MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG ...

42
MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

Transcript of MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG ...

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN

DALAM MUSRENBANG:

PAPER KAJIAN TERHADAP

KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

Disusun oleh: Kalyanamitra Jakarta, Desember 2011

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

KATA PENGANTAR

Partisipasi Perempuan dalam Musrenbang merupakan isu yang sudah diwacanakan oleh teman-teman di gerakan perempuan sejak beberapa tahun lalu. Tujuannya tdak lain dan tidak bukan yakni memastikan partisipasi dan suara perempuan masuk dalam rencana pembangunan baik dari tingkat lokal hingga tingkat nasional. Oleh karena, kita menyadari bahwa partisipasi dan suara kelompok perempuan masih sangat terbatas karena berbagai hal. Persoalan budaya, politik, kebijakan dan kesempatan adalah beberapa hal yang menjadikan mengapa partisipasi perempuan sangat rendah dalam perencanaan pembangunan.

Raishing Her Voice merupakan salah satu program Oxfam GB di 17 negara di dunia

untruk mendorong perempuan agar bisa terlibat secara aktif ikut serta berpartisipasi dalam perencanaan dan proses pembangunan.

Publikasi mengenai Tinjauan Kebijakan dalam Musrenbang ini merupakan salah satu

bentuk kerjasama antara Program RHV-Oxfam GB dengan Kalyanamitra, untuk melihat sejauh mana kebijakan Pemerintah dalam mendorong partisipasi perempuan dalam Musrenbang. Semoga terbitan ini dapat memberikan gambaran jelas mengenai Kebijakan Pemerintah dalam Musrenbang. Akhir kata, semoga kontribusi kecil ini dapat bermanfaat bagi kemajuan perempuan di Indonesia.

Program Raising Hervoice-Oxfam GB Indonesia Novia Purnamasari Lutri Huriyani Lince Yembise Irmia Fitriyah

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………………………………………………………………………………………………………. 3

Bab I Pendahuluan……………………………………………………………………………………………………………. 5 1.1. Pengantar…………………………………………………………………………………………………………. 5 1.2. Pokok Masalah…………………………………………………………………………………………………. 9 1.3. Tujuan Kajian………………………………………………………………………………………………….. 10

Bab II Tinjauan Dokumen…………………………………………………………………………………………………. 11

2.1. Tinjauan Regulasi tentang Musrenbang……………………………………………………………… 11 2.2. Hasil-Hasil Kajian tentang Musrenbang……………………………………………………………… 20 2.3. Posisi Musrenbang dalam Perencanaan Pembangunan Daerah…………………………. 22

Bab III Pembahasan…………………………………………………………………………………………………………. 24

3.1. Kekuatan dan Kelemahan Musrenbang…………………………………………………………….. 24 3.2. Opsi-Opsi Usulan………………………………………………………………………………………………. 29 3.3. Perbaikan Tatakelola Musrenbang………………………………………………………………........ 29 3.4. Nilai Strategis Musrenbang…………………………………………………………………………......... 30

Bab IV Kesimpulan dan Rekomendasi…………………………………………………………………….............. 31

4.1. Kesimpulan…………………………………………………………………………………………………....... 31 4.2. Rekomendasi………………………………………………………………………………………………........ 32

Daftar Pustaka………………………………………………………………………………………………………………... 34 Ucapan Terima Kasih……………………………………………………………………………………………………….. 35 Profil Raising Her Voice (RHV)…………………………………………………………………………………………… 36

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Pengantar Reformasi 1998 telah membawa perubahan dalam sistem pemerintahan Indonesia. Sebelum reformasi, sistem pemerintahan yang dianut adalah terpusat atau sentralisasi. Kemudian setelah reformasi Indonesia menganut sistem desentralisasi. Desentralisasi diatur melalui UU No. 22 tahun 1999, yang kemudian diperbarui menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Desain desentralisasi Indonesia yang ditetapkan melalui UU No. 32 Tahun 2004 mengabungkan tujuan-tujuan politik dan ekonomi. Tujuan ekonomi yang hendak dicapai melalui desentralisasi ialah mewujudkan kesejahteraan melalui penyediaan pelayanan publik yang lebih merata dan memperpendek rentang antara penyedia layanan publik dan masyarakat lokal. Tujuan politik desentralisasi adalah demokratisasi pemerintah daerah melalui pertanggungjawaban langsung kepala daerah kepada konstituen mereka di daerah. Sejalan dengan tuntutan demokratisasi sejak tahun 2004, pemilihan kepala daerah serta anggota DPRD dilakukan secara langsung. Desentralisasi menimbulkan komplikasi dalam pelaksanaannya, antara lain timbulnya perbedaan tafsiran mengenai kewenangan pusat dan daerah terhadap bidang kewenangan dan tanggungjawab. Misalnya dalam UUD 1945 (amandemen) dan UU No. 32 Tahun 2004, kedudukan provinsi tidak ditetapkan secara jelas padahal keberadaannya sangat dibutuhkan oleh pemerintahan pusat untuk menjalankan fungsi koordinasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi pemerintahan dan layanan umum oleh pemerintahan daerah. Provinsi di dalam sistem pemerintahan daerah yang berlaku tidak memiliki kewenangan yang jelas atas kabupaten/kota. Sebaliknya, pemerintahan kabupaten/kota dapat berhubungan langsung dengan Pemerintah Pusat. Akibatnya, daerah otonom merasa tidak perlu bertanggung-jawab pada provinsi dan kenyataan ini melemahkan fungsi koordinasi dan pengawasan oleh gubenur. Persoalan ini diperburuk dengan tidak adanya kewenangan keuangan provinsi atas kabupaten/kota. Struktur pemerintahan Indonesia yang berlaku setelah amandemen UUD 1945 adalah berikut:

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

Desentralisasi sebagai transformasi politik menuju otonomi daerah adalah salah satu upaya mencapai tata kelola yang baik (good governance). Desentralisasi mendekatkan pusat kekuasaan ke konstituen langsung. Menurut Masyarakat Transparansi Indonesa (MTI), kunci utama memahami tata kelola yang baik ialah pemahaman terhadap prinsip-prinsip yang mendasarinya. Bertolak atas prinsip-prinsip itu diperoleh tolok ukur kinerja suatu pemerintahan. Prinsip-prinsip tersebut meliputi antara lain:

Partisipasi masyarakat: semua warga masyarakat memiliki suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan yang sah, yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat serta kepastian bepartisipasi secara konstruktif.

Tegaknya supremasi hukum: kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.

Transparasi: transparansi dibangun atas dasar informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga, dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.

Peduli dan stakeholder: lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.

Berorientas pada konsensus: tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur

Kesetaraan: semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.

Efektifitas dan efisiensi: proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.

Akuntabilitas: para pengambil keputusan di pemerintahan, sektor swasta, dan organisasi masyarakat bertanggungjawab, baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan.

Visi strategis: para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan atas apa yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu, mereka harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya, dan sosial yang menjadi dasar perspektif tersebut.

Dari prinsip tersebut, ada tiga prinsip utama yang penting yakni: partisipasi, transparansi dan akuntabilitas. Ketiga prinsip itu merupakan perwujudan sistem demokrasi yang dianut Indonesia. Namun ketiga prinsip itu sering diabaikan, terutama terkait dengan partisipasi, khususnya partisipasi kaum perempuan yang masih tertinggal. Budaya patriarki yang masih kuat menjadikan perempuan dinomorduakan bahkan tak dianggap sama sekali. Partisipasi perempuan menjadi hal yang penting, karena dengan demikian, perempuan dapat menyampaikan aspirasinya. Untuk mendekatkan pembangunan ke masyarakat dan konsekuensi desentralisasi ialah perubahan dalam desain perencanaan pembangunan. Sebelum menganut sistem desentralisasi, penentuan pembangunan pemerintah berpegang pada Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), yang ditetapkan dengan TAP MPR. Setelah lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 dan diperbarui dengan UU No. 32 Tahun 2004, maka pembangunan berpegang pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang ditetapkan melalui Undang-Undang. Rencana Pembangunan Jangka Panjang disusun sebagai jabaran tujuan dibentuknya pemerintahan dalam bentuk visi, misi dan arah pembangunan nasional. RPJP merupakan dokumen perencanaan yang lebih visioner dan memuat hal-hal yang mendasar, sehingga memberi keleluasaan yang cukup bagi penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan rencana tahunannya. RPJPN saat ini ditetapkan melalui UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025. Sementara itu, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. Visi, misi dan program kerja presiden dan wakil presiden terpilih periode 2009-2014 dijabarkan dalam RPJMN 2010-2014. Uraian itu tidak terlepas dari koridor yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025.

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

Dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) harus berpegang pada RPJPN. Terkait dengan desentralisasi, maka Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) harus mengacu pada RPJPN, dan RPJMD harus mengacu pada RPJMN. RJMN/RPJMD tersebut dituangkan dalam bentuk Rencana Kerja Pemerintah/Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) setiap tahunnya. Salah satu mandat penyusunan RKP/RKPD ialah Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang diatur melalui UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Musrenbang merupakan forum menjaring aspirasi masyarakat yang diselenggarakan secara berjenjang dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi. Musrenbang menghasilkan Rencana Kerja Pemerintah/Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKP/RKPD) yang berfungsi sebagai dokumen rencana pembangunan tahunan. Proses Musrenbang yang menganut pendekatan bottom-up harus melibatkan partisipasi masyarakat dari semua golongan, laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, Musrenbang akan menghasilkan rancangan pembangunan yang sesuai kehendak dan kebutuhan masyarakat, terutama perempuan. Selama ini, pelaksanaan Musrenbang di tingkat pusat maupun daerah, belum mengakomodir dan memperhatikan kebutuhan perempuan. Keterlibatan perempuan dalam Musrenbang hanya formalitas tanpa pernah diberi kesempatan bersuara atau didengar suaranya. Partisipasi sebagai good governance bukan hanya soal kehadiran, melainkan bagaimana hak-hak dan tindakan warga masyarakat menyampaikan aspirasi, gagasan, kebutuhan, kepentingan, dan tuntutan komunitasnya maupun kebijakan pemerintah. Selain itu, adanya ruang dan kapasitas masyarakat untuk masuk dalam arena pemerintah, yakni mempengaruhi dan menentukan kebijakan serta aktif mengelola barang-barang publik. Yang terakhir, yakni kendali warga masyarakat terhadap lingkungan komunitasnya maupun proses politik yang terkait dengan pemerintahan. Desentralisasi membawa tantangan baru bagi perempuan Indonesia. Tantangan-tantangan itu, salah satunya, yakni keterwakilan perempuan dalam pembuatan keputusan yang umumnya masih terbatas. Desentralisasi membuka kesempatan bagi perempuan dalam memainkan peran yang lebih besar, namun secara tidak langsung, mengurangi partisipasi perempuan di pemerintahan. Jumlah perempuan yang menduduki pangkat tertinggi di jajaran pegawai negeri masin kecil, terutama di pemerintahan daerah. Gambaran keterwakilan perempuan di lembaga eksekutif dapat dilihat dalam data-data berikut ini:

- 70.954 dari 73.843 Kepala Desa berjenis kelamin laki-laki, artinya hanya ada 2.888 atau 3,91% perempuan yang berhasil menjadi Kepala desa1

- Sementara untuk Bupati dan Walikota, data menunjukkan bahwa hanya terdapat 10 atau 2,27 perempuan yang menjadi Bupati/Walikota, dari 440 orang diseluruh Indonesia2

- Sedangkan untuk Wakil Bupati/Walikota, hanya terdapat 12 atau 2,72% dari 440 Wakil Bupati dan walikota yang terdata3

- Untuk Jabatan Gubenur, terdapat 1 atau 3,03% perempuan dari 33 propinsi (dari propinsi Banten)4

1 Katalog BPS: 2104010, Perempuan dan Laki-Laki Indonesia 2008 2 Sumber: Kementerian dalam Negeri RI, 2010 3 Sumber: Kementerian Dalam Negeri RI, 2010

