Materi Kuliah Ekosistem Terumbu Karang
-
Upload
andiriandikap -
Category
Documents
-
view
266 -
download
26
description
Transcript of Materi Kuliah Ekosistem Terumbu Karang
Jurusan Ilmu Kelautan FIKP-Unhas
Mata Kuliah : Ekologi Laut
Dosen : Dr. Syafyudin Yusuf, ST. MSi.
Pertemuan ke : 13-15
Materi Kuliah : EKOSISTEM TERUMBU KARANG
EKOSISTEM TERUMBU KARANG
A. Pengertian Terumbu Karang dan Karang
Terumbu karang adalah struktur di dasar laut berupa deposit kalsium
karbonat di laut yang dihasilkan terutama oleh hewan karang (Timotius, 2003).
Terumbu karang terdiri dari organisme yang hidup pada batuan kapur yang
dihasilkan oleh beberapa organisme anggota komunitas tersebut, hal ini dianggap
sebagai suatu keunikan terumbu karang.Sedangkan menurut Nybakken (1992),
bahwa terumbu karang merupakan keunikan di antara asosiasi atau komunitas
lautan yang seluruhnya dibentuk oleh aktivitas biologis.Terumbu adalah endapan-
endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh
karang (filum Cnidaria, Kelas Anthozoa, Ordo Madreporaria) dengan sedikit
tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan
kalsium karbonat.
Karang adalah hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam filum
Coelenterata (hewan berrongga) atau Cnidaria. Yang disebut sebagai karang (coral)
mencakup karang dari Ordo scleractinia dan Sub kelas Octocorallia (kelas Anthozoa)
maupun kelas Hydrozoa (Timotius, 2003).Karang adalah anggota filum Cnidaria,
yang termasuk mempunyai bermacam-macam bentuk seperti ubur-ubur, hidroid,
hydra air tawar dan anemon laut. Karang dan anemon laut adalah anggota
taksonomi kelas yang sama yaitu Anthozoa. Perbedaan yang utama adalah terumbu
karang menghasilkan kerangka luar kalsium karbonat (Nybakken, 1992).
Terumbu karang (coral reef)sepert pada Gambar 1., merupakan suatu
ekosistem yang khas terdapat di dasar perairan laut dangkal terutama di daerah
tropis, di susun oleh karang-karang jenis Anthozoa dari klas scleratinia, ekosistem ini
merupakan karang hermatipik atau jenis karang yang mampu membuat bangunan
atau kerangka kapur dari kalsium karbonat (Vaughan dan Wells, 1943).
Terumbu karang (coral reef) sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni
utama karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh
ribuan hewan kecil yang disebut polip.Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri
dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang
terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan
spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang
disebut koloni (Sorokin, 1993).
Gambar 1. Kompleksitas ekosistem terumbu karang (Foto : Syafyudin Yusuf,
Ceningan Wall Nusa Lembongan Bali)
Terumbu karang adalah suatu ekosistem di laut tropis yang mempunyai
produktivitas tinggi (Sukarno et al., 1983). Terumbu karang merupakan ekosistem
yang khas di daerah tropis dan sering digunakan untuk menentukan batas
lingkungan perairan laut tropis dengan laut sub tropis maupun kutub (Nybakken,
1992). Ekosistem ini mempunyai sifat yang menonjol karena produktivitas dan
keaneka- ragaman jenis biotanya yang tinggi.
Berdasarkan kepada kemampuan memproduksi kapur maka karang
dibedakan menjadi dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik.
Karang hermatifik adalah karang yang dapat membentuk bangunan karang yang
dikenal menghasilkan terumbu dan penyebarannya hanya ditemukan didaerah
tropis.Karang ahermatipik tidak menghasilkan terumbu dan ini merupakan kelompok
yang tersebar luas diseluruh dunia. Perbedaan utama karang Hermatipik dan karang
ahermatipik adalah adanya simbiosis mutualisme antara karang hermatipik dengan
zooxanthellae, yaitu sejenis algae unisular (Dinoflagellata unisular), seperti
Gymnodinium microadriatum, yang terdapat di jaringan-jaringan polip binatang
karang dan melaksanakan fotosistesis.
Karang „Dendrophyllia’ yang non zooxanthella Karang hermatipik „Pectinia’ yang berzooxanthella
Gambar 2. Contoh karang non zooxanthella dan karang zooxanthella
Gambar 3. Hierarki kehidupan dalam terumbu karang dimana zooxanthella sebagai dasar
kehidupan bagi polip karang yang selanjutnya polip berkoloni membentuk
individu karang, kunitas karang hidup membentuk terumbu karang.
Hasil samping dari aktivitas ini adalah endapan kalsium karbonat yang
struktur dan bentuk bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk
menentukan jenis atau spesies binatang karang.Karang hermatipik mempunyai sifat
yang unik yaitu perpaduan antara sifat hewan dan tumbuhan sehingga arah
pertumbuhannya selalu bersifat fototeopik positif.Umumnya jenis karang ini hidup di
perairan pantai /laut yang cukup dangkal dimana penetrasi cahaya matahari masih
sampai ke dasar perairan tersebut. Disamping itu untuk hidup binatang karang
membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25-32 oC (Nybakken, 1992).
Hewan karang sebagai pembangun utama terumbu adalah organisme laut
yang efisien karena mampu tumbuh subur dalam lingkungan sedikit nutrien
(oligotrofik). Sebagian besar spesies karang melakukan simbiosis dengan alga
simbiotik yaitu zooxanthellae yang hidup di dalam jaringannya. Dalam simbiosis,
zooxanthellae menghasilkan oksigen dan senyawa organik melalui fotosintesis yang
akan dimanfaatkan oleh karang, sedangkan karang menghasilkan komponen
inorganik berupa nitrat, fosfat dan karbon dioksida untuk keperluan hidup
zooxanthellae.
Zooxanthella
Polip
Koloni karang
Terumbu karang
Gambar 3. Reaksi kimiawi dalam proses pembentukan kapur (CaCO3) yang
melibatkan zooxanthella dalam jaringan endodermal karang. (sumber :
Berdasarkan kemampuan karang untuk membentuk terumbu dan
simbiosisnya dengan alga simbiotik, keseluruhan karang dapat dibagi oleh beberapa
kelompok (Sorokin, 1993), yaitu :
1 Hermatipik-simbiotik; kelompok ini termasuk sebagian besar karang-karang
Scleractinia pembentuk bangunan terumbu, Octocoral dan Hydrocoral.
2 Hermatipik-asimbiotik; kelompok ini memiliki pertumbuhan yang lambat dapat
membentuk kerangka kapur masif tanpa pertolongan algae simbiotik, yang
mana mereka mapu untuk hidup di lingkungan yang gelap di dalam gua,
terowongan dan bagian terdalam dalam kontinental slope. Diantara mereka
terdapat Scleractinia-Scleractinia asimbiotik Tubastrea dan Dendrophyllia,
dan Hydrocoral Stylaster rosacea.
