Marriage Culture Shock

25
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Setiap manusia membutuhkan hubungan sosial dengan orang lain, hal ini bisa terpenuhi melalui perpertukaran pesan yang berfungsi sebagai alat untuk mempersatukan manusia- manusia yang jika tidak berkomunikasi maka seseorang akan terisolasi. Pesan-pesan itu mengemuka lewat perilaku- perilaku manusia. Bila seseorang memperhatikan perilaku kita dan memberi pemaknaan terhadap perilaku kita, maka komunikasi telah terjadi meskipun kita tidak menyadari perilaku kita tersebut. Setiap perilaku manusia memiliki potensi komunikasi. Hubungan antara individu dan kebudayaan saling mempengaruhi dan saling menentukan. Kebudayaan diciptakan dan dipertahankan melalui aktivitas komunikasi para individu anggotanya. Perilaku mereka secara bersama- sama menciptakan kebudayaan yang mengikat dan harus dipatuhi oleh individu agar dapat menjadi bagian dari kebudayaan (Djuarsa, 2007: 342). Dalam kebudayaan, tiap manusia memiliki masa perkembangan dan tugas yang berbeda pada tiap masanya. Diantara masa-masa

Transcript of Marriage Culture Shock

BAB IPENDAHULUAN

1. Latar BelakangSetiap manusia membutuhkan hubungan sosial dengan orang lain, hal ini bisa terpenuhi melalui perpertukaran pesan yang berfungsi sebagai alat untuk mempersatukan manusia-manusia yang jika tidak berkomunikasi maka seseorang akan terisolasi. Pesan-pesan itu mengemuka lewat perilaku-perilaku manusia. Bila seseorang memperhatikan perilaku kita dan memberi pemaknaan terhadap perilaku kita, maka komunikasi telah terjadi meskipun kita tidak menyadari perilaku kita tersebut. Setiap perilaku manusia memiliki potensi komunikasi. Hubungan antara individu dan kebudayaan saling mempengaruhi dan saling menentukan. Kebudayaan diciptakan dan dipertahankan melalui aktivitas komunikasi para individu anggotanya. Perilaku mereka secara bersama-sama menciptakan kebudayaan yang mengikat dan harus dipatuhi oleh individu agar dapat menjadi bagian dari kebudayaan (Djuarsa, 2007: 342).Dalam kebudayaan, tiap manusia memiliki masa perkembangan dan tugas yang berbeda pada tiap masanya. Diantara masa-masa tersebut ada masa yang disebut masa dewasa awal yang mana merupakan masa yang paling lama dialami oleh seorang manusia dalam rentang kehidupannya (Hurlock, 2000). Pada masa ini, menurut kebudayaan, individu memiliki tugas perkembangan untuk mencari dan menemukan pasangan hidup yang akhirnya akan mengarahkan individu tersebut untuk melangsungkan ikatan pernikahan.Pernikahan adalah penyatuan suami dan istri yang disetujui secara sosial dan melibatkan serangkaian peran dan tanggung jawab sebagai pasangan suami istri yang telah menikah. Pernikahan bertujuan untuk mencapai suatu tingkat kehidupan yang lebih dewasa dan pada beberapa kelompok masyarakat, pernikahan dianggap sebagai alat agar seseorang mendapat status yang lebih diakui di tengah kelompoknya (Koentjaraningrat, 1994). Pada langkah awal, seorang individu akan melakukan proses pemilihan pasangan, yang merupakan salah satu keputusan paling penting dalam hidupnya. Ada kecenderungan untuk memilih pasangan yang mempunyai kesamaan antara dia dan pasangan, baik kesamaan dalam agama, hobi, sifat, bahasa, pola berpikir bahkan adat