Maumere (Flores, Indonesia) by Valentino Luis for National Geographic Traveler Magazine

4
DEMI LEMBARAN CORAÇÃO JATUH HATI PADA ALAM DAN BUDAYA SIKKA. SAATNYA MENIKMATI GEOWISATA DI TANAH FLORES. TEKS DAN FOTO OLEH VALENTINO LUIS Punggung gunung yang langsung menjorok ke laut merupakan lanskap khas Seram bagian utara yang meneduhi resor dan berbagai pesona lainnya. 54 NATIONAL GEOGRAPHIC TRAVELER

description

Valentino Luis, Maumere, Flores Island, Indonesia, Traveling, Traveler, Travel Writer, Travel Writing, Travel Photography, Travel Photographer, Tenun Ikat, Kajuwulu

Transcript of Maumere (Flores, Indonesia) by Valentino Luis for National Geographic Traveler Magazine

Page 1: Maumere (Flores, Indonesia) by Valentino Luis for National Geographic Traveler Magazine

DEMI LEMBARAN CORAÇÃO

Jatuh hati pada alam dan budaya sikka. saatnya menikmati geowisata di tanah flores.

Teks dan foTo oleh VALENTINO LUIS

Punggung gunung yang langsung menjorok ke laut merupakan lanskap khas Seram bagian utara yang meneduhi resor dan berbagai pesona lainnya.

54 NatioNal GeoGraphic traveler

Page 2: Maumere (Flores, Indonesia) by Valentino Luis for National Geographic Traveler Magazine

j u li 2012 57

RATUSAN KEPALA sontak menoleh ke selatan kala tabuhan gong gendang me mecah udara. Suling me ­ngalun, sorakan penari mem­bahana. Dalam sekejap sirnalah suasana beku oleh hujan deras berkepanjangan yang baru usai. Aspal basah menguap sepan ­jang jalan dari stadion olahraga Samador da Cunha hingga mo­numen Kristus Raja Maumere.

Sebentar saja sirene mobil diikuti lantang suara pria dari be-lakang mikrofon. “Ina ama wue wari lu’ur dolor, mai sai ita mogat utung omok. Ena te’i pesta itang, pesta budaya. Nora pesta te’i, ele poi regang wiit ita nuhang ha, ko nora ga’i toneng weli riwung sawe ata maing, bisa ngasiang pu mo’a itang nulung na’i nalung weli. Naruk maeng kela waeng, soka sora nora kantar, siruwisu loru utang, kare tua dolo mosa,” mengajak warga kabupaten Sikka, timur Flores berkumpul menyaksikan karnaval, merayakan pesta budaya Mau-mere in Love yang dihelat sepekan.

Barisan panjang lenggak-lenggok gadis belia bak peragawati profesional melangkah tertata. Bersolek cantik tetapi membalut tubuh dengan gaun kain tenun. Saya teringat ucapan seorang kerabat kala bertandang ke Flores beberapa waktu silam. Saat melihat perempuan Nusa Bunga ini mengenakan kain tenun aneka motif tiap hari bak menonton pergelaran busana.

Barangkali warga Sikka telah sadar betul bahwa kain tenun yang mereka namakan sarung atau utang itu belakangan men-jadi sorotan. Magnet tak hanya bagi para kolektor seni tapi juga sejumlah perancang mode. “Selama ini kita hanya lihat di tivi dan koran, berita sarung kita yang dirancang menjadi pakaian bagus. Akhirnya bisa lihat sendiri, memang indah-indah,” ujar seorang warga senang.

Saya dan Celia Sabado Pareira mengikuti penonton yang bergerak di sisi jalan sepanjang rute karnaval. Apabila barisan pengisi acara berhenti, kami pun turut berhenti, begitu terus hingga menyentuh garis akhir arak-arakan di depan katedral.

