MEDIA BACA PADA ERA DIGITAL: JURNALISME ONLINE DI INDONESIA

23
MEDIA BACA PADA ERA DIGITAL: JURNALISME ONLINE DI INDONESIA Oleh Ratna Puspita Makalah untuk Ujian Akhir Semester Seminar Industri dan Teknologi Komunikasi pada Program Pascasarjana Departemen Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia - 2014 PENDAHULUAN Teknologi berperan penting dalam perkembangan media massa. Penemuan huruf bergerak (moveable type), yaitu sistem pencetakan dan tipografi yang menggunakan komponen bergerak, oleh Johannes Gutenberg pada abad ke-14 berimplikasi pada komunikasi jarak jauh dan perkembangan media cetak. Penemuan telegraf oleh Samuel Morse menghadirkan radio dan televisi. Internet memunculkan media online atau daring. Industri media online di Indonesia dimulai oleh detikcom yang mulai online pada 9 Juli 1998. Detikcom digagas oleh empat orang, yaitu Budiono Darsono (Eks wartawan DeTik), Yayan Sopyan (Eks wartawan DeTik), Abdul Rahman (Eks wartawan Tempo), dan Didi Nugrahadi. Dari empat orang tersebut, Budiono yang mencetuskan ide untuk membuat media berita online dengan berita yang selalu up to date. Sesuai dengan slogan mereka “Kenapa tunggu besok kalau detik ini juga anda sudah tahu informasi?” Konsep menyajikan perkembangan berita setiap detik ini menghadirkan pula istilah breaking news, yaitu berita disajikan berdekatan dengan peristiwa terjadi. Kehadiran detikcom memunculkan media online baru di Indonesia seperti Okezone, Inilah, dan Vivanews. Perusahaan media massa tradisional, seperti koran, televisi, dan radio, juga merambah arena baru yang mengandalkan internet ini. Sebagai contoh, Harian Republika sebenarnya sudah memiliki portal berita, yaitu Republika Online, sejak medio 1990an. Namun, Republika tidak menggarap dengan serius bisnis menyajikan berita dengan jaringan internet ini hingga 2009. Sejak lima tahun lalu, Republika mengubah strategi bisnisnya dengan mengembangkan portal berita (Republika Online). Hal serupa juga dilakukan surat kabar lainnya, seperti Kompas dengan Kompas Cyber Media, Tempo dengan Tempo Interaktif (sekarang 1 | Page

description

The file about online journalism in Indonesia

Transcript of MEDIA BACA PADA ERA DIGITAL: JURNALISME ONLINE DI INDONESIA

MEDIA BACA PADA ERA DIGITAL: JURNALISME ONLINE DI INDONESIAOleh Ratna PuspitaMakalah untuk Ujian Akhir Semester Seminar Industri dan Teknologi Komunikasi pada Program Pascasarjana Departemen Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,Universitas Indonesia - 2014

PENDAHULUAN Teknologi berperan penting dalam perkembangan media massa. Penemuan huruf bergerak (moveable type), yaitu sistem pencetakan dan tipografi yang menggunakan komponen bergerak, oleh Johannes Gutenberg pada abad ke-14 berimplikasi pada komunikasi jarak jauh dan perkembangan media cetak. Penemuan telegraf oleh Samuel Morse menghadirkan radio dan televisi. Internet memunculkan media online atau daring. Industri media online di Indonesia dimulai oleh detikcom yang mulai online pada 9 Juli 1998. Detikcom digagas oleh empat orang, yaitu Budiono Darsono (Eks wartawan DeTik), Yayan Sopyan (Eks wartawan DeTik), Abdul Rahman (Eks wartawan Tempo), dan Didi Nugrahadi. Dari empat orang tersebut, Budiono yang mencetuskan ide untuk membuat media berita online dengan berita yang selalu up to date. Sesuai dengan slogan mereka Kenapa tunggu besok kalau detik ini juga anda sudah tahu informasi? Konsep menyajikan perkembangan berita setiap detik ini menghadirkan pula istilah breaking news, yaitu berita disajikan berdekatan dengan peristiwa terjadi. Kehadiran detikcom memunculkan media online baru di Indonesia seperti Okezone, Inilah, dan Vivanews. Perusahaan media massa tradisional, seperti koran, televisi, dan radio, juga merambah arena baru yang mengandalkan internet ini. Sebagai contoh, Harian Republika sebenarnya sudah memiliki portal berita, yaitu Republika Online, sejak medio 1990an. Namun, Republika tidak menggarap dengan serius bisnis menyajikan berita dengan jaringan internet ini hingga 2009. Sejak lima tahun lalu, Republika mengubah strategi bisnisnya dengan mengembangkan portal berita (Republika Online). Hal serupa juga dilakukan surat kabar lainnya, seperti Kompas dengan Kompas Cyber Media, Tempo dengan Tempo Interaktif (sekarang Tempo.co), serta Media Group (pemilik Media Indonesia dan Metro TV) menelurkan Metrotvnews.com. Koran-koran tersebut juga menghadirkan e-paper, versi digital koran cetak, sebagai cara agar berita yang koran untuk memastikan sebagai langkah antisipasi agar koran tidak tergerus. Para pekerja media di Indonesia juga melakukan pembedaan produk jurnalistik yang dihasilkan koran dan portal berita. Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia Arif Budi Susilo mengatakan, media cetak dan online akan saling bersinergi dan tak akan mematikan karena keduanya memiliki konsep pemberitaan yang berbeda. Portal berita menyampaikan berita secara cepat dan singkat, Sedangkan koran atau surat kabar menyampaikan berita yang lebih kontekstual untuk pembacanya. Karena itu pula, orang akan tetap dibaca meski khalayak sudah mendapatkan sebuah berita dari portal berita. Awalnya, pekerja media menyambut baik konsep tersebut dan optimistis sinergi antara media cetak dan media online bakal berjalan. Portal media melengkapi kekurangan koran yang memiliki ruang terbatas. Koran dicetak dalam halaman yang sudah didesain hanya memuat lima sampai enam berita. Jumlah tersebut bisa berkurang karena adanya iklan. Portal berita tidak memiliki batasan berapa banyak karakter yang harus disajikan dan berapa jumlah berita yang harus dimuat.Namun, hal tersebut tidak akan terjadi di portal berita. Portal berita memunculkan harapan tidak ada lagi berita layak yang tidak bisa naik dengan alasan kekurangan ruang di koran. Kendati demikian, portal berita bergerak hanya didasarkan pada kecepatan. Kemunculan portal-portal berita baru membuat pekerja media berlomba untuk menjadi yang paling cepat mengabarkan. Setidaknya ada lebih dari 10 situs berita terpopuler di Indonesia, yaitu Detikcom, Kompas.com, Vivanews, merdeka.com, Okezone, Tribunnews, Tempo.co, Inilah.com, Republika Online, Antara News, MetroTVnews.com, dan Beritasatu.com. Grup terakhir yang juga