MEMBANGUN MEKANISME PENDANAAN BERKELANJUTAN UNTUK PELESTARIAN ALAM … · 2017. 6. 6. · Pendanaan...

73
1 MEMBANGUN MEKANISME PENDANAAN BERKELANJUTAN UNTUK PELESTARIAN ALAM DAN BUDAYA BALI OLEH Ir. Agung Suryawan Wiranatha, M.Sc., PhD. Dr. Drs. Ida Bagus Gde Pujaastawa, M.A. Prof. Dr. Ir. Made Antara, M.S. Nyoman Ariana, SST.Par., M.Par. Kerjasama PUSLIT KEBUDAYAAN DAN KEPARIWISATAAN UNIVERSITAS UDAYANA Dengan CONSERVATION INTERNATIONAL INDONESIA DENPASAR, BALI 2015

Transcript of MEMBANGUN MEKANISME PENDANAAN BERKELANJUTAN UNTUK PELESTARIAN ALAM … · 2017. 6. 6. · Pendanaan...

  • 1

    MEMBANGUN MEKANISME

    PENDANAAN BERKELANJUTAN UNTUK PELESTARIAN ALAM DAN

    BUDAYA BALI

    OLEH

    Ir. Agung Suryawan Wiranatha, M.Sc., PhD.

    Dr. Drs. Ida Bagus Gde Pujaastawa, M.A.

    Prof. Dr. Ir. Made Antara, M.S.

    Nyoman Ariana, SST.Par., M.Par.

    Kerjasama

    PUSLIT KEBUDAYAAN DAN KEPARIWISATAAN

    UNIVERSITAS UDAYANA

    Dengan

    CONSERVATION INTERNATIONAL INDONESIA

    DENPASAR, BALI

    2015

  • 2

    KATA PENGANTAR

    Pendanaan berkelanjutan untuk pelestarian alam dan budaya Bali adalah suatu

    kegiatan advokasi yang diinisiasi dan didanai oleh conservation International Indonesia

    tahun 2014/2015 bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kebudayaan dan Pariwisata

    (Puslitbudpar) Unud. Advokasi bertujuan menyadarkan para pemangku kepentingan

    pariwisata khususnya pemerintah baik di pusat maupun di daerah akan pentingnya

    ketersediaan (alokasi) dana untuk menjamin berlangsungnya upaya pelestarian alam dan

    budaya Bali secara berkesinambungan, yang dikumpulkan secara wajib maupun sukarela

    dari wisatawan yang berkunjung ke Bali.

    Berkat bantuan berbagai pihak, kegiatan ini telah dapat diselesaikan dengan baik.

    Untuk itu tim mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: (1) Bappeda

    Provinsi Bali yang telah memfasilitasi pelaksanaan kegiatan ini; (2) Bali Tourism Board (BTB)

    yang telah memfasilitasi kegiatan focus group discussion (FGD) sebanyak beberapa kali di

    gedung BTB di Jalan Raya Puputan Denpasar; (3) Asosiasi pariwisata yang bernaung di

    bawah BTB yang telah mengirimkan wakilnya untuk berpartisipasi dalam FGD; (4) SKPD di

    lingkungan Pemerintah Provinsi Bali, Kota Denpasar, dan Kabupaten Badung yang telah

    berpartisipasi pada kegiatan kajian ini; (5) Conservation Internasional Indonesia yang telah

    memfasilitasi dan mendanai kegiatan ini; dan pihak-pihak lainnya yang tidak dapat

    disebutkan satu-persatu yang telah berpartisipasi dan mendukung pelaksanaan kegiatan ini.

    Laporan kajian ini masih memiliki keterbatasan. Kritik dan saran untuk

    penyempurnaan laporan kajian ini sangat diharapkan. Sekian dan terimakasih.

    Denpasar, 31 Maret 2015

    Puslit Kebudayaan dan Kepariwisataan Universitas Udayana

    Kepala,

    Ir. A.A.P. Agung Suryawan Wiranatha, M.Sc., PhD.

  • 3

    DAFTAR ISI

    Halaman

    KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………………………………………. 1

    DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………………………………….. 2

    BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………………………………………… 7

    1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………………………………………. 7

    1.2 Tujuan …………………………………………………………………………………………………………. 11

    1.3 Luaran (Output) …………………………………………………………………………………………… 11

    BAB II KAJIAN PUSTAKA …………………………………………………………………………………………. 12

    2.1 Perkembangan Kepariwisataan di Bali ………………………………………………………… 12

    2.2 Dampak Perkembangan Kepariwisataan di Bali ………………………………………….. 14

    2.2.1 Dampak Ekonomi …………………………………………………………………………… 14

    2.2.2 Dampak Lingkungan ………………………………………………………………………. 32

    2.2.3 Dampak Sosial Budaya …………………………………………………………………… 34

    2.3 Konsep Pariwisata Bali Berkelanjutan …………………………………………………………. 36

    2.3.1 Konsep Pariwisata Berkelanjutan …………………………………………………… 36

    2.3.2 Konsep Kearifan Lokal untuk Pariwisata Berkelanjutan

    (THK, Nyegara Gunung, Sad Kertih) ……………………………………………….

    37

    2.4 Teori Konsep Ekonomi Lingkungan …………………………………………………………..... 41

    BAB III METODE KAJIAN ………………………………………………………………………………………….. 51

    3.1 Waktu dan Lokasi Kajian ……………………………………………………………………………… 51

    3.2 Pengumpulan Data ……………………………………………………………………………………… 51

    3.3 Analisis Data ………………………………………………………………………………………………… 52

    3.4 Pelaksanaan Kajian ……………………………………………………………………………………… 53

    BAB IV SKENARIO MEKANISME PENGGALANGAN DANA BERKELANJUTAN ……………… 55

    4.1 Rasionalisasi Pentingnya Penggalangan Dana ……………………………………………… 55

    4.2 Sistem Alokasi Anggaran Pemerintah Untuk Konservasi Alam dan Budaya Bali ……………………………………………………………………………………………………………….

    57

    4.3 Kesenjangan antara Anggaran Dan Masalah yang Terjadi ………………………….. 60

    4.4 Pungutan Wajib (Mandatory) ……………………………………………………………………… 62

    4.5 Pungutan Sukarela/Donasi (Voulantary) ……………………………………………………… 65

  • 4

    Halaman

    BAB V PETA JALAN PENGGALANGAN DAN PEMANFAATAN DANA BERKELANJUTAN 67

    5.1 Visi dan Misi ……………………………………………………………………………………………….. 67

    5.2 Tujuan dan Sasaran ……………………………………………………………………………………… 67

    5.3 Ruang Lingkup Kegiatan ………………………………………………………………………………. 68

    5.3.1 Kegiatan Penggalangan Dana ………………………………………………………… 68

    5.3.2 Kegiatan Pemanfaatan Dana …………………………………………………………. 69

    5.3.2.1 Pelestarian Alam ……………………………………………………………… 69

    5.3.2.1 Pelestarian Budaya …………………………………………………………… 69

    5.4 Kelembagaan Pengelolaan Dana Berkelanjutan ………………………………………….. 69

    5.4.1 Bentuk, Nama dan Pendiri Organisasi ……………………………………………. 69

    5.4.2 Tugas Pokok dan Fungsi Organisasi ……………………………………………….. 70

    5.4.3 Struktur Organisasi ………………………………………………………………………… 70

    5.4.4 Sistem Pengelolaan Dana Berkelanjutan ………………………………………… 70

    5.5 Garis-Garis Besar Rencana Kegiatan ……………………………………………………………. 70

    5.5.1 Pelestarian Alam ……………………………………………………………………………. 70

    5.5.2 Pelestarian Budaya ………………………………………………………………………… 74

    BAB VI PENUTUP ……………………………………………………………………………………………………. 75

    DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………………………………………… 76

  • 5

    DAFTAR TABEL

    Nomor Tabel Judul Tabel Halaman

    2.1 Penerimaan Devisa Pariwisata Dibandingkan dengan Komoditi Ekspor lainnya, 2009-2013 ………………………………………………………………………………………………………..

    16

    2.2 Pendapatan Per kapita Menurut Harga Berlaku (2010-2013) …………………………. 17

    2.3 Pajak Hotel dan Restoran Kabupaten/Kota Badung, Denpasar, dan Gianyar sebagai Representasi Kontribusi Sektor Pariwisata Bali ……………………………………

    18

    2.4 Dampak Bom Bali Terhadap Perekonomian Masyarakat Petani Bali (Jeneralisasi Hasil Survei 45 Desa Adat Penyangga Pariwisata di Bali) ………………

    20

    2.5 PDRB Provinsi Bali Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2010 - 2013 (milyar rupiah) ……………………………………………………………………

    21

    2.6 Kontribusi Sektor-Sektor Perekonomian Terhadap Produk Domestik Regional Bruto Provisi Bali Atas Dasar Harga Berlaku (Persentase) …………………………………

    22

    2.7 Penduduk Bekerja Menurut Lapangan Usaha di Propinsi Bali, 2003-2007.. 24

    2.8 Penduduk 15 Tahun Keatas yang Bekerja Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Usaha dan Jenis Kelamin di Provinsi Bali Tahun 2014 ……………………….

    25

    2.9 Inflasi Bulanan, Tahun kalender, dan Year on Year, di Kota Denpasar Tahun 2012 2014 ……………………………………………………………………………………………………….

    30

  • 6

    DAFTAR GAMBAR

    Nomor Gambar Judul Gambar Halaman

    2.1 Perkembangan Kunjungan WIsatawan Mancanegara Langsung ke Bali …………… 13

    2.2 Perkembangan Jumlah Hotel di Bali, 1986-2011 ……………………………………………… 14

    2.3 Perkembangan Pendapatan Per Kapita Masyarakat Bali Dampak Pariwisata …… 17

    2.4 Kontribusi Sektor Pertanian dan Sektor Pariwisata (Perdagangan Hotel dan Restoran) Terhadap PDRB Provisi Bali Atas Dasar Harga Berlaku sebagai Representasi Diversifikasi Aktivitas Ekonomi …………………………………………………..

    23

    2.5 Perkembangan Inflasi Kota Denpasar, Februari 2012-Februari 2014 ………………. 28

    2.6 Katagori tentang Nilai-Nilai Ekonomi Dihubungkan dengan Aset Lingkungan.. 43

  • 7

    BAB I PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang

    Sebelum tahun 1980-an, perekonomian Bali dicirikan oleh perekonomian agraris di

    mana sebagian besar aktivitas ekonomi berkaitan dengan pertanian. Namun sejak tahun

    1980 pariwisata mulai berkembang dan perkembangan sangat pesat mulai tahun 2000 yang

    dicirikan oleh sebagian besar aktivitas ekonomi masyarakat Bali berkaitan dengan jasa-jasa

    pariwisata.

    Struktur perekonomian Bali mempunyai karakteristik yang unik dibandingkan dengan

    provinsi-provinsi lain di Indonesia. Pilar-pilar ekonomi yang dibangun lewat keunggulan

    industri pariwisata sebagai sektor pemimpin (Leading Sector), telah membuka beragam

    peluang yang dapat mendorong aktivitas ekonomi serta pengembangan etos kerja

    masyarakat. Dimensi itu tergambar dari meluasnya kesempatan kerja, tingginya peluang

    tingkat pendapatan masyarakat, luasnya jaringan kerja yang meliputi batas-batas lokal

    sampai tingkat nasional, bahkan ke tingkat internasional. Dengan dukungan industri

    pariwisata yang sangat besar telah meyebabkan sektor-sektor yang mempunyai keterkaitan

    langsung seperti perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan, keuangan dan jasa-jasa

    memberikan distribusi yang cukup besar terhadap pembentukan PDRB Provinsi Bali atau

    perekonomian Bali.

