Masa Depan Biarawan/Biarawati Katolik

8
MASIH ADAKAH BIARAWATI/WAN DI ABAD KE-21? "Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-KU tidak akan berlalu" (Mk 13:31) Martin Suhartono, S.J. Senang tidak senang, saya nongol di sini ini karena dianggap biang kerok artikel yang bikin heboh seantero dunia persilatan ... eh, persusteran, yaitu "Susterku Sayang, Susterku Malang!" (Rubrik Oase, Majalah Hidup No. 26-28, Juni-Juli 1997, buku EGP hlm. 111-134). Heboh tidak heboh, emang gue pikirin? Tapi ya orang hidup itu tidak bisa cuek-cuek saja (kalo koek-koek sih bisa aja!), jadi ya saya terpaksa menjadi "Martinku Malang" dan ikut bertanya-tanya, "Emangnye kenape sih pada ribut?" Emangnye biarawati/wan lagi krisis? Gara-gara tulisan itu, banyak orang tanya, "Ngapain sih elo nulis-nulis begituan?!" Ada yang positive-thinking, tapi tidak sedikit yang main tuduh. Kalau dipikar-pikir sih, sebenarnya, tidak ada yang istimewa dalam penulisan artikel itu. Ilham illahi juga sepertinya tidak pernah menclok di jidat saya tuh! Itu semua gara-gara ada yang komentar, "Mosok nulis tentang macam-macam di Oase, tapi tentang para suster nggak pernah?" Nah, tahu sendirilah hasilnya! Biar ada celaan, semua orang (kayaknya sih!) setuju bahwa situasi biara yang digambarkan di situ memang sesuai dengan kenyataan. Cuma saja, ada yang rada-rada sewot, "Kayak gitu kok ditulis sih, cuman membuka borok dan mencoret kening Gereja sendiri!" Waktu menulis artikel itu, terus terang saya tidak merasa lagi ngintipin borok-borok para suster tuh! Apalagi, coba saja baca sendiri, tidak ada nada pesimisme di situ. Malahan sebaliknya, tulisan itu diakhiri dengan kalimat penuh makna simbolik (caile!), cuma saja, sayangnya tidak dimuat dalam Hidup karena dipotong redaksi tapi bisa dibaca dalam buku EGP, yaitu "Matahari pun bersinar cerah" (hlm. 134). Jadi saya menulis artikel itu bukan karena saya melihat ada krisis hidup membiara dan terus mau mengeritik atau memperbaiki, tapi cuma gara-gara mau menulis tentang para suster, eh ... jebulane kok yang spontan keluar ya seperti itu. Tapi justru gara-gara muncul polemik itulah orang jadi curiga, (jangan-jangan nih ya) memang ada yang tidak beres dengan hidup membiara dewasa ini! (nah lo!) Nah, apa yang dirasa tidak beres itu? Para suster, bruder, frater mustinya punya macam- macam pengalaman hidup membiara. Dan para bapak, ibu dan saudara/i tentunya juga pernah bertemu atau ngobrol dengan, atau paling tidak melihat dari jauh, orang-orang berjubah itu (kalo

description

In Indonesian language, "The future of consecrated women/men in the Catholic Church in the 21st century", originally a paper presented by Martin Suhartono, S.J. at the Seminar "Challenges of the 21st Century and Consecrated Life", organized by Publishing & Printing House Kanisius, 11 January 1998 Yogyakarta, 18 January 1998.

Transcript of Masa Depan Biarawan/Biarawati Katolik

Page 1: Masa Depan Biarawan/Biarawati Katolik

MASIH ADAKAH BIARAWATI/WAN DI ABAD KE-21?

"Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-KU tidak akan berlalu" (Mk 13:31)

Martin Suhartono, S.J.

Senang tidak senang, saya nongol di sini ini karena dianggap biang kerok artikel yang bikin

heboh seantero dunia persilatan ... eh, persusteran, yaitu "Susterku Sayang, Susterku Malang!"