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

- Demikian juga untuk jabatan Wakil Gubenur, hanya terdapat 1 atau 3,03% perempuan dari 33 propinsi (dari Jawa Tengah)5

Sementara berdasarkan data dari Badan Kepegawaian Nasional. Jumlah PNS laki-laki dan perempuan tidak terpaut jauh, namun pada golongan yang paling tinggi, jumlah perempuan menyusut hingga tinggal 0,51%. Berikut ini adalah table jumlah pegawai Negeri Sipil dirinci menurut Golongan Ruang dan Jenis Kelamin Keadaan Juni 20096: No. Gol/Ruang Laki-Laki Persen Perempuan Persen Jumlah Persen 1. I/a 28,901 1.21 2,115 0.11 31,016 0.71 2. I/b 3,704 0.16 486 0.02 4,190 0.10 3. I/c 53,089 2.22 5,742 0.29 58,831 1.34 4. I/d 20,603 0.86 1,815 0.09 22,418 0.51 Jumlah Gol. I 106,297 4.45 10,158 0.51 116,455 2.66 5. II/a 360,064 15.07 235,052 11.91 597,116 13.63 6. II/b 126,178 5.28 133,794 6.72 259,972 5.94 7. II/c 146,828 6.15 152,467 7.66 299,295 6.83 8. II/D 104,053 4.35 79,203 3.98 183,256 4.18 Jumlah Gol. II 737,123 30.85 602,516 30.27 1,339,639 30.59 9. III/a 352,303 14.74 347,615 17.46 699,918 15.98 10. III/b 285,319 11.94 223,818 11.24 509,137 11.62 11. III/c 217,786 9.11 178,467 8.97 396,253 9.05 12. III/d 279,796 11.71 248,023 12.46 527,819 12.05 Jumlah Gol. III 1,135,204 47.51 997,923 50.13 2,133,127 48.70 13. IV/a 346,330 14.49 355,378 17.85 701,708 16.02 14. IV/b 47,634 1.99 21,221 1.07 68,855 1.57 15. IV/c 11,766 0.49 2,590 0.13 14,356 0.33 16. IV/d 3,593 0.15 710 0.04 4,303 0.10 17. IV/e 1,369 0.06 210 0.01 1,579 0.04 Jumlah Gol. IV 410,692 17.19 380,109 19.09 790,801 18.05

Total 2,389,316 100.00 1,990,706 100.00 4,380,022 100.00 Selain itu juga keterwakilan perempuan di lembaga legislative masih sangat rendah, Terutama di DPRD Tingkat Kabupaten/Kota. Bahkan di di Kabupaten Aceh Barat Daya dan Kabupaten Aceh Jaya hanya 0% yang artinya semua anggota DPRD di kabupaten ini diduduki oleh laki-laki. Sementara disebagian besar kabupaten/kota di Indonesia berkisar antara 0-20%. Padahal lembaga legislatif sangat berperan dalam pengambilan keputusan ketika proses penganggaran. Oleh karenanya, ketika keputusan di sektor publik diturunkan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, maka tingkat partisipasi perempuan dalam pembuatan keputusan menjadi berkurang. Di beberapa wilayah, desentralisasi diikuti dengan kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan. Perspektif gender yang minim di kalangan pejabat pemerintahan dan lembaga-lembaga pembuat keputusan lainnya di daerah, memunculkan kebijakan-kebijakan yang buta gender, walaupun kebanyakan kebijakan itu awalnya dimaksudkan memberikan perlindungan bagi perempuan. Hingga pertengahan 2011, Komnas Perempuan mencatat ada 207 Perda Diskriminatif. Tetapi pembatalan Perda yang dilakukan

4 Sumber: Kementerian Dalam Negeri RI, 2010 5 Sumber: Kementerian Dalam Negeri RI, 2010 6 Sumber: Biro Kepegawaian Nasional, 2010

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

Menteri Dalam Negeri tidak termasuk Perda-Perda yang diskriminatif terhadap perempuan, karena indikator keadilan gender belum dituangkan. 1.2. Pokok Masalah Banyak persoalan yang dihadapi perempuan, khususnya kalangan perempuan akar rumput, baik dalam pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik dan sosial budaya. Realitas yang ada masih menunjukkan kesenjangan bagi perempuan dalam bidang-bidang tersebut sebagai hak dasar warga. Juga masih rendah partisipasi perempuan dalam segala bidang. Masalah tersebut berakar pada kuatnya nilai patriarkhal yang ada di Indonesia. Kondisi demikian harusnya disikapi secara baik oleh pemerintah. Persoalan di masyarakat seyogyanya direspon dengan program-program yang tepat sesuai kebutuhan mereka, terutama kaum perempuan, kelompok miskin dan kalangan terpinggirkan. Hal itu dapat terjadi bila kelompok perempuan dilibatkan dalam rencana pembangunan mulai dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Dengan pembangunan demian, maka diharapkan ada perubahan struktur dan terukur. Agar perubahan struktur dapat dilakukan secara terukur, maka diperlukan perencanaan. Namun, sudahkah rencana yang dilakukan membawa perubahan struktur? Perencanaan bertujuan memastikan perubahan struktur terjadi. Selain itu, memastikan dengan memperkecil munculnya ketidak-pastian. Perencanaan, dalam arti luas, sebagai upaya manusia meminimalkan ketidak-pastian dan memfungsikan kemampuan melihat jauh ke depan. Kebijakan yang mengatur rencana pembangunan biasa dikenal dengan istilah Musrenbang. Namun kebijakan itu tidak otomatis membuka ruang partisipasi bagi perempuan, karena tak dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen oleh Pemerintah Pusat sampai Pemerintah Daerah. Dalam Musrenbang di berbagai tingkatan, keterlibatan perempuan sangat rendah dan biasanya perwakilan masyarakat yang terlibat didominasi laki-laki. Sebagian besar perempuan tak memperoleh informasi dan kesempatan terlibat dalam Musrenbang. Akibatnya, kepentingan perempuan tidak ada dalam rencana pembangunan mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan nasional. Peran mereka juga masih minim dalam setiap tahapan pembangunan, mulai dari perencanaan, implementasi, menikmati hasil pembangunan, hingga evaluasi pembangunan. Dengan demikian, pembangunan yang dilaksanakan jauh dari kepentingan strategis dan kebutuhan praktis perempuan. Bappenas dan Kemendagri pernah mengeluarkan Surat Edaran Bersama yang secara tegas mengatur partisipasi perempuan dalam Musrenbang, yakni Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri Nomor 0008/M.PPN/01/2007 dan 050/264A/SJ tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Musrenbang Tahun 2007. Namun, kebijakan ini kurang kuat status hukumnya. Setelah munculnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara, Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, maka itulah alasan dikeluarkannya kebijakan sehingga otomatis SEB tidak berlaku. 1.3. Tujuan Kajian Dengan melihat pokok masalah itu, maka kajian ini ingin meninjau kebijakan-kebijakan yang ada terkait partisipasi perempuan dalam Musrenbang. Dapatkah kebijakan tersebut menjadi peluang untuk mengadvokasi perempuan dalam Musrenbang atau bahkan menjadi hambatan bagi mereka? Apakah kebijakan itu sudah memadai? Kalau memang memadai, apa yang

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

menyebabkan partisipasi perempuan masih sangat rendah bahkan tidak ada sama sekali dalam Musrenbang? Kajian ini pun hendak melihat manfaat strategis Musrenbang, mengingat banyak kalangan pesimis, bahwa Musrenbang benar-benar dapat menyerap aspirasi masyarakat, khususnya kalangan perempuan. Tentu saja melihat kondisi yang ada, bahwa selama ini hasil pembangunan hanya dirasakan manfaatnya oleh kalangan tertentu. Musrenbang dianggap formalitas dan peserta yang hadir elitis semata, tak mewakili kelompok kecil. Harusnya Musrenbang menjadi jembatan bagi masyarakat untuk menyampaikan kebutuhan pembangunan di daerahnya sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh mereka. Yang terjadi saat ini di banyak wilayah, Musrenbang tidak mencerminkan kebutuhan masyarakat. Musrenbang menjadi ajang bagi-bagi proyek oleh penguasa dan kalangan tertentu. Akhirnya, masyarakat yang dirugikan. Di lain pihak, masihkah masyarakat dapat berharap dari Musrenbang untuk menyampaikan aspirasinya? Jika selama ini hasil pembangunan tidak sesuai dengan apa yang menjadi aspirasi masyarakat, lantas di manakah terjadi keterputusan penyerapan aspirasi melalui Musrenbang? Kajian ini akhirnya diharapkan dapat memberikan rekomendasi tentang tata kelola Musrenbang seperti apa yang harus dilakukan agar kepentingan semua golongan, khususnya perempuan dan kelompok terpinggirkan dapat diakomodir dalam proses-proses pembangunan. Dengan demikian, hasil pembangunan dapat dirasakan oleh semua golongan untuk kesejahteraan semua rakyat Indonesia. Mengingat Musrenbang merupakan forum strategis untuk mempertemukan masyarakat sipil dan pihak pemerintah. Dalam forum ini, harusnya terjadi proses-proses negosiasi untuk menghasilkan keputusan bersama dalam merencanakan pembangunan. Proses yang harus dijalankan agar apa yang menjadi aspirasi masyarakat dapat terwujud dalam program pembangunan.

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

BAB II TINJAUAN DOKUMEN

2.1. Tinjauan Regulasi tentang Musrenbang Pelaksanaan Musrenbang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Terkait dengan partisipasi perempuan dalam Musrenbang, berbagai kebijakan ditingkat nasional yang mengaturnya yakni:

1. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. 2. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 3. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 4. UU No. 17 tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025. 5. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 6. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam

Pembangunan Nasional. 7. Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 2006 tentang Tatacara Penyusunan Rencana

Pembangunan Nasional. 8. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara,

Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. 9. Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010 – 2014. 10. Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2009 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun

2010. 11. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomor 8 tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara, Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah.

12. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG di Daerah.

13. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 66 Tahun 2007 Perencanaan Pembangunan Desa. 14. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK 02/2010 tentang Petunjuk Penyusunan

dan Penelaahan (Rencana Kerja dan Anggaran-Kementerian/Lembaga (RKA-KL) dan Pengesahan Pelaksanaan DIPA TA. 2011.

15. Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.02/2011 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran KementerianLembaga.

16. Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri Nomor 0008/M.PPN/01/2007 dan 050/264A/SJ tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Musrenbang Tahun 2007.

Beberapa aturan hukum atau kesepakatan internasional yang menjamin otonomi perempuan dalam proses pengambilan keputusan:

UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW);

International Conference on Population and Development (ICPD) tahun 1994; Beijing Platform for Action (BPFA) tahun 1995; MDGs tahun 2000.

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

Partisipasi perempuan merupakan hak asasi manusia dijamin dalam UUD 1945 pasal 27 ayat (1) yang berbunyi: “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjujung hukum dan pemerintahannya itu dengan tidak ada kecualinya”. Berarti UUD telah menjamin persamaan hak dan kewajiban tiap warga negara termasuk laki-laki dan perempuan. Amanat itu diperkuat dengan Pasal 28d ayat (3) yang berbunyi: "Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”, dan Pasal 28i ayat 2 yang berbunyi: “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melalui UU No. 7 Tahun 1984. CEDAW memiliki tiga prinsip utama yakni: prinsip persamaan, prinsip non diskriminasi dan prinsip kewajiban Negara. Prinsip persamaan menuju persamaan substantif hak laki-laki dan perempuan. Prinsip non diskriminasi terutama diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dalam pemenuhan kebebasan-kebebasan dasar dan hak asasi manusia. Prinsip kewajiban negara bahwa negara peserta adalah aktor utama yang memiliki tanggungjawab untuk memastikan terwujudnya persamaan hak lelaki dan perempuan dalam menikmati semua hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik. Selain CEDAW, ada kebijakan ataupun kesepakatan internasional lainnya untuk mendorong partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, yakni Internasional Conference on Population and Development (ICPD) tahun 1994 yang dilangsungkan di Kairo tahun 1994, diikuti 179 negara termasuk Indonesia, merupakan komitmen negara Indonesia dalam pembangunan yang berwawasan kependudukan. Selain itu, Beijing Platform for Action (BFPA) tahun 1995 yang mempunyai arti penting karena memuat dokumen strategis pemberdayaan dan kemajuan perempuan, penegakan hak asasi manusia dan pembangunan yang mendorong perempuan untuk mengorganisir diri, bertindak dan mencari alternatif-alternatif. Kesepatan internasional lainnya ialah Millenium Development Goals (MDGS) tahun 2000. Tujuan ke-3 MDGs yakni mendorong tercapainya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, dengan indikator pencapaian 12, yakni proporsi perempuan yang duduk dalam lembaga parlemen nasional meningkat. Keempat kebijakan internasional itu melekat satu dan lainnya serta harus menjadi dasar hukum dalam lahirnya suatu kebijakan. Melalui Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan, Presiden mengintruksikan kepada Menteri; Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen; Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara; Panglima Tentara Nasional Indonesia; Kepala Kepolisian Republik Indonesia; Jaksa Agung Republik Indonesia; Gubenur; Bupati/Walikota, untuk:

1. Melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berpespektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangan masing-masing.

