Membuka Tabir Visual Candoleng

29
MEMBUKA TABIR VISUAL CANDOLENG-DOLENG SEBAGAI PRAKTIK SUBKULTUR MUSIK DANGDUT DI INDONESIA KAJIAN VISUAL MEDIA Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan mata kuliah Kajian Visual Media Dosen: Yuka Dian Narendra Oleh Sari Riantika Damayanti 209000056

Transcript of Membuka Tabir Visual Candoleng

MEMBUKA TABIR VISUAL CANDOLENG-DOLENG SEBAGAI PRAKTIK SUBKULTUR MUSIK DANGDUT DI

INDONESIA

KAJIAN VISUAL MEDIADiajukan untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan mata kuliah Kajian Visual Media

Dosen: Yuka Dian Narendra

Oleh

Sari Riantika Damayanti

209000056

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS FALSAFAH DAN PERADABAN

UNIVERSITAS PARAMADINA

JAKARTA 2012

P a g e | 1

INTRODUKSI

Dangdut merupakan salah satu aliran musik Indonesia yang multidimensi.

Dimensi tersebut antara lain mencakup estetik, artistik, sosial, ekonomi, bahkan politik.

Dimensi - dimensi ini hadir sebagai wujud representasi dari perilaku masyarakat

terutama pada kelompok yang menyangga eksistensi dangdut di Indonesia. Dalam hal

ini, dangdut menjadi situs istimewa yang mampu menjelaskan narasi tentang identitas

bangsa Indonesia dalam perjalanan kesejarahannya.

William Frederick menyatakan bahwa genre dangdut adalah prisma yang peka

dan berguna untuk memandang masyarakat Indonesia (Friederick, 1982). Sementara,

Andrew N. Weintraub juga berpendapat bahwa dangdut dapat mencerminkan keadaan

politik dan budaya nasional. Ia dikatakan dapat membantu membentuk gagasan tentang

kelas, gender, dan etnisitas di negara Indonesia sebagai praktik ekonomi, politik, dan

ideologinya sehingga kajian terhadap identitas bangsa Indonesia dapat ditinjau dari

diskursus mengenai dangdut. (Weintraub, 2012: 10)

Perkembangan musik dangdut yang diawali dengan fase yang disebut musik

dangdut klasik menjadi musik dangdut kontemporer atau modern menandai bahwa

realitas kekinian dari musik dangdut tidak hanya milik golongan atau kelas tertentu,

tetapi telah merambah ke ruang publik yang lebih luas. Dangdut yang sekitar tahun

1970-an dianggap musik kaum muda urban, kini menjadi bagian penting dan

menguntungkan bagi industri rekaman musik, film, video, pertunjukkan di TV, tabloid

dan nada sambung telepon genggam. Oleh karena itu, dangdut dapat dikatakan sebagai

budaya populer di Indonesia.

Saat ini, dangdut sebagai karya seni musik Indonesia juga tidak luput dari

standarisasi kapital baik pada bangunan musik, struktur lagu, maupun tema liriknya

yang lebih banyak mengeksploitasi ke persoalan cinta dalam ruang sempit hingga

pengumbaran libido cinta atau seksualitas, bahkan kini praktik protitusi dan/atau

pornoaksi pun semakin marak terjadi di dunia dangdut melalui tren goyang tubuh yang

sekarang lebih condong ke arah erotisme.

Candoleng-doleng adalah salah satu sampel subkultur dangdut yang

mengedepankan unsur-unsur erotisme dalam penampilannya. Candoleng-doleng

menjadi hiburan masyarakat khususnya di daerah Sulawesi Selatan seperti Pinrang,

P a g e | 2

Sidrap, Makasar dan seterusnya. Penyanyi elekton1

yang menyanyi sambil melakukan tarian erotis ini

menerima bayaran dalam bentuk saweran2 yang

diselipkan oleh penonton ke pakaian dalam yang

mereka kenakan. Para biduan –penyanyi / penari yang

terdiri dari perempuan belia hingga setengah baya-

diiringi pemain keyboard berpakaian dengan hanya

menggunakan bra, cawat, sepatu bot setinggi lutut dan

rok mini. Sambil bernyanyi, mereka menggeliat dan

menggoyang pinggulnya maju dan mundur lalu

memutar. Kemudian, mereka menggesek-gesekkan

tubuhnya di tiang penyangga tenda di panggung atau di

tubuh teman sesamanya lalu membuka busana perlahan

– lahan dilanjutkan dengan melakukan auto-erotika

atau yang familiar disebut dengan mansturbasi. (Lihat Gambar 1)

Candoleng – doleng diiringi dengan hentakan musik house dangdut, kemudian

para perempuan ini meliuk - liuk di atas panggung. Namun jarang sekali terdengar

nyanyian dari mulut mereka. Mereka justru lebih sering mengumbar desahan-desahan,

seolah seperti sedang berhubungan intim. Semakin lama goyangan mereka semakin

brutal. Mereka berjoget-joget sambil membuka pakaian. Pada menit berikutnya adegan

demi adegan seronok mereka suguhkan. Tak hanya bapak-bapak dan remaja yang

menyaksikan hiburan ini, anak - anak di bawah usia 14 (empat belas) tahun pun ikut

menyaksikan. Pertunjukkan ini sering dijumpai pada acara pernikahan di daerah

provinsi Sulawesi Selatan. Masyarakat setempat menyebutnya Candoleng – doleng.

