Manajemen Risiko K3 Perusahaan Konstruksi
-
Upload
dedi-mulyadi -
Category
Documents
-
view
367 -
download
11
Transcript of Manajemen Risiko K3 Perusahaan Konstruksi
Manajemen Risiko K3 Perusahaan Konstruksi
Posted: 07 Jan 2012 06:08 AM PST
Setelah sharing tentang artikelk3 pertambangan sekarang artikelk3 konstruksi.
Industri konstruksi notabenya sangat sulit mengatur program k3 dikarenakan para
pekerjanya yang terus berganti. Nah artikelk3.com mau bagi lagi artikel k3 hasil
browsing dan dipastikan sangat bermanfaat buat sahabat artikelk3.
Pendahuluan
Perusahaan Jasa Konstruksi Menurut Porter (1980) perusahaan adalah sekumpulan
kegiatan yang dilaksanakan untuk merancang, memasarkan, mengantarkan, dan
mendukung produknya. Tujuan suatu perusahaan adalah mempertahankan
kelangsungan hidup, melakukan pertumbuhan, serta meningkatkan profitabilitas.
Tiga tujuan tersebut merupakan pedoman arah strategis semua organisasi bisnis.
Perusahaan yang tidak mampu bertahan hidup tidak akan mampu memberi harapan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Perusahaan yang kompetitif diindikasikan dengan adanya sumber daya manusia
yang mempunyai keterampilan dan kecakapan kerja yang baik dan inovatif,
sehingga perusahaan tidak mengalami kesulitan dalam persaingan bebas. Selain itu
harus mempertimbangkan kualitas kerja, memiliki kecepatan, menghasilkan produk
yang efisien serta memperhatikan kepuasan pelanggan.
Industri konstruksi merupakan suatu jenis Industri yang dapat dijadikan indikasi
pergerakan roda ekonomi bersama dengan industry-industri yang lain. Industri
konstruksi mempunyai sifat-sifat antara lain :
1.Berorientasi pada tenaga kerja
2.Cenderung komplek, banyak pihak yang terlibat
3.Jangka waktu pendek
4.Setiap proyek adalah unik
5.Dibangun dilapangan dan banyak dipengaruhi lingkungan sekitar
6.Banyak dipengaruhi oleh lokasi dan budaya setempat
7.Sering terjadi permintaan perubahan
Selain itu industri konstruksi mempunyai karakteristik yang membedakannya
dengan industri lain, yaitu :
1.Orang – orang yang terlibat dalam proyek seringkali bekerja secara sementara
2.Tiap proyek adalah unik dan perubahan kondisi mengurangi hasil yang ingin
dicapai dari factor-faktor pendukung yang ada.
3.Keorganisasian bersifat sementara dan sebagai akibatnya tidak ada komitmen
antara klien dan penyedia jasa untuk membangun ketrampilan tenaga kerja dan
proyek.
Industri konstruksi adalah industri yang mencakup semua pihak yang terkait
dengan proses konstruksi termasuk tenaga profesi, pelaksana konstruksi dan juga
para pemasok yang bersama-sama memenuhi kebutuhan pelaku dalam industri
(Hillebrandt 1985). Dibandingkan dengan industri lain, misalnya industri pabrikan
(manufacture), maka bidang konstruksi mempunyai karakteristik yang sangat
spesifik, bahkan unik. Karakteristik usaha jasa konstruksi terdiri dari :
1. Produk jual sebelum proses produksi dimulai
2. Produk bersifat ”custom-made”
3. Lokasi produk berpindah-pindah
4. Proses produk berlangsung dialam terbuka
5. Penjualan produk dilakukan dialam terbuka
6. Proses produk melibatkan berbagai jenis peralatan berbagai klasifikasi dan
kualifikasi tenaga kerja, serta berbagai tingkatan teknologi
7. Penawaran suatu pekerjaan konstruksi umumnya berdasarkan pengalaman
melaksanakan pekerjaan sejenis
Kata jasa konstruksi bermakna sangat luas, pada umumnya bidang-bidang jasa
konstruksi meliputi :
1. Bidang perencanaan (design)
2. Bidang pelaksanaan (construction)
3. Bidang pengawasan (supervision/construction management)
4. Bidang pengelolaan lahan (property management
5. Bidang pengembangan lahan (developer)
Identifikasi Bahaya
Pelaksanaan konstruksi mempunyai risiko untung atau rugi yang sangat divergen
yang semua baru dapat diketahui pada saat proyek selesai dilaksanakan secara
tuntas.
Tantangan Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Proyek Konstruksi di
Indonesia proyek konstruksi di negara-negara berkembang, terdapat tiga kali lipat
tingkat kematian dibandingkan dengan di negara-negara maju.
Masalah umum mengenai K3 ini juga terjadi pada penyelenggaraan konstruksi.
Tenaga kerja di sektor jasa konstruksi mencakup sekitar 7-8% dari jumlah tenaga
kerja di seluruh sektor, dan menyumbang 6.45% dari PDB di Indonesia. Sektor jasa
konstruksi adalah salah satu sektor yang paling berisiko terhadap kecelakaan kerja,
disamping sektor utama lainnya yaitu pertanian, perikanan, perkayuan, dan
pertambangan.
identifikasi risiko tersebut dapat dilihat berdasarkan fakta bahwa :
1.Jumlah tenaga kerja di sektor konstruksi yang mencapai sekitar 4.5 juta orang,
2.Sebanyak 53% di antaranya hanya mengenyam pendidikan sampai dengan tingkat
Sekolah Dasar, bahkan sekitar 1.5% dari tenaga kerja ini belum pernah
mendapatkan pendidikan formal apapun.
3.Sebagai besar dari mereka juga berstatus tenaga kerja harian lepas atau
borongan yang tidak memiliki ikatan kerja yang formal dengan perusahaan.
Kenyataan ini tentunya mempersulit penanganan masalah K3 yang biasanya
dilakukan dengan metoda pelatihan dan penjelasan-penjelasan mengenai Sistem
Manajemen K3 yang diterapkan pada perusahaan konstruksi
4.Sumber daya manusia yang bersifat sementara selama proyek berlangsung,
5.Proyek bersifat unik karena tidak ada proyek yang sama satu dengan yang lain,
6.Keorganisasian proyek bersifat sementara.
