Menatapmu Itu Seperti Merasakan Kesejukan Ditengah Terik Matahari

40
Menatapmu itu seperti merasakan kesejukan ditengah terik matahari Itu hanya menatapmu. . . Dan aku mulai memejamkan mata ketika semilir angin berhembus menyejukkanku. . Ketika aku tersadar untuk membuka mata dan bangun dari tidurku, Kulihat dirimu seperti sebuah angan yang tergantung di atas sana. .

Transcript of Menatapmu Itu Seperti Merasakan Kesejukan Ditengah Terik Matahari

Page 1: Menatapmu Itu Seperti Merasakan Kesejukan Ditengah Terik Matahari

Menatapmu itu seperti merasakan kesejukan ditengah terik matahari

Itu hanya menatapmu. . .

Dan aku mulai memejamkan mata ketika semilir angin berhembus menyejukkanku. .

Ketika aku tersadar untuk membuka mata dan bangun dari tidurku,

Kulihat dirimu seperti sebuah angan yang tergantung di atas sana. .

Page 2: Menatapmu Itu Seperti Merasakan Kesejukan Ditengah Terik Matahari

Mata Itu...Aku masih memandang dibalik tirai jendela kelasku. Mataku terlalu sulit untuk

mengedip dari bayangannya. Kata teman sekelasku, aku adalah penguntit. Lebih tepatnya tak

berani berbicara langsung atau hanya sekedar menyapanya. Aku terlalu malu saja.

“ Ta... masih betah liatin Vino dari sini?,” celoteh Freya yang tengah memasang

wajah manyun untuk dipotret dengan kamera 360 miliknya. Aku menoleh dan sesekali

meliriknya. “ Kenapa sih Ta, ngeliatin aku juga? Vino tuh di sana!.” Telunjuknya menunjuk

ke luar kelas. Di tempat cowok yang bernama Vino, yang berdiri sambil bergulat dengan

teriknya matahari siang itu. Dia menggiring bola di tengah lapangan dengan seragam yang

mulai basah oleh cucuran keringat.

“ Ta, samperin sana! Masa tiap hari diliatin doang.” Freya meledekku. Dia mengibas

– ngibaskan cover buku ke arahnya. Aduh, harus berapa kali aku jelaskan padamu Frey.. aku

belum siap jujur tentang perasaanku pada Vino. Aku... lah. Kok Vino main hilang aja. Aku

celingukan mencari sosok Vino di lapangan. Mataku tak hentinya menerawang bagaikan

sinyal yang mencari radar yang barusan hilang.

“ Aduh! Tata. Tuh kan, si Vino ngilang. Kamu sih kebanyakan mikir,” ledek Freya

lagi. “ Aku malu Frey.. tapi pengen banget aku bisa deket dengan dia.” Aku akuin itu.

Ngefans berat sama Vino sejak penampilannya dalam ajang perlombaan futsal antar kelas

sewaktu dies natalis sekolah setahun lalu. Kami beda kelas. Tapi sama – sama kelas 2

sekarang. Kelasnya terletak di belakang taman tengah sekolah. Sedangkan kelasku,

berlawanan arah dengan kelasnya.

“ Kamu ngapain sih nyalahin aku terus! Padahal dari tadi aku pantengin Vino terus.

Gara – gara celotehan kamu tuh dia jadi ilang.” Freya mengedipkan salah satu matanya. Dia

seakan memberitahuku tentang sesuatu. Aku malah memandangnya aneh. Masa dia kelilipan

sampai kayak gitu. Matanya kedip – kedip tak beraturan. Kepalanya juga sedikit menggeleng.

“ Apa?,” tanyaku tanpa suara. Freya tetap pada aktivitas semula.

Tak sengaja aku menoleh ke belakang. ASTAGA!! Mulutku membentuk huruf o dan

mataku melotot seperti ketemu setan yang menakutkan. Aku masih berdiri di atas kursi dalam

keadaan terkejut setengah mati. Ngapain cowok itu duduk di teras bawah jendela kelasku.

Page 3: Menatapmu Itu Seperti Merasakan Kesejukan Ditengah Terik Matahari

Apa dia menyadari jika aku ada dibalik jendela itu? Aku mencoba turun perlahan. Tapi

apesnya aku malah terjatuh.

BRUKKK!!! Kursi yang kujadikan tumpuan berdiri tadi ikut oleng dan menjatuhkan

tubuhku ke lantai. Freya meletakkan hapenya. Dia sontak berdiri lalu cekakaan tanpa

membangunkanku. Aku langsung melihat luar jendela. Oh my God! Vino langsung berdiri

dan melihat ke dalam kelasku. Kuambil cover buku yang tadi sempat dipakai Freya untuk

kipasan. Kupakai untuk menutupi mukaku sambil sesekali mengintip apakah Vino sudah

pergi atau belum.

Huffttt... aku mengelus dada. Akhirnya Vino pergi juga dari situ. Aku mencoba

bangkit tapi punggungku sakit. “ Kamu kayak orang tua aja, jalan megangi punggung. Encok

buk?.” Freya cekikikan melihatku berjalan memegangi punggung dan sedikit membungkuk. “

Kamu sih! Kenapa nggak bilang kalau Vino di situ?.”

“ Lah! Tadi aku kan bilang. Masa nggak sadar sama kedipan mataku? Udah aku pake

geleng – geleng segala tadi.” Freya membantuku berjalan menuju kursi. “ Kan tadi aku kira

kamu kelilipan.”

Selalu saja kayak gini kalau ketemu Vino. Ujung – ujungnya pasti aku kena sialnya.

Tapi kenapa hal ini malah terjadi padaku. Bukan pada cewek – cewek yang menjadi

penggemar gilanya itu sih?!

“ Kamu gimana pulangnya? Aku nggak bisa kalo nganter. Apa bareng Haris aja?.”

Freya mencoba menawarkan berbagai alternatif untukku. Aku sendiri malah bingung. Masa

naik angkot dalam keadaan begini? Bareng Haris? Dia pasti sibuk dengan praktek biologinya

di lab. Kalau dipikir, aku kuat sih pulang sendiri. Ini nggak terlalu sakit. Tapi...

Kenapa aku nggak bareng Kenan aja? Jam segini pasti kuliahnya udah selesai. Aku

mengeluarkan hape dari tas ranselku. Kupencet angka – angka yang membentuk satuan

nomer telepon. Kukirimi dia pesan.

Ken, kamu pulang kapan?

Sent to 087645356xxx

“ Kenapa ya, kalo kamu ketemu Vino pasti kayak gini. Dari sepengetahuanku, ini

yang ke tiga kalinya.” Ternyata Freya begitu awas denganku. Benar apa yang barusan dia

Page 4: Menatapmu Itu Seperti Merasakan Kesejukan Ditengah Terik Matahari

katakan. Aku selalu kena sial kalau ketemu Vino. Aku ingat, pertama kali aku ngefans dia.

Berada di luar lapangan futsal, memegangi jaring – jaring pembatas lapangan sambil sesekali

melirik dan tersenyum nggak jelas, sementara yang lain teriak – teriak nama Vino dari

berbagai sudut lapangan.

Saking asyiknya mandangin Vino, aku tak sadar jika bola futsal itu melayang ke

arahku. Bola itu mengenai dahiku hingga bayangan hitam lewat menelan cahaya terang yang

sempat kulihat. Aku tak sadar apa yang terjadi setelah itu. Yang pasti aku mendapati diriku di

kursi panjang dikelilingi Haris, Freya dan Vino juga.

Orang pertama yang kupandangi adalah Vino. Dia tersenyum dan menanyakan

keadaanku. “ Kamu nggak apa – apa?.” Aku hanya menggeleng tanpa mulutku bisa berkata

sesuatu. Dari arah lapangan, Brian berteriak memanggil Vino. “ Woi!! No! Buruan!.” Vino

langsung menghampiri panggilan Brian dan meninggalkanku dengan jejak kehadirannya.