    Perkembangan industri pariwisata beberapa dasa warsa terakhir mengalami

    pertumbuhan yang fluktuatif akibat gangguan beberapa peristiwa, seperti perang teluk

    tahun 2001, krisis keuangan yang melanda negara-negara Asia 1997/98-2000, disusul

    peristiwa peledakan WTC di Amerika Serikat, ledakan bom di Kuta 2001 dan 2005,

    meletusnya Perang Irak dan penyebaran wabah SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome),

    dan paling akhir adalah krisis keuangan global melanda dunia di akhir 2008 yang

    menurunkan pendapatan masyarakat di belahan Amerika dan Eropa. Hal tersebut

    berimplikasi terhadap penurunan kunjungan wisatawan, selanjutnya mempengaruhi

    pertumbuhan ekonomi, baik bagi negara maju seperti Amerika, Spanyol, Perancis maupun

    bagi negara-negara berkembang seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Indonesia. Ini

    membuktikan bahwa sektor pariwisata sangat rentan terhadap gangguan eksternal, namun

    mempunyai peranan yang sangat vital dalam menunjang perekonomian suatu negara. Hal

  • 8

    senada juga diungkapkan World Travel and Tourism Council seperti yang dikutip oleh

    Theobald, 1994 (dalam Yoeti, 1996) bahwa perjalanan dan pariwisata merupakan industri

    terbesar bila ditinjau dari ukuran-ukuran ekonomi seperti output total, nilai tambah,

    investasi modal, tenaga kerja dan kontribusi pajak bagi pemerintah lokal. Anonim (2003)

    report that tourism is a significant industry in British Columbia It generates more than 4% of

    real GDP and about 7% of employment. By comparison, it is only slightly smaller than BC's

    construction industry.

    Penegasan pentingnya pembangunan sektor pariwisata bagi Indonesia telah lama

    dituangkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) TAP MPR No. II/MPR/1998 yakni

    “Pembangunan kepariwisataan diarahkan pada pengembangan pariwisata sebagai sektor

    andalan dan unggulan dalam artian luas yang mampu menjadi salah satu penghasil devisa,

    mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan daerah, memberdayakan

    perekonomian masyarakat, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, serta

    meningkatkan pengenalan dan pemasaran produk nasional dalam rangka meningkatkan

    kesejahteraan rakyat dengan tetap memelihara kepribadian bangsa, nilai-nilai agama serta

    kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup”.

    Pariwisata merupakan industri yang memiliki rentangan luas (wide spanning), dalam

    artian industri yang terdiri dari berbagai kumpulan industri jasa yang mendukung atau yang

    terkait dengan perjalanan seseorang atau sekelompok orang (travellers), seperti akomodasi,

    restoran, jasa transportasi dan souvenir (Yoeti, 1996). Kebutuhan tenaga kerja pariwisata

    makin meningkat sejalan dengan makin berkembangnya usaha jasa pariwisata, sarana

    pariwisata serta usaha objek dan daya tarik wisata. Oleh karena itu kesempatan kerja di

    bidang pariwisata perlu juga diperhitungkan, berdasarkan pada jumlah kunjungan

    wisatawan, jumlah pengeluaran wisatawan dan pertumbuhan sarana pariwisata.

    Dalam berbagai analisis disebutkan bahwa pembangunan pariwisata mampu

    mendorong mobilitas tenaga kerja (Vorlauter, 1996). Hal senada diungkapkan Redetzki

    (1989) bahwa perkembangan pesat pariwisata menjadi salah satu daya tarik utama bagi

    migrasi tenaga kerja. Bila di lihat dari kualitas/jenis tenaga kerja yang ada, di tinjau dari

    indikator tingkat pendidikan menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tenaga kerja di bidang

    pariwisata (perhotelan) lebih tinggi di bandingkan dengan pendidikan tenaga kerja di sektor

    ekonomi lain pada umumnya. Fenomena tersebut di dukung oleh penelitian Spillane, 1994

  • 9

    (dalam Ariani, 2004) yaitu adanya kecenderungan bahwa tingkat pendidikan yang lebih baik

    tercipta di sektor pariwisata dari pada sektor ekonomi lainnya.

    Dengan demikian, pariwisata di manapun termasuk di Bali tidak terbantahkan telah

    menimbulkan dampak positif (positive impact) bagi perekonomian regional dan nasional.

    Namun patut pula diakui bahwa pariwisata juga menimbulkan dampak negatif (negative

    impact), antara lain, menyusutnya lahan pertanian untuk pembangunan pendukung

    infrastruktur pariwisata, meningkatnya kriminalitas, kepadatan lalu lintas, urbanisasi dan

    emigrasi, bermuculannya ruko-ruko, shopping centre dan mall yang melanggar tataruang

    wilayah, degradasi lingkungan dan polusi. Dampak negatif yang disebutkan terakhir disebut

    eksternalitas, utamanya eksternalitas negatif (negative externality= external cost = external

    diseconomy), yaitu aktivitas kepariwisataan yang menimbulkan kerusakan lingkungan, polusi

    air (sungai, laut dan sumur) dan tanah, sehingga menyebabkan kerugian sosial yang

    ditanggung oleh masyarakat di daerah tujuan wisata.

    Secara mikro untuk menurunkan eksternalitas negatif yang ditimbulkan oleh

    pariwisata (tourism) dapat dilakukan melalui beberapa kebijakan, yakni memberikan

    insentive dalam bentuk subsidi atau keringanan pajak (Pajak Hotel dan Restotan, PHR)

    kepada agen-agen penunjang pariwisata (misal: restoran, hotel, travel biro, Scuba Diving

    dan agen lainnya) yang memberikan perlindungan atau melestarikan lingkungannya.

    Misalnya hotel atau agen pariwisata yang merecyling limbahnya, baik limbah padat (solid

    waster) atau limbah cair (sewage), sehingga tidak menimnulkan pencemaran terhadap

    tanah dan air di sekitarnya. Sebaliknya pemerintah dapat mengenakan disincentive dalam

    bentuk peningkatan beban pajak (PHR) atau denda kepada agen-agen penunjang pariwisata

    yang mencemari lingkungannya, baik pencemaran air, tanah, dsb, yang menyebabkan

    kerugian masyarakat.

    Pariwisata juga menimbulkan eksternalitas, utamanya eksternalitas negatif yang

    secara langsung ataupun tidak langsung menyebabkan degradasi sumberdaya alam, polusi

    air, tanah, dsb, sehingga akan menimbulkan kerugian-kerugian yang harus ditanggung

    masyarakat (External Social Cost). Jika External Social Cost ini diinternalisasikan menjadi

    biaya riil, sudah jelas akan menurunkan pendapatan regional atau nasional. Jadi karena

    eksternalitas yang ditimbulkan oleh pariwisata adalah eksternalitas negatif, maka perlu

    dilakukan ‘economic valuation’ dari sumberdaya yang dipergunakan dalam aktivitas

    perekonomian nasional atau regional. Ekternalitas negatif, yaitu menghitung semua

  • 10

    kerugian-kerugian yang ditanggung masyarakat dan lingkungan sebagai akibat adanya

    aktivitas ekonomi kepariwisataan.

    Bali sebagai sebuah destinasi wisata internasional masih memiliki sejumlah masalah

    terkait dengan upaya peningkatan kunjungan wisatawan seperti meningkatanya volume

    limbah, , poluasi udara dan air, kemacetan lalu lintas, peningkatan ekstraksi air segar, dan

    meningkatnya kebutuhan pangan. Untuk menangulangi permasalahan tersebut diperlukan

    upaya pengembangan pariwisata berkelanjutan sehingga mampu meningkatkan manfaat

    ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Pengembangan pariwisata berkelanjutan perlu

    didukung upaya pengembangan pariwisata berkualitas yang dicirikan dengan meningkatnya

    lama tinggal wisatawan dan meningkatknya pengeluaran, dan meningkatnya apresiasi

    wisatawan terhadap aspek kelestarian lingkungan dan budaya lokal.

    Aspek penting untuk mendukung pembangunan berkelanjutan adalah tersedianya

    sumberdana yang menjamin keberlanjutan pengelolaan dari peningkatan penduduk dan

    kedatangan wisatawan yang berdampak pada penurunan kualitas (degradasi) lingkungan

    dan budaya. Untuk membantu pemerintah lokal memelihara kelestarian sumberdaya alam

    dan budaya Bali, maka perlu adanya semacam tambahan dana untuk pelestarian

    sumberdaya alam dan budaya Bali yang bersumber dari penikmatnya yaitu wisatawan, baik

    wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara. Untuk itu diperlukan suatu kajian

    mekanisme pendanaan berkelanjutan untuk pelestarian sumberdaya alam dan budaya Bali.

    2. Tujuan

    Tujuan kajian ini adalah untuk (i) menyusun skenario mekanisme pendanaan

    berkelanjutan untuk pelestarian alam dan budaya Bali; (ii) menyusun road map (peta

    jalan) mekanisme pendanaan berkelanjutan untuk pelestarian alam dan budaya Bali;

    dan (iii) merintis terbentuknya kelembagaan terkait dengan mekanisme pendanaan

    berkelanjutan untuk pelestarian alam dan budaya Bali.

    3. Luaran (Output)

    Adapun luaran (output) studi antara lain:

    a. Skenario dan road map mekanisme pendanaan berkelanjutan untuk pelestarian alam

    dan budaya Bali; dan

    b. Konsep badan atau lembaga pengelola dana berkelanjutan untuk pelestarian alam dan

    budaya Bali.

  • 11

  • 12

    BAB II KAJIAN PUSTAKA

    2.1 Perkembangan Kepariwisataan di Bali

    Bali dikenal sebagai salah satu destinasi wisata dunia karena keunikan budaya dan

    keindahan alamnya sehingga pariwisata Bali berkembang sangat pesat. Hal ini dapat dilihat

    dari peningkatan jumlah kunjungan wisatawan dan fasilitas pendukungnya. Peningkatan

    jumlah kunjungan wisatawan mancanegara mulai terlihat sejak periode 1970-2000 yang

    mencapai 23.340 wisatawan pada tahun 1970 menjadi 1.412.839 pada tahun 2000. Namun,

    tragedi bom Bali pada 12 Oktober 2002 menyebabkan penurunan yang sangat tajam dalam

    kunjungan langsung wisatawan mancanegara ke Bali yaitu 993.029 wisatawan pada tahun

    2003. Peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mulai terlihat setahun setelah adanya

    tragedi ini yaitu sebesar 1.458.309 wisatawan pada tahun 2004. Namun, sangat

    disayangkan, bom kedua terjadi di Bali pada tahun 2005 yang berdampak negatip pada

    penurunan jumlah kunjungan langsung wisatawan mancanegara ke Bali yaitu sebesar

    1.260.317 pada tahun 2006. Berbagai usaha telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Bali

    yang didukung oleh pemerintah pusat untuk meyakinkan wisatawan mancanegara agar

    melakukan kunjungan ke Bali. Salah satu usaha adalah “Program Bali Recovery” pada tahun

    2006 yang dirancang atas kerjasama Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik

    Indonesia yang berkerjasama dengan Bali Tourism Board. Peningkatan kunjungan wisatawan

    secara bertahap mulai dirasakan pada tahun-tahun berikutnya dan mencapai puncaknya

    yaitu 2.892.019 wisatawan pada tahun 2012. Dalam periode 2007-2012, rata-rata

    pertumbuhan kunjungan langsung wisatawan mancanegara ke Bali adalah 14,7 % per tahun

    (Dinas Pariwisata Propinsi Bali, 2011)(Gambar 2.1).