(Rubrik Oase, Majalah Hidup No. 26-28, Juni-Juli 1997, buku EGP hlm. 111-134). Heboh tidak

heboh, emang gue pikirin? Tapi ya orang hidup itu tidak bisa cuek-cuek saja (kalo koek-koek sih

bisa aja!), jadi ya saya terpaksa menjadi "Martinku Malang" dan ikut bertanya-tanya, "Emangnye

kenape sih pada ribut?"

Emangnye biarawati/wan lagi krisis?

Gara-gara tulisan itu, banyak orang tanya, "Ngapain sih elo nulis-nulis begituan?!" Ada yang

positive-thinking, tapi tidak sedikit yang main tuduh. Kalau dipikar-pikir sih, sebenarnya, tidak

ada yang istimewa dalam penulisan artikel itu. Ilham illahi juga sepertinya tidak pernah menclok

di jidat saya tuh! Itu semua gara-gara ada yang komentar, "Mosok nulis tentang macam-macam

di Oase, tapi tentang para suster nggak pernah?" Nah, tahu sendirilah hasilnya!

Biar ada celaan, semua orang (kayaknya sih!) setuju bahwa situasi biara yang

digambarkan di situ memang sesuai dengan kenyataan. Cuma saja, ada yang rada-rada sewot,

"Kayak gitu kok ditulis sih, cuman membuka borok dan mencoret kening Gereja sendiri!" Waktu

menulis artikel itu, terus terang saya tidak merasa lagi ngintipin borok-borok para suster tuh!

Apalagi, coba saja baca sendiri, tidak ada nada pesimisme di situ. Malahan sebaliknya, tulisan itu

diakhiri dengan kalimat penuh makna simbolik (caile!), cuma saja, sayangnya tidak dimuat

dalam Hidup karena dipotong redaksi tapi bisa dibaca dalam buku EGP, yaitu "Matahari pun

bersinar cerah" (hlm. 134).

Jadi saya menulis artikel itu bukan karena saya melihat ada krisis hidup membiara dan

terus mau mengeritik atau memperbaiki, tapi cuma gara-gara mau menulis tentang para suster, eh

... jebulane kok yang spontan keluar ya seperti itu. Tapi justru gara-gara muncul polemik itulah

orang jadi curiga, (jangan-jangan nih ya) memang ada yang tidak beres dengan hidup membiara

dewasa ini! (nah lo!)

Nah, apa yang dirasa tidak beres itu? Para suster, bruder, frater mustinya punya macam-

macam pengalaman hidup membiara. Dan para bapak, ibu dan saudara/i tentunya juga pernah

bertemu atau ngobrol dengan, atau paling tidak melihat dari jauh, orang-orang berjubah itu (kalo

Page 2: Masa Depan Biarawan/Biarawati Katolik

Martin/Abad-21/hal. 2

belon ya keterlaluan dong, kuper ah!) Nah, nanti ada kesempatan untuk mengeluarkan unag-

uneg Anda. Sekarang ini biar saya dulu saja yang menyoroti mereka dari salah satu segi.

Atau mungkin kena virus disorientasi?

Saya mulai saja dengan yang digambarkan dalam "Susterku Sayang". Ada suster muda yang

kecewa karena pekerjaannya tidak sesuai dengan cita-citanya. Dia merasa terpanggil melayani

orang miskin, eh malah musti kerja di sekolah anak-anak kaya. Suster lain, yang akhirnya keluar

dan menikah (dalam kisah tampil tak langsung dalam diri anak lelakinya yang bermuka monyet),

kecewa karena kehidupan dalam biara jauh dari cita-cita kekeluargaan seperti yang tadinya

diimpikan, jauhhhhhh dari kehidupan biara pertapaan yang penuh cintakasih seperti diceritakan

seorang anak (keponakan seorang suster di biara itu).

Ada lagi dua suster muda yang sedang jatuh cinta (ehm, ehm, ehm!). Yang satu makin

mantap jadi suster (nah, gitu dong!). Yang lain, malah makin mantap jadi perempuan (eh, bukan

berarti suster kurang perempuan lho ya!) dan akhirnya nikah tamasya (bukan kawin lari, lho ya!).