istiadat. Hal ini disebut sebagai prinsip kesesuaian (matching principle). Namun, perkembangan teknologi saat ini memungkinkan seseorang untuk berinteraksi walau dengan jarak yang cukup jauh, bahkan lebih dari sekedar interaksi yang biasa, tetapi juga dapat memungkinkan terjadinya pernikahan campur (Yoshida, 2008). Namun, dewasa ini, fenomena pernikahan campur tidak dapat lagi dihindari karena kemajuan teknologi cakupan dunia dan masyarakat menjadi lebih luas dan heterogen. Saat ini pernikahan antar budaya berbeda sudah menjadi fenomena biasa yang terjadi pada masyarakat modern dan merupakan dampak dari semakin berkembangnya sistem komunikasi yang memungkinkan individu untuk mengenal dunia dan budaya lain. Akan tetapi, pernikahan campur ini biasanya menimbulkan culture shock, akibat harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan atau budaya pasangan. Adler mendefinisikan culture shock sebagai rangkaian reaksi emosional yang diakibatkan dari hilangnya reinforcement yang selama ini diperoleh dari kulturnya yang lama, diganti dengan stimulus dari kultur baru yang terasa tidak memiliki arti dan, karena adanya kesalahpahaman pada pengalaman yang baru dan berbeda. Keadaan ini dapat dipahami karena, pernikahan antar bangsa tidak akan terlepas dari perbedaan budaya; dan dengan latar belakang kebangsaan dan budaya yang berbeda, biasanya akan menghasilkan pandangan yang berbeda pula, sehingga cenderung lebih berpotensi menimbulkan konflik. Situasi ini cukup penting karena perbedaan budaya sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Pernikahan beda budaya di Indonesia banyak yang mengalami perceraian. Menurut data dari Bimbingan Masyarakat (Bimas) Kementrian Agama, setidaknya ada 4.420 lebih pasangan yang menikah berbeda budaya dan mengalami perceraian pada tahun 2009, dan ini meningkat 10% tiap tahunnya. Karena, tingginya perbedaan yang ada di antara kedua pasangan. Contoh, Dewi Sandra dan Glen yang telah melaksanakan pernikahan beda agama dan etnis yang akhirnya bercerai. Begitu juga, Yuni Shara dan Henri Siahaan, dan masih banyak lagi. Gundyskunt dalam Psikologi Komunikasi (Liliweri, 2005:260), menyatakan bahwa ada tingkat kegelisahan dan ketidakpastian antara kelompok yang berbeda budaya yang menyebabkan konflik. Salah satu contohnya adalah peristiwa perang antar etnis Tionghoa dan Jawa pada tahun 1998. Penelitian yang dilakukan mahasiswi Universitas Maranantha, Bandung, Farah Fitriani, pada tahun 2011, ada laki-laki dari etnis Tionghoa dan perempuan dari etnis Jawa banyak menimbulkan ketegangan saat menikah, malahan mereka sendiri mengatakan pernikahan yang berbeda seperti ini seharusnya tidak dilakukan. Ini merupakan contoh nyata di mana etnis Tionghoa masih terdapat batasan dan tegangan dengan etnis lain khususnya Jawa.Oleh karena itu, makalah ini berjudul Culture Shock dalam Pernikahan Etnis Tionghoa dan Jawa.2. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka penulis mengajukan perumusan masalah, yaitu apakah hambatan komunikasi dalam pernikahan campur etnis Jawa dan Tionghoa? Dan bagaimana cara mengatasinya?3. Tujuan PembahasanTujuan penelitian ini adalah mengetahui hambatan komunikasi dalam pernikahan campur etnis Jawa dan Tionghoa dan cara mengatasinya.