  • 13

    Gambar 2.1 Perkembangan Kunjungan WIsatawan Mancanegara Langsung ke Bali

    Sebagai salah satu destinasi wisata dunia, pariwisata Bali didukung oleh tersedianya

    infrastruktur yang memadai, seperti bandara internasional yang memfalitasi kunjungan

    langsung wisatawan mancanegara ke Bali, kualitas jalan yang memadai yang memudahkan

    kunjungan wisatawan ke berbagai daerah. Data dari Dinas Pariwisata Propinsi Bali (2013)

    menunjukkan bahwa terdapat 2.212 unit akomodasi dengan jumlah kamar sebanyak 46.025

    kamar yang terdaftar di Bali pada tahun 2012. Dari jumlah tersebut, terdapat sebanyak 156

    hotel berbintang (20.269 kamar), 1.031 hotel non bintang (21.114 kamar), dan 1.025

    pondok wisata (homestays) (4.642 kamar). Namun, data yang dilaporkan oleh Perhimpunan

    Hotel dan Restauran Indonesia (PHRI) menunjukkan angka yang berbeda, yaitu sebanyak

    3.346 unit akomodasi (62.407 kamar) yang terdapat di Bali pada tahun Bali 2011, yang

    terdiri dari 165 hotel berbintang (22.161 kamar), 1.371 hotel non bintang (28.585 kamar),

    1.760 pondok wisata (homestays) yang terdiri dari (9.282 kamar), 15 condotels (1.793

    rooms), dan 35 rumah yang disewakan (rental houses) yang terdiri dari 586 kamar. Data di

    atas merupakan data yang tercatat. Akomodasi yang tersedia di Bali bisa saja melebihi

    0250,000500,000750,000

    1,000,0001,250,0001,500,0001,750,0002,000,0002,250,0002,500,0002,750,0003,000,0003,250,000

    197

    01

    97

    11

    97

    21

    97

    31

    97

    41

    97

    51

    97

    61

    97

    71

    97

    81

    97

    91

    98

    01

    98

    11

    98

    21

    98

    31

    98

    41

    98

    51

    98

    61

    98

    71

    98

    81

    98

    91

    99

    01

    99

    11

    99

    21

    99

    31

    99

    41

    99

    51

    99

    61

    99

    71

    99

    81

    99

    92

    00

    02

    00

    12

    00

    22

    00

    32

    00

    42

    00

    52

    00

    62

    00

    72

    00

    82

    00

    92

    01

    02

    01

    12

    01

    22

    01

    3

    NU

    MB

    ER

    OF

    FO

    RE

    IGN

    VIS

    ITO

    RS

    YEAR

    NUMBER OF FOREIGN VISITORS (DIRECT ARRIVALS) IN BALI TAHUN

    1970 - 2013

  • 14

    jumlah tersebut di atas yang mengindikasikan adanya akomodasi ilegal yang tidak tercatat

    yang beroperasi di Bali.

    Gambar 2.2 Perkembangan Jumlah Hotel di Bali, 1986-2011

    Pesatnya perkembangan pariwisata di Bali berdampak positif maupun negatif

    terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dampak perkembangan pariwisata di Bali

    diuraikan pada sub-bab selanjutnya.

    2.2 Dampak Perkembangan Kepariwisataan di Bali

    2.2.1 Dampak Ekonomi

    Pariwisata telah menjadi salah satu industri terbesar di dunia dan salah satu sektor

    ekonomi yang tumbuh tercepat. Perkembangan pariwisata di Bali memberikan dampak

    positif dan negatif terhadap perekonomian Bali.

    2.2.1.1 Dampak positif terhadap perekonomian

    Pariwisata Bali menimbulkan dampak positif terhadap kinerja perekonomian Bali,

    antara lain:

    0

    10000

    20000

    30000

    40000

    50000

    60000

    70000

    NU

    MB

    ER

    OF

    RO

    OM

    S

    1986 1994 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

    YEAR

    ROOMS FOR VISITORS IN BALI

    Star Rooms Non-Star Rooms

  • 15

    1) Sumber Devisa Negara

    Wisatawan, terutama wisatawan mancanegara (wisman) yang datang berkunjung ke

    destinasi wisata Bali akan membawa mata uang asing (devisa). Ketika akan bertransaksi

    untuk berbagai keperluan, devisa-devisa ini akan ditukar dengan rupiah, selanjutnya devisa-

    devisa ini akan dipegang oleh para pengusaha penukaran mata uang asing (currency

    exchanger), dan ketika pengusaha currency exchanger membutuhkan rupiah, maka mereka

    akan menukarnya ke bank-bank umum atau Bank Indonesia, dan pada akhirnya devisa-

    devisa ini akan mengendap dan terkumpul di Bank Indonesia.

    Dengan semakin meningkatnya kunjungan wisman ke Indonesia, maka semakin

    meningkat pula devisa yang masuk ke Indonesia. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan

    ketika nilai tukar rupiah terpuruk menembus angka Rp 13.000 per dollar AS pada

    pertengahan bulan Maret 2015 yang lalu, maka pemerintah berkomitemen menjadikan

    pariwisata sebagai sektor unggulan pengumpul devisa. Diperkirakan sekitar 30% devisa

    Indonesia bersumber dari kegiatan kepariwisataan Bali. Dengan demikian, dapat dikatakan

    pariwisata Bali dibaratkan sebagai “sapi perahan” devisa Indonesia. Karenanya, “sapi

    perahan” tersebut harus dijaga kesehatannya agar dapat menjadi sumber devisa Indonesia

    secara berkelanjutan.

    Dalam kaitan dengan penerimaan devisa, posisi sektor pariwisata dalam penerimaan

    devisa terus berubah, tahun 2009 menduduki posisi keempat dalam penerimaan devisa

    setelah komoditi minyak dan gas bumi. Tahun 2010-2012 menduduki posisi kelima, tahun

    2013 kembali menduduki posisi keempat dalam penerimaan devisa (Tabel 2.1). Fluktuasi

    posisi ini disebabkan oleh berfluktuasinya kunjungan wisatawan ke Indonesia, sedangkan

    fluktuasi kunjungan wisatawan dipengaruh faktor eksternal dan internal, seperti situasi

    keamanan dan situasi ekonomi global.

  • 16

    Tabel 2.1 Penerimaan Devisa Pariwisata Dibandingkan dengan Komoditi Ekspor lainnya, 2009-2013

    No Jenis Komoditi Nilai Ekspor (Juta US $)

    2009 2010 2011 2012 2013

    1 Minyak & Gas Bumi 19,018.30 (1)

    28,039.60 (1)

    41,477.10 (1)

    36,977.00 (1)

    32,633.2 (1)

    2 Batu bara 13,817.30 (2)

    18,499.30 (2)

    27,221.80 (2)

    26,166.30 (2)

    24,501.4 (2)

    3 Minyak Kelapa Sawit 10,367.62 (3)

    13,468.97 (3)

    17,261.30 (3)

    18,845.00 (3)

    15,839.1 (3)

    4 Pariwisata 6,298.02 (4)

    7,602.45 (5)

    8,554.40 (5)

    9,120.85 (5)

    10,054.1 (4)

    5 Pakaian Jadi 5,735.60 (5)

    6,598.11 (6)

    7,801.50 (6)

    7,304.70 (6)

    7,501.0 (6)

    6 Karet Olahan 4,870.68 (6)

    9,314.97 (4)

    14,258.20 (4)

    10,394.50 (4)

    9,316.6 (5)

    7 Alat Listrik 4,580.18 (7)

    6,337.50 (7)

    7,364.30 (7)

    6,481.90 (7)

    6,418.6 (7)

    8 Tekstil 3,602.78 (8)

    4,721.77 (8)

    5,563.30 (8)

    5,278.10 (8)

    5,293.6 (9)

    9 Kertas & Brg dr kertas 3,405.01 (9)

    4,241.79 (9)

    4,214.40 (11)

    3,972.00 (10)

    3,802.2 (10)

    10 Makanan Olahan 2,960.73 (10)

    3,620.86 (10)

    4,802.10 (9)

    5,135.60 (9)

    5,434.8 (8)

    11 Kayu Olahan 2,275.32 (11)

    2,870.49 (12)

    3,288.90 (12)

    3,337.70 (12)

    3,514.5 (11)

    12 Bahan Kimia 2,155.41 (12)

    3,381.85 (11)

    4,630.00 (10)

    3,636.30 (11)

    3,501.6 (12)

    Sumber: Statistik Kemenparekraf (Web kemenparekraft, didownload, 13 Mei 2015) Catatan: ( ) = rangking

    2) Sumber Pendapatan Masyarakat

    Wisman dan wisatawan nusantara (wisnus) yang berkunjung ke Bali akan

    mengeluarkan atau membelanjakan uangnya untuk berbagai macam keperluan.

    Pengeluaran wisatawan ini akan ditangkap oleh para pengusaha yang terkait langsung dan

    tidak langsung dengan kegiatan pariwisata. Para pengusaha ini akan membelanjakan lagi

    uang yang diperoleh dari pariwisata tersebut, sehingga banyak masyarakat yang ikut

    menikmati uang dari wisatawan. Dengan demikian, secara umum sebagian besar

    masyarakat Bali meningkat pendapatannya akibat perkembangan pariwisata Bali. Hal ini

    ditunjukkan oleh fakta bahwa rata-rata PDRB Bali atau pendapatan per kapita masyarakat

    Bali cenderung meningkat selama empat tahun terakhir (2010-2014). Tahun 2010

    pendapatan per kapita per tahun masyarakat Bali hanya sebesar Rp 17.208.750 dan pada

    tahun 2014 meningkat menjadi Rp 22.934.190 (Tabel 2.2 dan Gambar 2.3).

  • 17

    Peninngkatan ini dampak dari perkembangan pariwisata, di mana pariwisata banyak

    menciptakan peluang-peluang ekonomi dan pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan

    masyarakat Bali.

    Tabel 2.2

    Pendapatan Per kapita Menurut Harga Berlaku (2010-2013)

    Tahun 2010 2011 2013 2014

    PDRB/Kapita/ Harga Berlaku (Rp)

    17.208.750 18.641.400 20.743.870

    22. 934.190

    Sumber: Web BPS Bali (Didownload, 13 Mei 2015)

    Gambar 2.3 Perkembangan Pendapatan Per Kapita Masyarakat Bali Dampak Pariwisata

    3) Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Pemerintah

    Tiga kabupaten/kota di Bali yang PAD-nya cukup besar bersumber dari Pajak Hotel

    dan restoran (PHR) adalah Kabupaten Badung, Kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar. Di

    wilayah ketiga kabupaten/kota ini terdapat pusat-pusat kegiatan pariwisata yang populer,

    terutama terdapat banyak hotel dan restoran di wilayah tersebut. Hotel-hotel dan restoran

    tersebut yang menjadi sumber PHR bagi masing-masing kabupaten/kota.

    0

    5000000

    10000000

    15000000

    20000000

    25000000

    1 2 3 4

    Series1

    Pendapatan per kapita

    2010 2011 2012 2013

  • 18

    Mengutip berita Tribune Bali online (kamis 14 Mei 2015), Kepala Dinas Pendapatan

    Kabupaten Gianyar (I Ketut Astawa Suyasa) mengatakan, saat ini wajib pajak yang terdaftar

    di Kabupaten Gianyar sebanyak 1.600. Sementara, PAD Kabupaten Gianyar tahun 2014

    adalah Rp. 355,1 milyar yang bersumber dari pajak hotel, restoran, hiburan, penerangan

    jalan, dan air tanah. Adapun rincian realisasi PAD yang berhasil diraih, antara lain: hotel

    ditargetkan Rp. 72,1 milyar lebih, terealisasi Rp. 91,3 milyar lebih (126,60%), restoran

    ditargetkan Rp. 25,8 milyar lebih, tercapai Rp. 38,9 milyar lebih (150,30%), hiburan

    ditargetkan Rp. 21,4 milyar lebih, tercapai Rp. 29,9 milyar lebih (139,82%), pajak

    penerangan jalan ditargetkan Rp. 26,2 milyar lebih, terealisasi Rp. 28,1 milyar lebih (107%),

    pajak air tanah ditargetkan Rp. 3,3 milyar lebih, tercapai Rp. 3,2 milyar lebih (94,93%).

    Pajak hotel dan restoran Kota Denpasar tahun 2014 sebesar Rp 184.163.323.695,14

    atau sebesar 26% dari PAD Kota Denpasar tahun 2014 yaitu Rp 698.705.007.355,99

    (http://denpasarkota.go.id/assets_subdomain/ CKImages/files/REKAP_PAD_TAHUN_2014.p

    df, diakses 13 Mei 2015).

    Badung merupakan kabupaten dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbesar di

    Bali yang didukung oleh penerimaan Pajak Hotel dan Restoran dapat mencapai 60% sd.80%

    dari PAD yang diterima (Tabel 2.3).

