Masyarakat Desa Semakin Apatis
-
Upload
rifqi-fauzan-syafii -
Category
Documents
-
view
40 -
download
1
Transcript of Masyarakat Desa Semakin Apatis
Masyarakat Pedesaan Semakin Apatis
Dalam kehidupan berbangsa da bernegara tentu saja akan selalu ada suatu tindakan
yang menjadi perhatian. Seperti halnya di Negara Indonesia, banyak hal yang menjadi
sorotan dan buah bibir, baik itu ditampilkan di media-media maupun hanya menjadi buah
bibir di masyarakat saja. Satu diantaranya yaitu semakin apatisnya masyarakat desa. Itu
yang menjadi inti pembahasan dalam makalah ini.
Masyarakat menurut KBBI adalah sejumlah manusia dl arti seluas-luasnya dan
terikat oleh suatu kebudayaan yg mereka anggap sama. Secara bahasa adalah kelompok
orang yg merasa memiliki bahasa bersama, yg merasa termasuk dl kelompok itu, atau yg
berpegang pd bahasa standar yg sama. Dan Masyarakat desa adalah masyarakat yg
penduduknya mempunyai mata pencaharian utama dl sektor bercocok tanam, perikanan,
peternakan, atau gabungan dr kesemuanya itu, dan yg sistem budaya dan sistem sosialnya
mendukung mata pencaharian itu;
Berdasarkan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), apatis adalah acuh tidak
acuh; tidak peduli; masa bodoh. Yaitu sikap acuh tidak acuh yang dilakukan oleh
masyarakat terhadap suatu perkara karena berbagai alasan baik internal maupun eksternal.
Masyarakat di kawasan perdesaan sering memperoleh intervensi dari lingkungan
sosial luarnya, sehingga berada dalam masyarakat yang ”terbelah” Tarik-menarik antara
pendekatan kewilayahan dan sektoral telah menjadikan masyarakat pedesaan menjadi
semakin ”terbelah”. Keterbelahan ini akan menjadi pintu masuk bagi terbentuknya
masyarakat desa yang mengalami disintegrasi. Masyarakat terdisintegrasi berdaya adaptasi
rendah terhadap perubahan sosial yang berada di dalam dan di sekelilingnya, sehingga
mereka berpeluang menjadi terpinggirkan. Hal semacam ini jika tidak ada solusi dalam
menindakinya maka lambat laun akan terjadi degradasi struktur sosial masyarakat
pedesaan. Dan akan menghasilkan masyarakat yang frustasi, sehingga menimblkan sikap
yang apatis.
Terjadinya sikap apatis di masyarakat pedesaan disebabkan oleh beberapa sebab
yang tidak satu pemikiran dengannya. Hal ini timbul baik secara internal seperti berupa
kesadaran diri akan tidak sesuainya keadaan terhadap dirinya, ataupun secara eksternal
seperti keputusan yang tidak memperhatikan masyarakat. Ini semuan dapat membuat
paradigma yang mengakibatkan masyarakat condong terhadap sikap yang apatis karena
karena keinginannya yang tidak ditanggapi. Beberapa contoh sikap apatis yang terjadi di
lingkungan masyarakat desa, yaitu :
1. Masyarakat Kalttin yang apatis terhadap Pemilu Gubernur 2013
Seperti halnya kasus yang terjadi dalam Pemilu Gubernur 2013 di daerah
Kalimantan Timur. Dalam kejadian ini, terjadi sikap apatis dari masyarakat terhadap
Pemilu. Hal ini terjadi dikarena beberapa hal. Disebutkan dalam paper ini hal tersebut
diantaranya yaitu “terkait dengan kepercayaan masyarakat terhadap pejabat publik yang
kian hari kian menipis. Pangkal persoalannya adalah banyak kasus yang menyeret para
pejabat publik ke depan peradilan. Kasus yang terbanyak adalah korupsi, kolusi dan
nepotisme, rendahnya integritas dan sikap serta sifat kenegarawanan yang kian langka” ,
hal ini yang menyebabkan rendahnya perhatian masyarakkat sehingga menimbulkan sikap
apatis.
