MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur...
Transcript of MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur...
MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIH
Skripsi Ini Disusun Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Strata 1 (S1)
Oleh:
Fahrur Rozi
1113033100037
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FALSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul ”Manusia Perspektif Ibn Miskāwaih”. Penelitian dalam
skripsi ini bertujuan untuk mengetahui konsep manusia menurut Ibn Miskāwaih
dan dapat memberikan sumbangan pemikirian di dunia falsafat.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pengetahuan tentang Ibn Miskāwaih
yang dikenal sebagai bapak etika ketiga setelah al-Fārābī. Menjadi menarik ketika
mereka lupa bahwa obyek yang menjalankan tentang akhlak adalah manusia.
Maka penulis menguraikan pendapat Ibn Miskāwaih tentang manusia hingga
menjadi manusia sempurna, sebagaimana dengan tugas dan tujuan hidup di dunia
ini.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif-kualitatif dengan
teknik pengumpulan data melalui telaah pustaka, yakni penelitian yang dilakukan
dengan membaca dan memahami referensi dari sumber primer dan sumber
sekunder berupa karya-karya yang membahas atau berkaitan dengan pemikiran
Ibn Miskāwaih tentang konsep manusia. Penulis memabatasi penelitian ini pada
konsep manusia perspektif Ibn Miskāwaih. Maka penelitian ini memuat rumusan
masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif Ibn
Miskāwaih?” dan ”Seperti apa manusia yang mempunyai tingkatan paling
sempurna menurut Ibn Miskāwaih?”.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ibn Miskāwaih menganggap manusia
berawal dari air yang menggenang kemudian menjadi karang, dalam karang
tumbuhlah tumbuhan seperti lumut yang terus berevolusi menambah daya
nutrisinya hingga puncak tertingginya pada pohon kurma. Selanjutnya tumbuhan
yang membusuk menghasilkan kehidupan baru, yakni keluar hewan-hewan kecil
seperti ulat yang berevolusi menjadi serangga. Hewan-hewan tersebut terus
menambah daya kemampuannya hingga yang tertingi derajat pada hewan dan
mendekati manusia adalah sejenis kera. Hewan sejenis kera mempunyai amarah
dan dianugerahi Allah dengan memiliki kemampuan kecerdikannya dalam
mencari makanan, bertahan hidup, menjaga diri dari musuh, dan menjaga
keturunannya. Hanya saja, kera tidak mempunyai kecerdasan, rasa untuk
membedakan, hingga rasa rasionalitas. Sebenarnya, jika kera tersebut dapat
melewati tingkat tersebut, ia dapat menjadi manusia.
Sedang manusia sempurna menurut Ibn Miskāwaih adalah yang tidak
beranggapan bahwa hidup bukanlah untuk mencari kenikmatan inderawi saja.
Kenikmatan inderawi bukanlah puncak kebahagiaan. Mereka adalah manusia
yang mendekatkan diri kepada Allah Swt., dengan cara terus menerus. Mereka
tidak lagi akan merasa lapar yang berlebihan, menginginkan kekayaan, dan
bahkan mereka tidak menginginkan seks. Derajat ini dapat disamakan dengan
malaikat, bahkan lebih tinggi dari malaikat. Mereka disebut para wali Allah Swt.
v
MOTTO
”Berjalan Sambil Diam, Pergi Jangan Melangkah”
vi
KATA PENGANTAR
Rasa syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt., Tuhan semesta alam
yang telah memberikan nikmat untuk para kafir dan mukmin di dunia, serta akan
memberikan nikmat khusus untuk mukmin kelak di akhirat. Atas ridla Allah pula
penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat dan salam penulis curahkan
pada utusan Allah yang menjadi penutup para nabi dan rasul, yakni Rasulallah
Muhammad Saw., serta kepada keluarganya, para sahabatnya dan semua
pengikutnya hingga akhir zaman.
Penulis ucapkan alhamdulillah atas selesainya penyusunan skripsi ini
yang berjudul ”MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIH” sebagai tugas
akhir akademis pada program studi Aqidah dan Falsafat Islam Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta adalah
berkat bantuan, bimbingan, dan berbagai pihak. Karenanya, perkenankanlah
penulis ucapkan terima kasih secara khusus kepada:
1. Prof. Zainun Kamaluddin Faqih MA., selaku pembimbing skripsi
yang telah berkenan meluangkan waktu di tengah kesibukkannya dan
memberikan arahan demi selesainya tulisan ini.,
2. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yakni Prof. Dr. Amany
Lubis, MA., dan Dekan Fakultas Ushuluddin Dr. Yusuf Rahman,
MA.,
3. Dra. Tien Rohmatin, MA., selaku ketua Program Studi Aqidah dan
Falsafat Islam Dra. Banun Binaningrum, M.Pd., sebagai sekretaris
Program Studi Aqidah dan Falsafat Islam yang memberikan waktu
dan mengarahkan penulis agar dapat menyelesaikan studi.
vii
4. Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag., selaku dosen pembimbing
akademik yang telah membantu dan mengarahkan proposal skripsi
untuk diseminarkan agar dapat melanjutkan tahap penyusunan
skripsi,.
5. Jajaran Dekanat dan dosen fakultas Ushuluddin yang telah ikhlas
memberikan perkuliahan dan bimbingan selama penulis belajar di
Program Studi Aqidah dan Falsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.,
6. Ibu Uun Maemunah sebagai ibu yang telah memberikan ridla kepada
penulis untuk tetap melanjutkan studinya dan bapak Ono Wahyuddin
yang telah mendorong penulis berupa materi.,
7. KH. Tohir (alm), kakek yang selalu meyakinkan dan menasehati
penulis untuk tetap berjuang dalam menggali ilmu meski banyak
rintangan serta telah mempercayai penulis sebagai orang yang dapat
tetap menjaga keharmonisan keluarga besar.,
8. Putihat Nurrohmah selaku kakak yang telah memberikan semngat
penulis untuk dapat menyelesaikan studi dan Siti Nurlaelina selaku
adik yang menjadi dorongan penulis untuk tetap menggali ilmu lebih
banyak agar dapat mengarahkan keluarga dengan menjaga aqidah.,
9. Mahabbatul Aulia dengan ikhlas menunjukkan empati kepada penulis
untuk menyelesaikan kuliah dan mendapatkan gelar sarjana.,
10. Keluarga besar Aqidah dan Falsafat Islam yang telah membentuk
karakter penulis dalam segi berpikir berupa rutinitas diskusi diluar
kelas.,
viii
11. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Cirebon Jakarta Raya (HIMA-
CITA) yang telah mengajarkan penulis dalam berorganisasi selama
masa kuliah dan mempercayai penulis sebagai Badan Pengurus
Harian di periode 2014-2015.,
12. Keluarga Mahasiswa Sunan Gunung Djati (KMSGD) yang
memberikan fasilitas berupa asrama sebagai tempat tinggal penulis
semasa penulis menjadi mahasiswa baru.,
13. Keluarga besar Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) Science MAN 4
Cirebon yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis sebagai
dewan penasehat dan selalu mendukung serta mendoakan keinginan
penulis agar mudah tercapai.,
14. Pesantren Darul Jamal Karangsari-Waled-Cirebon, yang telah
memberikan materi dasar agama Islam pada penulis.,
15. Pondok utara Pesantren Kempek-Palimanan-Cirebon, yang telah
mengizinkan pada penulis untuk bermusyawarah dalam bidang fiqih,
tauhid, dan kalam yang telah penulis dapat selama menggali ilmu di
Ciputat. ,
16. KH. Hisyam, selaku guru semasa penulis duduk di bangku Aliyah
yang menjadi inspirasi penulis untuk tetap rendah hati dan selalu
menegur penulis serta memberikan arahan penulis agar dapat
menyelesaikan studi.,
17. Ustadz Subkhi, yang selalu meluangkan waktu untuk berdiskusi
dalam bidang kalam dan tasawuf selama penulis mengisi liburan di
kampung halaman.,
ix
18. Ustadz Abdul Rofiq, sahabat ngopi, diskusi, dan rekan bisnis penulis
yang telah banyak berbagi ilmu bagaimana cara bertahan hidup di
tanah rantau.,
19. Kang Farhan Mujtaba S.Ag., beserta keluarga yang telah merangkul,
menumbuhkan rasa nyaman, dan telah merawat penulis sewaktu sakit
di tanah rantau hingga menghilangkan rasa ingin pulang ke kampung
halaman.
Ciputat, 11 Desember 2019
Penulis
Fahrur Rozi
NIM: 1113033100037
x
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
th ṭ ط A A ا
zh ẓ ظ B B ب
‘ ‘ ع T T ت
gh Gh غ Ts Th ث
f F ف J J ج
q Q ق ḥ ḥ ح
k K ك Kh Kh خ
l L ل D D د
m M م Dz Dh ذ
n N ن R R ر
w W و Z Z ز
h H ه S S س
ء Sy Sh ش
y Y ي Sh ṣ ص
h H ة Dl ḍ ض
xi
Arab Indonesia
A أ
I إ
U ا
Vokal Panjang
Arab Indonesia
Ā آ
Ī ى إ
Ū ا و
Arab Indonesia
Au أو
Ai أي
Arab Indonesia
-al ال
-wa al وال
xii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ....................................... i
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ..................................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
MOTTO ................................................................................................................ v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN .................................................. x
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................................. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 5
D. Metode Penelitian....................................................................................... 6
E. Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 7
F. Sistematika Penulisan ................................................................................ 9
BAB II PEMIKIRAN FALSAFI TENTANG MANUSIA ................................... 11
A. Plato ........................................................................................................... 11
B. Aristoteles .................................................................................................. 14
C. Al-Kindī ..................................................................................................... 17
D. Al-Fārābī .................................................................................................... 19
BAB II BIOGRAFI IBN MISKĀWAIH .............................................................. 23
A. Riwayat Hidup Ibn Miskāwaih .................................................................. 24
B. Riwayat Pendidikan ................................................................................... 30
C. Tokoh yang Mempengaruhi Ibn Miskāwaih .............................................. 32
D. Karya Tulis Ibn Miskāwaih ........................................................................ 34
BAB IV MANUSIA MENURUT IBN MISKĀWAIH ........................................ 38
A. Asal Usul Manusia ..................................................................................... 38
B. Manusia dalam Pandangan Ibn Miskāwaih................................................ 51
xiii
C. Jiwa dalam Pandangan Ibn Miskāwaih ...................................................... 53
D. Tingkatan dan Substansinya ....................................................................... 59
E. Kesempurnaan Manusia dan Cara Memperolehnya .................................. 62
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 68
A. Simpulan .................................................................................................... 68
B. Saran ........................................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 70
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhuk yang utama. Ia diciptakan Allah Swt., dengan
memiliki bentuk yang paling baik dan sempurna dibandingkan makhluk Allah
yang lain.1 Terdapat dalam surat al-Tin ayat 4:
حسن تقويم نسن ف أ ٤لقد خلقنا ٱل
Artinya: ”Sungguh Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang paling utama
(baik)”.
Selain itu, manusia mempunyai kedudukan paling penting di dunia, karena
manusia sebagai Khalifah.2 Maksudnya, manusia berperan penting di dunia
karena ialah yang menjalankan peraturan dari Allah Swt., yang mempimpin dari
makhluk Allah lainnya. Al-Qur’ān berbicara tentang ini dalam surat al-An’am
ayat 165:
ي جعلكم رض وهو ٱلذ خلئف ٱل
Artinya: ”Dan Allah telah menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di atas
bumi”
Dengan demikian, ada hal yang paling utama dalam manusia hingga
dibedakan dengan makhluk lainnya. Allah banyak menciptakan makhluk. Namun
1 Mustafa, Dasar-Dasar Islam (Bandung: Angkasa, 1991), h. 27.
2 Mustafa, Dasar-Dasar Islam, h. 28.
2
hanya manusia yang memiliki karakter berbeda. Dalam hal ini, penulis merasa
tertarik pada satu tokoh filsuf muslim yang jarang sekali dikupas oleh para pelajar
dalam dunia akademis. Tokoh tersebut adalah ibn Miskāwaih. Filsuf muslim yang
lahir di kota Ray yang berketurunan Majusi. Lahir pada tahun 330 H/940 M., dan
meninggal di kota Isfahan pada tahun 421 H/1030 M.3 Ia mencatat tentang
manusia dalam karyanya yang berjudul Tahdzib al-Akhlāq yang telah
diterjemahkan oleh Helmi Hidayat dan diterbitkan oleh Mizan.
Ibn Miskāwaih merupakan filsuf muslim yang memusatkan perhatiannya
terhadap bidang etika Islam, ia di beri gelar sebagai bapak etika ketiga, yang mana
pada sebelumnya al-Fārābī-lah yang mendapatkan gelar bapak etika kedua dan
Aristoteles sebagai bapak etika pertama. Bukan hanya terkenal sebagai bapak
etika ketiga, ia juga seorang sejarawan, tabib, ilmuan dan sastrawan. Di samping
pengetahuannya tentang filsafat Yunani Kuno, ia pun memiliki pengetahuan yang
sangat luas tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India.4 Maka ia buatkan pula
sejarah tentang pengalaman bangsa yang menemukan kejayaan dari masa awal
hingga pada kehidupan zamannya.
Ibn Miskāwaih dipengaruhi oleh beberapa gurunya. Mereka adalah ibn al-
Kammar, Abū Bakr Ahmad ibn Kāmil al-Qadli, Abū al-Thayyib al-Rāzī, menteri
al-Mahlabi sebagai guru Sastra, dan ibn al-’Amid di bidang arsitektur. Ibn al-
Khammar merupakan guru filsafatnya yang termasuk dalam mufasir ternama pada
masanya dalam karya-karya Aristoteles. Pada filsafat Ibn Miskāwaih juga sedikit-
banyaknya dipengaruhi oleh Aristoteles melalui ajaran Ibn al-Khammar.
3 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 88.
4 H. A. Mustafa, Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 166.
3
Kemudian, Abū Bakr Ahmad ibn Kāmil al-Qadhi (350 H). Ada yang mengatakan
ia adalah guru falsafat Ibn Miskāwaih, ada pula yang mengatakan ia termasuk
guru dalam bidang sejarah.5
Ibn Miskāwaih lebih tertarik membahas tentang sejarah dan akhlak. Tak
heran jika yang ia tulis lebih banyak tentang akhlak atau ilmu pengetahuan umum
dan disinambungkan dengan akhlak, seperti Tartib al-Sa’adah berisi tentang
akhlak, politik, dan juga akhlak berpolitik. Atau kitab Tahdzīb al-Akhlāq yang
berisi tentang pendidikan akhlak yang dikupas dari asal-usul manusia, dari tanah
hingga kepada manusia, dijelaskan pula fakultasnya dan kesempurnaan manusia
berada di tingkat spiritual. Menurut catatan para penulis masa lalu, jumlah seluruh
karyanya ada 18.6
Dalam salah satu bab pada kitab Tahdzīb al-Akhlāq, penulis tertarik pada
pemahaman ibn Miskāwaih yang merincikan perubahan dari alam mineral, alam
tumbuhan, alam hewan, dan alam manusia. Dimana ia percaya bahwa alam yang
pertama ada di bumi ini adalah alam mineral. Ia menggunakan dalil al-Qur’ān
pada surat al-Anbiyā ayat 30:
رض كنتا رتقا ففتقنهما وجعلنا من ت وٱل مو نذ ٱلسذ
نذ أ
ين كفروا أ و لم ير ٱلذ
ء أ ٱلماء كذ ش
فل يؤمنون أ ٣٠ح
Artinya: ”Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasannya langit
dan bumi itu keduanya dahulu adalah satu yang padu, kemudian Kami
5 H. A. Mustafa, Filsafat Islam, h. 168.
6 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 88.
4
pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu
yang hidup. Maka mengapa mereka tidak juga beriman?”.
Dari air, kemudian mengeras menjadi karang, bertransisi dari karang menjadi
tumbuhan. Dari tumbuhan pertama menuju tumbuhan kedua ada perubahan,
tumbuhan kedua menyempurnakan tumbuhan pertama, tumbuhan ketiga
menyempurnakan tumbuhan kedua dan seterusnya, sehingga yang terakhir
muncullah pohon kurna. Melalui pohon kurma muncullah binatang, konsepnya
sama seperti pertumbuhan tumbuhan, binatang kedua menyempernakan binatang
kedua, hingga yang terakhir adalah binatang kera, dari kera berubah menjadi
manusia. Maka tak heran kera dan manusia mempunyai banyak kesamaan.7
Tidak hanya itu, substansi manusia pun dikupas oleh Ibn Miskāwaih. Dari
sekian banyak substansi, manusia mempunyai beragam kesiapan untuk menerima
beragam tingkatan. Maka setiap orang mempunyai tingkat harapan berbeda untuk
meningkatkan dirinya sendiri. Semua itu terjadi karena kekuatan Penciptanya.