    Tabel 2.3 Pajak Hotel dan Restoran Kabupaten/Kota Badung, Denpasar, dan Gianyar sebagai

    Representasi Kontribusi Sektor Pariwisata Bali

    Tahun Badung

    PAD PHR %

    2008 759.720.015.450,53 635.683.630.562,32 83,67

    2009 796.879.516.014,72 667.119.047.159,94 83,72

    2010 979.241.565.350,13 798.827.285.889,86 81,58

    2011 1.406.835.182.181,01 969.348.761.116,15 68,90 Sumber: Badung (https://www.scribd.com/doc/135999530/Pajak-Hotel-Dan-Restoran, didownload, 13 Mei 2015)

    4) Menstabilkan Perekonomian Lokal Bali

    Secara makro pengeluaran wisatawan di Bali menjadi kontributor utama bagi

    perekonomian Bali. Contoh nyata, ketika tragedi bom Bali pada tahun 2002, hampir selama

    satu tahun terjadi penurunan jumlah kunjungan wisman ke Bali yang signifikan, yang

    berdampak pada rendahnya pemasukan pendapatan dari sektor pariwisata ke

    http://denpasarkota.go.id/assets_subdomain/ CKImages/files/REKAP_PAD_TAHUN_2014.pdfhttp://denpasarkota.go.id/assets_subdomain/ CKImages/files/REKAP_PAD_TAHUN_2014.pdfhttps://www.scribd.com/doc/135999530/Pajak-Hotel-Dan-Restoran

  • 19

    perekonomian Bali. Akibatnya perekonomian Bali mengalami krisis dan pendapatan

    masyarakat menurun drastis.

    Berdasarkan hasil survei pasca Bom Bali I yang dilakukan di 9 kabupaten/kota di Bali

    yang meliputi 45 Desa, mencakup 135 kelompok/organisasi kemasyarakatan, maka dapat

    diketahui dampak tragedi bom Bali 12 Oktober 2002 yang disajikan pada Tabel 2.4 yang

    merupakan jeneralisasi dari dampak bom Bali terhadap 9 kabupaten/kota di Bali ternyata

    telah menyebabkan penurunan pendapatan masyarakat Bali pada umumnya dan

    masyarakat petani pada khususnya yang aktivitas ekonominya terkait langsung atau tidak

    langsung dengan pariwisata Bali. Jika dirinci per kelompok, yaitu: masyarakat petani sayur-

    sayuran, buah-buahan, peternak dan pengusaha ikan/nelayan/petambak mengalami

    penurunan pendapatan berkisar antara 20-70% dibandingkan sebelum bom Bali. Penurunan

    pendapatan ini disebabkan oleh menurunnya permintaan terhadap produk-produk mereka,

    sehingga harganya menjadi menurun dan mungkin pula omset penjualannya menurun

    karena lesunya permintaan. Misalnya, para petani sayuran di Baturiti dan sekitarnya, para

    peternak ayam petelur di Tabanan dan Karangasem, petani caysin dan kangkung di

    pinggiran kota Denpasar mengatakan, pendapatan mereka menurun karena menurunnya

    permintaan oleh para pemasok ke hotel dan lesunya permintaan masyarakat di pasar-pasar

    umum di kota Denpasar.

    Dampak Bom Bali I tidak hanya menimpa kelompok masyarakat petani, tetapi juga

    kelompok masyarakat lainnya, seperti para pengrajin dan industri rumahtangga yang

    mengalami penurunan pendapatan berkisar 20-100%, para pedagang mengecer di desa-

    desa pendapatannya menurun antara 20-60%, pemilik transportasi umum menurun antara

    10-35%, para pekerja pariwisata antara 30-80%, para buruh tani dan buruh bangunan

    pendapatannya menurun 40-100% yang disebabkan oleh kehilangan pekerjaan di sentra-

    sentra pengembangan pariwisata Denpasar dan Badung.

    Bom Bali juga berdampak menurunkan akses pasar para pedagang produk-produk

    pertanian dalam arti luas, seperti pemasok sayuran, buah-buahan, produk peternakan ke

    hotel-hotel, restoran dan pasar-pasar umum, yang berkisar antara 30-80%. Pihak purchasing

    hotel menurunkan frekuensi kontrak-kontrak pembelian dengan para pemasok, para

    pengelola restoran dan masyarakat umum menurunkan volume pembelian kebutuhan

    produk-produk bahan pangan di pasar-pasar umum. Jadi esensi penurunan akses pasar

    disebabkan oleh hilangnya pasar atau menurunnya permintaan. Sedangkan penurunan

  • 20

    permintaan hotel, restoran karena kunjungan wisatawan turun drastis, sehingga tidak ada

    penerimaan dari wisatawan untuk dikeluarkan kembali membeli berbagai macam

    kebutuhan bahan pangan atau produk-produk pertanian untuk kebutuhan insan-insan

    pariwisata.

    Tabel 2.4 Dampak Bom Bali Terhadap Perekonomian Masyarakat Petani Bali

    (Jeneralisasi Hasil Survei 45 Desa Adat Penyangga Pariwisata di Bali)

    No. Kriteria Dampak Sektor/Bidang Usaha Kisaran Dampak (%)

    Kabupaten/Kota

    1 Penurunan Pendapatan

    1 Pertanian (dalam arti luas): 20-70 Badung, Gianyar, Tabanan, Jembrana, Bangli, Klungkung, Karangasem,

    - Hortikultura: sayur, bunga, buah

    - Peternakan: sapi, babi, ayam, kambing, telor

    - Perikanan: karper, Udang

    2 Industri dan kerajinan 20-100

    3 Perdagangan 20-60

    4 Transportasi umum 10-35

    5 Pariwisata 30-80

    6 Buruh tani, bangunan, galian

    40-100

    2 Kehilangan Pekerjaan (PHK/ Dirumahkan)

    1 Pariwisata: karyawan hotel, sopir travel, pemandu wisata, dll

    Banyak Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan, Jembrana, Buleleng, Bangli, Klungkung, Karangasem

    2 Industri kerajinan dan garmen 40-50

    Catatan: tenaga kerja yang di PHK atau dirumahkan sebagian kembali menjadi petani, buruh, pengrajin, pekerja serabutan, pekerja sosial di desa/di pura, dlll

    3 Akses Pasar 1 Pertanian: sayur, buah, telor, ayam, sapi, babi, ikan, bunga, dllnya.

    30-80 Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan, Buleleng, Klungkung, Karangasem, Bangli, Jembrana

    2 Industri dan kerajinan: kayu, perak/emas, anyaman, garmen, genteng, batubata, keramik, gamelan

    15-100

    3 Perdagangan/hasil bumi 20-65 4 Transportasi pariwisata 80-100

    5 Seni budaya 40–100

    6 Penunjang Pariwisata: diving 80-90

    7 Galian C/pasir,batu 20

    4 Akses Lembaga Keuangan

    1 LPD 10-15 Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan, Bulelen Klungkung, Karangasem, Bangli, Jembrana

    2 KSP/KUD

    3 BPR 4 Bank Umum

    Catatan : Bagi nasabah LPD/KSP yang dikelola

    lembaga adat, biasanya diberikan keringanan

    membayar cicilan/ bunganya saja atau waktu

    pengembalian diperpanjang.

    5 Sosial dan Psikologis (Non- Ekonomi) Dampak non ekonomi tragedi Bali 12 Oktober 2002, seperti dampak sosial (gangguan keamanan) dan dampak psikologis (stress) memang belum tampak ke permukaan, terkecuali di kota Denpasar sudah tampak ke permukaan berupa dampak sosial seperti pencurian-pencurian di beberapa kompleks perumahan. Namun, jika kondisi krisis yang menimpa Bali terus berlanjut, tidak tertutup kemungkinan akan muncul dampak-

  • 21

    dampak sosial dan psikologis yang tidak diinginkan.

    Sumber: LPM UNUD dan UNDP-PBB (2003), penulis sendiri termasuk salah satu peneliti di dalamnya. Catatan: Persentase adalah jeneralisasi kisaran persentase dari 9 Kabupaten/Kota di Bali (diolah dari Lampiran 1) .

    Namun pasca Bom Bali I, kunjungan wisatawan ke Bali meningkat, yang diikuti

    menggeliatnya perekonomian Bali, yang secara makro dapat dilihat dari meningkatnya PDRB

    pariwisata (dipresentasikan oleh sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran, sektor 6 pada

    tabel 2.5. Jadi dapat disimpulkan bahwa pariwisata Bali yang digerakkan oleh pengeluaan

    wisatawan di daerah wisata Bali telah menstabilkan perekonomian Bali.

    Tabel 2.5

    PDRB Provinsi Bali Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2010 - 2013 (milyar rupiah)

    No. Lapangan Usaha 2010 2011 2012*) 2013**)

    1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan

    12 098.70 12 737.17 14 136.97 15 902.86

    2 Pertambangan dan Penggalian 471.15 544.96 660.01 758.21

    3 Industri Pengolahan 6 151.81 6 606.30 7 470.93 8 241.76

    4 Listrik, Gas, dan Air Bersih 1 263.31 1 429.61 1 703.89 1 970.76

    5 Bangunan 3 033.99 3 440.42 4 351.43 4 862.73

    6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 20 196.29 22 702.06 25 372.05 28 259.74

    7 Pengangkutan dan Komunikasi 9 683.29 10 688.61 12 299.19 13 476.64

    8 Keuangan, Persewaan, & Jasa Perusahaan

    4 619.32 5 023.89 5 663.39 6 371.56

    9 Jasa-jasa 9 676.37 10 856.77 12 284.48 14 711.52

    Produk Domestik Regional Bruto 67 194.24 74 029.80 83 943.33 94 555.77 Sumber: Web BPS Bali (http://bali.bps.go.id/tabel_detail.php?ed=614001&od=14&id=14, didownload 14 Mei 2015). Keterangan: *) Angka sementara, **) Angka sangat sementara

    5) Meningkatkan Diversifikasi Aktivitas Ekonomi dan Menciptakan Peluang Usaha

    Sebelum berkembangnya pariwisata Bali, aktivitas perekonomian Bali didominasi

    oleh pertanian dan sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup pada sektor

    pertanian. Namun seiring berkembangnya pariwisata Bali yang ditandai oleh peningkatan

    jumlah kunjungan wisatawan setiap tahun, maka semakin banyak peluang usaha yang

    muncul dan aktivitas ekonomi masyarakat semakin beragam. Produk barang dan jasa dari

    aktivitas usaha yang baru tersebut, hampir seluruhnya terkait dengan pemenuhan

    http://bali.bps.go.id/tabel_detail.php?ed=614001&od=14&id=14

  • 22

    kebutuhan wisatawan, baik berupa aktivitas layanan jasa maupun cinderamata untuk

    wisatawan. Peningkatan diversifikasi ekonomi, ditandai oleh peningkatan aktivitas ekonomi

    suatu sektor, pada akhirnya akan diikuti oleh peningkatan kontribusi sektor tersebut

    terhadap PDRB Bali. Sebaliknya penurunan kontribusi suatu sektor terhadap PDRB

    mengindikasikan terjadinya penurunan diversifikasi ekonomi di sektor tersebut. Seperti

    ditunjukan pada Tabel 2.6 dan Gambar 2.4, peningkatan kontribusi sektor perdagangan,

    hotel dan restoran sebagai representasi sektor pariwisata mengindikasikan terjadi

    peningkatan diversifikasi aktivitas ekonomi di sektor tersebut. Sebaliknya penurunan

    kontriubusi sektor pertanian terhadap PDRB mengindikasikan terjadi menurunan

    diversifikasi aktivitas ekonomi di sektor pertanian.

