MEIS

29
BAGIAN ANESTESIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN LAPORAN KASUS UNIVERSITAS PATTIMURA MARET 2015 “ANESTESI PADA PEDIATRI DENGAN PARASINTESA HIFEMA ec OS HIFEMA TRAUMATIK” Oleh: Meis Malirmasele (NIM : 009-83-048) Pembimbing: dr. Fahmi Maruapey, Sp. An DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESI

description

good

Transcript of MEIS

BAGIAN ANESTESIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

LAPORAN KASUSUNIVERSITAS PATTIMURA

MARET 2015ANESTESI PADA PEDIATRI DENGAN PARASINTESA HIFEMA ec OS HIFEMA TRAUMATIK

Oleh: Meis Malirmasele (NIM : 009-83-048)Pembimbing: dr. Fahmi Maruapey, Sp. An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ANESTESIRUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. M. HAULUSSYFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURAAMBON

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesia pada bayi dan anak berbeda dengan anestesia pada orang dewasa, karena mereka bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini1. Anestesia pada pediatri memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi daripada anesthesia pada pasien dewasa. Kesulitan yang berhubungan dengan anatomi dan fisiologi terutama karena perkembangannya sesuai usia pasien.2Imaturitas sistem dan organ pasien pediatric berpengaruh terhadap manajemen anesthesia. Komposis cairan dan elektroit tubuh yang berbeda mengharuskan perhitungan cermat terhadap dosis obat dan jumlah cairan yang diberikan.2Definisi pasien anak yakni neonatus (0-1 bulan), infants (1-12 bulan), toddlers (12-24 bulan), young children (2-12 tahun). Berikut ditampilkan perbedaan antara pasien dewasa dan pediatrik.3Tabel 1. Perbedaan Anatomi dan Fisiologi pada Anak dan dewasa3

Pasien-pasien mata umumnya memiliki risiko khusus terhadap tindakan anestesi. Pasien biasanya datang dengan umur yang ekstrim, sangat muda atau justru sangat tua. Oleh karenanya, kondisi medis yang mendasari keadaan pasien tersebut dapat memperberat risiko anestesi, demikian juga halnya respon pasien terhadap obat-obat anestesi yang diberikan. Seringnya, pasien-pasien mata yang mendapat pengobatan sehubugan dengan penyakit mata yang mereka derita dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tatalaksana anestesi.4Pengetahuan mengenai anatomi dan fisiologi mata merupakan hal yang penting bagi seorang dokter anestesi, diantaranya adalah pemahaman tentang tekanan intra okuler (TIO) serta bagaimana tekanan tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa penyakit dan obat-obatan, termasuk obat-obat yang digunakan dalam tindakan anestesi.5 Salah satu tujuan penting dalam tatalaksana anestesi selama tindakan pembedahan mata adalah mengupayakan agar TIO tetap terkendali. Terutama sekali pada tindakan pembedahan mata sistem terbuka, dimana variasi perubahan TIO yang besar selama pembedahan dapat berakibat terjadinya kerusakan pada fungsi penglihatan paska operasi. Pada pasien-pasien seperti ini, tindakan-tindakan yang dapat berkontribusi terhadap terjadinya suatu peningkatan TIO, termasuk stres mekanik ataupun farmakologik, haruslah dihindarkan.6 Usaha-usaha untuk mengendalikan TIO dalam rentang nilai yang fisiologis (berkisar antara 10-20 mmHg) merupakan suatu keharusan untuk mempertahankan kondisi anatomis yang diperlukan untuk fungsi refraksi dan penglihatan yang optimal.4Selain TIO, salah satu hal yang harus diperhatikan dalam anestesi untuk bedah mata adalah refleks okulokardiak. Traksi otot-otot ekstraokular atau tekanan pada bola mata terutama otot rektus medialis dapat memunculkan berbagai variasi disritmia jantung yang berkisar dari bradikardia dan ektopi ventrikular hingga henti sinus atau fibrilasi ventrikel.3,4 Refleks ini, yang pada mulanya dideskripsikan pada tahun 1908, terdiri dari suatu jalur trigeminal aferen (V1) dan vagal eferen. Refleks okulokardiak adalah paling lazim didapati pada pasien pediatrik yang menjalani operasi strabismus. Walaupun begitu, refleks ini dapat dimunculkan pada semua kelompok usia dan selama berbagai prosedur mata, termasuk ekstraksi katarak, enukleasi, dan perbaikan retinal detachment (perlepasan retina). Pada pasien yang sadar, refleks okulokardiak dapat berhubungan dengan somnolens dan nausea.4Obat-obat antikolinergik sering bermanfaat dalam pencegahan refleks okulokardiak. Atropin atau glikopirolat intravena sebelum pembedahan adalah lebih efektif dibanding premedikasi intramuskular yang dapat menjadi tidak efektif.2,4 Haruslah diingat bahwa obat-obat antikolinergik dapat berbahaya pada pasien usia lanjut, yang seringkali memiliki penyakit arteri koroner derajat tertentu. Blokade retrobulbar atau anestesia inhalasi yang dalam juga dapat bermanfaat, namun prosedur-prosedur ini memiliki risikonya tersendiri. Blokade retrobulbar sendiri sebenarnya dapat membangkitkan refleks retrobulbar. Kebutuhan untuk profilaksis rutin adalah kontroversial.4