3 Ahermatipik-asimbiotik; di antara Scleractinia didapatkan bagian yang masuk
ke dalam grup ini, sebagian kecil Fungiidae, seperti Heteropsammia dan
Diaseris, dan juga karang Leptoseris (Famili Agaricidea), yang tetap sebagai
satu polip-polip yang kecil atau koloni-koloni kecil, dan tidak dapat
dimasukkan sebagai pembentuk bangunan karang. Kelompok ini juga
termasuk sebagian besar Octocoral-Alcyonacea dan Gorgoniacea yang
memiliki alga simbion tetapi tidak membentuk bangunan kapur masif.
Ahermatipik-asimbiotik; untuk kelompok ini termasuk beberapa Scleractinia,
beberapa spesies dari genera Dendrophyllia dan Tubastrea, yang mempunyai polip
yang kecil. Ahermatipik-asimbiotik juga termasuk Hexacoral dari ordo Antiphataria
dan Corallimorpharia, dan simbiotik Octocoral.
Selanjutnya Nybakken (1992) mengelompokkan terumbu karang menjadi tiga tipe
umum yaitu :
a. Terumbu karang tepi (Fringing reef/shore reef )
b. Terumbu karang penghalang (Barrier reef)
c. Terumbu karang cincin (atoll)
Gambar 4. Tipe terumbu karang dalam proses evolusi tenggelamnya pulau
membentuk terumbu karang cincin (atoll).
Gambar 5. Tipe terumbu karang dari pesisir kontinental hingga terumbu
karang cincin di alut terbuka (Suharsono : Orasi pengukuhan
APU-LIPI)
Di antara tiga struktur tersebut, terumbu karang yang paling umum dijumpai
di perairan Indonesia adalah terumbu karang tepi (Suharsono, 1996). Penjelasan
ketiga tipe terumbu karang sebagai berikut :
1) Terumbu karang tepi (fringing reef) ini berkembang di sepanjang pantai dan
mencapai kedalaman tidak lebih dari 40m. Terumbu karang ini tumbuh
keatas atau kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian
yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang
batu cenderung mempunyai pertumbuhaan yang kurang baik bahkan banyak
mati karena sering mengalami kekeringan dan banyak endapan yang datang
dari darat.
2) Terumbu karang tipe penghalang (Barrief reef ) terletak di berbagai jarak
kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang
terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m). Umumnya
memanjang menyusuri pantai dan biasanya berputar-putar seakan – akan
merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari luar. Contohnya
adalah The Greaat Barier reef yang berderet disebelah timur laut Australia
dengan panjang 1.350 mil.
3) Terumbu karang cincin (atol) yang melingkari suatu goba (laggon).
Kedalaman goba didalam atol sekitar 45m jarang sampai 100m seperti
terumbu karang penghalang. Contohnya adalah atol di Pulau Taka Bone
Rate di Sulawesi Selatan.
B. Bentuk Dan Zonasi Terumbu Karang
Ada tiga bentuk utama terumbu karang yaitu terumbu karang tepi,
penghalang dan atol. Terumbu karang tepi terdapat di sepanjang pantai dan
mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 m. Antara punggung terumbu dan pantai
biasanya terdapat rataan terumbu. Terumbu karang penghalang berada jauh dari
pantai, dipisahkan oleh laguna yang dalam sekitar 40-75 m. Atol merupakan terumbu
karang yang bentuknya melingkar seperti cincin atau sabit yang mengitari laguna
yang mempunyai dalam 40-100 m (Boaden dan Seed 1985).
Zona-zona karang/terumbu karang meliputi (Sorokin,1993) :
a. Zona tebing (Slope), terdiri dari :
Zona tebing terumbu dengan kedalaman 200 – 80 m, biasanya terbentuk
oleh tebing curam berbatu dari bagian dasar terumbu masa lampau, umumnya
ditumbuhi oleh karang ahermatipik dan sponge.
Zona tebing terumbu dengan kedalaman 80-40 m, dibentuk oleh tebing curam
berbatu dari bagian dasar terumbu masa lampau, ditumbuhi karang, sponge
berkapur, polychaeta menetap dan alga karang.
Zona tebing terumbu dengan kedalaman 40-20 m, dibentuk oleh tebing curam
berbatu dari bagian dasar terumbu masa lampau, ditumbuhi oleh karang,
sponge berkapur, bryozoa, gorgonacea dan hydroid yang berlimpah.
Zona penopang (=buttres) dengan kedalaman 20-8 m, disini pertumbuhan
karang sangat subur, dengan spesies karang yang keanekaragamannya
tinggi, serta gorgonacea.
Zona campuran dengan kedalaman 8-6 m, ditumbuhi dengan subur oleh
karang yang tumbuh pada kondisi tekanan ombak yang cukup besar yang
mensuplai oksigen dan makanan serta membersihkan karang dari endapan
sedimen.
Zona Frontal moat dengan kedalaman 6-4 m, disini pertumbuhan karang
dihambat oleh sedimen dan patahan karang dari rataan terumbu, biasanya
ditutupi oleh pasir dan patahan karang yang ditumbuhi oleh perifiton.
Zona pemecah ombak dengan kedalaman 0-2 m, pada terumbu lautan atlantik
zona ini biasanya ditumbuhi oleh ganggang karang.
2. Zona rataan terumbu, terdiri dari :
Zona algae ridge, berada pada ujung terumbu (yang menghadap arah angin)
dan dibangun oleh alga karang.
Zona boulder ramparts dibentuk oleh koloni karang dan alga karang.
Zona rataan terumbu bagian dalam, konstruksi yang menutupinya tergantung
pada permukaan laut dan pasang surut. Jika tersingkap pada saat surut,
sebagian besar ditutupi oleh alga karang dan koloni karang dalam jumlah
kecil. Jika tersingkap hanya sebagian pada saat surut, biasanya ditutupi oleh
makrofita, karang bercabang, zoantharia, dan alga karang bercabang. Pada
rataan terumbu yang selalu berada dibawah permukaan air, komunitas
karangnya berlimpah.
Zona rataan terumbu bagian belakang dengan kedalaman 1-4 m, berada
pada sisi belakang rataan terumbu atau sepanjang tebing terumbu bagian
dalam yang menghadap laguna. Tersusun dari karang dan aalga karang.
Zona tebing terumbu laguna bagian dalam, dengan kedalaman 2-20 m,
memperlihatkan tebing yang terdiri dari patahan karang dan pasir.
Zona laguna dengan kedalaman 5-40 m, laguna dangkal ditutupi oleh 50%
pasir dan biasanya ditutupi oleh bidang-bidang terumbu.
Zona terumbu teduh (leeward) dengan kedalaman 0-2 m, ditunjukkan oleh
adanya bidang-bidang terumbu, mikroatol, bukit-bukit patahan karang dan karang
mati.
Cesar (2000) menyatakan bahwa fungsi ekosistem terumbu karang yang
mengacu kepada habitat, biologis atau proses ekosistem sebagai penyumbang
barang maupun jasa. Untuk barang merupakan yang terkait dengan sumberdaya
pulih seperti bahan makanan yaitu ikan, rumput laut dan tambang seperti pasir.
