Mei 2015 - bi.go.id · daerah berdampak pada menurunnya pendapatan, yang menyebabkan melemahnya...

99
Laporan Nusantara | 1 Mei 2015 VOLUME 11 NOMOR 2

Transcript of Mei 2015 - bi.go.id · daerah berdampak pada menurunnya pendapatan, yang menyebabkan melemahnya...

L a p o r a n N u s a n t a r a | 1

Mei 2015

VOLUME 11 NOMOR 2

L a p o r a n N u s a n t a r a

Halaman ini sengaja dikosongkan

L a p o r a n N u s a n t a r a

DAFTAR ISI

Informasi lebih lanjut dapat menghubungi: Bank Indonesia Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Grup Asesmen Ekonomi Divisi Asesmen Ekonomi Regional Ph. 021-29818119, 29818868 Fax. 021-3452489, 2310553

Daftar Isi 3

Kata Pengantar 5

Bagian I Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah 7

Bagian II Perekonomian Sumatera 13

Bagian III Perekonomian Jawa 49

Bagian IV Perekonomian Kalimantan 99

Bagian V Perekonomian Kawasan Timur Indonesia

Bagian VI Isu Khusus Daerah 139

Isu Khusus 1: Perkembangan Terkini, Prospek, Tantangan dan Rekomendasi dalam Mencapai Kedaulatan Pangan

Isu Khusus 2: Dampak Depresiasi Nilai Tukar Terhadap Kinerja Perekonomian Daerah

139

144

147

150

L a p o r a n N u s a n t a r a | v

Kata Pengantar

Bank Indonesia mempertimbangkan berbagai aspek dalam proses perumusan kebijakan, termasuk dinamika

ekonomi dan isu terkini dalam perspektif kewilayahan. Pembahasan menyeluruh terkait perkembangan

perekonomian terkini dan berbagai isu strategis yang mengemuka di daerah dilakukan secara periodik antara

Dewan Gubernur dengan Kepala Departemen Regional yang mewakili 4 (empat) wilayah di seluruh Indonesia1.

Hasil dari pembahasan tersebut menjadi bagian penting dalam mendukung pemahaman Bank Indonesia

terhadap kondisi makroekonomi dengan berbagai aspek risiko spasial yang berkembang.

Perekonomian Indonesia pada triwulan I 2015 dihadapkan pada sejumlah tantangan akibat kondisi

perekonomian global yang belum sepenuhnya kondusif. Perekonomian nasional tumbuh sebesar 4,7%,

melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh 5,0%. Perlambatan ekonomi pada triwulan

I 2015 terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, kecuali wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI). Secara

umum, perlambatan terutama didorong oleh melemahnya konsumsi rumah tangga dan investasi. Pelemahan

konsumsi rumah tangga terjadi merata di seluruh wilayah. Melemahnya kegiatan sektor-sektor utama di

daerah berdampak pada menurunnya pendapatan, yang menyebabkan melemahnya daya beli. Sejalan dengan

menurunnya kegiatan sektor-sektor utama daerah, aktivitas investasi daerah juga melambat.

Memasuki triwulan II 2015, berbagai indikator perekonomian daerah mengindikasikan potensi perbaikan

kinerja. Perbaikan ekonomi ditopang oleh menguatnya permintaan domestik di seluruh wilayah. Sejalan

dengan membaiknya perekonomian global, maka kegiatan dunia usaha juga meningkat. Hal tersebut

mendorong optimisme adanya perbaikan pedapatan, yang selanjutnya mendorong perbaikan daya beli

masyarakat. Membaiknya kondisi global akan dapat dimanfaatkan oleh wilayah KTI untuk meningkatkan

kinerja sektor pertambangan, yang didukung oleh mulai beroperasinya sejumlah smelter, wilayah Jawa melalui

peningkatan sektor manufaktur, dan Sumatera melalui sektor perkebunan yang akan mendorong industri CPO.

Sementara itu, perbaikan kinerja ekonomi Kalimantan masih akan terbatas, seiring dengan menurunnya

kinerja pertambangan.

Untuk keseluruhan tahun 2015, pertumbuhan perekonomian diperkirakan sedikit lebih baik dibandingkan

dengan tahun 2014, yaitu pada kisaran 5,0% - 5,4%. Optimisme perbaikan pertumbuhan bersumber dari

ekspektasi akan perbaikan perekonomian global dan akselerasi belanja pemerintah, terutama terkait realisasi

program infrastruktur.

Sementara itu, tekanan inflasi pada triwulan I 2015 relatif terkendali. Inflasi tercatat mencapai sebesar 6,38%,

disebabkan oleh koreksi harga yang terjadi pada beberapa bahan pangan, seiring dengan pasokan yang cukup

dan kondisi permintaan yang relatif stabil. Selain itu, penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada

triwulan I 2015 turut memicu rendahnya inflasi di seluruh wilayah. Inflasi terendah terjadi di wilayah Jawa

(diluar Jakarta) yaitu sebesar 5,90% (yoy), sedangkan inflasi tertinggi tercatat terjadi di Kalimantan yaitu

sebesar 7,31% (yoy).

Laju inflasi sedikit meningkat pada April 2015 terutama sebagai dampak lanjutan dari kenaikan harga BBM

pada akhir Maret. Inflasi April 2015 tercatat sebesar 0,36% (mtm) atau 6,79% (yoy), sedikit lebih tinggi

daripada akhir triwulan I 2015 sebesar 6,38%. Pasca kenaikan harga BBM (bensin dan solar) pada akhir Maret

2015, tarif angkutan dalam kota di sejumlah daerah dan sejumlah harga makanan jadi turut meningkat. Hal

tersebut merupakan dampak lanjutan dari naiknya BBM. Namun, kenaikan inflasi yang lebih besar dapat

dihindari karena terjadi koreksi ke bawah pada harga beras dan cabai merah, terkait masuknya masa panen di

sejumlah sentra produksi di Jawa, Bali, Sumatera dan Sulawesi. Faktor penahan inflasi lainnya adalah

permintaan domestik yang melambat, harga komoditas global yang masih menurun, serta terjaganya

ekspektasi inflasi.

1 Terhitung sejak 2015, bahasan ekonomi dan keuangan daerah dibagi menjadi 4 (empat) wilayah yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan dan

Kawasan Timur Indonesia (KTI-mencakup Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur)

L a p o r a n N u s a n t a r a | vi

Tekanan inflasi pada triwulan II 2015 diperkirakan meningkat seiring dengan faktor musiman menguatnya

permintaan pada masa bulan Ramadhan dan libur tahun ajaran baru. Kenaikan konsumsi tersebut berpotensi

memicu kekurangan pasokan di berbagai daerah, khususnya komoditas bahan makanan. Tekanan inflasi juga

diprakirakan berasal dari komoditas administered prices, antara lain penyesuaian tarif listrik nonsubsidi (rumah

tangga di atas 3.500 VA). Namun, hingga akhir tahun 2015, prakiraan inflasi di berbagai daerah secara agregat

masih sejalan dengan kisaran sasaran inflasi nasional sebesar 4%±1%. Optimisme ini didukung oleh perkiraan

surplus produksi pangan dan perbaikan berbagai infrastruktur konektivitas untuk meningkatkan efisiensi

distribusi barang. Meski demikian, terdapat beberapa risiko yang dapat meningkatkan tekanan inflasi pada

tahun 2015 yaitu kenaikan harga minyak dunia, pelemahan nilai tukar, dan kendala produksi pangan.

Dengan mempertimbangkan potensi tekanan yang ada, upaya pengendalian inflasi di daerah perlu difokuskan

pada berbagai upaya untuk menjamin ketersediaan pasokan, keterjangkauan harga, serta kelancaran distribusi

barang dari sentra produksi hingga ke konsumen. Selain itu, kegiatan memberikan informasi yang jelas kepada

masyarakat tentang berbagai langkah dan kebijakan yang akan ditempuh pemerintah dalam mengendalikan

harga perlu diperkuat. Hal ini dilakukan untuk menjaga ekspektasi masyarakat terhadap harga barang-barang

kebutuhan masyarakat.

Asesmen lengkap mengenai dinamika terkini dan prospek ekonomi daerah diuraikan secara lengkap dalam

buku Laporan Nusantara. Pada edisi kali ini, Laporan Nusantara mengangkat isu khusus mengenai

permasalahan dan tantangan untuk mencapai kedaulatan pangan, yang merupakan salah satu agenda

prioritas pembangunan pada era Kabinet Kerja. Selain itu, juga ditampilkan isu khusus mengenai dampak

pelemahan rupiah terhadap perekonomian daerah.

Penyusunan buku Laporan Nusantara ini dilakukan bersama oleh Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter

(DKEM) di kantor pusat Bank Indonesia dan Departemen Regional. Akhir kata, kami berharap buku Laporan

Nusantara ini dapat menjadi referensi para pemangku kepentingan dan pemerhati ekonomi daerah, serta

menjadi salah satu kontribusi Bank Indonesia dalam pembangunan ekonomi daerah.

Jakarta, 21 Mei 2015

Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter

Juda Agung

Direktur Eksekutif

L a p o r a n N u s a n t a r a | 1

Bagian I

Ringkasan Perkembangan Terkini dan

Prospek Ekonomi Daerah

PERKEMBANGAN TERKINI EKONOMI DAERAH

Perekonomian Indonesia pada triwulan I 2015 dihadapkan pada sejumlah tantangan. Dari sisi eksternal,

pemulihan ekonomi global berjalan lambat dan tidak merata, disertai harga-harga komoditas di pasar

internasional yang masih menurun sehingga berdampak negatif terhadap kinerja ekspor di berbagai daerah. Di

sisi domestik, pengeluaran pemerintah, termasuk implementasi proyek infrastruktur, baik di pusat maupun

daerah, masih belum berjalan secara optimal. Faktor eksternal dan domestik tersebut berdampak negatif

terhadap daya beli konsumen dan minat investasi. Sejalan dengan itu, perekonomian nasional tumbuh

melambat menjadi 4,7% (yoy) dari 5,0% pada triwulan sebelumnya.

Perlambatan ekonomi pada triwulan I 2015 terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, kecuali wilayah

Sulawesi-Maluku-Papua-Bali-Nusa Tenggara (KTI). Di wilayah Sumatera, melambatnya pertumbuhan ekonomi

terutama dipicu oleh kontraksi yang terjadi di Provinsi Nangroe Aceh Darusalam dan Provinsi Riau. Kontraksi

pertumbuhan ekonomi di dua provinsi tersebut, terutama terkait berhentinya produksi gas alam di Aceh, dan

lifting minyak bumi yang terus turun di Riau. Di Jawa (termasuk Jakarta), perlambatan ekonomi lebih

disebabkan oleh menurunnya kinerja industri pengolahan, sejalan dengan melemahnya ekspor. Di Kalimantan,

perlambatan ekonomi dipicu oleh kontraksi ekonomi di Provinsi Kalimantan Timur, terkait dengan

pemburukan kinerja sektor batubara, yang merupakan komoditas utama Kalimantan. Tidak seperti wilayah

lainnya, wilayah KTI mencatat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari triwulan sebelumnya.

Perekonomian KTI tumbuh sebesar 6,9%, meningkat cukup signifikan dibandingkan dengan triwulan

sebelumnya sebesar 5,0%. Hal ini terutama terkait dengan perbaikan kinerja ekspor tambang tembaga di

Papua dan Nusa Tenggara Barat setelah sebelumnya sempat dilarang karena belum memenuhi persyaratan

yang diatur dalam UU Minerba (base effect UU Minerba).

Sumber: BPS, diolah

Gambar I.1 Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan I 2015

Rendahnya belanja pemerintah daerah pada triwulan I 2015, turut menahan pertumbuhan ekonomi

nasional. Secara umum, daerah-daerah dengan basis utama sektor SDA menunjukkan realisasi belanja di

L a p o r a n N u s a n t a r a | 2

bawah rata-rata. Hal ini sejalan dengan menurunnya kinerja sektor-sektor SDA, yang kemudian berdampak

pada menurunnya dana bagi hasil (DBH), yang menjadi sumber dana APBD. Rendahnya penyerapan belanja

daerah tercermin pada penempatan dana daerah di perbankan pada triwulan I 2015 yang lebih besar

dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya.

Sejalan dengan perlambatan perekonomian nasional, ekspansi kredit perbankan juga relatif terbatas. Pada

triwulan I 2015, kredit korporasi maupun rumah tangga tumbuh lebih rendah dari triwulan sebelumnya.

Turunnya pertumbuhan kredit korporasi, terutama terjadi di wilayah Kalimantan dan Jawa (termasuk Jakarta).

Penurunan pertumbuhan kredit tersebut tersebut disertai dengan naiknya risiko kredit, yang tercermin pada

meningkatnya nonperforming loan (NPL) meski masih dalam ambang batas yang aman, yaitu di bawah 5%.

Sama halnya dengan sektor korporasi, secara umum pertumbuhan kredit di sektor rumah tangga menunjukkan

perlambatan, kecuali Jawa yang masih tumbuh meningkat, meski relatif terbatas. Meski NPL rumah tangga

meningkat, namun posisinya masih berada di bawah batas toleransi (5%). Kenaikan NPL sektor rumah tangga

tersebut disinyalir akibat meningkatnya beban kredit rumah tangga, sebagaimana tercermin dari rasio cicilan

utang terhadap pendapatan (debt service ratio/DSR) rumah tangga yang sedikit lebih tinggi dari triwulan

sebelumnya. Walaupun meningkat, DSR rumah tangga masih berada pada level yang dipandang cukup aman

karena berada di bawah 30%.

Indikasi perlambatan ekonomi nasional juga dikonfirmasi oleh melambatnya pertumbuhan kegiatan

transaksi keuangan melalui sistem pembayaran. Secara umum transaksi melalui sistem pembayaran baik

melalui sistem real time gross settlement (RTGS), maupun kliring menunjukkan penurunan. Pada triwulan I

2015 nilai transaksi melalui RTGS tumbuh negatif 21,3% (yoy), dari sebelumnya tumbuh 35,4% (yoy) pada

triwulan IV 2014. Kontraksi transaksi melalui RTGS terutama terjadi di wilayah Jawa. Penurunan kegiatan

transaksi melalui RTGS juga disebabkan oleh diberlakukannya ketentuan pembatasan nilai transaksi via RTGS

di atas Rp 100 juta pada akhir 2014. Sementara itu nilai transaksi kliring pada triwulan I 2015 tumbuh

melambat cukup signifikan, yaitu menjadi 10,5% (yoy) dari sebelumnya tumbuh mencapai 21,6% pada triwulan

IV 2014. Perlambatan transaksi kiring tersebut terjadi hampir di semua wilayah, kecuali Sumatera.

Tekanan inflasi pada Tw I 2015 hingga April 2015 relatif terkendali di seluruh wilayah. Inflasi pada akhir

triwulan I 2015 tercatat sebesar 6,38% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan akhir tahun 2014 yang

tercatat sebesar 8,36% (yoy). Koreksi beberapa harga bahan pangan karena pasokan yang mencukupi dan

melemahnya permintaan, menjadi faktor penyebab turunnya laju inflasi. Komoditas bahan pangan yang

mengalami koreksi harga ke bawah antara lain cabe merah, daging ayam ras, dan telur. Sementara itu,

komoditas beras, di beberapa wilayah seperti Jawa, Kalimantan dan KTI menjadi pendorong inflasi, sedangkan

di Sumatera justru menjadi penurun inflasi. Tekanan inflasi terendah terjadi di wilayah Jawa (di luar Jakarta)

yaitu sebesar 5,90% (yoy), kemudian diikuti oleh Sumatera dan KTI, masing-masing sebesar 6,12% (yoy) dan

6,83% yoy. Di Jakarta, inflasi triwulan I 2015 tercatat sebesar 7,10% (yoy), lebih rendah daripada akhir tahun

2014. Inflasi tertinggi pada triwulan I 2015 terjadi di Kalimantan, yang mencapai 7,31%. Meski demikian, sama

halnya dengan daerah-daerah lain, tekanan inflasi di Kalimantan pada triwulan I 2015 relatif lebih rendah dari

triwulan sebelumnya. Penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sebanyak dua kali pada triwulan

I 2015, memicu rendahnya inflasi untuk komoditas premium/solar dan angkutan dalam kota di beberapa

daerah.

Laju inflasi sedikit meningkat pada April 2015 terutama sebagai dampak lanjutan dari kenaikan harga BBM

pada akhir Maret. Inflasi April 2015 tercatat sebesar 0,36% (mtm) atau 6,79% (yoy), sedikit lebih tinggi

daripada akhir triwulan I 2015 sebesar 6,38%. Dorongan inflasi bersumber dari kelompok komoditas yang

harganya diatur oleh pemerintah (administered prices) pasca kenaikan harga BBM (bensin dan solar) pada

akhir Maret 2015 serta dampak lanjutannya terhadap kenaikan tarif angkutan dalam kota di sejumlah daerah

dan sejumlah harga makanan jadi. Tekanan inflasi administered prices juga dipicu oleh kenaikan harga LPG 12

kg dan tarif kereta api jarak menengah-jauh. Kenaikan inflasi yang lebih besar dapat dihindari karena terjadi

L a p o r a n N u s a n t a r a | 3

koreksi ke bawah pada harga beras dan cabai merah, terkait masuknya masa panen di sejumlah sentra

produksi di Jawa, Bali, Sumatera dan Sulawesi. Faktor penahan inflasi lainnya adalah permintaan domestik

yang melambat, harga komoditas global yang masih menurun, serta terjaganya ekspektasi inflasi.

Gambar I.2

Peta Inflasi Daerah

PROSPEK EKONOMI DAERAH DAN TANTANGAN KE DEPAN

Prospek Ekonomi Daerah

Pada triwulan II 2015, berbagai indikator mengindikasikan bahwa kinerja perekonomian di seluruh wilayah

berpotensi membaik. Perbaikan kinerja ekonomi yang cukup signifikan terjadi di wilayah KTI. Faktor

pendorong utama datang dari komponen ekspor luar negeri, yang didukung oleh perpanjangan izin ekspor

tembaga di Papua dan Nusa Tenggara Barat, serta beroperasinya smelter untuk pemurnian bijih nikel. Di

wilayah Jawa perbaikan ekonomi terutama didorong oleh membaiknya permintaan, baik domestik maupun

eksternal, terutama terkait dengan komoditas makanan dan minuman, tekstil dan produk tekstil, kimia, serta

baja. Di wilayah Sumatera, dorongan pertumbuhan ekonomi berasal dari peningkatan konsumsi swasta dan

peningkatan realisasi belanja pemerintah, baik untuk belanja barang dan jasa, maupun belanja barang modal.

Meningkatnya permintaan swasta tersebut, kemudian direspons oleh sektor industri pengolahan melalui

peningkatan produksi. Sementara itu, semakin meningkatnya penyerapan anggaran pemerintah berpotensi

mendorong kegiatan di sektor infrastruktur, yang mencerminkan meningkatnya kegiatan investasi, terutama

investasi bangunan. Efektivitas penggunaan anggaran yang lebih baik terindikasi tidak hanya akan terjadi di

Sumatera, tetapi juga terjadi di seluruh wilayah. Sebaliknya, prospek perbaikan kinerja ekonomi di Kalimantan

diperkirakan relatif terbatas. Lemahnya permintaan batubara dan harganya di pasar global yang belum

kunjung membaik menjadi faktor pemicu lebih rendahnya pertumbuhan ekonomi di Kalimantan dibandingkan

dengan wilayah lainnya.

SUMATERA

JAKARTASULAMPUA BALI NUSTRAJAWA KALIMANTAN

L a p o r a n N u s a n t a r a | 4

* Prakiraan arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year)

Tabel I.1 Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan II 2015*

Pertumbuhan ekonomi nasional untuk keseluruhan tahun 2015 diprakirakan membaik dibandingkan dengan

tahun 2014. Pertumbuhan ekonomi diprakirakan berada di kisaran 5,0%-5,4%, membaik terbatas dari realisasi

pertumbuhan tahun 2014 yang tercatat sebesar 5,2%. Meningkatnya kegiatan konsumsi dan investasi menjadi

penopang membaiknya kinerja ekonomi. Belanja pemerintah yang mulai meningkat sejak triwulan II 2015

menjadi stimulus penggerak kegiatan ekonomi, terutama investasi. Sejalan dengan hal tersebut, optimisme

dunia usaha diprediksi membaik sehingga mendorong ekspansi usaha. Selain itu, harapan akan membaiknya

perekonomian global, terutama ekonomi negara-negara maju, berpotensi menciptakan peluang ekspor. Geliat

yang terjadi di dunia usaha akan berdampak positif pada membaiknya pendapatan masyarakat, sehingga daya

beli membaik. Lebih lanjut perbaikan daya beli akan mendorong kegiatan konsumsi. Sebagai cerminan dari

meningkatnya investasi, kegiatan impor juga diprakirakan akan meningkat, terutama untuk impor bahan baku

dan barang modal.

Perbaikan ekonomi nasional tahun 2015 secara spasial akan ditopang oleh pertumbuhan ekonomi di

wilayah Jawa (termasuk Jakarta) dan KTI. Di Jawa pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi akan ditopang oleh

perbaikan di sektor pertanian, industri, infrastruktur, dan perdagangan, sejalan dengan perbaikan di sisi

permintaan. Di wilayah KTI, perbaikan kinerja ekonomi, terutama akan didorong oleh perbaikan sektor

pertambangan, sejalan dengan adanya dukungan dari mulai berjalannya beberapa smelter dan pulihnya

produksi serta ekspor tembaga. Sebaliknya, perbaikan kinerja perekonomian di wilayah Sumatera, Jakarta

dan Kalimantan diperkirakan akan tertahan. Di Sumatera, perlambatan ekonomi terkait dengan kinerja migas

yang terus turun, terutama di Aceh dan Riau. Kinerja ekspor SDA dari Sumatera juga diprakirakan belum

banyak menunjukkan perbaikan, sejalan dengan lambatnya perbaikan ekonomi global. Untuk Jakarta,

perlambatan ekonomi terkait dengan melemahnya konsumsi rumah tangga dan kinerja pengeluaran

pemerintah yang terganggu akibat keterlambatan pengesahan APBD. Selain itu, meskipun ekspor Jakarta

diprakirakan akan membaik, impor diprakirakan juga ikut meningkat, terutama impor yang mendukung

pembangunan infrastruktur terkait pembangunan proyek MRT. Di Kalimantan, perlambatan ekonomi dipicu

oleh menurunnya permintaan dan harga batubara, serta lifting migas di Kalimantan Timur. Upaya stimulus

permintaan batubara dari pasar domestik berupa domestic market obligation (DMO) belum cukup berdampak

seiring dengan masih tertundanya penyelesaian proyek-proyek PLTA.

Tendensi

KawasanAsesmen

Tendensi

JakartaTendensi Jawa Asesmen

Tendensi

KawasanAsesmen

Tendensi

KawasanAsesmen

Pertumbuhan

Ekonomi

Konsumsi RTFaktor musiman hari raya

keagamaan dan tahun ajaran baru

Faktor musiman hari raya

keagamaan dan tahun ajaran baru

Faktor musiman hari raya

keagamaan dan tahun ajaran baru

Faktor musiman hari raya keagamaan

dan tahun ajaran baru

Konsumsi

Pemerintah

Base effect realisasi APBD Sumut &

pencairan gaji ke 13

Realisasi APBD Jakarta & realisasi

APBD Kab/Kota yang baru disahkan

Feb 2015

Realisasi APBD naik setelah

realisasi yg minim di Tw I 2015

Kendala APBD (administrasi di Bali,

Papua Barat , Maluku Utara)

Investasi (PMTB)Realisasi proyek berlangsung di tw

II (a.l. proyek trans sumatera)

Realisasi proyek infrastruktur :

irigasi dll, pabrik mobil varian baru

(peningkatan kapasitas prod.),

pembangunan pabrik mamin.

Namun, pembangunan smelter

masih terbatas.

Realisasi infrastruktur pada tw II

(post tender )

Non Bangunan meningkat untuk

mendukung ekspansi tambang & industri

tambang

Bangunan didukung oleh infrastruktur

konektivitas

Ekspor LN Kenaikan ekspor CPO Perbaikan negara mitra dagang :

Eropa, Jepang

Dampak penurunan batubara &

migas

Peningkatan ekspor tambang (nikel &

tembaga) dan olahan (base effect ).

Terdapat produksi dari smelter baru

Impor LNImpor naik mendukung investasi

(infrstruktur)

Barang konsumsi & bahan baku

(baja) naik, namun barang modal

stagnan

Penurunan impor barang modalPeningkatan kebutuhan bahan baku

(smelter baru)

SUMATERA JAWA & JAKARTA TIMUR INDONESIAKALIMANTAN

L a p o r a n N u s a n t a r a | 5

Ke depan, dalam perspektif yang lebih panjang, masih terdapat optimisme berlanjutnya perbaikan kinerja

perekonomian nasional. Langkah strategis pemerintah untuk menempuh beberapa agenda pembangunan,

sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019, diharapkan dapat

menjawab berbagai tantangan dalam memperkuat fondasi ekonomi nasional. Salah satu agenda prioritas

(Nawa Cita) pemerintah adalah mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor

strategis ekonomi domestik. Salah satu cerminan kemandirian ekonomi nasional adalah terwujudnya

kedaulatan pangan. Peningkatan kedaulatan pangan diterjemahkan menjadi langkah-langkah holistik untuk

meningkatkan produksi, meningkatkan kesejahteraan pelaku, stabilnya harga pangan dengan kualitas yang

terjamin, aman dan bergizi.

Upaya mencapai kedaulatan pangan, khususnya melalui peningkatan produksi dan produktivitas, perlu

mendapat dukungan baik di level pusat maupun daerah. Salah satu upaya dalam mendorong produksi dan

produktivitas pangan adalah tersedianya infrastruktur pertanian yang memadai. Pembangunan infrastruktur

yang saat ini diperlukan antara lain berupa perbaikan dan pembangunan infrastruktur pengairan, seperti

waduk dan saluran irigasi, serta pembangunan jalan yang menghubungkan sentra produksi kepada konsumen

akhir. Untuk mewujudkan ketersediaan infrastruktur tersebut, dukungan dan koordinasi antara instansi yang

membidangi pembangunan fisik serta pemerintah daerah melalui dukungan kebijakan yang mempermudah

implementasi pembangunan tersebut, mutlak diperlukan. Selain pembangunan infrastruktur, peningkatan

produksi dan produktivitas pertanian juga memerlukan dukungan penyediaan teknologi dan sarana produksi,

serta sumber daya manusia yang baik. Hal ini juga hanya dapat terwujud melalui dukungan banyak pihak, yaitu

masyarakat, pemerintah dan pelaku usaha, dari tingkat pusat hingga daerah.

Salah satu pengejawantahan dari kedaulatan pangan adalah stabilisasi harga pangan, yang erat kaitannya

dengan aspek tata niaga. Secara garis besar, tantangan terbesar dari tata niaga sejumlah komoditas pangan

strategis saat ini adalah pada perbaikan jalur distribusi, mekanisme pembentukan harga, dan faktor

institusional yang mencakup kebijakan dan fasilitasi perdagangan. Rantai distribusi sejumlah komoditas

pangan strategis cenderung panjang, tidak efisien, dan disertai tingginya variasi akumulasi margin antar simpul

pelaku sehingga memicu lebarnya disparitas harga produsen dan konsumen. Selain itu, struktur pasar

komoditas pangan yang dikuasai segelintir pelaku ditengarai juga berperan dalam pembentukan disparitas

tersebut. Secara spasial, kendala distribusi akibat terbatasnya konektivitas dan infrastruktur dialami oleh

wilayah-wilayah di luar Jawa. Biaya logistik di KTI merupakan yang tertinggi secara nasional. Oleh karenanya,

peningkatan konektivitas melalui pembangunan infrastruktur jalan dan pelabuhan diharapkan dapat

mengefisienkan rantai distribusi dan biaya logistik sebagai salah satu upaya pembenahan tata niaga. Hal ini

juga mendukung upaya meningkatkan daya saing logistik untuk menyamai negara pesaing regional, sehingga

akses pelaku usaha pangan ke pasar dapat semakin baik.

Dari sisi harga, tekanan inflasi pada triwulan II 2015 diprakirakan akan sedikit meningkat. Inflasi yang lebih

tinggi terutama dipicu oleh faktor musiman meningkatnya permintaan, sejalan dengan masuknya bulan

Ramadhan serta masa libur tahun ajaran baru yang akan mendorong naiknya aktivitas konsumsi masyarakat.

Penyesuaian harga diprakirakan terjadi pada kelompok makanan (aneka daging, bumbu, dan beras).

Meningkatnya permintaan bahan pangan tersebut berpotensi memicu shortage pasokan pangan antardaerah.

Dengan demikian, tekanan inflasi dari sisi pangan diprakirakan cukup merata terjadi di seluruh wilayah.

Sementara itu, mobilitas masyarakat yang lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya berpotensi

direspons dengan penyesuaian tarif berbagai moda angkutan seperti tarif angkutan antarkota dan angkutan

udara. Selain faktor permintaan, kebijakan Pemerintah terkait rencana kenaikan tarif listrik per 1 Mei 2015,

akan turut manambah tekanan inflasi, di samping dampak lanjutan dari kebijakan energi sebelumnya

(kenaikan LPG). Faktor lain, yang diprakirakan berpotensi mendorong kenaikan inflasi dalam jangka pendek

adalah berlanjutnya depresiasi rupiah, yang akan meningkatkan inflasi melalui jalur impor.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 6

Kendati demikian, inflasi sepanjang tahun 2015 diprakirakan tetap terkendali hingga akhir tahun, sehingga

masih berada dalam kisaran sasaran inflasi nasional sebesar 4%±1%. Berbagai upaya pengendalian inflasi serta

koordinasi yang semakin kuat dengan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, diyakini akan mampu

membawa pergerakan inflasi ke level yang lebih rendah. Optimisme terhadap kemampuan mengendalikan

inflasi daerah tersebut ditopang oleh upaya Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) dalam merumuskan arah

kebijakan untuk menjaga stabilitas harga, baik kebijakan jangka pendek (musiman) maupun yang lebih

berjangka panjang (struktural). Dengan adanya perencanaan pengendalian inflasi yang lebih baik, diharapkan

ketersediaan pasokan, keterjangkauan harga, kelancaran distribusi terhadap barang-barang kebutuhan

masyarakat, terutama pangan, dapat terwujud. Selain itu, pemberian informasi kepada masyarakat tentang

upaya yang akan ditempuh pemerintah dalam menjaga kestabilan harga dan ketersediaan pangan merupakan

strategi komunikasi yang efektif untuk menjaga ekspektasi harga masyarakat.

Risiko dan Tantangan Ke Depan

Prospek pertumbuhan ekonomi daerah selama sisa tahun 2015 diperkirakan akan membaik, namun risiko ke

bawah masih ada. Sumber perbaikan ekonomi terutama akan datang dari kinerja pengeluaran pemerintah

yang membaik, termasuk dalam bentuk proyek infrastruktur di berbagai daerah. Meskipun demikian,

perekonomian daerah masih menghadapi risiko ke bawah yang bersumber dari tingginya ketidakpastian

perekonomian global yang dapat berdampak pada melemahnya permintaan ekspor dan menurunnya harga

komoditas dunia. Dari sisi domestik, risiko perlambatan ekonomi bersumber dari kemungkinan terhambatnya

implementasi pembangunan infrastruktur. Dari perspektif spasial, jika pemulihan ekonomi global berjalan

tidak sesuai harapan, permintaan ekspor produk pertanian/perkebunan di Sumatera akan cenderung terbatas.

Hal demikian, di tengah harga komoditas yang masih rendah, dapat berdampak negatif terhadap kinerja

konsumsi melalui penurunan daya beli. Sementara di Jawa, lambatnya pemulihan ekonomi global akan

menekan kinerja ekspor manufaktur. Hal ini, di tengah meningkatnya biaya produksi akibat kenaikan harga

energi dan faktor input, dapat mengurangi minat investasi swasta. Adapun pertumbuhan ekonomi di

Kalimantan dapat semakin tertahan jika investasi di sektor migas tidak memadai, sehingga produksi migas

terus menurun. Kondisi demikian dapat menurunkan kinerja ekspor dan DBH sehingga berimbas pada

kemampuan fiskal daerah dalam merealisasikan belanja modal. Sementara di KTI, upaya menjaga kinerja

sektor perikanan pasca diluncurkannya kebijakan kemaritiman perlu terus diupayakan. Selain itu perlu

diwaspasai risiko dari lambatnya kemajuan hilirisasi tambang.

Dari sisi pengendalian harga, masih terdapat sejumlah risiko yang dapat menghambat tren penurunan inflasi

yang saat ini berlangsung. Risiko kenaikan harga minyak dunia dan pelemahan nilai tukar dan dampaknya

terhadap harga komoditas energi (BBM, listrik, LPG) menjadi faktor risiko inflasi yang paling mengemuka di

seluruh wilayah. Kedua faktor tersebut perlu terus dicermati, terutama dalam upaya meredam dampak

lanjutannya (second round impact) terhadap harga barang dan jasa yang lain. Selain faktor risiko jangka

pendek tersebut, pengendalian laju inflasi di berbagai daerah juga masih dihadapkan pada tantangan

struktural, terutama yang terkait dengan keterbatasan pasokan/produksi pangan dan tata niaga pangan yang

tidak efisien. Secara spasial, beberapa wilayah memiliki tantangan struktural yang dapat semakin menambah

risiko pengendalian inflasi, seperti misalnya di Kalimantan dan KTI yang dihadapkan pada belum memadainya

infrastruktur konektivitas sehingga menghambat kelancaran arus distribusi barang, khususnya komoditas

pangan strategis.

Laporan Nusantara ini disarikan dari hasil pertemuan Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan para Kepala

Departemen Regional pada 15 Mei 2015 di Jakarta. Pertemuan tersebut dilakukan secara periodik untuk

membahas perkembangan terkini dan berbagai isu strategis yang menjadi perhatian di daerah sebagai

bahan pertimbangan penting dalam perumusan kebijakan di Bank Indonesia

L a p o r a n N u s a n t a r a | 7

Bagian II

Perekonomian Sumatera

PERTUMBUHAN EKONOMI

Pertumbuhan ekonomi Sumatera pada triwulan I 2015 tercatat melambat dibandingkan dengan triwulan IV

2014. Perekonomian Sumatera tercatat tumbuh 3,5% (yoy), lebih rendah dari capaian triwulan sebelumnya

sebesar 4,4% (yoy). Perlambatan ekonomi terjadi di seluruh provinsi di Sumatera, kecuali Lampung, terutama

disebabkan oleh melambatnya konsumsi rumah tangga, di tengah kinerja ekspor Sumatera yang masih

terkontraksi. Dari sisi sektoral, perlambatan ekonomi terutama disebabkan oleh penurunan kinerja migas, yang

mengakibatkan perlambatan sektor pertambangan dan penggalian, serta industri pengolahan. Perlambatan

ekonomi yang terjadi pada triwulan I 2015 dikonfirmasi oleh penurunan Indeks Realisasi Kegiatan Usaha1.

Perekonomian Sumatera pada triwulan II 2015 diprakirakan tumbuh membaik. Perbaikan ekonomi Sumatera

didorong oleh peningkatan kinerja sektor pertanian dan industri pengolahan, seiring dengan peningkatan

produksi kelapa sawit dan perbaikan kinerja komoditas karet. Hal tersebut dikonfirmasi oleh hasil liaison, yang

mengindikasikan akan adanya peningkatan penjualan domestik dan ekspor kedua komoditas tersebut.

Perbaikan kedua sektor utama Sumatera diperkirakan mendorong perbaikan konsumsi rumah tangga, sejalan

dengan kecenderungan peningkatan konsumsi menjelang bulan Ramadhan. Selain itu, pembangunan

infrastruktur diperkirakan akan terakselerasi pada triwulan II 2015 ini, yang ditandai dengan dimulainya

berbagai proyek infrastruktur pemerintah di wilayah Sumatera.

Perlambatan perekonomian triwulan I 2015 membuat perkiraan ekonomi Sumatera untuk keseluruhan tahun

2015 terkoreksi ke bawah. Perekonomian Sumatera pada tahun 2015 diperkirakan tumbuh sebesar 4,0% –

4,5% (yoy), melambat dibandingkan dengan tahun 2014 yang sebesar 4,6%. Kondisi ini dipicu oleh

perlambatan konsumsi swasta dan kinerja ekspor seiring dengan pemulihan perekonomian dunia yang masih

terbatas. Kontraksi yang terjadi pada sektor migas menyebabkan perlambatan pada sektor pertambangan dan

industri pengolahan migas. Namun demikian, terdapat beberapa hal yang diperkirakan mampu menopang

pertumbuhan ekonomi Sumatera di tahun 2015 yaitu percepatan realisasi APBD dan proyek-proyek

infrastruktur Pemerintah di Sumatera, antara lain pembangunan tol trans Sumatera.

Konsumsi

Konsumsi Swasta

Pertumbuhan konsumsi swasta pada triwulan I 2015 mengalami perlambatan dibandingkan dengan triwulan IV

2014. Perlambatan ini terjadi di seluruh provinsi di Sumatera kecuali Sumatera Barat dan Kepulauan Riau.

Penurunan laju konsumsi tercermin dari penyaluran kredit konsumsi yang melambat dari 10,9% (yoy) di

triwulan IV 2014 menjadi 10,5% (yoy) (Grafik II.1), terutama pada kredit kendaraan bermotor. Hasil liaison

kepada perusahaan di Sumatera menunjukkan terjadinya penurunan penjualan untuk domestik. Selain itu,

Indeks Penjualan Eceran di Sumatera Utara juga mengalami kontraksi sebesar 6,3% (yoy). Penurunan konsumsi

swasta ini sejalan dengan perlambatan ekonomi yang terjadi di hampir seluruh provinsi di Indonesia.

Konsumsi rumah tangga diperkirakan mengalami perbaikan pada triwulan II 2015. Masuknya periode bulan

Ramadhan dan masa liburan sekolah pada akhir triwulan II 2015 diyakini akan meningkatkan konsumsi

masyarakat, yang ditunjang oleh perbaikan pendapatan masyarakat. Namun, terdapat beberapa faktor risiko

yang perlu diwaspadai karena berpotensi menahan konsumsi masyarakat lebih lanjut, antara lain kenaikan

1 Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha Triwulan I 2015

L a p o r a n N u s a n t a r a | 8

harga BBM, yang dipengaruhi oleh perkembangan harga minyak dunia. Penurunan optimisme akan konsumsi

masyarakat juga tercermin dari Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang menunjukkan penurunan dari 120,6

pada Maret 2015 menjadi 114,7 pada April 2015. Penurunan optimisme tersebut, khususnya berasal dari

penurunan ekspektasi akan ketersediaan lapangan kerja dan kegiatan usaha (Grafik II.2).

*) hingga April 2015 Sumber : Survei Konsumen, Bank Indonesia

Grafik II.1 Penyaluran Kredit Konsumsi

Grafik II.2 Indeks Keyakinan Konsumen

Konsumsi Pemerintah

Pertumbuhan konsumsi pemerintah meningkat pada triwulan I 2015 dibandingkan dengan triwulan IV 2014.

