Memanen Energi Matahariafm.tf.itb.ac.id/.../03/ISI-MEMANEN-ENERGI-MATAHARI...kenyataan bahwa silikon...

116
Memanen Energi Matahari

Transcript of Memanen Energi Matahariafm.tf.itb.ac.id/.../03/ISI-MEMANEN-ENERGI-MATAHARI...kenyataan bahwa silikon...

Memanen Energi Matahari

Memanen Energi Matahari

Brian Yuliarto

Cetakan 1, 2017

Hak Cipta dilindungi undang-undang All Rights Reserved @Penerbit ITB, 2017

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit ITB

Hak cipta pada Penerbit ITB, 2017

Data katalog dalam terbitan

YULIARTO, Brian Memanen Energi Matahari oleh Brian Yuliarto. ― Bandung. Penerbit ITB, 2017 8a,100., 25 cm

ISBN 978-602-7861-91-6

Penerbit ITB, Jalan Ganesa 10 Bandung, Anggota Ikapi No. 043/JBA (1) Telp.: 022-2504257, Faks: 022-2534155 email:[email protected]

Penulis : Brian Yuliarto Penyunting Bahasa : Edi WarsidiPenyunting Isi : Ayuning Fauziah dan Ganis Sanhaji Pendesain Jilid : Anggoro

Daftar Isi 5a

Isi

Isi 5aPrakata 7a

1 Pendahuluan 1

Sejarah Sel Surya 2

Cara Kerja Sel Surya 3

Efisiensi Sel Surya 5

Jenis-jenis Sel Surya 5

Perkembangan Terkini Teknologi Sel Surya 8

Pustaka 12

2 Mengenal Matahari 14

Pustaka 20

Sumber Gambar 22

3 Teori Radiasi dan Energi Matahari 23

Pustaka 32

Sumber Gambar 33

4 Teori PV Sel Surya 34

Silikon 35

Thin Film 37

DSSC 39

Pustaka 41

Sumber Gambar 41

5 Silikon Kristalin Solar PV 42

Silikon Kristal Tunggal 42

Silikon Polikristalin 45

Industri Silikon Kristalin Solar PV 51

Pustaka 54

Sumber Gambar 55

6 Thin Film Sel Surya 56

6a Brian, Memanen Energi Matahari

Cooper Indium Gallium Selenide (CIGS) 56

Cadmium Telluride (CdTe) 62

Pustaka 65

Sumber Gambar 66

7 Sel Surya Dye Sensitized 67

Pustaka 75

Sumber Gambar 76

8 Pengujian Sel Surya 77

Pustaka 83

Sumber Gambar 83

9 Instalasi Sel Surya 84

10 Standar Instalasi Sel Surya 94

Lampiran 101

Biografi Penulis

Prakata Buku ini merupakan kumpulan tulisan mengenai salah satu pembangkit energi terbarukan, yaitu solar photovoltaic (sel surya). Sebagai salah satu pembangkit listrik terbarukan, sel surya dapat mengonversi energi matahari menjadi energi listrik. Dengan sumber energi yang berasal dari matahari yang sangat banyak jumlahnya, keinginan untuk menggunakan sel surya menjadi sangat tinggi.

Banyak negara maju yang mulai menggunakan sel surya untuk berbagai keperluan, seperti lampu penerang jalan, penghasil listrik di rumah dan di gedung/Building Integrated Photovoltaic (BIPV) ataupun pembangkit listrik berskala menengah dan besar yang dikenal dengan taman surya/kebun surya (solar park/solar farm). Berbagai penggunaan sel surya menunjukkan begitu antusiasnya negara-negara maju menggunakan sel surya ini.

Dari waktu ke waktu, jumlah sel surya yang diinstal juga semakin meningkat, sementara harga per watt peak-nya justru semakin turun. Fenomena ini menunjukkan bahwa sel surya merupakan sumber energi masa depan yang sangat menjanjikan. Melalui buku ini, penulis membahas seluruh aspek sel surya dari energi yang dibangkitkan pada matahari, mekanisme pembangkitan listrik pada sel surya, pembuatan sel surya, jenis-jenis sel surya, hingga berbagai instalasi sel surya.

Buku ini disarikan dari berbagai tulisan penulis tentang sel surya, tugas-tugas pada mata kuliah Konversi Energi di Teknik Fisika ITB atau tugas-tugas dan bahan kuliah pada mata kuliah Sel Surya di Program Magister Teknik Mesin ITB. Kedua mata kuliah tersebut merupakan mata kuliah yang pernah dan sedang diampu oleh penulis. Pengembangan modul atau tugas yang diberikan kepada penulis pada kedua mata kuliah tersebut sangat membantu dalam penyusunan buku ini. Beberapa bagian dari buku ini juga diambil dari tulisan tentang sel surya yang sebelumya pernah dipublikasikan oleh penulis, baik di situs web (website) maupun buku mengenai energi. Tentu berbagai tulisan yang pernah dipublikasikan tersebut telah dimodifikasi dan diperbarui dengan data terkini.

Prakata 7a

Semoga kehadiran buku ini dapat menambah pengetahuan masyarakat terhadap sel surya dan membantu para pengambil keputusan untuk lebih tepat dalam mengambil kebijakan tentang energi terbarukan.

Bandung, 1 April 2017

Penulis Brian Yuliarto

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak atas partisipasi dan bantuan, terutama peserta mata kuliah Sel Surya di Teknik Mesin yang sangat membantu penyelesaian buku ini. Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada mahasiswa Teknik Fisika, Ayuning Fauziah dan Ganis Sanhaji yang telah melakukan editing isi sebelum buku ini dicetak. Terakhir, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Penerbit ITB yang telah melakukan pencetakan sehingga buku ini dapat sampai ke tangan pembaca dengan lebih baik.

8a Brian, Memanen Energi Matahari

Pendahuluan 1

1 Pendahuluan

Jika kita melihat tingkat konsumsi energi di seluruh dunia saat ini, penggunaan energi diprediksi akan meningkat sebesar 70% antara tahun 2000 dan 2030. Sumber energi yang berasal dari fosil, yang saat ini menyumbang 87,7% dari total kebutuhan energi dunia, diperkirakan akan mengalami penurunan cadangannya karena ada kecenderungan tidak lagi ditemukannya cadangan baru [1]. Cadangan sumber energi yang berasal dari fosil di seluruh dunia diperkirakan hanya akan bertahan sampai 40 tahun untuk minyak bumi, 60 tahun untuk gas alam, dan 200 tahun untuk batu bara [2]. Meskipun saat ini terdapat kecenderungan konsumsi energi menjadi stagnan karena berbagai krisis yang terjadi, tren peningkatan konsumsi energi diperkirakan akan terus terjadi. Gambaran konsumsi energi di tahun 2004 meningkat sebesar 4,3% per tahun, di tahun 2013 turun menjadi 2,1% per tahun, dan di tahun 2014 bahkan hanya meningkat 0,8% per tahun[3].

Kondisi keterbatasan sumber energi di tengah semakin meningkatnya kebutuhan energi dunia dari tahun ke tahun serta tuntutan untuk melindungi bumi dari pemanasan global dan polusi lingkungan, membuat keinginan untuk segera mewujudkan teknologi untuk bagi sumber energi terbarukan menjadi semakin tinggi. Di antara sumber energi terbarukan yang saat ini banyak dikembangkan, antara lain turbin angin, tenaga air (hydro power), energi gelombang air laut, tenaga surya, tenaga panas bumi, tenaga hidrogen, dan bioenergi.

Tenaga surya atau sel surya merupakan salah satu sumber energi yang cukup menjanjikan. Energi yang dikeluarkan oleh sinar matahari sebenarnya hanya diterima oleh permukaan bumi sebesar 69% dari total energi pancaran matahari, seperti terlihat pada Gambar 1.1 [4]. Suplai energi surya dari sinar matahari yang diterima oleh permukaan bumi sangat luar biasa besarnya, yaitu mencapai 3 × 1024 joule per tahun, energi ini setara dengan 2 × 1017 watt [4]. Jumlah energi sebesar itu setara dengan 10.000 kali konsumsi energi di seluruh dunia saat ini. Dengan kata lain, dengan menutup 0,1% saja permukaan bumi dengan divais sel surya yang memiliki efisiensi 10% sudah bisa didapatkan energi yang sama dengan konsumsi energi di seluruh dunia[6]. Bagian ini akan memberikan gambaran awal perkembangan

2 Brian, Memanen Energi Matahari

Gambar 1.1 Komposisi sinar matahari yang dipancarkan: Diserap sebesar 69% dan dipantulkan kembali sebesar 31% (6]

teknologi sel surya sebagai salah satu teknologi yang diharapkan akan berperan penting dalam mengatasi permasalahan energi dunia di masa datang.

Sejarah Sel Surya

Alat pengonversi energi surya atau dalam dunia internasional lebih dikenal sebagai sel surya atau photovoltaic cell, merupakan sebuah divais semikonduktor yang memiliki permukaan luas dan terdiri dari rangkaian dioda tipe p dan n, yang mampu mengubah energi sinar matahari menjadi energi listrik. Oleh karena itu, bidang penelitian yang berkenaan dengan energi surya ini sering juga dikenal dengan penelitian photovoltaic. Kata photovoltaic sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Yunani, photos yang berarti cahaya dan Volta yang merupakan nama ahli fisika dari Italia yang menemukan tegangan listrik. Dengan demikian, secara bahasa photovoltaic dapat diartikan sebagai cahaya untuk listrik [7].

Pada tahun 1839, seorang ahli fisika berkebangsaan Perancis, Alexandre Edmond Becquesrel berhasil mengidentifikasi efek photovoltaic untuk pertama kalinya. Atas prestasinya dalam menemukan fenomena photovoltaic ini, Becquerel mendapat Nobel Fisika pada tahun 1903 bersama dengan Pierre dan Marrie Currie [8]. Meskipun demikian, baru pada tahun 1883 Charles Fritts untuk pertama kalinya berhasil membuat divais sel surya. Charles Fritts saat itu membuat semikonduktor selenium yang dilapisi dengan lapisan emas yang sangat tipis sehingga membentuk rangkaian seperti hubungan semikonduktor tipe p dan tipe n. Pada saat itu, efisiensi

Pendahuluan 3

yang didapat baru sekitar 1%. Pada perkembangan berikutnya, seorang peneliti bernama Russel Ohl dikenal sebagai orang pertama yang membuat paten tentang divais sel surya modern.

Cara Kerja Sel Surya

Meskipun cara kerja sel surya tidak persis sama untuk setiap jenisnya, dasar kerja sel surya dapat dijelaskan dari cara kerja sel surya silikon kristal tunggal. Silikon merupakan material yang berada dalam grup 14 berdasarkan jumlah atom yang dimilikinya. Hal ini berarti setiap atom silikon memiliki 4 elektron valensi pada lapisan terluarnya. Atom-atom silikon dapat berikatan secara kovalen dengan atom silikon lainnya sehingga membentuk sebuah padatan.

Ada dua jenis silikon padat, yaitu silikon amorphous dan silikon kristalin. Tipe amorphous berarti atom silikon tidak tersusun secara teratur, sedangkan pada silikon kristalin atom penyusunnya tersusun secara teratur dalam rangkaian tiga dimensi. Dalam perkembangannya dikenal beberapa jenis kristal silikon, seperti poly-crystal silicon, single-crystal silicon, micro-structure silicon, ataupun nano-structure silicon berdasarkan bentuk krisal dan ukuran struktur yang menyusun padatan silikon tersebut. Sel surya sendiri dapat terbentuk dari berbagai jenis silikon tersebut meskipun yang paling sering dijumpai adalah jenis poly-crystal silicon.

Pada temperatur kamar, silikon murni bukan merupakan penghantar listrik yang baik. Dalam ilmu kuantum mekanik, sifat ini dapat dijelaskan dengan kenyataan bahwa silikon murni memiliki tingkat Fermi yang terletak pada lebar pita terlarang. Silikon murni dapat menjadi penghantar listrik bertipe semikonduktor dengan diberi tambahan material dari grup 13 (seperti alumunium dan gallium) atau 15 (seperti phosphorus dan arsenic).

Atom yang ditambahkan pada silikon murni akan menempati posisi atom silikon pada kisi kristal dan berikatan dengan atom silikon yang terdekat posisinya. Meskipun begitu, jumlah elektron valensi atom yang berasal dari grup 13 hanya berjumlah 3 buah, sedangkan yang berasal dari grup 15 berjumlah 5 buah. Dengan demikian, akan terdapat atom yang kekurangan satu elektron ketika silikon ditambahkan dengan atom dari grup 13 dan terdapat atom yang kelebihan satu elektron untuk silikon yang ditambah dengan atom dari grup 15.

Silikon yang ditambah dengan atom yang berasal dari grup 13 inilah yang disebut dengan silikon semikonduktor tipe p (karena kekurangan elektron), sedangkan yang ditambah dengan atom yang berasal dari grup 15

4 Brian, Memanen Energi Matahari

merupakan silikon semikonduktor tipe n (karena kelebihan elektron). Gabungan dua buah semikonduktor tipe n dan tipe p inilah yang dijadikan divais sel surya.

Sebagaimana diketahui bahwa cahaya yang tampak ataupun yang tidak tampak memiliki dua buah sifat, yaitu dapat sebagai gelombang dan dapat sebagai partikel yang disebut dengan foton (photon). Penemuan ini pertama kali diungkapkan oleh Einstein pada tahun 1905. Energi yang dipancarkan oleh sebuah cahaya dengan panjang gelombang λ dan frekuensi foton v dirumuskan dengan persamaan:

E = h.c/ λ

Dengan h adalah konstanta Plancks (6,62 × 1034 J.s) dan c adalah kecepatan cahaya dalam vakum (3 × 108 m/s). Persamaan di atas juga menunjukkan bahwa foton dapat dilihat sebagai sebuah partikel energi atau sebagai gelombang dengan panjang gelombang dan frekuensi tertentu [9].

Saat foton dari cahaya matahari datang di permukaan sebuah dioda silikon, ada dua kemungkinan yang dapat terjadi. Pertama adalah foton tersebut hanya melewati lapisan silikon tanpa memberikan efek apa-apa. Keadaan ini terjadi ketika energi yang dibawa oleh foton tersebut lebih rendah daripada pita energi yang dimiliki oleh lapisan silikon tersebut. Keadaan kedua yang dapat terjadi adalah foton yang datang tersebut diserap oleh lapisan silikon. Secara umum, kedaan ini dapat terjadi ketika energi pada foton lebih besar daripada lebar pita energi yang dimiliki oleh lapisan silikon sel surya. Saat foton tersebut diserap oleh lapisan silikon, energi dari foton diserap oleh elektron pada kisi kristal yang terdapat pada pita valensi.

Elektron ini sebenarnya sangat stabil berada pada pita valensi karena berikatan secara kovalen dengan atom-atom tetangganya, yang membuat elektron ini tidak bisa berpindah jauh tanpa bantuan energi dari luar. Energi dari foton yang diterimanya tersebut membuat elektron ini mampu berpindah ke pita konduksi sehingga membuatnya bebas bergerak dalam semikonduktor tersebut seperti terlihat pada Gambar 1.2. Kepindahan elektron ini meninggalkan sebuah ikatan kovalen yang kehilangan satu buah elektron (disebut dengan hole), yang membuat elektron pada atom tetangga bergerak pindah menuju hole ini dan kembali menyisakan satu buah hole. Keadaan ini berlangsung terus dan tentu terjadi pada lebih dari satu elektron sehingga energi foton yang diterima oleh lapisan silikon akhirnya menghasilkan pergerakan untuk pasangan elektron dan hole. Medan listrik yang terbentuk pada dioda dari hubungan semikonduktor tipe n dan tipe p

Pendahuluan 5

memungkinkan arus listrik mengalir dalam satu arah. Elektron akan mengalir dari tipe n ke tipe p dan sebaliknya hole akan mengalir dari tipe p

Gambar 1.2 Model pembangkitan pasangan elektron-hole pada divais sel surya ketika foton dari sinar matahari diperoleh permukaan semikonduktor p-n.

ke tipe n. Aliran arus listrik inilah yang kemudian bisa digunakan untuk dialirkan menuju rumah-rumah pengguna sebagai sumber listrik.

Efisiensi Sel Surya

Efisiensi pada divais sel surya dan harga pembuatan sel surya merupakan masalah yang paling penting untuk merealisasi sel surya sebagai sumber energi alternatif. Efisiensi didefinisikan sebagai perbandingan antara tenaga listrik yang dihasilkan oleh divais sel surya dan jumlah energi yang diterima dari pancaran sinar matahari. Pada tengah hari yang cerah dengan posisi tegak lurus, radiasi sinar matahari mampu mencapai 1000 W/m2. Jika sebuah divais semikonduktor seluas 1 m2 memiliki efisiensi 10%, maka modul solar ini mampu memberikan tenaga listrik sebesar 100 W. Saat ini modul sel surya komersial berkisar dari 8 hingga 18% bergantung pada material penyusunnya. Tipe kristal silikon merupakan jenis divais sel surya yang memiliki efisiensi tinggi meskipun biaya pembuatannya relatif lebih mahal dibandingkan dengan jenis sel surya lainnya. Susunan detail divais sel surya dapat dilihat pada Gambar 1.3, yang pada bagian atas lapisan silikon biasanya dipasang lapisan antirefleksi untuk meningkatkan daya serap sinar matahari yang masuk ke lapisan silikon [10].

Jenis-jenis Sel Surya

Hingga saat ini terdapat beberapa jenis sel surya yang berhasil dikembangkan oleh para peneliti untuk mendapatkan divais sel surya yang memiliki efisiensi tinggi atau untuk mendapatkan divais sel surya yang

6 Brian, Memanen Energi Matahari

murah dan mudah dalam pembuatannya. Tipe pertama yang berhasil dikembangkan oleh para peneliti adalah jenis wafer (berlapis) silikon kristal

Gambar 1.3 Struktur divais sel surya dari semikonduktor silikon tipe p dan tipe n [11]

tunggal. Tipe ini dalam pengembangannya mampu menghasilkan efisiensi yang sangat tinggi. Masalah terbesar yang dihadapi dalam pengembangan silikon kristal tunggal adalah harga pembuatan yang sangat tinggi sehingga membuat panel sel surya yang dihasilkan menjadi kurang kompetitif sebagai sumber energi alternatif. Sebagian besar silikon kristal tunggal komersial memiliki efisiensi pada kisaran 16−17%, bahkan silikon sel surya hasil produksi SunPower memiliki efisiensi hingga 20% [www.sunpower-corp.com]. Bersama perusahaan Shell Solar, SunPower menjadi perusahaan yang menguasai pasar silikon kristal tunggal untuk sel surya.

Jenis sel surya yang kedua adalah tipe silikon polikristal. Saat ini, hampir sebagian besar panel sel surya yang beredar di pasar komersial berasal dari screen printing jenis silikon polikristal. Wafer silikon polikristal dipabrikasi dengan cara membuat lapisan-lapisan tipis dari batang silikon dengan metode wire-sawing. Setiap lapisan memiliki ketebalan sekitar 250–350 mikrometer. Sel surya tipe ini memiliki harga pembuatan yang lebih murah meskipun tingkat efisiensinya lebih rendah jika dibandingkan dengan silikon kristal tunggal. Perusahaan yang aktif memproduksi tipe sel surya ini di antaranya adalah GT Solar, BP, Sharp, dan Kyocera Solar.

Kedua jenis silikon di atas dikenal sebagai generasi pertama dari sel surya yang memiliki ketebalan pada kisaran 180 hingga 240 mikrometer. Penelitian yang lebih dahulu dan telah lama dilakukan oleh para peneliti menjadikan

Pendahuluan 7

sel surya berbasis silikon ini telah menjadi teknologi yang berkembang dan banyak dikuasai oleh peneliti atau dunia industri. Divais sel surya ini dalam perkembangannya telah mampu mencapai usia aktif hingga 25 tahun[4]. Modifikasi untuk menekan biaya pabrikasi juga dilakukan dengan membuat pita silikon (ribbon Si), yaitu dengan membuat lapisan dari cairan silikon dan membentuknya dalam struktur multikristal. Meskipun tipe sel surya pita silikon ini memiliki efisiensi yang lebih rendah (13−15%), biaya produksinya bisa lebih dihemat mengingat silikon yang terbuang jika menggunakan lapisan tipis silikon ini akan lebih sedikit.

Generasi kedua sel surya adalah sel surya tipe lapisan tipis (thin film). Ide pengembangan jenis sel surya lapisan tipis adalah untuk mengurangi biaya pembuatan sel surya mengingat tipe ini hanya menggunakan kurang dari 1% bahan baku silikon jika dibandingkan dengan bahan baku untuk tipe silikon wafer. Penghematan yang tinggi pada bahan baku seperti itu membuat harga per Kwh energi yang dibangkitkan diharapkan dapat lebih murah. Metode yang paling sering dipakai dalam pembuatan silikon jenis lapisan tipis ini adalah dengan Plasma Enhanced Chemical Vapor Deposition (PECVD) dari gas silane dan hidrogen. Lapisan yang dibuat dengan metode ini menghasilkan silikon yang tidak memiliki arah orientasi kristal atau yang dikenal sebagai amorphous silicon (nonkristal). Selain menggunakan material dari silikon, sel surya lapisan tipis juga dibuat dari bahan semikonduktor lainnya yang memiliki efisiensi sel surya lebih tinggi, seperti Cadmium Telluride (Cd Te) dan Copper Indium Gallium Selenide (CIGS).

Efisiensi tertinggi hingga saat ini yang bisa dihasilkan oleh jenis sel surya lapisan tipis ini adalah sebesar 19,5% yang berasal dari sel surya CIGS [8]. Keunggulan lainnya dengan menggunakan tipe lapisan tipis adalah semikonduktor sebagai lapisan sel surya bisa dideposisi pada substrat yang lentur sehingga menghasilkan divais sel surya yang fleksibel. Kedua generasi dari sel surya ini masih mendominasi pasaran sel surya di seluruh dunia dengan silikon kristal tunggal dan multikristal memiliki lebih dari 90% sel surya yang ada di pasaran [18].

Penelitian agar harga sel surya menjadi lebih murah selanjutnya memunculkan generasi ketiga dari jenis sel surya, yaitu tipe sel surya polimer atau disebut juga dengan sel surya organik dan tipe sel surya fotoelektrokimia. Sel surya organik dibuat dari bahan semikonduktor organik, seperti polyphenylene vinylene dan fullerene. Berbeda dengan tipe sel surya generasi pertama dan kedua yang menjadikan pembangkitan pasangan elektron dan hole pada dioda tipe p dan n dengan datangnya foton dari sinar matahari sebagai proses utamanya.

8 Brian, Memanen Energi Matahari

Pada sel surya generasi ketiga itu, foton yang datang tidak menghasilkan aliran elektron pada dioda p dan n, tetapi membangkitkan eksitasi elektron pada dyes. Eksitasi elektron inilah yang kemudian berdifusi pada dua permukaan bahan konduktor (yang biasanya direkatkan dengan media dye yang berada di antara dua keping konduktor) untuk menghasilkan pasangan muatan dan akhirnya menghasilkan efek arus foto (photocurrent) [13-14].

Tipe sel surya fotokima merupakan jenis sel surya sintesis dye yang terdiri dari sebuah lapisan partikel nano (biasanya titanium dioksida) yang diendapkan dalam sebuah perendam (dye). Jenis ini pertama kali diperkenalkan oleh Profesor Graetzel pada tahun 1991 sehingga jenis sel surya ini sering juga disebut dengan Graetzel cell atau dye-sensitized sel surya (DSC) [5]. Graetzel cell ini dilengkapi dengan pasangan redox yang diletakkan dalam sebuah elektrolit (bisa berupa padat atau cairan).