    Tabel 2.6 Kontribusi Sektor-Sektor Perekonomian Terhadap Produk Domestik Regional Bruto Provisi

    Bali Atas Dasar Harga Berlaku (Persentase)

    No Lapangan Usaha 2009 2010 2011 2012 2013

    1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan

    18.79 18,01 17,21 16.84 16.82

    2 Pertambangan dan Penggalian 0,64 0,70 0,74 0,79 0.80

    3 Industri Pengolahan 9,27 9,16 8,92 8,90 8.72

    4 Listrik, Gas, dan Air Bersih 1,93 1,88 1,93 2,03 2.08

    5 Bangunan 4,58 4,52 4,65 5,18 5.14

    6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 29,64 30,06 30,67 30,23 29.89

    7 Pengangkutan dan Komunikasi 13,59 14,41 14,44 14,65 14.25

    8 Keuangan, Persewaan, & Jasa Perusahaan

    7,02 6,87 6,79 6,75 6.74

    9 Jasa-jasa 14,54 14,40 14,67 14,63 15.56

    T o t a l 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00

  • 23

    Gambar 2.4 Kontribusi Sektor Pertanian dan Sektor Pariwisata (Perdagangan Hotel dan Restoran) Terhadap PDRB

    Provisi Bali Atas Dasar Harga Berlaku sebagai Representasi Diversifikasi Aktivitas Ekonomi

    6) Menciptakan Kesempatan Kerja

    Munculnya peluang usaha baru dan beragamnya aktivitas perekonomian di Bali yang

    disebabkan oleh perkembangan pariwisata berimplikasi pada terciptanya kesempatan kerja

    baru di Bali. Kunjungan wisatawan yang terus meningkat ke Bali membutuhkan tambahan

    fasiltas seperti hotel dan restoran yang akan menyerap lebih banyak tenaga kerja secara

    langsung. Restoran membeli berbagai produk pertanian sebagai bahan baku yang

    berimplikasi pada peningkatan produksi pertanian. Hal ini juga berarti diperlukannya

    tambahan tenaga kerja di sektor pertanian. Pada akhirnya aktivitas ekonomi produksi baik

    yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan pariwisata akan meningkatkan

    serapan tenaga kerja.

    Selama periode 2003-2007, sektor pertanian di Bali memang menyerap tenaga kerja

    terbanyak yakni berkisar antara 31,3% dan 37,8% (Tabel 2.7). Namun demikian dalam

    periode yang sama sektor perdagangan dan jasa akomodasi menyerap tenaga kerja berkisar

    21,58% sampai dengan 23,33% (Tabel 2.7). Namun data BPS terbaru tahun 2014 (Tabel 2.8)

    menginformasikan bahwa sektor pariwisata yang diwakili oleh sektor perdagangan, hotel

    dan restoran menyerap tenaga kerja terbanyak yaitu 628.585 orang, sedangkan sektor

    pertanian yang tahun-tahun sebelumnya menyerap tenaga kerja terbanyak menurun

    menduduki urutan kedua yaitu sebanyak 545 827 orang. Ini menunjukan bahwa sektor

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    30

    35

    1 2 3 4 5

    Ko

    ntr

    ibu

    si t

    erh

    adap

    PD

    RB

    Tahun

    Kontribusi Sektor Pertanian dan Sektor Pariwisata (Perdagangan Hotel dan Restoran) Terhadap PDRB Provisi Bali Atas Dasar Harga Berlaku

    (Persentase)

    Series1 Series2

    2009 2010 2011 2012 2013

    Pariwisata Pertanian

  • 24

    pariwisata menjadi mesin penyerap tenaga kerja terbanyak di Bali. Jika ditambah dengan

    sektor jasa-jasa lainnya yang terkait tidak langsung dengan pariwisata, seperti hiburan untuk

    wisatawan, maka peranan pariwisata dalam menyerap tenaga kerja jauh lebih banyak

    daripada angka yang tersurat pada Tabel 2.8.

    Bertolak dari perkembangan penyerapan tenaga kerja sektoral selama kurun waktu

    2003-2007 (Tabel 2.7) dan tahun 2014 (Tabel 2.8), tampaknya dalam perekonomian Bali

    telah terjadi transformasi struktural, yakni perubahan kontribusi sektor-sektor

    perekonomian Bali terhadap PDRB Bali dan penyerapan tenaga kerja. Ini ditunjukkan oleh

    cenderung menurunnya kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Bali dan penyerapan

    tenaga kerja di satu pihak, dan di pihak lain adanya cenderung meningkatnya kontribusi

    sektor Industri pengolahan, sektor perdagangan hotel dan restoran dan sektor-sektor jasa

    lainnya terhadap PDRB Bali dan penyerapan tenaga kerja. Meskipun dua sektor yang

    disebutkan terakhir belum secara signifikan mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja,

    tetapi dalam jangka panjang kedua sektor tersebut cenderung meningkat dalam penyerapan

    tenaga kerja.

    Tabel 2.7

    Penduduk Bekerja Menurut Lapangan Usaha di Propinsi Bali, 2003-2007

    Lapangan Usaha

    Agustus 2003 (Jiwa)

    Agustus 2004 (Jiwa)

    Februari 2005 (Jiwa)

    November 2005 (Jiwa)

    Februari 2006 (Jiwa)

    Agustus 2006 (Jiwa)

    Agustus 2007 (Jiwa)

    (L+Pr) (L+Pr) (L+Pr) (L+Pr) (L+Pr) (L+Pr) (L+Pr)

    Penduduk Bekerja (Kesempatan Kerja)

    1.748.932 1.835.165 1.945.595 1.895.741 1.846.824 1.870.288 1.982.134

    (100) (100) (100) (100) (100) (100) (100)

    1. Pertanian 661.808 681.320 608.692 636.237 620.087 663.016 714.091

    (37,8) (37,1) (31,3) (33,6) (33,6) (35,45) (36,03)

    2. Pertambangan dan Penggalian

    11.928 18.805 11.938 14.426 11.030 2.257 8.544

    (0,7) (1,0) (0,6) (0,8) (0,6) (0,12) (0,43)

    3. Industri Pengolahan 235.614 190.420 344.904 314.394 289.727 250.613 289.108

    (13,5) (10,4) (17,7) (16,6) (15,7) (13,40) (14,59)

    4. Listrik, Gas dan Air 3.760 8.090 5.253 1.965 7.872 8.718 3.912

    (0,2) (0,4) (0,3) (0,1) (0,4) (0,47) (0,20)

    5. Konstruksi 114.413 104.595 126.380 140.572 121.798 127.570 128.676

    (6,5) (5,7) (6,5) (7,4) (6,6) (6,82) (6,49)

    6. Perdagangan dan Jasa Akomodasi

    400.981 489.750 442.248 416.374 435.662 403.612 462.517

    (22,9) (26,7) (22,7) (22,0) (23,6) (21,58) (23,33)

    7. Transportasi dan Komunikasi

    69.166 86.245 92.198 69.891 79.674 74.129 77.373

    (4,0) (4.7) (4.7) (3,7) (4,3) (3,96) (3,90)

    8. Lembaga Keuangan 37.084 21.215 37.708 36.316 50.289 69.422 52.936

    (2,1) (1,2) (1,9) (1,9) (2,7) (3,71) (2,67)

    9. Jasa-Jasa dan Lainnya 214.178 234.725 276.274 265.566 230.685 270.951 244.977

    (12,2) (12,8) (14,2) (14,0) (12,5) (14,49) (12,36)

    Sumber: Sakernas 2003-2007 Catatan: ( ) = persen dari penduduk bekerja; L = Laki; P = Perempuan

  • 25

    Tabel 2.8 Penduduk 15 Tahun Keatas yang Bekerja Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Usaha dan

    Jenis Kelamin di Provinsi Bali Tahun 2014

    No. Lapangan Usaha P r i a W a n i t a J u m l a h

    1 Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, & Perikanan

    279 588 248 918 528 506

    2 Pertambangan dan Penggalian 5 890 3 776 9 666

    3 Industri Pengolahan 144 333 172 265 316 598

    4 Listrik, Gas, dan Air 5 546 2 389 7 935

    5 Bangunan 173 195 32 275 205 470

    6 Perdagangan, Hotel, dan Rumah Makan 303 134 355 178 658 312

    7 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi 64 282 6 376 70 658

    8 Keuangan, Asuransi, dan Usaha Persewaan 47 524 34 907 82 431

    9 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 225 096 167 960 393 056

    J u m l a h : 1 248 588 1 024 044 2 272 632 Sumber: BPS Provinsi Bali, 2015 Sumber: BPS Provinsi Bali, 2015

    7) Menciptakan Dampak Pengganda (multiplier effect) dan Dampak Menyebar (spread

    effect)

    Pariwisata menimbulkan dampak pengganda (multiplier effect) relatif besar ke dalam

    perekonomian Bali. Semakin banyak pengeluaran wisatawan di Bali dan semakin banyak

    pengusaha dan masyarakat Bali ikut menangkap pengeluaran wisatawan tersebut, maka

    semakin besar angka dampak penggandanya. Semakin besar angka pengganda pariwisata,

    berarti makin banyak masyarakat yang menikmati pendapatan dari pariwisata. Demikian

    halnya, apabila dampak menyebar (spread effect) pariwisata semakin luas, maka semakin

    banyak pula aktivitas perekonomian Bali yang menerima manfaat dari pariwisata. Dengan

    demikian, semakin banyak pula kelompok-kelompok masyarakat yang ikut menikmati

    pendapatan dari pariwisata.

    Menggunakan pengganda National Tourism Satellite Account 2006, diketahui

    pengganda (multiplier effect) pengeluaran wisatawan terhadap penciptaan kesempatan

    kerja di sector pariwisata sebesar 0,0000000530 dan di dalam perekonomian nasional

    sebesar 0,000000761. Artinya setiap pengeluaran wisatawan sebesar satu trilliun (Rp

    1,000,000,000,000) akan mampu menciptakan kesempatan kerja di sektor pariwisata

  • 26

    sebanyak 53.000 orang dan di dalam perekonomian nasional sebesar 761.000 orang.

    Sumbangan penciptaan kesempatan kerja di pariwisata terhadap perekonomian nasional

    6,97%. Untuk kasus Bali, menggunakan pengganda Bali Tourism Satellite Account 2007,

    pengganda pengeluaran wisatawan terhadap penciptaan kesempatan kerja di sector

    pariwisata adalah 0,0000000283 dan dalam perekonomian regional adalah 0,00000006756.

    Artinya setiap pengeluaran wisatawan satu tilliun rupiah (Rp 1,000,000,000,000) akan

    mampu menciptakan kesempatan kerja sebanyak 28.300 di sector pariwisata, dan dalam

    perekonomian Bali sendiri adalah 67.560 orang. Jadi, sumbangan penciptaan kesempatan

    kerja sector pariwisata terhadap kesempatan kerja regional mencapai 41,89%.

    2.2.1.2 Dampak negatif terhadap perekonomian

    Perkembangan pariwisata di Bali tidak hanya menimbulkan dampak positif, tetapi

    juga menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian Bali. Adapun dampak negatif

    terhadap perekonomian Bali antara lain:

    1) Peningkatan nilai properti, harga barang dan jasa

    Pariwisata Bali bagaikan gula yang mengundang banyak semut. Berbagai orang dari

    berbagai penjuru dunia datang ke Bali baik untuk berwisata maupun mencari peluang usaha

    dan peluang kerja. Akibatnya, pertambahan penduduk Bali umumnya dan kota-kota

    Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan) khususnya lebih tinggi dan sebagian

    besar disebabkan oleh faktor migrasi masuk daripada faktor kelahiran. Pertambahan

    penduduk yang semakin pesat menyebabkan nilai atau harga sewa properti (perumahan)

    menjadi lebih mahal. Harga-harga barang dan jasa pada umumnya di Bali juga relatif lebih

    mahal daripada harga-harga barang dan jasa yang sama di daerah lain. Ini konsekuensi dari

    imbas perkembangan pariwisata.

    Housing-Estate.com, Jakarta (Jumat 14 Mei 2014) memberitakan bahwa Jakarta dan

    Bali menjadi kota dengan pertumbuhan harga properti mewah paling tinggi di dunia. Ini sesuai

    data indeks pergerakan nilai jual properti (prime international residential index) yang

    dikeluarkan konsultan properti global Knight Frank. Tahun 2013 pertumbuhan harga properti

    mewah di Jakarta mencapai 38 persen, sedangkan Bali 22 persen. Peningkatan ini terdorong

    oleh terbatasnya pasok sementara permintaannya kian kuat. Akibatnya harga tetap naik

    meskipun pertumbuhan ekonomi sedang melambat dan ada situasi ketidakpastian karena

    akan Pemilu. Pertumbuhan harga ini menjadi lebih istimewa mengingat pada tahun 2013

  • 27

    harga property secara global mengalami penurunan 39 persen. Tahun 2012 angka

    penurunannya lebih fantastis mencapai 50 persen. Selain Jakarta dan Bali, kota-kota lain di

    dunia yang mencatatkan kenaikan harga cukup signifikan antara lain Auckland dan

    Chirstchurch, Selandia Baru, masing-masing sebesar 29 dan 21 persen. Beijing dan

    Guangzhou, Cina, sebesar 18 persen dan 14 persen, Dubai sebesar 17 persen, Abu Dhabi 15

    persen, dan Los Angeles, AS, naik 14 persen.

