memuati sebuah karya post-auratik dengan sebuah sebagai...

5
memuati sebuah karya post-auratik dengan sebuah pendaran makna. Andaikata hantu itu tidak dieksorsis oleh pencipta karya itu, di hadapan kita akan tersingkap sebuah pemaknaan yang menarik atas fragmentasi. Kerja di siang hari dan menikmati seks di malam hari memang dilakukan oleh tubuh yang sama, tetapi oleh ruang tubuh yang berbeda, seperti juga seorang birokrat di siang hari dan seorang pecinta di malam hari adalah orang yang sam a yang berada dalam ruang-ruang sosial yang berbeda. Fragmentasi adalah multiplikasi relasi, maka semakin terfragmentasi semakin kayalah seorang pribadi. Sebaliknya, dalam reduksi fragmen- fragmen yang be rag am dihisap ke dalam sebuah fragmen yang berlagak total. Reduksi adalah sebuah simplifikasi relasi. Para kritikus mass culture meratapi fragmentasi sebagai reduksi dan melupakan kenyataan bahwa fragmentasi menghindarkan pengamat dari 'teror keutuhan'. Keutuhan itu fiktif, karena orang tak pernah sungguh-sungguh utuh, hanya seolah-olah utuh, atau paling-paling ingin utuh. Tak ada hal yang lebih mengerikan daripada suatu keutuhan yang mengklaim diri sebagai kenyataan, karena di sanalah reduksi terjadi. Fundamentalisme agama dan totalitarianisme adalah terhisapnya kemajemukan fragmen ke dalam satu fragmen yang berlagak total. Fragmentasipun harus dilihat <- , sebagai fiksi , karena orang tak pernah sungguh- sungguh total terfragmentasi. Horor yang disajikan oleh para kritikus mass culture, kanibalisme virtual , adalah fiksi versi mereka. Ego dalam berbagai episodenya (sebagai pemakai, pemirsa, penikmat, dst.) tetaplah ego yang satu dan sama. Lewat keseolah-olahan ego mengutuhkan fragmen- fragmennya, seperti juga dia membagi-bagi keutuhannya lewat keseolah-olahan . Fragmentasi tubuh itulah yang memungkinkan relasi-relasi eksploitatif atas ruang-ruang tubuh, seperti dengan piawai dilukiskan dalam karya lain berjudul "Tubuhku adalah Lahan"(2002). Oi sinilah serangan ruang terjadi : Seperti dalam serangan seks, tubuh yang bergairah antara aktif dan pasif membuka ruang seks bagi penyerang, sehingga ego tidak lagi menguasai ruang tubuh itu, dalam serangan ekonomis-teknologis tubuh menyediakan ruang-ruangnya untuk diasingkan dari ego. Visi murung yang disajikan oleh kritikus mass culture adalah bahwa tubuh tak berdaya menghadapi serangan ruang itu dan membiarkan diri diseret masuk ke dalam ruang-ruang yang menguasainya. Tubuh gairah seorang model seolah dipenggal dari egonya yang resah dan digantung di 'etalase' untuk dinikmati sorot-sorot mata, dan hanya dengan cara fragmentasi ini tubuh menjadi lahan untuk - menumbuhkan modal. Jantung seorang pasien yang sekarat sudah diincar oleh sindikat jual beli .. .. ... u

Transcript of memuati sebuah karya post-auratik dengan sebuah sebagai...

Page 1: memuati sebuah karya post-auratik dengan sebuah sebagai ...archive.ivaa-online.org/files/uploads/texts/006-010 katalog... · lebih mengerikan daripada suatu keutuhan yang mengklaim

memuati sebuah karya post-auratik dengan sebuah pendaran makna.