Sungguhpun demikian, untuk membuat substansi menjadi baik, akan kembali
kepada orang itu sendiri dan bergantung pada yang dikehendakinya. Akan terlihat
pada perilakunya dan bisa terjadi atas pengaruh lingkungan. Bisa jadi sama
dengan lingkungan sekitar, atau mungkin berbanding terbalik dengan lingkungan
jika ia merasa bahwa lingkungannya tidak cocok dengan keinginannya.
7 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 89-90.
5
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Ada beberapa karya yang membahas pemikiran Ibn Miskāwaih, namun
mereka memusatkan pembahasan pada pandangan Ibn Miskāwaih terhadap
akhlak. Penulis belum menemukan karya yang memusatkan pembahasan pada
pandangan Ibn Miskāwaih terhadap manusia. Berdasarkan latar belakang di atas,
penulis akan membatasi skripsi ini pada pemikiran tentang manusia dalam
perspektif Ibn Miskāwaih, di kaji dalam kitab Tahdzib al-Akhlāq yang telah
diterjemahkan oleh Helmi Hidayat dan diterbitkan oleh Mizan pada tahun 1994.
Penelitian ini akan difokuskan dalam rumusan:
1. Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif Ibn
Miskāwaih?
2. Seperti apa manusia yang mempunyai tingkatan paling sempurna
menurut Ibn Miskāwaih?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan:
1. Mengetahui tingkatan dan substansi manusia perspektif Ibn
Miskāwaih.,
2. Mengetahui tingkatan kesempurnaan manusia dalam pandangan Ibn
Miskāwaih dan cara untuk mencapai kesempurnaan sebagai manusia
yang membedakan dengan makhluk lainnya.
6
Manfaat:
1. Penelitian ini dapat digunakan untuk bahan bacaan dan menjadi
rujukan dalam mata kuliah Falsafah Islam, Falsafah Manusia, dan mata
kuliah lain yang membahas tema tersebut.,
2. Untuk menambah wawasan dan informasi, serta pengetahuan
mahasiswa.,
3. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu mematangkan
wawasan bagi peneliti dengan tema terkait, serta dapat memberikan
sumbangan pengetahuan bagi mahasiswa Aqidah dan Falsafah Islam
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, hingga mampu
mendorong mereka untuk mengkaji Falsafah secara mendalam.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian kepustakaan (library research).
Penelitian kepustakaan merupakan penelitian yang fokus menggunakan data dan
berbagai macam literatur yang dapat dipustakaan seperti buku, naskah, manuskrip,
catatan, dokumen dan lainnya.8 Adapun objek dalam penelitian ini adalah
pemikiran ibn Miskāwaih tentang manusia.
Dalam penelitian ini, sumber data yang digunakan mencakup sumber
primer dan sekunder. Yang menjadi sumber primer dalam penelitian ini adalah
kitab yang berjudul Tahdzib al-Akhlāq karya Ibn Miskāwaih, kitab ini telah
diterjemahkan oleh Helmi Hidayat pada tahun 1994 dan diterbitkan oleh
percetakan Mizan dengan judul “Menuju Kesempurnaan Akhlak”. Sementara
8 Kartini, Pengantar Metodologi Riset Sosial (Bandung: Mandar Maju, 1996), h. 33.
7
sumber data sekunder merupakan sumber data yang berhubungan dengan tema
kajian, sumber ini dapat berupa buku dan artikel, baik yang telah dipublikasikan
dalam bentuk jurnal atau pun yang telah dipublikasikan dalam bentuk media
internet.
Metode deskripsi analisis dalam penelitian, digunakan guna membahas
dan menguraikan pandangan Ibn Miskāwaih tentang manusia. Mulai dari
pandangan Ibn Miskāwaih tentang proses penciptaan manusia sampai pada titik
puncaknya yakni kesempurnaan manusia, hingga dapat memunculkan analisis
baru tentang manusia secara utuh menurut Ibn Miskāwaih.
Translitrasi penulisan skripsi ini mengacu pada buku ”Pedoman
Akademik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2017/2018”.
Sedangkan transliterasi pada skripsi ini juga menggunakan ”Pedoman Penulisan
Skripsi” yang terdapat dalam buku ”Pedoman Akademik Universita Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta 2017/2018”.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam studi kepustakaan, ada beberapa penelitian tentang manusia dalam
berbagai tokoh. Seperti karya skripsi pada tahun 2010 dengan judul ”Manusia
Ideal dalam Pemikiran Muhammad Iqbal” oleh Aswat. S.Fil.I program studi
Aqidah dan Filsafat, fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga. Aswat menggunakan landasan teori dengan pengertian manusia dalam
al-Qur’ān, pandangan filsuf dan sufi tentang manusia ideal. Serta pada puncaknya
menganalisis manusia ideal menurut Muhammad Iqbal.
8
Selanjutnya skripsi yang disusun pada tahun 2014 oleh Sri Wahyuni.
S.Th.I., program studi Aqidah Filsafat fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri Sultan Syarif Kasim Riau dengan judul ”Konsep Manusia Menurut
Nurcholish Madjid”. Sri Wahyuni mendasari tulisan ini dengan definisi manusia,
tujuan penciptaan manusia, dan berlanjut pada hakikat kematian manusia. Pada
puncaknya, Sri Wahyuni menelaah konsep manusia dalam pandangan Nurcholish
Madjid dari sudut pandang keutamaan manusia serta manusia dan tugasnya.
Kemudian, penelitian tentang ibn Miskāwaih lebih banyak dari segi
akhlak. Seperti karya Robiatul Adawiyah, S.Pd., program studi Pendidikan
Agama Islam fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tahun 2017 berjudul ”Konsep Pendidikan Akhlak
Ibnu Miskāwaih”. Dalam skripsi ini, Robiatul Adawiyah menjelaskan konsep
pendidikan akhlak dengan memulai dari pengertian pendidikan akhlak, dasar
pendidikan akhlak, tujuan dan materi pendidikan akhlak.
Selanjutnya karya Rosmajida, S.Pd program studi Pendidikan Agama
Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Ar-Raniry
Banda Aceh yang disusun pada tahun 2018 dengan judul ”Metode Pendidikan
Anak Menurut Ibnu Miskāwaih”. Disini Rosmajida hampir sama dengan
Robiatul Adawiyah, memulai dari konsep pendidikan anak hingga tujuannya.
Namun, yang berbeda adalah Rosmajida mencantumkan kode etik pendidik
dan anak didik serta metode pendidikan anak ibn Miskāwaih.
Dari beberapa karya skripsi yang telah dijelaskan di atas, perbedaan
dan penelitian penulis mengenai Manusia Perspektif Ibn Miskāwaih adalah
9
tema dan tokoh yang diambil serta penyajiannya.
F. Sistematika Penulisan
Penulis akan menguraikan sistematika penulisan dalam lima bab.
Dalam bab-bab tersebut memuat beberapa sub-sub di dalamnya agar penulisan
dan pembahasan menjadi lebih terarah. Hal ini dilakukan karena penelitian ini
bersifat kepustakaan (library research) sehingga dibutuhkan analisis yang
mendalam. Adapun uraian dalam bab tersebut adalah sebagai berikut:
Bab pertama: sebagai bab pendahuluan, bagian ini menjelaskan
tentang latar belakang permasalahan. Dilanjutkan pada rumusan dan batasan
masalah sebagai penentu arah dalam penelitian skripsi ini, ditunjang pula oleh
tujuan dan manfaat penelitian serta menjelaskan metode penelitiannya dengan
meninjau kepustakaan dahulu agar penelitian ini relevan. Penelitian ilmiah
harus mempunyai cara guna mendapatkan hasil yang maksimal. Pada bab
pertama ini, penulis mengakhiri dengan sistematika penulisan.
Bab kdua: sebagai analisis falsafi tentang manusia, yakni pemikiran
falsafi tentang manusia, guna mendapatkan pengetahuan filsuf sebelum Ibn
Miskāwaih dan bahwa beliau memiliki cara pandang yang tidak sama. Para
filsuf tersebut adalah Sokrates, Plato, Aristoteles, al-Kindī, dan al-Fārābī.
Bab ketiga: berisi tentang biografi Ibn Miskāwaih. Pemaparan ini
meliputi riwayat hidup dan pendidikannya. Dilanjutkan pada tokoh yang
mempengaruhi pemikirannya dan diakhiri dengan karya tulisnya.
Bab keempat: inti dalam penelitian. Dimulai dengan pembahasan asal
10
usul manusia. Kemudian, disambung manusia dalam pandangan Ibn
Miskāwaih dan tingkatan manusia serta substansinya. Diakhiri tingkatan
kesempurnaan manusia yang merupakan puncak konsep manusia pandangan
Ibn Miskāwaih serta cara untuk mendapatkannya.
Bab kelima: bagian dari penutup. Penulis menyimpulkan penelitian ini
serta menjawab dari petanyaan yang ada dalam rumusan malasalah. Serta
memberikan saran terhadap pembaca.
11
BAB II
PEMIKIRAN FALSAFI TENTANG MANUSIA
Berbagai pemikiran tentang manusia disinggung oleh para filsuf dari
Yunani Kuno hingga filsuf muslim paripatetik. Pada dasarnya, membahas
manusia tetaplah suatu yang misterius. Maka, beberapa filsuf, khususnya filsuf
Yunani Kuno dan filsuf muslim Paripatetik tidak membahas konsep manusia
dengan jelas. Mereka hanya menyinggung sedikit tentang manusia.
Salah satu dari mereka membahas tentang penciptaan alam, namun ia juga
menyinggung sedikit tentang manusia. Salah satu dari mereka ada yang percaya
bahwa dunia yang kita lihat sekarang sudah ada di alam idea. Ada pula yang
mengatakan bahwa manusia itu mempunyai tubuh atau jism, yang ada pada
martabat keenam (al-māddah).
A. Plato
Plato mengatakan bahwa manusia memang sebuah misteri. Namun, ia
mempunyai pendapat bahwa manusia terdiri atas jiwa dan badan. Badan
merupakan sebuah wadah bagi jiwa. Realitas manusia sebenarnya adalah jiwa.
Jiwa bersifat abadi dan badan hanya bersifat sementara.1
Selain itu, ia mempunyai pandangan bahwa manusia memiliki tiga
manifestasi hasrat. Yakni, epithumia, thumos,dan logistikon. Kemudian ia
memberikan mitos tentang kereta bersayap yang lengkap dengan kedua kuda
sebagai penariknya, yakni hitam dan putih, serta lengkap dengan sais. Dimana sais
1 Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h. 72.
12
melambangkan logistikon, kuda hitam melambangkan epithumi, dan kuda putih
melambangkan thumos. Sementara itu, sayap membantu keseluruhan kereta untuk
bergerak naik.2
Pertama, epithumia menurut Plato ialah irrational appetite. Ini merupakan
bagian perut hingga ke bawah, bagian nafsu yang menginginkan diri untuk
makan, minum, hingga kepuasan terhadap seks, termasuk juga harta. Bagian ini
akan tunduk pada hukum, mempunyai sifat independen, memiliki cara berpikir
tersendiri. Secara positif, epithumia merupakan keinginan untuk mencari
kenikmatan. Namun, secara negatif, epithumia termasuk apayang membuat kita
cenderung takut dan akan lari ketika menghadapi sebuah masalah atau
penderitaan.3
Meskipun demikian, Plato beranggapan bahwa epithumia sebenarnya
berguna untuk kelangsungan serta keutuhan hidup manusia. Berkat hasrat
epithumia, manusia tetap hidup dan berkembang biak. Maksudnya, kelangsungan
hidup biologis. Epithumia harus tetap dikontrol dan dikuasai agar tidak
mendominasi pada sifat manusia, karena cara berpikirnya yang buta. Bila tidak
dikontrol, manusia tidak akan pernah merasakan kepuasan. Epithumia pula
merupakan bagian terbesar dalam diri manusia.4
Kedua, thumos. Plato memandang bahwa bagian ini mempunyai arti
menginginkan kehormatan dan harga diri. Ini berada pada bagian perut ke atas,
tepatnya adalah pada bagian dada. Merupakan rasa bangga, dapat membuat
2 A. Setyo Wibowo, Arete: Hidup Sukses Menurut Platon (Yogyakarta: Kanisius, 2010),
h. 36.
3 A. Setyo Wibowo, Paidea: Filsafat Pendidikan Politik Platon (Yogyakarta: Kanisius,
2017), h. 223.
4 A. Setyo Wibowo, Paidea, h. 223.
13
manusia untuk menahan keinginan irrational appetite. Ia mempunyai fungsi
mengikuti nasihat-nasihat logistikon. Ia dapat bekerja sama membantu akal sehat
hingga manusia dapat menahan rasa nikmat dan sakit dengan teguh, serta dapat
bertahan di depan keinginan dan ketakutan. Thumos mempunyai tugas menahan
dan mengendalikan.5
Tugas lain dari thumos dalam pandangan Plato adalah menjaga harga diri.
Membantu logistikon unutuk menenangkan epithumia. Seperti orang yang sedang
belajar dalam kelas, tidak mempunyai makanan, kemudian ia merasa lapar, ia
akan tetap di kelas hingga belajar usai dari pada keluar untuk mencari makanan
dan meninggalkan kelas demi perut yang lapar. Ini dilakukan karena ia
mempertimbangkan atas dasar rasio. Thumos juga terkadang dapat dipengaruhi
oleh epithumia. Bukti rasionalnya adalah banyak manusia yang kehilangan akal
demi harga diri. Banyak pula orang yang menyampingkan rasio demi kepentingan
spesifiknya. Ekstrimnya, karena harga dirilah terkadang manusia rela mati.6
Kemudian yang terakhir menurut Plato adalah logistikon atau rasio, ini ada
pada bagian leher ke atas, tepatnya adalah bagian kepala. Bagian ini berfungsi
sebagai pengontrolan yang mengendalikan dan menguasai irrational appetite. Jika
dalam satu saat nafsu menggebu-gebu ingin dipenuhi, maka logitikon
mengendalikan kapan waktu yang sangat tepat untuk dipenuhi.7
Plato mengatakan bahwa logistikon juga mempunyai fungsi sebagai
instrumental strategis. Maka logistikon dapat menghitung kapan sebuah nafsu
harus dipenuhi dan kapan harus menahannya. Apabila logistikon membiarkan rasa
5 A. Setyo Wibowo, Paidea, h. 225.
6 A. Setyo Wibowo, Paidea, h. 225.
7 A. Setyo Wibowo, Paidea, h. 225.
14
haus itu dipenuhi, maka semuanya akan kacau dan merugikan diri sendiri. Ketika
manusia merasa haus, dan ia kebanyakan minum, ia kemudian efek mabuk dan tak
sadarkan diri, hilang akal dan disitulah manusia itu merendahkan diri sendiri serta
kehilangan harga diri. Atau manusia sembarang meminum air, padahal air itu
masih dalam suhu panas.8
B. Aristoteles
Aristoteles memiliki pandangan bahwa manusia pada hakekatnya
adalah binatang yang dapat berbicara, berpikir dan mengerti.9 Manusia termasuk
dalam spesies dan genetik tertentu, mempunyai unsur yang khas yang
membedakan dari spesies dan genetik lain. Unsur khas yang dimaksud ialah rasio
dan tuturan. Kedunya merupakan bagian yang sangat penting. Karena
keduanyalah dapat membawa manusia terhadap kemampuan untuk menyesuaikan
diri dengan standar-standar etis.10
Menurut Aristoteles, unsur rasio dan tuturan melapisi unsur non-
rasional. Dimana unsur non-rasional merupakan unsur yang lazim dimikili segala
binatang, contohnya pertumbuhan binatang yang berlangsung secara tidak sadar,
emosi yang tidak dapat terkontrol, dan nafsu-nafsu, seperti hasrat seksual. Bagian
rasional ini sadar dan bebas serta dibagi dalam rasio praktis yang berfungsi untuk
mengontrol nafsu, tidak seperti binatang lain yang diatur dengan kebiasaan,
8 A. Setyo Wibowo, Paidea, h. 224.
9 Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Pustaka
FIrdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 156.
10 Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penelitian, Perbandingan, diterjemahkan
oleh F. Budi Hardiman (Yogyakarta: Kansius, 1994), h. 67.
