MATURITAS PARU JANIN

27
Referat II PEMERIKSAAN UNTUK MEMPREDIKSIKAN MATURITAS PARU JANIN Penyaji : dr. M. Aerul Chakra Alibasya DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG Dipresentasikan : Kamis, 6 Oktober 2005 pukul 08.00 WIB

Transcript of MATURITAS PARU JANIN

Page 1: MATURITAS PARU JANIN

Referat II

PEMERIKSAAN UNTUK MEMPREDIKSIKAN

MATURITAS PARU JANIN

Penyaji :

dr. M. Aerul Chakra Alibasya

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Dipresentasikan : Kamis, 6 Oktober 2005 pukul 08.00 WIB

Page 2: MATURITAS PARU JANIN

PEMERIKSAAN UNTUK MEMPREDIKSIKAN

MATURITAS PARU JANIN

Penyaji :

Dr. Firmansyah

Pemandu Pembimbing

Dr. H. Agustria Zainu Saleh, SpOG Dr. Marwansyah FM, SpOG

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

PALEMBANG

Dipresentasikan : Senin, 7 Agustus 2000

Page 3: MATURITAS PARU JANIN

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1 II. FISIOLOGI PERNAPASAN PADA NEONATUS......................................... 2 A. Komposisi surfaktan .................................................................................... 4 B. Pengaturan Sistensis Surfaktan ................................................................... 5 C. Gliserofosfolipid........................................................................................... 5 D. Lesitin (Dipalmitoilfosfatidilkolin) .............................................................. 6 E. Fosfatidilgliserol ........................................................................................... 7 III. AMNIOSINTESIS .......................................................................................... 7 IV. PEMERIKSAAN MATURASI PARU .......................................................... 8 A. Rasio Lesitin- sfingomielin .......................................................................... 9 B. Komponen-komponen minor surfaktan ....................................................... 11 C. Fosfatidilglierol ........................................................................................... 13 D. Phosphatidate phosphohydrolase (PAPase) ................................................. 14 E. Palmitic acid/stearic acid Ratio (P/S ratio)................................................... 15 F. Foam stability test (Shake test) ..................................................................... 15 G. Test of Optical Density ................................................................................. 17 H. Microviscosity............................................................................................... 18 I. Tap Test ......................................................................................................... 19 J. Amniotic fluid turbidity ................................................................................ 21 V. PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI ........................................................ 22 VI. RINGKASAN ................................................................................................ 24 VII. RUJUKAN .................................................................................................... 25

PEMERIKSAAN UNTUK MEMPREDIKSIKAN

MATURITAS PARU JANIN

I. PENDAHULUAN

Page 4: MATURITAS PARU JANIN

Penggunaan analisis terhadap cairan amnion untuk memprediksi

maturitas paru- paru janin telah diterima secara luas. Hasil analisis ini telah

dimanfaatkan untuk menentukan saat yang tepat unutuk melakukan terminasi

kehamilan secara elektif, misalnya pada kasus seksio sesar yang berulang dan

merupakan faktor yang penting dalam penatalaksanaan kasus-kasus gestosis,

diabetes militus, perdarahan antepartum, inkopabilitas rhesus dan komplikasi-

komplikasi lain kehamilan.1,2

Apabila karena sesuatu keadaan, kehamilan harus diakhiri atau

menunda suatu persalinan, menjadi suatu persoalan untuk menentukan dengan

tepat maturitas paru-paru janin. Maturitas paru-paru janin ini sangat erat

hubungannya dengan terjadinya sindroma gawat napas (SGN). Pada SGN

terdapat gangguan produksi dan sekresi bahan yang disebut surfektan, yang

dihasilkan oleh pneumosit tipe II. Produksi bahan tersebut yang sangat cepat

meningkat sesudah usia kehamilan 35 minggu. Surfektan akan menurunkan

tekanan pada permukaan alveoli, sehingga kolaps alveoli tidak akan terjadi 1,2,3,4

Pemeriksaan maturitas paru sangat bermanfaat, untuk memprediksi

terjadinya SGN pada bayi-bayi baru lahir. Di Amerika Serikat, berdasarkan

hasil pemeriksaan maturitas paru secara luas, SGN telah diprediksi terjadinya

pada 40.000 bayi-bayi yang baru lahir stiap tahun. Sindroma gawat napas

mortalitasnya yang cukup tinggi yaitu sebesar 30% dan dalam jangka panjang

dihubungkan dengan resiko yang bermakna untuk timbulnya gejala sisa, baik

neurologis maupun pulmonologis. 2,4

II. FISIOLOGi PERNAPASAN PADA NEONATUS

Saat bayi dilahirkan dan sirkulasi fetoplasenta berhenti berfungsi, bayi

tersebut mengalami perubahan fisiologi yang besar sekali dan cepat. Dalam

beberapa menit setelah lahir, sistem pernapasan harus mampu memberikan

oksigen dan mengeliminasi karbondioksida kalau neonatus itu hendak bertahan

hidup. Kelangsungan hidup bayitersebut tegantung pada cepat dan teraturnya

Page 5: MATURITAS PARU JANIN

pertukaran oksigen dan korbondioksida antara lingkungan barunya dan sirkulasi

paru-paru yang terisi cairan harus diisi dengan udara, udara harus dipertukarkan

dengan gerakan pernapasan yang tepat, dan mikrosirkulasi yang kuat harus

diciptakan di sekitar alveoli tersebut. 2,4

Segera setelah lahir, pola pernapasan bergeser dari satu inspirasi

episodik dangkal, yang khas pada pernapasan janin, menjadi pola inhalasi lebih

dalam dan teratur. Sekarang jelas bahwa aerasi paru-paru neonatus bukan

inflasi dari suatu struktur yang kolaps, melainkan pergantian cepat cairan

bronkhial dan alveoli dengan air. Pada biri-biri, dan diperkirakan pada bayi

manusia, cairan alveoli yang tersisa setelah kelahiran dibersihkan melalui

sirkulasi paru dan pada tingkat yang lebih kecil, melalui sistem limfatik paru. 2

Karena cairan digantikan dengan udara, terdapat pengurangan cukup

besar kompresi vaskuler paru dan selanjut, menurunkan tahanan aliran darah.

Dengan menurunnya aliran cairan darah arteri pulmonalis, duktus arteiosus

normalnya menutup. Penutupan foramen ovale lebih variabel. 2

Tekanan negative pada toraks yang tinggi diperlukan untuk menghasilkan

pemasukan udara pertama kali ke dalam alveoli yang penuh terisi air.

Normalnya, dari pernapasan pertama setelah lahir ini, secara progesif lebih

banyak udara residual berkumpul di dalam paru-paru, dan setiap pernapasan

berikutnya, diperlukan tekanan pembukaan paru-paru, yang lebih rendah. 2,4

Berhasilnya pengisian paru-paru dengan udara dan cepatnya

pembentukan pola fisiologi perubahan tekanan volume pada inspirasi dan

ekspirasi memerlukan adanya bahan permukaan aktif yang akan merendahkan

tegangan permukaan di dalam alveoli dan karena itu mencegah kolapsnya paru-

paru pada setiap ekspirasi. Tidak cukupnya surfaktan akan menyebabkan

timbulnya sindroma gawat napas dengan cepat. 1,2,3,4,10,11

Pada tahun 1929, Von Neergard membandingkan kurva-kurva tekanan

volume paru-paru yang dikembangkan dengan udara, dengan paru-paru yang

dikembangkan dengan suatu larutan gum Arab. Dari hasil penelitian ini, ia

menyimpulkan bahwa kekuatan yang meningkatkan deflasi atau kolapsnya

Page 6: MATURITAS PARU JANIN

paru-paru yang mengandung udara adalah kekuatan yang terutama dihasilkan

oleh tegangan permukaan pada sekat udara saringan pada alveolus. Clements

pada tahun 1957, menemukan bahwa suatu bahan yang menghasilkan tegangan

permukaan terdapat di dalam ekstraks-ekstraks salin dari bahan cucian paru.

