Meluruskan Gugatan Pengelolaan Bunaken

4
1 Meluruskan Gugatan terhadap Pengelolaan Taman Nasional Bunaken B AHAN D ISKUSI UNTUK W ARGA TN B UNAKEN ----- OLEH : R OYKE P ANGALILA WWF-I NDONESIA , B UNAKEN P ROJECT C OORDINATOR etelah adanya Undang – Undang 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, atau lebih populer disebut Undang – Undang Otonomi Daerah, berbagai diskusi dan debat terjadi menyangkut pembagian kewenangan, kekuasaan, dan tanggung jawab pemerintahan. Termasuk di dalamnya adalah diskusi dan perdebatan tentang urusan “konservasi alam” atau pengelolaan lingkungan hidup. Salah satunya adalah tentang “taman nasional”. Sejumlah topik yang paling hangat, tentunya adalah kasus perambahan kawasan serta pencurian kayu dari tanam nasional, seperti banyak terjadi di Kalimantan dan Sumatera. Seperti TN Bukit Barisan Selatan dan TN Kerinci Seblat di Sumatera, serta TN Kutai di Kalimantan. Dan ada pula kasus perambahan taman nasional untuk pertambangan emas, seperti terjadi hingga saat ini di TN Bogani Nani Wartabone di Sulawesi Utara. Singkatnya, menyangkut perusakan atau eksploitasi tak terkendali kekayaan alam dalam kawasan taman nasional. Jika diamati lebih seksama, berlangsung pula diskusi dan debat, dalam berbagai bentuk dan skala, yang boleh dikatakan merupakan “gugatan” terhadap sistem pengelolaan taman nasional. Dari sudut positif, gugatan – gugatan tersebut mengarah pada tuntutan perbaikan kesetimbangan fungsi dan manfaat kawasan, mekanisma pengambilan keputusan pengelolan, kelembagaan pengelolaan, serta ketegasan terhadap partisipasi warga setempat dalam proses pengelolaan taman nasional. Itulah yang terlihat dan tersirat, dalam kurang lebih 11 [sebelas] tahun terakhir di TN Bunaken. Konsep Dasar Taman Nasional di Indonesia Kebijakan dan strategi konservasi di Indonesia, termasuk pengelolaan Taman Nasional, banyak merujuk pada UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, atau sering disebut sebagai Undang – Undang Konservasi Keragaman Hayati. UU No.5/1990 menegaskan bahwa taman nasional dikembangkan dan dikelola untuk tiga tujuan pokok, yaitu: 1. Pelestarian alam sebagai pendukung kehidupan umat manusia, 2. Peningkatan taraf hidup [kesejahteraan] masyarakat warga, 3. Pendukung pembangunan perekonomian daerah sekitarnya, khususnya melalui pengembangan usaha pariwisata alam berkelanjutan. Dengan dasar inilah semua taman nasional kemudian dikembangkan di Indonesia, yang saat ini jumlahnya telah mencapai 39 [tigapuluh sembilan] kawasan, dengan total luas 14.753.176 Ha (hampir 15 juta hektar). Dan salah satunya, adalah TN Bunaken, yang ditetapkan pada tahun 1991 dengan SK Menteri Kehutanan No. 730/Kpts-II/1991, dan diresmikan langsung oleh Presiden pada tahun 1992. Selanjutnya, mari kita cermati proses pengembangan sistem dan mekanisme pengelolaan TN Bunaken. Proses Perkembangan Pengelolaan TN Bunaken 1992 – 2003 ejak ditetapkan, pengelolaan kawasan TN Bunaken menjadi kewenangan [tanggung jawab] dari Pemerintah Pusat melalui Departemen Kehutanan, khususnya Ditjen Perlindungan dan Konservasi Alam (saat itu masih bernama PHPA, Pelestarian Hutan dan Perlindungan Alam). Dan di daerah, dilaksanakan oleh Balai atau Sub-Balai Konservasi Sumberdaya Alam (SBKSDA) Sulawesi Utara. Masa SBKSDA Sulut, 1992-1998 Sebagai kawasan TN Bunaken yang baru ditetapkan pada Desember 1991, SBKSDA mulai menerapkan aturan – aturan pengelolaan yang meliputi pengembangan prasarana dasar kawasan serta kegiatan pelestarian alamnya. Antara lain dibangun beberapa Pondok Kerja, seperti di Pulau Bunaken (Kampung Tawara), di Molas (dekat Nusantara DC), dan di Desa Sondaken. Sedangkan untuk kegiatan – kegiatan pelestarian alam, mulai dilakukan pendataan potensi keanekaragaman hayati, terutama untuk ekosistem terumbu karang. Tentu pula, dibarengi dengan kegiatan – kegiatan pengamanan, baik oleh Jagawana (Polhut) sendiri mau pun melalui Operasi Patroli Terpadu bersama Kepolisian dan Pemda. Sejak tahun 1993, Departemen Kehutanan juga melakukan kerjasama dengan berbagai pihak bersama Program Natural Resources Management (NRM) untuk membangun sistem pengelolaan TN Bunaken. Termasuk di dalamnya: 1) kegiatan pendataan atau pengembangan informasi kawasan, 2) pemetaan dan pembagian zonasi atau tata ruang penggunaan kawasan, dan 3) perencanaan kelembagaan pengelolaannya. Hasil – hasil kegiatan itu semua terangkum dalam 3 (tiga) buku Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bunaken, yang disahkan oleh Gubernur Sulut dan DitJen PHKA Dephut pada tahun 1995/1996. Dan momentum untuk masa pengelolaan oleh SBKSDA Sulut berakhir pada tahun 1998, saat Departemen Kehutanan secara resmi membentuk Balai Pengelolaan TN Bunaken, yang berkantor di kampung Batu Saiki, Desa Molas. Dengan adanya Balai TN Bunaken, setidaknya tenaga kerja pengelolaan menjadi lebih kuat, baik dari segi jumlah mau pun dari segi keahlian. Misalnya, jumlah Jagawana yang dulunya hanya 9 (sembilan) orang, sekarang ini telah mencapai 30 (tiga puluh) orang lebih. S S