Andaikata hantu itu tidak dieksorsis oleh pencipta karya itu, di hadapan kita akan tersingkap sebuah pemaknaan yang menarik atas fragmentasi. Kerja di siang hari dan menikmati seks di malam hari memang dilakukan oleh tubuh yang sama, tetapi oleh ruang tubuh yang berbeda, seperti juga seorang birokrat di siang hari dan seorang pecinta di malam hari adalah orang yang sam a yang berada dalam ruang-ruang sosial yang berbeda. Fragmentasi adalah multiplikasi relasi, maka semakin terfragmentasi semakin kayalah seorang pribadi. Sebaliknya, dalam reduksi fragmen­fragmen yang be rag am dihisap ke dalam sebuah fragmen yang berlagak total. Reduksi adalah sebuah simplifikasi relasi. Para kritikus mass culture meratapi fragmentasi sebagai reduksi dan melupakan kenyataan bahwa fragmentasi menghindarkan pengamat dari 'teror keutuhan'. Keutuhan itu fiktif, karena orang tak pernah sungguh-sungguh utuh, hanya seolah-olah utuh, atau paling-paling ingin utuh . Tak ada hal yang lebih mengerikan daripada suatu keutuhan yang mengklaim diri sebagai kenyataan , karena di sanalah reduksi terjadi. Fundamentalisme agama dan totalitarianisme adalah terhisapnya kemajemukan fragmen ke dalam satu fragmen yang berlagak total. Fragmentasipun harus dilihat

i~ <-

,

sebagai fiksi , karena orang tak pernah sungguh­sungguh total terfragmentasi. Horor yang disajikan oleh para kritikus mass culture, kanibalisme virtual , adalah fiksi versi mereka. Ego dalam berbagai episodenya (sebagai pemakai, pemirsa, penikmat, dst.) tetaplah ego yang satu dan sama. Lewat keseolah-olahan ego mengutuhkan fragmen­fragmennya, seperti juga dia membagi-bagi keutuhannya lewat keseolah-olahan .

Fragmentasi tubuh itulah yang memungkinkan relasi-relasi eksploitatif atas ruang-ruang tubuh , seperti dengan piawai dilukiskan dalam karya lain berjudul "Tubuhku adalah Lahan"(2002). Oi sinilah serangan ruang terjadi : Seperti dalam serangan seks, tubuh yang bergairah antara aktif dan pasif membuka ruang seks bagi penyerang, sehingga ego tidak lagi menguasai ruang tubuh itu, dalam serangan ekonomis-teknologis tubuh menyediakan ruang-ruangnya untuk diasingkan dari ego. Visi murung yang disajikan oleh kritikus mass culture adalah bahwa tubuh tak berdaya menghadapi serangan ruang itu dan membiarkan diri diseret masuk ke dalam ruang-ruang yang menguasainya. Tubuh gairah seorang model seolah dipenggal dari egonya yang resah dan digantung di 'etalase' untuk dinikmati sorot-sorot mata, dan hanya dengan cara fragmentasi ini tubuh menjadi lahan untuk -menumbuhkan modal. Jantung seorang pasien yang sekarat sudah diincar oleh sindikat jual beli

.. .. ... u

Page 2: memuati sebuah karya post-auratik dengan sebuah sebagai ...archive.ivaa-online.org/files/uploads/texts/006-010 katalog... · lebih mengerikan daripada suatu keutuhan yang mengklaim

.. ...

organ lewat internet. Dalam seni mutilasi , di mana tubuh dipreteli tidak secara virtual, melainkan secara fisis, fragmentasi tubuh mencapai kesungguhannya yang radikal.

Itu horor! - kata para pemuja keutuhan. Tubuh yang terfragmentasi tersingkap sebagai 'decentered body', karena ego - yang juga tersusun atas fragmen-fragmen - absen di sana. Mungkin horor bukan kata yang tepat. Entah mengerikan atau menyenangkan , kita tampaknya sedang berada di dalam sebuah era, di mana keutuhan ego dan tubuhnya semakin disadari sebagai a bundle of perceptions. Tubuh dan ego merupakan hasil lukisan alam yang penuh improvisasi, tersusun atas jaringan-jaringan kontingensi. Mungkin kemurungan para kritikus mass culture dapat dilampaui, jika fragmentasi dilihat sebagai peluang untuk 'reorganisasi kenikmatan': Ego di sini , di dalam bilik sepinya, membiarkan tubuh di sana, di panggung riuhnya, menikmati serangan-serangan terhadap dirinya. Dengan menghasilkan ruang gairah terus-menerus, tubuh bukanlah korban serangan ruang, melainkan penikmatnya yang piawai. "Lahan" bukan hanya objek eksploitasi, melainkan juga penghasil kenikmatan. Untuk itu - dalam mass culture­dibutuhkan kecerdasan inderawi untuk mengenali ruang-ruang kenikmatan tubuh.