Kemudian ditemukan bahwa sifat-sifat permukaan aktif dari alveoli dapat

dihubungkan dengan komponen-komponen suatu kompleks lipoprotein, yaitu

surfektan. 1,2,5,

Klaus dan rekan (1961) menetapkan bahwa koponen pemukaan aktif

surfektan yang penting ada hubungannya dengan suatu lesitin spesifik, yaitu

diplamitoilfostidilkolin. 1

Avery dan Mead (1959) adalah yang pertama kali menunjukan bahwa

sindrom gawat napas disebabkan oleh defisiensi biosintesis surfaktan dalam

paru-paru janin dan neonatus. Berikutnya , beberapa peneliti telah

memperlihatkan pertambahan sintesis surfektan, normalnya tampak pada paru-

paru janin menurut jadual perjalanan waktu perkembangannya; dan, diketahui

bahwa dari 40 tipe sel paru, surfaktan dibentuk khususnya pada pneumosit tipe

II ini ditandai dengan badan-badan multiveskuler, progenitor seluler dari badan

lamellar disekresi dari paru-paru. Dalam kehidupan janin lebih lanjut, pada saat

alveolusnya ditandai dengan suatu interface air ke jaringan, badan-badan

lamelar utuh disapu ke dalam cairan amnion dengan gerakan-gerakan semacam

pernapasan, yaitu peernapasan janin. 2

Ini merupakan cirri yang sangat penting dari kehamilan manusia,

karena surfaktan di dalam cairan amnion menunjukan mulainya pematangan

fungsional paru-paru. Pada spesies lain, secret-sekret paru tidak perlu masuk ke

cairan amnion; misalnya, pada janin biri-biri, interface air ke jaringan

diproduksi dalam alveolus paru bayi baru lahir. Hal ini memungkinkan

“penguraian” surfaktan dari bahan lamelar dan penurunan tegangan permukaan

ini kemudian menyebar ke lapisan alveolus, dank arena itu mencegah kolaps

alveolus pada waktu ekspirasi. Dengan demikian, kemampuan paru-paru janin

Page 7: MATURITAS PARU JANIN

untuk memproduksi surfaktan inilah, dan bukan meletakkan badan lamellar ini

in-utero, yang menandai kematangan paru sebelum lahir. 2,3

A. Komposisi Surfaktan

Pengenalan peran penting surfaktan dalam pencegahan sindro gawat

napas mengarahkan banyak peneliti untuk mempelajari komposisi lipoprotein

ini. Sekitar 90% surfaktan (berat kering) adalah lipid; dan kira-kira 80%

gliserofosfolipid-nya terdiri dari fosfatidilkolin (lesition); tetapi yang penting

suatu fosfatidilkolin (disaturated phosphatidycholine atau disaturated lecitin),

berjumlah hampir 50% diantara gliserofosfolipid dari surfaktan. Juga ada suatu

kandungan yang luar biasa tinggi dari fosfatidilgliserol dalam surfaktan, yaitu 9

– 15 %, jumlah yang jauh lebih besar dari yang ditemukan diberbagai mamalia

lainnya (Keidel dan Gluck, 1975). 2,4

Fosfatidilgliserol adalah komponen permukaan aktif surfaktan

terbanyak kedua; tetapi lebih penting lagi, fosfatidilgliserol tampak

memberikan suatu sifat yang unik pada bagian surfaktan tersebut, suatu sifat

permukaan aktif yang melebihi dari apa yang dapat dihubungkan dengan sifat-

sifat penurunan tekanan permukaan itu sendiri. Kerja fosfotidilgliserol yang

kurang diketahui ini, dipercaya dalam mencegah sindroma gawat napas karena

bayi-bayi yang lahir sebelum munculnya fosfotidilgliserol dalam surfaktan akan

semakin besar kemungkinan resiko terjadinya sindroma gawat napas, bahkan

pada bayi-bayi baru lahir yang kandungan dipalmitoilfosfatidilkolin dalam

surfaktan-nya normal untuk paru-paru matang. 2, 11, 13, 14

B. Pengaturan Sintesis Surfaktan

Dalam suatu seri studi yang bagus sekali, Gluck dan rekan (1967,

1971, 1972, 1974) mendemonstrasikan konsentrasi dipalmitoilfosfatidilkholin

(lesitin) yang semakin meningkat di dalam cairan amnion, relative terhadap

konsentrasi sfingomielin (rasio lesitin-sfingomielin, atau L/S), merupakan

penanda kematangan paru janin. Studi-studi ini berhasil karena gagasan yang

Page 8: MATURITAS PARU JANIN

cemerlang untuk menetapkan konsentrasi sfingomielin sebagai acuan untuk

sintesis gliserofosfolipid oleh paru-paru pada umumnya, sementara pengukuran

dipalmitoilfosfatidilkholin (lesitin) merupakan suatu indeks spesifik dari

sintesis surfaktan dalam pneumosit tipe II. Hallman dan kawan-kawan (1976)

kemudian mendemonstrasikan bahwa identifikasi fosfatidilgliserol dalam cairan

amnion juga merupakan indikastor untuk kematangan paru. 2, 11, 16

Dari banyak observasi yang saling melengkapi ini, menjadi jelas

bahwa sintesis surfaktan yang bertambah banyak, khususnya yang kaya akan

dipalmitoilfosfatidilkolin dan fosfatidilgliserol, adalah penting untuk

berhasilnya persiapan paru janin untuk transisi dari interface air-alveolus ke

interface udara-alveolus, peristiwa-peristiwa yang harus terjadi kalau kolaps

alveolus pada waktu ekspirasi setelah lahir harus dicegah. Jadi, pengaturan

kecepatan sintesis dipalmitoilfosfatidilkolin dan fosfatidilgliserol dalam paru

janin merupakan tanda yang penting. 2,11

C. Gliserofosfolipid

Biosintesis surfaktan terbatas di sel-sel paru tipe II. Apoprotein

diproduksi di dalam retikulum endoplasmik. Komponen-komponen permukaan

aktif surfaktan, yaitu gliserofosfolipid, disintesis dengan cara interaksi

kooperatif antara beberapa organel seluler. Reaksi umum terlibat di dalam

langkah-langkah awal dalam biosintesis fosfatidilkolin dan fosfatidilgliserol.

Tulang punggung gliserol untuk sintesis fosfatidilkolin, dan fosfatidilinositol,

dan fosfatidilgliderol (asam fosfatidat) disediakan oleh hidroksiaseton fosfat

dari satu atau dua rangkaian reaksi. Glikogen, yang disimpan di dalam sel-sel

paru tipe II ini sebelum waktu sintesis surfaktan cepat, digunakan dalam

pembentukan gliserol-3-fosfat di paru janin (untuk tinjauan : Odom dan kawan-

kawan, 1986). Glisrol-3-fosfat di-asilkan dengan suatu langkah dalam suatu

proses yang menghasilkan asam fosfatidat dimana ada dua jenis asam lemak.

