MELATIH KETERAMPILAN PROSES SAINS MELALUI...

15
Proseding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya Sabtu, 21 November 2015 Bale Sawala Kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor FP-10 MELATIH KETERAMPILAN PROSES SAINS MELALUI KEGIATAN EKSPERIMEN DALAM SETTING KOMBINASI MODEL PEMBELAJARAN LANGSUNG DAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF THEO JHONI HARTANTO * , TITIK UTAMI, SUPRIYANOR Prodi Pendidikan Fisika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Palangka Raya Jl. H. Timang, Palangka Raya 73112 email: [email protected] Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) melatih keterampilan proses sains siswa dan (2) mengetahui ketuntasan hasil belajar kognitif melalui pembelajaran dengan metode eksperimen dalam setting kombinasi model pembelajaran langsung dan model pembelajaran kooperatif pada materi kalor. Penelitian ini merupakan penelitian pra-eksperimental dengan rancangan one-shot case study. Penelitian dilaksanakan di kelas VII-6 SMP Negeri 6 Palangka Raya Tahun Ajaran 2014-2015. Berdasarkan hasil analisis data ditemukan bahwa: (1) Penguasaan keterampilan proses sains siswa kelas VII-6, yaitu dilihat dari tes kinerja yang menghasilkan ketuntasan sebesar 83,87%; (2) Aktivitas siswa yang dominan pada pertemuan pertama adalah memperhatikan penjelasan guru dan aktivitas yang dominan pada pertemuan kedua dan ketiga adalah melakukan eksperimen melalui kegiatan LKS; dan (3) Secara klasikal, diperoleh ketuntasan hasil belajar kognitif di kelas VII-6 sebesar 74,19%. Berdasarkan hasil-hasil itu, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan metode eksperimen dalam setting kombinasi model pembelajaran langsung dan model pembelajaran kooperatif dapat melatih keterampilan proses sains siswa. Namun demikian masih banyak hal yang perlu diperbaiki dalam kegiatan pembelajaran ini. Kata kunci: model pembelajaran langsung, model pembelajaran kooperatif, metode eksperimen, keterampilan proses sains Abstract. The purpose of this research was to: (1) showed students' science process skills and (2) showed the the cognitive mastery learning outcomes of students through experimental activities based on combination of direct and cooperative learning models. This research was a pre- experimental with a design a one-shot case study. The research was conducted in class VII-6 SMP Negeri 6 Palangka Raya. Based on the data analysis, found that: (1) through learning with experimental activities in combination of direct and cooperative learning models can trained students’ science process skills, which is seen from the performance test that produces completeness of 83.87%; (2) The dominant activities of students at the first meeting were to notice the teacher's explanation. The dominant activities of students in the second and third meeting were doing worksheets; And, (3)The completeness cognitive achievement at the class VII-6 were 74.19%. Based on the research findings, it could be concluded that the learning through experimental activities based on combination between direct and cooperative learning models were able to train students science process skills. Keywords: direct instruction models, cooperative learning models, experimental activities, science process skills 1. Pendahuluan Ada dua hal yang diperoleh penulis ketika melakukan observasi pada pembelajaran IPA fisika di SMPN 6 Kota Palangka Raya. Pertama, pembelajaran IPA fisika melalui kegiatan percobaan lebih banyak dihindari oleh guru dengan

Transcript of MELATIH KETERAMPILAN PROSES SAINS MELALUI...

Proseding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya

Sabtu, 21 November 2015

Bale Sawala Kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor

FP-10

MELATIH KETERAMPILAN PROSES SAINS MELALUI KEGIATAN

EKSPERIMEN DALAM SETTING KOMBINASI MODEL PEMBELAJARAN LANGSUNG DAN MODEL

PEMBELAJARAN KOOPERATIF

THEO JHONI HARTANTO*, TITIK UTAMI, SUPRIYANOR

Prodi Pendidikan Fisika,

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Palangka Raya Jl. H. Timang, Palangka Raya 73112

email: [email protected]

Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) melatih keterampilan proses sains siswa dan (2)

mengetahui ketuntasan hasil belajar kognitif melalui pembelajaran dengan metode eksperimen

dalam setting kombinasi model pembelajaran langsung dan model pembelajaran kooperatif pada

materi kalor. Penelitian ini merupakan penelitian pra-eksperimental dengan rancangan one-shot

case study. Penelitian dilaksanakan di kelas VII-6 SMP Negeri 6 Palangka Raya Tahun Ajaran

2014-2015. Berdasarkan hasil analisis data ditemukan bahwa: (1) Penguasaan keterampilan proses

sains siswa kelas VII-6, yaitu dilihat dari tes kinerja yang menghasilkan ketuntasan sebesar

83,87%; (2) Aktivitas siswa yang dominan pada pertemuan pertama adalah memperhatikan

penjelasan guru dan aktivitas yang dominan pada pertemuan kedua dan ketiga adalah melakukan

eksperimen melalui kegiatan LKS; dan (3) Secara klasikal, diperoleh ketuntasan hasil belajar

kognitif di kelas VII-6 sebesar 74,19%. Berdasarkan hasil-hasil itu, dapat disimpulkan bahwa

pembelajaran dengan metode eksperimen dalam setting kombinasi model pembelajaran langsung

dan model pembelajaran kooperatif dapat melatih keterampilan proses sains siswa. Namun

demikian masih banyak hal yang perlu diperbaiki dalam kegiatan pembelajaran ini.

Kata kunci: model pembelajaran langsung, model pembelajaran kooperatif, metode eksperimen,

keterampilan proses sains

Abstract. The purpose of this research was to: (1) showed students' science process skills and (2)

showed the the cognitive mastery learning outcomes of students through experimental activities

based on combination of direct and cooperative learning models. This research was a pre-

experimental with a design a one-shot case study. The research was conducted in class VII-6 SMP

Negeri 6 Palangka Raya. Based on the data analysis, found that: (1) through learning with

experimental activities in combination of direct and cooperative learning models can trained

students’ science process skills, which is seen from the performance test that produces

completeness of 83.87%; (2) The dominant activities of students at the first meeting were to notice

the teacher's explanation. The dominant activities of students in the second and third meeting were

doing worksheets; And, (3)The completeness cognitive achievement at the class VII-6 were

74.19%. Based on the research findings, it could be concluded that the learning through

experimental activities based on combination between direct and cooperative learning models

were able to train students science process skills.