Beberapa provinsi mencatatkan persentase realisasi belanja APBD yang lebih tinggi dibandingkan dengan

triwulan I 2014 seperti di provinsi Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, dan Jambi. Realisasi konsumsi

pemerintah tercermin dari posisi simpanan Pemda di perbankan, terutama pada posisi bulan Februari 2015

yang menunjukkan penurunan (Grafik II.3). Posisi simpanan Pemda pada akhir triwulan I 2015 kembali

meningkat seiring dengan dropping dana perimbangan yang mencakup Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana

Bagi Hasil (DBH) antara lain di Provinsi Sumatera Selatan, Riau, Sumatera Barat, dan Bengkulu. Selain itu,

pertumbuhan konsumsi pemerintah juga disebabkan oleh faktor base effect, yaitu minimnya realisasi APBD

Sumatera pada triwulan I 2014 akibat keterlambatan pengesahan RAPBD 2014 Provinsi Sumatera Utara dan

Sumatera Barat.

Grafik II.3 Perkembangan Posisi Simpanan Pemda Sumatera di Bank

Umum

Grafik II.4 Perkembangan Dana Bagi Hasil

Belanja pemerintah diperkirakan akan meningkat pada triwulan II 2015 seiring dengan inisiatif untuk

mempercepat realisasi APBD. Akselerasi realisasi APBD didukung oleh telah selesainya seluruh proses

penganggaran, termasuk penunjukkan pejabat yang melaksanakan anggaran. Peningkatan realisasi belanja

pemerintahSalah satu realisasi belanja pemerintah yaitu belanja pegawai akan terjadi pada akhir triwulan II

2015 berupa pembayaran gaji ke-13 kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS). Namun, level realisasi belanja Pemda

L a p o r a n N u s a n t a r a | 9

diperkirakan akan mengalami penurunan dibanding tahun 20142, seiring dengan penurunan penerimaan Dana

Bagi Hasil (DBH) Sumatera tahun 2015. Penurunan DBH ini disebabkan oleh turunnya penerimaan Pemda dari

pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) sepanjang tahun 2014. Penurunan penerimaan DBH diperkirakan terjadi

di seluruh provinsi kecuali Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Lampung (Grafik II.4).

Investasi

Aktivitas investasi mulai menggeliat pada awal tahun 2015 terutama didorong oleh pihak swasta. Investasi

meningkat dari 1,3% (yoy) di triwulan IV 2014 menjadi 1,9% (yoy) pada triwulan I 2015. Situasi politik yang

stabil pasca-Pemilu presiden serta keyakinan akan pemerintahan baru, terkait perbaikan reformasi birokrasi

dan program pengembangan infrastruktur, mendorong terciptanya iklim investasi yang kondusif. Sejumlah

realisasi investasi di antaranya adalah eksplorasi sumur minyak baru dan pengembangan industri pengolahan

kelapa sawit menjadi tenaga listrik di Riau, pembangunan pabrik Semen di Sumatera Barat, pembangunan

fasilitas pendukung Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api Api dan persiapan penyelenggaraan Asian Games di

Sumatera Selatan, serta pengembangan fasilitas pelabuhan di Lampung. Meningkatnya investasi terkonfirmasi

dari laju kredit investasi yang tumbuh dari 5,4% (yoy) pada triwulan IV 2014 menjadi 8,6% (yoy) pada triwulan I

2015, dan melonjakknya pertumbuhan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dari 36,2% (yoy) menjadi

150,9% (yoy) (Grafik II.6).

Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal Grafik II.5

Perkembangan Kredit Investasi Sumatera Grafik II.6

Perkembangan PMA dan PMDN Sumatera

Investasi diyakini akan terus meningkat pada triwulan II 2015, khususnya didorong oleh realisasi proyek-proyek

infrastruktur pemerintah. Proyek infrastruktur pemerintah yang diperkirakan akan mulai dilakukan pada

triwulan II 2015 antara lain yaitu pembangunan tahap awal mega proyek jalan tol Trans Sumatera untuk ruas

jalan tol Bakauheni-Terbanggi, setelah groundbreaking yang dilakukan pada akhir April 2015 lalu.

Pertumbuhan investasi swasta diperkirakan masih berlanjut yang terlihat dari hasil liaison perusahaan di

Sumatera.

Perdagangan Luar Negeri

Ekspor

Kinerja nilai ekspor luar negeri masih mengalami kontraksi pada triwulan I 2015, bahkan lebih dalam

dibandingkan dengan triwulan IV 2014 (Grafik II.7). Penurunan nilai ekspor terutama disebabkan oleh

menurunnya produksi migas yang utamanya ditujukan untuk ekspor. Berakhirnya produksi LNG di Aceh juga

diikuti dengan menurunnya kinerja ekspor.4 Hal yang senada ditunjukkan oleh provinsi Riau, dimana terdapat

2 Dana Bagi Hasil tahun 2014 Anggaran per Oktober 2014, dan Dana Bagi Hasil 2015 Anggaran per April 2015 menurut data Direktorat

Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan 4 Kontrak ekspor LNG Aceh ditujukan kepada Korea Selatan

L a p o r a n N u s a n t a r a | 1 0

penurunan nilai ekspor migas pada triwulan I 2015 (turun 8,56%). Sementara itu, permintaan dunia yang masih

terbatas belum mampu mendorong ekspor komoditas non migas. Harga komoditas ekspor utama yang masih

belum mengalami perbaikan disertai terbatasnya permintaan dunia, menekan kinerja ekspor khususnya CPO

dan karet (Grafik II.8). Masih terbatasnya ekspor Sumatera pada triwulan I 2015 juga dikonfirmasi oleh hasil

likert scale liaison penjualan ekspor yang bernilai negatif, mengindikasikan terjadinya penurunan kinerja

ekspor perusahaan.

Perbaikan kinerja ekspor diprakirakan terus berlanjut pada triwulan II 2015. Optimisme tersebut didorong oleh

harga kelapa sawit dan karet yang diprakirakan mulai membaik, serta masuknya musim panen terutama

kelapa sawit. Perbaikan harga kelapa sawit dan karet, tercermin juga pada peningkatan harga di level petani.

Grafik II.7 Perkembangan Ekspor Impor Sumatera

Grafik II.8 Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas

Impor

Aktivitas impor meningkat pada triwulan I 2015

terutama untuk kelompok barang modal dalam mendukung

tumbuhnya kegiatan investasi (Grafik II.9). Berdasarkan komoditasnya, peningkatan impor terjadi pada

komoditas pupuk, gandum, dan peralatan elektrik, industri, dan perlengkapan (Grafik II.10). Meningkatnya

impor komoditas pupuk terutama dipergunakan untuk perkebunan kelapa sawit. Peningkatan impor juga

terjadi pada komoditas peralatan elektrik, industri dan perlengkapan. Peningkatan impor barang-barang

tersebut terkait dengan kegiatan investasi yang mulai menggeliat, sejalan dengan hasil liaison, yang

menyebutkan bahwa terjadi peningkatan pada investasi swasta.

Grafik II.9 Perkembangan Nilai Kelompok Impor Sumatera

Grafik II.10 Perkembangan Nilai Komoditas Impor Sumatera

Impor diprakirakan relatif melambat pada triwulan II 2015 dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.

Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang masih berlanjut berpotensi memberikan disinsentif

bagi pelaku usaha untuk melakukan impor ditengah masih terbatasnya permintaan. Perlambatan impor bahan

baku antara lain dikontribusi oleh industri elektronik, kapal dan besi baja yang mengalami penurunan produksi

akibat pelemahan kinerja sektor migas yang merupakan konsumen utama (baja) dan tekanan permintaan

L a p o r a n N u s a n t a r a | 1 1

ekspor (elektronik, kapal). Namun, kegiatan investasi yang meningkat terkait proyek-proyek infrastruktur

pemerintah yang membutuhkan dukungan bahan baku dan peralatan impor diperkirakan dapat menahan

perlambatan impor lebih jauh.

Kinerja Sektor Utama Daerah

Sektor Pertanian

Kinerja sektor pertanian pada triwulan I 2015 mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan

sebelumnya. Sektor pertanian tumbuh 5,1% (yoy) dari 3,5% (yoy) pada triwulan IV 2014. Realisasi triwulan ini

lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya. Peningkatan sektor pertanian disebabkan karena

membaiknya produksi tabama, seiring dengan masuknya musim panen raya di sejumlah daerah, yaitu

Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Jambi. Selain siklus tahunan, peningkatan tabama ditopang oleh

berbagai upaya dari Pemda untuk meningkatkan produksi pertanian melalui pembenahan infrastruktur

pertanian, seperti pembangunan bendungan (Aceh) dan perbaikan irigasi (Sumatera Utara), penambahan luas

tanam pangan, serta pemberian insentif melalui kebijakan pembebasan pajak bagi petani yang memiliki sawah

(Sumatera Selatan). Pertumbuhan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan ditopang pula oleh produksi

karet lokal (Sumatera Selatan, dan Jambi) yang meningkat (Grafik II.11), serta didorong oleh kenaikan harga

karet di level petani (Grafik II.12). Dari sisi pembiayaan perbankan, penyaluran kredit sektor pertanian tercatat

tumbuh positif sebesar 17,2% (yoy), naik dari triwulan sebelumnya yang hanya mencapai 16,5% (yoy) (Grafik

II.13).

Sumber: Gapkindo *) Tanpa data Jambi

Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi, diolah

Grafik II.11 Produksi Karet Sumatera Selatan, Kep. Bangka Belitung, dan Jambi

Grafik II.12 Harga Karet Lokal

Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi, diolah Grafik II.13

Pertumbuhan Kredit Sektor Pertanian Grafik II.14

Harga TBS Kelapa Sawit

L a p o r a n N u s a n t a r a | 1 2

Peningkatan kinerja sektor pertanian diperkirakan berlanjut hingga triwulan II 2015. Pertumbuhan sektor

pertanian diprakirakan menjadi 5,1% (yoy). Peningkatan tersebut terindikasi dari hasil Indeks Prakiraan

Kegiatan Dunia Usaha SKDU yang meningkat dari 1,80% menjadi 5,15%. Hasil SKDU juga didukung oleh hasil

liaison yang menyatakan adanya perbaikan penjualan sektor pertanian. Peningkatan sektor pertanian ini masih

ditopang oleh meningkatnya produksi komoditas tabama, sejalan dengan masuknya puncak masa panen padi

(Sumatera Utara dan Lampung). Di samping tabama, diperkirakan akan terjadi peningkatan produksi kelapa

sawit, seiring dengan berakhirnya musim trek pada bulan April dan Mei, serta masuknya musim panen (Riau

dan Sumatera Barat). Peningkatan produksi juga disertai dengan indikasi perbaikan harga tandan buah segar

(TBS) di level petani (Grafik II.14). Kinerja perkebunan karet juga diperkirakan meningkat yang ditandai oleh

membaiknya harga karet di level petani dan adanya upaya dari GAPKINDO untuk memperbaiki harga melalui

kontrak langsung dengan pembeli dan penghentian kontrak jangka panjang.

Sektor Pertambangan

Kontraksi sektor pertambangan dan penggalian pada triwulan I 2015 cukup dalam. Sektor pertambangan

mengalami kontraksi sebesar 0,80% (yoy) pada triwulan IV 2014, kemudian turun lebih dalam lagi hingga

mengalami kontraksi sebesar 2,66% (yoy) triwulan I 2015. Perlambatan kinerja sektor pertambangan ini juga

terindikasi dari hasil SKDU yang menunjukkan penurunan Indeks Kegiatan Dunia Usaha dari -18,51 pada

triwulan IV 2014 menjadi -18,90 (Grafik II.15). Hal ini disebabkan oleh pemburukan kinerja migas sehingga

mendorong kontraksi pertumbuhan ekonomi di Provinsi Aceh dan Provinsi Riau. Penurunan produksi migas

terjadi karena minimnya eksplorasi minyak bumi baru di Riau sehingga hanya mengandalkan kondisi existing.

Sementara itu di Aceh, kontrak penjualan LNG telah berakhir dan saat ini eksploitasi gas hanya ditujukan untuk

pengolahan kondensat bagi pasar domestik. Adapun kinerja pertambangan batubara masih tertekan akibat

pelemahan harga batubara dan perlambatan ekonomi Tiongkok sebagai negara importir utama komoditas

batubara. Walaupun demikian, tingginya permintaan domestik untuk keperluan PLTU mampu menahan

perlambatan produksi batubara lebih dalam lagi (Grafik II.16).

Kontraksi kinerja sektor pertambangan dan penggalian diprakirakan masih berlanjut pada triwulan II 2015.

Pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian diprakirakan semakin melambat dari -2,7% (yoy) pada

triwulan I 2015 menjadi -3,0% (yoy) pada triwulan II 2015. Lifting perusahaan minyak di Riau diprakirakan

membaik pada triwulan II 2015, yang ditandai dengan peningkatan produksi barel perhari. Namun, perbaikan

lifting minyak tersebut berpotensi mengalami kendala perizinan eksplorasi lahan baru. Selain itu, prospek

masih berlanjutnya tren penurunan harga batubara global turut menambah tekanan kinerja sektor

pertambangan dan penggalian, khususnya untuk ekspor.

Sumber : Survei Kegiatan Dunia Usaha

Sumber : IHS McCloskey

Grafik II.15 Indeks Kegiatan Dunia Usaha Sektor Pertambangan

Grafik II.16 Perkiraan Produksi Batubara Sumatera Selatan

Sektor Industri Pengolahan

Sejalan dengan kontraksi sektor pertambangan dan penggalian yang cukup dalam, kinerja industri pengolahan

pada triwulan I 2015 juga mengalami perlambatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Sektor industri

L a p o r a n N u s a n t a r a | 1 3

pengolahan tumbuh 1,80% (yoy) lebih rendah dari triwulan sebelumnya 3,04% (yoy). Perlambatan industri

pengolahan dikontribusi oleh kontraksi yang terjadi pada industri pengolahan migas, antara lain terjadi di Aceh

disebabkan oleh berakhirnya kontrak LNG bulan Oktober 2014. Berdasarkan liaison, pada triwulan I 2015,

industri pengolahan di Aceh telah melakukan proses re-gasifikasi yang ditujukan untuk memasok gas bagi

pembangkit listrik di Sumatera, namun dengan kapasitas produksi jauh di bawah kapasitas semula (ketika

pengolahan LNG). Selain migas, kontributor utama perlambatan industri pengolahan adalah penurunan kinerja

industri pengolahan logam/aluminium di Sumatera Utara, dan kinerja industri semen di Sumatera Barat akibat

minimnya progress proyek infrastruktur Pemerintah di provinsi tersebut. Perlambatan sektor ini terkonfirmasi

melalui Indeks Kegiatan Dunia Usaha sektor industri pengolahan yang juga menurun.

Sumber : Bloomberg *) hingga awal Mei 2015

Grafik II.15 Indeks Kegiatan Dunia Usaha Sektor Pertambangan

Grafik II.16 Perkiraan Produksi Batubara Sumatera Selatan

Sektor industri pengolahan pada triwulan II 2015 diprakirakan meningkat dibandingkan dengan triwulan I

2015. Optimisme ini ditandai dengan masih tingginya penyaluran kredit sektor industri pengolahan pada

triwulan I 2015 (Grafik II.17). Selain itu, perkiraan Indeks Kegiatan Usaha serta hasil liaison sektor industri

pengolahan juga menunjukkan peningkatan, terutama industri pengolahan makanan dan minuman olahan

kelapa sawit. Industri pengolahan kelapa sawit diperkirakan membaik akibat masuknya musim panen (Riau).

Sementara itu, produksi pengolahan karet diperkirakan naik, didorong oleh peningkatan harga internasional

karet hingga Mei 2015 ini (Grafik II.18), walaupun masih lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama

tahun sebelumnya. Peningkatan kinerja pengolahan karet Sumatera antara lain disumbang oleh naiknya

pertumbuhan sektor industri pengolahan karet Provinsi Jambi, seiring dengan banyaknya stok dan kenaikan

permintaan luar negeri hingga bulan Juni/Juli 2015.

PERKEMBANGAN INFLASI

Pada triwulan I 2015, inflasi Sumatera tercatat sebesar 6,12% (yoy), lebih rendah dari inflasi triwulan

sebelumnya 8,62% (yoy). Realisasi inflasi tersebut juga lebih rendah dari realisasi inflasi nasional (6,38%,yoy)

(Grafik II.19). Berdasarkan provinsi, inflasi tertinggi terjadi di Bengkulu (7,65%; yoy) sementara inflasi terendah

terjadi di Provinsi Jambi (4,88%; yoy). Berdasarkan disagregrasi inflasi, rendahnya inflasi tersebut disebabkan

oleh menurunnya inflasi komoditas kelompok administered prices, dan komoditas dalam kelompok bahan

pangan (volatile food).

Berdasarkan komoditasnya, inflasi Sumatera yang rendah disebabkan oleh penurunan harga cabai merah serta

BBM (bensin dan Solar). Selama bulan Januari–Maret lalu, harga cabai merah turun mencapai 61,53%

disebabkan oleh meningkatnya pasokan dalam wilayah Sumatera. Sementara itu, menurunnya harga minyak

dunia diikuti dengan rata-rata penurunan harga BBM di dalam negeri. Selama kurun waktu tiga bulan, terdapat

dua kali penurunan harga BBM dan satu kali peningkatan harga BBM. Harga bensin yang pada akhir tahun

2014 sebesar Rp8.500/liter turun menjadi Rp7.600/liter (per 1 Januari 2015), serta Rp6.800 (per 1 Maret 2015)

-40

-20

0

20

40

60

80

150

200

250

300

350

400

450

500

550

600

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II*

2011 2012 2013 2014 2015

USD cent/kgHarga Karet

gHarga Karet (RHS)

% yoy

L a p o r a n N u s a n t a r a | 1 4

namun kemudian meningkat menjadi Rp7.300 (per 28 Maret 2015). Hal senada juga terjadi pada harga solar

yaitu dari Rp7.500 (akhir tahun 2014) turun menjadi Rp7.250 (per 1 Januari 2015), serta Rp6.400 (per 1 Maret

2015) namun kemudian meningkat menjadi Rp6.900 (per 28 Maret 2015). Meski demikian, inflasi administered

prices Sumatera masih cukup tinggi disebabkan oleh meningkatnya tarif listrik dan bahan bakar rumah tangga.

Secara rata-rata, tarif listrik meningkat mencapai 1,04% selama tiga bulan ini atau 20,53% dibandingkan

dengan tahun sebelumnya. Sementara itu, tarif bahan bakar rumah tangga meningkat 5,57% dalam tiga bulan

terakhir atau 21,10% dari tahun sebelumnya.

Selanjutnya, inflasi inti Sumatera cenderung mengalami peningkatan. Meningkatnya biaya upah (tukang,

pembantu RT), makanan jadi dan sewa rumah merupakan penyumbang peningkatan inflasi inti tersebut. Selain

itu Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) meningkat dari 181,9 menjadi 185,2 mengindikasikan kenaikan

harga biaya tempat tinggal. Peningkatan IHPR terjadi di seluruh kota yang dihitung di Sumatera, yaitu Batam,

Medan, Palembang, Padang, dan Bandar Lampung.

Sumber: BPS, diolah

Sumber: BPS, diolah

Grafik II.19 Inflasi Provinsi di Sumatera

Grafik II.20 Disagregasi inflasi Sumatera

Sumber: BPS, diolah

Sumber: BPS, diolah

Grafik II.21 Inflasi Per Provinsi Sumatera

Tabel II.1 Komoditas Penyumbang Deflasi Tertinggi Triwulan I-2015

(QTQ)

Setelah mengalami penurunan harga pada triwulan I 2015, tekanan inflasi pada triwulan II 2015 diperkirakan

kembali meningkat. Kondisi tersebut telah terkonfirmasi pada meningkatnya laju inflasi pada bulan April yang

menjadi sebesar 6,85% (yoy). Peningkatan tersebut utamanya berasal dari dampak kenaikan harga bensin

pada akhir Maret 2015 yang masuk dalam perhitungan inflasi April. Untuk keseluruhan triwulan II 2015,

tekanan inflasi diprakirakan bersumber dari bahan pangan terkait tingginya permintaan menjelang bulan

Ramadhan. Berdasarkan komoditasnya, potensi kenaikan harga terjadi pada beras sejalan dengan berakhirnya

masa panen raya dan dampak lanjutan dari kenaikan HPP beras, serta berkurangnya pasokan bawang merah

KOMODITAS ANDIL

CABAI MERAH -1.26

BENSIN -0.97

ANGKUTAN DALAM KOTA -0.14

CABAI RAWIT -0.08

CABE HIJAU -0.06

ANGKUTAN UDARA -0.04

DAGING AYAM RAS -0.03

SOLAR -0.03

KENTANG -0.02

TOMAT SAYUR -0.02

L a p o r a n N u s a n t a r a | 1 5

dari sentra produksi di Brebes. Dari sisi administered prices, risiko inflasi berasal dari tren peningkatan harga

minyak dunia yang dapat diikuti dengan kenaikan harga BBM serta tarif angkutan sebagai dampak lanjutannya.

Di samping itu, rencana pemerintah menaikkan TDL rumah tangga untuk beberapa golongan serta rencana

kenaikan harga LPG juga dapat menjadi risiko peningkatan inflasi kelompok ini. Dari sisi inflasi inti risiko berasal

dari pelemahan nilai tukar rupiah. Selain itu, meningkatnya realisasi investasi fisik pada triwulan mendatang

juga dapat berpotensi menyebabkan kenaikan harga bahan bangunan. Dari sisi ekspektasi harga, berdasarkan

hasil survei konsumen terdapat kenaikan ekspektasi inflasi masyarakat untuk tiga bulan ke depan. Namun,

masih lemahnya pendapatan masyarakat, sejalan dengan belum membaiknya harga komoditas, dapat menjadi

faktor penahan tekanan inflasi dari sisi konsumsi.

Koordinasi Pengendalian Inflasi

Dalam memperkuat peranan TPID dan menghadapi kendala, permasalahan, dan tantangan tekanan inflasi,

beberapa langkah yang akan dilakukan TPID se-Sumatera sebagai berikut:

1. Seluruh TPID di seluruh provinsi Sumatera telah menyusun rencana program kerja jangka pendek dan

jangka panjang terkait penanganan inflasi daerah yang diharapkan dapat menekan risiko peningkatan

inflasi di Sumatera.

2. Koordinasi penyusunan kalender tanam.

3. Melakukan pemetaan surplus defisit barang di masing-masing Kabupaten Kota yang dapat dijadikan

acuan untuk memudahkan kerjasama antardaerah

4. Optimalisasi fungsi sub-terminal Agribisnis yang sudah terdapat pada masing-masing provinsi untuk

memperpendek jalur distribusi, terutama komoditas pangan dan holtikultura.

5. Penguatan infrastruktur keuangan di seluruh Kabupaten Kota melalui koperasi, badan usaha milik

desa (BUMDes) maupun perbankan yang dapat membantu petani dari sisi permodalan.

6. Koordinasi terkait penyesuaian tarif angkutan antara Dinas Perhubungan dan Organda pascakenaikan

harga premium dan solar.

7. Peningkatan monitoring tata niaga barang bersubsidi yaitu BBM dan LPG yang bertujuan untuk

meminimalkan permainan harga serta menjaga ketersediaan stok.

8. Monitoring kecukupan stok premium, solar, dan LPG oleh Pemerintah Daerah dan Pertamina.

STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN

Ketahanan Sektor Korporasi

Kinerja penyaluran kredit korporasi yang tumbuh menguat. Pada triwulan I 2015, kredit korporasi tumbuh

9,6% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 8,0% (yoy). Pertumbuhan kredit

korporasi sempat mengalami tren perlambatan yang cukup lama, yaitu sejak triwulan IV 2013 hingga triwulan

IV 2014 (Grafik II.23). Pertumbuhan kredit pada triwulan I 2015 ini didorong oleh penyaluran kredit investasi

dan modal kerja yang tumbuh masing-masing sebesar 10,52% (yoy) dan 9,17% (yoy) dibandingkan dengan

triwulan sebelumnya yang tumbuh masing-masing sebesar 6,81% (yoy) dan 8,93% (yoy). Penguatan kredit

terutama didorong oleh pertumbuhan tiga sektor utama, yaitu industri pengolahan 15,23% (yoy), pertanian

9,92% (yoy) dan perdagangan 2,72 (yoy) (Grafik II.24).

Ketahanan keuangan korporasi di wilayah Sumatera masih terjaga, tercermin dari kualitas kredit korporasi

yang masih dalam batas aman, yang diindikasin oleh non performing loan (NPL) yang masih dalam batas aman

(di bawah 5%) (Grafik II.25), meski sedikit meningkat dari triwulan sebelumnya (dari 1,95% menjadi 2,06%).

Kenaikan NPL terutama terjadi pada debitur sektor perkebunan, khususnya komoditas karet yang harganya

masih mengalami tekanan. NPL yang meningkat terutama terjadi di Provinsi Jambi dan Sumatera Utara.

Sementara itu, penghimpunan dana korporasi mengalami perlambatan baik dari sisi nominal maupun jumlah

rekening sesuai dengan pola musimannya (Grafik II.26).

L a p o r a n N u s a n t a r a | 1 6

Grafik II.23 Perkembangan Kredit Korporasi Sumatera

Grafik II.24. Perkembangan Kredit Sektor Utama Sumatera

Grafik II.25

Perkembangan NPL Kredit Korporasi Sumatera Grafik II.26

Perkembangan DPK Korporasi

Ketahanan Sektor Rumah Tangga

Kredit konsumsi yang disalurkan dari Bank Umum kepada sektor rumah tangga6 di Sumatera mengalami

perlambatan. Kredit konsumsi melambat dari 22,2% (yoy) di triwulan IV 2014 menjadi 21,6% (yoy) di triwulan I

2015. (Grafik II.27). Perlambatan tersebut terutama disebabkan oleh perlambatan kredit kendaraan bermotor.

Sementara itu, penurunan pendapatan sebagai dampak dari tekanan harga komoditas, menyebabkan

menurunnya kemampuan bayar debitur. Berdasarkan hasil Survei Konsumen, terdapat kecenderungan

peningkatan Debt service ratio yang mengindikasikan adanya peningkatan porsi pendapatan masyarakat yang

digunakan untuk membiayai cicilan pinjaman. meskipun masih di bawah batas yang dianggap aman (30%)

(Grafik II.28). Kedua hal tersebut diatas mengindikasikan peningkatan kerentanan sektor rumah tangga dan

potensi peningkatan NPL. Pada triwulan I 2015, NPL sektor rumahtangga Sumatera tercatat 1,94%, meningkat

dibandingkan dengan kondisi triwulan sebelumnya yang sebesar 1,74%. Peningkatan NPL terjadi baik pada

KKB, Kredit Pemilikan Rumah (KPR) maupun multiguna.

Peningkatan NPL untuk kredit KPR terutama terjadi pada tipe apartemen tipe 22 sampai dengan 70 serta

rumah sampai dengan tipe 21. Selain itu, NPL untuk kredit apartemen meningkat dari 1,43% pada triwulan IV

2014 menjadi 3,74% pada triwulan I 2015 (Grafik II.29). Meskipun cenderung meningkat, NPL tersebut masih

berada di level yang aman yaitu di bawah 5%. Peningkatan NPL yang cukup signifikan terutama terjadi pada

jenis kredit yang mengalami peningkatan suku bunga yang cukup tinggi antara lain pada kredit kepemilikan

apartemen dan kredit rumah tipe diatas 70. Sementara itu, dari sisi penghimpunan dana7 (Grafik II.30),

pertumbuhan pada triwulan I 2015 relatif stabil yaitu pada kisaran 10,7% (yoy).

6 Definisi kredit rumah tangga yaitu kredit sektor Penerima Kredit Bukan Lapangan Usaha dengan mengecualikan Sektor Bukan Lapangan

Usaha Lainnya 7 Definisi dana rumah tangga yaitu dana yang dihimpun dari nasabah perseorangan (bukan korporasi, Pemerintah, dan Bank).

L a p o r a n N u s a n t a r a | 1 7

Grafik II.27 Perkembangan Kredit Rumah Tangga Sumatera

Grafik II.28 Debt Service Ratio

Grafik II.29

Perkembangan NPL Kredit Rumah Tangga Sumatera Grafik II.30

DPK Rumah Tangga

Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

Sejalan dengan kondisi perekonomian yang melambat, kredit UMKM Sumatera juga mengalami perlambatan

pada triwulan I 2015 dibandingkan dengan triwulan IV 2014 (Grafik II.31). Secara sektoral, mayoritas kredit

UMKM disalurkan kepada sektor perdagangan sebesar 52%, sektor pertanian sebesar 20%, dan sektor industri

pengolahan sebesar 7% (Grafik II.32). Perlambatan terutama terjadi pada penyaluran kredit UMKM di sektor

pertanian dan industri pengolahan, yang juga merupakan salah satu sektor utama Sumatera. Sementara itu,

kualitas kredit tidak menunjukkan perbaikan, yang ditandai dengan rasio non-perfoming loan (NPL) yang

mengalami peningkatan dari 5,3% pada triwulan sebelumnya menjadi 5,9%. Tingginya suku bunga pinjaman

yang sebesar 14,7%, ditengah perlambatan ekonomi Sumatera diperkirakan menjadi pemicu peningkatan NPL

daerah. NPL tertinggi tercatat terjadi di Provinsi Aceh sebesar 13,2%.

Grafik II.31 Grafik II.32

L a p o r a n N u s a n t a r a | 1 8

Perkembangan Kredit UMKM Sumatera Pangsa Kredit UMKM Sumatera

Kinerja Sistem Pembayaran

Perlambatan perekonomian Sumatera pada triwulan I 2015 juga tercermin dari perlambatan nilai Bank

Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS). Transaksi BI-RTGS tercatat sebesar Rp383,3 triliun atau

tumbuh 24,1% (yoy), melambat dibandingkan triwulan IV 2014 yang tumbuh 31,6% (yoy) (Tabel II.3). Dari sisi

volume transaksi, terdapat penurunan jumlah transaksi RTGS sebesar -38,51% (yoy). Sementara itu, kegiatan

kliring perbankan di wilayah Sumatera mengalami peningkatan volume dan nominal transaksi pada triwulan I

2015 (Tabel II.4). Secara nominal transaksi kliring tumbuh sebesar 57,51% (yoy) menjadi sebesar Rp.116,29

triliun, lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan IV yang hanya 32,04% (yoy). Sementara itu, volume kliring

meningkat signifikan sebesar 96,28% (yoy) pada triwulan I 2015 dibandingkan dengan triwulan IV 2014 yang

tercatat mengalam kontraksi sebesar 2,84%. Penurunan transaksi BI-RTGS yang bersamaan dengan

peningkatan transaksi kliring ditengarai merupakan efek switching transaksi BI-RTGS ketransaksi kliring.

Tabel II.3

Perkembangan Transaksi RTGS Sumatera

Tabel II.4

Perkembangan Transaksi Kliring Sumatera

Kinerja Pengelolaan Uang Tunai

Perkembangan aliran uang kartal di wilayah Sumatera pada triwulan I 2015 mengalami net inflows sebesar

Rp6,51 triliun, kondisi tersebut terlihat kontradiktif bila dibandingkan dengan triwulan IV 2014 yang

mengalami net outflows sebesar Rp9,49 Triliun (Grafik II.33). Net inflows ini disumbangkan oleh seluruh

Provinsi di Sumatera kecuali Provinsi Kepulauan Riau yang mengalami net outflows, seiring tingginya aktivitas

perekonomian pada daerah yang berbatasan langsung dengan wilayah Singapura tersebut. Perkembangan

uang palsu pada triwulan I 2015 ini menunjukkan peningkatan atau dari 2.374 lembar menjadi 3.619 lembar

dengan temuan uang palsu terbanyak berada di Lampung dan Sumatera Utara.

Tabel II.5 Indikator Financial Inclusion Sumatera

Grafik II.33 Perkembangan Inflow-outflow Sumatera

Perkembangan RTGS 2015

Sumatera I II III IV I II III IV I II III IV I

Nilai (Rp Miliar) 259,151.20 343,543.41 304,982.98 312,572.72 271,978.20 341,732.94 351,898.24 352,127.78 309,763.87 402,841.82 415,393.98 463,286.75 384,313.91

Volume (lembar) 244,265.81 262,385.64 262,893.62 289,839.61 238,877.12 243,091.42 231,059.04 250,915.22 219,295.00 212,623.00 218,408.69 243,909.00 134,845.00

Pertumbuhan (%yoy)

Nilai 6.9 25.0 21.4 15.9 4.9 (0.5) 15.4 12.7 13.9 17.9 18.0 31.6 24.1

Volume (7.7) 5.5 13.4 10.6 (2.2) (7.4) (12.1) (13.4) (8.2) (12.5) (5.5) (2.8) (38.5)

2012 2013 2014

Perkembangan Kliring 2011 2015

Sumatera I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I

Nilai (Rp Miliar) 65,045 68,485 71,316 69,971 71,334 74,737 77,538 75,053 73,477 76,772 76,146 65,777 73,838 76,544 81,101 72,169 116,299

Volume (lembar) 2,175,893 2,279,285 2,237,259 2,133,795 2,213,716 2,322,745 2,389,881 2,322,787 2,232,191 2,300,129 2,132,326 1,742,190 2,037,822 2,166,626 2,255,866 2,154,496 3,999,839

Pertumbuhan (%yoy)

Nilai 9.7 9.1 8.7 7.3 3.0 2.7 -1.8 -12.4 0.5 -0.3 6.5 9.7 57.5

Volume 1.7 1.9 6.8 8.9 0.8 -1.0 -10.8 -25.0 -8.7 -5.8 5.8 23.7 96.3

2012 2013 2014

L a p o r a n N u s a n t a r a | 1 9

Perkembangan Keuangan Inklusif

Salah satu fokus utama Bank Indonesia saat ini adalah bagaimana meningkatkan peran perbankan untuk

memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam mengakses perbankan melalui pendalaman keuangan

inklusif di daerah. Beberapa kegiatan terkini dalam usaha meningkatkan keuangan inklusif di daerah

diantaranya adalah:

1. Rapat koordinasi pemetaan dan pengumpulan data transaksi elektronifikasi dengan Pemerintah

Daerah (Aceh)

2. Pemetaan terhadap proses bisnis SAMSAT Sumatera Barat melalui pelayanan non tunai serta program

Less Cash Society perbankan (Sumatera Barat)

3. Penjajakan pemetaan Layanan Keuangan Digita (LKD) dengan perbankan (Riau)

4. Pemetaan potensi LKD pada tahun 2014 serta pemilihan 3 Kota/Kab paling sesuai untuk

diimplementasikan (Sumatera Selatan)

5. Kerjasama dan koordinasi GNNT bersama BNP2TKI dan Hiswana Migas (Sumatera Utara)

6. Penandatanganan MoU BI dgn Universitas (USU, Unsri, dan Unand)

Sementara itu, kinerja pendalaman pasar keuangan dapat terlihat dari rasio rekening DPK, rasio rekening

kredit, dan rasio jumlah bank (Tabel II.5). Dapat disimpulkan bahwa layanan akses keuangan yang relatif tinggi

terdapat di Sumatera Utara, Jambi, Kepulauan Riau sejalan dengan lebih rendahnya angka kemiskinan. Di sisi

lain, rendahnya layanan akses keuangan terjadi di Aceh, Sumatera Selatan dan Lampung sejalan dengan lebih

tingginya angka kemiskinan. Jika dibandingkan dengan indikator financial inclusion kawasan lain, kondisi

Sumatera relatif lebih baik.

PROSPEK PEREKONOMIAN

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Proyeksi pertumbuhan ekonomi Sumatera tahun 2015 diprakirakan lebih rendah dari proyeksi triwulan

sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi tahun 2015 diprakirakan sebesar 4,0%–4,5 % (yoy). lebih rendahnya

proyeksi tersebut terutama terkait dengan kinerja migas yang diperkirakan akan terus turun signifikan di

Provinsi Aceh dan Riau. Dampak berhentinya produksi LNG di Aceh masih akan terasa hingga triwulan akhir

2015. Meski demikian, industri pengolahan gas di Aceh masih akan beroperasi, dengan kapasitas produksi yang

lebih rendah dibandingkan dengan sebelumnya. Sementara itu, sumber minyak bumi baru belum ditemukan di

Riau hingga saat ini. Kinerja ekspor juga diperkirakan masih akan minim akibat pemulihan ekonomi dunia yang

masih terbatas. Perkiraan pertumbuhan Amerika Serikat dikoreksi menjadi lebih rendah, sehingga kinerja

ekspor ke negara tersebut masih belum sekuat perkiraan sebelumnya. Hal tersebut membuat kinerja industri

pengolahan, terutama perkebunan, belum dapat menjadi andalan Sumatera. Di samping itu, pelemahan sektor

pertambangan akan menahan pertumbuhan industri pengolahan.

Namun, prospek pertumbuhan ekonomi Sumatera dapat lebih baik dari perkiraan apabila pemerintah berhasil

merealisasikan berbagai proyek yang telah direncanakan.

Proyek-proyek tersebut antara lain dimulainya mega proyek jalan tol Sumatera di ruas Lampung-Sumatera

Selatan, serta jaringan kereta api. Selain itu, infrastruktur pendukung kedaulatan pangan, seperti

pembangunan dan rehabilitasi irigasi, waduk, dan sebagainya diperkirakan akan terus didorong hingga tahun

2019 nanti. Di Kepulauan Riau, adanya perubahan Surat Keputusan (SK) Pemerintah Daerah terkait Perubahan

Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dan Perubahan

Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan diperkirakan akan membuat iklim investasi menjadi lebih

kondusif. Pelaksanaan pilkada Provinsi Jambi, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Bengkulu dan sebagian besar

Kabupaten/Kota di Sumatera pada akhir tahun 2015 juga turut mendorong peningkatan konsumsi. Sumber

pertumbuhan diperkirakan masih berasal dari konsumsi domestik meskipun tidak setinggi proyeksi semula.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 2 0

Prospek Inflasi

Inflasi Sumatera pada akhir tahun 2015 diperkirakan masih berada dalam target sasaran inflasi nasional

sebesar 4%±1%. Beberapa faktor yang dapat mendukung tercapainya target inflasi tersebut adalah

meningkatnya produksi pangan pada tahun 2015, terjaganya kelancaran distribusi barang, serta masih

terbatasnya pendapatan masyarakat. Berdasarkan informasi BMKG, faktor iklim diperkirakan lebih kondusif

sehingga produksi bahan pangan di Sumatera seperti Sumatera Barat, Aceh, Sumatera Selatan, Lampung, dan

Sumatera Utara diperkirakan meningkat dari tahun sebelumnya. Di samping itu, adanya program pemerintah

dalam meningkatkan produktivitas pertanian diharapkan dapat mulai berdampak pada pertengahan tahun

terutama dalam mendukung panen 2-3 kali setahun (musim panen pada akhir tahun 2015), sehingga akan

menjamin pasokan bahan pangan. Terjaminnya pasokan bahan makanan yang didukung oleh perbaikan

infrastruktur, seperti jalan, diperkirakan dapat mendorong inflasi kelompok volatile food menjadi lebih rendah.

Dari sisi permintaan, masih belum membaiknya harga komoditas menyebabkan masih terbatasnya pendapatan

masyarakat sehingga konsumsi relatif lebih tertahan.