BAB IIISI

1. Definisi dan Teori1.1 Pengertian BudayaKebudayaan berasal dari kata sansekerta buddayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi, yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan berarti hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Adapun ahli antropologi yang merumuskan definisi tentang kebudayaan secara sistematis dan ilmiah adalah Taylor, yang menulis dalam bukunya: Primitive Culture, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan lain, serta kebiasaan yang di dapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat (Ranjabar, 2006).Goodenough (dalam Kalangie, 1994) mengemukakan, bahwa kebudayaan adalah suatu sistem kognitif, yaitu suatu sistem yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, dan nilai yang berada dalam pikiran anggota-anggota individual masyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan berada dalam tatanan kenyataan yang ideasional. Atau, kebudayaan merupakan perlengkapan mental yang oleh anggota-anggota masyarakat dipergunakan dalam proses orientasi, transaksi, pertemuan, perumusan, gagasan, penggolongan, dan penafsiran perilaku sosial nyata dalam masyarakat mereka.1.2 Perbedaan Nilai Budaya Jawa dan TionghoaBudaya JawaMenurut Koentjaraningrat (1984) domisili etnis Jawa meliputi seluruh bagian tengah dan timur dari pulau Jawa. Kebudayaan Jawa adalah kebudayaan yang dianut oleh masyarakat Jawa yang hidup di daerah Jawa Tengah di bagian Selatan dan sentralnya pada Keraton Yogyakarta dan Surakarta.Hubungan sosial orang Jawa selalu mengutamakan kerukunan. Orang Jawa cenderung untuk mencegah segala perilaku yang bisa menimbulkan konflik terbuka, karena mereka menginginkan kerkunan, keselarasan sosial dan keadan rukun (Suseno, dalam Herumawarti, 2003). Masyarakat Jawa menuntut agar setiap individunya selalu dapat mengontrol diri, dapat membawa diri dengan sopan, tenang dan rukun serta dapat membawa diri sebagai orang yang dewasa.Ciri utama yang lain dari orang jawa adalah gotong-royong. Jika ciri budaya ini diterjemahkan ke dalam jargon psikologi, maka hal ini berarti bahwa masyarakat Jawa pada dasarnya mempunyai motif untuk mengadakan sosialisasi atau mengadakan afiliasi, artinya orang Jawa mempunyai kemampuan untuk bekerja sama dan membuka diri terhadap orang-orang yang berasal dari berbagai suku bangsa dan ras, termasuk etnis Tionghoa (Abidin, 1999). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa etnis Jawa adalah etnis yang berdomisili di bagian Tengah dan Timur dari pulau Jawa. Orang Jawa selalu mengutamakan kerukunan dan mempunyai ciri khas gotong royong.Budaya TionghoaMenurut Suryadinata (2003) tidak ada yang tahu persis berapa banyak penduduk etnis Cina (Tionghoa) di Indonesia. Banyak sarjana yang berpendapat bahwa 3-4 persen dari penduduk Indonesia adalah orang Tionghoa. Masyarakat Cina (Tionghoa) di Indonesia bukan merupakan minoritas yang homogen. Dari sudut pandang kebudayaan, orang Cina (Tionghoa) terbagi atas peranakan dan totok. Peranakan adalah orang Cina (Tionghoa) yang sudah lama tinggal di Indonesia dan umumnya sudah berbaur.Mereka berbahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari dan bertingkah laku seperti pribumi. Totok adalah pendatang baru, umumnya baru satu sampai dua generasi dan masih berbahasa Tionghoa. Namun dengan berhentinya imigrasi dari daratan Tiongkok, jumlah totok sudah menurun dan keturunan totok pun telah mengalami peranakanisasi. Karena itu, generasi muda Cina (Tionghoa) di Indonesia sebetulnya sudah menjadi peranakan, apalagi di pulau Jawa.Kepercayaan yang dianut etnis Tionghoa adalah Budha, Taoisme, dan Konfusionisme. Menurut Nio Joe Lan (dalam Lubis, 1999) ketiga kepercayaan ini biasanya dipuja bersama dalam perkumpulan Sam Kauw Hwee (Perkumpulan Tiga Agama atau Budha Tri Dharma). Biasanya dalam kepercayaan itu ditambah pula dengan kepercayaan dan pemujaan kepada orang-orang suci yang dianggap Dewa atau Dewi.Di antara tiga ajaran