Keywords: direct instruction models, cooperative learning models, experimental activities, science

process skills

1. Pendahuluan

Ada dua hal yang diperoleh penulis ketika melakukan observasi pada

pembelajaran IPA fisika di SMPN 6 Kota Palangka Raya. Pertama, pembelajaran

IPA fisika melalui kegiatan percobaan lebih banyak dihindari oleh guru dengan

FP-11 Theo Jhoni Hartanto dkk

alasan memerlukan waktu yang lebih lama dan khawatir terjadi kegaduhan di

kelas. Kedua, kegiatan pembelajaran lebih berpusat pada guru yang berusaha

menjelaskan materi sedangkan aktivitas siswa hanya mencatat. Kegiatan

pembelajaran didominasi dengan menjelaskan, latihan menjawab soal, dan

menyelesaikan tugas. Siswa kurang memperoleh kesempatan untuk melatih

keterampilan proses sains dan mengembangkan kreativitas dan kemampuan

berpikirnya.

Kedua hal di atas membuat pelajaran IPA fisika dianggap sebagai pelajaran yang

membuat mereka menghafal, mengingat, dan mengulang rumus. Sahin (2009)

dalam penelitiannya menemukan bahwa beberapa siswa merasakan bahwa belajar

IPA fisika adalah seperti belajar mengingat rumus-rumus, memecahkan masalah-

masalah dengan cara matematika, dan sebagian siswa meyakini bahwa fisika tidak

berhubungan dengan dunia nyata [1]. Pola pembelajarn seperti ini yang bisa

memunculkan ketidakpahaman konsep pada siswa terhadap konsep-konsep IPA

fisika. Hartanto, Sinulingga, dan Suhartono (2015) menemukan bahwa banyak

siswa di SMPN 6 Kota Palangka Raya yang tidak memahami konsep walaupun

telah dijelaskan oleh gurunya dengan rincian 39,48% siswa mengalami

miskonsepsi, 40% siswa tidak tahu konsep, dan hanya 20,52% siswa yang paham

konsep [2]. Berdasarkan hasil observasi, penulis juga memperoleh keterangan

hasil belajar IPA untuk dua tahun ajaran terakhir (2013-2014 dan 2014-2015)

masih rendah dengan nilai rata-rata di bawah 60.

Kalor merupakan salah satu konsep dalam kajian ilmu fisika yang selalu ditemui

dan dialami sendiri oleh siswa dalam kehidupannya sehari-hari. Banyak peristiwa

dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan kajian materi kalor. Oleh

karena itu, untuk mempelajari materi kalor adalah lebih baik jika siswa dibawa

untuk “mencari tahu” dan “berbuat” secara langsung dengan peristiwa yang

berkaitan dengan kalor itu sendiri. Inilah yang menjadi alasan mengapa metode

eksperimen sangat cocok digunakan untuk mempelajari dan mendalami materi

kalor. Siswa dapat melakukan kegiatan eksperimen untuk membuktikan atau

menemukan konsep-konsep fisika yang sedang mereka pelajari [3]. Pembelajaran

dengan metode eksperimen membuat siswa dapat melatih keterampilan-

keterampilan yang berkaitan dengan mengamati, mengukur, mengumpulkan data,

menganalisis data, dan menyimpulkan [4]. Artinya, siswa dapat melatih

keterampilan prosesnya melalui kegiatan eksperimen. Kegiatan pembelajaran

seperti ini sejalan dengan pendekatan konstruktivisme.

Pendekatan konstruktivisme merupakan pendekatan pembelajaran yang

menekankan pada proses membangun atau menyusun pengetahuan baru

berdasarkan pengalaman. Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan

konstruktivisme pada dasarnya mendorong siswa agar dapat membangun

pengetahuannya melalui proses pengamatan dan pengalaman, serta dapat

mendorong siswa untuk mampu mengkonstruksi pengetahuan melalui

pengalaman nyata. Implikasi pendekatan ini dalam pembelajaran IPA adalah guru

harus memberikan kesempatan sebanyak mungkin kepada siswa untuk berpikir

Melatih Keterampilan Proses Sains Melalui Kegiatan Eksperimen.... FP-12

dan menggunakan kemampuan akalnya. Pendekatan kontruktivisme dalam

pembelajaran di kelas salah satunya melalui model pembelajaran kooperatif.

Slavin (2011) menyatakan bahwa dalam pembelajaran kooperatif, siswa bekerja

sama dalam kelompok-kelompok belajar untuk saling membantu satu sama lain

[5]. Melalui pembelajaran ini, siswa diharapkan akan lebih mudah menemukan

dan memahami konsep-konsep. Dalam konteks pembelajaran fisika, model

pembelajaran kooperatif ini melibatkan kelompok-kelompok belajar untuk

melakukan kegiatan eksperimen dalam mempelajari konsep-konsep fisika. Dalam

aktivitas kelompok ini, siswa akan saling bahu-membahu untuk menyelesaikan

persoalan yang diajukan guru melalui keterampilan-keterampilan proses, misalnya

menyusun hipotesis, menentukan variabel, mengumpulkan data sesuai prosedur,

menganalisis data, dan menarik kesimpulan. Dengan demikian, siswa akan

cenderung lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran.

Namun demikian, untuk melakukan eksperimen dan menggunakan keterampilan

proses sesuai dengan yang diharapkan, siswa kelas VII di SMPN 6 perlu dilatih

terlebih dahulu. Siswa kelas VII di sekolah ini terbiasa dengan pola belajar hanya

menerima materi pelajaran dari gurunya. Siswa perlu mengetahui apa sebenarnya

keterampilan proses sains, bagaimana mengaplikasikannya dalam kegiatan

eksperimen, dan bagaimana cara melakukan eksperimen dengan menggunakan

alat dan bahan yang ada. Hal ini sangat penting bagi siswa yang belum terbiasa

melakukan eksperimen dan belum mengenal keterampilan proses sains. Oleh

karena itu, guru perlu memodelkan terlebih dahulu terkait bagaimana melakukan

kegiatan eksperimen yang benar dan bagaimana menyelesaikan persoalan yang

diajukan guru melalui keterampilan-keterampilan proses. Salah satu model yang

memiliki karakteristik pemodelan ini adalah model pembelajaran langsung. Model

pembelajaran langsung menghendaki guru memberikan informasi, memodelkan

keterampilan yang sedang diajarkan, dan kemudian menyediakan waktu bagi

siswa untuk latihan keterampilan tersebut dan menerima umpan balik tentang apa

yang mereka lakukan [6].

