materi komunikasi maalah

34
Popularitas adalah self marketing, memasarkan diri, membuat nama berada di mindset penggemar. Popularitas yang dibangun dengan kualitas, berbungkus performance dan totalitas.” Begitulah definisi lain popularitas yang saya temukan disini . Kenapa saya membahas tentang popularitas? Haha.. Mungkin ini karena fenomena yang tidak jarang, bahkan sering saya temukan dalam keseharian saya. Satu per satu teman saya menjadi orang yang terkenal. Saya jadi kepikiran, popular atau terkenal itu memangnya harus ya? Lalu kenapa mereka mengejarnya? Kemudian saya mencari di mesin pencari tentang “popular”. Kecewa. Tidak ada artikel yang tepat yang memberikan jawaban dari apa yang saya pertanyakan. dan akhirnya menemukan link diatas yang mengatakan popularitas sebagai salah satu perilaku gangguan jiwa. Meski memang tidak sepenuhnya benar seperti itu. Untuk manusia-manusia yang haus akan popularitas mungkin memang benar dan tepat jika dianggap seperti itu. Sejauh ini, saya kira orang-orang yang saya kenal tidak seperti itu. Saya merasa mengenal mereka, meski tidak begitu dekat dan mereka tidak haus popularitas. Sekarang keresahan saya adalah ketika mereka yang sedang mengejar popularitas akhirnya lupa terhadap segalanya dan lupa untuk melihat dimana dan darimana dia berasal. Saya khawatir mereka yang sedang menikmati popularitas itu berubah menjadi oak, dan lupa dengan sifat padi yang diajarkan oleh orang-orang tua tentang kehidupan. Saat mereka pun resah dan akhirnya bahagia dan bangga dengan apa yang mereka ciptakan, apa yang mereka lakukan maka mereka akan menjadikan popularitas sebagai Tuhan. Berubah menjadi jaim alias jaga image dan semakin tidak bisa dikenali. Semoga saja, tidak seperti itu.

description

askep

Transcript of materi komunikasi maalah

Popularitas adalah self marketing, memasarkan diri, membuat nama berada di mindset penggemar. Popularitas yang dibangun dengan kualitas, berbungkus performance dan totalitas. Begitulah definisi lain popularitas yang saya temukan disini.Kenapa saya membahas tentang popularitas? Haha.. Mungkin ini karena fenomena yang tidak jarang, bahkan sering saya temukan dalam keseharian saya. Satu per satu teman saya menjadi orang yang terkenal.Saya jadi kepikiran, popular atau terkenal itu memangnya harus ya? Lalu kenapa mereka mengejarnya? Kemudian saya mencari di mesin pencari tentang popular. Kecewa. Tidak ada artikel yang tepat yang memberikan jawaban dari apa yang saya pertanyakan. dan akhirnya menemukan link diatas yang mengatakan popularitas sebagai salah satu perilaku gangguan jiwa. Meski memang tidak sepenuhnya benar seperti itu. Untuk manusia-manusia yang haus akan popularitas mungkin memang benar dan tepat jika dianggap seperti itu.Sejauh ini, saya kira orang-orang yang saya kenal tidak seperti itu. Saya merasa mengenal mereka, meski tidak begitu dekat dan mereka tidak haus popularitas.Sekarang keresahan saya adalah ketika mereka yang sedang mengejar popularitas akhirnya lupa terhadap segalanya dan lupa untuk melihat dimana dan darimana dia berasal. Saya khawatir mereka yang sedang menikmati popularitas itu berubah menjadi oak, dan lupa dengan sifat padi yang diajarkan oleh orang-orang tua tentang kehidupan.Saat mereka pun resah dan akhirnya bahagia dan bangga dengan apa yang mereka ciptakan, apa yang mereka lakukan maka mereka akan menjadikan popularitas sebagai Tuhan.Berubah menjadi jaim alias jaga image dan semakin tidak bisa dikenali. Semoga saja, tidak seperti itu.Dalam buku Psikologi Komunikasi, ada sebuah Teori Ekspresif yang menyatakan bahwa orang memperoleh kepuasan dalam mengungkapkan eksistensi dirinya, menampakkan perasaan dan keyakinannya.Dalam hal ini tidak lepas dari peran media massa. Media massa (masih dalam buku yang sama) bukan saja membantu orang untuk mengembangkan sikap tertentu, tetapi juga menyajikan berbagai macam permainan untuk ekspresi diri.Nah, jelas bukan? Bahwa popularitas itu bisa dan mampu merubah seseorang terlebih dengan bantuan media. Ada juga teori yang sengaja saya kaitkan, karena sepertinya memang berkaitan antara popularitas, ekspresif dan asersi.Pembahasan ini sedikit berbeda dengan anggapan saya sebelumnya.Teori Asersi (Assertion) atau penonjolan memandang manusia sebagai makhluk yang selalu mengembangkan seluruh potensinya untuk memperoleh penghargaan dari dirinya dan dari orang lain. Manusia ingin mencapai prestasi, sukses dan kehormatan. Masyarakat dipandang sebagai suatu perjuangan dimana setiap orang lain menonjol dari orang lain. Dalam bahasa Hobbes:manusia adalah serigala bagi manusia lain (Homo homini lupus)Maka, ya begitulah popularitas. dari awalnya saya berspekulasi tanpa dasar, kemudian dikaitkan dengan teori-teori yang ada maka popularitas ya anggaplah lumrah bagi manusia. Hanya seperti tadi dikatakan diawal, semoga saja tidak ada yang lupa dengan tangan-tangan yang membantu dia berdiri, juga doa-doa dan harapan yang mengantarnya hingga mereka bisa berdiri dan berada ditempat yang tidak semua orang bisa menempatinya: popularitasMEDIA MASSA DAN PENEGAKAN HUKUM INDONESIAMay 19, '08 9:01 AMuntuk