15
namun manusia dapat dengan sadar untuk mengendalikan dorongan non-
rasionalnya.11
Arsitoteles meyakini bahwa manusia memiliki tingkatan, tingkatan pada
manusia ada tiga, yakni manusia yang hanya mencari kenikmatan, manusia yang
hanya berpolitik, dan manusia yang berfilsafat. Dimana ketika ia mencari
kenikmatan, tidak akan mendapatkan kebahagiaan, berpolitik hanya untuk
membedakan ia sebagai manusia dengan tumbuhan, hewan, dan Tuhan. Hingga
kebahagiaan pada taraf ini hanya sesaat. Dan berfilsafat merupakan kebahagiaan
yang mempunyai derat tinggi.12
Menurut Aristoteles yang pertama adalah nikmat. Nikmat bukanlah
sesuatu yang buruk. Akan tetapi, jangan pula jadikan nikmat sebagai tujuan hidup
manusia. Ketika mendapat kenikmatan, maka akan muncul rasa ketidakpuasan,
maka ini bukanlah termasuk dalam kebahagiaan. Ketika ia merasa haus, terus ia
meminum susu sampai ia merasa hilang rasa hausnya, akan tetapi dalam beberapa
waktu ke depan, ia akan merasa haus lagi. Atau ketika ia haus, ia meminum cairan
yang ada di depan pandangannya, ia tak tahu bahwa yang ia minum adalah air
arak. Kemudian ia mabuk dan membuat hal konyol, ini akan merugikan ia
sendiri.13
Pandangan Aristoteles yang kedua adalah berpolitik. Maksudnya adalah,
hidup berpolitik akan mendorong manusia kepada keramayan, inti dari situ
manusia dapat memasyarakat. Inilah kegiatan manusia yang membedakannya
11 Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial, h. 67.
12 Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Nilai (Jakarta: Yayasan Kertagama, 2014), h. 26.
13 Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Nilai, h. 26.
16
dengan tumbuhan, hewan, dan Tuhan. Dalam bermasyarakat, manusia akan
merasa sedikit tidak mempunyai beban, ketakutan, dan merasakan penderitaan.
Pada saat itulah manusia akan merasakan kebahagiaan.14
Sungguhpun demikian, Aristoteles mengira bahwa manusia hanya
merasakan kebahagiaan yang bersifat sementara, tidak selamanya. Maksudnya
ialah, ketika manusia berada dalam kesendirian, ia akan kembali dalam ketakutan,
merasakan penderitaan, dan kembali merasa memiliki beban hidup. Ini akan terus
berulang setiap hari, bahkan setiap saat ketika manusia itu keluar dari kerumunan
manusia lain. Namun, ketika ia kembali dalam kerumunan manusia lain, akan
kembali pula merasakan kebahagiaan.15
Dan pandangan tingkatan manusia Aristoteles yang terakhir adalah
manusia yang mempunyai kesempurnaan tertinggi ialah ketika ia berfilsafat.
Kegiatan ini membuktikan manusia menggunakan akal budinya, dimana
menurutnya kegiatan akal budi manusia yang disebut logos atau nus bersifat
Ketuhanan. Manusia dapat memandang, merenungkan, menyamakan, dan
membedakan sesuatu apa pun yang abadi. Dengan kata lain, dalam berfilsafat, ia
akan menemukan Tuhan dengan melalui pendekatan spiritual.16
Menurut Aristoteles, manusia dengan tingkatan terakhir tersebut
merupakan manusia yang paling utama. Dengan tingkatan terakhir tersebut
manusia akan memiliki ketertanaman sikap etis dalam kepribadian. Memiliki
wawasan luas saja tidak cukup untuk mendukung manusia mewujudkan
14 Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Nilai, h. 27.
15 Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Nilai, h. 27.
16 Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Nilai, h. 27.
17
kepribadian yang kuat, mantap, dan diandalkan. Karenanya harus menanam sikap
kebijaksanaan, inilah yang akan memunculkan ketertanaman sikap etis dalam
kepribadian.17
C. Al-Kindī
Al-Kindī dalam membahas filsafat Tuhan dan jiwa, sedikitnya ia
menyinggung manusia. Intinya adalah manusia berbeda dengan Tuhan, manusia
mempunyai badan dan jiwa. Jiwa memiliki arti penting, sempurna, dan mulia.
Substansi jiwa bersifat ruhani dan cahayanya berasal dari cahaya Tuhan.18
Namun, jiwa bertolak-belakang dengan badan. Jiwa melawan badan yang pada
hakikatnya badan mempunyai keinginan merusak dan merugikan dirinya. Badan
tidak memikirkan akibat dari apa yang akan terjadi setelah apa yang dilakukan.
Jiwa menahan semua itu.19
Menurut al-Kindī, manusia berbeda dengan Tuhan. Manusia mempunyai
materi dan bentuk. Tuhan tidak berbentuk dan tidak mempunyai materi. Tuhan
tidak mempunyai hakikat dalam arti al-Aniyyah karena tidak tersusun dari materi
dan bentuk dan al-Māhiyyah karena ia tidak merupakan jenis dan macam, atau
genus dan spesies.20 Selain itu, menurut al-Kindī materi dan bentuk pada manusia
(badan) itu tersusun.
17 Franz Magnis Suseno, Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles (Yogyakarta:
Kansius, 2009), h. 41.
18 Fu’ad Farid Ismail & Abdul Hamid Mutawali, Cara Mudah Belajar Filsafat: Barat dan
Islam, diterjemahkan oleh Didin Faqihudun (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), h. 198.
19 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 49.
20 Moeflih Hasbullah & Dedi Supriyadi, Filsafat Sejarah (Bandung: Pustaka Setia, 2012),
h. 171.
18
Al-Kindī melihat manusia termasuk benda yang ada di bumi, otomatis ia
termasuk dalam golongan benda yang bersifat Juz’iyyāt (partikular). Benda yang
mempunyai sifat Juz’iyyāt mempunyai dua hakikat, yakni hakikat sebagai
individu (juz’i) dan umum (kulli). Hakikat juz’i inilah yang disebut sebagai al-
Aniyyah. Sedang hakikat kulli yang disebut sebagai Māhiyyah, hakikat ini bersifat
universal dalam bentuk genus dan spesies.21
Al-Kindī juga mempunyai pandangan bahwa manusia memiliki jiwa dan
badan. Dimana jiwa menentang keinginan badan. Karena badan mempunyai sifat
perusak dan merugikan dirinya sendiri. Badan biasanya tidak memikirkan apa
yang akan terjadi selanjutnya setelah apa yang dilakukan. Jiwa manusia tidak
tersusun, mulia, sempurna, dan penting. Substansi jiwa berasal dari substansi
Tuhan, seperti cahaya yang berasal dari matahari. Jiwa memiliki wujud tersendiri
dan berbeda dengan badan. 22
Al-Kindī meyakini bahwa manusia mempunyai tiga daya, yakni daya
nafsu, pemarah, dan berpikir. Dua daya pertama berada alam badan, dan yang
terakhir berada dalam jiwa. Jiwa menentang keinginan nafsu yang berorientasi
untuk kepentingan badan. Jika daya nafsu marah mendorong manusia untuk
bertindak sesuatu yang merugikan dirinya, maka jiwa menahan itu, melarang dan
mengontrolnya. Ibarat petani membajak sawah menggunakan kerbau, ia
mengendalikan dan mengontrol kerbau agar tidak berjalan semaunya.
Al-Kindī memandang daya berpikir selanjutnya disebut akal. Akal di bagi
menjadi tiga bagian, bagian pertama adalah akal yang bersifat potensial.
Kemudian, ketika sudah keluar dari sifat potensial ia menjadi aktual tingkat
21 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 48.
22 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 49.
19
pertama. Dan terakhir adalah akal yang telah melewati akal yang bersifat aktual
tingkat pertama dan menjadi akal yang bersifat aktual tingkat kedua.23
Menurut al-Kindī, pada tingkatan akal yang bersifat potensial, tidak dapat
memiliki sifat aktual ketika tidak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar.
Karenanya, al-Kindī percaya ada akal yang berbeda dengan akal potensial, ia
mempunyai wujud di luar roh manusia dan bernama, akal ini selamanya dalam
aktualitas. Ia mempunyai sifat Akal Pertama, selamanya dalam aktualitas,
merupakan spesies dan genus, ia membuat akal potensial menjadi akal aktual
ketika berpikir, dan ia tidak sama dengan akal potensial.24
Al-Kindī menganggap bahwa manusia tidak mudah untuk mencapai
tingkat tertinggi. Menurut al-Kindī, manusia akan dapat dikatakan ’Ākil jika ia
telah mengetahui yang universal. Maksudnya, ia telah memperoleh akal yang di
luar itu. Untuk memperoleh akal yang berada di luar sangatlah sulit. Karena harus
mengontrol dan mengendalikan daya nafsu dan marah. Pada proses ini, dapat
dikatakan ia masuk dalam pendekatan manusia dengan Tuhan secara spiritual.25
D. Al-Fārābī
Al-Fārābī menjelaskan tentang penciptaan manusia melalui martabat
wujud. Ia dipengaruhi oleh pemikiran Plotinus tentang teori emanasi. Menurutnya,
martabat semuanya ada enam. Pertama, menjadi sebeb pertama yakni Tuhan.
Dalam martabat ini, ia menjelaskan bahwa Tuhan ada dengan sendiri-Nya, tanpa
23 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 51-52.
24 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
h. 19.
25 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 52.
20
sebab lain. Tuhan juga ia katakan dengan Wājib al-Wujūd li Dzātih (yang harus
ada karena diri-Nya sendiri. Martabat kedua, sebab-sebab kedua yakni Akal ke-I
sampai Akal ke-IX. Martabat ketiga adalah Akal Aktif atau Akal ke-X. Martabat
keempat adalah jiwa (al-Nafs). Martabat ini merupakan jiwa manusia, hewan, dan
tumbuhan. Martabat kelima adalah bentuk (Sūrah). Martabat terakhir adalah
materi (al-Māddah).26
Al-Fārābī mempunyai pandangan bahwa tiga sebab pertama tidak ada
dalam tubuh dan tiga sebab berikutnya ada dalam tubuh. Makhluk yang
mempunyai tiga martabat terakhir adalah manusia, hewan, dan tumbuhan.
Sungguhpun demikian, kesempurnaan jiwa manusia lebih tinggi dari makhluk lain
yang memiliki tubuh. Kemudian, kesempurnaan jiwa hewan lebih rendah dari
manusia, akan tetapi masih lebih tinggi dari tumbuhan. Terakhir, tumbuhan
mempunyai kesempurnaan jiwa yang lebih rendah dari semua makhluk yang
memiliki tubuh.27
Al-Fārābī sebenarnya mengutip dari pendapat Aristoteles, yakni termasuk
bagian dari binatang, masuk dalam spesies dan genetik tertentu, mempunyai unsur
yang khas yang membedakan dari spesies dan genetik lain. Unsur khas yang
dimaksud ialah rasio dan tuturan. Maka manusia adalah binatang rasional.
Manusia pun menikmati dominasinya atas spesies makhluk lain, karena
mempunyai kecerdasan dan kehendak. Keduanya itulah termasuk fungsi
kemampuan manusia.28
26 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 66.
27 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 63-67.
28Osman Bakar, Hierarki Ilmu, diterjemahkan oleh Purwono (Bandung: Mizan, 1997), h.
66.
21
Untuk menjadi manusia yang paling sempurna, al-Fārābī menerangkan
bahwa manusia memiliki lima tahap agar sampai pada puncak. Tahap tersebut
adalah pertumbuhan, penginderaan, bernafsu, berkhayal, dan berpikir. Tahap
berpikir merupakan tahap paling tinggi, karena ia mengatur atau memerintahkan
tahap yang lain.29
Selain itu, untuk mendapatkan pengetahuan tentang sesuatu, menurut Al-
Fārābī manusia memperolehnya melalui daya menindera, mengkhayal, dan
berpikir. Dengan kata lain, bahwa daya mengindera adalah badan, kemudian daya
mengkhayal adalah jiwa, dan daya berpikir adalah akal. Tiga daya tersebut pula
memiliki struktur tritunggal dunia ragawi, jiwa, dan ruhani kosmos. Lebih
mudahnya, Al-Fārābī memakai istilah dari yang mengetahui dan yang diketahui.
Dengan menggunakan terminologi tersebut menggambarkan bahwa kepercayaan
Al-Fārābī sesuai dengan mikrokosmos dan makrokosmos. 30
Al-Fārābī meyakini bahwa kemampuan mengindera termasuk dalam daya
mengetahui yang paling rendah. Karena, ia hadir demi dua daya lainnya, yakni
mengkhayal dan berpikir. Sebelum manusia itu mengkhayal, ia terlebih dahulu
mengindera. Dengan demikian, kekuatan kognitif manusia berawal dari
berkembang melalui indera-indera eksternal.31
Dalam daya mengkhayal, al-Fārābī menyinggung dari teori lima indera
internal. Kelima itu meliputi daya penggambaran (representasi), duga (estimasi),
ingat (memori), imajinasi kompositif manusia, dan imajinasi kompositif binatang.
Dengan daya mengkhayal, maka akan memunculkan bentuk baru, yang mana
29Osman Bakar, Hierarki Ilmu, h. 67-68.
30 Osman Bakar, Hierarki Ilmu, h. 67.
31 Osman Bakar, Hierarki Ilmu, h. 68.
22
bentuk tersebut tidak termasuk dalam indera internal dan eksternal. Al-Fārābī
menjadikan akan sehat sebagai penengah di antara kedua indera itu.32
Sedangkan dalam daya berpikir, al-Fārābī membaginya menjadi dua, yakni
teoretis dan praktis. Menurut al-Fārābī, daya berpikir teoretis berfungsi sebagai
penerima bentuk-bentuk intelektual, tepatnya objek intelektual pengetahuann yang
dipahami. Bentuk dari pengetahuan yang dimaksud bersifat universal dan
immaterial.33
32 Osman Bakar, Hierarki Ilmu, h. 68-69.
33 Osman Bakar, Hierarki Ilmu, h. 77.
23
BAB III
BIOGRAFI IBN MISKĀWAIH
Biografi merupakan sejarah hidup. Dari sejarah, dapat diketahui pasang
surutnya suatu budaya yang tidak sebatas fakta-fakta masa lampau dan akan
berpengaruh pada masa yang akan datang. Dari sejarah, budaya bisa berkembang
atau pun hilang. Sejarah bukanlah hanya cerita tentang diri seorang raja, namun
harus mencerminkan struktur politik, ekonomi, dan sosial pada masa tertentu.
Sejarah juga harus mencatat naik turunnya peradaban bangsa dan negara. Ahli
sejarah harus menjaga keasliannya, tidak memalsukan suatu kejadian pada masa
lampau, karena akan berpengaruh pada masa yang akan datang.1
Banyak karya yang menulis sebuah biografi tokoh, ataupun autobiografi
(sejarah hidup yang ditulis oleh tokohnya langsung). Namun, sangat disayangkan
karena biografi Ibn Miskāwaih tidak seperti biografi-biografi tokoh lain. Tidak
seperti al-Kindī yang banyak ditulis oleh para penulis dalam beberapa karya
dalam bidang falsafah. Ibn Miskāwaih sendiri tidak membuat autobiografi.
Meskipun demikian, beberapa tulisan memberikan sedikit pencerahan
tentang biografi Ibn Miskāwaih. Dengan beberapa referensi, mendapatkan sedikit
banyaknya informasi terkait biografi Ibn Miskāwaih. Diantaranya adalah riwayat
hidup, karya-karya, dan beberpa tokoh atau guru yang mempengaruhi dan
menumbuhkan suatu ideologi dalam diri Ibn Miskāwaih.
1 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 89.
24
A. Riwayat Hidup Ibn Miskāwaih
Nama dari Ibn Miskāwaih masih sepertinya tidak ada kepastian, karena
sampai saat ini masih belum mendapatkan kesepakatan. Ada yang mencantumkan
bahwa nama Ibn Miskāwaih adalah Ahmad. Ada pula yang mencantumkan bahwa
nama Ibn Miskāwaih adalah Muhammad. Namun, kebanyakan meyakini bahwa
nama Ibn Miskāwaih adalah Ahmad, bukan Muhammad. Sungguhpun ada kata
Muhammad dalam nama Ibn Miskāwaih, penulis lebih mempercayai itu hanyalah
nama ayahnya.
Sedangkan kata Miskāwaih dalam nama Ibn Miskāwaih belum diketahui
secara pasti, ini tidak seperti nama al-Kindī dan al-Ghazālī yang gampang
ditelusuri, yang mana dua nama tersebut diambil dari nama asal daerahnya, yakni
daerah Kindah dan Ghazāl. Kata Miskāwaih belum diketahui secara pasti apakah
nama tersebut merupakan nama dia atau ia merupakan putra dari Miskāwaih. Hal
tersebut masih dalam perdebatan, hingga menimbulkan beberapa pendapat.
Seperti menurut Margholiouth dan Bergstrasser, mereka lebih menerima yang
pertama, bahwa Miskāwaih adalah nama dia sendiri. Sedangkan menurut
Brockelmeann, lebih menerima yang kedua, bahwa Miskāwaih merupakan nama
ayahnya.2
Ibn Miskāwaih mempunyai gelar sebagai seorang Khāzim. Kata Khāzim
ada yang mengartikan sebagai seorang pustakawan, ada pula yang mengartikan
sebagai seorang bendaharawan, karena Ibn Miskāwaih pernah menjabat sebagai
2 Moeflih Hasbullah & Dedi Supriyadi, Filsafat Sejarah (Bandung: Pustaka Setia, 2012),
h. 211.