“ Kamu kok bisa pingsan tadi? Sakit emang dicium bola sampe gitu?,” Haris kepo.

Penyakit keingintahuannya cukup besar. Kadang malah membuatku jengkel dengan rasa

penasarannya yang menurutku aneh dan terlalu hiperbola. “ Kamu penasaran banget sih Ris?

Pengen dicium juga?,” ledekku sambil mengusap dahiku yang kemerahan.

“ Ya nggaklah Ta. Mana berani tuh bola dateng ke aku. Hahaha..” tawanya sambil

memegangi perut. Dia mana bisa main futsal sih. Lari 50 meter aja sudah ngos – ngosan

kayak lari 1000 meter. Emang badannya aja yang digedhein.

Aku jadi ingat waktu Haris bilang padaku dia sedang diet. Katanya dia mulai jenuh

dikatain gendut sama teman – temannya. Semenjak itu dia memutuskan untuk diet. Dia

menahan diri untuk tak memakan makanan yang dia favoritkan. Tapi masalahnya hampir

semua jenis makanan menjadi favoritnya. Akhirnya dia hanya makan roti dan selai layaknya

bule rambut pirang berbahasa planet luar. Sayang dan sayang banget kebiasaannya itu hanya

bertahan selama seminggu. Dia tak kuat menahan godaan makanan lezat yang melambai –

lambaikan aromanya untuk masuk dalam lubang hidungnya.

Hampir lupa. Itu kejadian pertama kali aku kena sial gara – gara Vino. Kesialanku

yang kedua adalah ....

Hapeku bergetar. Satu pesan diterima

From Kenan

Page 5: Menatapmu Itu Seperti Merasakan Kesejukan Ditengah Terik Matahari

Sekarang. Knp?

Sesegera mungkin aku mengetik cepat balasan untuk Kenan. Untunglah dia juga pulang.

Siapa tahu aja mau diajak bareng.

Aku nebeng. Abis jatoh nih. Sakit. .

Sent to Kenan

Beberapa lama kemudian Kenan sms.

Tungguin aku di gerbang. Kamu lama, aku tinggal!

From Kenan

Aku bergegas dari kursi. Mengambil tas dan bersiap keluar kelas. Tangan Freya

menghalangiku. Matanya menyusuri setiap gerak wajahku.

“ Mau ke mana? Bukannya Haris ada praktek? Kamu mau nungguin dia?.”

“ Nggak. Aku nungguin Kenan. Bentar lagi dia jemput aku.” Penjelasanku sempat

membuat mulut Freya membentuk huruf a kemudian tersenyum nggak jelas.

“ Kak Kenan mau ke sini? Jemput kamu?,” tanyanya lagi untuk memastikan bahwa

omonganku benar. Aku menyuruh Freya minggir dari depanku. Tapi dia mengalangi jalanku.

“ Kalau gitu, aku anter ke gerbang ya.” Matanya mengedip genit. Dia seperti

penggoda yang sedang merayu seseorang untuk mengikuti kemauannya. Aku mulai curiga

maksud dibalik kabaikannya.

“ Nggak perlu. Aku bisa sendiri. Bukannya kamu ada acara tadi?,” tanyaku

meliriknya cepat. Dia memutar bola mata sambil berpikir sejenak sebuah alasan.

“ Ah! Itu masih nanti. Yok!.” Freya langsung menggandeng tanganku untuk

mengikutinya menuju gerbang. Pasti ini ada maunya. Semangat banget dia mengandengku.

Apa dia tak sadar kalau yang digandeng tangannya ini sedang mengalami sekarat punggung?

Jadi jalannya harus pelan bukan jalan setengah lari begini. Punggungku kayak patah. Aduh!

“ Freya! Pelan dong jalannya! Kamu nggak sadar kalo aku...” belum selesai aku

menyelesaikan perkataanku dia langsung meneruskannya. “ Apa? Encok? Oh. Lupa mbah.

Page 6: Menatapmu Itu Seperti Merasakan Kesejukan Ditengah Terik Matahari

Cucumu ini bakal ati – ati kok mbah. Hehe.” Dia memelankan jalannya sambil cengengesan

melihatku. Rasanya seperti mengece.

Kenan sudah nangkring di atas motor CBR hitamnya. Dia terlihat gagah mengendarai

itu. Apalagi helmnya tuh mirip punya pembalap dunia sekelas Valentino Rossi.

“ Jatuh dari mana?,” tanya Kenan membuka kaca helm yang sempat menutupi

wajahnya yang bersih. Mulutku masih melongo akan mengeluarkan kata, malah didahului

oleh Freya. Lagi – lagi dia yang menyela. Aku jadi curiga jika ini modusnya buat bisa dekat

dengan Kenan.

“ Biasa kak. Si Tata kan banyak ulah.” Freya cengengesan menepuk ringan bahuku.

Apa coba maksudnya? Pasti nyari perhatiannya Kenan. “ Ya elah Ta! Kamu kapan berubah

sih?! Cewek kok banyak tingkah. Makanya...” Jika nggak aku stop omongan Kenan pasti ke

mana – mana. Dia paling suka menceramahi aku. Bisa tujuh hari tujuh malam loh dia kuat

kayak gitu. Sampai panas telingaku dengarnya. Dan aku hafal kata selanjutnya yang akan

keluar jika aku diam seperti ini.

“ Ta! Kamu yang sensitif dikit dong sama telinganya. Masa dibilangin gitu masuk

telinga kanan keluar telinga kiri.” Itu kalimat yang sering Kenan katakan padaku. Sementara

Kenan asyik memarahiku, Freya hanya senyam – senyum sendiri memperhatikan Kenan yang

terlihat semakin ganteng saja dimatanya. Oh God! Beneran jatuh cinta nih kayaknya si Freya.

“ Iya Ken. Maaf. Emang tadi aku nggak ati – ati aja. Sekarang pulang yuk. Nggak

tahan nih sama sakitnya. Pengen cepat tepar di kasur.” Aku langsung naik ke belakang motor

Kenan. Sumpah! Tinggi banget motornya. Aku pegangan bahunya.

“ Kak. . aku boleh ikut nggak? Hehe.” Freya antusias juga rupanya.

“ Nggak!! Enak aja ikut. Motornya aja nggak muat,” ucapku ketus. Emang dasar

Freya caper banget kalau sama Kenan.

“ Yah. . aku kan juga mau bareng pulang Ta. Kita kan searah. Apa salahnya

barengan.” Freya tak mau mengalah. Yang aku tahu dia itu nggak hanya niat pulang doang,

tapi juga berduaan sama Kenan.

“ Eh. . eh! Gini deh. Kalian berdua naik angkot aja. Trus aku tunggu depan rumah

Freya.” Ide gila Kenan muncul disaat yang tak tepat. Tahu gitu kenapa dia menghampiriku

Page 7: Menatapmu Itu Seperti Merasakan Kesejukan Ditengah Terik Matahari

sampai sekolah segala? Hari ini Freya memang membuatku jengkel bukan main. Tadi sama

Vino. Sekarang giliran Kenan.

“ Nggak bisa! Punggung aku sakit. Kamu tega ya Ken, ngebiarin aku makin

kesakitan. Kamu jahat sama aku! Trus ngapain kamu jemput aku segala? Kamu lagi Frey,

tadi bilangnya nggak mau nganterin aku pulang. Ada acaralah. Mentang – mentang di sini

ada Kenan, jadi niat nganter aku. Plin plan banget sih! Aku turun aja!.” Aku turun dari motor

tapi Kenan melarangnya. Dia tertawa puas setelah mengerjaiku. Itu kebiasaan terburuknya.

Freya yang tak tahu maksud tertawaan Kenan, ikut hanyut dalam tawaan. Serasa

menghadapi orang gila. Lihat saja mereka tertawa di atas penderitaanku. Aku korban bully-

an.