Veenman et al. (2003) mengemukakan bahwa menghilangkan pembelajaran

langsung secara mutlak adalah sangat tidak mungkin, namun model ini akan

memiliki kekuatan sebagai alat pembelajaran jika dikombinasikan dengan

pandangan konstruktivisme [7]. Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa

model pembelajaran langsung dapat meningkatkan hasil belajar siswa dan sangat

efektif dalam mengajarkan keterampilan siswa. Bahkan, Klahr dan Nigam (2004)

melalui penelitiannya menemukan bahwa melalui pembelajaran langsung siswa

dapat belajar lebih banyak memahami tentang fenomena-fenomena ilmiah

(scientific phenomena) dan prosedurnya [8]. Pembelajaran langsung dirancang

untuk penguasaan pengetahuan prosedural, pengetahuan deklaratif dan

keterampilan-keterampilan. Oleh sebab itu, inilah yang menjadi alasan bahwa

perlu untuk mengombinasikan model pembelajaran kooperatif dengan model

pembelajaran langsung. Arends (2008) menyatakan bahwa guru-guru harus siap

untuk menerapkan model-model pembelajaran yang beragam dan

FP-13 Theo Jhoni Hartanto dkk

menghubungkannya secara kreatif dalam satu kegiatan pembelajaran atau suatu

unit pembelajaran [9].

Dalam mengkombinasikan dua model ini akan didahului dengan pembelajaran

dengan menerapkan model pembelajaran langsung. Pada pembelajaran dengan

model pembelajaran langsung ini akan didemonstrasikan tata cara melakukan

kegiatan eksperimen, bagaimana bekerja dalam kelompok, dan melatih

keterampilan proses sains langkah demi langkah. Kemudian, pada pembelajaran

berikutnya diterapkan model pembelajaran kooperatif. Selain melatih

keterampilan proses sains, penerapan kombinasi dua model ini diharapkan

memiliki dampak yaitu hasil belajar. Salah satu ciri model pembelajaran adalah

memiliki dampak pembelajaran yaitu hasil belajar yang dapat diukur [10].

Berdasarkan uraian di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk: melatih

keterampilan proses sains siswa, mengaktifkan siswa melalui aktivitasnya dalam

pembelajaran, dan mengetahui ketuntasan hasil belajar kognitif melalui

pembelajaran dengan metode eksperimen dalam setting kombinasi model

pembelajaran langsung dan model pembelajaran kooperatif pada materi kalor.

2. Metode Penelitian

Rancangan Penelitian

Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 6 Palangka Raya, Kalimantan Tengah.

Subyek penelitian ini adalah kelas VII-6 semester genap tahun ajaran 2014-2015

yang berjumlah 31 orang siswa. Rancangan penelitian mempergunakan rancangan

pre-experimental one-shot case study.

Pelaksanaan Penelitian

Pada pembelajaran yang dirancang oleh peneliti, model pembelajaran langsung

akan dikombinasikan dengan model pembelajaran kooperatif selama mempelajari

materi tentang kalor. Adapun rancangan pembelajaran ini disajikan dalam Tabel 1

berikut ini.

Tabel 1. Rancangan pembelajaran dengan kombinasi model pembelajaran langsung dan model

pembelajaran kooperatif

Pertemuan Sub materi Model

Pertama Pengertian kalor, tata cara eksperimen, dan

keterampilan proses sains

Model pembelajaran langsung

Kedua Hubungan kalor dengan massa zat, jenis zat

dan perubahan suhu zat Model pembelajaran

kooperatif Ketiga Kalor dan perubahan wujud zat

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kegiatan pembelajaran yang dirancang

ini akan melibatkan metode eksperimen terbimbing. Tabel 2 memperlihatkan

rancangan kegiatan-kegiatan eksperimen yang akan dilakukan oleh siswa SMP

kelas VII-6 dalam belajar materi pokok kalor.

Melatih Keterampilan Proses Sains Melalui Kegiatan Eksperimen.... FP-14

Tabel 2. Rancangan kegiatan eksperimen siswa pada materi pokok kalor

No. Sub Materi Pokok Kegiatan Eksperimen

1. Pengertian kalor, tata

cara eksperimen, dan

keterampilan proses

sains

Siswa dapat melakukan percobaan dan menemukan: ketika

dua benda berbeda suhu disentuhkan/dicampurkan, kalor

mengalir dari benda bersuhu tinggi ke benda bersuhu rendah

2. Hubungan kalor

dengan massa zat, jenis

zat, dan perubahan

suhu

Siswa dapat melakukan percobaan dan menemukan:

a. kalor dipengaruhi massa zat

b. kalor berhubungan dengan perubahan suhu

c. kalor berhubungan dengan jenis zat

3. Kalor dan perubahan

wujud zat

Siswa dapat melakukan percobaan dan menemukan:

a. suhu akan bernilai tetap pada saat zat mengalami

perubahan wujud

b. kalor yang diperlukan untuk mengubah wujud

bergantung pada massa dan jenis zat

Definisi Operasional Variabel Penelitian

1) Keterampilan Proses Sains

Keterampilan proses sains siswa merupakan keterampilan siswa dalam

merumuskan hipotesis, menentukan variabel, melakukan pengumpulan data dan

menganalisisnya, dan menyimpulkan hasil percobaan pada saat siswa

melaksanakan tes kinerja. Penguasaan siswa terhadap keterampilan proses sains

ini dilihat dari ketuntasan siswa dalam melakukan tes kinerja dimana siswa

minimal harus mencapai 70. Ketuntasan diperoleh dengan membagi jumlah skor

yang diperoleh siswa pada tes unjuk kerja dibagi jumlah skor maksimum

dikalikan dengan 100%.

