Menanti Pemerintah Mengambil Eksekusi

6
MENANTI PEMERINTAH MENGAMBIL EKSEKUSI Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Apartur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenag PAN & RB) Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Guru dan Angka Kreditnya mulai berlaku efektif Januari 2013. Permen tersebut dijabarkan lebih lanjut berupa petunjuk teknis dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 35 Tahun 2010 tanggal 1 Desember 2010. Untuk dapat naik ke jabatan fungsional guru yang lebih tinggi (seiring dengan kenaikan golongan tentunya) guru dituntut untuk mengumpulkan sejumlah angka kredit. Permen baru tersebut merupakan revisi atas Permen Nomor 84 Tahun 1993. Tahapan sosialisasi sudah dilakukan oleh instansi terkait agar pelaksanaannya nanti di lapangan tidak mengalami kendala. Perbedaan prinsipil Permen ini dengan permen sebelumnya adalah pada tugas pokok dan fungsi guru dalam melaksanakan pembelajaran dilakukan melalui penilaian kinerja. Hal-hal lain masih tidak terlalu jauh berbeda dengan Permen sebelumnya, termasuk pelaksanaan kegiatan pengembangan profesi yang berubah nama menjadi pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB). Kehadiran Permen Nomor 16 semula diharapkan oleh para guru agar bisa mencegah menumpuknya guru pasca IV/a. Permen sebelumnya telah membuat sebagian besar guru mentok di golongan IV/a karena tidak dapat melakukan kegiatan pengembangan profesi dari karya tulis ilmiah, membuat alat peraga/pendidikan, menciptakan karya seni, menemukan

description

Menanti Pemerintah Mengambil Eksekusi

Transcript of Menanti Pemerintah Mengambil Eksekusi

Page 1: Menanti Pemerintah Mengambil Eksekusi

MENANTI PEMERINTAH MENGAMBIL EKSEKUSI

Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Apartur Negara dan Reformasi

Birokrasi (Permenag PAN & RB) Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Guru dan

Angka Kreditnya mulai berlaku efektif Januari 2013. Permen tersebut dijabarkan

lebih lanjut berupa petunjuk teknis dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional

Nomor 35 Tahun 2010 tanggal 1 Desember 2010. Untuk dapat naik ke jabatan

fungsional guru yang lebih tinggi (seiring dengan kenaikan golongan tentunya) guru

dituntut untuk mengumpulkan sejumlah angka kredit.

Permen baru tersebut merupakan revisi atas Permen Nomor 84 Tahun 1993.

Tahapan sosialisasi sudah dilakukan oleh instansi terkait agar pelaksanaannya nanti

di lapangan tidak mengalami kendala. Perbedaan prinsipil Permen ini dengan

permen sebelumnya adalah pada tugas pokok dan fungsi guru dalam melaksanakan

pembelajaran dilakukan melalui penilaian kinerja.

Hal-hal lain masih tidak terlalu jauh berbeda dengan Permen sebelumnya,

termasuk pelaksanaan kegiatan pengembangan profesi yang berubah nama menjadi

pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB). Kehadiran Permen Nomor 16

semula diharapkan oleh para guru agar bisa mencegah menumpuknya guru pasca

IV/a. Permen sebelumnya telah membuat sebagian besar guru mentok di golongan

IV/a karena tidak dapat melakukan kegiatan pengembangan profesi dari karya tulis

ilmiah, membuat alat peraga/pendidikan, menciptakan karya seni, menemukan

teknologi tepat guna hingga mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum.

Data Depdiknas (2009) menunjukkan bahwa dari total guru PNS 1.579.381

orang, jumlah terbanyak yakni 569.611 orang atau sebesar 36,07 persen adalah

guru golongan IV/a. Menumpuknya guru golongan IV/a tersebut diakibatkan oleh

ketidakmampuan para guru melakukan kegiatan-kegiatan pengembangan profesi

seperti tersebut di atas. Meskipun demikian, para guru masih bisa berharap karena

