MEDIA DAN KOMUNIKASI ISLAM Oleh: Dr. Eko Siswanto, M.HI ... · cenderung menggunakan kata bentrok,...
-
Upload
nguyenquynh -
Category
Documents
-
view
231 -
download
0
Transcript of MEDIA DAN KOMUNIKASI ISLAM Oleh: Dr. Eko Siswanto, M.HI ... · cenderung menggunakan kata bentrok,...
MEDIA DAN KOMUNIKASI ISLAM
Oleh: Dr. Eko Siswanto, M.HI.
Abstrak
Media dan komunikasi tidak hanya ilmu yang dipelajari di kelas perkuliahan semata.
Bahkan komunikasi sendiri sebenarnya telah diajarkan oleh Sang Pencipta, Allah SWT,
melalui kitabnya Al-Qur’an tentang bagaimana pentingnya media komunikasi bagi umat
manusia, khususnya umat Islam. Komunikasi yang dilakukan secara baik dan efektif
memiliki manfaat yang besar, di antaranya tersampaikannya gagasan atau pemikiran kepada
orang lain dengan jelas sesuai dengan yang dimaksudkan; adanya saling kesefamanan antara
komunikator dan komunikan dalam suatu permasalahan, sehingga terhindar dari salah
persepsi; menjaga hubungan baik dan silaturrahmi dalam suatu persahabatan, komunitas atau
jama’ah; serta aktivitas ‘amar ma’ruf nahi munkar di antara sesama umat manusia dapat
diwujudkan dengan lebih persuasif dan penuh kedamaian. Dalam Al-Qur’an ditemukan
berbagai panduan agar komunikasi berjalan dengan baik dan efektif. Kita dapat
mengistilahkannya sebagai kaidah, prinsip, atau etika berkomunikasi dalam perspektif Islam.
Kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam ini merupakan panduan bagi kaum Muslim
dalam melakukan komunikasi, baik dalam komunikasi intrapersonal, interpersonal dalam
pergaulan sehari hari, berdakwah secara lisan dan tulisan, maupun dalam aktivitas lain.
Dalam berbagai literatur tentang komunikasi Islam kita dapat menemukan setidaknya enam
jenis gaya bicara atau pembicaraan (qaulan) yang dikategorikan sebagai kaidah, prinsip, atau
etika komunikasi Islam, yakni qaulan sadida, qaulan baligha, qulan ma’rufa, qaulan karima,
qaulan layinan, dan qaulan maysura.
Kata Kunci: Media, Komunikasi, Islam.
Islam Dan Media
Belakangan ini semakin terasa tekanan yang begitu hebat terhadap umat Islam di
Indonesia. Baik tekanan yang mengarah pada pembunuhan orang-orang yang belum
dibuktikan kesalahannya oleh aparat negara, maupun tekanan masif dengan pembentukan
opini yang menggusur nilai-nilai Islam dan masyarakat. Opini yang menyerang nilai-nilai
Islam itu dibentuk oleh berbagai aspek seperti ini memudahkan untuk membuat wacana
tertentu seakan menjadi kenyataan.1
Media adalah salah satu corong pembentukan wacana yang memiliki pengaruh
sangat dahsyat. Media menjadi kekuatan untuk menyebarkan gagasan, bahkan dapat
menentukan apa yang baik dan buruk.2 Pengaruhnya mampu untuk mendefinisikan nilai-nilai
tertentu sehingga diterima dan diyakini kebenarannya dalam masyarakat.3 Ia bahkan dapat
memberi legitimasi untuk gagasan tertentu dan mendelegitimasi gagasan yang dianggapnya
menyimpang. Dengan pengaruhnya yang luar biasa itu maka sangat naif membayangkan
media sebgai pihak yang netral. Media memiliki idiologi masing-masing. Berita yang
dibentuk oleh media bukan berasal dari ruang yang hampa, tapi diproduksi oleh idiologi
tertentu. Begitu besarnya pengaruh idiologi dalam media sehingga idiologi berperan
menampilkan pesan dan realitas hasil konstruksi tampak seperti nyata, alami dan benar.
Melalui bahasa dan kata-kata, idiologi menjelma menjadi realitas yang harus dipahami oleh
khalayak.4
Realitas yang kita anggap hadir melalui berita, nyatanya adalah realitas yang telah
dikonstruksikan sedemikian rupa oleh media. Lewat berbagai instrumen yang dimilikinya,
media ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan. Media tentu saja memilih,
realitas apa yang diambil dan mana yang terbuang. Ia bukan saja memilih peristiwa dan
menentukan sumber berita, tetapi juga berperan mendefinisikan aktor dan peristiwanya.
Lewat bahasa, ia dapat menyebut, misalnya, demonstran sebagai pahlawan atau perusuh.
Semua buah konstruksi tersebut membuat khalayak harus memahami dalam kacamata
tertentu yang telah digariskan oleh media. Media berasal dari kumpulan manusia, dengan
jurnalis sebagai ujung tombaknya. Maka ketika jurnalis pertama kali bersentuhan dengan
fakta di lapangan, ia bukanlah perekam pasif tetapi terjadi interaksi antara dirinya dengan
1Noam Chomsky. Politik Kuasa Media (Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2006), h. 14. 2Eriyanto. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. (Yogyakarta: LkiS, 2012), h. 54. 3Eriyanto. Analisis Framing Konstruksi, Idiologi dan Politik Media (Yogyakarta: LkiS, 2012), h. 36. 4Bill Kovach dan Tom Rosentiel. Elemen-Elemen Jurnalis. (Jakarta: Institut Arus Informasi dan
KedutaanBesar Amerika Serikat di Jakarta, 2004), h. 64.
realitas. Bahkan menurut Mark Fisherman, wartawan hidup dalam institusi media dengan
seperangkat aturan dan nilai-nilai tertentu. Hal itu memungkinkan bagi sebuah media
mengontrol wartawan untuk melihat peristiwa dalam kemasan tertentu. Bahkan dapat
dikatakan di ruang redaksi media condong menjadi kediktatoran, dalam arti seseorang yang
berada dalam komandao teratas yang membuat keputusan terakhir. Kenyataannya, memang
media tidak akan netral. Lalu dimanakah letak objektivitas media? Objektivitas media
bukanlah melihat tanpa sudut pandang tertentu, atau memberitakan tanpa konstruksi tertentu.