2) Aktivitas Siswa

Aktivitas siswa merupakan persentase kegiatan yang dilakukan siswa selama

kegiatan pembelajaran berlangsung yaitu dengan cara dengan frekuensi tiap

aktivitas dibagi seluruh frekuensi aktivitas dikalikan dengan 100%. Aktivitas

siswa didasarkan pada sintaks pada model pembelajaran langsung (pertemuan

pertama) dan model pembelajaran kooperatif (pertemuan kedua dan pertemuan

ketiga).

3) Ketuntasan Hasil Belajar Kognitif Produk

Ketuntasan hasil belajar kognitif produk siswa merupakan ketuntasan hasil belajar

yang diperoleh siswa pada tes akhir dimana siswa dikatakan jika memperoleh

nilai lebih dari atau sama dengan 70. Ketuntasan belajar siswa diperoleh dengan

membagi jumlah skor yang diperoleh siswa pada post-test dengan jumlah skor

maksimum post-test dikalikan dengan 100%.

FP-15 Theo Jhoni Hartanto dkk

3. Hasil dan Pembahasan

Hasil Penelitian

a) Keterampilan Proses Sains

Siswa diminta untuk melakukan tes kinerja untuk mengetahui keterampilan proses

sains yang dimiliki siswa. Keterampilan proses yang diamati pada saat siswa

mengerjakan tes meliputi merumuskan hipotesis, mengidentifikasi variabel,

melakukan eksperimen dan menganalisis data, serta menyusun kesimpulan hasil

eksperimen. Hasil analisis tes kinerja dan rekapitulasinya disajikan pada Tabel 3

dan Tabel 4 sebagai berikut.

Tabel 3. Hasil analisis tes kinerja No.

Siswa Ketuntasan Kategori KPS

No.

Siswa Ketuntasan Kategori KPS

1 75 T 17 75 T 2 83 T 18 92 T 3 83 T 19 92 T 4 83 T 20 92 T 5 83 T 21 92 T 6 75 T 22 50 TT

7 75 T 23 92 T 8 83 T 24 92 T 9 75 T 25 75 T

10 42 TT 26 75 T 11 92 T 27 92 T 12 92 T 28 58 TT

13 83 T 29 42 TT

14 75 T 30 50 TT

15 75 T 31 83 T

16 83 T

Keterangan: T = tuntas; TT = tidak tuntas

Tabel 4. Rekapitulasi hasil tes kinerja

No. Ketuntasan Keterangan

1 Individu 26 siswa tuntas dan 5 siswa tidak tuntas

2 Klasikal 83,87% tuntas

b) Aktivitas Siswa

Aktivitas siswa pada pertemuan pertama berkaitan dengan pembelajaran model

pembelajaran langsung. Hasil pengamatan aktivitas siswa pada pertemuan

pertama ini dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil pengamatan aktivitas siswa di tiap pertemuan

No.

Aktivitas siswa yang

diamati saat diterapkan

model pembelajaran

langsung

Hasil

Pengamatan

Pertemuan 1 No.

Aktivitas siswa yang

diamati saat diterapkan

Model Kooperatif

Hasil Pengamatan

Pertemuan 2 Pertemuan 3

R P (%) R P (%) R P (%)

1. Memperhatikan

penjelasan guru 15,5 29,52

1. Memperhatikan

penjelasan guru 11,5 27,06 11,5 28,75

2. Memperhatikan

demonstrasi yang 12 22,86

2. Melakukan eksperimen

yang disajikan dalam 13,5 31,76 14,5 36,25

Melatih Keterampilan Proses Sains Melalui Kegiatan Eksperimen.... FP-16

No.

Aktivitas siswa yang

diamati saat diterapkan

model pembelajaran

langsung

Hasil

Pengamatan

Pertemuan 1 No.

Aktivitas siswa yang

diamati saat diterapkan

Model Kooperatif

Hasil Pengamatan

Pertemuan 2 Pertemuan 3

R P (%) R P (%) R P (%)

dilakukan oleh guru LKS secara berkelompok

3. Melakukan kegiatan

eksperimen terbimbing pada LKS

12,5 23,81

3. Menyajikan

/mempresentasikan hasil percobaan kelompok

4,5 10,59 4 10

4. Bertanya kepada guru 5,5 10,48 4. Bertanya kepada guru 9,5 22,35 7,5 18,75

5. Menyampaikan/

mempresentasikan hasil kegiatan

4 7,62

5. Melakukan aktivitas yang

tidak relevan 3,5 8,24 2,5 6,25

6. Melakukan aktivitas yang tidak relevan

3 5,71

Total Hasil Pengamatan 52,5 Total Hasil Pengamatan 42,5 40

Keterangan: R = aktivitas rata-rata hasil pengamatan; P = persentase aktivitas

Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat rata-rata tabulasi hasil pengamatan terhadap

aktivitas siswa pada pertemuan pertama, pertemuan kedua, dan pertemuan ketiga

di kelas VII-6. Aktivitas siswa yang paling menonjol pada pertemuan pertama

adalah memperhatikan penjelasan dari guru yaitu sebesar 29,52%. Aktivitas

berikutnya adalah melakukan kegiatan eksperimen yang ada pada LKS dan

memperhatikan demonstrasi yang dilakukan guru.

Aktivitas siswa pada pertemuan kedua dan ketiga berkaitan dengan pembelajaran

model pembelajaran kooperatif. Berdasarkan Tabel 5 disajikan rata-rata hasil

pengamatan terhadap aktivitas siswa pada pertemuan kedua dan ketiga memiliki

kesamaan. Aktivitas siswa yang paling menonjol pada pertemuan kedua adalah

kegiatan mengerjakan eksperimen yang disajikan pada LKS secara berkelompok

yaitu sebesar 31,76%. Pada pertemuan ketiga, kegiatan mengerjakan eksperimen

yang disajikan pada LKS secara berkelompok juga paling dominan dengan

persentase 36,25%. Aktivitas yang dominan berikutnya adalah memperhatikan

penjelasan guru dan bertanya pada guru.

c) Ketuntasan Hasil Belajar Kognitif

Tabel 6 dan 7 menunjukkan ketuntasan hasil belajar kognitif di kelas VII-6 setelah

dilakukan kegiatan pembelajaran dengan metode eksperimen dalam setting

kombinasi model pembelajaran langsung dan model pembelajaran kooperatif.