25
bendahara negara pada masa kekuasaan Adhub al-Daulah dari Bani Buwaih.3
Memang Ibn Miskāwaih pun berpuluhan tahun menjadi seorang pustakawan pada
wazir dan amir Bani Buwaih, diantaranya adalah Wazir Hasan al-Mahlabi di
Baghdad (348-352 H), Wazir Abu Fadl Muhammad Ibn al-ʼAmid di Ray (352-360
H), Wazir Abu al-Fath Ali Ibn Muhammad di Ray (360-366 H), Amir ʻAdd al-
Dawlah Ibn Buwaih di Baghdad (367-372 H), serta pada amir-amir berikutnya.
Lebih penting, kata itu sering dituliskan di tengah namanya oleh para penulis yang
membahas tentang Ibn Miskāwaih. Seperti Dedi Supriyadi tokoh di Indonesia
yang menulis tentang Ibn Miskāwaih, ia mencantumkan kata Khāzim dalam
menuliskan nama lengkap dari Ibn Miskāwaih.4 Dedi Supriyadi juga mengartikan
bahwa kata Khāzim ialah seorang bendaharawan.
Ibn Miskāwaih juga mempunyai gelar Abū ’Alī. Nama itu diperoleh dari
nama sahabat Rasulullah Saw., sendiri, yakni Sayyidinā ’Alī Ibn Abū Thālib.
Yang mana Sayyidinā ’Alī Ibn Abū Thālib merupakan sahabat Rasulullah Saw.,
yang dipandang orang Syi’ah lebih pantas menggantikan posisi Sayyidinā ’Alī Ibn
Abū Thālib untuk memimpin negara setelah Rasulullah Saw., wafat dibandingkan
tiga sahabat Rasulullah Saw., lainnya. Maka tidak heran jika banyak penulis-
penulis yang menggolongkan Ibn Miskāwaih kepada penganut aliran Syi’ah,
karena melihat dari nama gelarnya sebagai Abū ’Alī.5 Nama Abū ’Alī sendiri
diletakkan pada awal nama dari Ibn Miskāwaih. Kemudian diikuti dengan nama
lain. Nama Abū ’Alī bukanlah nama anak dari Ibn Miskāwaih. Tidak seperti al-
3 Mustofa Hasan, Sejarah Filsafat Islam: Geneologis dan Transmisi Filsafat Timur ke
Barat (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h. 86-88.
4 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filsuf, dan Ajarannya (Bandung:
Pustaka Setia, 2013), h. 110.
5 Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Nilai (Jakarta: Yayasan Kertagama, 2014), h. 259.
26
Ghazālī, yang mana kata Abū Hāmid pada nama al-Ghazālī dikarenakan al-
Ghazālī memiliki anak yang ia berikan nama Hāmid. Namun, terkait gelar Abū
’Alī, penulis tidak mendapatkan keterangan pasti mengapa Ibn Miskāwaih
mendapatkan gelar tersebut.
Selain itu, ada gelar lain yang dimiliki oleh Ibn Miskāwaih. Ibn
Miskāwaih dikenal pula sebagai seorang sejarawan besar yang kemasyhurannya
melebihi dari kemasyhuran al-Thabari (w.310 H/923 M.), yang mana al-Thabari
merupakan sejarawan sebelum Ibn Miskāwaih. Gelar lain yang dimiliki oleh Ibn
Miskāwaih adalah sebagai seorang dokter, penyair, dan ahli bahasa.6
Menurut Dedi Supriyadi, nama lengkap dari Ibn Miskāwaih ialah Abū Alī
al-Kāsim Ahmad (Muhammad) Ibn Ya’qūb Ibn Miskāwaih. Dedi Supriyadi lebih
memilih nama Muhammad berada dalam kurung, karena ia berpandangan bahwa
ada beberapa sebagian penulis sebelumnya yang lebih memilih nama Ahmad
diganti dengan nama Muhammad. Ini tercatat dalam karya tulisnya yang berjudul
”Pengantar Filsafat Islam” dalam pembahasan biografi yang ditulis sekitar dua
halaman. Nama Abū Alī al-Kāsim Ahmad (Muhammad) Ibn Ya’qūb Ibn
Miskāwaih ia tulis pada paragraf pertama.7
Sedangkan menurut Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, nama lengkap dari Ibn
Miskāwaih adalah Abū Alī al-Kāsim Ahmad Ibn Muhammad Ibn Miskāwaih.
Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan mengambil jalan tengah, dan secara tidak langsung
Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan juga meyakini bahwa kata Muhammad dalam nama
Ibn Miskāwaih merupakan nama ayah dari Ibn Miskāwaih dan tidak ada kata Ibn
6 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000), h. 5.
7 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, h. 110.
27
Ya’qūb dalam nama lengkap Ibn Miskāwaih.8 Sedangkan kata Ibn Miskāwaih
merupakan nama kakeknya. Ini tercantum dalam karya tulisnya yang berjudul
”Pemikiran Falsafi dalam Islam” pada sub-bab riwayat hidup dan karya tulis Ibn
Miskāwaih. Nama Abū Alī al-Kāsim Ahmad Ibn Muhammad Ibn Miskāwaih ia
tulis pada paragraf pertama.
Ibn Miskāwaih merupakan Filsuf Muslim yang lahir di Ray pada tahun
330 H/940 M dan meninggal dunia pada tahun 421 H/1030 M. Dimana pada tahun
330 H., termasuk dalam masa ke-khalifah-an Abbasiyyah. Namun, pada tahun 330
H., khalifah Abbasiyyah sedang berada dalam masa-masa sulit. Khalifah
Abbasiyyah pada masa tersebut berada dalam pengaruh Adhud al-Daulah dari
Bani Buwaih.9
Tidak hanya nama Miskāwaih saja yang menjadi perdebatan, akan tetapi
tentang agama yang dianut oleh keluarga dari Ibn Miskāwaih juga. Beberapa
karya yang telah diciptakan oleh beberapa penulis yang membahas tentang Ibn
Miskāwaih, menuliskan bahwa sebenarnya keluarga Ibn Miskāwaih pada mulanya
memeluk agama Majusi, kemudian berpindah keyakinan dan memilih untuk
masuk pada agama Islam.10 Namun tidak ada keterangan waktu, sebab, dan
bagaimana sejarah keluarga Ibn Miskāwaih berpindah agama dan memilih Islam.
Pendapat lain terkait kemajusian dari Ibn Miskāwaih, seperti Jurzi Zaidan
mengutarakan pandangannya bahwa Ibn Miskāwaih adalah Majusi, lalu berpindah
8 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 88.
9 H. A. Mustafa, Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 166.
10 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 56.
28
ke Islam.11 Jurzi Zaidan pun tidak mencantumkan keterangan waktu pasti kapan
Ibn Miskāwaih berpindah agama dari Majusi ke agama Islam.
Pandangan lain, Yaqut dan pengarang Dairah al-Ma‟rifah al-Islamiyyah
yang lebih percaya bahwa nama Muhammad di nama Ibn Miskāwaih merupakan
nama bapaknya. Maka dapat ditelaah bahwa mereka lebih memandang nenek Ibn
Miskāwaihlah yang beragama Majusi, kemudian berpindah agama dan memilih
menjadi seorang muslim. Ini melihat dari bapak Ibn Miskāwaih yang memiliki
nama Muhammad.12
Ibn Miskāwaih hijrah ke Baghdad pada tahun 348 H. Di Baghdad ia
memperdalam ilmu dalam bidang sastra Arab dan sastra Persi. Ibn Miskāwaih
berguru kepada menteri al-Mahlabi. Ia pun menetap bersama dengan ahli-ahli
sastra lainnya. Akan tetapi, hanya dalam jangka waktu beberapa tahun Ibn
Miskāwaih menetap di Baghdad, tepatnya tahun 352 H., ia kembali lagi ke kota
kelahirannya (Ray). Dan Ibn Miskāwaih kembali ke Ray karena gurunya
meninggal dunia.13
Ketika Ibn Miskāwaih kembali ke Ray, ia meneruskan belajarnya kepada
Ibn al-’Amid dalam bidang ilmu yang dikuasai Ibn al-’Amid. Ibn al-’Amid sendiri
menguasai bidang arsitek bangunan, filsafat, logika, ahli bahasa dan sastra Arab.
Ibn al-’Amid pun termasuk seorang penyair dan penulis terkenal. Ibn Miskāwaih
11 Asep Sulaiman, Mengenal Filsafat Islam (Bandung: Yrama Widya, 2016), h. 41-42.
12 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013), h. 56.
13 Ziauddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan Pertengahan
(Bandung: Angkasa, 2003), h. 42.
29
belajar kepadanya sampai Ibn al-’Amid meninggal dunia, perkiraan hanya dalam
kurun waktu tujuh tahun, tepatnya pada tahun 359 H.14
Hasyimsyah Nasution menuliskan bahwa bapaknya Ibn Miskāwaih
seorang pegawai pemerintahan. Inilah yang menjadi jalan bagi Ibn Miskāwaih
untuk masuk kedalam pemerintahan. Ibn Miskāwaih mempunyai kesempatan
besar untuk bergaul dengan kalangan terhormat dan memahami birokrasi-
birokrasi pemerintahan pada waktu itu. Sangat wajar jika ia pun terpilih menjadi
bendahara di masa kekuasaan Adhub al-Daulah dari Bani Buwaih dan
mendapatkan gelar al-Khāzim.15
Ibn Miskāwaih meninggal di Isfahan pada tahun 421 H/1030 M. Kota lahir
dan meninggalnya yang berbeda, membuktikan bahwa Ibn Miskāwaih senang
mencari pengalaman di tempat yang tidak tetap. Perpindahan tempat tersebut
karena keinginannya dalam belajar dan berguru kepada seseorang ataupun tugas
negara yang diembannya dan yang diberikan kepadanya oleh penguasa dinasti. Ia
belajar dan memperkuat pola pikirnya tentang berbagai cabang ilmu pengetahuan
dan filsafat di kota Baghdad. Setelahnya, ia lebih fokus pada sejarah dan akhlak.16
Maka tak heran dalam semua karyanya lebih di dominasi oleh tulisan tentang
akhlak.
Karyanya menjadi gelar untuknya. Itu lebih pantas dikatakan, karena ia
pun mendapat gelar sebagai bapak etika ketiga (al-Mu’allim al-Tsālits). Terjadi
karena orang melihat karyanya lebih dominan tentang akhlak. Gelar ini
sebelumnya dinobatkan kepada al-Fārabī sebagai bapak etika kedua (al-Mu’allim
14 Ziauddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan Pertengahan, h.
42.
15 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 56.
16 Moeflih Hasbullah & Dedi Supriyadi, Filsafat Sejarah, h. 211.
30
al-Tsāni). Juga oleh Aristiteles sebagai bapak etika pertama (al-Mu’allim al-
Awwal).17 Tak heran, karena Ibn Miskāwaih sering mendapatkan tugas untuk
menafsirkan karya tulis dari Aristoteles oleh Ibn al-Khammar (guru filsafat Ibn
Miskāwaih).
Sebelum Ibn Miskāwaih menjadi bendahara di Dinasti Buwaihiyyah
’Adhud al-Daulah, ia sudah termasuk salah satu dari anggota kelompok pemikir
ternama yang berkarier di bidang politik dan beraktivitas filsafat. Setelah Ibn
Miskāwaih menjadi bendahara, ia pun banyak terlibat dalam praktis masyarakat.
Namun tak meninggalkan aktivitas filsafatnya, ia tetap ikut andil dalam
perdebatan teoretis dalam kelompok intelektual al-Tauhīdī dan al-Sijistāmī
dengan menulis risalah-risalah.18
B. Riwayat Pendidikan
Ibn Miskāwaih termasuk dalam filsuf muslim yang memusatkan
perhatiannya terhadap bidang etika Islam, wajar jika Ibn Miskāwaih mendapat
gelar sebagai bapak etika ketiga, menggantikan posisi al-Fārabī. Sebenarnya ia
pun seorang sejarawan, tabib, ilmuan dan sastrawan. Di samping pengetahuannya
tentang filsafat Yunani Kuno, ia juga mempunyai pengetahuan yang sangat luas
tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India.19 Maka ia membuatkan karya
sejarah pula tentang pengalaman bangsa yang menemukan kejayaan dari masa
awal hingga pada kehidupan zamannya.
17 Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Nilai, h. 260.
18 Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku
Pertama, diterjemakan oleh Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan Pustaka, 2003), h. 310.
19 H. A. Mustafa, Filsafat Islam, h. 166.
31
Sedikitnya tokoh yang tertarik membahas Ibn Miskāwaih, mempunyai
dampak kurangnya referensi untuk mengetahui tentang Ibn Miskāwaih, terutama
dalam dunia pendidikannya. Maka banyak penulis yang tidak memasukkan
riwayat pendidikan Ibn Miskāwaih. Ibn Miskāwaih sendiri pun tidak menulis
tentang autobiografinya. Wajar banyak penulis yang lebih memilih tidak
mencantumkan riwayat pendidikan dengan melalui praduga. Dalam karya-karya
Ibn Miskāwaih pun tidak ditemukan autobiografinya.
Sungguhpun demikian, H. A. Mustafa memberikan penjarabaran dan
menceritakan kembali apa yang diceritakan Ahmad Amin tentang gambaran
pendidikan anak pada zaman ke-khalifah-an Abbasiyyah. Pada masa itu, anak-
anak biasanya diajarkan membaca, menulis, belajar al-Qur’ān, dasar-dasar bahasa
Arab, tata bahasa Arab (Nahwu), dan ’Arudh (ilmu membaca dan membuat
sebuah syair). Semua mata pelajaran tersebut diajarkan dengan melalui les privat,
ini pun hanya diberikan kepada anak yang mempunyai latar belakang keluarga
berada.20
Kemudian, anak akan diberikan ilmu lain ketika guru merasa ilmu dasar
sudah dikuasainya. Ilmu lain itu diantaranya ilmu fiqih, hādits, sejarah (khususnya
sejarah Arab, Persia, dan India), dan Matematika. Selain itu pula, anak akan
diajarkan ilmu lain, seperti musik, bermain caur, dan furusiyah (ilmu seperti
kemiliteran).21
Untuk mata pelajaran dasar, mungkin Ibn Miskāwaih masih mengikutinya,
namun untuk mata pelajaran lanjutan, sepertinya tidak. Hal ini melihat dari segi
ekonomi keluarganya yang kurang mampu untuk mendatangkan guru privat ke
20 H. A. Mustafa, Filsafat Islam, h. 168.
21 H. A. Mustafa, Filsafat Islam, h. 168.
32
rumah karena biayanya yang mahal. Ibn Miskāwaih mengembangkan ilmunya
dengan membaca buku, terutama ketika ia mendapatkan kepercayaan menguasai
perpustakaan Ibn al-’Amid, menteri Rukn al-Daulah, dan sebagai bendaharawan
’Adhud al-Daulah.22
C. Tokoh yang Mempengaruhi Ibn Miskāwaih
Ibn Miskāwaih mempunyai banyak guru, namun menurut penulis yang
sangat berpengaruh hanya sedikit. Banyak guru-guru Ibn Miskāwaih yang tidak
diketahui nama-namanya juga. Diantara guru-guru yang telah diketahui namanya
adalah Ibn al-Kammar, Abū Bakr Ahmad Ibn Kāmil al-Qadhi, Abū al-Thayyib al-
Rāzī, menteri al-Mahlabi sebagai guru Sastra, dan Ibn al-’Amid di bidang
arsitektur.23
Dalam beberapa referensi, hanya mencantumkan tiga tokoh yang
mempengaruhi Ibn Miskāwaih, yakni Ibn al-Kammar, Abū Bakr Ahmad Ibn
Kāmil al-Qadhi, dan Abū al-Thayyib al-Rāzī. Dalam beberapa karya tulis di
Indonesia yang membicarakan tentang Ibn Miskāwaih, ada yang percaya bahwa
Ibn al-Kammar dan Abū Bakr Ahmad Ibn Kāmil al-Qadhi merupakan guru di
bidang yang sama. Ada pula yang percaya keduanya berbeda bidang kajian ilmu.
Dan Abū al-Thayyib al-Rāzī sendiri berbeda dengan kedua tokoh lain. Alasan dua
tokoh lain tidak mempengaruhinya, karena Ibn Miskāwaih sendiri lebih tertarik
pada bidang sejarah dan akhlak.
Ibn al-Khammar merupakan guru filsafatnya yang termasuk dalam mufasir
ternama pada masanya dalam karya-karya Aristoteles. Pada filsafat Ibn
22 H. A. Mustafa, Filsafat Islam, h. 168.
23 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, h. 111.