Objektivitas media menurut Gaye Tuchman adalah ritual proses pembentukan dan produksi
berita. Ada prosedur-prosedur yang harus dilakukan wartawan agar apa yang ditulis bisa
disebut objektif.5 Antara lain, menampilakan semua kemungkian konflik yang muncul,
menampilkan fakta-fakta pendukung, pemakaian kutipan pendapat, dan menyampaikan
informasi dalam tata urutan tertentu.6 Dengan menempuh prosedur seperti itu, media dapat
mempertanggungjawabkan, bahwa mereka tidak berbohong. Karena pada dasarnya,
wartawan hanya diminta objektif dalam metodenya. Objektivitas mengembangkan
sebuahmetode untuk secara konsisten menguji informasi dengan pendekatan transparan
mencapai bukti-bukti dengan tepat. Bagi seorang jurnalis muslim, objektivitas bersandar pada
nilai-nilai yang diberikan oleh Allah melalui Al-Qur’an dan al-sunnah. Celakanya, pengaruh
media saat ini didominasi bukan oleh media yang memperjuangkan nilai-nilai Islam, namun
dijejali dengan media berbasis sekuler. Berapa banyak harian Islam yang bisa disebut di
Indonesia? Berapa jari yang bisa dihitung ketika menyebut televisi Islami? Di layar kaca,
materi Islam hanya singgah saat orang masih terlelap, dan semarak ketika bulan ramadhan
tiba. Itu pun belum jelas, yang menyampaikan pelawak atau dai. Maka ketika berbagai opini
yang bertentangan dengan Islam, umat dibuat kebingungan. Begitu masif dan intens opini
tersebut muncul, sehingga wacana kontra nilai-nilai Islam sedikit terbentuk memenuhi benak
umat.
Penghasutan wacana yang begitu membahana, mulai dari liberalisasi agama,
kampanye anti syari’at Islam, sekularisasi hingga pengaburan sejarah mulai menjadi makanan
sehari-hari umat Islam. Kita terpaksa menelan yang tak baik untuk kita. Hal ini merupakan
buah dari penguasaan wacana yang begitu sistematis dan terarah dari pihak-pihak pengusung
nilai-nilai sekuler dan liberal. Bahkan menurut Edward Said, media mengatakan apa yang
mereka harapkan tentang Islam, karena mereka mampu. Dahsyatnya penguasaan wacana
5Sayyed Al Seni. The Islamic Concept of News. (America: The American Journal of Islamic Social Sciences, 1986), h. 53.
6Edward W Said. Covering Islam Bias Liputan Dunia Barat Atas Dunia Islam. (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002), h. 24.
rusak ini, merupakan buah dari jalinan intim media sekuler dengan akademisi, pemerintah,
bahkan donatur (pengusaha). Kita tahu bagaimana media seringkali mengutip pendapat
seorang akademisi (ahli) tertentu, untuk menguatkan sudut pandangnya. Tentu saja mereka
hanya memuat pendapat ahli atau akademisi tadi yang sepaham dengan media tersebut. Cara
ini memang efektif untuk memberikan legitimasi terhadap wacana tertentu. Sebagai contoh,
ketika media berbicara kerukunan beragama di masyarakat, maka seringkali yang dikutip
sumber-sumber dari LSM pengusung pluralisme agama. Kutipan narasumber seperti ini
menjadi semacam legitimasi. Legitimasi ini seringkali diperkuat dengan dalih-dalih yuridis.
Maka tidak heran ketika ada wacana anti syari’at Islam dikutip pula pendapat ahli hukum,
yang membentur-benturkan syari’at dengan Pancasila atau UUD 1945.
Ahli atau akademisi tadi biasanya tergabung dalam sebuah lembaga atau LSM yang
di danai oleh pengusaha tertentu yang memiliki visi-visi tertentu pula. Ada pula, beberapa
lembaga turut membiayai akademisi untuk menuntut ilmu lanjutan di universitas-universitas
barat dengan studi Islam. Di sinilah jejaring itu terjalin sejak dini. Jaringan ini semakin
berkembang ketika aktivis atau akademisi yang dahulu bercokol di LSM semacam tadi,
kemudian menduduki kursi legislatif dan menduduki jabatan-jabatan strategis di
pemerintahan. Lingkaran setan ini berputar secara berkesinambungan, menguatkan satu sama
lain, dan dibangun sejak lama. Seringkali pula media kita dapati berselingkuh dengan
pemerintah. Hal ini dapat kita lihat dalam kasus pemberitaan mengenai kasus terorisme.