Sedangkan untuk jasa dari ekosistem terumbu karang dibedakan :
1. Jasa struktur fisik sebagai pelindung pantai.
2. Jasa biologi sebagai habitat dan dan suport mata rantai kehidupan.
3. Jasa biokimia sebagai fiksasi nitrogen.
4. Jasa informasi sebagai pencatatan iklim.
5. Jasa sosial dan budaya sebagai nilai keindahan, rekrasi dan permainan
Terumbu karang menyediakan berbagai manfaat langsung maupun tidak
langsung. Cesar (2000) menjelaskan bahwa ekosistem terumbu karang banyak
meyumbangkan berbagai biota laut seperti ikan karang, mollusca, crustacean bagi
masyarakat yang hidup dikawasan pesisir.Selain itu bersama dengan ekosistem
pesisir lainnya menyediakan makanan dan merupakan tempat berpijah bagi berbagai
jenis biota laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.
Gambar 7. Terumbu karang menyediakan temapt wisata untuk meningkatkan taraf ekonomi
nasional dan masyarakat setempat (Foto : S.Yusuf 2013 di Nusa penida Bali)
C. Biologi Karang Keras (Scleractinia)
Karang termasuk kedalam kelas Anthozoa, merupakan kelas organisme
terbesar dari Phylum Cnidaria. Karang keras merupakan istilah untuk kelompok
karang yang memiliki kerangka luar (eksoskeleton). Karang keras berdasarkan
skeleton (kerangka karang) menurut Veron (2000) diklasifikasikan sebagai berikut :
Filum : Cnidaria
Kelas : Anthozoa
Subkelas : Hexacorallia
Ordo : Scleractinia
Karang merupakan binatang yang sederhana berbentuk tabung dengan
mulut berada di atas yang juga berfungsi sebagai anus. Karang (Coral) adalah
hewan yang memiliki polip dan mampu mengeluarkan cnidosit (sel penyengat)
(Gambar 1) serta mampu melakukan pengendapan. Di sekitar mulut dikelilingi oleh
tentakel yang berfungsi sebagai penangkap makanan. Mulut karang berhubungan
dengan tenggorokan yang pendek dengan rongga perut terletak di bawahnya.
Rongga perut berisi usus yang disebut dengan mesenteri filamen yang berfungsi
sebagai alat pencerna, dan tempat perkembangan gonad. Selanjutnya dijelaskan
bahwa karakteristik dari hewan tersebut ialah: bentuk tubuh simetris bilateral, bersifat
sesil/sedentari, cara hidup berkoloni (kelompok), bereproduksi secara seksual dan
aseksual, skeleton kompak yang terbuat dari bahan kapur, dengan jumlah tentakel
enam atau kelipatannya (Suharsono, 1996).
Karang tersusun dari jaringan yang lunak dan bagian yang keras yang
berbentuk kerangka kapur (Suharsono, 1996; Veron, 2000). Bagian lunak hewan
karang terdiri dari tiga bagian yaitu ektoderm, mesoglea dan gastroderm. Ektoderm
merupakan jaringan terluar yang banyak mengandung silia, kantung mukus dan
sejumlah nematosit. Mesoglea adalah jaringan homogen menyerupai jeli, terletak
antara ektoderm dan gastroderm. Gastroderm merupakan jaringan paling dalam,
sebagian besar terisi oleh zooxanthellae yang merupakan alga unuseluler yang
hidup bersimbiosis dengan hewan karang.
Rangka karang terdiri dari kristal kalsium karbonat dan disekresikan oleh
epidermis yang berada di pertengahan bawah polyp. Proses sekresi ini meghasilkan
rangka cawan (skeletal cup), dimana polyp koral menetap. Cawan tersebut
dinamakan calyx, dinding yang mengelilingi cawan disebut theca dan lantai cawan
disebut lempeng basal (basal plate).Pada bagian lantai terdapat dinding septa yang
terbuat dari kapur tipis (radiating calcareous septa) (Gambar 1).Disamping
memberikan tempat hidup bagi polyp karang, cangkang (terutama sklerosepta/septa)
juga memberikan perlindungan. Bila berkontraksi, polyp menjadi kecil dan berada
dalam cangkang sehingga menyulitkan predator yang akan memangsanya (Barnes
1980).
Gambar 6. Anatomi polyp karang dan kerangka kapur (Veron 2000).
Karang memiliki dua cara untuk mendapatkan makan, yaitu 1) Menangkap
zooplankton yang melayang dalam air; 2) Menerima hasil fotosintesis zooxanthellae.
Ada pendapat para ahli yang mengatakan bahwa hasil fotosintesis zooxanthellae
yang dimanfaatkan oleh karang, jumlahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan
proses respirasi karang tersebut (Muller-Parker & D‟Elia 2001 dalam Timotius, 2003).
Sebagian ahli lagi mengatakan sumber makanan karang 75-99% berasal dari
zooxanthellae (Tucket & Tucket 2002 dalam Timotius, 2003). Ada dua mekanisme
bagaimana mangsa yang ditangkap karang dapat mencapai mulut: 1) Mangsa
ditangkap lalu tentakel membawa mangsa ke mulut 2) Mangsa ditangkap lalu
terbawa ke mulut oleh gerakan silia di sepanjang tentakel.
Reproduksi karang
Reproduksi adalah salah satu fenomena biologi dalam awal siklus hidup
suatu organisme. Reproduksi mengarah kepada kelangsungan hidup di muka bumi
sehingga suatu spesies dapat mempertahankan keberadaannya secara terus
menerus, yaitu dengan menghasilkan suatu organisme baru. Reproduksi dapat
diartikan apabila suatu organisme menghasilkan keturunan dan mewariskan
kandungan genetik mereka dalam bentuk kode-kode genetik yang ditujukan untuk
pembangunan karakter umum mereka, baik karakter morfologi, fisiologi atau karakter
khusus yang membedakan mereka sebagai individu.
Secara umum, Karang bereproduksi dengan dua cara, yaitu secara aseksual
dan seksual (Veron, 2000, 1995; Harrison dan Wallace, 1990;.Richmond dan Hunter,
1990; Sorokin, 1993; Richmond, 1997).
a. Reproduksi aseksual
Proses reproduksi aseksual pada karang dapat menghasilkan koloni-
koloni baru atau karang soliter melalui berbagai mekanisme, yaitu melalui
pertunasan (Budding), fagmentasi, pembelahan transversal dan longitudinal
polip dan produksi planula secara aseksual (Harrison dan Wallace, 1990;
Richmond, 1997).
Pertumbuhan koloni melalui pembentukan polip-polip baru
berlangsung selama proses pertunasan aseksual. Penambahan polip dapat
terbentuk ketika satu polip terbagi menjadi dua (intratentacular budding), atau
kadang-kadang sebuah mulut baru dengan tentakel dapat secara sederhana
terbentuk dalam ruang antara dua polip yang berdekatan (extratentacular
budding) (Richmond, 1997). Jika polip dan jaringan yang dibentuk oleh
proses pertunasan tetap melekat pada koloni induk yang kemudian tumbuh
dan menghasilkan peningkatan ukuran koloni (Richmond, 1997).