terjun total ke media online adalah Beritasatu.com milik Lippo Group. Lippo Group merupakan pemilik Investor Daily, Jakarta Globe, dan Suara Pembaruan. Ketika media berlomba-lomba paling cepat mengabarkan maka ini bisa mengorbankan banyak hal, mulai dari akurasi berita, berita yang tidak sesuai dengan konteks, hingga etika dan standar jurnalistik. Ris Tan, alumni Farmasi Universitas Indonesia dan Universitas Nasional Seoul, menulis di akun Kompasiana, media warga milik Kompas, mengenai cara portal berita menyesatkan pembaca dalam tulisan berjudul Kompasianer dan Berita Tempo yang Menyesatkan pada 21 Desember 2012. Ris memberikan dua contoh berita Tempo.co yang tidak menyesatkan, yaitu Kiamat Datang Obama Sembunyi di Gunung Ini dan Barack Obama Punya Pesawat Kiamat Rp 21 Triliun. Ris menulis dua berita tersebut merupakan saduran dari Daily Mail, laman online milik koran asal Inggris Daily Mail. Menurut Ris, Tempo.co menyadur berita tersebut berbeda dengan berita yang dimuat oleh Daily Mail. Pada berita pertama Tempo.co memang tidak menyebutkan bahwa bunker digunakan untuk kiamat. Tetapi, judul berita dan paragraph menggiring pembaca mengaitkan bunker sebagai tempat persembunyian presiden bila kiamat. Sedangkan pada berita kedua, Tempo.co menuliskan pesawat tahan dari Serangan nuklir, ledakan asteroid, atau bahkan kiamat. Padahal, Daily Mail hanya menuliskan pesawat bisa tahan dari serangan nuklir, ledakan asteroid, dan serangan teror. Kedua berita tersebut dikaitkan dengan kiamat karena pada 2012 sedang ramai dengan ramalan suku Maya mengenai akhir zaman. Terkait akurasi, Palti Hutabarat, staf Persekutuan Antarmahasiswa Kristen (Perkantas) Riau dan Inisiator Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) Riau, mengritik berita metrotvnews.com melalui akun Kompasiana miliknya pada 7 Agustus 2011. Dalam tulisan berjudul Media Berita Online: Kecepatan Pemberitaan Akurasi dan Ketelitian, Palti menyebutkan berita metrotvnews.com berjudul Pato Antar Milan Juara Piala Super Italia yang dipublikasikan 7 Agustus 2011 tidak akurat dan berbeda dengan antara judul dan tubuh berita. Berita menuliskan judul Pato yang mengantar Milan menjadi juara, artinya Pato yang melesakan gol ke gawang lawan. Padahal, tubuh berita menyebutkan pemain lain, yaitu Kevin Prince Boateng yang mencetak gol. Ada banyak contoh pembaca mengkritik dan mengeluhkan akurasi serta penyesatan yang dilakukan portal berita untuk menjaring banyak klik. Kecepatan sebagai faktor utama juga membuat media online di Indonesia hanya berdasarkan logika klik, yaitu berita dibuat untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya jumlah klik. Ukuran berapa banyak klik, yaitu hits dan pageview. Hits merupakan sebuah indikator yang terpasang dan secara otomatis akan menampilkan jumlah hits pada sebuah halaman artikel. Ini termasuk gambar pada halaman (yang mencakup logo, setiap gambar dekoratif seperti gambar latar belakang, ikon, gambar header dan seperti serta foto), dan juga semua file terkait dengan halaman. Sedangkan pageview mengacu pada seberapa banyak halaman yang dilihat atau dibaca oleh pengunjung situs. Artinya, pengguna bisa melihat sejumlah halaman yang berbeda di sebuah situs. Pupung Arifin menyatakan, pageview yang tinggi juga memperbesar peluang sebuah laman web dapat berada di urutan awal dalam mesin pencari semacam Google atau Bing. Pageview ini layaknya sistem share dan rating di industri televisi, yang alih-alih digunakan untuk mengevaluasi penerimaan khalayak akan berita atau program yang dibuat, namun sebenarnya tidak jauh dari kepentingan iklan. Semakin tinggi angka pageview sebuah laman web, semakin besar pula peluang sebuah iklan dilihat oleh pengakses.Logika klik seolah menuntut jurnalis atau pewarta untuk membuat berita yang menarik sehingga diklik oleh banyak pembaca. Portal berita menyajikan judul yang menyesatkan agar mendapat lebih banyak pengunjung. Hal-hal yang tidak penting pun menjadi ramai di pemberitaan portal berita. Sebagai contoh, tahun lalu, portal berita meramaikan pernyataan Farhat Abbas yang akan maju sebagai presiden. Pemberitaan mengenai keinginan warga masyarakat menjadi presiden memang tidak menjadi persoalan. Kendati demikian, pengguna internet disuguhi berita tersebut selama hampir sebulan. Portal berita menyiarkan berbagai hal yang keluar dari mulut Farhat, mulai dari pendekatan dia ke partai-partai politik, kritik untuk Rhoma Irama, hingga janji-janji kalau terpilih sebagai presiden. Pemberitaan masif terkait Farhat seharusnya tidak dilakukan karena dia bukan pejabat atau figur publik. Pemberitaan berlebihan menjadikan dia seolah-olah merupakan sosok yang penting sehingga mengabaikan berita-berita terkait kepentingan publik. Contoh lain, beberapa portal berita seperti Kompascom, Republika Online, dan Merdeka.com, memuat berita Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang kebelet kencing ketika harus menempuh perjalanan ke Cilincing, Jakarta Utara, selama 1,5 jam pada Februari 2014. Aktivitas Jokowi selaku orang nomor 1 di Ibu Kota memang penting untuk diketahui oleh publik. Kendati demikian, aktivitas pribadi yang terkait dengan urusan kamar kecil tidak seharusnya mendapatkan porsi pemberitaan. Portal berita menaikkan berita ini hanya lantaran Jokowi akan mengundang pengguna internet untuk mengklik berita tersebut sehingga menyumbang hits dan pageview yang tinggi. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa pekerja media atau jurnalis yang hanya mendasarkan pada kecepatan dan logika klik berpotensi mengabaikan kualitas dan kredibilitas berita. Jurnalis juga kurang bertanggung jawab terhadap isi berita sebagai produk jurnalistik. Padahal, sebagai bagian organisasi berita, wartawan memiliki kode etik. Jurnalis terikat pada prinsip jurnalistik yang mengharuskan adanya pemeriksaan yang sangat berhati-hati untuk akurasi fakta. Alhasil, kecepatan membuat pemenuhan terhadap kebutuhan khalayak akan kecepatan pemberitaan justru tidak memberikan berita yang baik. Kondisi ini menyebabkan pekerja media menempatkan portal berita pada level yang berbeda dengan koran. Berita-berita di portal berita dianggap memiliki standar jurnalistik yang berbeda dengan koran. Tidak jarang wartawan menyebut berita di portal berita yang tidak layak sebagai berita sampah. Kondisi portal berita yang seperti sekarang ini mengkhawatirkan bagi dunia jurnalistik. Surat kabar selama menjadi garda terdepan dalam hal penerapan standar, prinsip, dan etika jurnalisme. Surat kabar menentukan apa yang layak menjadi berita, dan mana yang tidak layak. Kendati demikian, tidak dapat dipastikan berapa lama lagi surat kabar bakal menjadi garda depan standar jurnalistik. Sebab, surat kabar yang disajikan dengan cara dicetak di atas kertas diperkirakan tidak akan berlangsung selamanya. Pada 2012, Serikat Perusahaan Pers (SPS) melansir hasil penelitian di sembilan kota besar di Indonesia yang menyebutkan pembaca koran terus mengalami penurunan dari 25,1 menjadi 15 persen. Pada 2 Juni 2014, SPS kembali memberikan kabar buruk bagi industri media cetak di Indonesia SPS menyatakan pertumbuhan sirkulasi oplah dari 1.100 media di Indonesia pada akhir tahun 2013 sangat rendah karena hanya mengalami pertumbuhan sebesar 0,25 persen. Nukman Lutfhie, Direktur Virtual Consulting, sebuah perusahaan konsultan media dan internet di Jakarta, memaparkan, hasil penelitian yang dilakukan perusahaan akses masyarakat terhadap koran lebih sedikit dibandingkan televisi dan internet. Dalam 24 jam, rata-rata orang menghabiskan waktu 2,3 jam perhari, internet dua jam, sementara membaca koran hanya 34 menit. Di sisi lain, portal berita diperkirakan akan terus berkembang pesat beberapa tahun mendatang karena berita segar di tangan jauh lebih menarik daripada informasi serupa di koran pada hari berikutnya. Karena itu, surat kabar yang tercetak tidak lagi menjadi habitat utama. Apalagi portal berita memiliki berbagai keunggulan, seperti biaya produksi yang lebih murah karena hanya melibatkan proses mengunggah untuk menyajikan kepada pembaca. Tidak ada biaya cetak yang biasanya menggerus biaya produksi cukup besar. Bisnis iklan di portal berita juga tidak kalah dari media konvensional. Selain itu, pengguna internet di Indonesia merata di seluruh wilayah Indonesia. Tidak seperti pembaca koran yang hanya terpusat di kota-kota besar, khususnya di Jabodetabek. Jika koran tidak lagi menjadi medium baca utama di Indonesia dan beralih ke online, maka koran tidak bisa lagi menjadi garda terdepan penerapan prinsip, standar, dan etika jurnalisme. Portal berita seharusnya yang menjadi garda terdepan penerapan prinsip, standar, dan etika juranalisme. Melihat kondisi ini, penulis pun mempertanyakan apakah teknologi boleh mendefinisikan ulang standar, prinsip, dan etika jurnalisme sepertihalnya yang terjadi pada portal berita di Indonesia?

PEMBAHASANMedia Cetak versus Portal BeritaSejarah media massa memperlihatkan teknologi baru tidak pernah menghilangkan teknologi yang lama. Radio tidak menggantikan surat kabar, namun menjadi sebuah alternatif. Kekhawatiran televisi akan mengeliminasi radio juga tidak terjadi. Kendati demikian, ada pesmisme bahwa sejarah tersebut bakal terulang dengan kemunculan internet. Pekerja media mengkhawatirkan portal berita bakal menghilangkan atau meminimalisasi peran media cetak, khususnya surat kabar. Mengapa pekerja media khawatir portal berita akan menggerus media cetak? Portal atau situs berita merupakan praktik jurnalisme yang muncul pada era masyarakat informasi. Portal berita memiliki beberapa situs. Setiap situs terdiri dari halaman-halaman web yang memuat berita terkait topik tertentu. Sebagai contoh, Detikcom merupakan portal dari beberapa situs, seperti detikNews, detikFinance, detikFood, detikHot, dan detiki-Net. Internet memungkinkan berita dalam portal berita bisa langsung setelah kejadian (breaking news), sehingga tidak perlu menunggu koran terbit besok. Proses penyajian berita di media online, yaitu reporter melaporkan berita kepada redaktur di kantornya. Pelaporan berita dilakukan dengan dua cara, yaitu menelepon atau menuliskannya. Jika cara pertama yang dilakukan maka proses penulisan berita sekaligus pengecekan data dan verifikasi dilakukan oleh redaktur di kantor. Jika cara kedua yang dilakukan maka redaktur bertugas melakukan proses editing, pengecekan data, dan verifikasi. Selanjutnya, redaktur akan mengunggah berita tersebut melalui sistem manajemen konten atau content management system (CMS). Sistem manajemen konten merupakan perangkat lunak yang digunakan untuk mengunggah, mempublikasikan, dan mengubah konten dalam situs. Karena konten manajemen sistem sudah terhubung dengan internet, ketika berita terunggah maka pengguna internet langsung bisa mengakses berita tersebut. Internet merujuk pada jaringan antarjaringan, artinya sebuah komputer terhubung dengan komputer di lokasi lain. Tim Brown dan George Bagley dalam artikel The Internet (Grant & Meadows, 2012) mengatakan, internet tidak hanya bertindak sendiri untuk menyediakan pencarian berita. Bagian integral dari teknologi ini adalah World Wide Web. Jika internet terkait jaringan komputer maka World Wide Web memungkinkan pengguna untuk mengakses jaringan yang ramah pengguna. World Wide Web menyediakan format audio visual dan grafis antarmuka yang lebih mudah digunakan. Ketika seorang pengguna mengakses alamat situs berita maka dia akan terhubung melalui internet, termasuk World Wide Web. Selanjutnya, dia bisa mengakses berita yang terkandung dalam berita tersebut. Inilah yang membuat berita di portal berita bisa diakses lebih cepat dibandingkan berita di surat kabar. Karakter menghadirkan berita dengan cepat ini kemudian memunculkan karakter lain dari portal berita, yaitu interaktivitas. Alwi Dahlan menyatakan, secara umum, media baru memiliki karakteristik yang mirip, yang berhubungan dengan perubahan dalam produksi media, distribusi, dan penggunaan. Karakteristiknya, yaitu digital, interaktif, hipertekstual, virtual, jaringan, dan simulasi. Karakteristik ini memungkinkan bagi media single baru untuk menyajikan berbagai bentuk konten (seperti teks, gambar, video, suara) dalam medium yang sama, berdasarkan teknologi digital. Jacob Oetama menyatakan, media baru berbentuk internet, website. Cirinya serentak, cepat, mengikuti, dan melaporkan perkembangan detik demi detik. Kendati demikian, keunggulan menghadirkan berita dengan cepat bukan menjadi ancaman