Komposisi penyusun sel surya seperti ini memungkinkan bahan baku pembuat Graetzel cell lebih fleksibel dan bisa dibuat dengan metode yang sangat sederhana, seperti screen printing atau dr blade printing. Meskipun sel surya generasi ketiga ini masih memiliki masalah besar dalam hal efisiensi dan usia aktif sel yang masih terlalu singkat, sel surya jenis ini diperkirakan akan mampu memberikan pengaruh besar dalam sepuluh tahun ke depan mengingat harga dan proses pembuatannya yang sangat murah. Penemuan terbaru dengan modifikasi dye berbahan perovskite bahkan mampu menaikkan efisiensi sel surya dengan sangat signifikan di angka 15−21 % yang membuat sel surya jenis ini sangat menjanjikan bagi pengembangan komersial di masa depan.

Perkembangan Terkini Teknologi Sel Surya

Dalam perkembangan teknologi sel surya, peningkatan performansi sel surya didukung dengan berbagai kemajuan teknologi lainnya, salah satu yang cukup signifikan adalah teknologi nano. Beberapa pemanfaatan teknologi nano untuk peningkatan sumber energi, teknologi nano pada produksi energi surya (dari sinar matahari) merupakan penelitian yang paling berkembang [15]. Sel surya memang diakui banyak kalangan sebagai sumber energi yang paling menjanjikan di masa depan. Energi matahari menjadi semakin menarik mengingat energi ini relatif bersih dari polusi sehingga sel surya merupakan sumber energi yang mendapat julukan sebagai green energy.

Pembangkit energi surya sebenarnya bergantung pada efisiensi mengonversi energi dan konsentrasi sinar matahari yang masuk ke dalam sel tersebut.

Pendahuluan 9

Profesor Smalley, peraih Nobel di bidang kimia atas prestasinya menemukan fullerene, menyatakan teknologi nano menjanjikan peningkatan efisiensi dalam pembuatan sel surya antara 10 dan 100 kali pada sel surya. Smalley menambahkan bahwa cara terbaik untuk mendapatkan energi surya secara optimal telah terbukti ketika sel surya dimanfaatkan untuk keperluan satelit ruang angkasa. Penggunaan sel surya dengan meletakkannya di ruang angkasa dapat dengan baik dilakukan karena teknologi nano diyakini akan mampu menciptakan material yang super kuat, ringan, dan mampu bertahan di ruang angkasa dengan efisiensi yang baik.

Prediksi Smalley saat ini memang mulai terbukti. Salah satunya ditunjukkan oleh peneliti dari Universitas California, Berkeley, Paul Alivisatos dan Janke Dittmer, yang memperkenalkan generasi mendatang dari sel surya yang disebutnya sebagai sel surya polimer-semikonduktor[16-17]. Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi nano, mereka membuat sel surya dari material semikonduktor inorganik berukuran nano yang diletakkan pada dua elektroda yang terbuat dari plastik dan aluminium hingga menjadikannya fleksibel. Dengan tingkat fleksibilitas yang baik dan tipisnya lapisan, sel surya jenis ini diharapkan dapat menggantikan jenis sel surya dari bahan silikon. Yang lebih menarik dari sel surya jenis ini, pembuatannya tidak memerlukan clean room (ruang dengan tingkat kebersihan partikel yang tinggi) atau bejana vakum yang menjadikan sel surya jenis ini mudah dan murah untuk diproduksi.

Sesungguhnya perkembangan teknologi sel surya di dunia berjalan dengan sangat pesat. Perubahan dan persaingan juga terjadi dengan sangat cepat sehingga teknologi yang pada awal tahun 2000-an didominasi oleh Amerika, Eropa, dan Jepang (ketiga negara ini memproduksi lebih dari 90% produksi sel surya dunia), saat ini telah digantikan oleh Cina dan Taiwan. Perkembangan produksi sel surya sejak tahun 1997 hingga 2014 dapat terlihat pada Gambar 1.4. Pada tahun 2014 Cina dan Taiwan telah mampu menjadi produsen terbesar dunia dengan menguasai produksi hingga 69%. Sementara itu Eropa hanya 6%, dan Jepang bersama Amerika/Kanada masing-masing 4% [18]. Gambar 1.5 menunjukkan dominasi Cina dan Taiwan yang mulai mengungguli Jepang, Eropa, dan Amerika sejak tahun 2009. Kemampuan produksi sel surya Cina dan Taiwan terus berlanjut dan perbedaannya semakin besar dari tahun ke tahun hingga tahun 2014.

Gambar 1.5 juga menunjukkan betapa kemampuan produksi sel surya di seluruh dunia telah meningkat dengan sangat pesat dalam 5 tahun terakhir yang semula hanya sekitar 4 GWp per tahun menjadi lebih dari 26 GWp per tahun di tahun 2014.

10 Brian, Memanen Energi Matahari

Gambar 1.4 Komposisi produksi sel surya di seluruh dunia sejak tahun 1997

hingga 2014 [18].

Gambar 1.5 Perbandingan produksi sel surya di antara beberapa negara produsen

besar [18]

Gambar 1.6 menunjukkan komposisi produksi sel surya dari setiap jenis teknologi sel surya yang ada. Terlihat bahwa teknologi kristal tunggal (monokristalin) yang pada tahun 1980 mendominasi produksi sel surya, jumlahnya terus turun dan dilampaui oleh jenis silikon multikristal. Pada tahun 2014, jenis sel surya berbasis silikon ini berjumlah hingga 91% dari total sel surya yang diproduksi di seluruh dunia. Multikristal sendiri mencapai jumlah 56%, sedangkan sel surya berbasis lapisan tipis atau thin film hanya mencapai 9% dari total sel surya yang ada [18].

Pendahuluan 11

Gambar 1.6 Komposisi produksi setiap jenis sel surya dari tahun 1980 hingga 2014 [18]

Meskipun teknologi sel surya yang ada di pasaran hanya didominasi jenis silikon kristal dan lapisan tipis, sebenarnya penelitian tentang teknologi sel surya telah sangat luas. Data yang dikeluarkan oleh National Renewable Energy Leboratory (NREL) USA dapat dilihat pada Gambar 1.7, yang menunjukkan perkembangan efisiensi terbaik dari berbagai teknologi sel surya yang ada. Beberapa penelitian yang didapatkan dari berbagai laboratorium yang ada di seluruh dunia telah mendapatkan capaian yang cukup signifikan seperti sel surya berbasis multi- junction telah mendapatkan efisiensi hingga 46%, kristal tunggal GaAs mencapai 27,5%, lapisan tipis CIGS dan CdTe masing-masing 22,3% dan 21,5%, sedangkan multikristal Silikon mencapai 20,8%. Untuk teknologi-teknologi yang baru juga telah mendapatkan kemajuan yang cukup baik, seperti teknologi perovskite mencapai 21%, amorphous silikon mencapai 13,6%, organik sel surya 11,5%, dan quantum dot sel surya mencapai 10,6% [19].

Indonesia sebenarnya sangat berpotensi untuk menjadikan sel surya sebagai salah satu sumber energi masa depannya mengingat posisi Indonesia pada khatulistiwa yang memungkinkan sinar matahari dapat optimal diterima di hampir seluruh wilayah Indonesia. Dalam kondisi peak atau posisi matahari tegak lurus, sinar matahari yang jatuh di permukaan panel surya di Indonesia seluas satu meter persegi akan mampu mencapai 900 hingga 1.000 watt [20]. Lebih jauh bahkan pakar sel surya, Wilson Wenas menyatakan bahwa total intensitas penyinaran matahari per hari di Indonesia mampu mencapai 4.500 watt-jam per meter persegi, yang membuat Indonesia tergolong kaya sumber energi matahari ini [20].

12 Brian, Memanen Energi Matahari

Gambar 1.7 Perkembangan beberapa teknologi sel surya yang ada di berbagai

laboratorium dunia hingga Desember 2015 [21].

Dengan letaknya di daerah khatulistiwa, matahari di Indonesia mampu bersinar hingga 2.000 jam per tahunnya [21]. Dengan kondisi yang sangat potensial ini, sudah saatnyalah pemerintah dan pihak universitas membuat suatu pusat penelitian sel surya agar Indonesia tidak kembali hanya sebagai pembeli divais sel surya di tengah melimpahnya sinar matahari yang diterima bumi Indonesia.

Pustaka

[1] B. Yuliarto. ”Meneropong Konsumsi Energi Dunia”, Berita IPTEK 21 Desember 2005.

[2] B. Li, L. Wang, B. Kang, P. Wang, Y. Qiu, ”Solar Energy Materials and Sel Surya”, in press, available online 2005.

[3] 2014 ”Global Energy Trend”, www.enerdata.net, available online 2016. [4] K. West, ”Sel Surya Beyond Silicon”, Riso International Energy

Conference, 2003. [5] M. Gratzel, Nature 414 (2001) 338. [6] Strahler A. dan A. Strahler. 1996. Introducing Physical Geography. John

Wiley and Sons. [7] ”Encyclopedia Sel Surya”, 2005 available online on (http://en.wikipedia.

org/wiki/solar_cell).

Pendahuluan 13

[8] Nobelprize.org. ”Nobelprize 1903” (http://nobelprize.org/physics/ laureates/1903/index.html).

[9] S.M. Size, ”Physics of Semiconductor Devices 2nd edition, Chapter 14, John Wiley and Sons 1981.

[10] Earth Science Australia, ”Sel Surya Materials Info”, (http://earthscience. org/energy/solar/page3.html).

[11] http://solarcellcentral.com/solar_page.html [12] C.J. Brabec, N.S. Saricifti, J.C. Hummelen, Advanced Functional Materials,

11 (2001) 15. [13] B.A. Gregg, J. Physics. Chem. B 107 (2003) 4688. [14] World Market 2001 by Techonology. [15] B. Yuliarto, ”Teknologi Nano Solusi Kebutuhan Energi Masa Depan”,

Kompas, 18 Agustus 2005. [16] W.U. Huynh, J.J. Dittmer, P. Alivisatos, Science, 295, 5564 (2002) 2425. [17] http://www.see.murdoch.edu.au/resources/info/ Tech/pv/ [18] Fraunhover Institute for Solar Energy Systems, Photovoltaic Reports, 11

Maret 2016. [19] National Renewable Energy Laboratory (NREL), Annual Report,

December 2015 [20] ”Sinar Matahari, Sumber Energi Tidak Terbatas”, Pikiran Rakyat 22

September 2005.

[21] Wilson Wenas, ”Gelisah Akan Terjadi Tragedi Sel Surya”, Kompas 20 Desember 2003.

14 Brian, Memanen Energi Matahari

2 Mengenal Matahari

Matahari merupakan salah satu bintang dalam jagat raya yang bertindak sebagai pusat pada sistem tata surya kita. Matahari termasuk kategori bintang karena dapat menghasilkan cahaya sendiri. Apabila dibandingkan dengan bintang lainnya, cahaya matahari lebih terang sehingga pada waktu siang hari tidak akan terlihat bintang lain. Matahari termasuk ke dalam bintang deret utama G (G2V) atau lebih dikenal sebagai katai kuning karena spektrum radiasinya kuning-merah[1].

Matahari generasi pertama terbentuk sekitar 14.000 juta tahun lalu yang diawali oleh gelombang kejut dari suatu supernova terdekat atau lebih. Teori ini berdasarkan kelimpahan elemen berat di tata surya, seperti emas dan uranium. Adapun matahari yang kita kenal saat ini adalah generasi kedua yang terbentuk dari ledakan matahari generasi pertama sekitar 4,6 miliar tahun lalu. Elemen berat yang dikandung matahari generasi kedua jauh lebih sedikit dan dihasilkan oleh reaksi nuklir endotermik selama supernova atau transmutasi melalui penyerapan neutron pada bintang raksasa[2].

Gambar 2.1 menunjukkan foto matahari yang diambil oleh NASA pada tahun 2012. Matahari adalah bintang yang bentuknya hampir sempurna dengan perbedaan diameter antara kutub dan khatulistiwanya sebesar 10 km. Diameter matahari sekitar 1.392.684 km atau kira-kira 109 kali diameter bumi[3] dan massanya sekitar 2×1030 kg yang mewakili 99,86% massa total tata surya[4]. Sekitar 92,1% massa matahari berupa hidrogen dan 7,8% helium serta terdapat elemen lain berupa oksigen, karbon, neon, besi, dan lain-lain. Kepadatan massa matahari adalah 1,41 berbanding dengan massa air[5]. Karakterisasi dari struktur matahari dapat dilihat pada tabel berikut.

Mengenal Matahari 15

Tabel 2.1 Karakteristik Matahari

Diameter 1,392 x 106 km

Massa (1991 ± 0,002) x 1030 kg

Rata-rata massa jenis (1,410 ± 0,002) x 103 kg/m3

Temperatur efektif permukaan 5672 ± 50 K

Temperatur interior 8 x 106 – 40 x 106 K

Rata-rata jarak ke bumi 1,495 x 108 ± 1,7% km

Massa jenis inti matahari 100 x 103 kg/m3

Massa jenis permukaan ≈ 10-5 kg/m3

Energi surya pada atomosfer bumi 178 x 1014 kW

Waktu sinar matahari sampai ke bumi 8 menit

Matahari terdiri dari plasma panas bercampur medan magnet sehingga rotasi pada bagian khatulistiwa lebih cepat dibandingkan dengan rotasi pada kutubnya. Peristiwa ini dikenal sebagai rotasi diferensial[6] dan terjadi karena konveksi pada matahari serta gerakan massanya, yang diakibatkan oleh gradasi suhu yang teramat jauh dari inti ke permukaan. Massa matahari ini mampu mendorong sebagian momentum sudut matahari sehingga berlawanan arah jarum jam apabila dilihat dari kutub utara ekliptika. Keadaan ini mengakibatkan kecepatan sudutnya didistribusikan kembali.

Gambar 2.1 Matahari (Sumber: Pixabay)

Periode rotasi matahari dikenal sebagai rotasi aktual yang diperkirakan berlangsung 25,6 hari di khatulistiwa dan 33,5 hari di kutub. Akan tetapi,

16 Brian, Memanen Energi Matahari

akibat perbedaan sudut pandang dari bumi saat mengorbit matahari, maka rotasi pada khatulistiwa berlangsung kira-kira 28 hari[7]. Efek sentrifugal pada rotasi matahari ini 18 juta kali lebih lemah dibandingkan dengan gravitasi permukaan di daerah khatulistiwa matahari.

Matahari merupakan bola gas besar yang tidak memiliki batas lapisan yang jelas dan kepadatan gas pada bagian terluar menurun seiring dengan bertambahnya jarak dari inti matahari. Meskipun begitu, matahari memiliki struktur interior yang jelas. Interior matahari tidak dapat dilihat secara langsung dan radiasi elektromagnetik tidak dapat menembus matahari. Untuk mengukur dan menggambarkan struktur terdalam dari matahari dilakukan dengan memanfaatkan gelombang tekanan suara infrasonik yang melewati interior matahari.

Gambar 2.2 Struktur Matahari

Matahari tersusun oleh beberapa lapisan yang memiliki karakteristik berbeda-beda dan dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu bagian dalam dan atmosfer. Gambar 2.3 memperlihatkan struktur lapisan penyusun matahari. Dimulai dari bagian dalam berupa inti yang merupakan lapisan paling dalam dengan suhu sekitar 15 juta derajat Celcius. Ukuran inti matahari

Mengenal Matahari 17

(core) adalah seperempat jarak dari pusat ke permukaan dengan volume kepadatan sekitar 150 g/cm3. Inti matahari memiliki tingkat rotasi yang lebih cepat dibandingkan dengan zona radiatif dan inti matahari merupakan satu-satunya lapisan matahari yang menghasilkan energi termal yang cukup melalui fusi. Inti matahari berada pada zona 0 – 0,2R (R adalah jari-jari matahari). Sekitar 90% tenaga tercipta di dalam 24% jari-jari terdalam pada matahari dan sisanya dipanaskan oleh energi yang ditransfer ke luar oleh radiasi dari inti ke layar konvektif[8]. Energi yang dihasilkan oleh proses fusi ini bervariasi bergantung pada jarak dari pusat matahari. Energi tersebut merupakan total dari 40% massa matahari dan 15% volume matahari. Berdasarkan pemodelan yang telah dibuat diperkirakan besar energi fusi pada pusat matahari[9] mencapai 276,5 Watt/m3.

Tingkat fusi pada bagian inti berada pada fase kesetimbangan, yaitu terdapat tingkat fusi yang tinggi, mengakibatkan inti memanas dan sedikit memuai terhadap lapisan luarnya serta terdapat tingkat fusi lebih rendah yang mengakibatkan inti cepat mendingin dan sedikit menyusut. Pelepasan sinar gamma (foton berenergi tinggi) dalam reaksi fusi diserap oleh beberapa mililiter plasma matahari dan dipancarkan kembali secara acak dengan tingkat energi yang lebih rendah. Hal ini menyebabkan waktu tempuh radiasi untuk mencapai permukaan menjadi lebih lama sekitar 10.000 hingga 170.000 tahun[10]. Sementara itu, perpindahan energi pada matahari membutuhkan waktu 30 juta tahun yang melibatkan foton dalam kesetimbangan termodinamik dengan zat lain yang ada di matahari.

Daerah inti matahari terdapat zona radiatif atau zona radiasi, yaitu suatu zona tempat energi dialirkan ke bagian luar melalui radiasi dalam

Gambar 2.3 Struktur lapisan penyusun matahari

18 Brian, Memanen Energi Matahari

Gambar 2.4 Bagian matahari beserta gelombang yang dihasilkan

(Sumber: Solar Physics Montana, 2016)

bentuk gelombang elektromagnetik berupa foton. Zona radiatif berada pada 0,2R – 0,7R dari pusat matahari. Materi yang ada di dalam zona radiasi sangat padat sehingga memungkinkan foton menempuh jarak yang singkat sebelum disebarkan oleh partikel lain. Selanjutnya terdapat zona konvektif atau zona konveksi yang merupakan suatu zona tempat energi dialirkan melalui proses konveksi. Zona konvektif terletak di luar zona radiatif (berada di 0,7R – R) dan di antara kedua zona tersebut terdapat pemisah berupa lapisan transisi yang disebut takhoklin. Lapisan ini merupakan lapisan tempat terjadinya perubahan fenomena yang menghasilkan perbedaan kondisi antara rotasi seragam di zona radiatif dan rotasi diferensial di zona konvektif. Zona radiatif menyusun 32% dari volume matahari dan 48% dari massanya, sedangkan zona konvektif menyusun 66% dari volume matahari dengan hanya 2% dari massanya[11].

Selanjutnya terdapat bagian atmosfer berupa lapisan fotosfer, kromosfer, dan korona. Lapisan fotosfer merupakan lapisan transparan tempat foton terlepas dalam bentuk cahaya tampak. Setiap sinar foton pada matahari akan dikonversi menjadi beberapa juta foton cahaya tampak. Fotosfer memiliki ketebalan sekitar 500 km dengan suhu yang mencapai 6.215°C. Fotosfer juga merupakan lapisan yang dapat dilihat dari bumi dan diselimuti gas merah yang dikenal sebagai kromosfer. Cahaya fotosfer sangat terang sehingga dapat mengalahkan lapisan luar matahari, yaitu korona. Selanjutnya terdapat lapisan tipis di atas fotosfer dengan ketebalan 2.000 km dan suhu 4.500°C yang dikenal sebagai lapisan kromosfer. Kromosfer memiliki warna merah redup yang dipancarkan oleh atom-atom hidrogen. Suhu kromosfer meningkat seiring dengan ketinggiannya hingga berkisar 20.000°C di dekat puncaknya.

Mengenal Matahari 19

Gambar 2.5 Letak zona radiatif dan konvektif

Di atas kromosfer, terdapat daerah transisi tipis dengan ketebalan sekitar 200 km yang terbentuk di ketinggian yang berubah-ubah. Wilayah ini memiliki suhu sekitar 20.000°C hingga 1 juta derajat Celcius. Pada wilayah transisi, terbentuk semacam nimbus yang mengitari kromosfer menyerupai spikula dan filamen yang bergerak tidak teratur, tetapi konstan. Spikula memiliki jarak lintas sepanjang kira-kira 1.000 km dan tinggi mencapai 10.000 km. Pada matahari, terdapat lebih dari 60.000 spikula yang aktif, tetapi memiliki massa aktif yang pendek, yaitu sekitar 5 menit.

Bagian terluar dari atmosfer matahari adalah korona. Korona memiliki massa jenis yang rendah, tetapi bertemperatur tinggi hingga mencapai 1 sampai 2 juta derajat Celcius dan suhu di titik terpanasnya mencapai 8 hingga 20 juta derajat Celcius. Korona memiliki volume lebih besar dibandingkan dengan matahari sendiri dan tebalnya mencapai 2,5 juta km. Korona yang dekat dengan permukaan matahari memiliki kepadatan partikel berkisar 1015−1016 partikel/m3. Walaupun belum ada teori yang menerangkan suhu korona secara lengkap, sebagian panasnya diketahui berasal dari rekoneksi magnetik. Warna yang mendominasi korona adalah putih keabu-abuan yang tampak ketika terjadi gerhana matahari di bumi[12].

Matahari memiliki medan magnet yang kuat dan dapat berubah-ubah setiap tahun serta dapat berbalik arah setiap sebelas tahun. Medan magnet ini menjadi penyebab adanya aktivitas matahari termasuk terciptanya titik matahari, letusan matahari, dan variasi angin pada matahari yang mengangkut material melintasi tata surya. Kekuatan medan magnet matahari sekitar dua kali lebih kuat dibandingkan dengan bumi, tetapi dapat 3.000 kali lebih kuat dari keadaan biasa saat terkonsentrasi di wilayah yang kecil.

20 Brian, Memanen Energi Matahari

Gambar 2.6 Sifat filamen pada plasma di permukaan matahari (Sumber: Pixabay)

Gambar 2.7 Korona matahari (Sumber: pixabay.com)

Material penyusun matahari berasal dari gas bersuhu tinggi sehingga kondisi tersebut dapat menyebabkan rotasi di wilayah khatulistiwa lebih cepat, yaitu sekitar 25 hari dibandingkan dengan di wilayah lintang yang lebih lambat. Adanya rotasi diferensial lintang ini mengakibatkan jalur medan magnet saling terikat menghasilkan lingkaran medan magnet dari permukaan. Aktivitas ini medorong terbentuknya titik matahari dan rekoneksi magnetik yang mempengaruhi aktivitas siklus magnetik yang dapat mengubah arah medan magnet setiap sebelas tahun sekali[13].

Lama matahari mengorbit pada sumbunya sekitar 27 hari dalam satu kali putaran. Matahari memiliki sumbu rotasi dengan kemiringan 7,25°C dari sumbu rotasi bumi sehingga kutub utara matahari dapat terlihat sekitar bulan September dan kutub selatan pada bulan Maret. Perputaran ini dapat

Mengenal Matahari 21

teramati dari perubahan posisi bintik matahari. Kecepatan rotasi matahari berbeda-beda pada setiap bagiannya. Bagian inti dan zona radiatif berotasi secara bersamaan, begitu juga dengan zona konvektif dan fotosfer, tetapi kecepatan berbeda.

Selain melakukan rotasi, matahari juga melakukan revolusi. Kecepatan revolusi matahari adalah 828.000 km/jam atau membutuhkan waktu sekitar 230 juta tahun untuk mengelilingi Galaksi Bimasakti[14]. Deskripsi tentang matahari ini menunjukkan bahwa matahari merupakan sumber energi yang sangat besar. Matahari merupakan sumber bagi kehidupan di bumi. Salah satu bentuk pemanfaatan energi matahari adalah sebagai pembangkit listrik tenaga surya.

Gambar 2.8 Ilustrasi medan magnet matahari

Pustaka

[1] Nick Smith, Minot, North Dakota. 2011. ”The Sun is a G2V star and Rigel is a B8Iab. How do astronomers get the classifications this precise?”. Astronomy Magazine. Dipublikasikan pada 29 Agustus 2011.