Reproduksi aseksual biasanya atau umumnya dengan pembentukan
tunas (Nybakken, 1992). Selanjutnya dikatakan oleh Gzimerk (1972) bahwa
hasil dari budding (pertunasan) ini akan menghasilkan pertumbuhan yang
placoid, cerioid, meandroid, atau flabello meandroid. Masing-masing
pertumbuhan ini akan tumbuh menghasilkan suatu bentuk koloni yang
massive, branching, foliose, atau encrusting (Mapstone, 1990).
Produksi aseksual melalui fragmentasi nampaknya penting untuk
kebanyakan spesies karang dan terutama oleh populasi yang hidup dalam
batas-batas fisiologi mereka. Sebagai contoh di bagian timur pasifik, karang
Pocillopora domicornis selama dua tahun studi oleh Richmond (1987) tidak
menemukan gonad-gonad matang ataupun planula, tetapi karang ini
merupakan jenis karang yang dominan. Pertumbuhan populasi yang tinggi
dari karang ini terjadi melalui proses fragmentasi (Richmond dan Hunter,
1990).
Fragmentasi karang yang meliputi kerangka dasar dapat terlepas dari
koloni induk sebagai hasil dari sutu aksi gelombang, badai gelombang,
predasi oleh ikan, atau sumber-sumber fisik lain. Jika fragmen karang
terjatuh pada dasar yang keras, maka fragmen tersebut dapat bergabung
dengan permukaan subtrat dan terus tumbuh membentuk tunas (Richmond,
1997). Highsmith (1982) mengatakan bahwa fragmentasi karang adalah
umumnya terjadi pada spesies-spesies yang percabangannya halus atau
spesis karang yang berbentuk plat atau tipis.
Stoddart (1983) telah melakukan studi elektroporesis pada planula
yang dierami oleh Pocillopora domicornis dari terumbu Australia bagian barat
dan Hawaii yang memperlihatkan bahwa planula tersebut secara genetik
identik dengan induknya, hal ini menunjukkan bahwa planula dapat dihasilkan
secara aseksual.
Beberapa keuntungan dari karang yang bereproduksi secara
aseksual, yaitu: (i) tidak membutuhkan pasangan, (ii) Keturunan yang
dihasilkan secara genetik identik dengan induknya, sehingga genotipnya
secara lokal telah beradaptasi, (iii) jika kondisi lingkungan tetap sama,
keturunan yang dihasilkan akan memiliki tingkat kesuksesan yang sama
seperti induknya. Namun kerugiannya ialah populasinya tidak memiliki
variabilitas genetik sehingga rentan terhadap perubahan yang terjadi baik
terhadap komponen biologi maupun fisik lingkungannya (Richmond, 1997).
b Reproduksi seksual
Reproduksi seksual memberikan dua kesempatan bagi terjadinya
kombinasi genetik yang baru, yaitu(i) Pencampuran atau persaingan selama
proses meiosis dalam pembentukan telur dan sperma; (ii) kontribusi genetik
dari dua induk ketika sebuah telur dibuahi oleh sperma. Hal tersebut
memberikan tambahan variasi genetik terhadap populasi, dan mengarah
pada peningkatan kelangsungan hidup dari suatu spesies (Richmond, 1997).
Secara seksual, pembuahan dan perkembangan secara internal dan
eksternal dapat dijumpai pada hewan karang (Veron, 1995).Pemijahan pada
karang terjadi pada malam ketiga hingga keenam setelah bulan purnama,
khususnya pada rentang terendah antara pasang dan surut.Larva planula
yang dihasilkan biasanya melekat pada dasar perairan setelah 4-10
hari.Sebagian besar larva planula melekat langsung di atas terumbu atau di
dalam jarak sekitar 600 m dari asalnya.Polip karang secara aseksual
memperbanyak diri dengan pertunasan intratentakel dan ekstratentakel,
pertunasan ini untuk menambah ukuran koloni (Gzimerk, 1972) (Gambar 2).
Gambar 2. Reproduksi karang secara seksual. (A) Polyp dewasa. (B) Larva
planula. (C) Planula yang telah membentuk septa. (D) Polyp muda
(Sumber: Nybakken 1992).
Secara garis besar, tipe seksualitas pada karang dapat
dikelompokkan atas dua yaitu: (i) gonokhorik, yaitu speies-spesies karang
(berkoloni atau soliter) yang memproduksi hanya gamet jantan atau betina
selama hidupnya; (ii) hermaprodit, yaitu spesies-spesies karang (berkoloni
atau soliter) yang menghasilkan baik gamet jantan atau betina selama
hidupnya.
Kurang lebih 25% dari spesies-spesies karang yang diteliti oleh
Harrison dan Wallace (1990) tergolong gonokhorik (kebanyakan dari suku
Agariciidae, Fungiidae, Poritidae, Caryophyliidae, Flabelliidae dan
Dendrophyllidae). Sedangkan tipe hermaprodit itu sendiri dapat dibedakan
atas (i) hermaprodit simultan, jika suatu organisme menghasilkan telur dan
sperma dalam waktu yang bersamaan dalam satu individu; (ii) hermaprodit
sekuensial, dapat bersifat: a) hermaprodit protandri, suatu individu pada
awalnya berfungsi sebagai jantan, kemudian berkembang menjadi betina; b)
hermaprtodit protogyni, awalnya sebagai betina dan akan berubah menjadi
jantan (Harrison dan Wallace, 1990; Richmond. 1997).
Dari 151 spesies yang dipelajari oleh Harrison dan Wallace (1990),
sebanyak 141 spesies adalah hermaprodit simultan dan sisanya belum pasti
apakah hermaprodit atau hermaprodit simultan. Richmond (1997)
menambahkan bahwa kebanyakan spesis yang diidentifikasi adalah
hermaprodit simultan yang pada umumnya adalah Acroporidae, Faviidae dan
beberapa Pocilloporiidae. Sedangkan untuk hermaprodit sekuensial adalah
sedikit jumlahnya sebagai contoh ialah Stylophora pistillata (Rinkevich dan
Loya, 1979)
Cara reproduksi karang menurut Veron (2000); Harrison dan Wallace (1990)
dapat dibedakan atas :
a. Broadcast spawning (memijah): Spesies yang memijahkan gamet-gametnya
(telur dan sperma) ke dalam kolom air, dan selanjutnya terjadi fertilisasi eksternal
dan kemudian terjadi perkembangan embrio.
b. Brooding (mengerami): spesies dengan telur-telur yang dibuahi secara internal,
dengan perkembangan embrio sampai fase planula berlangsung dalam polip
karang.