Asam fosfatidat adalah precursor dari semua gliserolfosfolipid surfaktan. Donor

asil untuk kerangka gliserol adalah asam lemak koenzim A (KoA). 2

Page 9: MATURITAS PARU JANIN

Penting ditekankan bahwa asam fosfatidat adalah suatu subrstrat yang

umum untuk pembentukan kedua gliserofosfolipid permukaan aktif utama

tersebut, yaitu dipalmitoilfosfatidilkolin dan fosfatidilgliserol. Jadi,

metabolisme asam fosfatidat merupakan suatu titik cabang kritis dalam

pengaturan biosintesis gliserofosfolipid permukaan aktif utma pada surfaktan. 2,11

D. Lesitin (Dipalmitoilfosfatidilkolin)

Dipalmitoilfosfatidilkolin, atau adalah gliserofosfolipid surfaktan

utama. Dalam sintesis lesitin, asam fosfatidat di-hidrolisis, melalui kerja

fosfohidrolase (PAPase) untuk menghasilkan sn-1,2- diasilgliserol bertindak

sebagai ko-substrat dengan sitidin difosfat (CDP)-kolin dalam pembentukan

fosfatidilkolin. Reaksi yang terakhir ini dikatalis oleh enzim kolin

fosfotransferase (CPTase). Ko-substrat, CDP-kolin, dibentuk dalam suatu

rangkaian reaksi; melalui kerja keras kinase, fosforikolin dibentuk. Fosforikolin,

sebaliknya dikonversi menjadi CDP-kolin dalam suatu reaksi yang dikatalis

sitidin trifosfat (CTP)-fosfokolin sitidilitransferase. 1,2,3

E. Fosfatidilgliserol

Pengaturan sintesis Fosfatidilgliserol sangat penting karena Hallman

dan kawan-kawan (1976) telah memperlihatkan bahwa meningginya konsentrasi

fosfatidilgliserol, bersama menurunnya konsentrasi fosfatidilinositol dalam

surfaktan juga menyatakan kematangan paru. Beberapa bayi yang lahir dari ibu-

ibu diabetik, mengalami sindroa gawat napas meskipun konsentrasi

dipalmitoilfosfatidilkolin didalam cairan amnion tinggi. Surfaktan di paru-paru

dan cairan amnion pada janin-janin dan neonatus yang sakit tersebut ditandai

dengan kadar fosfatidilgliserol yang rendah dan kadar fosfatidilinositol yang

tinggi. Selanjutnya telah diperlihatkan bahwa fosfatidilgliserol juga bekerja

meningkatkan enzim jaringan paru. Fosfokolinsitidiltransferase, suatu enzim

Page 10: MATURITAS PARU JANIN

yang penting utuk biosintesis fosfatidilkolin. Jadi, pemahaman tentang

pengaturan pembentukan fosfatidilgliserol menjadi penting dalam memikirkan

peristiwa-peristiwa biokimiawi akhir pada pematangan paru janin. 2, 11

Sampai sekarang, pengaturan biosintesis fosfatidilinositol dan

fosatidilgliserol tidak dipahami sepenuhnya (Bleasdale dan kawan-kawan,

1979). Pada berbagai peristiwa, diketahui bahwa pada pematangan paru janin

pertama kali ada “lonjokan” sintesis fosfatidilgliserol bersamaan dengan

penurunan fosfatidilinositol dalam surfaktan. 2

III. AMNIOSINTESIS

Amniosintesis pada mulanya terutama dilakukan untuk

memperkirakan konsentrasi bilirubin atau pigmen seperti seperti bilirubin

dalam cairan amnion, untuk menemukan penyakit hemolitik pada janin.

Sekarang, prosedur ini paling sering digunakan untuk menetapkan konsentrasi

relatife fosfolipid surfaktan aktif untuk mengidentifiaksika apakah janin sudah

atau belum mengalami kematangan paru. 1,2,3

Beberapa pemeriksaan yang digunakan untuk memprediksikan

maturitas paru-paru janin umumnya memakai cairan amnion sebagai specimen

pemeriksaan. Cairan amnioan ini yang terutama didapatkan dengan cara

melakukan amniosentesis suprapublik. Disampnig itu juga mengguanak cairan

amnion yang didapatkan dari vaginal pool, yaitu pada kasus-kasus dengan

keuban pecah dini. 1,2,3,5,

Caiaran amnion yang didapatkan dari aamniosentesis ini, apabila

terkontaminasi darah, akan cukup mempersulit teknik pemeriksaan dan

interpretasi hasilnya. Darah dapat merubah kadar berbagai kandungan dalam

cairan amnion yang sedang ditelit. Gibbons dkk. (1974) meneliti efek-efek

penambahan darah ibu ke dalam cairan amnion segar, yang kemudian

disentrifugasi dengan baik. Penambahan darah dengan konsentrasi 1 persen atau

lebih ke dalam cairan amnion, menyebabkan penurunan rasio lesitin-

Page 11: MATURITAS PARU JANIN

sfngomielin (L/S Ratio), suatu perubahan yang akan menimbulkan dugaan janin

kurang matur. Buhi dan Spellacy (1975) menemukan bahwa serum ibu

mempunyai rasio lesitin-sfngomielin1:3 sampai 1:5, dan mereka menemukan

bahwa penambahan serum ini ke cairan amnion akan mempengaruhi rasio

lesitin-sfngomielin; mekonium juga menurunkan rasio lesitin-sfngomielin. 1,5

IV. PEMERIKSAAN MATURITAS PARU

Surfaktan merupakan suatu senyawa yang kompleks yang terdiri dari

protein dan fosfolipid. Telah diterima secara luas bahwa kadar fosfolipid dalam

cairan amnion akan meningkat sesuai dengan usia kehamilan dan mempunyai

korelasi dengan resiko terjadinya sindroma gawat napas. Tidak ada

pemeriksaan cairan amnion yang betul-betul reliable, mudah dilakukan, dan

secara universal dapat dilakukan untuk memprediksi maturitas paru-paru janin.

Sebagai konsekuensinya. Dikembangkan banyak macam pemeriksaan meturitas

paru janin yang telah dilakukan oleh peneliti.1,3,5,6,16

Beberapa uji yang digunakan untuk memperkirakan surfaktan paru-

paru, dan untuk meramalkan terjadinya sindroma gawat napas, telah ditinjau

oleh O’Brien dan Cefalo. Mereka membagi berbagi metode pemeriksaan

maturitas paru-paru tersebut ke dalam dua kelompok besar : 1

A. Secara kimiawi :

1. Rasio Lesitin-sfngomeilin (L/S Ratio)

2. Komponen-komponen minor surfaktan

3. Fosfatidigliserol

4. Phosphotidate phosphohydrolase

5. P/S Ratio

B. Secara biofisik :

1. Foam stability test

2. Test of optical density

3. Microviscosity

Page 12: MATURITAS PARU JANIN

A. Rasio Lesitin-sfngomielin

Pemeriksaan untuk menentukan rasio lesitin-sfngomielin ini

merupakan pemeriksaan yang paling sering digunakan untuk memprediksikan

maturitas paru-paru janin, dan dianggap sebagai “gold standart method” .