utama koran. Sebab, berita yang disajikan televisi dan radio selama ini juga lebih aktual dibandingkan surat kabar yang harus menunggu keesokan hari untuk bisa dikonsumsi khalayak. Portal berita dapat membunuh koran karena keduanya memiliki karakter yang sama, yaitu medium baca. Khalayak koran menerima berita dengan cara membaca, begitupula pengguna internet ketika mengakses portal berita. Wartawan media cetak dan media online pun melakukan proses penyajian berita dengan cara yang hampir mirip, yaitu ditulis. Karena itu, wartawan surat kabar dan media online disebut wartawan tulis. Situs milik Detikcom atau kanal serupa rubrikasi di surat kabar, yaitu informasi mengenai topik yang sama dimuat dalam kanal yang sama sehingga memudahkan pembaca yang mengakses. Rubrikasi di surat kabar juga hanya memuat berita dengan topik yang sama. Pemilihan topik menjadi kanal pun sama dengan rubrikasi, yaitu nasional, politik, olahraga, hiburan, ekonomi, dan teknologi. Perbedaan dan persamaan ini membuat portal berita menjadi lebih rasional dari segi bisnis. Dari sisi pekerja, jumlah pekerja media cetak dan pekerja media online mungkin tidak terlalu berbeda. Jika surat kabar membutuhkan lay outer atau orang yang melakukan lay out maka portal berita membutuhkan lebih banyak tenaga kerja yang menguasai di bidang teknologi informasi. Penghematan pekerja dapat dilakukan di sisi distribusi karena portal berita tidak membutuhkan orang yang bertugas di bagian sirkulasi. Tidak adanya mesin cetak juga membuat portal berita bisa menghemat pengeluaran untuk tinta, dan kertas. Persoalan lain mengapa industri media cetak bakal sulit bertahan, yaitu koran bukan lagi media baca utama-bahkan mulai ditinggalkan-di Indonesia. Koran memang masih dipandag sebagai media baca yang memiliki kredibilitas dibandingkan media online. Kendati demikian, masyarakat mulai terbiasa mengakses berita dari portal berita. Pada 2012 Voice of America (VOA) melansir mengenai peta persaingan radio, televisi, dan media lain di Indonesia. Riset itu menunjukan, sebanyak 87% penduduk Indonesia masih menggunakan TV untuk mendapatkan berita. Namun kelompok masyarakat yang mulai terbiasa memanfaatkan Media Baru, yaitu instant messenger, online news, blog, social media, forum, SMS, jumlahnya mencapai 36%. Sisanya 11% memperoleh informasi dari radio, dan hanya 7% yang masih menggunakan koran atau majalah untuk mengakses berita. Jumlah masyarakat yang memanfaatkan internet untuk mendapatkan berita diprediksikan bakal mengalami peningkatan sebab populasi pengguna internet di Indonesia juga diperkirakan bakal semakin melonjak. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengungkapkan jumlah pengguna internet di Indonesia pada 2012 mencapai 63 juta orang atau 24,23% dari total populasi. APJII memprediksi angka akan terus meningkat sekitar 30% menjadi 82 juta pengguna pada 2013 dan terus tumbuh menjadi 107 juta pada 2014, dan 139 juta atau 50 persen total populasi pada 2015.Data tersebut menunjukan industri surat kabar di Indonesia tidak memiliki masa depan yang cerah. Sebaliknya, portal berita memiliki masa depan yang cerah mengingat penetrasi internet terus mengalami peningkatan. Media cetak mungkin tidak bakal mati, namun oplahnya akan menyentuh batas rasional untuk dipertahankan. Ketika media online menjadi media baca utama untuk mendapatkan berita maka pemilik modal akan semakin enggan menyuntikan dana untuk mengembangkan surat kabar. Strategi yang dilakukan koran untuk bertahan melalui e-paper atau koran elektronik belum mendatangkan keuntungan seperti yang seharusnya. Harian Detik, unit bisnis detikcom untuk koran elektronik, menghentikan penerbitannya pada Juli 2013 karena tidak kunjung memenuhi target pengunjung.

Strategi Media OnlineMeski menjadi media baca yang banyak diakses masyarakat setiap harinya, portal berita tetap harus memiliki strategi untuk bertahan di industri internet. Karena logika internet terkait dengan klik maka keberlangsungan sebuah portal berita juga tergantung pada jumlah klik. Klik yang tinggi akan berdampak pada hits dan pageview. Pengiklan juga akan merujuk pada berapa banyak pageview sebuah portal berita untuk memasang iklan. Sebagai contoh, situs Alexa.com mencatat Detik.com berada di peringkat delapan situs terpopuler di Indonesia pada 15 Juni 2014. Data Alexa.com juga menunjukkan Detik.com merupakan portal berita yang paling banyak diakses mengalahkan para pesaingnya seperti Kompas.com, Vivanews, dan Merdeka. Jika mengklik empat laman tersebut terlihat bahwa Detikcom memiliki lebih banyak iklan dibandingkan para pesaingnya. Tantangan portal berita di Indonesia tidak hanya bersaing dengan portal berita lain, namun juga dengan media sosial seperti blog, microblog, forum online. Namun, tantangan paling utama adalah rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Pada 2012, UNESCO mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya dalam setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Sedangkan UNDP merilis angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen, sementara Malaysia sudah mencapai 86,4 persen. Rendahnya budaya membaca ini juga berkontribusi pada produksi buku. Produksi buku di Indonesia tergolong sangat rendah di Indonesia, yaitu 18 ribu judul per tahun. Jepang dengan jumlah penduduk lebih sedikit memproduksi 40 ribu per tahun. Siasat yang dilakukan media online, yaitu breaking news atau penyajian tercepat dan terbaru saat sebuah kejadian atau peristiwa penting terjadi. Detik.com merupakan pelopor penyajian berita dengan cara ini. Tingginya penggunaan internet di Indonesia membuat orang juga menginginkan informasi atau berita terbaru bisa diakses melalui gadget mereka. Portal berita online menjadi lebih digemari oleh masyarakat dibandingkan surat kabar karena informasinya benar-benar baru dan up to date. Karena itu, cara breaking news, khususnya ketika ada bencana atau peristiwa penting terjadi, bakal menarik lebih banyak pembaca untuk mengklik. Selanjutnya, industri portal berita online di Indonesia mengenal stripping, yaitu merujuk pada breaking news di mana perkembangan terbaru disajikan dalam berita baru. Ini berbeda dengan logika media online di negara lain, seperti Washington