Meskipun demikian, terdapat beberapa potensi risiko inflasi ke depan, di antaranya adalah kecenderungan

meningkatnya harga minyak internasional, yang berpengaruh terhadap pergerakan harga BBM dan tarif

transportasi. Beberapa faktor lain yang dapat memperbesar risiko inflasi administered prices pada tahun 2015

adalah, rencana penyesuaian tarif Listrik, dan harga LPG 3 kg. Dari kelompok inti, tekanan inflasi ke depannya

diperkirakan masih berasal dari pelemahan nilai tukar rupiah yang diperkirakan masih akan berlanjut hingga

triwulan III 2015 terkait kebijakan suku bunga Amerika. Di samping itu, tingginya alokasi infrastruktur di tahun

2015 dapat berdampak pada meningkatnya harga bahan bangunan terutama menjelang akhir tahun. Risiko

berkurangnya jumlah pasokan akibat faktor musiman (a.l. beras, cabai, bawang) dan kemungkinan

peningkatan biaya transportasi seiring dengan penyesuaian harga BBM diperkirakan berpotensi mendorong

peningkatan inflasi komoditas volatile foods.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 2 1

Tabel Indikator Ekonomi Makro Wilayah Sumatera

I II III IV I IIf

PDRB (%,yoy) 5.0 - - - 4.2 4.6 3.5 4.0 4.0 - 4.4

Sisi Permintaan

Konsumsi Rumah Tangga - - - - 6.4 5.8 5.0 6.0 5.6 - 6.0

Konsumsi LNPRT - - - - 3.3 11.4 (3.7) 2.5 2.5 - 2.9

Konsumsi Pemerintah - - - - 0.4 2.7 1.8 7.4 6.6 - 7.0

Pembentukan Modal Tetap Bruto - - - - 1.3 3.2 1.9 4.1 4.8 - 5.2

Ekspor - - - - - - -

Impor - - - - - - -

Net Ekspor 17.6 (12.3) 3.0 3.4 (6.0) - (5.6)

Sisi Produksi

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan - - - - 3.5 5.1 5.1 5.4 5.0 - 5.4

Pertambangan dan Penggal ian - - - - (0.8) (1.4) (2.7) (3.0) (2.7) - (2.3)

Industri Pengolahan - - - - 3.0 4.7 1.8 2.0 2.6 - 3.0

Pengadaan Lis trik dan Gas - - - - 10.8 5.9 5.8 6.8 6.6 - 7.0

Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang - - - - 5.9 4.7 5.4 6.6 5.5 - 5.9

Konstruks i - - - - 6.9 7.0 3.6 5.4 6.0 - 6.4

Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparas i Mobi l dan Sepeda Motor - - - - 6.1 5.8 4.9 6.1 5.8 - 6.2

Transportas i dan Pergudangan - - - - 8.5 6.4 7.9 6.2 6.7 - 7.1

Penyediaan Akomodas i dan Makan Minum - - - - 8.1 7.8 8.0 7.0 7.3 - 7.7

Informas i dan Komunikas i - - - - 6.4 7.6 8.2 7.5 7.8 - 8.2

Jasa Keuangan dan Asurans i - - - - 7.6 3.8 4.7 4.6 4.7 - 5.1

Real Estate - - - - 7.0 6.6 5.6 5.7 5.7 - 6.1

Jasa Perusahaan - - - - 7.6 6.7 6.7 6.8 6.8 - 7.2

Adminis tras i Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sos ia l Wajib - - - - 7.7 6.1 6.0 7.8 6.8 - 7.2

Jasa Pendidikan - - - - 6.8 7.9 10.3 13.0 11.2 - 11.6

Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sos ia l - - - - 3.8 7.4 7.5 7.9 7.5 - 7.9

Jasa la innya - - - - 6.7 6.7 7.5 6.8 7.2 - 7.6

Provins i Aceh - - - - 0.6 1.6 (1.9) (2.0) (2.1) - (1.7)

Provins i Sumatera Utara - - - - 4.8 5.2 4.8 5.0 4.9 - 5.3

Provins i Sumatera Barat - - - - 5.5 5.9 5.5 5.6 5.7 - 6.1

Provins i Riau - - - - 1.0 2.6 (0.2) 0.3 0.7 - 1.1

Provins i Jambi - 10.3 5.6 5.8 6.5 7.0 5.9 7.9 8.0 - 8.4

Provins i Kepulauan Riau - - - - 7.8 7.3 7.1 7.3 7.3 - 7.7

Provins i Sumatera Selatan - 3.8 4.9 4.1 6.0 4.7 4.8 5.5 5.5 - 5.9

Provins i Bengkulu - 5.6 5.2 5.6 5.7 5.5 5.4 5.5 5.3 - 5.7

Provins i Lampung - - - - 4.7 5.1 4.9 5.2 5.1 - 5.5

Provins i Kep. Bangka Bel i tung - - - - 4.7 4.7 4.1 4.9 4.6 - 5.0

Inflasi IHK (%,yoy) 8.9 7.2 5.9 4.6 8.6 8.6 6.1 7.4 3.89 - 4.39

Provins i Aceh 7.3 5.7 5.5 5.1 8.1 8.1 5.4 5.7 3.68 - 4.18

Provins i Sumatera Utara 10.2 7.7 6.2 4.4 8.2 8.2 6.1 7.8 4.18 - 4.68

Provins i Sumatera Barat 10.9 8.6 6.2 6.0 11.6 11.6 6.3 7.8 4.88 - 5.38

Provins i Riau 8.8 7.8 6.6 5.8 8.6 8.6 6.2 7.6 3.91 - 4.41

Provins i Jambi 8.7 7.7 6.3 4.4 8.7 8.7 4.9 6.8 2.13 - 2.63

Provins i Kepulauan Riau 8.2 7.7 6.0 4.0 7.6 7.6 5.7 7.0 3.75 - 4.25

Provins i Sumatera Selatan 7.0 5.1 4.3 3.3 8.5 8.5 6.3 7.4 3.64 - 4.14

Provins i Bengkulu 9.9 8.4 5.8 6.1 10.9 10.9 7.7 9.3 3.75 - 4.25

Provins i Lampung 7.6 6.6 6.4 4.2 8.1 8.1 6.6 6.8 3.42 - 3.92

Provins i Kep. Bangka Bel i tung 8.7 8.3 6.1 6.2 9.0 9.0 6.7 7.5 5.50 - 6.00

Tahun Dasar 2010

2015P20142015

Indikator Makroekonomi Daerah 20132014

L a p o r a n N u s a n t a r a | 2 2

I II III IV I IIf

Kredit (%,yoy) 18.1 16.1 15.2 10.5 9.4 9.4 10.1

Provins i Aceh 13.4 10.8 8.9 3.2 5.9 5.9 4.9

Provins i Sumatera Utara 17.1 15.4 14.4 11.5 9.6 9.6 10.4

Provins i Sumatera Barat 13.1 10.5 8.8 7.7 11.0 11.0 13.7

Provins i Riau 13.0 11.4 13.9 9.5 10.3 10.3 10.7

Provins i Jambi 22.4 21.0 15.4 11.4 8.8 8.8 6.9

Provins i Kepulauan Riau 23.8 22.0 19.2 9.1 4.2 4.2 6.0

Provins i Sumatera Selatan 21.4 20.6 22.4 14.9 13.6 13.6 12.1

Provins i Bengkulu 15.0 13.2 10.1 10.1 9.6 9.6 9.5

Provins i Lampung 19.7 16.2 14.2 8.2 5.2 5.2 8.7

Provins i Kep. Bangka Bel i tung 39.2 31.5 25.1 16.0 13.9 13.9 19.6

DPK (%,yoy) 9.4 9.1 14.3 13.2 12.1 12.1 13.8

Provins i Aceh 10.4 6.6 10.5 7.6 10.0 10.0 19.8

Provins i Sumatera Utara 11.4 14.7 19.7 17.5 15.1 15.1 12.8

Provins i Sumatera Barat 2.5 4.2 14.0 16.3 14.1 14.1 17.3

Provins i Kepulauan Riau 33.0 20.5 22.9 12.4 2.8 2.8 7.1

Provins i Riau 6.3 3.3 8.6 11.5 15.6 15.6 22.2

Provins i Jambi 8.2 9.3 16.5 15.4 13.2 13.2 13.3

Provins i Sumatera Selatan (0.4) (0.7) 3.5 6.2 6.4 6.4 9.1

Provins i Bengkulu 4.5 5.9 11.0 10.6 11.5 11.5 15.6

Provins i Lampung 13.4 11.5 16.4 12.6 11.7 11.7 13.2

Provins i Kep. Bangka Bel i tung (1.8) (1.1) 6.7 7.9 11.7 11.7 9.9

Provins i Bengkulu 4.5 5.9 11.0 10.6 11.5 11.5 15.6

2015PIndikator Makroekonomi Daerah 20132014

20142015

L a p o r a n N u s a n t a r a | 2 3

BOKS Dampak Penurunan Produksi Gas di Aceh

Sektor pertambangan dan penggalian di Provinsi Aceh mayoritas berasal dari pertambangan gas alam yang

berlokasi di Desa Arun, Aceh Utara yang ditemukan sejak tahun 1971. Selanjutnya, pengolahan gas alam

menjadi LNG (Liquefied Natural Gas) berlokasi di kilang Lhoksumawe yang berdiri dari tahun 1974. Sejak tahun

1978, hasil produksi LNG diekspor ke Korea Selatan, selain menghasilkan kondensat untuk kebutuhan pasar

domestik.

Dalam beberapa tahun terakhir, produksi gas alam di ladang Arun terus menunjukkan penurunan, tercermin

dari menurunnya penjualan baik dalam bentuk LNG maupun kondensat. Selanjutnya, pada minggu kedua

bulan Oktober 2014, produksi LNG berakhir sejalan telah terpenuhinya seluruh kontrak ekspor dengan Korea

Selatan. Saat ini, eksploitasi gas di ladang Arun masih berlangsung untuk pemenuhan pengolahan kondensat

hingga tahun 2018, namun dengan nilai yang jauh di bawah nilai eksploitasi sebelumnya.

Berakhirnya kontrak ekspor LNG tersebut berdampak pada pertumbuhan ekonomi di Aceh. Berdasarkan data

PDRB Provinsi Aceh, pada tahun 2010 sektor pertambangan merupakan sektor kedua terbesar di Aceh

(setelah sektor pertanian) dengan pangsa mencapai 15,35%. Namun, pangsa sektor pertambangan tersebut

terus menurun sejalan dengan semakin berkurangnya hasil eksploitasi gas alam di ladang Arun. Pada tahun

2014, pangsa sektor pertambangan turun hingga mencapai 11,37% dan kian mengecil menjadi 8,92% pada

triwulan I 2015 pasca berhentinya produksi LNG. Kondisi ini mendorong pertumbuhan sektor pertambangan

dan penggalian terus menurun yakni dari -2% pada tahun 2011-2012, turun menjadi -4% pada tahun 2013,

hingga mencapai masing-masing -8,81% (tahun 2014) dan -31,58% (triwulan I 2015). Selain berdampak pada

sektor pertambangan dan penggalian, berhentinya produksi LNG ini juga berdampak pada melambatnya

pertumbuhan sektor industri pengolahan. Sektor industri pengolahan, yang pada tahun 2011–2012 masih

menunjukkan pertumbuan yang positif, mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 6,53% (2014) serta 21,09%

(triwulan I 2015). Pada akhirnya, kondisi ini juga menyebabkan terjadinya perlambatan dalam pertumbuhan

ekonomi Aceh, yang pada tahun 2014 hanya sebesar 1,65%, sementara triwulan I 2015 menunjukkan kontraksi

sebesar 1,86% (Grafik II.34).

Sumber: BPS, diolah

Grafik II.34 Pertumbuhan Ekonomi Aceh

Dengan mempertimbangkan berbagai kondisi tersebut di atas, pemerintah Provinsi Aceh perlu melakukan

langkah-langkah strategis untuk mengurangi dampak negatif penurunan kinerja migas tersebut.

Menindaklanjuti berakhirnya kontrak produksi LNG, pemerintah pusat telah menyetujui dan menjalankan re-

gasifikasi (proyek terminal gas untuk industri dan rumah tangga) serta pemasangan pipa gas yang

menghubungkan Arun, Aceh – Belawan, Sumatera Utara. Proses re-gasifikasi tersebut memanfaatkan

peralatan dari kilang LNG sebelumnya. Sementara itu, pipa gas sepanjang 370 km ini dimanfaatkan untuk

mengalirkan hasil re-gas dari Arun ke Belawan untuk menjadi bahan bakar bagi pembangkit listrik. Adapun

L a p o r a n N u s a n t a r a | 2 4

pasokan LNG untuk re-gasifikasi berasal dari Tangguh. Pengiriman pertama LNG dari Tangguh telah

dilaksanakan bulan Februari lalu dengan hasil proses re-gas pertama telah disalurkan melalui pipa pada bulan

Maret. Ke depannya, Arun direncanakan akan menjadi LNG hub untuk menyalurkan LNG ke daerah-daerah lain

di wilayah Sumatera.

Pasca berhentinya produksi LNG di Aceh, pemerintah daerah mencanangkan beberapa program untuk

menopang perekonomian Aceh, khususnya terkait dengan sektor pertanian. Sektor pertanian dipilih sebagai

fokus mengingat sektor ini merupakan salah satu sektor utama daerah, dengan pangsa mencapai 27,05% dan

memiliki serapan tenaga kerja yang tinggi. Program-program pemberdayaan sektor pertanian yang akan

dicanangkan oleh Bappeda Provinsi Aceh pada tahun 2016 meliputi program pengembangan kawasan strategis

pertanian, agroindustri, dan peningkatan nilai tambah komoditas unggulan daerah, dengan detail sebagai

berikut :

a. Pengembangan dan revitalisasi kawasan-kawasan strategis (Agropolitan, Minapolitan, Kota Terpadu

Mandiri dan Kawasan Industri)

Pengembangan kawasan strategis sebagai prioritas investasi. Beberapa program kerja yang akan

dilaksanakan:

- Pengembangan pendidikan kejuruan berbasis komoditas unggulan kawasan strategis.

- Peningkatan fasilitasi investasi dan peran sektor swasta dalam pengembangan kawasan strategis.

- Penyediaan infrastruktur ekonomi kawasan (irigasi, jalan kawasan, jalan akses, terminal, bandara,

pelabuhan)

- Penyediaan infrastruktur dasar (air bersih, listrik).

- Pembangunan pusat distribusi logistik, sistem informasi pasar kawasan strategis serta penyediaan

akses pembiayaan.

- Pemenuhan kebutuhan bibit/benih unggul, pupuk serta saprodi secara mandiri melalui penangkar,

koperasi

- Peningkatan kualitas SDM petani dan penyuluh.

- Penyelenggaraan reformasi agrarian yaitu 2 ha per KK.

b. Peningkatan realisasi investasi yang terkait dengan agroindustri

Pangsa sektor pertanian Aceh yang besar perlu untuk dioptimalkan dengan meningkatkan nilai tambah

melalui industrialisasi sektor pertanian. Beberapa program kerja yang akan dilaksanakan:

- Pengembangan science dan techno park

- Penyediaan tenaga terampil (BLK, SMK, Politeknik) serta pengembangan mental kewirausahaan

- Peningkatan kepastian regulasi dan arbritase hubungan industrial

- Penyediaan infrastruktur dasar dan konektivitas

- Penyediaan kawasan industri dan infrastruktur penunjang kawasan

- Peningkatan kualitas proses perizinan yang mudah dan cepat melalui SOP dan whistleblowing sistem

- Penyediaan informasi potensi daerah

c. Peningkatan nilai tambah produk komoditas unggulan

Peningkatan komoditas bahan pangan (padi) serta perkebunan (kopi, karet dan kelapa sawit). Beberapa

program kerja yang akan dilaksanakan:

- Peningkatan jumlah dan kualitas wirausaha, IKM, UKM

- Pemanfaatan teknologi produksi dan pemasaran serta penyediaan akses pembiayaan

- Peningkatan fasilitasi kemitraan IKM/UKM dengan industri besar

- Peningkatan fasilitasi inovasi produk berbasis pasar dan investasi berbasis pertanian

- Pengembangan kawasan industri berbasis pertanian

- Penyediaan sistem informasi pasar

- Rehabilitasi lahan kritis Daerah Aliran Sungai (DAS) pantai, rawa dan gambut

- Peningkatan jaringan irigasi bendungan waduk dan embung

- Pengembangan iklim investasi yang kondusif

L a p o r a n N u s a n t a r a | 2 5

-

L a p o r a n N u s a n t a r a | 25

Bagian III

Perekonomian Jawa

PERTUMBUHAN EKONOMI

Perekonomian Jawa melambat pada triwulan I 2015 relatif terhadap kinerja triwulan IV 2015. Pertumbuhan

ekonomi Jawa pada triwulan I 2015 tercatat pada level 5,2% (yoy), jauh lebih rendah dibandingkan dengan

capaian pertumbuhan pada triwulan IV 2014 sebesar 6,1% maupun proyeksi pada triwulan sebelumnya.

Perlambatan ekonomi didorong oleh menurunnya kinerja di hampir seluruh komponen pembentuk PDRB Jawa

dari sisi permintaan. Perlambatan konsumsi rumah tangga di Jawa terutama dipengaruhi oleh faktor base

effect belanja Pemilu 2014, dan tekanan di sisi harga sebagai dampak dari penyesuaian harga BBM.

Tertundanya persetujuan beberapa APBD Provinsi di Jawa dan terbatasnya penyerapan anggaran sesuai pola

awal tahun, menyebabkan penurunan komponen PDRB dari belanja pemerintah. Sementara itu, turunnya

realisasi nilai PMA turut menekan pertumbuhan investasi sektor swasta, meskipun jumlah proyek investasi

PMDN cenderung masih meningkat. Kinerja ekspor luar negeri turun, yang diikuti oleh melambatnya

pertumbuhan impor. Dari sisi sektoral, kinerja sektor perdagangan besar dan eceran, serta industri pengolahan

mengalami perlambatan, akibat melemahnya konsumsi domestik dan terbatasnya perdagangan antardaerah.

Sedangkan, sektor pertanian tumbuh positif seiring tibanya panen raya komoditas padi, bawang dan cabe

merah pada awal tahun

Tracking perekonomian Jawa pada triwulan II 2015 mengindikasikan adanya perbaikan kinerja relatif terhadap

triwulan I 2015. Perekonomian Jawa diprakirakan mampu tumbuh sebesar 5,7%, yang dikonfirmasi oleh

sejumlah indikator di sektor perdagangan besar dan eceran, serta industri pengolahan. Proyeksi ini juga

didukung oleh meningkatnya permintaan memasuki bulan Ramadhan dan periode tahun ajaran baru. Asumsi

menguatnya perekonomian negara Jepang, Eropa dan Asia mendorong optimisme terhadap kinerja ekspor

utama manufaktur Jawa, yaitu makanan minuman, TPT, alas kaki dan mebel. Sementara itu, peningkatan

minat investasi termasuk dari investor asing, terindikasi pada program strategis pemerintah, yakni industri

pendukung pengembangan infrastruktur dan industri kemaritiman1. Komitmen pemerintah pusat dalam

menggenjot realisasi belanja APBN-P di bidang infrastruktur, pertanian dan kemaritiman turut menjadi insentif

bagi pelaku usaha guna meningkatkan investasinya. Selain itu, mulai terealisasinya belanja APBD Provinsi DKI

Jakarta yang terkendala dalam penetapannya, turut menjadi faktor pendukung kinerja perekonomian pada

triwulan berjalan. Dari sisi sektoral, perbaikan ekonomi didorong oleh peningkatan kapasitas produksi sektor

industri pengolahan serta omset penjualan sektor perdagangan besar dan eceran. Asumsi perbaikan ekonomi

Wilayah Timur Indonesia juga dipersepsikan positif oleh pelaku usaha terkait dengan potensi peningkatan

kinerja perdagangan antar daerah.

Ekonomi Jawa berpotensi tumbuh sedikit lebih tinggi pada keseluruhan tahun 2015 relatif terhadap tahun

sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi Jawa pada tahun 2015 diprakirakan berada pada batas atas kisaran 5,5% -

5,9%, lebih tinggi daripada pertumbuhan tahun 2014 (5,6%). Kondisi ini sejalan dengan relatif terjaganya

persepsi masyarakat dan pelaku usaha terhadap kondisi perekonomian dan membaiknya prospek perdagangan

luar negeri. Terjaganya stabilitas ekonomi makro, peningkatan signifikan dari belanja infrastruktur pemerintah,

dan pemberian insentif fiskal pada industri dalam negeri diyakini memberikan sentimen positif pada

perekonomian Jawa di 2015. Adapun optimisme pada perdagangan luar negeri dipengaruhi oleh positifnya

prospek perekonomian beberapa negara mitra dagang, utamanya Jepang, Eropa dan Asia. Dari sisi penawaran,

sumber pertumbuhan berasal dari sektor perdagangan besar dan eceran, sektor industri pengolahan, dan

sektor pertanian. Meski pelaku usaha pada sektor industri pengolahan memperkirakan masih terjaganya iklim

1 Liaison Prov. Jatim, Banten dan Jabar

L a p o r a n N u s a n t a r a | 26

usaha, terdapat sejumlah downside risk khususnya terkait dengan kenaikan biaya produksi (upah minimum,

biaya energi dan bahan baku). Selain itu, juga terdapat risiko dari relatif lebih lambatnya perbaikan ekonomi

global serta pelemahan kinerja ekonomi Sumatera dan Kalimantan yang menjadi pasar tujuan bagi produk

manufaktur Jawa. Adapun pertumbuhan tertinggi secara sektoral diproyeksikan pada sektor pertanian, seiring

dengan kondusifnya faktor cuaca dan adanya komitmen pemerintah dalam peningkatan produksi pangan pada

daerah sentra produksi.

Konsumsi

Konsumsi Rumah Tangga

Kinerja konsumsi rumah tangga Jawa tumbuh melambat pada triwulan I 2015, sebagaimana terkonfirmasi dari

hasil survei konsumen. Indeks keyakinan terhadap kondisi ekonomi mengalami penurunan, meskipun indeks

omset penjualan riil, masih terindikasi tumbuh moderat. Menurunnya persepsi terhadap kondisi

perekonomian sejalan pula dengan pelemahan indikator ekspektasi tingkat penghasilan dan ketersediaan

lapangan kerja pada periode laporan. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi menjadi faktor

dari tekanan harga yang berpengaruh pada melemahnya daya beli masyarakat dan penurunan kinerja

konsumsi rumah tangga. Perlambatan konsumsi rumah tangga tercermin dari hasil survei yang

mengindikasikan 70% responden berpendapat dampak kenaikan BBM cukup signifikan, sehingga terdapat

rencana mengurangi pengeluaran, khususnya pada kelompok barang tahan lama.

Grafik III.1 Indeks Penjualan Eceran (SPE)

Grafik III.2 Kinerja Kredit Konsumsi

Grafik III.3

Indeks Keyakinan Konsumen Tabel III.1

Struktur APBD Kawasan Jawa 2014 – 2015

Dampak pelemahan nilai tukar ditengarai turut berdampak pada penurunan penjualan ritel sejumlah kelompok

barang khususnya pada barang elektronik. Masih tingginya kandungan impor bahan baku mendorong para

pelaku usaha untuk menaikkan harga jual. Hal yang sama juga terjadi pada kelompok impor barang konsumsi.

2014 2015 %

Kenaikan

Jawa 9.6 10.3 7.3

DKI Jakarta 29.0 28.6 -1.4

Total 38.6 38.9 0.8

Jawa 230.4 295.7 28.3

DKI Jakarta 40.2 43.2 7.5

Total 270.6 338.9 25.2

Jawa 240.0 306.0 27.5

DKI Jakarta 69.3 71.9 3.8

Total 309.3 377.9 22.2

Belanja Lainnya

Total APBD

(Rp. Triliun)

Belanja Infrastruktur

L a p o r a n N u s a n t a r a | 27

Dalam menyikapi kenaikan harga tersebut, kelompok rumah tangga cenderung menahan belanja yang

tercermin pada pelemahan indeks omset penjualan eceran (Grafik III.1). Sementara itu, indikator pembiayaan

kelompok rumah tangga yang bersumber dari perbankan masih tumbuh moderat, sebagaimana tercermin dari

data penyaluran kredit multiguna dan kredit kendaraan bermotor. Penurunan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK)

pada hampir seluruh bank besar, sebesar 0,25% (qtq) pada Triwulan I 2015, diperkirakan turut mendorong

permintaan kredit konsumsi pada periode laporan (Grafik III.2). Sebelumnya perbankan juga telah menurunkan

suku bunga deposito di kisaran 0,25% yang direspon kelompok rumah tangga dengan penurunan alokasi dana

simpanan di perbankan.

Pada triwulan II 2015, kinerja konsumsi rumah tangga berpotensi membaik seiring dengan meningkatnya

belanja masyarakat pada bulan Ramadhan dan masa persiapan tahun ajaran baru. Perkiraan ini juga didasari

oleh adanya persepsi positif terhadap membaiknya ekonomi domestik yang tercermin dari indeks pengeluaran

dan pendapatan bulanan rumah tangga, serta ekspektasi omset penjualan eceran dalam 3 bulan yang akan

datang2. Potensi pencairan gaji ke-13 lebih awal dibandingkan dengan tahun sebelumnya (triwulan III 2014)

turut menjadi faktor pendukung kinerja konsumsi rumah tangga pada triwulan berjalan. Demikian pula adanya

realisasi proyek pembangunan infrastruktur di Jawa yang sebagian besar memperkerjakan tenaga kerja lokal,

turut berkontribusi pada tumbuh meningkatnya konsumsi rumah tangga. Selain itu, pergeseran panen raya

yang umumnya terjadi pada bulan Maret-April, berpotensi mendorong peningkatan pendapatan kelompok

rumah tangga tani. Adapun risiko yang dapat menahan pertumbuhan konsumsi rumah tangga untuk tumbuh

lebih tinggi, bersumber dari faktor risiko dari potensi penyesuaian harga BBM dan Tarif Tenaga Listrik (TTL).

Konsumsi Pemerintah

Pada triwulan I 2015, belanja pemerintah di Jawa tumbuh lebih rendah, seiring dengan terbatasnya belanja

fiskal pemerintah pusat dan tertundanya pengesahan APBD Provinsi DKI Jakarta. Dampak tertundanya

pengesahan APBD Provinsi DKI Jakarta turut dirasakan pelaku usaha daerah yang menjadi pemasok sejumlah

proyek besar di DKI Jakarta. Selain itu, juga ditemui adanya beberapa Kabupaten/Kota yang belum melakukan

pengesahan APBD hingga akhir triwulan, di antaranya Kabupaten Blora dan Kabupaten Pangandaran. Belanja

pemerintah yang tumbuh terbatas juga dipengaruhi oleh belum disalurkannya Dana Bagi Hasil (DBH) di

beberapa Provinsi serta perlambatan di sektor usaha riil yang memengaruhi realisasi pendapatan pajak dan

retribusi (pendapatan asli daerah). Namun, terbatasnya pembiayaan belanja Pemerintah di Jawa masih dapat

dipenuhi oleh SILPA3 yang relatif besar pada tahun 2014.

Tracking realisasi belanja pemerintah pada triwulan II terindikasi meningkat seiring dengan telah

ditetapkannya APBD DKI Jakarta 2015 yang menggunakan postur anggaran tahun 2014. Meski realisasi belanja

di DKI Jakarta terindikasi dimulai pada akhir Mei 2015, namun dorongan dalam pengoptimalan sistem e-

budgeting diharapkan dapat mempercepat proses pengadaan barang dan jasa. Potensi perbaikan realisasi

belanja daerah juga dipengaruhi oleh peningkatan alokasi belanja seluruh Pemerintah Provinsi di Jawa sebesar

25,2% pada 2015 yang sebagian dialokasikan pada belanja pegawai, termasuk alokasi untuk pembayaran gaji

ke-13. Dengan majunya Lebaran mendekati triwulan II 2015, diperkirakan pencairan gaji ke-13 akan dilakukan

pada triwulan berjalan. Selain itu, penyesuaian ketentuan mengenai larangan penyelenggaraan rapat di hotel

oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS), juga diprediksi akan mendukung perbaikan belanja barang dan pegawai.

Investasi

Realisasi belanja investasi swasta di Jawa tumbuh sedikit melambat dari 4,7% (yoy) pada triwulan IV 2014

menjadi 4,6% (yoy) pada triwulan I 2015, sebagaimana tercermin dari realisasi nilai investasi Penanaman

Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang mencapai lebih dari Rp350 triliun.

2 Survei Konsumen (SK) dan Survei Penjualan Eceran Kawasan Jawa

3 Sisa lebih anggaran tahun sebelumnya yang menjadi penerimaan pada tahun berjalan (SILPA) adalah selisih antara surplus/defisit APBD

dengan pembiayaan neto

L a p o r a n N u s a n t a r a | 28

Perlambatan tersebut searah dengan hasil likert scale4 kegiatan liaison Jawa yang mengalami penurunan

(Grafik III.7). Selain itu, capaian belanja infrastruktur skala besar juga masih tergolong rendah. Kendala

terbesar masih bersumber dari sulitnya negosiasi pembebasan lahan proyek dan kendala dalam proses

birokrasi yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan daerah. Dari sisi teknis, kendala juga terkait dengan

kapasitas institusi daerah yang belum cukup memadai untuk mengelola proyek skala besar.

Grafik III.4 Kinerja Investasi PMA

Grafik III.5 Kinerja Investasi PMDN

Grafik III.6

Likert Scale Investasi dan perkiraannya Grafik III.7

Likert Scale Ekspor dan Impor

Pada triwulan II 2015, kinerja investasi baik yang berasal dari sumber swasta maupun pemerintah diprediksi

membaik. Berdasarkan hasil liaison, minat investasi asing meningkat khususnya pada proyek infrastruktur

pemerintah serta beberapa industri yang memperoleh insentif pengurangan biaya masuk impor bahan baku.

Investasi pembangunan infrastruktur yang saat ini masih sebagian besar didanai pemerintah, secara khusus

untuk mendukung peningkatan kapasitas maupun perbaikan prasarana dan sarana di sektor pertanian

(pembangunan waduk dan rehabilitasi jaringan irigasi) serta sektor transportasi (jalan, pelabuhan, bandara).

Dari total alokasi keseluruhan Dana Alokasi Khusus (DAK) tambahan5 di Pulau Jawa, 88% dialokasikan untuk

mendukung pencapaian program ketahanan pangan.

Perdagangan

Ekspor

Pada triwulan I 2015, kinerja ekspor Jawa tercatat tumbuh melambat. Perlambatan ini terjadi pada kelima

komoditas ekspor utama Jawa yang meliputi Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), makanan minuman, elektronik,

kimia dan baja. Berdasarkan spasial, penurunan terdalam disumbang oleh DKI Jakarta. Tren penurunan harga

internasional dari komoditas industri manufaktur seperti bahan kimia dan tekstil turut memengaruhi kinerja

4 Likert scale adalah merupakan alat dalam statistik yg digunakan untuk menilai/me-ranking beberapa variabel kegiatan liaison Bank

Indonesia. Angka yg digunakan berskala (-5) hingga (+5), dengan fokus pada asesmen kondisi pelaku usaha tanpa membandingkan dengan kondisi eksternal lainnya 5 Pendukung Program Prioritas Kabinet Kerja (P3K2)

L a p o r a n N u s a n t a r a | 29

ekspor kawasan Jawa, meskipun secara volume ekspor relatif masih stabil untuk kedua jenis komoditas

tersebut. Hasil liaison mengonfirmasi realisasi ekspor yang menurun pada industri pengolahan (Grafik III.8).

Meski demikian, ekspor ke Amerika Serikat dan Jepang tercatat tumbuh moderat, seiring dengan membaiknya

pertumbuhan ekonomi di kedua negara tersebut. Peningkatan ekspor terjadi pada komoditas mebel untuk

pasar Amerika Serikat, serta komoditas bahan kimia organik dan hasil laut untuk pasar Jepang.

Pada triwulan II 2015, ekspor luar negeri diprakirakan tumbuh membaik, didorong optimisme pelaku usaha di

DKI Jakarta, Banten dan Jawa Tengah7. Prospek peningkatan ekspor komoditas utama Jawa, terjadi pada

produk tekstil, kimia, dan produk makanan dan minuman dengan tujuan ke pasar Jepang dan ASEAN. Untuk

beberapa jenis komoditas tersebut, daya saing ekspor Jawa relatif baik, seiring melimpahnya bahan baku

domestik dan upaya otomasi proses produksi. Pelemahan nilai tukar rupiah ditengarai mendorong

peningkatan margin sejumlah pengusaha eksportir, khususnya yang melakukan ekspor komoditas dengan

bahan baku dalam negeri, seperti produk mebel, makanan minuman, dan alas kaki. Namun, pelemahan nilai

tukar rupiah memberi tantangan pada pelaku usaha manufaktur yang masih memiliki ketergantungan pada

impor bahan baku.

Impor

Sejalan dengan perlambatan kinerja ekspor luar negeri, transaksi impor di Jawa juga tercatat tumbuh lebih

rendah daripada triwulan I 2015. Perlambatan impor tersebut terjadi khususnya pada impor barang konsumsi

dan impor bahan baku. Turunnya impor barang konsumsi disebabkan oleh lebih mahalnya barang tersebut

terkait melemahnya nilai tukar rupiah. Sementara itu, turunnya impor bahan baku untuk industri kimia,

elektronik, makanan minuman, besi baja dan TPT, disebabkan oleh melemahnya penjualan baik di pasar lokal

maupun di pasar ekspor. Sama halnya dengan tren kinerja ekspor, perlambatan impor tertinggi

dikontribusikan oleh DKI Jakarta, khususnya pada kelompok bahan baku dan barang modal. Namun secara

umum, masih tingginya kebutuhan otomasi di sektor industri, menjadi faktor penahan penurunan laju impor

barang modal.

Grafik III.8 Kinerja Ekspor Jakarta & Jawa

Grafik III.9 Kinerja Impor Jakarta & Jawa

Pada triwulan II 2015, impor luar negeri diperkirakan meningkat seiring dengan optimisme perbaikan ekspor

luar negeri dan peningkatan produksi industri pengolahan untuk mengantisipasi kenaikan permintaan.

Peningkatan impor cenderung lebih didorong oleh kelompok impor bahan baku dan barang modal.

Peningkatan impor turut dipicu oleh rencana akselerasi pembangunan proyek infrastruktur pemerintah yang

membutuhkan besi baja, alat berat, dan peralatan konstruksi. Sementara itu, impor barang konsumsi

diperkirakan juga tumbuh meningkat terkait dengan kenaikan permintaan masyarakat memasuki bulan

Ramadhan dan persiapan Lebaran.

7 Liaison Prov. Jabar, Jateng, Jatim & Banten

L a p o r a n N u s a n t a r a | 30

Sektor Industri Pengolahan

Pada triwulan I 2015, sektor industri pengolahan di Jawa tumbuh lebih rendah dari triwulan sebelumnya.

Secara spasial, perlambatan yang terjadi pada industri pengolahan hampir di seluruh provinsi kecuali Jawa

Tengah. Kelima komoditas utama manufaktur Jawa tercatat tumbuh melambat, yakni elektronik, kendaraan

bermotor, besi dan baja, kimia dan kertas. Pelemahan tidak hanya bersumber dari transaksi ekspor luar negeri,

namun juga berasal dari dalam negeri. Pelemahan ekonomi domestik, seiring menurunnya harga komoditas

CPO dan batu bara wilayah di luar Jawa turut berdampak pada permintaan kelompok barang manufaktur

khususnya yang tergolong barang tahan lama. Penjualan otomotif dan elektronik tercatat menurun sebesar

15%-20%. Pelemahan permintaan properti juga turut dirasakan oleh industri besi dan baja. Perlambatan ini

terkonfirmasi oleh Prompt Manufacturing Index (PMI) yang berada di bawah level 50%. Berdasarkan hasil

Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU), terlihat adanya perlambatan realisasi kegiatan usaha di triwulan I 2015

(Gambar III.11). Meskipun siklus penurunan realisasi kegiatan usaha umumnya terjadi triwulan I, penurunan

pada triwulan I 2015 merupakan yang paling dalam di tiga tahun terakhir.

Kenaikan harga energi yang disertai kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), terus mendorong

tingginya biaya produksi yang harus ditanggung pelaku usaha. Beberapa daerah bahkan memberlakukan Upah

Minimum Kabupaten/Kota Sektoral (UMSK), yang merupakan tambahan di atas UMK dan sepenuhnya

menjadi kewenangan Pemerintah Dati II8. Besaran UMSK dapat mencapai 5%-10% dari UMK pada industri yang

merupakan PMA dan perusahaan terbuka (Tbk). Tingkat upah yang semakin tinggi mendorong beberapa

perusahaan mulai beralih ke proses otomasi untuk mengurangi penggunaan tenaga kerja9. Dampak dari

pelemahan nilai tukar juga mendorong perlambatan yang terjadi pada sektor industri pengolahan. Hal ini

disebabkan oleh impor konten yang dimiliki perusahaan dalam negeri khususnya untuk bahan baku masih

sangat tinggi, yaitu mencapai 67,5%. Subsektor industri di wilayah Jawa, yang memiliki impor bahan baku

cukup besar, diantaranya industri logam dan produknya, mesin dan peralatan serta bahan kimia.

Subsektor industri logam dasar mengalami penurunan penjualan yang cukup drastis disebabkan permintaan

domestik yang masih rendah pada triwulan I 2015. Belum optimalnya investasi pemerintah di infrastruktur

pada awal tahun 2015 menjadi salah satu faktor rendahnya permintaan baja domestik10

. Dalam rangka

meningkatkan kinerja penjualan, perusahaan di bidang industri baja melakukan pengalihan pasar ke luar

negeri, di antaranya ke Thailand, Malaysia dan India11

. Penjualan ekspor pada komoditas kimia dan tekstil juga

cenderung tertahan, seiring dengan perkembangan ekonomi negara mitra dagang yang tidak seoptimis

perkiraan semula. Penurunan kinerja penjualan secara umum, telah menyebabkan adanya pengurangan

jumlah tenaga kerja pada sejumlah industri seperti pada industri tekstil12

dan komponen induksi/elektronik13

.

Kinerja industri pengolahan pada triwulan II 2015 diprediksi tumbuh lebih tinggi. Pada industri logam dasar,

semen dan bahan bangunan, pertumbuhan didorong oleh pembangunan infrastruktur yang akan dimulai pada

triwulan II 2015. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah, disebutkan bahwa Kementerian terkait diwajibkan memilih penyedia jasa konstruksi yang

menggunakan bahan baku dasar dari dalam negeri. Hal tersebut diyakini akan meningkatkan kinerja sejumlah

industri yang mendukung pembangunan program infrastruktur. Industri pengolahan aspal juga diprediksi

8 Berdasarkan hasil liaison di Jawa Timur

9 Berdasarkan hasil liaison di Jawa Barat

10 Berdasarkan hasil liaison di Jawa Timur

11 Berdasarkan hasil liaison di Banten

12 Berdasarkan hasil liaison di Jawa Timur

13 Berdasarkan hasil liaison di Banten

L a p o r a n N u s a n t a r a | 31

meningkat, seiring dengan pembangunan jalan tol dan perbaikan jalan14

. Sementara itu, permintaan pada

subsektor industri TPT dan alas kaki diprediksi meningkat menjelang tahun ajaran baru dan Lebaran.

Grafik III.10 Realisasi dan Ekspektasi Kegiatan Usaha (SKDU) serta Likert Scale

Penjualan Manufaktur

Grafik III.11 Produksi Industri. Kendaraan Bermotor

Sektor Konstruksi

Kinerja sektor konstruksi di Jawa tumbuh stabil pada triwulan I 2015 relatif terhadap triwulan IV 2014.

Pertumbuhan sektor ini lebih banyak disumbang oleh kelanjutan proyek investasi swasta yang belum

terselesaikan pada tahun 2014. Belanja infrastruktur pemerintah juga masih belum optimal pada awal tahun

2015. Hal ini terkait dengan masih banyaknya kendala dalam pembebasan lahan serta belum cukup optimalnya

dukungan dana APBD. Beberapa provinsi di Jawa turut mengonfirmasi rendahnya kinerja sektor konstruksi

sebagaimana tercermin dari data konsumsi semen (Grafik III.12) dan impor besi baja (Grafik III.13). Pelemahan

harga properti sejak triwulan III 2014 semakin memperburuk kinerja penjualan perusahaan real estate,

sehingga turut memengaruhi terbatasnya realisasi pembangunan proyek properti di Jawa.