Tidak dapat kita pungkiri, bahwa media massa mempunyai peranan yang sangat penting dimanapun, kapanpun dan dalam hal apapun. Semua aspek kehidupan hampir tidak pernah luput dari pemberitaan media massa, baik itu ekonomi, hukum, politik, budaya, sosial, agama, pendidikan, kesehatan, pertahanan bahkan dunia hiburan.Kekuatan media massa dalam pemberitaan atau penyebaran informasi dapat berpengaruh pada pembentukan opini masyarakat dan pergerakan masyarakat, bahkan pemberitaan tersebut dapat mengontrol berbagai kebijakan dan kinerja dari lembaga-lembaga negara yang ada di Indonesia, baik itu eksekutif, legislatif dan juga yudikatif, selain itu hal yang paling penting dari peran media massa tersebut ialah bahwa media massa mempunyai kekuatan sebagai katalisator bagi penegakan hukum di Indonesia.Dikatakan bahwa media massa mempunyai kekuatan sebagai katalisator bagi penegakan hukum di indonesia, karena pada kenyataanya banyak kasus-kasus yang ada di Indonesia yang di proses secara cepat dan tepat oleh para penegak hukum akibat adanya pemberitaan media massa tersebut.Kasus penganiayaan di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negri (STPDN), kasus korupsi yang dilakukan oleh Mulyana, kasus pembunuhan Munir, kasus kesalahan penerapan hukum bagi Raju, merupakan sebagian kecil dari kasus yang terus diberitakan oleh media massa, yang menyebabkan para penegak hukum terpacu untuk menangani kasus-kasus tersebut.Penegakan hukum merpakan hal yang paling penting yang harus dijalankan saat ini, bukan hanya karena penegakan hukum merupakan agenda reformasi 1998, tetapi juga penegakan hukum merupakan awal mula dari membaiknya keaadan Indonesia yang sudah carut marut. Ke-profesionalitas-an lembaga-lembaga tinggi negara, berhentinya praktek Korupsi, kolusi dan Nepotisme, terciptanya perdamaian, perekonomian yang membaik, merupakan hal-hal yang dapat diwujudkan apabila penegakan hukum yang ada di Indonesia sudah benar-benar diterapkan.Adapun penegakan hukum itu dapat diwujudkan apabila para pelaku penegak hukum tersebut benar-benar berupaya secara maksimal dalam menegakan hukum. Sebenarnya, dalam wacana yang luas para pelaku penegak hukum bukan hanya para penegak hukum yang ada di dalam Pengadilan (hakim, jaksa, pengacara, lembaga pemasyaraktan) tetapi juga ada pihak-pihak lain yang dapat disebut sebagai penegak hukum eksternal, yaitu Masyarakat, mahasiswa dan media massa.Dari ketiga element penegak hukum eksternal tersebut, element yang mempunyai kekuatan paling besar adalah media massa, betapa tidak, media massa mempunyai kekuatan yang dapat mempengaruhi opini masyarakat dan mahasiswa dan menggerakkan mereka dengan pemberitaan yang dilakukannya secara transparan dan tajam.Peran media massa sebagai katalisator atau pemicu atau penggerak penegakan hukum, secara konkrit dapat kita lihat dari kasus penganiayaan yang dilakukan oleh mahasiswa Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negri (STPDN) pada tahun 2003.Kita tentu masih ingat, bahwa di tahun 2003 ada sebuah kasus yang sangat menggemparkan masyarakat Indonesia, kegemparan ini bermula dari video yang ditampilkan oleh Surya Citra Televisi (SCTV) yang mengambarkan proses penganiayaan yang dilakukan oleh mahasiswa senior STPDN terhadap para Junior yang mengakibatkan matinya beberapa mahasiswa junior, sebut saja Wahyu hidayat, Ery dan kasus kematian lain yang belum terungkap. Pemberitaan SCTV tersebut benar-benar mendobrak tatanan STPD dan mengundang berbagai macam kontroversial.Pihak STPDN tentu saja menjadi pihak pertama yang membantah pemberitaan SCTV tersebut, karena mereka berpikir bahwa SCTV telah melampaui batas wewenang pers dan mereka meyakinkan masyarakat bahwa pemukulan senior terhadap junior STPDN bukanlah sebuah penganiayaan, melainkan pembinaan semata.Mencuat nya kasus STPDN tersebut, kemudian bukan hanya menjadi monopoli SCTV, tapi semua media massa juga berlomba-lomba memberitakan kasus serupa sehingga menuai tindakan yang cepat atas pengusutan beberapa tersangka oleh Kapolres Sumedang AKBP Drs Yoyok Subagiyono. Dari pengusutan diperiksa 26 praja dan ditetapkan 3 praja sebagai tersangka utama.Pemberitaan media massa tersebut bukan hanya memicu kinerja dari penegak hukm, tetapi juga dari pihak STPDN itu sendiri. Ketua STPDN Drs Sutrisno memecat tidak hormat tiga praja tingkat III. Pihak kampus juga menurunkan tingkat 13 mahasiswa lainnya, dari III menjadi tingkat II dan mewajibkan mereka mengulang kuliah dua semester. Enam mahasiswa lainnya juga diturunkan nilai moralnya dari 7,20 menjadi 6,50. Ada juga empat mahasiswa yang diturunkan nilai moralnya dari 7,20 menjadi 6,75. Jika selama jangka waktu yang ditentukan itu kesepuluh mahasiswa tersebut tak memenuhi nilai minimal 7,20 maka mereka tak akan naik tingkat.Sebuah kontribusi yang konkrit dari SCTV dan media massa lainnya dalam kasus STPDN ini merupakan perwujudan dari peran media massa sebagai katalisator atau pemicu atau penggerak bagi penegakan hukum di Indonesia.Adapun dalam penegakan hukum tersebut, ternyata media massa telah menjalankan amanah yang diberikan oleh konstitusi kita yaitu Pancasila dan Undan-Undang dasar 1945. hal ini dapat dijabarkan:1.) Media massa berperan dalam mencerdaskan masyarakat tentang hukum & penegakkan hukum yang ada di Indonesia.Pembinaan beberapa mahasiswa junior STPDN yang diberitakan sebagai PENGANIAYAN oleh media massa, menjadi sebuah hentakan yang besar bagi seluruh masyarakat yang ada di Indonesia. Karena pada dasarnya, pembinaan yang mengandung unsur kekerasan, ancaman, dan tekanan sudah menjadi hal yang biasa di lingkungan masyarakat kita. Bahkan banyak yang menganggap bahwa pembinaan tersebut merupakan hal yang efektif dalam mendisiplinkan para mahasiswa baru. Tetapi, saat kegiataan pembinaan ini dikemas dalam judul PENGANIAYAAN, masyarakat jadi berpikir ulang, apakah benar terdapat unsur-unsur penganiayaan dalam pembinaan tersebut???.Dalam kasus ini, media massa telah mengarahkan pemikiran masyarakat untuk mengetahui bahwa pembinaan tersebut memang sebuah penganiayaan. pemukulan-pemukulan yang dilakukan terhadap para junior sampai menyebabkan matinya junior bukanlah hal yang biasa, melainkan sudah masuk dalam tindak pidana. Pemberitaan media massa ini menyadarkan masyarakat bahwa proses inisiasi atau kekerasan sudah tidak layak lagi dilakukan, karena sesungguhnya proses itu merupakan peninggalan dari jaman kolonialisme yang melanggar Hak Asasi Manusia.Masyarakat diajak berpikir secara mendalam tentang kasus tersebut, yang pada akhirnya masayarkat menjadi tahu bahwa pemukulan adalah penganiayaan, penganiayaan adalah sebuah kejahatan, pelaku kejahatan harus dihukum, dan siklus penganiayaan harus dihentikan, baik dalam proses pembinaan maupun dalam kehidupan sehari-sehari.Pencerdasan yang dilakukan media massa atas kasus penganiayaan ini, merupakan sebagian kecil dari pencerdasan dalam bidang-bidang lain yang telah dilakukan oleh media massa. Ditilik dari konstitusi, ternyata media massa telah menjalankan amanah UUD 1945, tepatnya dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke 4, yang menyatakan bahwa tujuan negara Indonesia salah satunya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ternyata media massa telah berhasil dalam melakukan pencerdasan itu.2.) media massa berperan dalam mengembangkan wacana demokrasi.semakin tinggi penghargaan terhadap demokrasi, semakin nyata perwujudan supremasi hukum (penegakan hukum), pernyataan tersebut bukanlah sebuah slogan semata, tetapi merupakan sebuah teori yang sudah di buktikan secara nyata di negara-negara maju. Contoh saja Amerika Serikat, Australia, Inggris, Singapura. Negara-negara tersebut merupakan negara-negara yang menjunjung tinggi nilai demokrasi, dimana pada saat yang bersamaan terjadi penegakan hukum yang konkrit.Demokrasi mempunyai peranan yang penting dalam penegakan hukum. Dimana demokrasi ini dapat digambarkan sebagai terlaksananya kebebasan berpendapat, berpikir, dan bertindak. Dalam pasal 28 UUD 1945 digambarkan bahwa demokrasi adalah Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Dalam kaitannya dengan penegakan hukum, demokrasi menjadi wahana pemikiran masyarakat dalam menanggapi penanganan kasus-kasus hukum yang ada di Indonesia.Kembali lagi pada kasus STPDN, bahwa pemberitaan SCTV dan media massa lain tentang kasus tersebut, menuai banyak tanggapan dan kritik dari masyarakat. Media massa membuka peluang sebesar-besarnya bagi masyarkat untuk menanggapi kasus tersebut, dari mulai tanggapan melalui Via SMS, Telphon, Surat, faximil, bahkan melalui situs-situs internet. Peluang ini kemudian menghasilkan kesimpulan bahwa masyarakat menuntut STPDN segera ditutup, siklus penganiayaan segera dihentikan dan hukum harus segera ditegakkan dengan menangkap dan menghukum para pelaku penganiayaan tersebut.Setiap masyarakat bahkan mempunyai hak untuk berpendapat sehingga bukan hanya pasal 28 UUD 1945 yang diterapkan, tetapi juga sila 5 dari Pancasila, yaitu keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.Kebebasan berpendapat ini, ternyata menjadi kekuatan yang sangat besar bagi para penegak hukum untuk menuntaskan kasus tersebut secara cepat dan tepat, serta memicu pemerintah untuk membenahi tatanan STPDN.Maka dapat kita simpulkan bahwa, semakin besar nilai demokrasi dalam suatu negara, maka kebebasan berpikir dan berpendapat pun semakin meluas, pada akhirnya pendapat-pendapat tersebut dapat menjadi alat pemicu paling efekti bagi para penegak hukum untuk segera menegakan hukum di Indonesia.3.) media massa sebagai pemicu dan pengontrol bagi para penegak hukum.Seperti yang sudah dijabarkan diatas, bahwa pemberitaan media massa ternyata banyak menimbulkan opini masyarakat, yang hampir semua masyarakat Indonesia menuntut adanya Penegakkan Hukum. Tuntuan masyarakat yang disebarluaskan oleh media massa ini, telah menjadi pemicu bagi para penegak hukum untuk segera menegakan hukum. Penanganan yang dilakukan oleh penegak hukum pun bukan hanya cepat tetapi juga harus tepat, artinya bahwa penegak hukum harus benar-benar profesional dalam menjalankan tugasnya, karena apabila ia tidak menjalankan tugasnya dengan profesional, hal ini akan menuai kritik yang keras dari masyarakat, karena media massa selalu siap dalam menyoroti atau mengedarkan fakta tentang kinerja para penegak hukum kita.Pada akhirnya, kita dapat menyimpulkan, bahwa penegakan hukum atas kasus-kasus yang ada di Indonesia, merupakan kontribusi yang diberikan oleh media massa secara konkrit. Media massa memang pantas dianggap sebagai katalisator atau pemicu atau penggerak bagi penegakan hukum di Indonesia dengan menjalankan amanah Pancasila dan UUD 1945. hidup media massa!!RihaL aMeL, Sept 2006 Tag: amel in blackSebelumnya: Kebebasan adalah kemerdekaan!!!!