Dalam Bahasa Indonesia, kata Candoleng – doleng dalam bentuk tunggal dapat

berarti “bergelantungan atau terjuntai” sedangkan dalam bentuk jamaknya berarti

“tergantung – gantung atau terjuntai-juntai”. Pada penggunaan bahasa Bugis sehari-hari

1 Juru musik yang mengiringi pertunjukkan dangdut. Di pulau Jawa dan Sumatra disebut Organ Tunggal, di Sulawesi Selatan khususnya pada masyarakat Bugis Makassar Organ Tunggal disebut Elekton (penyebutan sehari-hari diambil dari kata Electone dalam bahasa Inggris). Lihat artikel mengenai "Candoleng-doleng, Suguhan Erotis di Sidrap Marak” diakses dari http://regional.kompas.com/ pada 22 Mei 20122 Istilah "saweran" umum nya populer di kalangan para penggemar musik dangdut. Saweran adalah pemberian tip yang dilakukan seorang penonton konser musik dangdut kepada seorang penyanyi / sinden atau pun biduan.

Gambar 1. Biduan Candoleng – doleng

P a g e | 3

baik makna tunggal dan jamak kata Candoleng-doleng tidak bersifat konotatif sebagai

contoh engkaro pao candoleng-doleng yang diterjemahkan dengan ada mangga yang

bergelantungan. Pergeseran hingga penggunaan candoleng-doleng sebagai nama sebuah

pertunjukan erotis yang mempertontonkan aurat adalah ketika para pelaku dalam

pertunjukkan ini adalah semuanya wanita dan pada umumnya sering bertelanjang dada

sehingga mempertontonkan payudaranya. Payudara yang tampak bergelantungan

dipinjam istilahnya untuk pertunjukkan ini sehingga disebutlah Candoleng-doleng. Hal

ini serupa dengan pemikiran Ferdinand de Saussure mengenai tanda yang terdiri dari:

bunyi-bunyian dan gambar disebut signifier atau penanda serta signified atau konsep -

konsep dari bunyi-bunyian dan gambar. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan

tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan

tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut referent. Hampir serupa dengan Peirce yang

mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier. Perbedaannya

adalah Saussure memaknai object sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur

tambahan dalam proses penandaan. Contohnya ketika orang menyebut kata “Anjing”

(signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan atau

kekesalan (signified). Begitulah pemikiran Saussure tentang tanda yang terdiri dari

signifier dan signified. Menurutnya, mereka merupakan kesatuan yang tak dapat

dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas. (Sobur, 2006).

Musik adalah bagian dari formasi diskursif tentang bagaimana menjadi anggota

komunitas nasional. Formasi diskursif ini mengondisikan orang untuk membayangkan

dirinya sebagai bagian dari komunitas dalam arti yang didefinisikan oleh lembaga dan

aparat negara. Diskursus tentang dangdut dapat menempatkan produksi dan sirkulasi

makna tentang sebuah genre musik dalam kondisi sosial tertentu sebab dangdut sebagai

sistem representasi yang secara simbolis berperan dalam membedakan satu kelompok

sosial dengan kelompok sosial lainnya yakni melalui bunyi, teks, citra dan maknanya.

(Weintraub, 2012)

Dangdut pada awal kemunculannya menjadi parent culture dari adanya subkultur-

subkultur dangdut yang kemudian memecah aliran musik ini ke dalam beberapa jenis

lain seperti: (a) dangdut pada tahun 1960 – 1975 ikut diramaikan oleh beberapa nama di

antaranya: O Chandralela, Sinar Kemala, Klana Ria, Pancaran Muda, Purnama Chandra

Ieka, Soneta dan juga Rhoma Irama serta Elvy Sukaesi, Muchsin dan Mansyur, (b) pada

P a g e | 4

tahun 1990 – 2000 yaitu Dangdut Standar yang diramaikan oleh penyanyi dangdut

seperti Meggy Z, Mega M, Caca, Ikke Nurjanah, Leo Waldy, Nais Larasati, Iis Arisha,

dan Sheilawati, (c) Disco Dangdut yang diramaikan oleh penyanyi dangdut seperti

Jeffry Bule, Nini Carlina, Aty Adyatie, Linda Carella, (d) Pop Dangdut yang

diramaikan oleh artis dangdut seperti Camelia Malik, Itje Tresnawati, dan Vetty Vera,

(e) Dangdut Mandarin diramaikan oleh Anis Marselia dan Merry Andani, (f) Dangdut

Daerah seperti Evi Tamala dan Nur Afni Octavia, (g) Rock Dangdut oleh Rhoma

Irama, Mara Karma dan Nano Romansyah hingga sekarang yang dikenal dengan (h)

Korean-Dangdut atau K-Dut seperti Ayu Ting-Ting. 3Menurut Hebdige, subkultur

merupakan bagian dari kultur atau kebudayaan, perilaku dan keyakinan yang mereka

anut biasanya berlainan dengan wilayah kultur dominan di mana mereka terdapat di

dalam kultur dominan tersebut. Pada awalnya, subkultur merupakan budaya perlawanan

oleh sekelompok orang yang terhadap sistem kebiasaan yang diotoriterkan. Subkultur

adalah gejala budaya dalam masyarakat industri maju yang umumnya terbentuk

berdasarkan usia dan kelas. Secara tidak langsung sebuah subkultur melontarkan

perlawanan terhadap hegemoni di dalam suatu masyarakat. (Hebdige, 1999)

Candoleng-doleng dapat dikatakan sebagai subkultur budaya dangdut di Indonesia

sebab Ia menonjolkan erotisme yang berbeda dengan konsep awal musik dangdut

Indonesia pada era 1930-an seperti Orkes Gambus dan Orkes Melayu.

Makalah ini kan membahas bagaimana representasi visual dari subkultur

kebudayaan populer di Indonesia dalam mengartikulasikan identitas melalui berbagai

praktek subkultur. Fenomena yang akan diangkat adalah tentang pertunjukkan dangdut

erotis, Candoleng – doleng. Subkultur dangdut ini akan dibantu dengan menggunakan

pemikiran Hebdige dan Paul du Gay untuk menjelaskan bagaimana representasi visual

dari Candoleng – doleng ini dalam praktiknya.