Grafik III.12 Konsumsi Semen Pulau Jawa

Grafik III.13 Total Impor Besi dan Baja

Kinerja sektor konstruksi diprediksi mengalami peningkatan pada triwulan II 2015, seiring dengan

meningkatnya belanja investasi swasta pada sektor industri dan program percepatan pembangunan

infrastruktur pemerintah. Sebagaimana diutarakan pelaku usaha pada industri makanan minuman, kimia dan

kendaraan bermotor, terdapat rencana pembangunan pabrik guna menambah kapasitas produksi seiring

dengan meningkatnya permintaan pasar domestik. Tercatat sejumlah proyek fisik infrastruktur skala besar

yang berjalan pada triwulan II 2015 di Jawa, di antaranya proyek MRT di DKI Jakarta, pembangunan waduk

Karian di Banten, pembangunan jalan tol Solo-Ngawi-Kertosono, dan pengembangan pelabuhan Merak di

Banten. Di samping itu juga terdapat pembangunan proyek infrastruktur lain dalam skala yang lebih kecil yang

14

Berdasarkan hasil liaison di Jawa Tengah

L a p o r a n N u s a n t a r a | 32

tersebar di seluruh wilayah Jawa. Namun, realisasi pembangunan industri smelter di Jawa Timur masih

terkendala masalah pembebasan lahan dan perizinan.

Sektor Pertanian

Sektor pertanian Jawa tumbuh lebih tinggi pada triwulan I 2015 dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.

Secara spasial, seluruh provinsi mengalami peningkatan produksi kecuali di Jawa Timur. Secara umum, sektor

pertanian di wilayah Jawa mengalami peningkatan memasuki musim panen. Hal ini juga dipengaruhi oleh

pergeseran musim panen ke Maret - April. Inisiatif dalam penerapan sistem pola tanam yang lebih maju cukup

berhasil meningkatkan kualitas produksi tanaman pangan15

. Penggunaan mekanisasi alat-alat pertanian juga

berdampak pada peningkatan efisiensi produksi16

. Produksi untuk subsektor peternakan juga mengalami

peningkatan, khususnya untuk ternak ayam dan sapi yang didukung dengan masuknya sejumlah investasi

swasta. Di sisi lain, realisasi kredit sektor pertanian tumbuh melambat yang mengindikasikan belum adanya

dukungan pembiayaan secara lebih optimal.

Grafik III.14 Perkembangan Kinerja Kredit Pertanian

Grafik III.15 Likert Scale Sektor Pertanian

Produksi sektor pertanian di triwulan II 2015 diprediksi mengalami penurunan yang disebabkan oleh

pergeseran musim tanam dan faktor cuaca. Panen pada triwulan berjalan relatif lebih tersebar dan dalam skala

yang lebih kecil mengingat puncak musim panen terbagi antara bulan Maret dan April. Panen masih berpotensi

terjadi di beberapa daerah yang areal sawahnya sempat terkena banjir dan hama. Terkait dengan faktor cuaca,

hingga saat ini belum terdapat indikasi menguatnya risiko El Nino, meski curah hujan di sejumlah daerah telah

berkurang yang akan memengaruhi masa tanam. Penurunan produksi juga diproyeksikan untuk sejumlah

komoditas hortikultura seperti bawang merah yang terpengaruh oleh faktor cuaca dan gangguan hama. Pada

subsektor peternakan, produksi daging dan telur ayam di Jawa Tengah dan Jawa Timur diperkirakan meningkat

untuk mengantisipasi kenaikan permintaan menjelang Lebaran.

PERKEMBANGAN INFLASI

Tingkat inflasi Jawa melambat signifikan pada triwulan I 2015, dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.

Inflasi Jawa tercatat sebesar 6,31% (yoy), lebih rendah dari inflasi pada triwulan IV 2014 yang mencapai 8,35%.

Inflasi wilayah Jawa tersebut juga tercatat sedikit lebih rendah dibandingkan tingkat inflasi nasional sebesar

6,38% pada triwulan I 2015. Menurut disagregasi kelompoknya, inflasi tertinggi masih disumbang oleh

kelompok administered prices sebesar 12,19%, disusul oleh volatile food sebesar 8,04% (yoy) dan core inflation

sebesar 4,43%. Meredanya tekanan inflasi di triwulan I 2015 lebih banyak disebabkan oleh kelompok

administered prices, terkait penurunan harga BBM oleh Pemerintah. Turunnya harga BBM tersebut

berpengaruh pada deflasi komoditas bensin dan transport, meskipun terdapat penyesuaian tarif moda

transportasi kereta api yang menahan penurunan inflasi lebih lanjut pada komoditas yang ada pada kelompok

15

Berdasarkan hasil liaison di Jawa Barat 16

Berdasarkan hasil liaison di Jawa Tengah

L a p o r a n N u s a n t a r a | 33

transportasi. Sementara itu, beberapa komoditas dalam kelompok volatile food seperti cabe merah, cabe rawit

dan bawang merah telah memasuki masa panen raya, yang membuat pasokan tersedia dalam jumlah cukup

banyak di pasar dan mampu menurunkan harga. Adapun produksi beras terganggu karena tertundanya masa

panen, sehingga membuat harga beras melonjak. Meskipun demikian, masa panen raya padi pada bulan Maret

2015 relatif mampu untuk meredam tekanan harga beras pada akhir triwulan.

Grafik III.16 Perkembangan Inflasi

Grafik III.17 Disagregasi Kelompok Inflasi

Dari sisi inflasi inti (core inflation), tekanan cukup stabil. Tekanan inflasi lebih banyak berasal dari pelemahan

nilai tukar tupiah terhadap US Dollar (depresiasi mencapai 1,13%, mtm atau 3,28%, yoy). Hal ini berdampak

kepada peningkatan harga barang impor. Secara spasial, Provinsi Banten, DKI Jakarta dan Jawa Timur,

merupakan wilayah yang mencatat inflasi inti cukup tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya di Jawa.

Tingkat inflasi wilayah Jawa pada triwulan II 2015 diperkirakan akan kembali meningkat. Tekanan inflasi yang

meningkat tersebut dikonfirmasi oleh hasil survei konsumen terhadap perkiraan harga 3 bulan yang akan

datang. Kenaikan inflasi seiring dengan penyesuaian harga di kelompok administered prices, yaitu harga BBM

dan LPG (kenaikan harga LPG 12 Kg dilakukan pada awal April 2015). Hal ini memberikan tekanan inflasi pada

komoditas bensin, bahan bakar rumah tangga dan tarip angkutan. Selain dari dampak penyesuaian harga BBM,

kenaikan tarif kereta api untuk jarak menengah dan jarak jauh per 1 April 2015 juga turut memberikan tekanan

inflasi dari kelompok administered prices. Sementara tekanan dari kelompok volatile food bersumber dari

menurunnya pasokan bawang merah dan daging ayam,di tengah permintaan yang meningkat memasuki bulan

Ramadhan di akhir triwulan II 2015. Berakhirnya musim panen untuk beberapa komoditas seperti cabe merah

dan cabe rawit juga akan menambah tekanan inflasi dari kelompok volatile foods. Meski demikian kenaikan

inflasi lebih lanjut diperkirakan dapat tertahan oleh lancarnya pasokan beras dari berbagai wilayah di pulau

Jawa yang sudah memasuki masa panen raya di awal triwulan II 2015. Inflasi inti diperkirakan masih cukup

stabil hingga akhir triwulan II 2015.

Grafik III.18 Pemetaan Risiko Inflasi

Grafik III.19 Inflasi dengan Perkiraan Harga 3 bulan Survei Konsumen

L a p o r a n N u s a n t a r a | 34

Koordinasi Pengendalian Inflasi

Pada awal tahun 2015, seluruh TPID Provinsi di wilayah Jawa telah menyusun arah pengendalian inflasi

(roadmap). Arah pengendalian inflasi tahun 2015 – 2019 yang difokuskan pada komoditas dengan andil inflasi

besar serta memiliki frekuensi yang tinggi sebagai penyumbang inflasi (Grafik III.18). Komoditas yang

mendapat perhatian dalam roadmap tersebut adalah komoditas yang termasuk dalam kelompok volatile food.

Terkait dengan hal ini peran daerah peran daerah menjadi sangat penting dalam menentukan langkah-langkah

konkrit untuk menjaga kestabilan harga.

Melalui hasil rapat koordinasi TPID wilayah Jawa, diidentifikasi lima komoditas yang dipandang memilik andil

yang besar dalam pembentukan inflasi di wilayah Jawa. Kelima komoditas tersebut adalah beras, cabai merah,

bawang merah, daging ayam ras dan telur ayam ras. Dalam pemetaan permasalahan jangka pendek maupun

struktural terkait menjaga kestabilan harga kelima komoditas tersebut, beberapa hal menjadi perhatian, yakni

produksi, infrastruktur, teknologi, tata niaga dan kelembagaan. Dalam menjawab permasalahan tersebut,

ditetapkan sejumlah langkah strategis pengendalian inflasi melalui TPID wilayah Jawa sebagai berikut:

1. Penguatan fungsi kelembagaan dan regulasi (hingga level Kabupaten/Kota).

2. Pengoptimalan proses produksi, distribusi dan konektivitas.

3. Penguatan kerjasama dan sinergi antardaerah (Pusat, Provinsi & Kabupaten/Kota).

4. Peningkatan penyediaan riset dan informasi.

5. Pengarahan ekspektasi masyarakat melalui komunikasi dan edukasi

Sementara itu, dalam upaya menghadapi tantangan pengendalian inflasi pada tahun 2015, TPID wilayah Jawa

juga telah mengidentifikasi permasalahan yang berpotensi memiliki dampak relatif besar pada inflasi. Adapun

program prioritas TPID untuk mengendalikan permasalahan dimaksud adalah sebagai berikut:

Tabel III.2

Permasalahan Inflasi dan Program Prioritas 2015

No Permasalahan Inflasi Dampak Kesiapan

TPID

Program Prioritas 2015

1

Lonjakan permintaan pada hari-

hari besar keagamaan (hampir

untuk semua komoditas strategis)

Besar Tinggi

Terlaksananya operasi

pasar untuk 8

komoditas strategis saat

peak season (seperti

bulan ramadhan dan

idul fitri)

Penyusunan program

pengelolaan ekspektasi

masyarakat

Pemberian bantuan

sarana produksi

pertanian untuk

memutus

ketergantungan kepada

tengkulak

Meningkatkan

koordinasi dengan PD

pasar dan asosiasi

produsen

2

Ekspektasi masyarakat terhadap

harga cenderung meningkat

dalam menyikapi suatu

situasi/kondisi tertentu

Besar Tinggi

3

Pola tanam yang belum

terstruktur dengan baik

(khususnya untuk komoditas

beras, cabai, bawang)

Besar Menengah

4

Biaya pakan ternak yang cukup

mahal dan bergantung kepada

hanya beberapa perusahaan

Besar Menengah

5

Besarnya modal yang dibutuhkan

dalam selama proses produksi

(khususnya untuk komoditas

beras, cabai, bawang)

Menengah Tinggi

6 Jumlah produksi komoditas yang

masih rendah Menengah Tinggi

7 Terdapat asimetri informasi harga Menengah Menengah

L a p o r a n N u s a n t a r a | 35

STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN

Perkembangan penyaluran kredit bank umum berdasarkan lokasi proyek di wilayah Jawa pada akhir triwulan I

2015 menunjukkan perlambatan relatif terhadap triwulan sebelumnya. Total penyaluran kredit di Jawa

mencapai Rp2.556 triliun atau tumbuh sebesar 11,7% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan akhir triwulan

IV 2014 (12,1%). Adapun perlambatan penyaluran kredit terbesar terjadi pada kredit investasi, sejalan dengan

tren perlambatan perekonomian Jawa pada triwulan I 2015. Hal ini menunjukkan perilaku prosiklikalitas

perbankan yang cenderung untuk menahan penyaluran kredit ketika terjadi perlambatan perekonomian.

Penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) di wilayah Jawa tumbuh lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. DPK

tumbuh 16,9% pada akhir triwulan I 2015, meningkat dibandingkan dengan akhir triwulan sebelumnya yang

tumbuh 12,9%. Total DPK pada triwulan I 2015 di Jawa mencapai Rp 3.235 triliun dan apabila dilihat dari rasio

Loan to Deposit (LDR) terhadap penyaluran kredit berdasarkan lokasi proyek, maka LDR pada akhir triwulan I

2015 tercatat sebesar 79,0%, turun dari akhir triwulan sebelumnya yang mencapai 80,6%. Komposisi dari

penghimpunan dana terbesar berupa deposito dengan pangsa sebesar 52,7%, diikuti tabungan sebesar 24,3%

dan giro sebesar 23,0%. Meskipun komposisi DPK dalam bentuk deposito masih yang terbesar, apabila

dicermati lebih lanjut, mayoritas jangka waktu dari deposito tersebut adalah jangka pendek (jangka waktu 1-3

bulan) yang mencapai 77% dari total nilai deposito. Hal ini sejalan dengan tren perlambatan penyaluran kredit

investasi yang pada umumnya merupakan kredit jangka menengah-panjang.

Dari sektor korporasi, pertumbuhan penyaluran kredit mengalami perlambatan. Pada akhir triwulan I 2015,

penyaluran kredit kepada sektor korporasi mencapai Rp1.462 triliun atau tumbuh 11,7%, lebih rendah

dibandingkan dengan akhir triwulan IV 2014 (12,3%). Sementara itu, penyaluran kredit di sektor rumah tangga

juga dalam tren melambat, meskipun tidak sedalam perlambatan pada sektor korporasi. Penyaluran kredit di

sektor rumah tangga mencapai Rp 605,5 triliun atau tumbuh 11,3% ada akhir triwulan I 2015, sedikit melambat

dibandingkan akhir triwulan sebelumnya (12,0%).

Grafik III.20 Perkembangan Kredit & Dana Pihak Ketiga

Grafik III.21 Perkembangan Kredit Korporasi & RT

Ketahanan Sektor Korporasi

Prilaku prosiklikalitas penyaluran kredit perbankan, depresiasi nilai tukar, dan belum pulihnya kondisi ekonomi

global, semakin meningkatkan kehati-hatian perbankan untuk menyalurkan kredit pada sektor korporasi.

Penyaluran kredit yang melambat diikuti oleh peningkatan rasio NPL ke level 2,1% dibandingkan akhir triwulan

sebelumnya yang sebesar 1,9%. Penyaluran kredit dalam valuta asing yang memiliki pangsa sebesar 29% dari

total kredit juga mengalami kenaikan NPL menjadi 2,6% dibandingkan pada akhir triwulan IV 2014 sebesar

2,4%. Meski demikian, tingkat NPL keseluruhan maupun kredit dalam valuta asing masih dalam batas aman.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 36

Grafik III.22 Pertumbuhan & NPL Kredit Korporasi

Grafik III.23 Kredit Korporasi Sektor Utama

Secara sektoral, penyaluran kredit masih didominasi oleh dua sektor ekonomi utama wilayah Jawa, yaitu

sektor industri pengolahan serta sektor perdagangan, hotel dan restoran17

. Penyaluran kredit korporasi

terbesar pada triwulan I 2015 tercatat pada sektor industri pengolahan yang mencapai Rp489,9 triliun atau

memiliki pangsa 33,7% dari total kredit korporasi, diikuti penyaluran kredit kepada sektor perdagangan hotel

dan restoran yang mencapai Rp 280,0 triliun (pangsa 19,3%). Sementara itu, penyaluran kredit pada sektor

pertanian, yang juga merupakan salah satu sektor utama di Jawa, relatif masih rendah. Kredit untuk sektor

pertanian, pada akhir triwulan I 2015 hanya mencapai Rp57,1 triliun (3,9% dari total kredit). Seperti yang

terlihat pada Grafik III.24, penyaluran kredit kepada sektor yang berada di bawah garis ambang batas NPL

secara umum masih berpotensi ditingkatkan, terutama pada subsektor jasa real estate serta sektor listrik, gas

dan air, yang memiliki pertumbuhan negatif. Demikian pula kredit pada sektor industri pengolahan, sektor

pertanian dan sektor penyediaan akomodasi dan makanan minuman, meski pertumbuhannya sudah berada di

atas rata-rata, masih dapat ditingkatkan mengingat kualitas kredit yang terjaga baik.

Secara spasial, penyaluran kredit sektor pertanian di Jawa Timur justru mengalami penurunan menjadi sebesar

15,1% pada akhir triwulan I 2015. Rendahnya porsi pembiayaan ke sektor pertanian antara lain karena asumsi

perbankan bahwa sektor pertanian memiliki risiko kredit yang cukup tinggi dibandingkan sektor lainnya. Meski

demikian, rasio NPL kredit sektor pertanian pada akhir triwulan I 2015 tercatat sebesar 1,6%, lebih rendah dari

rasio NPL kredit sektor industri pengolahan maupun sektor perdagangan besar dan eceran yang masing-

masing sebesar 2,0% dan 3,9%. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian cukup potensial untuk dibiayai,

terlebih lagi dengan adanya target swasembada pangan oleh pemerintah.

Tabel.III.3

Perbandingan Pertumbuhan dan NPL Sektoral dan Spasial

17

Berdasarkan pengelompokan sektor dengan tahun dasar 2010 terbagi menjadi sektor perdagangan besar dan eceran, serta sektor

penyediaan akomodasi dan makanan minuman

g NPL g NPL g NPL g NPL g NPL g NPL g NPL

Pertanian, Perburuan dan Kehutanan 28.38 1.60 30.27 1.59 42.25 - 31.71 0.37 40.16 0.48 11.58 30.90 -15.08 0.78

Industri Pengolahan 18.14 1.98 13.16 2.30 21.91 2.56 14.54 2.15 13.07 0.85 28.01 1.77 22.40 1.19

Listrik, Gas dan Air -5.62 1.08 -1.79 1.70 -18.18 0.71 0.32 1.16 21.63 - -9.98 0.04 -30.00 0.29

Konstruksi 40.21 3.96 42.72 5.88 94.01 1.96 38.21 3.31 186.85 2.63 21.56 2.92 21.85 6.90

Perdagangan Besar dan Eceran 11.70 3.18 28.00 1.33 13.48 4.25 8.86 3.29 16.23 0.94 20.56 2.67 10.67 3.95

Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 21.08 1.01 42.23 0.83 -36.86 3.65 24.45 0.53 25.96 0.43 38.54 3.32 3.97 1.18

Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi 3.98 2.97 20.71 2.71 1.92 0.46 1.91 3.19 21.57 4.05 -2.34 4.66 1.10 2.14

Real Estate dan Jasa Perusahaan -2.42 1.54 -4.07 4.82 -24.80 0.38 0.35 1.22 46.88 0.03 -30.59 1.27 15.93 0.46

Jawa Tengah Jawa TimurSektor Ekonomi

Jawa Jawa Barat Banten DKI Jakarta DIY

L a p o r a n N u s a n t a r a | 37

Grafik III.24 Pertumbuhan dan NPL Kredit Sektoral

Grafik III.25 Indeks Harga Properti Residensial (IHPR)

Ketahanan Sektor Rumah Tangga

Tren perlambatan ekonomi di wilayah Jawa tidak terlalu berpengaruh pada pertumbuhan penyaluran kredit di

sektor rumah tangga yaitu pada Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Pemilikan Apartemen (KPA), Kredit

Kendaraan Bermotor (KKB), dan kredit multiguna. Kredit sektor rumah tangga justru mengalami sedikit

peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Baik KPR, KPA, maupun KKB menunjukkan adanya

peningkatan pertumbuhan pada akhir triwulan I 2015. KPR yang disalurkan Bank Umum di Jawa mencapai Rp

209,6 triliun, atau tumbuh sebesar 14,0%, sedikit di atas pertumbuhan pada akhir triwulan sebelumnya

sebesar 13,7%. Pertumbuhan penyaluran kredit KPR juga sejalan dengan Indeks Harga Properti Residensial

(IHPR) yang pada triwulan I 2015 juga tumbuh moderat. Penyaluran KPA tumbuh meningkat dari 3,8% pada

akhir triwulan IV 2014 menjadi 4,3% dengan nominal Rp 25,2 triliun pada akhir triwulan I 2015. Sementara itu,

penyaluran kredit multiguna mencapai Rp 294,3 triliun, tumbuh 11,9% pada pada akhir triwulan I 2015,

meningkat dari akhir triwulan IV 2014 (tumbuh 10,3%). Dari seluruh penyaluran kredit rumah tangga, hanya

KKB yang mencatatkan pertumbuhan sebesar 11,7%, melambat dibandingkan pertumbuhan pada akhir

triwulan IV 2014 (13,9%). Perlambatan pertumbuhan kredit KKB sejalan dengan menurunnya penjualan

kendaraan roda empat.

Peningkatan penyaluran kredit di sektor rumah tangga tidak diiringi dengan perbaikan kualitas kredit.

Keseluruhan kredit sektor rumah tangga mencatat penurunan kualitas kredit dari triwulan sebelumnya. Rasio

NPL pada KPR di akhir triwulan I 2015 merupakan yang tertinggi, yakni sebesar 2,1%, lebih tinggi dibandingkan

akhir triwulan sebelumnya (1,9%). Rasio NPL pada KPA tercatat 2,0% pada akhir triwulan I 2015, meningkat

dibandingkan dengan akhir triwulan sebelumnya (1,7%). Sedangkan rasio NPL pada KKB dan kredit multiguna

relatif lebih moderat, masing-masing sebesar 0,9% dan 1,1% pada akhir triwulan IV 2014 menjadi 1,0% dan

1,2% pada akhir triwulan I 2015.

Grafik III.26 Penyaluran Kredit Sektor Rumah Tangga

Grafik III.27 NPL Kredit Sektor Rumah Tangga

L a p o r a n N u s a n t a r a | 38

Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

Pertumbuhan ekonomi wilayah Jawa yang sedang melambat juga tidak berdampak kepada penyaluran kredit

UMKM. Jumlah kredit UMKM yang disalurkan pada akhir triwulan I 2015 mencapai Rp 428,9 triliun atau

tumbuh 16,9%. Pertumbuhan tersebut meningkat apabila dibandingkan dengan pertumbuhan pada akhir

triwulan IV 2014 yang tercatat sebesar 16,9% (yoy). Capaian ini mendukung kinerja perekonomian Jawa

mengingat sektor UMKM diharapkan menjadi penopang di saat perekonomian melambat. Pertumbuhan juga

terjadi pada jumlah rekening UMKM. Jumlah rekening pada triwulan I 2015 tercatat sebesar 17.791.362,

meningkat hingga 32,9% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Hal tersebut

menjadi salah satu indikasi meningkatnya aksesibilitas masyarakat terhadap kredit UMKM. Sementara itu,

kualitas kredit UMKM tercatat menurun dengan rasio NPL pada akhir triwulan I 2015 tercatat sebesar 3,8%,

lebih tinggi dari akhir triwulan sebelumnya yang sebesar 3,4%. Dilihat dari porsinya terhadap total penyaluran

kredit secara umum, porsi kredit UMKM tercatat sebesar 16,7%, meningkat dari triwulan sebelumnya yang

sebesar 16,5%.

Grafik III.28 Penyaluran Kredit UMKM

Grafik III.29 Pertumbuhan & NPL Kredit UMKM

Kinerja Sistem Pembayaran

Pada triwulan I 2015, nilai transaksi nontunai dari penggunaan fasilitas BI RTGS tumbuh sebesar 8,3% (yoy),

yang ditopang oleh transaksi di DKI Jakarta sebagai kontributor terbesar dengan porsi 87,57% dari total

transaksi wilayah Jawa. Sebagaimana polanya pada awal tahun, transaksi RTGS dan SKN di wilayah Jawa

mengalami penurunan. Hal ini juga dipengaruhi oleh melambatnya kegiatan perekonomian wilayah Jawa.

Faktor lain yang memperlambat pertumbuhan RTGS adalah larangan transaksi dengan nominal di bawah 100

juta rupiah menggunakan RTGS. Sementara itu, kegiatan transaksi yang menggunakan SKNBI pada triwulan I

2015 menunjukkan pertumbuhan sebesar 11,7% (yoy). Volume transaksi dengan menggunakan SKNBI

mengalami penurunan pada triwulan I 2015, sesuai dengan polanya pada awal tahun.

Grafik III.30 Transaksi RTGS

Grafik III.31 Transaksi Kliring

L a p o r a n N u s a n t a r a | 39

Kinerja Pengelolaan Uang Tunai

Berdasarkan data pengelolaan uang tunai yang diperoleh hingga triwulan I 2015, secara umum wilayah Jawa

lebih banyak menerima uang masuk (cash inflow) dibandingkan dengan uang yang keluar (cash outflow).

Sesuai dengan polanya, pada triwulan I 2015 lebih banyak terjadi penyetoran uang Rupiah, sementara pada

triwulan berikutnya cenderung akan lebih banyak terjadi penarikan uang rupiah. Apabila dilihat secara spasial,

seluruh provinsi di wilayah Jawa, kecuali DKI Jakarta lebih banyak menerima penyetoran uang bila

dibandingkan dengan penarikan uang. Sementara di DKI Jakarta, penarikan uang rupiah lebih dominan

(Rp10,86 triliun pada triwulan I 2015) yang terkait dengan karakter Jakarta sebagai daerah konsumen. Secara

keseluruhan, wilayah Jawa mengalami net inflow sebesar Rp37,5 triliun pada triwulan I 2015, lebih tinggi

dibandingkan dengan priode yang sama pada tahun 2014 yang mengalami net inflow sebesar Rp30,2 triliun.

Adapun Jawa Barat merupakan provinsi yang menerima penyetoran uang rupiah terbesar, yakni sebesar Rp5,9

triliun.

Grafik III.32 Perkembangan Netflow

Grafik III.33 Temuan UPAL

Dari sisi penemuan Uang Palsu (UPAL), jumlah laporan yang diterima terkait UPAL mengalami peningkatan

pada triwulan I 2015. Tercatat ditemukan sebanyak 39.957 lembar UPAL yang merupakan penemuan terbesar

dalam 3 tahun terakhir. Penemuan UPAL ini didorong oleh meningkatnya pemahaman masyarakat dan

perbankan terhadap uang palsu serta peran aktif kepolisian yang bekerja sama dengan instansi-instansi terkait

dalam menindak pelaku pemalsuan uang.

PROSPEK PEREKONOMIAN

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi Jawa diproyeksikan sedikit lebih tinggi pada tahun 2015. Prospek pertumbuhan Jawa

berada pada batas atas kisaran 5,5%-5,9%. Optimisme perbaikan ekonomi Jawa bersumber dari Jawa Barat,

Jawa Tengah dan Banten, sementara kinerja perekonomian Jawa Timur relatif terjaga. Di sisi lain,

perekonomian DKI Jakarta dan Yogyakarta diperkirakan tumbuh melambat. Kondisi ini sejalan dengan

terjaganya persepsi masyarakat dan pelaku usaha atas kondisi perekonomian dan prospek perbaikan kinerja

perdagangan luar negeri. Selain itu, juga terdapat dukungan belanja infrastruktur serta insentif fiskal pada

industri dalam negeri.

Dari sisi penawaran, sumber pertumbuhan disumbang oleh sektor ekonomi utama wilayah Jawa, yakni sektor

perdagangan besar dan eceran, sektor industri pengolahan, serta sektor pertanian. Optimisme membaiknya

kinerja perdagangan luar negeri di Jawa Barat, Jawa Timur dan Yogyakarta, seiring dengan positifnya

pertumbuhan ekonomi beberapa negara mitra dagang utama, yaitu Jepang, Eropa dan ASEAN. Adapun

pertumbuhan yang tinggi diproyeksikan pada sektor pertanian, yang didukung oleh lebih kondusifnya faktor

cuaca dan komitmen pemerintah dalam peningkatan produksi kelompok tanaman pangan dan hortikultura,

serta masuknya investasi swasta pada sektor pertanian. Adapun, pelaku usaha pada sektor industri

pengolahan masih mempertimbangkan adanya downside risk terkait kenaikan biaya produksi dari upah, biaya

L a p o r a n N u s a n t a r a | 40

energi dan bahan baku, meski iklim usaha relatif terjaga. Selain itu, relatif lebih lambatnya perbaikan ekonomi

Amerika Serikat dan Tiongkok serta pelemahan kinerja ekonomi Sumatera dan Kalimantan yang menjadi pasar

tujuan bagi produk manufaktur Jawa juga turut memengaruhi kinerja sektoral di Jawa.

Prospek Inflasi

Inflasi Jawa pada tahun 2015 diprakirakan lebih rendah dibandingkan dengan inflasi tahun 2014 dan masih

selaras mendukung target sasaran inflasi nasional tahun 2015 (4,0% ± 1%). Tekanan inflasi pada tahun 2015

diprediksi masih akan mengikuti pola historis inflasi inti dan volatile food yang meningkat seiring dengan

kenaikan permintaan pada musim lebaran dan tahun ajaran baru. Fokus pemerintah dalam merealisasikan

pembangunan infrastruktur juga berpotensi mendorong kenaikan harga-harga pada kelompok komoditas inti.

Dari kelompok administered prices, tekanan inflasi diprakirakan berasal dari dampak tradisi mudik lebaran

yang berpotensi meningkatkan tarif angkutan transportasi jarak jauh, risiko kenaikan harga minyak dunia yang

akan ditransmisikan ke penyesuaian harga BBM, serta fluktuasi nilai tukar rupiah yang berpotensi

memengaruhi biaya energi (BBM, TTL, gas, BBM).

Sementara itu, faktor penahan inflasi diperkirakan berasal dari upaya pemerintah dalam mendukung

peningkatan produksi dan produktivitas pangan melalui peningkatan kapasitas dan kualitas infrastruktur

pertanian. Selain itu, penyesuaian harga BBM oleh Pemerintah yang dilakukan secara berkala, diharapkan

dapat mengurangi shock kenaikan harga BBM yang signifikan. Dari sisi kelompok volatile food, pemerintah

daerah terus bekerja sama dengan para petani, di antaranya menjaga kesinambungan produksi cabai melalui

program GTCK (Gerakan Tanam Cabai Kemarau). TPID di wilayah Jawa juga terus berupaya untuk melakukan

percepatan implementasi rencana program kerja yang telah disusun untuk tahun 2015. Pada keseluruhan

tahun 2015, inflasi Jawa diharapkan berada dalam rentang 3,9% - 4,3% (yoy).

L a p o r a n N u s a n t a r a | 41

Tabel Indikator Ekonomi Makro Wilayah Jawa

I II III IV I IIPDRB (%,yoy) - 5.5 5.3 5.5 6.1 5.6 5.2 5.6 5.4 - 5.7

Sisi Permintaan -Konsumsi Rumah Tangga - 5.0 4.7 4.5 5.3 4.8 4.8 5.3 4.9 - 5.2Konsumsi LNPRT - 25.2 25.9 5.0 (2.7) 12.8 (11.5) (5.6) (3.5) - (3.2)Konsumsi Pemerintah - (3.5) 1.4 8.9 4.8 2.9 1.0 3.7 3.4 - 3.7Pembentukan Modal Tetap Bruto - 6.3 4.6 3.8 4.7 4.8 4.6 6.2 5.3 - 5.6Ekspor - 5.6 (2.6) 9.3 14.2 6.5 8.8 11.9 8.9 - 9.2Impor - 0.9 (2.3) 1.5 9.8 2.3 1.4 6.6 4.4 - 4.7Net Ekspor Antar Daerah (2.7) (2.0) (22.4) 25.5 (1.7) 5.3 6.1 (1.7) - (1.3)

Sisi ProduksiPertanian, Kehutanan, dan Perikanan - (0.2) 1.2 1.3 0.7 0.8 2.1 1.8 1.6 - 1.9

Pertambangan dan Penggalian - 1.4 4.2 5.8 3.1 3.5 0.3 5.8 2.2 - 2.5

Industri Pengolahan - 6.7 5.5 5.2 6.2 5.9 4.9 5.3 5.6 - 5.9Pengadaan Listrik dan Gas - 3.9 6.9 5.4 0.4 4.1 (4.3) 5.5 2.7 - 3.0Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang - 3.4 3.2 2.9 3.8 3.3 5.3 4.0 3.7 - 4.0Konstruksi - 6.6 5.8 5.0 4.6 5.4 4.7 4.9 4.9 - 5.2Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor - 4.2 4.0 5.0 4.6 4.4 4.5 4.9 4.9 - 5.2Transportasi dan Pergudangan - 6.5 5.6 6.3 8.2 6.7 7.4 7.2 7.0 - 7.3Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum - 7.3 9.3 11.5 9.5 9.4 7.0 6.7 6.2 - 6.5Informasi dan Komunikasi - 11.0 10.8 11.4 11.3 11.1 10.5 11.2 10.2 - 10.5Jasa Keuangan dan Asuransi - 2.1 4.4 2.4 10.5 4.8 7.7 5.8 5.9 - 6.2Real Estate - 6.0 6.0 6.1 6.2 6.1 5.6 5.9 5.6 - 5.9Jasa Perusahaan - 8.5 9.0 9.3 8.8 8.9 7.1 7.1 6.8 - 7.1Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib - 1.5 0.5 1.7 5.4 2.3 3.1 3.6 2.7 - 3.0Jasa Pendidikan - 6.6 7.7 8.6 6.6 7.4 5.9 7.4 6.2 - 6.5Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial - 8.7 10.0 8.7 8.1 8.9 8.2 7.5 7.4 - 7.7Jasa lainnya - 7.9 8.5 8.4 7.9 8.2 7.7 7.4 7.1 - 7.4

DKI Jakarta - 5.9 6.1 5.6 6.2 6.0 5.1 5.2 5.3 - 5.6Jawa Barat - 4.7 5.2 5.1 5.5 5.1 4.9 5.3 5.2 - 5.5Banten - 4.7 4.7 4.4 8.0 5.5 5.7 5.8 5.4 - 5.7Jawa Tengah - 5.7 4.2 5.7 6.2 5.4 5.6 5.9 5.6 - 5.9DI Yogyakarta - 6.2 4.8 5.6 4.3 5.2 4.2 5.4 4.9 - 5.2Jawa Timur - 5.9 5.6 5.9 6.0 5.9 5.2 6.0 5.7 - 6.0

Indikator Makroekonomi Daerah 20132014

Tahun Dasar 2010

20142015

2015

I II III IV I II III IV I II III IV I II IV

Inflasi IHK (%,yoy) - 3.76 4.27 4.41 4.27 6.08 6.09 8.55 8.37 7.47 7.09 4.44 8.35 6.31 6.93 - 7.23 3.90 - 4.20DKI Jakarta - 4.12 4.12 3.97 4.52 5.70 5.67 8.38 8.00 7.77 7.66 5.05 8.95 7.10 7.70 - 8.00 4.10 - 4.40Jawa Barat - 3.34 4.04 4.83 3.85 5.80 6.64 9.15 9.04 7.95 6.48 3.59 7.60 5.46 6.40 - 6.70 3.38 - 3.68Banten - 3.81 4.50 4.59 4.37 6.82 6.99 9.78 9.65 8.47 7.85 5.53 10.20 7.46 7.89 - 8.19 4.25 - 4.55Jawa Tengah - 3.46 4.59 4.49 4.24 6.24 5.44 7.72 7.99 6.65 7.18 4.66 8.21 5.64 6.15 - 6.45 4.03 - 4.33DI Yogyakarta - 3.45 4.28 3.90 4.31 6.36 5.67 7.60 7.32 5.81 6.14 4.29 6.59 5.12 5.24 - 5.54 3.79 - 4.09

Jawa Timur - 3.97 4.62 4.51 4.50 6.76 5.93 7.78 7.59 6.24 6.73 4.13 7.77 6.17 6.51 - 6.81 4.01 - 4.31

Kredit Perbankan (%, yoy) 18.4 23.5 24.2 21.2 23.2 22.6 21.0 24.5 22.6 20.8 18.5 14.0 12.1 11.7DPK (%, yoy) 18.2 19.6 21.7 20.1 16.2 15.9 15.3 17.6 14.5 12.4 13.6 13.1 12.8 17.0LDR (Lokasi Proyek) 71.5 72.8 75.5 76.3 75.8 77.0 79.2 80.8 81.1 82.7 82.6 81.5 80.6 79.0LDR (Lokasi Bank) 78.0 79.7 82.3 83.2 82.3 83.7 86.0 87.9 88.0 89.6 89.4 88.3 87.3 85.5NPL 2.2 2.4 2.2 2.0 2.0 1.9 1.7 1.7 1.6 1.8 1.9 2.1 1.9 2.2

-----

2014 2015Indikator 2011

2012 2013

L a p o r a n N u s a n t a r a | 42

BOKS Dampak Kebijakan Penghapusan Subsidi BBM di Jawa

Keputusan Pemerintah untuk menghapus subsidi BBM dinilai tepat dalam rangka mengoptimalkan sumber

daya keuangan negara yang terbatas (budget constraint) agar tepat sasaran pada program pembangunan yang

produktif mendukung perekonomian khususnya dalam jangka menengah panjang. Penghapusan subsidi

membuat harga BBM saat ini mengikuti harga keekonomian dengan penyesuaian dikaji setiap 3 bulannya.

Beradsarkan hasil survei, hal ini selain berdampak pada pengeluaran rumah tangga, juga memengaruhi

kegiatan dunia usaha, khususnya di Jawa.

Dari sisi pelaku usaha, kebijakan penghapusan subsidi berdampak pada penurunan penjualan, terutama

kelompok usaha kecil. Secara sektoral, pelaku usaha yang paling merasakan dampaknya adalah sektor

perdagangan, sektor industri pengolahan serta sektor transportasi dan perdagangan., Bagi usaha skala kecil,

penyesuaian harga jual terpaksa dilakukan sesuai dengan pergerakan harga BBM, sementara usaha skala besar

dan menengah cenderung mempertahankan harga jual untuk menjaga daya saingnya di pasar. Kondisi ini

secara umum berpengaruh kepada penurunan margin perusahaan. Namun, para pelaku usaha berharap dana

realokasi BBM dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur pendukung konektivitas yang sangat

dibutuhkan dalam rangka menurunkan biaya distribusi barang.

Grafik 1 Harapan Masyarakat Pasca Penghapusan Subsidi BBM

Grafik 2 Realokasi Subsidi BBM yang diharapkan oleh Pelaku Usaha

Respon rumah tangga atas kenaikan harga BBM yang berdampak pada penyesuaian harga barang dan jasa

adalah mengurangi pengeluaran kelompok hiburan dan makanan jadi. Di sisi lain, penurunan harga BBM

terindikasi tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap harga barang (faktor rigiditas harga). Secara umum,

rumah tangga berharap terjaganya harga pangan, disamping ekspektasi harga BBM dapat di bawah Rp 7.500,-

/liter baik solar maupun premium.