ternyata sudah cukup banyak pula guru yang bisa naik pangkat pasca golongan

IV/a. Golongan IV/b, misalnya sudah ada 13.773 orang , IV/c sebanyak 114 orang,

IV/d sebanyak 47 orang, dan IV/e sebanyak 12 orang. Ternyata harapan tersebut

tinggal sebuah harapan belaka bahkan kalau mau jujur, Permen ini justru lebih

menekan para guru agar bisa melakukan 'lebih' dari biasanya. Permen baru justru

mengultimatum para pahlawan tanpa nama ini untuk melakukan kegiatan tersebut

Page 2: Menanti Pemerintah Mengambil Eksekusi

sejak dini. Ketika masih berada dalam jabatan guru pertama (III/b) misalnya, para

guru wajib melakukan PKB yang terdiri dari pengembangan diri melalui kegiatan

pendidikan dan pelatihan dan sejenisnya sebanyak 3 kredit dan publikasi ilmiah (dan

karya inovatif) minimal 4 kredit. Hal tersebut harus dilakukan agar bisa naik ke

jabatan guru muda (III/c).

Semakin tinggi jabatan/ golongan, semakin besar pula angka kredit PKB yang

harus dikumpulkan. Hal ini, dalam Permen sebelumnya hanya wajib dilakukan oleh

guru pasca golongan IV/a. Sanksi Permen 84/1993 telah termuat sanksi yang akan

menjadi penalti bagi para guru yang tidak berhasil mengumpulkan angka kredit

dalam jangka waktu tertentu.

Entah disadari atau tidak oleh guru namun sesungguhnya penalti itu

senantiasa mengintai para guru (Bdk. Sogen, Penalti Mengintai Para Guru dalam

Flores Pos, 24/5/2011). Salah satu butirnya menyebutkan, guru dibebaskan

sementara dari jabatannya bila tidak dapat mengumpulkan angka kredit dalam

jangka waktu tertentu, yakni: 1) 6 (enam) tahun sejak diangkat dalam jabatan

terakhir tidak dapat mengumpulkan angka kredit minimal yang diisyaratkan untuk

kenaikan pangkat/jabatan untuk guru utama muda (IV/c, pen.) ke bawah; 2) setiap 2

(dua) tahun sejak menduduki jabatan guru utama tidak dapat mengumpulkan angka

kredit sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) dari kegiatan proses belajar mengajar

atau bimbingan dan atau pengembangan profesi (1997:97).

Bila poin pertama Permen ini dilaksanakan secara benar maka sudah tak

sedikit guru yang telah diganjar dengan hukuman dibebaskan sementara dari

jabatannya. Paling banyak guru yang akan berhadapan dengan penalti ini adalah

mereka yang sudah menduduki jabatan sebagai guru pembina (IV/a). Sementara

untuk poin kedua tentu sungguh mustahil karena jumlah guru kita dalam jabatan ini

toh masih dapat dihitung dengan jari.

Meski demikian, masih menurut Kepmen tersebut, seharusnya enam bulan

sebelum batas waktu berakhir, pejabat yang berwenang menetapkan angka kredit

berkewajiban memberikan surat/nota peringatan bagi para guru tersebut dengan

menggunakan format Lampiran XII. Karena itu, para guru pun masih merasa aman

dengan posisi/jabatan gurunya sepanjang tak ada surat/nota dimaksud. Permen

tersebut lebih lanjut menyatakan bahwa bila surat/nota peringatan tersebut tidak

diindahkan oleh sang guru, maka pejabat yang berwenang menetapkan angka kredit

menyampaikan pemberitahuan kepada pejabat yang berwenang mengangkat dan

Page 3: Menanti Pemerintah Mengambil Eksekusi

memberhentikan guru yang bersangkutan dengan menggunakan Lampiran XIII.

Berdasarkan nota persetujuan tersebut pejabat yang berwenang mengangkat dan

memberhentikan guru dapat mengeluarkan surat keputusan pembebasan sementara

dari jabatan guru.

Memang 'perjalanan' birokrasinya cukup panjang. Jika sudah sampai di sini

maka konsekuensi lanjutnya adalah pada penerimaan tunjangan fungsional. Jika

ada pembebasan sementara, yang berarti guru tidak melaksanakan tupoksinya

maka yang bersangkutan tidak berhak atas tunjangan fungsional. Tinggal sekarang,

apakah sang guru rela kehilangan tunjangan yang sudah bertahun-tahun

diterimanya? Kalau tidak rela, maka mau tak mau, suka tak suka, sang guru harus

melaksanakan apa yang diisyaratkan yakni melaksanakan kegiatan pengembangan

profesi bagi guru golongan IV.