2. Memperhatikan secara sungguh-sungguh Pedoman Pengarusutamaan Gender dalam pembangunan Nasional sebagaimana terlampir dalam Instruksi Presiden ini sebagai acuan dalam melaksanakan pengarusutamaan gender

Ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender di Indonesia terutama dalam penyelenggaraan permerintahan, mendorong dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 tahun

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarustamaan Gender di Daerah, seperti disebutkan dalam bagian “menimbang”:

“Bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat di daerah masih terdapat ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender, sehingga diperlukan strategi pengintergrasian gender melalui perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, penganggaran, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan di daerah.”

Beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah yang diatur dalam peraturan itu:

Pasal 4 ayat 1: “Pemerintah daerah berkewajiban menyusun kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan berperspektif gender yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah atau RPJMD, Rencana Strategis SKPD, dan Rencana Kerja SKPD”. Pasal 4 ayat 2: “Penyusunan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan bersperspektif gender sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui analisis gender”.

Intruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 dan Permendagri No. 15 tahun 2008 merupakan kebijakan nasional yang secara jelas dan tegas mengatur soal kesetaraan gender dalam pembangunan. Kebijakan lain yang tegas mengatur dan mensyaratkan partisipasi perempuan dalam Musrenbang adalah Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam negeri Nomor 0008/M.PPN/01/2007 dan 050/264A/SJ tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Musrenbang Tahun 2007. Surat edaran tersebut lahir dalam rangka menunggu terbitnya peraturan pemerintah tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah dan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 2006 yang mengatur tentang tata-cara penyusunan dokumen perencanaan dan penyelenggaraan Musrenbang mulai dari tingkat desa/kelurahan hingga tingkat nasional. Surat edaran tersebut sudah tidak berlaku seiring dengan terlah diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara, Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Dalam Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Bappenas dan Kementerian Dalam Negeri tersebut, ada 8 poin yang secara tegas mengatur partisipasi perempuan dalam Musrenbang yakni:

Romawi I, huruf C, poin 1a: “Daftar prioritas masalah pada satuan wilayah di bawah Desa/Kelurahan (Dusun atau Lingkungan) dan kelompok-kelompok masyarakat, seperti kelompok tani, kelompok nelayan, perempuan, pemuda dan kelompok lainnnya sesuai dengan kondisi setempat”.

Romawi I, huruf D, poin 1b: “Masyarakat di tingkat dusun/Rukun Warga (RW) dan kelompok-kelompok masyarakat (misalnya kelompok tani, kelompok nelayan, perempuan, pemuda dan lain-lain) melakukan musyawarah. Keluaran dari musyawarah dusun/ RW/kelompok adalah….”

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

Romawi I, huruf D, poin 2j: “Pemilihan dan Penetapan perwakilan masyarakat/delegasi Desa/Kelurahan (1-5 orang) untuk menghadiri Musrenbang Kecamatan. Delegasi ini harus menyertakan perwakilan perempuan”. Penjelasan dari kebijakan ini adalah daftar nama Tim Delegasi kelurahan/desa yang akan mengikuti Musrenbang kecamatan (3 orang atau 5 orang, bila 3 orang, minimal 1 orang perempuan, bila 5 orang minimal 2 orang perempuan”.

Romawi I, huruf F: “Peserta Musrenbang Desa/Kelurahan adalah perwakilan komponen masyarakat (individu atau kelompok) yang berada di desa/kelurahan, seperti: ketua RT/RW; kepala dusun, tokoh agama, ketua adat, wakil kelompok perempuan, wakil kelompok pemuda, organisasi masyarakat, pengusaha, kelompok tani/nelayan, komite sekolah dan lain-lain”.

Romawi I, huruf H, poin 2: “Bersama-sama Tim Fasilitator Desa memfasilitasi dan memantau pelaksanaan musyawarah dusun/RW, kelompok-kelompok masyarakat yang kurang mampu, kelompok perempuan dan lain-lain”.

Romawi II, huruf D, poin 2K: “Pemilihan dan Penetapan daftar nama delegasi kecamatan (3-5 orang) untuk mengikuti Forum SKPD dan Musrenbang Kabupaten/ Kota. komposisi delegasi tersebut harus terdapat perwakilan perempuan”.

Romawi II, huruf D, poin 2i: “Menetapkan delegasi masyarakat dari Forum SKPD yang berasal dari organisasi kelompok-kelompok masyarakat skala Kabupaten/Kota untuk mengikuti Musrenbang Tahunan Kabupaten/Kota (1-3 orang untuk setiap Forum SKPD). Dalam komposisi delegasi tersebut terdapat perwakilan perempuan”.

Romawi VI, huruf D, poin 2h: “Menetapkan daftar nama delegasi masyarakat dari Forum SKPD yang berasal dari organisasi kelompok-kelompok masyarakat skala provinsi untuk mengikuti Musrenbang Provinsi (1 – 3 orang untuk setiap Forum SKPD). Dalam komposisi delegasi tersebut, terdapat perwakilan perempuan”.

Kebijakan lain yang tegas mensyaratkan keterwakilan perempuan dalam Musrenbang adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 54 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah.

Pasal 1 ayat 6: “Pemangku kepentingan adalah pihak yang langsung atau tidak langsung mendapatkan manfaat atau dampak dari perencanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah antara lain unsur DPRD provinsi dan kabupaten/kota, TNI, POLRI, Kejaksaan, akademisi, LSM/Ormas, tokoh masyarakat provinsi dan kabupaten/kota/desa, pengusaha/investor, pemerintah pusat, pemerintah provinsi, kabupaten/kota, pemerintahan desa, dan kelurahan serta keterwakilan perempuan dan kelompok masyarakat rentan termajinalkan”.

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

Permendagri No. 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa di mana Pasal 10 Ayat 2k berbunyi “penetapan daftar nama 3-5 orang (masyarakat yang komposisinya ada perwakilan perempuan) delegasi dari peserta musrenbang desa untuk menghadiri musrenbang Kecamatan” menegaskan pentingnya partisipasi perempuan dalam Musrenbang. Pasal ini menjelaskan daftar nama Tim Delegasi kelurahan/desa yang akan mengikuti Musrenbang kecamatan (3 orang atau 5 orang, bila 3 orang, minimal 1 orang perempuan, bila 5 orang minimal 2 orang perempuan). Kebijakan lainnya tidak secara tegas mengatur partisipasi perempuan dalam Musrenbang, bahkan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, tidak memasukan pentingnya keterwakilan perempuan. Yang dimasukkan hanya “partisipasi masyarakat” sementara yang dimaksud dengan masyarakat sesuai dengan yang termuat dalam penjelasan Pasal 2 ayat 4d adalah:

“Yang dimaksud dengan "masyarakat" adalah orang perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat atau badan hukum yang berkepentingan dengan kegiatan dan hasil pembangunan baik sebagai penanggung biaya, pelaku, penerima manfaat maupun penanggung resiko.”

Dan yang dimaksud dengan partisipasi masyarakat:

“Yang dimaksud dengan ‘partisipasi masyarakat’ adalah keikutsertaan masyarakat untuk mengakomodasikan kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana pembangunan.”

Dalam kehidupan masyarakat kini, dalam ranah sosial dan budaya, posisi perempuan belum sepenuhnya dalam posisi dan situasi setara. Kuatnya budaya patriarkhal yang mendominasi membuat posisi kaum perempuan senantiasa tersubordinasi. Berbagai posisi kunci dalam ranah politik masih dominan dipegang kaum lelaki. Masyarakat patriarkis berprasangka bahwa perempuan cenderung berkapasitas rendah, kurang kompeten, dan tidak bermutu, hanya karena berkelamin perempuan. Dengan standar ganda, perempuan yang akan menduduki jabatan publik maupun berpartisipasi dalam ruang-ruang publik, seperti Musrenbang, selalu dipertanyakan kualitasnya. Hal itu tidak pernah atau jarang dipertanyakan kepada lelaki, apakah mereka mempunyai kompetensi dan kapasitas yang baik? Untuk itu, dibutuhkan kebijakan yang tegas agar implementasinya juga jelas. Kebijakan yang dibuat harus bertujuan agar kelompok/golongan tertentu (gender ataupun profesi) memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama atau dapat membuat kebijakan yang memberi keistimewaan pada kelompok tertentu. Hal itu karena sebagian besar pengambil keputusan belum memiliki perspektif gender. Pasal-pasal yang tidak tegas dalam UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dapat menjadi peluang untuk mengadvokasi perempuan dalam Musrenbang, pasal-pasal tersebut adalah berikut:

Pasal 2 ayat 4d: “Sistem perencanaan pembangunan Nasional bertujuan untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat”.

Pasal 5 ayat 3:

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

“RKPD merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan mengacu pada RKP, memuat rancangan kerangka ekonomi Daerah, prioritas pembangunan Daerah, rencana kerja, dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pernerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat”.

Pasal 6 ayat 2: “Renja-KL disusun dengan berpedoman pada Renstra-KL dan mengacu pada prioritas pembangunan Nasional dan pagu indikatif, serta. memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh Pernerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat”.

Pasal 7: “Renja-SKPD disusun dengan berpedoman kepada Renstra SKPD dan mengacu kepada RKP, memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat”.

Pasal 11 ayat 1: “Musrenbang diselenggarakan dalam rangka menyusun RPJP dan diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara Negara dengan mengikutsertakan masyarakat”.

Pasal 16 ayat 2: “Musrenbang Jangka Menengah diselenggarakan dalam rangka menyusun RPJM diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara negara dan mengikutsertakan masyarakat”.

Dalam UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, banyak pasal yang berpotensi menghambat partisipasi perempuan dalam Musrenbang. Sebagian besar pasal tersebut adalah adanya rancangan awal yang sudah disiapkan oleh Menteri untuk RPJP dan RPJM maupun oleh Bappeda untuk RPJMD. Dengan adanya rancangan awal yang sudah disiapkan pihak yang berwenang, maka hal tersebut dalam implementasinya di lapangan di beberapa daerah, menjadi ajang sosialisasi program yang sudah direncanakan tanpa ada masukan dari masyarakat, sehingga musrenbang hanya formalitas. Pasal yang ada dalam UU No. 25 tahun 2004, misalnya:

Pasal 10 ayat 1: “Menteri menyiapkan rancangan RPJP Nasional”.

Pasal 10 ayat 2: “Kepala Bappeda menyiapkan rancangan RPJP Daerah”.

Pasal 14 ayat 1: “Menteri menyiapkan rancangan awal RPJM Nasional sebagai penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden ke dalam strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program prioritas Presiden, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal”.

Pasal 14 ayat 2: “Kepala Bappeda menyiapkan rencangan awal RPJM daerah sebagai penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah ke dalam strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, program prioritas Kepala daerah, dan arah kebijakan keuangan daerah”.