Ketika ada orang-orang yang ditembak sewenang-wenang, tanpa diadili oleh aparat, maka
media hanya mengutip pendapat pihak kepolisian saja. Kepolisian dalam hal ini dianggap
hanya satu-satunya pihak yang memiliki otoritas untuk berbicara. Dan saat yang bersamaan
media menafikan pihak lain, seperti keluarga korban. Celakanya, kepolisian, tidak cukup
hanya menjadi sumber, tetapi juga mendefinisikan realitas dan kelompok lain. Polisi
menjelaskan realitas kasus terorisme itu secara keseluruhan, mulai dari motif, pelaku, hingga
targetnya. Pembentukan wacana miring mengenai Islam oleh media dengan cara yang
beragam memang dapat kita telusuri melalui pemberitaan-pemberitaan yang ada. seperti
misalnya dalam kasus razia miras oleh ormas tertentu. Media hanya memberitakan hal itu
sebagai perilaku brutal atau premanisme. Tapi tidak melihat rusaknya masyarakat akibat
miras tersebut. Atau ketika terjadi pembantaian umat Islam di suatu wilayah, media
cenderung menggunakan kata bentrok, kerusuhan dan sebagainya. Penggunaan kata-kata
memang mencerminkan sudut pandang tertentu. Saat memberitakan demonstrasi menentang
Ahmadiyah, maka media sekuler memakai kata seperti anarkisme atau intoleran. Metode
misrepresentasi ini memang ditujukan untuk memberikan kesan tidak baik dan
menghilangkan realitas tertentu, seperti penodaan terhadap ajaran Islam yang ditimbulkan
oleh ajaran Ahmadiyah. Framing pemberitaan media sekuler juga acapkali menggiring
pembaca pada ingatan teretentu. Gambaran tentang orang, kelompok, atau wacana tertentu
selalu disesuaikan dengan ikon yang sudah tertanam dalam benak publik. Ikon-ikon itu
diciptakan dalam pemberitaan sehingga membatasi pandangan khalayak.
Pemberitaan mengenai syari’at Islam dikenangkan media sebagai pemberontakan
NII. Atau ormas tertentu diingatkan sebagai ormas anarkhis. Betapa pun misalnya, ormas
tersebut sedang melakukan bantuan untuk korban bencana alam. Penciptaan ikon ini juga
turut dicitrakan melalui foto atau gambar. Sebuah ikon, menurut W Lance Bennet dan Regina
G. Lawrence, timbul ketika berita diarahkan pada peristiwa dramatik. Bahkan gambar atau
foto tersebut seringkali ditampilkan walaupun tak ada hubungannya dengan peristiwa
tertentu. Hal seperti ini dapat kita temukan ketika terdapat berita mengenai ormas tertentu,
tetapi foto yang ditamilkan selalu saja foto ormas tersebut bentrok. Padahal itu adalah sebuah
peristiwa yang lampau.
Kekuatan media melalui framing pemberitaan melangkah lebih jauh. Faraming bisa
berkaitan dengan opini publik. Ketika sebuah isu tertentu dikemas dengan bingkai tertentu,
bisa mengakibatkan pemahaman yang berbeda atas suatu isu.7 Cara yang ditempuh adalah
dengan mengupayakan agar khalayak memiliki pandangan yang sama atas sebuah isu.
Ditandai dengan menciptakan masalah bersama, musuh bersama, dan pahlawan bersama,
dengan itu khalayak bisa digerakkan dan dimobilisasi. Kita ingat ketika terjadi bentrok di
monas antara sebuah ormas Islam dengan gerakan yang diamankan aliansi untuk kebebasan
beragama dan berkeyakinan di monas. Isu yang ditiupkan adalah masalah kebebasan bersama
secara luas. Walaupun akar sebenarnya adalah eksistensi ajaran penoda agama Islam, yaitu
Ahmadiyah. Kemudian diciptakan musuh bersama yang menghalangi kebebasan beragama di
Indonesia. Diciptakan pahlawan, yaitu para aktivis aliansi untuk kebebasan beragama dan
berkeyakinan yang mengalami luka. Wacana ini kemudian bergulir lebih jauh, sehingga
mendapat dukungan khalayak dan legitimasi pemerintah untuk menangkapi beberapa tokoh
ormas tersebut. Kenyataannya, walaupun pengaruh media yang begitu besar, media tidak
begitu saja berdiri sendiri. Pembaca memiliki peranan yang penting. Ketika berita
dikonstruksi, media tetapmempertimbangkan segmentasi pembaca, kelas sosial, kelompok
umur dan karakteristik. Pada dasarnya berita hadir bukan dari ruang hampa. Ia hadir untuk
menyapa dan berdialog dengan pembaca. Sapaan anda, kami, atau kita, berusaha untuk
7Mohammad Natsir. Capita Selekta 2 (Jakarta: PT. Abadi, 2008), h. 16.
menempatkan pembaca dalam posisi tertentu. Kehadiran pembaca pada akhirnya untuk
mendapat dukungan dan meyakinkan pembaca. Menurut Eriyanto, pembaca dan teks secara
bersama-sama mempunyai andil yang sama dalam memproduksi pemaknaan, dan hubungan
itu menempatkan seseorang sebagai satu bagian besar dari hubungannya dengan sistem tata
nilai yang lebih besar dimana dia hidup dalam masyarakat. Pada titik inilah idiologi bekerja.
Disinilah kemudian pentingnya kita umat Islam sebagai pembaca menerapkan Islam sebagai
idiologi. M. Natsir menyebut Islam sebagai idiologi serta sistem perikehidupan. Dapat pula
kita sebut sebagai pandangan hidup. Dengan menerapkan Islam sebagai pandangan hidup,
maka umat sebagai pembaca akan membentengi diri dengan sendirinya dari pengaruh opini
oleh media. Umat sebagai pembaca akan memaknai kacamat Islam ketika melihat realitas
yang disajikan media. Terlepas apa yang masyarakat harapkan dari media, ketika berbicara
mengenai media massa, apa yang pembaca beli merupakan hal yang berbeda.
