Memahami Praktik

22
Memahami Praktik-Praktik Yang Memicu Tindak Pidana Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah Dibuat: Selasa, 04 November 2014 14:58 Ditulis oleh Pusdiklat AP Oleh: Dwi Ari Wibawa, SIP, M.M Widyaiswara Muda Abstraks Pengadaan barang dan jasa yang baik diperlukan dalam menunjang berjalannya roda perekonom bangsa. Berbagai temuan dan laporan dari aparat pemeriksa banyak menunjukkan penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa ini. Penyimpangan ini ditandai dengan banyaknya kasus penanganan tindak pidana yang ditangani oleh aparat hukum. Ada beberapa praktik yang memicu tindak pidana dalam pengadaan barang dan jasa antara lai penyuapan, memecah atau menggabung paket, penggelembungan harga, mengurangi kualitas dan kuantitas barang dan jasa, penunjukan langsung, kolusi antara penyedia dan pengelola peng barang dan jasa. Untuk mengantisipasi berbagai resiko pengadaan barang dan jasa tersebut dapat dilakukan a lain dengan menghindari resiko yaitu dengan mengimplementasikan pengadaan barang dan jasa yang tepat, memindahkan resiko kepada pihak lain yaitu dengan meminta penjelasan tertulis untuk permasalahan-permasalahan yang tidak jelas, atau dengan mengurangi resiko yaitu den melibatkan tenaga ahli sebagai penerima barang, melibatkan konsultan hukum dalam merancan kontrak, memperkuat sistem pengawasan internal dari KPA atau PPK. Kata Kunci: Risiko, Pidana, Pengadaan Pendahuluan Pembangunan sarana maupun prasarana dalam menunjang roda perekonomian dan pelayanan masyarakat di Indonesia menjadi sebuah keharusan. Pembangunan sarana dan prasarana ini tentunya harus diimbangi dengan pengadaan barang dan jasa yang baik. Namun dalam pelaksanaannya seringkali dijumpai berbagai penyimpangan dalam proses pengadaan barang da jasa Pemerintah. Berdasarkan berbagai data yang ada, kerugian keuangannegara yang ditimbulkan akibat penyimpangan terhadap ketentuan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah ternyata nilainya luar biasa besar. BPKP menyatakan bahwa jika dilihat dari belanja baran Pemerintah telah terjadi kebocoran rata-rata 30% atau sekitar 25 Triliun Rupiah. Angka te