Post di Amerika Serikat atau Telegraph di Inggris. Negara-negara lain memperlakukan media online selayaknya media baca. Jika dipehatikan, tidak ada pembatasan karakter dalam berita-berita di media online negara-negara tersebut. Media online dengan budaya membaca lebih baik menerapkan news update. Pada bagian bawah berita, pekerja media akan mencantumkan bahwa masih ada perkembangan informasi terkait berita tersebut sehingga pembaca (pengguna) bisa kembali lagi untuk mengecek perkembangannya. Teorinya, portal berita tidak menerapkan batasan karakter. Namun, hal tersebut tidak berlaku di Indonesia. Portal berita di Indonesia menerapkan batasan karakter atau huruf bagi berita yang dimuat. Alasannya, pembaca atau pengguna di internet akan lelah kalau harus membaca berita dengan jumlah karakter lebih dari 2.500 huruf. Berita pendek menjadi karakter berita-berita yang menghiasi berbagai media online di Indonesia. Pengurus AJI Indonesia Heru Margianto menyatakan, karena kecepatan dianggap jadi salahsatu faktor penting, maka berita pendek muncul. Karena itu, pekerja media online bisa memecah informasi dari narasumber yang sama menjadi beberapa berita untuk memenuhi logika pembatasan karakter ini. Di surat kabar, berita yang memuat pernyataan narasumber digabungkan menjadi satu berita. Jurnalis akan memilih angle terbaik dari ocehan narasumber tersebut. Kendati demikian, portal berita bisa memuat semua ocehan narasumber menjadi beberapa berita. Belakangan ini membagi halaman berita menjadi beberapa bagian juga menjadi tren di Indonesia. Cara-cara tersebut merupakan strategi media online agar ada lebih banyak pengunjung yang mengklik berita yang disajikan. Strategi lain yang dilakukan untuk memancing klik, melanggar kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar ketika menyampaikan laporan jurnalistiknya. Redaktur Pelaksana Kompas.com, Pepih Nugraha, mengatakan perbedaan penyajian produk jurnalistik media online dengan media lama antara lain penggunaan bahasa yang bersifat informal, cerdas, lugas, penuh infotainment, dan menarik. Dia mencontohkan berita di surat kabar cetak yang berjudul Angka Kelahiran di Yogya Meningkat akan diganti dengan judul Orang Yogya Emoh Pakai Alat Kontrasepsi pada versi online. Pepih menambahkan bahwa judul yang bersifat rahasia, dramatis, lugas, unik, menonjolkan konteks, deskriptif naratif, dan sedikit sensasional sengaja digunakan untuk menarik perhatian pembaca.

Standar JurnalistikWartawan merupakan orang-orang yang terlibat dalam pencarian, pengolahan, dan penulisan berita atau opini yang dimuat di media massa, mulai dari reporter, koresponden, kontributor, hingga pemimpin redaksi. Pasal 1 Poin 4 Undang-Undang Pers menyatakan wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Wartawan merupakan seorang profesional, seperti halnya dokter atau pengacara, yang memiliki keahlian spesifik, yaitu mencari, mengolah, dan menuliskan berita, serta mempunyai kode etik. Kode etik merujuk pada standar aturan perilaku dan moral, yang mengikat para jurnalis dalam melaksanakan pekerjaannya. Etika jurnalistik ini penting untuk memelihara dan menjaga standar kualitas karya jurnalistik, melindungi atau menghindarkan khalayak masyarakat dari kemungkinan dampak yang merugikan dari tindakan atau perilaku keliru dari wartawan yang menulis berita tersebut. Setiap organisasi profesi atau institusi media memiliki kode etik yang berbeda-beda. Kendati demikian, isi Kode Etik pada umumnya bersifat universal dan tak banyak berbeda. Kode Etik yang membolehkan jurnalis menulis berita bohong atau tak sesuai dengan fakta, mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan, melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya, menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto, dan dokumen.Wartawan juga harus menghormati hak nara sumber untuk memberi informasi latar belakang, off the record, dan embargo, meralat setiap pemberitaan yang diketahuinya tidak akurat, menghormati privasi seseorang, kecuali hal-hal itu bisa merugikan masyarakat, tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan, kekejaman, kekerasan fisik dan seksual, tidak menerima sogokan, tidak menjiplak, dan kode etik lainnya. Kode etik dan standar jurnalistik yang berlaku secara universal dirangkum oleh Bill Kovach dan Tom Rosentiels dalam buku berjudul The Elements of Journalism. Kovach dan Rosentiels melakukan riset tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang wartawan, Setidaknya ada sembilan prinsip yang membentuk aktivitas jurnalistik. Berikut adalah kesembilan prinsip tersebut:1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. Kewajiban para jurnalis adalah menyampaikan kebenaran, sehingga masyarakat bisa memperoleh informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat. Bentuk kebenaran jurnalistik yang ingin dicapai bukan sekadar akurasi, namun bentuk kebenaran praktis dan fungsional. Prinsip pertama jurnalisme, yaitu pengejaran kebenaraan yang tidak dilandasi kepentingan tertentu. Ini yang membedakan jurnalisme dari bentuk komunikasi lain. Wartawan juga harus selalu transparan mengenai sumber-sumber dan metode yang dipakai dalam pengumpulan berita sehingga pembaca dapat menilai informasi yang disajikan.2. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat. Organisasi pemberitaan dituntut melayani berbagai kepentingan, termasuk kepentingan pemilik saham dan pengiklan. Organisasi pemberitaan pun harus mempertimbangkan kepentingan-kepentingan tersebut. Namun, kesetiaan harus diberikan kepada warga. Kesetiaan pada warga ini merupakan makna dari independensi jurnalistik, yaitu kebebasan dari semua kewajiban yang tidak terkait dengan kepentingan publik.3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Verifikasi membedakan karya jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi, atau seni. Hiburan hanya fokus pada hal yang bisa menarik perhatian, propaganda akan menyeleksi atau merekayasa fakta untuk persuasi dan manipulasi, sedangkan jurnalisme berfokus pada apa yang terjadi seperti apa adanya. Disiplin verifikasi dilakukan dengan cara mewawancarai lebih banyak sumber berita dan meminta komentar dari berbagai pihak. 4. Jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput. Kebebasan adalah syarat utama dari jurnalisme. Wartawan harus memposisikan dirinya sebagai orang yang terbebas dari tekanan atau kepentingan apapun atau independen. Independensi semangat dan pikiran harus dijaga wartawan yang bekerja di ranah opini, kritik, dan komentar. Jadi, yang harus lebih dipentingkan adalah independensi, bukan netralitas. Kredibilitas terletak pada dedikasi pada akurasi, verifikasi, kepentingan publik yang lebih besar, dan hasrat memberi informasi. 5. Jurnalis mengemban tugas yang bebas sebagai pemantau terhadap kekuasaan. Jurnalis harus bertindak sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan. Wartawan tidak sekedar memantau pemerintahan, tetapi semua lembaga kuat di masyarakat. Prinsip ini sangat menekankan peran penjaga (watchdog). Jurnalis harus menjaga peran ini dan tidak boleh menyelewengkannya. Prinsip pemantauan bukan berarti mengganggu pihak yang menikmati kenyamanan. Penerapannya tidak berlebihan dan bukan untuk memuaskan hasrat audiens pada sensasi, tetapi melayani kepentingan umum. 6. Jurnalis harus menyediakan forum untuk kritik dan komentar publik. Ruang diskusi inilah bentuk-bentuk akomodatif jurnalis kepada masyarakat. Forum menjadi wadah bagi publik untuk mengingatkan masalah-masalah yang benar-benar penting. Ini juga upaya mendorong demokrasi. Berbagai pandangan dan kepentingan dalam masyarakat harus terwakili dengan baik. Karena, seorang wartawan tidak selamanya benar dalam menyampaikan kebenaran, meskipun hal itu kewajiban. Forum ini juga harus memiliki prinsip yang sama, yaitu kejujuran, fakta, dan verifikasi. Forum yang tidak berlandaskan pada fakta akan gagal memberi informasi pada publik.7. Jurnalis harus berusaha membuat yang penting menjadi menarik dan relevan. Jurnalisme adalah bercerita dengan suatu tujuan. Kualitas wartawan diukur dari sebanyak keterlibatan khalayak dalam menyoroti peristiwa. Tugas jurnalis adalah menemukan cara membuat hal-hal penting menjadi menarik dan relevan untuk dibaca, didengar, dan ditonton. Kendati demikian, jurnalis harus mengabaikan godaan ke arah infotainment dan sensasi. 8. Wartawan harus menjaga agar berita itu proporsional dan komprehensif. Prinsip di sini adalah jurnalisme sebagai sebuah peta yang mampu mengarahkan masyarakat. Pemberitaan harus dilakukan secara proporsional dengan tidak menghilangkan hal-hal yang penting. Apalagi kalau hanya untuk melambungkan sensasi. Berita yang komprehensif dan proporsional akan membantu mengarahkan masyarakat.9. Wartawan memiliki kewajiban utama terhadap suara hatinya. Jurnalis harus memiliki etika dan tanggung jawab personal atau panduan moral. Ketika rasa moral kita memaksa untuk berbicara keadilan, maka ia punya kewajiban moral untuk berbicara di ruang-ruang redaksi maupun eksklusif walaupun berbeda dengan rekan. 10. Warga memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang terkait dengan berita. Elemen terbaru ini muncul seiring dengan perkembangan internet. Warga bukan lagi konsumen pasif dari media, namun bisa menciptakan media sendiri. Warga dapat menyumbangkan pemikiran opini dan berita yang dapat mendorong perkembangan jurnalisme.Prinsip mengenai keterlibatan warga memunculkan open journalism atau jurnalisme terbuka. Ide Jurnalisme Terbuka dicetuskan oleh media asal Inggris, the Guardian, seiring perkembangan media warga. Editor Guardian, Alan Rusbridger, menyatakan, jurnalisme terbuka merupakan sebuah pendekatan yang menjadi satu-satunya opsi bagi media di era digital. Ide jurnalisme terbuka, yaitu masyarakat dapat mengomentari berita sehingga ada interaksi antara masyarakat, sumber, dan penulis berita. Alan Rusbridger, Editor Guardian, menyatakan, Jurnalisme Terbuka merupakan jurnalisme yang diproses di web berita (informasi) yang ada di dunia saat ini. Ada link, kemampuan untuk mengubah dan menyaringnya, dengan cara bekerja sama bersama siapapun sehingga semua orang bisa mempublikasikan dan berbagi materi untuk memberikan laporan yang lebih baik. Ada 10 prinsip dalam Jurnalisme Terbuka, yaitu: 1. Mendorong partisipasi, mengundang, dan memungkinkan respon. 2. Tidak ada pemisahan kita atau mereka seperti yang terjadi di penerbitan. 3. Mendorong orang lain untuk memulai debat, mempublikasikan materi atau memberi saran. Jurnalis bisa mengikuti, serta memimpin. Jurnalis bisa melibatkan orang lain dalam proses pra-publikasi.4. Membantu membentuk masyarakat memahami masalah terkait. 5. Terbuka di web dan merupakan bagian dari itu. Ada link, dan memungkinkan kolaborasi, ke materi lain yang ada di dalam web. 6. Kurator karya orang lain7. Mengakui bahwa wartawan bukanlah satu-satunya yang memiliki otoritas untuk bersuara, memiliki keahlian, dan kepentingan. 8. Bercita-cita untuk mencapai, dan merefleksikan, keberagaman serta mempromosikan nilai-nilai bersama.9. Mengakui bahwa penerbitan bisa menjadi awal dari proses jurnalistik bukan akhir.10. Transparan dan terbuka untuk tantangan - termasuk koreksi, klarifikasi dan penambahan. Asosiasi Suratkabar dan Penerbitan Berita (WAN-IFRA) menyatakan, pergeseran mendasar dalam pemikiran yang mendasari jurnalisme terbuka, yaitu jurnalisme terbuka melihat jurnalisme sebagai proses yang berkelanjutan, bukan sebagai produk akhir. Karya jurnalistik tradisional disajikan kepada pembaca secara lengkap, sementara jurnalisme terbuka mendorong partisipasi pembaca dari awal, dan bahkan setelah ceritanya selesai. Dengan demikian, ada perubahan penting dalam persepsi peran organisasi berita; bukannya distributor hanya berita itu menjadi informasi, pengetahuan yang mengarahkan diskusi sekitar berita. Jurnalisme terbuka untuk masukan dan ide-ide. Jurnalisme terbuka berusaha untuk mengambil keuntungan dari banyaknya informasi yang tersedia di web dan kebanyakan anggota masyarakat yang tidak hanya konsumen berita, tetapi juga menjadi produsen dan kurator informasi. Hal positif dari jurnalisme terbuka, yaitu adanya transparansi. Melanie Sill dari USC Annenberg School for Communication & Journalism mengatakan, jurnalisme terbuka terfokus pada pembaca, bukan produk. Dalam laporannya berjudul The Case for Open Jurnalisme Now, Sill menyatakan, jurnalisme harus fokus pada layanan dan kemudian pada platform atau produk.

