Membela Kebebasan Beragama Percakapan dengan...

30
a 0 b Membela Kebebasan Beragama 1096 Maman Imanul Haq Faqieh Maman Imanul Haq Faqieh Maman Imanul Haq Faqieh Maman Imanul Haq Faqieh Maman Imanul Haq Faqieh, Pengasuh Pondok Pesantren al-Mizan, Majalengka, Jawa Barat dan Anggota Dewan Syura DPP Partai Kebangkitan Bangsa. Percakapan dengan Maman Imanul Haq Faqieh

Transcript of Membela Kebebasan Beragama Percakapan dengan...

a �0 b

Membela Kebebasan Beragama

1096

Maman Imanul Haq FaqiehMaman Imanul Haq FaqiehMaman Imanul Haq FaqiehMaman Imanul Haq FaqiehMaman Imanul Haq Faqieh, Pengasuh Pondok Pesantren al-Mizan, Majalengka, JawaBarat dan Anggota Dewan Syura DPP Partai Kebangkitan Bangsa.

Percakapan dengan

Maman Imanul Haq Faqieh

a � b

Maman Imanul Haq Faqieh

1097

Dengan mengedepankan nurani dan semangat demokrasi, kebe-basan menafsir al-Quran bagi setiap orang diharapkan mampumenghadirkan agama tidak sebagai alat kepentingan kekuasaan(politik), tapi kekuatan moral untuk perubahan, transformasi sosial.Bagaimanapun moral agama membela setiap pihak yang terzalimi,meskipun mereka berbeda agama dan keyakinan. Karena itu dalammembebaskan masyarakatnya, Rasulullah terlebih dahulu mema-hami hak-hak individu mereka. Sehingga penting melalui gagasanmushafahah masyarakat bersama-sama mencari jalan keluar atasberbagai konflik dan persoalan kemanusiaan sebagai proses re-konsiliasi, dengan berlapang dada menerima setiap orang dengankeunikannya masing-masing. Bagaimanapun pluralisme, sebagaikesadaran bernegara di negeri ini, merupakan hal yang wajib.

a � b

Membela Kebebasan Beragama

1098

Bagaimana Anda memandang sekularisme yang sering disalahpahamimasyarakat Indonesia? Bagaimana pula seharusnya memposisikan relasiagama dan negara?

Menurut saya, sekularisme adalah upaya menempatkan agama padaproporsinya, yaitu sebagai kekuatan nilai dan moral. Pada konteks itu,agama memiliki keunikan sendiri. Ketika agama ditempatkan pada tatanannilai publik, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kalau dalam sebuahnegara terdapat banyak agama? Maka, mau tidak mau, harus ada pemisahanantara agama dan negara. Dan itu dapat dibingkai dalam bentuk nasiona-lisme. Dulu Nahdlatul Ulama (NU) merumuskannya sebagai kalimahsawâ’ atau titik temu antara agama-agama. Nilai-nilai tersebut dapatdiambil dari nilai-nilai agama yang ada di Indonesia. Lalu negara menjadisebuah wadah untuk melindungi hak-hak warga negara tanpa membeda-bedakan agamanya. Saya kira, pada konteks itu, sekularisme menjadisebuah nilai yang harus diperjuangkan. Bagi saya, sekularisme memperjelaskembali posisi agama dan negara.

Banyak orang memahami sekularisme dari definisi klasiknya, yakni privatisasiagama, sebuah upaya melenyapkan peran dan fungsi agama di ranah publik.Dalam konteks Indonesia kini menurut Anda bagaiamana seharusnyamemaknai privatisasi dalam sekularisme?

Menurut saya, pemahaman bahwa sekularisme sama dengan pe-minggiran agama merupakan pemahaman yang salah. Sebab, sekularismejustru muncul ketika agama terlalu mendominasi negara dan menghegemonipikiran-pikiran yang berbeda. Sekularisme berusaha menempatkan negaradan agama pada proporsi yang sebenarnya. Jadi, jangan dibalikkan. Untukkonteks Indonesia sekularisme menjadi sangat penting, karena meskipunkita tetap menggunakan agama sebagai sebuah nilai dan pijakan, kita jugaharus menghindari pelembagaan agama. Agama jangan sampai menjadi alatkepentingan kekuasaan. Kita harus menempatkan agama lebih luhur, yaknisebagai kekuatan moral untuk mencapai perubahan.

Kalau ada orang yang menganggap sekularisme meminggirkanagama, menurut saya itu pandangan ahistoris. Dia tidak mengerti sejarahdan bagaimana seharusnya menempatkan agama. Pada konteks tertentu,

a � b

Maman Imanul Haq Faqieh

1099

saya melihat orang-orang yang kini menjadi “pemilik-pemilik agama”dan pemangku (wakil) Tuhan sungguh tidak cerdas. Celakanya, sikapatau perilaku semacam itu lebih dikarenkan tidak mendapatkan “lahan”dalam negara atau pemerintah yang tengah berkuasa, sehingga seringkalimenjual Tuhan dan agama. Padahal, kita meyakini agama sebagai sistemyang mengatur hubungan kita dengan Tuhan, dengan cara mengikutiNabi dan mengelola keyakinan-keyakinan tersebut untuk kemaslahatanumum. Karena itu, jangan melihat agamanya, tapi lihatlah apa yangdilakukannya untuk kemanusiaan. Itu yang lebih penting.

Pada titik itu, bagaimana menempatkan gagasan Islam yang memihak padasemangat kemanusiaan dan keadilan (emansipatoris)?

Saya ingin menegaskan bah-wa pertama, kita tidak mungkinmelepaskan agama. Agama tetapakan menjadi bagian terpentingdalam kehidupan kita, selama kitabisa mengeksplorasi nilai-nilailuhur dan universal dari agamauntuk kepentingan umum (al-mashlahah al-‘âmmah). Kedua,setelah meyakini agama sebagainilai-nilai luhur, kita akan mem-perjuangkan maqâshid al-syarî‘ah-nya: untuk apa tujuan dari keber-agamaan kita. Kalau mengacukepada al-Syathibi, maka tujuan keberagamaan adalah bagaimanamenjamin kebebasan berekspresi, kebebasan berkeyakinan, kebebasanekonomi (hak milik), dan kebebasan untuk menjaga kelestarian keturunanyang baik (reproduksi). Dengan begitu, sampai hari ini saya tetap yakinbahwa agama akan tetap menarik dan penting untuk menjadi sebuahkekuatan perubahan. Tetapi, jangan sampai ia dijadikan alat kepentingankelompok-kelompok tertentu. Kalau agama digunakan untuk kepen-tingan individu atau kelompok tertentu maka agama akan menjadi candu.Ia menjadi belenggu bagi berkembangnya suatu masyarakat yang toleran.

Untuk konteks Indonesia sekularisme

menjadi sangat penting, karena

meskipun kita tetap menggunakan

agama sebagai sebuah nilai dan

pijakan, kita juga harus menghindari

pelembagaan agama. Agama jangan

sampai menjadi alat kepentingan

kekuasaan. Kita harus menempatkan

agama lebih luhur, yakni sebagai

kekuatan moral untuk mencapai

perubahan.

a � b

Membela Kebebasan Beragama

1100

Saya tidak setuju jika kita harus kembali ke zaman Nabi. Bagi saya,zaman Nabi merupakan zaman di mana masyarakat masih terbelakang.Dan Nabi melakukan reformasi menyeluruh untuk mengubah keadaantersebut: li-yukhrij al-nâsa min al-zhulumât ilâ al-nûr, mengeluarkanmanusia dari kegelapan (keterbelakangan) menuju kemajuan.

Setelah Nabi meninggal, sebenarnya jejak-jejak keterbelakangan itumasih tampak. Terbukti dengan munculnya beberapa fraksi politik yangmelahirkan konflik dan kekerasan. Terbununya Umar, Usman, Ali danSahabat-sahabat lain menjadi bukti akan kebenaran hal tersebut. Yanglebih penting dari zaman Nabi, bagi saya, adalah spiritnya, yaitu strategiperubahan masyarakat, bukan kondisi masyarakatnya. Kita juga bisamempertanyakan, sejauh mana kualitas para Sahabat? Nabi menjelaskan,Sahabat itu seperti bintang. Karena itu, tak heran jika terkadang ada yangredup dan ada yang bersinar. Kita boleh memilih Sahabat mana yangmenurut kita baik. Saya sendiri lebih kagum kepada Ali bin Abi Thalib.Mungkin ada orang yang lebih kagum pada Umar, Usman dan lainnya.Dan itu adalah hak dan pilihan masing-masing.

Dari sebuah Hadits Nabi tadi, (ashhâbî ka al-nujûm, Sahabatku sepertibintang), kita dapat belajar bagaimana keberagaman yang diajarkan olehRasulullah. Kita menjadi tahu bahwa karakter Sahabat berbeda-beda.Terserah kita mau mengikuti yang mana. Ironisnya, ada juga orangmengikuti keteladanan para nabi, kemudian yang dipilih Nabi Musa tetapitanpa Nabi Harun. Padahal, sudah jelas Musa harus dibantu Harun darisegi diplomasi. Sekarang banyak pengikut-pengikut Musa berjuang “demiagama” dengan jalan yang kelewat “keras” (bukan tegas) tetapi tanpastrategi, tanpa diplomasi. Pada konteks tertentu, ada orang yang inginmengikuti Umar tapi tanpa ijtihad. Sehingga yang tampak hanya kerasnyasaja. Padahal Umar adalah Sahabat Nabi yang terkenal dengan ijtihadnya.Bahkan, dalam berijtihad, pada batas tertentu, Umar sampai bisa “berbeda”dengan Nabi dan ketentuan Tuhan. Sayang, yang kini diikuti dari Umarkebanyakan hanyalah sisi kekerasannya. Di atas semua itu, kita sebenarnyatelah lupa dan tidak pernah mau belajar dari kondisi yang dihadapi NabiMusa dan Umar.