description

KESEHATAN

Transcript of Memahami Praktik

Memahami Praktik-Praktik Yang Memicu Tindak Pidana Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa PemerintahDibuat: Selasa, 04 November 2014 14:58Ditulis oleh Pusdiklat APOleh: Dwi Ari Wibawa, SIP, M.MWidyaiswara MudaAbstraksPengadaan barang dan jasa yang baik diperlukan dalam menunjang berjalannya roda perekonomian bangsa. Berbagai temuan dan laporan dari aparat pemeriksa banyak menunjukkan penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa ini. Penyimpangan ini ditandai dengan banyaknya kasus penanganan tindak pidana yang ditangani oleh aparat hukum.Ada beberapa praktik yang memicu tindak pidana dalam pengadaan barang dan jasa antara lain penyuapan, memecah atau menggabung paket, penggelembungan harga, mengurangi kualitas dan kuantitas barang dan jasa, penunjukan langsung, kolusi antara penyedia dan pengelola pengadaan barang dan jasa.Untuk mengantisipasi berbagai resiko pengadaan barang dan jasa tersebut dapat dilakukan antara lain dengan menghindari resiko yaitu dengan mengimplementasikan pengadaan barang dan jasa yang tepat, memindahkan resiko kepada pihak lain yaitu dengan meminta penjelasan tertulis (fatwa) untuk permasalahan-permasalahan yang tidak jelas, atau dengan mengurangi resiko yaitu dengan melibatkan tenaga ahli sebagai penerima barang, melibatkan konsultan hukum dalam merancang kontrak, memperkuat sistem pengawasan internal dari KPA atau PPK.Kata Kunci: Risiko, Pidana, PengadaanPendahuluanPembangunan sarana maupun prasarana dalam menunjang roda perekonomian dan pelayanan masyarakat di Indonesia menjadi sebuah keharusan. Pembangunan sarana dan prasarana ini tentunya harus diimbangi dengan pengadaan barang dan jasa yang baik. Namun dalam pelaksanaannya seringkali dijumpai berbagai penyimpangan dalam proses pengadaan barang dan jasa Pemerintah. Berdasarkan berbagai data yang ada, kerugian keuangan negara yang ditimbulkan akibat penyimpangan terhadap ketentuan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah ternyata nilainya luar biasa besar. BPKP menyatakan bahwa jika dilihat dari belanja barang dan jasa Pemerintah telah terjadi kebocoran rata-rata 30% atau sekitar 25 Triliun Rupiah. Angka tersebut diperhitungkan hanya berdasarkan dari anggaran Pemerintah pusat saja dan belum diperhitungkan dengan anggaran pemerintah daerah.(Amirudin : 2010)Penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah diindikasikan dengan banyaknya penanganan tindak pidana korupsi terkait pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun oleh penegak hukum lain di Indonesia. KPK menyatakan, kasus korupsiyang paling banyak dilakukan pejabat pemerintah umumnya dalam proyek pengadaan barang dan jasa. Pada periode 2004-2010, 44 persen kasus korupsi yang ditangani KPK merupakan kasus pengadaan barang dan jasa. Pengadaan barang dan jasa merupakan jenis korupsi tertinggi yang ditangani KPK. Tertinggi kedua adalah Kasus penyuapan yang mencapai 29 persen (http://www.merdeka.com).Penyimpangan dalam proses pengadaan barang dan jasa yang merugikan keuangan negara merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi. Definisi korupsi itu sendiri diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Definisi didalam pasal tersebut memuat unsur-unsur; secara melawan hukum; memperkaya diri sendiri; orang lain atau suatu korporasi; yang dapat menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.Faktor-faktor yang menjadikan pengadaan barang dan jasa sebagai ladang subur praktek korupsi, diantaranya adalah banyaknya uang yang beredar, tertutupnya kontak antara penyedia jasa dan panitia lelang dan banyaknya prosedur lelang yang harus diikuti. Proses pengadaan ini walaupun tercium adanya indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), tetapi pembuktiannya sangat sulit karena sistem administrasi dari pemberi dan penerima pekerjaan ini sangatlah rapi. Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu dilakukan proses yang terbuka dalam pengadaan barang dan jasa. Proses yang transparan ini akan memberikan kesempatan yang sama kepada penyedia barang dan jasa dan dalam pelaksanaannya akan mendapatkan pengawasan dari masyarakat (KPK : 2007)Praktik yang Memicu Tindak Pidana dalam Pengadaan barang dan jasaTerdapat 3 (tiga) unsur untuk dapat dikategorikan sebagai tindak pidana,Pertama, menyalahgunakan kewenangannya,kedua, memberikan keuntungan baik kepada diri sendiri maupun orang lain, danketiga, menimbulkan kerugian keuangan negara. Bila proses yang sedang berjalan, walaupun belum final/akhir, namun sudah ada indikasi atau "dugaan kuat" adanya penyimpangan bisa atau dapat dikategorikan pelanggaran terhadap UU Korupsi.Berikut adalah beberapa perbuatan yang bisa memicu terjadinya tindak pidana pada pengadaan barang dan jasa pemerintah antara lain :a. PenyuapanMenyuap adalah usaha yang dilakukan sesorang untuk mempengaruhi pejabat pemerintah (pengambil keputusan) supaya melakukan tindakan tertentu atau supaya tidak melakukan tindakan tertentu dengan memberikan imbalan uang atau benda berharga lainnya. Tindak pidana suap merupakan tindak pidana yang berada dalam satu jenis dengan tindak pidana korupsi dan merupakan jenis tindak pidana yang sudah sangat tua. Penyuapan sebagai istilah sehari-hari yang dituangkan dalam Undang-Undang adalah sebagai suatu hadiah atau janji ("giften" atau "beloften") yang diberikan atau diterima. Pelaku penyuapan dikategorikan menjadi penyuapan aktif (active omkoping) adalah jenis penyuapan yang pelakunya sebagai pemberi hadiah atau janji, sedang penyuapan pasif (passive omkoping) adalah jenis penyuapan yang pelakunya sebagai penerima hadiah atau janji.Penyuapan biasanya dilakukan oleh rekanan kepada bupati, walikota, gubernur, dirjen, menteri, pengguna anggaran, kuasa pengguna anggaran, pejabat pembuat komitmen, panitia penerima barang dan jasa, atau kepada anggota pokja ULP. Tujuan penyuapan ini adalah agar pengelola pengadaan memenangkan penawaran dari rekanan, supaya pengelola kegiatan menerima barang/jasa yang diserahkan rekanan dimana kualitas dan atau kuantitasnya lebih rendah dibandingkan yang diperjanjikan dalam kontrak.Larangan penyuapan diatur pada pasal 6 Perpres 54 tahun 2010 jo Perpres 70 tahun 2012 yaitu berkaitan dengan etika pengadaan. Para pihak yang terkait dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa harus mematuhi etika sebagai berikut :a. melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai sasaran, kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan Pengadaan Barang/Jasa;b. bekerja secara profesional dan mandiri, serta menjaga kerahasiaan Dokumen Pengadaan Barang/Jasa yang menurut sifatnya harus dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam Pengadaan Barang/Jasa;c. tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang berakibat terjadinya persaingan tidak sehat;d. menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak;e. menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses Pengadaan Barang/Jasa;f. menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam Pengadaan Barang/Jasa;g. menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara; danh. tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa.Ancaman hukuman terhadap penerima suap diatur pada pasal 418 KUHP :Seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji itu ada hubungannya dengan jabatannya, diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.Sedangkan pada pasal 419 KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun apabila seorang pejabat :1. Menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk menggerakkan supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya2. Yang menerima hadiah mengetahui bahwa hadiah itu diberikan sebagai akibat atau oleh karena si penerima telah melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.Kemudian pada UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupssi ancaman hukuman terhadap penerima suap disebutkan :Pasal 11Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pa sal 418 KUHP, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan denda paling sedikit Rp.50.000.000 dan paling banyak Rp.250.000.000,-Pasal 12Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 419, pasal 420, pasal 423, pasal 425 atau pasal 435 KUHP dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 dan paling banyak 1.000.000.000.Ada beberapa kasus yang menyeret pelaku suap ini ke jeruji penjara, antara lain korupsi pengadaan alat-alat kesehatan atas nama Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Barat dr. HL Sekarningrat. Pengadilan Negeri Mataram dalam putusan No. 274/PID.B/2004/PN.MTR tanggal 17 Pebruari 2005 memutusakan bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima sejumlahfeeproyek dari rekanan dengan janji atau hadiah yang berhubungan dengan jabatannya Pidana penjara 5 bulan dan denda 10 juta Rupiah subsider bulan kurungan.b. Menggabungkan atau memecah paket pekerjaanBerkaitan dengan pemaketan pekerjaan Perpres 54 tahun 2010 pada pasal 24 ayat 3 mengatur prosedur sebagai berikut :Dalam melakukan pemaketan Barang/Jasa, PA dilarang:a. menyatukan atau memusatkan beberapa kegiatan yang tersebar di beberapa lokasi/daerah yang menurut sifat pekerjaan dan tingkat efisiensinya seharusnya dilakukan di beberapa lokasi/daerah masing-masing;b. menyatukan beberapa paket pengadaan yang menurut sifat dan jenis pekerjaannya bisa dipisahkan dan/atau besaran nilainya seharusnya dilakukan oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasi kecil;c. memecah Pengadaan Barang/Jasa menjadi beberapa paket dengan maksud menghindari pelelangan; dan/ataud. menentukan kriteria, persyaratan atau prosedur pengadaan yang diskriminatif dan/atau dengan pertimbangan yang tidak obyektif.Pemecahan atau penggabungan paket bisa dilakukan dengan pertimbangan yang jelas dan sesuai dengan prinsip pengadaan yang efektif dan efisien. Pemecahan paket dapat dilakukan karena perbedaan target penyedia, perbedaan lokasi penerima/pengguna barang yang cukup signifikan, atau perbedaan waktu pemakaian dari barang dan jasa tersebut. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Undang-undang Nomor 31 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mengatur ancaman perbuatan menggabungkan atau memecah paket. Pada perpres 54 tahun 2010 jo Perpres 70 tahun 2012 juga tidak ada ancaman terhadap penggabungan atau pemecahan paket. Ancaman tindak pidana muncul apabila dapat dibuktikan bahwa pemecahan atau penggabungan paket tersebut diikuti dengan praktek penggelembungan harga. Apabila hal ini terjadi maka praktek penggelembungan harga inilah yang diancam hukuman.c. Penggelumbungan hargaMerujuk pada Perpres 54 tahun 2010 diatur mengenai etika pengadaan dimana pada pasal 6 disebutkan salah satunya adalah menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang dan jasa. Etika pengadaan tersebut menegaskan bahwa rekanan maupun pengelola pengadaan secara tegas dilarang melaksanakan pengadaan barang/jasa yang dapat mengakibatkan pemborosan keuangan negara. Semua peristiwa tindak pidana pengadaan barang dan jasa hampir selalu mengakibatkan pemborosan.Praktek penggelembungan harga ini diawali dari penentuan HPS yang terlalu tinggi karena penawaran harga peserta lelang/seleksi tidak boleh melebihi HPS sebagaimana diatur pada pasal 66 Perepres 54 tahun 2010 dimana HPS adalah dasar untuk menetapkan batas tertinggi penawaran yang sah untuk Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/JasaLainnya dan Pengadaan Jasa Konsultansi yang menggunakan metode Pagu Anggaran. Penyusunan HPS dikalkulasikan secara keahlian berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan.Contoh penyimpangan yang dapat terjadi dapat dilihat dalam kasus pengadaan alat pendidikan dokter di di Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan (BPPSDMK) pada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2010, yang mana Kejaksaan Agung telah menetapkan 3 tersangkanya. Dalam kasus ini diduga telah terjadi rekayasa harga dalam tender pengadaan alat pendidikan dokter tersebut Tersangka Widianto Aim berperan membuat penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang tidak profesional terkait tender pengadaan alat pendidikan dokter rumah sakit tersebut. Kemudian tersangka Syamsul Bahri sebagai Kasubag Program dan Anggaran (PA) juga terkait dalam penetapan HPS dalam tender tersebut. Terakhir, tersangka Bantu Marpaung sebagai pemenang tender terkait dalam penetapan HPS tender tersebut.Kasus mark up yang lain misalnyamark-uppada pengadaan dua unit Helikopter jenis MI-2 buatan Rostov-Rusia oleh Pemda NAD dengan terdakwa Sdr. Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si. (mantan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam). Pengadilan Tipikor dan diperkuat oleh MA telah memvonis Ir. H. Abdullah Puteh 10 tahun penjara, uang pengganti 4,5 miliar rupiah dan denda 0,5 miliar rupiah. Terdakwa dipidana 10 tahun penjara dan harus membayar uang pengganti 4,5 miliar rupiah dan denda 0,5 miliar rupiah.d. Mengurangi kuantitas dan atau kualitas barang dan jasaDalam setiap pengadaan barang dan jasa senantiasa diikuti dengan bukti perjanjian baik dalam bentuk Surat Perjanjian/kontrak maupun Surat Perintah Kerja (SPK). Kontrak adalah bentuk kesepakatan tertulis antara penyedia dan pengguna barang/jasa tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dalam kontrak selalu diatur tentang kuantitas dan kualitas barang dan jasa yang diperjanjikan, sehingga setiap usaha untuk mengurangi kuantitas atau kualitas barang dan jasa adalah tindak pidana.Pengurangan kuantitas dan kualitas ini seringkali dilakukan bersamaan dengan pemalsuan dokumen berita acara serah terima barang, dimana penyerahan barang diikuti berita acara yang menyatakan bahwa penyerahan barang telah dilakukan sesuai dengan kontrak. Terhadap hal ini KUHP pada pasal 263 menyatakan :(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan, seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.Pada Perpres 54 tahun 2010 pada pasal 18 diatur tentang tugas pokok dan kewenangan dari Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP), dimana PPHP mempunyai tugas pokok dan kewenangan sebagai berikut :a. melakukan pemeriksaan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Kontrak;b. menerima hasil Pengadaan Barang/Jasa setelah melalui pemeriksaan/pengujian; danc. membuat dan menandatangani Berita Acara Serah TerimaHasil Pekerjaan.Secara legal formal tanggung jawab untuk menyatakan bahwa barang atau jasa yang diserahkan telah sesuai dengan kontrak baik kualitas maupun kuantitasnya adalah PPHP. Namun secara material penyedia barang dan jasa juga harus bertanggungjawab terhadap kekurangan ini. Penyedia yang melakukan kecurangan ini bisa dikenai tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 7 UU 20 Tahun 2001 merujuk pada Pasal 387 dan Pasal 388 KUHP yang kualifikasinya adalah melakukan perbuatan curang bagi pemborong, ahli bangunan dan pengawas, sehingga membahayakan keamanan orang atau barang dan membahayakan keselamatan negaraPerbuatan curang yang dilakukan adalah pemborong misalnya melakukan pembangunan suatu bangunan tidak sesuai atau menyalahi ketentuan yang sudah diatur dan disepakati yang tertuang dalam surat perjanjian kerja atau leveransir, bahan bangunan yang dipesan/dibeli darinya tidak sesuai dengan yang diperjanjikan. Perbutan curang ini tidak perlu mengakibatkan bangunan itu roboh atau negara menjadi betul-betul bahaya, karena dalam unsurnya dikatakan "dapat membahayakan keamanan orang atau barang dan membahayakan keselamatan negara"e. Penunjukan langsungPenunjukan langsung adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa dengan menunjuk langsung 1 penyedia barang/jasa yang memenuhi syarat. Dalam Perpres 54 tahun 2010 pasal 38 menyebutkan bahwa penunjukan langsung dapat dilakukan dalam hal:a. keadaan tertentu; dan/ataub. pengadaan Barang khusus/Pekerjaan Konstruksi khusus/Jasa Lainnya yang bersifat khusus.Penunjukan langsung dapat dilakukan sepanjang memenuhikriteria yang diuraikan secara ketatpada pasal 38 dan pasal 44. Penunjukan langsung yang terjadi diluar yang telah ditetapkan dalam Perpres tersebut adalah ilegal. Dalam beberapa kasus penunjukan langsung ini juga diikuti dengan pengelembungan harga, karena tentu harus ada fee yang diberikan penyedia barang/jasa sebagai ucapan terimakasih kepada pejabat yang menunjuk.Beberapa kasus penunjukan langsung yang terjadi seperti kasus pengadaan dan pembelian pesawat terbang jenis Fokker 27 seri 600, dengan putusan No. 43 K/Pid/2007, atas nama terdakwa Drs. David Agustein Hubi. Dalam kasus ini, pelaksanaan proyek pengadaan dan pembelian pesawat terbang tersebut tidak berpedoman pada Keppres No. 18 tahun 2000 (merupakan peraturan yang berlaku pada saat kejadian berlangsung) tentang pengadaan barang dan jasa, dimana proyek yang telah dilaksanakan tidak dilengkapi dengan SPK (Surat Perintah Kerja) maupun Kontrak Kerja akan tetapi hanya mendasari dengan surat perjanjian saja, disisi lain dalam pelaksanaan proyek tidak dilakukan tender dan analisa kewajaran harga. Terdakwa didakwa telah melanggar Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP. Pengadilan Negeri Menghukum Terdakwa atas ketiga perbuatan tersebut dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan Denda sebesar Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan. Oleh pengadilan tinggi, hukuman ini ditambah menjadi pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan membayar uang pengganti kepada Negara sebesar Rp. 1.661.000.000,- (satu milyar enam ratus enam puluh satu juta rupiah).f. Kolusi antara penyedia dan pengelola pengadaan.Kolusi yang bisa memicu terjadinya tindak pidana antara laina. Membuat spesifikasi barang/jasa yang mengarah ke rekanan tertentub. Mengatur/Merekayasa Proses Pengadaanc. Membuat syarat-syarat untuk membatasi peserta lelangPada Perpres 54 tahun 2010 pada pasal 24 disebutkan tentang pelarangan menentukan kriteria, persyaratan atau prosedur pengadaan yang diskriminatif dan/atau dengan pertimbangan yang tidak obyektif.Kemudian pada pasal 56 juga disebutkan :Perbuatan atau tindakan penyedia Barang/Jasa yang dapat dikenakan sanksi adalah:a. berusaha mempengaruhi ULP/Pejabat Pengadaan/pihak lain yang berwenang dalam bentuk dan cara apapun, baik langsung maupun tidak langsung guna memenuhi keinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan/Kontrak, dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan;b. melakukan persekongkolan dengan Penyedia Barang/Jasa lain untuk mengatur Harga Penawaran diluar prosedur pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, sehingga mengurangi/menghambat/memperkecil dan/ atau meniadakan persaingan yang sehat dan/atau merugikan orang lain;Muara dari kolusi tersebut adalah peniadaan kompetisi dalam pengadaan barang dan jasa. Kompetisi dalam pengadaan publik berarti penyedia secara independen bersaing untuk menawarkan barang/jasa dalam suatu proses pemilihan. Kompetisi yang sehat merupakan elemen kunci yang akan menghasilkan penawaran yang paling menguntungkan bagi pemerintah khususnya harga paling rendah dan kualitas barang yang paling baik. Bagi penyedia kompetisi berfungsi sebagai pendorong penting tumbuhnya inovasi produk barang/jasa untuk menghasilkan produk terbaik dengan harga bersaing. Kompetisi hanya bisa tercapai jika tidak ada kolusi dalam tender, salah satu masalah yang paling menonjol dalam korupsi pengadaan di sektor publik. Penyedia akan bersaing dengan sehat ketika mereka yakin bahwa mereka disediakan semua informasi yang sama dan akan dievaluasi dengan metode evaluasi yang tidak diskriminatif, serta tersedia mekanisme untuk melakukan sanggahan terhadap keputusan hasil evaluasi.Beberapa contoh praktek persyaratan yang diskriminatif antara lain peserta tender harus menunjukkan saldo kas dengan jumlah tertentu, Laporan keuangan peserta tender harus sudah diaudit KAP, Peserta harus memiliki rekening pada bank tertentu. Dalam Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah maka Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang melakukan penyimpangan dapat dikenai sanksi sebagaimana dirumuskan Pasal 118 : apabila terjadi pelanggaran dan/atau kecurangan dalam proses Pengadaan Barang/Jasa, maka Unit Layanan Pengadaan (ULP) dikenakan sanksi administrasi, dituntut ganti rugi; dan/atau dilaporkan secara pidana.PenutupDengan memahami praktik-praktik yang memicu tindakan pidana dalam pengadaan barang dan jasa diatas diharapkan para pengelola pengadaan barang dan jasa dapat mengantisipasi resiko pidana tersebut. Resiko pidana dapat diantisipasi dengan beberapa jalan1. Menghindari resiko, dapat dilakukan dengan mengimplementasikan pengadaan barang dan jasa yang tepat sesuai Perpres 54 tahun 2010 jo Perpres 35 tahun 2011 jo Perpres 70 tahun 2012 serta aturan-aturan pelaksanaannya.2. Memindahkan resiko kepada pihak lain, dapat dilakukan dengan meminta penjelasan tertulis (fatwa) untuk permasalahan-permasalahan yang tidak jelas kepada lembaga yang berkompenten seperti BPK, BPKP, LKPP, KPK dan pihak lain yang berkompenten.3. Mengurangi resiko, dapat dilakukan dengan melibatkan tenaga ahli sebagai penerima barang, melibatkan konsultan hukum dalam merancang kontrak, memperkuat sistem pengawasan internal dari KPA atau PPK.Daftar Pustaka1. Amirudin. 2012 Analisis Pola Pemberantasan Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa2. Muhammad Jasin dkk. 2007. Memahami untuk melayani, Melaksanakan E-Announcement dan E-Procurement dalam Sistem Pengadaan Barang dan Jasa. Komisi Pemberantasan Korupsi3. Indonesia Procurement Watch. 2011 Laporan Survey Jejak Suap dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah4. Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 jo Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah5. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.6. Suswinarno Ak, MM. 2013 Mengantisipasi Resiko dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah7.www.pantau-pengadaan.org. Kajian Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah dari Perspektif Hukum Pidana dan Kriminologi8. http://www.merdeka.com9. http://www.hukumonline.com