Meskipun demikian, hingga Permen ini dinyatakan tidak berlaku, tidak ada

keberanian pemerintah untuk mengeksekusi ketentuan tentang sanksi seperti

pembebasan sementara bagi guru yang tidak berhasil mengumpulkan angka kredit

dalam jangka waktu tertentu. Sementara dalam Permenpan & RB Nomor 16 Tahun

2009 tidak didapati ketentuan berupa sanksi bagi guru bila yang bersangkutan tidak

berhasil mengumpulkan angka kredit dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian

maka guru bisa bertahun-tahun berada di salah satu jabatan guru/golongan tertentu

bahkan tidak mustahil bila bisa bertahan hingga usia pensiun datang menjemput.

Tidak bedanya dengan pengalaman guru golongan IV/a dalam Permen sebelumnya.

Yang ada hanyalah sanksi bagi guru yang tidak memenuhi kewajiban beban kerja

padahal tidak mendapat persetujuan dari menteri berikut perolehan penetapan

angka kredit (PAK) dengan cara melawan hukum (Juknis Permendiknas Nomor 35

Tahun 2010, hlm. 97). Perihal beban kerja, seorang guru wajib memiliki jam

mengajar paling sedikit 24 jam tatap muka/minggu dan paling banyak 40 jam. Di

lapangan para guru merasa 24 jam adalah jam maksimal sehingga kalau diberi

tugas lebih dari itu malah ada yang berkeberatan. Padahal bila guru tidak memenuhi

beban kerja tersebut maka ia terancam akan mendapatkan pemberhentian atas

tunjangan yang menjadi haknya seperti tunjangan fungsional, tunjangan profesi, dan

tunjangan maslahat lainnya.

Ikhwal perolehan PAK dengan cara melawan hukum pernah menimpa

sejumlah guru di DI Yogyakarta dan Jawa Tengah (Koran Tempo, 19/6/2011). Rata-

rata mereka adalah guru senior yang telah belasan tahun berada di golongan IV/a.

Page 4: Menanti Pemerintah Mengambil Eksekusi

Dengan praktik by pass mereka memperoleh PAK tanpa melakukan kegiatan

pengembangan profesi khususnya karya tulis ilmiah dan mengajukannya untuk

dinilai. Mereka tentunya melakukan praktik kongkalikong dengan membayar

sejumlah uang kepada pihak tertentu yang menangani hal tersebut di Depdiknas.

Mereka akhirnya menerima sanksi diturunkan pangkatnya setingkat lebih rendah.

Untung saja tidak diberhentikan dari jabatan guru. Ini sesungguhnya masih terbilang

ringan karena dalam Pemen yang baru justru ada ancaman pemberhentian dari

jabatan guru bila terbukti menggunakan PAK yang diperoleh dengan cara melawan

hukum, selain pengembalian seluruh jenis tunjangan guru yang pernah diterimanya

termasuk penghargaan sekalipun.

Meskipun tak ada ancaman pembebasan sementara dalam Permen Nomor

16 Tahun 2009 namun sanksi yang menghadang juga cukup berat. Tinggal

sekarang, pertanyaannya adalah apakah pemerintah berani mengeksekusinya.

Karena peluang untuk memperoleh PAK dengan cara melawan hukum tentu saja

sangat terbuka lebar ketika para guru tak dapat berbuat banyak untuk memenuhi

tuntutan keprofesian. Apalagi jika terbuka kesempatan untuk melakukan hal

tersebut. Karena itu pemerintah dituntut untuk berani melakukan eksekusi terhadap

pelanggaran yang dilakukan sehingga jauh dari kesan seolah peraturan ini tak punya

gigi alias ompong belaka.

Selengkapnya:http://www.kompasiana.com/wartaguruntt/menanti-keberanian-pemerintah-

mengeksekusi_552fce976ea834d33f8b4642