Media Penting Untuk Penegakan HukumBenny N Joewono | Kamis, 25 November 2010 | 16:54 WIB

Dibaca: 152

Komentar: 0|

Share:cyberdharma.net ilustrasi 1GORONTALO, KOMPAS.com - Kejati Gorontalo melalui Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Hubungan Masyarakat, Mulyadi menilai, peranan media massa dalam menegakan hukum, merupakan hal yang penting.

Dalam proses penegakan hukum, media massa memegang peranan yang cukup penting, yaitu dengan menjalankan fungsi kontrol dan penghubung antara masyarakat dan Kejati.Menurutnya, fungsi kontrol tersebut akan berjalan ideal, bila pekerja media menjalankan tugasnya, berdasarkan kode etik yang ada."Pers juga menjadi fasilitator, yang membantu kami memberikan laporan tentang terjadinya suatu tindak pidana," jelasnya, Kamis (25/11/2010).Media massa harus memberikan laporan kepada masyarakat tentang terjadinya suatu tindak pidana, dengan mengedepankan asas praduga tak bersalah.Media massa juga dapat mempengaruhi opini publik, sehingga apapun yang diberitakan oleh para media, harus didasarkan apada keakuratan dan sumber yang pasti."Hal ini bisa dilihat dari peranan media massa, yang dapat melaporkan kinerja yang dilakukan oleh para penegak hukum," tambahnya. Politikindonesia - PDI Perjuangan dan Ketua Umumnya, Megawati Soekarnoputri dianggap tidak memberi contoh yang baik dalam penegakan hukum. Penolakan Mega menghadiri panggilan KPK, Senin (21/02) untuk bersaksi dalam Kasus Miranda, tak sejalan dengan upaya membongkar kasus korupsi itu secara tuntas.

Petrus Salestinus, pengacara Max Moein, tersangka kasus suap, Sabtu (19/02), terang-terangan mengkritik sikap Megawati itu.

Petrus Salestinus menyayangkan sikap Megawati dan pihak PDI Perjuangan yang menolak panggilan KPK itu. Menurut dia, sikap itu tidak pantas dan tidak memberi contoh penegakan hukum yang baik. Ketua Umum partai besar kok takut? Seorang ketua umum, pernah jadi wakil presiden, presiden, calon presiden, sikap itu tak pantas."

Karena itu, jika Megawati benar-benar tidak memenuhi panggilan itu, Petrus Salestinus berjanji akan meminta jadwal ulang pemanggilan Mega. Ia mengatakan, bagi kliennya, Max Moein, mantan kader PDIP, keterangan meringankan dari Mega diperlukan untuk mengungkap kasus siap terpilihnya Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004 itu.

Sebelumnya, Ketua Departemen Hukum DPP PDIP Gayus Lumbuun mengatakan, Megawati tidak mesti hadir di KPK. Saksi meringankan, kata anggota Komisi III DPR itu, bisa menolak untuk dimintai keterangan. Karena itu, hak yang bersangkutan untuk memilih apakah hendak meringankan orang yang memintanya bersaksi, atau tidak.

Yang wajib memenuhi panggilan pemeriksaan, kata Gayus Lumbuun, saksi ahli. Bekas Kepala Badan Kehormatan DPR itu menjelaskan ada perbedaan antara saksi meringankan dan saksi ahli. Saksi meringankan bisa menolak dimintai keterangan, karena itu hak yang bersangkutan untuk memilih apakah hendak meringankan orang yang memintanya bersaksi, atau tidak.

Kepada pers, Petrus membantah argumen Gayus Lumbuun itu. UU, kata dia, tidak mengecualikan soal kewajiban saksi. Intinya, jika diminta untuk kepentingan penyidikan perkara, semua saksi tanpa kecuali, harus hadir. Saksi ahli harus hadir jika dimintai keterangan, saksi meringankan juga harus hadir. Apalagi, ia menggolongkan Megawati itu, tergolong saksi fakta dalam Kasus Miranda itu.

Kami tidak mengerti cara berpikir PDIP yang terbalik-balik seperti itu. Bisa jadi itu bentuk ketakutan, bisa juga bentuk arogansi," tegas Petrus Salestinus.

Menurut Petrus Salestinus, Megawati memegang posisi penting saat terjadi kasus suap cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI, yang dimenangkan Miranda Goeltom itu. Kini 24 anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004, jadi tersangka dan ditahan KPK. Termasuk Max Moein, klien Petrus. Malah 4 orang politisi sudah dijatuhi hukuman atas kasus itu.

Megawati ketika itu, menjabat Presiden RI, sekaligus Ketua Umum PDIP. Kata Petrus Salestinus, sebagai Presiden, Megawati mengusulkan tiga nama calon Deputi Gubernur Senior BI untuk dipilih DPR. Tetapi, sebagai Ketua Umum PDIP, kata dia, Mega memerintahkan kepada fraksi memilih Miranda. Anggota yang melawan dan tidak memilih Miranda, bahkan diancam diberi sanksi pemecatan.

Dengan fakta seperti itu, Petrus memastikan, keterkaitan Megawati dengan kasus yang menimpa kliennya itu, sangat jelas. Menurut dia, hubungan hukum kasus suap itu dengan istri Ketua MPR Taufiq Kiemas itu sangat jelas. Dengan begitu, ia ngotot agar Mega tetap hadir di KPK memberikan kesaksian atas terjadinya kasus suap itu.

Petrus Salestinus mengingatkan, kesaksian Megawati sangat diperlukan agar perkara suap tersebut menjadi terang. Kasus suap, katanya, tentu harus ada penyuap dan penerimanya. Di mana-mana ada kompromi dulu, mau berikan berapa, terima berapa, baru deal. Itu yang harus dibongkar PDIP." (nam/rin/nis)