Secara individu, 23 siswa tuntas dan 8 siswa tidak tuntas. Artinya 74,19% siswa di

kelas VII-6 sudah mencapai ketuntasan.

Tabel 6. Hasil analisis untuk ketuntasan hasil belajar kognitif No.

Siswa Ketuntasan Kategori KPS

No.

Siswa Ketuntasan Kategori KPS

1 81 T 17 75 T

2 72 T 18 63 TT

3 75 T 19 81 T

4 38 TT 20 78 T

5 78 T 21 72 T

6 38 TT 22 47 TT

FP-17 Theo Jhoni Hartanto dkk

No.

Siswa Ketuntasan Kategori KPS

No.

Siswa Ketuntasan Kategori KPS

7 72 T 23 84 T

8 81 T 24 78 T

9 72 T 25 72 T

10 47 TT 26 72 T

11 72 T 27 78 T

12 81 T 28 34 TT

13 72 T 29 25 TT

14 94 T 30 34 TT

15 72 T 31 72 T

16 88 T

Tabel 7. Reapitulasi ketuntasan hasil belajar kognitif

No. Ketuntasan Keterangan

1 Individu 23 siswa tuntas dan 8 siswa tidak tuntas

2 Klasikal 74,19% tuntas

Diskusi

a) Keterampilan Proses Sains

Siswa diminta untuk melakukan tes kinerja yang berkaitan dengan materi kalor

untuk melihat keterampilan proses sains. Topik tes ini adalah tentang titik didih

dua jenis zat (air dan air garam). Adapun hasil dari tes kinerja secara keseluruhan

seperti yang disajikan pada Tabel 4. Secara individu, 26 siswa tuntas dan 5 siswa

tidak tuntas. Artinya 83,87% siswa di kelas VII-6 sudah mencapai ketuntasan.

Artinya, pembelajaran pada materi kalor ini sudah bisa melatihkan keterampilan

proses sains pada siswa di kelas VII-6.

Peneliti beranggapan bahwa hasil ini dicapai karena metode eksperimen yang

telah diterapkan melalui kombinasi model pembelajaran langsung dan model

pembelajaran kooperatif yang diterapkan dalam pembelajaran. Pembelajaran ini

telah mencoba untuk memberikan kesempatan dan membiasakan siswa untuk

belajar IPA dengan cara “berbuat”, tidak hanya pasif seperti yang selama ini

mereka lakukan. Di setiap kegiatan pembelajaran (tiga kali pertemuan) siswa

dilatih untuk bereksperimen yang melibatkan keterampilan proses sains

didalamnya. Sehingga, ketika diberikan tes kinerja yang berkaitan dengan

kegiatan eksperimen, siswa-siswa di kelas VII-6 dapat melakukannya.

Selain itu, eksperimen yang ada pada tes kinerja dapat dilakukan oleh siswa atau

sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh siswa yang duduk di kelas VII-6

SMPN 6. Kegiatan eksperimen dilakukan melalui lembar kegiatan siswa (LKS)

yang telah dirancang sebelumnya merupakan eksperimen terbimbing yang

memperhatikan kemampuan siswa di kelas VII-6 yang menjadi subyek penelitian.

Eksperimen terbimbing merupakan eksperimen yang jalannya percobaan telah

dirancang oleh guru sebelum percobaan dilakukan oleh siswa dan ada petunjuk

langkah-langkah yang harus dilaksanakan oleh siswa. Penelitian yang dilakukan

oleh Johnstone Al-Shuali (dikutip dari Urbancic dan Glazar, 2012) memperoleh

kesimpulan bahwa siswa akan mengalami kesulitan apabila eksperimen yang

dilakukannya terlalu sulit untuk dilakukan [3].

Melatih Keterampilan Proses Sains Melalui Kegiatan Eksperimen.... FP-18

Namun demikan, masih ada kelemahan yang ditemui berkaitan dengan

keterampilan proses ini yaitu banyak kesalahan dalam menentukan variabel.

Beberapa contoh hasil pekerjaan siswa yang masih belum tepat itu disajikan di

bawah ini.

Siswa nomor 28:

Siswa nomor 29:

Siswa nomor 30:

Berdasarkan pada hasil beberapa jawaban siswa di atas, terlihat bahwa mereka

masih belum tepat dalam menentukan variabel. Artinya, siswa masih perlu

diberikan penekanan dan koreksi berkaitan dengan penentuan variabel dalam

eksperimen yang dilakukannya. Hasil yang hampir sama seperti ini juga pernah

ditemukan oleh Chabalengula et al (2012) juga menemukan beberapa siswa

mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi variabel [11].

Secara keseluruhan, berdasarkan hasil ketuntasan tes kinerja, siswa sudah cukup

mampu untuk berlatih keterampilan prosesnya. Namun demikian, siswa masih

memerlukan latihan secara berkelanjutan agar mereka terbiasa untuk

menggunakan keterampilan proses dalam memecahkan masalah-masalah dalam

pelajaran sains dan hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai lebih optimal.

Apalagi, tes kinerja yang menuntut penguasaan keterampilan proses sains adalah

sesuatu yang baru bagi siswa. Subiyanto (1988) menyatakan bahwa keterampilan

hanya akan dikuasai siswa apabila siswa itu melakukan praktik atau latihan yang

berulang-ulang [12].

Ada beberapa catatan-catatan dalam upaya melatih keterampilan proses sains di

kelas VII-6 ini. Catatan-catatan tersebut dirangkum dalam Tabel 8 berikut. Tabel 8. Catatan-catatan saat pelaksanaan pembelajaran

No. Pertemuan Catatan hasil pengamatan

1. Pertemuan Pertama dengan

model pembelajaran

langsung

Waktu banyak dihabiskan pada fase presentasi dan

mendemonstrasikan, memberikan latihan

terbimbing (eksperimen), dan memberikan latihan

lanjutan (eksperimen lanjutan).

2. Pada pertemuan kedua dan

ketiga dengan menerapkan

model pembelajaran

kooperatif

Waktu banyak dihabiskan guru pada fase keempat

dan kelima. Pada fase keempat, siswa yang bekerja

dalam kelompok-kelompok. Fase kelima: guru juga

memberikan kesempatan kepada setiap kelompok

untuk mempresentasikan hasil eksperimen.