Umumnya spesis karang yang bercabang dan berpolip kecil dengan gonad
yang berkembang dalam koelenteron, menghasilkan sedikit telur dan planula yang
dierami, sedangkan spesies yang masif dan berpolip besar menghasilkan banyak
telur yang dipijahkan untuk pembuahan eksternal (Rinkevich dan Loya,1979). Glynn
et al (1991) mengatakan bahwa umumnya spesis dengan koloni dewasa yang
berukuran besar cenderung menjadi broadcast spawner dengan fertilisasi eksternal
dan selanjutnya berkembang menjadi planula. Malah sebaliknya koloni yang
dewasa namun berukuran kecil melakukan fertilisasi internal, mengerami dan
kemudian melepaskannya.
Pemijahan terkait dengan lebih tingginya fekunditas, Sedangkan yang
dierami menghasilkan larva dengan potensi penyebaran yang luas (Richmond, 1987;
1987). Karang yang mengerami telurnya ditemukan lebih dominan di daerah rataan
terumbu dangkal yang banyak mengalami gangguan, sedangan karang-karang yang
memijah lebih mendominasi pada perairan yang kurang mengalami gangguan
(Stimson,1987).
D. Faktor Pembatas Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang dinamis, mengalami
perubahan terus menerus dan tidak tahan terhadap gangguan-gangguan alam yang
berasal dari luar terumbu. Beberapa faktor yang membatasi pertumbuhan terumbu
karang (Mawardi, 2003) adalah :
1. Suhu
Sacara geografis, suhu membatasi sebaran karang.Suhu optimum
untuk terumbu adalah 250C – 300C (Soekarno et al., 1983).Suhu
mempengaruhi tingkah laku makan karang. Kebanyakan karang akan
kehilangan kemampuan untuk menagkap makanan pada suhu diatas 33,50C
dan dibawah 160C (Mayor, 1918 dalam Supriharyono, 2007). Pengaruh suhu
terhadap karang tidak saja yang ekstrim maksimum dan minimum saja,
namun perubahan mendadak dari suhu alami sekitar 40C – 60C dibawah
atau diatas ambient dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan
mematikannya.
2. Salinitas
Salinitas merupakan faktor pembatas kehidupan karang.Daya setiap
jenis karang berbeda-beda tergantung pada kondisi laut setempat. Karang
hermatipik adalah organisme laut sejati yang sangat sensitive terhadap
perubahan salinitas yang jelas menyimpang dari salinitas air laut 32 – 350/00.
Binatang karang hidup subur pada salinitas air laut 34 – 360/00.
Toleransi karang batu pada salinitas cukup tinggi yang dapat berkisar antara
27 – 400/00 (Nybakken, 1992).Karang yang hidup di laut dalam jarang atau
hamper tidak pernah mengalami perubahan salinitas yang cukup besar
sedang yang hidup di temapt-tempat dangkal sering kali dipengaruhi oleh
masukan air tawar dari pantai maupun hujan sehingga terjadi penurunan
salinitas perairan.
3. Cahaya
Cahaya diperlukan oleh algae simbiotik zooxanthellae dalam proses
fotosintesis guna memenuhi kebutuhan oksigen biota terumbu karang
(Nybakken,1992). Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan
berkurang dan kemampuan karang menghasilkan kalsium karbonat
pembentuk terumbu akan berkurang pula. Kedalaman penetrasi cahaya
matahari mempengaruhi pertumbuhan karang hermatipik, sehingga dapat
mempengaruhi penyebarannya (Sukarno, 1977).Jumlah spesies berkurang
secara nyata pada kedalaman penetrasi cahaya sebesar 15-20% dari
penetrasi cahaya permukaan yang secara cepat menurun mulai dari
kedalaman 10 m. (D‟elia et al., 1991).
Gambar 3.Faktor fisik yang membatasi kehidupan karang (Nybakken 1992).
4. Sedimentasi
Pengaruh sedimentasi terhadap hewan karang terjadi secara
langsung maupun tidak langsung. Sedimen akan mematikan langsung
karang bila ukuran sedimen cukup besar atau banyak sehingga menutup
polip karang. Pengaruh tidak langsung adalah menurunnya penetrasi cahaya
matahari yang penting untuk proses fotosintesis zooxanthellae. Selain itu
banyaknya energi yang dikeluarkan oleh binatang karang tersebut untuk
menghalau sedimen mengakibatkan turunnya laju pertumbuhan karang.
5. Arus dan Gelombang
Pertumbuhan karang di daerah berarus lebih baik bila dibandingkan
dengan perairan yang tenang (Nontji, 2005).Umumnya terumbu karang lebih
berkembang pada daerah yang bergelombang besar. Selain memberikan
pasokan oksigen bagi karang, gelombang juga memberi plankton yang baru
untuk koloni karang. Selain itu gelombang sangat membantu dalam
menghalangi pengendapan sediment pada koloni karang. Sebaliknya
gelombang yang sangat kuat seperti halnya gelombang tsunami, dapat
menghancurkan karang secara fisik.
E. Rekrutmen karang
Dalam perkembangan larva dan penyebaran karang setelah tahap planula karang
tersebut akan menetap, melakukan metaformosis dan tumbuh membentuk generasi
baru.Namun hal ini tergantung pada larva tersebut, apakah diproduksi secara
seksual atau aseksual, dierami atau berkembang diluar (secara eksternal),
disebarkan atau melekat di daerah tersebut.Umumnya setelah melekat juvenil,
karang tersebut sangat kecil sehingga sukar terlihat oleh mata manusia (Wallace,
1985a).
Pengaruh rekrutmen larva terhadap populasi dan struktur komunitas telah
banyak menarik minat para peneliti (Bak dan Engel,1979; Underwood dan
Denley, 1984; Connell, 1985). Sebelum itu telah diduga bahwa karang yang
masih bersifat plankton merupakan suolai karang dan setelah
melekatkeberadaannya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang selektif seperti
kesesuaian habitat untuk proses fisiologi ketika dewasa.
Larva dan polip karang keras yang baru bermetaformosis berukuran sangat
kecil dan sulit untuk dideteksi di lapangan, oleh karena itu perlu dibedakan antara
pelekatan dan rekrutmen. Pelekatanbiasanya digunakan oleh para ilmuwan
ekologi bentik untuk mengetahui bagaimana dan apa yang membuat larva
melekat, sementara rekrutme berkenaan dengan anggota baru dalam komunitas
yang dapat dilihat untuk disensus (Connell, 1985) Untuk sebagian besar karang,
rekrutmen terjadi sekitar 8-10 bulan setelah melekat yang berarti bahwa
penelitian-penelitian awal dalam pengkolonisasian harus menggunakan berbagai
macam permukaan kolektor yang dapat diuji di bawah mikroskop.
2. Tingkah laku pencarian lokasi dan daerah pelekatan
Pelekatan larva karang secara normal dimulai sejak planula mampu
menemukan subtrat yang padat dan dianggap cocok untuk melekat dan
melakukan metaformosis.Percobaan di laboratorium menunjukkan bahwa
pelekatan dari larva karang keras biasanya didahului pengujian dan pencarian
yang intensif, dan ekplorasi yang ekstensif terhadap substrat buatan.