Pertarungan terhadap penguasaan wacana, sesungguhnya justru terjadi pada umat
Islam yang belum menerapkan Islam sebagai pandangan hidup. Mereka yang biasanya
menganggap Islam sebagai aspek ritual atau spiritualitas semata. Sehingga pandangan hidup
mereka masih bisa dipengaruhi nilai-nilai lain, seperti sekularisme, pluralisme agama atau
liberalisasi agama. Mereka adalah masa mengambang yang terombang ambing dalam wacana
tidsk Islsmi. Mereka yang biasanya menafsirkan berita dengan nalar dan pengetahuan yang
terbatas mengenai Islam. Menurut pemahaman Edward Said, pemahaman yang mereka
peroleh, terbatas hanya melalui pendidikan formal. Merekalah yang perlu diselamatkan
pemahamannya dalam perang wacana ini. Dan tampaknya, merekalah yang menjadi
mayoritas umat Islam di Indonesia ini. Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana caranya
umat Islam memenangkan perang wacana ini? Melihat kondisi umat saat ini, penting untuk
mengetahui jenis media masa yang efektif untuk menguasasi wacana.
Media cetak, baik koran atau majalah memang masih berkiprah dan berpengaruh
saat ini. Namun membentuk media cetak untuk menyaingi media-media cetak sekuer raksasa,
hanya membuang uang dan tenaga. Fakta menunjukkan bahwa era media cetak sudah surut
dan mulai beralih pada media digital. Masa depan media cetak sesungguhnya tinggal
menunggu lonceng kematiannya. Runtuhnya berbagai media raksasa di luar negeri seperti
Newsweek dan berbondong-bondongnya media masa nasional yang berlahan beralih ke dunia
digital, mengamini ajal media cetak. Faktor bseperti semakin terbatasnya bahan baku kertas,
ongkos produksi yang tinggi, serta dibutuhkannya saluran distribusi media yang luas, hanya
menambah daftar kesulitan yang ada. sementara media digital adalah masa depan yang
terbentang luas. Dominannya kaum muda yang menggunakan internet menandakan masa
depan penduduk Indonesia akan beralij ke media digital. Internet saat ini juga telah
mengubah kebiasaan kita sehari-hari dalam berbagai aktivitas yang ada. Mengubah laku kita
dalam menerima informasi dan berkomunikasi. Menggeser kebiasaan kita. Jejaring sosial,
portal berita online perlahan mengambil porsi dalam berbagi dan menyerap informasi.
Efektivitas penyebaran informasi dalam dunia digital memang jauh lebih dahsyat ketimbang
media cetak. Dunia seakan menjadi rata. Semua bisa memperoleh dan menyebarkan
informasi dalam saat yang bersamaan. Penyebaran informasinya menghancurkan batas-batas
geografis. Menghantam sekat-sekat budaya dan kebiasaan. Bagi sebagian umat Islam hal ini
dimanfaatkan dengan menjamurnya portal berita Islam. Kemudian mendirikan media digital
mempercepat pertumbuhan media Islam. Namun kualitas pemberitaan, sumber yang valid,
verifikasi berita serta pengemasan berita menjadi tantangan media Islam digital agar bisa
disimak berbagai segmentasi pembaca. Masih sering kita temukan media Islam online
menyajikan berita yang tak jelas sumbernya dan akhirnya diketahui hanya hoax. Pembaca
yang kritis lama kelamaan akan menanggalkan kepercayaan dan meninggalkan media ini.
Namun situasi yang lebih menarik terjadi pada dunia bernama jejaring sosial. Di sinilah
muncul seuah fenomena baru gerakan Islam di dunia maya. Sebuah gerakan yang dapat
dibandingkan dengan fenomena global activism. Global activism dikenal sebagai gerakan
yang mengatur melalui internet dan bereaksi secara cepat pada ancaman terhadap isu hak
asasi manusia atau lingkungan di belahan bumi mana pun. Gerakan ini juga tidak terorganisir
secara kaku dan hierarkhis, serta secara geografis terpencar. Global activism terkenal akan
gerakannya yang mendukung demonstrasi menolak WTO di Seattle pada tahun 1999.
Sesungguhnya fenomena serupa global activism juga terlihat pada sebuah gerakan
pemuda-pemudi Islam di dunia maya beberapa tahun belakangan ini. Gerakan bernama
Indonesia tanpa JIL pantas kita cermati. Gerakan ini awalnya bersifat spontan, bukan bagian
dari sebuah organisasi, bahkan bersifat lintas harakah. Ibarat bola salju, gerakan ini awalnya
hanya segelintir, namun bergulir, menyatu dan semakin membesar karena musuh yang sama.
W. Lence Bennet, mengutip Gerlach dan Hines mengidentifikasi gerakan semacam ini
dengan dengan prinsip SPIN (segmented Polycentric, Integrated, Network). Segmentation
yang berarti dengan prinsip SPIN yang berarti gerakan ini dengan banyak segmen,
melibatkan batasan yang cair antar kelompok, grup-grup yang informal, bahkan individu
yang berbeda-beda, tetapi kelak akan dapat dikoordinasikan.
Komunikasi dalam Perspektif Islam
Secara leksikal komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita
antara dua orang atau lebih. Sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Komunikasi
mempengaruhi perubahan perilaku, cara hidup kemasyarakatan, serta nilai-nilai yang ada.
Perubahan-perubahan tersebut tampaknya berbanding lurus dengan perkembangan teknologi
komunikasi. Efektifitas komunikasi menyangkut kontak sosial manusia dalam masyarakat.
Ini berarti, kontak dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. Kontak yang paling menonjol
dikaitkan dengan perilaku. Selain itu, masalah yang menonjol dalam proses komunikasi
adalah perbandingan antara pesan yang disampaikan dengan pesan yang diterima. Informasi
yang disampaikan tidak hanya tergantung kepada jumlah (besar atau kecil) akan tetapi sangat
tergantung pada sejauh mana informasi itu dapat dimengerti atau tidak. Tujuannya adalah
bagaimana mewujudkan komunikasi yang efektif dan efisien.