Beberapa kalangan menganggap Piagam Madinah sebagai bentuk awal darinegara Islam. Bagaimana Anda memposisikannya?

a � b

Maman Imanul Haq Faqieh

1101

Saya setuju bahwa Piagam Madinah adalah sebuah produk maju padazamannya. Di situ Rasulullah mengakomodir semua kelompok berbedasebagai satu kesatuan. Ada Islam, Yahudi, Kristen dan sebagainya. Dalamkonteks itu, Piagam Madinah terlihat begitu menarik. Namun, tentubelum cukup untuk menganggapnya sebagai tipe ideal masyarakat madani.Meski demikian, Piagam Madinah jelas merupakan percontohan awalatau starting point Nabi bagi kehidupan bermasyarakat, dan kita harusmelanjutkan perjuangannya.

Piagam Madinah tampak telah memunculkan penempatan wilayah privatdan publik dengan cukup baik. Piagam Madinah sendiri lebih merupakanaturan publik yang sama sekali tidak berbasis pada landasan teologis keagamaan.

Menurut saya yang terpenting untuk kita ambil dari Piagam Madinahadalah spiritnya, bukan mencontoh bulat-bulat semua yang kita anggapideal darinya. Idealitas PiagamMadinah justru terletak pada nilaidan semangatnya. Namun de-mikian, kita tidak bisa menerap-kan cara Nabi membentuk negaraMadinah ke dalam konteks sosialbudaya masyarakat Indonesiamasa kini. Nabi selalu me-ngatakan innamâ bu‘istu li-utammima makârim al-akhlâq,aku diutus bukan untuk menghancurkan, atau melenyapkan, tetapi untukmenyempurnakan akhlak, menyempurnakan kearifan-kearifan yang telahmengakar di masyarakat. Jadi, uswah dan qudwah Nabi bisa kita terapkandi Indonesia, tanpa harus menghancurkan tradisi-tradisi lokal yang sudahberkembang.

Sayang nilai-nilai Piagam Madinah yang kerap dimunculkan di Indonesiamalah bentuk simbolik dari hukum agama, seperti yang tampak padatuntutan formalisasi syariat Islam. Lebih dari itu, praktiknya justru cende-rung memaksa dan mendiskriminasi kaum minoritas. Bagaimana menurutAnda?

Saya tidak setuju dengan istilah kafir

untuk menyebut mereka yang non-

Muslim. Sebab, kafir bagi saya bukan

orang yang beda agama dengan Islam,

tapi orang yang zalim dan korup,

walaupun dia Muslim.

a � b

Membela Kebebasan Beragama

1102

Saya lihat ada persoalan dengan cara beragama kita, orang Islam diIndonesia. Kita seperti orang yang merasa tertindas, rendah diri, dan tidakmempunyai kemampuan untuk berkompetisi secara sehat dengan kekuatanlain. Lalu, kita selalu menjustifikasinya dengan the great tradition. TradisiIslam, pada masa Nabi, seolah menjadi sesuatu yang sempurna dan harusdiimplementasikan di masa kini. Inilah yang disebut tadayyun ‘alâ al-khathr, lâ tadayyun ‘alâ al-ma‘nâ. Model beragama yang kerapditampilkan hanyalah aspek simbolik dari agama, simbol Nabi, simbolPiagam Madinah, simbol jubah, sorban, janggut dan sebagainya. Kitakerap mengatakan bahwa Islam adalah agama yang paling bagus, karenaitu, non-Islam harus masuk Islam. Cara beragama seperti itu tak ubahnyadengan memperdagangkan agama, sementara tidak mengambil spiritnya.

Munculnya formalisasi atau perda syariah di Indonesia menunjukkanketidakmampuan kita mencari formulasi yang “cerdas” untuk menye-lesaikan beragam persoalan yang ada. Memunculkan perda syariah samasaja dengan orang yang berdoa karena stres berat. Padahal, itu merupakankesalahan fatal. Bangsa kita memerlukan solusi lewat kejernihan pikiranatas segala penyakit yang menimpa. Sekarang begitu banyak orang hanyamenawarkan obat tapi tidak pernah dengan serius menelisik jenis penyakitapa yang diderita bangsa ini. Marak munculnya perda syariah, menurutsaya, merupakan pertama, bentuk ketidakpercayaan kita terhadapkemampuan diri sendiri. Kedua, bentuk ketidakcerdasan kita untukmenggali atau melakukan diagnosa terhadap persoalan-persoalan yang adadi masyarakat. Ketiga, kita memang selalu punya keinginan untukmempolitisasi agama, padahal agama adalah milik Tuhan.

Bagaimana dengan khilâfah islâmiyah yang diusung oleh Hizbut TahrirIndonesia dan teman-temannya?

Sebenarnya saya termasuk orang yang kagum dengan teman-temanHizbut Tahrir Indonesia. Mereka turut mencerdaskan masyarakat melaluiberbagai seminar dan kajian. Tapi saya sangat kecewa dengan mereka, karenacara mereka mengajak masyarakat berupa indoktrinasi. Mereka inginmendesain masyarakat agar mengikuti ide yang diusungnya dengan caramemaksakan kehendak dan indoktrinasi. Memang, masyarakat diajarkan“melek” politik. Tapi mereka mengarahkannya hanya kepada khilâfah.

a � b

Maman Imanul Haq Faqieh

1103

Problem apapun di negeri ini seolah akan selesai dengan mengimple-mentasikan khilâfah islâmiyah. Saya kira model dakwah mereka ini harusdiperbaiki. Karena masyarakat tidak semuanya bodoh, maka biarkanmasyarakat kita tetap cerdas de-ngan memilih sendiri apa yangmereka inginkan. Tuhan sajamemberi kebebasan dalam ber-pikir dan menentukan pilihan-pilihan terbaik demi kehidupanyang dikehendaki kita sebagaimanusia. Lihat al-Quran, Tuhanhanya memberikan nilai-nilaiuniversal, kemudian masyarakatsendiri hendaknya mampu ber-pikir dan mengolahnya untuk ke-pentingan kehidupan dan kema-nusiaan. Tuhan sangat demokra-tis, mengapa kita tidak bisa?

Perkembangan wacana sekularisme belakangan tidak lagi menafikan peranagama di ranah publik. Problemnya, agama, khususnya agama semitik,cenderung bersifat eksesif dan ekspansif, sehingga yang tampak di publikadalah wajah agama yang tidak toleran. Menurut Anda bagaimanaseharusnya memposisikan agama di wilayah publik?

Bagi saya, agama harus tetap menjadi sesuatu yang penting dalamsebuah perubahan. Tetapi saya tidak setuju jika agama dijadikan alatkekuatan politik dalam bentuk formalisasi syariat Islam. Saya tidak setujukarena formalisasi hanya akan menyempitkan dan merendahkan agama.Mestinya, agama menjadi sebuah nilai pendorong dari dalam, selaras denganteori al-‘aqîdah. Seorang Muslim harus meyakini akidah dari dalamhatinya. Misalnya seorang muslim belajar bahwa Tuhan adalah satu. Ituharus betul-betul diyakini dari dalam hati. Karena yang satu hanya al-Khâliq (Allah), sementara makhluk itu banyak, beragam dan karenanyaharus bersatu. Bagi saya, akidah adalah akar atau fondasi bertindak danbergerak umat beragama (Islam).

Munculnya perda syariah, menurut

saya, merupakan pertama, bentuk

ketidakpercayaan kita terhadap

kemampuan diri sendiri. Kedua, bentuk

ketidakcerdasan kita untuk menggali

atau melakukan diagnosa terhadap

persoalan-persoalan yang ada di

masyarakat. Ketiga, kita memang selalu

punya keinginan untuk mempolitisasi

agama, padahal agama adalah

milik Tuhan.

a � b

Membela Kebebasan Beragama

1104

Tetapi akibat pemahaman akidah yang tidak lurus – terutama pan-dangan banyak kalangan konservatif yang partikular dari teks-tekskeagamaan – kini dipakai untuk menyerang orang lain. Padahal, kalauakidah dimaknai sebagai akar, maka tidak mungkin akar tiba-tiba me-nyerang orang lain, karena akar tempatnya di bawah. Dalam konteks itu,menurut saya, telah terdapat kesalahpahaman dalam memaknai agama.Kalau kita berakidah dengan kuat, maka keberadaan batang yang kokohdan menjulang justru akan menjadi pelengkap sistem yang memperkuat.Lalu, muncul dahan yang rindang tempat berteduh semua makhluk. Begitupula buahnya bisa dimakan oleh siapapun. Saya tidak setuju dengan istilahkafir untuk menyebut mereka yang non-Muslim. Sebab, kafir bagi sayabukan orang yang memiliki agama berbeda dengan Islam, tapi orang yangzalim dan korup, walaupun dia Muslim.