PEMBAHASAN

A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN MUSIK DANGDUT DI INDONESIA

Pada awal kemunculannya, musik dangdut sebenarnya diperuntukkan untuk

semua kalangan dari semua strata ekonomi dan sosial. Ia menjadi sangat akrab di telinga

seluruh masyarakat Indonesia baik kalangan atas, kelompok - kelompok elit atau

3 Lih. Nizar dan Suherman. 1994. Dangdut Sebuah Perjalanan. Citra, 20-26 Juni, hlm 2

P a g e | 5

penguasa hingga masyarakat pinggiran. Ia dipopulerkan oleh penghibur terkenal di

Indonesia, sejak periode pasca Soekarno, yaitu antara tahun 1975-1981 sehingga

dangdut mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat

Indonesia. (Ibrahim, 1997)

Hal tersebut menjadikan dangdut sebagai identitas kultural bagi masyarakat

Indonesia. Namun seiring perkembangannya musik dangdut mendapat stereotip sebagai

musik kaum marjinal atau pinggiran dan kelompok kelas ekonomi bawah.

Musik dangdut adalah perpaduan antara alat musik Indonesia, Arab, India, dan

Barat yang dimainkan bersama-sama. Kemudian seiring berjalannya waktu, harmoni

musik ini dipengaruhi oleh orkestra barat serta irama samba dan rumba. Pengaruh itu

akhirnya membawa musik dangdut masuk ke dalam tradisi melayu yang berkembang di

daerah yang jauh dari ibu kota dan merupakan tempat tinggal para musisi dan kritikus

musik, terutama di daerah Padang dan Medan.

Dalam tulisan Frederick dalam (Ibrahim, 1997: 236) dijelaskan bahwa istilah

dangdut muncul sekitar tahun 1972-1973. Nama ”Dangdut” diambil dari istilah ejekan

yang muncul dari bunyi gendang yaitu dang dan dut. Semangat sosial dan alat musik

dangdut bermula dari periode awal kolonial. Ketika itu dipadukan antara alat musik

Indonesia, Arab, dan Barat yang dimainkan bersama-sama.dalam Tanjidor. Yaitu orkes

kecil yang dimainkan sambil berjalan (khas Betawi). Kemudian sepanjang abad ke- 19

pengaruh-pengaruh luar juga diserap. Menjelang tahun 1820, Ansambel Cina Betawi

yang dikenal dengan nama Gambang Kromong muncul dan dipadukan dengan alat

musik dan melodi Cina, Sunda, Maluku, dan Portugis yang kemudian dikenal dengan

sebutan Keroncong. Tetapi memasuki awal abad ke-20 jenis musik ini mendapat

reputasi yang tidak baik. Lalu, para pemain dan penyanyi keroncong pun akhirnya

banyak yag memutuskan untuk berkelana di kota-kota di Pulau Jawa. Di beberapa

daerah mereka mengasosiasikan dirinya dengan dunia Stamboel dan bentuk drama

populer kota yang sedang naik daun. Para golongan kelas atas mengganggap bahwa

jenis musik ini sebagai produk buruk yang berasal dari kehidupan kampung.

Tetapi pada tahun 1920, orang-orang Indonesia yang mengakui kepiawaian

keroncong dalam tatanan kolonial mulai lebih terbuka dengan keroncong, meskipun

mereka tetap menganggap bahwa musik keroncong merupakan musik kampungan dan

secara emosional tidal disukai serta bersifat egaliter. Kemudian pada tahun 1930-an

P a g e | 6

yakni setelah datangnya radio, piringan hitam dan film, musik keroncong berada dalam

tahap transisi penting.

Perubahan arus politik Indonesia di akhir tahun 1960-an membuka masuknya

pengaruh musik barat yang kuat dengan masuknya penggunaan gitar listrik dan juga

bentuk pemasarannya. Singkatnya pada tahun 1970-an sampai1980-an asimilasi lagu

melayu menjadi musik dangdut menjadi identik dengan musik Oma Irama (sekarang

dikenal dengan H. Rhoma Irama. Hal ini dikarenakan Oma Irama-lah yang

mengkombinasikan musik melayu dengan musik rock yang populer pada tahu 1970-an.

Dan pada saat tu mulailah musik melayu disebut dengan musik dangdut, karena

dominasi arena diambil alih oleh ketimpung yang bunyinya dapat diatur dengan tangan

sehingga dapat berbunyi dang-d. (Bungin, 2005: 96)

Sebagai musik populer, dangdut sangat terbuka terhadap pengaruh bentuk musik

lain, mulai dari keroncong, langgam, degung, gambus, rock, pop, bahkan house music.

Aliran Musik Dangdut yang merupakan seni kontemporer terus berkembang dan

berkembang, pada awal mulanya Irama Dangdut Identik dengan Seni Musik kalangan

Kelas Bawah dan memang aliran seni Musik Dangdut ini merupakan cerminan dari

aspirasi dari kalangan Masyarakat kelas bawah yang mempunyai ciri khas kelugasan

dan Kesederhaan nya.

Karena sifat kontemporernya maka di awal tahun 1980-an, musik dangdut

berinteraksi dengan aliran Seni musik lainnya yaitu dengan masuknya aliran musik pop,

Rock dan Disco atau House Music. Selain masuknya unsur seni musik modern, musik

dangdut juga mulai bersenyawa dengan irama musik tradisional seperti gamelan,

Jaranan, Jaipongan dan musik tradisional lainnya.