_7

Perpleksitas Moral

Hilangnya keutuhan ego dan tubuhnya berjalan . sejajar dengan drama agung tentang hilangnya keutuhan moral. Harsono sebagai kritikus sosial­politis tampil kembali dalam beberapa karya berikut: "Blank Spot on My TV" (2003), Bintang itu Mulai Pudar"(2002) , "Open your Mouth" (2001), "Api 1"(2000), "Api 2" (2000), "Wear Masks" (2001), "Super Woman" (2001), "Harga Oiri" (2001) dan "Pig or Angel? So what?" (2002). Kunci untuk memahami karya-karya ini pad a hemat saya adalah karya berjudul "Pig or Angel? So what?" (2002): babi yang telanjang itu bersayap, dan malaikat yang bersayapitu telanjang. Konsep ke-babi-an ditangguhkan oleh eksistensi sayap itu, seperti juga konsep ke-malaikat-an ditunda lewat tubuh gairah itu. Sekilas pengamat melihat babi dan malaikat di sana, tetapi dengan melompat ke dalam ide yang berpendar ke luar dari bingkai, pengamat akan melihat bahwa yang tampak di sana sebenarnya sebuah perpleksitas moral. Yang najis, menjijikkan, busuk dan bidaah meraih emblem sebagai yang luhur, kudus dan saleh, sementara itu yang terakhir ini 'ternoda' oleh yang pertama. Alih-alih garis batas pemisah antara yang baik di atas dan yang buruk di bawah dalam karya itu tampil sebuah gradasi penuh ketegangan. Perpleksitas di sini bukanlah kesukaran dalam menerapkan penilaian

Page 3: memuati sebuah karya post-auratik dengan sebuah sebagai ...archive.ivaa-online.org/files/uploads/texts/006-010 katalog... · lebih mengerikan daripada suatu keutuhan yang mengklaim

baik atau buruk, melainkan suatu kegagapan dalam penilaian itu sendiri , karena oposisi antara yang baik dan yang buruk itu tidak bersih , melainkan tercemar, terbastardisasi.

Perpleksitas itu sebagian dihasilkan oleh teknologi pencitraan. Dalam "Super Women " terjadi kontaminasi antara yang real dan yang virtual dalam konsep hero. Buruh perempuan yang diduga oleh sang seniman sebagai hero yang sesungguhnya kehilangan pesonanya ditimbuni oleh citra-citra animasi komputer a la Lara Croft. Dalam masyarakat media pengakuan tidak lagi diraih lewat perbuatan moral ( a la pejuang buruh seperti Marsinah, misalnya), melainkan lewat teknik pencitraan. Pendaran yang menyilaukan publ ik menyebabkan kekaburan dalam membedakan babi atau malaikat. santa atau pelacur, koruptor atau dermawan. Atau sebagaimana tampil dalam "Bintang itu Mulai Pudar", simbol-simbol pemihakan kepada rakyat ternyata telah mengalami metamorfosis menjadi emblem yang menakutkan rakyat karena para pejuangnya ternyata menjual kemiskinan untuk gaya hidup mereka. Dan akhirnya, dalam sekuensi berjudul "Blank Spot on My TV", tampil sebuah perpleksitas lain: berkata­kata itu tak berkata apapun. Itu adalah sebuah miniatur tentang demokrasi yang menikam dirinya sendiri . Penutur itu berbeda-beda dan tutu ran itu banyak, tetapi semua itu satu dan sama: hampa seperti blank spot. Bukan sekedar kritik atas arogansi verbalisme atau ketidakpercayaan pad a isi kata-kata yang disingkapkan di sini, melainkan juga sebuah deskripsi tentang raibnya subjek penutur dalam timbunan kata-kata kosong. Semua mengatakan semua, maka tak ada lagi yang perlu bertanggungjawab atas apa yang dikatakan. Subjek moral raib dalam timbunan 'kata orang', dalam kediktatoran tak seorang pun.