Sifat – sifat dalam proyek konstruksi ini berpotensi mengakibatkan terjadinya hal –
hal yang tidak diinginkan menjadi resiko. Resiko tersebut ada dalam semua aspek
yang membutuhkan perencanaan dan pengaturan , akan tetapi kompleksitas dan
tingkat risiko dalam tiap-tiap pekerjaan sangat variatif tergantung seberapa besar
pekerjaan dan bidang yang dijalankan. Resiko dan ketidak pastian ada dalam semua
aspek pekerjaan konstruksi tanpa melihat ukuran , kompleksitas, lokasi, sumber
daya , maupun kecepatan konstruksi suatu proyek . Hal yang terpenting bahwa
persepsi terhadap resiko adalah factor kunci dalam membuat keputusan dan harus
diperhitungkan dalam semua prosedur penilaian resiko yang harus dikelola.
Penilaian Risiko Kecelakaan Kerja Pada Proyek Konstruksi
Industri jasa konstruksi merupakan salah satu sektor industri yang memiliki risiko
kecelakaan kerja yang cukup tinggi. Berbagai penilaian dapat dilakukan dalam hal
penyebab utama kecelakaan kerja pada proyek konstruksi adalah :
1.Karakteristik proyek konstruksi yang bersifat unik,
2.Lokasi kerja yang berbeda-beda, terbuka dan dipengaruhi cuaca,
3.Waktu pelaksanaan yang terbatas, dinamis dan menuntut ketahanan fisik yang
tinggi,
4.Banyak menggunakan tenaga kerja yang tidak terlatih.
5.Manajemen keselamatan kerja yang sangat lemah, akibatnya para pekerja bekerja
dengan metoda pelaksanaan konstruksi yang berisiko tinggi.
Risiko Kecelakaan Kerja Pada Proyek Konstruksi
Pekerjaan-pekerjaan yang paling berbahaya adalah pekerjaan yang dilakukan pada
ketinggian dan pekerjaan galian. Pada ke dua jenis pekerjaan ini kecelakaan kerja
yang terjadi cenderung serius bahkan sering kali mengakibatkan cacat tetap dan
kematian. Jatuh dari ketinggian adalah risiko yang sangat besar dapat terjadi pada
pekerja yang melaksanakan kegiatan konstruksi pada elevasi tinggi. Biasanya
kejadian ini akan mengakibat kecelakaan yang fatal. Sementara risiko tersebut
kurang dihayati oleh para pelaku konstruksi, dengan sering kali mengabaikan
penggunaan peralatan pelindung (personal fall arrest system) yang sebenarnya
telah diatur dalam pedoman K3 konstruksi.
Jenis-jenis kecelakaan kerja akibat pekerjaan galian dapat berupa tertimbun tanah,
tersengat aliran listrik bawah tanah, terhirup gas beracun, dan lain-lain. Bahaya
tertimbun adalah risiko yang sangat tinggi, pekerja yang tertimbun tanah sampai
sebatas dada saja dapat berakibat kematian. Di samping itu, bahaya longsor dinding
galian dapat berlangsung sangat tiba-tiba, terutama apabila hujan terjadi pada
malam sebelum pekerjaan yang akan dilakukan pada pagi keesokan harinya. Data
kecelakaan kerja pada pekerjaan galian di Indonesia belum tersedia, namun sebagai
perbandingan, Hinze dan Bren (1997) mengestimasi jumlah kasus di Amerika
Serikat yang mencapai 100 kematian dan 7000 cacat tetap per tahun akibat
tertimbun longsor dinding galian serta kecelakaan-kecelakaan lainnya dalam
pekerjaan galian.
Masalah keselamatan dan kesehatan kerja berdampak ekonomis yang cukup
signifikan. Setiap kecelakaan kerja dapat menimbulkan berbagai macam kerugian.
Di samping dapat mengakibatkan korban jiwa.
Pengelolaan risiko
Sumber daya manusia didalam organisasi harus dikelola dengan baik, Pengelolaan
sumber daya manusia dalam organisasi terdiri dari :
1.Pengadaan personil
2.Pengembangan personil melalui pelatihan dan pendidikan
3.Pemberian imbalan
4.Integrasi personil kedalam organisasi
5.Pemeliharaan terhadap personil yang ada
6.Pemberhentian personil
Langkah-langkah yang dapat di tempuh dalam menanggulangi kecelakaan kerja di
industri :
1. Peraturan Perundang-undangan.
Untuk memperkecil risiko kecelakaan kerja, sejaka awal tahun 1980an pemerintah
telah mengeluarkan suatu peraturan tentang keselamatan kerja khusus untuk sektor
konstruksi, yaitu Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.
Per-01/Men/1980. Adanya ketentuan dan syarat Keselamatan dan Kesehatan Kerja
yang selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknik dan teknologi.
Penerapan semua ketentuan dan persyaratan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku semenjak tahap perencanaan.
Penyelenggaraan pengawasan pelaksanaan K3 langsung di tempat kerja.
2. Standarisasi.
Penyusunan standar tertentu yang bertalian dengan konstruksi dan keadaan yang
aman dari peralatan industri, Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau alat pelindung
diri. Dengan adanya standar K3 yang baik dan maju akan menentukan tingkat
kemajuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
3. Inspeksi / Pengawasan.
Pada dasarnya merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka pemeriksaan dan
pengujian terhadap keadaan tempat kerja, mesin, pesawat, alat dan instalasi, sejauh
mana masalah ini masih memenuhi ketentuan dan persyaratan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3).
4. R i s e t.
Riset dapat meliputi antara lain : teknis, medis, psychologis dan statistik, yang
dimaksudkan untuk menunjang tingkat kemajuan bidang Keselamatan dan
Kesehatan Kerja sesuai perkembangan ilmu pengetahuan teknik dan teknologi.
5. Pendidikan dan Latihan.
Dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran akan arti pentingnya Keselamatan
dan Kesehatan Kerja, disamping meningkatkan kualitas pengetahuan dan
ketrampilan Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
6. P e r s u a s i.
Pendekatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja secara pribadi dengan tidak
menerapkan dan memaksakan melalui sangsi – sangsi.
7. A s u r a n s i.
Dapat diterapkan misalnya dengan cara premi yang lebih rendah terhadap
perusahaan yang memenuhi syarat Keselamatan dan Kesehatan Kerja mempunyai
tingkat kekerapan (FR) dan Keparahan kecelakaan (SR) yang rendah di
perusahaannya. Penanganan masalah kecelakaan kerja juga didukung oleh adanya
UU No. 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Berdasarkan UU ini, jaminan
sosial tenaga kerja (jamsostek) adalah perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk
santunan uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang
dan pelayanan sebagai akibat dari suatu peristiwa atau keadaan yang dialami oleh
tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, tua dan meninggal
dunia.
Jamsostek kemudian diatur lebih lanjut melalui PP No. 14/1993 mengenai
penyelenggaraan jamsostek di Indonesia. Kemudian, PP ini diperjelas lagi dengan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. PER-05/MEN/1993, yang menunjuk PT.
ASTEK (sekarang menjadi PT. Jamsostek), sebagai sebuah badan (satu-satunya)
penyelenggara jamsostek secara nasional. Sebagai penyelenggara asuransi
jamsostek, PT. Jamsostek juga merupakan suatu badan yang mencatat kasus-kasus
kecelakaan kerja termasuk pada proyek-proyek konstruksi melalui pelaporan klaim
asusransi setiap kecelakaan kerja terjadi. Melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja
No. KEP-196/MEN/1999, berbagai aspek penyelenggaraan program jamsostek
diatur secara khusus untuk para tenaga kerja harian lepas, borongan, Tantangan
Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Proyek Konstruksi di Indonesia dan
perjanjian kerja waktu tertentu, pada sektor jasa konstruksi. Karena pekerja sektor
jasa konstruksi sebagian besar berstatus harian lepas dan borongan, maka KepMen
ini sangat membantu nasib mereka. Para pengguna jasa wajib mengikutsertakan
pekerja-pekerja lepas ini dalam dua jenis program jamsostek yaitu jaminan
kecelakaan kerja dan jaminan kematian. Apabila mereka bekerja lebih dari 3 bulan,
pekerja lepas ini berhak untuk ikut serta dalam dua program tambahan lainnya
yaitu program jaminan hari tua dan jaminan pemeliharaan kesehatan.
PENUTUP
Dari uraian mengenai berbagai aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada
penyelenggaraan konstruksi di Indonesia, dapat diambil kesimpulan bahwa bebagai
masalah dan tantangan yang timbul tersebut berakar dari rendahnya taraf kualitas
hidup sebagian besar masyarakat. Dari sekitar 4.5 juta pekerja konstruksi
Indonesia, lebih dari 50% di antaranya hanya mengenyam pendidikan maksimal
sampai dengan tingkat Sekolah Dasar. Mereka adalah tenaga kerja lepas harian
yang tidak meniti karir ketrampilan di bidang konstruksi, namun sebagian besar
adalah para tenaga kerja dengan ketrampilan seadanya dan masuk ke dunia jasa
konstruksi akibat dari keterbatasan pilihan hidup.
Permaslahan K3 pada jasa konstruksi yang bertumpu pada tenaga kerja
berkarakteristik demikian, tentunya tidak dapat ditangani dengan cara-cara yang
umum dilakukan di negara maju. Langkah pertama perlu segera diambil adalah
keteladanan pihak Pemerintah yang mempunyai fungsi sebagai pembina dan juga
“the biggest owner.” Pihak pemilik proyek lah yang memiliki peran terbesar dalam
usaha perubahan paradigma K3 konstruksi. Dalam penyelenggaraan proyek-proyek
konstruksi yang didanai oleh APBN/APBD/Pinjaman Luar Negeri, Pemerintah antara
lain dapat mensyaratkan penilaian sistem K3 sebagai salah satu aspek yang
memiliki bobot yang besar dalam proses evaluasi pemilihan penyedia jasa. Di
samping itu, hal yang terpenting adalah aspek sosialisasi dan pembinaan yang terus
menerus kepada seluruh komponen Masyarakat Jasa Konstruksi, karena tanpa
program-program yang bersifat partisipatif, keberhasilan penanganan masalah K3
konstruksi tidak mungkin tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Warta Ekonomi, ”K3 Masih Dianggap Remeh,” 2 Juni 2006
Surat Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Tenaga Kerja No.
Kep. 174/MEN/1986-104/KPTS/1986: ”Pedoman Keselamatan dan Kesehatan Kerja
pada Tempat Kegiatan Konstruksi.”
Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 384/KPTS/M/2004
”Tentang Pedoman Teknis Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan
Konstruksi Bendungan.”
Hinze, J., and Bren, K. (1997). “The Causes of Trenching Related Fatalities and
Injuries,” Proceedings of Construction Congress V: Managing Engineered
Construction in Expanding Global Markets, ASCE, pp 389-398.
Keppres RI No.22 Tahun 1993 ”Tentang Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan
Kerja.”
King, R.W. and Hudson, R. (1985). “Construction Hazard and Safety Handbook:
Safety.” Butterworths, England.
Occupational Safety and Health Administration (Revisi 2000). “Occupational Safety
and Health Standards for the Construction Industry” (29 CFR Part 1926) – U.S.
Department of Labor.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER-01/MEN/1980 “Tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Konstruksi Bangunan.”
Peraturan Pemerintah RI No. 14 Tahun 1993 “Tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja.”
Surat Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Tenaga Kerja
No.Kep.
By. Afis pasita, Asrif yanto, Emmi fauzianti, Irna pebrindo & Jesisca sonya
http://ariagusti.wordpress.com/2011/01/17/manajemen-risiko-dalam-keselamatan-
dan-kesehatan-kerja-pada-perusahaan-konstruksi/
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Pertambangan
Posted: 07 Jan 2012 05:50 AM PST
Setelah browsing2 tentang keselamatan dan kesehatan kerja K3 di industri
pertambangan. Saya menemukan artikel ini yang saya kira bagus untuk di share
untuk sahabat artikelk3.com.
Pendahuluan
Pertambangan memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan nasional.
Pertambangan memberikan peran yang sangat signifikan dalam perekonomian
nasional, baik dalam sektor fiscal, moneter, maupun sektor riil. Peran pertambangan
terlihat jelas dimana pertambangan menjadi salah satu sumber penerimaan negara;
berkontribusi dalam pembangaunan daerah, baik dalam bentuk dana bagi hasil
maupun program community development atau coorporate social responsibility;
memberikan nilai surplus dalam neraca perdagangan; meningkatkan investasi;
memberikan efek berantai yang positif terhadap ketenagakerjaan; menjadi salah
satu faktor dominan dalam menentukan Indeks Harga Saham Gabungan; dan
menjadi salah satu sumber energy dan bahan baku domestik.
Salah satu karakteristik industri pertambangan adalah padat modal, padat teknologi
dan memiliki risiko yang besar. Oleh karena itu, dalam rangka menjamin kelancaran
operasi, menghindari terjadinya kecelakaan kerja, kejadian berbahaya dan penyakit
akibat kerja maka diperlukan implementasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
pada kegiatan pertambangan.
Terjadinya kecelakaan kerja tentu saja menjadikan masalah yang besar bagi
kelangsungan suatu usaha. Kerugian yang diderita tidak hanya berupa kerugian
materi yang cukup besar namun lebih dari itu adalah timbulnya korban jiwa yang
tidak sedikit jumlahnya. Kehilangan sumber daya manusia ini merupakan kerugian
yang sangat besar karena manusia adalah satu-satunya sumber daya yang tidak
dapat digantikan oleh teknologi apapun.
Upaya pencegahan dan pengendalian bahaya kerja yang dapat menyebabkan
terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat dilakukan dengan penerapan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja di tempat kerja.Secara keilmuan K3, didefinisikan
sebagai ilmu dan penerapan teknologi tentang pencegahan kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja. Dari aspek hukum K3 merupakan kumpulan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan keselamatan dan
kesehatan kerja.
Melalui peraturan yang jelas dan sanksi yang tegas, perlindungan K3 dapat
ditegakkan, untuk itu diperlukan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang K3. Bahkan ditingkat internasionalpun telah disepakati adanya konvensi-
konvensi yang mengatur tentang K3 secara universal sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, baik yang dikeluarkan oleh organisasi dunia
seperti ILO, WHO, maupun tingkat regional.
Ditinjau dari aspek ekonomis, dengan menerapkan K3, maka tingkat kecelakaan
akan menurun, sehingga kompensasi terhadap kecelakaan juga menurun, dan biaya
tenaga kerja dapat berkurang. Sejalan dengan itu, K3 yang efektif akan dapat
meningkatkan produktivitas kerja sehingga dapat meningkatkan hasil produksi. Hal
ini pada gilirannya kemudian dapat mendorong semua tempat kerja/industri
maupun tempat-tempat umum merasakan perlunya dan memiliki budaya K3 untuk
diterapkan disetiap tempat dan waktu, sehingga K3 menjadi salah satu budaya
industrial.
Dengan melaksanakan K3 akan terwujud perlindungan terhadap tenaga kerja dari
risiko kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang dapat terjadi pada waktu
melakukan pekerjaan di tempat kerja. Dengan dilaksanakannya perlindungan K3,
diharapkan akan tercipta tempat kerja yang aman, nyaman, sehat dan tenaga kerja
yang produktif, sehingga akan meningkatkan produktivitas kerja dan produktivitas
perusahaan. Dengan demikian K3 sangat besar peranannya dalam upaya
meningkatkan produktivitas perusahaan, terutama dapat mencegah korban
manusia..
Dengan demikian untuk mewujudkan K3 diperusahaan perlu dilaksanakan dengan
perencanaan dan pertimbangan yang tepat, dan salah satu kunci keberhasilannya
terletak pada peran serta pekerja sendiri baik sebagai subyek maupun obyek
perlindungan dimaksud dengan memperhatikan banyaknya risiko yang diperoleh
perusahaan, mulai diterapkan manajemen risiko, sebagai inti dan cikal bakal SMK3.
Penerapan ini sudah mulai menerapkan pola preventif terhadap kecelakaan kerja
yang akan terjadi.
Manajemen risiko menuntut tidak hanya keterlibatan pihak manajemen tetapi juga
komitmen manajemen dan seluruh pihak yang terkait. Pada konsep ini, bahaya
sebagai sumber kecelakaan kerja harus harus teridentifikasi, kemudian diadakan
perhitungan dan prioritas terhadap risiko dari bahaya tersebut dan terakhir adalah
pengontrolan risiko.
Ditahap pengontrolan risiko, peran manajemen sangat penting karena pengontrolan
risiko membutuhkan ketersediaan semua sumber daya yang dimiliki oleh
perusahaan, karena pihak manajemen yang sanggup memenuhi ketersediaan ini.
Semua konsep-konsep utama tersebut semakin menyadarkan akan pentingnya
kebutuhan pengelolaan K3 dalam bentuk manajemen yang sistematis dan mendasar
agar dapat terintegrasi dengan manajemen perusahaan yang lain. Integrasi ini
diawali dengan kebijakan dari perusahaan untuk mengelola K3 menerapkan suatu
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).
B. Rumusan Masalah
1. Apa Itu Manajemen Resiko Pertambangan.
2. Apa Faktor Resiko Yang Ada Di Perusahaan Pertambangan.
3. Bagaimana Teknik Cara/Metode Pengelolaan Resiko Pada Perusahaan
Pertambangan.
4. Apa Saja Manfaat Manajemen Resiko Pada Perusahaan Pertambangan
5. Bagaimana Teknik Pencegahan Ledakan
C. Tujuan Umum
Untuk mengetahui manajemen resiko pada perusahaan pertambangan terhadap
keselamatan dan kesehatan pekerja.
D. Tujuan Khusus
1. Untuk Mengetahui Pengertian Dari Manajemen Resiko Pertambangan.
2. Untuk Mengetahui Faktor Resiko Yang Ada Di Perusahaan Pertambangan.
3. Untuk Mengetahui Cara/Metode Pengelolaan Resiko Pada Perusahaan
Pertambangan.
4. Untuk Mengetahui Manfaat Manajemen Resiko Pada Perusahaan Pertambangan.
5. Untuk Mengetahui Teknik Pencegahan Ledakan
Pengertian Manajemen Resiko Pertambangan.
Manajemen Resiko Pertambangan adalah suatu proses interaksi yang digunakan
oleh perusahaan pertambangan untuk mengidentifikasi,mengevaluasi,dan
menanggulangi bahaya di tempat kerja guna mengurangi resiko bahaya seperti
kebakaran, ledakan, tertimbun longsoran tanah, gas beracun, suhu yang
ekstrem,dll.Jadi, manajemen resiko merupakan suatu alat yang bila digunakan
secara benar akan menghasilkan lingkungan kerja yang aman,bebas dari ancaman
bahaya di tempat kerja.
Faktor Resiko Yang Ada Di Perusahaan Pertambangan
Adapun Faktor Resiko yang sering dijumpai pada Perusahaan Pertambangan adalah
sebagai berikut :
a. Ledakan
Ledakan dapat menimbulkan tekanan udara yang sangat tinggi disertai dengan
nyala api. Setelah itu akan diikuti dengan kepulan asap yang berwarna hitam.
Ledakan merambat pada lobang turbulensi udara akan semakin dahsyat dan dapat
menimbulkan kerusakan yang fatal.
b. Longsor
Longsor di pertambangan biasanya berasal dari gempa bumi, ledakan yang terjadi
di dalam tambang,serta kondisi tanah yang rentan mengalami longsor. Hal ini bisa
juga disebabkan oleh tidak adanya pengaturan pembuatan terowongan untuk
tambang.
c. Kebakaran
Bila akumulasi gas-gas yang tertahan dalam terowongan tambang bawah tanah
mengalami suatu getaran hebat, yang diakibatkan oleh berbagai hal, seperti
gerakan roda-roda mesin, tiupan angin dari kompresor dan sejenisnya, sehingga gas
itu terangkat ke udara (beterbangan) dan kemudian membentuk awan gas dalam
kondisi batas ledak (explosive limit) dan ketika itu ada sulutan api, maka akan
terjadi ledakan yang diiringi oleh kebakaran.
Cara / Metode Pengelolaan Resiko Pada Perusahaan Pertambangan
Pengelolaan Risiko menempati peran penting dalam organisasi kami karena fungsi
ini mendorong budaya risiko yang disiplin dan menciptakan transparansi dengan
menyediakan dasar manajemen yang baik untuk menetapkan profil risiko yang
sesuai. Manajemen Risiko bersifat instrumental dalam memastikan pendekatan yang
bijaksana dan cerdas terhadap pengambilan risiko yang dengan demikian akan
menyeimbangkan risiko dan hasil serta mengoptimalkan alokasi modal di seluruh
korporat. Selain itu, melalui budaya manajemen risiko proaktif dan penggunaan
sarana kuantitatif dan kualitatif yang modern, kami berupaya meminimalkan potensi
terhadap kemungkinan risiko yang tidak diharapkan dalam operasional.
Pengelolaan K3 pertambangan dilakukan secara menyeluruh baik oleh pemerintah
maupun oleh perusahaan. Pengelolaan tersebut didasarkan pada peraturan sebagai
berikut:
1. UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
2. UU No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah
3. UU No. 27 tahun 2003 tentang Panas bumi
4. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
5. UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
6. PP No. 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi
7. PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemprov dan Pemkab/Kota
8. PP No.19 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan Pengawasan K3 di Bidang
Pertambangan
9. Permen No.06.P Tahun 1991 tentang Pemeriksaan Keselamatan Kerja atas
Instalasi, Peralatan dan Teknik Migas dan Panas Bumi
10. Permen No.02 P. Tahun 1990 tentang Keselamatan Kerja Panas Bumi
11. Kepmen No.555.K Tahun 1995 tentang K3 Pertambangan Umum
12. Kepmen.No.2555.K Tahun 1993 tentang PIT Pertambangan Umum.
Pengendalian risiko diperlukan untuk mengamankan pekerja dari bahaya yang ada
di tempat kerja sesuai dengan persyaratan kerja Peran penilaian risiko dalam
kegiatan pengelolaan diterima dengan baik di banyak industri.Pendekatan ini
ditandai dengan empat tahap proses pengelolaan risiko manajemen risiko adalah
sebagai berikut :
1. Identifikasi risiko adalah mengidentifikasi bahaya dan situasi yang berpotensi
menimbulkan bahaya atau kerugian (kadang-kadang disebut ‘kejadian yang tidak
diinginkan’).
2. Analisis resiko adalah menganalisis besarnya risiko yang mungkin timbul dari
peristiwa yang tidak diinginkan.
3. Pengendalian risiko ialah memutuskan langkah yang tepat untuk mengurangi
atau mengendalikan risiko yang tidak dapat diterima.
4. Menerapkan dan memelihara kontrol tindakan adalah menerapkan kontrol dan
memastikan mereka efektif.
Manajemen resiko pertambangan dimulai dengan melaksanakan identifikasi bahaya
untuk mengetahui faktor dan potensi bahaya yang ada yang hasilnya nanti sebagai
bahan untuk dianalisa, pelaksanaan identifikasi bahaya dimulai dengan membuat
Standart Operational Procedure (SOP). Kemudian sebagai langkah analisa
dilakukanlah observasi dan inspeksi. Setelah dianalisa,tindakan selanjutnya yang
perlu dilakukan adalah evaluasi resiko untuk menilai seberapa besar tingkat
resikonya yang selanjutnya untuk dilakukan kontrol atau pengendalian resiko.
Kegiatan pengendalian resiko ini ditandai dengan menyediakan alat deteksi,
penyediaan APD, pemasangan rambu-rambu dan penunjukan personel yang
bertanggung jawab sebagai pengawas. Setelah dilakukan pengendalian resiko untuk
tindakan pengawasan adalah dengan melakukan monitoring dan peninjauan ulang
bahaya atau resiko.
Manfaat Manajemen Resiko Pada Perusahaan Pertambangan
Secara umum manfaat Manajemen Resiko pada perusahaan pertambangan adalah
sebagai berikut :
1. Menimalkan kerugian yang lebih besar
2. Meningkatkan kepercayaan pelanggan dan pemerintah kepada perusahaan
3. Meningkatkan kepercayaan karyawan kepada perusahaan
Teknik Pencegahan Ledakan
Guna menghindari berbagai kecelakaan kerja pada tambang bawah tanah, terutama
dalam bentuk ledakan gas perlu dilakukan tindakan pencegahan. Tindakan
pencegahan ledakan ini harus dilakukan oleh segenap pihak yang terkait dengan
pekerjaan pada tambang bawah tanah tersebut.
Beberapa hal yang perlu dipelajari dalam rangka pencegahan ledakan adalah :
• Pengetahuan dasar-dasar terjadinya ledakan, membahas:
o Gas-gas yang mudah terbakar/meledak
o Karakteristik gas
o Sumber pemicu kebakaran/ledakan
• Metoda eliminasi penyebab ledakan, antara lain:
o Pengukuran konsentrasi gas
o Pengontrolan sistem ventilasi tambang
o Pengaliran gas (gas drainage)
o Penggunaan alat ukur gas
o Penyiraman air (sprinkling water)
o Pengontrolan sumber-sumber api penyebab kebakaran dan ledakan
• Teknik pencegahan ledakan tambang
o Penyiraman air (water sprinkling)
o Penaburan debu batu (rock dusting)
o Pemakaian alat-alat pencegahan standar.
• Fasilitas pencegahan penyebaran kebakaran dan ledakan, antara lain:
o Lokalisasi penambangan dengan penebaran debu batuan
o Pengaliran air ke lokasi potensi kebakaran atau ledakan
o Penebaran debu batuan agak lebih tebal pada lokasi rawan
• Tindakan pencegahan kerusakan akibat kebakaran dan ledakan:
o Pemisahan rute (jalur) ventilasi
o Evakuasi, proteksi diri, sistemperingatandini, dan penyelamatansecara tim.
Sesungguhnya kebakaran tambang dan ledakan gas tidak akan terjadi jika sistem
ventilasi tambang batubara bawah tanah itu cukup baik.
Penutup
Manajemen Resiko Pertambangan adalah suatu proses interaksi yang digunakan
oleh perusahaan pertambangan untuk mengidentifikasi,mengevaluasi,dan
menanggulangi bahaya di tempat kerja guna mengurangi resiko bahaya seperti
kebakaran, ledakan, tertimbun longsoran tanah, gas beracun, suhu yang
ekstrem,dll.Jadi, manajemen resiko merupakan suatu alat yang bila digunakan
secara benar akan menghasilkan lingkungan kerja yang aman,bebas dari ancaman
bahaya di tempat kerja.
Terjadinya kecelakaan kerja tentu saja menjadikan masalah yang besar bagi
kelangsungan suatu usaha. Kerugian yang diderita tidak hanya berupa kerugian
materi yang cukup besar namun lebih dari itu adalah timbulnya korban jiwa yang
tidak sedikit jumlahnya. Kehilangan sumber daya manusia ini merupakan kerugian
yang sangat besar karena manusia adalah satu-satunya sumber daya yang tidak
dapat digantikan oleh teknologi apapun.
Manajemen risiko menuntut tidak hanya keterlibatan pihak manajemen tetapi juga
komitmen manajemen dan seluruh pihak yang terkait. Pada konsep ini, bahaya
sebagai sumber kecelakaan kerja harus harus teridentifikasi, kemudian diadakan
perhitungan dan prioritas terhadap risiko dari bahaya tersebut dan terakhir adalah
pengontrolan risiko. Ditahap pengontrolan risiko, peran manajemen sangat penting
karena pengontrolan risiko membutuhkan ketersediaan semua sumber daya yang
dimiliki oleh perusahaan, karena pihak manajemen yang sanggup memenuhi
ketersediaan ini. Semua konsep-konsep utama tersebut semakin menyadarkan akan
pentingnya kebutuhan pengelolaan K3 dalam bentuk manajemen yang sistematis
dan mendasar agar dapat terintegrasi dengan manajemen perusahaan yang lain.
Integrasi ini diawali dengan kebijakan dari perusahaan untuk mengelola K3
menerapkan suatu Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).
Referensi
-Balai Diklat Tambang Bawah Tanah@ Copyright BDTBT 2004 Pusdiklat Teknologi
Mineral & Batubara
-Budiono S. Manajemen Risiko dalam Hiperkes dan Keselamatan Kerja. Bunga
Rampai Hiperkes dan Keselamatan. Semarang, 2005.
-Mansur M. Manajemen Risiko Kesehatan di Tempat Kerja. Maj Kedokt Indon,
Volum: 57, Nomor: 9,September2007
-Organisasi Perburuhan Internasional. “Hidup Saya, Pekerjaan Saya, Pekerjaan yang
Aman” Jakarta, Kantor Perburuhan Internasional, 2008
-World Health Organization. Deteksi dini penyakit akibat kerja. Wijaya C (Ed.)
Suyono J (Alih bahasa). Jakarta: EGC; 1993.
waridnurdiansyah.blogspot.com
-http://occmed.oxfordjournals.org
by : Andika Putra Utami; Yunike Rahmi; Dewi Permata Sari; Bismatullah; Ismadi
http://ariagusti.wordpress.com/2011/01/21/manajemen-risiko-k3-di-perusahaan-
pertambangan/
K3 Laboratorium Kesehatan
Posted: 06 Jan 2012 10:57 PM PST
Kesehatan dan Keselamatan Kerja Laboratorium Kesehatan Oleh Pusat Kesehatan
Kerja
I. PENDAHULUAN
Di era globalisasi dan pasar bebas WTO dan GATT yang akan berlaku tahun 2020
mendatang, kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu prasyarat yang
ditetapkan dalam hubungan ekonomi perdagangan barang dan jasa antar negara
yang harus dipenuhi oleh seluruh negara anggota, termasuk bangsa Indonesia.
Untuk mengantisipasi hal tersebut serta mewujudkan perlindungan masyarakat
pekerja Indonesia; telah ditetapkan Visi Indonesia Sehat 2010 yaitu gambaran
masyarakat Indonesia di masa depan, yang penduduknya hidup dalam lingkungan
dan perilaku sehat, memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan
merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya
untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran
lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan
produktivitas kerja.
Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi
pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara
menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada
masyarakat luas.
Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan petugas
kesehatan dan non kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam dengan baik.
Jika kita pelajari angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja di beberapa negara
maju (dari beberapa pengamatan) menunjukan kecenderungan peningkatan
prevalensi. Sebagai faktor penyebab, sering terjadi karena kurangnya kesadaran
pekerja dan kualitas serta keterampilan pekerja yang kurang memadai. Banyak
pekerja yang meremehkan risiko kerja, sehingga tidak menggunakan alat-alat
pengaman walaupun sudah tersedia.
Dalam penjelasan undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan telah
mengamanatkan antara lain, setiap tempat kerja harus melaksanakan upaya
kesehatan kerja, agar tidak terjadi gangguan kesehatan pada pekerja, keluarga,
masyarakat dan lingkungan disekitarnya.
Diantara sarana kesehatan, Laboratorium Kesehatan merupakan suatu institusi
dengan jumlah petugas kesehatan dan non kesehatan yang cukup besar. Kegiatan
laboratorium kesehatan mempunyai risiko berasal dari faktor fisik, kimia, ergonomi
dan psikososial. Variasi, ukuran, tipe dan kelengkapan laboratorium menentukan
kesehatan dan keselamatan kerja. Seiring dengan kemajuan IPTEK, khususnya
kemajuan teknologi laboratorium, maka risiko yang dihadapi petugas laboratorium
semakin meningkat.
Petugas laboratorium merupakan orang pertama yang terpajan terhadap bahan
kimia yang merupakan bahan toksisk korosif, mudah meledak dan terbakar serta
bahan biologi. Selain itu dalam pekerjaannya menggunakan alat-alat yang mudah
pecah, berionisasi dan radiasi serta alat-alat elektronik dengan voltase yang
mematikan, dan melakukan percobaan dengan penyakit yang dimasukan ke jaringan
hewan percobaan.
Oleh karena itu penerapan budaya ?aman dan sehat dalam bekerja? hendaknya
dilaksanakan pada semua Institusi di Sektor Kesehatan termasuk Laboratorium
Kesehatan.
II. FASILITAS LABORATORIUM
Laboratorium Kesehatan adalah sarana kesehatan yang melaksanakan
pengukuran, penetapan dan pengujian terhadap bahan yang berasal dari
manusia atau bahan yang bukan berasal dari manusia untuk penentuan jenis
penyakit, penyebab penyakit, kondisi kesehatan dan faktor yang dapat
berpengaruh terhadap kesehatan perorangan dan masyarakat.
Disain laboratorium harus mempunyai sistem ventilasi yang memadai dengan
sirkulasi udara yang adekuat.
Disain laboratorium harus mempunyai pemadam api yang tepat terhadap
bahan kimia yang berbahaya yang dipakai.
Kesiapan menghindari panas sejauh mungkin dengan memakai alat
pembakar gas yang terbuka untuk menghindari bahaya kebakaran.
Untuk menahan tumpahan larutan yang mudah terbakar dan melindungi
tempat yang aman dari bahaya kebakaran dapat disediakan bendung-
bendung talam.
Dua buah jalan keluar harus disediakan untuk keluar dari kebakaran dan
terpisah sejauh mungkin.
Tempat penyimpanan di disain untuk mengurangi sekecil mungkin risiko oleh
bahan-bahan berbahaya dalam jumlah besar.
Harus tersedia alat Pertolongan Pertama Pada Kecelakaam (P3K).
III. MASALAH KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
Kinerja (performen) setiap petugas kesehatan dan non kesehatan merupakan
resultante dari tiga komponen kesehatan kerja yaitu kapasitas kerja, beban kerja
dan lingkungan kerja yang dapat merupakan beban tambahan pada pekerja. Bila
ketiga komponen tersebut serasi maka bisa dicapai suatu derajat kesehatan kerja
yang optimal dan peningkatan produktivitas. Sebaliknya bila terdapat ketidak
serasian dapat menimbulkan masalah kesehatan kerja berupa penyakit ataupun
kecelakaan akibat kerja yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kerja.
1. Kapasitas Kerja
Status kesehatan masyarakat pekerja di Indonesia pada umumnya belum
memuaskan. Dari beberapa hasil penelitian didapat gambaran bahwa 30?40%
masyarakat pekerja kurang kalori protein, 30% menderita anemia gizi dan 35%
kekurangan zat besi tanpa anemia. Kondisi kesehatan seperti ini tidak
memungkinkan bagi para pekerja untuk bekerja dengan produktivitas yang optimal.
Hal ini diperberat lagi dengan kenyataan bahwa angkatan kerja yang ada sebagian
besar masih di isi oleh petugas kesehatan dan non kesehatan yang mempunyai
banyak keterbatasan, sehingga untuk dalam melakukan tugasnya mungkin sering
mendapat kendala terutama menyangkut masalah PAHK dan kecelakaan kerja.
2. Beban Kerja
Sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan maupun yang bersifat teknis beroperasi
8 – 24 jam sehari, dengan demikian kegiatan pelayanan kesehatan pada
laboratorium menuntut adanya pola kerja bergilirdan tugas/jaga malam. Pola kerja
yang berubah-ubah dapat menyebabkan kelelahan yang meningkat, akibat
terjadinya perubahan pada bioritmik (irama tubuh). Faktor lain yang turut
memperberat beban kerja antara lain tingkat gaji dan jaminan sosial bagi pekerja
yang masih relatif rendah, yang berdampak pekerja terpaksa melakukan kerja
tambahan secara berlebihan. Beban psikis ini dalam jangka waktu lama dapat
menimbulkan stres.
3. Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja bila tidak memenuhi persyaratan dapat mempengaruhi kesehatan
kerja dapat menimbulkan Kecelakaan Kerja (Occupational Accident), Penyakit
Akibat Kerja dan Penyakit Akibat Hubungan Kerja (Occupational Disease & Work
Related Diseases).
IV. IDENTIFIKASI MASALAH KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
LABORATORIUM KESEHATAN DAN PENCEGAHANNYA
A. Kecelakaan Kerja
Kecelakaan kerja adalah kejadian yang tidak terduga dan tidak diharapkan.
Biasanya kecelakaan menyebabkan, kerugian material dan penderitaan dari yang
paling ringan sampai kepada yang paling berat.
Kecelakaan di laboratorium dapat berbentuk 2 jenis yaitu :
1. Kecelakaan medis, jika yang menjadi korban pasien
2. Kecelakaan kerja, jika yang menjadi korban petugas laboratorium itu sendiri.
Penyebab kecelakaan kerja dapat dibagi dalam kelompok :
1. Kondisi berbahaya (unsafe condition), yaitu yang tidak aman dari :
o Mesin, peralatan, bahan dan lain-lain
o Lingkungan kerja
o Proses kerja
o Sifat pekerjaan
o Cara kerja
2. Perbuatan berbahaya (unsafe act), yaitu perbuatan berbahaya dari manusia,
yang dapat terjadi antara lain karena :
o Kurangnya pengetahuan dan keterampilan pelaksana
o Cacat tubuh yang tidak kentara (bodily defect)
o Keletihanan dan kelemahan daya tahan tubuh.
o Sikap dan perilaku kerja yang tidak baik.
Beberapa contoh kecelakaan yang banyak terjadi di laboratorium :
1. Terpeleset , biasanya karena lantai licin. Terpeleset dan terjatuh adalah
bentuk kecelakaan kerja yang dapat terjadi di laboratorium.
Akibat :
Ringan
o memar
Berat
o fraktura, dislokasi, memar otak, dll.
Pencegahan :
Pakai sepatu anti slip
Jangan pakai sepatu dengan hak tinggi, tali sepatu longgar
Hati-hati bila berjalan pada lantai yang sedang dipel (basah dan licin) atau
tidak rata konstruksinya.
Pemeliharaan lantai dan tangga
2. Mengangkat beban Mengangkat beban merupakan pekerjaan yang cukup berat,
terutama bila mengabaikan kaidah ergonomi.
Akibat : cedera pada punggung.
Pencegahan :
Beban jangan terlalu berat
Jangan berdiri terlalu jauh dari beban
Jangan mengangkat beban dengan posisi membungkuk tapi pergunakanlah
tungkai bawah sambil berjongkok
Pakaian penggotong jangan terlalu ketat sehingga pergerakan terhambat.
3. Mengambil sample darah/cairan tubuh lainnya Hal ini merupakan pekerjaan
sehari-hari di laboratorium
Akibat :
Tertusuk jarum suntik
Tertular virus AIDS, Hepatitis B.
Pencegahan :
Gunakan alat suntik sekali pakai
Jangan tutup kembali atau menyentuh jarum suntik yang telah dipakai tapi
langsung dibuang ke tempat yang telah disediakan (sebaiknya gunakan
destruction clip).
Bekerja di bawah pencahayaan yang cukup
4. Risiko terjadi kebakaran (sumber : bahan kimia, kompor) bahan desinfektan yang
mungkin mudah menyala (flammable) dan beracun.Kebakaran terjadi bila terdapat 3
unsur bersama-sama yaitu: oksigen, bahan yang mudah terbakar dan panas.
Akibat :
Timbulnya kebakaran dengan akibat luka bakar dari ringan sampai berat
bahkan kematian.
Timbul keracunan akibat kurang hati-hati.
Pencegahan :
Konstruksi bangunan yang tahan api
Sistem penyimpanan yang baik terhadap bahan-bahan yang mudah terbakar
Pengawasan terhadap kemungkinan timbulnya kebakaran
Sistem tanda kebakaran
o Manual yang memungkinkan seseorang menyatakan tanda bahaya
dengan segera
o Otomatis yang menemukan kebakaran dan memberikan tanda secara
otomatis
Jalan untuk menyelamatkan diri
Perlengkapan dan penanggulangan kebakaran.
Penyimpanan dan penanganan zat kimia yang benar dan aman.
B. Penyakit Akibat Kerja & Penyakit Akibat Hubungan Kerja di laboratorium
kesehatan
Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang mempunyai penyebab yang spesifik atau
asosiasi yang kuat dengan pekerjaan, pada umumnya terdiri dari satu agen
penyebab, harus ada hubungan sebab akibat antara proses penyakit dan hazard di
tempat kerja. Faktor Lingkungan kerja sangat berpengaruh dan berperan sebagai
penyebab timbulnya Penyakit Akibat Kerja. Sebagai contoh antara lain debu silika
dan Silikosis, uap timah dan keracunan timah. Akan tetapi penyebab terjadinya
akibat kesalahan faktor manusia juga (WHO).
Berbeda dengan Penyakit Akibat Kerja, Penyakit Akibat Hubungan Kerja (PAHK)
sangat luas ruang lingkupnya. Menurut Komite Ahli WHO (1973), Penyakit Akibat
Hubungan Kerja adalah ?penyakit dengan penyebab multifaktorial, dengan
kemungkinan besar berhubungan dengan pekerjaan dan kondisi tempat kerja.
Pajanan di tempat kerja tersebut memperberat, mempercepat terjadinya serta
menyebabkan kekambuh