PENEGAKAN HUKUM YANG MENJAMIN KEPASTIAN HUKUM DAN RASA KEADILAN MASYARAKATSUATU SUMBANGAN PEMIKIRANOleh: Prof. Dr. H. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum.PendahuluanMasalah penegakan hukum adalah merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh setiap masyarakat. Walaupun kemudian setiap masyarakat dengan karakteristiknya masing-masing, mungkin memberikan corak permasalahannya tersendiri di dalam kerangka penegakan hukumnya. Namun setiap masyarakat mempunyai tujuan yang sama, agar di dalam masyarakat tercapai kedamaian sebagai akibat dari penegakan hukum yang formil.Kedamaian tersebut dapat diartikan bahwa di satu pihak terdapat ketertiban antar pribadi yang bersifat ekstern dan di lain pihak terdapat ketenteraman pribadi intern. Demi tercapainya suatu ketertiban dan kedamaian maka hukum berfungsi untuk memberikan jaminan bagi seseorang agar kepentingannya diperhatikan oleh setiap orang lain. Jika kepentingan itu terganggu, maka hukum harus melindunginya, serta setiap ada pelanggaran hukum. Oleh karenanya hukum itu harus dilaksanakan dan ditegakkan tanpa membeda-bedakan atau tidak memberlakukan hukum secara diskriminatif.Karakteristik hukum sebagai kaedah selalu dinyatakan berlaku umum untuk siapa saja dan di mana saja dalam wilayah negara, tanpa membeda-bedakan. Meskipun ada pengecualian dinyatakan secara eksplisit dan berdasarkan alasan tertentu yang dapat diterima dan dibenarkan. Pada dasarnya hukum itu tidak berlaku secara diskriminatif, kecuali oknum aparat atau organisasi penegak hukum dalam kenyataan sosial telah memberlakukan hukum itu secara diskriminatif. Akhirnya penegakan hukum tidak mencerminkan adanya kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.Penegakan hukum, tekanannya selalu diletakkan pada aspek ketertiban. Hal ini mungkin sekali disebabkan oleh karena hukum diidentikkan dengan penegakan perundang-undangan, asumsi seperti ini adalah sangat keliru sekali, karena hukum itu harus dilihat dalam satu sistem, yang menimbulkan interaksi tertentu dalam berbagai unsur sistem hukum.Tetapi kita juga membutuhkan kontrol sosial terhadap pemerintah, karena tidak dapat kita pungkiri, bahwa tiada kuda tanpa kekang. Begitu juga tiada penguasa dan aparaturnya yang bebas dari kontrol sosial. Semua tahu ada orang yang berwenang menyalahgunakan jabatannya, praktek suap dan KKN sering terjadi dalam tirani birokrat. Maka untuk memperbaiki harus ada kontrol yang dibangun dalam sistim. Dengan kata lain, hukum mempunyai tugas jauh mengawasi penguasa itu sendiri, kontrol yang dilakukan terhadap pengontrol. Pemikiran ini berada di balik pengawasan dan keseimbangan (check and balance) dan di balik Peradilan Tata Usaha Negara, Inspektur Jenderal, Auditur dan lembaga-lembaga seperti, KPK, Komisi Judisial. Kesemuanya ini harus mempunyai komitmen yang tinggi untuk memberantas segala bentuk penyalahgunaan wewenang dari pihak penguasa.Hukum akan menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya, sedangkan di lain pihak efektivitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma. Hal ini berbeda dengan kebijakan dasar yang relatif netral dan bergantung pada nilai universal dari tujuan dan alasan pembentukan undang-undang.Dalam praktek kita melihat ada undang-undang sebagian besar dipatuhi dan ada undang-undang yang tidak dipatuhi. Sistem hukum jelas akan runtuh jika setiap orang tidak mematuhi undang-undang dan undang-undang itu akan kehilangan maknanya. Ketidakefektifan undang-undang cenderung mempengaruhi waktu sikap dan kuantitas ketidakpatuhan serta mempunyai efek nyata terhadap perilaku hukum, termasuk perilaku pelanggar hukum. Kondisi ini akan mempengaruhi penegakan hukum yang menjamin kepastian dan keadilan dalam masyarakat.Kepastian hukum dapat kita lihat dari dua sudut, yaitu kepastian dalam hukum itu sendiri dan kepastian karena hukum. Kepastian dalam hukum dimaksudkan bahwa setiap norma hukum itu harus dapat dirumuskan dengan kalimat-kalimat di dalamnya tidak mengandung penafsiran yang berbeda-beda. Akibatnya akan membawa perilaku patuh atau tidak patuh terhadap hukum. Dalam praktek banyak timbul peristiwa-peristiwa hukum, di mana ketika dihadapkan dengan substansi norma hukum yang mengaturnya, kadangkala tidak jelas atau kurang sempurna sehingga timbul penafsiran yang berbeda-beda yang akibatnya akan membawa kepada ketidakpastian hukum. Sedangkan kepastian karena hukum dimaksudkan, bahwa karena hukum itu sendirilah adanya kepastian, misalnya hukum menentukan adanya lembaga daluarsa, dengan lewat waktu seseorang akan mendapatkan hak atau kehilangan hak. Berarti hukum dapat menjamin adanya kepastian bagi seseorang dengan lembaga daluarsa akan mendapatkan sesuatu hak tertentu atau akan kehilangan sesuatu hak tertentu.Hukum tidak identik dengan undang-undang, jika hukum diidentikkan dengan perundang-undangan, maka salah satu akibatnya dapat dirasakan, adalah kalau ada bidang kehidupan yang belum diatur dalam perundang-undangan, maka dikatakan hukum tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Demikian juga kepastian hukum tidak identik dengan dengan kepastian undang-undang. Apabila kepastian hukum diidentikkan dengan kepastian undang-undang, maka dalam proses penegakan hukum dilakukan tanpa memperhatikan kenyataan hukum (Werkelijkheid) yang berlaku.Para penegak hukum yang hanya bertitik tolak dari substansi norma hukum formil yang ada dalam undang-undang (law in books), akan cenderung mencederai rasa keadilan masyarakat. Seyogyanya penekanannya di sini, harus juga bertitik tolak pada hukum yang hidup (living law). Lebih jauh para penegak hukum harus memperhatikan budaya hukum (legal culture), untuk memahami sikap, kepercayaan, nilai dan harapan serta pemikiran masyarakat terhadap hukum dalam sistim hukum yang berlaku.

Penegakan HukumPenegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, namun di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan. Kendatipun demikian tidak dapat kita pungkiri, bahwa apa yang dianggap berguna (secara sosiologis) belum tentu adil, begitu juga sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara filosopis), belum tentu berguna bagi masyarakat. Dalam kondisi yang demikian ini, masyarakat hanya menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu adanya suatu peraturan yang dapat mengisi kekosongan hukum tanpa menghiraukan apakah hukum itu adil atau tidak. Kenyataan sosial seperti ini memaksa pemerintah untuk segera membuat peraturan secara praktis dan pragmatis, mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak sesuai dengan tuntutan masyarakat tanpa perkiraan strategis, sehingga melahirkan peraturan-peraturan yang bersifat tambal sulam yang daya lakunya tidak bertahan lama. Akibatnya kurang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.Sebaiknya mekanisme dan prosedur untuk menentukan prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, masyarakat harus mengetahui sedini mungkin dan tidak memancing adanya resistensi dari masyarakat, maka setidak-tidaknya dilakukan dua macam pendekatan yaitu pendekatan sistem dan pendekatan kultural politis. Melalui pendekatan sistem prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, harus dilihat secara konstekstual dan konseptual yang bertalian erat dengan dimensi-dimensi geopolitik, ekopolitik, demopolitik, sosiopolitik dan kratopolitik. Dengan kata lain politik hukum tidak berdiri sendiri, lepas dari dimensi politik lainnya, apalagi jika hukum diharapkan mampu berperan sebagai sarana rekayasa sosial. Kepicikan pandangan yang hanya melihat hukum sebagai alat pengatur dan penertib saja, tanpa menyadari keserasian hubungannya dengan dimensi-dimensi lain, akan melahirkan produk dan konsep yang kaku tanpa cakrawala wawasan dan pandangan sistemik yang lebih luas dalam menerjemahkan perasaan keadilan hukum masyarakat.[5]Substansi undang-undang sebaiknya disusun secara taat asas, harmoni dan sinkron dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk itu harus dilakukan dengan mengabstraksikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 kemudian menderivasi, yakni menurunkan sejumlah asas-asas untuk dijadikan landasan pembentukan undang-undang. Semua peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan secara sektoral oleh departemen-departemen yang bersangkutan harus serasi dan sinkron dengan ketentuan undang-undang. Perlu kita maklumi bahwa banyak peraturan undang-undang sering tidak berpijak pada dasar moral yang dikukuhi rakyat, bahkan sering bertentangan. Pada taraf dan situasi seperti ini, kesadaran moral warga masyarakat tentu saja tidak akan lagi selalu sama dan sebangun dengan kesadaran hukum rakyat. Hukum yang dikembangkan dari cita pembaharuan dan pembangunan negara-negara nasional pun karenanya akan memerlukan dasar legitimasi lain, yang tak selamanya dipungut begitu saja dari legitimasi moral rakyat yang telah ada selama ini. Hukum-hukum ekonomi, lalu lintas dan tata kota yang mendasarkan diri maksud-maksud pragmatis jelaslah kalau terlepas dari kesadaran moral tradisional.[6]Dalam pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan, namun hukum itu tidak identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri harus dihukum tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan.[7] Adil bagi seseorang belum tentu dirasakan adil bagi orang lain.Aristoteles dalam buah pikirannya Ethica Nicomacea dan Rhetorica mengatakan, hukum mempunyai tugas yang suci, yakni memberikan pada setiap orang apa yang berhak ia terima. Anggapan ini berdasarkan etika dan berpendapat bahwa hukum bertugas hanya membuat adanya keadilan saja (Ethische theorie). Tetapi anggapan semacam ini tidak mudah dipraktekkan, maklum tidak mungkin orang membuat peraturan hukum sendiri bagi tiap-tiap manusia, sebab apabila itu dilakukan maka tentu tak akan habis-habisnya. Sebab itu pula hukum harus membuat peraturan umum, kaedah hukum tidak diadakan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu. Kaedah hukum tidak menyebut suatu nama seseorang tertentu, kaedah hukum hanya membuat suatu kualifikasi tertentu.[8] Kualifikasi tertentu itu sesuatu yang abstrak. Pertimbangan tentang hal-hal yang konkrit diserahkan pada hakim