ANALISIS KASUS KORUPSI PENGADAAN ALAT KESEHATAN: Akar Masalah & e-Katalog Sebagai Suatu Solusi

I. PENDAHULUANBeberapa tahun terakhir ini, kita dihebohkan oleh beberapa kasus pengadaan alat kesehatan (alkes) yang menyeret nama-nama pejabat atau mantan pejabat penting negeri ini, sebut saja kasus pengadaan rontgen portable untuk pelayanan Puskesmas di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan pulau-pulau kecil adalah dari anggaran Kemenkes 2007 yang merugikan keuangan negara sebesar Rp9,4 miliar.Kasus pengadaan alat kesehatan lain yang lebih heboh terjadi pada Pemerintah Provinsi Banten tahun anggaran 2010-2012 yang menyeret gubernur non aktif karena diduga terjadi penggelembungan nilai pengadaan yang merugikan keuangan daerah sampai Rp 30,3 miliar dengan rincian adanya alkes yang diterima tidak lengkap yang nilainya sampai Rp 5,8 miliar, tidak sesuai dengan spesifikasi sebesar Rp 6,3 miliar, alat kesehatan yang diduga fiktif karena tidak ditemukan wujudnya sampai Rp 18,1 miliar.Koordinator Divisi Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri menyatakan, sektor kesehatan masih terjangkit virus korupsi. Selama periode 2001-2013 penegak hukum (Kejaksaan, Kepolisian dan KPK) di seluruh Indonesia telah berhasil menindak 122 kasus korupsi kesehatan, kerugian negara Rp 594 miliar. Kerugian negara kasus korupsi ini setara dengan pembiayaan iuran JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) untuk 2,5 juta penduduk miskin atau pembiayaan operasional bagi 594 ribu pos yandu di seluruh Indonesia (26/1/2014).Kasus korupsi ini juga telah menjadikan sejumlah pejabat tinggi terkait kesehatan di pemerintahan pusat dan daerah menjadi tersangka. Beberapa pejabat tinggi tersebut antara lain 2 Menkes, 2 Dirjen Kemkes, 7 Anggota DPR/DPRD, 3 Kepala Daerah, 31 Kepala Dinas Kesehatan, 14 Direktur Rumah Sakit dan 5 Kepala Puskesmas dan lainnya.Dana program kuratif di dalam APBN dan APBD Kesehatan atau merupakan dana paling rawan korupsi di antara dana untuk program promotif, preventif, dan rehabilitatif.Dari 122 kasus korupsi kesehatan, sebagian besar (93 persen) di antaranya merupakan kasus yang melibatkan pengelolaan dana program kuratif seperti pengadaan alat kesehatan (alkes), obat, pembangunan/rehabilitasi rumah sakit dan puskesmas, jaminan kesehatan, pembangunan laboratorium dan lain sebagainya. Di antara dana program kuratif tersebut, lanjutnya, dana pengadaan alkes merupakan paling banyak dikorupsi (43 kasus) dengan kerugian negara Rp 442 miliar.Berdasarkan pemantauan ICW, 46 kasus korupsi terjadi di Dinkes Provinsi/Kabupaten/Kota, 55 kasus di rumah sakit, dan 9 kasus di puskesmas seluruh Indonesia. Total kerugian negara di 3 lembaga kesehatan ini mencapai Rp 210,1 miliar.Para pejabat korup pada sektor kesehatan telah mencederai upaya pembangunan kesehatan yang oleh Notoatmodjo bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis (Notoadmodjo, 2010:53). Mengapa? Karena anggaran untuk membangun sektor kesehatan justru digunakan untuk memperkaya diri dan kelompoknya dan mengabaikan hak masyarakat untuk mendapatkan alat kesehatan dan pelayanan kesehatan.II. PEMBAHASANA.CONTOH KASUSA.1. KasusPengadaan Rontgen Portable Kemenkes 2007Kasus pengadaan rontgen portable untuk pelayanan Puskesmas di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan pulau-pulau kecil adalah dari anggaran Kemenkes 2007 yang merugikan keuangan negara sebesar Rp9,4 miliar. Sebelumnya, sejumlah tersangka dalam kasus ini telah ditetapkan yakni Kepala Biro Perencanaan, berinisial M, dan mantan Direktur Kesehatan Komunitas Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat di Kementerian Kesehatan, berinisial ES. Mereka diduga menggelembungkan harga barang, dan tidak menyalurkan alat kesehatan sesuai peruntukannya, Puskesmas di daerah tertinggal.Tersangka SA, yang juga mantan Sekretaris Jenderal Departemen Kesehatan ditetapkan sebagai tersangka karena diduga telah menerima sejumlah uang dalam pengadaan ini dari rekanan sekitar Rp 750 juta. SA dijerat dengan pasal 3 atau pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Kesaksian Dwi Prahoro sebagai saksi ahli Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap terdakwa mantan Komisaris Utama PT Kimia Farma, BM, dalam sidang Tipikor di Kuningan, Jakarta, Senin (26/7/2010), Kerugian negara dihitung dari jumlah netto yang dibayar negara kepada PT Kimia Farma kemudian dikurangi jumlah harga perolehan PT Bhineka Usada Raya (BUR) dan PT METEX serta biaya pelatihan yang dikeluarkan PT Kimia Farma.Rincian kerugian negara, lanjutnya dihitung dari jumlah yang dibayar oleh pihak proyek (Depkes) kepada PT Kimia Farma sebesar Rp. 17.183.540.000. Jumlah itu dipotong PPN dan PPH serta total pajak yang masing-masing sebesar Rp. 1.562.140.000, Rp. 234.320.000 dan Rp. 1.796.461.000. Dari jumlah netto ini saya mendapat harga perolehan dari alatrontgen portableberikut aksesorisnya sebesar Rp. 5.580.397.000. Hasil netto yang dibayar kepada Kimia Farma sebesar Rp. 15.387.790.000. Nilai kerugian negara sebelum biaya POT (Planning of Trading) sebesar Rp. 9.806.778.022. Dari jumlah tersebut kemudian dikurangi POT yang dikeluarkan Kimia Farma sebesar Rp. 326.276.969. Jadi totalnya negara dirugikan Rp 9.480.500.053. Nilai hitung-hitungan ini menurutnya didasarkan pada faktur-faktur pembelian yang dikeluarkan oleh PT BUR dan PT Metex.Seperti diketahui kasus markup pengadaan alat rontgen ini terjadi pada tahun 2007 dengan nilai proyek sekitar Rp15 miliar. Akibat markup ini, negara dirugikan sebesar Rp 9,48 miliar. Di Kepolisian telah dimulai proses penyidikannya pada 28 Maret 2012 dan menjerat SF yang diduga telah menyalahgunakan wewenang terkait pengadaan alat kesehatan buffer stock dengan metode penunjukan langsung, walaupun yang bersangkutan telah membantahnya. Kepolisisn telah melimpahkan kasusnya ke KPK menurut Jubir KPK, Johan Budi di kantornya, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (20/3/2014).A.2. Kasuspengadaan alat kesehatan Provinsi BantenWakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Bambang Widjojanto mengatakan, terkait pengadaan alat kesehatan di Banten tahun anggaran 2010-2012 terjadi penggelembungan yang diduga merugikan keuangan daerah sampai Rp 30,3 miliar. Kerugian itu disebabkan adanya alat kesehatan yang diterima tidak lengkap yang nilainya sampai Rp 5,8 miliar, tidak sesuai dengan spesifikasi sebesar Rp 6,3 miliar, alat kesehatan yang diduga fiktif karena tidak ditemukan wujudnya sampai Rp 18,1 miliar.KPK mengendus adanya dugaan penyimpangan dalam proses tender proyek pengadaan alat kesehatan itu berdasarkan laporan Badan pemeriksa Keuangan (BPK), terutama proyek alat-alat kedokteran umum yang dimenangkan oleh PT Marbago Duta Persada dengan nilai sebesar Rp2.870.763.000, pengadaan alat kesehatan penunjang Puskesmas yang dimenangkan oleh PT Mikkindo Adiguna Pratama senilai Rp10.310.388.000 dan pengadaan alat kesehatan kedokteran umum Puskesmas sebesar Rp23.523.185.000 yang juga dimenangkan oleh PT Mikkindo Adiguna Pratama dan uniknya semua perusahaan itu milik TCW.Untuk proyek alat-alat kedokteran umum yang dimenangkan oleh PT Marbago Duta Persada, FITRA menilai pemenang lelang itu terlalu mahal. Ada penawaran yang murah dan rendah seperti dari PT Palugada Mandiri sebesar Rp2,1 miliar, PT Dini Usaha