Maka pada jaman 1990 mulai lah era baru dimana musik dangdut yang banyak

dipengaruhi musik tradisional yaitu irama gamelan yang identik dengan kesenian Musik

asli budaya jawa. Pada masa ini musik dangdut mulai berasimilasi dengan seni gamelan

dan terbentuklah suatu aliran musik baru yaitu “Musik Dangdut Campursari” atau

Dangdut Campursari. Meski musik dangdut yang lebih original juga masih tetap ada

pada masa tersebut.

Pada tahun 2000-an seiring dengan kejenuhan musik dangdut yang original maka

di awal era ini para musisi di wilayah Jawa Timur di daerah pesisir Pantura mulai

mengembangkan jenis musik dangdut baru yaitu seni musik dangdut koplo. Dangdut

P a g e | 7

Koplo ini merupakan mutasi dari musik dangdut setelah era dangdut campursari yang

bertambah kental irama tradisionalnya dan dengan ditambah dengan masuknya Unsur

seni musik kendang kempul yang merupakan seni musik dari daerah Banyuwangi, Jawa

Timur dan irama tradisional lainya seperti Jaranan dan Gamelan. Berkat kreatifitas para

musisi dangdut Jawa Timur ini lah sampai saat ini musik dangdut koplo yang Identik

dengan gaya jingkrak pada goyangan penyanyi dan musiknya ini saat ini sangat

kondang dan banyak digandrungi segala kalangan masyarakat Indonesia.

Pada era musik dangdut koplo inilah mulai memacu tumbuhnya grup musik

dangdut yang lebih terkenal dengan sebutan OM atau Orkes Melayu antara lain OM.

Sera , OM Monata, OM Palapa, OM New Palapa, OM RGS dan OM lainnya yang

mengibarkan aliran musik dangdut koplo di nusantara ini.

Saat ini, musik dangdut sudah menjangkau segala kalangan Masyarakat dari

kalangan kelas bawah sampai kalangan menengah hingga kelas atas. Musik dangdut pun

sudah merambah di dunia diskotik yang sudah memutar musik dangdut sebagai musik

wajibnya, Sehingga sudah tidak asing lagi jika saat ini banyak stasiun radio yang

menamakan dirinya sebagai stasiun radio dangdut bahkan stasiun televisi dangdut

Indonesia, karena kecintaan masyarakat dengan irama musik dangdut ini. Maka tidak

bisa dipungkiri irama musik dangdut ini bisa dibanggakan menjadi musik asli

Indonesia. Akhirnya musik asli dangdut Indoensia sudah merambah ke dunia

internasional antara lain negara Jepang yang mulai gandrung sehingga membawa

kebanggaan kita akan aliran music yang menjadi salah satu ikon bangsa ini.

B. DANGDUT SEBAGAI KEBUDAYAAN POPULER DI INDONESIA

Ketika budaya diartikan dalam istilah populer maka akan berkaitan dengan tema

analisa “posmodernisme”. Budaya tidak lagi berasal dari khalayak tapi berpusat pada

kata dengan menggunakan konteks budaya. Makna dan ideologi boleh saja tidak

semenarik dulu dalam dominasi tapi bukan berarti “tidak bisa digunakan lagi”. Dengan

kata lain, budaya populer boleh saja berada dalam ranah posmodernisme tapi bukan

berarti tidak memiliki makna. Kesalahan ditegaskan pada penggunaan istilah oleh para

kaum kapitalis untuk memunculkan sebuah budaya dominan sehingga bentuk

perlawanan terhadap dominasi tersebut pasti akan memiliki karakter posmodernisme

kosong dan penanaman makna. (Scannell, 1994)`

P a g e | 8

Para pakar melihat bahwa realitas dibangun di dalam budaya popular, dan di

waktu yang sama budaya popular dianggap sebagai realitas. Budaya popular bukan

hanya mengenai orang-orang, bahasa, fesyen (fashion), atau bahkan kebutuhan hidup.

Budaya popular adalah akar dari nilai-nilai komersial. Budaya popular menanggung

beban dari sesuatu yang secara komersial memiliki nilai untuk diproduksi. Sebagai

hasilnya, budaya popular mengidentifikasikan masyarakat sebagai sebuah kesatuanhal

ini bersifat ideologis artinya budaya popular mengidentifikasikan seseorang menjadi

bagian dari masyarakat popular atau tidak. Derivasinya adalah budaya popular

menetapkan standarisasi dan mengasosiasikan sikap atau tingkah laku sebagai yang

“normal” atau yang “menyimpang” menurut perspektifnya. Mereka yang turut dalam

lokomotif budaya popular akan dianggap “normal”, sebaliknya yang tidak mengikuti

budaya popular atau bahkan menentangnya akan dianggap “menyimpang”.

Dalam Bungin (2005) dijelaskan tentang gagasan budaya populer oleh Ben Agger

dapat dikelompokkan menjadi empat aliran, yaitu:

1. Budaya dibangun berdasarkan kesenangan tapi tidak substansial dan

mengentaskan orang dari kejenuhan kerja sepanjang hari.

2. Kebudayaan populer menghancurkan nilai budaya tradisional.

3. Kebudayaan menjadi masalah besar dalam pandangan ekonomi Max

kapitalis

4. Kebudayaan populer merupakan budaya yang menetes dari atas.

Berkaitan dengan gagasan Ben Agger tersebut dapat diketahui bagaimana makna

musik dangdut dalam budaya populer dalam masyarakat Indonesia. Di bawah kendali

industri budaya popular pola budaya musik Indonesia mengalami pergeseran

determinasi bangunan musiknya. Musik dangdut sebagai karya seni Indonesia, saat ini

juga tidak luput mengalami perekayasaan standarisasi baik bangunan musiknya, struktur

lagunya, maupun pembakuan tema liriknya yang lebih banyak mengeksploitasi ke

persoalan cinta dalam ruang sempit, mulai dari tematik ilusi cinta, ekstasi cinta sampai

pengumbaran libido cinta atau seksualitas, bahkan kini dunia perselingkuhan pun makin

marak merambah di dunia musik dangdut. Apalagi penambahan goyang tubuh yang

semakin jauh lebih condong ke arah erotisme dan pornoaksi.