Dalam perspektif Islam, komunikasi di samping untuk mewujudkan hubungan
secara vertikal dengan Allah SWT, juga untuk menegakkan komunikasi secara horizontal
terhadap sesama manusia. Komunikasi dengan Allah SWT tercermin melalui ibadah-ibadah
fardlu (salat, puasa, zakat dan haji) yang bertujuan untuk membentuk takwa. Sedangkan
komunikasi dengan sesama manusia terwujud melalui penekanan hubungan sosial yang
disebut muamalah, yang tercermin dalam semua aspek kehidupan manusia, seperti sosial,
budaya, politik, ekonomi, seni dan sebagainya.
Soal cara (kaifiyah), dalam Al-Qur’an dan al-hadis ditemukan berbagai panduan
agar komunikasi berjalan dengan baik dan efektif. Kita dapat mengistilahkannya sebagai
kaidah, prinsip, atau etika berkomunikasi dalam perspektif Islam. Kaidah, prinsip, atau etika
komunikasi Islam ini merupakan panduan bagi kaum Muslim dalam melakukan komunikasi,
baik dalam komunikasi intrapersonal, interpersonal dalam pergaulan sehari hari, berdakwah
secara lisan dan tulisan, maupun dalam aktivitas lain. Dalam berbagai literatur tentang
komunikasi Islam kita dapat menemukan setidaknya enam jenis gaya bicara atau
pembicaraan (qaulan) yang dikategorikan sebagai kaidah, prinsip, atau etika komunikasi
Islam, yakni (1) Qaulan Sadida, (2) Qaulan Baligha, (3) Qulan Ma’rufa, (4) Qaulan Karima,
(5) Qaulan Layinan, dan (6) Qaulan Maysura.
Pertama, qaulan sadida. Dalam Q.S. An-Nisa’/4: 9 menyatakan “Dan hendaklah
takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-
anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan
yang benar (qaulan sadida)”.8
8Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanleema,
2009), h. 78.
Qaulan sadidan berarti pembicaran, ucapan, atau perkataan yang benar, baik dari
segi substansi (materi, isi, pesan) maupun redaksi (tata bahasa). Dari segi substansi,
komunikasi Islam harus menginformasikan atau menyampaikan kebenaran, faktual, hal yang
benar saja, jujur, tidak berbohong, juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta. “Dan
jauhilah perkataan-perkataan dusta” (Q.S. Al-Hajj/22: 30). “Hendaklah kamu berpegang pada
kebenaran (shidqi) karena sesungguhnya kebenaran itu memimpin kepada kebaikan dan
kebaikan itu membawa ke surga” (HR. Muttafaq ‘Alaih). “Katakanlah kebenaran walaupun
pahit rasanya” (HR Ibnu Hibban).
Dari segi redaksi, komunikasi Islam harus menggunakan kata-kata yang baik dan
benar, baku, sesuai kadiah bahasa yang berlaku. “Dan berkatalah kamu kepada semua
manusia dengan cara yang baik” (Q.S. Al-Baqarah/2: 83). “Sesungguhnya segala persoalan
itu berjalan menurut ketentuan” (H.R. Ibnu Asakir dari Abdullah bin Basri). Dalam bahasa
Indonesia, maka komunikasi hendaknya menaati kaidah tata bahasa dan mengguakan kata-
kata baku yang sesuai dengan ejaan yang disempurnakan.
Kedua, qaulan baligha. Dalam Q.S. An-Nisa’/4: 63 disebutkan bahwa “Mereka itu
adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu
berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka
perkataan yang berbekas pada jiwa mereka (qaulan baligha).“ (Q.S. An-Nissa/4 :63). Kata
baligh berarti tepat, lugas, fasih, dan jelas maknanya. Qaulan baligha artinya menggunakan
kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok
masalah (straight to the point), dan tidak berbelit-belit atau bertele-tele. Agar komunikasi
tepat sasaran, gaya bicara dan pesan yang disampaikan hendaklah disesuaikan dengan kadar
intelektualitas komunikan dan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh mereka.
“Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar akal (intelektualitas) mereka” (H.R.
Muslim). ”Tidak kami utus seorang rasul kecuali ia harus menjelaskan dengann bahasa
kaumnya” (Q.S.Ibrahim/14: 4).
Gaya bicara dan pilihan kata dalam berkomunikasi dengan orang awam tentu harus
dibedakan dengan saat berkomunikasi dengan kalangan cendekiawan. Berbicara di depan
anak TK tentu harus tidak sama dengan saat berbicara di depan mahasiswa. Dalam konteks
akademis, kita dituntut menggunakan bahasa akademis. Saat berkomunikasi di media massa,
gunakanlah bahasa jurnalistik sebagai bahasa komunikasi massa (language of mass
communication).
Ketiga, qaulan ma’rufa. Kata qaulan ma`rufan disebutkan Allah dalam Q.S. An-
Nissa/4: 5 dan 8, Q.S. Al-Baqarah/2: 235 dan 263, serta Al-Ahzab/33: 32. Qaulan ma’rufa
artinya perkataan yang baik, ungkapan yang pantas, santun, menggunakan sindiran (tidak
kasar), dan tidak menyakitkan atau menyinggung perasaan. Qaulan ma’rufa juga bermakna
pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan (maslahat). Dalam Q.S. An-
Nisa/4: vvvvvvv “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya[268], harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai
pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah
kepada mereka kata-kata yang baik. (Qaulan ma’rufa” (QS An-Nissa :5) “Dan apabila
sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka
dari harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik (Qaulan
Ma’rufa)” (QS An-Nissa :8). “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu
dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.
Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah
kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan
(kepada mereka) perkataan yang baik (Qaulan Ma’rufa)”(QS. Al-Baqarah:235). Perkataan
yang baik (Qulan Ma’rufa) dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan
sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.”
(QS. Al-Baqarah: 263). “Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang
lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik
(Qaulan Ma’rufa).” (QS. Al-Ahzab: 32).