“ Mukanya nggak usah kusut juga kale..” Kenan menyenggol pinggangku. “ Jadi

pulang nggak?.” Tanya Kenan bersikap sok peduli. Aku hanya mengangguk dengan tatapan

tajam. Kenan menyalakan mesin motornya. Dia gas berulang. Suaranya besar.

Burm... bermmmm... beerrmmm....

“ Yah... aku beneran nggak diajak?,” Freya menampakkan wajah melasnya. Aku

yang gantian tertawa sambil melambaikan tangan padanya. Da.. Freya, belum rejekimu deket

sama Kenan.

3 Maret 2010

Namanya Alvino Prestiyan. Lebih tepatnya dia sering dipanggil Vino. Badannya

cukup atletis untuk seorang yang gemar olahraga seperti dirinya. Kulitnya kuning langsat,

matanya belo bagaikan bola bekel, alisnya tipis, bibirnya kecil kemerahan seperti diolesi

lipstik natural. Dia tinggi semampai. Mungkin jika disandingkan aku, tinggiku hanya sejajar

dengan telinganya. Hobinya bermain futsal. Bisa dibilang, futsal adalah pacarnya yang paling

setia. Setiap hari tak bisa berhenti untuk tak bermain dengan bola kecil yang permainannya

sering dinamai sepak bola mini.

Kalian tahu, aku seorang penguntit sejati. Aku tahu semua tentang Vino. Tapi dia tak

pernah tahu siapa aku. Aku lebih suka menjadi screet admire. Hampir setiap hari aku

pantengin layar hapeku untuk membuka halaman facebook, mengawasi apapun yang dia

Page 8: Menatapmu Itu Seperti Merasakan Kesejukan Ditengah Terik Matahari

lakukan. Aku merupakan penyuka setia status – statusnya. Pokoknya aku nggak pernah absen

deh memberikan jempolku ini untuk setiap tulisan yang dia pos pada akunnya.

“ Eh Ta, kak Kenan udah pulang belum?,” tanya Freya cengengesan. Sudah bisa

ditebak kenapa dia menanyakan Kenan padaku. Pasti ada modus yang tersembunyi. “ Udah

kali. Kenapa nggak kamu sms aja. Malah tanya aku. Mana aku tahu sih,” tukasku agak bete.

“ Kamu kan adeknya.” Freya mengedipkan mata berulang. Dia melebarkan senyum

dan menyenggol pinggulku genit. “ Emang mau ikut aku pulang kalau Kenan ada di rumah?,”

aku melirik Freya cepat. Dia mengangguk dan menarik tanganku untuk mengikutinya menuju

parkiran motor. Baru dua langkah dari tempatku berdiri tadi, aku tak sengaja menabrak

seseorang yang berjalan disampingku. “ Maap.. maap,” ucapku tergesa. Aku sempat menoleh

orang itu. Dan kalian tahu siapa dia?

Mataku terbalak sesaat dan aku mematung. Genggaman tangan Freya lepas. Mungkin

dia belum sadar karena terus saja mengomel sepanjang koridor sekolah. “ Nggak apa – apa

kok Ta,” serunya melebarkan senyum.

Apa yang kudengar barusan? Ta? Vino tahu namaku dari mana? Aku mulai salah

tingkah. “ Ehmm...” pikiranku beku sesaat. Aku bingung harus ngomong apa pada Vino. Aku

berusaha berpikir untuk memunculkan ide. Dan akhirnya hal itu sia – sia. Freya menghampiri

kami sambil sesekali bersikap sok akrab pada Vino.

“ Eh.. ada Vino. Mau pulang Vin?,” tanyanya sambil melirikku. “ Nggak. Aku masih

ada latihan futsal buat tanding senin besok. Kalian nonton ya,” ajaknya. Mulutku seakan

membentuk huruf a menjawab ajakan Vino, Freya malah menyerengai duluan.

“ Jam berapa Vin?,” tanyanya sok penasaran. “ Jam 3an. Di lapangan futsal depan

kantor pos,” jelasnya sambil bergegas meninggalkan perbincangan ini. “ Oh ya, aku duluan

ya Ta. Udah ditungguin anak – anak.”

Nggak salahkan pendengaranku kali ini? dia beneran menyebut namaku. Wajahku

terasa berseri – seri. Aku senyam – senyum tak karuan. Mataku terus saja memandang tubuh

Vino yang semakin hilang ditelan dinding – dinding bangunan sekolah. Freya

menggelitikiku. Dia meledekku habis – habisan. Terserah deh Frey.. telingaku sekarang tak

lagi mau mendengar perkataanmu. Yang ada aku sekarang sedang terngiang – ngiang pada

panggilan Vino tadi.

Page 9: Menatapmu Itu Seperti Merasakan Kesejukan Ditengah Terik Matahari

***

Kurebahkan tubuh di kasur yang empuk dan ternyaman ini. Kupejamkan mata dan

kubayangkan semua hal yang terjadi hari ini. Mulai dari bangun tidur, menjadi penguntit

sampai bercakap dengan Vino. Sumpah! Senang banget hari ini.

“ Ta! Kamu di dalam kan? Bukain pintunya dong! Aku mau ambil laptop,” seru

Kenan mengetok pintu kamarku berulang kali. “ Ta! Aku tahu kamu udah pulang. Jangan

bohongin aku. Cepet buka pintunya! Atau aku dobrak nih?,” ancam Kenan. Ini kebiasaan

buruknya. Nggak pernah membiarkanku istirahat dengan nyaman. Selalu saja ada hal yang

dia lakukan untuk menggangguku.

Aku melangkah menuju pintu. Kuputar kunci sampai pintu terbuka. Kenan berdiri

tegap dan langsung menerobos masuk kamarku. “ Ken! Aku juga butuh. Buat apa sih kamu?

Bukannya kamu udah janji mau pinjamin ke aku?.” Dia segera mengambil laptop yang

tergeletak di meja belajarku. Mukaku manyun. Bibirku monyong ke depan. “ Iya sih. Tapi

aku butuh banget. Ntar dek ya, aku kasih ke kamu lagi.” Dia ngeloyor keluar kamar.

10 Januari 2013

Aku hilang kontak dengan Vino. Kabar terakhir yang aku dapatkan, dia mendapat

beasiswa dari permainan futsalnya. Dia dapat beasiswa dari sebuah perusahaan terkemukan di

Indonesia. Nomernya sudah tak aktif lagi. Teman – temannya juga tak banyak yang tahu

nomer telepon baru Vino. Apa bukan jodoh? Tiga tahun aku menyukainya. Sekarang? Aku

malah kehilangan jejaknya.

Lihat kabar dari postingan status facebook terakhirnya, dia diterima di sebuah

universitas di Bandung jurusan teknik sipil. Aku turut senang. Ini cita – citanya dari dulu

untuk menjadi pemain futsal nasional dan sekolah di Jakarta. Aku memang tak terlalu dekat

dengan Vino. Hanya sebatas kenal saja. Tapi, teman sekelasnya yang bernama Haris banyak

cerita padaku. Kebetulan Haris adalah teman sebangku Vino. Aku mengenal Haris karena dia

adalah teman SDku.

Page 10: Menatapmu Itu Seperti Merasakan Kesejukan Ditengah Terik Matahari

“ Aku belum dapat kabar dari Vino. Facebooknya juga jarang aktif,” curhat Haris

padaku. Dia terlihat sedikit murung. “ Ah kamu Ris! Baru ditinggal Vino bentar aja udah

galau setahun,” celotehku yang membuat Haris melotot padaku. “ Nggak gitu Ta.

Masalahnya aku ada proyek bareng dia.” Haris tersenyum sambil menunjukkan ponselnya

yang bergetar.