Pemeriksaan ini mempunyai beberapa hal yang kurang menguntungkan, yaitu

memerlukan banyak waktu dalam proses pemeriksaannya, disamping itu

pengukuran rasio lesitin-sfngomielin ini memerlukan laboratorium yang

monitornya dengan baik karena variasi kecil dalam taknik dapat sangat

mempengaruhi keakuratan hasilnya. 1,12

Borer dan dkk, yang pertama kali memperkenalkan pengukuran rasio

lesitin-dfngomielin ini. Selanjutnya banyak penelitian dilakukan untuk

mengevaluasi berbagai teknik pemeriksaan ini. 1,13,16,18,19

Metode Gluck dkk dimulai dengan melakukan sentrifugasi terhadap

cairan amnion yang akan diperiksa dengan 5.400 rpm selama 5 sampai 10

menit, kemudian dilakukan ekstraksi fosfolipid dengan chloroform, presipitasi

dalam asetor dingin, resuspensi dalam chloform separation dengan thin-layer

chromatography (TLC), dan pengukuran rasio lesitin-sfngomeilin dengan

menggunakan densitometry atau dilakukan pewarnaan dengan bromothymol

blue dilanjutkan dengan planimetry. Apabila analisis tersebut tidak cepat

dilakukan, spesimen hendaknya dimasukan dalam lemari pendingin. Metode

ini juga dipakai oleh Donald dkk dan Aubrey dkk dalam penelitian-

penelitiannya. 1

Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengukur rasio lesitin

sfngomielin dengan menggunakan berbagai modifikasi dalam prosedur

pemeriksaannya. Modifikasi yang paling sering adalah menghilangkan

langkah pemeriksaan presitasi dalam aseton dingin. Gluck dkk menyatakan

bahwa prespitasi dengan aseton akan memisahkan fosfolipid permukaa-aktif

dari yang bukan permukaan aktif, tetapi peneliti-peneliti lain tidak

menemukan pemisahan fosfolipid dalam dua fraksi tersebut. Penelitian

Page 13: MATURITAS PARU JANIN

dengan menggunakan metode tanpa presipitasi aseton dilaporkan oleh

Tuimala serta Morison dkk yang menyatakan prediktabilitas rasio lesitin

sfngomielin pada level 1,5/1dan 2/1. 1

Sebelum kehamilan 34 minggu, lesitin dan sfingomielin terdapat

didalam cairan amnion denga konsentrasi yang sama. Pada sekitar usia

kehamilan 34 minggu, konsentrasi relative lesitin terhadap sfingomielin mulai

naik.

Gluck dkk, pada tahun 1971, melaporkan bahwa untuk kehamilan

yang tidak diketahui umurnya tetapi tanpa komplikasi apaun, resiko terjadinya

sindroma gawat napas pada bayi baru lahir sangat kecil kalau konsentrasi

lesitin di dalam cairan amnion sedikitnya dua kali konsentrasi sfingomielin,

sementara itu ada resiko yang semakin tinggi untuk terjadinya sindroma gawat

napas kalau rasio lesitin-sfingomielin di bawah 2. hal ini segera

dikonfirmasikan oleh peneliti lain. Pada tahun 1975, Harvey dkk

menggabungkan 25 laporan yang rasio lesitin-sfingomielin diukur dengan

teknik yang sama pada cairan amnion yang dikumpulkan dalam 72 jam

setelah kelahiran. Bila rasio lesitin-sfingomielin lebih besar dari 2, resiko

terjadi sindroma gawat napas ditemukan kecil sekali, kecuali bila ibu

menderita diabetes. Kalau rasio lesitin-sfingomielin antara 1,5 sampai 2, maka

sindroma gawat napas ditemukan pada 40% kasus, dan kalau dibawah 1,5

ditemukan pada 73% kasus. Meskipun 73 bayi mengalami sindroma gawat

napas kalau rasio lesitin-sfingomielin dibawah 1,5 tetapi yang terbukti fatal

hanya pada 14%. 1

B. Komponen-komponen minor surfaktan

Pada tahun 1973, Nelson dan Lawson melaporkan hasil evaluasi

terhadap konsentrasi total phospholipid phosphorus dalam cairan amnion

dengan ekstrak lipid total yang dipresipitasi menggunakan aseton dingin.

Hasil presipitasi ini dihancurkan dengan sulfuric acid yang menyebabkan

lepasnya inorganic phosphorus, kemudian diukur dengan spectrophotometry.

Page 14: MATURITAS PARU JANIN

Penelitian ini mendapatkan bahwa bila konsentrasi total phospholipid

phosphorus lebih dari 0,140 mg/dl tidak satupun ditemukan terjadi sindroma

gawat napas di antara 150 neonatus. Sementara biala konsentrasi total

phospholipid phosphorus kurang dari 0,140 mg/dl ditemukan sindroma gawat

napas pada 12 antara 37 neonatus. 1

Pada tahun 1972 dan 1973, Nelson dan Lawson melaporkan

pemakaian konsentrasi lesitin dalam cairan amnion sebagai indeks untuk

menilai maturitas paru-paru janin. Sampel cairan amnion disentrifugasi pada

1.500 rpm selama 10 menit supernatant yang diasilkan diperiksa dengan thin-

layer chromatography (TCL). Bintik lesitin dan sfingomielin kemudian

dianalisis dengan menggunakan Lechitin phosphorus. Pada penelitian awal

dilaporkan bahwa didapatkan hasil dengan prediktabilitas yang akurat dimana

konsentrasi lesitin 0,100 mg tidak satupun terjadi sindroma gawat napas dari

74 neonatus. Pada penelitian yang kedua dilaporkan bahwa pemeriksaan ini

lebi prediktif untuk sindroma gawat napas daripada berat badan. Korelasi ini

memberikan bukti bahwa pemeriksaan ini mempunyai korelasi yang lebih

baik dengan tingkat maturitas paru-paru janin daripada dengan usia

kehamilan. 1

Pada tahun 1974 dan 1976, Lindback dkk melaporkan penelitian

mengenai pemeriksaan lesitin cairan amnion. Setelah dilakukan ekstraksi lipid

dengan chloroform, lipid dipisahkan dengan thin-layer chromatography

(TCL). Hasil pengukuran dinyatakan dalam micromole per desi liter. Pada

pasien normal, diambil kadar lesitin sebesar 4,8 mikromole per desi liter

sebagai nilai ambang prediktif. Pada pasien dengan hipertensi atau diabetes

dan pertumbuhan janin terhambat, dari 48 neonatus dengan konsentrasi lesitin

diatas nilai ambang sindroma gawat napas pada 6 neonatus. 1

Pada tahun 1976, Lindback melaporkan nilai predeksi utuk konsentrasi

esterified palmitic acid dalam cairan amnion. Sampel cairan amnion tidak

disentrifugasi, dieksrtaksi dalam chloroform dan di-transesterifikasi pada

methylester. Sampel ini kemudian diperiksa dengan mengguanakan gas-liquid

Page 15: MATURITAS PARU JANIN

chromatography (GLC) dan konsentrasi palmitic acid dinyatakan dalam

milimole per liter. Nilai ambang ditentukan yaitu 0,072 milimole per liter. 1

Pada tahun 1977, Bichler dkk melaporkan pemeriksaan konsenrtasi

pamitic acid cairan amnion. Setelah dilakukan sentrifugasi pada 1.500 g

selama 10 menit, sampel cairan amnion dilihat apakah ada verniks, bila ada

maka dilakukan filter. Dilakukan ekstraksi dengan chloroform, dilanjutkan

dengan proses hidrolisasi dan metalisasi. Kemudian diperiksa dengan gas

liquid chromatography (GLC),estimasi konsentrasi palmitic acid dibuat

dengan membandingkan palmitic acid methyl ester standar. Ditentukan nilai

ambang 5 gm/ml. 1

C. Fosfatidilgiserol

Walaupun lesitin merupakan komponen utama fosfolipid surfaktan

paru-paru, fosfolipid lain mungkin juga menambah aktif total surfaktan.