Transcript of Meluruskan Gugatan Pengelolaan Bunaken

Page 1: Meluruskan Gugatan Pengelolaan Bunaken

1

MMeelluurruusskkaann GGuuggaattaann tteerrhhaaddaapp PPeennggeelloollaaaann

TTaammaann NNaassiioonnaall BBuunnaakkeenn

B A H A N D I S K U S I U N T U K W A R G A T N B U N A K E N - - - - -

O L E H : R O Y K E P A N G A L I L A W W F - I N D O N E S I A , B U N A K E N P R O J E C T C O O R D I N A T O R

etelah adanya Undang – Undang 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, atau lebih populer disebut Undang – Undang Otonomi Daerah, berbagai diskusi dan debat terjadi menyangkut pembagian

kewenangan, kekuasaan, dan tanggung jawab pemerintahan. Termasuk di dalamnya adalah diskusi dan perdebatan tentang urusan “konservasi alam” atau pengelolaan lingkungan hidup. Salah satunya adalah tentang “taman nasional”.

Sejumlah topik yang paling hangat, tentunya adalah kasus perambahan kawasan serta pencurian kayu dari tanam nasional, seperti banyak terjadi di Kalimantan dan Sumatera. Seperti TN Bukit Barisan Selatan dan TN Kerinci Seblat di Sumatera, serta TN Kutai di Kalimantan. Dan ada pula kasus perambahan taman nasional untuk pertambangan emas, seperti terjadi hingga saat ini di TN Bogani Nani Wartabone di Sulawesi Utara. Singkatnya, menyangkut perusakan atau eksploitasi tak terkendali kekayaan alam dalam kawasan taman nasional.

Jika diamati lebih seksama, berlangsung pula diskusi dan debat, dalam berbagai bentuk dan skala, yang boleh dikatakan merupakan “gugatan” terhadap sistem pengelolaan taman nasional. Dari sudut positif, gugatan – gugatan tersebut mengarah pada tuntutan perbaikan kesetimbangan fungsi dan manfaat kawasan, mekanisma pengambilan keputusan pengelolan, kelembagaan pengelolaan, serta ketegasan terhadap partisipasi warga setempat dalam proses pengelolaan taman nasional. Itulah yang terlihat dan tersirat, dalam kurang lebih 11 [sebelas] tahun terakhir di TN Bunaken.