[2] Stanley A Rice. 2007. Encyclopedia of Evolution. New York: Facts on File, halaman 405-407.

[3] NASA. 2008. "Solar System Exploration: Planets: Sun: Facts & Figures".

[4] Williams, D. R. (1 July 2013). "Sun Fact Sheet". NASA Goddard Space Flight Center. Retrieved 12 August 2013.

[5] Robert J. Malcuit. 2015. The Twin Sister Planets Venus and Earth. Switzerland: Springer International Publishing.

22 Brian, Memanen Energi Matahari

[6] L. L. Kitchatinov. 2011. ”Solar differential rotation: origin, models and implications for dynamo”. First Asia-Pacific Solar Physics Meeting, ASI Conference Series. Vol. 2, pp 71–80.

[7] Kenneth J. H. Phillips. 1995. Guide to the Sun. Cambridge University Press. halaman 78–79.

[8] Matt Williams. 2015. ”How Does The Sun Produce Energy?”. (tersedia secara online di http://www.universetoday.com /75803/how-does-the-sun-produce-energy/).

[9] David J French. 2013. ”Power Equivalent To The Sun? – We Already Have It!”. (tersedia di http://coldfusionnow.org/power-equivalent-to-the-sun-we-already-have-it/).

[10] NASA. 2007. ”The 8-minute travel time to Earth by sunlight hides a thousand-year journey that actually began in the core.” (tersedia di http://sunearthday. nasa.gov/2007/locations/ttt_sunlight.php).

[11] Futurism. 2014. ”A Sunshine Holiday (How the Sun Works)”. (tersedia di http://futurism.com/how-the-sun-works/).

[12] Erdèlyi, R.; Ballai, I. 2007. Heating of the solar and stellar coronae: a review. Astron. Nachr. 328 (8): 726–733.

[13] Charles Q. Choi. 2014. ”Earth’s Sun: Facts About the Sun’s Age, Size and History”. (tersedia di http://www.space.com/58-the-sun-formation-facts-and-characteristics.html).

[14] Fraser Cain. 2012. ”Does The Sun Rotate?”. (tersedia di http://www.universetoday.com/60192/does-the-sun-rotate/)

[15] J. A. Duffie, W. A. Beckhman, Solar Engineering of Thermal Processes, John Willey & Sons, Inc., New Jersey: 2013.

Sumber Gambar

https://www.nasa.gov/mission_pages/sunearth/news/News111312-m6flare.html#.VuumhdJ97IU

http://solar.physics.montana.edu/ypop/Spotlight/SunInfo/Structure.html

http://news.stanford.edu/news/2000/april5/sunspin-329.html

http://www.nasa.gov/mission_pages/sunearth/news/sumi science.html

http://www.telegraph.co.uk/news/science/space/7412572/Rare-solar-corona-caught-on-camera.html

Teori Radiasi dan Energi Matahari 23

3 Teori Radiasi dan EnergiMatahari

Sampai saat ini diketahui bahwa matahari merupakan bintang terbesar di Galaksi Bimasakti dan merupakan pusat dari tata surya kita. Luas permukaan matahari adalah 11.990 kali dari luas permukaan Bumi[1] dan massa matahari sekitar 330.000 kali lebih besar dari massa bumi[2], dengan hampir tiga perempat terdiri dari hidrogen dan sebagian besarnya adalah helium. Sementara itu jarak antara bumi dan matahari adalah sekitar 150 juta kilometer. Dengan kecepatan cahaya pada matahari sekitar 300.000 kilometer per detik, maka lama perjalanan cahaya dari matahari masuk ke atmosfer bumi membutuhkan waktu 500 detik atau 8 menit 20 detik. Untuk mengelilingi tata surya, matahari membutuhkan waktu 225−250 juta tahun karena jarak matahari dari pusat galaksi antara 24.000 dan 26.000 tahun cahaya[3].

Matahari memiliki suhu yang berbeda untuk setiap lapisannya. Pada permukaannya atau lapisan photosphere, matahari memiliki suhu 6.000 K. Sementara di bagian interior, matahari memiliki suhu 8x106 – 40x106 K. Dalam bagian inti matahari, terjadi proses-proses reaksi inti (nuklir) dengan kelajuan hingga mencapai 3×108 m/s dan dapat melewati ruang hampa. Reaksi fusi (penggabungan inti) hidrogen menjadi inti helium yang terjadi disertai dengan pelepasan energi yang besar[5]. Energi ini dihantarkan ke ruang angkasa dalam bentuk radiasi elektromagnetik yang memiliki kecepatan dengan total energi yang dipancarkan mencapai 9,5×1025 W[6], sedangkan energi yang dihantarkan menuju ke atmosfer bumi mencapai 178x1014 kW[4].

24 Brian, Memanen Energi Matahari

Gambar 3.1 Lapisan matahari

Radiasi matahari adalah radiasi yang dipancarkan oleh matahari yang telah ditransmisikan melalui atmosfer bumi. Radiasi disebarkan melalui ruang hampa dalam bentuk gelombang dan sebagian aliran energi. Radiasi matahari ini memiliki panjang gelombang dan energi yang ditransfer dalam satuan diskrit yang disebut foton. Pada jarak tertentu, total daya matahari yang tersebar di permukaan jauh lebih besar. Karena radiasi matahari tersebut melalui ruang hampa, maka membuat radiasi berkurang sangat besar pada lokasi yang jauh dari matahari.

Intensitas radiasi cahaya matahari, Ho (W/m2) pada sebuah benda yang berjarak D dari cahaya matahari bisa dihitung dengan persamaan berikut[6]:

𝐻𝐻o = 𝑅𝑅𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠2

𝐷𝐷2 𝐻𝐻𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 =𝑅𝑅𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠2 𝜎𝜎𝑇𝑇4

𝐷𝐷2 (3.1)

di mana :

Hsun = kerapatan daya dari permukaan matahari (W/m2)

Rsun = radius matahari (m)

D = jarak benda dari matahari (m)

Hsun dituliskan dalam persamaan benda hitam oleh Stefan-Boltzman.

Gambar 3.2 Jarak matahari dengan benda langit lain

(Sumber: Pixabay dengan modifikasi, 2016)

Teori Radiasi dan Energi Matahari 25

Gambar 3.3 Peraga untuk menentukan intensitas radiasi matahari

Gambar 3.4 Total radiasi yang terjadi di bumi (Sumber: Global Greenhouse Warming, 2016)

Radiasi matahari ke atmosfer bumi sesungguhnya relatif konstan dan setiap saat radiasi total yang diterima permukaan bumi selalu sama. Meskipun begitu, di setiap belahan bumi yang berbeda terdapat perbedaan karena beberapa hal, seperti efek atmosfer yang menyebabkan adanya perbedaan penyerapan dan hamburan cahaya matahari serta variasi lokal di atmosfer yang mencakup uap air, awan, dan polusi. Faktor lain yang juga mempengaruhi adalah letak lokasi garis lintang dan perubahan musim setiap tahun serta perubahan waktu akibat rotasi bumi. Isolasi adalah jumlah radiasi matahari yang mencapai bumi atau disebut juga sebagai insiden radiasi. Komponen radiasi matahari adalah radiasi langsung (direct radiation), radiasi difusi (diffuse radiation), dan radiasi pemantulan (reflect radiation)[8].

Berdasarkan data dari NASA, Indonesia memiliki intensitas radiasi matahari sekitar 4−5 kWh/m2/hari. Sementara intensitas matahari rata-rata tertinggi berada di Huanceyo, Peru, yaitu sekitar 7,79 kWh/m2/hari. Bahkan, intensitas matahari di daerah tersebut tidak pernah kurang dari 6 kWh/m2/hari sehingga energi surya sangat potensial untuk dikembangkan di daerah

26 Brian, Memanen Energi Matahari

tersebut. Gambaran intiensitas cahaya matahari di dua daerah tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.5.

Energi matahari merupakan suatu bentuk pemanfaatan kekuatan matahari untuk menghasilkan energi. Energi matahari merupakan energi terbarukan yang ramah lingkungan karena tidak terdapat efek samping berbahaya untuk lingkungan. Energi matahari juga sebenarnya merupakan energi yang pertama kali digunakan oleh manusia untuk membantu kehidupannya. Energi matahari berasal dari reaksi fusi termonuklir yang terjadi di dalam inti matahari. Gelombang elektromagnetik merupakan salah satu contoh energi yang bersumber dari matahari. Dari total energi matahari yang diterima oleh permukaan bumi, hanya 69% yang dapat dimanfaatkan untuk dikonversi menjadi energi listrik.

Gambar 3.5 Intensitas cahaya matahari di berbagai negara

Gambar 3.6 Energi yang digunakan bumi dari radiasi matahari

Cahaya yang kita lihat sehari-hari hanya sebagian kecil dari total energi yang dipancarkan oleh matahari di bumi. Sinar matahari adalah bentuk radiasi

Teori Radiasi dan Energi Matahari 27

elektromagnetik dan cahaya tampak yang kita lihat adalah bagian kecil dari spektrum elektromagnetik. Spektrum elektromagnetik menggambarkan cahaya sebagai gelombang yang memiliki panjang gelombang tertentu. Energi matahari yang dipancarkan dapat berbentuk gelombang dari partikel. Hal ini disebut dualisme gelombang cahaya yang dijelaskan lebih lanjut dalam kuantum mekanik. Dalam kuantum mekanik, foton terlihat seperti cahaya atau partikel yang bergantung pada situasi. Sementara itu berdasarkan deskripsi fisik, sifat-sifat cahaya analisisnya membutuhkan teori mekanika kuantum cahaya.

Gambar 3.7 Bentuk gelombang yang dibawa foton

Sebuah foton ditandai dengan panjang gelombang, 𝜆𝜆, yang besarnya sebanding dengan energi, E, yang dapat dituliskan dalam persamaan berikut[7]:

𝐸𝐸 =ℎ𝑐𝑐𝜆𝜆

(3.2)

di mana: h = konstanta Planck (6.626×10-34 Joule.s) c = kecepatan cahaya (2.998×108 m/s)

Ketika berhadapan dengan partikel seperti foton dan elektron, satuan yang umum digunakan adalah elektron volt, yaitu untuk 1 energi foton setara dengan 1 eV = 1.602×10-19 Joule. Terdapat hubungan sederhana terkait panjang gelombang, frekuensi dan kecepatan cahaya yang dapat dituliskan dalam persamaan berikut:

𝑣𝑣 = 𝜆𝜆 𝑓𝑓 (3.3)

di mana : v = kecepatan (m/s) λ = panjang gelombang (m) f = frekuensi (Hz)

28 Brian, Memanen Energi Matahari

Gambar 3.8 Hubungan frekuensi, panjang gelombang, dan kecepatan

(Sumber: University of Arizona, 2016)

Ada beberapa hukum yang dimanfaatkan dalam teori radiasi dan energi matahari, yaitu Hukum Perpindahan Wien dan Hukum Stefan-Boltzmann. Hukum Perpindahan Wien (Wien’s Displacement Law) mengatakan bahwa benda hitam pada temperatur konstan menyerap semua radiasi yang diterima benda tersebut dan panjang gelombang maksimum yang diterima setara dengan temperatur benda.

Adapun Hukum Stefan-Boltzman mengatakan bahwa total fluks yang dipancarkan oleh benda hitam di semua panjang gelombang sebanding dengan temperatur pangkat 4 dari benda tersebut dan perubahan temperatur yang kecil akan berpengaruh terhadap besar energi yang dipancarkan matahari.

Hubungan ini dapat ditulis dalam persamaan berikut[7].

𝐻𝐻 = 𝜎𝜎𝑇𝑇4 (3.4)

di mana:

𝜎𝜎 = konstanta Stefan-Boltzmann (5.67×10-9 W/m2.K4)

Teori Radiasi dan Energi Matahari 29

Gambar 3.9 Intesitas cahaya matahari berdasarkan panjang gelombangnya

Tabel 3.1 Keuntungan dan Kerugian Energi Radiasi Matahari

Keuntungan Kerugian

• Semua bahan kimia dan polusiradioaktif oleh produk daritermonuklir tetap di matahari,sementara hanya energi radiasimurni yang mencapai Bumi.

• Energi radiasi matahari yangmencapai Bumi luar biasa besarsetara dengan total bahan bakarfosil, bahkan lebih besar dari itu.

• Matahari tidak bersinar secarakonsisten karena pengaruhatmosfer, awan, dan lainlainnya.

• Energi pada diffuse radioactiveharus berkonsentrasi padapenggunaan dalam bentuk panasdan listrik.

Radiasi yang sampai ke bumi merupakan radiasi total hemispherical (beam and diffuse radiation) pada sebuah permukaan horisontal, dapat diukur dengan suatu alat yang disebut pyranometer atau solarimeter atau actinograph. Satuan ukuran untuk radiasi adalah irradiance dengan standar unitnya adalah W/m2 , sedangkan untuk mengukur radiasi langsung yang berasal dari matahari dan dari langit sekitar matahari (beam radiation) yang diterima pada sudut normal

30 Brian, Memanen Energi Matahari

digunakan alat ukur pyrheliometer atau actinometer. Secara umum, pemilihan alat ukur untuk mengukur radiasi disesuaikan dengan panjang gelombang.

Tabel 3.2 Alat Ukur Radiasi Matahari

Parameter Alat Ukur yang Digunakan

Gelombang Pendek (0.3 – 0.4 µm)

Radiasi Langsung Angstrom and Thermoelectric Pyrheliometer

Radiasi Global Thermoelectric Pyranometer

Radiasi Difus Thermoelectric Pyranometer dengan Shading Ring

Radiasi Pantulan Inverted Pyranometer

Gelombang Panjang (4 -100 µm)

Radiasi Teresterial Angstrom Pyrgeometer

(a) (b)

Gambar 3.10 (a) Alat ukur radiasi matahari Pyrheliometer (b) Pyranometer

Untuk menentukan besarnya nilai distribusi spektrum energi matahari yang sampai ke permukaan bumi, dapat digunakan nilai radiasi ekstraterestrial spektral surya[9]. Hal ini dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

𝐺𝐺𝑜𝑜𝑠𝑠 = 𝐺𝐺𝑠𝑠𝑠𝑠 �1 + 0.033 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐360(𝑛𝑛 − 2)

365� (3.5)

di mana:

𝐺𝐺𝑜𝑜𝑠𝑠 = radiasi ekstraterestrial (W/m2)

𝐺𝐺𝑠𝑠𝑠𝑠 = radiasi konstan (1389 W/m2)

𝑛𝑛 = jumlah hari dalam 1 tahun

Teori Radiasi dan Energi Matahari 31

Beberapa sudut digunakan untuk menentukan arah radiasi matahari, sudut-sudut tersebut menunjukkan hubungan geometris antara matahari relatif terhadap bumi yang dapat dilihat pada Tabel 3.3 berikut.

Tabel 3.3 Sudut yang Menentukan Arah Radiasi Matahari

Parameter Simbol Definisi Positif Negatif

Lintang Φ Sudut terhadap ekuator Utara Selatan

Bujur λ Sudut yang menunjukkan posisi barat dan timur di permukaan bumi

Timur Barat

Deklinasi δ Sudut antara matahari dan bidang datar ekuator

Utara Selatan

Kemiringan β Sudut antara permukaan bidang dan horisontal

0 ≤ β ≤ 180o

Sudut Azimuth Permukaan

γ Sudut yang terbentuk dari posisi terhadap horisontal, yaitu arah selatan bernilai 0, arah barat bernilai positif, dan arah timur bernilai negatif

Barat Timur

Sudut Waktu ω Perpindahan sudut matahari dari timur ke barat akibat rotasi bumi dengan nilai 15o setiap waktunya

Siang Pagi

Sudut Datang θ Sudut antara sinar radiasi pada permukaan dan bidang normal dari permukaan tersebut

0 ≤ θ ≤ 90o

Sudut Zenith θz Sudut antara garis vertikal dan sinar radiasi

0 ≤ θz ≤ 90o

Sudut Ketinggian Matahari/ Elevasi

αs Sudut antara garis horisontal dan sinar radiasi, θz + αs = 90o

0 ≤ αs ≤ 90o

Sudut Azimuth Matahari

γs Sudut yang terbentuk dari proyeksi radiasi terhadap bidang horisontal, yaitu arah selatan bernilai 0, arah barat bernilai positif, dan arah timur bernilai negatif

Barat Timur

32 Brian, Memanen Energi Matahari

Gambar 3.11 Sudut Deklinasi Matahari

(a) (b)

Gambar 3.12 (a) Sudut Zenith, Kemiringan, Sudut Azimuth Permukaan, dan Sudut Azimuth Matahari (b) Sudut Azimuth pada bidang datar

Pustaka

[1] Basu, S.; Antia, H. M. 2008. "Helioseismology and Solar Abundances". Physics Reports 457 (5–6): 217.

[2] Williams, D. R. 2013. “Sun Fact Sheet”. NASA Goddard Space Flight Center.

[3] Coffey, J. 2010. ”Does The Sun Rotate?”. Universe Today.

Teori Radiasi dan Energi Matahari 33

[4] Sayigh A. A. M. (1984), ”Solar Radiation Fundamentals”, (Proceeding 3rd International Symposium on “Non-Conventional Energy Sources”), ACIF Series, Vol. 3. 9 Eds Furlan G, Rodriguez H, Violini G) pp. 352-395, Singapore: World Scientific Publ. Co., Pte. Ltd.

[5] Wikipedia. 2016. (tersedia di https://id.wikipedia.org/wiki/Matahari).

[6] ”Bahan Kuliah Magister Teknik Elektro”. 2010. (tersedia di http://staff.unud.ac.id/~dayugiriantari/wpcontent/uploads/2010/10/lecture2.pdf).

[7] ”PV Education”. 2016. (tersediadi http://www.pveducation.org/pvcdrom/ properties-of-sunlight/solar-radiation-in-space).

[8] ”Aeron System”. 2015. (tersedia di http://www.aeronsystems.com/types-of-solar-radiation/).

[9] J. A. Duffie, W. A. Beckhman, Solar Engineering of Thermal Processes, John Willey & Sons, Inc., New Jersey: 2013.

Sumber Gambar

http://www.pveducation.org/pvcdrom/properties-of-sunlight/the-sun

http://www.pveducation.org/pvcdrom/properties-of-sunlight/solar-radiation-in-space

http://www.pveducation.org/pvcdrom/properties-of-sunlight/solar-radiation-in-space

http://www.global-greenhouse-warming.com/measuring-solar-activity.html

http://www.pveducation.org/pvcdrom/properties-of-sunlight/average-solar-radiation

http://www.pveducation.org/pvcdrom/properties-of-sunlight/properties-of-light

http://www.geo.arizona.edu/xtal/nats101/s04-12.html

http://encyclopedia2.thefreedictionary.com/pyranometer

http://www.itacanet.org/the-sun-as-a-source-of-energy/part-1-solar-astronomy/

34 Brian, Memanen Energi Matahari

4 Teori PV Sel Surya

Saat ini kebutuhan hidup manusia semakin meningkat dari waktu ke waktu, sedangkan alat pemenuh kebutuhan hidup justru sangat terbatas. Oleh sebab itu, penggunaan teknologi sangat diperlukan untuk mempermudah manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada abad ke-21 ini, semakin banyak pilihan teknologi yang sudah berhasil dikembangkan. Oleh karena itu, manusia harus mampu menentukan pilihan yang terbaik dengan mempertimbangkan segala aspek dari segi ekonomi, efisiensi, keselamatan, dan tidak memberikan efek buruk pada lingkungan. Salah satu teknologi yang telah dan akan terus dikembangkan adalah teknologi panel surya (sel surya) atau dikenal sebagai sel surya fotovoltaik.

Fotovoltaik adalah sebuah teknik pengubahan energi surya menjadi arus listrik secara langsung dengan memanfaatkan sifat-sifat pada material semikonduktor melalui efek fotovoltaik, yaitu foton yang datang dari cahaya matahari menghasilkan lompatan elektron dalam material semikonduktor tersebut. Fenomena ini berasal dari fenomena fotovoltaik berbasis bahan material semikonduktor yang terdiri dari karakteristik elektrik berupa arus, tegangan, dan hambatan yang berubah ketika terpapar sinar matahari. Material semikonduktor yang digunakan untuk membuat sel surya harus memiliki karakteristik mampu menyerap sinar matahari dan hanya memantulkan sedikit sinar matahari yang diterimanya. Sel surya ini dapat dibuat dari satu lapisan material yang dapat menyerap sinar atau beberapa lapisan yang memungkinkan bertambahnya efisiensi dengan memanfaatkan sifat panjang gelombang sinar matahari pada jenis material yang berbeda-beda.

Jika melihat sejarah, kita akan mengetahui bahwa sesungguhnya fenomena fotovoltaik telah berkembang selama lebih dari 175 tahun. Efek fotovoltaik pertama kali ditemukan pada tahun 1839 oleh seorang peneliti Perancis yang saat itu baru berumur 19 tahun, Alexandre Edmond Bacquerel[1]. Adapun material yang pertama dipelajari berupa padatan seperti selenium oleh Heinrich Hertz pada sekitar tahun 1870. Pada tahun 1883, seorang peneliti Amerika Charles Fritts membuat solar PV pertama dari bahan wafer selenium. Tahun 1888 Amerika pertama kali memberikan paten untuk sel

Teori PV Sel Surya 35

Gambar 4.1 Dari kiri ke kanan, Gerard Pearson, Daryl Chapin, dan Calvin Fuller, para penemu PV dari Laboratorium BELL di tahun (sumber AT & T Bell Labs)

surya kepada Edward Weston. Pada tahun 1905, Albert Einstein berhasil mengeluarkan publikasi paper untuk menjelaskan fenomena pada efek fotoelektrik. Selanjutnya, pengembangan sel fotovoltaik pertama dilakukan oleh seorang ilmuwan bernama Gerard Pearson, Daryl Chapin, dan Calvin Fuller dari Bell Laboratories sekitar tahun 1954. Pada bab ini, akan dituliskan beberapa teori tentang PV sel surya beserta penjelasannya.

Silikon

Sel surya Photovoltaic (PV) adalah divais yang dapat mengubah energi dari matahari menjadi energi listrik secara langsung melalui efek fotovoltaik. Prinsip kerja PV sel surya ini memanfatkan tumbukan oleh foton dari sinar matahari yang datang terhadap elektron pada P-N Junction material semikonduktor, seperti silikon, yang sudah didoping. Elektron yang tertumbuk akan bergerak melalui hole pada arah tertentu dan pergerakannya akan menghasilkan listrik. Prinsip kerja sel surya ini dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Silikon merupakan salah satu material semikonduktor yang nilai konduktivitasnya dapat diubah dengan menambahkan suatu atom asing atau atom pengotor. Teknik ini dikenal dengan nama sistem doping.

36 Brian, Memanen Energi Matahari

Gambar 4.2 Prinsip kerja PV sel surya yang merupakan gabungan silikon tipe p dan tipe n

Gambar 4.3 Struktur atom silikon

Proses doping pada atom silikon ini dilakukan untuk memberikan kondisi kelebihan elektron (N-type) dan kekurangan elektron (P-type) sehingga memungkinkan terjadinya pergerakan elektron. Pada semikonduktor tipe-N, atom memberikan elektron bebas (berlebih) pada semikonduktor dan material yang umum digunakan adalah fosfor. Semikonduktor tipe-P dibuat dengan memberikan atom yang membuat kondisi atom positif atau kekurangan elektron. Kondisi ini memungkinkan semikonduktor untuk menerima elektron dari semikonduktor tipe-N (yang memiliki kelebihan jumlah elektron).

Ketika terjadi kenaikan temperatur pada silikon, empat buah elektron valensi yang berikatan secara kovalen akan memiliki cukup energi untuk melepaskan diri dan bergerak secara bebas. Pergerakan elektron yang meninggalkan tempat asalnya akan menghasilkan sebuah lubang atau hole. Semakin banyak elektron yang bebas, semakin banyak lubang yang akan terbentuk. Pada semikonduktor murni seperti silikon, jumlah hole yang terbentuk akan sama dengan jumlah elektron yang bebas. Elektron yang bebas bermuatan negatif sehingga berdasarkan Hukum Kekekalan Momentum, hole akan bermuatan positif.

