno Mawarini Sukmariningsih, Reconstruction Of setting Judicial Review Of Legal Material By

Indonesia Supremen Court” artikel pada International Journal of Civil Engineering and

Technology (IJCIET), Volume 9, Issue 2, February 2018, pp. 727–732, Article ID:

IJCIET_09_02_069.

Retno Mawarini Sukmariningsih, “Implementasi Hak Uji Materiil Oleh Mahkamah Agung

Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011”, artikel pada Jurnal Konstitusi, FKK-

FII universitas 17 agustus 1945 semarang, Vol. III, No. 2, November 2011, hlm. 1.

Ria Casmi Arrsa, “Bargaining Politik Calon Kepala Daerah Independen”, artikel pada Hibah

Penelitian Mahasiswa (HPM) Fakultas, Hukum Universitas Brawijaya, tidak

dipublikasikan, 2007.

Sholahuddin Al-Fatih, “Model Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Satu Atap melalui

Mahkamah Konstitusi”, artikel pada Jurnal Legality, Vol. 25, No. 2, September 2017-

Februari 2018.

Simamora, Analisa Yuridis terhadap Model Kewenangan Judicial Review di Indonesia

artikel pada Jurnal Mimbar Hukum, Volume 25, Nomor 3, Oktober 2013.

Sunaryo, Globalisasi Dan Pluralisme Hukum dalam Pembangunan Sistem Hukum Pancasila,

artikel pada Junal Masalah-masalah Hukum, Jilid 42 No. 4 Oktober 2013.

Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Proses Pembahasan

Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,

Jakarta, 1996.

Tim Redaksi Warta Gubernur, “Menuju Keseimabangan Format Otonomi Daerah”, Assosiasi

Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia, artikel pada Jurnal Otonomi & Pembangunan

Daerah Warta Gubernur, Vol. 3, Tahun 1, Maret 2007.

Von Staden, Andreas, “The democratic legitimacy of judicial review beyond the state:

Normative subsidiarity and judicial standards of revie”, artikel pada International

Journal of Constitutional Law, 2012.

Yeremias T. Keban, “Membangun Kerjasama Antara Pemerintah Daerah Dalam Era

Otonom”, artikel pada Jurnal Otonomi & Pembangunan Daerah Warta Gubernur,

Assosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia Vol. 1, Tahun 1, 2007.

Beberapa definisi judicial review dari negara yang menggunakan sistem hukum common law.

Dalam Black’s Law, judicial review diartikan sebagai: power of courts to review

decisions of another department or level of government.” Henry Campbell Black,

Black’s Law Dictionary with Pronunciations. 6thed. (United States of America: West

Publishing Co, 1990), hlm. 849. Encyclopedia Americana mengemukakan pengertian

judicial review sebagai berikut: “Judicial review is the power of the courts of the

country to determine if the acts of the legislature and executive are constitutional. Acts

that the courts declare to be contrary to the constitution are considered null and void

and therefore unenforceable.” The Encyclopedia Americana Vol. 16, Cet.7, (Canada:

Grolier Limited, 1977), hlm. 236. Sedangkan Erick Barendt mengemukakan pengertian

judicial review sebagai berikut: “Judicial review is a feature of a most modern liberal

constitutions. It refers to the power of the courts to control the compatibility of

legislation and executive acts of the term of the constitutions.” Erick Barendt, An

Page 98: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

93

Introduction to ConstitutionalLaw, (Great Britain: Biddles Ltd, Guildford and King’s

Lynn, 1998).

Perundang-undangan

Undang-undang Dasar 1945.

Undang-undag 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan.

Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil.

Pasal 5 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan.

Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Poin 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Pasal 31 UU No. 03/09 Tentang Perubahan Kedua Atas UU 04/85 Tentang Mahkamah

Agung.

Peraturan Kementerian Nomor 32 Tahun 2017 tentang Tatacara Penyelesaian Sengketa

Melalui Jalur Nonlitigasi

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Menguji.

Putusan Pengadilan

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 56/PUU-XIV/2016.

wawancara

Wawancara dengan Bagir Manan, pakar hukum tata negara, Senin 29 April 2019.

Internet

Jimly Asshiddiqie, “Negara Hukum Indonesia: Paradigma Penyelenggaraan Negara Dan

Pembangunan Nasional Berwawasan Hukum”, artikel pada Makalah disampaikan pada

Pertemuan Nasional Ormas-Ormas Kristen di Jakarta, 10 November 2005, diakses pada

http://www.jimly.com, diakses pada 04 november 2019, Jam 18.40 WIB.

Jimly Asshiddiqie, “Reformasi Menuju Indonesia Baru: Agenda Restrukturisasi Organisasi

Negara, Pembaruan Hukum, Dan Keberdayaan Masyarakat Madani”, Makalah

disampaikan dalam forum Seminar International Permias I dan Pertemuan Mahasiswa

Indonesia Sedunia di Luar Negeri I, di Northwestern University, Chicago, Amerika

Serikat, 28 Oktober 2000, hlm 1, diakses pada 4 November 2019, jam 18.58 WIB.

Page 99: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,

94

Kompas.com dengan judul "Sidang Uji Materil Tertutup, MA Sebut karena Batasan Waktu",

https://nasional.kompas.com/read/2018/04/10/10161061/sidang-uji-materil-tertutup-ma

sebut-karena-batasan-waktu. diakses pada 4 November 2019, jam 19.50 WIB.

Viktor Santoso Tandiasa, Implikasi Dalam Persidangan Uji materiil Di Mahkamah Agung

Yang Tertutup Bagi Pelaku Usaha, artikel pada Makalah yang dipresntasikan dalam

Diskusi Semiloka tentang Transparasi Uji Materiil Dimahkamah Agung Guna

Menunjang Dunia Usaha, Di fakultas Hukum Atma Jaya Yogyakarta, pada Tanggal 08

September 2019, jam 09.00 WIB.

W.T.Cunningham, Nelson Contemporary English Dictionary, Thompson and Nelson Ltd,

Canada, 1982, hlm.422. Lihat dalam Mahfud MD, “Keniscayaan Reformasi Hukum:

Upaya Menjaga Jati Diri Dan Martabat Bangsa”,Makalah dalam Konvensi Kampus VI

dan Temu Tahunan XII Forum Rektor Indonesia (FRI) di Universitas

TanjungpuraPontianak, 9 Januari 2010, hal 3-4, diakses dari

http://www.mahfudmd.com, diakses pada 4 November 2019, jam 18.50 WIB.

https://id.scribd.com/doc/241982471/Makalah-Teori-Hukum-Responsif-doc, diakses pada 19

Oktober 2019, jam 06.04 WIB.

Page 100: MENELISIK PENGUJIAN PERATURAN DAERAH DALAM ... file/Buku...daerah, maka dari itu hendaklah dapat menampung dan melindungi partisipasi, kearifan lokal dan prilaku masyarakat setempat,