Mandiri sebesar Rp2,6 miliar. Ada perusahaan lain yang memiliki penawaran lebih murah, tapi kalah.Pengadaan alat kesehatan Penunjang Puskesmas yang HPS-nya sebesar Rp10.473.758.000 juga sama anehnya.Komisi Pemberantasan Korupsi tengah melakukan penyidikan dalam kasus tindak pidana korupsi proyek pengadaan Alat Kesehatan Kedokteran Umum di Puskesmas Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Banten, tahun anggaran 2012. Proyek senilai Rp23,1 miliar itu dimenangkan oleh PT Mikkindo Adiguna Pratama dan menetapkan tiga orang tersangka yaitu TCW, Komisari perusahaan PT Mikkindo Adiguna Pratama DP dan Kepala Bidang Promosi Kesehatan dan Sumber Daya Kesehatan MJ. Menurut Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas dari 99 proyek Alkes di Tangsel dan Banten (tahun 2012-2013) dengan nilai kontrak Rp596,49 miliar, semua dimenangkan oleh perusahan milik langsung Keluarga Atut dan jaringan kroninya. Mereka melakukan markup Harga Perkiraan Sendiri (HPS), menyediakan barang tidak sesuai spesifikasi dan ada yang fiktif. Penempatan NU yang lulusan jurusan ilmu sosial menjadi direktur RSUD Tangsel. Padahal, Peraturan Menteri Kesehatan nomor 971 tahun 2009 tentang Standar Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan, mengharuskan seorang direktur rumah sakit harus berasal dari kalangan tenaga medis.B.AKAR MASALAH PENGADAAN ALAT KESEHATANHasil penelitian Puslitbang Depkes menunjukkan bahwa perencanaan dan pelaksanaan peraturan/perundangan tentang pemanfaatan dan pemeliharaan alat kesehatan dan sarana penunjangnya di rumah sakit 60,4% mengacu pada kebijakan yang berlaku, baik kebijakan dari pusat maupun kebijakan intern rumah sakit yang bersangkutan tentang prosedur perencanaan dan pengadaaan alat kesehatan dan sarana penunjangnya.Hasil Kajian terhadap proses perencanaan pengadaan peralatan dirumah sakit berdasarkan analisa kebutuhan secara klinis dengan studi kelayakan dan sesuai dengan kebijakan, namun tidak sesuai dengan spesifikasi alat yang dibutuhkan.Perhitungan tarif seringkali berdasar tarif kompetitor sehingga komponen biaya pemeliharaan tidak diperhitungkan, sehingga penggunaaan alat tidak efisien. Data menunjukkan terjadinya peningkatan pemanfaatan alat kesehatan setiap tahun, namun hal ini tidak bisa diasumsikan bahwa pemakaiannya sudah sesuai dengan indikasi penggunaannya. Tidak adanya data yang rinci terhadap setiap penggunaan atau tindakan dari peralatan tersebut sehingga dari 10 besar penyakit yang ada di RS tidak dapat menggambarkan pemanfaatan alat kesehatan.SOP pemanfaatan dilakukan dengan benar dan sesuai prosedur tetapi SOP pemeliharaan kurang sesuai dengan prosedur. Pengetahuan petugas operator alat tentang pemeliharaan dan pemanfaatan alat kesehatan dan sarana penunjangnya masih kurang. Ada beberapa dilema yang dihadapi pemerintah daerah ketika berhadapan dengan pengadaan alat kesehatan yang dari segi dananya biasanya puluhan milyar dan harus tender.Rahmad Daulay menguraikan beberapa masalah dalam pengadaan alat kesehatan.Masalah pertamaberada pada penentuan dan penetapan spesifikasi. Namanya juga spesifikasi, tentu isinya adalah tentang identitas barang secara spesifik. Setiap merek barang akan memiliki spesifikasi yang berbeda satu sama lain walaupun fungsi umum dan fungsi khususnya sama. Di sini masalahnya. Pada peraturan tender disebutkan bahwa dalam penetapan spesifikasi barang dilarang mengarah pada merek tertentu. Bagaimana menterjemahkan dan menerapkan hal ini? Bagaimana mungkin menetapkan spesifikasi barang tanpa mengarah pada merek tertentu padahal setiap barang memiliki spesifikasi yang berbeda ? Di sini saja para pengelola tender sudah dibuat pusing tujuh keliling. Biasanya para pengelola tender mengambil jalan aman dengan menggabung-gabungkan spesifikasi beberapa barang minimal 3 spesifikasi barang, makin banyak makin baik.Masalah keduaadalah pada penentuan harga survei (HPS = harga perkiraan sendiri). Pada umumnya alat kesehatan adalah barang impor. Barang impor berarti ada importir dan distributor utama. Setiap barang importirnya tidak banyak, malah ada yang setiap barang hanya memiliki 1 importir. Artinya setiap barang hanya akan memiliki 1 harga. Setiap merek hanya akan memiliki 1 harga. Sedangkan HPS harus dibuat secara survei harga minimal 3 sumber harga. Di sinilah masalahnya. Bagaimana cara mencari minimal 3 sumber harga apabila ternyata barang tersebut hanya punya 1 distributor sebagai sumber harga ? Apakah harus mencari sumber harga ke beberapa subdistributor, bukankah ini pemborosan karena harganya sudah pasti sama atau hampir sama ? Biasanya para pengelola tender mengambil jalan aman dengan menggabung-gabungkan beberapa harga dari subdistributor atau menggabungkan sumber harga dari distributor dari beberapa merek.Masalah ketigaterjadi pada waktu tender. Sebagai barang berteknologi menengah atau berteknologi tinggi maka metode evaluasi yang dilakukan biasanya sistem nilai dengan memberi skor kepada aspek teknis dan skor tertinggi menjadi pemenang tender. Dengan metode ini maka harga terendah belum tentu jadi pemenang. Dengan sistem skor ini maka kesesuaian spesifikasi menjadi salah satu aspek teknis sehingga bisa saja barang yang ditawarkan meleset 100 % dari spesifikasi yang ditentukan dalam dokumen tender namun tidak membuatnya gugur tapi hanya memperoleh skor nol pada aspek teknis kesesuaian spesifikasi. Hanya saja terjadi paradoks pada peraturan tender karena walaupun metode evaluasi sudah sistem nilai teknis namun juga diatur bahwa besaran bobot biaya bervariasi antara 70 % 90 %. Aspek teknis yang dinilai mestinya didominasi oleh skor aspek teknis, tapi justru aspek harga diberi skor sangat tinggi sampai minimal 70 % dan maksimal 90 %. Sehingga bila perusahaan peserta lelang menawar pada posisi penawaran terendah maka akan memperoleh skor teknis sangat tinggi dan punya peluang menjadi pemenang.Masalah keempatadalah pada saat pelaksanaan kontrak. Namanya juga barang impor belum tentu memiliki ketersediaan stok barang di dalam negeri. Kalaupun ada stok barang namun menjadi rebutan dari beberapa perusahaan. Sehingga pengadaan barang tersebut harus pesan lagi ke produsen luar negeri dan membutuhkan waktu untuk menjadi barang jadi dan bisa dikirim ke Indonesia. Apabila kontrak ditandatangani setelah pertengahan tahun atau di akhir tahun maka bisa dipastikan bahwa kontrak tidak akan terpenuhi dan harus putus kontrak.Dari keempat permasalahan di atas dalam berbagai variasinya sudah menjadi penyebab utama kasus-kasus penyimpangan pengadaan alat kesehatan baik yang terjadi di instansi pemerintah pusat maupun di instansi pemerintah daerah. Spesifikasi yg mengarah pada satu merek, harga tidak sesuai yang seharusnya, tender tidak prosedural dan gagal kontrak menjadi mendominasi permasalahan yang terungkap ke permukaan.LKPP telah membuat satu terobosan untuk mengatasi hal-hal di atas dengan meluncurkan program e-katalog.C. e-KATALOG PENGADAN BARANG/JASA PUBLIK SEBAGAI SUATU SOLUSIDi tengah skeptisisme publik atas program pemberantasan korupsi yang terkesan setengah hati, sebuah harapan baru kembali dimunculkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) pada penghujung 2012. Mulai 2013, pengadaan layanan koneksi Internet sampai dengan 30 Mbps untuk lembaga pemerintah dapat membeli langsung tanpa melalui