KKoonnsseepp DDaassaarr TTaammaann NNaassiioonnaall ddii IInnddoonneessiiaa

Kebijakan dan strategi konservasi di Indonesia, termasuk pengelolaan Taman Nasional, banyak merujuk pada UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, atau sering disebut sebagai Undang – Undang Konservasi Keragaman Hayati. UU No.5/1990 menegaskan bahwa taman nasional dikembangkan dan dikelola untuk tiga tujuan pokok, yaitu:

1. Pelestarian alam sebagai pendukung kehidupan umat manusia, 2. Peningkatan taraf hidup [kesejahteraan] masyarakat warga, 3. Pendukung pembangunan perekonomian daerah sekitarnya, khususnya melalui pengembangan

usaha pariwisata alam berkelanjutan.

Dengan dasar inilah semua taman nasional kemudian dikembangkan di Indonesia, yang saat ini jumlahnya telah mencapai 39 [tigapuluh sembilan] kawasan, dengan total luas 14.753.176 Ha (hampir 15 juta hektar). Dan salah satunya, adalah TN Bunaken, yang ditetapkan pada tahun 1991 dengan SK Menteri Kehutanan No. 730/Kpts-II/1991, dan diresmikan langsung oleh Presiden pada tahun 1992. Selanjutnya, mari kita cermati proses pengembangan sistem dan mekanisme pengelolaan TN Bunaken.

PPrroosseess PPeerrkkeemmbbaannggaann PPeennggeelloollaaaann TTNN BBuunnaakkeenn 11999922 –– 22000033

ejak ditetapkan, pengelolaan kawasan TN Bunaken menjadi kewenangan [tanggung jawab] dari Pemerintah Pusat melalui Departemen Kehutanan, khususnya Ditjen Perlindungan dan Konservasi Alam

(saat itu masih bernama PHPA, Pelestarian Hutan dan Perlindungan Alam). Dan di daerah, dilaksanakan oleh Balai atau Sub-Balai Konservasi Sumberdaya Alam (SBKSDA) Sulawesi Utara.

Masa SBKSDA Sulut, 1992-1998

Sebagai kawasan TN Bunaken yang baru ditetapkan pada Desember 1991, SBKSDA mulai menerapkan aturan – aturan pengelolaan yang meliputi pengembangan prasarana dasar kawasan serta kegiatan pelestarian alamnya. Antara lain dibangun beberapa Pondok Kerja, seperti di Pulau Bunaken (Kampung Tawara), di Molas (dekat Nusantara DC), dan di Desa Sondaken. Sedangkan untuk kegiatan – kegiatan pelestarian alam, mulai dilakukan pendataan potensi keanekaragaman hayati, terutama untuk ekosistem terumbu karang. Tentu pula, dibarengi dengan kegiatan – kegiatan pengamanan, baik oleh Jagawana (Polhut) sendiri mau pun melalui Operasi Patroli Terpadu bersama Kepolisian dan Pemda.

Sejak tahun 1993, Departemen Kehutanan juga melakukan kerjasama dengan berbagai pihak bersama Program Natural Resources Management (NRM) untuk membangun sistem pengelolaan TN Bunaken. Termasuk di dalamnya: 1) kegiatan pendataan atau pengembangan informasi kawasan, 2) pemetaan dan pembagian zonasi atau tata ruang penggunaan kawasan, dan 3) perencanaan kelembagaan pengelolaannya.

Hasil – hasil kegiatan itu semua terangkum dalam 3 (tiga) buku Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bunaken, yang disahkan oleh Gubernur Sulut dan DitJen PHKA Dephut pada tahun 1995/1996.