Tabel 1 Simulasi Elastisitas Harga BBM & Inflasi Bensin

Grafik 3 Dampak Penghapusan Subsidi BBM secara Spasial

L a p o r a n N u s a n t a r a | 43

Berdasarkan hasil simulasi dampak penghapusan subsidi BBM terhadap inflasi, terkonfirmasi bahwa ketika

harga BBM turun, inflasi komoditas bensin di Jawa juga turun dengan elastisitas sebesar -1,05. Secara spasial,

elastisitas terbesar terdapat di Jawa Tengah dan DIY sebesar -1,07. Hal ini mengindikasikan pelaku usaha

langsung menurunkan harga jual bensin ecerannya ketika terjadi penurunan harga BBM. Sementara itu, ketika

harga BBM naik, inflasi bensin meningkat dengan elastisitas lebih besar, yaitu 1,10. Kenaikan harga bensin

eceran tertinggi paska kenaikan harga BBM terindikasi di Jawa Timur dengan elastisitas sebesar 1,13. Secara

keseluruhan, kebijakan penghapusan subsidi BBM, diperkirakan berpotensi menambah inflasi Jawa di kisaran

1,14% (yoy) pada tahun 2015, dengan dampak terbesar di Jawa Timur sebesar 1,21% (yoy).

L a p o r a n N u s a n t a r a | 45

Bagian IV

Perekonomian Kalimantan

PERTUMBUHAN EKONOMI

Perekonomian Kalimantan pada triwulan I 2015 melambat sangat dalam dan merupakan yang terendah

sepanjang sepuluh tahun terakhir. Kontraksi perekonomian Kalimantan Timur menjadi faktor utama

perlambatan perekonomian Kalimantan. Membaiknya kinerja perekonomian Kalimantan Barat dan Kalimantan

Tengah, tidak mampu mempertahankan kinerja perekonomian Kalimantan mengingat kontraksi perekonomian

yang cukup dalam di Kalimantan Timur. Sementara itu, perekonomian Kalimantan Selatan masih tumbuh

stabil. Perkembangan harga dan permintaan batubara yang belum menunjukkan perbaikan berdampak negatif

pada kegiatan sektor pertambangan di Kalimantan. Selain itu, lifting gas juga mengalami penurunan, sehingga

ikut menyumbang kontraksi yang terjadi di sektor pertambangan dan industri di Kalimantan. Masih rendahnya

harga komoditas global, melemahnya permintaan, serta permasalah pada produksi gas tersebut kemudian

menyebabkan ekspor luar negeri mengalami kontraksi atau tumbuh negatif.

Memasuki triwulan II 2015, berbagai indikator ekonomi di berbagai daerah Kalimantan mengindikasikan

adanya sedikit perbaikan kinerja ekonomi Kalimantan. Di satu sisi, harga komoditas batubara di pasar global

yang masih rendah dan perlambatan ekonomi Tiongkok, yang diduga bersifat struktural, berpengaruh pada

terbatasnya perbaikan aktivitas ekonomi Kalimantan. Di sisi lain, peningkatan produksi pertanian akan menjadi

faktor pendorong membaiknya kinerja ekonomi Kalimantan triwulan II 2015. Diperkirakan perbaikan pertanian

akan berlanjut sampai akhir tahun sehingga menjadi penopang ekonomi pada triwulan III dan IV. Meski

demikian untuk keseluruhan tahun 2015, perekonomian Kalimantan diprakirakan masih akan tumbuh

melambat. Hal tersebut dipicu oleh kinerja sektor pertambangan yang secara keseluruhan tahun 2015, belum

mengalami perbaikan secara signifikan.

Konsumsi

Konsumsi Swasta

Konsumsi swasta (konsumsi rumah tangga dan konsumsi lembaga swasta nirlaba) berbagai daerah di

Kalimantan tumbuh melambat pada triwulan I 2015. Hal ini sejalan dengan perlambatan kinerja sektor-sektor

utama di Kalimantan. Harga komoditas ekspor yang masih rendah berdampak pada pendapatan masyarakat

yang cenderung melemah, sejalan dengan menurunnya optimisme konsumen dalam melihat perekonomiaan

saat ini (Grafik IV.1). Lebih lanjut lagi survei tendensi konsumen juga mengindikasikan adanya penurunan

ketersediaan lapangan kerja dan konsumsi barang dibandingkan dengan periode sebelumnya. Selain itu,

melemahnya konsumsi swasta juga tercermin pada penyaluran kredit konsumsi yang juga melambat.

Grafik IV.1 Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)

Grafik IV.2 Indeks Tendensi Konsumen

L a p o r a n N u s a n t a r a | 46

Memasuki triwulan II 2015, berbagai indikator konsumsi rumah tangga mulai menunjukkan perbaikan dalam

level terbatas hampir di semua provinsi. Optimisme konsumen dalam memandang perekonomian ke depan

meningkat, terkonfirmasi dari Indeks Tendensi Konsumen dan indeks ekspektasi konsumen hasil survei

konsumen yang meningkat pada triwulan II 2015. (Grafik IV.1 dan Grafik IV.2).

Konsumsi Pemerintah

Konsumsi pemerintah pada triwulan I 2015 masih tumbuh pada level yang rendah. Hal ini sejalan dengan lebih

rendahnya anggaran belanja pemerintah daerah pada APBD 2015 dibandingkan tahun sebelumnya, khususnya

di provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Menurunnya anggaran belanja di Kalimantan Timur dan

Kalimantan Utara tahun 2015, disebabkan olah lebih rendahnya anggaran pendapatan daerah, khususnya dari

Dana Bagi Hasil (DBH), akibat kinerja pertambangan yang buruk. Kondisi yang tidak kondusif ini, diperburuk

oleh realisasi APBD Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara yang masih minim. Realisasi APBD di kedua

provinsi tersebut di bawah rata-rata realisasi APBD seluruh provinsi di Indonesia, bahkan masuk dalam tiga

provinsi dengan realisasi terendah.

Pada triwulan II 2015 diperkirakan akan terjadi peningkatan konsumsi pemerintah untuk mengejar realisasi

anggaran keseluruhan tahun 2015. Di sisi lain terdapat faktor risiko dalam konsumsi pemerintah terkait

turunnya harga komoditas dan produksi migas serta batubara, sehingga menurunkan lebih dalam pendapatan

dalam bentuk Dana Bagi Hasil (DBH), yang pada akhirnya akan mengganggu kapasitas belanja daerah.

Sumber: DJPK Kemenkeu, (diolah)

Sumber : DJPK Kemenkeu (diolah) Gambar IV.1

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara Tahun 2015 dibandingkan dengan Tahun 2014

Grafik IV.3 Perkembangan DBH dan Harga Internasional Batubara dan

Minyak

Investasi

Investasi di berbagai daerah di Kalimantan pada triwulan I 2015 secara agregat mengalami perlambatan. Hal

ini terindikasi dari pertumbuhan realisasi nilai penanaman modal asing (PMA) yang lebih rendah dibandingkan

dengan periode sebelumnya, (Grafik IV.4). Melemahnya investasi juga terkonfirmasi dari hasil survei dan

liaison. Hasil survei kegiatan dunia usaha (SKDU) menunjukkan bahwa kegiatan investasi di sektor industri dan

pertambangan masih lemah, tercermin dari Saldo Bersih Tertimbang (SBT) yang negatif (Grafik IV.5). Lesunya

prospek batubara ke depan menjadi faktor penghambat investasi di sektor pertambangan oleh pelaku usaha.

Di sisi lain, investasi di sektor pertanian masih cukup baik, khususnya di Kalimantan Selatan. Hasil SKDU juga

mengindikasikan bahwa pelemahan investasi terjadi hampir di seluruh Kalimantan (Grafik IV.6).

4%

Pendapatan PAD

9%7%

DBH DAU

16%

Lainnya

12%

Belanja Pegawai

14%

Barang/Jasa

21%

Modal

13%

Lainnya

6%

5%

L a p o r a n N u s a n t a r a | 47

Sumber: BKPM, diolah

Grafik IV.4 Realisasi PMA di Kalimantan

Grafik IV.5 Investasi Hasil SKDU

Grafik IV.6

Investasi Berdasar Sektoral Hasil SKDU Grafik IV.7

Investasi Berdasar Provinsi Hasil SKDU

Memasuki triwulan II 2015, kinerja investasi diprakirakan sedikit membaik. Peningkatan kinerja investasi

terutama didorong oleh prakiraan perbaikan investasi di Kalimantan Tengah (Grafik IV.8). Sementara itu,

investasi di provinsi lain belum mengindikasikan adanya perbaikan yang cukup signifikan, bahkan investasi di

Kalimantan Barat diprakirakan melambat. Melonjaknya investasi di Kalimantan Tengah terutama ditopang oleh

pembangunan infrastruktur oleh pemerintah. Di sisi lain, peran swasta dalam mendukung investasi di

Kalimantan masih kurang. Hal ini menjadi salah satu penyebab terbatasnya perbaikan investasi di Kalimantan.

Dari kegiatan liaison kepada beberapa pelaku usaha di sektor pertambangan dan industri migas diperoleh

informasi yang mengonfirmasi rendahnya keterlibatan swasta pada investasi di Kalimantan, sebagaimana

tercermin dari grafik likert scale yang dalam tren menurun (Grafik IV.9). Kontak liaison menyatakan belum

akan melakukan investasi dalam waktu dekat.

Grafik IV.8 Pertumbuhan Investasi PDRB di Kalimantan

Grafik IV.9 Perkiraan Investasi Hasil Liaison dan SKDU

L a p o r a n N u s a n t a r a | 48

Perdagangan Luar Negeri

Ekspor

Kinerja ekspor luar negeri Kalimantan pada triwulan I 2015 masih meneruskan tren pelemahan. Kontraksi

ekspor yang terjadi pada triwulan I 2015, terkonfirmasi dari likert scale penjualan ekspor yang tercatat masih

berada di area negatif (Grafik IV.10). Ekspor utama Kalimantan, yang mengalami penurunan, yaitu batubara,

crude palm oil (CPO) dan karet (Grafik IV.11). Penurunan ekspor terjadi di sebagian besar negara tujuan ekspor

Kalimantan, kecuali Eropa (Grafik IV.12). Penurunan ekspor paling dalam terjadi pada komoditas CPO dengan

negara tujuan ekspor utama Tiongkok dan India. Kondisi ekonomi mitra dagang utama, yang masih tertekan,

menjadi salah satu penyebab turunnya permintaan terhadap ekspor Kalimantan.

Grafik IV.10 Likert Scale Penjualan Ekspor

Grafik IV.11 Pertumbuhan Ekspor Berdasar Komoditas

Grafik IV.12

Pertumbuhan Tahunan Ekspor Berdasar Negara Tujuan Utama Grafik IV.13

Perkiraan Pertumbuhan Ekspor PDRB

Memasuki triwulan II 2015, berbagai indikator kinerja ekspor luar negeri Kalimantan mulai menunjukkan

perbaikan, meski dalam level yang terbatas. Perbaikan terutama didorong oleh Kalimantan Selatan, yaitu dari

sektor perkebunan. Terbatasnya perbaikan ekspor Kalimantan disebabkan oleh masih lemah kinerja ekspor

pertambangan. Ekspor batubara diperkirakan belum menunjukkan perbaikan. Hal tersebut tidak terlepas dari

perlambatan perekonomian Tiongkok, yang masih berlanjut, sehingga permintaan impor negara tersebut tetap

lemah. Selain itu, Tiongkok juga mulai membatasi impor batubara dan lebih mengutamakan penggunaan

batubara dalam negeri. Demikian pula halnya dengan ekspor migas, diperkirakan masih akan terus terkontraksi

karena belum ditemukannya sumur migas baru. Sementara itu, ekspor bahan olahan mineral, yang semula

diproyeksi akan mulai menggeliat pada triwulan II tahun 2015, diperkirakan belum akan terjadi. Hal tersebut

terkait dengan masih terbatasnya kemampuan smelter dalam mendorong ekspor pada triwulan II.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 49

Impor

Pertumbuhan impor dari luar negeri ke berbagai daerah di Kalimantan pada triwulan I 2015 tercatat malambat

dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, hampir untuk semua jenis barang. Perlambatan terdalam terjadi

untuk jenis barang modal yang juga terkorfirmasi oleh kegiatan liaison kepada pelaku usaha di bidang

pertambangan dan pengangkutan batubara, yang menyatakan perusahaan cenderung menahan pembelian

barang modal karena faktor harga jual batubara di pasar internasional yang masih rendah. Penurunan impor

barang modal tersebut sejalan dengan perlambatan investasi. Di samping barang modal, penurunan impor

juga terjadi untuk bahan baku.

Untuk triwulan II 2015, impor luar negeri diprakirakan naik, didorong oleh peningkatan impor dari Kalimantan

Timur dan Kalimantan Tengah. Kebutuhan impor meningkat, terutama untuk jenis barang modal dan bahan

baku. Peningkatan impor barang modal, terkait dengan dimulainya proses pembangunan infrastruktur di

Kalimantan Tengah serta pembangunan smelter di Kalimantan Barat. Sementara itu, impor bahan baku yang

meningkat didorong oleh besarnya kebutuhan pupuk untuk perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Timur,

seiring usia tanaman yang relatif masih muda.

Grafik IV.14 Pertumbuhan Impor Tahunan

Grafik IV.15 Perkiraan Pertumbuhan Tahunan Impor PDRB

Kinerja Sektor Utama Daerah

Sektor Pertambangan

Pada triwulan I 2015 kinerja sektor pertambangan di Kalimantan menurun cukup signifikan. Pertumbuhan

sektor pertambangan mengalami kontraksi 1,2%, dari sebelumnya tumbuh 4,5%. Penurunan kinerja

pertambangan tersebut sebagai akibat dari kontraksi yang cukup dalam sektor tersebut di Kalimantan Timur.

Sektor pertambangan di Kalimantan Timur mengalami kontraksi 2%, jauh lebih rendah dari periode

sebelumnya yang mampu mencatat pertumbuhan 6%.

Melemahnya kinerja pertambangan terutama dipicu oleh turunnya produksi batubara dan migas Kalimantan.

Pada triwulan I 2015 produksi batubara turun sangat dalam, hingga 38,86% (yoy) dari periode sebelumnya

yang tumbuh 1,91% (yoy) (Grafik IV.16). Berkurangnya produksi batubara antara lain disebabkan oleh turunnya

permintaan dari Tiongkok hingga 50%, sejalan dengan pelemahan perekonomian negara tersebut. Sementara

itu, ekspor batubara ke India tumbuh melambat (Grafik IV.17). Kondisi ini berbeda dengan perkiraan semula,

yang mengharapkan akan terjadi peningkatan permintaan batubara dari India, sehubungan dengan perkiraan

masih tingginya kebutuhan batubara untuk pembangkit listrik di India. Di sisi migas, penurunan produksi

disebabkan oleh kondisi sumur-sumur tambang yang sudah tua dan tidak lagi produktif (Grafik IV. 18 dan

IV.19). Upaya peningkatan kapasitas produksi, melalui kegiatan eksplorasi untuk menemukan sumber-sumber

baru, relatif terbatas.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 50

Grafik IV.16 Produksi Batubara Kalimantan

Grafik IV.17 Pertumbuhan tahunan Ekspor Tambang Batubara

Berdasarkan Negara Tujuan, %

Grafik IV.18

Lifting Gas Kalimantan Grafik IV.19

Lifting Minyak Kalimantan

Pada triwulan II 2015, pertumbuhan sektor pertambangan diprakirakan masih mengalami perlambatan,

terutama karena belum membaiknya pertambangan batubara dan migas. Lesunya perekonomian Tiongkok

dan kebijakan Tiongkok yang mengutamakan produksi dalam negeri, serta sudah mencukupinya stok batubara

Korea Selatan sampai dengan triwulan II tahun 2015, menjadi faktor penahan kinerja produksi batubara. Selain

itu, terdapat risiko pasar batubara Indonesia akan diambil oleh Australia. Pada pertambangan migas,

penurunan lifting juga masih akan terus terjadi, mengingat umur sumur-sumur migas di Kalimantan yang

sudah tua dan belum ada investasi yang signifikan dalam waktu dekat.

Sektor Industri Pengolahan

Industri pengolahan Kalimantan pada triwulan I 2015 tumbuh melambat disebabkan oleh menurunnya kinerja

industri pengolahan migas. Penurunan lifting migas mengakibatkan rendahnya kegiatan pada industri

pengolahan migas. Selain industri migas, penurunan kegiatan usaha juga terjadi pada industri nonmigas,

terutama industri olahan hasil perkebunan. Hal ini sejalan dengan melemahnya kinerja perkebunan. Turunnya

produksi tandan buah segar (TBS) dan terbatasnya produksi getah karet, menyebabkan terhambatnya pasokan

bahan baku ke industri olahan perkebunan, seperti CPO dan industri pengolahan karet. Hal ini terjadi terutama

di Kalimantan Barat.

Pada triwulan II 2015, perkembangan industri diperkirakan masih terkontrkasi, meski tidak sedalam periode

sebelumnya. Industri migas diperkirakan masih menjadi penahan laju pertumbuhan sektor industri. Di sisi lain,

industri CPO diperkirakan akan mengalami peningkatan, terutama di Kalimantan Timur, sejalan dengan mulai

berproduksinya perkebunan sawit hasil investasi produksi sebelumnya.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 51

Sektor Pertanian

Pertumbuhan sektor pertanian Kalimantan pada triwulan I 2015 melambat dibandingkan dengan triwulan

sebelumnya. Penurunan kinerja tersebut terjadi hampir di seluruh provinsi di Kalimantan. Perlambatan

didorong oleh subsektor tanaman bahan makanan (tabama) dan perkebunan. Adanya banjir di Kalimantan

Selatan, membuat panen bergeser ke triwulan II 2015.

Perkembangan berbagai indikator pertanian di Kalimantan mengindikasikan adanya perbaikan kinerja sektor

pertanian pada triwulan II 2015. Pertumbuhan sektor pertanian yang meningkat, didorong oleh peningkatan

produksi tabama dan perkebunan. Produksi tabama di Kalimantan Selatan diperkirakan naik terkait pergesaran

musim panen, di samping mulai tampaknya hasil implimentasi program dari pemerintah pusat untuk

swasembada pangan di seluruh provinsi di Kalimantan. Pemerintah menetapkan target produksi beras pada

tahun 2015 di Kalimantan sebesar 5,82 juta ton atau naik 21,89% (yoy) dibandingkan dengan tahun 2014.

Target peningkatan produksi beras ini sangat tinggi dibandingkan dengan historis, dengan rata-rata kenaikan

produksi beras hanya 1,67%. Beberapa upaya khusus yang dilakukan sepanjang tahun 2015 untuk mencapai

target produksi tersebut di antaranya perbaikan jalan, optimasi lahan, pengembangan metode SRI, serta

pemberian bantuan alat dan mesin pertanian. Pembiayaan semua program ini menggunakan anggaran APBNP.

PERKEMBANGAN INFLASI

Tekanan inflasi Kalimantan pada triwulan I 2015 menurun dibandingkan dengan akhir tahun 2014. Inflasi

Kalimantan pada periode tersebut tercatat sebesar 7,31% (yoy), lebih rendah dari inflasi pada akhir tahun 2014

yang mencapai 7,87% (yoy). Kendati demikian level inflasi Kalimantan masih lebih tinggi dibandingkan dengan

inflasi nasional sebesar 6,38% (yoy). Secara spasial, Kalimantan Tengah tercatat sebagai satu-satunya daerah

yang mengalami inflasi di bawah angka inflasi nasional, yaitu sebesar 5,90% (yoy). Meredanya tekanan inflasi

Kalimantan antara lain didukung oleh kelompok administered prices, akibat turunnya harga BBM pada bulan

Januari dan Februari 2015. Sementara itu, inflasi kelompok volatile foods meningkat, didorong oleh

berkurangnya pasokan beras akibat belum panen, serta berkurangnya hasil tangkapan ikan segar dan hasil

panen sayuran. Kondisi cuaca yang kurang mendukung juga berdampak terhadap berkurangnya stok barang di

Kalimantan, yang sebagian besar didatangkan dari luar Kalimantan. Pada kelompok inti, tekanan inflasi

didorong oleh peningkatan tarif sewa rumah dan harga nasi dengan lauk.

Sumber: BPS, diolah

Sumber: BPS, diolah

Grafik IV.20 Perkembangan Inflasi Kalimantan dan Indonesia

Grafik IV.21 Disagregasi Inflasi Kalimantan

Memasuki bulan April 2015, inflasi Kalimantan masih terus melanjutkan tren penurunan. Inflasi April tercatat

lebih rendah dari akhir triwulan I 2015 menjadi 7,21% (yoy), meskipun tetap lebih tinggi dibandingkan inflasi

nasional sebesar 6,79% (yoy). Menurunnya tekanan inflasi didukung oleh melemahnya tekanan harga

kelompok volatile food, seperti daging ayam ras, ikan segar, dan sayur mayur di sebagian besar wilayah

Kalimantan. Sementara itu, inflasi inti pada bulan April 2015 relatif stabil tercatat sebesar 5,95% (yoy). Di sisi

L a p o r a n N u s a n t a r a | 52

lain, inflasi kelompok administered prices meningkat, dari 10,36% (yoy) menjadi 11,82% (yoy), didorong oleh,

meningkatnya harga bensin dan tarif angkutan dalam kota sebagai dampak kenaikan BBM pada akhir Maret

2015. Selain itu kenaikan elpiji awal Maret, juga memberikan andil inflasi yang cukup besar.

Pada triwulan II 2015, inflasi Kalimantan diperkirakan akan tetap terkendali. Kesiapan TPID dalam menyambut

bulan Ramadhan, diperkirakan dapat menjaga pasokan bahan makanan secara cukup, sehingga pergerakan

harga komoditas kelompok volatile foods diperkirakan tidak memberikan tekanan yang besar pada inflasi

triwulan II. Selain terjaganya pasokan bahan pangan, terkelolanya ekspektasi harga masyarakat memasuki

Ramadhan turut membantu terkendalinya inflasi di Kalimantan. Kondisi cuaca yang relatif baik, ditandai

dengan penurunan curah hujan, berdampak positif terhadap produksi sayur mayur serta hasil tangkapan ikan

segar. Inflasi inti diperkirakan masih stabil, sejalan dengan masih terbatasnya konsumsi masyarakat. Di sisi lain,

inflasi administered prices diperkirakan meningkat, akibat penyesuaian harga BBM pada akhir Maret dan awal

April. Koordinasi pusat dan daerah, melalui TPID, dalam mengantisipasi dampak lanjutan kenaikan BBM,

diharapkan dapat meminimalisir kenaikan inflasi administered prices. Beberapa risiko yang berasal dari

kelompok administered yang masih perlu diwaspadai diantaranya kenaikan harga LPG, TTL serta tiket angkutan

udara pada masa liburan sekolah.

Secara spasial stabilnya inflasi didukung oleh menurunnya inflasi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan

pada triwulan II. Hal ini sejalan dengan masih terbatasnya perekonomian di kedua provinsi, sehingga kegiatan

konsumsi masyarakat tertahan, terutama pembelanjaan untuk barang tahan lama.

Koordinasi Pengendalian Inflasi

Gambar IV.2 Skema Pasar Penyangga

Dalam rangka mengendalikan inflasi di Kalimantan, berbagai upaya koordinasi melalui Tim Pengendali Inflasi

daerah (TPID) diarahkan untuk mencapai inflasi yang rendah dan stabil. Hal ini antara lain dilakukan dengan

cara membentuk klaster ketahanan pangan, khususnya untuk komoditas beras, cabai dan bawang merah di

Kalimantan, sebagai upaya mengurangi ketergantungan pasokan dari luar Kalimantan. TPID juga melakukan

upaya peningkatan produktivitas tanaman padi dengan menggunakan metode tanam bibit padat (Hazton)1.

Upaya lain dalam menjaga stabilitas harga, yaitu memperbaiki sisi tata niaga. Langkah yang diambil dalam

1 Pilot project dikembangkan bersama oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Barat bersama dengan Pemerintah

Provinsi Kalimantan Barat. Metode tanam hazton menggunakan jumlah bibit yang yang lebih banyak dalam satu lubang yakni mencapai 20-30 bibit dari umumnya hanya 3 atau 5 bibit. Pada tahun 2014 hasil pengujian metode hazton yang diterapkan di beberapa lokasi di Kalimantan Barat menunjukkan adanya peningkatan produktivitas padi hingga 2 kali lipat. Pada tahun 2015 akan dilakukan penanaman 1.000 hektar lahan di perbatasan yang bertujuan untuk mengendalikan inflasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.

Pasar Penyeimbang

PengumpulPed. Antara

Wholesaler

Ped. Kecamatan, Kab./Kota

Pedagangantar daerah

Kalteng

Petani

KONSUMEN

Gudang

Kandang/Kolam

Penyangga

L a p o r a n N u s a n t a r a | 53

upaya ini yaitu membentuk pasar penyeimbang di Kalimantan Tengah. Pasar ini berfungsi sebagai

penyeimbang dan acuan harga untuk para pedagang, khususnya pada momen-momen tertentu. Melalui

langkah ini diharapkan akan terbentuk harga yang stabil dan dapat mengurangi disparitas harga antara petani

ke konsumen, sebagai akibat kesenjangan informasi harga pangan. Komoditas yang dijual merupakan

komoditas pangan yang sering menyumbang inflasi. Untuk mendukung pasokannya, dibentuk kandang dan

kolam penyangga, serta disediakan gudang penyimpanan dan pengelolaan stok bahan pangan.

STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN

Ketahanan Sektor Keuangan

Kinerja sektor keuangan di Kalimantan pada triwulan I 2015 menurun, sejalan dengan perekonomian yang

melemah. Penyaluran pembiayaan di Kalimantan melambat dari 9,7% (yoy) pada akhir 2014 menjadi 7,6%

(yoy). Dari sisi risiko, kualitas kredit relatif terjaga, yang tercermin dari tingkat NPL sebesar 3,4%, atau masih di

bawah threshold. Di sisi lain, penghimpunan dana di Kalimantan masih meningkat dari 5,3% (yoy) pada akhir

2014 menjadi 8,0% (yoy), terutama didorong oleh dana dari pemerintah. Peningkatan dana pemerintah daerah

terkait lebih efisiennya proses pencairan Dana Bagi Hasil pada periode laporan dibandingkan dengan periode

sebelumnya.

Grafik IV.22 Pertumbuhan, Pangsa dan NPL Kredit Sektoral

Grafik IV.23 Pertumbuhan DPK Per Golongan

Ketahanan Sektor Korporasi

Pendanaan sektor korporasi di Kalimantan melambat pada triwulan I 2015 relatif dibandingkan dengan

periode sebelumnya. Penyaluran kredit kepada sektor korporasi melambat dari 8,97% (yoy) pada akhir 2014

menjadi 6,19% (yoy). Hal ini terkait dengan masih lesunya perekonomian Kalimantan, yang disebabkan oleh

faktor eksternal, yakni koreksi harga dan turunnya permintaan komoditas global. Kualitas penyaluran kredit di

Kalimantan secara umum masih terjaga, dengan level NPL masih di bawah tresshold. Namun secara spasial,

kualitas kredit di Kalimantan Timur sudah melewati ambang batas aman 5%. NPL kredit yang disalurkan di

Kalimantan Timur tercatat sebesar 6,7%. Peningkatan NPL terutama didorong oleh memburuknya kualitas

kredit sektor pertambangan dan industri pendukungnya, yang merupakan sektor utama Kalimantan Timur.

Grafik IV.24 Pertumbuhan, Pangsa dan NPL Kredit Korporasi

Grafik IV.25 Pertumbuhan DPK Per Provinsi

L a p o r a n N u s a n t a r a | 54

Di sisi lain, penghimpunan dana di Kalimantan kembali ke level normalnya, terutama didukung oleh dana dari

pemerintah. Pada periode yang sama tahun sebelumnya, di Kalimantan Timur, terjadi keterlambatan

pencairan penerimaan DBH batubara, akibat cukup panjangnya proses negosiasi DBH batubara. Permasalahan

tersebut kini tidak terjadi pada triwulan I 2015.

Ketahanan Sektor Rumah Tangga dan UMKM

Ketahanan keuangan sektor rumah tangga (RT) di Kalimantan tetap terjaga. Pembiayaan RT di Kalimantan pada

triwulan I 2015 tumbuh cukup baik sebesar 18,97% (yoy), didukung oleh kredit perumahan dan multiguna yang

masing-masing tumbuh cukup tinggi sebesar 29,81% (yoy) dan 11,11% (yoy). Dari sisi kualitas penyaluran,

risiko kredit RT masih tetap terjaga, tercermin dari rendahnya NPL, yang tercatat sebesar 1,75% dan debt-to-

service ratio2 yang masih pada level sehat yaitu sebesar 14,2% pada triwulan I 2015. Di sisi lain, pertumbuhan

DPK perseorangan Kalimantan berada dalam tren yang melambat sepanjang setahun terakhir. Pada triwulan I

2015, DPK perseorangan hanya tumbuh sebesar 7,0% (yoy).

Grafik IV.26 Pertumbuhan, Pangsa dan NPL Kredit RT

Grafik IV.27 Debt-to-Service Ratio Per Provinsi

Grafik IV.28

Pertumbuhan DPK Perseorangan Grafik IV.29

Pertumbuhan, Pangsa dan NPL Kredit UMKM

Pertumbuhan pembiayaan UMKM pada triwulan I 2015 tercatat relatif stabil. Pertumbuhan kredit kepada

UMKM tercatat sebesar 13,4% (yoy), relatif sama dengan triwulan sebelumnya. Penyaluran kredit UMKM di

Kalimantan didominasi oleh sektor perdagangan, dan pertumbuhan kredit di sektor ini tercatat stabil. Secara

spasial, penyaluran kredit UMKM di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah pada triwulan I 2015 meningkat,

sementara di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat melambat, meski masih pada level yang cukup tinggi.

2 Debt-to-service ratio (DSR) merupakan salah satu ukuran tingkat ketahanan SSK yang diukur dari cicilan hutang terhadap pendapatan.

DSR yang sehat maksimal berada pada level 30%

L a p o r a n N u s a n t a r a | 55

Dari sisi risiko, penyaluran kredit UMKM di Kalimantan perlu diwaspadai, karena NPL sudah melewati ambang

batas aman 5% pada triwulan I 2015. Pelaku usaha keuangan perlu lebih selektif dalam menyalurkan kredit

kepada UMKM. Secara sektoral, risiko kreditu UMKM tertinggi terdapat pada sektor konstruksi, transportasi

dan jasa, dengan NPL masing-masing sebesar 11,1%, 8,2% dan 8%. Relatif tingginya risiko merupakan implikasi

dari lesunya kegiatan ekonomi, di tengah rendahnya permintaan komoditas ekspor Kalimantan. Hal tersebut

juga terkonfirmasi secara spasial, yang terlihat dari tingginya NPL kredit UMKM di Kalimantan Timur dan

Kalimantan Selatan. Perekonomian kedua provinsi tersebut lebih digerakkan oleh ekspor komoditas batubara,

yang saat ini harganya masih terpuruk.

Sistem Pembayaran

Perlambatan ekonomi yang terjadi di Kalimantan juga terkonfirmasi oleh indikator sistem pembayaran yang

mengalami perlambatan. Nilai transaksi nontunai di wilayah Kalimantan pada triwulan I 2015 tercatat Rp230

triliun atau tumbuh 0,5% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 9,2% (yoy).

Pada transaksi tunai, permintaan uang kartal juga mengalami penurunan, yang tercermin dari penurunan

transaksi outflow dari Bank Indonesia sampai dengan 7,0% (yoy), sedangkan inflow masih tumbuh 16,7% (yoy).

Sementara itu, jumlah temuan uang yang diragukan keasliannya pada triwulan I 2015 tercatat sebanyak 1.313

bilyet atau mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat sebanyak 452

bilyet. Cukup tingginya angka temuan ini disebabkan adanya temuan uang yang diragukan keasliannya oleh

Kepolisian RI di Kalimantan Tengah pada bulan Januari 2015.

Grafik IV.30 Perkembangan SP Non Tunai

Grafik IV.31 Perkembangan SP Tunai

PROSPEK PEREKONOMIAN

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Secara umum, kinerja perekonomian Kalimantan untuk keseluruhan tahun 2015 diperkirakan melambat.

Pertumbuhan ekonomi Kalimantan diprakirakan berada di kisaran 1,4%–1,9% (yoy), lebih rendah dibandingkan

dengan prakiraan sebelumnya dan capaian tahun 2014. Lebih rendahnya proyeksi disebabkan oleh kinerja

sektor pertambangan dan industri olahan migas yang tidak setinggi perkiraan triwulan IV 2014. Di sisi lain,

sektor pertanian diperkirakan tetap meningkat dibandingkan dengan periode sebelumnya, sehingga dapat

menahan perlambatan pertumbuhan ekonomi lebih jauh lagi.

Kinerja sektor pertambangan baik batubara dan migas diperkirakan menurun. Penurunan batubara terkait

melemahnya permintaan Tiongkok pasca dikeluarkannya aturan pelarangan penggunaan batubara di

pemukiman dan perkotaan. Selain itu, dalam jangka menengah panjang, Tiongkok akan mengganti sebagian

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menjadi pembangkit dengan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan

seperti gas, air dan angin. Pada subsektor migas, lifting migas sepanjang tahun 2015 diperkirakan tidak

mengalami perbaikan, sejalan dengan stagnannya investasi yang dilakukan pada pertambangan migas.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 56

Industri olahan diperkirakan masih tertahan, akibat belum membaiknya kinerja industri migas. Lifting migas

yang terus turun, berdampak pada rendahnya aktivitas di industri migas. Di sisi lain, industri nonmigas

diperkirakan akan meningkat, sejalan dengan membaiknya produksi sawit. Sementara itu, kegiatan operasional

smelter tahun 2015 diperkirakan hanya sedikit berkontribusi pada perkembangan industri olahan Kalimantan.

Masih terdapat sejumlah tantangan dalam penyelesaian smelter di Kalimantan, antara lain isu lingkungan dan

pendanaan smelter pasca dihentikannya ekspor bauksit.

Sektor pertanian diperkirakan meningkat didukung naiknya produksi tanaman pangan dan perkebunan sawit.

Peningkatan produksi tanaman bahan makanan didukung oleh program pemerintah dalam rangka mencapai

kedaulatan pangan. Pada subsektor perkebunan, produksi sawit juga diperkirakan masih akan terus meningkat

seiring dengan semakin produktifnya produksi kebun di Kalimantan yang masih berumur muda.

Dari sisi permintaan, diprakirakan belum ada perbaikan kinerja pada komponen pembentuknya. Konsumsi

diperkirakan melambat sejalan dengan belum pulihnya sektor pertambangan sehingga memengaruhi

pendapatan dan daya beli masyarakat. Perlambatan juga terjadi pada belanja pemerintah, terkait turunnya

DBH, sehingga belanja pemerintah tidak dapat setinggi pada tahun 2014. Selain itu, ekspor diprakirakan masih

akan terkontraksi dan investasi juga diprakirakan melambat, sebagai respons rendahnya permintaan

komoditas batubara, yang merupakan komoditas ekspor terbesar Kalimantan. Di sisi lain, penurunan investasi

diprakirakan masih dapat ditopang oleh ekspansi pemerintah dalam pembangunan infrastruktur di daerah,

selain pembangunan smelter yang masih terus berlanjut.

Di tengah perekonomian yang diproyeksi masih tumbuh rendah, terdapat faktor risiko yang berpotensi

menekan laju pertumbuhan tahun 2015 semakin dalam, yakni potensi koreksi harga komoditas energi, baik

migas maupun batubara yang lebih dalam. Selain itu, kebijakan pemerintah India, yang berencana akan

membuka 12 tambang dalam waktu 12 bulan kedepan, berpotensi menurunkan kebutuhan impor barang

tambang India, termasuk barang tambang yang didatangkan dari Indonesia. Bahkan, dalam 18 bulan kedepan,

pemerintah India merencanakan membuka 40-50 tambang batubara. Dari sisi regulasi, potensi kenaikan royalti

penambang dengan izin IUP dari 3% menjadi 7%, 9% dan 13,5%, sesuai dengan besaran kalori, juga

diperkirakan akan menjadi faktor penghambat laju pertumbuhan ekonomi Kalimantan tahun 2015. Pada

subsektor migas, masih berlanjutnya natural declining produksi migas, berpotensi menurunkan produksi LNG.

Faktor risiko lain, yang berpotensi menahan laju pertumbuhan ekonomi Kalimantan pada tahun 2015, yaitu

terhambatnya pembangunan beberapa proyek seperti penyelesaian smelter; proyek PLTA, yang mengurangi

penyerapan batubara domestik; serta terhambatnya program infrastruktur akan memberi tekanan pada

kinerja investasi, terutama investasi bangunan, serta kinerja sektor konstruksi.

Prospek Inflasi

Tekanan inflasi Kalimantan pada tahun 2015 diprakirakan terkendali pada kisaran 4,0%-4,5% (yoy), terutama

dipengaruhi oleh minimalnya tekanan inflasi kelompok volatile food dan administered prices. Pada kelompok

volatile food, minimalnya tekanan inflasi pada tahun 2015 didukung oleh peningkatan produksi pangan yang

terutama didukung hasil program pemerintah pusat. Sementara dari sisi kelompok inti, diperkirakan tekanan

bersifat minimal sejalan dengan belum membaiknya pendapatan masyarakat.