Seni sebagai perwujudan dari ekspresi batin yang selalu dikaitkan dengan estetika

telah mengalami pergeseran nilai, direduksi dan standarisasi sedemikan rupa sehingga

P a g e | 9

menjadikan dirinya tak lebih dari sekadar sebagai objek kepentingan komoditas. Musik

sebagai karya seni yang diharapkan menjadi pengkayaan batin, pencerahan budi,

sekaligus sebagai pecerminan yang mewakili watak, karakter, citra dan kepribadian

suatu masyarakat telah mengalami pergeseran nilai. Akankah pergeseran nilai,

pergeseran estetika dalam musik dangdut ini mewakili cerminan riil kondisi masyarakat

kita? Atau jangan-jangan justru kita yang sudah diperdaya oleh penyusupan propaganda

ideologi kapitalisme global yang secara tersembunyi menggerogoti kepribadian dan jati

diri kita sebagai bangsa.

C. PRAKTIK CANDOLENG-DOLENG SEBAGAI SUBKULTUR DANGDUT DI

INDONESIA

Dangdut seringkali dikerdilkan sebagai bentuk rendah dari budaya populer

Indonesia (Weintraub, 2012). Diskursus mengenai dangdut di tanah air turut mengiringi

perjalanan sejarah Indonesia. Diskursus mengenai dangdut mampu menjelaskan narasi

tentang identitas bangsa Indonesia secara lebih luas termasuk tentang kelas, gender,

etnisitas, maupun bangsa sehingga dangdut dapat dianggap sebagai tanda simbolis

untuk menciptakan apa yang disebut dengan Bourdieu sebagai distingsi atau pembeda

(Bourdieu, 1982). William Frederick mengatakan bahwa:

Dangdut as the style of music here defended by contemporary Indonesia’s best known popular entertainer, has been of enormous influence in much of the post Soekarno period, especially the years 1975 – 1981. Aimed directly of youth, it is dominated by a pulsating dance rhytm, and a populist message, with both islamic and secular variants. It has given Indonesian Islam a new kind of public identity.

Subkultur sering diartikan sebagai sebuah perlawanan terhadap hegemoni di

dalam suatu masyarakat dengan menciptakan gaya sendiri. Hal tersebut dalam fashion,

terkadang subkultur melakukan perlawanan terhadap fashion itu sendiri, namun

terkadang subkultur tidak menentang terhadap hegemoni, mereka hanya ingin berbeda

dan hanya ingin menunjukkan identitas atau keberadaan mereka. (Hebdige, 1999 : 204).

Subkultur adalah bagian dari kultur atau kebudayaan, biasanya istilah Subkultur

ini digunakan dalam ilmu sosiologi, antropologi, dan studi kebudayaan untuk

mendefinisikan sebagai sekumpulan orang yang mempunyai sebuah perilaku dan

P a g e | 10

keyakinan yang berlainan dengan wilayah kultur dominan dimana mereka termasuk di

dalam dominan tersebut. Selain itu subkultur dapat ditafsirkan sebagai “organisme

independen yang berfungsi di luar konteks sosial, politik dan ekonomi yang lebih

besar”. (Hebdige, 1999 : 148)

Setiap subkultur mendefinisikan diri dengan simbol- simbol tertentu atau fashion

yang berbeda. Pada akhirnya, subkultur ini akan mengartikulasikan identitas melalui

praktik – praktik untuk menandai keberadaannya. Fashion sendiri sering dinggap

sebagai sesuatu yang diproduksi dan dikonsumsi oleh masyarakatkapitalis, namun

dalam gaya atau fashion dalam subkultur sarat dengan sebuah perlawanan terhadap

gaya yang selama ini telah ada karena mereka menganggap bahwa gaya yang selama ini

ada sangat otoriter dan kaku. Namun terkadang subkultur tidak melawan akan hegemoni

tersebut, mereka hanya ingin tampil beda atau hanya untuk menunjukkan identitas atau

keberadaan mereka. “Maksud di balik gaya semua subkultur tontonan adalah

mengkomunikasikan perbedaan (sambil mengkomunikasikan identitas kelompok).

(Hebdige, 1999 : 204)

Selanjutnya, subkultur diidentikan dengan anak muda, karena anak muda selalu

ekspresif dalam merepresentasikan gaya mereka. Subkultur anak muda saat ini semakin

berkembang, hal ini disebabkan oleh bertambahnya media massa yang memberi sebuah

pengaruh, perubahan susunan keluarga. Menurut Cohen fungsi laten dari subkultur

adalah untuk ‘mengekspresikan’ dan menanggapi, kendati secara magis, kontradiksi

yang tetap tersembunyi atau tidak terselesaikan di dalam kultur orang tua. (Cohen dalam

Hebdige, 1999 : 150)

Berdasarkan beberapa konsep subkultur yang dikemukakan di atas, dangdut

sendiri sebagai kebudayaan populer Indonesia kemudian memiliki beberapa subkultur

seiring dengan perkembangan zamannya. Subkultur ini muncul ketika kita melihat

hadirnya beberapa jenis aliran dangdut yang berbeda dan memiliki karakter khas

masing-masing. Sebagai contoh Rock Dangdut yang dipopulerkan oleh Rhoma Irama

dkk yang menawarkan tema-tema tentang kemiskinan, agama, kegagalan dalam

keluarga dan lain sebagainya. Seiring dengan perkembangan zaman, dangdut pun

semakin mengalami perubahan, karakternya tidak lagi mengedepankan tema dari teks

lagu yang dinyanyikan seperti era dangdut sebelumnya. Dangdut dihiasi dengan

pergulatan mengenai tubuh erotis yang menyertainya. Dangdut kemudian lebih identik