Pada konteks ini, kita harus meyakini agama masing-masing. Jangansampai kehilangan identitas. Karena menurut saya pluralisme sama sekaliberbeda dengan relativisme. Pluralisme adalah memahami diri sendirisebagai orang yang beragama dan menerima orang lain (the other) yangberbeda untuk melakukan kerja-kerja sosial berdasar keyakinannya. Yangsaya tidak suka, misalnya, ada orang yang memahami pluralisme dalamarti semua agama sama. Padahal jelas berbeda. Setiap agama unik danberhak untuk mendakwahkan ajarannya. Tetapi dakwah dalam konteksini hanyalah dakwah yang bersifat sosialisasi semata, layaknya kampanye.Kita boleh mengatakan, “ini lho Islam yang peduli lingkungan.” Namunkita tidak boleh menjelek-jelekkan agama lain. Sebab, dalam hukumdagang pun kita diperbolehkan untuk mengatakan bahwa produk kitapaling bagus, tapi tidak boleh mencela produk orang lain.

Maka dalam beragama kita boleh yakin bahwa Islam adalah yangpaling bagus, namun demikian tidak boleh menyerang Katolik, Kristen,Hindu, Budha, dan komunitas lainnya. Biarkan mereka hidup danberkembang, selama tidak mengganggu dan tidak melanggar aturan negara.Untuk mengaturnya kita perlu Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.

Tapi persoalannya, mengapa Ahmadiyah bisa diusir dan rumah sertatempat ibadahnya dibakar oleh orang atau komunitas yang tindakannyamengatasnamakan fatwa atau keputusan MUI dan Pemerintah Daerah?Saya kira orang yang melakukan hal tersebut adalah orang yang tidakmengerti Indonesia. Kalau MUI sadar dengan keindonesiaanya (MUI:

a � b

Maman Imanul Haq Faqieh

1105

Majlis Ulama “Indonesia”) maka ia harus menerima keragaman. Kalaudia tidak bisa menerima keragaman maka tidak usah ada di Indonesia.Apa alasannya MUI Indramayu mengatur keyakinan Komunitas DayakLosarang? Itu pun tidak ada atau sama sekali bukan urusan MUI. Sebab,kalau peran MUI ingin lebih bermanfaat buat kehidupan umat Islam danseluruh warga negara, mengapa MUI tidak mengurus para TKW yangdizalimi; mengecam, dengan fatwanya, para pelaku korupsi, penjahatpembalakan liar atau perusahaan-perusahaan pembuang limbah pencemarlingkungan yang sangat merugikan kehidupan bersama.

Bagaimana pandangan Anda tentang liberalisme, yang sering dipahamioleh banyak orang sebagai pandangan kebebasan tanpa batas dan karenanyaharus ditolak?

Liberalisme bukan kebebasan tanpa batas, tapi sebuah upaya meng-hargai hak-hak individu. Setiap individu mempunyai hak-hak dasar sepertihak hidup, hak berekspresi, hak beragama, dan sebagainya. Jika liberalismedipahami sebagai penghargaan terhadap hak-hak dasar itu, maka seharusnyaagama menjadi elan vital perubahan. Ini selaras dengan beberapa ayat yangmenyebutkan Rasulullah diutus untuk meringankan beban-bebanmanusia. Ketika Nabi Muhammad ber-khalwat di Gua Hira yang terletakdi Jabal Nur, beliau bisa ber-takhannuts dengan khusyu’, tetapi matanyabisa terus menatap Mekah sambil berpikir untuk melakukan perubahan.Dia berpikir bagaimana cara menghadapi kelompok pembesar yangmemegang kendali ekonomi, adat, suku dan sebagainya. Dia terusbekonsultasi dengan Allah.

Artinya, sebenarnya semangat dasar liberalisme sudah terdapat padaRasulullah. Bagaimana Rasulullah, sebagai orang yang beragama, bisamembebaskan masyarakatnya, dimulai dari upayanya untuk memahamiorang lain. Beliau memahami hak-hak individu mereka. Karena itu,ketika Muhammad diutus menjadi Nabi, dia tidak langsung meng-hancurkan umat yang ada di sekitarnya. Dia membicarakan terlebihdahulu dengan baik-baik. Dia mengetuk pintu Umar saja sampai 100kali. Semua yang dialami dan dibawakan oleh Nabi bukan sesuatu yangtiba-tiba dan sekali jadi. Wahyu sendiri melakukan dialektika denganmasyarakat yang ada.

a �0 b

Membela Kebebasan Beragama

1106

Pada konteks itu, liberalisme justru sangat relevan dengan tujuankeberagamaan kita. Bagaimana ia memberi ruang kepada semua oranguntuk dapat mengekspresikan dirinya sendiri. Nabi menyebut nafsah,karena itu individu-individu harus memahami dirinya. Sebab, bagimanusia, mempunyai kesadaran diri itu penting. Setelah mengenal dirisendiri, baru dia mengenal Tuhan. Sayangnya, yang terjadi sekarang tidakbegitu. Sebaliknya, kebanyakan orang mencoba terlebih dahulu mengenalTuhan, baru kemudian diri. Padahal Hadits Nabi justru mengatakan man‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu. Itu perkataan Nabi Muhammad yangdiambil dari Hermes, gurunya Plato. Konon Hermes adalah Nabi Idris.Hermes mengatakan, “jika kamu mengenali dirimu, kamu sadari dulu,bahwa kamu mempunyai hak-hak dasar, kamu boleh hidup, kamu diberihak untuk mengakses informasi, baru kemudian kamu akan mengenalTuhanmu.”

Jadi, yang terjadi sekarang, kebanyakan pendakwah pun mengajakorang untuk terlebih dahulu mengenal Tuhan, sementara pengenalanterhadap diri, belum apa-apa sudah dipasung. Maka pelarangan Islamterhadap berhala, sebenarnya bukan bermaksud untuk melarang patungatau seni rupa. Yang terlarang dari pelarangan Islam itu adalah praktikpemberhalaannya. Saya telah menulis buku tentang hal itu. Pemberhalaanitulah yang justru sekarang muncul kembali. Kalau dulu berhala diberinama lattâ, ‘uzzâ dan manât, maka sekarang berhala itu bisa bernamakekuasaan, kekayaan, jabatan, maupun pejabatnya sendiri, para ulama,kiai atau habib. Semuanya bisa menjadi berhala.

KH. Ma’ruf Amin pernah mengatakan bahwa ketika beragama maka orangmenjadi tidak bebas, karena harus tunduk pada hal-hal yang sudah menjadiketentuan Tuhan. Bagaimana pendapat Anda terhadap pandangan sepertiitu, sementara Anda melihat bahwa agama justru mempunyai spiritpembebasan, keadilan, dan kesetaraan?

Sebenarnya istilah agama sendiri dalam bahasa Arab masih debatable.Cara beragama kita selama ini problematis, karena seolah-olah kitaberhutang kepada Tuhan. Kita merasa berhutang karena diciptakan olehTuhan. Justru kita harus belajar dari Tuhan, bagaimana Ia menghargaibetul peran kemanusiaan kita dengan menjadikan kita sebagai makhluk

a �� b

Maman Imanul Haq Faqieh

1107

yang berpikir, punya rasa, dan boleh berbeda pendapat dengan-Nya. Kitadiperbolehkan untuk beriman ataupun tidak beriman. Semua diserahkankepada pilihan kemanusiaan kita.

Tetapi ketika beriman, pada saat itu jugalah kita tidak bebas. Ayat Lakumdînukum waliya dîn dipahami Ma’ruf Amin sebagai ayat yang membi-carakan kondisi kita sebelum beragama. Pada saat itu, kita bebas memilih.Namun setelah beragama, kita harus patuh pada aturan-aturannya.Bagaimana menurut Anda?

Benar, pasti ada nilai-nilaiyang harus ditaati ketika kitaberagama. Sebagai orang Muslim,saya wajib salat, haji, zakat, dansebagainya. Karena itu meru-pakan konsekuensi logis setelahsaya bersyahadat. Sebagaimanaketika saya masuk sekolah, makasaya harus mengikuti aturan yangada dalam sekolah, seperti me-makai seragam, datang tepatwaktu, dan sebagainya. Tapi ba-gaiamana cara saya salat, itu tidakdiatur secara detil oleh agama(Kitab Suci). Ia tidak mengaturbagaimana berpakaian ketikasalat. Tuhan hanya mengatakan bahwa salat itu wajib. Demikianpun tidakada siapa yang mengatur kapan waktu dan di mana tempatnya, apakahsemua itu harus sama. Belum lagi mazhab yang berbeda dan sebagainya.Saya setuju dengan Ma’ruf Amin pada konteks itu. Karena kita telah masukke sebuah sistem yang bernama Islam, maka kita wajib salat dan sebagainya.Tapi, kalau soal-soal lain saya berbeda dengan Ma’ruf Amin. Bagi saya,kalau seseorang sudah salat, maka dia termasuk ikhwânukum fî al-dîn,saudara seagama. Maka, tidak ada alasan bagi kita menyuruh pengikutAhmadiyah untuk bertaubat. Wong dia salatnya sama dengan kita.