Beberapa risiko ke depan diprakirakan masih akan membayangi prospek inflasi Kalimantan tahun 2015. Risiko

inflasi bersumber dari komoditas kelompok administered prices, yang terkait dengan kebijakan di bidang

energi. Risiko berasal dari kenaikan harga minyak dunia, yang ditransmisikan pada penyesuaian harga BBM,

LPG, dan TTL. Potensi kenaikan harga emas dunia juga berpotensi memberikan tekanan inflasi pada kelompok

inti. Risiko inflasi lainnya berasal dari adanya pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang serentak di beberapa

daerah, sehingga meningkatkan konsumsi. Berbagai upaya untuk meminimalisir dampak inflasi, khususnya

dampak lanjutan dari inflasi administered prices, terus dilakukan melalui TPID.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 57

Tabel Indikator Ekonomi Makro Wilayah Kalimantan

I II III IV I IIf

PDRB (%,yoy) 5.0 - - - 4.2 4.6 3.5 4.0 4.0 - 4.4

Sisi Permintaan

Konsumsi Rumah Tangga - - - - 6.4 5.8 5.0 6.0 5.6 - 6.0

Konsumsi LNPRT - - - - 3.3 11.4 (3.7) 2.5 2.5 - 2.9

Konsumsi Pemerintah - - - - 0.4 2.7 1.8 7.4 6.6 - 7.0

Pembentukan Modal Tetap Bruto - - - - 1.3 3.2 1.9 4.1 4.8 - 5.2

Ekspor - - - - - - -

Impor - - - - - - -

Net Ekspor 17.6 (12.3) 3.0 3.4 (6.0) - (5.6)

Sisi Produksi

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan - - - - 3.5 5.1 5.1 5.4 5.0 - 5.4

Pertambangan dan Penggal ian - - - - (0.8) (1.4) (2.7) (3.0) (2.7) - (2.3)

Industri Pengolahan - - - - 3.0 4.7 1.8 2.0 2.6 - 3.0

Pengadaan Lis trik dan Gas - - - - 10.8 5.9 5.8 6.8 6.6 - 7.0

Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang - - - - 5.9 4.7 5.4 6.6 5.5 - 5.9

Konstruks i - - - - 6.9 7.0 3.6 5.4 6.0 - 6.4

Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparas i Mobi l dan Sepeda Motor - - - - 6.1 5.8 4.9 6.1 5.8 - 6.2

Transportas i dan Pergudangan - - - - 8.5 6.4 7.9 6.2 6.7 - 7.1

Penyediaan Akomodas i dan Makan Minum - - - - 8.1 7.8 8.0 7.0 7.3 - 7.7

Informas i dan Komunikas i - - - - 6.4 7.6 8.2 7.5 7.8 - 8.2

Jasa Keuangan dan Asurans i - - - - 7.6 3.8 4.7 4.6 4.7 - 5.1

Real Estate - - - - 7.0 6.6 5.6 5.7 5.7 - 6.1

Jasa Perusahaan - - - - 7.6 6.7 6.7 6.8 6.8 - 7.2

Adminis tras i Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sos ia l Wajib - - - - 7.7 6.1 6.0 7.8 6.8 - 7.2

Jasa Pendidikan - - - - 6.8 7.9 10.3 13.0 11.2 - 11.6

Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sos ia l - - - - 3.8 7.4 7.5 7.9 7.5 - 7.9

Jasa la innya - - - - 6.7 6.7 7.5 6.8 7.2 - 7.6

Provins i Aceh - - - - 0.6 1.6 (1.9) (2.0) (2.1) - (1.7)

Provins i Sumatera Utara - - - - 4.8 5.2 4.8 5.0 4.9 - 5.3

Provins i Sumatera Barat - - - - 5.5 5.9 5.5 5.6 5.7 - 6.1

Provins i Riau - - - - 1.0 2.6 (0.2) 0.3 0.7 - 1.1

Provins i Jambi - 10.3 5.6 5.8 6.5 7.0 5.9 7.9 8.0 - 8.4

Provins i Kepulauan Riau - - - - 7.8 7.3 7.1 7.3 7.3 - 7.7

Provins i Sumatera Selatan - 3.8 4.9 4.1 6.0 4.7 4.8 5.5 5.5 - 5.9

Provins i Bengkulu - 5.6 5.2 5.6 5.7 5.5 5.4 5.5 5.3 - 5.7

Provins i Lampung - - - - 4.7 5.1 4.9 5.2 5.1 - 5.5

Provins i Kep. Bangka Bel i tung - - - - 4.7 4.7 4.1 4.9 4.6 - 5.0

Inflasi IHK (%,yoy) 8.9 7.2 5.9 4.6 8.6 8.6 6.1 7.4 3.89 - 4.39

Provins i Aceh 7.3 5.7 5.5 5.1 8.1 8.1 5.4 5.7 3.68 - 4.18

Provins i Sumatera Utara 10.2 7.7 6.2 4.4 8.2 8.2 6.1 7.8 4.18 - 4.68

Provins i Sumatera Barat 10.9 8.6 6.2 6.0 11.6 11.6 6.3 7.8 4.88 - 5.38

Provins i Riau 8.8 7.8 6.6 5.8 8.6 8.6 6.2 7.6 3.91 - 4.41

Provins i Jambi 8.7 7.7 6.3 4.4 8.7 8.7 4.9 6.8 2.13 - 2.63

Provins i Kepulauan Riau 8.2 7.7 6.0 4.0 7.6 7.6 5.7 7.0 3.75 - 4.25

Provins i Sumatera Selatan 7.0 5.1 4.3 3.3 8.5 8.5 6.3 7.4 3.64 - 4.14

Provins i Bengkulu 9.9 8.4 5.8 6.1 10.9 10.9 7.7 9.3 3.75 - 4.25

Provins i Lampung 7.6 6.6 6.4 4.2 8.1 8.1 6.6 6.8 3.42 - 3.92

Provins i Kep. Bangka Bel i tung 8.7 8.3 6.1 6.2 9.0 9.0 6.7 7.5 5.50 - 6.00

2015P20142015

Tahun Dasar 2010

Indikator Makroekonomi Daerah 20132014

L a p o r a n N u s a n t a r a | 58

I II III IV I IIf

Kredit (%,yoy) 18.1 16.1 15.2 10.5 9.4 9.4 10.1

Provins i Aceh 13.4 10.8 8.9 3.2 5.9 5.9 4.9

Provins i Sumatera Utara 17.1 15.4 14.4 11.5 9.6 9.6 10.4

Provins i Sumatera Barat 13.1 10.5 8.8 7.7 11.0 11.0 13.7

Provins i Riau 13.0 11.4 13.9 9.5 10.3 10.3 10.7

Provins i Jambi 22.4 21.0 15.4 11.4 8.8 8.8 6.9

Provins i Kepulauan Riau 23.8 22.0 19.2 9.1 4.2 4.2 6.0

Provins i Sumatera Selatan 21.4 20.6 22.4 14.9 13.6 13.6 12.1

Provins i Bengkulu 15.0 13.2 10.1 10.1 9.6 9.6 9.5

Provins i Lampung 19.7 16.2 14.2 8.2 5.2 5.2 8.7

Provins i Kep. Bangka Bel i tung 39.2 31.5 25.1 16.0 13.9 13.9 19.6

2015PIndikator Makroekonomi Daerah 20132014

20142015

L a p o r a n N u s a n t a r a | 59

BOKS Membangun Konektivitas Untuk Membangun Pertumbuhan

yang Kuat dan Merata

Saat ini tren perekonomian Kalimantan sedang menurun, dan pada triwulan I 2015 capaian pertumbuhan

ekonomi Kalimantan merupakan yang terendah sepanjang sepuluh tahun terakhir. Hal ini merupakan imbas

dari ketergantungan ekonomi Kalimantan pada sumber daya alam yang tidak terbarukan dan memiliki nilai

tambah yang kecil. Untuk itu diperlukan transformasi ekonomi Kalimantan dari comparative advantage

menjadi competitive advantage, seperti yang sudah dibahas pada Laporan Nusantara sebelumnya. Untuk

mendukung transformasi ekonomi Kalimantan, maka diperlukan upaya untuk melakukan pembenahan

enabling factors, salah satunya adalah konektivitas.

Minimnya konektivitas menjadi tekanan pada pertumbuhan ekonomi. Belum baiknya konektivitas di

Kalimantan menyebabkan pelaku usaha enggan berinvestasi. Investasi masih berpusat di Wilayah Jawa (Grafik

1). Selain itu, buruknya konektivitas juga menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Biaya distribusi ke Kalimantan

cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain. Selain itu, konektivitas juga akan memengaruhi

secara signifikan proses pembentukan harga dan menurunkan disparitas harga pangan antarkota, yang pada

akhirnya akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat.

Grafik 1 Pangsa Nilai PMA dan PMDN di Wilayah Indonesia

Gambar 1 Biaya Kargo / km dari Jakarta

Rendahnya konektivitas di Kalimantan terjadi baik pada transportasi udara, transportasi laut maupun darat.

Rendahnya konektivitas udara terindikasi oleh rasio bandara terhadap luas wilayah darat di Kalimantan yang

paling rendah dibandingkan dengan wilayah lain. Hal yang sama juga pada ketersediaan dan kualitas jalan di

Kalimantan, yang cenderung tidak lebih baik dibandingkan dengan wilayah lain. Belum adanya moda kereta api

di Kalimantan, menjadikan distribusi menjadi kurang efisien. Dari sisi transportasi laut, indeks konektivitas

transportasi laut Kalimantan tergolong rendah di Indonesia.

Tabel 1 Kondisi Ketersediaan dan Kualitas Jalan

Gambar 2 Indeks Konektivitas Transportasi Laut

L a p o r a n N u s a n t a r a | 60

Permasalahan konektivitas juga menjadi faktor penghambat perekonomian daerah perbatasan di Kalimantan,

yang sebagian besar merupakan daerah tertinggal. Jenis permukaan jalan di kawasan perbatasan Kalimantan

hanya sebagian kecil dengan permukaan aspal, dan sisanya masih dengan permukaan berupa kerikil dan tanah.

Selain itu kondisi jalan juga hanya sebagian kecil dengan kondisi baik. Selain kondisi infrastruktur yang tidak

baik, pelayanan sosial dasar juga tidak memadai. Rata-rata jarak pasar di Kalimantan sejauh 39,95km lebih jauh

dari nasional yang hanya 14,8km. Jauhnya jarak pasar dapat menyebabkan tingginya harga-harga komoditas,

khususnya komoditas kebutuhan sehari-hari, karena sulitnya pedagang pengecer menjangkau pasar tersebut.

Kondisi tersebut memaksa masyarakat di kawasan perbatasan untuk membeli kebutuhan sehari-hari mereka

dari Malaysia. Hal ini menyebabkan dominasi penggunaan Ringgit di perbatasan.

Sumber: BPS, diolah

Sumber: BPS, diolah

Grafik 2 Jenis Permukaan Jalan Kawasan Perbatasan

Grafik 3 Kondisi Jalan di Kawasan Perbatasan

Dalam rangka memperbaiki konektivitas, dalam RPJMN 2015-2019, pemerintah telah berencana membangun

infrastruktur pendukung transportasi darat, laut, dan udara, baik untuk Kalimantan secara umum (Gambar 1)

maupun daerah perbatasan secara khusus (Gambar 2). Konektivitas yang akan dibangun di Kalimantan

memerhatikan beberapa hal sebagai berikut (i) keterpaduan infrastruktur wilayah dengan kawasan strategis

yang dibangun, (ii) pengembangan kawasan perbatasan melalui dukungan wilayah, serta (iv) membangun

konektivitas melalui jalan lintas/lingkar pulau dan pengembangan sungai untuk navigasi.

Sumber: Bappenas, diolah

Sumber: Bappenas, diolah

Gambar 3 Proyek Konektivitas di Kalimantan

Gambar 4 Proyek Konektivitas Daerah Perbatasan Tahun 2015

Tantangan yang harus dihadapi dalam mewujudkan perbaikan konektivitas tidak ringan. Beberapa hal yang

harus dihadapi di antaranya tata ruang wilayah yang belum selesai, pembebasan lahan yang sulit, serta suplai

energi yang tidak mencukupi. Selain itu, peningkatan sinergi dan koordinasi antar instansi juga menjadi kunci

penyelesaian program konektivitas. Pada gilirannya, perbaikan konektivitas akan turut mendukung

transformasi ekonomi untuk mendorong kenaikan nilai tambah perekonomian.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 61

Bagian V

Perekonomian Kawasan Timur Indonesia

PERTUMBUHAN EKONOMI

Pertumbuhan Kawasan Timur Indonesia (KTI)1 pada triwulan I 2015, secara agregat lebih tinggi dari triwulan

sebelumnya. Perekonomian pada triwulan I 2015 tercatat tumbuh sebesar 6,9% (yoy), setelah tumbuh sebesar

5,0% (yoy) pada triwulan IV 2014. Akselerasi pertumbuhan ekonomi berasal dari beberapa provinsi berbasis

sumber daya alam (SDA), terutama penghasil tambang mineral, yaitu Provinsi Sulawesi Tengah (bijih nikel,

feronikel, LNG), Nusa Tenggara Barat (tembaga), Papua (tembaga), Maluku Utara (bijih nikel), dan Sulawesi

Tenggara (bijih nikel, feronikel). Perbaikan pada kategori pertambangan di beberapa provinsi tersebut sejalan

dengan penguatan kinerja ekspor pertambangan, sehubungan dengan perpanjangan izin ekspor tembaga dan

beroperasinya smelter nikel yang baru.

Meski demikian, capaian pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2015 tersebut tidak setinggi perkiraan Bank

Indonesia sebelumnya. Hal ini dipengaruhi oleh realisasi pertumbuhan kategori pertambangan dan pertanian

yang lebih rendah dari proyeksi triwulan IV 2015. Terkait kategori pertambangan, mining rates produksi

tembaga (produktivitas) di Papua yang belum optimal menyebabkan volume produksi tercatat 20% lebih

rendah dari estimasi produsen. Adapun kategori pertanian di beberapa daerah sentra seperti Sulawesi Selatan,

Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, dan Bali mengalami perlambatan yang cukup dalam karena produksi

tanaman bahan makanan (tabama) dan perikanan tangkap yang menurun. Penurunan tersebut diakibatkan

oleh dampak cuaca buruk yang lebih besar dari perkiraan sebelumnya sehingga mengganggu pola produksi.

Memasuki periode triwulan II 2015, perkembangan beberapa indikator ekonomi di berbagai daerah, hasil

survei, dan pendalaman informasi (FGD, liaison) mengindikasikan pertumbuhan ekonomi KTI akan kembali

mengalami percepatan. Pada sisi permintaan, membaiknya pertumbuhan ekonomi didorong oleh penguatan

konsumsi rumah tangga dan ekspor luar negeri. Akselerasi komponen permintaan tersebut juga tercermin

pada kinerja seluruh kategori lapangan usaha utama di KTI. Kinerja kategori pertanian akan meningkat, seiring

masuknya musim panen raya. Kemudian, akselerasi pertumbuhan pada kategori pertambangan akan

cenderung dipengaruhi oleh faktor base effect, terkait terhentinya kegiatan tambang di bebarapa daerah pada

periode yang sama tahun lalu. Pada kategori industri pengolahan, meningkatnya laju pertumbuhan akan

didorong oleh beroperasinya smelter nikel dan pabrik LNG yang baru di Sulawesi. Selain itu, kinerja kategori

perdagangan juga akan menguat sehubungan dengan faktor musiman perayaan hari besar keagamaan. Pada

kategori konstruksi, dorongan pertumbuhan akan bersumber dari kinerja pembangunan proyek pemerintah

yang akan meningkat pada triwulan II 2015. Adapun untuk keseluruhan tahun 2015, pertumbuhan ekonomi

KTI diproyeksikan tumbuh pada kisaran 7,7% - 8,1% (yoy), atau lebih tinggi dari tahun 2014 (6,0%, yoy), akibat

pengaruh akselerasi pada pertumbuhan kategori tambang dan industri.

Konsumsi

Konsumsi Rumah Tangga

Pada triwulan I 2015, konsumsi rumah tangga mencatat pertumbuhan positif namun relatif tidak lebih tinggi

dari historis pertumbuhannya selama beberapa tahun terakhir. Masih tingginya harga barang, diikuti dengan

keyakinan konsumen yang melemah menjadi penahan kinerja konsumi rumah tangga yang tumbuh sebesar

6,3% (yoy). Meski harga bahan bakar minyak (BBM) diturunkan pada awal tahun 2015, harga barang

1 Data pertumbuhan ekonomi menggunakan tahun dasar 2010 sejak triwulan IV 2014. Kawasan Timur Indonesia (KTI) terdiri dari 13

provinsi di Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, Pulau Papua, Bali, dan Kepulauan Nusa Tenggara, yaitu: Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, Papua, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 62

kebutuhan pokok tidak mengalami koreksi sehingga alokasi belanja masyarakat untuk keperluan rumah tangga

yang lain masih tertahan. Kenaikan harga bahan bakar rumah tangga (LPG 12 kg) pada pertengahan triwulan I

2015 dinilai turut menahan pertumbuhan yang dikonfirmasi oleh beberapa indikator konsumsi. Tingkat

keyakinan konsumen di beberapa kota KTI menunjukkan pelemahan dibandingkan dengan akhir tahun 2014

(Grafik V.1). Kegiatan pariwisata juga belum optimal, yang tercermin dari perlambatan pertumbuhan jumlah

wisatawan mancanegara (wisman) (Grafik V.2). Berdasarkan hasil liaison, kredit yang disalurkan untuk

kebutuhan konsumsi serta tingkat upah yang direalisasikan oleh pelaku usaha juga menunjukkan penurunan

dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.

Perkembangan indikator terkini mengindikasikan konsumsi rumah tangga akan tumbuh lebih baik pada

triwulan II 2015. Kondisi ini didukung oleh optimisme perekonomian KTI yang secara keseluruhan mengalami

perbaikan, terutama pada sektor utama di KTI, yaitu (tambang, pertanian, industri pengolahan, dan

konstruksi), yang akan turut memperbaiki tingkat pendapatan pekerja pada sektor tersebut. Indeks keyakinan

konsumen beberapa kota di KTI juga menunjukkan peningkatan pada April 2015, seperti di kota Gorontalo,

Jayapura, dan Denpasar, yang dipengaruhi oleh keyakinan konsumen terhadap kondisi penghasilan,

ketersediaan lapangan kerja, dan konsumsi barang tahan lama yang lebih baik dari enam bulan sebelumnya.

Kemudian, indikator omset penjualan eceran di Denpasar dan Makassar juga mengalami peningkatan selama

April dan Mei 2015, mengindikasikan adanya akselerasi kegiatan perdagangan di KTI (Grafik V.3). Selain itu,

aktivitas persiapan Lebaran (masa puasa) dinilai akan turut mendorong kegiatan konsumsi rumah tangga.

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

Grafik V.1 Indeks Keyakinan Konsumen, Survei Konsumen Bank Indonesia

Grafik V.2 Jumlah Wisatawan Mancanegara

Konsumsi Pemerintah

Pertumbuhan konsumsi pemerintah pada triwulan I 2015 tercatat cukup tinggi meski tidak sebaik rata-rata

pertumbuhan historis triwulan sebelumnya. Selain karena siklus penyerapan anggaran belanja yang biasanya

belum optimal pada awal tahun, konsumsi pemerintah juga menghadapi beberapa kendala pertumbuhan dan

tercatat tumbuh sebesar 8,4% (yoy). Salah satu kendala realisasi anggaran adalah belum adanya tindak lanjut

terhadap pelaksanaan proyek pemerintah yang dilakukan. Pemerintah Daerah (Pemda) cenderung masih

dalam proses pengadaan barang dan jasa tahap awal (Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat). Di

samping itu, beberapa daerah juga terlambat dalam melakukan pelaporan untuk memenuhi syarat tertib

administrasi terkait penyerapan APBD (Papua Barat, NTT, NTB, Maluku Utara, Bali). Adapun indikator

simpanan Pemda dalam bentuk giro belum diserap secara optimal dibandingkan dengan periode sebelumnya,

yang tercermin pada pertumbuhan nilai simpanan yang meningkat cukup tinggi (Grafik V.4).

Pada triwulan II 2015, kinerja konsumsi pemerintah diperkirakan relatif stabil dibandingkan dengan triwulan

sebelumnya. Meski secara umum kegiatan belanja daerah meningkat sesuai pola siklikalnya, laju pertumbuhan

konsumsi pemerintah diperkirakan masih terbatas sehubungan dengan kendala penyerapan anggaran belanja

L a p o r a n N u s a n t a r a | 63

daerah yang terjadi di beberapa daerah sejak triwulan I 2015. Kendala utama berasal dari sisi administrasi yang

menyebabkan tertahannya penyerapan anggaran belanja di Provinsi Maluku Utara, Papua Barat, dan Bali.

Faktor lain yang menjadi faktor penahan relisasi belanja Pemda adalah mundurnya pengalokasian dana vertikal

di beberapa DATI II di Sulawesi Selatan serta belum optimalnya pelaksanaan proyek Pemda di NTB yang masih

berada dalam tahap survei.

Grafik V.3 Omset Penjualan Eceran, Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia

Grafik V.4 Simpanan Giro Pemerintah Daerah

Investasi

Investasi (pembentukan modal tetap bruto/PMTB) mencatat pertumbuhan yang tinggi pada triwulan I 2015,

namun belum melampaui historis pertumbuhan investasi triwulan sebelumnya selama beberapa tahun

terakhir. Belum optimalnya pertumbuhan investasi (9,5%, yoy) disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain

adalah sikap wait and see dari para investor (Bali) dan cuaca buruk yang mengganggu kelancaran geliat

kegiatan pembangunan (NTT). Selain itu, selesainya tahap pertama beberapa proyek hilirisasi di Sulawesi

Tenggara dan Sulawesi Tengah, turut menurunkan realisasi investasi bangunan. Dari indikator asal penanaman

modal, faktor penahan pertumbuhan adalah penanaman modal yang bersumber dari dalam negeri, yang

cenderung tumbuh melambat pada periode laporan (Grafik V.5). Meski demikian, kegiatan penanaman modal

asing tercatat masih mengalami akselerasi sehingga mampu menopang kinerja investasi. Berdasarkan hasil

liaison kepada para pelaku usaha, kegiatan investasi pada awal tahun 2015 yang berupa maintenance capital

untuk memperbesar kapasitas produksi, tumbuh cukup baik.

Grafik V.5 Realisasi Penanaman Modal

Grafik V.6 Penyaluran Kredit Investasi

Pertumbuhan investasi pada triwulan II 2015 diperkirakan meningkat dibandingkan dengan triwulan I 2015.

Optimisme tersebut didukung oleh investasi yang bersifat nonbangunan sebagai faktor utama percepatan

pertumbuhan investasi, terutama yang berasal dari aktivitas ekspansi sektor riil (tambang dan hasil olahannya)

di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, NTB, dan Papua Barat. Kegiatan pembangunan maupun

perbaikan infrastruktur transportasi (jalan, pelabuhan, irigasi) maupun nontransportasi (pembangkit listrik,

L a p o r a n N u s a n t a r a | 64

pusat perbelanjaan, hotel) juga akan mendorong pertumbuhan. Apalagi, realisasi proyek pemerintah

diperkirakan meningkat sesuai siklusnya. Tren kredit yang digunakan untuk investasi juga mulai menunjukkan

adanya peningkatan (Grafik V.6).

Perdagangan Luar Negeri

Ekspor

Pada triwulan I 2015, kinerja ekspor luar negeri KTI mengalami peningkatan yang cukup signifikan

dibandingkan dengan triwulan IV 2014 yang terutama didorong oleh ekspor pertambangan (konsentrat

tembaga). Ekspor luar negeri nonmigas dari KTI tercatat sebesar 1,52 miliar dolar AS dan tumbuh sebesar

24,9% (yoy) setelah turun sebesar -26,4% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Kegiatan produksi dan ekspor

tembaga di Papua dan NTB berjalan normal kembali, seiring izin ekspor yang telah dikeluarkan Pemerintah

Pusat bagi produsen utama di kedua provinsi tersebut sejak triwulan III 2014. Meski realisasi produksi tembaga

di Papua tidak setinggi estimasi sebelumnya, akselerasi tetap terjadi di sisi ekspor karena tahun sebelumnya

ekspor luar negeri komoditas tambang mengalami penurunan yang sangat dalam (base effect). Di samping itu,

komoditas olahan nikel juga berkontribusi pada percepatan yang terjadi untuk komponen ekspor (Grafik V.7).

Akselerasi ekspor luar negeri diperkirakan masih berlanjut pada triwulan II 2015. Permintaan negara mitra

dagang diperkirakan masih meningkat untuk beberapa komoditas ekspor dari Sulawesi Tenggara (feronikel)

dan Bali (kayu, pakaian jadi, perikanan). Hal ini didukung oleh kinerja Purchasing Managers’ Index (PMI) yang

tetap ekspansif di Tiongkok, Amerika Serikat, dan Zona Eropa. Di samping itu, terdapat optimisme perbaikan

ekspor olahan gas alam dari Papua Barat, seiring insentif harga dan permintaan global. Hal tersebut masih

ditambah dengan pengaruh faktor basis perhitungan karena adanya pembatasan ekspor mineral mentah

selama triwulan II 2014 sehingga pertumbuhan ekspor tembaga (Papua, NTB) dan bijih nikel (Sulawesi

Tenggara, Sulawesi Tengah) akan terakselerasi cukup tinggi.

Impor

Pada triwulan I 2015, impor luar negeri nonmigas KTI tercatat mengalami kontraksi yang lebih dalam. Impor

tercatat sebesar 0,54 miliar dolar AS atau turun sebesar 8,5% (yoy) setelah sebelumnya mengalami kontraksi

sebesar 1,1% (yoy). Memburuknya kinerja impor tercermin dari penurunan impor bahan baku dan barang

konsumsi, seiring dengan perkembangan konsumsi rumah tangga yang masih terbatas (Grafik V.10). Adapun

impor barang modal menahan kontraksi lebih lanjut karena akselerasi yang masih terjadi, seiring dengan

kegiatan pembangunan dan operasional dari beberapa proyek hilirisasi (impor tungku smelteri) dan

pembangkit listrik (impor peralatan listrik).

Sumber: Bea Cukai, diolah

Sumber: Bea Cukai, diolah

Grafik V.7 Ekspor Luar Negeri Menurut Komoditas

Grafik V.8 Impor Luar Negeri Menurut Kategori Barang

L a p o r a n N u s a n t a r a | 65

Setelah mengalami kontraksi, kinerja impor luar negeri diperkirakan mampu berbalik arah dan mencatat

pertumbuhan positif pada triwulan II 2015. Membaiknya kondisi impor luar negeri terutama didorong oleh

prospek yang optimis pada komponen penggunaan yang lain, khususnya dari konsumsi rumah tangga,

investasi, maupun ekspor luar negeri yang berbasis bahan baku impor. Kondisi perekonomian yang secara

umum membaik, seiring penguatan sektor-sektor ekonomi utama di KTI, dan adanya kebutuhan pelaku usaha

mengisi persediaan bahan baku untuk mendukung realisasi investasi nonbangunan, dinilai akan mendorong

kebutuhan impor seluruh kategori barang.

Kinerja Sektor Utama Daerah

Sektor Pertambangan dan Penggalian

Kategori pertambangan dan penggalian mengalami akselerasi pada triwulan I 2015, yang didorong oleh

peningkatan laju pertumbuhan produksi tembaga. Angka laju pertumbuhan kategori ini tercatat menjadi

10,9% (yoy), setelah mengalami kontraksi sebesar 9,4% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Pascarelaksasi izin

ekspor yang dikantongi produsen mineral di Papua dan NTB sejak triwulan III 2014, kegiatan produksi tembaga

di dua daerah tersebut telah berjalan dengan normal. Hal ini mendorong akselerasi pertumbuhan kategori

tambang pada triwulan I 2015 setelah pada periode yang sama tahun sebelumnya kegiatan produksi dibatasi

oleh implementasi UU Minerba (Grafik V.9). Di samping itu, adanya smelter baru yang beroperasi di Sulawesi

Tengah (feronikel) dan Sulawesi Tenggara (nickel pig iron atau NPI) juga mendorong peningkatan kebutuhan

bijih nikel sebagai bahan baku.

Pada triwulan II 2015, pertumbuhan kategori pertambangan KTI diperkirakan masih mengalami akselerasi.

Permintaan bijih nikel untuk industri olahan nikel masih cukup kuat karena adanya smelter baru. Produsen

utama bijih nikel di Sulawesi Tenggara juga diperkirakan tidak mengalami gangguan operasional dan akan

menopang pertumbuhan secara umum (Grafik V.10). Produsen tembaga di NTB, serta produsen tembaga dan

emas di Papua masih memiliki izin ekspor mineral masing-masing hingga akhir triwulan II 2015. Adapun upaya

mencapai target produksi yang lebih optimal akan dilakukan oleh produsen nikel matte di Sulawesi Selatan

setelah mengalami kontraksi pada triwulan sebelumnya.

Sumber: Produsen, diolah

Sumber: Produsen, diolah

Grafik V.9 Pertumbuhan Produksi Tembaga dan Emas

Grafik V.10 Pertumbuhan Produksi Nikel (Sulawesi Tengara)

Sektor Industri Pengolahan

Pada triwulan I 2015, sektor industri pengolahan mengalami deselerasi pertumbuhan yang disebabkan oleh

melemahnya kinerja beberapa komoditas industri utama di KTI. Capaian pertumbuhan sektor industri tercatat

6,9% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan triwulan IV 2014 (9,6%, yoy). Untuk industri makanan olahan,

khususnya ikan, kendala produksi bersumber dari ketersediaan bahan baku di musim penghujan yang

menurun, sehingga produksi menjadi tidak optimal. Selanjutnya, produksi terigu di Sulawesi Selatan juga

mengalami perlambatan karena masih dalam tahap penyediaan bahan baku, sebelum meningkatkan produksi

L a p o r a n N u s a n t a r a | 66

untuk memenuhi permintaan menjelang Lebaran (Grafik V.11). Perlambatan juga dialami oleh industri tekstil

di Bali yang tertekan akibat faktor persaingan dengan eksportir dari negara lain. Selain itu, permintaan global

yang melemah serta tren harga minyak yang masih menurun menyebabkan produksi LNG Papua Barat tumbuh

melambat. Adapun indikator produksi industri mikro dan kecil di KTI juga tercatat tidak tumbuh lebih tinggi

dari capaian triwulan sebelumnya (Grafik V.12).

Memasuki triwulan II 2015, kategori industri pengolahan KTI diperkirakan mampu mencatat akselerasi dan

mendukung penguatan ekonomi secara keseluruhan. Adanya smelter baru (Sulawesi Tenggara, Sulawesi

Tengah) dan pabrik LNG baru (Sulawesi Tengah) akan meningkatkan nilai tambah industri pengolahan KTI pada

triwulan II 2015 dengan cukup signifikan. Menguatnya kegiatan konsumsi rumah tangga (peningkatan

permintaan dari faktor musiman) dan investasi (proyek pembangunan lebih intensif) akan menopang

pertumbuhan produksi industri makanan olahan serta industri semen. Tingkat pertumbuhan produksi LNG di

Papua Barat juga diperkirakan akan membaik seiring faktor eksternal yang menunjukkan adanya pemulihan.

Sementara itu, industri feronikel (Sulawesi Tenggara) turut menjaga pertumbuhan kategori ini secara

keseluruhan seiring keyakinan produsen untuk mencapai target produksi.

Sumber: Produsen, diolah

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

Grafik V.11 Produksi Terigu

Grafik V.12 Pertumbuhan Indeks Produksi Industri Mikro dan Kecil

Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan

Laju pertumbuhan sektor pertanian pada triwulan I 2015 mengalami perlambatan dan menahan kinerja

pertumbuhan ekonomi secara total, sehingga tidak terakselerasi lebih lanjut. sektor ini tercatat tumbuh

sebesar 3,5% (yoy), lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang tecatat sebesar 6,4% (yoy). Perlambatan

terutama dikontribusikan oleh subsektor tabama dari berbagai daerah yang belum menghasilkan produksi

secara optimal. Adanya anomali cuaca dan serangan hama, serta permasalahan jaringan irigasi berdampak

pada penurunan produksi di Bali. Bergesernya musim tanam, yang menyebabkan kemunduran panen, terjadi

di beberapa daerah sentra (Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, NTB, dan Gorontalo). Produksi ikan tangkap

tercatat menurun cukup dalam pada awal triwulan karena terbatasnya kegiatan penangkapan (Maluku dan

Sulawesi Selatan). Secara umum, produksi ikan tangkap berada dalam tren yang menurun sejak Januari 2015

(Grafik V.13). Adapun indikator Nilai Tukar Perani (NTP) selama triwulan I 2015 secara umum tercatat lebih

rendah dari triwulan sebelumnya (Grafik V.14). Dari subsektor perkebunan, panen raya kakao belum

berlangsung, di tengah harga komoditas yang cenderung menurun.

Pada triwulan II 2015, nilai tambah sektor pertanian diperkirakan mengalami akselerasi dibandingkan dengan

triwulan sebelumnya. Akselerasi ini didukung oleh perbaikan subsektor utama pertanian, seiring cuaca yang

lebih baik dan datangnya musim panen. Produksi tabama akan meningkat karena masuknya masa panen raya

padi di hampir seluruh daerah sentra produksi di KTI. Panen kakao juga berlangsung pada triwulan II 2015,

terutama di Sulawesi yang berstatus sebagai produsen terbesar kakao di Indonesia. Adanya perbaikan

infrastruktur produksi tabama (Gorontalo) dan perkebunan (Sulawesi Utara) turut mengakomodasi

peningkatan yang terjadi. Dari subsektor perikanan, produksi ikan tangkap akan meningkat, seiring cuaca yang

L a p o r a n N u s a n t a r a | 67

kondusif serta adanya upaya pemberdayaan masyarakat pesisir pantai melalui penambahan fasilitas

penangkapan ikan (Sulawesi Tengah).

Sumber: Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan, diolah

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

Grafik V.13 Produksi Ikan Tangkap

Grafik V.14 Nilai Tukar Petani

Sektor Konstruksi

Pada triwulan I 2015, pertumbuhan sektor konstruksi tercatat mengalami perlambatan dibandingkan dengan

periode sebelumnya. Sektor konstruksi tumbuh dari 9,1% (yoy) pada triwulan IV 2014 menjadi 8,6% (yoy),

sejalan dengan kinerja investasi bangunan yang juga melambat. Selesainya tahap awal proyek hilirisasi dan

masih belum optimalnya penyerapan proyek infrastruktur pemerintah menjadi faktor utama penahan kinerja

sektor konstruksi. Hal ini dikonfirmasi oleh realisasi pengadaan semen yang mengalami kontraksi pada

triwulan I 2015 (Grafik V.15) yang terjadi merata di hampir seluruh daerah di KTI.

Pada triwulan II 2015, pertumbuhan sektor konstruksi diperkirakan meningkat. Peningkatan ini terutama akan

ditopang oleh berlanjutnya proyek pembangunan yang bersifat multiyears di berbagai daerah, baik untuk

proyek infrastruktur transportasi maupun nontransportasi (proyek ekspansi sektor riil lainnya). Dorongan dari

sisi Pemda diperkirakan akan meningkat selaras dengan siklus penyerapan APBD yang lebih baik pada triwulan

II 2015 sehingga mendukung arah proyeksi pertumbuhan kategori ini. Dari sisi swasta, pelaku usaha konstruksi

memperkirakan adanya peningkatan harga jual yang dapat menjadi insentif bagi kegiatan dunia usaha secara

keseluruhan (Grafik V.16).

Sumber: Asosiasi Semen Indonesia, diolah

Grafik V.15 Pengadaan Semen

Grafik V.16 Saldo Bersih Tertimbang Harga Jual Bangunan, Survei Kegiatan

Dunia Usaha Bank Indonesia

PERKEMBANGAN INFLASI

Laju inflasi KTI pada triwulan I 2015 tercatat mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan

sebelumnya. Tekanan inflasi mereda yaitu dari 8,31% (yoy) menjadi 6,83% (yoy) pada periode laporan. Secara

spasial, penurunan laju inflasi yang cukup besar terjadi di Sulawesi Tengah, Papua, Bali, dan NTB. Sumber

L a p o r a n N u s a n t a r a | 68

utama menurunnya tekanan inflasi pada triwulan I 2015 berasal dari komponen administered prices dan

volatile food. Adanya penurunan harga BBM bersubsidi di awal tahun, mengikuti koreksi ke bawah dari harga

minyak dunia, membawa laju inflasi administered prices ke besaran lebih rendah dibandingkan dengan

triwulan IV 2014. Meski harga BBM kembali ditingkatkan pada akhir periode triwulan I 2015, kenaikan tersebut

tidak mendorong inflasi tahunan tercatat lebih tinggi karena level harga BBM yang baru masih lebih rendah

dari level harga pada akhir 2014. Sementara itu, bobot konsumsi BBM yang jauh lebih besar dari bobot

konsumsi LPG dalam keranjang komoditas inflasi KTI membuat dampak kenaikan harga LPG dapat diredam

penurunan tren inflasi komoditas BBM.

Selanjutnya, harga kelompok aneka bumbu tercatat mengalami deflasi dibandingkan dengan periode yang

sama tahun 2014. Kondisi tersebut menyebabkan tekanan inflasi volatile food menurun dibandingkan dengan

triwulan sebelumnya. Berbagai komoditas yang mengalami penurunan harga antara lain adalah aneka cabai

(melimpahnya pasokan dari daerah sentra) yang diikuti oleh turunnya harga aneka ikan (pasokan membaik di

akhir triwulan), daging ayam dan minyak goreng. Sementara itu, inflasi inti cenderung masih meningkat yang

didorong oleh kenaikan harga pada komoditas non-traded (komoditas terkait upah dan biaya pendidikan

perguruan tinggi/akademi). Selain itu, inflasi emas perhiasan secara tahunan juga menunjukkan peningkatan,

yang didorong oleh tren meningkatnya harga emas di pasar global pada awal tahun 2015 sehingga mendorong

kenaikan harga emas perhiasan (Grafik V.17).

Grafik V.17 Perkembangan Harga Komoditas, Survei Pemantauan Harga Bank

Indonesia

Grafik V.18 Ekspektasi Harga Konsumen Jangka Pendek, Survei Konsumen

Bank Indonesia

Pada triwulan II 2015, laju inflasi diperkirakan cenderung meningkat dibandingkan dengan triwulan I 2015.

Indikasi peningkatan tersebut terlihat sejak April 2015 yang mencatat adanya kenaikan harga bulanan sebesar

0,27% (mtm), sehingga inflasi tahunan tercatat sebesar 6,95% (yoy). Tendensi kenaikkan harga dimaksud

terutama disebabkan oleh penyesuaian harga BBM pada akhir Maret 2015, serta kenaikan harga aneka

bawang, yang juga sejalan dengan hasil survei harga yang dilakukan Bank Indonesia. Berlanjutnya tren

peningkatan harga pada triwulan II 2015 akan dipengaruhi oleh dimulainya masa puasa menjelang Lebaran

yang akan meningkatkan permintaan masyarakat pada barang kebutuhan pokok. Indikator ekspektasi

konsumen jangka pendek hasil Survei Konsumen di Makassar (bobot tertinggi kota IHK di KTI) juga cenderung

meningkat pada triwulan II 2015 (Grafik V.18).

Koordinasi Pengendalian Inflasi

Tantangan pengendalian inflasi di daerah menjadi semakin kompleks dengan berbagai kebijakan Pemerintah

Pusat yang berupaya menyehatkan sisi kapasitas fiskal melalui pengurangan subsidi energi. Hal ini membuat

shock harga yang berasal dari kelompok administered prices berpotensi muncul sewaktu-waktu, bergantung

kondisi variabel ekonomi penentu. Kondisi tersebut perlu diantisipasi daerah, dalam hal ini TPID, sehingga

dampak gejolak harga administered prices dapat diakomodasi dengan baik di daerah tanpa meningkatkan

ekspektasi secara berlebihan. Oleh sebab itu, penetapan kebijakan di daerah dalam rangka menyesuaikan

L a p o r a n N u s a n t a r a | 69

perubahan harga dari Pemerintah Pusat perlu dilakukan. Selama periode triwulan I 2015, beberapa TPID

Provinsi/Kabupaten/Kota di KTI, didukung oleh Bank Indonesia di daerah, telah melakukan upaya-upaya untuk

turut menstabilkan harga. Secara khusus, di NTB, penyampaian surat rekomendasi terkait pengendalian

konsumsi LPG 12 kg kepada Pemerintah Provinsi telah dilakukan. Dari sisi harga pangan dan kebutuhan pokok

yang sering menjadi penggerak utama inflasi, TPID di Bali mengimplementasikan program Warung Sembako

TPID untuk mendukung pengendalian harga barang kebutuhan pokok.

Upaya yang lebih terkoordinasi di seluruh daerah untuk pengendalian harga juga telah diwujudkan TPID di

masing-masing daerah melalui penyusunan rencana kerja jangka hingga beberapa tahun ke depan. Di dalam

setiap rencana kerja yang disusun, dilakukan identifikasi komoditas penggerak inflasi yang memiliki bobot

besar dalam struktur keranjang inflasi daerah, serta memiliki frekuensi tinggi sebagai penyumbang inflasi pada

setiap bulan. Komoditas yang teridentifikasi memiliki bobot besar dan kerap menjadi penyumbang inflasi

dalam setiap bulannya akan mendapat perhatian. Untuk KTI, komoditas beras, aneka cabai, ikan tangkap,

daging ayam ras, dan bawang merah berhasil diidentifikasi sebagai komoditas strategis yang perlu mendapat

perhatian dalam program pengendalian harga yang dirumuskan.

Pada tahap selanjutnya, TPID mengidentifkasi permasalahan spesifik terkait pengendalian harga untuk setiap

komoditas yang ada. Permasalahan tersebut berbentuk tantangan jangka pendek (ketersediaan pasokan,

faktor musiman, serta umur komoditas) maupun struktural (jumlah petani/peternak, infrastruktur, struktur

pasar). Kemudian, TPID merumuskan program kerja jangka pendek dan jangka menengah untuk mengatasi

tantangan yang dihadapi antara lain melalui pengembangan klaster komoditas, penguatan infrastruktur

produksi dan distribusi, maupun program kerja lainnya. Berbekal hasil tersebut, TPID juga merumuskan peran

Pemerintah Pusat yang diperlukan dalam mendukung rencana kerja untuk beberapa tahun ke depan yang

telah disusun (Gambar V.1).

