Memilih Pemimpin Hebat di TangSel byhq.doc

7
Memilih Pemimpin Hebat di TangSel Oleh; BAEHAQI* Kata ‘hebat’ memiliki konotasi yang subjektif bergantung dari sudit pandang kita memaknai kata tersebut, ‘hebat’ (kehebatan seseorang) bisa diukur karena prestasi nya selama memimpin, bisa juga dinilai karena kemampuannya menyelesaikan persoalan-persoalan rumit, bahkan kata ‘hebat’ juga bisa disematkan karena faktor kedekatan personal. Agar ‘hebat’ disini paling tidak mendekati nilai objektif, maka penulis perlu memunculkan dua kategori ‘hebat’ secara umum. Pertama, seorang pemimpin dapat dikatakan ‘hebat’ karena ia mampu keluar dari berbagai tekanan politik selama menjabat, artinya pemimpin dapat dikatakan ‘hebat’ karena ia memiliki segudang “pengalaman”. Kedua, pemimpin akan menjadi ‘hebat’ karena ia memiliki “pengetahuan” secara mendalam. Baik “pengalaman” maupun ‘pengetahuan’ adalah proses-proses yang didapat dengan cara yang arif dan bijaksana, suatu keinginan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur (baldah toyyibah wa rabb al-ghofuur). Sejarah menyebutkan, pemimpin hebat seperti Jullius Cesar di Roma, Abraham Lincoln di Amerika, Soekarno-Hatta di Indonesia, Jalal ud-Din Muhammad Akbar the Great di India, Catherine The Great di Rusia (tokoh politik wanita abad ke- 18), Siti Khadijah ra, Aisyah ra, Fatimah Az-Zahra putri Rasulullah SAW, Nusaybah binti Ka’ab (pemimpin wanita Islam dalam perang uhud), Al-Malika al-Hurra Arwa al-Sulayhi (pemimpin dan ratu Yaman sekaligus intelektual wanita) di jazirah Arab - - walau disebut belakangan namun tokoh-tokoh

Transcript of Memilih Pemimpin Hebat di TangSel byhq.doc

Page 1: Memilih Pemimpin Hebat di TangSel byhq.doc

Memilih Pemimpin Hebat di TangSel

Oleh; BAEHAQI*

Kata ‘hebat’ memiliki konotasi yang subjektif bergantung dari sudit pandang kita

memaknai kata tersebut, ‘hebat’ (kehebatan seseorang) bisa diukur karena prestasi nya

selama memimpin, bisa juga dinilai karena kemampuannya menyelesaikan persoalan-

persoalan rumit, bahkan kata ‘hebat’ juga bisa disematkan karena faktor kedekatan personal.

Agar ‘hebat’ disini paling tidak mendekati nilai objektif, maka penulis perlu memunculkan

dua kategori ‘hebat’ secara umum. Pertama, seorang pemimpin dapat dikatakan ‘hebat’

karena ia mampu keluar dari berbagai tekanan politik selama menjabat, artinya pemimpin

dapat dikatakan ‘hebat’ karena ia memiliki segudang “pengalaman”. Kedua, pemimpin akan

menjadi ‘hebat’ karena ia memiliki “pengetahuan” secara mendalam. Baik “pengalaman”

maupun ‘pengetahuan’ adalah proses-proses yang didapat dengan cara yang arif dan

bijaksana, suatu keinginan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur (baldah

toyyibah wa rabb al-ghofuur).

Sejarah menyebutkan, pemimpin hebat seperti Jullius Cesar di Roma, Abraham

Lincoln di Amerika, Soekarno-Hatta di Indonesia, Jalal ud-Din Muhammad Akbar the Great

di India, Catherine The Great di Rusia (tokoh politik wanita abad ke-18), Siti Khadijah ra,

Aisyah ra, Fatimah Az-Zahra putri Rasulullah SAW, Nusaybah binti Ka’ab (pemimpin

wanita Islam dalam perang uhud), Al-Malika al-Hurra Arwa al-Sulayhi (pemimpin dan ratu

Yaman sekaligus intelektual wanita) di jazirah Arab - - walau disebut belakangan namun

tokoh-tokoh wanita ini mengilhami kelahiran wanita hebat di dunia, termasuk ibu kita.

Mereka semua adalah tokohtokoh yang ber “pengelaman” dan ber “pengetahuan” luas.

Dan kemudian dari rahim ‘ibu’ itulah lahir wanita-wanita hebat modern seperti

Condolezza Rice di Amerika, Wu Yi di China, Yulia Tymonshenko di Ukraina, Gloria

Aroyyo di Philipina, dan Sinta Nuriyah Wahid (lihat. Ensi Tokoh Indonesia, The Journalistic

Biography) di Indonesia. Sulit disangkal bahwa tokohtokoh tersebut lahir memang karena

faktor “pengalaman” dan “pengetahuan” nya bukan karena faktor keberuntungan semata,

kedua hal tersebut yang kemudian membedakan pemimpin hebat dengan manusia biasa

lainnya.