Ada juga Suster Kebir ("kepala biara", bukan "kebiri" lho ya!) yang kebingungan menghadapi

"anak-anak buah"nya, gara-garanya kehidupan mereka jauh dari bayangan Suster Kebir itu.

Kisah "Susterku Sayang" ditutup dengan kedatangan suster-suster yang tadinya berkarya di

pedalaman dan karena gawatnya situasi di sana terpaksa mengungsi ke kota dan memulai

pelayanan baru di daerah kumuh tengah kota (tuh kan bukan cuman yang jelek-jelek aja yang

diceritain kok!).

Kebanyakan tokoh-tokoh fiktif itu mengalami "rasa kehilangan arah", disorientasi. Apa

yang mereka kerjakan sebagai suster ternyata tidak persis seperti yang mereka idam-idamkan

waktu mereka masuk biara. Waktu orang memutuskan masuk biara, dia punya cita-cita tertentu

(bisa murni bisa tidak!). Dan waktu dia memutuskan masuk salah satu tarekat, dan bukan tarekat

lainnya, itu karena dia yakin bahwa aspirasi yang ada dalam dasar lubuk hatinya itu ternyata

sesuai dengan tujuan tarekat yang dipilihnya itu. Jadi ceritanya, aspirasi "dari dalam" mendapat

tempat dalam tujuan "dari luar".

Sayangnya nih ya, dalam perjalanan waktu, bisa saja terjadi bahwa baik aspirasi dari

dalam maupun tujuan dari luar itu menjadi kabur, tidak jelas lagi. Sebabnya bisa macam-macam

(cari sendirilah yauw!). Akibatnya, orang cuma hidup dari hari ke hari, mengalir begitu saja

bersama arus (bisa arus kuat, bisa arus lemah! kayak listrik aja!). Hilang sudah segala macam

idealisme.

Orang tadinya mau dekat-dekat sama Allah, eh nyatanya makin hari makin hidup rutin

abis-abisan dan sibuk banget-bangetan sampai-sampai dia tidak bisa merasakan lagi bahwa ada

yang namanya Allah. Orang tadinya kepengin melayani sesama, eh nyatanya makin lama makin

terjerat aturan dan lembaga yang membuat dia asing dari orang lain. Tadinya orang kepengin

hidup sesuai dengan cita-cita tarekatnya, eh lama kelamaan malah tarekatnyalah yang musti

hidup menurut cita-cita dan selera pribadinya sendiri. Syukur-syukur ada yang sadar, tapi sayang

beribu sayang, banyak juga yang nggak sadar-sadar (semaput terus, atau lagi koma!)!

Page 3: Masa Depan Biarawan/Biarawati Katolik

Martin/Abad-21/hal. 3

Buntut-buntutnya, orang jadi bertanya-tanya, "Lho, buat apa aku dulu masuk biara sih?"

Alih-alih meninggalkan dunia dan mendapat sorga, eh malahan sorga tidak teraih, neraka pun

menolak! Dan akhirnya orang musti memilih: keluar dari biara, atau terus dalam biara (tapi ya

cuma hidup-hidupan saja) tanpa semangat dan sukacita. Kemungkinan lainnya: terus, sambil tua-

tua keladi, makin tua makin menjadi-jadi! Nah, kita pun bisa ikut bertanya:

Apa sih inti hidup membiara?

Orang bisa saja sih berteori atau berteologi macam-macam tentang hidup membiara. Tapi secara

gampangan bisa dibilang begini. Orang hidup membiara itu karena bertekad melaksanakan

secara radikal (sedalam-dalamnya) dan total (menyeluruh) kata-kata Yesus yang berbunyi,

"Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada

orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah kemari dan

ikutlah Aku" (Mat 19:21).

Kata-kata Yesus itu pernah mendorong seorang pemuda belasan tahun bernama

Antonius, yang hidup di Mesir pada abad ketiga (251-356), untuk menjual hartabendanya dan

membagikan hasil penjualannya kepada orang miskin. Antonius lalu hidup sebagai pertapa di

kuburan dekat desa selama 15 tahun. Sesudah itu dia lebih memencilkan diri lagi ke sebuah

gunung dekat Sungai Nil dan hidup di situ selama 20 tahun. Pada tahun 305 ia keluar dari

pertapaannya dan mulai mengorganisir para pertapa lain yang waktu itu hidup sendiri-sendiri

dekat situ untuk mengikuti jejaknya.