Gambar V.1 Alur Kerja Roadmap Pengendalian Inflasi Daerah

STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN

Ketahanan Sektor Korporasi

Kredit sektor korporasi di KTI pada awal tahun 2015 tercatat mengalami perkembangan yang cukup baik. Hal

tersebut tercermin dari pertumbuhan kredit korporasi yang mengalami akselerasi, serta risiko kredit yang

semakin terjaga dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pada triwulan I 2015, kredit korporasi mampu

tumbuh mencapai 19,4% (yoy) meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh 16,5%

L a p o r a n N u s a n t a r a | 70

(yoy) (Grafik V.19). Faktor pendorong pertumbuhan kredit korporasi antara lain dipengaruhi oleh akselerasi

kredit korporasi pada sektor utama seperti perdagangan dan pertambangan. Di samping itu, sektor konstruksi

dan industri juga terakselerasi seiring masih maraknya proyek pembangunan dan perbaikan infrastruktur di KTI

pada tahun 2015 serta hilirisasi yang terus berlanjut.

Akselerasi pertumbuhan kredit korporasi diikuti dengan membaiknya kualitas kredit. Rasio non performing

loan (NPL) mengalami penurunan dari 4,4% pada akhir tahun 2014 menjadi 4,2% pada triwulan I 2015 (Grafik

V.20). Penurunan NPL kredit korporasi secara keseluruhan dipengaruhi oleh membaiknya kualitas kredit pada

sektor perdagangan yang pangsanya besar dalam struktur kredit. Sektor lain yang mengalami perbaikan NPL

antara lain adalah sektor pertanian dan konstruksi. Perbaikan NPL ditengarai juga dipengaruhi oleh turunnya

suku bunga acuan sebesar 25 basis poin pada Februari 2015, yang memengaruhi pergerakan suku bunga kredit

korporasi ke level yang lebih rendah dibandingkan dengan triwulan IV 2014.

Grafik V.19 Pertumbuhan Kredit Korporasi

Grafik V.20 NPL Kredit Korporasi

Ketahanan Sektor Rumah Tangga

Berkebalikan dengan kondisi pada sektor korporasi, sektor rumah tangga tercatat mengalami perlambatan

pertumbuhan kredit, yang diikuti dengan penurunan kualitas kredit pada triwulan laporan. Kredit rumah

tangga mengalami perlambatan pertumbuhan dari 29,9% (yoy) di triwulan IV 2014 menjadi 28,9% (yoy) (Grafik

V.21). Perlambatan pada kredit rumah tangga terjadi pada pada hampir seluruh jenis kredit, terkecuali jenis

kredit multiguna yang tercatat masih tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Kendati

demikian, pertumbuhan kredit rumah tangga pada triwulan laporan masih tergolong cukup tinggi dan berada

di atas pertumbuhan total kredit yang disalurkan berdasarkan lokasi proyek (13,5%, yoy) pada triwulan

laporan. Hal tersebut sejalan dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan I 2015, yang

menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga masih cukup kuat kendati mengalami perlambatan. Hal ini turut

mencerminkan kondisi daya beli masyarakat yang masih cukup baik, di tengah tren kenaikan harga pada awal

tahun.

Grafik V.21 Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga

Grafik V.22 NPL Kredit Rumah Tangga

L a p o r a n N u s a n t a r a | 71

Ketahanan sektor rumah tangga terpantau masih sangat baik. Meskipun mengalami peningkatan rasio NPL dari

1,3% pada triwulan lalu menjadi 1,6% pada triwulan l 2015, kondisi NPL masih berada di bawah batas aman

(5%) (Grafik V.22). Peningkatan rasio NPL pada kredit rumah tangga dipengaruhi oleh naiknya NPL pada jenis

kredit KPR, KKB dan multiguna. Penyebab kenaikan rasio NPL ditengarai disebabkan oleh tingkat suku bunga

yang cenderung mengalami peningkatan khususnya untuk KPR dan KKB. Naiknya suku bunga KPR dan KKB, di

tengah tingkat harga barang kebutuhan pokok yang masih cukup tinggi memberikan pengaruh kepada

kemampuan membayar dari sektor rumah tangga.

Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

Pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di KTI masih melajutkan tren perlambatan

pertumbuhan. Tren perlambatan pertumbuhan kredit UMKM terlah terjadi sejak akhir tahun 2013, seiring

dengan tren peningkatan suku bunga(Grafik V.23). Pada triwulan laporan, kredit UMKM mencatat

pertumbuhan sebesar 12,4% (yoy) atau lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (12,9%, yoy)

maupun dengan pertumbuhan total kredit perbankan (13,5%, yoy) di KTI. Perlambatan pembiayaan tersebut

disebabkan oleh pergerakan NPL kredit UMKM yang terus berada dalam tren meningkat sejak triwulan terakhir

tahun 2013, sehingga perbankan cenderung menahan laju kredit UMKM dengan lebih selektif memilih debitur.

Meski demikian, suku bunga kredit UMKM tercatat relatif stabil di kisaran 14% sejak dua tahun terakhir.

Kondisi suku bunga yang cukup tinggi tersebut turut memengaruhi penurunan kualitas kredit UMKM dari 4,1%

pada triwulan IV 2014 menjadi 4,5% pada triwulan I 2015 (Grafik V.24).

Upaya pengembangan UMKM terus ditempuh Bank Indonesia di KTI sejak awal 2015. Dalam hal ini, berbagai

program peningkatan kinerja klaster komoditas utama di daerah dilakukan untuk mendukung tugas Bank

Indonesia maupun kinerja perekonomian daerah. Di Bali, berbagai kegiatan pengembangan klaster seperti padi

dan sapi bali terus diperkokoh dengan adanya berbagai pelatihan (penguatan kapasitas) bagi para petani

terkait manajemen aktivitas utama. Kelompok peternak klaster sapi di Gorontalo juga melakukan kegiatan

penambahan kelompok peternak baru. Sementara itu, upaya pengembangan klaster baru di Sulawesi Selatan

dilakukan di beberapa kabupaten maupun kota untuk komoditas cabai dan kedelai, sedangkan di Papua

penjajakan pengembangan klaster virgin coconut oil (VCO) juga telah dimulai. Peningkatan kapasitas dan

kinerja klaster pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kelayakan UMKM yang belum memperoleh

akses bank maupun memperbesar repayment capacity UMKM yang sudah menerima layanan perbankan.

Grafik V.23 Pertumbuhan Kredit UMKM

Grafik V.24 NPL Kredit UMKM

Kinerja Sistem Pembayaran

Kegiatan sistem pembayaran nontunai di KTI menunjukkan perkembangan yang cukup baik pada triwulan I

2015. Hal tersebut terlihat dari indikator transaksi nontunai melalui Real Time Gross Settlement (RTGS)

maupun transaksi Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) yang tumbuh relatif stabil dibandingkan

dengan triwulan sebelumnya (Grafik V.25 dan Grafik V.26). Hampir 90% transaksi sistem pembayaran nontunai

masih menggunakan RTGS karena didorong oleh efisiensi waktu melalui proses settlement yang lebih cepat.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 72

Upaya peningkatan intensitas penggunaan instrumen sistem pembayaran nontunai terus dilakukan di KTI.

Bank Indonesia senantiasa meningkatkan layanan sistem pembayaran yang prima dengan tentunya

mengedepankan perlindungan konsumen. Gerakan Nasional Non Tunai atau GNNT yang telah dicanangkan

mulai dimplementasikan di berbagai daerah di KTI, salah satunya di Ambon, yang ditandai dengan berlakunya

penggunaan Uang Elektronik (UNIK) di Pelabuhan Kapal Ferry serta di Universitas Pattimura (Unpatti).

Grafik V.25 Perkembangan Total Transaksi RTGS

Grafik V.26 Perkembangan Total Transaksi Kliring

Kinerja Pengelolaan Uang Tunai

Pengedaran uang kartal di KTI mencatat peningkatan pada sisi inflow selama triwulan I 2015. Hal tersebut

sesuai dengan pola historisnya, yaitu setelah masa liburan berakhir, masyarakat cenderung kembali

menyimpan dananya di bank (Grafik V.27). Sementara itu, sisi outflow tercatat masih mengalami penurunan

dan diperkirakan akan meningkat pada akhir triwulan mendatang. Upaya pemenuhan uang layak edar terus

diupayakan Bank Indonesia ke seluruh daerah terpencil. Hal ini dipenuhi dengan kegiatan kas keliling hingga ke

daerah terpencil yang masih cukup banyak di Indonesia Timur. Ke depan, Bank Indonesia juga merencanakan

untuk mengembangkan jaringan distribusi uang yang berfokus pada kebutuhan penambahan kas titipan di

daerah. Sementara itu, indikator temuan uang rupiah palsu mengalami percepatan pertumbuhan pada Januari

2015, namun kembali mengalami kontraksi pada bulan selanjutnya (Grafik V.28). Ke depan, sosialisasi ciri-ciri

keaslian uang rupiah akan ditingkatkankan intensitas maupun luasan cakupannya. Kegiatan sosialisasi tersebut

dilakukan bersamaan dengan sosialisasi mengenai kebanksentralan dan edukasi keuangan lainnya baik kepada

pelajar, UMKM, maupun kepada nelayan dan petani di wilayah kerja Bank Indonesia di KTI.

Grafik V.27 Perkembangan Pengedaran Uang

Grafik V.28 Perkembangan Temuan Uang Palsu

PROSPEK PEREKONOMIAN

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Berdasarkan indikator ekonomi dan pengolahan data serta informasi yang diperoleh, untuk keseluruhan 2015,

perekonomian KTI diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2014. Angka

L a p o r a n N u s a n t a r a | 73

pertumbuhan ekonomi KTI untuk tahun 2015 diproyeksikan berada pada kisaran 7,7% - 8,1% (yoy) atau lebih

tinggi dari tahun sebelumnya 6,0%, yoy). Secara spasial, penyumbang akselerasi di KTI antara lain adalah

Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Papua Barat, Papua, NTB, serta NTT.

Kategori pertambangan dan perdagangan menjadi motor utama pertumbuhan di tahun 2015. Peningkatan

demand untuk bijih nikel di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah, akan mendorong kinerja sektor tambang

dan kegiatan perdagangan terkait ekspor. Industri olahan nikel dan LNG yang baru juga turut mendukung arah

percepatan tersebut. Kemudian, izin ekspor dari produsen utama tembaga di NTB dan Papua diperkirakan

dapat diperpanjang selama produsen dapat memenuhi komitmen dan mencapai kesepakatan dengan para

pemangku kepentingan. Apabila kuota produksi tembaga produsen di Papua dan NTB dapat dicapai,

pertumbuhan sektor pertambangan akan melaju dengan cukup signifikan yang turut dipengaruhi oleh faktor

base effect. Di samping itu, berbagai upaya penguatan infrastruktur pemerintah secara umum juga dinilai akan

menopang pertumbuhan ekonomi KTI secara keseluruhan. Dilihat dari indikator yang ada, ekspektasi

penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja sudah mulai menunjukkan peningkatan memasuki akhir tahun

2015 (Grafik V.29).

Adapun beberapa faktor risiko terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi KTI selama tahun 2015 masih

mengemuka dan berasal baik dari sisi eksternal maupun internal. Pada sisi eksternal, harga komoditas global

yang diekspor oleh KTI cenderung masih dalam tren yang menurun. Hal ini dapat menjadi faktor penghambat

akselerasi untuk sektor tradable, khususnya komoditas minyak kelapa, minyak kelapa sawit, LNG, kakao, ikan

segar maupun olahan, serta kayu lapis. Meski permintaan domestik bijih nikel diprakirakan akan meningkat,

risiko pelemahan harga dapat menurunkan permintaan eksternal. Selain itu, ekonomi Tiongkok, yang menjadi

salah satu importir utama KTI, masih berada dalam tren yang melambat. Pada sisi internal, berbagai kendala

pada upaya penguatan infrastruktur dan hilirisasi dinilai menjadi risiko utama pertumbuhan ekonomi KTI pada

tahun 2015. Berbagai rencana Pemerintah Pusat maupun Pemda terkait peningkatan kondisi infrastruktur di

KTI perlu diperkokoh dengan komitmen implementasi yang berkesinambungan. Apabila infrastruktur

pendukung mengalami hambatan pembangunan, kinerja perekonomian secara umum juga akan mengalami

hambatan. Proyek-proyek smelter perlu diawasi dan diakomodasi sebagaimana ketentuan yang berlaku.

Kehadiran smelter baru di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara telah terbukti menjadi sumber akselerasi

perekonomian KTI melalui hilirisasi SDA pada triwulan I 2015 dan diperkirakan akan terus menjadi pendorong

pertumbuhan ekonomi KTI dengan adanya fase pembangunan lanjutan (penambahan kapasitas produksi).

Prospek Inflasi

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa laju inflasi KTI pada triwulan II 2015 akan mengalami

peningkatan karena dipengaruhi faktor musiman, seperti liburan akhir tahun ajaran dan menjelang Lebaran.

Meski tekanan inflasi cenderung akan terakselerasi pada triwulan II 2015, inflasi KTI pada akhir tahun 2015

diperkirakan menurun atau berada pada kisaran 4,39% - 4,79% (yoy). Penurunan inflasi dimaksud didukung

oleh beberapa faktor, salah satunya adalah harga pangan yang berada dalam tren laju inflasi yang menurun,

setelah naik cukup signifikan pada periode yang sama tahun sebelumnya. Faktor lain yang meredakan tekanan

inflasi yaitu ekspektasi masyarakat yang diperkirakan terkendali terkait dengan perkembangan harga yang

terjadi. Hal tersebut didukung oleh proses komunikasi kebijakan pengalihan subsidi energi yang terus

dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemda, termasuk TPID. Tingkat keberhasilan kegiatan dimaksud

tercermin pada ekspektasi harga jangka panjang konsumen dan pedagang yang cenderung menurun memasuki

triwulan IV 2015 (Grafik V.30). Faktor depresiasi nilai tukar rupiah dinilai belum memberikan dampak signifikan

pada inflasi KTI pada akhir tahun, karena komoditas traded relatif tidak dominan dalam struktur nilai konsumsi

agregat di KTI. Harga BBM (bensin dan solar) akan menjadi faktor utama penyebab penurunan inflasi, selama

tidak ada penyesuaian harga ke level yang lebih tinggi dibandingkan dengan akhir tahun lalu. Adapun laju

inflasi berbagai tarif angkutan secara agregat akan melandai, dipengaruhi oleh menurunnya inflasi tahunan

tarif angkutan darat.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 74

Beberapa faktor risiko nonmusiman, yaitu selain risiko faktor musiman terkait cuaca dan momen hari raya,

yang dapat meningkatkan laju inflasi di KTI, harus tetap diwaspadai. Risiko utama berasal dari sisi kebijakan

pemerintah, terkait kebijakan penyesuaian harga BBM, TDL, dan harga LPG. Kebijakan penyesuaian harga BBM

yang fleksibel mengikuti pergerakan harga minyak internasional, menyebabkan pembentukan ekspektasi

masyarakat menjadi sangat krusial untuk dikelola. Hal ini menjadi salah satu risiko yang patut dicermati oleh

pemangku kepentingan, khususnya TPID. Risiko lain datang dari aspek harga pangan, terutama terkait dengan

upaya percepatan produksi dan penguatan konektivitas antardaerah (termasuk aspek tata niaga) untuk

mendukung swasembada dan distribusi pangan di tengah pembatasan impor. Selain itu, perbaikan

infrastruktur terkait produksi dan distribusi pangan menjadi salah satu kunci utama dalam mendukung

pengendalian harga pangan. Hambatan pada upaya tersebut dikhawatirkan dapat mengganggu kestabilan

harga, khususnya di KTI, yang memiliki tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap hasil produksi

daerah lain.

Grafik V.29 Ekspektasi Kondisi Ekonomi, Survei Konsumen Bank Indonesia

Grafik V.30 Ekspektasi Harga Jangka Panjang, Survei dari Bank Indonesia

L a p o r a n N u s a n t a r a | 75

Tabel Indikator Ekonomi Makro Wilayah KTI

2015

I II III IV I IIp IIIp IVp

PDRB (%,yoy) 7.2 - - - 5.0 6.0 6.9 8.8 8.1 7.8 7.7 - 8.1

Sisi Permintaan

Konsumsi Rumah Tangga - - - - - 5.5 6.3 6.8 6.7 6.6 6.4 - 6.8

Konsumsi LNPRT - - - - - 10.9 (4.4) 3.8 5.2 6.5 2.6 - 2.10

Konsumsi Pemerintah - - - - - 5.8 8.4 8.2 8.7 8.1 8.2 - 8.6

Pembentukan Modal Tetap Bruto - - - - - 9.7 9.5 10.2 8.4 5.7 8.2 - 8.6

Ekspor - - - - - - - - - - -

Impor - - - - - - - - - - -

Net Ekspor - - - - - (4.6) 33.3 (7.9) (18.6) 22.2 2.7 - 3.1

Sisi Produksi

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan - - - - 6.4 6.6 3.5 6.0 5.2 5.4 4.8 - 5.2

Pertambangan dan Penggalian - - - - (9.4) (3.1) 10.9 13.1 9.9 4.7 9.3 - 9.7

Industri Pengolahan - - - - 9.6 8.1 6.9 14.1 12.5 14.9 12.0 - 12.4

Pengadaan Listrik dan Gas - - - - 14.7 10.2 8.4 10.6 9.8 10.0 9.6 - 10.0

Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang - - - - 5.0 5.7 2.3 4.8 4.9 5.9 4.3 - 4.7

Konstruksi - - - - 9.1 8.4 8.6 9.8 8.0 7.8 8.3 - 8.7

Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor - - - - 5.4 7.7 6.1 7.8 7.9 9.7 7.7 - 8.1

Transportasi dan Pergudangan - - - - 7.7 6.8 6.4 8.4 8.2 8.1 7.6 - 8.0

Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum - - - - 7.4 7.1 6.9 7.1 8.7 9.3 7.8 - 8.2

Informasi dan Komunikasi - - - - 7.1 7.3 7.5 8.3 8.7 8.9 8.2 - 8.6

Jasa Keuangan dan Asuransi - - - - 11.5 6.8 9.9 7.7 8.6 8.1 8.4 - 8.8

Real Estate - - - - 7.7 7.7 6.9 7.5 7.7 8.7 7.5 - 7.9

Jasa Perusahaan - - - - 7.3 7.7 4.2 7.2 7.6 9.5 7.0 - 7.4

Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib - - - - 8.4 8.1 6.2 7.9 8.2 7.4 7.3 - 7.7

Jasa Pendidikan - - - - 6.5 7.4 9.1 8.8 8.3 6.0 7.8 - 8.2

Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial - - - - 5.0 8.8 7.9 8.1 8.5 5.9 7.3 - 7.7

Jasa lainnya - - - - 7.0 7.6 7.2 7.2 7.5 7.5 7.1 - 7.5

PDRB Per Provinsi(%,yoy)

Provinsi Sulawesi Selatan 7.6 - - - 7.7 7.6 5.2 8.4 8.4 8.0 7.6

Provinsi Sulawesi Barat 9.3 - - - 10.9 8.7 6.0 6.4 9.3 8.8 7.7

Provinsi Sulawesi Tenggara 7.5 - - - 5.3 6.3 5.8 6.5 6.9 6.7 6.5

Provinsi Sulawesi Tengah 9.5 - - - 9.5 5.1 17.7 17.1 12.2 12.9 14.9

Provinsi Gorontalo 7.7 - - - 8.2 7.3 4.7 7.4 8.7 7.6 7.1

Provinsi Sulawesi Utara 6.4 6.7 6.3 6.2 6.1 6.3 6.4 6.5 6.5 6.7 6.5

Provinsi Maluku Utara 6.4 - - - 5.2 5.5 5.3 6.1 5.8 6.2 5.8

Provinsi Maluku 5.3 - - - 3.8 6.7 4.1 5.7 6.2 6.8 5.7

Provinsi Papua Barat 7.4 - - - 0.1 5.4 (1.5) 10.0 9.9 8.7 6.6

Provinsi Papua 7.9 - - - (7.5) 3.2 5.8 8.6 3.2 12.2 7.4

Provinsi Bali 6.7 6.6 6.2 6.2 7.9 6.7 6.2 6.0 6.4 6.6 6.3

Provinsi Nusa Tenggara Barat 5.2 - - - 10.8 5.2 16.5 16.6 18.3 0.6 12.7

Provinsi Nusa Tenggara Timur 5.4 - - - 5.2 5.1 4.5 5.5 5.8 6.2 5.5

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

Indikator Makroekonomi Daerah 20132014

Tahun Dasar 2010

2014 2015p

2015

I II III IV I II III IV I II III IV I Apr IIp IIIp IVp

Inflasi IHK (%,yoy) 4.33 4.66 4.90 4.86 5.40 4.64 7.73 7.41 6.63 6.71 4.09 8.31 6.83 6.95 7.21 7.49 4.39 - 4.79

Provinsi Sulawesi Selatan 4.06 3.84 4.48 4.41 4.61 4.37 7.23 6.21 5.88 5.92 3.73 8.61 7.13 7.10 7.20 7.36 4.01

Provinsi Sulawesi Barat 3.81 3.24 3.71 3.28 4.19 4.30 5.86 5.91 6.24 6.65 4.46 7.89 6.68 6.68 6.28 6.16 3.07

Provinsi Sulawesi Tenggara 5.10 4.65 2.03 5.25 3.02 3.76 7.30 5.92 5.60 4.84 1.83 8.45 7.80 7.73 7.72 7.52 3.12

Provinsi Sulawesi Tengah 2.50 4.99 6.78 5.87 5.97 3.89 7.29 7.57 8.42 10.37 5.46 8.84 5.28 5.46 5.87 5.46 3.48

Provinsi Gorontalo 5.91 5.95 5.40 5.31 5.18 3.59 3.40 5.84 5.10 5.82 3.59 6.14 5.28 4.51 5.82 7.41 4.35

Provinsi Sulawesi Utara 0.95 3.73 5.23 6.04 6.83 4.95 7.73 8.12 5.67 6.26 4.00 9.67 7.99 7.73 7.97 8.11 4.13

Provinsi Maluku 8.65 6.25 7.07 6.73 2.58 1.70 9.86 8.81 8.95 8.85 2.79 7.19 9.07 8.60 8.73 8.72 6.78

Provinsi Maluku Utara 4.54 4.30 3.87 3.29 3.97 2.93 9.66 9.78 8.80 9.75 5.40 9.35 7.92 7.83 8.92 7.04 5.45

Provinsi Papua 1.94 1.80 2.94 4.52 5.89 6.07 8.58 8.27 9.57 7.40 4.51 9.11 6.84 8.25 9.10 9.76 6.04

Provinsi Papua Barat 2.07 4.11 5.52 5.07 7.62 5.79 9.70 7.25 5.77 5.27 5.33 6.56 7.00 6.80 7.45 6.79 5.48

Provinsi Bali 4.52 4.32 4.37 4.71 6.47 5.47 7.91 7.35 6.09 6.41 4.53 8.43 6.42 6.74 6.95 7.63 4.92

Provinsi Nusa Tenggara Barat 8.84 8.51 6.36 4.00 5.18 5.47 8.13 9.51 7.03 6.76 4.91 7.22 5.98 6.44 6.73 7.42 5.72

Provinsi Nusa Tenggara Timur 3.60 5.02 5.21 5.33 7.11 5.26 8.29 8.41 7.78 8.10 4.13 7.76 5.39 5.64 5.60 6.48 3.66

Kredit Perbankan (%, yoy) 27.11 26.41 24.80 25.23 25.93 25.48 24.79 20.51 17.75 14.24 12.65 13.29 13.52

DPK (%, yoy) 22.34 23.80 22.14 17.25 15.41 12.90 14.07 12.99 11.87 15.35 14.69 11.20 14.57

2015Indikator Makroekonomi Daerah

2012 2013 2014

L a p o r a n N u s a n t a r a | 76

Boks : Perkembangan Proyek Smelter KTI dan Komitmen

Pembangunan Smelter Freeport-Newmonth

Kawasan Timur Indonesia (KTI) memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, namun memiliki tingkat

kesejahteraan yang masih relatif rendah. Sebagai ilustrasi, perbandingan pendapatan perkapita2 provinsi

terkaya di KTI tidak jauh berbeda dengan pendapatan perkapita provinsi termiskin di kawasan lainnya3. Kondisi

ini mencerminkan disparitas sosial ekonomi yang cukup tinggi antara KTI dengan kawasan lainnya. Disparitas

tersebut juga disebabkan oleh terjadinya jumped structural transformation pada ekonomi KTI. Struktur

ekonomi yang didominasi oleh sektor primer, diikuti oleh pertumbuhan sektor tersier yang kuat, namun

pertumbuhan sektor sekunder relatif stagnan. Hal ini mencerminkan rendahnya nilai tambah dari eksploitasi

hasil alam, yang merupakan prasyarat pertumbuhan ekonomi yang kuat, inklusif dan berkelanjutan.

Hilirisasi sektor pertambangan, yang merupakan sektor primer utama KTI, merupakan salah satu upaya

Pemerintah untuk memperkecil disparitas sosial. Saat ini hilirisasi akan dilakukan oleh 18 perusahaan tambang

utama untuk pengolahan komoditas bijih nikel, mangan, gas alam dan bijih tembaga. Hingga triwulan I tahun

2015, progres hilirisasi atau pembangunan smelter di KTI sudah menunjukkan perkembangan yang cukup

signifikan. Secara spasial, progress yang signifikan terjadi di provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.

Adapun tracking progress dari masing-masing proyek yaitu empat proyek sudah selesai, lima proyek

pembangunannya sudah mencapai ±30% dan 9 proyek lainnya masih dalam tahap groundbreaking dan

negosiasi dengan pemerintah daerah (Gambar 1).

Empat proyek utama yang sudah selesai, akan melakukan ekspor perdana pada triwulan II 2015, yaitu PT. SMI

Nikel Mineral di Kawasan Industri Morowali (Sulawesi Tengah) dengan kapasitas produksi 300.000 ton/tahun,

PT. Central Modern Metal Industri di Kendari (Sulawesi Tenggara) dengan kapasitas 20.000 ton/tahun, PT. Vale

di Konawe (Sulawesi Tenggara) dengan tambahan kapasitas produksi sebesar 10.000 ton/tahun serta DSLNG di

Sulawesi Tengah dengan kapasitas 900.000 ton/tahun4. Sementara itu, komitmen pembangunan smelter PT.

Freeport McMoran dan PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT), yang merupakan perusahaan pertambangan

terbesar di KTI, sudah menunjukkan perkembangan yang cukup baik.

Secara total, progres hilirisasi melalui pembangunan smelter di KTI saat ini sudah mencapai 25%, dan hingga

akhir tahun diperkirakan akan mencapai 50%. Beberapa faktor risiko yang akan menahan realisasi proses

hilirisasi antara lain; (1) kebutuhan energi yang cukup tinggi dan belum dapat di suplai oleh KTI. Total

kebutuhan listrik untuk proyek smelter KTI mencapai 6.000 Mw, sedangkan jumlah yang tersedia hanya

mencapai 30%-40% dari total kebutuhan energi listrik. Selain itu, (2) masalah pembebasan lahan dan perizinan

alih fungsi lahan masih menjadi kendala pembangunan smelter. (3) Infrastruktur jalan yang belum memadai di

pusat pertambangan menyebabkan biaya distribusi perlengkapan pembangunan menjadi lebih tinggi.

Infrastruktur komunikasi yang minim juga menjadi penghambat kelancaran pembangunan smelter. Dari sisi

SDM, (4) rendahnya kualitas SDM KTI menyebabkan perusahaan harus mendatangkan tenaga kerja dari luar

KTI khususnya pulau Jawa, yang berimplikasi pada biaya SDM yang cukup tinggi. Kemudian, dengan seluruh

kendala tersebut menyebabkan kebutuhan pembiayaan menjadi meningkat, berdampak pada kebutuhan

permodalan yang lebih besar. Saat ini pembiayaan masing-masing perusahaan masih bersumber dari

perusahaan induk. Meski demikian tambahan pembiayaan masih dibutuhkan dan diperkirakan akan diperoleh

melalui perbankan.

2 Pendapatan perkapita digunakan sebagai salah satu ukuran kesejahteraan.

3 Pendapatan perkapita tahun 2014 provinsi Sulawesi Selatan sebagai daerah terkaya tercatat sebesar Rp 27,30 juta, sedangkan

pendapatan perkapita Daerah Ibukota Yogyakarta sebagai daerah termiskin sebesar Rp20,49 juta. 4 DSLNG tahun 2015 akan berproduksi dibawah kapasitas maksimal yang sebesar 2 Juta ton/tahun karena pasokan bahan baku terbatas.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 77

L a p o r a n N u s a n t a r a | 79

Kemandirian ekonomi merupakan salah satu isu sentral dalam agenda Nawa Cita Pemerintahan Jokowi-JK.

Kemandirian ekonomi bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat sesuai dengan cita-cita pembangunan

nasional. Dari sejumlah komponen kemandirian ekonomi yang ingin diwujudkan, kedaulatan pangan menjadi

salah satu aspek utama.1 Dalam visi kedaulatan pangan, pertanian adalah sektor strategis ekonomi domestik

yang perlu didukung dan dikuatkan. Dalam kaitan itu, pembangunan pertanian dan perdesaan baik yang

tercakup dalam agenda Nawa Cita2 maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019,

akan diarahkan kepada wujud peningkatan kedaulatan pangan sebagai salah satu sektor strategis yang

dikembangkan untuk menciptakan kemandirian ekonomi. Penguatan kedaulatan pangan diterjemahkan dalam

langkah-langkah holistik untuk meningkatkan produksi, stabilitas harga pangan, dan kesejahteraan pelaku

usaha pangan. Secara konseptual, strategi kebijakan pembangunan pertanian 2015 – 2019 difokuskan untuk

memastikan tercapainya hal tersebut.

Gambar VI.1. Strategi Kebijakan Pembangunan Pertanian 2015 - 2019

Tulisan ini akan membahas isu kedaulatan pangan dari dua dimensi utama, yakni produksi dan distribusi/tata

niaga. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa upaya meningkatkan produksi di sisi hulu guna

menjamin ketersediaan pasokan, perlu dibarengi dengan upaya memastikan hasil produksi tersebut dapat

1 Merujuk pada UU Pangan No. 18/2012, kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri

menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Dalam konsepsi kedaulatan pangan, terkandung prinsip kemandirian dalam mengembangkan pertanian dan berproduksi tanpa adanya intervensi asing baik terkait dengan kebijakan maupun impor. 2 Khususnya pembangunan Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa yang menjadi basis

pertanian.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 80

didistribusikan kepada konsumen (sisi hilir) dengan harga yang terjangkau. Sehubungan tersebut, tulisan ini

didasarkan pada pemikiran bahwa aspek produksi dan distribusi pelu dilihat dalam satu kesatuan yang utuh

dalam upaya mewujudkan stabilitas harga dan kedaulatan pangan.

Dari sisi produksi, perkembangan terkini menunjukkan bahwa produksi sejumlah komoditas pangan strategis

masih belum mampu mencukupi konsumsi domestik. Sejauh ini, dari tiga komoditas pangan yang ditargetkan

swasembada (beras, jagung, dan kedelai), hanya jagung yang diproyeksikan mengalami surplus pada tahun

2015 dan mampu menjadi komoditas ekspor. Produksi beras, yang secara nasional diproyeksikan mencatat

surplus pada tahun 2015, namun menghadapi risiko perlambatan produksi. Hal ini merujuk pada tren

pertumbuhan produksi dalam tiga tahun terakhir yang menurun sebagai pengaruh dari alih fungsi lahan, faktor

cuaca, dan rendahnya produktivitas. Kemudian, produksi kedelai diprakirakan akan cenderung defisit pada

tahun 2015 sehubungan dengan belum adanya perubahan yang signifikan pada pola produksi kedelai, yang

memerlukan perawatan khusus dan rentan terhadap serangan hama. Sedangkan untuk komoditas lain di luar

padi, jagung, dan kedelai yang memiliki andil cukup besar terhadap stabilitas harga seperti aneka cabai dan

bawang belum menjadi prioritas swasembada, kendati sejumlah program untuk meningkatkan produksi telah

diinisiasi. Aspek lain yang mendapat perhatian adalah meningkatnya kebutuhan bahan pangan terkait dengan

pertambahan jumlah penduduk, meski konsumsi per kapita untuk sejumlah komoditas pangan strategis

diproyeksikan mengalami penurunan sebagai pengaruh dari transformasi kelas menengah di daerah urban.

Produksi yang tidak merata secara spasial mengakibatkan terdapatnya daerah surplus dan defisit yang

berdampak pada dinamika pasokan dan harga. Surplus beras terjadi di Jawa dan Sumatera, serta sebagian

Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku-Papua.3 Sementara itu, komoditas hortikultura strategis, yang harganya

kerap bergejolak, tergantung kondisi pasokan, seperti cabai merah terindikasi surplus hanya di Sumatera, Jawa

dan Sulampua-Balinusra. Demikian pula untuk komoditas bawang merah, terindikasi surplus hanya di Jawa dan

Sulampua-Balinusra. Adapun pemenuhan kebutuhan bawang merah di Sumatera, bergantung pada pasokan

dari Jawa. Sama halnya dengan Sumatera, Kalimantan juga memiliki ketergantungan relatif tinggi pada

pemenuhan produk hortikultura dari wilayah lain. Untuk komoditas daging, yang harganya juga cenderung

bergejolak, terutama pada periode kenaikan permintaan, hasil pemetaan menunjukkan surplus terdapat di

Sulampua-Balinusra dan Sumatera. Sedangkan untuk komoditas daging ayam surplus terjadi di Jawa serta

Kalimantan.4 Secara umum, potensi peningkatan produksi pangan terdapat di wilayah luar Jawa dengan

mempertimbangkan ketersediaan lahan dan pengembangan pertanian modern dengan skala ekonomi dan

sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Upaya mempertemukan daerah surplus dan defisit akan sangat

dipengaruhi oleh infrastruktur konektivitas. Di tengah minimnya konektivitas khususnya di luar Jawa, dalam

jangka pendek ketergantungan pada Impor belum sepenuhnya dapat dihilangkan. Upaya peningkatan

kapasitas produksi dan produktivitas, terutama untuk komoditas pangan strategis yang masih tercatat defisit.5

setidaknya dapat mengurangi impor sehingga kondusif dalam mendukung langkah perbaikan neraca

perdagangan.

Masalah kesinambungan atau ketersediaan pasokan antarwaktu dan antardaerah juga turut mewarnai upaya

pencapaian kedaulatan pangan. Ketidaksinambungan pasokan khususnya terkait dengan siklus produksi dan

pengelolaan atau manajemen stok. Meski terdapat siklus produksi tertentu pada sejumlah komoditas pangan

strategis terutama tanaman bahan makanan (tabama), dengan pengelolaan stok yang baik, masalah

3 Spesifik di Kalimantan, produktivitas panen padi (3,58 ton/Ha) jauh di bawah nasional (5,08 juta/Ha) terkait dengan

kondisi lahan gambut dan sistem pengairan tadah hujan dengan masa tanam hanya sekali dalam setahun. Sementara di

Sumatera, kendala secara spesifik pada perbaikan irigasi untuk meningkatkan produktivitas (frekuensi panen padi). 4 Khusus di KTI, komoditas ikan menjadi sumber pemenuhan protein yang utama disamping daging. Produksi perikanan KTI

tercatat surplus dalam level yang cukup signfikan didukung dengan surplus di seluruh wilayah provinsi KTI. Produk

perikanan KTI juga menjadi sumber ekspor yang cukup dominan baik ke pasar domestik maupun internasional. 5 Pengendalian permintaan (demand) melalui diversifikasi pangan juga menjadi salah satu solusi yang mendukung

pencapaian kedaulatan pangan dalam jangka panjang.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 81

ketidaksinambungan pasokan semestinya tidak terjadi. Hal lain yang menjadi perhatian adalah pola

perdagangan lintas wilayah yang menyebabkan ketidakseimbangan pasokan antardaerah, panjangnya rantai

distribusi, dan lebih tingginya biaya logistik dan distribusi. Pada mekanisme pasar bebas, harga pangan

cenderung mengikuti harga tertinggi dan kondisi pasokan. Hal ini menyebabkan hasil produksi dilarikan

menuju daerah dengan harga tertinggi, seperti ke wilayah DKI Jakarta, yang merupakan daerah defisit dengan

tingkat permintaan tertinggi secara nasional. Selanjutnya, setelah keseimbangan harga tercapai dalam level

baru yang lebih tinggi, komoditas pangan bergerak kembali menuju ke berbagai wilayah, termasuk ke daerah

sentra produksi.

Tantangan Kedaulatan Pangan di Sisi Produksi

Gambaran secara utuh pada masalah dan tantangan kedaulatan pangan dari aspek produksi tercermin pada

bagan di bawah. Tantangan yang diidentifikasi tersebut merupakan common factor di sebagian besar wilayah,

namun secara relatif terdapat perbedaan tingkat permasalahan dan isu spesifik di tiap wilayah. Minimnya

infrastruktur pertanian lebih menjadi isu di wilayah luar Jawa. Sementara di Jawa, isu utama terkait dengan

alih fungsi lahan dan kerusakan jaringan irigasi. Adapun tantangan terbesar diidentifikasi dari aspek

kelembagaan dalam rangka meningkatkan skala ekonomi, manajemen pengelolaan dan pembinaan usaha tani,

serta tidak kalah pentingnya pembangunan infrastruktur pertanian. Aspek kelembagaan penting, mengingat

sebagian besar dari masalah produksi pertanian yang diidentifikasi bermuara pada tantangan dari sisi

kebijakan (regulasi), legal dan perizinan, penganggaran, mekanisme implementasi kebijakan, serta SDM. Meski

secara umum, telah ada kebijakan yang mendukung peningkatan kapasitas produksi, dalam implementasinya

masih ditemui banyak kendala.

Gambar VI.2. Permasalahan dan Tantangan Pencapaian Kedaulatan Pangan di Sisi Produksi

(Keterangan : Disarikan dari berbagai kajian dan narasumber)

Infrastruktur pertanian menjadi tantangan struktural dalam peningkatan kapasitas poduksi dan produktivitas

usaha tani. Kondisi terkini menunjukkan parahnya kerusakan jaringan irigasi pertanian yang mencapai hingga

46% dari total jaringan irigasi yang ada. Kerusakan terbesar terjadi pada jaringan irigasi yang berada di bawah

kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota (59% rusak dari total yang menjadi kewenangannya) dan

Pemerintah Provinsi (53% rusak dari total yang menjadi kewenangannya). Disamping minimnya upaya

perluasan jaringan irigasi baru di daerah, faktor pemeliharaan masih menjadi kendala utama. Hal ini terkait

Tantangan

Tantangan

Tantangan• Sinergi dan koordinasi dlm

pembangunan infrastrukturpertanian oleh Pusat-Daerah

• Pengadaan lahan sesuai dgn RTRW dan hambatan perizinan

• Keterbatasan anggaran infrastrukturdaerah

• Keterbatasan akses terhadap alsintan• Penyaluran bantuan yang harus sesuai

dengan karakteristik wilayahpertanian

• Dukungan teknis & non-teknis (BBM, kemampuan pengelolaan) yang masihminim

• Keterbatasan akses terhadap saprodi• Penyaluran bantuan saprodi yang

tepat sasaran & lokasi• Dukungan teknis (penyuluh) terkait

Good Agricultural Practice (GAP)

•Faktor cuaca cukup dominan memengaruhi kesinambunganproduksi dan kualitas produk Produksi

•Ketersediaan sarana pupuk, benih yang belum optimal (kesesuaian waktu).•Pengelolaan dan pengawasan

distribusi pupuk di daerah masih perlu ditingkatkan

•Rendahnya adopsi inovasi danteknologi mengakibatkan produktivitas yang rendah.•Tingginya alih fungsi lahan

pertanian.