Dan momentum untuk masa pengelolaan oleh SBKSDA Sulut berakhir pada tahun 1998, saat Departemen Kehutanan secara resmi membentuk Balai Pengelolaan TN Bunaken, yang berkantor di kampung Batu Saiki, Desa Molas. Dengan adanya Balai TN Bunaken, setidaknya tenaga kerja pengelolaan menjadi lebih kuat, baik dari segi jumlah mau pun dari segi keahlian. Misalnya, jumlah Jagawana yang dulunya hanya 9 (sembilan) orang, sekarang ini telah mencapai 30 (tiga puluh) orang lebih.

S

S

Page 2: Meluruskan Gugatan Pengelolaan Bunaken

2

Masa Balai TN Bunaken, 1998 – 2000.

Setelah terbentuk Balai TN Bunaken maka mulailah melakukan kegiatan – kegiatan penguatan kelembagaan pengelolaan TN Bunaken. Di antaranya penguatan kemampuan teknis staf atau SDM-nya melalui pelatihan – pelatihan; serta mulai pula mengembangkan mekanisme koordinasi dan pengembangan kerjasama dengan instansi – lembaga daerah lainnya. Namun, sesuai kondisi sistem pemerintahan kita saat itu, usaha – usaha bertujuan baik tersebut masih kurang berhasil dengan efektif karena masih kuatnya pendekatan sektoral [ego sektoral]. Walau pun berhasil dilakukan pertemuan – pertemuan kerja antar Dinas dan Instansi, namun keputusan – keputusan penting belum bisa dihasilkan dengan memuaskan.

Sesuai Rencana Pengelolaan TN Bunaken, Kantor Balai Pengelolaan TN Bunaken juga melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan, di antaranya memberdayakan aturan zonasi (tata ruang) kawasan TN Bunaken. Dalam pemberdayaan zonasi tersebut termasuk melakukan perbaikan – perbaikan [revisi] zonasi, seperti yang telah dilakukan untuk Pulau Bunaken.

Barulah, setelah UU No. 22/1999 terbit, berkembang pula harapan – harapan baru yang mampu memberi motivasi dan semangat bagi sejumlah pihak untuk membangun kembali mekanisme koordinasi dan kerjasama yang nyata bagi pengelolaan TNB. Dan untuk itu, proses – proses dialog parapihak kembali dikembangkan oleh Balai TN Bunaken. Tujuannya tentunya untuk membangun kesepahaman, komitmen dan kerjasama para pihak untuk meningkatkan keberhasilan pengelolaan kawasan TNB. Sejumlah hasil awalnya, antara lain:

1. Berhasilnya dibangun dukungan dari pihak swasta, terutama para pengusaha Dive Center (penyedia jasa wisata penyelaman), yang kemudian tergabung dalam NSWA [North Sulawesi Watersport Association]. NSWA mulai menggalang dukungan dana konservasi bagi pengamanan terumbu karang, serta dukungan untuk kesejahteraan warga kampung setempat melalui program beasiswa.

2. Patroli bersama yang lebih intensif dan teratur, bersama NSWA dan Polda (melalui Satpolairud).

3. Pemda dan Balai TNB (yang disetujui oleh Dephut) membentuk Tim Kerja untuk mengkaji resmi sistem dan mekanisme “pengelolaan partisipatif dan desentralistik” bagi pengelolaan TNB. Hasilnya adalah konsep “Sistem Tarif Masuk TNB”.

4. Proses revisi zonasi juga terus berjalan, dengan prinsip – prinsip demokratis dan melibatkan warga setempat secara langsung lewat pengembangan pengambilan keputusan di kampung – kampung.

Seluruh proses yang sangat dinamis dari para pihak tersebut, akhirnya membentuk kesepahaman, komitmen, dan kesepakatan untuk membangun sebuah “wadah bersama para pihak” untuk menjadi forum bersama dalam berbagi informasi/berkomunikasi dan membangun kerjasama yang berkaitan dengan pengelolaan TNB. Itu terjadi pada bulan Oktober 2000. Selanjutnya, tinggal kajian hukum (legalitas) dan penyusunan aturan – aturan pendukungnya.

Masa Pengelolaan Bersama Para Pihak lewat Dewan Pengelolaan TNB, 2000 – sekarang.