Komponenminor fosfolipid yang terutama adalah fosfotidilglisrol dan

fosfatidilinositol. Pada tahun 1976, Hallman dkk menemukan adanya korelasi

antara persentase fosfatidilgliserol dan fosfatidilinositol dengan usia

kehamilan dan rasio lesitin-sfingomielin pada 66 spesimen yang didapatkan

dari kehamilan normal. Pada tahun 1977, peneliti lain dari kelompok ini juga

mendapatkan bahwa dalam spesimen yang didapatkan dari aspirasi tracheal

neonatus-neonatus yang mengalami sindroma gawat napas tidak ditemukan

adanya fosfatidilgliserol. Setelah usia kehamilan 30 minggu, fosfatidilgliserol

ini selalu teridentifikaasi pada neonatus yang tadak engalami sindroma gawat

napas. 1

Pada tahun 1977, Cunningham dkk melaporkan tidak

teridentifikasinya fosfatidilgliserol dan sampel cairan amnion yang didapatkan

dari kehamilan resiko tinggi dengan usia kehamilan 34-37 minggu. 1, 11, 12, 16

Pada tahun 1978, Golde melaporkan hasil pemeriksaan terhadap

fosfatidilgliserol pada sampel cairan amnion dari 215 pasien melahirkan bayi

dalam 72 jam dari saat pemeriksaan. Pada sampel cairan amnion yang

Page 16: MATURITAS PARU JANIN

mengandung fosfatidilgliserol tidak teridentifikasi, sindroma gawat napas

terjadi pada 4 neonatus. 11, 20

Whittle dkk pada tahun 1982 melaporkan bahwa kerja surfaktan yang

tidak cukup untuk mencegah sindroma gawat napas, sekaligus rasio lesitin-

sfingomielin adalah 2, dianggap disebabkan sebagaian oleh kurangnya

fosfatidilgliserol dan peninggian permukaan aktif. Ditemukannya

fosfatidilgliserol didalam cairan amnion memberikan jaminan yang cukup

besar, tetapi tidak harus merupakan garansi absolut, bahwa sindroma gawat

napas tidak akan timbul. 11

Fosfatidilgliserol belum ditemukan di dalam darah, mekonium, atau

secret vagina, karena itu kontaminan-kontaminan ini tidak akan mengacaukan

interpretasi. Tidak adanya fosfatidilgliserol idaklah harus merupakan indikator

kuat bahwa sindroma gawat napas kemungkinan akan timbul setelah lahir,

tidak adanya fosfolipid ini hanya menunjukan bahwa bayi tersebut mungkin

akan mengalami sindroma gawat napas. 11

Uji aglutinasi iminologi cepat (dalam 15 menit) (Amniostat-FLM)

untuk mendeteksi fosfatidilgliserol dalam sampel cairan amnion, mempunyai

keakuratan yang tinggi, dan dengan demikian dapat dipakai untuk

menemukan ketidakmungkinan neonatus akan mengalami sindroma gawat

napas. Hal ini telah dibuktikan secara memuaskan oleh Garite dkk pada tahun

1983. 2

D. Phosphatidate Phosphohydrolase (PAPase)

Herbert dkk melaorkan aktifitas spesifik dari enzim phosphatidate

phosphohydrolase (PAPase) dalam cairan amnion. Enzim ini telah diketahui

terdapatdalam badan-badan lamellar pada pneumosit tipe II peningkatan

aktifitas enzim enzim phosphatidate phosphohydrolase berkaitan dengan

sintesis surfaktan pada kehamilan. Enzim ini diduga merupakan faktor kritis

dalam produksi lesitin dan fosfatidilgliserol. 20

Page 17: MATURITAS PARU JANIN

Penelitian ini meliputi 223 kehamilan, sampel cairan amnion

didapatkan melalui amniosentesis transabdominal dan bebas dari kontaminasi

darah dan mekonium. Aktifitas enzim phosphatidate phosphohydrolase

didapatkan seiring dengan usia kehamilan dan mempunyai korelasi dengan

sindroma gawat napas. Dari 53 neonatus yang lahir beberapa waktu setelah

pemeriksaan dengan level kurang dari 50, sepuluh diantaranya didapat terjadi

sindroma gawat napas, sementara dari 170 neonatus dengan level 50 atau

lebih, terjadi sindroma gawat napas pada 1 kasus. 20

E. P/S Ratio

O’Ne’il dkk melaporkan hasil pemeriksaan palmitic acid / stearic acid

ratio (P/S Ratio) pada sampel cairan amnion dari 64 pasien. Pada 31 diantara

pasien-pasien ini, kehamilan dengan komplikasi diabetes mellitus. Setelah

dilakukan ekstraksi lipid dan thin-layer chromatography (TLC), bintik lesitin

diekstraksi, hidrolisasi, dan metilasi. Ester yang dihasilkan diekstraksi,

redissolved, dan diperiksa dengan gas-liquid chromatography. Nilainya

dibandingkan denagn metal ester asam lemak murni standar. 1,2

F. Foam Stability Test (Tes Busa)

Metode pemeriksaan ini menawarkan hasil lebih yang cepat

didapatkan, mudah dilakukan, reagensia yang mudah didapatkan Foam

Stability Test atau uji stabilitas busa, metode pemeriksaan ii diperkenalkan

pertama kali oleh Clements pada tahun 1972, disebut juga shake test atau uji

kocok, sekarang dipakai secara luas. Kelemahan utama yang tampak pada

pemeriksaan ini adalah tingginya hasil negatif palsu dan keakuratan-nya

masih perlu dipertanyakan pada kehamilan-kehamilan resiko tinggi.

Pemeriksaan ini tergantung pada kemampuan surfaktan dalam cairan amnion,

kalau dicampur dengan etanol dalam jumlah cukup, untuk menimbulkan busa

yang stabil pada interface udara-udara. Teknik ini memerlukan tidak lebih

dari 30 menit untuk mengerjakannya. 1,2

Page 18: MATURITAS PARU JANIN

Ke dalam tabung kaca 13x100 yang bersih secara kimiawi dengan

tutup sekrup plastic berlapis Teflon, dimasukan 1,0 ml cairan amnion yang

baru saja diambil dan 1,0 ml etanol 95% (dibuat dengan melarutkan 19,0

bagian alcohol absolute dan 1 bagian aquades). Cairan amnion 0,5 ml, saline

0,9% sebanayk 0,5ml, dan etanol 95% sebanayk 1ml dimasukan kedalam

tabung lain. Masing-masing tabung dengan dikocok kuat selama 15 menit dan

ditempatkan tegak di rak selama 15 menit. Bertahannya cincin utuh

gelembung pada interface udara-cairan setelah 15 menit dianggap sebagai uji

positif. 1,2

Kalau cincin busa bertahan selama 15 menit, resiko terjadinya

sindroma gawat napas sangat rendah. Misalnya, Schlueter dkk (1975) hanya

menemukan satu kasus sindroma gawat napas dari 205 kehamilan dengan uji

positif untuk cairan amnion yang dilarutkan dengan volume salin yang sama.

Tetapi ada 2 masalah pada uji coba ini :

A. Kontaminasi sedikit saja cairan amnion, reagen, atau alat kaca, atau

kesalahan pengukuran, dapat merubah hasil ayng cukup jelas.

B. Uji negative palsu agak sering terjadi, yaitu kegagalan cincin busa

untuk tetap utuh selama 15 menit di dalam tabun berisi cairan amnion

yang diencerkan, tidak perlu meramalkan sindroma gawat napas.