Liberalisme bukan kebebasan tanpa

batas, tapi sebuah upaya menghargai

hak-hak individu. Setiap individu

mempunyai hak-hak dasar seperti hak

hidup, hak berekspresi, hak beragama,

dan sebagainya. Jika liberalisme

dipahami sebagai penghargaan

terhadap hak-hak dasar itu, maka

seharusnya agama menjadi elan vital

perubahan. Ini selaras dengan

beberapa ayat yang menyebutkan

Rasulullah diutus untuk meringankan

beban-beban manusia.

a �� b

Membela Kebebasan Beragama

1108

Bagaimana Anda menanggapi 10 (sepuluh) kriteria sesat yang dikeluarkanoleh MUI?

Menurut saya kriteria tersebut sangat tidak relevan. MUI seperti tidakada pekerjaan saja. Kalau dia mau bekerja, lebih baik mengkritisi orangyang buang sampah sembarangan atau pejabat yang korupsi. Menurutsaya MUI bisa dipertahankan bila menjadi forum silaturahmi dalammengeksplorasi persoalan umat kemudian mencarikan solusinya yangcerdas, humanis, dan adil. MUI harus berhenti membuat fatwa-fatwasesat. Karena sesat dalam konteks negara hanya digunakan untuk sesuatuyang jelas-jelas melanggar undang-undang. Dengan fatwa sesat tersebut,MUI sebenarnya telah merusak hubungan antar-warga negara. Sehinggayang harus dianggap sesat adalah orang yang ngemplang pajak, menebarkebencian, anarkisme atau yang melakukan gerakan separatisme.Ahmadiyah yang salatnya tetap menghadap kiblat, berpuasa, mem-perjuangkan pendidikan dan sebagainya, lantas kenapa kita bilang merekasesat?

Anda menyebut MUI tidak pernah mengurusi masalah yang bersentuhanlangsung dengan masyarakat seperti keadilan, kebersihan, korupsi, dansebagainya. Hal yang sama juga terjadi pada kanun-kanun syariah, yangtidak mengatur hal-hal yang sekarang menjadi masalah konkret sepertikemiskinan, korupsi dan sebagainya. Ini sungguh dilematis.

Saya ingin kembali mengajak orang untuk memahami Islam sebagaisistem yang menarik. Islam, kata Nabi, berdiri di atas tiga pilar: Îmân,Islâm, dan Ihsân. Iman melahirkan akidah yang merupakan persoalanindividu. Kalau keyakinan atau keimanan seseorang kuat (al-‘aqîdah al-jazîmah) maka tidak akan ada korupsi. Dan itu harus ditanamkan baik-baik oleh kita secara individu. Ini menjadi fondasi yang kuat bagi kaumberagama. Kalau imannya sudah kuat, maka keberislaman kita yangdisimbolkan dengan syariah (al-fiqh), seperti salat yang kita lakukan,semestinya bukan diniatkan untuk mencari pujian, melainkan karenadorongan iman. Ketika kita mengimani hari akhir, maka kita meyakinibahwa yang kita lakukan di dunia ini akan dimintai pertanggung-jawabannya kelak. Dengan itu, kita akan memperbaiki kinerja, penegakan

a �� b

Maman Imanul Haq Faqieh

1109

hukum dan sebagainya. Keberislaman kita menjadi tidak hanya ritual tetapisosial.

Selanjutnya dari pilar terakhir, ihsan, akan muncul satu keyakinanbahwa salat yang baik adalah salat yang melahirkan dampak sosial.Mushallîn adalah seseorang yang tidak menelantarkan anak yatim (yadu‘ual-yatîm). Salatnya orang yang beriman belum memiliki efek sosial kalaumasih menelantarkan anak yatim. Tapi, yatim pun memiliki beberapadefinisi. Dalam salah satu maqâlah-nya, al-Syafii mendefinisikan yatimbukan orang yang tidak memiliki ayah, tapi orang yang tidak punya ilmudan moral. Artinya, seorang yangsudah istiqâmah melakukan salatharus juga serius memperju-angkan pendidikan bagi semuakalangan.

Dari tiga teori ushûluddîn itumuncullah Islam fraksional.Misalnya, perdebatan dalam ilmukalam atau tauhid yang begitubanyak memunculkan aliranseperti Mu’tazilah, Jabariah,Qadariyah, Sunni dan lain seba-gainya. Ihsân melahirkan tasawuf,akhlâq melahirkan filsafat akhlak, fikih melahirkan banyak mazhab. Kinisebenarnya masih terjadi pertarungan dalam tubuh Sunni: antaraWahhabisme dari Hambali dengan Syafii yang moderat, dengan perdebatanyang demikian kompleks. Lantas kalau MUI membicarakan Islam,sebenarnya Islam mana yang dibicarakan. Meski demikian, Tuhan tidakpernah berubah, tetap satu.

Meski perdebatan dalam tradisi Islam begitu kompleks dan me-lahirkan banyak aliran, sebagian besar masyarakat Islam sebenarnya tidakmampu mengakses hal atau kondisi itu. Mereka hanya tahu dari aspekfikih. Sebab, buku-buku fikih cenderung murah sehingga mudah diakses.Lalu, fikih dianggap sebagai satu-satunya acuan. Maka wajar jika pan-dangan keagamaan mereka menjadi sempit. Mereka jarang membacatafsir, ilmu kalam, apalagi târîkh (sejarah). Kalau kita membaca tafsirmaka akan diketahui betapa banyak titik temu antara Islam dengan

Justru kita harus belajar dari Tuhan,

bagaimana Ia menghargai betul peran

kemanusiaan kita dengan menjadikan

kita sebagai makhluk yang berpikir,

punya rasa, dan boleh berbeda

pendapat dengan-Nya. Kita

diperbolehkan untuk beriman ataupun

tidak beriman. Semua diserahkan

kepada pilihan kemanusiaan kita.

a �� b

Membela Kebebasan Beragama

1110

agama lain. Tafsir tentang pengorbanan, misalnya, ternyata dalam Kristenpun ada.

Di Indonesia banyak orang yang tidak suka dengan perkembangan tafsiryang menggunakan metode hermeneutika. Menurut Anda sampai batasmana kebebasan tafsir dimungkinkan?

Al-Quran adalah teks terbuka yang bisa dibaca semua kalangan. Al-Quran akan memberi pencerahan dan hidayah terhadap semua pembaca-nya. Maka, semua orang bisa “menafsirkan” al-Quran baik dengan meng-gunakan alat ataupun tidak. Alat atau metodenya bisa berbeda, termasukmenggunakan metode hermeneutika sekalipun. Semuanya tidak menjadimasalah selama penafsiran itu dilandasi semangat menggali isi al-Quran,berangkat dari nurani, serta bisa membawa perubahan, termasuk perubahanpada dirinya sendiri. Penafsiran bisa berbahaya bila dilandasi nafsu danpikiran kotor, serta melakukan ketidakadilan dengan mencari penafsiranuntuk kepentingan sendiri seraya menghakimi pendapat atau penafsiranorang lain. Sebab, pada akhirnya publiklah yang akan menilai hasil pe-nafsirannya. Kalau tafsirnya tidak cocok dengan prinsip kemashlahatan,keadilan dan kesetaraan, apalagi mencederai kemanusian, maka sang pe-nafsir (ulama atau siapapun) akan ditinggalkan oleh masyarakat. Masyarakatkita akan sangat membenci tokoh agama yang tidak konsisten. Contohnya,belakangan masyarakat cenderung meninggalkan kiai yang tidak konsistendengan penafsiran teks-teks keagamaan, yang cenderung mengeksploitasiagama hanya untuk “kepentingan sesaat”. Fenomena kemenangan SBYpada Pemilu 2004 lalu menjadi cermin bahwa pertarungan politik menjadiajang balas dendam publik, masyarakat awam, terhadap para kiai.

Dalam konteks tafsir, kita bisa membandingkan antara Cak Nur danGus Dur. Cak Nur adalah orang yang sangat tertib dalam mengutip surat,ayat, dan tafsir mana yang dirujuk dalam menafsirkan al-Quran. SementaraGus Dur cenderung “ngawur” dan seenaknya. Tapi, ternyata yang lebihditerima masyarakat adalah tafsir Gus Dur. Karena ada semangat perubahanyang dibawanya. Gus Dur tidak terlalu banyak mengutip ayat dan tafsir,yang terpenting adalah kontekstualitas pemikiran.

Oleh karena itu, menurut saya, biarkan orang awam menafsirkan al-Quran. Ajarkan kepada mereka cara menafsirkan al-Quran. Sehingga

a �� b

Maman Imanul Haq Faqieh

1111

mereka mengetahui apa yang ingin dikatakan Tuhan dalam al-Quran.Dalam menafsirkan bisa saja, misalnya, saya tidak peduli siapakah Musa,karena saya tidak mengerti sejarah. Tetapi di mata saya, Musa itu sayasendiri. Sosok yang tidak mampu menghadapi Firaun. Kemudian sayamemakai jalur diplomasinya Harun. Begitupun ketika saya membaca AbuLahab, tidak perlu tahu Abu Lahab itu siapa. Bisa saja yang diperlukanadalah pengertian bahwa Abu Lahab adalah orang yang membiarkanistrinya ketika melakukan gosip, dan sebagainya. Model penafsiransemacam itu justru sangat menarik bagi saya. Karena itulah, tugas ulamabukan membatasi apalagi memarahi orang yang menafsirkan al-Quransecara berbeda. Dan kalau ada penafsiran yang “melenceng”, ulama cukupmemberikan peringatan.