33
Miskāwaih juga sedikit-banyaknya dipengaruhi oleh Aristoteles melalui ajaran
Ibn al-Khammar. Karena Ibn al-Khammar seringkali menyuruh Ibn Miskāwaih
untuk ikut andil dalam menerjemahkan karya Aristoteles, terutama di bidang
akhlak. Maka tak dapat dipungkiri bahwa karya tentang akhlak dari Ibn
Miskāwaih terdapat kesamaan dengan etika Aristoteles.24 Bahkan Ibn Miskāwaih
menulis dalam karyanya yang berjudul al-Fauz al-Asghar, berisi tentang uraian
sifat dasar Neoplatonisme yang sedikit tidak lazim, didalamnya ia mengklaim
bahwa para filsuf klasik (Yunani Kuno) tidak meragukan eksistensi dan keesaan
Tuhan sehingga tidak ada masalah mempertemukan pemikiran mereka dengan
Islam. Ia berpendapat seperti itu dengan menggunakan argumentasi Aristoteles
bahwa ada Penggerak pertama yang Tidak Bergerak, istilah tersebut sama dengan
Sang Pencipta.
Kemudian, Abū Bakr Ahmad Ibn Kāmil al-Qadhi (350 H). Ada yang
mengatakan bahwa ia adalah guru Ibn Miskāwaih dalam bidang filsafat, dan ada
pula yang mengatakan bahwa ia termasuk guru dalam bidang sejarah. Namun,
beberapa catatan menulis bahwa Abū Bakr Ahmad Ibn Kāmil al-Qadhi adalah
tokoh yang membantu Ibn Miskāwaih ketika Ibn Miskāwaih menuliskan karya
yang berjudul Tajārib al-Umam, karya tersebut hanya berisi tentang cerita
pengalaman bangsa-bangsa sejak awal hingga ke masa hidup Ahmad Ibn
Miskāwaih atau sekitar tahun 390 H.25
24 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, h. 111.
25 Moeflih Hasbullah & Dedi Supriyadi, Filsafat Sejarah, h. 211.
34
D. Karya Tulis Ibn Miskāwaih
Seperti yang telah dikupas pada pembahasan riwayat hidup Ibn
Miskāwaih, Ibn Miskāwaih lebih tertarik membahas dalam bidang sejarah dan
bidang akhlak. Maka tidak heran jika yang Ibn Miskāwaih tulis lebih banyak
dalam bidang akhlak atau ilmu pengetahuan umum yang ia disinambungkan
dengan akhlak, seperti karya Ibn Miskāwaih yang berjudul Tartib al-Sa’adah,
dalam karya itu ia menulis tentang akhlak dan politik, kemudian ia melanjutkan
menulis tentang akhlak dalam berpolitik. Atau kitab Tahdzīb al-Akhlāq yang
berisi tentang pendidikan akhlak yang dikupas dari asal-usul manusia yang
bermula dari tanah hingga kepada manusia, dijelaskan pula fakultas-fakultasnya
dan kesempurnaan manusia serta cara untuk mencapai pada titik dimana akan
menjadi manusia paling sempurna.
Beberapa orang mencatat bahwa semua karya Ibn Miskāwaih berjumlah
18 dan menyatakan bahwa ada dua karya Ibn Miskāwaih yang hilang, sehingga
yang dicatat hanya berjumlah 16 karya saja. Namun, penulis berhasil
mengumpulkan catatan-catatan dari buku-buku filsafat yang membahas Ibn
Miskāwaih dengan jumlah 19 karya. Nama-nama karya tulis Ibn Miskāwaih yang
berhasil ditemukan diantaranya adalah:
1. Al-Fauz al-Akbar, karya ini berisi tentang keberhasilan yang besar;
2. Al-Fauz al-Asghar, karya ini berisi tentang keberhasilan yang kecil;
3. Tajārib al-Umam, karya ini berisi tentang cerita pengalaman bangsa-bangsa
sejak awal hingga ke masa hidup Ahmad Ibn Miskāwaih;
4. Uns al-Farid, karya ini hanya berisi sekumpulan cerita anekdot, syair,
peribahasa, dan kata mutiara;
35
5. Tartib al-Sa’adah, karya ini berisi tentang akhlak, politik, dan juga akhlak
ketika berpolitik;
6. Al-Musthafa, karya ini hanyalah tentang syair-syair pilihan;
7. Jawidan Khirad, karya ini berisi kumpulan kata bijak;
8. Al-Jami;
9. Al-Siyar, karya ini berisi tentang aturan hidup;
10. Tahdzīb al-Akhlāq, karya ini berisi tentang pendidikan akhlak hingga manusia
menemukan titik teratasnya dengan cara spiritual dan dianggap paling mulia
dibandingkan yang lain, termasuk malaikat;
11. Ajwibah wa al-As’ilah fī al-Nafs wa al-Aql, karya ini berisi tentang tanya
jawab seputar jiwa;
12. Al-Jawāb fī al-Masā’il al-Salās, karya ini hanya sebuah jawaban dari tiga
masalah;
13. Tahārat al-Nafs, karya ini berisi tentang kesucian jiwa;
14. Risālah fi al-Ladzdzat wa al-Alam fī Jauhar al-Nafs, karya ini berisi tentang
kesenangan dan kepedihan jiwa;
15. Risalah fi Jawab fi Su’al Ali Ibn Muhammad Abū Hayyan al-Shufi fi Haqiqah
al-’Aql;
16. Risalah fi Haqiqah al-Aql, karya ini berisi tentang hakikat akal;26
17. On the Simple Drugs (tentang kedokteran);
18. On the compicition of the Bajats (seni memasak);
19. Kitab al-Ashribah (tentang minuman).27
26 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, h. 113.
27 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers, 2014),
h. 129.
36
Sebenarnya tidak hanya kitab-kitab yang Ibn Miskāwaih tulis. Risalah-
risalah Ibn Miskāwaih yang dicantumkan di atas juga termasuk risalah yang
lumayan tabal. Selain itu, ada risalah-risalah pendek Ibn Miskāwaih yang ditulis
dalam bahasa Parsi di Raudhoh al-Jannah. Pernyataan ini dikatakan oleh
Muhammad Baqir Ibn Zain al-Abidin al-Hawanshari yang dikutip oleh al-
Ahwani. Namun sangat disayangkan, risalah Ibn Miskāwaih dalam Raudhoh al-
Jannah tidak diketahui nama judulnya.28
Ibn Sīna sebagai tokoh yang satu zaman dengan Ibn Miskāwaih
berpendapat bahwa Ibn Miskāwaih tidak mampu berfalsafah. Pernyataan ini
sejalan dengan al-Tauhīdī. Asalannya hanyalah karena karya-karya kefalsafatan
Ibn Miskāwaih kurang terkenal pada masanya. Padahal, Ibn Miskāwaih
sebenarnya sama seperti tokoh lain yang menulis banyak topik, termasuk dalam
bidang falsafat. Seperti apa yang kita ketahui sekarang bahwa karya Ibn
Miskāwaih, terutama tentang etika banyak memberikan sumbangsih terhadap
falsafah, karena etika yang diuraikan oleh Ibn Miskāwaih sangatlah rapi dan
tersusun dengan baik. Inilah komentar dari tokoh yang satu zaman dengan Ibn
Miskāwaih terhadap karyanya.29 Namun, menurut Ibrahim Madkar, memang
sebenarnya Ibn Miskāwaih juga termasuk salah satu tokoh yang mempengaruhi
pada karya-karya yang Ibn Sīna tuliskan. Ada beberapa karya Ibn Miskāwaih
yang dikutip dan sebagai rujukan Ibn Sīna ketika Ibn Sīna menulis karya dalam
bidang psikologi.30
28 H. A. Mustafa, Filsafat Islam, h. 169.
29 Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, h. 310.
30 Zainal Abidin Ahmad, Ibnu Sina (Avicena) ; Sarjana dan Filosoof Besar Dunia
(Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 265.
37
Sebaliknya, menurut Muhammad Hamidullah dan Afzal Iqbal yang
menuangkan komentarnya karya berjudul ”The Emergence of Islam: Lectures on
the Development of Islamic World-view, Intellectual Tradition and Polity”,
menjelaskan bahwa Ibn Miskāwaih adalah orang pertama yang memaparkan
secara jelas ide tentang evolusi. Ini juga yang menjadi acuan oleh Dedi Supriyadi
menulis pada tulisannya tentang Ibn Miskāwaih, bahwa Iqbal sendiri lebih
menganggap Ibn Miskāwaih adalah seorang sejarawan, moralis, dan pemikir
teistis.31
31 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, h. 113.
38
BAB IV
MANUSIA MENURUT IBN MISKĀWAIH
A. Asal Usul Manusia
Dalam al-Fauz al-Ashghar, Ibn Miskāwah mengetengahkan uraian
tentang sifat dasar Neoplatonisme yang tidak lazim, didalamnya ia mengklaim
bahwa para filsuf klasik (Yunani) tidak meragukan eksistensi dan keesaan Tuhan,
sehingga tidak ada masalah ketika mempertemukan pemikiran filsuf klasik
dengan Islam. Ia bahkan mengklaim bahwa penyamaan Aristoteles mengenai
Sang Pencipta dengan ”Penggerak yang Tidak Bergerak” merupakan argumen
kuat tentang Sang Pencipta yang dapat diterima agama. Ibn Miskāwaih memiliki
kesimpulan bahwa tidak ada jalan rasional untuk memahami Tuhan, maka kita
harus mengikuti petunjuk-petunjuk agama dan pandangan-pandangan umum
kelompok agama. Ibn Miskāwaih sangat merasa peduli dalam upaya menyatukan
pandangan bahwa Tuhan menciptakan dunia dari ketiadaan dengan gagasan
nirputus Neoplatonisme.1
Dengan demikian, Ibn Miskāwaih yang memiliki kepercayaan pada
agama Islam, ia juga percaya bahwa dunia ada karena Allah yang menciptakan. Ia
meyakini Allah adalah Penggerak pertama yang tidak bergerak. Ia juga memiliki
pandangan bahwa ada beberapa pembahasan yang tidak dapat terjawab dengan
jalan rasional, akan tetapi dapat dicari dengan petunjuk-petunjuk agama. Maka
mencari informasi tentang asal mula manusia yang tidak akan terlepas dalam
penciptaan jagat raya, akan dikupas melalui argumentasi al-Qur’ān.
1 Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku
Pertama, diterjemakan oleh Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan Pustaka, 2003), h. 311.
39
Al-Qur’ān sebagai pedoman hidup umat Islam pun banyak
mengemukakan tentang jagat raya, seperti pada surat Qāf ayat 38:
م نا من لغوب ولقد خلقنا ٱلسذ يذام وما مسذرض وما بينهما ف ستذة أ
ت وٱل ٣٨و
Artinya: ”Dan sungguh, Kami telah menciptakan langit dan bumi dan apa yang
ada antara keduanya dalam enam hari (masa), dan Kami tidak merasa
letih sedikit pun”.
Juga pada surat al-Sajdah ayat 4:
يذام ثمذ ٱستوى لع ٱلعرش ما رض وما بينهما ف ستذة أ
ت وٱل مو ي خلق ٱلسذ ٱلذ لكم من ٱللذ
رون فل تتذكذ ول شفيع أ ٤دونهۦ من ول
Artinya: ”Allah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara
keduanya dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.
Bagimu tidak ada seorang pun penolong maupun pemberi syafa’at
selain Dia. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”.
Jadi, yang menciptakan jagat raya adalah Allah Sang Penggerak Pertama
yang Tidak Bergerak, seperti apa yang telah Aristoteles katakan. Dia menciptakan
jagat raya tidak secara langsung. Jagat raya yang ada seperti sekarang merupakan
proses penciptaan yang sangat panjang. Allah menciptakan langit dan bumi
beserta isinya dalam enam hari. Allah pun tidak merasa letih dalam proses
menciptakan jagat raya. Kemudian, setelah semuanya telah Allah ciptakan, Allah
bersemayam di atas ‘Arsy.
Ahmad Mustafā al-Marāgi dalam tafsir al-Marāgi menerangkan bahwa
penciptaan langit dan bumi dengan segala isinya terjadi dalam enam periode, dan
40
bukan dalam enam hari.2 Al-Qur’ān sendiri menjelaskan dan
mengumpamakannya satu hari yang dimaksud berbeda dengan satu hari yang ada
di bumi, seperti dalam surat al-Hajj ayat 47:
ا تع لف سنة ممذۥ إونذ يوما عند ربك كأ وعده ون ويستعجلونك بٱلعذاب ولن يلف ٱللذ ٤٧د
Artinya: ”Dan mereka meminta kepadamu agar adzab itu disegerakan, padahal
Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari
disisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu
(dibumi)”.
Juga dalam surat al-Ma’ārij ayat 4:
وح إله ف يوم كن مقدارهۥ خ لف سنة تعرج ٱلملئكة وٱلر ٤سني أ
Artinya: ”Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam
sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun”.
Maka hari yang dimaksud dalam proses penciptaan jagat raya bukanlah
perhitungan hari seperti apa yang ada di bumi. Satu hari di bumi terhitung dalam
24 jam, sedangkan al-Qur’ān memberi penjelasan dalam satu hari yang dimaksud
adalah sekitar 1000 tahun dan 50.000 tahun.
Ayat al-Qur’ān juga memberi penjelasan tentang waktu dan apa yang
diciptakan. Pertama penciptaan tujuh langit, di terangkan dalam surat Fussilat ayat
12:
2 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama
RI dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Penciptaan Bumi; dalam Perspektif Al-
Qur’an dan Sains, (Jakarta: Kementerian Agama, 2012), h. 20-21.
41
نيا ب ماء ٱدل وزيذنذا ٱلسذ مرها سماء أ
وح ف كهنذ سبع سموات ف يومني وأ فقضى مصبيح وحفظا
لك تقدير ٱلعزيز ٱلعليم ١٢ذ
Artinya: ”Lalu diciptakan-Nya tujuh langit dalam dua masa, dan pada setiap langit
Dia mewahyukan urusan masing-masing. Kemudian langit yang dekat
(dengan bumi), Kami hiasi dengan bintang-bintang, dan (Kami ciptakan
itu) untuk memelihara. Demikianlah ketentuan (Allah) Yang Maha
Perkasa, Maha Mengetahui”.
Kedua penciptaan bumi, tercatat dalam surat Fussilat ayat 9:
لك رب ٱلع ندادا ذۥ أ رض ف يومني وتعلون ل
ي خلق ٱل ئنذكم لكفرون بٱلذ
لمني ۞قل أ
٩
Artinya: ”Katakanlah, pantaskah kamu ingkar kepada Tuhan yang menciptakan
bumi dalam dua masa dan kamu adakan pula sekutu-sekutu bagi-Nya?
Itulah Tuhan seluruh alam”.
Ketiga tentang penciptaan isi bumi, tertulis dalam al-Qur’ān surat Fussilat ayat 10:
ائلني وجعل فيه يذام سواء للسذربعة أ
تها ف أ قو
ر فيها أ ١٠ ا روس من فوقها وبرك فيها وقدذ
Artinya: ”Dan Dia ciptakan padanya gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dan
kemudian Dia berkahi, dan Dia tentukan makanan-makanan (bagi
42
penghuni)nya dalam empat masa, memadai untuk (memenuhi
kebutuhan) mereka yang memerlukannya”.
Dengan demikian, enam masa pada penciptaan jagat raya dibagi menjadi
tiga. Pertama, ketika penciptaan tujuh langit terjadi dalam dua masa, pada setiap
langit memiliki fungsi tersendiri. Langit yang dekat dengan bumi dihiasi oleh
bintang-bintang, termasuk matahari. Kedua, dalam penciptaan bumi pun terjadi
dalam kurun waktu dua masa. Dan terakhir, karena sudah diketahui bahwa
penciptaan bumi terjadi dalam dua masa, maka dua masa selanjutnya adalah
proses penciptaan isi bumi.
Lebih rinci, penciptaan jagat raya dari awal sampai yang ada seperti
sekarang terdapat pada surat al-Nāzi’āt ayat 27 sampai 33:
ها بنى ماء م ٱلسذشد خلقا أ
نتم أ
ها ٢٧ءأ ى ها ٢٨رفع سمكها فسوذ خرج ضحى
غطش للها وأ
٢٩وأ
ها لك دحى رض بعد ذها ٣٠وٱل خرج منها ماءها ومرعى
ها ٣١أ رسى
بال أ متعا لذكم و ٣٢وٱل
نعمكم فإذا ٣٣ل
Artinya: ”Apakah penciptaan kamu yang lebih hebat ataukah langit yang telah
dibangun-Nya? Dia telah meninggalkan bangunannya lalu
menyempurnakannya, dan Dia menjadikan malamnya (gelap gulita),
dan menjadikan siangnya (terang benderang). Dan setelah itu bumi Dia
hamparkan. Darinya Dia pancarkan mata air, dan (ditumbuhkan)
tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung Dia pancangkan dengan
teguh. (Semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk hewan-hewan
ternakmu”.