Teori PV Sel Surya 37

Gambar 4.4 Sistematika proses doping dari kisi krital silikon

Gambar 4.5 Proses pembentukan elektron dan hole

Pembuatan sel surya dengan memanfaatkan silikon sebagai bahan utama dikenal sebagai teknik konvensional atau tradisional karena teknik ini dikembangkan pertama kali dan hingga saat ini masih dapat dikenal dengan baik. Berdasarkan keteraturan struktur kristalnya, silikon dapat dibedakan menjadi silikon kristalin tunggal (mono-Si) dan silikon polikristalin (multi-Si). Selain itu, metode untuk membuat sel surya tipe silikon juga berbeda. Untuk membuat sel surya tipe mono-Si digunakan metode Chozchralski atau Flat Zone, sedangkan untuk membuat sel surya tipe multi-Si digunakan metode casting.

Thin Film

Thin film sel surya (TFSC) atau juga dikenal sebagai thin film photovoltaic cell (TFPV) adalah sel surya yang dibuat dengan menyimpan satu atau lebih lapisan tipis (thin film) dari material fotovoltaik. Ide pembuatan sel surya berbasis thin film berasal dari masalah penyerapan sinar matahari oleh sel surya tipe kristalin silikon yang terlalu tebal, berat, dan tidak fleksibel. Oleh sebab itu, para ilmuwan mengembangkan sel surya generasi kedua dengan tipe thin film yang lebih tipis, ringan, dan fleksibel. Variasi ketebalan sel surya

38 Brian, Memanen Energi Matahari

jenis ini dari ukuran nanometer hingga 10 mikrometer. Thin film pertama kali dikenal pada akhir tahun 1970, yaitu ketika kalkulator dengan tenaga sel surya pertama kali muncul di pasaran[2]. Saat ini, pengembangan sel surya tipe ini masih terus berlanjut.

Gambar 4.6 Perbedaan modul sel surya silikon dengan thin film

Film disimpan dengan berbagai metode penyimpanan dari bermacam-macam substrat. Thin film sel surya dapat dikategorikan berdasarkan material fotovoltaiknya, seperti berikut[2]:

• Cadmium telluride sel suryas (CdTe) • Copper indium gallium selenide sel suryas (CIS atau CIGS) • Amorphous silicon (a-Si) dan sel thin film silikon yang lain • Emerging photolotaics (orgamic, quantum dot, dye-sensitized, dan perovskite sel

suryas)

Pembuatan sel surya dari bahan thin film lebih murah dibandingkan dengan sel surya yang dibuat dengan teknik konvensional, tetapi kurang efisien. Efisiensi dari suatu sel surya tipe thin film dapat dibedakan berdasarkan jumlah junction pada lapisan sel surya ini. Secara teori, besar efisiensi untuk jenis homo-junction adalah 30%, sedangkan untuk hetero-junction 42% dan untuk jenis tandem multigap-junction sebesar 76%. Thin film jenis multi-junction lebih sering digunakan karena memilki nilai efisiensi yang tinggi dan daya serap yang tinggi dibandingkan dengan thin film jenis lain. Selain itu, thin film jenis ini memiliki band model tipe pertengahan yang membuatnya mampu menghasilkan tingkat energi yang berlipat[3]

Teori PV Sel Surya 39

Gambar 4.7 Perbandingan tingkat efisiensi setiap teknologi sampai Desember 2015 (Fraunhover Report 2015)

Gambar 4.8 Perbedaan jumlah junction pada sel surya tipe thin film silicon

DSSC

Dye Sensitized Sel Surya (DSSC) merupakan sel surya generasi ketiga yang diciptakan manusia setelah sel surya berbasis silikon dan thin film. Pembuatan DSSC mengunakan prinsip kerja proses fotosintesis. Jika sebelumnya pembuatan sel surya menggunakan silikon, untuk pembuatan DSSC menggunakan klorofil yang berasal dari tumbuhan. DSSC merupakan penggabungan bahan organik dan anorganik. Bahan organik yang berasal dari tumbuhan diekstrak sebagai bahan warna dari kaca bening berlapis titanium dioksida (TiO2). Titanium dioksida ini berfungsi sebagai material semikonduktor tempat berlangsungnya reaksi antarklorofil.

40 Brian, Memanen Energi Matahari

Gambar 4.9 Perbandingan proses fotosintesis dengan DSSC

Proses pembuatan DSSC dimulai dengan penyerapan sinar matahari oleh lapisan dye. Selanjutnya akan berlangsung reaksi antara TiO2 dan sinar matahari pada material semikondukor yang menyebabkan terjadi aliran elektron yang menghasilkan arus listrik. Adanya aliran elektron disebabkan terdapat lapisan elektrolit di atas lapisan semikonduktor. Fungsi lapisan elektrolit adalah sebagai regenerasi muatan pada lapisan dyes.

Proses perpindahan elektron yang terjadi pada sel surya tipe DSSC dimulai dengan proses eksitasi elektron pada lapisan dye ketika sinar matahari diserap, kemudian elektron ini akan terinjeksi ke dalam band TiO2 dan elektron ini akan bergerak menuju katoda melalui sirkuit eksternal. Katoda akan mengalami reduksi, sedangkan dye mengalami reaksi regenerasi (oksidasi) yang mengakibatkan terbentuknya energi potensial yang menghasilkan kerja pada DSSC berupa energi listrik.

Gambar 4.10 Aliran energi pada DSSC

Teori PV Sel Surya 41

Gambar 4.11 Proses perpindahan elektron pada DSSC

Saat ini terdapat sekitar 325 industri di seluruh dunia yang mengembangkan sel surya fotovoltaik dan total produksi PV telah mencapai 10 GWp pada tahun 2009, tetapi hanya sekitar 3.5 GWp yang dihasilkan oleh 10 industri terkemuka di dunia[4].

Pustaka [1] Palz, Wolfgang. 2010. Power for the World - The Emergence of Electricity from

the Sun. Belgium: Pan Stanford Publishing. p. 6. [2] Wikipedia. 2016. (tersedia di https://en.wikipedia.org/wiki/Thin-

film_solar_cell). [3] Prof. K L Chopra. ”Thin Film Sel Suryas” (A Status Review). (tersedia

di http://www.kfupm.edu.sa/centers/CENT/AnalyticsReports/KFUPM-TFSC-Dec20.pdf).

[4] David E Carlson. 2009. ”Basic Science Issues in the Development of Photovoltaics”. BP Solar. Presentation Slides.

Sumber Gambar

http://www.geekstronaut.com/everything-you-need-to-know-about-solar-cells/

http://asdn.net/asdn/physics/semiconductor.php http://hyperphysics.phy-astr.gsu.edu/hbase/solids/intrin.html http://www.cleanenergyreviews.info/blog/pv-panel-technology Fraunhover Institute for Solar Energy Systems, Photovoltaic Reports, March

2016.

42 Brian, Memanen Energi Matahari

5 Silikon Kristalin Solar PV

Kristal silikon solar PV merupakan jenis teknologi fotovoltaik yang hingga saat ini paling banyak digunakan untuk memproduksi sel surya. Pembuatan sel surya dari bahan kristalin silikon dikenal sebagai teknik konvensional karena teknologi inilah yang menjadi generasi pertama dikembangkan, yaitu pada sekitar tahun 1950. Kristalin silikon (c-Si) pertama kali dibuat pada saat itu hingga sekarang masih dapat ditemui[1]. Pada generasi pertama ini, sel surya dibuat dengan ketebalan 160 µm yang lebih dikenal sebagai wafer-based sollar cells termasuk silikon kristal tunggal (mono-Si) dan silikon polikristalin (multi-Si)[2]. Pada bab ini akan dibahas lebih mendalam tentang kristalin silikon.

Silikon Kristal Tunggal

Silikon merupakan semikonduktor yang paling umum digunakan untuk pembuatan sel surya karena jumlahnya yang melimpah dan mudah didapat. Sel surya berbasis silikon kristal tunggal (Monocrystalline silicone sel surya atau c-Si) dibuat dari potongan tipis yang berasal dari sebuah kristal silikon homogen. Kondisi struktur molekular silikon yang seragam ini sangat ideal untuk pergerakan elektron sehingga efisiensi sel surya silikon kristal (mono-Si) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sel surya jenis lain. Meskipun silikon kristal tunggal memiliki keteraturan yang tinggi pada sturuktur kristalnya, silikon ini mengandung cacat kristal dengan jumlah sedikit denga tingkat akurasi yang tinggi sehingga biaya produksi yang diperlukan sangat mahal.

Silikon Kristalin Solar PV 43

Gambar 5.1 Ilustrasi ikatan kovalen pada kristal silikon

Silikon banyak dikembangkan untuk solar sel mengingat persediannya di bumi ini sangat banyak. Kandungan silikon terbanyak dijumpai pada pasir kuarsa dalam bentuk oksida silikon (SiO2) yang kemudian mengalami proses pemurnian[3].

Tantangan utama dalam pembuatan sel surya dari bahan silikon kristal tunggal ini adalah pembuatan logam silikon dengan tingkat kemurnian yang tinggi (high purity silicon ingots). Proses yang umum dilakukan untuk menghasilkannya dikenal dengan teknik “Czochralski” atau yang sering dikenal sebagai “Cz Process”. Proses ini dilakukan dengan memutar bibit kristal silikon padat yang diekstrak secara perlahan dari kolam atau bejana yang berisi silikon cair. Proses pemutaran dikontrol dengan sangat cermat sedemikian sehingga kristal silikon tumbuh dengan keteraturan yang sangat tinggi.

Gambar 5.2 Ilustrasi proses Czochralski

Reaksi pemurnian silikon[3]:

Silicon Refining : SiO2 + 2 C Si + 2 CO

Silicon Purification : Si + 3 HCl HSiCl3 + H

2

Silicon Deposition : HSiCl3 + H

2 Si + 3 HCl

44 Brian, Memanen Energi Matahari

Gambar 5.3 Silicon Crystal Ingots

Dengan melakukan proses Czochralski, akan diperoleh silikon dalam bentuk silinder yang berukuran sekitar 1−2 meter yang kemudian dapat dipotong hingga mencapai ratusan wafer berupa potongan tipis. Potongan-potongan ini kemudian disesuaikan bentuknya agar diperoleh luas daerah yang signifikan ketika disusun menjadi sebuah modul. Bentuk yang umum adalah kotak dengan sudutnya yang tidak lancip. Beberapa pemeriksaan terhadap performansi wafer silikon dilakukan sebelum wafer-wafer tersebut dibuat menjadi modul sehingga antara satu wafer dan wafer lainnya tidak memiliki perbedaan yang besar dalam satu modul.

Sel surya dari bahan silikon kristal tunggal sudah sangat banyak dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti mainan anak, jam, kalkulator, kipas angin, lampu penerangan, pompa air, pemanas air, hingga satelit. Selain itu, pemanfaatan silikon kristal tunggal sebagai teknologi fotovoltaik juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan penggunaan sel surya tipe silikon kristal tunggal antara lain lebih tahan lama dibandingkan dengan tipe lain, mampu mengubah energi surya dengan tingkat efisiensi yang tinggi, biaya pemasangan yang murah, jumlah energi untuk produksi yang relatif rendah sehingga heat resistance juga relatif rendah, ramah lingkungan, dan mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil [4].

Silikon Kristalin Solar PV 45

Gambar 5.4 Aplikasi sel surya tipe silikon kristal tunggal

Umur sel surya yang dibuat dari bahan silikon kristal tunggal dapat mencapai hingga 50 tahun dengan kemungkinan penurunan efisiensi rata-rata 0,5% setiap tahun. Sebagian besar garansi untuk sel surya tipe ini adalah 25 tahun[5]. Akan tetapi, apabila fotovoltaik masih dalam keadaan yang baik maka akan tetap menghasilkan listrik. Sampai saat ini penggunaan sel surya tipe ini masih mudah dijumpai di daerah perkotaan atau tempat yang luasnya terbatas.

Namun, penggunaan sel surya tipe ini juga memiliki kekurangan, yaitu untuk proses manufakturnya membutuhkan temperatur dan energi yang tinggi, bahan baku diperoleh dengan harga yang tinggi, dan mudah mengalami kerusakan. Untuk kristal silikon dengan tipe kristal tunggal, harga pembuatan yang lebih rumit membuat harganya lebih mahal jika dibandingkan dengan silikon tipe multikristal. Meskipun begitu, efisiensi yang dimiliki kristal tunggal lebih tinggi jika dibandingkan dengan multikristal sehingga secara umum harga per energi yang dibangkitkan relatif sama antara kristal tunggal dan multikristal.

Silikon Polikristalin Silikon polikristalin atau lebih dikenal sebagai polisilikon (multi-Si) merupakan silikon dengan tingkat kemurnian yang tinggi dan biasa dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan teknologi fotovoltaik dan industri elektronika. Produksi sel surya dengan bahan baku silikon polikristalin memanfaatkan pemurnian pasir kuarsa (SiO2) dengan sisi P-type pada atom silikon hasil pemurnian ditambah dengan atom boron.

46 Brian, Memanen Energi Matahari

Ukuran standar silikon polikristalin adalah sekitar 156 mm atau 6 inci dan pada bagian depan dilindungi oleh material anti-reflection coating (ARC) berupa silikon nitrida (SiNx) dan titanium oksida (TiOx) yang berguna untuk mengurangi kehilangan sisi P-type akibat pantulan. Daerah N-type ditambahkan dengan atom fosfor (P) atau arsenida (As) pada bagian atas permukaan P-type untuk membentuk P-N junction yang merupakan jalur aliran elektron agar terjadi aliran listrik pada sel.

Gambar 5.5 Susunan molekul silikon semikonduktor P-type dan N-type

Gambar 5.6 Tahapan pembuatan modul sel surya tipe kristalin silikon

(Sumber: Sharp©, 2010)

Sel surya tipe silikon polikristalin terbentuk dari bongkahan kristal silikon yang dilelehkan dan kemudian dicetak menjadi sel surya. Silikon polikristalin ini memiliki orientasi yang tidak seragam karena terdiri dari kristal silikon yang terbagi menjadi beberapa kluster dengan setiap kluster memiliki orientasi masing-masing.

Proses pemurnian silikon terdiri dari dua metode, yaitu secara kimia (chemical route) dan metalurgi (metallurgical route). Dengan memanfaatkan metode kimia, dapat dihasilkan 99,99% kandungan silikon murni. Proses pemurniannya sebagai berikut.

Silikon Kristalin Solar PV 47

a. Pasir kuarsa (SiO2) direaksikan dengan karbon (C) yang berasal darikayu, arang, atau batu bara dalam arc furnace pada temperatur sekitar1.9000C, kemudian didinginkan sehingga akan terbentuk metallurgicalgrade silicon (MGS) dengan tingkat kemurnian sekitar 98%.

b. Silikon dengan tingkat kemurnian 98% ini kemudian direaksikandengan HCl pada kondisi fluidized bed reaction untuk menghasilkanthrichlorosilane (HSiCl3), kemudian material ini akan dimasukkan kedalam chemical vapor deposition (CVD).

Gambar 5.7 Diagram tahapan produksi sel surya tipe kristalin silikon

c. Di dalam CVD, batang silikon yang setengah jadi dan berbentuk hurufU dipanaskan secara elektrik pada temperatur sekitar 1.100oC padaruangan yang dingin. Silikon yang terbentuk dari reaksi antara HSiCl3

dan H2 akan membentuk polisilikon dengan tingkat kemurnian 99,99%pada batang silikon yang dipanaskan.

Pemurnian silikon dengan menggunakan metode kimia sangat banyak membutuhkan energi dibandingkan dengan metode metalurgi untuk produksi silikon. Selain itu, masalah zat berbahaya dan korosif seperti chlorosilane dan hydrochloric acid merupakan keterbatasan metode ini, sedangkan untuk pemurnian silikon dengan menggunakan metode

Reduksi Karbotermis

Kristal

Pemurnian Kimia

Metalurgical-grade silicon

Produksi Wafer

Polysilicon

Produksi Sel Surya

Monocrystalline silicon wafer

Multicrystalline silicon wafer

Pemurnian Metalurgi

Sel Surya Kristalin Silikon

48 Brian, Memanen Energi Matahari

metalurgi memiliki kelebihan dalam memurnikan material-material tertentu sehingga metode ini memiliki potensi untuk berkembang lebih dominan dalam menghasilkan silikon grade untuk sel surya.

Gambar 5.8 Diagram proses produksi silikon

Silikon polikristalin yang terbentuk dari proses pemurnian dengan memanfaatkan metode kimia selanjutnya akan mengalami beberapa proses untuk menjadi modul PV. Beberapa tahap dalam pembentukannya, yaitu: a. proses pembentukan ingot, b. proses pembentukan wafer, c. proses pembentukan sel, d. pembentukan sirkuit, dan e. proses pembentukan modul.

Proses pembentukan ingot berfungsi untuk meminimalkan cacat yang terjadi pada silikon sebelum menuju proses pembentukan wafer. Setelah ingot berhasil dibentuk, perlu dipotong dengan menggunakan suatu mesin khusus menjadi blok dengan area melintang yang sebanding dengan ukuran wafer yang akan dibuat. Wafer yang dihasilkan kemudian dibersihkan dalam larutan alkaline etches untuk menghilangkan kontaminasi pada permukaan wafer. Kemudian dilakukan proses pembentukan sel dan pembentukan sirkuit yang terdiri dari beberapa proses, seperti proses penyusunan tekstur (texturing), proses difusi emiter dengan memperhatikan

Silikon Kristalin Solar PV 49

formasi junction, proses isolasi pada bagian depan dan sisi belakang emiter, serta proses pelapisan dan metalisasi kontak. Selanjutnya, sel surya mengalami proses screen printing dan testing untuk menghasilkan suatu modul sel surya.

Gambar 5.9 Tahapan pembentukan modul PV dari sel hingga array

Perbedaan pembentukan monokristalin dengan polikristalin terletak pada tahapan setelah terbentuknya high purity silicon. Untuk polikristalin dibutuhkan proses yang lebih sederhana, yaitu dengan melalui pembentukan ingot sehingga proses produksinya akan jauh lebih murah. Biaya produksi untuk menghasilkan sel surya tipe ini terdiri dari biaya bahan silikon (50%), biaya produksi sel (20%), dan biaya produksi modul (30%)[6]. Seperti halnya pembuatan sel surya dengan tipe silikon kristal tunggal, pembuatan sel surya dengan tipe silikon polikristalin juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari pemanfaatan sel surya silikon polikristalin, yaitu biaya produksi yang lebih murah dibandingkan dengan monokristalin, memiliki kontaminasi metal yang relatif sedikit, dan struktur kristal yang lebih fleksibel dibandingkan dengan monokristalin, daya tahan sel surya tipe silikon polikristalin mencapai 25 tahun, dan ramah lingkungan.

50 Brian, Memanen Energi Matahari

Gambar 5.10 Proses produksi silikon polikristalin

Adapun kekurangan pemanfaatan sel surya polikristalin memiliki efisiensi yang lebih rendah dibandingkan dengan monokristalin, yaitu sekitar 13% dan sangat mudah pecah apabila tertimpa benda berat. Pemanfaatan sel surya tipe silikon polikristalin dalam kehidupan sehari-hari adalah untuk kebutuhan listrik di daerah perumahan dan fasilitas umum serta untuk pembangkit listrik tenaga surya.

Gambar 5.11 Aplikasi sel surya tipe silikon polikristalin

Silikon Kristalin Solar PV 51

Sampai saat ini masih banyak perusahan yang mengembangkan sel surya tipe kristalin silikon dikarenakan bahannya yang mudah diperoleh karena jumlahnya berlimpah di alam, tidak beracun, nilai laboratorium efisiensi tinggi, dan tingkat kerusakan rendah.

Tabel 5.1 Perbandingan Beberapa Jenis Sel Surya

Teknologi Sel Surya Efisiensi Lab Maks. Ketebalan Sel Surya Si Use Biaya

Mono-crystalline Silicon (c-Si) 27.6% ~200 µm Tinggi $$$

Poly-crystalline Silicon (p-Si) 20.4% ~200 µm Sedang $$

Amorphous Silicon Thin Film (a-Si) 12.5% <1 µm Rendah $

Perkembangan industri pembuat modul sel surya di dunia meningkat sebesar 46% dari tahun 2000 dan telah mencapai 1200 MW pada tahun 2004. Target tahun 2020 industri mampu menghasilkan daya 200 GW yang setara dengan daya yang dihasilkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebanyak 200 buah[7]. Sayangnya, pemanfaatan sel surya di Indonesia masih sangat minim. Hal ini disebabkan proses pembuatan sel surya dengan bahan aktif, seperti silikon dan galium arsenida yang dibuat dengan teknik efitaksi diperlukan biaya produksi yang tinggi. Indonesia saat ini terkendala masalah impor wafer untuk membuat sel surya jenis multikristalin.

Industri Silikon Kristalin Solar PV

Teknologi pembuatan sel surya seperti perkembangan teknologi mendorong pembuatan sel surya dalam skala industri menjadi lebih banyak. Industri sel surya lebih banyak menggunakan bahan baku berupa polikristalin karena polikristalin memiliki tingkat kemurnian yang tinggi dibandingakan dengan monokristalin. Industri sel surya SCHMID dalam proses pembuatan sel surya polikristalin silikon menggunakan proses TCS-Siemens dan SST Monosilane.

TCS-Siemens SST Monosilane

Proses rumit Proses sederhana dan lebih efisien

Konsumsi energi tinggi Konsumsi energi lebih rendah

Kualitas polikristalin silikon yang dihasilkan Kualitas polikristalin silikon yang dihasilkan

Tabel 5.2 Perbandingan Teknologi untuk Pembuatan Sel Surya

rendah tinggi

Menghasilkan limbah Cenderung tidak menghasilkan limbah

52 Brian, Memanen Energi Matahari

Gambar 5.12 Layout industri dalam memproduksi silikon

Gambar 5.13 Alur proses pembuatan sel surya silikon oleh SCHMID

Silikon Kristalin Solar PV 53

Gambar 5.14 Reaktor dan laboratorium untuk analisis kimia dari polisilikon

Berdasarkan Tabel 5.2, dapat diketahui bahwa prose SST jauh lebih baik dibandingkan dengan TCS. Selain itu apabila ditinjau dari segi operasi, biaya dan lingkungan, serta kualitas produk yang dihasilkan, SST memiliki banyak kelebihan sebagai berikut.

Operasi:

Proses berlangsung secara sederhana dan jelas sehingga mudahdalam start-up serta operasi sistem yang stabil.

Tidak memerlukan vent gas pada unit recovery.

Tidak ada tahapan yang rumit di antara aliran proses.

Tidak ada aliran HCl dalam proses.

Proses endothermic hydrochlorination untuk keselamatan dan waktupemakaian alat.

Aliran massa yang rendah secara signifikan mengalir melaluireaktor CVD.

Biaya dan lingkungan:

Yield silikon yang tinggi terdapat pada kualitas produk yang baik.

Tidak memerlukan destilasi dari cholrosilane.

Terbuangnya silikon dan chlorine dapat diminimalkan.

Secara signifikan suhu deposisi rendah (850 °C).

Kualitas produk:

Grade smikonduktor (9...11N) dapat dibuat dengan prinsip kimiadari proses yang tidak memerlukan sumber dari karbon untuktujuan konversi dan HCl dalam reaktor CVD dan proses pemurnianmonosilan hanya merupakan suatu pilihan.

54 Brian, Memanen Energi Matahari

Grade semikonduktor (> 9N) untuk keperluan sel dengan efisiensi tinggi pada teknologi monokristal diperoleh ketika nilai dari material dengan kulaitas < 9N dan akan menjadi tekanan yang berat pada kompetisi level tinggi, penghasil dari sistem PV dengan efisien tinggi akan menambah pangsa pasar (market share).