Agak ke selatan tapi pada waktu bersamaan, Pakhomius (287-346) yang selagi jadi

tentara tersentuh oleh kebaikan hati orang Kristen, digerakkan juga untuk mencari dan mengabdi

Allah. Setelah bertapa selama tiga tahun dan berguru kepada seorang rahib tua selama tujuh

tahun, ia mengorganisir para rahib (monachos, monk) untuk hidup bersama dalam komunitas-

komunitas.

Santo Antonius dari padang pasir dan Santo Pakhomius itu sering dianggap sebagai

pelopor hidup membiara dalam Gereja; Antonius dalam hidup sebagai rahib pertapa (eremit,

anchorit) Pakhomius dalam hidup sebagai rahib yang tinggal berkomunitas (cenobit). Waktu itu,

muncul juga komunitas-komunitas biarawati, misalnya dipimpin oleh Maria (saudara perempuan

Pakhomius) di Mesir, Paula di Betlehem, Melania di Yerusalem.

Tapi jangan dipikir bahwa pada abad ketiga itulah pertama kalinya orang menghayati

radikalitas dan totalitas hidup yang dibaktikan kepada Allah. Yang dimulai oleh Antonius dan

Pakhomius adalah mengatur hidup semacam itu lewat aturan-aturan hidup membiara. Sebelum

mereka, sudah selalu ada orang yang tertarik pada hidup matiraga (asketis), yaitu hidup yang

dibaktikan kepada Allah lewat doa, lakutapa, hidup tak kawin (selibat), dalam kemiskinan dan

kesendirian.

Jelas dong, bentuk-bentuk hidup membiara seperti yang kita kenal di dunia modern

sekarang ini belum ada dalam masa PL dan PB! Tapi kalau benih-benihnya sih sudah ada dari

sononye.

Page 4: Masa Depan Biarawan/Biarawati Katolik

Martin/Abad-21/hal. 4

Dalam Perjanjian Lama ada para Nazir Allah, yaitu orang-orang yang mengucapkan

nazar khusus kepada Allah. Mereka mengkhususkan diri bagi Allah a.l. dengan tidak mencukur

rambut mereka (kayak hippie, cuman rapian dikit!), tidak minum anggur (apalagi oplosan!),

tidak menajiskan diri (belon ada nipam, putauw, perek dll!), supaya mereka selalu siap ikut

perayaan liturgi (Bil 6:2; bdk. Simson dalam Hak 13:7; para teruna Israel dalam Am 2:11; Paulus

dalam Kis 18:18; 21:26). Mirip dengan kaum Nazir, ada juga kaum Rekhab yang demi Yahweh

memprotes cara hidup Israel yang dipengaruhi oleh budaya kafir Kanaan dan memilih hidup

sebagai pengembara (Yer 35).

Lebih penting daripada kedua kelompok itu, tentu saja, ada para Nabi: orang-orang

dengan panggilan khusus melayani Allah dan Umat-Nya. Di antara mereka, ada dua figur

menonjol yang sering dianggap cikal bakal hidup membiara. Yang pertama, Elia, yang selalu

sadar akan hadirat Allah, hidup sebagai pertapa, penuh doa dan kemurnian hati (1 Raj 19). Yang

kedua, Yeremia, yang memilih tidak kawin untuk melambangkan kemandulan dan kematian

yang bakal jadi nasib umat Israel (Yer 16:1-4).

Sesudah Pembuangan (500an sebM), sisa-sisa bangsa Israel hidup dijiwai oleh

semangat kemiskinan, cuma bergantung total pada Allah sendiri, dan tidak menggantungkan diri

pada dunia dan nilai-nilainya. Menjelang masa PB ada orang-orang di antara kaum Esseni yang

hidup selibat. Komunitas Qumran hidup dalam komunitas, selibat, penuh ketaatan pada aturan

komunitas, dan tidak punya harta pribadi.