Teman-teman seperti Ulil Abshar Abdalla dan lain-lain, dalam banyakhal, membawa semangat yang berbeda. Mereka ingin mencari spirit yangbaru, mendobrak sesuatu yang baku. Soal apakah dia salah atau lainnya,yang lebih arif adalah bagaimana ulama membuat wacana baru untukmeng-counter-nya. Siapapun berhak memilih wacana mana yang terbaikdan mana yang tidak. Sebagaimana para penjual ikan bandeng yangberjajar, mereka tidak perlu bersaing dengan cara menyingkirkan, karenasemuanya berhak menawarkan ikan jualannya kepada pembeli. Artinya,masyarakat akan memilih mana yang bagus dan murah dan mana yangsebaliknya.

Bisa jadi hal tersebut menimbulkan masalah baru. Sebab jika penilaianbaik-buruk dan benar-salahnya tafsir diserahkan kepada publik, sementarapublik memiliki aneka ragam latar belakang, lantas bagaimana jika publikternyata telah terkontaminasi oleh pemahaman Islam yang fundamentalisyang membenarkan kekerasan terhadap mereka yang berbeda?

Betul, kekhawatiran seperti itu memang wajar muncul. Oleh karenaitu, yang bisa dikedepankan untuk mengantisipasi maraknya wacanafundamentalistik di masyarakat adalah dengan selalu memunculkancounter wacana. Bagaimana caranya agar kelompok beragam di masyarakatitu memproduksi wacana yang juga beragam, sebanyak-banyaknya, dandilakuakan dengan semangat saling menghargai, menghormati, tanpapemaksaan dan kekerasan. Kalau masyarakat kita diam saja, atau lebih

a �� b

Membela Kebebasan Beragama

1112

parah lagi menerima bulat-bulat dan mengikuti penafsiran seorang tokoh,berarti kita telah gagal mencerdaskan umat. Kita gagal membawa misiagama sebagai pencerahan. Kita masih membuat masyarakat tidak berdayadengan agama.

Mungkin harus ada kriteria lain agar kebebasan menafsir tetap terjaga, namuntidak bebas begitu saja tanpa batasan. Artinya, tidak semua keabsahanpenafsiran diserahkan kepada publik.

Ya, saya setuju bahwa masyarakat diberi keleluasaan memilih modelpenafsiran agama. Namun ketika menafsirkan al-Quran tetap ada kriteriayang secara tidak langsung membatasi penafsiran yang sembarangan. Yangditawarkan ke masyarakat bukanlah item per-tafsirnya, tetapi lebih padabagaimana mereka diberikan perangkat metodologinya. Masyarakat tahubahwa menafsirkan al-Quran seharusnya begini dan begitu. Dan denganitu, biarkan mereka senang berbicara dengan al-Quran dan mengetahuiisinya tanpa melalui orang lain. Sehingga diharapkan mereka menjadidewasa dengan menghargai perbedaan tafsir; tidak dengan cara-carapemaksaan dan kekerasan dalam menyikapi perbedaan tersebut.

Dalam konteks itu, bagaimana seharusnya kita tempatkan persoalan ibadahkeagamaan seperti salat dan sebagainya, lantas sisi apakah yang lebih pentingdari salat: implikasi sosialnya ataukah pelaksanaan ritualnya?

Dalam hal ini saya tetap setia dengan pendapat yang sedikit konservatif,yang agak mirip dengan Quraish Shihab, yaitu bahwa kita harus setujuapa yang dikatakan oleh Ma’ruf Amin bahwa ketika seseorang memilihsistem agama, maka ia harus mengikutinya. Artinya sebagai Muslim kitaharus melaksanakan salat. Tapi, apakah salatnya harus sama denganmainstream, ini yang menururt saya boleh beragam, namun tetap dalamsatu tujuan. Bila ada yang berbeda, jangan buru-buru dituduh sesat,melainkan harus terlebih dahulu didialogkan, kenapa dia atau yang lainnyamemilih cara salat yang berbeda? Kemudian, selain pelaksanaannya,dampak sosial dari salat juga kita harapkan muncul. Tapi kalau ada yanghanya mementingkan esensinya – misalnya berpandangan bahwa salattidaklah menjadi ritual yang diwajibkan, sebaliknya yang harus dikedepan-

a �� b

Maman Imanul Haq Faqieh

1113

kan adalah kesalehan publiknya, sebagai inti dari salat itu sendiri – ituurusan masing-masing.

Saya termasuk orang yang konservatif dalam soal-soal ritual yangdiwajibkan agama. Karena dari pesantren, saya tetap berpikir bahwamelaksanakan haji, thawâf dan sejenisnya haruslah ke Mekah. Tetapi, kalauada orang yang beranggapan bahwa berhaji tidak harus pergi ke Mekah,misalnya dengan memaknai thawâf sebagai etos kerja untuk terus mencaririzki Allah selama tujuh hari, sa‘î adalah bentuk perjuangan seseorangterhadap kesucian dan ketinggian, bukan hanya pada simbol berlari kecilantara Shafa dan Marwah, itu pun tetap kita hargai. Saya juga membacareferensi bagaimana dalam beragama seseorang memahami esensi sepertiitu. Bagi mereka, esensi jauh lebih penting, karenanya ritual dan trainingibadah bisa ditinggalkan. Dalamperdebatan seperti itu, kita ambilhikmahnya saja. Berkaca darisejarah, akibat cara berpikir de-mikianlah yang kemudian me-munculkan Syekh Siti Jenar. Ba-ginya, tidak perlu salat, zakat dansebagainya, kalau setiap detiknyasenantiasa berjiwa sosial, tulus,dan hati senantiasa ingat kepadaTuhan.

Menurut Anda adakah kemungkinan praktik-praktik keberagamaan itudisesuaikan dengan konteksnya, artinya salat orang Indonesia bisa denganbahasa Indonesia?

Bagi saya salat harus lima waktu, tidak boleh lebih dari itu, kemudianmenggunakan bahasa Arab. Tapi kalau ada orang yang salat dengan bahasaIndonesia, silakan. Namun demikian, itu tidak menjadi sebuah acuandasar. Menurut saya ada nilai universal yang harus kita sepakati dalammenjalankan ibadah, meskipun tetap ada wilayah lokal yang harus jugakita hargai. Saya setuju dengan Quraish Shihab bahwa ke-khusyû‘-an bisadiperoleh tanpa harus mengerti terjemahan dari kalimat ritual yangdiucapkan. Tapi saya sendiri membiasakan pelajaran kepada jamaah saya

Paham liberalisme sudah ada

pada Rasulullah. Bagaimana Rasulullah,

sebagai orang yang beragama, bisa

membebaskan masyarakatnya,

dimulai dari upayanya untuk

memahami orang lain. Beliau

memahami hak-hak individu mereka.

a �� b

Membela Kebebasan Beragama

1114

dengan selalau membacakan al-Quran dan terjemahannya dalam pengajianyang kita adakan. Dari situ, jamaah saya tahu apa terjemahan dari ayat al-Quran yang dibacanya. Itu saya lakukan setiap malam Rabu.

Kekhusyuan diharapkan mampu memunculkan refleksi sosial dalam kehi-dupan sehari-hari. bagaimana mungkin itu terjadi jika bahasa yang dipakaidalam ritual tidak dimengerti oleh para pelakunya?

Bagi saya tetap ada nilai atau sistem yang harus kita ikuti. Dan menurutsaya, apa yang dilakukan oleh Usman Roy di Malang itu tidak lebih darisebuah protes terhadap cara keberagamaan kita. Protes terhadap cara ulamamendidik masyarakat. Meski begitu, apa yang dilakukan Usman Roytidak bisa begitu saja dilakukan oleh orang lain. Saya sendiri memilikipemahaman yang berbeda dengan Usman Roy. Saya akan tetap meng-ajarkan bacaan salat dengan bahasa Arab, sembari mengajarkan artinya. Akansaya ajarkan kekhusyuan lewat pemahaman arti bacaan-bacaan salat diluar waktu salat.

Artinya, Anda setuju upaya mendorong kebebasan tafsir, selama tidakmerugikan dan tidak mencabut hak-hak orang lain?

Ya, saya setuju. Tapi tetap bahwa penafsiran keagamaan harus meng-ikuti beberapa rambu-rambu demi menghindari penggunaan tafsir untukkepentingan pribadi, bukan untuk memberikan kepastian body text-nya.Kita boleh berbeda dalam menafsirkan ayat lâ yamassuhû illâ al-muthahharûn, misalnya. Ayat yang berarti tidak boleh memegang al-Quran kecuali dalam keadaan suci ini memiliki penafsiran yang ber-macam-macam terhadap kata suci. Ada yang menafsirkan suci denganmempunyai wudlu, ada pula yang menafsirkannya sebagai kesucian hati.Saya sendiri lebih memilih penafsiran yang kedua.