Pemeriksaan dengan shake test ini, penting diperhatikan kemurnian

reagensia dan kontaminasi sampel cairan amnion dengan darah atau

mekonium dapat menyebabkan hasil positif palsu. 1

Turnbull dkk pada pemeriksaan terhadap 96 pasien melaporkan bahwa

lebih dari 80% pasien dengan hasil negatif atau intermediate ternyata tidak

terjadi sindroma gawat napas. Pada suatu seri pemeriksaan terhadap 279

kehamilan normal dan 489 kehamilan abnormal yang dilakukan oleh

Morrison dkk, mereka mengkonfirmasikan nilai prediksi terhadap tes positif

pada kehamilan normal. Pada kehamilan abnormal,temasuk pasien dengan

Page 19: MATURITAS PARU JANIN

dibetes mellitus, terjadi kurang lebih 4 kali lipat peningkatan prediksi positif

palsu terhadap maturitas.

Dalam review terhadap 11 laporan, meliputi 849 pasien, Harvey dkk

mencapai kesimpulan hasil shake test ini sebagaimana yang dilaporkan oleh

Clements dkk. Disin didapatkan bahwa prediksi terjadinya sindroma gawat

napas pada hasil intermediate atau immatur tidak cukup reliable sebagaimana

rasio lesitin-sfingomielin, namun demikian prediksi maturitas sangat reliable. 1

Pada tahun 1973, Edwards dan Baillie melaporkan pemeriksaan

stabilitas busa (Foam stability = FS50) dengan konsentrasi akhir 50% (v:v)

memakai etanol murni (100%). Dengan metode ini, busa yang timbul pada

rasio 1:1 diklasifikasikan sebagai hasil positif. Pada penelitian terhadap 63

pasien, tidak ditemukan adanya positif palsu, dan 4 dengan hasil negative

palsu. 2

Pada tahun 1978, dengan menggunakan metode pemeriksaan ini,

Statland dkk melaporkan hasil pemeriksaan terhadap 104 pasien, 43 orang

dengan kehamilan normal dan 61 orang dengan kehamilan abnormal. Pada 80

pasien dengan hasil tes positif, tidak satupun terjadi RDS, tetapi 2 pasien

mengalami transient tachypnea. Pada penelitian dengan seri pemeriksaan

yang lebih sedikit, FS50 dibandingkan dengan rasio lesitin/sfingomielin, RDS

tidak ditemukan pada hasil tes positif, walaupun rasio lesitin-sfingomielin

kurang dari 2.2

G. Test of Optical Density

Pada tahun 1977, Sbarra dkk mendapatkan bahwa derajat penyerapan

cahaya denagn panjang gelobang 650 nm telah dilaporkan berkorelasi baik

dengan rasio lesitin-sfingomielin di dalam cairan amnion. Pada tahun 1983,

Tsai dkk melaporkan uji ini paling informative pada penyerapan tinggi; tetapi

diantara kedua ekstrim tersebut, nilai positif palsu dan negatif palsu terbukti

Page 20: MATURITAS PARU JANIN

mengganggu. Selain itu, Khouzami dkk (1983) melaporkan bahwa perbedaan

sentrifugasi mengubah penyerapan cahaya cukup besar oleh cairan amnion.

Yang paling sering dipakai adalah pengukuran optical density dari

cairan amnion pada 650 nm. Walaupun pemeriksaan ini mudah dan cepat,

hasil pemeriksaan dipengaruhi oleh variasi volume cairan amnion. 1,2

Pada tahun 1977, Sbarra dkk melaporkan adanya korelasi optical

density cairan amnion pada 650 nm (OD 650) setelah disentrifugasi pada 2.000

x g selama 10 menit dengan rasio lesitin-sfingomielin.pada penelitian ini, hasil

pengukuran dibandingkan dengan metode modifikasi Borer. Semua sampel

dengan OD650 > 0,15 menunjukan rasio L/S < 2, dan 41 dari 59 pasien dengan

300 sampel, 2 dari 136 sampel dengan hasil > 0,15 mempunyai rasio L/S < 2

dan 13 dari 164 sampel dengan hasil < 0,15 mempunyai rasio L/S > 2,0. 1,2

Copeland dkk juga melaporkan hasil penelitian dengan metode

pemeriksaan ini terhadap 87 sampel, dan menunjukan korelasi dengan rasio

L/S. Tidak ditemukan hasil positif palsu, tetapi didapatkan negatif palsu

sebesar 40%. 1,2

H. Microviscosity

Metode pemeriksaan ini dapat memberikan hasil yang cepat, dan

tekniknya sederhana dan mudah dilakukan, tetapi kekurangannya adalah

instrument dan reagen-nya mahal. Pemeriksaan ini sering juga disebut

pemeriksaan polarisasi fluoresen atau mikroviskometri. 1

Pada tahun 1976, Shinitzky dkk memperkenalkan pemeriksaan dengan

mengukur microviscosity cairan amnion. Metode pemeriksaan ini didasarkan

pada pengukuran jumalh depolarisasi oleh fluoresen spesifik yang dilarutkan

dalam lipid cairan amnion. Sebagai suatu pengukuran dari viskositas,

pemeriksaan ini merefleksikan aktifitas tegangan permukaan cairan dan

dinyatakan sebagi nilai P. 1

Pada penelitian awal meliputi 47 sampel, nilai P sampel cairan amnion

kurang lebih 0,400 sampai 0,200 dengan usia kehamilan lanjut. Pada publik

Page 21: MATURITAS PARU JANIN

selanjutnya, nilai P ditentukan < 0,366 dipakai sebagai indikator maturitas,

hasil ini dibandingkan dengan rasio L/S. Pada 153 dari 161 pemeriksaan,

hasilnya sesuai. Pada 8 kasus, nilai polarisasi yang mengindikasikan maturitas

paru berhubungan dengan rasio L/S kurang dari 2. 1

Pada tahun 1978, Gonen dkk melaporkan penggunaan teknik ini untuk

memeriksa 47 sampel cairan amnion. Dengan analisis retrospeksi, nilai kritis

ditentukan < 0,320 untuk maturitas dan > 0,340 untuk immaturitas, tidak

didapatkan hasil prediksi yang salah pada penelitian ini. 1,2

Golde melaporkan pemeriksaan mikroviskositas yang dibandingkan

dengan ratio L/S untuk memprediksi terjadinya sindroma gawat napas,

meliputi 56 sampel. Semua neonatus dengan nilai P matur tidak terjadi

sindroma gawat napas dan dari 12 neonatus dengan nilai P immature tidak

terjadi sindroma gawat napas pada 4 neonatus. 1,2

Elrad dkk melaporkan penggunaan teknik ini untuk memeriksa 151

sampel. Hasilnya dibandingkan dengan rasio L/S dan dievaluasi juga outcome

neonatal-nya. Lima sampel dengan nila P immatur (> 0,345), neonatus

mengalami sindroma gawat napas. Pada 63 kasus dengan nilai P matur (< 0,

345), tidak satu pun mengalami gawat napas. 1,2

I. Tap test 5,17

Pada tahun 1984, Socol dkk melaporkan telah melakukan penelitian

untuk menilai maturitas paru-paru janin dengan metode pemeriksaan baru

yang disebut tap test. Metode pemerksaan ini hasilnya cepat, tidak mahal, dan

hanya memerlukan 1 ml sampel cairan amnion. Cairan amnion didapatkan

melalui amniosentesis atau dari vaginal pool.