Normalnya, planula karang berenang dan mencari substrat buatan dengan
menggunakan aboral epidermis yang memiliki sensor dan berperan dalam
mengenali bagian daerah pelekatan yang cocok (Vandermuelen, 1974). Selama
pengujian daerah pelekatan selalu dimulai oleh sentuhan aboral epidermis
secara hati-hati terhadap subtrat sambil planula tersebut berputar atau
bergoyang dari sisi ke sisi (Atoda,1947). Kemudian diikuti dengan pendiaman,
pelekatan, metaformosis dan pelekatan sementara (Chia dan Bickell, 1978)
Komponen sensor dan syaraf dari aboral epidermis mungkin berintegrasi dan
melakukan koordinasi dalam tingkah laku pencarian, tetapi tidak diketahui aspek-
aspek substrat buatan yang diraba atau isyarat apa yang menyebabkan
pendiaman dan metaformosis dari larva karang keras. Penyeleksian substrat
buatan dan pilihan daerah pelekatan oleh larva skleraktinia telah diuji secara
kuantitatif pada beberapa spesies di laboratorium.Respons thigmotatik jelas
dalam pemilihan daerah pelekatan di substrat buatan yang tidak beraturan
(Vaughan, 1912; Babcock, 1988).Respons fototaktik atau geotaktik muncul pada
tingkah laku larva karang.Planula secara umum melekat atau mendiami di
daerah bawah dari substrat. Walaupun fototaktik dan geotaktik memainkan
peranan dalam menuntun planula ke daerah pelekatan yang sesuai.Tingkah laku
ini meningkatkan minat dalam mempelajari struktur planula secara simpel,
karena kehadiran mereka tanpa struktur sensor yang mampu bertindak sebagai
penerima cahaya.
3. Pola pelekatan dan rekrutmen
Penelitian-penelitian yang menggunakan plate (piringan) sebagai tempat
pelekatan biasanya dibuat untuk membedakan pengaruh dari berbagai faktor
yang berpengaruh terhadap proses rekrutmen. Faktor utama yang diuji yaitu: (i)
perbedan temporal dan spasial dalam kemampuan larva untuk melekat; (ii)
Orientasi daerah pelekatan; (iii) akibat organisme lain dalam daerah pelekatan;
dan (iv) komposisi taksonomi dari planula karang keras yang melekat.
a. Pola temporal dan spatial
Reproduksi beberapa karang keras di beberapa wilayah penelitian terjadi
secara musiman dan kehidupan larva yang pendek, sehingga pelekatan suatu
daerah seharusnya juga terjadi secara musiman. Rekrutmen musiman telah
dilaporakan oleh beberapa peneliti di daerah terumbu karang, seperti di GBR
(Wallace dan Bull, 1981), Okinawa (Sakai dan Yamazato, 1984) dan sebelah
utara Teluk Mexico (Buggett dan Bright, 1985).Beberepa kasus ditemukan bahwa
sebagian besar rekrutmen terjadi pada musim semi dan musim panas yang
mengikuti musim pemijahan. Larva planula Pocilloporidae dikeluarkan dengan
periode yang luas dan mendiami sebagian besar kolektor dalam tahun tersebut di
Palau, Okinawa, Hawaii dan Great barrier Reef (Hada, 1932; Stephenson dan
Stephenson, 1933; Fitzhardinge, 1985).
Famili Acroporidae (Acropora, Astreopora dan Montipora) berisi sebagian
besar gamet yang akan dipijahkan. Larva dari karang-karang ini melekat dari
akhir musim semi sampai akhir musim panas di Great Barrier Reef (Bothwell,
1982). Harriott (1985) menemukan beberapa rekrutmen dari Acropora terjadi di
bulan-bulan musim dingin yang dipertimbangkan sebagai spesies yang
mengerami. Kecenderungan rekrutmen yang musiman harus diperhatikan dalam
merancang suatu penelitian ke depan.
Rata-rata jumlahdan komposisi taksonomi dari karang yang melekat dalam
suatu daerah diduga memiliki perbedaan secara spasial yang dihubungkan
dengan kemampuan larva pada geografik, dan juga terkait dengan kondisi
hidrografik dan karakteristik fisik.Hampir seluruh penelitian yang menguji sisi
substrat lebih dari satu sisi menunjukkan perbedaan dalam rekrutmen antara sisi,
tapi waktu yang diuji menunjukkan bahwa kebanyakan dari pola-pola ini
bervariasi secara temporal (Baggett dan Bright, 1985).
b. Orientasi daerah pelekatan
Pelekatan larva pada suatu daerah menunjukkan pilihan, untuk orientasi yang
akurat terhadap daerah yang akan didiami, terutama pada daerah sisi samping
atau bawah dari kolektor. Rekrutmen dapat menggambarkan pilihan-pilihan
daerah didiami jika kematian diasumsikan seragam terhadap ruang. Pilihan
untuk karang dalam orientasi yang berbeda dapat berubah, ketika
mempertimbangkan kecondongan apakah posisi tersebut terlindung atau terbuka
dan hubungannya dengan kedalaman (Bak dan Engel, 1979; Harriot, 1985). Kasus
lain yang belum diuji dengan baik ialah pilihan yang berhubungan dengan kurangnya
intensitas cahaya, dan karena asosiasi alga rekrutmen atau keduanya (Sammarco
dan Carlton, 1982). Begitu pun dengan akumulasi sedimen di bagian atas
permukan yang diduga sebagai faktor yang mencegah rekrutmen di beberapa
lokasi (Birkeland, 1977; Rogerset al., 1984).
Larva biasa melekat di bagian atas kolektor pada daerah yang dangkal,
tetapi secara nyata lebih banyak terjadi atau berada di bagian bawah. Di daerah
yang lebih dalam terjadi kasus yang sebaliknya. Ketika tipe kolektor yang lain
dengan bentuk kerucut yang lebih panjang digunakan pada sisi dangkal, hampir
semua karang melekat di bagian atas permukaan. Kemungkinan daerah lembah
yang ada di piringan tersebut lebih dalam dan memberi cukup naungan dan
lindungan, oleh karena itu larva tidak butuh bermigrasi ke daerah terlindung di
bawah permukaan. Harriot dan Fisk (1987) menemukan bahwa teracotta
(keramik) menyediakan habitat pada celah antara substrat, sehingga menarik
untuk didiami.Ketidak beraturan struktur permukaan mempertingi pendiaman
dengan menyediakan ruang lebih untuk ditempati dan untuk menghindari
poredator.Kelimpahan karang berhubungan positif terhadap permukaan yang
tidak beraturan, demikian pula terhadap keanekaragamaman genus dan tingkat
kelimpahan juvenil karang.
c. Akibat organisme lain
Organisme-organisme lain sangat berpengaruh terhadap daerah diaman,
atau daya tahan hidup karang keras setelah mendiami suatu daerah. Tutupan
alga yang rapat dapat mencegah pelekatan, atau secara langsung menutup
ruang bagi karang yang baru mendiami ruang tersebut, dan juga secara tak
langsung menangkap sedimen di antara koloni-koloni alga (Birkeland, 1977).