P a g e | 11

dengan goyangan – goyangan seksi dan panas yang mampu membangkitkan gairah

seksual laki – laki. Candoleng – doleng hadir sebagai salah satu penanda adanya jenis

dangdut yang demikian. Ia hadir dengan karakter khasnya sendiri serta mengangkat isu

yang berbeda yakni menawarkan rangsangan tubuh bagi kaum laki – laki. Tentunya hal

ini menjadi kontroversial. Akan tetapi dalam pembahasan ini, permasalahan yang

ditengahkan adalah mengenai perbedaan candoleng –doleng dengan genre dangdut

lainnya yang tampak melalui isu – isu yang ditonjolkan serta istilah yang diangkat

yakni membawa unsur kedaerahan khusunya daerah Sulawesi Selatan. Hal tersebut

menunjukkan bahwa candoleng – doleng ini merupakan praktik subkultural yang

tumbuh hanya pada masyarakat lokat Sulawesi Selatan saja. Praktik-praktik subkultural

ini bisa mencerminkan keinginan kolektif masyarakat lokal Sulawesi Selatan untuk

melarikan diri dari kepenatan dan tekanan hidup sehari – hari.

D. MEMBUKA TABIR VISUAL CANDOLENG-DOLENG MELALUI ANALISA

SIRKUIT BUDAYA PAUL DU GAY

Dalam setiap penampilannya, dangdut sering identik dengan goyangan. Goyang

dangdut ini adalah bentuk parelisasi antara penyanyi dengan pertunjukkan musiknya

sebab adanya kolaborasi antara lagu dan musik dan tarian mencerminkan bentuk

harmonisasi suatu pertunjukkan seni musik. (Ida, 2003)

Tubuh perempuan dianggap mengandung sensualitas yang mengarah pada

erotisme dan menggugah birahi laki – laki. Terkait dengan goyangan erotis ini, maka

yang dilakukan para penyanyi dangdut perempuan dianggap sebagai pornoaksi. Dalam

hal ini, dangdut menjadi ruang untuk menentukkan posisi – posisi yang sangat

bertentangan perihal makna tubuh perempuan. Bagi sebagian besar kalangan, tarian

erotis perempuan adalah komodifikasi dan maksiat, sementara bagi kalangan lainnya,

tarian ini merupakan peluang ekonomi dan kebebasan ekspresi. Dalam kacamata

feminis, jelas hal semacam ini dipertentangkan terutama terkain dengan otoritas

perempuan dalam menentukkan ekspresinya dan juga konteks perempuan yang selalu

dijadikan objek seksual oleh kaum laki – laki. Bartky mengatakan “woman’s body is an

ornamented surfaced too and there is much dicipline involved in this production as well

(Ida, 2003).” Ini berarti bahwa tubuh perempuan dianggap sebuah ornamen yang harus

sangat diperhatikan, karena dia adalah objek yang menonjol.

P a g e | 12

Praktik subkultural dari candoleng – doleng tidak hanya dapat dianalisa melalui

goyangan erotis yang menjadi karakter khasnya. Namun juga dapat melalui aspek –

aspek visual lainnya seperti gaya vokal, fasyen, irama, harmoni, melodi dan bentuk.

Menurut Paul du Gay terdapat 5 (lima) hal penting dalam proses kultural (cultural

process) yang dapat diidentifikasi melalui representasi, identitas, produksi, konsumsi

dan regulasi yang membentuk pola seperti sirkuit sehingga disebut dengan sirkuit

budaya. Sirkuit budaya ini dapat dianalisa melalui teks-teks budaya atau artefaknya.

Untuk dapat menelusuri makna dan representasi yang tersirat dalam dangdut erotis

Candoleng – doleng, maka diperlukan suatu pemodelan layaknya yang dibuat oleh Paul

du Gay dan Stuart Hall yang kemudian kita kenal dengan sebutan Sirkuit Budaya.

Sirkuit budaya ini dimaksudkan untuk menunjukkan secara jelas relasi dan koneksi

antar elemen budaya dan representasinya yang kita bisa sebut sebagai share meaning.

(Lihat Gambar 2)

Gambar 2. The Circuit of Culture, from Du Gay, 1997, Production of Culture / Cultures of Production

Representasi, produksi (cultural production), dan konsumsi (cultural

consumption) adalah mencakup aspek visual dari suatu budaya atau yang dapat

diinderakan. Dalam kasus Candoleng – doleng, dapat dianalisis melalui gaya vokal, teks

lagu, melodi, irama dan harmoni. Representasi adalah produksi makna terhadap konsep

yang terdapat dalam pola pikir kita melalui bahasa. Makna diproduksi dan

dipertukarkan antara anggota dari budaya tersebut yang terlibat melalui praktik bahasa

dari tanda dan gambar yang ditampilkan untuk merepresentasikan sesuatu. Seperti yang

P a g e | 13

telah diungkapkan di atas, Candoleng – doleng memiliki beberapa struktur visual

diantaranya Ia diiringi dengan hentakan musik house dangdut yaitu musik dangdut

dengan hentakan keras (up beat), kemudian para penyanyi / penari yang notabene

adalah perempuan ini meliuk - liuk di atas panggung. Namun jarang sekali terdengar

nyanyian dari mulut mereka. Mereka justru lebih sering mengumbar desahan-desahan,

seolah seperti sedang berhubungan intim. Semakin lama goyangan mereka semakin

brutal. Mereka berjoget-joget sambil membuka pakaian. Pada menit berikutnya adegan

demi adegan seronok mereka suguhkan. Tak hanya bapak-bapak dan remaja yang

menyaksikan hiburan ini, anak - anak di bawah usia 14 (empat belas) tahun pun ikut

menyaksikan. Pertunjukkan ini sering dijumpai pada acara pernikahan di daerah

provinsi Sulawesi Selatan.