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

Pasal 16: “Rancangan RPJM Nasional sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (2) dan rancangan RPJM daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) menjadi bahan bagi Musrenbang Jangka Menegah”.

Walaupun rancangan awal dijadikan bahan bagi Musrenbang, sering masyarakat tidak menyampaikan apa yg menjadi aspirasinya, karena pihak pemerintah telah mempunyai rancangan, sehingga hanya untuk membahas rancangan yang ada. Dengan adanya draf awal dari Kementerian/Lembaga, musrenbang menjadi tidak berarti karena yang terjadi hanya melakukan pemaparan, tidak menyerap aspirasi dari bawah. Sementara itu, Pasal 22 ayat 2 “Musrenbang dalam rangka penyusunan RKP dan RKPD diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara pemerintahan” walaupun dalam penjelasannya dikatakan unsur-unsur pemerintahan juga mengikutsertakan dan/atau menyerap aspirasi masyarakat terkait, antara lain asosiasi profesi, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, pemuka adat dan pemuka agama, serta kalangan dunia usaha, tetapi perempuan tidak disebutkan dengan tegas, serta keterlibatan masyarakat tidak dikatakan dengan jelas dalam pasal tersebut. Demikian halnya dalam pelaksanaan pembangunan tetap tidak ada keterlibatan masyarakat yang diatur dalam undang-undang. Hal ini menjadikan partisipasi perempuan dalam tahap pelaksanaan dan evaluasi pembangunan menjadi sangat kecil, bahkan tidak ada, seperti yang diatur dalam Pasal 28 ayat 1: “Pengendalian pelaksanaan pembangunan dilakukan oleh masing-masing pimpinan Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah.” Senanda dengan itu, dalam proses evaluasi pun masyarakat tidak dilibatkan, seperti tertuang dalam Pasal 29: “Pimpinan Kementerian/Lembaga melakukan evaluasi kinerja pelaksanaan rencana pembangunan Kementerian/Lembaga periode sebelumnya.” Dalam Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 2008 tentang Tahapan Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, juga tidak ada pasal yang secara tegas menyebutkan keterwakilan perempuan. Tetapi beberapa pasal dapat digunakan sebagai peluang advokasi partisipasi perempuan dalam Musrenbang, pasal-pasal tersebut adalah:

Pasal 13 ayat 2: “Musrenbang dilaksanakan oleh Bappeda dengan mengikutsertakan pemangku kepentingan”.

Pasal 17 ayat 1: “Rancangan RKPD memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, program prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya serta prakiraan maju dengan mempertimbangkan kerangka pendanaan dan pagu indikatif, baik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah maupun sumber-sumber lain yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat”.

Pasal 18 ayat 1: “Musrenbang RKPD merupakan wahana partisipasi masyarakat di daerah”.

Pasal 27 ayat 3:

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

“Rancangan Renja-SKPD memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat”.

Pasal 17, ayat 5: “Penetapan program prioritas berorientasi pada pemenuhan hak-hak dasar masyarakat dan pencapaian keadilan yang berkesinambungan dan berkelanjutan”.

Pasal 27, ayat 1: “Rancangan Renja-SKPD disusun dengan mengacu pada rancangan awal RKPD, Renstra-SKPD, hasil evaluasi pelaksanaan program dan kegiatan periode sebelumnya, masalah yang dihadapi, dan usulan program serta kegiatan yang berasal dari masyarakat”.

Pasal 35, Ayat 1: “Masalah pembangunan daerah dirumuskan dengan mengutamakan tingkat keterdesakan dan kebutuhan masyarakat”.

Pasal 36, ayat 1c: “Program prioritas urusan wajib dan urusan pilihan yang mengacu pada standar pelayanan minimal sesuai dengan kondisi nyata daerah dan kebutuhan masyarakat”.

Pasal 38 ayat 2: “Forum konsultasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diikuti oleh masyarakat dan para pemangku kepentingan”.

Pasal 49: “Gubernur, bupati/walikota berkewajiban memberikan informasi mengenai hasil evaluasi pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah kepada masyarakat”.

Pasal 52 ayat 1: “Masyarakat dapat melaporkan program dan kegiatan yang dianggap tidak sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan”.

Beberapa pasal yang mengatur rancangan awal RPJMN/RPJMD tak hanya dalam UU No. 25 tahun 2004, tetapi juga dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2008. Berikut adalah pasal-pasal yang ada itu:

Pasal 5 ayat 1: “Bappeda menyusun rancangan awal PRJPD”.

Pasal 11 ayat 1: “Bappeda menyusun rancangan awal RPJMD”.

Pasal 12 ayat 1: “Kepala SKPD menyusun Rancangan Renstra-SKPD sesuai dengan rancangan awal RPJMD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)”.

Pasal 12 ayat 2: “Bappeda menyempurnakan rancangan awal RPJMD menjadi rancangan RPJMD dengan menggunakan Renstra-SKPD sebagai masukan”.

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

Pasal 13 ayat 1: “Musrenbang dilaksanakan untuk membahas rancangan RPJMD sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (3)”.

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana pembangunan daerah, hanya ada satu pasal yang mengatur tentang partisipasi perempuan dalam Musrenbang, selebihnya tidak tegas mengaturnya. Namun pasal-pasal itu dapat digunakan sebagai peluang advokasi partisipasi perempuan dalam Musrenbang, antara lain:

Pasal 8 huruf d: “Pendekatan partisipatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, dilaksanakan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholders) dengan mempertimbangkan: keterwakilan seluruh segmen masyarakat, termasuk kelompok masyarakat rentan termarjinalkan dan pengarusutamaan gender”.

Pasal 99 ayat 2: “Rencana kerja, pendanaan dan prakiraan majusebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, mempertimbangkan kerangka pendanaan dan pagu indikatif, yang bersumber dari APBD maupun sumber-sumber lain yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat”.

Pasal 100 ayat 4: “Sumber-sumber lain yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat Pasal 99 ayat (2), yaitu kebijakan, program dan kegiatan pemerintah daerah yang didanai APBD dalam pencapaian sasarannya, melibatkan peran serta masyarakat baik dalam bentuk dana, material maupun sumber daya manusia dan teknologi”.

Pasal 139 huruf e: “Rancangan Renja SKPD provinsi dan kabupaten/kota disusun: berdasarkan usulan program serta kegiatan yang berasal dari masyarakat”.

Pasal 140 ayat 5: “Usulan program serta kegiatan yang berasal dari masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 huruf e, menjadi acuan perumusan kegiatan dalam rancangan Renja SKPD mengakomodir usulan masyarakat yang selaras dengan program prioritas yang tercantum dalam rancangan awal RKPD”.

Pasal 142 ayat 1e: “Perumusan rancangan Renja SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf a, untuk provinsi mencakup: penelaahan usulan masyarakat”

Pasal 142 ayat 2h: “Perumusan rancangan Renja SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf a, untuk kabupaten/kota mencakup: penelaahan usulan masyarakat”.

Bbeberapa pasal mensyaratkan agar program perioritas pembangunan daerah beorientasi kepada pemenuhan hak-hak dasar masyarakat, seperti:

Pasal 100 ayat 2:

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

“Program prioritas pembangunan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1) huruf b, memuat program-program yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak dasar masyarakat dan pencapaian keadilan yang berkelanjutan sebagai penjabaran dari RPJMD pada tahun yang direncanakan.”

Masyarakat penerima sasaran berdasarkan status ekonomi, profesi, gender dan kelompok rentan harus menerima manfaat secara langsung kegiatan yang direncanakan.

Pasal 135 ayat 4: “Kelompok sasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 huruf d, memuat penjelasan terhadap karakteristik kelompok sasaran yang memperoleh manfaat langsung dari hasil kegiatan, seperti kelompok masyarakat berdasarkan status ekonomi, profesi, gender dan yang kelompok masyarakat rentan termarginalkan”.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional tidak mengatur secara tegas keterwakilan perempuan dalam Musrenbang, namun beberapa pasal dapat digunakan sebagai peluang advokasi partisipasi, tetapi juga pasal yang menghambat partisipasi perempuan, adalah:

Pasal 5 ayat 2: “Musrenbang Jangka Panjang Nasional diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara negara dengan mengikutsertakan masyarakat”.

Pasal 5 ayat 3: “Musrenbang Jangka Panjang Nasional didahului dengan sosialisasi Rancangan Awal RPJP Nasional, konsultasi publik, dan penjaringan aspirasi masyarakat”.

Pasal 12, ayat 2 b: “Dalam rangka penyusunan rancangan teknokratik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pimpinan Kementerian/Lembaga menghimpun: aspirasi masyarakat”.

Pasal 15 ayat 2: “Musrenbang Jangka Menengah Nasional diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara negara dan mengikutsertakan masyarakat”.

Pasal 23 ayat 3: “Penyelenggaraan Musrenbang Tahunan Provinsi diikuti oleh unsur-unsur pemerintah daerah provinsi; perwakilan dari Bappeda masing-masing kabupaten/kota yang ada dalam provinsi yang bersangkutan, wakil dari Kementerian/Lembaga yang terkait, serta mengikutsertakan masyarakat.”

Dalam PP No. 40 Tahun 2006 ada beberapa pasal yang dapat menghambat partisipasi perempuan, karena proses penyelarasan akhir hasil Musrenbang, masyarakat, terutama perempuan tidak dilibatkan.

Pasal 6 ayat 1: “Rancangan Akhir RPJP Nasional disusun oleh Menteri berdasarkan hasil Musrenbang Jangka Panjang Nasional”.

Pasal 16 ayat 1:

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

“Rancangan Akhir RPJM Nasional disusun oleh Menteri berdasarkan hasil Musrenbang Jangka Menengah Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15”.

Demikian dengan rancangan awal yang disiapkan Menteri, sesuai dengan bunyi pasal berikut:

Pasal 11 ayat 2: “Rancangan Awal RPJM Nasional memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum dan program prioritas Presiden, serta kerangka ekonomi makro”.

Pasal 19 ayat 1: “Rancangan Awal RKP disiapkan oleh Menteri sebagai penjabaran RPJM Nasional paling lambat minggu kedua bulan Februari”.

Dilihat dalam bentuk bagan berikut, kebijakan-kebijakan yang ada memperlihatkan secara tegas mengatur tentang partisipasi perempuan posisinya, ada di paling bawah. Dengan demikian kekuatan hukumnya tidak tegas.

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

2.2. Hasil-hasil Riset tentang Musrenbang Musrenbang merupakan tahapan yang dilakukan untuk menyusun APBD. Perencanaan dilakukan mulai dari tingkat desa/kelurahan dengan menyelenggarakan Musrenbangdes atau Musrenbangkel. Setelaah itu, proses dilanjutkan di tingkat kecamatan (Musrenbangcam), Forum Satuan Kerja Perangkat Daerah sampai dengan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kabupaten/Kota (Musrenbangkab/Musrenbangkot). Hasil perencanaan partisipatif ini akan dipadukan dengan dokumen perencanaan pembangunan, baik jangka panjang (dalam bentuk Rencana Pembangungan Jangka Panjang/RPJP) maupun jangka menengah (dalam bentuk Rencaa Pembangunan Jangka Menengah/RPJM). Hasil akhir proses perencanaan adalah rencana kerja pemerintah daerah (RKPD).