    Perkembangan pariwisata yang pesat di Bali tidak hanya berdampak terhadap harga

    property, tetapi harga-harga secara umum, yang diistilahkan dengan inflasi. Indeks Harga

    Konsumen (IHK) merupakan salah satu indikator ekonomi yang sering digunakan untuk

    mengukur tingkat perubahan harga (inflasi/deflasi) di tingkat konsumen, khususnya

    didaerah perkotaan. Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga

    dari paket komoditas yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Di Indonesia, tingkat inflasi

    diukur dari persentase perubahan IHK dan diumumkan ke publik setiap awal bulan (hari

    kerja pertama) oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

    Paket komoditas Kota Denpasar hasil Survai Biaya Hidup (SBH) 2012 terdiri dari 398

    komoditas yang terdiri dari 316 komoditas kelompok inti, 17 komoditas kelompok harga

    yang diatur pemerintah, dan 17 komoditas kelompok harga yang bergejolak. Berdasarkan

    hasil pemantauan harga-harga pada bulan Januari 2014 di Kota Denpasar terjadi inflasi

    sebesar 1,26 persen. Tingkat inflasi tahun kalender Januari 2014 sebesar 1,26 persen dan

    tingkat inflasi tahun ke tahun (Januari 2014 terhadap Januari 2013) sebesar 6,55 persen.

    Inflasi terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh kenaikan indeks

    seluruh kelompok pengeluaran yaitu kelompok kesehatan 4,24 persen; kelompok bahan

    makanan 2,47 persen; kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau 1,44 persen;

    kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar 0,75 persen, kelompok sandang 0,72

    persen; kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 0,34 persen; serta

    kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga 0,28 persen.

    Komoditas yang mengalami peningkatan harga antara mobil, bahan bakar

    rumahtangga, obat dengan resep, shampo, daging ayam ras, cabai rawit, bayam, dan pepes.

    Beberapa komoditas yang mengalami penurunan harga antara lain: telur ayam ras, tahu

    mentah, bawang merah, dan tarif angkutan udara. Pada bulan Januari 2014 kelompok-

    kelompok komoditas yang memberikan andil/sumbangan inflasi adalah kelompok bahan

    makanan 0,4652 persen; kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau 0,2262

  • 28

    persen; kelompok kesehatan 0,2412 persen; kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan

    bahan bakar 0,1965 persen; kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar

    0,0667 persen; kelompok sandang 0,0381 persen; serta kelompok pendidikan, rekreasi,

    olahraga 0,0251 persen.

    Gambar 2.5 Perkembangan Inflasi Kota Denpasar, Februari 2012-Februari 2014

    Laju inflasi tahun kalender Januari 2014 sebesar 1,26 (Januari 2014 terhadap Januari

    2013) sebesar 6,55 persen. Sedangkan tingkat inflasi pada periode yang sama tahun

    kalender 2012 dan 2013 masing-masing sebesar 0,90 persen dan 1,41 persen. Tingkat inflasi

    tahun ke tahun untuk Januari 2012 terhadap Januari 2011 dan Januari 2013 terhadap

    Januari 2012 masing-masing sebesar 3,62 persen dan 5,23 persen (Tabel 2.9).

    Tabel 2.9

    Inflasi Bulanan, Tahun kalender, dan Year on Year, di Kota Denpasar Tahun 2012 2014

    Inflasi 2012 2013 2014

    1. Januari 0,90 1,41 1,26

    2. Januari (Januari-Desember) 0,90 1,41 1,26

    3. Januari (tahun n) terhadap Januari (tahun n-1)(Year on Year)

    3,62 5,23 6,55

    Sumber: Web BPS Bali: Berita Resmi Statistik, BPS Provinsi Bali (didownload 20 Mei 2015)

    2) Kunjungan wisatawan sangat terpengaruh oleh faktor eksternal

  • 29

    Pariwisata tergolong sektor yang sangat peka terhadap faktor eksternal, seperti isu-

    isu keamanan, terorisme, wabah penyakit menular, dan resesi ekonomi. Jika muncul isu-isu

    mengenai terorisme, instabilitas keamanan, atau merebaknya wabah penyakit di suatu

    destinasi wisata, maka isu tersebut dapat menurunkan minat wisatawan untuk berkunjung

    ke destinasi tersebut, termasuk destinasi wisata Bali. Menurunnya minat wisatawan untuk

    berkunjung berakibat menurunnya jumlah kunjungan wisatawan, pada akhirnya

    menurunkan pertumbuhan perekonomian Bali secara makro, dan secara mikro menurunkan

    pendapatan masyarakat Bali.

    Pertumbuhan ekonomi Bali pemah mencapai pertumbuhan yang sangat tinggi, yaitu

    mencapai 7% atau di atas rata-rata nasional sebelum krisis tahun 1997 lalu. Angka ini boleh

    jadi mengindikasikan tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Kejadian ini dipicu oleh

    booming sektor pariwisata yang menjadi lokomotif perekonomian Bali. Industri kecil dan

    menengah (home industry) sebagai penunjang pariwisata seperti industri logam, perak dan

    kerajinan tangan berkembang sampai ke pelosok desa-desa. Namun, tanpa diduga,

    pertumbuhan yang pesat itu seakan tidak ada artinya ketika krisis ekonomi menghantam

    Indonesia.

    Pertumbuhan ekonomi Bali pun menurun hingga ke titik nadir (minus 4,04 persen di

    tahun 1998). Setelah itu, ekonomi Bali mulai menunjukkan tanda-tanda membaik sejalan

    sejalan dengan kebijakan recovery economy yang digulirkan pemerintah pusat dan daerah

    dalam rangka menstimulus fiskal. Upaya-upaya pemulihan yang dibangun pemerintah

    tampaknya berdampak positif. Alhasil, ekonomi Bali berangsur-angsur membaik hingga

    tumbuh 0,67% di tahun 1999 dan 3,05% di tahun 2000. Kendati demikian, upaya

    recovery~conomy yang tadinya mulai berayun sejenak terhenti menyusul adanya peristiwa

    ledakan born di Legian - Kuta pada 12 Oktober 20021alu.

    Pasca tragedi bom Kuta, situasi pekonomian Bali makin tidak menentu. Pada tahun

    2001, pertumbuhan ekonomi Bali yang tercermin dari PDRB atas dasar harga konstan 2000

    hanya mencapai 3,54% dan setahun kemudian (2002) malah turun menjadi 3,04%. Pada

    tahun 2003 di tengah berbagai peristiwa global seperti konflik perang AS-Irak, wabah SARS

    dan aksi terorisme, telah memberikan bayangan negative ke pasar, khususnya bagi mereka

    yang bergelut langsung di industri pariwisata. Namun demikian, ekonomi Bali mampu

    tumbuh 3,57%. Sementara itu, laju inflasi di Bali dapat dikendalikan hingga berada pada

    level 4,56% pada tahun 2003. Angka ini jauh lebih rendah dari inflasi tahun sebelumnya

  • 30

    12,49%.

    Pada tahun 2004, pertumbuhan ekonomi Bali mengalami peningkatan menjadi

    4,62%. Kemudian pada tahun 2005 pertumbuhannya kembali meningkat menjadi 5,56%.

    Pada satu Oktober 2005 Bali kembali mengalami guncangan akibat Bom Kuta dan

    Jimbaran. Hal ini temyata berdampak pada pertumbuhan ekonomi Bali di Tahun 2006. Di

    tahun ini, perekonomian Bali mengalami perlambatan, karena hanya mampu tumbuh

    sebesar 5,28% saja. Pengaruh pariwisata makin tampak jelas pada tahun ini. Guncangan

    yang terjadi terhadap keamanan Bali telah berdampak pada kunjungan wisatawan dan

    pada akhirnya melambatkan pertumbuhan perekonomian Bali.

    3) Pariwisata mengikuti Siklus Hidup Pariwisata

    Destinasi wisata merupakan suatu produk. Setiap produk tunduk pada siklus hidup

    produk yang dalam pariwisata sering dikenal dengan tourism life cycle (TLC). Adapun

    tahapan dalam TLC adalah: masa penemuan (exploration), masa pelibatan masyarakat dan

    pengusaha (involvement), masa pengembangan (development), masa jenuh (saturation).

    Pada masa jenuh akan muncul dua kemungkinan yaitu: masa penurunan (decline) atau

    peremajaan (rejuvenation). Persaingan antardestinasi wisata baik di dalam maupun di luar

    negeri berlangsung sangat ketat. Jika siklus hidup destinasi sudah mencapai jenuh, maka

    akan diikuti oleh masa penurunan. Ketika masa penurunan tidak ada usaha-usaha

    peremajaan, inovasi dan penyegaran destinasi, maka akhirnya destinasi akan terus

    menurun. Bali sebagai suatu destinasi wisata juga tidak terlepas dari “siklus hidup

    pariwisata”. Jika sudah mencapai puncak pertumbuhan, maka untuk mengantisipasi

    terjadinya penurunan, seluruh pemangku kepentingan pariwisata perlu melakukan

    introspeksi, usaha-usaha peremajaan, inovasi dan penyegaran destinasi untuk

    mempertahankan keberlanjutan destinasi tersebut.

    Berdasarkan data kunjungan wisman seperti grafik sebelumnya, posisi Bali sedang

    berada pada tingkat pertumbuhan, namun dari segi dampak lingkungan dan sosial budaya

    serta caarrying capacity menunjukkan gejala menuju tingkat stagnan.

    4) Kebocoran pariwisata

    Kebocoran pariwisata adalah merembesnya atau mengalirnya pendapatan dari

    pariwisata ke luar Bali untuk membayar berbagai keperluan seperti: impor berbagai bahan

  • 31

    dan peralatan industri pariwisata, bahan pangan untuk industri pariwisata, membayar

    partner bisnis di luar negeri, transfer keuntungan ke pemilik usaha di luar negeri, dan

    membayar tenaga kerja asing yang bekerja di pariwisata. Jika kebocoran pariwisata relatif

    besar, maka berarti hanya sedikit pendapatan dari pariwisata yang berputar dalam

    perekonomian Bali. Hal ini akan memperkecil dampak pengganda dan mempersempit

    dampak sebaran pada perekonomian Bali. Akhirnya semakin sedikit pendapatan pariwisata

    yang dinikmati oleh kelompok-kelompok masyarakat di Bali, baik yang terkait langsung

    maupun tidak langsung dengan pariwisata. Oleh karena itu, kebocoran pariwisata

    hendaknya bisa ditekan seminimal mungkin (walaupun tidak mungkin sampai nol) dengan

    cara mengurangi berbagai impor produk dan jasa serta penggunaan tenaga kerja asing oleh

    usaha pariwisata di Bali.

    Penelitian tentang kebocoran pariwisata Bali pertama kali dilakukan oleh Rodenburg

    (1980) yang mengestimasi kebocoran dari proyek pembangunan kawasan Nusa Dua pada

    tahun 1977. Namun, perhitungan kebocoraan yang dilakukan oleh Rodenberg hanya

    mengasumsikan persentase kebocoran dari industri pariwisata dalam skala kecil. Hasil

    penelitiannya menunjukkan bahwa besarnya kebocoran impor adalah 40% pada hotel

    berbintang dan 20% pada hotel non bintang.