Adanya kesepakatan para pihak menjadi modal dasar yang sangat kuat bagi proses legalitas selanjutnya. Relatif hanya dalam 4 bulan, semua penyusunan aturan hukum pendukung berhasil dituntaskan. Yaitu:

1. SK Gubernur No. 233 tahun 2000, tertanggal 12 Desember 2000, tentang Pembentukan Dewan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Utara.

2. Peraturan Daerah [Perda] Sulawesi Utara No. 14 tahun 2000, tertanggal 14 Desember 2000, tentang “Pungutan Masuk Pada Kawasan TN Bunaken.

3. Kesepakatan antara Pemda dan Dephut [Ditjen PKA] tentang pelaksaan Perda dan tata kerja Dewan Pengelolaan TNB, 15 Desember 2000.

Dan akhirnya, pada tanggal 16 Desember 2000 bertempat di Hotel Ritzy Manado, Dewan Pengelolaan TNB diresmikan secara bersama oleh Gubernur Sulut dan Menteri Kehutanan. Dan sejak saat itu, dimulai penerapan sistem dan mekanisma baru pengelolaan TNB, yang tidak lagi hanya bertumpu pada Departemen Kehutanan, lewat Balai Pengelolaan TNB, tetapi juga menjadi tanggung jawab bersama berbagai pihak di Sulawesi Utara. Termasuk di dalamnya: Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kota Manado, Pemerintah Kab Minahasa, Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Perguruan Tinggi, LSM atau Organisasi Non Pemerintah – Ornop, Sektor Swasta, dan terlebih pula seluruh warga kampung dalam TNB. Semuanya terwakili dalam wadah para pihak yang disebut Dewan Pengelolaan TNB.

Melalui Dewan Pengelolaan TNB tersebut semua para pihak memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawab yang setara/adil untuk memajukan pengelolaan TNB, dalam mencapai missinya. Yaitu menyelaraskan keseimbangan dan menjamin keberlanjutan fungsi – fungsi alam TNB sebagai pendukung kesejahteraan warga setempat pada khususnya, dan seluruh warga Sulut pada umumnya.

Page 3: Meluruskan Gugatan Pengelolaan Bunaken

3

GUGATAN TAK TUNTAS TERHADAP TN BUNAKEN ari pengamatan, sejak berlangsungnya proses dialog para pihak sampai pada terbentuknya Dewan Pengelolaan TNB serta berjalannya mekanisma kerja Dewan Pengelolaan TNB, muncul pula berbagai pertanyaan, kecurigaan, tuntutan atau bahkan gugatan terhadap [pengelolaan] TN Bunaken.

Masyarakat luas di Sulawesi Utara pastilah bisa mengikuti sebagian dari dinamika tersebut melalui media massa, terutama media cetak koran daerah ini.

Tentunya, di satu pihak, munculnya berbagai bentuk kecurigaan, tuntutan, serta gugatan tersebut dapat menjadi “engergi negatif” yang berdampak “kontra produktif” terhadap pengembangan dan penguatan sistem pengelolaan partisipatif di TNB. Namun di pihak lain, hal tersebut dapat diartikan sebagai berfungsinya kritik dan kontrol publik terhadap proses pengelolaan di TNB. Terutama terhadap mekanisma pendanaan [keuangan] dan kelembagaan [peran para pihak dalam] pengelolaan TNB. Pemahaman yang ke dua ini akan membawa kita kepada pemahaman terhadap dinamika sosial kema-syarakatan [aspirasi publik] yang sedang terjadi, yang pada dasarnya menginginkan atau menuntut terjadinya perbaikan – perbaikan yang lebih nyata dalam proses pengelolaan TNB. Dengan demikian, secara prinsipil tidak ada pihak yang harus disalahkan. Hanya saja, dari pengalaman terlihat bahwa berbagai pertanyaan dan tuntutan yang telah muncul cenderung menjadi “gugatan tak tuntas”, yang bisa menjadi “preseden buruk” bagi semua pihak di TNB.

So, mari kita jadikan dinamika tersebut menjadi “energi positif” yang berdampak “produktif” terhadap pengelolaan TNB ke masa datang.