Manajemen refleks okular kardiak ketika ia terjadi tersusun dari prosedur-prosedur berikut: pengenalan dini oleh ahli bedah dan penghentian sementara stimulasi bedah hingga kecepatan detak jantung meningkat, konfirmasi ventilasi, oksigenasi, dan kedalaman anestesia yang adekuat; pemberian atropin intravena (10 g/kg) jika terdapat gangguan konduksi, pada episode rekalsitran, infiltrasi otot-otot ekstraokular dengan anestetik lokal. Refleks ini pada akhirnya akan menghentikan dirinya sendiri dengan traksi berulang otot-otot ekstraokular.4BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS Nama

: An. SA Umur

: 2 tahun Pekerjaan

: - Agama

: Kristen protestan BB

: 12 kg

TB

: 60 cm No. rekam medik

: 07.35.50 Tanggal MRS

: 16 Februari 2014II. ANAMNESIS

Keluhan Utama : gumpalan darah pada mata kiri Anamnesis Terpimpin (Aloanamnesis) : pasien datang dengan keluhan timbul gumpalan darah pada mata kiri yang dialami sejak setengah jam sebelum masuk rumah sakit akibat tertusuk lidi. Sebelumnya, mata pasien mengeluarkan sedikit darah dan terasa nyeri namun perdarahan tersebut berhenti beberapa menit kemudian dan keluhan nyeri juga berkurang. Keluhan ini juga disertai mata berair, kelopak mata bengkak (-), mual muntah (-), penglihatan menurun sulit dievaluasi. Keluhan lain seperti demam (-), batuk pilek (-), sesak napas (-). Makan minum biasa, BAB/BAK biasa Riwayat penyakit dahulu : riwayat asma disangkal Riwayat pengobatan : pasien telah dirawat selama 4 hari di ruangan THT RSUD Dr. M. Haulussy Ambon, dengan pengobatan dari dr.Sp.Mata sebagai berikut :1. Polydex eye drop 6 dd gtt I OS2. Timolol 0,5% 2 dd gtt I OS

3. Paracetamol syrup 3 dd I cth

4. Posisi setengah duduk

Riwayat keluarga : DM (-), hemofilia (-) Riwayat Operasi & Anestesi : tidak pernah Riwayat Alergi : tidak adaIII. PEMERIKSAAN FISIK

Status gizi : Cukup

Keadaan Psikis : tampak gelisah Pemeriksaan tajam penglihatan : sulit dievaluasi

Pemeriksaan tekanan intraocular : sulit dievaluasi

B1 :

Airway : bebas

Breathing: Spontan

RR : 24x/m

Teeth : gigi goyang (-)

Tongue : makroglosi (-)

Temporomandibular joint : stiffness (-)

Tonsil : ukuran T1T1, hiperemis (-), detritus (-), krypta (-)

Torticolis : -

Thyroid notch : >3 jari

Trachea : deviasi (-)

Tumor : -

Malampati : IBunyi Napas : Vesikuler +/+, Rhonkhi -/-, Wheezing -/-

B2 :

Akral hangat, kering, merah

Tekanan Darah : 110/70 mmHgNadi : 100x/menit, regular, kuat angkat

Suhu : 36,90C

Bunyi Jantung I II Reguler, murmur (-), gallop (-)

B3:

Kesadaran : composmentisGCS : E4V5M6

Pupil : isokor, reflex cahaya (+)