“ Proyek apaan? Kok kamu nggak cerita?.” Aku mulai penasaran. Tumbenan Haris

punya proyek. Berdua lagi sama Vino. “ Kamu kepo deh! Ini masalah cowok. Kamu belum

cukup gender buat tahu.” Haris menjulurkan lidah kemudian tertawa cekikikan. Sepertinya

dia telah puas menertawakanku.

“ Ketawa terus! Sampe pagi. Eh, tapi kok Vino tahu namaku? Jangan – jangan kamu

lagi yang ngasih tahu?,” aku berusaha memancing Haris untuk menjawab rasa penasaranku.

Dia diam seakan menyembunyikan sesuatu. Atau mungkin sedang memikirkan sesuatu untuk

diungkapkan sekarang?

“ Ya.. kan niat awal aku ingin nyomblangin kalian. Siapa tahu aja jodoh.” Ucap Haris

jujur sambil cengengesan. “ Trus bilang apa aja tentang aku? Pasti kamu jelek – jelekin aku

deh.” Aku memasang muka manyun. Melirik wajah Haris cepat. “ Hahaha.. ya.. aku kan

harus jujur. Aku bilang kalo kamu... naksir Vino.” Haris cengengesan lagi. Mukanya buat aku

gengges.

“ Serius? Abis aku! Malu – maluin aku tahu.”

11 Januari 2013

Suara radio itu mengingatkanku tentangnya. Petra – Semua tentang dirimu.

Kau datang dengan senyum sederhana

Kusambut engkau dengan bijaksana

Kau mulai bercerita

Tentang memori kita berdua

Awalnya kuanggap biasa saja

Hingga kutemukan yang tak biasa

Page 11: Menatapmu Itu Seperti Merasakan Kesejukan Ditengah Terik Matahari

Mulai perhatikanmu

Ku rindu semua tentang dirimu

Reff : Dan bila sang waktu mengizinkanku

Memeluk dirimu bahagiakanmu

Jadikan diriku Semua tentang dirimu

Awalnya kuanggap biasa saja

Hingga kutemukan yang tak biasa

Terus memikirkanmu

Ku rindu semua tentang dirimu

(Reff 2x)

Kan kujaga dirimu

Selamanya untukmu

Semua tentang dirimu

Dan bila sang waktu mengizinkanku

Memeluk dirimu bahagiakanmu

Jadikan diriku Semua tentang dirimu

Dan bila sang waktu telah izinkanku

Memilikimu

Jadikan diriku Semua tentang dirimu

Kupejamkan mata sambil sesekali masuk dalam alunan nada lagu itu. Bayangan Vino

perlahan hadir sebagai objek yang layaknya menjadi model video klip dalam imajinasiku.

Flash back begin

Page 12: Menatapmu Itu Seperti Merasakan Kesejukan Ditengah Terik Matahari

12 Februari 2010

Semua bersiap di lapangan belakang sekolah. Hanya aku dan Freya yang masih

berada di dalam kelas.

“ Fre! Buruan! Udah ditungguin pak Seno. Kamu masih ngapain sih?,” teriakku pada

Freya yang terlihat sibuk dengan beberapa peralatan make up-nya. Sepertinya dia hanya

menganggap omonganku angin lewat. Masih sempat aja dia dandan disaat seperti ini.

“ Freya! Aku tinggal nih.” Aku berkacak pinggang. Sesegera mungkin dia

memasukkan alat make up tadi ke dalam tas kecil seperti kotak pensil. Dia berlari

menghampiriku. Kami bergegas menuju lapangan.

Langkahku terhenti di tepi lapangan. Kulihat di ujung sana, Haris dan kawan –

kawannya sedang mengenakan jas putih panjang duduk di rerumputan lapangan. Sepertinya

mereka sedang melakukan observasi. Lebih tepatnya belajar cara bercocok tanam. Vino juga

ada. Dia terlihat semakin keren saja mengenakan jas itu.

Dia memegang cangkul dan dipukulkannya ke tanah secara berulang. “ Aduh!

Katanya suruh cepet tadi. Kenapa malah kamu yang bengong di sini? Ha?!.” Freya menarik

tanganku menghampiri gerombolan siswa berseragam olahraga dengan corak perpaduan

warna merah putih. Rupanya mereka sedang melakukan pemanasan. Aku dan Freya

menyesuaikan gerakan menggelengkan kepala ke kanan dan kiri dua kali berturut – turut

sampai hitungan ke delapan gerakan itu pun selesai.

“ Ayo selanjutnya rentangkan kedua tangan ke atas dan tarik badan kalian. Sampai

jinjit. Mulai!.” Ketua kelas kami yang bernama Frian memberi aba – aba dan kami berhitung.

Mataku mendua. Memandang Vino dengan kegiatan barunya. Kebetulan aktivitas

olahraga kami menghadap ke arah Vino dan teman – temannya. Tanpa sedetikpun aku beralih

pandangan. Menyaksikan Vino mencangkul, mengambil bibit tanaman kemudian

memasukkannya pada lubang – lubang kecil yang telah dia buat. Dia sempat tertawa melihat

kerjaannya yang kurang rapi. Eh, salah.. dia malah bermain sawur – sawur-an tanah dengan

temannya.

Saking girangnya, dia tak menyadari jika ada batu yang kemudian membuatnya

terpeleset dan bukkkkkk. Jatuh. Jas putihnya kotor. Saking girangnya aku memperhatikan

Page 13: Menatapmu Itu Seperti Merasakan Kesejukan Ditengah Terik Matahari

Vino, aku tak menyadari jika Frian memanggil namaku berulang kali. “ Tata!.” Panggilann

Frian seperti angin lewat bagiku. Ya.. hanya lewat sesaat tanpa permisi di samping telingaku.

“ Relista Alvio!.” Dia memanggil lengkap nama panjangku. Tapi aku tetap tak beralih

sedikitpun. Pandanganku tetap pada Vino.

Mungkin Frian terlalu jengkel menghadapiku. Dia sampai menghampiriku ke barisan

belakang dan berbisik di samping telingaku. “ Relista! Kamu lagi ngapain?,” bisiknya

lembut.

“ Mandangin Vino..” Tanpa sadar jawaban jujur keluar dari mulutku.

“ Vino? Vino anak futsal XI.IA1?,” tanya Frian yang kali ini membuatku menoleh

padanya. Dia hanya menggeleng. Sementara teman satu kelasku bersorak meledekku. “ Cie...

cie Tata..”

Sontak hal ini membuatku malu. Mukaku memerah. Aku menunduk dan berusaha

menyembunyikan muka. Aduh! Ngapain Frian tanya begitu padaku. Apa dia sengaja

mempermalukanku.

“ Ta! Kamu ganti di depan gih,” seru Frian mendorong tubuhku ke depan.

“ Loh kok gitu?.” Aku tak paham maksudnya.

“ Sekarang giliran kamu ngasih aba – aba ke anak – anak. Semua udah kok. Kamu

doang yang belum.” Omongan Frian membuatku tambah bingung saja. Perasaan yang berdiri

di depan dan memberi aba – aba dari tadi Frian, bukan giliran. Apa aku yang tak

memperhatikan?

Terpaksa aku berdiri di depan barisan dan melakukan peragaan. Aku membelakangi

barisan dan berlari - lari kecil di tempat. Semua anak yang baris di belakangku mengikuti.

Salah satu anak berkomentar.

" Ta! Kamu lari ngadap sini napa. Masa ngadap situ!." Mereka nggak tahu apa aku gugup

berdiri depan mereka.

" Udah. Nggak perlu liatin Vino kale sampe segitunya." Frian ikut menambahkan. Apa -

apaan dia. Malah membuatku semakin buruk di mata anak - anak. Ya. . Walau emang benar

sih apa yang barusan dia katakan.