Untuk itu, perlu memahami berbagai bentuk dinamika gugatan yang terjadi selama ini. Dari berbagai jenis dan bentuk “gugatan tak tuntas” tersebut, dapat dikatakan bahwa salah satu faktor utama penyebabnya adalah informasi yang belum merata, yang kemudian memperbesar kesenjangan pemahaman antar para pihak. Yang tentunya menjadi “irony” karena para pihak itulah yang dulunya “membangun” sistem pengelolaan partisipatif TNB, atas dasar kesepahaman dan kesepakatan.

Jika boleh dikelompokkan, maka “gugatan tak tuntas” publik selama ini terhadap TNB dapat dibagi menjadi 3 [tiga] Gugatan. Dan masing – masing gugatan tersebut, sekali lagi banyak muncul sebagai akibat dari pemahaman yang berbeda, sebagai dampak dari penerimaan informasi yang belum merata.

GGuuggaattaann ##11:: KKeeuuaannggaann TTaarriiff MMaassuukk TTNNBB.. --- “Dana Bunaken Cuma Beri 10 Persen untuk Daerah [Sulut]”. “Kota Manado Cuma Dapat Ampas”. “Pemerintah Daerah ‘Merampas’ Hak Warga Desa Setempat”. ---

Demikian tiga cuplikan judul dan berita dalam koran daerah, yang menggambarkan kecurigaan dan gugatan publik terhadap Sistem Tarif Masuk Kawasan TNB yang mulai diberlakukan efektif pada tahun 2001. Untuk bisa menjelaskan gugatan ini tentu memerlukan informasi yang cukup tentang Sistem Tarif Masuk Kawasan TNB itu sendiri.

Sebagian besar informasi tersebut telah ada dalam Perda Propinsi Sulut No. 14/2000. Untuk itu, berikut ini beberapa informasi serta bagian fakta lainnya tentang Tarif Masuk Kawasan TNB diberikan berikut ini.

Sistem Tarif Masuk TNB telah melalui kajian teknis dan legal. Artinya disesuaikan dengan aspirasi-rasa keadilan serta kemampuan ekonomi rata – rata pengunjung TNB, terutama pengunjung lokal dari Sulut, serta wisatawan mancanegara/turis asing. Kajian ekonomis dan konsultasi publik untuk penetapan tarif ini telah dilakukan secara komprehensif. Di samping itu, tarif masuk tersebut telah memenuhi ketentuan hukum, sehingga sesuai dengan sistem keuangan yang berlaku di Negara RI.

Sistem Tarif Masuk Kawasan menganut prinsip universal “Green Tax” (pajak lingkungan). Yaitu, penghimpunan dana dari pengunjung TNB harus sebesar mungkin dikembalikan bagi usaha konservasi TNB itu sendiri.

Karenanya, wajar jika 80% [delapan puluh persen] dana hasil tarif masuk dialokasikan kembali untuk membiayai kegiatan – kegiatan konservasi TNB, termasuk “Dana Konservasi” bagi semua kampung [desa dan kelurahan] yang ada di TNB.

20% sisanya yang kemudian dibagi untuk pemasukan Kas Negara dan Kas Daerah: 7,5% untuk Kas Daerah Propinsi Sulut, 1,875% untuk kas Pemerintah Kota Manado, 1,875% untuk Kas Daerah Kabupaten Minahasa, 1,875% untuk kas Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan, 1,875% untuk kas Pemerintah Kabupaten Minahasa Utara dan 5% untuk kas Pemerintah Pusat melalui Balai TN Bunaken.

Dengan demikian, kurang tepat kalau dikatakan bahwa Daerah Sulut hanya dapat 10%, karena 80% tetap “tinggal” untuk usaha pengelolaan TNB yang adalah aset penting perekonomian [terutama pariwisata bahari] Sulut. Sedang 5% untuk Kas Negara itu pun dipastikan “kembali” ke TNB melalui Balai TN Bunaken.