43
Menurut ahli astronomi, bahwa ayat di atas menerangkan tentang enam masa
penciptaan jagat raya. Masa pertama pada ayat 27, memberi petujuk bahwa
penciptaan jagat raya sama seperti peristiwa Big Bang. Masa kedua pada ayat 28,
memberi informasi pengembangan alam semesta, benda-benda semakin terpisah
jauh. Masa ketiga pada ayat 29, dapat dipahami bahwa inilah masa penciptaan tata
surya serta proses bumi berotasi, sehingga adanya siang dan malam. Masa
keempat pada ayat 30, memberikan petunjuk tentang evolusi bumi. Masa kelima
pada ayat 31, inilah ayat yang memberikan gambaran awal mula adanya
kehidupan di bumi, diciptakannya air yang menjadi sumber kehidupan. Dan masa
keenam pada ayat 32 dan 33, timbulnya gunung-gunung akibat evolusi geologi,
dan mulai diciptakaannya hewan dan kemudian manusia.3
Jagat raya atau langit dan bumi mulanya menyatu. Kemudian meledak
seperti apa yang telah Big Bang gambarkan pada teorinya tentang jagat raya.
Selanjutnya benda-benda yang telah diledakkan terpisah menjauh. Setelah itu
muncullah bintang-bintang, termasuk matahari, dan pada masa inilah awal bumi
berotasi hingga terjadinya siang dan malam. Lalu Allah ciptakan mata air sebagai
sumber kehidupan dan pada sumber air itu di tumbuhi tumbuh-tumbuhan.
Terakhir Allah ciptakan hewan dan manusia.
Dalam kitab Tahdzib al-Akhlāq, Ibn Miskāwaih menguraikan proses
transformasi dari alam air atau alam mineral hingga alam manusia. Ini tertulis
pada wacana kedua dan menjadi sub-bab khusus. Teori ini tertulis menjadi empat
tahapan, yakni tahap alam mineral, alam tumbuhan, alam hewan, dan alam
3 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama
RI dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Penciptaan Bumi, h. 21-22.
44
manusia.4 Ibn Miskāwaih meyakini bahwa alam mineral yang pertama dengan
berargumentasi menggunakan al-Qur’ān surat al-‘Anbiyā ayat 30:
رض كنتا رتقا ففتقنهما وجعلنا من ت وٱل مو نذ ٱلسذ
نذ أ
ين كفروا أ و لم ير ٱلذ
ء ٱلماء كذ أ ش
فل يؤمنون أ ٣٠ح
Artinya: ”Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasannya langit
dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami
pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu
yang hidup. Maka mengapa mereka tidak juga beriman?”.
Ibn Miskāwaih berpendapat bahwa benda fisik memiliki definisi yang
sama, lalu akan berbeda derajatnya berdasarkan kemampuannya masing-masing
untuk menerima kesan mulia dan bentuk yang terjadi dalam diri mereka. Jika
benda mati tersebut menerima bentuk yang dapat diterima manusia, ia akan
menjadi lebih ungul dari tanah pertama yang tidak dapat menerima bentuk
semacam itu.5 Alam mineral yang dapat menerima bentuk tumbuhan adalah
karang.6 Mineral yang menggenang dan menjadi tanah pertama, akan terus
merubah bentuk dan menambahkan kemampuannya sehingga membuat dia lebih
tinggi derajatnya dari tanah pertama, dan pada titik tertinggi (karang) ia mendekati
dan dapat ditumbuhi tumbuhan.
4 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filsuf, dan Ajarannya (Bandung:
Pustaka Setia, 2013), h. 120.
5 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak; terjemahan kitab Tahdzib al-Akhla,
diterjemahkan oleh Helmi Hidayat (Bandung: Mizan Pustaka, 1994), h. 81.
6Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, h. 120.
45
Pada karang, maka alam mineral akan bertransisi ke alam tumbuhan.
Karang yang merupakan bentuk paling tinggi dari alam mineral dan dapat
menerima bentuk tumbuhan, ia akan menjadi lebih unggul dibandingkan benda
mati. Keungulan tersebut berupa daya nutrisi, tumbuh, menyebar, menyerap dari
tanah dan air apa saja yang cocok sesuai dengan wataknya, menolak apa yang
tidak cocok pada wataknya, dan membuang sisa-sisa makanan dalam tubuhnya
yang berupa getah, yang tibul karena makanan yang diolah pada tubuhnya.
Setapak demi setapak tumbuhan pun berubah dan menambahkan derajatnya.
Maka, ada tumbuhan yang hanya dengan perpaduan unsur-unsurnya, angin dan
sinar matahari. Tumbuhan ini berada di alam benda mati dan seperti benda mati
tersebut.7 Tumbuhan yang tumbuh pada karang yang dimaksud adalah spesies
tumbuhan seperti tumbuhan lumut. Dia tidak memerlukan yang lain untuk tumbuh
kecuali mineral dan sinar matahari. Ini juga spesies tumbuhan yang paling rendah.
Namun, spesies ini terus berkambang dan menghasilkan spesies dua spesies, yakni
spesies lama dan baru. Yang mana spesies baru mengungguli bentuk tumbuhan
dari spesies sebelumnya.
Ibn Miskāwaih memiliki pandangan bahwa tumbuhan yang tumbuh pada
benda mati, selanjutnya mengembangkan kualitasnya. Sebagian tumbuhan dapat
mengungguli sebagian tumbuhan lainnya dengan cara sistematis dan teratur
hingga pada sebagian tumbuhan muncul daya potensi berubah dan berkembang
biak melalui biji, sehingga dapat menumbuhkan tumbuhan seperti dirinya. Ini
merupakan pembeda dari spesies sebelumnya. Tumbuhan yang unggul seperti
7 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 82.
46
pohon zaitun, delima, anggur, dan pohon yang berbuah lainnya.8 Maksudnya, dari
spesies semacam lumut, terus berkembang dan menghasilkan dua spesies, yakni
spesies yang tetap dan spesies baru. Yang mana spesies baru ini mempunyai
kemampuan tambah dari spesies sebelumnya dan mengungguli spesies
sebelumnya, yang berkembang biak dengan cara lebih terstruktur.
Perkembangbiakan spesies baru melalui biji, yang mana dengan bijilah spesies
tersebut akan tumbuh sama seperti tumbuhan yang lama, tidak memiliki
perbedaan dengan tumbuhan sebelumnya.
Sebenarnya tumbuhan dapat tumbuh dengan tiga cara. Pertama dengan
unsur-unsur tertentu dan dengan bantuan angin serta sinar matahari hingga
muncullah tumbuhan lumut. Kedua dengan biji, biji pada tumbuhan berada dalam
buah seperti pada buah zaitun, delima, dan anggur. Kemudian dalam tanah, seperti
kacang tanah. Dan diluar buah seperti jambu mete. Ketiga, dengan menumbuhkan
tunas. Ada tunas baru di sekitar pohon induk yang tumbuh, seperti pohon bambu,
pisang, dan umbi-umbian. Tunas akan tumbuh melalui akar pada induk pohon,
semuanya akan seperti itu jika tunas baru sudah tumbuh besar menjadi induk
pohon.
Ibn Miskāwaih memiliki pandangan bahwa transisi alam tumbuhan ke
alam hewan melalui pohon kurma.9 Dengan melalui sepuluh cirinya hingga satu
tingkat lagi akan menjadi hewan. Satu tingkat yang tidak ada pada pohon kurma
adalah mencabut dirinya pada tanah sehingga dapat bergerak dan mencari
makanan untuk berkembang biak dan bertahan hidup, tidak menunggu makanan
yang akan dibawa oleh tiupan angin dan tidak menunggu hujan untuk minum,
8 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 82.
9 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 90.
47
tetapi ia mencari sumber air untuk menimunnya. Pada simbol ini, Ibn Miskāwaih
menggunakan sabda Rasullallah Saw., ”Hormatilah bibi kalian, pohon kurma,
sesungguhnya ia diciptakan dari sisa tanah (yang digunakan untuk menciptakan)
Adam”. Jikalau tumbuhan mengembangkan kapasitasnya untuk bergerak dan
mencari makanan hingga tidak hanya menunggu diberi saja, pastilah akan
mempunyai organ-organ, tidak lama lagi tumbuhan tersebut akan menjadi
hewan.10 Jadi, Ibn Miskāwaih menganggap pohon kurmalah yang paling dekat
dengan alam hewan, apabila pohon kurma telah mampu mencabut dirinya dari
tanah, mempunyai organ-organ, dan mampu mencari makan sendiri, maka pohon
kurma akan berubah menjadi hewan.
Menurut Ibn Miskāwaih, organ-organ pada hewan pun berkembang sejak
keberadaan hewan pertama hingga menjadi hewan kedua. Dimana hewan kedua
akan lebih unggul dari pada hewan pertama, seperti halnya tumbuhan kedua
mengungguli tumbuhan pertama. Hewan terus meningkatkan kualitas-kualitasnya
hingga dapat merasakan kondisi dalam tubuhnya, seperti rasa nikmat dan sakit.
Hewan akan bergerak mencari makanan sendiri. Setelah tahap ini, hewan sanggup
menerima ilham dari Allah, hingga mengetahui apa yang baik dan yang buruk
baginya.11 Hewan akan merasakan nikmat jika hewan tersebut menerima manfaat
dari apa yang telah ia makan, dan akan merasakan sakit jika ada yang
membuatnya kesakitan, sakit tersebut dapat disebabkan karena makanan yang
telah ia makan ataupun luka yang ada di badannya.
Ibn Miskāwaih mempunyai keyakinan bahwa hewan-hewan yang dekat
dengan tumbuhan berkembang biak dengan cara aseksual (tidak perlu kawin). Ibn
10 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 83.
11 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 83.
48
Miskāwaih mencontohkannya dengan cacing, lalat, dan serangga rendah lainnya.
Hewan-hewan tersebut tidak perlu kawin untuk mengembangkan keturunannya.
Sebagian dari mereka ada yang tidak diketahui jenis kelaminnya (jantan atau
betina). Meskipun telah diketahui jantan dan betina, pada suhu yang berubah
disebabkan oleh cuaca, sangat berpengaruh pada kelaminnya, yang mana
terkadang hewan jantan akan menjadi betina dan hewan betina akan menjadi
jantan.12 Pada suhu tertentu, hewan aseksual yang berkelamin jantan akan menjadi
betina. Dan apabila temperatur suhu berubah, maka biasanya kelamin hewan
tersebut pun berubah kembali.
Ibn Miskāwaih berpendapat bahwa dalam proses perkembangbiakan
hewan, sama halnya dengan tumbuhan, sebagian dari keturunannya ada yang
seperti hewan pertama, ada pula yang berkembang mempunyai daya tambahan
dari hewan pertama. Daya tersebut menambahkan kualitas-kualitas hewan spesies
kedua dari hewan spesies pertama. Daya pada hewan tersebut seperti rasa amarah
yang akan mendorongnya mempunyai rasa ingin bertahan hidup dari apa yang
buruk. Serta memdapatkan senjata sesuai kemampuan untuk menggunakannya.
Jika hewan tersebut mempunyai rasa amarah yang sangat kuat, maka senjata yang
dimilikinya pun akan sangat kuat. Akan tetapi, jika hewan tersebut mempunyai
rasa amarah kurang kuat, maka senjata yang dimilikinya pun akan kurang kuat
juga. Dan jika hewan tersebut merupakan hewan yang mempunyai rasa amarah
yang sangat lemah, maka hewan tersebut tidak akan mempunyai senjata apa-apa
untuk melawan, hanya saja mempunyai alat untuk melarikan diri dan
12 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 83.
49
mempertahankan dirinya dari hal buruk seperti lari cepat, kemampuan mengecoh,
atau terbang.13
Ibn Miskāwaih mengira hewan akan melakukan segala hal sesuai
kemampuan untuk menjaga diri, keturunan, bahkan kelompoknya. Yang
dilakukannya bisa seperti berpindah tempat untuk mempermudah mencari
makanan, karena makanan yang ada pada lingkungannya telah habis dan tidak
pasti di lingkungan tersebut kapan akan ada cadangan makanan lagi. Bisa juga
membuat sarang untuk melindungi diri dari musuh, dalam sarang dapat
melindungi anak keturunannya juga, merawat serta mengajarkan mereka cara
hidup di alam liar. Kemudian, ada juga menyerang musuh dengan kemampuan
yang dimilikinya, dengan cara menyeruduk jika hewan itu bertanduk seperti
kerbau, menusuk duri yang ada dalam tubuhnya seperti yang dilakukan landak
dan lebah, bahkan mematuk dan meninggalkan racun seperti yang dilakukan ular
yang memiliki bisaa.14
Ibn Miskāwaih menganggap bahwa cara hewan berkembangbiak ada dua.
Pertama, dengan telur. Hewan-hewan yang berkembangbiak dengan melalui telur
biasanya tidak memiliki daun telinga dan tidak menyusui keturunannya, seperti
unggas dan ikan. Namun, tidak semua ikan berkembangbiak dengan telur, ada
pula ikan yang berkembangbiak dengan cara lain. Biasanya, indukan akan
mengeluarkan telur dalam tubuhnya, dan akan mewayatnya dalam sarang hingga
beberapa waktu, mengendalikan suhu agar tetap hangat hingga menetas. Kedua,
dengan melahirkan. Hewan yang melahirkan biasanya memiliki daun telinga dan
menyusui keturunannya, seperti kerbau, kambing, unta, dan ikan yang tidak
13 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 83.
14 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 84.
50
bertelur. Hewan yang melahirkan, biasanya akan lebih lama dalam kandungan
induknya. Namun, ketika indukan mengelahirkan anaknya, beberapa saat anaknya
bisa langkung melihat dunia.15
Menurut Ibn Miskāwaih, hewan-hewan terus berkembang dan memiliki
daya tambah hingga sebagian dari hewan tersebut mendekati alam manusia.
Hewan yang mendekati alam manusia tidak bertelur, mempunyai daun telinga,
dan melahirkan. Yang sangat dekat dengan alam manusia adalah sejenis kera.16
Hewan sejenis kera mempunyai amarah dan dianugerahi Allah dengan memiliki
kemampuan kecerdikannya dalam mencari makanan, bertahan hidup, menjaga diri
dari musuh, dan menjaga keturunannya. Hanya saja, kera tidak mempunyai
kecerdasan, rasa untuk membedakan, hingga rasa rasionalitas. Sebenarnya, jika
kera tersebut dapat melewati tingkat tersebut, ia dapat menjadi manusia.
Ibn Miskāwaih memiliki keyakinan bahwa derajat pertama pada alam
manusia, yang masih dekat dengan alam hewan, yakni orang yang hidup di daerah
terpencil, baik daerah utara maupun selatan. Daerah tersebut dapat kita lihat di
negeri Juj dan Makjuj yang merupakan orang-orang Turki terpencil. Selain itu,
oranag-orang Negero yang hidup di daerah terpencil dan bangsa-bangsa lain yang
hanya memiliki sedikit perbeda derajat dengan derajat kera. Kemudian mereka
akan bisa merasakan perbedaan mereka dengan kera, ketika mereka telah
berpindah ke daerah yang telah lebih dulu mengenal peradaban.17 Di daerah yang
telah mengenal peradaban, mereka akan belajar dari manusia yang tinggal di
daerah tersebut, bahkan kemungkinan akan diajari, sehingga dapat menumbuhkan
15 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 84.
16 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, h. 120.
17 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 85.
51
daya memahami dalam diri mereka, mereka dapat membedakan serta menerima
kebajikan, serta akan mulai menggunakan pikirannya hingga dapat merasakan
rasionalitas.
B. Manusia dalam Pandangan Ibn Miskāwaih
Manusia dalam bahasa Inggris disebut man, merupakan asal kata dari
bahasa Anglo-Saxon, yakni mann. Arti dasar dari kata man memang tidak jelas.
Akan tetapi, Lorens Bagus mengaitkannya dengan kata mens dalam bahasa Latin,
yang berarti ada yang berpikir.18 Atau dalam bahasa Arab disebut insān. Al-
Ghazālī mengatakan bahwa manusia adalah hewan yang berpikir ”Insān hayawān
nātiq”.19 Jamil Shaliba meyakini bahwa kata insān ditunjukkan pada manusia yang dari
segi sifat saja, bukan fisik atau tubuhnya.20 Sifat di sini berarti sifat-sifat yang baik dan
terpuji, seperti sifat kasih sayang.
Ibn Miskāwaih memiliki pandangan bahwa substansi pada manusia
adalah aktivitasnya yang sangat khas, aktivitas tersebut tidak ada pada makhluk
lain di dunia ini sehingga menjadi pembeda dengan makhluk lainnya. Manusia
merupakan benda alam yang paling mulia. Akan tetapi, apabila manusia tersebut
tidak melakukan aktivitasnya yang khas tersebut, maka manusia tersebut akan
seperti kuda yang tidak berperilaku seperti kuda, namun akan digunakan seperti
18 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 564.
19 Imam Ghazali, Tahafut al-Falasifah, diterjemahkan oleh Ahmad Maimun (Bandung:
Marja, 2016), Cet. V, h. 143.
20 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 257-258.