Identitas mengungkapkan tentang selera dan simbol budaya suatu komunitas

tertentu. Identitas merupakan salah satu yang menjadikan sebuah ciri khas seseorang.

Identitas tidak dapat datang atau tercipta dengan sendirinya, melainkan identitas

diciptakan atau dibentuk dari seseorang atau kelompok tertentu.

Menurut Giddens identitas diri adalah apa yang kita pikirkan tentang diri kita

sebagai pribadi. Tentu, dia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah kumpulan sifat-

sifat yang kita miliki; ini bukanlah sesuatu yang kita miliki, ataupun entitas atau benda

yang bisa kita tunjuk. Yang dia maksud adalah bahwa identitas merupakan sesuatu yang

kita ciptakan, sesuatu yang selalu dalam proses, suatu gerak maju sesuatu yang datang

kemudian (Barker, 2005 : 171).

Identitas dapat dibentuk melalui representasi – representasi yang hadir dari pola

produksi hingga konsumsi budaya. Berkaitan dengan musik dangdut, maka dangdut pun

dapat dikategorikan oleh dua hal yang dapat membantu identifikasi mengenai identitas

dangdut tersebut termasuk dapal realitas subkultur yang mana yakni identitas nasional

populer dan identitas regional dan / atau identitas etnis.

Musik Indonesia dielaborasi oelh Hatch (1985) dan Yampolsky (1991) sebagai

penanda identitas lokal -identitas regional dan identitas etnis. Genre musik nasional

populer Indonesia dicirikan oleh kriteria berikut: (1) dinyanyikan dalam bahasa

nasional, (2). unsur - unsur musikalnya baik instrumen, warna suara, organisasi

melodik, ritmik dan formal berlandaskan model Barat atau sekurang - kurangnya tidak

diasosiasikan dengan kelompok etnis tertentu, dan (3) rekaman musiknya diproduksi di

P a g e | 14

jakarta oelh sekelompok produser pusat dan beredar dalam jaringan media nasional. Di

pihak lain, musik populer lokal dicirikan oleh kriteria berikut: (1). dinyanyikan dalam

bahasa lokal, (2). memiliki unsur - unsur musikal pribumi, (3) diproduksi di studio

rekaman lokal untuk pasar lokal. (Weintraub, 2012)

Dalam kasus Candoleng – doleng maka dapat dikatakan bahwa ia masuk dalam

kategori identitas regional atau etnis populer yakni Sulawesi Selatan. Provinsi Sulawesi

Selatan merupakan tempat tercipta dan berkembangnya Candoleng – doleng ini yang

juga dapat dibuktikan melalui istilahnya yang merupakan bahasa Bugis Makasar

( Sulawesi Selatan). Walaupun diantara beberapa lagu dinyanyikan di atas pentas oleh

para biduan candoleng – doleng adalah lagu – lagu dangdut nasional populer selain

lagu – lagu dengan bahasa lokal. Ini menandakan adanya perpaduan budaya antara

nasional dan regional atau yang juga dikenal dengan regionalitas nasional dalam musik

dangdut.

Kemudia, pada penjelasan mengenai regulasi dapat mencakup nilai - nilai, norma

- norma, hukum hingga agama yang merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi

perjalanan budaya. Penyanyi dangdut A. Rafiq mengatakan bahwa tindakan yang bisa

dikategorikan sebagai pornografi dan pornoaksi dinilai dari batasan agama, budaya, dan

adat istiadat daerah (Ida, 2003). Berdasarkan hal ini, candoleng - doleng telah

melampaui batasan regulasi antara etika dan agama. Hal ini menunjukkan bahwa

dangdut kemudian mendapat batasan dan pengaruh terutama dari norma – norma, nilai –

nilai dan adat istiadat yang terdapat di Indonesia. Candoleng-Candoleng bisa diartikan

aksi erotis wanita yang mengumbar aurat dengan bertelanjang dada hingga bugil yang

diiringi sajian elekton. Dalam hal ini candoleng-doleng merupakan proses disosiatif

baik dalam bentuk persaingan (competition); kontravensi (contravention) dan;

pertentangan (conflict) pada pada interaksi sosial masyarakat. Melihat fenomena

candoleng-doleng dan bagaimana kontrol masyarakat lebih cenderung berkaitan dengan

Perspektif sosiologi yakni Interaksionis Simbolik. Streapteas produk pertunjukkan barat

yang menjelma menjadi candoleng-doleng bisa merupakan proses labelling. Dalam

proses labeling bahwa perilaku menyimpang merupakan produk dari pemahaman yang

dikeluarkan oleh suatu kelompok, dalam hal ini kegiatan candoleng-doleng sebagai

perilaku menyimpang dijadikan label sebagai streaptease. Walaupun kita tidak harus

bersifat absolutisme dalam melihat candoleng-doleng sebagai perilaku menyimpang,

P a g e | 15

sikap reaktif dalam proses pelabelan dapat memungkinkan hal ini, karena dengan

melihat saja , definisi dapat timbul akan arti candoleng-doleng yang bisa jadi menjadi

sebuah perilaku menyimpang di tengah masyarakat.