Ruang seni yang tercipta dari karya-karya Harsono bukan sekedar sebuah locus pergumulan

pribadinya. Aku rakitan, tubuh yang terfragmentasi dan perpleksitas moral dapat ditemukan dalam ruang-ruang sosial di luar galeri ini. Kita diundang tidak sekedar untuk memasuki galeri pameran, melainkan terlebih untuk bercumbu dengan pergumulan sang seniman dengan berhasil memasuki ruang seninya. Hanya dengan cara itu kita dibuat mendengar jeritan di luarnya. Dan jika sekarang saya diminta membuka pameran ini, saya insyaf bahwasaya membuka dengan kunci saya dan melalui pintu saya sendiri. Anda juga memegang kunci dan memiliki pintu Anda sendiri. Karena itu, saya membuka pameran ini dengan ucapan selamat jalan ke dalam ruang seniyang tersembunyi dalam pameran ini!

Jakarta, 26 Mei 2003

.. .. .. .. .. ""

... ....

Page 4: memuati sebuah karya post-auratik dengan sebuah sebagai ...archive.ivaa-online.org/files/uploads/texts/006-010 katalog... · lebih mengerikan daripada suatu keutuhan yang mengklaim

- (.

- -I

'displaced': fx harsono pengantar kuratorial

.~~~ndro Wiyanto

Sesudah'tahun 197EFan; untukmelih~t :. bagaimana seorang seniman di Indonesia seeara gigih dan tak jemu menyuarakan kritik terhadap pelbagai hal, kita perlu menengok perkembangan karya-karya FX Harsono. Kita tahu FX Harsono sudah menempatkan diri dan karyanya sejak pertengahan tahun 1970-an dalam seni rupa moderen di Indonesia. Tempat bagi karya-karyanya yang pertama dan mulai dikenal berada dalam penentangan dengan arus utama seni lukis yang meneari kepribadian nasionalistik pada dekade 70-an.

Sebagai seniman muda yang masih duduk sebagai mahasiswa seni rupa waktu itu, ia membentuk sebuah grup seni rupa yang kemudian terbukti membuka jalan bagi estetika dan penilaian yang pluralistik di dalam seni. Kelompok ini beberapa waktu kemudian menyadari keeenderungan dan tujuan-tujuan di dalam grup mereka sebagai sebuah "gerakan", yakni Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB).

Seeara umum kita dapat memahami perbedaan antara "gerakan" seperti dimaksudkan oleh keeenderungan grup ini dan apa yang disebut mashab (schoof) yang mewarnai perkembangan seni rupa di masa sebelumnya. Dalam pengertian seni (man) garda depan (avantgarde) suatu gerakan eenderung menunjukkan sikap penyerangan atau agitasi terhadap suatu tradisi, apakah tradisi yang muneul dari seorang master atau guru, akademi, maupun suatu bentuk kolektif yang disebut sebagai masyarakat atau publik.

~" Ajaran '; atau pikiran-pikirari dari merekayang diserang dianggap eenderung merugikan atau bahkan barangkali menghambat perkembangan. Keeenderungan mengagitasi merupakan semangat yang dapat dikatakan melekat dalam karakteristik gerakan yang sifatnya antagonistik.

Gerakan niseaya berbeda dengan mashab (seperti kita men genal mashab-mashab kubu Bandung dan kubu Yogyakarta, misalnya ) yang memandang perlu mewariskan suatu sistem kerja atau mashab itu sendiri ; yang memiliki vitalitas namun "kebal terhadap suatu perubahan", sambil mensyaratkan sejumlah murid . Suatu gerakan -dan para pengikutnya-tidak memahami kebudayaan sebagai semaeam ensiklopedi seperti halnya mashab, melainkan sebagai "kreasi", atau sebagai "pusat aktivitas" . Dalam kalimat yang sering kita dengar belakangan ini , mashab eenderung akan memandang kebudayaq,n sebagai kata benda, sedangkan "gerakan" menganggapnya sebagai suatu "kata kerja" yang lebih-bersifat dinamis.

Mashab lazimnya beke-rja di dal am dan untuk tujuan-tujuan transenden, yang sering tidak ditentukan ataupun dibuat oleh mashab itu sendiri. Sedangkan gerakan seeara rasional memiliki dasar suatu tujuan imanen, melekat ,di dalam gerakan itu sendiri.