Page 14: Menatapmu Itu Seperti Merasakan Kesejukan Ditengah Terik Matahari

" Vino!!!," teriak Frian menggelegar. Omg! Apa reaksi Vino selanjutnya. Aku

memperhatikan tanpa kedip. Untungnya Vino nggak menoleh sedikitpun. Dia tetap berkutat

pada aktivitasnya.

" Selesai pemanasannya kalian boleh main basket ato voli. Nanti pak Seno menyusul."

Frian membubarkan barisan. Anak - anak menyebar ke lapangan. Aku menghampiri Frian.

" Heh Frian! Kamu tuh malu - maluin aku aja." Frian hanya cekikikan. " Lah. Aku kan

bantuin kamu. Biar kamu dikenal sama Vino gitu." Frian menampakkan tampang tak

bersalah.

Iya memang bantuin. Tapi caranya nggak kayak gitu dong. Masa teriak depan anak - anak

nyebut inisial Vino lagi.

Sesaat kemudian seseorang yang tak asing pada penglihatanku menghampiri kami. "

Kamu tadi manggil aku yan?," tanyanya sambil berjalan ke arah aku dan Frian berdiri.

Aku menunduk. Ingin sekali memalingkan muka. Tapi tubuh Frian terlalu kekar untuk

menghalangiku pergi. " Oh.. aku kira tadi kamu nggak denger Vin."

Frian melirikku cepat sambil menyunggingkan salah satu sudut bibirnya ke atas. Apa

yang akan dia katakan pada Vino? Apa dia mau memojokkanku? Aku tak berkutik.

Kakiku mundur satu langkah saja, Frian sudah melintangkan kakinya dengan gaya

sedang pendinginan sehabis olahraga. Aku jadi semakin tersudut.

" Kamu dicariin." Seru Frian singkat. Membuat aku semakin tak bisa bergerak. Aku

pasrah jika harus malu di tempat ini sekarang. Di depan Vino lebih tepatnya.

" Siapa?," Vino cukup penasaran. Aku menelan ludah.

Mata Vino bergantian memandangku dan Frian. Aku menutup mata.

" Itu. . T.. TU. Ya. TU. Kamu belom ambil kuitansi pembayaran semesteran kan?,"

penjelasan Frian akhirnya membuatku bisa bernapas lega.

Pfuuuhhh...

" Aku lupa. Ntar aku ambil. Kamu. . Olahraga apaan?," Vino celingukan mengedarkan

pandangannya ke segala penjuru lapangan.

Page 15: Menatapmu Itu Seperti Merasakan Kesejukan Ditengah Terik Matahari

" Biasa. . Ngemix basket sama voli."

" Mix? Yah. . Itu udah jadul. Kayak kelas aku dong." Perbincangan terhenti sesaat. Aku

dan Frian saling memandang sebelum akhirnya melempar pandangan pada sekelompok siswa

yang menjadi gerombolan Vino.

" Apaan?," tanyaku buka suara. Ini baru pertama kali aku berani ngomong depan cowok

itu.

" Dokter pertanian," ucapnya bangga.

***

" Tuh kan Frey, kita pasti telat." Ocehanku sepertinya membuat Freya geram. " Kamu tuh

cerewet ya. Tenang dikit napa. Hidup tuh gak melulu ikut arus. Monoton tuh. Sekali - kali tuh

ngelawan arus." Freya menyindir. Iya. Memang aku paling disiplin masalah waktu. Apalagi

soal berangkat sekolah. Tak akan membiarkan sedikitpun waktu terbuang untuk terlambat.

Kalau bisa dibilang aku anti hukuman. Buat apa kena hukuman jika aku bisa tepat waktu.

" Lewat gerbang belakang aja ya. Di situ ada tumpukan bata. Trus kita lompat." Freya

memunculkan ide setannya. " Kamu gila Frey! Masa lompat sih."

" Ya udah kalau nggak mau. Kamu di sini aja terus ampe pelajaran selesai atau kamu

sendirian aja masuk dari depan." Dengan sigap, Freya melakukan ancang - ancang. " Frey!

Kamu nggak serius kan? Masa kamu tega sama aku." Aku mengiba. Dia tetap dengan

sikapnya. Menaiki tumpuan bata pertama, kedua dan akhirnya lompat juga. Aku jadi bingung.

Dengan mengumpulkan seluruh keberanian aku menuju gerbang depan. Aku berdoa berkali -

kali semoga ada anak lain yang telat sepertiku.

" Jam segini baru datang? Mending pulang aja. Gerbangnya nggak bisa dibuka." Satpam

dengan kepala tanpa rambut itu menyeruku. Kalau aku bolos, apa kata orang tuaku nanti. Aku

nggak peduli. Harus tetap masuk. " Ayolah pak. Saya ada ulangan nanti. Masa saya bolos

dengan tak terhormat di sini." Aku mencoba merayunya agar pintu dibuka. Eh.. dia malah

tertawa.

Page 16: Menatapmu Itu Seperti Merasakan Kesejukan Ditengah Terik Matahari

" Lah. Itu lagi. Apa - apaan ini. Kalian janjian? Hah?!," aku menoleh ke arah sosok yang

satpam itu maksud. Mataku tak berkedip untuk sesaat. Bahkan aku dikira melongo. Dengar

saja pernyataannya. " Heh. Tutup tuh mulut. Kemasukan lalat ntar." Aku jadi keki. " Gini aja.

Kalian bersihin tuh selokan." Kami diberi satu sapu, dan arit.

" Lah. Trus rumputnya? berasa jadi perumput ternak aku." Omel Vino sambil mengambil

arit. Kini hanya ada aku dan Vino. Di depan selokan. Apa yang aku mimpikan semalam?

" Kamu di atas aja. Biar aku yang turun," jelasnya turun ke selokan. Tuhan. Kenapa

detak jantungku tak berubah. Sejak tadi terus saja memompa lebih cepat. Gimana kalau aku

kehabisan oksigen dalam tubuh gara - gara ini. " Oh ya. Eh kamu yang kemaren kan?

Temennya Frian sekelas?." Vino benar - benar mengenaliku. Apa jangan - jangan dia juga

ingat jika aku yang sering mengikutinya? Harus jawab apa aku jika beneran dia menanyakan

hal itu?

Aku jadi teringat puisi karangan seseorang.

Biarkan aku menyukaimu. Tapi jika tak kau ijinkan. Biarkan aku melihatmu. . . . .

" Ta! ," aku menoleh ke arah panggilan itu. Ternyata itu si Freya. Dia membawa

sekantung penuh sampah kering di tangan kanannya. " Loh. Kamu ngapain Frey? Bukannya

udah masuk kelas?," tanyaku penasaran. Freya cengengesan. Aku bisa menebak. Dia

tertangkap basah melompat pagar belakang. Haha. . Ternyata ini bukan yang pertama kalinya.

Kata dia, ini yang kedua kalinya. Freya. . Freya tak jera ya kamu.

" Jiye... Tata." Freya menyenggol pinggulku dengan sikunya setelah tahu ada Vino di

selokan. Vino menoleh dengan tatapan sinis. " Kamu cewek liar banget. Gak ada sisi

feminimnya. Masa lompat pagar. Aku aja nggak berani." Kata Vino tanpa menfilter salah

satu kata - katanya.

Freya tak ambil pusing dengan omongan Vino barusan. Dia hanya menyunggingkan

sudut kanan bibirnya. " Lebay banget kamu. Emang cowok jadi - jadian. Tinggal lompat

nggak berani." Freya pergi dari hadapan kami. Sepertinya dia sudah bosan jika terus beradu

mulut dengan Vino.

" Jadi nama kamu beneran Tata?." Aku mengangguk. " Emang kamu tahu ada bolos yang

terhormat?," tanya Vino tiba - tiba. Itu kan perkataan yang tadi aku ucapkan untuk membujuk

penjaga gerbang.