KESIMPULANSejarah media cetak merupakan siklus yang berlangsung terus-menerus. Joseph Straubhaar, Robert LaRose, dan Lucinda Davenport menjelaskan siklus ini melibatkan berbagai hal, seperti inovasi teknologi, persaingan antara bentuk-bentuk baru dan penggunaan media, permintaan konsumen yang meningkat, perkembangan melek huruf, dan perubahan masyarakat yang dibawa oleh media. Straubhaar dan kawan-kawan menyatakan, teknologi akan berpengaruh pada format media yang muncul, namun tidak lantas mendefinisikan konten dari format tersebut. Huruf bergerak (movable type) yang ditemukan oleh Gutenberg merupakan terobosan teknologi yang membuat produksi massal mungkin dilakukan. Kendati demikian, sejarah surat kabar merupakan sejarah terkait ide-ide manusia mengenai praktik jurnalistik. Sejarah dimulai pada 59 sebelum masehi, Acta Diurna (Jurnal Harian) Julius Caesar dipublikasikan setiap hari selama 200 tahun di tempat-tempat publik. Acta Diurna mempublikasikan berita terkait senat Romawi, bisnis, cuaca, bencana, perseorangan, dan bahkan gosip. Acta Diurna serupa dengan surat kabar yang memproduksi berita mengenai politik, ekonomi, dan hiburan. Begitupula dengan portal berita yang menghadirkan kanal-kanal dalam penyajian berita politik, ekonomi, dan hiburan. Dengan demikian, teknologi internet hanya mengubah format media. Jika teknologi percetakan memungkinkan masyarakat membaca berita melalui koran yang sudah dicetak maka internet memungkinkan masyarakat mengakses berita melalui komputer. Portal berita adalah koran dalam bentuk digital atau koran elektronik. Inilah yang menyebabkan strategi koran menghadirkan e-paper dengan cara menyajikan koran dengan desain seperti koran yang dicetak mengalami kegagalan. Internet membuat masyarakat dapat mengakses berita saat itu juga, namun berita yang dimuat di e-paper tidak lagi terbaru alias sudah tertunda satu hari. Koran elektronik juga mengabaikan prinsip hipertekstualitas dan interaktivitas. Padahal, interaktivitas yang ditawarkan dalam proses komunikasi di internet membuat setiap orang bebas tampil dengan identitas masing-masing. Dalam praktik di portal berita, misalnya, orang bisa memberikan feed back atau umpan balik melalui kolom komentar di setiap berita. Kolom komentar menjadi warung kopi, di mana perang wacana terjadi. Setiap orang bisa mengutarakan pendapatnya masing-masing. Beragam informasi muncul, sehingga membentuk pandangan masyarakat terhadap suatu persoalan. Kesamaan pandangan dalam kolom komentar itu akan memunculkan kelompok-kelompok di dunia internet. Kondisi ini kemudian memunculkan suatu dominasi kelompok tertentu terhadap kelompok lainnya. Dengan membedakan portal berita dan surat kabar, pekerja media memang sedang berupaya mempertahankan koran dalam bentuk fisik atau tercetak. Kendati demikian, ini sekaligus menunjukkan kegagalan pekerja media untuk melihat portal berita sebagai surat kabar online yang dikonsumsi dengan cara dibaca dan pola penyajian yang hampir sama dengan surat kabar. Perbedaan, sekali lagi, hanya terkait teknologi yang digunakan. Sehingga, pekerja media tidak seharusnya membedakan kedua media tersebut dari sisi bagaimana konten disajikan. Pembedaan menyebabkan portal berita sebagai media massa kelas dua, atau berada di bawah surat kabar. Ketika pekerja media hanya memandang karakter utama portal media yang berita secara cepat dan singkat ada pengabaian menyampaikan berita yang lebih kontekstual untuk pembacanya. Sebab, tanggung jawab menyampaikan berita dengan lengkap dan kontekstual sudah dilakukan oleh pembaca. Pupung Arifin menyebutkan cara media online yang membuat judul bombastis selayaknya koran kuning. Judul berita menarik memang menjadi senjata, tidak hanya bagi media massa online, namun juga sudah lama dipakai oleh media massa cetak. Judul dibuat mencolok demi menarik pembaca tentu bisa dimaklumi tetapi jika kemudian melupakan fungsi utama media yaitu menyampaikan peristiwa kepada khalayak dengan tepat dan akurat, bahkan bertendensi memanipulasi tentu lain cerita.Industri surat kabar memang mengenal jurnalistik kuning (yellow journalism). Jurnalisme ini menekankan pada berita yang bombastis karena orientasi pembuatannya lebih menekankan pada berita-berita sensasional dari pada substansi isinya. Karena tujuannya untuk meningkatkan penjualan, jurnalisme kuning kerap dianggap tidak profesional dan beretika. Kendati demikian, jurnalisme kuning bukanlah praktik yang dominan di Indonesia. Koran seperti Lampu Hijau tidak berhasil mengalahkan popularitas Kompas.Kewajiban menyajikan informasi dengan cepat juga membuat pekerja media juga seolah diizinkan untuk mengabaikan akurasi karena berita bisa diedit lagi atau revisi setelah dimuat. Tidak jarang pula situs berita menghapus berita karena mengalami kesalahan konteks atau mendapat protes. Situs online yang mengutamakan kecepatan informasi dalam menyampaikan berita tak jarang justru melakukan berbagai kekeliruan dalam penulisan, yang tentu saja berpengaruh terhadap makna dan kualitas berita. Tidak hanya kekeliruan penulisan, beberapa portal berita juga menyajikan judul yang menyesatkan agar mendapat lebih banyak pengunjung. Alhasil, kecepatan membuat pemenuhan terhadap kebutuhan khalayak akan kecepatan pemberitaan justru tidak memberikan informasi yang baik. Bagi wartawan, akurasi merupakan faktor sangat penting yang harus diperhatikan. Sarah Niblock menyatakan, akurasi tidak hanya terkait dengan alasan etika dan hukum, namun juga melindungi integritas organisasi berita dan wartawan. Pengurus AJI Indonesia Heru Margianto mengatakan, akurasi dan verifikasi merupakan ruh kerja jurnalistik. Tak beda dengan media dalam beragam bentuk lainnya, media online juga harus menjaga hal tersebut. Meski dikemas dengan berita yang singkat, prosedur jurnalistik itu menjadi hal yang tak bisa ditawar. Kecepatan, berita pendek, dan etika menjadi bagian pembicaraan pada Focus Group Discussion (FGD) Media Online yang diselenggarakan AJI Indonesia. FGD yang bertema Media Online; Pembaca, Laba, dan Etika ini berlangsung 23 Oktober 2012 di Hotel Morrissey, Jakarta. Beberapa kritik dari para peserta yang muncul dalam diskusi itu antara lain soal akurasi dan kejelasan. Sekretaris Jenderal AJI Indonsia Suwarjono mengatakan selain