Nilai-Nilai Dasar HukumBerdasarkan anggapan tersebut di atas maka hukum tidak dapat kita tekankan pada suatu nilai tertentu saja, tetapi harus berisikan berbagai nilai, misalnya kita tidak dapat menilai sahnya suatu hukum dari sudut peraturannya atau kepastian hukumnya, tetapi juga harus memperhatikan nilai-nilai yang lain.Radbruch mengatakan bahwa hukum itu harus memenuhi berbagai karya disebut sebagai nilai dasar dari hukum. Nilai dasar hukum tersebut adalah: keadilan, kegunaan dan kepastian hukum..[9] Sekalipun ketiga-tiganya itu merupakan nilai dasar dari hukum, namun di antara mereka terdapat suatu Spannungsverhaltnis (ketegangan), oleh karena di antara ketiga nilai dasar hukum tersebut masing-masing mempunyai tuntutan yang berbeda satu sama lainnya, sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentanganSeandainya kita lebih cenderung berpegang pada nilai kepastian hukum atau dari sudut peraturannya, maka sebagai nilai ia segera menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan. Karena yang penting pada nilai kepastian itu adalah peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu telah memenuhi rasa keadilan dan berguna bagi masyarakat adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum. Begitu juga jika kita lebih cenderung berpegang kepada nilai kegunaan saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan, karena yang penting bagi nilai kegunaan adalah kenyataan apakah hukum tersebut bermanfaat atau berguna bagi masyarakat. Demikian juga halnya jika kita hanya berpegang pada nilai keadilan saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian dan kegunaan, karena nilai keadilan tersebut tidak terikat kepada kepastian hukum ataupun nilai kegunaan, disebabkan oleh karena sesuatu yang dirasakan adil belum tentu sesuai dengan nilai kegunaan dan kepastian hukum.[10] Dengan demikian kita harus dapat membuat kesebandingan di antara ketiga nilai itu atau dapat mengusahakan adanya kompromi secara proporsional serasi, seimbang dan selaras antara ketiga nilai tersebut. Keabsahan berlakunya hukum dari segi peraturannya barulah merupakan satu segi, bukan merupakan satu-satunya penilaian, tetapi lebih dari itu sesuai dengan potensi ketiga nilai-nilai dasar yang saling bertentangan. Apa yang sudah dinilai sah atas dasar persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu peraturannya, bisa saja dinilai tidak sah dari kegunaan atau manfaat bagi masyarakat. Dalam menyesuaikan peraturan hukum dengan peristiwa konkrit atau kenyataan yang berlaku dalam masyarakat (Werkelijkheid), bukanlah merupakan hal yang mudah, karena hal ini melibatkan ketiga nilai dari hukum itu. Oleh karena itu dalam praktek tidak selalu mudah untuk mengusahakan kesebandingan antara ketiga nilai tersebut. Keadaan yang demikian ini akan memberikan pengaruh tersendiri terhadap efektivitas bekerjanya peraturan hukum dalam masyarakat. Misalnya; seorang pemilik rumah menggugat penyewa rumah ke pengadilan, karena waktu perjanjian sewa-menyewa telah lewat atau telah berakhir sesuai dengan waktu yang diperjanjikan. Tetapi penyewa belum dapat mengosongkan rumah tersebut karena alasan belum mendapatkan rumah sewa yang lain sebagai tempat penampungannya. Ditinjau dari sudut kepastian hukum, penyewa harus mengosongkan rumah tersebut karena waktu perjanjian sewa telah lewat sebagaimana yang telah diperjanjikan.Apakah hal ini, dirasakan adil kalau si penyewa pada saat itu belum ada rumah lain untuk menampungnya? Dalam hal ini, hakim dapat memutuskan: memberi kelonggaran misalnya selama waktu 6 (enam) bulan kepada penyewa untuk mengosongkan rumah tersebut. Ini merupakan kompromi atau kesebandingan antara nilai kepastian hukum dengan nilai keadilan, begitu juga nilai manfaat atau kegunaan terasa juga bagi si penyewa yang harus mengosongkan rumah tersebut.Adalah lazim bahwa kita melihat efektifitas bekerjanya hukum itu dari sudut peraturan hukumnya, sehingga ukuran-ukuran untuk menilai tingkah dan hubungan hukum antara para pihak yang mengadakan perjanjian itu, didasarkan kepada peraturan hukumnya. Tetapi sebagaimana dicontohkan di atas, jika nilai kepastian hukum itu terlalu dipertahankan, maka ia akan menggeser nilai keadilan. Kalau kita bicara tentang nilai kepastian hukum, maka sebagai nilai tuntutannya adalah semata-mata peraturan hukum positif atau peraturan perundang-undangan. Pada umumnya bagi praktisi hanya melihat pada peraturan perundang-undangan saja atau melihat dari sumber hukum yang formil. Sebagaimana diketahui undang-undang itu, tidak selamanya sempurna dan tidak mungkin undang-undang itu dapat mengatur segala kebutuhan hukum dalam masyarakat secara tuntas. Adakalanya undang-undang itu tidak lengkap dan adakalanya undang-undang itu tidak ada ataupun tidak sempurna. Keadaan ini tentunya menyulitkan bagi hakim untuk mengadili perkara yang dihadapinya. Namun, dalam menjalankan fungsinya untuk menegakkan keadilan, maka hakim tentunya tidak dapat membiarkan perkara tersebut terbengkalai atau tidak diselesaikan sama sekali.

* Makalah disampaikan pada Pengukuhan Pengurus Tapak Indonesia Koordinator Daerah Sumatera Utara, pada hari Jumat, 27 April 2007, bertempat di Gayo Room Garuda Plaza Hotel, Jl. Sisingamangaraja No. 18 Medan.** Guru Besar Tetap Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.[1] Lawrence Friedman, American Law, (London: W.W. Norton & Company, 1984), hal. 6.[2] Ibid, hal. 7.[3] Donald Black, Behavior of Law, (New York, San Fransisco, London: Academic Press, 1976), hal. 2.[4] Lawrence Friedman, Op.cit, hal. 3.[5] Selanjutnya dijelaskan bahwa faktor utama: (1) kesatuan wilayah sebagai subsistimnya adalah geopolitik; (2) kesatuan masyarakat sebagai subsistemnya adalah sosiopolitik; (3) kesatuan cita, perjuangan dan tujuan sebagai subsistimnya adalah ekopolitik; (4) kesatuan sumber moral sebagai subsistimnya adalah demopolitik; dan (5) kesatuan sistim hukum dan sistim pemerintahan sebagai subsistimnya adalah kratopolitik. M. Solly Lubis, Serba-serbi Politik dan Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 1989), hal. 48 dan 94-96.[6] Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Cetakan Pertama, (Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002), hal. 380.[7] Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, (Yoyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 2.[8] Hakim diberi kesempatan menggolongkan peristiwa-peristiwa hukum sebanyak-banyaknya di dalam suatu golongan, yakni golongan peraturan hukum itu. Yakni, hukum yang berlaku pada saat ini atau hukum yang berlaku pada saat yang tertentu. Misalnya, peraturan-peraturan hukum dalam KUH Pidana, peraturan-peraturan pemerintah daerah yang berlaku sekarang atau yang berlaku pada masa lalu sebagai hukum positif dan hukum alam serta hukum tidak tertulis lainnya. Peraturan hukum sebagai peraturan yang abstrak dan hypotetis, dengan demikian hukum itu harus tetap berguna (doelmatig). Agar tetap berguna hukum itu harus sedikit mengorbankan keadilan. E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1962), hal. 24-28.[9] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Alumni, 1986), hal. 21.