di atas, yang paling berpengaruh pada kehidupan etnis Tionghoa adalah ajaran Konfusianisme. Hal ini dapat dipahami karena di negeri asalnya (Tiongkok) ajaran ini telah dianut selama lebih dari dua abad atau dua ribu tahun lamanya dan telah menjadi tradisi yang sengaja dicipta dan dicitacitakan oleh Konfusius untuk membangun negerinya. Selama Dinasti Han (205 SM-220 SM) ajaran Konfusius telah menjadi ajaran agama negara. Pada dasarnya Konfusius mengajarkan tentang moralitas yang harus dimiliki oleh setiap orang. Kunci ini dipakai Konfusius untuk mengatur hubungan antar manusia dalam hidup bermasyarakat. Konfusius ingin menciptakan suatu tradisi yang baik, sehingga orang yang mengikuti tradisi ini akan dapat hidup dengan lebih baik. Dari sinilah Konfusius beranggapan bahwa orang yang liar akan menjadi beradab apabila ia mengikuti tradisi yang diciptakannya. Bangsa yang liar akan menjadi beradab apabila telah menganut ajarannya. Semua bangsa di luar Cina yang belum menganut ajarannya dianggap sebagai bangsa yang liar. Oleh karena itu, Cina yang sudah menganut ajarannya adalah bangsa yang beradab. Dari sinilah muncul anggapan bahwa sebagai bangsa yang beradab, melahirkan rasa superior pada bangsa Cina. Sedangkan bangsa yang belum beradab adalah bangsa yang inferior. Anggapan ini muncul demikian ekstrim karena keyakinannya yang begitu kuat bahwa tradisi yang diciptakannya adalah sangat sempurna, sehingga orang yang mengkuti ajarannya akan sempurna pula. Etnis Tionghoa memiliki nilai kekeluargaan yang tinggi. Setiap anak harus menunjukkan rasa baktinya kepada orang tua dengan berbagai macam cara. Apabila orang tuanya masih ada, ia harus dapat merawat dan menyenangkannya. Apabila mereka telah tiada, ia harus melakukan pemujaan sebagai rasa baktinya. Segala hal yang dilakukan untuk menyenangkan dan merawat mereka tentunya memerlukan banyak biaya. Untuk itu si anak diwajibkan untuk bekerja keras, seperti kutipan perkataan Konfusius berikut:Meskipun ayah dan ibumu telah meninggal dunia, tetapi kalau kamu dapat bekerja dengan baik, hal ini akan mengharumkan nama baik kedua orang tuamu, dan segala cita-citamu dapat tercapai. Sebaliknya, bila kamu tidak bekerja dengan baik, maka akan memberi aib bagi kedua orang tuamu, dan kamu tidak akan mencapai cita-citamu.1.3 Komunikasi Antar BudayaKomunikasi antarbudaya adalah kegiatan komunikasi antarpribadi yang dilangsungkan di antara para anggota kebudayaan yang berbeda (Liliweri, 2005: 13). Hamid Mowlana menyebutkan komunikasi antarbudaya dengan contoh yaitu, keterlibatan suatu konferensi internasional dimana bangsa-bangsa dari berbagai negara berkumpul dan berkomunikasi satu sama lain. Sedangkan Fred E. Jandt mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai interaksi tatap muka diantara orangorang yang berbeda budayanya. Komunikasi antarbudaya itu dilakukan sebagai berikut:1. Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks dan makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan.2. Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung daripersetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama.3. Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita; Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengidentifikasinya dengan berbagai cara.Komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Budaya mempengaruhi orang yang berkomunikasi. Budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan maksud yang dimiliki oleh setiap orang. Perbendaharaan yang dimiliki oleh dua orang yang berbeda budaya dapat menimbulkan kesulitan. Melalui pemahaman komunikasi antarbudaya, kita dapat menghilangkan kesulitan-kesulitan itu. Komunikasi antarbudaya dapat dipahami sebagai perbedaan budaya dalam mempersepsi objek-objek sosial dan kejadian-kejadian (Mulyana, 2007: 218). Menurut Samovar dan Porter, untuk mengkaji komunikasi antarbudaya perlu dipahami hubungan antar kebudayaan dengan komunikasi. Melalui pengaruh budayalah