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

Temuan PATTIRO di lapangan menunjukan bahwa selama ini proses perencanaan partisipatif (Murenbangdes, Musrenbangkel, Musrenbangcam, Musrenbangkab dan Musrenbangkot) setidaknya memiliki tiga masalah utama (Jurnal Perempuan Edisi 46 tahun 2006; Sudahkah Anggaran Kita Sensitif Gender?). Masalah pertama, rendahnya persentase tingkat akomodassi usulan masyarakat dalam musrenbang di APBD. Masalah kedua, peserta dalam Musrenbang tidak representatif. Misalnya, dalam Musrenbagdes dan Musrenbangkel, mayoritas pesertanya adalah pengurus RT dan RW yang masih dalam kendali kelurahan. Hal ini mengakibatkan Musrenbang tinggal ketok palu. Masalah ketiga, rendahnya partisipasi perempuan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan PATTIRO di Kota Semarang, dalam Musrenbangkel rata-rata tingkat partisipasi perempuan hanya 10%, semuanya berasal dari Tim Pengerak PKK dan 19 dari 20 ketua Tim Pengerak PKK adalah isteri Lurah. Bahkan, tingkat partisipasi perempuan di Kelurahan Karang Ayu adalah 0%, yang berarti semua peserta Musrenbangkel adalah laki-laki. Berdasarkan hasil penelitian Seknas FITRA tentang Kinerja Pengelolaan Anggaran Daerah 2009, Studi 41 Kabupaten/Kota di Indonesia menemukan bahwa kinerja partisipasi anggaran daerah sangat rendah di semua tahapan pengelolaan anggaran. Nilai kinerja partisipasi anggaran hampir semuanya di bawah 50 persen. Kinerja partisipasi anggaran tahap perencanaan memiliki nilai sedikit lebih tinggi di antara 3 tahapan perencanaan dan penganggaran lainnya, yakni dalam pembahasan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Tahapan perencanaan adalah tahapan ketika masyarakat disediakan wahana partisipasinya melalui Musrenbang di tingkat desa/kelurahan. Sementara di Musrenbang Kecamatan dan kabupaten serta forum SKPD, wahana partisipasinya disediakan dengan mekanisme keterwakilan. Tahap pertanggungjawaban dan pembahasan merupakan tahapan yang memiliki kinerja partisipasi terendah. FITRA menemukan bahwa pada kinerja transparansi pada tahap pertanggungjawaban proses pelibatan masyarakat sangatlah tertutup, karena tahap ini banyak diasumsikan sebagai arena pertanggungjawaban eksekutif kepada legislative, sehingga ruang publik hampir tidak ada. Ruang publik di tahap ini hanya disediakan melalui mekanisme penyusunan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (ILPPD). Sayangnya, banyak pemerintahan daerah yang tidak membuat dokumen itu. Di sisi lain, hampir tak ada inisiatif pemerintah daerah untuk mengembangkan mekanisme pertanggungjawaban dengan melibatkan masyarakat secara langsung tanpa melalui perwakilan DPRD mengingat kepala daerah dipilih oleh rakyat secara langsung. Pada tahap pembahasan, partisipasi publik rendah karena banyak pemerintah daerah banyak pemerintah daerah yang tidak melibatkan masyarakat dalam proses penetapan APBN. Proses ini masih dianggap ruang antara eksekutif dan legislatif. Hampir sama dengan dimensi partisipasi, kinerja kesetaraan anggaran pemerintah daerah untuk kelompok perempuan memiliki nilai rendah. Empat tahapan perencanaan dan penganggaran yang dinilai, hanya satu tahapan yang memperoleh nilai di atas 60 yakni dalam proses perencanaan, sedangkan dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban mendapatkan nilai di bawah 50. Artinya, kinerja kesetaraan anggaran pemerintahan daerah untuk kelompok perempuan masih sangat memprihatinkan. Kesetaraan anggaran belum menjadi bagian penting bagi pemerintahan daerah. Dari empat tahapan anggaran yang diteliti, tahapan pelaksanaan memiliki kinerja terendah. Kondisi ini menunjukan bahwa dalam implementasi program pembangunan khususnya dalam penyusunan dokumen-

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

dokumen perencanaan dan penganggaran pemerintah belum maksimal dalam menerapkan prinsip kesetaraan gender. Kinerja terendah lainnya ialah dalam tahap pertanggungjawaban. Dalam tahapan-tahapan perencanaan dan pembahasan, partisipasi perempuan lumayan tinggi dibandingkan tahapan sebelumnya. Pada tahapan perencanaan, adanya mandat Permendagri No. 25 tentang pembentukan Pokja PUG dan focal point PUG secara efektif banyak dilakukan oleh pemerintahan daerah. Pada tahapan pembahasan memiliki kinerja tertinggi karena didukung oleh komitmen pemerintahan daerah dalam menggunakan data terpilah dalam menyusun RKA SKPD Pendidikan dan kesehatan. Dari sisi ketersediaan wahana partisipasi, sebagian besar pemerintahan daerah belum menyediakan wahana khusus bagi kelompok perempuan dan masyarakat miskin di luar ketentuan SEB (Surat Edaran Bersama). Surat Edaran Bersama yang dikeluarkan Menteri Dalam Negeri dan Kepala Bappenas setiap tahun untuk pelaksanaan Musrenbang telah mengatur musyawarah di tingkat dusun/desa yang bisa dipakai untuk mengakomodasi usulan kelompok perempuan. SEB juga mengatur keharusan adanya keterwakilan perempuan dari desa untuk menjadi peserta Musrenbang Kecamatan, perwakilan perempuan dari kecamatan ke forum SKPD dan Musrenbang kabupaten/kota. Dari semua daerah penelitian, hanya 9 pemerintah daerah yang menyediakan wahana sesuai dengan ketentuan SEB. Pentingnya ketersediaan wahana partisipasi bagi kelompok perempuan dan marjinal, menimbang selama ini mekanisme Musrenbang yang tersedia tidak mampu mengakomodasi berbagai kepentingan masyarakat yang beragam. Kelompok perempuan dan marjinal tidak dimampukan dalam bentuk fasilitasi proses untuk menyuarakan kebutuhannya. Ini karena posisi mereka yang tidak seimbang dalam forum. Sesunggungnya, Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2008 menyuarakan perlunya jalur komunikasi khusus forum perencanaan bagi kelompok perempuan dan marginal lainnya. Namun hal itu umumnya belum dilakukan secara maksimal. Berdasarkan penelitian Women Research Institute (WRI) tahun 2006 mengenai Studi dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan gender di enam wilayah di Indonesia yakni Surakarta, Surabaya, Mataram, Kupang, Yogyakarta dan Makassar menghasilkan temuan bahwa meskipun banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengarutamaan gender, namun hal itu tak menjamin perempuan mendapatkan hak yang layak untuk diikutsertakan dalam proses perencanan dan penganggaran. Hal ini terlihat dari jumlah perempuan yang terlibat dalam Musrenbang. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam Musrenbang, terutama perempuan, karena masyarakat masih beranggapan bahwa rencana pembangunan ialah urusan elit, mulai dari RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Provinsi dan pusat. Hal itu menjadi alasan mengapa perempuan enggan menghadiri pertemuan yang membahas rencana pembangunan. Malah mereka meminta pengurus PKK untuk menjadi wakil dalam pertemuan tersebut.

2.3. Posisi Musrenbang dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Perencanaan pembangunan daerah merupakan kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Hal ini agar rencana pembangunan daerah senantiasa konsisten, sejalan, dan selaras dengan kebijakan rencana pembangunan pemerintah pusat dan provinsi. Perencanaan pembangunan daerah dilakukan bersama-sama dengan para pemangku kepentingan, berdasarkan peran dan kewenangan masing-masing, mengintegrasikan rencana tata ruang dengan rencana pembangunan daerah serta mempertimbangkan kondisi dan potensi yang dimiliki, sesuai dengan dinamika perkembangan daerah dan nasional.

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

Beberapa lembaga/kementerian yang memegang mandat dan mempunyai tanggungjawab dalam pelaksanaan Musrenbang adalah berikut:

1. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) 3. Kementerian Dalam Negeri 4. Kementerian Keuangan 5. Kepala SKPD 6. Gubenur 7. Bupati 8. Camat 9. Lurah/Kepala Desa

Dalam proses rencana pembangunan ada tiga kementerian yang mempunyai mandat secara langsung, yakni Kementerian Dalam Negeri (UU No. 32 Tahun 2004), Bappenas (UU No. 25 Tahun 2004), dan Kementerian Keuangan (UU No. 17 Tahun 2003). Hubungan kerja antara Bappenas dan Kementerian Keuangaan dijembatani dengan PP 20 tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah dan PP No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga. Sementara Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah jo Permendagri 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Permendagri 13 Tahun 2006 menjembatani hubungan kerja antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri. Hubungan kerja antara Bappenas dan Kemendagri dijembatani dengan SKB Meneg PPN/Kepala Bappenas, Mendagri dan Menkeu. Dengan adanya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, daerah mempunyai wewenangnya sendiri untuk menentukan wilayahnya, wewenang Bappenas sebagai Badan Perencanaan Pembangunan Nasional terhadap Bappeda, bersifat koordinasi. Bappenas bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Bappeda tidak bertanggungjawab secara langsung kepada Bappenas. Bappeda tingkat I bertanggung jawab kepada Gubenur dan Bappeda tingkat II bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota. Desentralisasi menjadikan Rencana Pembangunan Jagka Panjang Nasional (RPJPN) sebagai acuan untuk menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD). Demikian pula dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) harus memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RJMN). Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) diadakan untuk menyusun RKP dan RKPD yang kemudian dijadikan pedoman dalam pembahasan RAPBN dan RAPBD. Musrenbang juga menyerasikan antara RKP dan RKPD.

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

Sumber: Modul Pelatihan Fasilitator Perencanaan dan Penganggaran Daerah yang Responsif Gender, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2011. Jika melihat bagan di atas, tampak bagaimana ketekaitan antara beberapa tingkatan perencanaan dan keterkaitan antara perencanaan dan penganggaran. Perencanaan terkait dengan prioritas tindakan untuk mencapai tujuan tertentu. Sementara penganggaran menggambarkan, bagaimana alokasi sumber daya yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu. Dilihat dari agenda waktu, proses perencanaan dilakukan sepanjang bulan Januari-April, sedangkan penganggaran dilakukan antara bulan Mei hingga Desember setiap tahunnya. Musrenbang menjadi titik-awal menyusun RKP dan RKPD. Artinya, bahwa Musrenbang memiliki peran yang signifikan dalam menentukan arah pembangunan dalam satu tahun ke depan. Jika dalam langkah awal ini terjadi kesalahan, maka proses pembangunan selanjutnya yang dilaksanakan akan jauh dari harapan. Maka itu, proses awal yang sangat signifikan ini, penting sekali masyarakat dari semua golongan dan kelompok kepentingan dapat terlibat dalam forum ini, dan memastikan bahwa apa yang menjadi aspirasinya menjadi prioritas pembangunan. Dengan demikian, hasil pembangunan dapat dirasakan semua pihak.

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

BAB III PEMBAHASAN

3.1. Kekuatan dan Kelemahan Musrenbang Musrenbang sebagai forum antar pelaku dilaksanakan dalam rangka menyusun rencana kerja pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Musrenbang dilaksanakan setiap tahun oleh para pemangku kepentingan, dalam hal ini, pihak yang berkepentingan untuk mengatasi masalah di level masing-masing dan pihak yang akan terkena dampak hasil musyawarah untuk menyepakati rencana kegiatan tahun anggaran berikutnya. Prinsip utama Musrenbang ialah musyawarah untuk mencapai mufakat atau kesepakatan bersama. Sebuah kesepakatan dapat tercapai kalau semua pihak yang berkepentingan hadir dalam musyawarah dan memberikan apa yang menjadi aspirasinya. Banyak kebijakan dilahirkan untuk mengatur partisipasi masyarakat dalam musrenbang. Kebijakan itu untuk menjamin agar musrenbang berjalan partisipatif. Semua golongan, tua-muda, kaya-miskin, perempuan laki-laki harusnya turut berpartisipasi aktif dalam proses tersebut. Adanya kebijakan tidak serta merta menjamin partisipasi perempuan dalam Musrenbang. Hal itu terjadi karena kebijakan yang ada tidak tegas mengatur partisipasi tersebut. Di beberapa tempat, partisipasi perempuan ditinggalkan, meskipun si perempuan telah meminta untuk diundang dalam forum. Selain itu, Musrenbang masih didominasi laki-laki. Cerita dari tiga ibu di Papua, Aceh dan Lumajang dalam acara semiloka tentang “Membangun Strategi Advokasi untuk Meningkatkan Keterlibatan Perempuan dalam Musrenbang”, tanggal 26-27 September 2011 di Jakarta, oleh Kalyanamitra dan RHV-Oxfam, memberikan gambaran tentang proses rencana pembangunan yang terjadi di tiga wilayah itu.