Page 17: Menatapmu Itu Seperti Merasakan Kesejukan Ditengah Terik Matahari

" Ada. Kalo bolos terhormat tuh. Kayak kamu bolos biasa. Tanpa ada yang nyuruh kamu

kayak tadi."

Vino malah tertawa lepas. Tawa yang membuatku cukup nyaman disampingnya. Aku tak

peduli sekarang jika aku terlihat bodoh di depannya. Biarkan aku memandangmu Vin. Jangan

larang aku detik ini. " Kamu bisa ngelucu juga. Aku pikir kamu serius." Vino terus tertawa

sesekali memegangi perut melihat wajahku yang datar. Aku sendiri bingung apa yang

ditertawakan.

Page 18: Menatapmu Itu Seperti Merasakan Kesejukan Ditengah Terik Matahari

Penggemar Setia. . .“ Tak salah lagi. Ternyata kamu tuh biang dari semua kekacauan yang terjadi?,” suara

menggelegar Kenan terdengar sampai kamarku. Bisa ditebak kalau sekarang dia sedang

marah – marah tak jelas pada seseorang yang menghubunginya.

Barang – barang di kamarnya berhamburan tak jelas ke udara. Benda – benda itu

pecah setelah terlempar ke tembok. Pyar...pyar.. vas bunga yang biasa di letakkan pada meja

belajarnya pun ikut pecah. Apa dia semarah itu?

Telingaku tak kuat mendengar kekacauannya. Aku memutuskan masuk kamarnya.

Dengan hati yang ragu aku membuka perlahan pintu kamar itu.

Greekkk... kulihat Kenan sedang berbaring di atas kasurnya. Kamarnya? Nggak

berantakan seperti yang aku bayangkan tadi. Semua tertata rapi seperti tak pernah ada sesuatu

terjadi sebelumnya. Lalu, apa yang aku dengar tadi? Aku nggak mungkin salah mendengar

suara Kenan.

“ Ngapain kamu bengong di situ? Ngintipin aku tidur?,” tanya Kenan dengan

santainya.

“ Tadi aku denger kamu marah – marah sampe pecahin barang – barang segala. Trus

pecahannya ke mana?.” Aku melempar pandangan ke seluruh penjuru kamarnya. Mencari

benda yang kurasa pecah.

“ Hahaha.. kamu kepo ya. Tadi aku lagi kesel sama temen aku. Biasa. . kamu tahu lah.

Masa...” Hapenya berdering lagi. Sepertinya itu telpon dari orang yang membuatnya kesal.

Kenan hanya melirik cepat layar hapenya. Dia mengacuhkan panggilan itu. Tak

disentuh sedikitpun layar itu. Apa semarah itu?

“ Nggak kamu angkat Ken? Siapa tahu penting.”

Dia malah mematikan hapenya. Kemudian menaruhnya di bawah bantal.

“ Masak yuk. Laper aku.” Kenan mendorong tubuhku keluar kamar. Aku masih

penasaran. “ Ngapain sih kamu tengok ke kasur? Penasaran?.” Dia menutup pintu kamar dan

menguncinya. Kebiasaan yang tak pernah kutemui sebelumnya.

Page 19: Menatapmu Itu Seperti Merasakan Kesejukan Ditengah Terik Matahari

“ Kamu. . balikan lagi Ken?,” tanya ku setelah duduk di kursi ruang makan yang

menjadi satu dengan dapur.

Kenan mengambil sayuran dari kulkas dan mencucinya ulang. “ Balikan sama siapa?

Lana? Ya nggaklah.” Dia memotong – motong sayur itu menjadi kecil – kecil.

“ Loh. Kenapa? Katanya kamu belum bisa mope on.” Kenan masih melanjutkan

aktivitasnya. Dia menyiapkan wajan penggorengan di atas kompor gas berbentuk bundar.

Jangan salah ya. Kenan tuh jago masak. Pokoknya makanan buatannya nggak kalah sama

masakan ala chef restoran terkenal deh. Mencium bau masakannya aja, pasti ketagihan.

Serius!

“ Kapan aku ngomong begitu? Aku bisa mope on. Tapi Lananya aja yang nggak bisa

mope on dari aku.” Kenan mencoba ngeles.

Masa iya? Yang sering aku temui malah dia galau di kamar sambil nyanyi – nyanyi

nggak jelas ala rocker yang teriak – teriak. Sampai apa yang dia nyanyikan nggak terdengar

jelas isi liriknya. Trus ya, dia pakai sapu lantai untuk gitarnya. Kamarnya dikunci dan kalau

diketok pintunya, pasti nggak bakal dibukain. Orang dia nggak dengar.

Pernah tuh suatu ketika aku mengintip dari jendela. Sumpah. Kelakuannya bikin

ngakak. Nggak bayangin gimana reaksi para fansnya itu melihat ulahnya.

“ Ngeles aja kamu Ken. Trus tadi siapa dong? Bukan Lana? Kenapa kamu matiin

teleponnya?.” Aku terus bertanya tanpa kehabisan pertanyaan.

Kenan mengernyitkan kening sambil menyipitkan mata kanannya padaku. “ Tadi tuh

Lani. Sodaranya Lana. Kayak reporter gosip ya kamu. Kepo banget urusan aku. Padahal artis

juga belom. Gimana kalo aku jadi artis beneran nanti.”

Aku tertawa mendengar jawabannya. Dia? Jadi artis? Apa kata dunia? Tangan

lincahnya memasukkan sayuran itu ke dalam wajan diikuti bumbu bawang putih, bawang

merah, garam yang dihaluskan dan campuran bumbu lain. Entah dia mau buat apa kali ini.

Aku tak tahu. Aku hanya ingin cepat memakannya saja.

Aku mengamati dengan jeli setiap gerakan tangannya mengaduk isi wajan itu.

Hmmm... aromanya sampai menusuk ke celah hidungku. Cacing di perutku ikut bernyanyi

tak kuat menahan aroma surga makanan ini.

Page 20: Menatapmu Itu Seperti Merasakan Kesejukan Ditengah Terik Matahari

Bersyukur punya Kenan yang jago masak. Jadi tak banyak jajan di luar walaupun

orang tuaku jarang berada di rumah.

“ Udah matang Ken? Cepet banget.” Aku menghampiri Kenan dan membawa

semangkuk sup campur buatannya ke meja makan. Kami menyantap makanan ini bersama.

Di rumah yang tak besar ini hanya tinggal aku, Kenan dan kedua orang tuaku. Tak

ada pembantu di sini. Kami merasa pekerjaan rumah bisa kami handle sendiri. Dari kami SD,

kami diajari untuk hidup mandiri. Termasuk mencuci sampai memasak. Maka dari itu, Kenan

jago memasak. Kegemarannya tumbuh sejak itu.

“ Abis ini kamu bayar ke aku ya.” Kenan mengatungkan tangan kanannya padaku.

Aku mengibasnya. “ Apaan sih Ken. Itung – itungan gitu sama adiknya. Durhaka lo!.” Aku

merasa ter-bully. Dia malah mengacak rambutku berulang sambil tertawa.

Terdengar ketokan pintu dari luar. Aku dan Kenan menghentikan makan sementara.

Memastikan apa kami beneran mendengar suara ketukan itu.

“ Siapa?.” Aku menatap Kenan. Dia malah mengangkat bahunya. “ Kamu buka gih

pintunya. Aku beresin dulu sisa makanan ini.” Kenan beranjak dari tempat duduknya. Dia

membawa piring penuh lauk itu ke dapur, dan aku menuju pintu depan.

Kuintip dari celah kecil, siapa sosok dibalik pintu. Seorang cewek berambut sebahu

dengan bando biru yang melingkar di atas kepalanya dan tas hitam berpernak – pernik

menggelantung di lengan kirinya.

“ Siapa?,” tanya Kenan yang mengagetkanku. “ Lana,” jawabku tanpa bersuara.

Kenan langsung masuk kamarnya tanpa berkomentar. Aku menghampirinya.