1 PERANAN KOMUNIKASI DALAM PEMBANGUNAN Oleh Gumgum Gumilar I. KOMUNIKASI PEMBANGUNAN Konsep komunikasi pembangunan dapat dilihat dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, komunikasi pembangunan meliputi peran dan fungsi komunikasi (sebagai suatu aktivitas pertukaran pesan secara timbal balik) di antara semua pihak yang terlibat dalam usaha pembangunan; terutama antara masyarakat dengan pemerintah, sejak dari proses perencanaan, kemudian pelaksanaan, dan penilaian terhadap pembangunan. Dalam arti sempit, komunikasi pembangunan merupakan segala upaya dan cara, serta teknik penyampaian gagasan, dan keterampilan-keterampilan pembangunan yang berasal dari pihak yang memprakarsai pembangunan dan ditujukan kepada masyarakat luas. Kegiatan tersebut bertujuan agar masyarakat yang dituju dapat memahami, menerima, dan berpartisipasi dalam melaksanakan gagasan- gagasan yang disampaikan. Dalam karyanya, Schramm (1964) merumuskan tugas pokok komunikasi dalam suatu perubahan sosial dalam rangka pembangunan nasional, yaitu : 1. menyampaikan kepada masyarakat, informasi tentang pembangunan nasional, agar mereka memusatkan perhatian pada kebutuhan akan perubahan, kesempatan dan cara mengadakan perubahan, sarana-sarana perubahan, dan membangkitkan aspirasi nasional. 2. memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengambil bagian secara aktif dalam proses pembuatan keputusan, memperluas dialog agar melibatkan semua pihak yang membuat keputusan mengenai perubahan, memberi kesempatan kepada para pemimpin masyarakat untuk memimpin dan mendengarkan pendapat rakyat kecil, dan menciptakan arus informasi yang berjalan lancar dari bawah ke atas. 2 3. mendidik tenaga kerja yang diperlukan pembangunan, sejak orang dewasa, hingga anak-anak, sejak pelajaran baca tulis, hingga keterampilan teknis yang mengubah hidup masyarakat. Media massa menurut Schramm secara sendirian atau bersama lembaga lain dapat melakukan fungsi-fungsi sebagai berikut : 1. Sebagai pemberi informasi. Tanpa media massa sangatlah sulit untuk menyampaikan informasi secara cepat dan tepat waktu seperti yang diharapkan oleh suatu negara yang sedang membangun. 2. Pembuatan Keputusan. Dalam hal ini media massa berperan sebagai penunjang karena fungsi ini menuntut adanya kelompok-kelompok diskusi yang akan membuat keputusan, dan media massa menyampaikan bahan untuk didiskusikan serta memperjelas masalah yang sedang diperbincangkan. 3. Sebagai Pendidik. Sebagian dapat dilaksanakan sendiri oleh media massa, sedangkan bagian yang lainnya dikombinasikan dengan komunikasi antarpribadi. Misalkan program-program pendidikan luar sekolah, atau siaran pendidikan. Peran lain bagia media massa menurut Schramm, antara lain :1. Meluaskan wawasan masyarakat2. Memfokuskan perhatian masyarakat kepada pembangunan3. Meningkatkan aspirasi 4. Membantu mengubah sikap dan praktek yang dianut 5. Memberi masukan untuk saluran komunikasi antar pribadi 6. Memberi status. 7. Memperlebar dialog kebijakan8. Menegakkan norma-norma soaial9. Membantu membentuk selera10. Mempengaruhi nilai-nilai yang kurang teguh dianut dan menyalurkan sikap yang lebih kuat.

3 Gambaran pemikiran Schramm mengenai peranan komunikasi dalam pembangunan sebagai berikut : Hedebro (1979) mendaftar 12 peran yang dapat dilakukan komunikasi dalam pembangunan, antara lain: 1. Komunikasi dapat menciptakan iklim bagi perubahan dengan membujukkan nilai-nilai, sikap mental, dan bentuk perilku yang menunjang modernisasi. 2. Komunikasi dapat mengajarkan keterampilan-keterampilan baru, mulai dari baca-tulis ke pertanian, hingga ke keberhasilan lingkungan, hingga reparasi mobil. 3. Media massa dapat bertindak sebagai pengganda sumber-sumber daya pengetahuan. 4. Media massa dapat mengantarkan pengalaman-pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri, sehingga mengurangi biaya psikis yang ekonomis untuk menciptakan kepribadian yang mobile. 5. Komunikasi dapat meningkatkan aspirasi yang merupakan perangsang untuk bertindak nyata. 6. Komunikasi dapat membantu masyarakat menemukan norma-norma baru dan keharmonisan dari masa transisi. Untukmeningkatkankehidupanmasyarakat perlupembangunanPembangunanmemerlukankeaktifanmasyarakatSupaya Masyarakat berpartisipasi Pembangunan di informasikan Perlu Sarana Informasi Perlupembangunankomunikasi4 7. Komunikasi dapat membuat orang lebih condong untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan di tengah kehidupan bermasyarakat. 8. Komunikasi dapat mengubah struktur kekuasaan pada masyarakat yang bercirikan tradisional, dengan membawakan pengetahuan kepada massa. Mereka yang beroleh informasi, akan menjadi orang yang berarti, dan para pemimpin tradisional akan tertantang oleh kenyataan bahwa ada orang-orang lain yang juga mempunyai kelebihan dalam hal memiliki informasi. 9. Komunikasi dapat menciptakan rasa kebangsaan sebagai seuatu yang mengatasi kesetiaan-kesetiaan lokal. 10. Komunikasi dapat membantu mayoritas populasi menyadari pentingnya arti mereka sebagai warga negara, sehingga dapat membantu meningkatkan aktivitas politik. 11. Komunikasi memudahkan perencanaan dan implementasi program-program pembangunan yang berkaitan dengan kebutuhan penduduk. 12. Komunikasi dapat membuat pembangunan ekonomi, sosial, dan politik menjadi suatu proses yang berlangsung sendiri (self-perpetuating). II. PARTISIPASI DAN KOMUNIKASI A. Partisipasi Masyarakat Proses pembangunan saat ini harus berakar dari bawah (grassroots), memelihara keberagaman budaya, serta menjunjung tinggi martabat serta kebebasan bagi manusia dan masyarakat. Dengan kata lain pembangunan harus menganut paradigma pembangunan yang berpusat pada rakyat. Dengan demikian, perlu adanya partisipasi secara aktif, penuh inisiatif dan inovatif dari masyarakat itu sendiri. Sehingga partisipasi masyarakat dalam konteks ini mengandung makna untuk meneggakan demokrasi local yang selama ini terpendam yang sebenarnya telah dimiliki oleh masyarakat. Sedangkan proses pemberdayaan masyarakat harus mengandung makna yang dinamis untuk mengembangkan diri dalam mencapai kemajuan. Pemerintah dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 telah memulai adanya pengembangan otonomi pemerintah desa dari rakyat, oleh rakyat dan untuk