Mama Alince7 (Papua) “Umumnya di Papua, khususnya di Kabupaten Paniai, dalam proses pembangunan lebih banyak didominasi laki-laki dibandingkan perempuan dan partisipasi perempuan dalam proses rencana pembangunan masih sangat minim.

Melihat latar belakang kehidupan di Kabupaten Paniai, partispiasi perempuan dalam proses rencana pembangunan di kabupaten sangat minim, dan kami masyarakat di Kabupaten Paniai tidak tahu sama sekali dengan nama yang disebut Musrenbang. Sejak tahun 2009, kami perempuan dari dua belas kampung di tiga distrik mengenal betapa pentingnya partisipasi perempuan dalam proses pembangunan, sehingga advokasi kepada pemerintah bahwa perempuan perlu terlibat dalam proses pembangunan, dan pemerintah harus mengakomodir usulan dari distrik, desa, sampai kabupaten”.

Siti Suryani (Aceh) “Saya berasal dari desa gampong Getapang, kecamatan Loksukon Aceh Utara. Saya ibu rumah tangga, dan menjabat sebagai Tuhapeut di tingkat desa. Sebelum adanya program Raising Her Voice, saya tidak tau apa itu Musrenbang. Sejak kehadiran program ini ke kampung kami, saya paham musrenbang dan mengetahui keterlibatan perempuan itu seperti apa. Di tingkat desa, harus ada 30 persen suara perempuan,

7 Mama Alince menyampaikan hal ini menggunakan bahasa aslinya yaitu bahasa mae dan harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia terlebih dahulu

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

tetapi alhamdulilah dengan adanya program dari Koalisi Perempuan Indonesia, mereka mendatangi kami di desa dan berkat mereka kami mengetahui apa itu musrenbang.

Setelah adanya program ini, kami mengetahui dan terlibat musrenbang. Perempuan di kampung terlibat dalam musrenbang kampung dan di kecamatan pun sudah terlibat. Di sini banyak kemajuan, terutama tentang keterlibatan perempuan dan kesetaraan gender.

Perempuan di kampung saya sudah mengetahui sebagian, tetapi kami mengusulkan kepada pemerintah untuk keterlibatan perempuan itu jangan mewakili satu orang saja, seharusnya seimbang. Kami meminta pada pemerintah daerah harus ada keseimbangan.

Kita harus mengusulkan dalam Musrenbang karena sebelumnya suara perempuan kurang didengar, tetapi setelah saya ikut ini, usulan perempuan itu diterima oleh aparat desa. Perempuan di desa ini sekarang sudah tahu dan meminta usulan saya, karena saya wakil perempuan untuk ke kecamatan waktu Musrenbang di kecamatan”.

Ninik (Lumajang) Saya dari lumajang dari kelompok dampingan Kalyanamitra. Saya sebelumnya tidak tahu Musrenbang itu apa, tetapi pernah mendengar dan kami tidak pernah diundang. Sebetulnya, saya kader Posyandu mulai tahun 1985, terus kader KB juga, namun tidak pernah diundang waktu ada musrenbang. Belakangan karena kami juga ada kelompok perempuan dan mungkin dianggap ikut campur terlalu dalam, sehingga kami makin disingkirkan dari desa. Kami tidak dianggap walaupun punya unek-unek dari perempuan-perempuan dan punya gagasan-gagasan, bahkan kami pernah usul minta diundang tetapi tidak di dengar.

Yang saya tahu, kalau ada ADD baru diadakan Musrenbang. Sebetulnya terbalik, waktu ADD turun baru ada musrenbang, biasanya bulan Januari. Setelah ada undangan baru Musrenbang, usulan-usulannya belakangan ini sepertinya terbalik.

Kalau perempuan yang diundang tidak didengarkan, dan hanya usulan-usulan para laki-laki, seperti pembangunan jalan, jembatan, dan lainnya. Untuk usulan perempuan, sebetulnya banyak karena di sana masih ada balita-balita yang di bawah garis merah, kemiskinan juga terlihat, perempuan-perempuan yang belum pandai juga banyak, dan kami mohon mungkin di sini ada Bapeda, minta dibuatkan UU atau keputusan untuk perempuan berapa persen dapat hadir di Musrenbang. Usulan-usulannya mohon didengarkan, tidak disingkirkan begitu saja, karena usulan kami juga banyak”.

Dari cerita itu dapat digambarkan bagaimana perempuan sulit untuk terlibat dalam Musrenbang. Padahal ketika tidak ada partisipasi perempuan dalam Musrenbang, maka aspirasinya tidak tersalurkan. Akibatnya, pembangunan yang dihasilkan jauh dari kebutuhan strategis perempuan. Persoalan yang masih dihadapi dalam proses Musrenbang ialah pejabat berwenang tidak melaksakannya sesuai dengan aturan yang ada. Di Kabupaten Paniai, Papua misalnya, sejak wilayah ini berdiri tahun 1999 belum pernah ada Musrenbang Kampung dan Distrik sama sekali. Baru tahun 2010, masyarakat mengikuti Musrenbang Kampung dan Distrik sebagai pilot project lembaga swadaya masyarakat yang ada. Dari Musrenbang Distrik masyarakat diajak

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

mengikuti Musrenbang Kabupaten dengan mengajukan diri untuk diundang dalam forum tersebut. Hasil Musrenbang Kabupaten Paniai tahun 2010, antara lain:

- Undangan baru diterima oleh peserta satu hari sebelum dilaksanakannya Musrenbang Kabupaten. Harusnya undangan jadwal dan agenda Musrenbang Kabupaten/Kota diumumkan/disampaikan minimal 7 hari sebelumnya.

- Tidak semua desa/kelurahan dan Kecamatan telah melaksanakan Musrenbang Desa/Kelurahan.

- Tidak semua desa/kelurahan dan Kecamatan telah membuat nota kesepakatan hasil Musrenbangdes/Musrenbangkel dan Musrenbangcam.

- Tidak ada pemaparan dari narasumber sesuai mekanisme UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

- Fasilitas pertemuan (overhead projector, flip chart, bahan peraga penunjang pertemuan) yang tidak memadai.

- Tidak ada pemaparan Pusat tentang RKP Nasional mengenai isu strategis dan prioritas pembangunan skala nasional, serta isu/program terkait kabupaten/kota sesuai dengan UU No. 25 Tahun 2004 dan Permendagri No. 59 Tahun 2007.

- Tidak ada informasi tentang dana dekonsentrasi untuk provinsi. - Tidak ada pemaparan Rancangan RKPD oleh Kepala Bappeda. - Tidak ada pemaparan tentang pokok-pokok substansi RPJMD Kabupaten/Kota. - Tidak ada informasi tentang Prioritas dan Plafon Anggaran Alokasi Dana Desa. - Tidak ada Pemaparan Rancangan Renja SKPD oleh Ketua TIM Penyelenggara dan/atau

Kepala SKPD. - Tidak ada verifikasi Rancangan Renja SKPD oleh Kepala SKPD, delegasi kecamatan,

dan delegasi forum SKPD. - Tidak ada pemaparan Kepala SKPD yang mengemban fungsi pelayanan dasar dan yang

menjadi prioritas pembangunan. - Tidak ada penyampaian perkiraan kemampuan pendanaan baik dari APBD Kab/Kota,

APBD Prov, APBN, dan sumber dana. - Tidak ada pembahasan dan penyepakatan kriteria dan score untuk prioritisasi usulan

kegiatan pembangunan. - Tidak ada prioritisasi kegiatan pembangunan yang diusulkan. - Ada pembahagian kelompok pembahasan menurut fungsi-fungsi pemerintahan daerah

atau kelompok fungsi terkait, namun waktu yang disediakan untuk diskusi kelompok tidak memadai karena berlangsung singkat, kemudian mengecek daftar usulan dan tidak ada diskusi pertimbangan-pertimbangan untuk usulan-usulan yang diajukan dalam pembahasan.

- Tidak ada presentasi kelompok di pleno untuk mengemukakan hasil dan kesepakatan diskusi kelompok.

- Acara tidak sesuai dengan jadwal. Ada beberapa agenda pembahasan yang dihilangkan. Penyampaian hasil pembahasan per bidang tidak di presentasikan, Pleno juga tidak dilakukan. Ketika selesai pembahasan per bidang, hasil semuanya dikompilasi.

- Tidak ada kriteria yang di gunakan untuk penentuan prioritas program. - Tidak ada agenda pembahasan secara khusus, langsung saja membahas per SKPD. - Jadwal yang dibuat 3 hari menjadi 2 hari, sehingga beberapa bagian tidak dilaksanakan,

seperti presentasi Hasil pembahasan dari 3 Bidang yakni Bidang Sosial Budaya, Bidang Ekonomi dan Bidang Fisik Prasarana.

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

Jika dilihat temuan-temuan itu, bahwa sering Musrenbang dilaksanakan dengan tidak berpedoman pada peraturan yang ada. Ada dua kemungkinan yang menyebabkan hal tersebut terjadi, yakni pertama, pemahaman yang kurang dalam diri para pejabat di daerah, terutama pihak Bappeda atas kebijakan yang sudah ada. Yang kedua, para pejabat tersebut sengaja tidak berpedoman pada kebijakan-kebijakan yang ada, sehingga dalam implementasinya banyak hal diabaikan. Ketiga, kemungkinan tersebut sangat mungkin terjadi karena tidak ada konsekuensi hukum atas pelanggaran terhadap kebijakan yang ada. Monitoring lembaga yang berwenang, dalam hal ini Kemendagri dan Bappenas, tidak berjalan baik. Prinsip-prinsip partisipatif, representatif, akuntabilitas, transparansi, efisiensi, efektifitas dan ramah perempuan harus menjadi tolok ukur dalam penyelenggaraan Musrenbang. Yang terjadi di lapangan, prinsip-prinsip itu diabaikan. Peserta Musrenbang hanya dari kalangan elit dan tidak mewakili kelompok marjinal. Perempuan, sebagai kelompok yang berkepentingan, menyampaikan aspirasinya dalam Musrenbang jarang diikut-sertakan. Dalam forum tersebut perempuan, tak banyak kesempatan untuk berbicara dan menyampaikan pendapat. Padahal, ketika berbicara soal partisipasi tak hanya kehadiran namun bagaimana mereka yang hadir dapat menyampaikan apa yang menjadi aspirasinya dan didengarkan. Suasana juga turut mempengaruhi keberanian perempuan untuk menyatakan pendapatnya. Ketika forum dikuasai laki-laki, maka perempuan menjadi enggan untuk berbicara. Akhirnya, apa yang menjadi aspirasi mereka tidak tersampaikan. Dengan kondisi demikian, peran fasilitator menjadi sangat menentukan, namun sering fasilitator yang hadir tidak berperan dengan baik, malah tidak sensitif gender. Memilih fasilitator yang berwawasan gender yang bagus menjadi keharusan agar hasil rencana benar-benar mengakomodir kepentingan semua masyarakat. Dalam prinsip transparansi, walaupun Indonesia sudah mempunyai UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, tetapi di banyak tempat masih tidak terjadi hal itu. Beberapa dokumen publik tidak boleh diakses oleh masyarakat luas, terutama dokumen-dokumen terkait dengan anggaran. Sangat penting menjamin adanya transparansi anggaran, karena walaupun UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, dalam pasal 103 jelas-jelas menyebutkan, bahwa APBD adalah dokumen publik, sehingga banyak hambatan bagi masyarakat dalam mengaksesnya. Dengan alasan dokumen rahasia negara, ketertutupan akses menjadi hambatan yang besar untuk mendorong keterlibatan publik dalam proses penganggaran daerah. Selain itu, proses Musrenbang terutama di tingkat desa/kelurahan hanya dilakukan dalam waktu singkat, sehingga terkesan sebagai pertemuan untuk melegalisir draft rencana kerja desa/kelurahan yang telah disusun perangkat desa sebelumnya. Ada pemahaman yang keliru dalam merumuskan Musrenbang menjadi salah satu yang menghambat pelaksanaannya. Banyak Petinggi yang mengartikan Musrenbangdes sebagai forum rencana kegiatan desa untuk mengalokasikan dana perimbangan desa (ADD). Salah satu masalah yang masih dihadapi dalam proses rencana pembangunan ialah ketersediaan data terpilah. Dengan adanya data terpilah, maka lebih mudah untuk menentukan program pembangunan yang akan direncanakan. Sementara, bila merujuk pada Konferensi Beijing 1995, salah satu tujuan strategis program dan aksi yang dihasilkan ialah untuk menghasilkan dan menyebarluaskan data berbasis gender untuk perencanaan maupun evaluasi. Dalam Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan menyebutkan 4 hal pokok yang ingin dicapai: 1) laki-laki dan perempuan memperoleh akses yang sama kepada sumber daya pembangunan, (2) laki-laki dan perempuan berpartisipasi yang