soal akurasi dan verifikasi, konten dari pembaca media online seperti komentar dan forum juga menjadi perhatian diskusi. Dampak lainnya, yaitu pekerja media menempatkan media online pada level yang berbeda dengan koran. Berita-berita di online dianggap memiliki standar jurnalistik yang berbeda dengan koran. Banyaknya pemuatan berita yang tidak layak juga membuat wartawan terasing atau teralienasi dari pekerjaannya. Wartawan harus berperang antara idealisme menyajikan berita yang penting kepada publik atau mengikuti logika menjaring klik sebanyak-banyaknya. Sebagian menyerah dengan logika klik, sehingga menyajikan informasi yang tidak penting hanya demi memenuhi target sembilan juta pengunjung setiap hari. Sebagian lain berperang dengan prinsip-prinsip jurnalistik yang mereka pegang. Meski tetap menuliskan dan memuat berita-berita tersebut, tidak jarang wartawan menyebutnya sebagai berita sampah alias berita yang tidak layak untuk dikonsumdi. Jurnalis juga mengkritik berita yang disajikan di internet. Para pekerja media di Indonesia melupakan bahwa ada logika penyajian berita yang mirip antara koran dan media online. Media online membuat kanal-kanal (situs) untuk memisahkan jenis informasi, yaitu politik dan hukum, teknologi, gosip. Ini mengikuti cara yang juga dilakukan oleh industri media cetak dengan rubrikasi. Para pekerja media di koran dan online juga melakukan peliputan dan pemuatan berita dengan cara yang sama. Wartawan online dan koran mencari berita, menuliskannya, kemudian dimuat dalam bentuk tulisan. Wartawan media online dan koran merupakan wartawan tulis. Bagi khalayak-atau pengguna di internet, keduanya merupakan media baca. Dengan melihat logika tersebut, tidak seharusnya media online menerapkan standar, prinsip, dan etika yang berbeda dari media cetak. Sebagai media baca, media online seharusnya tidak hanya bergerak dengan logika kecepatan, namun juga menjadi medium literasi bagi masyarakat. Sehingga, pengguna tidak dengan cepat berkesimpulan dengan hanya membaca berita. Masyarakat selaku pengguna dan pembaca memiliki kemampuan untuk memahami dan menganalisis informasi yang disajikan oleh media massa. Penulis memahami bahwa berita pendek, stripping, dan next page atau memuat berita menjadi beberapa halaman adalah strategi portal berita untuk mendapatkan lebih banyak pembaca. Karena itu, pekerja media massa bisa melakukan perubahan dari sisi etika. Dari praktik Jurnalisme Terbuka, Guardian telah menunjukkan bagaimana menerapkan elemen jurnalisme. Jurnalisme Terbuka memperlihatkan bahwa portal berita tidak hanya soal menyajikan berita secara cepat, namun menyajikan kebenaran, menunjukkan loyalitas kepada masyarakat, menerapkan disiplin verifikasi, dan penyediaan forum. Untuk melakukan praktik ini, portal berita di Indonesia bisa memulainya dengan jujur atau transparan ketika melakukan pemberitaan. Karakteristik portal berita yang memudahkan berita diedit dan dihapus tidak lantas membuat jurnalis bisa berlaku curang dengan mengedit tanpa pemberitahuan kepada khalayak. Atau, menghapus begitu saja berita. Jurnalis harus dengan jujur memberitahukan kepada khalayak bahwa berita tersebut telah mengalami revisi di bagian mana. Pernyataan tersebut juga harus memuat permohonan maaf. Cara ini sudah dilakukan oleh koran atau lembaga penyiaran melalui ralat. Surat kabar akan memuat ralat satu hari setelah berita diterbitkan, dan penyiar mengucapkan permohonan maaf ketika berita yang ditayangkan mengalami kesalahan. Teknologi yang memudahkan pengeditan dan penghapusan berita tidak seharusnya menghilangkan praktik ralat yang menunjukkan adanya verifikasi setelah berita dinaikan. Begitupula ketika berita dihapus. Sebuah organisasi berita harus mempublikasikan dengan transparan mengapa berita tersebut dihapus dan mengajukan permohonan maaf. Etika jurnalistik sudah mewajibkan jurnalis untuk hanya menggunakan cara-cara yang etis ketika mencari informasi. Cara-cara yang etis, di antaranya memberitahukan narasumber bahwa komentarnya akan digunakan dalam berita. Cara-cara yang etis kerap diabaikan ketika jurnalis mengutip pernyataan warga yang termuat dalam media sosial. Jurnalis langsung mengutip tanpa memberitahukan bahwa komentar di media sosial seperti twitter akan digunakan dalam berita. Pengguna twitter memang memahami bahwa komentar yang dipublikasikan di media sosial bisa dibaca oleh semua orang. Kendati demikian, twitter memiliki fitur follower dan following, yang menunjukkan konten dari siapa yang ingin dibaca dan siapa yang diperkenankan membaca konten miliknya. Pengguna twitter menuliskan hal tersebut untuk follower-nya, bukan untuk khalayak media sosial. Karena itu, jurnalis tidak seharusnya bertanya kepada si pemilik akun apakah komentarnya bisa digunakan di mesia massa. Etika ini memang bisa diabaikan ketika mengutip pejabat yang memang sengaja mencantumkan informasi, pendapat, atau komentar di media sosial. Kendati demikian, jurnalis juga harus memperhatikan etika pengutipan akun pejabat. Misalnya, apakah akun tersebut sudah terverifikasi. Verifikasi akun menunjukkan bahwa akun tersebut memang dioperasikan oleh pejabat yang bersangkutan. Ini menghindari pengutipan akun palsu yang bakal merugikan kredibilitas wartawan. Kecepatan dan tujuan mendapatkan klik sebanyak-banyaknya tidak bisa menjadi dalih wartawan untuk menyajikan berita yang mereka anggap sebagai sampah atau tidak layak. Jika praktik ini terus berlangsung maka wartawan akan menjadi profesi sampah. Etika dan akurasi harus dijaga oleh pekerja media, apakah dia bekerja untuk surat kabar, surat kabar online atau portal berita, ataukah lembaga penyiaran. Sebab, hal tersebut menunjukkan wajah jurnalisme di Indonesia Jika media cetak bukan lagi media baca utama maka masyarakat akan menilai karya jurnalistik dari berita-berita yang disajikan portal berita. Jika portal berita menyuguhkan berita tidak layak, mengabaikan akurasi, dan menyajikan hal-hal tidak penting alias sampah, maka seperti itulah masa depan jurnalistik. Perkembangan teknologi tidak seharusnya mendefinisikan ulang standar, prinsip, dan etika jurnalisme. Terutama jika para pekerja media menerapkan cara yang sama untuk menyajikan berita. Serta, pembaca juga mengonsumsi dengan cara yang sama.

5 | Page