lelang. Sebanyak 27Internet Service Provider(ISP) telah bergabung untuk inisiatif ini. Ini tentu baru langkah awal dalam pengembangan e-katalog (http://e-katalog.lkpp.go.id) dalam pengadaan barang/jasa secara online (e-procurement). Di waktu mendatang diharapkan semakin banyak barang/jasa dengan spefisikasi yang terstandardkan (seperti kendaraan bermotor, alat-alat kesehatan) yang masuk dalam e-katalog. Dalam e-katalog yang tersedia online dicantumkan spesifikasi barang/jasa dan harga yang ditawarkan oleh rekanan.Apa manfaatnya? Pertama, e-katalog menjadikan proses pengadaan barang/jasa di sektor publik lebih efisien. Waktu pengadaan yang pendek dan persaingan sehat rekanan menunguntungkan pemerintah dalam mendapatkan harga terbaik. Kedua, e-katalog juga dapat meningkatkan transparansi. Dalam kasus koneksi Internet, semua ISP memberikan harga layanan secara terbuka. Dengan demikian, masalah kebocoran anggaran yang sering terjadi dalam pengadaaan barang/jasa bisa ditekan. Ketiga, e-katalog yang menyederhanakan proses akan mengundang semakin banyak rekanan untuk berpartisipasi. E-katalog telah menghilangkan administrasi dan proses pengadaan barang/jasa yang cenderung rumit (red tape). Manfaat seperti ini akan semakin terasa, ketika semakin banyak barang/jasa yang dimasukkan ke dalam e-katalog.Harapan ini dilengkapi dengan kampanye LKPP untuk penggunaane-procurementuntuk 100% dalam pengadaan barang/jasa sektor publik. Kampanye ini bisa dikaitkan dengan Instruksi Presiden No. 17/2011 tentang pencegahan dan pemberantasan korupsi, yang mengharuskan lembaga pemerintah pada tahun 2012 melakukan lelang secara online: sebanyak 40% anggaran pengadaan (untuk provinsi/kabupaten/kota) dan 75% (untuk lembaga di pusat). Apakah semuanya akan berjalan mulus? Belum tentu.Sampai saat ini, belum ada statistik resmi capaian instruksi ini, termasuk sanksi apa yang diberikan kepada lembaga pemerintah yang gagal mencapai target. Namun demikian, tidak sulit untuk memprediksi, bahwa untuk beberapa lembaga pemerintah yang berkomitmen tinggi nampaknya target yang diset tidak terlalu sulit dicapai, dan bahkan mudah untuk dilalui. Kota Yogyakarta adalah salah satu contoh pionire-procurementdi Indonesia untuk tingkat pemerintah kabupaten/kota, selain Surabaya dan Bogor. Data dari lapangan menunjukkan bahwa penggunaane-procurementselain memberikan efisiensi harga, juga telah menjadikan proses lelang semakin cepat, disamping menjadikan petugas pengadaan bebas dari teror. Namun menjadi pionir tentu tidak cukup, seperti halnya kabupaten/kota lain, jika initiatif tidak dikawal secara konsisten secara terus menerus. Beberapa di antaranya adalah dengan melembagakane-procurement, menjadikannya sebagai rutinitas dan memberikan dukungan politik yang pantang surut.Sebaliknya, beberapa lembaga pemerintah lain, terutama di daerah, sangat mungkin harus berjuang keras untuk mencapainya. Kendala teknis bisa jadi hanya sebagian kecil masalah. Kendala non-teknis lebih mendominiasi.e-procurementsebagai bagian dari inisiatif e-government adalah keputusan politik yang tidak steril dari tarik-ulur kepentingan. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa konflik kepentingan antaraktor menjadi penghambat utama pelaksanaane-procurementdi banyak lembaga. Tidak jarang beragam trik dilakukan untuk tetap melanggengkan praktik lama, tetapi tetap mendapatkan legitimasi bahwa sebuah lembaga telah mengadopsie-procurement.Mengingat masih terjalnya jalan yang harus ditempuh menuju pengadaan barang/jasa yang semakin bermartabat dan bersih, partisipasi aktif yang tulus dari semakin banyak lembaga pemerintah adalah keniscayaan.Smart ReportLKPP, sampai 14 Januari 2013 menunjukkan bahwa inisiatife-procurementyang dimulai pada 2008, telah memfasilitasi lebih dari 100.000 lelang online, digunakan oleh lebih dari 270.000 rekanan, memberikan efisiensi sebanyak 11.20% (lebih dari Rp 19 triliun) dari total pagu aggaran lebih dari Rp 172 triliun.Direktur E-Procurement LKPP, Ikak G. Patriastomo menyatakan bahwa isu keberlanjutan suatu gerakan terjadi bila partisipasinya bersifat masif. Partisipasi semua pihak memerlukan sifat dan pendekatan yang memberi ruang semua pihak yang ingin mengambil peran. Tidak boleh ada dominasi dalam gerakan seperti ini, walaupun tetap diperlukan pengikat sehingga tidak menjadi gerakan acak. Prinsip yang mendasari inisiatife-procurementini, nampaknya dapat menjadikannya sebagai contoh untuk inisiatif nasional lain yang serupa. Karenanya, tidaklah berlebihan kalau kita memberikan apresiasi kepada LKPP dan segenap jajarannya di Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) di seluruh Indonesia.Apakahe-procurement, termasuk e-katalog, benar-benar dapat menghilangkan korupsi? Semoga, dan marilah terus berharap!III. PENUTUPA.KESIMPULANDampak korupsi pada sektor kesehatan dapat mengakibatkan menurunnya derajat kesehatan masyarakat yang berimbas pada IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Indikator IPM seperti angka kematian bayi dan angka harapan hidup sangat terkait dengan pendanaan sektor kesehatan. Apabila terjadi korupsi pada sektor kesehatan, maka akan berimbas penurunan angka harapan hidup dan menaikkan angka kematian bayi. Dampak korupsi lebih jauh adalah naik dan tingginya harga obat-obatan dan rendahnya kualitas alat kesehatan pada rumah sakit dan puskesmas serta sarana kesehatan masyarakat lainnya.Terjadinya kasus-kasus korupsi pada sektor kesehatan yang melibatkan pejabat pada kementerian kesehatan dan dinas kesehatan lokal menunjukkan rendahnya transparansi dan akuntabilitas serta kepatuhan pada hukum. Besarnya diskresi atau kewenangan pejabat dan rendahnya etika pejabat sektor kesehatan menyebabkan menguatnya dan meningkatnya kesempatan melakukan praktek korupsi disektor kesehatan.B.SARAN1. Penyempurnaan e-Katalog baik perluasan Jenis barang/Jasa Publik maupun spesifikasi, harga dan distributor serta subdistributornya.2. Pemanfaatan e-Katalog Pengadaan Barang/Jasa Publik sebagai suatu solusi.DAFTAR PUSTAKAPeraturan Presiden No. 54/2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Beserta Revisinya (Peraturan Presiden No. 70/2012)Slide Pengadaan barang dan Jasa, Drs. Nyoman Udayana Sangging, SH,MMSlide Pengadaan barang dan Jasa, Setya Budi Arijanta, SH. KNhttp://birokrasi.kompasiana.com/2013/11/06/pencegahan-korupsi-pengadaan-alat-kesehatan-607059.htmlhttp://hukum.kompasiana.com/2010/08/09/pengadaan-alat-kesehatan-yang-rawan-korupsi-220541.htmlhttp://analisadaily.com/news/read/ambil-alih-kasus-alkes-dari-polri-kpk-proses-siti-fadhilah/15405/2014/03/20http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/12/10/mxlajg-icw-negara-dirugikan-rp-193-miliar-akibat-proyek-alkes-banten-dan-tangselhttp://news.metrotvnews.com/read/2013/12/10/200457/Dugaan-Korupsi-Alkes-Banten-Tangsel-hingga-Rp193-Miliarhttp://seknasfitra.org/pengadaan-alat-kesehatan-pemkot-tangsel-janggal/http://pengadaan-barang-jasa.blogspot.com/2014/02/data-icw-korupsi-sektor-kesehatan-rp.htmlhttp://kesehatan.kompasiana.com/medis/2011/12/13/korupsi-pada-sektor-kesehatan-421118.htmlhttp://elektromedik.blogspot.com/2002/07/kajian-pemanfaatan-dan-pemeliharaan.htmlhttp://www.bantenposnews.com/berita-6893-tender-alkes-penuh-kejanggalan.htmlhttp://fathulwahid.wordpress.com/2013/02/05/e-katalog-pengadaan-barangjasa-publik/