5 rakyat. Secara tegas hal ini tersurat dalam Pasal 95 mengenai Pemerintahan Desa. Dari sini pemerintah telah membuka peluang tumbuhnya partisipasi dalam kerangka pemberdayaan masyarakat. Sedangkan pasal 102, terlihat bahwa penduduk desa telah diletakkan pada porsi yang sebebarnya sebagai titik sentral pemerintahan desa, sebagai wujud pemerintahan yang berpusat pada masyarakat, serta menghargai prakarsa masyarakat beserta adapt istiadatnya. Orientasi pembangunan seperti ini tentu akan lebih berhasil guna dan berdaya guna, karena masyarakat diberi kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam proses pembangunan dan menikmati hasil pembangunan tersebut sesuai dengan kemampuannya. Joseph Stiglitz (2002) menyatakan bahwa partisipasi warga negara tidak saja dalam hal ikut serta dalam pemilu, namun juga berperan serta dalam pengambilan keputusan kepada masalah-masalah yang menjadi hajat hidup orang banyak. Gavenda dan Valderrama (1999) mencatat adanya pergeseran perkembangan dan makna partisipasi. Secara tradisional, pada periode 60-an dan 70-an, partisipasi dalam pembangunan dipahami sebagai partisipasi di tingkat proyek dan mikro, ditujukan kepada penerima manfaat (beneficiaries) lebih kepada modus konsultasi dan berlangsung pada tataran penaksiran (appraisal). Sementara, makna partisipasi yang sedang berkembang adalah partisipasi pada tingkat kebijakan dan makro, ditujukan kepada warga Negara (citizen) dan melalui modus pengambilan keputusan (bukan konsultasi) dan bergerak pada tataran implementasi. Pergeseran makna partisipasi Dari Ke Beneficiries Citizen Project Policy Consultation Decision Making Appraisal Implementation Micro Macro Sumber : Gaventa dan Valderrama (1999), dalam Cornwall dan Gaventa (2001) Di Indonesia, partisipasi seringkali dipahami sebagai mobilisasi atau sosialisasi. Mobilisasi merupakan praktek yang lazim pada era orde baru. Sementara istilah sosialisasi lebih merupakan penyebaran informasi atau semacam penyuluhan telah dianggap partisipasi. 6 Partisipasi dapat berupa : 1. Pengawasan dan pematauan dari luar oleh kelompok-kelompok warga Negara (citizen based initiatives) terhadap kinerja dari kebijakan social dan layanan- layanan dasar pemerintah dan badan-badan swasta. 2. Peningkatan kinerja dan ketanggapan lembaga pemerintah dengan berbagai langkah (public sector initiatives) dan. 3. sinergi antara pemerintah yang terbuka dan responsives dengan warga Negara dan kelompok warga Negara yang aktif (active citizenship) danwell- informed. B. Fungsi Komunikasi Baru - Partisipasi Media Pembangunan yang lain mempertimbangakan peran sertanya sendiri sebagai pusat dari proses pembangunan. Partisipasi yang meningkat dari masyarakat terbuka melalui hubungan antar pribadi dan komunikasi kelompok, Saluran Komunikasi atau mass media dilihat bersinonim dengan pembangunan sosial dan individu ( Jacobson, 1989). Semua ini menandai adanya fungsi baru untuk komunikasi di dalam pembangunan. Menudtip Diaz-Bordenave, sebagian dari fungsi yang baru untuk media komunikasi yang lebih signifikan pada suatu partisipasi masyarakat adalah (1989,11): 1. Membantu dalam pembangunan suatu identitas budaya masyarakat2. Tindakan sebagai suatu sarana ekspresi diri warga negara3. Memfasilitasi penyelasaian masalah4. Sebagai alat untuk mendiagnosa permasalahan-permasalahan masyarakat.Hingga sekarang, mass media sebagian besar sebagai sarana untuk melayani persuasi dari atas ke bawah (top-down) atau sebagai saluran untuk menyampaikan informasi dari pemilik otoritas kepada masyarakat. Untuk memperbaiki situasi ini, banyak pemerintah di Asia, Afrika, dan Amerika Latin sudah menyatukan media komunikasi berasal dari pribumi (yaitu. media rakyat) untuk meningkatkan efektivitas komunikasi dan untuk menyempurnakan keikutsertaan yang lebih besar dari kaum miskin pedesaan di dalam proses pengembangan ( Wang dan Dissanayake, 1984b). Bagaimanapun, penggunaan media alternatif seperti saluran 7 komunikasi yang berasal dari pribumi belum menghasilkan suatu perbedaan penting di dalam peranan dasar komunikasi. Ketika penggunaan mass media maupun media rakyat untuk pembangunan, suatu isu yang harus mendapat perhatian kritis adalah: Komunikasi dilakukan untuk tujuan apa? Seperti di mass media, saluran komunikasi tradisional mungkin juga digunakan untuk mendikte preskripsi dan pandangan dari kelas dominan, mengesahkan suatu sistem sosial-ekonomi yang tidak adil, dan memelihara suatu keadaan tetap (status quo) pada suatu saat tertentu di dalam suatu masyarakat sama. Atau, media rakyat bisa dipekerjakan ke conscientize rakyat jelata; orang banyak pada struktur yang tak adil di dalam masyarakat mereka dan mendorong mereka untuk mencari perubahan bentuk sosial. Begitu, dengan mengabaikan media mempekerjakan, keseluruhan disain dari strategi komunikasi akan mempunyai suatu dampak pada tujuannya. Ross Kidd ( 1984) dan Van Hoosen (1984), Mereka membandingkan analisa organisasi menggunakan media rakyat untuk mempromosikan pembangunan di Asia dan Afrika, menyoroti isu rumit yang menyertakan perancangan strategi komunikasi. Mereka mengusulkan sebagai fakta saluran media rakyat itu bisa satu arah, top-down, dan digunakan untuk menguasai preskripsi masyarakat dari atas. Pembangunan komunikasi dan informasi bertujuan meningkatkan peran komunikasi dan informasi dalam proses pencerdasan warga Negara, sehingga mampu meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat. Program pembangunan komunikasi dan informasi diwujudkan melalui program- program pengembangan pers dan media massa, peningkatan prasarana penyiaran dan jaringan informasi; serta peningkatan kualitas pelayanan informasi publik. Pengembangan Pers dan Media Massa, bertujuan meningkatkan peran pers dan media massa dalam memenuhi hak masyarakat untuk memeproleh arus informasi secara bebas dan transparan. Kegiatan pokok yang dilakukan adalah : a. Memfasilitasi review atas aspek-aspek politik terhadap peraturan perundangan yang berkaitan dengan pers dan media massa, terutama yang berkenaan dengan rumusan-rumusan yang dianggap controversial bagi kebebasan pers dan proses demokrasi; Pers adalah lembaga yang sangat penting dalam menjada transparansi politik dan menjaga hak masyarakat memperoleh informasi yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. 8 Oleh karena itu kebebasan dan independensinya perlu dipelihara secara bersama-sama. b. Melakukan pengkajian dan penelitian yang relevan dalam rangka pengembangan informasi dan komunikasi; Pers yang baik bercirikan antara lain kemampuan menciptakan tradisi pers yang menganut prinsip precision journalism(ber das ar kan investigative reporting). Peningkatan prasarana penyiaran dan jaringan komunikasi, bertujuan meningkatkan kualitas dan kuantitas prasarana komunikasi dan informasi bagi terselenggaranya proses sosialisasi, artikulasi, komunikasi social politik secara lebih baik. Kegiatan pokok yang dilakukan adalah : a. Memperluas jaringan informasi dan penyiaran public, khususnya di daerah- daerah yang masih terpencil; Informasi adalah modal yang sangat penting dalam upaya pemberdayaan masyarakat, membangun persepsi yang tepat terhadap diri dan lingkungannya, serta meletakkan hak dan kewajibannya secara tepat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; b. Memanfaatkan jaringan teknologi informasi dan komunikasi secara lebiuh luas untuk membuka peluang bagi pengaksesan, pengelolaan dan pendayagunaan informasi dalam volume yang luas secara cepat dan akurat; c. Menciptakan kemudahan yang lebih besar bagi pengembangan lembaga penyiaran, jika mengacu kepada UU No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran, maka dapat dikembangkan mengenai lembaga penyiaran komunitas yang dapat secara langsung menyentuh lapisan-lapisan tertentu dari masyarakat, terutama lapisan yang selama ini terpinggirkan dan sulit terterpa informasi. Peningkatan Kualitas pelayanan informasi publik, bertujuan meningkatkan mutu pelayanan arus informasi kepada dan dari masyarakat untuk mendukung proses sosialisasi dan partisipasi rakyat. Kegiatan pokok yang dilakukan adalah : a. Mewujudkan pelayanan informasi multi media yang lebih berkualitas, dalam proses pelayanan public pemerintah (melalui fasilitas e-Government) baik dari segi peningkatan efisiensi, objektivitas, transparansi maupun akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan, menuju pemenuhan standar good governance yang tinggi. 9 b. Mewujudkan masyarakat Indonesia yang melek media (media literacy), melalui pelayanan informasi yang menyeluruh kepada seluruh lapisan masyarakat. C. Model Pembagian-Pengetahuan Nair dan White ( 1987) mengusulkan suatu model komunikasi transaksional yang akan melengkapi gagasan mengenai Pembagian-Pengetahuan yang seimbang. Dalam typology matrik: komunikasi transaksional adalah suatu dialog, dimana penerima dan pengirim pesan saling berhubungan setelah jangka waktu tertentu, untuk untuk sampai pada kesaam makna. Proses Transaksional adalah proses persuasi dua arah dimana komunikastor pembangunan dan kelompok sasaran diharapkan untuk membicarakan bersama perbedaan mereka, memberi dan menerima, dan akhirnya sampai pada suatu suatu kesepakatan ( White dan Patel. 1998: 7). Nair dan White ( 1987) mengembang;kan suatu bentuk pastisipasi ( tinggi, sedang, rendah) antara penerima dan sumber komunikasi pembangunan yang selanjutnya dibagi ke dalam sembilan bentuk peran ditandai oleh sembilan sel: 1. Keikutsertaan tinggi (High Participation) adalah dilibatkan, aktip, kreatif dengan interaksi berlanjut dan dialog. Kekuasaan dibagi antara sumber dan penerima. 2. Keikutsertaan sedang (Quasi Participation) adalah lebih sedikit intens, lebih sedikit kreatif dan menggunakan lebih sedikit dialog. 3. Keikutsertaan rendah (Low Participation) menyarankan sedikit dialog, tidak ada keterlibatan penuh dan tidak ada consciusness menyangkut kebutuhan akan perubahan. Sifat alami keikutsertaan diuraikan oleh sel individu di dalam matriks. ( Nair dan Putih, 1987: 37):