Gambar 5.15 Plant proses SST Monosilane dengan total biaya setiap proses

Pustaka

[1] D. M. Chapin-C. S. Fuller-G. L. Pearson. 1954. ”A New Silicon p–n Junction Photocell for Converting Solar Radiation into Electrical Power”. Journal of Applied Physics, vol 25 page 676

[2] Wikipedia. 2016. (tersedia di https://en.wikipedia .org/wiki/ Crystalline_silicon).

[3] Conrad T. Sorenson. 1999. ”Semiconductor Manufacturing Technology: Semiconductor Manufacturing Processes”. Praxair, Inc. Arizona Board of Regents for The University of Arizona. Presentation Slides.

[4] Solar Fact and Advice. “8 Good Reasons Why Monocrystalline Solar Panels are the Industry Standard”. (tersedia di http://www.solar-facts-and-advice.com/monocrystalline.html).

[5] Solar Fact and Advice. “Monocrystalline”. (tersedia di http://www.solar-facts-and-advice.com/monocrystalline.html).

Silikon Kristalin Solar PV 55

[6] Tatsuo Saga. 2010. ”Advances in crystalline silicon sel surya technology for industrial mass production”. NPG Asia Mater volume 2 (3) 96–102.

[7] Ayi Bahtiar, Annisa Aprilia, Fitrilawati. 2011. ”Sel-Surya Polimer: State Of Art dan Progres Penelitiannya di Universitas Padjadjaran. Jurnal Material dan Energi Indonesia, Vol. 01, No. 01, halaman 7 – 14.

[8] Peter Woditscha and Wolfgang Kochb. ”Solar grade silicon feedstock supply for PV Industry”. Deutsche Solar GmbH, Berthelsdorfer Street 113, D-09599 Freiberg, Sachsen, Germany and Bayer AG, Rheinuferstr. 7-9, D-47829 Krefeld, Germany.

[9] J.A. Eikelboom and M.J. Jansen. Characterisation of PV Modules of New Generations Results of tests and simulations. June 2000.

[10] B.S. Xakalashe and M. Tangstad. Mintek, Randburg, South Africa-NTNU, Trondheim, Norway. Silicon processing: from quartz to crystalline silicon solar cells. Southern African Pyrometallurgy 2011, Edited by R.T. Jones & P. den Hoed, Southern African Institute of Mining and Metallurgy, Johannesburg, 6-9 March 2011.

[11] R.Bakowskie, H. von Wenckstern, D.Lausch, M.Müller, K.Petter, M.Grundmann. Thermal Admittance Spectroscopy Of Multicrytsalline Silicon Wafers And Solar Cells. Universität Leipzig, Institut für Experimentelle Physik 2, Linnéstr.5, D-04103 Leipzig, Germany and Q-Cells SE, Technology. R&D Silicon, OT Thalheim, Sonnenallee 17-21, D-06766 Bitterfeld-Wolfen, Germany.

[12] Andrew Blakers, Klaus Weber and Vernie Everett. Sliver Solar Cell Technology. Australian National University, Canberra. March 2006.

Sumber Gambar

Department of Physics and Astronomy, Arizona State University, Tempe, AZ 85287-1504. Copyright 1995-2000 Arizona Board of Regents.

https://www.asu.edu/courses/phs208/patternsbb/PiN/info/rdg/silicon/index.htm

http://www.azom.com/article.aspx?ArticleID=1169

Smithsonian, Jan 2000, Vol 30, No. 10

http://www.reuk.co.uk/How-Do-PV-Solar-Panels-Work.htm

http://www.hscpoly.com/content/hsc_prod/manufacturing_overview.aspx

http://www.green-the-world.net/Solar_Energy_Panels.html

56 Brian, Memanen Energi Matahari

6 Thin Film Sel Surya

Teknologi sel surya dengan menggunakan lapisan tipis (thin film) mulai dikenal pada tahun 1970 yang pada saat itu digunakan pada kalkulator surya dengan memanfaatkan sel surya untuk menangkap sinar matahari yang kemudian diubah menjadi sumber tenaga untuk kebutuhan kalkulator tersebut. Sel surya dengan menggunakan teknologi thin film menggabungkan satu atau lebih material fotovoltaik yang sangat tipis, kurang lebih 1µm di atas sebuah substrat. Pembuatan sel surya dengan memanfaatkan teknologi thin film merupakan teknik lebih lanjut dalam perkembangan sel surya setelah teknologi kristalin dan wafer pada silikon. Teknologi thin film ini menggunakan beberapa material nonsilikon seperti Copper Indium Gallium Selenide (CIGS) dan Cadmium Telluride (CdTe). Teknologi thin film jenis ini sering dimanfaatkan untuk aplikasi di luar ruangan. Adapun alasan pengembangan sel surya berbasis thin film ini adalah untuk mengurangi jumlah bahan aktif yang dibutuhkan untuk membuat sebuah modul sel surya.

Sel surya yang berbasis kristalin silikon menggunakan sebuah lapisan gelas tipis, sedangkan thin film memiliki berat dua kali kristalin silikon meskipun keduanya memiliki kesamaan dalam pengaruh ekologi yang berhubungan dengan analisis life-cycle. Kelebihan panel thin film memiliki 2-3% efisiensi konversi yang lebih rendah dibandingkan dengan kristalin silikon. Pada bab ini akan dibahas lebih lanjut tentang perkembangan sel surya tipe thin-film.

Copper Indium Gallium Selenide (CIGS)

Sel surya jenis Copper Iindium Gallium Selenide (CIGS cell atau CIS cell) merupakan salah satu tipe dari sel surya yang berbasis thin film yang mampu mengonversi sinar matahari menjadi energi listrik. Sekitar tahun 1953, sel surya jenis CIGS mulai dikembangkan pertama kali oleh Hahn dengan cara menyintesis CuInSe2. Pada tahun 1974, sel surya jenis ini diajukan sebagai material dasar dalam proses fotovoltaik. Penelitian ini kemudian dilanjutkan oleh Boeing Corp, hingga pada sekitar tahun 1983-1984 dihasilkan sel surya jenis CIGS yang berhasil mencapai 10% efisiensi sel surya[1]. Sel surya jenis

Thin-Film Sel Surya 57

Gambar 6.1 Struktur sel surya jenis CIGS

CIGS ini pertama kali dijual secara komersial pada tahun 1998 dan saat ini sudah banyak industri Amerika, Eropa, dan Jepang yang telah memproduksi sel surya jenis ini.

Pembuatan sel surya jenis CIGS ini terdiri dari lapisan semikonduktor berupa tembaga, indium, galium, dan selenida yang diletakkan dalam sebuah lapisan gelas atau semacam plastik yang dilengkapi dengan elektroda pada bagian depan dan pengumpul arus pada bagian belakangnya. Lapisan CIGS sangat tipis, yaitu sekitar 1 µm dari substrat penyusun fotovoltaik sehingga lebih fleksibel. Sel surya CIGS umumnya menggunakan aluminium atau kaca sebagai lapisan dasar. Penggunaan aluminium sebagai lapisan dasar berfungsi sebagai elektroda, sedangkan apabila sel surya CIGS menggunakan lapisan dasar berupa kaca harus dilapisi dengan Molybdenum yang berfungsi untuk menciptakan elektroda yang efektif.

Gambar 6.2 Perbedaan CIGS dengan lapisan dasar aluminium dengan kaca

58 Brian, Memanen Energi Matahari

Gambar 6.3 Lapisan penyusun sel surya jenis CIGS

Secara garis besar, material penyusun sel surya jenis CIGS yang paling umum sebagai berikut[2]: a. Subtrat kaca yang umumnya berukuran 76x76x1,1 mm Corning 7059 glass,

yang sebelumnya dibersihkan dengan sonication dalam larutan air Liquinox Soap Hot Deionized (HI).

b. Lapisan depan (SnO2F) yang dipasang dengan teknik Low Pressure Chemical Vapor Deposition (LPCVD) pada tekanan total sebesar 60 torr dan teperatur 550 °C. Lapisan ini teridiri dari lapisan SnO2F dengan tebal 0.45 µm dan i-SnO2 dengan tebal 0.25 µm.

c. Lapisan ZnO dengan ukuran tebal 0.5 µm. d. Lapisan CdS yang ditambahkan dengan teknik Chemical-Bath Deposition

(CBD) dengan ukuran 50 µm. e. Lapisan CdTe dengan ukuran tebal sekitar 8-10 µm. f. Lapisan Cu(In,Ga)Se2 dengan ukuran 2 µm. g. Lapisan Molybdenum dengan ukuran 0.5 µm. h. Lapisan Verre dengan ukuran 2-5 µm.

Adapun metode produksi sel surya jenis ini yang dikenal sebagai proses offset printing yang dikembangkan oleh Nanosolar, yaitu:

a. Aluminium foil yang berupa lembaran seperti pada percetakan koran digulung dengan alat pencetak besar. Ukuran foil dengan panjang beberapa mil dan lebar beberapa meter akan diputar, kemudian dicetak oleh sebuah printer raksasa.

Thin-Film Sel Surya 59

Gambar 6.4 Lembaran aluminium foil pada mesin pencetak (Sumber: Nanosolar, 2009)

b. Printer ini beroperasi pada temperatur kamar dengan menggabungkanlapisan tipis dari tinta semikonduktor ke dalam foil, sedangkan pada selsurya tipe thin film yang menggunakan lapisan dasar kaca membutuhkanvacuum chamber untuk memasangkan tinta semikonduktor. Metode inimerupakan inovasi besar pada perkembangan teknologi produksi selsurya jenis CIGS dan CdTe sehingga mengurangi biaya dan menghematwaktu produksi.

Gambar 6.5 Proses penggabungan tinta semikonduktor dengan foil

c. Proses selanjutnya adalah menyatukan semikonduktor lapisan CdS danZnO. Lapisan ZnO merupakan material nonreflektif yang berfungsisebagai lapisan yang menyerap sinar matahari sehingga sinar mataharidapat mencapai lapisan semikonduktor tersebut.

Gambar 6.6 Proses pemasangan lapisan ZnO

60 Brian, Memanen Energi Matahari

d. Langkah terakhir, yaitu foil dipotong menjadi lembaran sel surya (sorted-cell). Pemasangan sorted-cell ini mirip dengan sel surya berbasis kristalin silikon. Karakteristik kelistrikan dari sel surya ini sudah sesuai untuk mendapatkan distribusi efisiensi yang tertinggi.

Gambar 6.7 Proses pemotongan sel surya

Prinsip kerja sel surya jenis CIGS yang memiliki lapisan dasar kaca memanfaatkan lapisan Molybdenum yang bertindak sebagai elektroda efektif. Lapisan ini menyimpan sinar yang melewati bagian belakang dan memantulkan sinar yang tidak diserap menuju ke lapisan penyerap sinar (P-type CIGS). Adapun untuk N-type CIGS memanfaatkan lapisan tipis penyangga yang ditambahkan pada bagian atas lapisan penyerap sinar. Lapisan penyangga ini berupa kadmium sulfida (CdS) yang dilapisi oleh lapisan tipis aluminium yang didoping dengan lapisan instrinsic zinc oxide (i-ZnO). Perpaduan lapisan ini akan berubah menjadi ZnO:Al yang berfungsi untuk melindungi CdS dari kerusakan akibat dihasilkannya listrik DC. Perpaduan lapisan ini akan mengalami reaksi oksidasi yang menyebabkan adanya aliran elektron ketika sinar matahari diserap oleh sel surya jenis CIGS. Arus listrik akan tetap dihasilkan walaupun tidak adanya cahaya matahari yang mengenai sel surya. Ketika sel surya ini dipapar dengan cahaya matahari yang mengandung foton, elektron akan berpindah semakin cepat dan semakin banyak di antara lapisan temu tersebut dan menghasilkan arus listrik yang lebih besar.

Thin-Film Sel Surya 61

Gambar 6.8 Proses penyerapan sinar matahari pada sel surya jenis CIGS

Pada tahun 2013, efisiensi sel surya jenis CIGS yang dikembangkan oleh Centre for Solar Energy and Hydrogen Research Baden Württemberg (ZSW)[3] sudah mencapai 20,8%. Sementara itu pada saat ini, biaya produksi sel surya jenis CIGS ini telah mencapai $1,33/Wp dan pada tahun 2012 pangsa pasar (market share) CIGS telah mencapai 2000 MW. Dengan mengefisiensikan waktu dan biaya produksi, CIGS diharapkan mampu mendominasi pemakaian sel surya di masa yang akan datang.

Gambar 6.9 Perbandingan sel surya tipe thin film berdasarkan pangsa pasar (market share)

62 Brian, Memanen Energi Matahari

CIGS merupakan teknologi sel surya yang masih baru dan sangat berpotensi. Saat ini CIGS ini telah banyak dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Pemanfaatan sel surya jenis CIGS, antara lain pada perumahan yang biasa dipasang pada atap yang miring, pada pertanian dengan tipe modul tembus pandang yang biasa dipasang pada rumah kaca, gedung perkantoran (Building Integration Photovoltaic-BIPV), pembangkit listrik tenaga surya, dan pada mobil listrik. Keuntungan pemanfaatan sel surya jenis CIGS adalah lebih tahan panas daripada sel surya jenis kristalin silikon, pengurangan efisiensi lebih sedikit dibandingkan dengan sel surya jenis kristalin silikon, dan tidak mengandung zat beracun (kadmium, Cd).

Tabel 6.1 Keuntungan dan Kelemahan Sel Surya CIGS

Keuntungan Kerugian

Efisiensi CIGS lebih tinggi dibandingkan dengan sel surya thin film tipe lain.

Efisiensi CIGS masih lebih rendah dengan sel surya silikon.

CIGS fleksibel. Pangsa pasar (market share) CIGS masih rendah.

CIGS tidak beracun seperti CdTe. Biaya produksi CIGS lebih mahal dibandingkan dengan sel surya thin film lainnya.

CIGS lebih tahan panas daripada sel surya silikon.

Struktur CIGS lebih kompleks dibandingkan dengan sel surya silikon.

Perbandingan daya yang dihasilkan dan berat sel surya CIGS tinggi.

Pada daerah khatulistiwa, CIGS akan lebih cepat rusak dibandingkan dengan sel surya lainnya. CIGS mudah untuk dimobilisasi.

Untuk masa mendatang, CIGS diharapkan dapat bersaing dengan sel surya jenis lain. Hal ini dapat dicapai dengan menaikkan efisiensi CIGS dengan teknik produksi yang lebih baik, mengurangi pencemaran lingkungan dengan minimalisasi penggunaan bahan beracun dan mengurangi biaya produksi hingga $0,5/Wp. Ketika hal-hal tersebut dapat dicapai, maka dengan sendirinya pangsa pasar (market share) CIGS akan meningkat dan kemungkinan CIGS menjadi sel surya yang lebih sering dimanfaatkan akan lebih tinggi dibandingkan dengan sel surya jenis lain.

Cadmium Telluride (CdTe)

Sel surya jenis cadmium telluride (CdTe) merupakan salah satu teknologi fotovoltaik jenis thin film yang berbahan dasar cadmium dan telluride. Sel surya jenis CdTe termasuk ke dalam sel surya yang berbasis thin film yang biaya produksinya jauh lebih rendah dibandingkan dengan sel surya jenis kristalin

Thin-Film Sel Surya 63

silikon. Saat ini sel surya jenis CdTe menempati peringkat dua untuk jenis sel surya yang sering digunakan setelah silikon.

Gambar 6.10 Lapisan penyusun sel surya jenis CdTe

Penelitian CdTe pertama kali dilakukan sekitar tahun 1950 karena hampir sempurna untuk mendistribusikan foton pada spektrum surya dan mengonversi secara optimal menjadi energi listrik[4]-[6]. Produksi pertama sel CdS/CdTe pertama kali pada tahun 1960 oleh perusahaan General Electric kemudian disusul oleh Kodak, Monosolar, Matsushita, dan AMETEK. Profesor Ting L. Chu dari Universitas Florida Selatan berkontribusi dalam meningkatkan efisiensi sel surya jenis CdTe di atas 15% pada tahun 1992. Hal ini membuat sel surya jenis CdTe menjadi sel surya tipe thin film pertama yang dapat mencapai tingkat ini yang kemudian diverifikasi oleh National Renewable Energy Laboratory (NREL)[7].

CdTe merupakan sel surya yang paling dominan untuk tipe thin film, dengan hampir 5% dunia memproduksi sel surya tipe ini dan hampir menguasai lebih dari setengah penjualan tipe thin film di pasaran. Dengan kelebihan

64 Brian, Memanen Energi Matahari

dalam hal efisiensi dan biaya produksi yang rendah, sel surya jenis CdTe dapat diproduksi secara massal dengan memanfaatkan teknologi fotovoltaik.

Gambar 6.11 Proses penyerapan sinar matahari pada sel surya jenis CdTe

Perbandingan biaya listrik yang terdiri dari private cost, seperti biaya instalasi dan semua biaya langsung untuk produksi sel surya jenis CdTe sedikit lebih mahal dibandingkan biaya pembuatan sel surya dengan teknik konvensional. Akan tetapi, dari segi environmetal cost sangat kecil dibandingkan dengan sel surya jenis lain dan ramah lingkungan, bahkan untuk biaya keseluruhan sel surya jenis CdTe merupakan yang paling ekonomis.

Seperti jenis sel surya lain, sel surya jenis CdTe juga memiliki keuntungan dan kerugian. Dengan memanfaatkan teknologi fotovoltaik, produksi sel surya jenis CdTe hanya memakan biaya yang rendah dibandingkan dengan jenis sel surya lain. Selain itu, sel surya jenis CdTe lebih mudah menyerap sinar matahari dan lebih baik dari sel surya jenis lain karena mampu menangkap

Thin-Film Sel Surya 65

Gambar 6.12 Perbandingan Total Cost of Electricityuntuk sel surya jenis CdTe (Sumber: P. Sinha, M. de Wild-Scholten, A. Wade, and C. Breyer, Total Cost of Electricity

Pricing of Photovoltaics, dipresentasikan pada EU PVSEC 2013)

energi pada panjang gelombang yang pendek dibandingkan dengan sel surya jenis silikon, serta jumlah cadmium di alam yang lebih cukup membuat produksi sel surya jenis ini dapat diproduksi secara massal. Akan tetapi, untuk sel surya jenis CdTe ini masih memiliki kelemahan, yaitu level efisiensi yang masih rendah yang berkisar antara 10 dan 15%, jumlah tellurium yang sangat terbatas, dan cadmium yang bersifat racun.

Gambar 6.13 Kelebihan dan kekurangan sel surya tipe CdTe (Sumber: BP Solar, 2009)

66 Brian, Memanen Energi Matahari

[2] Doug H. Rose et al. 1999. ”Fabrication Procedures and Process Sensitivities for CdS/CdTe Sel suryas”. Prog. Photovolt: Res. Appl. 7, 331–340.

[3] ZSW. 2013. ”ZSW produces world record sel surya”. (tersedia di http://www.zsw-bw.de/en/support/news/news-detail/zsw-stellt-weltrekord-solarzelle-her.html).

[4] R. H. Bube. 1955. ”Photoconductivity of the Sulfide, Selenide, and Telluride of Zinc or Cadmium”. Proceedings of the IRE 43 (12): 1836–1850.

[5] D. A. Cusano. 1963. ”CdTe Sel suryas and PV Heterojunctions in II-VI Compounds”. Solid State Electronics 6 (3): 217–218.

[6] B. Goldstein. 1958. ”Properties of PV Films of CdTe”. Phys. Rev 109 (2): 601–603.

[7] Y. A. Vodakov, G. A. Lomakina, G. P. Naumov, Y. P. Maslakovets. 1960. ”A P-N Junction photocell made of CdTe”. Soviet Physics, Solid State 2 (1): 1.

[8] R. Colman, July 28, 1964 U.S. Patent 3,142,586

Sumber Gambar

http://www.advanced-energy.com/en/FAQ.html

http://science.howstuffworks.com/environmental/green-science/thin-film-solar-cell2.htm

Sciencedaily. 2015 ”Finding a way to boost efficiency of CIGS sel suryas”. (tersedia di https://www.sciencedaily.com/releases/2015/09/150928103056.htm).

http://www.geni.org/globalenergy/library/technical-articles/generation/solar/pv-tech.org/nanosolar-uneils-640mw-utility-scale-panel-fab-high-efficiency-cigs-cell-production/index.shtml

http://energyinformative.org/best-thin-film-solar-panels-amorphous-cadmium-telluride-cigs/

P. Sinha, M. de Wild-Scholten, A. Wade, and C. Breyer, ”Total Cost of Electricity Pricing of Photovoltaics”, dipresentasikan pada EU PVSEC 2013

(tersedia di http://www.firstsolar.com/en/Technologies-and-Capabilities/PV-Modules/First-Solar-Series-3-Black-Module/CdTe-Technology.aspx).

Pustaka

[1] ”Development of Cu(InGa)Se2 (CIGS) Thin Film Sel suryas”. Buletin of Advanced Technology Research Vol. 5 No.8, Agustus 2011.

Sel Surya Dye Sensitized 67

7 Sel Surya Dye Sensitized

Setelah penemuan dan penggunaan jenis sel surya generasi pertama yaitu jenis keping silikon dan jenis kedua yaitu lapisan tipis (thin film) berkembang, para peneliti mencoba menemukan jenis lain yang berbeda dengan kedua jenis sel surya tersebut. Pengembangan lebih lanjut dari teknologi sel surya telah berkembang ke generasi ketiga yang disebut dengan dye-sensitized sel suryas (DSSC). DSSC ini merupakan sel surya generasi ketiga yang diciptakan manusia setelah sel surya berbasis silikon dan thin film. Jenis sel surya DSSC berbeda dengan kedua tipe sel surya sebelumnya yang berbasis material semikonduktor, tetapi jenis ketiga ini memanfaatkan eksitasi elektron dari dyes ekstrak tumbuhan atau buah-buahan.

Cara kerja DSSC sesungguhnya memiliki dasar yang meniru proses fotosintesis pada tumbuhan. Jika sebelumnya bahan dasar sel surya adalah silikon, maka untuk DSSC bahan dasarnya adalah ekstrak dyes yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Divais DSSC merupakan penggabungan bahan organik dan nonorganik. Bahan organik berupa ekstrak dyes tumbuhan atau buah-buahan yang biasanya dimanfaatkan sebagai zat warna, sedangkan bahan nonorganik berupa kaca bening semikonduktor seperti titanium dioksida (TiO2). Titanium dioksida ini berfungsi sebagai tempat berlangsungnya reaksi antara ekstrak tumbuhan dan sinar matahari sehingga menghasilkan lompatan elektron dan kemudian arus listrik. TiO2 sesungguhnya menjadi wadah atau tempat lokasi berdiamnya ekstrak tumbuhan atau dyes berukuran mikro sehingga elektron yang melompat dapat langsung berjalan pada semikonduktor oksida metal TiO2.

68 Brian, Memanen Energi Matahari

Gambar 7.1 Contoh sel surya tipe DSSC dengan variasi warna yang berbeda-beda (Sumber: Universita Degli Studi Di Torino, 2016)

DSSC pertama kali dikenalkan oleh Profesor Michael Graetzel dan Dr. Brian O’Regan pada tahun 1991 di École Polytechnique Fédérale de Lausanne (EPFL), Swiss. Penemuan oleh Prof. Graetzel ini kemudian membuat sel jenis ini juga dikenal sebagai Gräetzel cell (GCell)[1]. DSSC merupakan sel surya yang lebih canggih yang dibuat manusia dengan basis kerja menyerupai proses fotosintesis yang menyerap sinar matahari untuk menghasilkan energi. Pada fotosintesis, proses dimulai dengan adanya transfer foton ke dyes tumbuhan yang menghasilkan eksitasi elektron dan selanjutnya diteruskan dengan mengalirnya eksitasi elektron tersebut melalui saluran pigmen di daun yang pada akhirnya menghasilkan karbohidrat dan glukosa.