B4:Perut datar, BU (+), nyeri tekan (-)

B5:BAK biasa, tidak menggunakan kateter

B6:

Oedema (-)Fraktur (-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG :1. Darah rutin :

Hemoglobin 12,2 g/dl

Leukosit 10.500 sel/mm3

Platelet 392.000 sel mm3

Hct 41,4%2. Kimia darah : tidak dilakukan pemeriksaan

3. Faktor koagulasi : tidak dilakukan pemeriksaan

4. Foto thorax PA :

Kesan : COR dan pulmo normal

V. DIAGNOSIS

Klinis : OS HIFEMA TRAUMATIK Anestesi : PS ASA IIVI. PLANNING

1. Puasa 6 jam preoperative

2. Injeksi antibiotic profilaksis : ceftriaxone 250mg/iv 1 jam sebelum operasi 3. Midazolam 2mg/iv sebelum operasi

VII. PRE OPERATIF1. Diagnosa Pra Bedah : OS Hifema Traumatika

2. Diagnosa Post Bedah : OS Hifema Traumatika dan Laserasi Kornea Full Thickness3. Jenis pembedahan : Parasintesa hifema dan jahit kornea4. Jenis anestesi : General anestesi ( intubasi5. Lama operasi : 09.50-10.50 WIT6. Lama anestesi : 09.35-11.00 WIT7. Teknik anestesi : a) Pasien diposisikan pada posisi supine dengan IV line pada tangan kiri, cairan RL 44tpmb) Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas normal.

c) Obat Midazolam dosis 2 mg dan fentanyl 20ug diberikan intravena untuk tujuan premedikasi.

d) Preoksigenasi/denitrogenisasi diberikan O2 100% dalam 3-5 menit

e) Dilakukan induksi dengan propofol 20mg/ivf) Dipastikan pasien sudah berada dalam kondisi tidak sadar dan stabil untuk dilakukan intubasi ETT.

g) Dilakukan insersi ETT diameter 3,5mm, dilakukan ventilasi dengan oksigenasi.

h) Cek suara napas pada semua lapangan paru dan lambung dengan stetoskop, dipastikan suara napas dan dada mengembang secara simetris. ETT difiksasi agar tidak lepas dan disambungkan dengan ventilator.i) Maintenance dengan inhalasi oksigen 4 lpm dan sevoflurane 1,5%.

j) Emergence : jika pasien napas spontan, lakukan suction kemudian ekstubasi. VIII. INTRA OPERATIF

1. Premedikasi : midazolam 2mg, fentanyl 20ug

2. Induksi : Propofol 20mg

3. Maintanance : Sevofluran 1,5% dan Oksigen 4lpm

4. Obat relaksasi : -5. Keseimbangan cairan :

a) Cairan masuk :

Pre-Operatif : RL 50cc

Intra-Operatif : RL 100ccCairan keluar :

b) Cairan keluar :

Perdarahan : (50cccProduksi urin : -

LAMPIRAN LEMBAR OBSERVASI INTRAOPERATIF

IX. POST OPERATIF

1. Pasien masuk ruang pemulihan pukul 11.10 WIT 2. Keluhan pasien: mual (-), muntah (-), nyeri (-)3. Pemeriksaan Fisik:

B1: Airway bebas, napas spontan, RR: 24 x/m, Rh (-), Wh (-).

B2: Akral hangat, kering, merah, nadi: 110 x/m, TD: 114/78 mmHg, BJ I II reguler, murmur (-), gallop (-).

B3: Sadar, GCS: E4V5M6, pupil isokor, refleks cahaya +/+, B4: -B5: BU (+).

B6: edema (-), fraktur (-)4. Post of pain management : (-)

5. Pasien dipindahkan ke ruangan THT Manipa 6. Terapi:

a) Awasi TTV, Head up 300.