“ Ken. Aku mesti ngomong gimana?.” Teriakku di dekat kamarnya.

“ Kamu bilang aja kalo aku nggak ada di rumah. Udah males aku.”

Grekkk.. pintu kamarnya dikunci.

“ Kenapa nggak ngomong ke orangnya langsung sih?.” Kenan tak menjawab

pertanyaanku. Dia lebih memilih berdiam diri di kamar tanpa memperbolehkan siapapun

masuk sengaja ataupun mengganggunya detik ini.

Page 21: Menatapmu Itu Seperti Merasakan Kesejukan Ditengah Terik Matahari

Aku kembali ke ruang tamu. Membuka pintu depan dan mendapati cewek tadi berdiri

membelakangi pintu. “ Hai kak Lana,” sapaku yang membuat cewek bernama Lana itu

menoleh ke arahku. Dia tersenyum sebelum akhirnya melempar pandangan ke dalam

rumahku.

“ Nyari siapa kak?.” Aku bersikap sok polos yang tak pernah tahu maksud dibalik

kedatangan Lana kemari.

“ Kenan ada?,” tanya Lana to the point.

“ Kenan?.” Aku celingukan bergaya mencari sosok yang dimaksud. “ Nggak ada kak.

Belum pulang. Lagi futsal kali di tempat biasa.” Aku berusaha menutupi keberadaan Kenan.

Lana yang tak percaya mencoba mengecek kebenarannya. Dia menemukan motor

Kenan terparkir di samping teras rumah. “ Tuh motornya!.” Tapi aku tak kehabisan akal

untuk beralasan.

“ Owh.. itu. Dia tadi barengan sama temannya. Apa ada pesen kalo dia pulang atau

kakak mau nungguin dia? Atau nemuin dia di tempat latihannya?.” Aku memberi pilihan.

Akhirnya Lana memilih untuk datang lain kali.

Aku tak tahu pasti permasalahan yang menimpa Kenan soal asmaranya. Dia tak

pernah benar – benar jujur padaku soal ini. Soal cerita panjang tentang Lana telah menjalin

hubungan terlarang dengan Andre dibelakang Kenan. Kenan pernah memergoki keduanya

jalan bareng di mal. Makan berdua di restoan seafood saat Kenan membeli makan favoritnya

di situ. Malahan mereka mesra sekali. Saling menyuapi.

Tapi Kenan tak berani mendekat atau hanya sekedar memberi sapaan. Dia hanya

memandang dan berkirim pesan singkat pada Lana untuk menanyakan keberadaan dia saat

itu. Kalian tahu apa isi balasan Lana? Kutunjukkan ya screenshot yang kudapat dari hape

Kenan.

Aku lagi di kampus sayang. Ngerjain tugas deadlinenan. Kamu kangen ya?. .

Sender Lana My. . .

Bukannya senang seperti biasa dia menerima balasan sms dari Lana. Kali ini dia

malah mengumpat dengan nama saudara populasi. Apalagi kalau bukan . . . “ Sampel!.”

Kenan malah merasa eneg dan tak peduli lagi apa yang Lana lakukan tanpa dia bertanya

Page 22: Menatapmu Itu Seperti Merasakan Kesejukan Ditengah Terik Matahari

langsung pada Lana. Baginya yang dia lakukan tadi sudah cukup mewakili keadaan yang

sebenarnya.

Sejak kejadian itu, dia sering menghindari Lana. Bahkan dia langsung memutus

hubungannya dengan Lana. Sumpah ya! Kalau kalian tahu kisah perjuangan Kenan untuk

mendapatkan Lana, pasti tak tega melihatnya. Aku ceritakan ya. .

17 Mei 2010

Kenan merupakan mahasiswa baru yang tak tahu seluk beluk jurusannya secara

keseluruhan. Dia harus mencari informasi lebih banyak tentang susunan organisasi fakultas

dan jurusannya, siapa saja dosen yang kelak akan mengajarnya dan masih banyak lagi.

Sewaktu ospek, dia mendapat tugas untuk membuat logo kelasnya dan logo tersebut akan

diikutkan lomba antar kelas. Akhir acara, logo milik Kenan yang menang. Dia dihadiahi

sebuah kotak sedang berisi piagam dan kerajinan tangan. Kalian tahu siapa orang yang

memberikan hadiah itu? Lana. Alana Prameswari, wakil ketua Hima jurusan. Detik itu Kenan

jatuh cinta tanpa sebab.

Dia mencari informasi tentang Lana. Sampai dia ikut menjadi bagian dari Hima. Hal

yang tak disukainya, masuk organisasi. Tapi demi Lana, Kenan melakukannya. Ya. . nggak

satu departemen sih. Tapi kan sering ketemu. Apalagi kalau ada rapat. Dengan gayanya yang

muka tembok, dia mendekati Lana. Tapi Lana tak pernah peduli. Dia malah cuek bebek

menghadapi godaan Kenan yang selalu menggombalinya dengan kata – kata sok puitisnya

itu.

“ Kak Lana. Nanti aku anterin pulang ya. Sekalian. Kita kan se arah,” ujar Kenan

dengan pedenya. Lana hanya melirik sebelah mata.

“ Pulang rapat kan malem. Pasti kamu capek. Aku nggak tega ngebiarin cewek kayak

kamu pulang sendirian.” Kenan mulai sok menggombal. Sumpah. Sosoknya yang kadang

cool itu hilang sudah.

Lana tetap tak menggubris. Dia asyik berkutat pada tumpukan kertas yang harus di-

stamplernya. Kenan tak kehabisan cara untuk membuat Lana mempedulikannya. Lihat saja.

Page 23: Menatapmu Itu Seperti Merasakan Kesejukan Ditengah Terik Matahari

Dia malah membelikan Lana segelas teh hangat yang membuat teman – temannya yang lain

iri.

“ Cie Kenan . . . romantis banget sih. Kita juga mau loh tehnya,” seru Larissa, teman

sekelas Kenan yang juga menjadi anggota HIMA. “ Kamu mau Ris? Gampang. Nanti aku

kasih gelasnya,” ujar Kenan menimpali.

“ Lah. Kok gelas doang? Trus tehnya?.”

“ Kamu beli atau buat sendiri aja. Kan aku udah baik, mau minjemin. Eh salah.

Ngasih gelas gratis ke kamu.” Larissa tak terima omongan Kenan. “ Sama aja bohong Ken.

Ujung – ujungnya aku beli juga keleus.” Kenan tertawa dan perlahan Lana pun tersenyum.

Kenan mengamati wajah Lana tanpa berkedip. Dia menyangga dagu dan mencermati

cara Lana tersenyum. Lana yang merasa diperhatikan, malah risih dan memilih pergi dari

hadapan Kenan. Lagi – lagi kakakku dicuekin habis – habisan.

Dentang jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Terlihat cemas mengitari wajah

Lana. Dia mengambil tas di ruang HIMA dan bersiap pulang. Kenan berusaha mengejar

dengan motornya. “ Mau bareng aku nggak? Taksi bahaya loh kalau jam segini.” Lana

terdiam lagi. “ Aku nggak bakal aneh – aneh kok kak. Suerrr!!.” Kenan mengacungkan kedua

jarinya. “ Kenapa? Malu kak? Jalan sama berondong kayak aku?,” Kenan bermuka melas.

Dia seperti korban PHP yang mengenaskan.

Beberapa saat kemudian Lana bersuara. Dia mengiyakan tawaran Kenan. “ Iya.”

Sebenarnya bukan hanya tawaran belaka, lebih tepatnya adalah modus yang terpendam. Lana

naik ke atas motor Kenan. Biapun begitu, Kenan tak ada satu niatpun untuk membuat motor

itu mengerem mendadak dan membaut Lana Lana mendadak mememluknya. Dia malah

berusaha menjaga agar hal itu tak terjadi.