Bagaimana kontribusi Dana Tarif Masuk bagi masyarakat warga setempat? Sebenarnya, warga setempat lebih paham jawabannya. Kalau tahun – tahun lalu tidak ada [baca: nol rupiah], maka mulai pada tahun 2002 lalu, setiap desa/kelurahan mendapatkan “dana konservasi” sekitar 10 [sepuluh] juta rupiah per tahun. Secara total, sekitar 30% dari hasil penerimaan tahunan Sistem Tarif Masuk TNB.

Yang perlu ke depan adalah meningkatkan kualitas perencanaan dan penggunaan “dana konservasi kampung” tersebut agar benar – benar sesuai dengan kebutuhan, kondisi, serta aspirasi warga kampung bersangkutan. Dan tentunya, harus disadari sepenuhnya, Dana Tarif Masuk TNB tidak akan mampu membiayai seluruh aspek/bidang pembangunan perkampungan. Karenanya perlu ada kearifan dari Pemerintahan Desa/Kelurahan dan warga kampung dalam penggunaan – pengelolaan “dana konservasi”-nya.

Soal transparansi [keterbukaan informasi] keuangan juga menjadi prinsip dasar dalam penerapan sistem tarif masuk TNB. Setiap bulan Laporan Keuangan disusun dan disampaikan kepada semua anggota Dewan Pengelolaan TNB. Dan informasi keuangan tersebut juga diberitakan secara luas melalui website – internet, dan diberitakan kepada media massa secara berkala.

D

Page 4: Meluruskan Gugatan Pengelolaan Bunaken

4

GGuuggaattaann ##22:: DDeewwaann PPeennggeelloollaaaann TTNNBB.. Kecurigaan, tuntutan dan gugatan publik lainnya adalah soal pembentukan, keberadaan serta kinerja Dewan Pengelolaan TNB. “Dewan Gaya Lama”, demikian bunyi salah satu berita yang pernah menyorot “miring” pembentukan Dewan Pengelolaan TNB. Kritik lainnya berbunyi: kurang aspiratif, birokratis, serta potensial jadi ajang kolusi baru.

Untuk meluruskan gugatan tersebut, serta mengikis kecurigaan berlebihan, perlu kita pahami informasi dasar mengenai Dewan Pengelolaan TNB, yang pokok-pokok ringkasnya adalah sebagai berikut.

Dewan Pengelolaan TNB adalah wadah para pihak untuk melakukan komunikasi, konsultasi dan koordinasi dalam mencapai puncak keterpaduan dalam pengelolaan TNB. Dewan Pengelolaan TNB terbentuk sebagai hasil kesepahaman dan kesepakatan para pihak yang dinyatakan dalam Pertemuan Parapihak Pengelolaan TNB di Manado pada tanggal 20 Oktober 2000.

Kelembagaan dan organisasi Dewan Pengelolaan TNB bersifat terbuka, dan dijalankan sesuai nilai – nilai demokrasi, transparansi, kesetaraan, keadilan, dan bertanggung gugat. Untuk lebih jelas, lihat Lembar Informasi tersendiri tentang Dewan Pengelolaan TNB.

Sebagai wadah komunikasi, konsultasi dan koordinasi, Dewan Pengelolaan TNB bukanlah lembaga operasional, dan tidak mungkin mengambil alih fungsi, tugas, hak dan kewenangan lembaga – lembaga yang sudah ada. Dewan Pengelolaan TNB lebih merupakan pendukung bagi terciptanya kerjasama lintas dinas atau antar para pihak secara harmonis, termasuk fasilitasi resolusi konflik dalam pengelolaan TNB.

Satu – satunya tugas “operasional” Dewan Pengelolaan TNB adalah merencanakan, merekomendasikan serta menetapkan penggunaan dana hasil tarif masuk TNB. Pada keadaan mendesak, Dewan Pengelolaan TNB dapat pula membentuk Tim Kerja Ad-Hoc untuk kegiatan spesifik yang berjangka pendek, terutama untuk masalah resolusi konflik pengelolaan atau konflik yang terjadi antar para pihak di TNB. Selebihnya, Dewan Pengelolaan TNB bekerja untuk menjaga komunikasi – koordinasi serta mendorong kerjasama yang lebih erat antar para pihak demi terwujudnya pengelolaan TNB terpadu.