    Hasil penelitian Suryawardani (2014) menunjukkan bahwa persentase kebocoran

    pariwisata di sektor akomodasi adalah sebagai berikut: (i) Kebocoran pada hotel bintang 4

    dan 5 berjejaring adalah 55,3%; (ii) Kebocoran pada hotel bintang 4 dan 5 tidak berjejaring

    adalah 7,1%; (iii) Kebocoran pada hotel bintang 1, 2 dan 3 adalah 15,7%; (iv) Kebocoran

    pada hotel non-bintang adalah 2,0%; and (v) Rata-rata kebocoran pada semua jenis hotel

    adalah 19,5%. Hasil penelitian Suryawardani (2014) juga menunjukkan bahwa sumber

    kebocoran pariwisata Bali pada sektor akomodasi adalah penggunaan produk impor dalam

    operasional hotel seperti: makanan, minuman, buah-buahan dan sayur-sayuran, peralatan

    dan perabotan dapur. Selain itu, sumber kebocoran lainnya adalah penggunaan tanaga kerja

    asing dan fasilitas yang berjejaring internasional seperti biaya pengelolaan hotel yang

    berjejaring internasional, provisi untuk reservasi online, transfer keuntungan hotel ke

    pemilik asing yang berdomisili di luar negeri. Hal tersebut di atas mengindikasikan bahwa

    (i) semakin tinggi tingkat klasifikasi hotel maka semakin tinggi persentase kebocorannya;

    dan (ii) akomodasi yang dimiliki oleh orang asing dan/ atau dikelola oleh sistem jaringan

  • 32

    hotel internasional memiliki kebocoran yang lebih tinggi dibandingkan jenis akomodasi yang

    tidak dimiliki oleh orang asing dan/ atau dikelola oleh sistem jaringan hotel internasional.

    2.2.2 Dampak Lingkungan

    2.2.2.1 Dampak positif terhadap lingkungan alam

    1) Konservasi lingkungan alam

    Sumber daya alam, budaya dan peninggalan sejarah adalah potensi daya tarik wisata

    Bali yang dominan. Jika sumberdaya alam, budaya dan peninggalan sejarah yang

    notabenenya adalah lingkungan pariwisata Bali rusak, maka tidak ada lagi yang dapat

    dijadikan daya tarik wisata oleh Bali. Oleh karena itu, seluruh masyarakat, pemerintah dan

    pemangku kepentingan pariwisata harus mengkonservasi dan melestarikan asset pariwisata

    Bali ini agar tetap menjadi daya tarik wisata secara berkelanjutan.

    2) Mendorong masyarakat memperindah dan merevitalisasi lingkungan

    Wisatawan (domestic dan mancanegara) adalah tamu (guest) bagi masyarakat Bali

    yang ingin mengunjungi dan ingin tahu seluk beluk tentang Bali. Tamu bagi masyarakat Bali

    harus dihormati dan diprioritaskan serta disambut dengan ramah-tamah. Tidak cukup

    dengan itu saja, tetapi lingkungan Bali harus diperindah, seperti lingkungan hotel,

    lingkungan objek wisata, dan lingkungan Bali secara umum. Tampaknya hal seperti ini telah

    dilakukan oleh stakeholder pariwisata, seperti pemilik hotel, restoran dan objek wisata agar

    tamu betah lama tinggal di Bali. Secara umum masyarakat juga terdorong untuk

    memperindah lingkungan tempat tinggalnya agar menjadi indah dan asri karena merasa Bali

    ini banyak dikunjungi oleh wisatawan.

    3) Dapat dianggap sebagai industri yang bersih

    Diantara banyak jenis industri, hanya industri pariwisata (kumpulan usaha-usaha

    pariwisata, seperti hotel, travel, jasa perdagangan, dll.) yang minimal menghasilkan polusi,

    baik polusi udara dan air. Bahkan pariwisata sebaliknya mengkonservasi dan melestarikan

    lingkungan, melalui pembuatan taman-taman yang hijau di hotel dan objek-objek wisata,

    sehingga dapatlah dikatakan bahwa pariwisata adalah industri hijau dan bersih (green and

    clean industry).

  • 33

    2.2.2.2 Dampak negatif terhadap lingkungan alam

    1) Mengancam kelestarian lingkungan alam

    Sumber daya alam pantai, terumbu karang dan situs-situs sejarah di Bali merupakan

    bagian dari daya tarik wisata Bali. Hotel-hotel di Bali terutama yang menghadap ke pantai,

    jika tidak memiliki pengolahan limbah secara baik, maka limbahnya akan mencemari pantai

    dan merusak terumbu karang yang ada di sekitar pantai. Demikian halnya, wisata minat

    khusus diving, jika wisatawan belum terlatih dapat merusak dan mengancam kelestarian

    terumbu karang. Maka dari itu menjadi peringatan bahwa pantai, terumbu karang dan

    situs-situs sejarah harus dijaga dari ancaman kerusakan dampak negatif dari perkembangan

    pariwisata.

    2) Meningkatkan sampah, kebisingan, dan polusi.

    Perkembangan pariwisata yang ditandai oleh peningkatan aktivitas produksi barang

    dan jasa untuk kebutuhan wisatawan, ternyata juga telah meningkatkan kebisingan dari

    deru kendaraan bermotor dan mesin-mesin industri kecil dan menengah. Di samping itu

    menghasilkan produk barang dan jasa, aktivitas produksi juga menghasilkan sampah, limbah

    padat dan limbah cair. Jika sampah, limbah padat dan cair tidak dikelola dengan baik, maka

    akan mengancam kelestarian lingkungan, dan secara tidak langsung akan mengancam

    pariwisata itu sendiri.

    3) Meningkatkan kompetisi penggunaan sumber daya yang terbatas seperti air dan tanah, degradasi lahan, hilangnya habitat satwa liar dan kerusakan pemandangan

    Sumber daya alam di Bali yang terbatas, seperti lahan, air dan habitat-habitat satwa

    liar penggunaannya menjadi kompetisi antara untuk pertanian dan pariwisata. Realitasnya,

    lahan-lahan pertanian dan air di Bali semakin menyusut karena semakin luas digunakan

    untuk infrastruktur pariwisata, seperti hotel, villa, jalan raya, dan pusat-pusat perdagangan.

    Demikian halnya, habitat satwa liar semakin langka karena habitatnya dirubah menjadi

    habitat manusia atau wisatawan. Infrastruktur pariwisata seperti hotel dan villa-villa yang

    tidak memperhatikan RTRW dan Ruang Tebuka Hijau (RTH) telah merusak pemandangan

    alam. Ini telah terjadi di destinasi wisata Bali dampak negatif dari perkembangan pariwisata.

  • 34

    4) Pengembangan dan pertumbuhan pariwisata yang tidak direncanakan dan tidak terkendali dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan

    Lingkungan fisik dan budaya di Bali adalah modal dasar daya tarik wisata Bali.

    Perkembangan pariwisata yang tidak direncanakan, atau melanggar sana-sini Rencana Tata

    Ruang Wilayah (RTRW), baik RTRW kawasan wisata maupun RTRW kabupaten dan provinsi

    yang hanya bertujuan mengejar pertumbuhan ekonomi semata, maka cepat atau lambat

    akan diikuti oleh kerusakan lingkungan, dan pada akhirnya akan menurunkan kunjungan

    wisatawan berkunjung ke Bali. Oleh karena itu, pengembangan dan pertumbuhan

    infrastruktur pariwisata harus direncanakan dengan baik, agar pariwisata Bali berkelanjutan,

    yang berarti perekonomian Bali akan menjadi stabil dengan tingkat pertumbuhan tertentu.

    2.2.3 Dampak Sosial Budaya

    Dalam kerangka ideal, model kebijakan pembangunan pariwisata dewasa ini antara

    lain diharapkan lebih berpihak bagi kesejahteraan ekonomi rakyat serta mampu

    memberikan manfaat bagi pelestarian budaya secara merata dan berkelanjutan. Namun

    demikian, dalam kenyataannya manfaat-manfaat ekonomi yang diperoleh dari sektor

    pariwisata masih kerap dibarengi oleh terancamnya eksistensi kebudayaan lokal oleh

    berbagai pengaruh budaya luar.

    Di samping dapat dipandang sebagai gejala ekonomi, pariwisata juga dapat

    dipandang sebagai gejala sosial-budaya, karena pariwisata merupakan fenomena interaksi

    lintas budaya, yakni hubungan timbal-balik antar individu atau kelompok orang yang

    memiliki perbedaan-perbedaan identitas budaya, lingkungan sosial, sikap mental, dan

    susunan psikologis (Nettekoven, 1976; Wahab, 1989 : 65). Interaksi yang bersifat akumulatif

    dan intensif antara wisatawan dengan masyarakat setempat dapat menimbulkan dampak

    atau perubahan sosial-budaya yang bersifat positif ataupun negatif.

    Dampak pariwisata terhadap kehidupan sosial-budaya masyarakat Bali telah lama

    mendapat sorotan dari berbagai pihak. Berkenaan dengan ini dijumpai adanya perbedaan

    pendapat antara pihak yang berpandangan pesimis dan optimis terhadap keberadaan Bali

    pada masa mendatang. Pihak yang berpandangan optimis menilai bahwa perkembangan

    pariwisata di Bali membawa dampak positif terhadap kebudayaan setempat. Seperti

    misalnya McKean (1978), menyatakan bahwa kehadiran wisatawan ke Bali justru dapat

    memperkokoh benteng pertahanan kebudayaan setempat. Hal tersebut tampak pada

  • 35

    masyarakat Bali, di mana perkembangan pariwisata dipandang sebagai fenomena

    modernisasi bagi masyarakat dan kebudayaan Bali yang sesungguhnya berlangsung melalui

    pelestarian tradisi masa lalu. Hal tersebut dikemukakan oleh sebagai berikut :

    “tourism is very much a part of the modern tradition, but it is built on the foundation laid during the little and great tradition, without wich it would never been started and without wich it will not flourish in the future” (McKean, 1978).

    Keinginan besar para wisatawan untuk menikmati kebudayaan Bali melahirkan apa

    yang disebutnya sebagai involusi kebudayaan, yaitu elaborasi yang semakin baik dalam

    bentuk dan praktik-praktik kebudayaan, seperti apa yang tercermin dalam berbagai jenis

    kesenian tradisional yang kian sering dan meluas dipertunjukkan daripada beberapa tahun

    silam. Begitu pula pada masyarakat yang secara langsung terlibat dalam pariwisata mampu

    mengembangkan lembaga-lembaga yang ada sejalan dengan tuntutan dunia pariwisata,

    seperti yang dikemukakan oleh Bagus, (1990 : 6), sebagai berikut :

    “.... Dalam hal inilah kita melihat di daerah pariwisata di Bali perubahan bentuk dan struktur organisasi banjar serta desa dalam melaksanakan hidup berwarga dan hidup berupacara di daerah pariwisata. Perubahan ini bukan suatu kemunduran melainkan sebaliknya merupakan suatu peningkatan isi lembaga sosial tadi. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa dalam penyesuaian itu didapat ketahanan untuk survival serta yang baru itu menjadi bagian struktur masyarakat Bali”. Sebaliknya, meskipun dalam beberapa hal kebudayaan Bali telah mendapat

    penghargaan masyarakat internasional, namun perkembangan industri pariwisata global

    justru mengundang kekhawatiran orang Bali akan terancamnya ketahanan identitas kultural

    mereka. Wacana tentang “Ajeg Bali” yang digulirkan sejak tragedi Bom Bali, 12 Oktober

    2002, kini telah merebak menjadi wacana populer di kalangan masyarakat luas di Bali.

    Bergulirnya wacana “Ajeg Bali” dapat dipandang sebagai refleksi dari rasa kekhawatiran

    yang sangat mendalam akan kian terancamnya ketahanan identitas kultural masyarakat Bali.

    Kekhawatiran tersebut bukanlah tiada beralasan, mengingat posisi Bali sebagai daerah

    tujuan wisata internasional kian memperkuat akselerasi masuknya berbagai pengaruh

    global, termasuk pula terorisme. Di samping itu, rasa kekhawatiran juga muncul terkait

    dengan kian meningkatnya fasilitas dan peluang ekspansi dari kelompok kepentingan dari

    luar. Terlebih lagi kebijakan yang ada di tingkat meso (tengah) dan makro kurang

    memberikan jaminan perlindungan secara nyata terhadap eksistensi kebudayaan daerah

    sebagai kebudayaan kelompok minoritas, maka tidaklah mengherankan apabila secara

  • 36

    naluriah muncul berbagai bentuk resistensi yang bersifat nativistik (perlawanan rakyat)

    sekaligus sebagai mekanisme pertahanan terhadap budaya daerah (Pujaastawa, 2009)

    Terlepas dari manfaat-manfaat ekonomi yang diperoleh dari sektor pariwisata,

    sejumlah pihak menganggap kebudayaan Bali telah mengalami degradasi akibat gencarnya

    proses komodifikasi dan komersialisasi terhadap berbagai unsur kebudayaan. Bahkan ada

    pula yang melihat perkembangan pariwisata Bali telah mengarah menjadi Eropa kedua, atau

    mengarah kepada Waikikianization (Seda, 1990 : 59; Noronha, 1976 : 177; Stanton, 1978).