Disebutkan pula bahwa “Kebanyakan masyarakat berpikir bahwa memilih A, B
atau C sebagai kepala daerah tidak ada pengaruhnya sama sekali untuk kehidupan
mereka. Jadi entah A, B atau C yang jadi, semua akan sama saja. Kondisi semacam ini
memprihatinkan karena kebanyakan pemenang dalam pemilu bupati/walikota/gubernur
ternyata perolehan suara yang membuatnya keluar sebagai pemenang masih lebih kecil
dibanding dengan jumlah suara yang tidak dipakai oleh masyarakat (golput)”. Jadi,
banyak calon yang berusaha keras untuk mendorong minat masyarakat ikut serta dalam
pemilihan. Namun itu semua bukan merupakan hal untuk mendorong kesadaran
masyarakat akan pentingnya partisipasi mereka dalam hal pembangunan demokrasi
melainkan hanya menjadi kepentingan pribadi saja yaitu mengambil simpati masyarakat
agar dapat memilihnya.
Banyak hal yang menjadikan masyarakat semakin apatis terhadap Pemilu.
Disebutkan pula sikap apatis masyarakat terhadap Pemilu di Kaltim dikarenakan
“Pelaksanaan pilgub dipandang tidak akan membawa perubahan apapun baik bagi
daerah maupun masyarakat. Pilgub hanya dianggap sebagai rutinitas tanpa menjanjikan
perubahan yang berarti”. Itulah yang menjadi kendala bagi Pemerintah dalam
menampung aspirasi masyarakat. Meskipun mereka tahu akan pentingnya partisipasi
mereka karena beberapa faktor pula yang menyebabkan mereka enggan untuk memilih.
Namun pemerintah setempat tetap berusaha untuk memberikan penerangan akan
pentingnya Pemilu itu dilakukan baik dalam bentuk Penyuluhan maupun berupa tempelan-
tempelan spanduk.
2. Semarak Pilkades, harapan ditengan rasa apatis
Selain dari paper Pemilu Gubernur Kaltim 2013, ada juga informasi dari internet
yaitu dari situs http://sosbud.kompasiana.com/2013/02/17/semarak-pilkades-harapan-di-
tengah-rasa-apatis-535856.html tentang Semarak Pilkades, Harapan di Tengah Rasa
Apatis. Disini dipaparkan dari salah seorang warga yang baru datang kedaerah tempat
asalnya yaitu Hendra Wardhana.
Dalam penjelasannya, mengatakan bahwa “Banyak di antara kita mungkin sudah
mati rasa dengan kata demokrasi di negeri ini. Banyak masyarakat Indonesia pun sudah
tak peduli lagi ketika mendengar kata pemilihan umum, pilkada dan seterusnya.
Alasannya nyaris seragam : banyak janji tapi “nol” realisasi. Bahkan ketika reformasi
bergulir tahun 15 tahun lalu, rasa yang mati itu tak juga terobati. Sebaliknya, mereka
yang awalnya masih menyimpang harapan, justru ikut mati rasa melihat apa yang
dihasilkan dari demokrasi dan pemilihan umum pasca reformasi”, itu merupakan
pandangannya terhadap kejadian-kejadian di Indonesia yang berkaitan dengan Pemilu.