Dalam Perjanjian Baru, hidup radikal dan total bagi Allah dan sesama dijalankan oleh

Yesus sendiri (Luk 9:58). Yesus bicara tentang orang-orang yang tidak kawin demi Kerajaan

Allah (Mat 19:12). Para Rasul pun meninggalkan segala sesuatu untuk mengikuti Yesus (Mk

1:16-20), termasuk para wanita kaya yang mengongkosi gerakan Yesus (Luk 8:3). Jemaat

Kristen awal hidup dalam komunitas yang bersatu hati dan jiwa, dalam doa bersama dan

Ekaristi, menjual harta milik pribadi demi orang miskin, dan bergantung total pada Allah tanpa

takut akan penganiayaan dan kematian (Kis 2:42-47; 4:32-37; 5:17-40). O ya, jangan lupa, ada

juga Yohanes Pembaptis yang tinggal di padang gurun dan cuma makan walang kekek, walang

kadung dan sebangsanya.

Putri-putri Filipus (OK punya!) hidup sebagai perawan dan penuh karunia bernubuat

(Kis 21:9). Paulus hidup selibat (1 Kor 7), meski para pewarta Injil lain (1 Kor 9:5) ke mana-

mana membawa seorang istri (maklum, bukan pejabat pemerintah RI di masa resesi!) dan untuk

Paulus itu suatu karunia illahi (kalo enggak, mana tahan dong?!). Ia bicara tentang janda-janda

yang tidak kawin lagi (bukan karena nggak laku lho ya!) dan hidup semata-mata demi Allah dan

pelayanan sesama, bertekun dalam doa dan permohonan (1 Tim 5:3-16) siang dan malam

(maklum belon ada TV sih!).

Dalam generasi Kristen abad pertama dan kedua, ada kelompok-kelompok janda yang

tidak kawin lagi (kadang masih semlohai lho ya!), juga pria dan wanita yang tetap perawan

(beneran nich, ditanggung asli punya!). Disediakan tempat khusus bagi mereka dalam gereja

sewaktu jemaat datang berkumpul untuk merayakan liturgi. Mereka tidak tinggal dalam

Page 5: Masa Depan Biarawan/Biarawati Katolik

Martin/Abad-21/hal. 5

kelompok, tapi sendiri-sendiri di rumah keluarga mereka sendiri. Para janda membaktikan diri

melayani orang miskin dan para selibat hidup terpencil dalam doa dan matiraga.

Pada abad ketiga peranan para janda digantikan oleh diakon-diakon perempuan. Pada

abad kedua dan ketiga, hidup selibat dan miskin itu tidak dianggap sebagai tujuan, tapi sebagai

sarana dan persiapan bersatu dengan Kristus dalam kemartiran akibat penganiayaan. Sesudah

agama Kristen jadi agama resmi kekaisaran Romawi (th. 313), tidak ada lagi penganiayaan pada

abad keempat. Tujuan kemartiran diganti dengan tujuan persatuan dengan wafat dan kebangkitan

Kristus lewat hidup terpisah dari dunia.

Di Timur pada abad ketiga, pola hidup semacam itu semakin marak. Hidup kerahiban

menyebar luas di Palestina, Siria, Mesir, Asia Kecil, Konstantinopel. Antonius dan Pakhomius

menjadi model bagi kehidupan kerahiban dan para Bapa padang gurun selanjutnya.

Di Barat, teladan hidup St. Antonius diperkenalkan oleh penulis biografinya, St.

Athanasius (295-373). Selanjutnya, St. Hieronimus (341-420) memelopori hidup membiara di

Barat. Berbeda dengan di Timur (para biarawan adalah rahib, bukan klerus/imam), dalam

perkembangan di Barat kemudian terjadi proses klerikalisasi hidup membiara. Mulai ada

kelompok-kelompok imam yang hidup bersama sebagai biarawan, khususnya seturut aturan St.

Agustinus (354-430). Pada akhir abad keempat biara-biara wanita mulai tersebar juga di kota-

kota besar di Barat.