    Fenomena ini terjadi terjadi ketika perkembangan pariwisata telah mengarah kepada

    pariwisata massa, di mana tuntutan-tuntutan standarisasi pariwisata tak terelakkan dan

    memaksa kebudayaan tuan rumah memasuki titik kritis atau berada di persimpangan jalan.

    Menghadapi fenomena seperti ini hanya ada dua hal yang dapat dilakukan oleh pihak tuan

    rumah, yakni mengontrol perkembangan pariwisata dan atau menata kembali kebudayaan

    mereka (Smith, 1989 : 1-17).

    2.3 Konsep Pariwisata Bali Berkelanjutan

    2.3.1 Konsep Pariwisata Berkelanjutan

    Pariwisata berkelanjutan mengacu pada aspek ekonomi, sosial-budaya dan

    kelestarian lingkungan. Aspek ekonomi mengacu pada pembangunan pariwisata yang

    bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat, aspek sosial dan budaya menekankan bahwa

    pembangunan pariwisata dapat diterima oleh masyarakat serta tidak merusak tatanan

    kehidupan sosial masyarakat sedangkan aspek lingkungan mengedepankan kelestarian

    lingkungan dan konservasi sumberdaya alam (UNWTO, 2010). Pembangunan pariwisata

    diharapkan menjaga keseimbangan antara ketiga aspek tersebut di atas agar menjamin

    keberlanjutan pembangunan dalam jangka panjang. Selain itu, pembangunan pariwisata

    juga diharapkan dapat menjaga kepuasan wisatawan yang berkunjung sehingga

    menciptakan pengalaman yang mengesankan bagi wisatawan karena hal ini akan

    mempengaruhi loyalitas wisatawan terhadap destinasi (UNWTO, 2007).

    UNWTO mendefinisikan pariwisata berkelanjutan sebagai suatu sistem yang holistik

    sehingga memerlukan perencanaan pengembangan pariwisata secara hati-hati demi

    keberlanjutan pembangunan pariwisata. Elkington (1997) menggambarkan ketiga aspek di

    atas sebagai aspek yang saling berkaitan yang digambarkan dalam konsep “Triple Bottom

    Line” dalam mencapai keseimbangan pembangunan pariwisata. Ketiga elemen tersebut

  • 37

    harus berkaitan satu sama lain demi menjaga kualitas, kontinyuitas dan keseimbangan

    antara kebutuhan wisatawan, pelestarian alam dan kesejahteraan masyarakat pada

    destinasi wisata. Hal ini menunjukkan bahwa manfaat ekonomi dari pembangunan

    pariwisata tidak hanya bermanfaat bagi pengusaha di bidang pariwisata, namun juga

    bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat setempat. Oleh karena itu, UNWTO

    menekankan bahwa dalam pengembangan pariwisata hendaknya memperhatikan aspek

    saling menguntungkan dan kerjasama yang baik di kalangan wisatawan, masyarakat

    setempat dan pengelola destinasi (UNWTO, 2010).

    2.3.2 Konsep Kearifan Lokal untuk Pariwisata Berkelanjutan

    Kearifan tradisional sering pula disebut kearifan lokal atau local wisdom mencakup

    semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan

    atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis

    (Keraf, 2005). Dalam rangka pengembangan pariwisata berkelanjutan, konsep-konsep

    kearifan lokal dipandang sangat relevan. Selain itu, tidak sedikit dijumpai pandangan dan

    sikap positif terhadap arti dan fungsi kebudayaan-kebudayaan tradisional yang menekankan

    bahwa kebudayaan tradisional terkait erat dan secara langsung menunjang proses sosial,

    ekonomi, dan ekologi masyarakat secara mendasar (Dove, 1985). Berkaitan dengan makin

    mencuatnya wacana krisis ekologi global, aspek-aspek kebudayaan tradisional seperti sistem

    pengetahuan dan kepercayaan tradisional makin dipandang berperan penting sebagai

    mekanisme pelestarian lingkungan yang cukup efektif (Soemarwoto, 1994; Dove, 1985;

    Resosoedarmo dkk., 1992; Iskandar, 1992).

    Konsep kearifan lokal (Bali) yang dipandang relevan sebagai acuan dalam

    pengembangan kepariwisataan berwawasan budaya dan lingkungan di Bali antara lain

    sebagai berikut.

    Tri Hita Krana

    Tri Hita Karana merupakan salah satu konsep kearifan tradisional pada masyarakat Bali

    yang membentuk pola-pola perilaku manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan alam,

    sosial, dan spiritual. Tri Hita Karana, yang berarti “Tiga Penyebab Kesejahteraan” (Tri = tiga,

    Hita = sejahtera, dan Karana = sebab), yang terdiri dari : parhyangan (lingkungan spiritual),

    pawongan (lingkungan sosial), dan palemahan (lingkungan fisik). Ketiga unsur tersebut

    merupakan suatu kesatuan integral yang tak terpisahkan. Hubungan yang harmonis dan

  • 38

    seimbang antarketiga unsur tersebut diyakini akan membawa manfaat bagi kesejahteraan

    hidup manusia lahir dan bathin. Sebaliknya, hubungan yang tidak seimbang atau yang hanya

    mengutamakan aspek tertentu saja diyakini akan dapat mengancam kesejahteraan hidup

    manusia (Pujaastawa, 2004).

    Implementasi Tri Hita Karana dalam pembangunan pariwisata pada dasarnya

    mengontrol libido kapitalisme industri pariwisata dengan menanamkan kesadaran moral

    dan etika keagamaan (parhyangan), kemanusiaan (pawongan), dan lingkungan

    (palemahan). Dengan demikian diharapkan pariwisata tidak hanya sekadar mengejar

    keuntungan ekonomi semata, tetapi juga mampu meningkatkan harkat dan martabat

    manusia sebagai mahluk berbudaya serta konservasi lingkungan secara berkelanjutan.

    Pengejewantahan aspek parhyangan dalam pengelolaan industri pariwisata yang

    berimplikasi kepada revitalisasi nilai-nilai religi lokal, tidak saja penting artinya bagi

    kesejahteraan batiniah manusia, tetapi juga memberi corak dan nuansa tersendiri bagi

    pariwisata itu sendiri. Pengejewantahan aspek pawongan dalam pengelolaan pariwisata

    memposisikan paranata-pranata sosial masyarakat lokal sebagai acuan bagi pola-pola

    hubungan baik antarsesama pelaku pariwisata maupun antara pelaku pariwisata dengan

    lingkungan sosial setempat. Hal ini tidak saja berimplikasi kepada terciptanya hubungan

    yang harmonis antarsesama manusia sebagai mahluk sosial, tetapi sekaligius juga

    merupakan revitalisasi terhadap tatanan sosial masyarakat setempat. Demikian pula

    pengejewantahan aspek palemahan dalam pengelolaan pariwisata menjunjung tinggi

    kearifan-kearifan ekologi masyarakat setempat. Kearifan ekologi merupakan segala tindakan

    manusia yang selaras dengan lingkungannya dan merupakan manifestasi dari sistem

    kepercayaan yang mereka anut. Berkaitan dengan wacana tentang krisis ekologi global yang

    semakin mencuat, keberadaan aspek-aspek kebudayaan tradisional seperti sistem

    pengetahuan dan kepercayaan tradisional dipandang sebagai bentuk-bentuk kearifan

    ekologi yang berfungsi cukup efektif sebagai mekanisme kontrol bagi pengelolaan

    lingkungan. Dengan demikian pengelolaan pariwisata dengan menghormati kearifan ekologi

    masyarakat setempat merupakan salah satu upaya menuju pembangunan pariwisata

    berkelanjutan.

  • 39

    Sad Kertih

    Nilai kearifan lokal tradisional (local knowledge) yang diyakini dan diterapkan dalam

    keseharian masyarakat dalam usaha untuk menjaga alam dan budaya Bali adalah ajaran Sad

    Kertih. Makna dan filosofis Sad Kertih dimuat dalam lontar Purana Bali yaitu enam hal

    yang harus dijaga berkaitan dengan memelihara alam untuk sebesar-besarnya kemajuan

    manusia. Bagian keenam hal yang harus dijaga itu adalah: Atma Kertih, Segara Kertih, Wana

    Kertih, Danu Kertih, Jagat Kertih dan Jana Kertih.

    Atma Kertih menyangkut kehidupan Sang Hyang Atma yang harus dijaga kesucian

    dan kesakralannya. Sejatinya ajaran atma kertih bertujuan untuk melindungi dan

    memelihara berbagai tempat untuk melakukan upacara penyucian Atman seperti tetap

    terjaganya kawasan suci, kegiatan suci dan tempat suci (pura). Namun kalau diartikan dalam

    makna yang luas, dapat dimaknakan sebagai sikap dan perilaku masyarakat yang tidak

    merusak alam lingkungannya.

    Segara Kertih yaitu upaya untuk menjaga kelestarian samudra (laut). Masyarakat Bali

    meyakini laut adalah sarana untuk melaksanakan berbagai jenis yadnya (korban suci)

    misalnya: melasti, nangluk merana, mepekelem, dan nganyut. Semua upacara tersebut

    didasari atas ketulusan dan pengabdian diri untuk menjaga keharmonisan alam dan

    lingukungan di sekitar laut.

    Wana Kertih yaitu nilai ajaran yang menekankan pada upaya untuk

    melestarikan/konservasi hutan. Tetua yang banyak mewariskan nilai luhur dan peradaban

    memendam berbagai ajaran kesucian dan keterhubungan dengan lingkungan dengan cara

    mengkonservasi kawasan hutan. Hutan dianggap sebagai kawasan suci dan dijadikan

    sebagai sumber kehidupan. Nilai religius yang dibungkus eksplisit nilai logikanya, ternyata

    banyak tempat suci yang ada di Bali memilih hutan sebagai kawasan suci pura. Hal ini bisa

    dilihat, pura dan hutan menjadi satu-kesatuan yang patut dijaga kelestarian dan

    kesuciannya secara bersama-sama. Dalam kitab Pancawati ada tiga cara untuk melestarikan

    hutan, yakni: Mahawana, Tapawana dan Sriwana. Mahawana adalah hutan sebagai sumber

    hayati. Tapawana artinya hutan dijadikan tempat untuk melakukan pertapaan (meditasi)

    bagi orang yang mendalami perjalanan suci ke dalam diri. Sriwana adalah hutan sebagai

    sumber kemakmuran masyarakat.

    Danu Kertih adalah upaya untuk menjaga kelestarian sumber-sumber air tawar di

    danau. Danau dijadikan sebagai tempat mempersembahkan berbagai upacara/ritual seperti

  • 40

    mepekelem. Untuk di Bali, setiap danau terdapat pura yang diberi nama Pura Ulun Danu.

    Danau tidak saja dijadikan sebagai wahana untuk menjaga kesucian tetapi juga diyakini

    sebagai sumber kehidupan dan sumber kemakmuran. Masyarakat sekitar danau

    menjadikannya sebagai celah untuk mengais rezeki melalui pembudidayaan ikan, pertanian

    dan kegiatan pariwisata. Manakala danau tercemar, sama halnya mematikan/merusak

    sumber-sumber perekonomian masyarakat.

    Jagat Kertih adalah upaya untuk melestarikan keharmonisan interaksi sosial

    masyarakat dalam pembangunan eksistensi desa pakraman/lembaga masyarakat tradisional

    Bali. Kehidupan keharmonisan masyarakat yang dinamis bisa terjaga melalui berbagai

    aktivitas sosial religius seperti: aktivitas sosial banjar, sekehe truna, sekehe kesenian,

    upacara keagamaan dll.

    Jana Kertih adalah upaya membangun manusia secara individu agar menjadi sumber

    daya