Penampungan air milik warga Desa Rumahkai di bagian selatan Seram yang dihiasi gambar Yesus (kanan). “Laut minyak”—istilah warga lokal untuk laut tenang—menemani perjalanan ke Pulau Marsegu, Seram bagian utara. Udam sum hacesig natus, Catim resen tanum te cum iame non diest L. Ibus es venam in sa atiam tasdam is renturn inpra? Ad conim iam pos elis ingul unt? ilibus, Catium. Eliaedo, unt. Decientem in vemenia equemus facia Sci pulto ad cul hosum prit quam omne facia Sentemurbes! Serioctum

lagi begitu mengetahui bahwa beberapa motif tenun ikat Sikka itu warisan Portugal dari abad Pertengahan. Ia lantas memesan untuk dibuatkan sepuluh lembar dan berjanji mengambilnya sendiri. “Selama ini kami berkomunikasi lewat pesan singkat. Tapi kontak-kontakan kami putus sebulan lalu gara-gara saya kehilangan ponsel, nomornya ikut lenyap,” cerita Celia.

Setelah menderuhkan sepeda motor sejauh 30 km, sampailah kami kembali ke rumah Mama Maria. Kami sudah ditunggui.

Ada ritual kecil dilakukan Mama Maria sebelum Celia masuk ke rumah. Dipercikannya air ke wajah Celia dengan sehelai daun. “Adat kami menyebut huler wair, simbol penerimaan sekaligus pembersihan diri dari pengaruh negatif yang siapa tahu menyertai perjalanan. Ini biasa dilakukan menyambut anggota keluarga yang lama bepergian jauh maupun tamu kehormatan,” jelas suami Mama Maria. Kami lantas bersenda gurau. Tetangga-tetangga datang berduyun, ikut nimbrung menyambut Celia.

Saya sempat mendengar seorang dari mereka berceletuk, “Dari Portugal dan bermarga Pareira? Jangan-jangan masih kerabat kita.” Di kampung ini memang nyaris semua warga memiliki nama Portugal dan beberapanya adalah keturunan bangsa penjelajah Eropa itu. Contohnya keluarga Mama Maria yang menyandang nama Karwayu. Nama ini merupakan versi lokal dari Carvalho. Selain itu nama lain seperti da Lopez, da Gomez, Henriquez, da Rato, da Cunha, Fernandez, da Silva, Rodriquez, atau Pareira seperti nama belakang Celia amat jamak ditemukan dan menjadi petunjuk umum bahwa sang penyandang nama berasal dari kampung Sikka.

Tak lama Mama Maria membopong sebuntal lipatan-lipatan kain tenun dari kamar. Bau khas tetumbuhan menguap dari lem-baran kain. Saya mengendusi satu per satu. Sesuai permintaan Celia, Mama Maria memakai pewarna alam untuk tenunannya. Sumber pewarnanya dari daun nila, akar mengkudu, kunyit serta kemiri. Semua diambil dari kebun.

Seperti ketiban hadiah istimewa, buntelan kain tenun pada

Selang sejam kian banyak saja orang. Giliran tari-tarian, anta-ranya tua reta lou. Satu penari laki-laki melakukan gerakan mirip sirkus, naik ke atas sebilah bambu tegak yang ditahan rekan-rekannya lalu tengkurap dengan keseimbangan bertumpu pada perut, bambu diputar searah jarum jam. Mengisahkan bagaimana orang zaman dulu mengintai musuh sebelum perang. “Eksotis, seandainya acara ini diselengarakan setiap tahun” bisik Celia. Perhelatan akan dibuka menteri dari Jakarta. Menyerukan wisata berkelanjutan. Sepertinya sejalan dengan yang diharapkan Celia.

“Tapi kita harus pergi sekarang. Ke kampung Sikka” balas saya, menunjukkan isi pesan singkat di telepon selularku.

CELIA pelancong Portugal. Kami berjanji bersua dan melakukan perjalanan bersama di Maumere. Sehari sebelumnya, setiba di Maumere, kami langsung ke kampung Sikka, kampung tua bekas pusat kerajaan Sikka yang dulu di bawah naungan kerajaan Portugal. Niat kami ke kampung yang namanya dipakai sebagai nama kabupaten itu adalah ingin bertemu Mama Maria, seorang penenun. Kampung Sikka memang terkenal sebagai salah satu kampung penggiat tenun ikat. Tak sulit menemukan rumah Mama Maria. Sayangnya, rumah beliau kosong. Terpaksa kami balik ke Maumere dengan tangan hampa. Kami menitipkan kabar beserta nomor telepon selular ke tetangganya. Kini Mama Maria men-girim berita bahwa ia telah di rumahnya lagi. Celia pun gembira.