Candoleng-doleng sering dianggap dan dipandang hal yang biasa walaupun pada

lapisan masyarakat Bugis Makassar sangat kental dengan nilai-nilai religius dan ade’

(adat). Candoleng-doleng bisa menjadi salah satu proses yang mampu memberikan

dampak perubahan sosial dan kebudayaan, dan bagaimana pun tanggapan akan hal ini

bahwa candoleng-doleng diyakini memilik kadar pertentangan yang merupakan hal baru

yang menghancurkan nilai-nilai norma dan secara alamiah telah ditolak hanya

kemampuan untuk memulihkannya membutuhkan sebuah proses.

Proses interaksi adanya perubahan hal baru ini lebih terlihat karena faktor

perubahan sosial, ekonomi dan budaya dan kekhawatiran akan adanya maladjustment

yakni perubahan yang tak mampu disaring akan terjadi di dalam masyarakat. Akibat

terburuk akan menimbulkan anomibaru di tengah masyarakat karena apapun bentuknya

akan menjadi sebuah realitas nyata. Proses penyaluran akan hal ini akan memberikan

dampak disintegrasi sosial di tengah masyarakat. Apapun hal itu candoleng-doleng tidak

ingin akan terlihat atau menjadi bagian karakter pada kebudayaan yang ada.

KESIMPULAN

Dangdut adalah salah satu aliran musik yang berkembang di Indonesia. Ia

kemudian diidentikkan dengan selera musik kelas menengah ke bawah. Dangdut

sebagai musik kaum marjinal ini telah mengalami kemajuan ketika rejim kekuasaan

Orde Baru menggunakannya sebagai alat penarik massa pada saat kampanye politik.

Mereka juga dipolitisasi untuk bergabung menjadi partisan oleh partai politik terbesar

saat itu yaitu Golkar. ()

Popularitas dangdut yang menyebar ke seantero nusantara menunjukkan bahwa dangdut

dapat dikatakan sebagai budaya populer di Indonesia. Namun, seiring dengan

perkembangan zaman, dangdut pun semakin berubah, berbagai jenis aliran tumbuh dan

berkembang. Konteks regional dan nasional pun semakin menguatkan posisi mereka

dalam memengaruhi budaya populer Indonesia ini sehingga dangdut kemudian terpecah

menjadi beberapa subkultur seperti Rock Dangdut, K-Dut ataupun Dangdut Erotis.

P a g e | 16

Makalah ini menjelaskan tentang bagaimana praktik subkultur Candoleng – doleng

yang mampu mengartikulasikan identitas mereka melalui representasi visual yang

dihadirkan dari pola produksi dan konsumsi budaya (cultural production and

consumption). Candoleng – doleng merupakan istilah yang digunakan oleh masyarakat

sekitar Sulawesi Selatan untuk hiburan dangdut yang seringkali disuguhkan pada pesta

– pesta pernikahan di sana. Candoleng – doleng ini sarat akan gerakan atau goyangan

erotis. Para biduan Candoleng – doleng ini melakukan gerakan maju mundur kemudian

memutar pada tiang – tiang penyangga panggung sambil menyanyi, kemudian mereka

membuka busana yang mereka kenakan satu per satu lalu melakukan auto-erotika di

atas panggung. Hiburan ini tidak hanya dihadiri oleh kalangan dewasa laki – laki

maupun perempuan, tapi juga anak – anak yang kira – kira berusia kurang dari 14

(empat belas) tahun. Mereka menyaksikannya secara sengaja dan merespon para

penyanyi / penari Candoleng – doleng ini dengan uang yang disebut saweran dan

diselipkan pada pakaian dalam biduan. Kemudian, tekanan akan norma – norma, nilai-

nilai dan budaya dalam masyarakat Indonesia merupakan wujud regulasi yang

seharusnya dapat mepengaruhi praktik subkultur ini. Namun, Candoleng – doleng ini

terlihat melampaui regulasi yang ada. Di Sulawesi Selatan sendiri terdapat budaya siri

pese atau budaya malu yang sangat dijunjung tinggi. Namun, regulasi semacam ini

nampaknya tidak banyak dipertimbangkan dalam produksi, konsumsi, representasi,

maupun identitas Candoleng – doleng. Mereka lebih memilih untuk membuat

regulasinya sendiri yaitu kebebasan yang tanpa dibatasi oleh sesuatu apa pun dengan

tujuan untuk menjadikan Candoleng – doleng ini sebagai sarana hiburan eskapisme

yang membantu masyarakat terutama penikmat Candoleng – doleng untuk keluar dari

kepenatan akan rutinitas dan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari –

hari. Untuk itu, Candoleng – doleng masih tetap bertahan hingga sekarang ini walau

dengan beberapa kontroversi.

Daftar Pustaka

BIBLIOGRAPHY Barker, C. (2000). Cultural studies: Theory and Practice. London: Sage Publication.

P a g e | 17

Bungin, B. (2005). Pornomedia; Sosiologi Media, konstruksi Sosial Teknologi telematika & Perayaan Seks di Media Massa. Jakarta: Pranada Media.

Frederick, W. H. (1982). Rhoma Irama and The Dangdut Style: Aspects of Contemporary Indonesian Popular Culture . Indonesia , 103-130.

Gay, P. d. (1997). Doing Cultural Studies: THe Story of The Sony Walkman Milton Keynes. New York: Sage.

Hebdige, D. (1989). Subculture: The Meaning of Style. London and New York: Routledge.

Hoed, B. (2011). Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.

Ida, R. (2003). Rachmah Ida. Jurnal Perempuan , 23 - 34.

Nizar. (1994). Dangdut Sebuah Perjalanan. Citra , 2.

Scannell, P. (1994). Culture and Power: a Media, Culture and Society Reader. London: Sage Publication.

Sobur, A. (2003). Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Syamsudin, S. (2012, May 21). Regional Kompas. Retrieved May 22, 2012, from kompas.com: http://regional.kompas.com/

Weintraub, A. N. (2012). Dangdut: Musik, Identitas dan Budaya Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.