Tap test dilakukan denga cara mencampurkan kurang lebih 1 ml

sampel cairan amnion dengan 1 tetes 6N hidrocloric acid (konsentrasi

hidrocloric acid diencerkan 1:1) dan kemudian ditambahkan kurang lebih 1,5

ml diethyl ether. Campuran ini kemudian dimasukan ke dalam tabung reaksi,

kemudian di-tapped tiga atau empat kali, dimana akan dihasilkan kira-kira

Page 22: MATURITAS PARU JANIN

200-300 gelembung busa dilapisan ether. Pada cairan amnion dari janin yang

matur, gelembun busa tersebut dengan cepat timbul dipermukaan dan pecah;

pada cairan amnion dari janin yang immatur, gelembung busa tersebut stabil

atau pecah dan lambat. Pada penelitian ini tap test dibaca pada 2,5 dan 10

menit. Jika tidak dari gelembung busa yang tinggal di lapisan ether, hasil tes

dinyatakan matur.

Pada penelitian mereka, tap test dibandingkan dengan phospholipid

profile pada 88 fetus, dimana 70 diantaranya lahir sebelum aterm. Semua fetus

lahir dalam 72 jam setelah specimen cairan amnion diambil. Hasil tes

kemudian diambil korelasinya dengan terjadi tidaknya sindroma gawat napas

pada neonatus. Ketika hasil tap test dievaluasi pada 2,5 dan 10 menit, nilai

prediksi untuk hasil tes matur secara berturut-turut adalah 100%, 98% dan

98%; sedangkan nilai prediksi untuk tes immatur secara berturut-turut adalah

43%, 52% dan 58%. Pada phospholipid profile, nilai prediksi untuk hasil tes

matur dan immature berturut-turut adalah 98% dan 37%. Penemuan ini

memberikan indikasi kemampuan tap test untuk memprediksi maturitas paru-

paru janin adalah sebanding dengan phospholipid profile.

Pada tahun 1993, Kassanos dkk melaporkan hasil penelitiannya dalam

memprediksi maturitas paru-paru janin dengan tap test, menggunakan metode

yang sama denagn yang dilakukan Socol dkk. Mereka mengambil sampel

cairan amniondari 207 wanita dengan usia kehamilan antara 17-40 minggu

dan hasilnya dibandingkan dengan pemeriksaan phospholipid profile.

Didapatkan hasil, nilai prediktif untuk tap test immatur adalah 100 %, 99 %

dan 98.2 %, sedangkan untuk tap test immatur adalah 45. 8 %, 50 % dan 56.4

% pada pembacaan 2,5 dan 10 menit. Nilai prediksi untuk rasio

lesitin/sfingomielin matur dan immatur adalah 99,0% dan 47.8%. berdasarkan

hasil penelitian tersebut mereka mengambil kesimpulan bahwa tap test

merupakan pemeriksaan yang reliable, cepat, mudah dilakukan, tidak mahal

dan metode yang akurat untuk memprediksi maturitas paru-paru janin.

Page 23: MATURITAS PARU JANIN

J. Amniotic Fluid Turbidity 10

Suatu pemeriksaan yang cepat, dengan teknik pemeriksaan yang

sangat sederhana untuk memprediksikan maturitas paru janin. Verniks

kaseosa merupakan material lemak kompleks yang terdiri dari sebaseus dan

epithelial, didapatkan pada kulit janin pada trimester III kehamilan. Seiring

dengan matangnya epidermis, verniks akan menurun daya lekatnya pada kulit

janin. Lepasnya lapisan verniks dari epidermis menyebabkan meningkatkan

partikel-partikel free floating di dalam cairan amnion dan akibatnay

meningkatkan turbiditas cairan amnion. Karena turbiditas cairan amnion

meningkat dengan bertambah tuanya kehamilan, maka turbiditas cairan

amnion ini dapat menjadi petunjuk tak langsung bagi maturitas paru-paru

janin. Turbiditas cairan amnion dan maturitas paru-paru janin mempunyai

hubungan yang saling berkait dengan usia kehamilan.

Stong dkk, pada tahun 1992, melakukan pemeriksaan turbiditas cairan

amnion pada 100 sampel yang didapatkan melalui amniosentesis. Prosedur

pemeriksaan yang dilakukan : 2-5 ml cairan amnion segar ditempatkan pada

sebuah tabung reaksi 7 ml (diameter 13 ml). tabung ini kemudian ditempatkan

di depan sebuah kliping berita yang dipilih dan digunakan utuk seluruh 100

sampel. Apabila kliping berita tersebut dapat dibaca melalui sampel cairan

amnion tersebut, maka diklasifikasikan sebagai clear (jernih). Apabila kliping

tersebut tidak dapat dibaca, maka diklasifikasikan sebagai turbid (keruh).

Seluruh sampel cairan amnion dinilai di dalam ruangan yang sama dan dengan

lampu penerang yang sama. Kemudian dilakukan pemeriksaan rasio lesitin-

sfingomielin dan fosfotidilgliserol. Paru-paru dinyatakan matang bila rasio

lesitin-sfingomielin > 2,0 atau fosfotidilgliserol terdeteksi. Strong dkk

mendapatkan bahwa nilai prediksi positif turbiditas cairan amnion untuk janin

matur adalah 97%, sensifitas dan spesifitas turbiditas cairan amnion adalah

59% dan 98%. Sensifitas dan spesifitas janin immatur 98% dan 59%. Nilai

Page 24: MATURITAS PARU JANIN

prediksi positif dan negative untuk janin immatur adalah 71% dan 29%. Tidak

satupun dari janin yang hasil pemeriksaan cairan amnion-nya keruh yang

menderita sindroma gawat napas atau pun memerlukan bantuan oksigen

setelah lahir.

DiGiovanni dan Parsons, pada penelitian mereka dengan prosedur

pemeriksaan yang kurang lebih sama dengan diatas, menyatakan bahwa 100%

dari sampel cairan amnion yang diklasifikasikan keruh mempunyai rasio

lesitin/sfingomielin > 2,0 dan atau fosfotidilgliserol terdeteksi. Hastwell

menemukan bahwa 35 sampel dalam penelitiannya dengan hasil agak keruh

mempunyai rasio lesitin/sfingomielin > 2,0.

V. PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI 9,15

Kemajuan teknologi dalam pemeriksaan ultra-sonografi telah

memungkinkan dilakukan observasi perubahan-perubahan yang terjadi pada

plasenta dala rahim. Winsberg, Fisher dkk, Hobbins dan Winsberg, serta Stein

dkk telah memperlihatkan gambaran ultra-sonografi pada plasenta yang

matur. Secara logis, dapat diterima bahwa plasenta sebagai “fetal” organ akan

menjadi matur sejalan dengan sistem organ fetal lainnya. Pada tahun 1979,

Hobbins dkk mencoba membuat kategori fase-fase maturisasi plasenta, untuk

itu mereka mengklasifikasikan variasi gambaran ultra-sonografi plasenta yang

terjadi selama kehamilan dan kemudian mencari korelasinya dengan rasio

lesitin/sfingomielin sebagai salah satu indeks maturitas paru-paru janin.

Klasifikasi plasenta, dibuat mulai dari Derajat 0 sampai dengan

Derajat III. Derajat 0 : chorionic plate tampak halus, dan dengan jelas

tampak sebagai garis rata. Gambaran ini akan terlihat pada kehamilan kira-

kira 12 minggu. Substansi plasenta tampak homogen dan tidak tampak area

ekhogenik. Lapisan basal juga tampak homogen dan tekstur yang sama seperti

substansi plasenta. Fase ini tampak pada trimester I dan II. Derajat I :

Plasenta menunjukan perubahan paling awal dari proses maturasi-nya, yaitu

Page 25: MATURITAS PARU JANIN

chorionic plate tampak sebagai garis yang rata tetapi dengan beberapa

undulasi. Beberapa ekhogenik area tampak pada substansi plasenta, sehingga

tidak lagi tampak homogen. Tidak ada densitas yang terlihat di lapisan basal.