FP-19 Theo Jhoni Hartanto dkk

Berdasarkan Tabel 8, ada kesamaan pada pertemuan pertama, kedua, dan ketiga.

Kesamaan tersebut adalah pembelajaran memerlukan waktu yang lama terutama

pada fase melakukan eksperimen. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu kegiatan

eksperimen dan materi kalor merupakan hal yang baru bagi siswa sehingga

memerlukan waktu pembahasan dan pembimbingan yang banyak. Slavin (2011)

menyatakan bahwa jika guru memperkenalkan keterampilan atau konsep baru

kepada siswa, mungkin dibutuhkan pembahasan dan pembimbingan yang lebih

panjang [5].

b) Aktivitas Siswa

Berdasarkan data pada Tabel 5 diketahui bahwa terdapat beberapa aktivitas siswa

yang dominan selama mengikuti kegiatan pembelajaran dengan model

pembelajaran langsung pada pertemuan pertama. Aktivitas-aktivitas tersebut

adalah memperhatikan penjelasan dari guru, melakukan kegiatan eksperimen

terbimbing pada LKS, dan memperhatikan demonstrasi yang dilakukan guru.

Aktivitas yang dominan ini merupakan ciri khas karakteristik dari model

pembelajaran langsung. Joyce dan Weil (2009) menyatakan bahwa model

pembelajaran langsung terdiri dari penjelasan guru mengenai konsep atau

keterampilan serta memberikan peragaan, dilanjutkan dengan melakukan praktik

di bawah bimbingan guru, dan mendorong mereka meneruskan ke praktik mandiri

(latihan lanjutan) [6]. Aktivitas yang paling dominan pada pertemuan pertama ini

mencerminkan bahwa pembelajaran masih didominasi guru. Suprijono (2012)

menyatakan bahwa model pembelajaran langsung mengacu pada gaya mengajar

dimana guru terlibat aktif dalam mengusung materi pelajaran kepada peserta didik

dan mengajarkan secara langsung kepada seluruh kelas [13]. Berdasarkan

pengamatan yang dilakukan sepanjang kegiatan pembelajaran pada pertemuan

pertama ini, guru dominan karena siswa masih belum terbiasa melakukan kegiatan

eksperimen dan materi kalor merupakan materi yang baru dipelajari oleh siswa.

Hal ini mengharuskan guru untuk memberikan informasi tentang materi kalor dan

mendemonstrasikan keterampilan melakukan kegiatan eksperimen serta

membimbing siswa melakukan kegiatan di LKS.

Walaupun guru masih tampak dominan, namun siswa tetap masih terlibat aktif

dalam pembelajaran. Siswa beraktivitas melakukan kegiatan eksperimen pada

LKS dalam kelompok kecil. Hal ini terlihat dari aktivitas yang diamati pada Tabel

5. Aktivitas siswa ini mengedepankan kegiatan eksperimen dimana siswa terlibat

dalam berlatih dan berdiskusi merumuskan hipotesis, mengidentifikasi variabel,

melakukan pengamatan/mengumpulkan data, dan menarik kesimpulan. Melalui

kegiatan terbimbing dan kegiatan lanjutan, siswa dapat mengerjakan kegiatan

ekperimen pada LKS dan menemukan konsep hubungan kalor dengan massa,

perubahan suhu, dan jenis zat.

Pada pertemuan kedua dan pertemuan ketiga, aktivitas siswa berkaitan dengan

penerapan model pembelajaran kooperatif. Berdasarkan data pada Tabel 5

diketahui bahwa terdapat beberapa aktivitas siswa yang dominan selama

mengikuti kegiatan pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif.

Melatih Keterampilan Proses Sains Melalui Kegiatan Eksperimen.... FP-20

Aktivitas-aktivitas tersebut adalah melakukan eksperimen yang disajikan dalam

LKS secara berkelompok, memperhatikan penjelasan guru, dan bertanya pada

guru. Siswa terlibat dalam mengerjakan LKS dalam kelompok untuk melakukan

pengamatan/melakukan eksperimen. Siswa melakukan kegiatan diskusi untuk

menyelesaikan dan membahas hasil kerja kelompoknya. Nur (2008) menyatakan

bahwa model pembelajaran kooperatif mengacu pada pembelajaran dimana siswa

bekerjasama dalam kelompok kecil dan saling membantu dalam belajar [14].

Tujuan yang hendak dicapai tidak hanya kemampuan akademik dalam pengertian

penguasaan materi pelajaran, tetapi juga adanya unsur kerja sama untuk

penguasaan materi tersebut.

Tabel 5 juga menunjukkan bahwa guru masih tetap terlibat selama kegiatan

pembelajaran. Hal ini terlihat dari persentase sebesar 27,06% (di pertemuan

pertama) dan 28,75% (di pertemuan kedua), siswa mendengarkan penjelasan guru.

Guru kembali harus membimbing siswa untuk menentukan hipotesis dan

menentukan variabel, dan menyimpulkan data serta mengingatkan tata cara

melakukan eksperimen. Selain itu, guru memimpin kegiatan diskusi juga untuk

menjelaskan konsep kalor dan pengaruhnya terhadap perubahan wujud zat. Guru

memberikan penekanan dan koreksi terhadap hasil kerja siswa dan konsep yang

mereka pelajari.

Kegiatan pembelajaran pada pertemuan kedua ini jelas masih memerlukan

pembimbingan dari guru karena bagaimana pun kegiatan eksperimen yang

diterapkan ini masih baru bagi siswa sehingga masih banyak siswa yang bertanya

pada saat kegiatan pembelajaran. Hal ini terlihat dari rata-rata persentase hasil

pengamatan bahwa aktivitas bertanya pada guru pada tiap pertemuan adalah

10,48% (pertemuan pertama), 22,35% (pertemuan kedua), dan 18,75%

(pertemuan ketiga).