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

sama dalam proses pembangunan, (3) laki-laki dan perempuan memiliki kontrol yang sama atas sumber daya pembangunan, dan (4) laki-laki dan perempuan memperoleh manfaat yang sama dari hasil pembangunan. Dengan kata lain, tercipta kondisi kesetaraan dan keadilan gender. Salah satu cara melihat tujuan itu tercapai ialah tersedianya informasi/data (kuantitatif maupun kualitatif) terpilah menurut jenis kelamin. Dengan tersedianya data terpilah menurut jenis kelamin, akan bermanfaat untuk:

1. Menggambarkan situasi/isu gender; misalnya perempuan lebih sedikit yang bekerja di sektor-sektor konstruksi, pimpinan suatu unit kerja lebih banyak dipegang oleh laki-laki, dan lain-lain.

2. Melihat sejauh mana bias gender (gender gap) yang sedang berlangsung, misalnya adanya ketimpangan upah yang diterima antara perempuan dan laki-laki walaupun keduanya mempunyai pendidikan dan kualitas kerja yang sama baiknya.

3. Menjadi alat analisa dalam perencanaan kebijakan/program/proyek/kegiatan, misalnya dalam menentukan prioritas program/kegiatan (yang berbasis gender).

4. Memantau dan mengevaluasi kebijakan dan program yang telah atau sedang dilaksanakan; untuk melihat apakah peran dan kedudukan perempuan dan laki-laki sudah proporsional atau tidak.

5. Meningkatkan kesadaran dan mengajak para pengambil kebijakan untuk melakukan perubahan-perubahan terhadap situasi yang masih bias gender; tentunya dengan harapan bahwa pengambil kebijakan merupakan orang-orang yang responsif dan sensitif gender.

6. Menumbuhkembangkan ide-ide untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan gender; secara berkesinambungan.

Data terpilah menurut jenis kelamin harus mampu: Pertama, menggambarkan kondisi objektif lapangan persoalan gender dalam masyarakat di wilayah pengamatan; Kedua, berada dalam sistem yang menjembatani penyedia dan pengguna data terpilah, mengingat bahwa muatan, metode, klasifikasi dan alat ukur statistik gender tersebut memerlukan penyempurnaan-penyempurnaan. Data yang tersedia merupakan statistik (bilangan yang menjadi wakil atau ringkasan sekelompok data) yang disajikan menurut jenis kelamin. Untuk isu-isu tertentu, statistik tersebut disajikan dalam kelompok-kelompok khusus, seperti bayi, anak-anak, remaja, lansia, orang cacat, pengangguran, dan lain-lain. Data tersebut diharapkan menjadi indikator, alat ukur yang menunjukkan kondisi atau kecenderungan maupun perubahan enomena yang menjadi pokok perhatian, dalam hal ini gender, baik berupa indikator kuantitatif (dikemas dari data kuantitatif) dan indikator kualitatif (dikemas dari data kualitatif); indikator tunggal (mempunyai satu dimensi kejadian) maupun indikator komposit (mempunyai multi dimensi kejadian). Indikator tunggal berguna bila dikaitkan dengan rencana aksi atau tindak lanjut intervensi, sedangkan indikator komposit berguna untuk memantau dan mengevaluasi fenomena sosial yang bersifat multi dimensi. Indikator yang dibangun harus mampu memenuhi syarat-syarat: sahih, objektif, sensitif, dan unik. Sahih berarti mampu mengukur gejala yang diamati secara tepat; objektif berarti mampu memberi nilai yang sama walaupun hal yang sama diukur orang lain; sensitif berarti mampu mendeteksi perubahan yang terjadi sekecil apapun; dan unik berarti hanya mengukur satu perubahan yang dimaksudkan dan tidak mengukur yang lainnya.

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

Selain itu, indikator yang dibangun dapat diaplikasikan pada semua tahapan program/ kegiatan, yang dibedakan atas indikator dasar, indikator input, indikator proses, indikator output, indikator dampak, dan indikator resiko. Indikator dasar memuat keadaan umum yang diperlukan dalam suatu kegiatan; indikator input memuat besaran input dalam melaksanakan suatu kegiatan; indikator proses menggambarkan bagaimana suatu proses kegiatan dilaksanakan; indikator output menggambarkan hasil langsung suatu kegiatan; indikator dampak menggambarkan hasil akhir suatu kegiatan; dan indikator resiko menggambarkan kondisi-kondisi lain atau faktor eksternal yang menjadi penyebab hasil akhir kegiatan. Untuk mendorong tersedianya data terpilah, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 06 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Data Gender dan Anak. Menurut Peraturan ini, penyelenggaraan data gender dan anak adalah suatu upaya pengelolaan data pembangunan yang meliputi: pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data yang sistematis, konprehensif, dan berkesinambungan yang dirinci menurut jenis kelamin, dan umur, serta data kelembagaan terkait unsur-unsur prasyarat pengarusutamaan gender dan pengarusutamaan hak anak untuk digunakan dalam upaya pelaksanaan pengarusutamaan gender dan pengarusutamaan hak anak. Untuk mewujudkan sistem perencanaan yang sensitif gender, berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak, di antaranya:

1. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimum Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.

2. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 17 Tahun 2010 tentang Panduan Perencanaan Penganggaran yang Responsif Gender Bidang Perdagangan.

3. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 19 tahun 2010 tentang Model Pedoman Perencanaan Penganggaran yang Responsif Gender Bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah Bidang Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

4. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 25 Tahun 2010 tentang Pedoman Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender di Kementerian Pendayagunaa Aparaturr Negara dan Reformasi Birokrasi.

5. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 27 Tahun 2010 Panduan Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Dalam Pendidikan Politik pada Pemilihan Umum.

6. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 31 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Penelitian Pengarusutamaan Gender, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Musrenbang sebagai forum antar pelaku dan tempat pertemuan antara pemerintah dan masyarakat memiliki banyak kekuatan dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat jikalau prinsip-prinsip yang dianut dijalankan. Dengan adanya partisipasi masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, dan semua kelompok berkepentingan maka Musrenbang dapat berperan dalam system memilihara demokrasi lokal, dimana prisip musyawarah mencapai mufakat sudah dianut oleh bangsa Indonesa sejak dulu, bahkan menjadi landasan dasar negara. Partisipasi masyarakat dapat menunjukan adanya dukungan kepada pemerintah yang sedang

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

berkuasa. Selain itu, dengan bepartisipasi dalam Musrenbang, masyarakat dapat mengkritisi kebijakan yang ada serta menunda pengesahan atau pemberlakuan kebijakan. Dalam forum tersebut dapat mengembangkan jaringan antara masyarakat dengan pejabat yang terpilih untuk menghasilkan solusi pemecahan persoalan-persoalan yang ada. Musrenbang juga menjadi input penting bagi pemerintah untuk menentukan arah pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, Musrenbang diharapkan dapat memecahkan persoalan yang selama ini terjadi, seperti tingginya angka kematian ibu, kesenjangan pendidikan, kekerasan terhadap perempuan dan lain sebagainya.

3.2. Opsi-opsi Usulan Beberapa hal penting harus didorong agar Musrenbang berjalan sesuai mandat yang diberikan, seperti perundang-undangan yang menjamin keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam semua proses penganggaran. Hal itu menyangkut adanya keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga penentu kebijakan anggaran (Panitia Anggaran Legislatif, Tim Anggaran Eksekutif, Satuan Kerja Pemerintah Daerah atau Dinas). Regulasi yang tegas disertai pengawasan yang ketat agar dilaksanakan dengan sepenuhnya. Mendorong keterwakilan perempuan dalam jabatan-jabatan strategis, mulai tingkat paling bawah seperti RT, RW, dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) menjadi hal yang penting dalam proses rencana yang lebih baik. Selama ini, yang terjadi adalah jabatan-jabatan di tingkat RT/RW masih didominasi laki-laki. Tidak adanya representasi perempuan dalam Badan Permusyawaratan Desa (BPD), menjadi persoalan tersendiri. Mendorong adanya UU Desa yang memuat kebijakan afirmasi mengenai partisipasi perempuan, kaum diffabel dan masyarakat marjinal dalam pemerintahan desa, adalah hal yang harus dilakukan. Menciptakan forum-forum lain di luar Musrenbang menjadi strategi yang dapat dilakukan. Hal itu untuk mendekatkan pemerintah kepada masyarakat. Melihat bahwa Musrenbang adalah forum tahunan yang sangat singkat. Adanya forum-forum itu dapat mengali apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Perlu dilakukan agar hasil Musrenbang tak hanya sekadar forum untuk melegalisir draf rencana kerja yang disiapkan, tetapi benar-benar aspirasi dari masyarakat. Hambatan-hambatan yang terjadi dalam pembangunan, terutama dalam menciptakan rencana yang partisipatif dan pro rakyat dapat diatasi dengan membangun sinergi antar berbagai pihak. Eksekutif, legislative, dan masyarakat umum merupakan entitas yang tidak terpisahkan, sehingga dibutuhkan sinergi di antara ketiganya dalam proses pembangunan.