Pengalaman dan pengetahuan pada akhirnya menentukan cara pandang pemimpin,

karena cara pandang dapat meneguhkan visi dan karakter pemimpin, cara pandang sekaligus

menguatkan cara berfikir seorang pemimpin. Pengalaman

(empiria/empirik/experience /expeur) disini merupakan pengalaman eksternal, yakni hasil

Page 2: Memilih Pemimpin Hebat di TangSel byhq.doc

pengamatan di masa lampau yang digabungkan dengan pesona kepemimpinan serta teruji

secara neotik (diperoleh berdasarkan pemahaman terhadap realita yang faktual).

Dalam hal ini John Locke menganggap pengalaman sebagai asal dari semua ide,

seseorang yang sudah berpengalaman memimpin maka ia dapat mengetahui dan menentukan

secara intensif cara menghadapi suatu peristiwa atau fenomena. Haidar Bagir menyatakan,

pengalaman adalah sebuah dunia yang dipersepsi atau labenswelt (Edmunt Russel). Sedang

menurut Ibnu Miskawaih dalam kitab Tahdzibul achlaq wa tathhirul a'raaq (Akhlaq dan

Politik) antara lain menegaskan bahwa pengalaman mampu membentuk karakter seseorang

secara murni serta dapat menghidupkan daya berfikir (al-nafs al-nathiqah) lebih cemerlang.

Untuk itu, kebutuhan akan pemimpin yang memiliki pengalaman dianggap sebagai; “a

principle, standart, or quality regarded as worthwhile or desirable”, suatu nilai kumulatif

yang dipandang bermanfaat dan diperlukan dalam mengelola pemerintahan.

Tantangan memimpin kota Tangerang Selatan tentunya lebih pelik dibanding kota-

kota lainnya di provinsi Banten, selain sebagai kota termuda yang membutuhkan pengelolaan

secara profesional, kota Tangerang Selatan juga dihadapkan pada daya saing peningkatan

potensi alamiah nya (SDA dan SDM). Letaknya yang bersentuhan langsung dengan

perbatasan provinsi Jawa Barat (Depok dan Bogor/Parung) serta provinsi DKI Jakarta

(Ciputat-Lebak Bulus), menjadikan kota Tangerang Selatan sebagai satusatunya duta provinsi

Banten dalam hal persaingan global. Titik akurasi agar kota Tangerang Selatan mampu

memunculkan kualitas dalam persaingan global tersebut, adalah dengan memiliki pemimpin

yang sarat pengalaman, pemimpin yang memahami manajemen pemerintahan kota

Tangerang Selatan, dan pemimpin yang memahami kultur-geografis wilayah kota Tangerang

Selatan.

Maka menjadi menarik perhelatan pemilukada 2015 di kota Tangerang Selatan ini,

seluruh pandangan dari berbagai penjuru di Indonesia mengarah ke kota Tangerang Selatan

sambil menanti hasil akhir pencapaian pemungutan suara. Kandidat-kandidat yang ada

tentunya memiliki segudang kelebihan, mereka semua merupakan kader terbaik yang

dilahirkan dari rahim ‘ibu’ untuk menjadi panutan masyarakat kota Tangerang Selatan lima

tahun ke depan. Hal ini nampak dari tiga pasangan cawalkot TangSel yang merupakan

seorang ibu; Ikhsan Modjo memilih Li Claudia Chandra sebagai wakilnya (wanita asal Dabo

Singkep yang memiliki keahlian dibidang kuliner), Arsid juga memilih wanita bernama dr.

Elvier Aliadiannie sebagai wakilnya (wanita asli Jawa Timur yang berprofesi sebagai dokter),

dan Hj. Airin Rachmy Diany wanita asal Banjar yang menguasai bidang keNotariatan

memilih kembali H. Benyamin Davnie sebagai wakilnya, putra asli Pandeglang-Banten.

Page 3: Memilih Pemimpin Hebat di TangSel byhq.doc

Wanita-wanita tersebut adalah putri terbaik bangsa yang multi talenta. Rekam jejak

merakalah yang kemudian menempatkan mereka sebagai kandidat calon walikota dan calon

wakil walikota Tangerang Selatan. Keunikannya, dibanding dua wanita yang menjadi wakil

Ikhsan Mojo dan Arsid, Hj. Airin Rachmy Diany, mewakili kaum perempuan Indonesia,

muncul kembali sebagai calon walikota Tangerang Selatan. Tentunya sebuah semangat juang

yang perlu diapresiasi secara positif oleh masyarakat luas, khususnya masyarakat kota

Tangerang Selatan. Karena dalam satu rentangan sejarah, sedikit sekali kaum wanita yang

berani memimpin orang banyak. Wanita-wanita tersebut merupakan perempuan pillihan dari

hasil proses ‘pengalaman’ hidup bermasyarakat dan bernegara.