Pada pertemuan pertama, pertemuan kedua, dan pertemuan ketiga frekuensi

aktivitas mempresentasikan hasil eksperimen masih rendah seperti yang

ditunjukkan pada Tabel 5. Berdasarkan pengamatan sepanjang kegiatan

pembelajaran, ketika guru memberikan kesempatan mempresentasikan hasil kerja

kelompoknya, siswa cenderung saling tunjuk atau berdiam diri. Guru harus

mendorong siswa-siswa tersebut untuk memberanikan diri. Dillon (dikutip dari

Hofstein et al, 2005) menemukan bahwa umumnya pertanyaan dimulai oleh guru

dan sangat jarang siswa memulai pertanyaan atau menyampaikan gagasan,

sehingga mereka harus didorong untuk bertanya atau berpendapat [15]. Hanya

siswa-siswa tertentu yang berani tampil untuk membacakan atau menyampaikan

hasil pekerjaan di depan teman-temannya. Peneliti berpendapat bahwa hal ini

terjadi karena siswa masih belum terbiasa untuk bertanya atau menyampaikan

pendapatnya di kelas karena selama ini mereka hanya belajar fisika sebagai

pendengar. Sanjaya (2011) menyatakan bahwa pembelajaran dalam kelompok-

kelompok kecil melatih siswa untuk mampu berkomunikasi, namun untuk dapat

menguasai kemampuan ini memang memerlukan waktu sampai pada akhirnya

siswa menjadi komunikator yang baik [16]. Jones (2007) juga menyatakan bahwa

siswa yang tidak pernah bekerja dalam kelompok kecil sebelumnya, harus berlatih

FP-21 Theo Jhoni Hartanto dkk

dan memerlukan banyak dukungan serta dorongan untuk menumbuhkan rasa

percaya dirinya [17].

Dalam pengamatan aktivitas siswa di tiap pertemuan juga terlihat bahwa masih

ada aktivitas lain yang ditemukan oleh pengamat (aktivitas yang tidak relevan).

Namun demikian, aktivitas-aktivitas tersebut tidak mengganggu keterlaksanaan

proses pembelajaran. Dalam setiap proses pembelajaran guru harus memantau

semua kegiatan yang dilakukan oleh siswa untuk meminimalisir adanya aktivitas

yang tidak dikehendaki.

c) Ketuntasan Hasil Belajar Kognitif

Tabel 7 memperlihatkan bahwa pada kelas VII-6 terdapat 74,19% siswa yang

tuntas belajarnya dari aspek kognitif. Hasil ini menunjukan bahwa kegiatan

pembelajaran dengan kegiatan eksperimen dengan kombinasi model pembelajaran

langsung dan model pembelajaran kooperatif dapat membantu siswa mempelajari

konsep kalor. Pembelajaran yang dilakukan tidak hanya memfokuskan pada

bagaimana melakukan kegiatan eksperimen yang benar dengan menggunakan

keterampilan-keterampilan ilmiah di dalamnya, namun juga tetap menekankan

pada aspek pengetahuan tentang kalor.

Walaupun ketuntasan sudah lebih dari 70%, masih ada indikator yang sulit bagi

siswa dilihat dari hasil tes yang mereka kerjakan. Kesulitan dalam mencapai

ketuntasan indikator pembelajaran menunjukkan bahwa sejumlah siswa belum

menguasai secara tuntas bahan yang dipelajari. Peneliti merangkum indikator-

indikator yang sulit tersebut dalam Tabel 9 berikut ini.

Tabel 9. Indikator-indikator yang masih sulit bagi siswa

No. Indikator Temuan

1. Menerapkan hubungan

antara kalor dengan

kenaikan suhu, massa dan

jenis zat dalam soal

Siswa sudah bisa menghitung dengan benar banyaknya

kalor (Q) yang diperlukan dengan menggunakan

persamaan kalor, namun mereka masih kesulitan ketika

menghitung massa zat (m) dan menghitung perubahan

suhu (T)

2. Menerapkan persamaan

kalor laten untuk

menyelesaikan masalah

Siswa sudah bisa menghitung dengan benar banyaknya

kalor (Q) yang diperlukan untuk mengubah wujud zat,

namun mereka masih kesulitan ketika menghitung massa

zat (m).

3. Menganalisis persoalan

yang berkaitan dengan

hubungan kalor dengan

perubahan wujud zat

Siswa sudah bisa menganalisis data yang disajikan dalam

tabel berkaitan dengan pemanasan terhadap suatu zat,

namun masih kesulitan dalam menganalisis data jika data

disajikan dalam bentuk grafik

Berdasarkan Tabel 9 menunjukkan bahwa masih ada kesulitan pada siswa

terhadap tiga indikator pembelajaran. Siswa sudah bisa menghitung dengan benar

banyaknya kalor (Q) yang diperlukan dengan menggunakan persamaan kalor,

namun mereka masih kesulitan ketika menghitung massa zat (m) dan menghitung

perubahan suhu. Siswa sudah bisa menghitung dengan benar banyaknya kalor (Q)

yang diperlukan untuk mengubah wujud zat, namun mereka masih kesulitan

Melatih Keterampilan Proses Sains Melalui Kegiatan Eksperimen.... FP-22

ketika menghitung massa zat (m). Artinya, siswa masih kesulitan untuk

mengoperasikan persamaan-persamaan matematis. Siswa kesulitan untuk

menyelesaikan soal ketika yang ditanyakan adalah massa (m) atau perubahan suhu

(T) karena mereka sulit mengubah persamaan dari bentuk asli persamaan Q =

mcT. Hal ini juga terjadi lagi pada kalor laten. Siswa kesulitan untuk

menyelesaikan soal ketika yang ditanyakan adalah massa (m) karena mereka sulit

mengubah persamaan dari bentuk asli persamaan Q = mL.

Selain masalah operasi matematis, siswa kesulitan menganalisis permasalahan

yang disajikan dalam bentuk grafik. Siswa sudah bisa menganalisis soal yang

disajikan berupa tabel, namun mereka kesulitan ketika data tersebut disajikan

dalam bentuk grafik. Artinya, siswa belum memahami secara tuntas dalam

menganalisis data dalam soal yang disajikan dalam dua bentuk yang berbeda

(grafik dan tabel).

Tabel 7 memperlihatkan bahwa pada kelas XI MIA 1, 74,19% siswa tuntas

belajarnya dari aspek kognitif. Artinya, pembelajaran yang dilakukan tidak hanya

memfokuskan pada bagaimana melatih keterampilan proses sains melalui kegiatan

percobaan, tetapi juga tetap menekankan pada aspek pengetahuan tentang kalor.