Menyusun dan Menentukan Harga Perkiraan Sendiri (HPS)

Pasal 66 ayat (5) b Perpres 54 Tahun 2010, HPS digunakan sebagai dasar untuk menetapkan batas tertinggi penawaran yang sah untuk Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dan Pengadaan Jasa Konsultansi yang menggunakan metode Pagu Anggaran. Meskipun batas atas penawaran dengan evaluasi kualitas dan biaya adalah pagu, namun HPS tetap diumumkan (Lampiran Bab IV A Bagian B.1/2.a.2)).Untuk pengadaan barang/jasa tidak ada ketentuan mengenai batas atas keuntungan yang wajar yang boleh disampaikan oleh penyedia. Bagi Pokja ULP, HPS merupakan alat untuk menilai kewajaran harga. Perhitungan HPS harus dilakukan dengan cermat, dengan menggunakan data dasar dan mempertimbangkan harga pasar setempat pada waktu penyusunan HPS. RAB pada TOR/KAK dan Standar Harga yang ditetapkan Kepala Daerah hanya digunakan untuk menyusun anggaran, sedangkan HPS diperoleh dari hasil survei pasar terkini.

Keuntungan yang wajar bergantung pada sifat dan ruang lingkup pekerjaan, antara lain dengan mempertimbangkan tingkat perputaran barang/jasa yang ditawarkan (turn over). Semakin tinggi turn over barang/jasa akan mengakibatkan persentase overhead dan ekspektasi profit semakin rendah. Demikian pula dengan besaran volume (nilai) pekerjaan, semakin besar nilai pekerjaan akan semakin kecil ekspektasi keuntungan (profit).

Karena jenis barang/pekerjaan cukup beragam, maka format penetapan HPS disesuaikan dengan sifat dan ruang lingkup pekerjaan yang dikompetisikan. Silahkan gunakan format yang sudah ada dan mengacu kepada Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010, antara lain sudah memperhitungkan PPN dan keuntungan.

Sesuai dengan pasal 66 ayat (7) penyusunan HPS didasarkan salah satunya adalah harga pasar setempat yang didapat dari beberapa sumber informasi, Standar harga satuan yang dikeluarkan Pemerintah Daerah tidak dapat dijadikan dasar dalam penyusunan HPS, namun hanya digunakan untuk penyusunan RAB pada saat pengajuan anggaran. ULP dilarang menambah klausul mengenai harga wajar maksimal harus sesuai dengan Standar Harga Kepala Daerah. Meskipun demikian bilamana standar tersebut sudah dituangkan dalam DPA, maka penetapan HPS dan rinciannya tidak boleh melebihi Standar Harga Bupati. Mengingat HPS digunakan sebagai dasar untuk menetapkan batas tertinggi penawaran yang sah (pasal 66 ayat (5) huruf b), dan tidak boleh melampaui pagu yang tersedia (pasal 13).

HPS tetap diperlukan untuk semua metoda pemilihan, kecuali kontes dan sayembara

Standar Harga yang diterbitkan oleh Kepala Daerah tidak dapat dijadikan dasar untuk menghitung adanya kerugian Negara, demikian pula dengan HPS yang ditetapkan oleh PPK. Penyusunan HPS didasarkan pada data harga pasar setempat, yang diperoleh berdasarkan hasil survei menjelang dilaksanakannya Pengadaan (pasal 66 ayat (7), sehingga tidak dapat dijadikan dasar untuk menghitung kerugian Negara pada saat pemeriksaan dilakukan;

HPS dapat ditentukan dari nilai tertinggi, nilai tengah (median), nilai yang paling banyak muncul (modus) atau rata-rata (mean) dari hasil survei, sepanjang nilai tersebut diyakini dapat dipenuhi lebih dari 3 calon penyedia (bukan 3 produk). Nilai tersebut sudah termasuk keuntungan, overhead, dan pajak.

HPS jasa konsultansi terdiri dari komponen Biaya Langsung Personil (Remuneration), Biaya Langsung Non Personil (Direct Reimbursable Cost, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) (Lampiran IV-A Bagian A.3.a.2) e)). Penyusunan HPS Biaya Langsung Personil tenaga ahli dapat bersumber dari informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh asosiasi terkait dan sumber data lain yang dapat dipertanggungjawabkan, antara lain INKINDO (pasal 66 ayat (7) b). Namun dalam proses pemilihan Penyedia Jasa Konsultansi harus dilakukan negosiasi teknis dan biaya sehingga diperoleh harga yang sesuai dengan harga pasar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan (pasal 41 ayat (2))

Sedangkan penyusunan HPS untuk biaya non personil disesuaikan dengan ruang lingkup dan metodologi pekerjaan untuk mendukung pelaksanaan tugas penyedia jasa konsultansi tersebut. Harga Satuan Pekerjaan untuk biaya non personil jasa konsultansi dapat pula mengacu kepada Standar Biaya Umum yang ditetapkan Menteri Keuangan setiap tahun

Meskipun demikian pembayaran biaya langsung non personil yang dimaksud di atas tidak hanya mengacu kepada nilai yang disepakati di dalam kontrak, namun berdasarkan bukti pengeluaran yang disampaikan pada saat pembayaran (direct reimbursable cost). Oleh karena itu berdasarkan sifat dan ruang lingkup pekerjaan jasa konsultansi, maka kontrak yang tepat digunakan adalah kontrak harga satuan

Untuk pengadaan yang memiliki HPS di atas Rp.25.000.000.0000,00 (dua puluh lima juta rupiah) maka jaminan sanggahan banding sama yaitu Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Namun untuk pengadaan yang memiliki HPS bernilai sampai dengan Rp.25.000.000.0000,00 (dua puluh lima juta rupiah) maka jaminan sanggahan banding tergantung dari besaran nilai HPS, yaitu 2 per mil dari nilai HPS.

HPS dapat menggunakan kontrak dengan penyedia jasa sebelumnya yang sejenis dan harganya masih valid.

HPS digunakan sebagai dasar untuk menetapkan batas tertinggi penawaran yang sah untuk Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dan Pengadaan Jasa Konsultansi yang menggunakan metode Pagu Anggaran. Mengacu kepada uraian tersebut, dalam hal terdapat penawaran yang melebihi HPS tetapi tidak melebihi pagu tidak diperkenankan untuk dilaksanakan proses negosiasi dan harga, kecuali untuk pekerjaan jasa konsultansi

HPS harus dibuat per item pekerjaan yang disebut sebagai rincian HPS. Rincian tersebut bersifat rahasia bila belum tercantum dalam dokumen anggaran.

PPK bertanggung jawab untuk menetapkan HPS (pasal 11 ayat (1)), termasuk HPS biaya pemeliharaan gedung apabila satuan kerja PPK tidak memiliki pegawai yang menguasai teknis konstruksi. Meskipun demikian PPK dapat meminta bantuan tenaga ahli (konsultan perencana) untuk menyusun HPS.

Tidak ada batasan untuk keuntungan yang wajar, dapat disesuaikan dengan ruang lingkup pekerjaan yang dikompetisikan. Besar keuntungan tersebut juga menjadi salah satu faktor yang akan dikompetisikan.

HPS tidak dapat mencantumkan biaya tidak terduga. Oleh karena itu dalam hal pengadaan bibit ternak, rancangan kontrak dijelaskan bahwa pekerjaan harus diserahterimakan setelah selesai masa pemeliharaan bibit ternak tersebut dalam beberapa kurun waktu tertentu. Dengan demikian pekerjaan ini termasuk pekerjaan pengadaan jasa lainnya, yang terdiri dari paket pengadaan bibit ternak dan jasa pemeliharaan bibit ternak di tempat pemilik pekerjaan atau tempat dimana bibit ternak tersebut akan dikembang biakkan. Serah terima pekerjaan kepada PPK dilakukan bila bibit ternak yang dikirimkan dianggap sudah dapat menyesuaikan diri dengan habitat yang baru dalam jangka waktu tertentu (misalnya sebulan). PPK selanjutnya langsung menyerahkan kepada petani. Risiko kematian bibit bibit ternak tersebut selanjutnya bukan merupakan tanggung jawab PPK.

Dalam menyusun HPS dapat ditambahkan keuntungan yang wajar dari jasa yang diberikan penyedia, besarannya mengacu kepada nilai pekerjaan, umumnya 10% (sepuluh perseratus). Semakin besar nilai pekerjaan, persentase keuntungan terhadap jasa yang diberikan dapat semakin kecil dan menjadi salah satu item yang dikompetisikan.

Yang menjadi dasar penentuan metoda pemilihan penyedia adalah nilai HPS dari pengadaan tersebut. Pemilihan metode pelelangan ditentukan oleh nilai HPS yang ditetapkan oleh PPK, tidak harus mengacu kepada nilai pagu anggaran karena penawaran pada pelelangan tidak boleh melebihi HPS. Demikian pula dengan pemilihan metode seleksi jasa konsultan, namun penawaran diatas HPS tidak menggugurkan sepanjang hasil negosiasi tidak melebihi pagu anggaran. Untuk jasa konsultan jika HPS dibawah Rp 10 miliar sedangkan pagu anggaran di atas Rp 10 miliar, maka penetapan pemenang untuk penawaran di atas Rp 10 miliar dilakukan oleh Pengguna Anggaran sesuai ketentuan yang disebut diatas. Penambahan unsur keuntungan dalam penentuan HPS bergantung pada hasil survei PPK/Pokja ULP. Umumnya keuntungan yang wajar adalah 10% (sepuluh perseratus), tetapi ada yang menambahkan keuntungan kurang dari 10% (sepuluh perseratus) dari harga dasar, antara lain karena dilakukan pengadaan dalam jumlah besar. Besar presentase keuntungan dapat pula lebih besar dari 10% (sepuluh perseratus), bilamana barang tersebut membutuhkan handling material yang lebih kompleks dan berisiko, misalnya barang impor. Sebelum memasukan keuntungan tersebut, sebaiknya dipastikan apakah harga yang didapat sudah merupakan harga dasar plus keuntungan atau belum. Dengan demikian tidak terjadi penambahan perhitungan keuntungan yang terkesan di mark-up.