Adapun pada DSSC, foton yang diterima oleh ekstrak tumbuhan dyes akan mengeksitasi elektron yang selanjutnya dialirkan ke conducting glass (ITO) melalui saluran TiO2. Oleh sebab itu, sesungguhnya TiO2 berperan ganda sebagai tempat bersarangnya ekstrak dye tumbuhan, juga sebagai saluran mengalirnya elektron yang tereksitasi dari dyes tumbuhan. Dengan menggunakan rangkaian luar yang menghubungkan antara conducting glass dan counter electrode, akan dihasilkan arus listrik.

Tabel 7.1 Perbandingan Parameter Subsistem dalam Gratzel Sel Surya dan Fotosintesis

Subsistem Gratzel Sel Surya Fotosintesis

Akseptor Elektron Nanopartikel TiO2 CO2

Donor Elektron Elektrolit Triiodida Air

Photon Absorber Fruit Dye Klorofil

DSSC sangat mudah dibuat dengan menggunakan teknik roll-printing tradisional yang semifleksibel, semitransparan, dan tidak memanfaatkan bahan dasar kaca serta hanya memanfaatkan material yang murah. Material penyusun DSSC yang paling umum digunakan pada lapisan dasar adalah lapisan oksida transparan yang berperan sebagai elektroda aktif (TCO), kemudian di atasnya terdapat lapisan oksida mesoporous, pada lapisan ketiga terdapat lapisan oksida mesoporous dengan lapisan penutup molekul dye yang aktif menangkap sinar matahari, pada lapisan keempat lapisan elektrolit yang berisi redox mediators, sedangkan untuk lapisan kelima berupa lapisan pembatas dan lapisan keenam berupa lapisan platina yang berperan sebagai katalis, serta untuk lapisan ketujuh terdiri dari lapisan oksida transparan yang berperan sebagai elektroda permukaan[2].

Sel Surya Dye Sensitized 69

Gambar 7.2 Lapisan penyusun sel surya tipe DSSC

Kinerja sel surya tipe DSSC yang tinggi membutuhkan material yang memiliki hambatan kecil dan transparan, seperti indium tin oxide (In2O2 atau ITO) dan fluorine-doped tin oxide (SnO2:F), sedangkan untuk bahan semikonduktor yang digunakan harus memiliki kestabilan dalam menghindari photo-corrosion pada band gap dan memiliki band gap yang besar, yaitu lebih dari 3 eV untuk solar spectrum yang besar, seperti TiO2, ZnO, CdS, WO3, Fe2O3, SnO2, Nb2O5, dan Ta2O5. Untuk dye yang sering digunakan, berasal dari trinuclear Ru, N3, dan Black[3].

Gambar 7.3 Contoh model ikatan struktur pada Morin dyes

Lapisan elektrolit yang terdiri dari iodine (I-) dan triiodide (I3-) berfungsi sebagai pasangan redoks serta dilengkapi dengan solvent yang berfungsi

70 Brian, Memanen Energi Matahari

untuk meningkatkan sifat pada elektrolit dan kinerja DSSC. Lapisan solvent yang sering digunakan adalah jenis acetonitrile, methoxyacetonitrile, methoxypropionitrile, glutaronitrile, butyronitrile, ethylene carbonate, dan propylene carbonate[4]. Untuk mencegah terjadi kebocoran elektrolit dan penguapan dari material solvent, pada sel surya tipe DSSC ditambahkan material sealing, yaitu surlyn atau du pont dan polimer antara etilen dan acrylic acid.

Gambar 7.4 Bagian inti dari sel surya tipe DSSC

Prinsip kerja DSSC dimulai dengan sinar matahari yang menembus elektroda transparan menuju lapisan dye yang menyebabkan eksitasi elektron dan mengalir ke TiO2. Dye harus mampu menyerap sinar matahari dengan panjang gelombang hingga 950 nm dengan besaran energi eksitasi berada pada 1.35 eV dan tingkat energi yang dimiliki elektron minimal 0.2 V di atas TiO2 sehingga elektron dapat masuk ke dalam conduction band dengan energi yang efisien. Elektron yang masuk ke dalam TiO2 bukan berdasarkan proses induksi medan listrik seperti pada tipe kristalin, melainkan melalui kinetik pada dye yang melindungi antara permukaan semikonduktor dan elektrolit. Kemudian dilanjutkan dengan mengalirnya elektron ke counter-electrode (katoda) melalui jaringan luar dan terjadi proses regenerasi redoks (reduksi).

Proses regenerasi pada katoda ditandai dengan adanya proses reduksi molekul triiodide dengan elektron yang berpindah melalui beban eksternal. Posisi elektron yang ditinggalkan pada dye akan digantikan oleh elektron yang dihasilkan dari elektrolit melalui proses oksidasi dari ion iodine. Proses reduksi dan oksidasi ini akan menghasilkan perbedaan antara level Fermi dan beda potensial reaksi redoks pada elektrolit.

Sel Surya Dye Sensitized 71

Gambar 7.5 Ilustrasi prinsip kerja DSSC

Dye yang digunakan dalam DSSC yang sangat efisien harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain harus memiliki spektrum absorpsi pada rongga lapisan TiO2 yang berukuran nano, level energi pada kondisi ground/tereksitasi, laju konstan dari injeksi/rekombinasi, dan stabilitas. Konsentrasi dye di dalam rongga elektroda TiO2 yang berukuran nano dan koefisien absorpsi menentukan bagian cahaya yang dapat terserap di lapisan dengan ketebalan tertentu. Oleh karena itu, dye harus memiliki koefisien absorpsi yang tinggi dan afinitas tinggi dengan TiO2 untuk memastikan lapisan permukaan yang rapat.

Prinsip kerja antara sel surya jenis DSSC dan sel surya tipe P-N Junction terdapat perbedaan dalam hal penyerapan dan charge transport, charge separation, serta ikatan antara elektron dan hole. Pada P-N junction, material yang terlibat adalah material yang sama. Sementara itu pada DSSC, foton diserap oleh dye dan charge transport oleh TiO2 (transfer elektron) dan elektrolit (transfer ion). Pada P-N junction, charge separation dihasilkan melalui medan listik antar-junction. Selain itu, ikatan antara elektron dan hole sangat lemah, sedangkan untuk DSSC dihasilkan dari proses kinetik dan perbedaan energi serta ikatan antarelektronnya sangat kuat.

Berdasarkan grafik berikut dapat dilihat bahwa puncak absorpsi terjadi pada 540 nm dan meluas pada TiO2 dibandingkan dengan larutan, mengindikasikan terjadi ikatan elektronik yang kuat antara dye dan TiO2. Pada panjang gelombang yang lebih tinggi, absorpsi turun secara signifikan sehingga spektrum matahari yang penting hilang.

72 Brian, Memanen Energi Matahari

Gambar 7.6 Absorpsi Z907 pada larutan dengan elektroda TiO2

Sebagai pendekatan absorpsi dari dye, dapat dijelaskan dengan Hukum Lambert’s Beer sebagai berikut.

𝐼𝐼(𝑥𝑥)𝐼𝐼0

= 10−𝛼𝛼.𝜆𝜆.𝑥𝑥.𝐶𝐶𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 (7.1)

di mana: I(x) = Intensitas cahaya pada titik x (W/m2) I0 = Intensitas cahaya awal (W/m2) 𝛼𝛼 = Koefisien absorpsi (1/M.cm) 𝜆𝜆 = Panjang gelombang (nm) Cdye = Konsentrasi dye (M) x = Jarak (cm)

Dengan nilai 𝛼𝛼 2.104 1/M.cm dan Cdye ≈ 1/10 M, ini menunjukkan bahwa ketebalan dari elektroda harus sebesar 5 µm untuk dapat menyerap 90% cahaya masuk. Maksimum efisiensi konversi dapat dihasilkan menggunakan absorber dengan band gap antara 1.1 dan 1.4 eV, yang mengacu pada panjang gelombang antara 900 dan 1100 nm. Pada saat ini, belum ada dye pada DSSC yang dapat menyerap pada spektrum tersebut. Hal ini merupakan salah satu alasan efisiensi DSSC lebih rendah jika dibandingkan dengan panel surya silikon, sedangkan untuk pengisian injeksi berlangsung dari orbit π*- grup anchor (carboxylic atau phosponic acid) ke orbit titanium 3d-. Injeksi elektron dari dye ke TiO2 umumnya berlangsung dalam waktu femto-pico second dan pengisian rekombinasi dalam mikro-mili second. Spektokropi penyerapan laser transien digunakan untuk mengukur waktu yang sangat cepat serta pada umumnya dye tereksitasi dapat terlihat dan absorbpsi counter-electrode (mid-IR) atau dye teroksidasi dipantau menggunakan probe pulsa. Syarat utama untuk pengisian injeksi yang efisien adalah reaksi kembali dari

Sel Surya Dye Sensitized 73

counter-electrode ke dye teroksidasi adalah harus lebih lambat dari reduksi dye teroksidasi oleh elektrolit.

Gambar 7.7 Proses pengisian injeksi dan pengisian rekombinasi

Level energi dari molekul dye yang tereksitasi harus 0.2-0.3 eV di atas band konduksi dari TiO2 untuk memastikan pengisian injeksi secara efisien. Dalam kasus ini, energi aktivasi untuk reaksi kembali, reduksi dari sensitizer yang teroksidasi oleh counter electrode adalah tinggi, lajunya konstan, dan terlalu pelan untuk berkompetisi dengan regenerasi oleh elektrolit. Potensial oksidasi dari kondisi tereksitasi 𝜙𝜙P

0D+/D* dapat diperkirakan dari 𝜙𝜙P

0D+/D dari kondisi ground dan energi eksitasi E0-0 sesuai dengan persamaan sebagai berikut.

𝜙𝜙𝐷𝐷+ / 𝐷𝐷∗0 = 𝜙𝜙𝐷𝐷+/𝐷𝐷

0 −𝐸𝐸0−0𝐹𝐹

(7.2)

di mana: 𝜙𝜙𝐷𝐷+ / 𝐷𝐷∗0 = Potensial oksidasi dari kondisi tereksitasi (V)

𝜙𝜙𝐷𝐷+ / 𝐷𝐷0 = Potensial oksidadi dari kondisi ground (V)

𝐸𝐸0−0 = Energi Eksitasi (J) 𝐹𝐹 = Konstanta Faraday (Q/mol)

Potensial oksidasi dari kondisi ground dapat diukur dengan squarewave voltametri dari anchored dye dan energi eksitasi dapat diperkirakan dari analisis emisi spektrum dari dye pada NIR. Energi level dari dye dapat ditingkatkan jika terjadi aglomerasi pada permukaan TiO2, yang terjadi khususnya pada cakupan dye yang padat. Pembentukan ikatan atau perbedaan yang tinggi secara khusus merupakan masalah bagi hidrokarbon, pthalocyanines, dan porphyrins. Hal ini dapat mengakibatkan perbedaan sifat

74 Brian, Memanen Energi Matahari

elektronik dari kondisi ground dan atau kondisi tereksitasi, yang dapat mempengaruhi efisiensi pengisian injeksi. Salah satu cara untuk mengatasi dengan memakai jembatan kaku antara grup anchor dan molekul dye chromophore.

Setiap sensitizer di dalam DSSC harus mempertahankan setidaknya 20 tahun beroperasi tanpa degradasi yang signifikan. Pertimbangan DSSC standar dengan efisiensi konversi 6% (VOC = 0.7 V, ISC = 12.2 mAcm-2, FF = 0.7) pengisian total Qt dari ca 878000 C diinjeksi ke TiO2 jika radiasi surya diasumsikan 1.000 W/m2 untuk operasi 1.000 jam per tahun.

𝑄𝑄𝑡𝑡 = 𝐼𝐼𝑠𝑠𝑠𝑠 ∗ 𝑡𝑡𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 ∗ 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑡𝑡𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 (7.3)

dengan: Qt = charge/C•cm-2 ISC = short circuit current (misalnya: 1.22*102 A•cm-2) tsun = time of AMI 1.5 irradiation per year (example: 1000 hours/year) lifetime = expected lifetime DSSC/years

Pada sel surya tipe DSSC, cakupan dye pada permukaan TiO2 adalah sebesar 1.10-7 mol/cm2, jumlah redox cycle per molekul dye n redox dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

𝑛𝑛𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑥𝑥 =𝑄𝑄𝑡𝑡

𝑙𝑙 ∗ 𝑁𝑁𝐴𝐴 ∗ � (7.4)

dengan: nredox = jumlah siklus redox Qt = muatan/C•cm-2 (misalnya 878000 C•cm-2) e = 1.6022*10-19 Q NA = Konstanta Avogadro (6.023*1023 mol-1) ᴦ = surface concentration of sensitizer (10-7 mol•cm-2)

Dengan nilai yang diberikan, ternyata setiap molekul dye mengalami 91 juta siklus redoks dalam dua puluh tahun seumur hidup. Idealnya, injeksi elektron dan regenerasi benar-benar reversible, tetapi dalam perangkat yang nyata beberapa degradasi dye terjadi. Standar uji mempercepat aging berlangsung biasanya untuk 1.000 jam, yang sesuai dengan satu tahun aplikasi luar ruangan. Data yang tersedia pada tes outdoor selama beberapa tahun sedikit atau bahkan tidak ada data sehingga masih sulit untuk memperkirakan umur DSSC dapat mencapai 20 tahun.

Sel Surya Dye Sensitized 75

Kelebihan Kekurangan

Ramah lingkungan dan tidak menghasilkan emisi

Efisiensi rendah apabila dibandingkan dengan sel surya semikonduktor tradisional

Harga material murah dan pengolahannya mudah

Dye akan berkurang seiring dengan teknologi DSSC menggunakan cairan elektrolit yang memiliki masalah kestabilan temperatur

Dapat bekerja pada kondisi cahaya rendah, nilai cut off rendah sehingga dipertimbangkan untuk digunakan dalam ruangan

Harus berhati-hati dalam penyegelan karena mengandung pelarut organik yang mudah menguap

Memancarkan kalor jauh lebih mudah dan beroperasi pada suhu internal yang lebih rendah karena dibuat hanya dari lapisan tipis plastik konduktif

Walaupun terlihat DSSC memiliki banyak kelebihan, pada kenyataannya ada banyak tantangan yang harus dihadapi untuk mengembangkan DSSC sebagai sel surya berbahan dasar material organik. Beberapa di antaranya adalah evaporasi atau penguapan bahan organik itu sendiri, adanya penurunan efisiensi setiap waktu, dan bagaimana mencari bahan organik yang tepat untuk material DSSC. Pemanfaatan DSSC dapat digunakan di dalam dan luar ruangan. Untuk penggunaan di dalam ruangan, cahaya didapatkan dari lampu. Aplikasi yang bisa digunakan adalah kipas kecil dan pengisian baterai pada telepon. Selain itu, DSSC saat ini juga digunakan di Swiss Tech Convention Centers of EPFL Lausanne dengan luasan modul total sekitar 250 m2.

Gambar 7.8 Contoh pemanfaatan sel surya jenis DSSC

Tabel 7.2 Kelebihan dan kelemahan DSSC

76 Brian, Memanen Energi Matahari

Pustaka

[1] Gcell. 2016. ”Dye Sensitized Sel suryas”. (tersedia di http://gcell.com/dye-sensitized-solar-cells).

[2] Kuppuswamy Kalyanasundaram, Michael Grätzel. 2016. “Efficient Dye-Sensitized Sel suryas for Direct Conversion of Sunlight to Electricity”. Material009, 4.4, 88.

[3] Sam Zhang, Nasar Ali. 2007. Nanocomposite Thin Films and Coating. London: Imperial College Press. halaman 410

[4] ”Studies On The Fabrication Of Dye Sensitized Solar Cells (DSSCs)”. Chapter 7. (tersedia di http://shodhganga.inflibnet.ac.in/bitstream/10603/54330/12/12_chapter%207.pdf).

Sumber Gambar

http://www.sigmaaldrich.com/technical-documents/articles/material-matters/efficient-dye-sensitized.html

http://dcwww.epfl.ch/icp/ICP-2/SolarCellE.html

Michael Grätzel. 2003. ”Dye-sensitized sel suryas”. Volume 4, Issue 2, 31 October 2003, Pages 145–153. Journal of Photochemistry and Photobiology C: Photochemistry Reviews

Pengujian Sel Surya 77

8 Pengujian Sel Surya

Dalam proses pembuatan dan berbagai jenis tipenya, sel surya akan menghasilkan performansi yang berbeda-beda sehingga kapasitas pembangkitannya juga berbeda-beda. Untuk memastikan sel surya yang dilempar ke pasar memiliki kualitas yang baik dan pada akhirnya daya keluarannya sesuai dengan yang diharapkan, terdapat beberapa proses pengujian dan testing yang perlu dilakukan sehingga konsumen pada akhirnya bisa mendapatkan kualitas sel surya sesuai dengan yang diharapkan. Efesiensi merupakan parameter yang digunakan untuk membandingkan kinerja sel surya yang satu dengan yang lain, baik dari segi material dasar maupun yang lain. Untuk sel surya, efisiensi dapat diukur, baik untuk sel, panel atau modul (rangkaian sel yang tersusun dalam satu frame), maupun setelah sel surya tersebut dirangkai menjadi beberapa panel atau yang disebut dengan sistem pembangkit listrik sel surya. Untuk mendapatkan hasil yang terpercaya, sel surya diukur menggunakan simulasi matahari (solar simulator) standar dengan penerangan sumber cahaya yang terkalibrasi. Secara umum, efisiensi sel surya diformulasikan dengan persamaan berikut:

𝜂𝜂 =𝑃𝑃𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚

𝑃𝑃𝑖𝑖𝑖𝑖 (8.1)

di mana : η = efisiensi sel surya Pmax = daya maksimum (energi yang dihasilkan sel surya) Pin = daya masukan (energi yang diterima sel surya)

Dalam pengukuran sel surya, terdapat lima parameter utama yang harus diperhitungkan, yaitu Short Circuit Current (Isc), Open Circuit, Voltage (Voc), Fill Factor (FF) , Incident Radiation Flux (IRF) , dan Collectors Area (Ac). Short Circuit Current (Isc) adalah arus yang mengalir pada sel surya saat beda potensial atau voltase pada sel surya tersebut adalah nol. Isc dihasilkan pada saat membuat koneksi pendek pada sel surya. Besar kecilnya Isc ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu luas area sel surya, jumlah foton yang diterima, spektrum cahaya yang mengenai sel surya, properti optik, dan collection probability. Sel surya silikon dengan spektrum cahaya kurang dari 1.5 AM

78 Brian, Memanen Energi Matahari

memiliki maksimum Isc sekitar 46 mA/cm2. Beberapa peralatan laboratorium mendapatkan nilai Isc sekitar 42 mA/cm2, dan sel surya komersil[1] memiliki Isc antara 28 – 35 mA/cm2.[2-5]

Open circuit voltage adalah voltase maksimum yang bisa dihasilkan oleh sel surya, yang terjadi pada saat arus sama dengan nol. Voc bergantung pada saturation current dan light generated current8.3. Sel surya dengan bahan dasar kristalin tunggal berkualitas tinggi memiliki Voc hingga 730 mV dengan 1.5 AM, sementara Voc sel surya komersial bisa mencapai 600 mV. Sementara fill factor (FF) adalah parameter yang memperlihatkan energi maksimum yang dihasilkan oleh sel surya. Pada diagram I-V, FF sangat berhungan dengan Isc

dan Voc, yaitu FF adalah rasio antara energi maksimum sel surya dan hasil kali antara Isc dan Voc.

Gambar 8.1 Tipikal grafik hubungan arus tegangan (I-V) pada pengujian sel surya

Incident radiation flux adalah jumlah energi sinar matahari yang mengenai permukaan bumi. IRF yang dipergunakan untuk Kondisi Tes Standar (STC) adalah 1000 W/m2, sedangkan collector’s area adalah luas area dari sel surya yang diuji. Dari parameter-parameter tersebut, rumus untuk menghitung efisiensi sel surya adalah sebagai berikut:

𝜂𝜂 =𝑃𝑃𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚

𝑃𝑃𝑖𝑖𝑖𝑖=𝐼𝐼𝑠𝑠𝑠𝑠 ∗ 𝑉𝑉𝑜𝑜𝑠𝑠 ∗ 𝐹𝐹𝐹𝐹𝐼𝐼𝐼𝐼𝐹𝐹 ∗ 𝐴𝐴𝑠𝑠

(8.2)

Selain parameter-parameter utama yang telah disebutkan, efisiensi sel surya juga bergantung pada kehilangan energi akibat panjang gelombang sinar matahari yang tidak terserap oleh sel surya, kehilangan energi akibat suhu yang tinggi, kehilangan energi akibat sinar yang dipantulkan oleh sel surya, kehilangan energi akibat penyerapan yang tidak sempurna karena tebal dari sel surya, kehilangan energi akibat rekombinasi, kehilangan energi akibat electrode coverage dan shading losses, kehilangan energi akibat voltage factor, serta kehilangan energi akibat fill factor.

Pengujian Sel Surya 79

Saat sel surya selesai diproduksi, produsen biasanya akan melaksanakan tes efisiensi pada kondisi standar.

Gambar 8.2 Diagram struktur kondisi standar pengujian (standard testing condition )

Pada umumnya, tes ini dilaksanakan di laboratorium yang sudah mendapatkan lisensi dari badan terkait dengan kondisi standar (STC). Struktur alat ukur standar dapat dilihat pada gambar 8.2. Pada proses pengukuran tersebut, terdapat beberapa parameter sel surya yang harus diperhatikan antara lain sebagai berikut8.4:

1. Spektrum air mass-nya adalah 1.5 (AM 1.5) untuk sel surya yang akandipakai di Bumi dan AM 0 untuk sel surya yang akan dipakai di luarangkasa.

2. Intensitas cahaya adalah 1.000 W/m2.3. Temperatur sel dijaga pada suhu 25°C.4. Pengunaan four point probe, yaitu alat yang digunakan untuk mengukur

tahanan dari semi konduktor.

80 Brian, Memanen Energi Matahari

Gambar 8.3 Ilustrasi pengukuran tahanan dengan alat four point probe

Ilustrasi skema pengukuran tahanan dengan metode four point probe dapat dilihat pada Gambar 8.3. Selain menggunakan alat four point probe untuk mengukur tahanan, pengujian sel surya juga menggunakan alat solar simulator. Solar simulator adalah alat yang menghasilkan berbagai besaran iluminasi sebagai pengganti sinar matahari yang sebenarnya pada proses pengujian. Tujuan solar simulator adalah untuk mengetahui atau menguji peralatan surya dalam kondisi terkontrol di laboratorium. Peralatan yang biasa diuji adalah panel surya jenis sel, panel, atau beberapa panel, dan beberapa peralatan lainnya. Untuk uji panel surya standar, alat yang digunakan adalah IEC 60904-9 edisi 2 dan ASTM E-927-10.

Gambar 8.4 Skema sistem kerja solar simulator

Sinar matahari yang dapat dikendalikan ada tiga jenis, yaitu jenis spektral (spectral content), jenis keseragaman spasial (spatial uniformity), dan jenis

Pengujian Sel Surya 81

stabilitas sementara (temporal stability). Berdasarkan tipe sinar yang dapat dikendalikan, terdapat tiga klasifikasi dengan standar ASTM sebagai berikut.

Tabel 8.1 Spesifikasi Kelas Berdasarkan Standar ASTM

Classification Spectral Match (each interval)

Irradiance Spatial Non-Uniformity

Temporal Instabillity

Class A 0.75-1.25 2% 2%

Class B 0.6-1.4 5% 5%

Class C 0.4-2.0 10% 10%

Spektrum simulasi surya dijabarkan melalui radiasi terintegrasi di beberapa interval panjang gelombang. Persentase total radiasi ditampilkan pada tabel berikut untuk spektrum standar terestrial dari AM1.5G dan AM1.5D, serta spektrum luar angkasa AM0.