3.3. Perbaikan Tatakelola Musrenbang Musrenbang dilakukan setiap tahun sebelum memasuki tahun anggaran baru. Musrenbang Kabupaten diawali dengan musrenbang di tingkat desa, dan selanjutnya di tingkat kecamatan. Pada tahap ini, tiap kecamatan akan melaksanakan Musyawarah Perencanaan Pembangunan di tingkat Kecamatan, yang akan menampung aspirasi masyarakat yang diusulkan dan diakomodir melalui program dan kegiatan yang dilakukan masing-masing Desa yang bersangkutan. Usulan disusun dan disampaikan secara berjenjang/bertingkat mulai dari level RT/RW, Desa/Kelurahan dan Kecamatan. Data usulan semua Desa/Kelurahan yang terkumpul, akan digodok dan dimusyawarahkan. Hasil musyawarah kecamatan dituangkan dalam satu dokumen berupa daftar usulan kegiatan Kecamatan, yang akan diusulkan ke Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat Kabupaten. Pada tahap Musrenbang Kabupaten, semua aspirasi yang masuk melalui Musrenbang Kecamatan akan ditampung bersamaan dengan usulan kegiatan tiap Satuan Kerja Perangkat

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

Daerah (SKPD). Forum ini membahas usulan–usulan yang masuk, juga sarana dan fasilitas melakukan koordinasi Kecamatan dengan SKPD yang bersangkutan, khususnya untuk sinkronisasi terhadap usulan-usulan kegiatan tiap kecamatan yang akan diakomodir dalam program dan usulan kegiatan SKPD terkait. Usulan kecamatan akan dikelompokkan dan disesuaikan dengan jenis kegiatan SKPD yang berwenang mengakomodir usulan tersebut. Pada tahap ini, SKPD melakukan verifikasi terhadap usulan kecamatan sebelum dituangkan dalam daftar usulan kegiatan SKPD. Program/usulan kegiatan yang lolos pada tahap verifikasi akan dituangkan dalam Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat daerah (Renja-SKPD). Usulan yang lolos dalam verifikasi tahap ini dituangkan dalam rancangan dokumen Rencana Kerja Pemerintah Daerah (Rancangan-RKPD) untuk diusulkan dan dibahas oleh Eksekutif (Pemerintah Daerah) dengan Legislatif (DPRD). Hasil pembahasan yang telah disetujui akan disyahkan menjadi Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), dengan rencana kerja ini akan memiliki kekuatan Hukum sesuai peratuan perundang-undangan yang berlaku. RKPD ini oleh Pemerintah Daerah akan dijadikan sebagai salah satu dasar penyusunan rencana Kebijakan Umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (KUA). Proses Musrenbang yang berbelit-belit dan terlalu panjang membuat masyarakat enggan untuk mengikuti forum tersebut. Banyaknya usulan yang tak diakomodir menjadikan masyarakat tidak lagi ingin bepartisipasi dalam Musrenbang, karena menganggap itu hanya buang-buang waktu. Perlu mekanisme yang lebih singkat dan jaminan pasti bahwa apa yang menjadi aspirasi masyarakat dan yang diputuskan secara bersama-sama dapat diakomodir. Transparansi menjadi hal yang penting dilakukan agar masyarakat terus mengikuti sampai mana usulan yang sudah diajukan. Banyak media yang dapat digunakan misalnya papan pengumuman, dan lain sebagainya. Selama ini, informasi Musrenbang tidak banyak diketahui oleh masyarakat luas, hanya dikonsumsi kalangan tertentu. Menyediakan media informasi yang dapat diakses semua kalangan, terutama di tingkat desa, menjadi satu stategi yang bisa dilakukan agar proses Musrenbang dapat diketahui oleh semua orang.

3.4. Nilai Strategis Musrenbang Musrenbang adalah forum resmi yang mempertemukan masyarakat dan pemerintah. Kegiatan itu sangat strategis sebagai dasar merumuskan, memutuskan dan membangun, sinkronisasi serta sinergi maupun komunikasi antar pemangku kepentingan dalam mencari alternatif penyelesaian berbagai masalah pembangunan daerah, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Prinsip penyelenggaraan Musrenbang adalah koordinasi dan konsultasi publik pelaku pembangunan, baik pemerintah daerah, masyarakat, perguruan tinggi, dunia usaha dan stakeholder pembangunan daerah terhadap rancangan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Dengan demikian, penyusunan rancangan RKPD dimaksud sesuai dengan kesepakatan yang dihasilkan melalui forum musyawarah sebelumnya, yang dilakukan secara berjenjang mulai dari tingkat Desa/Kelurahan dilanjutkan ke tingkat Kecamatan, kemuadian Kabupaten/Kota hingga ke provinsi. Dengan demikian, program yang dihasilkan betul-betul sinergis dan terpadu antara Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten dan Kota, dengan tetap mempertimbangkan potensi dan sumber daya yang dimiliki, serta tentu nanti hasilnya berdampak besar bagi kemajuan daerah.

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

Selama ini, Musrenbang identik dengan wilayah birokrat, maka masyarakat harus merebutnya dan bersinergi dengan pemerintah untuk merencananakan pembangunan secara bersama-sama agar hasilnya benar-benar merupakan aspirasi masyarakat. Dengan begitu, hasil pembangunan akan dapat dirasakan semua kalangan.

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1. Kesimpulan

Rendahnya tingkat partisipasi perempuan dalam Musrenbang dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya budaya patriarkhal yang masih kuat dan menomorduakan perempuan. Selain itu, kebijakan yang mengatur partisipasi perempuan dalam Musrenbang tidak diimplementasikan dengan baik. Dari sekian banyak kebijakan yang terkait dengan Musrenbang, hanya 3 kebijakan yang secara tegas mengatur partisipasi perempuan dalam Musrenbang:

SEB Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam negeri Nomor 0008/M.PPN/01/2007 dan 050/264A/SJ.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah.

Permendagri No. 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa. UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, sebagai kebijakan payung pelaksanaan Musrenbang tidak tegas berbicara mengenai keterwakilan mereka. Keterwakilan perempuan dimasukkan dalam keterwakilan masyarakat, walaupun tidak tegas mengatakan siapa itu “masyarakat”. Dalam tiga kebijakan yang tegas mengatur keterwakilan perempuan, status hukumnya tidak kuat atau berada dibawah Undang-Undang, karena hanya peraturan menteri dan Surat Edaran Bersama. Selain itu, kebijakan tidak mengalami pembaruan, misalnya Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri Nomor 0008/M.PPN/01/2007 dan 050/264A/SJ tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Musrenbang Tahun 2007, yang lahir karena menunggu terbitnya peraturan pemerintah tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah dan Peraturan Pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2006 yang mengatur tata-cara penyusunan dokumen perencanaan dan penyelenggaraan Musrenbang mulai dari tingkat desa/kelurahan hingga tingkat nasional. Setelah lahirnya Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara, Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah pun tidak tegas mengatur partisipasi perempuan dalam Musrenbang. Dilihat dari bagan dibawah ini, tampak bahwa posisi SEB ada di paling bawah. Artinya, status hukum SEB tidak kuat dibandingkan kebijakan di atasnya. Kesepakatan Internasional harusnya juga dilihat untuk mengacu pada pembuatan undang-undang yang lahir dikemudian, namun sering kebijakan tersebut diabaikan.

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

4.2. Rekomendasi No Isu Bentuk Strategi Aktor yang disasar

(Institusi/Lembaga/) Siapa Berperan dalam kerja Advokasinya

I. Kebijakan 1. Review kebijakan UU No 25 th 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

2. Pendampingan Revisi UU 32 th 2004 tentang Pemerintahan Daerah

3. Memperkuat juklak juknis pelaksanaan Musrenbang

4. Memperkaya Surat Edaran Kepala daerah

5. Sinergi antara pusat dan daerah (I)

6. Undang-undang Statistik (Kebijakan tentang data terpilah)

Bappenas, Kemendagri, Kemenkeu, Kepala Daerah Bappeda, SKPD

FITRA ASPPUK, PATTIRO

II. Mekanisme dan Prosedur

1. Identifikasi problem untuk pra musrenbang

2. Memperkuat dan mengembangkan organisasi perempuan di tingkat lokal

3. Meningkatkan kapasitas teknokratis anggaran di kelompok perempuan

KePPak Perempuan, KPI, LBH APIK

III. Output musrenbang (dokumen perencanaan dan anggaran)

1. Mengawal SKPD, sinergi SKPD

2. Mendorong dibukanya akses RAPBD

3. Mendorong kebijakan/peraturan yang pasti

4. Lobby 5. Monitoring hasil

musrenbang 6. Transparansi anggaran 7. Penguatan Civil society

--SDM (II)

BPD, DPR/D

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

Selain itu, ada beberapa tambahan lainnya:

1. Meminta pemerintah untuk mensosialisasikan Musrenbang secara merata sampai ke tingkatan paling bawah, yakni tingkat Kelurahan;

2. Meminta pemerintah untuk meningkatnya pengawasan dan evaluasi dalam proses Musrenbang di daerah;

3. Mendorong mekanisme kontrol terhadap implementasi pengarusutamaan gender di setiap SKPD;

4. Meminta Kemendagri untuk melakukan monitoring terhadap implementasi Permendagri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG di Daerah;

5. Meminta pemerintah mmebuat mekanisme pengaduan atas hasil usulan yang tidak sesuai dengan usulan yang diajukan oleh masyarakat yang sudah diputuskan dalam Musrenbang;

6. Mendesak pemerintah melakukan peningkatan kapasitas secara merata terkait Musrenbang di jajaran pemerintah mulai dari pusat sampai tingkat desa/keluarah;

7. Meminta pemerintah membuat regulasi yang mengatur partisipasi perempuan ddi dalam Musrenbang dari tingkat desa/kelurahan sampai tingkat nasional;

8. Meminta pemerintah untuk membuat peraturan untuk memperluas ruang gerak Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KP3A), khususnya di Aceh Utara, agar bisa mengawal usulan perempuan dalam Musrenbang sampai tingkat pusat;

9. Mendorong KNPP dan PA untk memberikan rekomendasi kepada provinsi untuk memaksimalkan kerja pemberdayaan perempuan dan anak terutama untuk wilayah Sulawesi Selatan.

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

Daftar Pustaka

1. Bappenas, Evaluasi Satu Tahun Pelaksanaan RPJMN 2010-2014, Jakarta, Bappenas, 2011

2. Buchori , Chitrawati dan Cameron, Lisa, Kesetaraan Gender dan Pembangunan di Indonesia, The World Bank, Maret 2006

3. Center for International Forestry Research, Governance Brief, Nomor 34(b) Juni 2007, Center for International Forestry Research, Juni 2007

4. Djohani, Rianingsih, Panduan Penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa, Bandung, Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat, 2008

5. Hardjasoemantri, Koesnadi, Good Governance dalam Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia, Makalah Untuk Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII di Bali, tanggal 15 Juli 200

6. Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Modul Pelatihan Fasilitator: Perencanaan dan Penganggaran Daerah yang Responsif Gender, Jakarta, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2011

7. Mudayat, aris arif (et.all), Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender, Jakarta, Women Research Institute, 2006

8. Seknas FITRA, Kinerja Pengelolaan Anggaran Daerah 2009: Study di 41 Kabupaten/Kota di Indonesia, Jakarta, Seknas FITRA, 2010

9. UNDP Communications Officer, Risalah Desentralisasi, UNDP, May 2009 10. Usman, Syaikhu (et.all), Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Kasus

Tiga Kabupaten di Sulawessi Utara dan Gorontalo, Jakarta, Lembaga Peneltian SMERU, Juli 2011

11. Venny, Adriana, Memberantas Kemiskinan dari Parlemen: Manual MDGs untuk Anggota Parlemen di Pusat dan Daerah, Jakarta, Kemitraan, 2010

12. Yayasan Jurnal Perempuan, Jurnal Perempuan Edisi 46: Sudahkah Anggaran Kita Berperspektif?, Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan, 2006

MENELISIK PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSRENBANG: PAPER KAJIAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN TERKAIT

Ucapan Terima Kasih Kepada rekan-rekan yang telah hadir pada Lokakarya “Mengkaji Kebijakan Terkait Partisipasi Perempuan dalam Musrenbang” 10 November 2011 di Jakarta diucapkan terima kasih, demikian pula kepada mereka yang sudah memberikan input untuk kajian ini.

1. Sofia Kartika 2. Iskandar Saharudin (PATTIRO) 3. Yenni Sucipto (Seknas FITRA) 4. Ramadhaniati (ASPPUK) 5. Antonius Wiwan Koban (The Indonesia Institute) 6. Khuzaiwas A. (KP3A Aceh Utara) 7. Titi Sumbung (PD Politik) 8. Veni Siregar (LBH APIK Jakarta) 9. Among (LBH APIK Jakarta) 10. Ratna Batara Munti (Federasi APIK) 11. Mahyudin (LP3ES) 12. Hendrik R. (YAPPIKA) 13. Hertomo Heroe (KNPP &PA) 14. Ita F. Nadia (UN Women) 15. Ridwan Faridz (SAPA Institute) 16. Yolanda Panjaitan (Puskapol FISIP UI) 17. Anton P. (DEMOS) 18. Poppy Badi (Kementerian Kesehatan) 19. Ah Maftuchan (Prakarsa) 20. Yusriani Manurung (PATTIRO) 21. Melisa (PATTIRO) 22. Kencana Indriswari (KePPaK Perempuan) 23. Magdalena Sitorus (SAPA Indonesia) 24. Syamsiah Ahmad (PD Politik) 25. Novia Purnamasari (OXFAM GB) 26. Irmia Fitriyah (OXFAM GB) 27. Lutri Huriyani (OXFAM GB)