10 High quasi low IDEAL (1) ACTIVE (2) BOTTOM-UP (3) PASSIVE (4) TRANSACTIONAL (5) ELECTIVE (6) TOP-DOWN (7) SELECTIVE (8) HAPHAZARD (9) Gambar : Perception Matrix (Receiver Perspective) 1. Ideal ( TG Tinggi / DC Tinggi): penerima dan Sumber aktip dan kontak secasra berkelanjutan dengan seimbang sebagai mitra yang seimbang dalam pembangunan, membuat keputusan mengenai implementasi, bersama-sama menaksir hasil, dan lain-lain. Bagaimanapun, ini adalah suatu situasi ideal dan kenyataannya jarang terjadi dalam suatu struktur kekuasaan yang tidak sama serta sumber daya yang tidak seimbang di banyak dunia ketiga. 2. Aktip ( TG Tinggi / DC Sedang): Di sini penerima adalah sedikit lebih aktip dibanding komunikator. 3. Bottom-Up ( TG Tinggi / DC Rendah): Keterlibatan sangat rendah dari komunikator, penerima mungkin kekurangan akses ke sumber informasi dari luar. Juga, aktivitas yang tinggi bisa kacau dalam kaitan dengan suatu ketiadaan koordinasi dengan sumber. 4. Pasif ( TG Sedang / DC Tinggi): Di sini sumber menjadi mitra yang dominant dalam interaksi. Peran penerima pasif. 5. Transaksional ( TG Sedang / DC Sedang): Ini merupakan sel yang sangat penting. Interaksi akan melibatkan proses penerimaan da pemberian secara seimbang antara penerima dan sumber. HIgh Development Communicator QuaSiLow 11 6. Elective ( TG Sedang / DC Rendah): Di dalam Sel ini, para pemakai akan menggunakan pengetahua dalam dirinya sendiri dan memilih isu yang kritis untuk kemajuan mereka. Keterlibatan komunikator sangat kecil. 7. Top-Down ( TG Rendah / DC Tinggi): Semua keputusan, informasi, dan tindakan akan mengalir dari tenaga ahli, pengurus, dan lain lain. Suatu perasaan tidak berdaya dan kelesuan akan berlaku di antara penerima. Usaha pembangunan akan berlanjut asalkan ada pengarahan yang disampaikan oleh pihak eksternal. 8. Selektip ( TG Rendah / DC Sedang): Seperti di sel yang sebelumnya, komunikator menjadi mitra yang dominan di sini, memilih isu, meletakkan agenda pembangunan, dan lain lain 9. Haphazard ( TG Rendah / DC Rendah): pengembangan Usaha di sini adalah kebetulan atau acak, barangkali bahkan kacau. Nair dan White ( 1987) mengusulkan bahwa bentuk transaksional menyediakan suatu kondisi yang paling cocok pembagian-pengetahuan (knowledge-sharing) dasar yang seimbang antara sumber dan penerima. .Tidak seperti bentuk Ideal (sel 1), ini realistis dan memungkinkan sejak ada suatu bentuk dengan tingkat yang sedikit lebih rendah dari transaksi. Mereka menunjuk di lingkungan ini akan ada suatu jumlah maksimum dialog yang sinergi. Pengambilan keputusan dan keikutsertaan dihubungkan dalam semua proses komunikasi ( Nair dan White, 1987: 37) D. Media Komunitas Media umum yang biasa dipergunakan dalam komunikasi pembangunan dianggap tidak dapat menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat, hal ini dikarenakan banyaknya kelompok masyarakat tertentu yang tidak dapat mengakses media massa tersebut. Tingkat pendidikan yang rendah serta wilayah yang jauh dari pusat kota menyebabkan sulitnya informasi sampai ke komunitas tertentu. Selain itu, media massa hanya dapat dinikmati oleh kaum elit tertentu, juga pengelolaannya pun berdasarkan pada bisnis sehingga acara yang menguntungkan bagi pengelolalah yang banyak di sampaikan dalam media tersebut. Hal ini 12 menyebabkan perlunya sebuah media yang dapat menyentuh komunitas yang terpinggirkan tersebut. Karena media massa saat ini tidak dapat memberdayakan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Gagasan mengenai media komunitas sesuangguhnya berakar dari kritik-kritik terhadap pendekatan media komunikasi model liberal/mekanistik/vertikal/linear yang banyak dipakai dalam model pembangunan. Asumsi dasarnya adalah bahwa akar permasalahan bagi dunia ketiga dan penduduknya (perilaku, nilai-nilai yang tidak inovatif, rendahnya produktivitas, dll) adalah berakat pada kurangnya pendidikan dan informasi. Konsekuensinya akan permasalahan yang dihadapi dunia ketiga akan selesai jika informasi ditingkatkan. Atas dasar itu, sistem media massa yang ada lantas dirancang pesannya secara baku dan ditempatkan sebagai objek. Inilah yang diistilahkan Paulo Freire sebagai model komunikasi gaya bank. Artinya, komunikasi di mana segelintir orang pintar memberi pesan, mengalihkan tabungan pengetahuan, nilai dan norma-norma mereka kelak membelanjakan segenap tabungan tersebut untuk kehidupan dan gaya hidup modern. Akibatnya masyarakat atau komunitas teralienasi dari konteks struktural dan kulturalnya. Masyarakat juga kehilangan kontrol atas media dan isinya (Oepen, 1988). Dalam prakteknya, model komunikasi yang pada massa orde baru diterapkan dalam, misalnya, program koran masuk desa, itu ternyata menimbulkan sejumlah dampat. Pertama, sifatnya yang top down, elitis, searah telah menciptakan jurang informasi antara elit dan masyarakat kebanyakan. Elit yang jumlahnya sedikit menjadi kaya media/informasi karena memiliki akses besar terhadap media; mampu membaca dan membeli. Sementara masyarakat kebanyakan tetap miskin media/informasi karena tidak memiliki akses yang cukup, baik dari sisi ekonomi maupun budaya (Agrawal, 1986; Jayawera & Amunugama, Eds. 1987). Kedua, struktur komunikasi yang feodalistik pada model tersebut juga cenderung manipulatif/eksploitatif karena adanya monopoli sumber-sumber media dan dominasi pemberi pesan terhadap masyarakat sebagai penerima. Kritik atas kegagalan model komunikasi di atas mendorong munculnya model komunikasi yang partisipatif. Jadi mengembangkan model komunikasi partisipatif pada dasarnya mengembangkan model alternatif dan model komunikasi paradigma 13 dominan. Karena itu bertolak belakang dengan model komunikasi paradigma dominan kaum elitis, model ini menekankan partisipasi grassroots dalam proses komunikasi. Dalam penekanan model komunikasi partisipatif, komunitas diharapkan mampu merancang standar dan prioritas sendiri yang mungkin unik untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Peran komunikasi dalam model ini memang lebih kompleks dan bervariasi. Tidak seperti model komunikasi paradigma dominan di mana peran kaun komunikasi bersifat exact, dalam model komunikasi partisipatif peran komunikasi akan sangat tergantung pada standar dan tujuan normatif komunitas. Akan tetapi, menurut model ini, komunikasi partisipatif setidaknya dapat membantu pengembangan identitas kultural; bertindak sebagai wahana ekspresi diri masyarakat dalam komunitas; menyediakan sarana sebagai alat untuk mendiagnosis masalah-masalah komunitas; serta memfasilitasi artikulasi problem-problem komunitas (Srinivas, 1991). Prinsip dasar model ini adalah partisipasi anggota. Dalam konteks komunikasi pembangunan, partisipasi tersebut terkait beberapa hal, yaitu akses, partisipasi, serta swakelola dan swadaya. Pertama, soal akses. Secara singkat akses dapat diartikan sebagai kesempatan untuk menikmati sistem komunikasi yang ada. Dalam prakteknya hal ini dua tingkata yaitu kesempatan untuk ikut memilih dan memperoleh umpan balik dari sistem komunikasi yang ada. Kedua, soal partisipasi. Partisipasi mengandung pengertian pelibatan anggota komunitas dalam proses pembuatan dan pengelolaan sistem komunikasi pembangunan yang ada. Dalam penerapannya pelibatan ini dilaksanakan pada semua tingkatan mulai dari perencanaan, tingkat pengambilan keputusan, serta tingkat produksi. Ketiga, soal swakelola dan swadaya. Ini adalah partisipasi yang paling maju. Dalam konteks ini, anggota komunitas mempunyai kekuasaan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut komunikasi. Kekuasaan ini tidak hanya berkenaan dengan akses untuk memperoleh informasi dan untuk berperan dalam mengelola sarana produksi, melainkan juga menyangkut pengelolaan komunitas terhadap sistem komunikasi dan pengembangan kebijakan komunikasi.