Bersamaan dengan proses klerikalisasi hidup biara di Barat, tetap ada gerakan hidup

membiara seperti di Timur, yaitu seperti dikembangkan oleh St. Martinus dari Tours (316-397)

yang mendirikan banyak biara di Eropa, Yohanes Kasianus dari Marseilles (360-433) yang

meneruskan ajaran-ajaran para rahib Timur, Caesarius dari Arles (470-542) yang

memperkenalkan ide stabilitas tempat bagi rahib. Yang kemudian punya pengaruh besar adalah

St. Benediktus (480-547). Ia mulai hidupnya sebagai pertapa muda di Italia dan kemudian

menjadi pendiri ordo Benediktin.

Pola hidup Benediktin (dengan Regula St. Benediktus) inilah yang kemudian

mendominasi hidup membiara di Barat: hidup dalam komunitas terpisah dari dunia dan

dibaktikan pada Allah, khususnya dalam perayaan Ibadat Harian. Berulangkali terjadi

pembaharuan semangat biara-biara Benediktin sehingga muncullah biara-biara lain, seperti

Pembaharuan Cluny (910), Cistersian (abad 12), dan Trappist (abad 17). Selain itu muncul pula

ordo-ordo pertapa: Camaldolesi (oleh St. Romualdus, 950-1027, tadinya Abas Benediktin) dan

Carthusian (oleh St. Bruno, 1032-1101) yang menekankan hidup dalam kesendirian,

kemiskinan, doa, dan matiraga yang keras.

Pada abad ketigabelas muncullah di Eropa ordo-ordo pengemis (mendicant), yaitu

Fransiskan dan Dominikan, yang tak terikat lagi pada ide bahwa rahib harus hidup terikat pada

satu tempat (stabilitas tempat). Fransiskan digerakkan oleh hidup miskin, sedangkan Dominikan

oleh hidup merasul lewat kotbah keliling. Kemudian lahir juga tarekat-tarekat (Pertapa St.

Agustinus, Karmelit, Serviti, dll.). Hidup membiara semakin merosot pada paruh kedua Abad

Pertengahan sampai Reformasi (abad 16).

Page 6: Masa Depan Biarawan/Biarawati Katolik

Martin/Abad-21/hal. 6

Dengan Konsili Trente (1545-1563) vitalitas hidup membiara diperbaharui. Muncullah

berturut-turut tarekat-tarekat yang diabdikan pada kerasulan aktif di tengah umat: Yesuit,

Lazaris, Barnabiti, Redemptoris, Passionist, Salesian, dll. yang merupakan tarekat imam. Serikat

Puteri Kasih yang didirikan oleh St. Vinsentius a Paulo bersama Louise de Marillac pada tahun

1633 merupakan tarekat wanita pertama yang tidak hidup ngendon dalam biara, melainkan

terbuka untuk keluar dari biara melayani orang miskin. Sejak itulah sampai sekarang muncul

macam-macam tarekat biarawati/wan yang mengabdikan diri pada berbagai kebutuhan Gereja

dan masyarakat: pendidikan, pelayanan kesehatan, misionaris, dll.

Itulah tadi sepintas kilas riwayat orang-orang yang merasa terdorong untuk menjawab

kata-kata Kristus secara radikal dan total. Seperti Paulus, mereka mengalami bahwa, "Apa yang

dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala

sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia daripada

semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya

sampah, supaya aku memperoleh Kristus ..." (Fil 2:7-8).

Pola kehidupan mereka bisa dirumuskan dalam istilah yang sudah kita kenal: mereka

adalah pertama-tama women/men of God. St. Benediktus bilang bahwa seorang rahib pertama-

tama adalah "orang yang mencari Allah" (seeker of God, dan bukan seeker of Gold lho ya!). Dan

menurut faham St. Agustinus, seseorang mencari Allah, karena Allah lebih dahulu telah

menemukan dia. Itulah aspek yang menonjol pada awal perkembangan hidup membiara dan

karena itulah tempat sepi dan terpencil dari dunia merupakan syarat utama. Mereka sungguh-

sungguh orang yang hidup tertutup "dalam biara" dan meninggalkan dunia, "Apalah gunanya

seseorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan jiwanya?" (Mk 8:36).