Sekali lagi, pluralisme bukan berarti boleh menghilangankan identitasyang kita miliki. Toleransi harus kita lakukan dengan tanpa menghilangkanidentitas asal kita. Sebagai Muslim yang baik, saya harus tetap salat, harusberhaji jika mampu. Tetapi sebagai Muslim yang baik, saya juga harusmenghargai orang yang berbeda. Keyakinan pluralisme seperti itu bukanhanya untuk konteks Indonesia, tetapi harus disebarkan ke seluruh dunia.

a �� b

Maman Imanul Haq Faqieh

1115

Saya sering berbincang dengan Gus Dur, saya kerap mengatakan bahwaide dan gagasan Gus Dur tentang pluralisme bukan hanya menjadi ke-butuhan Indonesia, tetapi juga harus disebarkan ke seluruh dunia.Semangat gagasannya didorong oleh keyakinan tauhid tertentu. Kesim-pulannya, meski terdapat perbedaan antara konsep pluralisme Islam danBarat, tetap ada persamaan dalam tujuan keduanya, yaitu agar kita dapatmenerima orang lain yang berbeda. Lebih dari itu, pluralisme bukan berartiboleh seenaknya mengambil atau mencampuradukkan ajaran orang laindengan ajaran yang kita miliki.

Pluralisme tidak sekadar menghargai orang lain, tetapi, lebih dari itu, jugasebuah usaha untuk memihak terhadap atau mengadvokasi pihak minoritasyang tidak diuntungkan. Ketika Ahmadiyah diserang, sebagai seorang yangpluralis, kita mestinya ikut mengadvokasi, meskipun, misalnya, kita tidaksetuju dengan teologi yang dipahami mereka. Dalam konteks ini,bagaiamana Anda memaknai pluralisme?

Saya setuju dengan konseptersebut. Agama harus kita berda-yakan untuk membela orang yangterzalimi. Apapun agama danwarna kulitnya, kita harus mem-bela kelompok yang dizalimi olehkelompok lain, yang mayoritasmisalnya. Hal ini telah dicontoh-kan oleh Sayyidina Ali, jauhsebelum ada gagasan pluralisme.Suatu ketika, Ali bangun subuh terlambat, sehingga dia harus berlari untukikut salat berjamaah bersama Rasulullah. Di tengah perjalanan, Ali terpaksaharus berjalan lambat, karena di depannya ada orang Yahudi yang sudahtua sedang lewat. Ali tidak berani mendahului si orang tua itu. Persoalannya,bukan karena Yahudi atau Nasrani, tapi dalam Islam dijelaskan bahwaorang tua harus dihormati. Maka Ali berjalan lambat di belakang orangYahudi tersebut sampai ia lewat. Sementara di tempat salat, Nabi danjamaah sudah rukû‘. Ali kemudian bergegas ke masjid. Karena masihmendapati jamaah sedang rukû‘, Ali mengucapkan al-hamdulillâh, Allâhu

Konsep mushâfahah adalah bagaimana

kita berlapang dada dan menerima

orang dengan keunikannya masing-

masing. Selain itu, mushâfahah juga

berarti berjabat tangan, artinya,

berpegang erat untuk bersama-sama

memikul persoalan kemanusiaan dan

merumuskan solusinya.

a �0 b

Membela Kebebasan Beragama

1116

akbar, maka dijawablah oleh Rasulullah sami‘allâhu liman hamidah. Jadi,betapapun hendak salat berjamaah, Ali lebih mendahulukan untukmenghormati orang tua yang beragama Yahudi itu. Karena itulah Alimendapatkan penghargaan sami‘allâhu liman hamidah. Menurut saya,kalau kita mau terus menggali semua ajaran agama kita, maka akanditemukan bagaimana Islam tidak pernah membedakan manusia dari asal-usul ras, agama, dan sebagainya. Nabi pun telah mencontohkan denganmembela Bilal.

Tapi faktanya Islam juga memiliki ayat-ayat yang menganjurkan kekerasan,yang biasa diterapkan oleh kalangan anti-pluralis. Ayat walan tardlâ ‘ankaal-yahûdu... bagi kelompok terakhir ini dimaknai sebagai ketidaksudianorang Yahudi untuk berbaikan dengan orang Islam selama ia masih memelukIslam. Bagaimana Anda memaknai ayat-ayat sejenis ini?

Menurut saya, kita perlu berdialog. Mari kita teliti bagaimana dandalam konteks apa ayat itu turun. Apakah kafir yang disebut pada zamanNabi itu masih relevan dengan kata yang sama di hari ini? Lalu apakahayat yang menyeru memerangi kaum musyrik itu diturunkan dalamkonteks untuk penegakan agama atau sekadar siasat politik Nabi semata?Itu bisa terus kita dialogkan. Kita harus membaca al-Quran sebagai prosesmengedepankan semangat kemanusiaan, demokrasi dan sebagainya. Soalapakah kemudian ada orang yang tidak sepaham dan mempermasalah-kannya, mari kita dialogkan.

Kemudian ayat-ayat atau Hadits yang mengandung kekerasan, rasisdan sebagainya pun harus dilihat sejauh mana kemanfaatannya untukdibaca dan diamalkan. Atau, mungkin bisa juga, kita hanya dan harusmembaca ayat-ayat yang diprioritaskan, yang tidak mengandung unsurkekerasan dan intoleransi. Makanya, bagi saya, kalau agama hanya dipakaisebagai alat provokasi, itu sangat berbahaya. Kita boleh terus memperde-batkan makna ayat al-Quran, karena al-Quran sendiri memang membo-lehkan kita untuk berbeda.

Ada anekdot lucu bagaimana al-Quran dipakai untuk menebar ke-bencian pada orang lain atau dipakai untuk pembenaran tingkah lakunya.Ada kiai yang menerangkan lillâhi mâ fî al-samawâti wa mâ fî al-ardlidengan pengertian bahwa semua yang ada di langit dan di bumi itu milik

a �� b

Maman Imanul Haq Faqieh

1117

Allah, kita di dunia tidak punya apa-apa. Usai mengaji, santri tersebutpulang dan dia menjadi pencuri. Dia menjadikan ayat itu sebagai basisargumentasinya. Kebetulan dia mencuri jambu kiainya. Ketika pak kiaimengetahuinya, santri tersebut ditegur: “mengapa kamu mencuri jambusaya?”, santrinya menjawab, “pak kiai jangan bicara begitu, semua yangada di langit dan di bumi ini milik Allah, berarti ini bukan jambunya pakkiai, ini jambunya Allah. Pemahaman tekstual kiai yang diajarkan kepadamuridnya, akhirnya menjadi senjata makan tuan dalam kasus tersebut.

Bayangkan saja kalau kitamembaca dan memaknai al-Quran hanya untuk kepentingan-kepentingan kita sendiri. Menurutsaya, dalam konteks beragama danberbangsa, kita harus tundukkepada sistem yang kita sepakati,yaitu undang-undang. Undang-undang adalah sebuah kesepakatanbersama untuk mengatur kehi-dupan bersama. Ini perlu dite-kankan, sementara biarkan tafsirterus berbeda dalam menemukan konteksnya masing-masing.

Permasalahannya sekarang, kalau kita pakai saja al-Quran untuk aturanhidup sehari-hari, akan menyelesaikan masalah atau tidak? Apakah meng-counter pemahaman ayat yang tidak pluralis dengan mengusung ayat-ayatyang mendukung pluralisme juga dapat menyelesaikan masalah? Sayasendiri berpendapat sebaiknya tidak usah ada lagi perang ayat, tapi kitaduduk bersama membicarakan pokok persoalan yang ada. Maka, dalamkonteks Indonesia, kita bisa memanggil dan mengumpulkan tokoh-tokohumat Islam, FPI, MMI, HTI, Ahmadiyah, JIL dan sebagainya, hinggasetiap masalah dan konflik yang ada terjelaskan dan akan lebih baik apabilaperbedaan akhirnya dapat diselesaikan.

Jadi, “perang ayat” mesti segera dihindari? Terus apa solusinya?

Ya, itu harus dilanjutkan pada tahap tidak sekadar perang wacana,perang ayat, tetapi dengan membuat sebuah ruang di mana kita bisa

Kita harus mendesak pemerintah agar

menjadikan pluralisme sebagai sebuah

sistem, membuat regulasi pluralisme

yang jelas dan menjadikannya sebagai

kesadaran bernegara. Anda boleh

Muslim, boleh Katolik dan lain

sebagaianya, tapi pluralisme dan

bersikap pluralis adalah hal yang wajib

di negeri ini.

a �� b

Membela Kebebasan Beragama

1118

bertemu dan mencari gagasan untuk kepentingan bersama. Masalahnya,ada kelompok yang tidak mau bertemu dan mulai merasa diri sebagaikekuatan absolut, karena menganggap tafsirannya yang paling sahih. Disamping itu, diharapkan teman-teman yang liberal juga bisa bertemudengan teman-teman yang dianggap radikal dan sebaginya. Makanya, sayasetuju dengan gagasan salah seorang teman yang berasal dari Katolik bahwapersoalan ini menjadi berlarut karena, pada dasarnya, nurani kita yangsudah hilang.

Pada tataran perbedaan tafsir dan “perang ayat”, perlukah negara turun tangan?

Saya kira perlu. Tapi hanya menjadi mediator, bukan memutuskanapalagi menghukumi keyakinan orang lain. Negara bertugas hanya sebatasmemediasi, memfasilitasi, dan menjadi pengayom warga negara secaraadil tanpa melihat asal-usul agama, keyakinan, ras, atau golongannya.