Namun demikian, masih ada 8 siswa yang masih belum mencapai ketuntasan hasil

belajar kognitif. Berdasarkan Tabel 3 dan Tabel 6, diantara kedelapan siswa ini,

terdapat lima siswa yang KPS-nya juga hanya berkategori cukup baik. Artinya,

kelima siswa ini memang mengalami kesulitan dalam pembelajaran. Suwarto

(2013) menyatakan bahwa kesulitan belajar pada siswa dapat dilihat dari beberapa

gejala, salah satunya adalah siswa menunjukkan hasil belajar yang rendah [15].

Siswa-siswa ini perlu diberikan perhatian lebih agar dapat memperbaiki dan

meningkatkan hasil belajarnya.

4. Simpulan

Sebagian besar siswa telah memperlihatkan penguasaan keterampilan proses sains

melalui tes unjuk kerja. Secara individu, 26 siswa tuntas dan 5 siswa tidak tuntas.

Artinya 83,87% siswa di kelas VII-6 sudah mencapai ketuntasan. Artinya,

pembelajaran pada materi kalor ini sudah bisa melatihkan keterampilan proses

sains pada siswa di kelas VII-6. Namun demikian, masih ada kelemahan yang

ditemui berkaitan dengan keterampilan proses ini adalah banyak kesalahan siswa

dalam mengidentifikasi variabel eksperimen.

Aktivitas siswa kelas VII-6 selama penerapan perangkat pembelajaran sudah

menggambarkan kesesuaian dengan model pembelajaran langsung dan model

pembelajaran kooperatif. Aktivitas siswa yang dominan pada pertemuan pertama

adalah mendengarkan penjelasan dari guru dan melakukan kegiatan terbimbing.

Sedangkan, aktivitas siswa yang dominan pada pertemuan kedua adalah

mengerjakan LKS dan memperhatikan penjelasan guru. Namun, masih perlu

perbaikan untuk meningkatkan aktivitas siswa untuk berani mengemukakan

pendapat dan mempresentasikan hasil pekerjaannya.

FP-23 Theo Jhoni Hartanto dkk

Sebanyak 74,19,5% siswa kelas VII-6 telah mencapai ketuntasan hasil belajar

kognitif. Namun demikian, masih ada kesulitan pada siswa terhadap tiga indikator

pembelajaran. Dua indikator berkaitan dengan penyelesaian matematis yaitu

menerapkan hubungan antara kalor dengan kenaikan suhu, massa dan jenis zat

dalam soal dan menerapkan persamaan kalor laten untuk menyelesaikan masalah.

Sedangkan satu indikator lain berkaitan dengan menganalisis persoalan yang

berkaitan dengan hubungan kalor dengan perubahan wujud zat yang disajikan

dalam bentuk grafik. Guru harus memberikan perhatian terhadap indikator ini

sebab walaupun siswa telah melakukan eksperimen berkaitan dengan kalor laten,

tetap saja masih banyak siswa yang belum memahami tentang kalor laten ketika

disajikan dalam bentuk grafik dan tabel.

Ucapan Terimakasih

Ucapan terimakasih disampaikan kepada Lembaga Penelitian Universitas

Palangka Raya, seluruh dosen di Program Studi Pendidikan Fisika Universitas

Palangka Raya, Dinas Pendidikan Kota Palangka Raya, kepala sekolah beserta

seluruh staf di SMP Negeri 6 Palangka Raya, dan semua pihak yang telah

membantu dalam penyelesaian penelitian.

Referensi

1. Sahin, M. 2009. Exploring University Students' Expectations and Beliefs

About Physics and Physics Learning in Problem Based Learning Context.

Eurasia Journal of Mathematics, Science, Technology Education, 321-333.

2. Hartanto, Sinulingga, dan Suhartono. 2015. Analisis Pemahaman Konsep IPA

(Fisika) Siswa SMP di Kota Palangka Raya. Makalah disampaikan pada

Seminar Nasional Fisika di Universitas Palangka Raya tanggal 26 Maret 2015.

3. Urbancic dan Glazar. (2012). Impact of Experiments on 13 years-old pupils'

Understanding of Selected Science Concepts. Eurasia Journal of

Mathematics, Science, and Technology Education , 207-218.

4. Suparno, Paul. 2007. Metodologi Pembelajaran Fisika: Konstruktivistik dan

Menyenangkan.Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

5. Slavin, R. 2011. Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik Jilid Satu. Jakarta:

PT Indeks.

6. Joyce dan Weill. 2009. Models of Teaching: Model-model Pengajaran.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

7. Veenman, Denessen, van den Oord, dan Naafs. 2003. The Influence of a

Course on Direct and Activating Instruction upon Student Teachers'

Classroom Practice. Journal of Experimental Education, 197-225.

8. Klahr dan Nigam. 2004. The Equivalence of Learning Paths in Early Science

Instruction: Effect of Direct Instructon and Discovery Learning. Association

for Psychological Science, 661-667.

9. Arends, R. I. 2008. Learning to Teach : Belajar untuk Mengajar Edisi Ketujuh

Buku Dua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

10. Rusman. 2013. Model-model Pembelajaran: Mengembangkan

Profesionalisme Guru Edisi Kedua. Jakarta: Raja Grafindo.

Melatih Keterampilan Proses Sains Melalui Kegiatan Eksperimen.... FP-24

11. Chabalengula, Mumba, dan Mbewe. 2012. How Pre-service Teachers’

Understand and Perform Science Process Skills. Journal of Research in

Science Teaching, 167-176.

12. Subiyanto. 1988. Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan.

13. Suprijono, A. (2012). Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

14. Nur, M. (2011). Pengajaran Berpusat pada Siswa dan Pendekatan

Konstruktivis dalam Pengajaran edisi 5. Surabaya: Unesa: PSMS.

15. Hofstein, Navon, Kipnis, dan Naaman. 2005. Developing Students' Ability to

Ask More and Better Questions Resulting from Inquiry-Type Chemistry

Laboratories. Journal of Research in Science Teaching, 791-806.

16. Sanjaya, Wina. 2011. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta:

Kencana Prenada Media Group.

17. Jones, Leo. 2007 The Student-Centered Classroom. Cambridge University

Press.