Fase ini biasanya didapatkan mulai dari kehamilan 30-32 minggu dan terus

sampai kehamilan aterm. Derajat II : perubahan terjadi pada tiga zona, yaitu

chorionic plate lebih banyak tanda-tanda identitas. Substansi plasenta tampak

terpisah dan tidak kompit oleh gambaran linear echogenic atau comma like

echgenic densities. Pada fase ini linear echogenic densities tidak mencapai

lapisan basal. Area ekhogenik dalam substansi plasenta tampak bertambah

jumlahnya dan ukurannya lebih besar dari Grade I. Derajat III : merupakan

gambaran plasenta yang matur. Chorionic plate tampak terputus-putus oleh

identitas, dimana memanjang kelapisan basal dan mungkin memperlihatkan

septa inter-kotiledon. Substansi plasenta menjadi terpisah dalam beberapa

kompartemen yang mungkin adalah batas kotiledon. Bagian tengah dari

kompertemen ini menunjukan area kosong, padat, bentuk tidak teratur, area

ekhogenik tampak dekat ke chorionic plate. Area ekhogenik pada lapisan

basal menjadi lebih besar, lebih padat, dan menyatu.

Plasenta 129 pasien dilakukan gradasi plasenta. Delapan puluh enam

pasien termasuk klasifikasi Derajat I atau lebih dan seluruhnya diukur rasio

lesitin/sfingomielin. Didapatkan rasio lesitin/sfingomielin yang matur (2,0)

pada 68% plasenta Derajat I (21/31), 88% plasenta Derajat II (28/23), dan

100% plasenta Derajat III (23/23). Hasil ini memperlihatkan korelasi antara

perubahan dalam proses maturasi yang terlihat dengan pemeriksaan ultra-

sonografi dan maturasi paru-paru janin yang didasarkan pada rasio

lesitin/sfingomielin.

Page 26: MATURITAS PARU JANIN

VI. RINGKASAN

Pada suatu keadaan dimana kehamilan harus diakhiri atau harus

menunda persalinan, maka sangat penting untuk menentukan dengan tepat

maturitas paru-paru janin. Maturitas paru-paru janin sangat erat kaitannya

dengan terjadinya sindroma gawat napas.

Penggunaan hasil analisis terhadap cairan amnion telah diterima secara

luas. Pada dasarnya pemeriksaan tersebut untuk memeriksa maturitas

surfaktan yang disekresikan ke dalam cairan amnion. Maturitas surfaktan

dinilai berdasarkan komposisi komponen-komponen aktif surfaktan. Dari

sekian banyak metode pemeriksaan untuk memprediksi maturitas paru-paru

janin, yang dianggap sebagai “gold standard methode” adalah pemeriksaan

rasio lesitin/sfingomielin. Tetapi pemeriksaan ini belum memenuhi criteria

sebagai metode pemeriksaan yang ideal. Metode pemeriksaan yang ideal

menurut para peneliti adalah cepat, tekniknay mudah dilakukan, tidak mahal,

dan memberikan hasil dengan akurasi yang tinggi.

Sampai saat ini masih terus dikembangkan berbagai metode

pemeriksaan yang ideal untuk memprediksi maturitas paru-paru janin.

Page 27: MATURITAS PARU JANIN

VII. RUJUKAN

1. O’brien WF, Cefalo RC. Clinical applicability of amniotic fluid tests for fetal pulmonic maturity. Am J Obstet Gynecol 1980; 136;

135-144.

2. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF. Obstetri Wiliams. Edisi 18. Jakarta: EGC, 1995; 121-133.

3. Lee W, Bell M, Novi MJ. Pulmonary lamellar bodies in human amniotic fluid: Their relationship to fetal age and the

lechitin/spingomyelin ratio. Am J Obstet Gynecol: 1980; 136: 60-66.

4. Ganong WF. Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarat: EGC, 1979; 633-634.

5. Kassanos D, Botsis D, Gregoriou O, Bezantakos Ch, Kontogeorgi Z, Zourlas PA. The tap test: A simple and inexpensive method

for the diagnosis of fetal Pulmonary maturity. Int J Gynecol Obstet 1993; 41: 135-138

6. Liu KZ, Dembinski TC, Mantsch HH. Rapid determination of fetal lung maturity from infrared spectra of amniotik fluid. Am J

Obstet Gynecol 1988; 178 : 234-241.

7. Almong R, Goldkrand JW, Saulsbery RA, Samsonoff C. Prediction of respiratory distress syndrome by a new coorimetric assay.

Am J Obstet Gynecol 1992; 166: 1827-1834.

8. Goldkrand JW, Varki A, Mc Clurg JE. Surface tension of amniotik fluid lipid extracts: .Prediction of pulmonary maturity Am J

Obstet Gynecol 1977; 128: 591-922.

9. Grannum PAT, Berkowitz RL, Hobbins J. The ultrasonic changes in the maturing placenta and their relation to fetal Pulmonary

maturity. . Am J Obstet Gynecol 1979; 133: 915-922.

10. Strong TH, Hayes AS, Sawyer AT, Folkkestad B, Mills S, Sugden P. amniotic fluid turbidity : A useful adjunct for assessing fetal

Pulmonary maturity status. Int J Gynecol Obstet 1992; 38: 97-100.

11. Bustos R, Gluck MVKL, Gabbe SG, Surat Evertson L, Vargas C, Lowenberg E. Significance of phosfatidylglycerol in amniotik

fluid in complicated pregnancies. Am J Obstet Gynecol 1979; 133: 899-903.

12. Morrison JC, Whybrew WD, Bucovaz ET, Wiser WL, Fish SA. the lechitin/spingomyelin ratio in cases associated with

fetomaternal disease. Am J Obstet Gynecol: 1977; 127: 363-368.

13. Laatikainen TJ, Raisanen IJ, Salminen KR. Certicotropin-releasing hormone in amniotic fluid during gestation and labor and in

relation to fetal lung maturation. Am J Obstet Gynecol 1988; 159: 891-895.

14. Hoffman DR, Truong CT, Johnstone JM. The role of platelet-activating factor in human fetal maturation. Am J Obstet Gynecol

1986; 155: 70-75.

15. Kazzi GM, Gross TL, Rosen MG, Jaatoul NY. The relation ship of placental grade, fetal lung maturity, and neonatal outcome in

formal and complicated pregnancies. Am J Obstet Gynecol 1984; 145: 54-58.

16. Katal SL, Amenta JS, Singh G, Silverman JA. Deficient lung surfactant apoproteins in amniotic fluid with mature phosphohilid

profile from diabetic pregnancies. Am J Obstet Gynecol 1984; 148: 48-53.

17. Socol ML, Sing E, Depp OR. The tap sest: A rapid indicator of fetal pulmonary maturity. Am J Obstet Gynecol 1984; 148: 445-

450.

18. Goldstein AS, Fukunaga K, Malachowski N, Johnson JD. A comparison of lecithin/ sphingomyelin ratio and shake tewst for

estimating fetal pulmonary maturity. Am J Obstet Gynecol 1974; 118: 1132-1135.

19. Parker CR, Hauth JC, Hankins GDV, Leveno K, Rosenfeld CR, Porter JC, MacDonald PC. Endocrine maturation and lung

function in premature neonates of women with diabetes. Am J Obstet Gynecol 1989; 160: 657-662.

20. Herbert WNP, Johnston JM, MacDonald PC, Jimenez JM. Fetal lung maturation. Human amniotic fluid phosphatidate

phosphohydrolase activity through normal gestation and its relation to the lecithin/spingomielin ratio. Am J Obstet Gynecol 1978;

132: 373-379.