manusia belajar berkomunikasi dan memandang dunia mereka melalui kategori-kategori dan label-label yang dihasilkan kebudayaan. Kemiripan budaya dalam persepsi memungkinkan pemberian makna yang mirip pula terhadap suatu objek atau peristiwa. Cara-cara manusia berkomunikasi, keadaan komunikasi, bahkan bahasa dan gaya bahasa yang digunakan, perilaku-perilaku non verbal merupakan respons terhadap fungsi budaya itu sendiri (dalam Liliweri, 2001: 160).1.4 Pernikahan Antar Budaya (Jawa dan Tionghoa)Akulturasi Budaya dalam Pernikahan CampurMenurut Redfield akulturasi merupakan suatu fenomena yang muncul ketika kelompok individu yang berbeda budaya melakukan kontak yang mengakibatkan perubahan pada budaya asal salah satu kelompok atau keduanya. Ada empat cara atau strategi yang dapat dilakukan individu dalam proses akulturasi (Berry 2006; Hogg, 2003), yaitu:1. Asimilasi: ketika seseorang tidak mempertahankan identitas budayanya atau home culture (HC) tetapi mengambil budaya lain atau dominant culture (DC).2. Integrasi: terjadi ketika individu mempertahankan budayanya (HC) dan pada saat yang sama tetap menjalin hubungan dengan budaya lain (DC).3. Separatis: terjadi ketika individu mempertahankan budayanya (HC) dan menolak budaya lain (DC).4. Marginal: terjadi ketika hanya sedikit kemungkinan untuk mempertahankan budaya sendiri (HC) dan gagal menjalin hubungan dengan budaya lain (DC).Menurut Hogg (2003) selain menjadi pengalaman berharga dan mengkibatkan perubahan yang bermanfaat, kontak interkultural juga dapat menimbulkan ancaman bahkan kebencian yang mengarah kepada konflik atau disebut dengan istilah stress acculturation. Berry (2006) mengatakan bawa stress acculturation menimbulkan kecemasan, depresi bahkan psikopatologi. Berry juga menambahkan bahwa dengan adaptasi secara psikologis dan sosiokultural maka hubungan antara golongan budaya yang berbeda dapat berlangsung dengan baik. Dalam hal ini individu yang mengalami stress akulturasi dianggap memiliki potensi untuk menghadapi stressor dalam kehidupannya dan mampu beradaptasi.Proses akulturasi di atas juga dapat terjadi dalam perkawinan campur (perkawinan antara dua individu yang berasal dari etnis yang berbeda). Menurut Cohen (dalam Hariyono, 1993) perkawinan campur merupakan perkawinan yang terjadi antara individu dari kelompok etnis yang berbeda yang dikenal dengan istilah amalgamation. Menurut Sunarto (2004) dalam hubungan perkawinan berlaku aturan eksogami dan endogami. Eksogami merupakan sistem yang melarang perkawinan dengan anggota kelompok, sedangkan endogami merupakan sistem yang mewajibkan perkawinan dengan anggota kelompok. Dengan demikian perkawinan campur yang terjadi antara pasangan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda tergolong ke dalam perkawinan eksogami. Proses penyesuaian antara pasangan yang melakukan perkawinan campur dapat disebut sebagai proses akulturasi, dan bisa menyebabkan culture shock.Pada umumnya individu tidak menyadari secara nyata budaya yang mengatur dan membentuk kepribadian dan perilakunya. Ketika individu dipisahkan dari budayanya, baik secara fisik maupun psikis, dan menghadapi kondisi yang berbeda atau bertolak belakang dengan gambaran dan asumsi yang dipercaya sebelumnya maka pada saat itulah individu menjadi sepenuhnya sadar akan sistem kontrol dari budayanya yang selama ini tersembunyi (Gudykunst dan Kim, 2003).Memasuki budaya yang berbeda membuat individu menjadi orang asing di budaya tersebut, di mana individu dihadapkan dengan situasi dimana kebiasaan-kebiasaannya diragukan. Hal ini dapat menimbulkan keterkejutan dan stress. Keterkejutan dapat menyebabkan terguncangnya konsep diri dan identitas kultural individu dan mengakibatkan kecemasan. Kondisi ini menyebabkan sebagian besar individu mengalami gangguan mental dan fisik, setidaknya untuk jangka waktu tertentu. Reaksi terhadap situasi tersebut oleh Oberg disebut dengan istilah culture shock (Gudykunst dan Kim, 2003).