Disepanjang perjalanan menuju rumah Lana, tak ada perbincangan apapun. Yang ada

hanya semilir angin malam yang sampai menusuk epidermis kulit. Jantung Kenan terasa

berdetak tak karuan seperti baru lari 1000 meter. Parahnya lagi keringat dingin ikut keluar.

Kurang beberapa meter dari rumahnya, Lana memberi instruksi pada Kenan. “ Pagar

putih di depan berhenti ya. Yang kiri jalan.” Kenan mengangguk paham. Sesampainya di

tempat yang dimaksud, dia memberhentikan motornya. “ Makasih ya. Maaf, kamu nggak bisa

mampir.”Lana tersenyum. “ Aku langsung cabut aja. Udah malem juga.”

Page 24: Menatapmu Itu Seperti Merasakan Kesejukan Ditengah Terik Matahari

Lana melambaikan tangan pada Kenan. Kenan melihatnya dari kaca spion dan

tersenyum.

Flashback end

“ Dia udah pergi?,” tanya Kenan yang langsung keluar dari kamarnya setelah

mengetahui jika Lana sudah pergi. Aku mengangguk.

“ Kenapa nggak balikan aja sih Ken, kalo masih cinta? Kamu nggak inget apa gimana

dulu kamu ngejar – ngejar dia?.”

“ Kamu anak kecil tahu apa coba?! Aku udah diselingkuhin sama temen aku sendiri

gitu. Masa mau aja minta balikan.” Kenan mengambil segelas air dingin dari kulkas.

“ Kalo dia serius sama aku, nggak mungkin ngebohongin aku terus. Lagi pula,

mungkin belum nasib aku ketemu orang yang tulus sama aku. Nggak karena tampang atau

yang lainnya.” Kenan meneguk minumannya.

Tumbenan omongan Kenan berbobot hari ini. biasanya yang ada hanya omelan yang

sama dan aku sampai hafal karena seringnya dia ucapkan.

“ Kamu juga. Mesti inget. Pilihan tuh nggak cuma satu. Tapi banyak. Kamu jangan

terpaku ke satu pilihan orang aja. Kalo nasib kamu kayak aku, anggap aja kamu lagi disuruh

nganalisa jawaban sama Tuhan, mana yang salah dan mana yang benar. Nanti kalo bener

juga, kamu dapat keuntungan nilai yang lebih. Ya nggak?.” Ucapnya lagi meneruskan

nasehat.

“ Tapi Ken, sampe kapan kamu ngehindar dari kak Lana terus? Sampe nemuin yang

lain? Inget Ken, masalah tuh harus kamu adepin. Kapan selesainya coba?.” Aku mencoba

berbicara bijak. Entah didengar atau nggak oleh Kenan. Dia ngeloyor ke ruang tengah dan

menyalakan tv.

Page 25: Menatapmu Itu Seperti Merasakan Kesejukan Ditengah Terik Matahari
Page 26: Menatapmu Itu Seperti Merasakan Kesejukan Ditengah Terik Matahari

MY SPECIAL BIRTHDAY. . ." Ta, selamat ulang tahun ya." Vino memegang nampan berisi kue tart warna coklat

yang dilengkapi mayonase dan hiasan buah di atasnya. Lilin - lilin kecil menghiasi tepian kue

itu. Lilin membentuk angka 17 menyala di tengahnya.

" Tiup dong sayang kuenya. Kita lembur tahu nyiapin kejutan buat kamu." Freya

menarikku lebih dekat. Dia mendorong tubuhku tepat ke dapan Vino. Vino memandangku

cukup lama. Tatapannya tak bisa aku alihkan. Aku terjebak.

" Heh! Kalian ini. liat - liatan terus. Kuenya kasihan tuh!."

Freya membuat kami mengalihkan pandangan. " Oh ya, make a wish dulu ya." Aku

memejamkan mata.

Tuhan, andai cowok di depanku ini tahu perasaanku. Andai aku dan dia saling ketemu

dalam waktu yang lama di kemudian hari nanti.

" Udah make a wish nya?," tanya Freya memastikan. Saatnya aku meniup lilin - lilin

itu.

Aku memotong kue pertamaku hari ini. Kue ini aku berikan pada Freya sebagai

sahabatku. Selanjutnya aku berikan pada Vino dan Frian.

" Frey.. Kamu ikut aku ambil hadiah tadi yuk." Frian menarik tangan Freya untuk

mengikutinya entah ke mana. " Trus aku gimana?," teriakku pada mereka.

" Kamu sama Vino." Freya dan Frian berlari menuju ke arah timur. “ Freya!.”

Panggilku yang tak mereka hiraukan. Kini tinggal aku dan Vino ditemani tiupan angin malam

yang sepoi. Suasana ramai, tapi sepi bagiku. Aku canggung harus ngomong apa untuk

memulai percakapan ini. " A..." terbesit dipikiranku untuk berkata sesuatu. Tapi bibir kami

serentak mengatakannya. Kami salah tingkah sendiri. Saling tersenyum.

" Haris mana Vin?." pertanyaan nggak penting keluar juga akhirnya mencairkan

suasana.

" Biasa. . Di lab dokter abal - abalnya," seru Vino. Aku tertawa mendengar

ucapannya. Dia malah memandangku dengan senyuman yang membuatku semakin

menggilainya.

"Abal - abal gimana? Pasti percobaannya menyesatkan."

Vino menganggukkan jari telunjuknya ke arahku. Itu berarti dia setuju dengan

pernyataanku.

Page 27: Menatapmu Itu Seperti Merasakan Kesejukan Ditengah Terik Matahari

Aku jadi merasa bersalah pada Haris. Dia jadi bahan ejekan dalam perbincangan

kami. Maafkan temanmu yang hanya ingin mencari kebahagiaannya ini Ris.

" Kemaren dia mau buat alat hisap sampah. Katanya sih biar nggak susah nyapu. Tapi,

pas alatnya dicoba, langsung deh rambutnya Haris yang kayak rumput teki itu ikut ke sedot.

Parah pokoknya." Vino cekakakan sambil memegangi perutnya. Sumpah! Vino suka banget

ledekin Haris.

  “ Hahaha... emang dasar tuh si Haris. Penemuannya belum ada yang sukses. Oh ya

Vin.” Perkataanku terpotong. Vino menghentikan tawanya dan memandangku cukup serius.

“ Tahu dari mana aku ultah hari ini?.” aku to the point. Wajah Vino terlihat serius

sekali. Apa dia marah aku menanyakan hal itu?

“ Kamu kepo juga. Temen kamu dua tuh. Ya. . sebenernya aku. .” belum selesai Vino

meneruskan ucapannya, Freya dan Frian datang.

“ Wah. . makin akrab aja nih temen aku,” seru Frian meledek. Aku jadi tambah malu.

Seakan dipojokkan dengan Vino. Sementara aku sendiri tak tahu bagaiman perasaan Vino

sekarang. Apa dia kecewa, senang atau malah marah.

“ Aku sama Frian punya hadiah buat kamu Ta. Nih.” Freya menyerahkan sekotak

besar kardus yang dibalut hiasan kertas kado berwarna merah jambu dengan motif batik.

“ Kalo kamu penasaran, bukanya nanti kamu sampe di rumah ya,” pinta Freya. “

Hadiah kamu mana Vin?.” Ucapan Frian membuatku ikut menatap Vino yang terlihat

bengong.

Vino menggaruk kepalanya yang tak gatal. “ Hadiah aku. . . ketinggalan.” Vino

menampakkan wajah datar. Apa benar yang barusan dia ucapkan jika dia telah menyiapkan

hadiah untukku? Aku semakin penasaran.

“ Kamu tunggu aja Ta besok. Kalo Vino lupa ngasihnya, kamu tagih aja.” Frian

menepuk bahuku. Aku hanya tersenyum.

***