_ Rupanya, mashab memang eenderung mengajarkan atau mewariskan sesuatu, tetapi apa misalnya yang bisadiajarkan atau diwariskan dari sebuah gerakan? 1)

Salah satu yang dapat ditambahkan pada

Page 5: memuati sebuah karya post-auratik dengan sebuah sebagai ...archive.ivaa-online.org/files/uploads/texts/006-010 katalog... · lebih mengerikan daripada suatu keutuhan yang mengklaim

gerakan adalah sifat kesementaraan gerakan itu sendiri. Pada GSRB (1974-1979), misalnya pernyataan pembubaran grup dalam gerakan ini secara sadar dan rasional dan dengan pertimbangan tertentu menunjukkan bag ian dari nilai hakiki gerakan yang mereka hayati.

Arus seni lukis yang ditentang oleh FX Harsono dan kawan-kawannya adalah seni lukis yang mencari identitas kenasionalan dalam seni rupa, sejalan dengan kepribadian nasional yang dirumuskan khususnya oleh politik di masa Orde Baru.

Seni rjJpa yang mencari identitas nasional dapat dilihat sebagai bag ian yang tak terpisahkan dari argumen "kebudayaan politik" (political culture) yang telah ditandai oleh usaha untuk menangani "politik kebudayaan" (cultural politics) yang serba mau mengatur bagaimana kebudayaan (nasional) harus dirumuskan dan dipraktikkan menurut cita­cita politik. Jika politik nasional mau mencari identitasnya dalam kesatuan nasional , maka kebudayan nasional berupaya mencari identitasnya dalam kesatuan kebudayaan. Kesatuan kebudayaan itu tak lain adalah kebudayaan nasional Indonesia, yang dirumuskan oleh sementara orang sebagai puncak-puncak kebudayaan yang datang dan berasal dari daerah.2)

Boleh jadi para para pelukis yang berupaya mencari kepribadian nasional atau identitas keindonesiaan dalam karya-karya mereka melalui sumber-sumber tradisi yang dipungutnya akan menganggap sumber-sumber terpilih itu sebagai puncak-puncak yang perlu disatukan juga.

Bagi Harsono melakukan penentangan terhadap sebuah arus utama dalam seni rupa pada waktu itu bisa jadi lebih mudah untuk dimengerti, setidaknya secara internal di dalam lingkungan kelompok seniman itu sendiri . Tetapi , bagaiaman penentangan itu tidak cuma berhenti menjadi

10 ~

sebuah penentangan yang eksklusif atau sebuah pseudo-intelektual misalnya, adalah pertanyaan yang tak kurang penting untuk diajukan . Setidaknya, bagaimana penentangan itu bisa bermakna bagi masyarakat dan dapat dipahami oleh masyarakat? Meskipun pikiran semacam itu umumnya tak tampak berada dalam pikiran kaum penentang dan pembaharu , pertanyaan Harsono akan membuka suatu debat yang lebih luas menyangkut hubungan antara seni dan masyarakat.

Jika penentangan oleh seni dan para seniman memiliki rasionalitas sosial , bagaimana rasionalitas ini dapat dimengerti oleh masyarakat yang mereka bayangkan? Dengan kata lain apakah rasionalitas penentangan di dalam seni -pada tingkat tertentu­juga menimbang atau memperhitungkan rasionalitas masyarakatnya juga?

Sebagai seorang perupa yang ada dalam situasi semacam itu, FX Harsono tampaknya berupaya untuk merumuskan pikirannya sendiri . la menulis dalam sebuah esai pendek -merupakan sebuah eseinya yang pertama- peri hal dua pol a pikiran yang mendasar dalam gerakan pembaruan seni rupa di Indonesia yang tengah diajukan olehnya dan kawan-kawannya.

Dua pola pikiran mendasar itu adalah pertama, pencarian sebab-sebab mandegnya perkembangan seni rupa Indonesia yang "tidak mandiri , tidak bermutu" dan "tidak memiliki identitas". Pola pikiran yang kedua adalah kegelisahan untuk melahirkan karya-karya baru yang belum pernah ada sebelumnya di Indonesia.

Kedua pola pikiran yang menurutnya cenderung menjadi dasar gerakan serta alasan pembaruan yang dianut GSRB menu rut Harsono mengandung bahaya. Bahaya yang pertama adalah obsesi yang berlebihan yang beraras pada kecenderungan berbau konseptualisme atau intelektualisme untuk menghadirkan sekadar yang baru. Bahaya kedua

-.. ... ...