2. Contoh KasusSkripsi yang ditulis oleh Sharley dari Universitas Kristen Petra, Surabaya. Berjudul, Hambatan komunikasi antarbudaya pada perkawinan etnis Tionghoa dan etnis Jawa di Malang. Umumnya, para pasangan antaretnis ini merasakan banyak hambatan mulai dari persepsi terhadap sesuatu, cara berkomunikasi dan menungkapkan maksud. Seringkali menimbulkan kesalahpahaman, butuh waktu bagi kedua belah pihak untuk memahami satu sama lain, dan lebih lama dibandingkan pasangan dengan latar belakang hampir serupa dalam memahami satu sama lain. Belum lagi, pertentangan dari keluarga, membuat kedua belah pihak makin sulit untuk melakukan proses akulturasi dan asimilasi. Penolakan dalam diri satu sama lain pun terjadi. Butuh kesabaran dan kemauan untuk memahami, untuk membuat pernikahan antar etnis berjalan dengan langgeng. 3. Analisis Hambatan dan Situasi dalam Pernikahan CampurKomunikasi dan budaya seperti dua sisi mata uang, dimana budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi dan komunikasi juga turut menentukan, mengembangkan, dan mewariskan suatu budaya. Situasi ini tidak dapat dihindarkan, karena sebetulnya, setiap kali seseorang melakukan komunikasi dengan orang lain mengandung potensi komunikasi antarbudaya. Hal ini dikarenakan setiap orang selalu berbeda budaya dengan orang lain, sekecil apa pun perbedaan tersebut. Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya dapat menjadi salah satu penentu tujuan hidup yang berbeda pula. Cara setiap orang berkomunikasi sangat bergantung pada budayanya; bahasa, aturan dan norma masing-masing. Budaya memiliki tanggung jawab atas seluruh perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang.Pernikahan campuran bukan lagi fenomena yang asing. Namun, memang di dalam pernikahan itu sendiri timbul banyak persoalan. Persoalan paling mendasar dalam pernikahan campuran itu adalah latar belakang personal atau individu pelaku pernikahan berbeda etnis. Jika kedua pihak tidak memiliki pola pikir terbuka, akan terjadi pemaksaan kehendak untuk mempraktikkan kepercayaan, nilai dan norma yang dianut oleh pasangannya, sehingga kemungkinan langgengnya sebuah pernikahan ibarat jauh panggangan dari api. Semestinya setiap pasangan harus berusaha mengambil keputusan dalam pemecahan masalahnya tidak berlandaskan keputusan emosional pribadi berlatar budaya masing-masing pihak, melainkan keputusan rasional bersama yang dapat digunakan sebagai jalan keluar. Dalam kehidupan keluarga pernikahan campuran etnis Jawa dan Tionghoa akan terjadi suatu komunikasi antarbudaya, yang melibatkan seluruh anggota keluarga: suami, istri, anak, dan bahkan juga anggota keluarga lain yang tinggal. dalam satu rumah tersebut. Situasi ini dapat mengakibatkan munculnya kesepakatan untuk mengakui salah satu budaya yang akan mendominasi atau berkembangnya budaya lain yang merupakan peleburan dari dua budaya tersebut atau bahkan kedua budaya dapat sama-sama berjalan seiring dalam satu keluarga (proses asimilasi). Meskipun suatu keluarga pernikahan berbeda suku seringkali saling melakukan interaksi, bahkan dengan bahasa yang sama sekalipun, tidak berarti komunikasi akan berjalan mulus atau dengan sendirinya akan tercipta saling pengertian. Hal ini dikarenakan sebagian di antara individu tersebut masih memiliki prasangka terhadap kelompok budaya lain dan enggan bergaul dengan mereka. Dalam suatu pernikahan diperlukan saling pengertian dan saling menerima pasangan masing-masing dengan latar belakang keluarga dan kebiasaan yang berbeda. Lalam kehidupan pernikahan campuran etnis Jawa dan Tionghoa, berkomitmen sebagai pasangan suami-istri berarti mereka harus bersedia menerima dan memasuki lingkungan sosial budaya pasangannya, sehingga diperlukan keterbukaan dan toleransi yang sangat tinggi. Orang menikah bukan hanya mempersatukan diri, tetapi