Perkenalan mereka terjalin setahun lalu di Jakarta lewat pam-eran budaya. Ia terpesona pada kain tenun Mama Maria, terlebih

Page 3: Maumere (Flores, Indonesia) by Valentino Luis for National Geographic Traveler Magazine

pangkuan diusap Celia pelan. Bibir mungilnya terus mengeluar-kan decak haru, tak bosan mengulang kata-kata dwi bahasanya, “Muito obrigada, terima kasih banyak.” Lagi dan lagi. Membuat Mama Maria yang dihujani ucapan terima kasih tersebut hanya mampu tersenyum simpul, antara malu sekaligus bangga.

Namun tiba-tiba Celia menampakkan muka tak puas. Saya kelabakan. “Kau tahu, rasanya sepuluh lembar saja belum cu-kup. Saya mau lebih,” katanya. Spontan seisi rumah menyambut ucapannya dengan koor pendek bersamaan, “Ohh…!!”

Kami diajak menikmati makan malam. Beramai-ramai duduk melingkar pada balai bambu dengan limpahan makanan di ten-gahnya. Tak ada mie, tempe, atau kerupuk seperti lauk pada um-umnya, melainkan rumpu rampe yakni tumisan bunga pepaya berbaur irisan jantung pisang juga daun singkong, opor ikan dengan tambahan kemangi yang disebut i’ang marak, dan hidan-gan pedas bernama lucu, wogi barasse. Seraya mengicip, Mama Maria menguraikan ikhwal tenunan yang dipesan Celia.

“Terdapat sejumlah motif tenun pening-galan Portugal, yang paling umum diap-likasikan pengrajin tenun ikat Sikka coração namanya. Dalam bahasa Portugis artinya hati.” Ucapan Mama Maria diangguki Celia. “Motif coração pun terbagi dua lagi. Per-tama coração do berabao atau hati berabao. Berabao adalah nama marga Portugal sep-erti da Rato, da Cunha, Pareira, dos Santos, dan banyak lagi. Ragam selanjutnya dina-mai coração mangoado, bermakna patah hati.” Sampai disini Celia menambahkan penjelasan Mama Maria bahwa dari dulu bangsa Portugal memang kerap menggu-

nakan lambang hati dalam menciptakan kerajinan tangan. Dan ketika menguasai wilayah timur pulau ini lima abad silam, mereka turut menyebarkan budayanya.

Saya terpukau bagaimana Mama Maria merincikan nama motif Portugal dengan sempurna. Tapi perempuan berusia 60 tahun itu cepat-cepat menangkis sanjungan saya. “Celia membantu saya mengenali kembali nama motif ini dengan benar. Beratus tahun ditinggalkan oleh penutur asli, kata-kata berbahasa Por-tugis kini banyak salah dilafalkan. Contohnya pada nama kedua motif tadi. Coração mangoado belakangan ‘terpeleset’ menjadi korasang manuwalu. Bukan hanya itu, banyak lagi kosakata lain yang berubah karena mandeknya kesinambungan pengetahuan bahasa Portugis kami.” Ya, kesalahan bahasa dan kekeliruan nama sudah pasti menimbulkan keambiguan makna. Jadi apalah artinya sebuah nama yang diucapkan Shakespeare dalam kasus tertentu tak boleh sepenuhnya diamini.

TERNYATA Celia bersunguh-sungguh. Ia memang meng-inginkan lebih banyak lagi kain tenun bermotif coração. “Jika tak bisa empat atau lima, minimal sepasang.”