Penetapan HPS dilakukan oleh PPK, dengan demikian PA tidak perlu memberikan persetujuan terhadap HPS yang ditetapkan. PPK sepenuhnya bertanggung jawab dalam penetapan HPS tersebut. Meskipun demikian untuk mencegah kerugian negara, maka Pokja ULP/Pejabat Pengadaan dapat melakukan survey harga kembali, bilamana diperlukan.

Sehubungan dengan telah disahkannya Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, kemudian Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, maka Surat Edaran Bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Departemen Keuangan Nomor 1203/D.II/03/2000 SE-38/A/2000 dapat dijadikan sebagai pedoman dalam penyusunan RAB dan HPS jasa konsultansi jika tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku diatasnya (lex posterior derogat priori). Peraturan yang dijadikan pedoman dalam pengadaan jasa konsultansi saat ini adalah Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 beserta lampirannya. Penentuan HPS dalam Keppres 80/2003 dan Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 didasarkan atas hasil survei pasar atau dapat pula mengacu kepada daftar yang dikeluarkan oleh asosiasi konsultan. Surat Edaran Bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Departemen Keuangan Nomor 1203/D.II/03/2000 SE-38/A/2000 menggantikan Surat Edaran Bersama Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan dan Deputi Ketua Bidang Pembiayaan dan Pengendalian Pelaksanaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor : SE-351A121/0298 dan Nomor 6041D.V110211998 Tanggal 14 Februari 1998 tentang Biaya Langsung Personil dan Biaya Langsung Non Personil untuk menyusun Rencana Anggaran Biaya (RAB) dan Harga Perhitungan Sendiri (HPS). SEB tahun 1998 mencantumkan besaran nilai biaya langsung personil untuk masing-masing kualifikasi tenaga ahli yang dilihat dari tingkat pendidikan dan pengalaman kerja, sehingga tidak sesuai dengan ketentuan Perpres No. 54 Tahun 2010.

Total penawaran biaya terkoreksi yang melebihi pagu anggaran mengugurkan penawaran. Total penawaran biaya terkoreksi yang melebihi HPS tidak menggugurkan penawaran sepanjang penawaran biaya tersebut masih dibawah atau sama dengan pagu anggaran. Jika total nilai HPS sama dengan nilai pagu anggaran maka total nilai HPS tersebut dijadikan patokan untuk menggugurkan penawaran biaya terkoreksi apabila melebihi total nilai HPS.

PPK dapat menentukan nilai HPS Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), walaupun pagu anggarannya Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). HPS dimaksud disusun dengan perhitungan dan pertimbangan yang seksama berdasarkan data dari sumber terpercaya dan sudah memperhitungankan keuntungan, biaya overhead dan pajak. Seleksi jasa konsultan dengan nilai tersebut dilakukan dengan seleksi sederhana/umum, yang pada prinsipnya harus dikompetisikan. Penyedia dapat menawarkan harga diatas HPS, kecuali untuk seleksi yang menggunakan metoda pagu anggaran (pasal 66 ayat 3).

Penyusunan HPS tidak hanya terbatas pada dua toko dan hanya satu jenis sumber saja, tetapi dari beberapa sumber seperti dinyatakan pada Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 pasal 66 ayat (7). Penambahan keuntungan dilakukan pada harga distributor/agen bukan pada harga pasar yang sudah memiliki unsur keuntungan, harga toko seperti yang dijelaskan diatas termasuk harga yang sudah memiliki unsur keuntungan. Penambahan biaya overhead diperkenankan ditambahkan jika memang pekerjaan tersebut memang membutuhkan biaya tersebut. Harga dasar tersebut ditambahkan keuntungan dan overhead, selanjutnya baru ditambahkan PPN. Didalam penyusunan HPS tidak memasukkan unsur PPh.

Didalam penyusunan HPS PPK diharuskan menambahkan PPN. PPK dapat pula menambahkan biaya overhead bila dibutuhkan oleh penyedia, antara lain untuk mengirimkan barang tersebut ke lokasi pengguna. Biaya transportasi yang dimaksud di sini bukan biaya yang dikeluarkan Pejabat Pengadaan dalam melakukan pengadaan langsung, karena biaya tersebut tidak dibabankan dalam belanja barang/modal, melainkan biaya untuk proses pengadaan.

Ketentuan didalam Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 pasal 66 ayat (4), HPS disusun paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja sebelum batas akhir pemasukan penawaran, yang dimaksud 28 (dua puluh delapan) hari adalah waktu penyusunan dan penetapan HPS, tidak harus selalu mengacu kepada waktu survei harga dilakukan. Mengingat harga yang diperoleh dari hasil survei perlu diteliti lebih lanjut sebelum ditetapkan sebagai HPS.

Untuk pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya Yang diumumkan adalah nilai HPS bukan Pagu Anggaran. Untuk pengadaan jasa konsultansi dengan metoda evaluasi pagu anggaran, yang diumumkan adalah HPS nya, dimana HPS umumnya sama dengan pagu anggaran. Hal ini mengingat metoda evaluasi pagu anggaran dimaksudkan untuk mendapatkan spesifikasi teknis terbaik dengan mengoptimalkan ketersediaan anggaran. Sedangkan untuk pengadaan jasa konsultansi selain metoda evaluasi pagu anggaran, yang diumumkan adalah HPS dan pagu anggaran. Yang menjadi batas penawaran tertinggi adalah pagu anggaran, sedangkan HPS digunakan sebagai acuan untuk melakukan negosiasi dan menilai kewajaran harga.

Penawaran yang lebih rendah dari 80% (delapan puluh perseratus) HPS diklarifikasi terlebih dahulu untuk meyakinkan ULP apakah Penyedia tersebut mampu melaksanakan pekerjaan sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan didalam Dokumen Pengadaan. Jika dalam hasil klarifikasi ternyata Penyedia tersebut memang dapat melakukan pekerjaan dengan spesifikasi yang ditentukan, maka Penyedia tersebut dapat ditetapkan sebagai pemenang dan pemenang cadangan. Tetapi jika tidak, maka Penyedia tersebut dapat digugurkan. Tetapi, ULP/Panitia Pengadaan tidak dapat mengugurkan Penyedia yang memberikan penawaran 80% (delapan puluh perseratus) HPS tanpa klarifikasi terlebih dahulu.

Harga tidak wajar yang diakibatkan karena adanya persaingan tidak sehat dapat diartikan bahwa harga yang ditawarkan sudah mengandung unsur mark-up atau melebihi harga pasar setempat antara lain karena adanya persekongkolan antara peserta lelang atau pelaku usaha.Pengadaan jasa sewa (mesin fotokopi, kenderaan bermotor, dan yang sejenis) dapat menggunakan metoda evaluasi sistem gugur. HPS dihitung berdasarkan biaya pengadaan mesin tersebut beserta biaya pemeliharaan dibagi dengan lamanya umur ekonomis, dan komponen biaya lainnya yang dianggap perlu.

Perkiraan harga masing-masing item pekerjaan dalam suatu paket kegiatan disebut rincian HPS. Sedangkan total HPS adalah jumlah keseluruhan harga dari item-item pekerjaan pada suatu paket kegiatan.

Survei pasar untuk menetapkan HPS dapat dilakukan kepada 1 distributor dan sumber harga lainnya yang diatur dalam pasal 66 ayat 7, jika tidak terdapat pelaku usaha lainnya pada daerah tersebut. Survei tidak harus dilakukan ke pasar fisik, tetapi dapat pula dilakukan melalui informasi yang ada di internet sepanjang proses kompetisi nantinya dilakukan secara efisien dan efektif.PPK harus meperhitungkan semua unsur harga dalam penentapan HPS termasuk diskon dan potongan harga untuk pembelian dalam jumlah besar.HPS ditentukan dari nilai keseluruhan nilai suatu paket yang akan dilelang, baik untuk kontrak lumpsum maupun harga satuan. Untuk kontrak harga satuan rincian harga dari masing-masing item pekerjaan harus ditetapkan pula oleh PPK.Sumber :http://www.konsultasi.lkpp.go.id/index.php?mod=browseP&pid=77#q_9