Keempat, qaulan karima. “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orangtuamu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua duanya sampai berumur
lanjut dalam pemeliharaanmu, seklai kali janganlah kamu mengatakan kepada kedanya
perkatan ‘ah’ dan kamu janganlah membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
ucapan yang mulia (Qaulan Karima)” (QS. Al-Isra: 23). Qaulan karima adalah perkataan
yang mulia, dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, enak didengar, lemah-lembut,
dan bertatakrama. Dalam ayat tersebut perkataan yang mulia wajib dilakukan saat berbicara
dengan kedua orangtua. Kita dilarang membentak mereka atau mengucapkan kata-kata yang
sekiranya menyakiti hati mereka. Qaulan karima harus digunakan khususnya saat
berkomunikasi dengan kedua orangtua atau orang yang harus kita hormati. Dalam konteks
jurnalistik dan penyiaran, Qaulan karima bermakna mengunakan kata-kata yang santun, tidak
kasar, tidak vulgar, dan menghindari istilah yang kasar, seperti jijik, muak, ngeri, dan sadis.
Kelima, qaulan layina. “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-
kata yang lemah lembut (qulan Layina)...” (QS. Thaha: 44). Qaulan layina berarti
pembicaraan yang lemah-lembut, dengan suara yang enak didengar, dan penuh keramahan,
sehingga dapat menyentuh hati. Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, yang dimaksud layina
ialah kata kata sindiran, bukan dengan kata kata terus terang atau lugas, apalagi kasar. Ayat di
atas adalah perintah Allah SWT kepada Nabi Musa dan Harun agar berbicara lemah-lembut,
tidak kasar, kepada Fir’aun. Dengan qaulan layina, hati komunikan (orang yang diajak
berkomunikasi) akan merasa tersentuh dan jiwanya tergerak untuk menerima pesan
komunikasi kita. Dengan demikian, dalam komunikasi Islam, semaksimal mungkin dihindari
kata-kata kasar dan suara (intonasi) yang bernada keras dan tinggi.
Keenam, qaulan maysura. ”Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk
memperoleh rahmat dari Tuhannya yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka
ucapan yang mudah (qaulan maysura). Komunikasi merupakan terjemahan kata
communication yang berarti perhubungan atau perkabaran. Communicate berarti
memberitahukan atau berhubungan. Secara etimologis, komunikasi berasal dari bahasa latin
communicatio dengan kata dasar communis yang berarti sama. Secara terminologis,
komunikasi diartikan sebagai pemberitahuan sesuatu (pesan) dari satu pihak ke pihak lain
dengan menggunakan suatu media. Sebagai makhluk sosial, manusia sering berkomunikasi
satu sama lain. Namun, komunikasi bukan hanya dilakukan oleh manusia saja, tetapi juga
dilakukan oleh makhluk-makhluk yang lainnya. Semut dan lebah dikenal mampu
berkomunikasi dengan baik. Bahkan tumbuh-tumbuhanpun sepertinya mampu
berkomunikasi. (QS. Al-Isra: 28). Qaulan maysura bermakna ucapan yang mudah, yakni
mudah dicerna, mudah dimengerti, dan dipahami oleh komunikan. Makna lainnya adalah
kata-kata yang menyenangkan atau berisi hal-hal yang menggembirakan. Komunikasi
dilakukan oleh pihak yang memberitahukan (komunikator) kepada pihak penerima
(komunikan). Komunikasi efektif tejadi apabila sesuatu (pesan) yang diberitahukan
komunikator dapat diterima dengan baik atau sama oleh komunikan, sehingga tidak terjadi
salah persepsi.
Unsur-Unsur Komunikasi
Untuk dapat berkomunikasi secara efektif kita perlu memahami unsur-unsur
komunikasi, antara lain: pertama, komunikator. Pengirim (sender) yang mengirim pesan
kepada komunikan dengan menggunakan media tertentu. Unsur yang sangat berpengaruh
dalam komunikasi, karena merupakan awal (sumber) terjadinya suatu komunikasi. Kedua,
komunikan. Penerima (receiver) yang menerima pesan dari komunikator, kemudian
memahami, menerjemahkan dan akhirnya memberi respon. Ketiga, media. Saluran (channel)
yang digunakan untuk menyampaikan pesan sebagai sarana berkomunikasi. Berupa bahasa
verbal maupun non verbal, wujudnya berupa ucapan, tulisan, gambar, bahasa tubuh, bahasa
mesin, sandi dan lain sebagainya. Keempat, pesan. Isi komunikasi berupa pesan (message)
yang disampaikan oleh Komunikator kepada Komunikan. Kejelasan pengiriman dan
penerimaan pesan sangat berpengaruh terhadap kesinambungan komunikasi. Kelima,
tanggapan. Merupakan dampak (effect) komunikasi sebagai respon atas penerimaan pesan.
Diimplentasikan dalam bentuk umpan balik (feed back) atau tindakan sesuai dengan pesan
yang diterima.
Fungsi dan Manfaat Komunikasi
Dengan berkomunikasi, insya Allah, kita dapat menjalin saling pengertian dengan
orang lain karena komunikasi memiliki beberapa fungsi yang sangat penting, di antaranya
adalah: pertama, fungsi informasi. Untuk memberitahukan sesuau (pesan) kepada pihak
tertentu, dengan maksud agar komunikan dapat memahaminya. Kedua, fungsi ekspresi.
Sebagai wujud ungkapan perasaan / pikiran komunikator atas apa yang dia pahami terhadap
sesuatu hal atau permasalahan. Ketiga, fungsi kontrol. Menghindari terjadinya sesuatu yang
tidak diinginkan, dengan memberi pesan berupa perintah, peringatan, penilaian dan lain
sebagainya. Keempat, fungsi sosial. Untuk keperluan rekreatif dan keakraban hubungan di
antara komunikator dan komunikan. Kelima, fungsi ekonomi. Untuk keperluan transaksi
usaha (bisnis) yang berkaitan dengan finansial, barang dan jasa. Keenam, fungsi da’wah.