Melimpahnya organisme penyaring seperti barnakel, hydrozoa, tunicata dan sepon
yang tumbuh dengan cepat pada daerah yanag mengalami eutrofikasi diduga oleh
Birkeland (1977), sebagai faktor yang mengurangi daya hidup planula yang telah
melekat. Rata-rata rekrutmen yang tinggi ditemukan berasosiasi dengan tutupan
alga yang sedikit (Rogers et al., 1984).
F. Pertumbuhan Karang
Penelitian yang dilakukan di lapangan untuk komunitas karang sering
memperkirakan umur dari koloni terkecil yang diukur. Hal ini biasanya dibatasi
pada koloni yang berukuran dari 1-5 cm, tetapi kadang-kadang lebih kecil dari
ukuran tersebut (Dustan, 1977; Bak dan Engel, 1979; Sakai dan Yamazato,
1984).
Pertumbuhan karang yang sangat kecil ditunjukkan dari beberapa penelitian.
Connell (1973) memperkirakan bahwa karang berdiameter mulai 1 cm telah berumur
satu bulan atau kurang.Polip karang keras yang baru menempel serupa dalam ukuran
planula dari mana mereka berasal-umumnya kurang dari 2 mm.Karena ukurannya
yang kecil maka sulit untuk diamati.
Selama tahun pertama hidup mereka, karang jarang mencapai ukuran diameter
>10 mm. Perbedaan dalam rata-rata pertumbuhan dihubungkan dengan perbedaan
taksonomi dalam tingkat famili dan dalam bentuk hasil pemijahan(gamet atau planula)
(Babcock, 1988),dan juga bervariasi dalam kondisi mikrohabitat (Sato, 1985).
Karang yang gametnya dibuahi di luar menunjukkan pertumbuhan yang lebih kecil
dari karang yang diplanulasi.Karang tersebut juga sulit dibudidayakan dibandingkan
spesies yang dierami.Goniastrea aspera dan Platygyrasinensis (Faviidae) merupakan
spesies broadcasting dengan diameter pertumbuhannya sekitar 1,3 mm dan 1,2 mm
dalam waktu 7-8 bulan. Sementara dari spesies yang sama cara reproduksinya yaitu
Acropora millepora tumbuh tiga kali lebih cepat (Babcock,1985).
Lima spesies karang yang mengerami (brooder) mempunyai pertumbuhan rata-
rata lebih cepat. Sato (1985) menemukan juvenil dari Pocillopora domicornis
(Brooding) berkembang dengan diameter sekitar 9,9 mm selama 6 bulan di Okinawa
dan rata-rata pertumbuhan Pociloporadomicornis pada kolektor lebih tinggi jika
mengarah ke samping dibanding ke atas. Birkeland (1977) mencatat rata-rata
karang lebih cepat melekat di daerah permukaan dan pertumbuhan berkurang
seiring dengan pertambahan kedalaman.Vaughan (1912) membiakan 2 jenis
planula dari Porites dan Favia dalam setahun. Keduanya menunjukakan rata-rara
pertumbuhannya terlambat dengan diameter hanya 4 mm x 3 mm dan yang
tercepat 23 mm x 14.5 mm. Juvenil karang pada piringan kolektor yang ditanam
selama 4 bulan di Great barrier reef dari 3 tahun penelitian menunjukkan diameter
berkisar 0,88 mm-1,06 mm (Wallace, 1985b).
G. Pengapuran / kalsifikasi Hewan Karang
Kalsifikasi adalah adalah proses yang menghasilkan kapur dan pembentukan
rangka karang dimana kapur dihasilkan dalam reaksi yang terjadi dalam ektodermis
karang. Reaksi pembentukan deposit kapur, mensyaratkan tersedianya ion kalsium
dan ionKarbonat yang berasal dari pengikisan batuan di darat sedangkan Ion
karbonat berasal dari pemecahan asam karbonat (Timotius, 2003).
Kalsium karbonat yang terbentuk kemudian membentuk endapan menjadi
rangka hewan karang. Sementara itu, karbondioksida akan diambil oleh
zooxanthellae untuk fotosintesis. Pengambilan atau pemanfaatan karbon (CO2)
dalam jumlahyang sangat besar untuk keperluan kalsifikasi yang kemudian
menghasilkanterumbu karang sebaran vertikal dan horisontal yang amat
luas.Kalsifikasi dipengaruhi oleh fotosintesis zooxanthellae dan hasilnya.Sebagai
contohPearse dan Muscatine menggunakan senyawa radioaktif untuk menelusuri
hasilfotosintesis.Hasil fotosintesis menunjang pertumbuhan cabangKenaikan nutrien
akan menurunkan kalsifikasi karena terjadi peningkatan fosfat.
Gambar..Proses kalsifikasi kimiawi pada karang atas peran zooxanthella.
Daftar Pustaka
Atoda K. 1947. The larva and post-larval development of some reef-building corals. I.
Pocillopora damicornis cespitosa (Dana). Sci Rep Tohoku University.Ser
4, 18:24-47
Babcock R.C. 1988. Fine-scalespatial and temporal patterns incoral
settlement. Proc. 6thInternat. Coral Reef Symp.,Townsville 2: 635-639
Baggett L.S., T.J. Bright. 1985. Coral recruitment at the East Flower Garden reef.
Proceedings of the 5th International Coral Reef Congress 4: 379-384.
Bak R.P.M., M.S. Engel. 1979. Distribution, Abundance and Survival of Juvenile
Hermatypic Corals (Sclerectinia) and The Importance of Early LifeHistory
Strategies in The Parent Coral Community. Mar. Biol. 54: 341-352
Barnes D.R. 1980. Inverterbrate zoology,(4th ed).Holt-Sounders International Edition.
Tokyo
Birkeland C. 1997. Life and death of coral reefs.Chapman and Hall. New York : 536
Boaden P.J.S., and Seed, R., 1985. An Introduction to Coastal Ecology. Blackie and
Son Ltd., New York.
Bothwell, A.M. 1982. Fragmentation, a means of asexual reproduction and
dispersal in the coral genus Acropora (Scleractinia: Astrocoeniida:
Acroporidae)- a preliminaryreport. Proc. 4th Intern.Coral Reef
Symp.Manila 1981 (2). p. 137-144
Cesar, HS.2000. Coral Reefs : Their functions, threats and economic value. Working
Paper Series “Work in Progress” World Bank. Washington DC
Chia F.S., Bickel, L. 1978. Mechanisms of larval settlement and the induction of
larval settlement and metamorphosis: a review. In Settlement and
metamorphosis of marine invertebrate larvae. Edited by F.S. Chia and
M.E. Rice. Elsevier, New York.
Connell J.H. 1973. Population Ecology of Reef Building Corals. In: Biology and
Geology of Coral Reefs, D.A. Jones and P. Endean eds. Academic
press, New York, 360 pp.
Connell J.H., 1985. The consequence of variation ininitial settlement vs. post-
settlement mortality inrocky shore intertidal communities.J. Exp. Mar.Biol.
Ecol., 93 : 11-45.