•Ketersediaan sarana infrastruktur pengairan (waduk, saluran irigasi primer-tersier) perlu ditingkatkan•Kondisi akses jalan ke sentra

pertanian yang belum memadai

Program K/L

B

A

CA

B

C

L a p o r a n N u s a n t a r a | 82

salah satunya dengan terbatasnya alokasi anggaran, terutama APBD, di samping minimnya pengawasan.

Dengan asumsi tren produksi dan konsumsi per kapita berlanjut seperti saat ini, tanpa ada pembangunan dan

rehabilitasi jaringan irigasi, diprakirakan defisit beras akan mulai terjadi pada tahun 2017.6

Grafik VI.1. Kondisi Jaringan Irigasi Pertanian Tahun 2014

(Sumber : Ditjen Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat)

Secara nyata, pemerintah telah berupaya mengatasi tantangan dari kendala infrastruktur pertanian, khususnya

untuk menyelesaikan rehabilitasi jaringan irigasi yang rusak maupun membangun jaringan irigasi baru. Hal ini

tercermin dari APBN-P 2015 yang mengalihkan anggaran subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan berbagai

upaya penghematan anggaran belanja kementerian/lembaga ke belanja infrastruktur. Alokasi anggaran untuk

keseluruhan proyek infrastruktur naik sekitar 40% pada tahun 2015, bila dibandingkan dengan alokasi pada

tahun 2014. Alokasi anggaran, yang mencapai sekitar Rp 11,6 triliun, akan digunakan untuk pembangunan

jalan pertanian (500 km), jaringan irigasi (0,36 juta Ha irigasi primer-sekunder dan 0,35 juta Ha irigasi tersier),

waduk (5 proyek baru, 16 proyek berjalan), serta perbaikan pelabuhan perikanan (22 proyek). Pembangunan

jaringan irigasi baru dialokasikan terbesar di wilayah Sumatera, sementara untuk rehabilitasi jaringan irigasi

difokuskan di wilayah Jawa pada tahun 2015.

Dalam kurun waktu yang lebih panjang, hingga tahun 2019, Pemerintah merencanakan pembangunan waduk

dan jaringan irigasi dalam skala luas, untuk mendukung tercapainya kedaulatan pangan sesuai amanat RPJMN

2015 – 2019. Sebanyak 65 waduk senilai sekitar Rp 89,5 triliun direncanakan pembangunannya pada tahun

2015. Adapun sebaran dari pembangunan waduk tersebut sekitar 60% dari 65 proyek dimaksud berada di

wilayah Jawa (27 proyek senilai Rp 39,5 T) dan Sumatera (12 proyek senilai Rp 19,7 T). Di samping itu, juga

akan dibangun 1 juta Ha jaringan irigasi baru, yang sekitar 69% di antaranya, direncanakan dibangun di wilayah

Sumatera dan Maluku-Papua (terluas di Papua Barat).7 Sementara itu, untuk rehabilitasi jaringan irigasi seluas

3 juta Ha direncanakan sekitar 60% di antaranya, dibangun di wilayah Jawa (terluas di Jawa Barat) dan

Sumatera (terluas di Sumatera Utara).

Diharapkan dengan adanya langkah prioritas dalam pembangunan maupun perbaikan infrastruktur pertanian,

produksi komoditas pangan strategis dapat meningkat dan mencapai swasembada untuk sejumlah komoditas.

Adapun target swasembada difokuskan pada komoditas beras, jagung, dan kedelai. Khusus komoditas beras,

swasembada ditargetkan dalam tiga tahun pertama (tahun 2015 – 2017). Peningkatan produksi pangan

6 Analisis dan estimasi Ditjen Sumber Daya Air, Kemenpupera dengan mengasumsikan konsumsi beras (139

kg/orang/tahun, proyeksi jumlah penduduk oleh BPS, luas lahan beririgasi (Kepmen 293 Tahun 2014), produktivitas sebesar 5,16 Ton GKG/Ha dengan Indeks Pertanaman (IP) sebesar 1,43 dan rendemen GKG ke beras 0,56, serta perkiraan alih fungsi lahan sebesar 100.000 Ha/tahun. 7 Langkah pembangunan jaringan irigasi baru merupakan hal yang mutlak untuk mendukung program pertanian modern

(food estate) yang mengutamakan produktivitas tinggi dengan dukungan teknologi, metode tanam, dan SDM.

Total Luas IrigasiPermukaan :

7.145.168 Ha

PUSAT2.376.521 Ha

33%

PROV1.105.475 Ha

16%

KAB/KOTA3.663.172 Ha

51%

77,5%

22,5%

46,6%53,4%

59%

41%

Kondisi BaikKondisi Rusak

L a p o r a n N u s a n t a r a | 83

tertinggi pada tahun 2019 ditargetkan pada komoditas kedelai yang mencapai hingga 22,7% dari baseline

produksi pada 2014.

Grafik VI.2. Persentasi Proyek Pembangunan Irigasi Grafik VI.3. Persentasi Proyek Rehabilitasi Irigasi

(Sumber : Ditjen Sumber Daya Air, Kemenpupera)

Dalam kaitan dengan upaya mengatasi tantangan dalam pencapaian kedaulatan pangan di sisi produksi

melalui pembangunan infrastruktur, diperlukan sinergi antara Pemerintah Pusat – Daerah. Koordinasi maupun

kerjasama diperlukan untuk memastikan adanya dukungan sesuai dengan kewenangannya, mengingat

jaringan irigasi primer-sekunder menjadi tanggung jawab pusat, sementara jaringan irigasi tersier berada

dalam kewenangan daerah. Tanpa adanya sinergi, terdapat risiko lambatnya atau bahkan tertundanya realisasi

pembangunan infrastruktur pertanian yang strategis tersebut. Monitoring secara berkala dibutuhkan guna

mengetahui kemajuan dari sejumlah proyek serta kendala yang dihadapi di seluruh wilayah.

Tabel VI.1. Tracking Proyek Konstruksi Pembangunan Waduk dan Jaringan Irigasi 2015

(Sumber : BCI Asia)

Tantangan Kedaulatan Pangan di Sisi Tata Niaga

Salah satu pengejewantahan dari kedaulatan pangan adalah stabilisasi harga pangan yang sangat terkait

dengan aspek tata niaga. Secara garis besar, tantangan terbesar dari tata niaga sejumlah komoditas pangan

strategis saat ini adalah pada perbaikan jalur distribusi, mekanisme pembentukan harga, dan faktor

institusional, yang mencakup kebijakan dan fasilitasi perdagangan. Selain itu, belum optimalnya manajemen

stok, di tengah masih terdapatnya ketidaksinambungan pasokan, mengakibatkan minimnya stok penyangga,

yang menyebabkan stabilitas harga rentan, terutama saat terjadi paceklik atau penurunan produksi. Gambaran

secara utuh pada masalah dan tantangan kedaulatan pangan dari aspek tata niaga tercermin pada bagan di

bawah. Tantangan yang diidentifikasi di bawah ini merupakan common factor di sebagian besar wilayah,

namun relatif terdapat perbedaan level permasalahan dan isu spesifik di tiap wilayah, antara lain panjang

pendeknya rantai distribusi, hambatan distribusi, serta akses ke pasar.

Sumatera

28,4%

Jawa

5,0%Kalimantan

11,7%Sulawesi

16,5%

Bali-Nusa Tenggara

6,5%

Maluku-Papua

31,9%

Sumatera

28,1%

Jawa

31,7%

Kalimantan

14,8%

Sulawesi

14,4%

Bali-Nusa

Tenggara

5,7%

Maluku-Papua

5,3%

Rp Juta

Seluruh

Fase

Fase

Perencanaan

Fase Post

Tender

Fase

Konstruksi

% Fase

Konstruksi

Sulawesi Utara 908,517 0 78,517 830,000 91.4

NTB 744,426 0 724,538 19,888 2.7

Sumatera Selatan 375,019 280,145 53,450 41,424 11.0

Sumatera Barat 202,288 68,938 76,495 56,855 28.1

Jambi 149,751 62,000 87,751 0 0

TOTAL 4,613,528 883,165 2,528,349 1,202,014 26.1

*) Data ditarik pada 4 Mei 2015

ProvinsiPosisi per Mei *)

L a p o r a n N u s a n t a r a | 84

Gambar VI.3. Permasalahan dan Tantangan Pencapaian Kedaulatan Pangan di Sisi Tata Niaga

(Keterangan : Disarikan dari berbagai kajian dan narasumber)

Rantai distribusi sejumlah komoditas pangan strategis cenderung panjang, yang berdampak pada tidak

seimbangnya akumulasi margin serta terjadinya disparitas harga yang besar di tingkat produsen (khususnya

pada tingkat petani dan pedagang besar). Sebagai contoh, bagan di bawah adalah rantai distribusi beras yang

dipetakan secara nasional melalui survei. Terbatasnya akses ke pasar secara langsung, menyebabkan tingginya

ketergantungan petani pada pengepul atau tengkulak yang menyediakan sejumlah fasilitas baik pada periode

sebelum maupun pascapanen. Pedagang besar memiliki peran penting dalam tata niaga, terkait dengan

jaringan rantai pasok dan jaringan perdagangan yang dimiliki, serta modal pendukung. Hal ini ditengarai

sebagai faktor yang menyebabkan pedagang besar cenderung mampu memengaruhi pasokan dan harga secara

relatif, serta dapat mengambil margin terbesar bersama dengan pedagang grosir yang memiliki jaringan di

tingkat pengecer. Sama halnya dengan petani, pengecer dan konsumen akhir cenderung tidak memiliki daya

tawar. Meski demikian, efisiensi rantai distribusi tidak hanya terkait dengan panjang/pendeknya rantai, tetapi

juga penyebaran margin keuntungan, yang mengindikasikan risiko dan faktor pembentukan harga. Pedagang

besar mengambil margin terbesar disebabkan pula oleh risiko yang harus ditanggung terkait dengan volatilitas

pasokan dan harga.

Gambar VI.4. Rantai Distribusi Beras

(Sumber : Tumpak, dkk, Grup Riset Ekonomi, Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter/DKEM, 2011)

Market Power – Marjin Terbesar

Tantangan• Sistem informasi harga pangan belum

digunakan secara luas dan terintegrasi• Pengarahan ekspektasi yg memengaruhi

mekanisme pembentukan harga• Perluasan jaringan akses membutuhkan

investasi besar dan dukungan stakeholderspusat dan daerah

Tantangan• Masih lemahnya kelembagaan pelaku usaha pangan khususnya

pada sisi manajemen bisnis• Kurangnya komitmen dlm implementasi kerjasama antar daerah• Minimnya fasilitasi/pendampingan kepada petani dalam

mengakses pasar yang lebih luas

• Belum optimalnya sistem manajemen stok/logistik terintegrasi yang mendukung efisiensi rantai distribusi• Inefiesiensi distribusi dan terbatasnya pusat distribusi pangan yang didukung dgn gudang penyimpanan

memadai dan tepat lokasi• Keterbatasan anggaran daerah utk stabilisasi harga, termasuk dalam menjaga kesinambungan pangan

• Akurasi kondisi surplus defisit komoditas pangan• Kesesuain dengan aturan WTO

Tantangan

Distribution channel

Program K/L

• Belum optimalnya pengelolaanlogistik pangan untukmendukung kesinambunganpasokan dan stabilitas harga

• Ketepatan pengaturan waktudan besaran jumlah alokasiimpor yang disesuaikan dengankondisi pasokan/produksidomestik

• Keterbatasan transparansi hargadan konektivitas menyebabkan semakin lebarnya disparitas harga antardaerah

Rp

• Masih terbatasnya peran institusipangan/Pemerintah dalammeningkatkan skala ekonomi danakses langsung ke pasar

A

B

C

D

A Tantangan

B

C

D

L a p o r a n N u s a n t a r a | 85

Secara umum, juga terlihat distribusi pasokan pangan yang terbagi hampir merata antara pasar domestik di

dalam wilayah produksi dengan pasar di wilayah (provinsi) lain, mengikuti mekanisme pasar (harga tertinggi

dan kondisi pasokan). Hal ini turut menjadi faktor terjadinya disparitas harga pangan secara spasial, di samping

adanya perbedaan biaya distribusi. Berdasarkan survei, biaya distribusi (transportasi dan bongkar muat)

berada pada kisaran 40% - 50% tergantung dari jenis pelaku usaha pangan. Selain itu, persepsi pedagang

terhadap kendala distribusi juga mengonfirmasi tingginya biaya pengangkutan yang di antaranya sebagai

pengaruh dari keterbatasan jumlah angkutan serta faktor lain seperti kerusakan infrastruktur dan cuaca buruk.

Secara spasial, kendala distribusi terutama di wilayah luar Jawa yang memiliki konektivitas dan infrastruktur

lebih terbatas. Biaya logistik khususnya di KTI merupakan yang tertinggi secara nasional

Grafik VI.4. Struktur Biaya Pedagang

(Sumber : Ridhwan, dkk, DKEM, 2012)

Grafik VI.5. Faktor dalam Kendala Distribusi

(Sumber : Tumpak, dkk, DKEM, 2011)

Peningkatan konektivitas melalui pembangunan infrastruktur jalan dan pelabuhan diharapkan dapat

mengefisienkan rantai distribusi dan biaya logistik sebagai salah satu upaya pembenahan tata niaga. Hal ini

juga mendukung upaya meningkatkan daya saing logistik untuk menyamai negara pesaing regional, sehingga

akses pelaku usaha pangan ke pasar dapat semakin efisien. Peningkatan konektivitas juga dalam rangka

memperluas akses pasar yang bertujuan untuk penguasaan pasar domestik serta pasar ekspor bagi komoditas

pangan. Dalam kaitan itu, sejumlah pembangunan dan pemeliharaan jalan nasional direncanakan dalam kurun

waktu tahun 2015 -2019 dengan nilai total proyek sekitar Rp 278 triliun. Pembangunan terutama difokuskan

pada proyek jalan bebas hambatan, yang pada akhir tahun 2014 hanya dapat diselesaikan di wilayah Bali dan

sebagian Jawa. Jalur Trans Sumatera dimulai pembangunannya pada tahun 2015, sementara pembangunan

jalan bebas hambatan di wilayah Kalimantan dan Sulawesi masih dalam tahap studi dan penyiapan dokumen

serta pengadaan lahan. Diharapkan pada tahun 2019, lebih dari 50% jalan bebas hambatan secara nasional

dapat diselesaikan pembangunannya.

Tabel VI.2. Status Pembangunan Jalan 2015

Sumber : Kemen PU Pera Grafik VI.6. Indeks Kinerja Logistik

Seperti halnya dengan pembangunan infrastruktur pertanian, perlu adanya koordinasi dan sinergi pusat-

daerah dalam pembangunan infrastruktur transportasi baik darat maupun laut. Berdasarkan pemantauan

terkini (data BCI Asia pada awal Mei 2015), terindikasi lambatnya realisasi pembangunan pelabuhan laut dan

WILAYAHPANJANG

(KM)

STATUS 2014 2015

TARGET

2015-2019SELESAI

Sumatera 496.19 - 1.23 174.99

Jawa 1,348.81 256.18 123.78 775.75

Kalimantan 99.02 - - 99.02

Bali 9.70 9.70 - -

Sulawesi 39.00 - - 39.00

TOTAL 1,992.72 265.88 125.01 1,088.76

L a p o r a n N u s a n t a r a | 86

udara serta terminal.8 Hal ini ditengarai sebagai pengaruh dari kendala dalam pengadaan lahan dan perizinan,

di samping kemungkinan adanya isu pendanaan. Kontribusi dan kerjasama Pemerintah Daerah sangat

diharapkan dalam menyelesaikan sejumlah kendala tersebut. Selain itu, juga diharapkan adanya dukungan

daerah dalam pembangunan jalan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota.

Dari sisi pembiayaan, pembangunan infrastruktur juga membutuhkan dukungan swasta dan BUMN. Diperlukan

langkah konkrit untuk mendapatkan dukungan swasta melalui penawaran skema pembiayaan dan struktur

insentif. Dari sisi pembiayaan pemerintah baik melalui APBN amupun APBD (budget constraint), perlu adanya

prioritas proyek infrastruktur yang akan dibangun. Prioritas perlu didasarkan pada analisis cost-benefit agar

manfaat dari pembangunan infrastruktur dapat semaksimal mungkin dirasakan masyarakat, mendukung

kedaulatan pangan, serta mendorong perekonomian sektor riil secara langsung.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Kedaulatan pangan merupakan salah satu aspek utama dalam komponen kemandirian ekonomi yang ingin

diwujudkan dan tertuang dalam agenda Nawa Cita Pemerintahan Jokowi-JK dan RPJMN. Dalam menyoroti dua

aspek utama, yaitu produksi yang mewakiliki sisi hulu dan distribusi/tata niaga yang mencakup sisi hilir,

diharapkan dapat memberikan gambaran umum yang holistik akan aspek kedaulatan pangan. Perkembangan

terkini sisi produksi menunjukan bahwa sejumlah komoditas pangan strategis masih belum mampu mencukupi

konsumsi domestik. Khusus untuk tiga komoditas pangan (beras, jagung dan kedelai), yang ditargetkan

swasembada, hanya jagung yang diprakirakan mengalami surplus pada 2015. Kondisi surplus-defisit dimaksud

akan membawa dimensi tantangan apbila dilihat dari aspek spasial. Konektivitas anatar daerah menjadi kunci

utama untuk menjembatani perdagangan antar daerah yang mengalami surplus dan defisit sehingga pasokan

dapat selalu terjaga. Adapun tantangan yang dihadapi pada sisi produksi, terutama pada aspek kelembagaan,

alih fungsi lahan, kerusakan jaringan irigasi dan masih minimnya infrastruktur (khusus untuk daearah luar

Jawa). Kemudian, tantangan pada aspek tata niaga terkait jalur distribusi, mekanisme pembentukan harga, dan

faktor institusional, yang mencakup kebijakan dan fasilitasi perdagangan.

Menyikapi berbagai kendala dan tantangan di maksud, upaya peningkatan produksi dan pembenahan tata

niaga memainkan peran sangat penting dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan. Pembangunan

infrastruktur pertanian akan mendorong kenaikan produksi dan produktivitas pangan sedangkan

pembangunan infrastruktur transportasi akan mendukung perbaikan logistik, sehingga upaya pembenahan

rantai distribusi dan stabilitas harga lebih dapat dicapai. Dari sisi pembiayaan, pembangunan infrastruktur

memiliki conditionality, yakni swasta maupun BUMN. Dengan demikian, perlu adanya langkah konkrit untuk

mendapat dukungan swasta melalui penawaran skema pembiayaan dan struktur insentif. Kemudian, dalam

rangka mengoptimalkan sumber daya (resources) terutama dr sisi pembiayaan pemerintah (budget constraint),

perlu adanya prioritas proyek infrastruktur yang akan dibangun. Prioritas perlu didasarkan analisis cost-benefit

agar manfaat dari pembangunan infrastruktur dapat semaksimal mungkin dirasakan masyarakat, mendukung

kedaulatan pangan, serta mendorong perekonomian sektor riil secara langsung. Selain itu, koordinasi dan

sinergi lintas institusi baik di pusat dan daerah memegang peranan kunci, khususnya dalam menyelesaikan

sejumlah masalah yang menghambat pembangunan infrastruktur. Terakhir, menilik pada aspek tata niaga,

terdapat beberapa opsi strategi atau langkah riil yang dapat dilakukan untuk membenahinya, khususnya dalam

mengefisiensikan rantai distribusi dan biaya logistik yg berpengaruh pada pembentukan harga. Salah satunya

adalah dengan pengelolaan pusat distribusi pangan regional secara profesional dengan fungsi terpadu dari

hulu hingga hilir.

8 Dalam RPJMN 2015 – 2019 direncanakan pembangunan 24 pelabuhan barang baru yang sebagian besar akan terintegrasi

dengan sistem tol laut, 60 pelabuhan penyeberangan baru, serta 15 bandara baru. Disamping pembangunan infrastruktur

pelabuhan laut dan udara, juga direncanakan perluasan jalur kereta api di wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan

Sulawesi sepanjang total 3,258 km. Optimalisasi moda kereta dalam distribusi barang juga dapat turut mendukung

perbaikan sistem dan biaya logistik.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 87

L a p o r a n N u s a n t a r a | 8 7

Sebagai negara dengan perekonomian yang terbuka, dinamika ekonomi global akan memengaruhi

perkembangan ekonomi Indonesia. Interaksi perekonomian nasional dengan perekonomian global, terjalin

melalui kegiatan perdagangan internasional. Dukungan kegiatan perdagangan internasional pada kinerja

ekonomi dipengaruh oleh seberapa besar ekspor dapat dipacu, meskipun impor tetap dilakukan. Faktor utama

yang dapat memengaruhi kinerja ekspor yaitu permintaan negara mitra dagang dan perkembangan nilai tukar.

Dalam beberapa waktu terakhir kondisi nilai tukar rupiah cenderung terdepresiasi. Secara teori kondisi ini akan

menguntungkan kinerja ekspor, karena pelemahan nilai tukar dapat memperbaiki daya saing komoditas ekspor

dari sisi harga. Meski demikian pemanfaatan peluang sangat tergantung pada faktor-faktor lain yang

memengaruhi daya saing dari komoditas ekspor tersebut.

Perkembangan perekonomian dunia yang semakin maju dan tanpa batas mendorong terus meningkatnya

transaksi perdagangan internasional. Bagi negara emerging dengan karakteristik small open economy, nilai

tukar berperan penting dalam transaksi perdagangan sekaligus menjadi salah satu barometer stabilitas

makroekonomi. Dalam konteks tersebut, perkembangan level dan fluktuasi nilai tukar selalu menjadi topik

pembicaraan menarik dan mengundang fokus perhatian banyak pihak, khususnya manakala nilai tukar

mengalami tekanan. Sehubungan hal tersebut, pada bulan April 2015, Bank Indonesia melaksanakan survei

kepada pelaku usaha di berbagai daerah guna menjaring pandangan mereka mengenai dampak pelemahan

nilai tukar rupiah terhadap perekonomian daerah, khususnya melalui jalur ekspor-impor.

Grafik VI.7. Pergerakan Ekspor dan Nilai Tukar Rupiah

Hasil Umum Survei

Survei dilakukan kepada 279 responden pelaku usaha dari 12 sektor usaha di seluruh wilayah, dengan porsi

terbesar responden dari wilayah Jawa. Berdasarkan sektor usahanya, sebagian besar responden merupakan

pelaku usaha industri pengolahan (70,9%). Untuk melihat dampak nilai tukar terhadap kegiatan usaha

responden, maka responden dikelompokkan dalam beberapa jenis usaha berdasarkan asal bahan baku yang

digunakan dan orientasi pasarnya yaitu : (i) usaha berbahan baku impor dengan orientasi pasar domestik; (ii)

usaha berbahan baku impor dengan orientasi pasar ekspor; dan (iii) usaha berbahan baku lokal dengan

orientasi pasar ekspor. Pengelompokan berdasarkan asal bahan baku didasari pemikiran bahwa bahan baku

merupakan faktor paling dominan yang menentukan biaya produksi, sehingga peningkatan biaya perolehan

akibat pelemahan rupiah akan mempengaruhi kinerja usaha. Sementara itu, pengelompokan berdasarkan

orientasi pasar diharapkan akan mampu memberikan gambaran mengenai kondisi pelaku usaha dalam

mengoptimalkan pemanfaatan kondisi pelemahan rupiah yang terjadi.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 88

Share Responden Survei-Wilayah

Share Responden Survei – Sektor Usaha

Grafik VI.8. Profil Responden

Grafik VI.9. Dampak Nilai Tukar Terhadap Penjualan Per Kategori Usaha

Dalam jangka pendek (triwulan II 2015), pelemahan nilai tukar yang terjadi mengakibatkan pelaku usaha yang

memiliki orientasi pasar domestik cenderung lebih pesimis terhadap kondisi penjualan dibandingkan dengan

pelaku usaha dengan orientasi pasar ekspor (Grafik VI.4). Dalam perspektif jangka panjang (sepanjang 2015),

baik pelaku usaha yang berorientasi pasar ekspor maupun domestik menunjukkan optimisme terhadap

peningkatan penjualan. Selain penurunan penjualan, kinerja usaha juga dihadapkan pada permasalahan

peningkatan biaya produksi. Berdasarkan hasil survei, peningkatan biaya produksi pada usaha yang

menggunakan bahan baku impor, baik yang berorientasi pasar domestik maupun ekspor, cenderung lebih

dominan dibandingkan dengan usaha yang menggunakan bahan baku lokal. Peningkatan biaya produksi dalam

level yang lebih moderat pada usaha yang berbasis bahan baku lokal dan berorientasi pasar ekspor,

diperkirakan karena pelemahan rupiah juga memiliki dampak terhadap kenaikan harga bahan baku lokal,

antara lain melalui jalur kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Dalam kondisi yang sedemikian rupa,

seluruh kategori usaha mengindikasikan upaya untuk mempertahankan daya saingnya saat ini maupun

disepanjang tahun 2015 dengan cara mempertahankan kondisi harga jual (stabil). Upaya ini berdampak pada

berkurangnya margin usaha, khususnya pada usaha berbahan baku impor dengan orientasi pasar ekspor.

Sementara itu, mayoritas responden memperkirakan indikator kinerja usaha lainnya, seperti kebutuhan

investasi dan pembiayaan relatif stabil sepanjang tahun 2015.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 89

(a)

(b)

(c)

(d)

Grafik VI.10. Dampak Pelemahan Rupiah terhadap Biaya Produksi, Harga Jual, Margin Usaha, dan Daya Saing

Dampak Pelemahan Nilai Tukar pada Industri Pengolahan

Asesmen dampak pelemahan nilai tukar terhadap industri pengolahan dikhususkan di wilayah Jawa, mengingat

dominasi industri pengolahan Jawa terhadap industri pengolahan nasional. Hasil survei terhadap 86

perusahaan industri pengolahan di Jawa, terindikasi bahwa omset penjualan relatif stabil (Tabel VI.1).

Sementara, pelaku usaha yang memiliki orientasi pasar ekspor memperkirakan akan mengalami kenaikan

penjualan. Mayoritas perusahaan di semua kategori pelaku usaha menyatakan bahwa biaya produksi

mengalami kenaikan, termasuk pada pelaku usaha yang menggunakan bahan baku dari pasar domestik.

Meskipun demikian, mayoritas pelaku usaha menyatakan belum akan melakukan penyesuaian harga jual.

Kondisi ini menyebabkan berkurangnya margin usaha, khususnya bagi pelaku usaha berbahan baku impor

dengan orientasi pasar domestik.

Tabel VI.3. Hasil Survei Dampak Nilai Tukar

Tabel VI.4. Asesmen Dampak Nilai Tukar terhadap

Sektor Industri Pengolahan Kawasan Jawa

*Kondisi elastis diperoleh bila penjumlahan elastisitas ekspor-

impor (absolut) ≥1

L a p o r a n N u s a n t a r a | 90

Hasil asesmen Marshall Lerner condition1 menunjukkan bahwa beberapa sektor industri di wilayah Jawa

cenderung inelastis terhadap pelemahan nilai tukar rupiah (Tabel VI.2). Hal ini mengindikasikan bahwa dalam

jangka pendek, pelemahan nilai tukar rupiah belum memberikan dampak bagi perbaikan neraca perdagangan

industri pengolahan di Jawa. Asesmen sektor industri di Jawa berdasarkan analisis Marshall Lerner condition,

dikelompokkan dalam beberapa kategori berdasarkan karakteristik industri, yaitu:

a. Industri dengan orientasi pasar domestik, namun memiliki kandungan impor tinggi (komoditas: tekstil

dan produk tekstil/TPT).

Dampak pelemahan nilai tukar terhadap kinerja industri TPT relatif terbatas, tercermin dari total elastisitas

ekspor dan impor yang kurang dari 1 (Tabel VI.2). Nilai elastisitas ekspor TPT terhadap pelemahan nilai

tukar yang lebih kecil dibandingkan elastisitas impor terhadap pelemahan nilai tukar, mengindikasikan

respon impor yang lebih kuat dibandingkan ekspor. Hal ini ditengarai disebabkan oleh tingginya komponen

bahan baku impor pada komoditas TPT.

b. Industri dengan orientasi pasar ekspor, namun memiliki kandungan impor tinggi (komoditas: Kendaraan

Bermotor dan Elektronik).

Pelemahan nilai tukar berpotensi mendorong peningkatan kinerja ekspor kendaraan bermotor, namun

menurunkan daya saing ekspor produk elektronik. Pelemahan nilai tukar direspon positif melalui

peningkatan kinerja ekspor kendaraan bermotor dengan elastisitas 0,47 ditengah content impor yang

menurun (elastisitas -0,04) (Tabel VI.2). Sementara itu, pengaruh nilai tukar rupiah terhadap industri

elektronik cukup besar, tercermin dari elastisitas yang mendekati 1 (0,99). Pelemahan nilai tukar direspon

dengan penurunan kinerja ekspor elektronik, ditengarai terjadi karena adanya ketergantungan yang tinggi

dari pelaku usaha terhadap bahan baku impor (hingga mencapai 70%).

c. Industri dengan orientasi pasar ekspor, namun memiliki kandungan bahan baku domestik (komoditas:

Makanan Minuman).

Dampak pelemahan nilai tukar terhadap kinerja ekspor-impor industri makanan dan minuman relatif

terbatas, tercermin dari total elastisitas ekspor-impor yang di bawah 1. Pelemahan nilai tukar rupiah

direspon positif oleh industri makanan dan minuman, sehingga mendorong peningkatan ekspor maupun

impor. Nilai elastisitas ekspor yang lebih besar dibandingkan elastisitas impor mengindikasikan respon

positif ekspor yang lebih kuat daripada impor. Hal ini sejalan dengan dominasi penggunaan komponen

bahan baku lokal pada industri makanan minuman.

Dampak Pelemahan Nilai Tukar Pada Komoditas Pertambangan : Batubara & Minyak Bumi

Berdasarkan hasil survei2 yang dilakukan kepada para pelaku usaha pertambangan di Kalimantan, diketahui

bahwa pelemahan nilai tukar tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap kinerja komoditas batubara dan

minyak bumi. Hal ini terjadi karena pendapatan maupun pengeluaran pelaku usaha ditransaksikan

menggunakan mata uang dolar AS, baik untuk pasar ekspor maupun pasar domestik. Jika dilihat dari struktur

biayanya, 80%–90% biaya digunakan untuk pembelian sparepart, bensin pertambangan, royalti serta

pembayaran cicilan dan bunga kredit. Sedangkan, biaya yang menggunakan mata uang rupiah hanya 10%–20%

saja, antara lain untuk pembayaran gaji non-ekspatriat, pajak dan biaya operasional lainnya. Lebih lanjut,

kandungan impor yang cukup tinggi pada sektor pertambangan, seperti sparepart dan bahan peledak tidak

terpengaruh oleh nilai tukar karena output produksi juga dijual dalam valuta dollar AS.

Berdasarkan olah data sekunder, untuk melihat dampak nilai tukar terhadap kinerja sektor batubara dan migas

di Kalimantan, terlihat bahwa tidak terdapat hubungan yang konsisten antara pelemahan nilai tukar dengan

volume ekspor batubara dan migas. Ekspor batubara lebih didorong oleh harga komoditas yang merupakan

1 Marshall Lerner condition adalah kondisi perbaikan neraca perdagangan terhadap depresiasi nilai tukar yang tercapai melalui respons pasar berupa

peningkatan permintaan, seiring membaiknya daya saing ekspor. Respons tersebut juga disertai dengan upaya pengurangan impor, melalui penguatan lini

produksi bahan baku substitusi impor 2 Survei dilakukan pada contact Liaison periode April 2015 (Departemen Statistik) dengan menggunakan suplemen kuesioner.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 91

representasi permintaan pada level global. Sementara itu, kinerja ekspor migas lebih dipengaruhi oleh natural

declining yang terjadi pada sumur migas yang ada.

(30)

(20)

(10)

-

10

20

30

(40)

(20)

-

20

40

60

80

100

120

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I

2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Ekspor (LHS)

Kurs (RHS)

(% yoy) (% yoy)

(70)

(60)

(50)

(40)

(30)

(20)

(10)

-

10

20

30

40

(40)

(20)

-

20

40

60

80

100

120

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I

2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Ekspor (LHS)

Harga (RHS)(% yoy) (% yoy)

Grafik VI.11. Ekspor Batubara dan Nilai Tukar Grafik VI.12. Ekspor Batubara dan Harga Komoditas

8,000

8,500

9,000

9,500

10,000

10,500

11,000

11,500

12,000

12,500

9

10

11

12

13

14

15

16

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV

2009 2010 2011 2012 2013 2014

Lifting Minyak (LHS)

Kurs (RHS)

(jt barel) (Rp/$)

8,000

8,500

9,000

9,500

10,000

10,500

11,000

11,500

12,000

12,500

100

120

140

160

180

200

220

240

260

280

300

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV

2009 2010 2011 2012 2013 2014

Lifting Gas (LHS)

Kurs (RHS)

(juta mmbtu) (Rp/$)

Grafik VI.13. Volume Ekspor Minyak Bumi dan Nilai

Tukar

Grafik VI.14. Ekspor Gas dan Harga Komoditas

Dampak Pelemahan Nilai Tukar Pada Komoditas Perkebunan : CPO dan Karet

Survei terhadap 59 responden pelaku usaha komoditas Crude Palm Oil (CPO) dan karet Sumatera menunjukkan

bahwa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS memberikan dampak positif kepada ekspor, terindikasi

dari perkiraan peningkatan penjualan keseluruhan tahun 2015 yang mencapai 4,5% (yoy). Namun, peningkatan

penjualan baik dari segi nilai maupun volume belum menjadi faktor pendorong bagi pelaku usaha untuk

meningkatkan investasi dan pembiayaan pada tahun 2015. Responden juga memperkirakan bahwa pelemahan

nilai tukar yang terjadi belum memengaruhi biaya produksi. Di sisi lain, pelemahan nilai tukar tidak diiringi

dengan penurunan impor. Hal ini karena impor yang dilakukan oleh pelaku usaha di Sumatera merupakan

barang modal (48% dari total impor) yang digunakan dalam proses produksi.

Kinerja ekspor CPO dan karet Sumatera juga dipengaruhi perkembangan harga kedua komoditas tersebut di

pasar internasional. Hal tersebut dikonfirmasi melalui uji korelasi terhadap kedua variabel tersebut dengan

menggunakan data ekspor sejak tahun 2007 hingga Maret 2015. Korelasi yang kuat antara kinerja ekspor dan

harga komoditas tercermin dari nilai korelasi keduanya yang mencapai 0,95 untuk komoditas karet dan 0,75

untuk komoditas CPO (Tabel VI.3).

Tabel VI.5. Hasil Uji Korelasi Nilai Tukar terhadap Ekspor

Indikator Nilai Tukar Harga Komoditas

Ekspor Karet (Nilai) -0.54 0.95

Ekspor Karet (Volume) -0.06 0.32

Ekspor CPO (Nilai) -0.54 0.75

Ekspor CPO (Volume) 0.36 -0.14

Dampak Pelemahan Nilai Tukar Pada Industri Pariwisata

Pengamatan terhadap data sekunder dari tahun 2010 hingga 2014, menunjukkan pergerakan nilai tukar rupiah

searah dengan peningkatan jumlah wisatawan mancanegara dan tingkat hunian hotel. Pelemahan rupiah yang

terjadi selama periode pengamatan, diiringi dengan percepatan peningkatan tren Tingkat Penghunian Kamar

(TPK). Namun, tren pertumbuhan tersebut belum terlihat pada awal tahun 2015.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 92

Grafik VI.15. Dampak Pelemahan Rupiah Terhadap Wisman dan Tingkat Hunian Hotel

Pariwisata merupakan sektor utama di Provinsi Bali. Memasuki tahun 2015, sektor pariwisata Bali mengalami

perlambatan, yang tercermin dari penurunan pertumbuhan angka kedatangan wisatawan mancanegara pada

bulan Januari dan Februari 2015. Pada Februari 2015, tingkat hunian hotel menurun 10% (yoy) dibandingkan

dengan periode yang sama tahun sebelumnya, disertai dengan penurunan tingkat kunjungan wisatawan

mancanegara. Hingga Februari 2015 pertumbuhan jumlah wisman tercatat sebesar 15,43% (yoy), lebih rendah

dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 16,90% (yoy). Sektor perhotelan berbintang mengalami

penurunan paling besar, akibat masih tingginya management fee dan biaya operasional hotel yang

ditransaksikan dalam valuta asing (dolar AS), di tengah penurunan permintaan wisatawan, terkait pelemahan

ekonomi di negara asal wisatawan. Penurunan wisman terbesar berasal dari Tiongkok, Malaysia, Singapura,

dan Rusia. Selain itu, kembali kondusifnya tujuan wisata di luar Indonesia, antara lain Thailand, juga menjadi

salah satu penyebab penurunan jumlah wisatawan mancanegara.

Grafik VI.16. Tren Hunian Hotel dan Asal Negara Wisatawan

Anomali sepanjang tahun 2015 ini terkonfirmasi dari hasil survei. Para pelaku usaha di sektor pariwisata

menilai bahwa pelemahan rupiah akan berdampak pada penurunan penjualan dan margin usaha pada awal

tahun 2015. Para pelaku usaha pariwisata berusaha untuk tidak menaikkan harga jual, meskipun pelemahan

rupiah berdampak pada kenaikan biaya produksi. Responden menilai, menaikan harga jual malah kian

menurunkan kinerja sektor pariwisata. Pelemahan rupiah yang terjadi ditengarai tidak memengaruhi rencana

investasi, baik modal kerja, bangunan, maupun finansial. Selain itu, mayoritas responden memilih untuk tidak

melakukan atau menunda penambahan utang. Namun, bagi responden yang telah memiliki utang,

rescheduling pembayaran dan permohonan dispensasi jatuh tempo pembayaran menjadi pilihan strategi

pengelola keuangan.

Grafik VI.17. Dampak Pelemahan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Pariwisata

L a p o r a n N u s a n t a r a

Penanggung Jawab dan Editor

Doddy Zulverdi

Koordinator Penyusun

Kiki Nindya Asih

Tim Penulis

Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter

: Handri Adiwilaga M. Cahyaningtyas Neva Andina Darius Tirtosuharto Puput Kurniati Maximilian T. Tutuarima Nurul Pratiwi Andi Parenrengi

Departemen Regional I (Sumatera)

: Febby Leorisa Septine Wulandini

Departemen Regional II (Jawa)

: Komalia Rahmayani Rizki Fitrama

Departemen Regional III (Kalimantan)

: Adela Putri Rizkia Bernad Hasiholan R. Hutama Jaya Wardhana (KPwDN Provinsi Kalimantan Selatan)

Departemen Regional IV (Sulampua Bali Nusra)

: Andree Breitner Makahinda

L a p o r a n N u s a n t a r a | 134