Hanya saja, demi sepasang itu pun ia tak bisa memperolehnya dalam waktu sehari dua. Menghasilkan sebuah kain tenun bu-tuh proses yang panjang, apalagi sepenuhnya mengandalkan tenaga manusia. Di Sikka, pekerjaan ini adalah monopoli kaum perempuan, sementara para prianya hanya sebatas membantu pengadaan alat.

Untungnya Mama Maria punya kelebihan stok bahan yang tinggal ditenun saja. “Beri saya waktu satu minggu. Akan kami usahakan selesai. Saudariku sanggup menenun cepat dengan hasil sempurna.” Tak bisa terlukiskan girangnya Celia. Ia berjanji menambahkan harga atas usaha Mama Maria.

Waktu menanti selama seminggu rupanya memberi saya pen-getahuan perihal kain tenun Sikka. Dalam bahasa daerahnya, kain yang diperuntukan bagi perempuan disebut utang. Untuk pria dijuluki lipa. Proses penenunanya sedikit beda dan menurut pen-gakuan Mama Maria, menenun lipa lebih ringan ketimbang utang. Masuk akal bila harganya tak begitu mahal, tak sampai ratusan

Penampungan air milik warga Desa Rumahkai di bagian selatan Seram yang dihiasi gambar Yesus (kanan). “Laut minyak”—istilah warga lokal untuk laut tenang—menemani perjalanan ke Pulau Marsegu, Seram bagian utara. Udam sum hacesig natus, Catim resen tanum te cum iame non diest L. Ibus es venam in sa atiam tasdam is renturn inpra? Ad conim iam pos elis ingul unt? ilibus, Catium. Eliaedo, unt. Decientem in vemenia equemus facia Sci pulto ad cul hosum prit quam omne facia Sentemurbes! Serioctum

Page 4: Maumere (Flores, Indonesia) by Valentino Luis for National Geographic Traveler Magazine

j u li 2012 61

ribu. Sementara itu, selembar utang bisa mencapai jutaan rupiah.Kendati kini beredar ribuan motif tenun ikat, baik motif lama

maupun baru, tapi pakemnya sangat dihargai pengrajin. Adalah pemali mencampuradukan dua motif dalam satu kain tenun, terutama motif utama.

Ada lima etnis pribumi mendiami wilayah Sikka, disinilah mo-tif pada sebuah kain tenun berfungi sebagai petunjuk identitas keetnisan sang pemakai. Motif etnis Krowe seperti Mama Maria berbeda dengan motif etnis Sikka lainnya semisal etnis Tana Ai, Lio, atau Palue.

Khusus etnis Krowe, motif coração masuk dalam kelompok motif ‘elit’ bersanding dengan motif Agi, Nagalalang, Rempe Sikka, Tulada, Koba dan Mawarani. Adanya motif elit dan non elit ini berpengaruh dalam penghargaan terhadap seseorang. Orang Sikka dari segalah etnis menakar harga diri kaum perempuannya melalui motif kain yang dikenakan. Apabila kerabat dekat me-ninggal atau melangsungkan pernikahan, pemberian berupa kain tenun adalah wajib, namun lagi-lagi motif memegang peranan.

“Biarpun andaikata secara materi saya lebih mapan, tapi jika dalam acara keluarga saya menyerahkan kain bermotif ‘rendahan’, maka akan menjadi bahan cemoohan dalam keluarga. Cemoohan ini gawatnya akan tersiar dari mulut ke mulut dan terus dike-nang,” Mama Maria mengatakan kepada saya dengan nada serius.

Ketika saya menyinggung keajegan tradisi tenun, apakah seni kriya ini tetap mendapat respon generasi muda kini, Mama Maria menggeleng lunglai. “Keterampilan ini sudah langkah dihargai anak-anak sekarang. Mereka menganggap ini aktifitas kaum tak