Sayangnya dialog antar-agama di negara kita belum begitu maksimal mene-lurkan perubahan. Bahkan tak jarang dialog yang muncul hanya melibatkaninternal umat beragama. Mestinya, ruang dialog diperlebar dengan secaraaktif melibatkan umat Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu dankomunitas penghayat atau komunitas adat dan lainnya.

Memang seharusnya dalam mengembangkan konsep dialog inter-faith oleh pemerintah mereka semua dilibatkan. Tapi, lagi-lagi, jangansekadar wacana. Saya tidak setuju dengan pembentukan forum pemukaagama (Forum Kerukunan Beragama). Itu hanya akan dijadikan alatnegara untuk memuluskan kepentingan dan gagasan-gagasan dari kaumberagama. Menurut saya, biarkan saja mereka yang berbeda keyakinandan agama berinisiatif bertemu, tidak usah diinstitusikan. Biarkan merekabertemu dari bawah, berdiskusi dengan masalah-masalah yang menjadipersoalan di antara mereka. Karena persoalan demikian tidak mungkindapat digeneralisasi. Masing-masing berbeda dan memiliki keunikantersendiri. Jadi, tugas negara, dalam hal itu, hanya mencoba memfasi-litasi, tidak sampai membentuk dan menginstitusionalisasikan sebuahforum dialog antaragama. Kalau institusionalisasi yang justru terjadi,wajar kerukunan umat beragama yang menjadi program pemerintah

a �� b

Maman Imanul Haq Faqieh

1119

hanya berujung pada penyeragaman. Seharusnya, biarkan saja agama danumat beragama yang ada sebagai entitas yang beragam, karena yangtunggal hanyalah Tuhan.

Sejarah agama-agama di dunia memunculkan konsep pluralisme berbeda-beda. Melalui Konsili Vatikan II, Katolik melahirkan doktrin dan peng-akuan akan adanya keselamatan di luar Gereja. Dari aspek teologis, bagai-mana konsep pluralisme dalam Islam?

Menurut saya, sejak awal Islam sudah memberikan kebebasan. Ketikakita mengatakan inna al-dîna ‘inda Allâhi al-Islâm, itu adalah pembinaanke dalam. Tapi ketika ada ayat seperti yâ ayyuhâ al-nâs innâ khalaqnâkummin dzakarin wa untsâ... atau innâ akramakum ‘inda Allâhi atqâkum,dan sejenisnya, maka ayat-ayat tersebut lebih diarahkan agar umat Islammemandang secara luas ke luar (komunitas agama Islam). Jadi jelas Islamjuga memiliki ajaran pluralisme yang tinggi. Islam memperlakukan semuamanusia secara sama. Kalau kita berbicara tauhid, saya sudah tidak melihatIslam (tauhid) yang hanya dibawa oleh Nabi Muhammad. Menurut saya,apa saja yang baik adalah “Islam”. Mungkin Anda beragama Katolik,Kristen, atau yang lainnya, tetapi kalau Anda sudah baik berarti Andasudah “muslim”. Maka menurut saya, kalau ada orang yang tidak salat,tidak puasa, tapi dia punya kepedulian terhadap masalah sosial danlingkungan, dia sudah muslim. Tugas saya sebagai seorang Muslim adalahmenyebarkan atau mensosialisasikan gagasan Islam. Soal Anda mau ikutatau tidak, itu hal lain.

Tetapi al-Quran memperkenalkan istilah jalan dengan kata yangberbeda-beda, ada suluk, tharîq, syarî‘ah, dan lainnya. Kalau beragamadianggap sebagai jalan, maka wajar jika kendaraan yang dipakai setiaporang berbeda-beda, seperti halnya kendaraan di jalan raya. Itu semua soalbagaimana seseorang memilih dan mampu menjalankanya. Bagi saya,apapun kendaraan seseorang tidak menjadi masalah, asalkan beraturandan tidak menyebabkan yang lain celaka. Negara itulah yang membuataturan. Namun demikian, negara tidak boleh mengatur seseorang untuknaik kendaraan tertentu dan melarang menaiki kendaraan yang lainnya.Yang dia lakukan hanyalah mengatur lalu-lintas dengan membuat rambu-rambu seperti lampu merah dan sebagainya.

a �� b

Membela Kebebasan Beragama

1120

Selanjutnya, yang dapat menjadi penghambat di jalan adalah orangyang mogok dan yang berjalan secara zigzag. Kalau ada umat beragamayang mogok di tengah jalan, kemudian hanya berteriak-teriak di atasmobil, dia akan ditinggalkan. Itu persis dengan gaya yang dipraktikkanoleh FPI dan MUI. Mereka terus berteriak di atas kendaraannya, sementarayang lain tetap cuek dengan jalan yang dipilihnya. Artinya, dengan caraseperti yang mereka perlihatkan, agama menjadi tidak disukai olehmayoritas umat manusia.

Bagaimana mengimplementasikan gagasan fikih tasammuh?

Saya setuju dalam beberapa hal, tetapi harus ada yang perlu ditindak-lanjuti. Yang dimaksud dengan tasammuh dalam konteks ini adalah lebihpada menunjukkan kembali bahwa agama memiliki ruang untuk oranglain. Tapi apakah setiap agama memiliki ketulusan yang sama denganagama lain? Menurut saya, sekarang kita tidak bisa sekadar tasammuh,melainkan harus ditingkatkan menjadi mushâfahah, berasal dari katashahifa yang artinya lembaran. Konsep ini mau mengatakan bahwa kalaukita pernah berbuat kesalahan atau kekerasan maka marilah kita bukalembaran baru.

Konsep mushâfahah adalah bagaimana kita berlapang dada danmenerima orang dengan keunikannya masing-masing. Selain itu,mushâfahah juga berarti berjabat tangan, artinya, berpegang erat untukbersama-sama memikul persoalan kemanusiaan dan merumuskansolusinya. Mushâfahah menjadi media penyaluran energi tangan ke hati.Dengan mushâfahah, mestinya kita bisa beranjak dari wacana ke praksistoleransi yang lebih mengena.

Toleransi tidak bisa diserahkan begitu saja kepada elemen-elemen masyarakat,melainkan juga membutuhkan peran konkret negara. Sayang, berbagai kasuskekerasan atas nama agama di Indonesia justru kerap memperlihatkanpendiaman negara, sehingga mencabut hak-hak dan kebebasan orang ataukelompok tertentu untuk beragama dan berkeyakinan secara beda. Negara,dalam hal ini aparat, cenderung takut kepada golongan yang mengklaimdiri mayoritas, padahal melakukan pengrusakan dan penganiayaan.Pertanyaannya, peran apakah yang semestinya dilakukan oleh negara?

a �� b

Maman Imanul Haq Faqieh

1121

Saya sangat kecewa dengan Pemda, aparat Kepolisian, dan MUIMajalengka dalam menangani kasus Cadasari yang demikian menzalimisaudara kita dari Ahmadiyah. Sejak awal saya mencoba memediasi mereka,kelompok Ahmadiyah, MUI, dan FUI, namun kemudian saya dibuatkecewa justru oleh pemerintah yang telah menghambatnya. Saya kira, kedepan, kita membutuhkan perangkat negara, birokrat dan aparat, yangpaham betul bahwa ruh Indonesia adalah pluralisme. Mereka harus ditataragar benar-benar memahami pluralisme dan kebhinekaan. Dengan begitumungkin kita akan bisa melihat Indonesia sebagai negara yang menghargaikeragaman.

Saya mengusulkan agar pemerintah membuat suatu pelatihan, sepertipenataran P4, namun lebih pada pengajaran tentang pentingnya pluralisme.Kita perlu menggali akar-akar tra-disi bangsa ini untuk memperte-mukan kembali elemen-elemenyang berbeda di dalam masya-rakat kita. Saya merasakan betapapentingnya pluralisme ketika ber-ada di Kupang, di mana Muslimmenjadi kaum minoritas, hanyasekitar 8,2% dari seluruhpenduduk. Dalam kondisi demikian, kita akan mencari ayat atau dalil agarkita disayangi oleh mayoritas, dalam hal ini Katolik. Sesekali, saya kira,FPI perlu berdiam beberapa bulan di sana untuk merasakan bagaimanamenjadi kaum minoritas, agar dia tidak lagi berbuat seenaknya karenamenjadi mayoritas. Di sana, mereka pasti tidak akan bisa berteriak AllâhuAkbar seenaknya seperti di Jakarta, karena dengan itu, mereka menjaditidak pluralis, tidak toleran, bahkan sangat mungkin akan mengakibatkanbentrok dengan kelompok mayoritas yang Katolik.

Menurut saya, tugas berat para tokoh sekarang adalah bagaimana agarmentalitas para aparat, orang yang menjadi representasi negara ataupemerintah, memahami akar sejarah, sehingga memahami gagasanpluralisme sebagai ruh bangsa untuk kemudian disebarkan melalui sebuahkesadaran bernegara. Karena kasus seperti yang terjadi di Cadasari itu tidakakan selesai kalau aparatnya masih belum adil dan memahami pluralisme.Ketidakadilan dan ketidaktegasan aparat itulah yang membuat saya kecewa

Agama harus kita berdayakan untuk

membela orang yang terzalimi.