Tabel 8.2 Radiasi Spektral untuk 3 Standar Spektra Berdasarkan ASTM

Wavelength Interval (nm)

AM 1.5D AM 1,5G AM0

300-400 no spec no spec 8.0%

400-500 16.9% 18.4% 16.4%

500-600 19.7% 19.9% 16.3%

600-700 18.5% 18.4% 13.9%

700-800 15.2% 14.9% 11.2%

800-900 12.9% 12.5% 9.0%

900-1100 16.8% 15.9% 13.1%

1100-1400 no spec no spec 12.2%

Spesifikasi tersebut terutama ditujukan untuk fotovoltaik silikon. Oleh karena itu, rentang spektral interval didefinisikan terbatas untuk wilayah penyerapan silikon. Definisi ini juga digunakan untuk beberapa teknologi fotovoltaik lain, seperti sel surya tipe thin film jenis CdTe atau CIGS. Akan tetapi untuk sementara, solar simulator tidak cukup untuk fotovoltaik terkonsentrasi menggunakan efisiensi tinggi III-V semikonduktor sel surya multi-junction karena bandwidth yang lebih luas dari 300-1800 nm. Saat ini terdapat tiga tipe solar simulator, yaitu continuous untuk pengujian intensitas rendah yang kurang dari satu hingga beberapa saja dengan industri yang tersedia dari WACOM, Newport Oriel, Sciencetech, Spectrolab, Eternal Sun, TS-Space Systems, Photo Emisi Tech, dan Abet Technology. Selain itu juga terdapat tipe lain, yaitu flashed yang mirip dengan flash fotografi dan

82 Brian, Memanen Energi Matahari

menggunakan tabung flash, serta yang terakhir adalah pulsed yang menggunakan katup yang bisa dengan cepat membuka dan menutup sumber sinar yang terus menerus atau berasal dari gabungan tipe flash dengan continuous.

Gambar 8.5 Kompoen solar simulator

Testing dan pengujian sel surya harus memperhatikan sifat konduktivitas dan konsentrasi dari bahan semikonduktor penyusun sel surya. Sifat konduktivitas dan konsentrasi ini dapat ditentukan oleh faktor 𝐸𝐸𝑔𝑔 𝐾𝐾𝐵𝐵𝑇𝑇⁄ , yang merupakan perbandingan celah energi dengan temperatur. Ketika perbandingan ini besar, konsentrasi sifat instrinsik akan rendah dan konduktivitasnya juga akan rendah. Nilai terbaik dari celah energi diperoleh dari penyerapan optik. Celah energi (Eg) merupakan selisih antara energi terendah pada pita konduksi (Ek) dan energi tertinggi pada pita valensi (Ev), yang secara matematis dapat ditulis Eg = Ek – Ev.

Gambar 8.6 Diagram pita energi pada semikonduktor

Selain bahan semikonduktor, sel surya terdiri dari grid berupa logam atau kontak listrik lainnya untuk mengumpulkan elektron dari semikonduktor dan mentransfernya ke beban eksternal, serta kembali ke lapisan kontak untuk menyelesaikan sirkuit listrik.

Pengujian Sel Surya 83

Gambar 8.7 Sistematika foton sinar matahari memasuki sel surya

Pustaka

[1] TU Delft. ET3034TU: ”Sel suryas”. Slide Presentasi Kuliah. (tersedia di http://aerostudents.com/files/solarCells/solarCellsSummary.pdf).

[2] Todd J. Kaiser. Lecture 11: ”Sel surya Parameters”. Lecture Note. EELE408 Photovoltaics, Department of Electrical and Computer Engineering, Montana State University - Bozeman (tersedia di http://www.montana.edu/tjkaiser/ee408/notes/EELE408PV%2011%20SolarCellParameters.pdf).

[3] PV Education. 2016. ”Sel surya Operation”. (tersedia di http://www.pveducation.org/pvcdrom/solar-cell-operation/open-circuit-voltage).

[4] PV Education. 2016. ”Measurement of Sel surya Efficiency”. (tersedia di http://www.pveducation.org/pvcdrom/characterisation/measurement-of-solar-cell-efficiency).

Sumber Gambar

http://www.pveducation.org/pvcdrom/characterisation/measurement-of-solar-cell-efficiency

http://pvcdrom.pveducation.org/CHARACT/4pp.HTM

84 Brian, Memanen Energi Matahari

9 Instalasi Sel Surya

Pada dasarnya, prinsip kerja semua jenis panel surya sama, yaitu berawal dari terjadinya efek fotovoltaik yang ditandai dengan foton yang berada di dalam sinar matahari akan mengenai panel surya dan diserap oleh lapisan material semikonduktor. Kemudian, elektron yang terpisah dari inti atom akan bergerak melalui material tersebut sehingga menghasilkan arus listrik. Elektron bergerak hanya melewati satu arah yang sudah ditentukan. Arus listrik yang sudah dihasilkan diubah menjadi bentuk direct current (DC), kemudian diubah oleh inverter menjadi alternating current (AC) sehingga dapat digunakan oleh alat-alat listrik lain yang memang memiliki arus bolak-balik.

Gambar 9.1 Skema pembangkitan dan aliran listrik pada PV modul

Modul atau panel surya merupakan modul yang memanfaatkan cahaya matahari sebagai sumber energi. Seiring dengan perkembangan teknologi, pemanfaatan panel surya sebagai penghasil energi listrik mulai banyak digunakan oleh masyarakat. Secara skala atau kapasitas produksi listrik, pemanfaatan panel surya bisa dibagi menjadi skala besar (terpusat) atau skala kecil (rumah tangga). Untuk skala besar, panel surya akan ditempatkan secara terpusat dan mengalirkan listrik untuk beberapa rumah atau gedung. Sementara untuk skala kecil, pemanfaatannya hanya pada satu rumah yang biasa disebut solar home system (SHS). Perkembangan aplikasi sel surya saat ini telah sangat luas mulai pengisi baterai HP (charger handphone), atap garasi terbuka (carport), hingga atas rumah atau dinding gedung. Pada gedung atau perumahan, panel sel surya dipasang secara terintegrasi dengan bagian bangunan sehingga dapat mengurangi biaya instalasi serta memiliki fungsi lainnya, seperti sebagai atap teras, atap taman, penutup parkir mobil atau

Instalasi Sel Surya 85

atap lainnya. Sistem integrasi pada bangunan gedung atau perumahan ini sering disebut Building Integrated Photovoltaic (BIPV).

Secara sistem, aliran listrik dan penyimpanan listrik pada sistem solar PV dibedakan menjadi dua. Pertama, sistem tersambung dengan koneksi jaringan listrik dari PLN (on grid). Kedua, sistem yang mandiri atau tidak tersambung jaringan listrik yang ada (off grid). Sistem pembangkit listrik PV yang on grid biasanya dipasang pada PV yang diinstalasi di kota-kota sehingga fungsinya sebagai pengurang konsumsi listrik dari sistem jaringan, misalnya dari PLN. Bahkan, di beberapa negara maju sudah dapat dilakukan pengiriman kelebihan listrik dari PV ke sistem jaringan listrik yang ada sebagai ”ekspor” listrik.

Sistem on grid juga digunakan pada pembangkit listrik PV yang besar, seperti solar farm atau solar park yang berperan sebagai independent power plant (IPP). Sementara itu, sistem off grid biasanya dipasang pada PV yang ada di daerah-daerah terpencil sebagai pembangkit listrik tunggal karena memang di daerah tersebut belum memiliki jaringan listrik.

Sistem on grid tidak memakai baterai atau aki sebagai penyimpan listrik yang dihasilkan, tetapi listrik dari PV langsung digunakan, sedangkan sistem off grid menggunakan baterai atau aki sebagai sarana penyimpan energi yang dihasilkan sehingga pada malam hari listrik yang disimpan itu dapat digunakan, misalnya sebagai lampu penerang. Sistem off grid juga biasa dipasang pada lampu penerang atau lampu taman.

Gambar 9.2 Aplikasi panel surya untuk skala kecil

Peralatan yang digunakan untuk skala kecil dan off grid biasanya mencakup panel surya, kontroler, baterai, dan inverter. Baterai merupakan alat untuk menyimpan energi listrik. Pada beberapa kondisi, energi bisa disimpan dalam berbagai keadaan, misalnya untuk menyalakan pompa air pada siang

86 Brian, Memanen Energi Matahari

hari sehingga air naik ke tempat penyimpanannya. Untuk aplikasi ini, baterai bukan menjadi hal yang penting untuk digunakan, melainkan pada kondisi tertentu penggunaan baterai dibutuhkan untuk beberapa peralatan yang digunakan di malam hari. Baterai merupakan bagian penting dari sebuah sistem fotovoltaik surya (Solar PV System) yang berfungsi untuk menyimpan energi listrik yang dibangkitkan dari panel surya. Baterai memungkinkan pengguna untuk tetap mendapatkan suplai energi listrik walaupun cuaca sedang buruk atau berawan (tidak ada sinar matahari yang cukup untuk membangkitkan listrik). Jumlah energi yang dapat disimpan dalam baterai bergantung pada kapasitas baterai itu sendiri.

Gambar 9.3 Skema instalasi solar PV system. Jika tersambung pada jaringan (grid), maka baterai dapat dihilangkan

Di Indonesia, pemanfaatan solar home system (SHS) biasanya merupakan bantuan pemerintah yang diberikan secara subsidi kepada masyarakat pedesaan yang digunakan sebagai sarana penerangan di malam hari untuk mengganti lampu minyak tanah. Dalam model pembangunan PLTS ini, terlihat bahwa pendekatan yang digunakan bersifat dari atas ke bawah (top-down) sehingga selama ini perkembangan SHS sangat bergantung pada program pemerintah dan sejauh ini kontribusi energi listrik surya nasional masih sangat kecil. Selain itu, masyarakat perkotaan juga justru merupakan komponen yang cukup besar dalam komposisi populasi Indonesia. Sebenarnya kelompok masyarakat perkotaan ini hampir semuanya berada dalam jangkauan jaringan listrik PLN, tetapi mereka memiliki karakteristik yang lebih baik dibandingkan dengan masyarakat pedesaan dalam pemanfaatan PLTS. Karakteristik yang dimaksud adalah daya beli, tingkat pendidikan, serta pemahaman tentang lingkungan dan penyelamatannya.

Instalasi Sel Surya 87

Di samping itu, peranan energi listrik dalam kehidupan masyarakat urban sudah sangat melekat sehingga ketidaktersediaan energi tersebut akan berpengaruh langsung terhadap kehidupan mereka, seperti produktivitas dan kenyamanan. Pengunaan solar PV di perkotaan sangat potensial dalam bentuk on grid yang terintegrasi sebagai bangunan atau perumahan.

Instalasi panel surya skala besar biasanya dikembangkan oleh industri, sedangkan untuk instalasi panel surya skala kecil dapat ditanggung oleh masing-masing pemilik rumah. Secara garis besar, paramater yang harus diperhatikan untuk instalasi panel surya dalam skala besar ataupun kecil sama, tetapi memiliki perbedaan dalam cakupannya. Untuk skala kecil, instalasi sel surya bergantung pada beberapa parameter, yaitu besar beban listrik yang harus ditanggung, selanjutnya adalah menentukan jumlah modul yang diperlukan. Beban listrik yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah daya pada peralatan listrik yang terpasang di rumah dikalikan dengan jam pemakaian. Untuk peralatan rumah tangga, seperti lampu, kipas angin, setrika, dan peralatan listrik lainnya, daya yang dibutuhkan adalah yang tertera pada name plate spesifikasi alat.

Peralatan listrik sendiri sesungguhnya memiliki standby mode, yaitu energi yang dikonsumsi peralatan listrik pada kondisi peralatan listrik mati, tetapi masih terpasang pada sumber listrik. Biasanya nilainya sangat kecil sehingga bisa diabaikan. Akan tetapi untuk perhitungan, jika mengetahui nilai standby mode, sebaiknya masuk dalam hitungan. Jika tidak, diasumsikan bahwa setelah menggunakan peralatan listrik, masyarakat akan mencabut kabel dari sumber listrik.

Setelah mengetahui daya pada peralatan listrik di rumah, selanjutnya menghitung daya yang terpasang dikalikan jam pemakaian per hari. Total daya dihitung dengan menggunakan persamaan 9.1.

𝑃𝑃𝑡𝑡 = �𝑃𝑃 𝑥𝑥 𝑄𝑄𝑄𝑄𝑄𝑄 (9.1)

di mana: Pt = total daya (Watt) P = daya pada setiap peralatan listrik (Watt) Qty = jumlah peralatan listrik (quantity)

Sementara itu untuk menghitung total konsumsi listrik atau total konsumsi energi per hari, bisa dihitung menggunakan persamaan 9.2. Selanjutnya, contoh detail perhitungan untuk seluruh kebutuhan dapat dilihat pada Tabel 9.1.

88 Brian, Memanen Energi Matahari

𝐸𝐸𝑡𝑡 = �𝑃𝑃𝑡𝑡𝑥𝑥 ℎ (9.2)

di mana: Et = total konsumsi energi listrik per hari (Watt.hours) Pt = total daya (Watt) h = waktu penggunaan per hari (hours)

Tabel 9.1 Perhitungan Kebutuhan Energi Harian pada Suatu Rumah

Peralatan Listrik Daya (Watt)

Jumlah peralatan

listrik

Waktu pemakaian (Jam/hari)

Total daya

(Watt)

Total Energi (Watthour)

Blender 350 1 1 350 350

Komputer 70 1 1 70 70

Dispenser 350 1 12 350 4200

DVD player 40 1 1 40 40

Fan 40 1 2 40 80

Food mixer 200 1 1 200 200

Handpone charger 15 3 3 45 135

Lampu 20 5 6 100 600

Microwave 1000 1 1 1000 1000

Rice cooker (cook) 400 1 1 400 400

Rice cooker (warm) 43 1 10 43 430

Kebutuhan energi harian/konsumsi 2638 7505

Setelah mengetahui jumlah total kebutuhan energi per hari, selanjutnya kalikan total Wattjam dengan 130% atau 1,3 sebagai asumsi bahwa energi listrik yang dihasilkan panel surya akan mengalami losses daya atau kehilangan daya sebesar 30%. Angka 30% ini didapat dari pengalaman di lapangan, yang dapat berubah sesuai dengan kondisi naik dan turunnya tegangan di setiap wilayah atau negara. Di Indonesia, asumsi penyinaran matahari pada waktu optimum untuk menghasilkan listrik pada panel surya adalah 5 jam per hari. Selanjutnya, nilai total energi tersebut dibagi dengan asumsi waktu penyinaran untuk mendapatkan jumlah daya panel surya untuk suplai kebutuhan energi sehingga perhitungannya menjadi seperti berikut ini.

Asumsi energi yang hilang (30%)

Total energi (Watthour) = 1.3*7605 Wh = 9756.5 Watthour

Asumsi penyinaran per hari (5 jam)

Total daya (Watt) = 9756.5 Wh/5 h = 1951.3 Watt

Instalasi Sel Surya 89

Total daya yang telah diketahui melalui perhitungan, selanjutnya dibagi dengan kapasitas daya panel yang akan digunakan. Hal ini dapat ditunjukkan pada Tabel 9.2.

Tabel 9.2 Jumlah Panel Surya yang Dibutuhkan

Tipe panel Kapasitas (Wattpeak) Total panel yang dibutuhkan

Monokristalin 100 20

120 17

Polikristalin 100 20

120 17

Salah satu aplikasi sel surya (solar cell) yang menarik perhatian banyak orang saat ini adalah penyediaan listrik menggunakan sel surya (on grid). Listrik yang dihasilkan oleh sel surya selanjutnya dijual kepada penyedia listrik, yaitu Perusahaan Listrik Negara (PLN). Karena banyaknya sel surya yang diinstal dalam sau area dengan luas yang besar, maka instalasi seperti ini sering juga disebut dengan istilah solar park atau solar farm. Dalam aplikasi ini, listrik yang dihasilkan tidak langsung digunakan pada beban, tetapi akan bersatu bersama-sama dengan pembangkit lain yang dimiliki oleh PLN. Dengan model ini, tentu tidak dibutuhkan baterai untuk penyimpanan listrik yang dihasilkan oleh sel surya, tetapi listrik langsung disalurkan ke jala-jala PLN (grid). Karena listrik langsung dialirkan ke jala-jala, maka tidak diperlukan baterai sebagai penyimpan daya yang dihasilkan oleh sel surya. Oleh karena itu, harga instalasi dan listrik yang dihasilkan dapat lebih rendah daripada sistem off grid atau stand alone, yakni jika sel surya murni sebagai pembangkit listrik yang langsung dipakai oleh penggunanya.

Adapun sistem on grid dikenal dengan feed in tarrif (FIT) atau bisa juga disebut sebagai independent power producer/provider (IPP). Saat ini hampir di banyak negara telah memiliki regulasi untuk sistem sel surya sebagai pembangkit listrik, tidak terkecuali Indonesia. Skema FIT atau IPP jelas cukup menarik banyak investor untuk dapat memasang sel surya dan menjualnya kepada PLN jika harga yang diberikan menarik.

Sebelum masuk skema bisnis IPP dengan sel surya, maka perlu diketahui kebutuhan apa saja dan berapa perkiraan biaya yang dibutuhkan untuk menginstal sel surya sebagai IPP. Karena skema ini mengharapkan harga produksi listrik yang rendah agar memberikan keuntungan bagi pengelolanya, biasanya semakin besar kapasitas akan semakin baik. Oleh karena itu, instalasi akan menyulitkan untuk menjual listrik kepada PLN karena listrik yang dihasilakn akan mahal. Biasanya skala keekonomian

90 Brian, Memanen Energi Matahari

agar sel surya menghasilkan listrik yang layak jual adalah 1 MWp. Aturan umumnya untuk pembangkit 1 MWp sel surya dibutuhkan area seluas 1 hektare. Tabel 9.3 dan 9.4 merupakan contoh perhitungan perangkat, volume, dan harga yang dibutuhkan untuk membangun solar park/solar farm dengan kapasitas 1 MWp.

Tabel 9.3 Perhitungan Inventasi Solar Power Plant 1MW IPP Project

No. Item Spek Brand Jumlah Unit Harga/Unit Total Harga

A. PERANGKAT UTAMA IMPOR

1. PV Module 1 lot

a. Solar Panel 250 Wp JA Solar 4116 Modul Rp 1,666,000 Rp 6,857,256,000

2. Inverter on Grid Rp -

a. Inverter on Grid 30kW Sungrow 34 Unit Rp 35,280,000 Rp 1,199,520,000

b. Monitoring Software

Profesional Version Sungrow 1 lot Rp 9,800,000 Rp 9,800,000

c. Data logger Sungrow 2 ea Rp 7,840,000 Rp 15,680,000

e. AC Combiner Box 1 set Rp 58,800,000 Rp 58,800,000

f. Environmental Device Suninfo EM Sungrow 1 set Rp 29,400,000 Rp 29,400,000

Total A1 Rp 8,170,456,000

B. PERANGKAT UTAMA LOKAL

1. Swithcgear 1 MW 2 Unit Rp 65,000,000 Rp 130,000,000

2. Step Up Trafo 20kV AC 1 Unit Rp 250,000,000 Rp 250,000,000

3. PV Structure 196 Lot Rp 5,000,000 Rp 980,000,000

4. Pondasi PV Structure 784 Lot Rp 150,000 Rp 117,600,000

5. Monitoring Room + Acc 1 Lot Rp 65,000,000 Rp 65,000,000

6. Pembebasan Lahan 8149.68 m2 Rp 65,000 Rp 529,729,200

7. Grounding 1 Lot Rp 40,000,000 Rp 40,000,000

8. Solar PJU Site Plant

9 Lot Rp 23,000,000 Rp 207,000,000

9. Solar PJU Transmisi Line

50 Lot Rp 7,500,000 Rp 375,000,000

10. Tiang Line Transmisi + Acc

50 Lot Rp 1,500,000 Rp 75,000,000

Total B1 Rp 2,769,329,200

C. INSTALASI KABEL

1. PV - String Inverter + Acc 34 Lot Rp 1,250,000 Rp 42,500,000

2. String Inverter - AC Combiner Box + Acc

34 Unit Rp 24,600,000 Rp 836,400,000

3.

AC Comb. - Switchgear - Trafo - Switchgear + Acc

1 Lot Rp 7,300,000 Rp 7,300,000

4. Monitoring room - grid + Acc 5000 m Rp 55,000 Rp 275,000,000

5. PV Grounding + Acc 196 Lot Rp 160,000 Rp 31,360,000

Instalasi Sel Surya 91

6. Monitoring room grounding + Acc

1 Lot Rp 800,000 Rp 800,000

7. Monitoring Line - Monitoring room + Acc

34 Lot Rp 2,940,000 Rp 99,960,000

Total B1 Rp 1,551,984,000

D. PEKERJAAN INSTALASI, CIVIL, MEKANIKAL

a. Feasibility Studies 1 Lot Rp 200,000,000 Rp 200,000,000

b. Design System Cost 1 Lot Rp 350,000,000 Rp 350,000,000

c. Services 1 Lot Rp 500,000,000 Rp 500,000,000

1. Pekerjaan Civil

- Site Clearing + Alat berat 8149.68 m2 Rp 45,000 Rp 366,735,600

- Pondasi PV Structure 1 lot Rp 13,440,000 Rp 13,440,000

- Monitoring Room 1 lot Rp 2,880,000 Rp 2,880,000

- Jalur Wiring 1 lot Rp 25,200,000 Rp 25,200,000

2. Pekerjaan Mekanikal - Pasang PV Structure + Alat Berat

1 Lot Rp 18,400,000 Rp 18,400,000

- Mounting String Inverter 1 Lot Rp 480,000 Rp 480,000

- Pasang Ducting Kabel 1 Lot Rp 2,880,000 Rp 2,880,000

- Mounting Trafo + Alat Berat 1 Lot Rp 10,680,000 Rp 10,680,000

- Mounting Switchgear + Alat Berat

1 Lot Rp 10,680,000 Rp 10,680,000

- Mounting AC Combiner Box 1 Lot Rp 1,680,000 Rp 1,680,000

- Transmisi ke Grid + Alat Berat 1 Lot Rp 12,360,000 Rp 12,360,000

3. Pekerjaan Instalasi - Wiring PV - String Inverter 1 Lot Rp 5,760,000 Rp 5,760,000

- Wiring String Inverter - AC Combiner

1 Lot Rp 10,080,000 Rp 10,080,000

- Wiring AC Combiner Box - Switchgear - Trafo - Grid

1 Lot Rp 2,880,000 Rp 2,880,000

4. Pekerjaan Pembuatan Grounding

1 Lot Rp 3,840,000 Rp 3,840,000

5. Commissioning 1 Lot Rp 10,000,000 Rp 10,000,000

Total D1 Rp 1,547,975,600

E. PACKING + DELIVERY

1. Packing All 1 Lot Rp 60,000,000 Rp 60,000,000

2. Delivery PV 1 Lot Rp 772,800,000 Rp 772,800,000

3. Delivery String Inverter + Acc 1 Lot Rp 25,415,000 Rp 25,415,000

4. Delivery Mekanical 1 Lot Rp 169,050,000 Rp 169,050,000

5. Deivery Kabel 1 Lot Rp 28,750,000 Rp 28,750,000

92 Brian, Memanen Energi Matahari

6. Delivery Trafo + Switchgear

1 Lot Rp 11,500,000 Rp 11,500,000

7. 1 Lot Rp -

Total E1 Rp 1,067,515,000

Tabel 9.4 Perhitungan Power Produce

Keterangan Jumlah Unit

Kapasitas PV/Module

250 Wp

Jumlah total PV

4,116 modules

Jumlah total kapasitas PV 1,029,000 Wp

Kota Kupang Gaisma

Efektif matahari/hari

5.5 jam/day

Loss (sistem, temperatur, pemasangan, instalasi, dll. 0.75

Total kapasitas daya sehari dalam watt hours

4,244,625 Wh

Total kapasitas daya sehari dalam kWh

4,245 kwh

Harga FIT

22.0 sen

Harga FIT 2,156 Rp/kWh

Harga daya yang diekspor dari PLTS dalam sehari 9,151,412 Rp/day

30 hari

Harga daya yang diekspor dari PLTS dalam sebulan

274,542,345 Rp/month

12 Bulan

Harga daya yang diekspor dari PLTS dalam setahun 3,340,265,198 Rp/year

Biaya operasional dalam setahun 261,376,000 opp

Total keuntungan selama setahun

3,078,889,198 Rp/year

Investasi 16,617,985,780 Rp

Kisaran BEP 5.40 tahun

Instalasi Sel Surya 93

Tab

el 9

.5 P

erhi

tung

an O

pera

sion

al

94 Brian, Memanen Energi Matahari

10 Standar Instalasi Sel Surya

Pembangkit listrik tenaga surya dengan memanfaatkan panel untuk menangkap sinar matahari dan mengonsentrasikannya ke dalam satu titik saat ini terus dikembangkan. Ketika melakukan perancangan sistem mutu, instalasi sel surya harus berpedoman pada suatu prinsip dasar. Prinsip dasar secara umum dalam merancang sistem instalasi sel surya adalah sebagai berikut.