Penampungan air milik warga Desa Rumahkai di bagian selatan Seram yang dihiasi gambar Yesus (kanan). “Laut minyak”—istilah warga lokal untuk laut tenang—menemani perjalanan ke Pulau Marsegu, Seram bagian utara. Udam sum hacesig natus, Catim resen tanum te cum iame non diest L. Ibus es venam in sa atiam tasdam is renturn inpra? Ad conim iam pos elis ingul unt? ilibus, Catium. Eliaedo, unt. Decientem in vemenia equemus facia Sci pulto ad cul hosum prit quam omne facia Sentemurbes! SerioctumGit velenis dolut quiam volupta esequatur? Ditet et aut volenissitae explaborrum cus, sinctorit adis assendam ilitetur, quos iur alique nobis

berpendidikan. Kecuali di pedesaan. Dunia sudah berubah, ŵae bu’ang tanah nulung hogor jata manu koko, ŵae bu’ang bai muring hogor matang kokong bowo. Gadis jaman dulu bangun subuh lang-sung memintal benang, gadis jaman sekarang bangun kesiangan mata bengkak karena sibuk mencukur alis.”

MENYOAL SIKKA, tak lengkap jika hanya berkutat sekitar kain tenun saja, tak sempurna bila tanpa menjajal pesona alamnya. Sisa waktu beberapa hari saya dan Celia sepakat untuk menikmati itu.

Pilihan pertama tak bisa jauh dari daya tarik utama kabupaten itu, yakni keindahan bawah laut juga pantai berpasir putih yang umumnya masih perawan. Pantai-pantai berpasir putih di pe-sisir utara dan selatan kami jejaki dalam tiga hari. Dipungkasi kunjungan ke Pulau Pangabatang untuk snorkeling sepanjang hari. Celia tetap saja meracau tentang kain tenun. Lucu, bahkan saat ngos-ngosan menarik napas dari dalam laut pun ia masih punya ide cemerlang mau diapakan nanti lembaran coração-nya.

Di laut Pangabatang kami melihat dua macam ikan lepu: gur-nard lionfish bersirip biru nan cantik dan weedy scorpionfish mirip rumput laut, bertubuh kuning cerah, dan jadi idola kolektor ikan untuk aquarium air asin.

Di Pulau Pangabatang kami juga tergoda pemandangan gu-nung Egon yang puncaknya menganga dan sesekali tertutupi kabut. Celia menantang saya untuk mendakinya keesokan hari. Saya justruh mengharapkan tantangan itu sebab sebetulnya saya lebih menyukai gunung ketimbang laut.

Egon termasuk stratovolcano, gunung berapi curam. Ia salah satu dari rangkaian gunung berapi aktif yang menghiasi tujuh kabupaten di pulau Flores. Menurut catatan ahli, letusan paling dasyat Egon terjadi pada tahun 1928. Terakhir ia meradang empat tahun lalu. Selain menyebabkan warga mengungsi, letusan ini pun melahirkan sebuah kawah belerang di puncaknya. Sama seperti taman laut, kondisi yang membaik setelah “badai” letusan ibarat ‘blessing in disguise’, melahirkan harapan pertumbuhan wisata, dengan konsep geowisata, warga menjadi tuan rumah.

Dipandu warga yang terlatih, kami bergabung dalam satu kelompok pendaki mahasiswa pecinta alam. Dengan candaan khas para mahasiwa, bersama-sama kami melewati hutan pohon eukaliptus nan rindang sebelum berjuang merayap pada tebing gunung yang membuat nyali sempat gentar. Hari itu bukan kami saja yang mendaki Egon, sebuah grup pendaki asing sudah ter-lebih dahulu sampai di atas.

Sesudah merayap, kami masih harus meniti lereng curam guna mencapai tepi kawah. Benar-benar sebentuk perjuangan dimana konsentrasi dan ketahanan fisik dipertaruhkan. Toh pada akhirnya tuntas terbayar oleh ketakjuban serta kepuasan bathin. Celia pu-lang dengan serangkai bunga edelweiss sedangkan saya menjejali saku celana dengan gumpalan kuning belerang. Sepanjang jalan, ia meledeki aroma belerang dari saku celana saya.

HARI TERAKHIR. Mama Maria menepati janji. Inilah yang menyebabkan saya mengagumi ketangguhan perempuan Sikka. Bagaimana tidak, dalam tempo enam hari, ia bersama sang adik berhasil mengubah benang menjadi dua helai kain tenun masing-masing sepanjang tiga meter tanpa cacat.