Dustan P (1977) Vitality of reef coral populations off Key Largo, Florida: Recruitment
and mortality. Environ Geol 2:51–58
Fitzhardinge, R. (1985). Spatial and Temporal Variability Incoral Recruitment in
Kaneohe Bay. Proc. 5th Internat. CoralReef Cong. Tahiti 4: 373-378
Glynn P.W, Gassman N.J, Eakin C.M, Cortés J, Smith D.B, Guzmán H.M. 1991.
Reef coral reproduction in the eastern Pacific:Costa Rica, Panama,and
Galapagos Islands (Ecuador). I. Pocilloporidae. Mar Biol 109:355-368.
Grzimek. 1972. Grzimek's Animal Life Encyclopedia. New York: Van Nostrand
Reinhold Company.
Hada Y. (1932). A note of earlier stage of colony formation with the coral Pocillopora
caespitosa. Sci. Rep. TohukuImp. Univ. 6: 425431
Harriot V.J. (1985). Recruitment patterns of scleractinian corals at Lizard Island,
Great Banier Reef. Proc.5th Int.Coral Reef.Symp.. Tahiti, Vol. 4: 367-372
Harriott V.J, D.A Fisk 1987. A comparison of settlement plate types for experiments
on the recruitment of scleractinian corals. Mar. Ecol. Progr. Ser. 37: 201-
208.
Harrison, R.L and Wallace C.C. 1990.Reproduction, dispersal and recruitment of
scleractinian corals. In: Ecosystem of the World. Z. Dubinsky (Ed).
Elsevier, Amsterdam : 133-207
Highsmith R.C. 1982. Reproduction by fragmentation in corals. Mar. Ecol. Progr.
Ser. (7): 207-226
Mapstone G.M. 1990. Reef Corals and Sponges of Indonesia.National Museum of
Natural Hystory, Leiden, Netrherlands.
Mawardi W. 2003. EkosistemTerumbuKarangPeranan,Kondisi dan Konservasinya. Makalah
Falsafah Sains Program Pasca Sarjana IPB. Bogor
Nontji A. 2005. Laut Nusantara. Edisi Revisi. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Nybakken J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. (Terjemahan.Alih
bahasaoleh H.M Eidman). PT. Gramedia.Jakarta
Richmond R.H. 2001. Reproduction and Recruitment in Corals: Critical Links in the
Persistence of Reefs. Dalam: Birkeland, C. (ed.) 2001. Life and Death of
Coral Reefs. Chapman &Hall, New York: 175-197.
Richmond RH and CL, Hunter. 1990. Reproduction and recruitment of corals:
comparison among the Caribean, the Tropical Pacific, and Red Sea.
Mar.Ecol.Prog.Ser (60) : 185-203 pp
Richmond RH. 1997. Reproduction and recruitment in corals: Critical links in the
persistence of reef. Di dalam: Birkeland (ed). Life and death of coral
reefs. New York: Chapman & Hall
Rinkevich B., Loya Y. 1979. The reproduction of the Red Sea
coralStylophorapistillata. I: gonad and planulae. Mar EcolProgSer 1:133-
144
Rogers C.S, H.C. Fitz III, M. Gilnack, J. Beets and J. Hardin. 1984. Scleractinian
coral recruitment patterns at Salt River Submarine Canyon, St. Croix,
U.S. Virgin Islands. Coral Reefs 3: 69-76
Sakai, Yamazato, K. 1984. Coral recruitment to artificially denuded natural substrates
on an Okinawan reef flat. Galaxea, 3, 57-69
Sammarco P. W., Carlton J. H. 1982. Darnselfishterritorialty and coral community
structure: reduced grazing and effects on coral spat. Proc.4th Int.
Coral ReefSymp. Manila, Vol. 2: 33
Sato M. 1985. Mortality and growth of juvenile coral, Pocillopora damicornis
(Linnaeus). Coral Reefs 4: 27-33.
Sorokin Y.I., 1993. Coral Reef Ecology. Springer-Verlag, Berlin, Heidelberg.
Sprintall J., J.T. Potemra, S.L. Hautala, N.A. Bray dan W.W. Pandoe. 2003.
Temperature and Salinity Variability in the Exit Passages of the
Stephenson T., Stephenson, A. 1933 Scientific report. Great Barrier Reef
Expedition. 3, 167-217
Stimson JS. 1978. Mode and timing of reproduction in some common hermatypic
corals of Hawaii and Enewetak. Mar Biol 48:173-184
Suharsono. 1996. Jenis – JenisKarang Yang UmumDijumpai Di Perairan Indonesia.
PusatPenelitiandanPengembanganOseanologi LIPI.Proyek Penelitian
dan Pengembangan Daerah Pantai. Jakarta.
Suharsono. 2004. Jenis – JenisKarang Di Indonesia. PusatPenelitianOseanografi -
LIPI COREMAP Program. Jakarta.
Sukarno R., Hutomo, M., Moosa, M.K. dan Darsono, P. 1983. Terumbu Karang di
Indonesia: Sumberdaya, Permasalahan dan Pengelolaannya. Proyek
Penelitian Potensi Sumberdaya Alam Indonesia. LON-LIPI, Jakarta.
Sukarno R. 1977. Fauna Karang Batu di Terumbu Karang Pulau Air Dengan Catatan
Tentang Ekologinya, Teluk jakarta. Lembaga oseanologi nasional-LIPI.
Jakarta
Supriharyono. 2007. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Penerbit Djambatan.
Jakarta.
Timotius, S. 2003.karakteristik terumbu karang. Makalah traning course.Yayasan
terumbu karang Indonesia.
Underwood, A.J..Denley, E.J., 1984. Paradigms, explanations and Generalizations in
Models for The Structure of Intertidal Communities on Rocky Shores.
Princeton University Press, New Jersey.
Vandermeulen, J.H. 1974. Studies on reef coral II. fine structure of planktonis planula
larva of Pocillopora damicornis, with emphasis on the Aboral epidermis.
Mar. Biol. 31 :69-77.
Vaughan and Wells.1943.an expedition to the coral reefs of the torres straits. The
Popular Science Monthly..Bonniercorporation.New York.
Vaughan, T. W., 1912: Madreporaria and marine bottom deposits in Florida. Year
Carnegie Inst. Wash. 10: 147-156.
Veron, J.E.N. 1995.The Biogeography and Evolution of the Scleractinia. In Space
and Time.UNSW Press.Sydney, Australia
Veron, J.E.N. 2000.Coral of the world. Volume 1,2,3, 3rd Edition. Australia :
Australian Institute of Marine Science and CRR Qld pty Ltd.
Wallace, C. C., Bull, G D. 1981. Patterns of juvenile coral recruitment on a reef
front dunng a spring-summer spawning period. Proc. 4th Int. Coral Reef
Symp., Manila 2. 345-350
Wallace, C.C. 1985a. Seasonal peak and annual fluctuations in recruitment of
juvenile scleractinian corals. Mar. Ecol. Prog. Ser. 21:280-298.
Wallace, C. C.1985b. Reproduction. recruitment and fragmentation in nine
sympatric species of the coral genus Acropora. Mar. Biol. 88: 217-233