52
keledai untuk membawa muatan, dan jika seperti itu serta tidak merubahnya maka
lebih baik mati ketimbang hidup.21
Jadi, yang membedakan antara manusia dengan makhluk lain di dunia ini
adalah substansinya yang tidak dimiliki makhluk lain. Substansi yang menjadi ciri
khas pada manusia adalah daya berpikirnya. Dengan daya berpikirnya, manusia
dapat melatih karakternya untuk mengangkat derajat diri sendiri dari yang paling
tercela. Ketika manusia tidak melakukan hal ini, maka sesungguhnya ia sangat
merugi pada dirinya dan manusia disekitarnya. Dan ketika manusia tersebut tidak
ada keinginan untuk merubahnya, maka sebenarnya ia telah menghinakan dirinya
sendiri.
Ibn Miskāwaih berpandangan bahwa manusia tidak hanya terdiri dari
tubuh saja, namun ada pula jiwa. Jiwa tidak dapat ditangkap oleh indera jasmani.
Pada wujudnya, jiwa tidak membutuhkan tubuh.22 Jiwa menyerap hal yang sangat
kompleks dan sederhana, yang ada atau tidak ada, yang terasakan dan tidak
terpikirkan. Ibn Miskāwaih menguatkannya dengan dua argumentasi, pertama
adalah yang serupa menyerap yang serupa. Dan kedua adalah jiwa memiliki satu
unsur yang menyerap materi yang kompleks dan nonmateri yang sederhana
dengan cara lain. Jiwa memiliki tiga tingkatan, yaitu tingkatan hewan dalam
spesies rendah, tingkatan hewan dalam spesies seperti singa, dan tingkatan pada
jiwa berpikir tingkat rasional.23
21 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 60.
22 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 90.
23 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 68.
53
Ibn Miskāwaih berpendapat bahwa faktor yang membedakan jiwa
manusia dari jiwa hewan adalah potensi akal pada manusia, yang mana hewan
tidak memiliki potensi akal. Fungsi potensi akal adalah untuk memiliki
pengetahuan teoritis dan pengetahuan praktis. Manusia paling sempurna
kemanusiaannya adalah manusia yang paling benar aktivitas berpikirnya dan
paling mulia ikhtiarnya. Manusia paling sempurna ialah ia yang dapat
membedakan manusia dengan hewan. Manusia wajib memaksimalkan
perjuangannya untuk meraih kebaikan dan menjauhi kejahatan.24
Untuk mewujudkan kebaikan tersebut, perlu adanya kerjasama antar
manusia. Artinya, manusia tidak dapat meraihnya sendiri tanpa berkelompok.
Manusia harus saling mencintai dan menyadari bahwa kesempurnaan dirinya
tergantung pada kesempurnaan manusia lain yang ada disekelilingnya. Jika tidak
saling membantu, maka kebaikan, kebahagiaan, dan kesempurnaan tidak akan
tercapai. Manusia yang mengabaikan kebutuhan ini, ia berbuat tidak adil, karena
ia menginginkan pelayanan tanpa ia melayani. Ia menganggap bahwa manusia
yang lain lebih rendah dari pada dirinya.25
C. Jiwa dalam Pandangan Ibn Miskāwaih
Jiwa dalam bahasa Inggris adalah soul dan dalam bahasa Sanskerta
adalah jiva¸istilah ini mengacu pada pelaku pengendali, pusat pengaturan, atau
prinsip vital pada manusia.26 Namun, terkait degan jiwa pada manusia, salah satu
pandangan filsuf sebelum Ibn Miskāwaih, yakni al-Fārābī menganggap bahwa
24 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 91.
25 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 91.
26 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 379-381.
54
jiwa manusia adalah substansi imateri yang tidak hancur dengan hancurnya badan.
Jiwa pada manusia dipancarkan oleh Akal X ketika tubuh sudah siap untuk
menerimanya.27 Juga al-Kindī mengutarakan bahwa jiwa adalah suatu wujud yang
sederhana dan zatnya terpancar dari Sang Pencipta, persis sebagaimana sinar
terpancar dari matahari. Jiwa bersifat spiritual, ketuhanan, terpisah dan berada dari
tubuhh. Jika jiwa dipisahkan dari tubuh, maka jiwa mendapatkan pengetahuan
tentang segala yang ada di dunia dan melihat hal yang dialami. Jika jiwa terpisah
dari tubuh, maka jiwa akan kembali kepada Sang Pencipta dan bertemu dengan-
Nya.28
Ibn Miskāwaih mempunyai pandangan tentang jiwa manusia adalah
sesuatu yang bertentangan dengan perbuatan fisik dan bagian-bagian pada tubuh,
sesuatu tersebut memiliki perbuatan yang bertentangan dengan perbuatan tubuh.
Sesuatu tersebut bukan tubuh, bukan juga bagian dari tubuh, dan bukan pula
bentuk. Sesuatu tetsebut tidak dapat berganti-ganti dan tidak dapat berubah-ubah.
Ia mengetahui sesuatu dalam derajat yang sama, tidak pernah menyusut, tidak
pernah melemah, dan tidak pernah berkurang.29
Ibn Miskāwaih memberikan penjelasan tentang jiwa, bahwa sesunguhnya
tiap benda memiliki bentuk tertentu, dengan demikian bentuk tertentu tersebut
tidak mungkin bisa menerima bentuk lain selain bentuknya yang pertama, kecuali
benda tadi telah benar-benar terpisah dengan bentuknya yang pertama. Ibn
Miskāwaih mencontohkan dengan segi tiga yang tidak mungkin menerima bentuk
27 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 68.
28 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, h. 66.
29 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 35.
55
segi empat, lingkaran, dan lainnya kecuali sesudah benda tersebut terpisah dari
bentuk yang pertama.30
Lebih lanjut, Ibn Miskāwaih berpandangan bahwa entitas lain dari jiwa
adalah ketika semakin jiwa jauh dari hal yang bersifat jasadi maka semakin
sempurna dan bebas dari indera. Apabila jiwa semakin kuat, maka jiwa tersebut
semakin mampu untuk mempunyai penilaian yang benar dan semakin menangkap
ma’qulat yang simpel. Jelas bahwa substansi jiwa berbeda dengan tubuh, jiwa
lebih mulia dari pada tubuh dan lebih tinggi dari semua benda yang ada di alam
ini.31
Jiwa lebih memilih untuk menjauhi sifat jasadi, karena sebenarnya jiwa
cenderung memiliki keinginan untuk mengetahui Tuhan atau Penggerak Pertama
yang tidak dapat diperoleh melalui indera. Jiwa lebih menyukai apa yang lebih
mulia dari hal yang bersifat jasmani. Jiwa juga lebih menjauhi dari kenikmatan-
kenikmatan yang bersifat jasmani untuk mendapatkan kenikmatan akal. Ini
menunjukkan bahwa substansi jiwa lebih tinggi dan mulia dibandingkan dengan
benda-benda yang bersifat jasadi.32
Meskipun demikian, sebenarnya indera pun berperan penting untuk jiwa.
Jiwa banyak mendapatkan ilmu pengetahuian melalui indera, akan tetapi jiwa
memiliki prinsip lain dan tingkah laku yang lain juga, yang sama sekali bukan
diperoleh dari indera. Indera hanya mampu mengetahui obyek yang hanya
30 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 35.
31 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 37.
32 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 37.
56
diperoleh dari indera, namun jiwa dapat mengetahui sebab-sebab yang bertolak
belakang dengan indera.33
Menurut Ibn Miskāwaih, jiwa memiliki tiga bagian. Pertama, yang
berkaitan dengan berpikir, melihat, dan mempertimbangkan realitas segala
sesuatu. Bagian pertama ini disebut juga bagian raja dan organ tubuh yang
digunakan adalah otak. Kedua, yang diungkapkan dengan melalui marah, berani
menghadapi bahaya, ingin berkuasa, menghargai diri, dan keinginan yang
bermacam-macam yang berhubungan dengan sifat kehormatan. Pada bagian ini,
disebut juga bagian binatang buas dan organ tubuh yang digunakan adalah
jantung. Dan ketiga, yang membuat kita memiliki nafsu syahwat, menginginkan
kenikmatan makan, minum, bersetubuh, dan kenikmatan-kenikmatan inderawi
lainnya. Sedangkan pada bagian ini disebut bagian binatang dan organ tubuh yang
digunakan adalah hati.34
Tiga bagian jiwa ini tidak semuanya bertahan pada manusia. Yang mana
salah satu dari tiga bagian ini akan mengungguli dari yang lain dan
menghilangkan bagian-bagian yang lain. Apabila aktivitas jiwa kebinatangan
memadai dan dapat dikendalikan oleh jiwa berpikir, maka jiwa kebinatangan
tersebut tidak dapat melawan jiwa berpikir. Jiwa tidak akan tenggelam dalam
keinginannya sendiri, namun jiwa akan mencapai pada kebajikan sikap sederhana,
dan akan diiringi oleh sifat dermawan. Kemudian, ketika aktivitas jiwa amarah
memadai dan mematuhi segala aturan yang telah ditetapkan oleh jiwa berpkir,
33 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 38.
34 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 43.
57
serta tidak bangkit pada waktu yang tidak tepat, maka jiwa ini mencapai kebajikan
tingkat sadar yang akan diiringi oleh kebajikan sikap berani.
Ibn Miskāwaih memiliki pandangan bahwa kebajikan ada lima yang
mana ini merupakan bagian dari sifat yang muncul pada jiwa manusia. Namun
dua kebajikan diantara lima tersebut harus diuraikan agar lebih mudah dipahami.
Pertama, kearifan. Bagian-bagian dari kearifan diantaranya:
Pandai, yakni mudahnya membuat kesimpulan-kesimpulan dan
kesimpulan tersebut dapat dengan mudah ditangkap dan dipahami oleh
jiwa.,
Ingat, ialah menetapnya konsep atau gambaran yang telah berhasil disusun
pada jiwa atau imajinasi.,
Berpikir, merupakan usaha jiwa untuk mencocokan obyek yang telah
dipelajari dengan keadaan pada obyek yang sebenarnya.,
Kejernihan pikiran, adalah kesiapan jiwa untuk menerima menyimpulkan
atas apa yang telah dikehendaki.,
Ketajaman dan kekuatan otak, ialah kemampuan jiwa untuk merenungkan
pengalaman yang telah berlalu.35
Kedua, sederhana. Bagian-bagian dari sikap sederhana adalah:
Rasa malu, yakni bertindak menahan diri karena takut melakukan hal-hal
yang tidak sepantasnya, serta kehati-hatian menghindari sifat tercela yang
mana akan merendahkan dirinya sehingga menjadi terhina.,
35 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 46.
58
Tenang, ialah kemampuan seseorang untuk menguasai dirinya ketika hawa
nafsu dalam keadaan bergejolak.,
Sabar, adalah tegarnya diri terhadap gempuran hawa nafsu, sehingga tidak
terjebak pada tidak baiknya kenikmatan inderawi.,
Integritas, yaitu kebajikan jiwa yang membuat seseorang mencari harta di
jalan yang benar, mengeluarkan harta pada jalan yang benar juga.,
Puas, arti puas di sini tidak berlebihan ketika makan, minum, dan berhias.,
Loyal, adalah bersemamngat dalam mencapai kebaikan serta tunduk pada
hal-hal terpuji.,
Optimis, merupakan keinginan melengkapi jiwa dengan moral yang
mulia.,
Kelembutan, maksudnya lembut hati yang sampai ke jiwa dari watak yang
bebas dan kegelisahan.,
Anggun dan berwibawa, adalah ketegaran jiwa dalam menghadapi gejolak
tuntutan duniawi.,
Wara’, merupakan pencetakan diri agar senantiasa berbuat baik, sehingga
mencapai kesempurnaan jiwa.36
Tiga kebajikan lainnya, yang pertama adalah sifat berani. Sifat pada
bagian ini seperti tegar, ulet dalam bekerja, tenang, tabah, menguasai diri, dan
perkasa. Kemudian sifat dermawan, bagian ini seperti sifat murah hati,
mementingkan orang lain, rela, berbakti, tangan terbuka, dan pengampunan. Dan
terkahir adalah sifat adil. Sifat ini seperti bersahabat, semangat dalam bersosial,
36 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 47.
59
bersilaturahmi, memberi imbalan, bersikap baik dalam bekerja sama, jeli dalam
memutuskan masalah, cinta kasih, beribadah, dan lainnya.37
D. Tingkatan dan Substansinya
Dari sekian banyak substansi, manusia mempunyai beragam kesiapan
untuk menerima beragam tingkatan. Maka setiap orang mempunyai tingkat
harapan berbeda untuk meningkatkan dirinya sendiri. Semua itu terjadi karena
kekuatan Penciptanya. Sungguhpun demikian, untuk membuat substansi menjadi
baik, akan kembali kepada orang itu sendiri dan bergantung pada yang
dikehendakinya. Akan terlihat pada perilakunya dan bisa terjadi atas pengaruh
lingkungan. Bisa jadi sama dengan lingkungan sekitar, atau mungkin berbanding
terbalik dengan lingkungan jika ia merasa bahwa lingkungannya tidak cocok
dengan keinginannya.
Ibn Miskāwaih menganggap bahwa manusia memiliki dua fakultas yakni
kogntif dan praktis, karenanya kesempurnaan manusia juga ada dua jenis.
Pertama, dengan fakultas kognitif, manusia lebih cenderung kepada bermacam
ilmu dan pengetahuan. Kedua, dengan fakultas praktis, manusia lebih
mengorganisasikan semua hal-hal. Keduanya dikupas oleh para filsuf, mereka
mengatakan bahwa filsafat dibagi menjadi dua, yakni teoretis dan praktis. Apabila
seseorang menguasai keduanya, maka orang tersebut telah mencapai puncak
kesempurnaan.38
37 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 48-49.
38 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 63.
60
Ibn Miskāwaih memiliki pandangan bahwa dengan fakultas kognitif,
seseorang akan merindukan pengetahuan. Karena konsep pada pengetahuannya di
anggap lebih akurat. Apabila telah terjadi seperti ini, seseorang tersebut akan
merasa lebih percaya diri, karena argumentasinya memiliki data yang konkrit.
Dengan ini, ia tidak akan meragukan suatu kebenaran dan tidak akan melakukan
kesalahan dalam keyakinannya. Dengan mengetahui semua maujud, ia akan
bergerak maju secara sistematis mencapai pengetahuan Ilahi, dimana pengetahuan
Ilahi tersebut merupakan pengetahuan tertinggi. Pada pengetahuan Ilahilah ia akan
merasakan ketentraman pada jiwanya, ketenangan pada hatinya, dan keraguan
pada dirinya akan hilang, serta tampak jelas dalam keinginannya hanyalah bersatu
dengan Ilahi.39
Ibn Miskāwaih mengatakan bahwa dengan fakultas praktis, yakni
kesempurnaan karakter. Diawali dengan menertibkan fakultas-fakultas dan
aktivitas yang khas hingga tidak saling berbenturan, hidup harmonis dalam
dirinya, hingga semua aktivitas sesuai dengan fakultas yang tertata dengan baik.
Dan diakhiri dalam kehidupan sosial, atau akan diterapkan dalam bermasyarakat.
Dimana masyarakat akan merasakan kebaikan, tidak merasa rugi seperti individu
itu sendiri.40
Ibn Miskāwaih meyakini bahwa kesempurnan teoretis dan praktis
merupakan satu-kesatuan yang seharusnya tidak dapat dipisahkan. Satu
kesempurnaan tidak lengkap jika tidak ditunjang oleh kesempurnaan lain, sebab
pengetahuanlah yang menjadi awal dari sebuah perbuatan. Dengan kata lain,
pengetahuan menjadi sebab dan perbuatan menjadi akibat. Mustahil ada akibat
39 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 63.
40 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 63-64.
61
tanpa ada sebab. Kesempurnaan manusia seperti inilah yang disebut sebagai
objek, objek dan kesempurnaan sebenarnya satu. Apabila berbeda, hanyalah dari
sudut pandang. Jika kita melihat hal demikian, ketika masih dalam jiwa dan belum
aktual, maka itulah objek. Tetapi, jika teraktualisasikan dan sudah menjadi
sempurna, maka itulah kesempurnaan.41
Dari penjelasan di atas, Ibn Miskāwaih pun melanjutkan bahwa manusia
yang telah menegetahui seluruh maujud akan mencapai kesempurnaannya dan
dapat memperlihatkan akitivitasnya yang khas dalam dirinya. Maksudnya, ia
mengetahui bentuk esensinya, bukan aksiden-aksiden dan sifat-sifatnya yang
membuat jumlahnya tidak terbatas. Karena, apabila anda mengetahui universalitas
maujud-maujud ini, niscaya anda akan mengetahui juga partikularnya, karena
partikular tidak terpisahkan dengan universalitasnya. Apabila kesempurnaan ini
telah anda capai, maka lengkaplah kesempurnaan tersebut yang dibuktikan dengan
sikap teratur, tersusunlah fakultas dan bakat anda secara ilmiah, sesuai ilmu yang
telah dikuasai.42
Menurut Ibn Miskāwaih, jika anda telah mencapai tahap ini, maka anda
layak disebut mikrokosmos. Karena, bentuk semua maujud akan hadir dalam alam
pikiran anda. Semua yang hadir dalam pikiran anda, akan menjadi teratur dan
mempunyai arti. Semua itu adalah wakil dari Pencipta segala sesuatu. Anda pun
tidak akan melenceng dari tatanan arif dan asli-Nya. Pada saat itulah anda telah
menjadi satu dunia yang sempurna. Maujud sempurna ini abadi. Anda tidak akan
terputus dari kebahagiaan yang abadi, karena kesempurnaan anda membuat anda
41 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 64.