b) Makan minum jam 15.00 WIT

c) Terapi lain sesuaikan dengan dokter Spesialis MataBAB III

DISKUSI

Anak perempuan berumur 2 tahun dengan keluhan gumpalan darah pada bilik mata depan oculi sinistra yang dirasakan setengah jam sebelum masuk Rumah Sakit, dialami setelah mata pasien tertusuk sebuah lidi. Sebelumnya, mata pasien mengeluarkan sedikit darah dan terasa nyeri namun perdarahan tersebut berhenti beberapa menit kemudian dan keluhan nyeri juga berkurang. Keluhan ini juga disertai epifora. Gejala-gejala yang dialami pasein sesuai dengan kepustakaan yang mengarah pada diagnosis hifema traumatic. Hifema atau darah dalam bilik mata depan dapat terjadi akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar.7Pada pemeriksaan segmen anterior ODS tampak perdarahan pada bilik mata depan okuli sinistra yang bila disesuaikan dengan kepustakaan maka disimpulkan menjadi hifema grade II (menutupi 1/3-1/2 BMD).8 Namun, tekanan intraocular tidak dapat diukur oleh karena pasien yang tidak koperatif. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan diagnosis yang sesuai adalah hifema traumatik.I. Pre-operatifSebelum dilakukan tindakan operasi, sangat perlu untuk dilakukan persiapan pre-operatif terlebih dulu. Pada pasien ini, dari anamnesis terpimpin tidak didapatkan riwayat alergi terhadap makanan atau obat-obatan, tidak mengkonsumsi obat-obatan rutin, pasien telah menjalani pengobatan untuk mata selama 2 hari yakni obat Polydex eye drop 6 dd gtt, Timolol 0,5% 2 dd gtt I OS, Paracetamol syrup 3 dd I cth, tidak didapatkan riwayat operasi sebelumnya, tidak didapatkan riwayat penyakit jantung, diabetes mellitus dan gangguan pembekuan darah. Dari pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan bermakna yang dapat mengganggu proses anestesi, pasien digolongkan dalam kategori Malampati 1, dari hasil laboratorium didapatkan sedikit peningkatan kadar leukosit, dari hasil pemeriksaan foto thoraks PA tidak ditemukan kelainan. Dari seluruh hasil pemeriksaan, pasien dikategorikan sebagai PS ASA II, dengan jenis anstesi adalah anestesi umum menggunakan teknik intubasi. Untuk meminimalkan risiko adanya aspirasi operasi maka pasien dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien ini dipuasakan selama 6 jam, diberikan premedikasi berupa antibiotic profilakis yakni ceftriaxone 250mg/iv 1 jam sebelum operasi dan midazolam 2mg/iv sebelum operasi.II. Intra-operatif

Sebelum dilakukan intubasi, pasien diberikan premedikasi berupa injeksi Midazolam 20 mg/iv berfungsi untuk meredakan kecemasan dan ketakutan anak dan memperlancar induksi, selain itu digunakan oleh karena efek depresi pernapasan yang minimal.2 Setelah tersedasi, maka diukur tekanan intraocular dan didapatkan hasil 10,2 mmHg yang artinya masih dalam batas normal. Namun, tindakan intubasi harus dilakukan sebaik mungkin agar mencegah peningkatan TIO, selain itu amati juga tanda-tanda okulokardiak refleks. Selanjutnya, diberikan analgesic opioid berupa fentanyl 20 mg/iv.

Obat Induksi anestesi yang digunakan adalah propofol. Mekanisme induksi general anestesi dengan propofol melibatkan fasilitasi dari inhibisi neurotransmitter yang dimediasi oleh GABA. Penggunaan propofol bersamaan dengan fentanyl pada kasus ini menghasilkan efek yang memuaskan. Opioid menghasilkan efek analgesia, kestabilan hemodinamik dan menumpulkan respon terhadap stimulus bedah, sedangkan propofol menghasilkan efek hipnosis dan amnesia.2Maintanance anestesi diberikan dengan anestesi inhalasi. Obat anestesi inhalasi yang dipakai adalah sevoflurane 1,5%. Sevofluran kurang larut dalam darah, berbau harum dan cepat meningkat pada konsentrasi alveolar membuat sevofluran menjadi pilihan untuk induksi inhalasi yang halus dan pemulihan yang cepat pada pasien anak dan dewasa. Sevoflurane kurang bersifat iritan terhadap saluran pernafasan bagian atas dibanding desfluran. 3,9Seperti telah dijelaskan, penggunaan obat-obat anestesi tersebut dapat menurunkan tekanan intraokuler yang proporsional. Sehingga mengurangi respon intubasi terhadap TIO.4 Umumnya obat-obat anestesi lain yang rendah tidak berefek pada tekanan intraokuler. Anestesi inhalasi menurunkan tekanan intraokuler yang proporsional sesuai dalamnya anestesi. Penyebab penurunannya multipel antara lain ; penurunan tekanan darah mengurangi volume koroidal, relaksasi otot-otot ekstraokuler menurunkan tekanan dinding bola mata, kontriksi pupil memudahkan aliran aquos. Anestesi intravena juga dapat menurunkan tekanan intraokuler. Mungkin pengecualian adalah ketamin, yang dapat menaikkan tekanan darah arteri dan tidak menyebabkan relaksasi otot ekstraokuler.4Selama proses anestesi (intra-operatif) saturasi oksigen pasien tidak pernah < 95%, tekanan darah pasien menurun hingga 70/40mmHg, nadi 80x/m pada saat diberikan propofol namun kemudian menjadi 82/57mmHg, nadi 90x/m dan tidak terdapat perubahan hingga akhir operasi. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa pemberian propofol menyebabkan terjadi penurunan tekanan darah maupun denyut nadi.3 Tabel 2. Variasi laju Jantung dan Tekanan Darah sesuai usia2AgeHeart rateSystolic pressureDiastolic pressure