Informasi yang lebih rinci dan lengkap dapat dilihat pada Lembar Informasi terpisah tentang Dewan Pengelolaan TNB.

GGuuggaattaann ##33:: FFoorruumm MMaassyyaarraakkaatt PPeedduullii TTNNBB Gugatan penting lain yang berhubungan kuat dengan sistem pengelolaan TNB partisipatif adalah mengenai “Forum Masyarakat Peduli TNB” [disingkat FMPTNB]. Sejak dibangun dan mulai aktif dalam mendorong pengelolaan TNB yang partisipatif, berbagai kecurigaan dan pertanyaan terhadap Dewan Pengelolaan TNB telah muncul dari sejumlah pihak, termasuk dari sebagian warga TNB sendiri. Ini juga menunjukkan masih adanya ketimpangan inforamasi di antara warga kampung, sehingga menciptakan perbedaan persepsi dan kemudian sikap terhadap Forum Masyarakat TNB.

Dari pengamatan selama ini, terdapat 3 [tiga] tuntutan spesifik publik terhadap Forum Masyarakat TNB, yaitu:

1. Wakil Forum Masyarakat yang duduk mewakili dalam [Pengurus] Dewan Pengelolaan TNB belum mampu bertugas secara efektif.

2. Forum Masyarakat TNB tidak memiliki program kerja yang efektif.

3. Forum Masyarakat TNB hanya “dimanfaatkan” oleh Dewan Pengelolaan TNB.

Dari tiga gugatan di atas, boleh dikatakan bahwa sebagian besar kritik, kecurigaan dan gugatan publik yang teramati lebih berfokus pada “hubungan“ antara Forum Masyarakat TNB dengan Dewan Pengelolaan TNB. Hal ini, sebenarnya, kurang proporsional karena Forum Masyarakat TNB bukan hanya berkegiatan untuk atau bersama Dewan Pengelolaan TNB. Hal ini sekali lagi menunjukkan adanya “kekurang tepatan” pemahaman publik dalam memposisikan Dewan Pengelolaan TNB dan Forum Masyarakat TNB. Forum Masyarakat TNB haruslah dilihat sebagai organisasi rakyat yang utuh, yang memiliki kemandirian serta kekuatan independen dalam proses pengelolaan TNB.

Forum Masyarakat lahir dengan misi dan tujuan yang jelas justru sebelum DPTNB lahir, memiliki pula struktur organisasi yang cukup baik, serta telah memulai penguatan untuk mampu menjadi organisasi rakyat yang kuat dan mampu menjalankan missinya dengan optimal. Informasi lebih lengkap tentang Forum Masyarakat TNB dapat dilihat pada lembar informasi ringkas Forum Masyarakat TNB.

Tanpa mengabaikan semua kritik, pertanyaan, kecurigaan atau gugatan publik yang pernah ada selama ini, rasanya kita semua perlu melakukan usaha – usaha komunikasi [berbagi informasi] agar semua pihak mendapatkan informasi yang relatif memadai, baik secara kuantitas terlebih kualitas. Dengan dasar informasi yang cukup akan memungkinkan pula publik luas mampu memberikan kritik, atau gugatan, yang lebih tajam dan tentunya juga tepat sasaran sehingga berdampak efektif dalam mendorong perbaikan – perbaikan sistem pengelolaan para pihak di TNB, khususnya Sistem Tarif Masuk, Dewan Pengelolaan TNB, serta Forum Masyarakat TNB.

PPEENNUUTTUUPP

Tanpa praktek nyata, demokrasi hanyalah kata – kata. Usaha manusialah yang

menentukan kualitas demokrasi itu sendiri. Demokratisasi adalah usaha untuk memberi kesempatan yang adil kepada semua pihak untuk berperan aktif dan nyata dalam sebuah proses pengembangan keputusan manajerial. Dan itulah yang sedang berlangsung di TNB, di mana semua pihak sedang berinteraksi bersama untuk saling memberi kontribusi bagi pengembangan Kawasan Taman Nasional menuju pada arah perbaikan yang jauh lebih efektif dan efisien.