42 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 64.
62
lebih siap menerima pancaran Ilahi selamanya, dan anda dengan-Nya sangatlah
dekat, sehingga tidak akan ada yang dapat memisahkan anda dari-Nya.43
Penjelasan di atas merupakan tingkat paling tinggi dan kebahagiaan
terakhir. Ibn Miskāwaih meyakini bahwa jika inidividu manusia tidak dapat
mencapai kedudukan ini, menyempurnakan bentuk kemanusiaannya dengan
kedudukan ini, serta memperbaiki kekurangan yang ada dalam dirinya dengan
cara mengubah setapak demi setapak kedalam kedudukan ini, maka posisi
sebenarnya adalah sama dengan hewan ataupun tumbuhan, pada akhirnya
hanyalah sesuatu yang sirna melalui transformasi yang dialaminya dan
kekurangannya tidak dapat diperbaiki. Mustahil ia akan mencapai kekekalan dan
kebahagiaan abadi dengan mendekat pada Tuhan yang menciptakan alam dan
masuk dalam Surga-Nya. Jika manusia tidak dapat membayangkan situasi seperti
ini, hanya memiliki pengetahuan setengah, tidak dapat memahaminya, sebenarnya
ia dilanda kebimbangan. Apabila manusia tersebut hancur tubuhnya, maka
lenyaplah manusia itu, persis seperti yang terjadi pada hewan dan tumbuhan. Jika
telah seperti ini, kafirlah orang tersebut. Dianggap pula telah keluar dari kearifan
serta hukum agama.44
E. Kesempurnaan Manusia dan Cara Memperolehnya
Manusia sempurna dalam bahasa Arab berarti Insān al-Kāmil.45 Menurut
Murtadha Muthahhari, arti sempurna dalam kata Insān al-Kāmil tidak identik
43 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 64.
44 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 64.
45 Abu Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam; Telaah Historis dan
Perkembangannya, diterjemahkan oleh Subkhan Anshori dari kitab Makdal ila al-Tasawuf al-
Islami (Jakarta; Gaya Media Pratama, 2008), h. 154.
63
dengan kata lengkap, walaupun keduanya berdekatan dan mirip. Kata ”Lengkap”
mengacu pada sesuatu yang telah disiapkan menurut rencana. Sesuatu mungkin
bisa saja lengkap, akan tetapi masih ada yang lebih tinggi kelengkapannya, itulah
yang dimaskud dari al-Kāmil.46
Ibn Miskāwaih memiliki pandangan bahwa sebagian orang menganggap
kesempurnaan serta tujuan hidup manusia hanyalah kenikmatan secara inderawi
saja. Kenikmatan inderawi diyakini sebagai puncak dan kebahagiaan terakhir.
Mereka juga menganggap bahwa seluruh fakultas lain manusia diciptakan Tuhan
dalam dirinya demi kenikmatian inderawi, yang kita sebut jiwa rasional,
menurutnya adalah mulia, dan dianugerahi Tuhan kepadanya untuk mengatur dan
menilai perilakunya, namun tetap diarahkan demi mencapai kenikmatan inderawi
itu. Karena, tujuan akhir hidup mereka adalah menikmati kenikmatan secara
inderawi dengan sepuas-puasnya. Mereka berpendapat bahwa fakultas-fakukltas
jiwa berpikir, terdiri dari daya mengingat, menghafal dan menganalisis,
mempunyai maksud untuk mencapai tujuan inderawi. Apabila manusia mengingat
kenikmatan makan, minum, seks, ataupun yang lainnya, maka manusia tersebut
akan merindukannya, dan berusaha untuk menikmatinya kembali. Pandangan
seperti inilah yang membuat manusia dalam posisi hanya menjadi hamba sahaya
yang bekerja untuk melayani hawa nafsu, dalam rangka untuk memperoleh
kepuasan makan, minum, maupun seks, dan akan terus menatanya demi kepuasan
itu.47
46 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf (Jakarta; Amzah,
2012), Cet. II, h. 93.
47 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 64-65.
64
Ini merupakan pendapat dari kebanyakan masyarakat yang bodoh dan
hina. Hal-hal yang demkian, mereka jadikan tujuan hidup, mereka merindukan
ketika mereka ingat akan surga dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Ketika
sholat dan berdoa, memang ia meninggalkan duniawi, namun semua itu mereka
lakukan atas dasar pamrih dan berharap keuntungan yang berlipat ganda. Mereka
meninggalkan kenikmatan yang sedikit demi mendapat kenikmatan yang lebih
banyak. Mereka campakkan kenikmatan dalam dunia fana, demi mendapatkan
kesenangan kekal. Mereka yang mempunyai sifat seperti ini, jika ada orang yang
membicarakan tentang malaikat, mereka akan mengatakan bahwa malaikat itu
bersih, terhindar dari hal keji seperti ini, malaikat paling dekat dengan Allah Swt.,
dibandingkan dengan manusia, lebih tinggi derajatnya, dan bebas dari objek-objek
yang dihajatkan oleh manusia. Sebenarnya, mereka tidak ada bedanya dengan
hewan yang hidup hanya untuk mencari kenikmatan inderawi. Memang mereka
sejatinya manusia, namun tidak dapat mengendalikan pikirannya.48
Beberapa dari mereka mulai menyadari, bahwa kenikmatan yang mereka
peroleh hanyalah kenikmatan yang sifatnya hanya sementara, karena yang mereka
rasakan selalu berulang dan akan terus berulang. Mereka sadar bahwa tubuh
terdiri dari berbagai sifat yang bertentangan, yakni panas, dingin, kering, dan
basah. Makan dan minum hanyalah obat untuk menyembuhkan penyakit yang
timbul karena dekomposisi. Mereka hanya berusaha untuk mengendalikan tubuh
hingga posisi kembali stabil. Posisi seperti ini bukanlah kebahagiaan yang
sempurna, terbebas dari penderitaan bukanlah tujuan yang diinginkan dan
kebaikan yang mutlak. Orang yang benar-benar bahagia yaitu mereka yang tidak
48 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 65.
65
terkena serangan penyakit sama sekali. Malakiat yang mempunyai derajat tinggi,
yang dekat dengan Allah Swt., tidak pernah tertimpa penderitaan seperti ini,
karena malaikat tidak perlu mengobati dengan makan dan minum.49
Jika telah menyadari fakta-fakta diatas, mereka akan mengatakan bahwa
sebagian manusia ada yang dekat dengan Allah Swt., bahkan lebih dekat manusia
dibandingkan malaikat. Merekapun akan kembali meragukan kenikmatan dan
kebahagiaan mereka yang dianggap telah sempurna. Mereka akan mengubah pola
hidupnya. Sebelumnya telah membiasakan makan dan minum ketika mereka
menginginkannya, maka sekarang akan lebih memilih berpuasa dan menahan
lapar. Akan makan dengan porsi yang sedikit dan biasanya hanya yang berasal
dari tanah. Sebagian yang belum menyadari fakta-fakta seperti ini akan
menghormati mereka yang telah menyadarinya, yang belum sadar menganggap
bahwa merekalah wali Allah Swt., yang sama derajatnya dengan malaikat, bahkan
lebih tinggi dari malaikat. Mereka yang belum menyadari biasanya akan tunduk
dan patuh pada yang telah menyadari, merendahkan diri dihadapannya,
menganggap mereka lebih hina. Karena mereka yang mempunyai pandangan
bodoh.50
Untuk mrencapai kesempurnaan di atas, hal yang harus dilakukan oleh
manusia adalah mengetahui kekurangan-kekurangan jasmani dan kebutuhan
primer dalam dirinya guna untuk melenyapkan kekurangan serta
memperbaikinya.51 Hal tersebut dapat berupa makanan, yang mana makanan akan
menjadi penyeimbang tubuh, ia mengambilnya hanya untuk menghilangkan rasa
49 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 65-66.
50 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 67.
51 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 69.
66
laparnya, juga untuk melengkapi ketidaksempurnaannya dan demi kelangsungan
hidup untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Ia tidak mengambil dalam
jumlah yang banyak, karena apabila ia mengambil makanan dengan jumlah lebih
banyak, maka itu akan menimbulkan sifat serakah pada dirinya dan sebenarnya
sifat serakahlah yang membuat manusia dipandang oleh manusia lain menjadi
terhina karena dirinya sendiri.
Selain itu, untuk menjaga kondisi tubuh juga dapat berupa pakaian untuk
menutupi tubuhnya. Yang mana jika suhu udara terasa panas, maka ia akan
memakai pakaian yang lebih tipis. Dan jika suhu udara dalam keadaan dingin,
manusia akan memakai pakaian yang lebih tebal. Hal tersebut selain untuk
menjaga kondisi tubuh agar tetap stabil, juga bertujuan untuk tetap menutupi
aurat.
Dalam hal bersetubuh, itu hanya bertujuan untuk melahirkan keturunan.52
Artinya tidak membesarkan nafsu syahwat sehingga merasakan kepuasan seksual
dan merasakan kenikmatan secara inderawi. Apabila manusia tersebut
menginginkan seksual dengan melebihi batas, maka seharusnya ia tidak akan
keluar dari sunnah Rasulullah Saw., dan tidak akan melanggar atau melakukannya
yang mana yang ia setubuhi merupakan milik orang lain.
Manusia juga harus menggunakan keutamaan jiwa berpikirnya.53 Dengan
menggunakan jiwa, ia akan menjadi manusia yang dapat menelaah kekurangan
yang ada pada dirinya. Ketika ia telah mengetahui apa kekurangan dalam dirinya,
ia akan mencoba memperbaikinya sehingga kekurangan tersebut tertutupi. Inilah
52 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 69.
53 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 69.
67
kebaikan yang tidak ditutup-tutupi. Manusia memperolehnya dengan tidak ada
rasa malu.
Jiwa membutuhkan asupan guna memperbaiki kekurangannya.
Sebagaimana pada jiwa binatang yang membutuhkan asupan berupa makanan
yang cocok untuknya. Maka jiwa berpikir pada masunisa membutuhkan asupan
berupa ilmu pengetahuan, membuktikan kebenaran-kebenaran ketika
berargumentasi kemudian menerimanya, tidak mempertimbangkan dari mana dan
dari siapa kebenaran itu berasal.
68
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Proses penciptaan manusia dalam perspektif Ibn Miskāwaih adalah
bermula dari penciptaan jagat raya. Yang mana dahulu jagat raya diciptakan oleh
Sang Penggerek yang tidak bergerak. Jagat raya mulanya menyatu, kemudian
diledakkan seperti teori Big Bang. Kemudian Allah kembangkan jagat raya ini
sehingga benda langit semakin menjauh. Selanjutnya Allah ciptakan bintang-
bintang (termasuk matahari) dan bumi mulai berotasi, sehingga terjadinya siang
dan malam. Setelah itu, bumi berubah dan Allah ciptakan mata air sehingga
tumbuh tumbuhan. Kemudian Allah ciptakan hewan dan manusia. Semuanya
terjadi dalam enam masa atau enam periode.
Ibn Miskāwaih berpendapat bahwa di bumi terdapat empat alam, yakni
alam air atau mineral, alam tumbuhan, alam hewan, dan alam manusia. Alam
yang ada pertama adalah mineral, kemudian bertransisi ke alam tumbuhan melalui
karang. Dari alam tumbuhan ke alam hewan, bertransisi melalui pohon kurma.
Dan dari alam hewan ke alam manusia, bertransisi melalui kera.
Manusia sempurna ialah manusia yang sadar bahwa tubuh terdiri dari
berbagai sifat yang bertentangan, yakni panas, dingin, kering, dan basah. Makan
dan minum hanyalah obat untuk menyembuhkan penyakit yang timbul karena
dekomposisi. Mereka hanya berusaha untuk mengendalikan tubuh hingga posisi
kembali stabil. Posisi seperti ini bukanlah kebahagiaan yang sempurna, terbebas
dari penderitaan bukanlah tujuan yang diinginkan dan kebaikan yang mutlak.
69
Orang yang benar-benar bahagia yaitu mereka yang tidak terkena serangan
penyakit sama sekali. Malakiat yang mempunyai derajat tinggi, yang dekat
dengan Allah Swt., tidak pernah tertimpa penderitaan seperti ini, karena malaikat
tidak perlu mengobati dengan makan dan minum.
B. Saran
Dengan berhasilnya menganalisis manusia perspektif ibn Miskāwaih,
penulis memberikan kesempatan untuk yang lain melakukan analisis komparatif
tentang manusia antara Ikhwan Al-Shafā dan Ibn Miskāwaih. Selain itu, terkait
ibn Miskāwaih, penulis memberi kesempatan bagi yang lain untuk membahas
politik. Dapat dikupas dari konsep politik ibn Miskāwaih, dan atau menganalisis
akhlak berpolitik menurut ibn Miskāwaih. Semuanya dapat dianalisis dari kitab
Tartib al-Sa’adah. Kitab tersebut dapat menjadi sumber primer.
70
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Zainal Abidin, Ibnu Sina (Avicena) ; Sarjana dan Filosoof Besar Dunia,
Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Al-Ahwani, Ahmad Fuad, Filsafat Islam, diterjemahkan oleh Tim Penerjemah
Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008
Alavi, Ziauddin, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan
Pertengahan, Bandung: Angkasa, 2003.
Al-Taftazani, Abu Wafa al-Ghanimi, Tasawuf Islam; Telaah Historis dan
Perkembangannya, diterjemahkan oleh Subkhan Anshori dari kitab
Makdal ila al-Tasawuf al-Islami, Jakarta; Gaya Media Pratama, 2008.
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996.
Bakar, Osman, Hierarki Ilmu, diterjemahkan oleh Purwono, Bandung: Mizan,
1997.
Dahlan, Abdul Aziz, Pemikiran Falsafi dalam Islam, Jakarta: Djambatan, 2003.
Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1989.
Ghazali, Imam, Tahafut al-Falasifah, diterjemahkan oleh Ahmad Maimun,
Bandung: Marja, 2016.
Hasan, Mustofa, Sejarah Filsafat Islam: Geneologis dan Transmisi Filsafat Timur
ke Barat, Bandung: Pustaka Setia, 2015.
Hasbullah, Moeflih & Supriyadi, Dedi, Filsafat Sejarah, Bandung: Pustaka Setia,
2012.
Ismail, Fu’ad Farid & Mutawali, Abdul Hamid, Cara Mudah Belajar Filsafat:
Barat dan Islam, diterjemahkan oleh Didin Faqihudun, Yogyakarta:
IRCiSoD, 2012.
Jumantoro, Totok, dan Amin, Samsul Munir, Kamus Ilmu Tasawuf, Jakarta;
Amzah, 2012.
Kartini, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Bandung: Mandar Maju, 1996.
71
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang & Diklat Kementerian
Agama RI dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
Penciptaan Bumi; dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, Jakarta:
Kementerian Agama, 2012.
Maksum, Ali, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.
Miskawaih, Ibn, Menuju Kesempurnaan Akhlak; terjemahan kitab Tahdzib al-
Akhla, diterjemahkan oleh Helmi Hidayat, Bandung: Mizan Pustaka,
1994.
Mudhofir, Ali Kamus Filsafat Nilai, Jakarta: Yayasan Kertagama, 2014.
Mustafa, Dasar-Dasar Islam, Bandung: Angkasa, 1991.
Mustafa, H. A., Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Nasr, Seyyed Hossein, & Leaman, Oliver, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam:
Buku Pertama, diterjemakan oleh Tim Penerjemah Mizan, Bandung:
Mizan Pustaka, 2003.
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1973.
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013.
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf , Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
____________, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000.
Sulaiman, Asep, Mengenal Filsafat Islam, Bandung: Yrama Widya, 2016.
Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filsuf, dan Ajarannya,
Bandung: Pustaka Setia, 2013.
Suseno, Franz Magnis, Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles, Yogyakarta:
Kansius, 2009.
72
Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penelitian, Perbandingan,
diterjemahkan oleh F. Budi Hardiman, Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Wibowo, A. Setyo, Arete: Hidup Sukses Menurut Platon, Yogyakarta: Kanisius,
2010.
________________ Paidea: Filsafat Pendidikan Politik Platon, Yogyakarta:
Kanisius, 2017.
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: Rajawali Pers,
2014.