Preterm 130-1504525

Newborn110-15060-7527

6 month80-1509545

2 years85-1259550

4 years75-1159857

8 years60-11011260

Tabel diatas menunjukkan tekanan darah dan laju jantung pada setiap usia. Untuk pasien ini tekanan darah Sistol berkisar 80-85mmHg dan diastole 46-50mmHg, sehingga tampak tidak sesuai dengan usia anak 2 tahun, namun pada laju jantung pasien, berkisar anstara 99-112x/menit, hal ini menunjukkan bahwa pasien dalam kondisi baik, oleh karena curah jantung pada anak ditentukan oleh heart rate/ laju jantung anak tersebut.2Perhitungan kebutuhan cairan pada kasus ini adalah ( BB pasien 12 kg) Terapi rumatan :10 kgBB I dikalikan 4 = 4x10 = 4010 KgBB II dikalikan 2 = 2x2 = 4Cairan yg dibutuhkan untuk terapi rumatan adalah 44 cc/jam. Defisit cairan karena puasa 6 jam, namun pasien telah puasa selama 9 jam (44cc x 9 jam) = 396cc. Untuk terapi cairan intraoperatif dihitung :

Maintanance: 44ml/jam

Puasa : 396-50=346ml

0perasi: 2x12=24mlUntuk 1 jam pertama diperlukan 241ml sedangkan Jam ke-2 dan ke-3 yaitu 154ml. Cairan yang masuk selama operasi adalah 100cc, oleh karena itu dirasakan tidak mencukupi kebutuhan cairan intraoperatif.Pada pasien ini, estimated blood volume adalah sebanyak 780 mL (12kg x 65 mL/kg), sedangkan allowable blood loss diperkirakan sebanyak 385 mL. Dalam intraoperatif terjadi perdarahan yang minimal yakni (50cc, sehingga tidak perlu diganti.

III. Post-operatif

Pada ruang pemulihan, pasien diobservasi tanda-tanda vital. Kontrol nyeri postoperative, mual dan muntah, dan mempertahankan normotermia sebelum pasien dipindahkan sangat dibutuhkan. Setelah 1 jam di ruang pemulihan pasien sudah sadar penuh, tekanan darah relatif tetap dibanding preoperative (S 100-110, D 60-76), pasien mampu bernafas dalam dan batuk, SpO2 >92% dengan udara ruangan, dan pasien mampu menggerakkan keempat ekstrimitasnya. Oleh karena itu, pasien kemudian dipindahkan ke ruangan biasa.

DAFTAR PUSTAKA

1. Said A L, Suntoro A. Anestesi Pediatrik. Anestesiologi.Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta. 1989: 115-122.

2. Ramlan AAW. Anestetia Pediatrik. Dalam : Gunawan SG, Stiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth, editor. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2012.Hal 375-96.3. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 20064. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Anesthesia for ophthalmic surgery in Clinical Anaesthesiology, 5th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 20135. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2009. h:1-12.6. Radjiman T, dkk. Ilmu Penyakit Mata, Penerbit Airlangga, Surabaya, 1984. h:1-8.7. Lang, K Gerard. Ocular trauma in Ophthalmology A Short Texbook, New York. Thieme Shuttgart 2006 : p.507-34

8. Khun F, et al. Anterior chamber in : Ocular Trauma Principles and Practice. New York : Thieme, 2002; p.131-8

9. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Anesthesia for ophthalmic surgery in Clinical Anaesthesiology, 5th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2013