Celia meyakinkan kepada saya, ia akan memperlakukan kain tenun di kopernya dengan segenap cinta. Ia beranggapan bahwa inilah perjalanan paling menyentuh hati. Awalnya demi lembaran coração. Namun, kisah yang terus bergulir itu pada akhirnya Celia jatuh hati kepada alam, manusia, dan budaya Sikka. Anda ingin mengikuti jejaknya?

Lima pantai pilihan penulis saat mengunjungi salah satu kabupaten di Pulau Flores, yang kaya akan motif tenun. • Pantai Koka Sekitar 40 km dari Maumere, satu rute menuju

Ende tepatnya di Kecamatan Paga. Tiba disini kita akan melupakan segalah penat lantaran topografinya nan indah, pantai yang lebar, pasir putih bersih, tebing-tebing terjal pada dua teluk beda nuansa. • Pantai Kajuwulu Lokasi yang dramatis, ditandai oleh sebuah salib putih besar yang dipasang di atas bukit sabana. Di puncak bukit, panorama laut terhampar luas. Lalu, menuju pantai berpasir putih di kaki bukit. • Pantai Pulau Pangabatang Nikmati bergerak di atas sampan kayu selama kurang lebih 15-20 menit dari desa Darat Pantai, sebelah timur kota Maumere menujuh ke pulau mungil yang dikitari koral-koral kaya ikan ini. Pasir putih mendominasi pulau, hanya butuh waktu tak lebih setengah jam untuk berjalan santai mengelilinginya.• Pantai Kampung SikkaTerdapat campuran pasir hitam dan putih. Lebih dari itu pantai ini menjadi tonggak sejarah masuknya pelaut Portugal di awal abad 16 bersamaan penyebaran agama Katolik. Sebuah gereja tua peninggalan Portugal dengan lukisan motif kain tenun di dindingnya layak dikunjungi.• Pantai DorengDi Kecamatan Doreng, pantai pasir putih ini membentang. Nikmati eksotisme jalanan yang bersisian tebing, ditambah kawanan monyet yang kerap memenuhi jalan beberapa meter menjelang pantai.

Penerbangan dari Jakarta, Surabaya, Denpasar, Kupang, dan Makassar ke Maumere dilayani maskapai Wings Air, Batavia Air, dan Merpati Nusantara. Alternatif jalur laut, kapal PELNI dari Benoa dan Makassar atau KM. Dharma Lautan Kencana dari Surabaya. Akomodasi sekaligus layanan Diving seperti Sea World Dive Resort (T. 03822425089), Ankermi Dive Bungallow (T. 08124669667), atau Gading Beach Hotel (T. 081338709569). Museum Bilikon Blewut menghadirkan aneka koleksi arkeologi Flores termasuk fosil stegodon dan gading gajah purba berumur ribuan tahun. Menghadiri pesta budaya bertajuk Maumere In Love setiap bulan Februari bisa memberi gambaran akan kekayaan adat budaya Flores. Kunjungi pula Sentra Tenun Ikat Bliran Sina (T. 081339463561). Sikka juga terkenal bagi penyuka wisata rohani Katolik. Terdapat sejumlah tempat ziarah tersebar di sini.

T e l u k M a u m e r e

P. Besar

P. Pamana

P. Babi Bater

P. Pangabatang

P. DambilaP. Panrmahan

#

G. Egon

#

G. Lewotobi

#

G. Ilimuda

Pantai Doreng

Pantai Koka

Pantai Kajuwulu

L A U T S A W U

o Bandara Wai Oti

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!

!!

!

Maumere

Lia

Nebe

Lela

Nita

Koro

Sikka

Henggi

Hepang

Teboredo

Talibura

Watudirang

Kab

. Fl

ores

Tim

ur

K a b u p a t e n S i k k aKa

b.

En

de

U

P. Flores

L A U T S AW U

L A U T F L O R E S

P. Sumba P. Timor

AREA DIPERBESAR

0 10 20

Kilometer

Dalam Cinta Maumere Manise

Lima Pantai Terindah