Untuk menyampaikan pesan-pesan keagamaan dan perjuangan bersama.
Banyak manfaat yang dapat peroleh dengan berkomunikasi secara baik dan efektif,
di antaranya adalah: tersampaikannya gagasan atau pemikiran kepada orang lain dengan jelas
sesuai dengan yang dimaksudkan; adanya saling kesefamanan antara komunikator dan
komunikan dalam suatu permasalahan, sehingga terhindar dari salah persepsi; menjaga
hubungan baik dan silaturrahmi dalam suatu persahabatan, komunitas atau jama’ah; serta
aktivitas ‘amar ma’ruf nahi munkar di antara sesama umat manusia dapat diwujudkan dengan
lebih persuasif dan penuh kedamaian.
Teori Komunikasi Islam
Komunikasi Islam merupakan bentuk frasa dan pemikiran yang baru muncul dalam
penelitian akademik sekitar tiga dekade belakangan ini. Munculnya pemikiran dan aktivisme
komunikasi Islam didasarkan pada kegagalan falsafah, paradigma dan pelaksanaan
komunikasi Barat yang lebih mengoptimalkan nilai-nilai pragmatis, materialistis serta
penggunaan media secara kapitalis. Kegagalan tersebut menimbulkan implikasi negatif
terutama terhadap komunitas Muslim di seluruh penjuru dunia akibat perbedaan agama,
budaya dan gaya hidup dari negara-negara Barat yang menjadi produsen ilmu tersebut. Ilmu
komunikasi Islam yang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini terutama menyangkut teori
dan prinsip-prinsip komunikasi Islam, serta pendekatan Islam tentang komunikasi. Titik
penting munculnya aktivisme dan pemikiran mengenai komunikasi Islam ditandai dengan
terbitnya jurnal “Media, Culture and Society” pada bulan Januari 1993 di London. Ini
semakin menunjukkan jati diri komunikasi Islam yang tengah mendapat perhatian dan
sorotan masyarakat tidak saja di belahan negara berpenduduk Muslim tetapi juga di negara-
negara Barat. Isu-isu yang dikembangkan dalam jurnal tersebut menyangkut Islam dan
komunikasi yang meliputi perspektif Islam terhadap media, pemanfaatan media massa pada
era pascamodern, kedudukan dan perjalanan media massa di negara Muslim serta perspektif
politik terhadap Islam dan komunikasi.
Komunikasi Islam berfokus pada teori-teori komunikasi yang dikembangkan oleh
para pemikir Muslim. Tujuan akhirnya adalah menjadikan komunikasi Islam sebagai
komunikasi alternatif, terutama dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang
bersesuaian dengan fitrah penciptaan manusia. Kesesuaian nilai-nilai komunikasi dengan
dimensi penciptaan fitrah kemanusiaan itu memberi manfaat terhadap kesejahteraan manusia
sejagat. Sehingga dalam perspektif ini, komunikasi Islam merupakan proses penyampaian
atau tukar menukar informasi yang menggunakan prinsip dan kaedah komunikasi dalam
Alquran.9 Komunikasi Islam dengan demikian dapat didefenisikan sebagai proses
penyampaian nilai-nilai Islam dari komunikator kepada komunikan dengan menggunakan
prinsip-prinsip komunikasi yang sesuai dengan Al-Qur’an dan hadis. Teori-teori komunikasi
yang dikembangkan oleh Barat lebih menekankan aspek empirikal serta mengabaikan aspek
normatif dan historikal. Adapun teori yang dihasilkan melalui pendekatan seperti ini sangat
bersifat premature universalism dan naive empirism. Dalam konteks demikian Majid
Tehranian10 menguraikan bahwa pendekatan ini tidak sama implikasinya dalam konteks
kehidupan komunitas lain yang memiliki latar belakang yang berbeda. Sehingga dalam
perspektif Islam, komunikasi haruslah dikembangkan melalui Islamic world view yang
selanjutnya menjadi azas pembentukan teori komunikasi Islam seperti aspek kekuasaan
9Mafri Amir. Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam (Jakarta: Logos, 1999), h. 26. 10Arifin, Anwar. Ilmu Komunikasi: Sebuah Pengantar Ringkas (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995),
h. 41.
mutlak hanya milik Allah, serta peranan institusi ulama dan masjid sebagai penyambung
komunikasi dan aspek pengawasan syari’ah yang menjadi penunjang kehidupan Muslim.11
Dalam aspek perubahan sosial dan pembangunan masyarakat, komunikasi Barat
cenderung bersifat positivistik dan fungsional yang berorientasi kepada individu, bukan
kepada keselurusan sistem sosial dan fungsi sosiobudaya yang sangat penting untuk
merangsang terjadinya perubahan sosial. Kualitas komunikasi menyangkut nilai-nilai
kebenaran, kesederhanaan, kebaikan, kejujuran, integritas, keadilan, kesahihan pesan dan
sumber, menjadi aspek penting dalam komunikasi Islam. Oleh karenanya dalam perspektif
ini, komunikasi Islam ditegakkan atas sendi hubungan segitiga (Islamic Triangular
Relationship), antara “Allah, manusia dan masyarakat”.12 Dalam Islam prinsip informasi
bukan merupakan hak eksklusif dan bahan komoditi yang bersifat value-free, tetapi ia
memiliki norma-norma, etika dan moral imperatif yang bertujuan sebagai service
membangun kualitas manusia secara paripurna. Jadi Islam meletakkan inspirasi tauhid
sebagai parameter pengembangan teori komunikasi dan informasi. Al-Qur’an menyediakan
seperangkat aturan dalam prinsip dan tata berkomunikasi. Di samping menjelaskan prinsip
dan tata berkomunikasi, Al-Qur’an juga mengetengahkan etika berkomunikasi. Dari sejumlah
aspek moral dan etika komunikasi, paling tidak terdapat empat prinsip etika komunikasi
dalam Al-Qur’an yang meliputi kejujuran (fairness), ketepatan atau ketelitian (accuracy),
tanggungjawab dan kritik konstruktif.13 Dalam Q.S. An-Nuur/24: 19 dikatakan:
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita), perbuatan yang amat keji itu tersiar di
kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat.
Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui”.14
Sehubungan dengan etika kejujuran dalam komunikasi, ayat-ayat Al-Qur’an
memberi banyak landasan. Hal ini diungkapkan dengan adanya larangan berdusta dalam Q.S.
An-Nahl/16: 116: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh
lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap
Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah
11Mohd. Hussain Yusof. Dua Puluh Lima Soal Jawab Mengenai Komunikasi Islam: Jabatan
Komunikasi Pembangunan, Pusat Pengembangan dan Pendidikan Lanjutan (Malaysia: University Pertanian Malaysia, 1990), h. 51.
12Sophiaan Ainur Rofiq. Tantangan Media Informasi Islam, Antara Profesionalisme dan Dominasi Zionis (Surabaya: Risalah Gusti, 1993), h. 14.
13Ziauddin Sardar. Tantangan Dunia Islam Abad 21, diterjemahkan dari judul aslinya “Information
and the Muslim World: A Strategy for the Twenty-first Century”, oleh A.E. Priyono dan Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1989), h. 52.
14Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009), h. 351.
tiadalah beruntung”.15 Dalam masalah ketelitian menerima informasi, Al-Qur’an misalnya
memerintahkan untuk melakukan check and recheck terhadap informasi yang diterima.
Dalam Q.S. Al-Hujurat/49: 6 dikatakan: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.16 Menyangkut masalah tanggungjawab
dalam Q.S. Al-Isra’/17: 36 dijelaskan: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungjawab-nya”.17 Al-Qur’an juga menyediakan ruangan
yang cukup banyak dalam menjelaskan etika kritik konstruktif dalam berkomunikasi. Salah
satunya tercantum dalam Q.S. Ali Imran/3: 104: “Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”.18 Begitu juga
menyangkut isi pesan komunikasi harus berorientasi pada kesejahteraan di dunia dan akhirat,
sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 201: “Dan di antara mereka ada orang
yang mendo’a: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan
peliharalah kami dari siksa neraka”.19
Selain itu, prinsip komunikasi Islam menekankan keadilan (‘adl) sebagaimana
tertera dalam Q.S. An-Nahl/16: 90, berbuat baik (ihsan) dalam Q.S. Yunus/10: 26, melarang
perkataan bohong dalam Q.S. Al-Hajj/22: 30, bersikap pertengahan (qana’ah) seperti tidak
tamak, sabar sebagaimana dijelaskan pada Q.S. Al-Baqarah/2: 153, tawadu’ dalam Q.S. Al-
Furqan/25: 63, menunaikan janji dalam Q.S. Al-Isra’/17: 34 dan seterusnya.
Membangun paradigma komunikasi Islam, sesungguhnya tidak harus dimulai dari
nol. Dasaran sintesisnya dapat menggunakan teori-teori komunikasi konvensional (Barat),
namun yang menjadi homework bagi para intelektual Muslim adalah membuat sintesis baru
melalui aspek methatheory yang meliputi epistemologi, ontologi dan perspektif. Pembenahan
pada aspek dimensi nilai dan etika harus dapat berkolaborasi dengan ketauhidan dan
tanggungjawab ukhrawi. Fungsi komunikasi Islam adalah untuk mewujudkan persamaan
makna, dengan demikian akan terjadi perubahan sikap atau tingkah laku pada masyarakat
15Ibid., h. 280. 16Ibid., h. 516. 17Ibid., 285. 18Ibid., h. 63. 19Ibid., h. 31
Muslim. Sedangkan ultimate goal dari komunikasi Islam adalah kebahagiaan hidup dunia dan
akhirat yang titik tekannya pada aspek komunikan bukan pada komunikator.
BIBLIOGRAFI
Ainur, Sophiaan, Rofiq. Tantangan Media Informasi Islam, Antara Profesionalisme dan
Dominasi Zionis. Surabaya: Risalah Gusti, 1993.
Amir, Mafri. Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam. Jakarta: Logos, 1999.
Arifin, Anwar. Ilmu Komunikasi: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1995.
Chomsky, Noam. Politik Kuasa Media. Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2006.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: PT. Sygma Examedia
Arkanleema, 2009.
Eriyanto. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS, 2012.
_______. Analisis Framing Konstruksi, Idiologi dan Politik Media. Yogyakarta: LkiS, 2012.
Hussain, Mohd., Yusof. Dua Puluh Lima Soal Jawab Mengenai Komunikasi Islam: Jabatan
Komunikasi Pembangunan, Pusat Pengembangan dan Pendidikan Lanjutan.
Malaysia: University Pertanian Malaysia, 1990.
Kovach, Bill dan Tom Rosentiel. Elemen-Elemen Jurnalis. Jakarta: Institut Arus Informasi
dan KedutaanBesar Amerika Serikat di Jakarta, 2004.
Mohammad Natsir. Capita Selekta 2. Jakarta: PT. Abadi, 2008.
Al Seni, Sayyed. The Islamic Concept of News. America: The American Journal of Islamic
Social Sciences, 1986.
W., Edward, Said. Covering Islam Bias Liputan Dunia Barat Atas Dunia Islam. Yogyakarta:
Ikon Teralitera, 2002.
Sardar, Ziauddin. Tantangan Dunia Islam Abad 21, diterjemahkan dari judul aslinya
“Information and the Muslim World: A Strategy for the Twenty-first Century”, oleh
A.E. Priyono dan Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1989.