Tapi dalam perkembangan selanjutnya, aspek lain semakin dihayati pula yaitu mereka

adalah sekaligus pula women/men for others. Karena itulah tembok biara mulai ditembus.

Biarpun tetap tinggal dalam biara, mereka bekerja untuk sesama di luar biara.

Aspek lain akhir-akhir ini makin disadari dan dihayati juga, yaitu women/men with

others. Tembok biara mulai semakin diruntuhkan dan mereka hidup dan bekerja bersama dengan

orang-orang lain di tengah masyarakat, juga bila sekedar live-in selama beberapa minggu.

Karena itulah sekarang orang tidak terlalu suka menyebut pola hidup ini sebagai "hidup

membiara" (vita monastica), melainkan "hidup bakti/dikuduskan" (vita consacrata). Konsili

Vatikan II dalam Dekrit Perfectae Caritatis (Cinta kasih sempurna) menyebutnya "hidup

religius" (vita religiosa).

Salah satu ciri yang menonjol dalam kelahiran setiap tarekat adalah bahwa mereka

terpanggil untuk menanggapi tantangan dan kebutuhan khusus pada zamannya dan tempatnya

masing-masing. Yang berminat silahkan nanti bertanya pada suster/bruder/frater yang hadir di

sini tentang kekhasan panggilan tarekat mereka masing-masing.

Jadi dilihat dari sudut sejarah, pola hidup bakti itu memang sudah ada dari sononye dan

selalu saja muncul dalam bentuk berbeda-beda, maka judul makalah saya ini terpaksa dijawab,

Page 7: Masa Depan Biarawan/Biarawati Katolik

Martin/Abad-21/hal. 7

bahwa (seneng nggak seneng dah!), para biarawati/wan akan tetap ada juga di abad ke-21 nanti

(nah lo, siap-siap aja dah!). Ada sih ada, tapi pertanyaan yang mendesak adalah:

Apakah biarawati/wan itu masih diperlukan?

Jawabannya tergantung masing-masing orang saja. Sekarang saja ada yang merasa bahwa

kehadiran mereka itu sudah tidak diperlukan lagi. Apalagi praktis para biarawati/wan sekarang

ini hanya mengambil alih pekerjaan yang sudah dikerjakan oleh orang lain: perawat, guru,

pekerja sosial, katekis, petugas administrasi, tukang masak, tukang cuci, dll. kecuali .... istri/ibu

rumah tangga tentu saja! Nah, "apa sih bedanya dengan kaum awam lainnya?"

Untuk melihat perlu tidaknya biarawati/wan, bisa ada macam-macam alasan (pikir

sendirilah yauw), saya hanya ingin menyoroti dari segi tantangan di masa mendatang. Maaf, ini

bukan ramalan lho ya (soal ini tanya aja sama Ki Gendeng!).

Masa mendatang itu seperti apa sih?

Setiap kali terjadi pergantian tahun, orang asyik meramal-ramal (baca saja koran di awal tahun).

Nah, apalagi kalau masa seribu tahun itu hampir selesai. Berapa kali saja kita dengar orang

meramalkan bahwa Akhir Zaman sudah tiba, dunia akan segera kiamat. Sudah sejak sebelum

Kristus lahir, gerakan-gerakan apokaliptis dan kemudian mileniaris (seribu tahun) meraja-lela.

Tapi nyatanya, sampai sekarang kiamat itu tidak datang-datang.

Di kalangan umum pun bermunculan banyak buku yang mencoba menggambarkan masa-

masa mendatang, mulai dari The Future Shock (Alfin Toffler, 1970; juga dari pengarang yang

sama, The Third Wave, 1989, Powershift, 1990), La revanche de Dieu (Gilles Kepel, 1991; The

Revenge of God, 1994), Megatrends 2000 (John Naisbitt, 1990), sampai ke The Aquarian

Conspiracy (Marilyn Ferguson, 1980) dan belakangan ini The Celestine Prophecy (James

Redfield, 1993).