Jauh sebelumnya keterlibatan aktif perempuan dalam bidang sosial politik dan

keagamaan telah mendapat legalisasi dari ulamaulama besar Islam, bahkan secara tersirat al-

Quran Surah al-Hujurat ayat 13 mendudukan posisi perempuan pada kedudukan yang

terhormat. Diperkuat oleh pendapat imam al-Ghazali dalam kitab Al-Islam wa Al-Thaqat Al-

Mu'attalat menyatakan bahwa perempuan sangat layak menempati keistimewaan dalam

bidang materi dan sosial, Mahmud Syaltut dalam kitabnya Taujihat al-Islam mengatakan

bahwa Allah telah menganugerahkan perempuan potensi dan kemampuan untuk

melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Hingga kemudian

Quraish Shihab juga mengomentari seputar keterlibatan perempuan dalam aktivitas sosial-

politik, menurutnya jika konsideran bunyi ayat ar-rijalu qawwamuna 'alan nissa dilengkapi

dengan kalimat terakhir dari ayat tersebut ‘fala tabaghu ‘alaiyhinna sabiilan’, ruang bagi

perempuan untuk memimpin telah terlindungi secara normatif (QS. 4: 34).

Kesiapan kembali Hj. Airin Rachmi Diany sebagai cawalkot TangSel, mungkin

menjadi inspirasi lahirnya wanita hebat dunia dari kota Tangerang Selatan. Kehadiran beliau

mengingatkan kita pada sosok Christina Fernandez de Kirchner, presiden Argentina yang

mampu keluar dari bayangbayang suaminya (Marcos). Mungkin inilah ruh semangat yang

diwariskan oleh tokohtokoh wanita Indonesia seperti Cut Nyak Dien (Aceh), Dewi Sartika

(Jawa Barat) dan Nyi Mas Melati (Banten). Ungkapan yang masih cocok pada konteks ini

adalah maqalah ulama yang berbunyi; al-muhafadhatu ‘ala qadimi as-sholeh, wa al-akhdu fi

jadidi al-ashlah, kebiasaan lama yang baik dapat kembali dipertahankan jika membawa

kemashlahatan.

Satu hal yang sulit dihindarkan dari hajatan pemilukada adalah model ‘black

campaign’, upaya pembunuhan karakter yang dihembuskan oleh oknum pesaing guna

memuluskan tujuannya. Black Campaign bukan hanya menyangkut pendiskreditan seseorang

karena masalah hukum, tetapi juga dapat dihembusan karena isuisu gender, feminimisme,

Page 4: Memilih Pemimpin Hebat di TangSel byhq.doc

bahkan lebih jauh berdampak pada aspek moralitas atau pencemaran nama baik (charachter

assasination). Padahal klaim tentang perilaku moral (moral behavior) dan perilaku tidak

bermoral (immoral behavior) bergantung kepada kepribadian seseorang (yakni pada

perkembangan intelektualnya), dan juga karena ketidakmampuannya memenuhi dan

mematuhi harapan kelompok sosial lainnya. Dalam hal ini, klaim bermoral (morality) atau

tidak bermoral (immorality) tentu saja dapat dibumbui bahkan dapat dipolitisir.

Perbedaan pandangan dan sikap politik (political view) dalam hajat seperti

pemilukada tentunya dapat ditempatkkan sebagai dinamika kehidupan sosial politik, bukan

kemudian menjadi ajang untuk saling menjatuhkan. Bambang Sugeng, Kepala Puskasi

Bandung menyatakan; “Pengalaman umum, yang diperkuat oleh kesaksian sejarah

menunjukkan bahwa relasi sosial yang ditandai dengan kompetisi yang tidak terkendali dapat

berkembang menjadi penentangan; dan jika penentangan ini menegang tajam akan

memunculkan konflik”. Kata konflik, berasal dari bahasa Latin confligere, yang berarti saling

memukul. Dalam pengertian sosiologis, konflik dapat difahami sebagai suatu “proses sosial”

di mana dua orang atau dua kelompok orang berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara

menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya.

Untuk itu ‘pengalaman’ akan semakin bermanfaat jika ditopang dengan

‘pengetahuan’, yakni cara pandang dan cara berfikir pemimpin ditengah-tengah persoalan

kemasyarakatan yang demikian kompleks. Asal pengetahuan didapat dari pengalaman,

pengamatan dan pemahaman terhadap fenomena, pengetahuan terbentuk karena adanya

keinginan membangun sistem ide ke dalam tindakan. Pengetahuan kemudian melahirkan satu

nilai aksentuasi yang berpedoman kepada kepentingan bersama, sehingga atas dasar inilah

masyarakat secara bersamasama dapat menentukan pilihannya.

*Penulis adalah Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah TangerangMahasiswa Program Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta