MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur...

86
MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIH Skripsi Ini Disusun Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Strata 1 (S1) Oleh: Fahrur Rozi 1113033100037 PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FALSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020

Transcript of MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur...

Page 1: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIH

Skripsi Ini Disusun Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Strata 1 (S1)

Oleh:

Fahrur Rozi

1113033100037

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FALSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020

Page 2: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

i

Page 3: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

ii

Page 4: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

iii

Page 5: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

iv

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul ”Manusia Perspektif Ibn Miskāwaih”. Penelitian dalam

skripsi ini bertujuan untuk mengetahui konsep manusia menurut Ibn Miskāwaih

dan dapat memberikan sumbangan pemikirian di dunia falsafat.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pengetahuan tentang Ibn Miskāwaih

yang dikenal sebagai bapak etika ketiga setelah al-Fārābī. Menjadi menarik ketika

mereka lupa bahwa obyek yang menjalankan tentang akhlak adalah manusia.

Maka penulis menguraikan pendapat Ibn Miskāwaih tentang manusia hingga

menjadi manusia sempurna, sebagaimana dengan tugas dan tujuan hidup di dunia

ini.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif-kualitatif dengan

teknik pengumpulan data melalui telaah pustaka, yakni penelitian yang dilakukan

dengan membaca dan memahami referensi dari sumber primer dan sumber

sekunder berupa karya-karya yang membahas atau berkaitan dengan pemikiran

Ibn Miskāwaih tentang konsep manusia. Penulis memabatasi penelitian ini pada

konsep manusia perspektif Ibn Miskāwaih. Maka penelitian ini memuat rumusan

masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif Ibn

Miskāwaih?” dan ”Seperti apa manusia yang mempunyai tingkatan paling

sempurna menurut Ibn Miskāwaih?”.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ibn Miskāwaih menganggap manusia

berawal dari air yang menggenang kemudian menjadi karang, dalam karang

tumbuhlah tumbuhan seperti lumut yang terus berevolusi menambah daya

nutrisinya hingga puncak tertingginya pada pohon kurma. Selanjutnya tumbuhan

yang membusuk menghasilkan kehidupan baru, yakni keluar hewan-hewan kecil

seperti ulat yang berevolusi menjadi serangga. Hewan-hewan tersebut terus

menambah daya kemampuannya hingga yang tertingi derajat pada hewan dan

mendekati manusia adalah sejenis kera. Hewan sejenis kera mempunyai amarah

dan dianugerahi Allah dengan memiliki kemampuan kecerdikannya dalam

mencari makanan, bertahan hidup, menjaga diri dari musuh, dan menjaga

keturunannya. Hanya saja, kera tidak mempunyai kecerdasan, rasa untuk

membedakan, hingga rasa rasionalitas. Sebenarnya, jika kera tersebut dapat

melewati tingkat tersebut, ia dapat menjadi manusia.

Sedang manusia sempurna menurut Ibn Miskāwaih adalah yang tidak

beranggapan bahwa hidup bukanlah untuk mencari kenikmatan inderawi saja.

Kenikmatan inderawi bukanlah puncak kebahagiaan. Mereka adalah manusia

yang mendekatkan diri kepada Allah Swt., dengan cara terus menerus. Mereka

tidak lagi akan merasa lapar yang berlebihan, menginginkan kekayaan, dan

bahkan mereka tidak menginginkan seks. Derajat ini dapat disamakan dengan

malaikat, bahkan lebih tinggi dari malaikat. Mereka disebut para wali Allah Swt.

Page 6: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

v

MOTTO

”Berjalan Sambil Diam, Pergi Jangan Melangkah”

Page 7: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

vi

KATA PENGANTAR

Rasa syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt., Tuhan semesta alam

yang telah memberikan nikmat untuk para kafir dan mukmin di dunia, serta akan

memberikan nikmat khusus untuk mukmin kelak di akhirat. Atas ridla Allah pula

penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat dan salam penulis curahkan

pada utusan Allah yang menjadi penutup para nabi dan rasul, yakni Rasulallah

Muhammad Saw., serta kepada keluarganya, para sahabatnya dan semua

pengikutnya hingga akhir zaman.

Penulis ucapkan alhamdulillah atas selesainya penyusunan skripsi ini

yang berjudul ”MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIH” sebagai tugas

akhir akademis pada program studi Aqidah dan Falsafat Islam Fakultas

Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta adalah

berkat bantuan, bimbingan, dan berbagai pihak. Karenanya, perkenankanlah

penulis ucapkan terima kasih secara khusus kepada:

1. Prof. Zainun Kamaluddin Faqih MA., selaku pembimbing skripsi

yang telah berkenan meluangkan waktu di tengah kesibukkannya dan

memberikan arahan demi selesainya tulisan ini.,

2. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yakni Prof. Dr. Amany

Lubis, MA., dan Dekan Fakultas Ushuluddin Dr. Yusuf Rahman,

MA.,

3. Dra. Tien Rohmatin, MA., selaku ketua Program Studi Aqidah dan

Falsafat Islam Dra. Banun Binaningrum, M.Pd., sebagai sekretaris

Program Studi Aqidah dan Falsafat Islam yang memberikan waktu

dan mengarahkan penulis agar dapat menyelesaikan studi.

Page 8: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

vii

4. Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag., selaku dosen pembimbing

akademik yang telah membantu dan mengarahkan proposal skripsi

untuk diseminarkan agar dapat melanjutkan tahap penyusunan

skripsi,.

5. Jajaran Dekanat dan dosen fakultas Ushuluddin yang telah ikhlas

memberikan perkuliahan dan bimbingan selama penulis belajar di

Program Studi Aqidah dan Falsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.,

6. Ibu Uun Maemunah sebagai ibu yang telah memberikan ridla kepada

penulis untuk tetap melanjutkan studinya dan bapak Ono Wahyuddin

yang telah mendorong penulis berupa materi.,

7. KH. Tohir (alm), kakek yang selalu meyakinkan dan menasehati

penulis untuk tetap berjuang dalam menggali ilmu meski banyak

rintangan serta telah mempercayai penulis sebagai orang yang dapat

tetap menjaga keharmonisan keluarga besar.,

8. Putihat Nurrohmah selaku kakak yang telah memberikan semngat

penulis untuk dapat menyelesaikan studi dan Siti Nurlaelina selaku

adik yang menjadi dorongan penulis untuk tetap menggali ilmu lebih

banyak agar dapat mengarahkan keluarga dengan menjaga aqidah.,

9. Mahabbatul Aulia dengan ikhlas menunjukkan empati kepada penulis

untuk menyelesaikan kuliah dan mendapatkan gelar sarjana.,

10. Keluarga besar Aqidah dan Falsafat Islam yang telah membentuk

karakter penulis dalam segi berpikir berupa rutinitas diskusi diluar

kelas.,

Page 9: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

viii

11. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Cirebon Jakarta Raya (HIMA-

CITA) yang telah mengajarkan penulis dalam berorganisasi selama

masa kuliah dan mempercayai penulis sebagai Badan Pengurus

Harian di periode 2014-2015.,

12. Keluarga Mahasiswa Sunan Gunung Djati (KMSGD) yang

memberikan fasilitas berupa asrama sebagai tempat tinggal penulis

semasa penulis menjadi mahasiswa baru.,

13. Keluarga besar Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) Science MAN 4

Cirebon yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis sebagai

dewan penasehat dan selalu mendukung serta mendoakan keinginan

penulis agar mudah tercapai.,

14. Pesantren Darul Jamal Karangsari-Waled-Cirebon, yang telah

memberikan materi dasar agama Islam pada penulis.,

15. Pondok utara Pesantren Kempek-Palimanan-Cirebon, yang telah

mengizinkan pada penulis untuk bermusyawarah dalam bidang fiqih,

tauhid, dan kalam yang telah penulis dapat selama menggali ilmu di

Ciputat. ,

16. KH. Hisyam, selaku guru semasa penulis duduk di bangku Aliyah

yang menjadi inspirasi penulis untuk tetap rendah hati dan selalu

menegur penulis serta memberikan arahan penulis agar dapat

menyelesaikan studi.,

17. Ustadz Subkhi, yang selalu meluangkan waktu untuk berdiskusi

dalam bidang kalam dan tasawuf selama penulis mengisi liburan di

kampung halaman.,

Page 10: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

ix

18. Ustadz Abdul Rofiq, sahabat ngopi, diskusi, dan rekan bisnis penulis

yang telah banyak berbagi ilmu bagaimana cara bertahan hidup di

tanah rantau.,

19. Kang Farhan Mujtaba S.Ag., beserta keluarga yang telah merangkul,

menumbuhkan rasa nyaman, dan telah merawat penulis sewaktu sakit

di tanah rantau hingga menghilangkan rasa ingin pulang ke kampung

halaman.

Ciputat, 11 Desember 2019

Penulis

Fahrur Rozi

NIM: 1113033100037

Page 11: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

x

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris

th ṭ ط A A ا

zh ẓ ظ B B ب

‘ ‘ ع T T ت

gh Gh غ Ts Th ث

f F ف J J ج

q Q ق ḥ ḥ ح

k K ك Kh Kh خ

l L ل D D د

m M م Dz Dh ذ

n N ن R R ر

w W و Z Z ز

h H ه S S س

ء Sy Sh ش

y Y ي Sh ṣ ص

h H ة Dl ḍ ض

Page 12: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

xi

Arab Indonesia

A أ

I إ

U ا

Vokal Panjang

Arab Indonesia

Ā آ

Ī ى إ

Ū ا و

Arab Indonesia

Au أو

Ai أي

Arab Indonesia

-al ال

-wa al وال

Page 13: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

xii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ....................................... i

LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ..................................................... iii

ABSTRAK ............................................................................................................ iv

MOTTO ................................................................................................................ v

KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN .................................................. x

DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................................. 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 5

D. Metode Penelitian....................................................................................... 6

E. Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 7

F. Sistematika Penulisan ................................................................................ 9

BAB II PEMIKIRAN FALSAFI TENTANG MANUSIA ................................... 11

A. Plato ........................................................................................................... 11

B. Aristoteles .................................................................................................. 14

C. Al-Kindī ..................................................................................................... 17

D. Al-Fārābī .................................................................................................... 19

BAB II BIOGRAFI IBN MISKĀWAIH .............................................................. 23

A. Riwayat Hidup Ibn Miskāwaih .................................................................. 24

B. Riwayat Pendidikan ................................................................................... 30

C. Tokoh yang Mempengaruhi Ibn Miskāwaih .............................................. 32

D. Karya Tulis Ibn Miskāwaih ........................................................................ 34

BAB IV MANUSIA MENURUT IBN MISKĀWAIH ........................................ 38

A. Asal Usul Manusia ..................................................................................... 38

B. Manusia dalam Pandangan Ibn Miskāwaih................................................ 51

Page 14: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

xiii

C. Jiwa dalam Pandangan Ibn Miskāwaih ...................................................... 53

D. Tingkatan dan Substansinya ....................................................................... 59

E. Kesempurnaan Manusia dan Cara Memperolehnya .................................. 62

BAB V PENUTUP ................................................................................................ 68

A. Simpulan .................................................................................................... 68

B. Saran ........................................................................................................... 69

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 70

Page 15: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhuk yang utama. Ia diciptakan Allah Swt., dengan

memiliki bentuk yang paling baik dan sempurna dibandingkan makhluk Allah

yang lain.1 Terdapat dalam surat al-Tin ayat 4:

حسن تقويم نسن ف أ ٤لقد خلقنا ٱل

Artinya: ”Sungguh Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang paling utama

(baik)”.

Selain itu, manusia mempunyai kedudukan paling penting di dunia, karena

manusia sebagai Khalifah.2 Maksudnya, manusia berperan penting di dunia

karena ialah yang menjalankan peraturan dari Allah Swt., yang mempimpin dari

makhluk Allah lainnya. Al-Qur’ān berbicara tentang ini dalam surat al-An’am

ayat 165:

ي جعلكم رض وهو ٱلذ خلئف ٱل

Artinya: ”Dan Allah telah menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di atas

bumi”

Dengan demikian, ada hal yang paling utama dalam manusia hingga

dibedakan dengan makhluk lainnya. Allah banyak menciptakan makhluk. Namun

1 Mustafa, Dasar-Dasar Islam (Bandung: Angkasa, 1991), h. 27.

2 Mustafa, Dasar-Dasar Islam, h. 28.

Page 16: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

2

hanya manusia yang memiliki karakter berbeda. Dalam hal ini, penulis merasa

tertarik pada satu tokoh filsuf muslim yang jarang sekali dikupas oleh para pelajar

dalam dunia akademis. Tokoh tersebut adalah ibn Miskāwaih. Filsuf muslim yang

lahir di kota Ray yang berketurunan Majusi. Lahir pada tahun 330 H/940 M., dan

meninggal di kota Isfahan pada tahun 421 H/1030 M.3 Ia mencatat tentang

manusia dalam karyanya yang berjudul Tahdzib al-Akhlāq yang telah

diterjemahkan oleh Helmi Hidayat dan diterbitkan oleh Mizan.

Ibn Miskāwaih merupakan filsuf muslim yang memusatkan perhatiannya

terhadap bidang etika Islam, ia di beri gelar sebagai bapak etika ketiga, yang mana

pada sebelumnya al-Fārābī-lah yang mendapatkan gelar bapak etika kedua dan

Aristoteles sebagai bapak etika pertama. Bukan hanya terkenal sebagai bapak

etika ketiga, ia juga seorang sejarawan, tabib, ilmuan dan sastrawan. Di samping

pengetahuannya tentang filsafat Yunani Kuno, ia pun memiliki pengetahuan yang

sangat luas tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India.4 Maka ia buatkan pula

sejarah tentang pengalaman bangsa yang menemukan kejayaan dari masa awal

hingga pada kehidupan zamannya.

Ibn Miskāwaih dipengaruhi oleh beberapa gurunya. Mereka adalah ibn al-

Kammar, Abū Bakr Ahmad ibn Kāmil al-Qadli, Abū al-Thayyib al-Rāzī, menteri

al-Mahlabi sebagai guru Sastra, dan ibn al-’Amid di bidang arsitektur. Ibn al-

Khammar merupakan guru filsafatnya yang termasuk dalam mufasir ternama pada

masanya dalam karya-karya Aristoteles. Pada filsafat Ibn Miskāwaih juga sedikit-

banyaknya dipengaruhi oleh Aristoteles melalui ajaran Ibn al-Khammar.

3 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 88.

4 H. A. Mustafa, Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 166.

Page 17: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

3

Kemudian, Abū Bakr Ahmad ibn Kāmil al-Qadhi (350 H). Ada yang mengatakan

ia adalah guru falsafat Ibn Miskāwaih, ada pula yang mengatakan ia termasuk

guru dalam bidang sejarah.5

Ibn Miskāwaih lebih tertarik membahas tentang sejarah dan akhlak. Tak

heran jika yang ia tulis lebih banyak tentang akhlak atau ilmu pengetahuan umum

dan disinambungkan dengan akhlak, seperti Tartib al-Sa’adah berisi tentang

akhlak, politik, dan juga akhlak berpolitik. Atau kitab Tahdzīb al-Akhlāq yang

berisi tentang pendidikan akhlak yang dikupas dari asal-usul manusia, dari tanah

hingga kepada manusia, dijelaskan pula fakultasnya dan kesempurnaan manusia

berada di tingkat spiritual. Menurut catatan para penulis masa lalu, jumlah seluruh

karyanya ada 18.6

Dalam salah satu bab pada kitab Tahdzīb al-Akhlāq, penulis tertarik pada

pemahaman ibn Miskāwaih yang merincikan perubahan dari alam mineral, alam

tumbuhan, alam hewan, dan alam manusia. Dimana ia percaya bahwa alam yang

pertama ada di bumi ini adalah alam mineral. Ia menggunakan dalil al-Qur’ān

pada surat al-Anbiyā ayat 30:

رض كنتا رتقا ففتقنهما وجعلنا من ت وٱل مو نذ ٱلسذ

نذ أ

ين كفروا أ و لم ير ٱلذ

ء أ ٱلماء كذ ش

فل يؤمنون أ ٣٠ح

Artinya: ”Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasannya langit

dan bumi itu keduanya dahulu adalah satu yang padu, kemudian Kami

5 H. A. Mustafa, Filsafat Islam, h. 168.

6 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 88.

Page 18: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

4

pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu

yang hidup. Maka mengapa mereka tidak juga beriman?”.

Dari air, kemudian mengeras menjadi karang, bertransisi dari karang menjadi

tumbuhan. Dari tumbuhan pertama menuju tumbuhan kedua ada perubahan,

tumbuhan kedua menyempurnakan tumbuhan pertama, tumbuhan ketiga

menyempurnakan tumbuhan kedua dan seterusnya, sehingga yang terakhir

muncullah pohon kurna. Melalui pohon kurma muncullah binatang, konsepnya

sama seperti pertumbuhan tumbuhan, binatang kedua menyempernakan binatang

kedua, hingga yang terakhir adalah binatang kera, dari kera berubah menjadi

manusia. Maka tak heran kera dan manusia mempunyai banyak kesamaan.7

Tidak hanya itu, substansi manusia pun dikupas oleh Ibn Miskāwaih. Dari

sekian banyak substansi, manusia mempunyai beragam kesiapan untuk menerima

beragam tingkatan. Maka setiap orang mempunyai tingkat harapan berbeda untuk

meningkatkan dirinya sendiri. Semua itu terjadi karena kekuatan Penciptanya.

Sungguhpun demikian, untuk membuat substansi menjadi baik, akan kembali

kepada orang itu sendiri dan bergantung pada yang dikehendakinya. Akan terlihat

pada perilakunya dan bisa terjadi atas pengaruh lingkungan. Bisa jadi sama

dengan lingkungan sekitar, atau mungkin berbanding terbalik dengan lingkungan

jika ia merasa bahwa lingkungannya tidak cocok dengan keinginannya.

7 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 89-90.

Page 19: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

5

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Ada beberapa karya yang membahas pemikiran Ibn Miskāwaih, namun

mereka memusatkan pembahasan pada pandangan Ibn Miskāwaih terhadap

akhlak. Penulis belum menemukan karya yang memusatkan pembahasan pada

pandangan Ibn Miskāwaih terhadap manusia. Berdasarkan latar belakang di atas,

penulis akan membatasi skripsi ini pada pemikiran tentang manusia dalam

perspektif Ibn Miskāwaih, di kaji dalam kitab Tahdzib al-Akhlāq yang telah

diterjemahkan oleh Helmi Hidayat dan diterbitkan oleh Mizan pada tahun 1994.

Penelitian ini akan difokuskan dalam rumusan:

1. Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif Ibn

Miskāwaih?

2. Seperti apa manusia yang mempunyai tingkatan paling sempurna

menurut Ibn Miskāwaih?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan:

1. Mengetahui tingkatan dan substansi manusia perspektif Ibn

Miskāwaih.,

2. Mengetahui tingkatan kesempurnaan manusia dalam pandangan Ibn

Miskāwaih dan cara untuk mencapai kesempurnaan sebagai manusia

yang membedakan dengan makhluk lainnya.

Page 20: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

6

Manfaat:

1. Penelitian ini dapat digunakan untuk bahan bacaan dan menjadi

rujukan dalam mata kuliah Falsafah Islam, Falsafah Manusia, dan mata

kuliah lain yang membahas tema tersebut.,

2. Untuk menambah wawasan dan informasi, serta pengetahuan

mahasiswa.,

3. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu mematangkan

wawasan bagi peneliti dengan tema terkait, serta dapat memberikan

sumbangan pengetahuan bagi mahasiswa Aqidah dan Falsafah Islam

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, hingga mampu

mendorong mereka untuk mengkaji Falsafah secara mendalam.

D. Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian kepustakaan (library research).

Penelitian kepustakaan merupakan penelitian yang fokus menggunakan data dan

berbagai macam literatur yang dapat dipustakaan seperti buku, naskah, manuskrip,

catatan, dokumen dan lainnya.8 Adapun objek dalam penelitian ini adalah

pemikiran ibn Miskāwaih tentang manusia.

Dalam penelitian ini, sumber data yang digunakan mencakup sumber

primer dan sekunder. Yang menjadi sumber primer dalam penelitian ini adalah

kitab yang berjudul Tahdzib al-Akhlāq karya Ibn Miskāwaih, kitab ini telah

diterjemahkan oleh Helmi Hidayat pada tahun 1994 dan diterbitkan oleh

percetakan Mizan dengan judul “Menuju Kesempurnaan Akhlak”. Sementara

8 Kartini, Pengantar Metodologi Riset Sosial (Bandung: Mandar Maju, 1996), h. 33.

Page 21: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

7

sumber data sekunder merupakan sumber data yang berhubungan dengan tema

kajian, sumber ini dapat berupa buku dan artikel, baik yang telah dipublikasikan

dalam bentuk jurnal atau pun yang telah dipublikasikan dalam bentuk media

internet.

Metode deskripsi analisis dalam penelitian, digunakan guna membahas

dan menguraikan pandangan Ibn Miskāwaih tentang manusia. Mulai dari

pandangan Ibn Miskāwaih tentang proses penciptaan manusia sampai pada titik

puncaknya yakni kesempurnaan manusia, hingga dapat memunculkan analisis

baru tentang manusia secara utuh menurut Ibn Miskāwaih.

Translitrasi penulisan skripsi ini mengacu pada buku ”Pedoman

Akademik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2017/2018”.

Sedangkan transliterasi pada skripsi ini juga menggunakan ”Pedoman Penulisan

Skripsi” yang terdapat dalam buku ”Pedoman Akademik Universita Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta 2017/2018”.

E. Tinjauan Pustaka

Dalam studi kepustakaan, ada beberapa penelitian tentang manusia dalam

berbagai tokoh. Seperti karya skripsi pada tahun 2010 dengan judul ”Manusia

Ideal dalam Pemikiran Muhammad Iqbal” oleh Aswat. S.Fil.I program studi

Aqidah dan Filsafat, fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan

Kalijaga. Aswat menggunakan landasan teori dengan pengertian manusia dalam

al-Qur’ān, pandangan filsuf dan sufi tentang manusia ideal. Serta pada puncaknya

menganalisis manusia ideal menurut Muhammad Iqbal.

Page 22: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

8

Selanjutnya skripsi yang disusun pada tahun 2014 oleh Sri Wahyuni.

S.Th.I., program studi Aqidah Filsafat fakultas Ushuluddin Universitas Islam

Negeri Sultan Syarif Kasim Riau dengan judul ”Konsep Manusia Menurut

Nurcholish Madjid”. Sri Wahyuni mendasari tulisan ini dengan definisi manusia,

tujuan penciptaan manusia, dan berlanjut pada hakikat kematian manusia. Pada

puncaknya, Sri Wahyuni menelaah konsep manusia dalam pandangan Nurcholish

Madjid dari sudut pandang keutamaan manusia serta manusia dan tugasnya.

Kemudian, penelitian tentang ibn Miskāwaih lebih banyak dari segi

akhlak. Seperti karya Robiatul Adawiyah, S.Pd., program studi Pendidikan

Agama Islam fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta pada tahun 2017 berjudul ”Konsep Pendidikan Akhlak

Ibnu Miskāwaih”. Dalam skripsi ini, Robiatul Adawiyah menjelaskan konsep

pendidikan akhlak dengan memulai dari pengertian pendidikan akhlak, dasar

pendidikan akhlak, tujuan dan materi pendidikan akhlak.

Selanjutnya karya Rosmajida, S.Pd program studi Pendidikan Agama

Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Banda Aceh yang disusun pada tahun 2018 dengan judul ”Metode Pendidikan

Anak Menurut Ibnu Miskāwaih”. Disini Rosmajida hampir sama dengan

Robiatul Adawiyah, memulai dari konsep pendidikan anak hingga tujuannya.

Namun, yang berbeda adalah Rosmajida mencantumkan kode etik pendidik

dan anak didik serta metode pendidikan anak ibn Miskāwaih.

Dari beberapa karya skripsi yang telah dijelaskan di atas, perbedaan

dan penelitian penulis mengenai Manusia Perspektif Ibn Miskāwaih adalah

Page 23: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

9

tema dan tokoh yang diambil serta penyajiannya.

F. Sistematika Penulisan

Penulis akan menguraikan sistematika penulisan dalam lima bab.

Dalam bab-bab tersebut memuat beberapa sub-sub di dalamnya agar penulisan

dan pembahasan menjadi lebih terarah. Hal ini dilakukan karena penelitian ini

bersifat kepustakaan (library research) sehingga dibutuhkan analisis yang

mendalam. Adapun uraian dalam bab tersebut adalah sebagai berikut:

Bab pertama: sebagai bab pendahuluan, bagian ini menjelaskan

tentang latar belakang permasalahan. Dilanjutkan pada rumusan dan batasan

masalah sebagai penentu arah dalam penelitian skripsi ini, ditunjang pula oleh

tujuan dan manfaat penelitian serta menjelaskan metode penelitiannya dengan

meninjau kepustakaan dahulu agar penelitian ini relevan. Penelitian ilmiah

harus mempunyai cara guna mendapatkan hasil yang maksimal. Pada bab

pertama ini, penulis mengakhiri dengan sistematika penulisan.

Bab kdua: sebagai analisis falsafi tentang manusia, yakni pemikiran

falsafi tentang manusia, guna mendapatkan pengetahuan filsuf sebelum Ibn

Miskāwaih dan bahwa beliau memiliki cara pandang yang tidak sama. Para

filsuf tersebut adalah Sokrates, Plato, Aristoteles, al-Kindī, dan al-Fārābī.

Bab ketiga: berisi tentang biografi Ibn Miskāwaih. Pemaparan ini

meliputi riwayat hidup dan pendidikannya. Dilanjutkan pada tokoh yang

mempengaruhi pemikirannya dan diakhiri dengan karya tulisnya.

Bab keempat: inti dalam penelitian. Dimulai dengan pembahasan asal

Page 24: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

10

usul manusia. Kemudian, disambung manusia dalam pandangan Ibn

Miskāwaih dan tingkatan manusia serta substansinya. Diakhiri tingkatan

kesempurnaan manusia yang merupakan puncak konsep manusia pandangan

Ibn Miskāwaih serta cara untuk mendapatkannya.

Bab kelima: bagian dari penutup. Penulis menyimpulkan penelitian ini

serta menjawab dari petanyaan yang ada dalam rumusan malasalah. Serta

memberikan saran terhadap pembaca.

Page 25: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

11

BAB II

PEMIKIRAN FALSAFI TENTANG MANUSIA

Berbagai pemikiran tentang manusia disinggung oleh para filsuf dari

Yunani Kuno hingga filsuf muslim paripatetik. Pada dasarnya, membahas

manusia tetaplah suatu yang misterius. Maka, beberapa filsuf, khususnya filsuf

Yunani Kuno dan filsuf muslim Paripatetik tidak membahas konsep manusia

dengan jelas. Mereka hanya menyinggung sedikit tentang manusia.

Salah satu dari mereka membahas tentang penciptaan alam, namun ia juga

menyinggung sedikit tentang manusia. Salah satu dari mereka ada yang percaya

bahwa dunia yang kita lihat sekarang sudah ada di alam idea. Ada pula yang

mengatakan bahwa manusia itu mempunyai tubuh atau jism, yang ada pada

martabat keenam (al-māddah).

A. Plato

Plato mengatakan bahwa manusia memang sebuah misteri. Namun, ia

mempunyai pendapat bahwa manusia terdiri atas jiwa dan badan. Badan

merupakan sebuah wadah bagi jiwa. Realitas manusia sebenarnya adalah jiwa.

Jiwa bersifat abadi dan badan hanya bersifat sementara.1

Selain itu, ia mempunyai pandangan bahwa manusia memiliki tiga

manifestasi hasrat. Yakni, epithumia, thumos,dan logistikon. Kemudian ia

memberikan mitos tentang kereta bersayap yang lengkap dengan kedua kuda

sebagai penariknya, yakni hitam dan putih, serta lengkap dengan sais. Dimana sais

1 Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme

(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h. 72.

Page 26: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

12

melambangkan logistikon, kuda hitam melambangkan epithumi, dan kuda putih

melambangkan thumos. Sementara itu, sayap membantu keseluruhan kereta untuk

bergerak naik.2

Pertama, epithumia menurut Plato ialah irrational appetite. Ini merupakan

bagian perut hingga ke bawah, bagian nafsu yang menginginkan diri untuk

makan, minum, hingga kepuasan terhadap seks, termasuk juga harta. Bagian ini

akan tunduk pada hukum, mempunyai sifat independen, memiliki cara berpikir

tersendiri. Secara positif, epithumia merupakan keinginan untuk mencari

kenikmatan. Namun, secara negatif, epithumia termasuk apayang membuat kita

cenderung takut dan akan lari ketika menghadapi sebuah masalah atau

penderitaan.3

Meskipun demikian, Plato beranggapan bahwa epithumia sebenarnya

berguna untuk kelangsungan serta keutuhan hidup manusia. Berkat hasrat

epithumia, manusia tetap hidup dan berkembang biak. Maksudnya, kelangsungan

hidup biologis. Epithumia harus tetap dikontrol dan dikuasai agar tidak

mendominasi pada sifat manusia, karena cara berpikirnya yang buta. Bila tidak

dikontrol, manusia tidak akan pernah merasakan kepuasan. Epithumia pula

merupakan bagian terbesar dalam diri manusia.4

Kedua, thumos. Plato memandang bahwa bagian ini mempunyai arti

menginginkan kehormatan dan harga diri. Ini berada pada bagian perut ke atas,

tepatnya adalah pada bagian dada. Merupakan rasa bangga, dapat membuat

2 A. Setyo Wibowo, Arete: Hidup Sukses Menurut Platon (Yogyakarta: Kanisius, 2010),

h. 36.

3 A. Setyo Wibowo, Paidea: Filsafat Pendidikan Politik Platon (Yogyakarta: Kanisius,

2017), h. 223.

4 A. Setyo Wibowo, Paidea, h. 223.

Page 27: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

13

manusia untuk menahan keinginan irrational appetite. Ia mempunyai fungsi

mengikuti nasihat-nasihat logistikon. Ia dapat bekerja sama membantu akal sehat

hingga manusia dapat menahan rasa nikmat dan sakit dengan teguh, serta dapat

bertahan di depan keinginan dan ketakutan. Thumos mempunyai tugas menahan

dan mengendalikan.5

Tugas lain dari thumos dalam pandangan Plato adalah menjaga harga diri.

Membantu logistikon unutuk menenangkan epithumia. Seperti orang yang sedang

belajar dalam kelas, tidak mempunyai makanan, kemudian ia merasa lapar, ia

akan tetap di kelas hingga belajar usai dari pada keluar untuk mencari makanan

dan meninggalkan kelas demi perut yang lapar. Ini dilakukan karena ia

mempertimbangkan atas dasar rasio. Thumos juga terkadang dapat dipengaruhi

oleh epithumia. Bukti rasionalnya adalah banyak manusia yang kehilangan akal

demi harga diri. Banyak pula orang yang menyampingkan rasio demi kepentingan

spesifiknya. Ekstrimnya, karena harga dirilah terkadang manusia rela mati.6

Kemudian yang terakhir menurut Plato adalah logistikon atau rasio, ini ada

pada bagian leher ke atas, tepatnya adalah bagian kepala. Bagian ini berfungsi

sebagai pengontrolan yang mengendalikan dan menguasai irrational appetite. Jika

dalam satu saat nafsu menggebu-gebu ingin dipenuhi, maka logitikon

mengendalikan kapan waktu yang sangat tepat untuk dipenuhi.7

Plato mengatakan bahwa logistikon juga mempunyai fungsi sebagai

instrumental strategis. Maka logistikon dapat menghitung kapan sebuah nafsu

harus dipenuhi dan kapan harus menahannya. Apabila logistikon membiarkan rasa

5 A. Setyo Wibowo, Paidea, h. 225.

6 A. Setyo Wibowo, Paidea, h. 225.

7 A. Setyo Wibowo, Paidea, h. 225.

Page 28: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

14

haus itu dipenuhi, maka semuanya akan kacau dan merugikan diri sendiri. Ketika

manusia merasa haus, dan ia kebanyakan minum, ia kemudian efek mabuk dan tak

sadarkan diri, hilang akal dan disitulah manusia itu merendahkan diri sendiri serta

kehilangan harga diri. Atau manusia sembarang meminum air, padahal air itu

masih dalam suhu panas.8

B. Aristoteles

Aristoteles memiliki pandangan bahwa manusia pada hakekatnya

adalah binatang yang dapat berbicara, berpikir dan mengerti.9 Manusia termasuk

dalam spesies dan genetik tertentu, mempunyai unsur yang khas yang

membedakan dari spesies dan genetik lain. Unsur khas yang dimaksud ialah rasio

dan tuturan. Kedunya merupakan bagian yang sangat penting. Karena

keduanyalah dapat membawa manusia terhadap kemampuan untuk menyesuaikan

diri dengan standar-standar etis.10

Menurut Aristoteles, unsur rasio dan tuturan melapisi unsur non-

rasional. Dimana unsur non-rasional merupakan unsur yang lazim dimikili segala

binatang, contohnya pertumbuhan binatang yang berlangsung secara tidak sadar,

emosi yang tidak dapat terkontrol, dan nafsu-nafsu, seperti hasrat seksual. Bagian

rasional ini sadar dan bebas serta dibagi dalam rasio praktis yang berfungsi untuk

mengontrol nafsu, tidak seperti binatang lain yang diatur dengan kebiasaan,

8 A. Setyo Wibowo, Paidea, h. 224.

9 Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Pustaka

FIrdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 156.

10 Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penelitian, Perbandingan, diterjemahkan

oleh F. Budi Hardiman (Yogyakarta: Kansius, 1994), h. 67.

Page 29: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

15

namun manusia dapat dengan sadar untuk mengendalikan dorongan non-

rasionalnya.11

Arsitoteles meyakini bahwa manusia memiliki tingkatan, tingkatan pada

manusia ada tiga, yakni manusia yang hanya mencari kenikmatan, manusia yang

hanya berpolitik, dan manusia yang berfilsafat. Dimana ketika ia mencari

kenikmatan, tidak akan mendapatkan kebahagiaan, berpolitik hanya untuk

membedakan ia sebagai manusia dengan tumbuhan, hewan, dan Tuhan. Hingga

kebahagiaan pada taraf ini hanya sesaat. Dan berfilsafat merupakan kebahagiaan

yang mempunyai derat tinggi.12

Menurut Aristoteles yang pertama adalah nikmat. Nikmat bukanlah

sesuatu yang buruk. Akan tetapi, jangan pula jadikan nikmat sebagai tujuan hidup

manusia. Ketika mendapat kenikmatan, maka akan muncul rasa ketidakpuasan,

maka ini bukanlah termasuk dalam kebahagiaan. Ketika ia merasa haus, terus ia

meminum susu sampai ia merasa hilang rasa hausnya, akan tetapi dalam beberapa

waktu ke depan, ia akan merasa haus lagi. Atau ketika ia haus, ia meminum cairan

yang ada di depan pandangannya, ia tak tahu bahwa yang ia minum adalah air

arak. Kemudian ia mabuk dan membuat hal konyol, ini akan merugikan ia

sendiri.13

Pandangan Aristoteles yang kedua adalah berpolitik. Maksudnya adalah,

hidup berpolitik akan mendorong manusia kepada keramayan, inti dari situ

manusia dapat memasyarakat. Inilah kegiatan manusia yang membedakannya

11 Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial, h. 67.

12 Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Nilai (Jakarta: Yayasan Kertagama, 2014), h. 26.

13 Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Nilai, h. 26.

Page 30: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

16

dengan tumbuhan, hewan, dan Tuhan. Dalam bermasyarakat, manusia akan

merasa sedikit tidak mempunyai beban, ketakutan, dan merasakan penderitaan.

Pada saat itulah manusia akan merasakan kebahagiaan.14

Sungguhpun demikian, Aristoteles mengira bahwa manusia hanya

merasakan kebahagiaan yang bersifat sementara, tidak selamanya. Maksudnya

ialah, ketika manusia berada dalam kesendirian, ia akan kembali dalam ketakutan,

merasakan penderitaan, dan kembali merasa memiliki beban hidup. Ini akan terus

berulang setiap hari, bahkan setiap saat ketika manusia itu keluar dari kerumunan

manusia lain. Namun, ketika ia kembali dalam kerumunan manusia lain, akan

kembali pula merasakan kebahagiaan.15

Dan pandangan tingkatan manusia Aristoteles yang terakhir adalah

manusia yang mempunyai kesempurnaan tertinggi ialah ketika ia berfilsafat.

Kegiatan ini membuktikan manusia menggunakan akal budinya, dimana

menurutnya kegiatan akal budi manusia yang disebut logos atau nus bersifat

Ketuhanan. Manusia dapat memandang, merenungkan, menyamakan, dan

membedakan sesuatu apa pun yang abadi. Dengan kata lain, dalam berfilsafat, ia

akan menemukan Tuhan dengan melalui pendekatan spiritual.16

Menurut Aristoteles, manusia dengan tingkatan terakhir tersebut

merupakan manusia yang paling utama. Dengan tingkatan terakhir tersebut

manusia akan memiliki ketertanaman sikap etis dalam kepribadian. Memiliki

wawasan luas saja tidak cukup untuk mendukung manusia mewujudkan

14 Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Nilai, h. 27.

15 Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Nilai, h. 27.

16 Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Nilai, h. 27.

Page 31: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

17

kepribadian yang kuat, mantap, dan diandalkan. Karenanya harus menanam sikap

kebijaksanaan, inilah yang akan memunculkan ketertanaman sikap etis dalam

kepribadian.17

C. Al-Kindī

Al-Kindī dalam membahas filsafat Tuhan dan jiwa, sedikitnya ia

menyinggung manusia. Intinya adalah manusia berbeda dengan Tuhan, manusia

mempunyai badan dan jiwa. Jiwa memiliki arti penting, sempurna, dan mulia.

Substansi jiwa bersifat ruhani dan cahayanya berasal dari cahaya Tuhan.18

Namun, jiwa bertolak-belakang dengan badan. Jiwa melawan badan yang pada

hakikatnya badan mempunyai keinginan merusak dan merugikan dirinya. Badan

tidak memikirkan akibat dari apa yang akan terjadi setelah apa yang dilakukan.

Jiwa menahan semua itu.19

Menurut al-Kindī, manusia berbeda dengan Tuhan. Manusia mempunyai

materi dan bentuk. Tuhan tidak berbentuk dan tidak mempunyai materi. Tuhan

tidak mempunyai hakikat dalam arti al-Aniyyah karena tidak tersusun dari materi

dan bentuk dan al-Māhiyyah karena ia tidak merupakan jenis dan macam, atau

genus dan spesies.20 Selain itu, menurut al-Kindī materi dan bentuk pada manusia

(badan) itu tersusun.

17 Franz Magnis Suseno, Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles (Yogyakarta:

Kansius, 2009), h. 41.

18 Fu’ad Farid Ismail & Abdul Hamid Mutawali, Cara Mudah Belajar Filsafat: Barat dan

Islam, diterjemahkan oleh Didin Faqihudun (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), h. 198.

19 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 49.

20 Moeflih Hasbullah & Dedi Supriyadi, Filsafat Sejarah (Bandung: Pustaka Setia, 2012),

h. 171.

Page 32: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

18

Al-Kindī melihat manusia termasuk benda yang ada di bumi, otomatis ia

termasuk dalam golongan benda yang bersifat Juz’iyyāt (partikular). Benda yang

mempunyai sifat Juz’iyyāt mempunyai dua hakikat, yakni hakikat sebagai

individu (juz’i) dan umum (kulli). Hakikat juz’i inilah yang disebut sebagai al-

Aniyyah. Sedang hakikat kulli yang disebut sebagai Māhiyyah, hakikat ini bersifat

universal dalam bentuk genus dan spesies.21

Al-Kindī juga mempunyai pandangan bahwa manusia memiliki jiwa dan

badan. Dimana jiwa menentang keinginan badan. Karena badan mempunyai sifat

perusak dan merugikan dirinya sendiri. Badan biasanya tidak memikirkan apa

yang akan terjadi selanjutnya setelah apa yang dilakukan. Jiwa manusia tidak

tersusun, mulia, sempurna, dan penting. Substansi jiwa berasal dari substansi

Tuhan, seperti cahaya yang berasal dari matahari. Jiwa memiliki wujud tersendiri

dan berbeda dengan badan. 22

Al-Kindī meyakini bahwa manusia mempunyai tiga daya, yakni daya

nafsu, pemarah, dan berpikir. Dua daya pertama berada alam badan, dan yang

terakhir berada dalam jiwa. Jiwa menentang keinginan nafsu yang berorientasi

untuk kepentingan badan. Jika daya nafsu marah mendorong manusia untuk

bertindak sesuatu yang merugikan dirinya, maka jiwa menahan itu, melarang dan

mengontrolnya. Ibarat petani membajak sawah menggunakan kerbau, ia

mengendalikan dan mengontrol kerbau agar tidak berjalan semaunya.

Al-Kindī memandang daya berpikir selanjutnya disebut akal. Akal di bagi

menjadi tiga bagian, bagian pertama adalah akal yang bersifat potensial.

Kemudian, ketika sudah keluar dari sifat potensial ia menjadi aktual tingkat

21 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 48.

22 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 49.

Page 33: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

19

pertama. Dan terakhir adalah akal yang telah melewati akal yang bersifat aktual

tingkat pertama dan menjadi akal yang bersifat aktual tingkat kedua.23

Menurut al-Kindī, pada tingkatan akal yang bersifat potensial, tidak dapat

memiliki sifat aktual ketika tidak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar.

Karenanya, al-Kindī percaya ada akal yang berbeda dengan akal potensial, ia

mempunyai wujud di luar roh manusia dan bernama, akal ini selamanya dalam

aktualitas. Ia mempunyai sifat Akal Pertama, selamanya dalam aktualitas,

merupakan spesies dan genus, ia membuat akal potensial menjadi akal aktual

ketika berpikir, dan ia tidak sama dengan akal potensial.24

Al-Kindī menganggap bahwa manusia tidak mudah untuk mencapai

tingkat tertinggi. Menurut al-Kindī, manusia akan dapat dikatakan ’Ākil jika ia

telah mengetahui yang universal. Maksudnya, ia telah memperoleh akal yang di

luar itu. Untuk memperoleh akal yang berada di luar sangatlah sulit. Karena harus

mengontrol dan mengendalikan daya nafsu dan marah. Pada proses ini, dapat

dikatakan ia masuk dalam pendekatan manusia dengan Tuhan secara spiritual.25

D. Al-Fārābī

Al-Fārābī menjelaskan tentang penciptaan manusia melalui martabat

wujud. Ia dipengaruhi oleh pemikiran Plotinus tentang teori emanasi. Menurutnya,

martabat semuanya ada enam. Pertama, menjadi sebeb pertama yakni Tuhan.

Dalam martabat ini, ia menjelaskan bahwa Tuhan ada dengan sendiri-Nya, tanpa

23 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 51-52.

24 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),

h. 19.

25 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 52.

Page 34: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

20

sebab lain. Tuhan juga ia katakan dengan Wājib al-Wujūd li Dzātih (yang harus

ada karena diri-Nya sendiri. Martabat kedua, sebab-sebab kedua yakni Akal ke-I

sampai Akal ke-IX. Martabat ketiga adalah Akal Aktif atau Akal ke-X. Martabat

keempat adalah jiwa (al-Nafs). Martabat ini merupakan jiwa manusia, hewan, dan

tumbuhan. Martabat kelima adalah bentuk (Sūrah). Martabat terakhir adalah

materi (al-Māddah).26

Al-Fārābī mempunyai pandangan bahwa tiga sebab pertama tidak ada

dalam tubuh dan tiga sebab berikutnya ada dalam tubuh. Makhluk yang

mempunyai tiga martabat terakhir adalah manusia, hewan, dan tumbuhan.

Sungguhpun demikian, kesempurnaan jiwa manusia lebih tinggi dari makhluk lain

yang memiliki tubuh. Kemudian, kesempurnaan jiwa hewan lebih rendah dari

manusia, akan tetapi masih lebih tinggi dari tumbuhan. Terakhir, tumbuhan

mempunyai kesempurnaan jiwa yang lebih rendah dari semua makhluk yang

memiliki tubuh.27

Al-Fārābī sebenarnya mengutip dari pendapat Aristoteles, yakni termasuk

bagian dari binatang, masuk dalam spesies dan genetik tertentu, mempunyai unsur

yang khas yang membedakan dari spesies dan genetik lain. Unsur khas yang

dimaksud ialah rasio dan tuturan. Maka manusia adalah binatang rasional.

Manusia pun menikmati dominasinya atas spesies makhluk lain, karena

mempunyai kecerdasan dan kehendak. Keduanya itulah termasuk fungsi

kemampuan manusia.28

26 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 66.

27 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 63-67.

28Osman Bakar, Hierarki Ilmu, diterjemahkan oleh Purwono (Bandung: Mizan, 1997), h.

66.

Page 35: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

21

Untuk menjadi manusia yang paling sempurna, al-Fārābī menerangkan

bahwa manusia memiliki lima tahap agar sampai pada puncak. Tahap tersebut

adalah pertumbuhan, penginderaan, bernafsu, berkhayal, dan berpikir. Tahap

berpikir merupakan tahap paling tinggi, karena ia mengatur atau memerintahkan

tahap yang lain.29

Selain itu, untuk mendapatkan pengetahuan tentang sesuatu, menurut Al-

Fārābī manusia memperolehnya melalui daya menindera, mengkhayal, dan

berpikir. Dengan kata lain, bahwa daya mengindera adalah badan, kemudian daya

mengkhayal adalah jiwa, dan daya berpikir adalah akal. Tiga daya tersebut pula

memiliki struktur tritunggal dunia ragawi, jiwa, dan ruhani kosmos. Lebih

mudahnya, Al-Fārābī memakai istilah dari yang mengetahui dan yang diketahui.

Dengan menggunakan terminologi tersebut menggambarkan bahwa kepercayaan

Al-Fārābī sesuai dengan mikrokosmos dan makrokosmos. 30

Al-Fārābī meyakini bahwa kemampuan mengindera termasuk dalam daya

mengetahui yang paling rendah. Karena, ia hadir demi dua daya lainnya, yakni

mengkhayal dan berpikir. Sebelum manusia itu mengkhayal, ia terlebih dahulu

mengindera. Dengan demikian, kekuatan kognitif manusia berawal dari

berkembang melalui indera-indera eksternal.31

Dalam daya mengkhayal, al-Fārābī menyinggung dari teori lima indera

internal. Kelima itu meliputi daya penggambaran (representasi), duga (estimasi),

ingat (memori), imajinasi kompositif manusia, dan imajinasi kompositif binatang.

Dengan daya mengkhayal, maka akan memunculkan bentuk baru, yang mana

29Osman Bakar, Hierarki Ilmu, h. 67-68.

30 Osman Bakar, Hierarki Ilmu, h. 67.

31 Osman Bakar, Hierarki Ilmu, h. 68.

Page 36: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

22

bentuk tersebut tidak termasuk dalam indera internal dan eksternal. Al-Fārābī

menjadikan akan sehat sebagai penengah di antara kedua indera itu.32

Sedangkan dalam daya berpikir, al-Fārābī membaginya menjadi dua, yakni

teoretis dan praktis. Menurut al-Fārābī, daya berpikir teoretis berfungsi sebagai

penerima bentuk-bentuk intelektual, tepatnya objek intelektual pengetahuann yang

dipahami. Bentuk dari pengetahuan yang dimaksud bersifat universal dan

immaterial.33

32 Osman Bakar, Hierarki Ilmu, h. 68-69.

33 Osman Bakar, Hierarki Ilmu, h. 77.

Page 37: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

23

BAB III

BIOGRAFI IBN MISKĀWAIH

Biografi merupakan sejarah hidup. Dari sejarah, dapat diketahui pasang

surutnya suatu budaya yang tidak sebatas fakta-fakta masa lampau dan akan

berpengaruh pada masa yang akan datang. Dari sejarah, budaya bisa berkembang

atau pun hilang. Sejarah bukanlah hanya cerita tentang diri seorang raja, namun

harus mencerminkan struktur politik, ekonomi, dan sosial pada masa tertentu.

Sejarah juga harus mencatat naik turunnya peradaban bangsa dan negara. Ahli

sejarah harus menjaga keasliannya, tidak memalsukan suatu kejadian pada masa

lampau, karena akan berpengaruh pada masa yang akan datang.1

Banyak karya yang menulis sebuah biografi tokoh, ataupun autobiografi

(sejarah hidup yang ditulis oleh tokohnya langsung). Namun, sangat disayangkan

karena biografi Ibn Miskāwaih tidak seperti biografi-biografi tokoh lain. Tidak

seperti al-Kindī yang banyak ditulis oleh para penulis dalam beberapa karya

dalam bidang falsafah. Ibn Miskāwaih sendiri tidak membuat autobiografi.

Meskipun demikian, beberapa tulisan memberikan sedikit pencerahan

tentang biografi Ibn Miskāwaih. Dengan beberapa referensi, mendapatkan sedikit

banyaknya informasi terkait biografi Ibn Miskāwaih. Diantaranya adalah riwayat

hidup, karya-karya, dan beberpa tokoh atau guru yang mempengaruhi dan

menumbuhkan suatu ideologi dalam diri Ibn Miskāwaih.

1 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 89.

Page 38: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

24

A. Riwayat Hidup Ibn Miskāwaih

Nama dari Ibn Miskāwaih masih sepertinya tidak ada kepastian, karena

sampai saat ini masih belum mendapatkan kesepakatan. Ada yang mencantumkan

bahwa nama Ibn Miskāwaih adalah Ahmad. Ada pula yang mencantumkan bahwa

nama Ibn Miskāwaih adalah Muhammad. Namun, kebanyakan meyakini bahwa

nama Ibn Miskāwaih adalah Ahmad, bukan Muhammad. Sungguhpun ada kata

Muhammad dalam nama Ibn Miskāwaih, penulis lebih mempercayai itu hanyalah

nama ayahnya.

Sedangkan kata Miskāwaih dalam nama Ibn Miskāwaih belum diketahui

secara pasti, ini tidak seperti nama al-Kindī dan al-Ghazālī yang gampang

ditelusuri, yang mana dua nama tersebut diambil dari nama asal daerahnya, yakni

daerah Kindah dan Ghazāl. Kata Miskāwaih belum diketahui secara pasti apakah

nama tersebut merupakan nama dia atau ia merupakan putra dari Miskāwaih. Hal

tersebut masih dalam perdebatan, hingga menimbulkan beberapa pendapat.

Seperti menurut Margholiouth dan Bergstrasser, mereka lebih menerima yang

pertama, bahwa Miskāwaih adalah nama dia sendiri. Sedangkan menurut

Brockelmeann, lebih menerima yang kedua, bahwa Miskāwaih merupakan nama

ayahnya.2

Ibn Miskāwaih mempunyai gelar sebagai seorang Khāzim. Kata Khāzim

ada yang mengartikan sebagai seorang pustakawan, ada pula yang mengartikan

sebagai seorang bendaharawan, karena Ibn Miskāwaih pernah menjabat sebagai

2 Moeflih Hasbullah & Dedi Supriyadi, Filsafat Sejarah (Bandung: Pustaka Setia, 2012),

h. 211.

Page 39: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

25

bendahara negara pada masa kekuasaan Adhub al-Daulah dari Bani Buwaih.3

Memang Ibn Miskāwaih pun berpuluhan tahun menjadi seorang pustakawan pada

wazir dan amir Bani Buwaih, diantaranya adalah Wazir Hasan al-Mahlabi di

Baghdad (348-352 H), Wazir Abu Fadl Muhammad Ibn al-ʼAmid di Ray (352-360

H), Wazir Abu al-Fath Ali Ibn Muhammad di Ray (360-366 H), Amir ʻAdd al-

Dawlah Ibn Buwaih di Baghdad (367-372 H), serta pada amir-amir berikutnya.

Lebih penting, kata itu sering dituliskan di tengah namanya oleh para penulis yang

membahas tentang Ibn Miskāwaih. Seperti Dedi Supriyadi tokoh di Indonesia

yang menulis tentang Ibn Miskāwaih, ia mencantumkan kata Khāzim dalam

menuliskan nama lengkap dari Ibn Miskāwaih.4 Dedi Supriyadi juga mengartikan

bahwa kata Khāzim ialah seorang bendaharawan.

Ibn Miskāwaih juga mempunyai gelar Abū ’Alī. Nama itu diperoleh dari

nama sahabat Rasulullah Saw., sendiri, yakni Sayyidinā ’Alī Ibn Abū Thālib.

Yang mana Sayyidinā ’Alī Ibn Abū Thālib merupakan sahabat Rasulullah Saw.,

yang dipandang orang Syi’ah lebih pantas menggantikan posisi Sayyidinā ’Alī Ibn

Abū Thālib untuk memimpin negara setelah Rasulullah Saw., wafat dibandingkan

tiga sahabat Rasulullah Saw., lainnya. Maka tidak heran jika banyak penulis-

penulis yang menggolongkan Ibn Miskāwaih kepada penganut aliran Syi’ah,

karena melihat dari nama gelarnya sebagai Abū ’Alī.5 Nama Abū ’Alī sendiri

diletakkan pada awal nama dari Ibn Miskāwaih. Kemudian diikuti dengan nama

lain. Nama Abū ’Alī bukanlah nama anak dari Ibn Miskāwaih. Tidak seperti al-

3 Mustofa Hasan, Sejarah Filsafat Islam: Geneologis dan Transmisi Filsafat Timur ke

Barat (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h. 86-88.

4 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filsuf, dan Ajarannya (Bandung:

Pustaka Setia, 2013), h. 110.

5 Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Nilai (Jakarta: Yayasan Kertagama, 2014), h. 259.

Page 40: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

26

Ghazālī, yang mana kata Abū Hāmid pada nama al-Ghazālī dikarenakan al-

Ghazālī memiliki anak yang ia berikan nama Hāmid. Namun, terkait gelar Abū

’Alī, penulis tidak mendapatkan keterangan pasti mengapa Ibn Miskāwaih

mendapatkan gelar tersebut.

Selain itu, ada gelar lain yang dimiliki oleh Ibn Miskāwaih. Ibn

Miskāwaih dikenal pula sebagai seorang sejarawan besar yang kemasyhurannya

melebihi dari kemasyhuran al-Thabari (w.310 H/923 M.), yang mana al-Thabari

merupakan sejarawan sebelum Ibn Miskāwaih. Gelar lain yang dimiliki oleh Ibn

Miskāwaih adalah sebagai seorang dokter, penyair, dan ahli bahasa.6

Menurut Dedi Supriyadi, nama lengkap dari Ibn Miskāwaih ialah Abū Alī

al-Kāsim Ahmad (Muhammad) Ibn Ya’qūb Ibn Miskāwaih. Dedi Supriyadi lebih

memilih nama Muhammad berada dalam kurung, karena ia berpandangan bahwa

ada beberapa sebagian penulis sebelumnya yang lebih memilih nama Ahmad

diganti dengan nama Muhammad. Ini tercatat dalam karya tulisnya yang berjudul

”Pengantar Filsafat Islam” dalam pembahasan biografi yang ditulis sekitar dua

halaman. Nama Abū Alī al-Kāsim Ahmad (Muhammad) Ibn Ya’qūb Ibn

Miskāwaih ia tulis pada paragraf pertama.7

Sedangkan menurut Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, nama lengkap dari Ibn

Miskāwaih adalah Abū Alī al-Kāsim Ahmad Ibn Muhammad Ibn Miskāwaih.

Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan mengambil jalan tengah, dan secara tidak langsung

Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan juga meyakini bahwa kata Muhammad dalam nama

Ibn Miskāwaih merupakan nama ayah dari Ibn Miskāwaih dan tidak ada kata Ibn

6 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2000), h. 5.

7 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, h. 110.

Page 41: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

27

Ya’qūb dalam nama lengkap Ibn Miskāwaih.8 Sedangkan kata Ibn Miskāwaih

merupakan nama kakeknya. Ini tercantum dalam karya tulisnya yang berjudul

”Pemikiran Falsafi dalam Islam” pada sub-bab riwayat hidup dan karya tulis Ibn

Miskāwaih. Nama Abū Alī al-Kāsim Ahmad Ibn Muhammad Ibn Miskāwaih ia

tulis pada paragraf pertama.

Ibn Miskāwaih merupakan Filsuf Muslim yang lahir di Ray pada tahun

330 H/940 M dan meninggal dunia pada tahun 421 H/1030 M. Dimana pada tahun

330 H., termasuk dalam masa ke-khalifah-an Abbasiyyah. Namun, pada tahun 330

H., khalifah Abbasiyyah sedang berada dalam masa-masa sulit. Khalifah

Abbasiyyah pada masa tersebut berada dalam pengaruh Adhud al-Daulah dari

Bani Buwaih.9

Tidak hanya nama Miskāwaih saja yang menjadi perdebatan, akan tetapi

tentang agama yang dianut oleh keluarga dari Ibn Miskāwaih juga. Beberapa

karya yang telah diciptakan oleh beberapa penulis yang membahas tentang Ibn

Miskāwaih, menuliskan bahwa sebenarnya keluarga Ibn Miskāwaih pada mulanya

memeluk agama Majusi, kemudian berpindah keyakinan dan memilih untuk

masuk pada agama Islam.10 Namun tidak ada keterangan waktu, sebab, dan

bagaimana sejarah keluarga Ibn Miskāwaih berpindah agama dan memilih Islam.

Pendapat lain terkait kemajusian dari Ibn Miskāwaih, seperti Jurzi Zaidan

mengutarakan pandangannya bahwa Ibn Miskāwaih adalah Majusi, lalu berpindah

8 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 88.

9 H. A. Mustafa, Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 166.

10 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 56.

Page 42: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

28

ke Islam.11 Jurzi Zaidan pun tidak mencantumkan keterangan waktu pasti kapan

Ibn Miskāwaih berpindah agama dari Majusi ke agama Islam.

Pandangan lain, Yaqut dan pengarang Dairah al-Ma‟rifah al-Islamiyyah

yang lebih percaya bahwa nama Muhammad di nama Ibn Miskāwaih merupakan

nama bapaknya. Maka dapat ditelaah bahwa mereka lebih memandang nenek Ibn

Miskāwaihlah yang beragama Majusi, kemudian berpindah agama dan memilih

menjadi seorang muslim. Ini melihat dari bapak Ibn Miskāwaih yang memiliki

nama Muhammad.12

Ibn Miskāwaih hijrah ke Baghdad pada tahun 348 H. Di Baghdad ia

memperdalam ilmu dalam bidang sastra Arab dan sastra Persi. Ibn Miskāwaih

berguru kepada menteri al-Mahlabi. Ia pun menetap bersama dengan ahli-ahli

sastra lainnya. Akan tetapi, hanya dalam jangka waktu beberapa tahun Ibn

Miskāwaih menetap di Baghdad, tepatnya tahun 352 H., ia kembali lagi ke kota

kelahirannya (Ray). Dan Ibn Miskāwaih kembali ke Ray karena gurunya

meninggal dunia.13

Ketika Ibn Miskāwaih kembali ke Ray, ia meneruskan belajarnya kepada

Ibn al-’Amid dalam bidang ilmu yang dikuasai Ibn al-’Amid. Ibn al-’Amid sendiri

menguasai bidang arsitek bangunan, filsafat, logika, ahli bahasa dan sastra Arab.

Ibn al-’Amid pun termasuk seorang penyair dan penulis terkenal. Ibn Miskāwaih

11 Asep Sulaiman, Mengenal Filsafat Islam (Bandung: Yrama Widya, 2016), h. 41-42.

12 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013), h. 56.

13 Ziauddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan Pertengahan

(Bandung: Angkasa, 2003), h. 42.

Page 43: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

29

belajar kepadanya sampai Ibn al-’Amid meninggal dunia, perkiraan hanya dalam

kurun waktu tujuh tahun, tepatnya pada tahun 359 H.14

Hasyimsyah Nasution menuliskan bahwa bapaknya Ibn Miskāwaih

seorang pegawai pemerintahan. Inilah yang menjadi jalan bagi Ibn Miskāwaih

untuk masuk kedalam pemerintahan. Ibn Miskāwaih mempunyai kesempatan

besar untuk bergaul dengan kalangan terhormat dan memahami birokrasi-

birokrasi pemerintahan pada waktu itu. Sangat wajar jika ia pun terpilih menjadi

bendahara di masa kekuasaan Adhub al-Daulah dari Bani Buwaih dan

mendapatkan gelar al-Khāzim.15

Ibn Miskāwaih meninggal di Isfahan pada tahun 421 H/1030 M. Kota lahir

dan meninggalnya yang berbeda, membuktikan bahwa Ibn Miskāwaih senang

mencari pengalaman di tempat yang tidak tetap. Perpindahan tempat tersebut

karena keinginannya dalam belajar dan berguru kepada seseorang ataupun tugas

negara yang diembannya dan yang diberikan kepadanya oleh penguasa dinasti. Ia

belajar dan memperkuat pola pikirnya tentang berbagai cabang ilmu pengetahuan

dan filsafat di kota Baghdad. Setelahnya, ia lebih fokus pada sejarah dan akhlak.16

Maka tak heran dalam semua karyanya lebih di dominasi oleh tulisan tentang

akhlak.

Karyanya menjadi gelar untuknya. Itu lebih pantas dikatakan, karena ia

pun mendapat gelar sebagai bapak etika ketiga (al-Mu’allim al-Tsālits). Terjadi

karena orang melihat karyanya lebih dominan tentang akhlak. Gelar ini

sebelumnya dinobatkan kepada al-Fārabī sebagai bapak etika kedua (al-Mu’allim

14 Ziauddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan Pertengahan, h.

42.

15 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 56.

16 Moeflih Hasbullah & Dedi Supriyadi, Filsafat Sejarah, h. 211.

Page 44: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

30

al-Tsāni). Juga oleh Aristiteles sebagai bapak etika pertama (al-Mu’allim al-

Awwal).17 Tak heran, karena Ibn Miskāwaih sering mendapatkan tugas untuk

menafsirkan karya tulis dari Aristoteles oleh Ibn al-Khammar (guru filsafat Ibn

Miskāwaih).

Sebelum Ibn Miskāwaih menjadi bendahara di Dinasti Buwaihiyyah

’Adhud al-Daulah, ia sudah termasuk salah satu dari anggota kelompok pemikir

ternama yang berkarier di bidang politik dan beraktivitas filsafat. Setelah Ibn

Miskāwaih menjadi bendahara, ia pun banyak terlibat dalam praktis masyarakat.

Namun tak meninggalkan aktivitas filsafatnya, ia tetap ikut andil dalam

perdebatan teoretis dalam kelompok intelektual al-Tauhīdī dan al-Sijistāmī

dengan menulis risalah-risalah.18

B. Riwayat Pendidikan

Ibn Miskāwaih termasuk dalam filsuf muslim yang memusatkan

perhatiannya terhadap bidang etika Islam, wajar jika Ibn Miskāwaih mendapat

gelar sebagai bapak etika ketiga, menggantikan posisi al-Fārabī. Sebenarnya ia

pun seorang sejarawan, tabib, ilmuan dan sastrawan. Di samping pengetahuannya

tentang filsafat Yunani Kuno, ia juga mempunyai pengetahuan yang sangat luas

tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India.19 Maka ia membuatkan karya

sejarah pula tentang pengalaman bangsa yang menemukan kejayaan dari masa

awal hingga pada kehidupan zamannya.

17 Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Nilai, h. 260.

18 Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku

Pertama, diterjemakan oleh Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan Pustaka, 2003), h. 310.

19 H. A. Mustafa, Filsafat Islam, h. 166.

Page 45: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

31

Sedikitnya tokoh yang tertarik membahas Ibn Miskāwaih, mempunyai

dampak kurangnya referensi untuk mengetahui tentang Ibn Miskāwaih, terutama

dalam dunia pendidikannya. Maka banyak penulis yang tidak memasukkan

riwayat pendidikan Ibn Miskāwaih. Ibn Miskāwaih sendiri pun tidak menulis

tentang autobiografinya. Wajar banyak penulis yang lebih memilih tidak

mencantumkan riwayat pendidikan dengan melalui praduga. Dalam karya-karya

Ibn Miskāwaih pun tidak ditemukan autobiografinya.

Sungguhpun demikian, H. A. Mustafa memberikan penjarabaran dan

menceritakan kembali apa yang diceritakan Ahmad Amin tentang gambaran

pendidikan anak pada zaman ke-khalifah-an Abbasiyyah. Pada masa itu, anak-

anak biasanya diajarkan membaca, menulis, belajar al-Qur’ān, dasar-dasar bahasa

Arab, tata bahasa Arab (Nahwu), dan ’Arudh (ilmu membaca dan membuat

sebuah syair). Semua mata pelajaran tersebut diajarkan dengan melalui les privat,

ini pun hanya diberikan kepada anak yang mempunyai latar belakang keluarga

berada.20

Kemudian, anak akan diberikan ilmu lain ketika guru merasa ilmu dasar

sudah dikuasainya. Ilmu lain itu diantaranya ilmu fiqih, hādits, sejarah (khususnya

sejarah Arab, Persia, dan India), dan Matematika. Selain itu pula, anak akan

diajarkan ilmu lain, seperti musik, bermain caur, dan furusiyah (ilmu seperti

kemiliteran).21

Untuk mata pelajaran dasar, mungkin Ibn Miskāwaih masih mengikutinya,

namun untuk mata pelajaran lanjutan, sepertinya tidak. Hal ini melihat dari segi

ekonomi keluarganya yang kurang mampu untuk mendatangkan guru privat ke

20 H. A. Mustafa, Filsafat Islam, h. 168.

21 H. A. Mustafa, Filsafat Islam, h. 168.

Page 46: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

32

rumah karena biayanya yang mahal. Ibn Miskāwaih mengembangkan ilmunya

dengan membaca buku, terutama ketika ia mendapatkan kepercayaan menguasai

perpustakaan Ibn al-’Amid, menteri Rukn al-Daulah, dan sebagai bendaharawan

’Adhud al-Daulah.22

C. Tokoh yang Mempengaruhi Ibn Miskāwaih

Ibn Miskāwaih mempunyai banyak guru, namun menurut penulis yang

sangat berpengaruh hanya sedikit. Banyak guru-guru Ibn Miskāwaih yang tidak

diketahui nama-namanya juga. Diantara guru-guru yang telah diketahui namanya

adalah Ibn al-Kammar, Abū Bakr Ahmad Ibn Kāmil al-Qadhi, Abū al-Thayyib al-

Rāzī, menteri al-Mahlabi sebagai guru Sastra, dan Ibn al-’Amid di bidang

arsitektur.23

Dalam beberapa referensi, hanya mencantumkan tiga tokoh yang

mempengaruhi Ibn Miskāwaih, yakni Ibn al-Kammar, Abū Bakr Ahmad Ibn

Kāmil al-Qadhi, dan Abū al-Thayyib al-Rāzī. Dalam beberapa karya tulis di

Indonesia yang membicarakan tentang Ibn Miskāwaih, ada yang percaya bahwa

Ibn al-Kammar dan Abū Bakr Ahmad Ibn Kāmil al-Qadhi merupakan guru di

bidang yang sama. Ada pula yang percaya keduanya berbeda bidang kajian ilmu.

Dan Abū al-Thayyib al-Rāzī sendiri berbeda dengan kedua tokoh lain. Alasan dua

tokoh lain tidak mempengaruhinya, karena Ibn Miskāwaih sendiri lebih tertarik

pada bidang sejarah dan akhlak.

Ibn al-Khammar merupakan guru filsafatnya yang termasuk dalam mufasir

ternama pada masanya dalam karya-karya Aristoteles. Pada filsafat Ibn

22 H. A. Mustafa, Filsafat Islam, h. 168.

23 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, h. 111.

Page 47: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

33

Miskāwaih juga sedikit-banyaknya dipengaruhi oleh Aristoteles melalui ajaran

Ibn al-Khammar. Karena Ibn al-Khammar seringkali menyuruh Ibn Miskāwaih

untuk ikut andil dalam menerjemahkan karya Aristoteles, terutama di bidang

akhlak. Maka tak dapat dipungkiri bahwa karya tentang akhlak dari Ibn

Miskāwaih terdapat kesamaan dengan etika Aristoteles.24 Bahkan Ibn Miskāwaih

menulis dalam karyanya yang berjudul al-Fauz al-Asghar, berisi tentang uraian

sifat dasar Neoplatonisme yang sedikit tidak lazim, didalamnya ia mengklaim

bahwa para filsuf klasik (Yunani Kuno) tidak meragukan eksistensi dan keesaan

Tuhan sehingga tidak ada masalah mempertemukan pemikiran mereka dengan

Islam. Ia berpendapat seperti itu dengan menggunakan argumentasi Aristoteles

bahwa ada Penggerak pertama yang Tidak Bergerak, istilah tersebut sama dengan

Sang Pencipta.

Kemudian, Abū Bakr Ahmad Ibn Kāmil al-Qadhi (350 H). Ada yang

mengatakan bahwa ia adalah guru Ibn Miskāwaih dalam bidang filsafat, dan ada

pula yang mengatakan bahwa ia termasuk guru dalam bidang sejarah. Namun,

beberapa catatan menulis bahwa Abū Bakr Ahmad Ibn Kāmil al-Qadhi adalah

tokoh yang membantu Ibn Miskāwaih ketika Ibn Miskāwaih menuliskan karya

yang berjudul Tajārib al-Umam, karya tersebut hanya berisi tentang cerita

pengalaman bangsa-bangsa sejak awal hingga ke masa hidup Ahmad Ibn

Miskāwaih atau sekitar tahun 390 H.25

24 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, h. 111.

25 Moeflih Hasbullah & Dedi Supriyadi, Filsafat Sejarah, h. 211.

Page 48: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

34

D. Karya Tulis Ibn Miskāwaih

Seperti yang telah dikupas pada pembahasan riwayat hidup Ibn

Miskāwaih, Ibn Miskāwaih lebih tertarik membahas dalam bidang sejarah dan

bidang akhlak. Maka tidak heran jika yang Ibn Miskāwaih tulis lebih banyak

dalam bidang akhlak atau ilmu pengetahuan umum yang ia disinambungkan

dengan akhlak, seperti karya Ibn Miskāwaih yang berjudul Tartib al-Sa’adah,

dalam karya itu ia menulis tentang akhlak dan politik, kemudian ia melanjutkan

menulis tentang akhlak dalam berpolitik. Atau kitab Tahdzīb al-Akhlāq yang

berisi tentang pendidikan akhlak yang dikupas dari asal-usul manusia yang

bermula dari tanah hingga kepada manusia, dijelaskan pula fakultas-fakultasnya

dan kesempurnaan manusia serta cara untuk mencapai pada titik dimana akan

menjadi manusia paling sempurna.

Beberapa orang mencatat bahwa semua karya Ibn Miskāwaih berjumlah

18 dan menyatakan bahwa ada dua karya Ibn Miskāwaih yang hilang, sehingga

yang dicatat hanya berjumlah 16 karya saja. Namun, penulis berhasil

mengumpulkan catatan-catatan dari buku-buku filsafat yang membahas Ibn

Miskāwaih dengan jumlah 19 karya. Nama-nama karya tulis Ibn Miskāwaih yang

berhasil ditemukan diantaranya adalah:

1. Al-Fauz al-Akbar, karya ini berisi tentang keberhasilan yang besar;

2. Al-Fauz al-Asghar, karya ini berisi tentang keberhasilan yang kecil;

3. Tajārib al-Umam, karya ini berisi tentang cerita pengalaman bangsa-bangsa

sejak awal hingga ke masa hidup Ahmad Ibn Miskāwaih;

4. Uns al-Farid, karya ini hanya berisi sekumpulan cerita anekdot, syair,

peribahasa, dan kata mutiara;

Page 49: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

35

5. Tartib al-Sa’adah, karya ini berisi tentang akhlak, politik, dan juga akhlak

ketika berpolitik;

6. Al-Musthafa, karya ini hanyalah tentang syair-syair pilihan;

7. Jawidan Khirad, karya ini berisi kumpulan kata bijak;

8. Al-Jami;

9. Al-Siyar, karya ini berisi tentang aturan hidup;

10. Tahdzīb al-Akhlāq, karya ini berisi tentang pendidikan akhlak hingga manusia

menemukan titik teratasnya dengan cara spiritual dan dianggap paling mulia

dibandingkan yang lain, termasuk malaikat;

11. Ajwibah wa al-As’ilah fī al-Nafs wa al-Aql, karya ini berisi tentang tanya

jawab seputar jiwa;

12. Al-Jawāb fī al-Masā’il al-Salās, karya ini hanya sebuah jawaban dari tiga

masalah;

13. Tahārat al-Nafs, karya ini berisi tentang kesucian jiwa;

14. Risālah fi al-Ladzdzat wa al-Alam fī Jauhar al-Nafs, karya ini berisi tentang

kesenangan dan kepedihan jiwa;

15. Risalah fi Jawab fi Su’al Ali Ibn Muhammad Abū Hayyan al-Shufi fi Haqiqah

al-’Aql;

16. Risalah fi Haqiqah al-Aql, karya ini berisi tentang hakikat akal;26

17. On the Simple Drugs (tentang kedokteran);

18. On the compicition of the Bajats (seni memasak);

19. Kitab al-Ashribah (tentang minuman).27

26 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, h. 113.

27 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers, 2014),

h. 129.

Page 50: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

36

Sebenarnya tidak hanya kitab-kitab yang Ibn Miskāwaih tulis. Risalah-

risalah Ibn Miskāwaih yang dicantumkan di atas juga termasuk risalah yang

lumayan tabal. Selain itu, ada risalah-risalah pendek Ibn Miskāwaih yang ditulis

dalam bahasa Parsi di Raudhoh al-Jannah. Pernyataan ini dikatakan oleh

Muhammad Baqir Ibn Zain al-Abidin al-Hawanshari yang dikutip oleh al-

Ahwani. Namun sangat disayangkan, risalah Ibn Miskāwaih dalam Raudhoh al-

Jannah tidak diketahui nama judulnya.28

Ibn Sīna sebagai tokoh yang satu zaman dengan Ibn Miskāwaih

berpendapat bahwa Ibn Miskāwaih tidak mampu berfalsafah. Pernyataan ini

sejalan dengan al-Tauhīdī. Asalannya hanyalah karena karya-karya kefalsafatan

Ibn Miskāwaih kurang terkenal pada masanya. Padahal, Ibn Miskāwaih

sebenarnya sama seperti tokoh lain yang menulis banyak topik, termasuk dalam

bidang falsafat. Seperti apa yang kita ketahui sekarang bahwa karya Ibn

Miskāwaih, terutama tentang etika banyak memberikan sumbangsih terhadap

falsafah, karena etika yang diuraikan oleh Ibn Miskāwaih sangatlah rapi dan

tersusun dengan baik. Inilah komentar dari tokoh yang satu zaman dengan Ibn

Miskāwaih terhadap karyanya.29 Namun, menurut Ibrahim Madkar, memang

sebenarnya Ibn Miskāwaih juga termasuk salah satu tokoh yang mempengaruhi

pada karya-karya yang Ibn Sīna tuliskan. Ada beberapa karya Ibn Miskāwaih

yang dikutip dan sebagai rujukan Ibn Sīna ketika Ibn Sīna menulis karya dalam

bidang psikologi.30

28 H. A. Mustafa, Filsafat Islam, h. 169.

29 Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, h. 310.

30 Zainal Abidin Ahmad, Ibnu Sina (Avicena) ; Sarjana dan Filosoof Besar Dunia

(Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 265.

Page 51: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

37

Sebaliknya, menurut Muhammad Hamidullah dan Afzal Iqbal yang

menuangkan komentarnya karya berjudul ”The Emergence of Islam: Lectures on

the Development of Islamic World-view, Intellectual Tradition and Polity”,

menjelaskan bahwa Ibn Miskāwaih adalah orang pertama yang memaparkan

secara jelas ide tentang evolusi. Ini juga yang menjadi acuan oleh Dedi Supriyadi

menulis pada tulisannya tentang Ibn Miskāwaih, bahwa Iqbal sendiri lebih

menganggap Ibn Miskāwaih adalah seorang sejarawan, moralis, dan pemikir

teistis.31

31 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, h. 113.

Page 52: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

38

BAB IV

MANUSIA MENURUT IBN MISKĀWAIH

A. Asal Usul Manusia

Dalam al-Fauz al-Ashghar, Ibn Miskāwah mengetengahkan uraian

tentang sifat dasar Neoplatonisme yang tidak lazim, didalamnya ia mengklaim

bahwa para filsuf klasik (Yunani) tidak meragukan eksistensi dan keesaan Tuhan,

sehingga tidak ada masalah ketika mempertemukan pemikiran filsuf klasik

dengan Islam. Ia bahkan mengklaim bahwa penyamaan Aristoteles mengenai

Sang Pencipta dengan ”Penggerak yang Tidak Bergerak” merupakan argumen

kuat tentang Sang Pencipta yang dapat diterima agama. Ibn Miskāwaih memiliki

kesimpulan bahwa tidak ada jalan rasional untuk memahami Tuhan, maka kita

harus mengikuti petunjuk-petunjuk agama dan pandangan-pandangan umum

kelompok agama. Ibn Miskāwaih sangat merasa peduli dalam upaya menyatukan

pandangan bahwa Tuhan menciptakan dunia dari ketiadaan dengan gagasan

nirputus Neoplatonisme.1

Dengan demikian, Ibn Miskāwaih yang memiliki kepercayaan pada

agama Islam, ia juga percaya bahwa dunia ada karena Allah yang menciptakan. Ia

meyakini Allah adalah Penggerak pertama yang tidak bergerak. Ia juga memiliki

pandangan bahwa ada beberapa pembahasan yang tidak dapat terjawab dengan

jalan rasional, akan tetapi dapat dicari dengan petunjuk-petunjuk agama. Maka

mencari informasi tentang asal mula manusia yang tidak akan terlepas dalam

penciptaan jagat raya, akan dikupas melalui argumentasi al-Qur’ān.

1 Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku

Pertama, diterjemakan oleh Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan Pustaka, 2003), h. 311.

Page 53: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

39

Al-Qur’ān sebagai pedoman hidup umat Islam pun banyak

mengemukakan tentang jagat raya, seperti pada surat Qāf ayat 38:

م نا من لغوب ولقد خلقنا ٱلسذ يذام وما مسذرض وما بينهما ف ستذة أ

ت وٱل ٣٨و

Artinya: ”Dan sungguh, Kami telah menciptakan langit dan bumi dan apa yang

ada antara keduanya dalam enam hari (masa), dan Kami tidak merasa

letih sedikit pun”.

Juga pada surat al-Sajdah ayat 4:

يذام ثمذ ٱستوى لع ٱلعرش ما رض وما بينهما ف ستذة أ

ت وٱل مو ي خلق ٱلسذ ٱلذ لكم من ٱللذ

رون فل تتذكذ ول شفيع أ ٤دونهۦ من ول

Artinya: ”Allah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara

keduanya dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.

Bagimu tidak ada seorang pun penolong maupun pemberi syafa’at

selain Dia. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”.

Jadi, yang menciptakan jagat raya adalah Allah Sang Penggerak Pertama

yang Tidak Bergerak, seperti apa yang telah Aristoteles katakan. Dia menciptakan

jagat raya tidak secara langsung. Jagat raya yang ada seperti sekarang merupakan

proses penciptaan yang sangat panjang. Allah menciptakan langit dan bumi

beserta isinya dalam enam hari. Allah pun tidak merasa letih dalam proses

menciptakan jagat raya. Kemudian, setelah semuanya telah Allah ciptakan, Allah

bersemayam di atas ‘Arsy.

Ahmad Mustafā al-Marāgi dalam tafsir al-Marāgi menerangkan bahwa

penciptaan langit dan bumi dengan segala isinya terjadi dalam enam periode, dan

Page 54: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

40

bukan dalam enam hari.2 Al-Qur’ān sendiri menjelaskan dan

mengumpamakannya satu hari yang dimaksud berbeda dengan satu hari yang ada

di bumi, seperti dalam surat al-Hajj ayat 47:

ا تع لف سنة ممذۥ إونذ يوما عند ربك كأ وعده ون ويستعجلونك بٱلعذاب ولن يلف ٱللذ ٤٧د

Artinya: ”Dan mereka meminta kepadamu agar adzab itu disegerakan, padahal

Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari

disisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu

(dibumi)”.

Juga dalam surat al-Ma’ārij ayat 4:

وح إله ف يوم كن مقدارهۥ خ لف سنة تعرج ٱلملئكة وٱلر ٤سني أ

Artinya: ”Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam

sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun”.

Maka hari yang dimaksud dalam proses penciptaan jagat raya bukanlah

perhitungan hari seperti apa yang ada di bumi. Satu hari di bumi terhitung dalam

24 jam, sedangkan al-Qur’ān memberi penjelasan dalam satu hari yang dimaksud

adalah sekitar 1000 tahun dan 50.000 tahun.

Ayat al-Qur’ān juga memberi penjelasan tentang waktu dan apa yang

diciptakan. Pertama penciptaan tujuh langit, di terangkan dalam surat Fussilat ayat

12:

2 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama

RI dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Penciptaan Bumi; dalam Perspektif Al-

Qur’an dan Sains, (Jakarta: Kementerian Agama, 2012), h. 20-21.

Page 55: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

41

نيا ب ماء ٱدل وزيذنذا ٱلسذ مرها سماء أ

وح ف كهنذ سبع سموات ف يومني وأ فقضى مصبيح وحفظا

لك تقدير ٱلعزيز ٱلعليم ١٢ذ

Artinya: ”Lalu diciptakan-Nya tujuh langit dalam dua masa, dan pada setiap langit

Dia mewahyukan urusan masing-masing. Kemudian langit yang dekat

(dengan bumi), Kami hiasi dengan bintang-bintang, dan (Kami ciptakan

itu) untuk memelihara. Demikianlah ketentuan (Allah) Yang Maha

Perkasa, Maha Mengetahui”.

Kedua penciptaan bumi, tercatat dalam surat Fussilat ayat 9:

لك رب ٱلع ندادا ذۥ أ رض ف يومني وتعلون ل

ي خلق ٱل ئنذكم لكفرون بٱلذ

لمني ۞قل أ

٩

Artinya: ”Katakanlah, pantaskah kamu ingkar kepada Tuhan yang menciptakan

bumi dalam dua masa dan kamu adakan pula sekutu-sekutu bagi-Nya?

Itulah Tuhan seluruh alam”.

Ketiga tentang penciptaan isi bumi, tertulis dalam al-Qur’ān surat Fussilat ayat 10:

ائلني وجعل فيه يذام سواء للسذربعة أ

تها ف أ قو

ر فيها أ ١٠ ا روس من فوقها وبرك فيها وقدذ

Artinya: ”Dan Dia ciptakan padanya gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dan

kemudian Dia berkahi, dan Dia tentukan makanan-makanan (bagi

Page 56: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

42

penghuni)nya dalam empat masa, memadai untuk (memenuhi

kebutuhan) mereka yang memerlukannya”.

Dengan demikian, enam masa pada penciptaan jagat raya dibagi menjadi

tiga. Pertama, ketika penciptaan tujuh langit terjadi dalam dua masa, pada setiap

langit memiliki fungsi tersendiri. Langit yang dekat dengan bumi dihiasi oleh

bintang-bintang, termasuk matahari. Kedua, dalam penciptaan bumi pun terjadi

dalam kurun waktu dua masa. Dan terakhir, karena sudah diketahui bahwa

penciptaan bumi terjadi dalam dua masa, maka dua masa selanjutnya adalah

proses penciptaan isi bumi.

Lebih rinci, penciptaan jagat raya dari awal sampai yang ada seperti

sekarang terdapat pada surat al-Nāzi’āt ayat 27 sampai 33:

ها بنى ماء م ٱلسذشد خلقا أ

نتم أ

ها ٢٧ءأ ى ها ٢٨رفع سمكها فسوذ خرج ضحى

غطش للها وأ

٢٩وأ

ها لك دحى رض بعد ذها ٣٠وٱل خرج منها ماءها ومرعى

ها ٣١أ رسى

بال أ متعا لذكم و ٣٢وٱل

نعمكم فإذا ٣٣ل

Artinya: ”Apakah penciptaan kamu yang lebih hebat ataukah langit yang telah

dibangun-Nya? Dia telah meninggalkan bangunannya lalu

menyempurnakannya, dan Dia menjadikan malamnya (gelap gulita),

dan menjadikan siangnya (terang benderang). Dan setelah itu bumi Dia

hamparkan. Darinya Dia pancarkan mata air, dan (ditumbuhkan)

tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung Dia pancangkan dengan

teguh. (Semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk hewan-hewan

ternakmu”.

Page 57: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

43

Menurut ahli astronomi, bahwa ayat di atas menerangkan tentang enam masa

penciptaan jagat raya. Masa pertama pada ayat 27, memberi petujuk bahwa

penciptaan jagat raya sama seperti peristiwa Big Bang. Masa kedua pada ayat 28,

memberi informasi pengembangan alam semesta, benda-benda semakin terpisah

jauh. Masa ketiga pada ayat 29, dapat dipahami bahwa inilah masa penciptaan tata

surya serta proses bumi berotasi, sehingga adanya siang dan malam. Masa

keempat pada ayat 30, memberikan petunjuk tentang evolusi bumi. Masa kelima

pada ayat 31, inilah ayat yang memberikan gambaran awal mula adanya

kehidupan di bumi, diciptakannya air yang menjadi sumber kehidupan. Dan masa

keenam pada ayat 32 dan 33, timbulnya gunung-gunung akibat evolusi geologi,

dan mulai diciptakaannya hewan dan kemudian manusia.3

Jagat raya atau langit dan bumi mulanya menyatu. Kemudian meledak

seperti apa yang telah Big Bang gambarkan pada teorinya tentang jagat raya.

Selanjutnya benda-benda yang telah diledakkan terpisah menjauh. Setelah itu

muncullah bintang-bintang, termasuk matahari, dan pada masa inilah awal bumi

berotasi hingga terjadinya siang dan malam. Lalu Allah ciptakan mata air sebagai

sumber kehidupan dan pada sumber air itu di tumbuhi tumbuh-tumbuhan.

Terakhir Allah ciptakan hewan dan manusia.

Dalam kitab Tahdzib al-Akhlāq, Ibn Miskāwaih menguraikan proses

transformasi dari alam air atau alam mineral hingga alam manusia. Ini tertulis

pada wacana kedua dan menjadi sub-bab khusus. Teori ini tertulis menjadi empat

tahapan, yakni tahap alam mineral, alam tumbuhan, alam hewan, dan alam

3 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama

RI dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Penciptaan Bumi, h. 21-22.

Page 58: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

44

manusia.4 Ibn Miskāwaih meyakini bahwa alam mineral yang pertama dengan

berargumentasi menggunakan al-Qur’ān surat al-‘Anbiyā ayat 30:

رض كنتا رتقا ففتقنهما وجعلنا من ت وٱل مو نذ ٱلسذ

نذ أ

ين كفروا أ و لم ير ٱلذ

ء ٱلماء كذ أ ش

فل يؤمنون أ ٣٠ح

Artinya: ”Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasannya langit

dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami

pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu

yang hidup. Maka mengapa mereka tidak juga beriman?”.

Ibn Miskāwaih berpendapat bahwa benda fisik memiliki definisi yang

sama, lalu akan berbeda derajatnya berdasarkan kemampuannya masing-masing

untuk menerima kesan mulia dan bentuk yang terjadi dalam diri mereka. Jika

benda mati tersebut menerima bentuk yang dapat diterima manusia, ia akan

menjadi lebih ungul dari tanah pertama yang tidak dapat menerima bentuk

semacam itu.5 Alam mineral yang dapat menerima bentuk tumbuhan adalah

karang.6 Mineral yang menggenang dan menjadi tanah pertama, akan terus

merubah bentuk dan menambahkan kemampuannya sehingga membuat dia lebih

tinggi derajatnya dari tanah pertama, dan pada titik tertinggi (karang) ia mendekati

dan dapat ditumbuhi tumbuhan.

4 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filsuf, dan Ajarannya (Bandung:

Pustaka Setia, 2013), h. 120.

5 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak; terjemahan kitab Tahdzib al-Akhla,

diterjemahkan oleh Helmi Hidayat (Bandung: Mizan Pustaka, 1994), h. 81.

6Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, h. 120.

Page 59: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

45

Pada karang, maka alam mineral akan bertransisi ke alam tumbuhan.

Karang yang merupakan bentuk paling tinggi dari alam mineral dan dapat

menerima bentuk tumbuhan, ia akan menjadi lebih unggul dibandingkan benda

mati. Keungulan tersebut berupa daya nutrisi, tumbuh, menyebar, menyerap dari

tanah dan air apa saja yang cocok sesuai dengan wataknya, menolak apa yang

tidak cocok pada wataknya, dan membuang sisa-sisa makanan dalam tubuhnya

yang berupa getah, yang tibul karena makanan yang diolah pada tubuhnya.

Setapak demi setapak tumbuhan pun berubah dan menambahkan derajatnya.

Maka, ada tumbuhan yang hanya dengan perpaduan unsur-unsurnya, angin dan

sinar matahari. Tumbuhan ini berada di alam benda mati dan seperti benda mati

tersebut.7 Tumbuhan yang tumbuh pada karang yang dimaksud adalah spesies

tumbuhan seperti tumbuhan lumut. Dia tidak memerlukan yang lain untuk tumbuh

kecuali mineral dan sinar matahari. Ini juga spesies tumbuhan yang paling rendah.

Namun, spesies ini terus berkambang dan menghasilkan spesies dua spesies, yakni

spesies lama dan baru. Yang mana spesies baru mengungguli bentuk tumbuhan

dari spesies sebelumnya.

Ibn Miskāwaih memiliki pandangan bahwa tumbuhan yang tumbuh pada

benda mati, selanjutnya mengembangkan kualitasnya. Sebagian tumbuhan dapat

mengungguli sebagian tumbuhan lainnya dengan cara sistematis dan teratur

hingga pada sebagian tumbuhan muncul daya potensi berubah dan berkembang

biak melalui biji, sehingga dapat menumbuhkan tumbuhan seperti dirinya. Ini

merupakan pembeda dari spesies sebelumnya. Tumbuhan yang unggul seperti

7 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 82.

Page 60: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

46

pohon zaitun, delima, anggur, dan pohon yang berbuah lainnya.8 Maksudnya, dari

spesies semacam lumut, terus berkembang dan menghasilkan dua spesies, yakni

spesies yang tetap dan spesies baru. Yang mana spesies baru ini mempunyai

kemampuan tambah dari spesies sebelumnya dan mengungguli spesies

sebelumnya, yang berkembang biak dengan cara lebih terstruktur.

Perkembangbiakan spesies baru melalui biji, yang mana dengan bijilah spesies

tersebut akan tumbuh sama seperti tumbuhan yang lama, tidak memiliki

perbedaan dengan tumbuhan sebelumnya.

Sebenarnya tumbuhan dapat tumbuh dengan tiga cara. Pertama dengan

unsur-unsur tertentu dan dengan bantuan angin serta sinar matahari hingga

muncullah tumbuhan lumut. Kedua dengan biji, biji pada tumbuhan berada dalam

buah seperti pada buah zaitun, delima, dan anggur. Kemudian dalam tanah, seperti

kacang tanah. Dan diluar buah seperti jambu mete. Ketiga, dengan menumbuhkan

tunas. Ada tunas baru di sekitar pohon induk yang tumbuh, seperti pohon bambu,

pisang, dan umbi-umbian. Tunas akan tumbuh melalui akar pada induk pohon,

semuanya akan seperti itu jika tunas baru sudah tumbuh besar menjadi induk

pohon.

Ibn Miskāwaih memiliki pandangan bahwa transisi alam tumbuhan ke

alam hewan melalui pohon kurma.9 Dengan melalui sepuluh cirinya hingga satu

tingkat lagi akan menjadi hewan. Satu tingkat yang tidak ada pada pohon kurma

adalah mencabut dirinya pada tanah sehingga dapat bergerak dan mencari

makanan untuk berkembang biak dan bertahan hidup, tidak menunggu makanan

yang akan dibawa oleh tiupan angin dan tidak menunggu hujan untuk minum,

8 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 82.

9 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 90.

Page 61: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

47

tetapi ia mencari sumber air untuk menimunnya. Pada simbol ini, Ibn Miskāwaih

menggunakan sabda Rasullallah Saw., ”Hormatilah bibi kalian, pohon kurma,

sesungguhnya ia diciptakan dari sisa tanah (yang digunakan untuk menciptakan)

Adam”. Jikalau tumbuhan mengembangkan kapasitasnya untuk bergerak dan

mencari makanan hingga tidak hanya menunggu diberi saja, pastilah akan

mempunyai organ-organ, tidak lama lagi tumbuhan tersebut akan menjadi

hewan.10 Jadi, Ibn Miskāwaih menganggap pohon kurmalah yang paling dekat

dengan alam hewan, apabila pohon kurma telah mampu mencabut dirinya dari

tanah, mempunyai organ-organ, dan mampu mencari makan sendiri, maka pohon

kurma akan berubah menjadi hewan.

Menurut Ibn Miskāwaih, organ-organ pada hewan pun berkembang sejak

keberadaan hewan pertama hingga menjadi hewan kedua. Dimana hewan kedua

akan lebih unggul dari pada hewan pertama, seperti halnya tumbuhan kedua

mengungguli tumbuhan pertama. Hewan terus meningkatkan kualitas-kualitasnya

hingga dapat merasakan kondisi dalam tubuhnya, seperti rasa nikmat dan sakit.

Hewan akan bergerak mencari makanan sendiri. Setelah tahap ini, hewan sanggup

menerima ilham dari Allah, hingga mengetahui apa yang baik dan yang buruk

baginya.11 Hewan akan merasakan nikmat jika hewan tersebut menerima manfaat

dari apa yang telah ia makan, dan akan merasakan sakit jika ada yang

membuatnya kesakitan, sakit tersebut dapat disebabkan karena makanan yang

telah ia makan ataupun luka yang ada di badannya.

Ibn Miskāwaih mempunyai keyakinan bahwa hewan-hewan yang dekat

dengan tumbuhan berkembang biak dengan cara aseksual (tidak perlu kawin). Ibn

10 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 83.

11 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 83.

Page 62: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

48

Miskāwaih mencontohkannya dengan cacing, lalat, dan serangga rendah lainnya.

Hewan-hewan tersebut tidak perlu kawin untuk mengembangkan keturunannya.

Sebagian dari mereka ada yang tidak diketahui jenis kelaminnya (jantan atau

betina). Meskipun telah diketahui jantan dan betina, pada suhu yang berubah

disebabkan oleh cuaca, sangat berpengaruh pada kelaminnya, yang mana

terkadang hewan jantan akan menjadi betina dan hewan betina akan menjadi

jantan.12 Pada suhu tertentu, hewan aseksual yang berkelamin jantan akan menjadi

betina. Dan apabila temperatur suhu berubah, maka biasanya kelamin hewan

tersebut pun berubah kembali.

Ibn Miskāwaih berpendapat bahwa dalam proses perkembangbiakan

hewan, sama halnya dengan tumbuhan, sebagian dari keturunannya ada yang

seperti hewan pertama, ada pula yang berkembang mempunyai daya tambahan

dari hewan pertama. Daya tersebut menambahkan kualitas-kualitas hewan spesies

kedua dari hewan spesies pertama. Daya pada hewan tersebut seperti rasa amarah

yang akan mendorongnya mempunyai rasa ingin bertahan hidup dari apa yang

buruk. Serta memdapatkan senjata sesuai kemampuan untuk menggunakannya.

Jika hewan tersebut mempunyai rasa amarah yang sangat kuat, maka senjata yang

dimilikinya pun akan sangat kuat. Akan tetapi, jika hewan tersebut mempunyai

rasa amarah kurang kuat, maka senjata yang dimilikinya pun akan kurang kuat

juga. Dan jika hewan tersebut merupakan hewan yang mempunyai rasa amarah

yang sangat lemah, maka hewan tersebut tidak akan mempunyai senjata apa-apa

untuk melawan, hanya saja mempunyai alat untuk melarikan diri dan

12 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 83.

Page 63: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

49

mempertahankan dirinya dari hal buruk seperti lari cepat, kemampuan mengecoh,

atau terbang.13

Ibn Miskāwaih mengira hewan akan melakukan segala hal sesuai

kemampuan untuk menjaga diri, keturunan, bahkan kelompoknya. Yang

dilakukannya bisa seperti berpindah tempat untuk mempermudah mencari

makanan, karena makanan yang ada pada lingkungannya telah habis dan tidak

pasti di lingkungan tersebut kapan akan ada cadangan makanan lagi. Bisa juga

membuat sarang untuk melindungi diri dari musuh, dalam sarang dapat

melindungi anak keturunannya juga, merawat serta mengajarkan mereka cara

hidup di alam liar. Kemudian, ada juga menyerang musuh dengan kemampuan

yang dimilikinya, dengan cara menyeruduk jika hewan itu bertanduk seperti

kerbau, menusuk duri yang ada dalam tubuhnya seperti yang dilakukan landak

dan lebah, bahkan mematuk dan meninggalkan racun seperti yang dilakukan ular

yang memiliki bisaa.14

Ibn Miskāwaih menganggap bahwa cara hewan berkembangbiak ada dua.

Pertama, dengan telur. Hewan-hewan yang berkembangbiak dengan melalui telur

biasanya tidak memiliki daun telinga dan tidak menyusui keturunannya, seperti

unggas dan ikan. Namun, tidak semua ikan berkembangbiak dengan telur, ada

pula ikan yang berkembangbiak dengan cara lain. Biasanya, indukan akan

mengeluarkan telur dalam tubuhnya, dan akan mewayatnya dalam sarang hingga

beberapa waktu, mengendalikan suhu agar tetap hangat hingga menetas. Kedua,

dengan melahirkan. Hewan yang melahirkan biasanya memiliki daun telinga dan

menyusui keturunannya, seperti kerbau, kambing, unta, dan ikan yang tidak

13 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 83.

14 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 84.

Page 64: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

50

bertelur. Hewan yang melahirkan, biasanya akan lebih lama dalam kandungan

induknya. Namun, ketika indukan mengelahirkan anaknya, beberapa saat anaknya

bisa langkung melihat dunia.15

Menurut Ibn Miskāwaih, hewan-hewan terus berkembang dan memiliki

daya tambah hingga sebagian dari hewan tersebut mendekati alam manusia.

Hewan yang mendekati alam manusia tidak bertelur, mempunyai daun telinga,

dan melahirkan. Yang sangat dekat dengan alam manusia adalah sejenis kera.16

Hewan sejenis kera mempunyai amarah dan dianugerahi Allah dengan memiliki

kemampuan kecerdikannya dalam mencari makanan, bertahan hidup, menjaga diri

dari musuh, dan menjaga keturunannya. Hanya saja, kera tidak mempunyai

kecerdasan, rasa untuk membedakan, hingga rasa rasionalitas. Sebenarnya, jika

kera tersebut dapat melewati tingkat tersebut, ia dapat menjadi manusia.

Ibn Miskāwaih memiliki keyakinan bahwa derajat pertama pada alam

manusia, yang masih dekat dengan alam hewan, yakni orang yang hidup di daerah

terpencil, baik daerah utara maupun selatan. Daerah tersebut dapat kita lihat di

negeri Juj dan Makjuj yang merupakan orang-orang Turki terpencil. Selain itu,

oranag-orang Negero yang hidup di daerah terpencil dan bangsa-bangsa lain yang

hanya memiliki sedikit perbeda derajat dengan derajat kera. Kemudian mereka

akan bisa merasakan perbedaan mereka dengan kera, ketika mereka telah

berpindah ke daerah yang telah lebih dulu mengenal peradaban.17 Di daerah yang

telah mengenal peradaban, mereka akan belajar dari manusia yang tinggal di

daerah tersebut, bahkan kemungkinan akan diajari, sehingga dapat menumbuhkan

15 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 84.

16 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, h. 120.

17 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 85.

Page 65: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

51

daya memahami dalam diri mereka, mereka dapat membedakan serta menerima

kebajikan, serta akan mulai menggunakan pikirannya hingga dapat merasakan

rasionalitas.

B. Manusia dalam Pandangan Ibn Miskāwaih

Manusia dalam bahasa Inggris disebut man, merupakan asal kata dari

bahasa Anglo-Saxon, yakni mann. Arti dasar dari kata man memang tidak jelas.

Akan tetapi, Lorens Bagus mengaitkannya dengan kata mens dalam bahasa Latin,

yang berarti ada yang berpikir.18 Atau dalam bahasa Arab disebut insān. Al-

Ghazālī mengatakan bahwa manusia adalah hewan yang berpikir ”Insān hayawān

nātiq”.19 Jamil Shaliba meyakini bahwa kata insān ditunjukkan pada manusia yang dari

segi sifat saja, bukan fisik atau tubuhnya.20 Sifat di sini berarti sifat-sifat yang baik dan

terpuji, seperti sifat kasih sayang.

Ibn Miskāwaih memiliki pandangan bahwa substansi pada manusia

adalah aktivitasnya yang sangat khas, aktivitas tersebut tidak ada pada makhluk

lain di dunia ini sehingga menjadi pembeda dengan makhluk lainnya. Manusia

merupakan benda alam yang paling mulia. Akan tetapi, apabila manusia tersebut

tidak melakukan aktivitasnya yang khas tersebut, maka manusia tersebut akan

seperti kuda yang tidak berperilaku seperti kuda, namun akan digunakan seperti

18 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 564.

19 Imam Ghazali, Tahafut al-Falasifah, diterjemahkan oleh Ahmad Maimun (Bandung:

Marja, 2016), Cet. V, h. 143.

20 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 257-258.

Page 66: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

52

keledai untuk membawa muatan, dan jika seperti itu serta tidak merubahnya maka

lebih baik mati ketimbang hidup.21

Jadi, yang membedakan antara manusia dengan makhluk lain di dunia ini

adalah substansinya yang tidak dimiliki makhluk lain. Substansi yang menjadi ciri

khas pada manusia adalah daya berpikirnya. Dengan daya berpikirnya, manusia

dapat melatih karakternya untuk mengangkat derajat diri sendiri dari yang paling

tercela. Ketika manusia tidak melakukan hal ini, maka sesungguhnya ia sangat

merugi pada dirinya dan manusia disekitarnya. Dan ketika manusia tersebut tidak

ada keinginan untuk merubahnya, maka sebenarnya ia telah menghinakan dirinya

sendiri.

Ibn Miskāwaih berpandangan bahwa manusia tidak hanya terdiri dari

tubuh saja, namun ada pula jiwa. Jiwa tidak dapat ditangkap oleh indera jasmani.

Pada wujudnya, jiwa tidak membutuhkan tubuh.22 Jiwa menyerap hal yang sangat

kompleks dan sederhana, yang ada atau tidak ada, yang terasakan dan tidak

terpikirkan. Ibn Miskāwaih menguatkannya dengan dua argumentasi, pertama

adalah yang serupa menyerap yang serupa. Dan kedua adalah jiwa memiliki satu

unsur yang menyerap materi yang kompleks dan nonmateri yang sederhana

dengan cara lain. Jiwa memiliki tiga tingkatan, yaitu tingkatan hewan dalam

spesies rendah, tingkatan hewan dalam spesies seperti singa, dan tingkatan pada

jiwa berpikir tingkat rasional.23

21 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 60.

22 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 90.

23 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 68.

Page 67: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

53

Ibn Miskāwaih berpendapat bahwa faktor yang membedakan jiwa

manusia dari jiwa hewan adalah potensi akal pada manusia, yang mana hewan

tidak memiliki potensi akal. Fungsi potensi akal adalah untuk memiliki

pengetahuan teoritis dan pengetahuan praktis. Manusia paling sempurna

kemanusiaannya adalah manusia yang paling benar aktivitas berpikirnya dan

paling mulia ikhtiarnya. Manusia paling sempurna ialah ia yang dapat

membedakan manusia dengan hewan. Manusia wajib memaksimalkan

perjuangannya untuk meraih kebaikan dan menjauhi kejahatan.24

Untuk mewujudkan kebaikan tersebut, perlu adanya kerjasama antar

manusia. Artinya, manusia tidak dapat meraihnya sendiri tanpa berkelompok.

Manusia harus saling mencintai dan menyadari bahwa kesempurnaan dirinya

tergantung pada kesempurnaan manusia lain yang ada disekelilingnya. Jika tidak

saling membantu, maka kebaikan, kebahagiaan, dan kesempurnaan tidak akan

tercapai. Manusia yang mengabaikan kebutuhan ini, ia berbuat tidak adil, karena

ia menginginkan pelayanan tanpa ia melayani. Ia menganggap bahwa manusia

yang lain lebih rendah dari pada dirinya.25

C. Jiwa dalam Pandangan Ibn Miskāwaih

Jiwa dalam bahasa Inggris adalah soul dan dalam bahasa Sanskerta

adalah jiva¸istilah ini mengacu pada pelaku pengendali, pusat pengaturan, atau

prinsip vital pada manusia.26 Namun, terkait degan jiwa pada manusia, salah satu

pandangan filsuf sebelum Ibn Miskāwaih, yakni al-Fārābī menganggap bahwa

24 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 91.

25 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 91.

26 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 379-381.

Page 68: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

54

jiwa manusia adalah substansi imateri yang tidak hancur dengan hancurnya badan.

Jiwa pada manusia dipancarkan oleh Akal X ketika tubuh sudah siap untuk

menerimanya.27 Juga al-Kindī mengutarakan bahwa jiwa adalah suatu wujud yang

sederhana dan zatnya terpancar dari Sang Pencipta, persis sebagaimana sinar

terpancar dari matahari. Jiwa bersifat spiritual, ketuhanan, terpisah dan berada dari

tubuhh. Jika jiwa dipisahkan dari tubuh, maka jiwa mendapatkan pengetahuan

tentang segala yang ada di dunia dan melihat hal yang dialami. Jika jiwa terpisah

dari tubuh, maka jiwa akan kembali kepada Sang Pencipta dan bertemu dengan-

Nya.28

Ibn Miskāwaih mempunyai pandangan tentang jiwa manusia adalah

sesuatu yang bertentangan dengan perbuatan fisik dan bagian-bagian pada tubuh,

sesuatu tersebut memiliki perbuatan yang bertentangan dengan perbuatan tubuh.

Sesuatu tersebut bukan tubuh, bukan juga bagian dari tubuh, dan bukan pula

bentuk. Sesuatu tetsebut tidak dapat berganti-ganti dan tidak dapat berubah-ubah.

Ia mengetahui sesuatu dalam derajat yang sama, tidak pernah menyusut, tidak

pernah melemah, dan tidak pernah berkurang.29

Ibn Miskāwaih memberikan penjelasan tentang jiwa, bahwa sesunguhnya

tiap benda memiliki bentuk tertentu, dengan demikian bentuk tertentu tersebut

tidak mungkin bisa menerima bentuk lain selain bentuknya yang pertama, kecuali

benda tadi telah benar-benar terpisah dengan bentuknya yang pertama. Ibn

Miskāwaih mencontohkan dengan segi tiga yang tidak mungkin menerima bentuk

27 Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 68.

28 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, h. 66.

29 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 35.

Page 69: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

55

segi empat, lingkaran, dan lainnya kecuali sesudah benda tersebut terpisah dari

bentuk yang pertama.30

Lebih lanjut, Ibn Miskāwaih berpandangan bahwa entitas lain dari jiwa

adalah ketika semakin jiwa jauh dari hal yang bersifat jasadi maka semakin

sempurna dan bebas dari indera. Apabila jiwa semakin kuat, maka jiwa tersebut

semakin mampu untuk mempunyai penilaian yang benar dan semakin menangkap

ma’qulat yang simpel. Jelas bahwa substansi jiwa berbeda dengan tubuh, jiwa

lebih mulia dari pada tubuh dan lebih tinggi dari semua benda yang ada di alam

ini.31

Jiwa lebih memilih untuk menjauhi sifat jasadi, karena sebenarnya jiwa

cenderung memiliki keinginan untuk mengetahui Tuhan atau Penggerak Pertama

yang tidak dapat diperoleh melalui indera. Jiwa lebih menyukai apa yang lebih

mulia dari hal yang bersifat jasmani. Jiwa juga lebih menjauhi dari kenikmatan-

kenikmatan yang bersifat jasmani untuk mendapatkan kenikmatan akal. Ini

menunjukkan bahwa substansi jiwa lebih tinggi dan mulia dibandingkan dengan

benda-benda yang bersifat jasadi.32

Meskipun demikian, sebenarnya indera pun berperan penting untuk jiwa.

Jiwa banyak mendapatkan ilmu pengetahuian melalui indera, akan tetapi jiwa

memiliki prinsip lain dan tingkah laku yang lain juga, yang sama sekali bukan

diperoleh dari indera. Indera hanya mampu mengetahui obyek yang hanya

30 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 35.

31 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 37.

32 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 37.

Page 70: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

56

diperoleh dari indera, namun jiwa dapat mengetahui sebab-sebab yang bertolak

belakang dengan indera.33

Menurut Ibn Miskāwaih, jiwa memiliki tiga bagian. Pertama, yang

berkaitan dengan berpikir, melihat, dan mempertimbangkan realitas segala

sesuatu. Bagian pertama ini disebut juga bagian raja dan organ tubuh yang

digunakan adalah otak. Kedua, yang diungkapkan dengan melalui marah, berani

menghadapi bahaya, ingin berkuasa, menghargai diri, dan keinginan yang

bermacam-macam yang berhubungan dengan sifat kehormatan. Pada bagian ini,

disebut juga bagian binatang buas dan organ tubuh yang digunakan adalah

jantung. Dan ketiga, yang membuat kita memiliki nafsu syahwat, menginginkan

kenikmatan makan, minum, bersetubuh, dan kenikmatan-kenikmatan inderawi

lainnya. Sedangkan pada bagian ini disebut bagian binatang dan organ tubuh yang

digunakan adalah hati.34

Tiga bagian jiwa ini tidak semuanya bertahan pada manusia. Yang mana

salah satu dari tiga bagian ini akan mengungguli dari yang lain dan

menghilangkan bagian-bagian yang lain. Apabila aktivitas jiwa kebinatangan

memadai dan dapat dikendalikan oleh jiwa berpikir, maka jiwa kebinatangan

tersebut tidak dapat melawan jiwa berpikir. Jiwa tidak akan tenggelam dalam

keinginannya sendiri, namun jiwa akan mencapai pada kebajikan sikap sederhana,

dan akan diiringi oleh sifat dermawan. Kemudian, ketika aktivitas jiwa amarah

memadai dan mematuhi segala aturan yang telah ditetapkan oleh jiwa berpkir,

33 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 38.

34 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 43.

Page 71: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

57

serta tidak bangkit pada waktu yang tidak tepat, maka jiwa ini mencapai kebajikan

tingkat sadar yang akan diiringi oleh kebajikan sikap berani.

Ibn Miskāwaih memiliki pandangan bahwa kebajikan ada lima yang

mana ini merupakan bagian dari sifat yang muncul pada jiwa manusia. Namun

dua kebajikan diantara lima tersebut harus diuraikan agar lebih mudah dipahami.

Pertama, kearifan. Bagian-bagian dari kearifan diantaranya:

Pandai, yakni mudahnya membuat kesimpulan-kesimpulan dan

kesimpulan tersebut dapat dengan mudah ditangkap dan dipahami oleh

jiwa.,

Ingat, ialah menetapnya konsep atau gambaran yang telah berhasil disusun

pada jiwa atau imajinasi.,

Berpikir, merupakan usaha jiwa untuk mencocokan obyek yang telah

dipelajari dengan keadaan pada obyek yang sebenarnya.,

Kejernihan pikiran, adalah kesiapan jiwa untuk menerima menyimpulkan

atas apa yang telah dikehendaki.,

Ketajaman dan kekuatan otak, ialah kemampuan jiwa untuk merenungkan

pengalaman yang telah berlalu.35

Kedua, sederhana. Bagian-bagian dari sikap sederhana adalah:

Rasa malu, yakni bertindak menahan diri karena takut melakukan hal-hal

yang tidak sepantasnya, serta kehati-hatian menghindari sifat tercela yang

mana akan merendahkan dirinya sehingga menjadi terhina.,

35 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 46.

Page 72: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

58

Tenang, ialah kemampuan seseorang untuk menguasai dirinya ketika hawa

nafsu dalam keadaan bergejolak.,

Sabar, adalah tegarnya diri terhadap gempuran hawa nafsu, sehingga tidak

terjebak pada tidak baiknya kenikmatan inderawi.,

Integritas, yaitu kebajikan jiwa yang membuat seseorang mencari harta di

jalan yang benar, mengeluarkan harta pada jalan yang benar juga.,

Puas, arti puas di sini tidak berlebihan ketika makan, minum, dan berhias.,

Loyal, adalah bersemamngat dalam mencapai kebaikan serta tunduk pada

hal-hal terpuji.,

Optimis, merupakan keinginan melengkapi jiwa dengan moral yang

mulia.,

Kelembutan, maksudnya lembut hati yang sampai ke jiwa dari watak yang

bebas dan kegelisahan.,

Anggun dan berwibawa, adalah ketegaran jiwa dalam menghadapi gejolak

tuntutan duniawi.,

Wara’, merupakan pencetakan diri agar senantiasa berbuat baik, sehingga

mencapai kesempurnaan jiwa.36

Tiga kebajikan lainnya, yang pertama adalah sifat berani. Sifat pada

bagian ini seperti tegar, ulet dalam bekerja, tenang, tabah, menguasai diri, dan

perkasa. Kemudian sifat dermawan, bagian ini seperti sifat murah hati,

mementingkan orang lain, rela, berbakti, tangan terbuka, dan pengampunan. Dan

terkahir adalah sifat adil. Sifat ini seperti bersahabat, semangat dalam bersosial,

36 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 47.

Page 73: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

59

bersilaturahmi, memberi imbalan, bersikap baik dalam bekerja sama, jeli dalam

memutuskan masalah, cinta kasih, beribadah, dan lainnya.37

D. Tingkatan dan Substansinya

Dari sekian banyak substansi, manusia mempunyai beragam kesiapan

untuk menerima beragam tingkatan. Maka setiap orang mempunyai tingkat

harapan berbeda untuk meningkatkan dirinya sendiri. Semua itu terjadi karena

kekuatan Penciptanya. Sungguhpun demikian, untuk membuat substansi menjadi

baik, akan kembali kepada orang itu sendiri dan bergantung pada yang

dikehendakinya. Akan terlihat pada perilakunya dan bisa terjadi atas pengaruh

lingkungan. Bisa jadi sama dengan lingkungan sekitar, atau mungkin berbanding

terbalik dengan lingkungan jika ia merasa bahwa lingkungannya tidak cocok

dengan keinginannya.

Ibn Miskāwaih menganggap bahwa manusia memiliki dua fakultas yakni

kogntif dan praktis, karenanya kesempurnaan manusia juga ada dua jenis.

Pertama, dengan fakultas kognitif, manusia lebih cenderung kepada bermacam

ilmu dan pengetahuan. Kedua, dengan fakultas praktis, manusia lebih

mengorganisasikan semua hal-hal. Keduanya dikupas oleh para filsuf, mereka

mengatakan bahwa filsafat dibagi menjadi dua, yakni teoretis dan praktis. Apabila

seseorang menguasai keduanya, maka orang tersebut telah mencapai puncak

kesempurnaan.38

37 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 48-49.

38 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 63.

Page 74: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

60

Ibn Miskāwaih memiliki pandangan bahwa dengan fakultas kognitif,

seseorang akan merindukan pengetahuan. Karena konsep pada pengetahuannya di

anggap lebih akurat. Apabila telah terjadi seperti ini, seseorang tersebut akan

merasa lebih percaya diri, karena argumentasinya memiliki data yang konkrit.

Dengan ini, ia tidak akan meragukan suatu kebenaran dan tidak akan melakukan

kesalahan dalam keyakinannya. Dengan mengetahui semua maujud, ia akan

bergerak maju secara sistematis mencapai pengetahuan Ilahi, dimana pengetahuan

Ilahi tersebut merupakan pengetahuan tertinggi. Pada pengetahuan Ilahilah ia akan

merasakan ketentraman pada jiwanya, ketenangan pada hatinya, dan keraguan

pada dirinya akan hilang, serta tampak jelas dalam keinginannya hanyalah bersatu

dengan Ilahi.39

Ibn Miskāwaih mengatakan bahwa dengan fakultas praktis, yakni

kesempurnaan karakter. Diawali dengan menertibkan fakultas-fakultas dan

aktivitas yang khas hingga tidak saling berbenturan, hidup harmonis dalam

dirinya, hingga semua aktivitas sesuai dengan fakultas yang tertata dengan baik.

Dan diakhiri dalam kehidupan sosial, atau akan diterapkan dalam bermasyarakat.

Dimana masyarakat akan merasakan kebaikan, tidak merasa rugi seperti individu

itu sendiri.40

Ibn Miskāwaih meyakini bahwa kesempurnan teoretis dan praktis

merupakan satu-kesatuan yang seharusnya tidak dapat dipisahkan. Satu

kesempurnaan tidak lengkap jika tidak ditunjang oleh kesempurnaan lain, sebab

pengetahuanlah yang menjadi awal dari sebuah perbuatan. Dengan kata lain,

pengetahuan menjadi sebab dan perbuatan menjadi akibat. Mustahil ada akibat

39 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 63.

40 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 63-64.

Page 75: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

61

tanpa ada sebab. Kesempurnaan manusia seperti inilah yang disebut sebagai

objek, objek dan kesempurnaan sebenarnya satu. Apabila berbeda, hanyalah dari

sudut pandang. Jika kita melihat hal demikian, ketika masih dalam jiwa dan belum

aktual, maka itulah objek. Tetapi, jika teraktualisasikan dan sudah menjadi

sempurna, maka itulah kesempurnaan.41

Dari penjelasan di atas, Ibn Miskāwaih pun melanjutkan bahwa manusia

yang telah menegetahui seluruh maujud akan mencapai kesempurnaannya dan

dapat memperlihatkan akitivitasnya yang khas dalam dirinya. Maksudnya, ia

mengetahui bentuk esensinya, bukan aksiden-aksiden dan sifat-sifatnya yang

membuat jumlahnya tidak terbatas. Karena, apabila anda mengetahui universalitas

maujud-maujud ini, niscaya anda akan mengetahui juga partikularnya, karena

partikular tidak terpisahkan dengan universalitasnya. Apabila kesempurnaan ini

telah anda capai, maka lengkaplah kesempurnaan tersebut yang dibuktikan dengan

sikap teratur, tersusunlah fakultas dan bakat anda secara ilmiah, sesuai ilmu yang

telah dikuasai.42

Menurut Ibn Miskāwaih, jika anda telah mencapai tahap ini, maka anda

layak disebut mikrokosmos. Karena, bentuk semua maujud akan hadir dalam alam

pikiran anda. Semua yang hadir dalam pikiran anda, akan menjadi teratur dan

mempunyai arti. Semua itu adalah wakil dari Pencipta segala sesuatu. Anda pun

tidak akan melenceng dari tatanan arif dan asli-Nya. Pada saat itulah anda telah

menjadi satu dunia yang sempurna. Maujud sempurna ini abadi. Anda tidak akan

terputus dari kebahagiaan yang abadi, karena kesempurnaan anda membuat anda

41 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 64.

42 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 64.

Page 76: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

62

lebih siap menerima pancaran Ilahi selamanya, dan anda dengan-Nya sangatlah

dekat, sehingga tidak akan ada yang dapat memisahkan anda dari-Nya.43

Penjelasan di atas merupakan tingkat paling tinggi dan kebahagiaan

terakhir. Ibn Miskāwaih meyakini bahwa jika inidividu manusia tidak dapat

mencapai kedudukan ini, menyempurnakan bentuk kemanusiaannya dengan

kedudukan ini, serta memperbaiki kekurangan yang ada dalam dirinya dengan

cara mengubah setapak demi setapak kedalam kedudukan ini, maka posisi

sebenarnya adalah sama dengan hewan ataupun tumbuhan, pada akhirnya

hanyalah sesuatu yang sirna melalui transformasi yang dialaminya dan

kekurangannya tidak dapat diperbaiki. Mustahil ia akan mencapai kekekalan dan

kebahagiaan abadi dengan mendekat pada Tuhan yang menciptakan alam dan

masuk dalam Surga-Nya. Jika manusia tidak dapat membayangkan situasi seperti

ini, hanya memiliki pengetahuan setengah, tidak dapat memahaminya, sebenarnya

ia dilanda kebimbangan. Apabila manusia tersebut hancur tubuhnya, maka

lenyaplah manusia itu, persis seperti yang terjadi pada hewan dan tumbuhan. Jika

telah seperti ini, kafirlah orang tersebut. Dianggap pula telah keluar dari kearifan

serta hukum agama.44

E. Kesempurnaan Manusia dan Cara Memperolehnya

Manusia sempurna dalam bahasa Arab berarti Insān al-Kāmil.45 Menurut

Murtadha Muthahhari, arti sempurna dalam kata Insān al-Kāmil tidak identik

43 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 64.

44 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 64.

45 Abu Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam; Telaah Historis dan

Perkembangannya, diterjemahkan oleh Subkhan Anshori dari kitab Makdal ila al-Tasawuf al-

Islami (Jakarta; Gaya Media Pratama, 2008), h. 154.

Page 77: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

63

dengan kata lengkap, walaupun keduanya berdekatan dan mirip. Kata ”Lengkap”

mengacu pada sesuatu yang telah disiapkan menurut rencana. Sesuatu mungkin

bisa saja lengkap, akan tetapi masih ada yang lebih tinggi kelengkapannya, itulah

yang dimaskud dari al-Kāmil.46

Ibn Miskāwaih memiliki pandangan bahwa sebagian orang menganggap

kesempurnaan serta tujuan hidup manusia hanyalah kenikmatan secara inderawi

saja. Kenikmatan inderawi diyakini sebagai puncak dan kebahagiaan terakhir.

Mereka juga menganggap bahwa seluruh fakultas lain manusia diciptakan Tuhan

dalam dirinya demi kenikmatian inderawi, yang kita sebut jiwa rasional,

menurutnya adalah mulia, dan dianugerahi Tuhan kepadanya untuk mengatur dan

menilai perilakunya, namun tetap diarahkan demi mencapai kenikmatan inderawi

itu. Karena, tujuan akhir hidup mereka adalah menikmati kenikmatan secara

inderawi dengan sepuas-puasnya. Mereka berpendapat bahwa fakultas-fakukltas

jiwa berpikir, terdiri dari daya mengingat, menghafal dan menganalisis,

mempunyai maksud untuk mencapai tujuan inderawi. Apabila manusia mengingat

kenikmatan makan, minum, seks, ataupun yang lainnya, maka manusia tersebut

akan merindukannya, dan berusaha untuk menikmatinya kembali. Pandangan

seperti inilah yang membuat manusia dalam posisi hanya menjadi hamba sahaya

yang bekerja untuk melayani hawa nafsu, dalam rangka untuk memperoleh

kepuasan makan, minum, maupun seks, dan akan terus menatanya demi kepuasan

itu.47

46 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf (Jakarta; Amzah,

2012), Cet. II, h. 93.

47 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 64-65.

Page 78: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

64

Ini merupakan pendapat dari kebanyakan masyarakat yang bodoh dan

hina. Hal-hal yang demkian, mereka jadikan tujuan hidup, mereka merindukan

ketika mereka ingat akan surga dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Ketika

sholat dan berdoa, memang ia meninggalkan duniawi, namun semua itu mereka

lakukan atas dasar pamrih dan berharap keuntungan yang berlipat ganda. Mereka

meninggalkan kenikmatan yang sedikit demi mendapat kenikmatan yang lebih

banyak. Mereka campakkan kenikmatan dalam dunia fana, demi mendapatkan

kesenangan kekal. Mereka yang mempunyai sifat seperti ini, jika ada orang yang

membicarakan tentang malaikat, mereka akan mengatakan bahwa malaikat itu

bersih, terhindar dari hal keji seperti ini, malaikat paling dekat dengan Allah Swt.,

dibandingkan dengan manusia, lebih tinggi derajatnya, dan bebas dari objek-objek

yang dihajatkan oleh manusia. Sebenarnya, mereka tidak ada bedanya dengan

hewan yang hidup hanya untuk mencari kenikmatan inderawi. Memang mereka

sejatinya manusia, namun tidak dapat mengendalikan pikirannya.48

Beberapa dari mereka mulai menyadari, bahwa kenikmatan yang mereka

peroleh hanyalah kenikmatan yang sifatnya hanya sementara, karena yang mereka

rasakan selalu berulang dan akan terus berulang. Mereka sadar bahwa tubuh

terdiri dari berbagai sifat yang bertentangan, yakni panas, dingin, kering, dan

basah. Makan dan minum hanyalah obat untuk menyembuhkan penyakit yang

timbul karena dekomposisi. Mereka hanya berusaha untuk mengendalikan tubuh

hingga posisi kembali stabil. Posisi seperti ini bukanlah kebahagiaan yang

sempurna, terbebas dari penderitaan bukanlah tujuan yang diinginkan dan

kebaikan yang mutlak. Orang yang benar-benar bahagia yaitu mereka yang tidak

48 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 65.

Page 79: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

65

terkena serangan penyakit sama sekali. Malakiat yang mempunyai derajat tinggi,

yang dekat dengan Allah Swt., tidak pernah tertimpa penderitaan seperti ini,

karena malaikat tidak perlu mengobati dengan makan dan minum.49

Jika telah menyadari fakta-fakta diatas, mereka akan mengatakan bahwa

sebagian manusia ada yang dekat dengan Allah Swt., bahkan lebih dekat manusia

dibandingkan malaikat. Merekapun akan kembali meragukan kenikmatan dan

kebahagiaan mereka yang dianggap telah sempurna. Mereka akan mengubah pola

hidupnya. Sebelumnya telah membiasakan makan dan minum ketika mereka

menginginkannya, maka sekarang akan lebih memilih berpuasa dan menahan

lapar. Akan makan dengan porsi yang sedikit dan biasanya hanya yang berasal

dari tanah. Sebagian yang belum menyadari fakta-fakta seperti ini akan

menghormati mereka yang telah menyadarinya, yang belum sadar menganggap

bahwa merekalah wali Allah Swt., yang sama derajatnya dengan malaikat, bahkan

lebih tinggi dari malaikat. Mereka yang belum menyadari biasanya akan tunduk

dan patuh pada yang telah menyadari, merendahkan diri dihadapannya,

menganggap mereka lebih hina. Karena mereka yang mempunyai pandangan

bodoh.50

Untuk mrencapai kesempurnaan di atas, hal yang harus dilakukan oleh

manusia adalah mengetahui kekurangan-kekurangan jasmani dan kebutuhan

primer dalam dirinya guna untuk melenyapkan kekurangan serta

memperbaikinya.51 Hal tersebut dapat berupa makanan, yang mana makanan akan

menjadi penyeimbang tubuh, ia mengambilnya hanya untuk menghilangkan rasa

49 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 65-66.

50 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 67.

51 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 69.

Page 80: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

66

laparnya, juga untuk melengkapi ketidaksempurnaannya dan demi kelangsungan

hidup untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Ia tidak mengambil dalam

jumlah yang banyak, karena apabila ia mengambil makanan dengan jumlah lebih

banyak, maka itu akan menimbulkan sifat serakah pada dirinya dan sebenarnya

sifat serakahlah yang membuat manusia dipandang oleh manusia lain menjadi

terhina karena dirinya sendiri.

Selain itu, untuk menjaga kondisi tubuh juga dapat berupa pakaian untuk

menutupi tubuhnya. Yang mana jika suhu udara terasa panas, maka ia akan

memakai pakaian yang lebih tipis. Dan jika suhu udara dalam keadaan dingin,

manusia akan memakai pakaian yang lebih tebal. Hal tersebut selain untuk

menjaga kondisi tubuh agar tetap stabil, juga bertujuan untuk tetap menutupi

aurat.

Dalam hal bersetubuh, itu hanya bertujuan untuk melahirkan keturunan.52

Artinya tidak membesarkan nafsu syahwat sehingga merasakan kepuasan seksual

dan merasakan kenikmatan secara inderawi. Apabila manusia tersebut

menginginkan seksual dengan melebihi batas, maka seharusnya ia tidak akan

keluar dari sunnah Rasulullah Saw., dan tidak akan melanggar atau melakukannya

yang mana yang ia setubuhi merupakan milik orang lain.

Manusia juga harus menggunakan keutamaan jiwa berpikirnya.53 Dengan

menggunakan jiwa, ia akan menjadi manusia yang dapat menelaah kekurangan

yang ada pada dirinya. Ketika ia telah mengetahui apa kekurangan dalam dirinya,

ia akan mencoba memperbaikinya sehingga kekurangan tersebut tertutupi. Inilah

52 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 69.

53 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 69.

Page 81: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

67

kebaikan yang tidak ditutup-tutupi. Manusia memperolehnya dengan tidak ada

rasa malu.

Jiwa membutuhkan asupan guna memperbaiki kekurangannya.

Sebagaimana pada jiwa binatang yang membutuhkan asupan berupa makanan

yang cocok untuknya. Maka jiwa berpikir pada masunisa membutuhkan asupan

berupa ilmu pengetahuan, membuktikan kebenaran-kebenaran ketika

berargumentasi kemudian menerimanya, tidak mempertimbangkan dari mana dan

dari siapa kebenaran itu berasal.

Page 82: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

68

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Proses penciptaan manusia dalam perspektif Ibn Miskāwaih adalah

bermula dari penciptaan jagat raya. Yang mana dahulu jagat raya diciptakan oleh

Sang Penggerek yang tidak bergerak. Jagat raya mulanya menyatu, kemudian

diledakkan seperti teori Big Bang. Kemudian Allah kembangkan jagat raya ini

sehingga benda langit semakin menjauh. Selanjutnya Allah ciptakan bintang-

bintang (termasuk matahari) dan bumi mulai berotasi, sehingga terjadinya siang

dan malam. Setelah itu, bumi berubah dan Allah ciptakan mata air sehingga

tumbuh tumbuhan. Kemudian Allah ciptakan hewan dan manusia. Semuanya

terjadi dalam enam masa atau enam periode.

Ibn Miskāwaih berpendapat bahwa di bumi terdapat empat alam, yakni

alam air atau mineral, alam tumbuhan, alam hewan, dan alam manusia. Alam

yang ada pertama adalah mineral, kemudian bertransisi ke alam tumbuhan melalui

karang. Dari alam tumbuhan ke alam hewan, bertransisi melalui pohon kurma.

Dan dari alam hewan ke alam manusia, bertransisi melalui kera.

Manusia sempurna ialah manusia yang sadar bahwa tubuh terdiri dari

berbagai sifat yang bertentangan, yakni panas, dingin, kering, dan basah. Makan

dan minum hanyalah obat untuk menyembuhkan penyakit yang timbul karena

dekomposisi. Mereka hanya berusaha untuk mengendalikan tubuh hingga posisi

kembali stabil. Posisi seperti ini bukanlah kebahagiaan yang sempurna, terbebas

dari penderitaan bukanlah tujuan yang diinginkan dan kebaikan yang mutlak.

Page 83: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

69

Orang yang benar-benar bahagia yaitu mereka yang tidak terkena serangan

penyakit sama sekali. Malakiat yang mempunyai derajat tinggi, yang dekat

dengan Allah Swt., tidak pernah tertimpa penderitaan seperti ini, karena malaikat

tidak perlu mengobati dengan makan dan minum.

B. Saran

Dengan berhasilnya menganalisis manusia perspektif ibn Miskāwaih,

penulis memberikan kesempatan untuk yang lain melakukan analisis komparatif

tentang manusia antara Ikhwan Al-Shafā dan Ibn Miskāwaih. Selain itu, terkait

ibn Miskāwaih, penulis memberi kesempatan bagi yang lain untuk membahas

politik. Dapat dikupas dari konsep politik ibn Miskāwaih, dan atau menganalisis

akhlak berpolitik menurut ibn Miskāwaih. Semuanya dapat dianalisis dari kitab

Tartib al-Sa’adah. Kitab tersebut dapat menjadi sumber primer.

Page 84: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

70

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Zainal Abidin, Ibnu Sina (Avicena) ; Sarjana dan Filosoof Besar Dunia,

Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Al-Ahwani, Ahmad Fuad, Filsafat Islam, diterjemahkan oleh Tim Penerjemah

Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008

Alavi, Ziauddin, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan

Pertengahan, Bandung: Angkasa, 2003.

Al-Taftazani, Abu Wafa al-Ghanimi, Tasawuf Islam; Telaah Historis dan

Perkembangannya, diterjemahkan oleh Subkhan Anshori dari kitab

Makdal ila al-Tasawuf al-Islami, Jakarta; Gaya Media Pratama, 2008.

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996.

Bakar, Osman, Hierarki Ilmu, diterjemahkan oleh Purwono, Bandung: Mizan,

1997.

Dahlan, Abdul Aziz, Pemikiran Falsafi dalam Islam, Jakarta: Djambatan, 2003.

Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1989.

Ghazali, Imam, Tahafut al-Falasifah, diterjemahkan oleh Ahmad Maimun,

Bandung: Marja, 2016.

Hasan, Mustofa, Sejarah Filsafat Islam: Geneologis dan Transmisi Filsafat Timur

ke Barat, Bandung: Pustaka Setia, 2015.

Hasbullah, Moeflih & Supriyadi, Dedi, Filsafat Sejarah, Bandung: Pustaka Setia,

2012.

Ismail, Fu’ad Farid & Mutawali, Abdul Hamid, Cara Mudah Belajar Filsafat:

Barat dan Islam, diterjemahkan oleh Didin Faqihudun, Yogyakarta:

IRCiSoD, 2012.

Jumantoro, Totok, dan Amin, Samsul Munir, Kamus Ilmu Tasawuf, Jakarta;

Amzah, 2012.

Kartini, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Bandung: Mandar Maju, 1996.

Page 85: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

71

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang & Diklat Kementerian

Agama RI dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),

Penciptaan Bumi; dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, Jakarta:

Kementerian Agama, 2012.

Maksum, Ali, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme,

Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.

Miskawaih, Ibn, Menuju Kesempurnaan Akhlak; terjemahan kitab Tahdzib al-

Akhla, diterjemahkan oleh Helmi Hidayat, Bandung: Mizan Pustaka,

1994.

Mudhofir, Ali Kamus Filsafat Nilai, Jakarta: Yayasan Kertagama, 2014.

Mustafa, Dasar-Dasar Islam, Bandung: Angkasa, 1991.

Mustafa, H. A., Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2007.

Nasr, Seyyed Hossein, & Leaman, Oliver, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam:

Buku Pertama, diterjemakan oleh Tim Penerjemah Mizan, Bandung:

Mizan Pustaka, 2003.

Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,

1973.

Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013.

Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf , Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

____________, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2000.

Sulaiman, Asep, Mengenal Filsafat Islam, Bandung: Yrama Widya, 2016.

Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filsuf, dan Ajarannya,

Bandung: Pustaka Setia, 2013.

Suseno, Franz Magnis, Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles, Yogyakarta:

Kansius, 2009.

Page 86: MANUSIA PERSPEKTIF IBN MISKĀWAIHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50015/1/Fahrur … · masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif

72

Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penelitian, Perbandingan,

diterjemahkan oleh F. Budi Hardiman, Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Wibowo, A. Setyo, Arete: Hidup Sukses Menurut Platon, Yogyakarta: Kanisius,

2010.

________________ Paidea: Filsafat Pendidikan Politik Platon, Yogyakarta:

Kanisius, 2017.

Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: Rajawali Pers,

2014.