Bisa dipahami juga hal-hal yang menyebabkan semakin apatisnya masyarakat. Itu
semua tidak lain dari keinginan terpenuhinya segala aspek yang menjadi kebutuhan
meraka baik secara individu maupun kepentingan bersama. Menurut pandangan Hendra,
demokrasi di negeri ini yang disimbolkan dengan pemilu dan pilkada justru membuat
banyak orang menjadi apatis. Setiap kali datang pemilihan presiden dan kepala daerah,
setiap itu pula janji-janji manis terulang. Tapi akhirnya setiap kali pula rakyat dibuat
kecewa berulang. Pemilihan umum dan pilkada hanya melahirkan pemimpin-pemimpin
dan wakil rakyat yang ingkar dan menghianati amanah. Tak heran jika semakin banyak
orang yang menarik partisipasinya dalam setiap pemilihan baik di tingkat nasional hingga
daerah. Antara trauma, kecewa atau memang sudah benar-benar tak peduli lagi, setiap
pemilu berlangsung, TPS-TPS semakin sepi. Pemilihan itu bukan lagi pesta demokrasi
untuk rakyat, tapi hanya pesta untuk sekelompok kecil orang yang memperalat rakyat.
Masyarakat mulai berhenti berharap. Setidaknya fenomena itu banyak dan nyata dijumpai
di masyarakat perkotaan.
Ada hal yang terjadi di daerah Hendra, yaitu ketika ada Pemilu Kepada Desa
didaerah tempat tinggalnya. Meskipun semakin gencar isu-isu tentang apatisme dikalangan
masyarakat, namun pada Pemilu Kades ini masyarakat sangat antusias untuk berpartisipasi
dalam Pemilu tersebut. Seperti dalam paparan Hendra , “Ini pertama kalinya saya
menyaksikan pesta demokrasi sederhana di desa dan itu mengesankan. Saya bahkan tak
melihat antrian seperti ini waktu pemilihan presiden, anggota parlemen dan partai politik.
Pagi itu jalan desa berubah sesak dan ramai. Sedari jam 9 hingga lewat tengah siang,
pemungutan suara yang semuanya dilakukan di balai desa ramai oleh penduduk desa. Tua
muda, laki-laki dan perempuan berjalan menuju arah yang sama. Dan ketika antrian
memanjang mereka tetap berdiri di tempat. Yang luar biasa bagi saya, usai mencoblos
mereka tak langsung pergi tapi memilih berkumpul di depan balai desa, menantikan saat-
saat penghitungan suara tiba. Begitu besarkah harapan dan perhatian mereka kepada
event yang hanya pemilihan kepala desa? Mendengarkan suara-suara perbincangan di
tengah keramaian itu, saya akhirnya bisa mengerti mengapa masih ada harapan bagi
mereka di tengah suara apatis dan pesimis kepada para wakil rakyat dan kepala
daerahnya di jajaran yang lebih atas. Bagi mereka sosok kepala desa jauh lebih bisa
diharapkan dan dipercaya mengubah hidup mereka dibanding janji wakil rakyat, presiden
atau kepala daerah. Setiap dari mereka mengenal betul siapa yang dipilihnya, mereka tak
merasa membeli kucing dalam karung seperti halnya yang selalu mereka alami setiap kali
pemilu atau pilkada. Apa yang dikerjakan oleh seorang kepala desa dirasakan jauh lebih
berwujud nyata dan menyentuh langsung keseharian mereka”. Hal seperti ini merupakan
kejadian yang isimewa dalam sebuah Pemilu dimana masyarakat dapat ikut secara lumrah
terhadap pemilihan. Menjadi suatu nilai positif dan patut dijadikan teladan bagi
masyarakat semua.
Dua informasi tersebut dapat menjadi gambaran akan sikap masyarakat yang
semakin apatis. Dan intinya yaitu sikap apatis timbul karena faktor internal maupun
eksternal dimana hal itu tidak sejalan dengan keinginan mereka. Namun masyarakat pun
akan hilang sikap apatisnya jika pembuktian dari suatu tindakan sesuai dengan bukti yang
dihasilkannya.
TUGAS RESUME
MASYARAKAT PEDESAAN SEMAKIN APATIS
“Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sosiologi Pedesaan”
Disusun Oleh :
Nama : Rifqi Fauzan Syafi’i
NIM : 115080300111125
Kelas : M07
Prodi : Teknologi Hasil Perikanan
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013