Apapun agama dan warna kulitnya,

kita harus membela kelompok yang

dizalimi oleh kelompok lain, yang

mayoritas misalnya.

a �� b

Membela Kebebasan Beragama

1122

dalam penanganan kasus Cadasari. Maka, ke depan, kita meminta partai-partai politik, birokrasi dan sebagainya, agar menghasilkan orang-orang yangmempunyai pemahaman kuat tentang pluralisme. Pelatihan pluralismemestinya tidak hanya diberikan untuk tokoh masyarakat. Lebih dari itu,kita harus mendesak pemerintah agar menjadikan pluralisme sebagai sebuahsistem, membuat regulasi pluralisme yang jelas dan menjadikannya sebagaikesadaran bernegara. Anda boleh Muslim, boleh Katolik dan lain sebagaianya,tapi pluralisme dan bersikap pluralis adalah hal yang wajib di negeri ini.

Kembali ke persoalan mushâfahah. Apakah ia dapat disamakan denganrekonsiliasi, sebuah upaya untuk memulihkan hak-hak masyarakat yangterinjak-injak, terampas, dan tercabut? Apakah mushâfahah hanya perludijalankan di tingkat civil society, elemen masyarakat yang saling berkonflik,atau juga melibatkan negara?

Insya Allah, kalau saya lihat al-Quran, konsep mushâfahah itu lebihkepada kesadaran masyarakat. Dan itu tidak perlu banyak-banyak. Tiapkomunitas lokal memunculkan sendiri gagasan itu. Mushâfahahmemaknai masa lalu sebagai lembaran yang sudah lewat, namun tidakperlu menghapusnya. Kita mulai kehidupan sekarang di lembarselanjutnya. Tapi persoalan mengisi lembar putih dan kosong sekarangjustru semakin berat karena, pertama, memang lembarannya tidak ada,kedua, kita tidak mempunyai alat dan sumber daya yang mau menjadikanmushâfahah sebagai bentuk kesadaran untuk kemudian disosialisasikandan sebagainya. Hal ini terjadi karena media pun, misalnya, justru lebihsuka mengeskpos kekerasan. Kalau saya atau para kiai di pelosok makanbareng dengan pendeta di gereja dan sebagainya, itu tidak akan masukdan menjadi berita di koran atau televisi. Tetapi kalau ada gereja dilemparisantri saya, itu pasti akan dijadikan berita. Kita memang telah dihadapkanpada kenyataan bahwa the bad news is the good news.

Apakah media-media di Indonesia, menururt Anda, tidak berperspektif pluralis?

Ya, ada sebagian besar media yang begitu. Makanya kita harus mem-bedakan antara liberalisme pemikiran dengan liberalisme perdagangan.Liberalisme perdagangan artinya kapitalisme. Maka media tidak seharusnya

a �� b

Maman Imanul Haq Faqieh

1123

hanya menampilkan berita-berita yang dapat menaikkan atau men-dongkrak penjualannya (rating) di masyarakat atau menaikkan kapitalusaha perusahaan. Liberalisme dalam pemaknaan seperti inilah yang tidaksaya setujui.

Persolan lain, munculnya perda syariah di berbagai daerah, seringkali men-cederai kebebasan seseorang, bahkan bertentangan dengan konstitusi. Bagai-mana Anda melihatnya?

Menurut saya, pemerintahanSBY dan perangkat di bawahnyabanyak yang sudah menyalahiundang-undang. Sebaliknya, ba-nyak di antara mereka yang tidakmemahami UUD dan tidak ber-jiwa Pancasila. Padahal UUD1945 sendiri jelas-jelas mencan-tumkan dan menghargai plu-ralisme. Dan bagi masyarakatberagama, sebenarnya banyaksekali tujuan-tujuan keber-agamaan yang lebih mulia,ketimbang peribadatan simbolik, seperti tentang kecerdasan bangsa,keadilan sosial yang merata dan sebagainya, yang sayangnya malah tidakdibaca.

Perda syariah seharusnya menjadi sesuatu yang tidak mungkin munculkalau kita benar-benar menjadikan Pancasila dan UUD ’45 sebagai acuanberbangsa dan bernegara. Kenapa demikian? Karena produk hukum dibawah Pancasila dan UUD ’45 harus mengacu kepadanya, sementara perdasyariah jelas-jelas telah mencederai konstitusi. Itulah persoalan besar bagibangsa kita kini. Bangsa ini, kini, sudah tidak punya harga diri, kehilanganidentitas, dan tidak bermartabat. Malangnya, hal itu justru terjadi karenakita memang sudah tidak lagi mengerti bahwa diakuinya kita sebagai negaraberdaulat itu adalah karena kita mempunyai UUD yang kita akui sebagaikesepakatan bersama, yang karena ketidakmengertiannya, malah kitacederai sendiri.

Perda syariah seharusnya menjadi

sesuatu yang tidak mungkin muncul

kalau kita benar-benar menjadikan

Pancasila dan UUD ’45 sebagai acuan

berbangsa dan bernegara. Kenapa

demikian? Karena produk hukum di

bawah Pancasila dan UUD ’45 harus

mengacu kepadanya, sementara perda

syariah jelas-jelas telah mencederai

konstitusi.

a �� b

Membela Kebebasan Beragama

1124

Konkretnya, harusnya bertindak seperti apakah negara ini? Haruskah iamenjadi negara kuat, melebihi kekuatan yang lain?

Tidak. Menurut saya, perjuangan di ranah civil society-lah yang justrumenjadi amat penting. Dari sini, kita mengontrol orang-orang yang kinisedang memangku jabatan di negara. Kita bisa melakukan itu denganpatokan UUD ‘45, karena mereka tidak bisa menjadi representasi negarakalau tidak mengacu kepada UUD ‘45. Bagaimana mungkin seorangpolisi yang digaji oleh negara malah membekingi kekerasan. Sayangnya,mereka malah kerap melakukan hal seperti itu dan sulit mengubahnya.Salah satu yang memungkinkan itu tetap terjadi adalah proses rekrutmendi negara kita yang memang kacau. Untuk menjadi polisi atau pegawainegeri sipil (PNS) seseorang dipaksa melakukan penyuapan, wajarlah kalaukemudian melahirkan aparat dan birokrat yang juga ahli suap, korup.Korupsi memang menjadi biang keladi dari semua persoalan bangsa ini.

Kembali ke persoalan perda syariah. Adalah ironis di mana perda syariahjustru kerap diusung oleh partai sekular, bukan hanya partai Islam. Mengapaitu bisa terjadi?

Karena Perda itu dibuat untuk kepentingan politik semata. Saya kata-kan tadi, selama agama menjadi kekuatan moral untuk sebuah perubahandan perbaikan transformatif, itu oke, ideal. Tapi kalau agama sudah di-politisasi sebagai alat kekuasaan, itulah yang sangat berbahaya. Lebih dariitu, ia malah mengerdilkan peran agama.

Dengan kenyataan berbangsa seperti sekarang ini, bagaimana Anda mem-perkirakan hubungan antar-agama dan keyakinan di Indonesia ke depan?

Saya selalu optimis bahwa, ke depan, Indonesia bisa menjadi sebuahnegara yang betul-betul mempunyai identitas. Identitas itu adalah denganmempunyai dan terus merawat keragaman dan kebhinekaan. Indonesiajuga akan menjadi contoh keberagamaan yang ramah dan rahmatan li al-‘âlamîn. Kemudian, Indonesia juga mempunyai peranan penting dalammasa depan peradaban dunia. Syaratnya, kita harus mulai melakukankomitmen, di semua elemen, dalam mendorong di sebalik kata jahada.

a �� b

Maman Imanul Haq Faqieh

1125

Pertama, secara individu kita harus zuhud. Bagaimana kita mempraktikkankeberagamaan kita pada konteks yang riil, bukan hanya pada sisi simbol.Kedua, kita harus ber-ijtihâd. Seluruh kemampuan intelektual kitadicurahkan untuk negara ini, tidak untuk kepentingan sesaat yang sifatnyapribadi dan golongan. Setelah itu, baru kita bisa masuk ke tahap ketiga,mujâhadah. Di sini terdapat upaya rekonsiliasi bersama bahwa yang kitainginkan adalah sebuah perubahan ke depan. Terakhir, keempat, adalahjihâd. Harus ada pendorong yang memaksa kita menyelesaikan persoalankemiskinan dan perang melawan korupsi secara bersama-sama.

Kalau semua itu kita lakukan, saya optimis bahwa ke depan hubunganantar-agama dan keyakinan menjadi semakin baik. Bangsa kita pun akansemakin bermartabat. Saya rasa kelompok-kelompok radikal hanya akanmuncul pada masa transisi saja. Acara-acara di televisi pun sekarang inisudah mulai ada perubahan. Dari hanya memunculkan tokoh-tokoh yangmemiliki pemahaman Islam permukaan, acara-acara kontes dari idolsampai dangdut, kini, seiring berkembangnya seleksi masyarakat, nalarmedia akan didominasi keseriusan mengusung kemanusiaan, demokrasi,HAM dan sebagainya. Itu sangat mungkin, karena media merupakanrepresentasi dari apa yang terjadi di masyarakat. Orang-orang yangmengusung pluralisme, ke depan, akan makin disukai publik dan media.Saya kira generasi seperti inilah yang akan tumbuh dan mewarnai Indonesiapada 20 tahun yang akan datang. Namun demikian, satu hal yang palingpenting adalah kita tidak perlu terjebak pada kapitalisasi.

Wawancara dilakukan di Pondok Indah Jakarta, Kamis, 28 Februari 2008