1. Pemilihan sistem paket PV hendaknya sesuai dengan kebutuhan danketersediaan sumber daya dari pemilik.

2. Bidang atap atau tempat instalasi lain harus mampu menangani ukuransistem yang diinginkan.

3. Semua peralatan outdoor menggunakan bahan tahan sinar matahari dancuaca.

4. Peletakaan array sel surya di tempat yang memiliki kemungkinanminimal terkena bayangan dari dedaunan, pipa ventilasi, dan strukturyang berdekatan.

5. Sistem sel surya didesain dengan menggunakan aturan bangunan dankelistrikan yang berlaku.

6. Sistem sel surya didesain dengan kerugian listrik minimal, baik karenakabel, sekering, sakelar/switch, maupun inverter.

7. Penggunaan dan pengaturan baterai yang tepat jika dibutuhkan baterai.

Sistem instalasi sel surya berdasarkan interkoneksi terhadap jaringan listrik utama (misalnya PLN) terbagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut.

1. Sistem intalasi sel surya yang terkoneksi dengan sistem jaringan listrikutama (misalnya PLN) atau disebut on grid.

Dalam penjelasan sistem instalasi, sel surya terkoneksi dengan jaringanlistrik utama yang hanya akan menyangkut sistem instalasi on grid untukpengguna perseorangan/perumahan. Berdasarkan penggunaan atautidaknya sistem baterai, sistem instalasi sel surya yang tersambungdengan jaringan PLN ini terbagi menjadi dua, yaitu:

Standar Instalasi Sel Surya 95

a. Sistem instalasi sel surya terkoneksi PLN tanpa menggunakan sistembackup baterai.

Sistem ini hanya beroperasi jika jaringan listrik PLN tersedia setiapsaat. Karena jarang terjadi pemadaman listrik, instalasi PV berfungsiuntuk mengurangai konsumsi listrik PLN. Dalam hal pasokan listrikkurang, sistem didesain untuk mati sampai pasokan listriknormal/mencukupi. Komponen dari sistem instalasi sel suryaterkoneksi PLN tanpa dilengkapi backup baterai adalah sebagaiberikut.

1) PV Array, yaitu array dari modul sel surya, merupakan komponenutama yang mengubah sinar matahari menjadi listrik. Jumlahnyadisesuaikan dengan kebutuhan.

2) Balance of system equipment (BOS) mencakup sistem peletakanmodul surya di atas rumah dan sistem kabel yang digunakanuntuk mengintegrasikan modul surya ke dalam sistem strukturaldan listrik rumah. Sistem kabel termasuk sistem untukmemutuskan arus pada sisi DC dan sisi AC, sisi dari inverter,perlindungan kesalahan ground, dan proteksi arus berlebih untukmodul surya. Kebanyakan sistem juga menggunakan papancombiner karena sebagian modul membutuhkan sekering untuksetiap rangkaian dari modul sumber. Beberapa inverter jugamencakup sekering dan combiner di dalam paket inverter.

3) DC-AC Inverter berfungsi mengubah arus DC (direct current) darimodul sel surya menjadi arus AC (alternating current).

4) Metering, yaitu alat pengukur dan pendisplai dari indikasi kinerjasistem, misalnya tentang penggunaan energi.

5) Komponen lain, yaitu sakelar/switch ke peralatanlistrik/elektronik.

Gambar 10.1 Sistem instalasi PV terkoneksi listrik PLN tanpa backup baterai

96 Brian, Memanen Energi Matahari

b. Sistem instalasi sel surya terkoneksi PLN dengan menggunakansistem backup baterai.

Tipe sistem ini menggunakan penyimpanan energi dalam bentukbaterai untuk menjaga ketersediaan pasokan listrik pada beban kritisyang ada pada sebuah rumah yang harus tetap beroperasi selamapemadaman listrik. Ketika pemadaman listrik PLN terjadi, bebankritis ini akan tetap beroperasi dari jaringan listrik khusus dari sistemPV yang dilengkapi baterai. Apabila pemadaman listrik pada sianghari, maka PV membantu sistem baterai dalam menyuplai kebutuhanlistrik rumah. Jika pemadaman terjadi pada malam hari, maka hanyabaterai yang mensuplai listrik ke beban. Komponen sistem ini miripdengan sistem instalasi sel surya terkoneksi PLN tanpa menggunakanbaterai (sistem no. a), ditambah dengan sistem baterai, yang terdiridari :

1) Baterai dan rumah baterai

2) Battery charge controller, yaitu kontroler untuk mengatur chargingke baterai agar tidak merusak baterai.

3) Subpanel terpisah untuk jaringan ke beban kritis.

Gambar 10.2 Sistem instalasi PV terkoneksi listrik PLN menggunakan backup baterai

2. Sistem instalasi sel surya yang tidak terkoneksi dengan sistem jaringanlistrik (PLN) atau disebut off grid.

Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) off grid biasanya diterapkan untuktempat yang tidak terjangkau oleh jaringan listrik PLN. Terdapat dua tipePLTS off grid, yaitu :

Standar Instalasi Sel Surya 97

PLTS terpusat diaplikasikan bagi pelayanan listrik denganmasyarakat pengguna/penerima yang tinggal berkelompok ataujarak antara rumah satu dan lainnya berdekatan serta jumlahnyaminimal 30 rumah termasuk fasilitas umum. PLTS terpusat terdiridari bagian/komponen sebagai berikut.

1) Array modul sel surya berfungsi mengonversi sinar mataharimenjadi listrik. Array modul sel surya dipasang pada penyanggamodul surya.

2) Solar charge controller, yaitu kontroler untuk mengatur charging kebaterai agar tidak merusak baterai.

3) Baterai (battery bank) sebagai penyimpan energi listrik.

4) Inverter berfungsi mengubah arus DC ke AC.

5) Panel distribusi berfungsi sebagi alat untuk mengontrol danmemonitor kondisi jaringan distribusi listrik ke pengguna.

6) Rumah pembangkit berfungsi untuk penempatan baterai, panelkontrol, dan peralatan lainnya

7) Jaringan distribusi PLTS, yaitu jaringan listrik dari pembangkit kerumah/pelanggan.

8) Instalasi rumah, yaitu instalasi listrik di rumahpengguna/pelanggan.

9) Sistem pengaman, yaitu sistem pengaman jaringan listrik jikaterjadi gangguan, baik untuk alasan keselamatan, gangguansosial, maupun untuk memudahkan perbaikan harus menjadibagian dari desain sistem.

b. PLTS tersebarPLTS tersebar diaplikasikan untuk masyarakat yang tinggalberjauhan satu dengan lainnya atau jumlahnya kurang dari 30 rumahdalam satu wilayah (desa/dusun). PLTS tersebar terdiri dari bagian/komponen sebagai berikut.1) Array modul sel surya berfungsi mengonversi sinar matahari

menjadi listrik. Array modul sel surya dipasang pada penyanggamodul surya atau di atas atap rumah.

2) Battery Control Unit (BCU), yaitu kontroler untuk mengaturcharging ke baterai agar tidak merusak baterai.

3) Baterai sebagai penyimpan energi listrik.

a. PLTS terpusat

98 Brian, Memanen Energi Matahari

4) Inverter, jika diperlukan, berfungsi mengubah arus DC ke AC.5) Beban, yaitu lampu dan alat elektronik lainnya desertai kotak

kontak.

Gambar 10.3 Skema pengabelan sistem instalasi sel surya

Untuk instalasi sistem sel surya, rekomendasi material yang digunakan adalah sebagai berikut. 1. Material yang digunakan untuk di luar ruangan harus tahan terhadap

sinar matahari/UV.2. Penempatan tiang modul surya pada atap harus menggunakan seal

berbahan urethane .3. Material harus dirancang tahan pada temperatur operasional dalam

kondisi terpapar sinar matahari.4. Material logam yang tidak sejenis (misalnya, baja dan aluminium) harus

diisolasi menggunakan bahan yang nonkonduktif yang mengkilap.5. Aluminium tidak boleh bersentuhan secara langsung dengan beton.6. Material untuk pengencang harus berkualitas tinggi (disarankan

menggunakan stainless stell).7. Bahan untuk konstruksi struktur harus terbuat dari material berikut ini.

a. Aluminium tahan korosi , 6061 atau 6063.b. Baja celup panas galfanis , ASTM 123.c. Baja yang dilapis atau dicat (hanya untuk lingkungan dengan tingkat

korosi yang rendah).d. Stainless steel (digunakan untuk lingkungan dengan tingkat korosi

tinggi)

Untuk peralatan dan metode instalasi, direkomendasi seperti berikut. 1. Seluruh peralatan elektrik yang digunakan harus berada dalam range

arus dan voltase yang tersedia.

Standar Instalasi Sel Surya 99

2. Seluruh material untuk kabel yang terpapar matahari harus materialyang tahan terhadap sinar matahari.

3. Proteksi arus berlebih harus tersedia dan mudah didapatkan untukpemeliharaan.

4. Seluruh terminal listrik harus kuat dan aman.5. Seluruh peralatan yang terpasang harus diinstal sesuai dengan spesifikasi

pabrikUntuk melakukan instalasi pada sistem sel surya, sangat diperhatikan beberapa tahapan. Tahapan dalam melakukan instalasi sistem sel surya ada tiga, yaitu sebagai berikut.

1. Tahap persiapana. Menentukan ukuran dari sistem PV berdasarkan ketersediaan

anggaran dan kapasitas yang diperlukan.b. Menentukan ukuran fisik dan dimensi dari array PV dan komponen

utamanya. Hal ini sangat penting dalam menentukan letak array PVdan perlengkapan tambahan akan dipasang.

2. Tahap Desaina. Memeriksa opsi lokasi untuk pemasangan array PV (yaitu atap, teras

penutup, dan struktur lain).b. Meninjau paket sistem yang tersedia (pre-engineered) yang berisi

opsi-opsi yang diinginkan. Membandingkan berbagai produk dansistem jaminan yang tersedia dari masing-masing pemasok.

c. Memastikan bahwa peralatan PV yang akan digunakan sudah sesuaidengan standar yang berlaku.

d. Memilih alternatif sistem yang sesuai dengan pedoman daripemerintah setempat (misalnya PLTS yang didanai dari programpemerintah).

e. Mengadakan paket peralatan sistem PV.f. Membuat layout penempatan array modul PV.g. Membuat layout dan diagram pemasangan setiap komponen sistem

PV.

3. Tahap instalasia. Mengajukan izin untuk pembuatan konstruksi sistem PV (untuk

skala besar /PLTS terpusat).

100 Brian, Memanen Energi Matahari

b. Menerima peralatan dan mempersiapkan instalasi. Memeriksasemua peralatan untuk memastikan bahwa semua peralatan telahdikirim dan tidak ada yang rusak dalam pengiriman.

c. Mempelajari ulasan petunjuk instalasi untuk masing-masingkomponen.

d. Menghitung panjang untuk seluruh sistem.e. Memeriksa ampacity (besar arus) pada setiap bagian untuk

menentukan ukuran kabel yang digunakan.f. Menentukan ukuran array PV dengan memperhatikan faktor

efisiensi di setiap komponen.g. Memastikan setiap komponen memiliki spesifikasi yang sesuai dan

sinkron antarkomponen.h. Mengsinstal seluruh komponen sistem PV dengan benar.i. Sistem PV dijalankan dan dicek kinerja seluruh sistem.

4. Tahap pemeliharaan dan operasia. Mencuci array PV ketika ada penumpukan kotoran/debu terlihat.b. Melakukan pemeriksaan sistem secara berkala untuk memastikan

semua kabel dan pendukungnya tetap utuh.c. Meninjau output dari sistem (dengan asumsi array bersih) untuk

melihat apakah kinerja sistem mendekati tahun sebelumnya.Peninjauan dilakukan pada hari yang cerah, sekitar siang hari ketikaintensitas matahari maksimum. Melakukan pemantauanperformansi secara rutin untuk mengidentifikasi apakah kinerjasistem konsisten atau menurun terlalu cepat ataupun sistembermasalah.

Untuk menjamin mutu dan melindungi konsumen pengguna sel surya, Internatioanal Electrochemical Comission (IEC) mengeluarkan standar untuk komponen komponen sistem sel surya. Standar IEC mencakup standar terkait inverter PV, sistem PV, sistem hibrid, charge controller, baterai, dan kabel.

Lampiran 101

Lampiran

Photovoltaic standardization International standardization - technical committees

IEC standards

IEC standards for PV modules

IEC standards related to PV inverters

• IEC 62109-1: 2010 Safety of power converters for use in photovoltaic power systems -Part 1: General requirements.

• IEC 62109-2: 2011 Safety of power converters for use in photovoltaic power systems - Part 2: Particular requirements for inverters.

• IEC 62116: 2008 Test procedure of islanding prevention measures for utility-interconnected photovoltaic inverters.

• IEC 62093: 2005 Ed. 1.0 Balance-of-system components for photovoltaic systems - Design qualification natural environments.

IEC standards related to PV systems

• IEC 61724: 1998. Photovoltaic system performance monitoring.• IEC 61829 (1995): On Site Measuring of IV Characteristics of Crystalline

Silicon.• IEC 62446: 2009 Grid connected photovoltaic systems - Minimum

requirements for system documentation, commissioning tests and inspection Ed. 1.

• IEC/TS 62727: 2013 Photovoltaic systems -Specification for solar trackers Ed. 1.

IEC standards related to PV Hybrid Sytems

• IEC 62509: 2010 Battery charge controllers for photovoltaic systems -Performance and functioning.

• IEC 62124: 2006 ed1.0 Photovoltaic (PV) stand alone systems - Design verification.

102 Brian, Memanen Energi Matahari

• IEC/TS 62257-2, Recommendation for small renewable energy and hybrid system for rural electrification -Part 2: From requirements to a range of electrification systems.

• IEC/TS 62257-4, Recommendation for small renewable energy and hybrid system for rural electrification -Part 4: System selection and design.

• IEC/TS 62257-7-1 : 2010, Recommendations for small renewable energy and hybrid systems for rural electrification - Part 7-1: Generators - Photovoltaic generators.

• IEC 60364-7-712 : 2002, Electrical installations of buildings -Part 7-712: Requirements for special installations or locations -Solar photovoltaic (PV) power supply systems.

• IEC 60439-3 : 2001, Low-voltage switchgear and controlgear assemblies -Part 3: Particular requirements for Low-voltage switchgear and controlgear assemblies intended to be installed in places where unskilledpersons have access for their use - Distribution boards.

• IEC 60529 : 2001, Degrees of protection provided by enclosure (IP Code). • IEC 60664-1 : 2007, Insulation coordination for equipment within low-

voltage systems -Part 1: Principles, requirements and tests.• IEC 60950-22 : 2005, Information technology equipment-Safety- Part 22:

Equipment to be installed outdoors.• IEC 61000-4-5 : 2005, Electromagnetic compatibility (EMC) -Part 4-5:

Testing and measurement techniques -Surge immunity test.• IEC 61215 : 2005, Crystalline silicon terrestrial photovoltaic (PV) modules

-Design qualification and type approval.• IEC 61439-1 : 2009, Low-voltage switchgear and controlgear assemblies -

Part 1: General rules.• IEC61587-1 : 2007, Mechanical structures for electronic equipment -Tests

for IEC 60917 and IEC 60297 -Part 1: Climatic, mechanical tests and safety aspects for cabinets, racks, subracks and chassis.

• IEC61646 : 2005, Thin-Film terrestrial photovoltaic (PV) modules - Design qualification and type approval.

• IEC61969-3 : 2001, Mechanical structures for electronic equipment -Outdoor enclosures.

• IEC 62109-1 : 2010,Safety of power converters for use in photovoltaic power systems -Part 1 General.

Lampiran 103

• IEC 62109-2 : 2012, Safety of power converters for use in photovoltaicpower systems -Part 2 Inverter.

• IEC 62109-3 : when available, Safety of power converters for use inphotovoltaic power systems -Part 3 AC Modules.

• IEC62109-4 : when available, Safety of power converters for use inphotovoltaic power systems -Particular requirements for combiner box.

• IEC 62477-1

Standards for Balance of Systems (except PV inverters): Charge Controllers:

• IEC 62509: 2010 Battery charge controllers for photovoltaic systems -Performance and functioning.

• IEC 61643--31/Ed1: Low voltage surge protective devices for D.C.-specificapplication -Part 31: Surge Protective Devices connected to the D.C. sideof photovoltaic installations -Requirements and test methods

Cables for Photovoltaic Systems

PNW 20-1442 Ed. 1.0 Electric cables for Photovoltaic systems.

Batteries

• IEC61427-1: Secondary cells and batteries for renewable energy storage -General requirements and methods of test - Part 1: Photovoltaic off-gridapplication.

• IEC 61427-2 Ed. 1.0. Secondary cells and batteries for Renewable EnergyStorage - General Requirements and methods of test -Part 2: On-gridapplication

104 Brian, Memanen Energi Matahari

A

Actinograph, 29

Actinometer, 30

Alternating current, 84, 91

Amorphous, 3, 7, 11, 38, 51

Ampacity, 96

Anchor, 72-73

Array, 49, 90-91, 93, 95-96

B

Band gap, 69, 72

Bandwidth, 81

Baterai, 75, 85-86, 90-93, 96

C

CdS, 58-60, 63, 69

CdTe, 11, 38, 56, 58-59, 62-65, 81

Charge controller, 92-93, 96

Charge separation, 71

Charge transport, 71

CIGS, 7, 11, 38, 56-62, 81

Combiner, 91

Conducting glass, 68

Conduction band, 70

Counter electrode, 68, 73

Czochralski, 43-44

D

Daya maksimum, 77

Daya masukan, 77

Direct current, 84, 91

DSSC, 39-41, 67-75

Dye, 7-8, 38-40, 67-74

E

Efek fotoelektrik, 35

Efisiensi sel surya, 7-8, 42, 61, 63, 77, 78

Ekuator, 31

Electrode coverage, 78

Elektroda, 9, 57, 60, 68, 70-72

Elektromagnetik, 16, 18, 23, 26-27

F

Fill factor, 77-79

Fullerene, 7-8

Foton, 17-18, 24, 27, 35, 60, 63, 77, 84

Indeks

Index 105

Fotosfer, 18, 21

Four point probe, 79-80

Fusi termonuklir, 26

G

Graetzel cell, 8

Green energy, 8

H

Heat resistance, 44

Hemispherical, 29

I

Incident radiation flux, 77-78

Ingot, 43-44, 48-49

Inverter, 84-85, 90-91, 93-94, 96

Isolasi, 25, 48, 94

J

Junction, 11, 35, 38-39, 46, 48, 71, 81

K

Khatulistiwa, 11-12, 14-16, 20, 62

Korona, 18-20

Kromosfer, 18-19

M

Medan magnet, 15, 19-21

Mesoporous, 68

Metalurgical-grade silicon, 47-48

Metering, 91

Molybdenum, 57-58, 60

Monocrystalline, 42

N

Nanopartikel, 68

O

Off grid, 92

Offset printing, 58

On grid, 85, 87, 90

Open circuit voltage, 77-78

P

Perovskite, 8, 11, 38

Photocurrent, 8

Photo-corrosion, 69

Photovoltaic, 2, 34-35, 37, 62

Pita silikon, 7

Polikristalin, 37, 42, 45-46, 48-52, 89

Polyphenylene vinylene, 7

Pyranometer, 29-30

Pyrgeometer, 30

Pyrheliometer, 29-30

106 Brian, Memanen Energi Matahari

R

Radiasi matahari, 24-26, 29-31

Redox mediators, 68

Reaksi fusi, 17, 23, 26

Revolusi, 21

Rotasi, 15-18, 20-21, 25, 31

S

Screen-printing, 6, 8, 49

Sensitizer, 73-74

Shading losses, 78

Short circuit current, 73, 77

Sistem instalasi, 90-92, 94

Silikon kristalin, 3, 37, 42, 51

Solarimeter, 29

Solar home system, 84, 86

Solar park, 85

Solar simulator, 77, 80-82

Solar spectrum, 69

Sorted-cell, 60

Spatial uniformity, 80

Spectral content, 80

Spektrum air-mass, 79

T

Temporal stability, 81

Thin-film, 37-39, 56, 59, 61-63, 81

TiO2, 39-40, 67-74

V

Vacuum chamber, 59

Voltage factor, 79

W

Wafer, 5-7, 34, 42, 44, 48, 51, 56

Wire-sawing, 6

Biografi Penulis

Gelar Ph.D. diperoleh setelah melakukan penelitian bersama para peneliti dari Natioanl Institute of Advanced Industrial Science and Technology (AIST) di Tsukuba Jepang. Penelitian yang dilakukan seputar nano energy material berbasis material nano pori yang digunakan untuk sensor udara.

Sebelum kembali ke Indonesia, penulis sempat melakukan penelitian sebagai post-doctoral dengan topik pengembangan solar cell berbasis Dye Synthesized Solar Cell (DSSC) masih di AIST Tsukuba. Sejak 2006, penulis kembali ke Indonesia dengan bergabung pada Teknik Fisika, Fakultas Teknolgi Industri, Institut Teknologi Bandung. Di ITB, penulis bersama beberapa kolega dosen di Teknik Fisika mengembangkan Laboratorium Material Baru Fungsional (Advanced Functional Materials Lab) dengan fokus penelitian pada aplikasi material nano di bidang energi dan lingkungan. Di bidang energi, fokus penelitian dilakukan dengan mengembangkan dye berbasis tanaman unik Indonesia untuk meningkatkan efisiensi solar cell DSSC.

Selain mengembangkan penelitian, penulis juga secara aktif terlibat dalam berbagai kegiatan pengembangan sistem sel surya dalam berbagai aplikasi, seperti lampu penerang jalan, lampu taman, solar cell terintegrasi pada bangunan, solar cell pada carport, dan solar cell sebagai pembangkit berskala besar (solar park/solar farm). Penulis juga turut mengembangkan beberapa peralatan simulasi pendidikan untuk melatih tenaga terampil dalam memahami sel surya. Dalam berbagai seminar tentang sel surya, penulis sering diundang sebagai pembicara kunci untuk skala nasional dan internasional.

Brian Yuliarto menyelesaikan pendidikan S-1 pada Departemen Teknik Fisika di Institut Teknologi Bandung pada Februari 1999. Selanjutnya, pendidikan S-2 dan S-3 ditempuh pada Departemen Quantum Engineering and Systems Science (QUEST) di The University of Tokyo Jepang pada 2000–2005.