Penulis-penulis itu bicara tentang banyak perubahan kehidupan: globalisasi ekonomi,

kesenjangan internasional, industrialisasi yang menghilangkan lapangan kerja, masalah

lingkungan, hedonisme massal dll. Kesamaan di antara mereka adalah: mereka sama-sama

mengakui bahwa abad (bahkan milenium) mendatang akan diwarnai oleh kebangkitan nilai-nilai

spiritual.

Bila pada akhir abad 19 orang bicara tentang abad 20 sebagai abad "kematian Tuhan",

maka kini orang bicara tentang masa depan sebagai abad "kebangkitan Tuhan", atau malahan

"pembalasan Tuhan". Kemajuan ekonomi akibat kemajuan iptek ternyata tidak membuat Tuhan

dan agama menjadi tidak diperlukan lagi (seperti diramalkan oleh Marx), bahkan sebaliknya

justru membuat orang merasakan semakin hari semakin "kosong" di dalam dan orang mulai lagi

mencari Tuhan.

Tapi repotnya nih ya, (jangan-jangan lho ya!) bakal terjadi seperti dikatakan dalam

Amsal "Pada waktu itu mereka akan berseru kepada-Ku, tetapi tidak akan kujawab, mereka

akan bertekun mencari Aku, tetapi tidak akan menemukan Aku" (Amsal 1:28) atau dinubuatkan

Page 8: Masa Depan Biarawan/Biarawati Katolik

Martin/Abad-21/hal. 8

oleh Nabi Hosea "Dengan korban kambing domba dan lembu sapinya mereka akan pergi untuk

mencari Tuhan, tetapi tidak akan menjumpai Dia; Ia telah menarik diri dari mereka." (Hos 5:6).

Ke manakah mereka akan lari? Dalam takhyul, kesesatan, fenomen paranormal, berhala-berhala

kuno dan modern?

Nah, dalam keadaan seperti itu, para biarawati/wan yang pertama-tama dimaksudkan

sebagai women/men of God bisa berbuat apa? Apakah orang-orang akan datang kepada mereka

untuk menemukan Allah? Kecendrungan yang bisa dilihat adalah:

God, yes, Religion, no?

Memang benar orang makin mencari nilai-nilai rohaniah, transendental, illahi, tapi makin banyak

orang juga mencari dan menemukan itu semua di luar agama-agama konvensional. Ada dua

ekstrem yang terjadi: yang satu, orang menjadi fundamentalis-fanatik, dan satunya lagi, orang

lari ke New Age dengan segala macam alirannya. Orang tak puas lagi dengan ketaatan pada

rutinitas agama dan dogma-dogmanya, apalagi biara dengan segala macam tetek-bengeknya!

Kalau dulu ideal kesucian adalah keperawanan, atau secara umum, "hidup membiara",

sekarang (kayaknya sih!) ide itu sudah tidak laku lagi (inget aja pesta seks yang digrebeg di

Semarang, atau Warakas!). Zaman mendatang mungkin punya ideal kesucian yang lain:

pembelaan kaum marginal, perjuangan keadilan dan kebenaran (seperti dapat dilihat dari

dukungan kepada Romo Sandy), atau juga menjadi "ibu/bapak" dan "suami/istri" yang baik

(tanpa macam-macam PIL dan WIL!), dalam arti membentuk "keluarga" yang benar-benar

dijiwai oleh nilai-nilai spiritual! Sudah terlalu lama dalam Gereja hanya para imam dan

biarawati/wan yang diresmikan sebagai santa/o!

Nah, berhadapan dengan semua itu, pertanyaan yang selalu menghantui saya memang:

apa ya masih diperlukan sih kaum biarawati/wan itu? Apa bukannya cuma ngentek-ngenteke

sego tanpa guna saja? Amin!

(Paper dalam Seminar "Tantangan Abad 21 dan Hidup Biara",

Penerbit & Percetakan Kanisius,

Yogyakarta, 11 Januari 1998

Semarang, 18 Januari 1998)