juga seluruh keluarga besarnya. Penyesuaian diri merupakan suatu proses dan bukanlah keadaan yang statis, sehingga efektifitas penyesuaian diri itu sendiri ditandai dengan seberapa mampu individu dalam menghadapi situasi serta kondisi yang selalu berubah. Pada dasarnya penyesuaian diri dalam pernikahan berlangsung dan patut diusahakan secara terus-menerus sepanjang usia pernikahan. Kebanyakan orang berada dalam dua keluarga selama hidupnya: keluarga dimana mereka lahir dan keluarga yang terbentuk ketika mereka mempunyai pasangan. Oleh karena itu, setiap pasangan dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan pasangannya (Samovar, dkk, 2010: 64-65).Pada saat seseorang masuk ke lembaga pernikahan maka orang tersebut tidak hanya terlibat dengan pasangannya saja. Secara otomatis ia juga memperoleh sekelompok keluarga baru yaitu anggota keluarga pasangan, di mana hal ini memungkinkan adanya perbedaan usia, minat, nilai, pendidikan, tradisi, sikap, gaya hidup dan latar belakang sosial. Variasi budaya terjadi yaitu keluarga di mana ia lahir dan keluarga yang terbentuk ketika ia punya pasangan. Seseorang yang baru menikah menjadikan keluarga barunya sebagai tempat belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di dalam hubungan interaksi dengan kelompok barunya tersebut. Di dalam kehidupan keluarga baru tersebut terdapat norma-norma dan peraturan yang harus dipatuhi bersama untuk menjamin berlangsungnya interaksi yang wajar demi tercapainya tujuan bersama keluarga itu. Kekeluargaan mengikat dua keluarga menjadi sistem keluarga yang lebih kompleks. Ada dua bentuk umum keluarga yang ditemukan, yaitu keluarga inti, biasanya terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak serta keluarga besar, biasanya terdiri atas kakek-nenek dan kerabat (Samovar, dkk, 2010:65-66).

BAB IIIPENUTUP

1. Kesimpulan

Ada banyak hambatan yang terjadi dalam pernikahan campur antara etnis Jawa dan Tionghoa, antara lain: latar belakang personal yang sangat berbeda menimbulkan friksi di antara keduanya yang berpotensi menimbulkan konflik. Selain itu, adanya prasangka yang ada antara kedua belah pihak, mengarah kepada sangkaan yang belum tentu benar, dan kecenderungan menutup diri satu sama lain. Padahal sangkaan tersebut belum tentu terbukti. Pernikahan bukan hanya meliputi dua orang, namun juga keluarganya, perbedaan norma dan nilai yang dianut keluarga asal dengan keluarga pasangan juga dapat menimbulkan konflik. Dibutukan pemikiran yang terbuka terhadap hal-hal baru dalam pernikahan campur, serta kemauan untuk memahami pasangan. Agar, jika ada perbedaan besar dalam norma dan nilai, bisa diatasi melalui komunikasi. Sehingga, krisis-krisis potensial dapat diatasi sebelum menjadi konflik besar. Jika kedua pihak tidak memiliki pola pikir terbuka, akan terjadi pemaksaan kehendak untuk mempraktikkan kepercayaan, nilai dan norma yang dianut oleh pasangannya, sehingga kemungkinan langgengnya sebuah pernikahan ibarat jauh panggangan dari api. Semestinya setiap pasangan harus berusaha mengambil keputusan dalam pemecahan masalahnya tidak berlandaskan keputusan emosional pribadi berlatar budaya masing-masing pihak, melainkan keputusan rasional bersama yang dapat digunakan sebagai jalan keluar.

2. Saran Kedua pasangan perlu memiliki pemikiran terbuka, dan menghindari percaya pada prasangka-prangsangka tertentu, jika belum pernah melihat buktinya. Perlu kiranya interaksi antara suku yang berbeda melakukan bahasa yang baik dan mudah dipahami agar saling memperoleh kesan yang baik. Selain itu, bahasa tubuh, dan gesture juga perlu diperhatikan agara tidak diinterpretasikan berbeda oleh pasangan. Untuk subjek dan pasangan sebaiknya terus mencoba untuk terus memahami kebiasaan-kebiasaan dan hal-hal yang disukai masing-masing individu, agar tidak terjadi kesalahpahaman.